35
BAB VII B E B E R A P A S O A L A W A L D A N A K H I R H I D U P Menurut teologi moral katolik manusia wajib memelihara hidupnya dari awal sampai akhir, maka timbul soal: kapan hidup manusia mulai dan kapan berakhir (secara alami). Dalam bab ini dibahas pelbagai masalah yang menyangkut awal dan akhir ini, meskipun ada aspek-aspek lain yang dapat dijadikan alas an untuk membahasnya dalam konteks lain, misalnya soal-soal yang berkaitan dengan diagnosa prakonsepsi, praimplantasi dan pranatal. Pasal 35 Soal awal kehidupan Pasal 36 Aborsi Ekskurs I RU 486 Ekskurs II Beberapa soal sehubungan dengan aborsi Ekskurs III Aborsi dalam UURI 36/2009 ttg.Kesehatan Ekskurs IV Pastoral Sakramen Tobat Pasal 37 Pemeriksaan Prakonsepsi, Praimplantasi, Pranatal Pasal 38 Kloning dan Sel Punca Pasal 39 Eutanasia Ekskurs Gangguan kesadaran (koma, status vegetatif dsb.) Pasal 40 Perawatan paliatif dan hospitia Pasal 41 Soal membahayakan hidup I.Profesi II.Zat adiktif Ekskurs: Perilaku melukai diri sendiri (Self Harm) Pasal 42 Soal bunuh diri Ekskurs I: Perilaku melukai diri sendiri (Self harm) Ekskurs II: Pastoral pemakaman orang bunuh diri Pasal 43 Soal pengurbanan hidup PASAL 35 SOAL AWAL DAN AKHIR HIDUP Berkali-kali ditegaskan bahwa hidup adalah anugerah dan tugas. Ucapan ini berlaku tidak hanya untuk hidup fana pada umumnya, melainkan khusus menjadi aktual bila ditanya- kan tepatnya awal kapan mulai dan akhir kapan berhenti. 1.AWAL HIDUP A.AJARAN KATOLIK 1. SEJAK PEMBUAHAN a.Postulat 1) Karena pembuktian positif sulit, meskipun juga posisinya tak dapat digulingkan dan dipersalahkan begitu saja. 2) Banyak kalangan tidak mengikuti posisi Gereja Katolik. Lafal sumpah kedokteran diubah dari :sejak pembuahan” menjadi ”awal” tanpa keterangan lebih lanjut mengenai awal itu. b.Upaya mendukung 1) Argumentasi kedua pihak sudah diajukan dalam perdebatan 2) Kalangan katolik tentu mencari dukungan dalam ungkapan publik Magisterium 2. PELBAGAI IMPLIKASI 157

TM HIDUP VII.doc

  • Upload
    stftws

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB VIIB E B E R A P A S O A L A W A L D A N A K H I R H I D U P

Menurut teologi moral katolik manusia wajib memelihara hidupnya dari awal sampai akhir, maka timbul soal: kapan hidup manusia mulai dan kapan berakhir (secara alami).Dalam bab ini dibahas pelbagai masalah yang menyangkut awal dan akhir ini, meskipun ada aspek-aspek lain yang dapat dijadikan alas an untuk membahasnya dalam konteks lain, misalnya soal-soal yang berkaitan dengan diagnosa prakonsepsi, praimplantasi dan pranatal.

Pasal 35 Soal awal kehidupanPasal 36 Aborsi Ekskurs I RU 486 Ekskurs II Beberapa soal sehubungan dengan aborsi Ekskurs III Aborsi dalam UURI 36/2009 ttg.Kesehatan Ekskurs IV Pastoral Sakramen TobatPasal 37 Pemeriksaan Prakonsepsi, Praimplantasi, Pranatal Pasal 38 Kloning dan Sel Punca Pasal 39 Eutanasia Ekskurs Gangguan kesadaran (koma, status vegetatif dsb.)Pasal 40 Perawatan paliatif dan hospitiaPasal 41 Soal membahayakan hidup I.Profesi II.Zat adiktif Ekskurs: Perilaku melukai diri sendiri (Self Harm)Pasal 42 Soal bunuh diri Ekskurs I: Perilaku melukai diri sendiri (Self harm) Ekskurs II: Pastoral pemakaman orang bunuh diri Pasal 43 Soal pengurbanan hidup

PASAL 35SOAL AWAL DAN AKHIR HIDUP

Berkali-kali ditegaskan bahwa hidup adalah anugerah dan tugas. Ucapan ini berlaku tidak hanya untuk hidup fana pada umumnya, melainkan khusus menjadi aktual bila ditanya-kan tepatnya awal kapan mulai dan akhir kapan berhenti.

1.AWAL HIDUP A.AJARAN KATOLIK 1. SEJAK PEMBUAHAN a.Postulat 1) Karena pembuktian positif sulit, meskipun juga posisinya tak dapat digulingkan dan dipersalahkan begitu saja. 2) Banyak kalangan tidak mengikuti posisi Gereja Katolik. Lafal sumpah kedokteran diubah dari :sejak pembuahan” menjadi ”awal” tanpa keterangan lebih lanjut mengenai awal itu. b.Upaya mendukung 1) Argumentasi kedua pihak sudah diajukan dalam perdebatan 2) Kalangan katolik tentu mencari dukungan dalam ungkapan publik Magisterium

2. PELBAGAI IMPLIKASI

157

a.Terutama soal aborsi pada khususnya Dengan gigih Gereja melawan liberalisasi UU tentang aborsi, tanpna hasil yang memuaskan.

b.Pelbagai soal bioetika pada umumnya Bukan hanya soal aborsi, melainkan banyak soal lain, terutama yang termasik bioetika.

B.IMPLIKASI 1.Kalangan nonkatolik a.Pandangan hidup, khususnya agama-agama lain b.Negara (Peraturan perundang-undangan) 2.Peraturan perundang-undangan a.Dalam arus liberalisasi banyak negara, terutama di kawasan barat sejak tahun 1970-an makin menjauhkan diri dari pandangan kristiani b.Proses sekularisasi 1) Dengan demikian peraturan perundang-undangan mananegara, termasuk negara-negara dengan tradisi kristiani atau katolik jalan sendiri tanpa terlalu memperhatikan posisi Gereja Katolik. 2) Posisi Gereja dapat mempersulit kedudukan kaum kayolik 3) Contoh: Boudewijn. Raja Belgia, menyelamatkan jabatan dan hatinuraninya berdasarkan UUD Pasal 79, April 1990 untuk menghindari soal UU aborsi. Larangan penerimaan komuni politisi yang mendukung UU aborsi.

II.AKHIR HIDUP A.POSISI KATOLIK 1.Akhir ”alami” a.Proporsional Gereja tak menuntut manusia mati-matian mempertahankan hidup, melainkan dengan sarana biasa. Tiada kewajiban mengerahkan sarana luarbiasa.

b.Posisi moderat Dalam hal penyakit posisi Gereja sebetulnya moderat, tetapi banyak pihak tak berani melaksanakannya karena takut akan gugatan hukum. 2.Pelbagai implikasi Moralitas cukup jelas.

B.IMPLIKASI 1.Kalangan lain a.Pandangan hidup, khususnya agama-agama lain b.Negara

2.Peraturan perundang-undangan a.Banyak masalah

b.Dalam menyusun RUU yang disahkan menjadi UU suara Gereja kurang diindahkan.

III.MORALITAS DAN LEGALITAS A.POSISI KALANGAN KATOLIK

158

1.Keprihatinan akan nilai-nilai a.Jasa Gereja Katolik Pembelaan Gereja Katolik terhadap nilai-nilai memang luarbiasa, tetapi rupanya tanpa banyak hasil.

b.Suara Gereja Katolik 1) Dalam upaya pembelaan itu Gereja juga berani bersuara 2) Juga pada forum internasional seperti PBB

2.Hubungan antara moralitas dan legalitas a.Kaitan antara moralitas dan legalitas 1) Sampai kadar tertentu diakui banyak pihak 2) Legalitas memerlukan moralitas

b.Peraturan perundang-undangan yang mencerminkan moralitas 1) Negara tak selalu sepaham dengan moralitas Gereja 2) Negara juga tak berdaya mendesakkan moralitas Gereja ke dalam Peraturan perundang-undangan karena prosedur DPR dalam negara demokratris. Raja Belgia yang tak menyetujui sehai meletakkan jabatannya.

B.PERBEDAAN PENDAPAT 1.Pendapat Gereja Yang makin kurang diindahkan

2.Pendapat lain Yang makin diberlakukan, tentu dengan pelbagai alasan.

SUMBER REFERENSI PRIMER:25-03-1995 Evangelium Vitae 3427-02-2006 Discorso di S.S.Benedetto XVI ai participanti all’ Assemblea Generale della Pontificia Accademia Per la Vita e al Congresso Internazionale “L’embrione umano nella Fase del Preimpianto”

PASAL 36A B O R S I

I.ISTILAH DAN PENGERTIAN

/Spontaneus (tak disengaja) / /Indikasi terapiAbortus< /Motivasi< \ / \Indikasi lain \Provocatus< \ /Embrio (bulan III ke bawah) \Durasi< \Fetus (bulan III ke atas): late abortion A.ISTILAH 1.Keguguran Abortus spontaneus, keguguran, tak disengaja, adalah soal kedokteran, dan di luar penilaian moral, maka dalam teologi moral jenis ini tak dibahas

159

2.Pengguguran Abortus provocatus, disengaja, apapun motivasinya, maka masuk penilaian moral. Dalam bahasa Indonesia makin banyak dipakai istilah “aborsi” dan hanya jenis ini yang selanjutnya akan dibahas.

3.Beberapa data /1) Pendarahan a.Akibat fisik< 2) Infeksi \3) Perforasi /1) Penyesalan / rasa salah b.Akibat psikis< 2) Stress \3) Trauma

B.DEFINISI 1.Umum Aborsi ialah keluarnya (tak disengaja) atau pengeluaran (disengaja) embrio atau fe- tus dari rahim (atau perut dalam hal kehamilan ektopik) yang mengakibatkan kema- tian buah itu.

