24
Makna Muhammadiyah dalam Gerakan Sosial BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?.Itulah orang yang menghardik anak yatim.dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat.(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.orang-orang yang berbuat riya.dan enggan (menolong dengan) barang berguna." (QS. Al-Ma’un: 1-7) Ayat di atas merupakanbasis ideologi perjuanganMuhammadiyah yang memberikan landasan keberpihakan kepada kaum lemah (dhu’afa’) dan kaum teraniaya (mustadh’afin). Semangat Al-Ma’un merupakan dasar pijakan dalam pengembangan awal gerakan “PRO-Penolong Kesengsaraan Oemoem” dengan tokoh Kyai Sudjak di awal pendirian Muhammadiyah tahun 1912. Penerjemahan tersebut disesuaikan dengan munculnya gagasan baru tentang pembentukan masyarakat sipil atau masyarakat madani atau masyarakat yang beradab. Masyarakat madani yang dimaksud dalam hal ini adalah masyarakat yang terbuka dan

Makna Muhammadiyah dalam Gerakan Sosial

Embed Size (px)

Citation preview

Makna Muhammadiyah dalam Gerakan Sosial

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?.Itulah orang

yang menghardik anak yatim.dan tidak menganjurkan memberi

makan orang miskin.Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang

shalat.(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.orang-orang

yang berbuat riya.dan enggan (menolong dengan) barang berguna."

(QS. Al-Ma’un: 1-7)

Ayat di atas merupakanbasis ideologi

perjuanganMuhammadiyah yang memberikan landasan

keberpihakan kepada kaum lemah (dhu’afa’) dan kaum

teraniaya (mustadh’afin). Semangat Al-Ma’un merupakan dasar

pijakan dalam pengembangan awal gerakan “PRO-Penolong

Kesengsaraan Oemoem” dengan tokoh Kyai Sudjak di awal

pendirian Muhammadiyah tahun 1912. Penerjemahan tersebut

disesuaikan dengan munculnya gagasan baru tentang

pembentukan masyarakat sipil atau masyarakat madani atau

masyarakat yang beradab. Masyarakat madani yang dimaksud

dalam hal ini adalah masyarakat yang terbuka dan

bermartabat.

Sayyid Quthb (dalam Tafsir fi Zhilalil Qur’an Vol. 24)

menjelaskan bahwa surat pendek ini mampu memecahkan

hakikat besar yang mendominasi pengertian iman dan kufur

secara total. Boleh jadi definisi iman dan kufur di sini

sangat berbeda bila dibandingkan definisi tradisional.

Karena kufur (mendustakan agama) di sini diartikan

sebagai menghardik anak yatim dan atau menyakitinya (Itulah

orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi

makan orang miskin, ayat 2-3). Logika kufur muncul karena

seharusnya saat iman seorang sudah mantap di hati niscaya

anak-anak yatim dan orang miskin tentu tidak akan

diterlantarkan.

Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat di tarik dari penjelasan

latar belakang adalah bagaimana sebenarnya makna

Muhammadiah dalam gerakan sosial?

Tujuan Pembahasan

Tujuan dari pembahasan ini adalah melakukan

diskusi yang di harapkan dapat menjelaskan dan memahami

bagaimana makna Muhammadiya dalam bidang sosial.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Berdirinya organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah

tidak terlepas dari sumbangsih empat kuartet bersaudara.

Mereka amat dihormati oleh warga Muhammadiyah, dari sejak

dulu hingga kini. Empat bersaudara tersebut antara lain H

Muhammad Sudjak, KH Fakhruddin, Ki Bagus Hadikusuma, dan

KH Zaini.

Mereka merupakan generasi pertama gerakan

Muhammadiyah yang langsung di bawah bimbingan KH Ahmad

Dahlan, Bapak Muhammadiyah. Dan dari empat orang

bersaudara itu, yang paling tua adalah H Muh Sudjak. H

Muhammad Sudjak terlahir di Kampung Kauman, Yogyakarta

pada tahun 1885/1303 H. Dia berasal dari keluarga abdi

dalem santri keraton Yogyakarta. Ayahnya adalah H. Hasyim

yang menjabat sebagai seorang abdi dalem keraton

Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan

Hamengkubuwono VII.

Dari sekian banyak kader muda KH. Ahmad Dahlan yang

mempunyai pola pikir dan perjuangan pragmatis dan

bergerak di bidang sosial adalah Sudjak. Sikap seperti

itu merupakan hasil pendidikan yang diberikan KH Ahmad

Dahlan di mana dia senantiasa menekankan pentingnya aksi

(praktek amaliah) dari pada hanya sekedar beretorika. Dan

Sudjak dipandang sebagai tokoh yang pantas memimpin

Bagian PKU Muhammadiyah.

Sebagai pemimpin Bagian PKU Muhammadiyah, Sudjak

yakin lembaga tersebut akan mampu membuktikan bahwa

bangsa Indonesia, khususnya Muhammadiyah dapat mendirikan

rumah sakit, rumah miskin, rumah anak yatim dan sebagai

aksi sosialnya. Rencananya untuk mendirikan beberapa amal

sosial itu kemudian dipresentasikan saat dilantik menjadi

ketua Bagian PKU Muhammadiyah. Rencana Sudjak terdengar

sangat berlebihan untuk ukuran saat itu sehingga di depan

khalayak dia malah ditertawakan. Meski demikian dia tetap

yakin akan tekadnya.

Dia berpegang pada realitas bahwa telah banyak orang

non-Muslim (Kolonial Belanda) yang dapat mendirikan rumah

sakit, rumah miskin dan rumah yatim hanya karena dorongan

rasa kemanusiaan tanpa didasari rasa tanggungjawab kepada

Allah SWT. Jika umat non-Muslim saja mampu melakukan

aksi-aksi sosial, mengapa umat Islam yang mempunyai

landasan agama seperti yang tertera dalam QS Al Maun,

tidak dapat melakukannya.

