182
POLIMORFISME NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3, DAN DELESI KROMOSOM 5 del(5q) SEBAGAI PREDIKTOR MYELODYSPLASTIC SYNDROME RELATED ACUTE MYELOID LEUKEMIA (MDS-RELATED AML) DI SURABAYA DISERTASI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor Oleh MULYA DINATA NIM. 117070100011029 PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU KEDOKTERAN KEKHUSUSAN BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2019

polimorfisme nras, runx1, npm1, flt3, dan delesi kromosom

Embed Size (px)

Citation preview

POLIMORFISME NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3, DAN DELESI KROMOSOM 5 del(5q) SEBAGAI PREDIKTOR MYELODYSPLASTIC SYNDROME

RELATED ACUTE MYELOID LEUKEMIA (MDS-RELATED AML) DI SURABAYA

DISERTASI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Doktor

Oleh

MULYA DINATA

NIM. 117070100011029

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU KEDOKTERAN

KEKHUSUSAN BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2019

i i

POLIMORFISME NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3, DAN DELESI KROMOSOM 5 del(5q) SEBAGAI PREDIKTOR MYELODYSPLASTIC SYNDROME

RELATED ACUTE MYELOID LEUKEMIA (MDS-RELATED AML) DI SURABAYA

DISERTASI

Nama Mahasiswa : Mulya Dinata

NIM : 117070100011029

Program Studi : Doktor Ilmu Kedokteran

Minat : Biomedik

Menyetujui

KOMISI PEMBIMBING

Ketua,

(Prof.Dr.dr. Edi Widjajanto, MS.,SpPK.(K))

Anggota 1 Anggota 2

(Dr.dr. Pudji Rahadju, SpTHT-KL.(K)) (Dr.dr. S. Ugroseno, SpPD-KHOM.)

Mengetahui, Ketua Program Doktor Ilmu Kedokteran

(Prof.Dr.dr. Kusworini, M.Kes.,SpPK.) NIP. 194804081979031001

i i i

IDENTITAS TIM PENGUJI DISERTASI

JUDUL DISERTASI: POLIMORFISME NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3, DAN

DELESI KROMOSOM 5 del(5q) SEBAGAI PREDIKTOR MYELODYSPLASTIC

SYNDROME RELATED ACUTE MYELOID LEUKEMIA (MDS-related AML)

DI SURABAYA.

NAMA : Mulya Dinata

NIM : 117070100011029

Program Studi : Doktor Ilmu Kedokteran

Minat : Biomedik

KOMISI PEMBIMBING

Promotor : Prof.Dr.dr. Edi Widjajanto, MS.,SpPK.(K).

Ko-Promotor 1 : Dr.dr. Pudji Rahaju, SpTHT-KL.(K)

Ko-Promotor 2 : Dr.dr. S. Ugroseno, SpPD-KHOM.

TIM PENGUJI

Penguji 1 : Prof.Dr.dr. Kusworini, M.Kes.,SpPK(K).

Penguji 2 : Dr.dr. Karyono Mintaroem, SpPA(K).

Penguji Luar : Prof.dr. Soebandiri, SpPD.,K-HOM.

Ujian Proposal : 26 Juli 2016

Seminar Hasil : 29 Mei 2019

Ujian Tertutup : 31 Juli 2019

Ujian Terbuka :

i v

Lembar originalitas

v

KATA PENGANTAR

Pertama saya haturkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,

Karena kemurahan, anugrahNya dan kebaikanNya, saya dapat menyelesaikan

penulisan disertasi untuk Program Doktor Ilmu Kedokteran ini yang berjudul :

Polimorfisme NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3, dan delesi kromosom 5 del(5q)

sebagai prediktor Myelodysplastic syndrome related acute myeloid

leukemia (MDS-related AML) di Surabaya.

Di dalam tulisan ini, disajikan pokok-pokok bahasan yang meliputi

abnomalitas molekuler dan sitogenetik progresivitas berpengaruh terhadap MDS-

related AML yang melibatkan polimorfisme NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dan

delesi kromosom 5 del(5q). Delesi kromosom 5 del(5q) dengan mutasi N-RAS,

FLT3, NPM1 lebih dari satu gen (60%) dapat meningkatkan kemungkinan

transformasi menjadi AML, sedangkan RUNX (RUNX1) (15%) dapat

menghambat deferensiasi dan meningkatkan proliferasi.

Dengan selesainya disertasi ini penulis menyampaikan ucapan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Brawijaya Malang Prof. Dr. Ir. Nuhfil Hanani AR, MS

atas ijin dan kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan

Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran di Universitas Brawijaya.

2. Dekan Universitas Brawijaya Malang Dr. dr. Wisnu Barlianto, M.Si., Med.,

SpA(K) atas kesempatan, dukungan dan fasilitas yang diberikan dalam

penyelesaian pendidikan Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran di

Universitas Brawijaya.

3. Prof. Dr. dr. Kusworini, SpPK(K).,M.Kes, selaku ketua Program Studi

Doktor Ilmu Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, atas pemberian ijin

v i

untuk mengikuti pendidikan di Fakultas kedokteran, Universitas Brawijaya

dan selaku Tim penguji disertasi, dan membantu saya selama studi hingga

selesainya disertasi saya sebagai tugas akhir Program Studi Doktor Ilmu

Kedokteran Universitas Brawijaya.

4. Rektor Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Drs. Kuncoro Foe,

G.Dip.Sc., Ph.D., Apt. yang telah memberikan ijin dan dana kepada penulis

untuk tugas belajar pada jenjang doktor di Program Studi Doktor Ilmu

Kedokteran di Universitas Brawijaya.

5. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Prof. Dr. Dr.Med. Paul L. Tahalele, Sp.BTKV (K)., FICS yang telah

memberikan ijin dan dana kepada penulis untuk tugas belajar pada jenjang

doktor di Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran di Universitas Brawijaya.

6. Prof dr. W.F. Maramis SpKJ(K), beliau yang pertama kali memberikan

dorongan untuk tugas belajar pada jenjang doktor di Program Studi Doktor

Ilmu Kedokteran di Universitas Brawijaya.

7. Prof Dr. dr. Edi Widjajanto, MS, SpPK(K), selaku promotor disertasi saya,

sejak ujian kualifikasi, penelitian dan penyusunan disertasi telah berkenan

membimbing dan memberikan masukan dan saran hingga saya bisa

menyelesaikan disertasi ini.

8. Dr. dr. Pudji Rahadju, sp THT-KL.(k), selaku dosen pembimbing 6 karya

ilmiah, yang dapat saya selesai dengan baik berkat bantuan, bimbingan

beliau, sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini.

9. Dr. dr. S. Ugroseno Y.B., SpPD-KHOM, Promotor dari Departemen

Penyakit Dalam devisi Hematologi dan Onkologi, Rumah Sakit Pendidikan

v i i

dr. Soetomo, Surabaya, yang membimbing penelitian ini terutama terutama

sampel penelitian, bagian laboratorium, diagnosis dan klinik.

10. Dr. dr. Windhu purnomo, MS, pembimbing statistik dari Fakultas Public

Health universitas Airlangga departemen studi Biostatistik dan populasi,

selaku pembimbing sejak Makalah Ilmiah sampai selesainya disertasi.

11. Dr. dr. Karyono Mintaroem, SpPA(K), selaku dosen penguji 6 karya ilmiah

dan tim penguji ujian tertutup dan terbuka.

12. Prof. dr. Soebandiri, SpPD-KHOM, selaku Tim penguji dari devisi

Hematologi dan Onkologi, Rumah Sakit Pendidikan dr. Soetomo, Surabaya

selaku Tim penguji proposal sampai disertasi.

13. Prof. Drs. Sutiman B. sumitro, SU.,D.Sc, selaku dosen penguji 6 karya

ilmiah dan beliau banyak memberikan masukkan untuk memperbaiki

penulisan 6 karya ilmiah.

14. Prof. Dr. dr. Handono Kalim, Sp.PD.KR, selaku tim penguji kualifikasi yang

telah memberikan wawasan untuk membuat penelitian pendahuluan dan

sebagai dosen MKPD yang memberikan masukkan yang menunjang

disertasi.

15. Dra. Diana Lyrawati, Apt., MSc., PhD, selaku pembimbing MKPD yang

banyak memberikan bimbingaan terutama tentang journal internasional,

sehingga 2 journal saya dapat accepted

16. Agustina Tri Endharti S.Si., PhD selaku pembimbing untuk mencari

journal, verifikasi dan memasukkan journal internasional.

17. Dr. dr. Yetty Hernaningsih ,SpPK(K), kepala bagian Departemen Patologi

Klinik Rumah Sakit pendidikan dr Soetomo, Surabaya yang membimbing,

memberikan ijin, untuk menggunakan laboratorium .

v i i i

18. Prof. Dr. dr. Ariyati, MS,SpPK(K), bagian Kimia Klinik Departemen Patologi

Klinik Rumah Sakit pendidikan dr Soetomo, Surabaya, memberikan ijin

kepada saya untuk mengambil sampel penelitian pendahuluan.

19. Dr. dr. Hartono Kahar, SpPK(K), MQIH, bagian Hematologi, Departemen

Patologi Klinik Rumah Sakit pendidikan dr Soetomo, Surabaya,

memberikan support untuk menggambil sampel penelitian dari data pasien

yang mengambil darah di bagian Patologi Klinik.

20. dr. Arifoel Hajat, SpPK(K), bagian Hematologi Departemen Patologi Klinik

Rumah Sakit pendidikan dr Soetomo, Surabaya, yang membimbing dan

memberikan konsultasi diagnosis laboratorium hapusan sumsum Tulang.

21. Prof. Dr. dr. jusak Nugraha, SpPK(K), bagian Immunologi Departemen

Patologi Klinik Rumah Sakit pendidikan dr Soetomo, Surabaya,

memberikan support dan bimbingan penyusunan disertasi ini.

22. dr. Endang Retnowati Kusumowidagdo, MS, SpPK(K) (Alm), bagian

Immunologi Departemen Patologi Klinik Rumah Sakit pendidikan dr

Soetomo, Surabaya, memberikan support dan bimbingan penyusunan

desertasi ini.

23. Prof. Dr. dr. Tjipto Suwandi, SpOK (Alm), Fakultas Public Health universitas

Airlangga, Surabaya, memberikan support dan bimbingannya pada awal sy

mendaftar sebagai mahasisiwa S3.

24. Prof. Dr. dr. Irwan Setiabudi, SpPK(K) (Alm), bagian Departemen Patologi

Klinik Fakultas kedokteran Universitas Hang Tuah, Surabaya, memberikan

support pada awal sy mendaftar sebagai mahasisiwa S3.

25. Semua Guru Besar dan dosen serta seluruh staf dan pegawai di Program

Studi Doktor Universitas Brawijaya Malang, yang dengan sabar membantu

i x

dan memberikan semangat kepada saya selama menempuh pendidikan S3

ini.

26. Wibi Irawan SSi MBiomed, stab.laboratorium Biokimia Biomolekuler, FK

Universitas Brawijaya Malang, membantu pemeriksaan laboratorium

Desertasi ini.

27. Semua Guru Besar dan dosen serta seluruh staf dan pegawai Patologi

Klinik, Fakultas kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, yang dengan

sabar membantu pemeriksaan laboratorium dan memberikan semangat

kepada saya selama menempuh pendidikan S3 ini.

28. Semua Guru Besar dan dosen serta seluruh staf dan pegawai bagian

penyakit Dalam divisi Hematologi-Onkologi, Fakultas kedokteran

Universitas Airlangga Surabaya, yang dengan sabar membantu dan

memberikan semangat kepada saya selama menempuh pendidikan S3 ini.

29. Semua sejawat Dokter, seluruh teman dosen dan pegawai serta staf di

Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, yang

mendampingi, menyemangati dan membantu saya dalam menjalani studi

S3 ini hingga selesai.

30. Semua sejawat Dokter, seluruh teman serta staf di klinik Sentra Medika

Surabaya, antara lain Windi, Imam, menyemangati dan membantu saya

dalam menyelesaikan studi S3 ini.

31. Semua sejawat Dokter Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,

Surabaya tahun 1978, Teman SMA Santo Louis Surabaya, menyemangati

dan membantu saya dalam menyelesaikan studi S3 ini.

32. Keluarga besar saya ibu, Adik dan keluarga, khususnya istri saya drg

Trijuliati SpOrt., anak saya drg Floretta Charlene, ARAD, Alfonsis

x

Claresta,S.AK.,ADV.Dipl,GMA, Michael Rodney yang selalu memberikan

semangat, mendampingi dan memotivasi saya untuk menyelesaikan studi

S3 ini.

33. Guru guru saya sejak TK, SD, SMP, SMA hingga pendidikan saat ini, saya

ucapkan terima kasih yang tak terhingga. Berkat Bapak dan ibu guru, saya

bisa menempuh pendidikan S3 ini.

34. Kepada semua saudara, sahabat dan kerabat yang tidak dapat saya

sebutkan satu per-satu, yang telah berperan dan turut serta dalam studi S3

saya ini

Sangat disadari bahwa dengan kekurangan dan keterbatasan yang

dimiliki penulis, masih dirasakan banyak kekurangtepatan, oleh karena itu penulis

mengharapkan saran yang membangun agar tulisan ini bermanfaat bagi yang

membutuhkan.

Surabaya, 29 Oktober 2019

Penulis

x i

RINGKASAN

Mulya Dinata. NIM. 117070100011029. Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya Malang, 29 Mei 2019. Polimorfisme NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3, Dan

Delesi Kromosom 5 del(5q) Sebagai Prediktor Myelodysplastic Syndrome

Related Acute Myeloid Leukemia (MDS-Related AML) di Surabaya.

Myelodysplastic syndrome (MDS) adalah sekelompok kelainan haematopoeitic stem cells (HSC) yang ditunjukkan dengan kegagalan sumsum tulang (displastik) yang meningkat. Penyakit yang didominasi orang tua antara 70 tahun dan dapat dikatakan kira-kira 1 orang menderita MDS pada 500 populasi diatas 60 tahun. Jumlah kasus MDS lebih kurang 20-30% berkembang menjadi Acute Myelocytic Leukemia (AML), prevalensi risiko menjadi AML cukup tinggi, diperlukan diagnosis sedini mungkin sebelum transformasi menjadi AML.

Etiologi kasus Leukemia sampai saat ini belum diketahui penyebabnya dengan pasti. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui faktor risiko. Berbagai faktor risiko yaitu penggunaan pestisida, medan listrik, bahan kimia (Benzena), virus, abnormalitas sitogenetik (contoh: Down syndrome), usia ibu yang relatif tua saat melahirkan, ibu yang merokok saat hamil, konsumsi alkohol saat hamil, medan magnet, pekerjaan orang tua, radiasi prenatal dan postnatal.

Data penelitian pendahuluan didapatkan bagian Patologi Klinik RSUD dr Soetomo atau Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur, jumlah pasien 228 orang selama 10 bulan pada tahun 2014, ikut serta penelitian 181 orang, kasus AML 37,28%, rentang umur terbanyak 46 - 61 tahun 11,40% sedangkan Kasus MDS 3,95%.

Hasil penelitian pasien rawat jalan atau inap di instalasi Ilmu Penyakit Dalam Hematologi-Onkologi FK Universitas Airlangga, RSUD dr Soetomo, Surabaya, Indonesia, tahun 2017 - 2018 (satu tahun), sebanyak 36 subyek sampel, 31 sampel dengan diagnosis AML sedangkan 5 sampel diagnosis MDS dikeluarkan dari penelitian. Usia 47- 57 tahun dan 58 – 68 tahun masing-masing sebanyak 19,35% dan 22,58%, sedangkan usia tua yaitu 80-90 tahun (3,24%). Jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan yaitu laki-laki (70,97%), perempuan (29,03%). Hasil pemeriksaan immunophenotyping yaitu myeloid lineage 96,76%.

Tujuan penelitian ini adalah membuktikan pengaruh polimorfisme NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3, dan delesi kromosom 5 del(5q) sebagai prediktor Myelodisplastic Syndrome related Acute Myeloid Leukemia (MDS-related AML) pada penderita di Surabaya.

Diagnosis pasien (klasifikasi Leukemia FAB, WHO 2008) berdasarkan pemeriksaan klinik, immunophenotyping, hapusan aspirasi sumsum tulang (BMA) yaitu pertama AML (86,11%), dan Non AML (MDS) sebanyak 13,89%, abnormalitas genetik (PCR), abnormalitas kromosom (CISH).

Metode penelitian ini cross sectional analytic, uji analisis statistik yang dipergunakan Logistic Regression (Regresi Logistik), Receiver operating Characteristics (ROC), 24 sampel adalah delesi kromosom 5 del(5q) (positif) dan 7 sampel adalah kromosom 5q normal (negatif) dengan berbagai variasi mutasi gen. ROC didapatkan area dibawah kurva (AUC) 76,5%, confidence interval 95%, dan signifikan (P = 0,036), menunjukkan bahwa delesi kromosom 5 del(5q) atau kromosom 5 normal dengan berbagai variasi mutasi atau tidak ada mutasi NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 variasi tersebut sebanyak 16 macam variasi, sebagai prediktor MDS-related AML adalah valid dan bisa didapatkan cut-off

x i i

value (0,7825584010). Delesi kromosom 5 del(5q) dengan variasi gen cut-off probbilitas ≥ 0,7825584010 prediksi kuat MDS-related AML, sebaliknya kromosom 5 normal dengan variasi NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 ≤ probabilitas 0,7825584010 prediktor lemah MDS-related AML. Mutasi NRAS mempunyai β tertinggi 2,446, PR(Prealence Risk) 11,543 adalah PR tertinggi berarti meningkatkan risiko MDS-related AML sebesar 11,543 kali; mutasi RUNX1 β (-) 1,694, PR 0,184 adalah PR terendah, berarti menghambat risiko MDS-related AML sebesar 0,184 kali sedangkan Mutasi NPM1 mempunyai β 1,618, PR 5,043; mutasi FLT3 β 0,147; PR 1,158 meningkatkan risiko MDS-related AML.

Hasil penelitian didapatkan prediktor kuat MDS-related AML yaitu delesi kromosom 5 del(5q) dengan variasi gen cut-off probbilitas > 0,7825584010, sedangkan Prediktor lemah untuk MDS-related AML yaitu kromosom q normal dengan variasi gen cut-off < probabilitas 0,7825584010. Mutasi gen RUNX1 mempunyai aktivitas menghambat 0,184 kali terjadinya MDS–related AML, sebaliknya mutasi gen NRAS, NPM1, FLT3 mempunyai aktivitas meningkat risiko MDS-related AML tertinggi adalah NRAS 11,543 kali.

Kesimpulan: variasi RUNX1, NPM1, FLT3, N-RAS dan delesi kromosom 5 del(5q) sebagai prediktor kuat MDS–related AML di Surabaya. Progresivitas MDS-related AML sebagai prediktor lemah ditunjukan oleh sitogenatik normal yaitu kromosom 5, mutasi gen RUNX1 bersifat menghambat progresivitas sedangkan mutasi gen NRAS, NPM1, FLT3 meningkatkan progresivitas MDS-related AML. Masing-masing prediktor lemah atau kuat besarnya risiko prediktor ditentukan oleh masing-masing gen yang mutasi, setiap mutasi gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3, sesuai urutan sebagai berikut NRAS (1), NPM1 (2), FLT3 (3), RUNX1 (4).

x i i i

SUMMARY Mulya Dinata. NIM. 117070100011029. Medical Faculty of Brawijaya University Malang, 29th Mei 2019. NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 Polimorfism And Chromosome 5 del(5q) Delation As Myelodysplastic Syndrome-Related Acute Myeloid Leukemia (MDS-Related AML) Predictor In Surabaya.

Myelodysplastic syndrome (MDS) is a group of haematopoeitic stem cells (HSC) abnormality which is showed by the increase fail in bone marrow (dysplastic). A disease dominated by 70 years old people can be one in 500 population over 60 years. The number of MDS case grows more less 20-30% into Acute Myelocytic Leukemia (AML), the risk prevalency to be AML is high enough. It needs earlier diagnosis before the transformation into AML.

The previous research data of Clinical Patology of dr Soetomo hospital or Medical faculty of Airlangga University, Surabaya, East Java states that there are 228 patients during 10 months in 2014 with 37,28% of AML case, 11,40% mostly with age range between 46 – 61 years old. Meanwhile, the MDS case is about 3.95%.

Based on the research result from in or outpatients in Hematology and Medical oncology department of Internal Medicine, Airlangga University, School of Medical Dr. Soetomo Hospital, Surabaya, Indonesia, there are 36 subject of sample, 31 sample with AML diagnosis and 5 sample of MDS diagnosis that is issued by the researcher. There are 19,35% and 22,58% of Each of age 47-57 years old and 58-68 years old, besides 3,24% of age 80-90 years old. The number of man (70,97%) is more than the woman (29,03%). The immunophenotyping checkup result and myeloid lineage 96,76%.

The patient diagnosis based on the clinical checkup, immunophenotyping, Bone marrow aspiration is first AML(86,11%), and there are 13,89% Non AML (MDS), genetic abnormality (PCR), chromosome abnormality (CISH). This research is cross sectional analytic using statistic Logistic Regression, Receiver operating Characteristics (ROC), 24 samples are deletion of 5 del(5q) chromosome as possitive and 7 samples are normal 5 chromosome as negative with many kinds of genetic mutation. ROC that is found in the area of under curve (AUC) is 76.5%, confidence interval 95%, and the significance is (P = 0.036), shows that deletion of 5 del(5q) chromosome or normal 5 chromosome with various mutation or no NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 mutation. There are 16 kinds of mutation which influence to MDS-related AML in which it is valid and can be found cut-off value (0.7825584010). Deletion of 5 del(5q) chromosome with variety of gen cut-off probability is > 0.7825584010 will be strongly predicted to be MDS-related AML, otherwise normal 5 chromosome with various mutation of RUNX1, FLT3, NRAS, NPM1 which are < 0.7825584010 probability in which the weak predictor becomes MDS-related AML. NRAS mutation has highest β 2.446, PR 11.543. The highest PR means increasing 11.543 times of MDS-related AML; the mutation of RUNX1 β (-) 1.694, PR 0.184 is the lowest PR. it means that it increases 0.184 times of MDS-related AML. Whereas, NPM1 mutation has β 1.618, PR 5.043; FLT3 β 0.147 mutation; PR 1.158. The variable of β (-)1.694, inhibits the risk of MDS-related AML. Otherwise, the mutation of FLT3 β variable: 0.147, NRAS β 2.446 and NPM1 β 1.618 increases the risk of MDS-related AML.

The research result found that strong predictor will be MDS-related AML , that is deletion of del(5q) chromosome 5 with genetic variation of cut-off probability > 0.7825584010. Meanwhile, the weak predictor for MDS-related AML

x iv

is normal 5 chromosome with genetic variation of cut-off that is < 0.7825584010 probability for being MDS-related AML. RUNX1 gene mutation has activity to inhibit the occurrence of MDS-related AML as much as 0.184 times. On the contrary, NRAS gene mutation, NPM1 and FLT3 have activities to increase higher than others such as NRAS 11.543 times.

The conclusion: the variation of N-RAS, RUNX1, NPM1, FLT3, and chromosome 5 del(5q) deletion are strong predictors MDS–related AML patients in Surabaya. RUNX1 has activity to inhibit the process of MDS-related AML; while NRAS, NPM1 and FLT3 have activity to increase the probability of MDS-related AML occurrence. Each of weak or strong predictors risk is determined by each of mutated genes. Every gene mutation of NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 is based on its order as follow NRAS (1), NPM1 (2), FLT3 (3), RUNX1 (4).

xv

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... ii

IDENTITAS TIM PENGUJI DISERTASI .......................................................... iii

LEMBAR ORIGINALITAS ................................................................................ iv

SURAT KETERANGAN BEBAS PLAGIASI .................................................... v

RINGKASAN .................................................................................................... vi

SUMMARY ....................................................................................................... viii

DAFTAR ISI...................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xv

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvii

DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xix

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 6

1.3 Tujuan Penelitian........................................................................... 7

1.3.1 Tujuan umum ....................................................................... 7

1.3.2 Tujuan Khusus ..................................................................... 7

1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 9

2.1 Acute Myeloid Leukemia (AML) .................................................... 9

2.1.1 Patogenesis AML ................................................................. 11

2.2 Myelodysplastic syndrome (MDS) ................................................ 19

2.2.1 Patogenesis MDS ................................................................ 21

2.3 Patomekanisme AML .................................................................... 25

xv i

2.3.1 Mutasi kategori I (kelainan yang mengaktifkan jalur

transduksi sinyal) ................................................................. 28

2.3.1.1 Mutasi gen Fms-Related Tyrosine Kinase 3

(FLT3) ...................................................................... 28

2.3.1.2 Mutasi gen RAS ....................................................... 31

2.3.2 Mutasi kategori II (Mutasi faktor transkripsi) ....................... 35

2.3.2.1 Core-binding factor (CBF) leukemia ....................... 36

2.3.2.2 Mutasi gen PU.1 ...................................................... 37

2.3.2.3 Mutasi gen NPM1 .................................................... 38

2.4 Patomekanisme MDS ................................................................... 40

2.4.1 Abnormalitas sitogenetik ..................................................... 40

2.4.2 Abnormalitas molekuler MDS .............................................. 41

2.4.2.1 Mutasi Gen RAS ...................................................... 41

2.4.2.2 Mutasi Gen yang lain ............................................... 42

2.5 Peran gen RUNX1, NPM1, N-RAS pada delesi kromosom 5

del(5q) pada MDS ......................................................................... 43

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ...................... 54

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ......................................................... 54

3.2 Hipotesis Penelitian ....................................................................... 55

BAB 4 METODE PENELITIAN ........................................................................ 56

4.1 Jenis dan Desain Penelitian .......................................................... 56

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 56

4.3 Pengambilan sampel penelitian .................................................... 56

4.3.1 Kriteria inklusi ....................................................................... 57

4.3.2 Kriteria Eksklusi ................................................................... 57

xv i i

4.3.3 Besar sampel ....................................................................... 57

4.3.4 Cara Pengambilan Sampel .................................................. 58

4.4 Variabel penelitian ......................................................................... 58

4.5 Definisi Operasional ...................................................................... 58

4.5.1 MDS-related AML ................................................................ 58

4.5.2 MDS (Myelodysplastic Syndrome) ...................................... 59

4.5.3 NRAS (Rat sarcoma) ........................................................... 59

4.5.4 RUNX1 atau CBF (runt-related transcription factor 1) ........ 59

4.5.5 NPM1 (Nucleophosmin) ...................................................... 60

4.5.6 FLT3 (Fms-like tyrosine kinase 3) ....................................... 60

4.5.7 Delesi kromosom 5q ............................................................ 60

4.6 Bahan dan metode pemeriksaan .................................................. 61

4.6.1 Hapusan darah tepi ............................................................. 61

4.6.2 Aspirasi Sumsum Tulang (Bonemarrow Aspiration) ........... 61

4.6.3 Pemeriksaan fenotipe AML ................................................. 61

4.6.4 Polymerase Chain Reaction (PCR) dipergunakan untuk

pemeriksaan Gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 ................ 63

4.6.5 Analisis kromosom dan CISH (Chromic In Situ

Hybridization) ....................................................................... 67

4.7 Kerangka Operasional .................................................................. 70

4.8 Rancangan analisa data ............................................................... 71

BAB 5 HASIL PENELITIAN ............................................................................ 72

5.1 Karakteristik dasar pasien AML .................................................... 72

5.1.1 Hasil data karakteristik dasar .............................................. 72

xv i i i

5.1.2 Polimorfisme NRAS sebagai prediktor perubahan

Myelodisplastic Syndrome menjadi Acute Myeloid

Leukemia (MDS-related AML). ............................................ 73

5.1.3 Menentukan polimorfisme RUNX1 sebagai prediktor

perubahan Myelodisplastic Syndrome menjadi Acute

Myeloid Leukemia (MDS-related AML) ............................... 73

5.1.4 Menentukan polimorfisme NPM1 sebagai prediktor

perubahan Myelodisplastic Syndrome menjadi Acute

Myeloid Leukemia (MDS-related AML) ............................... 74

5.1.5 Menentukan polimorfisme FLT3 sebagai prediktor

perubahan Myelodisplastic Syndrome menjadi Acute

Myeloid Leukemia (MDS-related AML) ............................... 75

5.1.6 Menentukan polimorfisme delesi kromosom 5 del(5q) dan

Kromosom 5 normal sebagai prediktor perubahan

Myelodisplastic Syndrome menjadi Acute Myeloid

Leukemia (MDS-related AML) ............................................. 76

5.1.6,7 Poliforfisme delesi kromosom ............................................ 88

5.1.8 Analisis statistik .................................................................. 88

5.1.8.1 Pemeriksaan morfologi ........................................... 88

5.1.8.2 Metode statistik ROC .............................................. 89

5.1.8.3 Hasil analisis ROC .................................................. 89

5.1.8.4 Sensitivitas dan spesifisitas .................................... 91

5.1.8.5 Progresivitas gen NRAS ......................................... 93

5.1.8.6 Rumus probabilitas ................................................. 93

5.1.8.7 Variasi statistic ........................................................ 93

x ix

5.2 Hasil penelitian diskriptif dan statistic ROC, Regresi Logistik ..... 94

BAB 6 PEMBAHASAN UMUM ....................................................................... 96

6.1 Data dasar karakteristik subyek penelitian ................................... 96

6.2 Polimorfisme NRAS sebagai prediktor MDS-related AML ........... 99

6.3 Polimorfisme RUNX1 sebagai prediktor MDS-related AML ......... 102

6.4 Polimorfisme NPM1 sebagai prediktor MDS-related AML ........... 104

6.5 Polimorfisme FLT3N sebagai prediktor MDS-related AML .......... 105

6.6 Polimorfisme delesi kromosom 5 del(5q) sebagai predictor

MDS-related AML .......................................................................... 109

6.7 Polimorfisme kromosom 5 normal sebagai prediktor MDS-

related AML ................................................................................... 110

6.8 Hasil penelitian dan diskusi ........................................................... 113

6.9 Keterbatasan ................................................................................. 115

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 116

7.1 Kesimpulan .................................................................................... 117

7.2 Saran ............................................................................................. 117

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 119

LAMPIRAN ....................................................................................................... 127

xx

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Risiko mutasi kromosom berkembang menjadi AML ................... 18

Tabel 2.2 Gambaran klinik mutasi gen AML ................................................. 19

Tabel 2.3 Membandingkan antara abnormalitas genetik dan sitogenetik

yang ditemukan pada MDS dan AML ......................................... 49

Tabel 2.4 Flourescence In Situ Hybridization dapat memperbaiki

pemeriksaan delesi 5q31 pada kasus MDS tanpa membuktikan

kelainan 5q- ................................................................................... 51

Tabel 4.1 Informasi primer PCR (NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3) ................. 73

Tabel 5.1 Diskripsi data Dasar Karakteristik 36 pasien AML, MDS-related

AML ............................................................................................... 84

Tabel 5.2 Hasil pemeriksaan Polimorfisme NRAS berdasarkan umur, jenis

kelamin, gen NRAS mutasi/tiddak mutasi .................................... 85

Tabel 5.3 Hasil pemeriksaan Polimorfisme RUNX1 berdasarkan umur,

jenis kelamin, gen RUNX1 mutasi/tidak mutasi ............................ 85

Tabel 5.4 Hasil pemeriksaan Polimorfisme NPM1 berdasarkan umur, jenis

kelamin, gen NPM1 mutasi/tidak mutasi ...................................... 86

Tabel 5.5 Hasil pemeriksaan Polimorfisme FLT3 berdasarkan umur, jenis

kelamin, gen FLT3 mutasi/tidak mutasi ........................................ 87

Tabel 5.6 Hasil pemeriksaan Polimorfisme delesi Kromosom 5 del(5q)

dan kromosom 5 normal berdasarkan umur, jenis kelamin ......... 88

Tabel 5.7 Ringkasan Pengolahan Kasus ...................................................... 89

Tabel 5.8 Kasus dinyatakan valid ................................................................. 89

Tabel 5.9 Area Dibawah Kurva ..................................................................... 90

Tabel 5.10 Hasil Variabel : probabilitas MDS-related AML ............................ 92

xx i

Tabel 5.11 Nilai validitas kombinasi NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dan

Delesi kromosom 5 del(5q) sebagai prediktor MDS - related

AML ............................................................................................... 92

Tabel 5.12 Hasil Regresi Logistik .................................................................... 93

Tabel 5.13 Variasi gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 terhadap Probabilitas

MDS-related AML .......................................................................... 94

xx i i

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hematopoisis, defernsiasi sel dan faktor transkripsi .................. 15

Gambar 2.2 Patogenesis AML, MDS dan MDS-related AML ........................ 17

Gambar 2.3 Mekanisme karsinogenesis akibat faktor lingkungan dan diet .. 22

Gambar 2.4 Proses epigenetic transformasi menjadi AML ............................ 23

Gambar 2.5 Apoptosis, antioksidan dan aktivasi NF-kB ................................ 24

Gambar 2.6 Perkembangan sel Th1 dan Th2 dan sitokin yang diproduksi

masing-masing ............................................................................ 25

Gambar 2.7 Frekwensi dan distribusi mutasi NPM1, CEPBA, RUNX1,

MLL-PTD, dan FLT3-ITD pada karyotype normal AML ............. 32

Gambar 2.8 Siklus GDP-GTP dari RAS ......................................................... 35

Gambar 2.9 Faktor transkripsi AML-1 dan leukemogenesis .......................... 39

Gambar 2.10 Radikal bebas mempunyai pengaruh terhadap peningkatan

risiko terjadinya MDS yang berhubungan dengan AML, MDS

dan AML ................................................................................... 53

Gambar 2.11 Anemia mempunyai pengaruh terhadap peningkatan risiko

terjadinya MDS yang berhubungan dengan AML, MDS dan

AML ........................................................................................... 54

Gambar 2.12 Kerangka teori .......................................................................... 56

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian ....................................................... 60

Gambar 4.1 Kerangka operasional ................................................................. 79

Gambar 5.1 Kurva ROC .................................................................................. 90

Gambar 5.2 Probabilitas dibawah 0,7825584010 (low risk), diatas

0,7825584010 (high risk), Sensitivitas 0,708, spesifisitas 0,714 79

Gambar 5.3 Hasil PCR.................................................................................... 82

xx i i i

Gambar 5.4 Pemeriksaan sitogenetik delesi kromosom 5 del (5q) (CISH) ... 82

Gambar 5.5 Hasil pemeriksaan Immunophenotyping .................................... 83

Gambar 5.6 Morfologi sel hapusan darah tepi dan sumsum tulang .............. 84

xx iv

DAFTAR SINGKATAN

AKT : AK virus dengan AK8 (retrovirus) T (tymoma)

ALAS : 5 Aminolevulinic (acid) Syntetase

ALL : acute lymphocytic leukemia

AML : acute myeloid leukemia

Apaf-1 : apoptotic protease activating factor-1

APL : Acute Promyelocytic Leukemia

Apo2L : Apo2 ligand

Bcl-2 : B-cell lymphoma protein 2

BFU-E : Bursa form unit-eritroid

Bim-1 : Bcl2 interacting protein BIM

C KIT : Proto-oncogen C-KIT/tyrosine-protein kinase KIT

CAD : caspase-activated DNAse

CBF : core binding factor

CBFβ : Core binding Factor β

Cbl : Cobalamin

CD : Cluster of Differentiation

CDR : comman deleted region

CEBPA : enchener-binding protein α

CFU-E : coloni forming unit-eritroid

CML : chronic myeloid leukemia

CMML : chronic myelomomocytic leukemia

CN : Cytogenetic normal

CN-AML : cytogenetic normal – AML

CR : complete remission

xxv

CSC : Cancer Stem Cell

CTL : cytotoxic T lymphocyte

DAMPs : damage associated molecular pattern

DBA : Diamond – black anemia

DC : dendritic cell

DED : death effector domain

Del(5q) : delesi (5q)

DFS : Disease-Free Survival

DIC : disseminated intravascular coagulation

DISC : death inducing signaling complex

DNA : Deoxyribonucleic acid

DR3 : death receptor 3 Duplication

EFS : Even-Free Survival

ELN : European Leukemia Net .

