22
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah sudah ada sejak agama Islam berkembang di Indonesia. Madrasah itu tumbuh dan berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat (umat) yang didasari oleh tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada generasi penerus. Oleh karena itu madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada pendalaman ilmu-ilmu Islam. 1 Kemudian posisi ilmu umum terus menguasai searah perkembangan kehidupan umat Islam dan masyarakat Indonesia. Madrasah itu kini disebut sekolah umum berciri khas agama, di mana ilmu agama hanya menjadi bagian kecil kurikulum lembaga ini. Kemudian dalam makalah ini, kami akan menjelaskan lebih lanjut tentang pengembangan madrasah yaitu tentang madrasah setelah kemerdekaan, pengembangan kualitas madrasah, dan pengembangan kurikulum madrasah. 1 Djamaluddin & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 23.

Madrasah Sebagai Pilihan Utama

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah sudah ada

sejak agama Islam berkembang di Indonesia. Madrasah itu

tumbuh dan berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat

(umat) yang didasari oleh tanggung jawab untuk menyampaikan

ajaran Islam kepada generasi penerus. Oleh karena itu

madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada pendalaman

ilmu-ilmu Islam.1

Kemudian posisi ilmu umum terus menguasai searah

perkembangan kehidupan umat Islam dan masyarakat Indonesia.

Madrasah itu kini disebut sekolah umum berciri khas agama,

di mana ilmu agama hanya menjadi bagian kecil kurikulum

lembaga ini.

Kemudian dalam makalah ini, kami akan menjelaskan lebih

lanjut tentang pengembangan madrasah yaitu tentang madrasah

setelah kemerdekaan, pengembangan kualitas madrasah, dan

pengembangan kurikulum madrasah.

 

1 Djamaluddin & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 23.

BAB II

Pembahasan

A. Madrasah Sebagai Pilihan Utama

1.      Madrasah Setelah Kemerdekaan

            Di Indonesia madrasah sebagai lembaga pendidikan

Islam dalam proses pengembangannya telah mengalami strategi

pengelolaan dengan tujuan yang berubah disesuaikan dengan

tuntutan zaman. Pada zaman sebelum kemerdekaan, madrasah

dikelola untuk tujuan idealisme ukhrawi semata, yang

mengabaikan tujuan hidup duniawi.

            Akibatnya, dalam kehidupan kewarganegaraan,

timbullah perbedaan kualitas hidup warga negara Indonesia

antara pihak produk pendidikan sekolah umum yang bercorak

sekuler, dengan pihak produk dari pendidikan madrasah yang

berorientasi pada kehidupan ukhrawi semata.

            Oleh karena itu seiring dengan tuntutan kemajuan

masyarakat setelah proklamasi kemerdekaan 1945, Madrasah

yang eksistensinya tetap dipertahankan dalam masyarakat

bangsa, diusahakan agar strategi pengelolaannya semakin

mendekati sistem pengelolaan sekolah umum; bahkan secara

pragmatis semakin terintegrasi dengan program kependidikan

di sekolah umum. Sebaliknya, sekolah umum harus semakin

dekat kepada pendidikan agama.2

Usaha ini dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki

kualitas hidup masyarakat Indonesia pada saat itu. Serta

strategi pengelolaan madrasah tersebut mendorong ke arah

posisi yang menguntungkan bagi masa depan perkembangannya.

            Akan tetapi pengelolaan ini juga masih ada

kelemahannya, diantaranya kurang efektifnya pendidikan agama

dan bahasa Arab, jika lulusannya dijadikan input bagi

mahasiswa IAIN, disamping kekurangan kualitas lulusan untuk

input universitas umum.

2.      Pengembangan Kualitas Madrasah

            Pada proses pengembangannya, pengurusan tentang

penyelenggaraan sekolah-sekolah agama termasuk madrasah

menjadi tanggung jawab dan wewenang Departemen Agama.

