Upload
khangminh22
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Copyright ©2021 Museum Nasional
All Rights Reserved
E- ISSN: 2807-1298
P- ISSN: 2355-5750
Volume 10 Nomor 2, Desember 2021 Page: 39-51
DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.48
Jurnal Prajnaparamita 39
PENYAMPAIAN MAKNA KOLEKSI PATUNG SIGALE-GALE:
DULU DAN KEKINIAN The Meaning of Sigale-gale Statue Collection: Now and Formerly
Tiomsi Sitorus
Museum Nasional
Jalan Medan Merdeka Barat No.12, Jakarta Pusat, Indonesia
Pos-el: [email protected]
Received: Oct 14, 2021 Accepted: Nov 19, 2021 Published: Dec 1,2021
Abstrak
Patung sigale-gale merupakan kearifan lokal suku Batak yang berasal dari Kabupaten Samosir dan
kemudian kisahnya tersebar ke daerah-daerah di sekitarnya. Secara sekilas patung sigale-gale tidak
ada bedanya dengan patung leluhur suku Batak lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas kisah
yang melatarbelakangi pembuatan patung sigale-gale, perbandingan fungsi dan bentuk dari awal
sampai sekarang, serta pesan moral yang disampaikan. Pengumpulan data dilakukan dengan studi
pustaka menggunakan metode komparatif. Ilmu pengetahuan serta teknologi bersifat dinamis
sehingga membawa perubahan bagi setiap masyarakat pendukungnya. Demikian juga dengan suku
Batak, masuknya agama serta adanya modernisasi telah memengaruhi tradisi dan budayanya. Saat ini
patung sigale-gale mengalami perubahan bentuk akibat dari kemajuan teknologi, sedangkan
perubahan fungsi disebabkan oleh masuk dan berkembangnya agama, khususnya di wilayah
Kabupaten Samosir. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun terdapat perubahan
dalam bentuk dan fungsi patung sigale-gale, tetapi pesan moral yang disampaikan tetap relevan
sampai saat ini, bahkan untuk diwariskan kepada generasi yang akan datang.
Kata kunci: Manggale, Sigale-gale, Pesan moral
Abstract
Sigale-gale statue is a local creature of the Bataknese which derived from Samosir district and its
story was widely spreaded to its surrounding. At a glance, sigale-gale statue is the same as the other
Bataknese statues. This writing was aimed to review the background of the making sigale-gale statue,
the comparison of function, the form the beginning up to now and the moral message. The data
collection was done with literature review using comparative method. Technology and knowledge
are dynamic, so it brought the change to the supporting community. Similarly, to the Bataknese tribe,
Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021
e-ISSN: 2807-1298
p-ISSN: 2355-5750
DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.48
40 Jurnal Prajnaparamita
the existence of religion and modernization have affected the culture and tradition. Nowdays, sigale-
gale statue's form has been changed. It was caused by the technology advancement, while the function
changing was caused by the development and existence of religion especially in Samosir district.
Thus, it can be concluded that although there was change in the form and function of Sigale-gale
statue but the moral message is relevant up to now even to be passed down to the next generation.
Keyword: Manggale, Sigale-gale, Moral value
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara multikultural
dan kaya akan budaya yang unik dan
menarik. Semua etnis memiliki budaya
masing-masing, baik material maupun
nonmaterial, mulai dari adat-istiadat, pakaian
tradisional, makanan tradisional, sampai
dengan cerita rakyat dan lain sebagainya.
Setiap suku bangsa memiliki cara yang
berbeda dalam menginterpretasikan
budayanya. Suku Batak terdiri atas beberapa
subsuku, yaitu Toba, Simalungun, Angkola
Mandailing, Karo, Pak-pak/Dairi
(Simanjuntak: 2011). Suku Batak Toba
memiliki kebudayaan material yang
mengandung pesan moral yang dapat
diwariskan dari generasi ke generasi
berikutnya. Salah satunya adalah patung
sigale-gale yang berasal dari Kabupaten
Samosir. Saat ini patung sigale-gale menjadi
salah satu pertunjukan yang menarik
perhatian wisatawan, baik wisatawan lokal
maupun mancanegara. Hal ini terbukti dari
banyaknya jumlah wisatawan yang ingin
menari bersama dengan patung sigale-gale
ataupun hanya sekadar berpose. Tarian
patung sigale-gale semakin dikenal
masyarakat luas karena menjadi ikon dalam
acara Festival Danau Toba tahun 2013.
Patung sigale-gale memiliki ciri khas
yang unik, yaitu sorot mata yang tajam
berbanding terbalik dengan tariannya yang
lemah gemulai. Hal ini seolah sesuai dengan
stereotipe yang melekat pada suku Batak,
yakni memiliki raut wajah yang keras serta
tatapan mata yang tajam namun
sesungguhnya memiliki hati yang lembut dan
apa adanya. Penggambaran melalui koleksi
patung sigale-gale memberikan pemahaman
bahwa menilai seseorang tidak bisa hanya
dengan melihat dari penampilan luarnya saja
tetapi perlu memperhatikan hati dan
perilakunya.
