15
10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 1/15 Taqwacore http://www.taqwacore.com/ Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! Pertama kali saya mendapat berita tentang penangkapan kawan-kawan punk di Aceh ialah satu malam setelah insiden tersebut terjadi (11/12/11). Perasaan saya bercampur aduk saat mengetahui beritanya. Jika mendengar berita konser punk digerebek oleh polisi barangkali agak biasa, tapi yang membuat berita tersebut luar biasa ialah penggerebekan dilakukan oleh polisi syari’ah (wilayatul hisbah/WH). Hal ini hampir tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah konser musik di Indonesia. Illiza Sa’aduddin Djamal, wakil walikota Banda Aceh yang bertanggung jawab atas penggerebekan tersebut mengatakan bahwa alasan penangkapan ialah karena “punk rock itu buruk dan tidak sesuai dengan syari’at Islam”. Oleh: Hikmawan Saefullah Kolom 16 min read

Punk Vs. Syari'at Islam? Tentu Tidak!

Embed Size (px)

Citation preview

10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat

https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 1/15

Taqwacore http://www.taqwacore.com/

Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak!

 

Pertama kali saya mendapat berita tentang penangkapan kawan-kawan punk di Acehialah satu malam setelah insiden tersebut terjadi (11/12/11). Perasaan saya bercampuraduk saat mengetahui beritanya. Jika mendengar berita konser punk digerebek olehpolisi barangkali agak biasa, tapi yang membuat berita tersebut luar biasa ialahpenggerebekan dilakukan oleh polisi syari’ah (wilayatul hisbah/WH). Hal ini hampir tidakpernah terjadi sebelumnya dalam sejarah konser musik di Indonesia. Illiza Sa’aduddinDjamal, wakil walikota Banda Aceh yang bertanggung jawab atas penggerebekantersebut mengatakan bahwa alasan penangkapan ialah karena “punk rock itu buruk dantidak sesuai dengan syari’at Islam”.

Oleh: Hikmawan Saefullah

 Kolom16 min read

10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat

https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 2/15

Dalam insiden tersebut, 65 punk mengalami tindakan kasar dari aparat sepertipemukulan, pemenjaraan tanpa proses pengadilan, penggundulan, dibenamkan kedalam air dingin, dan ‘pembinaan’ dengan paksa selama 10 hari di  campkepolisian(SPN). Illiza mengatakan bahwa penangkapan dilakukan guna ‘menyelamatkan’ generasimuda Aceh dari ‘perilaku yang negatif.’ Sejak itu pemerintah kota Banda Aceh berjanjiakan bekerjasama dengan kepolisian, dan polisi syari’ah untuk terus mencari danmenangkap siapapun yang menunjukkan identitas punk di wilayah Banda Aceh. Dalamkonteks ini, punk di Aceh dipandang sebelah mata. Ia diidentikkan dengan budayanihilisme, seperti mengkonsumsi narkoba,  free-sex,  kekerasan, dan kriminalitas. Makadari itu setiap punk yang ditangkap akan dikirim ke SPN untuk ‘dibina’ agar menjadi‘anak yang baik’ dan ‘disiplin.’

Tindakan para aparat di Aceh ini telah melanggar hukum dan prinsip hak asasi manusia.Pertama, tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kawanan punk tersebut. Kedua,aparat melarang punk yang ditangkap untuk mendapatkan bantuan hukum. Ketiga, pihakaparat bahkan melarang mereka menghubungi orang tua mereka ketika ditangkap. Keempat,mereka dipaksa digunduli dan ‘dibina’ di luar kehendak mereka, dan di’permalukan’ di depanpublik. Kelima, kebebasan berekspresi dan berkumpul mereka dibatasi (bahkan dinihilkan).Terakhir, pihak walikota Banda Aceh, kepolisian, dan polisi syari’ah telah melakukandiskriminasi kelompok sosial dimana komunitas punk dituduh bertentangan dengan agama dansyari’at Islam.

Terlepas dari pelanggaran hukum dan prinsip HAM yang dilakukan oleh pihak walikota,kepolisian, dan polisi syari’ah ini, sebagian masyarakat Aceh yang tergabung dalam sejumlahormas Islam termasuk FPI, HUDA, PII, KAMMI, KAPMI dan HMI mendukung langkah untukmenganihilasi komunitas punk tersebut. Kini pelucutan elemen-elemen punk dari generasimuda di Aceh akan semakin gencar dilakukan. Dengan semangat ‘menjaga’ kemurnian syari’atIslam, aparat bekerjasama dengan ormas-ormas Islam di Aceh seolah-olah melancarkan ‘jihad’melawan punk!

