24
1 FORMAT IDEAL PENYELESAIAN SENGKETA PEREBUTAN TANAH KUBURAN (SETRA) DESA PAKRAMAN PADANG SAMBIAN DAN DESA PAKRAMAN KEROBOKAN 1 I Made Dedy Priyanto, I Wayan Suandi dan I Wayan Novy Purwanto 2 Abstrak Kehidupan masyarakat Bali yang semakin kompleks tidak dapat terhindar dari nuansa konflik. Salah satu penyebab konflik adat di Bali adalah mengenai perebutan tanah kuburan/setra. Banyak kasus perebutan setra yang berakhir dengan korban jiwa dan harta benda. Tanah kuburan (setra) merupakan tanah adat yakni tanah yang dikuasai oleh desa pakraman sebagai masyarakat hukum adat dan dipergunakan secara bersama-sama oleh anggota desa pakraman. Setra merupakan salah satu harta kekayaan desa pakraman. Oleh sebab itu tanah ini sering diperebutkan. Format ideal penyelesaian sengketa perebutan tanah kuburan (setra) Batu Paras antara Desa Pakraman Kerobokan dengan Desa Pakraman Padang Sambian adalah melalui penyelesaian sengketa non litigasi yakni melalui negosiasi. Hasil negosiasi dituangkan dalam kesepakatan tertulis. Kata kunci: sengketa, setra, penyelesaian sengketa dan desa pakraman. 1 Dibiayai dari Dana DIPA, PNBP Universitas Udayana 2011 dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan (Kontrak) Nomor : 21.37/UN14/KU.03.04/2012 Tanggal: 16 MEI 2012. 2 I Wayan Suandi adalah Dosen pada Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana. I Made Dedy Priyanto dan I Wayan Novy Purwanto adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

repositori.unud.ac.id · Web viewPenyelesaian sengketa juga dapat dilakukan melalui jalur peradilan yakni peradilan perdata. Untuk kerusakan yang ditimbulkan akibat sengketa dapat

Embed Size (px)

Citation preview

1

FORMAT IDEAL PENYELESAIAN SENGKETA PEREBUTAN TANAH

KUBURAN (SETRA) DESA PAKRAMAN PADANG SAMBIAN DAN

DESA PAKRAMAN KEROBOKAN1

I Made Dedy Priyanto, I Wayan Suandi dan I Wayan Novy Purwanto2

Abstrak

Kehidupan masyarakat Bali yang semakin kompleks tidak dapat terhindar dari nuansa konflik. Salah satu penyebab konflik adat di Bali adalah mengenai perebutan tanah kuburan/setra. Banyak kasus perebutan setra yang berakhir dengan korban jiwa dan harta benda. Tanah kuburan (setra) merupakan tanah adat yakni tanah yang dikuasai oleh desa pakraman sebagai masyarakat hukum adat dan dipergunakan secara bersama-sama oleh anggota desa pakraman. Setra merupakan salah satu harta kekayaan desa pakraman. Oleh sebab itu tanah ini sering diperebutkan. Format ideal penyelesaian sengketa perebutan tanah kuburan (setra) Batu Paras antara Desa Pakraman Kerobokan dengan Desa Pakraman Padang Sambian adalah melalui penyelesaian sengketa non litigasi yakni melalui negosiasi. Hasil negosiasi dituangkan dalam kesepakatan tertulis.

Kata kunci: sengketa, setra, penyelesaian sengketa dan desa pakraman.

AbstractBalinese life is increasingly complex can not avoid the sense of conflict. One of the causes of indigenous conflict in Bali is about the seizure grave/ setra. Many cases of grave struggle that ended with the loss of life and property. Graveyard (Setra) is lands the land held by customary village as indigenous people and used jointly by members of customary villages. Setra is one customary village’s wealth. Therefore, the soil is often contested. Ideal format disputes of graveyard (Setra) Batu Paras between Kerobokan customary village and Padang Sambian customary village are through the non-litigation dispute resolution through negotiation. The results of the negotiations set forth in a written agreement.

Keywords: conflict, Setra, dispute resolution and customary village.