ERK(MAPK) : Mitogen-activated protein kinase

ETO : Eight-Twenty One

FAB : Frans, American and British

FADD : Fas associated death domain

Fas : fatty acid synthetase

FasL : fatty acid synthetase ligand

FasR : fatty acid synthetase receptor

FDA : Food and Durg Administration

FGFR : Fibroblast growth factor receptor

FISH : fluorescence in situ hybridization

FLT3-ITDs : Fms-related tyrosine kinase 3 gene internal tandem

xxv i

FPD : Familial Platelet disorder

FTIs : Farmesyl transferase inhibitors

GAPs : GTPase-activating proteins

GATA 1 : GATA-binding factor 1

G-CSF : granulocyte-colony stimulating factor

GEFs : guanine nucleotide exchange factors

GPD : guanine di phosphate

GPx : Gluthatione Peroksidase

GRB2 : Growth factor receptor-bounds

GTP : guanine tri phosphate

HOX : Homeobox

HSCs : Hematopoetic stem Cells

IF : Intrinsic factor

IFN-ɤ : interferon ɤ

IL- 2 : Interleukin – 2

IL- 4 : Interleukin – 4

IL-10 : interleukin – 10

inv(16) : inversi (16)

IRE : Iron Responsive Element

IRP : Iron Regulation Protein

ITP : Idiopatic Thrombositopenia Purpura

JAK2 : Janus-associated kinase 2

JNK : C-Jun N-terminal kinase

Leukemia

LSCs : Leukemia Stem Cells

xxv i i

MAP : Microtubule-associated protein

MCV : mean corpuscular volume

MDS : Myelodysplasic syndrome

MDS-related AML : Myelodysplastic syndrome-related acute myeloblastic

MEK(MAPKK) : Mitogen-activated protein kinase kinase

MLLT3-MLL : mixed lineage leukemia T3

MMA : Methyl Malonic Acid

MPDs : Myeloproliferative disorders

MRD : Minimal Residual Disease

mRNA : messenger RNA

m-TORC : mammatian target of rapamycin complex 2

MyD88 : Myeloid differentiation factor

MYH11 : Myosin Heavy Chain 11

NCCN : National comprehensive Cancer network

NPM1 : Nucleophosmin member 1

NPM1c+ : Nucleophosmin 1 Cytoplamic Localization

OS : Over all Survival

PAMPs : pathogen associated molecular patterns

PCR : polymerase chain reaction

PDGFR : Platelet-derived growth factor

PI3K : phosphatidy Iinositol 3-Kinase

PKB : Protein kinase B

PLP : Pyridoxal 5’- phosphate

PML : Promyelocytic leukemia

PML/RARA : promyelocytic leukemia/retinoic acid receptor α gene

xxv i i i

PRRS : pattern regocnation receptor

PSA : Pure sideroblastic anemia

PTKRS : Protein-tyrosine kinase

PTPN11 : 3 phosphoinosite phosphatase

PU.1 : Purine.1- rich DNA

RA : refractory anemia

RAEB : Refractory anemia excess blasts

RAEB-t : Refractory anemia excess blasts in transformation

RAF(MAPKKK) : Mitogen-activated protein kinase kinase kinase

RAF-1 : Sorafenib-1mechanism

RARS : refractory anemia withring sideroblastic

RARα : retinoic acid reseptor

RAS : Rat sarcoma

RBC : Red Blood Cell

RNA : Ribonucleic acid

RNA : ribonucleic acid

ROS : Reactive Oxygen Species

RUNX1 : runt-related transcription factor 1

SA : Sideroblastic anemia

SAM : S-adenosyl methionine

SEER : Surveilence Epidemiology and End Result

SH2 : Src homology region 2

SH3 : Src homology region 3

Smac/DIABLO : second mitochondrial activator of caspase/Direct IAP

SNP array : single-nucleotide polymorphism

xx ix

SOD : Superoksida Dismutase

SOS : Son of sevenless

STAT 5 : signal transducer and activator of transcription

t(15;17) : translocation (15;17)

TC II : Transcobalamin II

TCR : T cell receptor

TEL : translocation ets. Leukemia

Th1 : T helper 1

THF : Tetrahidrofolate

TIBC : Total Iron binding capacity

TILs : tumor infiltrating lymphocytes

TKD : Tyrosine Kinase Domain

TLR : Toll like receptor

t-MDS/AML : therapy-related MDS/AML

TNFα : Tumor necrosis factor alpha

TNR : tumor necrotic reseptor

TP53 : tumor protein p53

TRADD : TNF receptor associated death domain

T-reg : T – regulatory cells

WHO : world Health Organization

WT1 : wilm’s tumor

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Myelodysplastic Syndrome (MDS) adalah sekelompok kelainan

haematopoeitic stem cells (HSC) yang ditunjukkan dengan kegagalan sumsum

tulang, dikorelasikan dengan abnormalitas kuantitatif dan kualitatif sel pada darah

perifer (Hoffbrand & Moss, 2012).Pada MDS terjadi hematopoisis yang semula

mempunyai organisasi teratur (apoptosis mengeliminasi sel ganas) menjadi

displastik dan tidak efektif (anti apoptosis) pada sumsum tulang tampak sel muda

(blast) sedikit meningkat, selanjutnya dapat terjadi transformasi MDS menjadi

Acute Myeloid Leukemia (AML).Hal tersebut mungkin disebabkan kombinasi dari

faktor genetik, epigenetik dan sinyal reseptor yang abnormal serta faktor

lingkungan mikro (gambar 2.1; 2.2) (Ceesay,et al.,2012, Gilliland&

Gribben,2012).

Kerusakan HSC premalignant klonal yang sitopenia refrakter,

hematopoisis yang tidak efektif, hematopoitik displastik, deferensiasi selmultiple

lineages yang terhambat akanmeningkatkan risiko berkembangnya menjadi AML

(Pirruccello et al., 2006). Konsekuensi dari sel darah yang mengalami regulasi

abnormal dan diferensiasi yang terhambat pada tingkat

progenitormembuktikanproliferasi tidak terkendali sistem prekursor hematopoisis.

Keseimbangan homeostatik terganggu karena proliferasi yang meningkat, dan

apoptosis mulai meningkat pada stadium awal proses penyakit. Penderita yang

mempunyai risiko tinggi menjadi MDS, terjadi proliferasi meningkat sedikit demi

sedikit dan juga terjadi hambatan pada apoptosis (anti apoptosis) (Tefferi &

Vardman, 2009).

2

Data penelitian pendahuluan yang diambil peneliti di bagian Patologi

Klinik RSUD dr Soetomo atau Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Surabaya, Jawa Timur periode tanggal 2 Januari sampai dengan 30 Oktober

tahun 2014 didapatkan jumlah penderita leukemia 228 orang; 181 orang masuk

sebagai subyek penelitian umur 14 – 77 tahun. Hasil penelitian berdasarkan

morfologi sel hapusan darah tepi (HDT) dengan klasifikasi FAB didapatkan

sebagai berikut: AML 70 orang (38,66%), Myelodisplastic Syndrome (MDS) 9

orang (4,98%). Diagnosis AML risiko pada perempuan 40 orang (57%) lebih

tinggi dari pada laki-laki 30 orang (43%).

Data penelitian berdasarkan usia sebagai berikut penderita dengan AML:

risiko tertinggi AML pada usia 46 – 61 tahun sebanyak 70 orang (37,14%).

Penderita dengan MDS pada usia 14 – 29 tahun mempunyai risiko tertinggi

dibandingkan dengan kelompok usia lain sebanyak 4 orang (44,4%) dan pada

usia tua antara 62 – 77 tahun sebanyak 1 orang (11,1%).

MDS adalah sindroma kelainan hematologi yang didominasi orang tua

antara 70 tahun dan diprediksi 1 orang menderita MDS dari 500 populasi umur

diatas 60 tahun diduga karena terpapar radiasi dan atau kemoterapi. Menurut

Besa, 2011 bahwa insiden MDS meningkat sesuai umur yaitu 20,8 – 36,3 per

100.000 populasi umur diatas 70 tahun, jarang terjadi pada usia dibawah 50

tahun (Tefferi & Vardman, 2009; Natelson & Pyatt, 2013;Besa, 2011). MDS

jarang terjadi pada anak, pria mempunyai risiko MDS lebih tinggi dari pada

wanita (Ceesayet al., 2012; Chapoval, 2010). MDS primer diperkirakan 85% dari

seluruh MDS, 45 – 50% terjadi abnormalitas sitogenetik misal del(5q), del(7q),

del(20q) dan trisomy 8. MDS sekunder diperkirakan 7 – 12% dari seluruh MDS,

dan terdapat lebih dari 80% dikorelasikan dengan kemoterapi dan radiasi.

Abnormalitas kromosom lebih dari 90% termasuk abnormalitas kromosom 5 dan

3

7. Lingkungan kerja (paparan kimia: Benzene) menyebabkan penyakit, insiden

kurang 1% dari seluruh MDS (Natelson& Pyatt, 2013;Rahim et al., 2015).

Van Den Berghemenyatakan bahwa Delesi kromosom 5 del(5q) sebagai

abnormalitas sitogenetikmerupakan bagian dan mewakili penentuan kerusakan

molekuler yang mendasari pathogenesis MDS.Myelodysplastic Syndrome (MDS)

yang mempunyai prevalensi 15% dari penderita MDS mempunyai semua kasus

dengan gambaran klinik tersebut diatas. Dalam perbandingan dengan subtipe

MDS yang lain, dapat dikarakterisasiadanya del(5q), hapusan sumsum tulang <

5%, insiden perempuan lebih besar dan prognosis baik karena mempunyai risiko

yang rendah untuk transformasi menjadi leukemia (Berghe et.al., 1974;

Mohamedali & Mufti, 2008). Klasifikasi WHO pada MDS mengidentifikasi

sindrom-5q sebagai kesatuan klinis yang berbeda yang memiliki gambaran

klinik, dan laboratorium klinis (Mohamedali & Mufti, 2008).

Prevalensi diagnosis MDS yang berkembang menjadi Acute Myeloid

Leukemia (AML) (MDS-related AML) sekitar 20 - 30% (Walter et al., 2012). MDS-

related AML membutuhkan waktu antara 5-6 tahun, diikuti paparan lingkungan

makro dan mikro sampai terjadi leukemogenesis, faktor risiko tergantung

besarnya paparan. Pada saat terjadi MDS-related AML antara 12 – 130 bulan,

insiden tersebut dihubungkan dengan mutasi gen dan kromosom, pemeriksaan

aspirasi sumsum tulang pada kasus AML dijumpai sedikit fase displastik (Ceesay

et al., 2012).

AML (Acute Myeloid Leukemia) adalah penyakit heterogen yang terdiri

dari berbagai macam gambaran klinik dan kelainan genetik, termasuk mutasi

sitogenetik, mutasi gen dan perubahan ekspresi gen (Owen & Fitzgibbon, 2012).

Pada tahun 2006, American Cancer Society memprediksi bahwa 11.930

pria dan wanita (6350 pria dan 5580 wanita) di Amerika Serikat telah ditetapkan

dengan diagnosis AML (Deschler & Lübbert, 2006). Pada kelompok median

4

umur 67 tahun, insiden lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita yaitu 4,3 :

2,9.Insiden AML meningkat sesuai umur yaitu 1,7 kali pada populasi umur kurang

dari 65 tahun, dan 15,6 kali pada populasi yang sama umur lebih dari 65 tahun

(Wetzler et al., 2012; Deschler and Lübbert, 2006). Menurut penelitian Aulyaet

al., 2014 insiden Leukemia Akut di Indonesia diprediksi sekitar 3,4 kasus setiap

100.000 populasi per tahun.

AML penyakit yang kompleks dan bermacam-macam dasar

patomekanisme: genetik, genotip molekuler yang mana belum dapat dikenali

secara klinis dan morfologi fenotifnya. Patogenesis AML melibatkan mutasi dua

tipe abnormalitas atau mutasi genetik yaitu mutasi faktor jalur transkripsi dan

transduksi sinyal. Tipe mutasi gen yang paling banyak pada AML adalah

mekanisme faktor jalur transkripsi, berperan sebagai regulator utama pada

deferensiasi berbagai jenis perkembangan sel hematopoitik. Konsekuensi

langsung dari mutasi tersebut adalah menghambat proses deferensiasi sel

mieloid. Tipe mutasi gen kedua jalur transduksi sinyal, proliferasi meningkat dan

pertumbuhan sel yang berlebihan (Hoffmanet al., 2013). Mutasi faktor jalur

transduksi sinyal melibatkan mutasi SCFR (Stem cell factor reseptor) atau

tyrosine-protein kinase (Kit) dan gen fms-related tyrosine kinase 3 (FLT3), RAS

(rat sarcoma) dalam jalur transduksi yang sama (Hoffman et al., 2013;

Takahashi, 2011). Dengan adanya point mutation NRAS akan resisten terhadap

GAP (GTPase-activating proteins) sehingga hidrolisis GTP terhambat, sehingga

terjadi akumulasi RAS dalam bentuk aktif. Jumlah protein RAS aktif dapat

meningkatkan kemungkinan transformasi, point mutation pada RAS banyak

ditemukan pada berbagai tumor termasuk kanker darah (Yusup, 2008).

Mutasi faktor transkripsi melibatkan translokasi core binding factor (CBF)

yang berikatan dengan RARαakan menyusun gen MLL(mixed lineage leukemia).

Mutasi yang melibatkan fusi CBF-α dan CBF-β, pasien dengan CBF-AML

5

terdeteksi kurang lebih 15% pada kasus AML. CBF adalah faktor transkripsi

heterodimerik, terdiri dari DNA yang mengikat α-subunit, disandi oleh satu dari

tiga anggota keluarga RUNX (RUNX1 atau AML1), dan β-subunit disandi oleh

gen CBFβ. Ikatan AML1 dan CBFβ dengan gen lain menghasilkan protein

chimeric mengubah kompleks CBF dan menghambat aktivasi transkripsi

(Andrew, et al.,2018).

Pada kasus AML diidentifikasi adanya variasi dari translokasi kromosom

yang melibatkan AML1 maupun CBFβ. 1. Variasi kromosom CBF pada AML

berupa inv(16)t(16;16), pada CBFβ yang membuat fusi dengan gen MYH11. 2.

Translokasi kromosom t(8;21), yang dihubungkan dengan fusi AML1 dan eight-

twenty-one (ETO) (Hoffmanet al., 2013). Osato, 2004 menyatakan bahwa

translokasi menghasilkan gabungan protein yang berperan penting pada

leukemia yaitu menghambat deferensiasi dan proliferasi meningkat. 3. Gen AML1

dapat ditemukan pada turunan fusi yang lain, fusi yang melibatkan gen ecotropic

viral integration 1(EVI1), terjadi translokasi t(3;21). 4. Gen translocation ets

leukemia (TEL) pada AML dimana terjadi translokasi t(12;21). Pada kasus fusi

gen tersebut diatas diperkirakan 25 % dari seluruh kasus AML. Inaktivasi CBFα/β

akibat fusi AML-1/ETO menghasilkan gangguan hematopoisis yang dapat

berakhir dengan leukemogenesis.

Mutasi gen NPM1 termasuk mutasi faktor jalur transkripsi, akan

menimbulkan berbagai gambaran biologis, klinis dan membentuk fusi dengan

gen yang lain dalam leukemogenesis (Takahashi, 2011). Beberapa penelitian

menyatakan bahwa genotip mutan NPM1 tanpa mutasi FLT3-ITD menunjukkan

prognosis lebih baik dibandingkan genotip mutan NPM1 disertai mutasi FLT3-ITD

(terdapat 60% mutasi NPM1 dengan FLT3-ITD) (Hoffmanet al., 2013; Dinata

et.al., 2019).

6

Kasus Leukemia sampai saat ini belum diketahui penyebabnya dengan

pasti. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui faktor risiko. Berbagai

faktor risiko yaitu penggunaan pestisida, medan listrik, bahan kimia (Benzene),

virus, abnormalitas sitogenetik (contoh: Down syndrome), usia ibu yang relatif tua

saat melahirkan, ibu yang merokok saat hamil, konsumsi alkohol saat hamil,

medan magnet, pekerjaan orang tua, radiasi prenatal dan postnatal

(Simanjoranget al., 2010; Snyder, 2012).

Pada penelitian ini kami menggunakan klasifikasi diagnosis MDS dan

AML menurut klasifikasi WHO 2008 dan FAB(French-American-

british).Pemeriksaan MDS dan AML, morfologi hapusan darah tepi, aspirasi

sumsum tulang yang mana MDS: myeloblast kurang dari 20%, AML: myeloblast

lebih dari 20%. Pemeriksaan penunjang lain yaitu darah lengkap,

immunophenotyping(Pirruccello et.al., 2006), abnormalitas sitogenetik

menggunakan CISH (chromogen In Situ Hybridryzation) dan molekuler

menggunakan PCR (Polimerase Chain Reaction) (Hoffmanet al., 2013;Do̎hner et

al.,2010). Penatalaksana di klinik MDS mempunyai pengobatan yang berbeda

dengan AML, oleh karena itu diagnosis yang tepat sangat diperlukan, khususnya

MDS atau AML (Owen & Fitzgibbon, 2012; Gililand& Gribben, 2012; Takahashi,

2011).

Penjelasan tersebut diatas, maka peneliti mempunyai pendapat bahwa

abnomalitas molekuler dan sitogenetik progresivitasberpengaruh terhadap MDS-

related AML yang melibatkan polimorfisme NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dan

delesi kromosom 5 del(5q) atau kromosom 5 normal. Delesi kromosom 5 del(5q)

dengan mutasi NRAS, FLT3, NPM1 lebih dari satu gen (60%) dapat

meningkatkan kemungkinan transformasi menjadi AML. Keluarga RUNX

(RUNX1) mempunyai risiko 15% menghambat deferensiasi (differentiation arrest)

dan NRAS, FLT3 meningkatkan proliferasi (proliferation drive).

7

1.2 Rumusan masalah

Apakah polimorfisme RUNX1, NPM1, FLT3, N-RAS dan delesi kromosom

5 del(5q) dapat menjadi prediktor terhadap perubahanMyelodisplastic Syndrome

menjadi Acute Myeloid Leukemia(MDS-related AML) pada penderitadi Surabaya.

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Membuktikan polimorfisme NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3, dan delesi

kromosom 5 del(5q) sebagai prediktor perubahan Myelodisplastic Syndrome

menjadi Acute Myeloid Leukemia (MDS-related AML) pada penderita di

Surabaya.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Menentukan polimorfisme NRAS sebagai prediktor perubahan

Myelodisplastic Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia (MDS-related

AML).

2. Menentukan polimorfisme RUNX1 sebagai prediktor perubahan

Myelodisplastic Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia (MDS-related

AML).

3. Menentukan polimorfisme NPM1 sebagai prediktor perubahan

Myelodisplastic Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia (MDS-related

AML).

4. Menentukan polimorfisme FLT3 sebagai prediktor perubahan

Myelodisplastic Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia(MDS-related

AML).

8

5. Menentukan polimorfisme delesi kromosom 5 del(5q) sebagai prediktor

perubahan Myelodisplastic Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia

(MDS-related AML).

6. Menentukan kromosom 5q normal sebagai prediktor perubahan

Myelodisplastic Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia (MDS-related

AML).

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat Keilmuan

Salah satu sumber informasi polimorfisme NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3

dan delesi kromosom 5 del(5q) sebagai prediktor perubahan Myelodisplastic

Syndrome (MDS) menjadi Acute Myeloid Leukemia (AML) pada penderita di

Surabaya, serta memperkaya informasi ilmu pengetahuan dan dapat

dipergunakan untuk acuan karya ilmiah selanjutnya

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaatdiagnosis dan klinis, polimorfisme NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3

dan delesi kromosom 5 del(5q) atau kromosom 5 normal dapat dipergunakan

untuk diagnosis penunjang MDS dalam menentukan progresivitas menjadi AML

atau MDS-related AML. Diagnosis penunjang tersebut diatas dapat dipergunakan

untuk penatalaksana terapi yang tepat.

10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Acute Myeloid Leukemia (AML)

AML adalah penyakit keganasan yang menghambat deferensiasi dan

proliferasi secara tidak terkendali (pada AML tubuh memproduksi myeloblast

yang berlebihan) (Fitriani, 2009). Peneliti lain mendifinisikan AML yaitu penyakit

heterogen yang terdiri dari berbagai macam gambaran klinik dan kelainan

genetik, termasuk mutasi sitogenetik, mutasi gen dan perubahan ekspresi gen

(Owen& Fitzgibbon, 2012).

Menurut WHO (World Health organization) insiden leukemia terjadi

hampir di seluruh dunia, kasus kanker yang tercatat sekitar 250 kasus baru per

tahun dengan Case Fatality Rate (CFR) 76%. Kasus baru kanker sebanyak

100.000 terdapat penderita AML dijumpai sekitar 2,5%, dan ALL dijumpai sekitar

1,3%. Di Indonesia insiden Leukemia Akut diprediksi sekitar 3,4 kasus setiap

100.000 populasi per tahun (Aulya et al., 2014 ). Menurut data yang diambil oleh

peneliti di bagian Patologi Klinik RSUD dr Soetomo atau Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur periode tanggal 2 Januari sampai

dengan 30 Oktober tahun 2014 didapatkan jumlah penderita 181 orang, dengan

rentang umur 14 – 77 tahun. Hasil penelitian berdasarkan morfologi sel hapusan

darah tepi (HDT) yaitu: AML 70 orang (38,66%), Myelodisplastic Syndrome

(MDS) 9 orang (4,98%). Perempuan dengan diagnosis Leukemia mempunyai

risiko lebih tinggi dari pada laki-laki yaitu perempuan 107 orang (59,12%),

sedangkan laki-laki 74 orang (40,88%). Diagnosis MDS perempuan mempunyai

risiko lebih tinggi dari pada laki-laki yaitu perempuan 6 orang (66,67%),

sedangkan pada lak-laki-laki 3 orang (33,33%), demikian juga diagnosis AML

11

risiko perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki yaitu perempuan 40 orang (40%),

dan laki-laki 30 orang (30%) (accepted, Journal: Drug Invention today).

Data penelitian berdasarkan usia sebagai berikut diagnosis Leukemia

risiko tertinggi pada usia 30 – 45 tahun (37,02%) dari 181 orang. Penderita

dengan diagnosis AML: risiko tertinggi AML pada usia 46 – 61 tahun (37,14%)

dari 70 orang. Data AML dengan klasifikasi FAB didapatkan AML-M5 (40%),

AML-M3 (25,72%), AMl-M4 (15,71%). Penderita dengan diagnosis MDS Usia 14

– 29 tahun yang mempunyai risiko tinggi sebanyak 4 orang (44,4%), pada usia

tua 62 – 77 tahun 1 orang (11,1%) (accepted,journal: Drug InventionToday).

Etiologi leukemia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, beberapa

penelitian telah dilakukan untuk mengetahui faktor risiko. Berbagai faktor risiko

yaitu penggunaan pestisida, medan listrik, bahan kimia (Benzene), obat

(chloramphenicol) virus, abnormalitas sitogenetik (contoh: Down syndrome), usia

ibu yang relatif tua saat melahirkan, ibu yang merokok saat hamil, konsumsi

alkohol saat hamil, medan magnet, pekerjaan orang tua, radiasi prenatal dan

postnatal (Simanjorang et al.,2010, Snyder, 2012, Wetzler et al., 2012).

Klasifikasi AML menurut WHO 2008 dan FAB, klasifikasi WHO termasuk

gambaran klinik, abnormalitas sitogenetik dan molekuler, ditambahkan juga

morfologi sel. Klasifikasi FAB (French-American-British classification)

menggunakan deskripsi morfologi blast misalnya seri myeloid, diagnosis AML

pada pemeriksaan aspirasi sumsum tulang ditemukan myeloblast lebih dari 20%,

pemeriksaan penunjang lain. Klasifikasi FAB digunakan untuk diagnosis AML

dengan diskripsi M0 – M7, (lampiran 7) (Wetzler et al., 2012;Killick et al.,

2014).Menurut Weinberg and Arber, 2010, kalsifikasi WHO 2008 memperbaiki

tentang kategori AML dengan myelodysplasiarelated changes (AML-MRC) yaitu

myeloblast darah tepi atau sumsum tulang kurang 20%, mempunyai riwayat

penyakit MDS, abnormalitas sitogenetik yang berhubungan dengan MDS,

12

morfologi dysplasia (multilineage),50% sel mengalami kriteria dysplasia, AML-

MRC adalah leukemia yang agresif dan prognosis buruk (Weinberg et al.,2010;

Do̎hner et al., 2010).

2.1.1 Patogenesis AML

AML penyakit yang kompleks dan bermacam-macam dasar

patomekanisme: genetik, genotip molekuler sehingga belum dapat dikenali

secara klinis dan morfologi fenotifnya. Gagasan patogenesis AML dapat diterima

dengan melibatkan mutasi dua tipe abnormalitas atau mutasi genetik yaitu mutasi

faktor jalur transduksi sinyal dan transkripsi. Insiden mutasi gen yang terbanyak

pada AML adalah mekanisme faktor jalur transkripsi, berperan sebagai regulator

utama pada deferensiasi berbagai jenis perkembangan sel hematopoitik.

Konsekuensi langsung dari mutasi tersebut adalah menghambat proses

deferensiasi sel mieloid. Tipe mutasi berikutnya menyebabkan proliferasi dan

pertumbuhan sel yang berlebihan (Hoffman et al., 2013). Contoh mutasi faktor

transkripsi melibatkan translokasi core binding factor (CBF) yang berikatan

dengan RARαakan menyusun gen MLL(mixed lineage leukemia). Contoh yang

lain yaitu mutasi faktor jalur transduksi sinyal melibatkan mutasi SCFR (Stem cell

factor reseptor) atau tyrosine-protein kinase (KIT) dan gen fms-related tyrosine

kinase 3 (FLT3) dalam jalur transduksi yang sama (tabel 2.2.). Pada penderita

AML yang diperiksa dengan PCR didapatkan abnormalitas yang menunjukkan

adanya mutasi beberapa gen (FLT3, N-RAS) yang menyebabkan proliferasi dan

pertumbuhan sel yang berlebihan (Hoffman et al., 2013; Takahashi, 2011).

Dua grup terdiri dari faktor transkripsi diamati aktivitas transkripsi yang

menghasilkan protein yang berperan penting dalam menentukan progenitor

hematopoitik. Grup pertama terdiri dari regulator utama faktor transkripsi, seperti

AML1 terlibat dalam perkembangan seluruh haematopoitic lineages. Grup kedua

13

terdiri dari faktor transkripsi yang menghambat secara spesifik perkembangan

setiap haematopoietic lineages. Contoh: faktor transkripsi tipe GATA1, yang

mendukung perkembangan progenitor hematopoitik menghasilkan erythroid

lineages atau C/EBPα, yang mana mendukung diferensiasi granulocytic (AML)

(Takahashi, 2011; Hoffman et al.,2013).

Mutasi yang melibatkan fusi CBF-α dan CBF-β, pasien dengan CBF-

AMLterdeteksi kurang lebih 15% dari kasus AML. Pada usia pertengahan

mempunyai signifikan yang lebih rendah dan prognosis lebih baik dibandingkan

penderita dengan kariotipe yang normal atau abnormalitas kromosom. Hasil

pengobatan rata-rata CR (complete remission) lebih tinggi dan insiden relapse

lebih rendah (Boissel et al., 2006). CBF adalah faktor transkripsi heterodimerik,

terdiri dari DNA yang mengikat α-subunit, disandi oleh satu dari tiga anggota

keluarga gen RUNX (RUNX1 atau AML1), dan β-subunit disandi oleh gen CBFβ.

Ikatan gen AML1 dan CBFβ dengan gen lain menghasilkan protein chimeric

mengubah kompleks CBF dan menghambat aktivasi transkripsi.

Pada kasus AML diidentifikasi adanya variasi dari translokasi kromosom

yang melibatkan AML1 maupun CBFβ. Variasi kromosom CBF pada AML berupa

inv(16)t(16;16), pada CBFβ terjadi fusi dengan gen smooth muscles myosin

heavy chain (SMMHC), disamping itu terjadi translokasi kromosom t(8;21), yang

dihubungkan dengan fusi gen AML1 dan gen eight-twenty-one (ETO) (Hoffman et

al., 2013).

Menurut Ley et al., 2013 bahwa jumlah penderita AML de novo sebesar 7

- 12% yang menunjukkan adanya translokasi t(8;21), fusi gen RUNX1 dengan

RUNX1T1 (eight-twenty-one atau ETO). Variasi kromosom inv(16)t(16;16) dan

fusi gen CBFβ dengan SMMHC ditemukan pada 10 – 12 % kasus (gambar 2.1.).

Osato, 2004 menyatakan bahwa translokasi menghasilkan gabungan protein

yang berperan penting pada leukemia yang menghambat deferensiasi, proliferasi

14

meningkat. Gen AML1 dapat ditemukan pada turunan fusi yang lain. Keadaan

tersebut dapat dideteksi pada AML, seperti fusi yang melibatkan gen ecotropic

viral integration 1(EVI1), atau gen translocation ets leukemia (TEL) pada AML

dimana terjadi translokasi secara berturutan t(3;21) dan t(12;21). AML melibatkan

CBF yang mengalami translokasi menjadi AML1-ETO, bertindak sebagai

dominant-negative inhibitorAML1, seperti ditunjukkan pada transcriptional

activation assays (gambar 2.1.)(Owen & Fitzgibbon, 2012). Fusi CBF sering

terjadi pada penderita AML dan umumnya terjadi keseimbangan translokasi

resiprok (reciprocal translocation).Pada seluruh kasus AML terdapat kasus

tersebut diatas diperkirakan 25%. Ceesay et al., 2012; Juniarka, 2010

menyatakan AML-1-related translocations atau haploinsufficiency,tidak langsung

mengakibatkan leukemia pada binatang coba. Keadaan ini menunjukkan bahwa

diperlukan perubahan genetik lain untuk menjadi fenotif leukemia.

Kresno, 2012 menyatakan tentang fusi protein, bahwa translokasi tunggal

tidak dapat menyebabkan terjadinya fenotif leukemia. Fusi gen RUNX1-

RUNX1T1 mengekspresikan progenitor hematopoisis pada orang dewasa tidak

menginduksi AML, tetapi dapat menyebabkan myeloproliferative phenotype.

Pada penelitian binatang coba yang diberi perlakuan dengan bahan kimia

sebagai mutagen akan memicu terjadinya AML (Ceesay et al., 2012, Agrawalet

al., 2007).

15

Gambar 2.1 Hematopoeisis, deferensiasi sel dan faktor transkripsi(Dikutip: Kresno, 2012).

Keterangan: Mutasi gen AML1 disertai fusi dengan gen lain (ETO, Evi-1, TEL) akan menghambat aktivitas deferensiasi (deferensiasi “arrest”). Bentuk keganasan darah, faktor jalur mutasi: transkripsi selanjutnya AML, CML, meningkatkan hematopoiesis proliferasi.

Menurut penelitian binatang coba tersebut diatas, Fusi gen RUNX1-

RUNX1T1, dan paparan bahan kimia akan memicu terjadinya AML. Mutasi gen

tertentu (RUNX1) pada pasien AML, MDS maupun orang normal mempunyai

prosentase yang berbeda. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Osato,

2004, yang menyatakan bahwa frekwensi mutasi pada gen RUNX1/AML1

didapatkan berbagai variasi pada penderita kanker maupun orang normal.

Pertama AML(subtipe M0), 185 kasus, mutasi 39 kasus, prosentase mutasi 21%.

AML dengan bermacam subtipe menurut kriteria FAB didapatkan total 619 kasus,

mutasi 53 kasus, prosentase mutasi 8,6%; kedua MDS (subtipe RAEB/RAEB-t),

138 kasus, mutasi 22 kasus, prosentase mutasi 15,9%; MDS (subtipe MDS

leukemia), 53 kasus, mutasi 8 kasus, prosentase mutasi 15,0%; MDS dengan

bermacam subtipe menurut FAB/WHO, total 362 kasus, mutasi 33 kasus,

prosentase mutasi 9,1%; ketiga tipe Orang sehat (healthy) terdiri dari orang

Jepang, Inggris, Prancis, Belanda, total 338 kasus, mutasi 9 kasus, prosentase

2,6% (Osato, 2004; Rocquain et al., 2010).

16

Therapy-related (t)-MDS/AML ditemukan pada sporadik atau kasus yang

didapat antara 10 – 20%. Kasus (t)-MDS/AML dapat dibagi menjadi dua grup

yaitu alkylating agents atau radiation related,topoisomerase II inhibitor related

dan Grup MDS/AML (merupakan grup kasus keturunan atau Familial MDS/AML)

akan berkembang dalam 5 - 6 tahun tergantung paparan menjadi proses

leukemogenik dan faktor risiko yang berhubungan dengan dosis paparan.

Beberapa grup membutuhkan waktu berkembang lebih pendek yaitu 12 – 130

bulan, kejadian ini dihubungkan dengan keseimbangan antara translokasi

kromosom dan Frank AML (tanda klinik misalnya hematuria) yang mendahului

fase displastik.Mutasi t-MDS/AML ditunjukkan dalam tiga kelas yaitu : kelas 1,

faktor mutasi mengaktifkan jalur transduksi sinyal (FLT3, RAS); kelas 2 faktor

mutasi yang melibatkan transkripsi (RUNX1, NPM1), dan kelas 3 mutasi yang

melibatkan tumor-suppressor gene p53. Data statistik ditemukan bahwa

frekwensi mutasi satu gen (point mutation) 20 – 30% dari semua kasus t-

MDS/AML (gambar 2.2.) (Ceesayet al., 2012).

MDS berkembang pada keadaan lebih dari satu mutasi abnormalitas

sitogenetik contoh -7/del(7q), -5/del(5q), +8 (gambar 2.2, tabel 2.1). Beberapa

penelitian yang menyatakan bahwa myelodysplastic stem cells yang mengalami

perubahan genetik dan epigenetik didapatkan pada sepertiga kasus yang mana

akan berkembang menjadi AML (MDS-related AML) (Gambar 2.2) (Walteret al.,

2012).

17

Gambar 2.2 Patogenesis AML, MDS dan MDS – related AML (dikutip: Hoffman et al., 2013).

Keterangan: Hematopoeitic Stem Cells(sel progenitor) terjadi abnormalitas genetik dan

sitogenetik, translokasi tunggal tidak dapat menyebabkan terjadinya fenotif

leukemia. Fusi gen RUNX1-RUNX1T1 mengekspresikan sel progenitor

hematopoisis pada orang dewasa tidak menginduksi AML, tetapi dapat

menyebabkan myeloproliferative phenotype. Pada penelitian binatang coba

yang diberi perlakuan dengan bahan kimia sebagai mutagen akan memicu

terjadinya AML. MDS berkembang pada keadaan lebih dari satu mutasi

abnormalitas sitogenetik contoh -7/del(7q), -5/del(5q), +8. Beberapa

penelitian yang menyatakan bahwa myelodysplastic stem cells yang

mengalami perubahan genetik dan epigenetik didapatkan pada sepertiga

kasus yang mana akan berkembang menjadi AML (MDS-related AML).

18

Tabel 2.1 Risiko mutasi kromosom berkembang menjadi AML

(dikutip dari:Takahashi, 2011)

TRANSLOKASI/

INVERSI

GEN MORFOLOGI

INSIDEN*

t(8;21)(q22;q22) RUNX1;RUNX1T1 M2 with Auer rods 6%

inv(16)(p13q22) or

t(16;16)(p13;q22)

CBFB;MYH11 M4E0 7%

t(15;17)(q22;q11-21) PML;RARA M3/M3v 7%

t(9;11)(p22;q23) MLL;AF9 M5 2%

t(6;11)(q27;q23) MLL;AF6 M4 and M5 ~1%

inv(3)(q21q26) or

t(3;3)(q21;q26)

EVI;RPN1 M1, M4, M6, M7? ~1%

t(6;9)(p23;qQ34) DEK;NUP214 M2, M4 ~1%

ChromosalImbalances+8 .. M2, M4 and M5 9%

-7/7q- .. No FAB preference 7%

-5/5q- .. No FAB preference 7%

-17/17p- TP53 No FAB preference 5%

-20/20q- .. No FAB preference 3%

9q- .. No FAB preference 3%

+22 .. M4, M4E0 3%

+21 .. No FAB preference 2%

+13 .. M0, M1 2%

+11 MLL1+ M1,M2 2%

Complex karyotype* 10%

Normal karyotype 44%

Keterangan : AML (Acute Myeloid Leukemia). *Ditentukan diantara 1,311 pasien dengan diikuti oleh studi 8461 kanker dan

Leukemia Group B. + Turunan dua sebagiandari MLL1 ++Tiga atau lebih penyimpangan kromosom dalam ketiadaan t(8;21),

inv(16)t(16;16), t(15;17), or t(9;11). Sumber: diadaptasi dari Dohner K, Mrozek K, Dohner H, Bloomfield CD. Leukemia Diagnosis and Classifications. Amsterdam: Elsevier Inc., (in press).

19

Tabel 2.2 Gambaran klinik, risiko mutasi gen pada AML (dikutip Takahashi, 2011)

keterangan

• CN (cytogeneticaly normal), OS (over all survival), EFS (event–free survival), DFS (disease-free survival).

• Risiko mutasi gen pada AML: Kelas I antara lain: NRAS (10,3%), FLT3-ITD (21-24%); Kelas II antara lain: RUNX1 (5,6%), sedangkan dengan sitogenetik normal (32,7%); unclassified mutations: NPM1(27,5-35,2%), disertai dengan sitogenetik normal 45,7-53% .

GEN CIRI KLINIS REF.

TERPILIH KEKERAPAN

Unclassified mutations

`NPM1 Analisis akibat klinis dalam 4 grup (NPM1 and FLT3-ITD mutan single, mutan dobel dan tipe tidak teratur dari keduanya) terungkap bahwa pasien hanya memiliki sebuah mutasi NPM1 yang secara signifikan OS dan DFS nya dan angka kekambuhannya lebih rendah.

(28, 29) AML 27,5-35,2% CN-AML 45,7-53%

Mutasi Kelas I

FLT3-ITD Asosiasi dengan sebuah perhitungan lekosit lebih tinggi, RR yang meningkat, OS yang turun

(14,28,49-52)

AML 21-24%

-TKD Prognosis tidak terpengaruh (46) AML 5-7%

PTPN11 Tidak ada prognosis yang signifikan, namun analisis subgroup mengungkapkan bahwa mutasi PTPN11 merupakan faktor risiko yang buruk untuk OS pada pasien AML yang tidak memiliki mutasi NPM1.

