Upload
phamthuan
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Hadits Arbain 1: Ikhlas dan Pengaruhnya dalam Amal
Matan Hadits:
: طمعت اى عىه ك
عال
ي هللا ح اب زض
ط
خ
ال بي حفص عمس ب
مىين أ
ؤ مير ال
أ ى ع
عال
ى هللا ح
هللا صل زطى
و م
ىي ف
ل امسا ما ه
ما لي اث وإه ى
بال عما
ما لا : إه لى م
ى آله وطل
ه وعل ى هللا وزطىله عل
ه إل
سج
ت اه
ت اه و ى هللا وزطىله وم
ه إل
سج ه
ه ف ى ما هاجس إل
ه إل
سج ه
ىىحها ف ة
و امسأ
بها أ ص ا
ه لده
سج
Terjemah
Dari Amirul Mu‘minin, Abu Hafsh Umar bin Al Khathab Radhiallahu Ta‟ala „Anhu, dia
berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya
amal itu hanyalah beserta niat, dan setiap manusia mendapatkan sesuai dengan apa-apa
yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka
hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya karena
dunia yang diinginkannya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada
apa-apa yang ia inginkan itu.” (Diriwayatkan oleh Imamul Muhadditsin, Abu Abdillah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul
Husein Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi, dalam kitab shahih
mereka yang merupakan kitab hadits paling shahih)
Sababul Wurud Hadits
Hadits ini merupakan komentar Nabi shallallahu „alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki
yang berhijrah dari mekkah ke Madinah bukan karena mencari keutamaan hijrah tetapi
karena mengincar seorang wanita yang ingin dinikahinya. Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‗Id:
“Mereka meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang berhijrah dari Mekkah menuju
Madinah, dengan hijrahnya itu dia tidak menghendaki keutamaan hijrah. Dia hanya
menghendaki agar dapat menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais.” (Imam Ibnu
Daqiq Al ‗Id, Syarh Al Arba‟in An Nawawiyah, Hal. 27. Maktabah Al Misykah. Imam Ibnu
Hajar, Fathul Bari, 1/10. Darul Fikr)
Sehingga di dalam sejarah, laki-laki tersebut dikenal dengan sebutan Muhajir Ummu Qais.
Walaupun sababul wurud hadits ini karena laki-laki tersebut, namun nilai dan hukum yang
terkandung di dalamnya juga berlaku bagi manusia lain secara umum. Hal ini sesuai kaidah:
Al „Ibrah bi „umumil lafzhi laa bi khushushis sabab (Pelajaran bukanlah diambil dari
sebabnya yang spesifik, tetapi dari makna lafaznya secara umum).
Kedudukan, Faidah, dan Makna Hadits Secara Global
Pertama, Hadits ini berisikan sesuatu yang amat penting dalam Islam yakni niat dan ikhlas.
Amal harus ada niat, sedangkan niat harus ada keikhlasan agar dia diterima.
Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‗Id: Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi‘i Rahimahumallah
berkata: „Hadits ini mencakup sepertiga ilmu‟, hal itu dikatakan juga oleh Al Baihaqi dan
lainnya. Sebabnya adalah perbuatan hamba terdiri atas hati, lisan, dan anggota badannya. Dan
niat adalah salah satu bagian dari tiga itu. (Imam Ibnu Daqiq Al ‗Id, Syarh Al Arba‟in An
Nawawiyah, Hal. 24)
Diriwayatkan dari Imam Asy Syafi‘i: ―Hadits ini mencakup 70 bab tentang fiqih.‖
Segolongan ulama mengatakan hadits ini merupakan sepertiganya Islam.
2
Berkata Imam Abdurrahman bin Al Mahdi radhiallahu „anhu: “Hendaknya bagi setiap
orang yang menyusun kitab agar mengawali kitabnya dengan hadits ini, sebagai peringatan
bagi penuntut ilmu untuk meluruskan niatnya.” (Ibid Hal. 25)
Kedua, hadits ini pula yang dijadikan oleh para ulama sebagai parameter untuk membedakan
(tamyiz) status hukum amal seseorang; antara adat dan ibadah, dan antara ibadah yang satu
dengan yang lainnya.
Dengan niatlah dibedakan:
1. Makan minum sebagai adat (sekedar demi memenuhi kebutuhan perut) atau dinilai
ibadah (karena demi menjaga kekuatan untuk ibadah dan ketaatan kepadaNya).
2. Puasa pada hari Senin, apakah ia puasa: Senin Kamis, Syawal, atau puasa yang lain?
Hadits ini telah melahirkan sebuah kaidah fiqih yang sangat terkenal, dan Imam As Suyuthi
telah memasukkannya dalam kaidah pertama dalam kitab Al Asybah wan Nazhair, yakni:
اصدهامىز بمل
لا
“Urusan/perkara tergantung maksud-maksudnya.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wan
Nazhair, Hal. 8. Mawqi‘ Ruh Al Islam)
Ketiga, hadits ini juga menegaskan betapa pentingnya ikhlashun niyyah. Sebab keikhlasan
merupakan syarat diterimanya amal shalih sebagaimana yang telah diketahui. Bahkan amal
yang tidak dilaksanakan dengan hati yang ikhlas, baik karena ingin dipuji, ingin ketenaran,
ingin harta dunia, dan semisalnya, akan membuat pelakunya celaka.
Allah Ta‘ala berfirman:
ظىن أ
بخ هم فيها وهم فيها ال
عمال
يهم أ
إل
ىف
ا وشىتها ه
ه الد
اة ح
سد ال ان
و م هم
ع ل ل ر
ال
ول
ىن عمل ىا
اه ما صىعىا فيها وباطل ما و
از وحبط آلاخسة إال الى
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali
neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah
apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud (11): 15-16)
Pentingnya Niat dan Keikhlasan
Sebagai penjelas tentang pentingnya niat, berikut ini kami cantumkan hadits-hadits Nabi
shallallahu „alaihi wa sallam.
Diriwayatkan oleh Abu Dzar Radhiallahu „Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa
Sallam bersabda:
ه خب ل
صبح ه ى ىه حت بخه ع
لغل ف ى بالل
صل لىم ن
ىىي أ ه وهى
ى فساش
ح أ ىمه م
ان ه
ىي، وو
ما ه
ه زب ه م علت صدك
3
“Barangsiapa yang mendatangi tempat tidurnya dan dia berniat bangun untuk melaksanakan
shalat di malam hari lalu dia tertidur sampai Subuh, maka akan dituliskan baginya pahala
apa yang telah dia niatkan, dan tidurnya itu merupakan sedekah untuknya dari Rabbnya.”
(HR Ibnu Majah [1344] dan Al Baihaqi [4911]. Hadits shahih.)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu „Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu„Alaihi wa Sallam
bersada:
وطىءه حظأ فأ ىط
ج ها م
صل جس م
ل أ
جل وعص مث
اه الل
عط
ىا أ
د صل
اض ك ىجد الى
م زاح ف
ج
ا جسهم ش
أ م ل
ىلص ذ
وحظسها ال
“Barang siapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia pergi ke mesjid
(untuk berjamaah) dan dia lihat jamaah sudah selesai, maka ia tetap mendapatkan seperti
pahala orang yang hadir dan berjamaah, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.”
(HR. An Nasa‘i No. 855, Abu Daud No. 564, Ahmad No. 8590, Al Hakim No. 754.
Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami‟ No. 6163)
Sedangkan tentang pentingnya keikhlasan tergambar dari hadits-hadits berikut ini:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu „Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam
bersabda:
ا ما ممم عل
عل
ح م
جد عسف م
ا ل
ه الد صب به عسطا م ل
مه إال
خعل
عص وجل ال
ى به وجه الل
بخغ
عني زحها امت لىم ال ت ى
ال
“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dengannya dia seharusnya menginginkan wajah
Allah, (tetapi) dia tidak mempelajarinya melainkan karena kekayaan dunia, maka dia tidak
akan mendapatkan harumnya surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud No. 3664, Ibnu
Majah No. 252, Ibnu Hibban No. 78, Al Hakim, Al Mustadrak „Alash Shahihain, No. 288.
Syaikh Al Albani mengatakan shahih lighairih.)
Dari Ubai bin Ka‘ab Radhiallahu „Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam:
صيب خرة ه
ه في لا
ن ل
م يك
يا ل
ه خرة للد
من عمل منهم عمل لا
ف
“Barangsiapa diantara mereka beramal amalan akhirat dengan tujuan dunia, maka dia
tidak mendapatkan bagian apa-apa di akhirat.” (HR. Ahmad No. 20275. Ibnu Hibban No.