Lebih jauh dia berprinsip bahwa jika Allah telah

menetapkan ketentuannya di dalam Alquran, pasti ketentuan

itu dapat dilakukan umat-Nya, karena mustahil Allah

membuat ketentuan yang tidak dapat dilakukan kaum-Nya.

Pada perkembangannya kemudian, ternyata apa yang digagas

Sudjak menjadi kenyataan. Perlahan tapi pasti

Muhammadiyah mampu mendirikan rumah sakit di Yogyakarta

serta mendirikan rumah miskin dan panti anak yatim di

mana-mana sebagai amal usaha-amal usaha andalan di bidang

sosial.

Itulah sumbangan terbesar yang diberikan Sudjak

dalam merintis dan mengembangkan gerakan Muhammadiyah,

khususnya di bagian PKU. Sudjak pun dipandang sebagai

inspirator dan perintis utama aksi sosial dalam gerakan

Muhammadiyah setelah KH Ahmad Dahlan sendiri. Di

lingkungan Muhammadiyah, meski belum pernah menjabat

sebagai ketua Muhammadiyah dan jabatan tertingginya hanya

sampai pada jabatan wakil ketua, tapi nama Sudjak cukup

populer. Hal ini karena dia dipandang sebagai salah

seorang murid dan kader langsung dari KH. Ahmad Dahlan.

Bahkan pada sekitar tahun 1937 ketika terjadi gejolak di

kalangan muda Muhammadiyah yang menghendaki adanya

regenerasi dia adalah salah satu di antara trio angkatan

tua bersama-sama dengan M. Mukhtar dan H. Hisyam yang

sangat populer. Dalam kongres Muhammadiyah yang ke-26 di

Yogyakarta pada tahun 1937, Sudjak tetap diberi

kepercayaan untuk memimpin Bagian (Majlis )PKU yang

memang bidangnya. Setelah itu, Sudjak tidak lagi duduk di

dalam kepengurusan besar Muhammadiyah secara fungsional.

Namun, hingga masa akhir hayatnya pada tahun 1962, dia

dipercaya menjadi anggota penasehat PP Muhammadiyah.

BABIII

PEMBAHASAN

Ketika pertama kali lahir tahun 1912, Muhammadiyah

adalah sebuah gerakan sosial keagamaan yang tidak hanya

terilhami oleh kenyataan tidak murninya praktik ajaran

Islam di tanah air. Di luar persoalan ini, sebenarnya

Muhammadiyah juga lahir karena terdapat kondisi sosial

yang sangat timpang. Sekadar menyebut contoh, praktik

dualisme pendidikan, yakni pendidikan Belanda yang

sekular untuk kaum priyayi dan anak-anak Belanda, di satu

sisi, dan pendidikan pesantren yang sangat tradisional

untuk penduduk pribumi dan rakyat jelata, di sisi lain,

merupakan contoh ketimpangan sosial yang terjadi itu.

Tafsir sosial yang dilakukan oleh Kiai Dahlan atas

semua persoalan pada masanya sangat lugas. Penerjemahan

teks-teks Qur’ani ke dalam praksis sosial dilakukan oleh

Kiai Dahlan dengan sangat tangkas. Barangkali karena Kiai

Dahlan tidak banyak berteori, sehingga sementara pengamat

menggolongkannya sebagai man of action dan bukan man of

thought. Sampai batas-batas tertentu, ungkapan ini tentu

benar. Tetapi secara lebih mendasar apa yang dilakukan

oleh Kiai Dahlan bukan berarti tanpa refleksi kritis dan

mendalam terhadap kondisi yang dihadapi. Refleksi kritis

terhadap realitas sosial yang terjadi dan kemudian

mencarikan solusi yang tepat untuk mengentaskannya inilah

yang belakangan menjadi sebuah semangat baru dalam ilmu

sosial. Sehingga teori sosial kritis yang belakangan ini

banyak diintrodusir, dianggap perlu dipertimbangkan

sebagai sebuah pendekatan baru dalam metode tafsir sosial

Muhammadiyah.

Muhammadiyah memihak pada domain sosial yang sangat

luas. Penerjemahan teks-teks Qur’an menjadi praksis

sosial yang memihak merupakan sebuah ciri penting

Muhammadiyah masa awal. tidak seorangpun yang bisa

membantah kenyataan bahwa Muhammadiyah lahir dengan

pemihakan yang luar biasa terhadap realitas sosial yang

terwujud dalam kemiskinan, ketertindasan, kurang atau

rendahnya pendidikan. Selama bertahun-tahun lamanya

semangat ini menjadi spirit utama gerakan Muhammadiyah,

sehingga kehadiran Muhammadiyah sebagai sebuah mesin yang

mampu melakukan transformasi sosial mendapatkan apresiasi

yang luar biasa dari berbagai kalangan. Contoh

transformasi itu, misalnya, terwujud dalam partisipasi

Muhammadiyah menciptakan kelas-kelas sosial baru yang

mungkin tidak akan pernah terwujud jika Muhammadiyah

tidak hadir dengan nilai-nilai barunya. Kuntowijoyo

bahkan meyakini bahwa sulit dibayangkan akan lahir kelas-

kelas sosial baru dalam masyarakat Indonesia, jika

Muhammadiyah tidak hadir dengan menawarkan modernisasi

sistem pendidikan di Indonesia yang dualistik di atas.

Karena sistem pendidikan sebagaimana yang disebut di

atas, justru melanggengkan ketimpangan sosial.

Kritik dan Kelemahan-kelemahan terhadap Gerakan Sosial

Muhammadiyah

Muhammadiyah sering menuai kritik sebagai gerakan

sosial yang mulai terjangkit penyakit elitisme.

