176

”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase
Page 2: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum. Jurnal RechtsVinding terbit secara berkala tiga nomor dalam setahun di bulan April, Agustus, dan Desember.

PembinaAdviser

: Prof. Dr. Enny Nurbaningsih , S.H., M.HumKepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Pemimpin UmumChief Executive Officer

: Liestiarini Wulandari, S.H., M.H.Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN

Wakil Pemimpin UmumVice Chief Executive Officer

: Sukesti Iriani, S.H., M.H.

Pemimpin RedaksiEditor in Chief

: Apri Listiyanto, S.H. (Hukum Pidana, BPHN, Jakarta)

Anggota Dewan RedaksiEditorial Board

: Arfan Faiz Muhlizi, S.H., M.H. (Hukum Tata Negara, BPHN, Jakarta)Nunuk Febriananingsih, S.H., M.H. (Hukum Lingkungan, BPHN, Jakarta)Tyas Dian Anggaraeni, S.H., M.H. (Hukum Bisnis, BPHN, Jakarta)Erna Priliasari, S.H., M.H. (Hukum Bisnis, BPHN, Jakarta)Dwi Agustine Kurniasih, S.H., M.H. (Hukum Perdata, BPHN, Jakarta)Ade Irawan Taufik, S.H. (Hukum Bisnis , BPHN, Jakarta)

Mitra BestariPeer Reviewer

: Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo S.H., M.S. (Hukum Acara, Kapuslitbang Kumdil MA, Jakarta)Prof. Dr. Huala Adolf, S.H., LL.M. (Hukum Internasional, Universitas Padjadjaran, Bandung)Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H. (Hukum Perdata, Universitas Airlangga, Surabaya)Prof. Dr. IBR Supancana, S.H. (Hukum Internasional, Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta)Prof. Dr. M. Fauzan, S.H., M.Hum.(Hukum Tata Negara, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto)Dr. Sidharta, S.H., M.Hum. (Hukum Bisnis, Universitas Bina Nusantara, Jakarta)Dr. Suhariyono, S.H., M.H. (Hukum Pidana, Ketua Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang)

Redaktur PelaksanaManaging Editor

: Viona Wijaya, S.H.

SekretarisSecretaries

: Endang Wahyuni Setyawati, S.E.

Tata UsahaAdministration

: Masnur Tiurmaida Malau, S.H., M.H.Alice Angelica, S.H., M.H. Heny Handayani, S.H., M.SiLewinda Oletta, S.H.Sakti Maulana, S.H.

Desain Layout Layout and cover

: Sakti Maulana, S.H.

Sikulasi dan DistribusiCirculation and Distribution

: Yerico Kasworo, S.H., M.H.

Alamat:Redaksi Jurnal RechtsVinding

Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum NasionalBadan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI

Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta, Telp.: 021-8091908 ext.105, Fax.: 021-8011754e-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected]

website: www.rechtsvinding.bphn.go.id

Isi Jurnal RechtsVinding dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya(Citation is permitted with acknowledgement of the source)

Volume 7 Nomor 1, April 2018

Page 3: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7 Nomor 1, April 2018

dengan Tema:

”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional”

Page 4: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase
Page 5: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

v

Volume 7, Nomor 1, April 2018

PENGANTAR REDAKSI

Puji syukur atas berkat rahmat Allah SWT, Jurnal Rechtsvinding (JRV) Volume 7 Nomor 1 Tahun 2018 terbit sebagai edisi pembuka di tahun 2018 dengan menyajikan naskah-naskah bertema ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional”. Tema yang diangkat pada edisi kali ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk menjamin kepastian hukum serta menegakkan, mempertahankan dan menjamin ditaatinya ketentuan hukum materiil dalam praktik melalui perantaraan peradilan. Dalam RPJMN 2015-2019, sasaran yang hendak dicapai dalam pembangunan bidang hukum adalah meningkatnya kualitas penegakan hukum, mewujudkan sistem hukum yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dengan didukung oleh aparat penegak hukum yang profesional dan berintegritas.

Tugas besar ini salah satunya diberikan kepada Badan Pembinaan Hukum Nasional untuk melakukan penataan regulasi dengan fokus utama terhadap kemudahan berusaha di Indonesia (ease of doing business) yang merupakan bagian dari agenda Revitalisasi Hukum Jilid II yang telah dicanangkan oleh Presiden Jokowi. Kebutuhan memposisikan peran lembaga peradilan dan lembaga alternatif penyelesaian sengketa dalam mendukung perekonomian nasional merupakan upaya pemerintah untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi para pelaku usaha sekaligus memberikan tantangan untuk mewujudkan perekonomian nasional yang berdaulat dan berdaya saing dengan negara-negara lain di dunia. Isu ini terangkum melalui gagasan-gagasan yang tertuang dalam sembilan naskah JRV Volume 7 Nomor 1 Tahun 2018 yang akan berkontribusi terhadap pembangunan sistem hukum nasional terutama di bidang perekonomian.

Jurnal ini diawali dengan naskah yang mengangkat pentingnya perlindungan terhadap konsumen dalam sengketa e-commerce, hal ini mengingat terus berkembangnya kebutuhan akan transaksi e-commerce pada era globalisasi dan hal tersebut juga menjadi perhatian secara regional oleh Masyarakat Ekonomi ASEAN, kebutuhan transaksi berbanding lurus dengan potensi sengketa yang muncul, oleh sebab itu diperlukan upaya perlindungan hukum terhadap konsumen dalam setiap sengketa e-commerce. Naskah ini disusun bersama-sama oleh Arfian Setiantoro; Fayreizha Destika Putri; Anisah Novitarani; dan Rinitami Njatrijani yang melihat perangkat hukum di Indonesia saat ini belum mengatur secara lengkap perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce, sehingga di masa mendatang, perlindungan konsumen haruslah bersifat preventif dan diperlukan sinergisitas antar peraturan yang dibuat pemerintah agar terdapat perlindungan hukum yang semakin lengkap bagi konsumen.

Tidak hanya sengketa e-commerce yang tumbuh dan berkembang, dalam dunia olahraga saat ini juga berkembang menjadi salah satu jenis industri, terutama dalam olahraga sepak bola. Pengelolaan dunia sepak bola, dari mulai pelatihan sampai dengan pertandingan melibatkan banyak pihak di dalamnya dan tidak semata-mata hanya berorientasi pada kesehatan sebagai bentuk olahraga, namun berpotensi besar mampu menggerakan perekonomian nasional serupa halnya dengan industri lainnya. Pelibatan banyak pihak tentu berpotensi juga terhadap munculnya sengketa, kebutuhan pembentukan badan penyelesaian sengketa antara klub dan pemain menjadi ulasan lengkap dalam naskah yang

Page 6: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

vi

Volume 7, Nomor 1, April 2018

ditulis oleh Eko Noer Kristiyanto. Penulis melihat sengketa seringkali terjadi antara pemain dan klub yang membuat suasana tidak kondusif. Hal ini akan berdampak pada minat investor yang ingin terlibat dalam industri sepak bola. Penulis juga mengamati keberadaan lembaga penyelesaian sengketa yang ada saat ini tidak relevan dan tidak efektif untuk menjadi solusi, sehingga perlu dibentuk lembaga arbitrase yang khusus menangani sengketa antara pemain dan klub, sehingga akan berdampak positif bagi para pihak yang bersengketa, juga menimbulkan suasana kondusif guna menarik minat investor pada cabang olahraga sepak bola.

Selain kebutuhan untuk membentuk instrumen atau kelembagaan hukum baru seperti tertuang dalam pargraf sebelumnya, maka upa untuk kembali merevitalisasi lembaga-lembaga peradilan maupun lembaga penyelesaian sengketa lainnya penting untuk dilakukan. Sebagaimana naskah yang ditulis oleh Kelik Pramudya yang melihat pentingnya penguatan fungsi pengadilan agama dalam penyelesaian sengketa sebagai salah satu strategi pengembangan ekonomi syariah. Berkembangnya ekonomi berbasis syariah di tanah air diiringi pula dengan munculnya sengketa ekonomi syariah, yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Hal ini perlu didukung dengan regulasi yang mengarah pada proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk meningkatkan kualitas kelembagaan Pengadilan Agama.

Selain pengadilan agama, yang juga menjadi sorotan pada Jurnal edisi ini adalah pengadilan tata usaha negara dan pengadilan niaga, dimana kedua pengadilan tersebut memiliki kompetensi terhadap sengketa merek, sehingga memunculkan irisan dan benturan kewenangan terhadap upaya penyelesaian sengketa terkait dengan merek. Permasalahan ini diulas secara mendalam oleh Sudarsono yang mencermati berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang mengindikasikan upaya penyelesaian sengketa Merek dilaksanakan oleh dua lembaga peradilan, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Niaga. Persinggungan kompetensi tersebut tentu akan menimbulkan tumpang tindih penyelesaian di antara kedua badan peradilan tersebut. Oleh sebab itu perlu pengaturan untuk memperjelas penentuan garis batas kewenangan antara kedua lembaga peradilan tersebut.

Disamping lembaga peradilan hal menjadi sorotan juga adalah terkait dengan lembaga alternatif penyelesaian sengketa, salah satunya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di Sektor Jasa Keuangan sebagaimana diulas oleh Abd. Aziz Billah yang menilai peran LAPS dalam sektor jasa keuangan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional. Penulis menunjukan keberadaan LAPS sebagai penunjang tugas Otoritas Jasa Keuangan untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Sehingga keberadaan LAPS perlu mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah dengan diberikan aturan tersendiri yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan sebelumnya. Selain hal tersebut terdapat juga kebutuhan lembaga arbitrase terhadap penyelesaian sengketa di bidang penanaman modal, yang hal ini dikaji lengkap oleh Helmi Kasim dengan mengamati mekanisme penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase merupakan forum yang banyak dipilih oleh para pihak yang bersengketa termasuk dalam hal penanaman modal asing yang dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral penanaman modal. Penulis berpendapat bahwa Indonesia perlu secara konsisten mengakui putusan arbitrase internasional berdasarkan instrumen hukum internasional yang telah diakui dalam negeri meskipun tidak sepakat terhadap substansi putusan arbitrase yang telah diambil.

Page 7: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

vii

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Senada dengan hasil kajian tersebut Rahmanisa Purnamasari Faujura dan Muhammad Agus Salim juga menyoroti perjanjian dengan klausul yang berisikan pemilihan forum penyelesaian sengketa pasar modal. Seringkali klausul pemilihan forum dalam perjanjian tersebut menjadi hambatan karena klausul tersebut merupakan klausul ambigu, karena tidak ada pengaturan khusus dalam pembuatan perjanjian bidang pasar modal. Untuk itu Dibutuhkan suatu konsep yang efektif dalam penggunaan klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa pasar modal. Klausul pemilihan forum yang ambigu akan memiliki akibat hukum terhadap penyelesaian sengketa pasar modal yang tidak bisa terselesaikan secara cepat dan dapat mengganggu berlangsungnya kegiatan pasar modal.

Bagian akhir dari edisi Jurnal kali ini adalah dengan menyoroti hasil putusan lembaga peradilan dalam mendukung perekonomian nasional. Salah satunya ditulis oleh Budi Suhariyanto yang menilai pentingnya penerapan pidana uang pengganti kepada korporasi dalam perkara korupsi, hal ini selain sebagai bentuk pemulihan kerugian keuangan negara juga berdampak bagi kepentingan ekonomi nasional, sehingga akan memunculkan budaya good corporate governance yang berarti akan memberi kepercayaan terhadap investor untuk berusaha di Indonesia. Naskah selanjutnya juga menyoroti hasil putusan lembaga peradilan yakni hasil Putusan Mahkamah Konstitusi yang di tulis secara mendalam oleh Oly Viana Agustine dengan mencermati dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu Putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 dan putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015. Putusan MK tersebut memberikan kesempatan bagi petani kecil perorangan dan pengusaha alat berat dalam menjalankan usahanya, yaitu diperbolehkannya para petani kecil perorangan melakukan pemuliaan tanaman dan dihapuskannya penggolongan kendaraan bermotor terhadap alat berat yang hal ini berdampak terhadap perekonomian, terutama bagi pelaku usaha di bidang alat berat. Berangkat dari kedua putusan tersebut pemerintah perlu segera menindaklanjuti putusan MK dan segera diimplementasikan oleh semua adresat dalam putusan MK tersebut.

Semoga beragam pemikiran yang terkandung di dalamnya menjadi khasanah dan memperluas wawasan hukum serta sebagai bahan para pengambil kebijakan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional.

Redaksi

Page 8: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase
Page 9: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

ix

Volume 7, Nomor 1, April 2018

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi………………………………………………………………………………………………….............………..… i–iiDaftar Abstrak

Urgensi Perlindungan Hukum Konsumen dan Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Era Masyarakat Ekonomi ASEANArfian Setiantoro; Fayreizha Destika Putri; Anisah Novitarani; dan Rinitami Njatrijani ................ 1–17

Urgensi Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa antara Klub Sepak Bola dan Pesepak Bola Profesional dalam rangka Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional Eko Noer Kristiyanto ................................................................................................................... 19–33

Strategi Pengembangan Ekonomi Syariah melalui Penguatan Fungsi Pengadilan Agama dalam Penyelesaian SengketaKelik Pramudya ........................................................................................................................... 35–47

Harmonisasi Penyelesaian Sengketa Merek di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Niaga Sudarsono ................................................................................................................................... 49–65

Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sektor Jasa Keuangan Guna Mendukung Pembangunan Ekonomi NasionalAbd. Aziz Billah ........................................................................................................................... 67–78

Arbitrase sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Penanaman ModalHelmi Kasim ............................................................................................................................... 79–96

Penggunaan Klausul Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal yang Efektif dalam rangka Mendukung Pembangunan Ekonomi NasionalRahmanisa Purnamasari Faujura dan Muhammad Agus Salim .................................................... 97–112

Penerapan Pidana Uang Pengganti kepada Korporasi dalam Perkara Korupsi Demi Pemulihan Kerugian Keuangan NegaraBudi Suhariyanto ........................................................................................................................ 113–130

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pembangunan Ekonomi Nasional pada Pemuliaan Tanaman dan Alat BeratOly Viana Agustine .................................................................................................................... 131–146

Biodata PenulisPetunjuk Penulisan Naskah Jurnal Rechtsvinding

Page 10: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase
Page 11: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Kata Kunci Bersumber dari artikel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC: 341.831

Arfian Setiantoro; Fayreizha Destika Putri; Anisah Novitarani; dan Rinitami Njatrijani

Urgensi Perlindungan Hukum Konsumen dan Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 1 – 17

Di era globalisasi, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mendorong perkembangan e-commerce yang belum sepenuhnya terlindungi dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Berkaitan dengan masalah tersebut, tulisan ini membahas mengenai urgensi perlindungan konsumen dan alternatif penyelesaian sengketa terhadap transaksi e-commerce di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangkat hukum di Indonesia saat ini belum mengatur secara lengkap perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce. Mekanisme penyelesaian sengketa yang tersedia adalah baik melalui peradilan maupun di luar peradilan. Lembaga non-litigasi seperti BPSK, ODR maupun ACCP diharapkan dapat lebih melindungi konsumen untuk menemukan win-win solution. Di masa mendatang, perlindungan konsumen haruslah bersifat preventif dan diperlukan sinergisitas antar peraturan yang dibuat pemerintah agar terdapat perlindungan hukum yang semakin lengkap bagi konsumen. Kata Kunci: konsumen cerdas, e-commerce, penyelesaian sengketa, perlindungan konsumen, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

UDC: 331.154

Eko Noer Kristiyanto

Urgensi Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Antara Klub Sepak Bola dan Pesepak Bola Profesional dalam Rangka Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 19 – 33

Sepak bola profesional telah menjadi bisnis dan industri yang mendukung upaya kesejahteraan umum dalam konteks pembangunan ekonomi. Namun sengketa yang seringkali terjadi antara pemain dan klub membuat suasana tidak kondusif. Hal ini bisa berdampak pada minat investor yang ingin terlibat dalam industri sepak bola. Tulisan ini mencoba memberi gambaran tentang eksistensi lembaga yang berpotensi untuk mengatasi persoalan ini. Penelitian dilakukan dengan metode normatif yang diperkuat oleh hasil wawancara. Ternyata lembaga yang ada sekarang tidak relevan dan tidak efektif untuk menjadi solusi, perlu dibentuk lembaga arbitrase yang khusus menangani sengketa antara pemain dan klub. Tidak ada masalah dalam pembentukan lembaga ini, karena mendapat legitimasi dari komunitas sepak bola maupun negara.Kata Kunci: sepak bola profesional, sengketa, arbitrase, komunitas

Page 12: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Kata Kunci Bersumber dari artikel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC: 348.972

Kelik Pramudya

Strategi Pengembangan Ekonomi Syariah Melalui Penguatan Fungsi Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 35 – 47

Saat ini kegiatan ekonomi syariah berkembang pesat di Indonesia. Perkembangan tersebut diikuti juga dengan bermunculannya sengketa ekonomi syariah. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah saat ini menjadi kewenangan Pengadilan Agama, sehingga fungsi Pengadilan Agama perlu diperkuat. Penelitian ini membahas permasalahan bagaimana metode penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia, bagaimana penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama dan bagaimana strategi penguatan fungsi Pengadilan Agama. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analitis. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah juga didukung dengan regulasi yang mengarah pada proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, namun selain dukungan regulasi juga diperlukan strategi untuk meningkatkan kualitas kelembagaan Pengadilan Agama. Oleh sebab itu penulis menyarankan perlu dilakukan sosialisasi fungsi dan mengubah stigma tentang Pengadilan Agama.Kata Kunci: ekonomi syariah, sengketa, Pengadilan Agama

UDC: 341.922

Sudarsono

Harmonisasi Penyelesaian Sengketa Merek di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Niaga

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 49 – 65

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, maka penyelesaian sengketa Merek dilaksanakan oleh dua lembaga peradilan, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Niaga. Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang menyelesaikan sengketa penghapusan Merek terdaftar atas prakarsa Menteri, sedangkan Pengadilan Niaga berwenang menyelesaikan sengketa Pendaftaran Merek, sengketa Penghapusan Merek oleh Pihak Ketiga, Sengketa Pembatalan Merek, dan sengketa Pelanggaran Merek. Sengketa Pendaftaran Merek pada hakikatnya adalah sengketa atas Keputusan Menteri, sehingga apabila garis batas kompetensinya tidak dipertegas dapat menimbulkan tumpang tindih penyelesaian di antara kedua badan peradilan tersebut. Untuk itu dilakukanlah penelitian hukum ini, dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasilnya adalah perlu diterbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang penentuan garis batas kewenangan antara kedua lembaga peradilan tersebut, yaitu bahwa kompetensi Pengadilan Niaga adalah semua sengketa yang telah ditentukan UU Nomor 20 Tahun 2016 untuk diselesaikan oleh Pengadilan Niaga dan sengketa keperdataan yang terkait dengan Merek, sedangkan kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara adalah sengketa Penghapusan Merek atas prakarsa Menteri dan semua Keputusan dan/atau Tindakan Menteri yang berkaitan dengan Merek yang tidak ditentukan UU Nomor 20 Tahun 2016 untuk diselesaikan Pengadilan Niaga.Kata Kunci: harmonisasi, kompetensi, sengketa merek

Page 13: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Kata Kunci Bersumber dari artikel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC: 341.96

Abd. Aziz Billah

Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sektor Jasa Keuangan Guna Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 67 – 78

Sebagai suatu tindak lanjut dalam rangka menciptakan suatu sistem penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau, maka OJK mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di Sektor Jasa Keuangan. Namun perlu diketahui lebih lanjut sejauh mana peran LAPS dalam sektor jasa keuangan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah normatif dan juga empiris dengan mengelolah data yang terkumpul dari bahan-bahan pustaka (data sekunder) dan lapangan (data primer/data dasar). Keberadaan LAPS diharapkan sebagai penunjang tugas OJK seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang yakni untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Peran LAPS dalam membantu pembangunan ekonomi nasional sangatlah penting, sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI tahun 1945 bahwa beban penyelenggaran pembangunan nasional bukan hanya berada di pundak pemerintah, melainkan juga ada pada masyarakat. Dengan penelitian ini diharapkan agar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam bidang jasa keuangan mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah dengan diberikan aturan tersendiri yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan sebelumnya.Kata Kunci: lembaga alternatif penyelesaian sengketa (LAPS), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pembangunan ekonomi nasional

UDC: 341.634

Helmi Kasim

Arbitrase sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 79 – 96

Arbitrase merupakan mekanisme penyelesaian sengketa penanaman modal yang banyak dipilih oleh para pihak yang bersengketa termasuk dalam hal penanaman modal asing yang dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral penanaman modal. Tulisan ini, secara deskriptif dan eksplanatoris, akan membahas penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase. Hal-hal yang diuraikan di dalamnya mencakup kasus yang pernah dihadapi Indonesia dalam forum arbitrase, pengakuan atas putusan arbitrase internasional dan keterlibatan pihak ketiga dalam proses arbitrase untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan kepentingan publik. Tulisan ini menyimpulkan bahwa Indonesia perlu secara konsisten mengakui putusan arbitrase internasional berdasarkan instrumen hukum internasional yang telah diakui dalam negeri meskipun tidak sepakat terhadap substansi putusan arbitrase yang telah diambil. Tulisan ini juga merekomendasikan agar dilakukan pengaturan pihak ketiga dengan mengakomodir konsep hak gugat organisasi, gugatan perwakilan atau gugatan kelompok khusus untuk kasus-kasus arbitrase yang berkaitan dengan kepentingan umum.Kata Kunci: penanaman modal, penyelesaian sengketa, arbitrase, pihak ketiga

Page 14: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Kata Kunci Bersumber dari artikel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC: 341.634

Rahmanisa Purnamari dan Muhammad Agus Salim

Penggunaan Klausul Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal yang Efektif dalam Rangka Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 97 – 112

Setiap perubahan kebijakan pasar modal di Indonesia dalam rangka pembangunan ekonomi nasional berpotensi menimbulkan suatu sengketa terhadap para pihak. Sebagai langkah antisipasi, para pihak akan membuat perjanjian dengan klausul yang berisikan pemilihan forum penyelesaian sengketa pasar modal. Permasalahannya, seringkali klausul pemilihan forum dalam perjanjian tersebut menjadi hambatan karena klausul tersebut merupakan klausul ambigu/nonsense. Penelitian ini membahas mengenai bagaimana penggunaan klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa pasar modal yang efektif dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional. Metode Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada pengaturan khusus dalam pembuatan perjanjian bidang pasar modal. Dibutuhkan suatu konsep yang efektif dalam penggunaan klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa pasar modal. Klausul pemilihan forum yang ambigu akan memiliki akibat hukum terhadap penyelesaian sengketa pasar modal yang tidak bisa terselesaikan secara cepat dan dapat mengganggu berlangsungnya kegiatan pasar modal. Oleh sebab itu dalam menyelesaikan sengketa dengan klausul yang ambigu, para pihak diharapkan dapat melakukan addendum atau pembuatan ulang perjanjian penyelesaian sengketa sesuai dengan konsep yang efektif. Kata Kunci: pasar modal, klausul, forum penyelesaian sengketa

UDC: 341.49

Budi Suhariyanto

Penerapan Pidana Uang Pengganti kepada Korporasi dalam Perkara Korupsi Demi Pemulihan Kerugian Keuangan Negara

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 113 – 130

Muncul persoalan dalam praktik dimana korporasi tanpa dijadikan terdakwa tetapi turut dituntut dan dipidana untuk membayar uang pengganti akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan pengurusnya. Alasan turut dipidananya tersebut karena hasil korupsi masuk ke dalam kekayaan dan aset korporasi sehingga patut untuk dituntutkan uang pengganti agar kerugian keuangan Negara menjadi terpulihkan. Namun tidak semua hakim sependapat dengan alasan tersebut mengingat tidak terjadi due process of law dalam hal pembelaan korporasi. Menarik dipermasalahkan yaitu bagaimanakah eksistensi dan penerapan pidana uang pengganti kepada korporasi dalam perkara korupsi serta implikasinya bagi pemulihan kerugian keuangan Negara? Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Diaturnya pidana uang pengganti bertujuan untuk pemulihan kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi. Adalah tidak adil jika pidana uang pengganti dijatuhkan kepada pengurus bilamana hasil korupsi itu senyatanya ditampung oleh korporasinya. Diperlukan kesepakatan dan pedoman untuk mengakhiri polemik diantara hakim Pengadilan Tipikor tentang dapatnya pidana uang pengganti dijatuhkan kepada korporasi meskipun tanpa dijadikan Terdakwa demi pemulihan kerugian keuangan Negara.Kata Kunci: uang pengganti, korporasi, kerugian negara

Page 15: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Kata Kunci Bersumber dari artikel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC: 338.004.6

Oly Viana Agustine

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pembangunan Ekonomi Nasional pada Pemuliaan Tanaman dan Alat Berat

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 131 – 146

Terdapat beberapa putusan MK yang memberikan sinergitas dengan pembangunan ekonomi nasional. Putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 dan putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 memberikan kesempatan bagi petani kecil perorangan dan pengusaha alat berat dalam menjalankan usahanya. Dengan diperbolehkannya para petani kecil perorangan dalam melakukan pemuliaan tanaman dan dihapuskannya ketentuan alat berat yang tidak lagi digolongkan sebagai kendaraan bermotor bagi pelaku usaha di bidang alat berat, diharapkan dapat mendukung pembangunan ekonomi nasional dari sektor industri kecil di bidang pemuliaan tanaman dan alat berat. Berangkat dari kedua putusan tersebut, dalam penelitian ini penulis ingin melihat bagaimana peran putusan MK dalam membangun ekonomi nasional pada pemuliaan tanaman dan alat berat. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan studi kasus putusan MK. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini bahwa melalui putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 dan putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 telah mendukung pembangunan ekonomi nasional dalam bidang pemuliaan tanaman bagi petani perorangan dan industri alat berat. Oleh sebab itu perlu menindaklanjuti putusan MK dan segera diimplementasikan oleh semua adresat dalam putusan MK tersebut.Kata Kunci: ekonomi nasional, pembangunan, putusan Mahkamah Konstitusi

Page 16: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 341.831

Arfian Setiantoro; Fayreizha Destika Putri; Anisah Novitarani; and Rinitami Njatrijani

The Urgency of Consumer Law Protection and the E-Commerce Dispute Resolution in the Era of ASEAN Economic Community

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 1, April 2018, page 1 – 17

In the globalization era, ASEAN Economy Community (MEA) has accelerated the development of e-commerce which has not been fully covered by Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection. Therefore, this paper examines the urgency of consumer protection and alternative dispute for e-commerce in the era of MEA. This study used normative juridical approach with analytical descriptive study. The result of the research shows currently Indonesia legal framework has not provided sufficient legal protection for consumers in e-commerce transaction. Available dispute resolutions mechanism are through the court or outside the court. Non-litigation institutions such as Consumer Dispute Settlement Bodies, ODR or ACCP are expected to protect and help consumers find win-win solution. In the future, consumer protection should be preventive and synchronization among regulations is needed to provide a comprehensive legal protection for the consumers. Keywords: smart consumer, e-commerce, dispute resolution, consumer protection, ASEAN Economic Community (MEA).

UDC: 331.154

Eko Noer Kristiyanto

Urgency of The Establishment of Dispute Settlement Body Between Football Clubs and Professional Football Players in Order to Support National Economic Development

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 1, April 2018, page 19 – 33

Professional football has become a business and industry that supports the general welfare in the context of economic development. But the disputes that often occur between players and clubs make the atmosphere unconducive. This could have an impact on the interest of investors who want to get involved in the football industry. This paper tries to give an idea of the existence of potential institutions to solve this problem. The research was conducted by a normative method which was strengthened by intervies. It turns out that the existing institutions are irrelevant and ineffective to be a solution, it is necessary to establish an arbitration institution that specifically handles disputes between players and clubs. There is no problem in establishing this institution, as it gets the legitimacy of the football community as well as the country. Keywords: professional football, disputes, arbitration, community

Page 17: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 348.972

Kelik Pramudya

Islamic Economic Development Strategy Through The Strengthening of The Function of Religious Court in Dispute Resolution

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 1, April 2018, page 35 – 47

Currently, Islamic economic activities are growing rapidly in Indonesia. These developments must be followed by many Islamic Economic disputes.The settlement of this dispute currently is under the authority of the Religious Courts and therefor the function of the court needs to be strengthened. The problems discussed in this study include: how the Islamic Economic dispute resolution methods in Indonesia, how to solve the Islamic economic dispute in the Religious Courts and how the strategy of strengthening the Religious Courts functions.This is a descriptive legal normative research with regulatory and analytical approach. Based on the results of the research, it can be concluded that the Religious Courts has authority over the Islamic economic dispute resolution. The dispute resolution process is supported by regulations that will create a simple, quick and low cost process. Regulatory support is also needed to improve the quality of the Religious Courts. Therefore, the author suggest to socialize the function and change the stigma about the Religious Courts.Keywords: islamic economics, dispute, Religious Court

UDC: 341.922

Sudarsono

Harmonization of Trademark Dispute Settlement in the Administrative Court and the Commercial Court

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 1, April 2018, page 49 – 65

With the enactment of Law Number 20 of 2016, the settlement of Trademark dispute is carried out by two judicial institutions: the Administrative Court and the Commercial Court. The Administrative Court is authorized to resolve the dispute of a Trademark deletion by the initiative of the Minister, while the Commercial Court is authorized to resolve the disputes of Trademark registry, Trademark deletion by Third Party, Trademark annulment, and the dispute over Trademark. The Trademark Registration Dispute is essentially a dispute over the Ministerial Decree, so if the boundary line of its authority is not confirmed it may lead to overlapping settlement between the two courts. For that purpose, this legal research is conducted using the statute approach and conceptual approach. The result is the need to be published a Supreme Court Circular Letter on the determination of the boundary of authority between the two courts, namely that the competence of the Commercial Court is all disputes that have been determined in Law Number 20 of 2016 to be resolved by the Commercial Court and civil disputes related to the Trademarks, while the competence of the Administrative Court is the dispute of a Trademark deletion by the initiative of the Minister and all decisions and/or actions of Minister relating to Trademarks that are not stipulated by Law Number 20 of 2016 to be resolved by the Commercial Court.Keywords: harmonization, competence, trademark dispute

Page 18: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 341.96

Abd. Aziz Billah

The Role of Alternative Dispute Resolution Institutions in the Financial Services Sector To Support National Economic Development

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 1, April 2018, page 67 – 78

As a follow-up to create a consumer dispute resolution system that is simple, fast and affordable, OJK issues the Financial Services Authority Regulation on Alternative Dispute Resolution Institutions (LAPS) in the Financial Services Sector. However, it is necessary to examine further how far the role of LAPS in financial services sector in supporting national economic development. This study used normative and also empirical methods by collecting data from library materials (secondary data) and field (primary data / basic data). LAPS role in helping national economic development is very important, as mandated by the 1945 Constitution that the burden to organize national development is not only on the government, but also on the society. Through this study, the LAPS in the financial services sector is expected to receive special attention by the government by supporting it with a special regulation which are not contradictory to the existing regulations.Keywords: Alternative Dispute Resolution Institutions, Financial Services Authority (OJK), national economic development.

UDC: 341.634

Helmi Kasim

Arbitration as Investment Dispute Settlement Mechanism

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 1, April 2018, page 79 – 96

Arbitration is a mechanism of investment dispute settlement which is preffered by most disputing parties also in terms of foreign investment which is conducted based on an agreed bilateral investement treaty. This writing, using descriptive and explanatory method, attempts to discuss investment dispute settlement through arbitration which covers cases that had been faced by Indonesia in arbitration forum, recognition of international arbitration award and involvement of third parties in arbitration cases that are related to public interest. This writing concludes that Indonesia should consistently recognize international arbitration decision based on international law instruments that have been ratified even if disagreement arises on the substance of the decision. This writing also recommends the adoption of the concept of organizational standing, class action and citizen lawsuits in laws and regulations to give rights to third parties to intervene in the process or arbitration for cases which are related to public interest.Keywords: investment, dispute settlement, arbitration

Page 19: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 341.634

Rahmanisa Purnamari & Muhammad Agus Salim

Application The Effective Choice Of Forum Clause On Capital Market Dispute Resolution To Support National Economic Development

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 1, April 2018, page 97 – 112

Every change in Indonesia Capital Market Policy under the framework of national economic development will inflict a dispute to the parties. An agreement with choice of forum clause for dispute resolution on capital market are made as an anticipation. The problem is the choice of forum clause is often be nonsense/ambiguous that it becomes a barrier to solve the dispute. This study discusses how the application of choice of forum clause on capital market dispute resolution can be effective in order to support national economic development. Using normative juridical research method, this study result shows there’s no special regulation for making capital market agreement. An effective concept for the usage of choice of forum clause is needed in capital market dispute resolution. An ambiguous choice of forum clause will have a legal effect on the dispute resolution where the dispute couldn’t be settled quickly and can disturb the ongoing activities of the capital market. Therefore to solve a dispute with an ambiguous clause, the parties are expected to make an addendum or remake the agreement of dispute resolution based an effective concept.Keywords: capital market, clause, dispute resolution forum

UDC: 341.49

Budi Suhariyanto

Implementation of Substitute Money Penalty to Corporation in Corruption Case for Recovery the State’s Financial Losses

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 1, April 2018, page 113 – 130

There is a problem in the practice where a the corporation is prosecuted and convicted to pay the substitute money due to the corruption committed by the corporate management without being the defendant. The reason for his conviction is because the wealth and corporate assets contains those that comes from corruption so it is worth to prosecute for substitute money to restore financial losses of the State. However, not all judges agree with the reasons given above, considering the absence of due process of law in the case of corporate defense. It is interesting to examine the existence and application of the substitute money penalty to corporations in corruption cases and it’s benefit for the recovery of the state financial loss? In order to solve the problem, normative legal research methods with legislation and case approach are used. The regulation of substitute money penalty aims to restore the State’s financial losses due to corruption. It would be unfair if substitute money penalty imposed to the board while the wealth produce by corruption was actually being accommodated by the corporation. Agreements and guidance are needed to end the polemic among the Corruption Court judges about the possibility of imposing substitute money to the corporation even without it being made as Defendant for the recovery of the state financial loss.Keywords: substitute money, corporation, state financial loss

Page 20: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 338.004.6

Oly Viana Agustine

The Decision Of The Constitutional Court On The National Economy Development On The Plant Breeding And Heavy Equipment

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 1, April 2018, page 131 – 146

There are some Constitusional Court decision that is synergic with the national economy development. The Constitutional Court Decision Number 138/PUU-XIII/2015 and 3/PUU-XIII/2015 provide opportunities for individuals farmers and entrepreneurs of heavy equipment in running their business. The permission for individual smallholders to do plant breeding and the elimination of heavy equipment provisions that are no longer classified as motor vehicles for business actors in the field of heavy equipment, are expected to support the national economic development of the small industrial sector in the field of plant breeding and heavy equipment. Departing from these two decisions, this study aims to see how the role of the Constitutional Court decision in building the national economy on plant breeding and heavy equipment. The research method used is normative juridical with case study of Constitutional Court decision. The conclusion shows that through the decision of the Constitutional Court Number 138/PUU-XIII/2015 and 3/PUU-XIII/2015 has supported the national economic development in the field of plant breeding for individual farmers and heavy equipment industry. These decisions need to be followed up and implemented immediately by all adresat in the Constitutional Court decision. Keywords: national economy, development, decision of the Constitutional Court

Page 21: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7 Nomor 1, April 2018

Page 22: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase
Page 23: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

1Urgensi Perlindungan Hukum Konsumen dan Penyelesaian Sengketa E-Commerce ... (Arfian Setiantoro dkk.)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

URGENSI PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DAN PENYELESAIAN SENGKETA E-COMMERCE DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

(The Urgency of Consumer Law Protection and the E-Commerce Dispute Resolution in the Era of ASEAN Economic Community)

Arfian Setiantoro; Fayreizha Destika Putri; Anisah Novitarani; dan Rinitami NjatrijaniFakultas Hukum Universitas Diponegoro

Jl. Imam Bardjo, S.H. No.1-3 Kampus Undip Pleburan SemarangEmail: [email protected]; [email protected]; [email protected]; [email protected]

Naskah diterima: 19 Februari 2018; revisi: 5 April 2018; disetujui: 12 April 2018

AbstrakDi era globalisasi, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mendorong perkembangan e-commerce yang belum sepenuhnya terlindungi dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Berkaitan dengan masalah tersebut, tulisan ini membahas mengenai urgensi perlindungan konsumen dan alternatif penyelesaian sengketa terhadap transaksi e-commerce di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangkat hukum di Indonesia saat ini belum mengatur secara lengkap perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce. Mekanisme penyelesaian sengketa yang tersedia adalah baik melalui peradilan maupun di luar peradilan. Lembaga non-litigasi seperti BPSK, ODR maupun ACCP diharapkan dapat lebih melindungi konsumen untuk menemukan win-win solution. Di masa mendatang, perlindungan konsumen haruslah bersifat preventif dan diperlukan sinergisitas antar peraturan yang dibuat pemerintah agar terdapat perlindungan hukum yang semakin lengkap bagi konsumen. Kata Kunci: konsumen cerdas, e-commerce, penyelesaian sengketa, perlindungan konsumen, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)

AbstractIn the globalization era, ASEAN Economy Community (MEA) has accelerated the development of e-commerce which has not been fully covered by Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection. Therefore, this paper examines the urgency of consumer protection and alternative dispute for e-commerce in the era of MEA. This study used normative juridical approach with analytical descriptive study. The result of the research shows currently Indonesia legal framework has not provided sufficient legal protection for consumers in e-commerce transaction. Available dispute resolutions mechanism are through the court or outside the court. Non-litigation institutions such as Consumer Dispute Settlement Bodies, ODR or ACCP are expected to protect and help consumers find win-win solution. In the future, consumer protection should be preventive and synchronization among regulations is needed to provide a comprehensive legal protection for the consumers. Keywords: smart consumer, e-commerce, dispute resolution, consumer protection, ASEAN Economic Community (MEA).

Page 24: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

2 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 1–17

Volume 7, Nomor 1, April 2018

A. Pendahuluan

Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan membuat teknologi menjadi selalu baru, tanpa terkecuali bidang telekomunikasi khususnya media internet. Adanya perkembangan tersebut membuat ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa dapat melintasi batas-batas wilayah suatu negara dengan bebas. Kondisi sedemikian rupa mendukung efek pertumbuhan ekonomi yang lebih luas di dunia. Indonesia juga merasakan efek tersebut sehingga perkembangan arus barang dan/jasa menjadi mudah didapatkan terkhususnya yang diuntungkan adalah konsumen.

Di era globalisasi, ketika batas-batas suatu negara akan menjadi kabur, di satu pihak keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat.1 Di lain pihak, kondisi globalisasi saat ini dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen dapat menjadi obyek aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui iklan, promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian-perjanjian standar yang merugikan konsumen.

Hadirnya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) merupakan suatu integrasi atas negara-negara di kawasan Asia Tenggara khususnya, yang bertujuan untuk memperkecil kesenjangan antara negara-negara ASEAN dalam hal pertumbuhan perekonomian. Hal itu membuat meningkatnya persaingan antar negara-negara ASEAN dalam hal produk maupun jasa. Untuk menjamin terciptanya tingkat persaingan yang tinggi dan adil, MEA membentuk sebuah kebijakan berupa perlindungan konsumen yang

juga menjamin adanya arus informasi yang akurat di pasar barang dan jasa.

Dengan pemahaman bahwa semua masyarakat adalah konsumen, maka melindungi konsumen berarti juga melindungi seluruh masyarakat. Sesuai dengan amanat Alinea ke-IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka perlindungan konsumen menjadi penting. Lagi pula, jika disadari bahwa konsumen atau masyarakat adalah pelaksana pembangunan yang sekaligus juga sumber pemupukkan modal bagi pembangunan, maka untuk kelangsungan pembangunan nasional mutlak diperlukan perlindungan kepada konsumen itu.2 Meski demikian, pada kenyataannya pendidikan bagi konsumen masih tergolong minim dan kesadaran para konsumen akan hak-hak dan kewajibannya masih rendah. Untuk menjamin suatu penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, maka pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang memaksa pelaku usaha untuk menaatinya, disertai dengan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya.

Penyelesaian perselisihan terhadap sengketa yang dihadapi masyarakat termasuk dalam hal sengketa konsumen, dapat diselesaikan melalui jalur litigasi (melalui pengadilan) dan jalur non-litigasi (tidak melalui pengadilan). Selain itu, menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2/2015, konsumen kini memiliki beberapa alternatif dalam penyelesaian sengketanya. Penyelesaian gugatan tersebut menjadikan angin segar dalam alternatif penyelesaian sengketa yang biasanya hanya bisa diselesaikan dalam

1 Francis Fukuyama, The End of History and The Last of Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Terjemahan oleh: Amrullah, (Yogyakarta:Qalam,2004), hlm. 4.

2 Ibid., hlm. 3.

Page 25: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

3Urgensi Perlindungan Hukum Konsumen dan Penyelesaian Sengketa E-Commerce ... (Arfian Setiantoro dkk.)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

ranah litigasi. Untuk itu, muncullah lembaga non-litigasi misal melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun lembaga/forum lain yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut.

Tantangan lain mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen adalah per kem-bangan e-commerce (transaksi elektronik) yang terus berkembang cepat seiring berkem bang nya teknologi telekomunikasi yang maju, sehingga peluang terjadinya sengketa akan menjadi sangat serius. Di sisi lain, perkembangan MEA sejak tahun 2015 semakin menggeliat di tataran ASEAN. Jika sengketa e-commerce terjadi antar negara diperlukan kajian yang lebih mendalam dan restrukturisasi aturan antar negara untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang mengatur arbitrase secara konvensional, saat ini masih bisa digunakan sebagai alternatif penyelesaian sengketa, namun aturan di dalamnya masih banyak kelemahan karena tidak mengatur secara rinci masalah penyelesaian sengketa e-commerce. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, tulisan ini bertujuan membahas mengenai perlindungan konsumen dan alternatif penyelesaian sengketa dalam transaksi e-commerce di era Masyarakat Ekonomi ASEAN.

B. Metode Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis adalah suatu pendekatan yang mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku3,

sedangkan pendekatan normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder terhadap asas-asas hukum serta studi kasus yang dengan kata lain sering disebut sebagai penelitian hukum kepustakaan.4 Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan. Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian.5 Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.6

C. Pembahasan

1. Perlindungan Hukum Konsumen terhadap Transaksi E-Commerce di eEa Masyarakat Ekonomi ASEAN

Perkembangan pasar bebas Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang semakin pesat membuat cara berniaga berubah menuju electronic commerce (e-commerce). Di era modern dan digital saat ini, aktifitas perdagangan e-commerce telah menjadi senjata utama yang dapat memudahkan transaksi perdagangan. E-commerce adalah proses pembelian,

3 Roni Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1982), hlm. 20. 4 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2004), hlm. 13.5 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm. 107. 6 Ibid.

Page 26: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

4 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 1–17

Volume 7, Nomor 1, April 2018

penjualan, transfer, atau pertukaran produk, jasa dan informasi melalui jaringan komputer termasuk internet.7 Menurut M. Pattinson ,”There are several features, which distinguish electronic commerce from business conducted by traditional means. In particular: electronic commerce establishes a global market-place, where traditional geographic boundaries are not ignored, they are quite simply irrelevant…”8

Laporan Digital In 2017 Growth Overview menyatakan secara statistik bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan waktu sekitar 3 jam 16 menit per-hari untuk media sosial.9 Data ”Time on Site” dari SimilarWeb yang menghitung waktu kunjungan dari 30 toko online yang beroperasi di Indonesia dan telah dibuat dari Maret 2017 lalu menunjukkan rata-rata konsumen Indonesia menghabiskan

7 Philip F. E. Adipraja, Sri A.K. Dewi, Lia Farokhah, Analisis Efektifitas dan Keamanan E-Commerce di Indonesia dalam Menghadapi MEA, Sekolah Tinggi Manajeman Informatika & Komputer Perguruan Tinggi ASIA, Malang, hlm. 113, https://www.researchgate.net/profile/Philip_Adipraja/publication/303699038_ANALISIS_EFEKTIFITAS_DAN_KEAMANAN_ECOMMERCE_DI_INDONESIA_DALAM_MENGHADAPI_MEA/links/5982c8b8458515a60df81139/ANALISIS-EFEKTIFITAS-DAN-KEAMANAN-ECOMMERCE-DI-INDONESIA-DALAM-MENGHADAPI-MEA.pdf (diakses pada 11 Februari 2018)

8 Mansur, D. M. A., dan E. Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 145, Artikel dalam Jurnal online: Urgensi Regulasi Komprehensif E-Commerce di Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), http://ojs.uma.ac.id/index.php/mercatoria/article/view/648, (diakses pada 11 Februari 2018).

9 Risky Maulana, Tren Perilaku Konsumen Belanja Online Indonesia Tahun 2018 Menurut iPrice, https://id.techinasia.com/tren-perilaku-konsumen-online-indonesia-menurut-iprice (diakses pada 13 Februari 2018).

Gambar 1. Grafik Perkembangan Nilai Transaksi E-Commerce Indonesia

Sumber: (https://kumparan.com/@kumparanbisnis/yustinus-prastowo-sistem-terintegrasi-jadi-kunci-regulasi-e-commerce)

Page 27: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

5Urgensi Perlindungan Hukum Konsumen dan Penyelesaian Sengketa E-Commerce ... (Arfian Setiantoro dkk.)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

waktu sebanyak 4 menit 9 detik dalam sekali kunjungan ke situs belanja online. Riset Nielsen tahun 2014 menunjukkan 80% perilaku konsumen Indonesia masih menggunakan situs toko online untuk melihat review produk yang diinginkan sebelum membelinya secara offline. Hal tersebut dikarenakan masih banyak konsumen Indonesia yang belum percaya terhadap sistem transaksi online yang bahkan terkadang ada toko online yang meminta data informasi kartu kredit konsumen.10 Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar ke empat di dunia dengan jumlah penduduk 262 juta jiwa dan ditopang oleh penduduk berpendapatan menengah (middle-income). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi produk negara-negara asing di era MEA. Hal itu semakin menjadi-jadi, karena (biasanya) konsumen akan lebih percaya diri (prestige) saat mengenakan barang asing.11

Berdasarkan data terakhir Bank Indonesia (BI) pada tahun 2016, transaksi e-commerce mencapai Rp 75 triliun per tahun. Nilai itu termasuk transaksi e-commerce non market place. Jika diasumsikan selama 10 tahun terakhir rata-rata pertumbuhan nilai transaksi e-commerce mencapai 17%, maka tahun 2018 nilai transaksi e-commerce diperkirakan sampai Rp 102 triliun.12 Perkembangan e-commerce di

Indonesia seperti sekarang ini memang sangat signifikan.

Beberapa permasalahan yang timbul yang berkenaan dengan hak-hak konsumen dalam transaksi e-commerce, antara lain:13 a. Konsumen tidak dapat langsung meng-

identifikasi, melihat, atau menyentuh barang yang akan dipesan;

b. Ketidakjelasan informasi tentang produk yang ditawarkan dan/atau tidak adanya kepastian apakah konsumen telah memperoleh berbagai informasi yang layak diketahui, atau yang seharusnya dibutuhkan untuk mengambil suatu keputusan dalam bertransaksi;

c. Tidak jelasnya status subjek hukum, dari pelaku usaha;

d. Tidak ada jaminan keamanan bertransaksi dan privasi serta penjelasan terhadap risiko-risiko yang berkenaan dengan sistem yang digunakan, khususnya dalam hal pembayaran secara elektronik baik dengan menggunakan credit card maupun electronic cash;

e. Pembebanan risiko yang tidak berimbang, karena umumnya terhadap jual beli di internet, pembayaran telah lunas dilakukan di muka oleh konsumen, sedangkan barang belum tentu diterima atau akan menyusul

10 Ibid. 11 Abdul Manap Pulungan, Indonesia dan MEA: Bertarung dengan Tangan Kosong,https://www.cnnindonesia.com/

ekonomi/20151231160041-79-101461/indonesia-dan-mea-bertarung-dengan-tangan-kosong (diakses pada 13 Februari 2018)

12 Adinda Ade Mustami, Sumbangan Transaksi E-Commerce ke PDB Diperkirakan Hanya 0,75%, http://nasional.kontan.co.id/news/sumbangan-transaksi-e-commerce-ke-pdb-diperkirakan-hanya-075 (diakses pada 15 Februari 2018)

13 Farizal F. Kamal, Cyber Business, cet. 3. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999)..hlm. 81, Artikel dalam Jurnal Online Tetanoe Bernada, Upaya Perlindungan Hukum Pada Konsumen Dalam Transaksi E-commerce Untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Digital Di Indonesia, https://www.researchgate.net/publication/317562107_UPAYA_PERLINDUNGAN_HUKUM_PADA_KONSUMEN_DALAM_TRANSAKSI_ECOMMERCE_UNTUK_MENDUKUNG_PERTUMBUHAN_EKONOMI_DIGITAL_DI_INDONESIA_LEGAL_PROTECTION_FOR_ECOMMERCE_TRANSACTION’S_CONSUMERS_TO_SUPPORT_THE_DIGITAL (diakses pada 01 April 2018).

Page 28: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

6 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 1–17

Volume 7, Nomor 1, April 2018

kemudian, karena jaminan yang ada adalah jaminan pengiriman barang bukan penerimaan barang;

f. Transaksi yang bersifat lintas batas negara borderless, menimbulkan pertanyaan mengenai yurisdiksi hukum negara mana yang sepatutnya diberlakukan.

Berdasarkan data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sepanjang tahun 2017, YLKI telah menerima 642 aduan di luar pengaduan biro perjalanan umrah. Dari 642 aduan tersebut, aduan yang berasal dari belanja online mendominasi dengan jumlah 101 aduan. Sementara dari toko online yang paling sering diadukan, urutan pertama adalah Lazada dengan 18 aduan, Akulaku dengan 14 aduan, Tokopedia dengan 11 aduan, Bukalapak dengan 9 aduan, Shopee dengan 7 aduan, Blibli.com dengan 5 aduan, JD.ID dengan 4 aduan, dan Elevenia dengan 3 aduan. Adapun permasalahan yang sering diadukan kepada YLKI adalah pesanan barang yang belum sampai, cacat produk, sulitnya proses pengembalian barang, hingga proses refund atau pengembalian uang.14

Selain persoalan perlindungan konsumen, salah satu persoalan yang juga timbul terkait transaksi e-commerce saat ini adalah terkait dengan layanan keuangan, yaitu penggunaan e-money. E-money sebenarnya sudah hadir sejak tahun 2007 yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik. E-money merupakan alat

pembayaran dengan ketentuan bahwa nilai uang yang disimpan secara elektronik didasarkan pada nilai uang yang telah disetorkan terlebih dahulu oleh pemilik kartu elektronik dan dapat digunakan sebagai alat bayar untuk sejumlah produk atau layanan nilai elektronik yang lebih spesifik.15

Terhadap penggunaan e-money, pembebanan biaya untuk isi ulang (top up) uang elektronik (e-money) kepada konsumen dipersoalkan masyarakat. Kebijakan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran nasional dinilai kurang tepat. PBI tersebut mengatur dua cara pengisian saldo uang elektronik yakni pertama dengan cara off us atau lintas kanal pembayaran dikenakan Rp. 1.500,- dan kedua cara on us atau satu kanal, di mana pada pengisian ulang sebesar Rp. 200.000,- tidak kena biaya (gratis) sedangkan transaksi di atas nilai tersebut dikenakan biaya maksimal Rp. 750,-.

Kebijakan Bank Indonesia (BI) ini tidak sejalan dengan tujuan Gerakan Nasional Non Tunai dan jelas tidak adil bagi konsumen. Substansi tersebut cenderung mengedepankan kepentingan dunia usaha perbankan. Kebijakan BI menyebabkan ketidakadilan bagi sebagian konsumen, khususnya masyarakat yang mengisi ulang di atas Rp. 200.000,- pada bank atau lembaga penerbit atau mengisi ulang pada merchant. Konsumen seharusnya mendapat insentif bukan disinsentif dalam pelaksanaan program cashless society. 16

14 Pramdia Arhando Julianto, YLKI: Meski Dirugikan, Konsumen Indonesia Takut Melapor, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/19/153100426/ylki--meski-dirugikan-konsumen-indonesia-takut-melapor (diakses pada 01 April 2018).

15 Admin PilihKartu.com, E-Wallet Bentuk Lain dari E-Money yang Sebaiknya Kamu Tahu, https://pilihkartu.com/tips-kartu-kredit/ewallet-bentuk-lain-dari-emoney-yang-sebaiknya-kamu-tahu (diakses pada 01 April 2018).

16 Feby Novalius, Top Up E-Money Kena Biaya, Kepala BPJT: Harusnya Tidak, https://economy.okezone.com/read/2017/09/26/320/1783052/top-up-e-money-kena-biaya-kepala-bpjt-harusnya-tidak (diakses pada 01 April 2018).

Page 29: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

7Urgensi Perlindungan Hukum Konsumen dan Penyelesaian Sengketa E-Commerce ... (Arfian Setiantoro dkk.)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebenarnya telah mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha serta larangan-larangan yang bertujuan untuk memberi perlindungan terhadap konsumen. Selain itu UUPK juga mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen. Beberapa hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 UUPK adalah:a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selain haknya yang sebagaimana disebutkan di atas, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban yang diatur dalam Pasal 5, dalam hal ini supaya konsumen tidak mendapatkan kerugian karena ketidakhati-hatiannya sendiri. Kewajiban tersebut di antaranya adalah:a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi

dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Meski UUPK telah mengatur hak serta kewajiban pengusaha untuk memberikan perlindungan pada konsumen maupun hak dan kewajiban konsumen, namun pada kenyataannya belum dapat sepenuhnya melindungi konsumen dalam transaksi e-commerce karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses produksi barang dan jasa ternyata belum diikuti dengan kemajuan perangkat hukum yang ada.17 Pengaturan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce perlu mencakup hal-hal sebagai berikut:18

17 Mohammad Ikbal, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik (E-Commerce) Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, hlm. 18, https://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/aldli/article/view/223 (diakses pada 11 Februari 2018).

18 Philip F. E. Adipraja, Sri A.K. Dewi, Lia Farokhah, Analisis EfektifitasdanKeamanan E-Commercedi Indonesiadalam Menghadapi MEA, (Malang:Mantri, 2007), hlm. 114,https://www.researchgate.net/profile/Philip_Adipraja/publication/303699038_ANALISIS_EFEKTIFITAS_DAN_KEAMANAN_ECOMMERCE_DI_INDONESIA_DALAM_MENGHADAPI_MEA/links/5982c8b8458515a60df81139/ANALISIS-EFEKTIFITAS-DAN-KEAMANAN-ECOMMERCE-DI-INDONESIA-DALAM-MENGHADAPI-MEA.pdf (diakses pada 11 Februari 2018).

Page 30: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

8 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 1–17

Volume 7, Nomor 1, April 2018

a. Perlindungan hukum dari sisi pelaku usaha, pelaku usaha berkewajiban mencantumkan identitas dalam website. Adanya lembaga penjamin keabsahan toko online, di Indonesia tidak ada lembaga penjaminan keabsahan toko tersebut, sehingga dimungkinkan konsumen bertransaksi dengan toko online yang fiktif. Untuk itu, pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika sedang mempersiapkan lembaga Certification Authority (CA) untuk menjamin keabsahan suatu toko online dalam beroperasi dengan menerbitkan sertifikat digital.

b. Perlindungan hukum dari sisi konsumen, adanya jaminan perlindungan kerahasiaan data-data pribadi konsumen, karena data-data tersebut jika tidak dijaga kerahasiaannya oleh pelaku usaha, dapat diperjual-belikan oleh pihak lain untuk kepentingan promosi.

c. Perlindungan hukum terhadap konsumen dari sisi produk, dimana pelaku usaha diwajibkan untuk memberikan informasi yang jelas dan lengkap mengenai produk yang ditawarkan, informasi produk mengenai produk harus diberikan melalui bahasa yang mudah dimengerti dan tidak menimbulkan penafsiran lain, memberikan jaminan bahwa produk yang ditawarkan aman atau nyaman untuk dikonsumsi atau dipergunakan, serta memberi jaminan bahwa produk yang ditawarkan sesuai dengan apa yang dipromosikan oleh pelaku usaha.

d. Perlindungan hukum terhadap konsumen dari sisi transaksi, tidak semua konsumen paham akan cara bertransaksi melalui media internet sehingga dalam hal ini, pelaku usaha perlu mencantumkan dengan jelas dan lengkap mengenai mekanisme transaksi serta hal-hal lain berkenaan

dengan transaksi (diatur dalam Terms and Conditions). Apabila terjadi sengketa di antara para pihak yang bertransaksi, maka dokumen-dokumen kertas itulah yang akan diajukan sebagai bukti oleh masing-masing pihak untuk memperkuat posisi hukum masing-masing.

Selain UUPK, e-commerce yang menggunakan transaksi elektronik yang juga terkait erat dengan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Undang-undang Republik Indonesia No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Undang-Undang Perdagangan ini telah mengatur perdagangan sistem elektronik dengan ketentuan bahwa setiap orang atau badan usaha yang memperdagangkan barang atau jasa wajib menyediakan data dan informasi secara lengkap dan benar. Pada Undang-Undang Perdagangan tersebut, e-commerce diatur dalam Bab VIII Perdagangan Melalui Sistem Elektronik pada Pasal 65 dan 66.