405, Al Hakim, Al Mustadrak „Alash Shahihain No. 7862, katanya: sanadnya shahih. Imam
Al Haitsami mengatakan: diriwayatkan oleh Ahmad dan anaknya dari berbagai jalur dan
perawi dari Ahmad adalah shahih, Majma‟ Az Zawaid 10/220. Darul Kutub Al ‗Ilmiyah)
Contoh Kasus Berkaitan dengan Masalah Niat
Orang yang membunuh dengan tidak sengaja (peluru nyasar), atau terpaksa mengaku
kafir demi menjaga jiwa seperti yang dilakukan oleh sahabat nabi, Amr bin Yasir, dan
contoh lainnya; dimaafkan oleh Allah Ta‟ala. Hal ini berdasarkan pada ayat:
اهأط
خ
و أ
ظىا أ
ا إن و
هاخر
ؤىا ال ج زب
“Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami
tersalah.” (QS. Al Baqarah, 2: 286)
4
Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam bersabda:
ه سهىا علان وما اطخى ظ
والي
أط
خ
تي : ال م
أ جاوش ل ع
إن هللا ج
“Sesungguhnya Allah Ta‟ala melewatkan saja bagi umatku; kesalahan tidak sengaja,
lupa, dan orang yang dipaksa.” (HR. Ibnu Majah No. 2043, 2045. Al Baihaqi, As
Sunan Al Kubra, No. 14871. Shahih Al Jami‟ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 1/358, No.
1731. Al Maktab Al Islami. Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat yakni Abu
Dzar, Ibnu Abbas, dan Tsauban)
Seorang suami tidak dikatakan melakukan zhihar ketika memanggil isterinya dengan
panggilan Ummi (ibuku), sebab yang dia maksudkan dengan panggilan itu adalah
sebagai bimbingan bagi anak-anaknya agar terbiasa memanggil Ummi kepada ibunya.
Bukan berarti dia menganggap isterinya sama dengan ibunya.
Thalak tidak jatuh bagi isteri yang dithalak suaminya yang sedang mabuk, tidak sadar,
atau marah yang membuatnya tidak terkendali, sebab ia tidak meniatkannya secara
sadar. Inilah pandangan jumhur (mayoritas) ulama seperti Utsman bin Affan, Ibnu
Abbas, Ahmad, Bukhari, Abusy Sya‘ tsa‘, Atha‘, Thawus, Ikrimah, Al Qasim bin
Muhammad, Umar bin Abdul Aziz, Rabi‘ah, Laits bin Sa‘ad, Al Muzani, Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan lain-lain. Inilah pendapat yang kuat, bahwa thalak baru
jatuh ketika sadar, akal normal, dan sengaja.
Ada juga ulama yang berkata, thalak orang mabuk adalah sah seperti Said bin Al
Musayyib, Hasan Al Bashri, Az Zuhri, Asy Sya‘bi, Sufyan Ats Tsauri, Malik, Abu
Hanifah, dan Asy Syafi‘i.
Begitu pula kaum yang mencela negara penjajah Zionis Israel, kaum tersebut bukan
sedang mencela Nabi Ya‘qub yang memiliki nama lain Israil. Tidak benar bahwa
mereka dianggap sedang menghina Nabi Ya‘qub „Alaihis Salam sebagaimana tuduhan
sekelompok orang. Sebab, yang mereka maksudkan dengan nama ‗Israel‘ adalah
bangsa Yahudi yang mencaplok Palestina, bukan Nabi Ya‘qub. Begitu pula ketika
ramai manusia membicarakan seorang koruptor bernama Al Amin. Tidaklah itu
bermakna bahwa manusia sedang menggunjingkan Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa
Sallam yang memiliki gelar Al Amin.
Wallahu A‘lam...
5
Jalan Dakwah
Tabiat Jalan Dakwah
Jalan dakwah merupakan jalan yang panjang dan penuh kesukaran. Namun, setiap kita
hendaknya sabar melaluinya untuk membuktikan keimanan kita kepada Allah Ta‟ala yang
telah berfirman,
فخىىن )١الم ) ا وهم ال ىا آمىلىل ن
ىا أ
رو
ت ن
اض أ حظب الى
٢(أ
بلهم ف
ك م ر
ا ال خى
د ف
ل (ول
الل م
عل ل
اذبين )ي ال م
عل ىا ول
صدك ر
(٣ال
“Alif laam miim. Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan hanya dengan
mengatakan, „Kami telah beriman,‟ dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah
menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang
benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 1-3)
Di jalan ini, para da‘i pasti akan berhadapan dengan gangguan dan penyiksaan, atau tuduhan-
tuduhan dan tekanan-tekanan. Bahkan kadangkala harus siap mengorbankan jiwa dan
raganya .
Oleh karena itu, di jalan dakwah ini kita membutuhkan: kesabaran dan ketekunan;
pengorbanan tanpa mengharapkan hasil yang segera; serta usaha dan kerja berkelanjutan
yang hasilnya terserah kepada Allah Ta‟ala semata.
Jika kita bersabar dan bertaqwa di jalan dakwah ini, pada akhirnya Allah Ta‟ala akan
memberikan kemenangan dan kesudahan yang baik. Dakwah betapa pun susahnya, derita
dan pahit yang dialami, tetapi terjamin hasilnya.
Hal ini sebagaimana peringatan Nabi Musa „alaihis salam kepada kaumnya yang disebutkan
di dalam Al-Qur‘an,
عباده وا اء مش ىزثها م
زض لل
واصبروا إن لا
ىمه اطخعىىا بالل
ى لل مىس ا
ليك مخ
لل
عاكبت
ن ل
Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah;
sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-
Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertakwa." (QS. Al-A‘raf: 128)
Wasilah dan Kebijaksanaan
Wasilah (sarana) dan kebijaksanaan umum dalam dakwah kita ada tiga:
1. Iman yang mendalam (al-Imanul „amiq)
2. Pembentukan yang rapi (at-takwinud-daqiq)
3. Usaha dan amal yang berkesinambungan (al-„amalul mutawashil)
Tujuan yang ingin dicapai dengan dakwah ini adalah membentuk individu, rumah tangga,
masyarakat muslim, dan daulah Islamiyah. Hingga daulah itu bersatu di bawah satu Khilafah
Islamiyah. Ia kemudian bertanggung jawab memimpin dunia dengan panduan Al-Qur‘an.
6
Tahapan Dakwah
Pertama, tahap penerangan (ta‟rif), yaitu melakukan propaganda, pengenalan,
menggambarkan ide, dan menyampaikan dakwah ke khalayak ramai dan seluruh lapisan
masyarakat. Menyeru mereka agar kembali kepada Al-Qur‘an dan sunnah yang telah
dikumpulkan dan disaring para ulama sesuai pemahaman salafu shalih. Diantaranya adalah
yang telah dirangkum oleh Ustadz Hasan Al-Banna dalam „Ushul „Isyrin.
Kita menyeru umat kepada totalitas ajaran Islam yang lengkap dan utuh, tanpa dipisah-
pisahkan menjadi beberapa bagian yang berserakan. Islam harus dilaksanakan sepenuhnya.
Adapun uslub (cara) dakwah yang dilakukan pada tahapan ini adalah:
Menyeru umat dengan keteladanan.
Keikhlasan (tidak campur aduk dengan interes pribadi dan tujuan duniawi).
Berbekal bacaan/ilmu yang luas.
Memahami tingkat pemahaman dan kondisi objek dakwah (mad‟u).
Menekankan masalah aqidah sebelum furu‘iyah.
Tidak terpengaruh oleh ‗kesuksesan‘ atau ‗kegagalan‘ dakwah.
Tidak memilah-milah mad‟u dalam berdakwah.
Kedua, tahap pembinaan (takwin), yaitu pembentukan, memilih pendukung, menyiapkan
mujahid dakwah, serta mendidiknya. Mereka dipilih dari orang-orang yang telah menyambut
dakwah.
Melalui tahap takwin ini kita mengharapkan seseorang akan terbentuk menjadi muslim yang
berkarakter sebagai berikut: salimul aqidah (bersih aqidahnya), shahihul ibadah (benar
ibadahnya), matinul khuluq (kokoh akhlaknya), qadirun „alal kasbi (mampunyai
usaha/berdikari), mutsaqaful fikri (pikirannya terasah/berwawasan), qawiyyul jismi (kuat
jasmaninya), mujahidun li nafsihi (sanggup memerangi hawa nafsu), munazhzham fi
syu‟unihi (teratur/rapi dalam urusannya), harishun „ala waqtihi (menjaga waktu), dan nafi‟un
li ghairihi (bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya).
Kesadaran rohani yang telah muncul dalam tahap ta‟rif tidak boleh dibiarkan musnah dan
padam, tetapi harus diarahkan agar bergerak dan melakukan perubahan-perubahan. Medan
pertama takwin dimulai dalam diri sendiri. Dalam tahapan ini, seorang individu muslim
diarahkan agar mau meng-shibghah dirinya dengan shibghah (celupan, warna, atau cetakan)
Allah Ta‟ala,
ه عابدون ل ح
وه
ت صبغ
الل م حظ
أ وم
الل
ت صبغ
“Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya
kepada-Nya-lah kami menyembah.” (QS. Al-Baqarah: 138)
Setelah secara berangsur-angsur melalui takwin, individu-individu itu hanyalah bahan
mentah. Maka berlakulah sunnatullah bagi dakwah berupa ujian, cobaan, dan bencana untuk
membedakan mana yang asli dan mana yang palsu, mana yang jujur dan mana yang dusta,
mana emas dan mana loyang.