            Adapun usaha-usaha pemeritah untuk meningkatkan

pembinaan madrasah baik kualitas maupun kuantitasnya

dilakukan dalam bidang sebagai berikut :

1. Pembinaan Deversifikasi Kelembagaan Madrasah,

diantaranya yaitu didirikannya Madrasah Wajib Belajar

2 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan : (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara,

1995), 109.

(MWB) pada tahun 1958 yang berlangsung selama 8 tahun

dengan materi pelajaran agama, umum dan keterampilan

dalam bidang ekonomi, industrialisasi dan

transmigrasi.3

2. Penegrian Madrasah, yakni dengan menegrikan Sekolah

Rakyat Islam (SRI) menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri

sebanyak 235 pada tahun 1962 berdasarkan keputusan

Menteri Agama No. 104 tahun 1962.4

Pemerintah menegrikan beberapa madrasah swasta tetapi

dengan seleksi yang ketat dengan memprioritaskan pada

madrasah yang secara keseluruhan masih memerlukan

intervensi pemerintah.5

3.  Pembinaan pendidikan dan pengajaran, meliputi bidang-

bidang kurikulum, ketenagaan, sarana dan prasarana,

pengawasan dan lain-lain terhadap Madrasah Negeri dan

Swasta. Ada juga usaha-usaha peningkatan tamatan madrasah

dengan digulirnya SKB 3 Menteri (Surat Keputusan Bersama 3

Menteri) yaitu menteri agama, menteri keagamaan dan

kebudayaan dan menteri dalam negeri yang berisi:

3 Hardar Putra Daulay, Historis Dan Eksistensi Pesantren Sekolah Dan Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 75

4 Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2001), 206

5 Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia (Malang: UMM Press, 2006), 122.

1)      Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan

ijazah sekolah umum.

2)      Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum.

3)      Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang

setingkat.6

Akan tetapi meskipun madrasah telah dibina oleh pemerintah,

lembaga pendidikan ini tetap gigih dalam mengembangkannya

dan bekerja sama dengan pemerintah.

3.      Pengembangan Kurikulum Madrasah

Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas madrasah terus

digulirkan, begitu juga usaha menuju ke kesatuan sistem

pendidikan nasional dalam rangka pembinaan semakin

ditingkatkan. Usaha tersebut mulai terealisasi, terutama

dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri. Di antara pengembangan

kurikulum di madrasah yaitu :

1. Kurikulum 1976 berdasarkan SKB 3 Menteri.

Berdasarkan SKB 3 Menteri tersebut, yang dimaksud dengan

madrasah ialah lembaga pendidikan yang menjadikan mata

pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang

diberikan sekurang-kurangnya 30%, disamping mata pelajaran

umum. Madrasah dalam hal ini memiliki tiga jenjang atau

tingkatan; Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah yang masing-

masing sejajar dengan SD, SMP dan SMA.7

1. Kurikulum 1984 berdasarkan SKB 2 Menteri

6 Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan……,206

Menindak lanjuti SKB 3 Menteri, dikeluarkan lagi SKB 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama No.

299/U/1984 dan No. 45 tahun 1984, tentang Peraturan

pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah.

Dari sini lahirlah kurikulum 1984, yang memuat hal strategis

sebagai berikut :

a)      Program kegiatan kurikulum madrasah (MI, MTS, MA)

tahun 1984 dilakukan melalui kegiatan intra kurikuler, ko

kurikuler dan ekstra kurikuler, baik dalam program inti

maupun program pilihan.

b)      Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan

memperhatikan keserasian antara cara seseorang belajar dan

apa yang dipelajari.

c)      Penilaian dilakukan secara kesinambungan dan

menyeluruh untuk keperluan meningkatkan proses dan hasil

belajar serta pengolahan program.

2. Kurikulum 1994

Kurikilum 1994 dirancang dan dikembangkan dengan cepat

dan penuh pertimbangan, dengan menekan sekecil mungkin

kelemahan yang terdapat pada kurikulum sebelumnya, terutama

pada syaratnya bukan pelajaran yang ditaggung siswa dan

orientasinya yang menekankan pada target hasil belajar bukan

pada proses pembelajarannya.

