31
Tugas MataKuliah Teori Antropologi IDE POKOK DAN PEMBAHASAN TEORI DALAM ANTROPOLOGI M. SAYFUL P1900212010

Teori dalam ilmu antropologi

  • Upload
    unhas

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Tugas MataKuliah Teori Antropologi

IDE POKOK DAN PEMBAHASAN TEORIDALAM ANTROPOLOGI

M. SAYFULP1900212010

PROGRAM STUDI ILMU ANTROPOLOGIPROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNVERSITAS HASANUDDIN

1. EVOLUSIONISME

Pada bagian pertama tulisan ini kita membahas mengenai teori-

teori evolusi kebudayaan. Salah satu argumentasi utama yang

terkait dengan teori evolusi adalah bahwa evolusi berupaya

menjelaskan fenomena atau kejadian-kejadian yang terkait dengan

budaya manusia dengan kehidupan sosial budayanya dengan melihat

proses perubahan yang sangat lambat, dari bentuknya atau tipenya

yang sederhana kebentuk yang lebih kompleks. Sehingga pada

dasarnya teori ini mendudukkan tesenya untuk menjelaskan fenomena

perkembangan, perubahan sosial budaya dari bentuknya dari bawah ke

atas.

Teori evolusi lebih merupakan karakteristik dari teori

evolusi biologi. Teori evolusi biologi melalui metode ilmiahnya

mengemukakan perkembangan dalam struktur tubuh manusia dari

bentuknya paling sederhana sampai yang paling sempurna. Dalam

studi mengenai evolusi, setidaknya memiliki percabangan

pendekatan, yaitu teori evolusi unilineal, multilineal, universal

dan deverensial. Dalam kajian-kajian antropologisosial budaya,

bahan kajiannya berupa aspek sosial seperti stratifikasi,

interaksi, atau dalam masyarakat itu sendiri.

Evolusi linear: Manusia, masyarakat, dan kebudayaan mengalamiperkembangan sesuai dengan tahap- tahap tertentu semula daribentuk yang sederhana kamudian dengan bentuk yang komplekssampai pada tahap yang sempurna.

Evolusi universal: Perkembangan masyarakat tidak perlu melaluitahap-tahap tertentu yang tetap kebudayaan manusia telahmengikuti suatu garis evolusi yang tertentu.

Evolusi multilineal : Ada unsure- unsure dalam kebudayaan yangberevolusi seragam, sedang ada unsure- unsure lain yangberevolusi tidak seragam. Misalnya ada sekolompok manusia yangmengenal tulisan (dalam jenjang waktu yang berbeda) dan ada

pula yang belum misalnya tempat yang benar- benar belumterjamah, contoh lain misalnya dalam teknologi pesawat terbangada yang telah kebulan dan ada yang belum.

Berikut beberapa penjelasan dari beberapa tokoh-tokoh antropologiyang memiliki pendekatan dalam teori evolusi.

1. Evolusi sosial universal Herbert Spencer

Alam berwujud organis, organis dan super organis berevolusikarena didorong oleh kekuatan mutlak yang disebut evolusiuniversal

Hokum pada masyarakat pada umumnya kerabat merupakan aturanhidup yang berasal dari nenek moyang. Proses awalnyaterbentuk dari keluarga luas (10-20 individu) ketaatanterhadap aturan karena saling membutuhkan

Masyarakat menjadi kompleks hokum kramat yang bersifatstatis berkurang kekuatannya karena tidak cocok yang karenakeadaannya timbul hubungan sekuler berasas salingmembutuhkan secara timbal balik

Pada masyarakat beragama muncul keyakinan pada masyarakatbahwa raja adalah keturunan dewa dan hukumyang dipakaiadalah hokum keramat.misalnya pada masyarakat industri yangbersifat individualis, keyakinan terhadap raja berkurang,timbul hokum baru yang kembali berdasarkan asas salingmembutuhkan (resiprokal) satu orang tak dapat hidup satudengan yang lainnya

2.Evolusi religi E. B.Tylor

Religi tertua animismePercaya pada mahkluk halus atau yang memiliki kekuatan gaibhingga ada manusia yang bersandar kepadanya, manusia selalumemperlakukan alam tidak sembarangan dalam perilaku sehari-hari karena menganggap bahwa dialam ini ada yang menghunisesuatu yang gaib yang memiliki kekuatan dan mereka melakukansesembahan.

Peristiwa alam (personifikasi dewa-dewa)Misalnya dalam peristiwa bencana alam yang ditakutkan terjadidi jokjakarta, latusan gunung merapi jika dihubungkan denganpaham animisme, berbagai upaya dilakukan untuk mengantisipasi

masalah tersebut diadakannya sejenis ritual agar gunungtersebut tidak meletus. Contoh lain misalnya dari ucapanmahmarijan bahwa gunung tersebut tidak akan meletus dengandiadakannya ritual- ritual, dan dilihat sampai sekaranggunung tersebut tidak meletus hanya terjadi gempa didaerah-daerah lain, ini menunjukkan bahwa masih ada sesuatu yanggaib bagi yang meyakininya . maka dari itu ucapannya sangatdisakralkan seperti orang yang memegang suatu keputusan,sepertih seorang pejabat, dari itu dicontokan adanyapersonofikasi dewa-dewa yang memegang suatu kekuatantersendiri.

Susunan dewa-dewa tertinggi dan terendahGejala- gejala alam dalam pengawasannya oleh dewa- dewa dalamsegala peristiwa alami juga terdapat tingkatan- tingkatandewa, maka terjadi pembagian kerja atau kekuasaan ada yangmengawasi, dan mengoperasikan, ada yang memelihara dan adajuga yang merusak.

Dewa tertinggi atau monoteismeTerjadi pemusatan keyakinan sehingga dalam tingkatannya hanyaasa satu kekuatan yang benar- benar dianggap dan diyakiniampuh sehingga muncul paham monoteisme yaitu digantungkansegalanya hanya dalam satu dewa baik yang merusak maupun yangmenjaga. Dari itu saat manusia murka, dia juga akan murka.Dan saat manusia benar- benar patuh kepadanya, ia akanmemberikan perlindungan dengan seringnya melakukan ritual.

3.Evolusi kebudayaan L.H. Morgan Zaman liar tua, saat manusia ada sampai menemukan api Zaman liar madya, manusia hidup meramu mencari akar-akaran dan

tumbuhan Zaman liar muda, manusia menemukan busur panah, pandai membuat

tembikar, manusia hidup berburu Zaman barbar tua, manusia membuat tembikar, beternak, atau

bercocok tanam. Zaman barbar madya, manusia beternak, bercocok tanam, pandai

membuat benda-benda dari logam Zaman barbar muda, manusia membuat benda dari logam dan

mengenal tulisan Zaman peradaban purba

Zaman peradaban masa kini

4.Evolusi keluarga J.J Bachofen Promiskuitas, manusia hidup layaknya kawanan binatang, laki-

laki dan wanita bebas berhubungan dan melahirkan keturunannyatanpa ikatan, belum ada keluarga inti

Matriarkat, manusia mulai sadar akan hubungan antar ibu dananaknya, akan hanya mengenali ibunya. Perkawinan antar ibu danank laki- laki dihindari. Dari itu timbul exogami, ibu menjadikepala rumah tangga. Saat itu anak sudah mulai m,engenakibunya

Patriarkat, laki- laki tidak puas dengan keadaan, lalu mengambilcalon istri dari kelompok lain dan membawa kedalamkelompoknya, keturunan yang lahir tetap tinggal dengankelompok pria, kemudian timbul kelompok keluarga. Dengan ayahsebagai kepala rumah tangga.