2.Keterangan tambahan Dapat ditanyakan sejauh mana tujuan dan maksud, apalagi mengingat akibat kalau tak dilakukan aborsi, dapat diharapkan mempengaruhi penilaian moral.

a.Jenis berdasarkan tujuan (obyektif) Aborsi tidak mengambang di udara hampa, melainkan mempunyai tujuan tertentu yang sering memberi nama kepada jenis aborsi. Karena tujuan itu bisa beraneka- ragam, maka tak perlu disebut satu demi satu di sini.

b.Jenis berdasarkan maksud (subyektif) Aborsi juga sering dipilih dalam keadaan tertentu (misalnya kehamilan di luar nikah) dan untuk maksud tertentu (misalnya menghindarkan kesulitan yang berkaitan dengan keadaan itu, misalnya menyisihkan aib).

II.PENILAIAN MORAL A.MORAL DAN HUKUM Meskipun bukan tempatnya di sini dan fokus pembahasan terarah pada moral, justru dalam pembahasan tema ini perbedaan antara moral dan hukum menjadi amat aktual dan harus diterapkan dengan baik, maka sebaiknya dicamkan benar-benar perbedaan ini, apalagi memang ada kaitannya. 1.Norma moral Lihatlah juga perbedaan antara aneka kategori norma. a.Unsur keputusan batin Pentingnya unsur keputusan batin untuk hatinurani termasuk teologi moral dasar sehingga dapat diandaikan saja tanpa keterasingan lebih lanjut. b.Unsur tindakan lahiriah Meskipun keputusan batin sudah menentukan moraltitas tindakan, pelaksanaan- na dengan tindakan lahiriah tidak tanpa arti, karena dapat memperparah akibat- nya.

2.Norma hukum

160

a.Titik temu di ruang publik Salah satu ciri khas norma hukum ialah fungsinya untuk menata ruang publik dengan norma-norma yang disepakati semua pihak (titik temu).

b.Tugas negara Negara betugas menyelenggarakan kepentingan umum yang juga meliputi perlindungan hak atas hidup.

1) KUHP2) UURI 36/2009 Ttg. Kesehatan

B.ARGUMENTASI MORAL 1.Beberapa prinsip atau postulat Disebut prinsip sebagai dasar dan sumber untuk gagasan beriktunya, tetapi karena tidak semua kalangan menerimanya, maka juga disebut “postulat” untuk menghor- mati keyakinan lain dan menghindari perdebatan yang berlarut-larut. a.Hidup baru mulai dengan pembuahan Tidak dipakai istilah “saat” untuk menghindari perdebatan yang mempersoalkan istilah “saat” dan lebih suka memakai istilah “proses”. Tidak semua pihak dapat menerima gagasan ini, dan lebih condong untuk mem- Perlakukan buah fertilisasi sebagai manusia di saat kemudian Untuk lafal sumpah dokter ada yang mengusulkan supaya “sejak pembuahan” diganti dengan “sejak awal”. b.Hidup sebelum dan sesudah kelahiran pada dasarnya sama Salah satu konsekuensi gagasan di atas ialah bahwa kita tak bisa menentukan saat janin belum dan saat janin sudah manusia, apalagi saat kelahiran. Konsekuensi gagasan ini besar, misalnya juga sebelum kelahiran anak tak boleh diperlakukan sembarangan, melainkan harus dihargai sebagai manusia.

c.Hidup pada dasarnya sama Gagasan ini penting karena dengan itu segala pembedaan diskriminatif berdasar- kan diri apapun tak dibenarkan.

d.Hidup janin adalah hidup tersendiri, meskipun terjalin erat dengan dan ter- gantung pada hidup ibu. Dengan demikian embrio dan fetus tak boleh diperlakukan seperti usus buntu yang dapat dikurbankan demi keselamatan ibu.

2.Paham “pribadi” a.Pengertian Harus diakui adanya pelbagai paham “pribadi” (persona) juga sejauh mana buah fertilisasi persona atau bukan.

b.Konsekuensi moral Kalau embrio hasil pembuahan sudah berstatus sebagai persona yang mempunyai hak atas hidup, maka segala tindakan yang mengganggu hak itu harus dihindari.

3.Sakralitas kehidupan a.Pengertian Dengan “sakralitas” dimaksudkan keadaan yang tak boleh diganggu-gugat.

b.Konsekuensi moral Kalau sakralitas embrio diterima, maka tindakan apapun yang mengganggunya, aborsi atau penghancurannya tidak dapat dibenarkan.

161

4.Hak embrio atau fetus dan hak perempuan a.Pengertian 1) Embrio dipahami sebagai hidup baru dengan hak atas hidup 2) Pada dasarnya nilai hidup tidak tergantung pada jenis kelamin, maka setara.

b.Konsekuensi moral Tindakan apapun yang mengganggu embrio atau fetus tidak dapat dibenarkan.

5.Tugas Negara melindungi kehidupan a.Tujuan dan fungsi Negara 1) Negara ada untuk menilungi nilai-nilai dasar,antara l;ain dengan UU. 2) Adapun perlindungan hidup termasuk tugas Negara.

b.Konsekuensi moral dan hukum Maka Negara juga bertugas melindungi hidup embrio atau fetus. 6.Pelbagai indikasi a.Indikasi vital 1) Indikasi vital berarti hidup ibu bersaing dengan hidup anak yang dikandung- nya. 2) Sesuai dengan prinsip satu tindakan dengan akibat ganda, dokter dibenarkan menyelamatkan hidup ibu yang lebih pasti dapat diselamatkan, sedangkan kematian anak dalam kandungan dianggap sebagai efek sampingan. b.Indikasi medis 1) Dengan indikasi medis dimaksudkan bukannya hidup yang bersaingan, melainkan kesehatan. 2) Dalam tradisi soal ini termasuk masalah batas. Kecenderungan dewasa ini mengutamakan hidup ibu, apalagi kalau soalnya mendekati indikasi vital.

c.Indikasi eugenis dan embriopatis 1) Indikasi eugenis dan embriopatis berkisar pada soal penyakit atau cacat. 2) Kecenderungan pemecahannya: tidak membenarkan “seleksi”.

d.Indikasi kriminologis 1) Dengan indikasi kriminologis dimaksudkan pembuahan hasil kejahatan perkosaan. 2) Juga embrio atau fetus yang bukan buah kasih, mempunyai hak atas hidup. e.Beberapa indikasi lain Jumlah indikasi amat banyak. Prinsip yang dipegang ialah hak atas hidup embri yang dianggap sudah pribadi manusia, dan harus dilindungi Negara.

C.HUKUM 1.Hukum Negara a.KUHP Dalam KUHP ditegaskan larangan aborsi. NB.KUHP yang berlaku di R.I. berasal dari zaman Hindia Belanda. b.UU RI No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 75 dst. Juga dalam UU tentang kesehatan aborsi tidak dibenarkan, tetapi ada kekecualian. Akan dibahas tersendiri dalam ekskurs.

162

2.Hukum Gereja a.KHK kanon 1398 1) Kanon.1398 mengancam aborsi dengan hukuman ekskomunikasi otomatis. berlaku 2) Penafsiran otentik 23 Mei 1988 yang menegaskan bahwa cara dan waktu tak menentukan.

b.Pelaksanaan 1) Bahaya birokrasi sentralistis yang kurang mendukung pengakuan aborsi yang memang banyak terjadi. 2) Bermacam-macam, tergantung pada hukum partikular yang berlaku.

/ I. Pil aborsi / II. Beberapa soalEkskurs< \ III.UURI 36/2009 \IV.Pastoral sakramen tobat pelaku aborsi

EKSKURS I: ”PIL ABORSI” (RU 486, MIFEPRISTONE, MIFEGYNE, MIFEPREX)

I.DATA A.SEDIKIT SEJARAH 1.Penemuan a.Awal 1975 mulai penelitian Awal 1980 Etienne-Emile-Bailieu bersama Tim Peneliti dari Roussel Uclaf mencari sarana antikanker, dan menemukan preparat antihormonal antiprogeste- ron yang akan menjadi pil aborsi. b.RU 486 Testing klinis terjadi pada tahun 1982 1988 Lisensi pertama di Perancis, kemudian tersebar di mancanegara Eropa dan Amerika.

2.Penggunaan a.Perdebatan Pelepasan RU 486 terutama di negara-negara kawasan barat, tidak tanpa perdebatan dan kebijakan simpang-siur.

b.Akhirnya Di kebanyakan negara RU 486 boleh beredar. Nama dagang: Mifegyne / Mifeprex

B.CARA KERJA 1.Progesteron mempersiapkan dan mempertahankan dinding rahim untuk menerima implantasi embrio

2.Antiprogesteron merontokkannya sehingga kehamilan tak dapat dilanjutkan dan bila RU 486 ditelan bersama prostaglandin yang memicu kontraksi, menjadi alternatif untuk aborsi sirurgis.

163

II.PENILAIAN MORAL A.Tujuan dan cara 1.Kesepakatan Kebanyakan penilaian teolog moral mengenai penggunaan RU 486 sejak semula searah. 2.Tiada perbedaan a.Tujuan sama dengan aborsi sirurgis (bedah) b.Cara berbeda tidak mengubah penilaian moral

B.Moral dan hukum 1.Perbedaan fungsi a.Moralitas b.Legalitas

2.Perlindungan hak atas hidup a.Hidup manusia termasuk nilai dasar b.Kewajiban negara untuk melindunginya

EKSKURS II: BEBERAPA SOAL ABORSI Di sini diangkat sejumlah tanggapan Takhta Suci atas beberapa soal aborsi. Tanggal juga dicantumkan karena kemungkinan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran membawa pemecahan lain. /1.Uterine Isolation / 2.Morning-after Pill Soal < \ 3.Embrionic Reduction \ 4.Partial-Birth Abortion

I.BEBERAPA TANGGAPAN TAKHTA SUCI A.”UTERINE ISOLATION” (Alat antihamil dalam rahim) 1.Soal a.Histerektomi karena luka serius rahim diakibatkan kelahiran atau sectio caesarea b.Histerektomi untuk mencegah bahaya karena pembuahan c.Apakah ”uterine isolation” diperbolehkan sebagai gantinya histrektomi untuk mencegah risiko kehamilan 2.Jawaban 30-7-1993 a.Ya, boleh b.Tak boleh c.Tak boleh Alasan dibenarkannya a: karena terapeutis Alasan dilarangnya b & c karena termasuk sterilisasi direk.

B.”MORNING-AFTER PILL” (Pil pagi sesudahnya) 1.Soal a.Preparat ini hormonal dan mengubah keadaan dinding rahim b.Akibatnya implantasi tak mungkin dan dipakai dalam 72 jam sesudah pembuahan.

