13
Copyright ©2021 Museum Nasional All Rights Reserved E- ISSN: 2807-1298 P- ISSN: 2355-5750 Volume 10 Nomor 2, Desember 2021 Page: 39-51 DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.48 Jurnal Prajnaparamita 39 PENYAMPAIAN MAKNA KOLEKSI PATUNG SIGALE-GALE: DULU DAN KEKINIAN The Meaning of Sigale-gale Statue Collection: Now and Formerly Tiomsi Sitorus Museum Nasional Jalan Medan Merdeka Barat No.12, Jakarta Pusat, Indonesia Pos-el: [email protected] Received: Oct 14, 2021 Accepted: Nov 19, 2021 Published: Dec 1,2021 Abstrak Patung sigale-gale merupakan kearifan lokal suku Batak yang berasal dari Kabupaten Samosir dan kemudian kisahnya tersebar ke daerah-daerah di sekitarnya. Secara sekilas patung sigale-gale tidak ada bedanya dengan patung leluhur suku Batak lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas kisah yang melatarbelakangi pembuatan patung sigale-gale, perbandingan fungsi dan bentuk dari awal sampai sekarang, serta pesan moral yang disampaikan. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka menggunakan metode komparatif. Ilmu pengetahuan serta teknologi bersifat dinamis sehingga membawa perubahan bagi setiap masyarakat pendukungnya. Demikian juga dengan suku Batak, masuknya agama serta adanya modernisasi telah memengaruhi tradisi dan budayanya. Saat ini patung sigale-gale mengalami perubahan bentuk akibat dari kemajuan teknologi, sedangkan perubahan fungsi disebabkan oleh masuk dan berkembangnya agama, khususnya di wilayah Kabupaten Samosir. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun terdapat perubahan dalam bentuk dan fungsi patung sigale-gale, tetapi pesan moral yang disampaikan tetap relevan sampai saat ini, bahkan untuk diwariskan kepada generasi yang akan datang. Kata kunci: Manggale, Sigale-gale, Pesan moral Abstract Sigale-gale statue is a local creature of the Bataknese which derived from Samosir district and its story was widely spreaded to its surrounding. At a glance, sigale-gale statue is the same as the other Bataknese statues. This writing was aimed to review the background of the making sigale-gale statue, the comparison of function, the form the beginning up to now and the moral message. The data collection was done with literature review using comparative method. Technology and knowledge are dynamic, so it brought the change to the supporting community. Similarly, to the Bataknese tribe,

PENYAMPAIAN MAKNA KOLEKSI PATUNG SIGALE-GALE

Embed Size (px)

Citation preview

Copyright ©2021 Museum Nasional

All Rights Reserved

E- ISSN: 2807-1298

P- ISSN: 2355-5750

Volume 10 Nomor 2, Desember 2021 Page: 39-51

DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.48

Jurnal Prajnaparamita 39

PENYAMPAIAN MAKNA KOLEKSI PATUNG SIGALE-GALE:

DULU DAN KEKINIAN The Meaning of Sigale-gale Statue Collection: Now and Formerly

Tiomsi Sitorus

Museum Nasional

Jalan Medan Merdeka Barat No.12, Jakarta Pusat, Indonesia

Pos-el: [email protected]

Received: Oct 14, 2021 Accepted: Nov 19, 2021 Published: Dec 1,2021

Abstrak

Patung sigale-gale merupakan kearifan lokal suku Batak yang berasal dari Kabupaten Samosir dan

kemudian kisahnya tersebar ke daerah-daerah di sekitarnya. Secara sekilas patung sigale-gale tidak

ada bedanya dengan patung leluhur suku Batak lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas kisah

yang melatarbelakangi pembuatan patung sigale-gale, perbandingan fungsi dan bentuk dari awal

sampai sekarang, serta pesan moral yang disampaikan. Pengumpulan data dilakukan dengan studi

pustaka menggunakan metode komparatif. Ilmu pengetahuan serta teknologi bersifat dinamis

sehingga membawa perubahan bagi setiap masyarakat pendukungnya. Demikian juga dengan suku

Batak, masuknya agama serta adanya modernisasi telah memengaruhi tradisi dan budayanya. Saat ini

patung sigale-gale mengalami perubahan bentuk akibat dari kemajuan teknologi, sedangkan

perubahan fungsi disebabkan oleh masuk dan berkembangnya agama, khususnya di wilayah

Kabupaten Samosir. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun terdapat perubahan

dalam bentuk dan fungsi patung sigale-gale, tetapi pesan moral yang disampaikan tetap relevan

sampai saat ini, bahkan untuk diwariskan kepada generasi yang akan datang.

Kata kunci: Manggale, Sigale-gale, Pesan moral

Abstract

Sigale-gale statue is a local creature of the Bataknese which derived from Samosir district and its

story was widely spreaded to its surrounding. At a glance, sigale-gale statue is the same as the other

Bataknese statues. This writing was aimed to review the background of the making sigale-gale statue,

the comparison of function, the form the beginning up to now and the moral message. The data

collection was done with literature review using comparative method. Technology and knowledge

are dynamic, so it brought the change to the supporting community. Similarly, to the Bataknese tribe,

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021

e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.48

40 Jurnal Prajnaparamita

the existence of religion and modernization have affected the culture and tradition. Nowdays, sigale-

gale statue's form has been changed. It was caused by the technology advancement, while the function

changing was caused by the development and existence of religion especially in Samosir district.