Perkembangan Muhammadiyah yang kian pesat dari hari ke

hari dalam banyak hal menyebabkan terjadinya pergeseran

orientasi, termasuk orientasi gerakan sosialnya. Jika

pada mulanya, amal usaha Muhammadiyah, khususnya dalam

bidang sosial lebih banyak “berbicara” pada bidang-bidang

sosial yang berorientasi voulentaire, kini hampir bisa

dipastikan bahwa seluruh amal usaha Muhammadiyah

berorientasi pada persoalan ekonomi dan sampai batas-

batas tertentu cenderung profit oriented. Hal itu tidak

sepenuhnya salah, karena sebagai sebuah organisasi,

Muhammadiyah harus profesional, dan profesionalitas itu

antara lain harus diwujudkan dalam bentuk-bentuk seperti

itu, sedangkan pola-pola volunteerism tentu memiliki potensi

yang kontra produktif dengan kenyataan tersebut. Tetapi

hal itu sekaligus menimbulkan dilema: pada satu sisi

Muhammadiyah memang harus terus mengembangkan

profesionalitasnya, tetapi yang juga harus diingat

adalah, jangan sampai profesionalitas yang hendak dicapai

itu melupakan fungsi-fungsi sosial Muhammadiyah sebagai

sebuah gerakan sosial keagamaan.

Secara teologis konsep amar ma’ruf nahi munkar yang

menjadi ciri utama Muhammadiyah, menurut Kuntowijoyo

ternyata memiliki dinamika internal untuk menimbulkan

desakan terhadap adanya transformasi sosial secara

berkesinambungan. Amar ma’ruf berarti humanisasi dan

emansipasi, sementara nahiy munkar berarti upaya untuk

melakukan liberalisasi. Dan Muhammadiyah sebagai sebuah

gerakan sosial semestinya memiliki sifat seperti di atas.

Tetapi sayang, dari perspektif transformasi sosial,

Muhammadiyah belum memiliki konsep gerakan sosial yang

jelas.

Jika dikaitkan dengan teori gerakan, maka

Muhammadiyah cenderung berada pada posisi peripheral,tidak

‘’Kiri’’ tidak juga ‘’Kanan’’. Maka tidak ada salahnya

jika Muhammadiyah mengambil peran gerakan Kiri, bukan

dalam bentuk, tetapi dalam fungsi, untuk melakukan

keberpihakan ulang terhadap kaum proletar seperti pada

masa-masa awal berdirinya organisasi ini. Secara umum,

Kiri diartikan sebagai kelompok yang cenderung radikal,

sosialis, ‘’anarkis’’, reformis, progresif atau liberal.

Dengan kata lain, Kiri selalu menginginkan kemajuan

(progress) yang memberikan inspirasi bagi keunggulan manusia

atas ‘’takdir sosial’’ yang dialaminya.

Kelemahan Muhammadiyah dalam bidang gerakan sosial

lainnya adalah pendasaran pembinaan sosial pada jenis

kelamin dan usia yang pada gilirannya menjadikan

Muhammadiyah seolah-olah tidak peduli dengan interest group,

seperti petani, buruh, nelayan kalangan proletar lainnya.

Akibatnya, Muhammadiyah seolah-olah membiarkan warganya

yang menjadi buruh berbondong-bondong ke organisasi lain

yang dirasa lebih aspiratif dengan kepentingannya,

seperti APSI, atau petani yang ke HKTI dan sebagainya.

Maka proletarisasi Muhammadiyah, nampaknya merupakan

suatu persoalan yang sangat urgen untuk dilakukan dalam

diri Muhammadiyah. Mau tidak mau harus diakui, bahwa

apapun yang dilakukan oleh Muhammadiyah kurang menyentuh

massa di kalangan grass root. Jika hal ini terus berlanjut,

maka sedikit demi sedikit Muhammadiyah akan mulai

kehilangan basis massa pendukungnya, khususnya dari

kalangan kelas menengah ke bawah. Kecuali jika

Muhammadiyah memang sudah puas dengan basis massa

kalangan menengah ke atas yang saat ini dimilikinya.

Patut dicatat di sini, bahwa proletarisasi

Muhammadiyah dan adopsi peran gerakan Kiri yang

dimaksudkan bukan untuk membenturkan kelas menengah ke

atas (kaum borjuis) dengan kelas menengah ke bawah (kaum

proletar), seperti halnya gerakan Kiri ala Marxis, tetapi

lebih sebagai upaya untuk melakukan rekonstruksi

paradigma gerakan sosial Muhammadiyah yang oleh

Kuntowijoyo disebut belum jelas. Dan lebih dari itu,

proletarisasi Muhammadiyah dan adopsi peran gerakan Kiri

dimaksudkan untuk –seperti kata Kazuo Shimogaki— melawan

‘’takdir sosial’’ yang dialami oleh sebagian besar umat

Islam.

Teori Sosial Kritis sebagai Metode Alternatif

the new social movement. Proses berteologi yang selama

ini lebih menganggap teologi sebagai disiplin ilmu

mestinya mulai dirubah menjadi teologi sebagai sebuah

gerakan, sehingga teologi merupakan kerja pedagogis

kemanusiaan yang bisa berwatak pembebasan. Bahwa

perubahan bukan hanya harus dilakukan oleh satu komunitas

tertentu saja, melainkan juga oleh lapisan sosial

lainnya, sehingga perubahan itu terjadi secara kolektif.

Globalisasi, dalam konteks ini penting dibicarakan

supaya kita mengenal the New Social Movement lebih baik lagi.