PENDAHULUAN 1 Dibiayai dari Dana DIPA, PNBP Universitas Udayana 2011 dengan Surat Perjanjian

Pelaksanaan Kegiatan (Kontrak) Nomor : 21.37/UN14/KU.03.04/2012 Tanggal: 16 MEI 2012.2

I Wayan Suandi adalah Dosen pada Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana. I Made Dedy Priyanto dan I Wayan Novy Purwanto adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2

Latar Belakang Masalah

Penggunaan setra secara bersama-sama antara beberapa desa pakraman

bertendensi menimbulkan konflik. Desa Adat Besang Kangin, Desa Pakraman

Padang Sambian dan Desa Pakraman Kerobokan, Desa Pakraman Kemoning dan

Desa Pakraman Budaga adalah sedikit dari banyak contoh desa pakraman yang

pernah berkonflik karena penggunaan setra secara bersama-sama. Kovach

menganggap konflik sebagai suatu perjuangan mental dan spiritual manusia yang

menyangkut perbedaan berbagai prinsip, pernyataan dan argumen yang

berlawanan. Dalam istilah asing, konflik (conflict) dibedakan dengan sengketa

(dispute). Namun dalam penggunaan secara umum di Indonesia, istilah konflik

selalu ditukargunakan (interchangeably) dengan sengketa. Beberapa penyebab

atau akar timbulnya konflik, dinyatakan oleh Mitchell, adalah sebagai berikut: (1)

Perbedaan pengetahuan atau pemahaman (informasi/fakta); (2) Perbedaan nilai

(prinsip); (3) Perbedaan kepentingan (alokasi untung rugi); dan (4) Perbedaan

latar belakang personal/sejarah.3

Tendensi konflik penggunaan setra Batu Paras antara Desa Pakraman

Kerobokan dengan Desa Pakraman Padang Sambian telah terdeteksi sejak tahun

1999. Riak-riak konflik tersebut disebabkan karena dualisme penggunaan setra

antara empat banjar dari dua desa pakraman yang berbeda. Desa pakraman

tersebut berada pada dua wilayah hukum yang berbeda dimana Desa Pakraman

Kerobokan masuk ke wilayah Kabupaten Badung, sedangkan Desa Pakraman

Kerobokan berada di wilayah hukum Kota Denpasar. Di era otonomi daerah,

keberadaan desa pakraman di wilayah kabupaten/ kota yang berbeda

menimbulkan permasalahan terutama dari segi penanggaran. Perbedaan PAD

masing-masing kabupaten/ kota berimplikasi pada besaran bantuan yang diberikan

oleh masing-masing kabupaten/ kota kepada desa pakraman.

Sengketa perebutan setra merupakan salah satu konflik adat di Bali. Latar

belakang terjadinya konflik adat disebabkan oleh adanya perubahan sosial yang

tampak pada perubahan perilaku warga masyarakat dan terjadinya pergeseran nilai

3 Putut Handoko, 2007, “Mediasi Konflik Penanganan Kerusakan Pantai (Studi Kasus Penanganan Abrasi Pantai Kuta Bali)”, Tesis, Program Magister Ilmu Lingkungan”, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, hal. 11.

3

budaya.4 Di masa lalu mereka selalu berpegang pada filosofi Tat Twam Asi (aku

adalah kamu), sehingga menyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, nilai-nilai itu semakin memudar.

Budaya komunal sedikit demi sedikit berubah menjadi budaya individualis yang

menekankan pada kepemilikan. Budaya individualis ini tentu bertentangan dengan

ciri komunal dari masyarakat hukum adat. Dalam budaya individualis milik satu

pihak tidak boleh digunakan oleh pihak lain sedangkan dalam budaya komunal

setiap benda memiliki fungsi sosial sehingga dapat digunakan oleh pihak lain.

Sengketa perebutan setra telah bertentangan dengan konsep-konsep filsafat

Hindu, budaya masyarakat dan mengancam stabilitas keamanan, oleh sebab itu,

sengketa setra harus diselesaikan dengan damai.

Perumusan Masalah

a. Bagaimanakah status hukum tanah kuburan (setra)?

b. Bagaimanakah metode penyelesaian sengketa perebutan tanah kuburan (setra)?