Parental, perkawinan exogami berubah menjadi endogamy, anak-anak yang dilahirkan senantiasa berhubungan langsung dengananggota keluarga ayah maupun ibu.

2. DIFUSIONISME

Jika dalam teori evolusi menjelaskan perubahan atau

perkembangan kebudayaan dari bawah ke atas, maka difusi

menjelaskan “perkembangan kebudayaan secara mendatar”. Ide pokok

dari teori difusionisme dalam antropologi mengatakan bahwa

terdapat persebaran atau peralihan atau pergeseran atau

perpindahan dari suatu kebudayaan apakah sifatnya material, atau

sebaliknya dari suatu kebudayaan ke-kebudayaan yang lain, dari

orang ke orang, dari suatu tempat ke tempat yang lain. Berbeda

sekali dengan asumsi evolusi bahwa dinamika atau perkembangan

kebudayaan itu dari bawah ke atas secara pelan-pelan. Proses

difusi kebudayaan disebabkan oleh beberapa faktor: adanya proses

migrasi oleh kelompok-kelompok manusia, adanya individu-individu

yang membawa unsur-unsur kebudayaan ke dalam masyarakat lain,

serta adanya pertemuan antara individu-individu dalam suatu

kelompok manusia. Jadi, difusi, pada prinsipnya adalah proses

saling mempengaruhi antara dua kebudayaan atau lebih.

Koentjaraningrat (1990: 244) mengatakan, bahwa penyebaran

unsur-unsur Kebudayaan dapat terjadi melalui berbagai cara,

seperti: 1) penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia di

muka bumi, yang membawa serta unsur-unsur kebudayaan dalam

perpindahannya, 2) penyebaran unsur-unsur kebudayaan dapat juga

terjadi tanpa perpindahan kelompok-kelompok manusia atau bangsa-

bangsa dari satu tempat ke tempat lain, akan tetapi disebarkan

oleh individu-individu tertentu yang membawa unsur-unsur

kebudayaan itu hingga jauh sekali, terutama oleh para saudagar dan

pelaut, 3) penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang berdasarkan,

pertemuan-pertemuan antaraindividu-individu dalam suatu kelompok

manusia dengan individu-individu kelompok-kelompok tetangga, yang

berlangsung dengan berbagai cara.

Murdock (1956) menyebut para kolonialis Eropa, yang datang ke

Amerika tidak hanya meniru pemanfaatan jagung, labu, dan buncis

sebagai bahan konsumsi bagi orang Indian Amerika, tetapi juga

meniru (cultre imitations)seluruh rangkaian proses yang dilakukan orang

Indian dalam menghasilkan olahan bahan tersebut. Malinowski

(1945) mengatakan, bahwa meniru sutu kebudayaan apa adanya, sama

kreatifnya dengan bentuk-bentuk inovasi kebudayaan lainnya. Linton

(1940) juga mengetengahkan, bahwa sekitar 90% isi kebudayaan

(cultural core) berasal dari peniruan. Sebuah kebudayaan tidak pernah

meniru semua inovasi yang ada, tetapi menerapkan seleksi ketat

dengan membatasi pilihan mereka pada hal-hal yang dapat

disesuaikan dengan kebudayaan mereka. Guatemala (Indian Maya),

misalnya, yang lebih dari setengah penduduknya, akan meniru nilai-

nilai Barat (orang Amerika) selama hal itu tidak bertentangan

dengan cara-cara dan nilai-nilai tradisional, seperti: penggunaan

bajak di lingkungan pertama, penggunaan sekop dalam pengambilan

pasir dan parang untuk alat-alat rumah tangga dan senjata.

Peniruan tersebut sudah lama menjadi baku, karena lebih baik

daripada alat-alat batu, dan disamping itu sesuai dengan penanaman

jagung secara tradisional yang dikerjakan dengan menggunakan alat-

alat genggam.

Kita telah membahas difusi sebagai proses yang menyebarkan

penemuan (inovasi) keseluruh lapisan satu masyarakat atau kadalam

suatu bagian atau dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Menurut

pendekatan antropologi, difusi mengacu pada penyebaran unsur-unsur

atau ciri-ciri satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Tetapi beberapa

antropolog memperdebatkan hal ini. Malinowski menyatakan, difusi

takkan dapat dipelajari kecuali bila kita mengambil system

organanisasi atau institusi sebagai unit-unit yang disebarkan

ketimpang cirri-ciri atau kompleks cirri-ciri kebudayaan. Defenisi

yang lebih umum menegaskan bahwa difusi adalah penyebaran aspek

tertentu dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Teori difusi

muncul sebagai alternative bagi teori evolusi.

3. FUNGSIONALISME MALINOWSKI

Bronislaw Malinowski (1884 – 1942) merupakan salah satu

tokoh antropologi yang menggagas dan berhasil mengemabangkan teori

fungsionalisme dalam ilmu antropologi. Dan yang paling penting

untuk dicatat adalah bahwa teorinya ia kembangkan dengan menekuni

penelitian lapangan. Kepulaun Trobriand diwilayah pasifik

dipilihnya menjadi objek penelitian dan dari daerah itu pula dari

tangan Malinowski lahir berbagai karya tulisan yang sangat

dikagumi dikalangan antropologi, salah satu adalah “Argonauts Of The

Western Pacific”

Secara garis besar Malinowski merintis bentuk kerangka teori

untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya

sutu teori fungsional tentang kebudayaan atau “a functional theory of

Culture”. Dan melalui teori ini banyak antropolog yang sering

menggunakan teori tersebut sebagai landasan teoritis hingga dekade

tahun 1990-an, bahkan dikalangan mahasiswa menggunakan teori ini

untuk menganalisisdata penelitian untuk keperluan skripsi, laporan

dan sebagainya.

Tulisan “Argonauts of the Western Pacific” (1922) melukiskan tentang

sistem Kula yakni berdagang yang disertai upacara ritual yang

dilakoni oleh penduduk di kepulauan Trobriand dan kepulauan

sekitarnya. Perdagangan tersebut dilakukan dengan menggunakan

perahu kecil bercadik menuju pulau lainnya yang jaraknya cukup

jauh. Benda-benda yang diperdagangkan dilakukan dengan tukar

menukar (barter) berupa berbagai macam bahan makanan, barang-

barang kerajinan, alat-alat perikanan, selain daripada itu yang

paling menonjol dan menarik perhatian adalah bentuk pertukaran

perhiasana yang oleh penduduk Trobriand sangat berharga dan

bernialai tinggi. Yakni kalung kerang (sulava) yang beradar satu

arah mengikuti arah jarum jam, dan sebaliknya gelang-gelang kerang

(mwali) yang beredar berlawanan dari arah kalung kerang

dipertukarkan.

