58
Seiring bergulirnya otonomi daerah, Pemerintah Propinsi Jawa Barat merespon dengan memfokuskan kebijakan pembangunan pada upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia secara nyata dan berkelanjutan (sustainable). Pemerintah Jawa Barat telah menetapkan visi dan misi pembangunan yang menjadi arah dan pendorong kebijakan pembangunan berkelanjutan agar terwujud Jawa Barat dengan Iman dan Taqwa sebagai propinsi termaju dan mitra terdepan ibukota negara pada Tahun 2010. Keberhasilan dari pencapaian visi tersebut salah satu satunya dilihat dari tercapainya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Barat pada Tahun 2010 sebesar 80. Secara sederhana dengan meningkatnya pencapaian IPM berarti meningkatnya satu atau lebih komponen IPM yang meliputi komponen pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat yang berarti pula masyarakat dapat menjangkau dan mengenyam pendidikan, mampu dan mudah memperoleh pelayanan kesehatan serta mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Menarik untuk dikaji, bahwa sebagian kalangan tampaknya merasa kurang optimis, keinginan tersebut terwujud dalam kurun empat tahun ke depan. Angka IPM 80 pada tahun 2010 dianggap tidak wajar dan tidak rasional, karena hingga 2005 IPM Jawa Barat baru mencapai 69,35 atau hanya naik 0,99 dari kondisi tahun 2004 yang mencapai 68,36 (Pikiran Rakyat, 1 April 2006; halaman 9). Kegalauan tersebut wajar terjadi, jika mencermati laju perkembangan IPM Jawa Barat yang relatif belum begitu menggembirakan selama beberapa tahun terakhir, akan tetapi patut pula menjadi renungan bersama bagaimana konsistennya negara jiran, Malaysia, mendukung tujuan “Wawasan 2020” untuk menjadikan Malaysia sebagai negara maju menjelang tahun 2020. Pernyataan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi bahwa tidak ada alasan baginya untuk merubah 16 BAB III. STATUS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROPINSI JAWA BARAT

 · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Seiring bergulirnya otonomi daerah, Pemerintah Propinsi Jawa Barat merespon dengan memfokuskan kebijakan pembangunan pada upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia secara nyata dan berkelanjutan (sustainable). Pemerintah Jawa Barat telah menetapkan visi dan misi pembangunan yang menjadi arah dan pendorong kebijakan pembangunan berkelanjutan agar terwujud Jawa Barat dengan Iman dan Taqwa sebagai propinsi termaju dan mitra terdepan ibukota negara pada Tahun 2010. Keberhasilan dari pencapaian visi tersebut salah satu satunya dilihat dari tercapainya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Barat pada Tahun 2010 sebesar 80. Secara sederhana dengan meningkatnya pencapaian IPM berarti meningkatnya satu atau lebih komponen IPM yang meliputi komponen pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat yang berarti pula masyarakat dapat menjangkau dan mengenyam pendidikan, mampu dan mudah memperoleh pelayanan kesehatan serta mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menarik untuk dikaji, bahwa sebagian kalangan tampaknya merasa kurang optimis, keinginan tersebut terwujud dalam kurun empat tahun ke depan. Angka IPM 80 pada tahun 2010 dianggap tidak wajar dan tidak rasional, karena hingga 2005 IPM Jawa Barat baru mencapai 69,35 atau hanya naik 0,99 dari kondisi tahun 2004 yang mencapai 68,36 (Pikiran Rakyat, 1 April 2006; halaman 9). Kegalauan tersebut wajar terjadi, jika mencermati laju perkembangan IPM Jawa Barat yang relatif belum begitu menggembirakan selama beberapa tahun terakhir, akan tetapi patut pula menjadi renungan bersama bagaimana konsistennya negara jiran, Malaysia, mendukung tujuan “Wawasan 2020” untuk menjadikan Malaysia sebagai negara maju menjelang tahun 2020. Pernyataan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi bahwa tidak ada alasan baginya untuk merubah program yang ada semata-mata hanya karena ingin menonjolkan namanya (Republika, 5 April 2006), mencerminkan begitu teguhnya orang nomor satu di Malaysia tersebut menjalankan komitmen yang digagas pendahulunya, mantan Perdana Menteri Malaysia Tun Dr Mahathir Mohamad. Beliau secara jeli merumuskan Rancangan Malaysia Kesembilan (RMK-9) untuk mewujudkan komitmen bangsanya dengan mengalokasikan dana untuk pembangunan 200 miliar ringgit (sekitar Rp. 4,6 triliun) untuk tempo 2006 hingga 2010. Bahkan Badawi secara jelas memaparkan bahwa RMK-9 bukan sekedar

16

BAB III. STATUS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROPINSI JAWA BARAT

Page 2:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

sebuah rencana, tetapi merupakan salah satu Misi Nasional, misi yang melibatkan semua rakyat dan dapat melahirkan satu semangat dan kekuatan untuk menggapai cita-cita tersebut.

Masyarakat Jawa Barat dapat belajar banyak dari negeri jiran, untuk membangun komitmen bersama membangun Jawa Barat. Langkah Pemerintah Propinsi Jawa Barat untuk mewujudkan visi menjadi propinsi termaju dan mitra terdepan ibukota negara hampir serupa dengan yang digagas Malaysia walau dalam kadar yang berbeda. Bergulirnya Program Pendanaan Kompetisi IPM (PPK-IPM) merupakan salah satu bukti komitmen kuat Pemerintah Propinsi Jawa Barat beserta segenap masyarakat mewujudkan pencapaian IPM 80 pada tahun 2010. Program tersebut dapat menjadi lokomotif untuk membangun komitmen bersama di segenap lapisan; Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Swasta dan masyarakat.

Satu keberhasilan mendasar telah dicapai Propinsi Jawa Barat, yang dengan berani menetapkan Indeks Pembangunan Manusia sebagai tolok ukur kemajuan pembangunan. Dalam beberapa tahun terakhir setidaknya terbangun komitmen kuat kabupaten/kota dan terjalin sinergitas yang tinggi antar berbagai stakeholder untuk menggiatkan kembali gairah pembangunan yang sempat terpuruk ketika krisis ekonomi melanda Indonesia. Pencapaian IPM bukanlah sesuatu yang mutlak, tetapi yang lebih penting adalah terwujudnya masyarakat Jawa Barat yang sejahtera dan makmur (gemah ripah), serta cageur, bageur, pinter, bener tur singer.

Pada bahasan berikut dipaparkan tentang bagaimana status pembangunan manusia di Propinsi Jawa Barat secara sederhana tetapi mencakup berbagai bidang pembangunan. Diharapkan akan muncul pemahaman dan harapan-harapan baru bagi kemajuan pembangunan manusia di Propinsi Jawa Barat, sehingga akan terdapat upaya yang lebih kuat dari berbagai komponen masyarakat Propinsi Jawa Barat untuk melakukan perbaikan ke depan terhadap berbagai indikator pembangunan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan misalnya.

3.1. Penduduk dan Permasalahannya

Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki jumlah penduduk yang cukup besar, bahkan terbesar di Indonesia. Menurut data Suseda 2005 (kondisi bulan Juli), jumlah penduduk Propinsi Jawa Barat sebesar 39,96 juta jiwa. Jumlah tersebut mendiami wilayah seluas 34.588,89 km2 sehingga secara rata-rata kepadatan penduduk di Propinsi Jawa Barat adalah 1.155,3 jiwa per km2. Jumlah penduduk yang besar seringkali menjadi beban dalam proses pembangunan jika

17

Page 3:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

berkualitas rendah. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan menciptakan tatanan keluarga kecil yang sehat dan berkualitas sebagai upaya meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ke depan.

Tabel 3.1. Jumlah Pendudukdan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP)Propinsi Jawa Barat Tahun 2002-2005

IndikatorTahun

2002 2003 2004 2005(1) (2) (3) (4) (5)

1. Jumlah Penduduk 37.291.946 38.132.356 39.140.812 39.960.8692. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP)

r(2002-2003) = 2,25 r(2003-2004) = 2,64 r(2004-2005) = 2,09

Sumber: Bapeda dan BPS Propinsi Jawa Barat, Suseda 2002-2005

Persoalan kependudukan seperti pertumbuhan penduduk dan tingkat fertilitas yang masih tinggi akan berdampak dalam penyediaan infrastruktur yang besar dan memadai serta lapangan pekerjaan yang cukup di masa mendatang. Menurut data Suseda, laju pertumbuhan penduduk (LPP) di Propinsi Jawa Barat dari tahun ke tahun relatif terus menurun. Pada periode 2002-2003, LPP Propinsi Jawa Barat mencapai 2,25 persen meningkat menjadi hanya 2,64 persen pada periode berikutnya (tahun 2003-2004), tetapi terus mengalami penurunan pada periode tahun 2004-2005 menjadi hanya sekitar 2,09 persen. Kondisi tersebut menunjukkan upaya pengendalian penduduk di Propinsi Jawa Barat relatif cukup baik.

Komposisi penduduk Propinsi Jawa Barat menurut struktur umur dan jenis kelamin dapat digambarkan dengan jelas oleh piramida penduduk. Piramida penduduk juga dapat menunjukkan distribusi penduduk menurut umur dan jenis kelamin. Selain itu piramida penduduk dapat menunjukkan tingkat perkembangan penduduk pada setiap kelompok umur yang berbeda. Berdasarkan gambar piramida penduduk Propinsi Jawa Barat terlihat adanya penurunan tingkat fertilitas selama kurun waktu lima tahun terakhir, hal ini terlihat dari perbedaan panjang batang piramida kelompok umur 0-4 tahun yang sedikit lebih pendek dibandingkan kelompok umur 5-9 tahun.

Gambar 3.1. Piramida Penduduk Jawa Barat

18

Page 4:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

-2.500.000 -2.000.000 -1.500.000 -1.000.000 -500.000 0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000

0-4

5-9

10-14

15-19

20-24

25-29

30-34

35-39

40-44

45-49

50-54

55-59

60-64

65-69

70-74

75+

perempuan laki-laki

Menurut Golongan UmurDan Jenis Kelamin Tahun 2005

Sumber: Bapeda dan BPS Propinsi Jawa Barat, Suseda 2005

Penduduk Propinsi Jawa Barat tergolong penduduk muda menuju "transisi". Hal ini diperlihatkan oleh panjang batang piramida untuk kelompok umur 5-9, 10-14 tahun yang sedikit lebih panjang dari kelompok umur lainnya. Golongan penduduk muda biasanya diperlihatkan dengan panjang batang piramida kelompok umur 5-9, 10-14 tahun lebih panjang dari kelompok umur lainnya dan batang piramida untuk kelompok umur 60 tahun ke atas yang cukup pendek. Artinya, ada kecenderungan komposisi penduduk Propinsi Jawa Barat di masa depan akan semakin didominasi oleh penduduk usaha produktif, dengan terus menurunnya tingkat fertilitas dan cukup baiknya derajat kesehatan. Untuk itu, Pemerintah Propinsi Jawa Barat memiliki pekerjaan besar untuk terus mengawal perkembangan penduduk secara terintegratif dan berkelanjutan agar terbentuk masyarakat yang berkualitas dengan capaian kualitas kesehatan, pendidikan dan ekonomi yang terus meningkat.

Menurut data Suseda 2005, tujuh kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat mempunyai penduduk lebih dari 2 juta jiwa. Ke tujuh kabupaten/kota tersebut adalah Kabupaten Bandung (4.263.934 jiwa), Kabupaten Bogor (4.100.934 jiwa), Kabupaten Garut (2.321.070 jiwa), Kota Bandung (2.315.895 jiwa), Kabupaten Sukabumi (2.224.993 jiwa), Kabupaten Cirebon (2.107.918 jiwa) dan Kabupaten Cianjur (2.098.664 jiwa). Kabupaten Kota yang penduduknya mendekati 2 juta jiwa adalah Kota Bekasi (1.994.850 jiwa), Kabupaten Karawang (1.985.574 jiwa), dan Kabupaten Bekasi (1.953.380 jiwa).

19

Page 5:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Daerah yang tingkat kepadatan tertinggi akan dihadapkan pada permasalahan kebutuhan akan perumahan, kesehatan, dan keamanan. Salah satu faktor penyebab tingginya penduduk di satu wilayah disamping tingkat kelahiran adalah perpindahan penduduk (migrasi). Perpindahan penduduk mengalir dari daerah perdesaan ke perkotaan, dari daerah yang miskin ke daerah yang kaya yang pembangunannya berkembang pesat. Karena itu perlu upaya menciptakan pembangunan merata di setiap daerah disertai penciptaan lapangan kerja, dengan tidak melupakan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah.

Menarik dicermati, Propinsi Jawa Barat yang secara geografis letaknya sangat strategis, yaitu berbatasan langsung dengan Propinsi DKI Jakarta dan disertai berbagai fasilitas/infrastruktur yang cukup lengkap merupakan salah satu tujuan utama migrasi. Dengan berbagai macam alasan, para migran tersebut masuk ke Propinsi Jawa Barat, utamanya ke daerah sekitar BODEBEK (Bogor, Depok dan Bekasi) dan Bandung Raya (Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi) (Bapeda dan BPS propinsi Jawa Barat, Analisis Volume Kecenderungan dan Karakteristik Migrasi Masuk Ke Jawa Barat Tahun 2000; 2002).