Thus, it can be concluded that although there was change in the form and function of Sigale-gale

statue but the moral message is relevant up to now even to be passed down to the next generation.

Keyword: Manggale, Sigale-gale, Moral value

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara multikultural

dan kaya akan budaya yang unik dan

menarik. Semua etnis memiliki budaya

masing-masing, baik material maupun

nonmaterial, mulai dari adat-istiadat, pakaian

tradisional, makanan tradisional, sampai

dengan cerita rakyat dan lain sebagainya.

Setiap suku bangsa memiliki cara yang

berbeda dalam menginterpretasikan

budayanya. Suku Batak terdiri atas beberapa

subsuku, yaitu Toba, Simalungun, Angkola

Mandailing, Karo, Pak-pak/Dairi

(Simanjuntak: 2011). Suku Batak Toba

memiliki kebudayaan material yang

mengandung pesan moral yang dapat

diwariskan dari generasi ke generasi

berikutnya. Salah satunya adalah patung

sigale-gale yang berasal dari Kabupaten

Samosir. Saat ini patung sigale-gale menjadi

salah satu pertunjukan yang menarik

perhatian wisatawan, baik wisatawan lokal

maupun mancanegara. Hal ini terbukti dari

banyaknya jumlah wisatawan yang ingin

menari bersama dengan patung sigale-gale

ataupun hanya sekadar berpose. Tarian

patung sigale-gale semakin dikenal

masyarakat luas karena menjadi ikon dalam

acara Festival Danau Toba tahun 2013.

Patung sigale-gale memiliki ciri khas

yang unik, yaitu sorot mata yang tajam

berbanding terbalik dengan tariannya yang

lemah gemulai. Hal ini seolah sesuai dengan

stereotipe yang melekat pada suku Batak,

yakni memiliki raut wajah yang keras serta

tatapan mata yang tajam namun

sesungguhnya memiliki hati yang lembut dan

apa adanya. Penggambaran melalui koleksi

patung sigale-gale memberikan pemahaman

bahwa menilai seseorang tidak bisa hanya

dengan melihat dari penampilan luarnya saja

tetapi perlu memperhatikan hati dan

perilakunya.

Sebelum adanya penemuan kamera,

seseorang mengabadikan gambar diri melalui

lukisan dan patung. Pembuatan lukisan serta

patung biasanya disesuaikan dengan keadaan

seseorang tersebut. Demikian juga dengan

pembuatan patung sigale-gale memiliki

cerita tersendiri. Di balik tarian patung

sigale-gale yang lemah gemulai tersirat

kesedihan yang sangat dalam. Kisah patung

sigale-gale tetap melekat dalam ingatan

masyarakat, tetapi pesan moralnya tidak

banyak diketahui. Berdasarkan hal inilah

penulis memilih patung sigale-gale sebagai

objek penulisan karena patung sigale-gale

tidak hanya merupakan pertunjukan, tetapi

memiliki pesan moral yang tinggi dan tetap

relevan sepanjang masa. Tulisan ini bertujuan

untuk membahas perbedaan fungsi patung

sigale-gale dulu dan kini serta mengangkat

pesan moral yang terdapat dalam patung

sigale-gale.

Saat ini Museum Nasional memiliki dua

koleksi patung sigale-gale yaitu nomor

Penyampaian Makna Koleksi Patung Sigale-Gale: Dulu dan Kekinian __________________________________________________________________________________

Tiomsi Sitorus

Jurnal Prajnaparamita 41

inventaris 23253 a-d/nomor registrasi 43880-

43883 dan nomor registrasi 15908.

Berdasarkan data dalam Koninklijk

Bataviaasch Genootschap van Kunsten en

Wetenschappen Inventaris Van de

Ethnografische Verzameling, patung sigale-

gale dengan nomor inventaris 23253 a-d

berasal dari Lumban Gambiri, Negeri

Garoga, Samosir; dibuat oleh Raja Gayus

Rumahorbo dibeli melalui perantara J.

Karelse dan Dr. P. Voorhoeve tahun 1938.

Patung sigale-gale dengan posisi berdiri

memiliki tinggi 128 cm, sedangkan patung

yang kecil dengan posisi duduk memiliki

tinggi 50 cm. Saat ini patung sigale-gale

dengan nomor inventaris 23253 a-d

merupakan koleksi yang dipamerkan dalam

pameran tetap Gedung A Museum Nasional.

Patung sigale-gale dengan nomor registrasi

15908 memiliki tinggi 150 cm, tetapi tidak

ada informasi mengenai asal perolehan

koleksi tersebut.

Landasan Teori

Teori perubahan sosial budaya

menggambarkan bahwa perubahan sosial

budaya terjadi karena adanya ketidaksesuaian

unsur-unsur budaya. Menurut Selo

Soemardjan (2009: 447), perubahan

kebudayaan adalah perubahan-perubahan

pada lembaga-lembaga masyarakat yang

memengaruhi sistem sosialnya, termasuk

nilai-nilai sosial, sikap, dan pola tingkah laku

antarkelompok dalam masyarakat.

Kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari

manusia. Dalam kehidupan sehari-hari

manusia selalu bersentuhan dengan

kebudayaan. Akibatnya, ketika terjadi

perubahan kebudayaan, setiap sendi

kehidupan manusia sebagai agen dari

perubahan kebudayaan itu sendiri juga akan

dipengaruhi oleh perubahan tersebut.

