Upload
independent
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN
DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh
TESIS
Oleh
LINDA 067011048/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2008
S
EK O L A
H
PA
SCASAR JANA
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN
DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan
Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
LINDA 067011048/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2008
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BPHTB DAN PPH
Nama Mahasiswa : Linda Nomor Pokok : 0607011048 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CNKetua
)
(Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn) (Dr. Budiman Ginting, SH, MHum
Anggota Anggota )
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Ir. T .Chairun Nisa, B.M.Sc
)
Tanggal Lulus :
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Telah Diuji Pada Tanggal PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : Notaris/PPAT Syahril Sofyan, SH, MKn Dr. Budiman Ginting, SH, MHum Notaris/PPAT Syafnil Gani, SH, MHum Chadidjah Dalimunthe, SH, Mhum
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
ABSTRAK
Undang-Undang menentukan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) hanya boleh menandatangani akta jual beli setelah kepadanya diserahkan fotocopi bukti pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) yang menjadi kewajiban penjual dan pembeli. Apabila PPAT yang melanggar ketentuan seperti yang disebut diatas, maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Meskipun Buku III KUHPerdata yang mengatur perihal perikatan (verbintenis) menyebutkan bahwa kesepakatan antara penjual dan pembeli saja sudah cukup mengikat dan menimbulkan kewajiban bagi penjual untuk menyerahkan tanah dan/atau bangunannya dan pembeli untuk menyerahkan uangnya sebesar yang telah disepakati, namun dari segi pembuktian yang diatur dalam Buku IV KUHPerdata menyebutkan khusus untuk jual beli wajib dilaksanakan dengan pembuatan akta otentik, dengan ancaman kebatalan bagi pihak-pihak yang melanggarnya. Pembuatan Akta Otentik oleh Pejabat Umum yang berwenang, baru bisa dilaksanakan apabila pajak yang berlaku bagi pengalihan tanah dan atau bangunan dilaksanakan sesuai ketentuan perpajakan. Akan tetapi yang menjadi permasalahan dari penelitian ini adalah proses penerimaan BPHTB yakni pembatasan waktu penerimaan BPHTB sampai pukul 11.00 WIB (Sebelas Waktu Indonesia Bagian Barat).
Penelitian ini bersifat Deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, sementara untuk mendukung penelitian normatif, dilakukan wawancara dengan beberapa informan yang dianggap layak dan mengetahui proses pembuatan akta jual beli tanah dan bangunan. Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dengan menggunakan metode deduktif serta disajikan dalam bentuk deskriptif.
Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa karena dengan adanya batas lokasi tempat pembayaran BPHTB sehingga mengakibatkan proses pembayaran pajak khususnya BPHTB untuk perbuatan hukum jual beli menjadi terhambat.Selain masalah pembayaran pajak BPHTB, kendala lain juga timbul dari wajib pajak. Kendala yang dimaksud adalah apabila salah satu pihak misalnya pihak penjual telah melakukan pembayaran pajak, tetapi pihak pembeli belum melakukan pembayaran pajak, agar pihak penjual dapat terlindungi maka dilakukan perjanjian jual beli. Mengenai kendala dalam pembayaran pajak BPHTB hendaknya dapat dilakukan melalui ATM (Automatic Teller Machine). Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Jual Beli Tanah dan/atau Bangunan, PPh &
BPHTB
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
ABSTRACT
The regulations had determined for a notary to sign a deed of established of trading only after a notary received the copies evidence of income tax payment and rights achievements of land and/or building fees which become the duty of seller and buyer. If there were a notary whom disobey the regulations mentioned above, than the punishment will be accused as fine amount Rp 7,500,000,- (seven millions and five hundreds thousands rupiahs). Even though civil code book III which regulate the commitment (verbintenis) mentioned that the agreement between seller and buyer party has just enough to tie up and occur the responsibility for the seller party to hand over land and/or building and for the buyer party to submitted the money as much as the deal, however seen from authentication point of view that had been regulated in civil code book IV mention specifically for trading the making the authentic of a deed of established is a must, followed by threat of abrogation to parties whom disobey it. The making of authentic a deed of established of, by an authority public notary can be accomplished whenever the prevail tax for transferring of land use and building is done as the taxation certain prevail. However the objective of this research is about the acceptance process of rights for land use and/or building fees that is acceptance time delimitation of rights for land use and/or building until 11.00 pm (Indonesian time zone).
The research is a descriptive research. The characteristics of the research that is used is normative juridical approach, mean while to support normative research, interviewed with a several capable sources that knowing well the making of a deed of established of trading the land an building process has been done. The main material for this research are secondary data by collecting the materials as law prime material, secondary and tertiary by using deductive method and displayed in descriptive form.
The result of this research revealed because of the delimitation of payment location has impacting to the tax payment process especially in law deed of trading is obstructed. Another obstacle is occurred from tax obligatory. The obstacle that purposed is whenever one of the parties for example the seller party had accomplished the tax payment, but at the buyer party had not accomplished the tax payment, in order to protect the seller party, the trading agreement need to be done. About the obstacle of rights achievements for land use and/or building tax payment wish it could be done through the ATM (Automatic Teller Machine). Key Word: Law Protection, Land and/or Building trading, Income Tax and Rights
Achievements for land use and/or Building fees
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan, kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahNYA, dengan mengkaruniakan kesehatan dan
kelapangan berpikir kepada penulis sehingga akhirnya dapat menyelesaikan penulisan
tesis ini yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK
DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN
DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh”.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi
untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini penulis mendapat
bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak dan untuk itu penulis ingin
mengaturkan ucapan terima kasih yang tiada terhingga dan penghargaan yang
setinggi-tingginya terutama kepada: Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN,
Notaris/PPAT Syahril Sofyan, SH, MKn dan Dr. Budiman Ginting, SH, MHum
selaku Komisi Pembimbing.
Selanjutnya ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa Program
Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
4. Notaris/PPAT Syafnil Gani, SH, MHum, selaku Komisi Penguji yang telah
memberikan masukan dan pengarahan demi memperkaya penulisan tesis ini.
5. Chadidjah Dalimunthe, SH, MHum, Selaku Komisi Penguji yang telah
memberikan masukan dan pengarahan demi memperkaya penulisan tesis ini.
6. Para Dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera.
7. Para Notaris/PPAT, di wilayah Medan yang telah memberi kesempatan dan
membantu penulis dalam penelitian juga telah memberi masukan dan saran-
saran untuk mendukung penulisan tesis ini.
8. Para Staf Sekretariat Program Studi Magister Kenotariatan yang telah
membantu dalam mengurus administrasi selama perkuliahan.
9. Kepada teman-teman seperjuangan lainnya yang tidak dapat penulis ucapkan
satu persatu terima kasih atas dukungan dan persahabatannya.
Secara khusus penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada suami tercinta SIAMIN dan ananda tersayang FELIX FANADY, dan Ibunda
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
tercinta serta keluarga besar penulis semuanya yang tidak dapat penulis ucapkan satu
persatu, semoga do’a dan kasih sayang mereka tetap menyertai penulis.
Semoga segala bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis
mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, Amin……….
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik demi kemajuan kita bersama.
Akhir kata semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan kita semua atas
perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Medan, Agustus 2008
Penulis,
Linda
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
RIWAYAT HIDUP Nama : Linda Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 05 Juni 1981 Alamat : Jalan Gatot Subroto Nomor 35 Medan Pendidikan :
- S D : Tahun 1987 s/d 1993 SD Perguruan Kristen Kalam Kudus Medan, Sumatera Utara.
- S M P : Tahun 1993 s/d 1996
SMP Perguruan Kristen Kalam Kudus Medan, Sumatera Utara.
- S M A : Tahun 1996 s/d 1999
SMA Perguruan Kristen Kalam Kudus Medan, Sumatera Utara.
- Perguruan Tinggi / S 1 : Tahun 1999 s/d 2003
Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan, Sumatera Utara.
- Perguruan Tinggi / S 2 : Tahun 2006 s/d 2008
Sekolah Pascasarjana Program Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara,
Medan, Sumatera Utara.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ............................................................................................. i
ABSTRACT .......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ............................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang Permasalahan ............................................................ 1
B. Permasalahan .................................................................................... 12
C. Tujuan Penelitian............................................................................... 13
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 14
E. Keaslian Penelitian ............................................................................ 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ............................................................ 16
1. Kerangka Teori ........................................................................... 16
2. Konsepsi ..................................................................................... 27
G. Metodologi Penelitian ....................................................................... 38
1. Sifat Penelitian ............................................................................ 38
2. Jenis Penelitian ............................................................................ 39
3. Bahan-Bahan Penelitian .............................................................. 40
4. Alat Pengumpulan Data ............................................................... 41
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
5. Analisis Data ............................................................................... 41
BAB II BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN/ATAU BANGUNAN DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh .................................................................................... 43
A. Pengertian Jual Beli Tanah dan Bangunan........................ 43 B. Pengertian Hukum Pajak dalam Peraturan Perpajakan
yang Berlaku dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah dan Bangunan .................................................................. 60 C. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli Atas Jual Beli Tanah dan Bangunan ....................................................... 71 BAB III PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM KAITANNYA DENGAN BPHTB DAN PPh ATAS JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN 77
A. Peran PPAT Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris Terhadap Setiap Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan 77
B. Prosedur dan Syarat-Syarat Pembayaran PPh dan BPHTB.. 86 BAB IV KENDALA DAN UPAYA MENGATASINYA DALAM PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh ATAS JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN................................................ 93
A. Kendala-Kendala dalam Pembayaran BPHTB dan PPh ..... 93 B. Upaya – Upaya Mengatasi dalam Kendala Pembayaran BPHTB dan PPh .............................................................. 98
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................ 101 A. Kesimpulan ..................................................................... 101 B. Saran ............................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 104
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia, setiap pelaksanaan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah
obyek pajak. Sebagai obyek pajak, peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dikenakan pajak dari kedua sisi, yaitu dari sisi penjual dan pembeli. Bagi pihak
penjual dikenakan Pajak Penghasilan (yang selanjutnya disingkat dengan PPh) yang
diperoleh dari penjualan tanah dan/atau bangunan. Sementara itu bagi pihak pembeli
dikenakan pajak yang berupa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
(yang selanjutnya disingkat dengan BPHTB). Pembayaran pajak yang menyangkut
PPh dan BPHTB adalah jual beli tanah yang ada haknya.
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang – Undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi)
yang langsung dapat ditujukan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.1
1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Fungsi pajak ada dua yaitu, fungsi budgetair (sumber keuangan negara) dan
fungsi regulerend (mengatur).
1 Mardiasmo, Perpajakan (edisi revisi), Andi Offset, Yogyakarta, 2005, hal 1.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Pajak mempunyai fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan, sebagai sumber keuangan negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain.
2. Fungsi Regulerend (Mengatur) Pajak mempunyai fungsi mengatur artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.2
Wajib pajak adalah subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak.
Karena yang menjadi subjek pajak adalah pihak yang memperoleh hak atas tanah
dan/atau bangunan, yang menjadi wajib pajak tentulah pihak yang memperoleh hak
atas tanah dan bangunan sesuai dengan perolehan hak yang terjadi. Kewajiban
pembayaran pajak ini harus dilakukan oleh wajib pajak pada saat terutangnya pajak
sesuai ketentuan Undang-Undang. Bila kewajiban ini belum terpenuhi, perolehan hak
akan tertunda. Dalam hal ini, pejabat yang berwenang tidak akan mengesahkan
perolehan hak tersebut sebelum BPHTB terutang dibayar/dilunasi oleh wajib pajak.
3
PPh yang diperoleh dari penjualan tanah dan/atau bangunan bagi penjual
tersebut bersifat final, hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 1994, tertanggal 27 Desember 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan,
2 Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus, Salemba Empat, Jakarta, 2004, hal. 2. 3 Marihot P. Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, hal. 73.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1995 (selanjutnya disingkat dengan PP No. 48
Tahun 1994).
Pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah tersebut diatur: 1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar pajak penghasilan. 2. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah: a. Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah.
b. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.
c. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus. 4
Besarnya PPh yang harus dibayar oleh penjual diatur dalam Pasal 4 Peraturan
Pemerintah tersebut, yaitu sebesar 5 % (lima persen) dari jumlah bruto nilai
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan5
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 ini
kemudian diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 1996, tertanggal 16 April 1996 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau bangunan (selanjutnya
disingkat dengan PP
.
4 Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan dari Peralihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
5 Ibid. Pasal 4.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
No. 27 Tahun 1996) Perubahan tersebut diantaranya mengenai:6
1. Besarnya pajak, dibedakan antara PPh yang berlaku bagi wajib pajak
developer yang menjual barang dagangannya sebesar 2 % (dua persen), dan
wajib pajak lain dan developer yang menjual tanah dan/atau bangunan yang
bukan merupakan barang dagangannya sebesar 5 % (lima persen).
2. Sifat final PPh tersebut diubah, bagi wajib pajak developer yang menjual
barang dagangannya dapat dikompensasikan dengan pajak terutang pada
tahun berjalan, sedangkan bagi wajib pajak lainnya dan developer yang
menjual tanah dan/atau bangunan selain barang dagangannya bersifat final.
Pembayaran PPh dilakukan oleh Wajib Pajak/wakilnya/kuasanya ke kas
Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (yang selanjutnya disingkat dengan
SSP) melalui Bank Persepsi yang ditunjuk atau Kantor Pos, sebelum akta pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh dan dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat dengan PPAT).
Khusus mengenai pajak yang dibebankan kepada pembeli, yang berupa BPHTB diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dirumuskan sebagai berikut: “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.”
6 Pasal 4 Juncto Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
BPHTB merupakan pajak yang terutang dan harus dibayar oleh pihak yang
memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta risalah lelang, atau surat
keputusan pemberian hak dapat dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang.
Mengenai saat terutang pajak yang berupa BPHTB tersebut diatur dalam Pasal
9 ayat (1) Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU
BPHTB), yaitu:
a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.
b. Tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.
c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.
d. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke kantor Pertanahan.
e. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak
tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.
f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak adalah sejak tanggal
dibuat dan ditanda-tanganinya akta.
g. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.
h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap.
i. Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan
peralihan haknya ke kantor pertanahan.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
j. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
adalah sejak tanggal ditanda-tanganinya dan diterbitkannya surat
keputusan pemberian hak.
k. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditanda
tanganinya dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak.
l. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta.
m. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.
n. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
o. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
Timbulnya utang pajak dari Wajib Pajak BPHTB atas pengalihan hak atas
tanah dan bangunan adalah pada saat dibuat dan ditandatanganinya akta dihadapan
PPAT. Pembayaran dari Wajib Pajak tidak didasarkan pada Surat Keterangan Pajak,
akan tetapi timbul dengan sendirinya karena pada saat yang ditentukan oleh Undang-
Undang sekaligus syarat-syarat subyektif dan obyektif terpenuhi.
Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment system di mana Wajib
Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang
terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Atas Tanah dan
Bangunan (selanjutnya disingkat dengan SSB) dan/atau melaporkannya tanpa
mendasarkan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank
Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat
pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran
atau penyetoran BPHTB dari Wajib Pajak dan memindahbukukan saldo penerimaan
BPHTB ke Bank Operasional V BPHTB, yang wewenang penunjukannya
dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Anggaran7
Sebagai konsekuensi dari ketentuan tersebut, Pasal 9 ayat (2) UU BPHTB
menentukan pajak yang terutang harus sudah dilunasi pada saat terjadinya perolehan
hak sebagaimana telah disebutkan. Ketentuan mengenai waktu pembayaran pajak
oleh pembeli ini dipertegas lagi dengan kewajiban bagi PPAT, dan Pejabat lelang
Negara untuk menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan
dimaksud setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak yang menjadi
kewajibannya (Pasal 24 UU Nomor 20 Tahun 2000) dan bagi PPAT dan pejabat
lelang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dikenakan denda sebesar
dengan Keputusan Direktur
Jenderal Anggaran Nomor KEP-04/A/2002 tanggal 28 Januari 2002 tentang
Penunjukan Bank Persepsi BPHTB dan Bank Operasional V BPHTB.
BPHTB terutang dibayar ditempat pembayaran BPHTB di wilayah
Kabupaten/Kota yang meliputi letak tanah dan/atau bangunan dengan menggunakan
dan mengisi SSB.
7 Departemen Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Kepmen Keuangan No.517/KMK.04/2000, Pasal 4 ayat (1).
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran (Pasal 26
ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2000).
Sampai disini tidak ada masalah yang ditimbulkan dengan berlakunya perundang-undangan perpajakan terhadap pelaksanaan penjualan dan pembelian tanah dan/atau bangunan, karena secara teoritis setiap pelaksanaan penjualan dan pembelian tanah dan/atau bangunan baru akan dilaksanakan setelah pajak-pajak yang diwajibkan sebagaimana telah diterangkan tersebut dibayarkan seluruhnya. Namun dalam pelaksanaannya di lapangan hal tersebut mengalami beberapa kendala.
Dalam pelaksanaan jual beli, pada umumnya para penjual dan/atau pembeli melakukan pembayaran pajak pada saat perbuatan hukum jual beli tersebut dilakukan dihadapan PPAT.
Demi menjaga kemungkinan agar tidak terjadinya penundaan pembayaran pajak, biasanya pembayaran pajak yang menjadi kewajiban penjual maupun pembeli dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan dilakukan pada hari dan tanggal akta jual belinya ditandatangani oleh para pihak di hadapan PPAT, dan demi menjaga kepastian pembayaran pajak tersebut dilakukan oleh para pihak, biasanya PPAT yang bersangkutan dengan sukarela membantu para pihak untuk membayarkan pajak tersebut kepada instansi yang berwenang melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi.