Ada empat hal dalam globalisasi yang memaksa kita

mengkaji ulang semua, terutama berkaitan dengan apakah

kesadaran teologis kita hubungannya dengan bentuk praktis

the New Social Movement. Empat hal itu dapat dapat merubah

tingkat kesadaran intelektual orang yang menjadi arus

luar biasa sekarang ini, yaitu: capital on the move, media on

the move; people on the move, dan gagasan-gagasan

revolusioner.

Ketika globalisasi menjadi dominan, mungkin tidak ada

kekuatan lokal yang survive. Globalisasi selalu

mengandaikan adanya main village, padahal main village sudah

tidak ada, bahkan ethnicity mulai pudar.Nasionalisme kalah

dengan kapitalisme, kapital tidak mengenal nasionalisme

dan bahkan tidak mengenal agama, begitu pula dengan

media. Meskipun pemilik media adalah orang Islam,

mialnya, bukan berarti akan terjadi Islamisasi media,

walaupun persoalannya orang Islam harus punya media. Apa

arti Muhammadiyah di tengah problematika yang semakin

pelik ini, ketika Nasionalisme-nasionalisme sudah mulai

luntur? Maka jawabannya ialah bagaimana menjadi subjek

yang kritis dan kreatif serta komitmen intelektual kita

menjadi imajinatif dan lebih kreatif. Tanpa imajinasi

itu, tidak ada peran yang bisa kita mainkan.

BAB VI

KESIMPULAN

Berjalan dari QS Al-Ma’un tersebut Muhammadiyah

sebagai organisasi islam menekankan untuk bergerak di

bidang sosial yang mana gerakan sosial Muhammadiyah ini

di cetuskan pertama kali oleh KH M Sudjak,dia adalah

seorang murid langsung dari KH Ahmad Dahlan. Pola pikir

KH M Sudjak yang bergerak di bidang sosial ini adalah

hasil pendidikan yang diberikan KH Ahmad Dahlan di mana

dia senantiasa menekankan pentingnya aksi (praktek

amaliah) dari pada hanya sekedar berteorika.

Tafsir sosial yang dilakukan oleh Kiai Dahlan atas

semua persoalan pada masanya sangat lugas. Penerjemahan

teks-teks Qur’ani ke dalam praksis sosial dilakukan oleh

Kiai Dahlan dengan sangat tangkas. Barangkali karena Kiai

Dahlan tidak banyak berteori, sehingga sementara pengamat

menggolongkannya sebagai man of action dan bukan man of

thought. Sampai batas-batas tertentu, ungkapan ini tentu

benar. Tetapi secara lebih mendasar apa yang dilakukan

oleh Kiai Dahlan bukan berarti tanpa refleksi kritis dan

mendalam terhadap kondisi yang dihadapi. Refleksi kritis

terhadap realitas sosial yang terjadi dan kemudian

mencarikan solusi yang tepat untuk mengentaskannya inilah

yang belakangan menjadi sebuah semangat baru dalam ilmu

sosial. Sehingga teori sosial kritis yang belakangan ini

banyak diintrodusir, dianggap perlu dipertimbangkan

sebagai sebuah pendekatan baru dalam metode tafsir sosial

Muhammadiyah.

Akan tetapi gerakan sosial Muhammadiyah ini masih

benyak memiliki kekurangan-kekurangan yang harus di

benahi dan di kritisi agar gerakan sosial Muhammadiyah

ini berjalan dengan lebih baik sehingga organisasi

Muhammadiyah menjadi lebih besar dan lebih sempurna dalam

mengamalkan ajaran-ajaran yang telah di sampaikan oleh

Nabi Muhammad SAW dan sesuai dengan apa yang dituliskan

oleh Allah SWT didalam Al-Qur’an-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung:

Mizan, 1991, h. 338.

Kazuo Shimugaki, Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme:

Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta: LKiS, 1993, h. 6.

Kuntowijoyo, op. cit., h. 266.

http://lembagabencana.blogspot.com/2011/04/workshop.html

http://zulfiifani.wordpress.com/2010/02/12/seabad-muhammadiyah-

dan-implementasi-al-ma%E2%80%99un/

http://sakha140887.multiply.com/journal/item/6

Pembahasan dan pembicaraan tentang gerakan Muhammadiyah dapatdibaca, didengar dan dilihat dari berbagai literature ataumelalui pandangan para aktivis Muhammadiyah baik pada tingkat

lokal maupun nasional. Muhammadiyah dilahirkan di Yogyakartapada tanggal 08 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18November 1912 M dengan tokoh utamanya KH. Ahmad Dalah.

[1] Muhammadiyah sebagai sebuah persyarikatan telah merumuskan visi dan misi[2] yang sudah jelas, sehingga dapat melahirkan gerakkan yang terarah dan mencapai tujuan serta sasaran yang diinginkan secara bersama. Sebagai sebuah gerakan, dalam perjalanannya Muhammadiyah melaksanakan usaha dan kegiatannya dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat di Indonesia.

[1] Muhammadiyah sebagai sebuah persyarikatantelah merumuskan visi dan misi[2] yang sudah jelas,sehingga dapat melahirkan gerakkan yang terarah danmencapai tujuan serta sasaran yang diinginkan secarabersama. Sebagai sebuah gerakan, dalam perjalanannyaMuhammadiyah melaksanakan usaha dan kegiatannyadalam berbagai bidang kehidupan masyarakat diIndonesia.