Banyaknya migran yang masuk ke Propinsi Jawa Barat tentunya akan menimbulkan permasalahan dan menjadi beban jika migran yang masuk tersebut memiliki kualitas rendah. Sehingga dalam beberapa diskusi, fenomena migran masuk dari luar Propinsi Jawa Barat seringkali dianggap sebagai salah satu penyebab besarnya hambatan kemajuan pembangunan manusia di propinsi ini.

Adanya Kekhawatiran sebagian kalangan bahwa para migran yang masuk ke Jawa Barat berpeluang menjadi beban dalam proses pembangunan saat ini karena dianggap banyak yang berkualitas rendah tampaknya akan semakin terreduksi. Fakta menunjukkan bahwa mereka yang melakukan migrasi ke Jawa Barat pada umumnya adalah penduduk yang berusia produktif dan memiliki tingkat pendidikan yang relatif lebih baik dibandingkan penduduk lokal.

Dampak negatif yang mungkin timbul dengan kondisi tersebut adalah kalah bersaingnya penduduk non migran/lokal dalam mendapatkan pekerjaan. Kesempatan kerja jelas akan lebih terbuka bagi penduduk migran, karena mereka memiliki pendidikan lebih tinggi. Sedangkan dampak positifnya dalam perspektif pembangunan manusia, akan meningkatnya rata-rata lama sekolah di Propinsi Jawa Barat. Oleh karena itu, adanya migran yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi diharapkan dapat merangsang penduduk non migran/lokal untuk meningkatkan tingkat pendidikannya.

20

Page 6:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Mungkin salah satu kekhawatiran terbesar pemerintah setempat terhadap fenomena arus migran masuk ke Propinsi Jawa Barat adalah semakin kecilnya peluang penduduk non migran/lokal untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Menurut data hasil SP2000, persentase penganggur dari penduduk non migran/lokal relatif lebih besar dibandingkan penduduk migran. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa penduduk asli Jawa Barat banyak yang kalah bersaing dengan kaum pendatang (migran). Kaum pendatang nampaknya lebih gesit dalam mengangkap peluang/kesempatan kerja yang ada.

Jadi yang diperlukan adalah bukan membatasi kaum pendatang untuk masuk ke Jawa Barat, karena mereka memiliki kontribusi besar dalam menggerakkan roda perekonomian Jawa Barat, melainkan Tapi seharusnya dilakukan adalah bagaimana meningkatkan daya juang dan daya saing penduduk lokal Jawa Barat agar memiliki kompetensi dan berdiri sejajar dengan kaum pendatang. Untuk itu, mereka harus diberi kesempatan seluas-luasnya meraih pendidikan yang tinggi dan diciptakan peluang agar mereka mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan keinginan dan tingkat pendidikannya.

3.2 Status Pembangunan di Bidang Kesehatan

Pencanangan visi pembangunan kesehatan adalah tercapainya penduduk dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia (Departemen Kesehatan, 2003). Visi pembangunan ini merupakan cita-cita reformasi bidang kesehatan yang diangkat sebagai bagian dari pembangunan manusia secara keseluruhan selain pembangunan bidang ekonomi dan pendidikan.

Sebagai bukti keseriusan bagi pencapaian visi pembangunan tersebut, Pemerintah Jawa Barat merumuskan "Akselerasi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Guna Mendukung Pencapaian Visi Jawa Barat tahun 2010", sebagai visi pembangunan daerah berpenduduk 39,96 juta jiwa ini (pada tahun 2005) dengan target pencapaian Indeks Pembangunan Indonesia sebesar 80 pada tahun 2010.

Faktor kesehatan menjadi satu dari tiga indikator penting penunjang pembangunan manusia karena tingkat produktivitas manusia secara langsung bisa tergali optimal bila daya tahan tubuhnya sedang maksimal. Artinya, pada saat orang tersebut sehat, dia dapat menjalankan aktivitas seperti bekerja, bersekolah, mengurus rumahtangga, berolahraga, maupun menjalankan aktivitas lainnya lebih

21

Page 7:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

baik dibandingkan saat kondisi tubuhnya sedang sakit. Departemen Kesehatan RI memperlihatkan kaitan antara investasi di bidang kesehatan dengan pembangunan manusia pada skema berikut:

Gambar 3.2. Kaitan Investasi Bidang Kesehatandengan Pembangunan Manusia

Sumber: Depatemen Kesehatan RI, Juni 2003

Kondisi kesehatan masyarakat Indonesia secara umum cukup baik. Data statistik kesehatan tahun 2004 memperlihatkan 68,34 persen penduduk berumur 15 tahun ke atas memiliki kondisi kesehatan baik fisik maupun mental dengan kategori cukup dan baik, bahkan 28,84 persen memiliki kesehatan yang sangat baik. Hanya 2,82 persen sisanya yang seringkali mengalami kondisi kesehatan yang buruk. Kondisi kesehatan penduduk Jawa Barat sendiri tidak berbeda jauh dengan kondisi penduduk Indonesia secara umum. Data statistik kesehatan tahun 2004 memperlihatkan 70,48 persen penduduk berumur 15 tahun ke atas memiliki kondisi kesehatan baik fisik maupun mental dengan kategori cukup dan baik, dengan 26,53 persen diantaranya bahkan memiliki tingkat kesehatan yang sangat baik. Sisanya sebanyak 3 persen mengalami kondisi kesehatan yang buruk.

Gambar 3.3. Kondisi Kesehatan Penduduk Di Propinsi Jawa Barat dan Indonesia

Tahun 2004

22

Perbaikan Fisik dan MentalPerbaikan Kesehatan

Pengurangan kemiskinan

Peningkatan kualitas SDM

Pertumbuhan ekonomi Peningkatan Produktivitas

Investasi Kesehatan

Page 8:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

sangat baik baik cukup baik buruk sangat buruk

jawa baratindonesia

28.84

54.4

13.94

2.59 0.23

26.53

56.24

14.24

2.85 0.150

10

20

30

40

50

60

%

kondisi kesehatan

Catatan: Data kesehatan penduduk 15 tahun ke atas baik fisik maupun mental (persen).

Sumber: BPS, Statistik Kesehatan 2004

Sesuai dengan konsep, seseorang dikatakan “sehat” jika dapat melakukan aktivitas seperti dapat berjalan/bergerak dengan bebas, dapat merawat diri tanpa kesulitan, tidak ada rasa sakit di badan, dapat mengingat/konsentrasi, dapat bergaul tanpa hambatan, dapat tidur tanpa gangguan, tidak merasa sedih secara berlebihan, dan dapat melihat dengan baik. Artinya, 97,01 persen penduduk Jawa Barat memiliki kondisi tubuh dan jiwa yang dapat dikategorikan “sehat”.

Meski berdasarkan kondisi lapangan, UNDP (United Nation Development Program) menempatkan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2003 pada peringkat 110 dari 175 negara yang dinilai, tepatnya berada di urutan terakhir quartil ke dua di jajaran negara-negara dengan tingkat pembangunan manusia menengah (medium human development), atau berada di urutan ke-7 di wilayah Asia Tenggara, dengan posisi jauh di bawah Singapura (25), Brunai (33), maupun Malaysia (58). Jika dilihat menurut rangking propinsi, Jawa Barat menduduki urutan ke-17 dari 30 propinsi yang ada di Indonesia pada tahun 2002. Penelitian para ahli menyimpulkan bahwa rendahnya derajat kesehatan dan status pendidikan perempuan dan anak merupakan faktor penentu rendahnya peringkat Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia, khususnya di kawasan Asia.

3.2.1. Derajat Kesehatan Masyarakat

23

Page 9:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Menurut Henrik L Blum, peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang dapat diukur dari tingkat mortalitas dan morbiditas penduduk yang dipengaruhi oleh empat faktor penentu, yaitu : faktor-faktor lingkungan (45 persen), perilaku kesehatan (30 persen), pelayanan kesehatan (20 persen) dan kependudukan/keturunan (5 persen). Hubungan derajat kesehatan dengan keempat faktornya digambarkan Henrik L Blum dalam bagan berikut:

Ukuran mortalitas sebagai acuan untuk mengukur kemajuan pembangunan manusia adalah infant mortality rate (IMR) atau angka kematian bayi (AKB) dan expectation of life at birth (e0) atau angka harapan hidup (AHH). Berikut adalah tren AKB dan AHH Jawa Barat.

Gambar 3.5. Data Series AKB dan AHH Jawa Barat Tahun 1980 – 2005

Serta Targetnya Hingga Tahun 2010

24

47 4339

36 3330

2623

20

5052.8

64.7 64.8

65.8

66.266.5

66.8

66.9 67 67.1 67.3

67.4

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

target imr

target ahh

109.00

71.00 69.00

40.8741.7242.5043.8344.8545.59

64.73 64.90 64.93 64.94 65.34 66.57

59.9456.00

48.60

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

1980 1990 1995 2000 2001 2002 2003 2004 2005

imr

ahh

Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat

Sumber: Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat

Pencapaian hingga tahun 2005

Target hingga tahun 2010

Keturunan5 persen

Perilaku30 persen

Pelayanan Kesehatan20 persen

Lingkungan45 persen

Gambar 3.4. Analisis Derajat Kesehatan(konsep Hendrik L Blum)

DERAJAT KESEHATANMorbiditas & mortalitas

Sumber: Depkes RI

Page 10:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

6,86

7,13

52,78 53,66

0,620,48

38,05 36,65

1,692,08

0

10

20

30

40

50

60

Dokter Bidan ParamedisLain

Dukun Famili/Lainnya

2004 2005

Angka harapan hidup Jawa Barat meningkat dari 56,00 tahun pada tahun 1990 menjadi 66,57 tahun pada tahun 2005. Jika diperhatikan dari target kesehatan sendiri, Jawa Barat cukup mampu mengikuti nilai angka harapan hidup yang ditargetkan pemerintah. Secara teori panjangnya usia hidup secara negatif berhubungan dengan rendahnya angka kematian (bayi lahir mati, kematian bayi bawah 1 tahun, kematian anak di bawah lima tahun dan kematian ibu) dan tingginya angka kesehatan. Makin tinggi angka kesehatan menyebabkan makin rendahnya angka kematian sehingga memperbesar harapan untuk hidup.

Angka kematian bayi pada tahun 1980 sebesar 109 per 1000 kelahiran hidup, hingga mencapai 71 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1990 dan pada tahun 2005 sudah mencapai 40,87 per 1000 kelahiran hidup. Artinya sepanjang rentang waktu 25 tahun angka kematian bayi mengalami penurunan yang sangat signifikan sebagai dampak pelaksanaan pembangunan di segala bidang, termasuk intervensi program kesehatan yang sangat intensif dilaksanakan di seluruh pelosok tanah air. Namun terjadinya berbagai kasus mengenai prevelensi balita kekurangan energi dan protein, terutama berkaitan dengan masalah busung lapar yang banyak diberitakan di berbagai media, menyebabkan peluang kenaikan angka kematian bayi sangat mungkin terjadi.

Gambar 3.6. Persentase Balita Berdasarkan Penolong Kelahiran Terakhir

Di Propinsi Jawa BaratTahun 2004 dan 2005

25

Page 11:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Sumber: Bapeda dan BPS Propinsi Jawa Barat, Suseda 2004-2005

Penyebab tingginya angka kematian bayi selain karena masalah infeksi/penyakit dan berat bayi lahir rendah, juga berkaitan erat dengan kondisi pada fase kehamilan, pertolongan kelahiran yang aman dan perawatan bayi pada saat lahir (www.Kompas.com, 2005). Menurut data Suseda tahun 2004, masih terdapat 39,74 persen balita yang lahir hanya mendapatkan pertolongan persalinan dari tenaga non paramedis seperti dukun, dan keluarga, dan kondisi yang hampir sama terjadi pula di tahun 2005 (38,73 persen). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa hampir dua per lima balita di Jawa Barat memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena infeksi atau perawatan pasca persalinan yang kurang baik dibandingkan dengan yang ditolong oleh tenaga medis seperti dokter, bidan, maupun tenaga paramedis lain saat kelahirannya.

Peluang rendahnya tingkat keselamatan bayi tersebut terkait dengan minimnya pengetahuan tentang cara persalinan dan perawatan pasca persalinan yang sehat dan aman misalnya mengenai perawatan tali pusar, perlakuan saat membersihkan bayi yang baru lahir, serta sangat minimnya alat-alat bantu penolong persalinan yang ada. Dapat dibayangkan bagaimana situasi yang terjadi saat detik-detik menjelang persalinan yang menegangkan, keluarga yang berada di daerah terpencil terhalang oleh ketidaktersediaan sarana transportasi yang memadai untuk membawa ibu dan bayi ke tempat-tempat persalinan medis, ditambah dengan anggaran keuangan yang sangat minim, memaksa mereka menggantungkan harapan akan keselamatan orang-orang terkasih hanya kepada penolong kelahiran yang terkesan ”seadanya”.