Menurut Soerjono Soekanto (1990: 333),

perubahan sosial meliputi nilai-nilai sosial,

norma-norma sosial, pola-pola perilaku

organisasi, susunan lembaga

kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam

masyarakat, kekuasaan dan wewenang,

interaksi sosial, dan lain sebagainya.

Kebudayaan bersifat dinamis dan selalu

mengalami perubahan, baik yang terjadi

secara lambat (evolusi) maupun terjadi secara

cepat (revolusi). Perubahan kebudayaan yang

terjadi dapat berupa penambahan (addition)

atau pengurangan (subtraction) sesuai

dengan kondisi yang sedang berlangsung saat

itu dan dinamika yang terjadi di masyarakat.

METODE PENELITIAN

Tulisan ini menggunakan metode komparatif.

Nazir (2005) menjelaskan bahwa penelitian

komparatif adalah sejenis penelitian

deskriptif yang ingin mencari jawaban secara

mendasar tentang sebab akibat dengan

menganalisis faktor-faktor penyebab

terjadinya ataupun munculnya suatu

fenomena tertentu. Tulisan ini membahas

perbedaan fungsi patung sigale-gale dari

awal pembuatan sampai sekarang serta pesan

moral yang tetap relevan sampai saat ini,

bahkan untuk waktu yang akan datang.

Pengumpulan data dilakukan dengan

membaca literatur yang terdapat di

perpustakaan maupun yang diperoleh melalui

internet. Setelah itu, penulis menganalis data

untuk mengetahui kebenarannya. Studi

kepustakaan merupakan suatu studi yang

digunakan dalam mengumpulkan informasi

dan data dengan bantuan berbagai macam

material yang ada di perpustakaan, seperti

dokumen, buku, majalah kisah-kisah sejarah,

dan sebagainya (Mardialis: 1999). Menurut

ahli lain, studi kepustakaan merupakan kajian

teoretis, referensi, serta literatur ilmiah

lainnya yang berkaitan dengan budaya, nilai,

dan norma yang berkembang pada situasi

sosial yang diteliti (Sugiyono: 2012).

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021

e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.48

42 Jurnal Prajnaparamita

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kisah Patung Sigale-gale

Terbentuknya suatu kebudayaan baik

kebudayaan material maupun kebudayaan

non material memiliki latar belakang yang

bersumber dari lingkungan pemilik

kebudayaan tersebut. Demikian juga dengan

kisah patung sigale-gale. Patung sigale-gale

tidak muncul begitu saja, tetapi ada kisah

yang melatarbelakanginya. Ada beberapa

pendapat yang berbeda dari masyarakat suku

Batak mengenai asal-usul patung sigale-gale.

Ada yang mengatakan bahwa kisah patung

sigale-gale hanya cerita yang berkembang

secara oral history dan tidak pernah terjadi

dalam kehidupan nyata. Namun, ada satu

daerah di Samosir yang mengklaim sigale-

gale pertama kali dibuat oleh Raja Gayus

Rumahorbo dari Desa Garoga. Keturunan

Raja Gayus ini mengatakan bahwa sigale-

gale pertama kali dibuat pada tahun 1930.1

Hal ini sesuai dengan data yang dimiliki

Museum Nasional yang menyatakan bahwa

patung sigale-gale dibuat oleh Raja Gayus

dari Garoga. Garoga adalah salah satu desa

yang berada di Kecamatan Simanindo,

Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera

Utara.

1http://repositori.kemdikbud.go.id/10172/1SI

GALE-GALE_W.pdf

Gambar 1

Patung Sigale-gale Koleksi Museum Nasional

No. Inv. 23253 a-d

Sumber: Dokumentasi Museum Nasional

Sebelum kemerdekaan Indonesia,

birokrasi pemerintahan berbentuk kerajaan

yang dipimpin seorang raja. Raja Rahat,

seorang pemimpin di daerah Samosir,

memiliki seorang anak laki-laki bernama

Manggale, sedangkan sang permaisuri sudah

lama meninggal. Daerah yang dikuasai raja

Rahat mendapat serangan dari daerah

seberang sehingga raja Rahat memerintahkan

Manggale untuk memimpin pertempuran.

Manggale selaku panglima perang sangat

dihormati karena memiliki sifat jujur, tetapi

saat pertempuran Manggale tewas di dalam

hutan. Raja sangat sedih setelah mengetahui

kematian sang anak. Kesedihan raja

mengakibatkan ia jatuh sakit karena

Penyampaian Makna Koleksi Patung Sigale-Gale: Dulu dan Kekinian __________________________________________________________________________________

Tiomsi Sitorus

Jurnal Prajnaparamita 43

kehilangan anak satu-satunya sebagai

penerus keturunan. Penasihat raja telah

memanggil banyak datu (dukun) untuk

menyembuhkan raja, tetapi tidak ada yang

berhasil. Atas saran seorang datu dibuatlah

patung yang wajahnya sangat mirip dengan

Manggale.

Setelah patung selesai dibuat

dilaksanakan upacara ritual di halaman

rumah raja. Upacara ritual untuk memanggil

roh Manggale dilakukan dengan diiringi

gondang sabangunan (seperangkat alat

musik tradisional Batak). Melihat patung

yang mirip Manggale dapat manortor

(menari tarian tradisional Batak), raja sangat

senang dan kesehatannya berangsur-angsur

pulih. Setelah itu, setiap kali raja merindukan

anaknya, raja bersama rakyat dan patung

akan manortor. Keberadaan patung tersebut

dapat menghibur hati dan mengobati

kerinduan raja terhadap putranya sehingga

raja memberi nama patung tersebut sigale-

gale. Dalam bahasa Batak Toba sigale-gale

memiliki arti ‘orang yang lemah gemulai dan

tidak bertenaga’. Gerakan tarian sigale-gale

memiliki irama yang lambat sehingga sesuai

dengan namanya. Kemiripan patung sigale-

gale dengan putra Raja Rahat, yakni

Manggale membuat raja sangat terkesan

sehingga berpesan kelak ketika ia meninggal

agar dibuat patung serupa sebagai pengganti

anak laki-laki dalam ritual kematiannya.