Usaha dan kegiatan Muhammadiyah dapat

dikelompokkan ke dalam empat bidang, yakni:pertama,bidang Keagamaan, yang meliputi memberikantuntunan dan pedoman dalam bidang aqidah, ibadah,akhlak dan mu’amalah berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, mendirikan masjid dan mushalla sebagaitempat sarana ibadah, mencetak kader ulama (fuqaha),menelaah berbagai kajian keislaman dan perkembanganumat Islam, memberi fatwa dan tuntunan dalam bidangKeagamaan dan melakukan dakwah. Kedua,bidangpendidikan, yang meliputi pendidikan yangberoerientasi kepada perpaduan antara sistempendidikan umum dan sistem pesantren. Ketiga,bidangsocial kemasyarakatan, yang meliputi kegiatan dalambentuk amal usaha rumah sakit, rumah bersalin,

poliklinik, balai pengobatan, apotik, panti asuhananak yatim, Keempat,bidang partisipasi politik, dimana Muhammadiyah bukan partai dan underbouw partaipolitik, akan tetapi sebagai partisipasi politikMuhammadiyah dalam bentuk beramar ma’ruf nahimungkar dan memberikan panduan etika, moral danakhlakul karimah terhadap kebijakan-kebijakanpemerintah dan masyarakat.[3]

Dalam dunia pendidikan, Muhammadiyah telahmelakukan aktifitasnya dalam bentuk mendirikanmadrasah-madrasah dan pesantren dengan memasukkankurikulum pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuanumum dan modern, mendirikan sekolah-sekolah umumdengan memasukkan kurikulum keislaman dankemuhammadiyahan. Lembaga pendidikan yang didirikandi atas dikelola dalam bentuk amal usaha denganpenyelenggaranya dibentuk sebuah majelis dengan namaMajelis Pendidikan Dasar dan Menengah, secaravertikal mulai dari Pimpinan Pusat sampai ke tingkatPimpinan Cabang.[4]

Pendirian pendidikan Muhammadiyah, Abdul Mu’timengungkapkan dengan pemikirannya bahwa pendidikanMuhammadiyah didirikan dan dilandasi atas motivasiteologis bahwa manusia akan mampu mencapai derajatkeiamanan dan ketaqwaan yang sempurna apabila merekamemiliki kedalaman ilmu pengetahuan. Motivasiteologis inilah menurut Mu’ti, yang mendorong KH.Ahmad Dahlan menyelenggarakan pendidikan di emperanrumahnya dan memberikan pelajaran agama ekstrakurikuler di OSVIA dan kweekschoool.[5] Pada aspekyang berbeda, Muhammad Azhar melihat pendidikan yangdiselenggarakan oleh Muhammadiyah pada aspek burhaniyakni sebuah lembaga pendidikan lebih banyakmelahirkan output ketimbang outcome, aspek irfani yaknipendidikan Muhammadiyah yang bercirikan rasionalitasdan materialitas-birokratik, aspek bayani, yaknipendidikan Muhammadiyah yang model pengajarannya

menjadi terasa kering, mengingat paradigmapergerakan Muhammadiyah yang modernistik.[6]

Majelis Dikdasmen yang diserahi tugas sebagaipenyelenggaran amal usaha di bidang pendidikan,dalam melaksanakan program mengacu kepada TanfidzKeputusan Muktamar, Tanfidz Keputusan Musywil danTanfidz Keputusan Musda. Agar penyelenggaraanpendidikan di lingkungan Muhammadiyah mempunyaiacuan dan aturan yang jelas, Majelis DikdasmenPimpinan Pusat Muhammadiyah telah mentanfidzkanKeputusan Rapat Kerja Nasional Majelis PendidikanDasar dan Menengah Muhammadiyah seluruh Indonesia.

Sebagai bagian dari persyarikatan Muhammadiyah,Majelis Dikdasmen mempunyai tugas pokok adalahmenyelenggarakan, membina, mengawasi danmengembangkan penyelenggaraan amal usaha di bidangpendidikan dasar dan menengah. Dalam melaksanakantugas pokok di atas, majelis pendidikan dasar danmenengah Muhammadiyah harus mengacu kepada visi,misi, asas dan tujuan pendidikan Muhammadiyah.[7]Amal usaha pendidikan yang dikelola dandiselenggarakan oleh Majelis Dikdasmen tersebutadalah SD, MI, SMP, MTs, SMA, SMK, MA dan PondokPesantren.

Hubungan Muhammadiyah dan Parpol

Untuk memahami bagaimana sebenarnya hubungan Muhammadiyah danPartai Politik, kita tidak bisa hanya sekedar mengatakan bahwaMuhammmadiyah adalah sebuah ormas sosial keagamaan yang tidak adahubungan sama sekali dengan parpol. Hal tersebut merupakan statemen yangamat sederhana dan terlalu lugu. Untuk memahami bagaimana sebenarnyasikap Muhammadiyah mengenai hubungan dirinya dengan partai politik danpolitik, kita perlu melakukan telaah historis-empiris sepanjangperjalanan organisasi ini sejak berdirinya tahun 1912 hingga sekarang.Dalam kurun waktu tersebut, setidak-tidaknya terdapat empat masa dengansituasi politik yang berbeda, yakni masa Demokrasi Liberal, masa