7
Allah Ta‟ala berfirman,
ط بأتهم ال م مظ
بلى
ك ىا م
ل خ ر
ل ال
م مث
جى
أ ا
ول
ت ى
ىا ال
لدخ
ن ج
م حظبخم أ
ىاأ
صلاء وشل س ى اء والظ حت
سب ك
صس الل
إن ه
ال أ
صس الل
آمىىا معه متى ه ر
وال طى الس لى
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh
malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan)
sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: „Bilakah datangnya
pertolongan Allah?‟ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-
Baqarah: 214)
Ketiga, tahap pelaksanaan (tanfidz), yaitu tahap beramal, berusaha dan bergerak mencapai
tujuan. Sedangkan maratibul amal (urutan amal)-nya adalah: perbaikan individu (ishlahul-
fard), perbaikan rumah tangga (ishlahul-bait), perbaikan masyarakat (ishlahul-mujtama‟),
pembebasan negeri (tahrirul-wathan), perbaikan pemerintahan (ishlahul-hukumah),
membangun khilafah (bina-ul-khilafah), dan pemanduan dunia (ustadziatul-alam)
Tiga tingkatan pertama merupakan kewajiban individu-individu muslim secara umum, juga
menjadi kewajiban gerakan dakwah. Sedangkan empat tingkatan yang akhir merupakan tugas
yang harus diemban gerakan dakwah sebagai sebuah tandzim (struktur) dakwah yang aktif.
Penyelewengan di Jalan Dakwah
Saat mengarungi perjalanan dakwah yang panjang ini, seorang aktivis dakwah harus selalu
berada dalam keadaan waspada. Karena banyak sekali kondisi yang dapat mendorong mereka
terjerumus ke dalam berbagai penyelewengan.
Diantara kondisi-kondisi yang dapat mendorong terjadinya penyelewengan dakwah adalah:
Pertama, fitnah ilmu.
Yaitu munculnya sikap merasa kagum terhadap ilmu yang telah dimiliki dari hasil kajiannya
terhadap kitab-kitab dan buku dakwah, lalu merasa ilmunya telah memadai dan telah
mempunyai kemampuan ber-istinbat (mengeluarkan/menyimpulkan hukum).
Diantara bentuk lain dari fitnah ilmu yang dialami seorang da‘i adalah memahami dalil secara
tektual, lalu tidak mau menerima pendapat orang lain. Bahkan tidak segan merendahkan
imam-imam mujtahid yang pandangannya berbeda dengan pendapat pribadinya.
Seyogyanya mereka dapat meneladani para ulama terdahulu, diantaranya Imam Syafi‘i yang
pernah berkata:
حخمل طأ يري خ
طأ، و زأي غ
حخمل الخ ىاب زأي صىاب الص
“Pendapatku benar tetapi bisa jadi mengandung kesalahan, sedangkan pendapat selainku
salah, tetapi bisa jadi mengandung kebenaran”
Atau bisa jadi ia tidak bersikap merendahkan orang lain dalam ilmu, tetapi ia terjebak pada
kondisi mabuk membaca dan mentelaah, dan tidak mau melibatkan dirinya dalam jihad dan
8
amal lain yang juga dituntut oleh agama. Hal seperti inipun sesungguhnya adalah
penyelewengan dari jalan dakwah.
Kedua, sikap mementingkan furu‟iyyah (perkara-perkara cabang) daripada ushul (perkara-
perkara prinsip) dalam berdakwah.
Seharusnya, sebelum menyeru kepada furu‟iyyah, seorang da‘i harus mengukuhkan terlebih
dahulu masalah ushul. Sikap tidak bijak dari para da‘i dalam hal ini akan menyebabkan
larinya mad‘u dari dakwah Islam. Juru dakwah harus tahu bahwa dakwah Islam itu bermula
dari menegakkan aqidah, iman, dan tauhid.
Ketiga, ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beribadah.
Terlalu keras dan keterlaluan dalam membebani diri dengan wadhifah dan ibadah yang di
luar kemampuannya. Atau mendahulukan persoalan-persoalan sunnah dan nawafil, tapi
melalaikan persoalan-persoalan yang fardhu dan asasi.
Sikap berlebih-lebihan seperti itu sama sekali tidak dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu
„alaihi wa sallam. Perhatikanlah hadits berikut ini:
م : ه وطل ى هللا عل
صل
الل ل زطى ا
العاص اهنع هللا يضر ، ك عمسو ب ب
عبد الل بر »ع
خ
م أ
ل، أ
ا عبد الل
ل؟ لىم اللهاز، وج صىم الن
ج ه
:« أ ا
ك
الل ا زطى ى
ت: بل
لل
ئن » ، ف
م، ف
م وه
طس، وك
ففعل صم وأ
جل
ف
ا، وإن لصوزن عل حل عل ا، وإن لصوج حل عل ى ا، وإن لع حل ظدن عل ا، وإن ل حل
ام أتجل
هس ج
ل ش
صىم و
ن ج
أ ه بحظب
لهس و ام الد ص ل
ئن ذ
الها، ف
مث
س أ
ل حظىت عش
بي
ئن ل
، « ، ف
: ا كة ى
جد ك
ي أ
إو
الل ا زطى ت:
ل ك
د عل د
ش
دث، ف د
ش
»ف
م، وال
ل ه الظ داود عل
بي الل
ام ه صم ص
ف
ص ه ج : « د عل ا
م؟ ك
ل ه الظ داود عل
بي الل
ام ه ان ص
ت: وما و
لهس »، ك الد
« هصف لى
ان عبد الل
ي، ف
م ه وطل ى هللا عل
بي صل
الىصت
ت زخ
بلخني ك
ا ل بر:
بعد ما ه
Dari „Abdullah bin „Amr bin al „Ash radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasûlullâh
Shallallahu „alaihi wa sallam bertanya kepadaku, „Wahai „Abdullah, apakah benar
berita bahwa engkau berpuasa di waktu siang lalu shalat malam sepanjang malam?‟ Saya
menjawab, „Benar, wahai Rasûlullâh‟. Beliau shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
„Janganlah engkau lakukan itu, tetapi berpuasa dan berbukalah! Shalat malam dan tidurlah!
karena badanmu memiliki hak yang harus engkau tunaikan, matamu punya hak atasmu,
isterimu punya hak atasmu, dan tamumu pun punya hak yang harus engkau tunaikan.
Cukuplah bila engkau berpuasa selama tiga hari setiap bulan, karena setiap kebaikan akan
dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu berarti engkau telah melaksanakan
puasa sepanjang tahun‟. Kemudian saya meminta tambahan, lalu Beliau menambahkannya.
Saya mengatakan, „Wahai Rasûlullâh, saya merasa diriku memiliki kemampuan‟. Maka
Beliau shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, „Berpuasalah dengan puasanya Nabi Allâh
Dawud alaihissallam dan jangan engkau tambah lebih dari itu‟. Saya bertanya,
“Bagaimanakah cara puasanya Nabi Dawud Alaihissallam?” Beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam menjawab, „Beliau berpuasa setengah dari puasa dahr (puasa sepanjang
tahun). Maka setelah „Abdullah bin „Amr bin al „Ash sampai di usia tua ia berkata,
9
„Seandainya dahulu aku menerima keringanan yang telah diberikan oleh Nabi shallallahu
„alaihi wa sallam.‟ ” (HR. Bukhari)
Keempat, terburu-buru.
Karena pengaruh situasi dan kondisi tertentu, kadangkala sebagian orang menjadi terlalu
bersemangat berapi-api dan penuh gairah hingga menggunakan senjata (melakukan
pemberontakan) untuk mempercepat perjalan mencapai tujuan.
Para juru dakwah harus bersikap tenang; siapkanlah terlebih dahulu kekuatan aqidah dan
keteguhan iman; lalu kekuatan persatuan; dan barulah kekuatan senjata, itupun jika sudah
tidak ada jalan lain.
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
ان ط الش م
تل هللا و الع وي م
أ الخ
“Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu
berasal dari setan.” (HR. Abu Ya‘la dan Baihaqi).
Kelima, terjangkit virus takfir (pengkafiran).
Ide takfir adalah penyelewengan fikrah yang sangat berbahaya. Para da‘i harus sadar, tugas
mereka hanyalah menyeru dan tidak ditugaskan untuk memvonis manusia. Persoalan takfir
adalah perkara yang berat dan berbahaya, tidak dapat dilakukan dengan sembrono.
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
ه وعسط ظلم حسام دمه ومال
ى ال
ظلم عل
ل ال
هو
“...Setiap muslim atas muslim yang lain itu haram darahnya, harta, dan kehormatannya.”
(HR. Imam Muslim)
Kepada mereka yang secara lahir telah mengakui dua kalimat syahadat, tidak dibenarkan
bertindak gegabah dengan mengkafirkannya secara definitif. Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam pernah menegur Usamah bin Zaid dengan keras karena telah membunuh seseorang
dalam peperangan, padahal orang tersebut telah mengucapkan Laa ilaaha illallah.