Perangkat-perangkat hukum yang telah dikemukakan di atas tentu memiliki peranan penting dalam melindungi konsumen. Namun, konsumen juga perlu menjadi cerdas dan kristis agar terhindar dari kerugian. Pemerintah dalam setiap kampanyenya selalu mendorong agar konsumen di posisikan sebagai pihak yang ”cerdas” dan ”kritis”. Namun, kenyataannya berdasarkan hasil survei Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) di 13 kota besar di Indonesia, IKK hanya mencapai 30,8. Angka ini turun dibandingkan dengan IKK 2015 yang sempat mencapai 34,17 dari nilai maksimal 100. IKK Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan nilai perhitungan IKK di 29 negara Eropa pada tahun 2011 yang sudah mencapai rata-rata 51,31. Dengan nilai IKK hanya sebesar 34,17 bahwa

Page 31: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

9Urgensi Perlindungan Hukum Konsumen dan Penyelesaian Sengketa E-Commerce ... (Arfian Setiantoro dkk.)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

keberdayaan konsumen Indonesia hanya sebatas level paham soal hak dan kewajiban, tetapi belum sepenuhnya mau memperjuangkannya.19

Agar dapat menjadi konsumen cerdas di era MEA, masyarakat dapat menerapkan beberapa hal berikut ini:20

a. Memahami UUPK Memahami UU yang melindungi konsumen

sangat perlu dilakukan terutama di era per-saingan bebas MEA saat ini. UUPK menjadi pedoman kita mengambil keputusan selaku konsumen yang melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi menurut Kementerian PPN/Bappenas (2016) diketahui hanya 30% saja masyarakat yang sudah mengetahui adanya UUPK, bahkan 52% diantaranya hanya pernah mendengar saja. Untuk itu, sudah saatnya konsumen memahami UUPK yang menjadi dasar mereka untuk mendapatkan perlindungan

b. Menjalankan Hak dan Kewajiban konsumen sesuai dengan UUPK

c. Cerdas dalam memilih produk. Pemerintah melalui Kementerian

Perdagangan (Kemendag) menerapkan proteksi atau perlindungan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 72/M-DAG/PER/9/2015 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14/M-DAG/PER/3/2007 Tentang Standarisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia

(SNI) Wajib terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan.

d. Berani melindungi diri. Konsumen dituntut untuk dapat melindungi

diri meskipun pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan terhadap konsumen. Beberapa hal yang dapat dilakukan konsumen untuk melindungi dirinya diantaranya dengan berani menanyakan informasi yang kurang jelas pada barang dan/jasa yang akan dibeli, berani memberikan masukan terhadap produk yang kualitasnya dirasakan kurang sesuai, serta berani menggunakan pengaduan untuk diketahui oleh lembaga, perusahaan atau instansi terkait agar dapat ditindak lanjuti. Menurut Kementerian PPN/Bappenas (2016) sebanyak 42% konsumen yang mengalami masalah dalam pembelian dan/atau penggunaan barang/jasa, lebih memilih untuk tidak melakukan pengaduan, dengan alasan utama resiko kerugian tidak besar (37%); tidak tahu lokasi tempat pengaduan (24%); beranggapan prosesnya rumit dan lama (20%). Padahal dalam UUPK sudah dijelaskan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, didengar keluhannya dan mendapatkan kompensasi atas barang/jasa yang tidak sesuai sebagaimana mestinya.

Sebagai konsumen, masyarakat harus cerdas dalam memilih pelbagai produk impor yang beredar. Konsumen cerdas di era MEA

19 Damianus Andreas, BPKN, Badan Perlindungan Konsumen yang Tak Beken,https://tirto.id/bpkn-badan-perlindungan-konsumen-yang-tak-beken-cyei (diakses pada 12 Februari 2018).

20 Bappenas, Hari Konsumen Nasional 2016: Momentum Tingkatkan Martabat Konsumen, https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/hari-konsumen-nasional-2016-momentum-tingkatkan-martabat-konsumen/ (diakses pada 13 Februari 2018).

Page 32: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

10 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 1–17

Volume 7, Nomor 1, April 2018

diharapkan dapat lebih teliti lagi dalam memilih barang yang akan dikonsumsi.

2. Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Mendukung Era Masyarakat Ekonomi ASEAN

Perlindungan konsumen merupakan prasyarat mutlak dalam mewujudkan perekonomian yang sehat melalui keseimbangan antara perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha.21 Penyelesaian sengketa konsumen, sebagai salah satu bentuk mekanisme perlindungan konsumen, dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud di atas tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa.

Pengaturan penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai berikut:a. Setiap konsumen yang dirugikan dapat

menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

b. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

c. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.

d. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Merujuk pada ketentuan pasal tersebut, maka terdapat beberapa mekanisme penye-lesaian sengketa yang dapat ditempuh Konsumen yakni melalui pengadilan dan di luar pengadilan.

a. Penyelesaian Sengketa Konsumen

Melalui Pengadilan

Menurut Pasal 48 UUPK, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Dalam kaitan ini Pasal 46 ayat (1) UUPK menentukan:1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha

dapat dilakukan oleh:a. Seorang konsumen yang dirugikan atau

ahli waris yang bersangkutan;b. Kelompok konsumen yang mempunyai

kepentingan yang sama;c. Lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

21 Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementrian Perdagangan, Pilar-Pilar Peningkatan Daya Saing & Perlindungan Konsumen (Jakarta:2011), hlm. 62

Page 33: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

11Urgensi Perlindungan Hukum Konsumen dan Penyelesaian Sengketa E-Commerce ... (Arfian Setiantoro dkk.)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.

b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis dan dapat menemukan win-win solution bukan win-lose solution. Sulit ditemukan apabila antar pihak membawa sengketanya ke pengadilan yang pasti akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak dan kemenangan pihak lainnya atau win-lose solution. Atas dasar hal tersebut penyelesaian sengketa di luar pengadilan juga dikenal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.22

1) Penyelesaian penggantian kerugian seketika (secara langsung) dengan jalan damai

Menurut Pasal 19 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut

secara langsung penggantian kerugian kepada produsen dan produsen harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam jangka waktu 7 hari setelah transaksi berlangsung. Mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sehubungan penyelesaian sengketa konsumen ini, cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan itu dapat berupa konsultasi, negosiasi, mediasi konsiliasi atau penilaian ahli.

Kerugian yang dapat dituntut sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) UUPK terdiri atas kerugian karena kerusakan, pencemaran dan kerugian lain akibat dari mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Bentuk penggantian kerugiannya dapat berupa;1) Pengembalian uang seharga pembelian

barang dan/atau jasa;2) Penggantian barang dan/atau jasa sejenis

atau setara nilainya; atau3) Perawatan kesehatan; atau4) Pemberian santunan yang sesuai

2) Tuntutan penggantian kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Menurut Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara Pelaku Usaha dan Konsumen. Terbentuknya lembaga BPSK memberikan dampak kepada penyelesaian sengketa konsumen yang dapat dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Keberadaan

22 Arfian Setiantoro,Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Ketidaksesuaian Harga Dalam Pembayaran Argometer di Taksi, (Semarang: Skripsi,Universitas Diponegoro,2016), Semarang, hlm. 52.

Page 34: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

12 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 1–17

Volume 7, Nomor 1, April 2018

BPSK juga diharapkan akan mengurangi beban tumpukan perkara di pengadilan.23

Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat diajukan secara lisan atau tertulis ke BPSK melalui Sekretariat BPSK setempat oleh konsumen, yang memuat:(1) Identitas konsumen, ahli waris atau kuasanya

disertai bukti diri(2) Nama dan alamat pelaku usaha(3) Barang atau Jasa yang diadukan(4) Bukti perolehan, keterangan tempat, waktu

dan tanggal perolehan barang atau jasa yang diadukan.

(5) Saksi-saksi yang mengetahui perolehan barang atau jasa, foto-foto barang atau kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada. (Pasal 16 SK Menperindag Nomor 350/ MPP/Kep/12/2001).

Persidangan pada Badan Penyelesaian Konsumen dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu: a) Persidangan dengan cara Arbitrase Arbitrase merupakan cara penyelesaian

sengketa perdata yang dilakukan di luar peradilan umum dan didasarkan pada perjanjian arbritase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa.

b) Persidangan dengan cara Konsiliasi Penyelesaian sengketa dengan konsiliasi

memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase dimana menyerahkan sengketa kepada pihak kita untuk diberikan pendapatnya kemudian disampaikan kepada para pihak.

Namun pendapat konsiliator tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase.24

c) Persidangan dengan cara Mediasi Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa

dengan perantara pihak ketiga, yakni pihak yang memberi masukan-masukan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka. Berbeda dengan arbitrase, pada mediasi tidak terdapat kewajiban para pihak untuk mentaati apa yang disarankan oleh mediator.25

Isi putusan Majelis Badan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat final dan mengikat (Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 350/Mpp/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Konsumen). Pasal 56 Ayat (2) UUPK disebutkan bahwa para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan BPSK.

3) Penyelesaian sengketa melalui Online Dispute Resolution (ODR)

Online Dispute Resolution (ODR) adalah penyelesaian sengketa dilakukan dengan menggabungkan informasi pengolahan teknologi komputer dengan fasilitas jaringan

23 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2009), hlm. 75.

24 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja Grafindo,2014), hlm. 258-259.

25 Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan: Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase, (Jakarta: Visimedia, 2011), hlm. 28

Page 35: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

13Urgensi Perlindungan Hukum Konsumen dan Penyelesaian Sengketa E-Commerce ... (Arfian Setiantoro dkk.)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

komunikasi internet.26 ODR memberikan kemudahan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi, tidak lagi terhalang oleh ruang, batas waktu, biaya murah dan cepat dalam menyelesaikan masalah dibandingkan penyelesaian Alternative Disputes Resolution (ADR) yang sifatnya konvensional. ODR lahir dari sinergisitas antara ADR dan Information of Computer Technology (ICT) sebagai metode atau langkah untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam proses online yang mana penyelesaian secara tradisional sangat tidak efektif dan tidak memungkinkan.27

Kerangka pihak yang bersengketa (dalam ODR) antara lain: Pihak yang bersengketa 1, Pihak yang bersengketa 2, Fasilitator, dan ICT ”Information and Computer Technology” Assistance. ODR dalam hal ini, dilihat dari tipe-tipe penyelesaian sengketa, hanya berkutat pada penyelesaian commercial law (perdagangan) yang itu harus dapat diselesaikan secara damai, yurisdiksinya adalah meliputi kewenangan untuk menangani kasus-kasus hukum dagang yang hasilnya dapat berupa win-win solution ataupun win-lose solution dari proses e-adjudication (Online Arbitration).

Transaksi e-commerce menjadi pendorong munculnya Online Dispute Resolution. ODR

dalam hal ini bisa digunakan sebagai mekanisme penyelesaian sengketa, transaksi online. Secara umum, ODR memiliki empat komponen:28

a) Sama seperti ADR, kedua belah pihak yang bersengketa harus bersepakat untuk menyelesaikan kasusnya di luar pengadilan. Bedanya adalah menggunakan internet dalam proses penyelesaiannya.

b) Terdapat panduan dari profesional yang mengarahkan para pihak untuk menjalankan proses ADR dengan menggunakan internet.

c) Pengaturan mengenai ADR berlaku pada pelaksanaan penyelesaian melalui internet

d) Software digunakan sebagai alat untuk bertukar informasi di internet. (Meet Online, Access Database, Send Document and Hold Meetings with Voice and Video Conference).

4) Penyelesaian Sengketa konsumen melalui ASEAN Committee on Consumer Protection (ACCP)29

ASEAN Committee on Consumer Protection (ACCP) merupakan suatu bentuk baru kerja sama regional di ASEAN. Pengarahan pelaksanaan inisiatif dan komitmen berdasarkan ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint antar pemerintah negara negara di kawasan. ASEAN Committee on Consumer Protection (ACCP)

26 Adel Candra, Penyelesaian Sengketa Transaksi Elektronik Melalui Online Dispute Resolution (ODR) Kaitan Dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik No.11 Tahun 2008, http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Journal-3653-adel-chandra.pdf, (diakses pada 14 Februari 2018).

27 Katsh, E Rifkin, Online Disputes Resolution: Resolving Conflicts in Cyberspace, (San Fransisco:Jossey Bass, 2001), hlm 9, Artikel dalam Jurnal Online Gagah Satria Utama, Online Dispute Resolution: a Revolution in Modern Law Practice, https://law.uii.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/V-01-No-03-online-dispute-resolution-a-revolution-in-modern-law-practice-gagah-satria-utama.pdf (diakses 01 April 2018)

28 Felikas Petrauskas, Egle Kbartiene. Online Dispute Resolution in Consumer Disputes. Jurisprudencia. Mykolas Romeris Universitty. 2011, hlm. 5, Artikel dalam Jurnal Online Gagah Satria Utama, Online Dispute Resolution: a Revolution in Modern Law Practice, https://law.uii.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/V-01-No-03-online-dispute-resolution-a-revolution-in-modern-law-practice-gagah-satria-utama.pdf (diakses pada 01 April 2018).

29 Association of Southeast ASIAN Nations,ASEAN ECONOMIC COMMUNITY BLUEPRINT, (Jakarta: Asean Secretariat Consumer Protection, 2008) http://www.aec.com.mm/download/Consumer%20Protection.pdf (diakses pada 13 Februari 2018).

Page 36: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

14 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 1–17

Volume 7, Nomor 1, April 2018

didirikan pada tahun 2008. Maka pendekatan strategis yang sekiranya diperlukan terhadap perlindungan konsumen telah diadopsi oleh ACCP. Pendekatan ini berisi langkah-langkah kebijakan dan tindakan prioritas terperinci dengan jangka waktu tertentu untuk implementasi, termasuk pengembangan notifikasi dan informasi, antara lain:a. Mekanisme pertukaran pada tahun 2010;b. Lintas batas mekanisme ganti rugi konsumen

pada tahun 2015; dan c. Roadmap strategis untuk pengembangan

kapasitas pada tahun 2010.

ACCP adalah badan sektoral yang baru dibentuk dan akan dihadapkan dengan pekerjaan yang luas dan program-program yang kompleks. Secara khusus, bidang utama yang menjadi perhatian ACCP adalah pembangunan kapasitas kebutuhan di tingkat regional dan nasional harus diidentifikasi, diprioritaskan dan ditangani dalam kawasan ASEAN.30

Tugas dan tantangan yang ada dalam ACCP diantaranya adalah bantuan teknis dan keuangan substansial akan diperlukan dalam proses pengembangan dan promosi kebijakan nasional mengenai perlindungan konsumen, pengaturan hukum dan kelembagaan di masing-masing negara pada perlindungan konsumen harus bersinergi. Di era globalisasi dan integrasi regional saat ini, akan ditemukan kompleksitas tambahan dan kesulitan dalam perlindungan konsumen untuk dikelola oleh semua negara anggota di ASEAN. Khususnya dalam meningkatkan volume dan nilai domestik dan perdagangan lintas negara serta kemajuan yang

konstan dan cepat dalam teknologi komunikasi, produksi dan perdagangan e-commerce.

Idealnya perlindungan konsumen yang diberikan kepada masyarakat haruslah bersifat preventif, yaitu perlindungan sebelum konsumen mengalami kerugian atau menderita sakit akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Kenyataannya, dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen di Indonesia saat ini hal tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Ini disebabkan oleh berbagai faktor yang saling terkait dan ketergantungan satu sama lain. Implementasi di masyarakat adalah perlindungan konsumen yang masih bersifat represif, yaitu perlindungan ketika konsumen telah mengalami kerugian atau menderita sakit akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa. Lembaga yang diharapkan dapat berperan untuk melindungi masyarakat konsumen secara preventif adalah Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), sedangkan lembaga yang berperan secara represif adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).31

D. Penutup

Di era globalisasi, ketika batas-batas suatu negara akan menjadi kabur, di satu pihak terjadi keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat. Adanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), membuat masyarakat Indonesia dimudahkan dalam pembelian barang dan jasa. Di sisi lain jangkauan pembelian barang dan jasa melalui transaksi e-commerce berpotensi menimbulkan

30 Ibid.31 Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementrian Perdagangan, Loc.cit.

Page 37: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

15Urgensi Perlindungan Hukum Konsumen dan Penyelesaian Sengketa E-Commerce ... (Arfian Setiantoro dkk.)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

sengketa. Berdasarkan data YLKI tahun 2017, YLKI telah menerima laporan pengaduan 642 aduan, dengan 101 berasal dari belanja online. Konsumen di era MEA diharuskan lebih selektif dalam transaksi jual beli e-commerce. Sejalan dengan hal tersebut, menjadi konsumen cerdas dengan menjalankan hak dan kewajiban konsumen sesuai dengan UUPK di era MEA sangat diperlukan agar membantu mengurangi risiko atau sengketa yang timbul dari transaksi e-commerce. Konsumen cerdas, dituntut selalu mencari alternatif penyelesaian sengketa yang lebih win-win solution.

Perlindungan hukum bagi konsumen untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang bersifat represif, yaitu dengan perlindungan ketika konsumen telah mengalami kerugian atau menderita sakit akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa. Lembaga yang diharapkan dapat berperan penting untuk melindungi masyarakat/konsumen adalah bukan hanya lembaga peradilan yang bersifat litigasi yang berada pada peradilan umum tapi lembaga non-litigasi seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan lembaga arbitrase lainnya. Melalui ODR salah satu alternatif penyelesain sengketa transaksi e-commerce, ODR lahir dari sinergisitas antara Alternative Disputes Resolution (ADR) dan Information of Computer Technology (ICT) sebagai metode atau langkah untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam proses online yang mana penyelesaian secara litigasi sangat tidak memungkinkan. Jika kasus e-commerce lebih mengarah lintas batas Negara di ASEAN, maka bisa menggunakan ACCP karena sesuai amanat yang dikembangkan dalam roadmap MEA mengenai perlindungan konsumen.

Idealnya perlindungan konsumen yang diberikan kepada masyarakat haruslah bersifat

preventif, misalnya adanya sosialisasi kebijakan perlindungan konsumen terhadap konsumen dan pelaku usaha di berbagai daerah sebagai upaya dalam meminimalisir penggunaan barang yang tidak sesuai dengan standar barang yang berlaku masing-masing negara. Pemberian edukasi kepada konsumen melalui klinik konsumen terpadu. Pelatihan motivator perlindungan konsumen di daerah sebagai upaya menumbuh-kembangkan konsumen untuk memiliki sifat kritis, cerdas, dan berhati-hati dalam mengkonsumsi atau memanfaatkan barang dan/atau jasa. Serta perlunya sinergisitas antar setiap kebijakan atau peraturan yang dibuat pemerintah agar tidak tumpang tindih dan selalu memberikan keleluasaan adanya penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Daftar Pustaka

Buku Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum

Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja Grafindo,2014).

Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan: Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase, (Jakarta: Visimedia, 2011).

Francis Fukuyama, The End of History and The Last of Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Terjemahan oleh: Amrullah, (Yogyakarta: Qalam,2004).

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014).

Roni Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1982).

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004).

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2009)

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2010).

Page 38: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

16 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 1–17

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Makalah/Artikel/Laporan/Hasil PenelitianArfian Setiantoro, Perlindungan Hukum Terhadap

Konsumen Atas Ketidaksesuaian Harga Dalam Pembayaran Argometer di Taksi, (Semarang: Skripsi, Universitas Diponegoro,2016).

Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementrian Perdagangan, Pilar-Pilar Peningkatan Daya Saing & Perlindungan Konsumen (Jakarta:2011).

InternetAbdul Manap Pulungan, Indonesia dan

MEA: Bertarung dengan Tangan Kosong, h t t p s : / / w w w . c n n i n d o n e s i a . c o m /ekonomi/20151231160041-79-101461/indonesia-dan-mea-bertarung-dengan-tangan-kosong (diakses pada 13 Februari 2018).

Adel Chandra, Penyelesaian Sengketa Transaksi Elektronik Melalui Online Dispute Resolution (ODR) Kaitan Dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 Tahun 2008, http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Journal-3653-adel-chandra.pdf, (diakses pada 14 Februari 2018).

Adinda Ade Mustami, Sumbangan Transaksi E-Commerce ke PDB Diperkirakan Hanya 0,75%, http://nasional.kontan.co.id/news/sumbangan-transaksi-e-commerce-ke-pdb-diperkirakan-hanya-075 (diakses pada 15 Februari 2018).

Admin PilihKartu.com, E-Wallet Bentuk Lain dari E-Money yang Sebaiknya Kamu Tahu, https://pilihkartu.com/tips-kartu-kredit/ewallet-bentuk-lain-dari-emoney-yang-sebaiknya-kamu-tahu (diakses pada 01 April 2018).

Agustin Setyo Wardani, Pemerintah Terbitkan Roadmap E-Commerce, Ini 8 Aspek Regulasinya, http://tekno.liputan6.com/read/2648966/pemerintah-terbitkan-roadmap-e-commerce-ini-8-aspek-regulasinya (diakses pada 15 Februari 2018).

Association of Southeast ASIAN Nations, ASEAN Economic Community Blueprint, (Jakarta: Asean Secretariat Consumer Protection, 2008) http://www.aec.com.mm/download/Consumer%20Protection.pdf (diakses pada 13 Februari 2018).

Bappenas, Hari Konsumen Nasional 2016: Momentum Tingkatkan Martabat Konsumen, https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/hari-konsumen-nasional-2016-momentum-tingkatkan-martabat-konsumen/ (diakses pada 13 Februari 2018).

Damianus Andreas, BPKN, Badan Perlindungan Konsumen yang Tak Beken, https://tirto.id/bpkn-badan-perlindungan-konsumen-yang-tak-beken-cyei (diakses pada 12 Februari 2018).

Farizal F. Kamal, Cyber Business, cet. 3. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999), Artikel dalam Jurnal Online Tetanoe Bernada, Upaya Perlindungan Hukum Pada Konsumen Dalam Transaksi E-commerce Untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Digital Di Indonesia,https://www.researchgate.n e t / p u b l i c a t i o n / 3 1 7 5 6 2 1 0 7 _ U PAYA _PERLINDUNGAN_HUKUM_PADA_KONSUMEN_DALAM_TRANSAKSI_ECOMMERCE_UNTUK_MENDUKUNG_PERTUMBUHAN_EKONOMI_DIGITAL_DI_INDONESIA_LEGAL_PROTECTION_F O R _ E C O M M E R C E _ T R A N S A C T I O N ’ S _CONSUMERS_TO_SUPPORT_THE_DIGITAL (diakses pada 01 April 2018).

Felikas Petrauskas, Egle Kbartiene. Online Dispute Resolution in Consumer Disputes. (Jurisprudencia: Mykolas Romeris Universitty, 2011), Artikel dalam Jurnal Online Gagah Satria Utama, Online Dispute Resolution: a Revolution in Modern Law Practice, https://law.uii.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/V-01-No-03-online-dispute-resolution-a-revolution-in-modern-law-practice-gagah-satria-utama.pdf (diakses pada 01 April 2018).

Katsh, E Rifkin, Online Disputes Resolution: Resolving Conflicts in Cyberspace (San Fransisco: Jossey Bass, 2001), Artikel dalam Jurnal Online Gagah Satria Utama, Online Dispute Resolution: a Revolution in Modern Law Practice, https://law.uii.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/V-01-No-03-online-dispute-resolution-a-revolution-in-modern-law-practice-gagah-satria-utama.pdf (diakses pada 01 April 2018).

Mansur, D. M. A., Dan E. Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Bandung: Refika Aditama, 2005), Artikel dalam Jurnal online: Urgensi Regulasi Komprehensif E-Commerce di Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), http://ojs.uma.ac.id/index.php/mercatoria/art ic le/view/648, (diakses pada 11 Februari 2018).

Mohammad Ikbal, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik (E-Commerce) Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, https://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/aldli/article/view/223 (diakses pada 11 Februari 2018).

Page 39: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

17Urgensi Perlindungan Hukum Konsumen dan Penyelesaian Sengketa E-Commerce ... (Arfian Setiantoro dkk.)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Philip F. E. Adipraja, Sri A.K. Dewi, & Lia Farokhah Sekolah, Analisis Efektifitas dan Keamanan E-Commerce di Indonesia dalam Menghadapi MEA, Tinggi Manajeman Informatika & Komputer Perguruan Tinggi ASIA, (Malang: Mantri, 2007),https://www.researchgate.net/profile/Philip_Adipraja/p u b l i c a t i o n / 3 0 3 6 9 9 0 3 8 _ A N A L I S I S _EFEKTIFITAS_DAN_KEAMANAN_ECOMMERCE_DI_INDONESIA_DALAM_MENGHADAPI_MEA/links/5982c8b8458515a60df81139/ANALISIS-EFEKTIFITAS-DAN-KEAMANAN-ECOMMERCE-DI-INDONESIA-DALAM-MENGHADAPI-MEA.pdf (diakses pada 11 Februari 2018).

Pramdia Arhando Julianto, YLKI: Meski Dirugikan, Konsumen Indonesia Takut Melapor, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/19/153100426/ylki--meski-dirugikan-konsumen-indonesia-takut-melapor (diakses pada 01 April 2018).

Risky Maulana, Tren Perilaku Konsumen Belanja Online Indonesia Tahun 2018 Menurut iPrice, https://id.techinasia.com/tren-peri laku-konsumen-online-indonesia-menurut-iprice (diakses pada 13 Februari 2018).

Page 40: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

18 Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41

”Halaman ini dikosongkan”

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Page 41: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

19Urgensi Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa antara Klub Sepak Bola dan Pesepak Bola ... (Eko Noer Kristiyanto )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

URGENSI PEMBENTUKAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA KLUB SEPAK BOLA DAN PESEPAK BOLA PROFESIONAL DALAM RANGKA MENDUKUNG

PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL(Urgency of The Establishment of Dispute Settlement Body Between Football Clubs and

Professional Football Players in Order to Support National Economic Development)

Eko Noer KristiyantoBadan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM

Kementerian Hukum dan HAM RIJalan HR. Rasuna Said Kav. C-1 , Jakarta, Indonesia

Email: [email protected]

Naskah diterima: 20 Februari 2018; revisi: 5 April 2018; disetujui: 17 April 2018

Abstrak

Sepak bola profesional telah menjadi bisnis dan industri yang mendukung upaya kesejahteraan umum dalam konteks pembangunan ekonomi. Namun sengketa yang seringkali terjadi antara pemain dan klub membuat suasana tidak kondusif. Hal ini bisa berdampak pada minat investor yang ingin terlibat dalam industri sepak bola. Tulisan ini mencoba memberi gambaran tentang eksistensi lembaga yang berpotensi untuk mengatasi persoalan ini. Penelitian dilakukan dengan metode normatif yang diperkuat oleh hasil wawancara. Ternyata lembaga yang ada sekarang tidak relevan dan tidak efektif untuk menjadi solusi, perlu dibentuk lembaga arbitrase yang khusus menangani sengketa antara pemain dan klub. Tidak ada masalah dalam pembentukan lembaga ini, karena mendapat legitimasi dari komunitas sepak bola maupun negara.Kata Kunci: sepak bola profesional, sengketa, arbitrase, komunitas

AbstractProfessional football has become a business and industry that supports the general welfare in the context of economic development. But the disputes that often occur between players and clubs make the atmosphere unconducive. This could have an impact on the interest of investors who want to get involved in the football industry. This paper tries to give an idea of the existence of potential institutions to solve this problem. The research was conducted by a normative method which was strengthened by intervies. It turns out that the existing institutions are irrelevant and ineffective to be a solution, it is necessary to establish an arbitration institution that specifically handles disputes between players and clubs. There is no problem in establishing this institution, as it gets the legitimacy of the football community as well as the country. Keywords: professional football, disputes, arbitration, community

Page 42: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

20 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 19–33

Volume 7, Nomor 1, April 2018

A. Pendahuluan

Pembangunan ekonomi merupakan bagian penting dari pembangunan nasional, pembangunan ekonomi berkaitan erat dengan tujuan negara yang dinyatakan dalam konstitusi yaitu memajukan kesejahteraan umum. Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 disebut juga konstitusi ekonomi, salah satu ciri terpentingnya sebagai konstitusi ekonomi adalah bahwa UUD 1945 mengandung ide negara kesejahteraan (welfare state).1 Tujuan utama negara Indonesia yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum (promoting public welfare) dan memaksimalkan kesejahteraan sosial (to maximize social welfare).2 Negara berfungsi menciptakan syarat dan kondisi serta infrastruktur yang cukup untuk memperoleh kesejahteraannya. Pemerintah dibentuk bukan untuk menciptakan kesejahteraan umum, melainkan memajukan kesejahteraan umum.3 Kesejahteraan umum adalah hal yang terus diupayakan secara terus menerus dalam konteks perkembangan zaman, parameternya pun menyangkut banyak aspek namun tentu yang paling utama adalah aspek ekonomi.

Dalam konteks welfare state, negara berkewajiban menjamin ketersediaan akses menuju kesejahteraan bagi warga negaranya,

upaya negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum dilakukan mencakup berbagai bidang kehidupan dalam perspektif dan dimensi yang luas, termasuk di antaranya menjamin kegiatan-kegiatan yang merangsang geliat ekonomi masyarakat, termasuk di antaranya adalah kegiatan olah raga profesional, olah raga dalam konteks global semakin modern dan merambah sektor industri dan ekonomi, sekaligus menjadi salah sarana memajukan kesejahteraan umum melalui distribusi pendapatan dan determinasi ekonomi dari berbagai lapisan masyarakat melalui berbagai sektor.

Industri olah raga adalah industri yang berpotensi besar untuk menggerakkan perilaku ekonomi masyarakat secara kolektif. Dengan demikian industri olah raga berpotensi sebagai sektor yang dapat memberikan dampak signifikan bagi pengentasan kemiskinan dan penanggulangan pengangguran. Industri olah raga perlu digugah dan didukung melalui serangkaian kebijakan sistematis dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, dan investor.4

Kompetisi sepak bola profesional sebagai kompetisi yang melibatkan cabang olah raga yang paling digemari di seluruh dunia memberi sumbangsih dan kesempatan yang sangat besar bagi pemajuan kesejahteraan umum.5

Kompetisi sepak bola profesional menciptakan kesempatan kerja yang sangat besar bagi pemain

1 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Jajasan Prapantja, 1960), hlm.298, hal ini ditegaskan pula dalam pidato pengukuhan guru besar Prof. Jimly Asshiddiqie pada FH UI pada 13 Juni 1998.

2 Robert R Goodin, Responsibility Right & Welfare, The Theory of the Welfare State (Colorado: Westview Press, 1988), hlm.22.

3 Pengertian tentang kesejahteraan umum dapat dilihat dari tingkat pendapatan suatu negara dan distribusi ekonomi di antara warga negara.

4 Agus Kristiyanto, ”Penguatan Kebijakan Publik Usaha Pengentasan Kemiskinan Melalui Pengembangan Industri Mikro Olah Raga”, Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 12, Nomor 2 (2011), hlm.211.

5 Hinca IP Pandjaitan, Kedaulatan Negara VS Kedaulatan FIFA (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm.4

Page 43: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

21Urgensi Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa antara Klub Sepak Bola dan Pesepak Bola ... (Eko Noer Kristiyanto )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

sepak bola, pengelola sepak bola, pebisnis sepak bola, pengusaha kuliner, pengusaha konveksi, pengusaha transportasi, pengusaha media, pengusaha hotel, pengusaha infrastruktur, dan pelaku-pelaku ekonomi lainnya.6 Ada lebih dari 270 juta orang di dunia yang aktif dalam sepak bola, mencakup pemain dan perangkat sepak bola. Dari 85 Juta pemain yang aktif di sepak bola asia, ada sekitar 7.094.000 pemain di Indonesia.7 Tekad dan komitmen mengarahkan sepak bola Indonesia ke arah industri ditegaskan dengan mewajibkan seluruh klub sepak bola peserta kompetisi profesional untuk berstatus badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang tujuan utamanya adalah laba. Klub dituntut untuk mandiri dan mengoptimalkan pendapatan dari lima aspek yaitu sponsorship, hak siar televisi, tiket pertandingan, merchandise, dan penjualan pemain.8 Melalui determinasinya kompetisi sepak bola profesional di Indonesia jelas memiliki pengaruh terhadap geliat ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kompetisi sepak bola profesional yang digulirkan mampu meningkatkan nilai pendapatan kotor Indonesia

senilai 139 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar 1,8 triliun rupiah.9

Namun ternyata dampak positif dalam penyelenggaraan sepak bola di Indonesia tidak diimbangi dengan instrumen dan kelembagaan untuk menyelesaikan konflik dan sengketa di antara pelaku sepak bola itu sendiri. Padahal ini penting untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan HAM bagi para pelaku sepak bola utamanya para pemain sepak bola. Memang betul Republik Indonesia telah memiliki sistem peradilan dan lembaga peradilan sendiri yang berada di bawah Mahkamah Agung. Namun statuta FIFA menyatakan bahwa segala macam konflik dan sengketa stakeholders tidak boleh dibawa ke pengadilan negara. Federasi Sepak bola Indonesia sebagai otoritas sepak bola tertinggi di Indonesia harus menjamin hal ini dilaksanakan jika tak ingin mendapat hukuman dari FIFA, karena FIFA memang tak menghendaki adanya intervensi negara dalam permasalahan yang dihadapi anggotanya.10 Namun di lain pihak PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) selaku federasi ternyata

6 Eko Noer Kristiyanto, pengamat hukum olah raga mengatakan: ”Tak dapat dipungkiri, sebagai permainan paling populer di dunia sepak bola telah menyentuh banyak aspek kehidupan, eksistensi sepak bola menjadi lebih dari sekedar sebuah olah raga ketika melihat keterkaitannya dengan dunia industri, tak hanya industri besar seperti penyiaran, otomotif, perbankan, penerbangan dll, namun juga industri kecil seperti konvenksi, marchendise dan kuliner rumahan. Terlebih geliat ekonomi yang terintegrasi dalam penyelenggaraan sepak bola itu sendiri, seperti nafkah bagi mereka yang berada di lingkaran football family (pemain, pelatih, official, wasit, hakim garis dll) , sponsorship, penjualan tiket pertandingan, media, hingga elemen yang terkadang dianggap remeh seperti penjual kaos emperan dan aktivitas perparkiran di stadion, semua dinamika ekonomi itu terjadi karena adanya pertandingan sepak bola.”, Lihat Eko Noer Kristiyanto, ”Sepak Bola dan Kesejahteraan Umum”, OPINI, HU tribun jabar 20 Agustus 2015.

7 Berdasar survei yang dilakukan FIFA, dapat dilihat dalam http://www.fifa.com/mm/document/fifafacts/bcoffsurv/bigcount.staatpackage_7024.pdf, dalam Hinca IP Pandjaitan, Kedaulatan Negara VS Kedaulatan FIFA, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm.5.

8 Eko Noer Kristiyanto, Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam Pengalokasian Dana APBD Kepada Klub Sepak Bola Peserta Liga Indonesia (Bandung: UNPAD, 2008).

9 Terungkap dalam jumpa pers yang dilakukan oleh PT.GTS selaku operator dari kompetisi TSC 2016 pada tanggal 29 Juni 2016, data tersebut didapatkan melalui kerjasama antara PT.GTS dan PricewaterhouseCoopers (PwC), perusahaan audit dan konsultan finansial asal London Inggris. Lihat HU TopSkor edisi Kamis 30 Juni 2016, hlm.15.

10 Pasal 13 dan 17 statuta FIFA

Page 44: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

22 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 19–33

Volume 7, Nomor 1, April 2018

tak menyediakan solusi bagi permasalahan dan sengketa yang terjadi khususnya antara pemain dan klub. Sudah menjadi hal lumrah jika klub sepak bola di Indonesia tak memenuhi hak-hak pemain terutama terkait pembayaran gaji. Ketika akan menuntut klub maka pemain seringkali kebingungan karena ketiadaan lembaga peradilan yang jelas. Permasalahan ini pun sebenarnya terjadi di luar negeri.11 Hanya saja di negara yang sepak bolanya maju seringkali masalah bisa tuntas karena ada lembaga penyelesaian sengketa yang jelas.

Awal tahun 2017 menjadi momentum penting bagi sepak bola Indonesia, karena akan dicanangkan pembentukan NDRC (National Dispute Resolution Chamber). Lembaga ini kelak akan menangani dan menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pemain dan klub sepak bola di Indonesia. Dalam tugas mereka nanti, NDRC bertindak berdasarkan aduan. Bentuk badan ini layaknya pengadilan arbitrase, tetapi khusus sepak bola dan bersifat independen, meski berada dalam naungan PSSI. Ada tiga substansi sengketa yang dapat diselesaikan di badan ini, yaitu terkait dengan kontrak pemain di klub, kompensasi latihan (training compensation), atau kompensasi yang diberikan klub ketika mengikat kontrak pemain secara profesional kepada klub tempat pesepak

bola dilatih saat masih berstatus amatir di usia muda, serta kompensasi solidaritas, yaitu mekanisme penghargaan transfer antarklub.12 FIFA juga memberi bantuan kepada PSSI untuk pembentukan NDRC ini senilai 40 ribu dolar AS.13

Pembentukan lembaga untuk menyelesaikan sengketa di dunia sepak bola ini tentu sangat penting mengingat begitu banyak persoalan yang terus berulang dan itu semua terkait dengan hukum serta hak individu. Lalu sejauh apa urgensi pembentukan lembaga ini mengingat Indonesia pun mengakui eksistensi lembaga-lembaga peradilan dan arbitrase termasuk arbitrase olah raga?

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif, metode penelitian hukum normatif pada dasarnya meneliti kaidah-kaidah hukum dan asas-asas hukum14, penelitian normatif akan mencoba menemukan suatu aturan hukum, prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi15, khususnya terkait teori-teori tentang pluralisme hukum dan mekanisme penyelesaian sengketa di luar peradilan juga hubungannya dengan eksistensi hukum nasional yang berlaku. Juga menjelaskan

11 Nyon, ”Klub Tak Bayar Gaji Pemain Ada Juga di Eropa”, detikSport, https://sport.detik.com/sepakbola/bola-dunia/2296988/klub-tak-bayar-gaji-pemain-juga-ada-di-eropa , diakses 11 Januari 2018.

12 Satria Sakti Utama, ”Sengketa Sepak Bola Kini Ditangani NRDC”, Media Indonesia, http://www.mediaindonesia.com/news/read/140721/sengketa-sepak-bola-kini-ditangani-ndrc/2018-01-15, (diakses 15 Februari 2018).

13 PSSI, ”Hasil Pertemuan FIFA dengan PSSI Terkait NDRC”, http://www.pssi.org/news/hasil-pertemuan-fifa-dengan-pssi-terkait-ndrc, PSSI, diakses 11 Januari 2018.

14 Bagir Manan, ”Penelitian Terapan di Bidang Hukum”, (disampaikan pada Lokakarya Peranan Naskah Akademis Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, BPHN, Jakarta, 9 – 11 November 1993), hlm.7. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka yaitu dengan cara menelaah permasalahan dengan berpedoman pada data sekunder lihat Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).

15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 35.

Page 45: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

23Urgensi Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa antara Klub Sepak Bola dan Pesepak Bola ... (Eko Noer Kristiyanto )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

bagaimana suatu penyelenggaraan kompetisi sepak bola profesional ternyata berkontribusi positif terhadap salah satu tujuan negara yang dinyatakan dalam konstitusi yaitu memajukan kesejahteraan umum dan berdampak pada pembangunan ekonomi nasional. Penelitian ini menelaah permasalahan dengan berpedoman pada data sekunder yang dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum dan bahan non-hukum yang berkaitan dengan judul penelitian. Bahan hukum sekunder yang dimaksud adalah doktrin, ajaran para ahli, hasil karya ilmiah para ahli, berita-berita dan hasil wawancara pihak terkait yang diperoleh dari surat kabar serta situs-situs internet yang relevan dengan judul penelitian.

Data di atas dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library research), penelurusan melalui media internet (online research), dalam hal ini penulis menitikberatkan dalam konteks jaminan hukum dan penyelesaian sengketa akan menjamin pula kualitas kompetisi sepak bola dalam rangka memajukan kesejahteraan umum yang berdampak pula terhadap pembangunan ekonomi nasional.

C. Pembahasan

1. Sengketa Antara Pemain dan Klub

Jika timbul sengketa dalam konteks formiil biasanya orang memilih untuk

menyelesaikannya di jalur pengadilan ataupun luar pengadilan seperti arbitrase sebagai forum alternatif.16 Munculnya sengketa jika salah satu pihak menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak berlaku demikian. Pencarian berbagai jenis proses dan metode untuk menyelesaikan sengketa yang muncul adalah sesuatu yang urgen dalam masyarakat. Para ahli non hukum banyak mengeluarkan energi dan inovasi untuk mengekspresikan berbagai model penyelesaian sengketa (dispute resolution). Berbagai model penyelesaian sengketa, baik formal maupun informal, dapat dijadikan acuan untuk menjawab sengketa yang mungkin timbul asalkan hal itu membawa keadilan dan kemaslahatan.17

Statuta FIFA yang tak menghendaki terlibatnya negara termasuk organ yudisial membuat arbitrase menjadi pilihan paling logis bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa, pelembagaan arbitrase sudah sangat baik di negara-negara yang sepak bolanya sudah maju. Hal ini disebabkan banyak faktor, termasuk industrialisasi sepak bola yang membuat kepastian hukum menjadi penting serta tingkat edukasi yang baik termasuk kesadaran dan pemahaman hukum.

Bicara hubungan tentang hak dan kewajiban antara pemain dan klub maka akan selalu terkait dengan kontrak.18 Masalah tunggakan

16 Yansen Darmanto Latip, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum Dalam Kontrak Internasional (Jakarta: UI, 2002) hlm. 243.

17 Ibid.18 Jika bicara kontrak, maka tidak dapat terlepas dari hukum perdata. Kontrak merupakan bentuk lain dari perjanjian

yang menurut Prof. Subekti, adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana kedua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dalam hal ini, kontrak pemain adalah perjanjian antara pihak klub dengan pemain sepak bola, tuk melaksanakan sesuatu hal yang apalagi kalau bukan bermain sepak bola. Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum itu sendiri adalah timbulnya hak dan kewajiban. Jika pemain berkewajiban bermain di dalam pertandingan resmi klub, maka kewajiban klub adalah membayar si pemain. Dalam ilmu hukum perdata, kewajiban yang tidak dijalankan atau dipenuhi adalah wanprestasi (ingkar janji). Kondisi itu yang akan menjadi sengketa dan harus diselesaikan oleh para pihak yang terlibat di dalam kontrak.

Page 46: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

24 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 19–33

Volume 7, Nomor 1, April 2018

gaji hanyalah satu dari sekian banyak masalah yang mungkin terjadi. Selama itu diatur di dalam kontrak, maka para pihak yang terlibat dalam hal ini pihak klub dan pihak pemain, adalah subjek utama di dalam sengketa. Itulah mengapa, kontrak yang baik adalah yang turut memuat mekanisme penyelesaian sengketa. Berdasarkan kontrak yang umum dibuat oleh para pemain bola di Indonesia, diketahui bahwa sengketa yang terjadi wajib diselesaikan secara kekeluargaan. Jika dengan cara kekeluargaan masih belum beres, maka tahap selanjutnya adalah penyelesaian melalui ”prosedur keluhan” sebagaimana tertuang pada kontrak di atas. Adapun prosedur tersebut dapat dimaknai sebagai keterlibatan PSSI selaku pihak ketiga di dalam kontrak pemain.19 Dalam ketentuan Pasal 1317 KUHPerdata, kedua pihak yang telah bersepakat dapat pula mengadakan perjanjian untuk melibatkan pihak ketiga. Hal ini sesuai dengan semangat hukum perjanjian yang menganut sistem terbuka. Artinya, hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat tuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, sepanjang tak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

Dalam hal melibatkan federasi sepak bola di dalam kontrak pemain, hal ini masuk akal dan tentu saja sama sekali tidak bertentangan

dengan ketertiban umum apalagi kesusilaan. Pasal 4 ayat (1) butir d Statuta PSSI menyatakan bahwa PSSI bertujuan untuk melindungi Anggota. Adapun yang dimaksud ”anggota” dalam hal ini adalah klub-klub yang menjadi peserta di kompetisi yang diselenggarakan PSSI. Sehingga, penting bagi PSSI untuk memberi perlindungan bagi klub pada setiap aktivitasnya termasuk yang tertuang di dalam kontrak pemain.20 Dalam rangka melindungi para anggotanya, PSSI juga membentuk suatu badan peradilan melalui Pasal 69 Statuta PSSI yang menangani semua perselisihan internal nasional antara PSSI, anggota-angotanya, pemain-pemain, petugas dan pertandingan serta agen pemain yang tidak berada di bawah kewenangan badan-badan hukumnya.21 Tentu saja peradilan itu harus berada di luar peradilan umum yang dikuasai Negara.22

2. Kasus Bambang Pamungkas

Sebagai anggota PSSI, wajar apabila klub mendapat perlindungan dari federasi. Namun pemain seringkali tak mendapat perlindungan dan pendampingan yang layak saat berhadapan dengan klubnya. Persoalan inilah yang mendorong dibentuknya Asosiasi Pemain Sepakbola Profesional Indonesia (APPI).23 Dalam riwayatnya, APPI sudah sering mengadvokasikan kasus-kasus yang menimpa

19 Agung Putranto Wibowo, ”Penyelesaian Sengketa Kontrak Pemain: Kewenangan Para Pihak”, Kumparan, https://kumparan.com/agung-putranto-wibowo/penyelesaian-sengketa-kontrak-pemain-kewenangan-para-pihak, diakses 11 Januari 2018.

20 Agung Putranto Wibowo , Op.cit. 21 Agung Putranto Wibowo , Op.cit.22 Awal tahun 2017, PSSI menerima injeksi dana sebesar USD 40 ribu dari FIFA. Adapun uang itu dimandatkan

untuk membentuk National Dispute Resolution Chamber (NDRC). NDRC ini nantinya berfungsi sebagai badan arbitrase dengan basis sengketa yang dibahas yakni kontrak klub dan pemain. FIFA menambahkan, agar nantinya lembaga ini diisi oleh berbagai unsur perwakilan, baik itu dari pemain, perwakilan klub, dan perwakilan PSSI.

23 APPI memiliki misi untuk melindungi, meningkatkan, dan menegosiasikan kondisi, hak dan status dari semua pemain profesional yang bermain dan berkontrak di Indonesia.

Page 47: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

25Urgensi Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa antara Klub Sepak Bola dan Pesepak Bola ... (Eko Noer Kristiyanto )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

pemain profesional. Contoh yang paling terkenal adalah ketika APPI mendampingi Bambang Pamungkas dan Leo Saputra menggugat PT Persija Jaya Jakarta ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 2013. setelah merasa diabaikan manajemen klub Persija terkait pelunasan gaji yang tertunggak. Dalam rilis yang disampaikan asosiasi pesepakbola profesional Indonesia (APPI), gugatan tersebut dilayangkan dan didaftarkan ke kepaniteraan Perdata Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor gugatan: 523/PDT.G/2013/PN.JKT.PST dan 522/PDT.G/2013/PN.JKT.PST.

Gugatan yang diserahkan tim bantuan hukum APPI ini terpaksa dilayangkan, karena tidak ditemukannya penyelesaian permasalahan pembayaran kewajiban terhadap kedua pesepakbola tersebut oleh PT Persija Jaya Jakarta melalui jalur negosiasi. Ketika itu Persija telah lebih dari satu tahun memiliki tunggakan gaji terhadap sejumlah pemain selama beberapa bulan. Berbagai jalur komunikasi dan musyawarah telah ditempuh kedua pesepakbola tersebut bersama dengan APPI, dan manajemen klub hanya bisa memberikan janji tanpa membuahkan hasil yang diharapkan. Akibatnya, Bambang dan Leo menempuh jalur hukum.24 Apa yang dilakukan oleh Bambang Pamungkas ini adalah suatu terobosan, karena cara kekeluargaan dan negosiasi yang diperintahkan federasi ternyata

tak membuahkan hasil. Memang benar statuta FIFA dan PSSI melarang sengketa dibawa ke pengadilan negara, namun di lain pihak PSSI pun tak memiliki solusi untuk menyelesaikan persoalan karena 3 organ yudisial yang dimiliki PSSI tidak memiliki kewenangan terkait persoalan ini.25 Langkah yang ditempuh oleh Bambang Pamungkas ini dijamin oleh hukum nasional Indonesia yang menyatakan bahwa pengadilan tak boleh menolak perkara yang masuk dengan alasan tak memiliki kewenangan mengadilinya.26 Pengadilan adalah sarana untuk mengupayakan hukum, tempat perlindungan hukum, sekaligus tempat mencari keadilan bagi warga negara yang tersangkut suatu sengketa.27

Langkah yang ditempuh oleh Bambang Pamungkas diharapkan mampu menghasilkan preseden untuk kasus-kasus serupa. Namun ternyata kasus ini berakhir damai sebelum adanya putusan. Klub Persija Jakarta dan Bambang Pamungkas akhirnya sepakat menyelesaikan sengketa dengan jalan damai. Persija bersedia memenuhi tuntutan Bambang Pamungkas, dan Bambang pun mencabut berkas gugatan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.28 Kasus Bambang Pamungkas adalah suatu perkecualian, nama besar dan relasinya dapat membuatnya melakukan perlawanan terhadap klub, padahal untuk kasus-kasus serupa di Indonesia hampir dapat dipastikan

24 Donny Afroni, ”Bambang Pamungkas dan Leo Saputra Gugat Persija Jakarta”, Goal, http://www.goal.com/id/news/1387/nasional/2013/11/19/4418163/bambang-pamungkas-leo-saputra-gugat-persija-jakarta, diakses 11 Januari 2018.

25 Tiga organ yang dimaksud adalah Komisi Disiplin, Komisi Banding, dan Komisi Etik, Ketiganya hanya menegakkan aturan terkait sepak bola, baca: Eko Noer Kristianto, ”PSSI dan Organ Yudisialnya”, Pikiran Rakyat, http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2017/08/13/pssi-dan-organ-yudisialnya-407254, diakses 11 Januari 2018.

26 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.27 Rusli Muhammad, Kemandirian Pengadilan Indonesia (Yogyakarta: FH UII Press, 2009) hlm. 13.28 Eko Noer Kristiyanto, ”Bambang Pamungkas dan Bobotoh”, Pikiran Rakyat, http://www.pikiran-rakyat.com/

kolom/2017/10/29/bambang-pamungkas-dan-bobotoh-persib-412469, diakses 11 Januari 2018.

Page 48: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

26 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 19–33

Volume 7, Nomor 1, April 2018

bahwa pemain takkan memiliki upaya karena daya tawar yang rendah.29

Dalam konteks internasional perseteruan antara pemain dan klub yang menghasilkan hukum yang diterima luas adalah tentang Aturan Bosman (Bosman ruling). Jean Marc Bosman bukanlah pemain hebat ataupun memiliki karir istimewa, namun dia telah melakukan sebuah revolusi dalam sepakbola. Langkah hukumnya telah mengubah struktur transfer pemain secara radikal. Saat itu (menjelang akhir 80-an) Bosman ingin hengkang dari klub lamanya di Belgia, namun ketika itu tidak dikenal status free transfer, sehingga seorang pemain yang ingin pindah klub nasibnya tetap bergantung kepada klub walau masa kontraknya telah habis. Kemudian Bosman melakukan langkah hukum dengan menggugat klubnya ini ke pengadilan. Setelah melalui proses yang cukup panjang, puncaknya adalah pada tahun 1995 ketika mahkamah Uni Eropa memenangkan gugatannya, maka sejak itu pula setiap pemain yang telah habis kontraknya berhak menentukan masa depannya sendiri.

Setelah kejadian-kejadian tersebut, FIFA dan federasi di setiap negara sangat menghindari persinggungan dengan sistem peradilan negara karena memang sepak bola memiliki lembaga yudisialnya sendiri untuk memutus seluruh sengketa stakeholders. Oleh karena itu penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti negosiasi dan arbitrase selalu menjadi prioritas dan berkembang pesat di negara-negara yang

sepak bolanya maju. Momentum bagi Indonesia hadir ketika FIFA mendukung pembentukan National Dispute Resolution Chamber (NDRC), ini dianggap solusi logis karena federasi belum memiliki lembaga dengan karakteristik NDRC namun di lain pihak federasi tak menghendaki turut campurnya pengadilan negara dalam sengketa klub dan pemain sepak bola.

3. Arbitrase Olah Raga

Dunia kini telah menjadi sangat global, komunitas-komunitas memiliki peranan dan kedaulatannya sendiri. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam sistem demokrasi modern dewasa ini, sistem kekuasaan dalam kehidupan bernegara dapat dibedakan dalam tiga wilayah atau domain, yaitu negara (state), pasar (market), dan masyarakat (civil society). Ketiga wilayah atau domain kekuasaan itu memiliki logika dan hukum tersendiri.30 Inilah yang disebut Jimly sebagai teori organizational imperatives. Teori organizational imperatives ini berkaitan erat dengan teori kedaulatan pluralis, teori kedaulatan pluralis menyatakan bahwa kedaulatan itu tak selalu harus diartikan absolut dan menjadi milik negara semata. Kedaulatan dapat didesentralisasikan kepada komunitas masyarakat yang mampu melakukannya untuk memajukan kesejahteraan umum tanpa harus menciderai kedaulatan itu sendiri.31 Asumsi lain yang mendasari adalah pendapat bahwa setiap individu menjadi anggota satu

29 Eko Noer Kristiyanto, ”Bambang Pamungkas dan Bobotoh”, Pikiran Rakyat, http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2017/10/29/bambang-pamungkas-dan-bobotoh-persib-412469, diakses 11 Januari 2018.

30 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 43.

31 Para penganut teori hukum pluralis ini diantaranya adalah: Andrew Vincent dalam bukunya The theories of the state, juga HJ. Laski yang menulis buku Authority in the modern state, juga Prof. Jimly Asshiddiqie yang mengisyaratkan hal tersebut dalam bukunya Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, serta menyatakan hal yang sama dalam acara Seminar Pembangunan Hukum Nasional

Page 49: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

27Urgensi Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa antara Klub Sepak Bola dan Pesepak Bola ... (Eko Noer Kristiyanto )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

atau lebih kelompok sosial atau kekuatan sosial tertentu sesuai dengan aspirasi dan kepentingannya, baik secara kultural, ideologis, maupun profesi, termasuk aspirasi ekonomi. Kelompok dan kekuatan sosial ini akan berjuang demi kepentingan anggotanya dan berupaya mempertahankan karakteristik dan otonominya baik dari pengaruh organisasi lain maupun dari campur tangan pemerintah.32

Permasalahan yang dihadapi pun menjadi sangat kompleks serta terus berkembang dan membutuhkan orang-orang yang ahli, khusus, spesial untuk memahami dan menemukan solusi jika menemukan masalah, termasuk masalah-masalah dalam komunitas olah-raga.33 Pengadilan konvensional yang memiliki hakim dengan kemampuan dan pemahaman sangat umum tidak dijadikan rujukan jika komunitas olah raga mengalami sengketa. Kita dapat menciptakan sistem pengklasifikasian dari sengketa dan sarana penyelesaiannya.34 Kita juga dapat melihat beberapa mekanisme atau sarana penyelesaian sengketa lebih cocok untuk jenis sengketa tertentu dibandingkan dengan jenis dan sarana sengketa yang lainnya.35 Idealnya kita dapat menciptakan suatu sistem yang mempertimbangkan, baik kepentingan pribadi maupun kepentingan umum dalam penyelesaian sengketa.36 Dalam Dunia Olah-raga, arbitrase dikenal sebagai mekanisme

umum untuk menyelesaikan permasalahan dan sengketa yang melibatkan para atlet, dikenal apa yang dinamakan Court of Arbitration for Sport) CAS.

a. Court of Arbitration for Sport) CAS

Teori Kedaulatan pluralis melahirkan pluralisme hukum, yaitu kehadiran sistem hukum transnasional selain sistem hukum nasional dan sistem hukum internasional. Hukum transnasional adalah hukum yang terbentuk oleh komunitas internasional yang bukan negara (international society) dan berlaku bagi komunitasnya melintasi batas-batas wilayah negara secara administratif. Pandangan pluralisme kedaulatan dan pluralisme hukum merupakan kritik terhadap pandangan kedaulatan absolut sekaligus kritik terhadap pandangan monisme, karena eksistensi suatu sistem hukum yang berasal dari sumber lain selain negara adalah suatu realitas.37 Pandangan hukum pluralisme mengakui bahwa setiap komunitas masyarakat atau grup sosial yang terorganisir juga memiliki sistem dan tata hukum yang sesuai dengan kebutuhannya dan bersifat otonom. Dalam konteks globalisasi seperti sekarang maka teori kedaulatan yang relevan bukanlah teori kedaulatan absolut akan tetapi teori kedaulatan pluralis dimana negara bukanlah satu-satunya pemegang peranan

yang diselenggarakan oleh BPHN-Kementerian Hukum dan HAM pada bulan Oktober 2016, Jimly mengatakan bahwa teori Montesque tentang pemisahan kekuasaan antara legislatif-eksekutif-yudikatif sebenarnya sudah tidak relevan karena perkembangan zaman, karena pilar penentu dan pemegang kedaulatan dalam bernegara saat ini adalah state, civil society, market + media.

32 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2015), hlm. 97-98.33 Terungkap di FGD tentang Sistem Peradilan di Indonesia yang diselenggarakan oleh Pusat Analisis dan Evaluasi

Hukum BPHN-Kementerian Hukum dan HAM RI.34 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013).35 Ibid.36 Ibid.37 Franck Latty, la lex sportiva, Boston 2007, dalam Hinca IP Pandjaitan, ”Kedaulatan Negara VS Kedaulatan FIFA”,

(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm.4

Page 50: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

28 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 19–33

Volume 7, Nomor 1, April 2018

penting dalam menjalankan dinamika negara, prinsipnya adalah pelaksanaan kedaulatan dapat didesentralisasikan kepada society.

Federasi-federasi olahraga internasional juga mengklaim otonomi untuk metode yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa. Selalu diupayakan untuk memiliki yurisdiksi eksklusif dan mencegah atlet untuk mengakses pengadilan negara. Federasi olahraga internasional melakukan hal ini dengan beragam cara. Salah satunya adalah dengan menyatakan di dalam rulebook atau statutanya bahwa keputusan yang diambil adalah bersifat ”final dan mengikat” dan karenanya atlet tidak berhak atas banding final ke pengadilan. Ketentuan ini dapat disebut sebagai ”klausul pengecualian” di bidang olahraga. Cara yang kedua adalah dengan cara mewajibkan semua stakeholder olahraga untuk sengketa yang timbul hanya dapat dibawa ke arbitrase yang khusus dibuat dan dinyatakan tunduk untuk itu. Panel arbitrase ini berupa badan banding ”independen” yang dibentuk oleh federasi olahraga internasional atau CAS (Court of Arbitration for Sport). Cara ketiga adalah atlet diminta menandatangani perjanjian untuk tidak melakukan tindakan hukum terhadap federasi-federasi olahraga internasional sebagai prasyarat untuk ikut serta dalam pertandingan internasional. Maksud dari taktik tersebut adalah untuk menciptakan zona pengadilan khusus dalam bidang regulasi olahraga, yang mengecualikan pengawasan judisial terhadap, atau intervensi dengan, pengambil keputusan. Aturan ini melarang para atlet mengakses

pengadilan negara dan membiarkannya tergantung pada pengadilan arbiter federasi-federasi olahraga internasionalnya. Federasi olahraga internasional dapat mengklaim bahwa pengadilan yang dimaksudkan hanya berasal dari panel arbitrase yang diciptakan dan ditunjuk oleh federasi olahraga internasional sendiri, atau paling jauh CAS.