Demokrasi Terpimpin, Masa Orde Baru, dan Masa Reformasi. Pada masa Demokrasi Liberal yang berlangsung antara tahun 1945hingga 1959, hubungan Muhammadiyah dengan Partai Politik serasa amatdekat. Ketika pemerintah mengumumkan berdirinya partai-partai politikpada 3 Nopember 1945, Muhammadiyah ikut mendirikan Masyumi melaluiMuktamar Islam Indonesia, 7-8 Nopember 1945, di mana Muhammadiyahmenjadi anggota istimewa partai politik ummat Islam pertama tersebut.Selama waktu tahun 1945 hingga 1959, kita melihat 50 % keanggotaanMasyumi adalah kader-kader Muhammadiyah. Dan selama waktu itu pula,kader-kader Muhammadiyah banyak ditempatkan di kabinet Hatta, Sahrir,Wilopo, Sukiman, Amir Syarifuddin, Burhanuddin Harahap, Ali I, Juanda,hingga Ali II. Tarik ulur kepentingan Muhammadiyah dalam Masyumi memangsedikit mengalami dinamika, misalnya dengan persoalan posisi statuskeanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal ini sempat dibicarakan padasidang Tanwir Muhammadiyah 1956 di Yogyakarta yang merekomendasikanpeninjauan ulang status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal serupaterulang pada Sidang Tanwir Muhammadiyah 1957, dengan rekomendasi yanglebih jelas, agar Muhammadiyah keluar dari anggota istimewa Masyumi.Namun melaksanakan keputusan ini tidaklah mudah di lapangan. Pada sidangTanwir tahun 1958, persoalan ini mengambang kembali, dan justru Sidangmenyerahkan kepada PP Muhammadiyah. Sekali lagi, Pada Sidang Tanwirtahun 1959 di Jakarta, persoalan ini muncul lagi dan sempat diadakanvoting. Hasilnya 13 orang menyatakan Muhammadiyah harus keluar darikeanggotaan Masyumi, 18 menolak, dan 3 orang abstain. Persoalan ini barutuntas ketika PP Muhammadiyah menyelenggarakan Pleno tahun 1959, yangmemutuskan Muhammadiyah keluar dari keanggotaan Masyumi. Pada masa Demokrasi Terpimpin 1959 hingga 1966, tidak banyakperistiwa yang bisa kita telaah. Hal ini terjadi karena iklim demokrasiyang kurang kondusif. Kepemimpinan nasional terpusat pada presiden. Jikaada MPRS, DPRS, dan DPAS, hanya merupakan boneka yang dibuat sedemikianrupa hingga amat tergantung dari presiden. Dari sisi politik,Muhammadiyah, sebagaimana para politisi muslim idealis tidak banyakdiuntungkan dalam kondisi seperti ini. Pada paruh pertama masa Demokrasiterpimpin ini, arus besar pandangan masyarakat (dimobilisasi untuk)mendukung kepemimpinan nasional, dengan munculnya berbagai gelar untukSoekarno, seperti Pemimpin Besar Revolusi, yang diikuti oleh fahamSoekarnoisme. Hingga kini, sisa-sisa kultur politik ini masih nampakdalam berbagai atribut partai Politik beserta jargon-jargonnya. Namunalhamdulillah, Muhammadiyah tidak sampai turut dalam aksi dukung-mendukung terhadap kepemimpinan nasional waktu itu, yang ternyata banyakmelakukan penyimpangan dan terkoreksi pada masa sesudahnya. Pada paruhkedua masa Demokrasi Terpimpin, arus balik terjadi, di mana hujatan padasistem dan kepemimpinan nasional semakin seru, yang berujung padalengsernya Bung Karno tahun 1965 setelah peristiwa G.30/S/PKI. Pada masa Orde Baru, terjadi perubahan mengerucut. ParadigmaPembangunan yang mengedepankan pembangunan ekonomi daripada politik,berdampak pada penyederhanaan organisasi sosial politik (lebih tegasnya

Partai Politik). Sayangnya, langkah ini banyak berimplikasi padapeminggiran peran partai politik dalam proses pembangunan. Sementara disisi lain, menguatnya institusi pemerintah yang diperkuat dengan(Partai) Golkar. Secara kelembagaan, Muhammadiyah tidak memilikihubungan apapun dengan partai politik pada masa ini. Namun dampak darisituasi politik ini bagi Muhammadiyah (dan juga terhadap ummat Islamumumnya) adalah tiadanya ikatan emosional yang kuat dengan partaipolitik manapun. Dan inilah yang melahirkan pemikiran high politik, dalammana Muhammadiyah lebih menekankan partisipasinya pada konsep-konseppembangunan dan wacana intelektual, misalnya tentang konsep kenegaraan,konsep pembangunan politik, pembangunan ekonomi dan seterusnya melaluiberbagai aktivitas akademik maupun penelitian dan penulisan baik yangdiselenggarakan oleh PTM maupun Persyarikatan. Sementara itu beberapakader Muhammadiyah yang memiliki bakat dan kesempatan untuk berpolitikpraktis, dipersilahkan untuk bergabung ke PPP, Golkar, maupun PDI.Situasi inilah yang kemudian melahirkan komitemen Muhammadiyah sebagaitenda besar kultural yang diharapkan tetap menjaga jarak dengan semua partaipolitik sekaligus melindungi para politisinya yang ada di mana-mana.Memang situasi keterkungkungan politik ini ada juga dampaknya secaraorganisatoris terhadap Muhammadiyah (dan juga terhadap ormas lainnya),ketika diterapkan UU Keormasan nomor 8 tahun 1985, terutama masalah asastunggal Pancasila. Pada Anggaran Dasar (kesebelas) tahun 1985 melaluiMuktamar ke 41 di Surakarta. Pada Bab I Pasal 1 tentang Nama, Identitasdan Kedudukan, dinyatakan bahwa Persyarikatan ini (Muhammadiyah)beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Sementara itupada Bab II Pasal 2 tentang Asas, dinyatakan bahwa “Persyarikatan ini berasasPancasila”. Kultur politik Orba Baru ini rupanya sebagian masih tersisasekarang. Arus besar Reformasi yang terjadi sejak 1997, sebenarnya tidaklepas dari peran Muhammadiyah. Pada era Reformasi, Peran politik penting Muhammadiyah menunjukkankeberanian yang signifikan seiring dengan arus besar keinginanmasyarakat untuk mengembalikan potensi politik bangsa Indonesia. Disinilah terjadi pematangan dan implementasi gerakan amar makruf nahi munkardalam aspek politik yang sudah digodok cukup lama pada masa Orde Baru.Pada Sidang Tanwir 1998 di Semarang (setahun setelah jatuhnya rezim OrdeBaru), peluang Muhammadiyah untuk menjadi Parpol amat besar. Namunrupanya keputusan Sidang Tanwir tersebut amat dewasa, dengan menyatakanbahwa Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik. Warga Muhammadiyahdipersilahkan mendirikan partai politik atau bergabung dengan partaiyang ada, dan secara institusional tidak ada hubungan antara parpolmanapun dengan Muhammadiyah. Dalam konteks ini, yang kita lihat adalahformulasi peran politik Muhammadiyah melalui kader-kadernya dalam apayang disebut-sebut sebagai high politik tadi. Beberapa isyu politik pentingberhasil diangkat, seperti demokratisasi, pemberantasan KKN, danKeadilan. Seluruh isyu tersebut memang merupakan mainstream Reformasidan sekaligus sejalan dengan watak Muhammadiyah sebagai gerakanreformis. Implikasi praktis dari arus besar ini antara lain dapat kita