Proses Pembuatan Patung sigale-gale

Patung sigale-gale dibuat dari pohon nangka

yang memiliki tekstur yang keras. Proses

pembuatan patung sigale-gale dilakukan di

hutan tempat Manggale meninggal. Hal ini

dilakukan untuk memudahkan pemanggilan

roh Manggale karena pemahat percaya

bahwa roh Manggale masih berada di sekitar

hutan tersebut. Pembuatan patung sigale-gale

bersifat mistis sehingga orang yang membuat

patung sigale-gale pasti akan menjadi tumbal

(Syamsul: 2018). Patung sigale-gale yang

pertama kali dibuat diyakini dapat bergerak

sendiri karena pemahat telah menyerahkan

nyawanya ke dalam patung tersebut. Hal ini

seakan terbukti karena tidak lama setelah

pemahat selesai membuat patung sigale-gale,

ia pun meninggal dunia.

Patung sigale-gale memiliki ukuran

hampir sama dengan tinggi manusia pada

umumnya, raut wajahnya menggambarkan

kesedihan dengan mata besar agak melotot

dan tatapan mata seolah-olah memiliki kesan

magis. Patung sigale-gale dibuat dengan

posisi berdiri menggambarkan seorang laki-

laki yang masih muda, menggunakan tali-tali

(ikat kepala) dan ulos (kain tenun sebagai

pelengkap pakaian adat dan upacara adat

suku Batak) yang disampirkan di bahu.

Pembuatan patung sigale-gale disesuaikan

dengan keadaan pada saat pembuatannya,

yaitu tidak menggunakan baju. Pada zaman

dahulu laki-laki suku Batak tidak

menggunakan baju, hanya memakai ulos

yang terlilit dari pinggang sampai mata kaki.

Gambar 2

Patung Sigale-gale Koleksi Museum Nasional

No. Reg. TN 2327

Sumber: Dokumentasi Museum Nasional

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021

e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.48

44 Jurnal Prajnaparamita

Ritual Memanggil Roh

Sebelum masuknya agama samawi ke

Sumatra Utara, khususnya wilayah Tapanuli,

masyarakat masih memiliki kepercayaan

yang sangat kental dengan animisme, yaitu

kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang

yang sudah meninggal. Suku Batak Toba

percaya bahwa manusia terdiri atas daging

(jasmani) dan tondi (roh). Kedua hal ini

melekat dan dipahami sebagai satu kesatuan.

Roh dimiliki oleh orang yang masih hidup

maupun yang sudah meninggal. Roh orang

yang masih hidup disebut tondi, sedangkan

roh orang yang meninggal disebut begu. Bagi

orang yang masih hidup, roh memegang

peranan penting karena roh merupakan

kekuatan hidup dalam diri pribadi seseorang.

Sementara itu, bagi orang yang sudah

meninggal, kematian merupakan proses

terpisahnya tubuh dan roh.

Gambar 3

Pemain musik gondang sabangunan di

Simanindo Kabupaten Samosir tahun 1971

Sumber: Collectie Wereldculturen

Ritual memanggil roh tidak bisa

dilakukan oleh semua orang. Biasanya ritual

ini dipimpin oleh seorang dukun yang

dianggap memiliki kekuatan supranatural.

Dukun akan memanggil roh orang yang

sudah meninggal dan memasukkannya ke

dalam patung. Ritual ini dilakukan dengan

membaca mantra-mantra sembari diiringi

gondang sabangunan yang dimainkan oleh

pemain musik Batak. Salah satu keunikan

pemain gondang sabangunan atau sering

disebut pargonsi terlihat dari tempat mereka

sewaktu memainkan gondang sabangunan.

Mereka berada di songkor rumah milik orang

yang sedang melakukan upacara adat

tersebut. Songkor adalah ruangan berbentuk

panggung yang berada di bagian depan

rumah pada posisi atas. Songkor terletak di

atas pintu masuk rumah adat Batak. Seperti

terlihat dalam gambar 3 pargonsi sedang

memainkan musik tradisional Batak, tiga

orang dengan posisi berdiri dan satu orang

dengan posisi duduk.

Ritual Papurpur Sapata (Membuang

Kutuk)

Kematian merupakan siklus terakhir dalam

kehidupan manusia di bumi. Berbagai ritual

dilakukan untuk mengantar roh orang yang

sudah meninggal dunia menuju alamnya.

Setiap suku bangsa memiliki pemahaman

tersendiri akan kematian. Dalam kamus

budaya Batak Toba (Marbun: 2017) dikenal

beberapa istilah kematian berdasarkan

keadaan orang yang meninggal tersebut,

yaitu sebagai berikut.

1. Mate saur matua, yaitu meninggal dunia

dengan keadaan semua anak-anaknya

sudah menikah. Orang yang meninggal

sudah memiliki cucu, bahkan cicit.