Sejak didirikan sebagai perpanjangan tangan dari IOC (International Olympic Committe) pada tahun 1984, CAS telah berkembang menjadi otoritas yang dihormati dalam penyelesaian sengketa yang berhubungan dengan berbagai macam olahraga dan mengeluarkan berbagai macam yurisprudensi dalam penyelesaian sengketa tersebut. Tidak seperti pengadilan sipil tradisional, CAS memperoleh yurisdiksinya dalam kasus tertentu hanya melalui kesepakatan bersama dari pihak yang terlibat. Prosedur ini, yang dikenal sebagai arbitrase, dirancang untuk mengikat semua pihak. Dalam pelaksanaan tugasnya, CAS dapat menjadi sumber kategori baru norma-norma yang menggabungkan peraturan-peraturan yang sesuai untuk kompetisi-kompetisi dan prinsip-prinsip dasar hukum. Norma-norma tersebut yang berlaku terhadap seluruh komunitas olahraga dan, pada pokoknya terhadap kelompok-kelompok olahraga internasional, patut menyandang nama Lex Sportiva.38 Penggunaan arbitrase memungkinkan untuk mengangkat prinsip-prinsip umum yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kepentingan yang hendak diatur oleh prinsip-prinsip tersebut. Prinsip-prinsip ini bersifat otonom dalam arti bahwa prinsip-

38 Lex sportiva adalah hukum yang khusus mengatur tentang olah raga yang dibentuk oleh institusi komunitas olah raga itu sendiri yang bersifat internasional, misalnya FIFA yang menegakkan statuta dan sistem mereka di seluruh dunia. Dalam penegakkannya Lex Sportiva bisa bersinggungan dengan hukum nasional suatu negara. Dalam Eko Noer Kristiyanto, Peranan Kemenkumham RI Dalam Penyelenggaraan Kompetisi Sepak Bola Profesional di Indonesia, (Jakarta: Balitbang Hukum dan HAM RI, 2017).

Page 51: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

29Urgensi Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa antara Klub Sepak Bola dan Pesepak Bola ... (Eko Noer Kristiyanto )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

prinsip tersebut tidak ditarik dari suatu sistem hukum negara dimana situasi sengketa dibatasi.39

b. Arbitrase Olah Raga di Indonesia

Eksistensi lembaga arbitrase khusus olah-raga pun dikenal di Indonesia, namun ternyata dianggap kurang efektif dan efisien sehingga membuat banyak pihak enggan membawa permasalahan ke arbitrase olah raga di Indonesia.40 Indonesia memang dikenal dua lembaga penyelesaian sengketa atau arbitrase olahraga, yakni Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia (BAKI) dan Badan Arbitrase Olahraga Indonesia (BAORI). BAKI dibentuk oleh Komite Olahraga Indonesia (untuk cabang-cabang yang dipertandingkan dalam olimpiade)41, sedangkan BAORI dibentuk melalui KONI.42

Saat ini BAKI adalah lembaga arbitrase yang berafiliasi langsung ke Court of Arbitration for Sport (CAS), sebuah lembaga arbitrase internasional yang dibentuk oleh Komite Olimpiade Internasional atau dunia olahraga lebih mengenal CAS dengan istilah Supreme Court of World Sport, dengan kata lain BAKI adalah counterpart CAS di Indonesia.43

BAKI telah memiliki 2 (dua) perwakilan yang ditunjuk dan diakui oleh CAS untuk menjadi arbiter di CAS. Keberadaan BAKI di Indonesia tidak

berjalan sendiri ternyata BAORI juga memiliki kewenangan sebagai arbitase di Indonesia yang sama dengan BAKI namun apabila dilihat dari ”mekanisme” pertanggungjawabannya, BAKI berafiliasi ke CAS sedangkan BAORI ke Komite Nasional Olahraga Indonesia (KONI).

Keberadaan BAORI di Indonesia memang tidak ideal, sebagai contoh misalkan ada pihak yang kurang puas dengan hasil keputusan BAORI maka untuk mengajukan tingkat berikutnya akan mengalami kesulitan dalam menentukan lembaga bandingnya, berbeda dengan BAKI yang mengakomodir pihak banding untuk dapat ditujukan ke CAS.44 Kelembagaan yang ada saat ini dianggap belum mampu mengakomodir penyelesaian sengketa yang kerap terjadi di cabang olah raga sepak bola profesional karena komposisinya pun tak mencerminkan stakeholders sepak bola. Masih diperlukan pembentukan lembaga yang lebih khusus lagi agar para pihak yang bersengketa segera mendapat solusi dan kepastian.

4. Kepastian hukum dan Pembangunan Ekonomi Nasional

Faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan ”stability”, ”predictability” dan ”fairness”.45 Oleh karena

39 Franck Letty, Op. Cit40 Riza Hufaida bagian legal APPI mengatakan bahwa lembaga arbitrase yang ada dianggap bukan solusi, karena

adanya dualisme, juga biaya yang tinggi serta ketidakjelasan perangkat sidang saat melakukan persidangan.41 Komite Olimpiade Indonesia (KOI) resmi membentuk Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia (BAKI) sesuai

dengan Rapat Anggota KOI 2012 No. Kep.08/RA-KOI/I/2012. 42 Ali, ”Dualisme Arbitrase Olahraga Indonesia Harus Diakhiri”, Hukum Online, http://www.hukumonline.com/

berita/baca/lt52948f516fcf8/dualisme-arbitrase-olahraga-indonesia-harus-diakhiri, diakses 11 Januari 2018.43 Rahmat Sulistiyo, ”Berkenalan dengan NDRC, Calon Lembaga Arbitrase PSSI”, Pandit Football, http://www.

panditfootball.com/pandit-sharing/210079/PSH/170929/berkenalan-dengan-ndrc-calon-lembaga-arbitrase-pssi, diakses 11 Januari 2018.

44 Ibid.45 Erman Rajagukguk, ”Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas

Kesejahteraan Sosial”, (makalah disampaikan dalam rangka Dies Natalies dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia Jakarta: UI, 2000)

Page 52: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

30 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 19–33

Volume 7, Nomor 1, April 2018

itu maka hukum seharusnya berperan dalam pembangunan ekonomi, hukum haruslah menjadi pandu dan acuan dalam pembangunan. Termasuk dalam penyelenggaraan kompetisi sepak bola profesional yang mendukung pemajuan kesejahteraan umum. Dalam konsep welfare state, tugas pemerintahan dalam negara hukum tidak saja untuk menjalankan pemerintahan, tetapi lebih dari itu harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan negara.46 Upaya tersebut dilakukan melalui pembangunan nasional yang bersifat multi komplek.47 Olah raga dalam konteks global semakin modern dan tak sekedar menjadi aktivitas terkait kesehatan semata namun juga industri dan ekonomi, sekaligus menjadi salah satu faktor atau sarana untuk memajukan kesejahteraan umum melalui distribusi pendapatan di tingkat grassroot sampai di tingkat elit.

Pembangunan nasional secara keseluruhan melibatkan juga pembangunan hukum, tujuan pembangunan hukum adalah juga menjadi tujuan penegakkan hukum.48 Roscoe Pound mengembangkan tiga golongan yang harus dilindungi oleh hukum yaitu kepentingan umum, sosial, dan perorangan. Dalam masyarakat beradab, orang mengasumsikan bahwa orang yang mengadakan hubungan dalam lalu lintas sosial akan selalu beritikad baik, juga akan bertingkah laku penuh kehati-hatian sehingga tidak menimbulkan kerugian yang tidak perlu.49 Oleh karena itu jika terlanjur terjadi suatu sengketa dan perselisihan maka hendaknya

selesai dengan kepuasan dan keadilan bagi para pihak, setidaknya diterima oleh para pihak. Salah satu upaya untuk menegakkan hukum dan memperoleh kepastian itu ada di upaya-upaya penyelesaian alternatif di luar pengadilan. Dalam konteks pembangunan ekonomi maka kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa di segmen kompetisi sepak bola profesional sangatlah penting karena kepastian hukum dan sarana penyelesaian sengketa yang jelas akan membuat kompetisi menjadi kondusif dan memancing investor untuk tertarik dan bergabung. Karena kini sepak bola sudah menjadi kegiatan ekonomi, bisnis dan industri dengan skala global.

Perkembangan globalisasi saat ini telah membawa bangsa Indonesia dalam free market dan free competition. Untuk menyehatkan dan melancarkannya maka bangsa-bangsa di dunia menyusun multinational agreement dengan tujuan mewujudkan ekonomi yang mampu mendukungnya. Dengan adanya perkembangan ekonomi dan bisnis, maka tidak mungkin dihindari adanya sengketa (dispute) antar pihak yang terlibat. Adanya sengketa ini dapat berimbas pada pembangunan ekonomi yang tidak efisien, penurunan produktivitas, kemandulan dunia bisnis.50 Persepsi para pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh kondusifitas, oleh karena itu terbentuknya badan penyelesaian sengketa akan membuat para investor memiliki kepercayaan untuk terlibat dalam bisnis sepak bola di Indonesia karena sengketa antara pemain

46 Yudha Bhakti Ardiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing (Bandung: Alumni, 1999), hlm.16.

47 Jum Anggraini, Hukum Administrasi Negara (Bandung: Graha Ilmu, 2012) hlm. 41. 48 HP Panggabean, Negosiasi (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2017) hlm.5.49 Ibid.50 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) hlm. 1.

Page 53: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

31Urgensi Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa antara Klub Sepak Bola dan Pesepak Bola ... (Eko Noer Kristiyanto )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

dan klub akan lebih mendapat kepastian untuk dituntaskan.

5. Urgensi Pembentukan Lembaga Peradilan khusus Sengketa Sepak Bola

Teori pluralisme hukum mengenal apa yang dinamakan sistem hukum transnasional selain sistem hukum nasional dan internasional. Sistem hukum transnasional yang dijadikan pedoman oleh komunitas-komunitas di dunia ternyata sesuai dengan sistem hukum olah raga yang diterapkan oleh federasi-federasi olah raga internasional untuk menjalankan kegiatannya. Termasuk penyelenggaraan kompetisi sepak bola profesional yang dikendalikan oleh sistem hukum yang dibentuk FIFA.51 Namun dalam pelaksanaannya ternyata sistem hukum transnasional ini memiliki persinggungan dengan sistem hukum nasional yang berlaku. Dalam kondisi ideal, kedua sistem ini seharusnya saling dukung dan melengkapi. Terlebih negara dan FIFA sebenarnya memiliki tujuan yang sama dalam konteks memajukan dan meningkatkan kesejahteraan.52

Dalam konteks saling melengkapi itulah maka diperlukan suatu lembaga arbitrase yang khusus menyelesaikan sengketa antara pemain profesional dan klub sepak bola yang mendapat legitimasi dari negara maupun FIFA dan Federasi. Dari sisi komunitas sepak bola, FIFA dan PSSI jelas menghendaki lembaga tersebut,

bahkan tahun 2017 lalu FIFA telah memberikan dana sebesar 40.000 dollar AS (sekitar Rp 532 juta) kepada PSSI.53 Dana tersebut untuk membantu PSSI membentuk pengadilan arbitrase independen guna menangani sengketa yang membelit klub dan pemain atau National Dispute Resolution Chamber (NDRC).54

Sementara dari sisi negara, keberadaan NDRC tersebut tak bertentangan dengan hukum nasional bahkan memiliki legitimasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS).

Masyarakat dan komunitas memiliki karakteristik yang khas dan otonom dan belum tentu dipahami oleh pihak lain termasuk pemerintah dan organisasi di luar organisasi mereka. Sehingga pembentukan NDRC sangat penting dan mendesak, agar kasus-kasus dapat ditangani oleh mereka yang memahami persoalan dan ditangani oleh perwakilan-perwakilan stakeholders yang selama ini terlibat dalam aktivitas sepak bola seperti perwakilan asosiasi pemain misalnya. Kehadiran NDRC ini pun tak melanggar hukum nasional dan kedaulatan negara, bahkan melengkapi dan mendukung kepastian hukum serta perlindungan terhadap hak asasi manusia.

51 Hinca IP Pandjaitan, Kedaulatan Negara VS Kedaulatan FIFA (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 210-216.

52 Eko Noer Kristiyanto, ”Negara Tanpa Sepak Bola”, Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung 4 Juni 2015. 53 Ferril Dennys, ”FIFA Beri Dana Rp 532 Juta Untuk PSSI”, Kompas.Com, http://ekonomi.kompas.com/

read/2017/02/10/21245988/fifa.beri.dana.rp.532.juta.untuk.pssi., diakses pada 11 Januari 2018.54 NDRC, yang bertindak berdasarkan aduan, merupakan pengadilan arbitrase independen yang berada dalam

naungan PSSI. Ada tiga substansi sengketa yang dapat diselesaikan di badan ini, yaitu terkait kontrak pemain di klub, kompensasi latihan (training compensation) atau kompensasi yang diberikan klub ketika mengikat kontrak pemain secara profesional kepada klub, di mana pesepak bola dilatih saat masih berstatus amatir pada usia muda, serta kompensasi solidaritas yaitu mekanisme penghargaan transfer antarklub.

Page 54: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

32 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 19–33

Volume 7, Nomor 1, April 2018

D. Penutup

Dalam konteks pembangunan ekonomi nasional. Pembentukan NDRC sebagai lembaga khusus yang menangani penyelesaian sengketa antara pemain sepak bola profesional dan klub sepak bola profesional mendesak untuk segera direalisasikan. Hal ini penting sebagai upaya penegakan hukum serta menjamin adanya kepastian hukum di negara ini yang diupayakan di berbagai aspek termasuk olah raga khususnya sepak bola. Kepastian hukum ini akan menciptakan situasi kondusif bagi kompetisi sepak bola profesional di Indonesia yang pada akhirnya akan menarik investor dan para pelaku bisnis. Dampak ekonomi dari kompetisi sepak bola profesional ini akan mendukung pemajuan kesejahteraan umum yang menjadi esensi dari pembangunan ekonomi nasional.

Daftar Pustaka

Buku Anggriani, Jum, Hukum Administrasi Negara,

(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012).Ardiwisastra, Yudha Bhakti, Imunitas Kedaulatan

Negara di Forum Pengadilan Asing, (Bandung: Alumni, 1999).Asshiddiqie, Jimly, Kemerdekaan Berserikat

Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005).

Goodin Robert R, Responsibility Right & Welfare, The Theory of the Welfare State (Colorado: Westview Press, 1988).

Kristiyanto, Eko Noer, Peranan Kemenkumham RI Dalam Penyelenggaraan Kompetisi Sepak Bola Profesional di Indonesia (Jakarta: Balitbang Hukum dan HAM RI, 2017).

Latip, Yansen Darmanto, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum Dalam Kontrak Internasional (Jakarta: UI, 2002).

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2010).

Muhammad, Rusli, Kemandirian Pengadilan Indonesia (Yogyakarta: FH UII Press, 2009).

Pandjaitan, Hinca IP, Kedaulatan Negara VS Kedaulatan FIFA, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011).

HP, Panggabean, Negosiasi, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2017).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2015).

Usman, Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung: PT

Citra Aditya Bakti, 2013).Winarta, Frans Hendra, Hukum Penyelesaian

Sengketa (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 (Jakarta: Jajasan Prapantja, 1960).

Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil PenelitianKristiyanto, Agus, ”Penguatan Kebijakan Publik

Usaha Pengentasan Kemiskinan Melalui Pengembangan Industri Mikro Olah Raga”, Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 12, Nomor 2 (2011)

Kristiyanto, Eko Noer, ”Negara Tanpa Sepak Bola”, (opini dimuat dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung 4 Juni 2015).

Kristiyanto, Eko Noer, ”Sepak Bola dan Kesejahteraan Umum”, (opini dimuat dalam Harian Umum Tribun Jabar, 20 Agustus 2015).

Kristiyanto, Eko Noer, Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam Pengalokasian Dana APBD Kepada Klub Sepak Bola Peserta Liga Indonesia, (Bandung: UNPAD, 2008)

Rajagukguk, Erman, ”Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, (makalah disampaikan dalam rangka Dies Natalies dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia, Jakarta, 2000)

Foster, Ken, ”Is There a Global Sports Law?”, Entertaintment Law, vol.2 No.1, London (2003).

Manan Bagir, ”Penelitian Terapan di Bidang Hukum”, (makalah disampaikan pada Lokakarya Peranan Naskah Akademis Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, BPHN, Jakarta, 9 – 11 November 1993).

Page 55: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

33Urgensi Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa antara Klub Sepak Bola dan Pesepak Bola ... (Eko Noer Kristiyanto )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Violetta Simatupang, ”Pariwisata Olah Raga”, (opini disampaikan dalam Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung, 2016).

InternetDonny Afroni, ”Bambang Pamungkas dan

Leo Saputra Gugat Persija Jakarta”, Goal, h t t p : / / w w w. g o a l . c o m / i d / n e w s / 1 3 8 7 /nasional/2013/11/19/4418163/bambang-pamungkas-leo-saputra-gugat-persija-jakarta, (diakses 11 Januari 2018)

Gonsaga Aloysius, ”Kasus Bepe Momentum Pembenahan”, Kompas.com, http://bola.kompas.com/read/2013/12/19/0603081/Kasus.Bepe.Momen.Pembenahan, (diakses 11 Januari 2018)

Kristiyanto, Eko Noer, ”Bambang Pamungkas dan Bobotoh”, www.pikiran-rakyat.com, http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2017/10/29/b a m b a n g - p a m u n g k a s - d a n - b o b o t o h -persib-412469, (diakses 11 Januari 2018)

Kristiyanto, Eko Noer, ”PSSI dan Organ Yudisialnya”, www.Pikiran-Rakyat.com http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2017/08/13/pssi-dan-organ-yudisialnya-407254, (diakses 11 Januari 2018)

Nyon, ”Klub Tak Bayar Gaji Pemain Ada Juga di Eropa”, detikSport, https://sport.detik.com/

sepakbola/bola-dunia/2296988/klub-tak-bayar-gaji-pemain-juga-ada-di-eropa , (diakses 11 Januari 2018)

PSSI, ”Hasil Pertemuan FIFA dengan PSSI Terkait NDRC, www.pssi.org, http://www.pssi.org/news/hasil-pertemuan-fifa-dengan-pssi-terkait-ndrc (diakses 11 Januari 2018).

Utama Satria Sakti, ”Sengketa Sepak Bola Kini Ditangani NRDC”, Media Indonesia online, http://www.mediaindonesia.com/news/read/140721/sengketa-sepak-bola-k ini -ditangani-ndrc/2018-01-15, (diakses 15 Februari 2018).

Wibowo Agung Putranto, ”Penyelesaian Sengketa Kontrak Pemain: Kewenangan Para Pihak”, Kumparan, https://kumparan.com/agung-putranto-wibowo/penyelesaian-sengketa-kontrak-pemain-kewenangan-para-pihak, (diakses 11 Januari 2018)

PeraturanUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian SengketaStatuta FIFA

Page 56: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

34 Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41

”Halaman ini dikosongkan”

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Page 57: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

35Strategi Pengembangan Ekonomi Syariah melalui Penguatan Fungsi Pengadilan Agama ... (Kelik Pramudya)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI SYARIAH MELALUI PENGUATAN FUNGSI PENGADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

(Islamic Economic Development Strategy Through The Strengthening of The Function of Religious Court in Dispute Resolution)

Kelik PramudyaRumah Sakit Dr. Amino Gondhoutomo Provinsi Jawa Tengah

Jl. Brigjend Sudiarto No.347 Semarang, Jawa Tengah, IndonesiaEmail: kelik [email protected]

Naskah diterima: 17 Februari 2018; revisi: 5 April 2018; disetujui: 17 April 2018

AbstrakSaat ini kegiatan ekonomi syariah berkembang pesat di Indonesia. Perkembangan tersebut diikuti juga dengan bermunculannya sengketa ekonomi syariah. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah saat ini menjadi kewenangan Pengadilan Agama, sehingga fungsi Pengadilan Agama perlu diperkuat. Penelitian ini membahas permasalahan bagaimana metode penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia, bagaimana penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama dan bagaimana strategi penguatan fungsi Pengadilan Agama. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analitis. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah juga didukung dengan regulasi yang mengarah pada proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, namun selain dukungan regulasi juga diperlukan strategi untuk meningkatkan kualitas kelembagaan Pengadilan Agama. Oleh sebab itu penulis menyarankan perlu dilakukan sosialisasi fungsi dan mengubah stigma tentang Pengadilan Agama.Kata Kunci: ekonomi syariah, sengketa, Pengadilan Agama

AbstractCurrently, Islamic economic activities are growing rapidly in Indonesia. These developments must be followed by many Islamic Economic disputes.The settlement of this dispute currently is under the authority of the Religious Courts and therefor the function of the court needs to be strengthened. The problems discussed in this study include: how the Islamic Economic dispute resolution methods in Indonesia, how to solve the Islamic economic dispute in the Religious Courts and how the strategy of strengthening the Religious Courts functions.This is a descriptive legal normative research with regulatory and analytical approach. Based on the results of the research, it can be concluded that the Religious Courts has authority over the Islamic economic dispute resolution. The dispute resolution process is supported by regulations that will create a simple, quick and low cost process. Regulatory support is also needed to improve the quality of the Religious Courts. Therefore, the author suggest to socialize the function and change the stigma about the Religious Courts.Keywords: islamic economics, dispute, Religious Court

Page 58: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

36 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 35–47

Volume 7, Nomor 1, April 2018

1 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 4.2 Abdul Ghofar Anshori. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Yogyakarta: Citra Media, 2006), hlm. 5.3 Muhammad, Aspek Hukum Dalam Muamalat (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm. 77.4 Abdurrahman, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, (Banjarmasin: Makalah Orasi Ilmiah

disampaikan pada Pembukaan Kuliah Fakultas Syariah IAIN Antasari, 30 Agustus 2010), hlm. 3.5 Tira Nur Fitria, ”Kontribusi Ekonomi Islam Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional,”Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam

Vol.02, No. 03, (2016):29.

A. Pendahuluan

Sistem ekonomi syariah merupakan sistem ekonomi yang harus diperkuat di Indonesia karena tergolong relatif baru, dibandingkan dengan industri-industri keuangan dan bisnis konvensional. Namun, dalam waktu yang relatif singkat, ekonomi tumbuh dan berkembang sangat pesat. Pada saat ini telah menjadi bagian terpenting dan strategis sebagai salah satu motor penggerak roda perekonomian Indonesia.1 Hal yang paling menonjol dalam ekonomi Islam adalah dekatnya sektor riil dan sektor keuangan sehingga sektor keuangan mencerminkan keadaan yang sesungguhnya dari sektor riil, dan sektor keuangan dapat menjadi penggerak sektor riil. Minat masyarakat untuk mempelajari sistem ekonomi syariah semakin meningkat. Bahkan secara legal formal telah berdiri lembaga-lembaga keuangan syariah yang mendasarkan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing). Saat ini pula kemudian berdiri bank-bank syariah, baik yang secara khusus mendasarkan pengelolaannya secara syariah murni ataupun bank-bank konvensional yang membuka jendela syariah dalam usaha perbankan yang dijalankannya. Di samping itu berdiri pula lembaga-lembaga keuangan Islam yang lain.2 Ekonomi syariah dipandang memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan peradaban lain. Ekonomi syariah merupakan ekonomi Rabbaniyah,

Ilahiyah, Insaniyah, ekonomi berakhlak dan ekonomi pertengahan.Nilai-nilai tersebut membawa dampak bagi seluruh segi ekonomi di bidang harta berupa; produksi, konsumsi, sirkulasi dan distribusi.3

Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia diawali dengan munculnya Perbankan Syariah.4 Perkembangan ini semakin mendapatkan momentum sejak didirikannya Bank Muamalat pada tahun 1992.5 Pendirian bank ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagai landasan hukum bank kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.

Sistem ekonomi Islam bertujuan untuk mengatur kegiatan ekonomi guna mencapai derajat kehidupan yang layak bagi seluruh individu dalam masyarakat. Sistem ekonomi Islam diseluruh kegiatan dan kebiasaan masyarakat bersifat dinamis dan adil dalam pembagian pendapatan dan kekayaan dengan memberikan hak pada setiap individu untuk

Page 59: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

37Strategi Pengembangan Ekonomi Syariah melalui Penguatan Fungsi Pengadilan Agama ... (Kelik Pramudya)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

mendapatkan penghidupan yang layak dan mulia baik di dunia maupun di akhirat nantinya.6 Saat ini, kegiatan bisnis syariah tidak hanya mencakup pada lembaga keuangan saja, tetapi pada sektor bisnis lain misalnya: Hotel Syariah, Property Syariah, Restoran Syariah, Salon Syariah, Supermarket dan Swalayan Syariah. Bisnis syariah merupakan segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup berupa aktifitas produksi, distribusi, konsumsi dan perdagangan baik berupa barang maupun jasa yang sesuai dengan aturan-aturan dan hukum-hukum Allah yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah.7 Kegiatan bisnis syariah seperti ini tidak hanya kegiatan yang targetnya mendapat keuntungan. Akan tetapi juga memperhatikan pada Hukum Islam sehingga bisnis ini dibatasi dengan hukum halal dan haram.

Berdasarkan Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah OJK Tahun 2016, maka selama tahun 20168, Industri Jasa Keuangan Syariah Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang positif baik dari peningkatan aset perbankan syariah, aset industri keuangan nonbank syariah, nilai Indeks Saham Syariah Indonesia, maupun nilai nominal sukuk korporasi, yang masing-masing tumbuh sebesar 20,28%, 36,30%, 18,62% dan 19,96%. Perbaikan kinerja tersebut antara lain dipengaruhi oleh kondisi perekonomian nasional yang kondusif dan sistem keuangan yang stabil. Guna pengembangan

keuangan syariah ke depan perlu meningkatkan kapasitas kelembagaan industri keuangan syariah yang lebih efisien, memperluas akses terhadap produk layanan keuangan syariah dan memperbesar pangsa pasar industri jasa keuangan syariah.

Seiring pertumbuhan dan perkembangan kegiatan ekonomi syariah, maka peluang terjadinya sengketa, konflik (dispute) antara para pelaku ekonomi syariah juga semakin besar. Suatu sengketa bermula dari perselisihan paham yang kemudian berlarut-larut tidak terselesaikan antara para subjek hukum yang sebelumnya telah mengadakan hubungan hukum perjanjian, sehingga pelaksanaan hak dan kewajiban yang ditimbulkannya berjalan tidak harmonis.9 Semakin banyak dan luas kegiatan bisnis maka frekuensi terjadinya sengketa juga semakin tinggi, dapat diartikan makin banyak pula sengketa yang harus diselesaikan. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat. Penyelesaian sengketa merupakan cara, prosedur ataupun mekanisme yang ditempuh oleh para pihak guna penyelesaian perselisihan atau konflik atas perbedaan kepentingan mereka. Penerapan prinsip syariah dalam kegiatan usaha diikuti dengan perkembangan lembaga penyelesaian sengketa (dispute resolution) yang ada. Khususnya lembaga peradilan sebagai the last

6 Husain Sahatah, Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan Teori, Pratek dan Realitas Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), hlm. 80.

7 Fakhrurazi Reno Sutan, ”Kajian Hukum Bisnis Syariah,”Jurnal Misykat al-Anwar, Vol 29, No.1 (2008), http://fai-umj.ac.id/jurnal/index.php/MaA16/article/view/62/51 (diakses 16 Februari 2018).

8 OJK, ”Laporan Perkembangan Keuangan Syariah 2016,” http://www.ojk.go.id/en/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/OJK-Publishes-2016-Islamic-Banking-and-Finance DevelopmentReport/Laporan%20Perkembangan%20Keuangan%20Syariah%20%28LPKS%29%202016.pdf (diakses 16 Februari 2018).

9 Suyud Margono,ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 12.

Page 60: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

38 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 35–47

Volume 7, Nomor 1, April 2018

10 Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan & Kewenangan), (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm. 4-5.

11 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji.Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 14.

resort bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya.10

Perkembangan baru dalam dunia peradilan di Indonesia adalah diberikannya kompetensi penyelesaian sengketa ekonomi syariah kepada peradilan agama. Kompetensi tersebut merupakan suatu tantangan baru bagi aparat hukum di lingkungan peradilan agama, sehingga dibutuhkan kesiapan dalam menangani kasus-kasus tersebut. Namun, kemampuan Pengadilan Agama dalam mengadili perkara ekonomi syariah saat ini masih diragukan. Keadaan perkara di pengadilan agama masih didominasi perkara cerai. Selain itu proses peradilan yang masih menggunakan acara peradilan biasa tidak ada bedanya dengan sistem peradilan umum. Oleh karena itu diperlukan pengaturan baru tentang acara peradilan untuk perkara ekonomi syariah. Mahkamah Agung dalam hal ini telah mengeluarkan peraturan yang secara khusus mengatur penyelesaian sengketa ekonomi syariah yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016. Oleh karena itu dibutuhkan kesiapan Pengadilan Agama dalam menangani perkara ekonomi syariah, terutama dari segi Sumber Daya Manusia, baik itu Hakim, Panitera dan Jurusita. Mereka harus mengembangkan kompetensi guna menyambut tugas baru yang semakin komplek agar dapat mewujudkan putusan yang berkualitas. Namun, apabila ternyata sistem peradilan perkara ekonomi syariah ini ternyata belum mampu memenuhi rasa keadilan para pihak, maka dibutuhkan formula khusus berupa alternatif penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Lembaga penyelesaian sangat penting dalam

mendukung pembangunan ekonomi syariah, terlebih ekonomi syariah saat ini masih identik pada sektor perbankan. Terlebih mengingat fungsi pengadilan untuk memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan, memberi pelayanan yang simpatik dan bantuan yang diperlukan bagi pencari keadilan, serta memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efisien, tuntas dan final sehingga memuaskan kepada para pihak dan masyarakat.

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana metode penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia?; bagaimana pelaksanaan penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama?; dan bagaimana strategi penguatan fungsi Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah?

B. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.11 Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approache) dan pendekatan analitis. Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah data sekunder. Data ini tidak diperoleh langsung di lapangan, tetapi diperoleh dari bahan pustaka. Untuk memperoleh bahan-bahan hukum yang diperlukan, dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan dan pengkajian bahan-bahan

Page 61: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

39Strategi Pengembangan Ekonomi Syariah melalui Penguatan Fungsi Pengadilan Agama ... (Kelik Pramudya)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

kepustakaan, peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, karya-karya ilmiah serta dokumen-dokumen tertulis lainnya.

C. Pembahasan

1. Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia

Dalam konteks hukum di Indonesia, penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat dilakukan melalui dua model, yaitu penyelesaian secara litigasi dan non litigasi. Penyelesaian secara litigasi merupakan wilayah kompetensi pengadilan agama. Untuk pilihan penyelesaian sengketa secara non-litigasi dapat dibagi dua, yaitu melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

a. Non Litigasi

1) ArbitrasePenyelesaian sengketa melaui jalur non

litigasi diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul sengeketa.

Dalam konteks hukum Islam, penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Kata tahkim ini berasal dari kata kerja hakama yang

secara harfiah berarti menjadikan seseorang sebagai penengah bagi suatu sengketa.12 Inti arbitrase menurut pandangan Islam adalah penyelesaian sengketa yang terjadi antara para subyek hukum melalui cara-cara damai dengan perantara pihak ketiga, dimana pihak ketiga tersebut berhak untuk mengambil keputusan yang harus diridhoi oleh pihak-pihak yang bersengketa. Di Indonesia terdapat beberapa lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa bisnis yang terjadi dalam lalu lintas perdagangan, antara lain BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang khusus menangani masalah persengketaan dalam bisnis Islam, sekarang berubah menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang menangani masalah-masalah yang terjadi dalam pelaksanaan Bank Syariah. Ada juga BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang khusus menyelesaikan sengketa bisnis non Islam, dan BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia). Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase sebagai berikut: a) Cepat dan hemat;b) Kebebasan dalam memilih arbiter;c) Terjamin kerahasiaan;d) Bersifat non-preseden;e) Kepekaan atau kearifan dari arbiter terhadap

perangkat aturan yang akan diterapkan oleh arbiter pada perkara-perkara yang ditanganinya;

f) Kepercayaan dan keamanan, arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi sangat luas, juga secara relatif memberikan rasa aman terhadap keadaan tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda.

12 Suhrawardi K Lubis. Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 184

Page 62: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

40 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 35–47

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Namun, arbitrase pun memiliki kelemahan sebagai berikut:a) Pada praktiknya, putusan arbitrase tidak

dapat langsung dieksekusi, tapi harus meminta eksekusi dari pengadilan.

b) Pengadilan seringkali memeriksa ulang kasus yang ditangani oleh arbiter, sehingga terjadi dua kali proses pemeriksaan sengketa, padahal hal tersebut tidak boleh dilakukan karena putusan yang dikeluarkan oleh arbiter bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak.

2) Alternatif Penyelesaian Sengketa.Metode lain dalam penyelesaian sengketa

ekonomi syariah adalah Alternative Dispute Resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa. Metode ini mengarah kepada pencapaian sasaran perdamaian. Pemikiran kebutuhan akan lembaga sulh (perdamaian)13 pada zaman modern ini tentunya bukanlah suatu wacana dan cita-cita yang masih utopis, melainkan sudah masuk ke wilayah praktis. Hal ini dapat dilihat dengan marak dan populernya Alternative Dispute Resolution (ADR). Bentuk alternatif penyelesaian sengketa antara lain: Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Pendapat atau Penilaian Ahli.

Menurut Suyud Margono14 kecenderungan memilih Alternative Dispute Resolution (ADR) oleh masyarakat dewasa ini didasarkan atas pertimbangan pertama: kurang percaya pada sistem pengadilan dan pada saat

yang sama sudah dipahaminya keuntungan mempergunakan sistem arbitrase dibanding dengan Pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih suka mencari alternatif lain dalam upaya menyelesaikan berbagai sengketa bisnisnya yakni dengan jalan Arbitrase, kedua: kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase khususnya BANI mulai menurun yang disebabkan banyaknya klausul-klausul arbitrase yang tidak berdiri sendiri sendiri, melainkan mengikuti dengan klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke Pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan. Dengan kata lain, tidak sedikit kasus-kasus sengketa yang diterima oleh Pengadilan merupakan kasus-kasus yang sudah diputus oleh arbitrase BANI. Dengan demikian penyelesaian sengketa dengan cara ADR merupakan alternatif yang menguntungkan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Perkara mengatur tentang penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, yakni melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Undang-undang ini tidak seluruhnya memberikan pengertian atau batasan-batasan secara rinci dan jelas.15

b. Litigasi (Lembaga Peradilan)

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara litigasi dilakukan melalui peradilan agama. Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menambah tugas dan kewenangan baru bagi

13 Dadan Muttaqiem,Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Di Luar Lembaga Peradilan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun Ke XXIII NOMOR 266 Januari2008 (Jakarta: IKAHI, 2008) hlm. 60.

14 Suyud Margono, ADR dan Arbitrase,Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 82.

15 Listyo Budi Santoso, Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (Tesis), (Semarang: Universitas Diponegoro, 2009), hlm. 45.

Page 63: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

41Strategi Pengembangan Ekonomi Syariah melalui Penguatan Fungsi Pengadilan Agama ... (Kelik Pramudya)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa Ekonomi Syariah yang diajukan oleh masyarakat. Sejak saat itulah muncul paradigma baru bagi Peradilan Agama yaitu apabila sebelumnya Pengadilan Agama yang diidentikan sama dengan Peradilan keluarga, hukum perdata keluarga, maka dengan kewenangannya yang baru dapat mengadili sengketa di bidang ekonomi syariah. Perkara Ekonomi Syariah merupakan perkara di bidang ekonomi syariah meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, surat berharga berjangka syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, penggadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, bisnis syariah, termasuk wakaf, zakat, infaq, dan shadaqah yang bersifat komersial, baik yang bersifat kontensius maupun volunteer.

Pengadilan Agama menjadi lembaga peradilan tingkat pertama yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang–orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi Syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Jangkauan kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama dalam bidang ekonomi syariah sudah meliputi keseluruhan bidang ekonomi syariah. Hal ini dapat dipahami dari maksud kata ekonomi syariah itu sendiri yang dalam penjelasan pasal tersebut diartikan sebagai perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah. Artinya, seluruh perbuatan atau kegiatan usaha apa saja dalam bidang ekonomi yang dilakukan menurut prinsip syariah termasuk dalam jangkauan

kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama.

2. Pelaksanaan Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) telah menjadi kewenangan Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Penetapan Pengadilan Agama sebagai penyelesaian sengketa ekonomi syariah berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama memberikan perluasan kewenangan kepada Pengadilan Agama. Dengan perluasan kewenangan Pengadilan Agama sebagai pemutus sengketa ekonomi syariah membawa konsekuensi hukum bahwa pengadilan negeri tidak lagi berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa ”Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah; dan ekonomi syariah”. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 49 diuraikan lebih lanjut bahwa yang dimaksud ”antara orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.

Berkaitan dengan tata cara penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama, pada tahun 2016, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. PERMA ini untuk menjamin pelaksanaan

Page 64: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

42 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 35–47

Volume 7, Nomor 1, April 2018

penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang lebih sederhana, cepat dan biaya ringan. Berdasarkan PERMA Nomor 14 Tahun 2016 maka perkara ekonomi syariah dapat diajukan dalam bentuk gugatan sederhana atau dengan acara biasa. Pemeriksaan perkara dengan acara sederhana adalah pemeriksaan terhadap perkara ekonomi syariah yang nilainya paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pemeriksaan ini mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana kecuali hal-hal yang diatur secara khusus.

Penanganan perkara ekonomi syariah dengan cara sederhana mengacu kepada PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana atau biasa dikenal dengan istilah small claims court. Sementara itu, penanganan perkara ekonomi syariah dengan

cara biasa tetap mengacu kepada pelbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Baik dalam hal gugatan sederhana maupun gugatan biasa, penggugat dapat mengajukan perkaranya dengan datang ke kepaniteraan atau melalui pendaftaran elektronik. Bedanya, jika hendak mendaftarkan gugatan sederhana, penggugat cukup mengisi formulir atau blanko gugatan yang disediakan pengadilan. Isinya menguraikan identitas penggugat dan tergugat; penjelasan ringkas duduk perkara (posita); dan tuntutan penggugat (petitum). Selain itu, ketika mendaftarkan perkaranya, penggugat wajib melampirkan bukti surat yang sudah dilegalisasi. Pendaftaran perkara secara elektronik sesungguhnya bukan hal baru lagi di peradilan agama. Sejumlah pengadilan sudah menerapkannya, dengan beberapa varian. Namun, sejauh ini belum ada satupun regulasi yang mengaturnya.16 Berikut perbandingan cara penyelesaian sederhana dan cara biasa17:

16 Direktorat Jenderal Peradilan Agama, ”Membedah Perma Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah”,https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/membedah-perma-tata-cara-penyelesaian-perkara-ekonomi-syariah (diakses 15 Februari 2018).

17 Ibid.

Tabel.1. Perbandingan Acara Sederhana dan Biasa

Aspek Cara Sederhana Cara Biasa

Nilai gugatan Paling banyak Rp 200 juta Lebih dari Rp 200 juta

Domisili para pihak Penggugat dan tergugat berdomisili di wilayah hukum yang sama.

Penggugat dan tergugat tidak harus berdomisili di wilayah hukum yang sama.

Jumlah para pihak Penggugat dan tergugat masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali punya kepentingan hukum yang sama Penggugat dan tergugat masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali punya kepentingan hukum yang sama.

Penggugat dan tergugat masing-masing boleh lebih dari satu.

Alamat tergugat Harus diketahui Tidak harus diketahui

Page 65: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

43Strategi Pengembangan Ekonomi Syariah melalui Penguatan Fungsi Pengadilan Agama ... (Kelik Pramudya)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Aspek Cara Sederhana Cara Biasa

Pendaftaran perkara Menggunakan blanko gugatan Membuat surat gugatan

Pengajuan bukti-bukti Harus bersamaan dengan pendaftaran perkara

Pada saat sidang beragenda pembuktian

Pendaftaran perkara, penunjukan hakim dan panitera sidang

Paling lama 2 hari Paling lama hari

Pemeriksa dan pemutus Hakim tunggal Majelis hakim

Pemeriksaan pendahuluan

Ada Tidak ada

Mediasi Tidak ada Ada

Kehadiran para pihak Penggugat dan tergugat wajib menghadiri setiap persidangan secara langsung (impersonal), meski punya kuasa hukum

Penggugat dan tergugat tidak wajib menghadiri setiap persidangan secara langsung (impersonal)

Konsekuensi ketidakhadiran penggugat pada sidang pertama tanpa alasan yang sah

Gugatan dinyatakan gugur Gugatan tidak dinyatakan gugur

Pemeriksaan perkara Hanya gugatan dan jawaban Dimungkinkan adanya tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, dan kesimpulan

Batas waktu penyelesaian perkara

25 hari sejak sidang pertama 5 bulan

Penyampaian putusan Paling lambat 2 hari sejak putusan diucapkan

Paling lambat 7 hari sejak putusan diucapkan

Upaya hukum dan batas waktu penyelesaiannya

Keberatan (7 hari sejak majelis hakim ditetapkan)

Banding (3 bulan), kasasi (3 bulan) dan peninjauan kembali (3 bulan)

Batas waktu pendaftaran upaya hukum

7 hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan

14 hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan

Kewenangan pengadilan tingkat banding dan MA

Tidak ada Ada

PERMA Nomor 14 Tahun 2016 menjadi regulasi pertama yang mengakomodasi kemungkinan pengajuan perkara dengan memanfaatkan internet di lingkungan peradilan agama. Mengenai formulir atau blanko gugatan, sebagian pengadilan sudah menyediakannya dan sebagian yang lain belum. Biasanya, blanko-

blanko gugatan itu dibuat dalam beberapa versi, mengikuti jenis-jenis perkara yang menjadi kompetensi absolut peradilan agama. Hanya, sejauh ini memang belum ada regulasi yang mengaturnya, sehingga formatnya bervariasi. Bukti-bukti surat dari penggugat, dalam gugatan sederhana, wajib dilampirkan pada surat

Page 66: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

44 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 35–47

Volume 7, Nomor 1, April 2018

18 Ibid.19 Ibid.

gugatan pada saat mendaftarkan gugatan. Hal ini sejalan dengan konsep dasar small claims court, yang hanya membebankan penggugat untuk mengurai fakta hukum beserta bukti-buktinya, tanpa perlu pusing dengan urusan dasar hukum. Selain itu, keharusan menyediakan bukti-bukti saat pendaftaran bertujuan untuk memberikan kesempatan yang lebih dini kepada tergugat untuk menyiapkan jawaban. Dengan demikian pemeriksaan perkara gugatan sederhana bisa lebih hemat waktu. Jika tergolong small claims court, ketua pengadilan cukup menunjuk satu orang hakim, sedangkan jika termasuk gugatan biasa, ketua pengadilan menunjuk majelis hakim. Hakim tunggal dalam perkara gugatan sederhana dan majelis hakim dalam perkara gugatan biasa harus sudah bersertifikat. Artinya, mereka harus lulus dalam sertifikasi hakim ekonomi syariah yang diselenggarakan MA, berdasarkan PERMA Nomor 5 Tahun 2016. Kalau di PA tersebut belum ada hakim yang bersertifikat, maka ketua pengadilan dapat menunjuk hakim yang pernah mengikuti diklat fungsional ekonomi syariah.18

PERMA Nomor 14 Tahun 2016 sangat akomodatif terhadap perkembangan teknologi informasi. Selain melegitimasi pendaftaran perkara online, PERMA yang berisi 15 Pasal pada 11 Bab ini juga memberi peluang pemeriksaan ahli melalui teknologi informasi, misalnya via teleconference. Hal-hal lain berkaitan dengan gugatan sederhana dalam perkara ekonomi syariah yang perlu pengaturan lebih spesifik di antaranya adalah format blanko gugatan sederhana, komponen-komponen dan nominal panjar biaya perkara, register perkara, format penetapan oleh hakim tunggal mengenai

kelayakan berperkara secara sederhana, format berita acara sidang dan putusan, juga prosedur dan biaya upaya hukum keberatan.19

3. Penguatan fungsi Pengadilan Agama dalam penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

Sebagaimana telah diuraikan di awal bahwa perkembangan hubungan hukum di masyarakat dalam bidang ekonomi, khususnya dalam bidang perjanjian yang menggunakan prinsip-prinsip syariah mengalami perkembangan yang signifikan. Perkembangan hukum di bidang ekonomi syariah dan keperdataan lainnya di masyarakat tersebut tentu membutuhkan prosedur penyelesaian yang lebih sederhana, cepat dan biaya ringan, terutama di dalam hubungan hukum yang bersifat sederhana. Pada prinsipnya penyelesaian sengketa ekonomi secara litigasi di pengadilan merupakan tindakan ultimum remedium melalui lingkungan peradilan yang berwenang. Ultimum remedium berupa tindakan terakhir yang dapat ditempuh apabila tidak diperoleh upaya penyelesaian secara kekeluargaan. Saat ini di Indonesia lingkungan peradilan yang mempunyai kewenangan dalam hal penyelesaian sengketa ekonomi yaitu lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan agama.

Di sisi lain, keberadaan lembaga alternatif merupakan tantangan bagi pengadilan agama dalam peningkatan kualitas. Artinya apakah pencari keadilan lebih memilih Pengadilan Agama daripada alternatif penyelesaian sengketa sangat bergantung dari kesiapan pengadilan agama. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 93/PUU-X/2012 telah menganulir Pasal 55 ayat

Page 67: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

45Strategi Pengembangan Ekonomi Syariah melalui Penguatan Fungsi Pengadilan Agama ... (Kelik Pramudya)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

(2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 yang menyebabkan dualisme penanganan perkara antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Putusan MK tersebut menuntut Pengadilan Agama untuk semakin profesional dalam menangani sengketa ekonomi syariah. Profesionalisme dalam bentuk kesiapan dan kecakapan hakim PA merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan kepercayaan publik, khususnya dalam hal penyelesaian sengketa ekonomi syariah.20 Guna menjawab kepercayaan publik tersebut khususnya dalam bidang kompetensi Sumber Daya Manusia, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama menyiapkan hakim yang berkualitas, misalnya dengan menyelenggarakan Training of Trainer bagi hakim baik di tingkat pertama maupun banding di samping menyelenggarakan pelatihan-pelatihan baik di dalam maupun luar negeri.21 Selain pelatihan, hal ini dapat juga dilakukan dalam bentuk diskusi terbatas seperti lokakarya, seminar, maupun diskusi internal antara hakim untuk membahas hal-hal aktual di bidang ekonomi syariah dan ekonomi dan bisnis nasional maupun internasional. Pertemuan berkala bagi para pelaku yang terkait dalam lingkup ekonomi syariah untuk membahas soal-soal teknis sangat dibutuhkan. Harus diakui bahwa pemahaman mengenai industri jasa keuangan syariah kepada hakim-hakim peradilan agama masih minim. Atas dasar itu, kerjasama untuk memberikan pengetahuan secara menyeluruh mengenai industri jasa keuangan syariah ke para hakim dapat terus dilakukan. Langkah awal bisa

dimulai dengan sosialisasikan program ke hakim-hakim pengadilan tinggi di daerah.

Penguatan dalam diri peradilan agama harus terus ditingkatkan. Selain menyelenggarakan pelatihan pada hakim karir, dalam perekrutan Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan peradilan agama hendaknya diperhatikan mengenai pengetahuan tentang ekonomi syariah bagi calon ASN. Hal ini karena faktor Sumber Daya Manusia menjadi faktor terpenting dalam kesiapan dan peningkatan mutu pengadilan agama. Perluasan kewenangan Pengadilan Agama untuk menangani sengketa ekonomi syariah, merupakan fenomena baru yang harus dihadapi oleh seluruh jajaran (pegawai dan hakim) Peradilan Agama. Di satu sisi, seluruh hakim Pengadilan Agama memiliki latar belakang pendidikan hukum Islam, yang selama ini tidak menangani sengketa yang terkait dengan ekonomi syariah, sehingga wawasan mereka tentang ekonomi syariah sangat terbatas. Di sisi lain, Pengadilan Agama harus memiliki hakim-hakim khusus yang kapabel dalam menangani sengketa ekonomi syariah. Para hakim juga dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Karena hakim dianggap tahu akan hukumnya, sehingga hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak ada atau kurang jelas.22 Sejauh ini asumsi yang berkembang di masyarakat masih mengenal Pengadilan Agama sebagai lembaga penyelesaian perkara cerai. Guna mewujudkan bentuk ideal, pengadilan agama perlahan harus bisa lepas dari kesan ini. Para hakim harus

20 Potret Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah. Majalah Peradilan Agama Edisi 3, Des 2013-Feb 2014.hlm. 18.21 Ibid.22 Siti Nurhayati, ”Penguatan Peran Hakim Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/202,”Yudisia, Vol. 7, No. 2 Desember (2006): 325-326.

Page 68: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

46 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 35–47

Volume 7, Nomor 1, April 2018

selalu memperkaya pengetahuan hukum, juga sebagai pertanggungjawaban moral atas klaim bahwa apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veretatur habetur). Sejalan dengan itu, setiap hakim Pengadilan Agama dituntut untuk lebih mendalami dan menguasai soal perekonomian syariah. Para hakim ini dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Hal ini sesuai adagium ius curia novit, karena dalam hal ini hakim dianggap tahu akan hukumnya walaupun perkara tersebut adalah perkara yang baru yang menjadi kewenangannya. Wawasan yang dimiliki hakim Pengadilan Agama terkait penanganan sengketa ekonomi syariah masih terbatas. Wawasannya akan jauh dibanding masalah sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf dan sedekah yang selama ini ditanganinya.

Profesi hakim merupakan profesi yang mulia sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dalam menjamin keadilan, hakim harus mampu mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan bukan kepada kepentingan sendiri. Ke depan salah satu tantangan bagi para hakim Pengadilan Agama adalah mengawal perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Masyarakat tentunya berharap para hakim Pengadilan Agama di seluruh Indonesia dapat lebih mengerti mengenai regulasi dan seluk beluk ekonomi syariah.

Penguatan lain yang perlu dilakukan di Pengadilan Agama adalah mengubah stigma dan pandangan masyarakat tentang Pengadilan Agama. Pengadilan Agama harus terlepas dari kesan sebagai tempat perceraian. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan pemasangan papan informasi tentang penyelesaian sengketa

ekonomi syariah di setiap sudut pengadilan, misalnya di pintu gerbang, pintu masuk, ruang tunggu dan tempat parkir. Bahkan apabila perlu, Pengadilan harus menyediakan meja pendaftaran khusus perkara perkara ekonomi syariah dengan tulisan dan prosedur yang jelas dan mudah dibaca pencari keadilan. Langkah-langkah tersebut merupakan salah satu terobosan yang dapat ditempuh guna menunjukkan kepada masyarakat bahwa Pengadilan Agama siap dan mampu menyelesaikan perkara ekonomi syariah.

D. Penutup

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia dapat dilakukan di luar pengadilan (non litigasi) atau di dalam pengadilan (litigasi). Penyelesaian secara non litigasi ada dua opsi yaitu melalui arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR), sedangkan untuk litigasi menjadi kewenangan Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama mengalami pembaruan. Hal ini setelah terbit Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. PERMA ini untuk menjamin pelaksanaan penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang lebih sederhana, cepat dan biaya ringan. Berdasarkan PERMA Nomor 14 Tahun 2016 maka perkara ekonomi syariah dapat diajukan dalam bentuk gugatan sederhana (bernilai di bawah 200 juta) atau dengan acara biasa.

Penguatan Pengadilan Agama dalam rangka melaksanakan penyelesaian sengketa ekonomi syariah dilakukan dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Pengadilan. Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung

Page 69: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

47Strategi Pengembangan Ekonomi Syariah melalui Penguatan Fungsi Pengadilan Agama ... (Kelik Pramudya)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

saat ini telah mengadakan berbagai pelatihan baik dalam maupun diluar negeri untuk meningkatkan kompetensi para hakim pengadilan agama dalam hal penanganan ekonomi syariah. Penguatan perlu dilakukan pula dari segi rekrutmen di mana calon ASN yang akan ditempatkan di Pengadilan Agama paling tidak harus mempunyai pengetahuan dasar tentang ekonomi syariah.

Oleh sebab itu disarankan agar Pengadilan Agama perlu membuat kamar khusus dalam perkara ekonomi syariah, di mana harus diisi hakim-hakim yang berkompeten dan memiliki pengetahuan cukup tentang ekonomi syariah agar dapat menghasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi rasa keadilan. Dan juga Pengadilan Agama harus lepas dari kesan sebagai tempat perceraian. Oleh karena itu Pengadilan Agama perlu melakukan sosialisasi dengan memanfaatkan berbagai media untuk menunjukkan kesiapan Pengadilan Agama dalam menangani perkara ekonomi syariah.

Daftar Pustaka

BukuAnshori, Abdul Ghofar. Pokok-Pokok Hukum

Perjanjian Islam di Indonesia (Yogyakarta: Citra Media, 2006).

Anshori, Abdul Ghofar, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan & Kewenangan), (Yogyakarta: UII Press, 2007).

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani, 2001).

Burhanuddin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010).

Kara, Muslimin H., Bank Syariah Di Indonesia analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Perbankan Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2005).

Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2000).

Margono, Suyud, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000).

Muhammad, Aspek Hukum Dalam Muamalat (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmuji.Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali Pers, 2007).

Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil PenelitianAbdurrahman, Penyelesaian Sengketa Ekonomi

Syariah di Indonesia, (Banjarmasin: Makalah Orasi Ilmiah disampaikan pada Pembukaan Kuliah Fakultas Syariah IAIN Antasari, 30 Agustus 2010).

Fitria, Tira Nur, ”Kontribusi Ekonomi Islam Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional,”Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam Vol. 02, No. 03 (2016).

Muttaqiem, Dadan, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Di Luar Lembaga Peradilan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun Ke XXIII Nomor 266 Januari 2008 (Jakarta: IKAHI, 2008).

Nurhayati, Siti, ”Penguatan Peran Hakim Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/202,”Yudisia, Vol. 7 No. 2 Desember (2006).

Santoso, Listyo Budi, Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (Tesis), (Semarang: Universitas Diponegoro, 2009).

InternetDirektorat Jenderal Peradilan Agama, ”Membedah

Perma Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah”, https://badilag.mahkamahagung.g o . i d /s e p u ta r- d i t j e n - b a d i l a g /s e p u ta r-ditjen-badilag/membedah-perma-tata-cara penyelesaian-perkara-ekonomi-syariah (diakses 15 Februari 2018).

OJK, ”Laporan Perkembangan Keuangan Syariah 2016,” http://www.ojk.go.id/en/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/OJK-Publishes-2016-Islamic-Banking-and-FinanceDevelopmentReport/Laporan%20Perkembangan%20Keuangan%20Syariah%20%28LPKS%29%202016.pdf (diakses 16 Februari 2018).

Sutan, Fakhrurazi Reno, ”Kajian Hukum Bisnis Syariah,”Jurnal Misykat al-Anwar,Vol 29, No.1 (2008), http://fai-umj.ac.id/jurnal/index.php/MaA16/article/view/62/51 (diakses 16 Februari 2018).

Page 70: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

48 Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41

”Halaman ini dikosongkan”

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Page 71: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

49Harmonisasi Penyelesaian Sengketa Merek di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Niaga (Sudarsono)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

HARMONISASI PENYELESAIAN SENGKETA MEREK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DAN PENGADILAN NIAGA

(Harmonization of Trademark Dispute Settlement in the Administrative Court and the Commercial Court)

SudarsonoDirektorat Jenderal Badilmiltun Mahkamah Agung Republik Indonesia

Jalan A Yani Kav. 58, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, IndonesiaEmail: [email protected]

Naskah diterima: 19 Februari 2018; revisi: 5 April 2018; disetujui: 17 April 2018

AbstrakDengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, maka penyelesaian sengketa Merek dilaksanakan oleh dua lembaga peradilan, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Niaga. Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang menyelesaikan sengketa penghapusan Merek terdaftar atas prakarsa Menteri, sedangkan Pengadilan Niaga berwenang menyelesaikan sengketa Pendaftaran Merek, sengketa Penghapusan Merek oleh Pihak Ketiga, Sengketa Pembatalan Merek, dan sengketa Pelanggaran Merek. Sengketa Pendaftaran Merek pada hakikatnya adalah sengketa atas Keputusan Menteri, sehingga apabila garis batas kompetensinya tidak dipertegas dapat menimbulkan tumpang tindih penyelesaian di antara kedua badan peradilan tersebut. Untuk itu dilakukanlah penelitian hukum ini, dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasilnya adalah perlu diterbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang penentuan garis batas kewenangan antara kedua lembaga peradilan tersebut, yaitu bahwa kompetensi Pengadilan Niaga adalah semua sengketa yang telah ditentukan UU Nomor 20 Tahun 2016 untuk diselesaikan oleh Pengadilan Niaga dan sengketa keperdataan yang terkait dengan Merek, sedangkan kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara adalah sengketa Penghapusan Merek atas prakarsa Menteri dan semua Keputusan dan/atau Tindakan Menteri yang berkaitan dengan Merek yang tidak ditentukan UU Nomor 20 Tahun 2016 untuk diselesaikan Pengadilan Niaga.Kata Kunci: harmonisasi, kompetensi, sengketa merek

AbstractWith the enactment of Law Number 20 of 2016, the settlement of Trademark dispute is carried out by two judicial institutions: the Administrative Court and the Commercial Court. The Administrative Court is authorized to resolve the dispute of a Trademark deletion by the initiative of the Minister, while the Commercial Court is authorized to resolve the disputes of Trademark registry, Trademark deletion by Third Party, Trademark annulment, and the dispute over Trademark. The Trademark Registration Dispute is essentially a dispute over the Ministerial Decree, so if the boundary line of its authority is not confirmed it may lead to overlapping settlement between the two courts. For that purpose, this legal research is conducted using the statute approach and conceptual approach. The result is the need to be published a Supreme Court Circular Letter on the determination of the boundary of authority between the two courts, namely that the competence of the Commercial Court is all disputes that have been determined in Law Number 20 of 2016 to be resolved by the Commercial Court and civil disputes related to the Trademarks, while the competence of the Administrative Court is the dispute of a Trademark deletion by the initiative of the Minister and all decisions and/or actions of Minister relating to Trademarks that are not stipulated by Law Number 20 of 2016 to be resolved by the Commercial Court.Keywords: harmonization, competence, trademark dispute

Page 72: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

50 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 49–65

Volume 7, Nomor 1, April 2018

A. Pendahuluan

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (termasuk transportasi) telah membuat sektor perdagangan meningkat pesat dan menjadi sektor utama penggerak perekonomian suatu negara. Perdagangan di era global ini telah menjadi sektor utama dalam peningkatan kemakmuran suatu negara, sebagaimana terlihat dari 57% produk domestik kotor (GDP) Belanda dan 53% GDP Afrika Selatan yang tergantung pada perdagangan global.1 Pemerintahan Negara Indonesia yang diamanatkan untuk ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” harus terlibat aktif dalam melindungi dan mensejahterakan warganya dalam dunia perdagangan tersebut.2 Negara tidak boleh membiarkan dunia perdagangan berjalan sendiri dengan alasan perdagangan adalah sektor privat yang sebaiknya dijauhi oleh birokrasi sebagaimana ajaran negara hukum klasik (liberale rechtsstaat), namun negara harus turut berperan menjaga keadilan dan kepastian hukum di dunia perdagangan tersebut.

