233
FATIMA Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita sebagai Ibu, Istri, dan Anak Penerbit PKBM ‚Ngudi Ilmu‛

FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

FATIMA

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam

di Indonesia:

Studi atas Kedudukan Wanita sebagai Ibu, Istri, dan Anak

Penerbit PKBM ‚Ngudi Ilmu‛

Page 2: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia:

Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak

Fatima

©PKBM ‚Ngudi Ilmu‛ 2013

viii + 238 halaman : 16,5 x 24 cm

ISBN : 978-602-1552-01-8

Pemeriksa Aksara : Maskur Rosyid

RancangSampul : Muhim Agung Pribadi

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

All right reserved

Cetakan I : Mei 2013

Penerbit:

PKBM ‚Ngudi Ilmu‛

Alamat:

Jl. Kyai Sampir No. 05

Kalirejo Salaman Magelang 56162

HP. 08574685441

Email :[email protected]

Printed by:

Irama Offset

Gd. Hijau, Jl. Kertamukti Dpn Kampus II

UIN Syarif Hidayatullah Ciputat

Tanggerang. HP. 081280481098

Email: [email protected]

Page 3: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena

berkat rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, mahkluk yang lemah ini masih

diberi kesempatan untuk menghirup udara segar dan menatap indah

ciptaan-Nya dan atas pertolongan-Nya tesis ini dapat terselesaikan.

Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi akhir zaman

yaitu Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari

zaman Jahiliyah menuju zaman yang penuh dengan keberkahan serta suri

tauladan sepanjang masa. Karena atas ketauladanannya penulis dapat

melewati masa-masa tersulit dalam penulisan tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa diri ini memiliki

kekurangan, sehingga penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada

berbagai pihak yang telah memberikan dukungan, motifasi, bimbingan

dan arahan selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan

tesis ini.

Oleh karena itu dalam tulisan ini, penulis ingin mengucapkan

rasa terimakasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada Prof.

Dr. Kamaruddin Hidayat selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA selaku

Direktur Sekolah Pascasarjana yang telah memberi izin dan kesempatan

kepada penulis untuk belajar dan menimba ilmu di SPs UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Prof. Suwito, MA, Prof. Dr. Amany Lubis, MA,

Dr. Yusuf Rahman, MA selaku Deputi Sekolah Pascasarjana UIN.

Pembimbing Dr. Euis Nurlaelawati, MA yang telah dengan sabar

memberikan arahan, bimbingan, dan masukan terhadap penulisan tesis

ini. Penulis tidak bisa membalas budi baiknya dan hanya mendoakan

agar senantiasa mendapat keberkahan hidup, kesehatan, umur yang

panjang, rezeki yang cukup, dan dicintai mahasiswanya.

Dosen-dosen lain yang tak kalah menginspirasi penulis: Prof. Dr.

H. Muhammad Atho Muzhar, MSPD, Prof. Dr. Quraish Shihab, MA.,

Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, MA., Dr. Asep Saepudin Jahar,

MA., Dr. Fuad Jabali, MA., Dr. JM Muslimin., Prof. Dr. M. Amin Suma,

SH,MA,MM., Prof. Dr. Abudin Nata, MA., Prof. Dr. Ahmad Thib Raya,

MA. Juga kepada seluruh karyawan, staf dan pustakaan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dan melayani segala

keperluan studi penulis, semoga Allah melimpahkan nikmat dan

keberkahan-Nya.

Suami tercinta Rohim bin Teguh dan ananda terkasih Kaffa

Albar Assyaraf dan tak lupa juga Reflianti sekeluarga yang selalu

Page 4: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

iv

mendukung baik moril dan materiil dalam menyelesaikan tesis ini.

Orang tua tercinta Ayahanda alm H. Achmad Ibunda Hj. Qomariah,

Alm. H. Muzammil, Alm. H. Amin, Alm. Hj Solehah binti Jaru serta

nenek tersayang Alm. Hj. Aminah yang semasa hidupnya telah

mendidik, membimbing dan mendoakan demi keberhasilan penulis.

Kakak tersayang Hj.Halimah sekeluarga dan Hj. Masnu’ah sekeluarga

yang senantiasa memberikan semangat dan inspirasi penulis dalam

menyelesaikan tesis ini patut memperoleh ucapan terima kasih yang

tulus.

Kepada segenap para hakim DKI Jakarta yang telah senang hati

meluangkan waktunya untuk membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Teman-teman satu angkatan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta konsentrasi syariah dan seluruh teman-teman dari

berbagai konsentrasi yang penulis kenal yang telah membantu serta

bertukar fikir baik selama belajar hingga penyusunan tesis ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan dan

sumbangsihnya mendapatkan ridha dari Allah SWT.

Akhirnya, semoga karya yang sederhana ini dapat menambah

khazanah keilmuan, dan penulis mengharap sumbang saran, kritik dan

masukan yang positif untuk kesempurnaan dan kemanfaatan tulisan ini.

Jakarta, 15 Februari 2013

Fatima

Page 5: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

PEDOMAN TRANSLITERASI

B = Z = F =

T = S = Q =

Th = Sh = K =

J = Ṣ = L =

Ḥ = Ḍ = M =

Kh = Ṭ = N =

D = Ẓ = H =

Dh = ‘ = W =

R = Gh = Y =

Short : a = ´ ; i =; u =

Long : ā = ; ū = ; ū =

Diphthong : ay = ; aw =

Ta’ Marbuṭah : apabila waqaf menjadi “h”

Shaddah : ditulis dobel

Contoh :

: Ḥusayn : Ḥawla

: Fāṭimah : Rabbanā

: Al-Shams : Al-Nisā’

: Al-Madīnah al-Munawwarah

Trasliterasi ini tidak berlaku pada kata-kata yang telah diserap ke dalam

bahasa Indonesia seperti kata hadis, zakat, wakaf, nash, dan lain

sebagainya.

Page 6: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

vi

SINGKATAN-SINGKATAN

1. Singkatan dalam Transliterasi

Cet. : Cetakan

Dkk. : dan Kawan-kawan

ed. : Editor

H : Tahun Hijriyah

M : Tahun Masehi

Saw : Sallala>hu ‘alayhi Wasallam

SWT : Subhanalla>huwaTa’ala>

t.th. :Tanpa tahun

t.tp. :Tanpa tempat penerbit

tp. : Tanpa penerbit

Vol. : Volume

II. Singkatan Kata

BW : BurgerlijkWetboek

CEDAW :Committe on the Elimination of Discrimination against

Women

CLD-KHI : Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

HAM : Hak Asasi Manusia

MUI : Majelis Ulama Indonesia

UUD : Undang-Undang Dasar

MA : Mahkamah Agung

INPRES : Intruksi Presiden

RI : Republik Indonesia

KOWANI : Kongres Wanita Indonesia

PPN : Pegawai Pencatat Nikah

KUA : Kantor Urusan Agama

Page 7: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................v

SINGKATAN-SINGKATAN .....................................................................vi

DAFTAR ISI ................................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................1

B. Identifikasi Masalah ...................................................................7

C. Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................9

E. PenelitianTerdahulu yang Relevan ............................................9

F. Metodologi Penelitian ................................................................14

G. Sistematika Penulisan ................................................................15

BAB II WANITA DAN HUKUM

A. Kedudukan Wanita dalam Perspektif Hukum Islam .................17

B. Wanita dalam Hukum Internasional ..........................................34

C. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara Muslim .........41

BAB III PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI

INDONESIA

A. Sejarah Singkat Pembentukan UU No. 1 Tahun 1974

dan KHI ......................................................................................49

B. Subtansi Hukum Materiil UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI .......56

C. Respon Masyarakat terhadap UU No. 1 Tahun 1974

dan KHI ......................................................................................58

BAB IV WANITA SEBAGAI ANAK DAN IBU DALAM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN

PRAKTIK DI PENGADILAN AGAMA

A. Batasan Usia Minimum Perkawinan dan Ketentuan tentang

Dispensasi Nikah ........................................................................63

B. Status Wali dan Persetujuan Mempelai Wanita dalam

Perkawinan .................................................................................83

C. H}ad}a>nah dan Problematika Penyelesaiannya .............................105

D. Hak Waris Anak: Antara Kodifikasi dan Reformasi .................123

Page 8: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

viii

BAB V WANITA SEBAGAI ISTRI DALAM PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN DAN PERAKTEK HUKUM

DI PENGADILAN AGAMA

A. Poligami: Putusan yang tidak Ternegosiasikan ........................137

B. Cerai Gugat dan Khuluk: Reformasi Hukum yang Belum

Final ............................................................................................160

C. Pembagian Harta Bersama dalam Masalah Pencari Nafkah ......185

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................201

B. Saran-Saran ................................................................................201

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................203

GLOSARIUM .............................................................................................217

INDEKS ......................................................................................................219

TENTANG PENULIS ................................................................................223

Page 9: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kedudukan wanita dalam hukum keluarga yang terdapat dalam

kitab-kitab fikih pada masa klasik dan pertengahan mencerminkan

kelemahan terhadap pria. Hal ini terjadi karena sebagian pemahaman

para penulis dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. Sebagian lainnya karena

para penulis hidup dalam struktur budaya masyarakat patriarki1 yang

pada akhirnya produk hukum yang tertera dalam fikih-fikih tersebut

cenderung mendiskriminasikan wanita, baik itu dalam bidang

perkawinan, perceraian, dan waris. Islam yang berpedoman pada al-

Qur’an dan sunnah memberikan perhatian yang besar dan kedudukan

yang terhormat terhadap wanita, baik sebagai anak, istri, ibu, anggota

kelurga dan anggota masyarakat.2 Islam secara bertahap mengembalikan

hak-hak wanita sebagai manusia merdeka. Hak menentukan keyakinan,

hak berkarya, hak memiliki harta serta hak memperoleh warisan dalam

keluarga.3

Tuntutan zaman modern untuk meningkatkan status wanita

dalam hukum keluarga telah memberikan kesadaran umat Islam

diberbagai negara Muslim untuk melakukan reformasi hukum keluarga

(perkawinan, perceraiaan dan warisan)4 yang baru terlaksana pada abad

ke-20 M. Tujuan usaha reformasi hukum keluarga berbeda antara satu

negara dengan negara lain yang secara umum dapat dikelompokkan

menjadi tiga kelompok yaitu pertama, negara yang bertujuan untuk

unifikasi hukum keluarga. Kedua, untuk pengangkat status wanita.

1M. Atho Mudzhar dan Khairuddin, eds. Hukum Keluarga di Dunia Islam

Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 204.

2Huzaimah Tahido Yanggo, ‚Konsep Wanita Menurut al-Qura>n, Sunnah dan

Fikih‛ dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tektual dan Kontektual (Jakarta:

INIS, 1993), 19. Lihat ‘Abdulla>h bin Wakil Al-Shaykh, Al-Mar’ah Qa>’id al-‘Adl (Beirut: Ma’had al-‘Ulu>m al-Isla>miyyah wal al-‘Ara>biyah, 19993), 10.

3Noel J Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: University Press,

2004), 17. Lihat Rachel M. Scott, ‚A Contextual Approach to Women’s Rights in the

Quran‛, diakses pada 31 Desember 2012, melalui

www.rc.vt.edu/pubs/Scott_Muslim_World.pdf. 4Majid Khadduri, ‚Marriage in Islamic Law: The Modernists Viewpoints,‛

American Journal of Comparative Law, No. 26 (1978), 214, Norman Anderson, Law Reform in The Muslim World (London: The Athlone Press, 1976), 2.

Page 10: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

2

Ketiga, untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena

konsep fikih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya.5

Di Indonesia usaha reformasi hukum keluarga telah menuai hasil,

hal ini terbukti dengan terbentuknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan.6 Undang-undang ini merupakan hukum perkawinan

Islam yang sudah menjadi bagian dari hukum nasional, dan diberlakukan

bagi segenap warga negara Indonesia. Setelah Undang-undang tersebut

disahkan, maka hukum fikih Islam telah memasuki fase baru yang

disebut fase taqni>n (fase pengundangan).7

UU No.1 Tahun 1974 telah disahkan, tetapi pelaksanaannya

melalui putusan Pengadilan Agama masih harus dikukuhkan oleh

Pengadilan Negeri, dengan terbentuknya UU No. 7 Tahun 1989 jo UU

No. 3 Tahun 2006 jo UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama,

putusannya disejajarkan dengan Pengadilan Negeri. Pada faktanya,

implementasi hukum Islam di Indonesia masih bermasalah, karena tidak

ada keseragaman para hakim Peradilan Agama dalam menetapkan

hukum terhadap persoalan-persoalan hukum perkawinan yang mereka

hadapi sering terjadi perbedaan putusan antara satu Peradilan Agama

dengan Peradilan Agama yang lainya, dan dapat mengurangi wibawa

Peradilan Agama. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya kitab materi

hukum Islam yang sama. Dari realitas ini, keinginan untuk menyusun

‚Kitab Hukum Islam‛ dalam bentuk kompilasi ini bukan saja didasarkan

pada kebutuhan adanya keseragaman referensi keputusan hukum di

Peradilan Agama Indonesia, tetapi juga didasarkan pada keharusan

terpenuhinya perangkat-perangkat peradilan yaitu kitab Materi Hukum

Islam yang digunakan di lembaga peradilan tersebut. Itulah yang

mendorong pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)8 dengan

berdasarkan Perundang-undangan seperti UU No. 22 Tahun 1946, UU

5Atho Mudzhar dan Kharuddin Nasution, eds. Hukum Keluarga di dunia

Muslim: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kita>b-Kita>b Fikih,

10-11. lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia

(Jakarta: INIS, 2002), 1-2. 6Selanjutnya ditulis dengan UU No.1 Tahun 1974.

7Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum

Nasional (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), 182. 8Penulisan selanjutnya disingkat dengan KHI.

Page 11: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

3

No. 32 Tahun 1954, UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan

PP No. 28 Tahun 1977.9 Menurut Yahya Harahap secara umum

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KHI merupakan penegasan

ulang tentang hal-hal yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974.

Penegasan ulang tersebut langsung dibarengi dengan penjabaran lanjut

atas ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975.10

Lahirnya undang-undang perkawinan tersebut merupakan

tuntutan pokok yang telah lama diperjuangkan, terutama oleh

pergerakan wanita Indonesia, sebagian besar telah terpenuhi, karena

undang-undang perkawinan tersebut mempunyai ciri khas, yaitu

berkenaan dengan asas, tujuan, dan sifatnya untuk mengangkat harkat

dan derajat serta kedudukan kaum wanita Indonesia.11

Sebelum ada

undang-undang perkawinan ini, nasib wanita dan anak sering diabaikan

oleh suami atau ayahnya. Laki-laki menggunakan hak cerai dengan

semena-mena, akibatnya wanita dan anaklah yang paling menderita,

akibat perceraian seperti itu, di samping merupakan suatu pukulan batin

bagi perempuan juga memberatkan beban hidupnya, ia harus mencari

nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya karena bekas suaminya

meninggalkannya begitu saja.12

Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 telah mensejajarkan wanita dan

pria dalam perkawinan sebagaimana dalam ketentuan hukum Islam,

bahwa wanita adalah mitra pria dan pria adalah mitra wanita.13

Menurut

9Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum

Nasional, 182-18. 10

Maksud penjabaran lanjut tersebut bertujuan membawa ketentuan-ketentuan

UU No. 1 Tahun 1974 ke ruang lingkup yang bernafas syari’ah Islam. Ketentuan pokok

yang bersifat umum dalam UU No. 1 Tahun 1974 dirumuskan menjadi ketentuan yang

bersifat khusus sesuai dengan ajaran Islam dan berlaku khusus bagi ummat Islam. Lihat

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta:

Sinar Grafika, 2007), 37. 11

Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar, Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya (Jakarta: Rajawali Press, 1996),117-118.

12Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia

(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 39. 13

Lihat Q.S. al-H{ujura>t/43:13. Menurut Muhammad Daud Ali, kejadian

wanita dan pria relatif berlainan dan fungsi masing-masing dalam keluarga dan

masyarakat berbeda, hak dan kewajiban wanita dibandingkan dengan pria dalam hal

tertentu sama, dalam beberapa hal yang lain berbeda. Perbedaan hak dan kewajiban

yang merupakan konsekuensi kodrat dan fungsi antara pria dan wanita itu tidak boleh

dijadikan dasar untuk mengadakan diskriminasi antara pria dengan wanita. lihat

Page 12: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

4

Azyumardi Azra, UU No. 1 Tahun 1974 merupakan bagian dari

kodifikasi hukum perkawinan Islam. Semua pasal-pasalnya sejalan

dengan shari’ah. Penyebaran dan implementasi dari undang-undang

tersebut merupakan sebuah pelembagaan shari’ah di Indonesia.14

Pada praktiknya, sebagian umat Islam ada yang memperjuangkan

undang-undang perkawinan agar sesuai dengan hukum Islam dan

sebagian ada yang mengingkari undang-undang ini sebagai bagian dari

internal hukum Islam. Hal ini terbukti dari sebagian umat Islam yang

masih berpegang pada doktrin fikih seperti dalam masalah poligami,

pencatatan perkawinan, dan perceraian, sehingga masih banyak

masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah tangan, poligami, dan

perceraian secara liar. Semua itu dianggap sebagai tindakan yang wajar

karena fikih membolehkan, walaupun hal tersebut bertentangan dengan

undang-undang perkawinan. Sebagian masyarakat yang lain

menganggap bahwa undang-undang perkawinan tersebut diskriminasi

antara laki-laki dan wanita (bias gender) serta melanggar HAM.15

Atas dasar tersebut, munculah usaha masyarakat untuk

mengamandemen UU No.1 Tahun 1974. Usaha tersebut menuai pro dan

kontra di berbagai media massa. KOWANI (Kongres Wanita Indonesia)

misalnya, sebagai federasi dari 77 organisasi wanita ditingkat nasional

mengajukan usulan penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1974 dengan

alasan antara lain bahwa undang-undang perkawinan tersebut sangat

diskriminatif terhadap wanita dan kurang adanya kesetaraan gender.16

Aktifis wanita Musdah Mulia berpendapat bahwa, undang-undang

perkawinan di Indonesia harus diamandemen agar lebih berpihak kepada

wanita. Banyak agenda yang harus diperjuangkan menyangkut

persoalan-persoalan perlindungan wanita. Amandemen tersebut harus

dilakukan dengan kajian yang menyeluruh dan terdapat konsistensi antar

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo

Prsada, 2005), 36. 14

Azyumardi Azra, ‚The Indonesian Marriage Law of 1974 an

Institutionalization Syari’ah for Social Changes‛ in Arsekal Salim and Azyumardi

Azra, eds. Shari’a and Politics in Modern Indonesia (Singapore: ISEAS, 2003), 85. 15

Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, 165.

16Kowani, Upaya Penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

makalah ini disampaikan pada diskusi panel, ‚Meninjau UU Perkawinan dalam

Perspektif HAM dan Syari’ah Islam, yang diselenggarakan oleh PUSKUM HAM

Jakarta, tanggal 16 November 2000 di Jakarta.

Page 13: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

5

pasalnya. Selain itu, harus ada kesamaan persepsi dalam kelompok

wanita agar pembahasan bisa lebih fokus.17

Berbeda dengan pendapat di atas, Majelis Ulama Indonesia

(MUI) menolak usulan perubahan undang-undang tersebut. Penolakan

tersebut dilakukan karena seandainya undang-undang tersebut direvisi,

akan menimbulkan mudarat yang lebih besar karena dikhawatirkan akan

mengubah pasal-pasal yang sudah menjadi konsensus Nasional. Lebih

lanjut MUI menegaskan bahwa kasus-kasus yang terjadi dalam

perkawinan seperti pernikahan sirri ataupun perkawinan di bawah

tangan adalah kesalahan oknum petugas, bukan karena undang-

undangnya. Untuk itu diperlukan adanya upaya penyadaran masyarakat

dan penegakan hukum bagi aparat pelaksananya.18

Senada dengan pendapat MUI, Azyumardi Azra dan Taher

Azhary menyatakan bahwa, undang-undang perkawinan sangat sesuai

dengan hukum agama dan dasar negara, Pancasila serta UUD 1945, oleh

sebab itu wajib dipertahankan karena undang-undang tersebut sangat

bermanfaat untuk mengatur dan menertibkan masalah perceraian di

Indonesia.19

Hal ini terbukti dengan adanya UU No. 1 Tahun 1974 dan

KHI mempunyai dampak signifikan, yaitu menekan praktik perkawinan

usia dini, perceraian diprakarsai oleh istri (gugat cerai) terus

meningkat.20

Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Abdul Wahab

Abd. Muhaimin yang menyebutkan, pada tahun 2000-2009 angka cerai

gugat dari seluruh daerah di Indonesia setiap tahunnya semakin

meningkat dengan perbandingan yang sangat signifikan sebagaimana

tabel di bawah ini.

17

Musdah Mulia, Islam Hak Asasi Manusia (Jakarta: Naufan Pustaka, 2010),

148-149. lihat Budie Santi ‚Mengapa UU Perkawinan Perlu di Amandemen?,‛

Yayasan Jurnal Wanita, diakses pada tanggal 15 Juni 2012 melalui

http://arsip.jurnalwanita.com 18

Surah penolakan MUI terhadap usulan Menteri Pemberdayaan Wanita RI

tentang Penyempurnaan undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, No.

B.120/MUI/V/2003 tanggal 5 Rabiul Awal 1424 H/7 Mei 2003 M. 19

Taher Azhary, UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya, Suatu Analisis dalam Perspektif Hukum Islam, makalah yang

disampaikan pada acara seminar tentang usul amandemen UU Perkawinan yang di

selenggarakan oleh MUI, 2000 di Jakarta, 4-5. 20

Kenyataan ini mencerminkan munculnya kesadaran baru di kalangan wanita

Muslim untuk mengambil tindakan hukum jika suami mereka melalaikan tugasnya

dalam perkawinan mereka. Lihat Azyumardi Azra, ‚The Indonesian Marriage Law

of 1974 an Institutionalization Syari’ah for Social Changes‛ in Arsekal Salim

and Azyumardi Azra,eds. Shari’a and Politics in Modern Indonesia, 88-90.

Page 14: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

6

Tabel: 1.1

Data yang Diterima Mahkamah Agung

dari Tahun 2000 s/d 2009

Nomor Tahun Cerai Talak Cerai Gugat Perkara Lain Jumlah

1 2000 71.121 90.551 8.176 169.848

2 2001 69.767 93.166 8.402 171.335

3 2002 64.165 94.475 7.848 166.488

4 2003 58.225 88.968 7.331 154.524

5 2004 59.930 97.472 7.864 165.266

6 2005 62.437 103.383 9.313 175.133

7 2006 62.602 104.965 13.510 181.077

8 2007 72.759 124.079 20.246 217.084

9 2008 77.773 143.747 23.503 245.023

10 2009 86.592 171.477 26.680 284.749

Jumlah 685.371 1112.583 132.873 1930.527

Sumber: 1. Laporan Tahun Direktorat Peradilan Agama Depag RI Tahun 2000-2005.

2. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,Mahkamah

Agung RI, Tahun 2006-2009. 21

Tabel di atas menunjukkan bahwa hasil laporan yang diterima

oleh Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI dan Direktorat

Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Pengadilan

Tinggi di seluruh Indonesia dari tahun 2000 s/d 2009 kasus perceraiaan

mencapai angka yang signifikan dengan jumlah 1930.527. Dari jumlah

angka tersebut cerai gugat paling tinggi yaitu 1.112.583, sedangkan

cerai talak hanya 685.371 yang paling rendah adalah perceraiaan karena

perkara lain, seperti karena fasakh, suami mafqud, murtad, dan lain-lain

hanya 132.837.

Perceraian karena cerai gugat dari istri semakin meningkat dari

tahun ke tahun. Hal ini merupakan dampak dari adanya UU No. 1 Tahun

1974 dan KHI. Dalam kedua peraturan tersebut dicantumkan hak dan

kewajiban istri terhadap suami. Peraturan mengenai prosedur dan tata

cara mengajukan cerai ke Pengadilan Agama membuat para istri yang

merasa dizalimi oleh suami, baik karena tidak diberi nafkah atau

kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan mudah mengajukan

gugat cerai ke Pengadilan.

Berdasarkan fakta tersebut, penulis tertarik untuk merekontruksi

upaya perlindungan terhadap wanita dalam hukum keluarga yang

terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI. Hukum dan perundang-

21

Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, 233.

Page 15: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

7

undangan hanyalah barang mati. Ia akan menjadi hidup apabila berada

dalam tangan hakim yang bijak, cerdas, jujur, dan bermoral tinggi.

Hakim harus mampu menerjemahkan bahasa hukum dan sekaligus dapat

menerapkannya sesuai dengan rasa keadilan kepada para pihak yang

berperkara di Pengadilan Agama. Menurunnya kecerdasan dan

kemampuan para hakim terutama dalam memahami al-Qur’an dan hadis

yang sudah tercermin dalam undang-undang perkawinan, maka semakin

menurun pula kwalitas putusan mereka. Atas dasar inilah kemudian

banyak keluhan yang datang dari masyarakat yang tidak puas atas

kemampuan putusan hakim.22

Terkait dengan hal apakah hakim sebagai

penegak hukum sudah melakukan fungsinya secara profesional sesuai

dengan aturan hukum keluarga atau tidak.

Penelitian ini menjadi penting, mengingat kedua produk hukum

yaitu UU No.1 Tahun 1974 dan KHI telah mengalami rentang waktu

lebih dari seperempat abad. Sudah barang tentu kehadiran kedua produk

hukum tersebut banyak menuai pro dan kontra, apakah kedua produk

hukum tersebut perlu untuk direvisi atau tidak. Apakah undang-undang

tersebut sudah memberikan perlindungan terhadap wanita sesuai dengan

tujuannya, hak apa saja yang diatur dalam Undang-undang UU No.1

Tahun 1974 dan KHI? Apakah hak wanita ketika ia didudukkan atau

diposisikan baik sebagai anak, istri dan ibu dalam hukum keluarga sudah

terealisasi dengan baik di dalam putusan Pengadilan Agama. Untuk

mengetahui dengan baik dan mendalam tentang hal ini perlu dilakukan

penelitian secara empiris. Karena itu penelitian dengan judul ‚Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita sebagai Ibu, Istri dan Anak‛ laik untuk diangkat.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, tampak bahwa Indonesia juga

melakukan reformasi hukum keluarga sebagaimana negara-negara

Muslim lainnya. Tidak berlebihan jika dikatakan betapa pentingnya

studi tentang hukum perkawinan di Indonesia, sesuai pendapat M. Daud

Ali dan M. Tahir Azhari yang menyatakan bahwa, hukum keluarga

menarik untuk dikaji, orang yang ingin menjadi ahli hukum Islam tidak

mungkin mengabaikan hukum keluarga yang dapat dikatakan sebagai

titik sentral dalam hukum Islam.23

22

Muhibin,‚Ijtihad Hakim Agama dalam Persepektif Undang-Undang,‚ 3

Desember 2010, di akses melalui http://www.walisongo.com 23

Lihat M. Daud Ali, ‚Hukum Keluarga dan Masyarakat Islam Kontemporer‛

dalam PP- Ikaha, laporan seminar sehari Pengadilan Agama Sebagai Peradilan

Page 16: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

8

Terkait dengan pendapat di atas masalah hukum keluarga sangat

kompleks, terlebih jika dikaitkan dengan peran hakim dalam putusan

Pengadilan Agama, maka berdasarkan latar belakang masalah yang telah

diuraikan di atas dapat diidentifikasikan sebagai berikut.

1. Apakah UU No.1 Tahun 1974 dan KHI sudah memberikan

perlindungan terhadap wanita?

2. Pasal mana saja yang menjelaskan tentang hak-hak wanita?

3. Pasal mana saja yang menjadi pro dan kontra UU No.1 Tahun 1974

dan KHI?

4. Perlukah UU No.1 Tahun 1974 dan KHI direvisi?

5. Adakah putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama

sesuai atau menyimpang dari hak-hak wanita dalam kedudukannya

sebagai anak, istri dan ibu, yang telah di atur dalam UU No.1 Tahun

1974 dan KHI?

6. Adakah perbedaan putusan antara satu Pengadilan Agama dengan

Pengadilan Agama lain dalam kasus yang sama?

C. Batasan dan Rumusan Masalah

Dari identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, jika

dirinci secara normatif betapa luasnya hak-hak wanita dalam hukum

keluarga (UU No.1 Tahun 1974 dan KHI), yaitu dalam masalah hukum

perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Penelitian ini dibatasi pada

hukum wanita baik posisinya sebagai anak, istri, maupun ibu dalam

hukum keluarga Islam saja.

Materi hukum yang menjadi wewenang Peradilan Agama sangat

luas sebagaimana Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 Jo. UU No. 50 Tahun

2009 Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama yang menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara

perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah, dan

ekonomi shari’ah. Obyek dalam penelitian ini adalah masalah hukum

perkawinan, perceraian, dan bagian waris anak saja.

Berdasarkan realita, begitu panjangnya rentang waktu sejarah

perjalanan Pengadilan Agama di Indonesia berikut banyaknya putusan-

putusan yang dihasilkannya maka penelitian ini mengambil rentang

waktu dua tahun yaitu dari tahun 2010-2011, dengan pertimbangan

Keluarga Islam Modern (Jakarta: PP-Ikaha, 1993), 1. lihat pula M. Tahir Azhary,

‚Hukum Keluarga dan Kewarisan Islam dalam Masyarakat Modern Indonesia‛, dalam

laporan Seminar Sehari, 29. lihat M. Tahir Azhary, Negara Hukum (Jakarta:Bulan

Bintang, 1992), 145.

Page 17: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

9

banyaknya kasus yang diputus Pengadilan Agama sudah dapat mewakili

dan menjawab pesoalan yang dikaji. Meskipun diadakan pembatasan

waktu, tidak menutup kemungkinan mengkaji pula putusan yang relevan

dengan kajian ini. Putusan–putusan tersebut dibatasi hanya putusan

dalam kasus batasan usia perkawinan (putusan dispensasi nikah),

pesetujuan mempelai wanita (putusan wali ‘ad}al), had}a>nah, warisan

anak wanita, poligami, gugat cerai, dan harta bersama di wilayah

Pengadilan Agama DKI Jakarta saja yaitu Pengadilan Agama Jakarta

Selatan, Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pengadilan Agama Jakarta

Barat, Pengadilan Agama Jakarta Utara, dan Pengadilan Agama Jakarta

Timur.

Setelah menguraikan batasan yang menjadi obyek dalam

penelitian ini, perumusan yang menjadi kajian dalam penelitian ini

adalah bagaimana bentuk dan tingkat perlindungan hukum terhadap

wanita dalam peraturan perundang-undangan dan praktik penegak

hukum di Indonesia?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan menjelaskan gambaran yang sebenarnya

tentang kedudukan serta hak-hak fundamental wanita dalam keluarga

yang berhak mereka nikmati yang terdapat dalam hukum keluarga Islam

di Indonesia. Tujuan berikutnya adalah untuk mengetahui apakah

putusan-putusan hakim Pengadilan Agama menciptakan keadilan dan

perlindungan hukum terhadap wanita atau sebaliknya.

Signifikansi penelitian ini adalah berguna untuk memberikan

informasi kepada masyarakat umum tentang hak-hak wanita dalam

hukum keluarga. Penelitian ini sangat penting terutama untuk wanita

dalam memahami hak-haknya dalam perkawinan, sehingga wanita dapat

menuntut haknya jika hak tersebut tidak terpenuhi. Melalui putusan-

putusan Pengadilan Agama tersebut dapat dipantau apakah hak-hak

yang diberikan kepada wanita sudah benar-benar terpenuhi atau tidak.

Lebih jauh, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah

literatur tentang kajian kewanitaan dalam hukum keluarga.

E. PenelitianTerdahulu yang Relevan

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada beberapa karya

ilmiah yang telah dilakukan dan berkaitan dengan penelitian ini.

Penelitian tersebut terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama

menyatakan, bahwa hukum keluarga menimbulkan diskriminasi

terhadap wanita. Kelompok kedua menyatakan, bahwa hukum keluarga

melindungi hak-hak wanita.

Page 18: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

10

Pendukung pertama, Joseph Schacht dan John L. Espito, dalam

Women in Muslim Family Law yang menyatakan hukum perdata Islam

menghadirkan sumber diskriminasi terhadap wanita. Hal ini dibuktikan

di dalam hukum keluarga Islam seorang laki-laki muslim dapat

mengawini sampai empat wanita dan menceraikannya sekehendak hati

tanpa perlu ada alasan pembenaran. Sebaliknya wanita muslimah hanya

dibatasi dengan satu suami dan dapat bercerai hanya melalui proses

pengadilan yang sangat ketat.24

Selanjutnya, Abdu>lla>hi Ah}med al-Na’i >m dalam penelitiannya

Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law menyatakan bahwa bentuk diskriminasi terhadap

muslimah dalam hukum keluarga Islam adalah hak suami untuk

memberikan perlindungan dan control terhadap istrinya, termasuk

menghukumnya dengan berbagai cara di antaranya ‚memukul ringan‛

jika ia dianggap tidak patuh (nushu>z). Adanya izin bagi suami untuk

mendisiplinkan istrinya dengan pukulan ringan ini bertentangan dengan

martabat manusia. Mau tidak mau wanita menjadi korban penghinaan

tersebut. Lebih lanjut al-Na’i >m menyatakan bahwa larangan shari’ah

kepada wanita muslimah untuk kawin dengan laki-laki nonmuslim,

sementara laki-laki muslim diizinkan kawin dengan wanita kita>biyah, ini

merupakan diskriminasi berdasarkan gender dan agama. Begitu juga

dalam hukum mi>ra>th (warisan), secara umum wanita memperoleh

separuh bagian dari seorang laki-laki meskipun keduanya memiliki

hubungan darah yang sama dengan pihak yang meninggal.25

Ruben Levy dalam bukunya yang berjudul The Social Structure of Islam menyatakan bahwa, penghapusan diskriminasi dalam bidang

pernikahan diragukan.26

Pendapat yang sama dikemukan Riffat Hasan,

beliau menyatakan bahwa hukum keluarga di beberapa negara Islam

seperti Tunisia, Mesir, dan Syiria misalnya, telah dilakukan perubahan,

namun menyentuh pinggiran masalah, tidak banyak membawa

perubahan yang berarti bagi prinsip-prinsip yang mendasari hukum

24

Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Clarendon

University Press, 1964), 161-166. Lihat John L. Esposito, Women in Muslim Family Law (Suracuse: Syracuse University Press, 1982), 20.

25Abdulla>hi Ah}med al-Na’i >m, Toward an Islamic Refomation: Civil Liberties,

Human Rights and International Law (New York: Syracuse University Press, 1996),

152-153. 26

Ruben Levy, The Social Structural of Islam (Cambridge: Cambridge

University Press, 1969), 91.

Page 19: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

11

tersebut.27

Musdah Mulia dalam Islam Hak Asasi Manusia menyatakan

bahwa, hukum keluarga di Indonesia masih mendiskriminasikan wanita,

karena masyarakat Indonesia masih kental dengan budaya patriarki.28

Pendukung kelompok kedua menyatakan, bahwa hukum keluarga

Islam telah melindungi hak wanita. Pendapat tersebut di antaranya

dikemukakan oleh Muh}ammad Bultaji dalam Maka>nah al-Mar’a>h fi> al-Qur’an al-Kari>m wa al-Sunnah al–S{ah}i>h}ah, mengatakan bahwa, shari’ah

Islam tidak menyamakan secara mutlak antara laki-laki di satu pihak

dan wanita di pihak lain, seperti yang banyak disuarakan belakangan ini

untuk menghilangkan (menghapuskan) sama sekali perbedaan antara

kaum wanita dan kaum laki-laki.29

Merujuk kepada bagaimana para hakim menyelesaikan

permasalahn hukum keluarga yang melibatkan wanita, Abdul Manan

dalam bukunya Reformasi Hukum Islam di Indonesia menegaskan,

metode ijtihad mas}lah}ah mendominasi putusan hakim Peradilan Agama

dalam reformasi hukum Islam di Indonesia. Hal ini dilakukan demi

melindungi hak-hak wanita.30

Quraish Shihab, dalam bukunya yang berjudul Membumikan Al-Qur’an, menjelaskan bahwa salah satu faktor anggapan bahwa Islam

mengaburkan dan memerosotkan kedudukan wanita adalah kedangkalan

pengetahuan agama, sehingga tidak jarang agama Islam diatasnamakan

untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan.31

27

Riffat Hasan dikutip dari kutipan Ghada Karm, ‚Wanita, Islam dan

Patriarkalisme‛, dalam Mai Yamani, Feminisme dan Islam: Perspektif Hukum dan Sastra (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2000), 125.

28Menurutnya cara mengubah budaya patriarki pertama, membangun

kesadaran bersama di masyarakat akan pentingnya penghargaan dan penghormatan

terhadap manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, menghukumi sosial budaya

kesetaraan sejak dirumah tangga melalui pola-pola pengasuhan anak yang demokratis.

Sedangkan di masyarakat melalui metode pembelajaran yang demokratis pada

lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Ketiga, melakukan

dekontruksi terhadap ajaran dan interpretasi agama yang bias gender dan nilai-nilai

patriarki. Keempat, merevisi semua peraturan dan perundang-undangan termasuk

undang-undang perkawinan. Lihat Musdah Mulia, Islam Hak Asasi Manusia (Jakarta:

Naufan Pustaka, 2010), 146-149. 29

Muh}ammad Bultaji, Maka>nah al-Mar’a>h fi > al-Qur’a>n al-Kari>m wa al-Sunnah al–S{ah}i>h}ah (al-Q{}}a>{hira>h: Da>r al-Sala>m, 1420 H/ 2000), 57.

30Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Gravindo

Persada, 2006). 31

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2007), 270.

Page 20: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

12

Huzaimah Tahido Yanggo dalam Fikih Wanita Kontemporer menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita baik

sebagai individu, anggota keluarga maupun anggota mayarakat.32

Marzuki dalam penelitannya ‚Status Wanita dalam Hukum Perdata

Indonesia di Tinjau dari Segi Hukum Islam: Kajian Analisis tentang Hak

dan Kewajiban Wanita‛. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa hukum

perdata Indonesia (KUH Perdata) memberikan status yang sama

terhadap wanita dan pria. Hal ini terlihat jelas dalam kesamaan dan

keseimbangan hak dan kewajiban yang diberikan kepada pria dan wanita

dalam berbagai hukum, baik itu hukum perorangan, hukum keluarga,

hukum benda, hukum warisan, dan hukum perikatan.33

Khoiruddin Nasution dalam bukunya dengan judul, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan di Indonesia dan Malaysia menegaskan bahwa aplikasi perundang-

undangan di Indonesia dan Malaysia di lapangan tidak maksimal

dikarenakan isi perundang-undangan tersebut tidak sejalan dengan

norrma yuridis, filosofis, dan sosiologis yang berlaku di kalangan

mayoritas masyarakat kedua Negara tersebut.34

Mesraini meneliti tentang ‚Hak-hak perempuan pascacerai di

Asia Tenggara: Studi Perundang-undangan di Indonesia dan Malaysia‛.

Studi ini menghasilkan temuan bahwa hak-hak perempuan pascacerai

mendapatkan legitimasi yang cukup kuat, baik dalam hukum keluarga di

Indonesia maupun Malaysia, bila dibandingkan dengan pendapat imam

mazhab, kedua hukum keluarga tersebut lebih akomodatif terhadap hak-

hak perempuan. Hak tersebut meliputi hak mut’ah, nafkah, penolakan

untuk rujuk, hak h}ad}a>nah, dan hak harta bersama.35

Abdul Wahab Abd. Muhaimin, dalam bukunya yang berjudul

Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Studi tentang UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI Buku I tentang Perkawinan, menjelaskan bahwa fikih munakahat dapat diterima

32

Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2010), 69. 33

Marzuki, ‚Status Wanita dalam Hukum Perdata Indonesia di Tinjau dari

Segi Hukum Islam‛, Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2007. 34

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002).

35Mesraini, ‚Hak-hak perempuan pascacerai di Asia Tenggara: Studi

Perundang-undangan di Indonesia dan Malaysia,‚ disertasi Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Page 21: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

13

menjadi hukum nasional karena sesuai dengan keyakinan umat Islam

dan budaya Indonesia yang secara yuridis formal dan secara normatif

telah menjadi hukum yang hidup di masyarakat. Lebih lanjut Muhaimin

menjelaskan bahwa semua materi UU No. 1 tahun 1974 KHI adalah

materi dan prinsip fikih muna>kahat, maka jelas bahwa hukum

perkawinan Islam telah diadopsi dalam sistem hukum nasional.36

Yayan Sopyan dalam penelitiannya yang berjudul Islam-Negara: Transformasi Hukum Islam dalam Hukum Nasional, menyatakan

bahwa, secara teoritis isi kandungan Undang-undang perkawinan sesuai

dengan tujuan shari’ah. Namun sayang setelah Undang-undang

perkawinan lahir dan berlaku bagi semua warga negara Indonesia,

sebagian umat Islam tidak konsisten dengan apa yang diinginkannya.

Sebagian umat Islam masih banyak yang bersifat ambigu. Di satu pihak

memeperjuangkan Undang-undang agar sesuai dengan hukum Islam, di

lain pihak masih mengingkari bahwa undang-undang perkawinan itu

merupakan bagian integral dari hukum perkawinan Islam. Dari beberapa

kasus masih banyak ummat Islam yang berpegagng pada doktrin fikih

ketimbang Undang-undang perkawinan seperti dalam kasus pencatatan

perkawinan, poligami dan perceraian.37

Edi Riadi dalam peneliannya yang berjudul Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Hukum Perdata Islam: Sudi tentang Pergeseran Hukum Perkawinan dan Kewarisan Islam Tahun 1991-2007 menunjukkan bahwa putusan-putusan Mahkamah Agung

dalam hukum perdata Islam telah mengalami pergeseran dari kerangka

hukum Islam tradisional ke kerangka hukum positif. Pergeseran tersebut

ditandai oleh kuatnya paradigma legisme baik pada level penerapan

hukum (rechtshandhaving) atupun penemuan hukum (rechtsvinding).

Pada level penerapan hukum, frekuensi penggunaan dasar hukum yang

paling tinggi dalam perkara perkawinan adalah peraturan perundang-

undangan, disusul KHI, kaul ulama, al-Qur’an, hadis, kaidah fikih, dan

yurisprudensi. Sedangkan dalam perkara kewarisan, frekuensi

penggunaan dasar hukum yang paling tinggi adalah KHI, disusul al-

Qur’an, hadis, peraturan perundang-undangan, kaul ulama, dan

yurisprudensi. Dalam bidang kewarisan tidak ada putusan yang

menerapkan kaidah fikih. Dalam kedua bidang hukum ini, ketentuan

36

Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011).

37Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Islam dalam Hukum

Nasional (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).

Page 22: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

14

legal formal peraturan perundang-undangan dan KHI menempati posisi

dominan dalam praktik penerapan hukum.38

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Muchith A. Karim dalam

Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Ummat Islam Indonesia, menyatakan bahwa penyelesaian masalah kewarisan yang ada di

Yogyakarta selama ini diselesaikan secara mufakat. Jarang yang

menggunakan lembaga Pengadilan Agama. Masyarakat pada umumnya

masih merasa malu dan merasa tidak terhormat jika pembagian harta

warisan masuk ke pengadilan, sebab terkesan berebut harta warisan.39

Melihat sejumlah studi yang telah membahas tentang wanita

dalam hukum keluarga, terlihat dari beberapa penelitian tersebut, ada

yang meneliti secara norrmatif dan ada pula secara kelembagaan.

Berbeda dengan penelitian penulis yang memadupadankan antara hukum

norrmatif dengan realitas putusan Pengadilan Agama.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif40

yang akan

dilakukan melalui pendekatan norrmatif yaitu suatu penelitian yang

menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku maupun hukum

yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan,41

guna

mengetahui apa yang dihasilkan dalam putusan telah melindungi hak

wanita atau justru mendiskriminasikannya.

Indikator hak wanita terlindungi atau tidak, diskriminasi atau

tidak adalah CEDAW (Committee on Elimination of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1984

tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

terhadap Wanita, kemudian UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, dan peraturan lainnya.

38

Edi Riadi, Putusan Mahkamah agung Republik Indonesia mengenai Hukum Perdata Islam: Sudi tentang Pergeseran Hukum Perkwinan dan Kewarisan Islam tahun 1991- 2007 (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).

39Muchith A. Karim, ed. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Ummat

Islam Indonesia (Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat 2010). 40

Salah satu perbedaan penelitian kualitataif dengan kuantitatif adalah, dalam

penelitian kualitatif jumlah subyek penelitiannya kecil sehingga tidak membutuhkan

pemilihan sampel secara random (acak). Lihat Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung:Rosda, 2006), 36.

41Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum

(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 118. Lihat juga Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Universitas Indonesia, 1987), 51.

Page 23: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

15

Metode pengumpulan data yang akan dilakukan adalah

penulusuran kepustakaan (library research) dan lapangan (field research).

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mengoleksi dan menganalisa

buku-buku, kitab-kitab fikih, jurnal-jurnal, peraturan perundang-

undangan di Indonesia (UU No. 1 Tahun 1974 berikut aturan

pelaksanaannya, KHI, dan aturan lainnya), dan beberapa putusan hakim

Pengadilan Agama. Selain melakukan studi kepustakaan penulis akan

melakukan observasi di Pengadilan Agama di Jakarta untuk melakukan

wawancara (interview) dengan beberapa hakim Pengadilan Agama.

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah

peraturan hukum keluarga Islam di Indonesia, putusan-putusan

Pengadilan Agama dan wawancara. Wawancara dilakukan dengan model

bebas terpimpin yaitu wawancara dengan daftar pertanyaan terlebih

dahulu yang dipakai sebagai pedoman, tetapi variasi pertanyaan

disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara dilakukan, dengan

tujuan untuk memudahkan memperoleh data secara mendalam. Data

sekunder penelitia ini adalah buku-buku, kitab-kitab fikih, jurnal-jurnal,

dan karya-karya lain yang berkaitan dengan kajian ini.

Metode analisis data yang gunakan dalam penelitian ini adalah

content analysis42 dan komparasi, yaitu dengan membandingkan

pendapat para ulama ahli fikih dengan peraturan perundang-undangan,

selanjutnya membandingkan peraturan perundang-undangan dengan

hasil putusan Pengadilan Agama.

G. Sistematika Penulisan

Kajian ini dibagi ke dalam enam bab dengan rincian sebagai

berikut.

Bab pertama merupakan pendahuluan yang menguraikan latar

belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, penelitian

terdahulu yang relevan dan sistematika penulisan. Unsur-unsur ini

dikemukakan lebih dahulu untuk mengetahui secara persis signifikansi

penelitian, pendekatan, teori apa yang digunakan dalam penelitian ini,

dan pokok yang menjadi masalahnya.

Bab kedua, menjelaskan tentang kerangka teori yang membahas

tentang kaitannya wanita dan hukum. Pada bab ini akan dibahas

mengenai kedudukan wanita dalam persepektif hukum Islam, wanita

dalam hukum Internasional dan kodifikasi hukum keluarga Islam di

42 Bruce A. Chadwick dkk, Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Hukum

(Semarang: IKIP Press, 1991), 270.

Page 24: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

16

negara muslim. Tujuan penulisan bab ini untuk menjelaskan beberapa

teori terkait dengan wanita dan hukum keluarga Islam yang akan

dijadikan bahan analisis.

Bab ketiga, menjelaskan tentang pembaharuan hukum keluarga

Islam di Indonesia. Bagian ini akan dijelaskan mengenai akar sejarah

lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, serta subtansi hukum yang

terdapat dalam kedua peraturan tersebut. Terakhir respon masyarakat

setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI.

Bab keempat, menjelaskan tentang wanita sebagai anak dan ibu

dalam peraturan perundang-undangan dan praktik di Pengadilan Agama.

Pembahasan pada bab ini meliputi urgensi batasan usia minimum kawin

dan ketentuan tentang dispensasi nikah, status wali, dan persetujuan

mempelai wanita dalam perkawinan, h}ad}a>nah, dan problematika

penyelesaiannya dan hak waris anak. Tujuan penulisan pada bab ini

adalah pertama, untuk melihat bentuk perlindungan hukum keluarga di

Indonesia terhadap wanita ketika berada pada level anak dan ibu. Kedua, untuk mengetahui dasar hukum putusan hakim Pengadilan Agama dalam

menciptakan keadilan. Apakah hakim sebagai penegak hukum selalu

menjadi corong undang-undang atau menciptakan terobosan hukum

demi melindungi hak wanita.

Bab kelima, menjelaskan tentang wanita sebagai istri dalam

peraturan perundang-undangan dan praktik di Pengadilan Agama.

Pembahasan pada bab ini meliputi, poligami, cerai gugat dan khuluk,

serta pembagian harta bersama dalam masalah pencari nafkah. Tujuan

penulisan ini adalah untuk mengetahui apakah hak wanita dalam hukum

keluarga Islam dan implementasinya dalam hasil putusan Pengadilan

Agama sudah memberikan perlindungan dan keadilan terhadap wanita

ketika menjadi istri atau tidak.

Bab keenam, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan

hasil penelitian dan saran.

Page 25: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

BAB II

WANITA DAN HUKUM

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai wanita dan hukum,

dengan memaparkan berbagai teori terkait dengan kedudukan wanita

dalam perspektif hukum Islam dan dalam perundang-undangan di

beberapa negara Muslim. Pada bab ini status hukum wanita dalam

hukum internasional juga akan dipaparkan guna mengetahui sejauh

mana wanita memperoleh perhatian dan perlindungan dalam

memperoleh hak-haknya.

A. Kedudukan Wanita dalam Perspektif Hukum Islam

Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran

Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara pria dan wanita

maupun antar bangsa, suku, dan keturunan. Sebelum agama Islam

datang, kaum pria menempati posisi sentral dalam keluarga dan

mayarakat. Mereka bertanggungjawab secara keseluruhan dalam

persoalan-persoalan kehidupan keluarga, sehingga kaum wanita secara

umum mengekor kaum pria.1

Ketika risalah Islam hadir pada 15 abad silam, ajarannya secara

subtansial telah menghapuskan diskriminasi antara pria dan wanita.

Kedudukan wanita dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana

diduga atau dipraktikkan sementara masyarakat.2 Ajaran Islam pada

hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan

terhormat kepada wanita. Islam memandang wanita mempunyai

kedudukan yang sama dengan pria3 kalaupun ada perbedaan itu adalah

1Secara singkat dapat dikatakan bahwa posisi wanita pada masa pra Islam

adalah pertama, dari sisi kemanusiaan, wanita tidak memiliki tempat terhormat di

hadapan pria karena tidak adanya pengakuan atau sikap pria terhadap peran wanita

dalam mengatur masyarakat. Kedua, dalam lingkungan keluarga, adanya ketiksetaraan

antara suami-istri. Ketiga, mengesampingkan kepribadian atau kompetensi wanita

dalam memperoleh penghidupan, sehingga wanita tidak memiliki hak dalam persoalan

warisan dan kepemilikan harta. Lihat Suad Ibrahim Salih, ‚Kedudukan Wanita dalam

Islam‛ dalam M. Atho Mudzhar dkk, eds. Wanita dalam Masyarakat Indonesia

(Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001), 38-39. 2M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2007), 269. 3Yousuf Ali, ‚A Contextual Approach to the Views of Muslim Feminist

Interpretation of the Qur’an Regarding Women and Their Rights‛, International

Journal of Arts and Sciences, 2010,

http://www.openaccesslibrary.org/images/HAR138_Md._Yousuf_Ali.pdf. Diakses

pada 31 Desember 2012.

Page 26: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

18

akibat fungsi dan tugas agama yang dibebankan kepada masing-masing

jenis kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang

satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain, melainkan mereka saling

melengkapi dan membantu.4

Al-Qur’an menampilkan berbagai masalah berkaitan dengan

wanita lebih dari 10 surah.5 Pengangkatan tema-tema berkaitan dengan

wanita dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa al-Qur’an memberikan

perhatian khusus terhadap wanita yang pada saat al-Qur’an diturunkan,

kedudukan wanita sangat rendah di hadapan kaum pria. Islam

mengangkat derajat wanita setara dengan pria, satu kedudukan yang

tidak pernah dimiliki oleh wanita lain dalam agama Samawi.6

Menurut Mah}mu>d Shalt}u>t sebagimana yang dikutip M. Quraish

Shihab menyatakan bahwa, tabiat kemanusiaan antara lelaki dan wanita

hampir dapat dikatakan sama. Allah telah menganugerahkan kepada

wanita sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka

berdua dianugerahi Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk

memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini

dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun

khusus.7

Argumen di atas tidak menutup anggapan bahwa Islam telah

memperkosa hak wanita, menurunkan derajatnya, dan menjadikannya

sebagai mainan kaum laki-laki, di mana mereka boleh bertindak semena-

mena terhadap wanita kapanpun, di manapun.8 Kedangkalan

4Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer, 83.

5Di antaranya dua surah yang terkenal yaitu al-Nisa>’ al-Kubra> (surah al-

Nisa>’), sedangkan yang lainnya surah al-Nisa>’ al-S{ughra> (surah al-T{alaq). selain itu

masalah wanita juga ditampilkan dalam surah al-Baqarah, al-Ma>’idah, al-Nu>r, al-

ah}za>b, al-Muja>dalah, al-Mumtah}anah, dan al-Tah}ri>m. 6Di sejumlah negara, wanita dibatasi haknya atas kepemilikan tanah,

mengelola, properti, bisnis, bahkan dalam melakukan perjalanan pun harus dengan

persetujuan suami. Kawasan Afrika misalnya, sebagian besar wanita memperoleh hak

atas tanah melalui suami mereka atas dasar perkawinan, hak-hak tersebut sering hilang

saat terjadi perceraian atau kematian sang suami. Di Asia Selatan yang mayoritas

Muslim, rata-rata jumlah jam yang digunakan wanita bersekolah hanya separoh dari

yang digunakan pria. Di negara berkembang, termasuk negara-negara Muslim,

wirausaha yang dikelola oleh wanita cenderung kekurangan modal, kurang memiliki

akses terhadap mesin, pupuk, informasi tambahan dan kredit disbanding wirausaha

yang dikelola kaum pria. Lihat Sukron Kamil dkk, Shari’ah Islam dan HAM (Ciputat:

CSRC, 2007), 38. 7M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat, 269-270. 8Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer, 83.

Page 27: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

19

pengetahuan dan pemahaman agama salah satu sebab anggapan

pemerosotan kedudukan wanita.9 Huzaimah Tahido Yanggo menyatakan

bahwa al-Qur’an sebagai konsepsi dasar ajaran Islam secara verbal telah

menjelaskan posisi wanita sejajar dengan pria. Untuk itu kalau ada

pemahaman miring terhadap kedudukan wanita dalam Islam, maka

sebenarnya hanya hasutan orang-orang nonmuslim atau kaum

orientalis,10

karena al-Qur’an sendiri secara tegas memosisikan wanita

dan pria secara seimbang.11

Pemahaman mengenai prinsip-prinsip yang sudah digariskan al-

Qur’an terkadang dipraktikan berbeda oleh sebagian umat Islam dalam

kehidupan sehari-hari. Harus disadari bahwa sebenarnya al-Qur’an

menyuarakan persamaan dan keadilan, namun sering difahami

sebaliknya. Hal ini disebabkan perbedaan pendapat di kalangan pemikir

Islam dalam memahami penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Berikut

ini penjelasan mengenai perbedaan penafsiran ulama.

1. Interpretasi Ulama Tentang Kedudukan Wanita dalam Al-Qur’an

Ada beberapa ayat al-Qur’an yang seringkali ditunjuk

mengindikasikan bahwa Islam memandang wanita lebih rendah dari pria.

Di antaranya surah al-Nisa>’ Ayat (1)12

yang mengungkap penciptaan

manusia, berawal dari penciptaan diri yang satu (nafs wa>h}idah),

kemudian penciptaan pasangan yang sejenis dengannya, dari kedua

pasangan tersebut tercipta pria dan wanita dalam jumlah yang banyak.13

Ayat tersebut menjelaskan tidak adanya perbedaan penciptaan antara

pria dan wanita, karena keduanya berasal dari jenis yang sama,

Menurut Asma Barlas, al-Qur’an mengakui perbedaan biologis

antar pria dan wanita, namun perbedaan jasad tersebut tidak

menyebabkan mereka berbeda dalam tataran etika dan moral. Pria dan

wanita mempunyai kesetaraan bahkan pada tingkat ontologis, di mana

9M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat, 270. 10

Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer, 84. 11

Lihat QS. al-Baqarah: 228. 12

Teks ayat tersebut adalah:

13

Husein Muhammad, Fikih Wanita (Yogyakarta: LKis, 2001), 25. Lihat

Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Wanita, trans. Believing Women in Islam

(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta 2005), 240.

Page 28: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

20

pria dan wanita diciptakan dari nafs.14 Jumhu>r mufassiri>n bahkan

Departemen Agama Republik Indonesia menafsirkan bahwa kalimat

adalah ‚dari seorang diri‛ yaitu Adam. Kalimat

diartikan ‚dari padanya adalah bagian dari tubuh (tulang rusuk)

Adam‛.15

ditafsirkan sebagai ‚istrinya‛ yaitu Siti Hawa,

tercipta dari tulang rusuk Adam. Penafsiran tentang penciptaan Hawa

seperti ini memberi kesan bahwa Islam memandang wanita lebih rendah

dari pada pria.

Pemahaman mufassi>r semacam ini harus dibaca dan ditafsirkan

kembali, karena dalam al-Qur’an tidak ditemukan satupun ayat yang

secara eksplisit menyatakan hal demikian. Keyakinan ini sebenarnya

adalah warisan tradisi dari bangsa-bangsa sebelumnya (kaum Yahudi

dan Nasrani) yang menjalar ke kaum Muslim.16

Muhammad Rashi>d Rid}a>

dalam Tafsi>r al-Mana>r menyatakan, ‚Seandainya tidak tercantum kisah

kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian lama (Kejadian II; 21)

dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya

pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak

seorang muslim.‛17

Ayat lain yang biasanya dijadikan dasar bagi supremasi pria atas

wanita adalah surah al-Nisa>’ Ayat (34)18

yang menyatakan bahwa pria

adalah pemimpin kaum wanita. Para ahli tafsi>r menyatakan bahwa

qawwa>m berarti pemimpin, penanggungjawab, pengatur, pendidik,

dan sebagainya.19

Katagori-katagori seperti ini sebenarnya tidak menjadi

persoalan yang serius sepanjang ditempatkan secara adil dan tidak

didasari oleh pandangan yang diskriminatif. Akan tetapi secara umum

para ahli tafsir berpendapat bahwa superioritas pria ini adalah mutlak.

Superioritas ini adalah ciptaan Tuhan, sehingga tidak akan pernah

berubah, sebagaimana yang diungkapkan Al-Zamah}shari>, seorang

14

Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Wanita, 16. 15

DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahan (Jakarta: Bumi Restu, 1967), 16

Husein Muhammad, Fikih Wanita, 24. 17

Muh}ammad Rashi>d Rid}a> , Tafsi>r al-Mana>r, Jil. IV (Kairo: Da>r al-Mana>r,

11367 H), 330. 18

Redaksi ayat tersebut adalah;

…..

Page 29: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

21

pemikir liberal, beliau menyatakan bahwa pria memang lebih unggul

dari pada wanita. Keunggulan itu meliputi akal, ketegasan, semangat,

keperkasaan, dan keberanian atau ketangkasan. Oleh karena itu

kenabian, keulamaan, kepemimpinan, dan jihad hanya diberikan kepada

pria.20

Supremasi pria atas wanita juga dinyatakan oleh Ibn Kathi>r,

pemikir Islam terkemuka, beliau menyatakan bahwa pria sebagai

pemimipin wanita, pendidiknya, dan hakimnya, karena secara inheren

pria lebih utama dan lebih baik dibandingkan dengan wanita. Pernyataan

tersebut dibuktikan dengan kenabian yang merupakan gelar tertinggi

hanya diberikan kepada pria.21

Pendapat yang sama dikemukan oleh Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>,

seorang pemikir besar Sunni, ia memercayai superioritas pria atas

wanita dengan alasan bahwa ilmu pengetahuan (al-’Ilm) pria lebih luas

dan kemampuan (al-qudrah) pria untuk melakukan kerja keras lebih

prima dibandingkan dengan wanita. Ini semua merupakan sifat yang

tidak dapat dipungkiri.22

Pemikir Islam kontemporer seperti Muh}ammad Rashi>d Rid}a> dan

Muhammad Abduh berpendapat bahwa Allah telah memberikan pria

kekuatan yang tidak dimiliki oleh wanita. Hal ini dibuktikan dengan

dibebankannya nafkah kepada pria.23

Muh}ammad T>}a>hir bin ‘A <shu>r

sebagaimana yang dikutip Husein Muhammad ternyata tidak jauh

berbeda dengan ulama sebelumnya. Menurutnya, pria pemimpin wanita

dengan beberapa alasan di antaranya, pria berfungsi memberikan

perlindungan dan pengamanan (qiya>m al-h}ifz} wa al-difa’), berusaha dan

menghasilkan uang (qiya>m al-ih}tisa>b wa al-inta>j al-ma>li>). Kelebihan

atau keunggulan ini bersifat instingtif, di mana wanita sendiri memang

membutuhkan perlindungan dan pengamanan pria agar tetap bisa

eksis.24

20

Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d bin ‘Umar Al-Zamakhshari>, al-Kashshaf ‘an H}aqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi U>ju>h al-Ta’wi>l, Juz. I (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Ara>bi>,

t.th), 523. 21

‘Ima>d al-Di>n Isma>’i>l bin Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m, Juz I (Surabaya:

Shirkat an-Nu>r Asiya>, t.th), 491. 22

Fahr al-Di>n al-Razi>, al-Tafsi>r al-Kabi>r, Juz X (Teheren: Dar> al-Kutub al-

‘llmiyah, t.th), 88. 23

Muh}ammad Rashi>d Rid}a>, al-Mana>r, Juz V (Bai>ru>t: Dar> al-Ma’ri>fah, 1392

H/1973 M), 67-68. 24

Husein Muhammad, Fikih Wanita, 11.

Page 30: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

22

T{aba’t}aba’i> seorang pemikir kontemporer beraliran Shi>’ah

moderat, mengakui superioritas pria atas wanita. Menurutnya, sifat pria

lebih unggul dari pada wanita baik dari segi keberaniaan, kekuatan, dan

kemampuan dalam mengatasi masalah. Sedangkan wanita lebih sensitif

dan emosional, karena ia lembut dan halus.25

Tokoh-tokoh utama yang pikirannya menjadi panutan kaum

muslimin di seluruh dunia, seperti Ima>m Ma>lik, Ima>m al-Sha>fi’i >, Ah}mad

bin H{anbal, dan al-Mawardi>, ketika membicarakan persoalan kekuasaan

kehakiman sebuah kekuasaan dalam wilayah publik, mereka

menyaratkan jenis kelamin pria untuk jabatan ini. Menurut mereka

kekuasaan kehakiman memerlukan kecerdasan pikiran yang prima

(kama>l al-ra’y wa tama>m al-‘aql wa al-fat}a>nah). Menurut mereka

kriteria ini hanya dimiliki oleh pria. Sementara tingkat kecerdasan dan

intelektualitas wanita, menurut mereka berada di bawah kecerdasan pria

(naqis}at al-‘aql, qali>lat al-ra’y).26

Barbeda dengan pendapat di atas, Jawad Mughniyah dalam

Tafsi>r al-Kashi>f, berpendapat bahwa maksud dari al-Qur’an surah al-

Nisa>’ Ayat 34 tersebut bukanlah menciptakan perbedaan yang

menganggap wanita lebih rendah dari pria, tetapi keduanya adalah sama.

Ayat tersebut hanyalah ditujukan kepada pria sebagai suami dan wanita

sebagai istri. Keduanya adalah rukun kehidupan, tidak satu pun bisa

hidup tanpa yang lain, keduanya saling melengkapi. Ayat ini hanya

ditujukan untuk kepemimpinan suami dalam rumah tangga, memimpin

istrinya, bukan untuk menjadi penguasa atau diktator.27

Kepemimpinan

ini pun menurut Quraish Shihab tidak mencabut hak istri dalam berbagai

segi, termasuk dalam hak kepemilikan harta pribadi dan pengelolaannya,

meskipun tanpa persetujuan suami.28

Menurut Huzaimah Tahido Yanggo, tanggung jawab suami

sebagi pemimpin atau kepala rumah tangga adalah dalam hal menjaga,

membela, bertindak sebagai wali, memberi nafkah, dan sebagainya,

25

Muhammad H}usain T{aba’t}aba’i >,Tafsi>r al-Mi>za>n, Juz IV (Beirut: Muassasah

al-‘Alam li al-Mat}bua>t, 1411 H/1911 M), 351. 26

Al-Kha>tib al-Syirbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, Juz IV (Beirut: Dar> al-Ih}ya>’ al-

Thura>th al-‘Arabi>, t.th), 375. Lihat Ibn Rush, Bida>yah al-Mujtahid, Juz II (Mesir:

Must}afa> Ba>b al-Halabi> li al-Nas}r, 1960),449. Lihat juga, Abu> al-H{asan al- Mawardi>, al-Ah}ka>m al-Sult}aniyyah wa al-Wila>yat al-Di>niyyah (t.tp: Da>r al-Fikr, 1960), 65.

27Jawad Mughniyah, Tafsi>r Al-Kashi>f, Juz II (Beirut: Da>r al-Ilmi li al-

Malayi>n, 1968), 314. 28

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 274.

Page 31: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

23

sedangkan wanita mendapat jaminan keamanan dan nafkah. Itulah

sebabnya pria mendapat warisan lebih banyak dari wanita dan diberi

kelebihan fisik dari pada wanita. Jadi kelebihan pria atas wanita

sebenarnya hanya pada kelebihan fungsional, bukan kepada derajat atau

setatusnya sebagai manusia.29

Lebih tegas Mus}t}afa> al-S{iba>’i>

berpendapat bahwa kedudukan wanita dalam Islam sama tingginya

dengan kedudukan pria.30

Masih pada ayat yang sama yaitu al-Nisa>’ Ayat 34, persoalan

lain pada ayat berikutnya yang mengatakan bahwa istri yang

dikhawatirkan berbuat durhaka (nushu>z), suami hendaknya memberi

peringatan kepada istri, kalau tidak mempan, hendaknya pisah tempat

29

Kelebihan pria dalam memberi nafkah dan kekuatan dalam memberikan

perlindungan telah memberikan kemudahan bagi wanita dalam menjalankan fungsi

fitrahnya, hamil, melahirkan, mengasuh anak, dengan itu wanita bisa tenteram dan

tercukupi segala kebutuhannya. Hikmah lain berupa isyarat bahwa kelebihan itu hanya

berlaku secara general, tidak memiliki kelebihan dari suaminya, baik dalam segi ilmu

pengetahuan maupun profesinya, kekuatan fisik maupun kemampuan bekerja. Lihat

Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita kontemporer, 98. 30

Menurutnya Islam mengatur kesamaan prinsip antara lak-laki dan wanita

sekurang-kurangnya dalan dua belas hal yang meliputi badang kemanusiaan, sosial

maupun hak milik. Kedua belas prinsip itu adalah: 1)pria dan wanita sama dari segi

kemanusiaannya, 2) Islam menghilangkan kutukan yang diberikan oleh ahli agama

sebelum Islam kepada wanita. Islam menetapkan bahwa hukuman yang dikenakan

kepada Adam keluar dari surga tidak berasal dari Hawa semata, tetapi dari mereka

berdua, 3) wanita mempunyai kecakapan untuk beragama dan untuk masuk surga jika

ia berbuat baik dan akan di siksa jika ia berbuat jahat, sama seperti pria, 4) Islam

mengikis rasa pesimis dan sedih pada waktu lahirnya banyi wanita, seperti tradisi

bangsa Arab sebelum Islam, 5) Islam mengharamkan pengkuburan anak wanita dalam

keadaan hidup-hidup dan mengancam dengan keras kepada pelakunya, 6) Islam

memerintahkan agar menghormati wanita sebagai puteri, istri atau ibu, 7) Islam

menganjurkan agar wanita diberi pelajaran sebagaimana pria, 8) Islam memberikan hak

bagi wanita dalam harta warisan baik sebagai ibu, istri atau putrid, baik yang sudah

dewasa aatau masih kecil bahkan yang masih ada dalam kandungan, 9) Islam mengatur

hak-hak suami dan menjadikan harta wanita sama dengan harta pria, kedudukan pria

sebagai pemimpin keluarga tidak boleh diktator dan z}alim, 10) Islam mengatur

masalah talak, mencegah sifat semena-mena, 11) Islam membatasi poligami dan

menetapkan istri hanya empat saja, 12) Sebelum dewasa, wanita ditetapkan harus

berada dalam pemeliharaan walinya, dan kekuasaan wali itu berupa kekuasaan

pemelihara, mendidik serta memperhatikan segala keperluannya dan mengembangkan

harta miliknya. setelah anak dewasa Islam menetapkan bahwa ia mempunyai hak yang

penuh dan memiliki kecakapan yang sempurna untuk mempergunakan hartanya seperti

pria. Lihat Must}afa> al-Siba>’i>, Al-Mar’a>t bayn al-Fikih wa al-Qa>nu>n (Beirut: al-Maktab

al-Isla>mi>, 1984), 38-48.

Page 32: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

24

tidur, kalau tidak mempan juga hendaknya di pukul ( ). Anjuran

al-Qur’an memukul istri ini memberi kesan bahwa pria lebih tinggi dari

pada wanita. Kata adalah fi‘l ‘amar (kata perintah), fi‘l ma>d}i>

dan masdarnya (d}arba>n). Dalam al-Qur’an, Allah

menggunakan kata dan sebanyak 59 kali. Dalam banyak

tempat kata diartikan dengan ‚membuat contoh‛, dalam ayat lain

diartikan dengan‛ bepergian‛, jadi kata tidak selalu diartikan

memukul. Jadi kata dalam ayat di atas lebih baik diartikan

dengan ‚usirlah‛ ketimbang ‚pukullah‛.31

Hal ini diperkuat oleh

larangan Nabi saw. untuk memukul wanita.

Ayat lain lagi yang juga dianggap tidak memandang wanita

sejajar dengan pria adalah dalam soal persaksian, sebagaimana tertera

dalam surah al-Baqarah Ayat 282.32

Dikatakan bahwa kesaksian seorang

pria dihitung sama dengan dua orang wanita. Pendapat ini dikemukan

oleh al-Jawzi>, bahkan Ibn ‘At}iyah menginterpretasikan, jika kedua saksi

pria tidak didapatkan, maka kesaksian dua orang wanita tidak

diperbolehkan, kecuali disertai dengan satu orang pria.33

Dengan alasan

bahwa daya ingat wanita lebih lemah dari pada pria.34

Pandangan di atas telah direformasi oleh pemikir Islam lainnya,

di antaranya Mah}mu>d Shalt}u>t} dengan mengutib Muhammad ‘Abduh, ia

mengatakan, ‚Tidak semestinya wanita menyibukkan diri berbagai

31

Abu> al-Qa>sim al-Zamakhshari> di artikan (bencilah,

paksalah). Lihat Abu> al-Qa>sim al-Zamakhshari>, al-Kashsha>f (Beirut: Dar> al-Fikr, t.th),

524-525. Lihat M. Hisham Kabbani and Homayra Ziad, The Prohibition of Domestic Violence in Islam, (Washington: Worde, 2011), 12.

32 Ayat yang dimaksud adalah:

33Al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, Jil. II (Beirut: Dar> al-Sabab,

1372), 391. Bahkan pemikir kontemporerpun masih ada yang berpandangan sama

dengan ulama terdahulu, karena secara psikologis wanita tidak secekatan pria. Lihat

Sayyid Qut}b, Fi> Zi}la>l al-Qur’a>n, Cet. ke 4 (Beirut: Dar> al-‘Ara>biyah, t.th), 89-90. 34

Al-Bayd}a>wi>, Tafsi>r al-Bayd}a>wi>, Jil.I (al-Qa>hirah: Da>r al-Mis}riyyah, t.th),

579.

Page 33: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

25

urusan yang menyangkut masalah keuangan dan harta kekayaan lainnya,

karena daya ingat wanita dalam urusan-urusan seperti ini cenderung

lemah. Tidak demikian halnya dalam urusan rumah tangga yang

memang sudah menjadi kesibukannya, dalam masalah ini wanita lebih

kuat daya ingatnya dari pada pria.‛35

Sudah merupakan tabiat manusia

bahwa dalam masalah-masalah yang terkait dengan pekerjaan dan

aktivitasnya atau profesinya, daya ingatnya cenderung menjadi kuat.