Situasi ini tidak saja membawa kerawanan terhadap bayi yang baru dilahirkan, tapi juga keselamatan dari ibu yang melahirkan. Berdasarkan data terakhir tahun 2003 Angka Kematian Ibu (AKI) di Jawa Barat masih sebesar 321,15 per 100.000 angka kelahiran hidup. AKI di Jawa Barat ini bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan AKI Nasional yang sebesar 307 per 100.000 angka kelahiran

26

Page 12:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

hidup (data yang dikumpulkan secara nasional dari SDKI 2002). Kondisi AKI sendiri telah mengalami penurunan yang cukup besar dibandingkan dengan 1990 yaitu 450 per 100.000 kelahiran hidup. Namun, dilihat kecenderungannya, maka target Millennium Development Goals (MDGs) 125 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 mungkin tidak akan tercapai tanpa upaya yang intensif.

3.2.2. Status Gizi Balita

Faktor gizi memiliki high contribution bagi perkembangan kesehatan setiap manusia. Gizi berperan besar terutama di masa-masa pembentukan janin pada periode kehamilan dan berlanjut pada masa-masa pertumbuhan seorang anak. Otak sebagai salah satu organ paling penting dalam tubuh, tumbuh secara dramatis selama periode kehamilan, Indonesia Nutrition Network menjelaskan otak bayi terbentuk segera setelah pembuahan, di mana otak seorang bayi yang baru lahir mencapai pertumbuhan 25 persen dari otak orang dewasa, dan mengandung 100 miliar sel otak (neuron).

Pada usia setahun, pertumbuhannya mencapai 70 persen dari otak dewasa, dan 70 – 85 persen neuron yang ada sudah terbentuk secara lengkap. Dan pada usia tiga tahun, perkembangan otaknya sudah mencapai 90 persen otak dewasa totalnya yang secara signifikan akan menentukan kualitas SDM hingga masa dewasa. Hingga kurun waktu tersebut frekuensi tubuh dalam membangun sistem kekebalan sangat besar. Masa ini juga merupakan masa kritis bagi tumbuh kembang fisik, kecerdasan (intelligence quation), mental (emotional quation), dan sosial (socio quation). Dengan berbagai potensi tersebut, kekurangan gizi pada masa ”golden age” ini akan berdampak besar bagi kelangsungan kehidupan seorang anak.

Sebagai ilustrasi, seorang anak yang memiliki gizi buruk berpeluang mengalami penurunan tingkat kecerdasan hingga 30 poin. Akibat jangka pendek yang dirasakan adalah mudah terkena penyakit atau bahkan kematian. Akibat jangka panjangnya, kalaupun anak dengan gizi buruk ini dapat bertahan, biasanya akan mempunyai kualitas hidup yang sangat rendah yang tidak mungkin dapat diperbaiki sepanjang rentang kehidupannya. Resiko pertumbuhan dan perkembangan yang tidak optimal pada akhirnya akan melahirkan ”lost generation”. Jika dilihat dari sisi kualitas Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di masa mendatang, tentunya kondisi tersebut sangat menghawatirkan, karena sebagian dari generasi penerus kita tidak mampu bertumbuh kembang dengan baik dan memiliki kualitas yang rendah. Seperti umumnya di negara-negara berkembang, kecukupan gizi yang relatif rendah (atau

27

Page 13:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

lebih sederhana di sebut kurang gizi) pada balita merupakan masalah utama yang cukup menghambat kemajuan pembangunan (Kodyat, 1992).

Muhamad Thohar Arifin, M.D. dari bagian anatomi dan bedah saraf FK UNDIP Semarang (Inovasi, 2005) menyatakan status gizi anak balita secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umur maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan (melalui pemeriksaan antropometri). Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang, dan apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk. Selain melalui pengujian antropometri, diagnosis kurang gizi juga dapat melalui temuan klinis, di mana keadaan klinis gizi buruk dapat dibagi menjadi kondisi marasmus seperti anak kurus, kulitnya kering, dan didapati pengurusan otot (atrophy); kondisi kwasiorkor seperti didapati pembengkakan terutama pada punggung kaki yang tidak kembali setelah dilakukan pemijitan; serta kondisi marasmik kwasiorkor yang merupakan bentuk klinis campuran keduanya.

Hasil analisis antropometri balita yang dilakukan Atmarita menunjukkan selama kurun 16 tahun terjadi penurunan persentase balita yang mengalami kekurangan gizi di Jawa Barat, yaitu dari 35,09 persen pada tahun 1989 hingga menjadi 22,00 persen pada tahun 2005. Artinya, lebih dari tiga perempat balita di Jawa Barat telah mendapatkan asupan makanan yang cukup dan memiliki kondisi tubuh yang sehat.

28

Gambar 3.7. Analisis Antropometri Balita Propinsi Jawa Barat Tahun 1989 - 2005

Sumber: Atmarita, Diolah dari Susenas, update April 2006

69.68

79.50

35.09

34.04

30.32

25.84

23.56

21.43

20.50

23.20

22.00

74.16

64.91

65.97

76.43

78.57

76.80

78.00

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00%

baik/lebih (>=-2.00)buruk/kurang (<-2.00)

Page 14:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Ini terkait dengan penyebab kekurangan gizi pada anak yang pada umumnya disebabkan oleh kuantitas dan kualitas asupan makanan yang dikonsumsi dan tingkat kesehatan anak tersebut. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi gizi buruk adalah saat bayi hingga usia 2 tahun anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang seperti Air Susu Ibu (ASI).

Satu sumber zat gizi utama dan paling berperan pada masa-masa pertama anak yang baru lahir hingga usia 2 tahun adalah air susu ibu (ASI). Obat pencegah gangguan gizi pada bayi ini mengandung beberapa nutrien khusus bagi pertumbuhan otak bayi, seperti taurin, laktosa, omega-3 asam linoleat alfa, dan asam lemak ikatan panjang antara lain DHA (Docosahexanoic Acid) dan AA (Arachidonic Acid) yang ke semua nutrien tersebut tidak bisa didapat dari susu sapi atau fomula. Kalaupun ada itupun hanya dengan komposisi yang sangat sedikit. Berbagai fakta ilimiah membuktikan bayi dapat tumbuh lebih sehat dan cerdas jika diberi ASI secara ekslusif pada 4 – 6 bulan pertama kehidupannya. Arti ekslusif disini adalah tidak diberi tambahan makanan cairan apapun seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, maupun tambahan makanan seperti pisang, bubur susu, biskuit, maupun nasi tim.

Kelebihan yang diberikan ASI kepada bayi menurut penulis Harun Yahya (2006) dalam artikelnya di antaranya kandungan minyak omega-3 asam linoleat alfa merupakan zat penting bagi otak dan retina manusia. Bayi yang diberi ASI secara khusus terlindung dari serangan penyakit sistem pernapasan dan pencernaan. Hal itu disebabkan zat-zat kekebalan tubuh di dalam ASI memberikan perlindungan langsung melawan serangan penyakit. Sifat lain dari ASI yang juga memberikan perlindungan terhadap penyakit adalah penyediaan lingkungan yang ramah bagi bakteri ”menguntungkan” yang disebut ”flora normal”. Keberadaan bakteri ini menghambat perkembangan bakteri, virus dan parasit berbahaya. Tambahan lagi, telah dibuktikan pula bahwa terdapat unsur-unsur di dalam ASI yang dapat membentuk sistem kekebalan melawan penyakit-penyakit menular dan membantunya agar bekerja dengan benar

Tabel 3.2. Persentase Lamanya Balita Disusui Menurut Jenis Kelamin di Propinsi Jawa Barat

29

Page 15:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Tahun 2005

Indikator % Lamanya Balita DisusuiLaki-laki Perempuan Jumlah

(1) (2) (3) (5)

1. Jumlah Balita 1.805.837 1.711.312 3.517.149 2. Balita yang Disusui 1.721.133 1.632.601 3.353.734 3. % disusui > 24 bulan 35,62 33,10 34,39 4. % disusui 12-23 bulan 43,22 45,54 44,34 5. % disusui < 12 bulan 21,16 21,36 21,27

Sumber: Bapeda dan BPS Propinsi Jawa Barat, Suseda 2005

Sebanyak 95,35 persen balita di Jawa Barat pernah diberi ASI dengan rentang waktu pemberian ASI yang berbeda-beda. Dari data Suseda 2005 diketahui 34,39 persen balita tersebut disusui lebih dari 2 tahun, sedangkan 44,34 persen disusui selama 1-2 tahun dan sisanya sebanyak 21,27 persen balita hanya mendapatkan asupan ASI dari ibunya (baik ibu kandung maupun ibu susu) kurang dari 12 bulan. Situasi ini sangat menggembirakan karena tingkat kesadaran orang tua terutama ibu untuk memberikan asupan gizi terbaik bagi si kecil makin baik. Dengan kata lain semakin panjang usia pemberian ASI terutama ASI ekslusif 4 – 6 bulan pertama akan menjamin tercapainya pertumbuhan otak secara optmal, sehingga diharapkan pengembangan potensi anak dapat berjalan baik dan semakin optimal pula.

Terlepas dari konsumsi ASI yang seharusnya didapat seorang anak karena berbagai keunggulannya, bisa terjadi kondisi di mana asupan tersebut tidak terpenuhi karena sesuatu sebab, seperti meninggalnya ibu pasca persalinan, ASI yang tidak keluar ataupun jika keluar tapi tidak memenuhi kebutuhan bayi dan anak. Asupan gizi lain bisa didapat tidak hanya dari ASI. Seiring dengan perkembangan usia, semakin besar, anak butuh asupan gizi lain yang bisa didapat dari sayur-sayuran, buah-buahan, susu dan makanan lain yang notabene mengandung zat-zat yang dibutuhkan tubuh seperti karbohidrat, protein hewani dan nabati, vitamin, kalsium, serta berbagai mineral penting lainnya.

Tubuh manusia memerlukan makanan untuk memelihara proses hidup dan mendorong pertumbuhan sel yang sehat. Makanan itu diurai dan disintesa ulang menjadi bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh. Kebutuhan akan gizi yang baik terus bervariasi pada tiap tingkatan umur. Kebutuhan gizi remaja akan berbeda dengan bayi dan balita, sama halnya dengan kebutuhan gizi dewasa akan berbeda dengan kebutuhan gizi remaja maupun orang tua. Orang yang mengalami

30

Page 16:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

kekurangan zat gizi berpeluang besar mengalami hambatan dalam pertumbuhan, baik itu fisik maupun mental. Secara lahiriah salah satunya dapat terlihat dari ukuran tubuh di bawah rata-rata ukuran tubuh normal, kurangnya kecerdasan, selalu lesu, mata minus, dan berbagai permasalahan akibat kurang gizi lainnya.

Fakta yang ada di Indonesia pada tahun 1999 prevalensi anak pendek pada kelompok umur 5 – 9 tahun atau anak yang baru masuk sekolah ada sekitar 36,1 persen. Tahun 2003 Departemen Kesehatan memperkirakan satu dari tiga balita di Indonesia mengalami hambatan pertumbuhan (baik fisik maupun mental) dan diperkirakan akan terus demikian sepanjang masa hidupnya (Departemen Kesehatan, 2003). Terhambatnya pertumbuhan terutama pertumbuhan mental semasa kanak-kanak ini kelak akan berkaitan erat dengan angka kesakitan yang tinggi di kemudian hari, demikian pula kemampuan berpikir serta prestasi pendidikan yang tidak optimal. Bagi penduduk di atas usia balita kerawanan gizi terkadang didorong oleh pola makan yang tidak memperhatikan keseimbangan nilai gizi pada menu makanan yang dimakan.

Pada masa sekarang, yang terjadi di lingkungan sekitar kita adalah anak lebih banyak mengkonsumsi ”jajanan” di luar rumah dari pada makanan yang disediakan di rumah. Padahal makanan yang ada hampir sebagian besar tidak memenuhi standar baik dari segi kebersihan maupun mutu asupan gizinya. Contohnya jajanan yang banyak dikonsumsi anak adalah jajanan dengan kandungan monosodium glutamat (MSG) yang cukup tinggi. Padahal dari penelitian kedokteran didapatkan bahwa MSG dapat mengkontaminasi pelindung darah otak yang dapat mengakibatkan kelainan hati, trauma, hipertensi, stres, demam tinggi dan proses penuaan. MSG juga memicu reaksi gatal, bintik merah di kulit, mual, dan muntah sakit kepala, migren, asma, gangguan hati, ketidakmampuan belajar dan depresi.

Masalah zat gizi utama lainnya adalah kurang zat gizi mikro seperti kurang vitamin A, kurang zat besi, maupun kurang yodium. Data Suseda 2004 memperlihatkan terdapat sekitar 10,58 persen rumahtangga yang tidak mengkonsumsi garam beryodium di Jawa Barat dan 18,43 persen di antaranya mengkonsumsi garam dengan kandungan yodium kurang. Kondisi ini cukup menghawatirkan karena orang yang kekurangan yodium menurut Departemen Kesehatan berpotensi kehilangan IQ sebesar 50 poin, bahkan dapat berakibat kepada kerusakan mental. Ibu yang kekurangan yodium dapat menyebabkan bayi lahir mati, cacat fisik maupun kerusakan berat pada otak. Dapat dibayangkan ini terjadi pada penduduk Jawa Barat, berapa banyak potensi SDM yang hilang akibat kekurangan zat gizi yang satu ini.