2.Jawaban 11-10-2000 a.Penghambat implantasi

164

b.Statement on the so-called ”Morning-after Pill” 11-10-2000

C.”EMBRIONIC REDUCTION” (Aborsi selektif) 1.Soal: kehamilan multipel karena stimulasi indung telur atau karena inseminasi artifisial. 2.Jawaban 12-7-2000 a.Reduksi dengan aborsi tak dibenarkan b.Juga bahaya aborsi selektif dan eugenis D.PARTIAL-BIRTH ABORTION (Aborsi anak waktu lahir) 1.Soal a.Persona hanya bayi yang sudah kelihatan keluar dari tubuh itu b.Bayi yang akan lahir dikosongkan isi kepalanya dan gugur. c.Dibenarkan UU di Amerika

2.Jawaban 29-3-2003 a.Kejam b.Mungkin bukan hanya aborsi, melainkan pembunuhan anak.

II.TANGGAPAN A.CATATAN UMUM 1.A & B soal kontrasepsi a.Soal ”Uterine Isolation” b.Soal ”Morning-After Pill”, bila belum terjadi pembuahan.

2.C & D soal aborsi a.Soal ”Embrionic Reduction” b.Soal ”Partial-Birth Abortion 3.Konsisten a.Larangan kontrasepsi b.Larangan aborsi 1) Argumen hak atas hidup 2) Argumen maksud baik tak menghalalkan sarana buruk

B.CATATAN KHUSUS 1.Kesulitan dalam praktek a.Tanggungjawab dokter menyelamatkan hidup b.Tindakan pengamanan preventif

2.Prioritas a.Pihak pasien ybs. b.Pihak pelayan kesehatan

EKSKURS III: ABORSI DALAM UURI 36/2009 TENTANG KESEHATAN

I.DATA A.UURI 36/2009 PASAL 75-76 DAN PENJELASANNYA 1.Teks Pasal 75 menyebutkan: 1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi, 2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaaan,

165

maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan;atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan; 3. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan pasal 76 menyebutkan:Aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. sebelum kehamilan berumur 6(enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;dan e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.(ant/waa)(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; ataub. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korbanperkosaan;(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakanyang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 76Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dane. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 77Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.Penjelasan Pasal 75 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan konselor adalah setiap orang yang telah memiliki sertifikat

166

sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu. Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 76 Cukup jelas

Pasal 77 Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku, diskriminatif; atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis.

B.PENAFSIRAN 1.Peraturan Hendaknya teks dibaca sendiri karena di sini diberikan hanya ringkasan yang tak memuat seluruh rincian peraturan, dan juga perlu diperhatikan perubahan UU yang seringkali terjadi di Indonesia. a.Pada dasarnya Aborsi dilarang b.Kekecualian Namun ada dua hal menjadi kekecualian, yakni 1) Kedaruratan 2) Kasus perkosaan 2.Ringkasan gagasan Untuk mempermudah menangkap peraturan UU ini selayang pandang kiranya bermanfaat diberikan ringkasannya: a.Pada prinsipnya atau pada umumnya aborsi dilarang b.Ada dua kekecualian, yakni: /a) mengancam hidup 1) Kasus kedaruratan< b) penyakit genetik berat atau cacat bawaan \ c) sulit hidup luar kandungan 2) Kasus perkosaan (trauma) c.Persyaratan aborsi yang termasuk kekecualian itu, selain PP: 1) Konsultasi sebelum dan sesudahnya dengan konselor yang kompeten dan berwenang. 2) Sebelum kehamilan berumur 6 minggu 3) Oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan kewenangan (serfifikat) 4) Dengan persetujuan ibu hamil ybs. 5) Seizin suami (kecuali kurban perkosaan) 6) Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat 7) Tak bertentangan dengan norma agama

c.Tujuan 1) Mengurangi angka kematian ibu karena aborsi tak baik. /Tak bermutu 2) Aborsi tak baik< Tak aman \Tak bertanggungjawab

167

II.PENILAIAN A.REAKSI 1.Kekecualian tak sesuai dengan moralitas a.Reaksi pemuka agama yang berhimpun dalam majelis agama-agama b.Reaksi pelbagai kalangan masyarakat 2.Sepaham? a.Paham berbeda Dari pelbagai reaksi yang sama itu belum tentu dapat disimpulkan paham yang sama pula. b.Kepentingan yang sama Kiranya dari reaksi yang sama itu dapat disimpulkan kepentingan yang sama yang menjadi titik temu mereka.

B.MORAL DAN HUKUM 1.Relasi antara keduanya a.Hukum membutuhkan dan mencerminkan moral b.Menurut paham katolik bahkan hukum tak dibenarkan melanggar hukum kodrati 2.Fungsi berbeda a.Hukum urusan Negara di ruang publik dan harus ditaati semua. b.Moral urusan Agama di ruang privat dan harus ditaati penganutnya.

3.Dalam negara yang berketuhanan a.Harus ada moral umum minimal yang berlaku bagi semua b.Negara bertanggungjawab atas kesejahteraan umum yang meliputi perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak hidup, maka aborsi menjadi soal.

EKSKURS IV ABORSI DALAM PASTORAL SAKRAMEN TOBAT PELAKU YG.KENA EKSKOMUNIKASI

I.PERATURAN A.HUKUM Kan.1398 1.Ekskomunikasi otomatis a.Ekskomunikasi 1) Hukuman berat. Bdk.Definisi aborsi dlm.KHK 1917 kan.2257 2) Diperberat lagi dengan ketentuan ”otomatis” dan ”reservasi”.

b.Otomatis 1) Tak harus dijatuhkan lebih dulu: ”latae sententiae”, bukan ”ferendae sententiae”. 2) Dengan demikian semua kasus tersembunyi terjaring.

2.Reservasi a.Hanya Uskup yang berwenang b.Tanda beratnya pelanggaran B.PENAFSIRAN OTENTIK 23-05-1988 1.Waktu tak menentukan a.Sejak pembuahan b.Tidak ada waktu lain

168

2.Cara tak menentukan a.Cara termasuk soal teknis b.Cara tak mengubah moralitas

II.KEBIJAKAN PASTORAL Kebijakan ini hanya kemungkinan, tak otomatis berlaku. Diharapkan agar di satu pihak keprihatinan Gereja tetap diindahkan, dan di lain pihak kebijakan pastoral ini dapat dijalankan. Imam dapat menyebut jumlah (hanya jumlah, jadi tanpa melanggar kerahasiaan sakramen tobat) agar Uskup mendapat gambaran mengenai keadaan. A.PERLU PENEGASAN HUKUM PARTIKULAR 1.Pelimpahan kuasa (delegasi) absolusi dari ekskomunikasi 2.Kepada semua imam yang mempunyai wewenang absolusi B.Tindakan imam 1.Menanyai peniten apakah tahu atau tidak ancaman ekskomunikasi. 2.Bila peniten tahu ia kena ekskomunikasi 3.Imam memberi absolusi dari ekskomunikasi lebih dulu. 4.Lalu baru memberi absolusi sakramental. 5.Imam diharapkan mengingatkan peniten akan seriositas aborsi.

SUMBER REFERENSI PRIMER:19-11-1974 Quaestio de abortu procurato25-03-1995 Evangelium vitae 58-6315-08-1997 KGK 2270-2275

PASAL 37PEMERIKSAAN

Tema ini memang sudah disinggung dalam rangka pembahasan genetika, tetapi kiranya kini perlu lebih dicermati sehubungan dengan awal hidup

/ I.Sebelum pembuahanPemeriksaan < II.Sebelum implantasi \III.Sebelum kelahiran

I.PEMERIKSAAN SEBELUM PEMBUAHAN (“Preconception”) A.PENGERTIAN 1.Keterangan waktu a.Sebelum pembuahan 1) Kesamaan dengan semua pemeriksaan lainnya ialah keterangan waktu, yakni “sebelum” akibat yang tidak diinginkan. 2) Perbedaannya etis amat besar, dalam hal pemeriksaan sebelum pembuahan, belum ada hidup baru yang dipersoalkan. 3) Di sini dengan keterangan waktu dimaksudkan waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, meskipun teretis bisa saja waktu itu menyangkut saatn sesudah perkawinan dan sebelum pembuahan yang membawa soal etis tersendiri.

b.Pertimbangan ke depan Orang yang mengadakan pemeriksaan sebelum pembuahan juga merasa bert- anggungjawab dan memikirkan masa depan keturunan yang akan lahir dari perkawinan mereka.

2.Keprihatinan mengenai akibat a.Mencari kepastian

169

1) Kepastian tentang nasib keturunan dapat diperoleh dengan pemeriksaan sebelum pembuahan. 2) Hasil pemeriksaan itu minta ditanggapi. Kesimpulan apa yang akan ditarik dan keputusan apa yang akan diambil? b.Citarasa tanggungjawab 1) Pasangan dapat menghadapi dilema nila hasil pemeriksaan itu menyatakan adanya risiko bagi keturunan. 2) Dilema itu menyangkut keputusan yang akan diambil: jadi nikah atau tidak? B.PENILAIAN 1.Prokreasi a.Prokreasi sebagai nilai 1) Tidak hanya menurut budaya Indonesia, melainkan juga menurut ajaran kato- lik keturunan adalah nila yang juga didambakan keluarga.. 2) Selain nilai familial, keturunan juga merupakan nilai sosial: warga masyarakat generasi mendatang.

b.Prokreasi sebagai kewajiban status 1) Menurut ajaran katolik suami-istri memang diharapkan melakukan sanggama natural. 2) Namun juga ada kewajiban status, sehingga menghindari keturunan juga dengan sanggama natural tak dapat disesuaikan dengan kewajiban status.

2.Nilai yang diutamakan dalam keputusan a.Dilema pasangan 1) Menempuh risiko keturunan yang mengidap penyakit tertentu. 2) Memutuskan untuk menghentikan hubungan kasih dan tidak menikah satu sama lain. b.Mengecilkan risiko Kemungkian lain (bisa dipikirkan meskipun dilema tetap) ialah mengecilkan risiko, misalnya dengan berusaha mengobatinya.