Sebelum adanya penemuan kamera,
seseorang mengabadikan gambar diri melalui
lukisan dan patung. Pembuatan lukisan serta
patung biasanya disesuaikan dengan keadaan
seseorang tersebut. Demikian juga dengan
pembuatan patung sigale-gale memiliki
cerita tersendiri. Di balik tarian patung
sigale-gale yang lemah gemulai tersirat
kesedihan yang sangat dalam. Kisah patung
sigale-gale tetap melekat dalam ingatan
masyarakat, tetapi pesan moralnya tidak
banyak diketahui. Berdasarkan hal inilah
penulis memilih patung sigale-gale sebagai
objek penulisan karena patung sigale-gale
tidak hanya merupakan pertunjukan, tetapi
memiliki pesan moral yang tinggi dan tetap
relevan sepanjang masa. Tulisan ini bertujuan
untuk membahas perbedaan fungsi patung
sigale-gale dulu dan kini serta mengangkat
pesan moral yang terdapat dalam patung
sigale-gale.
Saat ini Museum Nasional memiliki dua
koleksi patung sigale-gale yaitu nomor
Penyampaian Makna Koleksi Patung Sigale-Gale: Dulu dan Kekinian __________________________________________________________________________________
Tiomsi Sitorus
Jurnal Prajnaparamita 41
inventaris 23253 a-d/nomor registrasi 43880-
43883 dan nomor registrasi 15908.
Berdasarkan data dalam Koninklijk
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen Inventaris Van de
Ethnografische Verzameling, patung sigale-
gale dengan nomor inventaris 23253 a-d
berasal dari Lumban Gambiri, Negeri
Garoga, Samosir; dibuat oleh Raja Gayus
Rumahorbo dibeli melalui perantara J.
Karelse dan Dr. P. Voorhoeve tahun 1938.
Patung sigale-gale dengan posisi berdiri
memiliki tinggi 128 cm, sedangkan patung
yang kecil dengan posisi duduk memiliki
tinggi 50 cm. Saat ini patung sigale-gale
dengan nomor inventaris 23253 a-d
merupakan koleksi yang dipamerkan dalam
pameran tetap Gedung A Museum Nasional.
Patung sigale-gale dengan nomor registrasi
15908 memiliki tinggi 150 cm, tetapi tidak
ada informasi mengenai asal perolehan
koleksi tersebut.
Landasan Teori
Teori perubahan sosial budaya
menggambarkan bahwa perubahan sosial
budaya terjadi karena adanya ketidaksesuaian
unsur-unsur budaya. Menurut Selo
Soemardjan (2009: 447), perubahan
kebudayaan adalah perubahan-perubahan
pada lembaga-lembaga masyarakat yang
memengaruhi sistem sosialnya, termasuk
nilai-nilai sosial, sikap, dan pola tingkah laku
antarkelompok dalam masyarakat.
Kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari
manusia. Dalam kehidupan sehari-hari
manusia selalu bersentuhan dengan
kebudayaan. Akibatnya, ketika terjadi
perubahan kebudayaan, setiap sendi
kehidupan manusia sebagai agen dari
perubahan kebudayaan itu sendiri juga akan
dipengaruhi oleh perubahan tersebut.
Menurut Soerjono Soekanto (1990: 333),
perubahan sosial meliputi nilai-nilai sosial,
norma-norma sosial, pola-pola perilaku
organisasi, susunan lembaga
kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam
masyarakat, kekuasaan dan wewenang,
interaksi sosial, dan lain sebagainya.
Kebudayaan bersifat dinamis dan selalu
mengalami perubahan, baik yang terjadi
secara lambat (evolusi) maupun terjadi secara
cepat (revolusi). Perubahan kebudayaan yang
terjadi dapat berupa penambahan (addition)
atau pengurangan (subtraction) sesuai
dengan kondisi yang sedang berlangsung saat
itu dan dinamika yang terjadi di masyarakat.
METODE PENELITIAN
Tulisan ini menggunakan metode komparatif.
Nazir (2005) menjelaskan bahwa penelitian
komparatif adalah sejenis penelitian
deskriptif yang ingin mencari jawaban secara
mendasar tentang sebab akibat dengan
menganalisis faktor-faktor penyebab
terjadinya ataupun munculnya suatu
fenomena tertentu. Tulisan ini membahas
perbedaan fungsi patung sigale-gale dari
awal pembuatan sampai sekarang serta pesan
moral yang tetap relevan sampai saat ini,
bahkan untuk waktu yang akan datang.
Pengumpulan data dilakukan dengan
membaca literatur yang terdapat di
perpustakaan maupun yang diperoleh melalui
internet. Setelah itu, penulis menganalis data
untuk mengetahui kebenarannya. Studi
kepustakaan merupakan suatu studi yang
digunakan dalam mengumpulkan informasi
dan data dengan bantuan berbagai macam
material yang ada di perpustakaan, seperti
dokumen, buku, majalah kisah-kisah sejarah,
dan sebagainya (Mardialis: 1999). Menurut
ahli lain, studi kepustakaan merupakan kajian
teoretis, referensi, serta literatur ilmiah
lainnya yang berkaitan dengan budaya, nilai,
dan norma yang berkembang pada situasi
sosial yang diteliti (Sugiyono: 2012).
Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021
e-ISSN: 2807-1298
p-ISSN: 2355-5750
DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.48
42 Jurnal Prajnaparamita
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kisah Patung Sigale-gale
Terbentuknya suatu kebudayaan baik
kebudayaan material maupun kebudayaan
non material memiliki latar belakang yang
bersumber dari lingkungan pemilik
kebudayaan tersebut. Demikian juga dengan
kisah patung sigale-gale. Patung sigale-gale
tidak muncul begitu saja, tetapi ada kisah
yang melatarbelakanginya. Ada beberapa
pendapat yang berbeda dari masyarakat suku
Batak mengenai asal-usul patung sigale-gale.
Ada yang mengatakan bahwa kisah patung
sigale-gale hanya cerita yang berkembang
secara oral history dan tidak pernah terjadi
dalam kehidupan nyata. Namun, ada satu
daerah di Samosir yang mengklaim sigale-
gale pertama kali dibuat oleh Raja Gayus
Rumahorbo dari Desa Garoga. Keturunan
Raja Gayus ini mengatakan bahwa sigale-
gale pertama kali dibuat pada tahun 1930.1
Hal ini sesuai dengan data yang dimiliki
Museum Nasional yang menyatakan bahwa
patung sigale-gale dibuat oleh Raja Gayus
dari Garoga. Garoga adalah salah satu desa
yang berada di Kecamatan Simanindo,
Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera
Utara.
1http://repositori.kemdikbud.go.id/10172/1SI
GALE-GALE_W.pdf
Gambar 1
Patung Sigale-gale Koleksi Museum Nasional
No. Inv. 23253 a-d
Sumber: Dokumentasi Museum Nasional
Sebelum kemerdekaan Indonesia,
birokrasi pemerintahan berbentuk kerajaan
yang dipimpin seorang raja. Raja Rahat,
seorang pemimpin di daerah Samosir,
memiliki seorang anak laki-laki bernama
Manggale, sedangkan sang permaisuri sudah
lama meninggal. Daerah yang dikuasai raja
Rahat mendapat serangan dari daerah
seberang sehingga raja Rahat memerintahkan
Manggale untuk memimpin pertempuran.
Manggale selaku panglima perang sangat
dihormati karena memiliki sifat jujur, tetapi
saat pertempuran Manggale tewas di dalam
hutan. Raja sangat sedih setelah mengetahui
kematian sang anak. Kesedihan raja
mengakibatkan ia jatuh sakit karena
Penyampaian Makna Koleksi Patung Sigale-Gale: Dulu dan Kekinian __________________________________________________________________________________
Tiomsi Sitorus
Jurnal Prajnaparamita 43
kehilangan anak satu-satunya sebagai
penerus keturunan. Penasihat raja telah
memanggil banyak datu (dukun) untuk
menyembuhkan raja, tetapi tidak ada yang
berhasil. Atas saran seorang datu dibuatlah
patung yang wajahnya sangat mirip dengan
Manggale.
Setelah patung selesai dibuat
dilaksanakan upacara ritual di halaman
rumah raja. Upacara ritual untuk memanggil
roh Manggale dilakukan dengan diiringi
gondang sabangunan (seperangkat alat
musik tradisional Batak). Melihat patung
yang mirip Manggale dapat manortor
(menari tarian tradisional Batak), raja sangat
senang dan kesehatannya berangsur-angsur
pulih. Setelah itu, setiap kali raja merindukan
anaknya, raja bersama rakyat dan patung
akan manortor. Keberadaan patung tersebut
dapat menghibur hati dan mengobati
kerinduan raja terhadap putranya sehingga
raja memberi nama patung tersebut sigale-
gale. Dalam bahasa Batak Toba sigale-gale
memiliki arti ‘orang yang lemah gemulai dan
tidak bertenaga’. Gerakan tarian sigale-gale
memiliki irama yang lambat sehingga sesuai
dengan namanya. Kemiripan patung sigale-
gale dengan putra Raja Rahat, yakni
Manggale membuat raja sangat terkesan
sehingga berpesan kelak ketika ia meninggal
agar dibuat patung serupa sebagai pengganti
anak laki-laki dalam ritual kematiannya.
Proses Pembuatan Patung sigale-gale
Patung sigale-gale dibuat dari pohon nangka
yang memiliki tekstur yang keras. Proses
pembuatan patung sigale-gale dilakukan di
hutan tempat Manggale meninggal. Hal ini
dilakukan untuk memudahkan pemanggilan
roh Manggale karena pemahat percaya
bahwa roh Manggale masih berada di sekitar
hutan tersebut. Pembuatan patung sigale-gale
bersifat mistis sehingga orang yang membuat
patung sigale-gale pasti akan menjadi tumbal
(Syamsul: 2018). Patung sigale-gale yang
pertama kali dibuat diyakini dapat bergerak
sendiri karena pemahat telah menyerahkan
nyawanya ke dalam patung tersebut. Hal ini
seakan terbukti karena tidak lama setelah
pemahat selesai membuat patung sigale-gale,
ia pun meninggal dunia.