31

Page 17:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Satu hal lain yang perlu diperhatikan bukan saja melihat kerawanan penduduk yang kurang asupan gizi, namun juga perlu diperhatikan penduduk dengan peluang kelebihan gizi, terutama yang terjadi di daerah-daerah perkotaan. Dari perkiraan Departemen Kesehatan ada sekitar 10 persen penduduk dewasa di daerah perkotaan atau 10 juta orang mengalami gizi lebih. Hal yang sama juga dapat terjadi pada anak-anak. Masalah akan timbul jika asupan energi lewat makanan jauh lebih besar dari pada energi yang diperlukan untuk beraktivitas, atau peningkatan gizi yang terjadi tidak disertai peningkatan aktifitas olah raga. Akibatnya lemak yang masuk ke dalam tubuh menimbun karena tidak tersalurkan dengan baik, dengan kata lain ada kelebihan energi. Yang ditakutkan adalah kemungkinan makin banyaknya penduduk yang menderita berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, darah tinggi (hipertensi), stroke (ketiganya tergolong jenis penyakit sistem sirkulasi atau kardiovaskuler) osteoporosis, kanker, hingga diabetes.

Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan, sejak tahun 1992 penyakit jantung dan pembuluh darah meningkat terus proporsinya sebagai penyebab kematian terutama diatas 40 tahun. Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan Organisasi Federasi Jantung Sedunia (World Heart Federation) bahkan memprediksi penyakit jantung akan menjadi penyebab utama kematian di negara-negara Asia pada tahun 2010, menggantikan kematian akibat infeksi. Di Jawa Barat sendiri, Menurut Dra. Hj. Nia Tony D, Ketua Yayasan Jantung Indonesia (YJI) cabang utama Jawa Barat, tercatat 49.520 kasus penderita penyakit kardiovaskuler. Angka ini dirasa masih jauh dari angka sebenarnya karena belum ada survei khusus kardiovaskuler yang menyeluruh di Jawa Barat. Kebiasaan merokok, kurangnya aktivitas fisik, perubahan pola diet, obesitas, hiperlipidemia (keadaan dengan lemak darah meningkat), diabetes, dan hipertensi merupakan faktor resiko penyakit kardiovaskuler yang mudah dikenali. Dari semua itu, menghentikan kebiasaan merokok merupakan intervensi yang paling murah (Kompas, 2004)

3.2.3. Perilaku Hidup Sehat Masyarakat

Henrik L Blum sesuai dengan teorinya, mengatakan faktor perilaku turut berperan dalam penentuan derajat kesehatan masing-masing sebesar 30 persen. Faktor perilaku yang berpengaruh di sini berkaitan dengan pengetahuan dan pendidikan yang menentukan perilaku seseorang untuk berperilaku sehat atau tidak. Indonesia dan negara-negara berkembang lain saat ini sedang menghadapi transisi epidemiologi, di mana pada bidang gizi terjadi perubahan pola makan seperti

32

Page 18:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

rendahnya konsumsi buah dan sayur, tingginya konsumsi garam, dan meningkatnya konsumsi makanan yang tinggi lemak serta berkurangnya aktivitas olah raga (Departemen Kesehatan, 2006). Perilaku dan kondisi lingkungan yang kurang sehat ini meningkatkan resiko penduduk terkena penyakit degeneratif (tidak menular) dan kematian.

Rendahnya konsumsi buah dan sayur terlihat pada rumahtangga-rumahtangga di Jawa Barat, di mana masih ada sebanyak 12,91 persen rumahtangga yang tidak pernah mengkonsumsi buah ataupun sayuran dalam pola konsumsi makannya sehari-hari. Padahal sayur mayur dan buah-buahan sangat kaya akan serat dan vitamin untuk membantu kelancaran metabolisme maupun kebugaran tubuh. Perilaku lain adalah mengenai kebiasaan mengkonsumsi garam yang cukup tinggi di kalangan masyarakat. Garam yang kaya akan unsur sodium banyak ditemui pada makanan-makanan kelas ”atas” seperti steak , ikan sarden, keju, seafood, berbagai makanan yang dipanggang, makanan kaleng, atau berbagai makanan di restoran Cina atau India yang kaya akan citarasa asin. Tidak hanya itu, bahkan sodium yang tinggi juga didapati pula pada ikan asin yang umumnya merupakan menu keseharian masyarakat pedesaan.

Dr. Hendrawan N (2006) menyebutkan satu sendok teh garam dapur berisi 2.000 mg sodium. Sodium yang terkandung dalam setiap menu modern rata-rata sekitar 500 mg. Pada takaran ini saja ginjal sudah perlu lembur untuk tetap mempertahankan keseimbangan cairan dan asam-basa agar mesin tubuh tak kacau dari penyakit akibat kelebihan sodium tidak sampai muncul. Bisa dibayangkan jika konsumsi sodium tubuh lebih dari jumlah standar yang mampu diolah ginjal maka gangguan kesehatan semakin mudah mampir tanpa sempat disadari. Contoh penyakit yang dapat disebabkan oleh garam adalah darah tinggi, jantung, keracunan kehamilan, kelainan hati, hingga penyakit gagal ginjal.

33

Page 19:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

23.39

12.36

64.25 66.85

25.93

7.22

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

aktif kurang aktif pasiftipical perokok

%

2003

2004

Gambar 3.8. Penduduk Usia 10 Tahun ke atas MenurutTipe Merokok di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003 - 2004

Sumber: Bapeda dan BPS Propinsi Jawa Barat, Suseda 2003-2004

Perilaku lain yang cukup menghawatirkan adalah perilaku merokok penduduk. Unsur nikotin yang terkandung dalam rokok sangat berbahaya bagi tubuh, karena dapat mengakibatkan gangguan kesehatan seperti kurangnya nafsu makan, jantung, impotensi, hingga gangguan terhadap kehamilan dan janin. Akibat yang ditimbulkan nikotin bukan hanya bagi para perokok aktif melainkan bagi para perokok pasif, yaitu orang-orang yang berada di lingkungan para perokok karena mereka berpeluang menghirup asap rokok yang ada di sekitarnya. Data Suseda 2004 melihat 63,91 persen penduduk laki-laki di Jawa Barat di atas usia 10 tahun pernah bersinggungan dengan rokok. Dari seluruh laki-laki yang pernah merokok di Jawa Barat tersebut, 78,52 persen diantaranya adalah perokok aktif. Kebiasaan merokok tersebut dilakukan mulai dari usia belia, yaitu 7,44 persen mulai merokok pada usia di bawah 15 tahun atau setara dengan anak-anak SD dan SMP.

Meski konsumsi rokok pada penduduk perempuan tidak besar, hasil Suseda 2004 juga terlihat 1,94 persen penduduk perempuan di Jawa Barat di atas 10 tahun ternyata pernah bersinggungan dengan rokok. Dari seluruh penduduk perempuan yang pernah merokok tersebut, 4,16 persen mulai merokok dari usia SD dan SMP, dan 67,50 persen dari seluruh penduduk perempuan yang pernah merokok tersebut merupakan perokok aktif. Penyebab anak-anak pada usia sekolah dasar dan

34

Page 20:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

menengah menghisap rokok diduga kuat hanyalah karena faktor ”coba-coba” saja. Berbagai kemungkinan lain yang timbul adalah karena pergaulan yang mendukung, memiliki keluarga yang juga merokok, ataupun karena sebab lainnya, misalnya stres dan sebagainya. Pada kedua jenis perilaku ini sudah seharusnya dihindari sedini mungkin jika ingin mengurangi resiko terkena penyakit jantung (koroner), selain harus berolah raga teratur serta memperhatikan gizi yang seimbang.

Salah satu perilaku kesehatan yang kini sedang marak digalakkan dan cukup terlihat hasilnya adalah kebiasaan penduduk untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah makan. Mencuci tangan memakai sabun adalah aktivitas yang menurut sebagian besar orang hanyalah aktivitas biasa-biasa saja. Padahal, banyak manfaat yang didapat dari kebiasaan mencuci tangan ini. Merujuk pada hasil studi Curtis V dari Departemen of Intectious and Tropical Diseases London Scholl of Hygiene and Tropical Medicine (Koalisi untuk Indonesia Sehat, 2006) pada tahun 2003 membuktikan bahwa mencuci tangan dengan sabun dapat mengurangi resiko terkena penyakit diare yang merupakan penyebab terbesar kematian terutama bagi balita di banyak negara. Kerentanan tersebut disebabkan oleh rendahnya tingkat kekebalan tubuh balita dibandingkan dengan tubuh orang dewasa. Di Jawa Barat sendiri pada tahun 2005 paling tidak terdapat 1,18 persen penduduk yang mengeluhkan terkena diare dalam sebulan terakhir.

Selain beberapa contoh perilaku kurang sehat yang kerap dilupakan oleh masyarakat tadi, masih banyak perilaku lain yang masih menjadi penghambat (delay) bagi peningkatan status kesehatan penduduk seperti mengurangi minum minuman beralkohol, frekuensi mandi, berpakaian bersih, menggunting kuku, menggosok gigi, membuang sampah pada tempatnya, hingga kebiasaan berolah raga penduduk. Perilaku-perilaku yang disebutkan ini sebenarnya hanyalah sebagian saja dari perilaku kesehatan yang dilakukan masyarakat sehari-hari yang semestinya menjadi tindakan pencegahan dari berbagai macam penyakit yang mungkin timbul. Tindakan preventif ini tentunya jauh lebih murah, lebih efektif, dan efisien daripada tindakan kuratif. permasalahannya bagaimana menggalakkan perilaku ini menjadi perilaku rutin setiap penduduk khususnya di Jawa Barat.

35

Page 21:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

3.2.4. Perumahan dan Lingkungan

Sesuai dengan teori H. Blum, lingkungan turut berperan dalam penentuan derajat kesehatan sebesar 45 persen. Faktor lingkungan yang dimaksudkan di sini berkaitan dengan lingkungan fisik, biologis, dan sosial yang menunjang penentuan status kesehatan dan gizi penduduk. Sumber daya alam sebagai lingkungan fisik yang ada selama ini dipergunakan bagi kelangsungan hidup manusia memiliki sifat irrevertible (tidak mungkin berkembang), sedangkan jumlah penduduk semakin lama semakin meningkat. Laju pertumbuhan yang cukup cepat, hingga kini selalu memunculkan masalah, tidak saja pada masalah ekonomi, sosial, budaya, namun juga berdampak pada permasalahan lingkungan seperti ketersediaan air yang sehat dan bersih dan peningkatan kadar polusi udara, laut, maupun darat berupa sampah. Tidak selalu lingkungan sebagai penyebab, melainkan juga sebagai penunjang, media transmisi, maupun memperberat penyakit yang telah ada.

Setiap tahunnya, tak kurang dari 2,2 juta orang di negara berkembang (middle development country) utamanya anak-anak, meninggal dunia dikarenakan kurangnya air minum yang aman, sanitasi dan higiene yang buruk (Departemen Kesehatan, 2006). Untuk melihat rendahnya tingkat sanitasi lingkungan sebagai standar utamanya dapat diperhatikan dari berbagai sarana penunjang kesehatan yang berada di lingkungan rumahtangga, baik dilihat dari kondisi perumahan, sumber air bersih, fasilitas buang air besar, termasuk fasilitas buang sampah.

Air minum yang bersih merupakan syarat yang penting bagi kesehatan manusia. Rendahnya kualitas air yang diminum menyebabkan bakteri penyakit mudah masuk ke dalam tubuh. Kualitas air minum sendiri dapat diketahui dari bentuk dan rasa air, di mana terdapat lima tingkatan kualitas air yang sering dijadikan tolok ukur yaitu jernih, berwarna, berasa, berbusa, dan berbau. Data Statistik dan Perumahan menyebutkan Di Jawa Barat hampir sebagian besar rumahtangga sudah mengkonsumsi air minum yang jernih atau bening (98,40 persen) pada tahun 2004, sedangkan sisanya masih menggunakan air minum dengan kualitas berwarna (1,93 persen), berasa (2,02 persen), berbusa (0,92 persen), dan berbau (1,23 persen).

Tabel 3.3. Persentase Rumahtangga Menurut Kondisi Perumahan, Fasilitas Air Minum,

36

Page 22:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Fasilitas Buang Air Besar, dan Fasilitas Buang Sampah Rumahtangga di Propinsi Jawa Barat

Tahun 2003- 2005

Indikator 2003 2004 2005(1) (2) (3) (4)

persen rmt dg lantai tanah 8,66 7,48 7,47persen rmt tanpa akses sumber air minum terlindung

16,48 14,96 14,85

persen rmt dg jarak sumber air ke penampungan tinja <=10m 35,21 36,66 36,90persen rmt tanpa akses tempat buang air besar 17,18 14,84 14,66

Sumber : Bapeda dan BPS Propinsi Jawa Barat, Suseda 2003-2005

Besarnya persentase rumahtangga yang mengkonsumsi air minum dengan kualitas jernih/bening ini paling tidak membuka peluang besar penduduk untuk memperoleh air minum yang sehat dan aman, asalkan mengikuti aturan yang berlaku. Air minum harus disterilkan terlebih dahulu dengan cara direbus sampai mencapai suhu 100 derajat celsius hingga rentang waktu tertentu. Proses perebusan air merupakan cara yang paling efektif untuk membunuh berbagai bakteri patogen yang berbahaya bagi kesehatan. Perrlu diwaspadai bahwa untuk mendapatkan air melalui cara filterisasi dan ozonisasi seperti yang kini mulai marak di masyarakat dalam bentuk air minum isi ulang yang belum tentu memberikan jaminan air dengan kualitas yang sehat dan aman.