Dengan demikian kesaksian wanita mempunyai kekuatan yang

sama dengan pria. Hal itu bukan karena wanita mempunyai akal yang

lemah, akan tetapi masalah saksi ini harus dihubungkan dengan konteks

di mana pada masa itu wanita memang tidak banyak terlibat dengan

urusan mu’a>malah. Al-Qur’an secara jelas menunjukkan bahwa dalam

masalah keuangan, kesaksian wanita harus ditopang oleh wanita lain

hanya karena kurangnya pengalaman dan keahlian.36

Apabila wanita

dalam kesehariannya terlibat dalam perniagaan, maka wanita juga

mempunyai nilai kekuatan hukum yang sama dengan pria.

Ayat lain yang sering dijadikan supremasi pria atas wanita

adalah dalam hal warisan. Surah al-Nisa>’ Ayat 11 menyatakan bahwa

anak pria dalam pembagian warisan dua kali lipat dari pembagian

wanita.37

Pada hakikatnya pembagian hukum waris wanita yang

setengah dibandingkan pria dalam Islam tidak ditetapkan berdasarkan

anggapan bahwa kemanusiaan wanita kurang dari kemanusiaan pria,

tetapi didasarkan pada pembawaan dan tabiat wanita dalam kehidupan

kerjanya, di antaranya sebagai berikut.

a. Bahwa pria menanggung nafkah keluarga

b. Pria harus memberi mahar kepada wanita sebagai bukti

keinginannya mengawini wanita tersebut, dan sebagai kewajiban

yang harus dipenuhi.

c. Wanita memikul kewajiban mengurus rumah tangga.

Berdasarkan hal di atas, tampak keseimbangan hak antara pria

dan wanita, bahkan dalam pandangan Islam wanita memperoleh bagian

35

Mahmu>d Shalt}u>t, al-Isla>m wa ‘Aqi>dah al-Shari>’ah, Cet. III ((Beirut: Dar> al-

Qalam,t.th), 249. 36

Maulvi Mumtaz ‘Ali> Khan, ‚Hak-Hak Wanita dalam Islam‛ dalam Asghar

Ali Engineer, Pembebasan Wanita (Yogyakarta: LKiS, 1999), 226-227. 37

Ayat tersebut adalah;

Page 34: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

26

yang lebih baik, karena pria diwajibkan membayar sesuatu yang

dibutuhkan, sedangkan wanita tidak diharuskan membayar sesuatupun.38

Semua superioritas di atas dewasa ini tidak lagi dapat

dipertahankan sebagai sesuatu yang berlaku umum dan mutlak. Artinya

tidak setiap pria pasti lebih berkualitas dibanding wanita. Hal ini bukan

saja dipandang sebagai bentuk diskriminasi yang tidak sejalan dengan

dasar-dasar prikemanusiaan universal, melainkan juga fakta-fakta sosial

sendiri telah membantahnya. Zaman sudah berubah, makin banyak

wanita yang memiliki potensi dan bisa melakukan peran-peran yang

selama ini dipandang hanya dan harus menjadi milik pria. Banyak

wanita diberbagai ruang kehidupan mampu tampil dalam peran

kepemimpinan domestik maupun publik, dalam bidang politik, ekonomi,

maupun sosial.39

Oleh karena itu, karakteristik yang menjadi dasar

argumen bagi superioritas pria bukanlah sesuatu yang tetap dan berlaku

sepanjang masa. Pemahaman teks-teks al-Qur’an yang menunjukkan

subordinasi wanita dan superioritas pria dikarenakan adanya bias gender

dalam pemahaman atau penafsiran teks-teks al-Qur’an.

Menurut Nasarudin Umar, pemahaman bias gender dalam

penafsiran teks-teks al-Qur’an dikarenakan beberapa sebab di antaranya,

pembakuan tanda huruf, tanda baca dan qira>’at, pengertian kosa kata

(mufrada>t), penetapan rujukan kata ganti (d}ami>r), penetapan batas

pengecualian (istithna’), penetapan arti huruf ‘at}af, bisa dalam struktur

bahasa, bisa dalam kamus bahasa Arab, bisa dalam metode tafsir,

pengaruh riwayat isra>’illiya>t, dan bisa dalam pembukuan dan

pembakuan kitab-kitab fikih.40

Sudah lebih 15 abad, al-Qur’an

ditafsirkan oleh pria muslim, belum ada wanita yang menulis kitab-kitab tafsir yang mu’tabar.41

Oleh sebab itu, dalam menafsirkan ayat-ayat al-

Qur’an tidak mustahil terjadi bias gender sebagaimana yang telah

diuraikan di atas.

Tidak berhenti sampai di situ saja, untuk memposisikan wanita

dalam posisi yang sebenarnya sebagaimana yang dijelaskan dalam al-

Qur’an, maka perlu juga dilakukan kajian ulang terhadap hadis-hadis

yang misoginis, yaitu hadis-hadis yang isinya merendahkan wanita,

sehingga memperlihatkan adanya ketimpangan gender antara pria dan

wanita. Cara yang bisa ditempuh menurut Nasarudin Umar misalnya

38Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer, 85.

39Husein Muhammad, Fikih Wanita, 21.

40Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an

(Jakarta: Paramadina, 1999), 268-299. 41

Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer, 86.

Page 35: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

27

dengan melakukan demaskulinisasi epistemologi. Cara ini diarahkan

pada dekonstruksi epistemologi yang menempatkan wanita pada objek

studi, tanpa ada perhatian yang serius untuk menjadikannya sebagai

subyek yang setara dengan pria. Jadi demaskulinisasi epistemologi

menurutnya bukan berarti feminisasi epistemologi.42

Kritik terhadap hadis-hadis yang misoginis hendaknya dilakukan

terhadap sanad dan matannya. Jika ditelusuri hadis-hadis yang misoginis

tersebut ternyata sebagian adalah hadis-hadis s}ah}i>h}. Sebagai contoh

adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari>, yang isinya bahwa

kebanyakan wanita adalah penghuni neraka, kemudian hadis-hadis

lainnya juga diriwatkan al-Bukhari> yang menegaskan bahwa akal dan

agama wanita separuh akal dan agama lak-laki, hadis tentang penciptaan

wanita dari tulang rusuk pria yang bengkok,43

dan juga hadis yang

diriwayatkan al-Bukha>ri> tentang ketidakberhasilan suatu negara yang

dipimpin seorang wanita. Terhadap hadis-hadis s}ah}i>h} tersebut yang

harus dilakukan adalah mengkritisnya melalui jalur matan, yaitu dengan

mengkaji ulang makna yang tekandung di balik bunyi teks hadis

tersebut, dan menyesuaikannya dengan konteks yang terjadi di saat teks

itu muncul. Artinya untuk mendapatkan makna yang lebih tepat dari

hadis-hadis tersebut perlu diperhatikan asba>b al-wuru>dnya, sehingga

dapat diungkap mengapa Nabi saw. bersabda demikian.

Dengan demikian hadis-hadis yang memiliki makna bertentangan

dengan al-Qur’an seperti hadis-hadis misoginis harus dipahami ulang

(reinterpretasi) sehingga pemahamannya tidak bertentangan dengan

ketentuan yang ada dalam al-Qur’an. Pada hakikatnya, hadis-hadis Nabi

memiliki semangat yang sama dengan al-Qur’an yang menempatkan

wanita seimbang dan setara dengan pria. Kalau selama ini terkesan

42

Nasarudin Umar, ‚Demaskulinisasi Epistemologi Keagamaan; Mengkaji

Hadith Secara Kritis‛, dalam Ahmad Fudaili, Wanita di Lembaran Suci: Kritik Terhadap Hadith-Hadith Sahih (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), 9.

43Tulang rusuk yang bengkok harus difahami dalam pengertian majazi

(kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi

wanita dengan bijaksana. Ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak

sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki

untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat

bawaan wanita. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya

meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 271. Riffat Hassan

berani mengajak kaum wanita Muslim menentang otentisitas hadis yang mereka secara

ontologism inferior, subordinatif dan bengkok. lihat Fatima Mernissi dan Riffat

Hassan, Setara di Hadapan Allah (Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa, 1996), 66.

Page 36: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

28

diskriminatif adalah karena hadis-hadis tersebut difahami secara

harfiyah yang didukung oleh budaya dan tradisi patriarki. Hadis-hadis

harus difahami secara majazi> (metaforis) dan harus ditafsirkan secara

kontekstual, sehingga benar-benar melahirkan makna yang lebih adil dan

menjunjung persamaan di antara kedua jenis manusia.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa Islam sebenarnya sama

sekali tidak menempatkan kedudukan wanita di bawah kedudukan pria.

Islam benar-benar menunjukkan adanya kesetaraan dan keadilan gender.

Kalaulah selama ini kita memahami adanya ketidakadilan dalam Islam

ketika memposisikan pria dan wanita dalam hukum adalah karena

pemahaman fikih dari pada tokoh muslim. Padahal pria dan wanita

sama-sama manusia yang mendapatkan hak dan kewajiban yang setara

dalam Islam. Berikut di bawah ini akan dijelaskan hak dan kewajiban

wanita dalam Islam.

2. Hak-Hak Wanita dalam Islam

Al-Qur’an berbicara tentang wanita dalam berbagai sisi

kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang keistimewaan tokoh-tokoh

wanita dalam sejarah, ada pula yang berbicara tentang hak dan

kewajiban wanita.44

Secara umum surah al-Nisa>’ Ayat 32 menjelaskan

tentang hak-hak wanita.45

Hak-hak wanita tersebut antara lain:

a. Hak Keagamaan

Islam memberikan hak kepada wanita untuk beribadah dan

menunaikan kewajiban agamanya. Persamaan antara wanita dan pria

dalam kompetensi beragama memiliki konsekuensi kebebasn penuh dan

tanggung jawab secara personal di hadapan Allah. Hal ini dapat dilihat

pada surah Ali ‘Imra>n Ayat 195 dan al-Mumtah}anah Ayat 60, yang

berisi tentang permintaan bai’at wanita dalam Islam yang hal tersebut

tidak dilakukan oleh pria. Perbuatan ini menjadi suri tauladan bagi pria.

44

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 272. Menurut Fatima Umar Nasif, hak-hak wanita

terbagi menjadi empat bagian, yaitu:1) hak keagamaan, 2) hak sosial, 3) hak politik,

4) hak ekonomi. Lihat Fatima Umar Nasif, Women in Islam: A Discourse in Rights and Obligations, Alih bahasa oleh Burhan Wirasubrata dan Kundan D. Nuryakin, Menggugat Sejarah Wanita: Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai Tuntunan Islam

(Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001), 64-212. 45

Ayat tersebut adalah;

Page 37: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

29

Hal ini menunjukkan legitimasi personalitas dan eksistensi wanita serta

pengakuan terhadap kompetensi beragama mereka.46

Kewajiban agama yang diberikan kepada wanita dan pria secara

sama juga ditunjukkan ayat-ayat al-Qur’an kepada yang diturunkan

kepada manusia. Hal ini terlihat dari gaya seruan al-Qur’an yang

berulang-ulang menyebut seruan seperti ini ditujukan kepada

semua manusia, pria, wanita, miskin atau kaya, kulit hitam atau kulit

putih, dan apapun status sosialnya. Al-Qur’an diturunkan untuk semua

manusia dan berlaku sepanjang zaman, sehingga peringatan dan janji

Allah berlaku sama, baik pria maupun wanita.

Dalam masalah ibadah salat misalnya, Allah memerintahkan

kepada setiap muslim tanpa merinci jenis kelaminnya. Hal ini dapat di

lihat dari ayat yang memerintahkan salat, seperti QS. al-Baqarah Ayat

110 dan QS. al-Nisa>’ Ayat 103. Islam mempertimbangkan kondisi

jasmani wanita, sehingga ketika mengalami menstruasi atau nifas, ia

dilarang melakukan salat. Dalam puasa juga wanita mendapatan

perlakuan khusus. Dalam keadaan menstruasi wanita dilarang berpuasa,

namun secepat mungkin harus menggantinya ketika suci. Dalam

ketentuan zakat dan haji tidak ada ketentuan pokok antara pria dan

wanita, hanya saja wanita harus ditemani mahramnya dalam ibadah haji.

Ketentuan ini tidak terbatas dalam pergi haji, tetapi semua jenis

bepergian yang dilakukan seorang wanita. Ketentuan ini untuk lebih

menjaga nama baik wanita, menjaga wanita kehormatannya, dan

menjaganya dari kemungkinan adanya pria yang yang berbuat jahat

kepadanya.47

Kondisi jasmani wanita yang berbeda dengan pria

mendapat perhatian khusus dari Allah, sehingga wanita tidak berat

dalam menjalankan agamanya.

Seruan untuk berdakwah merupakan hak keagamaan wanita

selanjutnya. Allah memerintahkan wanita dan pria untuk menyeru

46

M. Atho Mudzhar dkk, eds. Wanita dalam Masyarakat Indonesia, 47. 47

Terkait masalah tersebut banyak pendapat yang berkembang, ada yang

mengatan harus ditemani beberapa wanita, ada yang berpendap satu wanita saja

asalkan beragama Islam, merdeka dan dapat dipercaya. Ibn Taimiyah menfatwakan

bahwa boleh wanita bepergian tanpa ditemani muhrimnya, asalkan terjamin

keamanannya dalam perjalanan. Lihat Hamid al-Husaini, Fatwa-Fatwa Muta’hir (Jakarta: Yayasan al-Hamidi, 1996), 445-4450.

Page 38: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

30

kapada kebaikan.48

Wanita juga dianjurkan berdakwah sesuai dengan

kemampuan yang dimilikinya dan tidak menyalahi fitrahnya.

b. Hak Sosial

Hak sosial yang dimaksud meliputi hak keluarga maupun

nonkeluarga. Pada bagian ini tidak dijelaskan secara rinci hak wanita

dalam keluarga (hak wanita sebagai istri dan sebagai seorang ibu, karena

akan dijelasakan secara terperinci pada bab tersendiri). Sehubungan

dengan hak sosial nonkeluarga yaitu hak-hak kemasyarakatan umum di

luar lingkungan keluarga. Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk

memperoleh manfaat dari bakat-bakat bawaannya, setiap orang

mempunyai hak untuk berkerja dan mengambil bagian dalam

perlombaan hidup, setiap orang berhak untuk menawarkan dirinya untuk

suatu pekerjaan atau jabatan, serta setiap orang berhak untuk

menunjukkan prestasi akademis pribadi dan nilai peraktisnya.49

Islam memberikan hak terhadap wanita untuk memilih pasangan

hidup, karena itu setiap wanita diberi hak untuk menolak atau menerima

lamaran. Hak lain yang diperoleh dari wanita adalah hak memperoleh

pendidikan. Islam mewajibkan setiap muslim baik pria maupun wanita

untuk menuntut ilmu. Terlalu banyak ayat al-Qur’an dan hadis Nabi

saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar.50

Wahyu pertama dari al-

Qur’an adalah perintah membaca atau belajar. Pria maupun wanita

diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin. Mereka semua

dituntut untuk belajar.51

Pendidikan wanita sangatlah vital bagi

masyarakat muslim, karena wanitalah yang melahirkan pria, dan

wanitalah sekolah dasar bagi anak-anak. Dari wanita mereka belajar

tentang pondasi kemanusiaan dan basis moral.52

48

Seruan al-Qur’an memerintahkan amal ma’ru>f nahi> munkar sebagaimana

tertera dalam QS. al-Tawbah (9): 71. QS. al-‘As}r (103): 1-3. Ali Imra>n (3); 104. 49

Murteza Mutahhari, The Rights of Women in Islam, trans. M. Hashem

‚Wanita dan Hak-Haknya dalam Islam‛, (Bandung: Pustaka, 1985), 123. 50

Lihat QS. al-‘Alaq (96): 1-5, al-Zumar (39): 9 dan al-Muja>dalat (58): 11. 51

Sebagaimana hadis nabi yang diriwayatkan dari Anas r.a. Rasu>lulla>h Saw.

bersabda;

Hadis ini diriwayatkan oleh al-T>}abra>ni> dalam al-S}aghir dan oleh al-Kha>t}ib

dalam al-Ta>rikh dari al-H{usayn Ibn ‘Ali>. Al- T>}abra>ni juga meriwayatkan dari Ibn

‘Abbas dan Tamam dari Ibn Umar, dalam al-Kabi>r. al-T>}abra>ni meriwayatkannya dari

Ibn Masud. Lihat al-Suyu>t}i>, Al-Ja>mi’ al-S}aghi>r, Juz II (Beirut: Dar> al-Fikr li al-

T}iba>’ah wa al-Nas}r wa al-Tawzi>’, t.th), 131. 52

Fatima Umar Nasif, Women in Islam, 102.

Page 39: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

31

Para wanita di zaman Nabi saw. menyadari benar kewajiban

menuntut ilmu, sehingga mereka memohon agar beliau bersedia

menyediakan waktunya untuk mengajari ilmu pegetahuan. Pada masa

Nabi saw. banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam

berbagai bidang ilmu pengetahuan yang banyak dijadikan rujukan tokoh

pria, di antaranya ‘Aisyah,53

Kha>dijah, H}afs}ah, Ummu Salamah,

Sayyidah Sakinah, al-Shaikhah Suhrah, dan banyak lainnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, kaum wanita mulai dihalang-

halangi untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sehingga mereka dalam

kebodohan. Akibatnya mereka hanya mampu menangani tugas-tugas di

seputar rumah tangga belaka dan tidak pernah dilibatkan dalam

masalah-masalah publik. Baru akhir-akhir ini saja wanita kembali

diberikan kebebasan dan hak untuk menuntut ilmu.

Islam adalah agama yang menghargai pekerjaan, karena itu Islam

menganjurkan setiap muslim melakukan pekerjaan yang halal. Islam

tidak melarang wanita untuk melakukan usaha sendiri, seperti berdagang

dan lainnya. Seandainya perlu dan bermanfaat, serta memiliki

kemampuan, mereka dianjurkan pergi ke luar rumah untuk melayani

kebutuhan kaumnya.

Islam memberikan jaminan yang seimbang antara pria dan

wanita. Jaminan sosial ini tidak selamanya antara semua pria dan wanita

seperti yang diberikan oleh bangsa wanita. Islam masih memberikan

batasan-batasan tertentu kepada wanita untuk menjaga fitrah agamanya

dan fitrah dirinya sebagai wanita.

c. Hak Politik

Islam mengakui pentingnya kaum wanita dalam kehidupan

masyarakat dan pengaruhnya dalam kehidupan politik. oleh karena itu,

kaum wanita telah diberikan hak-hak politik yang mencerminkan status

mereka yang bermartabat, terhormat, dan mulia dalam pandangan Islam.

Di antara hak-hak politik wanita yang diberikan Islam adalah hak

untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Hak ini dapat difahami

53

Adalah wanita yang sagat luas ilmu pengetahuannya, ia dikenal sebagai

kritikus dan banyak menghafal dan meriwayatkan hadith. Sayyidah Sakinah adalah

putri al-H{usayn bin ‘Ali> bin Abi > T{a>lib. Sedangkan al-Shaikhah Suhrah adalah salah

seorang guru Imam Shafi’i. Lihat Jama>luddi>n Muh}ammad Mah}mu>d, H}uqu>q al-Mar’a>h fi al-Mujtama’ al-Isla>m (Kairo: al-Hay’ati al-Mis}riya>t al-Amat, 1986),77. Ima>m Abu>

H}ayyan tiga nama wanita yang menjadi guru-guru tokoh madhhab yaitu, Mu’nisat al-

‘Ayyubiyah (putri al-Ma>lik al-‘A <dil, saudara S}alahuddi>n al-‘Ayyubi>), Sha >mit al-

Taymiyyah dan Zainab putri dari sejarawan ‘Abd al-Lat}i>f al-Baghda>di>. Lihat ‘Abd al-

Wa>h}id Wa>fi>, al-Musawat fi> al-Isla>m (Kairo: Dar> al-Ma’a>ri>f, 1965), 47.

Page 40: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

32

dari al-Qur’an yang memerintahkan kepada kaum muslim untuk

bermusyawarah dalam memecahkan segala urusan mereka.54

Kata shu>ra> (musawarah), salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan

bersama menurut al-Qur’an, termasuk kehidupan politik. Artinya setiap

warga masyarakat dalam kehidupan bersama dituntut untuk senantiasa

mengadakan musyawarah. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap

pria maupun wanita mempunyai hak berpolitik, karena tidak ditemukan

satu ketentuan agama manapun yang melarang keterlibatan wanita

dalam kehidupan bermasyarakat termasuk dalam bidang politik.55

Ayat lain yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam

dalam kaitannya dengan hak politik wanita adalah surah al-Tawbah

Ayat 71.56

Secara umum ayat tersebut difahami sebagai gambaran

tentang kewajiban melakukan kerja sama antar pria dan wanita dalam

berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan menyuruh

mengerjakan yang ma’ru>f dan mencegah yang munkar.57 Amar ma‘ru>f dan nahi> munkar58 bagi wanita adalah diberikan hak untuk memberikan

nasihat kebenaran kepada orang lain, termasuk memberikan kritik

kepada penguasa.

Dengan demikian pria dan wanita muslimah hendaknya mampu

mengikuti perkembanga masyarakat agar masing-masing mereka mampu

melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang

54

Ada dua ayat yang memerintahkan kaum muslim untuk melakukan

musyawarah yaitu QS. al-Shu>ra (42): 38 dan Ali ‘Imra>n (30; 159. 55

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 274.

56Bunyi ayat tersebut adalah;

57

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 273.

58Peran poltik dalam arti amar ma’ru>f dan nahi> munkar, memang pria dan

wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama, akan tetapi dalam arti politik praktis

yang di dalamnya diperlukan pengambilan keputusan yang mengikat menyangkut

masyarakat luas, seperti pengambilan keputusan dalam peradilan (menjadi hakim),

dalam lembaga legislatif dan eksekutif atau kekuasaan publik. Tugas-tugas ini menurut

kebanyakan ulama tidak dapat diperlakukan secara sama. Misalnya fatwa yang

dikeluarkan oleh Universitas al-Azhar tahun 1952 menyebutkan bahwa syari’at Islam

melarang kaum wanita menduduki jabatan kekuasaan-kekuasaan publik. Lihat Lajnah

Fatwa bi al-Azhar, ‚H{ukm al-Shari>’ah al-Isla>miyah fi Ishtira>k al-Mar’ah fi al-Intikha>b

li al-Barla>man‛, dalam al-Harakah al-Nisa>’iyah wa S{ila>tuha bi al-Isti’mar, 101. Lihat

juga Husein Muhammad, Fikih Wanita, 141.

Page 41: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

33

kehidupan.59

Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak kaum

wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hanik

misalnya, dibenarkan oleh Nabi saw. ketika memberi jaminan keamanan

kepada sebagian orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah

satu aspek dalam bidang politik). Bahkan istri Nabi saw. sendiri yaitu

‘A<isyah memimpin langsung peperanggan melawan ‘Ali> Ibn Abi > T}a>lib

yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Keterlibatan ‘A>isyah

bersama sekian banyak sahabat Nabi saw. dan kepemimpinan ‘Aisyah

dalam perang unta menunjukkan kebolehan wanita dalam berpolitik.60

d. Hak Ekonomi

Hak ekonomi yang dimaksud di sini adalah hak wanita dalam

aktifitas ekonomi seperti dalam persoalan kepemilikan, hibah, wasiat,

jual beli, upah, dan sebagainya. Islam mengakui persamaan hak wanita

dalam mencari nafkah sebagimana laki-laki, sehingga mempunyai

konsekuensi terhadap kepemilikan kebebasan untuk membelanjakan

harta. Pengakuan hak wanita dalam bidang ekonomi misalnya, hak

kepemilikan dalam masalah waris dan mahar yang pada masa jahiliyah

tidak pernah terjadi.61

Wanita juga berhak untuk berdagang, tawar

menawar, memberikan jaminan, memberikan sedekah, memberikan

jaminan, membuat perjanjian, dan lain sebagainya.62

59

Amin al-Khuli>, al-Mar’at bayna al-baya>t wa al-Muitama: dalam al-Mar’at al-Muslimah fi al-Ashr al-Muashir (t.tp, Baqhdad, t.th),13.

60Tujuan utama berpolitik dalam Islam adalah menegakkan kalimat Allah

atau memenangkan Islam. Aktifitas politik yang dilakukan wanita pada masa Nabi

saw. sebagaimana yang diceritakan hadis Nabi saw. di antaranya adalah 1) Ikut

berhijrah ke Habasah bersama Nabi saw. dan kaum pria, 2) ikut berhijrah ke Madinah.

3) Berbai’at dengan Nabi saw. seperti yang ditegaskan dalam al-Qur’an surah al-

Mumtah}anah (60) ; 12. 4). Ikut peduli terhadap masa depan politik negara. 5) Ikut

menghadapi kezaliman salah seorang penguasa. Lihat ‘Abd al-H{ali>m Abu> Shu>qqat,

Tah}ri>r al-Mara>t fi> ‘As}r al-Risa>lat, alih bahasa oleh charul halaim dengan judul ‚

Kebebasan Wanita‛ (Jakarta: Gema Insa>ni Press, 1997), 63-68. M. Quraish Shihab,

Membumikan Al-Qur’an, 274-275. Untuk mengetahui secara panjangg lebar mengenai

peran politik wanita dalam sejarah Islam baca Ziya>dat Asma>’ Muh }ammad Ah}mad, Dawr al-Mar’at al-Siya>si> fi ’Ahd al-Nabi> al-Khulafa’ al-Ra>shi>di>n, Alih bahasa oleh

Kathur Suhardi dengan judul ‚ Peran Politik Wanita Sejarah Islam‛ (Jakarta: Pustaka

al- Kauthar, 2001). Mengenai peran politik wanita pada zaman Nabi dijelaskan oleh

Ibn Sa’ad, The Women of Madina, Alih bahasa Eva Y. Nukman Purnama Madina

(Bandung: al-Bayan, 1997). 61

Su’a>d Ibra>hi>m S}a>lih} Kedudukan Wanita dalam Islam, dalam M. Atho

Mudzhar dkk, eds. Wanita dalam Masyarakat Indonesia (Yogyakarta: Sunan Kalijaga

Press, 2001), 47-48. 62

Fatima Umar Nasif, Women in Islam, 193.

Page 42: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

34

Berdasarkan penjelasan di atas, hak-hak wanita dalam Islam

meliputi, hak beribadah (hak keagamaan), hak untuk menikah dengan

pria pilihannya sendiri dan hak untuk mengakhiri perkawinan, hak untuk

memperoleh pendidikan, hak untuk menggunakan identitasnya sendiri,

hak untuk memperoleh kenikmatan sosial, hak mendapatkan warisan

atau mewarisi, hak untuk memilih dan dipilih dalam politik, hak

berpartisipasi dalam persolan publik, dan hak untuk dihormati.63

Demikian juga wanita Indonesia mempunyai kedudukan setara

dengan pria misalnya hak politik yang sama, sampai jabatan kepala

negara pun terbuka untuk wanita. Di muka hukum juga sama

kedudukannya dengan pria. Wanita dapat menjadi saksi dalam semua

perkara, perdata maupun pidana dengan bobot yang sama dengan pria,

satu wanita sama dengan satu pria.64

B. Wanita dalam Hukum Internasional

Manusia mendambakan perlakuan yang adil dari sesamanya serta

membebaskan dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan oleh

siapapun, di manapun, dan kondisi apapun. Tuntutan kaum wanita untuk

memperjuangkan persamaan hak (emansipasi) peran, dan fungsi dalam

berbagai aspek kehidupan dilakukan secara gencar, baik secara fisik

maupun nonfisik. Pada 12 Juli 1963 muncul gerakan global yang

dipelopori gerakan kaum wanita. Gerakan ini berhasil mendeklarasikan

suatu resolusi melalui Badan Ekonomi dan Sosial PBB (Perserikatan

Bangsa-Bangsa) ECOSOC (Economic and Social Council) Nomor 861 F

(XXVI).65

Perjuangan wanita untuk memajukan diri sebagai mitra sejajar

pria secara nyata berawal pada zaman revolusi Perancis menjelang akhir

63

Haifal A. Jawad, The Right of Women in Islam: An Authentic Approach, trans. Anni Hidayatun Noor dkk, dengan judul ‚Otentisitas Hak-hak Wanita;

Perspektif Islam atas Kesetaraan Gender‛ (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), 16-

27. 64

Sedangkan menurut hukum Islam klasik seperti yang telah ditafsirkan

ulama yang telah dijelaskan di muka, wanita tidak dapat menjadi saksi dalam perkara

pidana berat. Mereka dapat menjadi saksi dalam hukum perdata, tetapi hanya

mempunyai bobot separoh dari pria, dua wanita sama dengan satu pria. Lihat Munawir

Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), 73. 65

Resolusi tersebut diakomodasi pemerintah Indonesia dengan dibentuknya

wadah perjuangan bernama Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (SK

Menteri Negara Kesra No. 34/KPTS/Ksra/ 1968. Murfitriati dan Asep Sopari, Isu Global Gender (Jakarta: BKKBN, 2009), 9-12.

Page 43: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

35

abad 18, disusul dengan demonstrasi wanita dari industri dan garmen di

jalan-jalan di New York pada tanggal 8 maret 1957 yang menuntut hak

kerja dan kondisi kerja yang lebih manusiawi. Selanjutnya kongres 1

Asosiasi Pekerja Internasional tahun 1966 mengeluarkan resolusi

tentang profesional wanita yang secara terbuka telah menentang tradisi

bahwa tempat wanita di rumah. Selanjutnya pada tahun 1899, di Den

Haag, konfrensi wanita menentang perang yang merupakan titik awal

gerakan yang berlanjut pada abad ke-20. 66

Isu hak Asasi manusia (selanjutnya disingkat dengan HAM )

merupakan isu internasional atau isu global.67

Jauh sebelum berdirinya

PBB perjuangan terhadap HAM sudah dimulai. Di Inggris muncul

gerakan yang disebut Magna Charta (1215).68

Disusul gerakan Petition of Right (1627). Di Amerika lahir Declaration of Right (1776).

69 Pada

tahun pertama setelah berakhirnya Perang Dunia I pada tahun 1935,

wakil-wakil di Liga Bangsa-Bangsa mulai membahas mengenai

kedudukan wanita dan mempertimbangkannya dari aspek-aspek sipil

dan politik.

Berakhirnya perang dunia II, berdirilah PBB dengan

ditandatanganinya Piagam PBB di San Frensisco pada tahun 1945.

66

Pada tahun 1910, atas desakan Clara Zetkin (anggota internasional Ladies Garment Workers union, the Second International Conference of Socialist Women) memproklamirkan hari wanita internasional 8 Maret. Pada tahun 1911 tanggal 8 maret

diperingati hari wanita internasional untuk pertama kalinya di Austria, Denmark,

Jerman, dan Swiss. Di samping itu, mereka menuntut hak pilih dan hak-hak untuk

bekerja, hak untuk mengikuti pelatihan kejuruan, dan penghapusan diskriminasi dalam

dunia kerja. Tahun 1914, Hari Wanita Internasional diperingati dengan gerakan

perdamaian untuk memprotes perang yang mulai berkecamuk di Eropa. Sejak itu

makna pristiwa 8 maret terus berkembang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Mereka

mulai mengkoordinasi upaya dan menelaah kemajuan perjuangan mereka untuk

persamaan hak, kemajuan sosial ekonomi ,dan perwujudan hak-hak mereka secara

penuh. 67

Masalah isu nasional dapat menjadi isu global dapat dilihat dalam Gabin

Boysd dan Chales Pentland, eds. Issues in Global Politics (New York: The Free Press,

1981), 5-6. 68

Patut dikemukakan di sini bahwa jauh sebelum Magna Charta, sebenarnya di

dunia Islam ada suatu piagam tentang HAM yang dikenal dengan ‚Piagam Madinah‛

di Madinah pada tahun 622, yang memberikan jaminan perlindungan HAM bagi

penduduk Madinah yang terdiri atas berbagai suku dan agama. Nurouzzaman Shiddiqie

telah membuat ringkasan Piagam Madinah. Baca selengkapnya Rozi Abdullah dan

Syamsir, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia (Bogor:

Ghalia Indonesia, 2001), 1. 69

Muhammad Koderi, Bolehkan Wanita Menjadi Imam Negara (Jakarta:

Gema Insanii Press), 25.

Page 44: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

36

Piagam PBB merupakan instrument internasional pertama yang

menyebutkan persamaan antara hak-hak pria dan wanita.70

Kesadaran

akan ketidakadilan yang dialami wanita telah diakomodir oleh PBB.

Setelah berdirinya PBB, masalah HAM dibicarakan dalam sidang umum

PBB di Perancis 10 Desember 1946 yang kemudian diberi nama

Universal Declaration of Human Right atau pernyataan hak-hak asasi

manusia.71

Pada dasarnya menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(selanjutnya disingkat dengan DUHAM) yang diproklamirkan PBB pada

1948,72

setiap orang tanpa terkecuali berhak atas hak-hak asasi dan

kebebasannya. Artinya, secara normatif DUHAM tidak membeda-

bedakan manusia, termasuk tidak membedakan antara pria dan wanita.73

Meskipun DUHAM sudah meliputi persamaan hak antara pria dan

wanita, namun sejak awal berdirinya PBB, disadari oleh masyarakat

dunia bahwa hak wanita memerlukan pengaturan khusus. Sikap ini

didasarkan atas kenyataan bahwa di seluruh dunia masih ditemui sikap

yang menganggap wanita lebih rendah kedudukan dan nilainya dari pada

pria. Sumbangan wanita bagi kehidupan keluarga, masyarakat, maupun

di dunia kerja bagi pertumbuhan ekonomi, masih sangat kurang diakui

dan dihargai. Hal ini mnyebabkan wanita pada umumnya kurang atau

sama sekali tidak berperan dalam proses pengangambilan keputusan

dalam keluarga maupun masyarakat. Akses pada pendidikan lebih

kurang dari pria, sehingga pilihan lapangan pekerjaan bagi wanita sangat

terbatas dan pendapatan wanita sering lebih rendah dari pada pria untuk

pekerjaan yang sama atau sama nilainya. Sangat banyak dan jauh lebih

banyak jumlah wanita miskin, wanita sering menjadi korban kekerasan.

Setelah DUHAM, lahir berbagai instrument HAM internasional

mengenai aspek-aspek khusus tentang wanita dalam kehidupan

berkeluarga dan bermasyarakat, muncul sejumlah konvensi mengenai

70

Achie Sudiarti Luhulima,‛Hak Wanita dalam Konstitusi Indonesia‛ dalam Wanita dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 84.

71 Muhammad Koderi, Bolehkan Wanita Menjadi Imam Negara, 26.

72Secara umum DUHAM mengandung empat hak pokok. 1) Hak individual

atau hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang . 2) hak kolektif atau hak masyarakat

yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain misalnya hak akan perdamaian, hak

akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup ynag bersih. 3) hak sipil dan hak

politik. 4) hak ekonomi, sosial, dan budaya. Lihat Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010), 218-219.

73Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia, 98.

Page 45: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

37

penghapusan diskriminasi terhadap wanita, yaitu konvensi tentang

pengupahan yang sama bagi pria dan wanita untuk pekerjaan yang sama

nilainya (1951), Konvensi Hak Politik Wanita (1953), Konvensi Anti

Diskriminasi dalam Pendidikan (1960), International Covenant on Civil and Political Rights (Konvensi Hak Sipil dan Politik) tahun 1966,

International Covenant on Economic, Social & Cultural Rights

(Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) tahun 1966, Convention on the Elimination of all Froms of Discrimination Against Women (Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita)

tahun 1979, disebut juga sebagai konvensi CEDAW.74

Konvensi CEDAW secara khusus menyebutkan perlindungan

hak-hak wanita dalam beberapa pasal, misalnya pasal 16 secara khusus

membahas tentang hak-hak wanita dalam perkawinan. Hak-hak yang

dimaksud adalah 1) hak yang sama memasuki perkawinan, 2) hak dan

kebebasan yang sama untuk memilih pasangan hidup dengan persetujuan

penuh, 3) hak dan tanggung jawab yang sama dengan pria selama

perkawinan dan perceraian, 4) hak dan tanggung jawab yang sama

sebagai orang tua tanpa memandang status perkawinannya dalam hal

yang berhubungan dengan anak, untuk semua kasus, kepentingan anak

diatas segalanya, 5) dan tanggung jawab yang sama mengenai

perwalian, perwakilan, dan adopsi anak, 6) hak pribadi yang sama bagi

suami-istri termasuk untuk memilih nama keluarga, profesi, dan

pekerjaan, 7) hak yang sama bagi suami-istri mengenai kepemilikan,

perolehan managemen, administrasi, dan pembagian harta kekayaan.75

Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Wanita diterima oleh negara-negara anggota PBB berdasarkan

pertimbangan hukum, bahwa diskriminasi terhadap wanita merupakan

pelanggaran terhadap asas-asas persamaan hak dan rasa hormat terhadap

manusia. Di samping itu diskriminasi juga dianggap sebagai

74

CEDAW sebenarnya singkatan dari Committee on Elimination of Discrimination Against Women. Suatu Komite PBB yang bertugas memantau

implementasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita di

Negara-negara peserta (negara yang meratifikasi konvensi) dan mengawasi kepatuhan

negara-negara tersebut dalam melaksanakan konvensi wanita. Komite tersebut

beranggotakan para ahli yang dipilih oleh Negara peserta. Lihat Achie Sudiarti

Luhulima,‛ Hak Wanita dalam Konstitusi Indonesia,‛ 84. Baca pula Achie Sudiarti

Luhulima, Bahan Ajar tentang Hak Wanita: UU No. 7 Tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 43. Lihat Tapi Omas Ihromi dkk, Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, (Bandung: Alumni, 2006), 124.

75 Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia, 113.

Page 46: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

38

penghambat bagi keikutsertaan wanita yang didasarkan pada persamaan

derajat dengan pria baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi,

maupun budaya negara mereka. Di sisi lain, diskriminasi juga dapat

menghambat tercapainya kemakmuran masyarakat dan keluarga, serta

mempersulit berkembangnya potensi kaum wanita dalam pengabdiannya

pada masyarakat.76

Terakhir, dalam konferensi HAM PBB di Wina tahun 1993

dinyatakan bahwa hak asasi wanita adalah hak asasi manusia (Women’s Rights are Human Rights) yang tidak dapat dicabut, integral, dan tidak

dapat dipisahkan. Deklarasi dan program aksi konferensi ini menegaskan

3 butir penting: 1) Menegaskan bahwa Hak Asasi Wanita dan Anak

Wanita adalah bagian yang tak terpisahkan dari hak asasi manusia

secara menyeluruh. 2) Penegasan akan perlunya partisipasi penuh dan

setara bagi wanita dalam seluruh aspek kehidupan, politik, ekonomi,

sosial, dan budaya pada tingkat nasional, regional, dan Internasional,

serta penghapusan segala bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin

merupakan tujuan utama masyarakat sedunia. 3) penegasan bahwa

kekerasan berbasis gender dengan segala bentuknya tidak sesuai dengan

martabat dan harga diri manusia dan karenanya harus dihapuska.77

Perlu ditegaskan di sini, bahwa negara-negara muslim juga ikut

serta menjadi anggota PBB. Kaum muslim kadang-kadang menuduh

bahwa norma hak-hak internasional diwarnai oleh prasangka Barat atau

Yahudi –Kristen, sehingga mereka tidak menerimanya. Konflik berpusat

diseputar hak sipil dan hak politik. Prinsip kemerdekaan beragama

khususnya hak untuk masuk agama nonIslam dan persamaan hak total

tanpa membedakan jenis kelamin atau agamanya tampaknya menjadi

problem tersendiri. Piagam Organisasi Konferensi Islam (OKI), sebuah

organisasi internasional yang berdiri pada tahun 1973 yang

beranggotakan seluruh negara muslim menyebutkan dalam

76

Omas Ihromi dkk, Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, 120. 77

Deklarasi Wina juga menyatakan bahwa kejahatan atau kekerasan

berdasarkan jenis kelamin, dan semua bentuk pelanggaran dan pelecehan seksual,

termasuk yang terjadi karena prasangka budaya dan perdakangan internasional, tidak

sesuai dengan martabat dan harga diri seorang manusia, dan harus dihapuskan. Hak

asasi manusia dari wanita harus merupakan bagian integral dari kegiatan hak asasi

manusia PBB, termasuk pemajuan semua instrument hak asasi manusia yang terkait

dengan wanita. Lihat Tapi Omas Ihromi dkk,Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, ,40.

Page 47: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

39

mukaddimahnya bahwa para anggotanya menegaskan kembali

komitmen mereka kepada Piagam PBB dan HAM.78

Pada tahun 1990 OKI mengeluarkan Deklarasi Kairo tentang

Hak Asasi Manusia dalam Islam. Deklarasi ini berisi antara lain

persamaan hak untuk hidup, persamaan hak pria dan wanita, persamaan

di depan hukum, hak berpendapat, berpolitik, dan ditegaskan pula bahwa

semua orang adalah sama dipandang dari martabat dan kewajiban

dasarnya sebagai manusia. Mereka tidak boleh didiskriminasikan atas

dasar ras, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, kepercayaan agama,

ideologi politik, ataupun status sosialnya. Ia merupakan deklarasi di

tingkat regional yang secara khusus ditujukan untuk negara-negara

anggota OKI. Dengan statusnya yang demikian, deklarasi ini semakin

melengkapi Deklarasi Umum HAM.

Selain Deklarasi Kairo, terdapat pula Konferensi Internasional

tentang Kependudukan dan Pembangunan Kairo pada tahun 1994. Ia

memuat konsep hak reproduksi wanita secara mendalam. Melalui

konferensi ini masyarakat untuk pertama kalinya mengakui bahwa

pemberdayaan wanita merupakan bagian integral dari pembangunan.

Program Aksi Kairo melahirkan sejumlah kesepakatan internasional

untuk memajukan kesetaraan dan keadilan gender (gender equalty and equity) dalam seluruh bidang pembangunan.

79

Kemudian tahun 1995, lahir Deklarasi Beijing yang dalam

landasan aksinya sangat mengedepankan prinsip kebersamaan dalam

kekuasaan dan tanggung jawab antara wanita dan lelaki, baik dalam

rumah tangga, di tempat kerja, maupun di lingkungan masyarakat

nasional dan internasional yang lebih luas. Pada deklarasi ini persamaan

wanita dan lelaki juga dinyatakan sebagai masalah hak asasi, syarat dari

keadilan sosial dan persamaan pembangunan dan perdamaian.80

Pada tahun 2000 dicapai konsensus 198 negara anggota PBB

mengenai Deklarasi Millenium (Millenium Declaration).81

Deklarasi ini

78John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern (Jakarta: Mizan,

t.th), 140. 79

Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia,107. 80

RAHIMA, ‚Agama, Wanita dan Hak Asasi Manusia,‛ diakses pada 28, 2012

http://www.rahima.or.id/. 81

Mereka sepeakat untuk melaksanakan tujuan pembangunan millennium

(Millenium Development Goals-MDGs) dan menetapkan target keberhasilannya pada

tahun 2015. ada 8 komitmen kunci yang ditetapkan dan disepakati dalam MDGs, yaitu:

1) Menghapus kemiskinan yang ekstrem dan kelaparan. 2) Mencapai pendidikan dasar

universal. 3) Mendorong tercapainya kesetaraan, keadilan gender dan pemberdayaan

wanita. 4) Menurunkan angka kematian anak balita. 5) Memperbaiki kesehatan ibu. 6)

Page 48: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

40

secara khusus menegaskan bahwa kemajuan hak wanita mencapai

kesetaraan dan keadilan gender diakui sebagai hal yang mutlak

dilakukan untuk kemajuan pembangunan. Deklarasi ini menyatakan

secara tegas bahwa hal itu diperlukan untuk memerangi segala bentuk

kekerasan terhadap wanita dan untuk mengimplementasikan Konvensi

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap wanita.82

Indonesia yang ikut meratifikasi Deklarasi HAM tidak ada

alasan untuk tidak melaksanakan isi deklarasi dan program aksi tersebut,

karena penegasan HAM wanita yang tercantum dalam Deklarasi Wina

sejalan dengan ideologi Pancasila, khususnya sila ke-2. Adapun landasan

konstitusionalnya adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 yang

menjamin persamaan kedudukan dan hak bagi warga negara pria dan

wanita baik di depan hukum pemerintahan maupun atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu, secara hukum,

perundang-undangan nasional mengakui hal tersebut dalam Undang-

Undang No. 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi Hak Politik

Wanita Tahun 1953, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,

dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,83

yang

dilengkapi dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak

Asasi Manusia.84

Indonesia juga meratifikasi dua kovenan internasional pada bulan

Oktober 2005 dengan UU No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan

Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

(International Covenant on Economic and Social Rights), dan UU No.

12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang

Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights).

85

Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya. 7) Memastikan kelestarian

lingkungan. 8) Membangun kemitraan global untuk pembangunan. Lihat Achie

Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar tentang Hak Wanita: UU No. 7 Tahun 1984 Pengesahan konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, 43.

82Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar tentang Hak Wanita: UU No. 7 Tahun

1984 Pengesahan konvensi Mengenai penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, 44.

83Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia, 204.

84 Muladi, Hak Asasi Manusia (Bandung: Refika Aditama, 2005), 51.

85Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar tentang Hak Wanita: UU No. 7 Tahun

1984 Pengesahan Konvensi Mengenai penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, 39-40.

Page 49: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

41

Konferensi HAM di Wina telah mengantarkan perjuangan wanita ke

arah tahapan baru dalam memperjuangkan hak asasi wanita sebagai hak

asasi manusia. Tantangan berikutnya bagi para pemerhati wanita adalah

bagaimana agar apa yang telah tercapai di Wina berdampak nyata dalam

kehidupan wanita di seluruh dunia. Hal ini bukan hanya tantangan bagi

pemerintah, khususnya di Indonesia melainkan tanggung jawab bersama

antara pemerintah dan masyarakat baik pria maupun wanita.86

C. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara Muslim

Dalam bab ini hanya akan dibahas sebagian kecil saja dari

beberapa negara muslim yang telah melakukan pembaharuan hukum

keluarga Islam. Negara-negara yang akan dibahas adalah Turki dan

Mesir. Turki dan Mesir dianggap sebagai pelopor dalam pembaharuan

hukum keluarga Islam di dunia, karena memang dua negara tersebut

yang telah melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam pertama kali.

Sebelumnya akan dijelaskan mengenai tujuan dan metode reformasi

hukum keluarga di dunia muslim, berikut penjelasannya

1. Tujuan dan Metode Reformasi Hukum Keluarga

Fenomena penting yang muncul di dunia muslim sejak awal abad

ke-20 adalah adanya semangat dan upaya untuk mereformasi hukum

keluarga di negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Secara

garis besar sistem hukum keluarga yang berlaku di dunia Islam atau

yang mayoritas penduduknya muslim bisa dibagi menjadi 3 (tiga)

bagian,87

yaitu:

a. Negara Muslim yang masih memberlakukan fikih konvensional

sebagai hukum asasi (pokok) dan berusaha untuk menerapkanya

dalam segala aspek hubungan kemanusiaan secara utuh. Di sini,

hukum Islam dipahami secara tekstual-literal sebagaimana yang

tercantum dalam teks-teks agama. Contoh hukum keluarga yang

diberlakukan adalah otoritas talak hanya dimiliki oleh kaum lelaki,

pemberlakuan poligami dan lain-lain. Di antara negara yang

mempertahankan model ini adalah Arab Saudi dan wilayah utara

Nigeria.

86

Saparinah Sadli dkk, Pendidikan Hak Asasi Manusia (Jakarta: KOMNAS

HAM, 2002), 170. 87

Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi Dan Liberasi, Cet. ke-2 (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000), 174-175. Lihat Juga Amir Mualim

dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2001), 7.

Page 50: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

42

b. Negara Muslim yang meninggalkan fikih konvensional dan

menggantinya dengan hukum Sipil Eropa. Negara muslim yang

setidak-tidaknya secara resmi telah sama sekali berubah menjadi

sekuler adalah Turki. Pada tahun 1926 hukum Swiss ditetapkan

sebagai pengganti hukum Islam, termasuk mengenai hukum

keluarganya, monogami diterapkan sebagai pengganti poligami, dan

perceraian berdasarkan atas ketetapan hakim berdasarkan alasan-

alasan tertentu, yang sama bagi suami atau istri yang berperkara

diterapkan sebagai pengganti talak yang dijatuhkan secara sepihak

oleh suami atau yang dijatuhkan atas kesepakatan kedua suami-istri

yang bersangkutan.

c. Negara Muslim yang berusaha memberlakukan hukum keluarga

Islam tetapi setelah mengadakan pembahauan sana-sini sesuai

dengan kemaslahatan masyarakat yang besangkutan, seperti negara

Mesir, Sudan, dan Yordania, dan Indonesia juga masuk kategori

ini.88

Dari ketiga corak aplikasi hukum Islam di dunia Muslim di atas

menunjukkan bahwa perbedaan sistem dan bentuk pembaharuan hukum

Islam bukan hanya disebabkan oleh sistem politik yang dianut,

melainkan juga oleh faktor perbedaan sejarah, sosiologi, dan kultur

masing-masing negara.

Dilihat dari segi bentuk pembaharuannya, negara-negara muslim

menjadi tiga yaitu: pertama, umumnya (mayoritas) negara melakukan

pembaharuan dalam bentuk undang-undang. Kedua, ada negara yang

usaha pembaharuannya lahir dalam bentuk ketetapan-ketetapan hakim

(manshu>rah al-Qa>d}i al-Qud}a), seperti yang dilakukan Sudan. Ketiga, ada

beberapa negara yang melakukan pembaharuan dengan berdasar pada

dekrit presiden atau raja, seperti: Yaman Selatan, Syria, dan Maroko.89

Adapun tujuan pembaharuan hukum keluarga Islam kontemporer

secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: pertama, untuk menciptakan unifikasi hukum. Unifikasi ini dikelompokkan

menjadi empat kelompok. 1) unifikasi hukum yang berlaku untuk

seluruh warga negara tanpa memandang agama, misalnya kasus yang

berlaku di Tunisia. 2) unifikasi yang bertujuan untuk menyatukan dua

88

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2005), 162-165. lihat M. Atho Mudzhar dan Khairuddin

Nasution, eds. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, 204-205.

89Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, Cet. ke-1

(Yogyakarta: Tazzafa dan Accamedia, 2007), 43.

Page 51: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

43

aliran, yaitu antara aliran Syi’ah dan Sunni, seperti di Iran dan Irak

yang penduduknya mengikuti kedua aliran tersebut. 3) kelompok yang

berusaha memadukan antar mazhab dalam sunni, karena di dalamnya

ada pengikut mazhab-mazhab yang bersangkutan. 4) unifikasi dalam

mazhab tertentu, misalnya dikalangan pengikut mazhab Syafi’I, Hanafi,

atau Maliki. Bukan berarti format pembaharuan diambil dari satu

mazhab yang dianutnya saja. Boleh jadi formatnya diambil dari mazhab

lain. Misalnya, Indonesia yang penduduk muslimnya mayoritas

bermazhab Syafi’i, bukan berari format hukum keluarganya sepenuhnya

sesuai dengan pandangan Imam Syafi’i, boleh jadi pada bagian-bagian

tertentu mengambil dari mazhab Hanafi, Maliki, dan lainnya.90

Tujuan

pembahauan kedua adalah untuk mengangkat status wanita. Ketiga

untuk merespon terhadap perkembangan dan tututan zaman.91

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam undang-undang keluarga

di negara Muslim, menurut Tahir Mahmood ada tiga belas unsur, yaitu;

batasan umur minimal boleh kawin, pembatasan peran wali dalam

perkawinan, keharusan pencatatan perkawinan, masalah keuangan

perkawinan (mas kawin dan biaya perkawinan)kemampuan ekonomi

dalam perkawinan, pembatasan kebolehan poligami dan hak-hak istri

dalam poligami, nafkah istri dan keluarga serta tempat tinggal, masalah

talak dan cerai di muka pengadilan, hak-hak wanita yang dicerai

suaminya, masa kehamilan dan implikasinya, hak dan Tanggungjawab

pemeliharaan anak setelah perceraian, hak waris bagian laki-laki dan

wanita termasuk bagian anak dari anak yang lebih dulu meninggal,

masalah wasiat bagi ahli waris, dan masalah pengelolaan wakaf.92

Adapun sifat dan metode reformasi yang digunakan negara-

negara muslim dalam melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam

dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua):

a. Intra-doctrinal reform, yaitu reformasi hukum keluarga Islam yang

dilakukan dengan menggabungkan pendapat dari beberapa mazhab

90

M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, 2-3.

91Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, 44-45.

92Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History Text and

Comparative Analysis, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), 270. Lihat

M. Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, ed. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, 208-209. Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, 45-46.

Page 52: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

44

atau mengambil pendapat lain selain dari mazhab utama yang

dianut.

b. Extra-doctrinal reform, yaitu pembaruan hukum dengan cara

memberikan penafsiran yang sama sekali baru terhadap nash yang

ada.93

2. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Turki

Penerapan hukum Islam dalam terma kenegaraan secara serius dan

sistematis dimulai pada masa ‘Umar bin Abdul Aziz. Negara pada saat

itu merupakan lembaga eksekutif yang menerapkan hukum Islam

sebagaimana dirumuskan oleh otorita hukum setempat di masing-

masing daerah. Kumpulan hukum (fikih) yang mengatur hal-hal pokok

dilaksanakan secara seragam, namun berkaitan dengan hal-hal yang

detail banyak terjadi perbedaan karena praktik-praktik setempat dan

variasi-variasi yang berbeda sebagai hasil ijtihad para ulama.94

Pembaruan hukum keluarga dalam format perundang-undangan

hukum keluarga dimulai pada tahun 1917 dengan disahkannya The Ottoman Law of Family Rights (Undang-Undang tentang Hak-Hak

Keluarga) oleh Pemerintah Turki. Pembaruan hukum keluarga di Turki

merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di dunia Islam

dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum

keluarga di negara-negara lain.

Pembaruan hukum keluarga Turki telah dimulai pada tahun

1876. Pada tahun tersebut Turki telah mempersiapkan sebuah undang-

undang civil yang didasarkan pada mazhab Hanafi, yaitu yang disebut

dengan Majallat al-Ah}ka>m al-‘Ad}liyyah, tetapi di dalamnya belum ada

aturan perkawinan dan warisan.95

93

M. Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, ed. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, 207-208. Redaksi hampir sama dikemukakan oleh Khoiruddin Nasution bahwa

maksud Intra-doctrinal reform, adalah tetap merujuk pada konsep fikih konvensional

dengan cara talfi>q (memilih salah satu pendapat ulama fikih) atau tawfi>q (mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama). Extra-doctrinal reform, pada

prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fikih konvensional, tetapi dengan

melakukan reinterpretasi terhadap nash. Lihat Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, 47.

94Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Ahsin Mohammad, Cet. ke-4 (Bandung:

Pustaka, 2000), 108. 95

Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim, Cet. ke-1 (Yogyakarta: Acamedia

dan Tazzafa, 2009), 166.

Page 53: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

45

Pada tahun 1915, kerajaan mengeluarkan dua dekrit yang

mereformasi hukum matrimonial (yang berhubungan dengan

perkawinan) dalam mazhab Hanafi yang secara lokal terkait dengan hak-

hak perempuan terhadap perceraian. Dalam dekrit tersebut digunakan

prinsip takhayyur (eklektik) dengan mengambil sumber dari mazhab

Hanbali dan Hanafi. Dinyatakan dalam dua dekrit tersebut bahwa

perempuan diperbolehkan mengupayakan perceraian atas dasar

ditinggalkan suami atau karena penyakit yang dideritanya.

Dua tahun kemudian, imperium mengeluarkan undang-undang

tentang hukum matrimonial. UU tersebut terdiri dari 156 pasal yang

berisi tentang hak-hak dalam keluarga (termasuk pasal mengenai waris).

UU inilah yang kemudian diberi nama Qanu>n Qara>r al-H{uqu>q al-‘A’ilah al-‘Uthma>niyyah (the Ottoman Law of Family Rights) Tahun 1917.

Penetapan UU ini didorong semangat takhayyur, proses legilslasi yang

mulai menjadi ternd pada era itu dan kemudian diperkenalkan ke seluruh

dunia muslim sebagai cita-cita umum kodifikasi dan reformasi hukum

keluarga.96

Beberapa tahun setelah pencabutan hukum tentang hak-hak

keluarga tahun 1917, situasi politik di Turki memberikan sedikit ruang

untuk melakukan pembaruan hukum. Pasca konferensi Perdamaian

Laussane tahun 1923, pemerintah Turki membentuk komisi hukum

untuk mempersiapkan hukum perdata baru. Komisi tersebut berusaha

menempatkan hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 Majallat al-Ah}ka>m al-‘Ad}liyyah tahun 1876 dan hukum tradisional yang tidak

tertulis ke dalam hukum baru yang menyeluruh. Namun perbedaan

pendapat yang tajam di kalangan modernis dan tradisional, seperti

pengambilan materi dari mazhab yang berbeda dalam hukum Islam,

yang bersumber dari hukum adat atau hukum luar menjadikan komite

hukum kacau dan dibubarkan.

Guna mengisi kekosongan hukum pasca kegagalan komisi hukum

tersebut, Pemerintah Turki mengadopsi hukum perdata Swiss tahun

1912 (The Civil Code of Switzerland, 1912) dengan beberapa perubahan

yang disesuaikan dengan kondisi Turki dan diundangkan dalam hukum

perdata Turki tahun 1926 (The Turkish Civil Code of 1926). Dalam

beberapa hal ketentuan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 sangat

menyimpang dari hukum Islam tradisonal, seperti ketentuan waris dan

96

Isroqunnajah, Hukum Keluarga Islam Di Republik Turki, dalam Atho

Mudzhar dan Khoiruddin Nasution (ed), Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, 39-

40.

Page 54: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

46

wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun 1912. Materi

yang menonjol dalam hukum perdata Turki tahun 1926 adalah

ketentuan-ketentuan tentang pertunangan (terutama masalah ta’lik talak), batas usia minimal untuk kawin, larangan menikah, poligami,

pencatatan perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian, dan lain-

lain.97

Hukum keluarga di Turki telah mengalami beberapa kali

perubahan. Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 (The Ottoman Law of Family Rights) diperbarui dengan Hukum Perdata Turki Tahun

1926 (Turkish Civil Code, 1926), kemudian diamandemen dua kali,

tahapan tahun 1933-1956 dan tahun 1988-1992.

3. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Mesir

Kodifikasi hukum Islam yang sesungguhnya baru terlaksana pada

tahun 1293 H/1876 M oleh Kerajaan Turki Usmani (Ottoman) dengan

menerbitkan kitab yang berjudul Majallat al-Ah}ka>m al-‘Ad}liyyah yang

diberlakukan di seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani ketika itu

sampai dasawarsa ketiga abad ke-20. Kodifikasi hukum yang dihimpun

ulama fikih di zaman Turki Usmani ini hanya mencakup bidang

muamalah dan hanya bersumber dari Mazhab Hanafi. Mesir dan Suriah,

yang tidak tunduk sepenuhnya kepada kerajaan Turki Usmani, tidak

menerima kodifikasi hukum fikih tersebut karena mayoritas umat Islam

di kedua tempat itu bermazhab Syafi'i.

Setelah perang dunia ke-2, lahirlah kodifikasi hukum di berbagai

negara Arab, diawali oleh Mesir pada tahun 1875. Kodifikasi Mesir ini

merupakan campuran antara hukum Islam dan hukum Barat (Eropa).

Setelah itu, pada tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya, seorang pakar

hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir bidang perdata yang

diambil secara murni dari hukum Islam (fikih). Lebih lanjut, kodifikasi

di Mesir mengalami beberapa kali perubahan, antara lain pada tahun

1920, 1929, dan 1952.

Kajian tersendiri terhadap masalah hukum keluarga baru dimulai

sekitar paruh kedua abad ke-19. Sebelumnya hukum perseorangan dan

keluarga itu tersebar dalam berbagai bab dalam kita fikih. Orang yang

pertama memisahkannya dalam suatu kajian tersendiri adalah

Muhammad Qudri Pasya, ahli hukum Islam di Mesir. Dialah orang

pertama yang mengkodifikasikan al-Ah}wa>l al-Shakhs}iyyah dalam suatu

97

Ahsan Dawi, ‚Pembaruan Hukum Keluarga di Turki (Studi Atas Perundang-

Undangan Perkawinan‛, diakses pada tanggal 10 Oktober 2012 melalui

www.badilag.net/.../Pembaruan%20Hukum%20Keluarga%20Di%20 Turki.pdf.

Page 55: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

47

buku yang berjudul al-Ahka>m al-Shar'iyyah fi> al-Ah}wa>l al-Shakhs}iyyah (hukum syari'at atau agama dalam hal keluarga).

98

Secara historis, pembaruan hukum keluarga di Mesir dimulai

sekitar tahun 1920. Pada tahun ini, seri pertama rancangan Undang-

undang Hukum Keluarga resmi diundangkan. Pada tahun 1929 dilakukan

amandemen kedua terhadap beberapa pasal pada undang-undang

sebelumnya. Setelah itu, tercatat dua kali amandemen terhadap hukum

keluarga Mesir yaitu pada tahun 1979 dan 1985. Reformasi hukum

keluarga Mesir antara lain terkait dengan masalah poligami, wasiat

wajibah, warisan, dan pengasuhan anak.99

Hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan di

Mesir antara lain dapat dilihat dalam: (1) Perundang-undangan tentang

Status Personal dan Pemeliharaan (The Laws on Maintenance and Personal Status) yang mengalami perubahal-perubahan dalam rentang

tahun 1920-1929, (2) Undang-undang tentang Pemeliharaan, Wasiat,

dan Wakaf (The Laws on In-heritance, Wills, and Endowment) dalam

rentang tahun 1943-1952, (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan

Undang-undang tentang Peradilan (Civil Codes and Laws on Courts) dalam rentang 1931-1955, (4) Pembentukan Lembaga Pengawas hukum

personal (Executory Legislation Relating to Personal Law) dalam

rentang 1955-1976, (5) Amandemen Hukum Status Personal (Personal Status [Amandment] Law) tahun 1985.

100

Kodifikasi hukum keluarga itu meliputi hukum perkawinan,

perceraian, wasiat, ahliyyah (kecakapan bertindak hukum), harta

warisan, dan hibah. Meskipun belum dinyatakan resmi berlaku oleh

pemerintah, kodifikasi tersebut telah dijadikan sebagai bahan rujukan

oleh para hakim dalam memutuskan berbagai masalah pribadi dan

keluarga di pengadilan. Dalam perkembangan selanjutnya, kodifikasi itu

dijadikan pedoman dan diterapkan pada Mahkamah Shar'iyyah Mesir.

98

Husni Syams, ‚Urgensi Kodifikasi Hukum Keluarga‛, diakses pada tanggal

14 Oktober 2012 melalui http://www.husnisyams.co.cc/2010/02/kodifikasi-hukum-

keluarga-pada-masa.html. 99

Pokja Pengarusutamaan ‚Gender Departemen Agama RI, Menuju Kompilasi

Hukum Islam (KHI) Indonesia Yang Adil Gender‛, diakses pada tanggal 14 Oktober

2012 melalui http://www.fahmina.or.id/pemikiran-fahmina/fikih-perempuan/703-

menuju-kompilasi-hukum-islam-khi-indonesia-yang-adil-gender.html. 100

Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata, hlm. 168. Lihat juga Atho Mudzhar,

Hukum Keluarga, 13. Keterangan serupa juga dapat dibaca pada Ahmad Tholabi

Kharlie, ‚Legislasi Hukum Islam di Dunia Muslim Moderen‛, diakses pada tanggal 10

Oktober 2012 melalui http://jurnalalrisalah.com/index.php?option=com.

Page 56: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

48

Pasal 13 Kitab Undang-undang Acara Peradilan Mesir menyebutkan

bahwa al-Ah}wa>l al-Shakhs}iyyah menyangkut masalah-masalah yang

berhubungan dengan pribadi, ahliyyah, dan keluarga (seperti perkawinan

dan akibat hukumnya, pengampuan, orang mafqud, dan harta

warisan).101

Setelah Mesir melakukan pembaruan hukum keluarga berikutnya

muncul berbagai kodifikasi hukum di beberapa negara Muslim lainnya,

seperti Irak (tahun 1951 dan 1959 dan diubah tahun 1963 dan 1978),

Yordania (tahun 1951 dan diubah pada tahun 1976), Libanon (tahun

1917 dan 1934), Suriah (tahun 1949, 1953 dan 1975), Libya (tahun

1953), Maroko (tahun 1913 dan 1957), Tunisia (tahun 1906, 1913, dan

1958), Sudan (tahun 1967), Kuwait (tahun 1983, Uni Emirat Arab

(tahun 1979, 1980, 1984, 1985, dan 1986), dan Indonesia (tahun1954,

1974, 1975, 1991, dan 2006).102

101

Husni Syams, ‚Urgensi Kodifikasi Hukum Keluarga‛, diakses pada tanggal

14 Oktober 2012 melalui http://www.husnisyams.co.cc/2010/02/kodifikasi-hukum-

keluarga-pada-masa.html 102

Khoiruddin Nasution, Sejarah singkat Pembaruan Hukum Keluarga Muslim, dalam Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, eds. Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, 10-19.

Page 57: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

BAB III

PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM

DI INDONESIA

Pada bab ini akan menjelaskan mengenai pembaharuan hukum

keluarga Islam di Indonesia, yang bertujuan untuk mengatahui sejarah

lahirnya Undang-Undang Perkawinan dan KHI, subtansi hukum materiil

Undang-Undang Perkawinan dan KHI dalam melindungi hak-hak wanita

serta respon mayarakat terhadap kedua peraturan tersebut.

A. Sejarah Singkat Pembentukan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI

Pengaturan perkawinan di Indonesia tidak dapat lepas dari

keterlibatan tiga pihak yang berkepentingan, yaitu kepentingan agama,

kepentingan negara, dan kepentingan perempuan. Agama dan negara

merupakan institusi yang memiliki kepentingan untuk mengadakan

pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan yang

signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial

terkecil memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai

yang ada dalam agama. Sementara itu, negara sebagai institusi modern

pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan

tertib warganya, meskipun kepentingan negara ini tidak selalu sama dari

pemerintahan satu ke pemerintahan yang lain.1

Pada masa awal penjajahan Belanda, hukum perkawinan yang

berlaku adalah hukum perkawinan Islam yang berasal dari kitab-kitab

fikih. Kemudian Belanda menerjemahkan ke dalam bahasa Belanda.2

Compendium Freijer adalah kitab hukum yang berisi aturan-aturan

hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum Islam untuk

daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa). Pada abad

ke-19 Compendium Freijer secara berangsur-angsur dicabut. Dengan

dicabutnya Compendium Freijer, secara tekstual hukum perkawinan

yang berlaku adalah hukum adat.3

1Sarafina Shinta Dewi, ‚Pembentukan Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan,‛ artikel diakses pada 21 Februari 2013 melalui

http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/386-

pembentukan-Undang-undang-nomor-1-tahun-1974-tentang-perkawinan. 2Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

Hukum Nasional (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), 79. 3Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

Hukum Nasional, 80.

Page 58: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

50

Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda

menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat dengan

pokok-pokok yang isinya menyatakan, bahwa perkawinan berdasarkan

asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak

meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang

diputuskan oleh hakim.4 Menurut rencana, rancangan ordonansi tersebut

hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama

Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan

ordonansi tersebut ditolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi

mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.5 Aksi

penolakan ini merupakan peristiwa pertama umat Islam berhasil

menghentikan campur tangan pemerintah Belanda.6

Sebelum Indonesia merdeka sudah ada keinginan umat Islam

membuat hukum dan peraturan perundang-undangan yang berciri khas

ke-Indonesiaan dalam hal perkawinan yang menjadi patokan bagi

pelaksanaan akad nikah.7 Tuntutan akan hadirnya undang-undang

perkawinan sudah dikumandangkan sejak Kongres Wanita Pertama

tahun 1928 yang kemudian dikedepankan dalam kesempatan-

kesempatan lainnya berupa harapan perbaikan kedudukan wanita dalam

perkawinan. Topik yang menjadi pusat pergerakan wanita pada masa itu

adalah mengenai perkawinan paksa, poligami, talak sewenang-wenang,

dan lain-lainnya.8

Setelah Indonesia merdeka, usaha pembuat hukum perkawinan9

dilakukan, yaitu pada tahun 1946 lahir UU No. 22/1946 tentang Nikah

Talak dan Rujuk (NTR). Undang-undang ini hanya berlaku untuk Jawa

dan Madura. Pada tahun 1954 lahir UU No. 32 Tahun 1954 yang berlaku

untuk seluruh wilayah Indonesia.10

Undang-undang ini belum mengatur

4Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992),77. 5Hal ini terlihat adanya penghapusan praktik poligami.

6Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

Hukum Nasional,81-82. 7Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Hukum Adat (Jakarta:

INIS, 1998), 37. 8Harso Sasroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia

(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 9. lihat juga A.Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 85-86.

9Istilah hukum keluarga dalam Undang-undangIndonesia di sebut hukum

perkawinan. 10

Sangat disayangkan dalam tulisan ini tidak dijelaskan sebab-sebab serta

alasan mengapa UU NO. 22 Tahun 1946 ini hanya berlaku di Jawa dan Madura serta

Page 59: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

51

tentang materi hukum perkawinan sesuai umat Islam, tetapi baru

mengatur tentang pencatatannya saja.11

Pada masa Orde Lama, usaha unifikasi dalam bidang hukum

perkawinan terus mengalami hambatan hingga pada masa Orde Baru.

Desakan dari berbagai kalangan terjadi, terutama umat Islam dan

organisasi wanita antara lain Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI)

dalam simposiumnya tanggal 29 Januari 1972, Badan musyawarah

organisasi-organisasi Islam wanita Indonesia dalam keputusannya

tanggal 22 Februari 1972 dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),

khususnya lagi dari Ibu Tien Soeharto yang menginginkan posisi wanita

di lindungi oleh hukum, sehingga harkat, dan martabat wanit terjaga.12

Setelah bekerja keras, sebagai respon positif terhadap tuntutan

masyarakat, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, pada

tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/1973, pemerintah

menyampaikan RUU perkawinan yang baru ke DPR yang terdiri dari 15

bab dan 73 pasal.13

RUU ini ternyata menuai pro dan kontra terutama

tidak bisa diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia. Keberadaan UU No. 22/1946

dan UU No. 32/1954 ini adalah sebagai kelanjutan dari Stbl No. 198 Tahun 1895 dan

sebagai pengganti dari Huwelijks Orgonantie Stbl No. 348 Tahun 1929 jo. Stbl No.

467 Tahun 1931 dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie Stbl No. 98 Tahun 1933. A.

Wasit Aulawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, dalam Amrullah

Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,57. Lihat Chairuddin

Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap PerUndang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002), 42.

Lihat Arso Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarata: Bulan Bintang, 1978), 21 dan Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan (Bandung: Vorkink Van Hoeve, t.th), 50.

11Lahirnya UU No. 22/1946 tentang Nikah Talak Dan Rujuk ternyata tidak

memberi pengaruh yang signifikan bagi umat Islam, Hal ini terbukti dengan

meningkatnya angka perceraian pada setiap tahunnya. TB Hamzah dari Fraksi ABRI

memaparkan data perkawianan pada tahun 1970 yang berasal dari Departemen Agama

(Kantor Urusan Agama dan Pengadilan Agama), dari 859.061 perkawinan, yang

melakukan perceraian sebanyak 298.290. hanya 11294 yang melakukan rujuk. Hampir

dipastikan bahwa dari sekian rakyat Indonesia yang melakukan perkawinan, lebih dari

30% harus berakhir denagan perceraian dan hanya 3% yang rujuk. Lihat Pandangan

Umum Fraksi Abri, Risalah Sidang Pleno tanggal 17 September 1973. Lihat

Azyumardi Azra, ‚The Indonesian Marriage Law of 1974 an Institutionalization

Syari’ah for Social Changes‛ in Arsekal Salim and Azyumardi Azra, eds. Syari’ah and Politic in Modern Indonesia, 81.

12Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan

Diklat DEPAG RI, 2008), 188. 13

Bab-bab tersebut meliputi, I. Dasal- dasar Perkawinan, II. Syarat-syarat

Perkawinan, III. Pertunangan, IV.. Tatacara Perkawinan, V. Batalnya Perkawinan, VI.

Page 60: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

52

saat pembahasan di DPR.14

Sejumlah respon negatif muncul baik dari

perorangan maupun organisasi. Umat Islam (baik ormas Islam, tokoh

ulama, maupun umat Islam) beranggapan bahwa ada beberapa pasal

dalam RUU tersebut yang bertentangan dengan hukum Islam.15

Perjanjian Perkawinan, VII. Hak dan Kewajiban suami –istri, VIII. Harta Benda dalam

Perkawinan, IX. Putusnya Perkawinan dan Akibatnya, X. Kedudukan Anak, XI. Hak

dan Kewajiban antara Anak dan Orang Tua, XII. Perwalian, XIII. Ketentuan-ketentuan

lain, XIV. Ketentuan Peralihan, XV. Keterangan Penutup. Lihat K.Wantjik Saleh,

Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Balai Aksara, 1987), 2 dan 27. 14

Mengenai perdebatan politik dalam bembentukan UU No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan LihatAmak FZ, Proses Pembentukan UU Perkawinan

(Bandung:Bulan Bintang, t.th), 7. Ali Munhanif dan Mukti Ali, Modernisassi Politik Keagamaan Orde Baru,dalam Azzumardi Azra dan Saiful Umam (ed), Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial-politik, (Jakarta: INIS-PPIM-Depag RI, 1998), 257. Abdul

Halim, Politik Hukum Islam Di Indonesia, Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 257.

15Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dicatatkan

di hadapan pencatatan perkawinan. Pasal 3 (2) yang menyatakan bahwa pengadilan

memberi izin kepada suami yang beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh

pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 7 (1) perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria

sudah berumur 21 tahun dan pihak wanita berumur 18 tahun. Pasal 8 poin ‛c‛ tentang

larangan perkawinan berhubungan sebagai anak angkat dan orang tua angkat atau

anak-anak dari orang tua angkat. Pasal 10 (2) yang menyatakan bahwa apabila suami

dan isteri yang dicerai kawin lagi dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua

kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi. Pasal 11 (2)

yang menyatakan bahwa perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negeri asal,

tempat asal, agama/kepercayaan, dan keturunan, tidak menjadi penghalang

perkawinan. Pasal 12 ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa bagi janda jangka

waktu tunggu 306 hari, kecuali jika mengandung waktu tunggu 40 hari setelah

melahirkan. Jangka waktu tersebut tidak ada persyaratan apapun. Pasal 13 (2) bila

pertunangan itu mengakibatkan kehamilan, maka pihak pria harus menikahi wanita itu,

jika disetujui oleh wanita itu. Pasal 37 (1) harta benda yang diperoleh dalam

perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 39, bila perkawinan putus karena perceraian,

harta benda milik bersama dibagi sama antara suami-isteri. Pasal 46 poin ‛c‛

pengadilan dapat mewajibkan bekas suami menurut kemampuannya memberi biaya

penghidupan kepada bekas isterinya selama ia masih hidup dan belum bersuami lagi.

Pasal 49 ayat (1), (2) dan (3) yang menyatan bahwa anak yang dilahirkan di luar

perkawinan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya,

anak tersebut dapat bernasab kapada ayahnya dengan melakukan perkawinan dengan

ibunya. Pasal 62 tentang pangangkatan anak terutama pon 1, 8,dan 9. suami istri dapat

mengangkat seorang anak atau lebih, anak yang diangkat mempunyai kedudukan yang

hukum yang sama seperti anak sah. Dengan pengangkatan tersebut putuslah hubungan

anak angkat dengan keluarganya. Lihat Risalah resmi Dewan Perwakilan Rakyat,

secretariat DPR RI. Lihat Amak FZ, Proses Pembentukan UU Perkawinan, (Bandung:

Bulan Bintang), 30-34. lihat juga Arsekal Salim dan Azyumardi Azra, eds. Shari’a in Modern Indonesia, 83.

Page 61: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

53

Akhirnya Soeharto memberi perintah untuk mengakomodir

keinginan umat Islam dengan merubah RUU perkawinan yang menjadi

polemik dengan RUU baru sesuai dengan keinginan umat Islam dan

menghapus pasal-pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Setelah

mengalami perubahan-perubahan atas amandemen yang masuk dalam

panitia kerja, maka RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh

pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 itu diteruskan ke Sidang

Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi UU. Hasil akhir yang

disahkan DPR terdiri atas 14 bab yang dibagi dalam 67 pasal. Bab-bab

tersebut meliputi, I. Dasar- dasar Perkawinan, II. Syarat-syarat

Perkawinan, III. Pencegahan perkawinan, IV. Batalnya Perkawinan, V.

Perjanjian Perkawinan, VI. Hak dan Kewajiban suami–istri, VII. Harta

Benda dalam Perkawinan,VIII. Putusnya Perkawinan dan Akibatnya, IX.

Kedudukan Anak, X. Hak dan Kewajiban antara Anak dan Orang Tua,

XI. Perwalian, XII. Ketentuan-ketentuan lain,. XIII. Ketentuan

Peralihan, XIV. Ketentuan Penutup.16

Pada tanggal 2 Januari 1974 disahkanlah Undang-undang No. 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP) yang berlaku efektif pada 1

Oktober 1975. Disusul dengan dikeluarkan PP No.9 tahun 1975

Tentang Pelaksanaan Peraturan Undang-undang No.1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan.17

Dengan demikian Hukum keluarga Indonesia

baru diperbarui pada tahun 1974, setelah disahkannya Undang-undang

No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga

Negara Indonesia.18

Bila dibandingkan dengan Negara Muslim lainnya, hukum

keluarga Islam Indonesia termasuk deretan kelompok terakhir.19

Meskipun terbilang terlambat dibandingkan dengan Negara Islam

16

Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 229-248. 17

Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum perkawinan Di Dunia Islam (Bandung: Pustaka A-Fikriis, 2009), 34. Lihat juga Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesi, 6.

18Pada tahun 1983 lahir pula PP (peraturan pemerintah) No. 10 yang mengatur

tentang 1zin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kemudian

pada tahun 1989 lahir UU No. 7 Tentang Peradilan Agama. Baca Dedi Supradi dan

Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam (Bandung, Pustaka Al-

Fikriis, 2009), 34. 19

Mark Carmark, ‚Hukum Islam dalam Politik Hukum OrdeBaru‛ dalam

Sudirman Tebba, ed. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Kasus hukum Keluarga dan Pengkodefikasiannya (Bandung: Mizan, 1993), 28. Lihat Pula M.

Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000),

176.

Page 62: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

54

lainnya, namun keberhasilan hukum keluarga Indonesia sangat

menakjubkan. Terbukti selama beberapa waktu hampir dua tahun

setelah pelaksanaan undang-undang baru tersebut diundangkan dapat

disimpulkan bahwa, undang-undang ini telah berhasil secara dramatis

mempengaruhi masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan

menurunnya angka perceraian di kalangan umat Islam hampir 70%.20

Lahirnya UUP tidak berarti semua persoalan yang berkaitan

dengan implementasi hukum Islam di Indonesia menjadi selesai.

Persoalan krusial yang dihadapi adalah berkaitan dengan tidak adanya

keseragaman hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap

persoalan-pesoalan yang mereka hadapi.

Materi hukum yang menjadi wewenang Peradilan Agama masih

beraneka ragam. Secara material telah ditetapkan 13 kitab yang menjadi

rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab

Syafi’i.21

Namun tetap saja putusan-putusan Peradilan Agama sangat

berdisparitas antara putusan yang satu dengan yang lain dalam kasus

yang sama. Para hakim yang berlatarbelakang pada suatu mazhab

tertentu, menurut pengamatan selalu bersikap otoriter dan doktrinir

secara deskriptif.22

Di samping itu, kadang-kadang masih ada saja

kerancuan dalam pemahami fikih yang dipandang sebagai hukum yang

harus diberlakukan, bukan sebagai pendapat (doktrin, fatwa) ulama yang

dijadikan bahan pertimbangan dalam penetapan hukum.

Pada saat itulah dirasakan perlunya keseragaman pemahaman

dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam yang harus dijadikan

pegangan atau rujukan para hakim di lingkungan Peradilan Agama untuk

menjamin akan adanya kesatuan dan kepastian hukum.23

Keinginan

20

Dampak sosial setelah berlakunya UU tersebut baca selengkapnya

Azyumardi Azra, ‚The Indonesian Marriage Law of 1974 an Institutionalization

Syari’ah for Social Changes‛ in Arsekal Salim and Azyumardi Azra,eds. Shari’a and Politics in Modern Indonesia, 88-90.

2113 kitab tersebut adalah Al-Bayju>ri>, Fath} al-Mu’în> dengan syarahnya,

Sharqawi> ’ala> al-Tah}ri>rî, Qulyu>bi>/Muhallî, Fath} al- Wahhâb dengan syarahnya,

Tuh}fah, Targhîb al Mushtaq, Qawa>ni>n al- Shar’iyah Li Sayyid ’Uthma>n bin Yahya,

Qawa>ni>n al Shar’iyah Li Sayyid Sadaqah Dakhlan, Shamsuri> fi al- Fara>’id, Bughyah al

Mustarshidi>n, Al-Fiqh ‘ala> Madha>hib al-’Arba’ah, Mughni > al-Muhta>j, lihat

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakata: Akademika Pressindo,

2004), 21-23. 22

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 19.

23A. Basiq Djalil, Peradilan Agama diIndonesia (Jakarta: Kencana, 2006),

109-110.

Page 63: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

55

untuk menyeragamkan hukum Islam itu, menimbulkan gagasan

terwujudnya KHI.24

Kebutuhan di atas saat ini telah terpenuhi, setelah

berhasil para pakar hukum Islam yang dimotori oleh Bustanul Arifin,

menyusun dan menyepakati KHI tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991

keluarlah Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 yang memuat Instruksi

kepada Menteri Agama RI untuk meyebarluaskan KHI sebagaimana

telah diterima para ulama Indonesia pada lokakarya tahun 1998. Untuk

melaksanakan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tersebut, pada

tanggal 22 Juli 1991,25

Menteri Agama RI mengeluarkan keputusan

Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 untuk menyerukan kepada

seluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya

yang terkait agar menyebarluaskan KHI dan sedapat mungkin

menerapkannya di samping perundang-undangan lainnya.26

Hal itu

menunjukkan bahwa KHI telah memperoleh kekuatan dan bentuk

yuridis untuk digunakan dalam praktik di Pengadilan Agama.

24

Ide Kompilasi Hukum Islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah

Agung membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama. 25

Landasan atau dasar hukum pertama keberadaan KHI di Indonesia adalah

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 adalah Pasal 4 ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945, yaitu kekuasaan pemerintahan negara. 26

Dalam diktum keputusan Menteri tersebut disebutkan sebagai berikut. 1.

Seluruh Instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar

menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang perkawinan, kewarisan, dan

perwakafan sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama Instruksi Presiden No. 1

Tahun 1991 untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang

memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut. 1.Seluruh

lingkungan instansi tersebut dalam diktum pertama, dalam menyelesaikan masalah di

bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan sedapat mungkin menerapkan

Kompilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-undangan lainnya.

Direktur Jendral Pembinaan, 2. Kelembagaan Agama Islam dan Direktur Bimbingan

Masyarakat Islam dan Urusan Haji mengkoordinasikan tentang pelaksanaan Keputusan

Menteri Agama ini dalam bidang tugasnya masing-masing. 3.Keputusan ini berlaku

sejak ditetapkan. Sedangkan landasan Hukum yang ketiga yaitu Surah Edaran Direktur

Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jendral Pembinaan

Kelembagaan Islam tanggal 25 Juli 1991 No. 3694/EV/Hk. 003/AZ/91, yang ditujukan

kepada ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia tentang penyebarluasan Instruksi

Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. lihat M. Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1994), 60-66.

Page 64: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

56

B. Subtansi Hukum Materiil UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI

Kedudukan wanita dalam UUP mendapat perhatian yang serius.

Hampir semua yang diperjuangkan organisasi wanita diakomodir.27

Hal

ini terlihat adanya peraturan mengenai pencatatan perkawinan (Pasal 2

Ayat 2), persetujuan kedua calon mempelai dalam perkawinan (Pasal 6

Ayat 1), kedudukan yang sama dalam menentukan jodohnya, wanita

dapat menentukan isi perjanjian perkawinan (Pasal 29), istri dapat

mengajukan pembatalan perkawinan (Pasal 23 huruf b), suami atau

bapak tetap bertanggungjawab atas semua pemeliharaan anak sekalipun

terjadi perceraian (Pasal 41 hurub b), pengadilan dapat mewajibkan

bekas mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau

menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 huruf c), suami

tidak boleh melakukan poligami sebelum mendapat izin dari istri atau

istri-istrinya (Pasal 5), dan mengenai harta bersama pasca perceraian

(Pasal 35-37). UUP memberikan hak yang sama dan seimbang antara

suami istri dalam kehidupan rimah tangga dan pergaulan hidup bersama

dalam masyarakat. Semua peraturan tersebut merupakan perlindungan

hukum yang paling terdepan bagi terjaminnya hak-hak wanita dan anak.

Berbeda dengan UUP yang hanya membahas tentang

perkawinan, hukum materiil KHI dibagi ke dalam tiga buku, memuat

229 pasal. Buku I berisi tentang ‛Perkawinan‛ (170 pasal). Buku II

berisi tentang ‛Kewarisan‛ ( 44 pasal). Buku III berisi tentang

‛perwakafan‛ (14 pasal), ditambah pasal tentang ‛ketentuan penutup‛.28

27

Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Islam dalam Hukum

Nasional, 113. 28

Sistematika kompilasi mengenai hukum perkawinan ini adalah sebagai

berikut: Bab I. Ketentuan Umum (Pasal 1). Bab II , Dasal-Dasar Perkawinan (Pasaal

2-10). Bab III. Peminangan (Pasal 11-13). Bab IV, Rukun dan Syarat Perkawinan

(Pasal 14-29). Bab V. Mahar (Pasal 30-38). Bab VI. Larangan Kawin (39-44). Bab

VII, Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-52). Bab VIII, Kawin Hamil (Pasal 53-54). Bab

IX, Beristeri Lebih dari Satu Orang (Pasal 55-59).Bab X. Pencegahan Perkawinan

(Pasal 60-69). Bab XI. Batalnya Perkawinan (Pasal 70-76). Bab XII. Hak dan

Kewajiban Suami Isteri (Pasal 77-84). Bab XIII. Harta Kekayaan dalam Perkawinan

(Pasal 85-97). Bab XIV. Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106). Bab XV. Perwalian(Pasal

107112). Bab XVI. Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148). Bab XVII. Akibat Putusnya

Perkawinan (Pasal 149-162). Bab XVIII. Rujuk (Pasal 163-169). Bab XIX. Masa

Berkabung (Pasal 170). Buku II tentang hukum kewarisan adalah, Bab I. Ketentuan

Umum (Pasal 171). Bab II. Ahli Waris (Pasal 172-175). Bab III. Besarnya Bahagian

(Pasal 176-191). Bab IV. Aul dan Rad (Pasal192-193). Bab V. Wasiat (Pasal 194-209).

Bab VI. Hibah (Pasal 210-214). Buku ke tiga hukum perwakafan yang sisnya adalah;

Bab I. Ketentuan Umum (Pasal 215). Bab II. Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat

Wakaf (Pasal 216-222). Bab III. Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf

Page 65: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

57

Salah satu dasar hukum pembentukan KHI adalah kitab-kitab fikih,

namun tidak sedikit aturan dalam KHI yang beranjak dari ketentuan

dalam kitab-kitab fikih tersebut. Adapun nilai-nilai fikih yang telah

diperbaharui dan dijadikan peraturan perundang-undangan hukum positif

dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 2.2.

Perbedaan Hukum Keluarga dalam Fikih Klasik

dan Hukum Positif

No. Fikih Klasik Hukum Positif 1. Nikah tidak perlu dicatat. Nikah perlu dicatat. 2. Cerai tidak perlu di muka sidang

Pengadilan. Cerai perlu di muka sidang Pengadilan.

3. Poligami tidak perlu izin Pengadilan Agama.

Poligami perlu izin Pengadilan Agama.

4. Tidak ada pembatasan umur kawin bagi pria dan wanita.

Ada pembatasan umur kawin bagi pria dan wanita.

5. Talak tiga jatuh sekaligus dihitung tiga kali.

Talak tiga jatuh sekaligus dihitung satu talak saja.

6. Harta bersama dalam perkawinan tidak diatur.

Harta bersama harus dibagi dua jika terjadi perceraian.

7. Tidak ada ketentuan pasti tentang nikah wanita hamil.

Ada ketentuan pasti tentang nikah wanita hamil.

8. Tidak ada pengaturan tentang wali ‘ad}al.

Wali ‘ad}al diatur secara cermat dan ditentukan oleh Pengadilan.

9. Tidak diatur secara terperinci tentang itsbât nikah.

Diatur secara terperinci tentang itsbât nikah.

10. Murtad, ikatan pernikahan putus. Ditetapkan oleh Pengadilan Agama.

11. Pria Muslim boleh kawin dengan wanita kitabiyah.

Kawin beda Agama dilarang.

12. Tidak ada pengaturan tentang penunjukkan wali hakim.

Penunjukkan wali hakim diatur secara lengkap.

II Kewarisan Kewarisan 1. Tidak dikenal wasiat wajibah Dikenal wasiat wajibah

dalam pembagian waris. 2. Tidak dikenal ahli waris pengganti Dikenal ahli waris pengganti. 3. Tidak ada waris untuk anak angkat Dimungkinkan pemberian

waris untuk anak angkat dengan wasia wajibah.

4. Tidak dikenal ahli waris beda agama Dimungkinkan pembagian waris untuk ahli waris beda agama dengan wasiat wajibah.

5. Pembagian 2:1 untuk laki-laki dan Pembagian 2:1 untuk laki-

(Pasal 223-224). Bab IV. Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf

(Pasal 225-227). Bab V. Ketentuan Peralihan (Pasal 228). Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakata: Akademika Pressindo, 2004), 65-66.

Page 66: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

58

wanita wajib dilakukan laki dan wanita tidak mutlak dilakukan

6. Tidak dikenal ada perjanjian harta bawaan yang tidak termasuk waris

Dikenal ada perjanjian harta bawaan yang tidak termasuk waris

7. Tidak dikenal adanya pembatasan harta wasiat

Wasiat hanya boleh dilaksanakan maksimum 1/3 harta.

III Wakaf dan Sadaqah Wakaf dan Sadaqah 1. Tidak dibenarkan mengalihkan

fungsi harta wakaf Harta wakaf dapat dialihkan fungsinya kepada yang lebih bermanfaat.

2. Tidak dibenarkan mengganti dengan harta lain

Harta wakaf dapat diganti dengan harta lain untuk kepentingan umum

3. Tidak dikenal pendaftaran wakaf, cukup ijab Kabul saja

Dikenal pendaftaran wakaf pada PPAIW.

4. Tidak dikenal wakaf produktif Dikenal wakaf produktif. 5. Tidak ada pengaturan tentang

pengolahan harta yang berasal dari sadaqah

Ada pengaturan tentang pengolahan harta yang berasal dari sadaqah

Sumber: Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2006), 295.

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai-nilai fikih dalam bentuk

peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif merupakan

konsekwensi negara Indonesia mengikuti sistem hukum Romawi

(Romawi Law System). Peraturan perundang-undangan yang telah

dijadikan hukum positif oleh negara merupakan sumber hukum bagi

hakim dalam memutuskan perkara dan hakim tidak boleh menyimpang

dari ketentuan ini. Jika hakim menganggap dalam peraturan hukum itu

tidak jelas, ia diharuskan melakukan penafsiran terhadap pasal-pasal

yang berbeda jika itu ada ia dapat tempatkan dalam peristiwa yang

kongkrit. Apabila kasus yang dihadapi belum ada hukumnya, ia wajib

menciptakan hukum baru yaitu ijtihad dengan menggali hukum yang

hidup dimasyarakat.29

C. Respon Masyarakat terhadap UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI

Subtansi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI

merupakan peraturan perundang-undangan yang Islami, karena

kandungannya bersumber dari al-Qur’an, hadis, dan hasil ijtihad para

ulama dan cendekiawan muslim Indonesia. Pro dan kontra usulan

amandemen UUP sering kali disuarakan oleh beberapa kalangan, di

antaranya KOMNAS (Komisi Nasional) Perempuan dan Plan Indonesia

29

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, 296.

Page 67: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

59

(organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan

pemberdayaan anak) menyoroti pentingnya menguji kembali UUP No. 1

Tahun 1974. Fokus utama Plan adalah pada usia, hak, dan perlindungan

anak.30

Aktivis pembela hak-hak perempuan Nursjahbani Katjasungkana

dan Direktur LBH APIK Ratna Bantara Munti, menyatakan salah satu

alasan usulan amandemen UUP adalah adanya aturan pernikahan di

bawah umur yaitu usia nikah 16 tahun bagi wanita, hal ini bertentangan

dengan semangat Undang-undang Perlindungan Anak.31

Usulan amandemen UUP juga disampaikan KOWANI dan

Aliansi Pelangi Antar Bangsa dalam forum Rapat Dengar Pendapat

Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi DPR. Salah satu alasan usulan

amandemen tersebut adalah adanya hak istimewa suami untuk menikahi

lebih dari satu perempuan, alasan-alasan yang mendasarinya justru

merupakan bentuk penelantaran terhadap istri (yang sakit berat atau

tidak mampu memberikan keturunan). Ini juga menjadi salah satu

penyebab munculnya kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri dan

anak-anak.32

Pendapat berbeda disampaikan MUI yang secara tegas menolak

adanya amandemen UUP. MUI menganggap UUP yang telah ada tidak

perlu direvisi baik pasal maupun ayatnya. Menurut MUI alasan mereka

yang menghendaki amandemenn adalah bahwa UUP telah

mendiskriminasikan wanita, padahal sama sekali tidak demikian. UUP

sejatinya telah mengakomodir kebutuhan konstitusi Negara Indonesia

yang mayoritas beragama Islam.33

Menurut M. Tahir Azahari sebagaimana dikutip Abdul Wahab,

menyatakan bahwa struktur dan subtansi UUP didasarkan pada landasan

dasar filsafat negara yaitu pancasila (sila pertama). Oleh karena itu UUP

telah meletakkan suatu ketentuan yang sangat fundamental dengan

30

KOMNAS Perempuan, ‚UU Perkawinan Tak Melindungi Perempuan‛,

artikel diakses pada tanggal 21 Februari 2013 melalui

http://www.komnasperempuan.or.id/2011/09/kompal-female-uu-perkawinan-tak-

melindungi-perempuan/. 31

Ratna Bantara Munti, ‚Upaya Advokasi Amandemen UU Perkawinan oleh

Masyarakat Sipil,‛ artikel diakses pada tanggal 21 Februari 2013 melalui

www.komnasperempuan.or.id. 32

Herni Sri Nurbayanti, ‚Mendorong Lahirnya Undang-Undang Pro-

Perempuan,‛ artikel diakses pada 21 Februari 2013 melalui

http://nurbayanti.blogspot.com/2007/12/mendorong-lahirnya-undang-undang-pro.html 33

Tia Ludiana, ‚Peraturan Poligami dalam Undang-undang No. 1 Tahum 1974

tentang Perkawinan,‛ (Universitas Pasundan Bandung: Fakultas Hukum, 2010), 3-4.

Page 68: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

60

pengakuan terhadap eksistensi hukum agama khususnya dalam bidang

perkawinan. Ketentuan tersebut dirumuskan dalam Pasal 2 Ayat (1)

yang menyatakan ‚perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu‛. Artinya

sahnya suatu perkawinan didasarkan kepada hukum agama para

mempelai yaitu bagi yang beragama Islam harus melakukan perkawinan

sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan Islam. Bagi

mereka yang beragama lain menurut ketentuan agama mereka masing-

masing.34

Pengaturan dalam UUP memang masih bersifat umum karena

berlaku untuk semua warga Negara, sedangkan penyelesaian sengketa

perkawinan bagi orang yang beragama Islam memerlukan aturan khusus.

Untuk melengkapi kekurangan hukum materiil tersebut Badan Peradilan

Agama berpedoman pada KHI sebagai kebijakan sementara untuk

mengisi kekosongan hukum sambil menunggu berlakunya hukum

meteriil berdasarkan undang-undang.

Pada kenyataannya, hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan

Tinggi Agama menjadikan KHI sebagai landasan hukum dalam

keputusannya. Oleh karena itu, pemerintah berinisiatif menaikkan status

produk hukum ini dari INPRES menjadi undang-undang untuk

menjadikan KHI sebagai hukum positif. Melihat perkembangan ini,

sekelompok yang menganggap dirinya pembaharu dan reformis yang

dipimpin Siti Musdah Mulia membuat naskah tandingan yang disebut

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI). Adanya CLD

KHI ini merupakan bentuk protes kaum reformis yang menganggap

bahwa KHI mengandung unsur-unsur diskriminatif terhadap

perempuan.35

Adanya CLD KHI ini menjadi kontroversi di kalangan

pakar ulama Islam yang berkeberatan dan bahkan ada yang menolak

gagasan CLD KHI tersebut karena dianggap menyimpang dari ajaran

hukum Islam.36

34

Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,175-176.

35Terutama Pasal 2, 15, 19, 25, 30, 40, 45, 55, 79, 80, 84, 153, dan 170. Lihat

selengkapnya pendapat Musdah Mulia dalam Mukhlisin, ‚Perlunya Menyelaraskan

KHI dengan CEDAW‛ artikel dikases pada 21 Februari 2013 melalui http://icrp-

online.org/012012/post-1318.html. 36

Draf tersebut berusaha menawarkan perubahan dan pembaharuan terutama

dalam bidang perkawinan dan waris. Khusus dalam seluruh Pasal yang masuk kategori

bias gender dan tidak memberi perlindungan memadai terhadap hak-hak perempuan

dan anak-anak harus dihapuskan lewat kacamata pluralisme agama. Di antara isi draft

Page 69: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

61

Itulah beberapa pendapat pro dan kontra terhadap Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI. Dalam praktik

selama lebih dari seperempat abad, UUP tersebut telah berperan sangat

penting dalam kehidupan sosial di Indonesia. Artinya kebutuhan hukum

masyarakat Indonesia telah terpenuhi, dengan demikian UUP beserta

perangkat peraturan pelaksaannya wajib dipertahankan. Alasannya,

pertama, UUP tersebut merupakan hukum positif yang hidup di

masyarakat. Kedua, UUP tersebut sesuai dengan hukum agama dan

dasar negara Pancasila serta UUD 1945. Ketiga, UUP tersebut

mengandung asas keadilan terhadap wanita dan sesuai dengan

kebutuhan hukum bangsa Indonesia.

Jalan keluar untuk menakomodir pendapat yang mengusulkan

UUP diamandemen atau direvisi adalah dengan meningkatkan KHI

menjadi undang-undang. Berdasarkan UU No. 10 tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, INPRES tidak tercantum

dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu perlu

segera disahkan RUU HMPA (Rancangan Undang-Undang Hukum

Matriil Peradilan Agama) menjadi undang-undang untuk melengkapi

ketentuan yang telah ada dalam UUP.

CLD-KHI itu adalah: pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya

sendiri, poligami haram, boleh nikah beda agama, boleh kawin kontrak, ijab kabul

bukan rukun nikah, dan anak kecil bebas memilih agamanya sendiri. Perlu diketahui

tim ini mendulang bantuan dari Asia Foundation dalam menggagas CLD-KHI tersebut.

Lihat Muhammad Abu Dzar ‚Sejarah Munculnya KHI‛ , diakses pada 28 Juli 20121

melalui http://id.shvoong.com/social-sciences/1964550-sejarah-munculnya-cld-khi/

Page 70: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM
Page 71: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM
Page 72: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM
Page 73: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

BAB IV

WANITA SEBAGAI ANAK DAN IBU

DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAN PRAKTIK DI PENGADILAN AGAMA

Bab ini akan menjelaskan dan menganalisa tentang status wanita

sebagai anak dan ibu dalam peraturan perundang-undangan dan praktik

di Pengadilan Agama. Isu-isu yang relevan dengan kedudukan wanita

sebagai anak dan ibu yang akan dipaparkan adalah batasan usia

minimum perkawinan, ketentuan dispensasi nikah, kedudukan wali dan

persetujuan pempelai wanita dalam perkawinan, h}ad}a>nah dan

problematika penyelesaiannya, dan hak waris anak.

A. Batasan Usia Perkawinan dan Ketentuan Dispensasi Nikah

Hal yang menarik dari UU No. 1 Tahun 1974 antara lain adalah

adanya pembatasan usia minimal calon mempelai, baik laki-laki maupun

perempuan yang pada awalnya termasuk salah satu dari sebelas poin

yang ditolak oleh Fraksi Persatuan Pembangunan karena dianggap tidak

sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dirasa unik karena dalam Islam, tidak

dikenal adanya batas minimal bagi mereka yang ingin melangsungkan

pernikahan. Hal ini yang menurut penulis layak untuk ditelusuri,

bagaimana sebenarnya konsep fikih dalam mengatur batasan seseorang

dikatakan sudak layak untuk melakukan pernikahan.

Jika dilacak dengan menggunakan kata kunci nikah, maka dalam

al-Qur’an akan ditemukan ayat yang berkaitan dengan pernikahan

sebanyak 23 ayat. Tetapi tidak satupun ayat yang menyebutkan secara

jelas tentang batas usia pernikahan, jika diteliti lebih lanjut, ayat yang

berkaitan dengan kelayakan seseorang untuk menikah ada dua ayat

dalam al-Qur’an yaitu surah al-Nisa>’ Ayat 61 dan surah al-Nu>r Ayat 32.

2 Fikih klasik sebenarnya tidak melarang pernikahan di bawah

umur. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama dari empat mazhab.

Ibn al-Mundzir sebagaimana yang dikutip Wahbah al-Zuhayli>

1 Redaksi ayat tersebut adalah;

2 Teks ayat tersebut adalah;

Page 74: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

64

menganggap bolehnya pernikahan di bawah umur sebagai ijmak kalau

memang sekufu.3 Dalil yang dipakai mayoritas ulama ini salah satunya

adalah pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan ‘Aisyah sewaktu

masih berumur 6 tahun. Atas dasar hadis tersebut, dalam kitab fikih

klasik sering menyebut bahwa menikah dapat terjadi atas pemaksaan

yang dilakukan oleh wali mujbir. Wali ini berhak memaksa anak

perempuan untuk menikah walaupun anak itu tidak berkehendak, karena

wali mujbir dianggap lebih mengetahui kemaslahatan bagi anaknya.

Berkaitan dengan kebolehan melangsungkan pernikahan, Dedi

Supriyadi dan Mustofa dalam bukunya yang berjudul Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam dijelaskan bahwa ulama mazhab

tidak menentukan batasan minimum diperbolehkanya melakukan

pernikahan, hanya saja ulama mazhab sepakat bahwa baligh merupakan

salah satu syarat pernikahan. Namun dalam hal ini ulama mazhab

berbeda pendapat dalam menentukan batas usia minimum baligh. Ima>m

Ma>lik misalnya menetapkan maksimum usia baligh adalah 17 tahun baik

laki-laki maupun perempuan. Ima>m al-Sya>fi’i > dan H{anbali> menetapkan

usia 15 tahun. Ima>m H{a>nafi> membedakan antara pria dan wanita yaitu

bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 17 tahun. Pendapat Hanafi

dalam hal usia baligh di atas adalah batas maksimal, sedangkan usia

minimalnya adalah 12 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk anak

perempuan. Sebab pada usia tersebut, seorang anak laki-laki dapat

mimpi mengeluarkan sperma, menghamili atau mengeluarkan mani (di

luar mimpi), sedang pada anak perempuan dapat hamil (haid).4

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anak kecil baik pria

atau wanita tidak dibenarkan menikah sehingga mereka baligh. Hal ini

didasarkan firman Allah SWT ‚ ‛. Seumpama

diperbolehkan menikahkan mereka sebelum baligh maka ayat ini tidak

memiliki faidah, karena mereka tidak ada kebutuhan untuk melakukan

pernikahan.5

Dalam pandangan ahli hukum Islam kontemporer di antaranya

Amir Syarifuddin, berpendapat bahwa surah al-Nisa>’ Ayat 6 merupakan

ketentuan yang mengatur dan menetapkan batas usia pernikahan.

3Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Vol. IX (Damaskus: Da>r

al-Fikr, 2004), 6682. 4Dedi Supriyadi dan Mustofa yang berjudul Perbandingan Hukum Perkawinan

di Dunia Islam (Bandung: Pustaka Al-Fikris, 2009), 26-27. 5 Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Vol. IX, 6682.

Page 75: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

65

Kalimat diartikan dengan dewasa. Selama ini

pemahamannya hanya dalam konteks batas waktu untuk memberikan

harta anak yatim yang sebelumnya dikuasai oleh wali, padahal kata-kata

ini dapat dinyatakan untuk menentukan batas waktu kepantasan

melakukan pernikahan.6

Aturan mengenai batasan usia pernikahan merupakan salah satu

bukti tujuan pembaharuan hukum keluarga dalam mengangkat status

dan kehormatan wanita. Banyaknya kasus pernikahan dini yang

berujung perceraian, cukup memberikan aspirasi atas urgensitas

pembatasan usia pernikahan sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 UU

No. 1 Tahun 1974 ayat (1)7 jo Pasal 15 ayat (1) KHI.

8 Sebenarnya apa

dasar penetapan peraturan perundang-undangan hingga menetapkan usia

19 bagi pria dan 16 tahun bagi wanita? Bagaimana efek pembatasan usia

minimal pernikahan, khusunya bagi wanita?.

Menurut Rahmat Djatnika, langkah penentuan usia pernikahnan

didasarkan pada metode mas{lah}ah, namun demikian karena hasil ijtihad

maka tentu kebenarannya relatif dan tidak kaku. Artinya karena kondisi

tertentu, calon mempelai yang masih di bawah usia 21 tahun dapat

meminta dispensasi pada pengadilan.9 Ahmad Rafiq menyatakan bahwa

meskipun penentuan batas umur sifatnya ijtiha>diyah, namun dalam hal

ini surah al-Nisa>’ Ayat 910

menurut beliau dapat dijadikan sebagai suatu

bentuk amanat untuk tidak meninggalkan suatu generasi yang akan

datang dalam keadaan lemah dan dikhawatirkan kesejahteraannya.

6Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam (Padang:

Angkasa Raya, 1990), 114. 7Departemen Agama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Pernikahan (Jakarta: Proyek Penyuluhan Hukum Agama, 1995), 5-6 8Pasal 15 ayat (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,

pernikahan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang

ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami

sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16

tahun. Lihat Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Cet. ke-2 (Jakarta: Akademika

Pressindo, 1995), 117. Hanya saja dalam kompilasi ini tidak disebutkan kemungkinan

dispensasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974. 9Rahmat Djatnika, ‛Sosialisasi Hukum Islam‛ Dalam Abdurrahman Wahid,

ed. Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung, Rosda Karya, 1991), 254. 10

Redaksi ayat tersebut adalah;

Page 76: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

66

Makna dari ayat tersebut tidak lain bentuk reformasi atas ketentuan ayat

yang disesuaikan dengan tuntutan kehidupan sekarang tanpa

mengurangi prinsip dan tujuan shar’i>nya.11

Ketentuan masa mengenai pembatasan usia pernikahan ini

menjadi penting karena beberapa hal yang melatarbelakanginya, terkait

dengan hak-hak perempuan dan anak itu sendiri. Dalam suatu penelitian

yang dilakukan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, disebutkan bahwa rata-rata usia ideal pernikahan

untuk perempuan berkisar 19 tahun, dan untuk laki-laki 23 tahun.12

Hal

ini yang menjadi pertimbangan bukan semata-mata bersifat biologis,

tetapi lebih kepada psikologis dan sosial. Kematangan usia ini

merupakan akumulasi dari kesiapan fisik, ekonomi, sosial, mental atau

jiwa, agama, dan budaya.

Aspek lain adalah kehamilan yang memiliki keterkaitan erat

dengan kondisi sosial-ekonomi dan kesehatan masyarakat.

Kemungkinan seorang ibu meninggal atau anaknya meninggal atau

menderita penyakit bertambah besar bila ibu melahirkan terlalu awal

atau terlalu lambat. Perempuan yang secara fisik belum matang akan

menghadapi bahaya yang lebih besar ketika melahirkan dan besar

kemungkinan akan melahirkan anak yang lemah dibandingkan dengan

perempuan yang berumur dua puluh atau relatif dewasa.13

Melihat fenomena di atas, tidak salah bila beberapa negara

Muslim memberlakukan batasan usia pernikahan,14

sebagaimana catatan

Tahir Mahmood yang dikutip Amin Suma dan beberapa para peneliti

lainnya yang menyebutkan batasan usia pernikah bagi calon mempelai

pria dan wanita di beberapa negara Muslim dapat dilihat pada tabel di

bawah ini.

11

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), 78. 12

Siti Musdah Mulia, ‛Menuju Hukum Pernikahan yang Adil:

Memberdayakan Perempuan Indonesia‛, dalam Sulistyo Irianto, Perempuan dan Hukum (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 158.

13Erick Eckholm dan Kathleen Newland, Perempuan, Kesehatan Keluarga dan

Keluar Berencana. Penerjemah Masri Maris dan Ny. Sukanto (Jakarta: YOI dan Sinar

Harapan, 1984), 15. 14

Secara medis, anak perempuan usia di bawah 16 tahun masih dianggap

belum matang secara seksual karena organ reproduksinya belum mengalami menstruasi

sehingga tidak dianjurkan untuk menikah . hal ini diasampai oleh Ketua Satgas

Perlindungan Anak (IDAI), Rahmat Santika, pada suatu seminar yang diselenggarakan

di jakarat. Lihat IDAI Serukan Pernikahan Dini Dihentikan, Kapan lagi. Com. http://www.kapanlagi.com/h/0000259579.html.

Page 77: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

67

Tabel 4.1.

Perbandingan Usia Minimum Pernikahan di Negara Muslim15

No Negara Minimal Usia Nikah

Pria Wanita

1 Aljazair 21 18

2 Bangladesh 21 18

3 Mesir 18 16

4 Indonesia 19 16

5 Irak 18 18

6 Jordania 16 15

7 Libanon 18 17

8 Libya 18 16

9 Malaysia 18 16

10 Maroko 18 18

11 Yaman Utara 15 15

12 Yaman Selatan 18 16

13 Pakistan 18 16

14 Somalia 18 18

15 Syria 18 17

16 Tunisia 19 17

17 Turki 17 15

18 Israel 20 19

19 Cyprus 18 17

Tabel di atas menunjukkan bahwa usia pernikahan yang dianut

oleh dunia Islam dan negara-negara yang berpenduduk Muslim rata-rata

berkisar antara 15 sampai 21 tahun, kecuali Irak, Somalia, dan Maroko

yang tidak membeda-bedakan antara usia laki-laki dan perempuan yaitu

sama-sama 18 tahun. Umumnya negara muslim membedakan antara usia

laki-laki dan perempuan. Untuk kaum laki-laki antara 16 sampai 21

tahun, sementara untuk perempuan antara 15-18 tahun. Jadi, usia

pernikahan bagi perempuan pada umumnya lebih muda 1-6 tahun lebih

dibanding dengan rata-rata usia pernikahan bagi kaum laki-laki.

Perbedaan usia ini terjadi karena secara eksplisit tidak dijelaskan dalam

al-Qur’an maupun hadis.16

Penerapan usia pernikahan di berbagai negara

bervariasi, hal ini menunjukkan bahwa perbedaan penerapan usia

15

Sumber: M. Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta:

Raja Grafindo Persada),184. Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Pernikahan di Dunia Islam (Bandung, Pustaka al-Fikriis, 2009), 38-39.

16 M. Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 184-185.

Page 78: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

68

pernikahan diberbagai negara tersebut tergantung pada mazhab fikih

yang dianut atau dijadikan pedoman di suatu negara.17

Terlepas adanya aturan mengenai batasan usia minimum

pernikahan, tidak menutup kemungkinan dengan alasan tertentu kedua

calon mempelai tidak mematuhi standar usia yang telah ditentukan yang

dalam istilah hukum Indonesia disebut dengan dispensasi nikah.18

Di

beberapa negara Muslim ada aturan mengenai dispensasi pernikahan,

dan sebagian negara lainnya tidak diatur.19

lebih jelasnya dapat dilihat

pada tabel di bawah ini. Tabel 4.2.

Dispensasi Usia Pernikahan di Negara Muslim20

Negara Batasan Usia

Pernikahan

Normal

Pengurangan

Usia

Pernikahan

(Tidak

Normal)

Syarat Pengurangan Pernikahan

Menurut Pengadilan

LK PR LK PR

Turki 17 15 15 14 Alasan baik

Cyprus 18 15 17 14 Alasan baik

Lebanon 18 12 17 9 Cukup dewasa

Mesir 18 16 - - -

Sudan - - - 10 Takut berperilaku amoral

Jordania 18 17 15 15 Dewasa

Syria 18 17 15 13 Remaja dan dewasa

Tunisia 20 17 - - -

Maroko 18 18 - - -

Irak 18 18 16 16 Puberitas dan sehat

Iran 18 15 - - -

India 18 14 - - -

Ceylon 18 12 - - -

Pakistan 18 16 - - -

17

Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Pernikahan di Dunia Islam (Bandung, Pustaka al-Fikriis, 2009), 41.

18Dispensasi usia pernikahan adalah pengurangan terhadap standar normatif

yang diatur oleh Undang- Undang mengenai batas minimal usia pernikahan bagi

seseorang yang akan melangsungkan pernikahan. 19

Negara Irak misalnya, bagi yang melanggar batas usia minimum nikah

dikenakan sanksi berupa pembatalan pernikahan itu sendiri dan pelakunya dikenakan

hukuman penjara. Lihat Iskandar Ritonga, ‚Hak-hak Wanita dalam Hukum

Kekeluargaan Islam di Indonesia: Implementasinya dalam Putusan-putusan Peradilan

Agama DKI Jakarta, 1990-1995‛ (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002),

114. 20

Sumber: Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Pernikahan di

Dunia Islam (Bandung, Pustaka al-Fikriis, 2009), 40.

Page 79: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

69

Tabel di atas menunjukan bahwa, tujuan negara yang

memberlakukan batas usia tidak normal sebagaimana yang telah

ditentukan. Negara tersebut adalah Turki, Cyprus, Lebanon, Sudan,

Jordania, Syria, dan Irak. Kebolehan pernikahan tersebut setelah

memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditetapkan pengadilan.

Secara umum, pengurangan usia pernikahan ini berkisar antara satu

sampai dua tahun dari batas usia normal pernikahan. Misalnya, Turki,

batas usia pernikahan bagi laki-laki adalah 17 tahun dan perempuan 15

tahun. Pengurangan usia pernikahan menjadi 15 tahun bagi laki-laki dan

14 tahun perempuan. Begitu juga Cyprus, Jordania, dan Irak yang

masing-masing pengurangan usia pernikahan adalah dua tahun dari batas

usia normal dalam pernikahan.

Dua negara yang sangat mencolok dalam memberikan toleransi

pengurangan usia pernikahan, yaitu Lebanon dan Sudan. Bagi Lebanon,

pengurangan usia pernikahan yang drastis sampai pada tiga tahun bagi

perempuan dari batas usia pernikahan normal. Bagi perempuan yang

berusia 9 tahun, diperbolehkan menikah karena alasan dewasa dan

remaja. Begitu juga di negara Sudan, perempuan yang berusia sepuluh

tahun, diperbolehkan menikah dengan alasan khawatir berperilaku

asusila.

Sementara itu terdapat 7 negara yang tidak memperlakukan

batas usia pernikahan di bawah standar yang sudah disepakati yaitu

Mesir, Tunisia, Maroko, Iran, India, Ceylon, dan Pakistan. Di negara-

negara tersebut pernikahan terjadi bagi mereka yang telah memenuhi

usia batas usia pernikahan yang telah disepakati, dan tidak diizinkan

menikah di bawah usia normal.21

Tidak jauh berbeda dengan hukum keluarga Islam lainnya,

hukum keluarga di Indonesia mempunyai latar belakang yang sama

dengan negara lainnya. Banyaknya kasus pernikahan dini yang berakhir

dengan tragis cukup memberikan aspirasi atas urgensitas pembatasan

usia pernikahan. Ketentuan batas umur dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun

1974 ayat (1)22

seperti juga disebut dalam KHI pasal 15 ayat

(1)23

menyebutkan pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah

21

Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Pernikahan di Dunia Islam (Bandung, Pustaka al-Fikriis, 2009), 41.

22Lihat Departemen Agama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

pernikahan (Jakarta: Proyek Penyuluhan Hukum Agama, 1995), 5-6 23

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Cet. ke-2 (Jakarta: Akademika

Pressindo, 1995), 117. Hanya saja dalam kompilasi ini tidak disebutkan kemungkinan

dispensasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974.

Page 80: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

70

mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah

mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Hal ini didasarkan pada

pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga pernikahan. Ini

sejalan dengan prinsip yang diletakkan UUP bahwa calon suami istri

harus sudah matang jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan

pernikahan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat

keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya

pernikahan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Di

samping itu, pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah

kependudukan.24

Batasan umur yang ditetapkan oleh undang-undang pernikahan

masih lebih tinggi dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam

odonansi pernikahan Kristen maupun kitab undang-undang hukum

perdata. Pembuat rancangan undang-undang pernikahan mungkin

menganggap umur 19 tahun dan 16 tahun bagi seseoang lebih matang

fisiknya dan kejiwaannya dari pada 18 tahun bagi pria dan 15 tahun

bagi wanita seperti yang ditetapkan oleh hukum perdata.25

Dicantumkannya secara eksplisit batasan umur pernikahan

menunjukkan apa yang disebut dengan exepressip verbis atau langkah

penerobosan hukum adat dan kebiasaan yang dijumpai dalam

masyarakat Indonesia. Di dalam mayarakat adat Jawa misalnya, sering

kali dijumpai pernikahan anak wanita yang masih muda usianya. Anak

wanita Jawa dan Aceh sering kali dinikahkan meskipun umurnya masih

kurang dari 15 tahun, walaupun mereka belum diperkenankan hidup

bersama sampai batas umur yang pantas. Biasanya ini disebut nikah

gantung. Dengan adanya batasan usia pernikahan ini, maka kekaburan

terhadap penafsiran batas usia baik yang terdapat di dalam adat maupun

hukum Islam sendiri dapat dihindari.26

Menurut Hilman Hadikusuma,

usia pernikahan perlu dibatasi dengan tujuan untuk mencegah

24

Baca selengkapnya Masri Singarimbun, Penduduk dan Perubahan, Cet. ke-1

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 3-72. 25

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974 sampai HKI, 70. lihat Lili Rasjidi, Hukum Penikahan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), 111.

26Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di

Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974 sampai HKI, 70.

Page 81: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

71

pernikahan dan perceraian dini, serta melahirkan keturunan yang baik

dan sehat dan tidak mempercepat pertambahan penduduk.27

Batas umur terendah untuk melangsungkan pernikahan di

Indonesia cukup tinggi untuk pria dan cukup rendah untuk wanita.

Dalam tingkat pelaksanaanya, usia minimum nikah bagi wanita yang

sudah rendah masih belum tentu dipatuhi sepenuhnya. Hal ini terjadi

karena dalam kitab-kitab hukum keluarga lama disebutkan bahwa pria

dapat melangsungkan pernikahan kalau sudah baligh. Menurut Daud Ali

sebagaimana yang dikutip Iskandar Ritonga menyatakan, penetapan

batas usia minimum untuk dapat melangsungkan pernikahan di atas

hanya akan efektif jika pencatatan kelahiran secara tertib sudah

dilaksanakan di negara yang bersangkutan. Jika belum terlaksana maka

manipulasi umur akan sering terjadi, seperti di daerah-daerah

pedesaan.28

Ternyata batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk

melangsungkan pernikahan mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi.

Sehubungan dengan itu, maka undang-undang Perkawinan menentukan

batas umur pernikahan baik bagi pria maupun wanita.29

Masalah

penentuan umur dalam UU Pernikahan maupun dalam KHI memang

bersifat ijtiha>diyyah, disinilah pengaruh sosial muncul sebagai usaha

pembaharuan pemikiran fikih masa lalu.

Banyak kasus yang menunjukkan bahwa angka perceraian yang

tinggi cenderung didominasi oleh akibat pernikahan dini. Secara

metodologis, langkah penentuan usia nikah didasarkan kepada metode

mas}lah}ah mursalah} yang berlandaskan fakta sosial. Ketentuan tersebut

sifatnya ijtiha>diyah yang kebenarannya relatif tidak bersifat kaku.

Artinya, apabila karena sesuatu hal pernikahan dari mereka yang usianya

di bawah ketentuan, Undang-undang tetap memberikan jalan keluar

sebagaimana pasal 7 ayat (2) menegaskan, ‚Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan

27Hilman Hadikusuma, Hukum Pernikahan Indonesia Menurut Menurut

Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama (Bandung: Bandar maju, 2007), 48. 28

Iskandar Ritonga, ‚Hak-hak Wanita dalam Hukum Kekeluargaan Islam di

Indonesia: Implementasinya dalam Putusan-putusan Peradilan Agama DKI Jakarta,

1990-1995‛ (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), 114. 29

Keterangan ini sangat jelas sebagai landasan mengapa ditentukan batas

minimal usia pernikahan, dapat dicermati dalam Penjelasan Umum UU Pernikahan

nomor 4 poin (d) dalam Soemiyati, Hukum Pernikahan Islam dan Undang-undang Pernikahan, Cet. ke-2 (Yogyakarta: Liberty, 1986), 161, atau juga Arso Sosroatmodjo

dan Wasit Aulawi, Hukum Pernikahan di Indonesia, Cet. ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang,

1975), 102-103.

Page 82: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

72

atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Dalam hal ini, UUP tidak konsisten. Di satu sisi, pasal 6

Ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan pernikahan seorang

yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat

izin dari kedua orang tua, di sisi lain Pasal 7 (1) menyebutkan

pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam

belas) tahun. Rupanya titik perbedaannya adalah jika kurang dari 21

tahun, yang diperlukan adalah izin orang tua, dan jika kurang dari 19

atau 16, perlu izin pengadilan. Ini dikuatkan oleh pasal 15 ayat (2)

KHI.30

Pengaturan usia dewasa lazimnya disimpulkan atau dikaitkan

dengan Pasal 47 dan Pasal 50 UU No.1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan.31

Mengenai Pasal 47 UUP, Hazairin berpendapat bahwa,

pasal tersebut membingungkan. Pasal ini menentukan seseorang telah

menjadi dewasa pada usia 18 tahun, tetapi sekaligus menentukan

kembali menjadi tidak dewasa kalau anak tersebut belum menikah. Pasal

47 UU Pernikahan tidak dapat dibaca seperti pasal 330 KUHPerdata,

karena usia dewasa dalam KUHPerdata, ditentukan mereka yang sudah

berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum menikah. Apabila

pernikahan mereka putus sebelum berusia 21 (dua puluh satu) tahun,

maka mereka tidak kembali pada usia belum dewasa.32

Sementara menurut Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menyebutkan bahwa, seseorang yang belum berusia

18 tahun masih termasuk anak. Pasal 26 ayat 1 huruf (c) UU No. 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara jelas juga menyebutkan

bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah

terjadinya perkawinan di usia anak-anak. masih terdapat pintu keluar

bagi penyimpangan terhadap ketentuan tersebut, seperti disebutkan

dalam Pasal 7 Ayat (2) yang memungkinkan pernikahan di bawah umur

minimal pernikahan dengan mengajukan permohonan dispensasi

nikah33

kepada Pengadilan.

30

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, 78. 31

Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan Berserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya, Cet. ke-2

(CV.Gitamaya Jaya, 2003), 26. 32

Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan Berserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya,113.

33Dispensasi usia pernikahan adalah pengurangan terhadap standar normatif

yang diatur oleh Undang- Undang mengenai batas minimal usia pernikahan bagi

Page 83: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

73

Tingginya tingkat pernikahan anak tidak dapat dilepaskan dari

hukum pernikahan yang longgar bagi pernikahan anak. Pasal 7 Ayat (1)

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan mengatur bahwa pernikahan

hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan

pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

Dari data yang diperoleh penulis, untuk wilayah DKI Jakarta saja

dalam kurun waktu dua tahun yaitu dari tahun 2010 sampai 2011

permohonan dispensasi nikah yang diterima di Pengadilan Agama DKI

Jakarta sudah mencapai 41 kasus, dengan rincian sebagaimana tabel di

bawah ini. Tabel: 4.3.

Perkara Permohonan Dispensasi Nikah yang diterima dan diputus Pengadilan

Agama DKI Jakarta Tahun 2010-2011

No Pengadilan Agama

DKI Jakarta

Perkara

Diterima

Perkara

Diputus

1 Jakarta Utara 3 3

2 Jakarta Selatan 15 11

3 Jakarta Timur 12 11

4 Jakarta Pusat 2 2

5 Jakarta Barat 9 9

Jumlah 41 36

Sumber: Pribadi Dari Laporan Tahunan Pengadilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-

2011.34

Berdasarkan tabel di atas, dalam kurun waktu 2010 sampai 2011,

permohonan dispensasi nikah yang diterima di Pengadilan Agama DKI

seseorang yang akan melangsungkan pernikahan sebagaimana diatur dalam Pasal 7

ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974. 34

Lihat Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta

Utara tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat

pula Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara

tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach

Jufri dan Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan

Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. Lihat Ujang Mukhlis,

‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan

Januari-Desember Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta

Selatan tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30

Desember, 2010). Lihat Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011).

Lihat Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat

Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat

http://www.infoperkara.Badilaq.go.id. Di akses pada tanggal 2 Agustus 2011.

Page 84: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

74

Jakarta mencapai 41 kasus dan 36 kasus sudah diputus. Sebenarnya

untuk Pengadilan Agama Jakarta Barat data yang diterima tahun 2010

berjumlah 2 kasus, namun yang diputus 4 kasus karena 2 kasusnya sisa

tahun sebelumnya. Sedangkan tahun 2011 perkara yang diterima

berjumlah 7 kasus yang diputus 5 kasus, sisanya dalam proses

persidangan.

Putusan-putusan tersebut perlu dianalisis lebih lanjut apakah

yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim dalam mengabulkan

permohonan dispensasi nikah. Apakah dari sekian banyak putusan

dispensasi nikah yang telah diputus sudah memenuhi kriteria yang telah

ditetapkan peraturan perundang-undangan, atau hakim dengan

kewenangannya melakukan terobosan hukum (ijtihad) guna tercapainya

prinsip keadilan. Untuk mengetahui dasar dan petimbangan hakim

dalam memutus pemohonan dispensasi nikah, terlebih dahulu harus

dijelaskan kronologis alasan pengajuan dispenasi nikah. Berikut hasil

temuan penulis terkait putusan penetapan permohonan dispensasi nikah.

- Deskripsi Duduk Perkara dan Amar Penetapan Dispensasi Nikah

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan penulis, ternyata

pengajuan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama DKI

Jakarta disebabkan oleh dua faktor, yaitu karena calon mempelai wanita

telah hamil terlebih dahulu, dan adanya kekhawatiran dari orang tua

akan terjadi hal-hal yang dilarang dalam agama.35

Sebagaimana

permohonan yang disampaikan Ahmad Faisal (selanjutnya disebut

35

Di daerah lain, ada beberapa faktor lain yang menjadi sebab diajukannya

dispensasi usia pernikahan. Sebab- sebab tersebut antara lain, karena adat istiadat

masyarakat sekitar yang terbiasa menikahkan anaknya di usia muda, bahkan usia anak-

anak asalkan dianggap sudah pantas untuk menikah. Hal ini biasa terjadi di Madura.

Selanjutnya, karena alasan ekonomi. Kondisi ekonomi masyarakat yang lemah,

menyebabkan orang tua tidak bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih

tinggi dan memilih menikahkan anaknya agar beban hidupnya berkurang. Dan yang

terakhir, karena tingkat pendidikan masyarakat yang rendah sehasingga mereka tidak

memiliki keinginan dan motivasi untuk memfasilitasi anak- anaknya agar lebih maju.

Bagi mereka yang memiliki anak perempuan, sering berfikiran untuk apa sekolah

tinggi-tinggi apabila pada akhirnya kembali ke dapur juga. Pemikiran semacam ini

memang masih cukup melekat pada masyarakat pedesaan yang kegiatan utamanya

adalah bertani. Mereka tidak terbiasa melihat perempuan bekerja di luar rumah

sehingga perempuan selalu ditempatkan di dapur. Itulah beberapa faktor lain yang

menjadi penyebab diajukannya dispensasi usia pernikahan. Lihat IIn Wahyuni, ‚Dasar

dan Pertimbangan Hakim Mengabulkan Dispensasi Usia Pernikahan (Studi di

Pengadilan Agama Kota Malang‛ (Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,

2009), 71.

Page 85: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

75

pemohon) pada tanggal 15 Maret 2010 yang terdaftar di Kepaniteraan

Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan register perkara Nomor

19/Pdt.P/2010/PAJP. Pemohon hendak menikahkan anak kandungnya

yang pada saat perkara ini diajukan umur anak laki-lakinya tesebut

berumur 18 tahun 6 bulan. Sedangkan calon istrinya berumur 19 tahun.

Dalam positanya, Pemohon menjelaskan bahwa syarat-syarat

untuk melaksanakan pernikahan tersebut baik menurut ketentuan hukum

Islam maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku telah

terpenuhi kecuali syarat usia bagi anak para Pemohon belum mencapai

umur 19 tahun. Pernikahan tersebut sangat mendesak untuk

dilangsungkan karena keduanya telah bertunangan sejak kurang lebih 2

tahun yang lalu dan hubungan mereka telah sedemikian eratnya,

sehingga Pemohon sangat khawatir akan terjadi perbuatan yang dilarang

oleh ketentuan hukum Islam apabila tidak segera dinikahkan. Untuk

menguatkan dalil-dalil permohonannya tersebut Pemohon telah

mengajukan alat-alat bukti tertulis dan menghadirkan 2 orang saksi di

muka persidangan. Berdasarkan fakta tersebut majelis hakim

berpendapat bahwa permohonan Pemohon patut untuk dikabulkan.36

Kasus Selanjutnya adalah permohonan disampaikan oleh Fadli,

umur 43 tahun yang telah mengajukan permohonan dispensasi nikah ke

Pengadilan Agama Jakarta Barat pada tanggal 08 Mei 2012 dengan

register perkara nomor 33/Pdt.P/2012/PAJB. Dalam positanya dijelaskan

bahwa pemohon hendak menikahkan anaknya yang masih berumur 18

tahun. Sedangkan calon istrinya berumur 17 tahun. Alasan permohonan

tersebut karena keduanya telah menjalin hubungan yang yang

sedemikian eratnya dan mengantisipasi kesulitan-kesulitan administrasi

yang mungkin timbul dikemudian hari. Pemohon dan keluarga calon istri

telah mengurus adminitrasi dan pendaftaran anak pemohon dengan calon

istrinya, ke istansi terkait, namun pihak Kantor Urusan Agama

Kecamatan setempat belum dapat menyelenggarakan pencatatan

pernikahan keduanya denagan alasan calon suami belum mencapai usia

minimum pernikahan yaitu 19 tahun. Pemohon dengan colon besannya

telah bermusyawarah dan sepakat untuk memberikan izin keduanya

untuk menikah.

Untuk mengukuhkan dalil-dalil yang telah diajukan, Pemohon

menyerahkan alat bukti berupa surah asli yang dikeluarkan KUA

setempat yang menyatakan belum terpenuhinya persyaratan untuk

36

Dokumen Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor

19/Pdt.P/2010/PAJP.

Page 86: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

76

melaksanakan pernikahan anak kandung pemohon karena belum

mencapai umur 19 tahun. Selain bukti berupa surah, pemohon juga

menghadirkan dua orang saksi yang membenarkan dalil-dalil yang

dikemukakan pemohon. Berdasarkan fakta tersebut, majlis hakim dalam

pertimbangannya berpendapat bahwa permohonan Pemohon patut untuk

dikabulkan.37

Dalam kasus pengajuan dispensasi nikah yang disebabkan calon

mempelai telah hamil di luar nikah, hampir seluruh penetapan dispensasi

nikah yang dikeluarkan Pengadilan Agama DKI Jakarta dalam positanya

sering kali bahkan dapat dikatakan mayoritas pemohon tidak

menyantumkan alasan bahwa calon mempelai wanita telah hamil di luar

nikah. Padahal pada umumnya permohonan dispensasi nikah ke

Pengadilan Agama dikarenakan calon mempelai wanita telah hamil di

luar nikah.38

Lain halnya dengan penetapan yang dikeluarkan Pengadilan

Agama Malang yang dalam positanya Pemohon menyebutkan secara

jelas bahwa alasan pengajuan dispensasi nikah tersebut karena hamil di

luar nikah sepeti kasus Nomor: 42/Pdt.P/2009/PA.Mlg. Dalam kasus ini,

pemohon merupakan orang tua dari seorang anak perempuan yang masih

berusia 14 tahun 5 bulan. Pemohon telah datang atau melapor ke kantor

Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (PPN KUA) di tempat

dia tinggal untuk mencatatkan pernikahan anaknya, namun ditolak

dengan alasan belum cukup umur. Anak pemohon mencintai seorang

laki-laki yang berusia 21 tahun 4 bulan dan telah berpacaran selama 8

bulan. Selama berpacaran, hubungan mereka sudah sangat intim dan

pernah melakukan hubungan suami istri yang mengakibatkan si

perempuan hamil 7 bulan. Sebagai orang tua, pemohon sudah

mengingatkan anaknya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Namun, upaya orang tua ini tidak berhasil. Sehingga, pemohon

menghendaki agar anaknya tersebut segera dinikahkan dengan pacarnya

demi kebaikan mereka berdua kelak. Untuk mengawinkan anaknya,

37

Dokumen Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor

33/Pdt.P/2012/PAJB. 38

Inilah bedanya antara legal justice dengan moral justice. Maksud legal

justice disini karena belum mencapai syarat usia minimal nikah, moral justice kerena

alasan hamil di luar nikah. Moral justice ini di luar wewenang hakim. Hakim terikat

dengan hukum acara, hakim tidak boleh memutus melebihi dari tuntutan. Sepanjang

syarat (legal Justice) sudah terpenuhi hakim sudah dapat memberi izin dispensasi

nikah. Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, di ruang

Hakim, pada tanggal 18 Juli 2012.

Page 87: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

77

pemohon terhambat usia anak pemohon yang masih belum mencapai

usia nikah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan alasan tersebut, maka pemohon mengajukan permohonan

dispensasi nikah ke Pengadilan Agama Kota Malang.

Dalam kasus di atas, orang tua dari anak perempuan yang

memiliki inisiatif untuk mengajukan permohonan dispensasi usia

pernikahan. Alasan permohonan dispensasi usia pernikahan adalah

karena anak perempuannya telah hamil dari hasil hubungan seksual

dengan pacarnya yang dilakukan tanpa adanya ikatan pernikahan. Usia

kehamilan anaknya yang sudah cukup besar, tidak mungkin lagi

ditutupi oleh orang tuanya. Hal ini pun telah menjadi perbincangan di

lingkungan tempat tinggalnya. Kondisi semacam ini menimbulkan aib

bagi keluarga, sehingga harus segera diperbaiki. Satu-satunya cara

adalah dengan menikahkan si anak dengan pacarnya.39

Kekhawatiran orang tua dalam hal ini dikarenakan hubungan

percintaan anaknya sudah sangat intim. Bisa dikatakan, bahwa si anak

sudah tidak dapat dipisahkan lagi dengan pacarnya. Mereka selalu

berdua kesana kemari. Hubungan anak- anak mereka yang sudah terlalu

dekat, membuat orang tua merasa khawatir akan terjadi hal- hal yang

tidak diinginkan, misalnya si perempuan hamil terlebih dahulu. Orang

tua lebih memilih jalan aman dengan cara menikahkan mereka sebelum

hal yang dikhawatirkan itu terjadi. Seperti terjadi dalam kasus Nomor:

16/Pdt.P/2009/PA.Mlg. Dalam kasus ini, pemohon adalah orang tua dari

anak laki-laki yang berusia 18 tahun. Pemohon berencana akan

menikahkan anak laki- lakinya ini, sehingga dia datang ke kantor

Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (PPN KUA) untuk

mencatatkan pernikahan anaknya. Namun, keinginan pemohon ini

ditolak dengan alasan anaknya belum cukup umur. Anak laki-lakinya ini

memiliki pacar berusia 26 tahun. Mereka sudah berpacaran selama 1

tahun. Hubungan keduanya sudah sangat intim dan telah tinggal satu

rumah selama 2 bulan. Bahkan, mereka telah melakukan hubungan

suami istri selama tinggal dalam satu rumah. Pemohon takut akan

terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sehingga pemohon menginginkan

anaknya segera menikah dengan calon istrinya demi kebaikan mereka

berdua kelak. Keinginan pemohon untuk segera menikahkan anaknya

39

Iin Wahyuni, ‚Dasar dan Pertimbangan Hakim Mengabulkan Dispensasi

Usia Pernikahan: Studi di Pengadilan Agama Kota Malang (Malang: Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya, 2009), 64-65.

Page 88: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

78

terhambat menyangkut usia anak Pemohon yang masih belum mencapai

usia nikah sesuai ketentuan peraturan perudang- undangan yang berlaku.

Berdasarkan alasan tersebut maka pemohon mengajukan

permohonan dispensasi usia pernikahana ke Pengadilan Agama Kota

Malang. Kondisi semacam ini di dalam masyarakat biasa disebut dengan

istilah ‛kumpul kebo‛. Permohonan dispensasi pernikahan dalam kasus

di atas, diajukan oleh orang tua anak laki- laki yang belum cukup umur

untuk menikah karena orang tua khawatir akan terjadi kehamilan

sebelum pernikahan. Selain itu,orang tua sudah tidak bisa menghentikan

anaknya untuk tidak tinggal satu rumah lagi dan melakukan hubungan

suami istri. Sehingga, untuk menghindari dampak lanjutan yang lebih

buruk maka orang tua mengajukan permohonan dispensasi usia

pernikahan ke Pengadilan Agama Kota Malang agar anaknya yang

masih berusia 18 tahun bisa mengawini pacarnya.40

Pada umumnya Pengadilan Agama dalam kasus permohonan

dispensasi nikah dalam amar putusannya memutuskan dengan

menetapkan:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon

2. Memberi dispensasi nikah kepada pihak yang besangkutan

3. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon.

Dalam kasus dispensasi nikah, 99% majelis hakim mengabulkan

permohonannya41

dengan dasar dan pertimbangan-pertimbangan yang

akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

- Dasar dan Pertimbangan Hakim dalam Putusan Penetapan

Permohonan Dispensasi Nikah

Bentuk perkara di Pengadilan Agama ada dua macam yaitu perkara

gugatan (kontentius) dan perkara permohonan (valuntair).42 Perbedaan

antara permohonan dan gugatan adalah pertama, dalam permohonan

hanya ada satu pihak saja sedangkan dalam gugatan terdapat dua pihak

yang bersengketa. Kedua, dalam permohonan tidak terdapat sengketa

40

Iin Wahyuni, ‚Dasar dan Pertimbangan Hakim Mengabulkan Dispensasi

Usia Pernikahan (Studi di Pengadilan Agama Kota Malang‛ (Malang: Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya, 2009), 68-69. 41

Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, di

ruang Hakim, pada tanggal 18 Juli 2012. 42

Permohonan adalah suatu perkara yang tidak ada pihak-pihak lain yang

saling bersengketa. Sedangkan gugatan adalah suatu perkara yang terdapat sengketa

antara dua belah pihak. Lihat A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 39.

Page 89: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

79

sedangkan perkara gugatan terdapat sengketa antara kedua belah pihak.

Ketiga dalam permohonan hakim hanya menjalankan fungsi executive power atau administratif saja sehingga permohonan disebut jurisdictio voluntaria atau peradilan yang bukan sebenarnya. Sedangkan dalam

gugatan hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus

pihak yang benar dan yang tidak benar. Gugatan disebut juga jurisdictio contentieus atau peradilan yang sesungguhnya.

43

Berdasarkan ketentuan Pasal 57 Ayat (2), Pasal 59 Ayat (2),

Pasal 60, 61, 62, 63 dan 64 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 3 Tahun 2006

dan telah diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009. Produk putusan

Peradilan Agama terdiri dari ‚putusan‛44

dan ‚penetapan‛.45

Perkara

gugatan melahirkan putusan hakim yang berbentuk ‚putusan‛,

sedangkan permohonan melahirkan putusan yang berbentuk

‚penetapan‛. Permohonan dispensasi nikah merupakan gugat yang

bersifat voluntair. Gugat permohonan disederajatkan ekuivalensinya

dengan penetapan. Dengan kata lain, UU menilai putusan yang sesuai

dengan gugat permohonan adalah penetapan, yang lazim juga disebut

beschikking dalam arti luas.46

Dalam memutuskan sebuah perkara, hakim harus memiliki dasar

yang kuat agar keputusannya dapat dipertanggungjawabkan. Hakim

wajib mencantumkan dasar pertimbangan yang cukup dan matang dalam

setiap keputusan.

43

Lihat Agus Sudarmanto,‛Peradilan Agama‛ diakses pada 25 Agustus 2012

melalui http://materifakultashukum.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-

en-us-x-none.html. 44

Putusan adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis

dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari

pemeriksaan perkara gugatan (Kontentius)). Sedangkan Penetapan adalah Pernyataan

Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang

terbuka untuk umum,sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).

Lihat Pasal 60 UUPA (Undang-undang Peradilan Agama). 45

Asas yang melekat pada putusan penetapan adalah pertama, asas ‚kebenaran

sepihak‛, yakni kebenaran yang bernilai pada diri pemohon tidak menjangkau orang

lain. Kedua, kekuatan mengikat penetapan hanya berlaku pada diri pemohon saja, sama

sekali tidak mengikat orang lain. Ketiga, tidak mempunyai kekuatan pembuktian.

Keempat, tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Putusan penetapan dapat

dimintakan eksekusi kepada Pengadilan. M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, 305-306.

46M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama

UU No. 7 Tahun 1989, 306.

Page 90: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

80

Demikian secara singkat makna kewajiban tersebut, yaitu

putusan harus jelas dan cukup motivasi pertimbangannya. Dalam

pengertian luas, bukan hanya sekedar meliputi motivasi pertimbangan

tentang alasan-alasan dan dasar-dasar hukum serta pasal-pasal peraturan

yang bersangkutan, tetapi juga meliputi sistematika, argumentasi, dan

kesimpulan yang terang dan mudah dimengerti orang yang

membacanya.47

Dasar yang digunakan hakim dalam mengabulkan dispensai

nikah adalah ketentuan Pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974

jo. Pasal 15 Ayat (1) KHI yang menyatakan bahwa pernikahan hanya

diizinkan jika pihak pria belum mencapai umur 19 tahun dan wanita

belum mencapai 16 tahun. Dalam hal penyimpangan terhadap ketentuan

Ayat (1) mengenai batas usia minimal untuk menikah, dapat meminta

dispensasi kepada Pengadilan Agama atau pejabat lain yang ditunjuk

oleh kedua orang tua pihak laki- laki maupun pihak perempuan. Pasal 7

Ayat (2) ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk mengabulkan

permohonan dispensasi usia pernikahan karena Pengadilan Agama

merupakan lembaga yang berwenang menangani permohonan usia

pernikahan. Dalam setiap penetapan hakim untuk kasus permohonan

dispensasi usia pernikahan, selalu dicantumkan Pasal 7 Ayat (1) dan (2)

UU Pernikahan jo. Pasal 15 ayat (1) merupakan legitimasi bagi hakim

yang diatur dalam Undang- Undang.

Perkara Permohonan dispensasi nikah ini termasuk dalam bidang

pernikahan maka berdasarkan pasal 89 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, yang telah diubah dan ditambah dengan UU

No. 3 Tahun 2006 dan telah diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009

pula biaya perkara dibebankan kepada Pemohon atau Penggugat. Inilah

bedanya dengan hukum acara perdata pada umumnya, khusus pada

bidang pernikahan dan perceraian biaya perkara dibebankan kepada

Pemohon atau Penggugat selaku pencari keadilan48

Berdasarkan temuan penulis dari hasil wawancara hakim PA DKI

Jakarta menjelaskan bhawa, mayoritas alasan permohonan dispensasi

nikah dikarenakan telah terjadi kehamilan di luar pernikahan. Menurut

penulis putusan Majelis Hakim mengabulkan permohonan dispensasi

usia pernikahan sangatlah tepat guna untuk menghindari keburukan

yang akan terjadi dimasa yang akan datang, sebagaimana kaidah yang

47

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, 313.

48A. Mukti Atrto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 224.

Page 91: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

81

mengatakan (menghindari kerusakan

harus didahulukan daripada mempertahankan kebaikan). Hal ini

dikarenakan pernikahan adalah sesuatu yang sangat mendesak dan harus

segera dilakukan agar status kedua calon mempelai jelas dan status anak

yang akan dilahirkan nanti juga jelas. Apabila permohonan dispensasi

usia pernikahan tidak dikabulkan dalam kondisi yang sangat memaksa

maka akan terjadi kerugian yang angat besar yang akan dialami oleh

calon mempelai perempuan dan anak yang ada di dalam kandungannya.

Anak dalam kandungan perempuan tersebut bisa jadi tidak akan

mempunyai ayah yang sah saat dia dilahirkan nanti. Hal ini memiliki

dampak lanjutan yang cukup panjang seperti, dalam hal pengurusan akte

kelahiran dan dokumen-dokumen lain yang akan digunakan untuk

mendukung masa depan calon anak tersebut. Selain itu, adanya

hukuman dari masyarakat berupa gunjingan dan mungkin saja

pengasingan dari lingkungan sekitarnya karena dianggap sebagai ‛anak

haram‛, serta dampak- dampak lain yang akan sangat merugikan masa

depan calon anak tersebut.