Patung sigale-gale memiliki ukuran
hampir sama dengan tinggi manusia pada
umumnya, raut wajahnya menggambarkan
kesedihan dengan mata besar agak melotot
dan tatapan mata seolah-olah memiliki kesan
magis. Patung sigale-gale dibuat dengan
posisi berdiri menggambarkan seorang laki-
laki yang masih muda, menggunakan tali-tali
(ikat kepala) dan ulos (kain tenun sebagai
pelengkap pakaian adat dan upacara adat
suku Batak) yang disampirkan di bahu.
Pembuatan patung sigale-gale disesuaikan
dengan keadaan pada saat pembuatannya,
yaitu tidak menggunakan baju. Pada zaman
dahulu laki-laki suku Batak tidak
menggunakan baju, hanya memakai ulos
yang terlilit dari pinggang sampai mata kaki.
Gambar 2
Patung Sigale-gale Koleksi Museum Nasional
No. Reg. TN 2327
Sumber: Dokumentasi Museum Nasional
Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021
e-ISSN: 2807-1298
p-ISSN: 2355-5750
DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.48
44 Jurnal Prajnaparamita
Ritual Memanggil Roh
Sebelum masuknya agama samawi ke
Sumatra Utara, khususnya wilayah Tapanuli,
masyarakat masih memiliki kepercayaan
yang sangat kental dengan animisme, yaitu
kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang
yang sudah meninggal. Suku Batak Toba
percaya bahwa manusia terdiri atas daging
(jasmani) dan tondi (roh). Kedua hal ini
melekat dan dipahami sebagai satu kesatuan.
Roh dimiliki oleh orang yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal. Roh orang
yang masih hidup disebut tondi, sedangkan
roh orang yang meninggal disebut begu. Bagi
orang yang masih hidup, roh memegang
peranan penting karena roh merupakan
kekuatan hidup dalam diri pribadi seseorang.
Sementara itu, bagi orang yang sudah
meninggal, kematian merupakan proses
terpisahnya tubuh dan roh.
Gambar 3
Pemain musik gondang sabangunan di
Simanindo Kabupaten Samosir tahun 1971
Sumber: Collectie Wereldculturen
Ritual memanggil roh tidak bisa
dilakukan oleh semua orang. Biasanya ritual
ini dipimpin oleh seorang dukun yang
dianggap memiliki kekuatan supranatural.
Dukun akan memanggil roh orang yang
sudah meninggal dan memasukkannya ke
dalam patung. Ritual ini dilakukan dengan
membaca mantra-mantra sembari diiringi
gondang sabangunan yang dimainkan oleh
pemain musik Batak. Salah satu keunikan
pemain gondang sabangunan atau sering
disebut pargonsi terlihat dari tempat mereka
sewaktu memainkan gondang sabangunan.
Mereka berada di songkor rumah milik orang
yang sedang melakukan upacara adat
tersebut. Songkor adalah ruangan berbentuk
panggung yang berada di bagian depan
rumah pada posisi atas. Songkor terletak di
atas pintu masuk rumah adat Batak. Seperti
terlihat dalam gambar 3 pargonsi sedang
memainkan musik tradisional Batak, tiga
orang dengan posisi berdiri dan satu orang
dengan posisi duduk.
Ritual Papurpur Sapata (Membuang
Kutuk)
Kematian merupakan siklus terakhir dalam
kehidupan manusia di bumi. Berbagai ritual
dilakukan untuk mengantar roh orang yang
sudah meninggal dunia menuju alamnya.
Setiap suku bangsa memiliki pemahaman
tersendiri akan kematian. Dalam kamus
budaya Batak Toba (Marbun: 2017) dikenal
beberapa istilah kematian berdasarkan
keadaan orang yang meninggal tersebut,
yaitu sebagai berikut.
1. Mate saur matua, yaitu meninggal dunia
dengan keadaan semua anak-anaknya
sudah menikah. Orang yang meninggal
sudah memiliki cucu, bahkan cicit.
Penyampaian Makna Koleksi Patung Sigale-Gale: Dulu dan Kekinian __________________________________________________________________________________
Tiomsi Sitorus
Jurnal Prajnaparamita 45
2. Mate sari matua, yaitu meninggal dunia
dengan keadaaan masih ada anak yang
belum menikah.
3. Mate mangkar, yaitu orang yang
meninggal dunia ketika anak-anaknya
belum ada yang menikah.
4. Mate punu, yaitu meninggal dunia tanpa
meninggalkan anak laki-laki, hanya
meninggalkan anak perempuan.
5. Mate purpur, yaitu meninggal dunia tanpa
meninggalkan keturunan, baik anak laki-
laki maupun perempuan.
6. Mate ponggol atau mate matipul, yaitu
orang yang meninggal dunia adalah
pemuda atau pemudi yang belum
menikah.
7. Mate punjung, yaitu meninggal dunia di
negeri orang dan tidak ada kerabat yang
melihat.
Dalam hal ini, kematian Manggale
sebagai anak semata wayang mengakibatkan
Raja Rahat tidak lagi memiliki keturunan.
Berdasarkan istilah kematian dalam suku
Batak Toba, kematian Raja Rahat disebut
mate purpur. Pada zaman dahulu terdapat
ritual bagi orang yang mate purpur, yaitu
dengan mengadakan tor-tor sigale-gale yang
berfungsi sebagai pengganti anak laki-laki
dari orang yang meninggal dunia tersebut.