Tinjauan Pustaka

Konflik adat dalam sengketa perebutan setra terjadi di sejumlah wilayah di

Bali. Dari penelitian awal yang dilakukan, diketahui bahwa konflik antara desa

pakraman dalam perebutan setra disebabkan karena otonomi yang dimiliki oleh

desa pakraman. Dalam menyelenggarakan pemerintahannya sendiri, desa

pakraman harus memiliki harta kekayaan sebagai modal dalam melaksanakan

pemerintahannya itu. Pasal 9 ayat (1) Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001

Tentang Desa Pakraman menyebutkan bahwa harta kekayaan desa pakraman

adalah harta yang menjadi milik desa pakraman. Milik desa pakraman dikenal

dengan istilah duwe atau druwe desa (duwe = milik atau kekayaan). Milik desa

pakraman ada yang memiliki nilai ekonomi dan ada pula yang tidak mempunyai

nilai ekonomi. Pura dan berbagai perlengkapan upakara dalam pura yang

dimaksud, areal kuburan desa adat, dan lain-lain, termasuk bagian dari milik desa

pakraman yang tidak mempunyai nilai ekonomi.5

4

I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat Bali, Udayana University, Denpasar, hal. 75.

5 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 58.

4

Penyelesaian sengketa perebutan tanah kuburan (setra) antara desa

pakraman lebih baik jika diselesaikan melalui metode penyelesaian sengketa di

luar pengadilan atau alternative dispute resolution (ADR). Penyelesaian sengketa

melalui alternative dispute resolution (ADR) kini menjadi the first resort yang

dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Altschul mengartikan ADR sebagai a

trial of a case before a private tribunal agreed to by the parties so as to save legal

costs, avoid publicity and avoid lengthy trial delays.6 Penyelesaian sengketa non

litigasi dapat dilakukan melalui negosiasi atau mediasi. Penyelesaian sengketa

juga dapat dilakukan melalui jalur peradilan yakni peradilan perdata. Untuk

kerusakan yang ditimbulkan akibat sengketa dapat diproses secara perdata berupa

gugatan ganti kerugian maupun secara pidana seperti penganiayaan, pengrusakan

barang dan sebagainya.

Tujuan Penelitian

a. Untuk menganalisis status hukum tanah kuburan (setra).

b. Untuk menganalisis metode penyelesaian sengketa perebutan tanah kuburan

(setra).

Manfaat Penelitian

Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan mengenai komunikasi, sosiologi dan hukum. Secara praktis

penelitian ini bermanfat sebagai bahan referensi dalam penyelesaian konflik adat.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian empiris. Dalam penelitian

empiris digunakan dua jenis data yakni data primer dan data sekunder. Data

primer dikumpulkan melalui teknik observasi dan wawancara. Data sekunder

dikumpulkan melalui teknik studi kepustakaan. teknik ini merupakan teknik awal

yang digunakan dalam setiap penelitan hukum. Teknik penentuan sampel yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah Purposive sampling yang digunakan

dalam menentukan lokasi penelitian dimana Desa Pakraman Kerobokan dan Desa

6

Jony Emirzon, Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 37.

5

Pakraman Padang Sambian merupakan desa pakraman yang dapat menggunakan

tanah kuburan bersama-sama secara damai.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Status Hukum Tanah Kuburan (Setra)

Tanah memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan manusia.

Bagi masyarakat hukum adat, maka “Tanah mempunyai fungsi yang sangat

penting. Tanah merupakan tempat di mana warga masyarakat hukum adat

bertempat tinggal, dan tanah juga memberikan penghidupan baginya”.7 Sebagai

salah satu unsur dasar pembentuk negara, tanah memegang peranan penting dalam

kehidupan berbangsa sebagai pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih

yang corak agrarisnya berdominasi. ”Di negara yang rakyatnya berhasrat

melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non.”8

Penggunaan dan peruntukan tanah menjadi indikator perkembangan ekonomi

masyarakat.

Kepentingan manusia akan tanah juga dapat dilihat dari kehidupan sosial

masyarakat hukum adat di Bali. Desa Pakraman sebagai masyarakat hukum adat

melakukan pengaturan terhadap tanah. Dalam pengaturan tersebut, desa pakraman

membagi-bagikan tanah kepada warganya. Tanah kuburan (setra) merupakan

tanah adat yakni tanah yang dikusai oleh desa pakraman sebagai masyarakat

hukum adat dan dipergunakan secara bersama-sama oleh anggota desa pakraman.

“Wilayah tersebut adalah pemberian suatu kekuatan yang gaib atau peninggalan

nenek moyang yang diperuntukkan bagi kelangsungan hidup dan penghidupannya

sepanjang masa. Maka hubungan itu pada dasarnya merupakan hubungan abadi”.9

Tanah kuburan (setra) adalah harta kekayaan desa pakraman yang tidak

bergerak dan bersifat religious magis. Kepemilikan setra oleh desa pakraman

7 Soerjono Soekanto dan Soeleman B. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, hal. 192.

8 Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat : Sketsa Asas, Liberti, Yogyakarta, hal. 1.9

Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, hal. 123.