Karangan etnografi dari hasil penelitian lapangan tersebut

tidak lain adalah bentuk perkeonomian masyarakat di kepulauan

Trobriand dengan kepulauan sekitarnya. Hanya dengan menggunakan

teknologi sederhana dalam mengarungi topografi lautan pasifik,

namun disis lain tidak hanya itu, tetapi yang menraik dalam

karangan tersebut ialah keterkaitan sistem perdagangan atau

ekonomi yang saling terkait dengan unsur kebudayaan lainnya

seperti kepercayaan, sistem kekerabatan dan organisasi sosial yang

berlaku pada masyarakat Trobriand. Dari berbagai aspek tersebut

terbentuk kerangka etnografi yang saling berhubungan satu sama

lain melalui fungsi dari aktifitas tersebut. Pokok dari tulisan

tersebur oleh Malinowski ditegaskan sebagai bentuk Etnografi yang

berintegrasi secara fungsional. Selain dari hasil karya

etnografinya, tentunya harus diperhatikan pula upaya-upaya

Malinowski dalam mengembangkan konsep teknik dan metode

penelitian. Dan sangat lugas ditekankan pentingnya penelitian yang

turun langsung ketengah-tengah objek masyarakat yang diteliti,

menguasai bahasa mereka agar dapat memahami apa yang objek

lakukan sesuai dengan konsep yang berlaku pada masyarakat itu

sendiri dan kebiasaan yang dikembangkan menjadi metode adalah

pencatatan. Mencatat seluruh aktifitas dan kegiatan atau suatu

kasus yang konkret dari unsur kehidupan. Selain dari pada itu yang

patut untuk para peneliti menurut Malinowski adalah kemampuan

keterampilan analitik agar dapat memahami latar dan fungsi dari

aspek yang diteliti, adat dan pranata sosial dalam masyarakat.

Konsep tersebut dirumuskan kedalam tingkatan abstraksi mengenai

fungsi aspek kebudayaan, yakni :1

1. Saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya

terhadap aspek lainnya.

2. Konsep oleh masyarakat yang bersangkutan.

3. Unsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang

terintegrasi secara fungsional.

4. Esensi atau inti dari kegiatan/aktifitas tersebut tak lain

adalah berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan dasar “biologis”

manusia.

1 Dikutip dalam Koentjaraningrat (1987) “Sejarah Teori Antropologi I”, UI Press, Jakarta

Melalui tingkatan abstraksi tersebut Malinowski kemudian

mempertegas inti dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa segala

kegiatan/aktifitas manusia dalam unsur-unsur kebudayaan itu

sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah

kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh

kehidupannya. Kelompok sosial atau organisasi sebagai contoh,

awalnya merupakan kebutuahn manusia yang suka berkumpul dan

berinteraksi, perilaku ini berkembang dalam bentuk yang lebih

solid dalam artian perkumpulan tersebut dilembagakan melalui

rekayasa manusia.

4. STRUKTUR SOSIAL A.R. RADCLIFFE-BROWN

Teori-teori struktural dalam kajian antropologi sangat

beragam namun pada tulisan ini dan sebagaimana sejarahnya konsep

struktural dalam antropologi pertama kali diajukan oleh A. R Radcliffe-

Brown (1889 – 1955), ide pokoknya adalah tentang strutur sosial

seperti yang diasumsikan bahwa perumusan dari keseluruhan hubungan

atau jaringan antarindividu dalam masyarakat, hal yang dilihat

dalam struktur sosial adalah tak lain dari prinsip-prinsip kaitan

antara berbagai unsur masuarakat seperti status dan peran, pranata

dan lembaga soaial. Selanjutnya dikatakan hubungan intreaksi

antara individu dalam masyarakat merupakan hal yang konkrit

sedangkan struktur sosial berada di belakangnya dan mengendalikan

hal yang konkrit tersebut. Jadi struktur sosial tidak diamati.2

Radcliffe-Brown mengemukakan gagasan dan pandangannya

terhadap kehidupan sosial kebudayaan melalui karyanya “The Andaman

Islanders”(1922), dalam karangan tersebut ia menguraikan dan

2 Dalam J. van Baal, (1988) “Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya”, PT. Gramedia, Jakarta. Dalam uraiannya ia juga mengemukakan tentang perihal ketidakmampuan pengertian structural yang merujuk dalam organisasi sosial.

mendeskripsikan aspek kekerabatan upacara yang terkait dengan

mitos yang dilakoni dalam penduduk Andaman. Karyanya hampir

bersamaan dengan terbitnya karya etnografi Malinowski. Dan

beberapa tokoh yang telah mengoreksi kedua karya dari Malinowski

dan Radcliffe-Brown disimpulkan adanya kesamaan pandangan dari

metode keduanya mendeskripsikan bentuk kebudayaan yakni aspek

struktur sosial yang digambarkan terintegrasi secara fungsional

dan hingga kini santer disebut dengan kerangka konsep struktur-

fungsionalisme.

Melalui karangannya Radcliffe-Brown juga telah merumuskan

metode pendiskripsian terhadap karangan etnografi. Salah satunya

ialah melalui aspek upacara, yang dirumuskan kedalam beberapa

bagian ;

1. Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada

suatu sintimen dalam jiwa warganya yang merangsang meraka

untuk berperilaku sesuai dengan kebutuhan mereka.

2. Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang

dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat

menjadi pokok orientasi dari sentimenn tersebut.

3. Sentimen itu ditimbulkan dalampikiran individu warga

masyarakat sebagai pengaruh hidup warga masyarakat.

4. Adat istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-

sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang

pada saattertentu.

5. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas itu

dalam jiwa warga masyarakat dan bertujuan meneruskan kepada

warga generasi berikutnya.

Sama halnya dengan Malinowski melalui kerangka konsep dari

fungsi dari suatu pranata, Radcliffe-Brown juga memberikan asumsi

tentang efek dari suatu keyakinan, upacara, adat dan aspek

kebudayaan lainnya. Ia menggunakan istilah fungsi sosial untuk

merujuk terhadapa gejala dalam kehidupan sosial. Sifat dari metode

pendeskripsian konsep tersebut tidak lain adalah hubungan-hubungan

sosial dari kesatuan-kesatun secara terintegrasi. Selain dari

organisasi sosial, juga yang menjadi perhatian adalah aspek hukum,

Radcliffe Brown memberikan istilah hukum dalam aspek teknisnya

saja dan upayanya dalam memberikan batasan teknis pada tataran

sistem pengendalian sosial yang ada dalam masayarakat yang lebih

kompleks, karena menurutnya hukum tersbut ada jika terdapat alat-

alat seperti polisi; pengadilan atau penjara. Gejala berlakunya

huku pada masyarakat yang kompleks dibandingkan dengan masyarakat

yang tidak meilki hukum, menurutnya dalam masyarakat yang

sederhana yang ada adalah norma-norma dan adat yang berlaku

terhadap masyarakat dan memberikan efek ketaatan secara otomatis,

hal ini terjadi disebabkan oleh sifat kecil dari masyarakat

tersebut.

Pada dasarnya penekanan terhadap kerangka konseptual

Radcliffe-Brown adalah analoginya yang mengarahkan pada bentuk

morfologi dan fisiologi (studi biologi) yang ia lekatkan terhadapa

teorinya. Ia mengasumsikan kalau dalam organisme mahluk terdapat

strukutur dari bagian yang saling terkait maka begitu pula

terhadap pengelompokkan kehidupan manusia, seperti yang ia

sarankan dalam metode komparasi terhadap budaya. Lepas dari itu

pula ia mengakui bahwa perkembangan kearah ilmu sosial yang lebih

matang terhadap metodologi ilmu alam tidak akan terjadidengan

cepat. Karena berbagai faktor yang dianggap menghambat.