(62) AML 5,1%

NRAS Tidak ada dampak prognosis yang signifikan untuk OS, EFS, and DFS

(64) AML 10,3%

KIT OS berdampak buruk dalam AML dengan inv(16). Dampak buruk mutasi KIT atau RR dalamt(8;21) mutasi AML memiliki dampak negatif yang independen terhadap OS and EFS pada pasien dengan t(8;21) namun tidak pada pasien dengan karyotype normal.

(66,68,69) AML 1,7% , t(8;21)22-45%, inv(16) 29-48%

Mutasi Kelas II

RUNX1 Dalam analisis multi variabel, mutasi RUNX1 adalah penanda prognosis independen dari EFS independen yang prognosisnya tidak baik untuk OS dari mutasi RUNX1.

(75-77) AML 5,6%, de novo non-M3 AML 13,2%, CN atau nonkompleks karyotype AML 32,7%

C/EBPα Mutasi C/EBPα memiliki cenderung untuk angka CR yang lebih baik dan signifikan dari 5 tahun angka EFS, DFS dan OS

(79,80) AML 5-14%

MLL rearr. Pasien dengan seluruh pengaturan ulang memiliki EFS yang lebih rendah dan kemungkinan kambuh yang lebih tinggi daripada pasien dengan MLL wild tipe.

(81) AML 4-14%

20

2.2 Myelodysplastic syndrome (MDS)

Definisi MDS adalah sekelompok kelainan haematopoeitic stem cells

(HSC)yang ditunjukkan dengan kegagalan sumsum tulang (displastik) yang

meningkat, dikorelasikan dengan abnormalitas kuantitatif dan kualitatif sel pada

darah perifer (Hoffbrand& Moss, 2012).

Insiden MDS dihubungkan dengan umur, penderita MDS mempunyai

tanda dan gejala yaitu umur antara 60 - 75 tahun, beberapa penderita lebih muda

dari 50 tahun, MDS jarang terjadi pada anak, pria mempunyai risiko MDS lebih

tinggi dari pada wanita (Ceesayet al., 2012; Chapoval, 2010; Sangle, 2012;

Kubasch & Platzbecker, 2018). MDS primer diperkirakan 85% dari seluruh MDS,

45 – 50% terjadi abnormalitas sitogenetik misal del(5q), del(7q), del(20q) dan

trisomy 8. MDS sekunder diperkirakan 7 – 12% dari seluruh MDS, dan terdapat

lebih dari 80% dihubungkan dengan kemoterapi dan radiasi. Abnormalitas

kromosom lebih dari 90% termasuk abnormalitas kromosom 5 dan 7. Lingkungan

kerja (paparan kimia: Benzene) menyebabkan penyakit, insiden kurang dari 1%

dari seluruh MDS (Natelson& Pyatt, 2013;Klepin et al., 2014).Etiologi MDS tidak

diketahui dengan pasti tetapi faktor abnormalitas sitogenetik, molekuler,

epigenetik dapat berkembang menjadi MDS. Abnormalitas kromosom: delesi

kromosom 5 del (5q) mempunyai prosentase berbeda antara kasus MDS dengan

kasus AML, demikian juga abnormalitas molekuler (RUNX1, NPM1, FLT3,

NRAS). Beberapa translokasi t(15;17), i(16), t(8;21) tidak didapatkan pada MDS,

keadaan ini dapat dipergunakan untuk membantu mengetahui perubahan MDS

menjadi AML (MDS-related AML) (Walteret al., 2012; Bejaret al., 2011;

Takahashi, 2011; Luzzatto& Kadardimitris, 2010; Alcindor& Bridges, 2001).

MDS sekunder karena pengobatan kemoterapi keganasan lain,

mempunyai risiko terjadi abnormalitas sitogenetik diperkirakan 80% (Ceesayet

al., 2010; Young, 2012). Prevalensi MDS yang berkembang menjadi Acute

21

Myeloid Leukemia (AML) (MDS-related AML) sekitar 20 - 30% (Walteret al.,

2012, Montalban-Bravo G. et al., 2014;Bejar et al., 2011).

Penelitian Walter et al., pada tahun 2012, menyatakan bahwa sampel

secondary-AML(sAML) 11 sampel terdiri dari gen yang mengalami mutasi

berulang, pemeriksaan hapusan sumsum tulang, mutasi gen PCR antara lain :

NPM1, RUNX1, TP53, WT1, abnormalitas kromosom antara lain del(5), del(20),

del(17). 7 sampel dalam proses MDS menjadi sAML, termasuk 4 kasus

mengalami proses yang progresivitas cepat untuk menjadi sAML yaitu < 6 bulan

(6,7% dari semua mutasi yang spesifik menjadi sAML) dan 3 kasus proses

progresivitas lambat yaitu > 20 bulan (37,8% dari mutasi yang spesifik menjadi

sAML). Pada MDS terjadi mutasi transition dan transversion pada sebanyak 7

sampel, sedangkan 2 sampel telah diberi terapi Decitabine selama 4-11 bulan,

setelah diagnosis MDS, sebelum terjadi proses sAML, kemudian Sampel

tersebut mengalami progresivitas menjadi sAML (mengalami transversion).

Peneliti tidak mengetahui hasilnya seandainya ke 2 sampel tidak diberikan terapi

Decitabine (Jabbour & Kantarjian. 2011).Progresivitas menjadi sAML ditandai

dengan meningkatnya myeloblast antara 7% - 66%, yang lain antara 13% - 43%,

tidak mengalami perubahan klon dan sedikit peningkatan mutasi titik (point

mutation) < 2% selama progresivitas MDS menjadi sAML. Terapi pada awal

mutasi adalah suatu strategi eliminasi sel ganas dan akan memperbaiki respon

kemoterpi konvensional pasien sAML. Peneltian ini sebagai biomarker dan

pengertian yang lebih baik tentang patogenesis MDS (Walter et al., 2012).

Klasifikasi MDS menurut WHO 2008 dan FAB (lampiran 7), klasifikasi

WHO termasuk gambaran klinik, abnormalitas sitogenetik dan molekuler,

ditambahkan juga morfologi sel. Klasifikasi FAB (French-American-British

classification) menggunakan deskripsi morfologi Anemia. Diagnosis klinik MDS

dilengkapi dengan pemeriksaan morfologi hapusan darah tepi, aspirasi sumsum

22

tulang, imunositokimia berupa displastik hematopoitik dan anemia, myeloblast

kurang dari 20%(Besa, 2011).Menurut Weinberg and Arber, kalsifikasi WHO

2008 diperbaiki termasuk kategori AML with myelodysplasia related changes

(AML-MRC) yaitu myeloblast darah tepi atau bonemarrow kurang 20%,

mempunyai riwayat penyakit MDS, abnormalitas sitogenetik yang berhubungan

dengan MDS, morfologi dysplasia (multilineage), 50% sel mengalami kriteria

dysplasia, AML-MRC adalah leukemia yang agresif dan prognosis buruk

(Weinberg & Arber,2010; Besa, 2011).

Gambar 2.3 Mekanisme karsinogenesis akibat faktor lingkungan dan

diet(Dikutip dari: kresno, 2012).

2.2.1 Patogenesis MDS

Pada MDS terjadi hematopoisis yang semula mempunyai organisasi yang

teratur dan efektif (contoh: apoptosis mengeliminasi sel ganas) menjadi displastik

dan tidak efektif (contoh: antiaptosis, pada sumsum tulang tampak sedikit

displastik), selanjutnya terjadi transformasi MDS menjadi AML (Gutierrez &

Romerro-Olivia, 2013). Keadaan tersebut mungkin merupakan kombinasi dari

faktor genetik, epigenetik dan sinyal reseptor yang abnormal serta faktor

lingkungan mikro (gambar 2.1; 2.2) (Ceesay et al., 2012, Gilliland& Griffin, 2012).

23

Gambar 2.4 Progresivitas MDS-related AML(Dikutip dari: Saunthararajahet

al., 2011).

HSC: Hematopoietic stem cells

Keterangan:

A. Hematopoisis normal: HSC memperbarui sel dengan sendirinya (self-renewal)

untuk lineage – committed daughter cells (sel progenitor). Sel progenitor

melakukanaktivitas fungsideferensiasi, proliferasi, maturitas sel normal

B. Pada awal abnormalitas mempengaruhi HSC sehingga terjadi evolusi menuju

ganas. Selanjutnya supresi epigenetik mengganggu peran sel progenitormaka

terjadi deferensiasi lambat. Pada awal sakit deferensiasi terhambat ringan,

precursor meningkat, terjadi maturitas sel menurundi sumsum tulang.

C. Supresi epigenetik progresif sehingga jumlah maturitas sel menurunprogrsif

di sumsum tulang.Selanjutnya diferensiasi terhambat, dan proliferasi

meningkat.

Kerusakan kelompok HSC premalignant yang bersifat sitopenia refrakter ,

hematopoetik displastik, deferensiasi sel multiple lineages yang terhambat dan

meningkatkan risiko berkembangnya menjadi AML (Pirruccello et al., 2006).

Konsekuensi dari sel darah yang mengalami regulasi abnormal dan diferensiasi

yang terhambat pada tingkat progenitor diatas, menyebabkan proliferasi yang

tidak terkendali pada sistem prekursor hematopoisis.

Keseimbangan homeostatik akan terganggu pada proliferasi dan

apoptosis yang meningkat pada awal penyakit karena adanya proses progresif.

Penderita yang mempunyai risiko tinggi menjadi MDS, proses proliferasi

meningkat sedikit demi sedikit juga terjadi hambatan pada mekanisme apoptosis

(anti apoptosis) (Tefferi& Vardman, 2009). Molekuler yang tidak dipengaruhi

regulasi sinyal yang meningkat seperti NF-kB, phosphor-Akt, Bim-1, Bcl-2, Bcl-

XL, dan heat shock protein chaperones menghambat apoptosis, penyebaran dan

24

evolusi menjadi ganas (AML) (gambar 2.3.)(Banerjeeet al., 2008). Menurut

penelitian Aulya et al., 2014 menunjukkan peran NFkB sebagai suatu faktor

transkripsi yang membuat suatu sinyal mampu membawa informasi gen

apoptosis. Contoh P53 (oksidan)dapat merangsang jumlah sel mononuklear

(makrofag) selain itu melalui TNF akan mengaktifkan procaspase, caspase

meningkatkan apoptosis sehingga dapat dipertimbangkan sebagai pengobatan

leukemia akut melalui jalur penghambatan NFkB.

Identifikasi abnormalitas sitogenetik atau molekuler berulang (recurrent

mutation) dan perubahan epigenetik adalah mekanisme dasar terjadinya MDS.

Perubahan tersebut tidak spesifik untuk MDS oleh karena beberapa perubahan

dapat ditemukan juga pada AML dan myeloproliferative disorders (MPDs). Status

non-hematopoitik (kemoterpi, radiasi, bahan kimia) yang meningkatkan proses

MDS menjadi AML telah menjadi subyek penelitian yang intensif (Gilliland&

gribben, 2012; Banerjeeet al., 2008;Klepin et al., 2014).

Gambar 2.5 Apoptosis, Aktivasi NF-kB (dikutip dari: Banerjeeet al., 2008) Keterangan gambar: Peran NFkB sebagai suatu faktor transkripsi yang mempunyai sinyal mampu

membawa informasi gen apoptosis Contoh P53 (oksidan), TNF akan

mengaktifkan procaspase, caspase meningkatkan apoptosis sehingga dapat

dipertimbangkan sebagai pengobatan leukemia akut melalui jalur

penghambatan NFkB. Antioksidan menghambat NF-kB, dapat membantu dalam

25

menghadapi progresivitas sel kanker. Penelitian lain menyatakan bahwa NF-kB

mempunyai peran penting dalam pertumbuhan kanker dan perkembangannya.

Target dari NF-kB adalah progresi tumor, inflamasi, imortalitas sel, promosi

tumor dan metasase.Korelasi antara inflamasi dan kanker sebagai faktor utama

yang mengendalikan kemampuan sel ganas untuk melawan

immunosurveillanceberdasarkan apoptosis dan bertindak sebagai faktor

pertumbuhan (kresno, 2012).

Faktor imunostimulasi dan imunosupresi dalam lingkungan mikro, yaitu

stimulasi dan supresi mempengaruhi perkembangan tumor(lihat gambar

2.6)(Alpdogan, 2013).

Gambar 2.6 Perkembangan sel Th1, Th2 dan sitokin yang diproduksi masing-masing (Dikutip dari Kresno S.B., 2010).

Keterangan gambar :

Antigen tumor dan produk tumor menarik sel dendrit (DC) ke lokasi tumor,

kemudian sel DC menangkap antigen tumor, berubah menjadi DC matur yang

menghasilkan IL-12 dan merangsang sel CD4+/Th1 untuk memproduksi IFN-ϒ. Sel

ini membantu ekspansi CD8+ menghancurkan sel tumor melalui jalur apoptosis

(granzym B dan perforin). Antigen dan produk tumor lain mempromosikan

maturasi DC yang menghasilkan sitokin pro-inflamasi IL-6 dan TNF-α. DC ini

membantu pembentukan sel CD4+/Th2 yang memproduksi IL-4 dan IL-3 yang akan

menyingkirkan tumor menjadi tidak efektif (Alpdogan, 2013).

Sel punca hematopoetik (HSCs) memiliki molekul yang khas pada

permukaan selnya, yaitu molekul glikoprotein CD34 (cluster of differentiation).Sel

induk hematopoietik berfungsi sebagai sel induk semua sel darah termasuk

26

eritrosit, leukosit dan trombosit. Sel induk (stem cell) tersebut adalah sel-sel

langka yang menyusun kurang dari 0,01% sel sumsum tulang. Isolasi dan

pengukuran kuantitatif sel ini sulit dilakukan karena kelangkaan dan kemiripan

bentuknya dengan sel-sel lainnya. Alasan tersebut diperlukan

penandaan/marker. Sel induk CD34+ adalah sel yang mengekspresikan sel induk

hematopoitik dan sel progenitor lainnya.Dalam sistem hemopoesis, sel induk

mengalami proses komitmen untuk menjadi sel progenitor multipotensial yang

msing-masing selanjutnya menjadi sel hematopoetik normal. Proses tersebut

diatas diatur secara ketat oleh gen tertentu yang menyandi faktor

transkripsi.Misalnya: Penanda molekul CD (CD4 dan CD8) yang mana

merupakan penanda sel Thelper dan sitotoksik secara berturut-turut(Provan &

Gribben, 2012; Kresno, 2012; Takahashi, 2011; Chen et al., 2004).

Perubahan ekpresi maupun struktur gen yang menyandi faktor transkripsi

dapat menyebabkan fungsi faktor transkripsi terganggu dan mengakibatkan

transformasi sel (Kresno, 2012). Leukemia adalah penyakit yang didapat yang

disebabkan akumulasi kelainan kromosom dan mutasi genetic yang

mengubahsifat biokimiawi atau kadar ekspresi protein. Gen yang direkomendasi

pada translokasi kromosom seringkali menyandi faktor trasnkripsi, maka faktor

trasnkripsi mempunyai peranan yang cukup penting pda leukemogenesis (faktor

Transkripsi PU-1 adalah regulator utama gen myeloid (gambar 2.9) (Kresno,

2012).Kasus MDS terdeteksi adanya sel CD34+, yang dapat mempengaruhi

sistem hematopoitik dan mempunyai korelasi dengan AML, mungkin karena

beberapa regulator penting untuk gen myeloid.PU.1 adalah pengatur pusat

seluruh garis keturunan hematopoietik dan aktivitas sel induk. Sementara itu,

C/EBP α(CCAAT/enhancer binding protein alpha) merupakan salah satu faktor

transkripsi spesifik dari garis keturunan hematopoietik. Gen myeloid tersebut

merupakan regulator perkembangan granulosit, dan PU.1 diekspresikan pada sel

27

induk CD34+. Ekspresi PU.1 mengalami supresi maka akan terjadi supresi

diferensiasi (differentiation arrest) dan meningkatkan proliferasi (proliferation

drive), cenderung tidak terkendali (Provan& Gribben, 2012; Kresno, 2012;

Takahashi, 2011; Chenet al., 2004).

2.3 Patomekanisme AML

Pada tahun 1998, Rowley mengemukakan peran translokasi kromosom

pada leukemogenesis. Abnormalitas sitogenetik dianggap sebagai parameter

yang lebih tepat untuk menentukan Remisi Komplit (CR) dan harapan hidup

jangka panjang pada penderita leukemia dibandingkan dengan penentuan

menggunakan respon sumsum tulang dan proporsi sel blast. Sejak tahun 1996

perkembangan ilmu dan teknologi telah memungkinkan untuk mengidentifikasi

kelainan atau mutasi gen yang terlibat dalam leukemogenesis di tingkat

molekuler. Menurut Leis, 1996 bahwa studi tentang kelainan kromosom atau

molekuler pada leukemia, baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak.

Setelah tahun 1996 menunjukkan bahwa kelainan genetik berhubungan erat

dengan prognosis, sehingga evaluasi sitogenetik maupun molekuler saat ini

diperlukan untuk penatalaksana leukemia secara optimal (Kresno, 2012; Leis,

1996).

Beberapa bukti tersebut diatas menunjukkan bahwa berbagai perubahan

genetik yang berbeda, membentuk mutasi fusi gen dalam leukemogenesis.

Menurut Kresno, 2012 bahwa pada binatang coba menunjukkan mutasi tunggal

tidak cukup untuk menyebabkan AML. Pada mutasi fusi gen RUNX-RUNX1T1

dan CBFB-MYH11, masing-masing disebabkan t(8;21) dan inv(16) t(16;16),

berhasil mengganggu diferensiasi sel (Kresno, 2012;Rowley, 1998). Kresno,

2012; Owen&Fitzgibbon, 2012, menyatakan bahwa mutasi berikutnya dalam sel

progenitor (multistep leukemogenesis) diperlukan untuk menjadi fenotif

28

leukemik.Perkembangan leukemia adalah refleksi dari faktor lingkungan dan

genetik. Keganasan ini berkembang dari sel yang memiliki kemampuan

memperbarui diri sendiri (self renewal), baik sel induk (stem cell), sel myeloid

maupun sel limfoid, berproliferasi secara tidak terkendali. Kerentanan sel untuk

transformasi tergantung akumulasi kelainan genetik, kemampuan self renewal

dan kecepatan relatif sel tersebut untuk berdeferensiasi. Berbagai kelainan dan

mutasi genetik terlibat dalam perkembangan leukemia, dapat dijumpai pada

semua atau sebagian jenis leukemia, ada juga yang spesifik untuk leukemia

tertentu (Owen&Fitzgibbon, 2012; Kresno, 2012, Hoffmanet al., 2013).

Menurut Owen&Fitzgibbon, 2012 perkembangan leukemogenesis,

mengenai hipotesis sel punca kanker (cancer stem cell hypothesis/CSC), dalam

hal ini leukemia stem cells (LSCs). Sel sasaran mengalami transformasi

leukemik, pada saat ini ada 3 hipotesis yaitu pertama, berbagai jenis sel

dalam hirarki sel punca (stem cell) dan sel progenitor menunjukkan kerentanan

untuk transformasi. Keadaan ini berarti mutasi akan mengubah pola deferensiasi

normal dan mempromosikan ekspansi klonal sel leukemik dengan status

diferensiasi spesifik. Kedua, mutasi yang bertanggung jawab atas transformasi

dan progresivitas menjadi leukemia terjadi pada sel punca primitif multipoten dan

mengakibatkan terbentuknya LSC. Heterogenitas tumor terjadi karena

kemampuan LSC untuk berdeferensiasi menjadi lineage tertentu dengan fenotip

spesifik. Ketiga, leukemia akut memerlukan serangkaian perubahan genetik

yang progresif mulai dari ekspansi klonal LSC yang mengalami transformasi

(Owen&Fitzgibbon, 2012).

Takahashi, 2011 membuat model “two-hit leukemogenesis” yaitu sel

punca pre-leukemik mengalami transformasi awal tetapi belum mengalami

mutasi berikutnya yang diperlukan untuk berkembang menjadi leukemia.

Disregulasi gen yang terlibat dalam self-renewal dan diferensiasi sel punca

29

leukemia menggunakan jalur regulasi yang sama antara sel normal dengan jalur

yang digunakan oleh sel ganas. Mutasi dapat terjadi pada setiap gen dan setiap

lokus untaian DNA, menimbulkan berbagai onkogen yang jumlahnya hampir tidak

terbatas (Kresno, 2012, Takahashi, 2011).

Model klasik leukemogenesis mempunyai 2 jenis mutasi yang

dikelompokkan dalam kelas yang berbeda tetapi saling bekerjasama dalam

leukemogenesis (Gilliland &Gribben, 2012, Takahashi, 2011).Kategori I adalah

mutasi yang mengakifkan jalur transduksi sinyal meningkatkan proliferasi dan

atau survival sel progenitor leukemia. Sel progenitor leukemia sebagai contoh:

mutasi yang mengakibatkan aktivasi reseptor tyrosine kinase FLT3 atau aktivasi

jalur sinyal NRAS dan C-KIT. Jenis mutasi kategori ini pada umumnya adalah

point mutation (Owen&Fitzgibbon, 2012, Bejaret al., 2011).Kategori II yaitu

mutasi yang menggunakan jalur transkripsi atau komponen kompleks ko-aktivasi

transkripsi mengakibatkan gangguan diferensiasi dan atau perubahan sifat self-

renewal dari committed progenitor hematopoietic. Kelompok ini yaitu mutasi CBF,

PML- RARA, CEBPA, MLL (tabel 2.2) (Owen&Fitzgibbon, 2012, Takahashi,

2011). Pada umumnya mutasi kategori ini disebabkan translokasi kromosom.

Kresno, 2012 memprediksi bahwa kategori III pada leukemogenesis yaitu mutasi

gen yang terlibat dalam regulasi siklus sel atau apoptosis (tabel 2.2).

Konsep diagnosis molekuler leukemia yaitu mengidentifikasi kelainan gen

mempunyai peran penting dalam mengendalikan berbagai fase pertumbuhan sel

dengan cara mendeteksi perubahan kode gen RNA/DNA yang mempunyai

kelainan. Abnormalitas molekuler pada leukemia dapat dipergunakan untuk

memprediksi prognosis, respon terhadap pengobatan dan mendeteksi sisa sel

leukemik atau MRD (minimal residual disease). Selain dipergunakan untuk

diagnosis, klasifikasi atau subklasifikasi dan penentuan prognosis. Pemeriksaan

abnormalitas sitogenetik pada leukemia dapat digunakan untuk

30

memprediksi keberhasilan pengobatan, transplantasi stem sel, target

terapi, dan pemantauan penyakit.

2.3.1 Mutasi Kategori I (Kelainan yang mengaktifkan jalur transduksi

sinyal)

2.3.1.1 Mutasi Gen Fms-Related Tyrosine kinase 3 (FLT3)

Gen FLT3 adalah reseptor tirosin kinase memainkan peran penting dalam

mengontrol kelangsungan hidup sel, proliferasi dan diferensiasi sel

hematopoitik.Ligan FLT3 dieskpresikan oleh sel stroma pada sumsum tulang, sel

lain, dan faktor pertumbuhan (growth factors) untuk menstimulasi sel punca

proliferasi, sel progenitor, sel dendrit, sel NK. Mutasi gen FLT3 telah dideteksi

sekitar 30% pada AML dan pada pasienALL atau MDS dalam prosentase yang

kecil (Gilliland& Griffin, 2002).

Lokasi gen FLT3 disebut juga FLK2 (fetal Liver Kinase-2), hSTK1 (human

stem Cell Kinase-1) pada pita kromosom 13q12, struktur ikatan membran

berhubungan dengan reseptor tyrosine kinase kelas III seperti KIT, Fms, dan

PDGFR (Platelet-derived growth factor). Menurut penelitian Owen&Fitzgibbon,

2012 peran sinyal FLT3 pada leukemogenesis, gen FLT3 Internal tandem

duplication (ITD), terbentuk dengan FLT3 domain juxtamembrane (exon 14 dan

15), diprediksi mempunyai mutasi terbanyak, diperkirakan 30% dari kasus AML

(Bain,et al., 2011). Pada kasus AML mutasi titik (point mutation) tipe missense

lebih dari 7% mempunyai efek mengaktivasi struktur dari domain tyrosine kinase

dari FLT3 yang berkode exon 20.Mutasi FLT3-ITD dan FLT3 domain kinase

meningkatkan peran aktif protein FLT3, keadaan tersebut didukung ligand-

independent untuk proliferasi dan kelangsungan hidup sel leukemia (Gililand&

Gribben, 2010; Brunetet al., 2008).

31

Mutasi aktivitas onkogen FLT3-ITD merupakan sinyal abnormal termasuk

STAT5 dan menghambat faktor transkripsi myeloid seperti PU.1 dan C/EBPα

(kerangka teori).

Menurut penelitian Shihet al., 2004 insiden terjadinya mutasi melalui jalur

transduksi sinyal (FLT3-ITD dan N-RAS), jumlah kasus MDS yang mengalami

proses transformasi menjadi AML sebanyak 82 kasus; 70 kasus diagnosis MDS-

related AML, 5 kasus mempunyai mutasi FLT3-ITD. 70 kasus tersebut diatas

ditemukan 7 kasus FLT3-ITD dalam proses menjadi AML. Insiden kasus mutasi

FLT3-ITD pada diagnosis MDS secara signifikan lebih kecil dibandingkan dengan

kasus MDS-related AML.Pada kasus yang ditemukan mutasi FLT3-ITD

mempunyai progresivitas menjadi AML dalam waktu lebih cepat dibandingkan

kasus yang FLT3-ITD normal.Pada kasus yang ditemukan mutasi FLT3-ITD

secara signifikan mempunyai harapan hidup lebih pendek dari pada kasus

dengan FLT3-ITD normal. Diagnosis AML dengan mutasi FLT3 adalah bagian

penting pada kasus AML (tabel 2.1, 2.2), karena mempunyai korelasi dengan

prognosis. Menurut Shihet al., 2004 studi pada orang dewasa dan anak

menyatakan bahwa diagnosis AML dengan mutasi FLT3-ITD mempunyai

prognosis buruk (Badar et al., 2014;Klepin et al., 2014).

Implikasi klinik AML dengan mutasi FLT3-TKD masih kontroversi risiko 5 -

7% (tabel 2.3) dan dibutuhkan lebih banyak studi untuk menjelaskan mutasi gen

FLT3-TKD yang memberikan prognosis buruk (Takahashi, 2011). Frekwensi

mutasi FLT3 berbeda dalam subgrup sitogenetik dari AML, frekwensi terbanyak

terutama pada kariotipe normal yaitu 30 – 35% pada kasus AML dengan t(15;17)

(Owen&Fitzgibbon, 2012).

Pada mutasi gen FLT3-ITD dengan kariotipe normal mempunyai

prognosis yang buruk yaitu kekambuhan (relapse) AML yang meningkat,

keadaan tersebut menyebabkan penurunan harapan hidup bebas dari sakit

32

(event-free survival atau EFS) dan hidup sehat (overall survival atau OS)

(gambar 2.7.) Complate Remission (CR) tidak dipengaruhi tetapi menurut

OwendanFitzgibbon pada studi tahun 2012, menunjukkan bahwa durasi waktu

CR secara signifikan menurun pada kasus tersebut.

Pada pemeriksaan aspirasi sumsum tulang hewan coba yang

menggunakan model mutasi FLT3-ITD menyebabkan myeloproliferative disease,

tetapi tidak menyebabkan AML. Menurut penelitian Owen and Fitzgibbon tahun

2012 menyatakan bahwa FLT3-ITDs mempengaruhi EFS (prognosis yang buruk)

(gambar 2.7.).

Gambar 2.7 Frekuensi dan distribusi mutasi NPM1, CEPBA, RUNX1, MLL-PTD, dan FLT3-ITD pada AML dengan karyotipenormal (Owen&Fitzgibbon, 2012).

Menurut penelitian Agersborget al., 2015 bahwa mutasi FLT3, NPM1, dan

WT1 adalah abnormalitas molekuler yang dapat dipergunakan sebagai kriteria

diagnosis pasien AML yang obyektif lebih baik dari pada aspirasi sumsum tulang.

Mutasi tersebut telah dideteksi sebanyak 49% pada pasien AML. Peneliti ini

menunjukkan bahwa diperkirakan 50% dari pasien AML dapat dibuat diagnosis

dengan mendeteksi abnormalitas melekuler, tidak memperhatikan morfologi

sumsum tulang.

33

2.3.1.2 Mutasi Gen RAS(rat sarcoma)

Mutasi pada semua gen RAS kromosom homologus, N-RAS, KRAS dan

HRAS, menempati codon 12, 13 dan 61. Semua protein RAS (p21ras), NRAS

adalah anggota keluarga RAS superfamily dari GTPase. Aktivasi mutasi exon 2

(codon 12/13)(1p13.2), exon 3 (codon 61), and exon 4 (codon 146) antara lain

ditemukan pada Myeloid leukemia (14%) (Colicelli, 2004).

Pengikatan RAS berinteraksi dengan protein sasaran (RAF-1,

Phosphatidylinositol-3 kinase), SOS mengaktivasi RAS sebagai respon terhadap

faktor pertumbuhan. Pengikatan GTP pada protein RAS membentuk kompleks

GTP-RAS melalui interaksi protein lain yaitu GTPase-activating protein (GAP).

Ikatan GTP-RAS ini akan segera inaktif menjadi bentuk GDP-RAS. Aktivitas

GTPase dari RAS meningkat kalau ada interaksi dengan protein GAP. Dengan

adanya point mutation pada gen RAS akan menurunkan aktivitas GTPase,

akibatnya ikatan GTP-RAS akan inaktif secara perlahan-lahan sehingga akan

menimbulkan respon seluler yang berlebihan terhadap sinyal dari

reseptor.Jumlah protein RAS aktif yang dapat meningkatkan kemungkinan

transformasi, Kompleks GTP-RAS akan mentransmisikan sinyal di dalam sel.

Point mutation pada gen RAS banyak ditemukan pada berbagai tumor termasuk

kanker darah (tabel 2.8) (Yusup, 2008).

Mutasi NRAS adalah mutasi RAS yang paling sering pada AML,

terdeteksi antara 10% - 30% dari kasus (Owen&Fitzgibbon, 2012; Hoffman et al.,

2013). Pada tahun 2011 Takahashi menyatakan bahwa gambaran klinik mutasi

gen NRAS tidak secara signifikan mempengaruhi OS (over all survival), EFS

(event-free survival), dan DFS (disease-free survival), mempunyai insiden 10,3%

pada kasus AML (tabel 2.2). Shihet al., 2004, menyatakan bahwa mutasi FLT3

atau NRAS menunjukkan progresivitas MDS untuk menjadi AML yaitu 30% dari

semua kasus MDS.

34

Fungsi jalur RAS-RAF-MAP-kinaseadalah meneruskan sinyal dari

lingkungan ekstraseluler ke dalam nukleus dimana gen spesifik diaktifkan. Faktor

pertumbuhan (Epidermal Growth Factor) akan menyebabkan dimerisasi reseptor,

kemudian akan terjadi autofosforilasi tyrosine. Selanjutnya tyrosine yang

terfosforilasi akan bertindak sebagai tempat ikatan berafinitas tinggi bagi suatu

protein adaptor bernama Growth factor receptor-bounds2 (GRB2). GRB2 yang

mengandung domain SH2 dan SH3, protein ini tidak bertindak sebagai enzim

tetapi berfungsi menfasilitasi interaksi protein, termasuk interaksi yang

menghasilkan aktivitas RAS oleh GEF (guanine nucleotide exchange factors).

Varian onkogenik RAS mempunyai sifat resisten terhadap GAP (GTPase-

activating proteins) sehingga hidrolisis GTP terhambat, sehingga terjadi

akumulasi RAS dalam bentuk aktif. Jumlah protein RAS aktif yang dapat

meningkatkan kemungkinan transformasi. RAS berada dalam keadaan aktif

berinteraksi dengan protein sasaran misalnya RAF-1 protein kinase dan

Phosphatidylinositol-3 kinase (PI3K). GEF merupakan regulator positif bagi RAS.

SOS dalam hal ini mempunyai peran penting dalam aktivasi RAS sebagai respon

terhadap stimulasi faktor pertumbuhan protein-tyrosine kinasereseptors(PTKRs).

RAF diaktifkan oleh RAS, kemudian mengalami fosforilasi dan mengaktivasi

kinase-kinase lain disebut Mitogen-activated protein kinase kinase

(MEK/MAPKK). MEK memfosforilasi dan mengaktifkan extracellular signal-

regulated kinase (Erk1) dan Erk2 (MAPKs), Mitogen-activated protein kinase

(MAPK) mem-fosforilasi kinase dalam sitoplasma yang mengatur faktor translasi

maupun faktor transkripsi dalam nukleus (gambar 2.8.) (Owen&Fitzgibbon, 2012;

Ahearnet al., 2012).

RAF(sorafenib) dan MAPK bukan satu-satunya sasaran dari RAS, banyak

efektor RAS yang lain, di antaranya jalur survival PI3K (Phosphatidylinositol 3-

35

kinase), dan jalur c-Jun N-terminal kinase (JNK) (Owen&Fitzgibbon, 2012,

Budiasih, 2012).

RAS diprediksi adalah target potensial untuk pengobatan pada AML.

Farnesyl transferase inhibitors (FTIs) adalah obat yang bekerja pada target

farnesyl dari protein RAS. Pada modifikasi protein post translasi penting sebagai

mediator transformasi sel. Menurut laporan studi Owen and Fitzgibbon tahun

2012 menyatakan bahwa nonpeptidometric FTI tipifarnib digunakan sebagai

ketentuan kemoterapi standar yaitu kombinasi idarubicin dan cytarabine, dapat

memperbaiki hasil pengobatan dibandingkan dengan kontrol yang konvensional

(Owen&Fitzgibbon, 2012).

Gambar 2.8 Siklus GDP – GTP dari RAS (dikutip dari: Ahearn, 2012),

Keterangan gambar: a. SOS mengaktifkan RAS dengan meningkatkan pengikatan RAS pada GTP

dengan bantuan GEFs (guanine nucleotide exchange factors). Ikatan RAS

dengan GTPase dari RAS ditingkatkan melalui interaksi dengan protein lain

yang dikenal sebagai GTPase-activiting protein (GAP). Interaksi ini

mengakibatkan hidrolisis GTP menjadi GDP.

b. RAS berada dalam keadaan aktif, RAS dapat berinteraksi dengan protein

sasaran misalnya RAF-1 protein kinase dan Phosphatidylinositol-3 kinase

(PI3K). GEFs merupakan regulator positif bagi RAS. SOS dalam hal ini

mempunyai peran penting mengaktivasi RAS sebagai respon terhadap

stimulasi faktor pertumbuhan protein-tyrosine kinase (PTKRs). Dalam

perannya ini SOS bergabung dengan protein yang mengandung

36

phosphotyrosine melalui molekul adaptor Growth factor receptor-bound 2

(GRB2) yang mengandung domain SH2 dan SH3. Protein ini tidak bertindak

sebagai enzim tetapi berfungsi membantu interaksi protein, termasuk

interaksi yang menghasilkan aktivitas RAS oleh GEF. Varian onkogenik RAS

mempunyai sifat resisten terhadap GAP sehingga hidrolisis GTP terhambat,

sehingga terjadi akumulasi RAS dalam bentuk aktif. Jumlah protein RAS aktif

yang dapat meningkatkan kemungkinan transformasi.

c. Multiplex regulasi dan sinyal RAS. Famili terdiri dari GEFs, GAPs dan

effectors dilaporkan meregulasi RAS atau transmisi dari RAS-GTP. CAPRI

(Calcium Promoted RAS Inactivator); GAP1(IP44BP); GAP1(InsP4)-pengikat

protein; MEK( MAPK/ERK kinase); NF1(Neurofibromin1); PLCƐ

(phospholipase CƐ); PI3K (phosphoinositide 3-kinase); RALGDS (RAL

guanine – nucleotide dissociation stimulator); RASAL (RASGAP-activating-

like); RASGRF (RAS-specific guanine-nucleotide-releasing factor); RASGRP

(RAS-specific guanine-nucleotide-relesing protein); RASSF (RAS association

domain-conteining family); RIN1 ( RAS and RAB interactor1); SYNGAP

(synaptic RASGAP); TIAM1 (T lymphoma invasion and metastasis-inducing

1) (kresno, 2012, Ahearnet al., 2012) .

Pada sel kanker, migrasi dari sel juga dipengaruhi oleh beberapa gen

yang terlibat. Salah satu dari gen tersebut adalah Ras superfamili dari small

GTP- binding protein merupakan gen yang paling banyak dipelajari. Ras

superfamili ini terdiri dari 30 jenis antara lain: Rho, Ras, Arf/sar 1 dan Rab/Ran

subfamily (Lumongga, 2008; Colicelli, 2004).

AML menghambat maturitas sel sehingga proses diferensiasi seri myeloid

berhenti pada sel-sel muda (blast) sehingga terjadi akumulasi blast di sumsum

tulang. Keadaan ini akan menyebabkan gangguan hematopoisis normal dan

selanjutnya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang yang

ditandai dengan adanya sitopenia. Selain itu sel-sel bast yang terbentuk juga

punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke

organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak, dan sistem saraf pusat serta

merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.