Kasus tahun 2003 seperti diberitakan Kompas (23/5/2003), diberitakan bakteri Escherichia coli, coliform, bahkan Salmonella ditemukan dalam sampel air minum isi ulang yang diteliti di beberapa depot pengisian. Bakteri E coli (coliform fekal) merupakan bakteri indikator sanitasi, artinya, bakteri yang keberadaannya dalam pangan menunjukkan air atau makanan tersebut pernah tercemar oleh kotoran manusia. Sedangkan Salmonella merupakan bakteri indikator keamanan pangan, artinya adanya bakteri ini dalam air dan makanan dianggap membahayakan kesehatan manusia karena bersifat patogen (penyebab penyakit). Hasil penelitian tersebut memberikan kesimpulan air minum isi ulang sangat rentan tercemar oleh berbagai kotoran baik bakteri dalam tanah, maupun oleh kotoran manusia yang dapat menimbulkan masalah kesehatan manusia. Dalam proses mendapatkan air bersih, tidak cukup melihat air tersebut jernih atau bening saja, tapi juga harus diperhatikan apakah ada peluang terkena pencemaran dari lingkungan tempat sumber air tersebut berasal.

37

Page 23:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Tercemarnya air minum oleh kotoran manusia sangat mungkin terjadi jika jarak sumber air minum cukup dekat dengan tempat penampungan kotoran atau tinja. Data tiga tahun terakhir memperlihatkan masih ada lebih dari 35 persen rumahtangga di Jawa Barat yang memiliki jarak tempat pembuangan tinja dengan sumber air minum yang kurang dari 10 meter (jarak minimal yang ditetapkan pemerintah). Air yang berasal dari sumber tidak terlindung, seperti sumur yang tidak ada dinding penghalang minimal 3 meter ke dalam tanah dapat tercemar oleh bakteri-bakteri yang ada di sekitar sumur tersebut, misalnya bakteri dari limbah manusia (tinja). Belum lagi penduduk yang memanfaatkan sumur tidak terlindung, mata air tidak terlindung, air sungai, bahkan air hujan (14,98 persen) untuk memenuhi kebutuhan air minum (Suseda 2003-2005).

Air yang didapat dari berbagai sumber ini sangat rentan terkena pencemaran, baik dari limbah mandi, cuci, kakus penduduk, limbah-limbah pabrik, sampah, maupun pencemaran lain. Data statistik perumahan dan lingkungan menyebutkan 50 persen rumahtangga di Jawa Barat tahun 2004 tidak memiliki tempat penampungan untuk air limbah mandi/dapur/cuci. Limbah tersebut langsung menuju got atau sungai, meski dengan kontribusi yang lebih kecil dari kontribusi limbah pabrik, namun turut berperan bagi semakin tingginya tingkat pencemaran terhadap lingkungan.

Hal lain yang dapat dijadikan penunjang hidup sehat penduduk adalah kondisi lingkungan tempat tinggal yang sehat. Sehat dalam arti lingkungan yang bersih, nyaman, asri, bebas dari polusi dan dapat memberikan rasa aman dan nyaman. Di Jawa Barat memang kebiasaan bekerja bakti warga membersihkan sampah baik di selokan maupun di lingkungan tempat tinggal masih cukup tinggi dilakukan. Hasilnya, 72,07 persen keadaan air got/selokan di sekitar rumah mengalir dengan lancar (statistik perumahan dan lingkungan, 2004). Sebesar 8,94 persen lainnya adalah keadaan air selokan yang mengalir sangat lambat dan tergenang, bahkan 18,99 persen rumahtangga tidak memiliki selokan untuk mengaliri limbah domestiknya. Kondisi ini perlu mendapat perhatian, karena air selokan yang tidak mengalir lancar maupun tergenang, atau air limbah yang berserakan di sekitar lingkungan tempat tinggal bisa menyebabkan bau tidak sedap dan menjadi tempat berkembang biak berbagai sumber penyakit selain lingkungan menjadi tidak sedap dipandang.

Perilaku membuang sampah masyarakat cukup mempengaruhi kesehatan lingkungan. Bermacam cara membuang sampah di masyarakat antara lain adalah diangkut petugas, ditimbun, di buat kompos, dibakar, dibuang ke kali/selokan,

38

Page 24:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

dibuang sembarangan, dan cara membuang sampah lainnya. Di karenakan keterbatasan lahan, sebagian besar sampah di perkotaan terutama hasil limbah domestik diangkut petugas untuk dibuang ke tempat pembuangan sementara maupun akhir sampah (43,12 persen) atau dibakar (35,19 persen). Sedangkan di daerah perdesaan, 57,95 persen rumahtangga membuang sampah dengan cara dibakar atau ditimbun (14,02 persen). Kondisi memungkinkan karena lahan di daerah perdesaan yang masih cukup luas.

Dari sekian permasalahan yang dipaparkan berkaitan dengan kondisi kesehatan di atas, masih banyak lagi problematika kesehatan yang muncul dan perlu segera dibenahi akibat perubahan sosial ekonomi dan budaya, antara lain; terjadinya disparitas status kesehatan; beban ganda penyakit; kinerja pelayanan kesehatan yang rendah; perilaku dan pola hidup bersih masyarakat yang kurang mendukung; rendahnya kondisi kesehatan lingkungan; rendahnya kualitas pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan; terbatasnya jumlah tenaga kesehatan dan distribusi yang tidak merata; dan rendahnya kesehatan penduduk miskin. Pengejawantahan berbagai program pemerintah seyogyanya perlu dilakukan secara bertahap, agar tujuan akhir yang William C. Hsiao (2000) maksudkan dapat segera terwujud yaitu: good health for all citizen, financial risk protection for all, equal acces for everyone to quality healt care, and satisfaction of the people (kesehatan bagi setiap penduduk, perlindungan bagi resiko keuangan yang muncul, kemudahan akses kesehatan yang berkualitas bagi setiap penduduk, dan kepuasan seluruh masyarakat).

3.3. Status Pembangunan di Bidang Pendidikan

Sebagai upaya untuk mendorong tercapainya target IPM 80 pada tahun 2010, Pemerintah Propinsi Jawa Barat telah memunculkan isu (focal concern) untuk mendukung visi yang ditetapkannya, “Dengan Iman dan Taqwa, Jawa Barat sebagai Provinsi Termaju dan Mitra Terdepan Ibu Kota Negara pada Tahun 2010”. Salah satu isu dan menjadi misi pembangunan di Propinsi Jawa Barat, yaitu : “Meningkatkan kualitas dan produktivitas Sumber Daya Manusia (SDM)”, dijadikan prioritas utama dalam pembangunan sektor pendidikan.

Bila melihat kemajuan pencapaian IPM di Propinsi Jawa Barat selama tiga tahun terakhir (periode tahun 2003-2005), kontribusi pencapaian komponen indeks pendidikan masih relatif paling tinggi dibandingkan dua komponen IPM lainnya, yaitu kesehatan dan daya beli. Menurut data BPS Propinsi Jawa Barat, pencapaian IPM di

39

Page 25:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Propinsi Jawa Barat telah mencapai angka 69,35 di tahun 2005, di mana kontribusi indeks pendidikan mencapai sebesar 79,59. Jauh lebih baik jika dibandingkan dengan indeks kesehatan yang baru mencapai 69,28 maupun indeks daya beli yang mencapai sebesar 59,18. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa Pemerintah Propinsi Jawa Barat masih memiliki tugas besar untuk meningkatkan percepatan/akselerasi pembangunan di bidang kesehatan dan perekonomian masyarakat guna mendukung daya beli.

Tingginya indeks pendidikan dibandingkan dengan dua komponen lainnya belum cukup menunjukkan bahwa kemajuan pembangunan manusia Jawa Barat di bidang pendidikan sudah baik. Bila dilihat dari laju perkembangannya, terlihat adanya penurunan pertumbuhan komponen pendidikan pada periode tahun 2004-2005 dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya. Bila kita perhatikan laju pertumbuhan komponen IPM lainnya justru mengalami peningkatan cukup signifikan. Pembangunan di bidang pendidikan malah terlihat mengalami penurunan pertumbuhan dari periode sebelumnya meskipun secara absolute terjadi peningkatan pada indeks pendidikan itu sendiri.

0.66

2.05

0.61 0.57

0.200.35

0.49

0.99

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

IndeksKesehatan

IndeksPendidikan

Indeks Daya Beli IPM

Laju Pertumbuhan IPM dan Komponennya, di J awa Barat Tahun 2003-2005

2003-2004

2004-2005

Gambar 3.9.

Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat

40

Page 26:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa hanya negara yang mempunyai Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang akan mampu bersaing dengan negara lain dalam era globalisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah khususnya pemerintah daerah perlu lebih mengedepankan upaya peningkatan kualitas SDM melalui program-program pembangunan yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pendidikan baik formal maupun non formal. Karena sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa pendidikan merupakan kebutuhan yang tak kalah pentingnya dibandingkan dengan kebutuhan lainnya. Dalam institusi terkecil seperti rumahtangga, pendidikan seyogyanya telah menjadi kebutuhan utama. Kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi hal tersebut, karena bagaimanapun juga SDM yang bermutu merupakan syarat utama bagi terbentuknya peradaban yang baik.

3.3.1. Pencapaian Angka Partisipasi Murid

Pada awal tahun 1972, ketika program life long education disosialisasikan, kesadaran akan pembangunan manusia ini telah disuarakan oleh Edgar Faure, Ketua The International Commision for Education Development, yang menekankan bahwa pendidikan merupakan tugas negara yang paling penting. Hal senada oleh pemerintah telah dituangkan pada Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab IV (Hak Dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat Dan Pemerintah) pasal 6 ayat 1, yang mengatakan bahwa “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”, dan pasal 11 ayat 2 “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin tersedianya dana, guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.” Hal ini berarti bahwa sepatutnya sudah tidak ada lagi anak usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah, atau tingkat partisipasi sekolahnya 100 persen.

Melihat kualitas pendidikan SDM di Indonesia dibandingkan beberapa negara tetangga, muncul rasa prihatin terhadap kenyataan yang ada. Bahkan bila dibandingkan dengan negara tetangga yang era pembangunannya baru dimulai pasca perang saudara yaitu sekitar tiga dekade setelah negara kita merdeka, Vietnam. Gambar 3.10 menunjukkan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk jenjang pendidikan setingkat SD, pada tahun 2003 tidak terlihat perbedaan yang cukup berarti antara Indonesia dengan beberapa negara tetangga. Namun pada tingkat SMP baru nampak bahwa begitu rendah dan tertinggalnya capaian APM kita, terlihat bahwa kita hanya unggul bila dibandingkan Myanmar. Kemudian, bagaimana halnya

41

Page 27:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

dengan Propinsi Jawa Barat ? Sebagai salah satu propinsi yang diharapkan termaju di Indonesia, sesuai dengan visi Jawa Barat 2010, Propinsi Jawa Barat masih kalah bersaing dengan rata-rata APM negara yang dicapai Vietnam dan Malaysia. Walaupun demikian, khususnya jenjang SMP, jika dibandingkan dengan rata-rata Indonesia, APM Propinsi Jawa Barat masih relatif lebih baik. Diharapkan, kondisi tersebut seharusnya dapat dijadikan modal kuat untuk memperkuat daya saing di bidang pendidikan, sehingga di masa mendatang kualitas kesejahteraan rakyat Jawa Barat, utamanya di bidang pendidikan tidak hanya berbicara pada skala nasional tetapi juga dapat setara dengan negara-negara jiran kita.

Jika kecenderungan penanganan pendidikan di masyarakat masih berkutat pada bagaimana mempertahankan siswa rawan DO agar tetap bersekolah, tentunya permasalahan yang lebih besar akan banyak muncul di masa mendatang. Menarik untuk dikaji, sebenarnya apa yang terjadi pada dunia pendidikan kita? Apakah program-program yang telah dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan SDM kurang berjalan efektif?

Fakta lain menunjukkan, partisipasi sekolah di Jawa Barat masih relatif rendah, khususnya untuk jenjang pendidikan lanjutan dan tinggi, dan disertai dengan kurang meratanya kesempatan bagi penduduk di perdesaan mengakses pendidikan. Pada penduduk kelompok umur 7 - 12 tahun secara umum perbedaan partisipasi sekolah antara penduduk perkotaan dengan perdesaan relatif tidak mencolok. Hal ini kemungkinan karena gencarnya kampanye program pendidikan dasar yang dilakukan pemerintah di berbagai daerah secara luas dengan disertai oleh bermacam kucuran dana bantuan pendidikan, mulai dari yang hanya terbatas pada kelompok

92

61

92

54

94

59

94

65

93

70

84

35

20

40

60

80

100

Jawa Barat Indonesia Philipina Vietnam Malaysia Myanmar

Gambar 3.10. Perbandingan Angka Partisipasi Murni, Tahun 2003

setingkat SDsetingkat SMP

Sumber: UNDP, BPS

42

Page 28:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

97.3 95.685.2

70.0

55.8

34.212.9

4.2

-

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

7 - 12 13 - 15 16 - 18 19 - 24

Grafik : Persentase Partisipasi Sekolah Menurut Kelompok Umur Sekolah, 2005

PerkotaanPerdesaan

masyarakat miskin hingga yang sifatnya menyeluruh seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Namun pada penduduk kelompok umur 13 - 15 tahun terlihat adanya perbedaan persentase partisipasi sekolah yang cukup nyata, meskipun pemerintah telah mencanangkan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Ini kemungkinan disebabkan oleh masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat di daerah perdesaan untuk menyekolahkan anak ke jenjang lanjutan. Mereka lebih memilih untuk mempersiapkan atau bahkan menerjunkan anak-anaknya ke dalam dunia kerja, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Hal serupa juga terjadi pada penduduk kelompok umur 16 - 18 tahun. Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Daerah tahun 2003 (Sakerda 2003), tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) penduduk kelompok umur 10-14 tahun untuk daerah perkotaan dan perdesaan

43

Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat

Gambar 3.11.