“Asa anggo dimulana angka na mate
purpur (naso adong anakna) do na
mamorluhon patung sigale-gale”
(Sihombing: 2020). Terjemahannya
adalah “Pada awalnya orang yang
meninggal tanpa keturunan yang
memerlukan patung sigale-gale.”
Tor-tor sigale-gale biasanya digunakan
oleh orang yang mempunyai kedudukan
tinggi, seperti raja dan tokoh masyarakat.
Itulah sebabnya dahulu patung sigale-gale
berjumlah sedikit; berbeda dengan saat ini,
patung sigale-gale banyak dijumpai di
wilayah wisata Danau Toba Kabupaten
Samosir.
Kematian dengan tidak memiliki anak
merupakan kematian yang sangat tidak
diinginkan dalam suku Batak. Kematian ini
dipandang tidak baik karena dianggap
sebagai kutukan sehingga untuk mengatasi
masalah tersebut diadakan ritual papur-pur
sapata (membuang kutuk). Ritual ini
bertujuan agar sanak saudara tidak ada lagi
yang mengalami nasib yang sama.
Gambar 4
Ritual Membuang Kutuk di Danau Toba,
Kabupaten Samosir Tahun 1924--1931
Sumber: Collectie Wereldculturen
Kurang lebih tiga bulan setelah orang
yang mate pur-pur dikuburkan, ritual
membuang kutuk diadakan (Sibeth: 1991).
Kaum kerabat berkumpul di halaman rumah
orang yang mate pur-pur dengan menutup
kepala menggunakan ulos. Penutup kepala
diikat sedemikian rupa sehingga hampir
menutupi wajah pemakainya. Bahkan,
beberapa kerabat menutup seluruh wajahnya
sehingga ketika berjalan harus
menyingkapkan bagian ujung ulos yang
menutup wajahnya. Selain di kepala, kaum
Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021
e-ISSN: 2807-1298
p-ISSN: 2355-5750
DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.48
46 Jurnal Prajnaparamita
kerabat juga memakai ulos dengan cara
disampirkan di bahu hingga menutupi
sebagian punggung. Ritual membuang kutuk
dilakukan dengan cara manortor bersama
patung sigale-gale sambil mangandungi
(ungkapan rasa duka yang disenandungkan
ketika meratapi kematian sanak saudara).
Sigale-gale: Dulu dan Kini
Kebudayaan bersifat dinamis. Perubahan
kebudayaan dapat terjadi karena faktor dari
dalam masyarakat itu sendiri sebagai pemilik
kebudayaan (internal). Hal ini dapat
disebabkan oleh adanya perubahan
demografis dan terjadinya konflik dalam
masyarakat. Sementara itu, faktor dari luar
(eksternal) bisa terjadi karena masuknya
suatu kebudayaan yang baru, baik yang
terjadi secara damai maupun kekerasan.
Bagai dua sisi mata uang, perubahan
kebudayaan membawa dampak yang berbeda
bagi masyarakatnya. Perubahan kebudayaan
dapat membawa kemajuan, tetapi sebaliknya
juga dapat membawa kemunduran. Hal ini
bergantung pada bagaimana masyarakat
menyikapinya.
Setiap masyarakat pasti mengalami
perubahan, ada yang terjadi secara cepat
adapula yang lambat. Agama termasuk unsur
kebudayaan yang cenderung bertahan. Hal ini
karena keagamaan sudah melekat sejak dini
dan diwariskan secara turun-temurun.
Demikian juga dengan suku Batak Toba,
perubahan dalam keagaamaan merupakan
perubahan yang terjadi secara lambat. Dalam
kepercayaan agama suku Batak Toba, Bisuk
Siahaan mengatakan bahwa roh orang yang
sudah meninggal masih ada bersama dengan
orang-orang yang masih hidup dan bahkan
dipercaya dapat memberi petunjuk dan
kekuatan kepada keturunannya yang masih
hidup (Siahaan: 2005). Namun, masuknya
agama Kristen pada abad ke-19 membawa
perubahan yang sangat besar bagi kehidupan
masyarakat Batak Toba, khususnya dalam
bidang keagamaan dan tentunya
memengaruhi pola pikir dan cara hidup
masyarakatnya. Kebiasaan-kebiasaan para
pendahulu yang dianggap tidak sesuai
dengan agama perlahan mulai ditinggalkan.
Gambar 5
Penari Pengiring Tor-tor Sigale-gale di
Simanindo, Kabupaten Samosir Tahun 1971
Sumber: Collectie Wereldculturen
Dibutuhkan waktu yang lama untuk bisa
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang
sudah diwariskan oleh para pendahulu.
Meskipun sudah menganut agama Kristen,
suku Batak Toba masih tetap menjalankan
kebiasaan agama suku (Nainggolan: 2012).