7 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1999), 74

Pada kurikulum 1994, guru diberi wewenang untuk

berimprovisasi dengan kurikulum yang sudah disusun. Guru

leluasa mengatur alokasi waktu dalam mengajarkan setiap

pokok bahasan atau subpokok sesuai dengan kebutuhan. Guru

pun diberi kewenangan dalam menentukan metode, penilaian,

dan sarana pembelajaran sesuai dengan kebutuhan, sehingga

siswa aktif dalam pembelajaran, baik fisik, mental

(intelektual dan emosional), maupun sosial.

 3. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)

KBK dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang

menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan

(kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu,

sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik berupa

penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu.

1. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan,

potensi sosial/ daerah, karakteristik sekolah/ daerah,

sesuai budaya masyarakat setempat dan karakteristik peserta

didik.

Upaya pengembangan dan peningkatan mutu bagi madrasah terus

dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman yang ditandai

dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka madrasah

pun tidak mau ketinggalan.

Akan tetapi pada dasarnya dari berbagai pengembangan

kurikulum yang ada, pendidikan agama Islam yang pada awalnya

merupakan ciri khas dari madrasah itu sendiri yang tetap

menduduki porsi lebih sedikit dibandingkan pendidikan umum.

4. Madrasah Unggulan

Pertanyaan pertama yang ingin kita ajukan adalah:

apakah yang dimaksud dengan Madrasah Unggulan itu dan apa

pula ciri-ciri umumnya?  Dalam hal ini, kita beruntung telah

ada beberapa penelitian mengenai Madrasah Unggulan ini

(Arifin, 1998:9-10) sehingga kita dapat dengan mudah

mengetahui karakteristiknya. Dalam disertasinya tentang

kepemimpinan Kepala SD/MI berprestasi, Imron Arifin tidak

menyebut MIN Malang I sebagai MI Unggulan melainkan MI

berprestasi dengan kriteria prestasi akademik (yang diukur

dengan prestasi siswanya dalam ebtanas) dan prestasi non-

akademik (yang diukur dengan prestasi sekolah dalam

memenangkan berbagai lomba).        Menurut Imron Arifin

(1998:322), ada 10 ciri SD/MI berprestasi yang ia lihat

dalam penelitiannya, yaitu: (1) fasilitas belajar yang baik

dan eksklusif; (2) layanan akademik dan khusus yang baik;

(3) perencanaan yang baik; (4) iklim kerja dan belajar yang

sehat dan baik; (5) motivasi berprestasi dan semangat kerja

tinggi; (6) menerapkan guru kelas dan guru bidang studi, (7)

bekal dasar murid berupa pendidikan prasekolah; (8) harapan

yang tinggi dan dukungan yang kuat dari orang tua dan

masyarakat sekitar; (9) keter-libatan wakil kepala sekolah

dan guru-guru; dan (10) kepemimpinan kepala sekolah yang

efektif.

      Hampir semua ciri di atas, menurut Arifin

(1998:322-323), merupakan faktor yang mendukung tercapainya

prestasi SD/MI yang ditelitinya, yaitu: (1) fasilitas fisik

dan peralatan pendidikan yang baik; (2) guru-guru dan staf

pendukung yang kompeten dan mempunyai komitmen yang tinggi;

(3) pembelajaran yang berdiferensiasi; (4) harapan dan

kepercayaan yang tinggi, dan dukungan yang kuat, dari orang

tua dan masyarakat sekitar; (5) organisasi yang rasional dan

harmonis; (6) komitmen yang tinggi terhadap budaya lokal dan

agama; (7) iklim kerja yang sehat, serta motivasi dan

semangat kerja tinggi; (8) keterlibatan wakil kepala sekolah

dan guru-guru; (9) dukungan figur-figur kreatif yang kaya

wawasan dan gagasan; dan (10) kepemimpinan kepala sekolah

yang efektif.