Pembayaran pajak harus dilakukan sebelum akta jual beli dilakukan dihadapan PPAT, meskipun sedemikian rupa kinerja PPAT untuk memprioristakan pembayaran pajak tersebut, tetap saja ada masalah yang ditemukan di lapangan, seperti yang akan penulis kutip dari Artikel Renvoi yang akan disebut di bawah ini tentang Notaris Kecewa Pelayanan Bank Persepsi.
Masalah yang timbul di lapangan itu adalah seperti yang terjadi pada Bank Sumut Cabang Utama Medan dinilai sangat kaku dalam melayani para wajib pajak, pada tanggal 27 Desember 2007 dari pagi pukul 08.00 WIB mereka telah mengantri selama kurang lebih 2 jam di depan teller, tapi pihak bank tidak mau menerima BPHTB kecuali PPh sedangkan sebelum melakukan pembuatan Akta Jual Beli harus lebih dulu membayar BPHTB dan PPh, jadi apa artinya jika hanya PPh saja yang harus dibayarkan dan hal ini tetap saja menghambat pembuatan Akta Jual Beli. Sebenarnya Bank Sumut tidak menolak atas pembayaran BPHTB tersebut, namun karena telah diberi waktu oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) selaku BO III (bank operasional III) yang merupakan pengumpul dana dari bank persepsi penerima BPHTB dan PPh untuk melimpahkan penyetoran ke Kas Negara. Batas yang diberikan BO III selambat-lambatnya pada pukul 14.00 WIB (Empat belas Waktu Indonesia Bagian Barat) dan jika tidak sesuai waktu tersebut, maka bank persepsi akan dikenakan sanksi. Selama ini, Bank Sumut Cabang Utama Medan selalu melayani penerimaan pemasukan negara atas BPHTB dan PPh hingga pukul 11.00 WIB.8
8 Artikel Renvoi, Notaris Kecewa Pelayanan Bank Persepsi, Februari 2008 No. 9.57.V.
(Sebelas Waktu Indonesia Bagian Barat).
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Selain itu implikasi tentang penanggalan bukti pembayaran pajak tersebut terhadap tanggal dan nomor akta yang dibuat oleh PPAT menjadi tantangan bagi PPAT. Apabila PPAT berpedoman pada fakta perbuatan hukum jual beli tersebut dilakukan, maka akta jual beli yang dibuat akan tetap diberi nomor, hari dan tanggal saat perbuatan hukum tersebut secara nyata dilakukan, dengan resiko bagi PPAT yang bersangkutan akan terkena sanksi denda sebesar Rp. 7.500.000.,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) setiap akta karena melakukan penandatanganan akta sebelum lunasnya pembayaran PPh dan BPHTB.
Namun, apabila pejabat tersebut mempertimbangkan demi menghindari
kewajiban membayar denda yang mengancam dirinya, nomor dan tanggal akta yang
dicantumkan dalam aktanya akan ditentukan setelah atau setidak-tidaknya sama
dengan tanggal yang tercantum dalam bukti pembayaran pajak yang menjadi
kewajiban penjual dan pembeli dibayarkan ke Bank Persepsi atau Kantor Pos.
Apabila Pilihan kedua yang dilaksanakan, hal ini akan sangat bertentangan dengan
prinsip hukum yang menjadi kewajiban Notaris yang ditunjuk sebagai mitra
Pemerintah untuk menjamin kepastian tanggal dari suatu perbuatan hukum yang
dibuat di hadapannya, sebagaimana itu diatur dalam Pasal 15 (1) Peraturan Jabatan
Notaris di Indonesia, UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan jabatan Notaris
dimana disebutkan:
“ Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh suatu Peraturan Perundang-undangan dan/atau yang dikhendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
PPAT seharusnya tetap menjaga dan menjunjung tinggi fungsinya sebagai
pejabat umum yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mencatat dan menjamin tanggal
dari perbuatan hukum yang dilakukan dihadapannya agar akta yang dibuatnya dapat
memenuhi syarat sebagai akta otentik. Pertimbangan perlunya dituangkan dalam
bentuk akta otentik adalah untuk menjamin kepastian hukum guna melindungi pihak-
pihak.9
“Akta yang dibuat Notaris adalah akta otentik dan otensitasnya itu bertahan terus, bahkan sampai sesudah ia meninggal dunia. Tanda tangannya pada waktu akta itu tetap mempunyai kekuatan, walaupun ia tidak dapat lagi menyampaikan keterangan mengenai kejadian-kejadian pada saat pembuatan akta itu. Apabila Notaris untuk sementara waktu diberhentikan atau dipecat dari jabatannya, maka akta-akta tersebut tetap memiliki kekuatan sebagai akta otentik, tetapi akta-akta itu haruslah telah dibuat sebelum pemberhentian atau pemecatan sementara waktu itu dijatuhkan”.
Suatu akta akan memiliki karakter yang otentik, jika akta itu mempunyai daya
bukti antara para pihak dan terhadap pihak ketiga, sehingga hal itu merupakan
jaminan bagi para pihak bahwa perbuatan-perbuatan atau keterangan-keterangan yang
dikemukakan memberikan suatu bukti yang tidak dapat dihilangkan.
10
Namun, denda yang diberlakukan oleh Menteri Keuangan yang dibebankan
terhadap Notaris/PPAT yang membuat dan menandatangani akta sebelum kewajiban
pembayaran PPh dan BPHTB dipenuhi menjadi kendala bagi PPAT untuk melakukan
fungsi dan kewajibannya sebagaimana diamanahkan oleh peraturan perUndang-
Undangan yang berlaku, bahkan apabila PPAT tersebut kurang berhati-hati ada
9 Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation Studies of Business Law (CDSBL), Yogyakarta, 2003, hal. 49.
10 Ibid.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
kemungkinan akan mendapat tuntutan hukum di kemudian hari atas dasar perbuatan
pidana, karena telah memasukkan data palsu ke dalam aktanya.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan perbuatan pidana dengan memasukkan
data palsu ke dalam aktanya adalah melakukan pergeseran nomor dan tanggal akta
jual beli sesuai dengan bukti pembayaran pajaknya.
Mengingat adanya dilema bagi PPAT mengenai kondisi sebagaimana telah
diuraikan tersebut, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai peraturan
perundang-undangan yang ada yang berkaitan dengan pelaksanaan jual beli tanah
dan bangunan, serta perlindungan hukum terhadap para pihak dalam pelaksanaan
jual beli tanah dan bangunan berkaitan dengan pembayaran pajak yang
diwajibkan.
Pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap para pihak dalam
pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan dikaitkan dengan kewajiban pembayaran
BPHTB dan PPh adalah dalam hal pemenuhan kewajiban pajak, di mana untuk
melihat kesesuaian pembayaran pajak yang akan dilakukan oleh wajib pajak, dan
juga membahas tentang kendala pembayaran BPHTB dan PPh. Berdasarkan uraian
diatas, maka penulis tertarik untuk menulis tesis ini dengan judul: Perlindungan
Hukum Terhadap Para Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan Bangunan
Dikaitkan dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB dan PPh.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian tesis ini adalah:
1. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum para pihak dalam pelaksanaan jual
beli tanah dan bangunan dikaitkan dengan kewajiban pembayaran BPHTB dan
PPh ?
2. Bagaimana peran PPAT untuk melindungi para pihak dalam pelaksanaan
pembayaran dan penyetoran BPHTB dan PPh terhadap jual beli tanah dan
bangunan ?
3. Apakah kendala yang terdapat dalam pembayaran PPh dan BPHTB tersebut serta
bagaimana upaya mengatasinya?
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap para pihak dalam
kewajiban pembayaran BPHTB dan PPh.
2. Untuk mengetahui peran PPAT melindungi para pihak dalam hal penyetoran
BPHTB dan PPh atas jual beli tanah dan bangunan tersebut.
3. Untuk mengetahui kendala yang terdapat dalam pembayaran PPh dan BPHTB
serta upaya untuk mengatasinya.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
D. Manfaat Penelitian
Di samping mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penulisan ini juga diharapkan
dapat memberikan manfaat. Manfaat penulisan ini dapat diklasifikasikan atas dua
jenis yaitu Manfaat Teoritis dan Manfaat Praktis.
a. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat tentang
pemahaman kewajiban pembayaran pajak oleh penjual dan pembeli dalam
pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan.
b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat diterapkan
dalam kalangan masyarakat, Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah itu
sendiri.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa penelitian dengan judul: “Perlindungan Hukum Terhadap Para
Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan Bangunan Dikaitkan dengan
Kewajiban Pembayaran BPHTB dan PPh” ini belum ada yang membahasnya.
Namun penulis ada menemukan beberapa tesis karya mahasiswa, yang
mengangkat tentang Perpajakan atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
dalam hal Jual beli, akan tetapi permasalahan yang diangkat tidak sama dengan para
penulis sebelumnya, yaitu:
1. Penelitian oleh SHIRLEY (NIM : 067011080), dengan judul tesis: Pelaksanaan
Undang-Undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan Dikaitkan
dengan Tugas Notaris/PPAT dalam pembuatan Akta Hibah Atas Tanah dan/atau
Bangunan di Kota Medan, dengan pokok permasalahan dalam penelitian tersebut
adalah:
a. Bagaimanakah kepatuhan Notaris/PPAT terhadap pelaksanaan UU BPHTB
dalam penandatanganan akta hibah tanah dan/atau bangunan?
b. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dan ketidakpatuhan
Notaris/PPAT terhadap UU BPHTB atas hibah tanah dan/atau Bangunan?
c. Apakah akibat hukum dari ketidakpatuhan Notaris/PPAT terhadap UU
BPHTB dalam pembuatan akta hibah atas tanah dan/atau bangunan?
2. Penelitian oleh JANSEN RICARDO SITANGGANG (NIM : 067011121),
dengan judul tesis: Penerapan Prinsip Kepastian Hukum dan Keadilan Dalam
Pengenaan BPHTB Terhadap Subjek Pajak Pada Proses Perolehan Hak Atas
Tanah Dan Atau Bangunan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Jo.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, dengan pokok permasalahan dalam
penelitian tersebut adalah:
a. Bagaimana kepastian hukum diterapkan dalam undang-undang tentang
BPHTB ini
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
b. Bagaimana prinsip keadilan dalam pengenaan BPHTB terhadap subjek hukum
dalam proses perolehan hak atas tanah dan atau bangunan?
3. Penelitian oleh Rahmaida (2005), dengan judul tesis: Peningkatan Penerimaan
Pajak Atas Transaksi Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (studi penelitian
di kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan medan dua), dengan pokok
permasalahan dalam penelitian tersebut adalah:
a. Bagaimana pelaksanaan penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau
Bangunan pada Kantor Pelayanan Bumi dan Bangunan Medan Dua.
b. Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dalam penerimaan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan Medan Dua.
c. Upaya-upaya apa yang dilakukan untuk meningkatkan penerimaan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan pada Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan Medan Dua.
Berdasarkan penelusuran tersebut maka dapat dipastikan penelitian ini dapat
dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi11. Sedang kerangka teori merupakan landasan dari teori
atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari
permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran
atau butir-butir pendapat teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak
disetujui.12
Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan
arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.
13
Official Assessment System adalah di mana wewenang pemungutan pajak ada
pada fiskus. Fiskus berhak menentukan besarnya utang pajak orang pribadi maupun
Karena penelitian ini
merupakan penelitian hukum maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan
mengarahkan diri kepada unsur hukum.
Untuk itu dalam tulisan ini akan diuraikan tentang Perlindungan Hukum
Terhadap Para Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan Bangunan Dikaitkan
dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB dan PPh berdasarkan data-data kepustakaan
dan perundang-undangan.
Dalam pemungutan pajak ada dikenal beberapa sistem pemungutan pajak
yaitu:
1. Official Assessment System
11 JJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting M. Hisyam, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 203.
12 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994, hal. 80. 13 Bandingkan Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja.
Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
badan dengan mengeluarkan ketetapan pajak, yang merupakan bukti timbulnya suatu
utang pajak. Jadi, dalam sistem ini para wajib pajak bersifat Pasif dan menunggu
ketetapan fiskus mengenai utang pajaknya.
2. Semi Self Assessment System
Semi Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana
wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang dari wajib pajak berada
pada kedua belah pihak, yaitu wajib pajak dan fiskus.14
3. Withholding System
Mekanisme pelaksanaan
dalam sistem ini berdasarkan suatu anggaran bahwa wajib pajak pada awal tahun
menaksir sendiri besarnya utang pajak terutang yang sesungguhnya ditetapkan oleh
fiskus.
Penerapan Semi Self Assessment System bersama-sama dengan Withholding
System, yang pada waktu itu dikenal dengan sebutan tata cara Menghitung Pajak
sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang (MPO) dilaksanakan pada periode 1968-
1983.
15
Withholding System adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana pihak
ketiga memungut dan menyetorkan pajak ke kas negara atas nama wajib pajak,
kewenangan tersebut diatur dalam peraturan pajak. Sehingga pada prinsipnya
14 Rimsky K. Judisseno, Perpajakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal 3. 15 Ibid
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Withholding System telah diatur dalam Undang-Undang Perpajakan dengan tarif yang
pasti besarnya dan pembayarannya dapat sebagai angsuran pajak atau bersifat final.
4. Self Assessment System16
a. Teori Asuransi
Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana wajib
pajak menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetorkan.
Penekanannya adalah wajib pajak harus aktif menghitung dan melaporkan jumlah
pajak terutangnya tanpa campur tangan fiskus.
Sistem ini diberlakukan untuk memberikan kepercayaan yang sebesar-
besarnya bagi masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat
dalam menyetorkan pajaknya. Dengan menyadari kelemahan-kelemahan yang
ditimbulkan sistem tersebut di atas, maka pada umumnya menggunakan Self
Assessment System.
Selain dikenal dengan adanya sistem pemungutan pajak, juga ada teori
pemungutan pajak, yaitu:
Dimana teori ini menjelaskan bahwa Negara melindungi keselamatan
jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus
membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena
memperoleh jaminan perlindungan tersebut.17
b. Teori Kepentingan
16 Mardiasmo, Op.Cit, hal 8. 17 Ibid, hal. 3.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya kepentingan
wajib pajak yang dilindungi. Semakin besar kepentingan yang harus
dilindungi, maka pajak yang dibayarnyapun lebih besar. Teori asuransi
dan Teori Kepentingan banyak ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai
dengan sifat hukum pajak itu sendiri, yaitu tidak ada imbalan yang
langsung dapat ditunjuk.
c. Teori Daya Pikul
Menurut Rimsky K. Judisseno, teori daya pikul merupakan pembebanan
pajak itu harus sama beratnya untuk setiap orang sesuai dengan daya
pikulnya masing-masing. 18
d. Teori Asas Daya Beli
Bahwa pajak yang dipungut merupakan usaha untuk menarik daya beli
dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara, yang kemudian
sebagai balasannya negara akan menyalurkannya kembali dalam bentuk
pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan
seluruh masyarakat lebih diutamakan.
“Menurut teori ini maka fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai
gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu
mengambil daya beli masyarakat untuk rumah tangga dalam masyarakat
untuk rumah tangga negara, dan kemudian menyalurkannya kembali
18 Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis (Suatu Tinjuan tentang Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal 9.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
kepada masyarakat dengan maksud memelihara dan untuk membawanya
kearah tertentu. Teori ini mengajarkan, bahwa penyelenggaraan
kepentingan masyarakat inilah yang dianggap sebagai dasar keadilan
pemungutan pajak, bukan kepentingan individu demikian pula bukan
kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi
keduanya itu. 19
e. Teori Bakti
Penekanan teori ini terletak pada negara yang mempunyai hak untuk
memungut pajak dari warganya sebagai tindak lanjut teori kepentingan
dalam hal penyediaan fasilitas umum yang diselenggarakan oleh Negara,
maka dengan pajak inilah masyarakat dapat menunjukkan salah satu
baktinya kepada Negara.20
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan PPAT, tidak secara eksplisit mengatur secara tegas
kewajiban PPAT untuk menjamin kepastian tanggal dari akta yang dibuat
dihadapannya, tetapi apabila memperhatikan bagian menimbang, definisi, tugas dan
kewenangan pejabat pembuat akta tanah pada peraturan pemerintah tersebut
sebagaimana di bawah ini :
21
19 R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT. Eresco Bandung, 1995, hal 35-36.
20 Op.Cit, hal. 10. 21 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
a. Bagian menimbang huruf b :
Bahwa dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah
telah ditetapkan jabatan PPAT yang diberi kewenangan untuk membuat
alat bukti mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
yang akan dijadikan dasar pendaftaran.
b. Bab I, ketentuan umum, Pasal 1 butir (1) :
Pejabat pembuat akta tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat
umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun.
c. Bab II, tugas pokok dan kewenangan PPAT, Pasal 2 ayat (1) :
PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun,
yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran
tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Dalam ketiga ketentuan tersebut disebutkan PPAT diberikan kewenangan
untuk membuat alat bukti yang berupa akta otentik. Mengenai istilah dari akta otentik
sendiri dapat diperoleh dari Pasal 1870 KUHPerd, yang menjelaskan bahwa akta
otentik memberikan diantara para pihak, beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-
orang yang mendapat hak dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa
yang dimuat di dalamnya.22
Pasal 1868 KUHPerd menjelaskan maksud dengan :
22 Soegondo, Notodisurjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Edisi 1, Cetakan 2 PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, 1993, hal. 8.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuatnya.”
Sejak 1961, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10
tahun 1961, Notaris tidak lagi berhak membuat perjanjian pemindahan hak atas tanah.