Langkah pemerintah dan kelompok Islam di Banda Aceh ini, bagaimanapun juga, telah menuaikritik dari masyarakat domestik dan internasional. Komunitas punk di Jakarta (17/12), Makassar

10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat

https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 3/15

(21/12), dan Bandung (23/12) menggelar aksi solidaritas untuk kawan-kawan punk yangditangkap di Aceh dengan berunjuk rasa turun ke jalan. Mereka menuntut agar aparat di Acehbertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang dilakukan kepada saudara-saudara mereka,dan meminta agar pihak kepolisian serta walikota Banda Aceh segera membebaskan mereka,dan membersihkan nama baiknya. Di Moskow (15/12), komunitas Anarcho-punk Rusiamenunjukkan aksi solidaritas yang serupa dengan menyampaikan pesan yang tegas kepadapemerintah Indonesia, yaitu dengan mencorat-coret tembok kantor Kedutaan Besar RI dengantulisan “Religion=Fascism”, “Punk is not a crime!” Komunitas punk di London, Inggris (20/12)berdemonstrasi membuat petisi yang serupa yaitu agar kawanan punk di Aceh agar segeradibebaskan (‘Free the Aceh Punks!’). Di Amerika Serikat, komunitas punk di San Francisco danLos Angeles mendatangai kantor Konsulat Jenderal RI dan menyatakan kekhawatiran merekaterhadap nasib punk di Aceh. Aksi solidaritas juga dilakukan melalui jaringan internet dimanaberbagai komunitas punk di seluruh dunia, dari Eropa hingga Asia, ‘bertemu’ dan mengadakansebuah kampanye mendukung kawanan punk di Aceh dengan mengumpulkanberbagai  mixtape  berupa kaset dan CD musik (punk,  hardcore, dan  crust) untuk dikirim kekomunitas punk di Aceh. 

Meskipun respon dan kritik dari berbagai belahan dunia bermunculan, tampaknya pihakWalikota dan Kepolisian Banda Aceh tidak begitu peduli. Sebaliknya, mereka malahberanggapan bahwa “pembinaan” punk adalah suatu tindakan yang “benar”, dan tidakmelanggar HAM. Ketika Kapolda Banda Aceh Iskandar Hasan ditelepon oleh Duta BesarJerman dan Perancis yang mempertanyakan pelanggaran HAM terhadap kawanan punktersebut, ia malah mengatakan pada mereka bahwa penggundulan dan pembenaman anak-anak ke air sungai merupakan sebuah “tradisi”. Ormas-ormas Islam seperti yang disebutkan diatas bahkan menganjurkan agar pembinaan 10 hari anak-anak punk di SPN semestinyadiperpanjang hingga 3 bulan. Menurut mereka, punk telah keluar dari “norma agama, budaya,dan adat istiadat Aceh.” 

Dari kasus ini setidaknya ada tiga inti masalah yang mengemuka. Pertama, terdapatmispersepsi antara pemerintah, aparat, dan masyarakat Aceh mengenai budaya dankomunitas punk. Punk dalam kasus ini dinilai sangat negatif, bahkan lebih buruknya lagi,dihakimi ‘sesat’ oleh sebagian kelompok Islam, meski punk sama sekali bukan sekte agama.Mispersepsi dan salah pengertian ini kemudian melahirkan persoalan yang kedua, yaituseolah-olah adanya demarkasi antara punk dengan Islam (“punk versus Islam”). Di sinipersoalan menjadi serius, karena penganut punk dan subkultur sejenisnya adalah orang-orang

10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat

https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 4/15

beragama yang kebanyakan Muslim. Masalah ini sangat penting untuk diklarifikasi bersamaguna menghindari hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa yang akan datang. Pemerintah,masyarakat, dan ilmuwan, termasuk di dalamnya komunitas punk, mesti berdialog secara aktifdan mengklarifikasi persoalan punk versus agama ini sebelum berakumulasi atau merembet kepersoalan-persoalan lain yang lebih serius. 

Mispersepsi Tentang Budaya Punk

Mispersepsi tentang punk sebenarnya sudah ada sejak budaya tersebut pertama kali lahir danberkembang. Mispersepsi biasanya muncul karena adanya jarak antara subjek dengan objekyang ditelitinya, dalam hal ini masyarakat umum dengan komunitas dan budaya punk. Untukbisa memahami apa dan bagaimana budaya punk, biasanya yang bersangkutan mesti hidupdekat atau di melebur di dalam komunitas tersebut. Paling sedikitnya yang bersangkutan mestimembaca terlebih dahulu tentang sejarah gerakan punk itu sendiri. 

Punk lahir di Inggris dan Amerika Serikat pada pertengahan dan akhir dekade 1970-an sebagairespon spontan dari kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang  buruk (perang dingin, krisisminyak, konflik kelas, pengangguran, kemiskinan, kesenjangan sosial). Beberapa kelompokanak muda dari kelas menengah dan pekerja yang tidak puas dengan kebijakan dalam dan luarnegeri pemerintahnya melakukan semacam perlawanan melalui berbagai macam aktivisme.Selain aktivisme politik, perlawanan juga dilakukan melalui aktivisme seni dan budaya. Dengansemangat anti-kemapanan mereka bereksperimen dengan fashion dan musik yang berbedadengan apa yang disajikan oleh industri budaya arus utama. 

Dalam ranah fashion, Malcolm McLaren dan Viviene Westwood menciptakan punk style, yaituRambut Mohawk, Spikey, tattoo, piercing, T-shirt, kalung rantai, celana ketat berlubang(terkadang ditambal), dan sepatu boots. Desain pakaian yang serba ‘murahan’ ini sengajadibuat sedemikian rupa, untuk membuat ‘shock’ orang-orang sekitar yang cenderung hidupdengan gaya mewah: pakaian rapih dan bermerk, berdasi, berkendaraan mewah, dan bergaulhanya sesama kaum elit. Adalah para personil band punk legendaris Sex Pistols sepertiJohnny Rotten dan Sid Vicious yang pertama kali dijadikan ‘bahan percobaan’ McLaren danWestwood untuk menggunakan  style  yang unik ini. Ketika anak-anak muda di Inggris mulaibanyak menggunakan atribut punk dan berhamburan hidup di jalanan, masyarakat borjuis yangkebanyakan terdiri dari orang-orang konservatif langsung mencibir dandanan anak-anak punkyang dinilai oleh mereka ‘urakan’ dan ‘menjijikkan’. 