      Sebagai perbandingan, kita dapat melihat beberapa

ciri sekolah yang ‘kurang baik’ yang oleh Sergiovanni dan

Elliot, berdasarkan penelitian Becker tentang SD di USA,

disebut sebagai pot-holes of pestilence : kepemimpinan yang

lemah, semangat kerja guru dan murid yang jelek, pengawasan

yang terlalu ketat dan menekan, program pengajaran yang

bersifat ritualistik dan tradisional, iklim umum yang kurang

bersemangat, dan kepala sekolah yang tidak mau melayani di

luar jam kerjanya (Arifin, 1998:7).

Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas

Islam, madrasah memegang peran penting dalam proses

pembentukan kepribadian anak didik, karena melalui

pendidikan madrasah ini para orang tua berharap agar anak-

anaknya memiliki dua kemampuan sekaligus, tidak hanya

pengetahuan umum (IPTEK) tetapi juga memiliki kepribadian

dan komitmen yang tinggi terhadap agamanya (IMTAQ). Oleh

sebab itu jika kita memahami benar harapan orang tua ini

maka sebenarnya madrasah memiliki prospek yang cerah.

Di sisi lain, jika dilihat dari kesejarahannya,

madrasah memiliki akar budaya yang kuat di tengah-tengah

masyarakat, sebab itu madrasah sudah menjadi milik

masyarakat. Apabila dewasa ini banyak ahli berbicara tentang

inovasi pendidikan nasional untuk melahirkan pendidikan yang

dikelola masyarakat (community based management), maka

madrasah dan termasuk juga pesantren merupakan model dari

pendidikan tersebut.

Akan tetapi, menurut Malik Fadjar (1998: 35) dari

sekian puluh ribu madrasah yang tersebar di seluruh pelosok

tanah air ini sebagian besar masih bergumul dengan persoalan

berat yang sangat menentukan hidup dan matinya madrasah,

sehingga nilai tawar semakin rendah dan semakin

termarginalkan.

Fenomena di atas setidaknya disebabkan dan dipengaruhi

oleh dua hal, yaitu kaitannya dengan problem internal

kelembagaan dan parental choice of education, bahwa

popularitas dan marginalitas lembaga pendidikan sangat

ditentukan oleh sejauh mana lembaga pendidikan bersangkutan

mampu merespon dan mengakomodasi aspirasi masyarakat dan

seberapa jauh lembaga bersangkutan dapat menyelesaikan

permasalahan-permasalahan internal kelembagaan ke arah

profesionalitas penyelenggaraan pendidikan.

Kaitannya dengan problem internal kelembaggaan, bahwa

problem internal madrasah yang selama ini dirasakan, seperti

dikatakan Malik Fadjar (1998: 41) meliputi seluruh sistem

kependidikannya, terutama sistem manajemen dan etos kerja

madrasah, kualitas dan kuantitas guru, kurikulum, dan sarana

fisik dan fasilitasnya. Problem semacam itu, seperti yang

dipaparkan Imam Suprayogo, karena posisi madrasah berada

dalam lingkaran setan, sebuah problem yang bersifat causal

relationship; dari problem dana yang kurang memadai,

fasilitas kurang, pendidikan apa adanya, kualitas rendah,

semangat mundur, inovasi rendah, dan peminat kurang,

demikian seterusnya berputar bagai lingkaran setan.

Di sisi lain, kaitannya dengan parental choice of

education, menurut A. Malik Fadjar (1999: 76) bahwa dalam

masyarakat akhir-akhir ini terjadi adanya pergeseran

pandangan terhadap pendidikan seiring dengan tuntutan

masyarakat (social demand) yang berkembang dalam skala yang

lebih makro. Menurutnya, kini, masyarakat melihat pendidikan

tidak lagi dipandang hanya sebagai bentuk pemenuhan

kebutuhan terhadap perolehan pengetahuan dan ketrampilan

dalam konteks waktu sekarang. Di sisi lain, pendidikan

dipandang sebagai bentuk investasi, baik modal maupun

manusia (human and capital investmen) untuk membantu

meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan sekaligus mempunyai

kemampuan produktif di masa depan yang diukur dari tingkat

penghasilan yang diperolehnya (Ace Suryadi, H.A.R. Tilaar,

1993).