Wewenang itu selanjutnya diberikan kepada PPAT yang khusus diangkat oleh dahulu
Menteri Agraria, sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional (yang selanjutnya
disingkat dengan BPN), dan para camat yang juga diberikan wewenang sebagai
PPAT. Para Notaris pada umumnya juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Akta
Tanah.23
23 Ibid, hal. 9.
Apabila ini terjadi, akta jual beli yang dibuat oleh Notaris tersebut akan menjadi
cacat hukum dalam pembuatannya, karena pemindahan hak atas tanah yang ada
haknya adalah merupakan kewenangan dari PPAT. Dalam hal ini akta yang dibuat
oleh Notaris tersebut akan kehilangan otentiknya dan dapat merugikan para pihak.
Istilah akta jual beli PPAT yang dikenal dalam masyarakat luas, secara hukum
mempunyai pengertian berupa alat bukti bahwa telah dibuat perikatan berdasarkan
perjanjian jual beli atas tanah dan/atau bangunan oleh para pihak, pembuktian
telah dibuatnya perikatan tersebut berupa akta yang dibuat oleh pejabat tertentu
yang oleh peraturan perundangan diberi kewenangan untuk itu, yaitu PPAT.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Pasal 1320 KUHPerd, mengandung unsur-unsur dari perikatan yang timbul
dari perjanjian, yaitu adanya: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan
untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Azas kebebasan untuk membuat perjanjian atau lazim kita kenal dengan azas
kebebasan berkontrak ternyata dalam uraian Pasal 1338 KUHPerdata, yang
menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai
Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal tersebut mengandung
pengertian bahwa setiap orang diberi hak untuk membuat perjanjian mengenai
apapun dan dengan isi pengaturan yang bagaimanapun, asal saja tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Pada dasarnya suatu perjanjian harus memuat beberapa unsur perjanjian yaitu:24
1. Unsur Essentialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam perjanjian, seperti identitas para pihak yang harus dicantumkan didalam suatu perjanjian.
2. Unsur Naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian, walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik dari masing-masing pihak dalam perjanjian.
3. Unsur Accidentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak dalam perjanjian.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dinyatakan bahwa dengan
memperhitungkan sah atau tidaknya suatu perjanjian tergantung dengan dipenuhinya
Pasal yang termuat dalam 1320 KUHPerdata. Apabila syarat-syarat tersebut
terpenuhi, Pasal 1338 KUHPerdata menetapkan bahwa:
24 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cet.VII, Alumni, Bandung, 1985, hal. 20.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
a. Perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang
membuatnya, dalam arti sebagai lex Specialis, khusus bagi para pihak
yang membuat perjanjian tersebut.
b. Pengakhiran suatu perjanjian hanya dapat dilakukan dengan persetujuan
para pihak atau karena Undang-Undang menyatakan telah berakhir.
c. Perjanjian harus ditaati oleh para pembuat perjanjian (pacta sun servada).
Dalam perjanjian yang berisi jual beli, Pasal 1457 KUHPerdata memberikan
defenisinya, yaitu:
“Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”
R. Subekti25
Jual beli ini dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya
, perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak
dinamakan menjual (verkoopt) sedangkan dari pihak lain dinamakan membeli
(koopt). Itu adalah sesuai dengan istilah Belanda. istilah ini mencakup dua perbuatan
yang bertimbal balik.
Sesuai prinsip hukum Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat-
syarat untuk terjadinya perjanjian jual beli, cukup jika kedua belah pihak sudah
mencapai persetujuan tentang barang dan harganya. Khusus mengenai perjanjian
yang bersifat jual beli ini, Pasal 1458 dan Pasal 1459 KUHPerdata mengatur bahwa:
25 R. Subekti, Aneka Perjanjian cet 10, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 1-2.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
belum dibayar. Namun hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut hukum. Jadi hak milik yang diperjual belikan baru dianggap beralih/berpindah kepada pembeli setelah dilakukan penyerahan atas barang tersebut dari penjual kepada pembeli.
Dengan demikian perjanjian jual beli harus diikuti oleh penyerahan barang
agar terjadi peralihan kepemilikan atas barang yang diperjualbelikan. Pemilikan baru
berganti setelah adanya pemindahan hak milik atas barang tersebut, yang ditandai
oleh “penyerahan” barang tersebut.26
Perbedaan cara penyerahan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak,
erat sekali kaitannya dengan kedudukan berkuasa (bezit) atas benda-benda tersebut.
Menurut Pasal 1977 KUHPerd, Bezit ialah suatu keadaan lahir, dimana seorang
menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum
dilindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda sebenarnya ada pada
siapa. Bezit atas benda-benda bergerak berlaku sebagai titel yang sempurna, artinya
barang siapa yang menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemilik. Sedangkan
Bezit atas benda-benda tidak bergerak belum tentu adalah pemilik atas benda-benda
tersebut.
27
Prof. Subekti menguraikan Pasal 1977 KUHPerdata secara lengkap, sebagai
berikut:
28
26 Sri Soedewi, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 67. 27 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-hak yang Memberi Kenikmatan
Jilid I, Cetakan Kedua, Ind. – Hil. Co, Jakarta, 2002, hal. 45. 28 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, Intermasa, Jakarta, 2003, hal. 186.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
“Bezit berlaku sebagai titel yang sempurna, dengan itu dimaksudkan bahwa siapa saja yang dengan jujur memperoleh suatu barang bergerak dari seorang bezitter, seketika itu juga memperoleh hak milik atas barang itu.”
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsep diartikan
sebagai suatu konstruksi metal, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang
berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.29
Jual beli merupakan perjanjian yang bersifat timbal balik, sebagaimana itu
dapat disimpulkan dari isi Pasal 1457 KUHPerd : Jual beli adalah suatu persetujuan
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dalam Jual
beli senantiasa terdapat dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum
perikatan. Dari sisi hukum kebendaan, jual beli menimbulkan hak bagi kedua belah
pihak atas tagihan yang berupa penyerahan kebendaan pada satu pihak, dan
pembayaran harga jual pada pihak lainnya. Sedangkan dari sisi hukum perikatan, jual
beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban dalam bentuk
Dalam penelitian tesis ini, perlu kiranya didefenisikan beberapa pengertian
tentang konsep-konsep dalam penelitian tesis ini.
Dalam pelaksanaan jual beli tanah dan/atau bangunan perlu kiranya terlebih
dahulu memahami arti jual beli tersebut.
29 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 307.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli
kepada penjual.30
30 Gunawan Widjaja; Kartini Muljadi, Jual Beli, Seri Hukum Perikatan, Ed.1, Cet. 2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 27.
Dalam pelaksanaan jual beli berarti telah terjadinya pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan yang mengakibatkan kewajiban bagi masing-masing pihak untuk
melakukan pembayaran pajak. Sebagai obyek pajak, peralihan hak atas tanah dan/
atau bangunan dikenakan pajak dari kedua sisi, yaitu dari sisi penjual dan pembeli.
Bagi pihak penjual dikenakan PPh yang diperoleh dari penjualan tanah dan/atau
bangunan. Sementara itu bagi pihak pembeli dikenakan pajak yang berupa BPHTB.
Dengan adanya pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka dikenakan pajak
atas pengalihan tersebut seperti dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak
Penghasilan Nomor 17 Tahun 2000, dinyatakan bahwa atas penghasilan berupa
bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan
atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Dalam bidang perpajakan, menurut Pasal 1 ayat (2), Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 48 tahun 1994, tanggal 27 Desember 1994, yang mulai
berlaku pada 1 Januari 1995, bahwa yang dimaksud pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan adalah:
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
a. Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak
lain selain pemerintah.
b. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain
yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.
c. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain
kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum yang memerlukan persyaratan khusus.
Selain kewajiban pembayaran PPh yang dikenakan kepada pihak yang
memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pihak
lawannya kepada siapa ia mengalihkan hak atas tanah dan bangunannya juga
berkewajiban untuk membayar pajak yang berupa BPHTB. Kewajiban membayar
pajak bagi penerima hak atas tanah dan/atau bangunan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, yang diumumkan pada Lembaran Negara
tahun 1997, Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688, diundangkan pada
tanggal 29 Mei 1997. Semula Undang-Undang ini ditetapkan berlaku mulai 01
Januari 1998, tetapi dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1997 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1998, waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tersebut ditunda
menjadi mulai berlaku 30 Juni 1998. Undang-Undang tersebut telah diubah dengan
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, perubahan atas Undang-Undang Nomor 21
tahun 1997 tentang BPHTB yang mulai berlaku pada tanggal 01 Januari 2001.31
Pengertian PPh mengandung dua kata yang mempunyai pengertian disatukan
satu sama lain. Yang pertama mengenai arti dari pajak adalah suatu kewajiban dari
masyarakat untuk menyerahkan sebagian dana kepada negara dalam membiayai
kepentingan umum serta keperluan negara lainnya, yang pelaksanaannya diatur oleh
Undang-Undang. Kedua mengenai arti penghasilan adalah jumlah uang yang diterima
atas usaha yang dilakukan orang-perorangan, badan atau bentuk usaha lainnya yang
dapat digunakan aktivitas ekonomi seperti mengkomsumsi dan/atau menimbun serta
menambah kekayaan.
32
31 Muhammad Rusjdi, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, & Bea Materai, PT. Indeks, Jakarta, 2005, hal. 127.
32 Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis (Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal 9.
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tidak memberikan
pengertian yang terperinci mengenai defenisi PPh, tetapi hanya memberikan
pengertian dari objek PPh, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) (d)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yaitu:
“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang
berasal dari Indonesia, yang dapat dipakai untuk komsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dalam
bentuk apapun, termasuk karena keuntungan, karena penjualan atau karena
pengalihan harta…”
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Jelas bahwa Undang-Undang ini menganut prinsip perpajakan atas
penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu pengenaan pajak atas setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak dari manapun
asalnya yang dapat dipergunakan untuk komsumsi atau menambah kekayaan wajib
pajak tersebut. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib
pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan wajib pajak tersebut untuk
ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk membiayai
kegiatan rutin, pembangunan dan kepentingan umum serta keperluan negara lainnya.
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah
termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan
Perundang-undangan lainnya. Yang menjadi objek pajak BPHTB adalah perolehan
hak atas tanah dan bangunan yang meliputi jual beli, tukar menukar, hibah, hibah
wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak
yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan
keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha,
peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah, pemberian hak baru karena pelepasan
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
hak, dan pemberian hak baru di luar pelepasan hak.33
1. Hak Milik
Hak atas tanah diatur dalam
UUPA Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 16 ayat (1) adalah: Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut
Hasil Hutan, dan Hak-hak lain yang tidak termasuk diatas akan ditetapkan dalam
Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebut dalam
Pasal 53. Yang menjadi objek BPHTB adalah: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dan Hak
Pengelolaan.
Objek BPHTB yang disebutkan diatas merupakan pengenaan PPh dan
BPHTB yang dapat dijabarkan lebih lanjut, yaitu:
Hak Milik adalah hak atas tanah yang sifatnya terpenuh, terkuat,
turun temurun yang dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain yang
ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Hak Milik tidak dapat dipunyai
oleh orang asing. Hak Milik juga dapat dimiliki oleh badan-badan tertentu
yang ditunjuk oleh Pemerintah, yang mempunyai fungsi sosial tanah.
Penggunaan tanah Hak Milik oleh orang yang bukan pemiliknya dibatasi
dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Hak Milik harus didaftarkan dan
dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (ikatan
33 Valentina Sri S., Aji Suryo, Perpajakan Indonesia, Seri Belajar untuk Mahasiswa Cet. I UPP MPP YKPN, Yogyakarta, 2003, hal. 2.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
hipotik atau kredit verband). Semua warga negara Indonesia sama haknya
untuk memiliki tanah Hak Milik tanpa memandang jenis kelamin dan ras.
2. Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna
perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Hak Guna Usaha hanya
diberikan kepada orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan
pertanian saja. Dalam hal peralihan HGU sebelum diperoleh hak atas
tanah harus sudah dibayar BPHTB adalah sesuai dengan ketentuan UU
BPHTB, akan tetapi sebaiknya pengenaan pajak BPHTB ini dikenakan
setelah seseorang memperoleh hak atas tanah tersebut baru diwajibkan
untuk membayar pajak BPHTB, karena dalam HGU belum terjadinya
perolehan hak secara nyata yang dituabgkan dalam bentuk akta otentik,
di mana seseorang masih sebatas mengunakan tanah dan belum adanya
perolehan hak atas tanah tersebut. Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 28-
34 Undang-Undang Pokok Agraria (yang selanjutnya disingkat dengan
UUPA).
3. Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu
paling lama 30 tahun. Dengan demikian Hak Guna Bangunan adalah suatu
hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk dapat
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
mendirikan bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri. Berlainan
dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan tidak mengenai pertanian,
karena itu tanah yang dapat diberikan Hak Guna Bangunan meliputi baik
tanah yang merupakan milik orang atau pihak lain maupun tanah yang
langsung dikuasai oleh negara. Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal
35-40 UUPA.
4. Hak Pakai
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil
dari tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain,
yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat berwenang yang memberikannya
atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian
sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA. Hak Pakai
merupakan hak atas tanah baik untuk tanah bangunan maupun tanah
pertanian. Perkataan “menggunakan” menunjuk pada tanah bangunan
sedangkan perkataan “memungut hasil” menujuk pada tanah pertanian.
Hak Pakai dapat diberikan oleh Pemerintah tetapi dapat pula diberikan
oleh pemilik tanah. Perkataan orang lain pada defenisi hak pakai harus
diartikan luas dan meliputi juga badan-badan hukum yang mempunyai
tanah hak milik. Hak Pakai diatur dalam Pasal 41-43 UUPA.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
5. Hak Atas Satuan Rumah Susun
Hak Atas Satuan Rumah Susun adalah hak atas bangunan gedung
bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam
bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal
maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat
dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian,
yang dilengkapi dengan berbagai benda bersama dan tanah bersama.
6. Hak Pengelolaan
Hak Pengelolaan merupakan suatu hak atas tanah yang sama sekali
tidak ada dalam UUPA, karena itu khusus hak ini demikian pula luasnya
hak terdapat diluar ketentuan UUPA.34
Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang
kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang
haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah
untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari
tanah tersebut kepada pihak ketiga.
35
34 A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung, 1989, hal. 1.
35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf f.
Saat ini Hak Pengelolaan diberikan
kepada instansi Pemerintah, Pemerintah daerah administrasi (Orotita
Batam), Badan Usaha Milik Negara (misalnya Perum Perumnas), dan
badan hukum swasta lainnya. Hak Pengelolaan dimaksudkan untuk
memberikan kewenangan kepada instansi pemerintah atau badan hukum
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
yang ditunjuk oleh negara/pemerintah untuk melaksanakan Hak
Menguasai Negara atas tanah.
Selain Objek BPHTB, Terdapat beberapa subjek pajak yang oleh peraturan
Perundang-undangan tidak dikenakan BPHTB, yaitu:
1. Perwakilan diplomatik, konsulat, berdasarkan atas perlakuan timbal balik.
2. Negara atau penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum.
3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan
organisasi tersebut.
4. Orang pribadi atau badan karena wakaf.
5. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
6. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan
hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.
Besarnya BPHTB adalah 5 % (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak
Kena Pajak (yang selanjutnya disingkat dengan NPOPKP). NPOPKP diperoleh
dengan cara mengurangi Nilai Perolehan Objek Pajak (yang selanjutnya disingkat
dengan NPOP) - Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (yang selanjutnya
disingkat dengan NPOPTKP). NPOPTKP untuk masing-masing daerah tidak sama
dan ditentukan secara regional. Undang-Undang hanya mengatur mengenai ketentuan
maksimal NPOPTKP, yaitu sebesar Rp. 60.000.000,- (Enam Puluh Juta Rupiah).
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Khusus untuk perolehan hak atas tanah yang disebabkan adanya hak waris atau hibah
wasiat yang diterima dalam garis keturunan lurus atau derajat ke atas atau satu derajat
ke bawah, termasuk suami/isteri ditetapkan secara regional paling banyak
Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).
Menurut Undang-Undang BPHTB harus telah dilunasi pada saat terjadinya
perolehan hak. PPAT dan Kepala Kantor Lelang Negara hanya dapat menandatangani
akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan
bukti pembayaran berupa Surat Setoran BPHTB, dengan ancaman denda sebesar
Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran, bagi
yang melanggarnya.36
1. Kewajiban perpajakan adalah sebagai kewajiban kenegaraan dan
merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan
pembangunan nasional.
PPAT dan Kepala Kantor Lelang Negara selambat-lambatnya
tanggal 10 bulan berikutnya, wajib melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Direktorat Jenderal Pajak,
dengan sanksi administratif dan denda sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh
ribu rupiah) untuk setiap laporan.
Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus
didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil
dalam penelitian ini. Maka konsepsi yang telah diuraikan di atas, yaitu:
37
36 Valentina Sri S, Aji Suryo, Op.Cit. hal. 8-9. 37 Perpajakan adalah wajib pajak menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 yang sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1994 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang, sesuai dengan
Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: Pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang.38
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 adalah Pajak Perolehan Hak Atas
Tanah dan/atau Bangunan. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
tentang Pajak perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah:
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
4. Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perolehan hak terjadi karena adanya perbuatan hukum atas tanah dan
bangunan yaitu: pemindahan hak dan pemberian hak baru.39
G. Metodologi Penelitian
1. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, artinya penelitian ini bertujuan
untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu,
kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi. 40
38 Marsono, Susunan dalam Satu Naskah UUD 1945 dengan Perubahan Perubahannya 1999-2002, CV Eko Jaya, Jakarta, 2005.
39 Pasal 2 ayat 2 bagian a dan b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
40 Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Garanit, Jakarta, hal. 58.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Dengan penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan
keadaan objek atau peristiwanya,41
2. Jenis Penelitian
kemudian menelaah dan menjelaskan serta
menganalisa data secara mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan
perundangan yang berlaku maupun dari berbagai pendapat ahli hukum sehingga dapat
diperoleh gambaran tentang data faktual yang berhubungan dengan Perlindungan
Hukum Terhadap Para Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan Bangunan
Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB dan PPh.
