Upload
independent
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah sudah ada
sejak agama Islam berkembang di Indonesia. Madrasah itu
tumbuh dan berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat
(umat) yang didasari oleh tanggung jawab untuk menyampaikan
ajaran Islam kepada generasi penerus. Oleh karena itu
madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada pendalaman
ilmu-ilmu Islam.1
Kemudian posisi ilmu umum terus menguasai searah
perkembangan kehidupan umat Islam dan masyarakat Indonesia.
Madrasah itu kini disebut sekolah umum berciri khas agama,
di mana ilmu agama hanya menjadi bagian kecil kurikulum
lembaga ini.
Kemudian dalam makalah ini, kami akan menjelaskan lebih
lanjut tentang pengembangan madrasah yaitu tentang madrasah
setelah kemerdekaan, pengembangan kualitas madrasah, dan
pengembangan kurikulum madrasah.
1 Djamaluddin & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 23.
BAB II
Pembahasan
A. Madrasah Sebagai Pilihan Utama
1. Madrasah Setelah Kemerdekaan
Di Indonesia madrasah sebagai lembaga pendidikan
Islam dalam proses pengembangannya telah mengalami strategi
pengelolaan dengan tujuan yang berubah disesuaikan dengan
tuntutan zaman. Pada zaman sebelum kemerdekaan, madrasah
dikelola untuk tujuan idealisme ukhrawi semata, yang
mengabaikan tujuan hidup duniawi.
Akibatnya, dalam kehidupan kewarganegaraan,
timbullah perbedaan kualitas hidup warga negara Indonesia
antara pihak produk pendidikan sekolah umum yang bercorak
sekuler, dengan pihak produk dari pendidikan madrasah yang
berorientasi pada kehidupan ukhrawi semata.
Oleh karena itu seiring dengan tuntutan kemajuan
masyarakat setelah proklamasi kemerdekaan 1945, Madrasah
yang eksistensinya tetap dipertahankan dalam masyarakat
bangsa, diusahakan agar strategi pengelolaannya semakin
mendekati sistem pengelolaan sekolah umum; bahkan secara
pragmatis semakin terintegrasi dengan program kependidikan
di sekolah umum. Sebaliknya, sekolah umum harus semakin
dekat kepada pendidikan agama.2
Usaha ini dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki
kualitas hidup masyarakat Indonesia pada saat itu. Serta
strategi pengelolaan madrasah tersebut mendorong ke arah
posisi yang menguntungkan bagi masa depan perkembangannya.
Akan tetapi pengelolaan ini juga masih ada
kelemahannya, diantaranya kurang efektifnya pendidikan agama
dan bahasa Arab, jika lulusannya dijadikan input bagi
mahasiswa IAIN, disamping kekurangan kualitas lulusan untuk
input universitas umum.
2. Pengembangan Kualitas Madrasah
Pada proses pengembangannya, pengurusan tentang
penyelenggaraan sekolah-sekolah agama termasuk madrasah
menjadi tanggung jawab dan wewenang Departemen Agama.
Adapun usaha-usaha pemeritah untuk meningkatkan
pembinaan madrasah baik kualitas maupun kuantitasnya
dilakukan dalam bidang sebagai berikut :
1. Pembinaan Deversifikasi Kelembagaan Madrasah,
diantaranya yaitu didirikannya Madrasah Wajib Belajar
2 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan : (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), 109.
(MWB) pada tahun 1958 yang berlangsung selama 8 tahun
dengan materi pelajaran agama, umum dan keterampilan
dalam bidang ekonomi, industrialisasi dan
transmigrasi.3
2. Penegrian Madrasah, yakni dengan menegrikan Sekolah
Rakyat Islam (SRI) menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri
sebanyak 235 pada tahun 1962 berdasarkan keputusan
Menteri Agama No. 104 tahun 1962.4
Pemerintah menegrikan beberapa madrasah swasta tetapi
dengan seleksi yang ketat dengan memprioritaskan pada
madrasah yang secara keseluruhan masih memerlukan
intervensi pemerintah.5
3. Pembinaan pendidikan dan pengajaran, meliputi bidang-
bidang kurikulum, ketenagaan, sarana dan prasarana,
pengawasan dan lain-lain terhadap Madrasah Negeri dan
Swasta. Ada juga usaha-usaha peningkatan tamatan madrasah
dengan digulirnya SKB 3 Menteri (Surat Keputusan Bersama 3
Menteri) yaitu menteri agama, menteri keagamaan dan
kebudayaan dan menteri dalam negeri yang berisi:
3 Hardar Putra Daulay, Historis Dan Eksistensi Pesantren Sekolah Dan Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 75
4 Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2001), 206
5 Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia (Malang: UMM Press, 2006), 122.
1) Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan
ijazah sekolah umum.
2) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum.
3) Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang
setingkat.6
Akan tetapi meskipun madrasah telah dibina oleh pemerintah,
lembaga pendidikan ini tetap gigih dalam mengembangkannya
dan bekerja sama dengan pemerintah.
3. Pengembangan Kurikulum Madrasah
Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas madrasah terus
digulirkan, begitu juga usaha menuju ke kesatuan sistem
pendidikan nasional dalam rangka pembinaan semakin
ditingkatkan. Usaha tersebut mulai terealisasi, terutama
dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri. Di antara pengembangan
kurikulum di madrasah yaitu :
1. Kurikulum 1976 berdasarkan SKB 3 Menteri.
Berdasarkan SKB 3 Menteri tersebut, yang dimaksud dengan
madrasah ialah lembaga pendidikan yang menjadikan mata
pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang
diberikan sekurang-kurangnya 30%, disamping mata pelajaran
umum. Madrasah dalam hal ini memiliki tiga jenjang atau
tingkatan; Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah yang masing-
masing sejajar dengan SD, SMP dan SMA.7
1. Kurikulum 1984 berdasarkan SKB 2 Menteri
6 Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan……,206
Menindak lanjuti SKB 3 Menteri, dikeluarkan lagi SKB
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama No.
299/U/1984 dan No. 45 tahun 1984, tentang Peraturan
pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah.
Dari sini lahirlah kurikulum 1984, yang memuat hal strategis
sebagai berikut :
a) Program kegiatan kurikulum madrasah (MI, MTS, MA)
tahun 1984 dilakukan melalui kegiatan intra kurikuler, ko
kurikuler dan ekstra kurikuler, baik dalam program inti
maupun program pilihan.
b) Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan
memperhatikan keserasian antara cara seseorang belajar dan
apa yang dipelajari.
c) Penilaian dilakukan secara kesinambungan dan
menyeluruh untuk keperluan meningkatkan proses dan hasil
belajar serta pengolahan program.
2. Kurikulum 1994
Kurikilum 1994 dirancang dan dikembangkan dengan cepat
dan penuh pertimbangan, dengan menekan sekecil mungkin
kelemahan yang terdapat pada kurikulum sebelumnya, terutama
pada syaratnya bukan pelajaran yang ditaggung siswa dan
orientasinya yang menekankan pada target hasil belajar bukan
pada proses pembelajarannya.
7 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1999), 74
Pada kurikulum 1994, guru diberi wewenang untuk
berimprovisasi dengan kurikulum yang sudah disusun. Guru
leluasa mengatur alokasi waktu dalam mengajarkan setiap
pokok bahasan atau subpokok sesuai dengan kebutuhan. Guru
pun diberi kewenangan dalam menentukan metode, penilaian,
dan sarana pembelajaran sesuai dengan kebutuhan, sehingga
siswa aktif dalam pembelajaran, baik fisik, mental
(intelektual dan emosional), maupun sosial.
3. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
KBK dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang
menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan
(kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu,
sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik berupa
penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu.
1. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi sosial/ daerah, karakteristik sekolah/ daerah,
sesuai budaya masyarakat setempat dan karakteristik peserta
didik.
Upaya pengembangan dan peningkatan mutu bagi madrasah terus
dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman yang ditandai
dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka madrasah
pun tidak mau ketinggalan.
Akan tetapi pada dasarnya dari berbagai pengembangan
kurikulum yang ada, pendidikan agama Islam yang pada awalnya
merupakan ciri khas dari madrasah itu sendiri yang tetap
menduduki porsi lebih sedikit dibandingkan pendidikan umum.