6

menunjukkan eksistensi desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat

yang ada di Bali. Dengan demikian tanah kuburan (setra) memiliki arti penting

bagi desa pakraman. Secara filosofis, keberadaan tanah kuburan (setra) di Bali

merupakan implementasi dari konsep parahyangan (hubungan antara Tuhan

dengan manusia). Kuburan bagi umat Hindu di Bali dipandang sebagai tempat

suci dan dilengkapi dengan tempat peribadahan yang disebut Pura Dalem,

Kahyangan dan Prajapati. Adapun pemakaiannya hanya dibenarkan untuk umat

Hindu yang menjadi karma desa adat di desa yang bersangkutan. Jika ada

penduduk lain yang meninggal di desa itu, menguburkan jenazah yang

bersangkutan di kuburan desa, hal ini hanya dibolehkan, asalkan jenazahnya itu

diupacarai secara keagamaan Hindu dengan status titipan dengan membayar

semacam sewa kuburan kepada desa yang dinamai “petukon aturu” atau

“penanjung batu.” Sedangkan kuburan campuran misalnya antara sesama umat

beragama tidak dibenarkan karena alasan-alasan antara lain:

a. Upacara keagamaan yang berbeda.b. Kuburan umat Hindu tidak bersifat permanen dan sewaktu-waktu akan

dibongkar kembali oleh keluarganya setelah tiba waktunnya mengadakan upacara pembakaran mayat (ngaben).

c. Upacara pembakaran mayat ini menyebabkan tanah kuburan itu bisa dipakai lagi oleh karma desa, sehingga desa tidak pernah mengalami kekurangan tanah kuburan misalnya; karena kuburan itu penuh dengan makam-makam permanen. Sedang bagi umat beragama lainnya tidak ada upacara ngaben sehingga dikhawatirkan kuburan itu akan penuh dengan makam-makam permanen.10

Tanah kuburan (setra) sebagai tanah yang dikuasi oleh desa pakraman

memiliki karakter hukum tersendiri. Tanah ini sepenuhnya diatur oleh desa

pakraman masing-masing. Wewenang pengaturan desa pakraman menurut Wayan

P. Windia dan Ketut Sudantra dibatasi oleh karakter tanah desa sebagai berikut :11

(1) Masyarakat dan anggota-anggotanya dapat menggunakan tanah sebagai dasar bagi kehidupannya;

(2) Orang bukan warga masyarakat hukum adat tidak dapat menggunakan hak itu, kecuali mendapat izin masyarakat hukum adat yang bersangkutan;

(3) Orang lain yang menggunakan hak itu harus membayar sesuatu kepada masyarakat hukum adat.

10

I Wayan Surpha, op.cit., hal. 44-45.11

Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, op. cit., hal. 128-129.

7

(4) Masyarakat hukum adat bertanggung jawab terhadap segala perbuatan hukum yang terjadi di atas tanah tersebut;

(5) Masyarakat hukum adat tidak boleh mengasingkan atau memindahtangankan tanah kepada siapapun untuk selama-lamanya;

(6) Masyarakat hukum adat dapat mencampuri terhadap penggunaan tanah-tanah yang telah digarap oleh anggotanya, agar dimanfaatkan secara wajar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Setra adalah milik dari satu atau beberapa desa pakraman. Awalnya satu

setra dimiliki oleh satu desa pakraman. Namun dengan peningkatan jumlah

penduduk yang begitu cepat maka desa pakraman yang memiliki jumlah krama

desa yang cukup banyak dimekarkan menjadi desa pakraman baru. Pemekaran

desa pakraman tersebut juga sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah pasca

pengundangan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. Untuk melaksanakan tata kehidupan masyarakat, maka desa pakraman

juga memerlukan setra sebagai tempat untuk menguburkan atau membakar

jenazah. Desa pakraman yang baru terbentuk tadi biasanya tetap menggunakan

setra yang sama dengan desa pakraman yang lama. Dengan demikian setra yang

tadinya adalah milik satu desa pakraman kini dimiliki oleh dua desa pakraman.

Setra tersebut digunakan secara bersama-sama oleh dua desa pakraman dan

sebaliknya desa pakraman tersebut juga memiliki kewajiban yang sama terhadap

setra yang digunakan itu.