Penyampaian Makna Koleksi Patung Sigale-Gale: Dulu dan Kekinian __________________________________________________________________________________

Tiomsi Sitorus

Jurnal Prajnaparamita 45

2. Mate sari matua, yaitu meninggal dunia

dengan keadaaan masih ada anak yang

belum menikah.

3. Mate mangkar, yaitu orang yang

meninggal dunia ketika anak-anaknya

belum ada yang menikah.

4. Mate punu, yaitu meninggal dunia tanpa

meninggalkan anak laki-laki, hanya

meninggalkan anak perempuan.

5. Mate purpur, yaitu meninggal dunia tanpa

meninggalkan keturunan, baik anak laki-

laki maupun perempuan.

6. Mate ponggol atau mate matipul, yaitu

orang yang meninggal dunia adalah

pemuda atau pemudi yang belum

menikah.

7. Mate punjung, yaitu meninggal dunia di

negeri orang dan tidak ada kerabat yang

melihat.

Dalam hal ini, kematian Manggale

sebagai anak semata wayang mengakibatkan

Raja Rahat tidak lagi memiliki keturunan.

Berdasarkan istilah kematian dalam suku

Batak Toba, kematian Raja Rahat disebut

mate purpur. Pada zaman dahulu terdapat

ritual bagi orang yang mate purpur, yaitu

dengan mengadakan tor-tor sigale-gale yang

berfungsi sebagai pengganti anak laki-laki

dari orang yang meninggal dunia tersebut.

“Asa anggo dimulana angka na mate

purpur (naso adong anakna) do na

mamorluhon patung sigale-gale”

(Sihombing: 2020). Terjemahannya

adalah “Pada awalnya orang yang

meninggal tanpa keturunan yang

memerlukan patung sigale-gale.”

Tor-tor sigale-gale biasanya digunakan

oleh orang yang mempunyai kedudukan

tinggi, seperti raja dan tokoh masyarakat.

Itulah sebabnya dahulu patung sigale-gale

berjumlah sedikit; berbeda dengan saat ini,

patung sigale-gale banyak dijumpai di

wilayah wisata Danau Toba Kabupaten

Samosir.

Kematian dengan tidak memiliki anak

merupakan kematian yang sangat tidak

diinginkan dalam suku Batak. Kematian ini

dipandang tidak baik karena dianggap

sebagai kutukan sehingga untuk mengatasi

masalah tersebut diadakan ritual papur-pur

sapata (membuang kutuk). Ritual ini

bertujuan agar sanak saudara tidak ada lagi

yang mengalami nasib yang sama.

Gambar 4

Ritual Membuang Kutuk di Danau Toba,

Kabupaten Samosir Tahun 1924--1931

Sumber: Collectie Wereldculturen

Kurang lebih tiga bulan setelah orang

yang mate pur-pur dikuburkan, ritual

membuang kutuk diadakan (Sibeth: 1991).

Kaum kerabat berkumpul di halaman rumah

orang yang mate pur-pur dengan menutup

kepala menggunakan ulos. Penutup kepala

diikat sedemikian rupa sehingga hampir

menutupi wajah pemakainya. Bahkan,

beberapa kerabat menutup seluruh wajahnya

sehingga ketika berjalan harus

menyingkapkan bagian ujung ulos yang

menutup wajahnya. Selain di kepala, kaum

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021

e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.48

46 Jurnal Prajnaparamita

kerabat juga memakai ulos dengan cara

disampirkan di bahu hingga menutupi

sebagian punggung. Ritual membuang kutuk

dilakukan dengan cara manortor bersama

patung sigale-gale sambil mangandungi

(ungkapan rasa duka yang disenandungkan

ketika meratapi kematian sanak saudara).

Sigale-gale: Dulu dan Kini

Kebudayaan bersifat dinamis. Perubahan

kebudayaan dapat terjadi karena faktor dari

dalam masyarakat itu sendiri sebagai pemilik

kebudayaan (internal). Hal ini dapat

disebabkan oleh adanya perubahan

demografis dan terjadinya konflik dalam

masyarakat. Sementara itu, faktor dari luar

(eksternal) bisa terjadi karena masuknya

suatu kebudayaan yang baru, baik yang

terjadi secara damai maupun kekerasan.

Bagai dua sisi mata uang, perubahan

kebudayaan membawa dampak yang berbeda

bagi masyarakatnya. Perubahan kebudayaan

dapat membawa kemajuan, tetapi sebaliknya

juga dapat membawa kemunduran. Hal ini

bergantung pada bagaimana masyarakat

menyikapinya.

Setiap masyarakat pasti mengalami

perubahan, ada yang terjadi secara cepat

adapula yang lambat. Agama termasuk unsur

kebudayaan yang cenderung bertahan. Hal ini

karena keagamaan sudah melekat sejak dini

dan diwariskan secara turun-temurun.

Demikian juga dengan suku Batak Toba,

perubahan dalam keagaamaan merupakan

perubahan yang terjadi secara lambat. Dalam

kepercayaan agama suku Batak Toba, Bisuk

Siahaan mengatakan bahwa roh orang yang

sudah meninggal masih ada bersama dengan

orang-orang yang masih hidup dan bahkan

dipercaya dapat memberi petunjuk dan

kekuatan kepada keturunannya yang masih

hidup (Siahaan: 2005). Namun, masuknya

agama Kristen pada abad ke-19 membawa

perubahan yang sangat besar bagi kehidupan

masyarakat Batak Toba, khususnya dalam

bidang keagamaan dan tentunya

memengaruhi pola pikir dan cara hidup

masyarakatnya. Kebiasaan-kebiasaan para

pendahulu yang dianggap tidak sesuai

dengan agama perlahan mulai ditinggalkan.