10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat

https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 5/15

Fashion punk mulai masuk bersamaan dengan masuknya musik punk ke Indonesia pada awaldekade 1980-an, tapi punk style ini baru mulai banyak diadopsi oleh muda-mudi Indonesiapada awal dekade 1990-an. Seperti di Inggris dekade 1970-an, orang-orang awam di kota-kotabesar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya) langsung mencibir orang-orang yang berdandanan a la punk tersebut. Meskipun sering dipandang negatif olehmasyarakat umum, semakin banyak pemuda di Indonesia yang tertarik menggunakan gayapunk. Sebagaimana yang dikatakan oleh Joanna Pickles (2007) dalam penelitiannya yangberjudul  Punk, Pop, and Protest: the Birth and Decline of Political Punk  in Bandung: “padapertengahan dekade 1990-an sudah banyak sekali di Bandung (dan kota-kota besar lainnya)orang-orang menggunakan Mohawk punk.”

Dalam ranah musik, beberapa anak muda di Inggris dan Amerika pada akhir 1960-an dan awal1970-an melakukan eksperimen dengan musikalitas mereka. Bosan dengan jenis musik yangdisajikan oleh media arus utama (pop, glamour rock, disco), mereka berusaha menciptakanjenis musik yang cenderung berbeda dari yang pernah ada sebelumnya. Denganmengkombinasikan karakter folk, rock ‘n’ roll, rockabilly, garage rock, doo-wop, blues, ska, danreggae, anak-anak muda ini melahirkan genre baru yang disebut Dave Marsh (1971) dengan‘punk rock’. Legs McNeil (1976) kemudian mempopulerkan istilah ‘punk’ melalui majalahindependen (fanzine) yang ia bernama Punk Magazine. Baru pada akhir 1970-an, istilah ‘punk’dan ‘punk rock’ diterima secara umum untuk mendeskripsikan jenis musik yang dimainkan olehscene musik di New York, khususnya di klab CBGB dan Max’s Kansas City (Dunn 2008: 194).

Band-band dan para musisi punk yang sering bermain di kedua klub tersebut, seperti TheVoidoids, The New York Dolls, Television, The Heartbreakers, Blondie, The Ramones, dan PattiSmith melahirkan jenis musik yang menjadi karakter dasar musik punk ke depan. Gitarberdistorsi dengan chords yang sederhana (tiga chord diulang-ulang), ketukan drum yangcepat dan kadang monoton, lirik lagu yang pendek serta bernuansa politik dan anti-kemapanan, adalah karakter yang paling mudah ditemukan dalam jenis musik punk. Kualitasvokal dalam musik punk terkadang tidak terlalu dipermasalahkan. Inilah yang membuat banyakorang tertarik dengan musik punk: sederhana, mudah diikuti, dan semua orang bisamelakukannya.

Secara auditorial, musik punk mampu mentransmisikan energi yang dapat mendorongsebagian orang, baik itu musisi maupun audiens, untuk berani melepas energi negatif yangmembelenggu dirinya. Jika kita mendatangi konser-konser musik punk

10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat

https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 6/15

atau  underground,  biasanya dapat ditemukan para penonton dan pemain melakukan  head-banging  dan  moshing  bersama-sama. Sekilas jika diperhatikan apa yang mereka lakukan(menabrakkan diri ke teman-teman yang lain, menari dan berjingkrak tak beraturan di depanpanggung) tampak seperti sebuah aksi massa yang kacau dan tidak terkontrol, seolah sepertisebuah bentuk kekerasan massal. Tapi menurut Kevin C. Dunn (2008: 195) dalam artikelnyayang berjudul “Nevermind the Bollocks: the Punk Rock Politics of Global Communication”, aksi‘brutal’ tersebut sebenarnya adalah bentuk eskpresi mereka untuk melepaskan diri dari segalabeban mental dari kehidupan modern yang destruktif dan penuh kemunafikan. 

Setelah  moshing  dan  head-banging  para penonton dan musisi biasanya kembali ‘normal’,namun membawa perasaan puas karena sebagian beban yang tadinya ia simpan dalam dirinyasudah terlampiaskan secara emosional. Seperti yang dikatakan oleh Themfuck vokalis bandpunk Bandung Jeruji: “setiap kali saya memainkannya, perasaan saya menjadi positif” (Pickles2000). Dalam ilmu psikologi, apa yang disebut dengan punk rock,  moshing,  dan  head-banging,  adalah bagian dari bentuk ‘catharsis’, yaitu metode pelepasan emosi untukmenghilangkan konflik internal dalam diri. Dalam salah satu tradisi Sufisme abad ke-13,metode yang serupa juga dilakukan oleh para pengikut ajaran Jalaludin Rumi, yaitu melaluitarian yang disebut dengan tarian ‘Sama’ (whirling darvishes). Para pengikut tarekat inimelakukan tarian Sama hingga sekarang sebagai bentuk lain dari dzikir mereka kepada Allah. 