5. AKSI DAN PROSESSUAL

Berbagai pendekatan maupun kerangka teoritik dalam

antropologi digunakan dalam menelaah fenomena sosial dan budaya

terjadi disekitar yang tak pernah terlepas dari kecendrungan

kedinamisan, perubahan-perubahan yang tak pernah lepas dan inheren

pada setiap kondisi sosial budaya suatu masyarakat. Apapun

realitas yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya ditanggapi

secara berbeda-beda dengan tak lepas dari latar belakang maupun

paradigma di setiap konsepsi yang menerangkan fenomena tersebut.

Salah satu pendekatan yang mulai diperhitungkan saat ini di

antropologi adalah pendekatan aksi dan prosesual. Dengan

menggunakan pendekatan ini, banyak para dosen maupun ahli yang

mengasumsikan kemampuan pendekatan ini dalam menelaah dan

menjelaskan gejala ataupun terjadinya perubahan budaya dalam suatu

masyarakat tertentu, selalu dikaitkan dengan konteks kebudayaan

yang dapat diramalkan di masa yang akan datang (meskipun hal ini

belum dapat dijelaskan penulis melalui literatur, kecuali

pemahaman yang didapatkan melalui mata kuliah).

Norma-norma, sikap dan perilaku yang merupakan bagian yang

menjadi masalah dalam kajian budaya, namun sebagian menanggapinya

sebagai fenomena dengan istialah lain yang kita kategorikan dalam

tulisan ini adalah ‘aksi’(fokus kajian pada peran individu dalam

bertindak, beraksi. Pendekatan aksi kian menarik perhatian

antropolog setelah jenuh dengan perdebatan antara evolusi dan

difusi pada wilayah perubahan budaya. Dan pada tahun 1960-an

sebagaian antropologi meninggalkan orientasi struktural

fungsionalisme dan mulai mengembangkan model ‘tindakan sosial’

yang dapat ditemukan dalam karya Edmund Leach dan muridnya Fredrick

Barth (Dalam Saifuddin:178). Secara sederhana, pendekatan dinilai

berlawanan dengan struktur sosial, berarti apa yang secara aktual

dilakukan orang, yaitu peranan-peranan yang suatu individu

jalanakan bertentangan dengan status sosial yang ia sandang.

Tak berbeda dengan pendekatan tindakan sosial, salah satu

pendekatan yang juga digunakan dalam menelaah perubahan sosial

adalah pendekatan prosesual, mengkaji perubahan-perubahan siklis

dalam masyarakat atau perubahan dalam masyarakat sepanjang waktu.

Perspektif ini sangat menekankan proses sosial daripada struktur

sosial, atau yang melihat struktur sosial atau struktur simbolik

dalam hal kemampuannya melakukan transformasi atau perubahan

permukaan dalam masyarakat.

6. TAFSIR BUDAYA

Tafsir budaya dalam antropologi dapat digambarkan sebagai

beberapa pokok yang saling berkaitan satu sama lain:

1. Tindakan dan keyakinan individu hanya dapat dipahami

melalui interpretasi, yang dengan interprtasi tersebut

peneliti berupaya menemukan makna atau signifikansi

tindakan atau keyakinan tersebut bagi pelaku

2. Ada keanekaragaman kebudayaan yang luas berkenaan dengan

cara kehidupan sosial dikonseptualisasi, dan perbedaan-

perbedaan tersebut dengan sendirinya meningkatkan

diversitas dunia budaya.

3. Praktik-praktik sosial dimanifestasikan oleh makna yang

diberikan oleh para pelaku kepada praktik tersebut.

4. Tidak ada fakta kasar dalam ilmu sosial yakni fakta yang

berkaitan dengan makna spesifik dalam kebudayaan

(D. Little dalam Saifuddin: 288)

Clifford Geertz (1973), mengemukakan suatu definisi kebudayaan

sebagai :

1. Suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol,

yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu

mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan persaaan-

perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka

2. Suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara

historis yang terkandung dalam bentuk-bentuksimbolik,

yang melalui tersbut manusia berkomunikasi, memantapkan,

dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan

bersikap terhadap kehidupan.

3. Suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku,

sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi.

4. Oleh karena kebudayaan adalah sistem sombol, maka proses

kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan dan

diinterpretasi.

Bahasa simbolik dari kebudayaan adalah publik, dan oleh sebab

itu peneliti tidak boleh berpura-pura telah memperoleh pengetahuan

yang mendalam mengenai suduy gelap pengetahuan individu. Fungsi

simbolik itu universal, dan manusia tidak dapat memahami

kebudayaan suatu masyarakat tanpa fungsi ini, yang bekerja

disepanjang kode genetik itu sendiri.jadi, manusia berarti

berkebudayaan. Akan tetapi, tidak ada argumentasi yang

menggambarkan upaya untuk menemukan prinsip-prinsip universal yang

melandasi semua kognisi, karena fakta kunci adalah semua

kebudayaan berbeda-beda.

Dalam perkembangan selanjutnya, perkembangan interpretif

seringkali dihubungkan dengan konsep simbol, terlebih setelah

Geertz mengembangkan versi pendekatan intrerpretatifnya sendiri.

Pada mulanya pendekatan ini disebut antropologi simbolik,yang

kelak disebut saling mengganti interpretative simbolik karena

penekanan yang berbeda.

Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara atau bentuk-

bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari

simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi, manusia

juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam

lukisan, taruain, musik, arsitetktur, mimik wajah, gerak-gerik,

pakaian dan banyak lainnya. Manusia dapat memberikan makna kepada

setiap kejadian, tindakan atau objek yang berkaitan dengan

pikiran, gagasan dan emosi. Persepsi tentang penggunaan simbol

sebagai salah satu ciri signifikan manusia menjadi sarana kajian

yang penting dalam antropologi dan disiplin-disiplin lain.

Simbol-simbol yang menunjukkan suatu kebudayaan adalah wahana

dari konsepsi, dan adalah kebudayaan yang memberikan unsur

intelektual dalam proses sosial. Tetapu, proposisi-proposisi

kebudayaan sebbagai simbol telah berlaku lebih darisekedar

mengartikulasikan dunia; proposisi-proposisi ini juga memberikan

pedoman bagi tindakan didalamnya, karena menyediakan model dari

apa yang dipandang sebagai realitas, dan pola-pola bagi perilaku.

Dan, sebagai pedoman bagi perilaku, proposisi-proposisi ini

memeasuki ruang tindakan sosial. Atas dasar ini alasan ini maka

perlu dibedakansecara analitis antara aspek kebudayaan dan aspek

sosial dalam kehidupan manusia, dan memperlakukan setiap aspek

tersebut sebagai variabel bebas namun sebagai faktor keduanya

saling tergantung satu sama lain. Banyak kritik dialamatkan kepada

analisis intrepretatif kebudayaan. Kritik tersebut antara lain

bahwa analisis kebudayaan itu hanya menjelaskan sedikit, sempit,

eksklusif, dan meyimpang dari kehidupan nyata yang luas. Analisis

kebudayaan gampang terjebak ke dalam kualitas estetika, dan

cenderung gamang pada isu survival atau isu kekuasaan yang

mendunia akhir-akhir ini.