Pergeseran tersebut menurut Ahmad watik Pratiknya (dalam

Fadjar, 1999: 77) mengarah pada; Pertama, terjadinya

teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya loncatan

revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua,

kecenderungan perilaku masyarakat yang lebih fungsional,

dimana hubungan sosial hanya dilihat dari sudut kegunaan dan

kepentingan semata, ketiga, masyarakat padat informasi, dan

keempat, kehidupan yang makin sistemik dan terbuka, yakni

masyarakat yang sepenuhnya berjalan dan diatur oleh sistem

yang terbuka (open system).

Sesuai dengan ciri masyarakat tersebut, maka pendidikan

yang akan dipilih oleh masyarakat adalah pendidikan yang

dapat memberikan kemampuan secara teknologis, fungsional,

individual, informatif dan terbuka. Dan yang lebih penting

lagi, kemampuan secara etik dan moral yang dapat

dikembangkan melalui agama.

Dengan melihat problem internal kelembagaan madrasah

seperti dijelaskan di atas, dikaitkan dengan parental choice

of education, dimana masyarakat semakin kritis, prakmatis,

terbuka dan berpikir jauh ke depan dalam melakukan pilihan

pendidikan bagi anak-anaknya, maka pendidikan madrasah akan

tetap berada pada posisinya sebagai lembaga pendidikan

“kelas dua”, “marginal” yang hanya diminati masyarakat bawah

dan tidak atau kurang dilirik oleh masyarakat menengah atas

(upper midle class), sebaliknya jika madrasah secara

internal dikelola dengan sistem managemen profesional dan

mampu memahami dan merespon tuntutan dan aspirasi masyarakat

tersebut, maka madrasah akan memperoleh peluang yang lebih

besar untuk menjadi pilihan utama dan pertama bagi

masyarakat.

Sejalan dengan statemen di atas, berdasarkan pengamatan

A. Malik fadjar (1998: 47) bahwa semakin terpelajar

masyarakat semakin banyak aspek yang menjadi pertimbangan

masyarakat dalam melilih suatu lembaga pendidikan. Dan

sebaliknya, semakin awam masyarakat semakin sederhana

pertimbangannya dalam memilih lembaga pendidikan atau

barangkali, bahkan hanya sekadar menjadi makmum dengan

kepercayaannya. Menurutnya, ada tiga hal yang paling tidak

menjadi pertimbangan masyarakat terpelajar dalam memilih

suatu lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka, yaitu cita-

cita dan gambaran hidup masa depan, posisi dan status

sosial, serta agama. Dalam kaitan ini, jika madrasah atau

lembaga pendidikan Islam lainnya memenuhi ketiga kreteria di

atas, maka akan semakin diminati oleh masyarakat terutama

masyarakat terpelajar, tetapi sebaliknya, banyak lembaga

pendidikan Islam yang akan semakin meminggir posisinya

karena tidak menjanjikan apa-apa.

Kesan marginalitas madrasah, sebenarnya lebih banyak

disebabkan karena sebagian besar madrasah lebih berorientasi

pada kerakyatan (populis), pendidikan hanya dijadikan

sebagai fungsi “cagar budaya” dan pada saat bersamaan ia

mengabaikan kualitas dan prestasi, sebab itu penyelenggaraan

pendidikan cenderung dilakukan secara konvensional, apa

adanya, managemen non-profesional, stagnan dan status qou,

dan pada akhirnya pendidikan semacam ini ditinggalkan oleh

masyarakat dan hanya diminati kelompok masyarakat bawah.