Adanya dispensasi bagi calon mempelai yang kurang dari

sembilan belas bagi pria dan enam belas tahun bagi wanita, boleh jadi

didasarkan kepada hadis Nabi saw. ketika menikahi ‘Aisyah. Kendati

pun kebolehan tersebut harus dilampiri izin dari pejabat untuk itu. Ini

menunjukkan bahwa penanaman konsep pembaharuan hukum Islam

yang memang bersifat ijtih}a>diyah, diperlukan waktu dan usaha terus-

menerus. Ini dimaksudkan, pendekatan konsep mas}lah}ah mursalah} dalam Hukum Islam di Indonesia, memerlukan waktu agar masyarakat

sebagai subyek hukum dapat menerimanya dan menjalankannya dengan

suka rela tanpa ada unsur pemaksaan.49

Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana agar hukum dapat

berfungsi secara efektif untuk melindungi anak-anak dari pernikahan

dini? Menurut penulis, setidaknya terdapat tiga langkah yang harus

dilakukan. Pertama, terkait dengan sosialisasi hukum, meskipun

diundangkankannya hukum keluaga di Indonesia kurang lebih tiga puluh

tahun, namun masih banyak masyarakat Indonesia khususnya di daerah

pedesaan yang masih tidak faham adanya eksistensi hukum keluarga

Islam itu sendiri, sehingga praktik pernikahan di bawah tangan,

pernikahan dini kerap terjadi. Di sinilah dibutuhkan peran pemerintah

49

Sudirman, ‚Pembatasan Usia Minimal Pernikahan: Upaya Meningkatkan

Martabat Perempuan‛, (Malang: Fakultas Syariah UIN Malang), 12.

Page 92: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

82

untuk terus berusaha menyosialisasikan hukum keluarga Islam. Selain

itu, perlu dikenakan sanksi bagi para pelanggar batas minimal usia

pernikahan, baik bagi para orang tua, maupun para pejabat yang

berwenang dalam penyelenggaraan pernikahan.

Kedua, terkait struktur hukum, yaitu hakim, ketika memeriksa

permohonan dispensasi nikah, hakim harus memeriksa perkara tersebut

secara menyeluruh. Hakim harus mampu menemukan motif di balik

permohonan tersebut. Berdasarkan penelitian penulis, terdapat tiga

faktor dominan yang mendorong orang tua untuk meminta dispensasi

nikah bagi anak-anak mereka, yaitu kehamilan yang tidak dikehendaki,

kebiasaan atau tradisi, dan ekonomi. Di antara faktor-faktor ini, faktor

pertama merupakan faktor yang tidak dapat dihindari untuk

mengabulkan permohonan dalam rangka memberikan perlindungan

hukum terhadap anak yang masih dalam kandungan. Tetapi, mengenai

dua faktor yang lain, hakim harus mempertimbangkan dampak

pernikahan yang demikian terhadap anak perempuan, dan memberikan

prioritas bagi perlindungan anak.

Ketiga, terkait budaya hukum, yaitu kebiasaan atau tradisi dalam

masyarakat. Budaya masyarakat dalam hal pernikahan dini dipengaruhi

oleh nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat. Bagi masyarakat muslim,

terkait dengan pernikahan dini, memang terdapat hadis yang

diriwayatkan oleh Hisha>m Ibn ‘Urwah, yang sering kali dijadikan dasar

atau dalil atas kebolehan pernikahan dini, dalam hadis tersebut

diceritakan bahwa ‘Aisyah menikah dengan Rasulullah saw. pada usia 7

tahun, dan mulai berhubungan badan dengan Rasulullah saw. pada usia 9

tahun. Riwayat Hisha>m Ibn ‘Urwah tidak dapat dijadikan hujjah untuk

zaman sekarang.

Salah satu faktor orang tua menikahkan anak usia dini adalah

faktor budaya, masalah kemiskinan menjadi faktor lain yang mendorong

orang tua untuk segera menikahka anak perempuan mereka. Dengan

menikahkan anak, orang tua dapat terbebas dari beban ekonomi untuk

menanggung biaya hidup anak. Kondisi ekonomi suatu keluarga akan

mempengaruhi tingkat pendidikan anak sehingga dapat menunda

terjadinya pernikahan anak. Oleh karena itu, pemberdayaan ekonomi

masyarakat merupakan upaya penting untuk menekan tingkat

pernikahan anak. Selain itu gerakan orang tua asuh juga perlu

digalakkan untuk membantu pendidikan anak-anak yang berasal dari

keluarga tidak mampu.

Kemajuan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kondisi generasi

penerusnya, yaitu anak-anak. Anak merupakan investasi paling berharga

Page 93: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

83

bagi sebuah bangsa yang harus dilindungi hak-haknya sehingga dapat

menjadi pribadi-pribadi yang berkualitas, dan bukan dijadikan sebagai

bagian dari objek eksploitasi baik oleh orang tua sendiri, maupun oleh

orang lain melalui pernikahan dini. Tingginya tingkat pernikahan dini

akan menjadi bom waktu, karena berbagai dampak yang timbul akibat

pernikahan dini khususnya bagi anak-anak perempuan, pada akhirnya

akan melahirkan generasi yang lemah. Sudah saatnya bagi masyarakat

dan pemerintah lebih memerhatikan pernikahan usia dini.50

B. Status Wali dan Persetujuan Mempelai Wanita dalam Perkawinan

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum wali dalam

pernikahan,51

apakah semua gadis yang akan melangsungkan pernikahan

harus ada wali ataukah tidak? Tidak hanya kedudukan wali dalam

pernikahan, ulama juga berbeda pendapat mengenai perlu tidaknya

persetujuan dari calon mempelai wanita itu sendiri. Berikut

penjelasanya.

Menurut Ima>m Abu> H{ani>fah, pernikahan tanpa wali (wanita

menikahkan dirinya sendiri) atau meminta orang lain di luar wali nasab

untuk menikahkan gadis atau janda adalah boleh, hanya saja jika tidak

sekufu, wali dapat membatalkannya.52

Lebih lanjut Abu> H{ani>fah

50

Muhamad Isna Wahyudi, ‛Menekan Tingkat Pernikahan Anak‛, diakses

pada 1 Juli 2012 melalui http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-

id,37162-lang,id-c,kolomt,Menekan+Tingkat+Pernikahan+Anak-.phpx. 51

Wali dalam pernikahan adalah seseorang yang bertindak atas nama

mempelai wanita dalam suatu akad nikah. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan

Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 69. 52

Mazhab Hanafiyah berpandangan bahwa, status wali hanyalah syarat bukan

rukun pernikahan. Atas hal ini ulama Hanafiyah meringkas rukun nikah menjadi ijab

dan kabul. Status wali menjadi sahnya pernikahan khusus pernikahan anak kecil, orang

gila. Sedangkan orang dewasa yang sudah baligh baik janda maupun gadis tidak perlu

kekuasaan wali. Argumentasi mazhab Hanafiyah didasarkan kepada pandangan bahwa

akad nikah sama dengan akad jual beli. Oleh karena itu syaratnya cukup dengan ijab

dan kabul. Hanafiyah perpandangan bahwa al-Qur’an maupun hadis yang dijadikan

hujjah terhadap status wali sebagai rukun nikah, tidak memberikan syarat bahwa wali

sebagai rukun nikah. Dasar dibolehkannya pernikaha tanpa wali adalah surah al-

Baqarah ayat 230, 232 dan 240. Bahwa akad dalam ayat-ayat ini didasarkan kepada

wanita (hunna), yang berarti akad tersebut menjadi hak atau kekuasaan merka para

wanita. Demikian juga khit}a>b al-Baqarah ayat 232, adalah kepada para suami, kalau

iddah mantan istrinya sudah habis, mantan suami tidak berhak mencegah mantan

istrinya untuk menikah lagi. Ayat tersebut tidak ada hubungannya dengan wali, sebab

yang dilarang mempersulit adalah suami. Dasar hadis yang digunakan Imam Abu>

Hani>fah adalah hadis yang menyatakan, ‚ ‛

Page 94: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

84

menyatakan bahwa, dalam pernikahan harus ada persetujuan wanita

(calon istri) baik gadis atau janda. Sebaliknya, kalau mereka tidak

setuju, maka akad nikah tidak boleh dilanjutkan, walaupun yang menjadi

wali adalah bapak kandung mereka sendiri.53

Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa dua hadis yang berbunyi,

Dalam pandangan Mazhab Hanafiyah, kedua hadis tersebut d}a‘i>f , karena status perawi

yaitu al-Juhri ketika ditanya masalah itu, ia menjawab tidak tahu. Selain itu hadis

tersebut dikhususkan kepada wali terhadap anak kecil yang tidak tahu dalam

bermuamalah. Makna , adalah ‚janganlah seorang wanita yang dewasa

mengawinkan wanita yang kecil ketika ada wali, dan janganlah wanita yang belum

dewasa menikahkan wanita yang sudah dewasa.‛Sedangkan makna hadis

, adalah ‚janganlah wanita yang belum dewasa menikahkan dirinya sendiri tanpa

ada wali,‛ Makna disini adalah ‚wanita yang belum dewasa‛. Hal itu sudah

maklum wanita yang belum dewasa tidak mampu bertindak sendiri, berbeda dengan

wanita yang sudah dewasa, ia mampu bertindak sendiri tanpa adanya wali. Lihat ‘Abd

al-Rah}ma>n al-Jazayri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-‘Arba’ah, Jilid V, (Beirut: Da>r al-

Fikr, 1990), 46. Lihat juga Ibn Rush, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}it, Juz

II (Beirut: Da> al-Fikr, t.th), 7. 53

Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Pernikahan I), Cet. I (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2004), 75. Adapun dasar

penetapan harus adanya persetujuan gadis dalam pernikahan, menurut Abu Hanifah

adalah kasus di masa Nabi yang menyatakan bahwa Nabi menolak pernikahan seorang

gadis yang dinikahkan bapaknya, karena gadis tersebut tidak menyetujui, yakni kasus

yang terjadi pada al-Khansa’. dalam kasus ini, al-Khansa> menemui dan melaporkan

kasus yang menimpa dirinya, yakni dia dinikahkan bapaknya kepada saudara bapaknya

yang tidak ia senangi, pada saat itu Nabi balik bertanya ‚apakah kamu diminta izin

(persetujuan)?‛ al-Khansa>’ menjawab ‚ saya tidak senang dengan pilihan bapak‛. Nabi

lalu menetapkan pernikahannya sebagai pernikahan yang tidak sah, seraya

bersabda/berpesan ‚nikahlah dengan orang yang kamu senangi‛ al-Khansa’

berkomentar, ‚bisa saja aku menerima pilihan bapak, tetapi aku ingin agar para wanita

mengetahui bahwa bapak tidak berhak untuk memaksakan kehendaknya untuk

menikahkan anak wanitanya dan nabi menyetujuinya. Ditambah lagi oleh al-Khansa,

‚nabi tidak minta keterangan apakah saya gadis atau janda‛, seperti dicatat

sebelumnya. Lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 171. Lihat

Muh Akbar Ilyas, ‚Kebebasan Wanita dalam Memilih pasangan‛, diakses pada tanggal

Page 95: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

85

Pendapat mazhab H{a>nafiyah dalam hal kebebasan wanita dalam

memilih pasangan kelihatan lebih toleran. Terbukti bahwa menurut

beliau seorang wanita yang sudah baligh dan berakal sehat boleh

menikahkan dirinya baik ia masih perawan atau sudah janda. Tidak ada

seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang

pilihannya, dengan syarat, calon suami yang dipilihnya itu sekufu

dengannya, dan maharnya tidak kurang dari mahal mithl. Akan tetapi

kedua syarat ini mempunyai konsekwensi hukum apabila tidak terpenuhi

yaitu wali boleh menentang pernikahan itu bahkan wali bisa meminta

qa>d}i> untuk membatalkan pernikahan itu.54

Berbeda dengan Ima>m Abu> H{ani>fah, Ima>m Ma>lik, imam dari

mazhab Ma>likiyah sebagaimana yang dikutip Ibn Rushd berpendapat

bahwa, pernikahan tidak sah kecuali dengan adanya wali. Menurut Ima>m

Ma>lik, wali termasuk syarat sahnya pernikahan. Atas pemikiran Ima>m

Ma>lik ini, para pengikutnya yang dikenal dengan Ma>likiyah lebih tegas

berpendapat bahwa, wali termasuk rukun nikah. Dalam pandangan ini

dijelaskan bahwa pernikahan mengharuskan izin dari wali atau wakil

terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Akan tetapi

tidak dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah

atau cukup sekedar izinnya. Pendapat Ima>m Ma>lik ini menunjukkan

tidak diperbolehkan wanita menikahkan dirinya sendiri, baik gadis

maupun janda.55

Sejalan dengan harus adanya izin wali, wali juga

dilarang mempersulit pernikahan.56

Sebagai upaya menghilangkan

13 Juli 2012 melalui http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/06/kebebasan-wanita-

dalam-memilih-pasangan.html 54

Muhammad Jawad al-Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur

A.B. dkk.Cet V (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), 345. 55

Dasar yang digunakan dalam mazhab Maliki ini adalah surah al-Baqarah

ayat 232 dan 221, dan hadis yang diriwayatkan oleh al-Juhri sebagaimana yang

disebutkan sebelumnya serta hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas yang matannya

berbunyi Berdasarkan pemahaman tersebut dalam

mazhab Maliki berpendapat bahwa, jika wanita yang baliqh, berakal, sehat dan masih

gadis, maka hak mengawinkan dirinya adalah wali, akan tetapi untuk janda, maka hak

itu ada pada keduanya. Wali tidak boleh mengawinkan janda tersebut tanpa

persetujuannya. Sebaliknya janda itupun tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri

tanpa restu dari walinya, karena pengucapan akad adalah hak wali bukan hak wanita.

Lihat Ibn Rushd, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id, 7. Baca selengkapnya

‘Abd al- Rahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-‘Arba’ah, 46. 56

Berdasarkan al-Baqarah ayat 232. Ditambah sejumlah hadis diantaranya

Page 96: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

86

kesulitan tersebut, hakim boleh menjadi wali bagi mereka yang tidak

mempunyai wali nasab, atau sebagai ganti wali nasab yang mempersuit

pernikahan.57

Dalam kaitan persetujuan dan kebebasan wanita dalam memilih

pasangan (calon suami), Ima>m Ma>lik membedakan antara janda dengan

gadis. Untuk janda yang sudah dewasa harus ada persetujuan dengan

tegas sebelum akad nikah dilangsungkan. Adapun gadis dan janda yang

belum dewasa ada perbedaan antara bapak sebagai wali dengan wali di

luar bapak. Bapak sebagai wali menurut beliau berhak memaksa anak

gadisnya dan janda yang belum dewasa (hak ijba>r) untuk menikah,

sedangkan wali selain bapak tidak mempunyai hak ijba>r. Dengan kata

lain, seorang bapak boleh menikahkan anak gadis dan janda yang belum

dewasa walaupun tanpa persetujuan keduanya. Otoritas yang dimiliki

bapak itu lanjut Ima>m Ma>lik karena memang syarak mengkhususkan

demikian, atau karena kasih sayang seperti yang dimiliki seorang bapak

tidak akan dimiliki oleh wali yang lain.

Menurut Ima>m al-Sha>fi’i >, kehadiran wali menjadi salah satu

rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali dalam pernikahan tidak

sah. Bersamaan dengan ini, Ima>m al-Sha>fi’i > juga berpendapat bahwa,

wali dilarang mempersulit pernikahan wanita yang ada di bawah

perwaliannya sepanjang wanita mendapat pasangan yang sekufu.58

Ima>m al-Sha>fi’i > membuat klasifikasi terkait dengan kebebasan

wanita dan persetujuannya kepada tiga kelompok, yaitu: pertama, gadis

yang belum dewasa, kedua, gadis dewasa, dan ketiga, janda. Untuk gadis

57

Dasar penetapannya menurut Malik adalah hadis larangan mempersuli dan

jangan mau dipersulit yaitu,

58

Dasar yang digunakan imam Syafi’i adalah surah al-Baqarah ayat 232 yang

berbunyi,

Ayat di atas diturunkan kepada Mu’qil Ibn Yasar ketika menolak menikahkan

saudara perempuannya yang ditalak raj’I oleh suaminya. Menurut imam syafi’i, ayat

tersebut menunjukkan status wali sebagai hal yang wajib dalam pernikahan. Sedangkan

dasar hadis yang dijadikan hujjah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Hiban yang

berbunyi,

Lihat Al-Dimsyiqi>, Kifa>yah al-Akhya>r (Beirut: Da>r al Fikr, t.th), 48.

Page 97: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

87

yang belum dewasa, batasan umurnya adalah belum lima belas tahun

(15) atau belum haid, maka seorang bapak dalam hal ini menurut beliau

boleh menikahkan anak gadis walaupun tanpa seizinnya, dengan syarat

pernikahan itu menguntungkan bagi anak gadis tersebut. Pandangan

beliau ini didasarkan pada tindakan Abu> Bakr yang menikahkan ‘Aisyah

kepada Nabi saw., dan umur ‘Aisyah ketika itu baru sekitar tujuh tahun.

Adapun pernikahan gadis dewasa, ada hak berimbang antara

bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada mafhu>m mukha>lafah hadis yang menyatakan ‚janda lebih berhak terhadap dirinya‛. Menurut Ima>m al-Sha>fi’i>, mafhu>m mukha>lafah hadis ini bapak

lebih berhak menentukan urusan pernikahan anak gadisnya,59

meskipun

dianjurkan musyawarah antara bapak dengan anak gadis tersebut. Dari

penjelasan Ima>m al-Sha>fi’i>, akhirnya bisa dilihat bahwa dalam kasus

gadis dewasa pun hak bapak sebagai wali masih melebihi hak gadis.

Kesimpulan ini didukung oleh ungkapan al-Sha>fi‘i > sendiri yang

menyatakan bahwa persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan (

tetapi hanya sekedar pilihan ( .60

Adapun pernikahan seorang janda menurut beliau harus ada

persetujuan yang jelas dari yang bersangkutan. Keharusan ini didasarkan

pada kasus pernikahan Khansa>’ yang ditolak Nabi saw. karena ia

dinikahkan oleh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak disenangi,

ditambah lagi tanpa diminta persetujuannya terlebih dahulu. Dengan

demikian, hadis ini menurut beliau menyatakan seorang janda lebih

berhak terhadap dirinya dari walinya. Ketetapan ini diperkuat hadis

lain.61

Dengan menyebut lebih berhak pada dirinya ( ) berarti

59

Hal ini didukung pernyataan ulama Syafi‘iyyah bahwa apabila bapak

sebagai wali tidak perlu lagi meminta izin kepada anak gadisnya apabila telah

memenuhi ketujuh syarat berikut. Pertama, antara bapak dengan anak tidak ada

permusuhan. Kedua, antara si anak gadis dengan calon suaminya tidak ada

permusuhan. Ketiga, calon suaminya sekufu’. Keempat, calon suami sanggup

memberikan mahar. Kelima, mahar yang sesuai. Keenam, mahar merupakan mata uang

setempat, ketujuh mahar dibayar kontan, lihat ‘Abd al-Rah}ma>n al-Jaziri>, al-Fiqh ‘ala al-Madha>hib al-‘Arba‘ah, Juz IV (Beirut: Da>r al-Afkar, t.th.), 35.

60Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum

Pernikahan I), 84. 61

Hadis yag dimaksud adalah,

Page 98: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

88

untuk sempurnanya pernikahan harus dengan persetujuannya dan tidak

ada orang lain yang berhak untuk mencegahnya untuk nikah.62

Ibn Quda>mah dari mazhab H{anbali> menyatakan, wali harus ada

dalam pernikahan (rukun nikah), yaitu harus hadir ketika melakukan

akad nikah. Keharusan ini berdasarkan hadis bahwa dalam pernikahan

harus ada wali ( ).63

Terhadap hadis yang banyak dipegangi

oleh para ilmuan bahwa yang penting dalam pernikahan adalah izin dari

wali bukan kehadirannya.64

Menurutnya yang mengharuskan adanya

wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk semua. Sedangkan hadis

yang menyebutkan hanya butuh izin adalah hadis yang bersifat khusus.

Sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil khusus. Ibn Quda>mah

berpendapat tentang adanya hak ijba>r wali untuk menikahkan gadis yang

belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan syarat

sekufu. Sedangkan menurut Ibn al-Qayyim, persetujuan wanita harus

ada dalam pernikahan.65

62

Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Pernikahan I), 85.

63 ). Lihat Wahbah al-Zuhaylî, al-

Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Vol. 9, 6572. Hadis ini menurut Ibn Quda>mah berdasarkan

laporan dari Ah}mad dan Yah}ya> termasuk hadis sahih. Konsekuensinya harus

dipengangi. Lihat Muwaffaq al-Di>n Abi> Muh}ammad ‘Abdulla>h bin Ah}mad bin

Quda>mah, al-Mughni> wa al-Sharh{ al-Kabi>r, edisi ke-1, juz VII, (Beirut: Da>r al-Fikr,

1401/1984), 338. Selanjutnya ditulis Ibn Quda>mah. 64 Hadis tersebut adalah sebagai berikut.

65

Dasar pengambilan dalil dari mazhab Hanbali adalah al-Qur’an surah al-Nu>r

ayat 32 yang berbunyi,

Serta surah al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi,

Dasar hukum selanjutnya adalah hadis yang diriwayatkan al-Juhri sebagaimana yang

telah disebutkan sebelumnya , dan juga hadis berikut ini,

Page 99: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

89

Adapun hadis di samping dasar bolehnya

posisi wali nasab diganti wali hakim juga menjadi dalil bolehnya hak

wali nikah yang paling dekat diganti dengan wali yang lebih jauh atau

hakim. Dengan alasan wali yang lebih dekat berhalangan atau

mempersulit.66

Adapun maksud mempersulit adalah kalau keduanya

(calon mempelai) sudah sekufu dan saling senang, wali tetap

menghalang-halangi seperti kasus Ma’qal bin Yasi>r.67

Selain itu

termasuk katagori mempersulit adalah kalau wali yang lebih dekat

mempunyai tempat tinggal yang jauh sehingga sulit untuk dihubungi.

Sebaliknya jika wanita mendapatkan pasangan yang tidak sekufu,

larangan wali tidak termasuk dalam katagori mempersulit. Sebab kalau

pasangan tidak sekufu menikah tanpa persetujuan wali, maka wali

mempunyai hak fasakh, sebagai usaha preventif agar jangan terjadi

fasakh lebih baik dicegah sejak awal.68

Terkait persetujuan calon mempelai dan hak ijba>r wali, Ibn

Quda>mah mengklaim, ulama sepakat adanya hak ijba>r wali untuk

menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau

tidak dengan syarat sekufu. Ibn Quda>mah sendiri berpendapat, bahwa

bapak berhak memaksa anak gadisnya baik yang sudah dewasa maupun

belum dewasa dengan pria yang sekufu meskipun wanita tersebut tidak

senang. Menurutnya dasar bolehnya menikahkan gadis yang belum

dewasa adalah surah al-Ta}laq Ayat 4. Pada prinsipnya ayat ini berbicara

masalah iddah wanita yang belum haid atau wanita yang sudah

monopous. logika sederhananya adalah iddah muncul karena talak, talak

ada karena pernikahan, karena itu secara tersirat (mafhu>m mukha>lafah)

ayat ini menunjukkan bolehnya wanita yang belum haid (belum dewasa)

Berdasarkan landasan tersebut, madhab Hanbali menetapkan bahwa wali menjadi salah

satu rukun nikah. Pernikahan tanpa wali tidak sah baik kepada orang yang sudah

dewasa atau belum dewasa. Lihat M. ‘Ali> al-Sayis dan Mah}mu>d Shalt}u>t}, Perbandingan Madhab dalam Masalah Fiqh,Trans, Ismuha, Cet. ke VI (Jakarta: Bulan Bintang), 126-

127. Lihat pula Dedi Supriadi dan Mustafa, Perbandingan Hukum Perkwinan di Dunia Islam,17-19

66Ibn Quda>mah, al-Mugni>, VII, 368.

67Kasus Ma’qal ini adalah kasus yang menjadi seba turunnya surah al-Baqarah

Ayat 232, (larangan bagi wali mempersulit pernikahan yang ingin kembali kepada

bekas istrinya, tetapi walinya yakni saudara si wanita sama sekali menolak). 68

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara,181.

Page 100: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

90

menikah. Dasar hadisnya adalah tindakan Nabi saw. yang menikah

dengan ‘Aisyah ketika berumur 7 tahun.69

Berbeda dengan Ibn Quda>mah, Ibn Qayyim al-Jawziyyah

berpendapat, persetujuan wanita harus ada dalam pernikahan. Hal ini

berdasarkan dengan tiga alasan, 1) athar yang dipercaya, 2) qiya>s, dan 3)

kaidah-kaidah shari’ah. Sumber athar (1) kasus al-Khansa>’ (janda) dan

seorang budak (gadis) yang pernikahannya ditolak Nabi saw. karena

dipaksa menikah dengan pria yang bukan pilihannya. (2) pernyataan

Nabi saw. yang harus meminta izin untuk pernikahan gadis yang izinnya

cukup dengan diamnya. Untuk menolak tuduhan yang mengatakan hadis

tentang pernikah gadis disebut hadis mursal. al-Jawziyyah menolak

dengan tiga alasan. (1) sumber athar dalam bentuk perintah misalnya

perintah Nabi saw. untuk meminta izin kalau menikahkan anak gadis

( ). Ungkapan ini menurut al-Jawziyyah adalah suruhan kuat

( ), karena ungkapan pemberitahuan. Asal suruhan sendiri adalah

wajib selama belum ada konsensus (ijma>’) yang menyatakan sebaliknya.

(2) larangan Nabi saw. menikahkan gadis sebelum ada izin dari yag

bersangkutan . (3) dari sisi kaidah shari’ah,

seorang bapak tidak boleh membelanjakan harta anak gadis yang sudah

dewasa dan berakal, kecuali mendapat izin dari yang bersangkutan.

Anak tersebut tidak boleh dipaksa mengeluarkan hartanya sedikitpun

kecuali atas persetujuannya. Bagaimana mungkin ia boleh dipaksa utuk

menikah dengan seseorang yang akan menjadi keluarganya yang kelak

terus akan bersamanya. lebih lanjut al-Jawziyyah mengatakan wanita

lebih mudah dan rela mnegeluarkan harta tanpa seizinnya dari pada

menikah dengan pria yang bukan pilihannya.

Dari segi kemaslahatan umat dan tujuan pernikahan akan

tercapai, manakala wanita menikah dengan pilihan dan persetujuannya.

Dan sulit tercapai manakala ia menikah dengan pria yang dibencinya.

Dengan demikian sekiranya Nabi saw. tidak menjelaskan keharusan

persetujuan dan pilihannya sendiri adanya suruhan, larangan, dan

ketetapan hukum dari Nabi saw. agar para calon memilih sendiri dan

harus ada izin dari yang bersangkutan, menjadi dasar kuat dalam

menetapkan hukum.70

69

Ibn Quda>mah, al-Mughni>, VII, 387. 70

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara,182-183.

Page 101: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

91

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut

jumhu>r ulama berpendapat bahwa wali itu tidak boleh menikahkan

dirinya dan tidak pula mengawinkan wanita lainnya.71

Hanya mazhab

H{a>nafiyah yang membolehkan wanita dewasa menikahkan dirinya

sendiri. Sementara Ma>liki>, Sha>fi’i >, dan H{anbali> melarangnya. Menurut

ketiga mazhab ini hanya wali yang boleh menikahkan. Sejalan dengan

itu hanya Ima>m Abu> H{ani>fah yang mengharuskan adanya persetujuan

dari mempelai wanita secara mutlak. Sementara Ma>lik, Sha>fi’i >, dan

Hanbali> dengan variasi pandangan masing-masing mengakui hak ijba>r wali.

Sementara itu konsep wali dalam peraturan perundang-undangan

negara muslim yang tentunya berbeda antar satu negara dengan negara

lainnya. Yordania misalnya membedakan antara wanita yang masih

gadis dengan wanita yang sudah janda. Untuk pernikahan seorang gadis

dibutuhkan izin wali, namun hakim dapat memberikan izin nikah kalau

wali nasab tidak bersedia menjadi wali tanpa alasan hukum dan gadis

tersebut menikah dengan pria yang sekufu. Untuk wali nasab selain

bapak dan kakek, izin dapat diberikan kalau gadis tersebut sudah

berumur 15 tahun. Kalau wali nasabnya bapak atau kakek, izin dapat

diberikan kalau gadis tersebut sudah berumur 18 tahun. Untuk janda

yang berumur lebih dari 18 tahun tidak dibutuhkan wali.72

Syiria

membedakan perkawainan yang walinya bapak atau kakek dengan yang

bukan. Untuk wali selain bapak atau kakek, dibutuhkan persetujuan dari

calon mempelai. Di samping itu ditetapkan wanita yang sudah dewasa

dapat menikahkan dirinya sendari meskipun tanpa wali, dengan syarat

pria yang dinikahi tersebut sekufu. Kalau pria tersebut tidak sekufu, wali

berhak menutut pembatalan, kecuali wanita tersebut hamil maka hak

pembatalan wali menjadi hilang.73

UU Cyprus menetapkan bahwa, pernikahan tidak diharuskan

adanya wali, hanya saja untuk wanita yang berumur di atas 16 tahun

tetapi belum mencapai 18 tahun, harus mendapat izin dari walinya dan

71

‚Wali Pernikahan Menurut Imam Mazhab‛, diakses pada tanggal16 Juli

2012 melalui http://awangjunior.blogspot.com/2011/11/wali-pernikahan-menurut-

imam-mazhab.html 72

Hoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 193. Lihat juga Tahir

Mahmood, Personal Law, 78-79. 73

Tahir Mahmood, Personal Law, 144. Lihat juga Hoiruddin Nasution,Status Wanita di Asia Tenggara, 194

Page 102: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

92

harus ada persetujuan dari mempelai.74

UU Somalia menetapkan, wanita

yang berumur 18 tahun ke atas boleh menikah tanpa izin wali.

Sedangkan wanita yang berumur 16 tahun ke atas tetapi belum

mencapai umur 18 tahun boleh menikah dengan izin wali. Hanya saja

posisi wali nasab dapat diganti dengan wali hakim, kalau wali nasab

menolak sedangkan wanita tersebut sudah berumur 16 tahun ke atas,

tetapi belum mencapai umur 18 tahun.75

Lebanon menetapkan, wanita

yang sudah berumur 17 tahun boleh menikah tanpa izin wali nasab,

kalau wali nasab menolak memberi izin tanpa ada alasan hukum. Kalau

ada wanita dewasa menikah dengan pria yang sekufu tanpa ada

persetujuan dari walinya, maka nikahnya sah. Sebaliknya jika wanita

tersebut menikah dengan pria yang tidak sekufu, maka wali berhak

meminta pembatalan ke pengadilan, sepanjang wanita tersebut elum

hamil.76

Druze Lebanon menetapkan, seorang gadis yang beruur 17

sampai 21 tahun mengajukan calon suami, wali nasab diberi kesempatan

selama 15 hari oleh hakim. Kalau dalam jangka waktu 15 hari tersebut

wali nasab tidak memberikan respon, maka wanita tersebut boleh

menikah dengan pria pilihannya tersebut. UU Druze Lebanon

mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai dan adanya wali,

meskipun dalam kasus-kasus tertentu posisi wali nasab dapat digantikan

oleh hakim.77

Tunisia tidak mengharuskan adanya wali dalam

pernikahan, tetapi harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.78

Irak mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai, dan

menghukum pihak yang memaksa orang lain untuk menikah.79

Maroko

juga mengharuskan adanya wali dan persetujuan calon mempelai, secara

prinsip melarang nikah paksa. Namun dalam kasus-kasus tertentu hak

ijba>r diakui dengan alasan adanya kekhawatiran dengan pernikahan

tersebut si anak akan sengsara. Kalau wali nasab menolak menjadi wali,

74

UU Cyprus Tahun 1951 Ayat (3). Lihat Tahir Mahmood , Family Law Reform, 29

75UU Somalia Tahun 1975 Pasal 16 dan 17. Lihat Tahir Mahmood, Personal

Law, 258. Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara,195. 76

UU Lebanon Tahun 19 62 Pasal 8. Hoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 192.

77UU Druze Lebanon No. 24 Tahun 1948 Pasal 6. Khoiruddin Nasution,

Status Wanita di Asia Tenggara, 192-193. 78

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 194. 79

UU Irak No.188 Tahun 1959, Pasal 9 ayat (1), (2) dan (3). Lihat Hoiruddin

Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 195

Page 103: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

93

maka hakim dapat menggantikan posisinya dengan syarat wanita

tersebut menikah dengan pria yang sekufu.80

Tidak jauh berbeda dengan Maroko, Al-Jazair juga

mengharuskan adanya wali81

dan wali tidak boleh menolak menjadi wali

tanpa alasan hukum.82

Sejalan dengan itu Al-Jazair mengharuskan

adanya persetujuan kedua calon mempelai dan tidak megenal hak ijba>r.83

Libya mengharuskan adanya wali dan persetujuan dari mempelai, serta

melarang pernikahan secara paksa.84

Filipina mengharuskan adanya wali

dan persetujuan dari kedua mempelai. Sudan menetapkan, harus ada

wali85

dan persetujuan mempelai wanita dalam pernikahan. Hanya saja

persetujuannya dibedakan antara gadis yang belum cukup umur dengan

gadis yang sudah dewasa dan janda.86

Yaman menetapkan dalam

pernikahan harus ada persetujuan dari calon mempelai wanita.

Persetujuan wanita yang masih gadis dengan diamnya, sementara janda

harus dengan tegas.87

UU Malaysia, baik Undang-Undang Persekutuan (federal)

maupun di tiap-tiap negara bagian tetap diakui dan mewajibkan adanya

wali dalam akad pernikahan,88

konsekwensinya, apabila pernikahan

80

Tahir Mahmood, Personal Law, 120. 81

UU Aljazair Pasal 11 82

Bapak boleh menolak pernikahan anak gadisnya, jika penolakan tersebut

untuk kepentingan anaknya. Lihat UU Aljazair Pasal 12 83

Hoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 195-196. 84

UU Libya No. 10 Tahun 1984 Pasal 8. 85

Seorang wali harus memenuhi tiga syarat yaitu dewasa, muslim dan waras.

Jika tidak memenuhi syarat tersebut , maka digantikan dengan wali ain sesuai dengan

urutan madhab Maliki. Lihat tahir Mahmood, Family Law Reform, 72. 86

Persetujuan gadis yang sudah dewasa dan janda dinyatakan dengan secara

tegas. Sedangkan persetujuan gadis yang belum cukup umur cukup dengan diamnya.

Persetujuan ini penting untuk menentukan menentukan pilihan dan jumlah mahar. lihat

Tahir mahmood, Personal Law. 137. 87

UU Republik Yaman No. 20 Tahun 1992 Pasal 23. Lihat Khoiruddin

Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 197. 88

Beberapa UU negara bagian Malaysia, seperti UU untuk orang Islam

Selangor 1952, UU Islam Trengganu 1955, UU Agama Islam Pahang 1956, UU untuk

Orang Islam Malaka 1959, UU untuk Orang Islam Pulau Pinang 1959, UU Untuk

Orang Islam Negeri Sembilan 1960, UU untuk Orang Kedah 1962, UU untuk Orang

Perlis 1964, UU untuk Orang Perak 1964, UU Mahkamah Shari>’ah dan Sebab-sebab

Hal Ihwal Suami-Isteri Kelantan 1966 dan Majelis Adat dan Melayu kelantan 1966 dan

UU Islam Johor 1978, pada intinya mensyaratkan wali dalam pernikahan serta adanya

hak Hakim untuk mengganti status wali nasab dalam kasus tertentu, begitu juga

tentang persetujuan perempuan dalam menetukan pilihan jodohnya, lihat Status

Page 104: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

94

dilaksanakan tanpa adanya wali maka tidak dapat dilaksanakan

pernikahan tersebut.89

Kriteria wali adalah berupa wali nasab (keturunan

dari yang paling dekat sampai seterusnya), bila terjadi persoalan atau

kasus tertentu wali hakim dapat menggantikan wali nasab, dengan

beberapa alasan misalnya calon pengantin tidak mempunyai wali nasab,

enggan menjadi wali atau wali nasab tidak cakap bertindak. Persetujuan

dari perempuan merupakan suatu keharusan, bahkan orang lain termasuk

wali tidak boleh memaksa calon pengantin bila memang memenuhi

syarat keduanya. Bila hal ini tetap dilakukan maka bisa terkena denda

maksimal 1000 Ringgit atau penjara maksimal enam bulan atau kedua-

duanya. Akan tetapi dalam beberapa UU negara bagian masih ada juga

yang mengakui adanya hak ijba>r dari wali yaitu bapak, seperi UU

Kelantan.90

UU Perkawinan di Indonesia, persetujuan mempelai wanita

merupakan syarat perkawinan91

. Sedangkan wali menjadi salah satu

rukun nikah. Sebagaimana terdapat dalam KHI pasal 19 menegaskan

bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus

dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk

menikahkannya.92

UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara langsung tentang

wali nikah, hanya mengatur tentang izin pernikahan tanpa membedakan

apakah izin itu dari orang tua laki-laki atau perempuan. Wali nikah

secara khusus diatur dalam KHI. KHI secara tegas mewajibkan adanya

wali dalam pernikahan. Tidak serta merta seorang wali dapat

menikahkan anaknya, karena seorang wali harus memenuhi syarat

tertentu sebagaimana penjelasan KHI pasal 20 sebagai berikut.

Wanita di Asia Tenggara, 250-252. Lihat juga M. B. Hokker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara (Kuala Lumpur: Ampang Press, 1992), 165.

90

Miftahul Huda, ‚Ragam Argumentasi ketentuan Wali Nikah dan Poligami:

Studi Atas Hukum keluarga Negara-negara Muslim Modern, 7-8. Diakses pada tanggal

16 Juli 20121 melalui

http://www.google.co.id/search?hl=id&biw=1076&bih=627&noj=1&sclient=psyab&q

=wali+dalam+hukum+keluarga+malaysia&oq=wali+dalam+hukum+keluarga+malaysi

a&gs_l=serp. 91

Pasal 6 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 92

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara,

2007).

Page 105: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

95

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang

memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil, dan baligh.93

(2) Wali nikah terdiri dari:

a. Wali nasab94

b. Wali hakim.

Umumnya yang menjadi wali nikah adalah orang tua kandung.

Jika memang orang tua berhalangan, bisa diwakilkan oleh kakek,

93

Pasal 20 angka (1) ini telah ditetapkan di dalam fikih, lebih-lebih lagi di

dalam mazhab Syafi’i. Menurut Imam al-Bâjûrî, syarat yang harus dipenuhi bagi

seorang wali adalah 1. Islam, 2. Baligh, 3. Berakal, 4. Merdeka, 5. Lelaki, 6. Adil (tidak

fasik). Dari uraian Imam al-Bâjûrî ini ada dua yang tidak dicantumkan KHI; yaitu

merdeka dan adil. Merdeka tidak dicantumkan karena memandang status merdeka

sudah pasti wujud dan tidak perlu diqayyidkan karena memandang sekarang sudah

tidak ada perhambaan. Sedangakan status adil tidak dicantumkan karena berpegangan

pada pendapat kedua di dalam mazhab Syafi’i, bahwa wali fasik tetap dapat menjadi

wali nikah. Jala>l al-Di>n al-Mah}alli>, H}a>shiyah al-Mah}alli> ‘ala> Minh}a>j al-T}a>libi>n, vol. 3,

(Semarang: Thaha> Putra, t.th.), 227. 94

Sebagaimana Bunyi pasal 21 KHI yang menyatakan, (1) Wali nasab terdiri

dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan

kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai

wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari

pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau

saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat

paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki

mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah

dan keturunan laki-laki mereka. (2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat

beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak

menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai

wanita. (3) Ababila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling

berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah. (4) Apabila

dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung

atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah,

dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pada dasarnya, Pasal 21 ini semuanya menetapi ketentuan yang terdapat di

dalam fikih mazhab Syafi’i. Hanya saja, sistematika KHI menggunakan pembagian

kelompok agar mudah untuk difahami. Sedangkan sistematika yang biasa digunakan

fikih mazhab Syafi’i yang klasik adalah langsung memberikan urutan wali (

). Perlu untuk dicermati, KHI tetap konsisten menetapi ketentuan fikih Syafi’i di

sini, karena pada angka (2), (3), dan (4) sudah ada klausul tertib sesuai urutan seperti

dalam fikih Syafi’i sendiri. Lihat al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al- `Arba’ah, 827;

`Ibra>hi>m al-Ba>ju>ri>, H}a>shiyah al-Ba>ju>ri ‘ala> Ibn Qa>sim al-Ghazzi>, Vol. 2 (Surabaya:

Hidâyah, t.th.), 105. Muh}ammad al-Shirbi>ni> al-H}a>t}ib, al-Iqna>’ vol. 2, (Surabaya: al-

Hidâyah, t.th.), 125

Page 106: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

96

saudara laki-laki dan seterusnya sebagai wali nasab. Jika semuanya

berhalangan posisi wali nikah dapat digantikan dengan wali hakim.

Bagaimana jika orang tua ada tetapi tidak mau (enggan) menikahkan

anaknya. Dalam kasus ini, harus dilihat dulu alasan keengganan wali

untuk menikahkan anaknya. Apakah alasan tersebut berdasarkan

shar‘i>95atau alasan tidak shar’i>.96

Jika wali tidak mau menikahkan anak

gadisnya dengan alasan yang tidak shar’i, maka wali tersebut disebut

wali ‘ad}al97dan hak kewaliannya berpindah kepada wali

hakim98

sebagaimana Peraturan Menteri Agama Nomor. 2 Tahun 1987

jo. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005

tentang tentang Wali Hakim, pasal 2 Ayat (1) dinyatakan bagi calon

mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar

negeri/di luar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab

yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud,

95

Alasan shar’i > adalah alasan yang dibenarkan oleh hukum shara’, misalnya

anak gadis wali tersebut sudah dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan,

atau calon suaminya adalah orang kafir (misal beragama Kriten/Katholik), atau orang

fasik (misalnya pezina dan suka mabuk), atau mempunyai cacat tubuh yang

menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak menikahkan

anak gadisnya berdasarkan alasan shar’i> seperti ini, maka wali wajib ditaati dan

kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain (wali hakim). Lihat HAS Alhamdani,

Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), 90-91. Jika seorang perempuan

memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi tersebut, maka akad nikahnya tidak sah

alias batil, meskipun dia dinikahkan oleh wali hakim. Sebab hak kewaliannya

sesungguhnya tetap berada di tangan wali perempuan tersebut, tidak berpindah kepada

wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa wali, maka nikahnya

batal. ‚Pernikahan tanpa Restu Wali‛, artikel diakses pada tanggal 25 juli 2012 melalui

http://makalah-artkel.blogspot.com/2007/11/artikelarticlemakalah.html dan lihat juga

‚Bolehkan Wanita dinikahkan dengan Wali Hakim‛ http://www.mykhilafah.com/fikih-

muslimah/2484bolehkahwanita-dinikahkan-dengan-wali-hakim. 96

Alasan yang tidak shar’i >, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum shara’. Misalnya calon suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana,

atau wajah tidak rupawan, dan sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang tidak ada

dasarnya dalam pandangan shari>’ah, maka tidak dianggap alasan shar’i >, Lihat

‚Pernikahan tanpa Restu Wali‛, artikel diakses pada tanggal 25 juli 2012 melalui

http://makalah-artkel.blogspot.com/2007/11/artikelarticlemakalah.html 97

Wali ‘ad}al menurut A. Muki Arto adalah wali nasab yang mempunyai

kekuasaan untuk menikahkan anak peempuannya yang berada dibawah perwaliannya,

tetapi ia enggan atau tidak mau menikahkan sebagai layaknya seorang wali yang baik.

Menurut Hoerudin adalah wali yang enggan atau wali yang menolak menjadi wali

dalam pernikahan anak perempuannya dengan seorang pria yang menjadi pilihannya.

Lihat A. Muki Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 238. Lihat pula

Ahrum Hoerudin, Pengadilan Agama (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), 47. 98

Abdurrahman Al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-‘Arba’ah, Juz IV, 33.

Page 107: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

97

atau berhalangan, atau adlal, maka pernikahannya dilangsungkan oleh

wali hakim. Dan dalam Pasal 3 Ayat (1) juga disebutkan bahwa Kepala

Kantor KUA dalam wilayah kecamatan yang bersangkutan dapat

ditunjuk menjadi wali hakim untuk menikahkan mempelai wanita

sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 2 Ayat (1).

Senada dengan Peraturan Menteri Agama, Pasal 23 KHI

menyebutkan sebagai berikut.

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali

nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak

diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat

bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama

tentang wali tersebut.99

Dalam kenyataan di masyarakat sering terjadi bahwa seorang

wanita berhadapan dengan kehendak orang tuanya atau walinya yang

berbeda, termasuk soal pilihan yang hendak dijadikan menantu (suami),

ada yang sama-sama setuju, mengizinkannya, atau sebaliknya orang tua

menolak kehadiran calon menantunya yang telah menjadi pilihannya,

mungkin karena orang tua telah mempunyai pilihan lain atau karena

alasan lain. Sedangkan anak perempuan tersebut telah bersikeras untuk

tetap menikah dengan calon suami pilihannya. Sehingga untuk bisa

tetap melangsungkan pernikahan, calon mempelai perempuan harus

mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan Agama setempat agar

pengadilan memeriksa dan menetapkan ‘ad}alnya wali, serta mengangkat

wali hakim untuk menikahkannya setelah ada penetapan Pengadilan

Agama tentang ‘ad}alnya wali.100

Untuk menunjukkan kasus permohonan wali’ad}al ini, berdasarkan

hasil temuan penulis di pengadilan wilayah DKI Jakarta dari tahun

2010-2011 dapat dilihat pada tabel berikut ini:

99Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Fokusmedia, 2005), 13. 100

Lihat Peraturan Menteri Agama RI No. 2/1987 Pasal 6 Ayat (2), Pasal 23

Ayat (2) KHI.

Page 108: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

98

Tabel: 4.4.

Perkara Permohonan Wali ‘ad}al yang diterima dan diputus

Pengadilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-2011

No Pengadilan Agama DKI Jakarta Perkara Di

terima

Perkara Diputus

1 Jakarta Utara 4 3

2 Jakarta Selatan 21 13

3 Jakarta Timur 14 8

4 Jakarta Pusat 6 2

5 Jakarta Barat 14 12

Jumlah 59 34

Sumber: Pribadi Dari Laporan Tahunan Pengadilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-

2011.101

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari tahun 2010 sampai 2011

permohonan wali ‘ad}al yang diajukan ke PA di seluruh DKI Jakarta

mencapai 59 kasus, 34 kasus sudah kabulkan, sedangkan sisanya dalam

proses persidangan. Dari keseluruhan permohonan wali ‘ad}al yang

diajukan ke PA hampir 99% dikabulkan,102

dan inti dari masing-masing

putusan tersebut tidak ada perbedaan yang begitu mencolok. Hal ini

dapat dilihat pada putusal-putusan di bawah ini.

- Deskripsi Duduk Perkara dan Amar Penetapan Wali ‘ad}al Putusan pertama, kasus yang dialami Alya binti Suhendri

103,

umur 24 tahun (selanjutnya disebut Pemohon), telah mengajukan surat

permohonan wali ‘ad}al ke Pengadilan Agama dengan register perkara

No. 91/Pdt.P/2011/PA.JB.

101

Lihat Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta

Utara tentang Perkara yang diterima dan diputus‛,(Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat

pula Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara

tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach

Jufri dan Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan

Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. Lihat Ujang Mukhlis,

‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan

Januari-Desember Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta

Selatan tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30

Desember, 2010). Lihat Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011).

Lihat Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat

Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat

http://www.infoperkara.Badilaq.go.id Diakses pada tanggal 2 Agustus 2011. 102

Wawancara dengan M. Rizal (hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat), di

ruang hakim. tanggal 18 Juli 2012. 103

Identitas disembunyikan

Page 109: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

99

Dalam positanya dijelaskan bahwa hubungan Pemohon dengan

calon suaminya (umur 31 tahun) sudah sedemikian eratnya dan sulit

untuk dipisahkan. Calon suami Pemohon telah meminang, namun ayah

kandung Pemohon tidak merestui bahkan menolak untuk menikahkan

Pemohon dengan calon suaminya dengan alasan calon suami Pemohon

belum mapan secara finansial. Ayah Pemohon bersedia menikahkan

anaknya setelah berusia 28 tahun dan sudah hidup mapan secara

ekonomi. Pemohon dan calon suaminya berusaha keras dengan

melakukan pendekatan dan penjelasan terhadap ayah kandung Pemohon

agar bersedia menikahkan Pemohon, namun tidak berhasil. Pemohon

tetap bertekad untuk melangsungkan pernikahan karena dikhawatirkan

melakukan hal-hal yang dilarang agama.104

Setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang dengan

menghadirkan para pihak dan saksi-saki, fakta dipersidangan

menunjukkan bahwa benar calon suami Pemohon telah meminang

Pemohon untuk dinikahkan, namun wali Pemohon menolak untuk

menikahkan, padahal keduanya sudah saling cinta dan tidak dapat

dipisahkan lagi. Keduanya telah memenuhi syarat pernikahan yaitu

antara pemohon dengan calon suami terpenuhi dan tidak ada larangan

shar’i> untuk melangsungkan pernikahan. Calon suami Pemohon telah

mempunyai pekerjaan tetap dan mempunyai penghasilan yang cukup

untuk menghidupi Pemohon. Antara Pemohon dan calon suami

Pemohon berstatus bujang dan gadis.

Berdasarkan dalil-dalil dan fakta di persidangan, hakim

menjatuhkan putusan yang dalam amar putusan menetapkan;

1. Mengabulkan permohonan pemohon

2. Menetapkan ‘‘ad}al nya wali pemohon

3. Menunjuk Kepala Kantor Urusan Agama di tempat wilayah

Pemohon

4. Membebankan Pemohon untuk membayar biaya perkara.

Putusan kedua, kasus yang menimpa Zarima binti Haryono, umur

25 tahun, (selanjutnya disebut Pemohon) telah mengajukan surah

permohonan wali ‘ad}al ke Pengadilan Agama pada tanggal 01 November

2010 dengan register perkara No.68/Pdt.P/2010/PAJP.

Dalam positanya dijelaskan bahwa benar Pemohon adalah putri

kandung Haryono (Almarhum) dan dalam tempo yang secepatnya

hendak melangsungkan pernikahan dengan pria yang secara umur sudah

104

Lihat Arsip Pengadilan Agama Jakarta Barat tentang Putusan Penetapan

wali ‘ad}al No. 91/Pdt.P/2011/PA.JB.

Page 110: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

100

sangat matang (49 tahun). Hubungan antara Pemohon dengan calon

suaminya sudah sedemikian eratnya dan sulit untuk dipisahkan, bahkan

calon suami Pemohon telah meminang kepada saudara kandung

Pemohon, namun saudara kandung Pemohon tidak merestui dan

menolak untuk menikahkan, dengan alasan karena awalnya antara

Pemohon dan calon suami Pemohon beda agama dan ras serta masa lalu

calon suami Pemohon yang pernah gagal dalam membina rumah tangga,

namun setelah calon suami Pemohon masuk Islam tetap saja tidak

mendapat tanggapan positif dari kedua kakak kandung Pemohon.

Pemohon telah berusaha keras untuk melakukan pendekatan dan

penjelasan agar kakak-kakak kandung pemohon bersedia menikahkan

Pemohon akan tetapi tidak berhasil, meskipun demikian Pemohon tetap

bertekad untuk melangsungkan pernikahan dengan calon suami

Pemohon karena khawatir apabila antara Pemohon dengan calon suami

Pemohon tidak segera melangsungkan pernikahan akan terjadi hal-hal

yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.

Pada hari dan tanggal persidangan yang telah ditentukan,

Pemohon datang menghadap sendiri ke persidangan, sedangkan kakak

kandung Pemohon tidak hadir di persidangan, meskipun menurut berita

acara relaas Nomor 68/Pdt.P/2010/PAJP tanggal 5 November 2010

telah dipanggil untuk diminta keterangannya di persidangan.

Berdasarkan keterangan Pemohon yang diperkuat dengan keterangan

dua orang saksi dan bukti-bukti tertulis yang disampaikan di muka

persidangan, dinyatakan terbukti bahwa kakak kandung Pemohon

sebagai orang yang paling berhak menjadi wali dalam pernikahan

Pemohon telah menunjukkan keengganan atau ketidaksediaan untuk

bertindak sebagai wali dalam pernikahan Pemohon, oleh karenanya

Majelis Hakim berpendapat bahwa kakak kandung Pemohon dinyatakan

sebagai wali ‘ad}al.105

Putusan ketiga, kasus Wiwit Wahyuni binti Sutomo(seorang

karyawati, umur 28 tahun, pendidikan SI) telah mengajukan surah

permohonan wali ‘ad}al ke Pengadilan Agama pada tanggal 14 Februari

2012 dengan register perkara No. 12/Pdt.P/2012/PA JB.

Dalam positanya dijelaskan bahwa, Pemohon dalam tempo yang

secepatnya hendak melangsungkan pernikahan dengan calon suami

Pemohon (umur 39 tahun, lulusan SMA, pekerjaan karyawan) karena

hubungan antara Pemohon dengan calon suami Pemohon sudah

105

Lihat Arsip Pengadilan Agama Jakarta Pusat tentang Putusan Penetapan

wali ‘ad}al No. 68/Pdt.P/2010/PAJP.

Page 111: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

101

demikian erat dan sulit untuk dipisahkan karena sudah kenal lama dan

mulai dekat sejak tahun 2006. Calon suami Pemohon sudah pernah

melamar Pemohon melalui orang tua Pemohon sebanyak 2 (dua) kali,

namun lamaran tersebut tidak diterima sama sekali oleh orang tua

Pemohon dengan alasan perbedaan status pendidikan dan pekerjaan

antara calon suami Pemohon dengan Pemohon. Pemohon berpendapat

penolakan ayah kandung Pemohon tersebut tidak berdasar dan mengada-

ngada dan tidak mendukung kebahagiaan Pemohon sebagai anak

kandungnya, oleh karena itu Pemohon tetap bertekad untuk

melangsungkan pernikahan dengan calon suami Pemohon dengan alasan

keduanya sama-sama dewasa dan siap mengarungi rumah tangga.

Pemohon sangat khawatir apabila antara Pemohon dengan calon suami

Pemohon tidak segera melangsungkan pernikahan akan terjadi hal-hal

yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.

Dalam proses persidangan ayah kandung Pemohon tidak

menghadiri persidangan, walaupun telah dipanggil secara resmi dan

patut berdasarkan Relaas Nomor 12/Pdt.P/2012/PAJB yang dibacakan

dipersidangan. Kemudian dibacakan surah permohonan Pemohon, yang

isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon. Berdasarkan bukti-bukti dan

saksi-saksi yang dihadirkan dipersidangan menunjukkan bahwa memang

benar ayah kandung Pemohon menolak menikahkan Pemohon dengan

calon suaminya dengan alasan perbedaan status pendidikan dan

pekerjaan.

Setelah Majelis Hakim meneliti secara seksama dalil-dalil yang

diajukan Pemohon, bukti-bukti dipersidangan serta mendengar kedua

saksi yang telah memenuhi syarat formil kesaksian yaitu disampaikan di

bawah sumpah di muka persidangan, secara substansial kesaksian ke dua

saksi tersebut saling mendukung satu sama lain dan bersesuaian

sehingga kesaksian tersebut dapat diterima dan dijadikan dasar dalam

mempertimbangkan dalil Pemohon. Berdasarkan hal tesebut Majelis

hakim menetapkan;

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

2. Menetapkan ‘‘ad}alnya wali pemohon

3. Menunjuk Kepala Kantor Urusan Agama di tempat wilayah

Pemohon

4. Membebankan Pemohon untuk membayar biaya perkara.106

106

Lihat Arsip Pengadilan Agama Jakarta Pusat tentang Putusan Penetapan

wali ‘ad}al No. 12/Pdt.P/2012/PA JB.

Page 112: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

102

- Dasar dan Petimbangan Hakim dalam Penetapan Permohonan

Wali‘ad}al Dari amar Penetapan yang telah disebutkan di atas, dapat

dipertanyakan, apakah penetapan tesebut sesuai dengan peratuan

peundang-undangan atau menyimpang dari ketentuan yang berlaku?

Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan analisis ilmiah untuk

dikembangkan menjadi konsep-konsep pengesahan pemohonan wali

‘ad}al. Kewenangan hakim dalam memeriksa dan memutus atau

menetapkan perkara harus dilihat dulu apakah hakim bedasakan

kewenangan absolut dan relatif sesuai dengan kewenangannya atau

tidak. Dilihat dari kompetensi Peradilan, wali‘ad}al termasuk dalam

kompetensi absolut107

Peradilan Agama. Kompetensi pengadilan di

lingkungan Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 2 UU No. 7 tahun

1989 yang diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 perubahan kedua atas

UU No.50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama di mana dibangun asas

personalitas yang menyebutkan bahwa, Peradilan Agama merupakan

salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang

beragama Islam mengenai perkara-perkara tertentu yang diatur dalam

pasal 49 ayat (1) UU No. 3 tahun 2006 jo UU No. 50 tahun 2009 yaitu

bidang pernikahan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah,

dan ekonomi shari’ah. Dilihat dari kompetensi relatif,108

para Pemohon

sudah melakukan prosedur sesuai dengan hukum acara yaitu

permohonan mengajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya

meliputi kediaman pemohon.109

Berdasarkan kompetennsi absolut dan

kompetensi relatif, hakim berhak memeriksa, dan memutuskan atau

menetapkan perkara tesebut.

Dari ketiga putusan yang telah diuraikan sebelumnya, jelas

bahwa wali menyatakan enggan menikahkan putrinya, baik yang

107

Kompetensi Absolut adalah Pengadilan yang berhubungan dengan jenis

perkara, misalnya pengadilan berkuasa memeriksa perkara bagi mereka yang beragama

Islam, sedangkan bagi yang beagama selain Islam menjadi kekuasaan pengadilan

umum. Lihat Raihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Gafindo

Persana, 2006), 27. 108

Kewenangan relatif adalah kekuasaan atau wewenang yang diberikan

kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang

berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat tinggal atau

tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara. Abdullah, ‚Kompetensi Relatif

Peradilan Agama‛, diakses pada 9 Agustus 2012 melalui

http://advosolo.wordpress.com/2010/05/26/kompetensi-relatif-peradilan-agama/ 109

A. Mukti Atrto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 44.

Page 113: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

103

menyatakan penolakan itu dihadapan persidangan maupun di luar

persidangan. Sesuai dengan ketentuan hukum acara Peradilan Agama

yang menyatakan apabila pihak wali sebagai saksi utama telah di

panggil secara resmi dan patut, namun tidak hadir sehingga tidak dapat

di dengar keterangannya, maka hal ini dapat memperkuat ‘ad}alnya

wali.110

Sebagaimana kasus No. 12/Pdt.P/2012/PA JB dan

No.68/Pdt.P/2010/PAJP yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam hal

ini untuk memberikan kepastian hukum bagi kedua calon mempelai,

majelis hakim memeriksa perkara tersebut dan setelah

mempertimbangkan berbagai fakta dalam persidangan, majelis hakim

mengabulkan ketiga permohonan tersebut.

Salah satu wewenang PA adalah memberikan pelayanan hukum

dan keadilan bagi mereka yang beragama Islam, maka dasar dan

pertimbangan yang digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara

adalah hukum Islam. Dalam menetapkan‘ad}alnya seorang wali, PA

melihat alasan penolakan wali tersebut dibenarkan menurut syarak atau

tidak, selain itu PA juga mempertimbangkan kemaslahatan dan

kemadharatan yang akan timbul dari putusannya itu.

Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara tersebut untuk

menghindari kemadaratan yang bisa timbul dari perkara tersebut sesuai

dengan kaidah (bahaya itu harus dihilangkan). Apabila perkara

tersebut tidak dikabulkan, dikhawatirkan akan terjadinya nikah lari atau

bahkan ‚kumpul kebo‛ hal ini tentunya tidak sesuai dengan ajaran

agama.

Dasar yang digunakan majelis hakim untuk menetapkan ‘ad}alnya

wali adalah bukti-bukti serta fakta-fakta hukum yang berkaitan dengan

perkaran tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 163 HIR yang

menyatakan bahwa barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak,

atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu,

atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus

membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.111

Alat bukti dalam hal ini berupa bukti surah dan saksi. Bukti

surah yang pokok dalam perkara wali ‘ad}al adalah surah penolakan

pernikahan yang dikeluarkan oleh KUA setempat (P.I). Sedangkan saksi

adalah orang-orang yang mengetahui adanya permasalahan tersebut, dan

110

A. Mukti Atrto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 238. 111

R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan (Bandung: Karya Nusantara,1979),

119.

Page 114: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

104

saksi-saksi dimintai keterangan mengenai keengganan wali dan juga

keadaan kedua calon mempelai berdasarkan yang di lihat, yang di dengar

dan yang dialami oleh para saksi tersebut.112

Sesuai Pasal 169

menyatakan saksi minimal dua orang, satu saksi bukan saksi (Unus Testis Nulus Testis).113

Untuk menetapkan wali hakim sebagai wali nikah dari

perempuan yang wali nasabnya‘ad}al, PA mendasarkan pada Peraturan

Menteri Agama No. 2 Tahun 1987 tentang wali hakim dan pasal 23

KHI. Kedua peraturan tersebut tidak selalu dijadikan dasar hukum

penetapan wali ‘ad}al, terkadang hakim menggunakan Peraturan Menteri

Agama saja, hal ini dapat di lihat pada perkara No.

91/Pdt.P/2011/PA.JB. Sebenarnya sah saja hakim hanya merujuk pada

Peraturan Menteri Agama tentang wali hakim, namun menurut penulis

seyogyanya hakim juga merujuk pada KHI untuk mempertajam

penetapan tersebut. Alasan hakim tidak merujuk pada KHI sebagai dasar

pertimabangan wali ‘ad}al bisa jadi karena KHI tidak termasuk dalam

hirarki perundang-undangan, sesuai pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun

2004 jenis dan hirarki peraturan perundnag-undangan adalah, (1)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945. (2) Undang-

Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). (3)

Peraturan Pemerintah. (4) Peraturan Presiden. (5) Peraturan Daerah.

Meskipun demikian dasar hukum hakim dalam penetapan wali ‘ad}al senantiasa dilengkapi dengan pendapat para fuqaha’ yang tertera dalam

kitab-kitab fikih.

Setelah Penulis mencermati beberapa putusan mengenai wali

‘ad}al dapat disimpulkan bahwa, pada praktiknya banyak faktor

penyebab orang tua enggan menjadi wali. Secara global dalam status

sosial tidak sekufu, baik itu mengenai status ekonomi, suku, pendidikan,

dan lain sebagainya.114

Status sosial di sini umumnya terjadi jika status

sosial perempuan lebih tinggi dari status sosial laki-laki. Orang tua

beranggapan jika anak gadisnya menikah dengan laki-laki yang

statusnya lebih rendah, maka hanya membuat malu keluarga. Orang tua

merasa harkat dan martabatnya turun, sebagaimana penetapan perkara

No. 91/Pdt.P/2011/PA.JB. Tidak sekufu dalam bidang pendidikan juga

112

A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 161. 113

A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 164. 114

Wawancara dengan M. Rizal (hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat), di

ruang hakim. tanggal 18 Juli 2012.

Page 115: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

105

kerap kali menjadi faktor penyebab orang tua enggan menjadi wali

sebagaimana perkara No. 12/Pdt.P/2012/PA JB.

Pada umumnya orang tua memerhatikan dengan seksama

mengenai status calon menantunya, yang menjadi pertimbangan, apakah

jejaka atau duda. Jika duda pun, masih dipertimbangkan, duda cerai atau

duda mati. Yang kerap menjadi masalah jika calon suami anak tersebut

akan menikah dengan duda cerai. Umumnya orang tua masih sulit

menerima jika calon menantunya adalah duda cerai, apalagi jika anaknya

masih gadis. Kecurigaan-kecurigaan dan kekhawatiran pasti muncul.

Apa penyebab perceraian, bagaimana jika kelak anaknya juga menjadi

korban perceraian dan lain sebagainya. Sikap ini terkadang orang tua

tidak bisa luluh, walaupun anak gadisnya telah berusaha meyakinkan

bapaknya bahwa calon suaminya adalah yang terbaik. Dan jika hati

bapak tidak bisa luluh, maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan

adalah mengajuan permohonan wali ‘ad}al ke PA sebagaimana

permohonan No.68/Pdt.P/2010/PAJP.

Dari uraian di atas, jelas bahwa wali pemohon tidak

menggunakan haknya, dan berarti wali pemohon harus dinyatakan ‘ad}al, hal ini dikuatkan juga dengan ketidakhadiran wali dalam persidangan

sebagaimana perkara No. 12/Pdt.P/2012/PAJB, dan perkara

No.68/Pdt.P/2010/PAJP. Dalam hal ini wali tersebut dinyatakan zalim,

karena penolakannya tersebut tanpa alasan yang bisa diterima syarak

berbeda halnya jika penolakan wali dikarenakan suatu alasan yang dapat

diterima syarak, maka penolakan seorang wali itu tidak menjadikannya

sebagai wali‘ad}al. Dalam hal ini hakim memutus perkara tersebut dengan seadil-

adilnya, sebagaimana setiap putusan atau penetapan hakim harus

bernilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Secara umum

hakim telah tepat dalam memutuskan perkara wali ‘ad}al, hal ini terlihat

dari dasar dan pertimbangan hakim dengan merujuk pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan dilengkapi dengan pendapat para

ulama yang tertera dalam kitab-kitab fikih.

C. H{ad}a>nah dan Problematika Penyeselesaiannya

Orang tua adalah orang yang pertama yang bertangungjawab

untuk membayarkan hak-hak anak turunan mereka. Namun tidak jarang

tugas seperti itu menjadi terputus, baik atas kehendak suami istri

maupun di luar kehendak mereka. Suatu perceraian, khusus pada cerai

hidup, meskipun barangkali dengan perceraian tersebut bisa melegakan

hati kedua belah pihak, tetapi sudah pasti merupakan pengalaman pahit

Page 116: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

106

bagi sang anak. Dalam hukum Islam, segala kemungkinan negatif secara

teoritis telah diantisipasi, dengan menetapkan aturan-aturan mengenai h}ad}a>nah.

115

Para ulama sepakat bahwasanya hukum h}ad}a>nah, mendidik dan merawat anak wajib.

116 Tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah

h}ad}a>nah menjadi hak orang tua atau hak anak. Ulama mazhab Hanafi> berpendapat bahwa hak h}ad}a>nah itu menjadi hak pengasuh baik pria maupun wanita, akan tetapi lebih diutamakan kepada pihak wanita. Menurut jumhur ulama, h}ad}a>nah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah al-Zuhayli>, hak h}ad}a>nah adalah hak berserikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi pertengkaran, maka yang didahulukan adalah hak atau kepentingan anak.

117 Misalnya jika

terjadi perceraian antara suami istri sedangkan mereka mempunyai anak di bawah umur, maka hak h}ad}a>nah ada di pihak ibu

118selama tidak ada

suatu hal yang dapat mencegahnya.119

Perlu dicatat, keunggulan ibu ini tidak diberlakukan untuk selamanya. Ini berlaku untuk anak-anak yang

115

Secara etimologi had}anah adalah masdar dari kata ‚h}ad}ana wa h}ud}a>nah‛, yang artinya asuhan atau pemeliharaan. Sedangkan secara terminologi adalah

pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengurus dirinya, pendidikannya

serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang membinasakannya atau yang

membahayakannya. Lihat ‘Abd al-Rah}ma>n Al-Jazi>ri, al-Fiqh ‘ala> Madha>hib al-Arba’ah Qiwam al-Ah}wa>l al-Shakhs}iyah, Juz. IV (Beirut : Dar> al- Fikr, 1990), 594.

Lihat juga Al-S{an’a>ni>, Subul al-Sala>m, Juz III (Kairo: Da>r Ah}ya>’ al-Tura>th al-‘Ara>bi>,

1379H/ 1960 M, 227. 116

Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal misalnya masalah

ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak. Dalam

konsep Islam, tanggung jawab ekonomi berada dipundak suami sebagai kepala tangga.

Meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa isteri dapat membantu

suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang terpenting

adalah kerja sama dan saling tolong-menolong antara suami-isteri dalam memelihara

anak, dan mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa. Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2003), 235.

117Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di

Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 293. 118

Menurut Muhammad Baqir al-Habsyi, alasan ibu lebih berhak dari pada

ayah adalah karena ibu memiliki kemampuan untuk mendidik dan memperhatikan

keperluan anak dalam usianya yang masih kecil, dan juga lebih sabar dan teliti dari

pada ayah. Di samping itu pada umumnya ibu memiliki waktu yang lebih lapang untuk

melaksanakan tugasnya tersebut dibanding dengan ayah yang memiliki banyak

kesibukan mencari nafkah. Lihat Muh}ammad Baqir al-Habshi>, Fiqh Praktis Menurut al-Qura>n, Sunnah dan Pendapat Para Ulama (Bandung: Mizan, 2002), 237.

119Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid III, (Dar> al-Fath} al-‘Ara>bi>, 1418 H/1998

M), 107. Lihat Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X (Beirut: Da>r

al-Fikr, 1418H/1997), 7298.

Page 117: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

107

belum mumayyiz.120 Setelah anak mumayyiz, diserahkan kepada anak

untuk memilih siapa yang mengasuhnya.121

H{ad}anah dimulai sejak anak dilahirkan, sedangkan masa

berakhirnya ulama berbeda pendapat. Menurut Ima>m Abu> H{ani>fah, masa

h}ad}a>nah berakhir jika anak sudah mampu mengurus keperluannya

sendiri seperti makan, minum, berpakaian, dan membersihkan diri

sendiri, biasanya telah berumur 7 (tujuh) tahun bagi anak laki-laki122

dan

usia 9 tahun bagi anak perempuan.123

Ketetapan usia lebih bagi anak

wanita diharapkan agar dapat mencontoh kebiasaan yang dilakukan oleh

kaum wanita pada umumnya, termasuk ibu asuhnya.124

Alasan lainnya

adalah riwayat ‘Umar bin Khat}t}ab, bahwa Abu> Bakr menentukan ‘A<s}im

bin ‘Umar bersama ibunya selama ia belum menjadi pemuda dewasa

atau selama ibunya belum menikah lagi.125

Hal ini terjadi disaksikan

sejumlah sahabat dan tidak ada sahabat satupun menentangnya,

sehingga keputusan Abu> Bakr tersebut dinilai sebagai ijmak atau

kesepakatan.

120

Mumayyiz diperkirakan berumur sekitar 7atau 8 tahun. Pada masa

mumayyiz seorang anak telah mampu hidup mandiri yang ditandai dengan kemampuan

membedakan antara yang bermanfaat dan yang membahayakan dirinya, dan telah

mampu makan, minum dan berpakaian sendiri. Lihat Satria Effendi M. Zain, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Kencana,2004), 222.

121Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif

Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 117. 122

Alasan mereka adalah sabda Nabi yang memerintahkan seorang anak shalat

apabila sudah mencapai usia 7 tahun. Lihat Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, 126. Baca Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X, 7322.

123Pengikut mazhab Hanafi generasi terakhir menetapkan masa berakhir

h}ad}a>nah 19 (Sembilan belas) tahun untuk anak pria dan 11 (sebelas) tahun bagi anak

wanita. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian fiqh Lengkap (Jakarta:

Rajawali Press, 2009), 224. 124

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid III, 114. 125

Redaksi riwayat tersebut adalah;

Lihat Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X, 7299. Baca

keterangan selengkapnya Kamil Musa, Anak Perempuan dalam Konsep Islam (Jakarta:

Firdaus, 1994), 59.

Page 118: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

108

Dasar hukum golongan H{a>nafiyah ini tidak beralasan, karena

sebenarnya menentukan masa h}ad}a>nah dengan batas waktu tertentu

tidak mempunyai dasar yang benar, justru bertentangan dengan hadis

yang diriwayatkan olah Abu> Da>wu>d, dalam hadis tersebut dijelaskan

bahwa ibu lebih berhak dari pada ayah selama ibu tersebut belum

menikah.126

Dalam hadis tersebut Nabi saw. tidak menentukan umur

anak yang berada dalam asuhan ibunya.127

Menurut fuqaha’ dari kalangan mazhab Ma>liki>, berakhirnya masa

h}ad}a>nah bagi anak laki-laki yaitu setelah ihtila>m (mimpi).128

Argumentasi ini didasarkan pada hadis yang diriwatkan oleh Abu>

Da>wu>d sebagaimana hadis yang telah disinggung sebelumnya.