2.3.2 Mutasi Kategori II (Mutasi faktor transkripsi)

Faktor transkripsi memegang peranan utama pada diferensiasi berbagai

jenis sel termasuk sel hematopoitik. Kresno, 2012 menyatakan dalam studinya

37

bahwa faktor transkripsi hematopoitik dapat terlibat dalam interaksi berbagai

protein yang kompleks dan spesifik dapat menjadi petanda jenis sel dan stadium

diferensiasi. Dalam sistem hematopoisis, sel induk (stem cell) mengalami proses

menjadi sel progenitor multipotensial yang selanjutnya menjadi sel hematopoitik

normal. Proses tersebut diatas diatur oleh gen tertentu yang menyandi faktor

transkripsi. Perubahan struktur gen ekspresi dan yang menyandi faktor

transkripsi, dapat mengakibatkan fungsi faktor transkripsi terganggu dan terjadi

transformasi sel (Kresno, 2012;Takahashi, 2011).

2.3.2.1 Core-binding factor (CBF) leukemia

Core-binding factor (CBF) adalah regulator utama pada hematopoisis dan

sering menjadi target translokasi kromosom dihubungkan dengan leukemia

(Owen and Fitzgibbon, 2012). Faktor transkripsi ini tersusun dari dua subunit,

subunit α dikode RUNX1 disebut juga runt-related transcription factor 1, AML1

(acute myeloid leukemia 1), dan subunit β dikode CBFB (core binding factor B).

Gen RUNX1 terdiri dari 9 exons dan spans lebih dari 150 kb. Kode Runt domain

sebagai bagian dari exon 3, exon 4, dan exon 5.Lokasi kromosom dari AML1

adalah pada kromosom 21q22, sedangkan AML2 dan AML3 berada pada

kromosom regio 1p36 dan 6p21 (Juniarka, 2011, Taniuchi et al., 2012).Hilangnya

homozigot dari fungsi RUNX1 atau CBFB pada binatang percobaan (tikus yang

telah direkayasa genetika) tidak mempunyai sistem hematopoisis yang definitif,

keadaan tersebut menerangkan bahwa kedua komponen dari CBF diperlukan

untuk mengembangkan sistem hematopoitik normal.CBF AML adalah subtipe

yang relatif sering pada AML dewasa, diklasifikasikan dalam kategori risiko baik.

Kasus AML de novo antara 7% dan 12%, mempunyai t(8;21) dimana gen RUNX1

fusi menjadi RUNX1T1 (ETO), sedangkan 10-12% kasus lain mempunyai

inv(16)/t(16;16) dimana CBFB fusi menjadi MYH11. Gen partner CBF dalam

38

setiap kasus mempunyai dasar aktivitas menuju ekspresi tetap RUNX1-

RUNX1T1 (AML-ETO) atau protein melebur menjadi CBFβ-MYH11,

menyebabkan anggota dari kompleks membantu menekan dan gen ekspresi

rendah mengatur kompleks CBF (Owen&Fitzgibbon, 2012; Ley et al., 2013).

Leukemia ditemukan rata-rata jauh lebih tinggi pada keluarga dengan

dominan kuat mutasi K83E (57%) dibanding dengan delesi lengkap RUNX1

(24%), Oleh karena itu, aktivitas rendah RUNX1 sepertinya berhubungan dengan

tingginya leukemogenisitas.Hipotesa diperluas ke arah leukemogenesis yang

diinduksi oleh chimeric genes.Penelitian terbaru kebanyakan mengindikasikan

bahwa fungsi utama dari chimeric genes adalah inhibisi transdominan dari wild-

type RUNX1, menyebabkan turunnya aktivitas RUNX1 secara drastis di sel yang

terpengaruh. Sekarang lebih dari 10 partner gen yang ber fusi dengan RUNX1

telah diidentifikasi di dalam translokasi kromosom. Setiap chimeric gene mungkin

mempunyai mekanisme leukemogenesis nya sendiri, kekurangan RUNX1

mungkin menjadi mekanisme yang sama pada leukemia dengan mutasi RUNX1.

Diterimanya trisomy 21 menggarisbawahi gagasan ini.RUNX1 +/-

mutant alleles seperti sering diduplikasi. Penemuan ini bisa menjadi bukti

tambahan terhadap hipotesa bahwa berkurangnya aktivitas RUNX1

meningkatkan status leukemogenic(Osato, 2004).

Data terbaru dari studi in vitro dan model hewan transgenic

menunjukkan alur dominant-negative untuk fusi gen. RUNX1-RUNX1T1 berperan

sebagai dominant-negativeinhibitor dari wild type CBF dengan transkripsi fusi

yang mempertahankan DNA dari RUNX1 dan domain heterodimerization tetapi

kurangnya aktivasi domain transkripsi C-terminal. Mekanisme dari aktivitas

dominant-negative pada fusi CBFβ-MYH11 tidak jelas, tetapi semua mencegah

transaksi dari target CBF. Namun, sudah jelas bahwa translokasi saja tidaklah

cukup untuk menghasilkan fenotif leukemia. Contohnya, kondisi alel untuk

39

RUNX1-RUNX1T1 ditunjukkan dalam hematopoitik progenitor dewasa yang tidak

cukup untuk menyebabkan AML, tetapi hasil menunjukkan Myeloproliferative

phenotype.Pada kasus tikus percobaan memberikan binatang tersebut perlakuan

dengan paparan chemical muntagens untuk menjadi fenotif AML

(Owen&Fitzgibbon, 2012; Kresno, 2012; Aggrawalet al., 2007).

2.3.2.2 Mutasi gen PU.1

Faktor transkripsi PU.1 kode dari gen Sfpi1 (spleen focus-forming virus

proviral integration/Purine-rich DNA) diferensiasi myelomonocytic selama

hematopoisis normal dan sebagai regulator yang mempunyai komitmen pada

progenitor multipotent hematopoiesis (gambar 2.9.) (Hoffman et al.,

2013).Menurut Kresno, 2012 menyatakan pengaturan ekspresi mRNA PU.1

memegang peran penting dalam komitmen sel progenitor multipotensial menjadi

sel myeloid, maupun diferensiasi dan maturasi sel selanjutnya (gambar

2.9.)(Provan& Gribben, 2012; Kresno 2012; Takahashi, 2011). Abnormalitas

pada level ekspresi PU.1 adalah leukemogenik. Pada penelitian Hoffamanet al.,

2013 menyatakan bahwa tikus ekspresi gen Sfpi1 sebagai regulasi kontrol

transkripsi pada bagian distal upsteam regulatory element (URE) itu sebagai

penyelamat yang efektif, tetapi penurunan URE dapat menurunkan ekspresi

PU.1 sampai 80% pada sumsum tulang dan dapat berkembang menjadi AML.

Peneliti tersebut diatas menyatakan bahwa menurunnya level PU.1 masih cukup

untuk mendukung kelangsungan progenitor myeloid, sehingga mengganggu

regulasi dari ekspresi beberapa reseptor sitokin. Pada kasus AML telah

dilaporkan penekanan transkripsi PU.1 yang mengekspresikan fusi gen PML-

RARα atau mutasi internal tandem duplication FLT3 (FLT3-ITD), dan AML1-ETO,

fungsi PU.1 tidak aktif oleh karena ditempat itu tidak ada ko-aktivasi JUN

(Hoffmanet al., 2013; Provan& Gribben, 2012; Kresno 2012).

40

Gambar 2.9 Faktor transkripsi AML-1 dan leukemogenesis(Dikutip: Kresno,

2012).

Keterangan:

PU.1 menurun atau tidak aktif maka deferensiasi terhambat pada sel

mielosit dan monosit.

2.3.2.3 Mutasi gen NPM1

Faliniet al., 2005, mutasi gen Nucleophosmin member 1 (NPM1) pertama

kali di laporkan, mutasi NPM1 terjadi pada exon 12, dengan prosentase lebih dari

95% terdiri dari 4-bp insersi di posisi 960. NPM1 lokasi pada kromosom pita

5q35, nucleus-sitoplasma dikode gen yang mana mempengaruhi protein terdiri

dari agregasi nucleus protein, regulasi dari berkumpulnya protein ribosomal,

inisiasi duplikasi centrosome dan regulasi dari p53 (onco-suppressors) dari

nucleus ke sitoplasma mungkin akan menjadi transformasi ke ganas. Mutasi

NPM1 ditemukan pada kira-kira 35% penderita dewasa dengan AML (tidak

termasuk hasil mutasi NPM1, pada bagian protein NPM1 dalam sitoplasma) dan

sering terjadi abnormalitas genetik ditemukan pada AML dengan kariotipe normal

(CN). Pemikiran bahwa NPM1 mempunyai fungsi supresor tumor, kerusakan

yang berada di lokasi subseluler dan dikorelasikan dengan rata-rata CR

(complete remission) yang signifikan setelah dilakukan kemoterapi. Jumlah kasus

AML dengan kariotipe normal antara 60 – 80% ditemukan gen mutasi NPM1

dapat membantu prognosis kasus AML dengan kariotipe normal (CN) (Hoffmanet

al., 2013;Falini & Bolli, 2009).

41

Owen and Fitzgibbon, 2012 menyatakan bahwa kasus AML dengan

kariotipe normal sering terjadi abnormalitas gen NPM1 antara 45 – 55%.Mutasi

NPM1 adalah tipe heterogenus dan dibatasi pada exon 12. Pada saat NPM1

disitoplasma dideteksi menggunakan imunohistokimia untuk prediksi mutasi

NPM1 pada AML (Tanet al., 2008) dan keadaan mutasi NPM1 dihubungkan

dengan prognosis yang lebih baik, deteksi mutasi NPM1 mungkin menggunakan

alat yang lebih baik sehingga dapat memprediksi meskipun minimal monitoring of

minimal residual (MRD) (Tanet al., 2008; Hoffmanet al., 2013; Owen& Fitzgibbon,

2012).

Hoffmanet al., 2013 menyatakan bahwa mutasi NPM1 berhubungan

dengan mutasi gen FLT3-ITD, dan FLT3-TKD, tetapi pada penelitian

ditemukanmutasi gen NPM1 dengan FLT3-ITD insiden 60%. Menurut Owen&

Fitzgibbon, 2012 bahwa Insiden mutasi NPM1 dengan mutasi FLT3-ITD

diperkirakan 40%. Mutasi NPM1 sebagai petanda prognostik, hal tersebut telah

dikonfirmasi oleh beberapa peneliti Kejadian yang tidak perlu diragukan yaitu

kasus dengan mutasi NPM1c+/wild-type FLT3 mempunyai prognosis lebih baik

dibandingkan dengan kasus AML dengan kariotipe normal.Pada kasus tersebut

mendapatkan keadaan EFS dan OS dengan pengobatan kemoterapi

konvensional, keadaan itu hampir sama dengan leukemia CBF. Owen and

Fitzgibbon, 2012 menyatakan bahwa mutasi NPM1 dibatasi hanya pada

penderita yang tidak mempunyai mutasi FLT3-ITD.

Pada awal penelitian menunjukkan bahwa mutasi NPM1 sangat stabil

yaitu pada diagnosis dan relapse, dengan demikian memungkinkan menegakkan

kejadian primer pada leukemogenesis. Selanjutnya FLT3 atau mutasi sekunder

yang lain memerlukan pemicu untuk berkembang menjadi AML

(Owen&Fitzgibbon, 2012; Tanet al., 2008). Mutasi NPM1 akan menimbulkan

berbagai gambaran biologis dan klinis membentuk fusi dengan gen yang lain

42

dalam leukemogenesis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa genotip mutan

NPM1 tanpa mutasi FLT3-ITD menunjukkan prognosis lebih baik dibandingkan

genotip mutan NPM1 disertai mutasi FLT3-ITD.Pada saat ini beberapa jenis

inhibitor FLT3 sedang dilakukan uji klinik, mungkin dikemudian hari dapat

dipergunakan untuk terapi (Owen&Fitzgibbon, 2012, Young, 2012, Tanet al.,

2008).

2.4 Patomekanisme MDS

2.4.1 Abnormalitas sitogenetik

Abnormalitas molekuler dan sitogenetik yang terjadi pada MDS adalah

penting, terutama memahami sitogenetik untuk mendeteksi kromosom yang

abnormal.Abnormalitas sitogenetik dapat terjadi single atau complex yang

abnormal (lebih dari tiga kromosom abnormal).abnormalitas tersebut membentuk

fusi gen dan mutasi kromosom yang tidak seimbang.

Pada MDS abnormalitaskromosom dapat sebagian atau keseluruhan yang

hilang, pada umumnya - 5, 5q -, - 7, 7q -, 11q -, 13q -, 20q - dan -Y (gambar

2.1.).Jarang material kromosom bertambah dan maksimal terbesar +8, contoh:

trisomy 8 (+8) adalah penambahan kromosom yang sering terjadi pada MDS.

Keadaan tersebut mempunyai nilai prognostik dan kontribusi untuk patogenesis

MDS, kromosom yang hilang akan menjadi pertimbangan karena menyebabkan

tumor-suppressor genesatau haploinsufficiensyofgenesdiperlukanuntuk

hematopoisis yang normal(Montalban-Bravo & Gracia-Manero, 2018).

Van Den Berghe menetapkan sindrom-5q sebagai kesatuan klinis yang

terdapat pada MDS (1974), pada saat dia menemukan pasien dengan anemia

makrositik, thrombositosis, diseritropoisis, megakariositik yang hipolobulasi dan

delesi kromosom 5 del(5q). Delesi kromosom 5 del(5q) sebagai abnormalitas

sitogenetik merupakan bagian dan mewakili penentuan kerusakan molekuler

43

yang mendasari pathogenesis MDS. Myelodysplastic Syndrome (MDS) yang

mempunyai prevalensi 15% dari penderita MDS mempunyai semua kasus

dengan gambaran klinik tersebut diatas. Dalam perbandingan dengan subtipe

MDS yang lain, dapat dikarakterisasi adanya del(5q), hapusan sumsum tulang <

5%, insiden perempuan lebih besar dan prognosis baik karena mempunyai risiko

yang rendah untuk transformasi menjadi leukemia (Berghe et.al., 1974;

Mohamedali & Mufti, 2008).

Abnormalitas sitogenetik diperkirakan 30 – 50% dari MDS primer, dan

MDS sekunder mempunyai prevalensi 80%disebabkan pengobatan antara lain:

kemoterapi keganasan penyakit yang lain. MDS primer adalah penyakit yang

belum diketahui faktor predisposisi dan terjadi sporadik, sedangkan MDS-related

AML jarang didapatkan yang bersifat keturunan. Kasus MDS mempunyai faktor

risiko terjadi mutasi (contoh : fusi dua gen, RUNX1 dan CEBPα). MDS sekunder

terjadi seperti keracunan kronik karena pengobatan kanker, kombinasi dari

radiasi dan radiometricalkylating agent (busulfan, nitrosourea) (Ceesayet al.,

2012; Young, 2012).

MDS dalam perjalanannya menjadi AML, maka semua abnormalitas

sitogenetik yang ditemukan pada MDS juga ditemukan pada AML, walaupun

keberadaannya mempunyai Insiden yang berbeda-beda. Bagaimana memastikan

translokasi yang seimbang seperti yang ditemukan pada AML, contoh : t(15;17),

inv(16) dan t(8;21), kelainan tersebut diatas sangat jarang ditemukan pada MDS

(gambar 2.2.) (Ceesayet al., 2012).

2.4.2 Abnormalitas molekuler MDS

2.4.2.1 Gen mutasi RAS

Semua protein RAS memiliki ikatan dengan guanosine triphosphate

(GTP) bahwa ikatan tersebut adalah sinyal utama intraseluler. Protein RAS

44

berada antara GTP dan ikatan guanosine diphosphate (GDP), ikatan GDP RAS

tidak dapat mengaktivasi jalur transduksi sinyal (Owen&Fitzgibbon,

2012).Keadaan inaktif, GDP-berikatan RAS diaktifkan oleh GEF, menginduksi

pelepasan GDP kemudian RAS berikatan dengan GTP. Gen RAS menjadi aktif,

aktivitas GTPase dari RAS ditingkatkan melalui interaksi dengan protein yang

dikenal dengan GTPase-activiting protein (GAP). Interaksi ini mengakibatkan

hidrolisis GTP menjadi GDP. RAS menjadi inaktif, GDP dalam keadaan bound

state(Ahearnet al., 2012, Kresno, 2012).

RAS berada dalam keadaan aktif, RAS dapat berinteraksi dengan protein

lain misal RAF-1 protein kinase. SOS mempunyai peran penting mengaktivasi

RAS sebagai respon terhadap simulasi faktor pertumbuhan (Growth factor) pada

protein-tyrosine kinase (PTKRs). Dalam perannya SOS bergabung dengan

protein yang mengandung phosphotyrosine melalui molekul adaptor GBR2 yang

mengandung domain SH2 dan SH3. Protein ini berfungsi sebagai fasilitas

interaksi protein antara lain GEF aktivasi RAS. Jalur RAS adalah yang terbaik

dan menjadi disregulasi pada keganasan (Ahearnet al., 2012;Gelsi-Boyer et al.,

2008).Insiden mutasi NRASpada MDS dilaporkan bervariasi (diperkirakan 10%

pada kasus MDS), sedangkan kasus CMML mempunyai prosentase relative lebih

tinggi.Mutasi NRAS sering ditemukan saat menegakkan diagnosis, selain itu

NRAS didapatkan pada perjalanan penyakit (Ceesayet al., 2012;Montalban-

Bravo &.Gracia-monero, 2018).

2.4.2.2 Gen mutasi yang lain

Pada kasus MDS-related AML adalah secondaryAMLyang faktor

penyebanyadihubungkan dengan MDS dimana terjadi paparan kimia, radiasi,

kemoterapi pada kasus tersebut dibandingkan dengan herediter. Pola bentuk

keturunan merupakan mutasi gen tunggal yang bersifat autosomal dominan.

45

Pada mutasi seringkali dihubungkan dengan sindroma genetik seperti: Diamond-

blackfan anemia (DBA), severe congenital neutropenia. MDS-related AML dapat

juga terjadi melalui mekanisme DNA repair seperti: Fanconi anemia, diperkirakan

35 – 50% kasus usia 40 tahun berkembang menjadi MDS-related AML. Keadaan

tersebut diatas dapat menunjukkan bahwa mutasi genetik pada MDS-related

AML tidak dapat diidentifikasi dari kasus yang sporadik, diduga kedua kasus

mempunyai latar belakang patofisiologi yang berbeda (gambar 2.2.)(Ceesayet

al., 2012).

Internal tandem duplication (FLT3-ITD) adalah mutasi yang jarang pada

MDS, angka kejadian tersebut kira-kira 5% dari kasus dengan stadium lanjut atau

mempunyai risiko yang tinggi untuk berkembang menjadi AML. Gen mutasi AML-

1 jarang didapatkan pada MDS primer (Ceesayet al., 2012). Bains et al., 2011

menyatakan bahwa insiden mutasi FLT3 dan NPM1 pada kasus MDS yaitu 2,0%

dan 4,0%, secara berurutan, dan mutasi dibatasi pada kasus yang mempunyai

risiko intermediate dan tinggi terhadap MDS.

Mutasi JAK2 V617F adalah bagian penting untuk diagnostik MPDs,

karena mutasi gen tersebut mempunyai risiko 90% kasus polisitemia vera,

myelofibrosis primer 50% dan trombositopenia. Overlapping diantara MPD dan

MDS dapat dibedakan dengan baik. Beberapa kasus kromosom 5 adalah

komponen proliferatif, sehingga jumlah trombosit dan leukosit meningkat.Pada

penderita MPDs dapat diprediksi lebih kurang 10% didapatkan mutasi JAK2

V617F. Pada RARS dengan trombositosis (RARS – T) mempunyai prevalensi

kurang lebih 66% didapatkan mutasi JAK2 V617F. Mutasi JAK2 adalah subgrup

penderita MDS yang proliferatif pada sumsum tulang, keadaan tersebut

mengeluarkan sinyal proliferatifmenuju ke dysplastic Haematopoeitic(Ceesayet

al., 2012).

46

2.5 Peran gen RUNX1, NPM1, N-RAS, dan delesi kromosom 5

del(5q)pada MDS

Myelodysplastic Syndrome (MDS) adalah grup penyakit yang ditandai

hematopoitik tidak efektif, pada umumnya karena kegagalan yang terjadi di

sumsum tulang (Walteret al.,2012).Perkembangan kasus MDS lebih kurang 30%

menjadi secondary AML. Secara klinik membedakan antara MDS dan AML

dengan memeriksa morfologi aspirasi sumsum tulang sejak pasien di diagnosis

MDS, yaitu dysplastic hematopoietic dan didapatkan myeloblast kurang dari 20%,

sedangkan diagnosis AML mempunyai myeloblast lebih dari 20%. Keadaan

tersebut perlu dipertimbangkan adanya dua kelainan berbeda yaitu abnormalitas

sitogenetik dan molekuler, tetapi kelainan ini tidak dapat memastikan atau

mempredikasi MDS secara menyakinkan berkembang menjadi AML (Walteret al.,

2012).

Latar belakang progresivitas dari cellular dysplasia menjadi kanker

menunjukkan adanya mutasi genetik dan telah banyak dipelajari dengan intensif

pada epitel dan jaringan (contoh: colon dan oropharynx). Pada perkembangan

MDS-related AML sampai sekarang tidak dimengerti kapan dan keadaan mutasi

gen tertentu berkembang dari MDS menjadi secondary AML.Candidate-gene

resequencing diidentifikasi ada beberapa gen yang kemudian menjadi recurrent

mutations selama perkembangan dari MDS menjadi secondary AML antara lain :

Fms-related tyrosine kinase 3 gene (FLT3) risiko mutasi FLT3-ITD 21-

24%;mutasi Nucleophosmin 1 (NPM1) 27,5-35,2%; mutasi runt-related

transcription factor 1 (RUNX1) 5,6%, sitogenetiknormal(CN) or non kompleks

karyotipe AML 32,7%; N-RAS 10,3% dan Tumor protein p53 (TP53) , tetapi

prediksi tentang berapa kali mutasi dan distribusi gen mutasi pada penyakit

sangat terbatas(Walteret al., 2012; Bejaret al., 2011; Takahashi, 2011).

47

Therapy-related (t)-MDS/AML didapatkan sebanyak 10-20% dari kasus

yang didapat. Dua grup besar dikenal sebagai alkylating agentsatau dikaitkan

dengan radiasi dan topoisomerase II inhibitor. Pada grup MDS atau AML

berkembang dalam 5-6 tahun diikuti dari paparan sampai terjadi leukemogenesis

dan risiko akan meningkat dikaitkan dengan total dosis kumulatif paparan. Pada

grup tersebut waktu tercepat periode laten 12-130 bulan, prevalensi dihubungkan

dengan keseimbangan translokasi dan AML dengan sedikit fase dysplastic

(Ceesayet al., 2012).

Mutasi dibagi dalam tiga kelas digambarkan pada (t)-MDS/AML faktor

mutasi kelas satu yaitu melibatkan tyrosine kinase gen RAS atau BRAF pada

jalur transduksi sinyal seperti FLT3, C-KIT, c-FMS atau JAK2, atau downstream

pada RAS-BRAF-MEK, Erk; jalur transduksi sinyal seperti N-RAS, K-RAS, BRAF

atau protein-tyrosine phosphatase (PTPN11/Shp2), terjadi proliferasi tidak

terkendali (Michaudet al., 2008). Mutasi kelas dua yaitu melibatkan inaktivasi

mutasi gen faktor transkripsi hematopoitik seperti RUNX1, NPM1 atau RARα

mengganggu diferensiasi(deferensiasi terhambat) (Takahashi, 2011). Kelas tiga

yaitu mutasi yang melibatkan tumor-supressor gen p53 dilakukan studi yang

serius untuk solid tumors, MDS-related AML.

Pada mutasi genetik tunggal didapatkan insiden t-MDS/AML 20-30%,

pada umumnya kasus dengan mutasi p53 diikuti abnormalitas sitogenetik yang

kompleks, mempunyai prognosis buruk.Fusi bersama terjadi pada mutasi kelas

satu dan kelas dua, tetapi tidak dengan setiap kelas yang berbeda (Ceesayet al.,

2012; Takahashi, 2011; Michaudet al., 2008).

Perubahan keseimbangan homeostatik karena faktor lingkungan makro

(paparan radiasi, kimia) dan mikro (faktor imunitas), dapat mempengaruhi

abnormalitas sitogenetik dan molekuler. Abnormalitas tersebut akan menjadi

gangguan pada siklus hematopoitik yaitu transkripsi PU.1. PU.1 memegang

48

peran penting pada sel progenitor multipotensial, jika terhambat pada tingkat

precursor, hambatan PU.1 menyebabkan proliferation drive karena abnormalitas

molekuler faktor transduksi sinyal FLT3, N-RAS, dan deferentiation arrestterjadi

padaabnormalitas molekuler faktor transkripsi RUNX1, NPM1(Hoffmanet

al.,2013). Deferentiation arrest meningkatkan jumlah myeloblast, jika 3 (tiga) atau

lebih gen terjadi mutasi akan berkembang menjadi AML. Anemia (anemia

megaloblastik, sideroblastik) dan radikal bebas mempengaruhi Apoptosis

(proapoptotik), selanjutnya mempengaruhi sel CD34+ displastik berkembang

menjadi MDS dan mengakibatkan hambatan apoptosis akan menginduksi

transformasi ganas, akhirnya berkembang menjadi AML(gambar 2.10).

Abnormalitas sitogenetik ditemukan pada MDS yaitu delesi kromosom 5 del(5q),

kelainan tersebut didapatkan pada AML dalam insiden (prosentase) yang

berbeda (tabel 2.3), tetapi beberapa translokasi t(15;17), i(16), t(8;21) tidak

didapatkan pada MDS, keadaan ini dapat dipergunakan untuk membantu

mengetahui perubahan MDS-related AML.

Menurut Horriganet al., 1996 (tabel 2.3) menyatakan bahwa pada kasus

MDS dalam proses AML (antara lain t-MDS, RAEB-t) insiden delesi kromosom 5

del(5q) 65-100%, sedangkan kasus MDS yang tidak dalam proses menjadi AML

(antara lain: RAEB) 6-7%. AML (kriteria FAB M0 – M5) tidak didapatkan delesi

kromosom 5 del(5q), (tabel 2.3; 2.4)(Jiang et al.,2009;Horrigan et al., 1996).

Malloet al.,2008,menyatakan bahwa MDS dengan abnormalitas

sitogenetik delesi kromosom 5 del(5q) menggunakan pemeriksaan

FISH(Flourecene In Situ Hybridization) didapatkan 6% kasus del(5q) yang tidak

jelas (tabel 2.4) dibandingkan dengan imunokaryotyping yang mempunyai

akurasi lebih rendah.

49

Pemeriksaan abnormalitas molekuler tunggal yaitu FLT3, NPM1, RUNX1,

CEBPA, N-RAS dan delesi kromosom 5q del(5q)mempunyai risiko 20 – 30%

mutasi tersebut berkembang menjadi MDS-related AML(Walteret al., 2012;

Bejaret al., 2011; Takahashi, 2011;Luzzatto& Kadardimitris, 2010;Alcindor&

Bridges, 2001; Malloet al., 2008).

Tabel 2.2 Membandingkan antara abnormalitas genetik dan sitogenetik

yang ditemukan pada MDS dan AML (dikutip dari Horriganet al.,

1996)

50

Pasien No. Umur/ jenis kelamin

Diagnosis Partial Karyotype* %dengan † del(5)

Hasil PCR ‡

Cases presenting with MDS

1 68/M RAEB – T inv(9)p11q13)c,2-138

dm

-- Tidak hilang

2 28/F RAS del(5)(q13q33), others 6% Tidak hilang

3 54/F RAEBS 46 XX -- Tidak hilang

4 62/M RAEBS 46 XY -- Tidak hilang

5 77/F MDSS del(s)(q15q35) 100% Hilang

6 55/M t-MDSS§ dic(5;17)(q11;p11) 95% Hilang

7 61/M RAEBS 46 XY -- Tidak hilang

8 68/M RAEB del(s)(q13q33),-7,

others

7% Tidak hilang

9 86/M tMDS del(11)(q14,q24) -- Tidak hilang

10 57/F RAEB-T§ -7;+21 -- Tidak hilang

11 74/M MDSS inv(3)(q21q26,

i(17)(q10))

-- Tidak hilang

12 69/F t-MDS§ del(5)(q13q33),

del(12)(q22q24.1)

100% Hilang

13 79/M MDS§ del(5)(q13q35) 65% Hilang

14 65/M RAEB-T§ 46 XY -- Tidak hilang

15 65/F MDSS t(11;19)(q23;p13.3) -- Tidak hilang

16 85/M RAEB del(20)(q11q13) -- Tidak hilang

17 77/M RAEB-T 46 XY -- Tidak hilang

Cases presenting with AML

18 25/M M2 del(9)(q12q22) -- Tidak hilang

19 45/F M6 46 XX -- Tidak hilang

20 47/F M0 -5, -7, others 91% Loss

21 58/F M1 del(7)p(10) -- Tidak hilang

22 47/M M3 t(15;17)(q22q11.2) -- Tidak hilang

51

23 38/F M4Eo inv(16)(p13q22) -- Tidak hilang

24 48/M M5 del(7)(q31q36, t(6;11)) -- Hilang

25 66/M M6 del(5)(q15q33),-7,

others

100% Hilang

26 55/M AML inv(3)(q21q26) -- Tidak hilang

27 64/M M1 46 XX -- Tidak hilang

28 69/M M4 46 XY -- Tidak hilang

29 80/M MO t(14;14)(q11q32),+10 -- Tidak hilang

Keterangan:

Singkatan: MDS(Myelodysplasia); t-MDS, therapy-related-Myelodysplasia (muncul setelah kemoterapi cytotoxic); AML (acute myeloid leukemia); t-AML(acute myeloid leukemia muncul setelah kemoterapi cytotoxic chemotherapy untuk kanker lain); RA refrakter anemia dengan excess blasts; RAEB-t,refrakter anemia with excess blasts dalam transformasi *complete karyotypetidak ditampilkan; hanya yang ditemukan abnormal pada tabel

diatas † prosentase total metaphase yang membawa abnormal chromosome 5 -5, del(5q),

atau dic(5) ketika terdeteksi ‡ hilang: kehilangan heterozygotsity paling sedikit satu penanda informatif, tidak

ada kehilangan: heterozygosity terdeteksi pada penanda informatif. § MDS berkembang menjadi AML

Tabel 2.3 Flourescence In Situ Hybridization dapat memperbaiki pemeriksaan delesi 5q31 pada kasus myelodysplastic Syndrome tanpa membuktikan kelainan 5q- (dikutip dari Mar Mello, et al., 2008)

52

Data morfologi dan cytogenic dari pasien sindrom myelodysplastic dengan alterasi

5q yang terdeteksi hanya oleh FISH.

Kasus FAB WHO Karyotype oleh banding

cytogenetics konvensional

Prosentase

penyimpangan inti

(%)

Analisis Metafase

FISH (diubah/ analisis

total metaphase)

Morfologi ‘5q-syndrome’

1 RAEB 5q- syndrome

Tidak ada metafase 35 NA Tidak diketahui

2 RA 5q- syndrome

Tidak ada metafase 42 NA Tidak diketahui

3 RAEB 5q- syndrome

Tidak ada metafase 95 NA Tidak diketahui

4 RAEB-1 AML

46,XX,add(2)(p22),-5,-11, del(12)(q13),add(18)(q23), add(19)(q13),+2mar(20)

99 NA Tidak diketahui

5 RARS RCMD-RS

47,XY,del(5)t(5;17)(q10q10), del(7)(q33),+8,del(12) t(12;13)(p13;q13)[18]/46,XY[2]

90 NA Tidak diketahui

6 RA 5q- syndrome

N20 30 NA Tidak diketahui

7 RAEB RAEB-2

46,XY, t(11;1)(q24;q21)[3]/46,XY[12]

90 NA Tidak diketahui

8 RA - N20 18 NA Tidak diketahui

9 RAEB - N20 60 NA Tidak diketahui

10 RA 5q- syndrome

N1-9 20 NA Tidak diketahui

11 RA 5q- syndrome

N10-19 85 NA Tidak diketahui

12 RA 5q- syndrome

N20 54 NA Tidak diketahui

13 RAEB RAEB-1

46,XX,del(5),t(5,6)(q13;q36), del(6)(q14)[18]/46,XX[2]

90.5 3/5 Tidak diketahui

14 RA 5q- syndrome

N20 8 1/20 Tidak diketahui

15 RAEB-t AML

45,XY,del(1)(q11),5add(7)(q36), del(1;21)(q22;q35)[13]/ 46,XY[4]/polyploidy(id.ad12p)[3]

87 10/10 Tidak diketahui

16 RA -

N20 25 1/3 Tidak diketahui

17 RA 5q- syndrome

N1-9 66 3/7 Tidak diketahui

18 RAEB -

46,XX,-7,+G[18]/46,XX[2] 25 2/10 Tidak diketahui

19 RA 5q- syndrome

46,XY,del(1)(p34)[4]/46,XY[9] 5 0/20 Tidak diketahui

20 RA 5q- syndrome

Not evaluable 70 NA Ya

21 RA 5q- syndrome

Not evaluable 62 NA Ya

53

22 RA 5q- syndrome

Not evaluable 52 NA Ya

23 RAEB RAEB-2

50,XX,+8,+11,add(11),(p13), +mar[15]/46,XX[7]

53.5 NA Tidak

24 RAEB -

49,XY,+2,+3,-7,+12 +mar[12]/46,XY[6]

72.5 NA Tidak

25 RAEB RAEB-2

No metaphases 44.5 NA Ya

26 RA 5q- syndrome

N20 50 3/3 Ya

27 RARS 5q- syndrome

No metaphases 21 NA Ya

28 RAEB RAEB-2

N20 14 1/1 Ya

29 RA 5q- syndrome

N10-19 18 6/7 Ya

30 RA RA

No metaphases 7 NA Ya

31 RA CRDM

No metaphases 30 NA Ya

32 CMML MDS/MPD CMML

46,XY,T(3;5)(p21;q14)[11] 50 NA Ya

33 Unkown -

45,X,-Y[21]/42,XY,5,-7,-8, t(15;?)(p13;?),-16,-17, add(17)(p13),+mar[21]/46,XY[8]

53.5 10/10 Tidak diketahui

34 Unkown -

45,xy,-5,-17,-21, +2mar[21]/46XY[9]

68 5/7 Tidak diketahui

35 Unkown -

47X,add(Y)(q21),-5,-15,-17 ,18,-21, +22,+5mar[22]/46,XY[8]

35 4/10 Tidak diketahui

36 Unkown -

45,XX,-4,-5,-12,-17, +3mar[4]/46,XX,[26]

38.5 3/10 Tidak diketahui

37 Unkown - No metaphases 40 NA Tidak diketahui

38 Unkown N20 6 2/11 Tidak diketahui

39 RAEB+MM

46,XX,add(11)(q25),del(16),del(22) +19,-21,del(22)(q11)(15)/47, XX,der(7),add(11)(q25), del(16)(q22),+19,-21,del(22)(q11), +t(3)/92,xxx,id,+r,+r,+r[1]/46,XX(6)

18 0/8 Tidak diketahui

40 RARS+MM

RCMD- RAS+MM

N20 49 0/2 Tidak diketahui

Keterangan N20: karyotype normal dalam 20 metafase; N10-19: karyotype normal dalam 10-19 metafase; N1-9: karyotype normal dalam 1-9 metafase; NA: tidak tersedia; MM: myeloma multipel. Pasien iniditunjukan olehsitogenetik konvensional, kromosom 5 monosomy kecuali FISH menunjukan delesi 5q. ‘kasus dengan monosomy 5.’ Kasus dengan trisomy 5.

Hubungan antara radikal bebas dengan progresivitas MDS-related AML

(lihat gambar 2.10)

54

Gambar 2.10 Radikal bebas mempunyai pengaruh terhadap peningkatan risiko terjadinya MDS yang berhubungan dengan AML, MDS-related AML.

Keterangan gambar Hubungan antara Radikal bebas dengan apoptosis

a. Stimulus dapat mengawali fase inisiasi melalui aktivitas berbagai reseptor transmembran; Contoh khas dari stimulasi ini adalah pengikatan Fas(CD95) yang merupakan protein homotrimerik dengan FasL, tumor necrotic factor alfa (TNF-α) dengan TNFR dan beberapa yang lain. Pada pengikatan fatty acid synthetase ligand (Fas/FasL) terjadi oligomerisasi dari reseptor yang mengakibatkan bagian intraseluler dari CD95 menggumpal dan dikenal dengan sebutan “death domain”. Protein lain yang kemudian diambil dari sitoplasma dan berfungsi “death domain” adalah Fas associated death domain (FADD) berfungsi mengaktifkan caspase.

b. Untuk mempermudah proses ini molekul FADD mengandung molekul pengikat disebut death effector domain (DED) yang juga dimiliki oleh procaspase-8, dimana keduanya dapat saling berikatan.

c. TNFR tidak mengandung death domain tetapi menggunakan protein TRAF sebagai adaptor sinyal untuk merekurt molekul-molekul transduksi seperti TNF receptor associated death domain (TRADD). Fas mengandung death domain pada bagian intrasitoplasmik dan berinteraksi dengan molekul adaptor sinyal yang mengandung death domain (FADD) dan dengan demikian merekurt molekul transduksi sinyal misalnya FLICE (proapoptosis).

d. Berbagai bukti bahwa pengendalian apoptosis dihubungkan dengan gen yang mengatur siklus, termasuk di antaranya gen p53. Di lain pihak berbagai jenis gen berfungsi anti apoptosis, di antaranya keluarga bcl2 dan beberapa jenis onkogen virus yang dikenal memiliki potensi untuk mengakibatkan transformasi sel menjadi ganas. Gen ini termasuk keluarga gen yang anggota keluarganya makin lama makin bertambah; beberapa anggota keluarga gen ini

55

bersifat anti apoptosis (Bcl2, Bcl-x1, Mc11), tetapi beberapa anggota keluarga yang lain ternyata bersifat pro apotosis (Bax, Bcl-xs, Bid, Bak).