Akan tetapi dewasa ini persepsi atau pemahaman masyarakat

tentang madrasah sudah mengalami pergeseran sejalan dengan

perbahan-perubahan yang terjadi secara makro yang dilakukan

pemerintah dengan kebijakan-kebijakan barunya. Pada awalnya

madrasah dipahami sebagai sekolah yang hanya mengajarkan

agama tetapi sekarang ini persepsi masyarakat sudah berubah

bahwa ternyata madrasah pada dasarnya sama dengan sekolah

umum lainnya karena memiliki kurikulum yang sama, di sisi

lain madrasah dianggap asebagai sekolah umum plus agama.

Perubahan persepsi dan pemahaman tersebut seiring dengan

perubahan-perubahan yang terjadi secara makro, madrasah

dianggap sebagai sekolah agama ketika kurikulum madrasah

masih berbanding 70% agama dan 30% umum, tetapi ketika

terjadi perubahan dimana madrasah adalah sekolah umum yang

berciri khas Islam yang memiliki kurikulum sama dengan

sekolah umum dan memiliki kelebihan yakni “identitas

keIslaman”, maka madrasah kemudian dianggap sebagai sekolah

umum plus yang memiliki nilai lebih dibanding dengan sekolah

umum.

Jika dilihat dari kecenderungan atau gejala sosial baru

yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini yang berimplikasi

pada tuntutan dan harapan tentang model pendidikan yang

mereka harapkan, maka sebenarnya madrasah memiliki potensi

dan peluang besar untuk menjadi alternatif pendidikan masa

depan. Kecenderungan tersebut antara lain sebagai berikut

Pertama, terjadinya mobilitas sosial yakni munculnya

masyarakat menengah baru terutama kaum intelektual yang

akhir-akhir ini mengalami perkembangan pesat. Kelas menengah

baru senantiasa memiliki peran besar dalam proses

transformasi sosial, di bidang pendidikan misalnya akan

berimplikasi pada tuntutan terhadap fasilitas pendidikan

yang sesuai dengan aspirasinya baik cita-citanya maupun

status sosialnya. Karena itu lembaga pendidikan yang mampu

merespon dan mengapresiasi tuntutan masyarakat tersebut

secara cepat dan cerdas akan menjadi pilihan masyarakat ini.

Kedua, munculnya kesadaran baru dalam beragama

(santrinisasi), terutama pada masyarakat perkotaan kelompok

masyarakat menengah atas, sebagai akibat dari proses re-

Islamisasi yang dilakukan secara intens oleh organisasi-

organisasi keagamaan, lembaga-lembaga dakwah atau yang

dilakukan secara perorangan. Terjadinya santrinisasi

masyarakat elit tersebut akan berimplikasi pada tuntutan dan

harapan akan pendidikan yang mengaspirasikan status sosial

dan keagamaannya. Sebab itu pemilihan lembaga pendidikan

didasarkan minimal pada dua hal tersebut, yakni status

sosial dan agama.

Ketiga, arus globalisasi dan modernisasi yang demikian

cepat perlu disikapi secara arif. Modernisasi dengan

berbagai macam dampaknya perlu disiapkan manusia-manusia

yang memiliki dua kompetensi sekaligus; yakni Ilmu

Pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan nilai-nilai

spiritualitas keagamaan (IMTAQ). Kelemahan di salah satu

kompetensi tersebut menjadikan perkembangan anak tidak

seimbang, yang pada akhirnya akan menciptakan pribadi yang

pincang (split personality), sebab itu pontensi-potensi

insaniyah yang meliputi kedua hal tersebut secara bersamaan

harus diinternalisasi dan dikembangkan pada diri anak didik.

Arus globalisasi dan modernisasi tersebut akhirnya

berimplikasi pada tuntutan dan harapan masyarakat terhadap

pendidikan yang disamping dapat mengembangkan potensi-

potensi akademik ilmu pengetahuan dan teknologi juga

internalisasi nilai-nilai riligiusitas.

Kecenderungan di atas harus segera direspon oleh madrasah

jika lembaga ini tidak ingin ditinggalkan oleh masyarakat.