Sebenarnya yang disabdakan Nabi saw. bersifat mutlak dan tidak ada

kaidah yang yang menentukan tahun tertentu. Menurut pendapat ini,

pengasuhan berakhir dengan datangnya masa baliqh atau dewasa, sebab

tidak ada kewalian orang tua setelah anak itu mencapai dewasa selama

126

Redaksi hadis tersebut adalah;

Berdasarkan hadis tersebut, ibu lebih berhak dari pada ayah selama ia tidak

menikah dengan laki-laki lain. Apabila ibunya menikah, peraktis hak h}ad}a>nah beralih

kepada ayahnya. Alasan yang dapat dikemukakan adalah apabila ibu tersebut menikah,

maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru,

mengalahkan atau mengorbankan anak kandungnya sendiri. Lihat Abu> Da>wu>d, Sunan Abi> Da>wu>d, Kita>b al-T}ala>q, Ba>b Man Ah}aqqu bi al-Wa>lad, Juz II (Beirut: Da>r al-

Maktabah al-‘A <lamiyah, 1996), 707-708. 127

Fukaha Hanafiyah juga menetapkan bahwa setelah anak itu mumayyiz

sampai usia baligh, kewajiban h}ad}a>nah berpindah kepada kerabat laki-laki, dengan

pertimbangan bahwa kerabat laki-laki lebih layak untuk membimbing anak pada masa

itu. Alasan lainnya adalah ketidaklayakan anak itu sendiri untuk diberi hak

menentukan pilihan, karena anak pada umur itu akan lebih cenderung memilih tempat

di mana ia akan lebih bebas untuk berbuat sesuatu kendatipun belum tentu

menguntungkan dirinya. Oleh sebab itu masalah ini tidak layak untuk diserahkan pada

pilihan anak itu sendiri. Ketetapan fukaha Hanafiyah tersebut berlaku untuk anak laki-

laki. Sedangkan untuk anak wanita menurut Abu> Hani>fah hak pemeliharannya tetap

ditangan ibu sampai anak menikah. Lihat, Satria Effendi M. Zain, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, 223. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jil. III, 118.

Lihat Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X, 7322-7324. 128

Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X, 7323.

Page 119: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

109

ia berakal. Pendapat ini juga menafikan hak memilih, dengan alasan

hadis Nabi saw. yang menyatakan ‚Engkau lebih berhak selama engkau

belum menikah‛. Menanggapi pendapat tersebut, Huzaemah Tahido

Yanggo menyatakan, hadis tersebut masih dimungkinkan untuk

melakukan jam’ (metode kompromi), yaitu yang dimaksud dengan

ungkapan hadis tersebut, berlaku bagi anak yang usianya belum

memungkinkan untuk melakukan takhyi>r (memilih), dan bukan di

tujukan kepada anak yang sudah usia memilih. Hal itu diperlihatkan oleh

berbagai hadis yang memerintahkan untuk memilih.129

Berbeda dengan pendapat mazhab Ma>liki>, Ima>m al-Sha>fi’i >

berpendapat masa berakhirnya h}ad}a>nah adalah setelah usia mumayyiz

baik anak pria maupun wanita, diperkirakan usia 7 tahun atau 8 tahun

dan berakal sehat, maka dipersilahkan untuk memilih ayah atau ibunya.

Dalil yang dipergunakan pendapat ini adalah hadis Nabi saw. yang

diriwayatkan oleh Abu> Hurayrah bahwa ada seorang wanita yang datang

kepada Nabi saw. dan berkata ‚Sesungguhnya suamiku ingin membawa

anakku‛. Nabi saw. bersabda ‚Ini ayahmu dan ini ibumu, maka

peganglah tangannya siapa yang engkau kehendaki.‛ Ternyata anak itu

mengambil tangan ibunya. Hadis berikutnya diriwayatkan dari Abu>

Hurayrah, ia berkata ‚Ada seorang yang datang kepada Nabi saw. dan

aku sedang duduk di sampingnya. Ia berkata, ‚Wahai Rasulullah,

sesungguhnya suamiku ingin membawa anakku. Anakku itu telah

mengambilkan air untukku dari sumur Abu> ‘Anbah. Ia telah memberiku

manfaat padaku dengan nafkah yang diberikannya. Lalu Nabi saw.

bersabda, ‚Ambillah bagian olehmu berdua padanya.‛ Suaminya berkata

‚Siapakah yang membenciku karena mengurus anakku?‛ Nabi bersabda

‚Ini ayahmu dan ini ibumu, maka peganglah tangan yang engkau

kehendaki.‛ Lalu anak itu memegang tangan ibunya, maka ibunya pun

berangkat membawanya.130

Berdasarkah hadis di atas tersebut, ketika kedua orang tua

bertengkar mengenai anaknya, maka anak diberi kesempatan untuk

memilih. Hadis tersebut difahami demikian jika anak tersebut telah

baligh atau dewasa. Anak yang baligh adalah anak yang mampu mencari

129

Huzaemah tahido Yanggo, Fiqh Anak, 110-112. 130

Redaksi hadis tersebut adalah;

Page 120: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

110

nafkah. Berdasarkan hadis di atas, sumur Abu> ‘Anbah itu terletak di

Madinah. Berarti tidak mungkin bagi anak yang masih kecil

mengambilkan air dari sumur Abu> ‘Anbah, sehingga yang dimaksud

dengan tawaran dalam hadis tersebut adalah tawaran memilih bagi anak

yang telah dewasa.131

Anak tersebut bebas memilih siapa yang

disenanginya. Apakah ia senang tinggal bersama ibunya atau bersama

ayahnya.132

Menurut Ahmad bin Hanbal, hak h}ad}a>nah berakhir sampai anak

berumur 7 tahun untuk anak laki-laki. Jika anak laki-laki sudah

mencapai usia tersebut, maka diperkenankan untuk memilih antara

kedua orang tuanya.133

Jika anak tersebut wanita, maka ayahnya lebih

berhak dan tidak diperkenankan untuk memilih. Anak wanita di usia 7

tahun tidak diberi hak untuk memilih dan ayahnya lebih berhak dari

pada ibunya. Alasannya adalah bahwa yang dimaksud h}ad}a>nah adalah

menjaga dan pemeliharaannya. Demi menjaga dan memelihara anak

wanita setelah 7 tahun, ayah sangat diperlukan karena ayah lebih utama

dan lebih mampu untuk keperluan tersebut. Anak wanita setelah usia 7

tahun, ia telah mendekati kelayakan untuk dinikahkan. Ia dilamar oleh

calon suaminya, dan ia pun lebih mengetahui karakteristik calon suami

yang hendak dinikahi putrinya kufu (ada kecocokan) atau tidak.134

Memerhatikan pendapat ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa

ada sebagian ulama yang membedakan usia anak laki-laki dan anak

wanita dalam masa berakhirnya h}ad}a>nah dan tidak diperkenankan untuk

menentukan pilihan. Sebagian ulama yang lain menentukan usia

mumayyiz yang menjadikan ukuran masa berakhirnya h}ad}a>nah dan

dipersilahkan untuk menentukan pilihan ibu atau ayahnya. Alasan ulama

membedakan usia anak wanita lebih lama di bawah pengasuhan ibu dari

pada anak laki-laki adalah karena anak wanita lebih baik dibiarkan lebih

lama bersama ibunya, agar ia dapat meniru perilaku kaum wanita, dan

beraklak seperti akhlak wanita, di samping mengenal lebih banyak

segala pekerjaan yang biasa dikerjakan di rumah. Berbeda dengan anak

pria, seandainya anak pria dibiarkan selalu bersama ibunya, maka ia

akan berperilaku seperti perilaku wanita dan ini berbahaya.135

131

Huzaemah tahido Yanggo, Fiqh Anak, 113. 132

Zakariyah Ahmad Al- Barry, Hukum Anak-anak dalam Islam, trans.

Chadidja Nasution (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 63. 133

Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X, 7323. 134

Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqh Anak, 115. 135

Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqh Anak, 109.

Page 121: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

111

Al-Qur’an dan hadis tidak menjelaskan secara tegas tentang

masa h}ad}a>nah, sehingga para ulama berijtihad sendiri-sendiri dalam

menetapkan masa h}ad}a>nah dengan berpedoman pada isyarat-asyarat

yang ada sebagaimana yang dijelaskan di atas. Ijtihad mengenai masa

berakhirnya h}ad}a>nah juga terlihat di beberapa undang-undang hukum

keluarga di dunia Muslim misalnya hukum keluarga di Mesir, dalam

status hukum perorangan (personal status law) menetapkan bahwa istri

memiliki hak untuk mengasuh anak pria hingga berumur 10 tahun dan

12 tahun untuk anak wanita. Setelah habis masa pengasuhan, hakim

dapat memerintahkan bahwa anak yang dalam pengasuhan tetap pada

ibu tanpa adanya upah hingga berusia 15 tahun bagi anak pria, dan

setelah menikah bagi anak wanita. Demikian ini jika hakim yakin

kemaslahatan anak akan terpenuhi. 136

Kemaslahatan anak semestinya lebih diprioritaskan, di Syiria

misalnya, menyerahkan hak asuh kepada orang tuanya yang lebih

mampu memerhatikan dan memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Masa

pengasuhan anak dalam Undang-undang Syiria dirumuskan, untuk anak

pria sampai usia 7 tahun, bagi anak wanita berusia 9 tahun. Meskipun

demikan, jika hakim melihat ada kemaslahatan, maka ia dapat

menambah masa pengasuhan anak masing-masing anak selama 2 tahun.

Yaitu bagi anak pria dapat memperpanjang hingga berusia 9 tahun dan

anak wanita hingga 11 (sebelas) tahun.137

Kuwait tidak jauh keluar dari fikih klasik dalam masalah

h}ad}a>nah yaitu mengutamakan hak h}ad}a>nah pada ibu. Mengenai masa

h}ad}a>nah Undang-undang Kuwait lebih cenderung kepada pendapat

Ima>m Ma>lik yaitu masa pengasuhan anak berakhir pada usia baligh

untuk anak laki-laki dan bagi anak wanita berakhir di saat memasuki

jenjang perkawinan.

Hukum keluarga Tunisia ‚Tunisian Code of Personal Status1958‛ rupanya masih berpegang teguh pada pendapat ulama fikih,

138

akan tetapi keutamaan pemeliharaan anak lebih cenderung

mengakomodir kemaslahatan anak, ketimbang pendapat fuqaha’. Mengenai gugur atau dicabutnya pemeliharaan anak, undang-undang ini

tidak menyebutkan secara tegas, tampaknya diserahkan kepada

136

Pasal 20 Undang-undang Nomor 100 tahun 1985. 137

Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, 142-143.

138Seperti bunyi Pasal 57 menyebutkan, bahwa selama perkawinan anak

dirawat kedua orang tuanya, jika terjadi perceraian atau meninggal dunia, hak

pemeliharaan anak secara berturut diberikan kepada ibu dan nasab ibunya.

Page 122: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

112

pertimbangan pengadilan. Masa pengasuhan berakhir pada usia 7 tahun

untuk anak pria dan 9 tahun, selanjutnya ayah dapat mengambil alih hak

pemeliharaan anak, kecuali adanya keputusan pengadilan yang

berkehendak lain berdasarkan kepentingan anak.139

Di Indonesia, UUP sampai saat belum mengatur secara khusus

tentang h}ad}a>nah bahkan dalam PP No. 9 Tahun 1975 tidak mengatur

secara luas dan rinci, sehingga pada waktu sebelum tahun 1989, para

hakim masih menggunakan kitab-kitab fikih. Barulah setelah

diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo UU

No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang

Penyebaran KHI. Masalah h}ad}a>nah masuk dalam hukum positif di

Indonesia, dan PA diberi wewenang untuk memeriksa dan

menyelesaikannya.140

Kendati demikian, secara global sebenarnya UUP

telah memberi aturan pemeliharaan anak yang dirangkai dengan

putusnya sebuah perkawinan.141

Aturan tersebut terdapat dalam pasal 41

manyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana

ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan

memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam

kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut,

pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya

tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi

bekas istri.

Dalam penjelasan di atas, terdapat perbedaan tanggung jawab

pemeliharaan yang bersifat material, dan tanggung jawab pengasuhan.

Ketentuan Pasal 41 tersebut lebih memfokuskan kepada kewajiban dan

tanggung jawab material yang menjadi beban suami atau bekas suami

bila mampu, bila dalam kenyataannya suami tidak mampu pengadilan

139

Lihat Pasal 67 Code of Personal Status1958. 140

Abdul Manan, ‚Problematika h}ad}a>nah dan Hubungannya dengan Peraktik

Hukum Acara di Peradilan Agama‛, dalam Mimbar Hukum Nomor 49, Tahun, 2000.

69. 141

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 298-299.

Page 123: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

113

dapat menentukan lain. Mengenai usia anak dalam pengasuhan Pasal 47

menyebutkan;

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau

belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan

orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di

dalam dan di luar pengadilan.

KHI mengatur secara rinci mengenai h}ad}a>nah di antaranya

terdapat pada pasal 98 dan 105. Berikut redaksi pasal 98;

(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21

tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental

atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan

hukum di dalam dan di luar pengadilan.

(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat

yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang

tuanya meninggal.

Pasal 98 poin (1) menjelaskan bahwa anak yang bisa diurus atau

diasuh adalah anak yang usianya di bawah 21 tahun dengan kata lain,

anak tersebut belum menikah atau usia matang. Pada poin selanjutnya

menjelaskan bahwa orang tualah yang harus menjadi tanggung jawab

anak tersebut selama anak tersebut belum mandiri. Poin (2) ini bila

diperhatikan secara seksama, tidak mewajibkan secara mutlak bahwa

pertanggungjawaban hanya dibebankan hanya kepada orang tua, akan

tetapi bisa dibebankan kepada orang lain yang mampu mengurus

anaknya. Berikutnya pada poin (3) dengan tegas menyatakan bahwa,

pengadilan dapat menunjuk kerabat atau orang yang mampu yang bisa

menggantikan orang tua yang tidak mampu menjalankan kewajibannya

terhadap anak yang masih berada dalam tanggungannya.142

UUP dan KHI sama-sama mengatur tentang batas usia anak

dalam perwalian, walaupun berbeda angka.143

UUP menyaratkan

142

Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam (Bandung:Pustaka al-Fikriis, 2009), 118-119.

143Berdasarkan hukum yang berlaku, usia kedewasaan seorang anak berbeda

antara Undang-undang yang satu dengan Undang-undang lainnya misanya dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 330 ayat (1) batas usia dewasa

dengan telah dewasa adalah usia 21 tahun, atau di bawah 21 dan telah menikah. Dalam

Undang-undang Nomor 3 tahun 1977 tentang Peradilan Anak, Pasal 4 ayat (1)

menjelaskan bahwa anak yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak adalah

sekurang-kurangnya 8 tahun, tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah

Page 124: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

114

sebelum berumur 18 tahun, sedangkan KHI membatasi pada umur 21

tahun. Yang jelas pembatasan usia 21 tahun atau telah kawin ditentukan

berdasarkan pertimbangan kemaslahatan dan kemandirian anak. Secara

metodologis penetapan angka 21 itu menggunakan motode istis}lah} atau

mas}lah}ah mursalah.144

Pasal 105 KHI menjelaskan jika antara suami-istri terjadi

perceraian maka ketentuannya adalah:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12

tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak

untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak

pemeliharaannya;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Pasal 105 poin (a) KHI menjelaskan bahwa ibu mendapat

prioritas utama dalam pengasuhan selama anak tersebut belum

mumayyiz, yaitu di bawah umur 12 tahun. Setelah mumayyiz anak

diberi pilihan untuk memilih ayah atau ibunya. Pada poin selanjutnya

ditegaskan bahwa semua biaya pemeliharaan anak dibebankan kepada

kawin. Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

menetapkan bahwa yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Konvensi Hak Anak PBB diratifikasi

oleh pemerintah Indonesia melalui Keppers Nomor 36 tahun 1990 bahwa anak adalah

manusia yang berusia dibawah 18 tahun. Pada Undang-undang Nomor. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) membedakan usia anak laki- laki da perempuan

dalam melangsungkan perkawinan. Anak lak-laki berusia 19 tahun dan anak perempuan

berusia 16 tahun. Jika sudah menikah maka status anak dianggap gugur. Pada Undang-

undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pengadilan Agama, batasan usia anak adalah 16

tahun ke atas. Sedangkan menurut Undang-undang Kesejahteraan Keluarga Tahun

1974, batasan usia anak 21 tahun dan belum menikah.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa batas usia anak di

hadapan hukum berbeda-beda tergantung kepada kepenting hukum dari anak yang

bersangkutan. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui secara pasti aspek-

aspek yang menyebabkan pertanggungjawaban dalam diri anak, yang meliputi

kewenangan bertanggungjawab kepada anak, kemampuan untuk melakukan peristiwa

hukum, pelayanan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana serta proses

pemeliharaan dalam pembinaan efektif terhadap diri seorang anak. Lihat Hardius

Usman dan Nachrowi Djalal Nachrowi, Pekerja Anak di Indonesia: Kondisi Determinan dan Eksplorasi (Kajian Kuantitatif) (Jakarta: Gramedia Widiasarana

Indonesia, 2004), 9-10 144

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 306.

Page 125: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

115

ayahnya,145

meskipun bisa jadi ibunya lebih mampu. Dalam hal ini KHI

tidak menjelaskan tentang status ibunya.

Perlu difahami bahwa pemeliharaan anak sebagaimana Pasal 105

poin (a) KHI tidak serta merta berada di pihak ibunya. Adakalanya

hakim memutuskan berlainan dengan ketentuan tersebut. Hal ini bisa

saja terjadi tatkala hakim melihat dan mempunyai pertibangan lain

bahwa ayahnya lebih tepat dari pada ibunya.146

Misalnya dalam kasus

(Alm) Aji Masa’id dan Reza. Seharusnya menurut ketentuan, Reza

memiliki hak mengasuh anaknya, karena anaknya masih di bawah umur

pada waktu itu. Akan tetapi hakim berpandangan lain sehingga Aji

Masa’id menjadi hak asuh bagi kedua putrinya.

Begitu pula kasus Tamara Blezyinki dengan Teuku Rafly Pasya

dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 349K/AG/2006 tanggal 3

Januari 2007 mengenai kasus perceraian, di mana salah satu amar

putusannya menetapkan pengasuhan anak bernama Rassya Isslamay

Pasya berada dalam pengasuhan ayahnya. Hal tersebut memberikan

corak hukum tersendiri dalam memberikan pertimbangan hukum

pengasuhan anak di luar dari yang telah ditetapkan KHI.147

Beberapa

permasalahan yang muncul di luar jangkauan Pasal di atas adalah

pertama, pengasuhan anak ketika orang tuanya bercerai yang disebabkan

pihak istri kembali ke agamanya semula (murtad). Kedua, kemungkinan

adanya penyimpangan terhadap ketentuan tertulis tentang pengasuhan

anak. Melihat kejadian tersebut pendidikan dan kesejahteraan anak

145

Ketentuan ini didasarkan kepada QS. al-Baqarah ayat 233 yaitu:

146

Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, 121-122.

147Sugiri Permana, ‚Paradigma Baru dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh

Anak Pada Peradilan Agama‛, 3. Di akses melalui

http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/ pada tanggal 10 juni 2012.

Page 126: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

116

harus diutamakan, cara yang baik dan paling sesuai dengan keadaan

anak harus diutamakan.148

Perlu dicermati pula Pasal 105 poin (a) dalam masalah mumayyiz

atau belum mumayyiz adalah bukan terfokus pada titik sentral usia

seseorang, tetapi titik sentralnya adalah terkait dengan kecerdasan anak

itu sendiri. Boleh jadi amatan para perumus KHI, anak-anak di

Indonesia baru dapat membedakan atau sudah mampu mengeluarkan

pendapatnya setelah usia 12 tahun.

Hak memilih dalam h}ad}a>nah jika dikaitkan dengan tingkat

kecerdasan seorang anak, maka sengketa hak asuh anak dapat dengan

mudah diselesaikan dengan meminta pendapat anak tersebut meskipun

belum mencapai usia 12 tahun, dengan terlebih dahulu meminta

pendapat psikolog untuk menditeksi kecerdasan anak tersebut. Jadi

angka 12 tahun sebenarnya bukan angka yang paten.

Pada praktiknya anak yang umur 9 atau 10 tahun hakim

memerintahkan kepada pihak yang berperkara untuk menghadirkan anak

mereka untuk didengar pendapatnya. Mumayyiznya seorang anak tidak

ditentukan dengan umur, karena anak di Indonesia di bawah umur 12

tahun sudah dapat dikatakan mumayyiz, bahkan tak jarang baik hakim

maupun pihak yang berperkara mendatangkan sendiri seorang ahli

psikolog baik untuk menentukan apakah anak tersebut dengan

kecerdasannya sudah dianggap mumayyiz atau tidak.149

Hal ini sesuai

dengan pasal 10 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak

menyatakan, ‚Setiap anak berhak mengatakan dan didengar

148

Ibn Qayyim menerangkan, bahwa Ibn Taymiyyah memberi contoh, ada

sepasang ibu dan ayah yang telah bercerai merebutkan hak asuhnya di muka hakim,

kemudian hakim memerintahkan anak tersebut untuk memilih ayah atau ibunya. Anak

tersebut memilih ayahnya, tetapi ibunya kurang puas dan memohon kepada hakim

untuk menanyakan kepada anaknya alasan memilih ayahnya. Hakim kemudian

menayakan kepada anak tersebut, anak tersebut menjawab, bahwa ibunya setiap hari

menyuruhnya untuh pergi mengaji, menulis, sedangkan gurunya sangat keras, ia sering

dipaksa belajar bahkan sering pula dipukul. Sedangkan ayahnya sangat sayang

kepadanya, beliau membiarkan anak tersebut bermain sesuka hati. Setelah mendengar

keterangan anak tersebut, maka hakim memutuskan bahwa anak tersebut berada dalam

pengasuhan ibunya. Hal ini menunjukkan bahwa hakim dapat melihat hal ihwal anak

tersebut, kemudian menetapkan keputusan yang terbaik untuk anak tersebut. Lihat

Zakariyah Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-anak dalam Islam, 62-64. 149

Wawancara pribadi dengan Tamah (hakim Pengadilan Agama Jakarta

Selatan), pada tanggal 23 Mei 2012.

Page 127: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

117

pendapatnya, menerima, dan memberi informasi sesuai dengan tingkat

kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-

nilai kesusilaan dan kepatutan‛. Kendatipun seorang anak sudah

menentukan hak h}ad}a>nahnya, misalnya seorang anak memilih ibunya,

bukan berarti seorang ayah tidah punya hak terhadap anaknya. Ayah

diberikan akses untuk melihat, menjenguk, bermusyawarah dalam

menentukan pendidikan anak.150

Untuk mengetahui beberapa contoh kasus terkait dengan putusan

hak asuh anak atau h}ad}a>nah, penulis mengoleksi beberapa putusan yang

akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Berdasarkan temuan penulis,

putusan yang diterima PA menganai h}ad}a>nah untuk wilayah DKI

Jakarta dalam kurun waktu 2010-2011 sudah mencapai 46 kasus.

Sedangkan yang sudah diputus berjumlah 38 kasus dengan rincian

sebagaimana tabel di bawah ini.

Tabel: 4.5.

Perkara H}ad}a>nah yang diterima dan diputus Pengadilan Agama

DKI Jakarta Tahun 2010-2011

No Pengadilan Agama DKI

Jakarta

Perkara Di

terima

Perkara

Diputus

1 Jakarta Utara 5 5

2 Jakarta Selatan 23 17

3 Jakarta Timur 10 10

4 Jakarta Pusat 7 6

5 Jakarta Barat 1 -

Jumlah 46 38

Sumber: Pribadi dari Laporan Tahunan Peradilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-

2011.151

150

Hal ini sesuai bunyi Pasal 59 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi; (1).Setiap anak berhak untuk tidak

dipisahan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anaknya sendiri,

kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa

pemisahan itu demi kepentingan terbaik bagi anak. (2). Dalam keadaan sebagaimana

yang dimaksud ayat (1) hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan

pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang.

Penjelasan selanjutnya lihat Saprudin, ‚Khadanah dan Problematika Penyelesaiannya‛,

6. diakses pada tanggal 10 juni 2012 melalui http://www.badilag.net/artikel/ 151

Lihat Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta

Utara tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat

pula Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara

tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach

Page 128: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

118

Dari 38 putusan h}ad}a>nah mayoritas putusan tersebut bersamaan

dengan kasus gugat cerai, namun demikian ada pula putusan yang murni

kasus h}ad}a>nah sebagaimana beberapa contoh putusan yang yang akan

dijelaskan berikut ini.

- Deskripsi Duduk Perkara dan Amar Penetapan H}ad}a>nah

Pada pinsipnya baik ibu maupun bapak diberi hak yang sama

untuk melakukan pemeliharaan dan pendidikan terhadap anak-anaknya

setelah terjadi perceraian.152

Apabila terjadi perselisihan tentang hak

asuh anak tersebut, maka persoalan tersebut diserahkan kepada

pengadilan, sesuai Pasal 41 (a) Undang-undang perkawinan yang

menyatakan bahwa ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan

mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak,

bilamana ada perselisihan mengenai pengusaan anak-anak Pengadilan

memberi keputusan. Pengadilanlah yang harus memilih atau menetapkan

siapa di antara kedua orang tersebut yang berhak melaksanakan

pemeliharaan. Untuk itu Pengadilan harus memeriksa dengan teliti siapa

di antara mereka yang lebih baik mengurus kepentingan anak tersebut.

Masalah mengenai hak asuh anak setelah perceraian kedua orang

tuanya kerap memposisikan hakim peradilan Agama tak ubahnya

sebagai corong Undang-undang. Hakim melaksanakan tugasnya sebagai

penegak hukum mengeluarkan putusan berdasarkan undang-undang yang

berlaku seperti kasus Putusan Nomor 1784/Pdt.G/2011/PAJS, di mana

antara Penggugat (Istri) dan Tergugat (Suami) telah melangsungkan

pekawinan pada tanggal 04 Februari 2005 sesuai dengan Kutipan Akta

Nikah (bukti P.1). Selama dalam pernikahan tersebut Penggugat dan

Tergugat dikaruniai seorang anak perempuan yang berumur 6 tahun

sesuai kutipan Akta Kelahiran pada tanggal 18 Februari 2005 (bukti

P.2).

Jufri dan Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan

Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. LIihat Ujang Mukhlis,

‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan

Januari-Desember Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta

Selatan tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30

Desember, 2010). Lihat Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011).

Lihat Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat

Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat

http://www.infoperkara.Badilaq.go.id Diakses pada tanggal 2 Agustus 2011. 152

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Cet. 1, (Medan: Zahir

Trading, 1975), 161.

Page 129: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

119

Keharmonisan rumah tanggga Penggugat dan Tergugat tidak

berlangsung lama, karena sejak awal menikah ketentraman Penggugat

dan Tergugat mulai goyah. Perselisihan dan pertengkaran kerap kali

terjadi, penyebabnya antara lain adalah adanya ketidakcocokan dan

perbedaan persepsi Penggugat dan Tergugat dalam membangun rumah

tangga, Tergugat malas bekerja bahkan sejak menikah sampai perkara

ini diajukan Tergugat tidak pernah memberikan nafkah lahir kepada

Penggugat. Bukan itu saja Tergugat mempunyai sifat kasar, pemabuk,

dan ringan tangan terhadap Penggugat. Selain itu Tergugat juga

mempunyai hubungan dengan wanita lain sejak bulan Mei tahun 2011.

Berdasarkan alasal-alasan di atas penggugat dalam petitumnya

memohon kepada majelis hakim PA Jakarta Selatan untuk mengabulkan

gugatan Penggugat, karena kehidupan rumah tangga Penggugat dan

Tergugat selalu diwarnai pertengkaran dan perselisihan terus menerus,

sehingga tujuan perkawinan sebagaimana yang di atur dalam Pasal 1

Undang-undang perkawinan tidak dapat tercapai. Selain itu Penggugat

memohon kepada majelis hakim agar menjatuhkan putusan dengan

menetapkan anak Penggugat dan Tergugat yang masih di bawah umur

berada dalam pemeliharaan Penggugat.

Setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang dengan

menghadirkan bukti-bukti, baik bukti tertulis maupun para saksi yang

menguatkan isi gugatan Penggugat, maka berdasarkan fakta di

persidangan majelis hakim memutuskan yang dalam amar putusannya

menyebutkan hal-hal sebagai berikut.

1. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek

2. Menjatuhkan talak ba’in sughra Tergugat terhadap Penggugat

3. Menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak h}ad}a>nah atau

pemeliharaan anak Penggugat dan Tergugat.153

Penetapan pemeliharaan anak atau h}ad}a>nah berdasarkan Pasal

105 KHI tidak mutlak diterapkan, jika terbukti ibu kandung anak

bersangkutan tidak menjalankan kewajiban sepenuhnya sebagai ibu,

sedangkan ayah kandung terbukti telah memelihara anak yang membuat

anak hidup lebih tenang dan tentram serta lebih menjamin kebutuhan

rohani dan jasmani anak maka pemeliharan anak dapat peralih pada

ayahnya sebagaimana kasus Putusan Nomor 1755/Pdt.G/2009/PAJT.

Pada kasus ini Penggugat (Suami) dan Tergugat (Istri) adalah suami istri

yang menikah pada tahun 1994 dan bercerai pada tanggal 06/05/2008 di

153

Dokementasi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor

1784/Pdt.G/2011/PAJS.

Page 130: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

120

Pengadilan Agama Jakarta Timur dan telah mempunyai kekuatan hukum

tetap. Dari hasil perkawinan tersebut Penggugat dan Tergugat dikarunia

dua orang putra. Putra pertama lahir pada tanggal 4 Desember 1994 dan

anak kedua lahir pada tanggal 15 April 2001. Pasca peceraian sesuai

dengan surat putusan hakim Pengadilan Jakarta Timur, kedua anak

Penggugat dan Tergugat berada dalam pemeliharaan Tergugat selaku

ibu kandungnya, namun berjalannya waktu kedua anak tersebut

ditelantarkan dan tidak di urus sebagaimana mestinya oleh Tergugat.

Bukan itu saja, Tergugat memberikan contoh yang tidak baik terhadap

kedua anaknya dengan melakukan tindakan asusila dengan seorang pria

yang bergelar Kapten. Atas tindakan tersebut Tergugat tertangkap basah

(di grebek) oleh anggota Personil Pam Ops Den Ma Dam Jaya dan wakil

RT setempat pada tanggal 18 Juni 2008 pukul 15.30 WIB.154

Saat perkara ini diajukan Tegugat dalam proses pemecatan dari

satuan Den Ma Dam Jaya. Maka untuk menjaga psikologi dan

menyelamatkan masa depan anak Penggugat dan Tergugat, Penggugat

memohon kepada majelis hakim PA Jakarta Timur untuk mengambil

alih pemeliharaan kedua anak tesebut kepada Penggugat.

Berdasakan deskripsi kasus di atas, majelis hakim PA Jakarta

timur mengeluarkan putusan yang dalam amar putusan tersebut

mengbulkan pemeliharaan hak asuh anak berada di bawah pengasuhan

Penggugat dengan pertimbangan dan dasar hukum sebagaimana

keterangan di bawah ini.

- Dasar dan Petimbangan Hakim dalam Putusan H}ad}a>nah

Terhadap Putusan Nomor 1784/Pdt.G/2011/PAJS. Majelis hakim

menilai bahwa antara Penggugat dan Tergugat terbukti telah terjadi

perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus dan tidak dapat

diharapkan hidup rukun kembali. dengan demikian berarti alasan

perceraian sebagaimana penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf (f) UU No.1

tahun 1974 jo. pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah tahun 1975 jo.

pasal 116 huruf (f) KHI telah terbukti adanya. Apabila perkawinan

diteruskan, maka tujuan perkawinan sebagaimana Pasal 1 UU No. 1

tahun 1974 jo. Pasal 3 KHI tidak tercapai. Oleh karena itu pengadilan

berpendapat bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat harus

diceraikan sesuai bunyi pasal 70 ayat (1) Undang-undang No. 7 tahun

1989 yang telah di rubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan

kedua dengan UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama gugatan

tersebut harus dikabulkan. Majelis hakim menilai perceraian tersebut

154

Dokumentasi Putusan Nomor 1755/Pdt.G/2009/PAJT.

Page 131: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

121

putusan yang paling tepat dan memenuhi rasa keadilan bagi kedua belah

pihak, karena apabila perkawinan tersebut tidak diceraikan, maka

perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat makin

berkelanjutan yang mengakibatkan semakin berat beban penderitaan

lahir dan batin kedua belah pihak.

Dalam hal pemeliharaan hak asuh anak yang belum mumayyiz,

hakim meggunakan pasal 105 huruf (a) KHI dan Pasal 2 huruf (b) UU

No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak155

sebagai dasar

penetapan hak pemeliharan anak di bawah kekuasaan Penggugat demi

kepentingan yang terbaik untuk anak.156

Pelaksanaan hak asuh anak, baik oleh ibu ataupun ayahnya, harus

disertai oleh jaminan keselamatan jasmani dan rohani seorang anak

meskipun biaya kehidupan anak telah tercukupi. Apabila pemegang hak

asuh anak, baik ayah maupun ibunya, ternyata tidak dapat menjamin

keselamatan jasmani dan rohani anak, maka kerabat yang bersangkutan

dapat meminta kepada Pengadilan Agama untuk memindahkan hak asuh

anak tersebut kepada kerabat lain yang mempunyai hak asuh.157

Sebagaimana kasus Putusan Nomor 1755/Pdt.G/2009/PAJT seharusnya

hak asuh anak diberikan pada ibunya sesuai pasal 105 huruf (a) KHI.

Bedasarkan bukti-bukti di persidangan menunjukkan bahwa Tergugat

selaku ibu kandungnya tidak layak untuk untuk menerima hak asuh

dikarenakan Tergugat tidak memberikan perhatian dan kasih sayang

terhadap anak-anaknya, belum lagi tindakan asusila Tergugat yang

sering kali memberikan contoh yang tidak baik kepada anaknya hal ini

tentunya akan mempengaruhi perkembangan jiwa seorang anak.

Masalah h}ad}a>nah tergantung fakta-fakta dipersidangan, tidak

hanya mendengarkan keinginan orang tuannya, akan tetapi pendapat

anak harus didengar dalam persidangan. Dari hasil wawancara penulis

dengan beberapa hakim Pengadilan Agama DKI Jakarta diantanya Rizal,

salah seorang hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, Menuturkan

155

Pasal 2 Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan

berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta

prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: (a) non diskriminasi, (b)

kepentingan yang terbaik bagi anak (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan

perkembangan; dan (d) penghargaan terhadap pendapat anak. 156

Dokumentasi Putusan Nomor 1784/Pdt.G/2009/ PAJS. 157

Dadang Sukandar, ‚Hak Asuh Anak Ketika Orang Tuanya Bercerai‛,

diakses pada tanggal 2 September 2012 melalui

http://hukum.kompasiana.com/2012/04/13/hak-asuh-anak-ketika-orang-tuanya-

bercerai/

Page 132: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

122

bahwa dalam salah satu kasusnya beliau pernah menghadirkan anak

yang berumur 6 tahun di persidangan untuk milih salah satu dari kedua

orang tuanya. Dalam hal ini hakim tidak terpaku atau bahkan dapat

mengenyampingkan pasal 105 huruf (a) dan (b) KHI demi melindungi

hak anak hakim harus mendengarkan pendapat anak.158

Menurut pandangan penulis dalam beberapa kasus tentang hak h}ad}a>nah terkadang hakim menjadi corong undang-undang sebagaimana

Putusan Nomor 1784/Pdt.G/2011/PAJS. Di satu sisi hakim dapat juga

melakukan terobosan hukum dengan jalan ijtihad sebagaimana yang

diterapkan hakim dalam kasus Putusan Nomor 1755/Pdt.G/2009/PAJT.

Karena sebenarnya tugas seorang hakim dalam menangani suatu perkara

disatu pihak mempunyai kebebasan, dipihak lain mempunyai keterkaitan

terhadap peraturan perundang-undangan yang belaku. Kebebasan yang

dimiliki tidak harus selalu mengikuti bunyi undang-undang. Sesuai UU

No. 14 Tahun 1970 yang telah diamandemen dengan UU No. 23 Tahun

1999 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim dalam memeriksa dan

mengadili suatu perkara untuk menggali nilai-nilai yang hidup dan

berlaku dalam masyarakat untuk dapat diterapkan.

Berdasarkan analisis yang penulis uraikan di atas, penulis

berkesimpulan bahwa keputusan majelis hakim telah memenuhi nilai-

nilai keadilan hukum baik bagi Penggugat, Tergugat dan kemaslahatan

anak itu sendiri. Namun satu hal yang menjadi catatan di sini adalah

mengenai hak nafkah anak. Biasanya dalam satu dua tahun setelah

kedua orang tuanya bercerai, hak nafkah anak lancar, namun selang

beberapa tahun, karena mungkin mantan suaminya sudah menikah lagi

dan bahkan punya anak, anak tersebut terlantar kemudian istri mau

menuntut misalnya mau menyita, sedangkan untuk menyita diperlukan

biaya yang cukup banyak dan waktu yang lumayan lama. Di sinilah

mungkin harus ada aturan khusus tentang masalah ini.159

Terlepas dari

hal tersebut, Putusan Pengadilan Agama sudah memenuhi nilai-nilai

kegunaan dan kepastian hukum. Untuk itu setiap putusan yang akan

dijatuhkan hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan perkara harus

memerhatikan tiga hal yang esensial yaitu, keadilan, kemanfaatan, dan

kepastian hukum.160

158Wawancara dengan M. Rizal, hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,

Kamis 18 Juli 2012. 159

Wawancara dengan M. Rizal, hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,

Kamis 18 Juli 2012. 160

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2005), 291.

Page 133: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

123

D. Hak Waris Anak: Antara Kodifikasi dan Reformasi

Pembagian harta pusaka yang dalam fikih dikenal dengan harta

waris161

merupakan fenomena yang belum tuntas dan selalu mengundang

polemik. Dikatakan demikian karena dengan waris, sebagian orang

cenderung meraguka agama sebagai pioner pemberantas ketidakadilan.

Agama dinilai tidak memerhatikan supremasi (kekuatan) budaya yang

berkembang di tengah masyarakat.162

Hukum waris dalam Islam mendapat perhatian besar, karena sering

menimbulkan perselisihan dalam keluarga untuk merebutkan harta

peninggalan pewarisnya. Kenyataan demikian sudah ada dalam sejarah

umat manusia hingga sekarang ini. Hal ini terbukti terjadinya berbagai

macam gugat waris di pengadilan, baik Pengadilan Agama maupun

Pengadilan Negeri.163

Turunnya surah al-Nisa>’ Ayat 11 dan 12164

merupakan refleksi

sejarah materialistis umat manusia di samping sebagai rekayasa sosial

161

Dalam KHI dinyatakan bahwa ‚hukum kewarisan adalah hukum yang

mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggakan (tirkah) pewaris,

dengan menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya

masing-masing. Menurut Muhammad Amin Suma dalam bukunya Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam merumuskan, hukum waris adalah hukum yang mengatur

peralihan pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang

berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris,

mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksakan. Lihat KHI

bab II Pasal 171 (a). Lihat Muhammad Amin suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005), 108.

162Abu Yazid, ed. Fiqh Realitas: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana

Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 312. 163

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2003), 356. 164

Berdasarkan su>rah an-Nisa>’ tersebut, bagian yang didapat oleh laki-laki dan

wanita terdapat dua bentuk pertama, laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau

dua kali lipat dibandingkan dengan wanita dalam kasus yang sama yaitu anak laki-laki

dan anak wanita, saudara laki-laki dan wanita. Sedangkan duda mendapat dua kali

bagian yang diperoleh oleh janda yaitu ½ banding ¼ bila pewaris tidak meninggalkan

anak, dan ¼ banding 1/8 bila pewaris meninggalkan anak.laki-laki Kedua, mendapat

jumlah yang sama dengan wanita, seperti ibu dan ayah sama-sama mendapat 1/6 dalam

keadaan pewaris meninggalkan anak kandung. Begitu pula saudara laki-laki dan wanita

sama-sama mendapat 1/6 dalam kasus pewaris adalah seseorang yang tidak memiliki

ahli waris langsung.

Page 134: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

124

terhadap sistem hukum yang berlaku di masyarakat Arab Pra Islam.165

Di mana seorang wanita tidak berhak menerima warisan.

Penggunaan redaksi di awal surah al-Nisa>’

ayat 11 ini menegaskan, bahwa wanita mempunyai hak mendapatkan

warisan tidak seperti zaman jahiliyah.166

Dalam penggalan ayat di atas

menjelaskan tentang pewaris anak-anak yang ditinggal si manyit jika

terdiri dari anak pria dan anak wanita secara bersamaan, maka prinsip

pembagiannya adalah 2:1167

(dua banding satu),168

untuk anak pria

berapapun jumlah anak yang ditinggalkan.169

Al-Zamah{shari> -seorang

mufassi>r bermazhab Mu’tazilah- dan al-Ra>zi>, menyebutkan alasan

penyebutan pria didahulukan dan penerimaan dua kali lipat170

dari

bagian yang diterima wanita menunjukkan keutamaan pria atas

wanita.171

‘Illat dan hikmah dalam penerimaan pria 2:1 dari wanita para

mufassi>r mengemukakan pendapat yang beragam, misalnya al-Ra>zi

165

Pada masa jahiliyah wanita tidak mendapatkan warisan, surah al-Nisa>’ ayat

11-12 menjadi dasar hukum waris, diturunkan untuk menjawab tindakan sewenang-

wenangan saudaranya Sa’ad Ibn al-Ra>bi> yang ingin menguasai kekayaan Sa’ad yang

tewas di medan peperangan. Sebagaimana bunyi hadis di bawah ini:

Lihat Al-Nawa>wi>, al-Tafsi>r al-Muni>r li Ma’a >li>m al-Tanzi>l, Juz 1 (Semarang:

Usaha Keluarga, t.th.), 141-142. Alyasa Abu bakar, Ahli waris Pertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab, (Jakarta: INIS,

1998), 117. 166

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 2 (Ciputat: Lentera Hati, 2000),

343. 167

Selanjutnya di tulis 2:1 168

Abu>> Ja’far Muh }ammad bin Jari>r al-T{abra>ni>, Tafsi>r al-T{abra>ni>, (eds). Besus

Hidayat, Vol. 6 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 532. 169

Ibn al-‘Ara>bi>, Ah}ka>m al-Qur’a>n, Jil. 1, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

1408 H/1988 M), 435. 170

Selanjutnya di tulis 2:1 (dua banding satu). 171

Al-Zamah{shari>, al-Kashshaf, Jil. 1, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

1415 H/1995 M), 469. Lihat Fakhruddi>n Al-Ra>zi>, al-Tafsi>r al-Kabi>r wa al-Mafa>tih al-Gha’i>b, Jil. V (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th), 214.

Page 135: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

125

berpendapat, bahwa illat dan hikmah yang terkandung dalam pembagian

pria 2:1 dari wanita adalah Pertama, wanita lebih sedikit keluar rumah

karena suaminya yang berkewajiban memberikan nafkah kepadanya,

sementara pria lebih sering keluar rumah untuk mencari nafkah bagi

istrinya, maka orang yang lebih sering keluar rumah tentunya lebih

banyak kebutuhan terhadap harta.172

Kedua, pria lebih sempurna akal

dan agamanya dari pada wanita misalnya, kecakapan sebagai hakim dan

pemimpin, juga kesaksian wanita adalah separuh dari kesaksian pria,

karena itu wajar jika pemberian pria lebih banyak dari pada wanita.

Ketiga, wanita pendek akal dan besar keinginan nafsunya, sehingga jika

kepadanya diserahkan harta yang banyak akan berpotensi besar akan

menimbulkan kerusakan.173

Keempat, pria akalnya lebih sempurna,

maka secara otomatis hartanya digunakan kepada hal-hal yang berfaidah

baik dunia dan akhirat seperti, menolong orang teraniaya, anak yatim

dan lainnya.174

Argumen yang sama di kemukakan oleh al-’Alu>si>, menurutnya,

alasan wanita menerima warisan lebih sedikit dari pria, dikarenakan

wanita kurang dalam akal, agama, serta nafsu mereka lebih besar

sehingga harta mereka sering kali melakukan kesalahan dalam

mengelola hartanya. Selain itu kebutuhan wanita terhadap harta lebih

sedikit dibandingkan pria, kerena yang berkewajiban mencari nafkah

adalah pria.175

Menurut Rashi>d Rid{a>, hikmah dalam pembagian waris 2:1 untuk

pria dan wanita adalah karena kewajiban seorang pria lebih berat dari

pada wanita, kalau seorang pria menikah, ia berkewajiban membayar

mahar, biaya nafkah baik untuk dirinya sendiri maupun untuk istri dan

anaknya. Sementara seorang wanita tatkala ia menikah akan di tanggung

oleh suaminya, dan bisa saja hartanya berlipat berasal dari mahar,

nafkah dan warisan orang tuanya. Lebih lanjut beliau mengatakan

bahwa, argumen yang menyatakan penerimaan pria 2:1 dari wanita

disebabkan wanita kurang akalnya adalah pendapat yang munkar.176

172

Departemen Agama, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jil. II (Yogyakarta:

Universitas Islam Indonesia, 1991), 129. 173

Nurjanah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-laki dalam Penafsiran (Yogyakarta: LKis, 2002), 204.

174Fakhruddi>n Al-Ra>zi>, al-Tafsi>r al-Kabi>r wa al-Mafa>tih} al-Gha’i>b, 214.

175Shiha>buddi>n Mah{mu>d al-‘Alu>si>, Ru>h al-Ma’a>ni> fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-

‘Az{i>m, Jil. 2 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422H/2001 M), 426-427. 176

Muh}ammad Rashi>d Rid{a>, Tafsi>r al-Mana>r, Jil. IV (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th),

406. Lihat juga., Ibn Jari>r Al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n (al-Qa>hirah:

Page 136: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

126

Berdasarkan ketentuan hukum waris dalam al-Qur’an, pembagian

2:1antara pria dan wanita terasa adil, karena pada zaman dahulu

berdasarkan‘urf seorang pria bekerja dan mempunyai tanggungjawab

yang besar dari pada kaum wanita. Permasalahannya, pada zaman

sekarang banyak wanita yang bekerja atau bahkan menjadi tulang

punggung keluarga. Pertanyaannya adilkah pembagian pria 2:1 atas

wanita bila diterapkan dalam kondisi tersebut?

Perkataan adil banyak disebut dalam al-Qur’an, ini menunjukkan

kedudukan yang penting dalam sistem hukum Islam termasuk hukum

kewarisan. Dalam hukum waris salah satu asasnya adalah ‚keadilan

berimbang‛, artinya keseimbangan antar hak yang diperoleh dengan

keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban, seperti pria

dan wanita masing-masing mempunyai hak yang sebanding dengan

kewajiban yang dipikulnya.177

Bentuk keadilan bukan juga bukan

terletak pada jenis kelamin melainkan pada subtansinya.178

Ditinjau dari

segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak, memang terdapat

ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena

keadilan dalam hukum Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang

didapat saat menerima hak waris, tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan

dan kebutuhan.

Secara umum, dapat dikatakan pria membutuhkan lebih banyak

materi dibandingkan dengan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria

dalam ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu dirinya dan

keluarganya termasuk para wanita. Bila dihubungkan dengan jumlah

yang diterima dengan kewajiban dan tanggung jawab seperti yang

disebutkan di atas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang

dirasakan pria sama dengan wanita. Meskipun pada mulanya pria

menerima dua kali lipat dari wanita namun sebagian yang diterima akan

diberikan kepada wanita dalam kapsitasnya sebagai pembimbing yang

bertanggungjawab. Inilah yang dimaksud dengan keadilan menurut

hukum Islam.179

al-Halabi>, 1954, 495-496. Bandingkan dengan pendapat Muhammad Ali> al-S}abu>ni, al-Mawa>ri>th fi al-Shari>’ah al-Isla>miyah fi> D}aw’ al-Kita>b wa al-Sunnah (Makkah: Alam

al-Kutub, 1305 H/1985 M), 17. 177

Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia (Jakarta:Sinar

Grafika, 2008), 57-58. 178

Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 75.

179Amir Syarifuddin, Kewarisan Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2004), 24-

26.

Page 137: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

127

Menurut Amina Wadud sebagaimana yang dikutip Muh}ammad

Rashi>d Rid{a> menyatakan, dikeadilan dalam hukum waris tidak selalu

identik dengan pembagian yang sama rata. Keadilan didasarkan pada

kadar kebutuhan, ahli waris yang mempunyai kebutuhan dan

tanggungjawab yang besar tentu mendapatkan bagian yang besar pula.

Menurutnya aturan ini lebih fleksibel untuk terciptanya keadilan.180

Al-Na’i >m mempunyai argument yang berbeda menurutnya,

bagian waris wanita lebih sedikit dari bagian pria yang berada pada

tingkat yang sederajat merupakan bentuk diskriminasi berdasarkan

gender. Hal tersebut harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan

HAM.181

Para ahli hukum modern berupaya melihat persoalan pembagian

waris wanita ini berdasarkan keadilan gender. Di Indonesia yang paling

menonjol adalah pendapat Munawir Sjadzali,182

beliau melontarkan

gagasan perlunya reaktualisasi hukum waris, bahkan jika perlu hak-hak

wanita dalam pembagian waris harus disamakan dengan hak pria yaitu

1:1.183

Alasan gagasan Munawir tersebut adalah secara sadar Islam

180

Muh}ammad Rashi>d Rid{a>, Tafsi>r al-Mana>r, 333. 181

Abdullahi Ahmed an-Na’im, Toward an Islamic Reformation (New York:

Syracuse University Press, 1999), 176. Lihat Abdullahi Ahmed an-Na’im‚, Shari>’ah

dan Isu-isu HAM‛ dalam Charles Huzman, ed. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2003), 387-388.

Bandingkan Supadi ‚Pandangan Abdullahi Ahmed an-Na’im, tentang Shari’ah dan

Penegakan HAM‛, dalam Ahkam Jurnal Ilmu Shari’ah, Vol. XI, Nomor 2 (Jakarta:

Fakultas Shari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), 230. 182

Pendapat fenomenal lainnya adalah pendapat Hazairin. Pendapat kedua

tokoh ini mempunyai kontribusi besar dalam sejarah hukum kewarisan Indonesia.

Perbedaannya adalah ijtihad Hazairin mengarah kepada persoalan bilateral sebagai

pengganti patrilinial dimana keutamaan garis keturunan adalah ibu dan pabak tanpa

menggugat perbandingan bagian antara pria dan wanita 2:1. Sedangkan Munawair

Sjadzali memfokuskannya pada perhatian kepada konsep ‚egalitarianisme‛ sebagai

konsep yang rasional dalam kehidupan sosial dengan ditandai bagian porsi 1:1 antara

pria dan wanita. Dengan kata lain Hazairin menggugat pola penafsiran teks-teks suci

selama ini terhadap hukum waris yang sebenarya bilateral menjadi patrilinial melewati

konteks kesejarahannya, maka Munawair Sjadzali menggugat konteks keadilan lama

ketika berhadapan dengan konsekunsi-konsekuensi baru zaman dalam hidupnya sosial

yang dianggapnya berbeda. Lihat A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), 5-6.

183Bendapat Munawir Sjadzali ini didasarkan pada prilaku Umar bin Khat{ab

yang ditentang oleh beberapa sahabat diantaranya Bilal. Dalam sejarah Islam menurut

Munawir, Umar tidak membagikan harta rampasan perang berupa tanah kepada

prajurit Islam dan tidak memberikan zakat kepada muallaf (yang baru masuk Islam).

Argumennya adalah karena subtansi ajaran Islam dan situasi yang berubah yang

Page 138: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

128

hendak meningkatkan hak dan derajat wanita dengan cara wanita berhak

mendapatkan warisan meskipun hanya setengah. Kenapa tidak sekaligus

saja wanita diberi bagian yang sama dengan pria, memang tidak jelas,

tetapi ajaran Islam memang sering diberlakukan secara bertahap seperti

pengharaman minum khamr. Kehidupan modern sekarang ini telah

memberikan kewajiban yang lebih besar kepada wanita di banding pada

masa lalu, sehingga wanita kini dapat memberikan peran yang sama

dengan pria dalam mayarakat, maka logis saja kalau hak-haknya dalam

warisan juga ditingkatkan agar sama dengan pria.184

Sebenarnya inti dari QS. al-Nisa>’ Ayat 11, adalah ditegakkannya

keadilan terhadap wanita dalam hal waris.185

Upaya Islam untuk

meningkatkan hak waris wanita seyogyanya tidak berhenti, karena

situasi saat ini memberikan kewajiban atau peran kepada wanita lebih

besar dibandingkan dengan masa Islam lahir. Dengan demikian sangat

logis jika hak waris wanita ditingkatkan menjadi sama dengan bagian

pria yaitu 1:1.186

Berbeda dengan pendapat ahli hukum Indonesia lainnya, Amin

Suma memberi komentar panjang lebar mengenai hal ini. Menurutnya,

dalam praktik masyarakat, banyak kaum wanita yang menjadi tulang

punggung ekonomi sebuah keluarga. Ini merupakan kenyataan sosiologis

yang terjadi, bukan karena tuntunan, apalagi tuntutan hukum Islam,

tetapi lebih karena kerelaan wanita itu sendiri dalam rangka kerja sama,

yang sama sekali tidak di larang dalam hukum Islam. Hanya saja

partisipasi aktif kaum wanita dalam menyejahterakan ekonomi rumah

menghendakinya. yaitu dalam kasus yang pertama sesuai dengan prinsip keadilan

ekonomi dalam al-Qur’a>n, untuk kasus yang kedua karena saat itu posisi Islam sudah

kuat tisak seperti masa Nabi. Lihat Munawir Sjadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), 1-11. M.

Wahyuni Nafis, dkk. Kontektualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Munawir Sjadzali (Jakarta: Paramadina, 1995), 93-95. Sukron Kamil dkk.Shari>’ah Isam dan HAM: Dampak Perda Syari’ah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan Non Muslim (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hadayatullah Jakarta, 2007), 58-59.

184M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad (Yogyakarta: Titian Ilahi

Press, 1998), 160. 185

M. Atho Mudzhar dengan mengutip pendapat Ali> al-S{a>bu>ni> menyatakan,

sebelum Islam datang, wanita tidak mendapatkan warisan, untuk meningkatkan harkat

dan martabat wanita, Islam datang dengan memberikan hak waris, meski hanya

setengah dari hak waris pria. Lihat Sukron Kamil dkk. Shari’ah Islam dan HAM: Dampak Perda Syari’ah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non Muslim, 59.

186M. Wahyuni Nafis, dkk. Kontektualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Munawir

Sjadzal, 96, 311-315.

Page 139: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

129

tangga, tidak outomatically dengan sendirinya harus mengubah hukum

waris Islam menganut asas 1:1. Hal penting yang lain yang harus

dipertimbangkan umat Islam jika hendak mengubah asas hukum

kewarisan dari 2:1 menjadi 1:1, harus mengubah norma-norma hukum

lain yang terkait erat dengan hukum kewarisan, yaitu hukum perkawinan

terutama yang berkaitan dengan nafkah rumah tangga yang menjadi

tanggungjawab dan kewajiban siapa. Demikian juga tentang perlu

tidaknya mahar yang selama ini dibebankan pada suami.187

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, di kalangan umat Islam

terjadi tarik-menarik yang cukup kuat dalam menyikapi konsep

mawa>ri>th yang ditawarkan dalam Islam. Sebagian mereka ada yang

bersikukuh bahwa konsep waris tersebut sudah paten dan tidak dapat

diganggu gugat. Hal ini karena aturan tentang waris tersebut telah

digariskan dengan tegas dalam al-Qur’an. Ayat-ayat tentang waris

bersifat qat{i> dan harus dilaksanakan oleh semua umat Islam. Sebagian

yang lain tidak bisa menerimanya. Mereka menganggap bahwa konsep

waris tidak adil. lebih menguntungkan satu pihak, sementara yang lain

harus menerima kerugian sebab mendapat bagian yang lebih sedikit.

Oleh karena itu aturan waris harus diubah, dan diganti dengan ketentuan

baru yang lebih mengedepankan keadilan di antara para ahli waris.

Sudah tentu yang dimaksud adalah aturan-aturan yang menjanjikan

kemaslahatan umat.188

Jika dicermati, hampir seluruh hukum keluarga di dunia Islam

baik dalam versi Sunni, Syi’ah, ataupun negara-negara Islam yang telah

mengupayakan kodifikasi hukum lewat peraturan perundang-

undangan189

dalam hukum waris masih menganut asas pembagian pria

dan wanita 2:1.190

Demikian juga hukum keluarga Islam di Indonesia,

sebagaimana pasal 176 menyebutkan; ‚Anak perempuan bila hanya

187

Muhammad Amin suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 124-125.

Bandingkan dengan pendapat A. Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, 373-374. 188

Abu Yazid, ed. Fiqh Realitas: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, 313.

189A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam

Transformatif, 267. 190

Bukan berarti tidak ada Negara yang tidak menyamakan pembagian pria

dan wanita. Di Turki aturan 1:1 antara pria wanita diberlakukan sejak tahun1926. di

Somalia diberlakukan sejak tahun 1974, bahkan diatur lebih jauh yakni istri maupun

suami mendapat setengah harta jika tidak ada anak. Kemudian anak baik pria maupun

wanita jika sendirian dapat menghabiskan harta, demikan juga bapak, ibu saudara jika

menjadi ahli waris tunggal dapat menghabiskan harta. Lihat M. Atho Mudzhar,

Membaca Gelombang Ijtihad, 162.

Page 140: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

130

seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka

bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak

perempuan bersama dengan anak laki-laki adalah dua banding satu

dengan anak perempuan.‛

Pada Pasal 229 yang merupakan ketentuan penutup menyatakan,

dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, hakim

wajib memerhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang

hidup dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan rasa

keadilan. Hal ini sering dilakukan pengadilan Indonesia dengan tidak

melaksanakan pembagian waris berdasarkan prinsip 2:1 untuk anak pria

dan anak wanita,191

karena formula pembagian waris 2:1 tidak bersifat

mutlak. Pembagian bisa berubah menjadi 1:1 (satu banding satau/sama

rata) dengan melihat kasus yang bersifat situasional untuk

mencerminkan keadilan. Jika kondisi masyarakat telah berubah seperti

banyak perempuan yang telah bekerja, bahkan laki-laki atau suaminya

tidak bekerja, maka pembagian waris cenderung 1:1 untuk anak pria dan

wanita. Meskipun ayat mengenai bagian waris anak pria dan wanita

bersifat s{ari>h akan tetapi dimungkinkan untuk melakukan ijtihad

terhadap ketentuan tersebut demi terpenuhinya rasa keadilan.192

Pembagian rata antara anak pria dan wanita didasarkan pada dua

argumentasi. Pertama, data empirik menunjukkan bahwa dalam praktik

umat Islam sendiri banyak menyimpang ketetentuan pembagian warisan

yang tertera dalam al-Qur’an dan ilmu fara>‘id} yaitu dengan jalan

menghibahkan harta waris sebelum seseorang meninggal dunia dengan

pembagian sama rata. Penyimpangan ini justru terjadi di daerah yang

tergolong kuat Islamnya seperti Kalimantan, Sulawesi Selatan, Aceh,

dan lainya. Data ini didasarkan atas laporan para hakim Pengadilan

Agama bahwa banyak orang Islam yang enggan untuk melaksanakan

ketentuan Pengadilan Agama tentang fara>‘id} tetapi justru mereka lari ke

Pengadilan Negeri. Kedua, kenyataan sosial menunjukkan bahwa,

dinamika sosial yang begitu cepat sebagai akibat kemajuan teknologi

dan terbukanya akses pendidikan yang sama rata antara peria dan

wanita, lambat laun tapi pasti telah melahirkan pola relasi antara pria

191

Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Bustanul Arifin (Jakarta: Gema Insani, 1996), 225.

192Ahsan Dawi, ‚Paradigma Hakim Terhadap Bagian Waris Anak Laki-laki

dan Perempuan‛ (Jurnal Hukum), 12.

Page 141: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

131

dan wanita yang sederajat dengan bobot dan beban sosial yang relatif

sama.193

Ketentuan pembagian harta warisan antara anak pria dan wanita

sebagaimana yang telah ditetapkan al-Qur’an tidak mengalami

pergeseran dalam KHI yaitu tetap berpegang 2:1.194

Namun tidak

menutup kemungkinan para ahli waris melakukan perdamaian

sebagaimana pasal 183 menyatakan bahwa, ‚para ahli pewaris dapat

bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta waris setelah

masing-masing menyadari bagiannya.‛.195

Cara ini dimungkinkan,

karena ada kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat yang biasanya

menyelesaikan dengan cara menghindari pembagian harta warisan

dengan cara hukum Islam. Sebagian orang Islam membagi-bagi hartanya

kepada calon ahli warisnya dengan cara hibah ketika ia masih hidup.

Secara metodologis, kebiasaan tersebut dalam ushul fikih di

sebut al-‘urf atau adat. Hal ini relevan dengan kaidah al-‘a>dah al-muh{akkamah (adat kebiasaan itu dapat dijadikan hukum). Tujuan

pembagian secara damai setelah ahli waris mengetahui bagian masing-

masing sebagaimana Pasal 183 adalah pertama, secara normatif tidak

bertentangan dengan hukum Islam karena perdamaian itu terjadi setelah

pembagian dilaksanakan sesuai hukum Islam (fara>’id}). Kedua, dikaitkan

dengan prinsip keadilan, perdamaian itu terjadi sebagai manifestasi

perasaan keadilan yang langsung dirasakan oleh pihak-pihak yang

berdamai. Ketiga, perdamaian merupakan sarana yang efektif untuk

meredam konflik keluarga yang dipicu oleh pembagian pendapatan yang

berbeda atau kurang memenuhi rasa keadilan di antara mereka.196

Dengan demikian formula 1:1 tidak berlaku umum. Artinya

tidak keluar dari ketentuan yang telah ditetapkan al-Qur’an. Ketentuan-

ketentuan ini hanya diperuntukkan untuk menyelesaikan kasus-kasus

tertentu saja. Itupun setelah para ahli waris sepakat membagi sama rata

193

Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga Islam (Yogyakarta: PSG STAIN Ponorogo dan Unggun Religi,

2005), 200. 194

Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta: Literata,

2010), 16. 195

Cik Hasan Bisri, ed. Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, 68.

196Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender dalam

Hukum Islam, 117-118.

Page 142: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

132

bagian anak pria dan wanita setelah mereka mengetahui masing-masing

bagian yang sebenarnya menurut hukum.197

Penyelesaian warisan dengan formula yang sama antara bagian

pria dan wanita telah dipraktikkan dalam keputusan-keputusan

Pengadilan Agama. Menurut Wasit Aulawi sebagaimana yang dikutip

Iskandar Ritonga dalam penelitiannya menyebutkan, ada tiga jalur yang

bisa ditempuh sebelum mengajukan perkara ke pengadilan. Pertama,

mereka membaginya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam hukum

Islam dengan 2:1. Kedua, mereka boleh membaginya menurut ketentuan

hukum adat yang berlaku. Ketiga, mereka boleh menyelesaikan dengan

cara kompromi atau melalui persepakatan bersama antara sesama ahli

waris yang ada. Dalam pembagian seperti ini dimungkinkan untuk

memberikan bagian yang sama besar antara pria dan wanita, dan

mungkin juga tidak.198

Masalah yang muncul dan diajukan ke pengadilan pada

umumnya bukan pada ketentuan hukum warisnya atau ‚sengketa

hukum‛ seperti pembagian 2:1, tetapi lebih kepada ‚sengketa fakta‛

yaitu klaim kepemilikan orang-orang yang berperkara pada harta yang

ada. Pada umumnya para pihak yang berperkara tidak mempersoalkan

tentang ketentuan hukum waris seperti yang telah diatur dalam KHI.199

Untuk itu penulis tidak menemukan sengketa ahli waris terhadap

pembagian anak laki-laki dan wanita.

Secara umum dapat dikatakan, bahwa ketentuan mengenai

hukum kewarisan yang diatur dalam KHI berpedoman pada garis-garis

hukum fara>‘id}. Warna alam pikiran asas qat{‘i> agak dominan dalam

perumusannya. Seluruhnya hampir berpedoman pada garis rumusan nash yang terdapat dalam surah al-Nisa>’ Ayat 11. Namun bukan berarti

antara fara>‘id} atau hukum waris dalam fikih tidak mempunyai

perbedaan. Misalnya dalam fikih Islam tidak dikenal ahli waris

pengganti,200

sedangkan dalam KHI terdapat aturan mengenai ahli waris

197Mahkamah Agung RI, Pedoman pelaksanaan dan Adminitrasi Peradilan

Agam: Buku II Edisi Revisi 20110 (Jakarat: Direktorat Jenderal Peradilan Agama,

2010), 165. 198

Iskandar Ritonga, ‚Hak-hak wanita dalam Hukum Keluarga Islam di

Indonesia: Implementasi dalam Putusan-putusan Peradilan Agama DKI Jakarta !990-

1995‛ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 163 199

Muchith A. Karim dalam bukunya Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia,167.

200Menurut Muchith A. Karim dalam bukunya Pelaksanaan Hukum Waris di

Kalangan Umat Islam Indonesia, beliau menyatakan sebenarnya dalam fiqh klasik

(sunni) telah dikenal ahli pengganti, meskipun subtansi masalahnya berbeda dengan

Page 143: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

133

pengganti sebagaimana pasal 185 menyebutkan bahwa, ahli waris yang

meninggal lebih dahulu dari pada pewaris, kedudukannya dapat

digantikan oleh anaknya. Dalam hal ini ada beberapa hal yang penting

untuk di catat. Pertama, bagian ahli waris pengganti tidak boleh

melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan.

Kedua, kalau ahli waris pengganti seorang saja, dan ayahnya hanya

mempunyai seorang saudara wanita maka harta warisan dibagi dua

antara ahli waris pengganti dengan bibinya.201

Ketentuan ini merupakan pengejawantahan dari gagasan

Hazairin yang gigih memperjuangkan hukum waris bilateral.202

Secara

konsepsional, konsep penggantian yang dikemukakan Hazairin mirip

dengan fikih shi >’ah yang menempatkan cucu garis wanita sebagai ahli

waris.203

Motivasi pelembagaan waris pengganti (plaatsvervulling)

didasarkan atas rasa keadilan dan perikemanusiaan. Tidak adil dan tidak

manusiawi rasanya menghukum seseorang dengan tidak berhak

menerima warisan yang semestinya diperoleh ayahnya, hanya karena

faktor kebetulan ayahnya meninggal lebih dulu dari kakek. Apalagi jika

hal ini dikaitkan dengan fakta, pada saat kakek meninggal, anak-

anaknya sudah kaya dan mapan. Sebaliknya si cucu oleh karena

ditinggal yatim, melarat dan miskin. Tidak adil melenyapkan haknya

untuk memperoleh apa yang semestinya menjadi bagian bapaknya.204

yang diuraikan dalam tulisan di atas. Imam al-Ramli menerangkan sebagai berikut: (a)

Cucu pria dari anak pria dapat mengganti ayahnya, sedangkan cucu dari anak wanita

idak dapat warisan. (b) Cucu tersebut baru dapat menggantikan orang tuanya apabila si

pewaris tidak meninggalkan anak pria yang masih hidup. (c) Hak yang diperoleh

pengganti belum tentu sama dengan hak orang yang digantikan tetapi mungkin

berkurang. Lihat Menurut Muchith A. Karim, Pelaksanaan hukum waris di Kalangan Umat Islam Indonesia,102. Baca. Al-Ramly, Nihayah al-Muh{taj ila> Sharah{ al-Minhaj, Jil. VI (Mesir: Must{afa> al-Babi> al-Halabi>, t.th.), 17-18. Bandingkan dengan Wirjono

Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia (Bandung: sumur, 1976), 43. 201

Cik Hasan Bisri, ed. Kompilasi Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional, 70.

202Hazairin menyatakan bahwa fiqh Syafi’i menempatkan keberadaan ahli

waris pengganti lebih banyak diposisikan sebagai dhawi>l al-arh{am. Yaitu kerabat yang

memiliki hubungan darah, tetap karena posisinya yang tidak ditentukan untuk

menerima bagian, maka ia tidak berhak menerimanya. Lebih-lebih kalau ahli waris

yang menghubungkannya yang telah meninggal itu adalah garis wanita, jadilah ia

dhawi>l al-arh{am. Lihat. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, 416. 203

Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Islam, 118.

204M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama

(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 50.

Page 144: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

134

Perbedaan selanjutnya tertera dalam pasal 209205

menyatakan

bahwa, orang tua angkat berhak ikut menerima warisan harta

peninggalan anak angkatnya. Demikian juga sebaliknya, anak angkat

berhak ikut menerima harta peninggalan ayah angkatnya. Kalau mereka

tidak menerima wasiat, mereka mendapatkan warisan berdasarkan

wasiat wa>jibah206 yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-

undangan paling banyak 1/3 dari harta warisan anak angkanya atau

orang tua angkatnya. Padahal dalam fikih Islam anak dan orang tua

angkat tidak berhak menerima warisan.207

Istilah wasiat wajibah mulai pertama diperkenalkan ulama Mesir

melalui Undang-Undang Wasiat Nomor 71 Tahun 1946, (Pasal 76-78)

menyatakan bahwa seorang anak yang lebih dahulu meninggal dunia

dengan meninggalkan anak, maka cucu baik pria maupun wanita

menggantikan ayahnya dalam mewarisi kakek atau neneknya dengan

cara memperoleh wasiat wajibah tidak lebih dari 1/3 harta. Adapun yang

menetapkan wasiat wajibah tersebut pengadilan, karena si manyit tidak

meninggalkan wasiat. Ide wasiat wajibah ini diajukan ulama Mesir

untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yatim. Langkah Mesir

ini dipandang lebih mendekati keadilan, sehingga aturan wasiat wajibah

205

Secara rinci bunyi Pasal 209 menyebutkan sebagai berikut; (1) Harta

peninggalan anak angkat di bagi berdasarkan Pasal-Pasal 176 sampai dengan 193

tersebut, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi

wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2)

Trehadapa anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-

banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.Lihat Intruksi Presiden Nomor1

Tahun 1991 tentang Kompiasi Hukum Islam Buku II Hukum Kewarisan. Lihat pula

Hmpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Kompilasi Hukum Islam (Bandung:

Fokusmedia, 2005), 66. 206

Makna dari Wasiat Wa>jibah adalah seseorang dianggap menurut hukum

telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata. Anggapan hukum itu

lahir dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan wajib berwasiat, maka

ada atau tidak ada wasiat dibuat, wasiat itu dianggap ada dengan sendirinya. tindakan

yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau

memberikan putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal yang diberikan

kepada orang-orang tertentu dan dalam keadaan tertentu. Lihat Cik Hasan Bisri, ed.

Kompilasi Hkum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, 71. Lihat pula Fatchurrahman,

Ilmu Waris, (bandung: al- Ma’arif, 1981), 63. 207

Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Bustanul Arifin (Jakarta: Gema Insani, 1996), 224. Bandingkan,

Muchith A. Karim, ed. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Ummat Islam Indonesia

(Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010), 127-128.

Page 145: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

135

ini juga diberlakukan di negara-negara muslim lainnya seperti Kuwait,

Syiria, Maroko, Tunisia, dan Pakistan.208

Kuwait mengatur tentang hukum wasiat wajibah dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1971 (Law on Obligatory Beguest /Qa>nu>n al-Was{iyyah al- Wa>jibah). Hukum wasiat wajibah di Kuwait ini dibuat

secara sederhana hanya memuat empat pasal, yang dalam ketentuannya

merupakan derivasi dari Undang-Undang Wasiat di Mesir. Subtansinya

sama dengan Undang-Undang Mesir yaitu wasiat wajibah diberikan

kepada para cucu baik pria maupun wanita yang orang tuanya meninggal

lebih dulu dari pada kakek atau neneknya. Untuk cucu pria (anak dari

anak pria/ ibn al-ibn) wasiat wajibah dapat diberikan kepada generasi

berikutnya (ibn ibn al-ibn) terus kebawah, sedangkan untuk cucu dari

garia wanita (awla>d al–bana>t), wasiat wajibah hanya berlaku untuk

generasi pertama.