Salah satu instrumen penting dalam perdagangan adalah Merek, yaitu ”tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi

dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa”.3 Dengan adanya Merek, maka semua pihak yang terlibat dalam perdagangan (Pembeli, Penjual maupun Masyarakat) akan dipacu untuk berbuat jujur, menjaga kualitas dan inovatif. Indonesia terlibat aktif dalam upaya mewujudkan perdagangan yang adil dan berkepastian hukum melalui Merek tersebut, di antaranya dengan meratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Konvensi Paris) yang telah disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 dan Trademark Law Treaty (Traktat Hukum Merek) yang disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997.4

Dalam upaya mewujudkan pengaturan yang lebih baik atas Merek, pada tanggal 25 Nopember 2016 telah diundangkan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (selanjutnya disebut juga dengan UU Merek) yang merupakan pengganti dari UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Salah satu materi yang diatur dalam UU Merek adalah mengenai penyelesaian sengketa Merek. Jika sebelumnya berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2001 telah ditentukan bahwa penyelesaian sengketa Merek hanya melalui Pengadilan Niaga, maka UU Merek telah menentukan bahwa penyelesaian sengketa Merek dilaksanakan oleh dua badan peradilan, yaitu Pengadilan Niaga dan Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN).5

1 Peter van den Bossche, dkk, Pengantar Hukum WTO (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 1.2 Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.3 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.4 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.5 Pasal 73 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Page 73: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

51Harmonisasi Penyelesaian Sengketa Merek di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Niaga (Sudarsono)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Sebagai bentuk penguatan perlindungan hukum bagi masyarakat, pemberlakuan dual jurisdiction oleh Pengadilan Niaga dan Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) dalam sengketa Merek tersebut sangat bagus, namun juga memiliki sisi negatif berupa kurangnya kepastian hukum akibat adanya wilayah abu-abu (grey area) di antara kedua pengadilan tersebut. Terlebih lagi, mengingat prinsip yang dianut UU Merek adalah first to file principle bukan first come first out, di mana setiap pemegang merek yang baru akan diakui kepemilikannya atas merek tersebut jika telah melakukan pendaftaran atas merek yang dimilikinya tersebut, sehingga pada dasarnya yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa merek adalah Keputusan Menteri atas Pendaftaran Merek.6 Keputusan Menteri atas Pendaftaran Merek dapat dikategorikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut juga dengan UU Peradilan TUN) juncto Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut juga UU Administrasi Pemerintahan). Sebagai Keputusan TUN, semua Keputusan Menteri atas Pendaftaran Merek pada dasarnya adalah kompetensi Pengadilan TUN. Meski demikian, UU Merek menentukan bahwa hanya Keputusan Menteri tentang Penghapusan Merek Terdaftar yang menjadi kompetensi Pengadilan TUN, sedangkan

Keputusan Menteri lainnya berupa Keputusan Menteri tentang Penolakan Pendaftaran Merek, Keputusan Menteri tentang Penghapusan Merek Atas Permohonan Pihak Ketiga, maupun Keputusan Menteri tentang Pembatalan Merek merupakan kompetensi Pengadilan Niaga. Selain beberapa Keputusan Menteri yang secara tegas telah ditentukan kompetensi badan peradilan yang harus mengadilinya, ternyata dimungkinkan juga terdapat sengketa atas Keputusan Menteri di luar yang telah ditentukan dalam UU Merek, seperti pengajuan gugatan fiktif positif sebagaimana dimaksud Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan juncto Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan.

Berangkat dari paparan di atas, perlu dilakukan penelitian hukum guna memperjelas garis batas kompetensi Pengadilan TUN dan Pengadilan Niaga dalam sengketa Merek, serta mengharmonisasikan penyelesaian sengketa Merek di antara kedua Pengadilan tersebut. Dengan adanya harmonisasi penyelesaian sengketa Merek, maka akan terwujud perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, khususnya dalam dunia perekonomian, yang pada ujungnya akan turut mempercepat laju perkembangan ekonomi nasional.

Berdasarkan hal di atas, maka yang menjadi isu hukum utama dalam tulisan ini adalah ”harmonisasi penyelesaian sengketa Merek di Pengadilan TUN dan Pengadilan Niaga”, yang akan meneliti: bagaimana rezim pendaftaran

6 Pasal 3 juncto Pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Page 74: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

52 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 49–65

Volume 7, Nomor 1, April 2018

merek dalam UU Merek?; bagaimana kompetensi Peradilan TUN dan Pengadilan Niaga dalam menyelesaiakan sengketa merek menurut UU Merek?; dan bagaimana mengharmonisasikan penyelesaian sengketa merek di Pengadilan TUN dan Pengadilan Niaga?

B. Metode Penelitian

Tulisan yang berjudul ”Harmonisasi Penyelesaian Sengketa Merek di Pengadilan TUN dan Pengadilan Niaga” ini didasarkan pada penelitian hukum normatif, suatu jenis penelitian yang lazim dilakukan dalam kegiatan pengembanan Ilmu Hukum.7 Pendekatan masalah yang digunakan untuk menjawab isu hukum dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dimaksudkan untuk menginventarisasi, memaparkan, menginterpretasi, mensistematisasi, dan mengevaluasi Peraturan Perundang-undangan yang ada relevansinya dengan isu hukum penelitian ini, seperti UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek, dan seterusnya. Pendekatan konseptual (conceptual approach)

dilakukan dengan mengkaji, mengidentifikasi, dan menganalisis konsep-konsep hukum yang ada relevansinya dengan pembahasan dalam penelitian ini, di antaranya konsep pendaftaran merek, konsep keputusan TUN, konsep sengketa keperdataan, dan konsep penyelesaian sengketa.

C. Pembahasan

1. Rezim Pendaftaran Merek dalam UU Merek

a. Karakteristik Norma Pendaftaran Merek

”Hak atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut terdaftar”, demikian bunyi Pasal 3 UU Merek. Ketentuan tersebut menempatkan Pendaftaran Merek sebagai satu-satunya cara bagi seseorang/badan hukum perdata untuk memperoleh hak atas suatu Merek. Meski demikian, UU Merek maupun Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek (selanjutnya disebut juga dengan Permenkumham Pendaftaran Merek) tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan ”Pendaftaran Merek” tersebut. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut hanya mendefinisikan ”Permohonan” pendaftaran merek sebegai ”permintaan pendaftaran Merek yang diajukan kepada Menteri”.8 Untuk mengetahui konsep Pendafaran Merek, dapat dilacak dalam UU Nomor 20 Tahun 2016 pada Bab III (Permohonan Pendaftaran Merek) dan Bab IV (Pendaftaran Merek) juncto Permenkumham Pendaftaran Merek.

7 Bernard Arief Sidharta, Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal Dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (eds), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi Dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hlm. 142.

8 Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis juncto Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek.

Page 75: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

53Harmonisasi Penyelesaian Sengketa Merek di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Niaga (Sudarsono)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Bab III UU Merek berisi syarat dan tata cara Permohonan Merek oleh pemohon kepada Menteri, pemeriksaan kelengkapan persyaratan, hingga pengumumannya pada Berita Resmi Merek oleh Menteri. Sedangkan Bab IV UU Merek berisi Hukum Materiil dan Hukum Formil dalam Pendaftaran Merek. Hukum Materiil Merek adalah sebagaimana Pasal 20-21 UU Merek, yang menentukan mana Merek yang boleh didaftar dan mana Merek yang harus ditolak pendaftarannya oleh Menteri. Selebihnya adalah Hukum Formil berupa prosedur bagi Menteri dalam proses Pendaftaran Merek, mulai dari pemeriksaan atas permohonan, pendaftaran merek, penerbitan Sertipikat Merek dan pengumumannya, hingga pengajuan Banding ke Komisi Banding. Dari rangkaian ketentuan tersebut, Pendaftaran Merek dapat didefinisikan sebagai kewenangan Menteri untuk mendaftarkan suatu merek yang dimohonkan oleh pemohon sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan beberapa karakteristik Pendaftaran Merek, sebagai berikut:

Pertama, Pendaftaran Merek termasuk dalam rezim Hukum Publik.

Hukum dapat dibedakan dari segi kepentingan yang diaturnya, yaitu Hukum Publik dan Hukum Privat. Hukum Publik berkaitan dengan fungsi negara, sedangkan hukum privat berkaitan dengan kepentingan individu. Hukum Publik berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan sosial dan pemberdayaan warga negara dalam lingkup kepentingan umum, yang diwujudkan dengan penerbitan aturan-

aturan hukum. Sedangkan Hukum Privat adalah hubungan hukum di antara sesama warga negara, yang kepentingannya bermakna khusus (privat, perdata) di antara warga negara saja.9

Dalam konteks sengketa Merek sebagaimana diatur dalam UU Merek, terdapat empat jenis sengketa Merek, yaitu sengketa Pendaftaran Merek, sengketa Penghapusan Merek, Sengketa Pembatalan Merek, dan sengketa Pelanggaran Merek.10 Dari keempat jenis sengketa tersebut, tiga yang pertama adalah termasuk Hukum Publik, karena yang dipermasalahkan adalah Pendaftaran Merek oleh Menteri, dimana Menteri dalam melaksanakan Pendaftaran Merek tersebut adalah Pejabat Pemerintahan yang telah ditentukan kewenangan dan prosedurnya dalam penerbitan Merek berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan sengketa keempat berupa sengketa Pelanggaran Merek yang diajukan oleh Pemilik Merek kepada pihak lain yang menggunakan Mereknya adalah termasuk sengketa keperdataan berupa gugatan ganti rugi, sehingga termasuk dalam Hukum Privat.

Kedua, Keputusan Pendaftaran Merek termasuk Keputusan TUN.

Definisi Keputusan TUN dapat ditemukan dalam UU Peradilan TUN, yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undanganan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata.11 Dengan berlakunya UU Administrasi Pemerintahan, maka pengertian Keputusan TUN tersebut di atas

9 Peter Machmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hlm. 211-212.10 Bab IV, Bab XII dan Bab XV UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.11 Pasal 1 angka 9 UU Peradilan TUN.

Page 76: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

54 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 49–65

Volume 7, Nomor 1, April 2018

harus dimaknai sebagaimana ketentuan Pasal 87 Undang Undang Administrasi Pemerintahan, selengkapnya sebagai berikut:

”Dengan berlakunya UU ini, Keputusan TUN sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2004 dan UU Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai: a. penetapan tertulis yang juga mencakup

tindakan faktual;b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat TUN di

lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;

c. berdasarkan ketentuan perundang-undanganan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik;

d. bersifat final dalam arti lebih luas; e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan

akibat hukum; dan/atauf. Keputusan yang berlaku bagi Warga

Masyarakat.”

Dari unsur-unsur yang harus terpenuhi secara kumulatif untuk dapat disebut sebagai Keputusan TUN tersebut, apabila dihubungkan dengan Pendaftaran Merek dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:- unsur Penetapan Tertulis yang juga

mencakup tindakan faktual, terlihat dari bentuk Pendaftaran Merek adalah tertulis;

- unsur dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya, terlihat dari keputusan Pendaftaran Merek diterbitkan oleh Pejabat TUN yaitu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;

- unsur berisi Tindakan Hukum TUN, yakni tindakan Menteri dalam menerbitkan keputusan yang berkaitan dengan

Pendaftaran Merek merupakan tindakan hukum yang berada pada wilayah Hukum Administrasi Negara;

- unsur berdasarkan peraturan perundang-undanganan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, terlihat penerbitan keputusan Pendaftaran Merek didasarkan pada UU Nomor 20 Tahun 2016 dan peraturan perundang-undanganan lainnya yang berkaitan;

- unsur Kongkret terlihat dari hal yang diputuskan dalam keputusan Pendaftaran Merek adalah telah nyata/berwujud dan tidak abstrak, berupa penetapan adanya hak bagi para pemegang Sertifikat Merek atas suatu merek yang memungkinkannya melakukan tindakan hukum seperti melakukan perdagangan, dan sebagainya;

- unsur Final dalam arti luas, terlihat dari keputusan Pendaftaran Merek telah bersifat definitif, sehingga telah berakibat hukum bagi Pemohon Pendaftaran Merek maupun pihak lain yang berkepentingan;

- unsur keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat, terlihat bahwa keputusan Pendaftaran Merek ditujukan kepada Pemohon Pendaftaran Merek, dan mengikat pula pihak lain yang tidak berhak untuk tidak menggunakan merek yang telah diberikan kepada Pemohon Pendaftaran Merek.

Dengan demikian, Keputusan Menteri tentang Pendaftaran Merek telah memenuhi kriteria Keputusan TUN.

b. Beberapa Prosedur Yang Berkaitan Dengan Pendaftaran Merek

Beberapa prosedur yang berkaitan dengan pendaftaran merek diatur dalam UU Merek dan Permenkumham Pendaftaran Merek,

Page 77: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

55Harmonisasi Penyelesaian Sengketa Merek di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Niaga (Sudarsono)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

terdiri dari: prosedur Pendaftaran Merek, prosedur Perpanjangan Merek, dan prosedur Penghapusan Merek.

Untuk prosedur Pendaftaran Merek pada pokoknya adalah sebagai berikut:1) Permohonan Pendaftaran Merek. Permohonan diajukan oleh Pemohon (orang

atau badan hukum) kepada Menteri, dengan memenuhi persyaratan sebagaimana Pasal 4-10 UU Merek juncto Bab II Bagian Kesatu Permenkumham Pendaftaran Merek.

2) Pengumuman Permohonan. Setelah berkas Permohonan lengkap, maka

Menteri mengumumkan Permohonan tersebut dalam Berita Resmi Merek selama 2 (dua) bulan.

3) Keberatan dan Sanggahan. Selama masa dua bulan Pengumuman

tersebut, pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan Keberatan kepada Menteri atas Permohonan Pendaftaran Merek. Dan atas Keberatan tersebut, pihak Pemohon dapat mengajukan Sanggahan balik.

4) Pemeriksaan Substantif Merek. Pemeriksaan Substantif merupakan peme-

riksaan yang dilakukan oleh Pemeriksa terhadap Permohonan Pendaftaran Merek, termasuk jika ada Keberatan dan Sanggahan. Jika dalam pemeriksaan tersebut diketahui Merek yang dimohonkan memenuhi syarat, maka Menteri akan mendaftarkan Merek tersebut. Sebaliknya, jika Merek yang dimohonkan tidak memenuhi syarat, maka Menteri akan memutuskan bahwa Permohonan tidak dapat didaftar atau ditolak.

5) Tanggapan atas Penolakan Pendaftaran. Apabila Permohonannya ditolak oleh

Menteri, Pemohon dapat mengajukan

Tanggapan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak ditolaknya Permohonan. Apabila Tanggapan tersebut dikabulkan, maka Menteri akan mendaftar Merek yang dimohonkan. Sebaliknya, apabila Menteri menolak Tanggapan tersebut, maka Permohonan Merek ditolak.

6) Banding. Pemohon Pendaftaran yang ditolak oleh

Menteri dapat mengajukan Banding kepada Komisi Banding Merek. Apabila permohonan Banding dikabulkan, maka Menteri akan mendaftar Merek yang dimohonkan. Sebaliknya, apabila Menteri menolak permohonan Banding tersebut, maka Permohonan Merek ditolak.

7) Gugatan ke Pengadilan Niaga. Pemohon Pendaftaran yang Permohonan

Bandingnya ditolak oleh Komisi Banding Merek, dapat mengajukan Gugatan kepada Pengadilan Niaga. Upaya Hukum atas Putusan Pengadilan Niaga adalah Kasasi ke Mahkamah Agung.

Sedangkan untuk prosedur Perpanjangan Merek pada pokoknya adalah sebagai berikut:1) Permohonan Perpanjangan Merek diajukan

oleh Pemilik Merek dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sebelum masa berakhirnya Merek.

2) Syarat disetujuinya Permohonan Perpanjangan Merek adalah jika Merek yang bersangkutan masih digunakan pada barang atau jasa sebagaimana dicantumkan dalam sertifikat Merek tersebut, dan barang atau jasa sebagaimana Merek tersebut masih diproduksi dan/atau diperdagangkan. Sebaliknya, jika Merek sudah tidak dipergunakan atau barangnya tidak diproduksi/diperdagangkan, maka

Page 78: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

56 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 49–65

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Permohonan Perpanjangan Merek akan ditolak.

3) Terhadap Penolakan Permohonan Perpanjangan Merek, Pemilik Merek dapat mengajukan Permohonan Banding kepada Komisi Banding Merek. Apabila permohonan Banding dikabulkan, maka Menteri akan memperpanjang pendaftaran Merek yang dimohonkan. Sebaliknya, apabila Menteri menolak permohonan Banding tersebut, maka Permohonan Perpanjangan Merek ditolak.

4) Pemohon Perpanjangan Merek yang Permohonan Bandingnya ditolak oleh Komisi Banding Merek, dapat mengajukan Gugatan kepada Pengadilan Niaga. Upaya Hukum atas Putusan Pengadilan Niaga adalah Kasasi ke Mahkamah Agung.

Kemudian terhadap prosedur Penghapusan Merek dapat diajukan oleh Pemilik Merek, atas prakarsa Menteri, atau atas Permohonan Pihak Ketiga.

Prosedur Penghapusan Merek yang diajukan oleh Pemilik Merek:1) Pemilik Merek mengajukan Permohonan

Penghapusan Merek kepada Menteri.2) Menteri mencatat penghapusan Merek

tersebut dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Merek.

Prosedur Penghapusan Merek atas prakarsa Menteri:1) Menteri dapat menghapus suatu Merek

apabila Merek tersebut:a) memiliki persamaan pada pokoknya dan/

atau keseluruhannya dengan Indikasi Geografis;

b) bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perUUan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum; atau

c) memiliki kesamaan pada keseluruhannya dengan ekspresi budaya tradisional, warisan budaya tak benda, atau nama atau logo yang sudah merupakan tradisi turun temurun.

2) Sebelum menyatakan penghapusannya, Menteri terlebih dahulu harus mendapatkan rekomendasi dari Komisi Banding Merek.

3) Pemilik Merek yang dihapus oleh Menteri dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN.

4) Upaya hukum atas Putusan Pengadilan TUN adalah Kasasi ke Mahkamah Agung.

Prosedur Penghapusan Merek atas Permohonan Pihak Ketiga:1) Penghapusan Merek terdaftar dapat

pula diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam bentuk gugatan ke Pengadilan Niaga dengan alasan Merek tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir.

2) Apabila gugatan dikabulkan dan putusan telah berkekuatan hukum tetap, maka Penghapusan Merek terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

Dari rangkaian prosedur tersebut, terbaca bahwa inti dari Pendaftaran Merek adalah Keputusan Menteri yang tergolong sebagai Keputusan TUN, karena prinsip pendaftaran yang dianut adalah first to file principle sebagaimana dimaksud Pasal 3 juncto Pasal 21 ayat (1) huruf a UU Merek.

Page 79: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

57Harmonisasi Penyelesaian Sengketa Merek di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Niaga (Sudarsono)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

2. Kompetensi Pengadilan TUN dan Pengadilan Niaga dalam penyelesaian sengketa Merek

a. Sejarah Pengaturan Kompetensi Penyelesaian Sengketa Merek

Sebelum berlakunya UU Nomor 15 Tahun 2001, badan peradilan yang memiliki kompetensi untuk menyelesaikan sengketa Merek adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan TUN. Pengadilan Negeri berwenang menyelesaikan sengketa keperdataan yang berkaitan dengan Merek, sedangkan Pengadilan TUN berwenang mengadili sengketa Merek akibat dikeluarkannya Keputusan TUN yang berkaitan dengan Merek. Penjelasan UU Nomor 14 Tahun 1997 angka 12 telah menyebutkan kewenangan Pengadilan TUN dalam sengketa Merek tersebut, sebagai berikut:

”Perubahan ketentuan Pasal 56 ini dilakukan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4). Penambahan alasan yang merujuk pada Pasal 4 ayat (1) untuk memperjelas maksud atau konsepsi yang terkandung dalam Pasal 56 ini, yaitu meninjau kembali kedudukan merek yang didaftar dengan maksud terselubung atau itikad tidak baik dari pendaftarnya. Adapun tujuan perubahan ayat (4), untuk menegaskan adanya hak bagi setiap orang atau badan hukum yang berkepentingan untuk mengajukan gugatan pembatalan merek. Dengan perubahan ini maka penjelasan ayat (4) sekaligus dapat diperbaiki. Artinya, penjelasan ayat (4) tersebut harus dibaca dengan pengertian bahwa gugatan pembatalan melalui Pengadilan Negeri terhadap pemilik merek dan Kantor Merek, tidak mengurangi kesempatan bagi penggugat untuk mengajukan gugatannya kepada Pengadilan TUN, sepanjang gugatan tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 55 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN”.

Dualisme kewenangan antara Peradilan Umum dan Peradilan TUN tersebut berakhir dengan diundangkannya UU Nomor 15 Tahun 2001, yang dalam Penjelasan Umumnya menyatakan bahwa Merek merupakan bagian dari kegiatan perekonomian/dunia usaha, sehingga penyelesaian sengketa Merek memerlukan badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga yang diharapkan dapat menyelesaikan sengketa Merek dalam waktu yang relatif cepat. Dengan berlakunya UU Nomor 15 Tahun 2001, maka semua sengketa yang berkaitan dengen Merek diselesaikan oleh pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum berupa Pengadilan Niaga. Dengan demikian, Peradilan TUN tidak lagi memiliki kewenangan mengadili sengketa Merek.

Semenjak diberlakukannya UU Merek pada tanggal 25 Nopember 2016, dualisme kewenangan dalam penyelesaian sengketa Merek kembali terjadi, bukan lagi antara Pengadilan Negeri dengan Pengadilan TUN sebagaimana saat berlakunya UU Nomor 14 Tahun 1997, namun antara Pengadilan Niaga dan Pengadilan TUN. Berdasarkan Pasal 72 ayat (6) UU Merek, Pengadilan TUN berwenang mengadili Penghapusan Merek Terdaftar yang dilakukan atas prakarsa Menteri. Adapun kebanyakan sengketa lainnya diadili oleh Pengadilan Niaga. Dilihat dari segi positif, adanya kewenangan Pengadilan TUN dalam sengketa Merek diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat, mengingat Pengadilan TUN adalah pengadilan yang secara khusus dimaksudkan untuk melaksanakan kontrol yuridis atas tindak pemerintahan, di mana hukum acaranya memungkinkan Hakim Pengadilan TUN secara efektif memberikan perlindungan kepada masyarakat, misalnya melalui prosedur

Page 80: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

58 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 49–65

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Pemeriksaan Persiapan ataupun prosedur Penundaan (schorsing) keberlakuan suatu Keputusan TUN yang sedang digugat.12 Sebaliknya dari segi negatif, mengingat karakter norma Pendaftaran Merek adalah Keputusan TUN yang pada asasnya adalah kompetensi Peradilan TUN, dimungkinkan adanya wilayah abu-abu (grey area) dalam penyelesaian sengketa Merek antara Pengadilan TUN dan Pengadilan Niaga, yang harus segera diperjelas guna menghindarkan ketidak-pastian hukum.

b. Kompetensi Pengadilan TUN dalam penyelesaian sengketa Merek

Pengadilan TUN adalah salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, yang berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan Sengketa TUN. Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan TUN. Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undanganan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dengan diundangkannya UU Administrasi Pemerintahan, maka kompetensi Pengadilan TUN ditambah menjadi lebih luas, yaitu meliputi Keputusan,13 Tindakan,14 Permohonan

Pengujian Penyalahgunaan Wewenang,15 dan Permohonan Fiktif Positif.16

Kompetensi Pengadilan TUN dalam sengketa Merek hanya terbatas pada Penghapusan Merek Terdaftar yang dilakukan atas prakarsa Menteri, sebagaimana dimaksud Pasal 72 ayat (6) UU Merek. Penghapusan Merek terdaftar dapat dilakukan atas prakarsa Menteri, apabila Merek tersebut:a. memiliki persamaan pada pokoknya dan/

atau keseluruhannya dengan Indikasi Geografis;

b. bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum; atau

c. memiliki kesamaan pada keseluruhannya dengan ekspresi budaya tradisional, warisan budaya tak benda, atau nama atau logo yang sudah merupakan tradisi turun temurun.

Prosedur Penghapusan Merek yang disebabkan salah satu dari tiga hal di atas adalah Menteri terlebih dahulu mengajukan permintaan rekomendasi kepada Komisi Banding Merek, dan sesudah mendapatkan rekomendasi dari Komisi Banding Merek, Menteri dapat menghapus Merek tersebut. Pemilik Merek yang keberatan terhadap keputusan penghapusan Merek terdaftar atas prakarsa Menteri dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan TUN. Upaya hukum atas putusan Pengadilan TUN hanya kasasi ke Mahkamah Agung.

Pasal yang mengatur tentang pengajuan gugatan ke Pengadilan TUN sebagaimana UU

12 Pasal 63 dan Pasal 67 UU Peradilan TUN. 13 Pasal 1 angka 7 juncto 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.14 Pasal 1 angka 7 juncto 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.15 Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.16 Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Page 81: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

59Harmonisasi Penyelesaian Sengketa Merek di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Niaga (Sudarsono)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Merek hanya satu pasal, dan apabila dikaitkan dengan proses pemeriksaan di Pengadilan TUN sebagaimana UU Peradilan TUN, perlu ditegaskan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, Acara Pemeriksaannya. Penyelesaian sengketa Merek di Pengadilan TUN dapat dilaksanakan dengan Acara Biasa atau Acara Cepat apabila ada kepentingan penggugat yang sangat mendesak.

Kedua, Sengketa Merek Fiktif Positif. Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan juncto Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan, telah memberikan kewenangan penyelesaian sengketa Fiktif Positif di Pengadilan TUN, yaitu sengketa yang diajukan Pemohon yang dianggap dikabulkan akibat Badan/Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan Keputusan/Tindakan yang dimohonkan. Dalam hal Pendaftaran Merek, dimungkinkan adanya sengketa Fiktif Positif ini, yaitu bilamana Menteri hingga jangka waktu yang telah ditentukan tidak/belum menetapkan Keputusannya. Sebagai contoh, berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Permenkumham Pendaftaran Merek dinyatakan bahwa ”Menteri melakukan pencatatan perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal diterimanya Permohonan dan dinyatakan lengkap”, sehingga apabila Menteri tidak mendaftarkan perpanjangan Merek dalam jangka waktu 2 (dua) bulan tersebut, maka berdasarkan Pasal 53 UU Administrasi

Pemerintahan juncto Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017, Menteri dianggap mengabulkan permohonan perpanjangan tersebut, dan Pemohon dapat mengajukan Permohonan Fiktif Positif di Pengadilan TUN. Ketentuan tentang sengketa Fiktif Positif berkaitan dengan Merek ini belum diatur dalam UU Merek, demikian juga dengan berbagai Keputusan dan/atau Tindakan Pemerintahan berkaitan dengan Merek yang mungkin diajukan di Pengadilan TUN.

Ketiga, Upaya Administratif. Upaya Administratif terdiri dari Keberatan dan Banding Administratif, yang harus ditempuh terlebih dahulu oleh orang/badan hukum sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN.17 Dalam konteks sengketa Merek di Pengadilan TUN, berdasarkan Pasal 72 UU Merek, Menteri sebelum menerbitkan Keputusan Penghapusan Merek terlebih dahulu harus meminta rekomendasi dari Komisi Banding Merek, sebuah komisi yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2005 tentang Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Komisi Banding Merek adalah badan yang menjalankan fungsi Banding Administratif dalam sengketa Merek. Dengan telah adanya rekomendasi dari Komisi Banding Merek sebelum penerbitan Keputusan Penghapusan Merek oleh Menteri, maka orang/badan hukum yang dirugikan dengan adanya Keputusan TUN tentang Penghapusan Merek atas Prakarsa Menteri tidak perlu lagi mengajukan upaya Banding Administratif ke Komisi Banding Merek, namun dapat langsung mengajukan gugatannya ke Pengadilan TUN.

17 Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan juncto Pasal 48 ayat (2) UU Peradilan TUN.

Page 82: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

60 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 49–65

Volume 7, Nomor 1, April 2018

c. Kompetensi Pengadilan Niaga dalam Penyelesaian Sengketa Merek

Pengadilan Niaga adalah salah satu Pengadilan Khusus di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Khusus adalah Pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu, yang kedudukannya berada di dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, yaitu di bawah lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, atau lingkungan Peradilan TUN, sebagaimana Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut juga dengan UU Kekuasaan Kehakiman) juncto Pasal 1 angka 5 UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

Pengadilan Niaga kali pertama dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, berdasarkan Pasal 281 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang selanjutnya menjadi UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang. Pada awalnya, Pengadilan Niaga adalah sebagai Pengadilan Khusus yang memiliki kompetensi menyelesaikan perkara kepailitan. Selanjutnya Pengadilan Niaga berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2001 diberi wewenang menyelesaikan sengketa Merek, dengan harapan penyelesaian sengketa Merek dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif cepat.18

Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2001, semua sengketa yang berkaitan dengan Merek menjadi kompetensi Pengadilan Niaga. Pada saat itu, tidak terjadi duality of jurisdiction antara Pengadilan Niaga dengan Pengadilan TUN. Dengan berlakunya UU Merek pada saat ini, maka kompetensi Pengadilan Niaga adalah dalam penyelesaian sengketa Merek meliputi:1) Gugatan atas Penolakan Penerbitan

Keputusan Pendaftaran Merek, terdapat pada Pasal 30 UU Merek yang menentukan bahwa apabila Komisi Banding Merek menolak permohonan Banding yang diajukan Pemohon Merek, maka Pemohon Merek dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.

2) Gugatan Penghapusan Merek terdaftar oleh Pihak Ketiga, diatur melalui Pasal 74 UU Merek menentukan bahwa Penghapusan Merek terdaftar dapat diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam bentuk gugatan ke Pengadilan Niaga dengan alasan Merek tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir.

3) Gugatan Pembatalan Merek terdaftar, diatur melaluiPasal 76 UU Merek mengatur bahwa pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan Pembetalan Merek terdaftar apabila Merek tersebut melanggar ketentuan Pasal 20 dan/atau Pasal 21 UU Merek.

4) Gugatan atas Pelanggaran Merek, Pasal 83 UU Merek mengatur bahwa Pemilik Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan ganti

18 Paragraf 7 Penjelasan Umum UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Page 83: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

61Harmonisasi Penyelesaian Sengketa Merek di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Niaga (Sudarsono)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

rugi kepada pihak ketiga yang menggunakan Mereknya.

Dari keempat macam gugatan Merek yang menjadi kompetensi Pengadilan Niaga tersebut, hanya gugatan atas Pelanggaran Merek oleh Pemilik Merek kepada pihak ketiga yang berada pada ranah keperdataan, sedangkan ketiga bentuk gugatan lainnya termasuk ranah publik karena hakikat yang dipermasalahkan adalah Keputusan Menteri. Selain keempat macam model sengketa di Pengadilan Niaga tersebut, sengketa keperdataan lainnya yang berkaitan dengan Merek juga harus diselesaikan oleh Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan Khusus yang menyelesaikan sengketa keperdataan berkaitan dengan Merek sebagaimana dimaksud Pasal 25 ayat (2) juncto Pasal 27 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.

3. Harmonisasi Penyelesaian Sengketa Merek

Harmonisasi penyelesaian sengketa Merek berkaitan erat dengan keberlakuan (gelding) kaidah hukum. Bruggink menyampaikan adanya tiga macam keberlakuan kaidah hukum, yaitu keberlakuan faktual atau empiris, keberlakuan normatif atau formal, dan keberlakuan evaluatif. Dari ketiga macam keberlakuan tersebut, yang paling relevan dalam konteks harmonisasi penyelesaian sengketa Merek adalah keberlakuan normatif atau formal. Keberlakuan normatif atau formal suatu kaidah hukum terwujud apabila ”kaidah tersebut merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu

yang di dalamnya kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk dari satu terhadap yang lain, dimana kaidah hukum khusus bertumpu pada kaidah-kaidah hukum umum, dan setiap kaidah hukum harus diderivasi dari sistem hukum itu”.19

Sistem Peradilan Indonesia terdiri dari empat lingkungan peradilan, yang dalam UU Kekuasaan Kehakiman dinyatakan terdiri atas:1) Peradilan Umum, yang berwenang

memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanganan.20

2) Peradilan Agama, yang berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanganan.21

3) Peradilan Militer, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanganan.22

4) Peradilan TUN, yang berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanganan.23

Dalam setiap lingkungan peradilan tersebut dapat dibentuk Pengadilan Khusus, yang merupakan diferensiasi atau spesialisasi di setiap lingkungan peradilan, antara lain adalah Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial dan

19 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 149-152.20 Pasal 25 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman.21 Pasal 25 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman.22 Pasal 25 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman.23 Pasal 25 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman.

Page 84: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

62 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 49–65

Volume 7, Nomor 1, April 2018

24 Penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pengadilan Perikanan yang berada di lingkungan Peradilan Umum, serta Pengadilan Pajak yang berada di lingkungan Peradilan TUN.24 Dengan demikian, Pengadilan Niaga adalah Pengadilan Khusus di lingkungan Peradilan Umum, yang kompetensinya menyelesaikan sengketa dalam rumpun keperdataan sebagaimana dimaksud Pasal 25 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman.

Dari empat jenis sengketa atas Merek yang diatur dalam UU Merek, hanya satu jenis sengketa yang bersifat keperdataan, sedangkan tiga lainya pada dasarnya adalah Sengketa TUN, karena yang dipermasalahakan adalah Keputusan Menteri berkaitan dengan pendaftaran Merek. Meski demikian, UU Merek telah menentukan hanya Sengketa Penghapusan Merek atas prakarsa Menteri yang menjadi Kompetensi Pengadilan TUN, sedangkan sengketa atas Pendaftaran Merek hingga Sengketa Pembatalan Merek menjadi kewenangan Pengadilan Niaga. Pemilahan kompetensi peradilan dalam penanganan sengketa Merek ini tidak tegas dan tidak sesuai dengan konsep kompetensi tiap lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud Pasal 25 UU Kekuasaan Kehakiman, karena baik Pendaftaran Merek, Penghapusan Merek, maupun Pembatalan Merek ditetapkan oleh Menteri dalam norma konkrit individual (beschikking) yang semestinya menjadi kompetensi Peradilan TUN. Semestinya, jika memang sengketa Merek tersebut harus diselesaikan oleh dua lingkungan peradilan, maka pemilahan kompetensinya harus disesuaikan dengan kompetensi peradilan, yaitu semua penetapan oleh Menteri yang termasuk Keputusan TUN menjadi kompetensi Peradilan TUN, sedangkan sengketa antara pemilik Merek dengan pihak lain yang bersifat keperdataan

diselesaikan oleh Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan Khusus di Lingkungan Peradilan Umum. Atau pilihan lainnya berdasarkan efisiensi ditentukan bahwa semua sengketa yang berkaitan dengan Merek diselesaikan oleh Pengadilan Niaga, sebagaimana yang telah dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2001, sehingga pada saat tersebut (sampai dengan berlakunya UU Merek saat ini) Peradilan TUN tidak memiliki kompetensi atas sengketa Merek.

Namun mengingat UU Merek ini telah disahkan dan menjadi hukum positif yang harus dipatuhi, termasuk oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, perlu adanya kejelasan kompetensi di antara kedua badan peradilan tersebut sehingga akan terwujud kepastian dan kesatuan hukum. Jangan sampai muncul wilayah abu-abu yang dapat dimanfaatkan oleh para pihak berkepentingan, misalnya dengan mengajukan gugatan di kedua Pengadilan tersebut untuk mengartikulasikan kepentingannya. Untuk itu, perlu adanya penegasan garis batas kompetensi di antara kedua pengadilan tersebut, yang menurut Penulis berupa: kompetensi Pengadilan Niaga dalam sengketa Merek adalah semua sengketa Merek yang telah ditentukan dalam UU Merek untuk diselesaikan oleh Pengadilan Niaga ditambah dengan sengketa keperdataan yang terkait dengan Merek, sedangkan kompetensi Pengadilan TUN adalah sengketa Penghapusan Merek atas prakarsa Menteri ditambah dengan semua Keputusan dan/atau Tindakan Menteri yang berkaitan dengan Merek yang tidak diatur dalam UU Merek untuk diselesaikan oleh Pengadilan Niaga, seperti sengketa Permohonan Fiktif Positif atas Merek. Pembagian kompetensi

Page 85: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

63Harmonisasi Penyelesaian Sengketa Merek di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Niaga (Sudarsono)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

tersebut sesuai dengan pembahasan pada point C.2.b dan point C.2.c di atas, dan dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

Kompetensi Pengadilan TUN

Kompetensi Pengadilan Niaga

Penghapusan Merek Terdaftar yang dilakukan atas prakarsa Menteri sebagaimana dimaksud Pasal 73 UU Merek.

Semua sengketa Merek yang telah ditentukan UU Merek untuk diselesaikan oleh Pengadilan Niaga, mulai dari sengketa Pendaftaran Merek hingga sengketa Pelanggaran Merek.

Semua Keputusan dan/atau Tindakan Menteri berkaitan dengan Merek selain dari Keputusan Menteri yang oleh UU Merek telah ditetapkan sebagai kompetensi Pengadilan Niaga.

Semua jenis sengketa keperdataan yang terkait dengan Merek.

Penegasan garis batas kompetensi ini juga sesuai dengan kompetensi Lingkungan Peradilan Umum yang membawahi Pengadilan Niaga dan Kompetensi Peradilan TUN sebagaimana dimaksud Pasal 25 UU Kekuasaan Kehakiman. Penegasan garis batas kompetensi ini juga dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat atas berbagai tindakan Menteri yang tidak diatur secara tegas menjadi kompetensi Pengadilan TUN maupun Pengadilan Niaga.

Pemetaan dan pemilahan secara tegas garis batas kompetensi tersebut mutlak dilakukan, karena dengan adanya kejelasan kompetensi di antara kedua badan peradilan tersebut, dapat dihindari tumpang tindih kompetensi

yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Mahkamah Agung harus segera menentukan garis batas kompetensi di antara kedua badan peradilan tersebut, yang dalam hal ini secara internal dapat diterbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung. Pemilihan Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai produk hukum yang dipilih untuk menentukan garis batas kompetensi antar badan peradilan tersebut mengingat Surat Edaran Mahkamah Agung merupakan ”bentuk edaran pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan”.25

Dengan adanya kejelasan kompetensi badan peradilan mana yang berwenang menyelesaikan suatu sengketa Merek, maka akan dihasilkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi para pihak yang bersengketa. Tanpa adanya kejelasan kompetensi tersebut, kedua badan peradilan yang memang berwenang mengadili sengketa Merek tersebut dapat dijadikan media permainan oleh para pihak untuk mengertikulasikan kepentingannya. Dan hal ini adalah bentuk pengingkaran atas spirit asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman.

D. Penutup

Berdasarkan Pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa norma Pendaftaran Merek adalah termasuk Hukum Publik, yang karakternya adalah Keputusan TUN, yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri. Beberapa prosedur berkaitan dengan pendaftaran Merek

25 Lampiran Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 57/KMA/SK/IV/2016 tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Page 86: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

64 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 49–65

Volume 7, Nomor 1, April 2018

yang diatur dalam UU Merek adalah prosedur Pendaftaran Merek, prosedur Perpanjangan Merek, dan Prosedur Penghapusan Merek.

Sebelum berlakunya UU Nomor 15 Tahun 2001, badan peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa Merek adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan TUN. Sesudah berlakunya UU Nomor 15 Tahun 2001, semua sengketa Merek diselesaikan oleh Pengadilan Niaga. Dengan berlakunya UU Merek pada saat ini, maka yang berwenang menyelesaikan sengketa Merek adalah Pengadilan Niaga dan Pengadilan TUN. Terdapat empat jenis sengketa Merek yang menjadi kompetensi Pengadilan Niaga, yaitu sengketa akibat penolakan Pendaftaran Merek, sengketa Penghapusan Merek oleh Pihak Ketiga, Sengketa Pembatalan Merek, dan sengketa Pelanggaran Merek. Dari keempat jenis sengketa tersebut, hanya sengketa Pelanggaran Merek yang bersifat keperdataan, sedangkan tiga sengketa lainnya bersifat publik dan mempermasalahkan Keputusan Menteri atas pendaftaran Merek. Selain itu, sengketa keperdataan lainnya berkaitan dengan Merek yang belum diatur dalam UU Merek adalah kompetensi Pengadilan Niaga. Sedangkan kompetensi Pengadilan TUN dalam sengketa Merek sebagaimana diatur dalam UU Merek hanya terbatas pada Penghapusan Merek Terdaftar yang dilakukan atas prakarsa Menteri. UU Merek tidak mengatur penyelesaian sengketa Fiktif Positif atas Merek maupun perlindungan hukum akibat adanya Keputusan dan/atau Tindakan Menteri lainnya yang berkaitan dengan Pendaftaran Merek, yang semestinya juga menjadi kompetensi Pengadilan TUN.

Perlu adanya harmonisasi kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan TUN, agar tidak timbul tumpang tindih penyelesaian sengketa Merek, yaitu dengan menentukan bahwa

kompetensi Pengadilan Niaga adalah semua sengketa Merek yang telah ditentukan dalam UU Merek untuk diselesaikan oleh Pengadilan Niaga dan sengketa keperdataan yang terkait dengan Merek, sedangkan kompetensi Pengadilan TUN adalah sengketa Penghapusan Merek atas prakarsa Menteri dan semua Keputusan dan/atau Tindakan Menteri yang berkaitan dengan Merek yang tidak diatur dalam UU Merek untuk diselesaikan oleh Pengadilan Niaga, seperti sengketa Permohonan Fiktif Positif atas Merek.

Oleh sebab itu di dalam penyusunan Undang-Undang yang memberikan kewenangan kepada badan peradilan tertentu untuk mengadili sengketa tertentu, harus menyesuaikan antara jenis sengketanya dengan lembaga peradilan yang akan dibabani untuk mengadilinya. Kemudian terhadap sengketa atas berbagai Keputusan dan/atau Tindakan Menteri terkait Merek yang tidak diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2016 harus diberikan perlindungan hukum melalui Pengadilan TUN, dan terhadap sengketa keperdataan yang tidak diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2016 harus diberikan perlindungan hukum melalui Pengadilan Niaga. Dan diharapkan Mahkamah Agung dapat menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tentang harmonisasi penyelesaian sengketa Merek di Pengadilan TUN dan Pengadilan Niaga.

Daftar Pustaka

BukuApeldoorn, Van, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:

Pradnya Paramita, 1986)Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 1999)Bossche, Peter van den, dkk, Pengantar Hukum

WTO, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010)Hadjon(eds), Philipus, Pengantar Hukum

Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991)

Page 87: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

65Harmonisasi Penyelesaian Sengketa Merek di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Niaga (Sudarsono)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

H.R., Ridwan, Pengantar Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011)

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan TUN, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Acara TUN, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004)

Irianto, Sulistyowati dan Shidarta (eds), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi Dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009)

Marzuki, Peter Machmud, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008)

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006)

Pudyatmoko, Y. Sri, Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan, (Jakarta: Grasindo, 2009)

Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacarakan, Aneka Cara Pembedaan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989)

PeraturanUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 57/KMA/SK/IV/2016 tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Page 88: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

66 Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41

”Halaman ini dikosongkan”

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Page 89: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

67Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sektor Jasa Keuangan ... (Abd. Aziz Billah)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

PERAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM SEKTOR JASA KEUANGAN

GUNA MENDUKUNG PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL(The Role of Alternative Dispute Resolution Institutions in the Financial Services Sector To Support

National Economic Development)

Abd. Aziz BillahFakultas Hukum Universitas Indonesia

Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia, Depok, IndonesiaEmail: [email protected]

Naskah diterima: 20 Februari 2018; revisi: 12 April 2018; disetujui: 17 April 2018

AbstrakSebagai suatu tindak lanjut dalam rangka menciptakan suatu sistem penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau, maka OJK mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di Sektor Jasa Keuangan. Namun perlu diketahui lebih lanjut sejauh mana peran LAPS dalam sektor jasa keuangan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah normatif dan juga empiris dengan mengelolah data yang terkumpul dari bahan-bahan pustaka (data sekunder) dan lapangan (data primer/data dasar). Keberadaan LAPS diharapkan sebagai penunjang tugas OJK seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang yakni untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Peran LAPS dalam membantu pembangunan ekonomi nasional sangatlah penting, sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI tahun 1945 bahwa beban penyelenggaran pembangunan nasional bukan hanya berada di pundak pemerintah, melainkan juga ada pada masyarakat. Dengan penelitian ini diharapkan agar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam bidang jasa keuangan mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah dengan diberikan aturan tersendiri yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan sebelumnya.Kata Kunci: lembaga alternatif penyelesaian sengketa (LAPS), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pembangunan ekonomi nasional

AbstractAs a follow-up to create a consumer dispute resolution system that is simple, fast and affordable, OJK issues the Financial Services Authority Regulation on Alternative Dispute Resolution Institutions (LAPS) in the Financial Services Sector. However, it is necessary to examine further how far the role of LAPS in financial services sector in supporting national economic development. This study used normative and also empirical methods by collecting data from library materials (secondary data) and field (primary data / basic data). LAPS role in helping national economic development is very important, as mandated by the 1945 Constitution that the burden to organize national development is not only on the government, but also on the society. Through this study, the LAPS in the financial services sector is expected to receive special attention by the government by supporting it with a special regulation which are not contradictory to the existing regulations.Keywords: Alternative Dispute Resolution Institutions, Financial Services Authority (OJK), national economic development

Page 90: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

68 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 67–78

Volume 7, Nomor 1, April 2018

A. Pendahuluan

Sejak awal kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah diletakkan dasar konstitusional yaitu UUD 1945 sebagai landasan hukum tertinggi di Negara ini. Dalam penjelasan umum UUD 1945 ditegaskan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah berdasar atas Hukum (Rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Implementasi konsep Negara hukum dalam praktek penyelenggaraan Negara tersebut menempatkan hukum sebagai panglima dalam rangka mewujudkan tujuan Negara. Hukum adalah supreme yang harus ditaati oleh setiap warga Negara dan harus ditegakkan oleh Negara dalam rangka kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.1

Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 merupakan pesan moral dan pesan budaya dalam konstitusi Republik Indonesia di bidang kehidupan ekonomi. Pasal ini bukan sekedar memberikan petunjuk tentang susunan perekonomian dan wewenang negara mengatur kegiatan perekonomian, melainkan mencerminkan cita-cita, suatu keyakinan yang dipegang teguh serta diperjuangkan secara konsisten oleh para pimpinan pemerintahan. Pesan konstitusional tersebut tampak jelas, bahwa yang dituju adalah suatu sistem ekonomi tertentu, yang bukan ekonomi kapitalistik (berdasarkan paham individualisme), namun suatu sistem ekonomi berdasar kebersamaan dan berdasar atas asas kekeluargaan.2

Bagaimanapun pembangunan ekonomi haruslah dilakukan melalui landasan hukum yang kuat. Ismail Saleh mengatakan bahwa ekonomi merupakan tulang punggung kesejahteraan rakyat, dan memang benar bahwa ilmu pengetahuan adalah tiang-tiang penopang kemajuan bangsa, namun tidak dapat disangkal bahwa hukum merupakan pranata yang pada akhirnya menentukan bagaimana kesejahteraan rakyat tersebut dapat dinikmati secara merata, bagaimana keadilan social dapat diwujudkan dalam kehidupan masyarakat, dan bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat membawa kemajuan bagi rakyat banyak.3

Program pembangunan ekonomi nasional juga harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel yang berpedoman pada prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mencapai tujuan tersebut, program pembangunan ekonomi nasional perlu didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik yang secara terus menerus melakukan reformasi terhadap setiap komponen dalam sistem perekonomian nasional. Salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dimaksud adalah sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian sosial.4

Fungsi intermediasi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga jasa keuangan, dalam perkembangannya telah memberikan kontribusi

1 Sukardi, ”Peran Penegakan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi”, Jurnal Hukum & Pembangunan Volume 46 Nomor 4 (2016): 435.

2 Herman Soewardi, Koperasi: Suatu Kumpulan Makalah, (Bandung: Ikopin, 1989), hlm. 413.3 Sukardi, Op.Cit., hlm. 441.4 M.S. Tumanggor, Pengenalan Otoritas Jasa Keuangan, Pasar Uang, Pasar Modal, dan Penanaman Modal, (Jakarta:

CV. Rasterindo, 2017), hlm. 1.

Page 91: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

69Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sektor Jasa Keuangan ... (Abd. Aziz Billah)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan dalam hal produk maupun kelembagaan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan di dalam sistem keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.5

Sebagaimana diperlukannya suatu lembaga yang melakukan pengawasan di sektor jasa keuangan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan tersebut di atas pada hakikatnya merupakan lembaga bersifat independen dalam

menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah. Lembaga ini berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat.6

Semenjak OJK hadir dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentunya kewenangan penyelesaian sengketa antara konsumen dan Lembaga Jasa Keuangan sudah menjadi tanggung jawab OJK. Dalam aktivitasnya, lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerima pengajuan dan memfasilitasi pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa keuangan yang terdahulu dilakukan oleh pihak Bank Indonesia (BI). Hal demikian merupakan wujud dari pelaksanaan Pasal 4 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Apabila pengaduan Konsumen tidak dapat diselesaikan oleh Bank, maka Konsumen dapat mengajukan penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa (LAPS) di sektor perbankan7.

Sebelumnya di tahun 1999, Pemerintah Negara Republik Indonesia di bawah Pemerintahan Presiden BJ Habibie telah mengundangkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa di luar forum pengadilan, dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau perbedaan pendapat di antara para pihak, dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud

5 Ibid., hlm. 1-2. 6 Ibid., hlm. 3.7 Lukmanul Hakim, ”Analisis Alternatif Penyelesaian Sengketa Antara Pihak Nasabah Dengan Industri Jasa

Keuangan Pada Era Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”, Jurnal Keadilan Progresif Volume 6. Nomor 2., (2015)

Page 92: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

70 Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sektor Jasa Keuangan ... (Abd. Aziz Billah)Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 67–78

Volume 7, Nomor 1, April 2018

para pihak. Suatu forum yang diharapkan dapat mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa.8

Pada dasarnya penulisan ini didasarkan pada kedudukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) dalam mendukung kinerja OJK, maka penulis memfokuskan titik kajian kepada LAPS (Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa) dan keterkaitannya dengan pembangunan ekonomi di Indonesia. Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini, Bagaimanakah efektifitas LAPS dalam penyelesaian sengketa pada sektor jasa keuangan guna mendukung pembangunan ekonomi nasional?

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka diharapkan tulisan ini dapat mencapai tujuan yang dimaksudkan yaitu guna mengetahui efektifitas LAPS dalam penyelesaian sengketa pada sektor jasa keuangan guna mendukung pembangunan ekonomi nasional.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Di mana menurut Soerjono Soekanto9

penelitian hukum normatif terdiri dari: a) Penelitian terhadap asas-asas hukum; b) Penelitian terhadap sistematika hukum; c) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, dan e) Penelitian perbandingan hukum. Dan dikarenakan metode penelitian ini juga pendekatan dengan menggunakan metode penelitian empiris, sehingga akan didasarkan pada data yang terkumpul dari bahan-bahan pustaka (data sekunder) dan lapangan (data primer/data dasar).

C. Pembahasan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi melalui Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, menyatakan:

”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Makna dari prinsip kebersamaan yang tercantum pada Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 tersebut harus dilihat dalam cakupan yang lebih luas. Masyarakat harus menyadari bahwa pemerintah mempunyai keterbatasan dana dan daya untuk melaksanakan pembangunan ekonomi karena pembangunan itu sendiri sangat kompleks, sehingga diharapkan dapat tercipta saling isi mengisi antara pemerintah dengan masyarakat untuk keberhasilan pembangunan nasional. Prinsip kebersamaan yang terkandung Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 pada dasarnya meletakkan tanggung jawab pembangunan nasional bukan hanya di pundak pemerintah, tetapi bersama-sama di pundak pemerintah dan masyarakat.10

Kesejahteraan Masyarakat merupakan hal penting dalam tolak ukur kesuksesan pembangunan ekonomi di suatu negara. Dalam negara Indonesia pada dasarnya masyarakat sebagian besarnya merupakan konsumen dalam dunia perekonomian. Perlindungan konsumen sudah menjadi prioritas bila negara

8 Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan kedua, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 1.

9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2006), hlm. 51.10 Jonker Sihombing, Peran dan Aspek Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, (Bandung: PT Alumni, 2010), hlm. 75.

Page 93: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

71Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sektor Jasa Keuangan ... (Abd. Aziz Billah)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Indonesia ingin menjadi negara yang sukses dalam pembangunan ekonomi nasional.

Kedudukan hukum dalam perlindungan konsumen guna menuntaskan tujuan negara dalam pembangunan ekonomi nasional dapat dilihat dari sudut pandang Subekti yang dalam bukunya yang berjudul ”Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan” yang mengatakan, bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yang pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Dalam rangka melayani tujuan negara tersebut, hukum menyelenggarakan keadilan dan ketertiban sebagai syarat tercapainya kemakmuran dan kebahagiaan.11

Dalam interaksi antara konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang dinamis, ditambah dengan jumlah produk dan layanan jasa keuangan yang selalu berkembang; kemungkinan terjadinya sengketa tak terhindarkan. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor, di antaranya adalah perbedaan pemahaman antara konsumen dengan LJK mengenai suatu produk atau layanan jasa keuangan terkait. Sengketa juga dapat disebabkan kelalaian konsumen atau LJK dalam melaksanakan kewajiban dalam perjanjian terkait produk atau layanan dimaksud12. Adanya potensi sengketa tersebut perlu disikapi dengan memberikan fasilitas perlindungan yang baik terhadap konsumen pada sektor jasa keuangan.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU

OJK) membawa harapan dan kepastian bahwa kepentingan konsumen dapat terlindungi dengan baik dengan terselenggaranya kegiatan di sektor jasa keuangan yang teratur, adil, transparan, dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat13. Berdasarkan isi UU OJK yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pembentukan OJK adalah untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Pembentukan OJK sendiri diharapkan dapat melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat yang menggunakan/memanfaatkan pelayanan lembaga jasa keuangan. Untuk mencapai tujuan tersebut UU OJK memberikan kewenangan edukasi, pelayanan pengaduan, sampai dengan pembelaan hukum terhadap konsumen yang dirugikan oleh lembaga jasa keuangan terhadap OJK.

Sebelum terbentuknya OJK, tugas dan wewenang di sektor jasa keuangan dipegang oleh beberapa lembaga tertentu yang berbeda-beda untuk setiap jenis jasa keuangan. OJK sendiri berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan.14

Terkait dengan fungsi dan tujuan OJK tersebut, maka OJK mengemban tugas yang sangat penting untuk dapat mengedepankan pula perlindungan terhadap kepentingan

11 Maman Suherman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 10.12 Otoritas jasa Keuangan, ”Lembaga Altternatif Penyelesaian Sengketa”, http://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasi-

dan-perlindungan-konsumen/Pages/Lembaga-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.aspx, (diakses 12 February 2018).

13 Agus Suwandono dan Deviana Yuanitassari, ”Kedudukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan Dalam Hukum Perlindungan Konsumen”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 1, Nomor 1 (2016) 15.

14 Ema Rahmawati dan Rai Mantili, ”Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif Penyeleesasian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum Volume 3 Nomor 2 (2016) 241.

Page 94: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

72 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 67–78

Volume 7, Nomor 1, April 2018

konsumen dan masyarakat. Dalam rangka melakukan upaya perlindungan terhadap konsumen dan pelaku usaha di sektor jasa keuangan, maka dikeluarkanlah peraturan pertama OJK yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (POJK Perlindungan Konsumen). Berdasarkan Pasal 2 POJK Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen sektor jasa keuangan wajib menerapkan prinsip transparansi, perlakuannya yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen, dan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.15

Sebagai suatu tindak lanjut dalam rangka menciptakan suatu sistem penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau, maka OJK mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (POJK LAPS) mengamanatkan adanya suatu sistem penyelesaian sengketa yang terjadi di sektor jasa keuangan (khususnya antara konsumen dengan lembaga jasa keuangan), yang terdiri dari penyelesaian sengketa secara internal di lembaga jasa keuangan, penyelesaian melalui lembaga peradilan umum (pengadilan), serta melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian

Sengketa (LAPS) dengan suatu prosedur tertentu.16

POJK Perlindungan Konsumen dan POJK LAPS pada dasarnya telah menentukan mekanisme penyelesaian pengaduan konsumen melalui 2 (dua) tahapan yaitu penyelesaian pengaduan yang dilakukan oleh lembaga jasa keuangan (internal dispute resolution) dan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan (external dispute resolution). Pasal 2 POJK LAPS menentukan bahwa pada dasarnya penyelesaian pengaduan wajib diselesaikan dahulu oleh lembaga jasa keuangan melalui unit pengaduan konsumen di tiap-tiap lembaga jasa keuangan. Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilaksanakan apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian pengaduan melalui lembaga jasa keuangan. Apabila para pihak memilih penyelesaian pengaduan sengketa dilaksanakan di luar pengadilan, maka penyelesaian pengaduan sengketa akan diselesaikan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) yang dimuat dalam daftar lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan OJK.17

Pranata Penyelesaian Sengketa Alternatif pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa tersebut. Alternatif Penyelesaian Sengketa bersifat sukarela dan karenanya tidak

15 Ibid.16 Adapun Lembaga Jasa Keuangan adalah sebagai penyedia jasa di bidang keuangan. Lembaga jasa keuangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 UU OJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuarnsian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya., Lihat Ibid., hlm. 42.

17 Lihat Hukum Online, ”Bersengketa Di Sektor Jasa Keungan? Ini Tata Cara Penyelesaiannya”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt570095be262e8/bersengketa-di-sektor-jasa-keuangan-ini-tata-cara-penyelesaiannya, (diakses pada tanggal 18 April 2018).