Dick Hebdige (1979) dalam buku klasiknya yang berjudul  Subculture: the Meaning ofStyle  menjelaskan bahwa bentuk estetika punk (fashion  dan musik) sangat syarat denganmakna. Bentuk estetika yang diproduksi oleh punk merupakan bentuk intervensi terhadapproses homogenisasi nilai dalam tatanan sosial dan budaya yang dikonstruksi oleh kelompokdominan. Sebagai contoh, ketika di sebuah masyarakat itu diterapkan sebuah nilai dimanapakaian yang ‘bagus’ itu ialah pakaian yang bermerk dan mahal, punk memberikan pandanganalternatif bahwa yang ‘bagus’ itu ialah pakaian yang murah dan hasil buatan sendiri. Ketikamasyarakat mengatakan bahwa rambut yang indah itu adalah rambut yang ‘rapih’, ‘panjang,’dan ‘lurus’, maka punk memberikan pandangan alternatif bahwa rambut yang ‘indah’ itu ialahrambut yang ‘semau gue’. Mohawk, Spike, dan gaya rambut punk lainnya, ditujukan untuk‘mencemooh’ pandangan estetika yang dikonstruksi oleh kelompok-kelompok dominan dalamsebuah masyarakat. Begitupun definisi musik yang ‘bagus’ atau ‘indah’: menurut punk musikyang indah itu adalah hasil karya sendiri yang dibuat dari hasil kebebasan berekspresi, danbukan dari hasil tuntutan pasar seperti yang sering ditayangkan di televisi atau radio.

10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat

https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 7/15

Punk di Indonesia

Punk dapat masuk dan menyebar di Indonesia karena proses globalisasi. Meminjam teoriglobalisasi dari Fredric Jameson, Michael Bodden (2005: 2) menyebutkan bahwa dalamkonteks negara yang otoriter dan represif, globalisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang positif.Berbagai bentuk ide dan produk budaya yang datang dari luar, dalam hal ini dapat memberikansemacam kebebasan kepada subjek yang hidup dalam negara tersebut. Menurut Boddenproduk-produk budaya populer dari luar seperti Rap dan Punk, sangat membantu generasimuda Indonesia untuk berekspresi dalam tatanan politik dan budaya yang dibangun oleh OrdeBaru (1966-1998).

Pada masa Orde Baru, sangat sulit bagi generasi muda untuk mengekspresikan dirinya secarabebas. Terkadang, istilah ‘bebas’ pun dianggap sebagai sesuatu yang ‘anomali’ dan subversifoleh kelompok dominan saat itu. Terkekangnya kebebasan berekspresi di Indonesiamempunyai sejarah yang panjang, yaitu sejak masa kolonial hingga lahirnya Orde Baru padatahun 1966. Peristiwa pembunuhan 500 ribu sampai satu juta orang lebih (Heryanto 1999;Collins 2002; Farid 2005) yang dituduh aktivis dan pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI)oleh militer dan ormas-ormas yang digerakkan oleh militer pada tahun 1965-1966 memberikansemacam ‘shock’ bagi kebanyakan rakyat Indonesia yang dampaknya masih terasa hinggasekarang. Setelah masa itu rakyat menjadi trauma untuk berbicara dan berpendapat secarabebas, apalagi mengkritik negara.

Orde Baru juga membatasi ruang gerak politik kaum terpelajar, khususnya mahasiswa. Melaluikebijakan ‘Normalisasi Kehidupan Kampus’ (NKK) pada tahun 1978 mahasiswa tidakdiperkenankan melakukan politik praktis di dalam kampus. Setiap gerak-gerik mahasiswa padasaat itu selalu dikontrol oleh negara melalui kaki tangan negara pda level di universitas. Setiapkritik rakyat yang muncul dalam bentuk verbal maupun non-verbal selalu direspon denganintimidasi, dan jika dinilai sangat ‘subversif’, ia akan berhadapan dengan militer.

Menurut Bodden (2005) Orde Baru juga mengajukan konsep ‘budaya nasional’ yangsebenarnya masih bersifat abstrak. Segala bentuk ekspresi budaya dari masyarakat yangdinilai tidak sesuai dengan karakter bangsa akan disensor bahkan dilarang untuk terus ada.Meskipun belum sampai tahap pelarangan, musik-musik Barat seperti punk rock, rap, danmetal dianggap oleh Orde Baru sebagai ‘Outlaw Genres’, atau jenis musik yang bertentangandengan norma dan adat istiadat di Indonesia. Disebut ‘outlaw’ karena bentuk ekspresi dalam

10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat

https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 8/15

genre musik tersebut memuat elemen-elemen yang berpotensi melawan patronasi yangdibentuk oleh masyarakat dominan.  

Sejak tahun 1966 Orde Baru telah membawa Indonesia kedalam struktur kapitalisme global.Ide tentang perdagangan bebas, privatisasi dan komersialisasi diterima sebagai norma yangakan membawa Indonesia lebih maju dan sejahtera. Ketika Indonesia masuk ke dalam sistemekonomi neo-liberal pada akhir 1980-an, pemerintah semakin gencar mengeluarkan kebijakanprivatisasi sumber daya alam dan komersialisasi segala aspek kehidupan sehari-hari. Alih-alihmembuat rakyat Indonesia sejahtera, sistem ekonomi neo-liberal menyebabkan semakintingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran, serta semakin lebarnya jurang pemisah antarayang kaya dengan yang miskin, pemilik modal dengan buruh. 