ك
بت
بي ش
أ اب
ا حدث
د وهر ش ب
طامت
أ حىا ع صب
ت ف طس م
ه وطل عل
ى الل
صل
الل ىا زطى
بعث ا
ذ ي م فس
ه ع
ىك
عىخه ف
ط
ف
الل
ه إال
إل
ال ا
ل ف
ت زجل
دزه
أ ف
ىت جه اث م
حسك
ى ال
بي صل
ه للىسج
هر ف ل
اللخل وك
الل
ه إال
إل
ال ا
كم أ
ه وطل عل
ى الل
صل
الل زطى ا
لم ف
ه وطل ما عل إه
الل ا زطى ت
ل ك ا
خه ك
م عل
ى ح به حت
ل ك لت ع
ل
ش
ل
ف أ ا
ح ك
ل الظ ا م
ىف
ها خ
الت ك مى
ى ج حت
زها عل س
ى ما شا
ف
م ال
ها أ
الكأ
ر ىم مت
طل
ي أ
و أ
Dari Usamah bin Zaid ia berkata, “Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam mengutus kami
bersama pasukan kecil maka kami pun menyerang beberapa dusun dari qobilah Juhainah,
maka Aku pun berhadapan dengan seseorang, dia mengucapkan la ilaha illallah, namun Aku
tetap menikamnya. Namun setelah itu Aku merasa tidak enak akan hal itu maka akupun
10
menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu
„alaihi wa sallam berkata, „Apakah ia mengucapkan la ilha illallah lantas engkau tetap
membunuhnya?‟. Aku berkata, „Ya Rasulullah, dia mengucapkannya hanya karena takut
pedangku!‟, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam berkata, „Mengapa engkau tidak
membelah hatinya hingga engkau tahu bahwa dia mengucapkannya karena takut atau
tidak!?‟. Berkata Usamah, “Nabi shallallahu „alaihi wa sallam terus mengulang-ulang
perkataannya kepadaku itu hingga aku berangan-angan seandainya aku baru masuk Islam
saat itu” (HR Muslim 1/96)
Hendaknya kita fokus pada kerja dakwah. Kenalilah realita dan kondisi umat ini. Bukankah
musuh-musuh Allah telah menjajah negara-negara Islam di seluruh dunia dalam masa yang
lama. Oleh karena itu timbulah generasi-generasi yang jahil terhadap agama?
Bersabarlah menghadapi kondisi seperti ini, dan lipatgandakanlah usaha dan amal kita untuk
menarik tangan-tangan mereka, menasehati, memberi bimbingan, menyampaikan hidayah
Islam kepada mereka. Karena untuk mencapai tujuan itu tidak cukup dengan fatwa kafir dan
membangun tembok pemisah antara kita dengan mereka.
Rintangan Dakwah
Di jalan dakwah ini seorang da‘i harus mempersiapkan diri agar tegar menghadapi berbagai
macam rintangan yang menghadang:
Pertama, berpalingnya manusia dari dakwah.
Hadapilah rintangan ini dengan sikap sabar. Teladanilah kesabaran Rasulullah shallallahu
„alaihi wa sallam, dan teladani pula kesabaran Nabi Nuh „alaihis salam yang sanggup
bertahan dan tegar berdakwah selama 950 tahun lamanya.
ل ول
ان وهم ظ
ىف
هم الط
رخ
أمظين عاما ف
خ
طىت إال
ف
ل فيهم أ
بث
لىمه ف
ى ك
ىحا إل
ىا ه
زطل
ىن د أ
ال
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara
mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan
mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ankabut: 14)1
Kedua, olok-olok dan ejekan.
Sambutlah olok-olok dan ejekan itu dengan do‘a:
مىن عل
هم ال ئن
ىمي ف
هم اهد ك
الل
“Ya Allah, berikanlah petunjuk dan hidayah kepada mereka, sebab mereka tidak
mengetahui”.
Renungkanlah firman Allah Ta‘ala berikut,
وىه عداوة وب ى ري ب
ا ال
ئذ
ف حظ
تي ه أ
ع بال
ادف
ت
وال الظحظىت
ظخىي ال
ه وال ح ه
ول حمم أ
1 Lihat pula: QS. Nuh ayat 5 – 9
11
“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti
teman yang setia.” (QS. Fushilat: 34).
Ketiga, penyiksaan.
Ini adalah sunnatullah di dalam dakwah. Allah Ta‘ala berfirman,
ط بأتهم ال م مظ
بلى
ك ىا م
ل خ ر
ل ال
م مث
جى
أ ا
ول
ت ى
ىا ال
لدخ
ن ج
م حظبخم أ
ى أ ىا حت
صلاء وشل س اء والظ
ر وال طى الس لى سب
ك
صس الل
إن ه
ال أ
صس الل
آمىىا معه متى ه
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh
malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam cobaan) sehingga
berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya
pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al-
Baqarah: 214)
Keempat, mengalami kesenangan setelah kesusahan.
Ini adalah tantangan tidak terduga bagi pengemban dakwah, yaitu ketenangan, ketentraman,
dan suasana ceria setelah sebelumnya mengalami berbagai macam ujian dan cobaan yang
menyengsarakan. Terutama jika kesenangan dan kelapangan itu disertai kemewahan dan
kesenangan hidup. Pada saat itulah kemewahan bisa menjadi awal kemalasan dalam
melanjutkan perjuangan dakwah.
Dalam kondisi seperti itu para pengemban dakwah dapat berubah menjadi orang yang sering
mencari-cari alasan dan mereka-reka berbagai dalih untuk membenarkan kemalasannya.
Na‟udzubillahi min dzalik...
Kelima, jabatan dan ma‟isyah (penghidupan).
Saat masih muda, ketika masih menjadi seorang mahasiswa atau pelajar, dakwah dapat
dilakukan dengan ringan dan bersemangat karena belum memiliki tanggungan keluarga.
Namun ketika lulus dari PT dan terikat dengan pekerjaan, disinilah komitmen seseorang
terhadap dakwah teruji. Hanya mereka yang memiliki kekuatan imanlah yang dapat
meneruskan perjalanan dakwah.
Jabatan dan ma‘isyah adalah wasilah/sarana kehidupan, hendaknya tidak menjadi rintangan
yang menghalangi untuk mencapai tujuan.
Keenam, istri dan Anak.
Allah Ta‘ala berfirman,
أ آمىىا إن م ر
ها ال ي
ا أ زوهم
احر
م ف
ىا ل م عدو
ده
وال
م وأ
شواجى
“Hai orang-orang mu'min, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada
yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka..” (QS. At-
Taghabun: 14)
12
Ada di antara istri-istri dan anak-anak yang menjadi musuh bagi suami dan orang tuanya;
mencegah mereka berbuat baik yang mendekatkan mereka kepada Allah Ta‟ala, menghalangi
mereka beramal saleh yang berguna bagi akhirat mereka.
Ketujuh, mabuk dunia dan harta.
Terbukanya berbagai fasilitas dan kekayaan, berkembangnya usaha, dan kemudahan
memperoleh harta dapat memabukkan seorang da‘i.
Mencari harta tidak boleh ditentang, bahkan harus digalakan, tetapi harus disadari bahwa ia
hanyalah merupakan alat, bukan menjadi cita-cita yang utama atau orientasi dalam
kehidupan. Oleh karena itu seorang yang beriman harus mengawasi dirinya dengan keras
agar tidak jatuh tersungkur di dalam rintangan seperti itu.
Kedelapan, bisikan-bisikan negatif.
Berhati-hatilah dari suara-suara atau bisikan-bisikan dari lingkungan sekitar yang
menghalangi dan melemahkan tekad. Baik itu berupa saran, ajakan, ajaran-ajaran, dan
ancaman dari pihak yang memiliki penyakit dalam hatinya.
Allah Ta‘ala menceritakan tipikal orang semacam ini,
ىفس ج
ىا ال
الهىن وك
فل ىا
اهى و
ا ل د حس
ش
م أ از جهى
ل ه
حس ك
ال وا
“..mereka berkata: „Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini‟.
Katakanlah: „Api neraka jahannam itu lebih sangat panas(nya)‟. jika mereka mengetahui.”
(QS. At-Taubah: 81).2
Kesembilan, kerasnya hati.
Hal ini dapat terjadi kepada seorang da‘i, karena terlalu lama tidak aktif dalam berdakwah.
Allah Ta‟ala memperingatkan umat Islam agar terhindar dari kondisi kerasnya hati ini
dengan firman-Nya,
م ل أ
أ ر
الىا و
ىه
ي
حم وال
ال م ص
وما ه
س الل
ىبهم لره
لع ك
ش
خ
ن ج
آمىىا أ ر
ن لل
أ بل
ك ىخاب م
ىا ال
وج
اطلىن ثير منهم ف
ىبهم وه
لظت ك
لمد ف
يهم لا
عل ا
ط
ف
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah
mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16).
Wallahu A‟lam.
2 Lihat juga: Ali Imran: 168 dan At-Taubah: 47.
13
Tajarrud
Ustadz Hasan Al-Banna rahimahullah berkata tentang tajarrud,
ن د: أ د بالخجس ز
أ
عل
جمعها و أ
س وأ
فى
طمى ال
ها أ ن
اص، أل
خ
ش
بادا ولا
ال ا طىاها م مم سج
ص لفى
لخخ
هاج
“Yang saya maksud dengan tajarrud (kemurnian) adalah bahwa engkau harus
membersihkan pola pikirmu dari berbagai prinsip nilai lain dan pengaruh individu, karena
ia adalah setinggi-tinggi dan selengkap-lengkap fikrah.”