Tradisi agama suku masih dilakukan, tetapi
seiring menyebarnya zending, hal tersebut
telah mengalami pergeseran nilai. Upacara-
upacara ritual yang dahulu dilaksanakan kini
dianggap sebagai tradisi saja. Demikian juga
dengan patung sigale-gale yang telah
mengalami perubahan fungsi, tetapi tetap
mengandung pesan moral. Perubahan patung
Penyampaian Makna Koleksi Patung Sigale-Gale: Dulu dan Kekinian __________________________________________________________________________________
Tiomsi Sitorus
Jurnal Prajnaparamita 47
sigale-gale dulu dan kini terlihat dalam hal
berikut.
1. Pada awalnya patung sigale-gale memiliki
fungsi untuk menghibur Raja Rahat yang
sedang berduka atas kematian putra
tunggalnya yang bernama Manggale.
Setelah itu, patung sigale-gale digunakan
dalam ritual kematian seseorang yang
tidak memiliki keturunan. Saat ini patung
sigale-gale tidak lagi digunakan pada
upacara kematian, tetapi memiliki fungsi
sebagai benda komersial pada pertunjukan
di daerah objek wisata budaya dan sejarah
di Kabupaten Samosir.
2. Awalnya patung sigale-gale ditampilkan
di hadapan Raja Rahat dan rakyatnya
sembari manortor dengan diiringi
gondang sabangunan oleh pemain musik
Batak. Saat ini pertunjukan tarian patung
sigale-gale sangat bervariasi. Ada yang
diiringi oleh pemain musik Batak dan ada
juga yang diiringi dengan menggunakan
rekaman audio musik Batak. Sebagian
masih diiringi oleh penari Batak, tetapi di
beberapa pertunjukan tidak lagi diiringi
oleh penari.
3. Tortor yang mengiringi tarian sigale-gale
awalnya menunjukkan ekspresi kesedihan
yang terlihat dari gerakan penari yang
lemah gemulai. Namun, saat ini ekspresi
yang ditunjukkan adalah kegembiraan
sebagai bentuk dari kebersamaan.
4. Pada awalnya proses pembuatan patung
sigale-gale dilakukan dengan
mengorbankan nyawa si pembuat patung.
Hal ini diyakini karena pemahat
meninggal tidak lama setelah patung
sigale-gale selesai dibuat. Saat ini proses
pembuatan patung sigale-gale dilakukan
sama seperti pembuatan patung pada
umumnya, tetapi tanpa mengorbankan
nyawa si pemahat.
5. Patung sigale-gale yang pertama kali
dibuat diyakini dapat manortor (menari)
sendiri setelah dilakukan upacara
pemanggilan roh Manggale. Saat ini
upacara pemanggilan roh untuk
menggerakkan patung juga tidak lagi
dilakukan. Patung dapat bergerak karena
ditarik oleh dalang dengan menggunakan
tali yang sudah dihubungkan ke bagian-
bagian patung yang akan digerakkan.
6. Pada awalnya ada dua versi mengenai
bentuk patung sigale-gale. Bentuk patung
versi pertama adalah seorang laki-laki
dengan posisi berdiri, sedangkan bentuk
patung versi kedua adalah seorang laki-
laki dengan posisi berdiri bersama seorang
perempuan dengan posisi duduk. Saat ini
bentuk patung sigale-gale sudah
dimodifikasi sesuai dengan kebutuhannya,
seperti bentuk robot, miniatur, atau
jangkung.
7. Patung sigale-gale menggambarkan
kehidupan suku Batak pada zaman dahulu,
yaitu laki-laki tidak menggunakan pakaian
untuk menutupi bagian dada. Dalam
kehidupan sehari-hari, laki-laki hanya
menggunakan ulos yang dililitkan dari
pinggang sampai menutupi mata kaki.
Saat ini patung sigale-gale dikenakan
pakaian agar sesuai dengan kehidupan
suku Batak saat ini dan juga mengikuti
norma kesusilaan. Pada umumnya pakaian
yang dikenakan berwarna hitam atau
berwarna gelap. Hal ini sesuai dengan
kisah sedih yang melatarbelakangi
pembuatan patung sigale-gale. Dalam
ritual kematian suku Batak, pada
umumnya pelayat menggunakan pakaian
warna hitam sebagai simbol kedukaan
yang mendalam.
Sekitar tahun 1980 sampai awal 1990-
an, tarian patung sigale-gale sudah sedikit
digunakan pada ritual kematian karena
Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021
e-ISSN: 2807-1298
p-ISSN: 2355-5750
DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.48
48 Jurnal Prajnaparamita
dianggap bertentangan dengan agama.
Sekitar tahun 1998, seorang seniman Kota
Medan bernama Ben Pasaribu memiliki
ide untuk membuat patung sigale-gale
versi baru. Tindakan Ben Pasaribu
akhirnya diikuti oleh beberapa seniman
lainnya. Patung sigale-gale versi baru ini
memiliki memiliki fungsi yang berbeda
dengan fungsi awalnya. Saat ini sigale-
gale merupakan komoditi pariwisata
sebagai hiburan untuk wisatawan
(Zulkifli: 2012).
Gambar 6
Robot patung sigale-gale
Sumber:
https://i.pinimg.com/originals/86/30/f6/8630f6d
414e8dd2a91fd9f08116921dd.jpg
Pesan Moral dalam Patung Sigale-gale
Suku Batak Toba memiliki filosofis dalam
tujuan hidupnya, yaitu hamoraon (kekayaan),
hasangapon (kehormatan), dan hagabeon
(keturunan anak laki-laki dan perempuan).