4. Madrasah Unggulan
Pertanyaan pertama yang ingin kita ajukan adalah:
apakah yang dimaksud dengan Madrasah Unggulan itu dan apa
pula ciri-ciri umumnya? Dalam hal ini, kita beruntung telah
ada beberapa penelitian mengenai Madrasah Unggulan ini
(Arifin, 1998:9-10) sehingga kita dapat dengan mudah
mengetahui karakteristiknya. Dalam disertasinya tentang
kepemimpinan Kepala SD/MI berprestasi, Imron Arifin tidak
menyebut MIN Malang I sebagai MI Unggulan melainkan MI
berprestasi dengan kriteria prestasi akademik (yang diukur
dengan prestasi siswanya dalam ebtanas) dan prestasi non-
akademik (yang diukur dengan prestasi sekolah dalam
memenangkan berbagai lomba). Menurut Imron Arifin
(1998:322), ada 10 ciri SD/MI berprestasi yang ia lihat
dalam penelitiannya, yaitu: (1) fasilitas belajar yang baik
dan eksklusif; (2) layanan akademik dan khusus yang baik;
(3) perencanaan yang baik; (4) iklim kerja dan belajar yang
sehat dan baik; (5) motivasi berprestasi dan semangat kerja
tinggi; (6) menerapkan guru kelas dan guru bidang studi, (7)
bekal dasar murid berupa pendidikan prasekolah; (8) harapan
yang tinggi dan dukungan yang kuat dari orang tua dan
masyarakat sekitar; (9) keter-libatan wakil kepala sekolah
dan guru-guru; dan (10) kepemimpinan kepala sekolah yang
efektif.
Hampir semua ciri di atas, menurut Arifin
(1998:322-323), merupakan faktor yang mendukung tercapainya
prestasi SD/MI yang ditelitinya, yaitu: (1) fasilitas fisik
dan peralatan pendidikan yang baik; (2) guru-guru dan staf
pendukung yang kompeten dan mempunyai komitmen yang tinggi;
(3) pembelajaran yang berdiferensiasi; (4) harapan dan
kepercayaan yang tinggi, dan dukungan yang kuat, dari orang
tua dan masyarakat sekitar; (5) organisasi yang rasional dan
harmonis; (6) komitmen yang tinggi terhadap budaya lokal dan
agama; (7) iklim kerja yang sehat, serta motivasi dan
semangat kerja tinggi; (8) keterlibatan wakil kepala sekolah
dan guru-guru; (9) dukungan figur-figur kreatif yang kaya
wawasan dan gagasan; dan (10) kepemimpinan kepala sekolah
yang efektif.
Sebagai perbandingan, kita dapat melihat beberapa
ciri sekolah yang ‘kurang baik’ yang oleh Sergiovanni dan
Elliot, berdasarkan penelitian Becker tentang SD di USA,
disebut sebagai pot-holes of pestilence : kepemimpinan yang
lemah, semangat kerja guru dan murid yang jelek, pengawasan
yang terlalu ketat dan menekan, program pengajaran yang
bersifat ritualistik dan tradisional, iklim umum yang kurang
bersemangat, dan kepala sekolah yang tidak mau melayani di
luar jam kerjanya (Arifin, 1998:7).
Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas
Islam, madrasah memegang peran penting dalam proses
pembentukan kepribadian anak didik, karena melalui
pendidikan madrasah ini para orang tua berharap agar anak-
anaknya memiliki dua kemampuan sekaligus, tidak hanya
pengetahuan umum (IPTEK) tetapi juga memiliki kepribadian
dan komitmen yang tinggi terhadap agamanya (IMTAQ). Oleh
sebab itu jika kita memahami benar harapan orang tua ini
maka sebenarnya madrasah memiliki prospek yang cerah.
Di sisi lain, jika dilihat dari kesejarahannya,
madrasah memiliki akar budaya yang kuat di tengah-tengah
masyarakat, sebab itu madrasah sudah menjadi milik
masyarakat. Apabila dewasa ini banyak ahli berbicara tentang
inovasi pendidikan nasional untuk melahirkan pendidikan yang
dikelola masyarakat (community based management), maka
madrasah dan termasuk juga pesantren merupakan model dari
pendidikan tersebut.