At-Tajarrud (Tinjauan Bahasa)
يء :الجرادة
الص شس ع ما ك
Al-Juradatu: sesuatu yang dikuliti/dikelupas dari sesuatu yang lain.
جريد :الت
ت عس اب الخ
الث م
At-Tajridu: melepas atau menanggalkan pakaian.
د جرعسي :الت
الخ
At-Tajarrud: telanjang
مر جرد لأل
ه :ت جد ف
Tajarradun lil amri: jaddun fiihi: bersungguh-sungguh pada suatu urusan.
Tajarrud dalam Fikrah
Sebagai seorang muslim, terlebih lagi sebagai seorang aktivis dakwah, hendaknya kita
membersihkan dan melepaskan diri dari fikrah lain selain fikrah Islam, atau dari pengaruh-
tokoh-tokoh tertentu. Shibghah (celupan warna) kita harus murni dengan shibghah fikrah
Islam syamilah (pola pikir Islam yang integral).
Oleh karena itu, Ustadz Hasan Al-Banna menegaskan kepada kader-kadernya, bahwa gerakan
dakwah mengusung fikrah ishlahiyah yang lengkap:
1. Da‟wah salafiyah, karena mereka menyeru untuk mengembalikan Islam kepada
sumbernya yang jernih yakni kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya.
2. Thariqah sunniyah (jalan/metode sunnah), karena mereka dengan segenap
kemampuannya membawa dirinya untuk beramal dengan landasan sunnah yang suci
dalam segala hal, khususnya dalam hal aqidah dan ibadah.
3. Haqiqah Shufiyah (hakikat shufi), karena mereka memahami bahwa asas kebaikan
adalah: kesucian jiwa, kejernihan hati, kontinyuitas amal, berpaling dari
ketergantungan kepada makhluk, kecintaan karena Allah, dan komitmen dengan
kebajikan.
4. Hai‟ah Siyasiyah (lembaga politik), karena mereka menuntut perbaikan hukum,
meluruskan persepsi seputar hubungan umat Islam dengan bangsa-bangsa lain di luar
14
negeri, serta mendidik masyarakat untuk memiliki kehormatan, harga diri dan
kemauan yang kuat untuk mempertahankan jati dirinya sampai batas maksimal.
5. Jama‟ah Riyadhiyah (kelompok olah raga), karena mereka sangat memperhatikan
fisiknya dan menyadari bahwa mu‘min yang kuat lebih baik daripada mu‘min yang
lemah. Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya badanmu
memiliki hak atas dirimu.”
Sesungguhnya semua tuntutan Islam tidak bisa ditunaikan dengan sempurna dan
benar kecuali dengan dukungan fisik yang kuat; shalat, puasa, haji, dan zakat
membutuhkan fisik yang sanggup menanggung beban amal, tugas dan perjuangan
dalam mencari rizki. Sebagai konsekuensinya mereka juga sangat memperhatikan
organisasi dan klub-klub olah raga sehingga menyamai atau bahkan berprestasi lebih
baik daripada klub-klub olah raga yang ada di luar jama‘ah bahkan yang profesional
sekalipun.
6. Rabithah „ilmiyah tsaqafiyah (perkumpulan keilmuan dan wawasan), karena Islam
menjadikan aktifitas mencari ilmu sebagai suatu kewajiban bagi setiap muslim dan
muslimah. Begitu juga karena forum-forum Ikhwan pada dasarnya adalah madrasah-
madrasah ta‘lim dan peningkatan wawasan serta lembaga-lembaga untuk mentarbiyah
fisik, akal fikiran dan ruhani.
7. Syirkah iqtishadiyah (persekutuan ekonomi), karena Islam sangat memperhatikan
pendistribusian harta dan perolehannya. Itulah yang dinyatakan oleh Nabi shallallahu
„alaihi wa sallam, “Sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki oleh orang shalih.”,
“Barangsiapa kelelahan di sore hari karena bekerja mengandalkan kemampuannya
sendiri, ia menjadi orang yang diampuni.”, “Sesungguhnya Allah menyukai seorang
mu‟min yang menekuni satu pekerjaan.”
8. Fikrah ijtima‟iyah (gagasan kemasyarakatan), karena mereka memperhatikan
penyakit-penyakit yang melanda masyarakat Islam dan berusaha memberikan terapi
dan solusinya.
Shibghah Allah
Sikap kita terhadap fikrah Islam syamilah ini adalah tajarrud (murni, bersungguh-sungguh,
dan totalitas), sehingga kita benar-benar terwarnai dengan shibghah Allah.
صبغة هللا ومن أحسن من هللا صبغة
"Shibghah Allah Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah?" (Al-Baqarah:
138)
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu ‗Abbas, bahwa shibghatallah artinya adalah ―Agama
Allah‖. Hal senada diriwayatkan dari Mujahid, Abul ‗Aliyah, ‗Ikrimah, Ibrahim, al-Hasan al-
Bashri, Qatadah, ‗Abdullah bin Katsir, ‗Athiyah al-‗Aufi, Rabi‘ bin Anas, as-Suddi, dan lain-
lain.
Bara’ terhadap Fikrah lain yang tidak Islami
Contoh sikap tajarrud diantaranya diperlihatkan oleh Ibrahim „alaihissalam, sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya,
15
ىمهم ىا لل
ال ك
معه إذ ر
إبساهم وال
حظىت
طىة
م أ
ىت ل
اهد و
من دون ك
عبدون
ا ت م ومم
كا برآء من
إه
للا ؤى ج حت
بدا
ظاء أ
بغ
وال
عداوة
م ال
ىى ىا وب
ي م وبدا ب
ا بى
سه
فبه ه
إبساهم أل ى
مىىا باهلل وحده إال ك
بىا وإل
ه أ ىا وإل
لىو
ج ىا عل يء زب
ش هللا م م
ل مل
وما أ
لفسن
طخغ
صير أل
ال
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka : ‘Sesungguhnya
kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami
ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian
buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.‟ Kecuali perkataan Ibrahim
kepada bapaknya: „Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada
dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah‟. (Ibrahim berkata): „Ya Tuhan kami
hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat
dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.‟” (QS. Al-Mumtahanah: 4).
Dalam konteks fikrah Islam, maka kita harus benar-benar berlepas diri dari fikrah—
pemikiran, gagasan, ide, konsep, opini, pandangan, dan pemikiran—yang tidak menyeru
kepada Al-Qur‘an dan sunnah; yang tidak mengikuti jalan sunnah, khususnya dalam perkara
aqidah dan ibadah; yang mengabaikan kesucian jiwa, kejernihan hati, kontinyuitas amal,
berpaling dari ketergantungan kepada makhluk, kecintaan karena Allah, dan komitmen
dengan kebajikan; yang menolak amal siyasi (dengan maknanya yang luas); yang lengah
dalam memperhatikan kekuatan fisik; yang tidak memperhatikan aktifitas mencari ilmu; yang
meremehkan aktivitas ekononomi; dan yang tidak peduli kepada perbaikan penyakit-penyakit
masyarakat.
Maka, sebagai seorang yang telah berkomitmen kepada fikrah Islam yang benar, masing-
masing kita harus terus berupaya memperbaiki diri secara optimal—sesuai kemampuan yang
ada—agar menjadi pribadi-pribadi yang mampu mengaplikasikan fikrahnya itu dalam gerak
langkah kehidupan; bangga dengannya dan berupaya menyebarkannya di tengah-tengah
masyarakat muslim seluruhnya.
Tidak Hitam-Putih
Bersikap tajarrud bukan berarti harus bersikap keras, kaku, dan hitam-putih. Manusia di
hadapan kita terbagi menjadi 6 kategori: (1) Muslim mujahid, (2) Muslim qa‟id (duduk-
duduk/tidak berjuang), (3) Muslim Atsim (muslim pendosa), (4) Dzimmi Mu‟ahid (kafir yang
dilindungi karena ada perjanjian damai), (5) Muhayid (kafir yang netral [tidak memerangi]),
dan (6) Muharib (kafir yang memerangi).
Tentang kategori tersebut Ustadz Hasan Al-Banna berkata,
ى حدود هره لا عداء و
و ال
ء أ
ىال
ىن ال
ي اث و
ه
اص و ال
خ
ش
ىشن لا
ظام ج
ك
“Dengan pembagian inilah individu maupun lembaga ditimbang: apakah ia berhak
mendapatkan loyalitas atau berhak mendapatkan permusuhan.”
Terhadap muslim mujahid sikap kita adalah mencintai, memberikan loyalitas, mengunjungi,
memenuhi keperluan-keperluan, serta menjalin hubungan baik dengan mereka. Sedangkan
16
kepada muslim qa‟id hendaknya kita selalu berupaya membangkitkan semangat mereka,
memberikan nasihat kepada mereka, dan mencari udzur atas kondisi mereka yang belum bisa
turut serta dalam perjuangan Islam. Sementara kepada muslim atsimhendaknya kita selalu
mengingatkan dan mengajak mereka kembali ke jalan Allah Ta‟ala.