Syiria209

dan Maroko210

wasiat wajibah hanya berlaku bagi cucu

dari keturunan anak laki-laki. Di Tunisia hanya berlaku untuk para cucu

baik pria maupun wanita dalam generasi pertama.211

Di Pakistan dengan

ordonansi Hukum Keluarga Tahun 1961 Pasal 4 diberlakukan aturan

yang lebih radikal lagi yaitu, cucu mendapatkan bagian yang sama

dengan bagian yang semestinya di terima ayahnya bila ia masih hidup.212

Di Indonesia sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya,

bahwa wasiat wajibah tidak diterapkan kepada cucu melainkan kepada

anak atau ayah angkat. Ketentuan pasal 209 tersebut merupakan

208

M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, 64. Muh}ammad Kamal

Hamidi>, Al-Mawa>ri>th wa al-Hibah wa al-Wasiyyah (Iskandariyah: Da>r al- Mat}bu>’ah al-

Jami>’ah, t.th), 244-245. 209

Wasiat wajibah dalam The Syirian Code of Personal Status 1953 (Qa>nu>n al-Ah}wa>l al-Shakhs{iyyah al-Su>ri>) Pasal 256 menyatakan bahwa wasiat wajibah

diberikan hanya kepada cucu dari anak laki-laki sampai ke bawah, dan tidak diberikan

kepada cucu dari anak wanita. Lihat Al-Ahka>m al-Shar’iyyah fi> al-ah{wa>l al-Shakhs{iyyah, Mulh{aq Qawa>ni>n al-Ah{wa>l al-Shakhs{iyyah al-‘Ara>biyyah, 1832.

Muh}ammad Kamal Hamidi>, Al-Mawa>ri>th wa al-Hibbah wa al-Was{iyyah (Iskandariyah:

Dar> al-Mat{bu>’ah al-Jami>’ah, t.th), 245. 210

Undang-undang Personal Status Maroko Tahun 1958 dalam Pasal 266-269

menetapkan bahwa wasiat wajibah hanya berlaku melalui keturunan langsung anak pria

meninggal lebih dahulu dari pewarisnya, bagi keturunan langsung melalui anak wanita

yang meninggal terlebih dahulu dari pewarisnya tidak berlaku wasiat wjibah. Lihat

Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (New Delhi: Akademic of Law

and Religion, 1987), 148-150. 211

Ketentuan ini tertera dalam Pasal 191-192 Code of Personal Status 1956-

1981. Lihat Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, 163 212

M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad,164.

Page 146: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

136

gagasan baru yang didasarkan pada suatu kenyataan bahwa

pengangkatan anak (adopsi) merupakan suatu gejala yang hidup di

dalam kehidupan masyarakat Islam, meskipun hal tersebut tidak dengan

sendirinya terjadi hubungan hukum (saling mewarisi) antara anak angkat

dengan orang tua angkatnya. Dari hubungan sosial antara anak angkat

dengan orang tua angkatnya, melahirkan ketentuan tentang wasiat

wajibah. Hal ini merupakan ketentuan hukum yang khas Indonesia.213

Menurut Yahya Harahap dasar hukum yang digunakan KHI

dalam menetapkan adanya wasiat wajibah bagi anak angkat adalah

dengan mengkompromikan antara hukum Islam dan hukum adat. Lebih

lanjut beliau menyatakan bahwa kenyataan yuridis dalam hukum adat

yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, anak angkat

mempunyai hak dan kedudukan yang sama dengan anak kandung dalam

beberapa hal termasuk waris mewarisi merupakan suatu kenyataan yang

tidak dapat dipungkiri.214

Berdasarkan kenyataan inilah, para ulama Indonesia berijtihad

dalam menyusun KHI, dengan memodifikasi suatu keseimbangan hak

dan kewajiban antara anak angkat dengan orang tua angkatnya melalui

wasiat wajibah. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar hukum kewarisan

yang diberlakukan di Indonesia selaras dengan rasa keadilan.215

Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa pembagian warits

anak pria dan wanita dalam KHI tidak mengalami reaktualisasi.

Pelembagaan plaatsvervulling dan ketentuan wasiat wajibah terhadap

anak angkat dan orang tua angkat, merupakan dua terobosan baru dalam

hukum keluarga Islam di Indonesia.

213

Muchith A. Karim, ed. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia, 131-132. Lihat, Ridwan, Menbongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga Islam (Yogyakarta: PSG STAIN Purwokerto dan

Unggun Religi, 2005), 119. 214

M. Yahya Harahap, ‚Materi Kompilasi Hukum Islam‛ dalam Mahfud MD

dkk. ed. Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta:UII

Press, 1993), 93. 215

Abdullah Kelip, ‚Beberapa Catatan Efektifitas KHI‛ dalam Mahfud MD

dkk, eds. Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum Indonesia, 138.

Page 147: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

BAB V

WANITA SEBAGAI ISTRI DALAM PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN DAN PRAKTIK

HUKUM DI PENGADILAN AGAMA

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai wanita dalam statusnya

sebagai istri baik dalam peraturan perundang-undangan maupun hasil

putusan Pengadilan Agama. Tujuannya adalah untuk mengetahui hak-

hak istri yang telah terakomodir dalam hukum keluarga dan hasil

putusan Pengadilan Agama telah melindungi hak wanita atau tidak. Isu

yang akan di bahas dan menjadi perhatian penulis adalah terkait masalah

poligami, gugat cerai, dan masalah harta bersama.

A. Poligami: Putusan yang Tak Ternegosiasikan

Poligami termasuk persoalan yang masih kontroversi,

mengundang berbagai persepsi pro dan kontra. Golongan anti poligami

melontarkan sejumlah tudingan yang mengidentikkan poligami dengan

sesuatu yang negatif. Persepsi mereka1 poligami itu melanggar HAM.

Poligami merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat kaum wanita,

karena dianggap sebagai mediaum untuk memuaskan gejolak birahi

semata. Laki-laki yang melakukan poligami berarti ia melakukan

tindakan kekerasan atau bahkan penindasan atas hak-hak wanita secara

utuh. 2

Mereka yang pro poligami menanggapi bahwa poligami

merupakan bentuk perkawinan yang sah dan telah dipraktikkan berabad-

abad yang lalu oleh semua bangsa di dunia. Dalam banyak hal, poligami

justru mengangkat martabat kaum perempuan, melindungi moral agar

tidak terkontaminasi oleh perbuatan keji dan maksiat yang di larang

oleh Allah SWT., seperti maraknya tempat-tempat pelacuran yang justru

merendahkan martabat perempuan dan mengiring mereka menjadi budak

pemuas nafsu hidung belang. Poligami mengandung unsur

penyelamatan, ikhtiar perlindungan serta penghargaan terhadap

eksistensi dan martabat kaum wanita.3

1Eka Kurnia, Poligami Siapa Takut: Perdebatan Seputar Poligami (Jakarta:

QultumMedia, 2006), 3. Lihat juga Miftah Faridl, Poligami (Bandung: Pustaka,

2007), 7. 2Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2004), 43. 3Arij binti Abdur Rahman al-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri –Etika

Berpoligami (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006), 36.

Page 148: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

138

Kontroversi mengenai keadilan dalam poligami tidak akan

pernah habis dibicarakan, jika tidak mengkaji secara langsung

masalahnya yang substansial. Sejumlah ayat-ayat yang diduga sebagai

ayat poligami, harus dihadirkan dan didekati, tidak saja secara obyektif,

tetapi juga secara tematik-komprehensif. kajian poligami adalah kajian

mengenai nilai-nilai moral, sosial, rasa keadilan, serta kemanusiaan.

Kajian poligami tidak hanya difokuskan pada kajian fantasi libido,

perselingkuhan, dan stereotip negatif lainnya.

Dari keterangan nash-nash tentang poligami, dapat dikemukakan

sebagai berikut. Pertama, ada pernyataan boleh menikahi wanita

maksimal empat dengan syarat dapat berlaku adil, dan kalau tidak,

hanya boleh satu saja, ini pesan dari al-Nisa>’ Ayat 3. Kedua, bahwa ayat

ini harus dihubungkan dengan ayat sebelumnya, al-Nisa>’ Ayat 1 dan 2,

ayat yang berbicara tentang kasus yang ada ketika itu, banyaknya anak

yatim perempuan yang berada di bawah perwalian. Ketiga, ada

pernyataan nash bahwa seorang suami tidak akan dapat berlaku adil

terhadap istrinya, bagaimanapun usaha yang dilakukan, ini pesan dari al-

Nisa>’ Ayat 129. Keempat, praktik Nabi saw. yang selama 25 tahun

perkawinannya adalah monogami. Kelima, ada kasus sahabat yang

sebelum masuk Islam mempunyai istri lebih dari empat, setelah masuk

Islam, Nabi saw. memerintahkan untuk mempertahankan maksimal

empat istri.

Masyarakat dihadapkan pada sebuah dilema, di satu sisi secara

tektual al-Qur’an mengakomodir poligami, di sisi lain secara faktual

poligami cenderung melahirkan mafsadat dari pada manfaat dalam

kehidupan keluarga maupun sosial. Strategi yang diambil oleh ulama

cukup menarik untuk dicermati. Muhammad Quraish Shihab misalnya

mengatakan bahwa poligami adalah pintu kecil yang hanya bisa dilalui

oleh yang sangat membutuhkan dengan syarat yang tidak ringan. Surah

al-Nisa>’ Ayat 3 tidak membuat peraturan tentang poligami (pembolehan

atas sesuatu yang belum ada) karena poligami telah dikenal dan

dilaksanakan oleh penganut berbagai syari’at agama serta adat istiadat

masyarakat sebelum turunnnya ayat ini. Oleh karena itu, ayat ini sama

sekali tidak bermaksud mewajibkan maupun menganjurkannya.4

4Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 2 (Jakarta: Lentera

Hati, 2009), 410. Demikian pula poligami Rasulullah Saw, menurut Quraish juga tidak

berarti bahwa kita harus meneladaninya karena tidak semua apa yang dilakukan Rasul

perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib

dan terlarang pula bagi umatnya seperti wajib bangun shalat malam dan larangan

menerima zakat.

Page 149: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

139

Pendapat yang senada disampaikan Rashi>d Rid}a> sebagaimana

yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi dan Abdul Rahman Ghozali

mengatakan bahwa, Islam memandang poligami lebih banyak membawa

resiko atau madarat dari pada manfaatnya, karena manusia itu menurut

fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh.

Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi jika

hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian

poligami itu bisa menjadikan sumber konflik dalam kehidupan keluarga,

baik konflik antara suami dengan isti-istri dan anak-anak dari istri-

istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-

masing. Karena itu hukum asal dalam perkawinan adalah monogami,

sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat cemburu, iri hati,

mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan

keutuhan rumah tangga. Karena itu poligami diperbolehkan dalam

keadaan darurat.5

Darurat yang dimaksud adalah berkaitan dengan tabiat laki-laki

dari segi kecenderungannya untuk bergaul dengan lebih dari seorang

istri. Kecenderungan yang ada pada diri seorang laki-laki itulah yang

kemudian diatur dalam ajaran Islam. Dalam keadaan seperti itu,

seandainya shari’at Islam tidak memberikan kelonggaran berpoligami

maka akan membuka peluang pada perzinahan. Itulah sebabnya poligami

diperbolehkan dalam Islam.6

Pendapat yang berbeda disampaikan Al-Na‘i>m sebagaimana yang

dikutip Anwar Hafidzi dalam penelitiannya menyatakan bahwa, salah

satu contoh praktik diskriminasi atas perempuan adalah laki-laki dapat

menikahi hingga empat perempuan dalam waktu yang sama, tetapi

perempuan hanya dapat menikah dengan seorang laki-laki.7 Padahal

larangan wanita berpoliadri dikarenakan Allah menginginkan

kehormatan dan keadilan terhadap para wanita akan tetap terjaga.

Wanita yang berganti-ganti pasangan pada tempat yang satu (rahim

wanita) akan rentan dengan penyakit kanker rahim seperti penelitian

5Abdul Rahman Ghozali, Fikih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003), 130-131.

Lihat pula; Masyfuk Zuhdi, Masa’il Fikhiyah (Jakarta: Gita Karya, 1988), 12. 6Miftah Faridl, Poligami: Catatan Pengalaman dan Interpretasi Ajaran

(Bandung: Pustaka, 2007), 35. 7Anwar Hafidzi,‛ Konsep Humanisme dan Maslahat dalam Pemikiran

Muhammad Shahrur: Studi atas Buku Nahwa> Us}ul Jadi>dah‛, (Jakarta: Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), 165.

Page 150: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

140

yang dilakukan di Amerika dan Eropa disebabkan tempat penampungan

sperma yang hanya satu.8

Menurut Muhammad Shahrur, praktik poligami diperbolehkan

dengan dua syarat. Pertama, istri kedua, ketiga dan keempat haruslah

dari kalangan janda yang memiliki anak yatim. Kedua, harus memiliki

rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim. Bila dua

syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak berlaku lagi perintah

poligami sebagaimana penjelasan dalam nash.9 Oleh karena itu,

walaupun poligami mubah namun sebaiknya tidak diakukan karena lebih

konsisten pada hal yang pasti baik dan selamat (monogami).10

Menikahi

satu perempuan tentu lebih ringan dan lebih mudah dalam pemenuhan

kebutuhan lahir maupun batin dan lebih menenteramkan bagi suami,

karena tidak adanya kewajiban berlipat sebagaimana jika ia berpoligami

dan juga bagi istri dan anak-anak, karena tidak adanya kecemburuan

yang sangat mengganggu.

Menurut Atho Mudzhar, tidak ada yang mengharamkan

melakukan praktik poligami, semua itu tergantung pada pengaturan

negara dan keadaan sosial laki-laki berdasarkan kemaslahatan, sehingga

mungkin saja praktik poligami dapat dipersulit, dipermudah bahkan

dilarang sesuai situasi dan kondisi dalam kehidupan bermasyarakat yang

tergantung pada aturan undang-undang negara.11

Secara substantif salah satu asas hukum perkawinan yang diatur

secara konsisten dalam reformasi hukum keluarga di dunia Islam adalah

asas pembatasan poligami. Mengenai format pembatasan poligami ini,

seperti tercantum dalam UU Hukum Keluarga di dunia Islam

kontemporer, terdapat dua kecenderungan yang menarik, yaitu ada UU

hukum keluarga yang memuat norma kriminalisasi poligami dan ada

juga UU hukum keluarga yang tidak memuat norma kriminalisasi

poligami. Pemuatan norma kriminalisasi poligami merupakan

keberanjakan yang signifikan bila dilihat dari sisi doktrin hukum Islam

8 Muhammad Mutawalli al-Sha’ra>wi>, al-Fata>wa>: Kullu ma> Yuhimmi al-

Muslim fi> H}aya>tih Yawmih wa Ghadih (Kairo: Maktabah al-Taufiqiyah, 1997), 440.

Bandingkan dengan pendapat Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jil. II

(Jakarta: Lentera Hati, 2003), 27. 9Muhammad Shahrur, Nahwa us}u>l Jadi>dah li al-Fiqh al-Isla>mi>, Fiqh al-

Mar’ah, 303. 10

‘Abdurrah}ma>n bin Na>s}ir al-Sa’di >, Taysi>r al-Rah}ma>n al-Kari>m (t.k:

Muassasah al-Risalah, 2000), 163. 11

Muhammad Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, eds. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih, 213-215.

Page 151: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

141

secara umum. Hukum keluarga Turki misalnya, perkawinan poligami

yang dilakukan seseorang dipandang tidak sah secara hukum. Seseorang

yang melakukan perkawinan poligami dapat dipidana dengan pidana

yang telah ditentukan dan perkawinan yang kedua (poligami) dipandang

tidak sah secara hukum.12

Negara lain yang juga patut dicatat adalah Tunisia. Kriminalisasi

poligami diatur dalam The Tunisian Code of Personal Status 1956. Pasal

18 Ayat (i) memuat ketentuan bahwa poligami adalah hal yang

dilarang. Ditegaskan pula bahwa orang yang melakukan poligami,

padahal ia masih terikat perkawinan dengan istrinya, dapat dipidana.

Ancaman pidananya berupa pidana kurungan selama satu tahun atau

pidana denda sebesar 240.000 malims atau kombinasi pidana kurungan

dan pidana denda. Menurut John L. Esposito, dasar larangan poligami

adalah pertama, poligami merupakan praktik perbudakan, selamanya

tidak dapat di terima oleh mayoritas umat Islam di mana pun. Kedua, idealnya dalam al-Qur’an adalah monogami. Pelarangan poligami ini

terkait dengan prinsip pernikahan yang diperdebatkan ulama Tunisia dan

para pembaharu di negeri itu. Menurut tokoh pembaharu di Tunisia,

prinsip pernikahan dalam Islam adalah monogami, bukan poligami.13

Tokoh pembaharu tersebut di antaranya Muhammad Abduh,

beliau menyatakan bahwa idealnya, al-Qur’an adalah monogami, karena

syarat yang diajukan supaya berlaku adil terhadap istri-istrinya adalah

suatu kondisi yang sangat sulit direalisasikan bahkan tidak mungkin

terlealisasi dengan sepenuhnya. Argumen ini rupanya dirujuk oleh

pemerintah Tunisia.14

Praktik poligami di Tunisia, menurut para

pembaharu Tunisia selalu menyuguhkan fenomena kehidupan yang tidak

menyenangkan. Banyak kaum perempuan dan anak-anak yang terlantar,

karena itu beberapa negara Islam seperti Maroko, Al-Jazair, dan Mesir

memperketat praktik poligami, demikian pula Indonesia.

Aturan poligami di Indonesia diatur secara ketat. Pada asasnya

dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang

12

Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, 21. Penulis

tidak berhasil mengakses teks UU dimaksud. Dalam bukunya ini, Tahir Mahmood

hanya membuat catatan, tidak memuat teks UU tersebut. Dalam proposisinya tersebut,

Tahir Mahmood merujuk kepada Pasal-Pasal 93 dan 112 Turkish Code of Personal Status 1926.

13 Dedi Supriadi dan Mustofa, perbandingan Hukum perkawinan di Dunia

Islam, 110. 14

M. Atho Mudzhar dan Kharuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, 89.

Page 152: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

142

istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami

sebagaimana Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Dalam

penjelasannya UU ini menganut asas monogami. Hal ini sejalan dengan

firman Allah dalam surah al-Nisa>’ Ayat 315

dan Ayat 129.16

Menurut Ahmad Rafiq kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa

asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Kebolehan poligami

apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada istri-

istrinya terpenuhi. Syarat keadilan ini menurut isyarat Ayat 129 tersebut

terutama dalam hal membagi cinta tidak akan dapat dilakukan. Namun

demikian hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan

untuk berpoligami sepanjang persyaratan keadilan di antara istri dapat

terpenuhi dengan baik. Karena hukum Islam tidak mengatur teknis dan

bagaimana pelaksanaan agar poligami dapat dilaksanakan manakala

memang diperlukan dan tidak merugikan, tidak tejadi kesewenang-

wenangan terhadap istri, maka hukum Islam di Indonesia perlu

mengatur dan merincinya.17

Poligami dapat dilakukan dengan cara mengajukan permohonan

izin poligami kepada Pengadilan Agama dengan syarat-syarat

sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut.

Alasan izin poligami yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) UU No.1 Tahun

1974 bersifat alternatif, artinya jika salah satu persyaratan tersebut

dapat dibuktikan, Pengadilan Agama dapat memberi izin.

Adapun alasan izin poligami tersebut adalah;

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Alasan yang terdapat dalam Pasal 5 Ayat (1) bersifat kumulatif,

artinya Pengadilan Agama hanya dapat memberi izin poligami apabila

semua persyaratan telah terpenuhi, yaitu :

15

Redaksi ayat tersebut adalah;

16

Ayat tersebut berbunyi;

17

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, 170.

Page 153: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

143

a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri

dan anak-anak mereka.

Izin berpoligami oleh Pengadilan Agama dapat diberikan apabila alasan

suami telah memenuhi alasal-alasan alternatif sesuai ketentuan Pasal 4

Ayat (2) dan syarat-syarat kumulatif yang tercantum dalam Pasal 5

Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 sebagaimana tersebut di atas.

Agar tercipta tertib administrasi dalam masyarakat dan negara

dapat melindungi kepentingan warga negaranya terutama untuk

melindungi hak-hak kaum perempuan dalam hidup berumah tangga,

maka negara mengatur praktik poligami ini melalui aturan dalam KHI.

Persyaratan-persyaratan poligami yang diatur dalam KHI terdapat

dalam Bab IX dengan judul ‚Beristri lebih dari satu orang‛, terdapat

dalam Pasal 55 berbunyi:

1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya

sampai empat orang istri

2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku

adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya

3. Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin

terpenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Pasal 56 berbunyi:

1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat

izin dari Pengadilan Agama

2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan

menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat

tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan

hukum.

Ketentuan-ketentuan di atas secara jelas menyatakan bahwa

untuk berpoligami harus melalui izin Pengadilan Agama, apabila

dilakukan diluar izin Pengadilan Agama, perkawinan tersebut dianggap

tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Konsekuensi

perkawinan tersebut selanjutnya akan menjadi lebih rumit, karena segala

akibat hukum dari hubungan perkawinan itu juga dianggap tidak ada,

seperti anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut, oleh Undang-

undang sesuai dengan Pasal 42 dan 43 UU No. 1 Tahun 1974 dianggap

Page 154: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

144

anak lahir di luar perkawinan sehingga tidak mempunyai hubungan

perdata (hukum) kecuali semata dengan ibunya. Dengan demikian semua

hak-hak perdata anak akan terlepas dari sang ayah, artinya sang ayah

tidak mempunyai kewajiban apapun secara hukum, dan dalam hal ini

baik ibu atau anak-anak itu sendiri tidak dapat menuntut hak-hak

mereka, termasuk hak-hak yang menyangkut harta kekayaan.

Urgensi izin poligami menurut ketentuan undang-undang

bersifat prosedural untuk memberikan jaminan hukum atas terjadinya

perkawinan itu, sehingga eksistensinya secara yuridis formal diakui.

Perkawinan secara materiil sah apabila dilakukan menurut ketentuan

agama dan baru diakui terjadinya perkawinan apabila dilakukan

memenuhi ketentuan formal, maka ketentuan formil hukumnya sama

dengan ketentuan materiil untuk sahnya suatu perkawinan. Dengan

demikian perkawinan poligami dianggap sah apabila memenuhi

ketentuan hukum materiil, yaitu telah dilakukan sesuai dan dengan

memenuhi syarat-syarat dan rukunnya menurut hukum Islam, dan telah

memenuhi hukum formal, yaitu dilakukan setelah mendapat izin dari

Pengadilan yang membolehkan untuk melangsungkan perkawian

poligami tersebut.

Perkawinan yang hanya memenuhi ketentuan materiil tetapi

tidak memenuhi ketentuan formalnya, dianggap perkawinan itu tidak

pernah terjadi, yang dalam istilah fikih disebut ‚wujuduhu ka ‘adamihi‛,

sedangkan perkawinan yang telah memenuhi ketentuan hukum formal,

tetapi ternyata tidak memenuhi ketentuan hukum materiil, maka

perkawinan itu dapat dibatalkan. Oleh karena itu, meskipun secara

materil perkawinan itu sah tetapi secara formal belum sah, sehingga oleh

negara selamanya perkawinan itu dianggap tidak pernah ada kecuali jika

dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh PPN

(Pegawai Pencatat Nikah). Sedangkan pihak PPN menurut Pasal 44 PP

No. 9 Tahun 1975 menyatakan ‚Pegawai Pencatat Nikah (PPN)

dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang

akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti

yang dimaksud dalam Pasal 43‛.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa urgensi keharusan izin

Pengadilan untuk berpoligami secara sosio-filosofi sangat menyangkut

Page 155: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

145

eksistensi perkawinan dalam pengakuan hukum maupun pergaulan

masyarakat. Secara sosio-yuridis, nilai-nilai filosofi yang diusung dalam

undang-undang mengharuskan adanya izin pengadilan untuk

berpoligami. Apabila poligami dlakukan tanpa adanya izin dari

Pengadilan , maka eksistensi perkawinan itu;

a. Tidak mempunyai kekuatan hukum, karena perkawinan tersebut

dianggap tidak pernah ada (wujuduhu ka ‘adamihi), sehingga tidak

menimbulkan akibat hukum.

b. Tidak dapat dijadikan dasar untuk suatu kepentingan hukum secara

legal formal atas segala hal-hal yang menyangkut hubungan hukum

dari perkawinan itu.

c. Tidak dapat dijadikan dasar untuk semua tuntutan hukum ke

Pengadilan atas sengketa yang timbul dari perkawinan itu

dikemudian hari.

d. Tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut hak-hak suami istri

termasuk anak-anak mereka secara legal-formal dalam kehidupan

bernegara maupun dalam pergaulan sosial kemasyarakat.

Secara sosio-filosofi ketentuan-ketentuan yuridis formal yang

menyangkut keharusan izin Pengadilan untuk berpoligami adalah agar

eksistensi dan konsekuensi dari perkawinan poligami itu berjalan sesuai

dengan apa yang dikehendaki shari’at agamanya, yaitu terciptanya

rumah tangga yang dapat menghidupkan nilai-nilai keadilan atas dasar

mawaddah dan rahmah dalam kerangka mu’a>sharah bi al-ma’ru>f, terwujudnya kehidupan keluarga yang tenteram sehingga menuai

kebahagian yang diharapkan oleh masing-masing suami istri. Lebih jauh

lagi, rumah tangga yang demikian akan menjadi basis sosial yang

menciptakan rasa aman dalan pergaulan hidup masyarakat umum. Hal

ini karena sejumlah problem sosial sebagaimana telah diuraikan di atas,

didominasi faktor-faktor bobroknya kehidupan rumah tangga yang

dibangun oleh setiap anggota masyarakat.

Walaupun Pengadilan Agama memberikan izin untuk

berpoligami dengan berbagai persyaratan, tetapi kenyataan di

masyarakat masih banyak para suami yang melakukan poligami secara

tidak resmi atau tidak dilakukan di depan petugas pencatat nikah dan

Pengadilan Agama, pelaku poligami ini hanya melakukan nikah sirri dan

ada juga yang melakukan pemalsuan identitas di KUA. Pada tahun 2008,

ada 36 kasus perkawinan poligami yang dilaporkan istri kepada LBH-

APIK Jakarta karena suami melakukan poligami tanpa ada izin dari istri,

dan ada pula poligami yang dilakukan tidak dicatatkan di KUA. Pada

Page 156: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

146

tahun 2003 LBH APIK mencatat berbagai macam modus suami

melakukan poligami, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel: 5.1.

Modus Pelaku Poligami

No. Jenis Modus Jumlah

1. Menikah di bawah tangan 21

2. Pemalsuan identitas di KUA 19

3. Nikah tanpa izin istri pertama 4

4. Memaksa mendapatkan izin 1

5. Tidak diketahui modusnya 3

Total 48

Sumber: LBH APIK Jakarta Tahun 2003

Tabel di atas menunjukkan bahwa, suami yang berpoligami

dengan melakukan pernikahan di bawah tangan (sirri) menempati urutan

tertinggi dengan jumlah 21 kasus. Pemalsuan identitas di KUA

menempati urutan kedua dengan jumlah 19 perkara. Disusul dengan

modus nikah tanpa izin istri pertama dengan jumlah 3 kasus. Terakhir,

adanya pemaksaan pihak suami kepada istri untuk mengizinkan

poligami.

Modus poligami yang dilakukan dengan secara sirri marak

terjadi, mereka tidak berfikir panjang dampak dari pernikahan sirri

tersebut. Dampak yang di maksud adalah, secara hukum istri dan anak-

anak yang lahir dari akibat perkawinan tersebut tidak diakui dan tidak

berhak mendapatkan harta warisan dari suami dan bapaknya. Anak-anak

juga tidak berhak mendapatkan akte kelahiran. Istri dan anak-anak

tersebut dianaktirikan oleh negara, sebab sejak awal mereka tidak

tunduk pada aturan negara (ulil amri). Sangat dimungkinkan anak-anak

yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatat melakukan

perkawinan yang diharamkan di antara mereka, yang sebenarnya masih

ada hubungan darah atau kekerabatan, karena asal usul mereka tidak

dapat diketahui dengan sebenarnya karena ketiadaan bukti-bukti tertulis

yang dikeluarkan oleh KUA.18

Pengadilan Agama terkesan cukup hati-hati dalam mengabulkan

permohonan izin poligami. Pada tahun 2006, tercatat ada 989

permohonan izin poligami yang diajukan di Pengadilan Agama di

seluruh Indonesia, tetapi tidak semua pengajuan permohonan poligami

itu dikabulkan. Ada 803 permohonan izin poligami yang dikabulkan

18

Khamimudin, ‚Pro- Kontra Sekitar Poligami‛, diakses pada 23 Oktober

2012 melalui www.badilaq.net/data/ATIKEL/sekitar20%poligami

Page 157: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

147

sedangkan 186 lainnya ditolak. Penolakan tersebut disebabkan karena

syarat-syarat poligami tidak memenuhi persyaratan. Adapun rincian

permohonan izin poligami yang diajukan di Pengadilan Agama di

seluruh Indonesia adalah sebagimana tabel berikut ini.

Tabel: 5.2.

Permohonan Izin Poligami di Pengadilan Tinggi Agama Seluruh

Indonesia Tahun 2006

No. Mahkamah Syariah

Propinsi/Pengadilan Tinggi Agama

Permohonan

Izin Poligami

1. Surabaya 332

2. Semarang 289

3. Bandung 77

4. Yogyakarta 68

5. Mataram 42

6. Pekanbaru 21

7. Manado 18

8. Palembang 18

9. Jakarta 18

10. Medan 14

11. Pontianak 12

12. Ujungpandang 11

13. Kendari 10

14. Samarinda 10

15. Padang 8

16. Bengulu 7

17. Banda Aceh 6

18. Palu 6

19. Kupang 5

20. Bandar lampung 5

21. Jambi 3

22. Bandarmasin 3

23. Balangkaraya 2

24. Ambon 2

Jumlah 989

Sumber: Laporan Tahunan Pengadilan Tinggi Agama.

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa, sepanjang tahun

2006 permohonan izin poligami di seluruh wilayah Pengadilan Agama di

Indonesia mencapai 989 permohonan. Surabaya menempati urutan

tertinggi dengan jumlah 332 perkara. Berikutnya Semarang, dengan

jumlah 289 kasus. Di susul Bandung dengan jumlah 77 kasus.

Yogyakarta menempati urutan keempat dengan jumlah 68 perkara.

Berikutnya Mataram dengan jumlah 42 kasus. Disusul Pekanbaru

Page 158: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

148

dengan jumlah 21 kasus. Sedangkan Jakarta menempati urutan ketujuh,

sejajar dengan Palembang dan Manado dengan jumlah 18 perkara.

Pada tahun 2010-2011, permohonan izin poligami yang diterima

di Pengadilan Agama DKI Jakarta mencapai 53 kasus, dan yang berhasil

diselesaikan atau diputus mencapai 45 kasus dengan rincian

sebagaimana tabel di bawah ini.

Tabel: 5.3.

Perkara Permohonan Izin Poligami yang diterima dan diputus

Pengadilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-2011 No. Pengadilan Agama DKI Jakarta Perkara Di

terima

Perkara

Diputus

1. Jakarta Utara 3 3

2. Jakarta Selatan 15 9

3. Jakarta Timur 19 19

4. Jakarta Pusat 5 2

5. Jakarta Barat 11 11

Total 53 4519

Sumber: Pribadi dari Laporan Tahunan Pengadilan Agama DKI Jakarta

Tahun 2010-2011.

Berdasarkan tabel di atas menenunjukkan bahwa, sepanjang

tahun 2010 sampai 2011 PA Jakarta Timur menempati urutan tertinggi

mencapai 19 kasus, dan semuanya dapat diselesaikan. Kemudian PA

Jakarta Selatan menempati urutan kedua dengan jumlah 15 kasus, dan

yang dapat diputus 9 kasus. Ketiga PA Jakarta Barat, dengan jumlah 11

kasus, semuanya berhasil di selesaikan. Keempat PA Jakarta Pusat,

dengan 5 kasus dan yang berhasil diputus hanya 2 kasus. Terakhir,

Jakarta Utara dengan jumlah 3 kasus dan semuanya dapat diselesaikan.

19

Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara

tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat pula

Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara tentang

Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach Jufri dan

Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta

Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. LIihat Ujang Mukhlis, ‚Laporan Perkara

yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember

Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang

Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30 Desember, 2010). Lihat

Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang Perkara yang

diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011). Lihat Arsip ‚Data

Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat Arsip ‚Data

Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat

http://www.infoperkara.Badilaq.go.id Diakses pada tanggal 2 Agustus 2011.

Page 159: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

149

Dari sekian banyak kasus praktik poligami yang diterima di

Pengadilan Agama DKI Jakarta, ada beberapa putusan yang patut untuk

dianalisis. Putusal-putusan yang paling mencolok tersebut akan

dideskripsikan di bawah ini.

- Deskripsi Perkara dan Amar putusan Hakim dalam Kasus

Permohonan Izin Poligami.

Kasus pertama, Permohonan izin poligami disampaikan oleh

Pemohon ke Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan register perkara

nomor 817/Pdt.G/2011/PAJT. Dalam putusan ini dijelaskan bahwa

antara Pemohon (umur 32 tahun) dan Termohon (umur 26 tahun) telah

melangsungkan pernikahan pada tanggal 04 September 2006. Setelah

menikah, antar Pemohon dan Termohon bertempat tinggal di rumah

orang tua Termohon. Selama pernikahan tersebut Pemohon dan

Termohon hidup rukun selayaknya suami-istri dan dikarunia seoarang

anak laki-laki yang lahir pada tanggal 30 November 2007. Meskipun

Pemohon hidup rukun dan harmonis dengan Termohon beserta anaknya,

keadaan tersebut tidak menyurutkan niat Pemohon untuk berpoligami

dengan seorang wanita yang berprofesi sebagai karyawati di salah satu

bank swasta yang umurnya lima tahun lebih tua dari Pemohon yaitu 37

(tiga puluh tujuh) tahun.

Alasan izin poligami yang diajukan Pemohon adalah dikarenakan

Termohon sebagai istri kurang dapat menjalankan kewajibannya sebagai

istri dalam hal nafkah batin. Jika tidak melakukan poligami, Pemohon

sangat khawatir akan melakukan perbebuatan yang dilarang oleh norma

agama. Untuk menguatkan alasan permohonan tersebut, Pemohon

menyatakan kesanggupannya memenuhi kebutuhan hidup istri-istri

beserta anak-anaknya, karena Pemohon bekerja sebagai wiraswasta yang

berpenghasilan perbulan Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah). Di

samping itu, Pemohon menyatakan kesanggupannya berbuat adil

terhadap istri-istinya.20

Di persidangan, Termohon menyampaikan jawabannya secara

lisan dengan menyatakan bahwa Termohon mengakui semua dalil-dalil

yang diajukan Pemohon dan bersedia untuk dimadu asalkan Pemohon

berlaku adil. Untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon

mengajukan bukti surat-surat berupa, P.1: (Kutipan Akta Nikah). P.2

(fotocopy KTP Pemohon, Termohon, dan calon istri kedua Pemohon).

20

Doumentasi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor

817/Pdt.G/2011/PAJT.

Page 160: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

150

P.3 (surah pernyataan belaku adil). P.4 (surah pernyatan persetujuan istri

pertama yaitu Pemohon). P.5 (surah pernyataan calon istri kedua

Pemohon). P.6 (surah pernyataan penghasilan Pemohon) dan bukti surah

lainnya. Selain bukti tertulis, Pemohon juga menghadirkan saksi-saksi di

muka persidangan yang membenarkan dalil-dalil yang diajukan

Pemohon.

Kasus kedua, Pemohon berdasarkan surat permohonannya pada

tanggal 23 Desember 2010 telah mengajukan permohonan izin poligami

yang didaftarkan pada Pengadilan Agama Jakarta Utara. Dalam

positanya pemohon menjelaskan bahwa antara Pemohon dan Termohon

telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 04 Desember 2010.

Setelah menikah Pemohon dan Termohon betempat tinggal di rumah

orang tua Pemohon. Selama pernikahan antara Pemohon dan Termohon

hidup rukun sebagaimana layaknya suami-istri, namun belum dikaruniai

keturunan. Oleh karena itu Pemohon hendak menikah lagi (poligami)

dikarenakan Pemohon telah terlanjur menghamili calon istri keduanya

dan bermaksud mempetanggungjawabkan perbuatan Pemohon dengan

cara melakukan poligami.

Dalam permohonannya, Pemohon menyatakan kesanggupannya

memenuhi kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anaknya, karena

Pemohon bekerja sebagai Karyawan Swasta yang berpenghasilan setiap

bulannya sebesar Rp. 3.900.000, (tiga juta Sembilan ratus ribu rupiah)

dan sanggup berbuat adil terhadap istri-istri Pemohon. Majelis hakim

telah berusaha memberikan nasehat yang cukup kepada Pemohon agar

membatalkan kehendaknya berpoligami, akan tetapi usaha tersebut tidak

berhasil, Pemohon tetap ingin melanjutkan niatnya untuk berpoligami.

Atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah menyatakan

secara lisan di persidangan bahwa ia tidak keberatan dengan

permohonan Pemohon tersebut. Untuk melengkapi permohonannya,

Pemohon mengajukan alat-alat bukti berupa; surat pernyataan berlaku

adil, surat pernyataan bersedia dimadu, dan surat pernyataan

penghasilan. 21

Kasus ketiga, Permohonan izin poligami disampaikan Pemohon

(umur 36 tahun) pada tanggal 19 Juli 2004 yang terdaftar di

Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan register nomor

perkara 851/Pdt.G/2004/PAJS. Pada pokok permohonannya, Pemohon

mengemukakan bahwa, antara Pemohon dan Termohon (umur 30 tahun)

21

Dokumentasi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan Nomor

disembunyikan.

Page 161: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

151

telah melangsungkan pernikahan pada hari Sabtu tanggal 24 Juli 1996

sesuai dengan Kutipan Akte Nikah yang bersangkutan. Sejak menikah

hingga permohonan ini disampaikan, kehidupan rumah tangga Pemohon

dan Termohon senantiasa rukun sebagaimana layaknya suami-istri. Dari

pernikahan tersebut telah dikarunia tiga orang anak dan saat

permohonan ini diajukan Termohon dalam keadaan hamil anak keempat

dari pernikahan Pemohon dan Termohon. Meskipun kehidupan rumah

tangga Pemohon dan Termohon berjalan harmonis dan telah dikarunia

tiga orang anak bahkan calon dari bapak empat orang anak, namun hal

tersebut tidak menyurutkan niat Pemohon untuk menikah lagi

(berpoligami).

Alasan Pemohon berpoligami adalah dikarenakan menjalankan

shari’at agama. Atas alasan tersebut akhirnya Termohon memberi

persetujuannnya kepada Pemohon untuk berpoligami. Berhubung

Pemohon sudah mendapat persetujuan dari Termohon, akhirnya

Pemohon berkenalan dan berniat untuk melangsungkan pernikahan

dengan seorang Mahasiswi (umur 20 tahun). Dalam permohonannya,

Pemohon mengajukan bukti-bukti tertulis berupa P1, P2, P3, P4, dan P6,

yang pada pokoknya menyatakan kesanggupannya untuk menikah lagi

dan bertanggungjawab dalam menghidupi istri-istri dan anak-anak

Pemohon, karena Pemohon mempunyai penghasilan yang cukup, yaitu

sebesar Rp. 23.300.000, (dua puluh tiga juta tiga ratus rupiah). Selain itu

Pemohon berjanji untuk belaku adil terhadap istri-istri dan anak-

anaknya. Setelah melalui proses persidangan dengan menghadirkan para

saksi yang membenarkan bahwa Pemohon memiliki kesanggupan lahir

batin untuk berpoligami. Berdasarkan pengakuan Pemohon

dipersidangan, alasan Pemohon izin poligami dikarenakan tidak mau

terjebak pada perbuatan maksiat (Zina).

Dari ketiga putusan tersebut, berdasarkan fakta-fakta di

persidangan, majelis hakim berkesimpulan bahwa permohonan Pemohon

dapat dipertimbangkan untuk diterima dan dikabulkan. Dalam putusan-

putusan tersebut majelis hakim mengeluarkan putusan dengan

menyatakan hal-hal sebagai berikut.

1. Mengabulkan permohonan Pemohon.

2. Memberi izin kepada Pemohon untuk melakukan poligami

3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya

perkara.

- Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Permohonan

Izin Poligami

Page 162: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

152

Di Pengadilan Agama ada dua jenis perkara kontentius, tetapi

menggunakan istilah permohonan, yaitu permohonan izin ikrar talak dan

permohonan izin beristri lebih dari satu (poligami). Permohonan izin

poligami harus diproses sebagai kontentius karena diperlukan izin istri

pertama serta melindungi hak-hak istri dalam mencari upaya hukum dan

keadilan. Suami berkedudukan sebagai Pemohon dan istri sebagai

Termohon. Antara Pemohon dan Termohon mempunyai kedudukan yang

sama di muka hakim.22

Dalam praktiknya, masalah poligami terkadang bersifat voluntair

dan terkadang kontentius. Poligami bersifat kontentius yaitu apabila

istri sudah menjalankan kewajibannya sebagai istri, suami mengajukan

permohonan izin poligami, istri tidak mau dimadu dan suami tidak mau

menceraikan. Sedangkan poligami bersifat voluntair yaitu jika istri

memberi izin suami menikah lagi.23

Hakim sebagai pihak yang berwenang mengadili atau menangani

perkara (Absolute Coupetensial)24 izin poligami tentunya mempunyai

pertimbangan-pertimbangan serta kriteria-kriteria tertentu dalam

mengabulkan perkara poligami dengan berbagai alasan yang diajukan

kepadanya, karena memang hakim berwenang untuk menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat

dengan tanpa mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang

ada (Undang-Undang Kehakiman Tahun 2004). Disamping itu alasan-

alasan yang ketat menjadi syarat diperbolehkannya poligami yang

termaktub dalam undang-Undang masih bersifat global. Masih perlu

adanya penafsiran-penafsiran hukum oleh hakim untuk memahaminya.25

Ada satu proses yang harus dipenuhi dalam suatu perkara di

Pengadilan, bahwasannya Hakim harus menilai apakah peristiwa atau

fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pihak itu adalah benar-benar

terjadi. Hal ini hanya dapat dibuktikan melalui pembuktian.

Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu

22

A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, 202-203. 23

Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,

Tanggal 18 Juli 2012. 24

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Pedoman Beracara Pada Pengadilan Agama (Jakarta: t.p, 1980),1.

25Fahad Asadulloh, ‚Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan

Izin Poligami (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri Tahun 2009-

2010)‛, diakses pada 16 November 2012 Melalui

http://banjirembun.blogspot.com/2012/06/skripsi-bab-i-pertimbangan-hakim-

dalam.html.

Page 163: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

153

fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut

hukum pembuktian yang berlaku. Di dalam pembuktian, para pihak

memberikan dasar-dasar kepada Hakim yang memeriksa perkara guna

memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa dalam perkara yang

diajukan. Proses pembuktian di atas dilakukan dengan tujuan untuk

memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan

itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar

dan adil. Karena hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum

nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar

terjadi, yaitu dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya

hubungan hukum antara para pihak.26

Dari kasus-kasus permohonan poligami yang diterima dan

dikabulkan oleh Pengadilan Agama DKI Jakarta ada beberapa alasan

yang melatarbelakangi para pihak mengajukan permohonan izin

poligami. Ada kalanya mereka mengajukan permohonan poligami

tersebut karena istri mengalami cacat badan, dan ada pula yang

beralasan istri tidak bisa melahirkan keturunan dan berbagai alasan yang

memang sesuai dengan apa yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan

KHI Pasal 57 tentang poligami.

Namun demikian, ada beberapa kasus yang terjadi di Pengadilan

Agama DKI yang tidak sesuai dengan alasan-alasan yang terdapat dalam

Undang-Undang. Seperti contoh kasus dengan register nomor perkara

851/Pdt.G/2004/PAJS. Alasan Pemohon mengajukan izin poligami pada

kasus ini adalah untuk menjalankan shari’at agama. Seolah-olah ayat

poligami difahami sebagai anjuran bukan sebagai pintu darurat

sebagaimana pendapat Quraish Shihab yang menyatakan bahwa,

poligami ibarat pintu pintu darurat dalam pesawat udara, yang tidak

dapat dibuka kecuali saat situasi sangat gawat dan setelah diizinkan oleh

pilot. Yang membukanya pun haruslah mampu, karena itu tidak

diperkenankan duduk di samping emergency door kecuali orang-orang

tertentu.27

Pintu darurat seharusnya ada untuk menyelamatkan seluruh

penumpang tanpa pengecualian. Sementara poligami terkadang hanya

menyelamatkan suami atau ayah saja, sedangkan istri dan anak-anak

justru kerap menjadi korban. Sebagaimana kasus di atas, saat Pemohon

mengajukan permohonan izin poligami, Termohon dalam kondisi hamil

26 A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet. VII,

139. 27

Quraish Shihab, ‚Poligami dan Kawin Sirri Menurut Islam‛, diakses pada

18 November 2012 melalui http://nambas.wordpress.com/2010/03/03/quraish-shihab-

poligami-dan-kawin-sirri-menurut-islam/

Page 164: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

154

anak ke empat buah cintanya dengan Pemohon. Secara Psikologis

wanita hamil butuh perhatian lebih dari suaminya.28

Sedangkan

Termohon, bukan perhatian yang di dapat melainkan kekecewaan.

Mengabulkan permohonan izin poligami dalam kasus ini berarti

mengganggu hak-hak istri pertama dan hakim terkesan hanya

mempertimbangkan kepentingan Pemohon saja dan mengabaikan

kepentingan Termohon dan anak-anaknya. Dasar pertimbangan hakim

dikabulkannya permohonan tersebut adalah Pasal 5 Ayat (1) UU No. 1

tahun 1974 dan Pasal lain dari peraturan perundang-undangan yang

berlaku serta ketentuan shar’i yang berkaitan dengan perkara ini. Segala

putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan

tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar

untuk mengadili.29

Namun faktanya hakim memutuskan perkara tersebut

hanya berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) tanpa merinci pasal mana saja yang

terkait dengan kasus tersebut. Pernyataan ‚pasal lain dari peraturan

perundang-undangan yang berlaku serta ketentuan shar’i yang berkaitan

dengan perkara ini‛ sebagai dasar pertimbangan hakim tidak sesuai

dengan bunyi Pasal 25 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Menurut penulis, majelis hakim kurang bijak dalam mengabulkan

izin poligami yang didasarkan hanya pada Pasal 5 Ayat (1) yang

merupakan syarat komulatif tanpa menjelaskan secara rinci alasan

alternatif. Kemungkinan tidak dicantumkannya alasan alternatif bisa

jadi dikarenakan Pemohon tidak memenuhi alasan yang patut yang

terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 4 Ayat (2) jo Pasal 57 KHI.

Hal ini terbukti dari posita dalam surat permohan tersebut dinyatakan

bahwa antara Pemohon dan Termohon hidup rukun layaknya suami-istri

dan dikarunia tiga orang anak, Termohon juga dalam keadaan sehat

tidak cacat.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa hakim, di

antaranya Eko Budiono menyatakan bahwa, apabila syarat-syarat

poligami yang terdapat dalam UU tidak terpenuhi, namun istri memberi

izin poligami, maka hakimpun akan mengabulkan permohonan tersebut,

28

Yodha Haryadi, ‚Suami Bisa Ngidam‛, di akses pada 19 November melalui

http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/11/16/suami-bisa-ngidam-503647.html. 29

Pasal 25 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Page 165: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

155

karena hakim melihat secara formilnya saja.30

Kalau demikian,

pertanyaannya untuk apa alasan alternatif dicantumkan dalam peraturan

perundang-undangan, bila keberadaannya seolah-olah hanya sebagai

pelengkap saja, padahal dalam kitab-kitab fikih klasik syarat alternatif

tersebut merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam melakukan

poligami.

Berbeda dengan pendapat Budiono, M. Rizal selaku hakim

Pengadilan Agama Jakarta Barat, menyatakan bahwa hakim tidak

terikat istri setuju atau tidak, sepanjang telah memenuhi unsur-unsur

persyaratan poligami baik syarat komulatif maupun syarat alternatif,

maka izin poligami dikabulkan.31

Ternyata para hakim di Pengadilan

Agama DKI mempunyai pemahaman yang berbeda dalam menangani

kasus poligami ini. Jadi wajar saja jika permohonan poligami setiap

tahunnya semakin meningkat. Karena dalam praktik di Pengadilan

Agama DKI hakim sering kali mengabulkan izin poligami meskipun

hanya memenuhi syarat komulatif saja. Dikabulkannya kasus di atas

menambah daftar panjang maraknya kasus poligami.

Berikutnya kasus yang terjadi pada tahun 2010 yang telah

didaftarkan pada Pengadilan Agama Jakarta Utara, di mana alasan

Pemohon mengajukan permohonan izin poligami dikarenakan Pemohon

belum dikarunia keturunan, di samping itu Pemohon telah menghamili

wanita yang akan menjadi calon istri keduanya. Padahal jika dicermati,

sesuai kutipan Akte Nikah antara Pemohon dengan Termohon, keduanya

menikah belum genap 1 bulan, masih nuansa bulan madu Pemohon

sudah mau menikah lagi dengan alasan belum mempunyai keturunan.

Menurut penulis terlalu dini seorang suami mengajukan permohonan

poligami dalam usia perkawinan belum genap 1 bulan. Bisa jadi alasan

tersebut alasan yang dibuat-buat (rekayasa Pemohon) karena alasan

hamil di luar nikah tidak termasuk katagori alasan diizinkannya

poligami. Sementara itu bagaimana kondisi psikis Termohon selaku istri

pertama melihat kenyataan belum genap 1 bulan suami sudah ingin

menikah lagi? Pada hakikatnya tidak ada perempuan yang rela dan

bersedia untuk dipoligami. Secara psikologis semua istri akan merasa

sakit hati bila melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain,

apalagi masih nuansa pengantin baru, tentu tergoncang batinnya, namun

30

Wawancara dengan Eko Budiono, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara,

Tanggal 19 Juni, 2012, di Ruang Hakim. 31

Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,

Tanggal 18 Juli 2012.

Page 166: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

156

dalam kondisi ada wanita lain yang hamil karena perbuatan suaminya,

Termohon tidak punya pilihan kecuali mengizinkan Pemohon menikah

lagi.

Melihat fakta-fakta dipersidangan, Majelis hakim berpendapat

bahwa permohonan Pemohon untuk berpoligami telah dapat memenuhi

syarat sebagimana diatur dalam Pasal (5) Ayat (1) huruf (b) UU No.1

Tahun 1974 dan juga sejalan dengan Pasal 58 Ayat (1) huruf (b) KHI

serta ketentuan Pasal 41 huruf (b), (c) dan (d) PP No. 9 Tahun 1975.

Faktor lain yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan

permohonan tersebut adalah dikarenakan calon istri ke dua Pemohon

telah hamil. Hal tersbut selalu menjadi dalil yang menguatkan hakim

dalam memberikan pertimbangan mengabulkan permohonan poligami.

Jika tidak dikabulkan maka semakin memperbesar peluang Pemohon

untuk berbuat madarat misalnya, penelantaran tanggung jawab yang

dilakukan Pemohon terhadap calon istri keduanya yang sedang

mengandung darah dagingnya karena tidak mempunyai hubungan

hukum.32

Oleh karena itu untuk menekan dampak negatif yang akan

ditimbulkan sesuai kaidah , maka hakim

mengabulkan permohonan tersebut.

Terakhir kasus yang diterima Pengadilan Agama Jakarta Timur

dengan register perkara nomor 81/Pdt.G/2011/PAJT. Alasan izin

poligami yang diajukan Pemohon adalah dikarenakan Termohon sebagai

istri kurang dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dalam hal

nafkah batin. Jika tidak melakukan poligami, Pemohon sangat khawatir

akan melakukan perbebuatan yang dilarang oleh norma agama. Pada

kasus ini hakim mengabulkan permohonan izin poligami tersebut.

Padahal bila ditelusuri secara seksama penulis tidak menemukan alasan

yang serius yang patut untuk dikabulakannya izin poligami tersebut.

Karena pada kenyataannya kehidupan rumah tangga Pemohon dan

Termohon berjalan harmonis dan telah dikarunia seorang anak laki-laki.

Dasar hukum pertimbangan hakim dalam mengabulkan kasus ini

adalah pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 40, 41, 42 dan 43 PP

No. 9 Tahun 1975 telah mengatur dan menetapkan alasal-alasan serta

syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang akan beristri

lebih dari seorang. Dasar yang digunakan hakim dalam mengabulkan

32

Mochamad Anwar Khadafi, ‚Dasar Pertimbanagan Hakim Mengabulkan Izin

Poligami Bagi Suami Yang Berpenghasilan Tidak Tetap‛, (Malang: Tesis Universitas

Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2012), 61-62. Di akses pada 16 November 2012

melalui http://libUin-Malang-ac.id

Page 167: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

157

izin poligami tersebut hanya bersifat formil. Menurut Penulis hakim

kurang bijaksana dalam mengabulkan kasus ini, karena tidak ada alasan

yang dibenarkan dalam peraturan perundang-undangan.

Sebenarnya bila majelis hakim mempertimbangkan kepentingan

istri dan anaknya serta konsisten dengan apa yang diatur dalam Pasal 4

Ayat (2) a-c UU No.1 Tahun 1974 dan Pasal 41 huruf (a) PP No.9 Tahun

1975 maka hakim tidak akan mengabulkan permohonan ini. Hampir

semua kasus yang senada dengan kasus di atas hakim Pengadilan Agama

DKI sering mengabulkan izin poligami meskipun alasannya suami

kurang puas dengan istri pertama dan jika tidak menikah lagi

dikhawatirkan berbuat dosa, maka jika istri pertama rela, dan kerelaan

tersebut tanpa ada tekanan, suami mampu berbuat adil, maka hakimpun

mengabulkan izin poligami tersebut.33

Menuut Penulis pertimbangan alasan memilih poligami sebagai

penyaluran hasrat seksual secara halal dari pada memilih penyaluran

syahwat melalui perbuatan zina, merupakan solusi yang tidak tepat,

malah merupakan alasan yang menunjukkan sikap arogansi kaum

lelaki dalam melampiaskan keserakahan libidonya sekaligus

merendahkan martabat kaum perempuan, dengan menempatkannya

sebagai objek, dan bukannya sebagai subjek yang setara dengan kaum

lelaki dalam perkawinan.

Alasan lain yang tidak diatur dalam UU sering dijadikan

dasar melakukan poligami adalah asumsi bahwa angka statistik

menunjukkan jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Beberapa

penelitian ilmiah menunjukkan bahwa perempuan yang lanjut usia

lebih banyak dari laki-laki usia lanjut. Salah satu penyebabnya adalah

usia harapan hidup perempuan Indonesia lebih panjang daripada laki-

laki. Fenomena ini disebabkan antara lain karena daya tahan tubuh

perempaun pada umumnya lebih baik. Kondisi demikian

menyebabkan banyak perempuan yang bertahan hidup di atas usia 60

tahun dibanding laki-laki.34

Dengan demikian kelebihan jumlah perempuan terjadi di usia

lanjut dan jika alasan poligami adalah menolong perempuan maka

seharusnya poligami dilakukan dengan para ‚manula‛ tersebut. Dalam

realitas kehidupan yang dialami perempuan, seperti yang tampak dalam

33

Wawancara dengan Tamah, Hakim Pengadilan Agama Jakata Selatan, pada

tanggal 23 Mei, 2012, Di Ruang Mediasi 1.

34 Syafiq Hasyim, Poligami dan Keadilan Kualitatif (Jakarta: P3M, 1999), 33.

Page 168: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

158

data-data mengenai kasus kekerasan terhadap istri dalam bentuk

poligami yang masuk di Rifka Annisa Women Crisis Center tahun

2000, perempuan bahkan tidak terjamah dalam UU. Data di Rifka

Annisa menunjukkan bahwa 62% dari kasus poligami yang masuk pada

tahun 2002 adalah poligami sirri dan hanya 38% kasus poligami

yang dilakukan secara resmi. Sementara itu, data yang ada

menunjukkan bahwa 75% dari 90 kasus kekerasan terhadap istri yang

ada, solusi yang dipilih adalah cerai.35

Perceraian yang diakibatkan

oleh poligami seperti ini tidak diakomodir dan tidak mendapatkan

jaminan undang-undang.

Selama ini, banyak alasan-alasan yang muncul untuk

membenarkan suami menikah lagi. Mulai dari keikhlasan karena tidak

mampu mendampingi suami sepenuhnya, ketidakmampuan memberi

keturunan, ketergantungan dalam ekonomi, dan lain-lain. Alasan-alasan

ini yang membuat beberapa perempuan terpaksa menerima kenyataan

pahit dipoligami karena secara status sosial sangat bergantung pada

suami. Akibatnya seorang istri memilih diam dan berpura-pura ikhlas

menerima kehadiran wanita lain asal suami masih mau bertanggung

jawab untuk memenuhi segala kebutuhan hidup khususnya kebutuhan

ekonomi.36

Pandangan buruk mengenai poligami muncul karena praktik-

praktik poligami yang terjadi di tengah-tengah masyarakat lebih banyak

dampak negatifnya daripada dampak positifnya. Beberapa dampak

negatif dari perkawinan poligami ini adalah perceraian, suami akan

meninggalkan istri dan anak-anak dari perkawinan sebelumnya, dan

suami tidak berlaku adil. Poligami tersebut cenderung memperlihatkan

sikap yang tidak bertanggungjawab sebagai suami yang berpoligami dan

juga tidak jarang keluarga yang berpoligami ini akan mengalami

ketidakharmonisan di dalam keluarganya. Dari Tabel di bawah ini dapat

dilihat beberapa dampak poligami terhadap istri pertama.

35

Divisi Litbang RAWCC, ‚Grafik Solusi yang dipilih klien kasus KTI Bulan

Januari-Desember 2000‛, di Rifka Annisa WCC Yogyakarta, 24. 36

www.repository.USU.Ac.Id/bitstream/123456789/16195/5/chpter/.201.pdf.

Diakses pada 15 November 2012.

Page 169: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

159

Tabel: 5.4.

Dampak Poligami Terhadap Istri Pertama No. Jenis Dampak Jumlah

1. Tidak Memberi Nafkah

37

2. Tekanan Psikis 21

3. Penganiayaan Fisik 7

4. Diceraikan Suami 6

5. Ditelantarkan Suami 23

6. Pisah Ranjang 11

7. Mendapat Teror dari Istri Kedua 2

Jumlah 107

Sumber: LBH APIK Jakarta Tahun 2003-2005

Menurut data dari LBH-APIK tersebut banyak sekali akibat atau

dampak dari praktik poligami yang dilakukan oleh seorang suami

terhadap istri pertama, yaitu mulai dari tidak memberikan nafkah,

tekanan psikis, penganiayaan fisik, ditelantarkan suami, pisah ranjang,

dan mendapat teror dari istri kedua. dan diceraikan suami. Badan

Pengadilan Agama (Badilag) mencatat bahwa sepanjang tahun 2005

perceraian yang disebabkan poligami berjumlah 879 dari seluruh perkara

perceraian di Indonesia. Pengadilan Tinggi Agama Bandung merupakan

Pengadilan Tinggi Agama yang paling sering menangani perceraian

yang disebabkan poligami. Kasus perceraian akibat poligami yang

terjadi di Bandung pada tahun berjumlah 324 perkara. Sedangkan

Pengadilan Tinggi Agama Surabaya menempati urutan kedua dengan

jumlah kasus sebanyak 162 perkara dan Pengadilan Tinggi Agama

Semarang menempati urutan ketiga dengan jumlah 104 kasus. 37

Oleh

sebab itu poligami hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu suami,

sedangkan istri merupakan pihak yang sangat dirugikan dalam masalah

ini.

Ada fakta menarik seputar jumlah perkara yang masuk di PA

DKI Jakarta. Tahun ini data per 30 Oktober 2012 PA Jakarta Timur

meraih rating tertinggi menyalip PA Jakara Selatan yang pada tahun lalu

menempati urutan pertama dengan jumlah perkara 3125. Sedangkan PA

Jakarta Timur diurutan ke dua dengan total perkara 2955.

Pada tahun ini, PA Jakarta Timur diprediksi menempati urutan

tertinggi dalam jumlah penerimaan perkara di bandingkan PA Jakarta

37

Laporan Tahunan LBH APIK Jakarta Tahun 2005.

Page 170: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

160

lainnya, buktinya hingga 30 Oktober total penerimaan perkara sudah

mencapai 2777 perkara. Sedangkan PA Jakarta Selatn menempatin

urutan kedua dengan jumlah 2692 perkara. PA Jakarta Barat menempati

urutan ketiga dengan jumlah 1555 perkara. Lalu PA Jakarta Utara

menempati urutan keempat dengan perolehan 1337 perkara. PA Jakarta

Pusat menempati posisi terakhir dengan jumlah 1218 perkara.

Dari semua jenis perkara yang diterima tersebut, seperti biasa

kasus cerai talak dan cerai gugat mendominasi penerimaan perkara

semua wilayah. PA Jakarya Timur misalnya, cerai talak mencapai 798

kasus, sedangkan cerai gugat mencapai jumlah 1774 kasus. Menariknya,

kasus permohonan izin poligami PA Jakarta Timur dan PA Jakarta Barat

menempati urutan tertinggi dengan jumlah masing-masing 8 kasus.

Selanjutnya PA Jakarta Pusat dengan jumlah 5 kasus, di susul PA

JakartaUtara 4 kasus. Sedangkan PA Jakarta Selatan sepanjang tahun

2012 ini tidak ada perkara permohonan izin poligami.38

Jika perolehan perkara masuk PA Jakarta Timur jawaranya maka

perkara yang diselesaikannya (diputus) pun menjadi paling teratas.

Untuk tahun 2012 ini PA Jakarta Timur telah menyelesaikan 2653 kasus

dari perkara yang diterima mencapai 2777 perkara. Sedangkan PA

Jakarta Selatan dari total jumlah perkara yang diterima mencapai 2692,

yang berhasil diselesaikan mencapai 2532 kasus. Fakta ini menunjukkan

antara perkara yang diterima dan diputus tidak terpaut jauh, selisih

diangka 100-an. Artinya dipastikan kinerja PA di DKI Jakarta dinilai

efisien dan masih proporsional.39

B. Cerai Gugat dan Khuluk: Reformasi Hukum yang Belum Final

Hukum keluarga muslim kontemporer membolehkan pasangan

bercerai baik itu atas inisiatif suami, istri, persetujuan kedua belah pihak

maupun putusan pengadilan.40

Berbeda dengan agama lainnya, agama

Islam membolehkan suami istri bercerai dengan alasan-alasan tertentu,

38

Handika, ‚Laporan Perkara per Oktober 2012 PA di Jakarta‛, di akses

pada 28 November 2012 melalui

http://pajakartatimur.go.id/?option=com_content&view=article&id=288:1

234. 39

Rekap perkara diterima dan diputus diakses pada 28 November

2012 melalui www.infoperkara.badilag.net. 40

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta:

RajaGrafindo Persada,), 102-103. Lihat Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia (Bandung: Alumni, 1982), 291. Lihat pula,

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 216-

217.

Page 171: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

161

kendatipun percerainan itu sangat dibenci Allah, karena akibatnya tidak

hanya akan dialami oleh suami istri, akan tetapi anak-anak dan keluarga

kedua belah pihak. Oleh karena itu pada bagian ini akan dijelaskan

mengenai Peraturan cerai gugat dan implemenasinya dalam putusan

Pengadilan Agama.

Dalam KHI putusnya perkawinan disebabkan karena kematian,

perceraian, dan putusan pengadilan.41

Putusnya perkawinan yang

disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak ataupun

berdasarkan gugatan perceraian.42

Yang dimaksud dengan gugat cerai

adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh

seorang istri agar perkawinan dengan suaminya menjadiputus. Gugatan

terjadi dengan disertai alasal-alasan sebagimana Pasal 19 PP No. 9

Tahun 1975 jo penjelasan Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 jo Pasal 116

KHI.43

Sepintas makna gugat cerai sama dengan makna khuluk yaitu

sama-sama perceraian atas inisiatif istri. Pertanyaannya apakah yang

dimaksud gugat cerai dalam UU No.1 Tahun 1974 maupun KHI adalah

khuluk sebagaiman yang terdapat dalam kitab-kitab fikih?. Untuk

menjawab pertanyaan tersebut, di bawah ini akan dijelaskan makna dari

khuluk itu sendiri.

Secara etimologi khuluk berarti mencabut, melepaskan atau

menanggalkan.44

Khuluk disebut juga fida>’ ( ) yang berarti tebusan.

Karena istri meminta cerai kepada suaminya dengan membayar

sejumlah tebusan atau imbalan kepada suami.45

Secara terminologi

ulama berbeda pendapat. Menurut ulama H{a>nafiyah, khuluk adalah

41

Lihat Pasal 113 KHI. Sementara putusnya perkawinan karena putusan

pengadilan tidak ada penjelasan yang tegas. Namun dari penjelasan perundang-

undangan yang ada sejumlah sebab terjadinya perceraian yaitu; talak, gugat cerai,

khuluk, shiqaq, fasakh, taklik talak dan li’a>n. Lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tengggara: Setudi terhadap Perundang-undangan perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, 222.

42 Pasal 114 KHI.

43M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama:

UU Nomor7 Tahun 1989 (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 46. Bandingkan dengan

pendapat Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:

Kencana, 2006), 19. 44

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, Cet. IVX (Surabaya: Pusaka Progressif, 1997), 361.

45Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna,

1994). 95.

Page 172: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

162

berakhirnya hubungan perkawinan yang diperkenankan, baik

menggunakan kata khuluk ataupun kata lain yang mempunyai makna

yang sama. Menurut ulama Ma>likiyah, menetapkan khuluk sebagai talak

bil ‘iwad{ atau cerai dengan membayar. Menurut Ima>m al-Sha>fi’i >, khuluk

adalah perpisahan antara sepasang suami istri dengan memberi sesuatu

penganti dengan menggunakan lafal talak atau khuluk. Dan menurut

Hanbali khuluk adalah perpisahan antara suami istri dengan

menggunakan pengganti kepada suami dengan lafal tertentu.46

Adapun

dasar hukum khuluk adalah al-Baqarah Ayat 229, di mana Allah telah

membolehkan bagi istri untuk menebus dirinya dengan membayar ‘iwad {

(tebusan) kepada suaminya.47

Ulama berbeda pendapat memasukkan khuluk dalam talak ba’in

kubra atau ba’in sughra. Mazhab H{a>nafiyah memasukkan khuluk ke

dalam kelompok ba’in kubra, yang berarti tidak ada hak rujuk. Menurut

Imam Malik khuluk termasuk talak ba’in. Akibat khuluk sama dengan

talak ba’in dan ila>’. Menurut al-Sha>fi’i>, akibat khuluk adalah tidak ada

nafkah bagi istri, istri hanya berhak mendapat tempat tinggal saja,

dengan alasan karena suami tidak berhak rujuk. Menurut Ima>m Ma>lik

sebab-sebab putusnya perkawinan adalah, talak, khuluk, fasakh, shiqaq, nushu>z, i>la>’, dan z{ihar. Menurut Imam al-Sha>fi’i >, talak, khuluk, fasakh, shiqaq, nushu>z, i>la>’, z{ihar, dan li’an.48

KHI mendefinisikan khuluk sebagai perceraian yang terjadi atas

permintaan istri dengan memberikan tebusan atau ‘iwad} kepada dan atas

persetujuan suami.49

Jika istri tidak mendapatkan persetujuan dari

suaminya, maka jalan satu-satunya adalah intervensi pengadilan untuk

memaksa suami mengucakan talak. Perceraian dengan jalan khuluk

mengurangi jumlah talak50

dan termasuk dalam katagori talak ba’in sughra, yaitu suami tidak dapat rujuk kecuali dengan akad nikah

46

Wahbah al-Zuhayli>, al-Fikih al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X (Beirut: Da>r al-

Fikr, 1418H/1997), 7007-7008. Lihat Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan dalam Shari>’at Isla>m (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 106-107.

47Redaksi ayat tersebut adalah;

.. 48

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tengggara: Setudi terhadap Perundang-undangan perkawinan muslim kontemporer di indonesia dan malaysia, 203.

49Pasal 1 huruf (i). Lihat pula Judith E Tucker,Women, Family and Gender in

Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 96. 50

Pasal 161 KHI

Page 173: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

163

baru.51

Perceraian dengan jalan khuluk harus berdasarkan atas alasan-

alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116 KHI.52

Ketika penulis menganilasi beberapa putusan hakim terkait

dengan gugat cerai (akan dijelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya),

hampir semua kasus gugat cerai di lingkungan Pengadilan Agama,

mayoritas hakim menjatuhkan talak ba’in sughra, sebagaimana cerai

dengan jalan khuluk. Implikasinya tidak ada hak nafkah iddah bagi istri

karena suami tidak berhak untuk rujuk, ini pendapat yang pertama.

Pendapat yang kedua mengatakan, nafkah iddah dapat diberikan kepada

istri yang menggugat cerai dengan alasan istibr>a’. Dari kedua pendapat

ini, pendapat pertama mayoritas dianut oleh hakim Pengadilan Agama.53

Hal ini menunjukkan hakim Pengadilan Agama menyamakan makna

gugat cerai dengan khuluk.

KHI sendiri memang tidak secara tegas membedakan antara

gugat cerai dengan khuluk, namun secara tersirat KHI membedakannya.

Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pembahasan tersendiri tentang

khuluk yaitu pada pasal 1 (i), pasal 12454

dan pasal 148.55

Dengan

demikian sebenarnya KHI sendiri membedakan antara gugat cerai dan

khuluk, selain ada perbedaan ada juga persamaanya di antara keduanya.

Persamaannya adalah sama-sama keinginan untuk bercerai yang

datangnya dari pihak istri. Sedangkan perbedaannya adalah cerai gugat

tidak selamanya membayar uang iwad. Uang ‘iwad} menjadi dasar akan

terjadinya khuluk.56

Menurut penulis, jika gugat cerai dan khuluk dapat dibedakan,

tentunya dampak dari keduanya berbeda pula. Dampak dari khuluk

51

Pasal 119 menyatakan 1. Talak Bain Shughra adalah talak yang tidak boleh

dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. 2.

Talak Bain Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah: a. talak yang terjadi

qabla al dukhul, b. talak dengan tebusan atau khuluk, c. talak yang dijatuhkan oleh

Pengadilan Agama. 52

Pasal 124. 53

Wawancara dengan IbuTamah (hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan),

tanggal 23 Mei 2012. 54

Redaksi Pasal tersebut ‚Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian

sesuai ketentuan Pasal 116‛. 55

Redaksi Pasal tersebut ‚seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian

dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang

mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya. 56

Andi Eko Winantio, ‚Cerai Gugat Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga:

Studi kasus di Pengadilan Agama Surakarta‛ (Surakarta: Universitas Muhammadiyah

Surakarta, 2009),

Page 174: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

164

adalah istri tidak ada hak mendapat nafkah iddah karena termasuk talak ba’in sughra.

57 Sedangkan gugat cerai, istri seyogyanya mendapat

nafkah iddah karena tidak adil rasanya hanya gara-gara istri yang

menggugat cerai lalu istri pula yang harus menanggung resiko dengan

hilangnya hak nafkah istri.

Dalam hal tata cara perceraian yang berhubungan dengan

gugatan dilakukan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 sampai 36

PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, Pasal 132-146 KHI dan Pasal 73-86 UU No.

7 Tahun 1989 jo UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas

Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, tata

cara dalam peraturan tersebut tersebut adalah pertama, istri atau kuasa

hukumnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama di wilayah tempat

tinggal penggugat, kecuali istri nushu>z.58

Kedua, pemeriksaan meliputi

pemanggilan penggugat maupun tergugat atau kuasa hukumnya,59

dan

usaha mendamaikan kedua belah pihak.60

Pemeriksaan gugatan

dilakukan dengan sidang tertutup.61

Ketiga, dalam hal dikabulkannya

gugat cerai oleh pengadilan, maka perceraian terjadi, terhitung sejak

jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai hukum

57

Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi’i akibat cerai karena khuluk, istri

hanya berhak memperoleh tempat tinggal sampai masa iddah berakhir. Apabila istri

dalam keadaan mengandung, berhak juga atas tempat tinggal dan nafkah, sebagaimana

disebutkan dalam QS. Al-T{ala>q Ayat 6. Lihat keternagan selengkapanya Muhamad

Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Pendapat Para Ulama (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), 225.

58Pasal 132 (1) KHI dan Pasal 73 (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

jo.Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-

Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan ‚Gugatan

perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja

meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.‛ Pasal 20 PP Nomor 9

tahun 1975 Menyatakan ‚gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau

kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman

tergugat.‛ 59

Pasal 26 PP Nomor 9 tahun 1975 dan Pasal 142 (1) KHI. 60

Pasal 31 (1) PP Nomor 9 tahun 1975, Pasal 143 (1) KHI dan Pasal 82 (1)

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo.Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009

tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama. 61

Pasal 33 PP Nomor 9 tahun 1975, 145 KHI dan Pasal 79 (2) Undang-undang

Nomor 7 tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan ke

dua atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Page 175: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

165

tetap.62

Kemudian pengadilan menyampaikan salinan putusan. Proses

perceraian dengan jalan khuluk, pertama, istri mengajukan permohonan.