Gambar 5

Penari Pengiring Tor-tor Sigale-gale di

Simanindo, Kabupaten Samosir Tahun 1971

Sumber: Collectie Wereldculturen

Dibutuhkan waktu yang lama untuk bisa

meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang

sudah diwariskan oleh para pendahulu.

Meskipun sudah menganut agama Kristen,

suku Batak Toba masih tetap menjalankan

kebiasaan agama suku (Nainggolan: 2012).

Tradisi agama suku masih dilakukan, tetapi

seiring menyebarnya zending, hal tersebut

telah mengalami pergeseran nilai. Upacara-

upacara ritual yang dahulu dilaksanakan kini

dianggap sebagai tradisi saja. Demikian juga

dengan patung sigale-gale yang telah

mengalami perubahan fungsi, tetapi tetap

mengandung pesan moral. Perubahan patung

Penyampaian Makna Koleksi Patung Sigale-Gale: Dulu dan Kekinian __________________________________________________________________________________

Tiomsi Sitorus

Jurnal Prajnaparamita 47

sigale-gale dulu dan kini terlihat dalam hal

berikut.

1. Pada awalnya patung sigale-gale memiliki

fungsi untuk menghibur Raja Rahat yang

sedang berduka atas kematian putra

tunggalnya yang bernama Manggale.

Setelah itu, patung sigale-gale digunakan

dalam ritual kematian seseorang yang

tidak memiliki keturunan. Saat ini patung

sigale-gale tidak lagi digunakan pada

upacara kematian, tetapi memiliki fungsi

sebagai benda komersial pada pertunjukan

di daerah objek wisata budaya dan sejarah

di Kabupaten Samosir.

2. Awalnya patung sigale-gale ditampilkan

di hadapan Raja Rahat dan rakyatnya

sembari manortor dengan diiringi

gondang sabangunan oleh pemain musik

Batak. Saat ini pertunjukan tarian patung

sigale-gale sangat bervariasi. Ada yang

diiringi oleh pemain musik Batak dan ada

juga yang diiringi dengan menggunakan

rekaman audio musik Batak. Sebagian

masih diiringi oleh penari Batak, tetapi di

beberapa pertunjukan tidak lagi diiringi

oleh penari.

3. Tortor yang mengiringi tarian sigale-gale

awalnya menunjukkan ekspresi kesedihan

yang terlihat dari gerakan penari yang

lemah gemulai. Namun, saat ini ekspresi

yang ditunjukkan adalah kegembiraan

sebagai bentuk dari kebersamaan.

4. Pada awalnya proses pembuatan patung

sigale-gale dilakukan dengan

mengorbankan nyawa si pembuat patung.

Hal ini diyakini karena pemahat

meninggal tidak lama setelah patung

sigale-gale selesai dibuat. Saat ini proses

pembuatan patung sigale-gale dilakukan

sama seperti pembuatan patung pada

umumnya, tetapi tanpa mengorbankan

nyawa si pemahat.

5. Patung sigale-gale yang pertama kali

dibuat diyakini dapat manortor (menari)

sendiri setelah dilakukan upacara

pemanggilan roh Manggale. Saat ini

upacara pemanggilan roh untuk

menggerakkan patung juga tidak lagi

dilakukan. Patung dapat bergerak karena

ditarik oleh dalang dengan menggunakan

tali yang sudah dihubungkan ke bagian-

bagian patung yang akan digerakkan.

6. Pada awalnya ada dua versi mengenai

bentuk patung sigale-gale. Bentuk patung

versi pertama adalah seorang laki-laki

dengan posisi berdiri, sedangkan bentuk

patung versi kedua adalah seorang laki-

laki dengan posisi berdiri bersama seorang

perempuan dengan posisi duduk. Saat ini

bentuk patung sigale-gale sudah

dimodifikasi sesuai dengan kebutuhannya,

seperti bentuk robot, miniatur, atau

jangkung.

7. Patung sigale-gale menggambarkan

kehidupan suku Batak pada zaman dahulu,

yaitu laki-laki tidak menggunakan pakaian

untuk menutupi bagian dada. Dalam

kehidupan sehari-hari, laki-laki hanya

menggunakan ulos yang dililitkan dari

pinggang sampai menutupi mata kaki.

Saat ini patung sigale-gale dikenakan

pakaian agar sesuai dengan kehidupan

suku Batak saat ini dan juga mengikuti

norma kesusilaan. Pada umumnya pakaian

yang dikenakan berwarna hitam atau

berwarna gelap. Hal ini sesuai dengan

kisah sedih yang melatarbelakangi

pembuatan patung sigale-gale. Dalam

ritual kematian suku Batak, pada

umumnya pelayat menggunakan pakaian

warna hitam sebagai simbol kedukaan

yang mendalam.

Sekitar tahun 1980 sampai awal 1990-

an, tarian patung sigale-gale sudah sedikit

digunakan pada ritual kematian karena

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021

e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.48

48 Jurnal Prajnaparamita

dianggap bertentangan dengan agama.

Sekitar tahun 1998, seorang seniman Kota

Medan bernama Ben Pasaribu memiliki

ide untuk membuat patung sigale-gale

versi baru. Tindakan Ben Pasaribu

akhirnya diikuti oleh beberapa seniman

lainnya. Patung sigale-gale versi baru ini

memiliki memiliki fungsi yang berbeda

dengan fungsi awalnya. Saat ini sigale-

gale merupakan komoditi pariwisata

sebagai hiburan untuk wisatawan

(Zulkifli: 2012).