Page 95: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

73Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sektor Jasa Keuangan ... (Abd. Aziz Billah)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

dapat dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya yang bersengketa.18

Berdasarkan pada sifat keterlibatan pihak ketiga yang menangani proses Penyelesaian Sengketa Alternatif tersebut, pranata Alternatif Penyelesaian Sengketa dibedakan ke dalam:19

a. Mediasi, adalah suatu proses Penyelesaian Sengketa Alternatif di mana pihak ketiga yang dimintakan bantuannya untuk membantu proses penyelesaian sengketa bersifat pasif dan sama sekali tidak berhak atau berwenang untuk memberikan suatu masukan, terlebih lagi untuk memutuskan perselisihan terjadi. Jadi dalam mediasi, mediator hanya berfungsi sebagai penyambung lidah dari para pihak yang bersengketa.

b. Konsiliasi, adalah suatu proses Penyelesaian Sengketa Alternatif yang melibatkan seorang pihak ketiga atau lebih, dimana pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa adalah seseorang yang secara profesional sudah dapat dibuktikan kehandalannya. Konsiliator dalam proses konsoliasi ini, memiliki peran yang cukup berarti, oleh karena konsiliator berkewajiban untuk menyampaikan pendapatnya mengenai duduk persoalan dari masalah atau sengketa yang dihadapi, alterrnatif cara penyelesaian sengketa yang dihadapi, bagaimana cara penyelesaian yang terbaik, apa keuntungan dan kerugian bagi para

pihak, serta akibat hukumnya. Meskipun konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapatnya secara terbuka dan tidak memihak kepada salah satu pihak dalam sengketa, konsiliator tidak berhak untuk membuat putusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak.

c. Arbitrase, merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang melibatkan pengambilan putusan oleh satu atau lebih hakim swasta, yang disebut arbiter. Disini seorang arbiter berperan sangat aktif sebagaimana halnya seorang hakim. Dalam hal arbiter tunggal, maupun majelis arbitrase berkewajiban untuk memutuskan sengketa yang disampaikan kepadanya secara profesional, tanpa memihak, menurut kesepakatan yang telah tercapai di antara para pihak yang bersengketa pada satu sisi dan arbiter itu sendiri pada pihak lain. Arbiter haruslah independen dalam segala hal.

Keberadaan LAPS sebagai perwujudan dari perlindungan terhadap konsumen juga mempunyai prinsip-prinsip yang harus diterapkan. Prinsip-prinsip yang harus diterapkan LAPS sebagaimana diatur dalam POJK LAPS yaitu:20

a. Prinsip Aksessibilitas, yaitu LAPS memiliki skema layanan yang mudah untuk konsumen

18 Walau demikian, sebagai suatu bentuk perjanjian (Alternatif Penyelesaian Sengketa), kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui forum diluar pengadilan harus ditaati oleh para pihak. Sampai seberapa sejauh kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan ini mengikat dalam sistem hukum positif yang berlaku, ternyata tidak dapat kita temukan suatu persamaan yang berlaku secara univerrsal untuk semua aturan hukum yang berlaku, Lebih jauh dapat dilihat dalam Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Op.Cit., hlm. 1-2.

19 Ibid., hlm. 2-3.20 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di

Sektor Jasa Keuangan.

Page 96: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

74 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 67–78

Volume 7, Nomor 1, April 2018

21 Otoritas Jasa Keuangan-Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, ”LAPS Sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Pengaduan Konsumen”, disampaikan pada Pembahasan Finalisasi Internal Dispute Resolution (IDR), Bandung, 11 November 2015, hlm. 10-11.

retail, mengambngkan strategi komunikasi untuk meningkatkan akses konsumen, dan layanan mencakup seluruh wilayah Indonesia;

b. Prinsip Independensi, yaitu LAPS mempunyai organ pengawas, tidak ada hak veto bagi anggota (antara lain hak untuk mengganti pengurus atau mengubah peraturan LAPS), melakukan konsultasi dengan pemangku kepentingan yang relevan (seperti: asosiasi/perhimpunan konsumen atau lembaga yang bergerak di bidang perlindungan konsumen atau asosiasi LJK dimasing-masing sektor) dalam menyusun atau mengubah peraturan sebelum menjalankannya, dan memiliki sumber daya memadai serta tidak tergantung pada LJK tertentu (adjudikator dan arbiter sangat memungkinkan untuk mencari informasi dari pihak di luar para pihak yang bersengketa, dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan putusan, dengan catatan bahwa informasi tersebut wajib diinformasikan kepada para pihak);

c. Prinsip Keadilan, yaitu LAPS memiliki peraturan dalam mengambil keputusan yang mengatur, antara lain; mediator benar-benar sebagai fasilitator, ajudikator dan arbiter dilarang mengambil keputusan yang tidak diketahui para pihak dan putusan disertai dengan alasan tertulis;

d. Prinsip Efisiensi dan Efektifitas, yaitu LAPS memiliki ketentuan jangka waktu dan biaya murah, ketentuan pelaksanaan keputusan yang dikeluarkan LAPS, dan mekanisme pengawasan pelaksanaan

putusan baik putusan adjudikasi, arbitrasi maupun akta kesepakatan mediasi. Dalam proses penyelesaian sengketa LAPS dapat menyediakan layanan dengan memanfaatkan teknologi informasi antara lain teleconference dan/atau video conference

Selain prinsip yang telah diatur dalam POJK LAPS, Suatu penyelesaian sengketa alternatif yang baik, setidaknya harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:21

1. Haruslah efisien dari segi waktu, harus hemat biaya;

2. Harus dapat diakses oleh para pihak, misalnya tempatnya tidak terlalu jauh;

3. Harus melindungi hak-hak dari para pihak yang bersengketa;

4. Harus dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur;

5. Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di mata masyarakat dan di mata para pihak yang bersengketa;

6. Putusannya harus final dan mengikat;7. Putusannya haruslah dapat dan mudah

untuk dieksekusi; dan 8. Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan

keaslian dari komunitas masyarakat di mana penyelesaian sengketa alternatif tersebut.

Kedudukan LAPS Sektor Jasa Keuangan dalam penyelesaian sengketa konsumen sektor jasa keuangan ditinjau berdasarkan hukum perlindungan konsumen di Indonesia pada dasarnya merupakan lembaga penyelesaian

Page 97: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

75Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sektor Jasa Keuangan ... (Abd. Aziz Billah)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

sengketa yang memiliki karakterisk khusus. Karakteristik tersebut karena LAPS Sektor Jasa Keuangan khusus ditujukan bagi konsumen di sektor jasa keuangan yakni konsumen dalam pengertian luas bukan hanya konsumen akhir sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang lebih lanjut dikenal dengan UUPK. Ketentuan-ketentuan dalam UUPK dalam hal ini tidak bisa mutlak bisa diterapkan dalam penyelesaian sengketa konsumen sektor jasa keuangan melalui LAPS Sektor Jasa Keuangan.22

Untuk dapat masuk dalam daftar LAPS di Sektor Jasa Keuangan, terdapat tahapan penilaian yang menjadi acuan kelayakan, sebelum diumumkan terdaftar sebagai LAPS yang diakui oleh OJK. Adapun penilaian tersebut:23

a. Analisis pendahuluan yang dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:1) Permintaan dokumen dan/atau informasi

kepada LAPS;2) Verifikasi kepada LAPS (jika diperlukan);3) Pengolahan dokumen dan atau informasi

LAPS; dan4) Perumusan hasil analisis atas dokumen

dan atau informasi LAPS;5) Pengujian pemenuhan syarat-syarat

LAPS. Pengujian pemenuhan syarat-syarat

LAPS dilakukan oleh Tim Penguji LAPS yang terdiri dari tujuh orang yang berasal dari internal dan eksternal OJK, berdasarkan pembobotan dan skala penilaian sebagaimana diatur dalam Surat Edaran OJK mengenai Pedoman

Penilaian Lembaga Alternatif Peyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan.

b. Penetapan Hasil Penilaian Hasil penilaian LAPS diklasifikasikan menjadi

dua, yaitu:1) Memenuhi syarat apabila memperoleh

nilai paling sedikit 75 (tujuh puluh lima) dan tidak terdapat nilai nol pada komponen syarat LAPS; atau

2) Belum memenuhi syarat apabila mem-peroleh nilai kurang dari 75 (tujuh puluh lima) atau terdapat nilai nol pada komponen syarat LAPS.

Adanya ketentuan keberlakuan POJK tentang LAPS dan dengan didasarkan oleh itu, maka OJK telah memperbaharui Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan melalui Pengumuman Nomor Peng- 2/D.07/2016 tentang Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan berdasarkan Keputusan Nomor Kep- 6/D.07/2016 tanggal 20 Desember 2016. Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan tersebut adalah:24

a. Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI)

b. Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)

c. Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP)d. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa

Perbankan Indonesia (LAPSPI)e. Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan

Penjaminan Indonesia (BAMPPI)

22 Agus Suwandono dan Deviana Yuanitassari, Op.Cit., hlm. 20.23 Otoritas jasa Keuangan, ”Lembaga Altternatif Penyelesaian Sengketa”, Loc.Cit.24 Otoritas Jasa Keuangan, ”Pengumuman Nomor Peng- 2/D.07/2016 tentang Daftar Lembaga Alternatif

Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan”.

Page 98: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

76 Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sektor Jasa Keuangan ... (Abd. Aziz Billah)Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 67–78

Volume 7, Nomor 1, April 2018

f. Badan Mediasi Pembiayaan, Pengadaian dan Ventura Indonesia (BMPPVI)

Bagaimanapun, kehadiran LAPS tersebut telah membawa aspek positif dalam perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan dengan harapan terciptanya hubungan yang kondusif antara konsumen dengan pelaku usaha jasa keuangan. Pada akhirnya, kondisi tersebut dapat meningkatkan kinerja sektor jasa keungan dalam mendukung pembangunan sektor ekonomi di Indonesia.

Seperti halnya salah satu LAPS, sebagai contoh LAPS dalam sektor jasa keuangan yang telah ditetapkan OJK yaitu Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) dalam realisasi hasil mediasi dan ajudikasi tahun 2016 terdapat banyak sengketa yang di tangani oleh BMAI dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2016. Adapun rincian hasil mediasi dan ajudikasi BMAI tahun 2016 adalah sebagai berikut; Asuransi Jiwa dengan total 215 sengketa, Asuransi Sosial dengan total 3 sengketa dan asuransi umum dengan total 287 sengketa.25 Hal ini dapat menjadi tinjauan melihat seberapa banyak sengketa yang dipercayakan untuk diselesaikan pada BMAI sebagai LAPS dalam sektor jasa keuangan.

Lebih lanjut dalam proses penyelesaian sengketa pada BMAI ini, terdapat 3 tahapan yaitu:26

a. Tahap 1 (Mediasi): Permohonan Penye-lesaian Sengketa Klaim Asuransi yang diterima BMAI akan ditangani oleh mediator yang akan berupaya agar Tertanggung atau pemegang Polis dan Penanggung

(Perusahaan Asuransi) dapat mencapai kesepakatan untuk menyelesaiakan sengketa secara damai dan wajar bagi kedua belah pihak. Mediator akan bertindak sebagai penengah antara Tertanggung atau Pemegang Polis (Pemohon) dan Penanggung atau Perusahaan Asuransi (Termohon).

b. Tahap 2 (Ajudikasi): Bila sengketa klaim (tuntutan ganti rugi atau manfaat) tidak dapat diselesaikan melalui Mediasi (Tahap 1), maka pihak pemohon dapat mengajukan permohonan kepada Ketua BMAI agar sengketanya dapat diselesaikan melalui proses Ajudikasi. Sengketa akan diputuskan oleh Majelis Ajudikasi yang ditujukan oleh BMAI.

c. Tahap 3 (Arbitrase): Atas sengketa klaim yang tidak dapat diselesaikan pada proses Mediasi atau Ajudikasi dan yang nilai sengketanya melebihi batas nilai tuntutan ganti rugi dilakukan proses arbitrase. Sengketa klaim akan diperiksa dan diadili oleh arbiter tunggal atau majelis arbitrase. Keputusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak dan tidak dapat dimintakan banding, kasasi atau upaya hukum lainnya.

Pada tahap 3 (tiga) dapat disimpulkan bahwa keputusan arbitrase harus dilaksanakan karena bersifat final. Sehingga sengketa yang sampai pada tahap 3 (tiga) tidak dapat lagi diajukan dalam bentuk apapun.

Dengan demikian, adanya lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan diharapkan dapat mewujudkan adanya kepastian bagi konsumen dan lembaga jasa keuangan atas

25 Badan Mediasi Dan Arbitrase Asuransi Indonesia, ”Realisasi Hasil Mediasi Dan Ajudikasi Tahun 2016”, http://bmai.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=238&Itemid=725, (diakses 5 April 2018).

26 Ibid.

Page 99: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

77Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sektor Jasa Keuangan ... (Abd. Aziz Billah)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

sengketa yang timbul. Putusan yang dihasilkan dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan dapat dijadikan oleh konsumen sebagai bahan pembelajaran mengenai hak dan kewajibannya. Sedangkan bagi lembaga jasa keuangan, putusan dimaksud dapat digunakan untuk menyempurnakan produk dan jenis layanan yang telah diterbitkan. Lembaga jasa keuangan juga akan mampu mengembangkan produk dan layanannya dengan menyesuaikan pada kemampuan dan kebutuhan konsumen.27 Oleh karena itu keberadaan LAPS dalam Sektor Jasa Keuangan sangatlah penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa pada sektor Jasa keuangan guna membantu pembangunan ekonomi nasional.

D. Penutup

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hadirnya lembaga Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia diharapkan dapat memaksimalkan dengan baik aktifitas ekonomi yang ada, salah satunya dengan mewujudkan perlindungan kepada konsumen. Pembentukan OJK dimaksudkan pula untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Oleh karenanya, OJK menerbitkan POJK terkait dengan Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). Keberadaan LAPS diharapkan sebagai penunjang tugas OJK seperti yang diamanatkan dalam UU OJK bahwa OJK diharapkan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Sesungguhnya peran

LAPS dalam membantu pembangunan ekonomi nasional sangatlah penting mengingat bahwa UUD 1945 mengamanatkan agar pembangunan nasional bukan hanya dipundak pemerintah, melainkan bersama-sama di pundak pemerintah dan masyarakat. Oleh karena untuk memastikan jalannya kebersamaan itu, haruslah ada lembaga alternatif sebagai penyeimbang yang hadir dengan prinsip-prinsip yang tidak berpihak pada pemerintah saja. Dengan adanya lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan, maka akan terwujud adanya kepastian bagi konsumen dan lembaga jasa keuangan atas sengketa yang timbul.

Tidak lupa juga saran yang penulis berikan yaitu: agar kiranya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam bidang jasa keuangan mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah dengan diberikan aturan tersendiri yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan sebelumnya. Metode penyelesaian yang begitu terjangkau oleh konsumen dalam hal ini masyarakat menyebebkan peran LAPS di masa yang akan datang menjadi sangat penting oleh karenanya sangat perlu diperhatikan keberadaannya baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

Daftar Pustaka

BukuDarmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat

Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995).

Siagian, Sondang, Administrasi Pembangunan, Konsep, Dimensi, dan Strateghinya, Cetakan ke-4, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005).

27 Otoritas Jasa Keuangan, ”FAQ atas Peraturan OJK tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di Sektor Jasa Keuangan, Nomor 13”, www.ojk.go.id/Files/regulasi/ojk/pojk/faq-pojk-laps.pdf, (diakses 19 february 2018).

Page 100: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

78 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 67–78

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Sihombing, Jonker, Peran dan Aspek Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, (Bandung: PT Alumni, 2010)

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2006).

Soewardi, Herman, Koperasi: Suatu Kumpulan Makalah, (Bandung: Ikopin, 1989).

Suherman, Maman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005).

Tumanggor, M.S., Pengenalan Otoritas Jasa Keuangan, Pasar Uang, Pasar Modal, dan Penanaman Modal, (Jakarta: CV. Rasterindo, 2017).

Widjaja, Gunawan, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan kedua, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002)

Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil PenelitianAgus Suwandono dan Deviana Yuanitassari,

”Kedudukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan Dalam Hukum Perlindungan Konsumen”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 1, Nomor 1 (2016)

Elli Ruslina, ”Makna Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia”, Jurnal Konstitusi Volume 9. Nomor 1 (2012).

Ema Rahmawati dan Rai Mantili, ”Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif Penyeleesasian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum Volume 3 Nomor 2 (2016).

Lukmanul Hakim, ”Analisis Alternatif Penyelesaian Sengketa Antara Pihak Nasabah Dengan Industri Jasa Keuangan Pada Era Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”, Jurnal Keadilan Progresif Volume 6 Nomor 2 (2015).

Otoritas Jasa Keuangan Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, ”LAPS Sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Pengaduan Konsumen”, (disampaikan pada Pembahasan Finalisasi Internal Dispute Resolution (IDR), Bandung, 11 November 2015).

Otoritas Jasa Keuangan, ”Pengumuman Nomor Peng- 2/D.07/2016 tentang Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan”.

Sukardi, ”Peran Penegakan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi”, Jurnal Hukum & Pembangunan Volume 46 Nomor 4 (2016).

InternetBadan Mediasi Dan Arbitrase Asuransi Indonesia,

”Realisasi Hasil Mediasi Dan Ajudikasi Tahun 2016”, http://bmai.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=238&Itemid=725, (diakses 5 April 2018)

Otoritas jasa Keuangan, ”Lembaga Altternatif Penyelesaian Sengketa”, http://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-konsumen/Pages/Lembaga-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.aspx, (diakses 12 February 2018)

Otoritas Jasa Keuangan, ”FAQ atas Peraturan OJK tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di Sektor Jasa Keuangan, Nomor 13”, www.ojk.go.id/Files/regulasi/ojk/pojk/faq-pojk-laps.pdf, (diakses 19 Februari 2018).

Hukum Online, ”Bersengketa Di Sektor Jasa Keungan? Ini Tata Cara Penyelesaiannya”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt570095be262e8/bersengketa-di-sektor-jasa-keuangan-ini-tata-cara-penyelesaiannya, (diakses 18 April 2018).

Peraturan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan.Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/

POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa keuangan.

Page 101: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

79Arbitrase Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal (Helmi Kasim )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

ARBITRASE SEBAGAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL

(Arbitration as Investment Dispute Settlement Mechanism)

Helmi KasimPusat Penelitian dan Pengkajian Perkara MKRI

Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat, IndonesiaEmail: [email protected]; [email protected]

Naskah diterima: 20 Februari 2018; revisi: 5 April 2018; disetujui: 17 April 2018

AbstrakArbitrase merupakan mekanisme penyelesaian sengketa penanaman modal yang banyak dipilih oleh para pihak yang bersengketa termasuk dalam hal penanaman modal asing yang dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral penanaman modal. Tulisan ini, secara deskriptif dan eksplanatoris, akan membahas penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase. Hal-hal yang diuraikan di dalamnya mencakup kasus yang pernah dihadapi Indonesia dalam forum arbitrase, pengakuan atas putusan arbitrase internasional dan keterlibatan pihak ketiga dalam proses arbitrase untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan kepentingan publik. Tulisan ini menyimpulkan bahwa Indonesia perlu secara konsisten mengakui putusan arbitrase internasional berdasarkan instrumen hukum internasional yang telah diakui dalam negeri meskipun tidak sepakat terhadap substansi putusan arbitrase yang telah diambil. Tulisan ini juga merekomendasikan agar dilakukan pengaturan pihak ketiga dengan mengakomodir konsep hak gugat organisasi, gugatan perwakilan atau gugatan kelompok khusus untuk kasus-kasus arbitrase yang berkaitan dengan kepentingan umum.Kata Kunci: penanaman modal, penyelesaian sengketa, arbitrase, pihak ketiga

AbstractArbitration is a mechanism of investment dispute settlement which is preffered by most disputing parties also in terms of foreign investment which is conducted based on an agreed bilateral investement treaty. This writing, using descriptive and explanatory method, attempts to discuss investment dispute settlement through arbitration which covers cases that had been faced by Indonesia in arbitration forum, recognition of international arbitration award and involvement of third parties in arbitration cases that are related to public interest. This writing concludes that Indonesia should consistently recognize international arbitration decision based on international law instruments that have been ratified even if disagreement arises on the substance of the decision. This writing also recommends the adoption of the concept of organizational standing, class action and citizen lawsuits in laws and regulations to give rights to third parties to intervene in the process or arbitration for cases which are related to public interest.Keywords: investment, dispute settlement, arbitration

Page 102: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

80 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 79–96

Volume 7, Nomor 1, April 2018

A. Pendahuluan

Penanaman modal asing memegang peranan penting dalam peningkatan perekonomian. Penanaman modal asing membawa masuk dana dan keahlian dari luar yang akan turut memperkaya, membangun dan memperkuat kapasitas ekonomi dan pembangunan dalam negeri. Penanaman modal asing menciptakan hubungan jangka panjang terhadap pere-konomian dunia. Dengan kebijakan yang benar, penanaman modal asing secara langsung dapat membawa manfaat ekonomi bagi negara penerima (host) maupun investor. Dengan kata lain, penanaman modal asing secara langsung mendorong terjadinya transfer teknologi dan keahlian antara negara yang berbeda. Negara penerima modal juga mendapatkan kesempatan untuk mempromosikan produk mereka ke seluruh dunia.1

Negara-negara di dunia memiliki pemahaman yang sama bahwa kegiatan penanaman modal asing penting untuk meningkatkan perekonomian mereka. Begitu pula halnya dengan Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal) mengamanatkan bahwa penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional,

mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.2

Salah satu aktor penting dalam penanaman modal adalah perusahaan-perusahaan multinasional atau MNCs (multinational corporations). Perusahaan multinasional meru-pakan pihak yang sangat berpengaruh karena kekuatan sumber daya finansial yang mereka miliki ditambah dengan dukungan negara asalnya yang berada di belakang mereka. Perusahaan-perusahaan ini mengelola dana yang jumahnya bisa lebih besar dari anggaran sebuah negara khususnya negara-negara berkembang yang sangat membutuhkan penanaman modal. Perusahaan multinasional bahkan dianggap sanggup mempengaruhi hukum penanaman modal internasional kearah yang menguntungkan mereka. Selain kemampuan untuk mempengaruhi negara tempat mereka menanamkan modal, mereka juga sanggup mempengaruhi proses penyusunan norma hukum internasional.3

Selain perusahaan multinasional, aktor penanaman modal lainnya adalah perusahaan milik negara (state corporations). Ini merupakan cara negara untuk masuk ke dalam bidang perdagangan yang di negara berkembang biasanya dikhususkan pada sektor-sektor yang penting untuk publik. Konsep ini banyak terjadi di negara berkembang. Teori yang berlaku di negara berkembang adalah bahwa sektor-sektor

1 OECD, ”OECD Benchmark Definition of Foreign Direct Investment.”Fourth Edition,2008, hlm. 14, http://www.oecd.org/daf/inv/investmentstatisticsandanalysis/40193734.pdf (diakses 13 Februari 2018).

2 Lihat alinea kedua penjelasan umum Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Indonesia, Undang-Undang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2007, LN No. 67, TLN No. 4724, Alinea Kedua Penjelasan Umum.

3 M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investments, Third Edition (Cambridge: Cambridge University Press, 2010) hlm. 61-62.

Page 103: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

81Arbitrase Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal (Helmi Kasim )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

yang menguntungkan perekonomian harus dikelola oleh negara sehingga keuntungannya tidak jatuh ke tangan swasta tetapi masuk ke kas negara sehingga bisa dipergunakan untuk kepentingan rakyat.4

Kebutuhan negara-negara untuk meningkatkan perekonomian mereka dan dengan adanya globalisasi dan liberalisasi telah mempertemukan berbagai kepentingan itu dalam sebuah rezim penanaman modal yang melibatkan banyak pihak. Ada saling kebutuhan, ada penawaran dan penerimaan dari satu sama lain yang memunculkan kerjasama. Lazimnya sebuah kerjasama didasarkan atas sebuah kesepakatan. Begitu pula dalam penanaman modal. Selalu ada resiko5 di dalamnya yang bisa menimbulkan persoalan atau bahkan sengketa sehingga membutuhkan penyelesaian yang juga didasarkan pada kesepakatan.

Undang-undang Penanaman Modal telah mengatur setidaknya tiga cara penyelesaian sengketa penanaman modal yakni penyelesaian berdasarkan musyawarah mufakat, melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa serta melalui pengadilan. Dalam hal sengketa penanaman modal asing, yang melibatkan negara dan investor asing, maka mekanisme yang ditempuh berdasarkan undang-undang adalah penyelesaian sengketa melalui

arbitrase internasional yang disepakati.6 Selain berdasarkan Undang-Undang Penanaman Modal, penyelesaian sengketa melalui arbitrase juga diselesaikan berdasarkan perjanjian penanaman modal bilateral atau Bilateral Investment Treaty (BIT) yang disepakati antara Indonesia dengan negara lain.

Saat ini Indonesia menjadi pihak pada 26 BIT yang berlaku mengikat (in force).7 Pada semua BIT yang disepakati tersebut terdapat ketentuan penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Hampir semua BIT merujuk mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase ICSID. Sebagian kecil lainnya melalui arbitrase International Chamber of Commerce (ICC) ataupun melalui arbitrase ad hoc dengan mempergunakan prosedur arbitrase United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL).8 Apa yang diatur dalam Undang-Undang Penanaman Modal maupun dalam BIT menunjukkan keterbukaan Indonesia terhadap rezim hukum penanaman modal internasional yang di dalamnya memuat penyelesaian sengketa penanaman modal khususnya natara negara dan investor asing (Investor State Dispute Settlement).

Apa yang diatur dalam Undang-Undang Penanaman Modal merupakan kecenderungan umum yang terjadi dalam hukum penanaman modal di berbagai negara yang juga berkaitan

4 Ibid. hlm. 63-64. Bandingkan juga dengan konsep yang berlaku di Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.

5 Menurut Sornarajah, beberapa resiko yang terjadi dalam penanaman modal adalah persoalan ideologi (ideological hostility), Nasionalisme (nationalism), faktor etnis (ethnicity as a factor), perubahan pola industri (changes in industry patterns), kontrak yang dibuat oleh rezim sebelumnya (contracts made by previous regime), kontrak yang merugikan (onerous contract), peraturan di bidang ekonomi (regulation of the economy), masalah hak asasi manusia dan lingkungan (human rights and environmental concerns), dan situasi hukum dan ketertiban (the law and order situation). Untuk penjelasan lebih mendalam tentang resiko ini lihat Sornarajah, Ibid. hlm. 71-79.

6 Indonesia, Undang-Undang Penanaman Modal, Ps. 32.7 UNCTAD, ”International Investment Agreements Navigator. Indonesia. Bilateral Investment Treaty,” Investment

Policy Hub,http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/97, (diakses 9 Maret 2018).8 Ibid.

Page 104: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

82 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 79–96

Volume 7, Nomor 1, April 2018

9 UNCTAD, World Investment Report 2017. Investment and the Digital Economy (Geneva: United Nations Publication, 2017) hlm. 109.

dengan hal-hal yang diatur dalam berbagai perjanjian internasional dalam penanaman modal. Salah satu di antaranya adalah adanya ketentuan mengenai penyelesaian sengketa. Berdasarkan data United Nations onTrade and Developemnt (UNCTAD) arbitrase internasional merupakan mekanisme penyelesaian sengketa yang paling banyak dirujuk dalam sebagain besar undang-undang penanaman modal diikuti penyelesaian sengketa melalui pengadilan kemudian alternatif penyelesaian sengketa seperti konsiliasi dan mediasi.9

Data ini menunjukkan bahwa dalam arus penanaman modal internasional, penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan mekanisme populer yang diatur dalam berbagai instrumen hukum baik hukum dalam negeri maupun perjanjian internasional. Oleh karena itu, familiaritas terhadap arbitrase merupakan sesuatu yang niscaya.Selain itu karena penanaman modal pada sektor-sektor tertentu juga berkaitan dengan kepentingan masyarakat secara luas maka sengketa yang terjadi bisa saja tidak hanya merugikan para pihak yang bersengketa namun dalam perspektif yang lebih luas dapat saja akibat dari penanaman modal yang dipersengketakan berkaitan dengan kepentingan umum sehingga masyarakat pun dalam hal ini memiliki hak utnuk tahu dan ikut bersuara terhadap substansi sengketa yang diselesaikan melalui proses arbitrase. Namun, hal ini dapat menjadi kendala sebab arbitrase merupakan mekanisme penyelesaian sengketa di mana jaminan atas kerahasiaan menjadi karakteristiknya dan untuk itu mekanisme tersebut banyak dipilih para pihak. Terkait hal

tersebut, isu kepentingan umum menjadi penting untuk dibahas dan melihatnya sebagai alasan untuk mengesampingkan aspek kerahasiaan. Di ranah global isu keterlibatan pihak lain, dalam hal ini, pihak ketiga dalam proses arbitrase telah banyak dibahas khususnya untuk arbitrase yang berkaitan dengan kepentingan umum. Isu ini menjadi menarik untuk dibahas dalam konteks dalam negeri sebab sektor yang menjadi objek penanaman modal bisa saja sektor yang berkaitan dengan kepentingan umum apalagi bila dikaitkan dengan sektor-sektor yang merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta sumber daya alam sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republoik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, tulisan ini akan membahas dua hal yakni pertama, ulasan secara deskriptif normatif tentang arbitrase sebagai mekanisme penyelesaian sengketa khususnya di bidang penanaman modal dankedua mengkaji keterbukaan (open baar) dalam proses arbitrase terhadap sengketa yang terkait dengan kepentingan umum di mana pihak ketiga dapat melakukan intervensi pada proses arbitrase yang sedang berjalan. Hal ini penting bila dkaitkan dengan kiprah organisasi atau lembaga-lembaga non pemerintah dalam negeri yang banyak bergerak melakukan advokasi utnuk kepentingan umum di berbagai bidang yang dapat saja mendorong keterbukaan proses arbitrase baik dari segi regulasi maupun dalam pendekatan praktik.

Page 105: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

83Arbitrase Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal (Helmi Kasim )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

B. Metode Penelitian

Kajian dalam tulisan ini menggunakan metode deskriptif dan explanatoris yang menggambarkan isu penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase. Di dalam penjelasan juga dipaparkan tentang mekanisme arbitrase yang terbuka untuk umum untuk sengketa-sengketa yang berkaitan dengan kepentingan umum. Di dalam ulasan juga diuraiakan kemungkinan berperannyaamicus curiae dalam proses arbitrase sebagai pihak yang bertindak untuk memperjuangkan kepentingan umum.

C. Pembahasan

1. Arbitrase Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa

Penanaman modal oleh sebuah negara atau korporasi dilakukan atas dasar perjanjian.

Sebagai ajang tempat bertemunya banyak kepentingan yang berbeda, kegiatan penanaman modal tidak jarang menimbulkan sengketa. Oleh karena itu, para pihak yang melakukan kesepakatan penanaman modal selalu membekali diri dengan ketentuan tentang penyelesaian sengketa yang akan dijadikan dasar penyelesaian apabila di kemudian hari terjadi sengketa baik sengketa administratif10, sengketa hukum11 maupun sengketa teknis12.

Sengketa penanaman modal bisa terjadi antar negara13, negara dengan subyek hukum bukan negara14, subyek hukum bukan negara satu sama lain15 serta antara investor dengan masyarakat setempat16.

Penyelesaian sengketa penanaman modal dapat dilakukan melalui berbagai cara baik melalui proses ajudikasi, non-ajudikasi17 atau

10 Sengketa administartif atau biasa juga disebut sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Dalam hal ini misalnya terkait dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Koordiasi Penanaman Modal.Sebastian Pompe, et. al., ed., Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal(Jakarta: NLRP, 2010) hlm. 454. Lihat juga ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentangPeradilan TataUsaha Negara.

11 Sengketa hukum biasanya timbul karena tidak diakomodasikannya kepentingan salah satu pihak atau pihak ketiga lainnya dalam suatu kegiatan penanaman modal. Ibid. hlm. 455.

12 Sengketa teknis biasanya terkait dengan hubungan kontraktual. Sengketa ini dapat terjadi karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan kontrak kerjasama yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang berkerjasama, pada saat implementasi kontrak. Ibid.

13 Sengketa antar negara pada umumnya menyangkut perbedaan interpretasi dan implementasi atas perjanjian bilateral di bidang promosi dan perlindungan penanaman modal serta perjanjian lain seperti ketentuan-ketentuan TRIMS dari WTO Agreement, perjanjiantentangpencegahanpajakberganda dan penghindaran pajak, perjanjian kemitraan ekonomi, dll. Ibid.

14 Sengketa antar negara dengan subyek hukum bukan negara pada umumnya timbul antara host-country dengan investor asing yang melakukan penanaman modal pada host-country. Ibid.

15 Sengketa antara subyek hukum bukan negara satu sama lain adalah sengketa di antara para mitra usaha (counter-parts) yang biasanya ditimbulkan oleh perbedaan interpretasi dan pelaksanaan kontrak antara investor dengan mitra lokalnya. Ibid. hlm. 456.

16 Sengketa antara investor dengan masyarakat setempat pada umumnya ditimbulkan oleh ketidakpuasan masyarakat setempat terhadap kegiatan investor pada wilayah mereka yang dapat ditimbulkan oleh berbagai faktor, antara lain: kegiatan investasi yang dapat menimbulkan dampak kerugiuan kepada msyarakat setempat; terjadinya pelanggaran HAM oleh investor; ganti rugi lahan yang sangat rendah; tidak terserapnya masyarakat pada lapangan kerja yang disediakan oleh investor, dll. Ibid.

17 Penyelesaian melalui proses non-ajudikasi yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, jasa baik (good offices), komisi pencari fakta (commission of inquiry) dan board rules. Ibid. hlm. 458-460.

Page 106: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

84 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 79–96

Volume 7, Nomor 1, April 2018

gabungan antara ajudikasi dan non-ajudikasi18. Arbitrase merupakan proses penyelesaian dengan cara ajudikasi sebagaimana halnya litigasi.Menurut UNCTAD, reformasi sistem dalam negeri dan mekanisme penyelesaian sengketa penanaman modal merupakan salah satu bentuk kebijakan penanaman modal yang mempengaruhi arus investasi. UNCTAD mencotohkan salah satu bentuk kebijakan yang diambil oleh negara misalnya Bahrain membentuk dua pengadilan khusus yang masing-masing menangani masalah perdagangan dan penyelesaian sengketa penanaman modal.19

Penyusunan undang-undang arbitrase juga merupakan salah satu bentuk kebijakan peanaman modal yang memberikan kerangka hukum yang komprehensif baik untuk arbitrase domestik maupun abitrase internasional.20

Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa melalui proses pemeriksaan dan pengambilan putusan oleh arbiter tunggal atau majelis arbiter dari lembaga arbitrase, baik oleh lembaga arbitrase yang berlingkup nasional maupun internasional, demikian pula lembaga arbitrase yang bersifat permanent maupun sementara (ad-hoc).21

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan arbitrase adalah cara penyelesaian

suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.22

Arbitrase menjadi pilihan cara penyelesaian sengketa khususnya oleh pihak asing yang melakukan perjanjian karena beberapa alasan. Pertama, pada umunya pihak asing kurang mengenal system tata hukum negara lain. Kedua, adanya keraguan akan sikap objektifitas pengadilan setempat dalam memeriksa dan memutus perkara yang di dalamnya terlibat unsur asing. Ketiga, pihak asing masih ragu akan kualitas dan kemampuan pengadilan negara berkembang dalam memeriksa dan memutus perkara yang berskala internasional. Keempat, timbulnya dugaan dan kesan, penyelesaian sengketa melalui jalur formal lembaga peradilan memakan waktu yang lama.23

Para pihak dalam sebuah perjanjianjuga memilih arbitrase karena proses yang cepat, terjamin kerahasiaanya, ditangani oleh arbiter atau wasit yang ahli di bidangnya, sehingga sengketanya dapat diputuskan menurut keadilan dan kepatutan.24 Senada dengan alasan-alasan tersebut, Priyatna Abdurrasyid, menyatakan bahwa arbitrase banyak dipilih karena beberapa alasan yaitu:25

18 Penyelesaian melalui proses gabungan ajudikasi dan non-ajudikasi yaitu court-annexed mediation, mediation-arbitration, dan conciliation-arbitration. Ibid. hlm. 460.

19 UNCTAD, World Investment Report 2017. op.cit., hlm. 101.20 Ibid.21 Ibid. hlm. 458.22 Lihat ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872).

23 Erman Rajagukguk, ”Keputusan Arbitrase Asing mulai dapat dilaksanakan di Indonesia”, Suara Pembaharuan, 7 Juni 1990, hlm. 11, sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap, Arbitrase, Edisi Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) hlm. 4.

24 Erman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, cetakan pertama (Jakarta: Tatanusa, 2004) hlm. 5.

25 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Edisis Ke-2 Revisi (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011) hlm. 53-54.

Page 107: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

85Arbitrase Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal (Helmi Kasim )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

a. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiternya sendiri dan untuk ini tentunya akan dipilih mereka yang dipercayai memiliki integritas, kejujura, keahlian, dan profesionalisme di bidangnya masing-masing dan sama sekali tidak mewakili pihak yang memilihnya. Ia seorang yang independen dan bukan penasehat hukumnya;

b. Proses majelis arbitrase konfidensial dan oleh karena itu dapat menjamin rahasia dan publisitas yang tidak dikehendaki;

c. Putusan arbitrase, sesuai dengan kehendak dan niat para pihak merupakan putusan final dan mengikat para pihak bagi sengketanya. Lain lagi dengan putusan pengadilan yang terbuka bagi peninjauan yang memakan waktu lama;

d. Karena putusannya final dan mengikat, tata caranya biasanya cepat, dengan biaya terukur serta jauh lebih rendah dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pengadilan;

e. Tata cara arbitrase lebih informal dari tata cara pengadilan dan oleh karena itu terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan dan damai (amicable), memberi kesempatan luas untuk meneruskan hubungan komersial para pihak di kemudian hari setelah berakhirnya proses penyelesaian sengketa.

Para pihak yang memilih penyelesaian melalui arbitrase juga dapat memilih apakah akan menggunakan arbitrase ad hoc atau arbitrase terlembaga26. Baik arbitrase ad hoc maupun arbitrse terlembaga sama-sama memiliki kelebihan.

Kelebihan arbitrase ad hoc yang pertama adalah fleksibilitas. Dengan fleksibilitas ini, prosedur arbitrase ad hoc dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Kedua, kelebihan yang dimiliki arbitrase ad hoc ada pada biaya yang harus dibayar dan jangka waktu penyelesaian sengketa. Dengan memilih arbitrase ad hoc para pihak tidak perlu membayar biaya administrasi sebagaimana yang dikenakan oleh sebagian besar lembaga arbitrase dan juga waktu yang dihabiskan untuk prosedur internal seperti pemilihan arbiter, pengarsipan dokumen, dan (sebagaimana yang berlaku di ICC) prosedur penentuan kerangka acuan dan peninjauan putusan. Tiadanya prosedur internal seperti ini bisa mempersingkat waktu penyelesaian sengketa.27

Sementara kelebihan utama dari arbitrase terlembaga adalah dalam hal perancangan persetujuan arbitrase. Dengan memilih arbitrase ad hoc para pihak tidak perlu lagi merancang kesepakatan arbitrase tetapi dapat menggunakan peraturan lembaga yang dirancang oleh para professional di bidang komersial dan sudah teruji oleh waktu.28

26 Dalam hal ini Indonesia memiliki Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), dapat dikunjungi melalui laman www.bani-arb.org; Lembaga-lembaga arbitrase lainnya antara lain International Chamber of Commerce (ICC) dengan laman www.iccwbo.org; London Court of International Arbitration (LCIA), www.lcia-arbitration.com, Singapore International Arbitration Center (SIAC), www.siac.org.sg, serta International Center for the Settlement of Investment Dispute (ICSID) yang didirikan oleh Bank Dunia berdasarkan Konvensi ICSID (Convention on the Settlement of Investment Dispute between States and Nationals of Other States).

27 Gerald Aksen, ”Ad Hoc Versus Institutional Arbitration,” dalam Arthur Von Mehren, International Commercial Arbitration, PIL, 1997 version. Hlm. 44 – 48.

28 Ibid.

Page 108: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

86 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 79–96

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Kedua, pemilihan arbiter. Arbitrase terlembaga lebih unggul dalam hal pemilihan arbiter. Sangat mungkin terjadi dalam arbitrase ad hoc para pihak memilih orang yang sama untuk menjadi arbiter tanpa harus menggunakan jasa arbitrase terlembaga. Namun, dalam banyak hal, pada arbitrase ad hoc, sangat sulit bagi para pihak untuk mencapai kata sepakat tentang arbiter yang dipilih karena rendahnya tingkat kepercayaan pada masing-masing pihak sehingga penunjukan arbiter independen yang dilakukan oleh sebuah lembaga yang netral dapat mempermudah proses pembentukan majelis arbitrase. Arbitrase terlembaga juga memiliki wasit administratif yang bertugas untuk memastikan bahwa semua arbiter, termasuk arbiter yang ditunjuk para pihak, benar-benar independen. Lembaga memiliki kewenangan untuk mengganti arbiter yang tidak disetujui oleh salah satu pihak.29

Ketiga, arbitrase terlembaga memiliki sekretariat dan staf profesional yang siap membantu para pihak yang bersengketa dalam proses arbitrase di antaranya melayani permintaan untuk arbitrase dan menjawab surat-surat, memproses penentuan biaya, mengingatkan para pihak tentang waktu memberikan tanggapan, memilih arbiter, dan lain-lain.

Keempat, arbitrase terlembaga telah semakin diakui oleh lembaga peradilan nasional. Secara umum pengadilan nasional menjadi lebih berterima untuk mengakui putusan di bidang perdagangan apabila ada semacam jaminan bahwa sebuah badan yang

netral seperti lembaga arbitrase secara adil telah menyelesaikan kontroversi baik mengenai prosedur beracara maupun persoalan substansi yang muncul selama pelaksanaan arbitrase.30

Kelima, adanya prosedur yang dimiliki oleh lembaga arbitrase untuk meneruskan pemeriksaan tanpa kehadiran salah satu pihak apabila pihak tersebut telah dipanggil secara patut dan arbiter yakin bahwa panggilan telah diberikan dan telah diterima namun para pihak tidak hadir tanpa alasan yang sah. Dalam hal demikian, pemeriksaan arbitrase yang dilakukan dianggap telah dihadiri oleh para pihak. Prosedur seperti ini sangat penting apabila pihak yang tidak hadir adalah pemerintah suatu negara atau lembaga yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara. Pengadilan yang akan menguatkan putusan arbitrase yang prosesnya tidak dihadiri oleh salah satu pihak tersebut (default award) juga lebih yakin apabila putusan itu dikeluarkan oleh arbitrase terlembaga.31

Dalam perjanjian penanaman modal para pihak atau setidaknya pihak pemberi modal biasanya menuntut agar perjanjian yang dibuat memuat klausula arbitrase yang tunduk pada Convention on the Settlement of Investment Dispute Between States and National of Other Statesyang tunduk pada ketentuan ICSID. Indonesia sendiri bahkan telah pernah menjadi pihak dalam sengketa penanaman modal yang diputus melalui mekanisme ICSID seperti perkara Nusa Tenggara Partnership B.V. and PT Newmont Nusa Tenggara v. Republic of Indonsia, Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia, Cemex Asia Holdings Ltd v. Republic of Indonesia

29 Ibid.30 Ibid.31 Ibid.

Page 109: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

87Arbitrase Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal (Helmi Kasim )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

dan Amco Asia Corporation and Others v. Republic of Indonesia.32 Begitupun sengketa yang diselesaikan melalui mekanisme arbitrase ad hoc seperti kasus Pertamina melawan Karaha Bodas, yang diselesaikan berdasarkan prosedur UNCITRAL, cukup menyita perhatian publik dan dunia internasional. Selain hukuman ganti rugi yang cukup tinggi sebesar USD 261 juta, putusan dalam kasus ini juga menarik perhatian publik internasional sebab putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.33 Dalam perkembangannya putusan pembatalan ini tidak diakui negara lain.34 Berbeda dengan putusan dalam kasus Pertamina melawan Karaha Bodas, putusan arbitrase ICSID dalam kasus Rafat Ali Rizvi versus Republic Indonesia menyatakan jenis penanaman modal yang dilakukan Rafat Ali Rizvi bukan merupakan jenis penanaman modal yang masuk dalam kategori dilindungi berdasarkan penafsiran atas BIT antara Indonesia dan Inggris yang menjadi dasar penyelesaian sengketa tersebut.35 Menurut majelis arbitrase, merujuk padaketentuan Pasal 2 ayat (1)BIT tersebut, jenis penanaman modal yang dilindungi adalah penanaman modal yang telah diberi izin berdasarkan undang-undang penanaman modal yang pelaksanaannya dilakukan melalui prosedur yang ditentukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) serta penanaman modal yang diberi izin sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh

Indonesia untuk sektor-sektor yang terbuka bagi penanaman modal namun tidak tunduk pada prosedur yang ditetapkan oleh BKPM. Jenis penanaman modal yang dilakukan Rafat Ali Rizvi dalam kasus tersebut terdapat dalam bidang perbankan yang bukan merupakan cakupan undang-undang penanaman modal dan melalui prosedur BKPM tetapi melalui prosedur yang ditentukan oleh Bank Indonesia (BI). Dalam kasus tersebut, majelis arbitrase berpendapat bahwa Rafat Ali Rizvi tidak dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa dirinya telah memenuhi semua persyaratan perizinan yang ditentukan BI dalam kedudukannya sebagai pemegang saham pada Bank Century. Berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis arbitrase memutuskan, penanaman modal yang dilakukannya tidak termasuk penanaman modal yang dilindungi berdasakan ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT Indonesia dan Inggris.36

Merujuk pada dua kasus tersebut di atas, setidaknya ada dua hal yang dapat diketahui yakni pembatalan putusan arbitrase internasional oleh pengadilan dalam negeri dan cakupan jenis penanaman modal yang dilindungi berdasarkan BIT. Pada poin pertama merujuk Konvensi New York 1958 yang juga sudah diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, putusan arbitrase internasional hanya

32 ICSID, ”Concluded Cases with Details: Indonesia, diakses 9 Maret 2018, https://icsid.worldbank.org/en/Pages/cases/ConcludedCases.aspx?status=c.

33 Helmi Kasim, ”Penyelesaian Sengketa Kontrak melalui Arbitrase Internasional dalam Kasus Pertamina versus Karaha Bodas” (Skripsi SI, Universitas Islam Jakarta, 2009) , hlm. 48, 51

34 Ibid.35 Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia. ICSID Case No. ARB/11/13, http://icsidfiles.worldbank.org/icsid/

ICSIDBLOBS/OnlineAwards/C1560/DC4512_En.pdf, diakses terakhir 9 Maret 2018.36 Helmi Kasim, ”Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Berdasarkan Bilateral Investement Treaty Melalui

Arbitrase International Centre for the Settlement of Investment Disputes. Studi Kasus Sengketa Penanaman Modal Rafat Ali Rizvi melawan Republik Indonesia” (Tesis S2, Universitas Indonesia, 2015), hlm. 69.

Page 110: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

88 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 79–96

Volume 7, Nomor 1, April 2018

dapat dibatalkan melalui pengadilan negara yang memiliki primary jurisdiction yakni negara yang menjadi kedudukan hukum (legal seat atau juridical seat) arbitrase. Dalam kasus Pertamina versus Karaha Bodas, arbitrase yang dijalani beredudukan hukum di Swiss sehingga pengadilan Swiss lah yang berwenang untuk membatalkan putusan arbitrase tersebut. Indonesia sebagai pihak yang bersengkata dalam hal ini memiliki secondary jurisdiction yang berarti hanya memiliki kewenangan untuk menyatakan bahwa putusan tersebut tidak bisa dieksekusi di Indonesia.37 Terlepas dari ketidaksetujuan dengan substansi putusan, namun kepatuhan terhadap prosedur yang telah disepakati secara internasional perlu dipupuk untuk memberikan kepercayaan terhadap dunia global tentang iklim investasi di Indonesia sembari memperkuat kapasitas institusional dalam negeri untuk menghadapi kasus-kasus serupa. Pada poin kedua, tinjauan atas ketentuan-ketentuan BIT yang disepakati antara Indonesia dengan negara lain perlu dilakukan untuk mempertegas cakupan jenis penanaman modal yang dilindungi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum melalui arbitrase bila terjadi sengketa sebab klausula tentang hal ini dapat menjadi sumber perbedaan tafsir yang rentan untuk dipersengketakan.

Dalam kasus Pertamina melawan Karaha Bodas, pengajuan upaya pembatalan putusan arbitrase oleh Pertamina kepada Pengadilan negeri Jakarta Pusat dapat dipahami sebagai

upaya Pertamina untuk menghindari hukuman ganti rugi. Sebab, bila putusan arbitrase dibatalkan oleh pengadilan sebuah negara yang berwenang untuk itu yakni negara yang disebut sebagai memiliki primary jurisdiction,sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka putusan arbitrase tersebut tidak dapat dieksekusi di negara lain. Upaya hukum tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan membatalkan putusan arbitrase Jenewa.38

Pembatalan putusan tersebut dilakukan dengan alasan bahwa, sebagaimana yang juga didalilkan oleh Pertamina, majelis arbitrase Jenewa telah melampaui kewenangannya karena tidak menggunakan hukum Indonesia padahal dalam kontrak antara KBC dengan Pertamina disepakati bahwa hukum yang digunakan dalam penyelesaian sengketa adalah hukum Indonesia.39 Namun, putusan tersebut tidak diakui negara lain sebab pengadilan di Indonesia dianggap tidakmemiliki kewenangan untuk membatalkan putusan arbitrase yang kedudukan hukumnya (juridical seat)di negara lain.

2. Gagasan Arbitrase Terbuka untuk

Umum (Open Baar)

Salah satu unsur yang menjadi daya tarik dari arbitrase adalah jaminan atas kerahasiaanya. Dengan kerahasiaan yang dimiliki para pihak terhindar dari publisitas yang tidak perlu. Arbitrase memang sering dilaksanakan berdasarkan aturan dan kesepakatan tentang

37 Helmi Kasim, ”Penyelesaian...,” op. cit. Hlm. 78-79.38 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST dalam kasus Pertamina melawan

Karaha Bodas.39 Hukumonline, ”Sengketa Pertamina Versus Karaha Bodas. Pengadilan Batalkan Putusan Arbitrase Jenewa,”

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6322/font-size1-colorff0000bsengketa-pertamina-vs-karaha-bodasbfontbrpengadilan-batalkan-putusan-arbitrase-jenewa (diakses 2 April 2018).

Page 111: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

89Arbitrase Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal (Helmi Kasim )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

kerhasiaan menyangkut substansi sengketa, identitas para pihak dan putusan yang diambil.41

Dewasa ini terdapat perkembangan baru yang mulai mempertanyakan kerahasiaan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya karena kerahasiaan yang menjadi cirri khas arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dianggap menjauhkan publik dari informasi yang sesungguhnya misalnya tentang kecurangan salah satu pihak. Memang tuntutan ini dimaksudkan untuk penyelesaian sengketa yang di dalamnya ada dimensi kepentingan publik.42

Dua alasan yang dijadikan dasar untuk menuntut keterbukaan adalah unconscionability dan public policy. Unconscionability mengandung pengertian minimnya pengetahuan dan informasi yang dimiliki salah satu pihak tentang sengketa yang mereka hadapi. Tujuan pembelaan atas dasar unconscionability ini memang untuk menghindari terjadinya ketidakimbangan informasi (informational asymmetry) antara para pihak yang biasanya terjadi pada pihak yang baru pertama kali terlibat dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Persoalan seperti ini bisa terjadi misalnya dalam arbitrase yang melibatkan konsumen atau pekerja melawan perusahaan. Perusahaan yang bisa jadi pernah mengalami sengketa yang sama memiliki semua informasi yang dibutuhkan dari pengalaman mereka dalam kasus-kasus sebelumnya. Sementara, aturan kerahasiaan arbitrase menutup akses

konsumen atau pekerja misalnya sebagai pihak dalam sengketa yang serupa. Kerahasiaan ini juga menutup kecurangan yang sama yang mungkin sudah dilakukan perusahaan dalam kasus-kasus sebelumnya kepada publik.43

Sementara itu, alasan public policy banyak bertumpu pada pengadilan. Tidak seperti alasan uncoscionability yang menekankan pada hubungan para pihak dan dampak perjanjian pada mereka, alasan public policy menghendaki pengadilan untuk mempertimbangkan dampak yang sama namun bukan untuk kepentingan para pihak saja tetapi untuk masyarakat pada umumnya seperti kepentingan konsumen, diskriminasi dalam pekerjaan. Pengadilan dapat melakukan ini dengan membatalkan klausula kerahasiaan dalam perjanjian arbitrase sehingga dapat membuka akses publik terhadap putusan arbitrase atau identitas para pihak. Putusan arbitrase yang di dalamnya ada unsur kepentingan umum tidak hanya mempengaruhi pihak yang bersengketa tetapi juga menjadi kepentingan pihak lain yang mungkin suatu saat akan bersengketa tentang hal yang sama, orang lain yang mungkin suatu saat menjadi korban, pembentuk peraturan perundang-undangan dan media.44

Meskipun keterbukaan dalam arbitrase tidak akan sama dengan keterbukaan yang ada pada proses litigasi namun transparansi ini perlu agar publik tahu apabila terdapat potensi bahayaatas keamanan dan kesehatan yang terdapat dalam masalah yang disengketakan yang semuanya dituangkan dalam dokumen arbitrase.

41 Laurie Kratky Doré, Public Courts Versus Private Justice: It’s Time to Let Some Sun Shine In On Alternative Dispute Resolution, 2006, Chicago-Kent Law Review, www.westlaw.com.

42 Ibid.43 Ibid.44 Volker F. Krey Characteristic Features of German Criminal Proceedings, an Alternative to the Criminal Procedure

Law of the United States dalam Luhut op.cit hlm. 163. Lihat juga ”Loyola of Los Angeles International and Comparative Law Journal”, August, (1994):4.

Page 112: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

90 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 79–96

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Di bidang penanaman modal sendiri, terdapat perkembangan yang menganggap investasi dalam arbitrase masuk dalam rezim hukum publik. Meskipun sebelumnya sengketa ekonomi internasional, khususnya arbitrase internasional dianggap sebagai sengketa hukum privat, munculnya perjanjian arbitrase penanaman modal sebagai akibat dari menjamurnya perjanjian penanaman modal bilateral (Bilateral Investment Treaty) telah membawa perkembangan baru dalam proses penyelesaian sengketa ekonomi internasional. Para komentator telah sampai pada pandangan bahwa berbeda dari rezim hukum ekonomi internasional yang ada sebelumnya khususnya arbitrase komersial internasional, perjanjian arbitrase penanaman modal lebih tepat dipahami sebagai hukum publik daripada hukum privat.45

Kerahasiaan arbitrase juga dianggap hanya menguntungkan pihak yang pernah bersengketa melalui arbitrase (repeat players) karena dapat menyembunyikan informasi yang tidak menguntungkan mereka misalnya tindakan diskriminatif yang mereka lakukan yang pernah menjadi pokok perkara dalam sengketa mereka sebelumnya. Ketertutupan ini menghalangi pihak yang ingin membuktikan adanya perlakuan tidak patut yang dilakukan berulang oleh salah satu pihak. Ada juga yang berpandangan bahwa tidak teraksesnya pendapat yang menjadi pembahasan dalam proses arbitrase menghalangi perkembangan hukum khususnya pada bidang-bidang yang

mempengaruhi kepentingan umum seperti hak-hak warga negara dan hak konsumen.46

Unsur kepentingan publik bahkan dianggap melampaui kebebasan berkontrak para pihak yang memasukkan klausula kerahasiaan dalam perjanjian yang mereka buat. Para ahli juga mendorong pengadilan, dengan alasan kepentingan publik, misalnya dalam persoalan keamanan dan kesehatan, untuk mengabaikan kebebasan berkontrak para pihak dan membatalkan klausula kerahasiaan arbitrase.Ini dimaksudkan agar publik memperoleh akses untuk mengetahui apabila ada kecurangan atau tindakan-tindakan korpporasi yang tidak patut yang pernah terjadi sebelumnya.47

Untuk membuka akses publik terhadap dokumen arbitrase, salah satu yang didorong untuk melakukannya adalah lembaga pembentuk undang-undang meskipun ini tidak mudah sebab pembentuk undang-undang harus memberikan argumentasi yang seimbang antara asas kebebasan berkontrak dan hak publik atas informasi. Pengaturan yang dilakukan legislatif dapat mengikat bukan hanya para pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tetapi juga arbiter dan pihak ketiga yang terlibat dalam proses arbitrase.48

Kecenderungan ini terjadi dan mulai dipikirkan termasuk dalam arbitrase komersial internasional yang memang bernuansa privat. Nuansa privat ini diperoleh karena adanya proses arbitrase itu didasarkan pada otonomi para pihak dan kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa melalui proses arbitrase. Pertanyaan

45 William W. Burke-White and Andreas Von Staden, Private Litigation in a Public Law Sphere: The Standard of Review in Investor-State Arbitration, The Yale Journal of Internasional Law, 2010, Vol. 35, Heinonline.

46 Amy J. Schmithz, Untangling The Privacy Paradox in Arbitration, 54. U. Kan. L. Rev. 1211 (2006). www.westlaw.com.

47 Ibid.48 Ibid.

Page 113: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

91Arbitrase Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal (Helmi Kasim )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

tentang kepentingan umum mulai dimunculkan dalam proses arbitrase yang privat ini. Bagaimana kepentingan publik bisa dilindungi terkait dengan tuntutan yang diajukan ketika tuntutan itu dilakukan dalam rangka melindungi kepentingan privat?49

Semakin populernya arbitrase internasional sebagai forum penyelesaian sengketa dipandang tidak dibarengi dengan metode yang cukup untuk melindungi kepentingan publik (public interest). Untuk itu berkembang pandangan untuk mengadakan perubahan secara struktural dan prosedural (sructural and procedural changes)pada proses arbitrase, misalnya terkait kerahasiaan dan intervensi. Ada juga yang berpandangan tentang perlu adanya semacam lembaga regulator internasional (international regulatory body) untuk mengawasi pelaksanaan arbitrase komersial internasional.Meningkatnya perjanjian bilateral di bidang investasi yang memberi pilihan kepada penanam modal untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase semakin menambah nuansa pentingnya pertimbangan kepentingan umum dalam proses arbitrase.50

Pertimbangan kemudian mengarah tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan publik dan kepentingan publik yang mana yang harus dilindungi. Ada yang memandang bahwa kepentingan publik adalah nilai-nilai dan norma

yang menjadi pedoaman sekaligus sebagai tujuan yangin dicapai dalam masyarakat.