7. STRUKTURAL LEVI-STRAUSS

Pandangan Eropa terhadap dimensi kehidupan sosial seperti

konsepsi Jean Paul Sartre tentang eksistensi manusia mendahuli

esensi sehingga sebagai subjek, manusia adalah mahluk yang bebas,

otonom (subjektifitas). Sementara itu Claude Levi-Staruss (yang

juga orang Perancis) mendemonstrasikan konsepnya menentang

pandangan tersbut dengan mengatakan bahwa manusia tidak sebebas

apa yang telah dikemukakan Sartre. Bagi Levi-Strauss, manusia

tidak selalu bertindak sadar da membuat pilihan dan kebebasan

total, tetapi ada struktur yang selalu berada dibalik gejala yang

diam-diam, tanpa disadari bahkan menentukan pilihan-pilihan

partikular individu.3 Sampai pada perkembangan sejarah teori

hingga kini Strukturalismeselalu diidentikkan dengan Levi-Strauss

yang telah berhasil mengembangkan paradigma yang terbilang sangat

fenomenal dalam pendekatan kebudayaan, lebih dari itu semua

upayanya dalam mengajarkan kepada kita tentang apa sesungguhnya

kebudayaan. Meski begitu, banyak beberapa ahli antropologi yang

mengkritiknya dengan menggagap bahwa kerangka teoritiknya terlalu

menyederhanakan masalah serta pandangannya tentang sistem

kekerabatan yang terlalu meremehkan martabat wanita (bias gender).

Namun, sebelum melangkah lebih jauh, mungkin kita bertanya

apa yang ia maksud dengan “struktur” atau “strukturalisme”? untuk

pertanyaan tersebut Heddy Shri Ahimsa-Putra menerjemahkannya

dengan cukup baik. Mengenai struktur, Levi-Strauss mengatakan

bahwa struktur adalah model yang dibuat oleh ahli antropologi

untuk memahami atau mejelaskan gejala kebudayaan yang

dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena itu

sendiri, dengan kata lain struktur adalah relations of relations (relasi

dari relasi) atau system of relation . Disinilah Levi-Strauss berbeda

3 Sejarah diskursus yang melingkupi intelektualitas di Perancis seperti yang dituliskan H. Dwi Kristanto, “Strukturalisme Levi Strauss dalam kajian Budaya”dalam Teori Kebudayaan Jakarta

pandangan dengan Radcliffe-Brown yang mengatakan bahwa relasi-

relasi empiris antar individu.4

Struktural yang telah dikembangkan oleh Levi-Staruss juga

tidak terlepas dari pengaruh tokoh dan pemikiran lain, yakni Karl

Marx, Sigmund Freud dan ilmu geologi. Yang menarik dari pandangan

Marx menurutnya dalah bahwa bentuk-bentuk kondisi permukaan dalam

masyarakat (politik dan ekonomi) yang sekilas tampak sedanya,

kacau balau seprti adanya pemogokan, kemiskinan, ekspliotasi

dansebagainya sesungguhnya dapat dirunut kedalam mata rantai

sebab-akibat di bawah permukaan yakni sekitarpemilikan kapital,

saran produksi dan stritur kelas. Sedang melalui Sigmund Freud

menerangkan tentang “ketidaksadaran” dan kemungkinan memetakan

struktur jiwa manusia atau bisa Levi staruss sebutkan dengan

“human mind”,dan bahwa dari sedikit tanda-tanda yang muncul dalam

suatu masyarakat (mitologi, ritual dan adat) dapat disusun sebuah

gambar tentang sistem kebudayaan sebuah masyarakat. Levi staruss

juga senang dengan ilmu geologi yang mempelajari tekstur permukaan

tanah. Ia kagum bahwasanya struktur bebatuan yang tersembunyi di

bawah tanah dapat dipakai untik menjelaskan tekstur permukaan

bumi. Dari Marx, Freud dan ilmu geologi ini, Levi Staruss belajar

bahwa fenomena di permukaan atau biasa disebutnya dengan “struktur

luar”, yang tampak seadanya ternyata ditentukan oleh “struktur dalam”

yang kurang lebih bersifat teratur dan tetap.

Kecuali ketiga hal tersebut yang paling mempengaruhi tentu

saja adalah linguistik struktural. Seperti Ferdinand de Saussure

yang merasa perlu mengkaji dan mengurai langue dan bukan Parole,

Levi Staruss berpendapat bahwa kita perlu melampaui studi atas

gejala yang ada di permukaan (misalnya mitos) dan mengurai logika4 Uraian pandangan tentang Levi Staruss, Heddy Shri Ahimsa Putra (2006) dalam “Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra”, Kepel Press, Yogyakarta

generatif dalam sistem kultural. Penggunaan ilmu linguistik

sebagai model dalam kajiannya dimungkinkan oleh keyakinan dan

pandagannya bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena

material yang digunakan dalam membangun bahsa pada dasarnya adalah

material yang samatipe/jenisnya dengan material yang membentuk

kebudayaan. Apakah material tersebut? Tak lain adalah relasi-

relasi logis, oposis, korelasi dan sebagainya. Baik bahasa maupu

kebudayaan merupakan hasil pemikiran manusia sehingga ada hubungan

korelasi diantara keduanya. Selain itu pula ada beberapa asumsi

yang mendasari penggunaan paradigma linguistik struktural dalam

menganalisis kebudayaan, yakni5 :

1. Dalam strukturalisme Levi Straus ini, beberapa aktifitas

sosialseperti mitos, ritual-ritual, sistem kekerabatan dan

perkawinan, pola tempat tinggal dan sebagainya secara formal

dapat dilihat sebagai bahasa yakni sebagaitanda dan simbol yang

menyampaikan pesan tertentu. Ada keteraturan dan keterulangan

dalam fenomena-fenomena tersebut.

2. Kaum strukturalis percaya bahwa dalam diri manusia secara

genetis terdapat kemampuan “structuring”, menyusun suatu struktur

tertentu di hadapan gejala-gejala yang dihadapi.

3. Sebagaimana makna sebuah kata ditentukan oleh relasi-relasinya

dengan kat-kata lain pada suatu titik waktu tertentu

(sinkronis), para strukturalis percaya bahwa relasi-relasi

suatu fenomena budaya dengan fenomena lain pad suatu titik

tertentulah yang menentukan makn fenomena tersebut.

4. relasi-relasi pada struktur dalam dapat disederhanakan menjadi

oposisi biner.