II.PEMERIKSAAN SEBELUM IMPLANTASI (”Preimplantation”) A.PENGERTIAN 1.Juga keterangan waktu, tetapi.. a.Dalam proses Fertilisasi in vitro 1) Dalam pengertian “Pemeriksaan praimplantasi” sudah tersirat keterangan waktu. 2) Tetapi keterangan waktu ini tidak melulu menyangkut waktu, yakni sebelum implantasi. 3) Hal yang juga harus ditanyakan ialah, mengapa sebelum implantasi? Apa tujuan yang dimaksudkan? b.Menantikan hasil pemeriksaan 1) Tentu hasil pemeriksaan harus diketahui lebih dulu. 2) Tetapi apa tindakan berikutnya?

2.Seleksi Lepas dari soal moralitas fertilisasi in vitro, ada dua kemungkinan: a.Tidak jadi implantasi Kalau hasil pemeriksaan itu mengecewakan karena risiko penyakit atau cacat embrio yang dikandung, maka embrio itu tidak jadi dimasukkan, melainkan

170

dibuang.

b.Jadi implantasi Dapat juga diputuskan melaksanakan implantasi embrio yang menurut pemerik- saan itu mengandung risiko, tetapi pasangan siap mental untuk pada waktunya mengobatkannya,

B.PENILAIAN 1.Pemeriksaaan praimplantasi secara abstrak a.Tak dapat ditolak begitu saja Keinginan mendapat keturunan yang sehat dan utuh dapat dipahami, juga me- ngingat kemungkinan reaksi masyarakat yang mengejek.

b.Apalagi kalau tak dikaitkan dengan hal-hal lain yang harus ditolak Bisa saja keinginan untuk mendapat keturunan yang sehat dan utuh dikaitkan dengan “seleksi” yang bertekad membuang embrio yang tak diinginkan.

2.Pemeriksaan praimplantasi secara konkret a.Terkait dengan hal-hal lain yang tak dapat dibenarkan 1) Proses seleksi dan menjurus kepada eugenika dengan aborsi 2) Maksud aborsi

b.Harus dinilai kasus demi kasus Apa yang dilaksanakan bisa macam-macam, maka tak dapat dinilai hanya abstrak saja

III.PEMERIKSAAN SEBELUM KELAHIRAN (”Prenatal”) A.PENGERTIAN 1.Soal waktu a.Jauh lebih luas daripada pemeriksaan prakonsepsi dan praimplantasi Jauh lebih banyak tindakan dapat dibayangkan dalam hal pemerikaan sebelum kelahiran. b.Menyangkut soal kapan mulai hidup manusia yang mempunyai hak atas hidup

1) Posisi Gereja katolik mengenai kapan mulai hidup baru sudah jelas mes-kipun dipertanyakan banyak pihak.

2) Hak atas hidup tak boleh dinilai melulu menurut hukum positif yang mem-butuhkan kepastian yang dapat dipegang.

2.Bukan hanya soal waktu a.Maksud terapi dini Pemeriksaan sebelum kelahiran dapat dimaksudkan sebagai sikap siap mental dan persiapan untuk terapi dini.

b.Maksud abortif Pemeriksaan sebelum kelahiran dengan maksud abortif tak dapat benarkan.

B.PENILAIAN 1.Pemeriksaan abstrak a.Tak dapat ditolak begitu saja b.Harus ditolak kalau terkait dengan tindakan yang tak dapat dibenarkan.

171

2.Pemeriksaan konkret a.Untuk memperoleh kepastian dan agar siap mental

b.Untuk aborsi

PASAL 38KLONING & SEL PUNCA (Stemcell)

Keduanya saling berkaitan dengan erat sekali, maka sebaiknya dibahas dalam satu pasal sehubungan dengan awal hidup. Sebaiknya diindahkan bahwa perkembangan soal-soal nonteologis ini pesat sekali, maka ”stand” masa depan tak diketahui dengan pasti saat ini. Hendaknya diperhatikan bahwa citra Gereja sering negatif, seolah-olah selalu menentang kemajuan, maka sebaiknya dicamkan bahwa di balik ”Tidak” (yang menunjukkan rambu-rambu demi kebaikan manusia sendiri), ada ”Ya” besar yang memberanikan peneliti. Contoh: keberatan Gereja terhadap penggunaan sel embrionik, mengakibatkan penelitian sel ”adult” yang ternyata amat berguna. Moral tak hanya menilai dengan melarang hal-hal lampau, melainkan juga proaktif memberi orientasi ke masa depan, terutama kepada kalangan yang condong bersikap ”pragmatis” (Maksud baik menghalalkan segala cara).

Keterangan Pendahuluan:1.Titik tolak berbeda a.Ada yg.sudah tahu b.Ada yg.belum

2.Kita pilih saja awal. Bagi yg.sudah tahu ulangan.

3.Tubuh manusia a.Susunan Organ jaringan sel kromosom genom gen DNA b.Pemeliharaan /usang krn.usia: perlu dibaharui/diganti Organ< atau \rusak/sakit krn.kecelakaan: perlu diperbaiki/diganti

Bisa dibayangkan optimisme pembawa harapan pengobatan regeneratif, masih perlu penelitian lebih lanjut, maka marah kalau Gereja dianggap menghambat. c.Oleh apa & bagaimana? /membelah diri Oleh sel yg.< \diferensiasi/spesialisasi menjadi sel organ /totipoten Poten = daya bisa jadi / pluripoten Toti = segala d.Sifat sel< Pluri = amat banyak \ multipoten Multi = banyak \ unipoten uni = satu

/embrionik embrio membelah diri sampai tahap blasyocyst e.Sel punca< \dewasa (”adult”) diambil dari orang dewasa

172

/Hak hidup/martabat persona4.Penilaian Gereja< & \Martabat prokreasi

Maka pada umumnya ini dapat menjadi tolok-ukur penilaian moral.

I.KLONING (”cloning”) A.PENGERTIAN DAN JENIS-JENIS UTAMA 1.Pengertian a.Apa yang tak dimaksudkan Tidak dimaksudkan kloning dalam arti luas yang sudah lama terjadi, misalnya dalam ilmu hewan atau tanaman, yakni perkembangan alami atau artifisial sel- sel atau organisme yang genetis identis. b.Apa yang dimaksudkan Di sini dimaksudkan apa yang terjadi misalnya dalam kedokteran reproduksi dan biologi sel, yakni “kloning” dalam arti ketat sebagai pembuatan artifisial organisme atau bagian-bagian hakiki daripadanya, berpangkal pada informasi genetis (DNA = Desoxyribonucleic acid, yakni pembawa informasi warisan) yang diambil dari organisme yang sudah ada. Untuk itu diperlukan sel-sel totipoten, pada umumnya sel-sel embrio.Dengan cara itu didapatkan ontogenese (perkembangan) yang menjadi individu yang genetis sama dengan organisme itu.

2.Jenis Dari sekian banyak jenis cukuplah diangkat yang berkaitan dengan tujuannya. a.Kloning terapeutis Dari namanya sudah dapat disimpulkan tujuannya: untuk pengobatan, dan inilah harapan dan dorongan besar untuk mengadakan penelitian.

b.Kloning prokreatif Minat akan kloning prokreatif tentu juga ada, dan dikaitkan dengan pelbagai ke- pentingan, misalnya untuk pasangan yang menginginkan keturunan. Dalam dunia infrahuman untuk mengatasi masalah satwa langka atau terancam kepu- nahan (atau sudah punah) dalam rangka memelihara keanekaragaman hayati. B.PENILAIAN 1.ABSTRAK a.Maksud atau tujuan Maksud atau tujuan terapeutis kiranya tak dapat ditolak, tetapi apa implikasinya? Maksud atau tujuan prokreatif harus diteliti lebih lanjut. Gereja menuntut jalan natural untuk prokreasi, yang martabatnya dijunjung tinggi.

b.Cara Tetap berlaku maksud atau tujuan yang baik tidak menghalalkan sarana yang tak dapat diterima, maka harus ditanyakan apakah caranya tak terlepaskan dengan tujuan atau maksud itu.

2.KONKRET a.Kaitan konkret dengan metode yang tak dapat dibenarkan 1) Instrumentalisasi (pemeralatan) embrio 2) Penghancuran embrio

173

3) Maka tujuan terapeutis sebaiknya tidak dengan memakai embrio, melainkan sel manusia dewasa.

b.Risiko Pelbagai risiko (terutama bagi manusia dan lingkungan hidup) yang belum diketahui dan harus diperhitungkan. Keamanannya harus dipastikan.

3.Kloning a.Prokreatif 1) Tak dibenarkan Dalam DV sudah ditegaskan bahwa prokreasi artifisial tak dibenarkan. 2) Risiko Pengalaman kita masih kurang untuk menegaskan, apakah kloning prokreatif dapat diterima atau tidak, selain soal martabat prokreasi.

b.Kloning terapeutis 1) Tak dibenarkan bila berarti memperalat embrio yang dihancurkan 2) Dapat dibenarkan bila diambil dari sel orang dewasa, jadi tanpa menghanurkan embrio.

II.SOAL SEL PUNCA (Stem cell) Soal ini masih dekat dan berkaitan dengan soal kloning, tapi sebaiknya dibicarakan ter- sendiri. Masalah ini memang masih dalam tahap penelitian dan bisa dibahas dalam rangka riset, tetapi dalam teologi moral katolik tentang kehidupan, yang merupakan keprihatinan Gereja, kiranya juga dapan dibahas dalam rangka perlindungan hidup pa- da tahap dini. A.PENGERTIAN /Sel tunas Terjemahan stem cell < Sel induk \Sel punca 1.Sel punca a.Arti Sel punca ialah sel yang belum mengalami diferensiasi tuntas, artinya, belum mendapat bentuk spesialisasi untuk tugas khusus (misalnya sebagai sel kulit atau organ lain) dalam organisme.

b.Jenis-jenis 1) Totipoten, artinya belum mengalami diferensiasi dan bisa menjadi segala, masih bisa berkembang menjadi individu. Sel-sel totipoten dihasilkan oleh perpaduan sel telur dan sel sperma dan bersifat totipoten selama pembelahan-pembelahan pertama. Diferensiasi menjadi sel-sel embrio dan bukan. 2) Pluripoten, artinya masih bisa menjadi banyak hal. Keturunan dari sel-sel totipoten dan diferensiasi menjadi tiga lapisan embrio (Entoderm, ektoderm, mesoderm). 3) Multipoten, artinya, hanya bisa diferensiasi menjadi sel-sel terdekat, misal- na butir-butir darah merah atau putih dsb.). 4) Unipoten, artinya. Hanya bisa menghasilkan satu jenis sel, tetapi bisa memba- harui diri, maka berbeda dengan sel yang bukan sel punca.