Page 29:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

masing-masing sebesar 2,79 dan 6,73. Ini memperkuat fakta bahwa kecenderungan penduduk usia dini di perdesaan untuk terjun ke dunia kerja lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan.

Isu adanya perbedaan mencolok untuk memperoleh pendidikan yang layak menurut jenis kelamin dimana kesempatan laki-laki untuk mengakses pendidikan lebih besar dari pada perempuan, sudah mulai terdegradasi secara umum di Jawa Barat. Gambar 3.12 memperlihatkan bahwa pada tahun 2005 sudah tidak nampak lagi adanya perbedaan kesempatan bersekolah yang signifikan antara penduduk laki-laki dan perempuan, khususnya untuk kelompok umur sasaran program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.

Anggapan tersebut diperkuat oleh kenyataan bahwa umur rata-rata perkawinan perempuan (SMAM) Jawa Barat pada tahun 2005 semakin tinggi, mencapai angka 22,40. Hal ini mengkikis anggapan bahwa pernikahan usia dini merupakan salah satu faktor penghambat kaum perempuan dalam meraih pendidikan meskipun masih ada kemungkinan hal tersebut terjadi di sebagian wilayah Jawa Barat.

3.3.2. Budaya Masyarakat

96.6 96.3

77.5 78.0

47.343.0

11.2 7.0-

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0%

7 - 12 13 - 15 16 - 18 19 - 24Kelompok Umur Sekolah

Partisipasi Sekolah Menurut Kelompok Umur Sekolah dan Jenis Kelamin, Jawa Barat 2005

Laki-lakiPerempuan

44

Gambar 3.12.

Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat

Page 30:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Persentase Konsumsi Rumahtangga Pada Komoditi Pendidikan dan Barang Tahan Lama Berdasarkan

Golongan Pengeluaran per Kapita per Bulan, 2003-2005

3.1

3.8

2.7

0.6

2.6

4.4

3.1

2.3

4.7 4.7

-

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

<150 rb 150 rb + <150 rb 150 rb +Pendidikan Barang tahan lama

20052004

2003

Pembangunan human capital yang memiliki arti dalam menaikkan kualitas pendidikan turut juga ditentukan oleh visi ke depan para orang tua di masyarakat kita. Tingkat kesadaran akan pentingnya pendidikan relatif masih rendah di beberapa kalangan masyarakat, khususnya pada golongan ekonomi menengah ke bawah.

Selain itu masih terlihat cukup banyak ”kesalahan” masyarakat dalam menentukan skala prioritas alokasi pola pengeluaran dalam kondisi ekonomi yang serba terbatas. Contohnya, secara umum masyarakat kita cenderung lebih konsumtif dalam membelanjakan uang untuk barang tahan lama. Budaya atau kebiasaan untuk menyelenggarakan perayaan pesta pernikahan atau khitanan secara besar-besaran di luar kemampuan ekonomi juga masih tampak. Mereka rela berhutang atau menjual harta benda untuk melakukan acara tersebut, karena menurut mereka semua itu merupakan representasi kebanggaan dan harga diri. Berbeda halnya ketika mereka harus menyisihkan untuk membeli keperluan sekolah atau buku-buku guna mendukung pendidikan. Hal ini sangat berat untuk dilaksanakan. Mereka mengeluh dengan argumen klasik yaitu ”tidak punya uang”.

45

Gambar 3.13 Sumber : BPS, Susenas 2003-2005

Page 31:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Mencermati Gambar 3.13. di atas, nampak adanya kecenderungan peningkatan alokasi rata-rata pengeluaran (konsumsi) rumahtangga untuk kebutuhan pendidikan seiring dengan meningkatnya total rata-rata pengeluaran per kapita di rumahtangga selama periode tahun 2003-2005. Kondisi tersebut memberi gambaran bahwa masyarakat akan lebih apresiatif terhadap pentingnya kebutuhan pendidikan ketika mereka memiliki keleluasaan dalam pengaturan ekonomi keluarga. Namun kecenderungan tersebut masih belum tampak, Masyarakat kita yang masih mendahulukan representasi kebanggaan dan harga diri dalam pola pengeluarannya. Tingkat elastisitas peningkatan rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan pendidikan di rumahtangga tidak sebesar yang terjadi pada rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan barang tahan lama. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan skala prioritas pengeluaran untuk kebutuhan pendidikan di rumahtangga relatif lebih marginal jika dibandingkan dengan pengeluaran lainnya yang relatif lebih konsumtif.

Fenomena tersebut kemungkinan disebabkan oleh masih relatif rendahnya pemahaman para orang tua tentang pentingnya investasi di bidang pendidikan. Banyak alasan yang mereka kemukakan, salah satunya adalah belum menjanjikannya masa depan putra putri mereka yang berpendidikan tinggi akan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak dibandingkan dengan mereka yang tidak melanjutkan sekolah dan langsung bekerja. Fakta bahwa dunia

Persentase Penduduk Yang Bekerja Berdasarkan Ijazah Tertinggi yang Dimiliki, Jawa Barat 2005

5,05 %16,74 %

15,68 %62,53 %

< SD SLTPSLTA DIPLOMA +Sumber: BPS, Sakerda 2005

Gambar 3.14. :

46

Page 32:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

kerja kita masih didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah, seolah-olah menggambarkan bahwa kesempatan masuk ke dunia kerja masih terbuka lebar meskipun dengan tingkat pendidikan yang relatif terbatas. Sehingga memunculkan anggapan di masyarakat bahwa pendidikan tinggi belumlah menjadi jaminan kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan. Rendahnya kesempatan kerja di Jawa Barat tidak saja dirasakan oleh mereka yang berpendidikan rendah, namun juga bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Pada akhirnya orangtua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya guna membantu usaha orang tua atau meringankan beban ekonomi keluarga ketimbang menyekolahkannya ke jenjang yang lebih tinggi.

3.3.3. Sarana Pendidikan

Dalam rangka mensukseskan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) sembilan tahun pemerintah khususnya pemerintah daerah, perlu melakukan evaluasi terhadap kesiapan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Besarnya jumlah penduduk usia sekolah di Jawa Barat, khususnya kelompok umur pendidikan dasar dan lanjutan pertama, apakah telah terakomodir oleh tersedianya fasilitas dengan standar kelayakan sarana pendidikan serta didukung oleh jumlah tenaga pengajar yang berkualitas? Sepertinya belum. Masih banyak fasilitas sekolah seperti gedung sekolah yang rusak dan tidak layak untuk kegiatan belajar mengajar. Kita ingin bahwa tujuan pembangunan pendidikan tidak hanya sekedar mengentaskan siswa putus sekolah saja namun lebih dari itu, dapat menghasilkan lulusan yang handal serta berkualitas.

Hasil Suseda 2005 menunjukkan bahwa penduduk Jawa Barat yang bersekolah telah mencapai sebanyak 5,4 juta jiwa untuk pendidikan SD, 1,7 juta jiwa pada lanjutan pertama (SMP) dan 783 ribu jiwa pada jenjang lanjutan atas (SMA). Adapun sarana belajar yang tersedia, berdasarkan data Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, pada tahun ajaran 2004/2005 rombongan belajar (kelas) berjumlah 170,6 ribu pada jenjang SD, 38,8 ribu pada jenjang SMP dan 10,9 ribu pada jenjang SMA. Rasio murid-kelas untuk masing-masing jenjang pendidikan yaitu sebesar 32 pada SD, 45 pada SMP dan 42 pada SMA. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih mencukupinya jumlah rombongan belajar yang dibuka untuk menampung penduduk yang bersekolah, meskipun batas kewajaran maksimal jumlah murid dalam satu kelas adalah sekitar 40 murid. Hal ini untuk menjaga kualitas penyerapan pelajaran.

47

Page 33:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Kondisi tersebut belum cukup ideal, khususnya untuk jenjang pendidikan SMP. Berdasarkan data hasil Suseda 2005, jumlah penduduk kelompok umur 13-15 tahun sebesar 2,3 juta jiwa. Untuk menuntaskan wajardikdas sembilan tahun pemerintah harus mempersiapkan rombongan belajar (kelas) guna menampung jumlah tersebut. Bila jumlah ideal murid dalam satu kelas sebanyak 40 murid, berarti Jawa Barat membutuhkan 57,4 ribu kelas atau masih terdapat kekurangan sebanyak 18,6 ribu kelas (hampir separuh dari jumlah yang telah tersedia pada tahun ajaran 2004/2005) apabila menginginkan partisipasi sekolah untuk penduduk 13-15 tahun bisa mencapai angka 100 persen.

37.88

30.29

31.83

75.79

16.33

7.88

87.67

9.04

3.29

0%

20%

40%

60%

80%

100%

SD setara SMP setara SMA setara

Grafik : Persentase Ruang Kelas Berdasarkan Kondisi Fisik Bangunan

Rusak beratRusak ringanBaik

Selain pemenuhan kebutuhan jumlah kelas, hal lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kelayakan fasilitas belajar yang tersedia. Kita sering mendengar keprihatinan masyarakat terhadap kelayakan kondisi bangunan sekolah di banyak daerah, khususnya di daerah perdesaan atau daerah terpencil. Gambar 3.15 menunjukkan bahwa hanya sebesar 37,88 persen kondisi fisik bangunan untuk jenjang pendidikan SD yang kondisinya baik, selebihnya dalam kondisi rusak sedang (30,25 persen) dan rusak berat (31,83 persen). Kondisi fisik bangunan yang rusak akan berpengaruh terhadap kenyamanan proses belajar mengajar. Untuk jenjang SMP kondisi fisik bangunan relatif lebih baik dibandingkan dengan jenjang SD.

48

Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat

Gambar 3.15.

Page 34:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Keberadaan bangunan sekolah setingkat SMP dan SMA umumnya terdapat di perkotaan, dan umumnya mereka yang mengenyam pendidikan hingga ke jenjang ini berasal dari keluarga yang mapan secara ekonomi. Pihak sekolah dapat ”meminta” bantuan pengelolaan atau pembangunan gedung sekolah dari para orangtua murid. Sementara gedung sekolah dasar lebih tersebar hingga ke pelosok perdesaan dimana umumya kondisi ekonomi masyarakatnya tidak sebaik di perkotaan, sehingga pihak sekolah tidak kuasa untuk memungut sumbangan gedung meskipun hanya sekedar untuk memperbaiki atap yang bocor.

Selain itu, kemungkinan dalam melakukan pembangunan gedung sekolah dasar, terutama di perdesaan, tidak menggunakan bahan-bahan yang berkualitas tinggi karena adanya keterbatasan dana. Pemerintah hanya mengejar target tersedianya bangunan sekolah demi memenuhi kebutuhan masyarakat. Seyogyanya pembangunan sarana pendidikan harus memperhatikan aspek tingkat kelayakan fisik bangunan. Hal tersebut sangat membutuhkan perhatian dan campur tangan pemerintah mengingat keterbatasan masyarakat kita di perdesaan bila melakukan pengelolaan secara swadaya. Berbagai pungutan yang dibungkus kesepakatan antara wakil orang tua dan wakil pengelola sekolah telah menyulitkan sebagian besar orang tua dan terutama orang miskin. Ini juga sekaligus menghilangkan rasa percaya terhadap lembaga pendidikan sebagai lembaga yang memiliki bobot moral yang tinggi (Jousairi Hasbullah, 2006 Social Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Sehingga cerminan kondisi pendidikan di perdesaan yang sering diekspos melalui media masa, baik cetak maupun elektronik, tentang realita keprihatinan terhadap kualitas bangunan sekolah harus menjadi salah satu prioritas utama dalam program pembangunan pendidikan tanpa harus membebani masyarakat.

3.3.4. Biaya Pendidikan

Pendidikan masih identik dengan biaya yang tinggi dan sulit dijangkau oleh masyarakat kalangan menengah ke bawah. Pandangan masyarakat menyatakan bahwa pendidikan hanya milik orang kaya dan kalangan berduit saja. Sedangkan dari dana kompensasi BBM yang salah satunya disalurkan melalui program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk jenjang pendidikan dasar dan lanjutan pertama, serta BKM (Bantuan Khusus Murid) untuk jenjang lanjutan atas, pada pelaksanaannya masih dikhawatirkan beberapa pihak. Tercatat bahwa hingga tahun 2004 persentase penduduk yang masih hidup di bawah garis kemiskinan sebesar 12,10 persen (Susenas 2004). Masih banyaknya masyarakat dengan kemampuan ekonomi rendah,

49

Page 35:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

2.92

3.653.40

3.74

2.00

2.50

3.00

3.50

4.00

2002 2003 2004 2005

Persentase Konsumsi Pendidikan per Kapita Terhadap Total Konsumsi, Provinsi Jawa Barat

di mana umumnya memiliki keterbatasan untuk berpartisipasi dalam meraih pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, perlu menjadi perhatian dalam melakukan perencanaan pembangunan terutama di bidang pendidikan.