Anemia mempunyai pengaruh terhadap insiden MDS-related AML,

gambar 2.11, defisiensi asam Folat, cycobalamin akan menyebabkan gangguan

terhadap pembentukan DNA, dimana terjadi megaloblatik anemia, transformasi

menjadi AML. Defiensi Fe (zat besi), anemia tersebut menyebabkan transfuse

berulang, sehingga kumulasi zat Besi, trasnformasi menjadi AML.

Gambar 2.11 Anemia mempunyai pengaruh terhadap peningkatan

risiko terjadinya MDS yang berhubungan dengan AML. Keterangan gambar

A. Defisiensi folat dan atau Cobalamin (Cbl) (anemia megaloblastik) 1. Asam Folat diabsorbsi dari usus halus bagian proksimal, 2. Sementara itu ileum Asam Folat masuk dalam sel dalam bentuk

methyltetrahydrofolate (methyl-THF). 3. Cbl ditransfer dan masuk dalam sel bersama dengan transcobalamin II

(TC II). Didalam sitoplasma, reaksi Cbl memerlukan suatu katalis untuk sintesis metionin, grup CH3 dari methyl-THF ditransfer ke homositein, THF dan metionin diproduksi hasilnya berurutan, bentuk Polyglutamated dari THF dikonversi menjadi 5,10-methylene THF, sebagai donor single-carbon grup CH2 yang mana reaksinya memerlukan katalis Thymidylate synthetase

56

4. Pada saat bersamaan dUMP dikonversi menjadi dTMP memerlukan katalis Thymidylate synthetase, selanjutnya dTMP digunakan dalam sintesis DNA.

5. Pada kondisi Cbl tersedia cukup banyak konversi 5,10-methylene–THF menjadi methyl-THF dihambat oleh S-adenosylmethionine (SAM).

6. Pada keadaan difisiensi folat dan atau Cbl, SAM mendapatkan suplai dalam jumlah kecil. Konsekuensinya hambatan SAM menurun, maka perubahan formasi 5,10-methylene-THF menjadi methyl-THF menurun.

7. Keadaan tersebut pada satu pihak menyebabkan proses sintesa dTMP turun secara drastis sehingga tidak tersedia untuk sintesis DNA, dan pada pihak lain dUMP tersedia berlebihan.

8. Para ahli berpendapat bahwa dUMP diubah menjadi dUTP melebihi kapasitas kerja enzim dUTP dalam sel, sehingga melalui konversi kembali menjadi dUMP, akibatnya terjadi penumpukan dUTP di dalam sel, sehingga terjadi kelambatan dalam sintesis DNA, menunjukkan perubahan karakteristik megaloblastik.

B. Anemia sideroblastik 1. Pada keadaan normal kira-kira 90% iron(Fe) tersedia setiap hari dari diet

diambilkan dari eritroblast, dimana biosintesis heme membutuhkan Fe pada proses akhir sintesis, di dalam mitokondria Fe ²⁺( iron ) masuk ring protoporphyrin IX dengan bantuan ferrochelatase.

2. Tahap pertama sampai dengan tahap ketiga lokasinya berada di sitoplasma, keseluruhan tahap biosintesis Heme di mitokondria. Tahap pertama dan tahap selanjutnya terdiri dari kondensasi glycine dan succinyl-CoA menjadi 5-aminolevulinic acid. Reaksi tersebut dikatalisis 5-aminolevulinate syntetase (ALAS) dan reaksi tersebut membutuhkan pyridoxal 5’-phosphate (PLP) sebagai kofaktor. Ekspresi ALAS2 diregulasi oleh dua faktor setinggi transkripsi dan translasi.

3. Kontrol transkripsi yang mengatur program deferensiasi dari erythroid lineage, kemudian mempengaruhi pada eritropoitin menginduksi faktor transkripsi termasuk juga GATA-1. Berbeda dari contoh tipe gene ekspresi pada level kontrol translasi, ALAS2 termasuk mengatur sintesa

Heme yang mana bahan utamanya Fe²⁺. 4. Pusat dari mekanisme regulasi adalah iron protein regulator (IRP)1,

trans-acting protein membutuhkan empat atom Fe untuk berfungsi dan juga dapat berikatan dengan mRNA disebut Iron-responsive element (IRE). Pada saat iron dalam suplai yang minimal, iron kosong pada IRP1 berikatan dengan IRE dan ALAS2 mRNA translasi dalam keadaan menurun maka sintesa heme menurun dan dampaknya hemoglobin mature, tapi menunjukkan produksi sel darah merah hipokromik.

57

Gambar 2.12 Kerangka teori

Keterangan gambar

MDS mempunyai antigen permukaan CD34+, dysplastic karena dipengaruhi oleh

etnik, umur, jenis kelamin, merokok, faktor genetik (polimorfime), ROS(reactive

oxygen species) (Owen, 2012). ROS mempengaruhi jalur ekstrinsik melibatkan

TNF dan jalur instrinsik melibatkan mitokondria, mengaktifkan caspase 8 dan

caspase 9, selanjutnya aktivasi caspases 2,3,6,7 terjadi apoptosis (Kresno, 2012).

Lingkungan makro (ROS) meningkatkan apoptosis, sehingga terjadi dysplastic

pada sumsum tulang.Epigenetik, faktor sitogenetik (delesi kromosom 5q) dan

genetik (RAS, FLT3) mempengaruhi CD34+, dysplastic. MDS (misal: RAEB/RAEB-

t) akan mengalami proses transformasi menjadi AML disebut MDS-related AML.

Anemia sideroblastik terjadi suplai Fe minimal, maka Fe kosong pada IRP (iron

regulator protein) mempunyai ikatan dengan mRNA IRE(iron-responsive element),

maka sintesa Heme menurun, sel darah merah dibawah mikroskop tampak

hipokromik. Penderita memerlukan transfusi dengan frekwensi cukup sering,

KERANGKA TEORI

TIDAK DITELITI DITELITI

58

yang mana akan terjadi Iron overload. Akumulasi besi dalam tubuh akan merusak

fungsi jantung dan cedera organ hepar. Beberapa penelitian pada penderita

anemia akansurvive dan bahkan berhasil hidup beberapa tahun, tetapi 15%

mempunyai risiko berkembang menjadi akut leukemia (Luzzatto and

Kadardimiris, 2010; Alcindor and Bridges, 2001). Demikian juga anemia

(defisiensi Folat dan Cobalamin), defisiensi Folat meningkatkan homosistein,

methylmalonyl-CoA (Methylmalonic acid) dan difisiensi Cobalamin menurunkan

kemampuan dUMP menjadi dTMP, dUTP meningkat.DNA normal menurun, dTMP

menurun karena defisiensi Folat dan Cobalamin (anemia megaloblastik). Anemia

megaloblastik adalah tanda langsung dari proses hematopoisis yang inefektif

dari sumsum tulang. Hematopoitic stem cell (HSC) dipengaruhi mutasi gen

tunggal atau kompleks (AML-1/ETO, AML-1/EVI) menghambat fungsi sel

progenitor, PU.1 mempengaruhi sel progenitor yaitu menghambat fungsi

prekursor maka terjadi proliferasi meningkat dan deferensiasi menjadi lambat.

Prekursor dihambat oleh mutasi gen tunggal misal: N-RAS, FLT3, dan NPM1,

RUNX1 deferensiasi menjadi lambat, proliferasi meningkat (jumlah myeloblast

meningkat) (Owenet al., 2012).

60

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

61

Keterangan kerangka konsep MDS mempunyai antigen permukaan sel CD34+, dysplastic karena

dipengaruhi oleh etnik, umur, jenis kelamin, merokok, faktor genetik (polimorfime), reactive oxygen species (ROS), kimia(benzene) (Owen et al., 2012). Lingkungan makro (ROS) meningkatkan apoptosis (proapoptosis) maka sel yang diprogram mati cukup banyak sehingga terjadi dysplastic pada sumsum tulang. Lingkungan makro yang lain adalah metabolit benzena (C6H6) yang paling poten menghambat erythropoiesis. Epigenetik, abnormalitas faktor sitogenetik: delesi kromosom 5 del(5q) dan genetic: RAS, FLT3 menyebabkan hematopoisis yang mempunyai organisasi yang baik dan efektif menjadi dysplastic dan tidak efektif mempengaruhi sel CD34+, dysplastic mendorong peran transformasi menuju proses AML (Ceesay et al., 2012; Gilliland & Gribben, 2012). MDS (RAEB/RAEB-t, klasifikasi FAB) akan mengalami proses transformasi menjadi AML disebut MDS-related AML. Mutasi gen tunggal (FLT3-ITD, NRAS) atau kompleks mempengaruhi Hematopoietic stem cell (HSC) menghambat fungsi sel progenitor, maka deferensiasi menjadi lambat sedangkan mengahambat precursor akan meningkatkan proliferasi. Mutasi gen tunggal NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 menyebabkan deferensiasi sel melambat dan proliferasi meningkat, karena supresi apoptosis (antiapoptosis) jumlah myeloblast meningkat evolusi menjadi keganasan (AML) (Owen et al., 2012).

3.2 Hipotesis penelitian

Polimorfisme gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3, delesi kromosom 5

del(5q) dan kromosom 5 (normal) dapat sebagai prediktor perubahan

Myelodisplastic Syndrome related Acute Myeloid Leukemia (MDS-related

AML) di Surabaya.

62

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Desain Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah cross sectional analytic, gen RUNX1,

NPM1, FLT3, N-RAS, dan delesi kromosom 5 del(5q) sebagai prediktor

Myelodisplastic SyndromerelatedAcute Myeloid Leukemia (MDS-related AML) di

Surabaya.

4.2 Waktu dan tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam waktu 11 (sebelas) bulan, dari bulan Mei

2017 sampai dengan bulan April 2018 (lampiran 1).Pengambilan sampel

penelitian dan penentuan MDS dan AML dilaksanakan di LaboratoriumInstalasi

Ilmu penyakit Dalam bagian Hematologi-onkologi Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga, RSUD dr Soetomo, Surabaya, Indonesia.Pemeriksaan

Immunophenotyping dilaksanakan di laboratorium Instalasi Patologi Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD dr Soetomo, Surabaya,

Indonesia. Pemeriksaan gen dan kromosom dilaksanakan di laboratorium

Instalasi Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang,

Indonesia.

4.3 Populasi dan sampel penelitian diduga AML

Populasi dalam penelitian adalah semua pasien yang diduga AML yang

datang memeriksakan darah di Laboratorium InstalasiPatologi Klinik Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD dr Soetomo, Surabaya, Indonesia,

rawat Inap di Ilmu Penyakit Dalam bagian Hematologi-Onkologi FK Universitas

63

Airlangga, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Sampel penelitian adalah penderita

AML yang memenuhi kriteria penelitian.

4.3.1 Kriteria inklusi:

4.3.1.aPasien baru AML umur (14 - 77) tahun .

4.3.1.b Bersedia mengikuti penelitian dengan memberikan persetujuan

inform concern.

4.3.2 Kriteria Eksklusi :

4.3.2.aSampel pasien yang mengalami kerusakan data selama penelitian

berlangsung dan tidak mungkin lagi pengambilan data ulang.

4.3.2.bMempunyai penyakit yang mempengaruhi sampel antara lain:

keganasan, anemia makrositer, HIV positif.

4.3.3 Besar sampel

Besar sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus karena

pertimbangan:

4.3.3.aKomparasi

4.3.3.bData kuantitatif

Pilihan rumus besar sampel uji hipotesis komparatif antar

mean/rerata(Windhu & Taufan, 2018).

64

4.3.4 Cara Pengambilan Sampel

4.3.4.1 Sampel diambil yaitu darah perifer, hapusan, pewarnaan Wright,

diperiksa dengan mikroskop cahaya Olympus CX-41, di di Instalasi

penyakit Dalam divisi Hematologi-onkologi RSUD Dr Soetomo

Surabaya, bila pada hapusan darah tepi ditemukan blast lebih dari

20% dilakukan aspirasi sumsum tulang.

4.3.4.2 Aspirasi sumsum tulang, morfologi, pewarnaan Wright, menggunakan

mikroskop cahaya Olympus CX-41 di Instalasi penyakit Dalam divisi

Hematologi-onkologi RSUD Dr Soetomo Surabaya.

4.3.4.3 Sampel yang diambil yaitu aspirasi sumsum tulang, isolasi DNA untuk

pemeriksaan gen NRAS ,RUNX1, NPM1, FLT3 mengunakan PCR

(Polymerase Chain Reactions), di departemen biokimia dan biologi

Molekuler, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.

4.3.4.4 Sampel yang diambil yaitu aspirasi sumsum tulang, isolasi DNA untuk

pemeriksaan kromosom, yaitu Delesi kromosom 5 del(5q)

menggunakan CISH (Chromogen In Situ Hibridization)di departemen

biokimia dan biologi Molekuler, Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya, Malang.

65

4.4 Variabel penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

4.4.1 Variabel tergantung: MDS-related AML {delesi kromosom 5 del(5q).

4.4.2 Variabel bebas: N-RAS, RUNX1, NPM1, FLT3.

4.5 Definisi Operasional

4.5.1 MDS-related AML

MDS-related AML adalah AML yang ada hubungannya dengan MDS

yang mengalami transformasi.AML adalah penyakit heterogen yang terdiri

dari berbagai macam gambaran klinik dan kelainan genetik, termasuk

mutasi sitogenetik, mutasi gen dan perubahan ekspresi gen, diagnosis

klinik, Immunophenotyping, morfologi sel sumsum tulang (myeloblast >

20%), menggunakan klasifikasi FAB.MDS-related AML adalah kasus

AML yang sebelumnya menderita MDS.

Cara perolehan : pasiendidapatkan dari Rawat Inap Instalasi Ilmu

penyakit Dalam bagian Hematologi-onkologi Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga, RSUD dr Soetomo, Surabaya dengan cara

mengmbil aspirasi sumsum tulang pemeriksaan hapusan, mikroskop

cahaya Olympus CX-41, diperiksa oleh 3 pembaca yang berkompeten,

pembesaran 400 kali, interpretasi blast (sel muda) yaitu lebih dari 20%.

Pemeriksaan yang lain yaitu delesi kromosom 5 del(5q) menggunakan

CISH (chromogen In Situ Hybridization), cara ukur menggunakan

mikroskop cahaya E-100 NIKON, positif yaitu tampak warna “Brownish”.

Satuan/Unit Hapusan aspirasi sumsum tulang blast lebih dari 20%, hasil

pemeriksaan Immunophenotyping yaitu Myeloid leanage, hasil CISH:

positif berarti terjadi delesi kromosom 5 del(5q), negatif berarti kromosom

5 normal (Hoffbrand & Moss, 2012).

66

4.5.2 MDS (Myelodysplastic Syndrome)

MDS adalahsekelompok kelainan haematopoeitic stem cells

(HSC) yang ditunjukkan dengan kegagalan sumsum tulang (displastik)

yang meningkat, dikorelasikan dengan abnormalitas kuantitatif dan

kualitatif sel pada darah perifer, sumsum tulang, diagnosis klinik.

Menggunakan klasifikasi French American British (FAB), WHO 2008 yaitu

Refrakter anemia, morfologi blast ditemukan < 20%, abnormalitas

kromosom: delesi kromosom 5 del(5q).

Cara perolehan: gejala klinik, aspirasi sumsum tulang, hapusan

sumsum tulang, pemeriksaan morfologi menggunakan mikroskop cahaya

Olympus CX-41, yaitublast kurang dari 20%, pemeriksaan lain

Immunophenotyping hasil interpretasi non myeloid lineage, pemeriksaan

CISH: positif pada hapusan tampak warna “brownish”, berarti terjadi

delesi kromosom 5 del(5q), negatif berarti kromosom 5 normal (Hoffbrand

& Moss, 2012).

4.5.3 NRAS (Rat sarcoma)

NRAS adalah Mutasi pada semua gen RAS kromosom

homologus, N-RAS, KRAS dan HRAS, menempati codon 12, 13 dan

61.Semua protein RAS (p21ras), NRAS adalah anggota keluarga RAS

superfamily dari GTPase. Aktivasi mutasi exon 2 (codon 12/13)(1p13.2),

exon 3 (codon 61), and exon 4 (codon 146) antara lain ditemukan pada

Myeloid leukemia (14%) (Colicelli, 2004).

Mutasi NRAS adalah mutasi RAS yang paling sering pada AML,

terdeteksi antara 10% - 30% dari kasus (Owen & Fitzgibbon, 2012;

Hoffman et al., 2013).

67

Cara perolehan: pengambilan Aspirasi Sumsum Tulang. Cara

ukur isolasi DNA, pemeriksaan dengan menggunakan PCR (Polymeraase

Chain Reactions) yaitu Denaturasi, Annelling, ekstensi. Satuan/unit:

tampak band (pita), Positif berarti mutasi gen NRAS.

4.5.4 RUNX1

RUNX1 adalah regulator utama pada hematopoisis dan sering

menjadi target translokasi kromosom dihubungkan dengan leukemia

(Owen and Fitzgibbon, 2012).

Cara perolehan: pengambilan Aspirasi Sumsum tulang. Cara ukur

isolasi DNA, penguji menggunakan PCR yaitu Denaturasi, Annelling,

ekstensi. Satuan/unit: tampak band (pita): Positif berarti mutasi gen

RUNX1.

4.5.5 NPM1

NPM1 (Nucleophosmin member 1) adalah mutasi gen terjadi

pada exon 12, dengan prosentase lebih dari 95% terdiri dari 4-bp insersi

di posisi 960. NPM1 lokasi pada kromosom pita 5q35.

Mutasi NPM1 ditemukan pada kira-kira 35% penderita dewasa

dengan AML dan sering terjadi abnormalitas genetik ditemukan pada

AML dengan kariotipe normal (CN), Jumlah kasus AML dengan kariotipe

normal antara 60 – 80% (Hoffman et al., 2013; Falini & Bolli, 2009).Mutasi

FLT3-ITD menunjukkan prognosis lebih baik dibandingkan genotip mutan

NPM1 disertai mutasi FLT3-ITD (Owen & Fitzgibbon, 2012, Young, 2012,

Tan et al., 2008).

Cara perolehan: pengambilan Aspirasi Sumsum tulang. Cara ukur

isolasi DNA, penguji menggunakan PCR yaitu Denaturasi, Annelling,

68

ekstensi. Satuan/unit: tampak band (pita): Positif berarti mutasi gen

NPM1.

4.5.6 FLT3

FLT3(Fms-like tyrosine kinase 3) adalah reseptor tirosin kinase

yang mempunyai peran penting dalam mengontrol kelangsungan hidup

sel, proliferasi dan diferensiasi sel hematopoitik.Gen FLT3 mempunyai

fungsi untuk meningkatkan proliferasi sedangkan pada mutasi gen FLT3

proliferasi meningkat tidak terkendali.Lokasi gen FLT3 disebut juga FLK2

(fetal Liver Kinase-2), hSTK1 (human stem Cell Kinase-1) pada pita

kromosom 13q12, struktur ikatan membran berhubungan dengan reseptor

tyrosine kinase kelas III seperti KIT, Fms, dan PDGFR (Platelet-derived

growth factor). Ligan FLT3 dieskpresikan oleh sel stroma pada sumsum

tulang, dan faktor pertumbuhan (growth factors) untuk menstimulasi

proliferasi sel punca, sel progenitor, sel dendrit, sel NK. Gen FLT3

Internal tandem duplication (ITD), terbentuk dengan FLT3 domain

juxtamembrane (exon 14 dan 15), diprediksi merupakan mutasi

terbanyak, diperkirakan 30% dari kasus AML (Bain, et al., 2011; Owen &

Fitzgibbon, 2012).

Insiden kasus mutasi FLT3-ITD pada diagnosis MDS secara

signifikan lebih kecil dibandingkan dengan kasus MDS-related AML.Pada

kasus yang ditemukan mutasi FLT3-ITD mempunyai progresivitas

menjadi AML dalam waktu lebih cepat dibandingkan kasus yang FLT3-

ITD normal.

Menurut penelitian Agersborg et al., 2015 bahwa mutasi FLT3,

NPM1, dan WT1 adalah abnormalitas molekuler yang dapat dipergunakan

sebagai kriteria diagnosis pasien AML yang obyektif lebih baik dari pada

aspirasi sumsum tulang.

69

Cara perolehan: pengambilan Aspirasi Sumsum Tulang. Cara

ukur isolasi DNA, pemeriksaan dengan menggunakan PCR (Polymeraase

Chain Reactions) yaitu Denaturasi, Annelling, ekstensi. Satuan/unit:

tampak band(pita): Positif berarti mutasi gen FLT3-ITD.

4.5.7 Delesi kromosom 5q atau kromosom 5 normal

Delesi kromosom 5 del(5q) adalah delesi pada kromosom 5

mempunyai segmen lengan panjang del(5q). Pada MDS abnormalitas

kromosom dapat sebagian atau keseluruhan yang hilang, pada umumnya

- 5, 5q -, - 7, 7q -, 11q -, 13q -, 20q - dan -Y . Jarang material kromosom

bertambah dan maksimal terbesar +8, contoh: trisomy 8 (+8) adalah

penambahan kromosom yang sering terjadi pada MDS. Keadaan tersebut

mempunyai nilai prognostik dan kontribusi untuk patogenesis MDS,

kromosom yang hilang akan menjadi pertimbangan karena menyebabkan

tumor-suppressor genes atau haploinsufficiensyofgenes diperlukanuntuk

hematopoisis yang normal (Montalban-Bravo & Gracia-Manero, 2018).

Cara perolehan: pengambilan Aspirasi Sumsum tulang. Cara Ukur:

Pemeriksaan yang lain yaitu delesi kromosom 5 del(5q) menggunakan

CISH (chromogen In Situ Hybridization), cara ukur menggunakan

mikroskop cahaya E-100 NIKON. Satuan/Unit: Positif: Delesi kromosom 5

del(5q), hapusan tampak warna “Brownish” , negatif: kromosom 5

normal.

Bahan dan metode pemeriksaan

70

4.6.1 Hapusan darah tepi

4.6.1.aPengambilan darah vena, menggunakan antikoagulan EDTA atau

langsung dibuat hapusan pada deck gelas.

4.6.1.bDikeringkan, kemudian diberikan pewarnaan Wright, merata sampai

menutup hapusan darah, selama 5 menit, diberikan buffer 20 menit

kemudian dicuci dengan air mengalir.

4.6.1.cDibaca dengan mikroskop Olympus seri CX-41 (Bainet al., 2012)

4.6.1.dHasil hapusan darah perifer atau aspirasi sumsum tulang dibaca 3(tiga)

orang spesialis Patologi Klinik dan Penyakit dalam konsultan

Hematologi.

4.6.2 Aspirasi Sumsum Tulang (Bonemarrow Aspiration)

4.6.2.aPengambilan sampel aspirasi sumsum tulang menggunakan jarum tipe

SALAH dengan GUARD (kontrol kedalaman) (Bainet al., 2012).

4.6.2.bDesinfeksi (betadine dan alkohol), premedikasi, anastesi lokal, jarum

dan mandrin, spuit, desinfektan dan verband, deck glass, pewarnaan.

4.6.2.cDilihat dibawah mikroskop Olympus seri CX-41.

4.6.2.d Hasil hapusan darah perifer atau aspirasi sumsum tulang dibaca

3(tiga) orang spesialis Patologi Klinik dan Penyakit dalam konsultan

Hematologi.

4.6.3 Pemeriksaan fenotipe AML (Bain et al., 2012)

4.6.3.aFlow Immunophenotyping metode yang dipergunakan untuk penentuan

immunophenotype sel menggunakan teknik flow cytometry. Hal ini

sangat berguna untuk mendiagnosis berbagai jenis leukemia

(Matutes et al., 2012).

71

4.6.3.b Pemeriksaan fenotipe dengan menggunakan campuran antibody

monoclonal CD7 FITC CD33 PE/CD7/CD33 BD, HLA-DR

FITC(isothocyanate)/CD13 PE, CD45 (2D1) Per /CP BD, CD34 (8G12)

PE BD, ANTI MPO (myeloperoxidase) (5B8) FITC BD. Mesin

flowsitometer yang dipergunakan: BD Facs Calibur, BD FACSort, atau BD

FACScan Flow Cytometer.Tabung satu berisi FITC CD7/CD33, tabung

dua berisi FITC HLA-DR/CD13, tabung tiga berisi PE CD34/ANTI-

MPO.Masing-masing tabung (satu, dua, tiga) ditambahkan PE CD45 (Kit

Manual BD test). Prosedur pemeriksaan sebagai berikut:

1. CD 45 sebanyak 20 µl dimasukkan ke dalam tabung falcon 5 ml :

satu, dua, tiga, kemudian ditambahkan sampel sebanyak 50 µl,

selanjutnya diinkubasi suhu kamar pada ruang gelap selama 30

menit.

2. Ditambahkan lysing solution Cat.No.349202 LOT: 6204937 sebanyak

1 ml, vortex, kemudian dilanjutkan dengan inkubasi suhu kamar pada

ruang gelap selama 10 menit.

3. Campuran tersebut diatas, dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan

250 g (1.800 rpm) selama 5 menit, selanjutnya supernatan dibuang

dengan menuangnya secara cepat pada posisi 180º. Pada pellet

didasar tabung ditambahkan PBS (Phosphate Buffered saline

solution)/Facs Flow sebanyak 500 µl, dicampur kemudian sentrifugasi

250 g selama 5 menit. Tabung satu dan dua dibaca pada

flowsitometer.

4. Tabung tiga ditambahkan cytofix/cytoperm (Kit Cytofix/Cytoperm

buffer dari BD) sebanyak 500 µl dan diinkubasi pada tempat gelap

pada suhu kamar selama 20 menit.

72

5. Selanjutnya pencucian dengan menambahkan Perm/wash buffer dari

BD: FBS (Fetus Bovine Serum) sebanyak 1 ml dan sel dicampur

merata dan dilakukan sentrifugasi 250 g (1800 rpm) selama 5 menit.

Setelah sentrifugasi, supernatan dibuang dengan menuangnya secara

cepat pada posisi 180º.

6. Selanjutnya ditambahkan ANTI-MPO sebanyak 20 µl, kemudian

diinkubasi pada tempat gelap dalam suhu kamar selama 30 menit.

7. Campuran tersebut diatas ditambahkan Perm/Wash buffer dari BD

sebanyak 1ml, kemudian dilakukan sentrifugasi 250 g selama 5 menit.

Selanjutnya ditambahkan Formaldehid 1% dengan pengenceran PBS

(Phosphat Buffered Saline Solution) sebanyak 500 µl.

Kemudian dibaca dengan alat flowsitometer dengan software Cellquest

“Pro”, dilakukan gating dari populasi blast pada CD45.

Hasil: bila CD34+/MPO

+/CD13+/CD33

+ berarti fenotipe AML.

4.6.4 Polymerase Chain Reaction (PCR) dipergunakan untuk pemeriksaan

Gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3.

4.6.4.a Primer: (Lampiran 7)

Informasi primer PCR (NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3), peneliti

mendapatkan bahan material dan prosedur pemerikasaan (Genetika

Science Indonesia, jalan Lingkaran luar Barat, Kembangan, Jakarta

Barat, 11610, Email [email protected]).

73

Tabel 4.1 Informasi primer PCR (NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3) yang

dipergunakan dalam penelitian ini

GEN SUSUNAN ASAM AMINO

1 N_RAS_F N_RAS_R

31-mer oligo (25 nmole scale, PCR Grade, 3 OD) GAC TGA ATA TAA ACT TGT GGT AGT TGG ACC T 28-mer oligo (25 nmole scale, PCR Grade, 3 OD) ACC AAG ATT TAC CTC TAT TGT TGG ATC A

2 RUNX1_F

RUNX1_R

22-mer oligo (25 nmole scale, PCR Grade, 3 OD)

TAC AGC CAA TCT GCA CTG TGC T

22-mer oligo (25 nmole scale, PCR Grade, 3 OD)

CAC CTG TGT GGA ACA GAT CTC C.

3 NPM1_F NPM1_R

27-mer oligo (25 nmole scale, PCR grade, 3 OD) CTG ATG TCT ATG AAG TGT TGT TCC

26-mer oligo (25 nmole scale, PCR Grade, 3 OD) CTC TGC ATT ATA AAA AGG ACA GCC AG

4

FLT3-ITD_F FLT3-ITD_R

16-mer oligo (25 nmole scale, PCR grade, 3 OD) AGG AGG GCA ACT ACT T

21-mer oligo (25 nmole scale, PCR Grade, 3 OD) CTT CAC TTG AAT TGG TAG CAT

Keterangan: F : forward, R : reverse

4.6.4.bPrinsip: PolymeraseChain Reaction (PCR) adalah proses replikasi

bahan genetik dengan menggunakan enzim DNA polymerase. Enzim ini

digunakan untuk memulai sintesis DNA dari DNA primer pada

template.DNA primer terdiri dari 9 – 20 basa dan menentukan sisi dimana

replikasi DNA dimulai. Dengan PCR tiap rangkaian bahan genetik khusus

dapat ditunjukkan dan direplikasi beberapa kali secara mudah dengan

memilih sepasang primer yang akan menjadi pangkal dari rangkaian DNA

yang diinginkan. PCR diprediksi pada proses "anneling” dari kedua

oligonukleotida (primer) untuk mengetahui komposisi dari rangkaian suatu

target oligonukleotida yang diinginkan dan diperpanjang dengan bantuan

enzim DNA polymerase. Tiap-tiap reaksi diulang-ulang mulai dari tahap

denaturasi sampai tahap ekstensi, sehingga akan bertambah secara

eksponential (Bain et al., 2012, Loegito, 2007).

74

4.6.4.cAlat atau reagen

CI0L c-PAGE® 10% 12 wells 10 plates/box, Ex Run (Electrophoresis

Bufferfor SDS PAGE), Agarose-Biotechnology Grade – 100 g, 10X Tris-

Acetate-EDTA (tae) buffer-pH 8,0 Ultra pure Grade – 1L, Genezol

Reagen 100 ml, KODFX Neo, BstNI, 3000 unit, Proteo Silver Silver Stain

Kit, Gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3

4.6.4.dProsedur pemeriksaan PCR

4.6.4.d.1Isolasi/ekstraksi DNA

1.1 Proses isolasi/ekstraksi DNA dilakukan dengan penambahan buffer

AL yang dilakukan setelah penambahan proteinase K dimana

bersama-sama dengan proteinase K berfungsi untuk melisiskan sel

sehingga dinding sel rusak. Supernatan yang dihasilkan dari proses

sentrifugasi suspensi tersebut dimasukkan ke dalam kolom mini

berfilter sehingga DNA tersangkut/terikat di dalamnya.

1.2 Penambahan buffer AW1 dan buffer AW2 yang dilakukan kedalam

kolom mini berfilter yang berfungsi untuk pencucian dimana proses

pencucian tersebut dapat meningkatkan kemurnian DNA nantinya

serta meyakinkan penghilangan kontaminan secara keseluruhan

dari proses tersebut tanpa mempengaruhi pengikatan DNA pada

filter.

1.3 Penambahan buffer AE ke dalam kolom mini dan dilakukan proses

sentrifugasi setelah proses pencucian berfungsi untuk mengelusi

DNA dari filter dan juga berfungsi dalam penyimpanan purifikasi

DNA. Supernatan yang dihasilkan merupakan isolat DNA yang

kemudian disimpan di dalam freezer suhu -20º C.

75

1.4 Teknis pengisolasian DNA dengan kit komersial pertama-tama

adalah satu ml suspensi dimasukkan ke dalam tabung

mikrosentrifus. Kemudian ditambahkan dengan 1 ml

CTAB(cetyltrimetylammonium bromide) sebagai suatu modifikasi

metode dari prosedur yang ditunjukkan pada handbook produsen

kit, kemudian divortex hingga homogen.Suspensi tersebut

disentrifus selama 1 menit dengan kecepatan 13000 rpm dan

supernatan yang dihasilkan dibuang sehingga menyisakan pelet

pada tabung mikrosentrifus.

1.5 Pelet tidak dihasilkan, maka suspensi disisakan sebanyak 200 µl

supernatan pada tabung mikrosentrifus. Kemudian ditambahkan

proteinase K sebanyak 30 µl ke dalam tabung mikrosentrifus, dan

dihomogenkan dengan vortex kemudian diinkubasi selama 20 menit

pada suhu 65º C.

1.6 Setelah itu, ditambahkan buffer AL sebanyak 300 µl dan

dihomogenkan dengan vortex. Suspensi diinkubasi selama 10 menit

di dalam water bath pada suhu 65º C. Setelah itu, ditambahkan 500

µl etanol (96-100%), dihomogenkan dengan vortex dan disentrifus

selama 2 menit dengan kecepatan 10000 rpm.

1.7 Supernatan yang dihasilkan dipipet dan dimasukkan ke dalam

kolom mini yang sudah dipasang pada collection tube, kemudian

disentrifus 8000 RPM selama 1 menit.

1.8 Sebanyak 500 µl buffer AW1 ditambahkan ke dalam kolom mini

yang masih terpasang pada collection tube dan disentrifus 8000

rpm selama 1 menit.

76

1.9 Tahap selanjutnya adalah kolom mini dipindahkan ke dalam

collection tube yang baru dan ditambahkan dengan 500 µl buffer

AW2 ke dalam kolom mini, kemudian disentrifus 13000 rpm selama

3 menit.

1.10 Kolom mini dipindahkan kembali ke dalam collection tube dan

disentrifus kembali selama 1 menit 13000 rpm. Kolom mini

dipindahkan ke dalam tabung mikrosentrifus steril dan ditambahkan

ke dalamnya sebanyak 80 µl buffer AE yang kemudian disentrifus

8000 rpm selama 1 menit.

1.11 Supernatan yang diperoleh pada tabung mikrosentrifus

merupakan isolat DNA yang akan digunakan pada tahap

selanjutnya dan isolat tersebut disimpan pada freezer dengan suhu

20º C (QIAamp® DNA Blood Mini Kit Handbook dengan modifikasi

Bioteknologi PROM).

4.6.4.d.2. Pengujian dilakukan dengan PCR.

Konsentrasi primer yang sesuai/tepat adalah konsentrasi primer

yang menghasilkan nilai threshold cycle (Ct) yang paling rendah dan tanpa

menghasilkan atau seminimal mungkin menghasilkan primer-dimer pada

kurva puncak pelelehan (Pestana, 2010).

1. PCR (Polymerase Chain Reaction) diambil 2 μL RT reaction product

pada PCR tube tambahkan 12,5 μL green Go-Taq, 1nM primer

forward dan reverse (Primer dalam lampiran)

2. Tambahkan nuclease free water sampai volume menjadi 25 μL.

3. PCR reaksi dilakukan :

3.1 Tahap I dengan 1 siklus pada 94⁰C selama 5 menit

77

3.2 Tahap II dengan 30 siklus, terdiri dari 94⁰C selama 30 detik, 58⁰C

selama 30 datik dan 72⁰C selama 1 menit.

3.3 Tahap III dengan 1 siklus pada 72⁰C selama 10 menit.

4.6.5 Analisis kromosom dan CISH (Chromic In Situ

Hybridization)Pemeriksaan dengan CISH dapat dilakukan pada sel atau

jaringan tanpa harus membuat sel berada dalam stadium metafase (sukartini,

2013, Bain et al., 2012).

Pemeriksaan sitogenetik yaitu Delesi kromosom 5 del(5q) pada

dasarnya melakukan analisis kromosom.

Reagen CISH :del(5q) Deletion Probe

Metode CISH (Chromogenic in-situ Hybridization) delesi kromosom 5 del

(5q)

1. Slide sel dicuci dengan HEPES buffer dan keringkan,

2. tambahkan DNase dalam 2x SSC buffer dan inkubasi pada 37oC selama

1 jam.

3. Cuci dengan dH2O steril dan bilas dengan 2X SSC buffer selama 10

menit.

4. Refiksasi dengan 4% paraformaldehide 10 menit pada suhu ruang,

5. selanjutnya bilas dengan dH2O steril selama 10 menit dan dehidrasi

dengan alcohol berseri dari 70% sampai 100%, masing-masing selama

10 menit.

6. Keringkan pada 37°C selama 10 menit.

7. Masing-masing reaksikan dengan 10uL cDNA (probe 5delq) yang telah

berlabel biotin.

78

8. Slide didenaturasi pada 85oC selama 10 menit, dan diinkubasi pada 37oC

semalam untuk proses hibridisasi.

9. Cuci slide dengan washing solution pada 55oC selama 45 menit dan

diinkubasi pada washing solution selama tiga kali 60 menit.

10. Inkubasi pada 2 X SSC buffer 15 menit pada suhu ruang.

11. Inkubasi pada 0,1 X SSC buffer pada 50oC selama 15 menit dan

12. lanjutkan inkubasi pada buffer yang sama selama 30 menit pada suhu

ruang.

13. Dehidrasi kembali slide menggunakan etanol seri dari 30% sampai 95%,

yang masing-masing mengandung 0,3 M ammonium asetat, dan etanol

absolut, masing-masing selama 1 menit.

14. Cuci dengan TNT buffer, ulangi selama tiga kali, masing-masing selama 5

menit.