8. STRUKTURALIS MARXISME

5 Lihat H. Dwi Kristanto, “Strukturalisme Levi Strauss dalam kajian Budaya” dalam Teori Kebudayaan Jakarta

DETERMINAN

Hukum yang tidak di sadari(kecendrungan eksploitasi dan

konflik)

Ideologi atau sistem nilai(atauran yang disadari)

Kekuatan ProduksiSDA

Kondisi lingkunganPendudukTeknologi

Sarana dan prasarana

Hubungan ProduksiMajikan – Tenaga kerjaTuan tanah – penggarap

Sistem bagi hasil

Artikulasi

Suprastruktur(komponen bangunan

atas)

infrastruktur(komponen bang.

bawah)

DOMINAN

Teori dan pendekatan ini merupakan kerangka pemikiran yang

sepanjang sejarah memilki andil dalam pergerakan Revolusi serta

kemampuan pendekatan ini yang selalu saja relevan dengan konteks

sekarang pada kondisi sosial budaya masyarakat yang sudah sedikit

kompleks serta tingkat diferensasi peran sosial yang sangat

bervariasi. Seperti yang kita ketahui pendekatan ini pertama kali

dicetuskan oleh Karl Marx, seorang pemikir dari Jerman yang

menekankan pandangannya pada materialisme historis, yakni

pandangan pada hubungan kausal langsung antara kekuatan materi

ataupun produksi dan aspek-aspek sosial. Pendekatan ini sangat

menarik bagi golongan bawah karena hakekatnya secara politis

dianggap mampu menaikkan derajat dan persamaan diantara golongan

atau sering disebut ‘Kelas Sosial’. Penulis agak kesulitan untuk

menjelaskan secara rinci pemikiran ini kecuali dengan menggunakan

skema pemikiran Marks atau ‘Mode Produksi’, suatu bentuk

memproduksi sistem sosial dan ekonomi dalam masyarakat.

Dan yang paling menonjol dalam pandangan Karl Marx tentang

negara (yang sampai abad ini tetap menjadi bagian perdebatan

politis ideologi). Teori Marx tentang negara menjelaskan

DETERMINAN

Hukum yang tidak di sadari(kecendrungan eksploitasi dan

konflik)

Ideologi atau sistem nilai(atauran yang disadari)

Kekuatan ProduksiSDA

Kondisi lingkunganPendudukTeknologi

Sarana dan prasarana

Hubungan ProduksiMajikan – Tenaga kerjaTuan tanah – penggarap

Sistem bagi hasil

Artikulasi

Suprastruktur(komponen bangunan

atas)

infrastruktur(komponen bang.

bawah)

DOMINAN

peranannya sebagai perluasan kekuasaan dari orang-orang yang

dominan dalam sistem startifikasi. Negara adalah sarana politik

untuk menjalankan kepentingan-kepentingan dari kelas dominan,

suatu pendapat yang tidak relevan bagi negara-negara yang menganut

sistem nilai bersama yang aabsah. Perbedaan-perbedaan yang tidak

disesuaikan dalam pembagian kerja dalam rangkaian waktu cenderung

menggunakan kekuasaan politik. Oleh karena itu, menurut Marks,

bahkan negara-negara yang menamakan diri mereka demokratis formal

tidak benar-benar berlandaskan pada kedaulatan rakyat.

9. RELATIVISME BUDAYA DAN KOGNITIF

Terhadap keragaman pengaturan budaya, reaksi antropolog dapat

dibedakan menjadi dua corak. Yang pertama, antropolog memandang

perbedaan sebagai sesuatu yang ada begitu saja sebagai fenomen

untuk dicatat, atau sebagai variasi-variasi dalam suatu tema besar

yang bernama relativisme budaya. Seturut pandangan ini, semua

bangsa di sunia (masa lampau maupun kini) harus menggulati banyak

dari masalah-masalah yang sama, yang untuk kesemuanya itu telah

mereka hasilkan pemecahan berbeda-beda. Masalah itu

meliputi ;mencari nafkah, menyiapkan tempat berteduh, memelihara

tata tertib sosial, dan menghadapi hal-hal yang tak diketahui.

Cara pemecahan yang satu tidaklah serta merta lebih baik atau

lebih buruk dati yang lain. Cara-cara itu berbeda; hanya itu.

Pandangan antropolog ini telah memunculkan kepustakaan yang subur

dan beraneka ragam, yang melukiskan cara hidup sejumlah besar

bangsa di dunia. Selain menghasilkan paparan-paparan demikian, itu

teruntai menjadi semacam fatwa antropologi berikut ini: Manusia

itu adalah satu, budayanya beraneka. Ilmuwan sosial yang berupaya

menggeneralisasikan sifat-hakekat manusia harus mengahadapi

tantangan kenyataan bahwa terdapat corak adaptasi manusia seperti

terungkap dalam “kepustakaan tentang perbedaan budaya” ini.

Akan tetapi ada banyak perihal yang menyangkut tentang

relativisme budaya, para antropolog tetap memprokalmirkan dirinya

berdiri di pendirian tentang keragaman budaya, meski dapat

ditinjau bahwa ada juga letak perbedaan secara metodologis dan

berbagai asumsi yang membangun kerangka pendekatan ini, seperti

yang disarikan di bawah ini:

- Umumnya beberapa kalangan akan sepakat apabila relativismediajukan sebagai suatu paham yang menekankan pada suatumasyarakat yang memiliki nilai-nilai tersendiri, tidakkebenaran mutlak. Corak perbedaan antara yang satu denganyang lainnya.

- Pandangan relativisme seiring waktu berkembang menjadi“Contemporary Cultural Relativisme” dan terbagi lagi menjadi:

1. Descriptive relativism

2. Normative relativism

3. Epistemological relativism

- Prinsip budaya (dalam relativism) adalah berbeda-beda danesensinya adalah nilai, jadi nilai dalam budaya berbedapula, karena itu ageneral.

- Pandangan relativism didukung oleh paradigma determenismekebudayaan yang berasumsi bahwa budaya dalam suatumasyarakat adalah aturan (regulasi) yang digunakan untukmemahami budayanya.

- Penggambaran suatu bentuk masyarakat misalnya pelukisantentang masyarakat bugis, masyarakat jawa dan sebagainyayang satu sama lain berbeda dan memiliki ciri masing-masing(cultural identity)

- Penilaian-penilaian mana yang baik dan buruk. Jadi setiapbudaya memiliki sistem penilaian berdasarkan standarinternalnyasendiri yang berlaku pada masyarakat tersebut.

Dengan sistem penilaian tersebut digunakan untuk mengukurnilai-normatif .

- Pengetahuan cosmo tentang ‘ADA’, ‘YANG MUNGKIN’ dan ‘TIDAKADA’ menekankan panangan filosofis tentang kehidupan yangada di dunia.

10. POST-STRUKTURALSuatu perspektif yang berdasarkan penolakan terhadap

metodologi strukturalis atau pembedaan klasik strukturalis antara

sinkronik dan diakronik (Saifuddin, 2005: 426) , dengan proposisi

ini post strukturalisme yang kurang lebih hadir memberikan

andilnya menentang asumsi strukturalisme yang dianggap terlalu

mengabaikan tindakan sosial yang cenderung merupakan salah satu

faktor yang menjadi landasan tata perilaku dalam individu manusia.

Berbicara tentang post strukturalisme, maka kita tidak lepas

dari apa yang diutarakan oleh Pierre Bourdieu, seorang pemikir dari

Prancis yang sebenarnya banyak mengalihkan perhatiannya ke

Sosiologi. Terdapat sejumlah alasan yang lebih spesifik mengapa

pengkajian karya Bourdieu begitu penting. Pertama, dia memberikan

kontribusi utama dalam debat tentang hubungan antarstruktur dan

tindakan sebagai satu pertanyaan kuncibagi teori sosial yang

muncul lagi pada era1970-an dan awal 1980-an. Kedua, dibandingkan

dengan Anthony Giddens, misalnya, kontribusi tersebut secara

konsisten telah dikerangkakan oleh kombinasi kerja empiris

sistematis yang mendasarkan pada etnografi dengan teori reflektif.