Gambar 3.16 menunjukkan persentase pengeluaran rumahtangga di Jawa Barat di bidang pendidikan terhadap total rata-rata pengeluaran secara keseluruhan. Walaupun terjadi peningkatan alokasi pengeluaran di bidang pendidikan, meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2004, alokasi dana pendidikan di tingkat rumahtangga masih rendah (di bawah 4 persen).

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat untuk lebih berupaya mengakses pendidikan semakin baik. Namun kita perlu waspada dan prihatin apabila peningkatan persentase pengeluaran untuk pendidikan ternyata lebih disebabkan karena semakin mahalnya akses untuk memperoleh pendidikan. Walaupun pemerintah telah berupaya keras menyalurkan dana bantuan untuk pendidikan, pada kenyataannya hal tersebut belum dapat menghapuskan berbagai bentuk pungutan atau iuran pada lembaga pendidikan. Bila fenomena tersebut tidak segera diantisipasi dan ditanggulangi dengan campur tangan pemerintah melalui kebijakan kemudahan untuk memperoleh pendidikan khususnya bagi masyarakat ekonomi lemah, dikhawatirkan akan mengancam pelaksanaan pembangunan pendidikan. Bila pendidikan hanya dikonsumsi oleh penduduk dengan tingkat

50

Sumber : BPS

Gambar 3.16.

Page 36:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

ekonomi tinggi, dampaknya adalah turunnya angka partisipasi sekolah. Penduduk yang tidak beruntung secara ekonomi hanya bisa menonton dan tidak mampu mengenyam pendidikan. Akibatnya mereka yang miskin akan menurunkan/mewariskan generasi yang miskin dan terus terpinggirkan.

3.3.5. Peranan dan Strategi Pemerintah di Bidang pendidikan

Ada kelegaan yang muncul ketika mendengar UUD 1945 berhasil diamandemen. Undang-undang mengamanahkan kepada penyelenggara pembangunan untuk menyediakan anggaran setidaknya 20 persen untuk dialokasikan bagi dunia pendidikan. Hal ini masih sulit untuk dipenuhi karena minimnya anggaran pemerintah secara keseluruhan. Negara masih harus menjalankan pembangunan di sektor lain. Namun hal ini setidaknya menunjukkan keseriusan negara terhadap arti penting pendidikan bagi warganya. Seperti dijelaskan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, bahwa alokasi dana pendidikan Jawa Barat masih kurang dari ketentuan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tahun 2006 anggaran pendidikan hanya 12 persen dari APBD atau Rp 590 miliar (Pikiran Rakyat, 24 Juli 2006).

Keadilan dalam memperoleh pendidikan di Indonesia memang belum merata. Padahal, dengan mendapatkan pendidikan mahal akan merendahkan martabat pendidikan itu sendiri sebagai salah satu media pembebasan manusia dari cengkraman kemiskinan. Hal itu terjadi karena komersialisasi akan mereduksi hakikat pendidikan dan kemanusiaan itu sendiri sehingga akan meminggirkan kalangan tak mampu tapi berbakat.

Salah satu langkah alternatif yang sebaiknya dilakukan pemerintah, mengacu kepada tingginya biaya pendidikan dan meningkatnya jumlah masyarakat miskin adalah pendidikan nonformal, yang pada masa ”sulit” seperti sekarang ini. menjadi kekuatan mutlak untuk dijalankan. Berkaitan dengan pendidikan non formal ini, menurut Prof. Dr. Enceng Mulyana (UPI Bandung) dalam skala nasional, Jawa Barat menduduki peringkat kelima dalam jumlah warga belajar Paket A setelah NTT, Jatim, Sumsel dan Sumut. Untuk Paket B, Jawa Barat menduduki peringkat keempat terbesar setelah Jateng, Sumut dan Jatim.

Hanya persoalannya, program ini masih menyisakan banyak kendala. Pertama, minat belajar lulusan SD ke SMP dengan Paket A relatif rendah dengan berbagai alasan rasional (respon masyarakat belum menggembirakan). Kendala

51

Page 37:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

kedua, instrumen pembelajaran yang belum lengkap, jumlah guru/tutor terbatas, mutu yang disampaikannya pun cenderung kurang profesional sehingga materi pelajaran tidak mudah untuk dipahami. Masih menurut Enceng Mulyana, honor para guru/tutor yang memang sangat kecil berkisar antara Rp. 60.000,00 sampai Rp. 150.000,00 perbulan dan itupun dibayar setiap 3 bulan sekali. Tenaga kependidikan pada pendidikan nonformal (PNF) selama ini selalu termarginalkan. Buktinya, pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, tidak ada satu pasalpun yang mencantumkan hak dan kewajiban tenaga kependidikan PNF. Padahal, tugas mereka sebagai pendidik sama beratnya dengan tugas para pendidik lainnya pada sekolah formal. Ketua Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP) Dan Satriana mengungkapkan : Peranan tenaga pendidik pada PNF sangat penting diantaranya membantu masyarakat tanpa memandang usia (usia tidak lagi sekolah tapi putus sekolah) dan latar belakang untuk mengakses pendidikan.

Kendala ketiga, model pembelajaran Kejar Paket relatif sama dengan model pembelajaran di sekolah formal yang berakibat pada kurang efektifnya proses belajar mengajar. Padahal kriteria anak usia sekolah dari keluarga miskin yang ikut paket tersebut sangat beragam, yaitu dari anak usia sekolah yang putus sekolah hingga sebagian besar di antaranya anak usia sekolah yang sekolah sambil bekerja. Dengan melihat kendala kendala tersebut diatas, maka sebaiknya pemerintah membuat Undang-Undang tentang sekolah non formal baik instrumen belajarnya maupun tenaga pendidiknya. Sehingga dengan adanya Undang-Undang tersebut, diharapkan pandangan masyarakat terhadap PNF akan berubah.

Tak ada yang membantah bahwa pendidikan adalah kunci kehidupan. Melalui pendidikan, setiap manusia ”dimanusiakan” sehingga ia bisa hidup dan dapat menikmati serta memaknai kehidupannya secara bermartabat. Oleh karena itu, setiap manusia mempunyai hak untuk mendapatkan akses pendidikan yang memungkinkannya memiliki kesadaran kritis dalam menyikapi dinamika dan fenomena yang terjadi di masyarakatnya. Dengan demikian, tersedianya pendidikan biaya murah apalagi gratis bagi masyarakat miskin menjadi sangat penting.

Pada peringatan Hardiknas 2005, Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan mengungkapkan ”Hambatan penuntasan Wajar Dikdas di Jabar bukan hanya karena keterbatasan daya tampung dan kekurangan tenaga guru. Namun, kendala terbesar adalah kemiskinan, sehingga anak-anak dari keluarga miskin tidak memiliki biaya sekolah”. Hal tersebut kiranya dapat menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengalokasikan dana bantuan pendidikan agar lebih optimal pemanfaatannya meskipun dalam kondisi yang serba terbatas. Dengan melakukan inventarisasi

52

Page 38:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

terhadap kantong-kantong kemiskinan Jawa Barat sebagai sasaran alokasi pengucuran bantuan pendidikan, sebab untuk daerah yang mayoritas kondisi ekonomi penduduknya menengah ke atas masalah pendanaan pendidikan dapat dieliminir salah satunya melalui Dana Sumbangan Pendidikan (DSP).

3.4. Status Pembangunan di Bidang Ekonomi Dan Ketenagakerjaan

Pertumbuhan ekonomi sebenarnya tidak dapat disederhanakan hanya dengan menyimak tinggi atau rendahnya angka pertumbuhan. Tetapi dibalik itu yang tak kalah penting adalah apa yang disebut sebagai kualitas pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas digerakan oleh peningkatan kapasitas produksi masyarakat, walaupun angka tidak terlalu tinggi, jauh lebih tinggi kualitasnya karena mempengaruhi pembangunan manusia diantaranya dapat menggerakan pendapatan perkapita, dan menyerap tenaga kerja yang pada akhirnya dapat memperbaiki pola distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat sehingga banyak penduduk yang memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhannya untuk membeli kebutuhan makanan, pendidikan, kesehatan dan perumahan sehingga dapat mempercepat pembangunan manusia (Kajian Aloysius Gunadi Brata 2004, LPU Univ. Atmajaya Yogyakarta, dalam jurnalnya menguraikan adanya hubugan simultan antara kinerja ekonomi dan pembangunan manusia). Sebaliknya pertumbuhan yang didasarkan pada injeksi modal luar negeri berdampak menimbulkan ketergantungan dan keuntungannya cenderung kembali ke negara pemilik modal.

Secara sederhana untuk melihat kualitas pembangunan manusia dapat disandarkan kepada dua pendapat Ramirez dkk (1998), Pertama; bahwa kinerja ekonomi mempengaruhi pembanguan manusia, khususnya melalui aktivitas rumahtangga dan pemeritah, aktivitas rumahtangga yang memiliki kontribusi langsung terhadap pembangunan manusia antara lain kecenderungan rumahtangga untuk membelanjakan pendapatan bersih untuk memenuhi kebutuhan (pola konsumsi), tingkat dan distribusi pendapatan antar rumahtangga dan makin tinggi tingkat pendidikan terutama pendidikan perempuan akan semakin positif bagi pembangunan manusia berkaitan dengan andil yang tidak kecil dalam mengatur pengeluaran rumahtangga. Kedua; pembangunan manusia yang tinggi akan mempengaruhi perekonomian melalui produktifitas dan kreatifitas masyarakat.

53

Page 39:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Pendidikan dan kesehatan penduduk sangat menentukan kemampuan untuk mengelola dan menyerap sumber-sumber pertumbuhan ekonomi.

Dari kedua pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa antara pembangunan manusia dan pertumbuhan ekonomi berhubungan secara simultan, dengan kata lain tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan meratanya distribusi pendapatan maka tingkat daya beli, kesehatan dan pendidikan akan lebih baik dan pada giliranya akan memperbaiki tingkat produktifitas tenaga kerja yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Tabel 3.4. Perbandingan Angka Indeks GINI, Persentase Pengeluaran Non Makanan, dan

Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE)Di Propinsi Jawa Barat

Tahun 2001-2004

Tahun Indeks Gini% Konsumsi

Non Makanan

LPE(Tanpa Migas)

PPP(000)

(1) (2) (3) (4) (4)

2001 0,235 37,32 4,71 538,432002 0,201 41,04 4,46 551,382003 0,189 40,79 5,10 553,702004 0,185 43,54 5,08 554,57

Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat, dari berbagai penerbitan

Upaya meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat tidak dapat diukur hanya dari aspek pertumbuhan ekonomi semata tetapi yang lebih penting seberapa jauh geliat perekonomian dapat dinikmati oleh masyarakat sehingga aspek pemetaraan dan pola konsumsi masyarakat merupakan hal yang selalu terkait untuk dicermati. Asumsi bahwa laju pertumbuhan ekonomi akan mampu meningkatkan pendapatan rata-rata masyarakat terkadang masih memiliki suatu peluang untuk memunculkan suatu masalah ketimpangan pendapatan. Dari pengukuran disparitas (ketimpangan) pendapatan penduduk dengan menerapkan indeks GINI (Gini ratio) yang dikembangkan Corrado Gini , masyarakat Jawa Barat relatif memiliki ketimpangan yang rendah ini ditunjukan pada kurun waktu 2001-2004 Indeks gini cenderung menurun dari 0,235 tahun 2001 menjadi 0,185 pada tahun 2004 (nilai gini antara 0,20 - 0,35 menunjukan tingkat pemerataan pendapatan dinyatakan tidak timpang/pemerataan pendapatannya relatif sama (Todaro P. Michael,1994).

54

Page 40:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

62.68

37.32

58.96

41.04

59.21

40.79

56.46

43.54

51.8748.13

0.00

20.00

40.00

60.00

Persen

2001 2002 2003 2004 2005

Tahun

Grafik.1. . Persentase Pengeluaran Rata-rata Perkapita Sebulan untuk Sub Golongan Makanan dan Bukan Makanan

di Propinsi Jawa Barat Tahun 2000-2005

Makanan Non Makanan

Dilihat dari kriteria Bank Dunia (KBD.) di mana bila 40 % penduduk yang berpendapatan rendah mendapatkan porsi di atas 17 persen ( > 17 persen), maka disimpulkan wilayah tersebut memiliki derajat ketimpangan pendapatan yang rendah, di Jawa Barat nilai 40 % penduduk yang berpendapatan rendah sekitar 17,25 persen pada tahun 2004, maka disimpulkan Jawa Barat memiliki derajat ketimpangan pendapatan yang rendah, atau dengan perkataan lain derajat kesejahteraan dari aspek sebaran pendapatan relatif cukup baik ini diharapkan akan memperbaiki kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan.