Tiga hal ini menjadi dasar yang kuat dan
motivasi untuk mencapai kesuksesan di mana
pun orang Batak berada. Hamoraon
mendorong orang Batak menjadi pekerja
keras untuk mengumpulkan harta benda.
Hasangapon mendorong orang Batak untuk
meraih jabatan dan pangkat serta berperilaku
sesuai dengan agama dan norma-norma
sosial. Hagabeon mendorong orang Batak
memiliki banyak anak, khususnya anak laki-
laki sebagai penerus garis keturunan.
Dalam sistem kekerabatan suku Batak
dikenal istilah marga (identitas yang
diperoleh berdasarkan pertalian darah dan
bersifat turun-temurun). Suku Batak
menganut sistem patrilineal, yaitu menarik
garis keturunan dari pihak ayah. Dengan
demikian, keberadaan anak laki-laki dalam
keluarga menjadi sangat penting karena
berperan sebagai penerus marga.
Terkait dengan nilai filosofis suku Batak
Toba, lahirnya kisah patung sigale-gale
menggambarkan kegagalan dalam mencapai
hagabeon. Kedudukan anak laki-laki bagi
suku Batak mendapat tempat yang tinggi,
yaitu selain sebagai penerus marga, anak
laki-laki juga sangat berperan dalam setiap
upacara adat termasuk upacara adat
kematian. Dalam upacara adat kematian,
anak laki-laki akan menjadi pemimpin ketika
manortor (menari tarian tradisional batak)
untuk mengantar roh orang meninggal
tersebut ke alamnya. Konon bagi orang suku
Batak Toba yang meninggal tanpa memiliki
keturunan, patung sigale-gale akan manortor
di samping jenazah tersebut. Begitu pun
dalam ritual papurpur sapata (membuang
kutuk), patung sigale-gale akan manortor
bersama keluarga orang yang meninggal
tersebut. Meskipun saat ini patung sigale-
gale tidak lagi digunakan dalam upacara
kematian, kisah patung sigale-gale memiliki
pesan moral untuk disampaikan kepada
generasi sekarang dan yang akan datang.
Pesan-pesan tersebut adalah sebagai berikut.
Penyampaian Makna Koleksi Patung Sigale-Gale: Dulu dan Kekinian __________________________________________________________________________________
Tiomsi Sitorus
Jurnal Prajnaparamita 49
1. Pengikat solidaritas masyarakat
Ketika raja merasakan kesedihan dan
kerinduan yang sangat mendalam karena
putranya yang sudah meninggal, rakyat
seolah turut merasakannya. Hal ini terlihat
pada upacara pemanggilan roh Manggale,
yaitu ketika rakyat dan raja manortor
bersama. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia solidaritas adalah sifat (perasaan)
solider; sifat satu rasa (senasib dan
sebagainya); perasaan setia kawan.
Solidaritas masyarakat berkembang dari
perasaan simpati kemudian diwujudkan
melalui empati.
Bagi suku Batak, solidaritas atau rasa
kesetiakawanan merupakan sikap yang selalu
ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari,
baik bagi orang Batak yang tinggal di bona
pasogit (kampung halaman) maupun yang
tinggal di perantauan. Adanya identitas yang
disebut marga menjadi acuan dalam
menentukan kekerabatan sekaligus menjadi
pengikat solidaritas.
2. Bangkit dari keterpurukan
Kematian Manggale dalam pertempuran
mengakibatkan raja bersedih, bahkan sampai
sakit. Namun, keadaan ini tidak berlangsung
lama karena kehadiran patung sigale-gale
dapat menghibur raja dan kesehatannya
berangsur-angsur pulih.
Permasalahan tidak menekan harapan
untuk bangkit dan melanjutkan perjalanan
hidup. Kesulitan tidak dipandang sebagai
penghalang untuk meraih kesuksesan.
3. Mengetahui identitas diri
Patung sigale-gale tampil menggunakan
pakaian tradisional, yaitu ulos dan tali-tali.
Menggunakan ulos dan tali-tali
menunjukkan jati dirinya sebagai suku Batak.
Penggunaan pakaian tradisional tidak hanya
menunjukkan jati diri, tetapi juga
menunjukkan rasa cinta dan bangga terhadap
identitas diri.
Namun, saat ini tidak perlu memakai
ulos dalam kehidupan sehari-hari. Rasa cinta
dan bangga terhadap identitas diri dapat
diwujudkan melalui pencapaian prestasi, baik
skala nasional maupun internasional. Di
tengah maraknya pengaruh budaya asing
diharapkan generasi muda tidak kehilangan
identitas dan tetap melestarikan budaya
bangsanya.
4. Berjiwa patriotisme
Manggale sebagai putra raja menyadari
tugas dan tanggung jawabnya. Ia memimpin
pertempuran untuk menghadapi musuh demi
melindungi wilayah dan penduduknya,
bahkan sampai ia meninggal dunia.
Manggale juga digambarkan memiliki sifat
yang jujur sehingga dihormati rakyatnya.