Nilai yang hidup dalam masyarakat menurut William Eskridge Jr. adalah norma-norma dan prinsip-prinsip hukum yang mendasari sikap prilaku masyarakat kita, norma yang menjadi dasar, memberikan sumbangsih dan berasal dari pembangunan moral masyarakat kita. Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat mengedepankan konsepsi tentang keadilan dan kebaikan bersama, bukan keinginan orang seorang atau sekelompok orang. Melalui kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review),51 pengadilan dapat membatalkan sebuah peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (misalnya pemidanaan seseorangatas dasr ras). Meskipun jika sebuah undang-undang itu tidak dibatalkan, proses ajudikasi konstitusional yang terjadi dapat menghadirkan sebuah dialog tentang masyarakat seperti apa yang ingin kita bangun. Gagasan demikian tetap menjadi kontroversi meskipun pada saat yang bersamaan juga membawa pengaruh yang cukup besar. Perdebatan tentang peranan pengadilan untuk menyatakan apa yang menjadi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan peranannya untuk menegakkan nilai-nilai tersebut telah menimbulkan gairah intelektual yang sangat besar dalam lingkup kajian konstitusi.52

49 Dora Marta Gruner, Accounting for Public Interest in International Arbitration, 41Colum. J. Transnat’l L. 923 (2003). www.westlaw.com.

50 Ibid.51 Dalam system ketatanegaraan kita kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang dilakukan oleh

Mahkamah Konstitusi sedengkan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

51 ”[L]egal norms and principles that form fundamental underlying precepts for our polity--background norms that contribute to and result from the moral development of our political community. Public values appeal to conceptions of justice and the common good, not to the desires of just one person or group . . . . Through their power of judicial review, courts can overturn legislative enactments that violate our important public values (e.g., by penalizing

Page 114: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

92 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 79–96

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Pertimbangan ini kemudian memunculkan tiga laternatif perubahan sebagaimana yang telah disebutkan diatas yakni dimungkinkannya intervensi, publikasi putusan-putusantertentu dan dibentuknya lembaga regulator internasional untuk mengawasi proses arbitrase.52

Intervensi memang sulit dalam proses arbitrase karena prosesnya yang tertutup dan belum ada aturan arbitrase yang mengatur intervensi. Oleh karena itu intervensi bisa dilakukan dengan bentuk masuknya amicus brief oleh amicus curiae53 (friends of the court) yakni pihak ketiga54 yang berkepentingan terhadap proses arbitrase. Apabila yang menjadi pihak yang berkepentingan adalah lembaga negara

atau institusi pemerintah maka lembaga ini tentu akan berbicara atas nama kepentingan publik dan persoalan yang akan mereka ketengahkan adalah kepentingan publik yang melampaui kepentingan para pihak. Dengan cara seperti ini, unsur kepentingan publik bisa dipertimbangkan dalam proses arbitrase.

Keberadaan amicus curiae penting dalam arbitrase yang didasarkan atas perjanjian penanaman modal. Argumentasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam arbitrase yang melibatkan negara dan investor, investor dibolehkan untuk mengabaikan peraturan perundang-undangan dalam negeri negara tempat investasi yang dibuat secara demokratis.

persons based upon their race). Even if an enactment is not invalidated, the process of constitutional adjudication generates a useful dialogue about what kind of political community we want to be. This body of scholarship remains controversial even while it becomes increasingly influential. The academic debate about the role of courts in articulating and enforcing public values has generated great intellectual excitement in constitutional scholarship.”

52 Ibid.53 Amicus curiae adalah frasa latin yang berasal dari konsepsi Hukum Romawi dan diadopsi ke dalam sistem

common law pada abad ke-17. Frasa yang dalam bahasa Inggris bermakna friend of the court ini diadakan untuk memecahkan kesulitan pihak ketiga ketika mereka ingin melakukan intervensi atas sebuah perkara di pengadilan. Oleh Dictionary of Legal Terms secara umum amicus curiae didefinisikan sebagai ‘a qualified person who is not a party to the action but gives information to the court on a question of law. The function of an amicus curiae is to call attention to some important information that might escape the court’s attention. An amicus curiae brief is one submitted by someone not a party to the lawsuit to give the court information needed to make a proper decision, or to urge a particular result on behalf of the public interest or of a private interest of third parties who will be indirectly affected by the results of the dispute’(seseorang yang memiliki kualifikasi yang bukan merupakan pihak yang berperkara tetapi memberikan informasi kepada pengadilan tentang suatu pertanyaan hukum. Amicus curiae dimaksudkan untuk memintakan perhatian atas beberapa informasi penting yang mungkin luput dari perhatian pengadilan. Amicus curiae brief (pendapat yang dimasukkan amicus curiae) dimasukkan oleh pihak yang bukan merupakan pihak yang berperkara terhadap perkara yang sedang diperiksa untuk memberi informasi kepada pengadilan sebagai bahan yang untuk membuat putusan yang tepat, atau untuk mendorong agar diambil putusan yang memihak kepentingan publik atau kepentingan privat pihak ketiga yang secara tidak langsung akan terpengaruh dengan putusan dalam kasus tersebut). Andre Newcombe dan Axelle Lemaire, Should Amici Curiae Participate in Investment Treaty Arbitration? 5 VJ 22 (2001).

54 Mahakamah Konstitusi memiliki mekanisme untuk mendengarkan pihak terkait dalam sidang pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Pihak terkait menurut ketentuan Pasal 14 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menyatakan bahwa pihak terkait bisa pihak terkait yang berkepentingan langsung yakni pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan atau pihak terkait yang berkepentingan tidak langsung. Pihak terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah pihak yang karena kedudukan, tugas pokok dan fungsinya perlu di dengar keterangannya, atau pihak yang perlu di dengar keterangannya sebagai ad informandum, yakni pihak yang hak dan atau kewenagannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepedulianya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud.

Page 115: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

93Arbitrase Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal (Helmi Kasim )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Tidak seperi arbitrase komersial pada umumnya, arbitrase antara negara dan investor menuntut arbiter untuk menentukan apakah peraturan yang berlaku dalam masyarakat bersesuaian dengan kewajiban investasi. Atas dasar luasnya proteksi yang diberikan dalam perjanjian investasi, adanya ketidakpastian dalam penerapannya serta pengaruh yang diimbulkan pada kewenangan pembuatan undang-undang dalam negeri menjadikan keberadaan amicus curiae dibutuhkan dalam proses arbitrase. Hal ini juga diperkuat dengan kenyataan bahwa secara teknis memang putusan arbitrase hanya mengikat para pihak namun putusan arbitrase penanaman modal sangat mungkin akan mempengaruhi peraturan perundang-undangan dalam negeri sebuah negara.Amici Curiae dapat memberikan informasi dan mengangkat isu kebijakan publik yang penting untuk memutus sengketa dengan tepat.55

Tribunal arbitrase pada awalnya menolak partisipasi amicus curiae dalam proses arbitrase dengan alasan bahwa prosedur yang diterapkan berbeda dengan pengadilan domestik atau pengadilan internasional lainnya. Dalam salah satu kasus yang diperiksa berdasarkan aturan ICSID, Aguas del Tunari SA v. The Republic of Bolivia, pada tahun 2005 yang dikenal sebagai kasus Bechtel, yang kerjasamanya dilakukan atas dasar perjanjian investasi Bilateral antara Belanda dan Inggris, tribunal arbitrase menolak kedudukan hukum masyarakat dan kelompok lingkungan yang ingin menjadi pihak dalam proses arbitrase. Tribunal berpendapat bahwa berdasarkan Konvensi ICSID dan BIT dan sifat

konsesnsual arbitrase, keputusan tentang keikutsertaan amicus curiae dalam proses arbitrase diserahkan pada persetujuan para pihak yang berperkara. Karena para pihak tidak setuju maka tribunal tidak memiliki kewenangan untuk mengikutsertakan mereka dalam proses arbitrase. Putusan ini menuai kecaman dan perlawanan yang menyatakan bahwa pendekatan yang diambil tribunaltelah mengabaikan harapan masyarakat.56

Namun, dalam perkembangan terbaru, terjadi pergeseran dalam kecenderungan dalam arbitrase antara negara dan penanam modal terkait partisipasi pihak ketiga yang disinyalir sebagai akibat dari meningkatnya tekanan dan kritik publik. NAFTA misalnya telah mengadopsi ketentuan yang akan mengakomodir partisipasi pihak ketiga untuk memberikan masukan tertulis dalam proses arbitrase. Begitu pula Amerika dan Kanada yang telah memasukkan ketentuan yang membolehkan tribunal untuk memberi hak kepada pihak ketiga memberikan pendapat tertulis dalam proses arbitrase dalam ketentuan perjanjian investasi bilateral yang mereka susun. Aturan ICSID pun akhirnya diubah dengan memberikan kewenangan kepada tribunal ICSID untuk mengambil diskresi mengizinkan pihak ketiga memasukkan pendapat tertulis dalam pemeriksaan arbitrase.57

Kerahasiaan putusan arbitrase juga menjadi daya tarik arbitrase. Akan ada perdebatan antara mereka yang tetap mempertahankan kerahasiaan putusan arbitrase dan mereka yang emnginginkan transparansi. Sebagai bentuk kompromi maka dapat dilakukan pengaturan

55 Andre Newcombe and Axelle Lemaire, op.cit.56 Eugenia Levine, Amicus Curiae in International Investment Arbitration: The Implications of an Increase in Third-

Party Participation, 29 Berkeley J. Int’l L. 200 (2011).57 Ibid.

Page 116: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

94 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 79–96

Volume 7, Nomor 1, April 2018

bahwa untuk putusan yang menyangkut kepentingan umum tidak tunduk atas putusan kerahasiaan tetapi bisa dipublikasikan untuk memenuhi hak publik atas informasi.

Keberadaan sebuah lembaga regulator internasional juga penting dalam sebuah proses arbitrase internasional. Keberadaan lembaga ini perlu untuk memonitor perubahan dalam sistem arbitrase, mengkonsolidasikan publikasi putusan-putusan arbitrase, serta untuk menampung usulan-usulan yang bersifat prosedural seperti masalah intervensi dan publikasi putusan. Ada pandangan yang menyatakan bahwa keberadaan satu lembaga tunggal ini penting mengingat banyaknya lembaga arbitrase yang kesemuanya memiliki kemampuan untuk menyediakan ahli yang berkompeten untuk sengketa tertentu, kurang konsistennya hukum acara yang dimiliki oleh masing-masing lembaga arbitrase serta kemapuan masing-masing lembaga secara mandiri mengawasi arbiternya.58

Pada konteks dalam negeri, peran pihak ketiga dalam proses arbitrase ini menarik untuk dipertimbangkan dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan arbitrase. Konsep hak gugat organisasi,59

class action dan citizen lawsuit yang telah diakui dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia dan diakomdir oleh pengadilan dapat diadopsi untuk kasus-kasus arbitrase yang berkaitan dengan kepentingan

umum. Namun, pengakuan tersebut baru sebatas untuk melakukan gugatan pada pengadilan. Pengakuan serupa sebagai pihak yang memiliki legal standing juga diatur dalam proses beracara di Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang.

Pengaturan pemberian hak untuk melakukan intervensi sebagai pihak terkait dalam proses arbitrase juga perlu dimuat dengan penegasan pada kasus-kasus arbitrase yang berkaitan dengan kepentingan umum. Hal ini juga terkait denga pemahaman bahwa rezim hukum penanaman modal termasuk ke dalam hukum publik sehingga publik pun harus diberi hak untuk mengawal proses investasi yang terjadi. Kasus-kasus yang terkait dengan pertambangan dan lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai berkaitan dengan kepentingan publik.

Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam negeri, keterlibatan masyarakat juga perlu diatur dalam BIT yang disepakati antara Indonesia dengan negara lain. Hal ini menjadi relevan sebab terdapat klausula pembatalan putusan arbirase apabila bertentangan dengan kepentingan publik. Meskipun belum terdapat definisi yang jelas mengenai kepentingan publik tersebut, keterlibatan masyarakat, khususnya organisasi yang peduli dengan bidang-bidang penanaman modal menjadi perlu untuk diakomodasi untuk memberi ruang yang lebih luas perlindungan publik terhadap ekses penanaman modal.

58 Dora Marta Gruner, op.cit.59 Hak gugat organisasi misalnya diatur dalam Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan Lingkungan Hidup, class action yang diatur dalam belasan undang-undang di antaranya dalam pasal 92 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan, citizen lawsuit misalnya, di samping kasus-kasus lainnya, tergambar dalam gugatan yang diajukan 12 warga negara terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam kasus swastanisasi air yang dimenangkan Mahkamah Agung sebagaimana tertuang dalam putusan No. 31 K/Pdt/2017. Hukum Online, ”Layar Terkembang untuk Hak Gugat Organisasi, Class Action, dan Citizen Lawsuit,” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a255f2b2ff59/layar-terkembang-untuk-hak-gugat-organisasi--class-action--dan-citizen-lawsuit (diakses 9 Maret 2018).

Page 117: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

95Arbitrase Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal (Helmi Kasim )

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Secara konstitusional pun, menurut penulis, menemukan pembenarannya dengan merujuk pada ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang memberikan mandat kepada negara untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Konsep penguasaan oleh negara yang oleh Mahkamah Konstitusi disebut sebagai derivasi dari gagasan kedaulatan rakyat yang diatur dalam UUD 194560 memberikan kewenangan kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan kebijakan publik khususnya penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase yang menjadi pokok bahasan tulisan ini. Oleh karena itu, ukuran konsititusional ini dapat diterapkan sebagai kriteria untuk menilai apakah sebuah kasus yang sedang dipersengketakan melalui jalur arbitrase berkaitan dengan kepentingan publik atau tidak.

D. Penutup

Berdasarkan ulasan yang disampaikan dalam pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam penyelesaian sengketa penanaman modal secara internasional, arbitrase merupakan mekanisme yang banyak ditempuh para pihak. Oleh karena itu, pemahaman dan penguasaan tentang arbitrase perlu diperkuat dengan memperhatikan setiap ketentuan yang menyangkut arbitrase yang berlaku secara internasional. Kepatuhan terhadap aturan yang berlaku secara internasional yang juga diakui dalam negeri perlu selalu ditunjukkan secara konsisten untuk memberikan kepercayaan

terhadap publik internasional mengenai sistem hukum dalam negeri. Posisi pengadilan dalam memeriksa keberatan terhadap putusan arbitrase asing perlu memperhatikan ketentuan tentang pengakuan terhadap putusan arbitrase internasional bahkan meskipun tidak sepakat dengan substansi putusan dengan tetap memperhatikan aspek kepentingan umum dalam persoalan yang dipersengketakan.

Selain itu, sejalan dengan perkembangan global juga perlu diatur keterlibatan pihak ketiga dalam proses arbitrase dengan mengakomodir konsep hak gugat organisasi, class action dan citizen lawsuit yang juga sudah diakui dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan oleh pengadilan. Keterlibatan pihak ketiga atau amicus curiae penting sebagai bentuk kontrol publik khususnya pada sengketa yang berkaitan dengan kepentingan umum. Konsep ini dapat diterapkan pada kasus-kasus arbitrase yang berkaitan dengan kepentingan publik seperti sengketa di bidang pertambangan dan lingkungan hidup.

Daftar Pustaka

BukuAbdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa (APS)(Jakarta: Fikahati Aneska, 2011).

Harahap, Yahya, Arbitrase, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).

Mehren, Arthur Von, International Commercial Arbitration, Cases and Material. PIL, 1997 version.

Sebastian Pompe, et. al., ed., Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal (Jakarta: NLRP, 2010).

Sornarajah, M.,The International Law on Foreign Investments, Third Edition (Cambridge: Cambridge University Press, 2010).

60 Lihat putusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya, No. 001-021-022/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.

Page 118: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

96 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 79–96

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Suparman, Erman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, cetakan pertama(Jakarta: Tatanusa, 2004).

Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil PenelitianBurke-White, William W. and Andreas Von Staden,

”Private Litigation in a Public Law Sphere: The Standard of Review in Investor-State Arbitration,”The Yale Journal of Internasional Law, Vol. 35, Heinonline (2010).

Doré, Laurie Kratky,”Public Courts Versus Private Justice: It’s Time to Let Some Sun Shine InOn Alternative Dispute Resolution,” Chicago-Kent Law Review (2006), www.westlaw.com.

Gruner,Dora Marta,”Accounting for Public Interest in International Arbitration,” 41Colum. J. Transnat’l L. 923 (2003). www.westlaw.com.

Kasim, Helmi, ”Penyelesaian Sengketa Kontrak melalui Arbitrase Internasional dalam Kasus Pertamina versus Karaha Bodas” (Skripsi SI, Universitas Islam Jakarta, 2009).

Levine, Eugenia,”Amicus Curiae in International Investment Arbitration: The Implications of an Increase in Third-Party Participation,”29 Berkeley J. Int’l L. 200 (2011).www.westlaw.com.

Newcombe, Andre and Axelle Lemaire, ”Should Amici Curiae Participate in Investment Treaty Arbitration?”5 VJ 22 (2001). www.westlaw.com.

Schmithz, Amy J.,”Untangling The Privacy Paradox in Arbitration,”54. U. Kan. L. Rev. 1211 (2006). www.westlaw.com.

Trakman, Leon E, ”Foreign Direct Investment: Hazard or Opportunity?” George Washington International Law Review (2009). www.westlaw.com.

Internet BKPM, Press Release Realisasi Penanaman Modal

PMDN-PMA Triwulan III dan Januari – September Tahun 2017. Jakarta, 30 Oktober2017, www.bkpm.go.id.

Hukum Online, ”Layar Terkembang untuk Hak Gugat Organisasi, Class Action, dan Citizen Lawsuit,” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a255f2b2ff59/layar-terkembang-untuk-hak-gugat-organisasi--class-action--dan-citizen-lawsuit

ICSID, ”Concluded Cases with Details: Indonesia, https://icsid.worldbank.org/en/Pages/cases/ConcludedCases.aspx?status=c (diakses 9 Maret 2018).

OECD, OECD Benchmark Definition of Foreign Direct Investment. Fourth Edition, 2008,http://www.oecd.org/fr/daf/investissementinternational/statistiquesetanalysesdelinvestissement/oecdbenchmarkdefinitionofforeigndirectinvestment-4thedition.htm.

UNCTAD, World Investment Report 2017. Investment and the Digital Economy, http://unctad.org/en/PublicationsLibrary/wir2017_en.pdf.

UNCTAD, World Investment Report 2012. Towards A New generation ofInvestment Policy.http://unctad.org/en/Pages/DIAE/World%20Investment%20Report/WIR2012_WebFlyer.aspx.

UNCTAD, ”International Investment Agreements Navigator. Indonesia. Bilateral Investment Treaty,” Investment Policy Hub, http://i n v e s t m e n t p o l i c y h u b . u n c t a d . o r g / I I A /CountryBits/97.

PeraturanUndang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang

Penanaman ModalUndang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

PutusanMahkamah Konstitusi, Putusan No. 001-021-022/

PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.

Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia. ICSID Case No. ARB/11/13.

Page 119: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

97Penggunaan Klausul Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal ... (Rahmanisa P.F. & M. Agus Salim)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

PENGGUNAAN KLAUSUL PEMILIHAN FORUM PENYELESAIAN SENGKETA PASAR MODAL YANG EFEKTIF DALAM RANGKA MENDUKUNG

PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL(Application The Effective Choice Of Forum Clause On Capital Market Dispute Resolution To Support

National Economic Development)

Rahmanisa Purnamasari Faujura Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Jl. Dipatiukur No. 35, BandungEmail: [email protected]

Muhammad Agus SalimFakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Jl. Dipatiukur No. 35, BandungEmail: [email protected]

Naskah diterima: 19 Februari 2018; revisi: 5 April 2018; disetujui: 17 April 2018

AbstrakSetiap perubahan kebijakan pasar modal di Indonesia dalam rangka pembangunan ekonomi nasional berpotensi menimbulkan suatu sengketa terhadap para pihak. Sebagai langkah antisipasi, para pihak akan membuat perjanjian dengan klausul yang berisikan pemilihan forum penyelesaian sengketa pasar modal. Permasalahannya, seringkali klausul pemilihan forum dalam perjanjian tersebut menjadi hambatan karena klausul tersebut merupakan klausul ambigu/nonsense. Penelitian ini membahas mengenai bagaimana penggunaan klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa pasar modal yang efektif dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional. Metode Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada pengaturan khusus dalam pembuatan perjanjian bidang pasar modal. Dibutuhkan suatu konsep yang efektif dalam penggunaan klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa pasar modal. Klausul pemilihan forum yang ambigu akan memiliki akibat hukum terhadap penyelesaian sengketa pasar modal yang tidak bisa terselesaikan secara cepat dan dapat mengganggu berlangsungnya kegiatan pasar modal. Oleh sebab itu dalam menyelesaikan sengketa dengan klausul yang ambigu, para pihak diharapkan dapat melakukan addendum atau pembuatan ulang perjanjian penyelesaian sengketa sesuai dengan konsep yang efektif. Kata Kunci: pasar modal, klausul, forum penyelesaian sengketa

AbstractEvery change in Indonesia Capital Market Policy under the framework of national economic development will inflict a dispute to the parties. An agreement with choice of forum clause for dispute resolution on capital market are made as an anticipation. The problem is the choice of forum clause is often be nonsense/ambiguous that it becomes a barrier to solve the dispute. This study discusses how the application of choice of forum clause on capital market dispute resolution can be effective in order to support national economic development. Using normative juridical research method, this study result shows there’s no special regulation for making capital market agreement. An effective concept for the usage of choice of forum clause is needed in capital market dispute resolution. An ambiguous choice of forum clause will have a legal effect on the dispute resolution where the dispute couldn’t be settled quickly and can disturb the ongoing activities of the capital market. Therefore to solve a dispute with an ambiguous clause, the parties are expected to make an addendum or remake the agreement of dispute resolution based an effective concept.Keywords: capital market, clause, dispute resolution forum

Page 120: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

98 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 97–112

Volume 7, Nomor 1, April 2018

A. Pendahuluan

Pasar modal merupakan alat pembangunan yang menghubungkan para pemakai dana yang dalam hal ini merupakan subjek hukum dalam dunia usaha maupun pemerintah dengan para pemasok dana yang antara lain adalah masyarakat baik di dalam negeri maupun luar negeri. Sebagai alat penghubung, maka sudah sewajarnya jika dalam pasar modal terdapat prasarana hukum sebagai dasar dari kegiatan, kedudukan institutional yang kuat, perangkat yang lunak maupun perangkat keras sebagai suatu sumber daya manusia yang profesional. Adapun dalam hal ini di dalam pasar modal jelas akan terdapat penegakan hukum dan pengawasan terhadap keberlangsungan dari berjalannya pasar modal.

Keberadaan pasar modal di Indonesia merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan ekonomi nasional, terbukti telah banyak industri dan perusahaan yang menggunakan institusi ini sebagai media untuk menyerap investasi dan media untuk memperkuat posisi keuangannya. Secara faktual pasar modal telah menjadi pusat saraf finansial (financial nerve centre) pada dunia ekonomi modern dewasa ini, bahkan perekonomian modern tidak mungkin dapat eksis tanpa adanya pasar modal yang tangguh dan berdaya saing global serta terorganisir dengan baik.1 Pasar modal berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui mobilisasi sumber daya keuangan dan arus masuk modal.

Perusahaan dan pemerintah sama-sama dapat mengambil manfaat dari eksistensi pasar modal. Keduanya dapat memanfaatkan berbagai instrumen keuangan di pasar modal untuk mendanai berbagai proyek jangka panjang. Sebagai contoh, pemerintah dapat menerbitkan obligasi untuk membangun infrastruktur yang tentu akan mendorong penciptaan kekayaan negara dan tentu berdampak pada pertumbuhan ekonomi domestik.2

Salah satu bentuk penegakan dan pengawasan dari pasar modal yaitu dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sebagai kepastian hukum dan dasar hukum dalam melakukan kegiatan pasar modal. Hal ini menjadikan perusahaan-perusahaan yang merupakan sebuah badan hukum akan memberikan kepercayaan terhadap pasar modal yang bukan hanya sebagai alternatif investasi saja melainkan telah dijadikan sebagai bagian dari pendanaan perusahaan atau badan hukum tersebut. Selain itu terdapatnya lembaga-lembaga penunjang dan ketentuan baik perdata maupun pidana dalam undang-undang tersebut menambah keyakinan badan usaha untuk melakukan kegiatan di pasar modal dewasa ini.3

Berdasarkan data Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepercayaan perusahaan-perusahaan tersebut telah ditandai dengan adanya peningkatan secara signifikan terhadap penyebaran efek dalam kegiatan pasar modal, dan hal ini ditandai pula dengan munculnya

1 Faiza Muklis, ”Perkembangan Dan Tantangan Pasar Modal Indonesia”, Al-Masraf Jurnal Lembaga Keuangan dan Perbankan Volume 1, No. 1 (2016): 218.

2 Mohamed Jalloh, ”The Role Of Financial Market In Economic Growth”, WAIFEM REGIONAL COURSE ON OPERATIONS AND REGULATION OF CAPITAL MARKET,(2009), http://www.waifem-cbp.org/v2/dloads/THE%20ROLE%20OF%20FINNCIAL%20MARKET.pdf, (diakses 17 Februari 2018).

3 Jusuf Anwar, Penegakan Hukum dan Pengawasan Pasar Modal Indonesia, (Bandung; PT. Alumni, 2008,) hlm. xv.

Page 121: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

99Penggunaan Klausul Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal ... (Rahmanisa P.F. & M. Agus Salim)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

banyaknya produk-produk baru yang berguna untuk memudahkan investor dalam menginvestasikan dananya.4

Pertumbuhan dalam pasar modal bergantung juga pada kinerja dari perusahaan efek sendiri, dimana perusahaan efek harus selalu meningkatkan kinerja dalam mengkoordinasikan modal, dukungan teknis, dan sumber daya manusia dalam pengembangan pasar modal. Perusahaan-perusahaan harus menjalin kerja sama yang erat untuk menciptakan pasar yang mampu menyediakan berbagai jenis produk dan alternatif investasi untuk masyarakat juga, terlebih telah dijelaskan sebelumnya bahwa kegiatan pasar modal tidak hanya untuk alternatif pembiayaan saja oleh perusahaan melainkan tujuan dari adanya kegiatan pasar modal ini juga adalah untuk alternatif investasi yang dilakukan oleh masyarakat baik di dalam negari maupun di luar negeri sehingga diharapkan mampu mendorong dan menopang pertumbuhan ekonomi nasional5, karena adanya dua fungsi tersebut yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan.

Adapun salah satu faktor bagi terciptanya pasar modal Indonesia yang tangguh dan berdaya saing global juga adalah dengan tersedianya sistem perdagangan Efek yang mampu bersaing dengan pasar modal mancanegara. Maka dari itu pemerintah terus mendorong pengembangan sistem perdagangan menuju ke tingkat efisiensi

4 Yuke Rahmawati,PENILAIAN KINERJA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA DENGAN METODE TOTAL QUALITY MANAGEMENT, Jurnal Cita Hukum, Vol.4, Hlm 243.

5 Christy Natalia Simamarta, ”Efektivitas Peran Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan”, Hasil Penelitian Tesis yang dimuat dalam E-Journal Students Universitas Padjadjaran, (2015), http://repository.unpad.ac.id/20833/1/Efektifitas-Peran-Badan-Arbitrase-Pasar-Modal-Indonesia.pdf (diakses 17 Februari 2018)

6 Idem.7 Sudiarto, Negosiasi, Mediasi, & Arbitrase, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2015), hlm. 5.

yang paling tinggi tanpa mengabaikan faktor keteraturan dan kewajaran serta senantiasa mengikuti prosedur keterbukaan pasar modal sesuai dengan standard internasional dalam kerangka memberikan perlindungan baik kepada pelaku maupun investor.6

Sejalan dengan hal tersebut, perkembangan pasar modal di Indonesia yang menjadikan banyaknya aturan atau kebijakan baru yang berkaitan tidak hanya akan memberikan dampak positif pasar modal sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional Republik Indonesia tetapi juga menimbulkan perbedaan pendapat maupun konflik atau sengketa yang tidak dapat dihindari oleh para pihak dalam kegiatan pasar modal tersebut. Dalam hal ini tentu saja setiap adanya sengketa yang muncul diperlukan penyelesaian yang cepat dan tepat agar sengketa tersebut tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan para pihak dan mengganggu keberlangsungan pembangunan ekonomi nasional. Semakin banyak kegiatan perdagangan yang dilakukan maka makin besar juga resiko adanya sengketa yang harus diselesaikan, karena dalam suatu hubungan bisnis dan perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa7.

Walaupun pada dasarnya tidak ada seorang pun yang menghendaki terjadinya sengketa dengan orang lain. Oleh karena dalam hubungan bisnis atau suatu perjanjian, masing-

Page 122: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

100 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 97–112

Volume 7, Nomor 1, April 2018

masing pihak biasanya akan mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa yang dapat terjadi setiap saat di kemudian hari melalui pencantuman klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa. Adapun sengketa yang perlu diantisipasi adalah bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya. Termasuk di dalam kegiatan pasar modal yang pada dasarnya peraturan perundang-undangan di Indonesia telah menyediakan sarana untuk menyelesaikan sengketa para pihak yaitu melalui proses Peradilan Umum (litigasi) dan melalui proses di luar peradilan (non-litigasi). Namun dewasa ini. penggunaan metode alternatif penyelesaian sengketa (non-litigasi) telah banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa pasar modal.

Sengketa yang terjadi antara pelaku pasar modal umumnya karena kebijakan dalam bidang ekonomi, yaitu karena dibutuhkannya peningkatan peranan di bidang pasar modal sehingga memungkinkan timbulnya sengketa di antara beberapa pihak. Sebagai salah satu sarana untuk menyelesaikan sengketa pasar modal, didirikanlah sebuah lembaga alternatif penyelesaian sengketa di bidang pasar modal yaitu Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang berada di bawah dukungan aturan yang dikeluarkan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) yang sekarang menjadi dibawah naungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan berbagai aturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang sudah berubah

menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia.

Adapun BAPMI memberikan jasa penyelesaian sengketa apabila diminta oleh pihak-pihak yang bersengketa melalui mekanisme penyelesaian di luar pengadilan (out-ofcourt dispute settlement). BAPMI menawarkan 4 (empat) jenis penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pendapat mengikat, mediasi, adjudikasi, dan arbitrase. Melalui ke empat cara penyelesaian tersebut diharapkan akan menghasilkan putusan yang memberikan win-win solution bagi para pihak8.

Namun, walaupun adanya pengaturan mengenai cara-cara dalam penyelesaian sengketa terhadap kegiatan pasar modal tidak menutup kemungkinan masih terjadi beberapa masalah dalam praktiknya. Hal ini biasanya terjadi pada kegiatan pasar modal yang menggunakan perjanjian, dimana para pihak tidak menggunakan klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa atau bahkan membuat suatu klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa yang menghasilkan suatu hal yang ambigu atau menjadi timbul masalah baru dalam pemilihan forum penyelesaian sengketa dalam pasar modal. Hal tersebut dikarenakan pada kontrak mencantumkan dua pilihan forum penyelesaian yang pada akhirnya menimbullkan arti dalam menyelesaikan sengketa tersebut harus memilih dahulu forum mana yang akan menyelesaikannya, karena tidak dapat dipungkiri adanya sengketa pasar modal akan berpengaruh juga terhadap pembangunan ekonomi nasional Indonesia.

8 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitase Internasional dan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,2012), hlm. 133.

Page 123: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

101Penggunaan Klausul Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal ... (Rahmanisa P.F. & M. Agus Salim)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Kebiasaan ini menjadi satu hal yang menarik untuk dikaji secara hukum. Pertanyaan yang timbul adalah, dalam pemilihan penyelesaian sengketa pasar modal, klausul seperti apa yang efektif dalam pemilihan forum penyelesaian sengketa pasar modal dalam rangka pembangunan ekonomi nasional lalu bagaimana akibat hukumnya jika tidak adanya klausul sama sekali yang berisikan mengenai pilihan forum atau penunjukan forum penyelesaian sengketa dalam suatu perjanjian yang berhubungan dengan kegiatan pasar modal terhadap pembangunan ekonomi nasional.

Tulisan ini akan lebih banyak membahas aspek legislasi dan hal-hal yang terkait dengan substansi hukum. Sehingga permasalahan hukum yang akan dibahas didalam tulisan ini adalah: bagaimana penggunaan klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa pasar modal yang efektif dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional?, dan apa akibat hukum dari tidak adanya klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa dalam penyelesaian sengketa pasar modal dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional?

B. Metode Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif.9 Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis terhadap norma hukum. Referensi juga diperoleh dari dokumen lain yang terkait seperti hasil penelitian yang telah ada sebelumnya, seminar

dan/atau lokakarya, buku-buku dan jurnal ilmiah yang terkait, serta data dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Tahap penelitian dilakukan melalui studi kepustakaan untuk meneliti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen, yang dilakukan dengan mengkaji dokumen-dokumen tentang hukum positif. Selanjutnya Metode analisis data dilakukan melalui normatif kualitatif.

C. Pembahasan

1. Penggunaan klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa yang efektif dalam penyelesaian sengketa pasar modal dalam rangka mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional

Pasar modal mempunyai peran penting dalam kegiatan ekonomi secara makro sebagai alat untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi secara optimal. Hal ini dapat dilihat pada perusahaan yang memerlukan dana lebih memandang pasar modal sebagai suatu alat untuk memperoleh dana yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan modal yang diperoleh dari sektor perbankan. Modal yang diperoleh dari pasar modal, selain lebih mudah memperolehnya, juga biaya untuk memperoleh modal tersebut lebih murah. Di samping itu Pasar modal berfungsi juga dalam meningkatkan kinerja ekonomi melalui peningkatan pendapatan nasional, terciptanya kesempatan kerja, dan semakin meratanya hasil-hasil pembangunan bagi masyarakat.10

Pasar modal dapat diartikan sebagai pasar yang dikelola secara terorganisir dengan aktivitas

9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-PRESS,2006), hlm. 52.10 Sutrisno, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Kencana,2013), hlm.312.

Page 124: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

102 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 97–112

Volume 7, Nomor 1, April 2018

11 Miswanto, Manajemen Keuangan 2, (Jakarta:Gunadarma,1998), hlm.103. 12 Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, (Jakarta: PPs-UI,2001), hlm. 11.

perdagangan sekuritas (surat berharga), seperti obligasi, saham preferen, saham biasa, waran, dan right dengan menggunakan jasa perantara, komisioner, underwriter, dan lembaga yang lain yang ada pada pasar tersebut.11

Pengusaha sekalipun banyak menggunakan pasar modal sebagai salah satu usaha meningkatkan kemampuan usahanya, namun didalam menalankan aktivitas perdagangan di pasar modal tersebut, para pelaku pasar ataupun para pengusaha juga sering dihadapkan pada berbagai kendala, sehingga menimbulkan sengketa para pihak didalam menjalankan aktivitas perdagangannya.

Pasal 1 angka 13 POJK Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan menjelaskan mengenai sengketa bahwa:

”Sengketa adalah perselisihan antara Konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan dalam kegiatan penempatan dana oleh Konsumen pada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pemanfaatan pelayanan dan/atau produk Lembaga Jasa Keuangan setelah melalui proses penyelesaian Pengaduan oleh Lembaga Jasa Keuangan.”

Pada dasarnya sengketa pasar modal dibagi menjadi dua berdasarkan golongan hukumnya, yaitu berdasarkan hukum publik dan hukum privat. Pelanggaran-pelanggaran atau permasalahan pasar modal dalam hukum publik yakni di bidang hukum pidana dan administrasi, sedangkan pelanggaran atau permasalahan hukum privat meliputi pelanggaran-pelanggaran atau permasalahan di bidang hukum perdata, antara lain contoh seperti manajer investasi yang gagal bayar kepada nasabah atau lebih sering terjadi permasalahan dalam perjanjian antara

lembaga jasa keuangan dengan konsumen atau nasabah.

Penyelesaian sengketa pasar modal di bidang hukum publik dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas terhadap berjalannya kegiatan pasar modal. OJK memiliki kewenangan untuk langsung melakukan pemeriksaan dan penyelidikan terhadap pengaduan adanya pelanggaran- pelanggaran dIbidang hukum pidana dan administrasi. Sedangkan dalam hal terjadinya sengketa pasar modal hukum perdata, khususnya berkaitan dengan perjanjian para pihak pelaku pasar, didalam penyelesaiannya perlu dilihat terlebih dahulu klausul mengenai pemilihan forum penyelesaian sengketa tersebut.

Penggunaan klausul pilihan forum penyelesaian sengketa secara prinsip adalah merupakan kebebasan dari para pihak untuk memilih dan menyepakatinya forum mana yang akan digunakan jika terjadinya sutau sengketa, inilah prinsip kebebasan berkontrak yang dianut oleh sistem hukum perdata Indonesia. Jika para pihak di dalam perjanjian sudah sepakat setiap sengketa akan diselesaikan di pengadilan, maka harus ke pengadilan, dan lembaga lain menjadi tidak berwenang. Demikian pula jika para pihak di dalam perjanjian sudah sepakat setiap sengketa akan diselesaikan di lembaga arbitrase X, maka harus ke lembaga arbitrase X, dan pengadilan atau lembaga arbitrase lain menjadi tidak berwenang12.

Permasalahan dewasa ini, dalam penyelesaian sengketa khususnya dalam menggunakan forum non-litigasi yang merupakan bagian dari Alternatif Penyelesaian

Page 125: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

103Penggunaan Klausul Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal ... (Rahmanisa P.F. & M. Agus Salim)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Sengketa dalam pasar modal yaitu seringkali para pihak tidak dapat menyelesaikan sengketa tersebut di Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) karena adanya kesalahan dalam penggunaan klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa tersebut.

Hal tersebut terjadi karena didalam penulisan klausul para pihak mengatur 2 pilihan forum penyelesaian di dalam kontraknya, misalnya klausula pilihan forum menyebutkan ”sengketa akan diselesaikan melalui pengadilan atau arbitrase”, atau jika tidak bisa di selesaikan melalui arbitrase akan diajukan kepengadilan” tentunya klausula itu akan menimbulkan kerancuan di dalam pelaksanaannya di kemudian hari, karena klausul tersebut seolah-olah memberikan opsi kepada para pihak apakah akan membawa kepengadilan atau ke arbitrase.

Munculnya permasalahan tersebut biasanya disebabkan karena ketidaktahuan para pihak atau para pihak menganggap bahwa klausula ”sengketa akan diselesaikan melalui pengadilan atau arbitrase”, atau ”jika tidak bisa di selesaikan melalui arbitrase akan diajukan kepengadilan” dianggap paling netral untuk mengakomodasi keinginan para pihak saat negosiasi kontrak. Di samping faktor ketidakpahaman juga biasanya para pihak dalam perjanjian tersebut juga memasukkan klausula tanpa mempelajari terlebih dahulu karakteristik industri.nya Dengan demikian sekalipun mereka sepakat menyelesaikan setiap perselisian lewat jalur Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), namun karena mencantumkan klausul penyelesaian sengketa juga ke pengadilan, pada

praktiknya klausula itu merupakan kesalahan fatal dengan konsekuensi klausula itu disebut ”nosense arbitrase clause”13, dan akibatnya pengaduan yang masuk ke BAPMI tidak bisa diproses.

Untuk itu supaya para pihak yang bersengketa bisa menggunakan forum BAPMI atau Pengadilan yang harus dipilih salah satunya, didalam penyelesaian sengketa disarankan bagi pelaku industri sebelum melakukan kerjasama dan perjanjian dengan pihak lain harus memastikan dulu forum yang akan dipilih dalam menyelesaikan sengketa secara lebih jelas, karena ketidakjelasan pilihan forum menyebabkan penyelesaian sengketa sulit diakukan BAPMI. Hal ini terlihat dari hasil riset Tim BAPMI beberapa pengaduan yang masuk ke lembaga ini ternyata tidak bisa di tindaklanjuti disebabkan para pihak dalam klausul perjanjian mencantumkan klausula ”nonsense arbitrase clause”14.

Untuk itu pula perlu kalimat klausul yang efektif digunakan sebagai pilihan forum penyelesaian sengketa dalam pasar modal contohnya bisa dengan secara tegas memilih salah satu forum misalnya dengan pencantuman kalimat klausul sebagai berikut ”Sengketa akan diselesaikan melalui mediasi BAPMI menurut peraturan dan acara BAPMI.” atau apabila para pihak telah mencantumkan secara tegas misalnya sengketa diselesaikan melalui BAPMI tetapi dimungkinkan terjadinya suatu ketidaksepakatan melalui jalur mediasi pada tahap awal penyelesaian sengketa, maka para pihak dapat menggabungkan antara mediasi dengan arbitrase dengan kalimat klausul sebagai

13 Ibid.14 Tim BAPMI, ”Klausula Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Pasar Modal”, Artikel Elektronik BAPMI, http://

bapmi.org/in/ref_articles13.php (diakses 9 Februari 2018).

Page 126: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

104 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 97–112

Volume 7, Nomor 1, April 2018

berikut ”Sengketa akan diselesaikan melalui mediasi BAPMI menurut prosedur dan acara BAPMI. Apabila sampai jangka waktu mediasi tidak berhasil mencapai perdamaian, atau para pihak mundur atau tidak melanjutkan mediasi, maka akan diselesaikan melalui arbitrase BAPMI menurut prosedur dan acara BAPMI.”15

Kurang pahamnnya para pihak terhadap klausul yang efektif, disebabkan juga karena masih kurangnya sosialisasi dari BAPMI yang memang baru berdiri sehingga belum sepenuhnya mengetahui bagaimana tata cara ber-acara di BAPMI. Padahal dalam penyelesaian sengketa pasar modal khususnya di bidang hukum perdata Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) sendiri merupakan pilihan yang selalu digunakan oleh para pihak yang bersengketa dalam kegiatan pasar modal dibandingkan dengan pengadilan. BAPMI merupakan sebuah lembaga yang lahir karena karakteristik industri Pasar Modal dan merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelesaikan persengketaan yang muncul antara sesama pelaku pasar modal, baik persengketaan yang muncul karena aktivitas transaksi efek maupun persengketaan antara vendor atau penyedia jasa yang terlibat dalam industri ini, termasuk untuk urusan perjanjian dan kontrak yang terkait dengan investasi dan transaksi di pasar modal.

Sejalan dengan hal tersebut, perlu diingat bahwa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase bahwa ”Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat terlebih dahulu dengan perjanjian arbitrase” begitupun dalam pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase yang menjelaskan bahwa ”Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”

Hal ini menunjukkan bahwa klausul forum penyelesaian sengketa memang harus dibuat secara efektif dan tegas karena kedua forum tersebut sama-sama tidak memiliki wewenang lagi jika salah satunya sudah dipilih dan tercantum sebagai forum yang akan menyelesaikan sengketa oleh para pihak dalam perjanjian. Adapun dengan adanya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase tersebut sebetulnya menjadi suatu batasan para pihak supaya terhindar dari keberadaan klausul nonsense arbitrase clause dan akan menghindarkan para pihak dari pembahasan teknis dimasa mendatang saat sengketa benar-benar terjadi pembahasan dikemudian hari akan jauh lebih sulit dibandingkan bila disusun pada tahap awal perjanjian.

Namun jika dalam hal ini para pihak telah lebih dahulu memasukkan klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa yang ambigu tersebut, jalur penyelesaian sengketa melalui BAPMI tentu tidak akan tertutup sama sekali karena para pihak yang bersengketa itu bisa menempuh penyelesaian sengketanya melalui jalur arbitrase dengan cara antara pihak yang bersengketa harus membuat kesepakatan penyelesaian persengketaan melalui jalur arbitrase dengan memperhatikan Pasal 9 UU 30/1999 yang telah mengatur bahwa ”perjanjian arbitrase yang dibuat setelah munculnya

15 Ibid.

Page 127: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

105Penggunaan Klausul Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal ... (Rahmanisa P.F. & M. Agus Salim)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

sengketa harus dibuat secara tertulis, jika perlu berbentuk akta notaris, dan harus membuat sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:a. mengenai masalah yang disengketakanb. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak

dan arbiter,c. tempat arbitrase,d. nama lengkap sekretaris semacam panitera

pengganti dalam pengadilan,e. jangka waktu arbitrase,f. pernyataan kesediaan arbiter dang. pernyataan kesediaan para pihak

menanggung seluruh biaya arbitrase. Bila tidak menyebutkan salah satu dari yang tersebut di atas, maka perjanjian arbitrase menjadi batal demi hukum.

Menurut BAPMI, setidaknya adanya ada dua pilihan forum penyelesaian yang bisa ditempuh dalam menyelesaikan sengketa ini forum tersebut adalah forum pengadilan dan forum diluar pengadilan (seperti mediasi dan arbitrase). Hal ini perlu menjadi perhatian bagi pelaku industri pasar modal karena menuangkan klausula pilihan forum dengan baik di dalam perjanjian akan menghindari sengketa tambahan yang justru timbul dikarenakan bunyi klausula yang keliru (nonsense), ambigu dan/atau tanggung.

Untuk lebih mudah, para pihak bisa mengadopsi standar klausula pilihan forum yang dikeluarkan oleh lembaga arbitrase atau mediasi yang dipilih oleh para pihak di dalam perjanjian, yang patut dicermati adalah forum yang akan dipilih dalam menyelesaikan tiap sengketa yang muncul, adapun beberapa hal penting yang perlu diketahui oleh para pihak

dalam menentukan pilihan forum penyelesaian dan bagaimana menuangkannya ke dalam perjanjian, sebagai berikut:16

a. Apabila para pihak belum mencantumkan klausula pilihan forum dalam perjanjian, maka persengketaan yang muncul kemungkinan akan diselesaikan melalui pengadilan karena forum penyelesaian diluar pengadilan hanya dapat berlangsung atas dasar kesepakatan tertulis. Konsekuensinya adalah para pihak akan menghadapi proses penyelesaiaan yang cukup lama hingga putusan pengadilan berkekuatan tetap. Apabila para pihak bermaksud untuk memilih penyelesaian diluar pengadilan maka para pihak harus membuat addendum perjanjian terlebih dahulu.

b. Faktor penting yang perlu juga mendapat perhatian apabila para pihak memilih forum arbitrase sebagai bentuk penyelesaian sengketa, maka klausula dalam perjanjian penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase perlu membuat hal-hal sebagai berikut:1) apakah arbitrase akan dilakukan melalui

suatu lembaga arbitrase atau berupa ad hoc arbitration. Jika melalui lembaga arbitrase maka harus disebutkan nama lembaganya, misalnya BAPMI;

2) memuat prosedor atau aturan arbitrase-Jika sudah memilih lembaga arbitrase, biasanya akan mengikuti prosedur atau aturan beracara yang diterbitkan oleh lembaga arbitrase yang bersangkutan;

3) Tempat dimana dilangsungkanya arbitrase;

4) Pilihan hukum;

16 Christy Natalia Simamarta, Op. Cit, hlm. 5.

Page 128: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

106 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 97–112

Volume 7, Nomor 1, April 2018

5) komposisi arbiter apakah tunggal atau majelis – Jika berbentuk majelis harus ganjil minimal tiga arbiter;

6) bahasa yang digunakan dalam arbitrase;7) pernyataan penegasan dari para pihak

bahwa putusan arbitrase final dan mengikat; dan

8) bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase dan pembebanan biaya arbitrase.

Membuat klausula arbitrase dengan lengkap akan menghindarkan para pihak dari pembahasan teknis dimasa mendatang saat sengketa benar-benar terjadi pembahasan dikemudian hari akan jauh lebih sulit dibandingkan bila disusun pada tahap awal perjanjian.

Penggunaan klausula pemilihan forum dalam penyelesaian sengketa biasanya tidak digunakan dalam sengketa pasar modal perbuatan melawan hukum, karena biasanya dalam perbuatan melawan hukum melibatkan pihak ketiga dalam permasalahan tersebut. Sehingga dalam hal ini jika terjadi suatu sengketa dalam pasar modal yang merupakan perbuatan melawan hukum, maka sengketa kemungkinan akan langsung dibawa ke jalur Pengadilan namun tetap dengan batasan sebagaimana dalam Pasal 3 UU Arbitrase tentang larangan pengadilan negeri yang dilarang menyelesaikan sengketa yang sudah terikat perjanjian arbitrase.

Pada dasarnya jalur arbitrase sendiri tidak menutup kemungkinan untuk sengketa perbuatan melawan hukum diselesaikan melalui jalur arbitrase tersebut, jika memang dalam perjanjian sebelumnya telah dicantumkan kalusul pemilihan forum sengketa melalui jalur arbitrase, maka sudah seharusnya sengketa diselesaikan melalui jalur arbitrase. Hal ini

mengingat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memberikan batasan bahwa sengketa yang diselesaikan melalui arbitrase hanya sebatas wanprestasi, hal ini dapat dilihat dari penjelesannya yaitu:

”Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.”

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 UU Arbitrase tersebut, dengan adanya nomenklatur yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut, dijadikan dasar bagi pihak yang merasa dirugikan atas PMH untuk menyelesaikan permasalahan yang ada melalui arbitrase. Adapun salah satu alasan yang umumnya digunakan oleh pihak yang mengajukan gugatan PMH ke pengadilan negeri dan bukan ke arbitrase yaitu karena adanya keterkaitan pihak ketiga dengan permasalahan yang ada.

Namun demikian, Pasal 30 UU Arbitrase telah mengakomodir adanya kemungkinan proses pemeriksaan di arbitrase melibatkan pihak ketiga di luar perjanjian, yaitu:

”Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keikutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbiter yang memeriksa sengketa yang bersangkutan.”

UU Arbitrase sendiri tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian di

Page 129: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

107Penggunaan Klausul Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal ... (Rahmanisa P.F. & M. Agus Salim)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

arbitrase. Namun, jika hanya merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 30 UU Arbitrase tersebut, maka masuknya pihak ketiga dimungkinkan dalam suatu proses pemeriksaan arbitrase. Dengan syarat, masuknya pihak ketiga tersebut memperoleh persetujuan baik dari pihak arbiter atau majelis arbiter dan para pihak (Pemohon dan Termohon).

2. Akibat Hukum Tidak Adanya Klausul Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa Dalam Sengketa Pasar Modal Terhadap Pembangunan Ekonomi Nasional

Forum penyelesaian sengketa pasar modal yang bisa ditempuh adalah forum pengadilan dan forum di luar pengadilan (seperti mediasi dan arbitrase), hal ini ditegaskan juga oleh BAPMI yang menyatakan bahwa setidaknya adanya ada dua pilihan forum penyelesaian yang bisa ditempuh dalam menyelesaikan sengketa ini forum tersebut adalah forum pengadilan dan forum di luar pengadilan yang disebut sebagai alternatif penyelesaian sengeketa17.

Namun permasalahan mengenai ketidak-tahuan atau kesalahan dalam pencantuman klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa dalam perjanjian yang berkaitan dengan kegiatan pasar modal, membuat klausula menjadi suatu pembahasan teknis dimasa mendatang saat sengketa benar-benar terjadi di kemudian hari dan mengakibatkan tidak adanya klausula forum penyelesaian sengketa yang pasti dalam pemilihan forumnya.

Oleh karena itu para pelaku industri pasar modal, ketika akan melakukan perjanjian pasar modal hendaknya memahami dengan

benar pilihan forum penyelesaian sengketa, sehingga terhindar dari klausula yang keliru, seperti kalimat ”sengketa akan diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase”, atau klausul yang ambigu, seperti kalimat ”sengketa akan diselesaikan melalui pengadilan atau arbitrase”, atau tanggung seperti kalimat ”jika tidak bisa di selesaikan melalui arbitrase akan diajukan kepengadilan”

Adapun dampak adanya klausul nonsense tersebut, maka persengketaan yang muncul kemungkinan akan diselesaikan melalui pengadilan karena forum penyelesaian diluar pengadilan hanya dapat berlangsung atas dasar kesepakatan tertulis18 sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa yaitu ”Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”

Hal ini memiliki arti juga bahwa jika terdapat klausul nonsense yang membuat para pihak tidak bisa menyelesaikan kasusnya di BAPMI, maka para pihak menjadi dianggap tidak memiliki perjanjian arbitrase atau tidak mencantumkan klausul pemilihan forum. Sebagaimana Pasal 1320 jo 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai syarat sah perjanjian, jika terdapat klausul yang terlarang maka perjanjian tersebut dianggap tidak memiliki kekuatan hukum dan dapat dikatakan batal demi hukum sehingga perjanjian dianggap tidak pernah ada19,merujuk pada Pasal 1 angka

17 Ibid.18 Ibid.19 Tim BAPMI, Op.Cit, (diakses 9 Februari 2018).

Page 130: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

108 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 97–112

Volume 7, Nomor 1, April 2018

3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengenai pengertian perjanjian arbitrase yang berupa klausul arbitrase maka hal ini mempertegas bahwa jika klausul yang tercantum tersebut merupakan klausul terlarang oleh aturan BAPMI maka perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak dianggap juga tidak pernah ada.20

Adapun dalam hal terjadinya sengketa perdata pasar modal ini para pihak masih tetap ingin menggunakan jalur non-litigasi BAPMI maka dalam penyelesaian sengketanya para pihak harus membuat kembali perjanjian atau addendum mengenai perjanjian yang khusus membahas penunjukan forum penyelesaian sengketa seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur bahwa:1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian

sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.

2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

Namun apabila ternyata dalam kenyataannya terdapat salah satu pihak yang menolak diadakan addendum untuk perjanjian yang mengatur secara khusus mengenai arbitrase, jika merujuk kembali pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, sengketa tersebut akan tetap dilakukan pelimpahan kembali kasus ke pengadilan negeri, karena klausul arbitrase yang merupakan bentuk perjanjian arbitrase sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah jelas merupakan klausul terlarang yang membuat perjanjian arbitrase dianggap tidak pernah ada dan sengketa tidak bisa diselesaikan di BAPMI, maka dari itu pengadilan menjadi memiliki wewenang kembali untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

Walaupun pada kenyatannya pengadilan sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa yang paling dikenal, dapat dikatakan dalam hal sengketa bisnis akan selalu berusaha untuk dihindari oleh banyak pihak. karena adanya beberapa faktor yang diantaranya21:1. Lamanya proses beracara dalam persidangan

penyelesaian perkara perdata; 2. Lamanya penyelesaian sengketa dapat

pula disebabkan oleh panjangnya tahapan penyelesaian sengketa;

3. Lama dan panjangnya proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan tersebut tentunya membawa akibat yang berkaitan dengan tingginya biaya yang diperlukan;

4. Sidang pengadilan di Pengadilan Negeri dilakukan secara terbuka, padahal disisilain kerahasiaan adalah sesuatu yang diutamakan di dalam kegiatan dagang.

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa penyelesaian sengketa pada pengadilan negeri tidak dilakukan secara cepat sehingga akan merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa. Semakin lama penyelesaian suatu

20 Ibid.21 Ridwan Khairandy, et. all, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, (Yogyakarta: Ghama Media, 1999), hlm.51.

Page 131: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

109Penggunaan Klausul Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal ... (Rahmanisa P.F. & M. Agus Salim)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

perkara, semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan.22 Hal ini tentunya bagi masyarakat bisnis sangat tidak menguntungkan yang dapat berakibat pada keengganan investor dalam berinvestasi.23

Penunjukan BAPMI sebagai forum yang dipilih dalam penyelesaian tiap sengketa di pasar modal memang bukan tanpa sebab. Pasalnya pergerakan industri ini serba cepat. Kalau memilih bentuk penyelesaian lewat jalur pengadilan dan hukum yang ada hampir pasti memerlukan waktu yang sangat lama sehingga akan sangat mungkin potensial keuntungan dari aktivitas transaksi berubah menjadi kerugian. Dan faktor tersebut merupakan salah satu alasan bagi industri pasar modal ini yang akhirnya akan berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi nasional di Indonesia.

Seperti yang kita ketahui bahwa keberlangsungan kegiatan pembangunan ekonomi nasional akan bergantung terhadap upaya peningkatan pembangunan dan hasil-

hasil dari kegiatan pasar modal24, hal tersebut tentunya sudah dapat menjelaskan bahwa dengan banyaknya sengketa pasar modal yang tidak terselesaikan akibat adanya klausul nonsense atau klausul ambigu dalam pemilihan forum penyelesaian sengketa pasar modal maka akan semakin banyak hambatan dalam keberlangsungan pembangunan ekonomi nasional.

Apabila arbitrase dianggap mekanisme penyelesaian yang keabsahannya sesuai dengan putusan pengadilan, maka para pihak harus memilih salah satu dari forum yang ada, karena tentunya jika menggunakan kedua forum dalam perjanjian tersebut maka

Namun perlu diketahui bahwa pada dasarnya memang dalam kedua forum penyelesaian sengketa ini memiliki hal yang berbeda terkait dengan penyelesaian sengketanya,sehingga dalam proses penyelesaian sengketa memiliki waktu yang berbeda. Adapun perbedaan dari Pengadilan Negeri dan Arbitrase yaitu25:

22 Gaby Hardwicke, Briefing Note: Costs in Litigation, www.gabyhardwicke.co.uk. (diakses 3 April 2018). 23 Indriati Amarini, PENYELESAIAN SENGKETA YANG EFEKTIF DAN EFISIEN MELALUI OPTIMALISASI MEDIASI DI

PENGADILAN, Jurnal Kosmik Hukum, Vol.16 Tahun 2016.24 Kuncoro, Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan,( Jakarta: Unit Penerbit dan Percetakan PN,

1997), hlm.15.25 Sudiyana, ”Pemberdayaan Peran Lembaga Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia”, Jurnal

Padjadjaran Fakultas Hukum volume 4 , no.1 (2017), http://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/11508 (diakses 18 Februari 2018).

Tabel 1. Perbedaan prosedural penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri dan Arbitrase (BAPMI)

Pengadilan Arbitrase

1. Mencari fakta kebenaran berda sar kan aturan hukum acara

1. Fakta dilupakan berdasarkan itikad baik

2. Berdasarkan hukum dengan memeriksa alat bukti.

2. Menyederhanakan hukum dengan bekerjasama memecahkan masalah

3. perkara berdasarkan hukum dan argumen 3. Bagaimana memecahkan masalah dengan mencari perdamaian

Page 132: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

110 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 97–112

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Baik pengadilan negeri maupun jalur arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya memiliki nilai keadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Negeri yang memiliki nilai keadilan secara prosedural sedangkan Arbitrase (BAPMI) memiliki nilai keadilan substantif yang artinya keadilan yang diberikan merupakan keadilan yang berasal dari keadilan substansi hukumnya tanpa memperhatikan keasalahan dari proseduralnya.26

Mengacu pada penjelasan diatas tentunya kedua forum penyelesaian sengketa tersebut memiliki nilai keadilan yang dapat berfungsi dalam meyelesaikan sengketa pasar modal walaupun dengan cara yang berbeda. Maka dari itu jika kedua forum tersebut tidak dapat digunakan dalam menyelesaikan sengketa pasar modal akibat adanya kalusul ambigu atau nonsense, hal yang akan terjadi adalah penyelesaian sengketa yang akan memakan waktu lebih lama sehingga dapat mengganggu keberlangsungan pembangunan ekonomi nasional.