Penggunaan setra secara bersama-sama terjadi di pelbagai tempat di Bali,

salah satunya adalah penggunaan setra Batu Paras secara bersama-sama oleh Desa

Pakraman Padang Sambian dan Desa Pakraman Kerobokan. Desa Pakraman ini

justru berada dalam wilayah kabupaten yang berbeda. Desa Pakraman Padang

Sambian berada di wilayah hukum kota Denpasar sedangkan Desa Pakraman

Kerobokan berada di wilayah hukum Kabupaten Badung. Setra Batu Paras secara

de facto berada di Banjar Batu Paras, Desa Pakraman Padang Sambian. Setra ini

digunakan secara bersama-sama oleh empat banjar yakni Banjar Uma Klungkung

dan Banjar Kerobokan (termasuk dalam Desa Pakraman Kerobokan) serta Banjar

Pagutan dan Banjar Batu Paras (termasuk dalam Desa Pakraman Padang Sambian.

Berdasarkan kesepakatan kedua desa pakraman tersebut, maka Setra Batu Paras

dibagi menjadi dua bagian dan memiliki dua pintu masuk.

8

Metode Penyelesaian Sengketa

Sengketa (konflik) terjadi karena adanya perubahan yang berarti bahwa

sesuatu akan berbeda dalam beberapa hal dari yang ada sekarang, dimana konflik

merupakan perilaku bersaing di antara dua orang atau kelompok. Timbulnya

sengketa merupakan pertanda akan adanya krisis manusia, dan tindakan yang

harus dilakukan untuk mengatasi konflik (sengketa) ini adalah dengan

mengadakan usaha untuk memperbaiki hubungan tersebut.12 Secara yuridis, upaya

penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua jalur yakni melalui jalur

litigasi (melalui pengadilan) dan non litigasi (di luat pengadilan).

Adanya sengketa dalam kasus perebutan penggunaan setra menjadi ciri sifat

keperdataan. Penyelesaian sengketa sedapat mungkin dilakukan melalui cara-cara

di luar pengadilan.13 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesungguhnya

berasal dari karakter hukum adat di Indonesia. Hukum adat pada hakikatnya

mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat, baik dalam hubungan keluarga,

kekerabatan, ketetanggaan, memulai suatu pekerjaan maupun dalam mengakhiri

pekerjaan, apalagi yang bersifat ‘peradilan’ dalam menyelesaikan perselisihan

antara yang satu dan yang lainnya, diutamakan jalan penyelesaiannya secara

rukun dan damai dengan musyawarah mufakat. Corak musyawarah dan mufakat

12 I Made Widnyana, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia Business Law Center (IBLC) bekerja sama dengan Kantor Hukum Gani Djemat & Partners, Jakarta, hal.11.

13

Perkara yang dapat diselesaikan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa adalah sengketa keperdataan. Ketentuan ini dapat dilihat pada dasar menimbang disebutkan bahwa “berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.” Selanjutnya dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa:

Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.

Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ditentukan bahwa Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan bahwa “Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.”

9

ini dalam penyelesaian perselisihan biasanya didahului oleh adanya itikad baik,

adil dan bijaksana dari orang yang dipercaya sebagai penengah perkara atau dari

majelis permusyawaratan adat.14

Penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal pada peradilan desa

tersebut pada asasnya menjalankan pendidikan diciptakan tidak untuk dilanggar,

tetapi untuk dihormati dan ditaati agar tercapai perdamaian. Pada saat itu, orang

yang melanggar hukum dipandang sebagai melanggar ketertiban umum. Peradilan

desa sebagai disciplinaire rechstspraak (pengadilan ketertiban), yang

diselenggarakan bukan untuk membalas dendam atau membalas kesalahan,

melainkan untuk membangun perdamaian.15 Perdamaian pasca konflik menjadi

suatu kebutuhan pokok sebab pada dasarnya desa pakraman yang terlibat konflik

berada pada area yang berbatasan. Jika ditelusri dari segi silsilah mereka pun

sesungguhnya adalah saudara.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan baik dengan cara negosiasi atau

mediasi diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat. Mengenai musyawarah

mufakat ini Koesnoe mengemukakan:

Di dalam masyarakat adat, istilah ini mengandung suatu pengertian yang isinya primair sebagai suatu tindakan seseorang bersama orang-orang lain untuk menyusun suatu pendapat bersama yang bulat atas sesuatu permasalahan yang dihadapi oleh seluruh masyarakatnya. Dari itu musyawarah selalu menyangkut soal hidupnya masyarakat yang bersangkutan. Sebagai suatu ajaran musyawarah menegaskan bahwa di dalam hidup bermasyarakat, segala persoalan yang menyangkut hajat hidup dan kesejahteraan bersama harus dipecahkan bersama-sama oleh para anggauta-anggautanya atas dasar kebulatan kehendak mereka bersama.16

Negosiasi pada dasarnya adalah basic of means untuk mendapatkan apa

yang diingingkan dari orang lain. Negosiasi diartikan sebagai komunikasi dua

arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak

14 Dewi Wulansari, C., 2010, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, hal. 21.

15

Ibid., hal. 105. 16

Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, Surabaya, hal. 45.