Dalam konteks historis inilah budaya punk lahir dan berkembang di Indonesia. Budaya punklahir sebagai respons kritis terhadap tatanan sosial, politik, budaya, dan ekonomi Orde Baruyang eksploitatif, opresif, dan hanya menguntungkan kelompok-kelompok elit. Jauh dari bentukimperialisme budaya, punk disini justru diterima oleh kebanyakan anak muda Indonesiasebagai bentuk budaya yang mampu membebasan mereka dari belenggu neo-imperialismenegara yang berkolaborasi dengan aktor-aktor privat. Saya melihat setidaknya punkmemberikan tiga fondasi penting yang dapat berkontribusi pada proses demokratisasi diIndonesia. Ketiga fondasi itu adalah anti-kemapanan, politik disalienasi, dan prinsipkemandirian (etika DIY).

Pertama, punk mengajarkan ideologi anti-kemapanan yang mendorong pemuda-pemudiIndonesia menolak rezim yang pro terhadap status quo atau anti perubahan. Ideologi anti-kemapanan dalam punk selalu mempertanyakan kembali semua ide dan norma yang sudahdianggap ajeg oleh masyarakat umum. Seperti yang diutarakan oleh oleh Pat-Thetic, vokalisdari band punk Amerika Anti-Flag, anti-kemapanan punk selalu “berupaya mencari pandanganalternatif tentang dunia yang lebih damai dan tidak destruktif” (Dunn 2008: 195). Beberapaband punk lokal seperti Puppen, Jeruji, Keparat, ketiganya dari Bandung, dan Marjinal dariJakarta melalui musiknya berperan aktif dalam menyebarkan ideologi anti-kemapanan inikepada audiens yang kebanyakan anak-anak muda yang frustasi dan kecewa dengan sistemyang dijalankan Orde Baru. Selain itu juga fanzine, majalah independen yang merupakanbahan bacaan alternatif kaum punk, yang didalamnya menyajikan tulisan-tulisan berupa cerita,diskusi, dan komik pendek tentang musik, gaya hidup sehat, dan artikel politik anti-kapitalismeyang berkontribusi dalam membangun kesadaran komunitas punk. Pada akhir 1990-an

10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat

https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 9/15

kesadaran komunitas ini kemudian bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik kolektif anti-korporatisme dan anti-militerisme, yang bekerjasama dengan kelompok sosial lainnya,mengakhiri kekuasaan Suharto pada pertengahan tahun 1998.

Kedua, punk melahirkan semacam ruang sosial alternatif yang terbuka untuk semua orangtanpa mempedulikan latar belakang ekonomi dan sosialnya. Ruang sosial alternatif initerkadang disebut dengan istilah lain seperti ‘komunitas’ atau ‘tongkrongan’. Aturan dalamruang komunitas punk ini hanya satu: siapapun boleh bergabung dan menjadi punk! Sepertiyang dikatakan oleh Matt Davies (2005): “punk scene is of punks, by punks, for punks!”(komunitas punk itu dari punk, oleh punk, untuk punk!). Dalam komunitas punk semua orangdipandang setara, tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya. Singkat kata,punk berpegang pada prinsip egalitarianisme sosial dimana ia menentang sistem sosial yanghirarkis, feodal, otoriter, dan eksklusivisme. Banyak diantara mereka yang menganggapkomunitas punk sebagai rumah kedua mereka. Bukan saja di dalamnya mereka bisa bebasberekspresi dan menjadi diri mereka sendiri, mereka juga bisa menemukan persahabatan dansolidaritas terhadap sesama. Ruang sosial alternatif yang demokratis seperti ini sangatberperan penting dalam memfasilitasi anak-anak muda yang termarjinalkan dan teralienasi olehsistem kehidupan modern yang diskriminatif. Maka dari itu, punk mempunyai potensi untukmelawan proses alienasi dalam kehidupan sehari-hari. Kevin Dunn (2008) menyebut komunitaspunk sebagai salah satu bentuk politik disalienasi (politics of disalienation).

Ketiga, punk menekankan prinsip kemandirian dan kesederhanaan dalam hidup. Etika  Do ItYourself (DIY) yang merupakan prinsip utama dalam gaya hidup punk, mendorong anak-anakmuda di Indonesia untuk berani berkarya. Prinsip DIY punk pada intinya mempercayai bahwasiapapun dapat mengejar atau mendapatkan apa yang menjadi impian dalam hidupnya. Jikaimpian itu belum ada, maka dia bisa menciptakannya sendiri. Siapapun bisa belajar bermainmusik, menjadi pemain band, membuat album rekaman sendiri, membuat pakaian sendiri,membuat dan merangkai sepeda sendiri. Jika lingkungan tempat ia hidup tidak dapatmemberikan kesejahteraan yang ia inginkan, maka ia bisa menciptakan kesejahteraan itusendiri dengan membuat usaha sendiri. Sejak 1990-an, penerapan prinsip DIY oleh generasimuda punk di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan Bali telah berhasilmembangun sistem ekonomi alternatif yang dapat mengurangi tingkat pengangguran danpengeksploitasian buruh dalam ranah produksi budaya. Prinsip yang menekankan padakemandirian dan anti-korporatisme ini berhasil melahirkan apa yang disebut dengan ‘budayaindependen’ (budaya indie) yang banyak memberi ruang berkreasi bagi anak muda yang