Maka dari itu terhadap permasalahan mengenai adanya klausul nonsense dalam pemilihan forum penyelesaian sengketa, akan lebih baik jika terdapat suatu perbaikan atau penambahan regulasi yang mengatur secara khusus mengenai penulisan perjanjian dalam kegiatan pasar modal khususnya terhadap forum penyelesaian sengketa, baik dibuat melalui Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) dan/atau Otoritas Jasa Keuangan seperti contohnya yang telah ada pada pasal 32 ayat 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang menjelaskan ”jika terdapat sengketa penanaman modal

antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.” Dengan adanya regulasi tersebut maka diharapkan kedepannya tidak akan ada klausul yang bersifat ambigu atau tidak dibuatnya klausul mengenai pemilihan forum penyelesaian sengketa yang semakin menambah masalah dalam penyelesaian sengketa pasar modal.

Adapun kepentingan dari solusi ini dibuat, karena dewasa ini dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sendiri tidak mengatur secara khusus mengenai forum yang dapat menyelesaian sengketa untuk kasus perdata serta jika merujuk pada Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal tersebut memiliki arti bahwa pengadilan masih berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang sekalipun telah terdapat perjanjian arbitrase namun sesuai dengan undang-undang yang berlaku, maka dari itu hal tersebut akan selalu menimbulkan persepsi yang berbeda dari setiap pihak yang tentunya akan berdampak pada dualisme penyelesaian sengketa yang tercantum dalam klausul nonsense sehingga keinginan para pihak dapat terpenuhi pada awal perjanjian.

D. Penutup

Penggunaan klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa dalam pasar modal biasanya digunakan dalam suatu kegiatan pasar modal yang berkaitan dengan hukum privat atau perdata seperti adanya perjanjian antara manajer investasi dengan nasabah. Namun dewasa ini

26 Ibid.

Page 133: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

111Penggunaan Klausul Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal ... (Rahmanisa P.F. & M. Agus Salim)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

dalam perjanjian tersebut masih terdapat suatu kesalahan khususnya dalam penulisan klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa yang dianggap sebagai klausul ambigu atau nonsense, dan pada akhirnya akan menimbulkan suatu permasalahan baru dalam penyelesaian sengketa pasar modal. Maka dari itu, sebaiknya dalam membuat suatu klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa dalam pasar modal akan lebih efektif jika para pihak yang terkait dalam perjanjian, langsung mencantumkan forum mana yang akan digunakan dalam klausul apabila terjadi suatu sengketa pasar modal kedepannya. Walaupun pada dasarnya tidak ada aturan khusus yang mengatur namun bisa dengan mengikuti Pasal 9 UU 30/1999 yang mengatur mengenai perjanjian arbitrase yang dibuat setelah munculnya sengketa harus dibuat secara tertulis. Dengan efektifnya penyelesaian sengketa di pasar modal, otomatis akan membuat para investor semakin percaya terhadap badan pasar modal Indonesia dan semakin besar juga peluang dalam menopang pembangunan ekonomi nasional.

Tidak adanya klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa pasar modal dalam suatu perjanjian yang berkaitan dengan pasar modal, tentunya akan memiliki suatu akibat hukum terhadap berjalannya penyelesaian sengketa jika kedepannya terjadi sengketa. Adapun akibat hukum yang terjadi adalah sengketa tersebut kemungkinan besar akan diselesaikan langsung di pengadilan tanpa menggunakan jalur alternatif penyelesaian sengketa Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia( BAPMI) dengan tetap adanya batasan dalam Pasal 3 UU Arbitrase yaitu larangan untuk pengadilan negeri memutus sengketa yang telah masuk dalam perjanjian arbitrase, hal ini tentunya akan membuat proses dalam penyelesaian

sengketa pasar modal tersebut menjadi membutuhkan waku lama untuk selesai dan juga dalam menghasilkan hasil dari kegiatan pasar modal yang menjadi penopang dalam keberlangsungan pembangunan ekonomi nasional akan terhambat.

Dalam pembuatan perjanjian yang berkaitan dengan kegiatan pasar modal, sebaiknya para pihak bisa lebih waspada terhadap kejadian yang terjadi kedepannya. Akan lebih baik jika klausul pemilihan forum dibuat secara jelas penunjukannya, karena jika tetap ingin menggunakan jalur non-litigasi dalam penyelesaian sengketanya maka harus dibuat kembali perjanjian yang khusus membahas penunjukan forum penyelesaian sengketa seperti yang dijelaskan dalam Pasal 9 UU 30/1999 yang mengatur mengenai perjanjian arbitrase yang dibuat setelah munculnya sengketa harus dibuat secara tertulis. Selain itu, sekalipun tidak ada aturan khusus mengenai penulisan perjanjian dalam kegiatan pasar modal namun seharusnya pemerintah melalui Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) dan/atau Otoritas Jasa Keuangan berinisiatif untuk membuat rumusan terhadap adanya pengaturan pembuatan perjanjian dalam pasar modal seperti contohnya yang telah ada pada pasal 32 ayat 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang menjelaskan ”jika terdapat sengketa penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.” , dengan adanya solusi tersebut diharapkan kedepannya tidak akan ada klausul yang bersifat ambigu atau tidak dibuatnya klausul mengenai pemilihan forum penyelesaian sengketa yang semakin

Page 134: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

112 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 97–112

Volume 7, Nomor 1, April 2018

menambah masalah dalam penyelesaian sengketa pasar modal.

Daftar Pustaka

Buku Anwar, Jusuf, Penegakan Hukum dan Pengawasan

Pasar Modal Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2008).

Khairandy, Ridwan, et. all, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, (Yogyakarta: Ghama Media, 1999).

Kuncoro, Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan,(Jakarta: Unit Penerbit dan Percetakan PN, 1997).

Miswanto, Manajemen Keuangan 2, (Jakarta:Gunadarma,1998).

Nasution, Bismar, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, (Jakarta: PPs-UI,2001).

Soekanto, Soerjono , Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-PRESS,2006).

Sudiarto, Negosiasi,Mediasi,&Arbitrase, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2015).

Sutrisno, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Kencana, 2013).

Winarta, Frans Hendra, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitase Internasional dan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,2012).

Makalah/Artikel/Laporan/Hasil Penelitian Faiza Muklis, ”Perkembangan Dan Tantangan Pasar

Modal Indonesia”, Al-Masraf Jurnal Lembaga Keuangan dan Perbankan Volume 1 , No. 1 (2016)

Indriati Amarini, ”PENYELESAIAN SENGKETA YANG EFEKTIF DAN EFISIEN MELALUI OPTIMALISASI MEDIASI DI PENGADILAN” , Jurnal Kosmik Hukum, Vol.16 (2016)

InternetChristy Natalia Simamarta, ”Efektivitas Peran

Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan”, Hasil Penelitian Tesis yang dimuat dalam E-Journal Students Universitas Padjadjaran, (2015), http://repository.unpad.ac.id/20833/1/Efektifitas-Peran-Badan-Arbitrase-Pasar-Modal-Indonesia.pdf (diakses 17 Februari 2018).

Gaby Hardwicke, Briefing Note: Costs in Litigation, www.gabyhardwicke.co.uk. (diakses 3 April 2018).

Mohamed Jalloh, ”The Role Of Financial Market In Economic Growth”, Waifem Regional Course On Operations And Regulation Of Capital Market,(2009)Http://Www.Waifem-Cbp.Org/V2/Dloads/THE%20ROLE%20OF %2 FINNCIAL%20MARKET.Pdf (diakses 17 Februari 2018).

Sudiyana, ”Pemberdayaan Peran Lembaga Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia”, Jurnal Padjadjaran Fakultas Hukum volume 4, no.1 (2017), http://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/11508 (diakses 18 Februari 2018).

Sudiyana, ”Pemberdayaan Peran Lembaga Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia”, Jurnal Padjadjaran Fakultas Hukum volume 4, no.1 (2017), http://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/11508 (diakses 18 Februari 2018).

Tim BAPMI, ”Klausula Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Pasar Modal”, Artikel Elektronik BAPMI, http://bapmi.org/in/ref_articles13.php (diakses 9 Februari 2018).

Peraturan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar

ModalUndang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman ModalUndang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian SengketaPeraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/

POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan

Page 135: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

113Penerapan Pidana Uang Pengganti kepada Korporasi dalam Perkara Korupsi ... (Budi Suhariyanto)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

PENERAPAN PIDANA UANG PENGGANTI KEPADA KORPORASI DALAM PERKARA KORUPSI DEMI PEMULIHAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

(Implementation of Substitute Money Penalty to Corporation in Corruption Case for Recovery the State's Financial Losses)

Budi SuhariyantoPusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA-RI

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav.58, Jakarta Pusat, IndonesiaEmail: [email protected]

Naskah diterima: 12 Februari 2018; revisi: 3 April 2018; disetujui: 16 April 2018

AbstrakMuncul persoalan dalam praktik dimana korporasi tanpa dijadikan terdakwa tetapi turut dituntut dan dipidana untuk membayar uang pengganti akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan pengurusnya. Alasan turut dipidananya tersebut karena hasil korupsi masuk ke dalam kekayaan dan aset korporasi sehingga patut untuk dituntutkan uang pengganti agar kerugian keuangan Negara menjadi terpulihkan. Namun tidak semua hakim sependapat dengan alasan tersebut mengingat tidak terjadi due process of law dalam hal pembelaan korporasi. Menarik dipermasalahkan yaitu bagaimanakah eksistensi dan penerapan pidana uang pengganti kepada korporasi dalam perkara korupsi serta implikasinya bagi pemulihan kerugian keuangan Negara? Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Diaturnya pidana uang pengganti bertujuan untuk pemulihan kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi. Adalah tidak adil jika pidana uang pengganti dijatuhkan kepada pengurus bilamana hasil korupsi itu senyatanya ditampung oleh korporasinya. Diperlukan kesepakatan dan pedoman untuk mengakhiri polemik diantara hakim Pengadilan Tipikor tentang dapatnya pidana uang pengganti dijatuhkan kepada korporasi meskipun tanpa dijadikan Terdakwa demi pemulihan kerugian keuangan Negara.Kata Kunci: uang pengganti, korporasi, kerugian negara

AbstractThere is a problem in the practice where a the corporation is prosecuted and convicted to pay the substitute money due to the corruption committed by the corporate management without being the defendant. The reason for this conviction is because the wealth and corporate assets contains those that comes from corruption so it is worth to prosecute for substitute money to restore State financial losses. However, not all judges agree with the reasons given above, considering the absence of due process of law in the case of corporate defense. It is interesting to examine the existence and application of the substitute money penalty to corporations in corruption cases and it’s benefit for the recovery of the state financial loss? In order to solve the problem, normative legal research methods with legislation and case approach are used. The regulation of substitute money penalty aims to restore the State's financial losses due to corruption. It would be unfair if substitute money penalty imposed to the board while the wealth produce by corruption was actually being accommodated by the corporation. Agreements and guidance are needed to end the polemic among the Corruption Court judges about the possibility of imposing substitute money to the corporation even without it being made as Defendant for the recovery of the state financial loss.Keywords: substitute money, corporation, state financial loss

Page 136: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

114 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 113–130

Volume 7, Nomor 1, April 2018

A. Pendahuluan

Korporasi sebagai suatu entitas atau subjek hukum yang keberadaannya memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, namun dalam kenyataannya korporasi ada kalanya juga melakukan pelbagai tindak pidana (corporate crime) yang membawa dampak kerugian terhadap negara dan masyarakat.1 Pada kenyataannya juga korporasi digunakan sebagai sarana mengumpulkan dan menyelamatkan aset hasil tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi dari para pengurusnya atau orang-orang dari kalangan Penyelenggara Negara yang turut mendesainnya. Sebagaimana perhitungan ”ekonomi kriminal” yang memberikan pemahaman bahwa orang berbuat jahat atau melakukan tindak pidana itu sudah memperhitungkan untung dan ruginya. Jika hasil tindak pidana korupsi disimpan dan dilarikan ke dalam (dijadikan) aset korporasi maka penjatuhan pidana penjara terhadap pengurusnya saja tidak akan sebanding dan memadai untuk memulihkan kerugian keuangan Negara.

Padahal diadakannya sistem pemberantasan tindak pidana korupsi, tujuan yang diharapkan adalah kemampuan memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Keuangan negara

yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; (b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Hanya melalui penelusuran dan pengejaran aset serta penjeratan pidana terhadap korporasi, kerugian keuangan Negara yang berupa aset korporasi tersebut dapat dipaksakan untuk dikembalikan.2

Untuk menutupi (unsur) kerugian Negara itulah diperlukan upaya paksa (dwang middelen). Tindakan atau upaya paksa penegak hukum dalam rangka menyelamatkan uang Negara itu dapat dilakukan secara bertahap,

1 Konsideran huruf a Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.

2 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 137: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

115Penerapan Pidana Uang Pengganti kepada Korporasi dalam Perkara Korupsi ... (Budi Suhariyanto)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

yaitu: Pertama, pada tahap pra ajudikasi berupa tindakan atau upaya paksa penegak hukum dengan cara melakukan penyitaan terhadap harta atau benda yang ada pada penguasaan tersangka/terdakwa maupun harta atau benda yang diduga memiliki keterkaitannya dengan suatu tindak pidana, jadi, tidak memiliki sifat limitatif terhadap eksistensi status harta benda tersebut. Isu penyitaan dalam Hukum Acara Pidana sungguh dapat dihubungkan dengan perampasan yang dalam hukum pidana materieel merupakan jenis hukuman, jenis hukuman tambahan. Pada Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hingga Pasal 46 KUHAP menyinggung penyitaan sebagai salah satu upaya paksa (dwangmiddel atau coercial force) dari kewenangan Penyidik, maka Pasal 128 KUHAP hingga Pasal 130 KUHAP mengatur yang harus ditempuh dalam suatu proses, apa yang dilakukan Penyidik dalam melakukan penyitaan.3

Kedua, saat dan pasca ajudikasi, berupa tindakan atau upaya paksa penegak hukum untuk melaksanakan realisasi Uang Pengganti. Namun demikian, undang-undang lama (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) tidak mengatur alternatif penyitaan terhadap harta benda terdakwa/terpidana apabila Pelaku tidak melakukan pembayaran Uang Pengganti karena di dalam Penjelasan Pasal 34 hanya dikatakan bahwa akan berlaku tentang pidana denda

dalam hal tidak ada realisasi Uang Pengganti. Hal ini berlainan dengan perubahan melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Tipikor). Terhadap tidak adanya pembayaran Uang Pengganti dimana terhadap harta benda Pelaku dapat dilakukan dengan cara penyitaan atas harta atau benda yang ada pada penguasaan Tersangka/Terdakwa maupun harta atau benda yang ada pada pihak ketiga tetapi harta atau benda itu diduga memiliki keterkaitannya dengan suatu tindak pidana. jadi, tidaklah memiliki sifat limitatif terhadap eksistensi status harta benda tersebut.4

Korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi ditetapkan oleh Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (termasuk ”setiap orang”) sehingga konsekuensinya korporasi dapat dituntut pertanggungjawaban dan dapat dijatuhkan pidana. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.5 Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).6 Selain itu korporasi juga dapat dikenakan pidana tambahan yaitu:7

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,

3 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Diadit Media, 2009), hlm. 255. 4 Ibid, hlm. 256.5 Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.6 Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.7 Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 138: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

116 Penerapan Pidana Uang Pengganti kepada Korporasi dalam Perkara Korupsi ... (Budi Suhariyanto)Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 113–130

Volume 7, Nomor 1, April 2018

termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Jika terpidana (korporasi) tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.8 Pelaksanaan lelang dilakukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah dilakukan penyitaan.9 Selain itu dapat juga dipertimbangan penghukuman oleh hakim bahwa bilamana tidak juga dianggap cukup menjerakan melalui pengenaan pidana pembayaran uang pengganti maka bisa dijatuhkan pula pidana tambahan berupa penutupan usaha korporasi selamanya ataupun dalam waktu yang sementara. Bagi korporasi, memilih membayar pidana tambahan uang

pengganti lebih realistis daripada aset-asetnya disita dan dilelang atau bahkan berujung pada akibat krusial yaitu harus gulung tikar atas tidak terpenuhinya tangung jawab hukum.

Pada praktiknya, belum terdapat kesamaan pandangan mengenai parameter penentuan besaran uang pengganti dimana dalam beberapa kondisi sering dihitung berdasarkan jumlah kerugian Negara yang ditimbulkan, namun pada kondisi lain dihitung berdasarkan jumlah harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tersebut. Untuk menjawab permasalahan tersebut, diperlukan adanya suatu pengaturan yang jelas mengenai parameter perhitungan besaran uang pengganti. Sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang pada intinya mengatakan bahwa besaran jumlah uang pengganti didasarkan dari besaran harta benda terpidana yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Oleh karenanya Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi menegaskan bahwa parameter perhitungan besaran uang pengganti adalah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Dengan demikian, pemahaman bahwa parameter perhitungan besaran uang pengganti ditinjau dari besaran kerugian Negara sudah tidak dapat diterapkan dalam suatu persidangan tindak pidana korupsi.10

Selain masalah besaran uang pengganti, persoalan lain yang juga menimbulkan polemik

8 Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

9 Pasal 9 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

10 Penjelasan Umum Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

Page 139: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

117Penerapan Pidana Uang Pengganti kepada Korporasi dalam Perkara Korupsi ... (Budi Suhariyanto)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

adalah berkaitan dengan dijatuhinya pidana uang pengganti kepada korporasi yang tidak dijadikan Terdakwa. Dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dinyatakan bahwa selain dijatuhi pidana pokok, Terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Berdasarkan ketentuan tersebut maka pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti hanya dapat dijatuhkan kepada Terdakwa. Namun dalam perkembangannya tak jarang Jaksa Penuntut Umum memasukkan tuntutan pembayaran uang pengganti juga kepada pihak ketiga (dalam hal ini termasuk korporasi). Tuntutan yang demikian selain tidak memiliki dasar hukum, pada prinsipnya juga melanggar prinsip-prinsip peradilan yang fair (fair trial), oleh karena pihak ketiga tersebut dikenakan tuntutan tanpa pernah diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri layaknya Terdakwa dalam persidangan yang terbuka untuk umum.11

Pada praktiknya, Mahkamah Agung melakukan terobosan hukum yaitu dengan mengabulkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum agar korporasi yang tidak dijadikan Terdakwa dituntut pemidanaan berupa pembayaran uang pengganti. Sebagaimana dalam perkara PT. Indosat Mega Media (PT.IM2), PT. Adhi Karya (PT.AK), PT. Nindya Karya (PT.NK), PT. Sumigita Jaya (PT.SJ), dan PT. Green Planet Indonesia (PT.GPI). Keempat korporasi tersebut, tanpa dijadikan Terdakwa tetapi harus menanggung pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti atas perkara Pengurusnya yang notabene adalah Terdakwanya. Pertimbangan hukum Mahkamah Agung (Putusan Nomor787 K/Pid.Sus/2014) dalam menjatuhkan pidana

uang pengganti terhadap korporasi yang tidak dijadikan sebagai Terdakwa tersebut adalah bahwa pertanggungjawaban menurut Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dilakukan oleh korporasi dan/atau pengurusnya. Oleh karenanya meskipun Jaksa Penuntut Umum tidak melakukan penuntutan secara khusus terhadap korporasi (PT Indosat Mega Media), namun peran Terdakwa dalam surat dakwaan adalah dalam kapasitas sebagai Direktur Utama sehingga pidana tambahan berupa uang pengganti dapat dijatuhkan kepada PT Indosat Mega Media.

Problematika penerapan pidana uang pengganti terhadap korporasi dalam perkara korupsi ini sampai sekarang belum dapat terselesaikan. Para hakim memiliki interpretasi yang berbeda dimana di satu pihak menganggap adanya pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran terhadap asas fair trial, sedangkan di pihak lain secara tegas menyatakan bahwa usahanya menjatuhkan pidana uang pengganti tersebut adalah dalam rangka memulihkan kerugian keuangan Negara karena bilamana hanya mengandalkan pemidanaan terhadap pengurusnya yang notabene hasil tindak pidana korupsi tersebut telah menjadi harta atau aset korporasi maka tidaklah adil pengurusnya yang menanggung pembayaran uang pengganti tersebut. Berdasarkan polemik ini maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang relevan untuk diteliti dan dibahas yaitu: Bagaimanakah kedudukan pidana uang pengganti terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi menurut hukum positif? kemudian

11 Penjelasan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

Page 140: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

118 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 113–130

Volume 7, Nomor 1, April 2018

bagaimanakah eksistensi pidana uang pengganti kepada korporasi dalam perkara korupsi? Dan bagaimanakah implikasi penerapan pidana uang pengganti terhadap korporasi dalam perkara korupsi bagi upaya pemulihan kerugian keuangan Negara?

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode normatif. Terdapat 3 (tiga) pendekatan untuk mengkaji ketiga permasalahan yang coba dibahas dengan metode penelitian normatif ini yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach) serta pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan perundang-undangan diperlukan dalam rangka menelusuri ratio legis dan dasar ontologis lahirnya peraturan perundang-undangan.12 Pendekatan kasus digunakan untuk menemukan the ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu putusan13 dimana letak terobosan hukum yang bertujuan memberi akses keadilan.14 Pendekatan konseptual digunakan untuk memahami secara presisi dan akurat berbagai konsep yang digunakan oleh prinsip hukum dalam undang-undang maupun doktrin para ahli hukum.15

Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, konvensi hukum internasional dan putusan pengadilan serta bahan hukum sekunder berupa literatur dan

12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 93-94. 13 Ibid, hlm. 64.14 Sulistyowati Irianto dan Lim Sing Meij, Praktik Penegakan Hukum: Arena Penelitian Sosiolegal Yang Kaya. Dalam

Sulistyowati Irianto dan Shidarta. Metode Penelitian Hukum (Konstelasi dan Refleksi) (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2011), hlm. 191.

15 Peter Mahmud Marzuki, Loc Cit, hlm. 178.

hasil penelitian. Peraturan perundang-undangan yang digunakan antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi, Peraturan Jaksa Agung Nomor: Per-013/A/JA/06/2014 tentang Pemulihan Aset, dan Surat Edaran Kejaksaan Agung RI Nomor B-036/A/Ft.1/06/2009 perihal Korporasi Sebagai Tersangka/Terdakwa DalamTindak Pidana Korupsi dan Konvensi internasional terkait pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi, yaitu United Nation Covention Against Corruption (UNCAC) 2003. Putusan pengadilan yang dikaji terkait dengan putusan pemidanaan korporasi pelaku tindak pidana korupsi diantaranya yaitu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 234/PID.B/2011/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 241/PID/2012/PT.DKI, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/PID.SUS/2012.

Adapun literatur yang digunakan dalam kajian agar terhindar dari kekeliruan pandangan

Page 141: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

119Penerapan Pidana Uang Pengganti kepada Korporasi dalam Perkara Korupsi ... (Budi Suhariyanto)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

adalah yang berkaitan dengan konsep uang pengganti, filsafat pemidanaan tindak pidana korupsi dan teori pertanggungjawaban pidana korporasi. Bahan-bahan hukum dan literatur tersebut dikumpulkan melalui metode sistematis dan dicatat dalam kartu antara lain permasalahannya, asas-asas, argumentasi, implementasi yang ditempuh, alternatif pemecahannya dan lain sebagainya. Data yang telah dikumpulkan kemudian dideskripsikan dan diinterpretasikan sesuai pokok permasalahan selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi, dan diberikan argumentasi. Metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis yuridis kualitatif.

C. Pembahasan

1. Kedudukan Pidana Uang Pengganti terhadap Korporasi dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Menurut Hukum Positif

Pengertian korporasi, erat kaitannya dengan bidang hukum perdata. sebab pengertian korporasi merupakan terminologi yang erat dengan istilah badan hukum (rechts persoon), dan badan hukum itu sendiri merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan bidang hukum perdata. Menurut Subekti dan Tjitrosudibio, korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum.16 Sedangkan

Rudhi Prasetyo, menyatakan bahwa kata korporasi sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum atau dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechts person, atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai legal entities atau corporation.17 Sementara itu menurut Sutan Remi Sjahdeini bahwa dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, persekutuan komanditer atau CV dan persekutuan atau matschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum.18

Korporasi telah diakui sebagai subjek yang lahir oleh hukum dan dapat bertindak dalam lalu lintas hukum serta dapat dimintai pertanggungjawaban pidana19 termasuk dalam perkara korupsi, korporasi mendapatkan penegasan pengaturan sebagai subjek hukum ”orang”.20 Demikian halnya dengan pertanggungjawaban dan sistem pemidanaannya diatur secara rinci yaitu dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan

16 Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Paramita, 1979), Hlm.34.17 Rudi Prasetyo, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi dan Penyimpangan-Penyimpangannya,

Makalah disampaikan pada Seminar Nasional kejahatan Korporasi di FH UNDIP, (Semarang, 23-24 November, 1989), Hlm. 2..

18 Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), Hlm. 4319 Faizal Adi Surya. ”Tinjauan Mediasi Penal Dalam Perspektif Hukum Adat dan Hukum Islam”. Jurnal Jurisprudence,

Volume 5 Nomor 2 September (2015), hlm. 44.20 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 142: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

120 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 113–130

Volume 7, Nomor 1, April 2018

21 Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

22 Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

23 Kelemahan-kelemahan itu diantaranya: Pertama, masalah kapan korporasi melakukan tindak pidana korupsi, sudah diatur tetapi masih belum jelas mengenai pengertian hubungan kerja dan hubungan lainnya sehingga dapat menimbulkan kesimpangsiuran penafsiran yangdapat menjadi salah satu masalah pada saataplikasi; Kedua, masalah tindak pidana korupsiyang dilakukan oleh korporasi, khususnya mengenai pemufakatan jahat; dan Ketiga, masalah sanksi pidana terhadap korporasi antara lain: masalah perumusan pemberatan sanksi pidana pada pasal 2 ayat (2), masalah kapan dikatakan terjadinya pengulangan tindak pidana korupsi, dan masalah perumusan sanksi pidana pokok terhadap korporasi dalam pasal 20 ayat (7). Lihat dalam Orpa Ganefo Manuain, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis, (Semarang: Magister Hukum Universitas Diponegoro, 2005), hlm. 110-11.

24 Budi Suhariyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Corporate Culture Model dan Implikasinya Bagi Kesejahteraan Masyarakat, Jurnal Rectsvinding Volume 6 Nomor 3 (Desember 2017), hlm. 448.

25 Natangsa Surbakti, Peradilan Restoratif: Dalam Bingkai Empiris, Teori dan Kebijakan. (Yogyakarta: Genta Publishing, 2015), hlm. 204-205.

penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.21 Artinya secara komulatif-alternatif dapat dituntut dan diputus pemidanaannya bilamana dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi sehingga dapat dilakukan terhadap ”korporasi dan pengurus” atau terhadap ”korporasi” saja atau ”pengurus” saja. Selanjutnya untuk mengidentifikasi bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.22

Jika diteliti dengan seksama, formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana) korporasi dalam tindak pidana korupsi yang sudah diatur oleh Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi masih memiliki kelemahan-kelemahan.23 oleh karena itu selain diatur dalam Undang-Undang Tipikor, hukum acara pidana korporasi baik dalam tahap penyidikan, penuntutan, persidangan, hingga eksekusi putusan diatur oleh beberapa peraturan di bawah undang-undang yaitu diantaranya Surat Edaran Kejaksaan Agung RI Nomor

B-36/A/Ft.1/06/2009 perihal Korporasi Sebagai Tersangka/Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Keberadaan ketiga peraturan tersebut adalah berfungsi sebagai pengisi kekosongan hukum daripada kelemahan teknis acara penanganan tindak pidana korporasi24 dalam Undang-Undang Tipikor.

Kelemahan Undang-Undang Tipikor, ternyata tidak hanya sebatas ketentuan teknis acara penanganan tindak pidana korporasi, tetapi juga terkait dengan ketentuan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti khususnya yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 meninggalkan beberapa permasalahan dalam praktik.25 Secara eksplisit Pasal 18 tersebut mengatur bahwa:1) Selain pidana tambahan sebagaimana

dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

Page 143: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

121Penerapan Pidana Uang Pengganti kepada Korporasi dalam Perkara Korupsi ... (Budi Suhariyanto)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

26 Nur Syarifah, Mengupas Permasalahan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, diakses dari www.leip.or.id pada tanggal 10 November 2017.

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pi-dana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana denganpidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana

tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Undang-Undang Tipikor tidak memberikan acuan dalam merumuskan pidana penjara pengganti dalam hal uang pengganti tidak dibayar dalam jangka waktu tertentu telah menimbulkan banyak disparitas dalam penjatuhan lamanya pidana penjara pengganti. Misalnya pidana penjara pengganti selama 12 (dua belas) bulan dijatuhkan oleh Putusan Nomor 655 K/Pid.Sus/2010 sebagai pengganti jika tidak membayar uang sejumlah Rp.378.116.230.813,-. Hal ini sangat timpang dengan Putusan Nomor 50 K/Pid.Sus/2010 yang juga menetapkan pidana penjara pengganti selama 12 (dua belas) bulan atas tidak terbayarkannya uang pengganti sejumlah Rp. 2.800.000,-. Disparitas ini memperlihatkan bahwa penjatuhan uang pengganti dalam jumlah besar tidak serta merta diikuti dengan pidana penjara pengganti dalam waktu yang sepadan dengan nilai uang pengganti, begitu pula sebaliknya. Jika uang pengganti yang dijatuhkan cukup besar namun penjara pengganti yang ditetapkan tidak terlalu besar maka terdapat celah permainan antara jaksa eksekutor dengan terpidana untuk berkolusi agar harta hasil korupsi tidak dieksekusi namun langsung dikonversi menjadi pidana pengganti. Hal ini mengingat dalam perkara yang pidana penjara penggantinya tidak sepadan dengan nilai uang pengganti, akan lebih ekonomis untuk terpidana jika ia menjalani pidana penjara pengganti tersebut dibanding membayar uang pengganti.26

Page 144: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

122 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 113–130

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Untuk menjawab permasalahan tersebut maka Mahkamah Agung menerbitkan Perma Nomor 5 Tahun 2014. Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, parameter perhitungan besaran uang pengganti ialah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Berkaitan dengan hal ini maka para hakim pada tingkat judex facti diharuskan dapat menggali keterangan mengenai besarnya jumlah harta benda yang diperoleh Terdakwa dari suatu tindak pidana korupsi. Dengan demikian apabila terjadi tindak pidana korupsi secara bersam-sama, maka hakim dapat menjatuhkan besaran uang pengganti didasarkan harta benda yang diperoleh masing-masing Terdakwa. Selain itu sehubungan Undang-Undang Tipikor tidak mengatur perhitungan lama penjara pengganti yang harus dijalani Terpidana apabila sudah membayarkan sebagian uang pengganti kepada Negara. Hal ini menimbulkan suatu ketidak-adilan bagi Terpidana, yang sudah membayarkan sebagian uang pengganti, akan tetapi tetap harus menjalani penjara pengganti layaknya sama sekali tidak membayar uang pengganti. Dalam hal ini pembayaran uang pengganti tersebut akan diperhitungkan secara proporsional sebagai pengurangan lama penjara pengganti yang harus dijalani Terdakwa.

Jika subjek hukum yang didakwa dalam perkara korupsi adalah korporasi maka menurut Perma Nomor 5 Tahun 2014 ini mengatur bahwa pidana penjara pengganti sebagai ganti dari tidak dibayarkannya uang pengganti adalah tidak dapat diterapkan (Pasal 7). Optimalisasi pelunasan uang pengganti terhadap korporasi

ini dapat dilakukan dengan menyita dan melelang aset milik korporasi tersebut. jika aset-aset tersebut telah habis sementara itu masih terdapat kekurangan kewajiban uang pengganti yang harus dibayarkan, Jaksa dapat mengajukan korporasi tersebut untuk pailit (Penjelasan Pasal 7 ayat (2)). Hal lain yang berkaitan dengan korporasi dalam hal pelaksanaan ketentuan uang pengganti yaitu apabila pengadilan mendapatkan perkara dimana dalam surat tuntutannya Jaksa Penuntut Umum memasukkan tuntutan agar terdapat pihak ketiga (termasuk korporasi) yang dituntut pembayaran uang pengganti, maka pengadilan harus menolak tuntutan tersebut dan menyarankan agar Jaksa Penuntut Umum mendakwa pihak ketiga terlebih dahulu dalam perkara tersendiri. Selain itu apabila pengadilan mengabulkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut maka akan timbul permasalahan hukum dalam eksekusinya (Penjelasan Pasal 6).

2. Eksistensi Pidana Uang Pengganti Kepada Korporasi dalam Perkara Korupsi

Meskipun telah ditegaskan secara normatif bahwa korporasi adalah salah satu subjek hukum dan dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana korupsi sejak tahun 1999 (dimana UU Tipikor mulai diberlakukan), namun sampai dengan tahun 2018 (sekitar 19 tahunan) sangat sedikit perkara korupsi dimana korporasi dijadikan sebagai terdakwa dan dituntut serta dipidana.27 Realitasnya proses pemidanaan banyak yang berhenti pada pengurusnya saja dan tidak ada tindak

27 Budi Suhariyanto, Progresivitas Putusan Pemidanaan terhadap Korporasi Pelaku Tindak Pidana Korupsi, Jurnal De Jure Volume 16 Nomor 2, (Juni 2016) hlm. 207.

Page 145: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

123Penerapan Pidana Uang Pengganti kepada Korporasi dalam Perkara Korupsi ... (Budi Suhariyanto)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

lanjut untuk menjerat dan melakukan proses pemidanaan terhadap korporasinya.28 Padahal tidak sedikit perkara korupsi yang diinisiasi oleh pengurus korporasi yang melakukan kegiatan koruptif merugikan keuangan negara untuk dan atas nama serta demi keuntungan korporasinya. Ironisnya penegak hukum tidak sepenuhnya mampu dan berhasil melakukan pemulihan kerugian keuangan negara tersebut disebabkan adanya berbagai modus penghilangan jejak dan penyembunyian aset hasil korupsi yang cukup susah untuk pembuktiannya.29

Jika suatu tindak pidana dilakukan atau bahkan hanya diperintahkan oleh pengurus korporasi, seharusnya korporasi itu bisa dijerat. Adapun sanksi pidana yang harus diberikan kepada korporasi tidak cukup hanya pidana denda saja. Korporasi yang melakukan kejahatan, seharusnya dikenai pidana pengembalian aset30 hasil tindak pidana korupsi diantaranya berupa penerapan pidana pembayaran uang pengganti. Sejauh ini baru 5 (lima) perkara yang menerapkan pemidanaan berupa pembayaran uang pengganti terhadap korporasi yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi yaitu PT. IM2, PT. HK, PT. NK, PT. AK, PT. SJ dan PT. GPI. Memang selain keempat korporasi tersebut ada perkara PT. Giri Jaladhi Wana dan PT. Cakrawala Nusadimensi yang juga diproses oleh peradilan tindak pidana korupsi dan dipidana secara inkracht, akan tetapi pidana yang ditetapkan terhadap keduanya hanya berkaitan dengan denda dan penutupan usaha sementara serta tidak dijatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.

Berbeda dengan keempat korporasi yang dipidana untuk membayar uang pengganti tanpa yang bersangkutan ditetapkan dan diproses sebagai Terdakwa. Misalnya perkara PT. IM2 dipidana dengan pidana uang pengganti dalam putusan pemidanaan terhadap Direktur Utamanya yang notabene diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini tentu menyimpangi ketentuan yang ditetapkan oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 yaitu seharusnya pengadilan menolak tuntutan tersebut dan menyarankan agar Jaksa Penuntut Umum mendakwa pihak ketiga terlebih dahulu dalam perkara tersendiri karena yang menjadi Terdakwa adalah Indar Atmanto selaku Direktur IM2 didakwa Jaksa Penuntut Umum melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1), (3) Undang-Undang Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP sebagai dakwaan primair dan subsidernya melanggar Pasal 3 Pasal 18 ayat (1), (3) Undang-Undang Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Atas dakwaan tersebut di atas, Jaksa mengajukan tuntutan yaitu agar Terdakwa IA dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primair, dan karenanya dijatuhkan pidana penjara 10 (sepuluh) tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000,- serta uang pengganti sebesar Rp.1.358.343.346.674.- dibebankan kepada PT Indosat dan PT Indosat Mega Media yang penuntutannya dilakukan secara terpisah. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui putusannya Nomor 01/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Pst memutuskan dengan menyatakan

28 Budi Suhariyanto, Restoratif Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi Demi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara. Jurnal RechtsvindingVolume 5 Nomor 3, (Desember 2016), hlm.428.

29 ibid. hlm. 422.30 Henry Donald Toruan, Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Korporasi.Jurnal Rechtsvinding Volume 3 Nomor

3,(Desember, 2014). hlm. 398.

Page 146: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

124 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 113–130

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Terdakwa IA terbukti terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dilakukan secara bersama-sama dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- dan bila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan serta menghukum PT Indosat Mega Media membayar uang pengganti sebesar Rp. 1.358.343.346.674 paling lambat 1 (satu) tahun setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap.

Atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, Terdakwa IA melakukan upaya hukum banding, majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta melalui putusannya Nomor 33/PID/TPK/2013/PT.DKI memutuskan mengubah putusan Pengadilan Negeri sehingga amarnya menyatakan Terdakwa IA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi dilakukan secara bersama-sama dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tesebut dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- dan bila denda tersebut tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Pengadilan Tinggi Jakarta ini tidak menghukum PT.IM2 untuk membayar uang pengganti sebagaimana putusan Pengadilan Negeri dan tuntutan Jaksa disebabkan dasar pertimbangan yaitu:

Bahwa pidana tambahan ini harus selalu mengikuti pidana pokok, yaitu kepada siapa pidana pokok itu dikenakan. Hal yang tidak wajar atau melanggar hukum apabila pidana pokokya dikenakan pada subyek hukum lain dan pidana tambahan dikenakan pada subyek hukum yang lain atau dalam perkara ini subyek hukum yang lain tersebut tidak didakwakan. Dengan demikian uang

pengganti tidak dapat dibebankan kepada PT Indosat Mega Media sebagai korporasi.

Pada tingkat Kasasi, Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor 787 K/Pid.Sus/2014 memutuskan memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 33/Pid/TPK/2013/PT.DKI yang mengubah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 01/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Jkt.PST tanggal 8 Juli 2013 sekedar mengenai pidana denda dan uang pengganti sehingga amarnya menyatakan Terdakwa IA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana Korupsi Dilakukan Secara Bersama-sama dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut dengan Pidana Penjara selama 8 (delapan) tahun dan menjatuhkan Pidana Denda sebesar Rp. 300.000.000,- dan bila denda tersebut tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 6 (enam) bulan serta menghukum PT.IM2 membayar uang pengganti sebesar Rp. 1.358.343.346.674,- dengan ketentuan apabila PT.IM2 tidak membayar uang pengganti tersebut paling lambat 1 (satu) bulan sesudah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap maka harta benda PT.IM2 disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut. Putusan pemidanaan dengan pidana tambahan berupa kewajiban atau pembebanan pembayaran uang pengganti terhadap PT.IM2 tersebut didasarkan atas pertimbangan majelis hakim Kasasi yaitu:

Bahwa pertanggungjawaban menurut Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dilakukan oleh korporasi dan/atau pengurusnya. Oleh karenanya meskipun Jaksa Penuntut Umum tidak melakukan penuntutan secara khusus terhadap korporasi (PT Indosat Mega Media), namun peran Terdakwa dalam surat

Page 147: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

125Penerapan Pidana Uang Pengganti kepada Korporasi dalam Perkara Korupsi ... (Budi Suhariyanto)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

dakwaan adalah dalam kapasitas sebagai Direktur Utama sehingga pidana tambahan berupa uang pengganti dapat dijatuhkan kepada PT Indosat Mega Media. Oleh karena itu Mahkamah Agung memandang perlu memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi dengan menjatuhkan uang pengganti kepada korporasi.

Putusan Mahkamah Agung lainnya yang senada dengan putusan IM2 diatas dimana korporasi dapat dipidana dengan pidana uang pengganti meskipun tidak dijadikan Terdakwa adalah putusan nomor 1577 K/Pid.Sus/2016 (a/n 2428 K/Pid.Sus/2014 (a/n Wijaya Imam Santosa, mantan Kepala Divisi VII PT Adhi Karya), Mahkamah Agung (MA) melakukan terobosan hukum dengan memvonis korporasi konstruksi pelat merah, PT Adhi Karya, membayar uang pengganti sebesar Rp3,3 miliar. Putusan itu disebut sebagai terobosan hukum karena Adhi Karya tidak masuk dakwaan mantan Kepala Divisi VII PT Adhi Karya, Wijaya Imam Santosa. Adapun pertimbangan Mahkamah Agung menyatakan bahwa BUMN itu ikut bertanggung jawab dalam korupsi proyek konstruksi jaringan air minum di empat kecamatan di Kabupaten Karangasem, Bali. Kerugian Negara sebesar Rp3,3 miliar tersebut lebih tepat dibebankan kepada PT. Adhi Karya (Persero) Tbk. walaupun PT. Adhi Karya (Persero) Tbk. tidak turut dijadikan Terdakwa oleh Penuntut Umum, karena Terdakwa bertindak melaksanakan Surat Perjanjian Kerja untuk dan atas nama PT. Adhi Karya (Persero) Tbk. dan seluruhnya kerugian

Negara tersebut masuk ke rekening PT. Adhi Karya (Persero) Tbk.31

3. Implikasi Penerapan Pidana Uang Pengganti terhadap Korporasi dalam Perkara Korupsi bagi Upaya Pemulihan Kerugian Keuangan Negara

Terhadap persoalan apakah suatu korporasi dapat dijatuhi sanksi pidana berupa pembayaran uang pengganti tanpa diajukan sebagai Terdakwa, dalam praktek terdapat dua aliran yaitu:32

1. Aliran pertama, penjatuhan sanksi pidana terhadap suatu korporasi dapat dilakukan, meskipun tidak diajukan sebagai terdakwa dalam suatu perkara, adapun argumentasinya adalah apabila tindak pidana korupsi dilakukan oleh pengurus dalam kedudukannya sebagai Direktur Utama (Directing Mind) suatukorporasi yaitu: Pertama, apabila tindak pidana korupsi itu menguntungkan korporasi; Kedua, tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime sehingga penangannya harus secara extrapula; Ketiga, mengingat salah satu tujuan dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi adalah pemulihan aset negara/asset recovey, sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, penanganan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi sebaiknya dilakukan dengan sederhana, murah dan cepat.

2. Aliran kedua, penjatuhan pidana kepada seseorang harus didasarkan kepada

31 Artidjo Alkostar, Kedudukan dan Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi, Disampaikan dalam seminar tentang ”Kedudukan dan tanggung jawab korporasi dalam tindakpidana korupsi” Mahkamah Agung Badiklat Hukum dan Peradilan, Selasa tanggal 15 Nopember 2016, di Hotel Grand Mercure Jakarta Pusat. hlm. 47.

32 Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung. 2015. Kompilasi Penerapan Hukum Oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi. (Jakarta: Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung, 2015),hlm. 95-98.

Page 148: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

126 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 113–130

Volume 7, Nomor 1, April 2018

dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum ke persidangan. Bagi Hakim surat dakwaan merupakan dasar untuk melakukan pemeriksaan dan menjatuhkan putusan kepada terdakwa sesuai dengan ketentuan yang didakwakan. Syarat- syarat untuk suatu dakwaan telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 143 KUHAP dengan ancaman batal demi hukum atau dapat dibatalkan apabila syarat- syarat tersebut tidak dipenuhi. Pasal 143 KUHAP merupakan hukum acara pidana yang bersifat tertutup, sehingga tidak dapat ditafsirkan, karena akan merusak due process of law dan melanggar hak-hak azasi seseorang.

Bagi penganut positivis, tidak dijadikannya korporasi sebagai terdakwa tapi turut dituntut dan dipidana maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum acara sekaligus melanggar hak asasi manusia dari subjek hukum korporasi yang notabene memiliki hak untuk diperiksa selayaknya subjek hukum orang.33 Para hakim yang menolak mengabulkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut didasarkan atas Perma Nomor 5 Tahun 2014 yang menjelaskan pengadilan harus menolak tuntutan tersebut dan menyarankan agar Jaksa Penuntut Umum mendakwa pihak ketiga terlebih dahulu dalam perkara tersendiri. Dalam konteks ini bersesuaian dengan ketentuan dalam Pasal 6 Perma Nomor 5 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa uang pengganti hanya dapat dijatuhkan terhadap Terdakwa dalam perkara yang bersangkutan. Artinya prasyarat bahwa pidana tambahan

berupa pembayaran uang pengganti hanya bisa dijatuhkan kepada pihak baik seseorang ataukah korporasi yang berstatus Terdakwa. Dengan kata lain bahwa yang tidak berstatus Terdakwa, meskipun turut dituntut dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum maka dilarang dipidana dengan pidana uang pengganti.

Sementara itu dalam perspektif hukum progresif, putusan pemidanaan korporasi ini sesungguhnya dalam rangka melindungi hak asasi manusia dari Terdakwa (orang) Pengurusnya yang tidak mungkin memiliki kemampuan mengembalikan kerugian keuangan negara yang telah masuk dalam keuntungan korporasi. Selain itu dari perspektif hak asasi manusia negara (masyarakat) memiliki hak untuk pengembalian kerugian keuangan negara dari perbuatan korupsi yang terbukti tersebut. Dalam konteks ini putusan pemidanaan yang demikian dikategori sebagai upaya penemuan hukum. Putusan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi yang demikian sesungguhnya merupakan realitas dari fungsionalisasi penafsiran hakim.34 Karena dalam tinjauan filosofi pemidanaan yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan yang rusak dari akibat tindak pidana korupsi yaitu pengembalian kerugian keuangan Negara, maka terobosan tafsir hakim tersebut dapat dikatakan menemukan relevansinya. Sebagaimana dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa ”oleh bangsa Indonesia, korupsi yang meluas dinamakan extra ordinary crime. Dan kita tidak berhenti pada pemberian nama yang menyeramkan itu, tetapi juga mengandung

33 Bettina Yahya, Pembuktian Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Korproasi guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Disertasi, (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2018). hlm. 227-228.

34 Ibid., hlm. 228.

Page 149: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

127Penerapan Pidana Uang Pengganti kepada Korporasi dalam Perkara Korupsi ... (Budi Suhariyanto)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

makna memberantas dengan cara yang sesuai dengan keparahan korupsi”.35

Sesungguhnya jika kembali pada istilah uang pengganti yaitu mengandung pengertian yang terkait bukan kepentingan perorangan atau individu, tetapi kepentingan publik atau bahkan kepentingan negara. Dalam hal itu dapat dikatakan criminal and punitive in their nature. Hal ini jelas berbeda sifatnya, misalnya saja dengan tuntutan ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili, atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan hukum, karena kekeliruan mengenai orang-nya, hukum yang diterapkan adalah Pasal 95 KUHAP. Masalahnya juga berbeda dengan gugatan ganti kerugian sebagai akibat perbuatan yang menjadi dasar dakwaan yang dapat digabungkan kepada perkara pidana (Pasal 98 KUHAP). Pada hal ini, yang terkait adalah kepentingan individu, bukan kepentingan Negara.36 Sementara kepentingan utama dari penerapan pidana uang pengganti adalah pemulihan kerugian keuangan Negara.

Sebagaimana teori social defence bahwa pemidanaan melalui uang pengganti itu tidak saja bernilai pembalasan tetapi sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat.37

W.P.J. Pompe menegaskan bahwa titik berat hukum pidana dalam perkembanganya saat ini adalah kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Hubungan hukum yang ditimbulkan oleh perbuatan sesorang yang menimbulkan dijatuhkannya pidana, bukanlah suatu hubungan yang bersifat koordinasi

antara yang bersalah dengan yang dirugikan, melainkan hubungan subordinasi dari yang bersalah terhadap pemerintah yang ditugaskan untuk kepentingan rakyat.38 Oleh karena itu merupakan hal yang relevan bahwa penerapan pidana uang pengganti terhadap korporasi yang menguasai aset hasil tindak pidana korupsi dari pengurusnya, sudah selayaknya turut dituntut dan dipidana untuk mengembalikan kerugian keuangan Negara sebab jika hanya mengandalkan pidana uang pengganti terhadap pengurusnya justru tidak akan bisa terealisasi upaya optimal mengembalikan kerugian keuangan Negara a quo pemulihan perekonomian nasional.

Selain itu menurut ajaran vicariousliability bahwa seseorang dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Apabila jenis ini diterapkan pada korporasi berarti korporasi dimungkinkan harus bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya atau mandatarisnya yang bertanggungjawab kepada korporasi. Hal ini juga mendapatkan legitimasi dari Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Tipikor yang menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Frasa dan/atau dalam kalimat tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi secara tersendiri ataukah bersama-sama dengan pengurusnya, meskipun yang didakwakan sebagai pelaku korupsi adalah

35 Alkostar, Artidjo. Korelasi Korupsi Politik dengan Hukum dan Pemerintahan di Negara Modern (Telaah tentang Praktik Korupsi Politik dan Penanggulangannya), Jurnal Hukum Volume 16, (Oktober 2009), hlm. 170.

36 Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada jung, (Bandung: Grafitri, 2006), hlm. 6.37 Muladi danBarda Nawawi Arif, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), Hlm. 16.38 Suhendar, Konsep Kerugian Keuangan Negara: Pendekatan Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara, dan

Pidana Khusus Korupsi, (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 7.

Page 150: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

128 Penerapan Pidana Uang Pengganti kepada Korporasi dalam Perkara Korupsi ... (Budi Suhariyanto)Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 113–130

Volume 7, Nomor 1, April 2018

pengurusnya. Jadi ketika pengurus diajukan sebagai Terdakwa dan dalam proses peradilan terbukti secara sah dan meyakinkan terjadi tindak pidana korupsi atas nama korporasi maka terhadap korporasinya dapat dituntutkan dan juga dipidanakan (termasuk dalam hal ini pidana uang pengganti). Dalam konteks ini sesungguhnya para hakim yang berpandangan bahwa korporasi dapat dipidana dengan uang pengganti meskipun tidak dijadikan Terdakwa adalah sah sesuai doktrin vicarious liability yang diakomodasi oleh Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Tipikor.

Vicarious liability dapat terjadi dalam hal seseorang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan orang lain apabila terdapat adanya pendelegasian (the delegation principle). Seorang majikan atau pemberi kerja dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pekerjaannya apabila menurut hukum perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan majikan.39 Penerapan doktrin pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) ini diharapkan menjadi faktor yang dapat mencegah dan meminimalisasi terjadinya tindak pidana, baik tindak pidana yang dilakukan oleh orang perseorang maupun tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.40

Asas vicarious liability lebih mudah diterapkan karena tidak diperlu lagi mencari-cari siapa

pelakunya (directing mind), apakah pelakunya sebagai actor seriusnya atau perbuatan pidananya, apakah ada kesalahan (mens rea), jadi pertanggungjawaban bisa dibebankan kepada korporasinya.41

Harus diakui bahwa ditetapkannya pengurus saja sebagai dapat dipidana ternyata tidak cukup. Dalam delik-delik ekonomi (termasuk korupsi) bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus dibandungkan dengan keuntungan yang telah diterima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat, atau yang diderita oleh saingan-saingannya, keuntungan dan atau kerugian-kerugian itu adalah lebih besar daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh undang-undang itu.42 Oleh karena itu pidana tambahan berupa kewajiban terhadap terpidana untuk membayar uang pengganti dengan jumlah maksimum sebesar jumlah harta benda yang diperoleh dari perbuatan yang dilakukannya serta dituntut dandikenakan pada setiap kasus tindak pidana korupsi sebagai salah satu upaya aparat penegak hukum untuk mengembalikan keuangan Negara43 atau perekonomian Negara, maka terhadap korporasi yang bersangkutan

39 Kristian, Hukum Pidana Korporasi: Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: Nuansa Aulia, 2014), hlm. 68.

40 Ibid, hlm. 70.41 Agus Budianto, Delik Suap Korporasi di Indonesia, (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012), hlm. 215.42 Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang

”Menjerat Korporasi Dengan Pertanggungjawaban Hukum” yang diselenggarakan oleh Ikatan Hakim Indonesia pada tanggal 24 Maret 2017 di Hotel Mercure Ancol Jakarta. hlm. 10.

43 Hendarman Supandji, Substansi Uang Penggantidalam Tindak Pidana Korupsi, Makalah Penataran TindakPidana Korupsi. (Jakarta: Puslitbang Kejaksaan Agung R.I. tanggal 5-6 Juli 2006), hlm.1.

Page 151: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

129Penerapan Pidana Uang Pengganti kepada Korporasi dalam Perkara Korupsi ... (Budi Suhariyanto)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

relevan untuk dikenakan pidana tambahan pembayaran uang pengganti.44

D. Penutup

Eksistensi pidana tambahan berupa uang pengganti terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi diatur oleh Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Tipikor yang menyebutkan bahwa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Selanjutnya diatur pula oleh Pasal 6 Perma Nomor 5 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa uang pengganti hanya dapat dijatuhkan terhadap Terdakwa dalam perkara yang bersangkutan. Permasalahan dalam praktik muncul dimana Mahkamah Agung mengabulkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu menjatuhkan pidana uang pengganti kepada korporasi yang tidak dijadikan Terdakwa. Dalam perspektif hukum progresif, putusan pemidanaan uang pengganti terhadap korporasi ini sesungguhnya dalam rangka melindungi hak asasi manusia dari Terdakwa (orang) Pengurusnya yang tidak mungkin memiliki kemampuan mengembalikan kerugian keuangan negara yang telah masuk dalam keuntungan korporasi. Selain itu pemidanaan progresif ini merupakan usaha untuk pemulihan kerugian keuangan Negara sebab jika hanya mengandalkan pidana uang pengganti terhadap pengurusnya justru tidak akan bisa terealisasi.

Perbedaan putusan pemidanaan uang pengganti terhadap korporasi yang tidak dijadikan sebagai Terdakwa dalam perkara korupsi didasari oleh perbedaan tafsir antar

hakim sehingga memicu pro-kontra. Demi mewujudkan harmonisasi penerapan hukum maka pro-kontra ini harus diselesaikan melalui kesepemahaman bersama bahwa pendekatan hukum progresif perlu digunakan untuk pemulihan kerugian Negara melalui penjatuhan pidana uang pengganti terhadap korporasi yang menguasai aset hasil korupsi pengurusnya.

Daftar Pustaka

BukuAdji, Indriyanto Seno, Korupsi dan Penegakan

Hukum, (Jakarta: Diadit Media, 2009).Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi

Mahkamah Agung, Kompilasi Penerapan Hukum Oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung, 2015).

Budianto, Agus, Delik Suap Korporasi di Indonesia, (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012).

Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum (Konstelasi dan Refleksi), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011).

Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada jung, (Bandung: Grafitri, 2006).

Kristian, Hukum Pidana Korporasi: Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: Nuansa Aulia, 2014).

Kristiana, Yudi, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum Progresif, (Yogyakarta: Thafamedia, 2016).

Manuain, Orpa Ganefo, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis, (Semarang: Magister Hukum Universitas Diponegoro, 2005).

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2014).

Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992).

Sjahdeini, Sutan Remi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006).

44 Yudi Kristiana, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum Progresif, (Yogyakarta: Thafamedia, 2016), hlm.64.

Page 152: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

130 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 113–130

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Paramita, 1979).

Suhendar, Konsep Kerugian Keuangan Negara: Pendekatan Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara, dan Pidana Khusus Korupsi, (Malang: Setara Press, 2015).

Widyo Pramono, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Hak Cipta, (Bandung: Alumni, 2013).

Yahya, Bettina, Pembuktian Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Korproasi guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Disertasi, (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2018).

Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil PenelitianAlkostar, Artidjo, ”Korelasi Korupsi Politik dengan

Hukum dan Pemerintahan di Negara Modern (Telaah tentang Praktik Korupsi Politik dan Penanggulangannya),” Jurnal Hukum Volume 16, (2009).

Alkostar, Artidjo, ”Kedudukan dan Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi” (disampaikan dalam seminar tentang Kedudukan dan tanggung jawab korporasi dalam tindak pidana korupsi, Jakarta Pusat, 15 Nopember 2016.

Prasetyo, Rudi, ”Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi dan Penyimpangan-Penyimpangannya”, (disampaikan pada Seminar Nasional kejahatan Korporasi di FH UNDIP, Semarang, 23-24 November, 1989).

Priyatno, Dwidja, ”Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, (disampaikan dalam Seminar Nasional tentang Menjerat Korporasi Dengan Pertanggungjawaban Hukum yang diselenggarakan oleh Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta, 24 Maret 2017.

Suhariyanto, Budi, ”Progresivitas Putusan Pemidanaan terhadap Korporasi Pelaku Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal De Jure Volume 16 Nomor 2, (2016)

Suhariyanto, Budi, ”Restoratif Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi Demi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara” Jurnal Rechtsvinding Volume 5 Nomor 3, (2016).

Suhariyanto, Budi, ”Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Corporate Culture Model dan Implikasinya Bagi Kesejahteraan Masyarakat”, Jurnal Rectsvinding Volume 6 Nomor 3(2017).

Supandji, Hendarman, ”Substansi Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi, Makalah Penataran Tindak Pidana Korupsi”,Puslitbang Kejaksaan Agung R.I. (2006)

Toruan, Henry Donald, ”Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Korporasi”, Jurnal Rechtsvinding Volume 3 Nomor 3, (2014).

InternetNur Syarifah, ”Mengupas Permasalahan Pidana

Tambahan Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi”, www.leip.or.id (diakses 10 November 2017).

Peraturan Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi.

Peraturan Jaksa Agung Nomor: Per-013/A/JA/06/2014 tentang Pemulihan Aset.

Surat Edaran Kejaksaan Agung RI Nomor B-036/A/Ft.1/06/2009 perihal Korporasi Sebagai Tersangka/Terdakwa DalamTindak Pidana Korupsi.