10

memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda.17 Para pihak ini bisa

jadi adalah pihak yang bersengketa atau wakil dari pihak yang bersengketa.

Secara teoretis, negosiasi dilakukan dalam beberapa tahapan. Adapun tahapan-

tahapan yang menjadi elemen penting menurut Haley dari negosiasi ini adalah:

1. Perencanaan dan analisa (planning and analysis).

2. Pertukaran informasi (exchanging information).

3. Konsensi dan kompromi (concessions and compromise).

4. Pencapaian persetujuan (reaching agreement)18

Metode negosiasi adalah memenuhi dua sasaran objektif yakni melindungi

dari pembuatan persetujuan yang sebaiknya ditolak dan membantu untuk

memanfaatkan semaksimal mungkin aset yang benar-benar dimiliki sehingga

setiap persetujuan yang dicapai akan memuaskan kepentingan sebaik mungkin.19

Metode negosiasi adalah metode yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa

setra Batu Paras antara Desa Pakraman Padang Sambian dengan Desa Pakraman

Kerobokan. Negosiasi dilakukan dengan berlandaskan asas kekeluargaan. Dilihat

dari sejarahnya, kedua desa pakraman ini sesungguhnya adalah bersaudara.

Bendesa Desa Pakraman Padang Sambian, I Gusti Putu Gede Suwira

menjelaskan, pada abad ke 17, 12 orang warga Kerobokan (dahulu bernama

Lambih Kauh) dititipkan di wilayah Padang Sambian (dahulu bernama Lambih

Kangin) untuk menjaga soroh kayu selem dari serangan Badung.

Negosiasi dilakukan oleh prajuru desa di masing-masing desa pakraman.

Negosiasi dilakukan sebanyak tiga kali dan menghasilkan kesepakatan berupa

pembagian wilayah setra menjadi dua yakni bagian utara yang dikuasai oleh Desa

Pakraman Kerobokan dan bagian selatan dikuasi oleh Desa Pakraman Padang

Sambian. Setra tersebut ditembok dengan dua pintu masuk. Dalam negosiasi

tersebut, Desa Pakraman Padang Sambian bersedia untuk membangun Pura

Prajapati baru. Kesepakatan tersebut kemudian dilaporkan ke Pesamuan Agung

17Suyud Margono, 2000, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal, 59

18I Made Widnyana, op.cit., hal. 91.

19 Roger Fisher, William Ury dan Bruce Patton, 2003, Getting to Yes Teknik Berunding Menuju Kesepakatan Tanpa Memaksa Kehendak, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 115-126.

11

Desa Kesepakatan penggunaan setra Batu Paras secara bersama-sama oleh Desa

Pakraman Krobokan dan Desa Pakraman Padang Sambian dituangkan dalam

kesepakatan tertulis yang berbentuk pararem penepas wicara.

Selain dengan metode negosiasi, penyelesaian sengketa setra juga dapat

dilakukan dengan mediasi. Mediasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa

dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga yang netral tersebut adalah

mediator. Mediator dalam penyelesaian konflik adat berasal dari Majelis Desa

Pakraman (MDP). Dalam praktik penyelesaian sengketa adat, mediator dari MDP

mempertemukan masing-masing prajuru desa yang berkonflik. Pertemuan

bertempat di kantor MDP yang berlokasi di Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Dalam pertemuan tersebut mediator menjelaskan posisi dari masing-masing pihak

dan memberikan rekomendasi dari permasalahan yang terjadi. Rekomendasi ini

tidak bersifat mengikat artinya kesepakatan mengenai penyelesaian tetap dipegang

oleh para pihak. Tidak ada sanksi jika para pihak tidak mengikuti rekomendasi

dari mediator.