Sikap patriotisme memiliki arti bersedia
mengorbankan segalanya termasuk jiwa dan
raga demi bangsa dan negara. Sikap
patriotisme tidak hanya dibutuhkan ketika
negara belum merdeka. Saat ini banyak cara
yang dapat dilakukan sebagai wujud sikap
patriotisme, antara lain, dengan
menggunakan produk dalam negeri, menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa, serta
tindakan-tindakan lainnya yang bertujuan
memajukan bangsa dan negara Indonesia.
Pesan moral yang disampaikan lewat
tarian patung sigale-gale menjadi salah satu
kekuatan untuk membentuk karakter yang
baik serta memelihara budaya dan identitas
diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan
dunia. Globalisasi dan westernisasi telah
membawa banyak perubahan dalam
kehidupan masyarakat, tidak hanya dalam
bidang teknologi, tetapi juga cara
bersosialisasi. Diperlukan kecerdasan
intelektual serta kecerdasan emosional agar
Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021
e-ISSN: 2807-1298
p-ISSN: 2355-5750
DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.48
50 Jurnal Prajnaparamita
dapat hidup berdampingan, khususnya di
Indonesia sebagai negara multikultural.
SIMPULAN
Patung sigale-gale bukanlah termasuk unsur
dalam adat istiadat Batak, melainkan hanya
sebagai warisan budaya material. Terjadinya
perubahan kebudayaan dapat mengakibatkan
pergeseran fungsi dan nilai. Hal ini terlihat
jelas dalam kisah patung sigale-gale. Saat ini
patung sigale-gale dalam ritual kematian
tidak lagi digunakan karena dianggap
bertentangan dengan agama. Ritual
memanggil roh dan membuang kutuk juga
sudah tidak dilakukan lagi. Proses perubahan
ini tidak begitu saja diterima oleh
masyarakatnya. Hal ini butuh waktu yang
lama untuk bisa meninggalkan kebiasaan-
kebiasaan yang sudah dilakukan pada masa
sebelum masuknya agama.
Saat ini patung sigale-gale merupakan
bagian dari seni pertunjukan. Berbagai
bentuk modifikasi patung sigale-gale banyak
ditemukan di wilayah Kabupaten Samosir.
Modifikasi patung sigale-gale, antara lain,
berupa robot, jangkung, atau miniatur.
Meskipun demikian, bagi suku Batak, bentuk
baru patung sigale-gale tetap disebut sebagai
patung.
Sebagai warisan budaya material, patung
sigale-gale memiliki pesan moral yang masih
sangat relevan untuk dilakukan sampai saat
ini, khususnya bagi generasi muda. Pesan
moral ini senantiasa mengingatkan kita untuk
mencintai budaya bangsa kita. Adanya
kesadaran akan identitas diri menimbulkan
rasa cinta terhadap budaya dan keinginan
untuk melestarikannya sebagai warisan
berharga bagi generasi yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Marbun, M. A., Marbun, Lambers., L.
Toruan, Nelson. 2017. Kamus Budaya
Batak Toba. Medan: MITRA IKAPI
Mardialis. 1999. Metode Penelitian Suatu
Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi
Aksara
Nainggolan, Dr. Togar. 2012. Sejarah dan
Transformasi Religi: Batak Toba.
Medan: Bina Media Perintis
Nazir, Moh. 2005. Metodologi Penelitian.
Jakarta: Bumi Aksara
Siahaan, Bisuk. 2005. Batak Toba:
Kehidupan di Balik Tembok Bambu.
Jakarta: Kempala Foundation
Sihombing, Gr. Surung., Tambun, R. 2020.
Turi-turian ni Halak Batak. Medan: CV.
Mitra Medan Anggota Ikatan Penerbit
Indonesia (IKAPI)
Simanjuntak, Bungaran A. 2011. Pemikiran
Tentang Batak: Setelah 150 Tahun
Agama Kristen di Sumatera Utara.
Jakarta: Yayasan Pusaka Obor Indonesia
Soekanto, Soerdjono. 1990. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Soemardjan, Selo. 2009. Perubahan Sosial di
Yogyakarta. Depok: Komunitas Bambu
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta
Syamsul, Arif. 2018. Tradisi Lisan (Cerita
Rakyat Pulau Samosir). Medan: Obelia
Penyampaian Makna Koleksi Patung Sigale-Gale: Dulu dan Kekinian __________________________________________________________________________________
Tiomsi Sitorus
Jurnal Prajnaparamita 51
Internet
Sibeth, Achim. The Batak Peoples of the
Island of Sumatera. 1991. London,
Thames and Hudson.
https://collectie.wereldculturen.nl/#/que
ry/f229841e-6dbe-41eb-a826-
c296549e9db5
Situmorang, T. Sandi dan Arya Perkasa.
2016. Misteri Patung Sigale-gale.
http://repositori.kemdikbud.go.id/10172
/1SIGALE-GALE_W.pdf
Zulkifli, Z. 2012. Komodifikasi Sigale-gale
dalam Persepsi dan Respon Masyarakat
Batak (Kajian Perspektif
Strukturalisme).
https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.p
hp/bahas/article/view/17124/0
https://i.pinimg.com/originals/86/30/f6/8630f6d
414e8dd2a91fd9f08116921dd.jpg