Gambar 6

Robot patung sigale-gale

Sumber:

https://i.pinimg.com/originals/86/30/f6/8630f6d

414e8dd2a91fd9f08116921dd.jpg

Pesan Moral dalam Patung Sigale-gale

Suku Batak Toba memiliki filosofis dalam

tujuan hidupnya, yaitu hamoraon (kekayaan),

hasangapon (kehormatan), dan hagabeon

(keturunan anak laki-laki dan perempuan).

Tiga hal ini menjadi dasar yang kuat dan

motivasi untuk mencapai kesuksesan di mana

pun orang Batak berada. Hamoraon

mendorong orang Batak menjadi pekerja

keras untuk mengumpulkan harta benda.

Hasangapon mendorong orang Batak untuk

meraih jabatan dan pangkat serta berperilaku

sesuai dengan agama dan norma-norma

sosial. Hagabeon mendorong orang Batak

memiliki banyak anak, khususnya anak laki-

laki sebagai penerus garis keturunan.

Dalam sistem kekerabatan suku Batak

dikenal istilah marga (identitas yang

diperoleh berdasarkan pertalian darah dan

bersifat turun-temurun). Suku Batak

menganut sistem patrilineal, yaitu menarik

garis keturunan dari pihak ayah. Dengan

demikian, keberadaan anak laki-laki dalam

keluarga menjadi sangat penting karena

berperan sebagai penerus marga.

Terkait dengan nilai filosofis suku Batak

Toba, lahirnya kisah patung sigale-gale

menggambarkan kegagalan dalam mencapai

hagabeon. Kedudukan anak laki-laki bagi

suku Batak mendapat tempat yang tinggi,

yaitu selain sebagai penerus marga, anak

laki-laki juga sangat berperan dalam setiap

upacara adat termasuk upacara adat

kematian. Dalam upacara adat kematian,

anak laki-laki akan menjadi pemimpin ketika

manortor (menari tarian tradisional batak)

untuk mengantar roh orang meninggal

tersebut ke alamnya. Konon bagi orang suku

Batak Toba yang meninggal tanpa memiliki

keturunan, patung sigale-gale akan manortor

di samping jenazah tersebut. Begitu pun

dalam ritual papurpur sapata (membuang

kutuk), patung sigale-gale akan manortor

bersama keluarga orang yang meninggal

tersebut. Meskipun saat ini patung sigale-

gale tidak lagi digunakan dalam upacara

kematian, kisah patung sigale-gale memiliki

pesan moral untuk disampaikan kepada

generasi sekarang dan yang akan datang.

Pesan-pesan tersebut adalah sebagai berikut.

Penyampaian Makna Koleksi Patung Sigale-Gale: Dulu dan Kekinian __________________________________________________________________________________

Tiomsi Sitorus

Jurnal Prajnaparamita 49

1. Pengikat solidaritas masyarakat

Ketika raja merasakan kesedihan dan

kerinduan yang sangat mendalam karena

putranya yang sudah meninggal, rakyat

seolah turut merasakannya. Hal ini terlihat

pada upacara pemanggilan roh Manggale,

yaitu ketika rakyat dan raja manortor

bersama. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia solidaritas adalah sifat (perasaan)

solider; sifat satu rasa (senasib dan

sebagainya); perasaan setia kawan.

Solidaritas masyarakat berkembang dari

perasaan simpati kemudian diwujudkan

melalui empati.

Bagi suku Batak, solidaritas atau rasa

kesetiakawanan merupakan sikap yang selalu

ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari,

baik bagi orang Batak yang tinggal di bona

pasogit (kampung halaman) maupun yang

tinggal di perantauan. Adanya identitas yang

disebut marga menjadi acuan dalam

menentukan kekerabatan sekaligus menjadi

pengikat solidaritas.

2. Bangkit dari keterpurukan

Kematian Manggale dalam pertempuran

mengakibatkan raja bersedih, bahkan sampai

sakit. Namun, keadaan ini tidak berlangsung

lama karena kehadiran patung sigale-gale

dapat menghibur raja dan kesehatannya

berangsur-angsur pulih.

Permasalahan tidak menekan harapan

untuk bangkit dan melanjutkan perjalanan

hidup. Kesulitan tidak dipandang sebagai

penghalang untuk meraih kesuksesan.

3. Mengetahui identitas diri

Patung sigale-gale tampil menggunakan

pakaian tradisional, yaitu ulos dan tali-tali.

Menggunakan ulos dan tali-tali

menunjukkan jati dirinya sebagai suku Batak.

Penggunaan pakaian tradisional tidak hanya

menunjukkan jati diri, tetapi juga

menunjukkan rasa cinta dan bangga terhadap

identitas diri.

Namun, saat ini tidak perlu memakai

ulos dalam kehidupan sehari-hari. Rasa cinta

dan bangga terhadap identitas diri dapat

diwujudkan melalui pencapaian prestasi, baik

skala nasional maupun internasional. Di

tengah maraknya pengaruh budaya asing

diharapkan generasi muda tidak kehilangan

identitas dan tetap melestarikan budaya

bangsanya.

4. Berjiwa patriotisme

Manggale sebagai putra raja menyadari

tugas dan tanggung jawabnya. Ia memimpin

pertempuran untuk menghadapi musuh demi

melindungi wilayah dan penduduknya,

bahkan sampai ia meninggal dunia.