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif,42
41 Sutrisno Hadi, Metodelogi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1989, hal. 3. 42 Penelitian Hukum Normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder, lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 13.
yaitu dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang
relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian terhadap azas-azas hukum,
sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah
serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas. Sementara itu untuk mendukung
penelitian normatif, dilakukan wawancara dengan beberapa informan yang dianggap
layak dan mengetahui proses pembuatan Akta Jual Beli Atas Tanah dan Bangunan.
Informasi yang didapat dari informan ini dijadikan sebagai data pendukung untuk
menambah dan memperkuat data sekunder yaitu bahan-bahan primer, sekunder, dan
tertier.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
3. Bahan-Bahan Penelitian
Bahan-Bahan Penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah
menggunakan penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dibantu dengan data
yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian ini.
Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data
sekunder.43
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan bahan peraturan perundang-undangan yakni
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2000 dan bahan hukum dari masa kolonial belanda yang masih berlaku, antara
lain KUHPerdata.
Data sekunder dan bahan pustaka tersebut adalah sebagai berikut:
b. Bahan hukum sekunder, antara lain buku-buku rujukan, hasil karya ilmiah
dari kalangan hukum dan berbagai makalah yang berkaitan dengan
pelaksanaan jual beli tanah dan/atau bangunan.
c. Bahan Hukum Tertier, antara lain berupa kamus umum, kamus hukum,
ensiklopedia, majalah, surat kabar, artikel dan jurnal-jurnal hukum serta
laporan ilmiah.
43 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 121.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
4. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Pedoman Wawancara, yang berisikan daftar pertanyaan yang akan digunakan
dalam wawancara dengan para informan, yakni dari beberapa Notaris/PPAT
di Kota Medan yang sering membuat Akta Jual Beli Tanah dan atau
Bangunan yang terhadap peristiwa hukum jual beli tersebut terkait dengan
kewajiban pembayaran BPHTB dan PPh bagi pembeli dan penjual.
2. Studi Kepustakaan, yaitu menghimpun data dari hasil penelaahan bahan
kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
5. Analisis Data
Analisis data terhadap data sekunder mengenai perlindungan hukum terhadap
para pihak dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan dikaitkan dengan
kewajiban pembayaran BPHTB dan PPh setelah diadakan terlebih dahulu
pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan, dan kemudian dievaluasi sehingga
diketahui validitasnya , lalu dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif
dengan logika deduksi, yaitu berpikir dari hal yang umum menuju hal yang lebih
khusus, dengan menggunakan perangkat normatif, yaitu dengan cara melakukan
interprestasi dan konstruksi hukum atas peristiwa hukum konkrit yang terjadi
terutama hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pihak penjual
dan pembeli dalam kaitannya dengan kewajiban pembayaran BPHTB dan PPh bagi
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
pihak penjual dan pembeli atas transaksi yang dibuat mereka dihadapan PPAT
di Kota Medan. Dari kegiatan interprestasi data sekunder yang diperoleh diharapkan
dapat menghasilkan kesimpulan yang sesuai dengan permasalahan dan tujuan
penelitian.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
BAB II
BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN/ATAU
BANGUNAN DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh
A. Pengertian Jual Beli Tanah dan Bangunan
Jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah hak
kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah itu berpindah kepada yang
menerima penyerahan).44
UUPA tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan jual
beli tanah, tetapi biarpun demikian mengingat bahwa hukum agraria kita sekarang ini
memakai sistem dan azas-azas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah sekarang
harus pula diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik
(penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada
saat itu juga menyerahkan harganya kepada penjual, yaitu menurut pengertian hukum
adat.
45
Di dalam Pasal 1457 KUHPerdata dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan dan juga dalam Pasal 1458 KUHPerdata disebutkan “Jual Beli dianggap
44 Effendi Perangin-angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Pandang Praktisi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1986, hal. 1.
45 Ibid, hal. 13.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai
kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum
diserahkan dan harganya belum dibayar.46
Buku III KUHPerdata berjudul perihal perikatan (Verbintenis), ialah suatu
hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi
hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan
orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.
Perjanjian atau perikatan secara hukum masuk ke wilayah hukum keperdataan
karena mengatur kepentingan-kepentingan perorangan, dan mendapat pengaturannya
dalam Buku III KUHPerdata.
47 Sebenarnya istilah
perikatan dalam KUHPerdata sendiri mempunyai arti lebih luas dari sekedar
perjanjian, karena dalam Buku III KUHPerdata, selain diatur mengenai perikatan-
perikatan yang timbul karena adanya persetujuan/perjanjian, juga diatur mengenai
perikatan-perikatan yang timbul karena Undang-Undang. Perikatan yang timbul
karena Undang-Undang, misalnya perikatan yang timbul karena adanya perbuatan
yang melanggar hukum (Onrechtmatige daad) dan perikatan yang timbul karena
perbuatan pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan
(Zaakwaarneming). Sebagian besar Buku III KUHPerdata ditujukan untuk perikatan-
perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi berisi hukum perjanjian.48
46 R. Subekti, AnekaPerjanjian, Alumni, Bandung, 1977, hal. 1-2. 47 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, Jakarta Intermasa, 2003, hal. 122. 48 Ibid. Subekti memberikan penjelasan bahwa perikatan merupakan suatu pengertian abstrak,
sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Mengenai Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata, ada dikenal dengan
Perjanjian Bernama. Perjanjian Bernama yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang
diatur dalam KUHPerdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini misalnya: jual beli,
tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain. Selain dikenal dengan adanya
perjanjian bernama ada juga perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, Jadi
dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu, dan ketentuan yang
ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi masing-masing
pihak.49 Lebih dari itu, tidak saja orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja
asal tidak melanggar ketertiban umum yang diatur dalam bagian khusus Buku III
KUHPerdata, tetapi pada umumnya juga dibolehkan menyampingkan peraturan-
peraturan yang termuat dalam Buku III KUHPerdata itu. Dengan kata lain peraturan-
peraturan yang ditetapkan dalam Buku III KUHPerdata itu hanya disediakan dalam
hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri.50
Dengan adanya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, maka hal itu telah
menimbulkan hak dan kewajiban sesuai dengan apa yang telah disepakati. Jadi
Undang-Undang tidak mensyaratkan adanya bukti tertulis untuk sahnya suatu
perikatan. Dengan tercapainya kata sepakat diantara para pihak saja, telah cukup bagi
Jadi Buku III
KUHPerdata merupakan hukum pelengkap (Aanvullend recht), bukan hukum yang
memaksa (Dwingend recht).
49 R.M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978, hal. 10.
50 Op.Cit, hal. 127-128.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
perjanjian tersebut untuk mengikat dan menimbulkan hak serta kewajiban bagi para
pihak yang membuatnya.
Namun demikian perjanjian ini akan sangat lemah sifatnya, karena akan
sangat tergantung dari itikad baik masing-masing pihak. Apabila salah satu pihak
yang berkewajiban untuk melakukan suatu prestasi tidak memenuhi kewajibannya
(prestasinya) kepada pihak lainnya dan menyangkal telah membuat perjanjian itu,
atau menyatakan mengakui membuat perjanjian tetapi tidak sesuai seperti yang
dituntut oleh lawannya, maka pihak yang menuntut pemenuhan prestasilah yang
berkewajiban untuk membuktikkan tentang adanya janji tersebut.
Pengaturan pembuktian tentang adanya janji dalam pemenuhan prestasi diatur
dalam Buku IV KUHPerdata ini kurang disetujui oleh Prof. Subekti, karena
seharusnya pembuktian masuk dalam wilayah hukum acara, sedangkan KUHPerdata
pada umumnya mengatur mengenai hukum materiil. Memang ada pendapat yang
menyatakan bahwa hukum acara sendiri dapat dibagi menjadi hukum acara formil
dan hukum acara materiil, sedangkan peraturan mengenai alat-alat pembuktian
termasuk dalam hukum acara materiil. Rupanya pembentuk Undang-Undang pada
waktu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dilahirkan
menganut pendapat ini. Sedangkan di Indonesia peraturan mengenai pembuktian
telah dimasukkan dalam H.I.R. yang memuat hukum acara yang berlaku
di Pengadilan Negeri.51
51 Ibid, hal. 176.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Karena Undang-Undang menentukan pihak yang menuntutlah yang
berkewajiban untuk membuktikkan haknya, sehingga karena itu untuk menjamin
kepastian dipenuhinya prestasi dari masing-masing pihak yang membuat perjanjian
diperlukanlah adanya suatu alat bukti dalam setiap perjanjian. Alat bukti tersebut
menurut ketentuan Pasal 1866 bisa berupa: bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi,
persangkaan, pengakuan dan sumpah. Alat bukti tulisan (surat) dapat dibedakan
menjadi surat-surat akta dan surat-surat lain. Surat akta ialah suatu tulisan yang
semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu
akta harus selalu ditandatangani. Sedangkan surat yang berbentuk akta masih dapat
dibedakan lagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
Akta otentik (akta resmi) ialah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan
seorang pejabat umum yang menurut Undang-Undang ditugaskan untuk membuat
surat-surat akta tersebut, sedangkan akta dibawah tangan (onderhand) ialah tiap akta
yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum.52
52 Ibid, hal. 179.
Jika pihak
yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal
tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang
tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta di bawah tangan tersebut memperoleh
suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan akta resmi. Tetapi apabila tandatangan
tersebut disangkal, maka sesuai ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata, pihak yang
mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran
penandatanganan atau isi akta tersebut. Sebaliknya dalam akta otentik, pihak yang
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
menyangkal tandatangannya pada suatu akta resmi diwajibkan untuk membuktikan
bahwa tandatangan itu palsu, dengan kata lain pejabat umum yang membuat akta
tersebut telah melakukan pemalsuan surat.
Kesaksian haruslah mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata
kepala sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi, dan tidak diperbolehkan
seorang saksi memberikan keterangan dengan cara menarik kesimpulan dari peristiwa
yang dilihat atau dialaminya, karena yang berhak menarik kesimpulan adalah hakim.
Pembuktian yang berupa kesaksian tidaklah sekuat pembuktian yang berupa tulisan,
hal ini dapat kita simpulkan dengan adanya ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam
praktek, seperti misalnya:
1. Seorang hakim tidaklah terikat untuk menerima dan mengambil sebagai bahan
pertimbangan atas keterangan saksi dalam memutuskan suatu perkara, jadi
hakim berhak untuk menerima atau tidak atas keterangan seorang saksi.
2. Pihak lawan berhak menolak seorang saksi yang diketahuinya mempunyai
hubungan kekeluargaan yang sangat erat dengan pihak yang berperkara.
3. Seseorang berhak untuk menolak menjadi saksi.
4. Selanjutnya Undang-Undang menetapkan bahwa keterangan satu orang saksi
tidaklah cukup.
Persangkaan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang
sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang nyata ini dapat ditarik kesimpulan bahwa
suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan juga sudah terjadi. Dalam hukum
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
pembuktian terdapat dua persangkaan, yaitu persangkaan yang ditetapkan oleh
Undang-Undang dan persangkaan oleh hakim.
Sedangkan mengenai pengakuan, menyatakan suatu pengakuan yang
dilakukan di depan hakim merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang
kebenaran hal atau peristiwa yang diakui, sehingga harus diterima oleh seorang
hakim sesuai seperti apa yang ternyata dalam pengakuan ini. Menurut penilaian Prof.
Subekti, pendapat Undang-Undang ini tidaklah sesuai dengan uraian mengenai
pembuktian yang berupa kesaksian. Dalam pembuktian yang berupa pengakuan
di depan hakim, seorang hakim haruslah menerima, atau dengan kata lain terpaksa
untuk menerima dan menganggap suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-
benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu
sungguh-sungguh telah terjadi. Sedangkan dalam kesaksian hakim bebas untuk
menerima atau tidak menerima atas keterangan seorang saksi.
Alat pembuktian yang terakhir menurut Undang-Undang adalah sumpah,
dimana sumpah ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumpah yang
menentukan (Decissoire eed) dan sumpah tambahan (Supletoir eed). Istilah tersebut
juga dikenal dengan sumpah Promissoir yaitu sumpah untuk berjanji menentukan
sesuatu dan sumpah Assertoir yaitu sumpah untuk memberi keterangan guna
meneguhkan bahwa sesuatu benar demikian atau tidak.53
53 Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2002, hal. 179.
Sumpah yang menentukan
adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
pihak lawannya dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa
oleh hakim. Apabila pihak yang diperintahkan bersedia mengangkat sumpah dengan
perumusan sumpah yang disusun oleh pihak lawannya, maka ia akan dimenangkan
oleh hakim. Tetapi bila ia menolak untuk mengangkat sumpah yang diperintahkan
oleh lawannya dan mengembalikan kepada pihak lawannya untuk melakukan
sumpah, ia dikalahkan oleh hakim. Sumpah tambahan adalah suatu sumpah yang
diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang berperkara, apabila hakim itu
berpendapat bahwa di dalam suatu perkara sudah terdapat permulaan pembuktian,
yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan
untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Jadi perbedaan
prinsip antara sumpah yang menentukan (Decissoire eed) dan sumpah tambahan
(Supletoir eed) adalah sumpah yang menentukan (Decissoire eed) diperintahkan oleh
pihak lawan dan yang diperintahkan mempunyai hak untuk mengembalikan sumpah
tersebut kepada pihak lawan, sedangkan sumpah tambahan (Supletoir eed)
diperintahkan oleh hakim dan yang diperintahkan tidak mempunyai hak
mengembalikan sumpah54
Dari ke lima macam alat pembuktian yang telah diuraikan tersebut,
pembuktian dengan suatu akta memang suatu cara pembuktian yang paling utama,
maka dapatlah dimengerti mengapa pembuktian dengan tulisan ini oleh Undang-
Undang disebutkan sebagai cara pembuktian nomor satu dan demikian itu Undang-
Undang untuk beberapa perbuatan atau perjanjian yang dianggap sangat penting,
.
54 Ibid, hal. 184-185.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
mengharuskan pembuktian suatu akta.55
Suatu akta otentik merupakan alat pembuktian berupa suatu surat berbentuk
akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut Undang-
Undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut, sedangkan akta
di bawah tangan (onderhand) ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan
perantaraan seorang pejabat umum. Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, bahwa suatu
akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-
Suatu akta otentik ialah suatu akta yang
didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.
Pegawai umum yang dimaksud dapat berupa: PPAT, hakim, jurusita, pegawai catatan
sipil dan lain sebagainya.
Ketentuan Pasal 617 KUHPerdata, yang mengharuskan penjualan,
penghibahan, pembagian, pembebanan atau pemindahtanganan benda tidak bergerak
dibuat dalam bentuk akta otentik atas ancaman kebatalan. Sedemikian pentingnya
pembuktian berupa akta otentik pada terjadinya pengalihan benda tidak bergerak
tersebut, hingga oleh Undang-Undang diberikan ancaman batal bagi pihak-pihak
yang tidak mengindahkannya. Apabila suatu perbuatan dilaksanakan dengan
pembuatan akta otentik, maka menurut Pasal 1870 KUHPerdata telah memberikan
diantara para pihak beserta ahli waris-ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak
dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.
55 Ibid, hal. 178-179.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu
di tempat di mana akta dibuatnya.
Jadi unsur-unsur yang terkandung dalam suatu akta otentik adalah: 56
1. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu.
2. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang. 3. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai
kewenangan untuk membuat akta itu ditempat di mana akta itu dibuatnya. Suatu akta otentik haruslah mempunyai bentuk yang ditentukan oleh Undang-
Undang. Namun apabila syarat ini tidak terpenuhi, akta yang bersangkutan tidaklah
menjadi batal, akan tetapi akan kehilangan sifat otentiknya, karenanya akan berlaku
sebagai akta di bawah tangan. Apabila hal itu sampai terjadi pada jual beli atas benda
tidak bergerak Pasal 617 KUHPerdata memberikan ancaman kebatalan.
Pejabat umum yang membuat suatu akta otentik haruslah mempunyai
kewenangan untuk itu, yaitu:57
1. Kewenangan sepanjang menyangkut jenis akta yang dibuatnya. Tidak setiap pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan Undang-Undang.
2. Kewenangan sepanjang menyangkut orang-orangnya, untuk siapa akta tersebut dibuat. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, memberikan larangan bagi Notaris untuk membuat akta-akta yang memberikan suatu hak dan atau keuntungan bagi: a. Notaris, isteri atau suami Notaris. b. Saksi, isteri atau suami Notaris. c. Orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris atau
saksi baik hubungan darah dalam garis lurus keatas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat maupun hubungan perkawinan sampai dengan derajat ketiga.
56 Lumban, Tobing, G.H.S, S.H, Peraturan Jabatan Notaris, cet. Ke 3, Erlangga, Jakarta, 1983, hal. 48.
57 Ibid, hal. 49.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
3. Kewenangan sepanjang menyangkut tempat dimana akta tersebut dibuat. Notaris hanya berwenang untuk membuat akta di dalam wilayah jabatannya.