15. Kemudian diblocking menggunakan TNB buffer semalam.

16. Reaksikan dengan SA-HRP (1:500 dalam TNB buffer), selama 30 menit

dalam suhu ruang.

17. Cuci dengan TNT buffer, tiga kali, masing-masing selama 15 menit.

Kemudian

18. Inkubasi dalam chromogen – DAB 10 menit, dan bilas dengan TNT buffer,

tiga kali, masing-masing selama 15 menit.

19. Serap dengan kertas tissue sisa TNT buffer.

20. Conterstaning dengan mayer hematoxilen selama 10 menit dan

21. bilas dengan tap water.

22. Kering-anginkan slide dan teteskan entelan dan tutup dengan cover

glass. Amati pada mikroskop cahaya Olympus CX-41 dengan

pembesaran 400X (sukartini, 2013, Bain et al., 2012).

79

4.6 Kerangka Operasional

Gambar 4.1 Kerangka operasional

Keterangan gambar Pasien diduga menderita AML, MDS-related AML diberikan penjelasan dan

memberikan tanda tangan pada inform concent. Pasien diambil darah tepi dan

aspirasi sumsum tulang. Hasil pemeriksaan hapusan darah tepi, hapusan aspirasi

sumsum tulang (1), hasil pemeriksaan morfologi blast lebih dari 20% dan aspirasi

sumsum tulang (2) digunakan untuk pemeriksaan Immunophenotyping interpretasi

Myeloid lineage, memberikan diagnosis AML, MDS-related AML. Non AML

dilakukan eksklusi, sedangkan AML, MDS-related AML dimasukkan inklusi, Umur

14 – 77 tahun. Aspirasi Sumsum Tulang (2) dilakukan pemeriksaan PCR dan CISH,

hasil pemeriksaan mutasi gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 menggunakan PCR dan

pemeriksaan kromosom yaitu delesi kromosom 5 del(5q) menggunakan CISH.

Pengumpulan data yang telah masuk dalam kriteria inklusi dimasukkan tabel untuk

analisa.

MAKROSITER

RRER

80

4.7 Rancangan analisa data

Analisa data dilakukan setelah semua pemeriksaan selesai, peneliti

memasukkan data sebagai berikut

4.8.1 Analisa deskriptif

Sampel sebanyak 31 sampel: berdasarkan umur, jenis kelamin,

pendidikan.

4.8.2 Analisa Regresi Logistik

4.8.2.1 Variable dependen mempunyai skala pengukuran nominal yang terdiri

dari dua kategori positif (0) atau negatif (1) sedangkan variable bebas

(independen) dapat mempunyai skala pengukuran nominal, ordinal,

interval maupun rasio.

4.8.2.2 Model regresi logistik : MDS related AML = del(5q)

4.8.2.3 Probabilitas:

{𝐝𝐞𝐥(5q)=1}=1/1+e-(β0 +β1.RUNX1+β2.FLT3+β3.NRAS+β4.NPM1)

4.8.3 Analisa ROC (Receiver Operating characteristics)

4.8.3.1 Analisis ROC peringkat dan hasil tes diagnostik berkelanjutan versus

gold standar.

4.8.3.2 Area di bawah kurva (AUC) memiliki interpretasi yang berarti untuk

klasifikasi penyakit dari subjek yang sehat.Metode estimasi AUC dan

pengujiannya dalam uji diagnostik tunggal dan juga studi komparatif.

4.8.3.3 Keuntungan kurva ROC untuk menentukan nilai cut-off optimal

(Hajian -Tilaki, 2013 Hulley & Cummings, 1988).

84

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik dasar pasien AML

5.1.1 Hasil data karakteristik dasar

Hasil penelitian dasar karakteristik yang mana peneliti mengambil di

Rawat Inap di Laboratorium/instalasi Ilmu Penyakit Dalam Hematologi-Onkologi

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD dr Soetomo, Surabaya,

Indonesia, jumlah seluruh sampel 36 orang, 5 sampel di ekslusi, yang

dipergunakan untuk penelitian 31 sampel pada tahun 2017 - 2018, sebagai

berikut:

Tabel 5.1 Deskripsi Data Dasar karakteristik 36 pasien AML, MDS-related

AML

Karakteristik Jumlah

(31 sampel) Prosentase (%)

Usia (tahun)

14 – 24 25 – 35 36 – 46 47 – 57 58 – 68 69 – 79 80 – 90

4 4 9 6 7 0 1

12,90 12,90 29,03 19,35 22,58

0 3,24

Jenis kelamin Laki-laki

Perempuan 22 9

70,97 29,03

Pekerjaan

Pegawai swasta PNS/TNI

Wiraswasta Ibu rumah tangga

Petani Pelajar

15 6 3 2 4 1

48,39 19,35 9,67 6,45 12,90 3,24

Pendidikan

SD SMP SMA

Perguruan Tinggi

2 11 12 6

6,45 35,49 38,71 19,35

Immunophenotyping

Myeloid Lineage

30

96,76

Data yang didapatkan sebanyak 36 subyek sampel, 31 sampel dengan

diagnosis AML sedangkan 5 sampel dengan diagnosis klinik, morfologi sebagai

85

MDS, maka total sampel yang dilakukan analisis 31 sampel, eksklusi 5 sampel

dengan diagnosis MDS (lampiran 2).

Data dasar karakteristik subyek penelitian ini sebagai berikut pada usia

terbanyak yang mengikuti penelitian ini adalah kelompok usia 36 – 46 tahun

tertinggi, usia tua yaitu 80 – 90 tahun (3,24%). Jenis kelamin laki-laki insiden

lebih tinggi dari pada perempuan yaitu laki-laki lebih tinggi perempuan.

5.1.2 Polimorfisme NRAS sebagai prediktor perubahan Myelodisplastic

Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia (MDS-related AML).

MDS-related AML dapat diprediksi dengan beberapa gen mutasi, antara

lain: NRAS, sebagai berikut:

Tabel 5.2 Hasil pemeriksaan Polimorfisme NRAS berdasarkan umur, jenis

kelamin, gen NRAS mutasi/tiddak mutasi

Umur (Tahun) Jenis Kelamin NRAS Mutasi

Keterangan L P (+) (-)

14 – 24 3 1 2 2

Jumlah sampel yang dilakukan

analisis 31 sampel

25 – 35 2 2 3 1 36 – 46 7 2 8 1 47 – 57 3 3 4 2 58 – 68 6 1 5 2 69 – 79 - - - - 80 – 90 1 - 1 -

JUMLAH 22 9 23 8

Keterangan: NRAS mutasi : terdapat mutasi (+), tidak ada mutasi (-) Jenis kelamin : L : laki-laki, P : perempuan

Hasil pemeriksaan NRAS didapatkan 23 sampel dari 31 sampel mutasi

NRAS (74,19%). Mutasi NRAS terbanyak pada umur 36 – 46 tahun selanjutnya

Umur lanjut antara 80 – 90 tahun 1 orang (3,22%) (Tabel 5.2). Sampel Laki-laki

lebih banyak dari pada perempuan.

5.1.3 Polimorfisme RUNX1 sebagai prediktor perubahan Myelodisplastic

Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia (MDS-related AML).

86

MDS-related AML dapat diprediksi dengan beberapa gen mutasi, antara

lain: RUNX1, sebagai berikut:

Tabel 5.3 Hasil pemeriksaan Polimorfisme RUNX1 berdasarkan umur, jenis

kelamin, gen RUNX1 mutasi/tidak mutasi

Umur (tahun) Jenis Kelamin RUNX1 Mutasi

Keterangan L P (+) (-)

14 - 24 3 1 2 2

Jumlah sampel yang dilakukan analisis 31

sampel

25 – 35 1 3 3 1 36 – 46 6 3 6 3 47 – 57 5 1 3 3 58 – 68 6 1 3 4 69 - 79 - - - - 80 - 90 1 - 1 -

JUMLAH 22 9 18 13

Keterangan:

RUNX1 mutasi: terdapat mutasi (+), tidak ada mutasi (-) Jenis kelamin: L : laki-laki, P : perempuan

Hasil pemeriksaan RUNX1 didapatkan 18 sampel mutasi RUNX1

(58,06%), sedangkan mutasi gen RUNX1 terbanyak pada umur 36 – 46 tahun,

Umur lanjut antara 80 – 90 tahun 1 orang (3,22%) (Tabel 5.3). Sampel Laki-laki

lebih banyak dari pada perempuan.

5.1.4 Polimorfisme NPM1 sebagai prediktor perubahan Myelodisplastic

Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia (MDS-related AML).

MDS-related AML dapat diprediksi dengan beberapa gen mutasi, antara

lain: NPM1, sebagai berikut:

Tabel 5.4 Hasil pemeriksaan Polimorfisme NPM1 berdasarkan umur, jenis

kelamin, gen NPM1 mutasi/tidak mutasi

Umur (Tahun) Jenis Kelamin NPM1 Mutasi

Keterangan L P (+) (-)

14 - 24 3 1 4 -

Jumlah sampel yang dilakukan analisis 31

sampel

25 – 35 1 3 2 2 36 – 46 6 3 8 1 47 – 57 5 1 4 2 58 – 68 6 1 7 - 69 - 79 - - - - 80 - 90 1 - 1 -

JUMLAH 22 9 26 5

Keterangan: NPM1 mutasi: terdapat mutasi (+), tidak ada mutasi (-)

87

Jenis kelamin: L : laki-laki, P : perempuan

Hasil pemeriksaan NPM1 didapatkan 26 sampel mutasi NPM1

(83,87%), sedangkan Mutasi NPM1 terbanyak pada umur 36 – 46 tahun

sebanyak 8 sampel (25,80%), umur lanjut antara 80 – 90 tahun 1 orang (3,22%)

(Tabel 5.4). Sampel Laki-laki lebih banyak dari pada perempuan.

5.1.5 Polimorfisme FLT3 sebagai prediktor perubahan Myelodisplastic

Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia (MDS-related AML).

MDS-related AML dapat diprediksi dengan beberapa gen mutasi, antara

lain: FLT3, sebagai berikut:

Tabel 5.5 Hasil pemeriksaan Polimorfisme FLT3 berdasarkan umur, jenis

kelamin, gen FLT3 mutasi/tidak mutasi

Umur (Tahun) Jenis Kelamin FLT3 Mutasi

Keterangan L P (+) (-)

14 - 24 3 1 3 1

Jumlah sampel yang dilakukan analisis 31

sampel

25 – 35 1 3 4 - 36 – 46 5 3 6 3 47 – 57 6 1 5 1 58 – 68 6 1 6 1 69 - 79 - - - - 80 - 90 1 - 1 -

JUMLAH 22 9 25 6

Keterangan: FLT3 mutasi: terdapat mutasi (+), tidak ada mutasi (-) Jenis kelamin: L : laki-laki, P : perempuan

Hasil pemeriksaan FLT3 didapatkan 25 sampel mutasi FLT3 (80,64%).

Mutasi FLT3 terbanyak pada umur 36 – 46 tahun, umur lanjut antara 80 – 90

tahun 1 orang (3,22%) (Tabel 5.5). Insiden sampel Laki-laki lebih banyak dari

pada perempuan.

88

5.1.6,7 Polimorfisme delesi kromosom 5 del(5q) dan Kromosom 5 normal

sebagai prediktor perubahan Myelodisplastic Syndrome menjadi

Acute Myeloid Leukemia (MDS-related AML).

MDS-related AML dapat diprediksi dengan beberapa gen mutasi, dan

delesi kromosom 5 del(5q) dan kromosom 5 normal sebagai berikut:

Tabel 5.6 Hasil pemeriksaan Polimorfisme delesi Kromosom 5 del(5q) dan

kromosom 5 normal berdasarkan umur, jenis kelamin

Umur (Tahun)

Jenis Kelamin Delesi Kromosom 5 Del(5q) Keterangan

L P (+) (-)

14 – 24 3 1 4 - Jumlah sampel

yang dilakukan analisis 31

sampel

25 – 35 1 3 2 2 36 – 46 6 3 7 2 47 – 57 5 2 5 2 58 – 68 6 - 5 1 69 – 79 - - - - 80 – 90 1 - 1 -

JUMLAH 22 9 24 7

Keterangan: Delesi Kromosom 5 del(5q): delesi kromosom 5 del(5q) (+), kromosom 5 normal (-) Jenis kelamin: L : laki-laki, P : perempuan

Hasil pemeriksaan delesi kromosom 5 del(5q) didapatkan 24 sampel

(77,41%), Delesi kromosom 5 del(5q) terbanyak pada umur 36 – 46 tahun

sebanyak 7 sampel (22,58%), insiden umur terbanyak antara umur 25-35 tahun,

36-46 tahun, 47-57 tahun yang mana rata-rata 6,45% (Tabel 5.6). Sampel Laki-

laki lebih banyak dari pada perempuan.

5.1.8. Analisis statistik polimorfisme gen NRAS, RUNX, NPM1, FLT3 dan

delesi keomosom 5 del(5q) menjadi MDS-related AML.

Analisis statistik menggunakan ROC (Receiver Operating

Characteristics) dan Regresi Logistik sebagai berikut:

5.1.8.1. Pemeriksaan morfologi, gen dan kromosom, analisis statistik

Pada penelitian ini terdapat 31 sampel yang mana akan dilakukan

analisis dengan Regresi Logistik dan ROC.

89

Tabel 5.7 Ringkasan Pengolahan Kasus

Kasus N

(besar sampel) Prosentase

Kasus yang diseleksi

Kasus di analisis 31 100,0

Kasus tidak di analisis 0 0 Total 31 100,0 Kasus yang tidak masuk seleksi

0 .0

Total 31 100,0

5.1.8.2. Metode statistik ROC (Receiver operating Characteristics)

Diskripsi ROC curve analysis

Analisa kurva ROC memungkinkan kita untuk membuat kurva ROC dan

laporan sensitivitas yang lengkap. Kurva ROC adalah alat yang fundamental

untuk evaluasi test diagnostik. Dalam kurva ROC true positive rate di-plot dalam

fungsi false positive rate (1- Specificity) untuk cut-off point yang berbeda dari

setiap parameter. Setiap point dalam kurva ROC menunjukkan pasangan

sensitif/spesifik yang berhubungan dengan setiap keputusan. Area di bawah

kurva ROC adalah pengukuran dari seberapa baik sebuah parameter dapat

membedakan Antara dua grup diagnostik (abnormal/normal).

5.1.8.3 Hasil analisis ROC

Hasil pemeriksaan kurva ROC menunjukkan hasil dibawah kurva

76,5% (tabel 5.9), faktor gen (RUNX1, FLT3, NRAS, NPM1) mempengaruhi

MDS-related AML.

Tabel 5.8 Hasil pemeriksaan delesi kromosom 5 del(5q)

Delesi kromosom 5 del(5q) (MDS-related AML) Valid ( N )

Positif 24 Negatif 7

Keterangan: Nilai yang lebih besar pada hasil tes variabel menunjukkan bukti yang lebih kuat untuk keadaan aktual yang positif. Keadaan aktual yang positif ditunjukkan dengan (+), Negatif ditunjukkan dengan (-)

90

Tabel 5.8. menyatakan bahwa sampel penelitian sebanyak 31 terdapat

24 (dua puluh empat) delesi kromosom 5 del(5q) (positif), 7(tujuh) kromosom 5

normal (negatif).

Tabel 5.9 Area dibawah kurva (AUC)

Area 95% confidence interval P

0,765(76,5%) Batas bawah Batas atas 0,036

0,574(57,4%) 0,956(95,6%)

Tabel 5.9, area dibawah kurva (AUC) 76,5%, confidence interval 95%,

dan signifikan (P = 0,036), menunjukkan bahwa faktor (RUNX1, FLT3, NRAS,

NPM1) yang mempengaruhi MDS-related AML adalah valid dan bisa didapatkan

cut-off value (gambar 5.1).

Gambar 5.1 Kurva ROC dari perubahan MDS menjadi AML.

Kurva ROC Probabilitas dibawah 0,7825584010 (low risk), diatas

0,7825584010 (high risk), sebagai berikut (lihat gambar):

91

Gambar 5.2 Probabilitas dibawah 0,7825584010 (low risk), diatas 0,7825584010 (high risk), Sensitivitas 0,708, spesifisitas 0,714.

Keterangan gambar : * sensitifitas 0,708, spesifitas 0,714

Gambar 5.2. diatas probabilitas 0,7825584010 adalah prediktor kuat

sedangkan dibawah probabilitas 0,7825584010 merupakan prediktor lemah. Hal

tersebut dapat dilihat (pada tabel 2.8), probabilitas MDS-related AML yaitu

dibawah angka probabilitas 0,731884 adalah prediktor lemah, diatas angka

probabilitas 0,833273 termasuk prediktor kuat.

Menurut tabel 5.12, menyatakan bahwa delesi kromosom 5 del(5q) dan

kromosom 5 normal yaitu delesi kromosom 5 del(5q) atau kromosom 5 dengan

berbagai variasi mutasi gen atau tidak ada mutasi RUNX1, FLT3, NRAS, NPM1.

5.1.8.4 Sensitivitas dan spesifisitas cut-off probabilitas

Tabel 5.10. menunjukkan bahwa cut-off probabilitas sensitivitas 70,8%

dan spesisitas 71,4% perubahan MDS menjadi AML (nilai cut-off) yaitu

0,7825584010.

*

92

Tabel 5.10 Hasil Variabel : probabilitas MDS-related AML

Positif jika ≥ a No. Sensitifitas 1 – spesifisitas spesifisitas

0.0000000000 1 1.000 1.000 0.000 .4342392130 2 .958 .857 0.143 .6182394205 3 .875 .571 0.429 .7169388935 4 .833 .429 0.571 .7825584010 5 .708 .286 0.714 .8429902415 6 .625 .286 0.714 .8573538955 7 .292 0.000 1.000 .9132656980 8 .250 0.000 1.000 .9668813630 9 .167 0.000 1.000

1.0000000000 10 .000 0.000 1.000

Keterangan: Tes hasil variabel hasil: probabilitas MDS-related AML mempunyai paling sedikit satu ikatan antara kelompok keadaan positif dan negatif yg sesungguhnya. a. nilai cut-off paling kecil adalah nilai tes observasi minimum minus 1, dan nilai

cut-off paling besar adalah hasil tes observasi maksimum plus 1, semua nilai cut-off lainnya adalah rata-rata dari 2 nilai tes observasi secara berurutan.

Kombinasi pemeriksaan genetik dan sitogenetik NRAS, RUNX1,

NPM1, FLT3 dan Delesi kromosom 5 del(5q) sebagai parameter untuk prediktor

MDS-related AML, tabel 5.11 menunjukkan bahwa pemeriksaan parameter

tersebut diatas sebagai prediksi adanya mutasi lebih baik (PPV 90,9%) dari pada

merupakan prediksi tidak terjadi mutasi (NPV 42,9 %). Tabel 5.11 menunjukkan

spesifisitas maupun sensitivitas diatas 70%, maka pemeriksaan genetic dan

sitogenetik dapat dipergunakan sebagai sekrening maupun diagnosis.

Tabel 5.11, Nilai validitas kombinasi NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dan

Delesi kromosom 5 del(5q) sebagai prediktor MDS-related AML

93

5.1.8.5 Progresivitas gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 terjadi MDS-related AML

Area dibawah kurva (AUC) 76,5%, confidence interval 95%, dan

signifikan (P = 0,036), menunjukkan bahwa faktor gen RUNX1, FLT3, NRAS,

NPM1 sebagai prediktor perubahan MDS-related AML adalah valid dan bisa

didapatkan cut-off value (Tabel 5.9; Gambar 5.1).

Tabel 5.12 Hasil Regresi Logistik (hubungan prediktor gen dengan MDS-

related AML)

Variables Β Wald Df PR

NRAS 2,446 3,236 1 11,543 RUNX1 (-)1,694 1,617 1 0,184 NPM1 1,618 1,688 1 5,043 FLT3 0,147 0,012 1 1,158

Constant del(5q) -,761 ,160 1 0,467

PR: Prevalence Risk Keterangan: Mutasi NRAS mempunyai β tertinggi 2,446, PR 11,543 adalah PR tertinggi berarti meningkatkan risiko MDS-related AML sebesar 11.543 kali; mutasi RUNX1 β (-) 1,694, PR 0,184 adalah PR terendah, berarti menurunkan risiko MDS-related AML sebesar 0,184 kali sedangkan Mutasi NPM1 mempunyai β 1,618, PR 5,043; mutasi FLT3 β 0,147; PR 1,158 meningkatkan risiko MDS-related AML.

5.1.8.6 Rumus Probabilitas

{𝐝𝐞𝐥(5q)=1}=1/1+e-(β0 +β1.RUNX1+β2.FLT3+β3.NRAS+β4.NPM1)

5.1.8.7 Variasi statistik 16 variasi gen mutasi/tidak mutasi dengan delesi

kromosom 5 del(5q)/kromosom 5 normal

Hasil penelitian stud statistik didapatkan 16 variasi dari Gen NRAS,

RUNX1, NPM1, FLT3 terhadap Probabilitas MDS-related AML (delesi

kromosom 5 del(5q), variasi tersebut dapat dilihat di (tabel 5.12)

94

Tabel 5.13 Variasi Gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 terhadap Probabilitas

MDS-related AML

NRAS RUNX1 NPM1 FLT3

Prob. MDS related AML

MDS related AML [Delesi kromosom 5

del(5q)]

1 - + - - 0.079074 -

2 - + - + 0.090463 -

3 - + + - 0.302167 -

4 - - - - 0.318429 -

5 - + + + 0.334033 -

6 - - - + 0.351147 -

7 + + - - 0.497750 -

8 + + - + 0.534445 -

9 - - + - 0.702033 -

10 - - + + 0.731844 -

11 + + + - 0.833273 +

12 + - - - 0.843565 +

13 + + + + 0.852708 +

14 + - - + 0.862000 +

15 + - + - 0.964532 +

16 + - + + 0.969231 + Keterangan: Abnormalitas gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dan abnormalitas delesi kromosom 5 del(5q) sebagai prediktor MDS-related AML: delesi kromosom 5 del(5q) negatif (-) sebagai prediktor lemah (0,731884) dibawah cut-off 0,7825584010, sedangkan delesi kromosom 5 del(5q) positif (+) sebagai prediktor kuat (0,833273) diatas cut-off 0,7825584010. Gen RUNX1 mempunyai aktivitas menghambat MDS menjadi AML (tabel 5.1) (-) 1,694, dapat ditunjukkan pada Mutasi NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 (deret variasi no. 13) probabilitas MDS-related AML 0.852708, sedangkan mutasi NRAS, NPM1, FLT3 (deret variasi no. 16) probabilitas MDS-related AML 0.969231 dan keduanya mempunyai delesi kromosom 5 del(5q) positif (+).

5.2. Hasil penelitian diskriptif dan statistic ROC, Regresi Logistik

Hasil penelitian didapatkan prediktor kuat menjadi MDS-related AML

yaitu delesi kromosom 5 del(5q) dengan variasi mutasi gen > cut-off

0,7825584010. Prediktor lemah untuk terjadinya MDS-related AML yaitu

kromosom 5 normal dengan variasi mutasi NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 < cut-off

0,7825584010 (tabel 5.10, 5.11, 5.12). Pada kromosom 5 normal dengan variasi

mutasi gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 sebagai berikut: mutasi gen RUNX1

dengan berbagai variasi terdapat 6 dari 10 variasi (60%), mutasi gen RUNX1 β (–

95

) 1,694 dan PR 0,184, termasuk mutasi gen RUNX1 tunggal dengan probabilitas

paling rendah (0,079074) untuk menjadi MDS-related AML. NRAS terdapat 2 dari

10 variasi (20%), setiap mutasi NRAS β 2,446 dan PR 11,543 (tabel 5.11). NPM1

terdapat 2 dari 10 variasi (20%), setiap mutasi NPM1 β 1,618 dan PR 5,043

(tabel 5.11). FLT3 terdapat 5 dari 10 variasi (50%), setiap mutasi FLT3 β 0,147

dan PR 1,158 (tabel 5.11). Mutasi gen NRAS, RUNX1, FLT3, mempunyai

probabilitas (0,534445) lebih rendah dibandingkan probabilitas mutasi gen

NPM1, FLT3 (0,731844) untuk menjadi MDS-related AML (tabel 5.12). Prediktor

kuat untuk terjadinya MDS-related AML yaitu delesi kromosom 5 del(5q) dengan

variasi mutasi gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 > probabilitas cut-off

0,7825584010 (tabel 5.10, 5.11, 5.12). Mutasi gen NRAS dengan berbagai

variasi terdapat 6 dari 6 variasi (100%), termasuk mutasi gen NRAS tunggal

dengan probabilitas (0,843565), dibandingkan dengan probabilitas mutasi gen

NRAS, RUNX1, NPM1 (0,833273), sedangkan mutasi gen NRAS, RUNX1,

NPM1, FLT3 (0,852708). Mutasi gen NRAS, NPM1, FLT3 mempunyai

probabilitas menjadi MDS-related AML tertinggi yaitu 0,969231. Hasil

pemeriksaan Immunotyping : myeloid lineage, morfologi dari sel darah tepi dan

sumsum tulang, pemeriksaan molekuler: mutasi gen menggunakan PCR,

pemeriksaan sitogenetik menggunakan CISH: delesi kromosom 5 del(5q) dan

kromosom 5 normal (lampiran 6)

96

BAB 6

PEMBAHASAN

6.1 Data dasar karakteristik subyek penelitian

Pada penelitian ini sampel sebanyak 31 sampel sebagai berikut pada

usia terbanyak yang mengikuti penelitian ini adalah 36 – 46 tahun (29,03%); 58 –

68 tahun (22,58%), sedangkan usia tua yaitu 80 - 90 tahun (3,24%). Jenis

kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan. Hasil pemeriksaan

immunophenotyping yaitu myeloid lineage 96,76%, diagnosis pasien

berdasarkan pemeriksaan klinik, immunophenotyping, hapusan aspirasi sumsum

tulang (BMA).

Subyek penelitian ini sebanyak 36 sampel, 5 sampel dilakukan eksklusi

karena diagnosis klinik MDS, Leukemia non myelocytic, setelah dilakukan

pemeriksaan Immunophenotyping (gambar 5.5), pemeriksaan hapusan sumsum

tulang (gambar 5.6), sehingga subyek yang dipergunakan dengan diagnosis AML

sebanyak 31 sampel, pemeriksaan abnormalitas gen menggunakan PCR

(gambar 5.3), dan pemeriksaan sitogenetik (CISH) (gambar 5.4).

Menurut data yang diambil oleh peneliti di bagian Patologi Klinik RSUD dr

Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur

periode tanggal 2 Januari sampai dengan 30 Oktober tahun 2014 didapatkan

jumlah penderita 181 orang, dengan rentang umur 14 – 77 tahun. Hasil penelitian

pendahuluan, berdasarkan morfologi sel hapusan darah tepi (HDT) yaitu: AML

tertinggi 38,66 % (70 orang), CML 37,57%, ALL 14,92%, Myelodisplastic

Syndrome (MDS) 4,98% (9 orang). Diagnosis MDS perempuan mempunyai risiko

lebih tinggi dari pada laki-laki demikian juga diagnosis AML risiko perempuan

lebih tinggi dari pada laki-laki yaitu perempuan 40 orang (40%), dan laki-laki 30

orang (30%). Data penelitian ini, penderita dengan diagnosis AML sebanyak 70

97

orang: risiko tertinggi AML pada usia 46 – 61 tahun (37,14%). Penderita dengan

diagnosis MDS Usia 14 – 29 tahun yang mempunyai risiko tinggi sebanyak 4

orang (44,4%), pada usia tua 62 – 77 tahun 1 orang (11,1%) (accepted, akan

publikasi di Journal Drug Invension Today).

Menurut WHO (World Health organization) insiden leukemia terjadi

hampir di seluruh dunia, kasus kanker yang tercatat sekitar 250 kasus baru per

tahun dengan Case Fatality Rate (CFR) 76%. Kasus baru kanker sebanyak

100.000 didapatkan penderita AML sekitar 2,5%, dan ALL sekitar 1,3%. Pada

tahun 2006, American Cancer Society memprediksi bahwa 11.930 pria dan

wanita (6350 pria dan 5580 wanita) di Amerika Serikat telah didiagnosis

menderita AML (Deschler & Lübbert, 2006). Pada kelompok median umur 67

tahun, insiden lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita yaitu 4,3 : 2,9. Di

Indonesia insiden Leukemia Akut diprediksi sekitar 3,4 kasus setiap 100.000

populasi per tahun (Aulya et al., 2014 ). Hasil penelitian, data dasar karakteristik

dibandingkan dengan hasil peneliti di luar negeri yaitu berdasarkan jenis kelamin

laki-laki lebih banyak dari pada perempuan, rentang umur lebih muda yaitu 46-61

tahun, 58-68 tahun, sedangkan usia lanjut 80 – 90 tahun (3,24%). Keadaan

tersebut mungkin terjadi karena jumlah sampel yang kecil, fasilitas kesehatan

kualitas masih kurang memadai.

Analisis statistik sampel penelitian 31 terdapat 24 (dua puluh empat)

delesi kromosom 5 del(5q) (positif), dengan berbagai variasi mutasi NRAS,

RUNX1, NPM1, FLT3. 7(tujuh) kromosom 5 (normal) dengan berbagai variasi

mutasi NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3. Tabel 5.7, 5.8 area dibawah kurva (AUC)

76,5%, confidence interval 95%, dan signifikan (P = 0,036), menunjukkan bahwa

faktor mutasi gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dan delesi kromosom 5 del(5q)

sebagai prediktor MDS-related AML adalah valid dan bisa didapatkan cut-off

value (gambar 5.1, 5.2; tabel 5.9).

98

Hasil penelitian tersebut diatas, didukung oleh penelitian dari 1) Shiozawa

et al., 2017, ekspresi gen dan risiko MDS transformasi menjadi leukemik,

memeriksa mutasi gen antara lain NRAS, RUNX1, FLT3, abnormalitas

sitogenetik antara lain: delesi kromosom 5 del(5q), sel imatur (blast) dan gejala

klinik. Pada kurva ROC didapatkan AUC 86%, confidence interval 95%,

menunjukkan bahwa ekspresi gen mendukung prognostik, diagnostik MDS

transformasi leukemik (Shiozawa et al., 2017). Selain penelitian tersebut diatas,

2) penelitian Osato, 2004 menyatakan bahwa frekwensi mutasi pada gen

RUNX1/AML1 didapatkan berbagai variasi pada penderita kanker maupun orang

normal, yaitu AML (M0) prosentase mutasi 21%, MDS (RAEB/RAEB-t)

prosentase mutasi 15,9%, MDS-related AML prosentase mutasi 15,0%,

sedangkan orang normal prosentase mutasi 2,6% (Osato, 2004; Rocquain et al.,

2010). 3) Etiologi MDS tidak diketahui dengan pasti tetapi faktor abnormalitas

sitogenetik, molekuler, epigenetik dapat berkembang menjadi MDS.

Menurut penelitian Agersborg et al., 2015 bahwa mutasi FLT3, NPM1,

dan WT1 adalah abnormalitas molekuler yang dapat dipergunakan sebagai

kriteria diagnosis pasien AML yang obyektif lebih baik dari pada aspirasi sumsum

tulang (Walter et al., 2012). Mutasi gen tersebut dideteksi sebanyak 49% pada

penderita AML dan 50% kasus AML dapat dibuat diagnosis dengan mendeteksi

abnormalitas molekuler, tidak memperhatikan morfologi sumsum tulang.

Delesi kromosom 5 del(5q) atau kromosom 5 normal dengan berbagai

variasi mutasi gen atau tidak mutasi (normal) NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3,

variasi tersebut sebanyak 16 macam variasi (tabel 5.12).

99

6.2 NRAS sebagai prediktor MDS-related AML

Area dibawah kurva (AUC) 76,5%, confidence interval 95%, dan

signifikan (P = 0,036), menunjukkan bahwa faktor gen RUNX1, FLT3, NRAS,

NPM1 sebagai prediktor perubahan MDS-related AML adalah valid dan bisa

didapatkan cut-off value (Tabel 5.9; Gambar 5.1).

Pada penelitian ini dapat sebagai prediktor kuat untuk menjadi MDS-

related AML yaitu delesi kromosom 5 del(5q) dengan variasi gen (NRAS), cut-off

probbilitas > 0,7825584010 (tabel 5.12), sebagai berikut:

1. Mutasi gen NRAS, RUNX1, dan NPM1 dengan probabilitas 0,833273,

mempunyai risiko tinggi menjadi MDS-related AML.

2. Mutasi gen NRAS dengan probabilitas 0.843565, mempunyai risiko lebih

tinggi menjadi MDS-related AML dibandingkan dengan ad.1.

3. Mutasi gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dengan probabilitas 0,852708,

mempunyai risiko lebih tinggi menjadi MDS-related AML dibandingkan

dengan ad.2.

4. Mutasi gen NRAS, FLT3 dengan probabilitas 0,862000, mempunyai risiko

lebih tinggi menjadi MDS-related AML dibandingkan dengan ad.3.

5. Mutasi gen NRAS, NPM1 dengan probabilitas 0,964532, mempunyai

risiko lebih tinggi menjadi MDS-related AML dibandingkan dengan ad.4.

6. Mutasi gen NRAS, NPM1, F;T3 dengan probabilitas 0,969231,

mempunyai risiko tertinggi untuk menjadi MDS-related AML dibandingkan

variasi yang lain.

Variasi stastistik NRAS 100%, artinya didaptkan 6 mutasi gen NRAS dari

6 variasi sebagai prediktor kuat MDS-related AML, variasi NRAS, RUNX1, NPM1

sebagai prediktor lemah, sedangkan variasi sebagai prediktor paling kuat adalah

NRAS, NPM1, FLT3. Mutasi NRAS ditemukan 23 sampel dari 31 sampel

(74,19%) pada diagnosis AML. Mutasi gen NRAS β 2,446 dan PR 11,543 berarti

100

setiap peningkatan 1 satuan NRAS, maka akan ada peningkatan 11,543 kali

kemungkinan terjadi MDS-related AML (lihat tabel 5.11, 5.2).

Prediktor lemah untuk menjadi MDS-related AML yaitu kromosom 5

normal dengan variasi gen NRAS mempunyai probabilitas < 0,7825584010 (tabel

5.12), sebagai berikut:

1. Mutasi gen NRAS, RUNX1, dengan probabilitas 0,497750 sebagai

prediktor lemah untuk menjadi MDS-related AML.

2. Mutasi gen NRAS, RUNX1, FLT3 dengan probabilitas 0,534445, sebagai

prediktor lemah untuk menjadi MDS-related AML.

Mutasi NRAS ditemukan 6 mutasi NRAS dari 6 variasi termasuk mutasi

NRAS dengan probabilitas: 0,843565, dibandingkan dengan probabilitas mutasi

RUNX1, NRAS, NPM1: 0,833273. Mutasi NRAS, NPM1, FLT3 sebagai prediktor

paling kuat menjadi MDS-related AML dengan probabilitas 0,969231. Hal

tersebut diatas terjadi karena mutasi NRAS β 2,446 dan PR 11,543 berarti setiap

peningkatan 1 satuan NRAS, maka terjadi peningkatan 11,543 kali kemungkinan

MDS-related AML.

Menurut peneliti Takshashi, Hoffman et al., bahwa mutasi faktor jalur

transduksi sinyal melibatkan mutasi SCFR (Stem cell factor reseptor) atau

tyrosine-protein kinase (KIT) dan gen fms-related tyrosine kinase 3 (FLT3) dalam

jalur transduksi yang sama. Pada penderita AML yang diperiksa dengan PCR

didapatkan abnormalitas genetik yang menunjukkan mutasi jalur transduksi

sinyal gen NRAS, FLT3 yang menyebabkan proliferasi atau pertumbuhan sel

yang tidak terkendali (Hoffman et al., 2013; Takahashi, 2011).

Menurut penelitian Walter et al., 2012, menyatakan bahwa MDS menjadi

Secondary-AML (sAML) atau MDS-related AML mengalami proses yang

progresivitas cepat untuk menjadi sAML yaitu < 6 bulan (6,7% dari mutasi yang

spesifik menjadi sAML) dan progresivitas lambat yaitu > 20 bulan (37,8% dari

101

mutasi yang spesifik menjadi sAML) (Walter et al., 2012). Pada penelitian

terdahulu dapat dihubungkan dengan waktu (Walter et al., 2012) sebagai

prediktor kuat untuk menjadi MDS-related AML yaitu delesi kromosom 5 del(5q)

dengan variasi gen cut-off > 0,7825584010, korelasi dengan waktu < 6 bulan

untuk menjadi sAML (Walter et al., 2012), sedangkan prediktor lemah untuk

menjadi MDS-related AML yaitu kromosom 5 normal dengan variasi NRAS,

RUNX1, NPM1, FLT3 < probabilitas 0,7825584010, waktu > 20 bulan untuk

menjadi sAML (MDS-related AML) (Walter et al., 2012). Keadaan tersebut diatas

didukung oleh penelitian Ceesay et al., 2012, MDS transformasi menjadi AML

membutuhkan waktu antara 5-6 tahun, diikuti paparan lingkungan makro dan

mikro sampai terjadi leukemogenesis, faktor risiko tergantung besarnya paparan.

Pada saat terjadi MDS-related AML antara 12 – 130 bulan, insiden tersebut

dihubungkan dengan mutasi gen dan kromosom, pemeriksaan aspirasi sumsum

tulang pada kasus AML dijumpai dalam jumlah sedikit fase displastik (lihat tabel

5.2 – 5.6) (Ceesay et al., 2012).