2.Penggunaan sel punca Dapat dibayangkan betapa besar peran sel induk untuk pelbagai kepentingan

174

manusia, dan betapa besar peningkatan kemampuan manusia, sehingga timbul masalah etis: bolehkah (moral, hukum) manusia melakukan apa yang bisa (teknis) dilakukannya?

a.Terapeutis Seperti sudah kita lihat dalam pasal tentang genetika, tak terbayangkan revolusi dalam pengertian sehat-sakit dan terapi.

b.Prokreatif Awal kehidupan di tangan manusia yang dapat bertindak sebagai “pencipta” ke- hidupan.

B.PENILAIAN Meskipun banyak hal lebih merupakan pengiraan dan harapan, sehingga juga peni- laian moral sulit, di sini diberikan beberapa gagasan yang tentu perlu ditinjau kembali sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Mengenai transplantasi sel dalam rangka terapi lihatlah juga uraian tt.transplantasi 1.UURI No.36 Tahun 2009 a.Teks Pasal 70 (1) Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dirang digunakan untuk tujuan re- produksi. (2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca embrionik. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca sebagaimana dimak- sud pada ayat (1) dan ayat 2) diatur dengan Peraturan Menteri.

b.Penjelasan pasal 70 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”sel punca” dalam ketentuan ini adalah sel dalam tubuh manusia dengan kemampuan istimewa yakni mampu memperbaharui diri atau meregenerasi dirinya dan mampu berdiferensiasi menjadi sel lain yang spe- sifik. SUMBER REFERENSI PRIMER: KLONING: 1997 Reflections on Cloning 1998 Notes on Cloning 11-02-2000 J.L.Tauran, The Defence of Life in the context of International Policies and Norms 19-11-2001 Intervention of H.E.Mons.Renato R.Martino at the UNO ”On International Convention Against the Reproductive Cloning of Human Beings” 23-09-2002 Intervention by the Holy See Delegation at the Special Committee of the 57th General Assembly of the UN On Human Embryonic Cloning 08-08-2003 Pontifical Council for the Family, Cloning, the disappearance of direct parenthood and denial of the Family 27-09-2004 Document of the Holy See on Human Cloning 13-02-2010 Address of His Holiness Benedict XVI to Members of the Pontifi- cal Academy for Life 

175

Intervention by the Holy See Delegation before the 6th Committee at the United Nations International Convention Against the Reproductive Cloning of Human Beings, October 21, 2004  Intervention by the Holy See Delegation at the United Nations International Convention Against the Reproductive Cloning of Human Beings, September 30, 2003  Intervention by the Holy See Delegation at the Special Committee of the 57th General Assembly of the United Nations on Human Embryonic Cloning, September 23, 2002  The Views of the Holy See on Human Cloning, Statement of the Permanent Observer Mission of the Holy See to the United Nations, 2002  Reflections on Cloning, Pontifical Academy for Life, 1997

 

SEL PUNCA: 10-03-1987 Donum Vitae 15-08-1997 Catechismus Catholicae Ecclesiae 2258-2330 25-08-2000 Pontifical Academy for Life: Declaration on the Production and the Scientific and Therapeutic Use of Human Embryonic Stem Cells 05-08-2006 Interview with H.H.Pope Benedict XVII 16-09-2006 Address of His Holiness Benedict XVI to the Participants in the Symposium on the theme: ”Stemm Cells: what future for Therapy?” orginized by the Pontifical Academy for Life 31-01-2008 Address of His Holiness Benedict XVII to the Participants in the Ple- nary Session of the Congregation for the Doctrine of the Faith 08-12-2008 Dignitas Personae

PASAL 39E U T A N A S I A

I.PENGERTIAN Pembicaraan soal eutanasia sering simpang-siur karena istilah-istilah dimengerti berbe- da, maka diperlukan penegasan mengenai apa yang dimaksudkan. Jadi, tak mengandai- kan dan mengandalkan istilah, melainkan perlu dipastikan lebih dulu, apa tepatnya yang dibahas. Salah satu sebabnya ialah karena perbedaan undang-undang di mancanagara yang mempengaruhi pengertian, sehingga lebih baik mengekas isinya lebih dulu dari- pada mengandaikan isi yang sama di balik istilah yang sama. A.UMUM 1.Dalam sejarah istilah euthanasia dipakai untuk beberapa hal: a.Aslinya: kematian yang baik: mati dengan tenang b.”Eutanasia aktif”: Mercy Killing: menghentikan kehidupan karena kasihan c.”Eutanasia pasif”: Tidak mengambil atau menghentikan tindakan yang memperpanjang penderitaan d.”Penyelesaian tuntas”: Kejahatan di zaman nasional-sosialisme Hitler, seleksi: membunuh hidup yang dianggap layak hidup (lebensunwertes Leben): ras: Yahudi, gipsy, orang cacat.

2.Medis: Menghentikan kehidupan atau melakukan tindakan atau mengabaikan tindakan

176

yang mengakibatkan kematian. B.JENIS (YANG ETIS RELEVAN) “Aktif-pasif”, “direk-indirek” tak selalu dipakai dalam arti yang sama, maka harus dipastikan lebih dulu artinya, untuk menghindari salah paham. “Etis relevan”: berarti dua, yakni tidak dilihat dari sudut medis cara bagaimana (bisa banyak), dan tidak diutarakan bunyi hukum bagaimana, karena peraturan perun- dang-undangan mancanegara berbeda dan sering berubah, maka tak mungkin menyebut semuanya di sini.

1.Sehubungan dengan akibat tindakan a.Eutanasia aktif Melakukan tindakan yang mendatangkan atau mempercepat kematian atas permintaan penderita

b.Eutanasia pasif Tidak melakukan upaya atau (kalau sudah dilakukan) menghentikan upaya memperpanjang hidup penderita Soal: Upaya apa? Penanganan biasa termasuk perawatan (“care”) dan bukan pengibatan/ penyem- buhan (“cure”). Makan, minum, udara segar, kebersihan termasuk perawatan; bagaimana dengan antibiotika, obat, bedah?

2.Sebubungan dengan maksud pelaku a.Eutanasia direk Melakukan tindakan untuk mendatangkan atau mempercepat kematian.

b.Eutanasia indirek Melakukan tindakan yang berakibat ganda, di satu pihak meringankan penderi- taan penderita (hal ini yang dimaksudkan, tetapi di lain pihak memperpendek hidupnya (ini efek sampingan yang memang diprakirakan, tetapi tak dimaksud- kan).

3.Klasifikasi lain Karena banyak istilah dipakai, dan di balik istilah yang sama sering ada pengertian yang berbeda, maka sebaiknya disebut beberapa yang tak jarang juga dipakai, agar mengerti apa yang dimaksudkan kalau menjumpainya. a.”Involuntary euthanasia” Eutanasia melawan kehendak orang, termasuk pembunuhan.

b.”Non-voluntary euthanasia” Eutanasia orang yang tak kompeten (tak mampu mennyatakan kehendaknya , sehingga diputuskan oleh orang lain yang mewakilinya.

c.”Voluntary euthanasia” Eutanasia dengan perseujuan orang ybs.

d.”Aggressive euthanasia” Eutanasia yang menggunakan zat yang mematikan

e.”Non-aggressive euthanasia” Eutanasia dengan mencabut upaya biasa yang mendukung kehidupan. Soal: Apa yang dimaksud dengan “upaya pendukung kehidupan”. Apakah alat bantu pernapasan” biasa atau luarbiasa?

177

4.Bahasa media massa dan bahasa teologi moral Sebaiknya diperhatikan perbedaan bahasa, maka dipastikan lebih dulu apa yang dimaksud. Kebanyakan orang memakai bahasa media massa yang menjangkau dan memperkenalkannya kepada begitu banyak orang, sehingga menjadikannya istilah yang lazim. Yang menentukan bukan istilah (yang berkembang dan tergantung di mana), melainkan apa yang dimaksudkan.

a.Media massa: /Aktif: Sasaran Kematian Eutanasia< \Pasif: Sasaran Meringankan derita b.Teologi moral katolik: (Penerapan prinsip Moral Dasar tentang “direk” dan “indirek” atau prinsip “satu perbuatan dengan akibat ganda”). /Direk: Sasaran Kematian / Tak dibenarkan Eutanasia< \ \Indirek: Sasaran Meringankan derita, meski mempercepat mati. Dibenarkan

5.Bukan euthanasia a.Membantu penderita dalam meninggal sesuai dengan martabat manusia b.Kedokteran paliatif II.PENILAIAN MORAL A.PRINSIP KEWAJIBAN MEMELIHARA HIDUP DARI AWAL SAMPAI AKHIR ALAMI 1.Manusia wajib memelihara hidup dengan sarana biasa a.Ekspektasi (prakiraan) dan harapan akan keberhasilan b.Sarana teruji dan risiko c.Rasa sakit biasa d.Biaya terjangkau

2.Manusia tidak wajib, tetapi boleh memakai sarana luarbiasa a.Ekspektasi (prakiraan) akan keberhasilan b.Sarana kurang teruji c.Rasa sakit berat d.Biaya tak terjangkau

B.MORAL SEHUBUNGAN DENGAN EUTANASIA 1.Ditolak Eutanasia aktif Hendaknya hati-hati dengan istilah.

2.Dibenarkan Eutanasia pasif

Hendaknya hati-hati dengan istilah. Ada yang menganggapmya bukan euthanasia.

D.ADAKAH HAK ATAS MATI? 1.Tiada hak atas mati begitu saja

178

a.Manusia bukan Tuhan atas hidup dan mati, maka ia tak mempunyai hak untuk menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan meninggal.

b.Juga otonomi penderita tidak mutlak, melainkan terbentur pada batas ini.

2.Ada hak atas mati sesuai dengan martabat manusia a.Memang ada hak untuk meninggal sesuai dengan martabat manusia, artinya: mengingat perkembangan ilmu dan teknologi yang makin berkuasa, memperkenankan (allowing) orang meninggal, kalau saatnya sudah tiba.

b.Proses meninggal termasuk tahap terakhir kehidupan yang juga me- merlukan reksa pastoral yang sesuai.