Page 153: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

131Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pembangunan Ekonomi Nasional pada Pemuliaan Tanaman ... (Oly Viana Agustine)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL PADA PEMULIAAN TANAMAN DAN ALAT BERAT

(The Decision Of The Constitutional Court On The National Economy Development On The Plant Breeding And Heavy Equipment)

Oly Viana AgustinePusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi

Jl Medan merdeka Barat No. 6 Jakarta PusatEmail: [email protected]

Naskah diterima: 12 Februari 2018; revisi: 5 April 2018; disetujui: 17 April 2018

AbstrakTerdapat beberapa putusan MK yang memberikan sinergitas dengan pembangunan ekonomi nasional. Putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 dan putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 memberikan kesempatan bagi petani kecil perorangan dan pengusaha alat berat dalam menjalankan usahanya. Dengan diperbolehkannya para petani kecil perorangan dalam melakukan pemuliaan tanaman dan dihapuskannya ketentuan alat berat yang tidak lagi digolongkan sebagai kendaraan bermotor bagi pelaku usaha di bidang alat berat, diharapkan dapat mendukung pembangunan ekonomi nasional dari sektor industri kecil di bidang pemuliaan tanaman dan alat berat. Berangkat dari kedua putusan tersebut, dalam penelitian ini penulis ingin melihat bagaimana peran putusan MK dalam membangun ekonomi nasional pada pemuliaan tanaman dan alat berat. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan studi kasus putusan MK. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini bahwa melalui putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 dan putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 telah mendukung pembangunan ekonomi nasional dalam bidang pemuliaan tanaman bagi petani perorangan dan industri alat berat. Oleh sebab itu perlu menindaklanjuti putusan MK dan segera diimplementasikan oleh semua adresat dalam putusan MK tersebut.Kata Kunci: ekonomi nasional, pembangunan, putusan Mahkamah Konstitusi

AbstractThere are some Constitusional Court decision that is synergic with the national economy development. The Constitutional Court Decision Number 138/PUU-XIII/2015 and 3/PUU-XIII/2015 provide opportunities for individuals farmers and entrepreneurs of heavy equipment in running their business. The permission for individual smallholders to do plant breeding and the elimination of heavy equipment provisions that are no longer classified as motor vehicles for business actors in the field of heavy equipment, are expected to support the national economic development of the small industrial sector in the field of plant breeding and heavy equipment. Departing from these two decisions, this study aims to see how the role of the Constitutional Court decision in building the national economy on plant breeding and heavy equipment. The research method used is normative juridical with case study of Constitutional Court decision. The conclusion shows that through the decision of the Constitutional Court Number 138/PUU-XIII/2015 and 3/PUU-XIII/2015 has supported the national economic development in the field of plant breeding for individual farmers and heavy equipment industry. These decisions need to be followed up and implemented immediately by all adresat in the Constitutional Court decision. Keywords: national economy, development, decision of the Constitutional Court

Page 154: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

132 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 131–146

Volume 7, Nomor 1, April 2018

A. Pendahuluan

Salah satu tujuan adanya hukum adalah sebagai alat perekayasa sosial. Hukum tercermin baik dalam peraturan maupun putusan hakim, mengandung makna akan adanya ketertiban hukum dan pedoman tingkah laku manusia. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945), yang artinya apabila ada undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 maka ketentuan norma dalam undang-undang tersebut baik secara materiil atau formil dapat dibatalkan baik sebagian maupun seluruhnya. Putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 dan putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa dalam pengujian kedua undang-undang tersebut, terdapat pertentangan antara norma yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pada kedua pengujian undang-undang tersebut MK mengabulkan permohonan para Pemohon dan menyatakan ketentuan dalam undang-undang a quo bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pada putusan 138/PUU-XIII/2015 MK memberikan ruang bagi petani kecil perorangan dalam melakukan pemuliaan tanaman, dimana sebelum ada putusan a quo petani kecil harus memperoleh izin dalam melakukan pemuliaan tanaman,sedangkan dalam putusan 3/PUU-XIII/2015, MK menghapus ketentuan dimana alat berat tidak lagi digolongkan sebagai kendaraan bermotor sebagaimana diatur sebelumnya pada UU LLAJ.

Dengan adanya dua putusan a quo telah memberikan kepastian hukum yang diharapkan mampu mendorong upaya pembangunan ekonomi nasional melalui petani kecil perorangan untuk melakukan pemuliaan tanaman dan pengusaha alat berat dalam usaha konstruksi karena tidak perlu mengikuti uji tipe dan uji berkala terhadap alat beratnya seperti halnya kendaraan bermotor. Putusan MK berperan sebagai hukum yang sangat strategis dalam pembangunan ekonomi nasional dengan memberikan bimbingan, pedoman rambu-rambu serta alat untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi nasional.

Namun tidak dipungkiri, bahwa putusan MK yang bersifat final dan mengikat terkadang menemukan hambatan dalam hal implementasi. Hal ini dapat dilihat bagaimana addresat putusan dalam hal ini pemerintah dan DPR menormakan ketentuan yang telah diputus MK. Jika demikian, tentu akan merugikan upaya pembangunan ekonomi nasional karena tidak adanya kepastian hukum bagi pelaku usaha. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dan kemauan bagi addresat putusan untuk melaksanakan putusan MK. Dalam perspektif negara hukum yang demokratis, diimplementasikannya putusan MK merupakan kewajiban hukum. Apalagi jika dikaitkan dengan pemenuhan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD NRI 1945. Berdasarkan penjelasan tersebut, menarik untuk melihat bagaimana Peran putusan Mahkamah Konstitusi dalam membangun ekonomi nasional pada bidang pemuliaan tanaman dan alat berat? dan pada pembahasan selanjutnya, akan dipaparkan mengenai subbab-subbab yang mendukung untuk menjawab permasalahan yang telah dipaparkan. Antara lain: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XIII/2015, implikasi

Page 155: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

133Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pembangunan Ekonomi Nasional pada Pemuliaan Tanaman ... (Oly Viana Agustine)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XIII2015 terhadap pembangunan ekonomi nasional oleh petani kecil di bidang pemuliaan tanaman, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XIII/2015, implikasi putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 dalam pembangunan ekonomi nasional di bidang alat berat, dan prinsip kepastian hukum dalam putusan MK sebagai upaya mendorong pembangunan ekonomi nasional serta hambatan implementasi putusan MK dalam mewujudkan pembangunan ekonomi nasional.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan case study. Kasus-kasus yang dipelajari dan dianalisis adalah beberapa putusan MK yang terkait dengan putusan yang memiliki dampak terhadap pembangunan ekonomi terutama pada bidang pemuliaan tanaman dan alat berat, yaitu putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 yang didapatkan langsung melalui laman MK. Selain terhadap putusan MK, buku, jurnal dan literatur lain yang menunjang dan berhubungan sebagai bahan penelaahan hukum terhadap kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.1 Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan bahan hukum berupa putusan MK dan menganalisisnya dengan menggunakan teori tentang interrelasi hukum dan ekonomi, konstitusonalisme dan

konsepsi negara hukum untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan.

C. Pembahasan

1. Peran Putusan MK dalam Pembangunan Ekonomi Nasional: Studi Interrelasi antara Hukum dan Ekonomi

UUD NRI 1945 dan Pancasila adalah pondasi dalam pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan ekonomi merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Pasal 33 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha

bersama berdasar atas asas kekeluargaan.(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi

negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisien, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Sebelum adanya penegasan dengan ditambahkannya perkataan ”perekonomian nasional”, Pasal 33 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 34 ayat (1) sudah ada dalam naskah UUD NRI 1945 sebagaimana yang disahkan pada tanggal 18

1 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 57.

Page 156: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

134 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 131–146

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Agustus 1945. Karena kebijakan konstitusional perekonomian nasional menurut UUD NRI 1945 pasca perubahan haruslah tetap dibaca dan dipahami dalam perspektif kesejahteraan sosial yang menjadi judul asli Bab XIV NRI UUD 1945. Tambahan frasa ”perekonomian nasional” dan bahkan penyebutannya lebih dulu daripada kesejahteraan sosial adalah penegasan bahwa UUD NRI 1945 merupakan konstitusi yang di dalamnya diatur bukan saja mengenai aspek-aspek politik kenegaraan tetapi juga mengenai haluan-haluan dasar mengenai kebijakan perekonomian negara.2

Bangsa Indonesia memberikan makna pembangunan nasional sebagai rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan, yang meliputi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang tersusun dalam pembukaan UUD NRI 1945. Dengan demikian tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata spiritual dan material berdasarkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat tertib, dan damai.3

Hukum dalam keberadaannya di masyarakat mempunyai peranan dan pengaruh terhadap

kegiatan ekonomi sesuai dengan fungsi hukum itu sendiri. Hukum dalam fungsinya berisi petunjuk tingkah laku manusia, alat untuk menyelesaikan konflik dan alat untuk rekayasa sosial ekonomi.4 Pembangunan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari pembangunan hukum, karena antara ekonomi dan hukum itu merupakan dua hal yang saling mempengaruhi satu sama lain. Hukum sebagai ketentuan yang sifatnya normatif mempunyai peran dan fungsi yang sangat penting dalam perekonomian.

Menurut Satjipto Rahardjo, hukum berfungsi sebagai perlindungan bagi kepentingan manusia, dan karenanya hukum harus dilaksanakan.5 Selanjutnya Ronny Hanitidjo dengan menyisir pendapat Talcott Parsons menyatakan bahwa, fungsi utama hukum adalah melakukan integrasi, yaitu mengurangi konflik-konflik dan melancarkan proses interaksi pergaulan sosial.6 Fungsi internal hukum itu sendiri sudah sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia, utamanya dalam kehidupan ekonomi. Thomas Aquinas menegaskan dalam konteks ini, bahwa fungsi hukum mengusahakan kesejahteraan seluruh umat manusia. Fungsi disini adalah sebagai kerangka yang berwujud peraturan yang membimbing, memberikan pedoman sanksi dan alat untuk kehidupan sosial. Obyeknya adalah segala segi kehidupan manusia dalam kehidupan ekonominya.7

2 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanannya di Indonesia, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 1991. Disertasi ini diterbitkan menjadi buku oleh Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1994. Baca juga Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hlm. 96-97.

3 Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 8. 4 Gunarto Suhardi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2002), hlm.

27. 5 Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis Telaah Tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009),

hlm. 40.6 Ronny Hanitidjo Soemitro, Studi Hukum Dalam Masyarakat, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 10.7 Gunarto Suhardi, Op.Cit., hlm. 27.

Page 157: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

135Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pembangunan Ekonomi Nasional pada Pemuliaan Tanaman ... (Oly Viana Agustine)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

JD Ny Hart mengemukakan adanya enam konsep hukum yang mempunyai pengaruh bagi pengembangan kehidupan ekonomi, yaitu:8 1. Prediktabilitas Hukum harus mempunyai kemampuan

untuk memberikan gambaran pasti di masa depan mengenai keadaan atau hubungan-hubungan yang dilakukan pada masa sekarang.

2. Penyeimbangan Sistem hukum harus dapat menjadi kekuatan

yang memberikan keseimbangan di antara nilai-nilai yang bertentangan di dalam masyarakat. Sistem hukum memberikan kesadaran akan keseimbangan dalam usaha-usaha negara melakukan pembangunan ekonomi.

3. Definisi dan kejernihan tentang status Disamping fungsi hukum yang memberikan

prediktabilitas dapat ditambahkan bahwa fungsi hukum juga memberikan ketegasan mengenai status orang-orang dan barang-barang di masyarakat.

4. Akomodasi Perubahan yang cepat sekali pada hakikatnya

akan menyebabkan hilangnya keseimbangan yang lama, baik dalam hubungan antara individu maupun kelompok di dalam masyarakat. Keadaan ini dengan sendirinya menghendaki dipulihkannya keseimbangan tersebut melalui satu dan lain jalan. Disini sistem hukum yang mengatur hubungan antara individu baik secara material maupun formal memberikan kesempatan kepada keseimbangan yang terganggu itu untuk menyesuaikan diri kepada lingkungan yang baru sebagai akibat perubahan tersebut.

Pemulihan kembali ini dimungkinkan oleh karena di dalam kegoncangan ini sistem hukum memberikan pegangan kepastian melalui perumusan-perumusan yang jelas dan definitif membuka kesempatan bagi dipulihkannya keadilan melalui prosedur yang tertib dan sebagainya.

5. Kemampuan prosedur Pembinaan di bidang hukum acara

memungkinkan hukum material itu dapat merealisasikan dirinya dengan baik, ke dalam pengertian hukum acara ini termasuk tidak hanya ketentuan-ketentuan hukum perundang-undangan melainkan juga semua prosedur penyelesaian yang disetujui oleh para pihak yang bersengketa, misalnya bentuk-bentuk: arbitrasi, konsialiasi, dan sebagainya, semua lembaga tersebut hendaknya dapat bekerja dengan efisien apabila diharapkan. Bahwa kehidupan ekonomi itu ingin mencapai tingkatannya yang maksimum.

6. Kodifikasi daripada tujuan-tujuan Perundang-undangan dapat dilihat sebagai

suatu kodifikasi tujuan serta maksud sebagaimana dikehendaki oleh negara. Di bidang ekonomi misalnya, kita akan dapat menjumpai tujuan-tujuan itu seperti dirumuskan di dalam beberapa perundang-undangan yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap bidang perekonomian.

Salah satu teori yang membahas peranan negara yang dikuasakan oleh hukum untuk mendorong dinamika kegiatan pembangunan ekonomi yaitu teori yang dikemukakan oleh

8 Sulistyo, Adi dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2009), hlm. 20-21.

Page 158: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

136 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 131–146

Volume 7, Nomor 1, April 2018

F. Friedmann. Geelhoed dan Zilstra9 yang dikombinasikan oleh Suhardi Gunarto dalam tiga tipologi atau kategori peranan negara atas nama hukum10 yakni:a. Negara bertindak sebagai regulator

(sturende) dan juri (wasit) dengan memakai instrumen hukum administrasi yang umum dan indivudual khusus;

b. Negara bertindak sebagai penyedia atau provider (the presterende) dari berbagai keperluan para warga negaranya yang menurut Zijlstra dapat berupa tindakan yang masuk dalam tipologi pemberian tunjangan sosial dan tindakan lainnya yang mengarah pada sociale rechtstaat. Geelhoed menyebut fungsi ini sebagai de presterende yang masuk dalam kategori penyelenggaraan Negara. Dalam hal ini Friedmann juga menyebut dalam bahasanya fungsi provider ini merupakan perwujudan dan tugas pokok negara dalam sistem social welfare state seperti yang terjadi pada kebanyakan negara-negara barat melalui berbagai peraturan yang disebutkan dalam kelompok social security act, health insurance act dan lain-lain.

c. Peranan negara sebagai interpreneur atau pengusaha. Ini dilakukan oleh negara dengan membentuk badan-badan usaha milik negara (BUMN) yang disamping melaksanakan fungsi sebagai agent of development juga harus mampu berusaha untuk membiayai usahanya secara mandiri (tidak masuk

dalam anggaran belanja pemerintah) dan memberikan manfaat bagi negara dengan membayar pajak pendapatan sebagaimana umumnya badan usaha lainnya.

Pembangunan ekonomi, bagaimanapun juga memerlukan dukungan kelembagaan dan sistem norma yang mengatur dan mengarahkan secara efektif dan efisien agar tujuan kesejahteraan yang adil dan merata dapat dicapai dengan sebaik-baiknya. Karena itu, sistem ekonomi dan kebijakan pembangunan ekonomi harus tunduk kepada kesepakatan hukum tertinggi, yaitu Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagai dasar desain hukum konstitusi (constitutional law) dan etika konstitusi (constitutional ethics) yang harus menjadi landasan sistem ekonomi dan kebijakan pembangunan ekonomi nasional.11

Kehadiran MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan tuntutan atau konsekuensi teoritis dari perubahan yang dilakukan terhadap UUD NRI 1945. Pembentukan MK yang diadopsi dari perubahan ketiga UUD NRI 1945 adalah bagian dari upaya untuk menegakkan prinsip constitutionalism yang merupakan syarat pertama negara hukum yang demokratis.12 Salah satu fungsi utama konstitusi adalah untuk memberikan perlindungan terhadap individu dan hak-hak dasar dari individu-individu. Ketika hak-hak dasar telah dijamin oleh konstitusi maka ia menjadi hak-hak konstitusional. Doktrin konstitusionalisme menekankan bahwa perlindungan terhadap hak-hak dasar

9 Fredmann, W, The State and The Rule of Law in Mix Economy, (London: Steven & Son 1971), dan Geelhoed A, et. Al., DeIntervierende Staat (Aazet een Instrumentenleer), (Staauitgeveriij S’Gravenhage 1983).

10 Gunarto Suhardi, Op.Cit.,, hlm. 8-9.11 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Konstitusi Sosial, (Jakarta: LP3ES, 2015), hlm. 99.12 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan Welfare State: Kumpulan Pemikiran I dewa Gede

Palguna, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008), hlm. 79.

Page 159: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

137Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pembangunan Ekonomi Nasional pada Pemuliaan Tanaman ... (Oly Viana Agustine)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

banyak menentukan corak keberadaan suatu sistem hukum sebagaimana didasarkan pada paham yang berkembang dalam masyarakat Amerika (realisme hukum Amerika), bahwa putusan hakim adalah hukum yang sebenarnya dalam perkara konkret. Undang-undang, kebiasaan, dan seterusnya hanya pedoman dan bahan inspirasi bagi hakim untuk membentuk hukumnya sendiri.15

Putusan MK dalam pengujian undang-undang adalah menjawab permasalahan kontemporer. MK melalui putusannnya dapat memiliki peran dalam pembangunan ekonomi nasional dengan menghadirkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Tidak dipungkiri bahwa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum merupakan faktor penting untuk mendorong pembangunan ekonomi nasional. Dengan adanya keadilan dan kemanfaatan dapat menciptakan sinergitas antara pengusaha dan pekerja, sedangkan dengan kepastian hukum merupakan jaminan dalam berusaha dan berinvestasi.

Ketiga prinsip tersebut telah dihadirkan MK melalui putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015. Dari kedua putusan a quo, terlihat bagaimana MK menjalankan fungsinya sebagai penjaga konstitusi yang menghadirkan peran negara dalam pembangunan ekonomi dengan melibatkan petani kecil perorangan di bidang usaha pemuliaan tanaman dan bagi pelaku usaha konstruksi dengan membebaskan kewajiban uji tipe dan uji berkala terhadap alat berat. MK senantiasa menjaga dan menciptakan tafsir

atau hak-hak konstitusional itu hanya mungkin diwujudkan apabila kekuasaan negara dibatasi oleh dan melalui konstitusi.13

Dalam penegakan hukum, hakim mempunyai peran sentral, baik hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, maupun hakim Mahkamah Konstitusi. Dalam penyelenggaraan peradilan, hakim melakukan penerapan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwa yang konkrit. Karena beranekaragamnya kegiatan kehidupan masyarakat dan cepatnya perkembangan dan perubahannya, maka tidak mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Oleh karenanya sudah wajar kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia, sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap dan jelas. Karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan diketemukan. Terlebih lagi mengingat ada kemungkinan suatu perkara yang dihadapkan pada hakim belum ada peraturan hukumnya, atau peraturan hukumnya ada tetapi tidak jelas, seharusnya hakim dapat melakukan penemuan hukum, bahkan sekaligus juga pembentukan hukum.14

Peran putusan hakim baik di negara-negara penganut tradisi common law maupun civil law, cukup signifikan dalam menentukan pembangunan ekonomi di masing-masing negara. Putusan hakim adalah hukum yang hidup di masyarakat yang menjawab pertanyaan dan problematika kontemporer. Eksistensi hakim sebagai salah satu unsur dari hukum,

13 Ibid., hlm. 102-103.14 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 285.15 R.M. Panggabean, Budaya Hukum Hakim Dibawah Pemerintahan Demokrasi dan Otoriter (Studi Tentang Putusan-

Putusan Mahkamah Agung RI 1950-1965), (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008), hlm. 56-57.

Page 160: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

138 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 131–146

Volume 7, Nomor 1, April 2018

konstitusi sebagai pengaman agar pelaksanaan pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak dan kepentingan warga negara. Hal ini sejalan dengan bunyi ketentuan dalam Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Makna yang tekandung pada Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945 yakni bahwa semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk apapun. Sedangkan makna pada Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945 mengandung makna bahwa setiap orang bebas atas perlakuan seseorang dan mendapat perlindungan dari pemerintah agar tidak terjadi lagi konflik atau perselisihan yang berkelanjutan dan berkepanjangan ataupun permasalahan yang sewaktu-waktu tidak diselesaikan atau tidak terpecahkan sama sekali.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XIII/2015

Pada perkara nomor 138/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan oleh berbagai organisasi non pemerintah (badan hukum privat) yakni: Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Sawit Watch, Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayaysan Bina Desa Sadawijaya (Bina Desa), dan Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and Democracy (Field) terdapat 12 norma yang dimohonkan oleh

para Pemohon, yakni Pasal 12, Pasal 13, Pasal 27 ayat (3), Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), Pasal 42, Pasal 55, Pasal 57, dan Pasal 58 ayat (1), Pasal 58 ayat (2), dan Pasal 107 serta Pasal 114 ayat (3) UU Perkebunan. Dari 12 norma yang dimohonkan pengujian, terdapat beberapa isu yang menarik yakni adanya pembatasan terhadap petani kecil dalam usaha pemuliaan tanaman dan pembatasan terhadap petani kecil dalam penelitian untuk menemukan atau melakukan penukaran benih-benih baru. Dalam keterangannya Pemerintah dalam persidangan mengungkapkan bahwa pengujian atau penilaian varietas benih harus dilakukan sebagai upaya menjamin mutu benih yang akan diedarkan. Oleh karena itu, pada saat produksi benih dilakukan serangkaian sertifikasi agar dapat dipertahankan mutu benih dan kemurnian varietas.

Sebelumnya pada persidangan terungkap bahwa para petani mengaku telah berhasil mengembangkan varietas benih unggul sesuai dengan kondisi wilyahnya, namun varietas tersebut dianggap ilegal oleh Dinas Pertanian dengan alasan benih yang ditemukan belum memiliki sertifikasi sehingga dilarang untuk digunakan. Hal ini merupakan konsekuensi diaturnya ketentuan pada Pasal 27 ayat (3) UU Perkebunan yang menyatakan bahwa, ”Kegiatan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh orang perseorangan atau badan hukum berdasarkan izin Menteri”.

Padahal, dalam UU a quo menyebutkan bahwa penyelenggaraan perkebunan diarahkan untuk mencapai tujuan: (a) meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; (b) meningkatkan sumber devisa negara; (c) menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha; (d) meningkatkan produksi, produktivitas,

Page 161: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

139Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pembangunan Ekonomi Nasional pada Pemuliaan Tanaman ... (Oly Viana Agustine)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

kualitas, nilai tambah, daya saing, dan pangsa pasar; (e) meningkatkan dan memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri; (f) memberikan perlindungan kepada Pelaku Usaha Perkebunan dan masyarakat; (g) mengelola dan mengembangkan sumber daya Perkebunan secara optimal, bertanggung jawab, dan lestari; dan (h) meningkatkan pemanfaatan jasa Perkebunan. Oleh karena itu, dalam pertimbangannya, MK menyatakan16:

c) Bahwa substansi norma yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (3) UU Perkebunan ternyata sama dengan substansi norma yang terkandung dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (selanjutnya disebut UU 12/1992) yang berbunyi, ”Kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin”;

d) Bahwa terhadap Pasal 9 ayat (3) UU 12/1992 tersebut pada huruf b di atas oleh Mahkamah telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat berdasarkan Putusan Nomor 99/PUU-X/2012, bertanggal 18 Juli 2013. Dalam putusan dimaksud, Mahkamah telah pada intinya mengakui hak perorangan petani kecil untuk pemuliaan tanaman tanpa harus meminta izin. Oleh karena itu, pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan dimaksud berlaku pula terhadap Pasal 27 ayat (3) UU Perkebunan dalam permohonan a quo sehingga Pasal 27 ayat (3) UU Perkebunan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang kata ”orang perseorangan” dalam ketentuan dimaksud tidak dimaknai tidak termasuk orang perseorangan petani kecil.

Sejalan dengan ketentuan a quo, menjawab ketentuan dalam Pasal 29 UU Perkebunan yang berbunyi: ”Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, atau Pelaku Usaha Perkebunan dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul,” MK berpendapat bahwa:

b) Bahwa pengertian pemuliaan tanaman adalah rangkaian kegiatan untuk mempertahankan kemurnian jenis dan/atau varietas yang sudah ada atau menghasilkan jenis dan/atau varietas baru yang lebih baik (vide Pasal 1 angka 3 UU 12/1992);

c) Bahwa pemuliaan tanaman berkait langsung dengan kegiatan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU Perkebunan, sementara dalam pertimbangan pada angka 3 di atas ”perseorangan petani kecil” telah dinyatakan diakui keabsahannya untuk melakukan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik maka dengan sendirinya pengakuan dan keabsahan demikian juga berlaku terhadap kegiatan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU Perkebunan;

d) Bahwa pertimbangan pada huruf b) di atas sejalan dengan Putusan Mahkamah Nomor 99/PUU-X/2012, bertanggal 18 Juli 2013, yang telah pula dijadikan bagian dari pertimbangan pada angka 3 di atas;

Bahwa dengan demikian, dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 29 UU Perkebunan adalah beralasan untuk sebagian sehingga Pasal 29 UU Perkebunan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ”termasuk perorangan petani kecil”.

16 Putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 hlm. 279

Page 162: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

140 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 131–146

Volume 7, Nomor 1, April 2018

3. Implikasi Putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 terhadap Pembangunan Ekonomi Nasional oleh Petani Kecil di Bidang Pemuliaan Tanaman

Dengan dikabulkannya sebagian uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang perkebunan yang dimohonkan oleh sejumlah pertani, MK melalui putusan Nomor 138/PUU-XIII/2015 menegaskan bahwa petani kecil dapat mencari dan menemukan varietas pemuliaan tanaman unggul tanpa izin Menteri Pertanian. Hal ini sejalan dengan Putusan MK sebelumnya Nomor 99/PUU-X/2012, yang menyatakan bahwa petani kecil memiliki potensi yang besar, sehingga Pemerintah wajib melindungi. Apabila ada usaha-usaha petani yang tujuannya untuk mendapatkan varietas atau benih yang baik, Pemerintah wajib untuk memberikan bimbingan sejak dini supaya upaya tersebut dapat berhasil dengan baik dan tidak hanya terlibat dalam proses akhir yaitu pemberian sertifikasi saja.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan frasa ”orang perseorangan” dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 29 UU Perkebunan, inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai orang perseorangan termasuk petani kecil. Di dalam pertimbangannya MK menyebut norma dalam Pasal 27 ayat (3) UU Perkebunan sama dengan substansi norma dalam Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU Sistem Budidaya Tanaman) yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat berdasarkan Putusan Nomor 99/PUU-X/2012. Dalam putusan Nomor 99/PUU-X/2012 tersebut, MK meyatakan inkonstitusional bersyarat Pasal 29 UU Perkebunan yang berbunyi, ”Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Pelaku Usaha Perkebunan dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul” sepanjang

dimaknai ”termasuk perorangan petani kecil”. MK juga menyatakan inkonstitusional bersyarat Pasal 30 ayat (1) UU Perkebunan yang berbunyi, ”Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu harus dilepas oleh Pemerintah Pusat atau diluncurkan oleh Pemilih Varietas” dimaknai tidak perlu bagi varietas hasil pemuliaan yang dilakukan oleh perorangan petani kecil dalam negeri untuk komunitas sendiri.

Putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 menjadi bersejarah dalam perkebunan di Indonesia yang diharapkan menjadi pintu pembuka reforma agraria di kawasan perkebunan, khususnya dalam persoalan tanah, perbenihan dan kriminalisasi para petani. Dengan putusan ini memberikan implikasi bagi petani kecil dimana dalam mencari dan mengumpulkan sumberdaya genetik, melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul dan mengedarkan varietas hasil pemuliaan ke komunitasnya tidak memerlukan izin dari Pemerintah.

4. Putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015

Pada pengujian UU LLAJ, perkara nomor 3/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan oleh para pemohon yakni PT Tunas Jaya Pratama, PT Multi Prima Universal dan PT Marga Maju Japan terdapat putusan MK yang memberikan langkah bagi pengusaha yang bergerak di bidang alat berat.

Awalnya para Pemohon yang merupakan badan hukum privat pemilik dan/atau pengelola alat berat merasa dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitutionalnya dengan diberlakukannya penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ yang menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor, sehingga para Pemohon merasa dirugikan haknya yaitu

Page 163: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

141Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pembangunan Ekonomi Nasional pada Pemuliaan Tanaman ... (Oly Viana Agustine)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ, berbunyi: yang dimaksud dengan ”kendaraan khusus” adalah kendaraan bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain: c. alat berat antara lain: bulldozer, traktor, mesin gilas (stoomwaltz), forklift, loader, exvacator, dan crane.

Pemohon menganggap hak-hak konstitusionalnya dirugikan akibat keberadaan pasal a quo yang menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor, padahal alat berat apabila dilihat dari fungsinya adalah alat produksi. Hal itu berbeda dengan kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai moda transportasi baik barang maupun orang. Dengan kata lain, secara fungsional, alat berat tidak akan pernah berubah fungsi menjadi moda transportasi barang maupun orang. Dengan memperlakukan secara sama antara alat berat dengan kendaraan bermotor maka mengakibatkan:a. Alat berat diharuskan mengikuti uji tipe

dan uji berkala seperti halnya kendaraan bermotor. Persyaratan uji tipe dan uji berkala sebagaimana diatur dalam ketentuan di atas tidak mungkin dan tidak pernah dapat dipenuhi oleh alat berat karena karakteristik alat berat tidak pernah sama dengan kendaraan bermotor. Alat berat yang dimiliki oleh para Pemohon tidak memiliki ban karet seperti halnya kendaraan bermotor pada umumnya karena terbuat dari roda besi, sehingga tidak mungkin memenuhi syarat kedalaman alur ban, bahkan terdapat alat berat yang sama sekali tidak bergerak seperti halnya crane dan batching plant;

b. Alat berat diharuskan memiliki perlengkapan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) UU LLAJ, padahal alat berat yang dimiliki para Pemohon tidak memiliki alat pendongkrak dan pembuka roda karena alat berat tidak memiliki ban;

c. Alat berat ternyata harus pula diregistrasikan dan diidentifikasi seperti halnya kendaraan bermotor sebagaimana diatur dalam Pasal 64 UU LLAJ yang pada pokoknya kendaraan bermotor diharuskan diregistrasi guna mendapatkan sertifikat uji tipe, padahal alat berat tidak dapat dilakukan uji tipe;

d. Alat berat ternyata harus dioperasikan hanya oleh orang yang memiliki SIM (surat izin mengemudi) seperti halnya berlaku bagi pengemudi kendaraan bermotor, sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU LLAJ dan khususnya ketentuan Pasal 80 ayat (2) UU LLAJ yang mensyaratkan SIM B II bagi operator alat berat. Ketentuan tersebut tentu tidak dapat dipenuhi oleh para Pemohon karena untuk mengoperasikan alat berat dibutuhkan keahlian tertentu yang tidak ada relevansinya dengan kemampuan seseorang yang sudah memiliki SIM B II. SIM sebagaimana diatur dalam Pasal 86 ayat (1) UU LLAJ sebagai bukti kompetensi mengemudi pada umumnya, artinya bukan untuk membuktikan atau menunjukkan kemampuan mengemudi pada umumnya, artinya bukan untuk menunjukkan kemampuan atau kompetensi mengoperasikan alat berat;

e. Dengan adanya pengelompokan alat berat sebagai kendaraan bermotor, para Pemohon berpotensi dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 277 UU LLAJ.

Page 164: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

142 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 131–146

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Lebih lanjut, Pemohon menjelaskan dalam permohonannya bahwa penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum karena telah menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor, padahal alat berat merupakan alat produksi yang memiliki jenis yang beranekaragam yang tidak mungkin dipersamakan dengan kendaraan bermotor sebagai moda transportasi, karena hal ini telah melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan karena memasukkan norma baru ke dalam penjelasan yang secara kualitatif mengubah esensi batang tubuh.

Menanggapi permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara kendaraan bermotor moda transportasi dengan alat berat. Alat berat didesain untuk melakukan kegiatan produksi yang terbatas dalam melakukan perjalanan/perpindahan tempat oleh dirinya sendiri. Lebih lanjut, sebagaimana terdapat dalam putusan yaitu:

[3.16] Menimbang bahwa selain itu, Mahkamah juga menggarisbawahi dalam kaitannya dengan pengoperasian di jalan raya, alat berat juga memiliki perbedaan signifikan dengan kendaraan bermotor moda transportasi. Pada umumnya alat berat tidak didesain untuk melakukan perjalanan/perpindahan tempat oleh dirinya sendiri. Alat berat yang mampu melakukan perpindahan mandiri (berpindah tempat oleh kemampuan geraknya sendiri) pun memiliki batas kecepatan dan jarak tempuh yang sangat terbatas. Tentu hal ini menambah derajat perbedaan antara alat berat dengan kendaraan bermotor moda transportasi yang memang penggeraknya didesain demi mobilitas tinggi, yaitu berpindah dengan cepat dan jarak tempuh jauh;

Dengan demikian, pengaturan alat berat sebagai kendaraan bermotor seharusnya dikecualikan dari UU LLAJ, atau setidaknya

terhadap alat berat tidak dikenai persyaratan yang sama dengan persyaratan bagi kendaraan bermotor pada umumnya yang beroperasi di jalan raya, yaitu sepeda motor dan mobil. Mewajibkan alat berat untuk memenuhi persyaratan teknis yang sama dengan persyaratan bagi kendaraan bermotor pada umumnya, padahal keduanya memiliki karakteristik yang sangat berbeda, adalah hal yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

5. Implikasi Putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional di Bidang Alat Berat

Dengan dikabulkannya untuk seluruh permohonan pengujian Undang-Undang No. 21 Tahun 2009 UU LLAJ terkait aturan pengelompokkan alat berat ke dalam kendaraan bermotor, mengandung makna bahwa pengaturan alat berat sebagai kendaraan bermotor seharusnya dikecualikan dari UU LLAJ atau setidaknya terhadap alat berat tidak dikenai persyaratan yang sama dengan persyaratan bagi kendaraan bermotor pada umumnya yang beroperasi di jalan raya, yakni mengikuti uji tipe dan uji berkala.

Melalui putusan Nomor 3/PUU-XIII/2015 aturan persyaratan bagi kendaraan bermotor seperti uji kir/tipe, uji berkala, dan termasuk pengenaan pajak kendaraan bermotor (PKB) tidak berlaku bagi kendaraan alat berat. Dengan demikian, bagi perusahaan kontraktor atau konstruksi yang kerap menggunakan kendaraan alat-alat berat dapat menjalankan usahanya tanpa dibebani persyaratan dimaksud. Karena uji tipe dan berkala tidak akan pernah dapat terpenuhi karena alat berat memiliki bahan karakteristik yang berbeda dengan kendaraan bermotor pada umumnya.

Page 165: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

143Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pembangunan Ekonomi Nasional pada Pemuliaan Tanaman ... (Oly Viana Agustine)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Selain memberikan kelonggaran bagi para pengusaha alat berat, putusan a quo juga diharapkan dapat menarik investasi dari luar sehingga mampu menyerap tenaga kerja dan memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah dan nasional.

6. Prinsip Kepastian Hukum dalam Putusan MK Sebagai Upaya Mendorong Pembangunan Ekonomi Nasional

Bahwa pada lingkungan negara-negara Eropa Barat Kontinental dan negara-negara konstitusional non-komunis lainnya, pengaturan tentang dasar-dasar kebijakan di bidang perekonomian dalam konstitusi memang tidak dianggap penting atau setidaknya tidak dirasakan keperluannya. Sebab utamanya ialah karena pengaruh tradisi Amerika Serikat yang mengembangkan pengertian konstitusi dalam arti politik semata, perekonomian merupakan urusan pasar yang sudah berjalan dengan sendiri tanpa diperlukan campur tangan pemerintah, sehingga dinilai bukanlah subjek yang harus diatur dalam konstitusi negara yang semula dinamakan articles of confideration. Namun karena berkembangnya kebutuhan, pemikiran-pemikiran tentang ekonomi konstitusi juga terus berkembang dalam praktik, tidak saja di lingkungan negara-negara sosialis dan komunis, tetapi juga di lingkungan negara- negara barat non-komunis. Malahan sejak komunisme mengalami kebangkrutan, konstitusi-konstitusi negara-negara eks-komunis yang berubah menjadi demokrasi juga cenderung mengikuti

pola perumusan konstitusi politik menurut tradisi Amerika Serikat. Akan tetapi, di Amerika Serikat sendiri mulai muncul pandangan baru yang mencerminkan kebutuhan untuk menjadikan konstitusi sebagai sumber rujukan dalam perumusan-perumusan kebijakan perekonomian.17

Misalnya, dalam pelbagai putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat mulai muncul upaya untuk menafsirkan pasal-pasal konstitusi dari segi perekonomian atau economic interpretation of the constitution. Bahkan para ekonom juga semakin banyak mengembangkan pandangan yang kemudian dikenal sebagai cabang ilmu ekonomi politik (political economy) yang tersendiri seperti Wicksell, James M. Buchanan dan lain.18

Tujuan negara Indonesia adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan salah satu tujuan tersebut, dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 dan merupakan prinsip yang mendasari pembentukan seluruh peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian. Konstitusi mengamanatkan agar pembangunan ekonomi nasional harus berdasarkan prinsip demokrasi yang mampu mewujudkan kedaulatan ekonomi Indonesia.

Fungsi kaidah hukum pada hakikatnya adalah untuk melindungi kepentingan manusia.19 Kaidah hukum bertugas mengusahakan

17 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 64-65.18 James McGill Buchanan, The Constitution of Economic Policy, Pidato Penerimaan Hadiah Nobel Ilmu Ekonomi di

Stockholm, Swedia, 8 Desember 1986. 19 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 4.

Page 166: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

144 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 131–146

Volume 7, Nomor 1, April 2018

keseimbangan tatanan di dalam masyarakat dan kepastian hukum agar tujuannya tercapai, yaitu ketertiban masyarakat. Agar kepentingan manusia ter lindungi, maka hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal inti hukum telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah, hukum menjadi kenyataan.20 Penegakan hukum merupakan tiang utama yang memperkokoh fundamen yang menunjang kesejahteraan hidup masyarakat, dalam berbagai aspek kehidupan, menurut Soerjono Soekanto, ini dari proses penegakan hukum yang baik adalah penerapan yang serasi dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah, yang kemudian terwujud dalam perilaku. Pola perilaku tersebut tidak terbatas pada warga masyarakat saja, akan tetapi mencakup juga golongan pattern setting group yang dapat diartikan sebagai golongan penegak hukum dalam arti sempit.

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit). Ketiga unsur tersebut oleh Gustav Radbruch dikatakan seabgai penopang cita hukum (idee des rechts). Cita hukum ini akan membimbing manusia dalam kehidupannya berhukum.21

Hukum dibentuk untuk mengatur kehidupan. Hukum tidak dapat berkembang tanpa dukungan ekonomi yang tumbuh. Tetapi perekonomian tidak akan tumbuh dan berkembang jika hukum tidak mampu menjamin keadilan yang pasti dan kepastian yang adil. Dengan demikian hukum

juga dapat difungsikan sebagai sarana penggerak dan pengarah guna mencapai tujuan-tujuan suatu masyarakat di bidang perekonomian.22

7. Hambatan Implementasi Putusan MK dalam Mewujudkan Pembangunan Ekonomi Nasional

Penegakan hukum bukanlah penghambat pembangunan ekonomi, tetapi justru menjadi motor penggerak yang akan mengarahkan proses pembangunan ekonomi yang adil dan beradab. Penegakan hukum akan memastikan terwujudnya keadilan ekonomi, persaingan sehat dan pemerataan pembangunan di segala bidang.

Pemerintah sebagai addresat putusan selayaknya segera menindaklanjuti putusan MK. Putusan MK yang membatalkan ketentuan norma atau pasal, pada dasarnya melahirkan norma hukum yang setara dengan undang-undang, sehingga norma lain yang bertentangan dengan putusan dimaksud harus batal demi hukum. Tindakan pemerintah yang bertentangan dengan putusan MK, misal sikap Pemerintah yang mempertahankan alat berat sebagai bagian dari kendaraan bermotor dan tetap menarik pajak kendaraan bermotor (PKB) terhadap alat berat merupakan tindakan inkonstitusional karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

Tidak dipungkiri bahwa implementasi putusan MK tidak mudah. Harus diakui MK tidak memiliki aparat dan kelengkapan apapun untuk menjamin penegakan keputusannya. Implementasi putusan bergantung pada cabang kekuasaan lain atau organ-organ lain, apakah

20 Ibid., hlm. 11.21 Satjipto Rahardjo, dkk, Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, (Yogyakarta, Thafa Media, 2012), hlm.

284-285. 22 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 16.

Page 167: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

145Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pembangunan Ekonomi Nasional pada Pemuliaan Tanaman ... (Oly Viana Agustine)

Volume 7, Nomor 1, April 2018

putusan-putusannya diterima dan apakah addressat putusan MK siap untuk mematuhinya.

Dalam perspektif negara hukum yang demokratis, diimplementasikannya putusan MK merupakan kewajiban hukum. Apalagi jika berkaitan dengan pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh UUD NRI 1945 sebagai hukum tertinggi negara Indonesia. Jika putusan MK diabaikan dan tidak dilaksanakan, putusan tersebut akan menjadi mengambang (floating execution) yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Kepastian hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Esensi kepastian hukum sesungguhnya adalah perlindungan dari tindakan sewenang-wenang, tidak saja dari negara melainkan juga oleh sekelompok pihak lain di luar negara. Dalam memahami nilai kepastian hukum harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum positif.

D. Penutup

MK sebagai anak kandung reformasi yang memiliki fungsi sebagai the guardian of constitution dalam putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 dan putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 memberikan kesempatan bagi petani kecil perorangan dan pengusaha alat berat dalam menjalankan usahanya. Dengan diperbolehkannya para petani kecil perorangan dalam melakukan pemuliaan tanaman dan dihapuskannya ketentuan alat berat yang tidak lagi digolongkan sebagai kendaraan bermotor bagi pelaku usaha di bidang alat berat, diharapkan dapat mendukung pembangunan ekonomi nasional dari sektor industri kecil di bidang pemuliaan tanaman dan alat berat.

Namun, tidak dipungkiri bahwa kepatuhan addresat putusan MK yang tidak melaksanakan putusan MK menjadi hambatan dalam implementasi putusan a quo. Oleh karena itu, sebagai negara hukum konstitusional, menjadi kewajiban bagi seluruh organ negara untuk melaksanakan putusan MK secara sukarela. Dengan diimplementasikannya putusan MK, diharapkan dapat tercipta kepastian hukum yang mampu menciptakan kondisi yang membangun ekonomi nasional. Dengan demikian akan menjadi sinergi yang baik apabila putusan a quo segera diimplementasikan oleh semua addresat putusan, sehingga para petani dapat melaksanakan pemuliaan tanaman dengan bebas dan pelaku jasa konstruksi dapat menggunakan alat berat tanpa ada rasa takut terhadap kewajiban uji berkala.

Daftar Pustaka

BukuAsshiddiqie, Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi,

(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010).Asshiddiqie, Jimly Asshiddiqie, Gagasan Konstitusi

Sosial, (Jakarta: LP3ES, 2015).Asshiddiqie, Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan

Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanannya di Indonesia, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 1991. Disertasi ini diterbitkan menjadi bku oleh Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1994. Baca juga Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010).

Buchanan, James McGill Buchanan, The Constitution of Economic Policy, Pidato Penerimaan Hadiah Nobel Ilmu Ekonomi di Stockholm, Swedia, 8 Desember 1986.

Imaniyati, Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam, (Bandung: Mandar Maju,2002).

Imaniyati, Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis Telaah Tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009).

Mertokusumo, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1996).

Page 168: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

146 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 1, April 2018, hlm. 131–146

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Palguna, I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan Welfare State: Kumpulan Pemikiran I dewa Gede Palguna, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,2008).

Panggabean, R.M. Panggabean, Budaya Hukum Hakim Dibawah Pemerintahan Demokrasi dan Otoriter (Studi Tentang Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI 1950-1965), (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008).

Rahardjo, Satjipto Rahardjo, dkk, Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, (Yogyakarta, Thafa Media, 2012).

Soemitro, Ronny Hanitidjo Soemitro, Studi Hukum Dalam Masyarakat, (Bandung: Alumni, 1982).

Suhardi, Gunarto Suhardi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2002).

Sulistyo, Adi & Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2009).

Muhammad, Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004).

W, Fredmann, The State and The Rule of Law in Mix Economy, London: Steven & Son 1971, dan Geelhoed A, et. Al., DeIntervierende Staat (Aazet een Instrumentenleer) Staauitgeveriij S’Gravenhage 1983).

Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-

XIII/2015 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-

XIII/2015

Page 169: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI

Segenap pengelola Jurnal RechtsVinding menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya

atas sumbangsih:

Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S.

Prof. Dr. Huala Adolf, S.H., LL.M.

Dr. Hadi Subhan, S.H., M.H.

sebagai Mitra Bestari yang telah melakukan peer review terhadap naskah Jurnal RechtsVinding Volume 7 Nomor 1, April 2018

Page 170: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

148 Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41

”Halaman ini dikosongkan”

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Page 171: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

BIODATA PENULIS

Arfian Setiantoro, lahir di Blora, 13 April 1993. Penulis lulus dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Jurusan Ilmu Hukum, dengan Konsentrasi Hukum Perdata Dagang pada tahun 2016. Saat ini sedang menempuh studi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dengan mengambil jurusan Hukum Ekonomi Bisnis. Saat ini aktif di berbagai organisasi kampus, dan menjadi relawan di berbagai komunitas yang berfokus pada pendidikan. Penulis dapat dihubungi melalui email : [email protected]

Fayreizha Destika Putri, lahir di Semarang pada tanggal 22 Desember 1995. Memperolah gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2017 dan melanjutkan Program Magister di Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang jurusan Hukum Ekonomi dan Bisnis. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Anisah Novitarani, lahir di Boyolali, 20 Nopember 1994. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro pada tahun 2016. Selama menempuh pendidikan perguruan tinggi, penulis aktif dalam kegiatan Lembaga Pers Mahasiswa tingkat Universitas dan sempat bekerja di bekerja di perusahaan media ekonomi Harian Kontan. Saat ini, penulis sedang melanjutkan Program studi Magister Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro Semarang jurusan Hukum Ekonomi dan Bisnis. Penulis dapat dihubungi melalui email : [email protected]

Rinitami Njatrijani, lahir di Tegal pada tanggal 17 Agustus 1961. Penulis lulus dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 1985 dan memperoleh gela Magister Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2001. Kini penulis merupakan Dosen/Staff Pengajar Tetap dengan mengampu mata kuliah Hukum Hak Kekayaan dan Intelektual, Hukum Perusahaan, Hukum Perlindungan Konsumen. Penulis juga aktif mengajar di berbagai perguruan tinggi di Semarang. Penulis dapat dihubungi melalui email : [email protected]

Eko Noer Kristiyanto, lahir di Bandung, 5 Juli 1984. Saat ini bekerja di Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI. Menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung pada 2008 dan 2012. Sebelum menjadi pegawai negeri sipil, pernah menjadi jurnalis televisi sebagai reporter, scriptwritter, dan Ass. produser program di STV Bandung (KOMPAS TV Bandung). Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Kelik Pramudya, lahir di Kabupaten Sukoharjo, 15 Oktober 1986. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Saat ini berprofesi sebagai ASN di Pemerintah Provinsi Jawa Tengah di Sub Bagian Kepegawaian dan Hukum Rumah Sakit Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Sampai saat ini masih aktif menulis di berbagai jurnal dan lomba karya tulis. Penulis dapat dihubungi melalui email : [email protected] dan [email protected]

Sudarsono, lahir di Sidoarjo, 3 Mei 1976. Penulis memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Airlangga. Penulis merupakan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara di berbagai daerah (2009-2016) dan mengajar sebagai dosen luar biasa (2012-2016). Saat ini menjabat sebagai Hakim Yustitisal pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia dan aktif menulis di berbagai media massa dan jurnal hukum. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Page 172: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

Abd. Aziz Billah, lahir di Palu, 11 Oktober 1993. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Tadulako dan saat ini merupakan mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi baik di dalam maupun di luar kampus. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Helmi Kasim, lahir di Wawoncusu, 15 Juni 1975. Penulis memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta dan gelar Magister Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saat ini penulis bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Rahmanisa Purnamasari, lahir di Bandung, 26 Maret 1994. Penulis memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Saat ini sedang menempuh studi Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan mengambil konsentrasi pada bidang Hukum Bisnis. Penulis merupakan pengajar di Universitas Padjadjaran dan aktif melakukan beberapa penelitian sejak tahun 2015. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Muhammad Agus Salim, lahir di Pekanbaru, 12 Agustus 1991. Penulis memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan saat ini merupakan mahasiswa program Pascasarjana di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan konsentrasi hukum bisnis. Penulis merupakan pengajar di Universitas Padjadjaran yang aktif terlibat dalam penyusunan beberapa Peraturan Daerah. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Budi Suhariyanto, lahir di Jember, Jawa Timur, 2 Mei 1983. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember tahun 2006, dan Magister Hukum di Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2009. Bekerja sebagai Peneliti Muda bidang Hukum dan Peradilan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected] atau surat ke alamat Kantor Puslitbang Kumdil lantai 10 Gedung Sekretariat Mahkamah Agung Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat.

Oly Viana Agustine, lahir di Sragen, 6 November 1988. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tahun 2010 dan meraih gelar Magister Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro Tahun 2012. Saat ini bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan bidang kajian dan kepakaran meliputi hukum tata negara, hukum konstitusi, dan hukum pidana. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected].

Page 173: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL RECHTSVINDING

Jurnal RechtsVinding merupakan media caturwulanan di bidang hukum, terbit sebanyak 3 (tiga) nomor dalam setahun (April; Agustus; dan Desember). Jurnal RechtsVinding diisi oleh para pakar hukum, akademisi, penyelenggara negara, praktisi serta pemerhati dan penggiat hukum. Redaksi Jurnal RechtsVinding menerima naskah karya tulis ilmiah di bidang hukum yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Redaksi menerima naskah karya tulis ilmiah bidang Hukum dari dalam dan luar lingkungan Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

2. Jurnal RechtsVinding menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaksi. Dewan Redaksi dan Mitra Bestari akan memeriksa naskah yang akan masuk dan berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan.

3. Naskah dikirim berbentuk Karya Tulis Ilmiah berupa:a. Hasil Penelitian;b. Kajian Teori; c. Studi Kepustakaan; dan d. Analisa / tinjauan putusan lembaga peradilan.

4. Judul naskah harus singkat dan mencerminkan isi tulisan serta tidak memberikan peluang penafsiran yang beraneka ragam, ditulis dengan huruf kapital dengan posisi tengah (centre) dan huruf tebal (bold). Judul ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Apabila naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia maka judul dalam Bahasa Indonesia ditulis di atas Bahasa Inggris, begitu juga sebaliknya. Judul kedua ditulis miring (italic) dan di dalam kurung.

5. Abstrak memuat latar belakang, permasalahan, metode penelitian, kesimpulan dan saran. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia (maksimal 200 kata) dan Bahasa Inggris (maksimal 150 kata). Abstrak ditulis dalam 1 (satu) alinea dengan spasi 1 (satu) dan bentuk lurus margin kanan dan kiri / justify. Abstrak dalam Bahasa Inggris ditulis dengan huruf cetak miring (italic). Di bawah abstrak dicantumkan minimal 3 (tiga) dan maksimal 5 (lima) kata kunci. Abstract dalam Bahasa Inggris diikuti kata kunci (Keywords) dalam Bahasa Inggris. Abstrak dalam Bahasa Indonesia diikuti kata kunci dalam Bahasa Indonesia. Hindari pengunaan singkatan dalam abstrak.

6. Sistematika Penulisan:Penulisan harus memenuhi secara berurutan hal-hal sebagai berikut:- Judul; - Nama Penulis (diketik di bawah judul ditulis lengkap tanpa menyebutkan gelar. Jika penulis terdiri lebih

dari satu orang maka harus ditambahkan kata penghubung ’dan’ (bukan lambang ’&’);- Nama Instansi Penulis (tanpa menyebutkan jabatan atau pekerjaan di instansi yang ditulis;- Abstrak;- Kata Kunci;- Pendahuluan (berisi latar belakang dan permasalahan);- Metode Penelitian;- Pembahasan; - Penutup (berisi deskripsi kesimpulan dan saran).

Sistematika artikel adalah sebagai berikut:A. Pendahuluan

Pendahuluan berisi diskripsi latar belakang dan permasalahan.

Page 174: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

B. Metode Penelitian Metode Penelitian berisi cara pengumpulan data, metode analisis data, serta waktu dan tempat jika diperlukan);

C. PembahasanPembahasan berisi analisa atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian sebagaimana tertuang dalam pendahuluan. Jumlah pokok-pokok bahasan disesuaikan dengan jumlah permasalahan yang diangkat.

D. Penutup Penutup berisi diskripsi kesimpulan dan saran atau rekomendasi.

7. Aturan Teknis Penulisan:a. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, diserahkan dalam bentuk naskah elektronik

(soft copy) dalam program MS Office Word serta 2 (dua) rangkap dalam bentuk cetakan (print out).b. Jumlah halaman naskah 20 s.d. 25 halaman, termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka.

Bila lebih dari 25 halaman, redaksi berhak untuk menyunting ulang, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dengan penulis.

c. Ditulis dengan menggunakan MS Office Word pada kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm), font Calibri ukuran 12, spasi 1,5 (satu koma lima), kecuali tabel (spasi 1,0). Batas / margin atas, batas bawah, tepi kiri dan tepi kanan 3 cm.

d. Penyebutan istilah di luar Bahasa Indonesia (bagi naskah yang menggunakan Bahasa Indonesia) atau Bahasa Inggris (bagi naskah yang menggunakan Bahasa Inggris) harus ditulis dengan huruf cetak miring (italic).

e. Penyajian Tabel dan Gambar:- Judul tabel ditampilkan di bagian atas tabel, rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan font Calibri

ukuran 12;- Judul gambar ditampilkan di bagian bagian bawah gambar, rata kiri (bukan center), ditulis

menggunakan font Calibri ukuran 12;- Tulisan ‘Tabel’ / ‘Gambar’ dan ‘nomor’ ditulis tebal (bold), sedangkan judul tabel ditulis normal;- Gunakan angka Arab (1, 2, 3, dst.) untuk penomoran judul tabel / gambar;- Tabel ditampilkan rata kiri halaman (bukan center);- Jenis dan ukuran font untuk isi tabel bisa disesuaikan menurut kebutuhan (Times New Roman atau

Arial Narrow ukuran 8—11) dengan jarak spasi tunggal);- Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah tabel atau gambar, rata kiri, menggunakan

font Calibri ukuran 10.f. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (foot note). Penulisan model catatan kaki

menggunakan font Cambria 10. Penulisan model catatan kaki dengan tata cara penulisan sebagai berikut:- Buku (1 orang penulis): Wendy Doniger, Splitting the Difference (Chicago: University of Chicago

Press, 1999), hlm. 65.- Buku (2 orang penulis): Guy Cowlishaw and Robin Dunbar, Primate Conservation Biology (Chicago:

University of Chicago Press, 2000), hlm. 104–7.- Buku (4 orang atau lebih penulis): Edward O. Laumann et al., The Social Organization of Sexuality:

Sexual Practices in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994), hlm. 262.- Artikel dalam Jurnal: John Maynard Smith, ”The Origin of Altruism,” Nature 393 (1998): 639.- Artikel dalam jurnal on-line: Mark A. Hlatky et al., ”Quality-of-Life and Depressive Symptoms in

Postmenopausal Women after Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/Progestin Replacement Study (HERS) Trial,” Journal of the American Medical Association 287, no. 5 (2002), http://jama.ama-ssn.org/issues/v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo (diakses 7 Januari 2004).

- Tulisan dalam seminar: Brian Doyle, ”Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59”

Page 175: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase

Volume 7, Nomor 1, April 2018

(makalah disampaikan pada the Annual International Meeting for the Society of Biblical Literature, Berlin, Germany, 19-22 Juni 2002).

- Website/internet: Evanston Public Library Board of Trustees, ”Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A Decade of Outreach,” Evanston Public Library, http://www.epl.org/library/strategic-plan-00.html (diakses 1 Juni 2005).

g. Penulisan Daftar Pustaka:- Bahan referensi yang dijadikan bahan rujukan hendaknya menggunakan edisi paling muktahir;- Penulisan daftar pustaka diklasifikasikan berdasarkan jenis acuan yang digunakan, misal Buku;

Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil Penelitian; Internet dan Peraturan;- Penulisan daftar pustaka disusun berdasarkan alphabet;- Penggunaan referensi dari internet hendaknya menggunakan situs resmi yang dapat

dipertanggungjawabkan validitasnya.- Penulisan model Daftar Pustaka dengan tata cara penulisan sebagai berikut:

• Buku (1 orang penulis): Doniger, Wendy, Splitting the Difference (Chicago: University of Chicago Press, 1999).

• Buku (2 orang penulis): Cowlishaw, Guy and Robin Dunbar, Primate Conservation Biology (Chicago: University of Chicago Press, 2000).

• Buku (4 orang atau lebih penulis): Laumann, Edward O. et al., The Social Organization of Sexuality: Sexual Practices in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994).

• Artikel dalam Jurnal: Smith, John Maynard, ”The Origin of Altruism,” Nature 393 (1998).• Artikel dalam jurnal on-line: Hlatky, Mark A. et al., ”Quality-of-Life and Depressive Symptoms in

Postmenopausal Women after Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/Progestin Replacement Study (HERS) Trial,” Journal of the American Medical Association 287, no. 5 (2002), http://jama.ama-ssn.org/issues/v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo (diakses 7 Januari 2004).

• Tulisan dalam seminar : Brian Doyle, ”Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59” (makalah disampaikan pada the annual international meeting for the Society of Biblical Literature, Berlin, Germany, 19-22 Juni 2002).

• Website/internet : Evanston Public Library Board of Trustees, ”Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A Decade of Outreach,” Evanston Public Library, http://www.epl.org/library/strategic-plan-00.html (diakses 1 Juni 2005).

8. Naskah harus dikirimkan dalam bentuk elektronik (softcopy) melalui:a. Fitur Open Journal System (OJS) dengan mengakses: http://www.rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal

yang akan digunakan untuk mengelola naskah jurnal ilmiah, danb. Email: [email protected]. yang akan digunakan sebagai sarana korespondensi dan

pengiriman kelengkapan data diri penulis (biodata lengkap (CV) penulis, copy KTP/identitas yang berlaku, alamat e-mail, nomor telepon).

9. Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan Jurnal Rechtsvinding dapat menghubungi:

Redaksi Jurnal RechtsVindingPusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RIJl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta,

Telp.: 021-8091908 ext.118; Fax.: 021-8011754.

10. Naskah yang belum memenuhi format dan ketentuan di atas tidak akan diseleksi. Dewan Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit artikel yang masuk tanpa mengubah substansi. Kepastian atau penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Dewan Redaksi Jurnal RechtsVinding.

Page 176: ”Peran Lembaga Peradilan dan Lembaga Alternatif ...jdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO1-2018.pdf · penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase