132
i DISERTASI PERANRESEPTOR NIKOTINIK ASETILKOLIN α1 SPINKTER ATAS ESOFAGUS PADA PATOMEKANISME REFLUKSLARINGOFARINGEAL :KAJIAN TERHADAP RESEPTOR, PEPSIN, DERAJAT KELUHAN DAN TEMUAN ENDOSKOPIK EFFECT OF NICOTINIC ACETYLCHOLINE RECEPTOR α1 IN UPPER ESOPHAGEAL SPINCHTER ON LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX : STUDY ON RECEPTOR, PEPSIN, SYMPTOM GRADING AND ENDOSCOPIC FINDING M.AMSYAR AKIL P0200306013 PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012

DISERTASIdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital...i DISERTASI PERANRESEPTOR NIKOTINIK ASETILKOLIN α1 SPINKTER ATAS ESOFAGUS PADA PATOMEKANISME REFLUKSLARINGOFARINGEAL

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • i

    DISERTASI

    PERANRESEPTOR NIKOTINIK ASETILKOLIN α1 SPINKTER ATAS ESOFAGUS PADA PATOMEKANISME

    REFLUKSLARINGOFARINGEAL :KAJIAN TERHADAP RESEPTOR,

    PEPSIN, DERAJAT KELUHAN DAN TEMUAN ENDOSKOPIK

    EFFECT OF NICOTINIC ACETYLCHOLINE RECEPTOR α1 IN UPPER ESOPHAGEAL SPINCHTER ON LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX :

    STUDY ON RECEPTOR, PEPSIN, SYMPTOM GRADING AND

    ENDOSCOPIC FINDING

    M.AMSYAR AKIL

    P0200306013

    PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

    MAKASSAR 2012

  • ii

    ABSTRAK

    M.AMSYAR AKIL. Peran Reseptor Nikotinik Asetilkolin subunit α1 Spinkter Atas Esofagus pada Patomekanisme Refluks Laringofaringeal : Kajian terhadap Reseptor, Pepsin, Derajat Keluhan dan Temuan Endoskopi (dibimbing oleh Syarifuddin Wahid, Abdul Qadar Punagi dan Agussalim Bukhari)

    Refluks isi lambung ke rongga laring-faring diduga disebabkan oleh hipotoni SAE. Materi refluks, berupa asam-pepsin dapat menimbulkan jejas dan keluhan RLF. Berkurangnya kemampuan kontraksi SAE dapat disebabkan oleh kelemahan otot-otot SAE yang banyak dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, penyakit neuromuskular baik yang didapat maupun diturunkan.Kontraksi otot-otot SAE terjadi akibat adanya aksi potensial yang dicetuskan oleh ikatan antara neurotransmiter asetilkolin pada reseptor nikotinik asetilkolin subunit α1 (nACh α1). Diduga refluks isi lambung berhubungan dengan hipotoni SAE akibat berkurangnya reseptor nACh α1

    Penelitianpotong lintang yang dilakukan di RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS. Ibnu Sina di Makassar terhadap 57 penderita yang dibagi atas kelompok RLF dan non-RLF berdasarkan penilaian terhadap RSI, RFS dan pepsin. Biopsi SAE dilakukan untuk mengidentifikasi reseptor nACh α1 . Pemeriksaan ELISA digunakan untuk menilai kadar si pepsin dan reseptor nACh α1. Data dianalisis dengan menggunakan analisis statistik melalui uji distribusi frekuensi dan uji korelasi

    Ekspresi reseptor nACh α1 yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya RLF pada kelompok umur ≤ 45 tahun (OR=4,0; 95% IK=0,39-41,23).Pada RLF kelompok umur ≤ 45 tahun terdapat hubungan antara ekspresi reseptor nACh α1 dengan kadar pepsin, nilai RSI dan RFS (p < 0,005). Kadar pepsin penderita RLF kelompok umur ≤ 45 tahun berhubungan nilai RSI dan RFS (p

  • iii

    ABSTRACT

    M.AMSYAR AKIL. The Role of Nicotinic Acetylcholine Receptor α1

    Subunit in Upper Esophageal Spinchter on Laringopharyngeal Reflux

    Pathomechanism : Studies on Receptor, Pepsin, Complaints of Degree

    and Endoscopic Findings (supervised by Syarifuddin Wahid, Abdul

    Qadar Punagi and Agussalim Bukhari)

    Reflux of gastric contents into the larynx-pharynx cavity caused by

    hypotoni of UES. Acid-pepsin as a material reflux give will give symptoms

    and signs of LPR. Reduced ability of UES contraction could be caused by

    weakness of the muscles of UES, which influenced by multiple factors

    such as age, gender, neuromuscular disease either acquired or genetic .

    Contraction of UES muscle induced by potential action when the

    neurotransmitter acetylcholine bound to the nicotinic acetylcholine receptor

    α1 subunit (nAChR α1). Presumably,reflux of gastric contentsassociated

    with hypotoni of UES due to reduced of nAChR α1

    Cross sectional study was performed at Dr.Wahidin

    Sudirohusodoho and Ibnu Sina hospital in Makassar. Fifty-seven patients

    were divided into a reflux group and non-reflux group based on the RSI ,

    RFS and pepsin . Biopsy of upper esophageal spinchter was performed on

    both of group to identification of nAChR α1. Enzym linked immunosorbent

    assay was used to measure the pepsin and nAChR α1 concentration.

    Data were analyzed by using statistical analysis through correlation test

    followed by a linear regression test.

    Low expression of nACh α1 receptor is risk factors for the

    occurrence of RLF in the age group ≤ 45 years (OR = 4.0, 95% CI = 0.39

    to 41.23). On LPR group,there is relationship betweenlow expression of

    nACh α1 receptor with level of pepsin, scoring RFSand RSI (p

  • iv

    DAFTAR ISI

    halaman

    HALAMAN JUDUL …………………………………………….. i

    HALAMAN PENGESAHAN ii

    ABSTRAK iii

    ABSTRACT iv

    DAFTAR ISI ………………………………………………. v

    DAFTAR GAMBAR………………………………………………. vii

    DAFTAR TABEL………………………………………….. viii

    DAFTAR GRAFIK ix

    DAFTAR SINGKATAN……………………………………… x

    I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang……………………………………….. 1

    B. Rumusan Masalah…………………………………… 6

    C. Tujuan Penelitian…………………………………….. 7

    D. Manfaat Penelitian 8

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. Definisi………………………………………………… 9

    B. Profil Refluks Laringofaringeal …………….. 9

    C. Mekanisme Refluks Gastroesofageal 15

    D. Mekanisme Regurgitasi Esofago-faringeal . 21

    E. Spinkter Atas Esofagus (SAE)…………………… 24

    F. Reseptor Nikotinik Asetilkolin …………………. 36

    G. Kontraksi Otot Skelet 42

    H. Kelainan pada Reseptor nACh tipe Muskular 45

    I. Anatomi Esofagus 50

  • v

    III. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

    A. Kerangka Teori………………………………………. 57

    B. Kerangka Konsep………………………………… 58

    C. Hipotesis Penelitian………………………………… 59

    IV. METODE PENELITIAN

    A. Jenis dan Desain Penelitian……………………….. 60

    B. Tempat dan Waktu Penelitian……………………….. 60

    C. Populasi dan Sampel Penelitian 60

    D. Perkiraan Besar Sampel………………………… 62

    E. Kriteria Subyek Penelitian…………………………... 62

    F. Ijin Penelitan… …………………………………… 63

    G. Bahan dan Cara Penelitian……………………….. 63

    H. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif ……. 72

    I. Analisis Data………………………………………… 75

    J. Alur Penelitian……………………………………… 76

    V. HASIL

    A. Karakteristik Umum Sampel…………………….. 77

    B. Hubungan Antar Variabel………………………... 79

    VI. PEMBAHASAN……………………………………………… 86

    VII. PENUTUP

    A. Ringkasan 94

    B. Kesimpulan……………………………………….. 95

    C. Saran……..……………………………………….. 95

    DAFTAR PUSTAKA………………….………………………… 97

    LAMPIRAN ………………………………….…………….. 107

  • vi

    DAFTAR GAMBAR

    nomor halaman

    1. Anatomi otot-otot pembuka dan penutup SAE 28

    2. Susunan dasar reseptor nikotinik asetilkolinα1 39

    3. Mekanisme pembukaan saluran ion 41

    4. Proses terjadinya kontraksi otot 44

    5. Topografi esofagus 55

  • vii

    DAFTAR TABEL

    nomor halaman

    1. Reflux Symptom Index (RSI) 14

    2. Reflux Finding Score (RFS) 15

    3. Karakteristik sampel penderita RLF dan non-RLF 79

    4. Deskriptif variabel penelitian 79

    5. Hubungan antara rendahnya ekspresi reseptor nACh α1 dengan

    kejadian RLF 80

    6. Hubungan antara jenis kelamin dengan ekspresi reseptor nACh α1, kadar pepsin, RSI dan RFS 81 7. Hubungan antara umur dengan ekspresi reseptor nACh α1, kadar

    pepsin, RSI dan

    82

    8. Hubungan ekspresi reseptor nACh α1 dengan kejadian RLF berdasarkan kelompok 83 9. Hubungan antara ekspresif reseptor nACh α1 dengan kadar pepsin, RFS dan RSI menurut kelompok umur penderita RLF 84

    10. Hubungan antara kadar pepsin saliva dengan RFS dan RSI menurut kelompok umur pada penderita RLF 85

  • viii

    DAFTAR GRAFIK

    nomor halaman

    1. Perubahan ekspresi reseptor nACh α1 berdasarkan umur 82

  • ix

    DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

    Lambang/singkatan Arti dan keterangan

    Ach : Acetylcholine

    ADP : Adenosin diphosphate

    ATP : Adenosin triphosphate

    ATPase : Adenosin triphosphatase

    CA III : Carbonic Anhidrase III

    cAMP : cyclic Adenosin monophosphate

    CAgA+ : capsid antigen A+

    CGRP : Calcitonin gene-related peptide

    CP : Cricopharyngeus

    ELISA : Enzyme-Linked Immunosorbent Assay

    EMG : Electromyography

    EPP : End Plate Potential

    GPN : Glossopharyngeus nerve

    HRP-avidin : Horseradish Peroxidase-avidin

    H.pylori : Helicobacter pylori

    IPC : Inferior pharyngeal contrictor nerve

    LBS : Ligand Binding Site

    LPR : Laryngopharyngeal reflux

    mABs : monoclonal antibodies

    MG : Myasthenia gravis

    MIR : Main Immunogenic Region

    MRI : Magnetic resonance imaging

    MuSK : Muscle-specific tyrosine kinase

    NAChR : Nicotinic acetylcholine receptor

    NMJ : Neuromuscular junction

    PEN : Pharyngoesophageal nerve

    PET : Positron emission tomography

    Pi : inorganic Phosphate

    PPI : Proton Pump Inhibitor

    PRGE : Penyakit refluks gastroesofageal

    RFS : Reflux finding score

    RGE : Refluks gastroesofageal

  • x

    RLN : Reccurens laryngeal nerve

    RLF : Refluks laringofaringeal

    RSI : Reflux symptom index

    SAE : Spinkter atas esofagus

    SBE : Spinkter bawah esofagus

    SMK : Sindroma Miastenik Kongenital

    SLN : Superior laryngeal nerve

    SSP : Susunan saraf pusat

    TLESr : Transient Lower Esophagus Spinchter

    relaxation

    TM : Transmembran

    TMB : Tetramethylbenzidine

    VIP : Vasoactive intestinal polypeptide

    ZTTEA : Zona tekanan tinggi esophagus bagian

    atas

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Refluks laringofaringeal (RLF) adalah aliran balik asam lambung ke

    daerah laringofaring, dengan karakteristik gejala suara serak, throat

    clearing, sekret di belakang hidung, kesulitan dalam proses menelan,

    batuk setelah makan/berbaring, tersedak, batuk kronik, dan perasaan

    mengganjal di tenggorok.Keadaan ini diduga sebagai salah satu

    penyebab timbulnya penyakit-penyakit pada laring, termasuk refluks

    laringitis, stenosis subglottik, karsinoma laring, ulkus/granuloma

    kontak,nodul pita suara dan fiksasi arytenoid (Wang

    dkk.,2010;Belafskydkk.,2001). Beberapa istilah yang sering digunakan

    untuk menggambarkan kelompok keluhan dan tanda penyakit ini ialah

    penyakit refluks supraesofageal, penyakit refluks laringitis, dan komplikasi

    ekstaresofageal penyakit refluks gastresofageal (PRGE).

    Diperkirakan 4-10% penderita yang dirujuk ke dokter spesialis THT

    mempunyai keluhan yang berhubungan dengan RLF(Christian dan

    Peter,2008). Beberapa penelitian melaporkan sekitar 50-80% penderita

    asma, 10-20% batuk kronis, 25-50% dengan sensasi globus dan hampir

    80% penderita dengan suara serak mempunyai hubungan dengan RLF

    (Koufmandkk., 1996;Hawkins, 1997;Hopkinsdkk.,2005). Berdasarkan

    penelitian dengan menggunakan pH probe yang dikonfirmasi dengan

  • 2

    kasus-kasus RLF, Belafsky dkk (2002) mengembangkan suatu sistem

    skoring yang dinamakan Reflux Symptom Index (RSI), skoring ini dapat

    membantu klinisi dalam menilai berat ringannya penyakit sebelum dan

    sesudah terapi. Nilai RSI lebih besar dari 13 dianggap abnormal. Selain

    RSI, Belafsky dkk.(2001) juga telah mengembangkan Reflux Finding

    Score (RFS) untuk menilai berat ringannya gambaran klinis kelainan laring

    berdasarkan pemeriksaan laringoskopi fiberoptik. Skor maksimum dari

    RFS adalah 26 dan bila skor 7 atau lebih dapat didiagnosa sebagai RLF

    (Belafsky dkk., 2001;Ford, 2005).

    Pepsin telah lama diketahui sebagai penyebab timbulnya keluhan-

    keluhan yang berkaitan dengan refluks,oleh karena pepsin tidak disintesis

    oleh tipe sel apapun dalam saluran napas, maka adanya pepsin pada

    saluran nafas merupakan bukti nyata bahwa pepsin tersebut berasal dari

    refluks isi lambung ke laringofaring, oleh karena itu pengukuran pepsin

    pada saliva dan sekret saluran nafas dapat menjadi petanda diagnostik

    yang sensitif pada RLF. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa

    mukosa laring lebih sensitif pada pemaparan asam-pepsin dibandingkan

    mukosa esofagus oleh karena mukosa laringfaring tidak mempunyai

    barrier pertahanan yang sama dengan mukosa esofagus yang memang

    dipersiapkan untuk mengantisipasi adanya asam-pepsin (Koufman, 1991).

    Terapi supresi asam dengan pemberian Proton Pump Inhibitor (PPI)

    sebagai terapi pilihan, masih diperdebatkan oleh karena efektivitas

    penggunaan obat ini dari satu penelitian ke penelitian lainnya

  • 3

    menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Beberapa penelitian secara

    statistik memperlihatkan perbaikan terhadap keluhan dan kelainan laring

    setelah pemberian PPI selama 6-24 minggu.(Ulualp dkk,2001;Delgadio

    dkk,2003; Park dkk, 2005;Siupsinskiene dkk., 2007). Penelitian prospektif

    dengan skala besar terhadap 145 pasien dengan membandingkan efek

    pemberian esomeprazole selama 16 minggu dengan plasebo

    menunjukkan resolusi keluhan primer RLF hanya 14,7% dibandingkan

    dengan kelompok plasebo sebesar 16% (Vaezi dkk., 2006;Gatta dkk.,

    2007). Penelitian-penelitian ini juga menunjukkkan kegagalan PPI yang

    disebabkan oleh timbulnya fenomena rebound acid hypersecretion setelah

    penghentian PPI (Wo dkk., 2006). Faktor lain kegagalan PPI sebagai

    terapi supresi asam yaitu tidak memberikan respon terhadap kandungan

    refluks selain pepsin seperti asam lemah yang berasal dari asam empedu

    yang turut berperan dalam timbulnya keluhan RLF (Mainie dkk., 2006).

    Selain itu pula PPI tidak mengurangi episode refluks yang terjadi tetapi

    hanya mengubah kondisi keasaman refluks menjadi tidak asam atau

    sedikit asam (Tamhankar dkk., 2004). belum memuaskan

    Sejak akhir tahun 1960, refluks asam dan pepsin gastroesofageal

    diduga terlibat dalam patogenesis terjadinya gangguan ekstraesofageal.

    Meskipun hubungan sebab akibat terjadinya telah diperkuat oleh

    beberapa penelitian,namun fakta-fakta yang mendasari terjadinya RLF

    masih tetap berkembang.(Cherry J., Margulies SI. 1968). Refluks asam

    dan pepsin bisa mencapai rongga laringofaringeal oleh karena kelemahan

  • 4

    otot SAE yang tidak dapat mempertahankan kontraksi pada waktu

    episode refluks gastroesofageal. Teori lain yang menjelaskan terjadinya

    mekanisme regurgitasi pada RLF adalah akibat pajanan asam pada distal

    esofagus akan merangsang kemoreseptor pada mukosa esofagus dan

    memicu aktivasi refleks vagus yang menyebabkan terjadinya spasme

    bronkus, batuk, sering meludah, sehingga terjadi inflamasi pada laring dan

    faring. (Ford, 2005).

    Satu-satunya neurotransmiter utama yang ditemukan pada otot-otot

    yang membuka maupun menutup SAE adalah asetilkolin yang bekerja

    melalui reseptor nikotinik asetilkolin (Tadaki dkk.,1995). Reseptor nikotinik

    asetilkolin (nACh) adalah reseptor kolinergik yang membentuk ligand-gate

    ion channel pada serabut otot. Reseptor ini bekerja akibat adanya ikatan

    dengan neurotransmiter asetilkolin. Reseptor nACh banyak ditemukan

    pada sistem saraf dan otot dan merupakan reseptor ionotropik yang

    terbaik untuk dikaji. Stimulasi reseptor nACh yang terdapat pada

    neuromuscular junction otot somatik dapat menyebabkan kontraksi otot.

    Berdasarkan tempat ekspresinya reseptor nikotinik asetilkolin terbagi atas

    dua subtipe yaitu tipe neuronal dan muskular. Otot-otot SAE merupakan

    jenis otot skelet/rangka yang diperantarai oleh reseptor nikotinik asetilkolin

    tipe muskularis yang terdiri dari subunit α1, β1, δ, ε/γ. Subunit α1

    dikatakan sebagai bagian yang prinsipil pada reseptor muskularis nikotinik

    asetilkolin sebab tempat terikatnya neurotransmiter asetilkolin dengan

    reseptor (binding pocket) berada pada subunit ini yaitu diantara subunit

  • 5

    α1/δ dan α1/γ. Aktivasi reseptor oleh asetilkolin menyebabkan terjadinya

    influks Na sehingga terjadi depolarisasi dari sel membran otot.

    Depolarisasi menyebabkan terjadinya aksi potensial sepanjang membran

    post sinaptik sehingga terjadi interaksi antara aktin-miosin yang

    menimbulkan kontraksi otot. PKelainan yang terjadi pada kualitas dan

    kuantitas reseptor muskular nikotinik asetilkolin reseptor akan

    menyebabkan terjadinya gangguan pada otot.(Kalamida D dkk.,2007)

    Penelitian pada reseptor nACh tipe muskular pada saat ini terbatas

    pada kelainan-kelainan neuromuskular yang biasanya merupakan

    penyakit turunan atau dapatan, yang dapat menyebabkan gangguan

    transmisi neuromuskular dan kelemahan otot. Penyakit autoimun

    Miastenia Gravis (MG) merupakan penyakit yang paling umum dan

    biasanya disebabkan oleh adanya autoantibodi pada reseptor nACh

    sedangkan yang bersifat turunan seperti Sindroma Miastenik Kongenital

    (SMK) jarang ditemukan dan biasanya bersama-sama dengan kelainan

    berat yang mempengaruhi pelepasan ACh, aktivitas asetilkolinesterase,

    fungsi dan jumlah reseptor nACh (Conti-Fine BM dkk.,2006; Vincent A

    dkk.,2001; Engel AG dkk.,2005)

    Dari fakta-fakta yang telah dipaparkan diatas dan sejauh

    penelusuran kepustakaan hingga saat ini peneliti belum menemukan

    publikasi hasil penelitian atau data mengenai kajian reseptor nikotinik

    asetilkolin α1 pada SAE yang berhubungan dengan RLF. Peneliti

    menduga bahwa kelemahan kontraksi SAE berhubungan dengan

  • 6

    berkurangnya ekspresi reseptor nikotinik asetilkolin α1 sehingga terjadi

    refluks isi lambung ke ruang laring-faring. Apakah berkurangnya ekspresi

    reseptor nikotinik asetilkolin α1 spinkter atas esofagus berperan pada

    patomekanisme refluks laringofaringeal, oleh sebab itu peneliti tertarik

    untuk membuktikan hipotesis ini.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka

    masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

    Apakah reseptor nACh berperan pada patomekanisme terjadinya

    RLF dan bagaimana hubungannya dengan kadar pepsin, derajat keluhan

    dan banyaknya kelainan yang ditemukan pada laring ?

    Dari rumusan masalah tersebut dapat diuraikan menjadi beberapa

    pertanyaan sebagai berikut :

    a. Apakah ekspresi reseptor nikotinik asetilkolin α1 spinkter atas

    esofagus yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya RLF ?

    b. Apakah ekspresi reseptor nikotinik asetilkolin α1 spinkter atas

    esofagus yang rendah berhubungan dengan nilai RFS (skoring

    temuan endoskopik) penderita RLF ?

    c. Apakah ekspresi reseptor nikotinik asetilkolin α1 spinkter atas

    esofagus yang rendah berhubungan dengan nilai RSI (skoring

    keluhan) penderita RLF ?

  • 7

    d. Apakah ekspresi reseptor nikotinik asetilkolin α1 spinkter atas

    esofagus yang rendah berhubungan dengan kadar pepsin di

    saliva penderita RLF ?

    e. Apakah kadar pepsin saliva berhubungan dengan nilai RFS

    (skoring temuan endoskopik) penderita RLF ?

    f. Apakah kadar pepsin saliva berhubungan dengan nilai RSI

    (skoring keluhan) penderita RLF ?

    C. Tujuan Penelitian

    1. Tujuan Umum

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan reseptor

    nikotinik asetilkolin α1 spinkter atas esofagus dalam

    patomekanisme terjadinya RLF dan hubungannya dengan kadar

    pepsin, derajat keluhan dan banyaknya kelainan laring yang

    ditemukan .

    2. Tujuan Khusus

    a. Diketahuinya hubungan antara rendahnya ekspresi reseptor

    nikotinik asetilkolin α1 pada spinkter atas esofagus dengan

    tingginya risiko terjadinya refluks

    b. Diketahuinya hubungan antara rendahnya ekspresi reseptor

    nikotinik asetilkolin α1 pada spinkter atas esofagus dengan

    nilai RFS (skoring temuan endoskopik) penderita RLF

  • 8

    c. Diketahuinya hubungan antara rendahnya ekspresi reseptor

    nikotinik asetilkolin α1 pada spinkter atas esofagus dengan nilai

    RSI (skoring keluhan) penderita RLF

    d. Diketahuinya hubungan antara rendahnya ekspresi reseptor

    nikotinik asetilkolin α1 pada spinkter atas esofagus dengan

    kadar pepsin di saliva penderita RLF

    e. Diketahuinya hubungan antara tingginya kadar pepsin saliva

    dengan nilai RFS (skoring temuan endoskopik) penderita RLF

    f. Diketahuinya hubungan antara tingginya kadar pepsin saliva

    dengan nilai RSI (skoring keluhan) penderita RLF

    D. Manfaat Penelitian

    Manfaat yang diharapan dari penelitian ini adalah :

    a. Memberikan informasi dan pemahaman mengenai peran reseptor

    nikotinik asetilkolin α1 pada SAE dalam patomekanisme terjadinya

    RLF.

    b. Menemukan strategi baru dalam pengembangan model

    penatalaksanaan penyakit RLF yang lebih komprehensif dengan

    target pada reseptor nAChα1

    c. Sebagai langkah awal untuk pengembangan penelitian penemuan

    obat-obatan yang efektif dan efisien dalam menangani penderita

    RLF.

  • 9

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Definisi

    Terminologi refluks berasal dari bahasa latin yaitu re (balik) dan

    fluere (mengalir) yang berarti aliran balik. Terminologi refluks

    gastroesofageal (RGE) berarti aliran balik isi lambung ke dalam esofagus.

    RGE merupakan suatu proses fisiologis dan dapat terjadi sampai 50

    episode perhari, timbul hampir setiap selesai makan dan dianggap suatu

    proses normal. Penyakit Refluks Gastroesofageal (PRGE) adalah suatu

    terminologi klinis yang berarti RGE yang berlebihan dan menyebabkan

    kerusakan jaringan (esofagitis) dan/atau menimbulkan gejala klinis berupa

    rasa terbakar di dada (heartburn) (Kaszuba, 2004;Murray, 2008;Handa,

    2005). Refluks laringofaringeal (RLF) atau laryngopharyngeal reflux (LPR)

    adalah aliran balik isi lambung ke rongga laring-faring yang menimbulkan

    jejas pada mukosa laring-faring dan saluran napas bagian atas. Keluhan

    fungsional dan struktural laring-faring akibat RLF adalah : suara serak,

    sensasi globus, sekret di belakang hidung, batuk kronik, mendehem, sulit

    menelan, halitosis, rinosinusitis kronik, laringomalasia, stenosis laring dan

    karsinoma laring.(Ford, 2005;Postma, 2002;Kaszuba, 2004)

    B. Profil Refluks Laringofaringeal

    Koufman (2002), pertama kali memperkenalkan istilah Refluks

    Laringofaringeal dan menegaskan adanya perbedaan antara RLF dengan

  • 10

    PRGE berdasarkan penelitian berseri terhadap 899 penderita dengan

    keluhan laring. Sebanyak 87% penderita didiagnosis sebagai RLF

    sedangkan 3% sebagai PRGE. Selain itu, hanya 20% penderita dengan

    keluhan rasa terbakar didada yang didiagnosis RLF sebaliknya 83%

    didiagnosis sebagai PRGE.(Koufman, 2002;Ford, 2005)

    Pada traktus aerodigestif terdapat 4 barier fisiologis yang

    melindungi traktus aerodigestif bagian atas dari refluks asam yaitu spinkter

    bawah esofagus (SBE), fungsi motorik esofagus yang berperan dalam

    pembersihan asam(esophageal acid clearance), ketahanan mukosa

    esofagus (esophageal mucosal tissue resistance) dan spinkter atas

    esofagus (SAE). PRGE terjadi bila pertahanan fisiologis tersebut

    terganggu sehingga terjadi peningkatan frekuensi refluks dengan waktu

    paparan asam (pH < 4) melebihi 5 % selama periode 24 jam yang diukur

    dengan alat pemantau pH intraesofagus, (Kaszuba,

    2004;Murray,2008;Handa,2005).

    RLF umumnya terjadi pada posisi tegak (upright reflux), sedangkan

    RGE pada posisi baring (nocturnal reflux). Refluks asam-pepsin dari

    lambung ke dalam esofagus terjadi sampai 50 kali dalam sehari masih

    dianggap normal sebaliknya refluks yang terjadi sampai 3 kali perminggu

    pada laring sudah dapat melukai mukosa laring. Pada penderita PRGE,

    keluhan dan gejala klinik terjadi setelah terpapar bahan – bahan refluksat

    dalam jangka waktu lama, sedangkan pada RLF tidak membutuhkan

    waktu yang lama. Mukosa pada struktur laringofaringeal lebih sensitif

  • 11

    terhadap asam dan enzim pencernaan dibandingkan mukosa esofagus,

    walaupunrefluks yang terjadi dalam jumlah kecil, sudah dapat

    menimbulkan kerusakan dan iritasi yang signifikan, sehingga pasien

    dengan RLF sering mengeluhkan gangguan laring dibanding heartburn

    atau gejala regurgitasi. (Koufman,1991;Ford, 2005)

    Pada PRGE selain gangguan motilitas dan perpanjangan klirens

    esofagus, juga terjadi gangguan pada spinkter bawah esofagus. Pada

    RLF, seringkali didapatkan motilitas esofagus yang normal dan kelainan

    utamanya terletak di spinkter atas esofagus.(Koufman, 1991;Postma

    2000).Perbedaan RLF dengan PRGEjuga pada mekanisme perlindungan

    mukosa terhadap pajanan asam-pepsin. Pada esofagus, ion bikarbonat

    yang dihasilkan secara aktif akan dipompa keluar sel melalui saluran

    anion ke ruang ekstraseluler yang kemudian menetralkan ion H + dan

    menyebabkan peningkatan pH ekstraseluler. Mekanisme pertahanan

    mukosa laring terhadap refluks diperantarai oleh enzim carbonic

    anhidrase III (CAIII) yang terdapat pada mukosa bagian posterior laring.

    Enzim ini mengkatalis karbon dioksida untuk menghasilkan bikarbonat

    yang diperlukan untuk menetralisir asam refluks. CA III juga berperan

    penting dalam mengendalikan pH internal dengan cara menetralkan

    proton intrasel . Ekspresi Isoenzim ini sangat tinggi pada epitel laring

    normal tetapi pada RLF sekitar 64% isoenzim ini tidak terekspresi.

    Ekspresi isoenzim ini jugameningkat pada mukosa esofagus sebagai

    respon terhadap refluksat sedangkan pada laring terjadi deplesi CA III

  • 12

    pada paparan kronik refluksat (Ford, 2005;Halum dkk.,2005;Johnston

    N,dkk.2007).

    Diagnosis RLFsulit ditegakkan oleh karena setiap gejala iritasi

    kronis pita suara dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :

    merokok, pengunaan suara yang berlebihan, alkohol, infeksi dan alergi.

    Riwayat penyakit penderita seringkali tidak cukup untuk menentukan

    apakah gejala yang timbul berhubungan dengan RLF . Banyak keluhan

    penderita yang dicurigai sebagai komplikasi ekstraesofageal PRGE tidak

    mempunyai keluhan esofageal. Survei internasional yang dilakukan oleh

    American Bronchoesophagological Association menemukan bahwa

    keluhan yang paling umum pada RLF adalah mendehem (throat clearing)

    (98%), batuk persisten (97%), globus faringeus (95%) dan suara serak (

    95%) (Book,dkk 2002)

    Meskipun pengawasan pH 24 jam dengan probe ganda masih

    merupakan pemeriksaan baku emas untuk RLF tetapi masih sangat jauh

    dari pemeriksaan ideal yang diharapkan oleh karena sensitivitas pH metri

    yang rendah dan hasil negatif palsu sekitar 50-80%, tidak semua orang

    nyaman dengan pemeriksaan tersebut, alatnya masih terbatas, relatif

    mahal, sehingga masih dibutuhkan peralatan yang lebih sensitif, non-

    invasif dan tidak terlalu mahal untuk pemeriksaan RLF.

    (Vaezydkk.,2003;Koufmandkk., 1991;Postma,2000),

    The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery

    position statement on LPR menyatakan bahwa diagnosis RLF dapat

  • 13

    ditegakkan secara empiris berdasarkan gejala dan pemeriksaan laring

    (Koufman dkk., 2002). Belafsky,dkk (2002) mengembangkan suatu

    skoring yang dinamakan Reflux Symptom Index (RSI) / Indeks Gejala

    Refluks untuk membantu klinisian dalam mendiagnosis RLF. Pada skoring

    ini penderita disuruh menggunakan skala 0-5 untuk menggambarkan berat

    ringannya gejala-gejala yang meliputi : suara serak, mendehem,lendir di

    belakang hidung,sulit menelan, batuk sehabis makan/berbaring, kesulitan

    bernapas atau tersedak, batuk yang mengganggu, perasaan mengganjal

    di tenggorok, dan rasa panas didada. RSI pada penderita RLF yang tidak

    diterapi, secara signifikan meningkat dibandingkan dengan kontrol (21,2

    vs 11,6; P 13 (Belafsky dkk., 2002;Hopkin dkk.,2005).

    Tanda-tanda tidak khas dari iritasi atau inflamasi laring seringkali

    terlihat pada pemeriksaan laringoskopi. Meskipun tidak patognomonis,

    beberapa gejala seperti penebalan, kemerahan dan edema yang

    terkonsentrasi pada bagian posterior laring perlu dicurigai sebagai RLF

    (Yitallo dkk.,2001).

    Granuloma kontak yang dikonfirmasi dengan monitoring pH

    ditemukan sebanyak 65%-74% pada penderita RLF. Kekerapan adanya

    pseudosulkus (edema subglotik) dilaporkan hampir sebesar 90% pada

    penderita RLF. Meskipun sensitifitas dan spesifisitas pseudosulkus pada

  • 14

    penderita RLF sebesar 70%-77%, tetapi dapat digunakan untuk

    mendiagnosis RLF.(Ford, 2005)

    Tabel 1. Reflux Symptom Index(RSI)

    Dalam 1 bulan terakhir

    0 = tidak ada keluhan

    5 = keluhan berat

    1. Apakah suara anda serak atau mengalami problem dengansuara ?

    0 1 2 3 4 5

    2. Apakah anda sering berdehem untuk mengeluarkan lendir di tenggorokan?

    0 1 2 3 4 5

    3. Apakah anda merasa banyak lendir di tenggorokan ? 0 1 2 3 4 5

    4. Apakah anda kesulitan menelan makanan padat, cair atau pil obat ?

    0 1 2 3 4 5

    5. Apakah anda terbatuk setelah makan atau saat berbaring ? 0 1 2 3 4 5

    6. Apakah anda merasa sulit bernapas atau mengalami episode tersedak?

    0 1 2 3 4 5

    7. Apakah anda mengalami batuk lama ? 0 1 2 3 4 5

    8. Apakah anda merasa ada yang mengganjal di tenggorokan ? 0 1 2 3 4 5

    9. Apakah anda mengalami nyeri dada, rasa terbakar atau rasa asam di tenggorokan?

    0 1 2 3 4 5

    *Belafsky dkk., 2002

    Oleh karena tidak adanya tanda-tanda patognomonis RLF, Belafsky

    dkk,(2001)mengembangkan suatu skoring berdasarkan hasil temuan

    laringoskopi yang dapat digunakan untuk menilai dan memantau

    keberhasilan pengobatan pada RLF. Skoring ini dinamakan Reflux Finding

    Score (RFS) / Skor Temuan Refluks yang terdiri dari 8 gejala klinis laring

    yaitu : edema subglottik, obliterasi ventrikular, eritema/hiperemis, edema

    pita suara, edema laring difus, hipertrofi komisura posterior dan penebalan

    endolaring. Dikatakan sebagai RLF bila nilai RFS ≥ 7 (Belafsky dkk.,2001)

  • 15

    Tabel 2. Reflux Finding Score (RFS)

    *Belafsky dkk., 2001

    C. Mekanisme Refluks Gastroesofageal

    Penyakit refluks gastroesofageal (PRGE) adalah penyakit umum

    yang dapat mengenai setiap segmen populasi. Secara tradisional

    pengobatannya lebih banyak ditujukan pada asam lambung sebagai faktor

    penyebab. Pada dasarnya terdapat banyak faktor yang berperan pada

    mekanisme terjadinya RGE dan jejas pada mukosa. Pada keadaan normal

    Temuan Skor

    Edema subglottik 0 = tidak ada

    2 = ada

    Obliterasi ventrikular 0 = tidak ada

    2 = partial

    4 = komplit

    Erytema/hiperemis 0= tidak ada

    2= hanya arytenoid

    4= difus

    Edema pita suara 0= tidak ada

    1= ringan

    2= sedang

    3= berat

    4= polipoid

    Edema laring menyeluruh 0= tidak ada

    1= ringan

    2= sedang

    3= berat

    4= obstruktif

    Hipertrofi kommisura posterior 0= tidak ada

    1= ringan

    2= sedang

    3= berat

    Mukus endolaring 0= tidak ada

    2=ada

    Granuloma /jaringan granulasi

    Pada laring

    0= tidak ada

    2=ada

  • 16

    terdapat keseimbangan antara mekanisme agresif dan defensif. Bila

    keseimbangan ini terganggu, dapat menimbulkan PRGE.

    1. Faktor gastroduodenal

    a. Kandungan lambung

    Mukosa lambung memiliki dua tipe kelenjar tubuler yaitu kelenjar

    gastrik dan kelenjar pilorik. Kelenjar gastrik memiliki tiga jenis sel yaitu :

    mucous neck cell yang menghasilkan mukus, sel peptik (chief) yang

    mensekresi sejumlah besar pepsinogen, dan sel parietal yang mensekresi

    asam klorida dan faktor intrinsik. Fakta-fakta klinis dan studi eksperimental

    memberikan bukti kuat peranan pespin dan asam dalam terjadinya PRGE.

    Asam sendiri hanya dapat menimbulkan jejas pada mukosa pada pH

    sangat rendah (pH 1-2). Dengan kata lain kombinasi asam dengan pepsin

    meskipun dengan kadar pepsin yang kecil dapat menyebabkan jejas yang

    cukup berat. Asam dapat merusak sel oleh karena kandungan ion

    hidrogennya dapat menimbulkan gangguan regulasi volume sel yang

    berakibat timbulnya edema sampai nekrosis sedangkan pepsin pada

    suasana asam (pH

  • 17

    Pepsin merupakan suatu acidic protease. Saat pertama kali

    diproduksi, pepsinogen tidak memiliki aktivitas digestif. Saat kontak

    dengan asam klorida yang disekresi oleh sel parietal lambung,

    pepsinogen menjadi pepsin yang aktif dalam mencerna protein.Pada

    saluran pencernaan terdapat enzim lain yang juga berfungsi mencerna

    protein (proteolytic enzyme) yaitu chymotripsin dan trypsin. Selama proses

    pencernaan berlangsung, enzim-enzim ini mencerna protein menjadi

    komponen-komponen yang dapat diabsorpsi tubuh seperti peptida dan

    asam-asam amino. Dibutuhkan pepsin aktif untuk menimbulkan jejas pada

    mukosa laring-faring. Aktivitas maksimum pepsin terjadi pada pH 2.0 dan

    inaktif pada pH 6,5 atau lebih tinggi. Meskipun pepsin inaktif pada pH

    tersebut, tetapi tetap stabil sampai pH 8.0 dan kembali reaktif bila terjadi

    penurunan pH. Pepsin tetap stabil selama kurang lebih 24 jam pada pH

    7.0 (Johnston N dkk.,2007).

    b. Kandungan duodenum

    Asam empedu dan enzim pankreas dapat berpindah dari

    duodenum melewati pilorus masuk ke dalam lambung dan bercampur

    dengan sekresi lambung. Peranan asam empedu dan enzim tripsin pada

    perlukaan mukosa masih diperdebatkan. Perlukaan mukosa yang

    disebabkan oleh asam empedu tergantung pada bentuk asam empedu.

    Asam empedu tidak terkonyugasi dapat menyebabkan perlukaan pada

    suasana alkali sedangkan asam empedu terkonyugasi menyebabkan

    perlukaan pada suasana asam. Bagaimana asam empedu dapat

  • 18

    menyebabkan perlukaan pada mukosa esofagus, masih belum diketahui.

    Tripsin, sama dengan pepsin merupakan proteolisis yang aktif pada pH 5-

    8 (Vaezi MF, 1999)

    c. Pengosongan lambung

    Pengosongan lambung yang lambat akan memicu terjadinya

    relaksasi sementara SBE yang menyebabkan keluarnya isi lambung ke

    esofagus.

    d. Helicobacter pylori

    Eradikasi H.pylori dapat meningkatkan keasaman esofagus

    sehingga dapat menyebabkan PRGE (Feldman M,Cryer B,Lee E 1998).

    Strain CagA+ dari H.pylori dapat melindungi esofagus dari bentuk PRGE

    yang lebih berat yaitu Barrett’s esofagus (Vicari J.,1998, Vaezi

    M,dkk.2000). Meskipun kepentingan klinis H.pylori dalam terjadinya PRGE

    masih diperdebatkan, beberapa individu yang mengalami gastritis oleh

    H.pylori, khususnya strain CagA+ dapat terlindungi dari kejadian refluks

    akibat menurunnya produksi asam lambung.

    2. Faktor tautan gastroesofageal

    a. Relaksasi sementara spinkter bawah esofagus (TLESr)

    Relaksasi sementara SBE terjadi secara spontan dan tidak

    tergantung oleh relaksasi proses menelan. Kejadian ini dipicu oleh distensi

    lambung melalui jalur vagal afferen. Selain itu dapat pula dipicu oleh

    tindakan intubasi faring yang akan meningkatkan frekuensi TLESr (Mittal

    dkk.,1996). Koek dkk. (2001) memperlihatkan adanya penurunan keluhan

  • 19

    PRGE setelah pemberian Baclofen, suatu agonis GABA-B yang

    menghambat relaksasi TLESr.

    b. Hipotensi spinkter bawah esofagus

    Meskipun TLESr merupakan mekanisme utama refluks, rendahnya

    tekanan SBE juga merupakan faktor penting pada penderita PRGE berat.

    Hipotensi SBE (< 10 mmHg) dapat menyebabkan keluarnya isi lambung

    secara bebas ke dalam esofagus yang menimbulkan keluhan esofagitis.

    Bagaimana mekanisme rendahnya tekanan SBE menyebabkan refluks

    masih belum jelas. Rendahnya tekanan SBE juga dapat disebabkan oleh

    distensi esofagus, makanan, merokok atau obat-obatan.(Mittal R 1999)

    c. Hiatal hernia

    Herniasi bagian lambung ke dalam rongga torak dapat memicu

    terjadinya refluks dengan cara masuknya asam lambung yang terdapat

    pada kantung herniasi ke dalam esofagus, krural diafragma tidak dapat

    berfungsi sebagai pencegah refluks akibat bergesernya tautan

    esofagogastrik. TLESr penderita hiatal hernia juga memiliki ambang batas

    yang rendah sehingga sangat mudah terpicu(Kharilas P dkk.,2000)

    3. Faktor esofageal

    a. Pembersihan esofagus

    Pembersihan asam esofagus melalui 2 mekanisme yaitu : (1)

    Peristaltis yang dibantu oleh gaya gravitasi. Pada PRGE terjadi penurunan

    sampai menghilangnya amplitudo peristaltis primer pada bagian distal

    esofagus sehingga pembersihan asam terganggu. Pada kasus yang

  • 20

    kronik terjadipula gangguan pada peristaltis sekunder yang disebabkan

    oleh jejas irreversibel pada mukosa esofagus akibat paparan asam yang

    kronis (Rydberg dkk.,2000, Pai CG 2000). (2) Penetralan asam yang

    dilakukan oleh bikarbonat dalam saliva dan sekresi oleh kelenjar

    submukosa. Saliva juga mengandungepidermal growth factors yang

    potensial untuk memperbaiki kerusakan mukosa dengan menyediakan

    sitoproteksi terhadap iritandan menurunkan permeabilitas mukosa

    esofagus terhadap ion hidrogen (Sarosiek J, Feng T, McCallum R 1991)

    b. Pertahanan epitel

    Barier epitel esofagus dalammencegah difusi asam dan pepsin

    diperankan oleh tautan yang rapat dari matriks glikoprotein interseluler.

    Matriks ini menghasilkan resistensi elektrik epitel yang membatasi

    masuknya asam ke dalam jaringan. PRGE dapat terjadi bila tautan

    interseluler dirusak oleh refluksat yang kemudian memudahkan masuknya

    ion hidrogen. Sensasi heartburn akan dirasakan oleh penderita bila ion

    tersebut mengiritasi vagal afferen.Fosfat, protein dan CA III bertindak

    sebagai barier terhadap ion hidrogenketika ion hidrogen masuk ke dalam

    sel. Bila barier ini dilewati, sel-sel epitel esofagus akan mengeluarkan

    asam melalui 2 mekanisme pompa transmembran yaitu pertukaran ion

    Na/H dan pertukaran sodium dependen Cl/HCO3 (Orlando RC 2000). Bila

    sel epitel kewalahan akibat banyaknya asam, pH intraseluler akan

    menurun dan menimbulkan kerusakan sel, defek pada pengaturan volume

    sel, lebih lanjut akan merusak mekanisme pertahanan epitel,

  • 21

    permeabilitas terhadap asam meningkat dan akhirnya terjadi kematian dan

    nekrosis sel (Orlando RC. 1999). Paparan asam yang berulang akan

    menyebabkanerosi mukosa dan memberikan gambaran endoskopik

    berupa PRGE erosif.

    D. Mekanisme Regurgitasi Esofago-faringeal

    Hubungan antara penyakit-penyakit traktus respiratorius dengan

    PRGE telah lama diketahui, tetapi hubungan yang kuat serta

    penyebabnya masih belum jelas. Beberapa laporan penelitian

    menunjukkan prevalensi refluks sebesar 78% pada penderita dengan

    keluhan suara serak dan separuhnya menunjukkan kelainan pada laring

    (Katz,1990;Koufman,1991). Meskipun manifestasi klinikregurgitasi asam

    pada penyakit RLF sangat jelas tetapi mekanisme yang mendasari

    terjadinya refluks tetap belum diketahui (Ian, 2006)

    1. Distribusi asam esofagus

    Pemeriksaan pH probe ganda pada populasi yang diduga

    menderita laringitis akibat refluks tidak menunjukkan hubungan antara

    paparan asam pada bagian distal esofagus dengan kejadian refluks

    laringitis (Katz,1990;Shaker dkk., 1992;Vaezi, 2006). Dua dari penelitian

    tersebut menunjukkan adanya peningkatan kasus laringitis pada penderita

    dengan paparan asam pada proksimal esofagus, hal ini menunjukkan

    bahwa distribusi regional refluksat esofagus mungkin sebagai faktor resiko

    terjadinya refluks (Weiner dkk., 1989;Jacob dkk.,1991).Teori lain yang

    menjelaskan terjadinya mekanisme regurgitasi pada RLF adalah akibat

  • 22

    pajanan asam pada distal esofagus akan merangsang kemoreseptor pada

    mukosa esofagus dan memicu aktivasi refleks vagus yang menyebabkan

    terjadinya spasme bronkus, batuk, sering meludah, sehingga terjadi

    inflamasi pada laring dan faring. (Ford, 2005)

    2. Posisi tubuh

    Posisi tubuh kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya

    regurgitasi. Arash,dkk (2010) dalam penelitiannya terhadap 109 kejadian

    refluks pada saat TLESr, memperlihatkan 91% kejadian refluks terjadi

    pada posisi tegak dan 88% pada posisi baring. Relaksasi SAE pada saat

    transient relaksasi SBE paling banyak pada posisi tegak yang disertai

    terjadinya refluks cairan lambung dan udara (81%), sedangkan kontraksi

    SAE paling sering terjadi pada posisi baring yang didominasi dengan

    regurgitasi cairan lambung (82%). (Arash dkk.,2010)

    3. Faktor spinkter atas esofagus

    a. Hipotoni

    Meskipun hipotoni SAE relatif berperan dalam terjadinya episode

    refluks terutama pada posisi berbaring, tetapi tampaknya hipotoni SAE

    bukanlah mekanisme yang dominan untuk beberapa alasan antara lain ;

    tekanan basal SAE bukanlah sebagai prediktor diagnostik dalam menilai

    adanya regurgitasi asam atau penyakit yang berhubungan dengan refluks.

    Peningkatan tajam tekanan intraesofageal pada pajanan asam, secara

    umum tidak lebih dari tekanan istirahat minimal zona bertekanan tinggi

  • 23

    SAE, sehingga tidak mungkin pembukaan pasif spinkter sebagai respon

    terhadap meningkatnya tekanan intraesofageal akan menimbulkan refluks

    (Shaker dkk., 1995;William dkk., 2004;Torrico dkk.,2000).Pada saat tidur,

    tekanan spinkter turun ke level terendah (

  • 24

    E. Spinkter Atas Esofagus (SAE)

    1. Struktur spinkter atas esofagus

    Spinkter atas esofagus (SAE) adalah daerah bagian atas saluran

    pencernaan yang berfungsi sebagai barier antara esofagus dan faring

    yang membuka dan menutup secara intermitten untuk memberi jalan

    masuknya makanan selama proses menelan. Area esofagus bagian atas

    yang mencakup fungsi pergerakan SAE disebut sebagai zona tekanan

    tinggi esofagus bagian atas yang panjangnya sekitar 1 cm dari introitus

    esofagus . Zona ini meliputi tiga kumpulan otot yaitu : esofagus

    servikal,krikofaringeus (CP) dan konstriktor faringeus inferior (IPC).

    Tekanan optimalzona tersebut didapatkan pada daerah tepi kaudal IPC.

    Pencatatan elektromiografi (EMG) pada otot CP,IPC dan esofagus

    servikal menunjukkan bahwa meningkatnya tonus SAE disebabkan oleh

    aktivitas otot-otot terutama oleh otot CP (Lang dkk., 1991).

    2. Otot-otot SAE

    a. Otot-otot yang menutup SAE

    Otot krikofaringeus melekat pada bagian dorsolateral kartilago

    krikoid bagian bawah berbentuk lingkaran otot horisontal. Terdiri dari dua

    bagian yaitu pars fundiformis dan pars oblique yang meluas dari aspek

    lateral kartilago krikoid menuju raphe posterior dimana pada bagian

    superior akan bergabung bersama IPC. CP merupakan otot lurik yang

    tersusun dari serat-serat dengan diameter antara 25-35 µm . Arah serat

  • 25

    otot berjalan secara horizontal (CPh) dan oblik (CPo). Berbeda dengan

    otot lurik lainnya, bentuk serat otot CP tidak terlalu paralel dan lebih

    banyak berjalan diatas jaringan penghubung daripada kerangka tulang .

    Serat otot CP terdiri dari 2 tipe : Tipe 1 (oksidatif) atau tipe kedut lambat

    (slow- twitch) dan Tipe 2 (glikolitik) atau tipe kedut cepat (fast- twitch).

    Sebagian besar serat otot CP merupakan tipe kedut lambat (76% serat

    otot horisontal dan 69% serat otot oblik). Adanya perbedaaan tipe serat ini

    merupakan dasar anatomi fungsi dari SAE yaitu mengatur tonus basal,

    fungsi cepat relaksasi dan kontraksi dan pengaturan refleks-refleks

    (Kristamundsdottir dkk.,1990;Mu dkk., 2002).Panjang optimal otot CP

    pada saat teregangmaksimal adalah 1.7 kali dibandingkan saat istirahat.

    Elastisitas otot ini diperoleh dari struktur jaringan konektif yaitu kolagen,

    elastin, sarkolema dan protein kontraktil (aktin dan miosin). Otot CP lebih

    banyak mengandung jaringan konektif elastin dan sarkolema

    dibandingkan otot lurik lainnya. Tingginya derajat elastisitas otot ini

    memungkinkannya mampu mengatur tegangan basal tanpa memerlukan

    kontraksi aktif otot. Karakteristik otot ini diperlukan untuk mendorong bolus

    makanan yang besar dan mencegah terjadinya refluks. Derajat elastisitas

    yang tinggi juga menyebabkan SAE dapat terbuka oleh tekanan bolus

    atau kekuatan distraksi tanpa memerlukan relaksasi aktif (Mu dkk., 2002)

    Konstriktor faringeus inferior (IPC) berawal dari sebelah superior

    kartilago krikoid dan garis oblik kartilago tiroid. Serat-seratnya meluas ke

    arah dorsomedial dan bertemu dengan serat otot dari sisi yang

  • 26

    berlawanan pada raphe median faring. Otot ini terdiri dari 2 bagian

    neuromuskuler yaitu rostral dan kaudal yang masing-masing memiliki

    jumlah tipe serat otot yang berbeda. Bagian rostral mengandung lebih

    banyak tipe kedut cepat(61%)dibandingkan dengan bagian kaudal (30%).

    Oleh karena itu IPC mempunyai dua fungsi yaitu kontraksi lambat, yang

    ditentukan oleh separuh bagian kaudal dan kontraksi cepat oleh separuh

    bagian rostral. Serat otot yang terdapat pada bagian kaudal IPC mirip

    dengan bagian rostral otot CP, mereka memiliki distribusi yang sama

    untuk serat kedut lambat (84%) dan serat kedut cepat, serta memiliki

    ketebalan lapisan dalam dan luar yang sama (rasio 2:1).Dari data anatomi

    dan histokimia, diduga otot IPC dan CP mempunyai fungsi yang sama ,

    meskipun memiliki tipe serat otot yang sama, elastisitas IPC sangat

    rendah dibandingkan CP.(Mu dkk.,2002)

    Serat-serat otot esofagus servikal tersusun sangat rapat secara

    horisontal dengan ukuran yang sama dengan serat otot CP yang

    berdekatan.Serat-serat otot CP memberikan kontribusi pada bagian

    kranial otot esofagus servikal. Meskipun secara fisiologis, fungsi otot ini

    sebagai bagian dari SAE, tetapi pada penelitian histokimia fungsi ini tidak

    mempunyai dasar biokimia (Meyer dkk.,1986; Leese dkk.,1986;

    Shedlofsky dkk.,1982)

  • 27

    b. Otot-otot yang membuka SAE

    Terdiri dari kumpulan otot yang terletak di anterior dan posterior

    SAE. Otot-otot ini bekerja bersama-sama dan mempunyai kemiripan

    secara anatomi dan histokimia.Otot-otot anterior berada di atas dan di

    bawah os hioid. Otot-otot yang berada di atas hyoid terdiri dari

    geniohioideus, milohioideus, stilohioideus, hioglossus dan digastrikus pars

    anterior. Otot-otot ini berasal dari berbagai tempat di atas os hioid menuju

    ke os hioid dan masuk ke bagian superior os hioid. Kontraksi dari otot-otot

    ini akan mengakibatkan pergerakan os hioid kearah superior dan anterior.

    Otot-otot sebelah inferior terdiri dari tirohioideus, sternohioideus,

    sternotirohioideus, dan omohioideus. Keempat otot tersebut masuk ke

    aspek inferior os hioid dan menggerakkan os hioid dan kartilago tiroid ke

    arah inferior dan anterior. Tirohioidmerupakan otot utama yang

    menghubungkan os hioid dengan laring, sehingga kontraksi yang simultan

    dari otot-otot bagian anterior akan menggerakkan os hioid dan laring ke

    arah anterior.

    Otot-otot sebelah posterior terdiri dari stilofaringeus,

    palatofaringeus, pterigofaringeus dan beberapa otot faring posterior. Otot-

    otot ini bekerja mengangkat faring dan mempertahankan ketegangan

    dinding posterior faring. (Miller dkk., 1984; Gray dkk., 1968)

  • 28

    Gambar 1. Anatomi otot-otot pembuka dan penutup SAE

    (Netter FH , 1989)

    Secara histologi dan histokimia, otot-otot yang membuka SAE mirip

    dengan otot-otot tungkai. Serat-serat otot sebagian besar (60%-80%)

    merupakan tipe kedut cepat (tipe II) dengan diameter antara 20-40µm

    kecuali tirohioid yang banyak mengandung serat otot tipe I dan

    merupakan serat otot oksidatif tinggi. (Hellstarnd, 1980;Vignon dkk.,1980)

    3. Fungsi SAE

    Tonus SAE dihasilkan dari struktur mekanis spinkter (pasif) dan

    kontraksi otot (aktif). Tonus ini diukur secara intraluminal dengan

    menggunakan alat manometri atau secara eksternal dengan

    menggunakan EMG. Teknik manometri sendiri mempunyai 2 kekurangan

  • 29

    yaitu 1. tidak dapat membedakan antara tegangan aktif atau pasif dan 2.

    dengan memasukkan alat manometri akan menciptakan tegangan pasif

    akibat meregangnya otot CP. Keterbatasan utama dari alat EMG yaitu

    hanya dapat mengukur indeks aktif tegangan. SAE terdiri dari otot-otot

    lurik yang berbeda dengan otot polos yaitu tidak memiliki mekanisme

    bangkitan otot intrinsik. Semua tonus pada SAE berasal dari aktivitas

    motor neuron yang terletak pada nukleus ambiguus (Hudson,

    1986;Kitamura dkk., 1989; Bieger dkk., 1987;Collman dkk., 1993)

    Pelitian-penelitian manometeri menunjukkan variasi tekanan basal

    SAE antara 35-200 mmHG (Castell dkk., 1990;Wilson dkk., 1989)dan

    akan turun ke level terendah pada waktu tidur atau dalam pengaruh

    anestesi (Cook dkk., 1989;Jakob dkk., 1990). Ini memberikan asumsi

    bahwa SAE tidak mempunyai tonus basal aktif, meskipun tekanan sisa

    intraluminal dapat tercatat secara manometri, mungkin ini disebabkan oleh

    elastisitas struktur CP yang pasif.

    Meskipun SAE tidak mempunyai tonus basal, tonus SAE sangat

    bervariasiserta dapat meningkat sampai ke level tertinggi pada keadaan

    stres akut, posisi tubuh atau kepala tertentu dan status emosional lainnya.

    Peningkatan itu banyak dipengaruhi oleh refleks-refleks.(Cook dkk.,

    1987;Cook dkk., 1989)

    4. Biomekanisme pembukaan dan penutupan SAE

    Pembukaan dan penutupan SAE terjadi pada keadaan fisiologis

    dan timbulnya refleks, sebagian besar disebabkan oleh perubahan

  • 30

    aktifitas otot CP. Pembukaan SAE tergantung oleh 3 gerakan: Relaksasi

    otot-otot SAE, distraksi dari laring dan faring yang saling menjauh, dan

    dorongan oleh bolus. Gerakan distraksi oleh otot hioid superior dan

    inferior serta otot faringeal posterior dapat menimbulkan bangkitan tonus

    otot-otot SAE untuk membuka spinkter . Pada saat terbuka , otot-otot

    IPC,CP dan esofagus servikal mengalami relaksasi. Oleh karena itu, otot-

    otot tersebut sama pentingnya untuk setiap fungsi utama dari SAE. Tanpa

    melihat gerakan fungsional atau refleks, kontribusi relatif setiap otot SAE

    tergantung pada fungsi spesifik masing-masing otot, dan otot yang paling

    berperan dalam SAE adalah CP. SAE dapat membuka pada beberapa

    keadaan fisiologis seperti menelan, muntah dan bersendawa.

    5. Refleks-refleks SAE

    a. Refleks kontraktil faringo-SAE

    Stimulasi faring dengan sentuhan halus meningkatkan tonus SAE ,

    respon ini disebabkan oleh aktivitas otot IPC dan CP, terutama oleh otot

    CP . Tidak diketahui apakah esofagus servikal turut terlibat dalam refleks

    ini. Daerah faring yang paling sensitif adalah hipofaring dan nasofaring .

    Jalur afferen dari refleks ini melalui n.glossofaringeal dan jalur eferen

    adalah cabang faringeal nervus vagus. Refleks ini diperlukan untuk

    mencegah masuknya udara ke dalam esofagus selama inspirasi

    kuat(Medda dkk., 1993; Shaker dkk., 1997)

  • 31

    b. Refleks kontraktil esofago-SAE

    Distensi lambat esofagus akan meningkatkan tonus CP. Refleks ini

    melibatkan seluruh otot SAE, terutama otot CP. Aktivitas refleks ini dapat

    terjadi pada semua bagian esofagus tetapi yang paling sensitif adalah

    daerah yang terdekat dengan SAE. Reseptor untuk refleks ini

    kemungkinan mekanoreseptor muskular adaptasi lambat. Refleks ini tidak

    hanya diaktivasi oleh keadaan distensi tetapi juga oleh kontraksi dinding

    esofagus yang diaktivasi oleh peristaltik esofagus. Peranan asam

    intraluminal dalam terjadinya refleks ini masih diperdebatkan. Jalur aferen

    refleks ini melalui n.vagus dan jalur eferen melalui cabang faringeal

    n.vagus. Refleks ini kemungkinan bertujuan untuk mencegah refluks bolus

    pada waktu aktivitas peristaltik esofagus.(Reynolds dkk., 1987; Lang dkk.,

    2001; Andreollo dkk., 1987).

    c. Refleks relaksasi esofago-SAE

    Refleks ini timbul akibat distensi esofagus yang cepat dan

    melibatkan relaksasi otot CP .Refleks ini kemungkinan merupakan bagian

    dari respon sendawa. Reseptor untuk refleks ini kemungkinan berasal dari

    adaptasi cepat mekanoreseptor pada mukosa sedangkan serabut

    afferennya melalui n.vagus (Lang dkk., 2001; Shaker dkk., 1992; Shaker

    dkk., 1994)

    d. Refleks kontraktil paru-SAE

  • 32

    Distensi paru diatas tidal volume atau ekspirasi yang cepat dapat

    meningkatkan tonus SAE akibat kontraksi otot CP. Refleks ini

    bertanggungjawab dalam mengatur ritme pernapasan dan mencegah

    masuknya udara ke dalam esofagus pada saat inspirasi dalam.(Ekberg,

    1986)

    e. Refleks kontraktil vestibulo-SAE

    Tonus SAE akan berubah sedemikian besar seiring dengan

    perubahan posisi kepala. Refleks ini disebabkan oleh aktivitas organ

    vestibuler untuk mencegah refluks isi lambung ke rongga faring pada saat

    gaya gravitasi berlawanan dengan arah gerakan peristaltik esofagus

    (Jacob dkk., 1990).

    6. Neurofisiologi otot-otot SAE

    a. Inervasi motorik

    Otot krikofaringeus (CP), konstriktor faringeus inferior (IPC) dan

    esofagus servikal menerima inervasi dari pleksus faringeus, yang berasal

    dari 3 saraf utama, yaitu cabang faringeus n. vagus yang terdiri dari

    n.faringoesofageal (PEN), n.laringeus superior (SLN) dan n. rekuren

    laringeus (RLN); n.glossofaringeus (GPN) dan serat-serat saraf simpatis

    dari ganglion servikalis superior. Neuron motor primer pada otot CP

    diperoleh dari PEN. Otot ini diinervasi secara bilateral, dan tiap setengah

    bagian CP berfungsi sebagai satu unit motor yang berbeda, tergantung

    dari dominasi tipe serat otot tersebut. Saraf simpatikus menginervasi

    pembuluh darah dan kelenjar mukus epitelial dan tidak berperan dalam

  • 33

    fungsi motorik CP(Mu L,dkk 2001; Medda BK,dkk 1997;Kobler JB, dkk

    1994;Fukunaga Y,dkk 1994).

    Motor neuron otot-otot yang menutup SAE : Kebanyakan motor

    neuron otot ini terletak di nukleus ambiguus batang otak, sebagian kecil

    terletak di luar nukleus ambiguus pada batang otak. Aktivasi refleks otot

    CP dihasilkan dari kedua belah batang otak dan stimulasi elektrik dari

    nukleus traktus solitaries yang merupakan motor neuron primer afferen

    saraf vagus. Neuron dari nukleus ambiguus mempunyai proyeksi dendrit

    ke formasi retikularis terdekat. Sinaps dari neuron tersebut bisa

    menimbulkan respon eksitasi atau inhibisi pada SAE.

    b. Inervasi sensoris

    Inervasi sensoris SAE melibatkan jalur reseptif epitel dan muskular.

    Epitel faring diinervasi melalui cabang GPN,SLN dan n.vagus, epitel laring

    melalui cabang internal SLN dan epitel esofagus melalui n.vagus,SLN

    atau RLN. SLN memediasi berbagai macam refleks faring dan esofagus

    termasuk refleks menelan, RLN memediasi cabang afferen refleks

    kontraksi esofagus-SAE dan GPN memediasi cabang afferen refleks

    kontraksi faringo-SAE. Hilangnya fungsi sensoris dari SAE dapat

    menjelaskan patofisiologi beberapa gangguan menelan (Fukushima S,dkk

    2003;Miyazaki,dkk 1999;Yoshida Y,dkk 2000;Wank M, dkk 2001)

    Neuron sensoris dan premotor otot-otot yang membuka SAE :

    Badan sel saraf afferen vagal faringeal berada pada ganglion nodosum

    dan berakhir pada neuron premotor yang terdapat pada subnukleus

  • 34

    intersisial dan intermediat traktus solitarius.Badan sel afferen esofagus

    terdapat di dalam ganglion nodosum dan ganglion dorsal cervical dan

    thorakal medulla spinalis dan seratnya berakhir pada neuron premotor di

    subnukleus sentral traktus solitarius. Stimulasi faring atau esofagus

    menimbulkan berbagaimacam refleks, tetapi neuron premotor yang

    khusus bersama dengan respon refleks masih belum jelas.

    7. Neurokimia otot-otot SAE

    Neurotransmiter yang paling banyak ditemukan pada otot-otot yang

    membuka maupun menutup SAE adalah asetilkolin (ACh) yang bekerja

    melalui reseptor nikotinik kolinergik. Namun demikian beberapa

    neuropeptida dapat ditemukan pula pada CP yaitu neuropeptida Y,

    calcitonin gene-related peptida (CGRP), tyrosin hydroxylase, substansi P,

    vasoactive intestinal polypeptida(VIP) dan galanin. CGRP dapat

    ditemukan pula pada IPC , tetapi kadar CGRP pada CP lebih rendah

    dibandingkan IPC . Fungsi yang signifikan dari neuropeptida pada otot

    SAE belum diketahui secara pasti, tetapi diduga berhubungan dengan

    fungsi inervasi autonom oleh karena substansi P, VIP, dan galanin banyak

    terdapat pada saraf parasimpatis sedangkan CGRP, neuropeptida Y dan

    tyrosin hydroxylase ditemukan pada saraf simpatis. Pada umumnya

    neuropeptida yang terdapat pada saraf simpatis lebih banyak

    dibandingkan saraf parasimpatis. Mekanisme kerja antara inervasi

    simpatis atau parasimpatis dengan peptida belum diketahui secara pasti

  • 35

    tetapi diduga berhubungan dengan pengaturan pembuluh darah, kelenjar

    dan mukosa. (Tadaki N, dkk 1995;Terenghi G, dkk 1986; Rodrigo J, 1985)

    Neurotransmiter asetilkolin dilepaskan dari ujung-ujung saraf

    perifer maupun sistem saraf pusat dan bekerja melalui reseptor nikotinik

    asetilkolin. Berasal dari sintesa kolin di dalam ujung saraf, kolin diperoleh

    dari cairan tubuh yang kemudian diangkut ke dalam ujung-ujung saraf

    melalui mekanisme transport yang khusus. Enzim yang berperan pada

    sintesis kolin adalah choline acetyltransferase yang dibentuk dalam badan

    saraf dan turun melalui axon sampai ke ujung saraf mengikuti aliran

    aksoplasmik. Asetilkolin disimpan di dalam ujung-ujung saraf, dan

    tersebar didalam vesikel-vesikel yang siap untuk dilepaskan. Apabila aksi

    potensial mencapai ujung-ujung saraf, vesikel yang mengandung

    asetilkolin akan dilepaskan ke sinaps antara ujung saraf dan sel efektor

    yang akan mengaktivasi saraf. Sinyal elektrik yang diubah menjadi sinyal

    kimia, akan menyebabkan terkirimnya pesan diantara sel-sel saraf atau

    antara sel saraf dengan sel lain. Proses ini dinamakan neurotransmisi

    kimia. Transmisi kimia yang melibatkan asetilkolin dikenal sebagai

    kolinergik.

    Asetilkolin bertindak sebagai transmitter antara saraf motorik

    dengan serat-serat otot skelet pada semua neuromuscular junction. Pada

    sinaps tipe ini, ujung saraf terletak sangat rapat dengan membran sel

    serat-serat otot sehingga dinamakan motor end plate. Pada waktu

    dilepaskan, asetilkolin langsung bekerja untuk menimbulkan terjadinya

  • 36

    proses kimia dan fisika (diawali dengan depolarisasi motor end plate) yang

    menyebabkan terjadinya kontraksi serat-serat otot. Aksi asetilkolin

    berakhir dengan cepat dalam waktu 10 milidetik oleh kerja enzim

    kolinesterase yang memecahkan asetilkolin kedalam bentuk kolin dan ion

    asetat. Kolin dapat digunakan kembali di dalam ujung saraf.

    Untuk dapat dimengerti mengapa asetilkolin memberikan beragam

    efek pada sel-sel yang berbeda, penting untuk mengetahui tentang

    reseptor membran.

    F. Reseptor Asetilkolin

    Reseptor asetilkolin (ACh) merupakan suatu reseptor

    neurotransmitter yang diaktifkan oleh ligand. Terdiri dari 2 tipe yaitu:(1)

    reseptor nikotinik asetilkolin (nACh) atau reseptor ionotropikasetilkolin

    yang berespon dengan nikotin dan merupakan prototipe superfamili ligand

    gate ion channels (LGICs) dan (2)reseptor muskarinik asetilkolin atau

    reseptor metabotropik asetilkolin, yang berespon terhadap muskarin dan

    merupakan anggota superfamili reseptor membrane-bound G-protein

    coupled. Istilah nikotinik digunakan oleh karena aksi asetilkolin pada

    reseptor nikotinik mirip dengan efek nikotin, begitupula istilah muskarinik,

    mirip dengan efek muskarin, suatu alkaloid yang diperoleh dari jamur

    Amanita muscaria. Aktivasi reseptor muskarinik asetilkolin relatif lambat

    (dalam hitungan millidetik sampai detik), dan tergantung pada subtipenya

    (M1-M5). Aktivasi reseptor ini akan merubah homeostatis seluler

    phospholipase C, inositol triphosphate, cAMP dan kalsium bebas. Tipe

  • 37

    nikotinik merupakan reseptor ionotropik cepat yang dapat diaktivasi dalam

    hitungan mikro sampai submikro detik.

    Berdasarkan tempat ekspresinya, reseptor nACh dibagi atas dua

    tipe yaitu (1) tipe muskular, banyak ditemukan pada otot skelet vertebra

    yang memediasi transmisi neuromuskular pada neuromuscular junction

    (NMJ); dan (2) tipe neuronal, yang banyak ditemukan pada sistem saraf

    perifer dan saraf pusat, juga pada jaringan non-neuronal.(Purves, dkk

    2008 ;Siegel G.J.,dkk 1999;Itier V, dkk 2001). Tipe muskular dengan

    berat molekul 299 kDa terdiri dari 5 subunit yang tersusun secara simetris

    mengelilingi pori sentral. Bentuk embrionik tersusun atas subunit α1,β1,δ

    dan γ dengan rasio 2:1:1:1 dan bentuk dewasa yang tersusun atas subunit

    α1,β1,δ dan ε dengan rasio 2:1:1:1.Tipe neuronal terdapat dalam bentuk

    homomerik atau heteromerik yaitu kombinasi dari 12 subunit reseptor

    nikotinik yang berbeda, misalnya (α4)3(β2)2, (α4)2(β2)3 dan (α7)5 . (Siegel

    G.J, dkk 2008; Giniatullin R, dkk 2005).

    Seperti halnya dengan semua ligand gated ion channel,

    pembukaan saluran sentral membutuhkan ikatan dengan neurotransmiter.

    Pada reseptor muskular nACh subunit α memiliki dua susunan sistein

    berdekatan yang penting untuk terikatnya asetilkolin, tetapi baik subunit α

    maupun non α memberikan kontribusi terhadap spesifitas setiap subunit

    reseptor. Subunit α1 dikatakan sebagai bagian yang prinsipil pada

    reseptor nikotinik asetilkolin sebab tempat terikatnya neurotransmiter

    asetilkolin dengan reseptor (binding pocket) berada pada subunit ini yaitu

  • 38

    pada subunit α1/δ dan α1/γ. Bila terjadi ikatan neurotransmiter pada

    tempat tersebut, semua subunit yang ada akan mengalami perubahan dan

    saluran sentral yang berukuran 0,65 nm akan terbuka. Pembukaan

    saluran memungkinkan terjadinya pertukaran ion, dalam hal ini ion sodium

    masuk dan potasium keluar yang akan menyebabkan ion-ion positf lebih

    banyak di dalam sel, sehingga terjadi depolarisasi dari sel membran otot

    (Pitchford S, dkk 1992;Huganir RL, dkk 1983). Depolarisasi menyebabkan

    terjadinya aksi potensial sepanjang membran post sinaptik sehingga

    terjadi interaksi antara aktin-miosin yang menimbulkan kontraksi otot.

    1. Struktur reseptor nACh

    Setiap subunit reseptor nACh terdiri dari : (1) Domain ekstraseluler

    N-terminal, yaitu suatu rantai asam amino panjang (210-220) dimana

    terletak tempat melekatnya ligand agonis dan antagonis; (2) 4 buah

    segmen transmembran hidrofobik (TM1-TM4) dan 2 loop hydrophilic yang

    menghubungkan TM1-TM2 dan TM2-TM3; (3) loop panjang (terdiri dari

    100-150 residu asam amino) yang terletak diantara TM3-TM4 dan

    merupakan tempat terjadinya fosforilasi; dan (4) ujung C-terminal,

    merupakan segmen hidrofilik ekstraseluler dimana terletak 4-28 asam

    amino (gambar 2A).