Sumber referensi primer:05-05-1980 Iura et Bona25-03-1975 Evangelium vitae 64-6715-08-1997 KGK 2276-2279

EKSKURS : GANGGUAN KESADARAN (KOMA, STATUS VEGETATIF DSB.)Masalah bisa timbul dalam keadaan gangguan kesadaran yang meliputi beberapa kasus, misalnya koma dan keadaan vegetatif.

I.PENGERTIAN A.KEADAAN GANGGUAN KESADARAN 1.Apa yang dimaksudkan a.Gangguan Gejala psikopatologis berupa gangguan fungsi kejiwaan manusia

b.Kehilangan Gangguan ini tak hanya sampai berfungsi kurang baik, melainkan dapat mencapai tingkat sampai kehilangan kesadaran

2.Gejala a.Koma

b.Keadaan vegetatif Multi-Society-Task-Force 1994 menyebut kriteria sbb.: a.Kehilangan kesadaran mengenai diri sendiri dan lingkungannya 3.Soal istilah a.Koma

b.Keadaan vegetatif. Banyak kalangan tak senang dengan istilah ini (asosiasi ”vegetative” dengan ”vegetable“ yang berarti sayur-sayuran), dan apabila melewati waktu tertentu (setengah atau satu tahun disebut „persistent vegetative state“). Kita tak memper- soalkan istilah, melainkan lebih terarah pada keadaan yang kini diungkapkan dengan istilah itu.

B.KEADAAN TAK PASTI 1.Salah diagnose

2.Bagaimana perkembangan selanjutnya

179

3.Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran

II.PENILAIAN MORAL A.MENURUT PRINSIP BIOETIKA 1.Otonomi dan ”informed consent” a.Keterbatasan otonomi 1)Kehendak Tuhan yang utama 2) Kasus khusus imam dan anggota Tarekat 3) Keterbatasan karena gangguan kesadaran

2.Maleficience dan beneficience a.Tuntutan keadaan obyektif b.Tetap berlaku pembedaan 1) Antara pengobatan dan perawatan 2) Antara biasa & seimbang dan luarbuiasa / tak seimbang

B.Menurut TM katolik 1.Pandangan ttg.manusia a.Martabat manusia Tak peduli bagaimana keadaannya, dengan atau tanpa kesadaran.

b.HAM Tetap ada, juga jika orang itu kehilangan kesadaran.

2.Beberapa kesimpulan moral a.Hak atas perawatan dasar (nutrisi, hidrasi, kebersihan, kehangatan) b.Hak atas prevensi komplikasi, sejauh dalam kuasa kita. Jadi, hak disini berarti usaha agar jangan timbul komplikasi. c.Hak atas pelayanan biasa dan proporsional

C.LALU KONKRET BAGAIMANA? 1.Kebenaran obyektif dari sudut kedokteran (Apa yang harus dilakukan?)

2.Prinsip moral katolik tetap berlaku /1) Pengobatan (”cure”) a.Perbedaan antara < dan \2) Perawatan (”care”: nutrisi, hidrasi)

/1) biasa (Ordinary & proportionate) b.Perbedaan antara< dan \2) luarbiasa

3.Keputusan wakil penderita, tergantung status orang ybs. a.Jubir keluarga b.Pimpinan Keuskupan berdasarkan inkardinasi c.Pimpinan Tarekat berdasarkan profesi

4.Living will a.Asalkan masuk akal dan dapat dipenuhi b.Tak mutlak otonomi penderita 1) Tiada hak atas mati, melainkan hanya hak atas mati sesuai dengan martabat manusia (tak dihambat dengan pelbagai upaya tercanggih dan diperpanjang penderitaannya)

180

2) Bagaimana dengan tanggungjawabnya atas orang lain? 3) Tuhan lebih tinggi daripadanya, dan imam serta anggota Tarekat meski tak dilebur, juga mempunyai pimpinan /a. cocok 5.Tindakan proporsional< b. perlu \ c. tak berlebihan

SUMBER REFERENSI PRIMER:24-11-1957 Pius XII05-05-1980 Iura et bona IV27-06-1981 Cor Unum : Questions of Ethics Regarding the Fatally ons and Dying15-11-1985 Joannes Paulus II Health Care Workers 12025-03-1995 Evangelium vitae 02-10-1998 Address of the Holy Father Pope John Paul II to the bishops of the Episcopal Conference of the United States of America (California, Nevada and Hawaii) 27-02-1999 Pontificia Accademia pro Vita, 5th General Assembly, Final Declaration: “Dignity of the Dying Person”20-03-2004 Joint Statement on the Vegetative State20-03-2004 Address of John Paul II to the Participants in the International Congress On “The Sustaining Treatments and Vegetative State: Scientific Advances and Ethical Dilemmas”01-08-2007 Responsa ad quaedam quaestiones ab Episcopali Conferentia Foederatorum Americae statuum propositas circa cibum et potum artificialiter praebenda08-12-2009 Dignitas Personae

PASAL 40PERAWATAN PALIATIF DAN HOSPITIA

Posisi Gereja Katolik tak selalu diterima orang, bahkan kadang-kadang timbul kesan: gampang omong! Namun Gereja tak hanya berbicara, melainkan juga melibatkan diri dalam pelbagai pelayanan kesehatan, juga dalam perawatan paliatif dan penyelenggaraan hospitia yang dapat menjadi alternatif untuk euthanasia aktif.

1.PERAWATAN PALIATIF A.PENGERTIAN 1.Etimologis dan perkembangan arti kata a.Etimologis “Pallium” = mantol; paliatif = menutupi dengan mantol, melindungi penderita terhadap serangan penyakit, terutama kekerasan penyakit pada tahap akhir kehi- dupan.

b.Perkembangan Seperti dapat dilihat juga dari definisi kedokteran dan perawatan paliatif tidak berhenti pada awal (maka tak dapat dipaku pada satu arti tertentu), melainkan juga mengalami perkembangan.

2.Definisi Perkembangan menunjukkan dinamika kehidupan, khususnya perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran dan kesadaran manusia, demikian pula definisi-definisi dapat saling menerangi karena belum tentu definisi terbatu lebih jelas daripada se- belumnya. a.WHO 1990 “..the active total care of patients whose desease is not responsive to curative

181

treatment. Contol of pain, other symptoms, and of psychological, social, and spiritual problems, is paramount. The goal of palliative care is achievement of the best quality of life for patients and their families”

b.WHO 2006 “..an approach that improves the quality of life oa patients and their families facing the problems associated with life-threatening illness” B.LEBIH KONKRET 1.Meringankan rasa sakit dan penderitaan a.Pada penderita terminal b.Pada penderita yang mengalami keadaannya memburuk c.Pada penderita yang mengalami efek sampingan upaya untuk menyembuh- kannya, misalnya efek sampingan kemoterapi.

2.Kedokteran dan perawatan Pelbagai istilah dipakai, mungkin dengan nuansa tertentu. a.Kedokteran paliatif (Palliative medicine) Istilah ini melukiskan kesenian, ilmu dan aplikasi kedokteran pada perawatan penderita yang tidak tanggap atas upaya kuratif. Dengan kata lain: kedokteran paliatif mengacu pada peran dokter. b.Perawatan pallatif (Palliative Care) Dengan ini dimaksudkan perawatan dalam pendekatan interdisipliner. Konsentrasi tugasnya terletak dalam usaha memberi kenyamanan kepada pende- rita.

c.Rincian usaha (menurut WHO 2006) 1) memberi keringanan dari rasa sakit dan dejala-gejala lain yang menindih 2) menghargai kehidupan dan menganggap mati sebagai proses yang normal 3) tak bermaksud mempercepat atau memperlambat kematian 4) memadukan aspek-aspek psikologis dan spiritual perawatan penderita 5) memberi sistem dukungan untuk membantu penderita hidup aktif sampai mati 6) menawarkan sistem dukungan kepada keluarga untuk menggumuli penderitaan selama penderita hidup 7) menggunakan pendekatan Tim dalam menanggapi kebutuhan penderita serta keluarganya, termasuk konseling, bisa diperlukan. 8) berusaha meningkatkan kualitas kehidupan, dan memperngaruhi secara positif jalannya penyakit 9) dapat diterapkan dini dalam berlangsungnya penyakit, bersama dengan terapi lain yang dimaksudkan untuk memperpanjang hidup, seperti kemoterapi atau terapi radiasi. II.HOSPITIA A.PENEGERTIAN 1.Faktor perkembangan a.Di zaman dulu Pada abad IV sudah ada Pada abad XIX “Our Lady’s Hospice for the Care of the Dying” di Dublin Pada tahun 1879 didirikan “Our Lady’s Hospice for the Care of the Dying” di Dublin.

b.Dewasa ini Pada tahun 1967 St.Christopher’ Hospice di Sydenham (dekat London)

182

Sejak itu dipicu gerakan Hospice di mancanegara Cecile Saunders yang telah mendirikan St.Christopher’s Hospice berjasa memicu Gerakan Hospice dan kedokteran paliatif 2.Hospice dewasa ini a.Konsep 1) Hospice adalah sistem perawatan interdisipliner paliatif yang memakai keahlian dan pengalaman dokter, perawat, pekerja sosial, imam, relawan dll. 2) Seutuhnya dapat disebut sebagai ciri khas hospice yang tak terbatas pada rasa sakit fisik, melainkan memperhatikan swegi psikologis, sosiologis, spiritual, juga keluarga dan sanak-saudaranya, maka merupakan Tim interdispliner.

b.Dalam perkembangan 1) Realisasi konsep itu dapat berbeda, maka sebaiknya hospice tidak dikaitkan dengan tempat tertentu. Lebih penting sistemnya. 2) Orang Indonesia, dan juga dari bangsa lain, lebih suka meninggal di rumah.

Kesulitan: bila diperlukan fasilitas dan tenaga medis yang kompeten. Dapat diupayakan kunjungan berkala.