Apabila penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berhasil maka desa

pakraman dapat menyelesaikannya melalui pengadilan. Pada sidang pertama di

pengadilan maka agenda yang dilakukan adalah mediasi. Mediasi di dalam

pengadilan dan di luar pengadilan memiliki kesamaan yakni bertujuan untuk

mendamaikan para pihak yang bersengketa. Ketentuan nasional yang menjadi

dasar hukum penyelesaian sengketa setra harus bersesuaian dengan hukum adat

Bali termasuk di dalamnya adalah ketentuan dalam aturan desa pakraman. Dengan

adanya kesesuaian antara aturan-aturan desa pakraman dengan aturan-aturan

hukum yang ditetapkan, baik oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah

menunjukkan bahwa secara yuridis, aturan hukum itu sah berlaku karena telah

ditetapkan, baik oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah. Secara sosiologis,

aturan hukum itu telah sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat,

maksudnya aturan hukum itu telah mendapat pengakuan dari warga masyarakat.

Secara filosofis, aturan hukum itu sesuai dengan cita hukum yang ada dalam

pikiran warga masyarakat. Dengan demikian, kesesuaian hukum yang ditetapkan

oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan aturan-aturan desa pakraman

menunjukkan bahwa aturan hukum tersebut mempunyai daya kerja untuk

12

mengatur atau memaksa warga masyarakat agar mematuhi hukum. Kenyataan

demikian ini dapat dikatakan bahwa hukum tersebut berlaku secara efektif.

Penyelesaian sengketa setra di pengadilan didasarkan pada adanya

perbuatan melanggar hukum. Unsur-unsur perbuatan melanggar hukum (tort)

didasarkan atas ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Adanya perbuatan melanggar

hukum ditandai dengan perbuatan aktif. Sebelum tahun 1919, perbuatan

melanggar hukum diidentikkan dengan perbuatan melanggar undang-undang.

Namun setelah adanya Arrest Lindebaum-Cohen tahun 1919, maka perbuatan

melanggar hukum meliputi juga:20

a) Melanggar hak orang lain.b) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat.c) Berlawanan dengan kesusilaan.d) Berlawanan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri

atau benda orang lain.Dasar hukum dalam gugatan sengketa setra berdasarkan perbuatan

melawan hukum ini dimungkinkan karena blokade yang dilakukan oleh satu desa

pakraman dengan memberikan izin kepada desa pakraman lain untuk

menggunakan setra adalah bentuk dari pelanggaran terhadap hak orang lain. Hal

ini juga bertentangan dengan kewajiban hukum dari pihak yang memblokade

untuk menggunakan setra secara bersama-sama dengan desa pakraman lain.

Dalam hal ini pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi. Menurut Mariam

Darus Badrulzaman, tidak harus terdapat hubungan perjanjian sebelumnya, untuk

dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat

dari perbuatan melanggar hukum yang harus memenuhi unsur-unsur perbuatan

melawa hukum.21 Ganti rugi yang dimaksud tidak terbatas pada ganti rugi yang

sifatnya material namun ganti rugi yang sifatnya immaterial.

Dalam memutus sengketa hukum adat, hakim juga harus memperhatikan

hukum yang hidup di dalam masyarakat. Hukum yang hidup dan dicatat dalam

aturan-aturan desa pakraman ini diperlukan dalam kehidupan bernegara karena

dalam kenyataannya, hukum tertulis atau hukum positif yakni hukum yang 20 Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 107. 21Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal. 127

13

ditetapkan oleh Pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang

selalu berkembang. Aturan-aturan desa pakraman ini, pada mulanya berupa

“Kebiasaan-kebiasaan dan yang kemudian menebal menjadi adat-istiadat dan

akhirnya terwujud dalam aturan hukum adat, adalah merupakan gejala yang tetap

mempunyai eksistensi sepanjang masa”.22 Jadi, aturan-aturan Desa Pakraman

sebagai hukum tidak tertulis ini tumbuh dari kesadaran akan kebutuhannya.