Bagian terpenting platform kajian Bourdieu adalah upayanya

untuk mengatasi pilihan wajib antara subjektivisme dan

objektivisme. Beberapa hal yang terpenting yang menjadi perhatian

pendekatan ini adalah tentang masalah yang dalam serangkaian

oposisi homologi, individu versus masyarakat, tindakan versus

struktur, kebebasan versus keharusan dan lain-lain, yang

menyediakan debat teoritis kontemporer tentang stukturisasi

berikut permasalahannya.

Ada tiga perangkat pemikiran yang juga penting dari Bourdieu

yaitu konsep praksis, habitus dan arena. Mengenai argumentasi

tentang praksis dalam lingkup penjelasan teoritis tidaklah

sebenarnya baru karena Bourdiue sendiri mengaku berutang pada Karl

Marks tentang Praksis, yang pada asumsinya itu untuk mengetahui

bagaimana sesuatu bisa terjadi “seluruh kehidupan sosial pada

dasarnya bersifat praktis” (Jenkins, 2004: 96). Satu tempat yang

bagus untuk mulai berpikir tentang pemikiran Bourdieu dari model

praksis yang diteorikan adalah pada pandangan tentang teori itu

sendiri. Setiap masyarakat, setiap kebudayaan, dan setiap kelompok

manusia yang mengakui diri mereka sebagai satu kolektivitas,

memilki pandangan tentang dunia dan tempat mereka didalamnya,

model tentang bagaimana dunia ini, tentang bagaimana dunia

seharusnya. Selanjutnya, dalam penjelasannya dalam ilmu sosial,

Bourdieu menaruh perhatiannya pada apa yang dilakukan individu

dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dia berpendapat bahwa

kehidupan sosial tidak dapat dipahami semata-mata sebagai agregat

perilaku individu, dia juga tidak menerima bahwa praksis dapat

dipahami secara terpisah dalam hal pengambilan keputusan individu,

di satu sisi atau sebagai sesuatu yang ditentukan oleh struktur

supra individual. Pengahalusan dan pemakaiannya atas istilah

Habitus. Lau apa habitus itu? Secara literer, habitus adalah satu

kata bahasa latin yang mengacu kepada kondisi, penampakan atau

situasi yang tipikal atau habitual khususnya pada tubuh. Pada

bagian lain tentang pokok pemikiran Bourdieu adalah tentang Arena

yang menurutnya adalah suatu arena sosial yang didalamnya

perjuangan atau manuver terjadi untuk memperbutkan sumber atau

akses terbatas. Arena didefinisikan sebagai taruhan yang

dipertaruhkan- benda klutural (gaya hidup, perumahan, kemajuan

intelektual (pendidikan), pekerjaan, tanah, kekuasaan (politik),

kelas sosial, prestise atau lainnya- dan mungkin berada pada

tingkatan yang berbeda dengan spesifikasi dan derajat kekonkretan

(Jenkins, 2004: 124). Setiap arena, akrena isisnya, memilki logika

berbeda dan struktur keharusan dan relevansi yang

diterimasebagaimana adanya yang merupakan produk dan produsen

habitus yang bersifat spesifik dan menyesuaikan diri dengan

arenanya.

Adapula, Michel Foucault yang cukup mentereng untuk urusan

pendekatan teoritisnya yang menelaah masalah strukturalisme (dalam

hal ini penulis mengkategorikannya kedalam kelompok post-

struktural). Foucault berusaha mengurai kekusutan pola tradisional

mengenai apa yang dipandang secara tradisional sebagai tak dapat

diubah. Dia mengurai relasi kuasa yang terjadi pada abad

pertengahan sampai modern yang membakukan pola pemikiran rasional

empirik sebagai basis pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan ini,

menurutnya telah menghegemoni pengetahuan modern. Untuk mengurai

benang kusut paradigma lama yang telah diterima apa adanya tanpa

harus mengalami perubahan, Foucault menggunakan metode arkeologi,

genealogi dan problematisasi. Tiga metode ini sebagai pisau

analisis untuk membedah realitas yang menghegemoni pengetahuan dan

wacana yang nampaknya terbangun dengan pola-pola pemahaman

struktur tradisional.

Penulis menemukan pertentangan pendekatan teoritis lainnya

dengan pemahaman yang di ajukan Foucault. Dimana beberapa asumsi-

asumsi pokok dalam melihat masyarakat pada teori-teori yang

melihat masyarakat sebagai totalitas, sistem dan organis. Foucault

menekankan kontinuitas dan diskontinuitas sejarah, proses-proses

tatanan dan konflik, tanpa mereduksi analsisis sosialnya pada

sebuah cerita kemajuan atau kemunduran. Jika dalam liberalisme dan

marksisme bertujuan untuk menemukan logika global atau dalam

strukturalisme yang berupaya mencari logika genetis manusia.

Foucault membuang pencarian seperti itu dan lebih menengok apada

dinamika masyarakat yang heterogen. Dari kasus yang dianalisisnya

Foucault melihat bentuk tatanan sosial yang berdasarkan

pendisiplinan yang baru. Kontrol sosial bekerja melalui seri-seri

teknologi kontrol yang merembesi semua institusi masyarakat

modern. Strategi kuasa yang demikianlah yang bertanggung jawab

menanamkan, melalui noemalisasi dan regulasi, norma dan tingkah

laku tatanan masyarakat.

11. POSTMODENISME

Postmodernisme merupakan gerakan kontemporer. Aliran ini kuat

dan modis. Namun demikian, kejelasan bukanlah ciri yang menonjol

dari kerangka pemikiran ini, tidak hanya sulit mempraktekkannya

tetapi kadangkala sulit menolaknya. Yang jelas, tidak ada pasal

kepercayaan posmomodernisme no. 39, atau manifesto posmodernisme

layaknya orang orang beraliran sosialisme, yang dapat dipakai oleh

seseorang untuk mengukur ketetapan penilaiannya terhadap

posmodernisme.

Pengaruh gerakan ini dapat dilihat dalam antropologi, sastra

dan filsafat. Posmodrnisme membuat hubungan antar bidang-bidang

ini semakin dekat satu sama lain dibandingkan denan sebelumnya.

Gagasan-gagasannya adalah : bahwa semua yang ada adalah sebuah

“teks”, bahwa bahan pokok semua teks, masyarakat dan hampir apapun

adalah makna-makna yang perlu diurai atau di ‘dekonstruksi’, bahwa

pandangan mengenai realitas yang objektif harus dicurigai. Semua

itu tampak bagian dari atmosfir , atau kabut dimana posmodernisme

berkembang, atau yang turut dikembangkan oleh posmodernisme.

Banyak yang tidak sepenuhnya paham mengenai pendekatan atau

konsep ini terhadap humaniora. Karena asyik dengan pendekatan ini, studi

antropologi berubah dari kajian tentang masyarakat menjadi kajian tentang reaksi

antropolog terhadap reaksinya sendiri dalam kajiannya terhadap masyarakat, yaitu

dengan menganggap bahwa dia sudah terlalu jauh melangkah untuk dapat dikatakan

sudah menghasilkan sesuatu (Gellner 1994: 40). Pencarian generalisasi

berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan dianggap sebagai sebuah bentuk

“posistivistik”, sehingga “teori” lebih merupakan rangkaian

renungan pesimistik dan kabur tentang ketidakterjangkauan yang

lain dari maknanya. Pada kesempatan lain, tipu muslihatnya

cenderung menyingkirkan pengarang dari teks yang dibuatnya, dan

langsung mengurai, mendekonstruksi, atau men-“De sesuatu” makna

yang berbicara lewat pengarang, yang sebenarnya sudah diketahui.