    Subunit dibedakan atas subunit α dan non-α berdasarkan adanya

    pasangan cys-cys (residu 187-188) yang terdapat pada pintu masuk TM1.

    Pasangan cys-cys dibutuhkan sebagai tempat terikatnya ligand dan hanya

    terdapat pada subunit α (Lukas RJ 1999).

  • 39

    Gambar 2. Susunan dasar reseptor nikotinik asetilkolin (EdsonX,

    dkk. 2009)

    Struktur reseptor nACh berbentuk kerucut (gambar 2B). Domain

    ekstraseluler terdiri dari residu asam amino yang membentuk untaian β

    yang dinamakan β-barrel . Ke empat domain TM berbentuk untaian α-

    heliks yang tersusun disekeliling pori ion. TM2 membentuk pori ion . TM4

    terletak paling luar dari pori ion dan sebagian besar bersentuhan dengan

    lapisan lipid membran. TM1 dan TM3 melengkapi bentuk α-heliks. Domain

    intraseluler yang besar terletak diantara TM3 dan TM4 yang berbentuk α-

    heliks tunggal (gambar 2C)

  • 40

    2. Ligand-binding site

    Ligand-binding site (LBS) merupakan suatu kantong hidrofobik

    yang terbentuk diantara permukaan subunit terdekat. Sisi depan atau sisi

    positif LBS dihasilkan oleh subunitα dimana diperlukan pasangan cys-cys.

    Sisi belakang atau negatif LBS dihasilkan oleh subunit non-α. Beberapa

    residu asam amino lain yang diperlukan untuk tempat pengikatan ligand

    adalah αTyr 93, αTrp 149, αTyr 190 dan αTyr 198 (Sine SM,Engel AG

    2006). Pada sisi negatif, residu utama yang berperan pada ikatan ligand

    adalah L112, M114 dan Trp53. Secara umum, residu hidrofobik pada sisi

    positif, menentukan afinitas ligand, sedangkan residu pada sisi negatif

    menentukan selektifitas ligand (Unwin N. 2005)

    3. Pembukaan saluran ion

    Ligand yang terikat pada reseptor akan menginduksi terjadinya

    konvergensi rantai samping residu aromatik disekitar LBS menuju ke

    lokasi ligand yang terdapat diantara permukaan subunit α dan non-α

    (gambar 3A). Selanjutnya melalui interaksi hidrofobik (van der Waal) akan

    menyebabkan C-loop bergerak menuju ke inti reseptor, yang

    memungkinkan pasangan cys-cys (residu 187-188) dapat berinteraksi

    dengan ligand dan residu-residu pada permukaan subunit non-α. Hal ini

    bertujuan untuk mnarik ligand masuk ke dalam celah diantara kedua

    subunit. Bila ini terjadi pada kedua LBS akan menghasilkan tenaga

    putaran yang cukup untuk memutar untaian β-barrel pada bagian

    ektraseluler. Pergerakan rotasi dalam untaian β-barrel akan diteruskan ke

  • 41

    segmen ekstraseluler TM2 dan memposisikan residu asam amino yang

    penting untuk pembukaan saluran (Hansen SB, dkk. 2006, Gao F. 2005)

    Gambar 3. Mekanisme pembukaan saluran ion (Edson X,dkk. 2009)

    Pergerakan rotasi yang dihasilkan di dalam domain ekstraseluler

    akan diteruskan ke TM2 melalui interaksi diantara resdiu yang terdapat

    pada domain ekstraseluler termasuk didalamnya cys-loop dan residu

    diantara TM2 dan TM3. Interaksi antara cys-loop dgn residu antara TM2

    dan TM3 berfungsi sebagai titik poros perputaran TM2. Pada titik ini

    pergerakan rotasi menghasilkan 2 interaksi penting yaitu : (a)

    menggerakkan loop diantara untaian β1 dan β2 (bagian dariβ-barrel)

  • 42

    menuju urutan asam amino yang menghubungkan TM2 dan TM3. Ini

    memposisikan Valine 44 ke dalam kantong hidrofobik yang terjadi akibat

    mendekatnya proline 272 (P272) dan serine (S269). (b) pada saat yang

    sama, untaian β10 bergerak berlawanan arah jarum jam mendekatkan

    posisi arginin 209 (R209) ke arah asam glutamat 45 (E45) untuk

    membentuk ikatan ionik (Lee WY, Sine SM. 2005). Interaksi ini

    menyebabkan TM2 berotasi sebesar 15 derajat untuk menggerakkan

    residu hidrofobik yang berada pada dinding ion yaitu valines (V255),

    (V259) dan leucin (L251) menjauh dari pori sentral dan juga

    menggerakkan kutub S248 dan S252 sehingga saluran bertambah lebar

    (gambar 3B). Dengan terbukanya saluran akan memungkinkan ion dapat

    melewatinya (Hill DG, Baenziger JE. 2006;Mitra A. 2005)

    G. Kontraksi Otot Skelet

    Kontraksi otot dipicu bila terjadi aksi potensial pada saraf motorik

    pada NMJ. Depolarisasi akson terminal menyebabkan terlepasnya

    asetilkolin ke dalam celah sinaps diantara saraf dan otot. Asetilkolin yang

    terikat pada reseptor nACh akan menyebabkan terbukanya saluran ion.

    Pembukaan saluran memungkinkan terjadinya pertukaran ion, dalam hal

    ini ion sodium masuk dan potasium keluar yang akan menyebabkan ion-

    ion positf lebih banyak di dalam sel, sehingga terjadi depolarisasi dari sel

    membran otot (Pitchford S, dkk 1992;Huganir RL, dkk 1983). Depolarisasi

    menyebabkan terjadinya aksi potensial sepanjang membran post sinaptik.

  • 43

    Sinyal elektrik ini akan mempropagasi sepanjang membran plasma serat

    otot dan juga akan mempropagasi kedalam membran plasma tubular yang

    disebut T-Tubules. T-tubules terletak berdekatan dengan retikulum

    sarkoplasma (RS) yang berisi ion Ca2+ . Aksi potensial yang melewati RS,

    akan menyebabkan terlepasnya ion Ca2+. Ion Ca2+ akan berdifusi

    kedalam sitoplasma sarkomer.Didalam sarkomer,terdapat filamen aktin

    dan miosin. Filamen aktin dilengkapi dengan 2 tipe protein yaitu troponin

    yang terletak sepanjang filamen aktin dan tropomiosin yang berjalan

    sepanjang untaian aktin. Filamen miosin lebih tebal dan ujungnya

    menyerupai ujung pentul. Pada bagian kepala miosin terikat molekul

    adenosin diphosphate (ADP) dan inorganic phosphate (Pi). Setelah RS

    melepaskan ion Ca2+ ,ion kalsium terikat pd molekul troponin. Pada saat

    berikatan, troponin bergeser dari posisinya dan menarik molekul

    tropomiosin kesebelahnya. Pergeseran ini menyebabkan terbukanya

    tempat untuk perlekatan miosin pada setiap subunit aktin pada filamen

    aktin. Kepala miosin sekarang dapat berikatan dengan filamen aktin,

    ikatan ini akan membentuk gambaran menyerupai jembatan

    penyebrangan. Setelah miosin terikat pada filamen aktin, molekul Pi dan

    ADP akan terlepas, hal ini akan memicu bergeraknya kepala miosin dan

    mendorong filamen aktin ke arah sentral sarkomer.Pergerakan ini

    merupakan representasi power stroke dari kontraksi otot. Sebelum kepala

    miosin terlepas dan membentuk tambahan power stroke, pertama-tama

  • 44

    dia harus berikatan dengan ATP. Bila ATP terikat pada kepala miosin,

    kepala miosin akan terlepas dari filamen aktin.

    Gambar 4. Proses terjadinya kontraksi otot (Fine C , Bianca M 2009)

    Sebenarnya rantai berat miosin adalah suatu ATPase sehingga

    ATP akan cepat terhidrolisa menjadi ADP dan Pi. ADP akan melekat

    kembali kekepala miosin menyiapkan diri untuk aksi selanjutnya. Segera

    setelah aksi potensial terhenti, membran SR kembali menjadi

    impermeabel terhadap Ca2+ sehingga Ca2+ dalam miofibril akan

    terpompa keluar menuju SR. Kemudian otot menjadi rileks seperti

    sediakala. Relaksasi sarkomer terjadi setelah kalsium kembali ke dalam

    RS Bila level kalsium menurun, ion kalsium yang terikat pada troponin

  • 45

    terlepas dan tropomiosin kembali menutup tempat ikatan dengan miosin.

    Aktin dan filamen bergeser kembali ke arah semula (Gunawan A 2001).

    H. Kelainan Reseptor nACh tipe Muskular

    Penyakit-penyakit pada reseptor nACh tipe muskular biasanya

    merupakan penyakit turunan atau dapatan, yang dapat menyebabkan

    gangguan transmisi neuromuskular dan kelemahan otot. Penyakit

    autoimun Miastenia Gravis (MG) merupakan penyakit yang paling umum

    dan biasanya disebabkan oleh adanya autoantibodi pada reseptor nACh

    sedangkan yang bersifat turunan seperti Sindroma Miastenik Kongenital

    (SMK) jarang ditemukan dan biasanya bersama-sama dengan kelainan

    berat yang mempengaruhi pelepasan ACh, aktivitas asetilkolinesterase,

    fungsi dan jumlah reseptor nACh (Conti-Fine BM dkk.,2006; Vincent A

    dkk.,2001; Engel AG dkk.,2005)

    1. Miastenia gravis

    MG, merupakan penyakit autoimun yang tidak diturunkan, biasanya

    ditandai dengan adanya sirkulasi antibodi yang terikat dan merusak

    reseptor nACh otot sehingga menyebabkan kelemahan dan kelelahan otot

    (Vincent A dkk.,2001). Otot yang terkena biasanya pada otot-otot yang

    sering digunakan berulang-ulang mis:otot okular, bulbar atau otot wajah.

    Beberapa otot yang juga sering terkena adalah otot leher, bahu dan

    tungkai . Autoantibodi dapat mengurangi jumlah reseptor pada NMJ,

    melalui 3 mekanisme : (1) Sebagai molekul bivalen, antibodi dapat

  • 46

    melakukan crosslink dengan reseptor nACh yang terdapat pada membran

    otot postsinaps sehingga menstimulasi internalisasi dan proses degradasi

    reseptor, yang akhirnya menghabisi reseptor tersebut. Proses ini

    dinamakan modulasi antigenik. (2) Terjadi lisis fokal membran postsinaptik

    yang dimediasi oleh komplomen. Antibodi yang terikat pada reseptor akan

    mencetuskan terjadinya kaskade komplomen yang hasilnya berupa

    destruksi fokal membran postsinaptik melalui membrane attack complex.

    (3).Antibodi menduduki ligand binding site pada reseptor dan secara

    langsung menghambat fungsi reseptor. (Tzartos SJ dkk.,1998;Vincent A

    dkk.,2000)

    Lebih dari separuh antibodi terhadap nAChR pad penderita MG

    berhubungan dengan Main Immunogenic Region (MIR) (Tzartos SJ

    dkk.,1998). MIR ditentukan melalui kemampuan mABs terhadap nAChR

    untuk menghambat ikatan nAChR dengan antibodi lain atau mABs

    terhadap nAChR. MIR terletak pada domain ekstraselular subunit α1 yaitu

    daerah pada residu 67-76 dari subunit α1dimana terdapat epitope yang

    overlap yang ditempati oleh autoantibodi (Brejc K dkk.,2001)

    2. Sindroma miastenik kongenital

    Merupakan penyakit turunan yang ditandai oleh adanya defek pada

    transmisi neuromuskuler yang menyebabkan kelelahan otot. Berdasarkan

    pengamatan terhadap mutasi pada subunit reseptor nACh, beberapa gen

    yang mengkoding protein presinaps, sinaps dan postsinaps juga terlibat

    dalam gen yang menyebabkan SMK (Engel AG dkk.,2005). Gejala SMK

  • 47

    mulai terlihat 1 – 2 tahun setelah kelahiran. Pada kasus yang jarang,

    gejala dapat terjadi pada dekade kedua atau ketiga kehidupan. Berat

    ringannya penyakit sangat bervariasi mulai dari kelemahan ringan,

    kelemahan berat yang progresif sampai kematian. Pada elektromiografi,

    terlihat penurunan aksi potensial saraf motorik pada stimulasi berulang

    frekwensi rendah, antibodi negatif terhadap reseptor nACh dan saluran

    kalsium. Temuan ini dapat membedakan SMK dengan MG.