“Kesadaran inilah yang menyebabkan timbulnya hukum secara langsung. Itulah

hukum yang hidup (living law)”.23 Hukum yang hidup adalah “Hukum yang

dilaksanakan dalam masyarakat, sebagai lawan dari hukum yang diterapkan oleh

negara”.24

Penyelesaian sengketa penggunaan setra melalui jalur pengadilan bertujuan

untuk menjamin kepastian hukum. Kepastian hukum mengharuskan bahwa

diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku

umum. Agar supaya tercipta suasana yang aman dan tenteram di dalam

masyarakat, maka peraturan-peraturan termaksud harus ditegakkan serta

dilaksanakan secara tegas. Untuk kepentingan itu maka kaedah-kaedah hukum

tersebut harus diketahui sebelumnya dengan pasti”.25 Kepastian hukum mengenai

kepemilikan dan penggunaan setra bertujuan untuk mencegah terulangnya

sengketa kembali.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Format ideal penyelesaian sengketa perebutan tanah kuburan (setra) Batu

Paras adalah melalui penyelesaian sengketa non litigasi yaitu diselesaikan di luar

pengadilan. Model penyelesaian sengketa ini mendahulukan tipe penyelesaian 22 Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali, 1989/1990, Mengenal Dan

Pembinaan Desa Adat Di Bali, Proyek Pemantapan Lembaga Adat Tersebar di 8 (delapan) Kabupaten Dati II, Denpasar, hal.20.

23

Bernard L. Tanya, et al., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, hal. 117.

24

Soerjono Soekanto, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), hal. 19.

25

Soerjono Soekanto, 1976, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), hal. 41.

14

konflik yang berbasis kearifan lokal yakni dengan metode musyawarah untuk

mencapai mufakat, dalam hukum nasional hal ini dikenal dengan negosiasi dan

mediasi. Negosiasi dilakukan antara prajuru desa (perangkat desa) yang

berkonflik. Dalam kasus sengketa tanah kuburan (setra) Batu Paras, prajuru desa

Kerobokan dan prajuru desa Padang Sambian melakukan negosiasi mengenai

penggunaan setra Batu Paras secara bersama-sama.

Dalam negosiasi tersebut disepakati bahwa setra Batu Paras dibagi menjadi

dua areal yakni bagian utara yang dikuasai oleh Desa Pakraman Kerobokan dan

bagian selatan dikuasi oleh Desa Pakraman Padang Sambian. Setra tersebut

ditembok dengan dua pintu masuk. Dalam negosiasi tersebut, Desa Pakraman

Padang Sambian bersedia untuk membangun Pura Prajapati baru. Kesepakatan

tersebut kemudian dilaporkan ke Pesamuan Agung Desa Kesepakatan penggunaan

setra Batu Paras secara bersama-sama oleh Desa Pakraman Krobokan dan Desa

Pakraman Padang Sambian dituangkan dalam kesepakatan tertulis yang berbentuk

pararem penepas wicara. Apabila metode negosiasi tidak berhasil maka desa

pakraman dapat menyelesaikan sengketa dengan cara mediasi yakni dengan

meminta batuan mediator. Mediator dalam penyelesaian sengketa adat di Bali

adalah Majelis Desa Pakraman. Jika hasil kesepakatan tetap tidak dilaksanakan

oleh pihak yang bersengketa, maka penyelesaian sengketa yang dapat digunakan

adalah melalui jalur litigasi yakni dengan berperkara perdata di pengadilan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Universitas Udayana, Program

Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, Desa

Pakraman Padang Sambian, Desa Pakraman Kerobokan, para narasumber, serta

pihak-pihak yang turut membantu terselesaikannya penelitian ini.

15

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta.

Bernard L. Tanya, et al., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya.

Dewi Wulansari, C., 2010, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung.

Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat : Sketsa Asas, Liberti, Yogyakarta.Jony Emirzon, Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar

Pengadilan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.Koesnoe, Moh., 1979, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini,

Airlangga University Press, Surabaya.Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali, 1989/1990, Mengenal

Dan Pembinaan Desa Adat Di Bali, Proyek Pemantapan Lembaga Adat Tersebar di 8 (delapan) Kabupaten Dati II, Denpasar.

Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Roger Fisher, William Ury dan Bruce Patton, 2003, Getting to Yes Teknik Berunding Menuju Kesepakatan Tanpa Memaksa Kehendak, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Sirtha, I Nyoman, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat Bali, Udayana University, Denpasar.

Soerjono Soekanto dan Soeleman B. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1976, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta.

________________, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta.

Suyud Margono, 2000, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Widnyana, I Made, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia Business Law Center (IBLC) bekerja sama dengan Kantor Hukum Gani Djemat & Partners, Jakarta.

Windia, Wayan P. dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

TesisPutut Handoko, 2007, “Mediasi Konflik Penanganan Kerusakan Pantai (Studi

Kasus Penanganan Abrasi Pantai Kuta Bali)”, Tesis, Program Magister Ilmu Lingkungan”, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.