4. Kewenangan sepanjang mengenai waktu pembuatannya. Notaris hanya berwenang membuat akta selama memangku jabatannya, selama diangkat, selama cuti dan setelah pensiun atau dipecat dari jabatannya tidak berwenang lagi membuat akta.
Dalam hal pelaksanaan untuk melakukan jual beli, maka para pihak seperti
penjual dan pembeli harus memenuhi syarat-syarat untuk terjadinya suatu perjanjian
jual beli. Adapun syarat-syarat tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
a. Kesepakatan para pihak
Pengertian sepakat diartikan sebagai pernyataan kehendak yang
disetujui oleh para pihak (overeenstemende Wilsverklaring), dan
persetujuan kehendak itu sendiri adalah kesepakatan. Sepakat berarti telah
terjadinya kesepakatan antara para pihak terlebih dahulu terhadap hal-hal
yang pokok dari perjanjian yang diadakan antara para pihak tersebut.
Kesepakatan tersebut terjadi secara timbal balik di mana pihak yang satu
menyetujui dan mengetahui isi dari maksud perjanjian tersebut begitu
sebaliknya.
b. Kecakapan untuk berbuat sesuatu
Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan diatur
dalam Pasal 1329 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1331 KUHPerdata.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Setiap orang adalah cakap
untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh Undang-Undang
dinyatakan tidak cakap”.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, hal ini mempunyai arti
bahwa orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.
Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah
cakap menurut hukum. Namun tidak semuanya cakap untuk melakukan
perbuatan hukum. Sistem Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia
menghendaki kepada para Notaris untuk memperhatikan bahwa ada
beberapa subjek-subjek hukum yang karena Undang-Undang dibatasi
penggunaan haknya dalam lalu lintas hukum. Oleh karena itu tidak semua
subjek hukum yang datang menghadap ke kantor Notaris adalah cakap dan
dapat dilayani untuk pembuatan akta-akta Notaris.
Orang-orang yang menurut Undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum adalah:58
1. Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan yaitu orang-orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros.
3. Orang-orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
58 Lihat Pasal 1330 KUHPerdata jo Pasal 433 KUHPerdata jo Pasal 47 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan orang yang cakap untuk
melakukan perbuatan hukum adalah orang yang dewasa, dan sehat akal
pikirannya serta tidak dilarang oleh suatu Undang-Undang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
c. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, berupa prestasi yang
perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan merupakan objek perjanjian.
Sebagai syarat yang ketiga ini untuk sahnya suatu perjanjian adalah
perjanjian itu harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang
diperjanjikan sebagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah
pihak jika timbul perselisihan.
Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya
ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul
perselisihan dalam perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga
perselisihan itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada objek
perjanjian. Akibat tidak dipenuhinya syarat ini, perjanjian batal demi
hukum.59
59 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1986, hal. 94.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
d. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal sebagai syarat keempat untuk sahnya
perjanjian sering juga disebut dengan oorzaak (bahasa belanda) dan cause
(bahasa latin).
Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian,
yang mendorong orang membuat perjanjian. Tapi yang dimaksud dengan
causa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam
arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian,
melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.60
Dua syarat yang pertama disebut syarat-syarat subjektif karena mengenai
pihak-pihak atau subjek yang terdapat dalam suatu perjanjian, sedangkan dua syarat
yang terakhir disebut syarat objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek
hukum yang dilakukan.
61
Perlu untuk dijelaskan bahwa yang dimaksud sebab yang halal disini adalah
isi dari perjanjian itu sendiri. Sebab tersebut merupakan sebab yang halal mempunyai
arti bahwa yang menjadi isi dari perjanjian tersebut tidak menyimpang dari ketentuan
perundang-undangan yang berlaku di samping tidak menyimpang dari norma-norma
ketertiban dan kesusilaan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1337
KUHPerdata. Dalam jual beli pada umumnya, yang menjadi sebab perjanjian adalah
60 Ibid. 61 R. Subekti, Op.Cit, hal. 17.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
di satu pihak (pembeli) ingin mendapatkan barangnya dan di pihak lain (penjual)
berkeinginan untuk mendapatkan uangnya.
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang
membuatnya. Jadi dalam pasal ini terkandung 3 (tiga) macam asas utama dalam
perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsesualisme, dan asas pacta sun
servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas
kepribadian.
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini megandung pengertian bahwa semua orang bebas untuk
mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian dengan siapapun juga,
bebas menentukan isi dan syarat-syarat dari perjanjian tersebut, bebas
menentukan bentuk perjanjian, dan bebas juga menentukan pada hukum
mana perjanjian yang dibuat itu akan ditundukkan
b. Asas Konsensualisme
Asas ini merupakan suatu persetujuan yang dibuat secara sah dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Pasal ini erat hubungannya dengan Pasal
1370 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian yang pertama yaitu
sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya.
c. Asas Pacta Sun Servanda
Asas ini berlaku dengan adanya akibat dari perjanjian yang dibuat dan
berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
d. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa semua perjanjian yang hendak dilakukan harus
dilaksanakan dengan rasa itikad baik.
Menurut Subekti, pengertian Itikad Baik dapat ditemui dalam hukum
benda (pengertian subjektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang
diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata (pengertian objektif).62
e. Asas Kepribadian
Dalam Hukum Benda, itikad Baik artinya kejujuran atau bersih,
sedangkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata pengertian Itikad Baik
adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan
mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata juga memberikan
kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian
jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.
Asas ini terkandung dalam Pasal 1315 KUHPerdata dan Pasal 1340
KUHPerdata. Dalam Pasal 1315 KUHPerdata disebutkan bahwa pada
umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau
meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya
dalam Pasal 1340 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian
berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.
62 Subekti, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 42.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Jadi pada dasarnya suatu kunci untuk melakukan kesepakatan adalah dengan
telah dipenuhinya kelima unsur di atas, bagaimana pula seperti yang telah
dikemukakan di atas bahwa perjanjian berdasarkan kesepakatan itu akan lemah
sifatnya apabila masing-masing pihak dalam melakukan kesepakatan jual beli
tersebut tidak beritikad baik, seperti yang dipaparkan oleh Seorang Notaris/PPAT
Kota Medan Mengatakan bahwa terhadap judul penelitian tesis penulis tentang
Perlindungan Hukum terhadap Para Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan
Bangunan Dikaitkan dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB dan PPh. Di mana
dalam judul penulis tertulis Perlindungan Hukum terhadap Para Pihak, itu berarti
mencakup Perlindungan Hukum terhadap Penjual, Pembeli dan PPAT.Beliau
mengatakan ada sebuah contoh yang dapat penulis kutip yang pernah beliau
hadapi dalam melaksanakan jual beli, masing-masing pihak telah menandatangani
Akta Jual Beli tersebut dan mereka telah sepakat terhadap segala isi yang
tercantum di dalam akta tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 dan
Pasal 5 Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan PPAT, tetapi dalam kasus ini yang
terjadi bahwa setelah 3 (tiga) tahun kemudian, pembeli melakukan permasalahan
luas tanah yang tidak sesuai, dimana di dalam sertifikat luas tanah adalah 105 m2,
dan PBB 95 m2. Sementara berdasarkan pemeriksaan pembeli dengan melakukan
pengukuran sendiri mengatakan luas tanah sebenarnya adalah hanya 100 m2.
Pembeli menuntut penjual membayar ganti rugi sebanyak Rp.50.000.000 (Lima
Puluh Juta Rupiah). Di sini dipertanyakan dimanakah perlindungan hukum
terhadap penjual yang bertikad baik yang kemudian dirugikan karena luas tanah
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
tersebut. Bukannya pengukuran luas tanah adalah merupakan hak dari Kepala
Kantor Badan Pertanahan, jadi apabila hendak melakukan penuntutan seharusnya
aparat penegak hukum kita harus memproses sesuai jalur yang ada dengan
mengembalikannya ke Kantor Badan Pertanahan untuk melakukan pengecekan
kembali. Dengan adanya hal ini telah menimbulkan kerugian bagi penjual,
sehingga tidak adanya perlindungan hukum bagi penjual. Sedangkan
perlindungan hukum terhadap pembeli dapat kebalikan dari peristiwa di atas
dimana penjual yang tidak beritikad baik sehingga merugikan pembeli.63
63 Edy, SH, Notaris/PPAT, Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008.
Berdasarkan uraian di atas, apabila luas tanah ex sertifikat dengan NJOP ex
SPPT PBB tidak sama, maka harus dilakukan penyesuaian dengan mengikuti nilai
riil yang tertinggi karena sesuai dengan amanah dari Pasal 6 UU BPHTB, dan ini
merupakan tugas PPAT untuk melakukan penyesuaian terhadap luas tanah
tersebut.
B. Pengertian Hukum Pajak dalam Peraturan Perpajakan yang Berlaku dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah dan Bangunan
Dengan adanya peraturan perpajakan yang berlaku dalam hal pembuatan akta
jual beli, di mana setiap pengalihan hak atas tanah melalui jual beli harus terlebih
dahulu melakukan pembayaran pajak, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui
arti dari pajak.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah: peralihan kekayaan dari pihak
rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya
digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai
public investment.64
Unsur-unsur dari pajak tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut:
65
1. Iuran dari rakyat kepada negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2. Berdasarkan Undang-Undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Hukum pajak sering disebut hukum fiskal, sebenarnya pengertian istilah fiskal
dengan pajak ada perbedaannya.66
64 Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung-Jakarta, 1974, hal. 8. 65 Mardiasmo, Perpajakan (edisi revisi), Andi Offset, Yogyakarta, 2006, hal. 1. 66 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Cetakan Ketiga, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,
1999, hal. 24.
Hukum pajak mengandung dua pengertian yang
disatukan satu sama lain, yang pertama, pengertian hukum adalah kumpulan aturan-
aturan/norma-norma dan yang kedua adalah pengertian pajak.
Hukum Pajak adalah kumpulan aturan-aturan/norma-norma yang mengatur
hubungan antara kewenangan Pemerintah/Negara sebagai pemungut pajak (Fiskus)
dengan masyarakat sebagai pembayar pajak (wajib pajak). Dengan perkataan lain
hukum pajak mengatur:
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
1. Subjek Pajak
2. Objek Pajak
3. Kewajiban Wajib Pajak terhadap Pemerintah
4. Timbulnya dan Hapusnya Hutang Pajak
5. Penagihan Pajak
6. Pengajuan keberatan dan banding pada peradilan pajak
Menurut Rochmat Soemitro, ada 2 macam hukum pajak, yaitu:67
1. Hukum Pajak Materiil, memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak
Contoh: Undang-Undang Pajak Penghasilan
2. Hukum Pajak Formil, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Hukum ini memuat antara lain: a. Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak. b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak
mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
c. Kewajiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/ pencatatan dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding. Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Selain dua macam hukum pajak yang disebutkan di atas, pajak juga dapat
dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Menurut Golongannya
67 Mardiasmo, Op.Cit. hal. 5.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Menurut Golongannya pajak dapat dilihat dari pajak langsung maupun pajak
tidak langsung.68
2. Menurut Sifatnya
Yang dimaksud dengan pajak langsung adalah pajak yang
dikenakan langsung atau dipikulkan kepada pribadi wajib pajak dan tidak dapat
dibebankan kepada pihak lain, biasanya pengenaan pajak ini bersifat periodik dan
berulang-ulang. Sedangkan pajak tidak langsung adalah pajak di mana wajib
pajak dapat melimpahkan kewajiban pajaknya kepada pihak lain (atau pihak
ketiga).
Dari segi sifatnya pajak dibagi atas pajak subjektif adalah pajak yang
didasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak,
contohnya PPh sedangkan pajak objektif adalah pajak yang berpangkal pada
objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak, contohya Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
3. Menurut Lembaga Pemungutannya
Berdasarkan dari lembaga pemungutannya pajak dibagi atas dua (2) hal
pokok, yaitu Pajak Pusat (Negara) dan Pajak Daerah. Pajak Pusat yaitu pajak
yang dipungut oleh pemerintah pusat (Negara) yang dipergunakan untuk
membiayai pembiayaan rumah tangga negara. Pajak ini terbagi atas beberapa
jenis pajak, yaitu:
a. PPh adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh wajib
pajak dalam tahun pajak.
68 Ibid, hal. 5.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
PPN adalah pajak yang dipungut atas penyerahan barang-barang kena pajak
dan atas jasa kena pajak di dalam negeri.69 Sedangkan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang kena
pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pabrik kepada siapapun
atau pada waktu impor barang kena pajak yang tergolong mewah atas
importir.70
c. Pajak Bumi dan Bangunan (yang selanjutnya disingkat dengan PBB) adalah
pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB.
71
d. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan.
72
e. Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas suatu dokumen berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
Hal ini sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB.
73
f. Sedangkan Pajak Daerah adalah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
yang dipergunakan untuk membiayai rumah tangga daerah, misalnya pajak
69 Untung Sukadji, Pajak Pertambahan Nilai, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 21.
70 Achmad Tjahyono dan Triyono Wahyudi, Perpajakan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 3.
71 Waluyo, Perpajakan Indonesia Buku 2, Penerbit Salemba Empat, 2002, hal. 41. 72 Marihot Pahala Siahaan, Op.Cit. hal. 42. 73 Ibid, hal. 97.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
hotel, pajak restoran, dan lain sebagainya (Pasal 1 Angka 6 UU Nomor 34
Tahun 2000).
Dalam bidang perpajakan, menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 48 Tahun 1994, tanggal 27 Desember 1994, yang mulai berlaku
pada 1 Januari 1995 tersebut menyatakan bahwa: Orang pribadi atau badan yang
menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a, wajib membayar
sendiri PPh yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum akta,
keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah
dan atau bangunan ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang. Dan PPAT, Camat,
Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku hanya boleh menandatangani akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
apabila kepadanya oleh orang atau badan dimaksud diserahkan fotocopi dengan
menunjukkan aslinya bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Pajak (yang
selanjutnya disingkat dengan SSP).
Besarnya PPh yang harus dibayar oleh orang pribadi atau badan yang
memperoleh penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan menurut Pasal
4 PP Nomor 48 Tahun 1994 tersebut adalah 5 % (lima persen) dari jumlah bruto nilai
tertinggi diantara nilai pengalihan berdasarkan akta pengalihan hak dan NJOP atas
tanah dan/atau bangunan. Sedangkan NJOP atas tanah dan/atau bangunan ditentukan
menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (yang selanjutnya disingkat dengan
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
SPPT) yang diterbitkan oleh Kantor PBB setempat, yang berlaku pada tahun dimana
pengalihan hak tersebut dilaksanakan. Atau bila SPPT yang dimaksud belum
diterbitkan karena tanah dan bangunan yang dimaksud belum terdaftar, berdasarkan
Surat Ketetapan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor PBB yang wilayah
wewenangnya meliputi tempat dimana tanah dan bangunan tersebut berada.
Ketentuan mengenai pembayaran PPh ini kemudian mengalami perubahan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tertanggal 16 April 1996,
Nomor 27 Tahun 1996, tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 1994 tentang Pembayaran PPh dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan, yang telah diumumkan pada lembaran Negara tahun 1996, Nomor 44, dan
berlaku sejak saat ditetapkan yaitu tanggal 16 April 1996.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1996, beberapa ketentuan
sebelumnya mengalami perubahan antara lain ketentuan mengenai besarnya PPh yang
sebelumnya sebesar 5 % (lima persen), diubah menjadi: 74
a. Bagi orang Pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan adalah 5 % (lima persen), kecuali bagi Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (developer) yang menjual rumah sederhana dan rumah sangat sederhana dan rumah susun sederhana adalah sebesar 2 % (dua persen).
b. Bagi wajib pajak orang pribadi, yayasan atau organisasi sejenis dan wajib pajak badan developer, yang memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan pembayaran PPh bersifat final.
c. Bagi wajib pajak badan lainnya dan wajib pajak badan developer yang memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan di luar dari usaha pokoknya, pembayaran pajak penghasilannya merupakan pembayaran PPh Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan pajak penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
74 PP No. 27 Tahun 1996 Op.Cit, Pasal 4 dan 8.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
d. Bagi wajib pajak orang pribadi yang penghasilannya melebihi penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kurang dari Rp. 60.000.000,- (Enam Puluh Juta Rupiah) wajib membayar PPh sebesar 5 % (lima persen) dari jumlah bruto penghasilan dan harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dengan SSP Final sebelum akhir tahun pajak yang bersangkutan.
Wajib pajak atau kuasanya wajib membayar pajak yang terutang dengan
menggunakan SSB ke tempat pembayaran BPHTB yang ditunjuk oleh Direktur
Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan di wilayah Kabupaten/kota yang
meliputi letak tanah dan/atau bangunan.75
1. Pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang.
Dalam jangka waktu lima tahun terhitung
sejak terutangnya pajak, Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan kurang bayar (yang selanjutnya
disingkat dengan SKBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain ternyata jumlah pajak terutang kurang bayar. Jumlah kekurangan pajak terutang
dalam SKBKB kurang bayar ditambah dengan sanksi sebesar 2 % (dua persen)
perbulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak
saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, disebutkan bahwa wajib
pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
kepada Direktorat Jenderal Pajak. Kelebihan pembayaran BPHTB menurut Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2005 dapat terjadi dalam hal:
75 Departemen Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/2000.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
2. Pajak yang terutang yang dibayarkan oleh wajib pajak sebelum akta
ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut
batal.