10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat

https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 10/15

sebelumnya termarjinalkan oleh sistem kapitalis yang elitis dan eksklusif.  Budaya indie inimendorong berbagai usaha kecil seperti clothing, distro, studio musik dan rekaman, majalah,dan band-band indie semakin berkembang dan sebagian berhasil menembus pasarinternasional. Unkl347 dan PeterSaysDenim adalah dua diantara sekianbisnis  distro  dan  clothing  lokal yang sukses menembus pasar di Eropa, Amerika, AsiaTenggara, dan Australia. Kesuksesan ini banyak memberikan inspirasi kepada anak mudaIndonesia lain untuk melakukan hal yang sama. Agus Sopian (2003) barangkali menyebutbudaya indie ini sebagai anti-bodi dari industri budaya kapitalis. 

Dari penjelasan tentang tiga fondasi punk diatas (anti-kemapanan, politikdisalienasi/egalitarianisme sosial, dan prinsip DIY) tampak bahwa budaya punk sangatberpotensi menjadi alat/media yang efektif untuk membangun perubahan sosial. Dia mampumemfasilitasi orang-orang yang termarjinalkan menjadi orang-orang yang mandiri dan kreatif.Seperti yang dikatakan oleh Kevin C. Dunn (2008) “punk merupakan bentuk aktivisme (agency)dan pemberdayaan (empowerment).” 

Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak!

Komunitas punk di Indonesia adalah yang paling besar di Asia Tenggara, dan salah satuterbesar di dunia (Wallach 2008). Para pengikut komunitas punk tersebar hampir di seluruhpelosok tanah air; di pulau Sumatera, Jawa, Madura, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku,hingga Papua. Meskipun komunitas punk di Indonesia berasal dari beraneka ragam latarbelakang agama (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu) saya berani mengatakan bahwamayoritas punk di Indonesia adalah orang-orang yang beragama Islam.

Wakil Walikota Banda Aceh, Kapolda, dan berbagai ormas-ormas Islam di Aceh berpandanganbahwa budaya punk itu ‘bertentangan’ dengan syari’at Islam. Tuduhan ini bermasalah karenadua alasan. Pertama, hingga sekarang mereka sama sekali belum menjelaskan bagian manadari budaya punk yang bertentangan dengan syari’at Islam. Jika tuduhan mereka didasarkanpada stereotip bahwa punk menggunakan narkoba, melakukan sex-bebas, dan mengkonsumsialkohol, itu tidak sepenuhnya benar. Budaya punk bukan sama dengan narkoba, free-sex, danalkohol. Jika memang ada, maka pasal tuduhan itu tidak bisa dituduhkan pada seluruhkomunitas punk karena tidak semua punk mengikuti gaya hidup seperti diatas. Masalahnarkoba, sex-bebas, dan alkohol adalah masalah umum yang tidak bisa dituduhkan padakelompok punk.

10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat

https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 11/15

Dalam komunitas punk terdapat para pengikut yang mengadopsi gaya hidup straight-edge,yang artinya mengikuti ‘jalan yang lurus’. Dalam Al-Qur’an disebut dengan “shiraat al-mustaqiim”. Para straight-edge punk tidak melakukan sex-bebas, tidak mengkonsumsi narkobadan alkohol. Sebagai penanda, banyak diantara punk straight-edge ini membuat tanda di balikkedua telapak tangannya dengan tanda ‘X’, yang berarti “I  don’t do drugs, I don’t drinkalcohol,  dan  I don’t perform illicit sex!” Sekarang, banyak diantara mereka yang memberitanda  straight-edge  pada akun facebook atau twitter mereka (contoh: xWendyPunkx,xXTaufan_SanjayaXx, dsb.). Namun tanda ‘X’ ini tidak selamanya mereka tunjukkan dalamkehidupan sehari-hari. Mereka cenderung menyimpannya dalam hati. Jika faktanya banyakpunk yang mengikut jalan ‘shiraat al-mustaqiim’, maka bagian mana dari mereka yangbertentangan dengan syari’at Islam’? Sebagai tambahan, banyak sekali teman-teman punkyang berambut Mohawk, beranting, dan bertattoo tapi tetap rajin beribadah, mengikuti sholatJum’at, berpuasa , bahkan ada yang sudah menjadi haji!

Kedua, tuduhan punk bertentangan dengan syari’at Islam tidak mempunyai dasar yang kuat. Budaya punk tentunya belum lahir pada zaman Nabi Muhammad SAW. Sumber syari’at Islamyang paling utama, Al-Qur’an dan Al-Hadits, tidak pernah menyinggung sama sekali tentangpersoalan punk. Yang ironis dalam konteks pelarangan punk di Aceh adalah ketika para ulamabelum pernah berdialog secara terbuka dengan budayawan, ilmuwan sosial, psikolog, dansubjek-subjek dalam komunitas punk, punk sudah dituduh duluan sebagai bentuk ekspresiyang subversif melanggar agama. Bukankah ini merupakan bentuk pelanggaran terhadapmetode ilm’ (learning) dan fiqh (comprehension) dalam penetapan syari’at Islam? Dan akhirnyatuduhan jatuh pada tindakan fitnah?