Manggale juga digambarkan memiliki sifat

yang jujur sehingga dihormati rakyatnya.

Sikap patriotisme memiliki arti bersedia

mengorbankan segalanya termasuk jiwa dan

raga demi bangsa dan negara. Sikap

patriotisme tidak hanya dibutuhkan ketika

negara belum merdeka. Saat ini banyak cara

yang dapat dilakukan sebagai wujud sikap

patriotisme, antara lain, dengan

menggunakan produk dalam negeri, menjaga

persatuan dan kesatuan bangsa, serta

tindakan-tindakan lainnya yang bertujuan

memajukan bangsa dan negara Indonesia.

Pesan moral yang disampaikan lewat

tarian patung sigale-gale menjadi salah satu

kekuatan untuk membentuk karakter yang

baik serta memelihara budaya dan identitas

diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan

dunia. Globalisasi dan westernisasi telah

membawa banyak perubahan dalam

kehidupan masyarakat, tidak hanya dalam

bidang teknologi, tetapi juga cara

bersosialisasi. Diperlukan kecerdasan

intelektual serta kecerdasan emosional agar

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 2, Desember 2021

e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

DOI: https://doi.org/10.54519/prj.v10i2.48

50 Jurnal Prajnaparamita

dapat hidup berdampingan, khususnya di

Indonesia sebagai negara multikultural.

SIMPULAN

Patung sigale-gale bukanlah termasuk unsur

dalam adat istiadat Batak, melainkan hanya

sebagai warisan budaya material. Terjadinya

perubahan kebudayaan dapat mengakibatkan

pergeseran fungsi dan nilai. Hal ini terlihat

jelas dalam kisah patung sigale-gale. Saat ini

patung sigale-gale dalam ritual kematian

tidak lagi digunakan karena dianggap

bertentangan dengan agama. Ritual

memanggil roh dan membuang kutuk juga

sudah tidak dilakukan lagi. Proses perubahan

ini tidak begitu saja diterima oleh

masyarakatnya. Hal ini butuh waktu yang

lama untuk bisa meninggalkan kebiasaan-

kebiasaan yang sudah dilakukan pada masa

sebelum masuknya agama.

Saat ini patung sigale-gale merupakan

bagian dari seni pertunjukan. Berbagai

bentuk modifikasi patung sigale-gale banyak

ditemukan di wilayah Kabupaten Samosir.

Modifikasi patung sigale-gale, antara lain,

berupa robot, jangkung, atau miniatur.

Meskipun demikian, bagi suku Batak, bentuk

baru patung sigale-gale tetap disebut sebagai

patung.

Sebagai warisan budaya material, patung

sigale-gale memiliki pesan moral yang masih

sangat relevan untuk dilakukan sampai saat

ini, khususnya bagi generasi muda. Pesan

moral ini senantiasa mengingatkan kita untuk

mencintai budaya bangsa kita. Adanya

kesadaran akan identitas diri menimbulkan

rasa cinta terhadap budaya dan keinginan

untuk melestarikannya sebagai warisan

berharga bagi generasi yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Marbun, M. A., Marbun, Lambers., L.

Toruan, Nelson. 2017. Kamus Budaya

Batak Toba. Medan: MITRA IKAPI

Mardialis. 1999. Metode Penelitian Suatu

Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi

Aksara

Nainggolan, Dr. Togar. 2012. Sejarah dan

Transformasi Religi: Batak Toba.

Medan: Bina Media Perintis

Nazir, Moh. 2005. Metodologi Penelitian.

Jakarta: Bumi Aksara

Siahaan, Bisuk. 2005. Batak Toba:

Kehidupan di Balik Tembok Bambu.

Jakarta: Kempala Foundation

Sihombing, Gr. Surung., Tambun, R. 2020.

Turi-turian ni Halak Batak. Medan: CV.

Mitra Medan Anggota Ikatan Penerbit

Indonesia (IKAPI)

Simanjuntak, Bungaran A. 2011. Pemikiran

Tentang Batak: Setelah 150 Tahun

Agama Kristen di Sumatera Utara.

Jakarta: Yayasan Pusaka Obor Indonesia

Soekanto, Soerdjono. 1990. Sosiologi Suatu

Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada

Soemardjan, Selo. 2009. Perubahan Sosial di

Yogyakarta. Depok: Komunitas Bambu

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian

Kuantitatif Kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfabeta

Syamsul, Arif. 2018. Tradisi Lisan (Cerita

Rakyat Pulau Samosir). Medan: Obelia

Penyampaian Makna Koleksi Patung Sigale-Gale: Dulu dan Kekinian __________________________________________________________________________________

Tiomsi Sitorus

Jurnal Prajnaparamita 51

Internet

Sibeth, Achim. The Batak Peoples of the

Island of Sumatera. 1991. London,

Thames and Hudson.

https://collectie.wereldculturen.nl/#/que

ry/f229841e-6dbe-41eb-a826-

c296549e9db5

Situmorang, T. Sandi dan Arya Perkasa.

2016. Misteri Patung Sigale-gale.

http://repositori.kemdikbud.go.id/10172

/1SIGALE-GALE_W.pdf

Zulkifli, Z. 2012. Komodifikasi Sigale-gale

dalam Persepsi dan Respon Masyarakat

Batak (Kajian Perspektif

Strukturalisme).

https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.p

hp/bahas/article/view/17124/0

https://i.pinimg.com/originals/86/30/f6/8630f6d

414e8dd2a91fd9f08116921dd.jpg