Usaha memperoleh pengembalian kelebihan bayar BPHTB, wajib pajak harus
mengajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang jelas kepada Direktur
Jenderal Pajak, up. Kepala Kantor PBB/Kepala Kantor Pelayanan Pratama yang
wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan. Direktur Jenderal Pajak
setelah melakukan pemeriksaan kantor dan pemeriksaan lapangan, dalam jangka
waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan harus telah
memberikan keputusan. Apabila jangka waktu pemberian keputusan tersebut
terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, permohonan
pembayaran kelebihan pembayaran pajak tersebut dianggap telah dikabulkan dan
surat ketetapan bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan lebih bayar harus
diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.76
Keputusan Direktur Jenderal Pajak dapat berupa:
77
1. Kurang bayar, dengan menerbitkan SKBKB, yaitu bila jumlah pembayaran pajak ternyata lebih kecil dari pajak yang terutang.
2. Lebih bayar, dengan menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan lebih bayar, yaitu bila jumlah pembayaran pajak ternyata lebih besar dari pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya.
3. Tetap, dengan menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan nihil, yaitu bila jumlah pembayaran pajak ternyata sama dengan pajak yang terutang.
76 UU Nomor 20 Tahun 2000, Op.Cit. 77 Muhammad Rusjdi, Op.Cit, hal. 171-172.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Kelebihan pembayaran BPHTB diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang
pajak, baik di pusat maupun cabang-cabangnya. Utang pajak yaitu pajak yang masih
harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang
tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat keputusan lain berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.78
1. 12 bulan : Terhitung sejak permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran BPHTB diajukan, Direktur Jenderal Pajak
melakukan pemeriksaan kantor dan lapangan, serta
memberikan keputusan.
Pengembalian kelebihan
pembayaran BPHTB atas utang pajak dilakukan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan
sejak diterbitkannya surat ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau
Bangunan lebih bayar dengan tahap-tahap dan perincian waktu paling lama sebagai
berikut:
2. 1 bulan : terhitung sejak jangka waktu tersebut butir (1) terlampaui
dalam hal direktur jenderal pajak tidak memberikan
keputusan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
permohonan dianggap dikabulkan dan direktur jenderal
pajak harus memberikan keputusannya; keputusan direktur
jenderal pajak, berupa : kurang bayar, lebih bayar, nihil.
3. 2 bulan : Direktur Jenderal Pajak mengembalikan kelebihan bayar
dengan cara terlebih dahulu:
78 Departemen Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2005.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
a. menerbitkan surat keputusan pengembalian kelebihan
pembayaran BPHTB.
b. menerbitkan surat perintah membayar kelebihan
BPHTB.
Jadi waktu yang diperlukan untuk mengurus pengembalian pembayaran BPHTB
lebih bayar paling lama adalah 13 (tiga belas) bulan, terhitung sejak surat
permohonan pengembalian pembayaran BPHTB lebih bayar diajukan kepada
Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 memberikan ketentuan
dengan tegas waktu yang menjadi saat yang menentukan pajak terutang. Secara
umum ada 5 saat/waktu yang ditentukan menjadi saat pajak terutang, yaitu:
1. Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
2. Tanggal penunjukan pemenang lelang.
3. Tanggal didaftarkannya perolehan hak ke kantor pertanahan.
4. Tanggal putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan
5. Tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak.
Saat yang paling banyak digunakan sebagai saat pajak terutang adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatangani akta. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian
besar perolehan hak yang terjadi berkaitan atau dibuktikan dengan adanya akta
otentik. Yang dimaksud dengan sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
adalah tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta pemindahan hak dihadapan
PPAT. Hal yang sangat penting dari suatu akta otentik sebagai alat pembuktian
adalah kapan akta otentik dibuat. Saat atau tanggal akta otentik dibuat berarti
tanggal diresmikannya akta otentik tersebut.
Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui kantor pos dan atau bank
persepsi yang telah ditunjuk dengan menggunakan SSB.
C. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli atas Jual Beli Tanah dan Bangunan
Penjual dan pembeli masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.
Sebagaimana diketahui bahwa subjek hukum adalah manusia dan badan hukum yang
masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.79
79 Qiram Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Penerbit Liberty Yogyakarta, 1985. hal. 38-39.
Subjek yang berupa manusia harus memenuhi syarat-syarat umum untuk
melakukan suatu perbuatan hukum secara sah.
Pasal 1476 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1470 KUHPerdata adalah
peraturan istimewa, karena untuk itu tidak melarang jual beli pihak-pihak dengan kata
lain setiap orang boleh mengadakan jual beli asal memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan di dalam Undang-Undang.
Subjek jual beli adalah penjual dan pembeli yaitu anasir-anasir yang bertindak
aktif, maka obyek jual beli adalah barang yang dijual atau dibeli.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Ada beberapa hal yang terpenting dalam obyek jual beli, yaitu:
a. Benda/barang yang diperjualbelikan.
Maksudnya barang yang diperjualbelikan tersebut harus terlihat nyata
sehingga pembeli dapat mengetahui bentuk benda/barang yang hendak
diperjualbelikan tersebut.
b. Mengenai harga barang objek jual beli.
Maksudnya objek jual beli misalnya rumah, setelah diketahui dengan jelas
bentuk objek yang hendak dijual maka pembeli juga harus mengetahui
dengan jelas mengenai harga barang atas objek tersebut. Kesepakatan
harga barang antara kedua belah pihak harus jelas.
c. Musnahnya barang yang dijual.
Maksudnya musnahnya barang atau objek yang hendak diperjualbelikan
tersebut akan mengakibatkan kebatalan jual beli tersebut dilakukan oleh
para pihak yang hendak melakukan jual beli.
Dalam Pasal 1459 KUHPerdata, hak milik tidak dengan sendirinya menurut
hukum berpindah kepada pembeli, melainkan milik itu baru berpindah sesudah
barang yang dibeli atau diserahkan sesuai dengan aturan penyerahan yang ditetapkan.
Kalau demikian tanpa mengurangi maksud dari Pasal tersebut, penyerahan barang
objek jual beli tidak hanya penyerahan barangnya semata-mata, tapi meliputi
penyerahan barang dan penguasaan serta hak milik dari barang kepada pembeli.
Kewajiban Pembeli yang paling utama tentunya kewajiban untuk membayar
harga sesuai dengan ketentuan Pasal 1513 KUHPerdata. Pembeli wajib
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
menyelesaikan pelunasan harga bersamaan dengan penerimaan barang. Pembeli yang
menolak untuk membayar berarti telah melakukan “Perbuatan Melawan Hukum”
(Pasal 1365 KUHPerdata). Di samping pembeli hendak melakukan pembayaran atas
barang yang diterimanya, pembeli juga berkewajiban untuk membayar pajak yakni
pajak BPHTB. Pajak tersebut dibayar sebelum dibuatnya akta jual beli atas tanah dan
bangunan tersebut.
Kewajiban penjual menurut Pasal 1474 KUHPerdata pada pokoknya terdiri
atas:
1. Kewajiban untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2. Kewajiban memberi jaminan (Vijwaring) bahwa barang yang dijualnya itu
tidaklah mempunyai sangkutan apapun, tuntutan maupun pembebanan.
Selain kewajiban tersebut penjual juga berkewajiban untuk membayar pajak atas PPh dari penjualan tanah dan bangunan tersebut sebelum akta jual beli tersebut dilakukan dihadapan PPAT.
Dalam hal penyerahan barang, maka yang wajib diserahkan oleh penjual dan
pembeli adalah: 80
1. Pemindahan barang yang dijual ke dalam penguasaan dan pemilikan
pembeli.
2. Segala sesuatu yang merupakan bagian dari barang yang dijual yang
dihajatkan untuk penggunaan barang itu selama-lamanya.
80 Djohari Santoso dan Achmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia, Penerbit Perpustakaan Fak. Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989, hal. 129.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
3. Surat-surat bukti pemilikan atas benda, jika oleh kebiasaan atau Undang-
Undang disyaratkan adanya surat-surat tersebut bagi jenis benda seperti
itu.
Dengan adanya hak dan kewajiban antara masing-masing pihak pembeli dan
penjual maka perlu kiranya ada suatu bentuk perlindungan hukum bagi masing-
masing pihak tersebut.
Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum terhadap transaksi atas tanah dan
bangunan mencakup perlindungan hukum terhadap pembeli, penjual maupun
terhadap PPAT itu sendiri. Perlindungan para pihak tersebut dapat dijabarkan lebih
lanjut yakni sebagai berikut:81
a. Perlindungan hukum terhadap penjual, contohnya apabila dalam suatu transaksi pengalihan hak atas tanah dimana masing-masing pihak baik penjual maupun pembeli berkewajiban membayar pajak. Penjual berkewajiban membayar PPh atas pengalihan hak atas tanahnya dan pembeli berkewajiban membayar Pajak BPHTB atas perolehan hak atas tanah tersebut. Di mana dalam hal ini si penjual tersebut telah terlebih dahulu melakukan pembayaran PPh atas pengalihan hak atas tanah tersebut dan pembeli belum melakukan pembayaran Pajak BPHTB, agar transaksi jual beli hak atas tanah yang hendak diperjualbelikan itu tidak dapat dibatalkan secara sepihak maka hendaklah dilakukan antisipasi dengan memberikan perlindungan hukum terhadap penjual yang telah melakukan pembayaran pajak tersebut. Perlindungan hukum yang dimaksud adalah dengan terlebih dahulu melakukan perjanjian jual beli. Dasar hukumnya mengacu kepada Pasal 1338 ayat (3) dan Pasal 1320 KUHPerdata. Hal ini dilakukan untuk mencegah agar pihak pembeli tidak dapat membatalkan secara sepihak jual beli tersebut padahal pihak penjual telah melakukan pembayaran PPh maka dengan adanya perjanjian jual beli tersebut pihak pembeli tidak dapat membatalkan sepihak atas objek tanah yang telah diperjanjikan tersebut. Perjanjian jual beli yang telah dilakukan dengan lunas, dapat dicantumkan dengan kuasa menjual tetapi apabila perjanjian jual beli yang dilakukan belum lunas tidak boleh dicantumkan
81 Syahril Sofyan, SH, MKn, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 04 Juli 2008.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
klausula kuasa menjual akan tetapi untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak penjual maka pihak pembeli harus membayar panjar terlebih dahulu sesuai dengan besarnya biaya pajak BPHTB atau lebih besar jumlahnya dari pajak BPHTB. Kuasa menjual ini diberikan oleh penjual kepada pembeli apabila karena sesuatu hal penjual berhalangan atau tidak dapat memberikan bantuannya dalam melangsungkan jual beli di hadapan pejabat yang berwenang, maka dengan adanya kuasa tersebut pembeli dapat bertindak sendiri untuk melakukan jual beli dihadapan PPAT untuk melakukan pembalikan nama.
b. Contoh lain dalam hal memberikan perlindungan hukum kepada para
pihak misalnya apabila pihak pembeli telah melakukan pembayaran BPHTB tetapi pihak penjual belum melakukan pembayaran PPh dengan alasan tidak mempunyai dana yang cukup maka pihak pembeli dapat membantu membayar terlebih dahulu PPh tersebut dengan membuat suatu perjanjian pendahuluan misalnya panjar atas objek tanah yang hendak diperjualbelikan tersebut. Panjar yang telah dilakukan oleh pembeli tersebut akan diperhitungkan kembali setelah diadakan jual beli di hadapan PPAT Perhitungan panjar tersebut berdasarkan nilai tertinggi dari transaksi harga jual. Tetapi Apabila NJOP lebih tinggi dari harga jual maka yang dipergunakan dalam perhitungan panjar adalah NJOP.82
Dilain sisi apabila pihak penjual yang telah terlebih dahulu membantu melakukan pembayaran pajak BPHTB, maka untuk mengantisipasi agar pihak penjual tidak dirugikan apabila pembeli tersebut hendak membatalkan secara sepihak jual beli tersebut maka dapat dilakukan dengan meminta panjar kepada pembeli sebesar biaya pajak BPHTB atau lebih besar jumlahnya dari pembayaran pajak BPHTB. Jadi apabila transaksi jual beli tersebut tidak jadi, penjual tidak akan rugi karena telah tertutupi biaya pembayaran PPh nya dengan panjar BPHTB oleh si pembeli.
c. Perlindungan Hukum terhadap PPAT, contohnya apabila akta jual beli yang pada intinya akan mengalihkan hak atau memindahkan hak, maka PPAT sebelum membuat akta tersebut terlebih dahulu melakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah pada Kantor Pertanahan Setempat dan setelah mendapatkan bukti pembayaran pajak, PPAT baru dapat melaksanakan akta jual beli tersebut. Hal ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum terhadap keadaan dari tanah yang akan diperjanjikan tersebut dan guna untuk menghindari agar pihak yang akan mendapatkan hak berupa tanah dari objek jual beli tersebut tidak mendapatkan masalah atau kerugian dari tanah yang akan dimilikinya tersebut, sehingga dapat memberikan perlindungan hukum di kemudian hari terhadap PPAT itu
82 Tjong Deddy Iskandar, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 18 Juli 2008.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
sendiri karena PPAT tersebut telah melakukan tugasnya dengan melakukan pemeriksaan terhadap objek tanah sebelum melakukan jual beli.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
BAB III
PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT ) DALAM KAITANNYA DENGAN BPHTB DAN PPh ATAS JUAL BELI
TANAH DAN BANGUNAN
A. Peran PPAT Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris Terhadap
Setiap Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan
Menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, menjelaskan kewenangan seorang Notaris dan menyatakan bahwa:
“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, tentang Jabatan
Notaris pada tanggal 6 Oktober 2004, ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai
Notaris yang berlaku sebelumnya, yaitu:
1. Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesia (Stb. 1860: 3) sebagaimana
telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1945 Nomor 101.
2. Ordonansi 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil
Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 700).
4. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Berita
Negara Nomor 4379).
5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/janji
Jabatan Notaris.
Secara tegas dinyatakan tidak berlaku lagi.83
Bagian umum penjelasan tersebut juga diuraikan bahwa akta otentik sebagai
alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan
Menurut Penjelasan Undang-Undang Jabatan Notaris menjelaskan bahwa:
Negara Indonesia adalah Negara hukum, yang menjamin adanya kepastian, ketertiban
dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Dalam hukum
nasional alat bukti yang terutama adalah alat bukti tertulis, dan untuk menjamin
adanya kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat diperlukan alat bukti tertulis yang berupa akta otentik agar dapat
menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam
masyarakat.
83 Indonesia, Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris, UU Nomor 30 Tahun 2004, Ketentuan Penutup.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang
perbankan, pertanahan, kegiatan sosial dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian
tertulis berupa akta otentik semakin meningkat sejalan dengan berkembangnya
tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik
pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik yang
menentukan secara jelas hak dan kewajiban, dapat diciptakan kepastian dan sekaligus
pula diharapkan dapat dihindari terjadinya sengketa atau kalaupun sengketa tersebut
tidak dapat dihindari, maka dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik
yang merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh memberi sumbangan
nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.
Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan Perundang-
undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum.
Selain akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan PPAT, bukan saja karena
diharuskan oleh Peraturan Perundang-undangan, tetapi juga karena dikhendaki oleh
pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan
sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.84
Berdasarkan Pasal 1 angka 7 dan Pasal 38 angka 1 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang dimaksud dengan Akta Notaris adalah
Akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara
84 Lihat, Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu setiap Akta Notaris
terdiri atas: Awal Akta, Badan Akta dan Akhir Akta.
Akta yang dibuat oleh Notaris harus dibacakan dihadapan para penghadap,
para saksi sebelum ditandatangani oleh penghadap, saksi-saksi dan Notaris.
Peraturan tentang jabatan PPAT di Indonesia diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 1998, Pasal 1 angka (1) (Diundangkan dalam
Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3746)
Tentang PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-
akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun.
PPAT pada umumnya adalah Notaris. Berkaitan dengan fungsi Notaris
sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dalam bidang
hukum, namun demikian berdasarkan kebutuhan maka pemerintah menunjuk
beberapa pejabat lain sebagai PPAT khusus. Hal ini diatur di dalam Pasal (1) angka
(2) dan (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1998 tentang PPAT.
Pasal 1 angka (1) dinyatakan bahwa PPAT Sementara adalah pejabat
pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan
membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Menurut A.P.
Parlindungan, PPAT Sementara ini adalah Camat atau Kepala Desa tertentu untuk
melaksanakan tugas PPAT, karena di daerah tersebut belum cukup PPAT.85
85 A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, CV. Mandar Madju, Bandung, 1999, hal. 177.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta untuk perjanjian-
perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru
atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai
tanggungan. Yang dapat diangkat menjadi PPAT ialah:86
a. Notaris.
b. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Direktorat Jenderal Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang Peraturan-peraturan Pendaftaran Tanah dan Peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah.
c. Para pegawai pamong praja yang pernah melakukan tugas seorang PPAT. d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh
Direktorat Jenderal Agraria.
Dasar hukum dari kewenangan Notaris selaku PPAT dalam melakukan
Pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut sebelum dilakukan transaksi atas tanah
tersebut antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
86 Efendi Perangin, SH., Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari sudut Pandang Praktisi Hukum, Ed.1 Cet. 4, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 3-4.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Peran PPAT dalam melindungi para pihak terhadap pelaksanaan jual beli
tanah dan/atau bangunan adalah dengan melakukan pemeriksaan sertifikat (cek
bersih) sebelum ditandatanganinya akta oleh para pihak. Secara Materiil kewenangan
pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut terletak pada Kantor Badan Pertanahan
Nasional setempat, sedangkan PPAT hanya secara formil saja yakni melakukan
pemeriksaan sertifikat ke Kantor Badan Pertanahan Nasional. Jadi pada intinya
pemeriksaan sertifikat tersebut telah bersih atau tidak, bukan merupakan hak dari
PPAT tetapi merupakan hak dari BPN yang menentukan apakah sertifikat tersebut
bersih dengan arti tidak terdapat silang sengketa maupun terikat suatu hak
tanggungan pada bank. Pentingnya pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut
merupakan suatu hal yang diharuskan, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan para
pihak-pihak maupun pihak ketiga. Hal ini dilakukan bertujuan untuk menjamin
kepastian hukum terhadap keadaan dari tanah yang akan diperjanjikan tersebut. Hal
tersebut sangat penting untuk menghindari agar pihak yang akan mendapatkan hak
berupa tanah dari obyek jual beli tanah tersebut tidak mendapatkan masalah atau
kerugian dari tanah yang dimilikinya tersebut.