Kedua,pemeriksaan meliputi pemanggilan oleh pengadilan untuk di

dengar keterangan dari masing-masing pihak, diberi penjelasan tentang

akibat khuluk dan diberi nasihat-nasihat. Ketiga, putusan pengadilan

berupa izin untuk ikrar talak bagi suami kalau kedua belah pihak sudah

sepakat tentang besarnya ‘iwad}, dan setelah ikrar talak pengadilan

membuat penetapan tentang terjadinya talak.63

Hal yang menarik dalam peraturan perundang-undangan terkait

dengan proses gugat cerai adalah menyangkut kompetensi wilayah

pengadilan mengalami perubahaan. Ada dua perbedaan yang menonjol

antara PP Nomor 9 Tahun 1975 di satu sisi dan UU No. 7 Tahun 1989 jo

UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun

1989 tentang Pengadilan Agama dan KHI di sisi lain. Pertama, dalam PP

pemohon bisa suami atau istri, sementara UU No 7 Tahun 1989 jo.UU

No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan ke dua atas UU No. 7 Tahun

1989 tentang Pengadilan Agama dan KHI hanya istri. Kedua, tempat

mengajukan permohonan gugat cerai, di mana dalam PP No. 9 Tahun

1975 di wilayah Pengadilan Agama tergugat, sementara dalam UU

Nomor 7 Tahun 1989 jo UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan ke

dua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan

Agama dan KHI di Pengadilan Agama wilayah penggugat.

Perubahan di atas merupakan salah satu bentuk keperpihakan

peraturan perundang-undangan dalam melindungi hak wanita dengan

mempermudah proses gugatan perceraian yang tadinya gugatan di

sampaikan ke Pengadilan Agama wilayah tergugat kini dapat diajukan di

wilayah penggugat.64

Bentuk perlindungan hukum lainnya dalam kasus perceraian juga

terlihat pada asasnya, yaitu mempersulit terjadinya perceraian.

Perceraian tidak lagi dipandang sebagai urusan pribadi (privat affair) suami istri dan atau keluarga kedua belah pihak, tetapi telah

menjadikannya urusan umum (public affair) yang dikelola oleh

pengadilan. Karena itulah kini, perceraian diberikan pembatasan yang

ketat dan tegas baik mengenai tata cara mengajukan perceraian maupun

62

Pasal 34 (2) PP Nomor 9 tahun 1975, 146 KHI dan Pasal 81 (2) Undang-

undang Nomor 7 tahun 1989 jo.Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang

Perubahan ke dua atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 63

Pasal 148 KHI. 64

Wawancara Pribadi dengan IbuTamah, hakim Pengadilan Agama Jakarta

Selatan, Rabu, 23 Mei 2012, Pukul 14.40-15.19. Di Ruang Mediasi 1.

Page 176: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

166

syarat-syarat untuk bercerai, karena perceraian baru memenuhi syarat

formil dan materiil apabila didasarkan atas alasan yang sah. Alasan-

alasan tersebut telah ditetapkan secara enumerative dalam Pasal 19 PP

No. 9 tahun 1975 jo Penjelasan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal

116 KHI adalah sebagai berikut.

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-

berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena

hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.

g. Suami melanggar ta’lik talak.

h. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan

dalam rumah tangga.

Salah satu alasan yang sering digunakan sebagai dasar perceraian

oleh wanita adalah perceraian bersyarat atau taklik talak, yaitu suatu

pengucapan janji pada saat perkawinan, yang bila tidak terpenuhi secara

otomatis akan jatuh talak.65

Bila taklik talak telah diucapkan oleh suami

pada saat perkawinan, maka istri dapat menggunakannya untuk

menuntut perceraian dengan menunjukkan alasan tertentu ke

pengadilan. Karena talak akan jatuh secara otomatis dari suatu peristiwa

yang menyebabkannya, maka bukti kejadian merupakan syarat untuk

talak dan biasanya tuntutan istri untuk bercerai segera dikabulkan,

disebabkan oleh penggunaan taklik talak yang begitu luas di Indonesia,

sejak tahun 1955 Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama)

mencetak isi taklik talak di belakang halaman setiap buku nikah. Namun

pada Undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 tidak dijelaskan tentang

taklik talak sebagai salah satu alasan perceraian, dan juga tidak

65

Bandingkan dengan M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Ind. Hill-

Co, 1990), 107.

Page 177: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

167

Poli

gam

i T

idak

Seh

at

Kris

is A

kh

lak

Cem

bu

ru

Kaw

in P

ak

sa

Ek

on

om

i

Tid

ak

Ad

a T

an

ggu

ng J

aw

ab

Kaw

in D

ibaw

ah

Um

ur

Men

yak

iti

Jasm

an

i

Men

yak

iti

Men

tal

Di

Hu

ku

m

Cacat B

iolo

gis

Poli

tis

Gan

ggu

an

Pih

ak

Ketig

a

Tid

ak

Ad

a K

eh

arm

on

isan

Lain

-L

ain

Ju

mla

h

Keteran

gan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

1Mahkamah Syariah

Aceh40 69 58 5 160 1,318 8 64 11 12 28 0 135 1,510 0 3,418

2 Medan 47 130 182 3 796 1,971 52 109 27 16 28 0 435 2,548 17 6,361

3 Padang 47 101 144 11 501 1,904 1 46 3 1 13 0 4 1,753 0 4,749

4 Pekanbaru 5 213 316 5 920 2,593 5 128 45 9 13 1 794 2,725 3 7,775

5 Jambi 0 45 64 1 280 1,451 0 38 0 1 5 0 62 738 48 2,733

6 Palembang 37 231 178 10 623 1,320 0 137 8 37 14 3 310 2,197 0 5,105

7 Bangka Belitung 0 83 112 0 250 618 0 0 0 1 0 0 153 625 0 1,842

8 Bengkulu 1 5 5 2 40 444 1 9 3 3 5 1 59 986 0 1,564

9 Bandar Lampung 11 120 157 3 1,041 588 2 38 5 3 11 9 326 1,552 11 3,877

10 Jakarta 249 67 407 6 1,503 1,881 12 400 3 2 6 0 1,000 2,258 0 7,794

11 Banten 77 135 188 15 1,042 1,121 41 39 0 17 2 0 581 1,542 0 4,800

12 Bandung 164 426 820 110 23,913 7,971 10 137 4 13 43 49 2,463 1,476 35 50,919

13 Semarang 51 1,078 1,373 508 11,939 24,379 115 6 204 35 99 6 2,577 15,645 7 58,022

14 Yogyakarta 0 81 45 7 453 1,409 0 84 9 6 10 1 364 1,715 22 4,206

15 Surabaya 116 2,568 3,921 909 14,735 16,478 170 690 108 58 255 568 7,533 24,539 299 72,947

16 Pontianak 5 44 51 1 248 626 0 5 1 1 6 0 218 1,742 1 2,949

17 Palangkaraya 0 23 147 0 215 1,226 0 27 0 6 4 0 348 1,101 0 3,097

18 Banjarmasin 49 351 57 20 531 1,785 5 46 54 5 18 9 468 2,172 18 5,588

19 Samarinda 78 108 217 69 676 1,057 7 159 86 21 29 0 744 1,824 30 5,105

20 Manado 1 62 18 0 5 170 0 17 1 1 0 0 64 432 16 787

21 Gorontalo 1 48 29 2 23 149 0 4 1 0 0 0 104 434 0 795

22 Palu 0 152 59 8 139 478 0 95 0 0 15 0 157 839 0 1,942

23 Kendari 16 165 148 2 135 181 0 9 35 5 7 0 58 475 0 1,236

24 Makassar 213 690 674 78 1,049 1,946 41 388 59 13 101 3 646 2,747 84 8,732

25 Mataram 76 284 357 23 845 1,021 4 97 29 9 12 0 482 1,106 38 4,383

26 Kupang 0 3 2 0 12 34 0 4 0 0 3 0 25 164 0 247

27 Ambon 2 28 9 1 10 63 1 13 3 0 0 0 41 99 1 271

28 Maluku Utara 3 23 24 1 12 114 0 7 0 0 1 0 69 205 0 459

29 Jayapura 0 14 7 1 26 233 0 11 1 0 2 1 123 658 14 1,091

1,289 7,347 9,769 1,801 62,122 74,529 2,807 700 651 20,563 89,092

TABEL

3.2

REKAP FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN

PADA MAHKAMAH SYARIAH PENGADILAN AGAMA

Meninggalkan Kewajiban Menyakiti Jasmani Rohani Terus Menerus Berselisih

YURISDIKSI MAHKAMAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA

TAHUN 2011

No

Mahkamah Syariah

Propinsi Pengadilan

Tinggi Agama

Moral

Faktor - Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian

Jumlah 47518,405 138,452 272,7943,507 275 730 110,306 644

termasuk ke dalam perjanjian perkawinan pasal 29 ayat 1-4 dan

penjelasan Ayat 2 Pasal 39 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974.

Taklik talak baru merupakan salah satu bentuk dari perjanjian

perkawinan setelah disahkannya KHI tahun 1999, di mana taklik talak

termasuk dalam katagori reform (norma baru). Dalam pasal 45 ayat (1)

dijelaskan, bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian

perkawinan dalam bentuk taklik-talak. Sedangkan pada Pasal 116 huruf

(g) KHI dijelaskan bahwa, perceraian dapat terjadi atau gugatan

perceraian dapat diajukan istri kepada Pengadilan Agama manakala

suami melanggar taklik talak.66

Tidak hanya taklik talak yag menjadi reform dalam KHI, riddah (pindah agama) juga dimasukkan dalam alasan perceraian. Sebelumnya

jika ada perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama mengenai

permohonan atau gugatan perceraian tentang pembantalan perkawinan

dengan alasan riddah, maka Pengadilan Agama kesulitan dalam

menggolongkan perkara tersebut, apakah termasuk perceraian ataukah

pembatalan perkawinan. Sedangkan Pengadilan Agama tidak boleh

menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara dengan dalil

hukum tidak ada atau kurang jelas. Di samping itu segala penetapan dan

putusan pengadilan selain memuat alasan-alasan juga harus memuat

pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau

sumber hukum yang tertulis yang dijadikan dasar untuk menggali.

Menurut Yahya Harahap, penambahan alasan perceraian karena

riddah dalam KHI didasarkan atas pengalaman selama ini. Pengadilan

Agama sering menolak gugatan perceraian atas dalil suami atau istri

berpindah agama (murtad). Alasan penolakan yang dilakukan hakim

didasarkan pada pertimbangan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 dan PP

Nomor 9 Tahun 1975, tidak mengatur murtad sebagai alasan perceraian.

Padahal ditinjau dari hukum Islam hal itu sangat beralasan untuk

memutuskan perkawainan.67

Pertanyaannya mengapa alasan perceraian

66

Syarat untuk putusnya hubungan /perkawinan dengan taklik talak adalah:

(1). Terjadinya sesuatu yang diperjanjikan yaitu misalnya meninggalkan terus-menerus

istrinya selama 6 (enam) bulan tanpa memberi kabar dan tidak mengirim nafkah baik

lahir maupun bathin. (2). Sang istri tidak ridha (tidak rela) atas kejadian atau pristiwa

tersebut. (3). Istri datang kepada pejabat yang sah. (4). Istri membayar iwad sebagai

penegasan tidak senangnyaterhadap siap suaminya dengan terjadinya pristiwa itu.

Lihat M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dari Segi hukum Perkawinan Isalam, 105.

67M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama

UU No 7 Tahun 1989, 46.

Page 178: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

168

karena riddah baru dicantumkan secara yuridis formal dalam KHI

sebagai salah satu alasan perceraian?.

Menurut Abdul Manan, barangkali pembuat undang-undang

menganggap bahwa perceriaan berdasarkan penjelasan Pasal 39 ayat (2)

UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 telah cukup memadai dan sesuai dengan jiwa undang-

undang tersebut yang antara lain menganut asas mempersulit terjadinya

perceraian.68

Maka dalam memecahkan persoalan perceraian karena

riddah hakim menggolongkan masalah tersebut dengan alasan yang

terdapat dalam Pasal 19 huruf (f) PP No.9 tahun 1975 yaitu antara suami

istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada

harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.69

Terkait dengan redaksi Pasal 116 sub ‛h‛ KHI para ahli hukum

Islam di antaranya Khuzaemah Tahido Yanggo berpendapat bahwa pasal

tersebut tidak sinkron dengan riddah yang terdapat dalam kitab-kitab

fiqih klasik. Khuzaemah menambahkan bahwa anak kalimat dalam Pasal

116 sub ‛h‛ yang berbunyi ‛yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga‛ sudah dihilangkan dalam naskah

RUU HMPA (Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Pengadilan

Agama).70

Aturan perkawinan dan perceraian dalam hukum keluarga Islam

diatur dengan sedemikian rupa mengingat Indonesia merupakan salah

satu negara dengan tingkat perceraian yang cukup tinggi. Hal ini

terbukti dengan data-data yang tercatat di Pengadilan Agama, dan fakta

yang dialami penulis, setiap mengunjungi Pengadilan Agama selalu

ramai dengan orang-orang yang menunggu sidang perceraian. Pada

dasarnya secara historis, angka perceraian di Indonesia bersifat

fluktuatif. Hal itu dapat ditilik dari hasil penelitian Mark Cammack,

guru besar dari Southwestern School of Law-Los Angeles, USA.

Berdasarkan temuan Mark Cammack, pada tahun 1950-an angka

perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling

tinggi di dunia. Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya

berakhir dengan perceraian. Pada tahun 2009 perceraian mencapai

68

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2000), 71.

69Dari ketentuan dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975, dapat dijabarkan bahwa antara suami istri terjadi, 1. perselisihan dan

pertengkaran, 2. tidak ada harapan akan hidup rukun bagi rumah tangganya. 70

Wawancara dengan Huzaimah Tahido Yanggo, di Ruang Direktur Institut

Ilmu Qur’a>n (IIQ), pada 01 Mei 2009.

Page 179: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

169

No. MSY. PROP / PTA CERAI TALAK CERAI GUGAT PERKARA LAIN JUMLAH PERSENTASE

1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1,167 2,766 2,224 6,157 1,69%

2 Medan 2,264 5,943 791 8,998 2,48%

3 Ambon 1,912 3,841 3,140 8,893 2,45%

4 Pekanbaru 2,641 6,103 1,034 9,778 2,69%

5 Jambi 853 2,323 254 3,430 0,94%

6 Palembang 1,630 4,021 904 6,555 1,80%

7 Bangka Belitung 630 1,612 130 2,372 0,65%

8 Bengkulu 677 1,282 105 2,064 0,57%

9 Bandar Lampung 1,343 3,400 516 5,259 1,45%

10 Jakarta 2,746 6,460 1,244 10,450 2,88%

11 Banten 1,882 4,423 2,534 8,839 2,43%

12 Bandung 17,818 39,847 9,779 67,444 18,56%

13 Semarang 21,438 45,671 4,151 71,260 19,61%

14 Yogyakarta 1,589 3,354 889 5,832 1,60%

15 Surabaya 29,358 53,618 10,557 93,533 25,73%

16 Pontianak 902 2,718 544 4,164 1,15%

17 Palangkaraya 504 1,423 252 2,179 0,60%

18 Banjarmasin 1,532 4,750 1,547 7,829 2,15%

19 Samarinda 1,874 4,440 2,384 8,698 2,39%

20 Manado 271 772 47 1,090 0,30%

21 Gorontalo 268 758 172 1,198 0,33%

22 Palu 636 1,457 349 2,442 0,67%

23 Kendari 459 1,083 119 1,661 0,46%

24 Makassar 2,661 7,666 2,138 12,465 3,43%

25 Mataram 1,594 3,996 2,371 7,961 2,19%

26 Kupang 118 173 135 426 0,12%

27 Ambon 117 237 93 447 0,12%

28 Maluku Utara 271 378 50 699 0,19%

29 Jayapura 444 853 50 1,347 0,37%

Jumlah 99,599 215,368 48,503 363,470

314,967

TABEL

3.1

PERSENTASE PERCERAIAN

PADA MAHKAMAH SYARIAH PENGADILAN AGAMA

YURISDIKSI MAHKAMAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA

TAHUN 2011

No. MSY. PROP / PTA CERAI TALAK CERAI GUGAT PERKARA LAIN JUMLAH PERSENTASE

1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1,167 2,766 2,224 6,157 1,69%

2 Medan 2,264 5,943 791 8,998 2,48%

3 Ambon 1,912 3,841 3,140 8,893 2,45%

4 Pekanbaru 2,641 6,103 1,034 9,778 2,69%

5 Jambi 853 2,323 254 3,430 0,94%

6 Palembang 1,630 4,021 904 6,555 1,80%

7 Bangka Belitung 630 1,612 130 2,372 0,65%

8 Bengkulu 677 1,282 105 2,064 0,57%

9 Bandar Lampung 1,343 3,400 516 5,259 1,45%

10 Jakarta 2,746 6,460 1,244 10,450 2,88%

11 Banten 1,882 4,423 2,534 8,839 2,43%

12 Bandung 17,818 39,847 9,779 67,444 18,56%

13 Semarang 21,438 45,671 4,151 71,260 19,61%

14 Yogyakarta 1,589 3,354 889 5,832 1,60%

15 Surabaya 29,358 53,618 10,557 93,533 25,73%

16 Pontianak 902 2,718 544 4,164 1,15%

17 Palangkaraya 504 1,423 252 2,179 0,60%

18 Banjarmasin 1,532 4,750 1,547 7,829 2,15%

19 Samarinda 1,874 4,440 2,384 8,698 2,39%

20 Manado 271 772 47 1,090 0,30%

21 Gorontalo 268 758 172 1,198 0,33%

22 Palu 636 1,457 349 2,442 0,67%

23 Kendari 459 1,083 119 1,661 0,46%

24 Makassar 2,661 7,666 2,138 12,465 3,43%

25 Mataram 1,594 3,996 2,371 7,961 2,19%

26 Kupang 118 173 135 426 0,12%

27 Ambon 117 237 93 447 0,12%

28 Maluku Utara 271 378 50 699 0,19%

29 Jayapura 444 853 50 1,347 0,37%

Jumlah 99,599 215,368 48,503 363,470

314,967

TABEL

3.1

PERSENTASE PERCERAIAN

PADA MAHKAMAH SYARIAH PENGADILAN AGAMA

YURISDIKSI MAHKAMAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA

TAHUN 2011

250.000 kasus, tampak terjadi kenaikan dibanding tahun 2008 yang

berada dalam kisaran 200.000 kasus. Ironisnya, 70% perceraian diajukan

oleh pihak istri atau cerai gugat.71

Dari data yang ditemukan penulis menunjukkan bahwa angka

perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat di seluruh Indonesia

semakin tahun semakin meningkat. Pada tahun 2010 misalnya cerai

talak dengan total 94,099. Sedangkan cerai gugat mencapai 190, 280.

Pada tahun berikutnya yaitu tahun 2011, angka perceraian tersebut

mengalami kelonjakan yang signifikan. Untuk lebih jelasnya lihat tabel

di bawah ini:

71

Bani Kiber, ‚Inilah Penyebab Perceraian Tertinggi Di Indonesia‛. di akses

pada tanggal 16 Juni 2012 melalui http://edukasi.kompasiana.com. Lihat

‚Kemenangan Hakiki‛, di akses melalui http://hizbut-

tahrir.or.id/2011/09/04/kemenangan-hakiki/.

No. MSY. PROP / PTA CERAI TALAK CERAI GUGAT PERKARA LAIN JUMLAH PERSENTASE

1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1,167 2,766 2,224 6,157 1,69%

2 Medan 2,264 5,943 791 8,998 2,48%

3 Ambon 1,912 3,841 3,140 8,893 2,45%

4 Pekanbaru 2,641 6,103 1,034 9,778 2,69%

5 Jambi 853 2,323 254 3,430 0,94%

6 Palembang 1,630 4,021 904 6,555 1,80%

7 Bangka Belitung 630 1,612 130 2,372 0,65%

8 Bengkulu 677 1,282 105 2,064 0,57%

9 Bandar Lampung 1,343 3,400 516 5,259 1,45%

10 Jakarta 2,746 6,460 1,244 10,450 2,88%

11 Banten 1,882 4,423 2,534 8,839 2,43%

12 Bandung 17,818 39,847 9,779 67,444 18,56%

13 Semarang 21,438 45,671 4,151 71,260 19,61%

14 Yogyakarta 1,589 3,354 889 5,832 1,60%

15 Surabaya 29,358 53,618 10,557 93,533 25,73%

16 Pontianak 902 2,718 544 4,164 1,15%

17 Palangkaraya 504 1,423 252 2,179 0,60%

18 Banjarmasin 1,532 4,750 1,547 7,829 2,15%

19 Samarinda 1,874 4,440 2,384 8,698 2,39%

20 Manado 271 772 47 1,090 0,30%

21 Gorontalo 268 758 172 1,198 0,33%

22 Palu 636 1,457 349 2,442 0,67%

23 Kendari 459 1,083 119 1,661 0,46%

24 Makassar 2,661 7,666 2,138 12,465 3,43%

25 Mataram 1,594 3,996 2,371 7,961 2,19%

26 Kupang 118 173 135 426 0,12%

27 Ambon 117 237 93 447 0,12%

28 Maluku Utara 271 378 50 699 0,19%

29 Jayapura 444 853 50 1,347 0,37%

99,599 215,368 48,503 363,470

TAHUN 2011

314,967Jumlah

TABEL 3.1

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT, DAN PERKARA LAIN YANG DITERIMA

PADA LINGKUNGAN YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR'IYAH ACEH/PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA

TABEL 5.5.

Page 180: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

170

Tabel di atas menunjukkan bahwa gugat cerai yang diterima

Pengadilan Tinggi agama menjadi alasan terbanyak dari kasus

perceraian yang setiap tahun angkanya semakin meningkat. Ini

merupakan fenomena baru di lima kota besar di Indonesia, karena

ternyata jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan cerai talak. Lima

kota ini menempati urutan terbesar sepanjang tahun 2009 -2011. Lima

kota yang dimaksud berdasarkan data tahun 2011 adalah Surabaya

mencapai rating tertinggi dengan jumlah 53,618 gugatan dengan

pesentase 25, 73%. Disusul Semarang dengan total 45, 671 kasus

gugatan presentasenya 19,61%. Bandung menempati urutan ketiga total

kasus 39,847 dengan presentase 18,56%. Berikutnya Makassar relatif

lebih kecil dibandingkan ketiga kota sebelumya, yaitu 7, 666. dengan

presentase 3,43%. Terakhir Jakarta menempati urutan kelima dengan

total 6, 460, dengan presentase 2,88%.72

Untuk data perkara cerai talak

dan cerai gugat yang sudah diputus pada tahun 2011 dapat dilihat pada

tabel di bawah ini:

72

Rosmadi ‚Informasi Perkara Peradilan Agama Tahun 2011,‛ Kamis 08

Maret 2012. diakses pada tanggal 17 Juni 2012 melalui

http://www.badilaq.net/statistik-perkara/10119-informasi-perkara-peradilan-agama-

tahun-2011.html.

NO MSY.PROP/PTA CERAI TALAKCERAI

GUGAT

PERKARA

LAINJUMLAH

1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1,011 2,408 2,255 5,674

2 M e d a n 1,855 4,829 1,383 8,067

3 Padang 1,608 3,376 3,416 8,400

4 Pekanbaru 2,245 5,326 1,394 8,965

5 Jambi 693 2,037 368 3,098

6 Palembang 1,484 3,729 752 5,965

7 Bangka Belitung 517 1,328 242 2,087

8 Bengkulu 574 1,122 190 1,886

9 Bandar Lampung 1,104 2,924 745 4,773

11 Banten 1,456 3,615 2,781 7,852

12 Bandung 15,673 36,005 10,856 62,534

13 Semarang 18,188 40,382 6,352 64,922

14 Yogyakarta 1,351 2,998 949 5,298

15 Surabaya 25,908 48,869 11,944 86,721

16 Pontianak 716 2,272 675 3,663

17 Palangkaraya 395 1,145 425 1,965

18 Banjarmasin 1,324 4,391 1,606 7,321

19 Samarinda 1,586 3,730 2,611 7,927

20 Manado 225 640 110 975

21 Gorontalo 209 618 214 1,041

22 P a l u 570 1,344 437 2,351

23 Kendari 350 903 255 1,508

24 Makassar 2,310 6,811 2,665 11,786

25 Mataram 1,279 3,294 2,417 6,990

26 Kupang 101 150 144 395

27 Ambon 91 200 138 429

28 Maluku Utara 219 307 72 598

29 Jayapura 377 725 142 1,244

Jumlah 85,750 190,940 57154 333,844

276,690

TABEL 3.2

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG DIPUTUS

PADA LINGKUNGAN YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR'IYAH ACEH / PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA

TAHUN 2011

TABEL 5.6.

Page 181: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

171

Pada tabel sebelumnya (tabel 5.5) menunjukkan bahwa jumlah

perceraian yang diterima Pengadilan Tinggi Agama pada tahun 2011

mencapai jumlah 314,967. Dengan rincian 99, 599 perkara cerai talak

dan 215, 368 kasus gugat cerai. Berdasarkan tabel sebelumnya pula

(tabel 4.5), perkara perceraian yang diputus pada tahun 2011 mencapai

jumlah 276,690. Dengan rincian 85,750, untuk kasus cerai talak dan

PADA LINGKUNGAN YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR'IYAH ACEH / PENGADILAN TINGGI AGAMA

NO MSY.PROP/PTACERAI

TALAKCERAI GUGAT PERKARA LAIN

1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 17,82% 42,44% 39,74%

2 M e d a n 22,99 59,86% 17,14%

3 Padang 19,14% 40,19% 40,67%

4 Pekanbaru 25,04% 59,41% 15,55%

5 Jambi 22,37% 65,75% 11,88%

6 Palembang 24,88% 62,51% 12,61%

7 Bangka Belitung 24,77% 63,63% 11,60%

8 Bengkulu 30,43% 59,49% 10,07%

9 Bandar Lampung 23,13% 61,26% 15,61%

10 Jakarta 24,77% 58,05% 17,18%

11 Banten 18,54% 46,04% 35,42%

12 Bandung 25,06% 57,58% 17,36%

13 Semarang 28,02% 62,20% 9,78%

14 Yogyakarta 25,50% 56,59% 17,91%

15 Surabaya 29,88% 56,35% 13,77%

16 Pontianak 19,55% 62,03% 18,43%

17 Palangkaraya 20,10% 58,27% 21,63%

18 Banjarmasin 18,08% 59,98% 21,94%

19 Samarinda 20,01% 47,05% 32,94%

20 Manado 23,08% 65,64% 11,28%

21 Gorontalo 20,08% 59,37% 20,56%

22 P a l u 24,25% 57,17% 18,59%

23 Kendari 23,21% 59,88% 16,91%

24 Makassar 19,60% 57,79% 22,61%

25 Mataram 18,30% 47,12% 34,58%

26 Kupang 25,57% 37,97% 34,46%

27 Ambon 21,21% 46,62% 32,17%

28 Maluku Utara 36,62% 51,34% 12,04%

29 Jayapura 30,31% 58,28% 11,41%

25,69% 57,19% 17,12%

100%

TABEL 3.3

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG DIPUTUS

SELURUH INDONESIA

TAHUN 2011

Jumlah

TABEL 5.7.

Page 182: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

172

190,940 kasus gugat cerai yang telah berhasil diputus.73

Tingginya

angka cerai gugat dikarenakan meraka para istri sudah memahami hak-

haknya yang telah terakomodir baik dalam UUP maupun KHI. Menurut

para istri, perceraian dianggap solusi yang terbaik dari pada mereka

digantung dan diabaikan haknya.74

Inilah salah satu alasan maraknya

gugat cerai.

Sebenarnya faktor apa saja penyebab terjadinya perceraian di

seluruh wilayah Indonesia?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut di

bawah ini akan dijelaskan secara rinci kriteria penyebab terjadinya

perceraia. Perceraian terjadi terjadi karena beberapa kriteria di antaranya

dapat di lihat pada tabel di bawah ini

73

Rosmadi ‚Informasi Perkara Peradilan Agama Tahun 2011,‛ Kamis 08

Maret 2012. diakses pada tanggal 17 Juni 2012 melalui

http://www.badilaq.net/statistik-perkara/10119-informasi-perkara-peradilan-agama-

tahun-2011.html 74

Wawancara dengan Sarmoto, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada

tanggal 05 Juni, 2012. Menurut Eka Juliana, banyaknya cerai gugat dalam perceraiaan

adalah karena pertama, bahwa semakain tinggi tingkat pendidikan perempuan

membuat perempuan semakin maju dan semakin tahu tentang hak-haknya termasuk

dalam keluarga, sehingga ketika terjadi pengabaian terhadap hak-hak tersebut atau

bahkan perempuan tidak mendapatkan haknya contoh hak sebagai seorang istri maka

perempuan tidak lagi bisa ‚menerima‛ terhadap apa yang sering di ungkapkan sebagai

‚nasib‛. Kedua, Kehidupan modern bukan hanya menuntut, tetapi mau tidak mau

terbawa pada arus modernisasi termasuk semakin tinggi nilai kebutuhan material

yang mendorong para istri untuk menuntut pemenuhannya terhadap suami. Jika

kebutuhan material tersebut tidak mampu dipenuhi oleh suami, karena suami tidak

mampu secara ekonomi, apalagi suami tidak bertangung jawab terhadap pemenuhan

tersebut, maka kondisi sosial menuntut perempuan harus berpikir ulang tentang

hakekat perkawinannya, yang pada akhirnya harus menentukan pilihan untuk

meneruskan atau memutuskan ikatan perkawinannya; Ketiga, Gerakan kesetaraan

gender bagi perempuan Indonesia yang masih memegang teguh nilai-nilai agama,

kebudayaan dan norma sosial bukan untuk ‚melawan‛ laki-laki, tetapi untuk

menciptakan pengetahuan baru, kesadaran baru sebagai jalan keluar dari

keterkungkungan dan hegemoni ideologi patriarkhi, menuju kehidupan yang lebih

egaliter, adil, dengan syarat penghormataan terhadap harkat dan martabat manusia,

bahwa tidak ada satu jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan yang boleh

menindas kemanusiaan setiap individu. Lihat Eka Julaiha,‛Talak dan Problematikanya

di Masyarakat (Jakarta: Rahima, 2012) Suplemen Swara Rahima Edisi 38, Mei 2012.

Page 183: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

173

Dari 276,690 kasus perceraian yang telah diputus pada tahun

2011. 89,092 kasus dipicu oleh ketidakharmonisan dalam rumah tangga,

menempati kasus perceraian tertinggi yang kemudian disusul oleh faktor

tidak ada tanggungjawab dengan jumlah kasus 74,529. Kemudian faktor

ekonomi, dengan jumlah kasus 62,122, gangguan pihak ketiga mencapai

20,563, faktor cemburu yang berlebihan, masuk dalam peringkat kelima

Po

lig

am

i T

ida

k S

eh

at

Kris

is A

kh

lak

Cem

bu

ru

Ka

win

Pa

ksa

Ek

on

om

i

Tid

ak

Ad

a T

an

gg

un

g J

aw

ab

Ka

win

Dib

aw

ah

Um

ur

Men

ya

kit

i J

asm

an

i

Men

ya

kit

i M

en

tal

Di

Hu

ku

m

Ca

ca

t B

iolo

gis

Po

liti

s

Ga

ng

gu

an

Pih

ak

Keti

ga

Tid

ak

Ad

a K

eh

arm

on

isa

n

La

in-L

ain

Ju

mla

h

Kete

ra

ng

an

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

1Mahkamah Syariah

Aceh40 69 58 5 160 1,318 8 64 11 12 28 0 135 1,510 0 3,418

2 Medan 47 130 182 3 796 1,971 52 109 27 16 28 0 435 2,548 17 6,361

3 Padang 47 101 144 11 501 1,904 1 46 3 1 13 0 4 1,753 0 4,749

4 Pekanbaru 5 213 316 5 920 2,593 5 128 45 9 13 1 794 2,725 3 7,775

5 Jambi 0 45 64 1 280 1,451 0 38 0 1 5 0 62 738 48 2,733

6 Palembang 37 231 178 10 623 1,320 0 137 8 37 14 3 310 2,197 0 5,105

7 Bangka Belitung 0 83 112 0 250 618 0 0 0 1 0 0 153 625 0 1,842

8 Bengkulu 1 5 5 2 40 444 1 9 3 3 5 1 59 986 0 1,564

9 Bandar Lampung 11 120 157 3 1,041 588 2 38 5 3 11 9 326 1,552 11 3,877

10 Jakarta 249 67 407 6 1,503 1,881 12 400 3 2 6 0 1,000 2,258 0 7,794

11 Banten 77 135 188 15 1,042 1,121 41 39 0 17 2 0 581 1,542 0 4,800

12 Bandung 164 426 820 110 23,913 7,971 10 137 4 13 43 49 2,463 1,476 35 50,919

13 Semarang 51 1,078 1,373 508 11,939 24,379 115 6 204 35 99 6 2,577 15,645 7 58,022

14 Yogyakarta 0 81 45 7 453 1,409 0 84 9 6 10 1 364 1,715 22 4,206

15 Surabaya 116 2,568 3,921 909 14,735 16,478 170 690 108 58 255 568 7,533 24,539 299 72,947

16 Pontianak 5 44 51 1 248 626 0 5 1 1 6 0 218 1,742 1 2,949

17 Palangkaraya 0 23 147 0 215 1,226 0 27 0 6 4 0 348 1,101 0 3,097

18 Banjarmasin 49 351 57 20 531 1,785 5 46 54 5 18 9 468 2,172 18 5,588

19 Samarinda 78 108 217 69 676 1,057 7 159 86 21 29 0 744 1,824 30 5,105

20 Manado 1 62 18 0 5 170 0 17 1 1 0 0 64 432 16 787

21 Gorontalo 1 48 29 2 23 149 0 4 1 0 0 0 104 434 0 795

22 Palu 0 152 59 8 139 478 0 95 0 0 15 0 157 839 0 1,942

23 Kendari 16 165 148 2 135 181 0 9 35 5 7 0 58 475 0 1,236

24 Makassar 213 690 674 78 1,049 1,946 41 388 59 13 101 3 646 2,747 84 8,732

25 Mataram 76 284 357 23 845 1,021 4 97 29 9 12 0 482 1,106 38 4,383

26 Kupang 0 3 2 0 12 34 0 4 0 0 3 0 25 164 0 247

27 Ambon 2 28 9 1 10 63 1 13 3 0 0 0 41 99 1 271

28 Maluku Utara 3 23 24 1 12 114 0 7 0 0 1 0 69 205 0 459

29 Jayapura 0 14 7 1 26 233 0 11 1 0 2 1 123 658 14 1,091

1,289 7,347 9,769 1,801 62,122 74,529 2,807 700 651 20,563 89,092

272,7943,507 275 730 110,306 644Jumlah 47518,405 138,452

TABEL 3.4

REKAP FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN

PADA MAHKAMAH SYARIAH PENGADILAN AGAMA

Meninggalkan Kewajiban Menyakiti Jasmani Rohani Terus Menerus Berselisih

YURISDIKSI MAHKAMAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA

TAHUN 2011

No

Mahkamah Syariah

Propinsi Pengadilan

Tinggi Agama

Moral

Faktor - Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian

TABEL 5.8.

Page 184: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

174

dengan jumlah kasus 9,769. Krisis akhlak juga sering menjadi peyebab

terjadinya perceraian dengan jumlah 7,347 kasus. Pemicu selanjutnya

adalah kekerasan dalam rumah tangga yaitu menyakiti jasmani dengan

jumlah mencapai 2,807 kasus. Faktor lainnya adalah dikarenakan dalam

sejarah perkawinan para pihak dipaksa oleh orang tua untuk menikah

(kawin paksa) mencapai 1,801 kasus. Pemicu selanjutnya adalah

poligami tidak sehat, artinya suami melakukan poligami tidak sesuai

dengan aturan, perceraian modus ini mencapai angka 1,289. Kemudian

cacat biologis yang menyebabkan tidak bisa melaksanakan kewajiban

berjumlah 730, KDRT secara mental mencapai 700 kasus. Faktor

terakhir adalah politisi, faktor kini cukup berperan terjadinya perceraian

dengan jumlah kasus mencapai 651.

Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar menyatakan, sekitar

2.000.000 (dua juta) pasangan menikah setiap tahunnya, sekitar 200.000

(dua ratus ribu) pasangan bercerai setiap tahunnya. Angka perceraian 10

% dari angka pernikahan ini. Itu berarti terdapat 1 perceraian setiap 10

pernikahan. Uniknya, hampir 70 % justru istri yang menceraikan suami

(gugat cerai) dan hanya 30 persen suami yang menceraikan. Hal ini

karena perempuan semakin pintar, semakin mapan, dilindungi oleh

berbagai Undang-undang dan semakin sadar akan perlunya menyuarakan

kesetaraan gender dan hak-haknya. Nasaruddin juga mengungkapakan,

bahwa untuk mengatasi berbagai kasus rumah tangga ini Kementerian

Agama telah mengadakan kursus pranikah, sehingga setiap pasangan

yang menikah harus memiliki sertifikat.75

Catatan Kanwil Depag DKI Jakarta, untuk periode Januari–

Maret 2009, di Jakarta Utara terdapat 1.727 pasangan menikah, di

Jakarta Pusat terdapat 1.621 pasangan menikah, di Jakarta Selatan

terdapat 3.302 pasangan menikah, di Jakarta Barat terdapat 2.514

pasangan menikah, di Jakarta Timur terdapat 3925 pasangan menikah, di

Kepulauan Seribu terdapat 27 pasangan menikah. Jumlah keseluruhan

dalam kurun waktu tiga bulan sejak tahun 2009 sudah mencapai 13.116

75

Kementrian Agama, ‚Angka Perceraian di Indonesia Sangat Tinggi‛ diakses

pada tanggal 16 Juni 2012 melalui www.eksposnews.com.

Angka Perceraian di Indonesia Sangat Tinggi‛

http://forums.klikajadeh.net/showthread.php/7274-tingginya-angka-perceraian-

diindonesia. Diakses pada tanggal 16 Juni 2012.

Page 185: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

175

pasangan menikah. Sedangkan tahun 2008 lalu pasangan menikah

mencapai 62.051 pasangan.76

Diberikannya hak cerai kepada istri dimaksudkan agar para istri

mempunyai jalur hukum yang bisa ditempuh untuk melepaskan diri dari

kungkungan atau cengkeraman serta kesewenang-wenangan para suami.

Kepada para istri diberikan hak mengajukan gugatan perceraian tanpa

harus ada persetujuan dari suami. Seiring dengan itu pula kepada para

istri diberikan kesempatan untuk menggunakan hak banding dan kasasi

atas cerai talak yang dimohonkan suami ke pengadilan. Hak cerai yang

diberikan kepada istri bukan berarti menghilangkan atau menggerogoti

wewenang talak yang ada di tangan suami. Talak tetap menjadi hak

prerogatif suami. Hal itu dimaksudkan untuk melindungi hak-hak kaum

wanita yang selama ini tidak diberikan kepada mereka hanya suamilah

yang berhak memutuskan hubungan perkawinan. Sementara kaum

wanita harus menerima keputusan yang tidak menguntungkanya.

Berdasarkan data hasil penelusuran penulis di Pengadilan Agama

DKI Jakarta sepanjang tahun 2010-2011, perbandingan jumlah kasus

cerai talak dan cerai gugat sangat signifikan. Hal ini dapat dilihat pada

tabel di bawah ini. Tabel: 5.9.

Perkara Permohonan Cerai Talak yang diterima dan diputus Pengadilan Agama

DKI Jakarta Tahun 2010-2011 No. Pengadilan Agama DKI

Jakarta

Perkara Diterima Perkara Diputus

1. Jakarta Selatan 1.626 1.379

2. Jakarta Barat 863 813

3. Jakarta Utara 771 611

4. Jakarta Pusat 513 468

5. Jakarta Timur 305 281 Jumlah 4.078 3.55277

76

Jacksond, ‛Kasus Perceraian di Jakarta Masih Tinggi‛, diakses pada tanggal

16 Juni 2012 melalui http://www.beritajakarta.com./berita_detail.asp?nnewsid=33470. 77

Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara

tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat pula

Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara tentang

Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach Jufri dan

Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta

Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. LIihat Ujang Mukhlis, ‚Laporan Perkara

yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember

Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang

Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30 Desember, 2010). Lihat

Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang Perkara yang

diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011). Lihat Arsip ‚Data

Page 186: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

176

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa, dalam perkara

permohonan cerai talak yang diterima di wilayah PA DKI Jakarta dalam

kurun waktu 2010 sampai 2011 mencapai angka 4,078 perkara, dan yang

berhasil diputus bejumlah 3,552 kasus dengan rincian sebagai berikut

ini.

PA Jakarta Selatan menempati urutan teratas dalam dalam

penerimaan kasus cerai talak dengan perolehan 1626 kasus, dan berhasil

diselesaikan berjumlah 1379 kasus. Sedangkan PA Jakarta Barat

menempati urutan kedua dengan jumlah perkara 863, dan yang berhasil

diputus berjumlah 813 kasus. Selanjutnya PA Jakarta Utara menempati

urutan ketiga dengan jumlah 771 perkara, dan yang berhasil diputus

berjumlah 611 kasus. Menempati urutan keempat, PA Jakarta Pusat

dengan jumlah perkara 513, dan 468 telah dapat diselesaikan. Terakhir

PA Jakarta Timur dengan jumlah 305 perkara, dan yang berhasil diputus

berjumlah 281 kasus. Dalam kasus penerimaan permohonan cerai talak,

PA Pengadilan Agama Jakarta Timur berada dalam posisi terendah.

Berbeda dalam kasus gugatan percerain, PA Pengadilan Agama Jakarta

Timur menempati urutan tertinggi dengan rincian sebagaimana tabel di

bawah ini. Tabel: 5.10.

Perkara Permohonan Cerai Gugat yang diterima dan diputus Pengadilan

Agama DKI Jakarta Tahun 2010-2011 No Pengadilan Agama DKI

Jakarta

Perkara

Diterima

Perkara

Diputus

1. Jakarta Timur 5.397 5.244

2. Jakarta Selatan 3.684 3.157

3. Jakarta Barat 2.103 1.996

4. Jakarta Utara 1.525 1.205

5. Jakarta Pusat 1.254 940

Jumlah 13.963 12. 542

Sumber: Pribadi Dari Laporan Tahunan Pengadilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-

2011.78

Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat Arsip ‚Data

Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat

http://www.infoperkara.Badilaq.go.id. Diakses pada tanggal 2 Agustus 2011. 78

Lihat Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta

Utara tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat

pula Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara

tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach

Jufri dan Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan

Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. Lihat Ujang Mukhlis,

Page 187: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

177

Tabel di atas menunjukkan bahwa, dalam kurun waktu dua tahun

(2010-2011) perkara cerai gugat yang diterima di wilayah PA DKI

Jakarta mencapai angka 13.963 perkara, dan yang berhasil diputus

bejumlah 12.542 perkara. PA Jakarta Timur berada diurutan tertinggi

dengan jumlah 5.397 perkara, yang berhasil diputus mencapai 5.244

kasus. Urutan selanjutnya PA Jakarta Selatan dengan total 3.684

perkara, dan yang berhasil diselesaikan sebanyak 3.157 perkara.

Berikutnya PA Jakarta Barat dengan jumlah 2.103 perkara, dan yang

berhasil diputus sebanyak 1.996 kasus. Berikutnya PA Jakarta Utara,

dengan jmlah 1.525 perkara, yang berhasil diputus 1.205 kasus. PA

Jakarta Pusat menempati urutan terakhir dengan jumlah 1.254 perkara.

Adapun yang berhasil diselesaikan atau diputus berjumlah 940 kasus.

Dari data yang diperoleh penulis, dalam kasus gugat cerai setiap

tahunnya, hampir semua wilayah PA DKI Jakarta mengalami kenaikan.

PA Jakarta Timur misalnya, sebagai pelaksana sebagian tugas pokok

kekuasaan kehakiman, Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tahun

2010 perkara gugatan dan permohonan perceraian yang diterima

Pengadilan Agama Jakarta Timur sebanyak 2747 perkara dengan rincian,

permohonan talak sebanyak 154, sedangkan gugat cerai sebanyak

2593.79

Pada tahun 2011 ada peningkatan penerimaan perkara yang

cukup besar yaitu sebanyak 2955 perkara, meningkat sekitar 7.3 %

dengan rincian perkara permohonan talak sebanyak 151 perkara dan

gugatan sebanyak 2804 perkara. Permohonan dan gugatan tersebut

diselesaikan oleh Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur yang

berjumlah 19 orang termasuk ketua dan wakil ketua, dengan majelis

yang bersidang sebanyak 18 majelis, sedangkan frekwensi persidangan

dilaksanakan setiap hari dari hari Senin hingga hari Kamis, kecuali hari

Jum’at, setiap majelis rata-rata menyidangkan perkara sebanyak 20

perkara setiap kali bersidang, sehingga selama tahun 2011 diperkirakan

‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan

Januari-Desember Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta

Selatan tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30

Desember, 2010). Lihat Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011).

Lihat Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat

Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat

http://www.infoperkara.Badilaq.go.id. Di akses pada tanggal 2 Agustus 2011. 79

Wakhidun dkk, ‚Laporan Akhir Tahunan 2010 Pengadilan Agama Jakarta

Timur‛, di akses pada 27 November 2012 melalui

http://pajakartatimur.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=239&Ite

mid=230.

Page 188: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

178

Pengadilan Agama Jakarta Timur telah melaksanakan persidangan tidak

kurang dari 12.400 kali persidangan, dengan jumlah perkara yang

disidangkan 3.000 an perkara, baik itu berkas perkara yang baru maupun

berkas perkara sisa tahun lalu.80

Untuk melihat apakah hasil putusan Pengadilan Agama DKI

Jakarta baik dalam kasus cerai talak maupun cerai gugat telah

memberikan keadilan dan perlindungan terhadap wanita atau tidak,

dapat dilihat dalam beberapa putusan berikut ini.

- Deskripsi Perkara dan Amar putusan Hakim dalam Cerai Talak

dan Cerai Gugat

Kasus cerai talak, Pemohon (suami) mengajukan surat

permohonan cerai di Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan Nomor

493/Pdt.G/2009/PAJU. Dalam putusan tesebut dijelaskan bahwa, antara

pemohon dan Termohon telah menikah pada 17 Mei 2003. Dari

pernikahan tersebut, keduannya telah dikarunia 2 orang anak yang

berumur 5 tahun dan 1 tahun. Pada mulanya kehidupan rumah tangga

Pemohon dan Termohon berjalan dengan harmonis, namun sejak bulan

September 2003 Pemohon dan Termohon mulai terjadi perselisihan dan

percekcokan terus-menerus dan sulit untuk didamaikan. Puncak dari

perselisihan tersebut terjadi pada bulan Juni 2009, yang berakibat

keduanya pisah tempat tinggal dan tidak ada hubungan suami istri

antara keduanya. Adapun penyebabnya adalah, Termohon telah

berselingkuh dengan laki-laki lain dan selalu berganti-ganti laki-laki,

bila terjadi pertengkaran Termohon sering mengeluarkan kata-kata kasar

yang menyakiti hati Pemohon, bukan itu saja Termohon menuduh

Pemohon suka sesama jenis.

Termohon dalam jawabannya menyampaikan secara lisan dalam

persidangan yang pada kesimpulannya mengakui dan membenarkan

semua dalil permohonan Pemohon. Dengan demikian perselisihan dan

percekcokan serta sebab-sebab terjadinya tersebut merupan fakta yang

patut untuk dipertimbangkan. Mengenai hak hadhonah, Pemohon dan

Termohon telah mengadakan kesepakatan, bahwa hak pemeliharaan

anak tersebut berada pada pemeliharaan Termohon.

80

Zulkarnain dkk, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Jakarta Timur‛

di akses pada 27 November 2012 melalui http://pa-

jakartatimur.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=239&Itemid=23

0.

Page 189: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

179

Setelah mempelajari kasus tersebut dan berdasarkan fakta

dipersidangan, akhirnya Majelis hakim memutuskan hal-hal sebagai

berikut.

1. Mengabulkan permohonan Pemohon

2. Memberi izin Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj‘i> terhadap

Termohon

3. Menetapkan anak Pemohon dan Termohon berada dalam pengasuhan

dan pemeliharaan Termohon.

4. Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon berupa

nafkah anak setiap bulannya.81

Kasus cerai gugat, Penggugat (istri) bedasarkan surat gugatannya

tertanggal 6 Oktober 2009, telah mengajukan gugatan di Pengadilan

Agama Jakarta Timur dengan Nomor 1757/Pdt.G/2009/PAJT. Pada

pokoknya mengemukakan bahwa, benar antara Penggugat dan Tergugat

telah terjadi pernikahan pada tanggal 08 November 1998. Dari hasil

pernikahan tesebut, keduanya telah dikarunia seorang anak laki-laki

yang lahir pada tanggal 27 Januari 1999. Pada mulanya kehidupan

rumah tangga Penggugat dan Tergugat berjalan dengan harmonis

layaknya suami istri pada umumnya, namun pada bulan Februari 2007,

kehidupan rumah tangga mereka mulai goyah dan sering terjadi

perselisihan dan percekcokan. Puncak dari perselisihan tersebut terjadi

pada bulan Maret 2009. Akibat dari percekcokan tersebut, keduanya

sudah tidak tinggal satu atap, tanpa ada nafkah lahir dan batin dari

Tergugat. Adapun penyebab dari perselisihan tersebut adalah antara

Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada kecocokan lagi dan selalu

berbeda pendapat dalam membina rumah tangga. Tergugat sering

menghabiskan waktu di luar rumah dari pada bersama keluarga, bukan

itu saja Tergugat ternyata berselingkuh dengan wanita lain.82

Berdasarkan fakta di persidangan menunjukkan bahwa, antara

Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat dipersatukan kembali.

Dalam kasus di atas, Majelis hakim memutuskan hal-hal sebagai

berikut.

1. Mengabulkan gugatan Penggugat

2. Menjatuhkan talak ba’in sughra dari Tergugat kapada Penggugat

Kasus cerai gugat karena khuluk, Penggugat telah mengajukan

gugatan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan

register nomor:777/Pdt.G/2011/PA.JU. Pada tanggal 06 Februari 2005,

81

Dokumentasi Salinan Putusan Nomor 493/Pdt.G/2009/PAJU. 82

Dokumentasi Salinan Putusan Nomor 1757/Pdt.G/2009/PAJT.

Page 190: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

180

Penggugat dengan Tergugat melangsungkan pernpernikahan. Dari hasil

pernikan tersebut keduanya dikaruniai 1 orang anak yang masih di

bawah umur. Berdasarkan fakta-fakta di persidangan menunjukkan

telah terbukti selama satu tahun lebih Tergugat pergi meninggalkan

Penggugat tanpa pernah memberi nafkah wajib kepada Penggugat dan

tidak memperdulikan Penggugat, dan penyebab Tergugat pergi adalah

karena selalu berselisih dan bertengkar dengan Penggugat, dan bila

bertengkar, Tergugat suka memukul Penggugat. Dengan demikian

majelis hakim berpendapat bahwa sikap dan perbuatan Tergugat yang

demikian adalah merupakan pelanggaran sighat ta’lik talak sebagaimana

yang didalilkan oleh Penggugat.

Berdasarkan pertimbangal-pertimbangan tersebut di atas, maka

alasan-alasan cerai yang diajukan oleh Penggugat telah memenuhi

ketentuan Pasal 116 huruf ‚g‛ KHI dan majelis hakim PA Jakarta Utara

memutuskan hal-hal sebagi berikut.

1. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek;

2. Menetapkan syarat ta’lik talak telah terpenuhi;

3. Menjatuhkan talak satu khul’i> Tergugat (NAMA ASLI

TERGUGAT) kepada Penggugat (NAMA ASLI PENGGUGAT)

dengan ‘iwad} Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah);

- Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara Cerai

Talak dan Cerai Gugat

Dasar dikabulkannya putusan cerai talak nomor

493/Pdt.G/2009/PAJU tersebut adalah surah al-Ru>m Ayat 21. Hakim

menilai bahwa kasus tersebut bertentangan dengan Pasal 1 UUP jo Pasal

3 KHI. Dalam putusan tersebut Pemohon tidak memberikan hak nafkah

dan mut’ah terhadap Termohon. Majelis hakim berpendapat bahwa

tindakan Termohon tergolong perbuatan nushu>z, dan oleh karenanya

kewajiban Pemohon memberikan nafkah iddah kepada Termohon

menjadi gugur. Hal ini sesuai dengan Pasal 80 Ayat (7)83

dan Pasal 84

Ayat (1)84

dan (2)85

KHI.

83

Bunyi Pasal tersebut adalah, ‚Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat

(2) gugur apabila istri nushu>z. 84

Redaksi Pasal tersebut adalah, ‚Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak

mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat

(1) kecuali dengan alasan yang sah. 85

Yaitu, ‚selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya

tersebut pada Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk

kepentingan anaknya.‛

Page 191: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

181

Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan administrasi Pengadilan Agama dijelaskan, selama proses pemeriksaan cerai talak

sebelum sidang pembuktian, istri dapat mengajukan rekonvensi

mengenai hak nafkah anak, nafkah madhiyah, nafkah iddah, dan mut’ah.

Sedangkan hadhonah dan harta bersama sedapat mungkin diajukan

dalam perkara tersendiri.86

Namun dalam kasus tersebut istri tidak

menuntut kecuali kerelaannya dicerai suaminya.

Dilihat dari putusan yang dijatuhkan hakim, penulis

berkesimpulan bahwa putusan tersebut tidak memberikan keadilan

terhadap wanita karena istri tidak mendapatkan hak nafkah iddah.

Pertanyaannya bagaimna jika suami yang nushu>z, tidak adil rasanya istri

yang sudah terzalimi tiba-tiba hak nafkahnya hilang begitu saja.

Pada praktiknya sama saja baik istri maupun suami yang nushu>z selama istri tidak mengajukan gugatan hak nafkah dan hak

lainnya,87

tetap saja istri tidak mendapatkan haknya. Hal ini diperkuat

dengan pendapat salah satu hakim Pengadilan Agama M. Rizal

menyatakan bahwa, berbeda dengan cerai talak, cerai gugat

implikasinya tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hakim

harus mengadili seluruh petitum dalam permohonan maupun gugatan

perceraian, dan tidak boleh mengadili lebih yang diminta dalam petitum

kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 178HIR/Pasal 189

R.Bg). Jadi perolehan hak nafkah tergantung istri, kalau dalam

gugatannya (petitum/tuntutan atau permohonan) istri menuntut hak

nafkah, maka hakim akan mepertimbangkannya. Jika istri hanya

menuntut cerai saja, maka hakim memutuskan dikabulkan tidaknya

gugatan cerai tersebut. Intinya hakim akan memutuskan berdasarkan

tuntutan semata sebagaimana aturan dalam hukum acara perdata. Jika

dalam petitum tidak ada tuntutan hak nafkah, tiba-tiba dalam

putusannya ada hak nafkah, putusan ini menjadi kabur.88

Sedangkan

prosedur gugatan nafkah anak, nafkah istri, mut’ah, dan nafkah iddah

dapat diajukan bersama-sama dengan cerai gugat, sedangkan gugatan

86Pedoman Pelaksanaan Tugas dan administrasi Peradilan Agama, Buku II

Edisi Revisi 2010 (Jakarta: MA RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,

2010),152. 87Pedoman Pelaksanaan Tugan dan administrasi Peradilan Agama, 154. 88

Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,

Tanggal 18 Juli 2012.

Page 192: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

182

hadhanah dan harta bersama sedapat mungkin diajukan terpisah dalam

perkara lain.89

Mayoritas dalil gugatan yang dajukan istri 90% berdasarkan

alasan sebagaimana Pasal 19 huruf (f). 10% karena pelanggaran taklik

talak.90

Terhadap putusan cerai gugat ini, 90% hakim menjatuhkan talak ba’in Sughra, sebagaimana kasus gugat cerai nomor

1757/Pdt.G/2009/PAJT. Alasan Penggugat mengajukan gugat cerai

terhadap Tergugat dikarenakan percekcokan atau pertengkaran yang

terjadi terus menerus.91

Dalam kasus ini majelis hakim menilai bahwa

Pengggugat dan Tergugat telah kehilangan hakikat dan tujuan

perkawinan sebagaimana yang telah digariskan Pasal 1 UU No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dan Pasal 3 KHI, Pasal 19 PP No. 9 tahun

1975 jo116 huruf (f) KHI serta surah al-Ru>m Ayat 21, yaitu membentuk

rumah tangga yang kekal bahagia, sejahtera dalam suasana mawaddah

dan rahmah tidak mungkin lagi dapat diwujudkan. Oleh karenanya

mempertahankan keluarga tidak akan menciptakan kemaslahatan

melainkan akan menimbulkan madharat bagi keduanya. Dalam kasus

inipun hak nafkah istri tidak ia dapatkan, dan hakimpun tidak ada upaya

untuk menghukum Tergugat dengan memberikan hak nafkah yang

selama ini ia lalaikan.

89

Pedoman Pelaksanaan Tugan dan administrasi Peradilan Agama, Buku II

Edisi Revisi 2010 (Jakarta: MA RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010),

154. 90

Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,

Tanggal 18 Juli 2012. 91

Percekcokan beragam bentuknya. Ada yang seni dan irama dalam rumah

tangga yang tidak mengurangi keharmonisan, ada pula yang menjurus kepada kemelut

yang berkepanjangan yang bisa mengancam eksistensi lembaga perkakwinan. Bila hal

ini terjadi menurutnya ada tiga kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, antara suami

istri sepakat untuk tidak berpisah meskipun keduanya telah berlainan arah. Hal ini

mungkin terjadi dengan berbagai pertimbangan. Misalnya, pertimbangan kekeluargaan,

disebabkan suami istri dipertemukan antara kerabat dekat, atau karena sudah

mempunyai keturunan yang bila mereka bercerai akan mengakibatkan anak-anak

mereka terlantar dan menderita. Kedua, karena berbagai pertimbangan seperti anak

ada, mereka sepakat untuk tidak berpisah, tetapi mereka berpisah rumah, dan

adakalanya suami disamping berpisah rumah dengan istrinya juga tidak memenuhi

nafkah istrinya. Jalan ini mereka lalui dengan berbagai motivasi. Ada yang disebabskan

suami beristri lagi sehingga ia melupakan istri yang pertama yang bila dilihat dari segi

umur memang sudah tidak menggairahkan lagi. Ketiga, alternatif lain adalah memilih

jalan perceraian. Lihat Satria Effendi M. Zain,‛Analisis Yurisprudensi; Analisis Fikih‛,

dalam Mimbar Hukum, Nomor 33 Th. VIII, 1997, 115-116.

Page 193: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

183

Seharusnya khusus kepada istri, pengadilan diberi hak untuk

memutuskan apakah kepada mantan suami dibebankan untuk memberi

biaya kepada istrinya sebagimana ketentuan pasal 41 huruf (c) Undang-

Undang Perkawinan yang merupakan lex specialis, hakim karena

jabatannya tanpa harus ada permintaan dari pihak istri, dapat

mewajibkan atau menghukum dalam putusan tersebut kepada bekas

suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan

sesuatu kewajiban bagi bekas istri.92

Namun dalam praktiknya hampir

semua kasus gugat cerai, istri tidak mendapatkan hak nafkah iddah

karena ia dianggap melawan suami. Karena kedurhakaan itulah hak

nafkah istri dinafikan sebab tergolong talak ba’in (Pasal 119 Ayat (1)

KHI.93

Menurut penulis hakim seharusnya konsisten dengan pasal 41

UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, demi melindungi hak wanita

tanpa melihat ada dan tidaknya permohonan hak nafkah tersebut.

Karena faktanya dalam kasus gugat cerai istri selalu dirugikan baik

secara fisik maupun psikis.

Perlu diluruskan di sini, sesuai dengan Pasal 136 Ayat (2) Poin

(a) KHI menjelaskan bahwa, selama berlangsung gugatan perceraian atas

permohonan Peggugat atau Tergugat Pengadilan Agama dapat

menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami. Berdasarkan

pasal tersebut ternyata tidak hanya istri saja yang dapat mengajukan

permohonan hak nafkah, suami dapat pula mengajukan permohonan

memberikan hak nafkah terhadap istri.

Dalam hal apabila terjadi kesepakatan antara suami-istri tentang

adanya pembayaran khuluk dari pihak istri kepada suami, maka

perceraiannya dengan alasan apapun baik karena alasan huruf (a), (b),

(c), (d), (e) maupun (f), maka perceraiannya dilakukan dengan talak khul’i >. Melalui bentuk ini, di dalam persidangan suami mengikrarkan

talak kepada istrinya karena dibayarnya sejumlah uang atau harta yang

telah disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam praktiknya, perceraian

dalam bentuk ini, dilakukan dengan bentuk ta’lik talak. Pelanggaran

ta’lik talak sebagai alasan perceraian yang pada umumnya tertera pada

kutipan Akta Nikah, dengan alasan perceraian huruf (b), dan

pelanggaran berupa tidak memberi nafkah selama tiga bulan, menyakiti

badan/jasmani istri, dan membiarkan (tidak mempedulikan) istri selama

92

A.Mukri Ato, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 214. 93

Wawancara dengan Sarmoto, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, pada

tanaggal 5 Juni 2012.

Page 194: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

184

6 bulan, merupakan tinddakan kekejaman suami terhadap istri, karena

perbuatannya tersebut dapat menimbulkan penderitaan dan

kesengsaraan pada kehidupan istri. Oleh karena itu tindakan pelanggran

ini bersesuain dengan alasan perceraian huruf (d). Perceraian dalam

bentuk talak khul’i, amar putusannya dapat dirumuskan ‚Menyatakan

jatuh talak satu khul’i> Tergugat atas Penggugat dengan iwadh…‛ dan

dapat diikuti dengan amar ‚Menyatakan hukum putus ikatan perkawinan

Penggugat dengan Tergugat karena talak Khul’i tersebut‛.94

Sebagaimana yang terjadi dalam kasus nomor: 777/Pdt.G/2011/PA.JU.

Dalam kasus ini, Majelis hakim menilai bahwa alasan-alasan cerai yang

diajukan oleh Penggugat telah memenuhi ketentuan Pasal 116 huruf ‚g‛

Kompilasi Hukum Islam.

Alasan-alasan perceraian yang disebutkan dalam Pasal 116 KHI

bukan bersifat kumulatif. Sifatnya adalah alternatif, Pemohon atau

penggugat dapat memilih salah satu di antaraya sesuai dengan fakta

konkreto. Kalau fakta konkreto yang terjadi Tergugat (suami)

melanggar ta’lik talak maka alasan itulah yang menjadi dasar gugat

yang tepat. Sekiranya Pemohon atau Penggugat mengajukan alasan yang

bersifat kumulatif, tidak dilarang. Namun tidak wajib bagi Pemohon

atau Penggugat untuk membuktikan setiap alasan. Salah satu saja di

antara alasan tersebut dapat dibuktikan, sudah cukup menjadi dasar

pertimbangan hakim untuk mengabulkan permohonan atau gugatan

tersebut. Sebagaimana kasus di atas meskipun didasarkan alasan

kumulatif yang terdiri dari pelanggaran taklik talak dan KDRT, berarti

Pemohon sekaligus mengajukan 2 alasan sebagai dalil. Dalam kasus ini

Pemohon tidak berarti mesti berhasil membuktikan kedua alasan yang

dimaksud. Seandainya salah 1 di antaranya dapat dibuktikan Penggugat,

sudah cukup alasan untuk mengabulkan gugatan tersebut. Namun

apabila dia dapat membuktikan kedua alasan tesebut, tentu yang

demikian itu lebih baik.95

Ketika perceraian terjadi maka tidak serta merta putus

hubungan, tetapi ada ketentuan hukum yang lahir karena percerian

tersebut, di antaranya adalah hak nafkah selama masa iddah dan

mut’ah. Namun dalam kasus talak khuluk hak-hak tersebut menjadi

94

Hamami, ‚Pelanggaran Hukum keluarga: Suatu Kajin Penerapan Pasal 19

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Amar Putusan Pengadilan‛, diakses

pada Tanggal 9 Desember 2012 melalui www.pa-kediri.go.id. 95

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Acara peradilan Agama, 218.

Page 195: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

185

hilang, karena perempuan yang melakukan khuluk dianggap telah siap

menanggung resiko (tidak dibayar nafkah masa iddah).96

Pada akhir pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa kedudukan

suami istri dalam bidang memutuskan hubungan perkawinan sudah

seimbang. Masing-masing mempunyai hak untuk mengajukan

permohonan talak atau gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Kenyataan

ini bisa dijadikan sebagai salah satu tolak ukur bahwa hukum keluarga

Islam di Indonesia yang ada sekarang telah menempatkan hak-hak kaum

wanita setara atau sebanding dengan hak-hak kaum pria. Kiranya

dengan adanya hak cerai di tangan istri, bisa menghindarkan mereka dari

kehidupan yang tidak harmonis, dan sekaligus bangkit kembali untuk

membangun kebahagiaan dengan atau tanpa orang lain.97

C. Pembagian Harta Bersama dalam Masalah Pencari Nafkah

Masalah harta bersama merupakan masalah yang cukup besar

yang berpengaruh terhadap kehidupan suami istri, apalagi jika keduanya

bercerai. Munculnya masalah harta bersama apabila sudah terjadi

perceraian antara suami istri atau pada saat proses perceraian sedang

berlangsung di Pengadilan Agama, sehingga timbul berbagai macam

hukum yang kadang-kadang dalam penyelesaiannya menyimpang dari

peraturan perundang-undangan yang berlaku.98

Kajian tentang harta

bersama tidak dijumpai dalam kitab-kitab fikih klasik. Masalah harta

bersama merupakan persoalan hukum yang belum disentuh atau belum

terpikirkan (ghai>r al-mufakkar) oleh ulama-ulama fikih terdahulu karena

masalah harta bersama baru muncul dan banyak dibicarakan dalam masa

modern ini.99

Secara umum, hukum Islam tidak melihat adanya harta bersama.

Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami

dan harta istri. Apa yang dihasilkan oleh suami merupakan harta

miliknya, demikian juga sebaliknya, apa yang dihasilkan istri adalah

harta miliknya. Lalu bagaimana sebenarnya harta bersama dalam

persepektif hukum Islam?

96

Eka Julaiha, ‛Talak dan Problematikanya di Masyarakat (Jakarta: Rahima,

2012) Suplemen Swara Rahima Edisi 38, Mei 2012. 97

Iskandar Ritonga, ‚Hak-hak Wanita dalam Hukum Kelauarga Islam di

Indonesia: Implementasisinya dalam Putusan-putusan Peradilan Agama DKI Jakarta‛,

1990-1995‛, (Disertasi, Program Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 157. 98

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2006), 103. 99

Wawancara dengan Abd. Rasyid As’ad, Hakim Pengadilan Agama Kraksaan

pada tanggal 09 Juni 2012.

Page 196: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

186

Menurut hukum Islam ada dua versi jawaban yang dapat

dikemukakan terkait tentang harta bersama karena para ahli hukum

Islam berbeda pendapat tentang harta bersama ini.100

Dalam bukunya

Abdul Manan, Hazairin, Anwar Harjono, dan Abdoerraoef mengatakan

bahwa agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama, karena itu

diserahkan sepenuhnya kepada mereka sendiri untuk mengaturnya.

Sebagian ahli hukum Islam yang lainnya termasuk T. Jafizham

mengatakan bahwa, suatu hal yang tidak mungkin jika agama Islam

tidak mengatur tentang harta bersama, sedangkan hal-hal lain yang

kecil-kecil saja diatur secara rinci oleh agama Islam dan ditentukan

dasar hukumnya. Tidak ada satupun yang tertinggal semuanya termasuk

dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam.101

Harta bersama suami istri mestinya masuk dalam rub’u mu’a>malah,

102 tetapi ternyata tidak dibicarakan secara khusus. Hal ini

mungkin disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fikih

adalah orang Arab yang tidak mengenal adanya pencarian harta bersama

suami istri. Tetapi ada dibicarakan tentang kongsi yang dalam bahasa

Arab disebut shirkah. Oleh karena masalah pencarian bersama suami

istri adalah termasuk perkongsian atau shirkah, maka untuk mengetahui

hukumnya perlu dibicarakan terlebih dahulu tentang shirkah. yang telah

ditulis dalam kitab-kitab fikih klasik, khususnya bab mu’amalah.103

Shirkah dibagi menjadi beberapa macam di antaranya shirkah

mufawwad}ah, adalah perkongsian dalam menjalankan modal, dengan

ketentuan bahwa masing-masing anggota memberikan hak penuh kepada

anggota lainnya untuk bertindak atas nama perkongsian tersebut.104

Selanjutnya shirkah ‘abda>n, yaitu dua orang atau lebih bersyarikat

masing-masing mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan

hasilnya (upahnya) untuk mereka bersama menurut perjanjian yang

merka buat. Shirkah ‘ina>n adalah dua orang yang berkongsi di dalam

harta tertentu, misalnya bersyarikat di dalam membeli suatu barang dan

100

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,

2004), 230. 101

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 109.

Lihat pula T. Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan hukum perkawinan Islam (Medan, Mustika, 1977), 119.

102Cik Hasan Bisri, ed. Kompilasi hukum Islam dalam Sistem Hukum

Nasional (Cpiutat, Logos Wacana Ilmu, 1999), 62. 103

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 111. 104

Masrokhin Sadja, ‚Harta Bersama‛, diakses pada tanggal 17 Juni 2012

melalui http://masrokhisadja.blogspot.com.

Page 197: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

187

keuntungannya untuk mereka. Shirkah wujuh, yaitu syarikat tanpa

pekerjaan ataupun harta, yaitu permodalan dengan dasar kepercayaan

pihak lain kepada mereka.

Harta bersama dapat kategorikan sebagai shirkah mufawwad}ah

atau juga shirkah ‘abd>an. Kenyataan yang terjadi di sebagian besar

masyarakat Indonesia, pasangan suami istri sama-sama bekerja dalam

hal mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidup rumah tangganya,

di samping untuk tabungan hari tua dan sebagai peninggalan bagi anak-

anaknya kelak. Harta bersama dapat dikategorikan sebagai shirkah mufawad}ah karena memang perkongsian antara suami istri itu sifatnya

terbatas artinya, apa yang dihasilkan oleh pasangan suami istri selama

dalam ikatan perkawinan merupakan harta bersama. Sedangkan harta

warisan dan pemberian milik keduanya merupakan pengecualian.

Dari penjelasan tersebut di atas, jika harta bersama diqiyaskan

dengan shirkah sangatlah masuk akal karena sama-sama mengandung

pengertian sebagai suatu bentuk perkongsian atau kerja sama antara

suami dan istri. Hanya saja dalam konsep shirkah pada umumnya lebih

bersifat bisnis atau kerja sama dalam kegiatan usaha, sedangkan shirkah

harta bersama sifatnya hanya kerja sama dalam membangun sebuah

rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, meskipun juga

meliputi hal-hal yang berkaitan dengan harta dalam perkawinan.

Pengqiyasan antara harta bersama dengan shirkah dapat pula

dipahami melalui argumentasi, bahwa persatuan atau percampuran harta

kekayaan suami dan istri dapat difahami sebagai harta kekayaan

tambahan karena adanya usaha bersama antara mereka berdua.

Logikanya, jika terjadi pemutusan hubungan (perceraian) di antara

mereka, maka persatuan harta kekayaan (gono-gini) itu harus dibagi dua.

Pembagiannya bisa ditentukan atas dasar pihak yang lebih banyak

berinvestasi dalam kerja sama itu, apakah suami atau istri. Atau juga

dapat dibagai secara merata, yaitu masing-masing pihak mendapatkan

separuh.

Sajuti Thalib dan M. Idris Ramulyo berpendapat bahwa, bertitik

tolak pada al-Qur’an105

sebenarnya hukum Islam mengakui harta yang

diperoleh suami istri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka

bekerja bersama-sama atau hanya suami saja yang bekerja, sedangkan

istri hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anak saja di rumah.

Sekali mereka itu terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami

istri, maka semuanya menjadi bersatu baik mengenai harta maupun

105

Surah al-Nisa>’ Ayat 19, 21,dan 34. Surah al-Baqarah Ayat 228.