Saya pribadi berpandangan bahwa demarkasi antara Punk dengan Islam sebenarnya bukanmurni berasal dari syari’at Islam seperti yang kebanyakan dijustifikasi oleh para aparat diBanda Aceh. Tapi berasal dari trauma sejarah imperialisme yang membelenggu rakyat Acehdan umat Muslim lebih dari ratusan tahun (contoh: penjajahan Belanda). Ada sebuah asumsiyang digeneralisir bahwa semua produk budaya Barat seperti Punk dan Hip-Hop adalah bagiandari produk imperialisme baru, yaitu imperialisme budaya (cultural imperialism), yang hendakmenghapuskan nilai-nilai, adat istiadat lokal, dan “menjajah kembali umat Muslim dengan cara-cara baru”. Ketakutan ini sebenarnya tidak beralasan karena punk itu secara inheren tidakbersifat mendominasi, dan tidak pernah ada ‘agenda’ menghapus budaya yang sudah adasebelumnya. Sebaliknya, jika dilihat dari pembahasan saya di atas, budaya punk dalamsejarahnya justru digunakan oleh orang-orang lemah yang tertindas (mustadh’afin) sebagai

10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat

https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 12/15

media perlawanan terhadap budaya kelompok dominan yang eksploitatif dan destruktif. Jika cirikhas imperialisme budaya itu adalah homogenisasi, atau penyeragaman budaya, makabukankah justru yang memegang peran sebagai ‘penjajah baru’ itu adalah pemerintah Acehsendiri karena memaksakan orang-orang untuk berpakaian sesuai dengan yangdikonstruksikan oleh syari’at Islam di Aceh?

Sebuah ‘Trik’ yang bernama Syari’at Islam

Melalui tulisan ini sebenarnya saya ingin menyampaikan sebuah pandangan bahwademoralisasi punk oleh pemerintah Aceh sebenarnya lebih kental dengan nuansa politikdaripada agama. Alasan agama (Syari’at Islam) yang digunakan oleh pemerintah Aceh untukmemerangi budaya punk lebih nampak sebagai komoditas politik yang bertujuan untukmempertahankan struktur kekuasaan kelompok elit yang sekarang sedang berkuasa di Aceh.Syari’at Islam juga digunakan untuk menekan kelompok-kelompok minor yang tidak mengikutisistem yang diterapkan oleh kelompok dominan. Dalam hal ini, saya sangat setuju dengan apayang ditulis oleh Akhmad Sahal di halaman Jakartabeat “Perlukah Polisi Syari’ah?”. 

Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Edward Aspinall, seorang peneliti dari AustralianNational University yang berjudul “From Islamism to Nationalism in Aceh,” dijelaskan bahwadalam sejarahnya syari’at Islam di Aceh selalu digunakan sebagai komoditas politik kelompokyang bertikai. Pada masa setelah revolusi kemerdekaan (1953-1962), Syari’at Islam dijadikandijadikan alasan oleh Darul Islam (DI) untuk melawan pemerintah pusat yang mempertahankanideologi Pancasila sebagai dasar negara. Kemudian sejak 1990-an hingga tahun 2004pemerintah pusat di Jakarta justru menggunakan alasan yang dahulu digunakan oleh DI, yaituSyari’at Islam dan Ukhuwah Islamiyyah untuk mempertahankan Aceh agar tidak merdeka dariIndonesia. Sebaliknya, para pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang berbeda haluandengan DI, termasuk Hasan di Tiro, saat itu sudah tidak menghendaki lagi penerapan syari’atIslam dalam kehidupan bernegara. 

Pada tahun 2002, salah seorang juru bicara GAM, Teuku Kamaruzzaman berkata, “Agamaorang-orang Aceh itu hidup dalam dirinya masing-masing, sebagaimana di dalam sistemsosialnya. Kami orang Aceh, tidak membutuhkan syari’at Islam (dalam bentuk legal formal), iaadalah sebuah nilai, sebuah agama yang kita anut, tanpa diformalisasikan ke dalam bentukhukum sekalipun, nilai-nilai itu masih tetap kita anut” (Aspinall 2007:  14). Kemudian juru bicaraGAM yang lain juga menekankan bahwa implementasi syari’ah adalah “sebuah ‘trik’ yangdibuat untuk memanipulasi ulama dan seluruh populasi (di Aceh)” (Serambi Indonesia, 14

10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat

https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 13/15

Desember 2000 dalam Aspinall 2007). Trik syari’at Islam ini tentunya masih digunakan hinggasekarang. Sebagian analis politik memandang bahwa pembinaan dan pelarangan komunitaspunk di Aceh merupakan agenda yang dibuat oleh Wakil Walikota banda Aceh Illiza untukmeningkatkan popularitasnya sebelum pemilihan Walikota Banda Aceh periode 2012-2017yang akan dilaksanakan pada bulan Februari 2012 nanti. Benar atau tidaknya analisis ini di luarpengetahuan saya, tapi yang pasti insiden punk versus syari’at Islam ini menutupi masalahyang sesungguhnya di Aceh: yaitu tingginya tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial diAceh, dan korupnya sistem birokrasi yang selalu ‘berselingkuh’ dengan praktik-praktik korporatdan jelas-jelas merugikan rakyat.