Berikutnya kepada dzimmi mu‟ahid sikap kita adalah tidak merusak perjanjian dan tidak
menampakkan permusuhan; bersikap toleran dan adil terhadap mereka karena mereka
mempunyai hak dan kewajiban warga negara sebagaimana kita. Kita pun hendaknya tetap
berdakwah kepada mereka dengan hikmah dan mauidzah hasanah. Sikap berbuat baik dan
berdakwah dengan baik juga harus ditunjukkan kepada kafir muhayid. Berbeda halnya
dengan kafir muharib, kepada mereka sikap kita adalah keras dan tegas, serta membalas
serangan dan atau memerangi mereka.
Wallahu A‘lam...
17
Malamih Mujtama’ Muslim (Pasal 1):3
Aqidah dan Iman
Fondasi utama masyarakat Islam adalah aqidah Islamiyah. Oleh karena itu, tugas pertama
mereka adalah memelihara, menjaga, dan mengukuhkan aqidah, serta memancarkan
cahayanya ke seluruh penjuru dunia.
Aqidah Islam tersebut terefleksikan dalam Iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir.
Allah Ta‟ala berfirman,
و
بالل ل آممىىن و
ؤ ه وال زب
ه م إل صه بما أ طى الس آم حد م
سق بين أ
ف ه
خبه وزطله ال
خه وه
بى
مل
صير ال ىا وإل زب
فساه
عىا غ
طىا طمعىا وأ
ال زطله وك
“Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak
membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan
mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta'at." (Mereka berdo'a): "Ampunilah kami ya
Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." (QS. Al-Baqarah: 285)
Sedangkan slogan Aqidah Islam adalah kalimat: “Asyhadu an la ilaha illa-Llah wa asyhadu
anna Muhammadan Rasulullah”: Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan saya
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.‖
Aqidah inilah yang membingkai cara pandang kaum Muslimin terhadap alam dan Tuhannya;
terhadap alam fisik dan metafisiknya, terhadap kehidupan dan apa yang terjadi setelahnya,
terhadap alam yang kasat mata dan yang ghaib.
Masyarakat muslim meyakini bahwa alam ini tidak mungkin tercipta dengan sendirinya. Ia
pasti ada penciptanya. Pencipta Yang Mahaagung itulah Tuhan langit dan bumi, Tuhan alam
semesta, Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya;
segala sesuatu yang ada di jagad raya ini membuktikan bahwa Akal Yang Satu itulah yang
mengatur segalanya; seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi adalah milik-Nya, tiada
seorang pun—yang berakal maupun tidak berakal—menjadi sekutu atau menjadi putra-Nya.
Makna La Ilaha Illallah
Masyarakat muslim meyakini kalimat La Ilaha Illa-Llah dengan makna bahwasanya Allah
Sang Pencipta inilah satu-satunya yang berhak disembah dan ditaati secara mutlak. Dialah
Yang berhak mendapatkan kepatuhan dan cinta yang paripurna. Seluruh makna yang
terkandung dalam ―kepatuhan‖ dan ―cinta‖, itulah yang dinamakan: IBADAH. Tegasnya,
tiada sesuatu pun berhak menerima ketundukkan dan kecintaan selain Allah. Oleh karena itu
masyarakat muslim menolak ketundukan dan penghambaan kepada kekuasaan selain
kekuasaan Allah, menolak hukum selain hukum-Nya, menolak perintah selain perintah-Nya,
3 Malamih Mujtama Muslim: Menuju Terbentuknya Masyarakat Islam.
18
menolak segala bentuk loyalitas, kecuali loyalitas kepada-Nya, dan menolak segala cinta,
kecuali cinta kepada dan karena-Nya.
Keyakinan seperti inilah yang disebut dengan tauhid, yakni mengesakan Allah Ta‟ala.
Konsekwensi tauhid ini diantaranya adalah:
Pertama, tidak menjadikan selain Allah sebagai Tuhan.
Allah Ta‟ala berfirman,
يء
ل ش ا وهى زب و بغ زب
أ
ير الل
غل أ
ك
“Katakanlah: „Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan
bagi segala sesuatu...‟” (QS. Al-An‘am: 164)
Maka, seorang muslim menolak berbagai tuhan palsu yang disembah oleh manusia; mereka
menyerukan pembebasan manusia dari segala bentuk ketundukan dan penghambaan kepada
selain Sang Pencipta, Allah Ta‟ala.
Kedua, tidak menjadikan selain Allah sebagai wali.
عم ط زض وهى
ماواث ولا اطس الظ
ا ف ول
خر ج
أ
ير الل
غل أ
ك
“Katakanlah: „Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit
dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak memberi makan?‟” (QS. Al-An‘am: 14)
Maka, seorang muslim meniadakan loyalitas kepada selain Allah dan kelompoknya. Mereka
menolak memberikan kesetiaan, kecintaan, dan dukungan kepada selain Allah, serta kepada
musuh-musuh-Nya.
Ketiga, tidak menjadikan selain Allah sebagai hakim.
ل صىخاب مف
م ال
ى إل ص
هري أ
ما وهى ال
بخغ حى
أ
ير الل
غف أ
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah
menurunkan kitab (Al Quraan) kepadamu dengan terperinci?” (QS. Al-An’am: 114)
Maka, seorang muslim menolak ketundukan kepada setiap hukum selain hukum Allah, setiap
perintah selain perintah dari Allah, setiap sistem selain sistem yang ditetapkan-Nya, setiap
undang-undang selain undang-undang-Nya, setiap aturan, tradisi, adat-istiadat, manhaj,
pemikiran, dan nilai kehidupan, kecuali yang diridhai oleh-Nya.
Makna Muhammad Rasulullah
Mengakui Allah Ta‟ala sebagai Ilah dan Rabb tidaklah cukup apabila tidak disempurnakan
dengan ikrar kalimat yang kedua: Muhammad Rasulullah.
Allah mengutus para Rasul kepada umat manusia yang bertugas memberikan petunjuk,
bimbingan, dan arahan kepada mereka menuju ridha-Nya, serta mengingatkan mereka akan
murka-Nya.
Para Rasul juga bertugas meletakkan dasar-dasar ajaran, nilai-nilai, dan standar-standar yang
mengarahkan kehidupan masyarakat serta menunjukkan jalan yang lurus.
19
Seorang muslim meyakini Rasul terakhir adalah Muhammad Rasulullah; ketaatan mereka
kepadanya merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah.
اع اللطد أ
ل ف ط ى طع الس م
“Barangsiapa menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah...” (QS. An-Nisa: 80)
Keimanan kepada Rasulullah diwujudkan dengan ittiba (mengikuti/mentaati) Rasul; mentaati
hukum dan syariat yang ditetapkannya.
Allah Ta‟ala berfirman,
عص الل مسه م وم أ م
خيرة
هم ال
ىن ل
ي ن
مسا أ
ه أ
وزطىل
ى الل ض
ا ك
مىت إذ
مؤ
وال م
ؤان ل
وما و
مبىا
ال
د طل طلله ف
وزطىل
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36). 4
Makna Tegaknya Masyarakat Islam di Atas Aqidah Islam
Sebuah masyarakat layak dikatakan telah tegak di atas aqidah Islam, jika masyarakat itu
benar-benar memuliakan aqidah, bekerja untuk mengukuhkannya dalam hati dan pikiran,
mendidik generasi muda dengannya, melakukan pembelaan terhadap kebatilan yang
dilontarkan oleh para pendengki yang sesat, dan berusaha menampakkan aqidah secara nyata
pada kehidupan pribadi dan sosial kemasyarakatan.
Namun perlu dipahami, menegakkan masyarakat muslim di atas aqidah bukan berarti
memaksa orang-orang non muslim agar melepas keyakinan mereka, karena:
غ ال د م
ش ن الس بي
د ج
ك الد ساه
إه
ال
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar dari jalan sesat...” (QS. Al-Baqarah: 256).
Masyarakat Islam bukan masyarakat materialis, bukan sekuler, bukan paganis (musyrik),
bukan Yahudi atau Nasrani, bukan liberal atau sosialis, bukan pula masyarakat komunis
maupun marxis.
Bukanlah masyarakat Islam yang didalamnya tidak disebut nama Muhammad, dan malah
akrab dengan nama figur Marx, Lenin, Mao, atau para pemikir baik di timur maupun Barat.
Bukanlah masyarakat Islam yang meninggalkan Kitabullah Al-Qur‘an sebagai sumber
hidayah, syariat dan undang-undang, digantikan oleh kitab-kitab lainnya yang disakralkan
dan dijadikan sistem pemikiran, perundangan, perilaku, atau sumber nilai dan tolok ukurnya.
Bukanlah masyarakat Islam ketika nama Allah, kitab, dan rasul-Nya dilecehkan, anggotanya
membisu terhadap kekufuran ini.
4 Baca pula: QS. An-Nur: 47 – 51 dan QS. An-Nisa: 60-65)
20
Bukanlah masyarakat Islam bila menjadikan masalah aqidah sebagai persoalan sampingan
dalam kehidupannya, dimana ia tidak dijadikan fondasi sistem pendidikan, pengajaran,
pemikiran, penerangan, dan pengarahan.
Masyarakat Islam dan Fenomena Kemurtadan
Persoalan paling besar dan berbahaya yang dihadapi seorang mulim adalah ancaman aqidah,
yakni riddah (kemurtadan). Dan inilah misi paling utama yang diperjuangkan musuh-musuh
Islam.