    Saat ini terdapat kurang lebih 60 mutasi gen pada subunit reseptor

    nACh yang memberikan pengaruh terhadap domain ekstraseluler, segmen

    transmembran TM1-TM3 dan domain sitoplasmik antara TM3 dan TM4.

    Mutasi dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori mayor : mutasi kinetik

    dan mutasi ekspresi rendah. Mutasi kinetik dibagi atas 2 subklas menurut

    responnya terhadap ACh apakah meningkat (slow channel syndrome)

    atau menurun (fast channel syndrome)

    a. Slow and fast channel syndromes

    Karakteristik utama sindroma ini adalah fungsi kinetik reseptor

    nAChyang abnormal. Pengertian slow channel syndrome berasal dari

    lambatnya aliran sinaptik sehingga menyebabkan pembukaan saluran

    reseptor nACh yang berkepanjangan. Akibatnya terjadi penumpukan

    kation pada daerah postsinaptik yang menyebabkan miopati endplate,

    hilangnya reseptor nACh dari lipatan membran postsinaptik, pelebaran

    ruang sinaps, perubahan vacuolar dan apoptosis. Penyakit ini mulai

  • 48

    nampak pada awal kehidupan dan menyebakan gangguan yang berat

    pada akhir dekade pertama dalam kehidupan (Milone M dkk.,1997).

    Sebagian besar mutasi terjadipada TM2 pada subunit α1, β1, ∂ dan ε,

    beberapa diantaranya dapat terjadi mutasi pada domain fungsional yang

    lain. Contohnya mutasi pada αG153S (lokasinya dekat dengan tempat

    terikatnya ACh) dan mutasi pada αN217K (dalam region N-terminal M1)

    yang berfungsi meningkatkan affinitas terhadap ACh.

    Pengertian fast-channel syndrome berasal dari respon sinaps yang

    abnormal cepat akibat pembukaan saluran yang singkat yang disebabkan

    oleh menurunnya afinitas terhadap ACh, menurunnya efisiensi gerbang

    ion, atau menurunnya jumlah pembukaan saluran pada saat terikatnya

    ACh. Kebanyakan penyakit ini disebabkan oleh mutasi resesif atau

    mutasi tunggal pada gen subunit α1 yang menyebabkan posisi Phe256

    digantikan oleh leusin yang memiliki efek negatif yang dominan. Mutasi

    terletak pada domain fungsional yang berbeda pada subunit α1, β1, dan ∂.

    Mutasi pada domain ekstraseluler akan menurunkan afinitas terhadap

    ACh, bila terjadi pada bagian transmembran akan merusak efisiensi

    pembukaan saluran dan bila terjadi pada loop sitoplasmik panjang

    subunit ε akan mengganggu stabilitas kinetik saluran. Sedikitnya 13

    mutasi saluran cepat telah teridentifikasi. (Engel AG dkk.,2005;Ohno K &

    Engel AG 2004). Gambaran klinis mirip dengan MG, tetapi cenderung

    lebih ringan bila efeknya pada efisiensi pembukaan saluran, efek sedang-

    berat bila terjadi kerusakan kinetik saluran dan berat bila afinitas terhadap

  • 49

    ACh terganggu. (Brownlow S dkk.,2001;Shen XM dkk.,2001). Terapi pada

    fast channel syndrome tergantung pada pemberian kombinasi antara 3,4-

    diaminopyridine dan penghambat kolinesterase.

    b. Defisiensi reseptor nACh dengan atau tanpa abnormalitas

    kinetik.

    Pada penderita SMK, beberapa mutasi resesif homozigot atau

    heterozigot pada reseptor nACh subunit ditemukan pada membran post

    sinaptik. Ekspresi yang rendah dan mutasi “null” banyak terjadi pada

    subunit ε terutama pada rantai yang menghubungkan TM3-TM4.

    Penderita dengan mutasi pada subunit ε memiliki keluhan yang lebih

    ringan dibandingkan penderita dengan mutasi subunit lainnya.

    Lebih dari 50 mutasi telah dilaporkan. Beberapa diantaranya

    menyebabkan terjadinya prematur terminasi dari translasi yang dihasilkan

    oleh nonsense/splice site atau mutasi frame-shift (Middleton L

    dkk.,1999;Abicht A dkk.,1999;Croxen R dkk.,1999). Beberapa mutasi

    missense merubah residu yang berguna untuk perakitan reseptor (pada

    tempat glikosilasi, loop sistein) atau terjadi dalam sinyal peptide yang akan

    mengurangi ekspresi gen. Titik mutasi yang terjadi pada elemen pengatur

    (kotak N) atau regio promoter pada subunit ε akan mengurangi ekspresi

    subunit ini. (Hantai D dkk.,2004). Mutasi pada 1369delG akan

    menyebabkan hilangnya rantai sistein C-terminal Cys470 yang berguna

    untuk maturasi dan ekspresi reseptor dewasa (Ealing J dkk.,2002). Mutasi

    frame shifting ε1267delG banyak terjadi pada populasi Romania, yang

  • 50

    dapat menyebabkan defisiensi reseptor nACh pada end plate (Abicht A

    dkk.,1999;Croxen R dkk.,1999). Kebanyakan penderita defisiensi reseptor

    nACh memberikan respon yang baik terhadap pemberian obat-obat

    antikolinesterase atau dapat ditambahkan dengan 3,4 diaminopyridine

    (Harper CM& Engel AG 2000)

    c. Defisiensi reseptor nACh akibat mutasi rapsyn

    Rapsyn adalah protein post sinaptik berukuran 43 kDa yang

    bersama dengan agrin dan MuSK berperan pada pengelompokan

    reseptor nACh pada membran postsinaptik. Mutasi rapsyn terlihat pada

    penderita dengan diagnosis SMK tetapi tidak ditemukan mutasi subunit

    reseptor nACh pada daerah end plate (Ohno K dkk.,2002). Duapuluh satu

    mutasi rapsyn berhasil diidentifikasi pada regio koding dan promoter.

    Keluhan penderita dapat ringan sampai berat. Pemberian

    antikolinesterase dengan 3,4diaminopyridine memberikan respon yang

    baik pada penderita (Engel AG & Sine SM 2005;Ohno K & Engel AG

    2004)

    I. Anatomi Esofagus

    Esofagus adalah tabung otot dengan panjang 18-26 cm, mulai dari

    spinkter atas sampai ke spinkter bawah. Pada saat menelan, esophagus

    dalam keadaan kolaps tetapi lumen bagian anterior-posterior dapat

    meregang sampai 2 cm dan bagian lateral sampai 3 cm untuk

    mengakomodasi bolus makanan.(Long JD, Orlando RC 2002)

  • 51

    Esofagus menghubungkan rongga faring dengan lambung. Didalam

    leher, kira-kira setinggi pharyngoesophageal junction ( V.C 5-6/ tepi bawah

    kartilago krikoid) esofagus berjalan ke bawah sebelah anterior kolumna

    vertebra melalui mediastinum superior dan posterior. Setelah menyilang

    diafragma pada hiatus diafragmatika (V.Th 10) esofagus melewati

    gastroesophageal junction dan berakhir pada orifisium kardia lambung

    (V.Th 11)

    Secara topografi, esofagus dibagi atas 3 bagian : servikal, thorakal

    dan abdominal. Esofagus bagian servikal berawal dari

    pharyngoesophageal junction sampai ke suprasternal notch (panjangnya

    4-5 cm). Setinggi level ini esofagus dibatasi dibagian anterior oleh trakea,

    sebelah posterior oleh kolumna vertebra dan sebelah lateral oleh

    selubung karotis dan kelenjar tiroid.

    Esofagus bagian thorakal berawal dari suprasternal notch ke hiatus

    diafragmatika dan berjalan di belakang trakea, bifurkasio trakea dan

    bronkus utama kiri. Esofagus berada di sebelah posterior kanan arkus

    aorta pada setinggi vertebra thorakal 4 , mulai dari vertebra Th.8 sampai

    hiatus diafragmatika, esofagus berjalan disebelah anterior aorta.

    Esofagus bagian abdominal berawal dari hiatus diafragmatika ke

    orifisium kardia lambung dan berada pada alur di permukaan posterior dari

    lobus kiri hepar.

    Terdapat dua zona tekanan tinggi yang mencegah keluarnya

    makanan yaitu spinkter atas dan bawah. Tidak jelas batas-batas

  • 52

    demarkasi ke dua daerah ini. Secara struktural dinding esofagus terdiri

    dari 4 lapisan : mukosa, submukosa, tunika muskularis dan tunika

    adventisia. Transisi dari esofagus ke mukosa lambung disebut sebagai Z

    line dan terdiri dari garis irregular yang mengelilingi lumen diantara kedua

    daerah dengan warna mukosa yang berbeda. Mukosa lambung berwarna

    lebih gelap dibandingkan warna merah muda mukosa esofagus (Goyal R,

    Sivarao D. 1999;Gebhart GF.1994;Fass R,dkk.2004)

    1. Suplai darah

    Suplai darah esofagus bersifat segmental. SAE dan servikal

    esofagus dipendarahi oleh cabang-cabang arteri tiroidea inferior. Cabang

    terminal arteri bronkial memperdarahi esofagus bagian thorakal. Arteri

    gastrikus sinistra dan cabang arteri phrenikus sinistra memperdarahi SBE

    dan sebagian besar segmen distal esofagus.Suplai pembuluh darah vena

    juga bersifat segmental. Mulai dari pleksus submukosa aliran darah vena

    mengalir ke vena kava superior. Aliran darah vena bagian proksimal dan

    distal esofagus mengalir ke sistem vena azygos. Kolateral dari vena

    gastrikus sinistra, yang merupakan cabang vena portal menerima aliran

    darah vena dari esofagus bagian tengah.

    2. Persyarafan

    Badan sel neuron afferent vagal terletak pada ganglia nodosum

    dan diproyeksikan ke nukleus solitarius. Penggabungan vagal afferen

    yang berasal dari lapisan otot polos esofagus sensitif terhadap distensi

  • 53

    mekanik. Vagal afferen bersifat polimodal yaitu sensitif terhadap berbagai

    macam stimulus seperti osmo,kemo,termo dan mekanik stimulus. Secara

    umum vagal afferen tidak berperan secara langsung pada transmisi nyeri

    viseral tetapi melalui mekanoreseptor afferen vagal yang merubah

    stimulus tekanan kedalam sensasi nyeri (Goyal R, Sivarao D, 1999.,Fass

    R 2004)

    Afferen spinal memiliki badan sel pada ganglia dorsalis dan

    berakhir di dalam kolumna spinalis dan di dalam nukleus grasilis dan

    cuneatus pada batang otak. Dari tempat ini diproyeksikan melalui talamus

    ke sensoris primer dan area kortikal insular. Penggabungan afferen spinal

    dari ujung ujung saraf didalam lapisan otot dan serosa berfungsi sebagai

    nosiseptor untuk persepsi ketidaknyamanan dan nyeri . Penggabungan

    afferen spinal dari ujung saraf intraepitelial terlibat didalam memediasi

    nyeri yang diinduksi oleh asam. Sebagian besar afferen spinal

    mengandung calcitonin gene-related peptide (CGRP) dan substansi P

    yang merupakan neurotransmiter yang penting buat memediasi nosiseptif

    viseral. (Goyal R, Sivarao D. 1999., Fass R. 2004.,Azis Q, Thompson

    DG.1998.,Mayer EA, Gebhart GF.1994)

    Inervasi motoris sebagian besar melalui saraf vagus. Badan sel

    saraf efferen vagal yang mempersarafi SAE dan bagian proksimal otot

    skelet esofagus terletak di nukleus ambiguus, seperti halnya serabut

    untuk segmen distal otot polos dan SBE berasal dari nukleus dorsal

    motorik saraf vagus.

  • 54

    Esofagus menerima inervasi saraf parasimpatis dan simpatis yang