Menuju ‘Ukhuwwah Punkiyyah’

Penangkapan dan pembinaan paksa kawanan punk di Aceh telah membangkitkan rasasolidaritas berbagai komunitas punk hampir di seluruh dunia. Penting untuk dicatat bahwakomunitas punk di luar negeri yang bersimpati ini kebanyakan bukan Muslim seperti punk-punkyang ditangkap di Aceh. Respon yang berskala internasional dan global ini menunjukkanbahwa rasa persatuan dan solidaritas punk tidak terbatas pada suku, etnis, ras, dan agamatertentu. Inilah yang ditekankan oleh punk, khususnya mereka yang berasal dari komunitaspunk anti-rasis dan anti-fasis. ‘Ukhuwah Punkiyyah’ ini menyatukan seluruh umat manusiaberdasarkan kesamaan prinsip dan nilai yang universal: melawan kemapanan dan tirani,menjunjung tinggi kesetaraan sosial, dan menerapkan prinsip kemandirian (DIY). Dan darisepengetahuan saya yang hampir menghabiskan separuh waktu hidup saya di pendidikanIslam, ketiga prinsip punk diatas sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. NabiMuhammad lahir pada masa Arab Jahiliyyah menentang eksklusivitas bangsa Arab, khususnyasuku Quraish. Nabi Muhammad mengajarkan kesetaraan sosial, menghapuskan perbudakan,dan meningkatkan derajat perempuan dan minoritas lain yang sebelumnya dianggap rendah.Islam mengajarkan untuk melindungi orang-orang lemah dan melawan ketiranian. Jika Islamdan Punk mempunyai kesamaan nilai secara substantif, lantas apa sebenarnya yang menjadimasalah disini?

Dari kasus punk di Aceh setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil. Pertama,untuk menghentikan kesalahpahaman masyarakat terhadap komunitas punk, penting sekiranyabagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk punk sendiri untuk mempersempit jarak sosialterhadap sesama. Karena kesalahpahaman muncul dari ‘ketidak-nyambungan’ antara subjeksatu dengan subjek yang lainnya. Kesalahpahaman ini bisa dikikis melalui berbagaipendekatan komunikasi langsung dan tidak langsung. Pendekatan langsung bisa dilakukan

10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat

https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 14/15

melalui dialog dan obrolan santai dengan sesama anggota komunitas punk sendiri, teman-teman di luar komunitas, keluarga, tetangga, agamawan, para aktivis sosial dan keagamaan,dan aparat kepolisian dan pemerintah jika perlu. Sedangkan pendekatan tak langsung bisadilakukan melalui distribusi informasi dan imej positif punk melalui jaringan sosial media melaluiinternet (blog, webzine, facebook, myspace, twitter, multiply, dan jaringan lainnya). 

Kedua, demoralisasi dan dehumanisasi komunitas punk oleh kelompok dominan khususnya diAceh sangat erat kaitannya dengan korupsi nilai-nilai agama oleh kelompok-kelompokkepentingan yang menggunakan jubah agama sebagai justifikasi atas kontrol mereka terhadapkelompok minoritas. Kelompok-kelompok agama yang tidak toleran ini kini semakin menjamurdi Indonesia, dan sudah menjadi rahasia umum pihak pemerintah tidak mampu mengatasikelompok-kelompok ini. Lebih buruknya lagi, dalam kasus tertentu tampak pemerintah danaparat kepolisian terperangkap dalam kepentingan kelompok-kelompok ini. Terbukti dalambeberapa kasus bagaimana aparat selalu berusaha melindungi kelompok-kelompok ekstrim ini.Sebagai contoh kasus pembunuhan warga Ahmadiyah di Banten, Pengeboman gereja di Solo,Pelarangan mengadakan misa dan natalan di gereja di Bogor, dan penyerangan terhadapIslam Syi’ah di Sampang Madura. Bukankah ini bentuk tindakan yang merepresentasikanfasisme relijius?

Persoalan fasisme relijius ini bukan masalah untuk komunitas punk saja, tapi masalah bagiseluruh rakyat Indonesia yang plural. Untuk menghadapi persoalan ini seluruh lapisanmasyarakat harus melepaskan segala atribut perbedaan yang ada kemudian bersatu melawankekuatan minor yang kini sedang membajak Indonesia. Jika terus dibiarkan, ide tentangbangsa “Indonesia” yang sudah dibangun oleh para pemimpin terdahulu akan tenggelambersamaan dengan visi Bhinneka Tunggal Ika. Tidak masalah apakah anda seorang punk ataubukan, yang penting disini adalah apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan Indonesia?

  sosial budaya   polisi syariah   ukhuwwah punkiyyah   aceh

Hikmawan SaefullahDosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Padjajaran, Bandung, menulis Punkas Counter-Hegemony: A Case Study in Indonesia, di Australian National Universitytahun 2010

 Kirim Tanggapan

10/23/2017 Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! - Jakartabeat

https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/punk-vs-syariat-islam-tentu-tidak?lang=id 15/15