Allah Ta‟ala mengingatkan,
اعىام إن اطخط
دىى م ع
وه سد ى م حت
ىىه
اجل
ل ىن
صال
وال
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu
dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup...” (QS. Al-Baqarah: 217)
Masyarakat muslim terus mengalami gempuran pemurtadan ini melalui praktik kristenisasi,
imperialis komunis, kaum sekuler anti agama, dan lain-lain. Abul Hasan Nadawi menyebut
kondisi pemurtadan di dunia Islam ini dengan ungkapan: ―Kemurtadan Tanpa Abu Bakar.‖
Hukum Riddah
Kita harus memberantas kemurtadan personel dan melokasisasinya sehingga tidak mengakar
menjadi kemurtadan kolektif. Oleh karena itu fuqaha sepakat untuk memberikan sanksi
hukum kepada orang murtad, meskipun mereka berbeda pendapat tentang batasan hukumnya.
Jumhur berpendapat, mereka harus dihukum mati berdasarkan petunjuk beberapa hadits,
diantaranya:
ىه خلاك
دىه ف بد م
“Barangsiapa mengganti agamanya, bunuhlah ia.” (HR. Al-Jama‘ah, kecuali Muslim)
ث : الل بئحدي ج
هللا إال ي زطى
و هللا وأ
ه إال
إل
ن ال
هد أ
ش حل دم امسا مظلم
فع ال اوي، والى ب الص
ث
ماعت ازق للف ىه ال ازن لد
فع والخ بالى
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku
adalah Rasulullah, kecuali dengan salah satu dari tiga alasan: duda yang berzina, jiwa
dibalas jiwa (membunuh), serta orang yang meninggalkan agamanya dan orang yang
berpisah dari jama‟ah (kaum muslimin).” (HR. Al-Jama’ah)
Hukuman kepada Orang-orang Murtad
Ali radhiyallahu „anhu pernah menghukum mati orang-orang yang menyebut Ali sebagai
tuhan dengan cara membakarnya. Ibnu Abbas menentang hukuman bakar ini berdasarkan
hadits: “Janganlah kamu menyiksa (menghukum) dengan siksa Allah (dengan cara
membakar).” Namun perbedaan Ibnu Abbas dengan Ali disini hanya dalam masalah cara,
bukan prinsip hukumannya.
21
Abu Musa dan Muadz pernah menghukum mati orang Yahudi di Yaman yang pernah masuk
Islam lalu murtad. Muadz berkata, “Ini keputusan Allah dan rasul-Nya.” (Muttafaq ‗alaih).
Ibnu Mas‘ud pernah menangkap suatu kaum dari penduduk Irak yang murtad. Beliau lalu
mengirim surat kepada Umar yang menceritakan tentang mereka. Umar membalas surat itu
dengan mengatakan, “Tawarkan kepada mereka agama yang benar ini dan persaksikan
bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Apabila mereka menerimanya, lepaskanlah, namun jika
mereka menolaknya, bunuhlah.” Akhirnya sebagian dari mereka menerima lalu dilepaskan,
sebagian yang lain menolak lalu dibunuh. (HR. Abdurrazaq dalam buku karangannya Al-Atsr,
1/168, No. 18707).
Diriwayatkan dari Abi Amr Asy-Syaibani, bahwa Mustauid Al-Ajli memeluk Nasrani setelah
menjadi Muslim. Utbah bin Firqid pun lalu mengirimnya kepada Ali. Beliau meminta
kepadanya agar bertobat, tetapi ia menolak. Maka Ali pun membunuhnya. (Ibid, No. 18710).
Apakah Hukuman Mati atas Orang-orang Murtad bersifat Mutlak?
Meskipun jumhur ulama mengatakan keharusan hukuman mati atas orang murtad, namun ada
riwayat dari Umar bin Khattab yang bertentangan dengan hal itu.
Abdur Razzaq, Al-Baihaqi, dan Ibnu Hazm meriwayatkan bahwa suatu saat Anas kembali
dari Tustar. Ia datang menghadap Umar dan beliau pun bertanya, “Apa yang diperbuat oleh
enam orang dari kelompok Bikr bin Wail, orang-orang yang murtad dari Islam kemudian
bergabung dengan orang-orang musyrik?” Anas menjawab, “Wahai Amirul Mukminin,
mereka itu kaum murtad dari Islam kemudian bergabung dengan orang-orang musyrik,
akhirnya terbunuh dalam peperangan.” Umar berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi
roji‟un.”Anas bertanya, “Adakah hukuman lain selain dibunuh?” Umar berkata, “Benar,
tidak ada. Dahulu saya menawarkan kepada mereka untuk masuk Islam. Karena menolak,
mereka saya penjarakan.” (Riwayat Abdurrazaq dalam Al-Mushannif: 1/165-166, Al-Atsr,
18696, Baihaqi dalam Sunannya, Sa‟id bin Manshur, h. 3, No. 2573, Ibnu Hazam dalam Al-
Muhalla, 11/221, cet. Al-Imam).
Makna atsar di atas adalah Umar tidak melihat hukuman mati itu mutlak dijatuhkan dalam
setiap kondisi. Ia boleh gugur atau ditunda jika ada alasan yang mengharuskannya demikian.
Diantaranya ketika perang, kedekatan mereka dengan orang-orang musyrik, atau khawatir
munculnya fitnah.
Boleh jadi Umar membandingkan hal ini dengan ucapan Rasulullah, “Janganlah engkau
memotong tangan (sebagai hukuman pencurian) dalam suasana perang,” karena khawatir
diketahui oleh pencuri lain, kemudian dia takut lalu bergabung dengan musuh.
Ada juga kemungkinan lain, yakni Umar melihat bahwa Rasulullah ketika bersabda,
“Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia,” adalah dalam kapasitasnya sebagai
seorang pemimpin umat dan kepala negara, hal itu merupakan keputusan politis, bukan fatwa
atau wahyu dari Allah yang harus diterapkan di setiap tempat dan keadaan. Oleh karenanya,
keputusan hukuman mati orang murtad atau orang yang mengganti agamanya adalah
wewenang pemimpin semata.
22
Bagitupula pemahaman Mazhab Hanafi dan Maliki memandang hadits, “Barangsiapa
membunuh seseorang, maka ia berhak disalib” dan hadits, “Barangsiapa menghidupkan
(memanfaatkan) tanah mati (tak terurus), maka tanah itu menjadi miliknya.” (Al-Khashais
Al-Amah lil Islam, hal. 217).
Ibrahim An-Nakha‘i dan Ats-Tsauri juga berpendapat, “Pendapat inilah yang kami ambil.”
Di saat lain ia berkata, “Ditangguhkannya suatu hukuman atas seseorang yang masih bisa
diharapkan tobatnya.” (Al-Mushannaf, Jilid 1, Al-Atsr: 18697)
Pandangan Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy membedakan persoalan kemurtadan, menurutnya ada
kemurtadan yang berat dan ada pula yang ringan. Pelakunya juga demikian, ada yang
berpengaruh dan adapula yang tidak berpengaruh.
Hal tersebut menurutnya sebagaimana para ulama membagi bid‘ah menjadi dua, yaitu berat
(mughallazhah) dan ringan (mukhaffafah), sebagaimana juga membagi pelaku bid‘ah menjadi
dua, yang berpengaruh dan yang tidak berpengaruh.
Syaikh berpendapat, jika ada kemurtadan berat, dan kemurtadannya itu berpengaruh secara
luas, baik melalui ucapan maupun tulisannya, yang lebih utama baginya adalah
pelipatgandaan hukuman sesuai dengan pendapat jumhur ulama dan redaksi hadits. Semua itu
demi tertutupnya pintu kerusakan. Jika kondisinya tidak demikian, kita bisa mengambil
pendapat Imam An-Nakha‘i dan Tsauri yang diriwayatkan dari Umar.
Rahasia Beratnya Sanksi Kemurtadan
Aqidah bagi masyarakat muslim adalah dasar identitasnya, pusat edar kehidupannya, dan inti
eksistensinya. Oleh karena itu tidak ada toleransi bagi seseorang yang menodai identitas dan
mengotori ekssistensinya.
Islam tidak memaksa seseorang untuk memasukinya (lihat: QS. Yunus: 99 dan Al-Baqarah:
256); namun demikian Islam bukan agama permainan; hari ini masuk esok hari keluar,
sebagaimana yang dilakukan orang-orang Yahudi (lihat: Ali Imran: 72).
Islam tidak menetapkan hukuman mati atas orang murtad yang menyembunyikan
kemurtadannya dan tidak mengajak orang lain untuk mengikutinya. Hukuman orang seperti
itu diserahkan kepada Allah di akhirat (lihat: QS. Al-Baqarah: 217).
Dijatuhkannya sanksi hukum atas orang murtad—khususnya yang berpengaruh pada
murtadnya orang lain—adalah dalam rangka melindungi identitas masyarakat dan persatuan
anggotanya, sebagaimana sebuah negara menganggap kejahatan besar dan pengkhianatan
terhadap tanah air bagi orang-orang yang menjalin kasih sayang dengan musuh dan membuka
rahasia kepada mereka. Tidak seorangpun membenarkan seorang warga negara memberikan
loyalitas kebangsaannya kepada orang lain sekehendak hati.