lihat betapa perwujudan kepemimpinan nasional dengan lahirnya porostengah dan mengusung Gus Dur ke Istana (melalui Pemilu 1999), meskipunpada akhirnya langkah ini harus segera dikoreksi pada pertengahan tahun2002. Pada perjalanan pemerintahan Megawati, akumulasi ketidakpuasanterhadap perjalanan reformasi ini semakin menguat. Krena itu wajar bilapada momentum Pemilu 2004, Muhammadiyah (dan seluruh komponen reformasi)berharap terjadi perubahan yang signifikan. Kontekstualisasi amar makruf nahi munkar

Banyak orang berbicara bahwa dakwah amar makruf nahi mungkar yang telahmenjadi “khittah” Muhammadiyah sejak awal, dimaksudkan untuk membatasigerakan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan sosial semata.Padahal, apabila kita mau merenungkan, Rasulullah pernah menyatakanbahwa apabila engkau melihat suatu kemungkaran, maka hadapilah dengan tanganmu, danapabila engkau tidak bisa, maka hadapilah dengan lidahmu, dan apabila tidak bisa, makahadapilah dengan nuranimu, akan tetapi menghadapi kemungkaran dengan nurani adalahselemah-lemahnya Iman. Sepanjang masa orde baru, jargon amar makruf nahimunkar tersebut oleh para petinggi Muhammadiyah sering hanya dibatasipada level dakwah dan pendidikan. Untuk ini terdapat beberapa alasan.Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah dan Pendidikan masih padatahapan ekspansi secara kuantitas, sehingga belum menyentuh aspekpolitik. Kedua, Iklim politik masa orba yang kurang kondusif untukmengemukakan gagasan-gagasan langsung yang berkaitan dengan keputusan-keputusan politik apalagi misalnya tentang isu suksesi. Ketiga, terkaitdengan yang kedua, partai politik tidak sepenuhnya dapatmerepresentasikan gagasan rakyat. Pada masa pascareformasi sekarang ini,tidak ada salahnya, bahkan harus, bagi muhammadiyah untuk melakukanijtihad politik, dengan mempertegas komitmen amar makruf nahi munkarpada level yang lebih tinggi, yakni kepemimpinan nasional. Mengapa ? Terdapat beberapa argumen yang patut kita perhatikan. Pertama, menyimakhadits Nabi di atas, jelas menunjukkan suatu keharusan untuk menempatkanamar makruf dengan tangan (kekuasaan) menjadi prioritas utama. Sekarangini reformasi telah digulirkan, di antara jargonnya adalah pemberantasanKKN. Dalam model kultur masyarakat Indonesia yang paternalistik, hanyatauladan pucuk pimpinan nasional yang bisa berpengaruh. Ibaratnya, bilasapu yang digunakan untuk membersihkan KKN itu bersih, baru KKN bisadihilangkan, akan tetapi jika sapunya kotor, mana mungkin bisamembersihkan. Bagi Muhammadiyah, maka tidak ada jalan lain kecualimerebut kepemimpinan nasional, bila ingin menyelamatkan reformasi.Kedua, Melihat perkembangan hasil reformasi selama lima tahun terakhir,menunjukkan hal yang belum menggembirakan. Dalam aspek ekonomi, tidaksuatu perbaikan yang signifikan. Hal ini tentunya erta terkait denganvisi dan komitmen presiden sebagai panutan rakyat. Dengan demikian misiamak makruf nahi munkar tidaklah menjadi hilang, malah diberi pemaknaansesuai konteksnya.

Dakwah Kultural Vs Politik Praktis ?Beberapa kalangan, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal) dan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) beberapa waktu ini sibuk melakukan kritik terrhadap keputusan PP Muhammadiyah yang mendukung pencapresan Amien Rais. Di antaranya adalah, mempertanyakan misi dakwah kultural yang sudah diputuskan dalam sidang Tanwir di Bali beberapa tahun lalu, mengapa harus diganti dengan orientasi politik praktis sesaat ? Juga ada yang mempermasalahkan hubungan Muhammadiyah-PAN, dengan menyatakan bahwa yang memiliki kewenangan mengajukan capres dan cawapres adalah partai politik, bukan ormas seperti Muhammadiyah. Mengenai pertentangan atau dikotomi dakwah kultural Vs Politik praktis, dapat dijelaskan sebagai berikut. Ide dakwah kultural sesungguhnya adalah suatu model dkwah yang dikembangkan Muhammadiyah melalui aspek budaya, seperti budaya bersih, budaya disiplin, budaya keadilan, budaya hemat, budaya jujur, budaya rasional, budaya profesional, dan seterusnya. Dalam konteks pembenahan Indonesia era reformasi ini, maka tentu saja pemberantasan budaya KKN menjadi agenda penting bagi bangsa Indonesia, juga Muhammadiyah. Inilah dakwah kultural, yang dalam aspek politiknya mengandung implikasi ketauladanan, pergerakan, dan mobililasiyang berujung pada kepemimpinan bangsa. Dalam konteks ini, maka sesungguhnya tidak ada dikotomi dakwah kultural Vs politik praktis, namun yang ada adalah strategi dakwah kultural dengan pilihan pada sosokkepemimpinan yang bakal memberikan tauladan.