Akan tetapi ada satu tema didalam satuan gagasan ini yang

sangat berkaitan dengan posmo, yakni relatifisme. Yang mungkin agak

jelas adalah posmodernisme lebih menyukai relativisme dan tidak

menyukai gagasan tentang keunikan, eksklutivitas, objektivitas,

eksternalitas atau kebenaran transendental. Kebenaran adalah sukar

dipahami, multi bentuk, batiniah, subjektif dan mungkin juga lain-

lainnya.

Pada akhirnya, makna opersional posmodernismedalam antropologi

adalah: Penolakan (dalam prakti, agak selektif) terhadap seluruh

fakta objektif, semua struktur sosial independen, dan menggantinya

dengan kepentingan makna, baik yang menyangkut objek yang diamati

maupun pengamat itu sendiri. Maka terdapat dua penekanan dalam

subjektivitas, yaitu penciptaan dunia oleh orang yang dipelajari

dan kreasi-teks dari peneliti. “makna” kurang lebih berfungsi

sebagai alat analisis ketimbang sebagai konseptual, yang merupakan

alat untuk menggairahkan diri. Peneliti menunjukkan inisiasinya

tentang misteri hermenutika, dan kesulitan penanganannya, melalui

prosa yang rumit dan berbelit-belit.

Adapun posmodernisme dalam ilmu-ilmu mengenai manusia sebagai

contoh, adalah mengenai sejarah yang dipandang tidak berhasil

memberikan “landasan” bagi ilmu-ilmu mengenai manusia. Proliferasi

usulan teoritis yang dimaksudkan untuk membangun suatu garis

demarkasi antara ilmu-ilmu pengetahuan dan ilmu non pengetahuan

telah gagal dengan standar mereka sendiri. Selain itu, kritik

terhadap tradisi Pencerahan menempuh jalan yang rumit ilmu

pengetahuan dalam dinamika kontrol sosial dan dominasi.

(Syaifuddin, 2005: 380)

Telaah Teoritik

“REPRODUKSI WACANA DAN MARGINALITAS KELOMPOK “GENDERALTERNATIF” MELALUI PENGGUNAAN BAHASA”

(STUDI POST-STRUKTURALISME)

Melalui pendekatan post-strukturalisme yang digagas oleh

pemikir perancis seperti Bourdieu dan Foucault, upaya untuk

menganalisis perkembangan bahasa dan seksualitas serta pengaruhnya

terhadap marjinalisasi gender yang terjadi di Indonesia, khususnya

di Makassar menjadi sangat dimungkinkan. pada kenyataannya,

masyarakat cenderung “menutupi” adanya kemungkinan klasifikasi

seksualitas laki-laki dan perempuan sehingga kelompok biseks,

homoseksual, dan transgender dianggap “tidak ada”, maka mengkaji

kelompok yang dianggap “tidak ada” menjadi suatu aib tersendiri

bagi akademisi. Walaupun demikian, kini Indonesia telah membuka

kesempatan dalam dunia akademik untuk melihat kategori seksualitas

yang tidak hanya membagi ke dalam klasifikasi heteroseksual laki-

laki dan perempuan sehingga dapat mengungkap kompleksitas

kehidupan dengan berbagai kemungkinan kajian.

Melalui analisis representasi, dapat terjelaskan cara bahasa

untuk merepresentasikan kelompok tertentu dalam mendukung sikap

tertentu atau menegaskan keberadaan stereotip yang sudah ada.

Penting untuk mengingat bahwa teks bekerja dalam konteks

kebudayaan, yakni bahasa diciptakan dalam kebudayaan tertentu dan

bekerja dalam sistem nilai dari kebudayaan itu.

Berdasar tingkat bekerjanya bahasa, representasi kelompok

dapat dilihat melalui tingkatan pemilihan kata. Bahasa sebagai

media representasi yang paling berkuasa yang tersedia bagi

manusia, membentuk pemahaman tentang “apa yang kita lakukan dan

apa yang seharusnya kita lakukan ketika kita berpikir dan

bertindak atas nama seksualitas”. Bahasa memiliki akses pada waktu

dan tempat tertentu untuk merepresentasikan seks dan seksualitas

yang signifikan terhadap “apa yang mungkin kita lakukan, apa yang

kita anggap “normal”, dan apa yang kita inginkan dalam hasrat diri

kita”.

Dengan pemilihan kata, upaya menyudutkan kelompok tertentu

dapat dilakukan melalui pilihan kata yang digunakan untuk menamai

atau mendeskripsikan kelompok. Prasangka buruk kepada kelompok

dapat diperkuat oleh penggunaan bahasa yang mendukung sistem

kepercayaan yang sudah ada. Penggunaan kosa kata yang merendahkan,

meremehkan dan menghina kelompok yang tidak beruntung dapat

mendukung kepercayaan bahwa kelompok itu menyalahkan diri sendiri

atas ketidakberuntungannya, contohnya prasangka buruk mengenai

waria sebagai kaum pembawa sial yang hanya memiliki keterbatasan

peran, atau gay adalah kaum yang tersesat atas orientasi

seksualitasnya.

Kecenderungan penggunaan bahasa oleh masyarakat dalam

melakukan representasi ataupun misrepresentasi mengenai relasi

gender hadir dalam ranah-ranah kehidupan, misalnya seksisme yang

muncul dalam bahasa teks yang memarjinalkan kelompok tertentu,

bagaimana media menghadirkan teks yang tidak bisa lepas begitu

saja dari pengaruh norma yang berlaku dalam masyarakat, dan lain

sebagainya. Marjinalisasi suatu kelompok dapat dilakukan dalam

pemberitaan di media massa. Pemberitaan yang kerap muncul di media

mengenai kelompok waria atau homoseksual hampir sebagian besar

menampilkan berita miring. Hal itu menyebabkan media massa turut

memarjinalkan kelompok homoseksual dalam pemberitaannya.

Akibatnya, penggunaan bahasa dalam pemberitaan seperti itu

memunculkan pencitraan negatif terhadap kelompok gender alternatif

tersebut.

Kesimpulannya, salah satu pemarjinalan terhadap kelompok

minoritas seksual dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa. Upaya

tersebut dilakukan dengan cara terus menerus melakukan reproduksi

wacana melalui penggunaan bahasa yang diinginkan untuk

meminggirkan kelompok yang akan dimaksud. Dalam hubungannya dengan

kelompok heteroseksual, kelompok homoseksual, biseksual, dan

transeksual adalah kelompok marjinal. Siapa yang memiliki

pengetahuan, dia yang memiliki kuasa. Siapa yang memiliki moda,

dia yang mampu menciptakanan wacana dalam masyarakat. Dalam

beberapa kasus, penggunaan bahasa di media, kelompok gender

alternatif menjadi kategori yang hilang dan termarjinalkan dalam

teks. Pemarjinalan kelompok homoseksualitas melalui bahasa tampak

pada penggunaan bahasa yang menguatkan stereotip bahwa kelompok

homoseksualitas adalah kelompok yang menyimpang.