Hasil penelitian tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa Mutasi NRAS,

RUNX1, NPM1, FLT3 adalah prediktor terjadinya MDS-related AML dengan

delesi kromosom 5 del(5q) (p = 0,036). Cut-off probabilitas sensitifitas 70,8% dan

spesifisitas 71,4% perubahan MDS-related AML yaitu 0,7825584010. Diskusi

tersebut diatas, pemeriksaan NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dan sitogenetik delesi

kromosom 5 del(5q) dapat dipergunakan untuk memperbaiki prediksi MDS-

related AML, dan terapi sedini mungkin, sedangkan untuk dihubungkan dengan

waktu memerlukan penelitian tersendiri.

102

6.3 RUNX1 sebagai prediktor MDS-related AML

Pada penelitian ini dapat sebagai prediktor kuat untuk menjadi MDS-

related AML yaitu delesi kromosom 5 del(5q) dengan variasi gen RUNX1, cut-off

probbilitas > 0,7825584010 (tabel 5.12), sebagai berikut:

1. Mutasi gen NRAS, RUNX1, dan NPM1 dengan probabilitas 0,833273,

sebagai prediktor kuat menjadi MDS-related AML.

2. Mutasi gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dengan probabilitas 0,852708,

sebagai prediktor kuat menjadi MDS-related AML dari ad.1.

Variasi stastistik RUNX1 33,33%, artinya terdapat 2 mutasi gen RUNX1

dari 6 variasi sebagai prediktor kuat, sedangkan variasi paling kuat adalah

NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3. Mutasi RUNX1 terdapat 18 dari 31 sampel

(58.06%) diagnosis AML.

Prediktor lemah untuk menjadi MDS-related AML yaitu kromosom 5

normal dengan variasi gen RUNX1 < probabilitas 0,7825584010 (tabel 5.12),

sebagai berikut:

1. Mutasi gen RUNX1, dengan probabilitas 0,079074 mempunyai risiko

rendah menjadi MDS-related AML.

2. Mutasi gen RUNX1, FLT3, dengan probabilitas 0,090463 mempunyai

risiko rendah menjadi MDS-related AML tetapi potensi menjadi MDS-

related AML lebih tinggi dibandingkan dengan ad.1.

3. Mutasi gen RUNX1, NPM1, dengan probabilitas 0,302167, mempunyai

risiko rendah menjadi MDS-related AML tetapi potensi lebih tinggi

dibandingkan dengan ad.2.

4. Mutasi gen RUNX1, NPM1, FLT3 dengan probabilitas 0,334033,

mempunyai risiko rendah untuk menjadi MDS-related AML tetapi potensi

lebih tinggi dibandingkan dengan ad 3.

103

5. Mutasi gen NRAS, RUNX1 dengan probabilitas 0,497750, mempunyai

risiko rendah untuk menjadi MDS-related AML tetapi potensi lebih tinggi

dibandingkan dengan ad.4

6. Mutasi gen NRAS, RUNX1, FLT3 dengan probabilitas 0,534445,

mempunyai risiko rendah untuk menjadi MDS-related AML tetapi potensi

lebih tinggi dibandingkan dengan ad 1-5.

Mutasi gen RUNX1 dengan berbagai variasi terdapat 6 dari 10 variasi

termasuk mutasi gen RUNX1 dengan probabilitas 0,079074, dibandingkan

dengan probabilitas mutasi NRAS, RUNX1 (0,497750). Mutasi NRAS, RUNX1,

FLT3 mempunyai probabilitas MDS-related AML tertinggi 0,534445, Kromosom 5

normal. Hal tersebut diatas terjadi mutasi RUNX1 dengan berbagai variasi

terdapat 18 dari 31 sampel (58,06%), pada umur 58-86 tahun (22,58%), insiden

laki-laki lebih banyak dari perempuan. Mutasi gen RUNX1 β (-) 1,694 dan PR

0,184 berarti setiap peningkatan 1 satuan RUNX1, maka akan ada penurunan

0,184 kali kemungkinan MDS-related AML (lihat tabel 5.11, 5.3)

Menurut Hoffman et al., insiden faktor mutasi gen yang terbanyak pada

AML adalah mekanisme faktor jalur transkripsi yang berperan sebagai regulator

utama pada deferensiasi berbagai jenis perkembangan sel hematopoitik, mutasi

tersebut menghambat proses deferensiasi sel myeloid, contoh: Core Binding

Factor (CBF) adalah faktor transkripsi (RUNX1 atau AML1) (Hoffman et al.,

2013).

Hasil penelitian tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa Mutasi NRAS,

RUNX1, NPM1, FLT3 adalah prediktor terjadinya MDS-related AML dengan

delesi kromosom 5 del(5q) (p = 0,036). Cut-off probabilitas sensitifitas 70,8% dan

spesifisitas 71,4% perubahan MDS-related AML yaitu 0,7825584010. Diskusi

tersebut diatas, pemeriksaan NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dan delesi kromosom

5 del(5q) dapat dipergunakan sebagai prediktor MDS-related AML

104

6.4 NPM1 sebagai prediktor MDS-related AML

Pada penelitian ini dapat sebagai prediktor kuat untuk menjadi MDS-

related AML yaitu delesi kromosom 5 del(5q) dengan variasi gen NPM1, cut-off

probbilitas > 0,7825584010 (tabel 5.12), sebagai berikut:

1. Mutasi gen NRAS, RUNX1, dan NPM1 dengan probabilitas 0,833273,

mempunyai risiko tinggi menjadi MDS-related AML.

2. Mutasi gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dengan probabilitas 0,852708,

mempunyai risiko lebih tinggi menjadi MDS-related AML dibandingkan

dengan ad.1.

3. Mutasi gen NRAS, NPM1 dengan probabilitas 0,964532, mempunyai

risiko lebih tinggi menjadi MDS-related AML dibandingkan dengan ad.2.

4. Mutasi gen NRAS, NPM1, FLT3 dengan probabilitas 0,969231,

mempunyai risiko tertinggi untuk menjadi MDS-related AML dibandingkan

variasi yang lain.

Variasi stastistik NPM1 4 (66,66%), artinya 4 dari 6 variasi sebagai

prediktor kuat didapatkan insiden mutasi gen NPM1, variasi paling lemah adalah

NRAS, RUNX1, NPM1, sedangkan variasi paling kuat adalah NRAS, NPM1,

FLT3. Mutasi NPM1 terdapat 26 dari 31 sampel (83,87%) diagnosis AML.

Prediktor lemah untuk menjadi MDS-related AML yaitu kromosom 5

normal dengan variasi gen RUNX1 < probabilitas 0,7825584010 (tabel 5.12),

sebagai berikut:

1. Mutasi gen RUNX1, NPM1, dengan probabilitas 0,302167, mempunyai

risiko rendah menjadi MDS-related AML.

2. Mutasi gen RUNX1, NPM1, FLT3 dengan probabilitas 0,334033,

mempunyai risiko rendah untuk menjadi MDS-related AML tetapi potensi

lebih tinggi dibandingkan dengan ad 1.

105

3. Mutasi gen NPM1 dengan probabilitas 0,702033, mempunyai risiko

rendah untuk menjadi MDS-related AML tetapi potensi lebih tinggi

dibandingkan dengan ad 2.

4. Mutasi gen NPM1, FLT3 dengan probabilitas 0,731844, sebagai prediktor

mempunyai risiko rendah untuk menjadi MDS-related AML tetapi potensi

lebih tinggi dibandingkan dengan ad. 1-3

Mutasi gen NPM1 dengan berbagai variasi terdapat 4 dari 10 variasi

termasuk mutasi gen NPM1 dengan probabilitas 0,302167, dibandingkan dengan

probabilitas mutasi NPM1, FLT3: 0,731844. Mutasi NRAS, NPM1, FLT3

mempunyai probabilitas MDS-related AML tertinggi 0,969231, deleasi Kromosom

5 del(5q). Hal tersebut diatas terjadi mutas gen NPM1 dengan berbagai variasi

terdapat 26 dari 31 sampel (83,87%), pada umur 58-86 tahun (22,58%), insiden

laki-laki lebih banyak dari perempuan. Mutasi gen NPM1 β 1,618 dan PR 5,043

berarti setiap peningkatan 1 satuan NPM1, maka akan ada peningkatan 5,043

kali kemungkinan menjadi MDS-related AML (lihat tabel 5.11, 5.3).

Hasil penelitian tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa Mutasi NRAS,

RUNX1, NPM1, FLT3 adalah prediktor terjadinya MDS-related AML dengan

delesi kromosom 5 del(5q) (p = 0,036). Cut-off probabilitas sensitifitas 70,8% dan

spesifisitas 71,4% perubahan MDS-related AML yaitu 0,7825584010. Diskusi

tersebut diatas, pemeriksaan NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dan delesi kromosom

5 del(5q) dapat dipergunakan untuk memperbaiki prediksi MDS-related AML, dan

terapi sedini mungkin.

6.5 FLT3 sebagai prediktor MDS-related AML.

Area dibawah kurva (AUC) 76,5%, confidence interval 95%, dan

signifikan (P = 0,036), menunjukkan bahwa faktor gen RUNX1, FLT3, NRAS,

NPM1 yang mempengaruhi MDS-related AML adalah valid dan bisa didapatkan

cut-off value (Tabel 5.9; Gambar 5.1).

106

Pada penelitian ini dapat sebagai prediktor kuat untuk menjadi MDS-

related AML yaitu delesi kromosom 5 del(5q) dengan variasi gen FLT3, cut-off

probbilitas > 0,7825584010 (tabel 5.12), sebagai berikut

1. Mutasi gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dengan probabilitas 0,852708,

mempunyai risiko lebih tinggi menjadi MDS-related AML.

2. Mutasi gen NRAS, FLT3 dengan probabilitas 0,862000, mempunyai risiko

lebih tinggi menjadi MDS-related AML dibandingkan dengan ad.1.

3. Mutasi gen NRAS, NPM1, FLT3 dengan probabilitas 0,969231,

mempunyai risiko tertinggi untuk menjadi MDS-related AML dibandingkan

variasi yang lain.

Variasi stastistik FLT3 (50%) yaitu 3 dari 6 variasi sebagai prediktor kuat

didapatkan insiden mutasi gen FLT3, variasi paling lemah adalah NRAS,

RUNX1, NPM1, FLT3, sedangkan yang variasi paling kuat adalah NRAS, NPM1,

FLT3. Mutasi FLT3 terdapat 25 (80,64%) dari 31 sampel dengan diagnosis AML,

mutasi gen NPM1 β 0,147 dan PR 1,158 berarti setiap peningkatan 1 satuan

NPM1, maka akan meningkatkan 1,158 kali kemungkinan terjadi MDS-related

AML (lihat tabel 5.11, 5.2).

Prediktor lemah untuk menjadi MDS-related AML yaitu kromosom 5

normal dengan variasi gen NRAS < probabilitas 0,7825584010 (tabel 5.12),

sebagai berikut:

1. Mutasi gen RUNX1, FLT3 dengan probabilitas 0,090463, mempunyai

risiko rendah untuk menjadi MDS-related AML.

2. Mutasi gen NRAS, RUNX1, FLT3 dengan probabilitas 0,534445,

mempunyai risiko rendah untuk menjadi MDS-related AML.

3. Mutasi gen FLT3 dengan probabilitas 0,351147, mempunyai risiko rendah

untuk menjadi MDS-related AML.

107

4. Mutasi gen NRAS, RUNX1, FLT3 dengan probabilitas 0,534445,

mempunyai risiko rendah untuk menjadi MDS-related AML.

5. Mutasi gen NPM1, FLT3 dengan probabilitas 0,731844, mempunyai risiko

rendah untuk menjadi MDS-related AML.

Mutasi FLT3 dengan berbagai variasi terdapat 5 (50%) dari 10 variasi

termasuk mutasi RUNX1, FLT3 dengan probabilitas 0,090463, dibandingkan

dengan probabilitas mutasi FLT3: 0,351147. Mutasi gen NRAS, NPM1, FLT3 dan

delesi kromosom 5 del(5q, mempunyai probabilitas MDS-related AML tertinggi

0,969231.. Keadaan tersebut diatas terjadi karena mutasi FLT3 β 0,147 dan PR

1,158 berarti setiap peningkatan 1 satuan FLT3, maka terjadi peningkatan 1,158

kali kemungkinan terjadi MDS-related AML. RUNX1, FLT3 mempunyai

probabilitas lebih kecil dari pada FLT3 diduga RUNX1 menghambat terjadinya

MDS-related AML.

Menurut Shih et al., 2004 studi pada orang dewasa dan anak menyatakan

bahwa diagnosis AML dengan mutasi FLT3 mempunyai prognosis buruk.

Keadaan tersebut menurut penelitian Owen and Firtzgibbon, 2012 peran sinyal

FLT3 pada leukemogenesis, gen FLT3-(ITD) Internal tandem duplication,

diprediksi mempunyai mutasi terbanyak, diperkirakan 30% dari kasus AML. Pada

kasus AML mutasi titik (point mutation) tipe missense, lebih dari 7% mempunyai

efek mengaktivasi struktur domain tyrosine kinase dari FLT3 yang berkode exon

20. Mutasi FLT3-ITD dan FLT3 domain kinase meningkatkan peran aktivitas

protein FLT3, keadaan tersebut didukung ligand-independent untuk proliferasi

dan kelangsungan hidup sel leukemia (Gililand and Griffin, 2002, Brunet et al.,

2008). Mutasi aktivitas gen FLT3-ITD merupakan sinyal abnormal termasuk

STAT5 dan menghambat faktor transkripsi myeloid seperti PU.1 dan C/EBPα.

Diskusi hasil penelitian ini yaitu mutasi gen NRAS (74,19%), RUNX1

(58,06%), NPM1 (83,87%), FLT3 (80,64%), delesi kromosom 5 del(5q) (77,81%)

108

pada kasus AML dibandingkan dengan hasil peneliti terdahulu mempunyai

prosentase insiden mutasi gen yang lebih tinggi, kecuali delesi Kromosom 5

del(5q) pada penelitian terdahulu menyatakan bahwa delesi kromosom 5 del(5q)

sebagai prediktor MDS-related AML (65-100%). Pada penelitian ini didapatkan

RUNX1 mempunyai aktivitas menghambat MDS-related AML, penelitian yang

terdahulu menyebutkan bahwa jika terdapat mutasi gen RUNX1 mempunyai

prognosis baik.

Menurut peneliti Takshashi, Hoffman et.al. bahwa mutasi faktor jalur

transduksi sinyal melibatkan mutasi SCFR (Stem cell factor reseptor) atau

tyrosine-protein kinase (KIT) dan gen fms-related tyrosine kinase 3 (FLT3) dalam

jalur transduksi yang sama. Pada penderita AML yang diperiksa dengan PCR

didapatkan delesi kromosom 5 del(5q) yang menunjukkan mutasi jalur transduksi

sinyal yaitu gen NRAS, FLT3 yang menyebabkan proliferasi atau pertumbuhan

sel tidak terkendali (Hoffman et al., 2013; Takahashi, 2011).

Hasil penelitian tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa Mutasi NRAS,

RUNX1, NPM1, FLT3 adalah prediktor terjadinya MDS-related AML dengan

delesi kromosom 5 del(5q) (p = 0,036). Cut-off probabilitas sensitifitas 70,8% dan

spesifisitas 71,4% perubahan MDS-related AML yaitu 0,7825584010. Diskusi

tersebut diatas, pemeriksaan NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dan delesi kromosom

5 del(5q) dapat dipergunakan untuk memperbaiki prediksi MDS-related AML, dan

terapi sedini mungkin. Mutasi gen RUNX1 mempunyai prognosis baik, disertai

pernyataan bahwa RUNX1 mempynyai aktivitas menghambat terjadinya MDS-

related AML.

109

6.6 Delesi kromosom 5 del(5q) sebagai prediktor MDS-related AML.

Kromosom 5: delesi kromosom 5 del(5q) mempunyai prosentase berbeda

antara kasus MDS dengan kasus AML (Walter et al., 2012; Bejar et al., 2011;

Takahashi, 2011).

Pada penelitian ini dapat sebagai prediktor kuat untuk menjadi MDS-

related AML yaitu delesi kromosom 5 del(5q) dengan variasi gen NRAS, RUNX1,

NPM1, FLT3 cut-off probbilitas > 0,7825584010 (tabel 5.12), sebagai berikut

1. Mutasi gen NRAS, RUNX1, dan NPM1 dengan probabilitas 0,833273,

mempunyai risiko tinggi menjadi MDS-related AML.

2. Mutasi gen NRAS dengan probabilitas 0.843565, mempunyai risiko lebih

tinggi menjadi MDS-related AML dibandingkan dengan ad.1.

3. Mutasi gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dengan probabilitas 0,852708,

mempunyai risiko lebih tinggi menjadi MDS-related AML dibandingkan

dengan ad.2.

4. Mutasi gen NRAS, FLT3 dengan probabilitas 0,862000, mempunyai risiko

lebih tinggi menjadi MDS-related AML dibandingkan dengan ad.3.

5. Mutasi gen NRAS, NPM1 dengan probabilitas 0,964532, mempunyai

risiko lebih tinggi menjadi MDS-related AML dibandingkan dengan ad.4.

6. Mutasi gen NRAS, NPM1, FLT3 dengan probabilitas 0,969231,

mempunyai risiko tertinggi untuk menjadi MDS-related AML dibandingkan

variasi yang lain.

Variasi stastistik delesi kromosom 5 del(5q) dan variasi NRAS, RUNX1,

NPM1, FLT3, kombinasi NRAS, RUNX1, NPM1 sebagai prediktor kuat untuk

progresvitas MDS-related AML, tetapi dibandingkan dengan kobinasi NRAS,

NPM1, FLT3 adalah prediktor paling kuat. Mutasi delesi kromosom 5del(5q)

terdapat 24 dari 31 sampel (74,41%) diagnosis AML, mutasi gen NRAS β 2,446

110

dan PR 11,543 berarti setiap peningkatan 1 satuan NRAS, maka akan ada

peningkatan 11,543 kali kemungkinan terjadi MDS-related AML. Mutasi gen

RUNX1 β (-) 1,694 dan PR 0,184 berarti setiap peningkatan 1 satuan RUNX1,

maka akan ada penurunan 0,184 kali kemungkinan MDS-related AML (lihat tabel

5.11, 5.2, 5.3).

Diskusi tersebut diatas, pemeriksaan NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dan

delesi kromosom 5 del(5q) sebagai prediktor menjadi MDS-related AML, dan

terapi sedini mungkin.

6.7 Kromosom 5 normal sebagai prediktor MDS-related AML.

Menurut Berghe, et al., 1974 pertama kali menemukan abnormalitas

sitogenetik pada kasus MDS. Abnormalitas kromosom: delesi kromosom 5 del

(5q) mempunyai prosentase berbeda antara kasus MDS dengan kasus AML,

demikian juga pada mutasi gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3

Prediktor lemah untuk menjadi MDS-related AML yaitu kromosom 5

normal dengan variasi gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 < probabilitas cut-off

0,7825584010 (tabel 5.12), sebagai berikut:

1. Mutasi gen RUNX1, dengan probabilitas 0,079074 mempunyai risiko

rendah menjadi MDS-related AML.

2. Mutasi gen RUNX1, FLT3, dengan probabilitas 0,090463 mempunyai

risiko rendah menjadi MDS-related AML tetapi potensi menjadi MDS-

related AML lebih tinggi dibandingkan dengan ad.1.

3. Mutasi gen RUNX1, NPM1, dengan probabilitas 0,302167, mempunyai

risiko rendah menjadi MDS-related AML tetapi potensi lebih tinggi

dibandingkan dengan ad.2.

111

4. Gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 normal dengan probabilitas 0,318429,

mempunyai risiko rendah untuk menjadi MDS-related AML tetapi potensi

lebih tinggi dibandingkan dengan ad.3.

5. Mutasi gen RUNX1, NPM1, FLT3 dengan probabilitas 0,334033,

mempunyai risiko rendah untuk menjadi MDS-related AML tetapi potensi

lebih tinggi dibandingkan dengan ad 4.

6. Mutasi gen FLT3 dengan probabilitas 0,351147, mempunyai risiko rendah

untuk menjadi MDS-related AML tetapi potensi lebih tinggi dibandingkan

dengan ad 5.

7. Mutasi gen NRAS, RUNX1 dengan probabilitas 0,497750, mempunyai

risiko rendah untuk menjadi MDS-related AML tetapi potensi lebih tinggi

dibandingkan dengan ad.6

8. Mutasi gen NRAS, RUNX1, FLT3 dengan probabilitas 0,534445,

mempunyai risiko rendah untuk menjadi MDS-related AML tetapi potensi

lebih tinggi dibandingkan dengan ad 7.

9. Mutasi gen NPM1 dengan probabilitas 0,702033, mempunyai risiko

rendah untuk menjadi MDS-related AML tetapi potensi lebih tinggi

dibandingkan dengan ad 8.

10. Mutasi gen NPM1, FLT3 dengan probabilitas 0,731844, sebagai prediktor

mempunyai risiko rendah untuk menjadi MDS-related AML tetapi potensi

lebih tinggi dibandingkan dengan ad 1- 9.

Variasi stastistik delesi kromosom 5 normal dan variasi NRAS, RUNX1,

NPM1, FLT3 , mutasi tunggal gen RUNX1 sebagai prediktor paling lemah untuk

progresvitas MDS-related AML sedangkan mutasi gen NPM1, FLT3 adalah

prediktor lemah tetapi lebih kuat terjadinya MDS-related AML dibandingkan

mutasi gen RUNX1. Kromosom 5 normal terdapat 7 dari 31 sampel (22,59%)

diagnosis AML. Mutasi gen RUNX1 β (-) 1,694 dan PR 0,184, berarti setiap

112

peningkatan 1 satuan RUNX1, maka akan ada penurunan 0,184 kali

kemungkinan MDS-related AML. mutasi NPM1 β 1,618 dan PR 5,043, berarti

setiap peningkatan 1 satuan NPM1, maka akan ada peningkatan 5,043 kali

kemungkinan terjadinya MDS-related AML (lihat tabel 5.11, 5.4). Mutasi FLT3

terdapat 25 dari 31 sampel (80,64%). Mutasi FLT3 β 0,147 dan PR 1,158 berarti

setiap peningkatan 1 satuan FLT3, maka akan ada peningkatan 1,158 kali

kemungkinan MDS-related AML

Menurut penelitian Owen & Firtzgibbon, 2012 bahwa frekwensi dan

distribusi FLT3 30-33%, kromosom 5 normal. Menurut Takahashi, 2011

memberikan gambaran risiko mutasi gen pada AML, sebagai berikut : frekwensi

insiden mutasi NPM1 pada penderita AML 27,5 – 35,2%, sedangkan dengan

kromosom 5 normal didapatkan 45,7 – 53%. RUNX1 pada penderita AML de

novo (13,2%), RUNX1 pada penderita AML dengan kromosom normal (32,7%)

(Takahashi, 2011).

Menurut Falini et al., 2005, Mutasi gen NPM1 pada kasus AML dewasa

ditemukan 35% dan ditemukan mutasi gen NPM1 pada AML dengan kromosom

normal. Jumlah kasus AML dengan kromosom 5 normal antara 60 – 80%

ditemukan mutasi gen NPM1, dapat membantu prognosis kasus AML (Hoffman

et al., 2013).

Owen & Firtzgibbon, 2012 menyatakan bahwa kasus AML dengan

kromosom 5 normal terjadi mutasi gen NPM1 dengan insiden antara 45 – 55%.

Pada diskusi tersebut diatas kromosom 5 normal dan variasi mutasi gen

NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 digunakan sebagai prediktor lemah terjadinya

MDS-related AML.

113

6.8 Hasil penelitian dan diskusi

Didapatkan MDS-related AML mempunyai delesi kromosom 5 del(5q) : 24

sampel (77,41%), kromosom 5 (normal): 4 (22,59%), diduga AML kriteria FAB

M0 – M5 didapatkan kromosom 5 normal, mungkin AML de novo. Menurut

Horrigan et al., 1996 bahwa pada kasus MDS masih dalam proses MDS-related

AML (antara lain t-MDS, RAEB-t) insiden delesi kromosom 5 del(5q) 65-100%,

sedangkan kasus MDS yang tidak dalam proses MDS-related AML (antara lain :

RAEB) 6-7%. Penelitian Weinberg & Arber, 2010 menyatakan bahwa AML de

novo dengan dysplasia hanya 10-15% dari seluruh kasus AML (Weinberg &

Arber, 2010).

NRAS adalah anggota keluarga RAS superfamily dari GTPase. Aktivasi

mutasi exon 2 (codon 12/13)(1p13.2), exon 3 (codon 61), and exon 4 (codon

146) antara lain ditemukan pada Myeloid leukemia (14%) (Colicelli, 2004). Point

mutation NRAS adalah mutasi RAS yang paling sering pada AML, terdeteksi

antara 10% - 30% dari kasus (owen & Firtzgibbon, 2012; Hoffman et al., 2013).

Menurut Takahashi, 2011 menyatakan bahwa gambaran klinik mutasi gen NRAS

tidak secara signifikan mempengaruhi OS (over all survival), EFS (event-free

survival), dan DFS (disease-free survival), mempunyai insiden 10,3% pada kasus

AML. Fungsi jalur RAS-RAF-MAP-kinase adalah meneruskan sinyal dari

lingkungan ekstraseluler ke dalam nukleus dimana gen spesifik diaktifkan. Faktor

pertumbuhan (Epidermal Growth Factor) akan menyebabkan dimerisasi reseptor,

autofosforilasi tyrosine. Tyrosine yang terfosforilasi sebagai tempat ikatan

berafinitas tinggi bagi protein adaptor bernama Growth factor receptor-bounds2

(GRB2). GRB2 (domain SH2 dan SH3), protein ini tidak bertindak sebagai enzim

tetapi berfungsi menfasilitasi interaksi protein, termasuk interaksi yang

menghasilkan aktivitas RAS oleh GEF (guanine nucleotide exchange factors).

Varian onkogenik RAS mempunyai sifat resisten terhadap GAP (GTPase-

114

activating proteins) sehingga hidrolisis GTP terhambat, sehingga terjadi

akumulasi RAS dalam bentuk aktif. Jumlah protein RAS aktif yang dapat

meningkatkan kemungkinan transformasi (Owen & Firtzgibbon,, 2012; Ahearn et

al., 2012).

Hasil pembahasan tersebut diatas: Mutasi NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3

dan delesi kromosome 5 del(5q) sebagai prediktor myelodysplastic syndrome-

related acute myeloid leukemia (MDS-related AML) di Surabaya. Progresivitas

MDS-related AML sebagai prediktor lemah ditunjukan oleh sitogenatik normal

yaitu kromosom 5, mutasi gen RUNX1 bersifat menghambat progresivitas

sedangkan mutasi gen NRAS, NPM1, FLT3 meningkatkan progresivitas MDS-

related AML. Prediktor kuat pada progresivitas MDS-related AML ditunjukkan

abormalitas sitogenetik yaitu delesi kromosom 5 del(5q) dan mutasi gen NRAS,

RUNX1, NPM1, FLT3. Masing-masing prediktor lemah atau kuat besarnya risiko

prediktor ditentukan oleh masing-masing gen yang mutasi, setiap mutasi gen

NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3, sesuai urutan sebagai berikut NRAS (1), NPM1

(2), FLT3 (3), RUNX1 (4).

Patomekanisme terjadinya keganasan dan dihubungkan dengan faktor

jalur mutasi : 1) Fungsi jalur RAS-RAF-MAP-kinase adalah meneruskan sinyal

dari lingkungan ekstraseluler ke dalam nukleus dimana gen spesifik diaktifkan

(faktor mutasi jalur Transduksi sinyal). Varian onkogenik RAS (NRAS)

mempunyai sifat resisten terhadap GAP (GTPase-activating proteins) sehingga

hidrolisis GTP terhambat, sehingga terjadi akumulasi RAS dalam bentuk aktif.

Jumlah protein RAS aktif yang dapat meningkatkan kemungkinan transformasi.

2) Faktor jalur transkripsi yang berperan sebagai regulator utama pada

deferensiasi berbagai jenis perkembangan sel hematopoitik, mutasi tersebut

menghambat proses deferensiasi sel myeloid, contoh: Core Binding Factor (CBF)

adalah faktor transkripsi (RUNX1 atau AML1).

115

6.9 Kebaruan Penelitian (Novelty)

Mutasi atau normal RUNX1, NPM1, FLT3, NRAS dan delesi kromosom

5 del(5q) atau Kromosom 5 normal adalah prediktor MDS-related AML pada

penderita di Surabaya, Indonesia.

Mutasi NRAS B 2,446 dan PR 11,543 berarti setiap peningkatan

NRAS, maka akan ada peningkatan terjadinya MDS-related AML. Meknisme

terjadinya Point mutation pada gen RAS banyak ditemukan pada berbagai

tumor termasuk kanker darah yaitu pengikatan RAS berinteraksi dengan

protein sasaran (RAF-1, Phosphatidylinositol-3 kinase), SOS mengaktivasi

RAS sebagai respon terhadap faktor pertumbuhan. Pengikatan GTP pada

protein RAS membentuk kompleks GTP-RAS melalui interaksi protein lain

yaitu GTPase-activating protein (GAP). Ikatan GTP-RAS ini akan segera

inaktif menjadi bentuk GDP-RAS. Aktivitas GTPase dari RAS meningkat kalau

ada interaksi dengan protein GAP. Dengan adanya point mutation pada gen

RAS akan menurunkan aktivitas GTPase, akibatnya ikatan GTP-RAS akan

inaktif secara perlahan-lahan sehingga akan menimbulkan respon seluler

yang berlebihan terhadap sinyal dari reseptor. Jumlah protein RAS aktif yang

dapat meningkatkan kemungkinan transformasi, Kompleks GTP-RAS akan

mentransmisikan sinyal di dalam sel.

Mutasi gen RUNX1 B - 1,694 dan PR 0,184, berarti setiap peningkatan

RUNX1, maka akan terjadi penurunan kemungkinan terjadinya MDS-related

AML. Menurut referensi, mekanisme terjadinya hipotesis menurunnya aktivitas

RUNX1 dapat meningkatkan leukemogenesis, yaitu Leukemia ditemukan rata-

rata jauh lebih tinggi pada keluarga dengan dominan kuat mutasi K83E (57%)

dibandingkan dengan delesi lengkap RUNX1 (24%), Oleh karena itu, aktivitas

rendah RUNX1 diduga berhubungan dengan tingginya leukemogenisitas.

Penelitian terbaru kebanyakan mengindikasikan bahwa fungsi utama dari

116

chimeric genes adalah inhibisi transdominan dari wild-type RUNX1,

menyebabkan turunnya aktivitas RUNX1 secara drastis di sel yang

terpengaruh. Pada akhir-akhir ini lebih dari 10 partner gen yang ber fusi

dengan RUNX1 telah diidentifikasi di dalam translokasi kromosom. Setiap

chimeric gene mungkin mempunyai mekanisme leukemogenesis nya sendiri,

kekurangan RUNX1 mungkin menjadi mekanisme yang sama pada leukemia

dengan mutasi RUNX1. Semakin rendah aktivitas RUNX1, semakin tinggi

leukemogenisitas

116

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

a. Polimorfisme NRAS sebagai prediktor perubahan Myelodisplastic

Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia (MDS-related AML).

b. Polimorfisme RUNX1 sebagai prediktor perubahan Myelodisplastic

Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia (MDS-related AML).

c. Polimorfisme NPM1 sebagai prediktor perubahan Myelodisplastic

Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia (MDS-related AML).

d. Polimorfisme FLT3 sebagai prediktor perubahan Myelodisplastic

Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia (MDS-related AML).

e. Polimorfisme delesi kromosom 5 del(5q) sebagai prediktor perubahan

Myelodisplastic Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia (MDS-

related AML).

f. Polimorfisme kromosom 5 normal sebagai prediktor perubahan

Myelodisplastic Syndrome menjadi Acute Myeloid Leukemia (MDS-

related AML).

g. Mutasi NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dan delesi kromosome 5 del(5q)

sebagai prediktor myelodysplastic syndrome-related acute myeloid

leukemia (MDS-related AML) di Surabaya. Progresivitas MDS-related

AML sebagai prediktor lemah ditunjukan oleh sitogenatik normal yaitu

kromosom 5, mutasi gen RUNX1 bersifat menghambat progresivitas

sedangkan mutasi gen NRAS, NPM1, FLT3 meningkatkan

progresivitas MDS-related AML. Prediktor kuat pada progresivitas

MDS-related AML ditunjukkan abormalitas sitogenetik yaitu delesi

kromosom 5 del(5q) dan variasi mutasi gen NRAS, RUNX1, NPM1,

117

FLT3. Masing-masing prediktor lemah atau kuat besarnya risiko

prediktor ditentukan oleh masing-masing gen yang mutasi, setiap

mutasi gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3, sesuai urutan sebagai

berikut NRAS (1), NPM1 (2), FLT3 (3), RUNX1 (4).

7.2 Keterbatasan

a. Pada penelitian ini tidak menggunakan sistem kwantitatif, untuk

mendapatkan hasil penelitian yang lebih akurat menggunakan

kwantitatif RT-PCR, dan kwantitatif FISH.

b. Faktor etiologi tidak tampak pada hasil penelitian ini, oleh karena itu

perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan sampel yang besar

dan memperhitungkan lokasi tempat tinggal, pekerjaan, gaya hidup,

seandainya memungkinkan pada pekerjaan yang mempunyai faktor

kuat terjadinya Leukemia (zat kimia Benzena C6H6).

c. Sampel dengan diagnosis MDS dengan karakteristik sampel dan

metode seperti tersebut diatas, diikuti untuk menentukan prediktor

MDS-related AML dengan menggunakan gen NRAS, RUNX1, NPM1,

FLT3, delesi kromosom 5 del(5q) dan waktu dalam bulan atau tahun.

7.3 Saran

1. Penelitian selanjutnya menggunakan jumlah sampel lebih besar,

pemeriksaan sumsum tulang (berdasarkan morfologi),

Immunophenotyping, pemeriksaan macam variasi mutasi gen yang

terlibat dalam komponen MDS-related AML

2. Abnormalitas sitogenetik menggunakan macam kromosom lebih banyak.

Pemeriksaan gen menggunakan PCR, pemeriksaan kromosom

menggunakan FISH (Flourecene In Situ Hybridization).

118

3. Penelitian yang menghubungkan antara waktu terjadinya transformasi

(MDS-related AML) dengan variasi genetik dan kromosom.

119

DAFTAR PUSTAKA

Agersborg S., Thangavelu M., Ma W., et al., Classification of Acute Myeloid

leukemia and Myelodysplastic Syndrome based on Molecular Profiling,

blood 2015; 126: 3836: P. 1 – 5.

Agrawal S., Koschmieds S., Baumer N. Pim2 complements FLT3 wild-type

receptor in hematopoitic progenitor cell transformation, Leukemia, 2008;

22: 78 – 86.

Ahearn I.M., Haigis k., sagi D.B. Regulating the regulator: post-translational

modification of RAS, Nature review molecular cell biology, 2012; 10 : 1-4.

Alcindor T., Bridges KR., Sideroblastic Anemias, Revused, Havard, 2001; 1 – 10

Alpdogan O., Advances in immune regulator in transplantation, Dep.Medical

oncology, 2013 :1-33.

Andrew k., Duployez N., BoisselN., et al., Acute Myeloid Leukemia: The good,

the bad, and the Ugly, American Society of Clinical Oncology, Asco

Educational Book, 2018; P.555 - 570

Annu Rev Genet. 1998;32:495-519

Aulya Z.V., Arthamin M.Z., Chilmi S., Widodo M.A., Sujuti H. Kombinasi

Elektroporasi dan Apirin Menghambat Aktivasi Nuclear Factor Kappa B

(NFkB) pada kultur Sel Mononuklear Darah Tepi Pasien leukemia Akut.

Majalah Kesehatan Fakultas kedokteran Universitas Brawijaya; 2014: 1(1)

P. 10 – 15.

Badar T., Patel K.P., Thompson P.A., et al., detectable FLT3 or RAS mutation at

the time of transformation from MDS to AML predicts for very poor

outcomes, Departemen of leukemia, The university of Texas MD

Anderson Cancer Center, Houston, Texas, USA 2014.

Bain BJ., Bates I., laffan MA., lewis S.M., practical haematology in: Molecular and

cytogenetic analysis, 11th Ed. Churchill livingstone, 2012 P. 139 – 174.

Bains A., Luthra R, Medeiros LJ. FLT3 AND NPM1 Mutations in Myelodysplastic

Syndromes: Frequency and Potential Value for Predicting Progression to

Myeloid Leukemia. Am J Clin Pathol. 2011; 135(1): 62 – 69.

120

Bajaj R., Fang Xu, Bixia Xiang, Wilox K., et al., Evidence-based genomic

diagnosis characterized chromosomal and cryptic imbalances in 30

elderly patients with myelodysplastic syndrome and acute myeloid

leukemia, 2011; 4: 1-10

Banerjee A., Grumont R., gugasyan R., et al., NF-kB and C-Rel cooperate to

promote the survival of TRL4-activated B cells by neutralizing BIM via

distinct mechanisms, Blood, 2008; 112: 5063 – 5073.

Bejar R., Stevenson K., abdel-Wahab O., Galili N. Clinical Effect of Point

Mutations in Myelodysplastic syndrome, N Engl J Med 2011; 363: 1-5.