Disamping itu Madrasah juga harus dapat membaca alasan-

alasan dan pertimbangan orang tua dalam memilih lembaga

pendidikan baik yang bersifat internal maupun eksternal.

Alasan masyarakat memilih lembaga pendidikan paling tidak

didasarkan pada lima kategori sebagai berikut ;

Pertama, alasan teologis. Alasan ini didasarkan pada

kecenderungan global sekarang ini dimana nilai-nilai agama

dan moralitas menjadi taruhan seiring dengan arus

globalisasi tersebut, sebab itu orang tua berfikir agar

bagaimana di tengah arus globalisasi tersebut sejak dini

anak-anak sudah dibentengi dengan moralitas dan agama.

Kedua, alasan sosiologis. Berdasarkan alasan ini

pemilihan lembaga pendidikan adalah didasarkan pada seberapa

jauh lembaga pendidikan dapat memenuhi peran-peran

sosiologis; peran alokasi posisionil berupa kedudukan dan

peran penting dalam kehidupan sosial; memungkinkan

terjadinya mobilitas sosial; peran mengukuhkan status

sosial; dan peran untuk meningkatkan prestise seseorang di

masyarakat.

Ketiga, alasan fisiologis. Alasan ini didasarkan pada

faktor-faktor eksternal yang bersifat fisik, seperti; letak

dan kondisi geografis, bangunan fisik, lingkungan

pendidikan, sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan,

dan seterusnya.

Keempat, Alasan akademis. Alasan ini didasarkan pada

prestasi dan performa lembaga pendidikan yang menunjukkan

bahwa lembaga pendidikan tersebut dikelola secara

profesional. Performa dan profesionalitas pengelolaan

lembaga pendidikan akan mempunyai pengaruh signifikan

terhadap tinggi rendahnya prestasi akademik, dan lembaga

pendidikan yang mempunyai prestasi yang tinggi, bagi

masyarakat terpelajar, akan dikukuhkan sebagai lembaga

pendidikan unggul, favorit dan menjadi pilihan masyarakat.

Kelima, Alasan Ekonomis. Alasan ini didasarkan pada

tinggi rendahnya biaya yang dikeluarkan oleh orang untuk

pembiayaan pendidikan di lembaga bersangkutan. Bagi

masyarakat menengah ke bawah permasalahan biaya menjadi

masalah penting, sebaliknya bagi masyarakat elit tingginya

biaya pendidikan kadang menjadi ukuran bahwa lembaga

pendidikan tersebut unggul, elit, prestise, dan menjanjikan.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Keberadaan madrasah sejak Indonesia merdeka sampai sekarang

pada hakikatnya adalah kelanjutan dari keberadaan madrasah

sejak awal berdirinya. Perbedaan utama tentang keberadaan

madrasah di zaman ini terletak pada perhatian pemerintah

yang sangat tinggi terhadap usaha peningkatan kualitas dan

kuantitas madrasah baik negeri maupun swasta.

Madrasah terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman,

seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui

proses perubahan kurikulum dari tahun ke tahun.

DAFTAR PUSTAKA

 

Aly, Abdullah & Djamaluddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam,

Bandung: Pustaka Setia, 1998

Arifin, M, Kapita Selekta Pendidikan: (Islam dan Umum), Jakarta: Bumi

Aksara, 1995

Daulay, Hardar Putra, Historis Dan Eksistensi Pesantren Sekolah Dan

Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001

Nata, Abudin, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-

Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grafindo, 2001

Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Malang: UMM Press,

2006

Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 1999

Mulyasa, E, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2002

Mulyasa, E, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2007

 

REFERENSI

1. Djamaluddin & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam

(Bandung: Pustaka Setia, 1998), 23.

2. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan : (Islam dan Umum) (Jakarta:

Bumi Aksara, 1995), 109.

3. Hardar Putra Daulay, Historis Dan Eksistensi Pesantren Sekolah Dan

Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 75.

4. Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-

Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2001),

206.

5. Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia (Malang: UMM

Press, 2006), 122.

6. Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan……,206.

7. Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 74.