Sementara itu, berkenaan dengan tata cara pembuatan akta jual beli tanah
dan/atau bangunan dikaitkan dengan ketentuan perpajakan, seorang PPAT tunduk
kepada ketentuan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
tentang BPHTB di mana akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan
ditandatangani apabila telah melunasi SSB, diserahkan kepada PPAT bersangkutan,
serta menyerahkan satu lembar fotocopy dari SSB tersebut. Apabila pembeli sebagai
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
wajib pajak tidak membayar BPHTB maka secara otomatis akta jual beli secara
PPAT tidak dapat dilaksanakan.
Dalam hal peran PPAT terhadap pembayaran pajak adalah memberitahukan
kepada wajib pajak agar segera melakukan pembayaran pajak supaya akta jual
belinya dapat dilakukan, dan sebagai seorang PPAT kita juga dapat membantu para
klien untuk membayar pajaknya apabila para klien tidak mengetahui tata cara
pembayaran pajak tersebut atau awam mengenai perpajakan.87 Pembayaran Pajak
tersebut sebenarnya memang kewajiban dari masing-masing wajib pajak tapi pada
kenyataannya para PPAT yang membantu melakukan pembayaran pajak seperti yang
dikemukakan oleh seorang PPAT, bahwa itu adalah merupakan fee tanpa ada
pungutan lain dalam hal membantu pembayaran pajak itu, tetapi ada juga yang para
wajib pajak yang hanya tidak bisa mengisi formulir pembayaran pajak tersebut, dan
PPAT hanya membantu melakukan pengisian formulir tetapi pembayaran dilakukan
oleh wajib pajak tersebut.88
Disinilah peranan PPAT muncul untuk memberikan informasi sekaligus
sebagai “First Gate” (Gerbang Pertama) dalam pengamanan penerimaan BPHTB
Keterkaitan PPAT dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB, telah dijelaskan
sebagai pejabat umum yang mengesahkan terjadinya transaksi pengalihan hak atas
tanah dan bangunan di mana disyaratkan agar sebelum menandatangani akta dipenuhi
segala syarat-syarat termasuk di dalamnya pembayaran pajak-pajak.
87 Tjong Deddy Iskandar, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008. 88 Edy, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
sebelum melakukan Akta Jual Beli. Pada tahap ini PPAT harus dapat memberikan
gambaran yang jelas tentang bentuk-bentuk pajak yang akan dikenakan kepada para
pihak pada setiap transaksi peralihan hak atas tanah, pihak penjual dan pihak pembeli
masing-masing mempunyai kewajiban dalam hal pembayaran pajak. Untuk Pihak
penjual menanggung PPh yaitu sebagai konsekwensi dari penghasilan yang ia peroleh
atas dasar pemindahan haknya sedangkan bagi pihak pembeli diwajibkan membayar
BPHTB dari hak yang ia peroleh.
Seorang PPAT mempunyai tanggung jawab yang besar selain memastikan
para pihak untuk melakukan pembayaran pajak sebelum akta jual beli tersebut
dilakukan, maka seorang PPAT harus juga melakukan pengecekan/pemeriksaan
terhadap sertifikat hak atas tanah. Dasar hukum dari kewenangan PPAT dalam
melakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah telah dijelaskan sebelumnya bahwa
seorang PPAT dalam melaksanakan tugasnya apabila adanya pengalihan hak atas
tanah sebelum diadakan atau dilaksanakannya pengalihan hak atas tanah tersebut
dibuat dalam akta otentik maka harus dilakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah
seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 3 Tahun 1997.
Kewenangan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah pada Kantor Pertanahan
setempat adalah didasarkan kepada kewenangan PPAT tersebut dalam pembuatan
akta. Pentingnya pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut merupakan suatu hal
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
yang diharuskan, hal ini guna mengetahui bahwa objek tanah tersebut bebas dari
silang sengketa maupun tidak terikat hak tanggungan pada suatu bank.
Sementara itu, dasar hukum sebelum dipergunakan ketentuan sebagaimana
yang telah disebutkan di atas untuk kewenangan PPAT dalam melakukan
pemeriksaan sertifikat hak atas tanah adalah hanya bersifat umum yang secara tersirat
dapat dikatakan merupakan tanggung jawab moril dari seorang pejabat umum dalam
membuat suatu akta otentik seperti:
1. Berdasarkan KUHPerdata yaitu dalam Pasal 1868 KUHPerdata tentang
akta otentik.
2. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris Stbl. 1860 No. 3 jo Pasal 1
angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, bahwa jika
tahapan pembuatan akta tidak dapat dilakukan sebelum pemeriksaan sertifikat hak
atas tanah tersebut dilakukan. Ketentuan yang demikian terlihat jelas sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 3 Tahun 1997 yang menyebutkan:
1. Sebelum Melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, Notaris/PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertifikat asli.
2. Pemeriksaan sertifikat hak atas tanah yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap pembuatan akta oleh Notaris/PPAT dengan ketentuan bahwa untuk pembuatan akta pemindahan hak atau pembebanan hak atas bagian-bagian tanah hak induk dalam rangka pemasaran hasil dan pengembangan oleh perusahaan real estat, kawasan industri dan pengembangan sejenis, cukup dilakukan pemeriksaan
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
sertifikat induk 1 (satu) kali, kecuali apabila Notaris/PPAT yang bersangkutan menganggap perlu dilakukan pemeriksaan sertifikat ulang.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas mengenai Pasal 97 Peraturan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) tersebut, maka terlihat
dengan jelas bahwa hal tersebut telah memberikan kewenangan kepada PPAT untuk
melakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah jika PPAT tersebut melakukan
pembuatan akta Jual Beli.
B. Prosedur dan Syarat-Syarat Pembayaran PPh dan BPHTB
Pembayaran PPh dilakukan oleh Wajib Pajak ke Kas Negara dengan
menggunakan SSP melalui Bank Persepsi atau Bank yang melayani pembayaran
Pajak Penghasilan tersebut sebelum akta pengalihan hak atas tanah dan bangunan
ditandatangani oleh dan dihadapan PPAT. Demikian halnya dengan pembayaran
pajak atas BPHTB dilakukan oleh wajib pajak ke kas negara dengan menggunakan
SSB.
Suatu Perolehan hak atas tanah dan bangunan pada dasarnya hasil dari proses
peralihan hak. Hal ini dapat terjadi karena dua hal yaitu beralih dan dialihkan. Yang
dimaksud dengan dialihkan adalah suatu peralihan hak yang dilakukan dengan
sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemilik asalnya dan menjadi milik pihak
lain. Dengan kata lain terjadinya karena adanya suatu perbuatan hukum tertentu,
seperti wasiat, hibah, jual beli, tukar menukar dan hibah wasiat.89
89 K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 180.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Subjek dalam peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah orang
pribadi (nature person) atau badan (legal person). Orang pribadi atau badan yang
dimaksud di sini bisa berkedudukan sebagai pembeli atau penjual. Bagi pembeli
dikenakan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diterimanya
yaitu BPHTB sedangkan bagi penjual dikenakan PPh atas penjualan tanah.
Sedangkan objek pajak pembeli adalah perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan, hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2000 tentang BPHTB Bagi pihak penjual maka yang menjadi objek adalah
penghasilan yang diperoleh penjual atas tambahan ekonomi yang diterimanya dalam
hal terjadinya peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
PPh atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 (diundangkan
dalam Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3985) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa atas
penghasilan-penghasilan tertentu penanganan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah (PP), pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: Atas Penghasilan berupa
penghasilan dari pengalihan berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan
tertentu lainnya pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah.
Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan dibedakan:
1. Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan oleh pribadi.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
2. Pengalihan Hak oleh wajib pajak badan yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (wajib pajak real estat).
3. Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang dilakukan oleh wajib
pajak badan diluar usaha pokoknya.
Untuk melakukan pembayaran PPh, terlebih dahulu harus mengisi formulir
SSP dengan mencantumkan nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari
wajib pajak yang mengalihkan hak serta mencantumkan lokasi tanah dan/atau
bangunan serta nama pembeli. Bagi Wajib Pajak yang belum mempunyai NPWP,
maka dalam SSP dicantumkan NPWP sebagai berikut: Bagi Wajib Pajak Badan diisi
01.000.000.0.XXX.000, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi diisi 04.000.000.0.XXX.000
dimana XXX adalah kode kantor pelayanan pajak tempat pihak yang mengalihkan
berdomisili.
Tata cara pembayaran PPh dalam hal Peralihan Hak Atas Tanah dan/atau
Bangunan dilakukan dengan cara:
1. Mengisi SSP yang biasanya sudah tersedia di kantor PPAT dan biasanya
dalam pengisian dibantu oleh para pegawai PPAT. Formulir SSP ini
terdiri dari 5 (lima) rangkap, yaitu:
a. Lembar pertama : untuk arsip wajib pajak
b. Lembar kedua : untuk kantor pelayanan pajak (KPP) melalui KPKN
c. Lembar ketiga : untuk dilaporkan oleh wajib pajak ke KPP
d. Lembar keempat : untuk Bank Persepsi/kantor pos dan giro.
e. Lembar kelima : untuk arsip wajib pungut atau pihak lain
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
2. Setelah SSP diisi oleh wajib pajak, maka wajib pajak membayar sendiri
atau biasanya dalam melakukan pembayaran PPh tersebut dapat juga
dibantu oleh petugas PPAT ke tempat pembayaran yang ditunjuk. Hal ini
disebabkan para klien biasanya ingin penyelesaiannya sekaligus dengan
pembuatan akta. Mengenai tempat pembayaran biasanya dilakukan di:
a. Bank Persepsi, yaitu Bank Pemerintah dan Bank Swasta devisa yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran pajak
dari wajib pajak.
b. Kantor Pos dan Giro.
c. Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan.
Dalam pengenaan PPh berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan
Nomor 17 Tahun 2000 dan peraturan pelaksanaannya, dasar pengenaan pajak dalam
peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan, bagi pihak penjual adalah jumlah bruto
nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Hal ini sesuai dengan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 1999 Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: “Besarnya
PPh sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 adalah sebesar 5 % (lima persen) dari jumlah
bruto nilai pengalihan hak atas tanah/atau bangunan. Sedangkan mengenai besarnya
tarif PPh yang dikenakan terhadap pihak penjual yang melakukan perbuatan hukum
peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan berdasarkan ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 sebesar 5 % (lima persen) dari nilai bruto
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Cara menghitung PPh:
PPh = Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) X Tarif
= Nilai Jual Bruto X 5 %
Cara menghitung BPHTB:
BPHTB = (Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) – Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) X tarif
= (NPOP – NPOPTKP) X 5 %
Tarif pajak BPHTB yang dikenakan terhadap orang pribadi/badan yang
mengalihkan tanah dan bangunan adalah 5 % (lima persen) dari jumlah bruto nilai
pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dikurangkan terlebih dahulu dengan
NPOPTKP.90
(KPPBB) melalui Bank/Kantor Pos Operasional V.
Tata cara pembayaran pajak atas BPHTB dalam hal Peralihan Hak Atas Tanah
dan/atau Bangunan dilakukan dengan cara:
1. Mengisi SSB yang biasanya sudah tersedia di kantor PPAT dan biasanya
dalam pengisian dibantu oleh para pegawai PPAT. Formulir SSB ini
terdiri dari 6 (enam) rangkap, yaitu:
a. Lembar pertama : untuk wajib pajak sebagai bukti pembayaran.
b. Lembar kedua : untuk kantor pelayanan pajak Bumi dan Bangunan
90 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pasal 5.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
c. Lembar ketiga : untuk KPPBB disampaikan oleh wajib pajak.
d. Lembar keempat : untuk kantor penerimaan pembayaran (Bank/Kantor
Pos Persepsi).
e. Lembar kelima : untuk PPAT/Notaris, Kepala Kantor Lelang/Pejabat
Lelang, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
f. Lembar keenam : untuk Dipenda Kota Medan.
2. Setelah Surat Setoran BPHTB diisi oleh wajib pajak, maka wajib pajak
membayar sendiri atau biasanya dalam melakukan pembayaran pajak
BPHTB tersebut dapat juga dibantu oleh petugas PPAT ke tempat
pembayaran yang ditunjuk. Hal ini disebabkan para klien biasanya ingin
penyelesaiannya sekaligus dengan pembuatan akta. Mengenai tempat
pembayaran biasanya dilakukan di Bank Persepsi, yaitu Bank Pemerintah
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran pajak
dari wajib pajak
Mengenai besarnya tarif PPh yang dikenakan terhadap pihak penjual yang
melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan
berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 sebesar 5 %
(lima persen) dari Nilai Bruto Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Sedangkan untuk BPHTB berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2000 yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah
NJOP.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditentukan sebesar:
i. Harga transaksi, dalam hal jual beli.
ii. Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB), apabila besarnya
NJOP sebagaimana dimaksud tidak diketahui atau NJOP lebih rendah
daripada NJOP PBB.
Jadi pada dasarnya PPh dan Pajak BPHTB saling berkaitan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam hal peralihan hak atas tanah dan bangunan karena sebelum melakukan perbuatan hukum dalam Akta Jual Beli dihadapan PPAT, kedua pajak tersebut harus telah lunas dibayar oleh wajib pajak, sehingga wajib pajak dapat memperlihatkan fotocopi pembayaran pajak tersebut sebagai bukti bahwa telah dilakukan pembayaran atas kedua pajak tersebut.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
BAB IV
KENDALA DAN UPAYA MENGATASINYA DALAM PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh ATAS JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN
A. Kendala-Kendala dalam Pembayaran BPHTB dan PPh
Peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan yang berkaitan dengan
pelaksanaan jual beli atas tanah dan bangunan, membawa perubahan mendasar pada
pelaksanaan tugas seorang PPAT. Hal ini terutama karena waktu jatuh tempo
pembayaran PPh oleh penjual dan BPHTB oleh pembeli harus telah dibayar pada saat
akta pengalihan atas tanah dan bangunan ditandatangani dihadapan PPAT.
Keterkaitan PPAT dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB adalah sebagai pejabat
umum yang mengesahkan terjadinya transaksi pengalihan hak atas tanah dan
bangunan dimana disyaratkan agar sebelum menandatangani akta dipenuhi segala
syarat-syarat termasuk di dalamnya pembayaran pajak-pajak. Sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dalam suatu pelaksanaan jual beli tanah
dan/atau bangunan, penjual dan pembeli setelah mencapai kesepakatan mengenai
harga tanah dan atau bangunannya segera datang ke kantor PPAT untuk melakukan
jual beli dihadapan PPAT. Namun kemauan para pihak untuk segera membuat dan
menandatangani akta jual beli di hadapan PPAT ini tidak serta merta bisa
dilaksanakan, karena PPAT harus melakukan pengecekan sertifikat asli ke kantor
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
pertanahan yang berwenang dan mempersiapkan formulir SSP untuk pembayaran
PPh dan formulir SSB untuk Pembayaran BPHTB.
Dalam praktek tahapan sebagaimana diuraikan tersebut sulit untuk diterapkan
secara tegas, banyak yang menjadi hambatan dalam pengalihan tanah tersebut
sehingga menimbulkan kendala dalam pembayaran pajak. Kendala tersebut berupa:
1. Kendala Intern
Maksudnya adalah kendala yang timbul dari dalam lingkungan
masyarakat. Hal tersebut timbul karena kurangnya sosialisasi mengenai
tata cara pembayaran pajak sehingga masih membutuhkan jasa PPAT
untuk membantu melakukan pembayaran pajak secara langsung ke bank-
bank persepsi yang ditunjuk. Selain itu tingkat kesadaran masyarakat juga
masih sangat terbatas pada kewajiban pembayaran pajak lainnya, misalnya
PBB, dimana masyarakat sudah memahami kewajiban mereka masing-
masing untuk melakukan pembayaran pajak.
2. Kendala Ekstern
Maksudnya adalah kendala yang timbul dari pihak bank persepsi 91
91 Bank Rakyat Indonesia, cabang Putri Hijau Medan.
yang telah ditunjuk untuk menerima pembayaran pajak BPHTB. Kendala
ini terjadi karena adanya aturan-aturan yang begitu kaku yang telah
ditetapkan oleh pihak bank dimana batas waktu penerimaan penyetoran
BPHTB adalah sampai pukul 11.00 WIB (sebelas Waktu Indonesia
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Bagian Barat), lewat dari itu tidak dapat lagi diterima meskipun antrian
masih panjang.
3. Kendala Prosedural
Kendala ini hampir sama dengan kendala intern yang timbul karena
kurangnya kesadaran dari wajib pajak sendiri untuk membayar pajak yang
menjadi kewajibannya, sehingga hal tersebut menimbulkan hambatan
psikologis di mana PPAT seakan-akan mempunyai tanggung jawab yang
seharusnya bukan merupakan tugas pokok seorang PPAT untuk
melakukan penyetoran PPh dan BPHTB atas pengalihan tanah.