B.LEBIH RINCI 1.Apa? a.Mengurangi rasa sakit atau penderitaan b.Membantu kel;uarga dan sanak saudara menjadi lebih tabah

2.Bagi siapa? a.Penderita b.Keluarga dan sanak-saudaranya

3.Bagaimana dan di mana? a.Rawat jalan b.Rawat nginap c.Hospice tersendiri d.Hospice yang tergabung pada RS

4.Oleh siapa? Tim interdisipliner yang terdiri dari: a.Dokter b.Perawat c.Psikolog d.Petugas pastoral e.Pekerja sosial f.Ahli senam

SUMBER REFERENSI PRIMER:18-03-1988 Amanat Paus Yohanes Paulus II kepada peserta Kongres Internasional Pendampingan orang akan mati21-06-1998 Amanat Paus Yohanes Paulus II pada kunjungan hospitium Rennweg.27-02-1999 Pontificia Accademia pro Vita, 5th General Assembly, Final Declaration: “Dignity of the Dying Person”09-11-2004 PC per la Pastorale della Salute, Intervento dell’Card.Javier L.Barragan, Conferenza Stampa di Presentazione della XIX Conferenza Internazionalesl tema “Le Cure Palliative”12-11-2004 Address of John Paul II to the Participants in the 19th International Conference of the PC for Health Pastoral Care

183

17-11-2007 Address of His Holiness Benedict XVI to participants in the 22nd International Congress of the Pontifical Council for Health Pastoral Care 13-12-2009 Discorso del Santo Padre Benedicto XVI, visita al “Hospice Fondazione Roma”

PASAL 41S O A L M E M B A H A Y A K A N H I D U P

I.PENGERTIAN DAN BEBERAPA JENIS A.KEWAJIBAN MEMELIHARA HIDUP BERARTI SEBISA-BISANYA MENGHINDARKAN BAHAYA DARIPADANYA 1.Banyak hal Dapat dibayangkan banyak hal yang menantang manusia untuk bersikap dan ber- perilaku hati-hati untuk tidak membahayakan hidup atau kesehatannya. Lihatlah daftar ancaman terhadap kehidupan yang sudah diuraikan dalam Pengantar.

2.Sejauh tergantung pada manusia Tidak semua ancaman terhadap hidup dan kesehatan itu tergantung pada sikap dan perilaku perorangan, melainkan ada hal-hal yang ditemui orang lepas dari sikap- nya, misalnya Lingkungan Hidup.

B.JENIS

Meskipun banyak hal yang menantang, disini dukuplah diangkat dua saja.

1.Profesi

a.Beberapa tugas penuh risiko Keamanan dan kesehatan dipertaruhkan dan diperhitungkan dalam banyak profesi (misalnya awak pesawat, pemadam kebakaran, profesi medis)

b.Olahragawan Cabang-cabang tertentu (misalnya tinju profesional klas berat) dapat mempunyai risiko lebih besar.

2. Zat Tidak sedikit zat, terutama yang tergolong napza, mengandung risiko, misalnya dosis yang terlalu besar, ketagihan dsb.

II.PENILAIAN MORAL A.RISIKO 1.Dalam profesi a.Tak terhindarkan 1) Ada profesi yang perlu atau bermanfaat (meskipun tingkat keperluan bisa berbeda) tetapi tak lepas dari risiko tang pada umumnya sudah diketahui. 2) Pertimbangan keuntungan dan kerugian ikut menentukan moralitas pemba- hayaan itu.

b.Kewajiban untuk mengupayakan tindakan pengamanan 1) Risiko dapat dikurangi dengan pelbagai pengamanan yang sering dirumuskan dalam persyaratan dan prosedur. 2) Maka dari itu pembahayaan hidup dapat dibenarkan dengan mempertimbang- kan keuntungan dan bahaya, seraya menaati peraturan untuk memperkecil ri-

184

siko itu.

2.Dalam gaya hidup Hal yang sama harus dikatakan mengenai gaya hidup

Banyak hal pada umumnya tergantung pada diri sendiri

A.TANGGUNGJAWAB 1.Tanggungjawab dalam profesi Pelaksanaan profesi harus diresapi citarasa tanggungjawab, tak hanya atas hidup dan kesehatan diri sendiri, melainkan juga orang lain yang mempercayakan diri kepada pengemban profesi atau orang yang menjadi tanggungannya.

2.Tanggungjawab dalam penggunaan zat Dalam penggunaan zat sikap perorangan sendiri memikul tanggung jawab yang lebih besar, misalnya untuk berada dalam keadaan jernih.

B.RISIKO 1.Dalam profesi a.Tak terhindarkan 1) Ada profesi yang perlu atau bermanfaat (meskipun tingkat keperluan bisa berbeda) tetapi tak lepas dari risiko tang pada umumnya sudah diketahui. 2) Pertimbangan keuntungan dan kerugian ikut menentukan moralitas pemba- hayaan itu.

b.Kewajiban untuk mengupayakan tindakan pengamanan 1) Risiko dapat dikurangi dengan pelbagai pengamanan yang sering dirumuskan dalam persyaratan dan prosedur. 2) Maka dari itu pembahayaan hidup dapat dibenarkan dengan mempertimbang- kan keuntungan dan bahaya, seraya menaati peraturan untuk memperkecil ri- siko itu.

2.Dalam gaya hidup Hal yang sama harus dikatakan mengenai gaya hidup

Banyak hal pada umumnya tergantung pada diri sendiri

EKSKURS: PERILAKU MELUKAI DIRI SENDIRI (SELF HARM)Dalam ekskurs ini dibahas gejala perilaku melukai diri sendiri tanpa maksud bunuh diri (Self Harm, Sel Injury, Self Poisoning) meski obyektif dapat berbahaya dan menga-kibatkan kematian.

I.PENGERTIAN A.”SELF HARM” 1.Deskripsi a.Tindakan Melukai diri sendiri b.Kelalaian 1) Tidak makan-minum 2) Tidak memakai obat yang diperlukannya 2.Beberapa jenis a.Membakar b.Menyalahgunakan obat-obatan

185

B.MOTIVASI 1.Tidak ada maksud bunuh diri a.Tetapi batas kurang diperhatikan b.Obyktif memang bisa menuju kematian

2.Maksud a.Melepaskan beban emosi b.Mencari perhatian

II.PENILAIAN MORAL A.PERKARA 1.Kesehatan bisa menjadi soal besar 2.Hidup (yang dibahayakan) harus diimbangi nilai lain.

B.KUALITAS TINDAKAN 1.Banyak gejala itu termasuk gangguan jiwa yang mengurangi rasa tang- gungjawab, tetapi harus ditangani secara profesional. 2.Penilaian moral tergantung pada faktor tahu, mau dan mampu.

SUMBER REFERENSI PRIMER:Pelbagai pernyataan Gereja dari tahun 1970 s/d 2006 dlm. ”Napza” (Narkotika, psikotropika, zat adiktif), Dokpen KWI 201001-11-2001 Pontifical Council for Health Pastoral Care Church: drugs and drug addiction 20-03-2004 Address of John Paul II to the Participants in the International Congress on Life-Sustaining Treatments and the Vegetative State  

PASAL 43S O A L B U N U H D I R I

I.PENGERTIAN A.Mengakiri hidup sebelum saatnya 1.Berhasil 2.Percobaan (tak berhasil)

B.Harus dibedakan dengan pengurbanan hidup 1.Peran motivasi Beberapa motivasi yang luhur dapat disebut: religius: self sacrifice Maksimilian Kolbe, sosial-politis: Jan Palach yang menentang invasi Uni-Sovyet

2.Tetapi apakah perbedaan dengan bunuh diri hanya karena motivasinya? Soal ini sulit dijawab. Uskup John dari Pakistan pada tahun 1998 menembak kepalanya: Berita yang satu: itu bunuh diri, berita yang lain: itu pengurbanan diri.

II.TEORI A.Ada banyak teori 1.Alasan-alasan psikologis 2.Alasan-alasan sosiologis 3.Alasan-alasan lain

B.Teori penyempitan (Erwin Ringel) 1.Nafsu hidup amat besar Maka kalau orang sampai mau bunuh diri tentulah ada dorongan kuat.

186

2.Penyempitan dalam arti seluas-luasnya a.”Sumpeg”: mengira menghadapi jalan buntu b.Keadaan putus asa: tak melihat harapan sama sekali

III.PENILAIAN MORAL Hak atas hidup dimiliki setiap orang, maka juga diri sendiri, maka juga bunuh diri tak dapat dibenarkan, tetapi kiranya juga baik membicarakannya secara khusus. Soal aktual: bom bunuh diri kaum teroris.

A.PERKARANYA 1.Hidup a.Perkara besar b.Memang bukan perkara terbesar

2.Orang lain atau diri sendiri a.”Kepemilikan” hidup tak menentukan. b.Hidup orang lain atau diri sendiri (yang juga menjadi tolok-ukur: mencintai orang lain seperti diri sendiri).

B.KUALITAS TINDAKAN 1.Penyempitan Jelas, bila penyempitan merupakan faktor pendukung dan pendorong tindakan bunuh diri, maka kualitas tindakan (tahu, mau, mampu) juga berkurang. Hal ini biasanya diandaikan kecuali jelas-jelas ada indikasi kebalikannya, maka di kalangan katolik biasanya diadakan pemakaman gerejawi, tak hanya diserahkan kepada petugas pastoral.

2.Penilaian Jadi, bila penilaian moral menyangkut perkara dan kualitas tindakan, maka meskipun hidup termasuk perkara besar, kualitas tindakan orang yang bunuh diri berkurang, dan bahkan lenyap. EKSKURS: PASTORAL PEMAKAMAN GEREJAWI ORANG BUNUH DIRITidak ada penafsiran otentik tentang kan.1184 yang memuat penolakan pemakaman ge- rejawi orang-orang tertentu, termasuk orang yang bunuh diri tanpa tanda-tanda pertoba- tan.Bukanlah maksud tulisan ini untuk memberi penafsiran yang terbaik, melainkan ha- nya mengajukan beberapa pertimbangan. Sebaiknya diingat bahwa berbeda dengan KHK 1917 dalam KHK 1983 kan.1184 bunuh diri tidak disebut secara khusus.

I.PENILAIAN MORAL A.APA YANG DINILAI Dua hal selalu perlu diperhatikan dalam penilaian moral, yakni: perkaranya dan kuali- tas perbuatannya yang merupakan kesatuan dalam diri pelaku.