Murtad bukan hanya persoalan pemikiran, tetapi juga berarti pengalihan loyalitas,
penggantian identitas, dan pengubahan komitmen. Seorang yang murtad hakikatnya akan
memindahkan loyalitas dan komitmennya dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain, dari
satu tanah air ke tanah air yang lain, yaitu dari tanah air Islam ke tanah air kafir.
23
Sikap meremehkan dalam memberi sanksi hukum kepada orang murtad yang berpengaruh,
dapat menjerumuskan masyarakat dalam bahaya dan membuka pintu masuknya kerusakan
yang besar. Orang-orang murtad itu tidak henti-hentinya mempengaruhi orang lain—terutama
golongan menengah ke bawah—dengan membentuk berbagai institusi yang memungkinkan
baginya bekerjasama dengan musuh-musuh umat. Kemudian terjadilah kekacauan baik dalam
pola pikir, sistem sosial, maupun politiknya, yang ujung-ujungnya bisa menyebabkan
berkobarnya pertikaian berdarah, bahkan perang saudara.
Pelajaran dari Afghanistan
Sekelompok orang keluar dari agamanya untuk menjadi pengikut faham komunis setelah
beberapa lama belajar di Rusia. Mereka dididik secara militer dalam partai komunis. Tidak
lama kemudian mereka berhasil menduduki posisi sebagai penguasa di negerinya, lalu
mulailah melakukan upaya perubahan identitas masyarakat secara total. Hal ini tentu saja
tidak dibiarkan oleh putra-putra Afghan yang kemudian melakukan perlawanan jihad.
Berkecamuklah perang saudara yang berlangsung lebih dari 10 tahun dengan menelan jutaan
korban. Semua ini terjadi semata-mata sebagai dampak dari kelengahan dalam menghadapi
orang-orang murtad, menganggap ringan aktivitas mereka, dan membiarkan kejahatan
mereka berlangsung berkepanjangan.
Hal-hal Penting yang Wajib Diperhatikan
Menuduh seorang Muslim murtad adalah urusan besar. Kita harus sangat berhati-hati
menuduh kafir kepada seorang Muslim yang keislamannya masih ada dalam keyakinannya.
Kaidah ushul mengatakan bahwa kyakinan tidak bisa digugurkan dengan keraguan.
Orang-orang yang memiliki wewenang memberikan fatwa tentang murtadnya seorang
Muslim adalah para ulama yang mendalam pengetahuannya. Merekalah yang dapat
membedakan antara qath‟i dan zhanni, muhkam dan mutasyabih, mana yang bisa dita‘wil dan
manapula yang tidak bisa. Mereka tidak mengafirkan seseorang kecuali karena tidak
mendapatkan pilihan hukum lain, misalnya ketika seseorang mengingkari ajaran agama yang
telak dimaklumi, atau melecehkan aqidah maupun syariah, atau mencaci maki Allah, rasul-
Nya, dan kitab-Nya secara terang-terangan.
Yang berwenang meratifikasi fatwa mengenai hal ini adalah penguasa, setelah dibuat
fatwanya oleh lembaga fatwa yang tidak menegakkan hukum kecuali hukum Allah dan tidak
mengambil dalil-dalil hukum dari kitabullah kecuali dari ayat-ayat yang eksplisit
(muhkamat).
Jumhur ulama mengatakan keharusan menyuruh tobat kepada orang murtad sebelum
dijatuhkannya sanksi hukum.
Beberapa Komentar yang Tertolak
Sebagian penulis masa kini—yang bukan ahli syariat—menolak ditegakkannya hukum bagi
orang yang murtad, karena tidak terdapat dalam Al-Qur‘an dan hadits, kecuali hadits-hadits
ahad (yang hanya memiliki satu jalur sanad) meskipun hadits itu shahih. Pendapat ini tidak
bisa diterima dengan beberapa alasan:
24
Pertama, sesungguhnya hadits shahih adalah merupakan sumber hukum ‗amali sesuai
dengan kesepakatan seluruh umat Islam.
Allah SWT berfirman, “Taatilah Allah dan taatilah Rasul...” (QS. An-Nur: 54), juga
berfirman, “Barangsiapa taat kepada Rasul, maka ia taat kepada Allah...” (QS. An-Nisa: 80)
Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukuman mati kepada orang murtad adalah hadits-hadits
shahih dan pernah diterapkan para sahabat di masa khulafaur rasyidin.
Hadits Ahad sah sebagai dalil. Sebagai contoh, seluruh mazhab telah menjadikan hadits-
hadits Ahad sebagai dalil untuk menghukum peminum khamr; dan hadits-hadits yang
berkaitan dengan sanksi hukum terhadap orang murtad itu lebih shahih, lebih lengkap, dan
lebih banyak daripada hadits yang berkaitan dengan hukuman peminum khamr. Seandainya
hadits Ahad tidak bisa dijadikan dasar hukum, berarti hilanglah Sunah dari sumber hukum
Islam, paling tidak hilanglah 95% sumber hukum Islam, karena hadits-hadits Ahad itu
menempati sebagian besar hadits tentang hukum Islam. Sedangkan hadits mutawatir (yang
memiliki banyak jalur sanad) sedikit sekali, bahkan sebagian ulama hadits mengatakan:
―Hampir tidak ada,‖ sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Shalah dalam Muqaddimah-
nya yang terkenal dalam Ulumul Hadits.
Sebagian orang memiliki pemahaman keliru tentang hadits Ahad; mereka mengira bahwa
hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu rawi (periwayat hadits).
Padahal bukanlah demikian, hadits Ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat
mutawatir, namun ia diriwayatkan oleh dua, tiga, empat, atau bahkan lebih dari kalangan
sahabat, juga kalangan tabi‘in.
Kedua, di antara sumber hukum yang sah adalah ijmak.
Para ulama fiqh dari seluruh mazhab Ahlus Sunnah, bahkan yang bukan Ahlus Sunnah
sepakat diterapkannya sanksi hukum bagi orang murtad—dan hampir bersepakat atas
hukuman mati—kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Umar, An-Nakha‘i, dan At-Tsauri.
Namun secara keseluruhan mereka menyepakati adanya sanksi hukum itu.
Ketiga, di antara ulama salaf ada yang mengatakan bahwa ayat tentang perang yang tersebut
dalam surat Al-Maidah ayat 33 adalah ditujukan kepada orang-orang murtad.
Perhatikan ayatnya, “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari
negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang berat.” (QS. Al-Maidah: 33)
Diantara ulama yang mengatakan bahwa ayat di atas ditujukan kepada orang-orang murtad
adalah Abu Qilabah. (Jami‟ Al-Ulum wa Al-Hikam, oleh Ibnu Rajab, hal. 32)
Kemurtadan Seorang Penguasa
Jenis kemurtadan yang paling berbahaya adalah kemurtadan seorang penguasa. Mereka
mendukung dan melindungi musuh-musuh Allah. Ia memusuhi orang-orang beriman,
menghina aqidah, melecehkan syariat, tidak menghargai perintah dan larangan Allah serta
25
nabi-Nya, merendahkan seluruh kesucian dan kemuliaan umat yaitu para sahabat dan
keluarga Nabi, khulafaur rasyidin, para imam yang alim, dan para pahlawan Islam.
Mereka menganggap orang yang berpegang teguh pada syariat Islam telah melakukan
tindakan kriminal dan ekstrem, seperti shalat di masjid dan memakai hijab bagi perempuan.
Mereka mengusir para da‘i dan menutup pintu bagi setiap gerakan Islam yang menginginkan
pembaharuan dan kebangkitan beragama, serta memajukan dunia di atas nilai-nilainya.
Siapakah yang akan melaksanakan had atas mereka? Siapa ulama yang berani memberi fatwa
atas kekufuran mereka, padahal itu merupakan kekufuran yang nyata, yang dalam istilah
hadits disebut kufr bawwah? Siapakah yang akan menghukumi kemurtadan mereka,
sementara lembaga fatwa dan peradilan ada di tangan mereka?
Tidak ada yang dapat dilakukan kecuali pembentukan opini umum dan kesadaran berislam di
kalangan umat Islam. Agar identitas masyarakat Islam, aqidah dan risalahnya tetap
menghujam di dalam dada umat. Sejarah penjajahan Perancis di Aljazair dan penjajahan
Rusia di berbagai wilayah negara Islam di Asia telah teruji, bahwa mereka tidak bisa
mencabut akar identitas Islam dan kepribadian Islam dalam tubuh umat ini. Akhirnya
penjajah itu pun pergi dan kaum muslimin dengan segala keberadaannya tetap Islam.
Kemurtadan Terselubung
Inilah kemurtadan dalam bentuk pemikiran, yang pengaruhnya negatifnya dapat dilihat setiap
hari di surat kabar, buku-buku, majalah, dan televisi.
Kita dituntut untuk memerangi mereka dengan senjata seperti yang mereka pergunakan;
melawan pemikiran dengan pemikiran, hingga tersingkaplah kebatilan mereka.
Wallahu A‘lam.