Kendala tersebut menimbulkan masalah dalam pelaksanaan jual beli. Jual beli
terjadi apabila penjual dan pembeli telah sepakat mengenai harga tanah dan
bangunannya segera datang ke kantor PPAT untuk melakukan akta jual beli
dihadapan PPAT, namun kemauan para pihak untuk segera membuat dan
menandatangani akta jual beli di hadapan PPAT ini tidak serta merta bisa
dilaksanakan, karena PPAT harus melakukan pengecekan sertifikat asli ke Kantor
Pertanahan.92
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, hal yang serupa juga dikatakan
oleh seorang Notaris/PPAT kota medan bahwa apabila telah dilakukan pengecekan
atau pemeriksaan sertifikat hak atas tanah oleh PPAT dalam membuat akta jual beli,
dan dinyatakan bersih maka para wajib pajak dapat segera melakukan pembayaran
92 Rahanum, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 30 April 2008.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
pajak serta menyerahkan berkas-berkas seperti identitas diri guna keperluan
administrasi agar akta jual beli dapat segera dilakukan.93
Dalam praktek tahapan sebagaimana diuraikan tersebut sulit untuk diterapkan,
banyak yang menjadi kendala terutama dalam hal pembayaran pajak. Sebelum
melakukan penandatanganan Akta Jual Beli, terlebih dahulu harus melakukan
pembayaran pajak yang berkaitan dengan Jual beli tersebut, terkadang terdapatnya
kendala dalam pembayaran pajak, seperti yang dikemukakan oleh Seorang
Notaris/PPAT Kota Medan. Beliau mengatakan kendala yang sering dijumpai adalah
Pihak Bank tidak mau menerima pembayaran BPHTB dalam proses pendebitan dari
Rekening Tabungan, meskipun telah mengisi formulir penarikan pendebitan. Pihak
Bank tetap meminta agar dilakukan setoran tunai terhadap pembayaran pajak BPHTB
tersebut.
94
Pembayaran pajak tentu mempunyai masing-masing kendala bagi kalangan
PPAT, kendala yang dirasakan sangat menghambat adalah dengan adanya batas
waktu penyetoran yang ditetapkan oleh pihak bank yaitu sampai jam 11.00 WIB
(sebelas Waktu Indonesia Bagian Barat). Belum lagi ditentukan hanya Bank Persepsi
saja yang boleh menerima pembayaran BPHTB, lain halnya pembayaran PPh, dapat
dilakukan di Bank mana saja yang dapat menerima pembayaran PPh. Mengapa
Pembayaran BPHTB harus dikecualikan, seandainya saja dapat dilakukan sama
seperti pembayaran PPh, hal ini akan sangat membantu dan tidak menghambat
93 Poeryanto Poedjiaty, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 30 April 2008. 94 Edy, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
kinerja kerja.95 Apabila pembayaran pajak belum dapat dilakukan sementara penjual
atau pembeli hendak ke luar kota maka mereka dapat menandatangani akta
pengikatan jual beli serta memberikan kuasa, supaya jika pajak tersebut telah lunas
dibayar dapat segera dilakukan akta jual beli dihadapan PPAT.96 Lain halnya seperti
yang dikemukakan oleh seorang Notaris/PPAT Kota Medan. Beliau mengatakan
kendala pembayaran pajak BPHTB tersebut sudah lama terjadi dan tidak ada
penyelesaiannya sehingga terkadang para klien yang diminta untuk membuat
pengikatan jual beli tersebut tidak setuju dengan alasan harus mengeluarkan 2 (dua)
kali pembayaran akta, semua masalah tersebut karena pembayaran BPHTB,
seandainya saja tempat pembayaran BPHTB tidak ditentukan dan dapat dilakukan
di Bank manapun seperti halnya pembayaran PPh, alangkah bagusnya sehingga tidak
terjadinya pengantrian panjang pada loket BPHTB di Bank Persepsi, di mana apabila
batas waktu yang telah ditetapkan telah habis meskipun masih banyak nasabah yang
mengantri tetap pembayaran BPHTB tersebut tidak dapat dilakukan, dan harus
menunggu keesokan harinya.97
Kendala lain yang ditemukan adalah pada saat pembayaran pajak yang akan
dilakukan pada akhir tahun dimana padatnya orang yang melakukan transaksi
pembayaran pajak, contohnya akhir tahun 2007 masuk ke tahun 2008, jika ada
pembuatan akta jual beli pada awal tahun 2008, di mana Surat Pemberitahuan
Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tersebut belum terbit,
95 Tjong Deddy Iskandar, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008. 96 Rahanum, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 30 April 2008. 97 Poeryanto Poedjiaty, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 30 April 2008.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
maka dapat mempergunakan NJOP menurut SPPT PBB tahun sebelumnya, yakni
tahun 2007. Bilamana berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain
ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar, Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan SKBKB. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB
sebagaimana dimaksud ditambah dengan sanksi berupa bunga sebesar 2 % (dua
persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan,
dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.98
Hal tersebut tentu saja menjadi kendala tersendiri bagi para Notaris-Notaris di
Kota Medan ini, yang pada umumnya hendak melakukan pembayaran pajak akhir
tahun.99
B. Upaya-upaya Mengatasi dalam Kendala Pembayaran
BPHTB dan PPh
Upaya yang dilakukan oleh PPAT dalam mengatasi kendala pembayaran pajak
BPHTB dan PPh tersebut adalah dengan terlebih dahulu membuat suatu perjanjian
jual beli secara notaris antara para pihak tersebut yang belum dapat melakukan
pembayaran pajak sebagaimana mestinya, sehingga para pihak tetap bisa
melaksanakan jual beli tersebut meskipun belum dengan akta PPAT. Dengan
98 Edy, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008. 99 Ibid.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
dibuatnya akta perjanjian jual beli antara para pihak merupakan upaya yang
ditempuh notaris.
Seorang PPAT sebelum melaksanakan jual beli dihadapan masing-masing pihak.
PPAT tersebut terlebih dahulu melakukan pengecekan sertifikat (cek bersih)
di BPN. Cek bersih tersebut dilakukan guna untuk mengetahui apakah objek tanah
tersebut terdapat silang sengketa atau terikatnya hak tanggungan pada suatu bank.
Jika dinyatakan bersih oleh BPN, terlepas dari silang sengketa, maka PPAT
tersebut baru dapat melanjutkan pembuatan akta jual beli setelah para pihak telah
melakukan pembayaran pajak yang menjadi kewajibannya, yakni BPHTB dan
PPh.
Upaya lain yang dilakukan oleh Pemerintah agar tidak terjadinya penyelewengan
pajak oleh pihak manapun maka pemerintah menetapkan suatu sanksi terhadap
penyelewengan/pelanggaran pembayaran pajak. Bagi penyelewengan pajak harus
dikenakan sanksi. Meskipun pelanggaran tersebut dilakukan oleh PPAT dengan
melanggar ketentuan penandatanganan akta sebelum dilakukan pembayaran pajak
akan dikenakan sanksi sebesar Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah)
untuk setiap pelanggaran. Hal ini diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang BPHTB
Nomor 20 Tahun 2000. Denda yang cukup besar ini dimaksudkan agar PPAT
dapat berhati-hati dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sehingga tidak
menyimpang dari ketentuan Undang-Undang BPHTB.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Selain sanksi pelanggaran ketentuan penandatanganan akta, Undang-Undang
BPHTB juga mengatur sanksi terhadap pejabat yang berwenang yang melanggar
ketentuan pelaporan. Adanya sanksi ini dimaksudkan agar pejabat yang berwenang
melaporkan setiap akta atau penerbitan hak atas tanah dan bangunan yang
dilakukannya. Pasal 26 Undang-Undang BPHTB Nomor 20 Tahun 2000
menentukan apabila pejabat berwenang tidak memenuhi ketentuan pembuatan dan
penyampaian laporan akan dikenakan sanksi sebagai berikut:
1. PPAT/Notaris yang melanggar ketentuan pelaporan dikenakan sanksi
administrasi dan denda sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu
rupiah) untuk setiap pelaporan.
2. Kepala Kantor Lelang Negara yang melanggar ketentuan pelaporan
dikenakan sanksi menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Upaya-upaya tersebut dilakukan agar pelaksanaan jual beli tetap dapat dilakukan
dengan akta perjanjian jual beli secara Notaris meskipun pembayaran pajak belum
dapat dilakukan. Dan upaya tersebut dapat memaksimalkan proses penerimaan
pajak dapat dijalankan sesuai prosedur yang ada tanpa adanya penyimpangan.
Pembayaran pajak hendaknya dapat lebih disosialisasikan kepada masyarakat
sehingga masyarakat benar-benar memahami tata cara pembayaran pajak, bukan
hanya memahami pembayaran PBB, tetapi dapat juga mengetahui pembayaran
pajak lainnya seperti pembayaran PPh dan Pajak BPHTB yang sudah menjadi
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
kewajiban dari wajib pajak tersebut untuk melakukan penyetoran atau pembayaran
pajak sebelum melakukan perbuatan hukum akta jual beli dihadapan PPAT.
Dengan adanya beragam upaya diharapakan kedepannya pembayaran PPh dan
BPHTB tidak mengalami kendala atau hambatan baik secara intern maupun
ekstern.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dapat diberikan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Bentuk Perlindungan Hukum atas transaksi jual beli hak atas tanah dan
bangunan itu mencakup perlindungan terhadap penjual maupun pembeli.
a. Perlindungan Hukum yang dapat diberikan oleh PPAT adalah dengan
terlebih dahulu membuat suatu perjanjian jual beli. Dengan adanya
perjanjian jual beli tersebut dapat mengikat kedua belah pihak, sehingga
perjanjian tersebut tidak dapat dibatalkan secara sepihak Dasar Hukumnya
mengacu kepada Pasal 1338 ayat (3) dan Pasal 1320 KUHPerdata.
b. Perjanjian jual beli yang telah dilakukan dengan lunas dapat dicantumkan
klausula kuasa menjual, tetapi apabila perjanjian jual beli tersebut belum
lunas, maka dilakukan perjanjian pendahuluan berupa panjar atas objek
tanah tersebut. Perhitungan panjar tersebut berdasarkan nilai tertinggi dari
transaksi harga jual, tetapi apabila NJOP lebih tinggi dari harga jual maka
yang dipergunakan dalam perhitungan panjar adalah NJOP.
2. Peran PPAT dalam melindungi para pihak adalah terlebih dahulu melakukan
pemeriksaan sertifikat secara formil ke Kantor Badan Pertanahan setempat
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
sebelum dilaksanakannya jual beli, hal ini guna menghindari objek tanah
tersebut terdapat silang sengketa maupun terikatnya hak tanggungan pada
suatu bank. Sedangkan dalam hal pembayaran pajak, PPAT hanya dapat
memberikan jasa tambahan secara sukarela untuk membantu membayar pajak
pada bank-bank persepsi yang ditunjuk untuk itu. Namun dalam hal ini PPAT
tidak mendapatkan honorarium ataupun ongkos dalam penyetoran BPHTB,
karena pada kenyataannya insentif yang diberikan ditarik kembali.
3. Kendala dalam pembayaran pajak timbul karena ditetapkannya waktu dan
tempat pembayaran untuk melakukan penyetoran Pajak BPHTB. Kendala
tersebut dirasakan sangat menghambat proses jual beli karena apabila hanya
PPh yang dapat dibayar tetapi pajak BPHTB belum dapat dibayar karena
adanya pembatasan waktu dan tempat tertentu untuk melakukan pembayaran
pajak BPHTB. Dengan adanya kendala tersebut maka akta jual beli tidak
dapat dilakukan dihadapan PPAT.
B. Saran
1. Apabila salah satu pihak baik pihak penjual atau pihak pembeli yang
mengadakan transaksi hak atas tanah tidak dapat membayar PPh atau Pajak
BPHTB maka hendaknya dilakukan perjanjian jual beli terlebih dahulu agar
pihak pihak yang mengadakan transaksi atas tanah tersebut terlindungi karena
telah adanya perjanjian jual beli diantara mereka sehingga pihak penjual
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
maupun pihak pembeli tidak dapat membatalkan secara sepihak atas
perjanjian jual beli tersebut.
2. Disarankan kepada pemerintah untuk membentuk suatu peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan pemberian insentif kepada PPAT atas
kontribusinya dalam hal pembayaran BPHTB. Dengan memperhatikan kepada
SK Walikota Medan No. 973/313 K tanggal 17 Maret 2006 perihal dokumen
dan daftar realisasi pembayaran biaya operasional BPHTB tahun anggaran
2006 atas kontribusinya yang telah diberikan kepada PPAT, yang pada
kenyataannya ditarik kembali sebagaimana dapat dilihat dalam lampiran.
3. Hendaknya pihak Bank Persepsi tidak membatasi waktu dan tempat
penyetoran pajak BPHTB kepada pihak yang ingin mengadakan transaksi jual
beli. Hal tersebut memerlukan peninjauan kembali mengenai batas waktu
penerimaan setoran pajak yang berlaku pada bank-bank persepsi, sehingga
para pihak tersebut mempunyai hak-hak yang tidak dapat dikesampingkan
karena dengan adanya aturan-aturan yang begitu kaku terhadap proses
pembayaran pajak yang telah ditetapkan oleh bank persepsi. Seharusnya
pembayaran BPHTB dapat disamakan seperti pembayaran pajak lainnya yang
dapat dilakukan di bank manapun baik bank swasta maupun negeri. Dan
diharapkan juga pembayaran pajak tersebut dapat dilakukan melalui
Automatic Teller Machine (ATM). Hal ini untuk memudahkan penjual dan
pembeli dalam hal pembayaran dilakukan pada hari libur dan juga
meringankan tugas dari PPAT.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Adi, Rianto, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Garanit, Jakarta. Brotodiharjo, R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT. Eresco, Bandung, 1995. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Cetakan Ketiga, PT. Raja Grafindo Perkasa,
Jakarta, 1999. Hadi, Sutrisno, Metodelogi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1989. Hasbullah, Husni Frieda, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-hak yang Memberi
Kenikmatan Jilid I, Cetakan Kedua, Ind. – Hil.Co, Jakarta, 2002. K. Judisseno, Rimsky, Perpajakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996. __________, Pajak dan Strategi Bisnis (Suatu tinjauan tentang kepastian hukum dan
penerapan akuntansi di indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994. Muhammad, Abdul Kadir Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1986. __________, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Mardiasmo, Perpajakan (edisi revisi), Andi Offset, Yogyakarta, 2005. Marsono, Susunan Dalam Satu Naskah UUD 1945 dengan Perubahan Perubahannya
1999-2002, CV Eko Jaya, Jakarta, 2005. Meliala, Syamsuddin Qiram, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Penerbit Liberty
Yogyakarta, 1985. Mertokusumo, Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty
Yogyakarta, 2002.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja. Rosdakarya, Bandung, 1993.
Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation
Studies of Business Law (CDSBL), Yogyakarta, 2003. Notodisurjo, Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Edisi 1,
Cetakan 2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993. Parlindungan A.P , Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, C.V. Mandar Madju,
Bandung, 1989. _________, Pendaftaran Tanah di Indonesia, C.V. Mandar Madju, Bandung, 1999. Perangin-angin, Effendi, Hukum Agraria Indonesia suatu Telaah dari Pandang
Praktisi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1986. _________, Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari sudut Pandang Praktisi
Hukum, Ed.1 Cet.4, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997. Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996. Resmi, Siti, Perpajakan Teori dan Kasus, Salemba Empat, Jakarta, 2004. R. Subekti, Aneka Perjanjian, cet 10 , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. _________, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, Intermasa, Jakarta, 2003. _________, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1977. _________, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1985. _________, Hukum Pembuktian, PT. Pradyna Paramita, Jakarta, 2001. Rusjdi, Muhammad, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, & Bea Materai, PT. Indeks, Jakarta, 2005. Santoso, Djohari dan Ali, Achmad, Hukum Perjanjian Indonesia, Penerbit
Perpustakaan Fak. Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989. Siahaan, P. Marihot, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Soedewi, Sri, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981. Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995. Suryodiningrat, R.M, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung,
1978. Soemitro, Rochmat, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung-Jakarta,1974. Sukadji, Untung, Pajak Pertambahan Nilai, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2001. Tjahyono, Achmad dan Wahyudi, Triyono, Perpajakan Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004. Tobing, Lumban, G.H.S, Peraturan Jabatan Notaris, cet. Ke 3, Erlangga, Jakarta,
1983. Valentina Sri S., Aji Suryo, Perpajakan Indonesia, Seri Belajar untuk Mahasiswa
Cet. I, UPP MPP YKPN, Yogyakarta, 2003. Waluyo, Perpajakan Indonesia Buku 2, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2002. Widjaja, Gunawan, Kartini Muljadi, Jual Beli, Seri Hukum Perikatan, Ed.1, Cet. 2
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Wuisman. JJJ. M., Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting M. Hisyam,
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996. Makalah, Jurnal, Majalah dan Wawancara Artikel Renvoi, Notaris Kecewa Pelayanan Bank Persepsi, Februari 2008 No.
9.57.V. Bank Rakyat Indonesia, Cabang Putri Hijau Medan. Edy, Notaris/PPAT, Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008. Poeryanto Poedjiaty, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 30 April 2008. Rahanum, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 30 April 2008.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Syahril Sofyan, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 04 Juli 2008. Tjong, Deddy Iskandar, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008
dan 18 Juli 2008. Undang-Undang Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan, Pasal 5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Ketentuan Penutup. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan
dari Peralihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2005. Keputusan Menteri Keuangan, tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara
Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Kepmen Keuangan No.517/KMK.04/2000, Pasal 4 ayat (1).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/2000.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.