Korelasi positif peningkatan nilai daya beli dengan konsumsi non makanan, LPE dan gini ratio terlihat selama tahun 2001-2004 (table.3.4), ini menunjukan bahwa daya beli pergerakannya tidak terlepas dari dinamika kinerja ekonomi yang saling terkait dengan kondisi perekonomian regional, nasional dan internasional.

Kecilnya ketimpangan pendapatan akan mengakibatkan tumbuhnya keadaan masyarakat yang lebih stabil yang merupakan modal sosial bagi terciptanya kondisi lingkungan yang kondusif untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Dalam teori ekonomi kesejahteraan (welfare economics), persentase pengeluaran non makanan akan dapat melihat adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat, dimana pengeluaran konsumsi non makanan 50 persen, menunjukkan kondisi rumah-tangga baik sedangkan pengeluaran konsumsi non makanan < 20 persen, menunjukkan kondisi rumah-tangga buruk dan pengeluaran konsumsi non makanan 20-49 persen, menunjukkan kondisi rumahtangga sedang (Kantor Menko Kesra, Buku Panduan Penyusunan IKKA, 1992 ).

55

Gambar 3.17.

Page 41:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

59.16

40.84

56.62

43.38

59.31

40.69

57.87

42.13

56.59

43.41

70.01

29.99

58.47

41.53

0

20

40

60

Persen

Jabar

Baten

Jateng

Jatim

Kaltim

Gorontalo

Nasional

Tahun

Grafik.1. Perbandingan Persentase Pengeluaran Rata-rata Perkapita Sebulan untuk Sub Golongan Makanan dan Bukan Makanan Antar Propinsi

2002

Makanan Non Makanan

Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat, dari berbagai penerbitan

Kecenderungan pergeseran konsumsi ke non makanan terlihat semakin mengecilnya jarak antara makanan dan non makanan, yang menunjukkan adanya pola naik pada konsumsi non makanan pada kurun waktu 2001-2005, dari semula pada tahun 2001 sebesar 37,32 persen naik menjadi 48,13 persen atau mengalami kenaikan 10,81 poin. Hal ini menunjukan pola konsumsi masyarakat Propinsi Jawa Barat mengalami pergeseran. Masyarakat Jawa Barat mulai berhasil memenuhi kebutuhan selain makanan (sekunder dan tertier) yang lebih baik.

Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat, dari berbagai penerbitan

Keterbandingan konsumsi non makanan Jawa Barat dengan propinsi tetangga dan nasional pada tahun 2002 menunjukan kondisi Jawa Barat hanya lebih baik dari Jawa Tengah tetapi di bawah Banten, Jawa Timur dan bahkan nasional. Lebih jauh untuk melihat perkembangan tingkat pola konsumsi rumahtangga dapat dipantau dari proses perubahan nilai daya beli/PPP yang terjadi di Propinsi Jawa Barat, sebagai hasil dari program peningkatan daya beli masyarakat yang dijalankan.

Data Pendapatan rumahtangga dapat dipakai untuk melihat tingkat kemakmuran masyarakat suatu wilayah. Semakin tinggi pendapatan yang diterima penduduk berarti tingkat kesejahteraannya bertambah baik dan sebaliknya penurunan pendapatan berarti tingkat kesejahteraannya semakin menurun. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi pendapatan masyarakat maka pola konsumsi

56

Gambar 3.18.

Page 42:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

masyarakat akan bergeser ke non makanan yang artinya kemampuan daya beli meningkat, tinggi rendahnya daya beli dipengaruhi oleh tingkat pendapatan.

Tabel 3.5. Persentase RumahtanggaBerdasarkan Pendapatan Perbulan

Pendapatan Rumahtangga (Rp/Sebulan)

2002 2003 2004 2005

(1) (2) (3) (4) (5)

< 500.000 34,59 26,78 26,95 20,00500.000 s.d 1000.000 46,09 49,79 49,06 44,93

> 1000.000 19,32 23,43 23,99 35,07         

Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat, diolah dari berbagai penerbitan

Rata-rata pendapatan rumahtangga perbulan adalah sekitar Rp. 500.000 s.d. Rp. 1000.000 Hal yang menarik dari data faktual di atas adalah kecendrungan semakin naik pola pendapatan rumahtangga, yaitu pendapatan rumahtangga satu juta ke atas dari tahun ke tahun semakin membaik. Pada tahun 2002 terdapat 19,32 persen rumahtangga yang berpenghasilan satu juta ke atas naik menjadi 35,07 persen pada tahun 2005 atau naik 15,75 poin.

Tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah sangat tergantung pada sumber daya yang dimiliki daerah tersebut. Begitu pula dengan beragamnya kegiatan perekonomian yang terjadi, sangat tergantung pada sumber daya yang tersedia. Salah satu indikator yang biasa dipakai dalam melihat atau menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat adalah laju pertumbuhan angkatan kerja yang terserap di lapangan pekerjaan. Tingginya angkatan kerja di suatu daerah secara langsung dapat menggerakan perekonomian daerah tersebut. Hal sebaliknya dapat mengakibatkan timbulnya masalah sosial. Gambaran kondisi ketenagakerjaan seperti persentase angkatan kerja yang bekerja, dan distribusi lapangan pekerjaan sangat berguna dalam melihat prospek ekonomi suatu daerah. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat apakah benar-benar digerakan oleh produksi yang melibatkan tenaga kerja daerah atau karena pengaruh faktor lain. Banyaknya penduduk yang bekerja akan berdampak pada peningkatan kemampuan daya beli. Peningkatan pendapatan uang penduduk sangat menentukan pemenuhan kebutuhan hidup yang lengkap.

57

Page 43:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Gambar 3.19. Tingkat Kesempatan kerja (TKK)Di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003-2005

Sumber : Bapeda dan BPS Propinsi Jawa Barat, Suseda 2003-2005

Struktur penyerapan lapangan pekerjaan di Propinsi Jawa Barat pada periode 2003 – 2005 mengalami pergeseran. Jumlah penduduk 10 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian menurun dari tahun 2003 sebesar 34,81 persen menjadi 29,65 persen pada tahun 2005 dan bergeser ke tiga sektor lain yang mengalami pertumbuhan cukup signifikan yaitu sektor industri tumbuh dari 15,68 persen tahun 2003 menjadi 18,28 persen pada tahun 2005, sektor transportasi dan komunikasi tumbuh dari 7,37 persen tahun 2003 menjadi 8,73 persen tahun 2005 dan sektor keuangan tumbuh dari 0,55 persen pada tahun 2003 tumbuh menjadi 1,80 pada tahun 2005.

Tabel 3.6. Persentase Lapangan Pekerjaan Penduduk Umur 10 Tahun Ke Atas Tahun 2003-2005

Lapangan Pekerjaan 2003 2004 2005(1) (2) (3) (4)

Angkatan Kerja yang BekerjaPertanian 34,81 29,82 29,65Pertambangan +Penggalian 0,82 0,44 0,40Industri 15,68 17,60 18,28Listrik Gas dan Air 0,33 0,27 0,27Konstuksi 5,11 5,82 6,01Perdagangan 22,69 22,82 22,39Transportasi dan Komunikasi 7,37 8,80 8,73Keuangan 0,55 1,86 1,80Jasa 12,61 12,55 12,45Lainnya 0,04 0,02 0,02

Angkatan Kerja yang Menganggur 12,69 12,25 11,91

Sumber : Bapeda dan BPS Propinsi Jawa Barat, Suseda 2003-2004

58

Page 44:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

Pergeseran penyerapan lapangan pekerjaan ke sektor industri dapat menjadi indikator meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat suatu wilayah. Berdasarkan data pada tabel 3.6 di atas lapangan pekerjaan penduduk 10 tahun ke atas mengalami penurunan pada sektor pertanian dan bergeser ke sektor industri, transportasi, dan komunikasi.

Tabel 3.7. Peranan Nilai Tambah Bruto Sektor Terhadap PDRB Propinsi Atas Dasar Harga Berlaku

Di Propinsi Jawa BaratTahun 2003-2005

Sektor 2003 2004 2005(1) (2) (3) (4)

Pertanian 13,66 13,47 11,90Pertambangan +Penggalian 2,95 3,07 3,09Industri 43,60 43,33 44,68Liatrik Gas dan Air 3,11 3,22 2,91Konstuksi 2,61 2,82 2,96Perdagangan 18,45 17,56 19,18Transportasi dan Komunikasi 4,92 5,29 5,32Keuangan 2,92 3,02 2,67Jasa 7,78 8,23 7,30

Sumber : Bapeda dan BPS Propinsi Jawa Barat, PDRB 2003-2005

Tingkat kesejahteraan masyarakat dipengaruhi juga oleh karakteristik sektor usaha suatu daerah, suatu kriteria yang direkomendasikan UNIDO (suatu badan PBB untuk pengembangan industri) membuat kategori daerah berdasarkan kontribusi sektor industri terhadap Prodak Domestik Regional Bruto: Daerah yang masih tradisional jika persentase kontribusi sektor industri terhadap perekonomian daerah di bawah 10 persen; Daerah transisi jika persentase kontribusi sektor industri terhadap perekonomian 10-20 persen; Daerah semi industri jika persentase kontribusi sektor industri terhadap perekonomian sebesar 20-30 persen; Daerah industri jika persentase kontribusi sektor industri terhadap perekonomian ≥ 30 persen. (Thee Kian Wee, 1990; H. Suseno T.W., 1997)

Berdasarkan Tabel 3.7 diatas maka dapat diinterpretasikan bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan daerah industri, dengan besaran kontribusi sektor industri terhadap PDRB Propinsi Jawa Barat diatas 30 persen. Dengan demikian bisa dikatakan kenaikan pola konsumsi di non makanan di Jawa Barat dipengaruhi juga

59

Page 45:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

oleh naiknya PDRB sektor industri selama kurun waktu 2003 -2005, dari tahun 2003 sebesar 43,60 persen naik menjadi 44,68 persen pada tahun 2005.

Yang menarik, kondisi suatu wilayah dapat dilihat dari aspek pendidikan, di mana tingkat pendidikan dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyrakat. Hal ini berkaitan dengan semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditamatkan, maka seorang pekerja akan memiliki produktivitas yang relatif baik dan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi.

Pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh kepala rumahtangga di Propinsi Jawa Barat seperti terlihat pada tabel 3.8 pada umumnya tamatan Sekolah Dasar yaitu sebesar 62,59 persen pada tahun 2005. Tetapi hal yang cukup mengembirakan adalah meningkatnya pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh kepala rumahtangga untuk jenjang SLTA+ mengalami kenaikan dari sebesar 22,27 persen pada tahun 2003, menjadi 24,22 persen pada tahun 2005.

Tabel 3.8. Persentase Pendidikan Tertinggi yang di Tamatkan Kepala Rumahtangga

Di Propinsi Jawa baratTahun 2003-2005

Pendidikan Tertinggi Yang di Tamatkan 2003 2004 2005

(1) (2) (3) (4)

SD/MI Ke Bawah 64,83 61,37 62,59SLTP 12,90 14,68 13,19

SLTA + 22,27 23,95 24,22

Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat, diolah dari berbagai penerbitan

Salah satu strategi mendasar untuk meningkatkan pemerataan kesejahteraan masyarakat adalah mengurangi ketimpangan antar wilayah perkotaan dan pedesaan. Dengan membaiknya kondisi perekonomian Jawa Barat, pola

60

Page 46:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

konsumsi masyarakat secara umum bertahap meningkat. Hal ini ditunjukan dengan semakin membaiknya daya beli.

Jika melihat pola konsumsi masyarakat menurut status daerah. Rumahtangga di perkotaan dan pedesaan sama-sama mengalami perbaikan. Ini dijtunjukan dengan berubahnya pola pengeluaran konsumsi makanan yang cenderung menurun dibandingkan pengeluaran untuk kebutuhan non makanan. Kondisi ini berdamfak positif pada peningkatan nilai daya beli masyarakat.

Persentase rata-rata pengeluaran konsumsi non makanan perkapita daerah perkotaan mengalami kenaikan lebih tinggi dari daerah pedesaan, kanaikan tersebut di daerah perkotaan pada tahun 2004 47,34 persen naik menjadi 52,62 persen pada tahun 2005, atau meningkat 5,28 persen. Sedangkan untuk daerah pedesaan mengalami kenaikan 1,98 persen dari semula 36,98 persen pada tahun 2004 menjadi 38,66 persen pada tahun 2005. Kondisi di atas dimungkinkan karena tingkat pendapatan masyarakat perkotaan relatif baik di bandingkan dengan masyarakat pedesaan.

Tabel 3.9. Persentase Pengeluaran Rata-rata Perkapita SebulanMenurut Wilayah Perkotaan dan Pedesaan

Di Propinsi Jawa BaratTahun 2004-2005

Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, diolah dari berbagai penerbitan

Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai daya beli masyarakat, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengatur penyediaan barang publik (alokasi), mengurangi inflasi dan pengangguran (stabilisasi), dan melaksanakan pemerataan (keadilan sosial) atau distribusi pendapatan.

Wilayah2004 2005

Makanan Non Makanan Makanan Non

Makanan[1] [4] [5] [6] [7]

Pedesan 63,02 36,98 61,34 38,66Perkotaan 52,66 47,34 47,38 52,62

61

Page 47:  · Web viewOleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan

62