1.Perkaranya Sebaiknya diingat bahwa “bunuh diri” tak disebut secara eksplisit dalam KHK kan.1184, berbeda dengan peraturan KHK 1917 kan.1240. Hal ini termasuk aspek obyektif perbuatan yang memang bertingkat-tingkat, khu- susnya mengenai akibatnya yang seringkali amat mengesan, misalnya kematian manusia akibat kecelakaan pengendara mobil atau peluru nyasar. Jelas bahwa kematian ini merupakan perkara serius, tetapi kecelakaan tak mem- punyai unsur kesengajaan, paling banyak kelalaian yang memang bisa merupakan

187

kesalahan (misalnya rem blong atau ban copot atau meletus). Seorang Romo yang menyopir mobil mengatakan kepada saya: kalau saya menabrak orang sampai mati, saya berhenti menyetir. Jelas ia dari sudut moral tak bersalah, tetapi akibat kematian orang cukup berat, belum lagi urusan dengan aparat keamanan. “Bertingkat-tingkat” sulit dihitung, misalnya hidup seekor ayam dan hidup seorang anak, arti uang Rp 1 juta untuk keluarga Bakrie tentu lain daripada untuk mbok Mi- nah dari daerah Lumpur panas Lapindo atau suatu desa di gunung Kidul. Kematian manusia akibat bunuh diri termasuk perkara besar, tetapi perbuiatan bunuh diri itu tak dapat dinilai hanya dari sudut perkara.

2.Kualitas perbuatan Penilaian mengenai perkara tak cukup untuk penilaian moral, karena juga harus diper- hatikan kualitas perbuatan yang mencakup faktor tahu, mau dan mampu. Penelitian mengenai kasus bunuh diri makin menguatkan penilaian yang menyatakan bahwa kualitas perbuatan orang yang bunuh diri karena kesulitan tertentu (bukan ka- rena ideologi atau maksud politik tertentu seprti terorisme) menunjukkan kekurangan, misalnya tidak tahan, sumpeg tak tahu jalan keluar selain kematian, penyempitan wa- wasan dsb. Bdk.teori Erwin Ringel atau pelbagai teori lain..

B.DOSA BERAT? Pengertian “dosa berat” dan “dosa maut” tak diangkat di sini, melainkan cukup dike- tahui saja

1.Penilaian “dari dalam” Kiranya pihak yang dapat menilai hanyalah Tuhan dan orang yang bersangkutan. Tetapi bagaimana menanyai pihak yang tahu itu? Bagaimana memastikannya? Juga Bapa pengakuan apalagi mengenai orang yang tidak dikenalnya dan dalam beberapa menit kiranya tak dapat menilainya dengan pasti. 2.Penilaian “dari luar” Seringkali peristiwa bunuh diri di luar dugaan dan mendadak, meskpun orang ter- dekat mungkin post factum mengatakan bahwa ia mempunayi firasat dan melihat tanda-tanda ke arah itu. Manusia hanya bisa menilai dari luar, tetapi juga penilaian dari luar ini menunjuk- kan adanya faktor-faktor yang meringankan perbuatan orang yang bunuh diri.

II.PENILAIAN HUKUM A.PERAN KEPASTIAN 1.Soal keadilan Orang katolik mempunyai sejumlah hak asasi yang dirumuskan dalam buku II KHK 1983, antara lain mendapat pelayanan pastoral. Dalam hukum Gereja juga dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu orang kato- lik kehilangan hak tertentu, maka pelarangan menyangkut soal keadilan.

2.Prinsip “praduga tak bersalah” Dalam pengadilan profan berlaku prinsip praduga tak bersalah yang memang sering disalahgunakan. Kiranya baik juga Gereja menerapkan prinsip ini dalam mencabut hak orang katolik mendapat pelayanan pastoral.

B.LARANGAN PEMAKAMAN KATOLIK DAN PENAFSIRANNYA 1.Apa dan mengapa dilarang? a.Apa yang dilarang KHK kan.1184 melarang pemakaman gerejawi (dan kan.1185 juga Misa Ar-

188

wah).

b.Mengapa? 1) Batu sandungan yang diperkirakan timbul daripadanya. “Batu sandungan” memang seringkali disebut dalam kebijakan pastoral. Tetapi pengiraan ini kiranya hanya berlaku di kalangan orang yang masih peka dan secitarasa dengan Gereja. Hal ini rupanya makin tidak demikian halnya.

2) Tetapi kita dapat menggali lebih mendalam: mengapa dikhawatirkan adanya Batu sandungan? Biasanya hal ini menyangkut kesaksian mengenai ajaran yang benar. Membantu orang yang dianggap melawan ajaran tertentu dinilai dapat menimbulkan batu sandungan.

2.Siapa? a.Pendosa manifes 1) Pendosa Siapa berani melemparkan batu pertama? Siapa berani menilai keadaan orang lain? 2) “Manifes” Tambahan “manifest” dimaksudkan faktor lahiriah dan dipakai untuk menilai pendosa dari luar.

b.Orang yang ditinggalkan Siapakah yang paling menderita dalam masyarakat di dunia ini dengan larangan itu? Kiranya bukan orang yang dimakamkan, melaikan sanak-saudaranya. III.KEBIJAKAN PASTORAL A.PRAKTEK 1.Lunak Dalam praktek seriongkali larangan ini diterapkan lunak karena alas an apapun. a.Perubahan sikap masyarakat Salah satu sebab kiranya dapat dilihat dalam perubahan sikap masyarakat yang lebih “toleran” atau mungkin juga lebih bersedia mengerti dan memaafkan.

b.Pengaruh berita duka Bila juga orang amat terpengaruh berita dan empati kepada keluarga yang di- tinggalkan.

c.Penerapan dalam praktek Pengalaman saya terbatas, tetapi saya lihat penerapan lunak larangan pemakaman gerejawi dalam praktek Bukankah kebiasaan juga berperan dalam penafsiran dan penerapan hukum? Analog: yurisdrudensi.

2.Ragu-ragu a.Mengapa ragu-ragu? Ada gembala yang ragu-ragu, terombang-ambil antara perasaan berbaik hati di satu pihak dan norma KHK di lain pihak, dan menugaskan awam untuk pema- kaman. Hal ini dikukuhkan sikap “keras” (a.l. Kardinal Ruini) di Roma sehubungan dengan penolakan pemakaman gerejawi Piergorgio Welby.

b.Konsultasi dengan Ordinaris wilayah Dalam kan.1184 par.2 tegas dikatakan: Bila ada keragu-raguan hendaknya ber- konsultasi dengan Ordinaris wilayah. Mungkin banyak hal juga mempengaruhi

189

penilaian ordinaris wilayah, maka saya bertanya, apakah tak lebih baik juga ke- luarga dilibatkan?

B.TEORI a.Rumitnya hidup Saya masih ingat akan ucapan Schillebeeckx “Hidup itu lebih rumit daripada teori”. Hukum tak dapat memberi pemecahan tuntas segala kasus.

b.Lebih baik terlalu murah hati daripada terlalu keras Tentu jalan yang tepat yang paling benar, tetapi serong orang kurang tahu mana yang tepat, maka dalam kebimbangan itu saya lebih condong terlalu murah dari- pada terlalu keras. PGSUMBER REFERENSI PRIMER:15-08-1977 KGK 2280-2283

PASAL 44S O A L P E N G U R B A N A N H I D U P

I.PENGURBANAN DIRI A.PENGERTIAN 1.Tidak dimaksudkan Tindakan tenteran Hitler yang mengurbankan diri untuk kemenangan peperangan Hitler dalam Perang Dunia II.

2.Melakukan suatu tindakan yang diketahui akan mendatangkan kematian a.Bukan bunuh diri Tindakan “self-sacrifice” memang mempunyai kesamaan dengan bunuh diri, tetapi juga berbeda, sejauh didorong oleh tujuan yang dinilai luhur.

b.Tindakan luhur Keluhuran ini mungkin lebih bersifat subyektif, atau baru berfungsi sebagai batu pertama yang diharapkan baru pada jangka panjang membuahkan hasil. 3.Jenis menurut maksud/tujuan a.Religius-moral Martir, untuk tidak berkhianat b.Sosial demi orang lain Maksimilian Kolbe (OFMConv) Damian (SSCC) c.Sosiopolitik Tujuan: menarik perhatian agar perjuangan berhasil.

1) Pada tahun 1998 seorang Uskup Pakistan menembak kepalanya sebagai protes atas kesulitan Gereja di sana. Beritanya: Self sacrifice.

2) Mogok makan yang dapat membahayakan kesehatan dan bahkan kehidupan (Dapat berhadapan dengan paksaan makan oleh pihak yang berwajib)

d.Lain-lain Di sini disediakan wadah untuk menampung pengurbanan diri dengan tujuan lain yang belum tertampung dalam rubrik yang disebut di atas, mengingat apa

190

yang disebut di atas hanya ilustratif. B.NILAI SIMBOLIS ATAU EFEKTIF 1.Simbolis Nilai simbolis sebenarnua bukan kebalikan dari nilai efektif karena simbolpun bisa efektif, namun tetap harus dibedakan sejauh cara kerjanya berbeda. Nilai simbolis bisa menjadi nilai efektif kalau dipahami dan memicu atau memacu suatu rentetan peristiwa yang akhirnya membuahkan hasil yang diinginkan. Seperti misalnya mogok makan pada akhirnya dapat menghasilkan sesuatu yang diinginkan.

2.Efektif Nilai efektif menganaikan hubungan kausal langsung antara sebab dan akibat. Antara mogok makan dan hasil yang diinginkan tidak ada hubungan kausal, sedangkan antara serangan dan kerusakan bisa ada hubungan kausal itu, mak perlu diperiksa lebih lanjut kausalitas antara usaha dan hasil yang diharapkan..

II.PENILAIAN A.MOTIVASI 1.Legitimasi Tak perlu diteliti sekarang sejauh mana tujuan baik yang ingin dicapai mempunyai legitimasi yang membenarkannya, karena bisa macam-macam.

2.Tujuan menghalalkannya? Ada kecenderungan untuk menghalalkan sesuatu dengan melihat maksud atau tu- juannya. Kalau begitu sulit a priori menyusun daftar persyaratan pengurbanan diri yang dibenarkan. B.PERTIMBANGAN 1.Perbandingan nilai? Hidup termasuk nilai dasar yang amat tinggi, tetapi bukan nilai tertinggi, maka bisa dikurbankan untuk nilai yang lebih tinggi. Memang harus dipertimbangankan, sejauh mana pengurbanan hidup dapat diimbangi nilai yang menjadi alasan untuk berkurban.

2.Nilai yang lebih tinggi Kalau gagasan pertimbangan menurut perbandingan nilai itu diterima, maka hanya nilai yang lebih tinggi daripada hidup dapat menjadi motivasi untuk pengurbanan hidup. SUMBER REFERENSI PRIMER:Pelbagai pernyataan ttg.Maximilian Kolbe OFMConv. dan Damian SSCC.

191