Besa E.C., Myelodysplastic syndrome, Medscape reference, 2011 : 1-7

Boissel N., Leroy H, Brethon B., et al., Incidence and prognostic impact of c-Kit,

FLT3, and Ras gene mutations in core binding factor acute myeloid

leukemia. Leukemia 2006; 20: P. 965 - 970.

Brunet S., Esteve J., Nomdedeu J., Ribera J.M. Prognostic significance of

mutations of nucleophosmin (NPM1) gene and interal tandem duplication

of FLT3 gene (FLT3-ITD) in acute myeloid leukemia (AML) with normal

karyotype. J Clin. Oncol 2008 Maay 20; 26 : 7024.

Cazzola M., Myelodysplastic syndrome with isolated 5q delation (5q-syndrome).

A clonal stem cell disorder characterized by defective ribosome

biogenesis, haematologica, 2008, 13377(93): P.967 – 972.

Ceesay MM, Wendy I, Mufti G. Molecular Hematology. In: Provan D, Gribben J

G, editors. Myelodysplastic Syndrome. Third Edition,London: Wiley-

Blackwell; 2012.P.89 - 103.

Chen G., Zeng W., Myazato A. Distinctive gene expression profile of CD34 cells

from patients with myelodysplastic syndrome characterized by specific

chromosomal abnormalities. Blood 2004 Dec.15;104(13):4210 – 4218.

Chopoval S. Regulation of the T helper Cell type 2 (Th2)/T regulatory cell (Treg.)

balance by Il-4 and STAT6, Journal of leukocyte biology; 87., 2010,P.

1011 – 1017.

Colicelli J., Human RAS superfamily Proteins and Related GTPases, Cell

Signaling Technology. 2004; 250: P.1-32.

121

Deschler B, Lϋbbert M. Acute Myeloid Leukemia: Epidemiology and etiology

Cancer 2006; 107 (9): 2099-2107.

Dinata M., Rahaju P., Ugroseno S.Y.B., Widjjanto E. NPM1, FLT3 and deletion of

chromosome 5 del(5q) as predictor of myelodysplastic syndrome (MDS)

to be acute myelocytic leukemia (AML) in Surabaya, Durg Invention

Today (Dit). 2019, P.1841-1845

Do̎hner H., Estey E.H., Amadori S., et al., Diagnosis and management of acute

myeloid leukemia in adults: recommendations from an international expert

panel, on behalf of the European LeukemiaNet; Blood: 115; 3 : 2010.

Falini B., Bolli N. Altered Nucleophosmin transport in acute myeloid leukemia with

mutated NPM1: molecular basis and clinical implications. Leukemia 2009

october; 23: 1731 – 1743.

Falini B., Mecccci C., Tiacci E. Cytoplasmic Nucleophosmin in Acute

Myelogenous Leukemia with a Normal Karyotype.N Engl J Med 2005;

352:254 – 266.

Farr C.J., Saiki R.K., Erlich H.A., et al., Analysis of RAS gene mutations in acute

myeloid leukemia y polymerase chain reaction and oligonucleotide

probes, Medical Sciences, 1988; 85: P. 1629 – 1633.

Fitriani G.P. Laporan Kasus Acute Myeloblastic Leukemia (AML); bagian Ilmu

Kesehatan Anak, Fakultas kedokteran UNLAM-RSUD Uli, Banjarmasin;

2009; P.1- - 49.

Gelsi-Boyer V., Trouplin V., Adelaide J., Aceto N. Genome profiling of chronic

myelomonocytic leukemia: frequent alterations of RAS and RUNXI genes,

BMC Cancer 2008; 8 (299): P.1-12.

Gilliland D.G., Griffin J.D. the roles of FLT3 in hematopoiesis and leukemia,

Blood 2002; 100(5): P. 1532-1542

Gilliland DG, Gribben JG. Molecular Hematology. In: Provan D, Gribben J G,.

Secondary myelodysplasia/acute myelogenous leukemia: assessment of

risk. Third Edition,London: Wiley-Blackwell; 2012.P.51-56.

Gutierrez S.E., Romero-Oliva F.A., Epigenetic changes: a common theme in

acute myelogenous leukemogenesis, Journal of Hematology & Oncology

2013; 6:57; P. 1-14.

122

Hajian-Tilaki K., Receiver operating Characteristic (ROC) Curve Analysis for

Medical Diagnostic Test Evaluation, Caspian J intern med 4(2), 2013

P.627 – 635.

Havard health Publication, Acute Myeloid Leukemia (AML), medically reviewed ;

2017

Hoffbrand A.V., Moss P.A.H., Essential Haematology. 6th Edition, Wiley-

Blackwell; 2011 P. 1150 – 222.

Hoffman R., Benz E.J.Jr, Silberstein L.E. Hematology Basic Principles and

practice In: Quinitas-Cadarma A., Cortes JE., Kantarjian H. Biology of

chronic and Acute Myeloid Leukemia. 6th Edition, Elservier Saunders;

2013 p. 853 – 862.

Horrigan SK., Westbrook CA., Kim AH., Banerjee M., et al., Polymerase chain

reaction-based diagnosis of del(5q) in acute myeloid leukemia and

myelodysplastic syndrome identifies a minimal deletion interval, Blood,

1996; P: 2665-2670.

Hulley S.B, Cummings S.T. designing clinical research an epidemiologic

approach. In: Newman T.B., Browner W.S., CummingsS.T., Hulley S.B.

Designing a new study: II. Cross-sectional and case-control studies.

United State of America United State of America; 1988 P.75 – 97.

Jabbour E., Kantarjian H. Hand Book of Cancer Chemotherapy. In: Skeel R.T.,

Khleif S.N., Myeloproliferative Neoplasms and Myelodysplastic

Syndromes. 8th Edition, Lippincott Williams & Wilkins; 2011. P. 418-436.

Jiang Y, Dunbar A, Gondek LP, et.al Aberrant DNA methylation is a dominant

mechanism in MDS progression to AML. Blood. 2009;113(6): P. 1315–

1325.

Juniarka I.G.A. RUNX1, Program Pasca sarjana Ilmu Farmasi Universitas Gajah

Mada, 2011. P. 1 - 11

Killick SB., Carter C., Culligan D., Guidelines for the Diagnosis and Management

of Adult Myelodysplastic Syndromes. Br.J.Haematology 2014; 164(4):

P.503 – 25.

Klepin H.D., Rao A.V., Pardee T.S., Acute myeloid leukemia and Myelodysplastic

Syndromes in Older Adults, J clin Oncol 32: 2014: P.2541-2552.

123

Kresno S.B. Ilmu Dasar Onkologi, Edisi Kedua, Badan Penerbit Fakultas

Kedokteran universitas Indonesia; 2012: 112-371

Kubasch A.S., Platzbecker U., Beyond the Edge of Hypomethylating Agents:

Novel Combination Strategies for Older Adults with Advanced MDS and

AML, Cancers; 2018.

Ley C.M., Miller C., Ding L., Genomic and Epigenomic landscapes of Adult De

Novo Acute myeloid Leukemia, N Eng J Med 2013; 368: 2059 – 2074.

Loegito H.M., Dasar-dasar Biologi sel dan Biologi Molekuler, 2010. P. 198 – 242.

Lumongga F. Invasi Sel Kanker, Departemen Patologi Anatomi Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera utara, Medan. USU Repository 2008.

P. 1 – 11.

Luzzatto L, kadardimitris A., myelodysplastic syndrome, Molecular Hematology,

third Ed. Wiley-Blackwell, 2010, P: 89 – 103.

Mallo M., Arenillas L., Espinet B., et al., Fluorescene in situ hybridization

improves the detection of 5q31 deletion in myelodysplastic syndrome

without cytogenetic evidence of 5q-, Haematologica, 2008; p: 1001-1008.

Matutes E, Morilla R, Morilla AM. Practical Haematology. In: Bain JB, Bates I,

Laffan MA, Lewis SM. Immunophenotyping. Eleventh Edition, London:

Churchill Livingstone; 2012.P.353 – 371.

Michaud J., Simpson K.M., Escher R. Intergrative analysis of RUNX1

downstream pathways and target genes. BMC Genomics 2008 July 31, 9;

363 : 1-17.

Mohamedali A., Mufti G.J., Van-den Berghe’s 5q-syndome in 2008. Bjh. 2008;

144 : 157-168.

Montalban-Bravo G., Garcia-Manero G., Myelodysplastic Syndromes: 2018

update On diagnosis, risk-stratification and management, Annual clinical

Updates in Hematological Malignancies; American Journal of

Hematology; 93, 2018.

Montalban-Bravo G., Lee E., Merchan B., et al., Integrating Genetics and

Epigenetics In MDS: Advances in Pathogenesis and Disease Evolution.

Br J Haematol. 2014 ; 166(5): P. 646–659.

124

Natelson E.A., Pyatt D. acquired Myelodysplasia or Myelodysplastic Syndrome:

Clearing the Fog, Advances in Hematology 2013; 2013(11): P. 1-11.

Osato M. Point mutations in the RUNX1/AML1 gene: another actor in RUNX

leukemia. Oncogene 2004; 23: 4284 – 4296.

Ottone T., Zaza S., Divona M., et al., Identification of emerging FLT3 ITD-positive

clones during clinical remission and kinetics of disease relapse in acute

myeloid leukemia with mutated nucleophosmin, British Journal of

Haematology(bjh), 2013; 161: P.533 – 540.

OwenC.J., Fitzgibbon J. Molecular Hematology. In: Provan D, Gribben J G,

editors. the genetic of acute myeloid leukemias. Third Edition,London:

Wiley-Blackwell; 2012.P. 42 - 49.

Pirruccello J.S., Young K.H., Aoun P. Myeloblast phenotypic changes in

Myelodysplasia. Am J Clin Pathol 2006; 125: 884 – 984.

Provan D, Gribben J.G., molecular hematology. 3th, London, UK: Wiley-Blackwell;

2012. P. 42 – 163.

Rahim A., Suaniti N.M., Rita W.S. analisis Fenol dalam Urine Pekerja salah satu

stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum di kota Denpasar, Kimia FMIPA

Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Bali.Jurnal Kimia 2015; 9(1): P. 105

– 108

Rocquain J., Carbuccia N., Trouplin V., Raynaud S., et al., Combined mutations

of ASXL1, CBL, FLT3, IDH1, IDH1, JAK2, KRAS, NPM1, NRAS, RUNX1,

TET2 AND WT1 genes in myelodysplastic syndromes and acute myeloid

leukemias, BMC cancer 2010; 10;401:P. 1-7.

Rowley J.D., The critical role of chromosome translocations in human leukemias

1998. Annu. Rev. Genet.; 32: P. 495-519.

Saunthararajah Y., Triozzi P., Rini B., et al., P53-Independent, normal stem cell

sparing epigenetic-differentiation therapy for myeloid and other

malignancies. 2012 ; 39(1): 97–108.

Shih L-Y, Huang C-F., Wang P-N., Wu J-H, et al., Acuquisition of FLT3 or N-ras

mutations is frequently associated with progression of myelodysplastic

syndrome to acute myeloid leukemia, Leukemia; 2004; 18;466-475.

125

Shiozawa Y., Malcovati L., Galli A. et al., Gene expression and risk of leukemic

transformation in myelodysplasia; Blood; 2017

Simanjorang C., Adisasmita A.C., Tehuteru E.S. Gambaran epidemiologi Kasus

Leukemia Anak di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”, 2004-2008,

Indonesian Journal of Cancer 2010; 4 (1) : 15-21.

Snyder R., Leukemia and Benzene, international Journal of environmental

Reserch and public health 2012; 9(8): P.2875 – 2893.

Sukartini N., Aspek Laboratorium Sitogenetik dan Molekuler Genetik pada

leukemia, Pertemuan Ilmiah Tahunan XII Perhimpunan Dokter Spesialis

Patologi Klinik Indonesia, 26-28 September 2013. P. 25 – 30.

Takahashi S. Current findings for recurring mutations in acute myeloid

leukemia, Journal of Hematology & Onkology 2011; 4 (36): 1-8.

Tan A.YC., Westerman D.A., Carney D.A. Detection of NPM1 exon 12 mutations

and FLT3 – internal tandem duplications by high resolution melting

analysis in normal karyotype acute myeloid leukemia. Journal of

Hematology&Oncology 2008 July 29 ; 1: 10.

Taniuchi I., Osato M., Ito Y. Runx1: no longer just for Leukemia, The EMBO

Journal 2012; 31: P.4098 – 4099.

Tefferi A., Vardman J.M.D., Myelodysplastic syndromes, N Engl. J.Med., 2009;

361: P. 1872 – 1885.

Van den Berghe H., Cassiman J.J., David G., et al., Distinct haematological

disorder with deletion of long arm of no 5 chromosome. Nature.

1974;251:437–438.

Vardiman J.W., Harris N.L., Brunning R.D. The world Health organization (WHO)

classification of the myeloid neoplasms. Blood 2002; 100: 2292 – 2302.

Walter M.J., dong S., Li D., et al., Clonal Architecture of Secondary Acute

myeloid Leukemia, N Engl J Med 2012; 366(12): P.1090-1093.

Weinberg O.K., Arber D.A. Acute Myeloid Leukemia with myelodysplasia related

changes: a new definition. Surgical Pathology 3; 2010; P.1153–1164

126

Wetzler M, Marcucci G, bloomfield CD. Harrison’s principles of Internal Medicine.

In: Longo DL, Kasper Dl, Jameson, et al., Acute and chronic Myeloid

leukemia. 18th Edition, United State of America; 2012.P. 905 – 914.

Windhu Purnomo., Taufan Bramantoro. Pengantar Metodologi Penelitian bidang

kesehatan. Airlangga University Press, 2018 P.1-34.

Young NS. Harrison’s principles of Internal Medicine. In: Longo DL, Kasper Dl,

Jameson, et al., Apalstic anemia Myelodysplasia, and releted bone

marrow failure syndrome. 18th Edition, United State of America;

2012.P.887- 897.

Yusuf A.H. Aspek Genetika Kanker, Bagian Histologi, Fakultas kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta; 2008 P.1 – 9.

DATA SAMPEL PENELITIAN S3 2017/2018

No Nama Jenis

Kelamin Umur

(Tahun) Immunophe

notyping

Sitogenetik Molekuler/Kromosom Diagnosis

PK/peneliti/hom Sampel Diagnosis

NRAS RUNX1 NPM1 FLT3 DEL(5q) 1 NI 2 28 1 1 1 0 1 0 AML/AML/AML BMA 1

2 NA 1 48 1 1 0 0 1 1 AML/AML/AML Darah/BMA (Meninggal)

1

3 MO 1 74 1 1 0 1 1 1 AML/AML/MDS BMA

(Meninggal) 2

4 MI 1 81 1 1 1 1 1 1 AML M1/AML/AML BMA 1 5 SU 2 71 1 1 1 1 1 1 AML/AML /MDS BMA/Darah 2 6 ABR 1 36 1 1 0 1 1 1 AML M7/AML/AML M1 BMA 1

7 BUN 2 30 1 0 0 1 1 0 AML M3

VARIAN/AML/AML BMA 1

8 BUM 1 42 1 1 1 1 0 1 AML M3/AML/AML M3 BMA 1 9 ROS 1 40 1 1 1 0 1 0 AML M7/AML/AML BMA 1

10 ENR 2 26 1 1 1 0 1 1 AML M3

VARIAN/AML/AML Darah/BMA 1

11 AFA 1 18 1 0 0 1 1 1 AML/AML/AML M5 Darah/BMA 1 12 BEN 1 53 1 1 0 1 0 1 AML/AML/AML BMA I/II 1 13 PWA 1 24 1 1 0 1 1 1 AML M5/AML/AML M4 BMA 1 14 SAM 1 67 1 1 0 1 1 1 AML M7/AML/AML M4 BMA 1

15 TNA 2 75 1 0 1 1 1 1 AML/AML/MDS Perifer/Diagnosis dari Singapore

Post Kemoterapi 2

16 ARI F. 1 60 1 1 0 1 1 1 AML/AML/AML BMA 1 17 MHA 1 55 1 0 0 1 1 1 AML/AML/AML BMA 1 18 RIF 2 50 1 1 1 1 1 1 AML/AML/AML BMA 1

19 RIS 2 37 1 1 1 1 1 1 Tidak

Representative(I) AML/AML/ AML(II)

Darah/BMA 1

20 SUKA 1 61 1 0 0 1 0 1 AML M2/AML/AML BMA 1 21 NRH 2 65 1 1 1 1 1 0 AML/AML/AML BMA 1 22 ARI 1 40 1 1 1 1 1 1 AML/AML/AML BMA 1

23 NRD 1 44 1 1 1 1 1 1 AML M3/AML/AML BMA/Darah

Perifer 1

24 YLI 2 42 1 1 1 1 1 1 AML M5/AML/AML BMA 1

25 MFS 1 21 1 1 1 1 1 1 AML/AML/MDS BMA/Darah

Perifer 2

26 SJR 1 45 1 1 0 1 0 1 AML/AML M7/AML(I) Post Kemoterapi(II)

BMA 1

27 SPD 1 58 1 1 1 1 1 0 AML/AML M2/AML BMA 1 28 MAS 1 53 1 0 1 1 1 0 AML/AML/AML BMA 1

29 AJR 2 17 1 0 1 1 1 1 AML M7/AML/AML M7 BMA/Darah

Perifer. (Meninggal)

1

30 HAF 1 59 1 0 0 0 1 1 AML/AML/AML M2 BMA 1

31 MIS 1 57 1 1 1 0 1 1

AML/AML/AML BMA 1

32 ANS 1 35 1 1 1 1 1 1 AML/AML M7/AML BMA 1 33 IMM 1 18 1 1 1 1 0 1 AML/AML M7/AML Darah/BMA 1 34 SFR 2 50 1 1 1 1 1 0 AML/AML/MDS Darah/BMA 2 35 SHO 1 64 1 1 1 1 1 1 AML/AML/AML M3 BMA 1 36 ADH 2 42 1 0 0 1 0 0 AML/AML/AML M3 BMA 1

KETERANGAN :

• Jenis kelamin : Laki (1), Perempuan (2)

• Immunophenotyping : Myeloid Lineage (AML) (1), Non Myeloid Leneage (0)

• Pemeriksaan sitogenetik: o RUNX1 : RUNX1 ABNORMAL (1), RUNX1 NORMAL (0) o FLT3 : FLT3 ABNORMAL (1), FLT3 NORMAL (0) o NRAS : NRAS ABNORMAL (1), NRAS NORMAL (0) o NPM1 : NPM1 ABNORMAL (1), NPM1 NORMAL (0) o Del(5q) : KROMOSOM Del(5q) (1), KROMOSOM (5q) NORMAL (0)

• Diagnosis : AML (1), MDS (2)

• Nomor: 3, 5, 15, 25, 34 : EKSKLUSI

127

Lampiran 1 Surat Keterangan Bebas Plagiasi

128

Lampiran 2 Etichal clearance

129

Logistic Regression

VARIABLES del(5q) MDS.related.AML

METHOD=ENTER RUNX, FLT3, NRAS, NPM1

CRITERIA=PIN (.05) POUT (.10) ITERATE (20) CUT (.5).

Logistic Regression

Data Analysis\Mulya Dinata

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N percent

Selected Cases Included in Analysis 31 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 31 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 31 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases

Dependent Variable Encoding

Original value Internal Value (-) 0 (+) 1

Block 1 : Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 5.281 4 .260

Block 5.281 4 .260

Model 5.281 4 .260

Model Summary

Step 1 -2 log likelihood Cox & Snell R square Nagelkerke R square

1 27.837a .157 .239 a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates

changed by less than .001

Classification Tableᵃ

Predicted

Del(5q) MDS related AML

Precentage Corrected

Observed (-) (+)

Step 1 Del(5q) MDS related AML (- ) 1 6 14.3

(+) 1 23 95,8

Overall Percentage 77.4 a. The cut value is .500

130

Variables in the Equation

B(β) S.E Wald df Sig. Exp(B)

Step 1a RUNX1 -1.694 1.332 1.617 1 .204 .184

FLT3 .147 1.343 .012 1 .913 1.158

NRAS 2.446 1.360 3.236 1 .072 11.543

NPM1 1.618 1.245 1.688 1 .194 5.043

CONSTANT -.761 1.901 .160 1 .689 .467

a. Variable(s) entered on step 1 : RUNX1, FLT3, NRAS, NPM1 Probabilitas

{𝐝𝐞𝐥(5q)=1}=1/1+e-(β0 +β1.RUNX1+β2.FLT3+β3.NRAS+β4.NPM1)

ROC Curve Data Analysis\Mulya Dinata Case Processing Summary

Del(5q) MDS related AML Valid N (listwise)

Positvea 24

Negative 7

Larger values of the test result variable(s) Indicate stronger evidence for a positive Actual state a. The positive actual state is (+).

ROC CURVE

131

Area Under the Curve

Test Result Variable(s) : a

Prob. MDS related AML

Asymptotic

Sig.b

Asymptotic 95% Confidence Interval

Area Std.Error Lower bound Upper bound

.765 .097 .036 .574 .956

The test result variable(s): Prob.MDS.related.AML has at least one tie between the positive actual state group and the negative actual state group. Statistic may be biased a. Under the nonparametric assumption b. Null hypothesis : true area = 0.5

Coordinates of the curve

The result Variable(s): Prob.MDS related AML

Positive if Greater Than or Equal

To a

Sensitivity 1 – specificity

0.0000000000 1.000 1.000

.4342392130 .958 .857

.6182394205 .875 .571

.7169388935 .833 .429

.7825584010 .708 .286

.8429902415 .625 .286

.8573538955 .292 0.000

.9132656980 .250 0.000

.9668813630 .167 0.000

1.0000000000 .000 0.000

The test result variable(s): Prob.MDS.related.AML has at least one tie between the positive actual state group and the negative actual state group a. The smallest cutoff value is the minimum observed test value minus 1, and the largest cutoff value is the maximum observed test value plus 1. All the other cutoff values are the averages of two consecutive ordered observed test values.

RECODE Prob. MDS related AML (0.7825584010 thru Highest=1) (ELSE=0) INTO MDS.related.AML.

Sensitivity Specificity 1 – specificity

0.0000000000 1 1.000 0.000 1.000

.4342392130 2 .958 0.143 .857

.6182394205 3 .875 0.429 .571

.7169388935 4 .833 0.571 .429

.7825584010 5 .708 0.714 .286

.8429902415 6 .625 0.714 .286

.8573538955 7 .292 1.000 0.000

.9132656980 8 .250 1.000 0.000

.9668813630 9 .167 1.000 0.000

1.0000000000 10 .000 1.000 0.000

132

NO RUNX1 FLT3 NRAS NPM1 Prob

MDS related AML

MDS related AML

1 1 0 0 0 0.079074 0

2 1 1 0 0 0.090463 0

3 1 0 0 1 0.302167 0

4 1 0 0 1 0.302167 0

5 0 0 0 0 0.318429 0

6 1 1 0 1 0.334033 0

7 0 1 0 0 0.351147 0

8 1 0 1 0 0.497750 0

9 1 1 1 0 0.534445 0

10 0 0 0 1 0.702033 0

11 0 1 0 1 0.731844 0

12 1 0 1 1 0.833273 1

13 0 0 1 0 0.843565 1

14 1 1 1 1 0.852708 1

15 0 1 1 0 0.862000 1

16 0 0 1 1 0.964532 1

17 0 0 1 1 0.964532 1

18 0 1 1 1 0.969231 1

133

Probabilitas Variasi Gen RUNX1, FLT3, NRAS, NPM1Terhadap MDS-related AML

NO RUNX1 FLT3 NRAS NPM1 PROB

1 1 1 1 0 0.534445353

2 0 1 1 0 0.861999811

3 0 1 1 1 0.969231141

4 1 1 1 1 0.85270798

5 1 1 1 1 0.85270798

6 0 1 1 1 0.969231141

7 0 1 0 1 0.731844299

8 1 0 1 1 0.833272503

9 1 1 1 0 0.534445353

10 1 1 1 0 0.534445353

11 0 1 0 1 0.731844299

12 0 0 1 1 0.964531585

13 0 1 1 1 0.969231141

14 0 1 1 1 0.969231141

15 1 1 0 1 0.334033073

16 0 1 1 1 0.969231141

17 0 1 0 1 0.731844299

18 1 1 1 1 0.85270798

19 1 1 1 1 0.85270798

20 0 0 0 1 0.702033488

21 1 1 1 1 0.85270798

22 1 1 1 1 0.85270798

23 1 1 1 1 0.85270798

24 1 1 1 1 0.85270798

25 1 1 1 1 0.85270798

26 0 0 1 1 0.964531585

27 1 1 1 1 0.85270798

28 1 1 0 1 0.334033073

29 1 1 0 1 0.334033073

30 0 1 0 1 0.731844299

31 1 1 1 0 0.534445353

32 1 1 1 1 0.85270798

33 1 0 1 1 0.833272503

34 1 1 1 0 0.534445353

35 1 1 1 1 0.85270798

36 0 0 0 1 0.702033488

134

DATA SAMPEL PENELITIAN S3 2017/2018

No Nama Jenis

Kelamin Umur

(Tahun) Immunophe

notyping

Sitogenetik Molekuler/Kromosom Diagnosis

PK/peneliti/hom Sampel Diagnosis

NRAS RUNX1 NPM1 FLT3 DEL(5q) 1 NI 2 28 1 1 1 0 1 0 AML/AML/AML BMA 1

2 NA 1 48 1 1 0 0 1 1 AML/AML/AML Darah/BMA (Meninggal)

1

3 MO 1 74 1 1 0 1 1 1 AML/AML/MDS BMA

(Meninggal) 2

4 MI 1 81 1 1 1 1 1 1 AML M1/AML/AML BMA 1 5 SU 2 71 1 1 1 1 1 1 AML/AML /MDS BMA/Darah 2 6 ABR 1 36 1 1 0 1 1 1 AML M7/AML/AML M1 BMA 1

7 BUN 2 30 1 0 0 1 1 0 AML M3

VARIAN/AML/AML BMA 1

8 BUM 1 42 1 1 1 1 0 1 AML M3/AML/AML M3 BMA 1 9 ROS 1 40 1 1 1 0 1 0 AML M7/AML/AML BMA 1

10 ENR 2 26 1 1 1 0 1 1 AML M3

VARIAN/AML/AML Darah/BMA 1

11 AFA 1 18 1 0 0 1 1 1 AML/AML/AML M5 Darah/BMA 1 12 BEN 1 53 1 1 0 1 0 1 AML/AML/AML BMA I/II 1 13 PWA 1 24 1 1 0 1 1 1 AML M5/AML/AML M4 BMA 1 14 SAM 1 67 1 1 0 1 1 1 AML M7/AML/AML M4 BMA 1

15 TNA 2 75 1 0 1 1 1 1 AML/AML/MDS Perifer/Diagnosis dari Singapore

Post Kemoterapi 2

16 ARI F. 1 60 1 1 0 1 1 1 AML/AML/AML BMA 1 17 MHA 1 55 1 0 0 1 1 1 AML/AML/AML BMA 1 18 RIF 2 50 1 1 1 1 1 1 AML/AML/AML BMA 1

19 RIS 2 37 1 1 1 1 1 1 Tidak

Representative(I) AML/AML/ AML(II)

Darah/BMA 1

20 SUKA 1 61 1 0 0 1 0 1 AML M2/AML/AML BMA 1 21 NRH 2 65 1 1 1 1 1 0 AML/AML/AML BMA 1 22 ARI 1 40 1 1 1 1 1 1 AML/AML/AML BMA 1

23 NRD 1 44 1 1 1 1 1 1 AML M3/AML/AML BMA/Darah

Perifer 1

135

24 YLI 2 42 1 1 1 1 1 1 AML M5/AML/AML BMA 1

25 MFS 1 21 1 1 1 1 1 1 AML/AML/MDS BMA/Darah

Perifer 2

26 SJR 1 45 1 1 0 1 0 1 AML/AML M7/AML(I) Post Kemoterapi(II)

BMA 1

27 SPD 1 58 1 1 1 1 1 0 AML/AML M2/AML BMA 1 28 MAS 1 53 1 0 1 1 1 0 AML/AML/AML BMA 1

29 AJR 2 17 1 0 1 1 1 1 AML M7/AML/AML M7 BMA/Darah

Perifer. (Meninggal)

1

30 HAF 1 59 1 0 0 0 1 1 AML/AML/AML M2 BMA 1

31 MIS 1 57 1 1 1 0 1 1

AML/AML/AML BMA 1

32 ANS 1 35 1 1 1 1 1 1 AML/AML M7/AML BMA 1 33 IMM 1 18 1 1 1 1 0 1 AML/AML M7/AML Darah/BMA 1 34 SFR 2 50 1 1 1 1 1 0 AML/AML/MDS Darah/BMA 2 35 SHO 1 64 1 1 1 1 1 1 AML/AML/AML M3 BMA 1 36 ADH 2 42 1 0 0 1 0 0 AML/AML/AML M3 BMA 1

KETERANGAN :

• Jenis kelamin : Laki (1), Perempuan (2)

• Immunophenotyping : Myeloid Lineage (AML) (1), Non Myeloid Leneage (0)

• Pemeriksaan sitogenetik: o RUNX1 : RUNX1 ABNORMAL (1), RUNX1 NORMAL (0) o FLT3 : FLT3 ABNORMAL (1), FLT3 NORMAL (0) o NRAS : NRAS ABNORMAL (1), NRAS NORMAL (0) o NPM1 : NPM1 ABNORMAL (1), NPM1 NORMAL (0) o Del(5q) : KROMOSOM Del(5q) (1), KROMOSOM (5q) NORMAL (0)

• Diagnosis : AML (1), MDS (2)

• Nomor: 3, 5, 15, 25, 34 : EKSKLUSI

136

Lampiran 3 IDENTITAS PESERTA PENELITIAN

N A M A (L/P) :

U M U R :

A L A M A T/Hp/TELP. :

PENDIDIKAN :

PEKERJAAN / MASA KERJA I :

PEKERJAAN / MASA KERJA II :

PEKERJAAN LAIN : (BERHUBUNGAN DENGAN KIMIA BENZENE, SOLVENT, RADIASI, BAHAN

TAMBANG)

RIWAYAT PENYAKIT PESERTA :

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA :

KEBIASAAN:

I. MEROKOK/BATANG PER HARI

II. MINUMAN BERALKOHOL

III. OBAT-OBATAN (PENENANG)

IV. OLAH-RAGA HARI/MINGGU/JAM PER KALI

137

Lampiran 4 Informed consent

138

139

140

141

142

LEMBAR PENGUNDURAN DIRI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama

:……………………………………………………………………

Umur

:……………………………………………………………………

Alamat

:……………………………………………………………………

Tlp / Email

:……………………………………………………………………

Fakultas / Instansi

:……………………………………………………………………

Dengan ini menyatakan MENGUNDURKAN DIRI sebagai subjek penelitian

Dengan judul penelitian:

“POLIMORFISME GEN NPM1, RUNX1, FLT3, N-RAS, DAN DELESI KROMOSOM 5

del(5q) MEMPENGARUHI MYELODYSPLASTIC SYNDROME (MDS) MENJADI

ACUTE MYELOID LEUKEMIA (AML) PADA PENDERITA DI SURABAYA ” .

Demikian lembar pengunduran diri ini saya buat dengan penuh kesadaran dan

tanpa paksaan.

Surabaya, …………………………

Yang Membuat Pernyataan

(……………………………)

Saksi 1 Saksi 2

(……………………………) (………..……………………)

143

Lampiran 5 KLASIFIKASI DIAGNOSIS AML

KLASIFIKASI AML, FAB (Desai., 2000)

M0 AML with minimal differentiation

M1 AML without maturation

M2 AML with maturation

M3 Promyelocytic leukemia

M4 Myelomonocytic leukemia

M5 Monocytic leukemia

M6 Erythroleukemia

M7 Megakaryoblastic leukemia

KLASIFIKASI AML, WHO 2008 (Hoffbrand., 2011) Acute myeloid leukaemia (with recurrent genetic abnormalities)

AML with t(8;21)

AML with inv(16)

AML with t(15;17) (q22;q12); PML-RARA

Acute myeloid leukaemia with myelodysplasia-related changes

Therapy-related myeloid neoplasms (t-AML)

Acute myeloid leukaemia, not otherwise specified

AML with minimal differentiation

AML without defferentiation

AML with maturation

Acute Myelomonocytic leukemia

Acute Monoblastic/Monocytic leukemia

Acute erythroid leukemia

Acute Megakaryoblastic leukemia

144

Acute Basophilic leukaemia

Acute panmyelosis with myelofibrosis

Myeloid sarcoma

Myeloid proliferations related to down syndrome

Transient abnormal myelopoiesis

Myeloid leukaemia

KLASIFIKASI DIAGNOSIS MDS

KLASIFIKASI MDS, FAB (Desai., 2000)

Refractory anemia (RA)

Refractory anemia with ring sideroblast (RARS)

Refractory Anemia with excess Blast (RAEB)

Refractory Anemia with excess blast in Transformasi (RAEB-T).

Chronic myelomonocytic leukemia (CMML)

145

Tabel 7., KLASIFIKASI MDS, WHO 2008 (Hoffbrand., 2011).

146

Lampiran 6 Informasi primer PCR (RUNX1, NPM1, N-RAS, FLT3)

(Genetika Science Indonesia, jalan Lingkaran luar Barat,

Kembangan, Jakarta Barat, 11610,

Email [email protected])

GEN SUSUNAN ASAM AMINO

1 N_RAS_F N_RAS_R

31-mer oligo (25 nmole scale, PCR Grade, 3 OD) GAC TGA ATA TAA ACT TGT GGT AGT TGG ACC T 28-mer oligo (25 nmole scale, PCR Grade, 3 OD) ACC AAG ATT TAC CTC TAT TGT TGG ATC A

2 RUNX1_F

RUNX1_R

22-mer oligo (25 nmole scale, PCR Grade, 3 OD)

TAC AGC CAA TCT GCA CTG TGC T

22-mer oligo (25 nmole scale, PCR Grade, 3 OD)

CAC CTG TGT GGA ACA GAT CTC C.

3 NPM1_F NPM1_R

27-mer oligo (25 nmole scale, PCR grade, 3 OD) CTG ATG TCT ATG AAG TGT TGT TCC

26-mer oligo (25 nmole scale, PCR Grade, 3 OD) CTC TGC ATT ATA AAA AGG ACA GCC AG

4

FLT3-ITD_F FLT3-ITD_R

16-mer oligo (25 nmole scale, PCR grade, 3 OD) AGG AGG GCA ACT ACT T

21-mer oligo (25 nmole scale, PCR Grade, 3 OD) CTT CAC TTG AAT TGG TAG CAT

Keterangan: F : forward, R : reverse

147

Lampiran 6

Hasil pemeriksaan Immunotyping : myeloid lineage, morfologi dari sel

darah tepi dan sumsum tulang, pemeriksaan molekuler menggunakan PCR,

pemeriksaan sitogenetik menggunakan CISH : delesi kromosom 5 del(5q)

dan kromosom 5 normal.

1. Hasil Pemeriksaan Immunophenotyping

Pemeriksaan Immunophenotyping dengan menggunakan Fasc Calibur,

peneliti mengharapkan dapat sebagi penunjang diagnosis yaitu Myeloid Leneage

atau Non Myeloid Leneage, sebagai berikut (gambar 5.5)

148

Gambar 5.1 Hasil pemeriksaan Immunophenotyping

Keterangan ganbar CD13, CD33, CD34, MPO positif Immunophenotyping: Myeloid Lineage

2. Hasil pemeriksaan morfologi sel darah tepi dan aspirasi sumsum tulang

Hasil pemeriksaan morfologi sel darah tepi dan aspirasi sumsum tulang,

kami mengharapkan diagnosis AML, MDS-related AML dengan kriteria blast lebih

dari 20%, auer Rod (+), dapat dilihat sebagai berikut:

149

Gambar 5.2 Morfologi sel hapusan darah tepi dan sumsum tulang

Keterangan gambar: A. Hapusan darah tepi (AML), PEMBESARAN 10X B. Hapusan darah tepi (AML), PEMBESARAN 100X (ujung petunjuk auer rod) C. Hapusan sumsum tulang (AML), PEMBESARAN 10X D. Hapusan sumsum tulang (AML), PEMBESARAN 100X (ujung petunjuk myeloblast)

3. Hasil Pemeriksaan PCR

Hasil pemeriksaan PCR dalam bentuk band dimana terlihat band berarti

terjadi mutasi pada gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3 dapat dilihat pada gambar

dibawah ini (gambar 5.3)

Gambar 5.3 Hasil PCR Agarose-Biotechnology gen NRAS, RUNX1, NPM1,

FLT3

150

Keterangan: A. Gen NRAS: PCR positif B. Gen RUNX1: PCR positif C. Gen NPM1: PCR positif D. Gen FLT3: PCR positif Negatif jika tidak ada mutasi pada gen NRAS, RUNX1, NPM1, FLT3, band (pita) tidak terlihat

4. Hasil Pemeriksaan Sitogenetik (Metode CISH)

Hasil pemeriksaan delesi Kromosom 5 del(5q) mengunakan metode CISH

dimana pada metode tersebut tampak warna “Brownish” jika terjadi delesi

kromosom 5 del(5q), seperti pada gambar 5.4.

Gambar 5.4 Pemeriksaan sitogenetik delesi kromosom 5 del (5q)

Keterangan gambar : A. delesi kromosom 5 del (5q) B. kromosom 5 normal

151

152

153

154