Page 198: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

188

mengenai anak-anak.106

Tidak perlu diiringi dengan shirkah, sebab

perkawinan dengan ijab kabul serta memenuhi persyaratan lainnya

seperti adanya wali, saksi, mahar, walimah, dan i’la>n al-nika>h, sudah

dapat dinggap adanya shirkah antara suami istri. Bilamana istri hamil,

kemudian melahirkan seorang anak, sedangkan suami tidak ikut

mengandung anak yang dikandung istrinya itu, dan tidak pula turut serta

melahirkan anak, tetapi anak tersebut tidak dapat dikatakan anak istri

saja, tentu tidak, sebab anak itu adalah anak hasil dari perkawinan,

bahkan lazimnya lebih ditonjolkan kepda nama suami atau ayah

dibelakang nama anak. Demikian halnya bilamana suami saja yang

bekerja, berusaha dan mendapatkan harta, tidak dapat dikatakan bahwa

harta itu milik suami saja, melainkan telah menjadi harta bersama antara

suami istri. Apa bila terjadi perceraian, maka harta bersama yang

diperoleh selama dalam perkawinan itu harus dibagi dua menurut

perimbangan yang sama.107

Berdasarkan padangan tersebut di atas, dalam pandangan hukum

Islam harta bersama bisa ditelusuri baik melalui konsep shirkah maupun

berdasarkan kehendak dan aspirasi hukum Islam itu sendiri. Masalah

harta bersama merupakan wilayah hukum yang belum terpikirkan

(ghairu al- mufakkar fih) dalam hukum Islam, sehingga terbuka bagi ahli

hukum Islam untuk melakukan ijtihad dengan pendekatan qiyas. Dalam perkawinan suami istri dapat melakukan perjanjian

berupa penggabungan harta milik pribadi masing-masing menjadi harta

bersama, dapat pula ditetapkan tentang penggabungan hasil harta milik

pribadi masing-masing suami istri dan dapat pula ditetapkan tidak

adanya penggabungan harta milik pribadi masing-masing harta bersama

suami istri. Jika dibuat perjanjian sebelum pernikahan dilaksanakan,

maka perjanjian itu adalah sah harus dilaksanakan.108

Ketentuan tentang harta bersama, sudah jelas dalam hukum

positif yang berlaku di Indonesia, bahwa harta yang boleh dibagi secara

bersama bagi pasangan suami istri yang bercerai, hanya saja terbatas

pada harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian

perkawinan. Di dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, harta

bersama diatur dalam Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 119

KHUPerdata, Pasal 85 dan 86 KHI. Pengaturan harta bersama ini diakui

106

Seperti dalam al-Qur’a>n surah IV:21 107

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,

2004). 108

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 112.

Page 199: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

189

secara hukum, termasuk dalam pengurusan, penggunaan, dan

pembagiannya. Ketentuan tentang harta bersama juga diatur dalam

hukum Islam meskipun hanya bersifat umum dan tidak diakuinya

percampuran harta kekayaan suami istri, namun ternyata setelah

dicermati dan dianalisis yang tidak bisa dicampur adalah harta bawaan

dan harta perolehan. Hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku dalam

hukum positif, bahwa kedua macam harta itu (harta bawaan dan harta

peroleh) harus terpisah dari harta besama itu sendiri.

Dalam pasal 119 KHUperdata dikemukakan bahwa mulai hasil

saat melangsungkan perkawinan secara hukum berlakulah kesatuan bulat

antara kekayan suami-istri. Kemudian dalam Pasal 128-129

KUHPerdata, dinyatakan bahwa apabila putusnya ikatan perkawinan

antara suami istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami istri

tanpa memerhatikan dari pihak mana barang-barang kekayaan itu

sebelumnya diperoleh.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar

hukum harta bersama dapat ditelusuri melalui Undang-undang dan

peraturan lainnya yaitu:

a. Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 Pasal 35 Ayat (1)

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah

harta yang diperoleh selama adalam perkawinan. Artinya harta yang

diperoleh sebelum perkawinan tidak disebut harta bersama.

b. KUHPer Pasal 119 disebutkan bahwa sejak saat dilangsungkan

perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama

menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan

ketentual-ketentuan lain dalam perjanjian perakwinan. Harta

bersama itu selama dalam perkawinan tidak boleh ditiadakan atau

diubah dengan suatu persetujuana antara suami istri.

c. KHI Pasal 85 disebutkan bahwa, adanya harta bersama itu tidak

menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami

istri. Pasal ini sudah menyebutkan harta bersama dalam perkawinan,

dengan kata lain KHI mendukung adanya peraturan harta dalam

perkawinan meskipun sudah bersatu, tidak menutup kemungkinan

adanya sejumlah milik masing-masing pasangan suami istri.

d. KHI Pasal 86 Ayat (1) dan (2) kembali dinyatakan bahwa, pada

dasarnya tidak ada pencampuran harta suami dan istri karena

perkawinan. Pada Ayat (2) lebih lanjut ditegaskan bahwa, pada

dasarnya hak istri teta menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya.

Demikian pula sebaliknya harta suami tetap menjadi hak suami dan

dikuasai penuh olehnya.

Page 200: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

190

Undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 dalam masalah harta

bersama hanya mengatur secara singkat dan umum dalam bab VII, hanya

terdiri atas 3 pasal yaitu 35-37.109

Tampaknya UU No. 1 Tahun 1974

menyerahkan pelaksanaannya berdasarkan ketentuan nilai-nilai hukum

adat.

Berdasarkan Pasal 85 KHI klausul ‚sejak perkawinan tidak

menutup kemungkinan adanya pencampuran antara kekayaan suami

istri,‛ dengan kata ‚kemungkinan‛, dimaksudkan bahwa harta bersama

itu diperbolehkan asalkan tidak ditentukan lain dalam perjanjian

perkawinan.

Ketentuan KHI pasal 86 ayat (1) dan (2) kedengarannya bertolak

belakang dengan pasal sebelumnya. Jika dianalisis secara seksama,

ketentuan dalam pasal 86 tersebut sebenarnya lebih bersifat informasi,

bahwa dalam hukum Islam tidak dikenal istilah harta bersama. Istilah

harta bersama lebih dikenal dalam ketentuan hukum positif.110

Para pakar hukum Islam di Indonesia ketika merumuskan pasal

85-97 KHI setuju untuk mengambil shari>kat ‘abda>n sebagai landasan

merumukan kaidah-kaidah harta bersama. Para perumus KHI melakukan

pendekatan dari jalur shari>kat ‘abda>n dengan hukum adat.111

Cara

109

Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 Pasal 35-37 dikemukakan

bahwa harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta bersama.

Masing-masing suami istri terhadap harta yang diperoleh masing-masing sebagai

hadiah atau warisan adalah dibawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak

tidak menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak

untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas

persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami istri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut

apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing. Yang di maksud dengan ‚hukumnya‛ masing-masing dalam

Pasal 37 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tersebut adalah hukum agama, hukum adat

dan hukum lainnya. Lihat Abdul Manan dan Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata: Wewenang Peradilan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 74.

110Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Perceraian (Jakarta:

Transmedia Pustaka, 2008), 8-9. 111

Indonesia sejak dulu hukum adat mengenalnya dan diterapkan terus-

menerus sebagai hukum yang hidup. Apakah kenyataan ini dibuang dalam kehidupan

masyarakat? tentu tidak mungkin. Lagi pula dari hasil pengamatan lembaga harta

bersama lebih besar maslahahnya dari pada madaratnya. Atas dasar metodologi is}tis}la>h} (maslah}ah al-mursalah}) dan ‘urf dan kaidah al-‘a>dah} al-muh}a>kamah, KHI

melakukan pendekatan kompromistis dengan hukum adat.

Lihat Yahya Harahap,

Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, 44. Bandingkan dengan Cik

Hasan Bisri, (eds). Kompilasi hukum islam dalam Sistem Hukum Nasional (Ciputat,

Logos Wacana Ilmu, 1999), 61-62.

Page 201: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

191

pendekatan yang demikian ini tidak bertentangan dengan kebolehan

menjadikan‘urf (adat atau tradisi) sebagai sumber hukum, dan sejiwa

dengan kaidah yang mengatakan al-‘ada>t al-muh}a>kama>t. Sebagian ahli

hukum Islam memandang bahwa harta bersama merupakan kehendak

dan aspirasi hukum Islam. Menurut mereka, harta bersama adalah

konsekuensi dari adanya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki

dan seorang wanita yang kemudian menghasilkan harta dari usaha yang

mereka lakukan berdua selama ikatan perkawinan. Mereka mendasarkan

pada firman Allah di dalam al-Qur’an Surah al-Nisa>’ Ayat 21, yang

menyebutkan perkawinan sebagai suatu perjanjian yang suci, kuat, dan

kokoh (mi>thaqa>n ghali>z}an). Artinya, perkawinan yang dilakukan melalui

ijab kabul dan telah memenuhi syarat dan rukunnya merupakan shirkah

antara suami dan istri. Oleh karena itu, akibat hukum yang muncul

kemudian, termasuk harta benda menjadi milik bersama.112

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat

empat macam harta keluarga (gezimsgood) dalam perkawinan,yaitu (1)

harta yang diperoleh dari warisan, baik mereka sebelum menjadi suami

istri maupun setelah mereka melangsungkan perkawinan. (2) harta yang

diperoleh dengan keringat sendiri sebelum mereka menjadi suami istri.

(3) harta yang dihasilkan bersama oleh suami istri selama

melangsungkan perkawinan. (4) harta yang didapat oleh pengantin pada

waktu pernikahan dilaksanakan, harta ini menjadi milik suami istri

selama perkawinan.113

Untuk mengamankan hak dari harta bersama suami atau istri

dapat mengajuan sita marital (sita harta bersama).114

Untuk mengajukan

sita marital tersebut, penggugat harus memiliki data yang akurat dan

pasti atas harta bersama yang dimaksud. Hendaknya jangan sampai data

milik pihak ketiga dimasukkan kedalam daftar harta bersama.115

Apabila perkawinan putus baik karena perceraian maupun karena

kamatian, maka masing-masing suami istri mendapatkan separuh dari

harta bersama yang diperoleh selama perkawinan

112

Abd. Rasyid As’ad, ‚Gono – Gini dalam Perspektif Hukum Islam‛, 6. 113

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 106-107.

Bandingkan dengan pendapat Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Perceraian, 12-15, dan juga pendapat Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam,

228 114

Pasal 95 KHI. 115

Rocy Marbun, Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum (Jakarta: atransmedia

Pustaka, 2011), 187.

Page 202: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

192

berlangsung.116

Ketentuan tersebut, sejalan dengan Yurisprudensi

Mahkamah Agung RI Nomor 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember

1959 yang mengandung abstraksi hukum, bahwa apabila terjadi

perceraian, maka masing-masing pihak (suami istri) mendapat setengah

bagian dari harta bersama mereka. Apabila pasangan suami istri yang

bercerai, kemudian harta bersamanya dilakukan dengan cara

musyawarah atau perdamaian, maka pembagiaannya bisa ditentukan

berdasarkan kesepakatan atau kerelaan di antara mereka berdua. Cara ini

sah saja, bahkan ini yang terbaik.

Pembagian harta harta bersama dapat ditempuh melalui putusan

Pengadilan Agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian

pembagian harta bersama melalui jalan musyawarah ini, boleh saja

mereka sepakat bahwa mantan suami mendapat sepertiga dari harta

bersama, sedangkan mantan istri mendapat dua pertiga. Atau

sebaliknya, mantan istri mendapat sepertiga, sedangkan mantan suami

mendapat dua pertiga. Yang penting, prosentase bagian masing-masing

itu, dihasilkan atas dasar muyawarah mufakat dan perdamaian serta

tidak ada unsur pemaksaan.

Begitu juga dalam pembagian harta bersama salah satu dari

kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian

haknya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Misalnya, suami istri

yang sama-sama bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga

dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua bercerai,

mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40 % dari barang yang ada,

sedang suami mendapatkan 60 %, atau istri 55 % dan suami 45%, atau

dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan

mereka berdua,117

bahkan tak jarang hakim memutuskan dengan bagian

116

Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal

128-129 KUHPerdata, Pasal 96 dan Pasal 97 KHI. Ketentuan Pasal 97 KHI ini

bukanlah ketentuan yang sifatnya wajib secara shar’i>, sebab tidak ada nash dalam al-Qur`’a>n dan al-Hadith yang menerangkan bahwa pembagiannya harus seperti itu, yakni

suami dan isteri masing-masing mendapatkan setengah (50 %). Karena itu, kita dapat

memahami mengapa di Filipina, dalam peraturan yang diberlakukan pemerintah untuk

orang Islam (Code of Moslem Personel Laws of the Philippines), tidak ada aturan

mengenai harta bersama dalam perkawinan. Demikian pula, dalam putusan-putusan

pengadilan Malaysia, soal harta bersama ini masih menjadi masalah yang belum

selesai. Lihat Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 122.

117Ahmad Zain an-Najah , ‛Harta Gono- Gini dalam Islam‛ Senin, 29 Jumadil

Akhir 1433 H/21 Mei 2012. Diakses pada tanggal 09 juni 2012 melalui

http://muslimahzone.com/harta-gono-gini-dalam-islam.

Page 203: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

193

salah satu pihak mendapatkan bagian yang lebih banyak, jika yang

demikian tersebut menurut pertimbangan hakim sudah mencerminkan

rasa keadilan.

Berdasarkan temuan penulis di PA DKI Jakarta dalam kasus

sengketa harta bersama dari tahun 2010-2011 menunjukkan bahwa, PA

Jakarta Timur menenmpati urutan pertama dengan jumlah 48 kasus.

Dengan rincian, perkara yang masuk tahun 2010 sebanyak 14 perkara.

Satu (1) kasus telah dicabut, yang diputus berjumlah 8 kasus. Tahun

2011 yang diterima berjumlah 27 kasus, yang diputus 19 kasus. Dari

tahun 2010-2011 yang telah diputus berjumlah 27 kasus.118

Peringkat

kedua, PA Jakarta Selatan dengan jumlah 30 kasus, yang telah berhasil

diputus sebanyak 20 kasus. Kemudian, PA Jakarta Pusat menempati

urutan ketiga dengan jumlah 14 kasus dan semuanya telah berhasil

diselesaikan. Selanjutnya, PA Jakarta Utara dengan total 13 kasus, yang

berhasil diputus berjumlah 10 kasus. Terakhir Jakarta Barat dengan

jumlah 9 kasus, 7 kasus telah diselesaikan. Sisanya dalam peruses

persidangan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel: 5.11.

Perkara Permohonan Harta bersama yang diterima dan diputus

Pengadilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-2011

No. Pengadilan Agama DKI Jakarta

Perkara Diterima

Perkara Diputus

1. Jakarta Utara 13 10 2. Jakarta Selatan 30 20 3. Jakarta Timur 48 27

4. Jakarta Pusat 14 14 5. Jakarta Barat 9 7

Jumlah 115 68

Sumber: Pribadi Dari Laporan Tahunan Peradilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-

2011.119

118

Diakses pada 27 November 2012 melalui http://infoperkara.badilag.net/. 119

Lihat Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta

Utara tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat

pula Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara

tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach

Jufri dan Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan

Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. Lihat Ujang Mukhlis,

‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan

Januari-Desember Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta

Selatan tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30

Desember, 2010). Lihat Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Page 204: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

194

Banyaknya kasus sengketa harta bersama di wilayah PA DKI

Jakarta mempunyai warna tersendiri dalam putusal-putusan tersebut,

namun yang pasti khusus dalam kasus harta bersama ini, hakim

Pengadilan Agama DKI Jakarta kerap kali melakukan ijtihad

sebagaimana penjelasan kasus berikut ini.

- Deskripsi Perkara dan Amar Putusan Hakim dalam Hal Sengketa

Harta Bersama

Kasus pertama, Penggugat (istri) berdasaran gugatannya tanggal

12 April 2010 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan

Agama Jakarta selatan dengan Nomor: 0807/Pdt.G/2010/PAJS. Dalam

positanya disebutkan bahwa benar antara Pengugata dan Tergugat telah

terjadi pernikahan pada tanggal 10 Februari 2008. Dari hasil pernikan

tersbut keduanya dikarunia seorang anak laki-laki yang lahir pada

tanggal 13 November 2008. Awalnya rumah tangga Pengugat dan

Tergugat berjalan dengan baik, namun di akhir bulan Februari 2008

rumah tangga tersebut mulai goyah, selalu terjadi percekcokan. Adapun

faktor pemicunya adalah faktor ekonomi, di mana Tergugat tidak

mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap. Selama 2 tahun 2

bulan perkawinan, biaya hidup banyak ditanggung Penggugat. Belum

lagi perilaku buruk yang dilakukan Tergugat seperti perselingkuhan,

kata-kata kasar, KDRT dan lainnya.

Dalam gugatan perceraian tersebut, Penggugat menggabungkan

dengan gugatan harta bersama berupa tanah, bangunan dan mobil yang

berada dalam kekuasaan Tergugat. Dalam proses persidangan yang

cukup panjang, dan mendengar jawaban Tergugat yang pada pokoknya

hampir semua isi gugatan dibantah oleh Tergugat. Berdasarkan alat

bukti dan keterangan saksi dari masing-masing pihak, maka Majelis

hakim memutuskan yang pada pokok amar putusan tersebut

memutuskan hal-hal sebagai berikut.

1. Menjatuhkan talak ba’in sughra terhadap isrtinya

2. Menetapkan hak asuh anak pada pemeliharaan Penggugat (istri)

3. Menetapkan bagian harta bersama dengan bagian istri 65% dan

suami 35%. Pembagian tersebut setelah dikurangi hutang piutang

dengan pihak ketiga.

tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011).

Lihat Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat

Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat

http://www.infoperkara.Badilaq.go.id. Di akses pada tanggal 2 Agustus 2011.

Page 205: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

195

Kasus kedua, terjadi pada tahun 2010 yang telah didaftarkan di

Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan Nomor

686/Pdt.G/2010/PAJP. Dalam positanya disebutkan bahwa benar

Penggugat (istri) telah menikah dengan Tergugat pada tanggal 26

Desember 1997, dan bercerai pada tanggal 16-6-2010 sesuai dengan

Akta Cerai Nomor 0409/AC/2010/PAJP.

Dengan putusnya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat

sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak mengurangi hak-hak

Penggugat untuk memperoleh sebagian harta yang diperoleh saat

perkawinan berlangsung. Namun sayangnya, harta kekayaan berupa

tanah yang diperoleh antara Penggugat dan Tergugat dikuasai Tergugat,

sehingga Penggugat mengajukan gugatan harta bersama dan meminta

kepada Majelis hakim untuk membagi harta bersama tersebut sesuai

dengan hukum yang berlaku.

Melalui proses persidangan yang cukup panjang, dengan

mendengarkan keterangan kedua belah pihak yang saling mengklaim

kepemilikannya, Penggugat meyakini bahwa tanah tersbut merupakan

harta bersama antara Penggugat dan Tergugat. Sedangkan Tergugat

membantah dan meyakini bahwa tanah tersebut milik pribadi Tergugat

yang dibeli dari uang hasil menjual tanah milik oang tua Tergugat.

Namun Tergugat tidak dapat membuktikan dalil bantahannya tersebut.

Penggugat dan Tergugat saling membantah baik melalui jawaban

Tergugat, replik Penggugat, duplik Tergugat. Setelah majelis hakim

melihat berbagai bukti dalam persidangan dan mempelajari kasus

tersebut, akhirnya Majelis hakim memutuskan hal-hal sebagai berikut.

1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya

2. Menyatakan sita jaminan yang dilaksanakan Juru sita Pengadilan

Agama Jakarta Pusat

3. Menetapkan bagian Penggugat ½ (seperdua) dan bagian Tergugat ½

(seperdua) dari harta bersama Penggugat dan Tergugat.

- Dasar dan Pertimbangan Hakim dalam Sengketa Harta Bersama.

Ada aturan khusus di Pengadilan Agama yang berbeda dengan

Pengadilan lainnya dalam kasus harta bersama. Hal ini terdapat dalam

Pasal 66 Ayat (5) dan Pasal 86 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang

Pengadilan Agama jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. Perubahan ke dua UU

No. 50 Tahun 2009 menyebutkan tentang kebolehan menggabungkan

gugatan perceraian dengan beberapa gugatan lainnya.

Kedua pasal tersebut membolehkan seorang suami atau istri yang

mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama sekaligus

Page 206: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

196

mengajukan gugatan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan

harta bersama. Berbeda dengan yang berlaku di Pengadilan Negeri, di

mana pihak yang mengajukan gugatan perceraian tidak dibolehkan

menggabungkan dengan gugatan harta bersama, melainkan setelah ada

putusan perceraian yang mempuyai kekuatan hukum tetap, baru gugatan

hata bersama dapat diajukan. Penggabungan lebih dari satu tuntutan

hukum ke dalam satu gugatan atau beberapa gugatan digabungkan

menjadi satu disebut ‚komulasi gugat‛.120

Tujuan diterapkannya

komulasi gugat adalah untuk menyederhanakan proses dan

menghindarkan putusan yang saling bertentangan.121

Penyederhanaan

proses ini tidak lain bertujuan untuk mewujudkan peradilan yang

sederhana.122

Di samping itu bahwa dengan penggabungan gugatan ini,

maka asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dapat

terlaksana.123

Pada dasarnya komulasi gugat merupakan gugatan yang berdiri

sendiri. komulasi gugat hanya diperkenankan dalam batas-batas

tertentu, yaitu apabila penggugat atau para penggugat dan tergugat atau

para tergugat adalah pihak yang sama.124

Sebagaimana terdapat pada

kasus putusan Pengadilan Agama Jakarta selatan dengan nomor perkara

0807/Pdt.G/2010/PAJS. Pada kasus ini istri sebagai Penggugat,

sedangkan suami menjadi Tergugat. Komulasi gugat dalam perkara ini

adalah gugatan harta bersama dan gugatan perkara perceraian beserta

akibatnya. Di dalam gugatannya Penggugat mengajukan beberapa

tuntutan yaitu perceraian, hak asuh anak yang belum dewasa

(mumayyiz) dan pembagian harta bersama.

. Formulasi gugatan dapat diurut secara sitematis dari penguraian

posita cerai tersebut. Pada hakikatnya posita gugat cerai yang menjadi

pokok perkara, sedangkan yang lainnya menjadi bagian gugat assessor. Pada prinsipnya gugatan terhadap penguasaan anak, nafkah dan harta

120

Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan‛, Buku II (Jakarta, Mahkamah Agung RI Dietorat Jenderal Badan Peradilan

Agama, 2002), 118. 121

R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (Jakarta: Pradnya

Paramita 2005), 29. 122

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2001),

104. 123

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), 27.

124Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata (Bandung: Mandar Maju,

1989), 49.

Page 207: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

197

bersama baru dapat timbul jika didahului gugat cerai. Itu sebabnya

gugatan yang lain itu pada prinsipnya assessor atau bergantung kepada

gugat cerai. Oleh karena itu untuk menghindari agar gugatan tidak

obscur libel, formulasi gugat secara sistematis harus dimulai urutannya

dengan gugat cerai baru menyusul gugatan lainnya. Misalnya Pemohon

atau Penggugat menghendaki agar permohanan atau gugatan sekaligus

meliputi penyelesaian pemeliharaan anak, nafkah dan harta bersama.

sebagaimana kasus di atas. Formula gugatan atau permohonan yang

dianggap memenuhi tata tertib beracara adalah, dimulai dari dalail

gugatan. Menyusul kemudian gugat dan alasan pengusaan anak,

dilanjutkan dengan gugat dan alasan nafkah dan terakhir baru gugat dan

alasan pembagian hata bersama.

Dengan demikian tidak boleh gugat didahului oleh penguasaan

anak, hak nafkah dan harta bersama. Jika hakim menemukan gugatan

yang menyalahi tata tertib beracara tersebut, maka hakim dapat

memberi nasehat agar diperbaiki urutannya, karena jika tidak diperbaiki,

maka gugatan tidak dapat diterima. Demikian juga petitum cerai harus

dimulai dari meminta putusnya perceraian, kemudian memberi izin

kepada Pemohon (suami) untuk mengucapkan ikrar talak di sidang

pengadilan. Selanjutnya baru menyusul petitum tentang penguasaan

anak, nafkah dan pembagian harta bersama.125

Secara Posedural, bunyi amar putusan kasus di atas telah sesuai

dengan hukum beracara. Dasar hukum dan pertimbangan Majelis hakim

Pengadilan Agama Jakarta selatan dalam memutuskan kasus di atas

adalah, bahwa kasus tersebut bertentangan dengan pasal 33 UU No. 1

Tahun 1974 tentang perkawinan jo Pasal 77 Ayat (2) KHI yang

menyatakan bahwa, antara suami istri harus saling cinta mencintai,

hormat menghormati, setia memberi bantuan lahir dan batin yang satu

dengan yang lainnya. Selain itu tujuan perkawinan sebagaimana bunyi

surah al-Ru>m Ayat 21126

tidak terwujud. Menurut Majelis hakim, alasan

gugatan Penggugat telah memenuhi kualifikasi yuridis sesuai dengan

ketentuan pasal 39 ayat (1)127

UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf

125

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Acara peradilan Agama, 218-219. 126

Redaksi ayat tersebut adalah;

127

Pasal tersebut menyatakan bahwa, Perceraian hanya dapat dilakukan di

depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Page 208: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

198

(f)128

PP No. 9 Tahun 1975 dan pasal 119 huruf (c) KHI.129

Berdasarkan

ketentuan pasal 41 huruf (a) UU No. 1 tahun 1974, apabila terjadi

perselisihan tentang pengasuhan anak, maka Pengadilan yang

memutuskan. Sesuai dengan tanggal kelahiran anak tersebut belum

mencapai usia 12 tahun, maka hak asuhnya ada di pihak ibu.

Gugatan mengenai harta bersama, hakim Pengadilan Agama

Jakarta Selatan memutuskan dengan menyatakan bagian istri 65% dan

suami 35%. Adapun pertimbangan hakim adalah seharusnya suami yang

bertanggungjawab mencukupi kebutuhan rumah tangga justru tidak

mempunyai andil, akan tetapi sebaliknya semua kebutuhan keluarga

dicukupi oleh istri. Dalam kasus seperti ini hakim Pengadilan Agama

Jakarta Selatan bahkan semua hakim Pengadilan Agama DKI Jakarta

dalam kasus serupa sering kali melakukan ijtihad dengan

mengesampingkan Pasal 97 KHI yang pembagian antara suami istri

masing-masing mendapat seperdua, dengan pertimbangan bahwa tidak

adil rasanya memberikan bagian separuh kapada istri sebagai tulang

punggung keluarga, sedangkan suaminya pengangguran.130

Dalam kasus-

kasus seperti ini seyogyanya hakim berhati-hati dalam memeriksa kasus-

kasus tersebut, hal ini dilakukan agar memenuhi rasa keadilan,

kewajaran dan kepatutan.131

Berdasarkan ketentuan pasal 37 UU No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan jo Pasal 97 KHI yang menyebutkan bahwa janda atau duda

cerai hidup masing-masing berhak mendapat seperdua dari harta

bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Sebagaimana kasus yang telah diputus di Pengadilan Agama Jakarta

Pusat dengan Nomor 686/Pdt.G/2010/PAJP. Dalam putusan tersebut

Majelis hakim memutuskan bagian Penggugat (istri) dan Tergugat

(suami) masing-masing seperdua.

Bagian seperdua ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa

dalam suatu perkawinan itu baik pihak istri maupun suami mempunyai

128

Bunyi Pasal tersebut menyebutkan bahwa, perceraian dapat terjadi dengan

alasan antara suami isti terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak

ada harapan akan hidup ukun kembali dalam rumah tangga. 129

Pasal tersebut menyatakan bahwa, termasuk katagori talak ba’in sughra

adalah talak yang dijatuhkan Pengadilan Agama. 130

Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,

Tanggal 18 Juli 2012. 131

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:

Kencana, 2006), 129.

Page 209: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

199

kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga.132

Di

samping antara Penggugat dan Tergugat tidak ditemukan adanya

perjanjian perkawinan mengenai harta yang diperoleh dalam

perkawinan. Dengan demikian gugatan Penggugat sudah sepatutnya

dikabulkan dengan menetapkan masing-masing antara Penggugat dan

Tergugat seperdua dari harta bersama.

Berdasarkan putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat ini

yang mengadili pembagian harta bersama pasca perceraian dengan

merujuk pasal 97 KHI, menurut Penulis sudah tepat dan Penulis setuju

atas keputusannya karena diberlakukan untuk pembagian secara adil dan

seimbang bagian sama besar untuk masing-masing mantan suami dan

istri.

Praktik di Pengadilan Agama dalam gugatan harta bersama

ditemukan banyak kendala yang terkait dengan rahasia bank. Suami atau

istri yang mendlilkan istri atau suaminya mempunyai rekening giro,

tabungan atau deposito pada bank tertentu akan mengalami kesulitan

dalam pembuktian, karena yang dapat mengakses saldo rekening giro,

tabungan dan deposito bank tersebut hanya pihak suami atau istri yang

memilikinya, maka pembuktiannya cukup dengan fotocopy rekening

giro, tabungan deposito sepanjang tergugat (istri atau suami) tidak

menyangkal isi pokok fotocopy tersebut. Jika tergugat (istri atau suami)

menyangkal isi rekening giro, tabungan atau deposito yang atas

namanya, maka tergugat (istri atau suami) harus membuktikan saldo

rekening giro, tabungan atau deposito atas nama yang bersangkutan

berupa surah keterangan saldo terakhir dari bank yang bersangkutan.133

Sehubungan dengan pembagian harta bersama, suami mendapat

setengah, begitu juga istri mendapat setengah. Dalam kasus-kasus

tertentu dapat dilenturkan mengingat realita dalam kehidupan keluarga

di beberapa daerah di Indonesia ini ada pihak suami yang tidak

berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga. Dalam hal ini,

sebaiknya para peraktisi hukum lebih berhati-hati dalam memeriksa

kasus-kasus tersebut agar memenuhi rasa keadilan, kewajaran dan

kepatutan. Oleh karena itu, perlu adanya pertimbangan khusus tentang

partisipasi pihak suami dalam mewujudkan harta bersama keluarga,

sehingga bagian yang menetapkan setengah dari harta bersama untuk

132Mahkamah Agung RI, Suara Uldilog (Jakarta: Pokja Perdata Agama MA-

RI, 2005), 105. 133

Mahkamah Agung RI, Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II, Edisi Revisi 2010, (Jakarta, Mahkamah Agung RI Direktorat

Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010), 155.

Page 210: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

200

istri dan untuk suami perlu dilenturkan lagi sebagaimana yang

diharapkan oleh pasal 229 KHI.134

134

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 129.

Page 211: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab

sebelumnya. Menjawab dari rumusan permasalahan mengenai bentuk

dan tingkat perlindungan hukum terhadap wanita dalam peraturan

perundang-undangan dan praktik penegak hukum di Indonesia, penulis

memberikan kesimpulan:

1. Hukum keluarga Islam di Indonesia yang terdapat dalam UU

No.1/1974 dan KHI telah berupaya memberikan perlindungan

terhadap hak-hak wanita dan anak dalam kehidupan keluarga. Hal ini

dapat dilihat dari adanya peraturan mengenai batasan usia

perkawinan, adanya peraturan mengenai dispensasi kawin, peraturan

mengenai wali ‘ad{al, poligami diperketat, hak cerai gugat, asas

mempersulit perceraian dan pembagian harta bersama.

2. Berdasarkan hasil putusan-putusan Pengadilan Agama, ditemukan

beberapa kasus yang tidak memberikan perlindungan terhadap hak-

hak wanita. Hal ini terbukti mayoritas putusan hakim Pengadilan

Agama menggugurkan hak nafkah ‘iddah dalam kasus cerai gugat,

karena istri dianggap melawan dan durhaka terhadap suami. Pada

kasus hak nafkah anak pasca perceraian, dari 38 putusan tidak

ditemukan dalam amar putusan yang menjamin terpenuhinya hak

nafkah anak. Selanjutnya dalam kasus poligami, dari 45 putusan ada

3 alasan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yaitu alasan karena menjalankan syari’at agama, kurang terpenuhinya

nafkah batin dan calon istri kedua telah hamil di luar nikah.

3. Kedudukan wanita sebagai ibu telah terlindungi, namun kedudukan

wanita sebagai istri dan anak masih tidak terlindungi. Terbukti tidak

ditemukan dalam hukum materiil yang secara eksplisit mengatur

tentang akibat hukum pasca cerai gugat dan tidak ada pula peraturan

mengenai jaminan terpenuhinya hak nafkah anak pasca perceraian.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, ada

beberapa saran yang perlu dikemukakan yaitu, 1. Kepada pengkaji hukum keluarga Islam, agar meneliti lebih lanjut

beberapa hasil putusan Pengadilah Agama dengan melakukan

perbandingan pada wilayah tertentu seperti perbandingan hasil

Page 212: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

202

putusan Pengadilan Agama DKI Jakarta dengan putusan Pengadilan

Yogyakarta dan wilayah lainnya. 2. Kepada pemerintah terkait, aturan mengenai hukum keluarga Islam

di Indonesia yang sudah diperbaiki dan disempurnakan lewat RUU

HMPA (Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan

Agama) yang masih terkatung-katung, kiranya segera mungkin dapat

diundangkan. Hal ini demi meningkatkan kwalitas perlindungan

wanita dan anak dalam keluarga. Demikian pula, sosialisasi hukum

keluarga Islam seyogyanya terus digalakkan, mengingat banyak

ditemukan khususnya daerah pedesaan yang tidak mengetahui

eksistensi hukum keluarga Islam tersebut, bahkan di daerah

perkotaanpun para istri masih banyak yang kebingugan dalam

mengajukan gugatan perceraian. Akibatnya hak nafkah mereka

terabaikan karena mereka tidak mengajukanm hak-hak pasca

perceraian dalam surah gugatannya, pada akhirnya yang dirugikan

istri dan anak-anak. 3. Para hakim dalam mengemban tugas dan tanggungjawab yang

sangat berat diharapkan dapat benar benar memutuskan perkara

dengan secara adil dan proposional. Hal ini didukung oleh kriteria

hakim yang berkualitas baik mengenai keilmuan, moralitas yang

tinggi dan lain sebaginya. Kemampuan ilmu agama yang mempuni

merupakan modal dalam menggali dan menafsirkan hukum-hukum

yang tertera dalam kitab-kitab fikih, sehingga ijtihadnya benal-benar

mampu mencerminkan keadian terhadap para pihak yang mencari

keadilan.

Page 213: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

DAFTAR PUSTAKA

Agama, Departemen. al-Qur’a>n dan Tafsi>rnya. Yogyakarta: Universitas

Islam Indonesia, 1991.

Ahmad, Amrullah. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Bustanul Arifin. Jakarta: Gema

Insani, 1996.

Al-‘Alu>si >, Shiha>buddin Mah{mud. Ru>h al-Ma’a>ni> fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az{i>m,. Bai>ru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422H/2001 M.

Al-‘Ara>bi>, Ibn. Ah}ka>m al-Qur’a>n. Bai>ru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

1408 H/1988 M.

Al- Barry, Zakariyah Ahmad. Hukum Anak-anak dalam Islam. trans.

Chadidja Nasution, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Al-Habsyi, Muhammad Baqir. Fiqh Peraktis Menurut al-Qura>n, Sunnah dan Pendapat Para Ulama.’ Bandung: Mizan, 2002.

Al-Jazari, Abdul Rahman. Al-Fiqh ‘ala > Madha>hib al-Arba’ah Qiamu al-Ahwa>l al-Shakhsiyah. Bairu>t : Dar>u al- Fikr, 1990.

Al-Nawawy>. Al-Tafsi>r al-Muni>r li Ma’ali>m al-Tanzi>l. Semarang: Usaha

Keluarga, t.th.

Al-Ra>zi>, Fakhruddin. Al-Tafsi>r al-Kabi>r wa al-Mafa>tih al-Ghaib, Jilid 5.

Bai>ru>t: Da>r al-Fikr, t.th.

Al-S}abu>ni, Muhammad Ali.> al-Mawa>ri>th fi al-Shari>’ah al-Isla>miyah fi> D}au> al-Kita>b wa al-Sunnah. Makkah: Alam al-Kutub, 1305

H/1985 M.

Al-San’ani>, Subul al-Sala>m, Kairo: Da>r ahya’ al-Tura>th al-‘Ara>bi>,

1379H/ 1960 M, 227.

Al-Sha’ra>wi>, Muhammad Mutawalli. al-Fata>wa>: Kullu ma> Yuhimmi al- Muslim fi> H}aya>tih}I Yaumih}I wa Ghadihi. Kairo: Maktabah al-

Taufiqiyah, 1997.

Al- T{abari>, Ibn Jari>r. Ja>mi’ al- Bayan ‘an Ta’wi>l ayat al-Qur’a>n. Bairu>t:

Da>r al-Fikr, 1988.

Al-T{abra>ni>, Abu>> Ja’far Muhammad bin Jari>r Tafsi>r al-T{abra>ni>. Besus

Hidayat, eds. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Al-Zamah{shari>, Al-Kashshaf. Bai>ru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415

H/1995 M.

Ali, M. Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.

Ali, Zainuddin. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta:Sinar

Grafika, 2008.

Page 214: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

204

Ali, Muhammad Daud. Hukum Isla>m dan Peradilan Agama, Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2005.

Anderson, Norman. Law Reform in The Muslim World. London: The

Athlone Press, 1976. Al-Na’im, Abdullahi Ahmed. Dekonstruksi Shari>ah. Yogyakarta: LKiS,

2004.

…………Toward an Islamic Reformation. New York: Syracuse

University Press, 1999.

………….‚Shari>’ah dan Isu-isu HAM‛ dalam Charles Huzman. eds.

Wacana Islam Liberal: Pemikiran Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2003.

Anderson, Norman. Law Reform in The Muslim World. London: The

Athlone Press, 1976. Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar,

Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Rajawali Press,

1996.

Al-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. Taisi>r al-Kari>m al-Rahma>n, t.tp:

Muassasah al-Risalah, 2000.

Asad, Muhammad .The Message of The Qura>n, Gibraltar: Da>r al-

Andalus, 1980.

Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press,

1996.

Aripin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingka Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008.

Al-Dimashqi>, Ibn Kathi>r. Tafsi>r al-Qura>n al-Az}i>m. Bairu>t: Da>r al-Fiqr,

t.th.

Al-Sanan, Arij binti Abdur Rahman. Adil Terhadap Para Istri –Etika Berpoligami. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006.

Al-Taba>t}aba’i, Muhammad H}usain. Tafsi>r al-Mi>za>n. Bai>ru>t: Muassasah

al-A’lami li al-Mat}bua>t, 1411 H/1911 M.

Al- Zamakhsari, Abu> al-Qa>sim. al-Kashasha>f. Bairu>t: Dar> al-Fikr, t.th.

Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qura>n. Bairu>t: Dar> al-Sabab, 1372.

Al- Baid}awi>, Tafsi>r al- Baid}awi>. al-Qa>hirah: Da>r al-Misriyyah, t.th.

‘Ali> Khan, Maulvi Mumtaz. ‚Hak-Hak Wanita dalam Islam‛ dalam

Asghar Ali Engineer, Pembebasan Wanita. Yogyakarta: LKiS,

1999.

Al-Husaini, Hamid. Fatwa-Fatwa Muta’hir. Jakarta: Yayasan al-

Hamidi, 1996.

Page 215: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

205

Al- Mawardi, Abu> al-Hasan. al-Ah}ka>m al-Sult}aniyyah wa al-Wila>yat al-Diniyyah. t.tp: Da>r al-Fikr, 1960.

Al-Suyu>t}i>, Al-Jami; al-S}aghir. Bairu>t: Dar> al-Fiqr li al T}iba>;at wa al-

Nas}r wa al-Tauzi>’.

Al-Razi, Fahruddin. al-Tafsi>r al-Kabi>r, Teheren: Dar> al-Kutub al-

‘lmiyah, t.th.

Al-Syirbini>, Al-Kha>tib. Mughni> al- Muh}ta>j. Bai>ru>t: Dar> al-Ih}ya>’ at-

Thura>th al-‘Ara>bi>, t.th.

Abdullah, Rozi dan Syamsir. Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2001.

Anderson, Norman. Law Reform in The Muslim World. London: The

Athlone Press, 1976.

Alam, Andi Syamsu dan M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, 2008.

Adams, Cindy. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Jakarta:

Gunung Agung, 1966.

Azra, Azyumardi dan Saiful Umam, ed. Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial-Politik. Jakarta: INIS-PPIM-Depag RI, 1998.

Azhary, M. Tahir. Negara Hukum. Jakarta:Bulan Bintang, 1992.

Al-Zamah}shari>, Abu> al-Qa>sim Mahmud bin umar. al-Kashshaf ‘an H}aqa>iq al-Tanzil wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi U>ju>h at-ta’wi>l. Bairu>t:

Da>r al-Kita>b al-‘Ara>bi>, t.th.

Al-Zuhaili>,Wahbah. al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh. Bairu>t: Da>r al-Fikr,

1418H/1997.

Bultaji, Muhammad. Maka>nah al-Mar’a>h fi> al-Qur’a>n al-Kari>m wa al-

Sunnah al–S}ahi}>}ha}h. Al-Q{}}a>{hira>h: Da>r as-Sala>m, 1420 H/ 2000.

Barlas, Asma. Cara Qura>n Membebaskan Wanita, trans. Believing Women in Islam. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta 2005.

Bin Kathit, Imadudin Isma>il. Tafsi>r al-Qura>n al-Az}i>m. Surabaya: Shirkat

al-Nu>r Asiya>, t.th.

Bakar, Alyasa Abu. Ahli Waris Pertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab. Jakarta: INIS, 1998.

Bisri, Cik Hasan eds. Kompilasi hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Ciputat, Logos Wacana Ilmu, 1999.

Bahri, Saiful. Sekandal Sex Soekarno: Sebuah Kesah yang Menggemparkan Dunia. Kuala Lumpur: Pustaka Saiful, 1968.

Page 216: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

206

Budairi, Muhammad. Masyarakat Sipil dan Demokrasi: Dialektika Negara dan LSM Ditinjau dari Perspektif Politik Hukum. Jakarta:

E-Law Indonesia, 2000.

Coles, Robert and Jame Hollowel Coles. Women of Crisis, Lefes of Strunggle and Hope. New York: tp. 1978.

Cunningham, W.T. Nelson Contemporary English Dictionary. Canada:

Thompson and Nelson Ltd, 1982.

Daud, Abu. Sunan Abi Daud. Bairu>t: Da>r al-Maktabah al-‘Alamiah,

1996.

Djalil, A.Basiq. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Pedoman Beracara Pada Pengadilan Agama. Jakarta: t.p, 1980.

De Beauvor, Simone. The Second Sex. New York: Alfred A. Knopf, Inc,

1970.

Doi, Abdur Rahman I. Perkawinan dalam Shari>’at Isla>m. Jakarta: Rineka

Cipta, 1992.

Esposito, John L. Women in Muslim Family Law. New York: Syracuse

University.

Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern. Jakarta:

Mizan, t.t.

Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994. Engineer, Ashgar Ali. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2000.

Echol, John M. dan Hasan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:

Gramedia, 1992.

E Tucker, Judith. Women, Family and Gender in Islamic Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2008.

Faridl, Miftah. Poligami: Catatan Pengalaman dan Interpretasi Ajaran.

Bandung: Pustaka, 2007.

Fud}aili, Ahmad. Wanita di Lembaran Suci: Kritik Terhadap Hadis-HadisS}ah}i>h. Yogyakarta: Pilar Religia, 2005.

FZ, Amak. Proses Pembentukan UU Perkawinan. Bandung:Bulan

Bintang, t.th.

Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2003.

Ghalib, Achmed. Rekontruksi Pemikiran Islam. Ciputat: UIN Jakarta

Press, 2005.

Gultom, Elfrida R. Hukum Waris Adat di Indonesia. Jakarta: Literata,

2010.

Page 217: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

207

Hamidi, Muhammad Kamal. Al-Mawa>ri>th wa al-Hibbah wa al-Was{iyyah,. Iskandariyah: Dar>r al- Mat{bu>ah al-Jami>’ah, t.th.

Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Harahap, M. Yahya. ‚Materi Kompilasi Hukum Islam‛ dalam Mahfud

MD dkk. eds. Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 1993.

………Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2001.

Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Badan

Litbang dan Diklat DEPAG RI, 2008.

Hasyim, Syafiq. Poligami dan Keadilan Kualitatif. Jakarta: P3M, 1999.

Ismail, Nurjanah. Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-laki dalam Penafsiran. Yogyakarta: LKis, 2002.

Jari>r, At{-T{abari> Ibn. Jami’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n. Al-Qa>hirah: al-

Halabi>, 1954.

Jafizham, T. Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam. Medan: Mustika, 1977.

Jawad, Aifal A. The Right of Women in Islam: An Authentic Approach, trans. Anni Hidayatun Noor dkk, dengan judul ‚Otentisitas Hak-

hak Wanita; Perspektif Islam atas Kesetaraan Gender.‛

Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.

Jawad, Aifal A. The Right of Women in Islam: An Authentic Approach, trans. Anni Hidayatun Noor dkk, dengan judul ‚Otentisitas Hak-

hak Wanita; Perspektif Islam atas Kesetaraan Gender‛,

Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.

Kurnia, Eka. Poligami Siapa Takut: Perdebatan Seputar Poligami. Jakarta: QultumMedia, 2006.

Kamil, Sukron dkk. Shari>’ah Isam dan HAM: Dampak Perda Shari’ah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan Non Muslim. Jakarta:CSRC UIN Syarif Hadayatullah Jakarta, 2007.

Karim, Muchith A. eds. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Ummat Islam Indonesia. Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010.

Kelip, Abdullah. ‚Beberapa Catatan Efektifitas KHI‛ dalam Mahfud

MD dkk. eds. Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta:UII Press, 1993.

Koderi, Muhammad. Bolehkan Wanita Menjadi Imam Negara. Jakarta:

Gema Insanii Press.

Khadduri, Majid. ‚Marriage in Islamic Law: The Modernists

Viewpoints.‛ American Journal of Comparative Law, No. 26,

1978.

Page 218: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

208

Luhulima, Achie Sudiarti. ‛Hak Wanita dalam Konstitusi Indonesia‛ dalam Wanita dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Lukito, Ratno. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Hukum Adat. Jakarta: INIS, 1998.

Ihromi, Tapi Omas dkk. Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita. Bandung: Alumni, 2006.

M. Hisham Kabbani and Homayra Ziad. The Prohibition of Domestic Violence in Islam. Washington: Worde, 2011.

Mahmood, Tahir. Personal Law in Islamic Countries. New Delhi: Times

Press, 1987.

Mahmood, Tahir. Family law Reform in the Muslim World. New Delhi:

The Indian Law Institute, 1972.

Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Buku II Edisi Revisi 2010. Jakarta: MA RI

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010.

Ma’luf, Lois. Al-Munjid al-Abjadi>. Bairu>t Dar> al- Mashriq, 1986.

Muhammad, Husein. Fiqh Wanita. Yogyakarta: LKiS, 2001.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, Cet. IVX. Surabaya: Pusaka Progressif, 1997.

Mahmud, Jamaluddin Muhammad. H}uqu>q al-Mara>t fi al-Mujtama’ al-Isla>mi>. Kairo: al-Haiati al-Mis}riya>t al-amat, 1986.

Mutahhari, Murteza. The Rights of Women in Islam, trans. M. Hashem

‚Wanita dan Hak-Haknya dalam Islam.‛ Bandung: Pustaka, 1985.

Mudzhar, M. Atho dkk, eds. Wanita dalam Masyarakat Indonesia.

Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001.

……....Membaca Gelombang Ijtihad. Yogyakarta: Titian Ilahi Press,

1998.

Muzdhar, M. Atho’ dan Kharuddin Nasution, eds. Hukum Keluarga di Dunia Muslim: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kita>b-Kita>b Fiqh. Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Muchith A. Karim, eds. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Ummat Islam Indonesia. Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang

dan Diklat 2010.

Muhaimin, Abdul Wahab Abd. Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,. Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.

Mernissi, Fatima dan Riffat Hassan. Setara di Hadapan Alla>h. Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa, 1996.

Marbun, Rocy. Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum. Jakarta:

Atransmedia Pustaka, 2011.

Page 219: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

209

Moeliono, Anton dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka dan Depdikbud, 1993.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap. Surabaya: Pusaka Progressif, 1997.

Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung:Mizan, 2001.

----------Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.

-----------Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:

Kencana, 2006.

-----------Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2000.

------------Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2006.

------------Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Gravindo

Persada, 2006.

Manan, Abdul dan Fauzan. Pokok-Pokok Hukum Perdata: Wewenang Peradilan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

Munti, Ratna Batara. Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, Perserikatan

Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, 1999.

Muhaimin, Abdul Wahab Abd. Ayat-Ayat Perkawinan dan Perceraian dalam Kajian Ibn Kathi>r. Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Tafsi>r al-Ka>shif. Bai>ru>t: Da>r al- Ilmi li

al-Malayin, 1968.

Mulia, Siti Musdah. Islam & Inspirasi Kesetaraan Gender. Yogyakarta:

Kibar Press, 2006.

----------Islam Hak Asasi Manusia. Jakarta: Naufan Pustaka, 2010.

----------Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2004.

Marbun, Rocy. Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum, Jakarta:

Atransmedia Pustaka, 2011.

Nasution, Khoiruddin. Status Wanita di Asia Tenggara:Studi terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: INIS, 2002.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.

Nasif, Fatima Umar. Women in Islam: A Discourse in Rights and Obligations, Alih bahasa oleh Burhan Wirasubrata dan Kundan D.

Nuryakin, Menggugat Sejarah Wanita: Mewujudkan Idealisme

Page 220: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

210

Gender Sesuai Tuntunan Islam. Jakarta: Cendekia Sentra Muslim,

2001.

Nafis, M. Wahyuni dkk. Kontektualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Munawir Sjadzali. Jakarta: Paramadina, 1995.

Natabaya, H.T.S. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi, 2006.

Parman, Ali. Kewarisan dalam Al-Qur’a>n: Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1995.

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Warisan di Indonesia. Bandung: Sumur,

1976.

Pringgodigdo, A.K. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian

Rakyat, 1984.

Qutu>b,Sayyid. Fi Zi}la>l al-Qura>n. Bairu>t: Dar> al-‘Ara>biyah, t.th.

Ramusak, Barbara N. and Sharon Sievers, Women in Asia. Indianapolis:

Indiana University Press, 1988.

Rushd, Ibn. Bida>yah al-Mujtahid. Kairo: Dar> al-Fikr al-‘Ara>bi>, t.t, t.tp.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2003.

Rid{a, Muhammad Ra>shid. Tafsi>r al-Mana>r. Bai>ru>t: Da>r al-Fikr, t.th.

Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung: Alumni, 1982.

Ridjal, Fauzie. Dinamika Gerakan Wanita di Indonesia. Jakarta: Tiara

Wacana, 1993.

Ramulyo, M. Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Ind.

Hill-Co, 1990.

-----------Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

Rush, Ibn. Bida>yah al-Mujtahid. Mesir: Must}afa> Ba>bi> al-h>alabi li al-

Nas}r, 1960.

Rid}a>, Muhammad Rashid. Tafsi>r al-Mana>r. Kairo: Da>r al-Mana>r, 11367

H.

Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga Islam, Yogyakarta: PSG STAIN Ponorogo dan

Unggun Religi, 2005.

Salim, Arsekal and Azyumardi Azra, eds. Shari’a and Politics in Modern Indonesia, Singapore: ISEAS, 2003

Salt}ut, Mahmud. al-Isla>m: ‘Aqi>dah wa as-Shari>’ah. Bairut, Kairo: Dar>

as-Shuruq, 1403/1983.

Page 221: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

211

Schacht, Joseph. Introduction to Islamic Law. Oxford: Oxford

University Press, 1967.

Soepomo, R. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya

Paramita 2005.

Sutantio, Retnowulan. Hukum Acara Perdata. Bandung: Mandar Maju,

1989.

Shu>qqat, ‘Abd. H<ali>m Abu.> Tah}ri>r al-Mara>t fi> ‘As}r al-Risa>lat, alih bahasa oleh charul halaim dengan judul ‚ Kebebasan Wanita.‛

Jakarta: Gema Insa>ni Press, 1997.

Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Perceraian. Jakarta:

Transmedia Pustaka, 2008.

Syarifuddin, Amir. .Kewarisan Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2004.

Sarmadi, A. Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005.

Musa, Kamil. Anak Perempuan dalam Konsep Islam. Jakarta: Firdaus,

1994.

Sjadzali, Munawir. Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988.

Supriadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam. Bandung:Pustaka al-Fikris, 2009.

Said, Fuad. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Pustaka al-

Husna, 1994.

Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Dar> al-Fath} al-‘Ara>bi>, 1418 H/1998 M.

Sahrani, Sohari. Fiqh Munakahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap. Jakarta:

Rajawali Press, 2009.

Sa’ad, Ibn. The Women of Madina, Alih bahasa Eva Y. Nukman Purnama Madina. Bandung: al- Baya>n, 1997.

Sjadzali, Munawir. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina, 1997.

Syarifuddin, Ami>r. Meretas Kebekuan Ijtihad. Jakarta: Ciputat Press,

2002.

Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qura>n: Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2007.

-------------Tafsi>r al-Misbah. Ciputat: Lentera Hati, 2000.

-------------Wawasan Al-Qura>n: Tafsi>r Maud}u’i> atas Berbagai Persoalan Ummat. Bandung, Mizan, 1996.

Page 222: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

212

Sadli, Saparinah. Berbeda Tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan. Jakarta: Kompas, 2010.

Sopyan, Yayan. Islam-Negara: Transformasi Hukum Islam dalam Hukum Nasional. Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2011.

Sastroatmodjo, Arso dan Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Said, Fuad. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Pustaka al-

Husna, 1994.

Suryochodro, Sukanti. Potret Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta:

Rajawali Press, 1984.

Suwondo, Nani. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.

Stuers, Cora Vreede-De. Sejarah Wanita Indonesia. Jakarta: Komunitas

Bambu, 2008.

Sustrisno, Sulastin. Surah-Surah Kartini: Renungan tentang dan untuk Bangsanya. Jakarta: Djambatan, 1985.

Sadli, Saparinah dkk. Pendidikan Hak Asasi Manusia. Jakarta:

KOMNAS HAM, 2002.

Sasroatmojo, Harso dan A. Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Perceraian. Jakarta:

Transmedia Pustaka, 2008.

Supriadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum perkawinan di Dunia Islam. Bandung: Pustaka A-Fikris, 2009.

Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian fiqh Lengkap. Jakarta: Rajawali Press, 2009.

Tebba, Sudirman eds. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Kasus hukum Keluarga dan Pengkodefikasiannya. Bandung: Mizan, 1993.

Thaba, Abdul Aziz. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta:

Gema Insani Press, 1996.

Usman, Hardius dan Nachrowi Djalal Nachrowi. Pekerja Anak di Indonesia: Kondisi Determinan dan Eksplorasi (Kajian Kuantitatif). Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004.

Umar, Nasarudin. Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qura>n. Jakarta: Paramadina, 1999.

Wa>fi>, Abdul Wahid. al-Musawat si al-Isla>m. Kairo: Dar> al-Ma’a>ri>f,

1965.

Page 223: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

213

Wieringa, Saskia Eleonora. Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia, trans, Hersri Setiawan The Politication of Gender Relation in Indonesia. Jakarta: Garba Budaya dan Kalyanamitra, 1999.

Yazid, Abu. eds. Fiqh Realitas: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Yanggo, Huzaimah Tahido. Fiqh Wanita Kontemporer. Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2010.

Zuhdi, Masyfuk. Masa>il Fiqhiyah. Jakarta: Gita Karya, 1988.

Zain, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana,2004.

Majalah dan Jurnal

Anwar, Hafidzi,‛Konsep Humanisme dan Maslahat dalam Pemikiran

Muhammad Shahrur: Studi atas Buku Nahwa> Us}ul Jadi>dah‛,

Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2012.

Julaiha, Eka. ‛Talak dan Problematikanya di Masyarakat‛, Jakarta:

Rahima, 2012. Suplemen Swara Rahima Edisi 38, Mei 2012.

Eka, Julaiha. ‛Talak dan Problematikanya di Masyarakat‛, Jakarta:

Rahima, 2012. Suplemen Swara Rahima Edisi 38, Mei 2012.

Iskandar, Ritonga. ‚Hak-hak wanita dalam Hukum Keluarga Islam di

Indonesia: Implementasi dalam Putusal-putusan Peradilan

Agama DKI Jakarta !990-1995‛, Disertasi: UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Mahmudi, Zaenal. ‚Dialektika Pemikiran Fiqh Perempuan Imam Shafi’i

dengan Kondisi Sosial: Perspektif Gender‛, Jakarta: UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2003.

Mesraini. ‚Hak-hak perempuan pascacerai di Asia Tenggara: Studi

Perundang-undangan di Indonesia dan Malaysia‛, Disertasi

Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2008.

Supadi. ‚Pandangan Abdullahi Ahmed al-Na’im, tentang Shari>’ah dan

Penegakan HAM‛, dalam Ahkam Jurnal Ilmu Shari>’ah, Vol XI,

Nomor2, (Jakarta: Fakultas Shari>’ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2011.

Winantio, Andi Eko. ‚Cerai Gugat Akibat Kekerasan Dalam Rumah

Tangga: Studi kasus di Pengadilan Agama Surakarta‛, Surakarta:

Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.

Page 224: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

214

WEBSITE

As’ad, Abd. Rasyid. ‚Gono – Gini dalam Perspektif Hukum Islam‛,

diakses pada tanggal 09 Juni 2012.melalui

www.badilag.net/data/ARTIKEL/GONO.

Asadulloh, Fahad. ‚Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan

Permohonan Izin Poligami (Studi Kasus di Pengadilan Agama

Kabupaten Kediri Tahun 2009-2010)‛, diakses pada 16

November 2012 Melalui

http://banjirembun.blogspot.com/2012/06/skripsi-bab-i-

pertimbangal-hakim-dalam.html

Al-Najah, Ahmad Zain. ‛Harta Gono- Gini dalam Islam‛ Senin, 29

Jumadil Akhir 1433 H/21 Mei 2012. Diakses pada tanggal 09 juni

2012 melalui http://muslimahzone.com/harta-gono-gini-dalam-

islam.

Handika. ‚Laporan Perkara per Oktober 2012 PA di Jakarta‛, di akses

pada 28 November 2012 melalui

http://pajakartatimur.go.id/?option=com_content&view

=article&id=288:1234

Hamami. ‚Pelanggaran Hukum keluarga: Suatu Kajin Penerapan Pasal

19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Amar

Putusan Pengadilan‛, diakses pada Tanggal 9 Desember 2012

melalui www.pa-kediri.go.id Khamimudin, ‚Pro- Kontra Sekitar Poligami‛, diakses pada 23 Oktober

2012 melalui

www.badilaq.net/data/ATIKEL/sekitar20%poligami.

Khadafi, Mochamad Anwar. ‚Dasar Pertimbanagan Hakim

Mengabulkan Izin Poligami Bagi Suami Yang Berpenghasilan

Tidak Tetap‛, Malang: Tesis Universitas Islam Negeri Maulana

Malik Ibrahim, 2012. Di akses pada 16 November 2012 melalui

http://libUin-Malang-ac.id.

Kementrian Agama, ‚Angka Perceraian di Indonesia Sangat Tinggi‛

diakses pada tanggal 16 Juni 2012 melalui

www.eksposnews.com.

Minhal, Abu. ‚Hak-hak Istri Terpelihara dalam Naungan Rumah

Tangga‛, diakses pada tanggal 15 Juni 2012 melalui

http://almanhaj.or.id/

Page 225: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

215

Nafisah, Durotun. ‚Jurnal Studi Gender & anak Politisasi Relasi suami-

Istri: Telaah KHI perspektif Gender‛. Diakses pada tanggal 15

Juni 2012 melalui http://www.google.co.id/.

Permana, Sugiri. ‚Paradigma Baru dalam Penyelesaian Sengketa Hak

AsuH Anak Pada Peradilan Agama‛, 3. Di akses melalui

http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/ pada tanggal 10 juni

2012.

Quraish, Shihab. ‚Poligami dan Kawin Sirri Menurut Islam‛, di akses

pada 18 November 2012 melalui

http://nambas.wordpress.com/2010/03/03/quraish-shihab-

poligami-dal-kawin-sirri-menurut-islam/

Rosmadi. ‚Informasi Perkara Peradilan Agama Tahun 2011,‛ Kamis 08

Maret 2012. diakses pada tanggal 17 Juni 2012 melalui

http://www.badilaq.net/statistik-perkara/10119-informasi-

perkara-peradilal-agama-tahun-2011.html

Sadja, Masrokhin. ‚Harata Bersama‛, diakses pada tanggal 17 Juni 2012

melalui http://www.beritajakarta.com.

Suplemen Swara Rahima‛, edisi 35, juli 2011. Diakses pada tanggal 15

Juni 2012 melalui http://www.pekka.or.id http://www.pikiral-

rakyat.com. diakses pada tanggal 15 Juni 2012.

Wakhidun dkk. ‚Laporan Akhir Tahunan 2010 Pengadilan Agama

Jakarta Timur‛, di akses pada 27 November 2012 melalui

http://pajakartatimur.go.id/index.php?option=com_content&vie

w=article&id=239&Itemid=230.

Winantio, Andi Eko. ‚Cerai Gugat Akibat Kekerasan Dalam Rumah

Tangga: Studi kasus di Pengadilan Agama Surakarta‛, Surakarta:

Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.

Yousuf, Ali. ‚A Contextual Approach to the Views of Muslim Feminist

Interpretation of the Qur’an Regarding Women and Their

Rights‛, International Journal of Arts and Sciences, 2010,

http://www.openaccesslibrary.org/images/HAR138_Md._Yousuf_Ali.pdf. Diakses pada 31 Desember 2012.

Zulkarnain dkk. ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Jakarta

Timur‛ di akses pada 27 November 2012 melalui http://pa-

jakartatimur.go.id/index.php?option=com_content&view=articl

e&id=239&Itemid=230.

Ziba, Mir-Hosseini. ‚Islam and Gender Justice‛, Voice of Islam (2007),

85-113. Diakses pada 31 Desember 2012, melalui

Page 226: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

216

http://ebookbrowse.com/zmh-final-gender-justice-doc-

d23027170.

PUTUSAN

Putusan Nomor 493/Pdt.G/2009/PAJU.

Putusan Nomor 1757/Pdt.G/2009/PAJT.

Putusan Nomor. 19/Pdt.P/2010/PAJP.

Putusan Nomor.33/Pdt.P/2012/PAJB.

Putusan Nomor.91/Pdt.P/2011/PA.JB

Putusan Nomor.68/Pdt.P/2010/PAJP.

Putusan Nomor. 12/Pdt.P/2012/PA JB.

Putusan Nomor 1784/Pdt.G/2011/PAJS.

Putusan Nomor 1755/Pdt.G/2009/PAJT.

Nomor: 16/Pdt.P/2009/PA.Mlg.

Page 227: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

GLOSSARIUM

Doktrin :Pendapat ahli hukum, ulama terkemuka dan

sebagainya.

Ijma>‘ :Secara literal berarti kesepakatan atau konsensus.

Dalam konteks hukum Islam berarti konsensus

pendapat hukum.

Ijtihad :Mencurahkan kemampuan dan mengerahkan

segala kekuatan dalam suatu perbuatan.

Sedangkan secara istilah yaitu, mujtahid

mengerahkan segala kemampuannya untuk

mengetahui hukum-hukum syariat dengan cara

istinba>t}. ‘Illat :Alasan atau rasionalisasi hukum Istih}sa>n :Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum

masalah-masalah yang serupa kepada hukum lain

karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam

pandangan mujtahid.

Jurisdictio voluntaria :Peradilan yang bukan sebenarnya.

Kodifikasi :Himpunan berbagai peraturan menjadi undang-

undang; hal penyusunan kitab perundang-

undangan.

Kompetensi Absolut :Kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa,

memutus dan menyelesaikan suatu perkara bagi

pengadilan yang menyangkut pokok perkara itu

sendiri.

Kompetensi Relatif :Kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa,

memutus suatu perkara bagi pengadilan yang

berhubungan dengan wilayah atau domisili pihak

atau para pihak yang mencari keadilan. Marjinalisasi :Suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis

kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.

Maqa>s}id al-shari>‘ah :Tujual-tujuan disyariatkannya hukum. Mas}lah}ah Mursalah :Menetapkan hukum dalam hal yang tidak

disebutkan dalam nash dengan

mempertimbangkan kepentingan hidup manusia

yang bersendikan asas menarik manfaat dan

menghindari mudharat.

Page 228: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

218

Pengadilan Agama :Pengadilan tingkat pertama dan salah satu dari

lingkungan Pengadilan Negara atau kekuasaan

kehakiman yang sah di Indonesia.

Pengadilan Tinggi Agama (PTA): Pengadilan Tingkat banding Agama

Islam

Patriarki :Istilah yang dipakai untuk menggambarkan

sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu

kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum

wanita.

Qat}‘iyya>t :Pasti, bukan perkiraan Qiya>s :Deduksi analogis. Dalam konteks hukum Islam

berarti metodologi hukum yang bertumpu pada

penggunaan analogi untuk menemukan

kesimpulan hukum pada kasus yang belum

ditemukan hukumnya ketika teks hukum tidak

memberikan kesimpulan final terhadap kasus

tersebut.

Unifikasi :Hal menyatukan, penyatuan, hal menjadikan

seragam.

Unus Testis Nulus Testis :Satu saksi bukan saksi.

Yurisprudensi :Putusal-putusan hakim yang terdahulu yang

kemudian menjadi dasar putusal-putusan hakim

selanjutnya.

Wilayah yuridiksi :Kewenangan Pengadilan Agama dalam menerima,

memeriksa mengadili.

Z{anni>/ z}anniyya>t :Persoalal-persoalan yang termasuk dalam ranah ijtihad.

Page 229: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

INDEKS

‘ad}al ................103, 104, 105, 107, 108, 109

A

Abdul Wahab Abd. Muhaimin . 2, 3, 4, 5, 6,

12, 13, 62

Ahmad Rafiq ..................... 67, 68, 127, 148

Ahmed al-Na’im .................................... 220

Al-‘Alu>si................................................ 209

Aljazair .............................................. 69, 96

Al-Ra>zi> .......................................... 129, 209

Amin Suma .................. 43, 55, 69, 127, 133

Amina Wadud ....................................... 131

Asma Barlas ...................................... 19, 20

Atho Mudzhar17, 29, 34, 56, 132, 134, 139,

140

Azyumardi Azra ...........4, 5, 53, 55, 56, 217

D

Den Haag ................................................. 35

E

Edi Riadi............................................ 13, 14

Esposito ............................. 10, 39, 147, 212

F

Fazlur Rahman ........................................ 45

H

H{ad}a>nah ................................................. 109

H}adi>th ...................................................... 27

Hakim .. 7, 77, 79, 80, 81, 82, 84, 85, 97, 99,

100, 104, 105, 119, 122, 124, 134, 156,

159, 162, 163, 164, 180, 185, 186, 188,

189, 190, 191, 194, 202, 204, 207, 220,

221

Hazairin ........... 75, 128, 131, 137, 194, 211

Hilman Hadikusuma ................................ 73

Huzaimah Tahido Yanggo 1, 12, 18, 19, 23,

26, 27, 176

I

Ibnu A>t}iyah .............................................. 24

Ibnu Qayyim al-jauziyyah ............... 93, 227

Ibnu Quda>mah ............................. 91, 92, 93

Indonesia .. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13,

14, 15, 16, 17, 20, 29, 34, 35, 36, 37, 41,

43, 44, 45, 48, 49, 51, 52, 53, 54, 55, 56,

57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 67, 68, 69, 70,

72, 73, 74, 75, 84, 86, 98, 100, 109, 110,

115, 116, 117, 118, 120, 125, 127, 129,

130, 131, 133, 134, 135, 136, 137, 139,

140, 141, 148, 153, 154, 165, 166, 168,

169, 174, 176, 177, 180, 182, 193, 194,

195, 197, 199, 200, 207, 208, 207, 208,

209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216,

217, 218, 219, 220, 221, 224

Irak ............................. 43, 49, 69, 70, 71, 96

J

Joseph Schacht......................................... 10

Page 230: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Fatima

220

K

KHI .. 2, 5, 6, 7, 8, 12, 13, 15, 16, 48, 51, 57,

58, 61, 62, 63, 67, 72, 74, 75, 83, 98, 99,

100, 101, 107, 115, 116, 117, 118, 119,

120, 123, 124, 125, 126, 127, 135, 136,

137, 140, 141, 149, 160, 161, 163, 168,

169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176,

180, 188, 190, 191, 192, 197, 198, 199,

200, 206, 207, 208, 207, 213, 214, 221

Khoiruddin Nasution ...2, 12, 43, 44, 45, 46,

48, 49, 87, 90, 91, 93, 94, 168, 170

Khuluk ................................... 168, 169, 171

Kuwait ..................................... 49, 115, 139

L

Lebanon ................................. 71, 72, 95, 96

Libya ........................................... 49, 69, 96

M

M. Idris Ramulyo .......................... 174, 196

M. Quraish Shihab .....11, 17, 18, 19, 23, 27,

28, 32, 33, 128

Mahmu>d Shalt}u>t} ...................................... 25

Malaysia ...... 2, 12, 53, 69, 73, 97, 168, 200,

216, 220

Maroko 43, 49, 69, 70, 71, 72, 96, 139, 140,

148

Mas}lah}ah Mursalah ............................... 223

Mesir . 10, 22, 42, 43, 47, 48, 49, 69, 71, 72,

114, 137, 139, 148, 217

Muchith A. Karim .. 14, 136, 137, 139, 140,

215

Muhammad Abduh .......................... 21, 147

Muhammad Bultaji.................................. 11

Muhammad T>}ahir bin ‘Ashu>r .................. 21

Musdah Mulia ... 4, 5, 11, 37, 38, 40, 41, 62,

63, 68, 143

N

New York ............ 10, 35, 36, 131, 210, 212

P

Pasal . 4, 8, 48, 49, 54, 58, 62, 67, 72, 75, 82,

83, 96, 98, 100, 101, 105, 114, 116, 117,

118, 119, 120, 122, 123, 124, 125, 138,

147, 148, 149, 150, 151, 160, 161, 163,

164, 168, 170, 171, 172, 173, 174, 175,

190, 191, 192, 197, 198, 200, 204, 206,

207, 217, 221

Pengadilan Agama .. 2, 6, 7, 8, 9, 14, 15, 16,

53, 58, 59, 62, 65, 76, 77, 78, 79, 80, 81,

83, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106,

107, 108, 116, 117, 120, 121, 123, 124,

125, 126, 127, 135, 136, 143, 148, 149,

150, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 159,

160, 162, 163, 164, 166, 168, 170, 171,

172, 173, 174, 175, 176, 180, 183, 184,

185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 193,

194, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207,

208, 207, 208, 212, 220, 222, 224

Peradilan Agama 2, 3, 4, 6, 8, 11, 52, 55, 56,

57, 62, 63, 70, 74, 82, 83, 105, 106, 115,

116, 119, 121, 122, 124, 127, 136, 138,

140, 141, 159, 168, 172, 175, 178, 180,

189, 190, 193, 199, 202, 204, 205, 208,

210, 212, 213, 214, 215, 220, 221, 229

R

Rashi>d Rid}a.............................................. 21

Rashi>d Rid}a>........................................ 20, 21

Riffat Hassan ................................... 27, 215

Ruben Levy .............................................. 10

S

Sajuti Thalib .......................................... 196

Page 231: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

221

Shafi’i .............................. 31, 169, 170, 220

Sudan ............................... 43, 49, 71, 72, 96

T

Taher Azhary ............................................. 5

Tunisia . 10, 43, 49, 69, 71, 72, 96, 115, 139,

147, 148

W

Wahbah al-Zuhayli ................................ 110

Wasit Aulawi ... 3, 52, 53, 74, 136, 218, 219

Y

Yahya Harahap 3, 56, 82, 83, 122, 138, 140,

168, 175, 193, 199, 205, 206

Yayan Sopyan ........................ 13, 51, 52, 58

Yordania ...................................... 43, 49, 94

Page 232: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM
Page 233: FATIMArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50014...Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak Fatima ©PKBM

TENTANG PENULIS

Fatima, lahir di Bangkalan, 18 September 1982. Lahir dari

pasangan (ALM) H. Achmad dan Hj. Qamarayah. Pendidikan penulis

mulai dari pendidikan dasar yang ditempuh di SDN Baipajung 01 dan

ibtida’iyyah di Madrasah DiniyahTarbiyah al-Shibyan di Baipajung

Tanah Merah Bangkalan Madura. Setelah lulus sekolah dasar penulis

melanjutkan pendidikan Tsanawiyah di Pondok Pesantren Salaf Sidogiri

Pasuruan JawaTimur. Setelah lulus penulis melanjutkan pendidikan

‘aliyah di Pondok Pesantren Muallimat Cukir Jombang. Kemudian

melanjutkan pendidikan strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatillah Jakarta Fakultas Syariah dan hukum Jurusan Peradilan

Agama lulus tahun 2009.