Beberapa Persoalan Penting

Untuk lebih menghayati bagaimana variabel-variabel penting yang perlumendapatkan perhatian dan sekaligus pemikiran kita, setidaknya ada tigapersoalan yang menjadi bidang garap kita dalam waktu dekat ini.

1. Membangun Visi Indonesia BaruKepentingan politik Muhammadiyah dalam konteks membangun masa depan Indonesia tidak lain adalah dengan memulai tahapan yang telah menjadi cirikhasnya, yakni meneruskan reformasi yang masih belum tuntas. Apa saja itu, dan apa relevansinya dengan gerakan Muhammadiyah ? Membuka wacana hubungan gerakan Muhammadiyah dan Reformasi tidaklah mudah, terutama bagi orang yang tidak mengetahui asal usul gerakan ini. Terdapat beberapa karakteristik yang menunjukkan persamaan antara gerakan Muhammadiyah dengan reformasi. Pertama adalah sifat pemberontakannya terhadap tradisi dan kemapanan. Muhammadiyah lahir tahun 1912 dengan maksud memberikan pengajaran Igama (baca: agama) terutama bagi para pelajar dan di lembaga persekolahan yang waktu itu merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal yang dimiliki oleh

ummat Islam. Penyelenggarakan pengajian dan pendidikan agama semacam ituadalah di luar kebiasaan. Demikian juga reformasi 98, menunjukkan pemberontakannya terhadap kemapanan orde baru yang telah berlangsung 32 tahun. Isyu sentral yang terkristalisasi dalam gerakan reformasi 98 ini antara lain soal demokratisasi dan pemberantasan KKN. Isyu demokratisasiantara lain soal suksesi kepemimpinan, pemilihan presiden secara langsung dan disentralisasi. Dalam konteks ini maka sebetulnya kepentingan Muhammadiyah dalam melanjutkan reformasi tidaklah perlu dicurigai, karena memang ada kesamaan karakter.Apa yang sebenarnya diinginkan Muhammadiyah dalam melanjutkan proses reformasi di tanah air ? Apakah benar bahwa Muhammadiyah telah bergeser dari orientasi dakwah danpendidikan yang substantif ke arah pragmatis ? Kita berikan beberapa bukti di antaranya : Pertama, Setelah Muhammadiyah menggulirkan isyu Negara Federasi yang kemudian menjadi otonomi daerah, justru yang menikmati adalah penguasa-penguasa daerah, sementara muhammadiyah tidak mendapatkan keuntungan apapun. Pada saat mengegolkan UU Sisdiknas, Muhammadiyah menjadi pelopor, namun setelah UU itu jadi, banyak kalanganyang memanfaatkannya dengan pendepatan kepada pemerintah tentang dana 20% untuk pendidikan. Demikian juga sekarang dengan pemilihan presiden secara langsung, maka yang diuntungkan adalah mereka yang memiliki anggota yang secara kuantitas memenuhi, sementara Muhammadiyah justru pada kualitasnya. Dengan demikian tidak benar bahwa gerakan politik Muhammadiyah akhir-akhir ini hanya untuk kepentingan sesaat, tetapi justru untuk kepentingan bangsa jangka panjang.

2. Visi Pemimpin bangsa menurut Muhamma- diyah Bila kita lihat hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah seperti yang nampak dalam hasil Sidang Pleno diperluas PP Muhammadiyah tanggal 10-12 Pebruari 2004, pemimpin bangsa yang diharapkan adalah seorang dengan ciri-ciri :

a. Reformisb. Bebas dari KKNc. Mampu menyelenggarakan tata pemerintahan dengan baikd. Memiliki visi kebangsaan yang luase. Tegas dan berwibawa dalam membawa bangsa ke tengah pergaulaninternasional

f. Mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatg. Menunjukkan kehidupan bangsa menuju ke masa depan yang baik

Bila pada Pilihan Presiden tanggal 5 Juli 2004 Muhammadiyahmenentukan sikap untuk memunculkan kader terbaiknya Prof. Dr. H.

Amien Rais sebagai calon Presiden, maka ada beberapa catatan yangperlu kita simak, yakni :a. Bahwa langkah tersebut diambil tentunya dalam rangka kerja besarMuhammadiyah berupa amar makruf nahi munkar. Dengan demikian alasanpaling tepat untuk memunculkannya adalah untuk mengatasi krisismultidimensional yang melanda bangsa ini. Seorang Amien Rais yangtelah berhasil mempelopori gerakan reformasi sejak 1997, sudahsepantasnya diberi kesempatan untuk melanjutkan langkah-langkahreformasi yang sudah mengalami kemandegan selama empat tahunterakhir.

b. Bilamana dalam pemilihan presiden nanti Amien Rais berhasilmenduduki sebagai orang nomor satu dalam republik ini, Muhammadiyahtidak perlu terlalu berbangga, namun justru tetap mendukunglangkah-langkah yang positif, dan menjadi yang pertama untukmengingatkan bila terjadi penyimpangan dalam pemerintahan. Jangansampai terulang pengalaman seperti pendukung Gus Dur yang membabibuta.

c. Bila tidak berhasil untuk menduduki jabatan Presiden, Muhammadiyahtidak perlu berkecil hati. Apa yang sudah diupayakan hanyalahsebuah usaha dengan niat yang baik. Muhammadiyah harus tetapkonsisten sebagai gerakan amar makruf nahi munkar, meski tidak bisadengan tangan (kekuasaan), masih ada jalan yang lain (dengan lisanatau wacana).