Akan tetapi, menurut Malik Fadjar (1998: 35) dari
sekian puluh ribu madrasah yang tersebar di seluruh pelosok
tanah air ini sebagian besar masih bergumul dengan persoalan
berat yang sangat menentukan hidup dan matinya madrasah,
sehingga nilai tawar semakin rendah dan semakin
termarginalkan.
Fenomena di atas setidaknya disebabkan dan dipengaruhi
oleh dua hal, yaitu kaitannya dengan problem internal
kelembagaan dan parental choice of education, bahwa
popularitas dan marginalitas lembaga pendidikan sangat
ditentukan oleh sejauh mana lembaga pendidikan bersangkutan
mampu merespon dan mengakomodasi aspirasi masyarakat dan
seberapa jauh lembaga bersangkutan dapat menyelesaikan
permasalahan-permasalahan internal kelembagaan ke arah
profesionalitas penyelenggaraan pendidikan.
Kaitannya dengan problem internal kelembaggaan, bahwa
problem internal madrasah yang selama ini dirasakan, seperti
dikatakan Malik Fadjar (1998: 41) meliputi seluruh sistem
kependidikannya, terutama sistem manajemen dan etos kerja
madrasah, kualitas dan kuantitas guru, kurikulum, dan sarana
fisik dan fasilitasnya. Problem semacam itu, seperti yang
dipaparkan Imam Suprayogo, karena posisi madrasah berada
dalam lingkaran setan, sebuah problem yang bersifat causal
relationship; dari problem dana yang kurang memadai,
fasilitas kurang, pendidikan apa adanya, kualitas rendah,
semangat mundur, inovasi rendah, dan peminat kurang,
demikian seterusnya berputar bagai lingkaran setan.
Di sisi lain, kaitannya dengan parental choice of
education, menurut A. Malik Fadjar (1999: 76) bahwa dalam
masyarakat akhir-akhir ini terjadi adanya pergeseran
pandangan terhadap pendidikan seiring dengan tuntutan
masyarakat (social demand) yang berkembang dalam skala yang
lebih makro. Menurutnya, kini, masyarakat melihat pendidikan
tidak lagi dipandang hanya sebagai bentuk pemenuhan
kebutuhan terhadap perolehan pengetahuan dan ketrampilan
dalam konteks waktu sekarang. Di sisi lain, pendidikan
dipandang sebagai bentuk investasi, baik modal maupun
manusia (human and capital investmen) untuk membantu
meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan sekaligus mempunyai
kemampuan produktif di masa depan yang diukur dari tingkat
penghasilan yang diperolehnya (Ace Suryadi, H.A.R. Tilaar,
1993).
Pergeseran tersebut menurut Ahmad watik Pratiknya (dalam
Fadjar, 1999: 77) mengarah pada; Pertama, terjadinya
teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya loncatan
revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua,
kecenderungan perilaku masyarakat yang lebih fungsional,
dimana hubungan sosial hanya dilihat dari sudut kegunaan dan
kepentingan semata, ketiga, masyarakat padat informasi, dan
keempat, kehidupan yang makin sistemik dan terbuka, yakni
masyarakat yang sepenuhnya berjalan dan diatur oleh sistem
yang terbuka (open system).
Sesuai dengan ciri masyarakat tersebut, maka pendidikan
yang akan dipilih oleh masyarakat adalah pendidikan yang
dapat memberikan kemampuan secara teknologis, fungsional,
individual, informatif dan terbuka. Dan yang lebih penting
lagi, kemampuan secara etik dan moral yang dapat
dikembangkan melalui agama.
Dengan melihat problem internal kelembagaan madrasah
seperti dijelaskan di atas, dikaitkan dengan parental choice
of education, dimana masyarakat semakin kritis, prakmatis,
terbuka dan berpikir jauh ke depan dalam melakukan pilihan
pendidikan bagi anak-anaknya, maka pendidikan madrasah akan
tetap berada pada posisinya sebagai lembaga pendidikan
“kelas dua”, “marginal” yang hanya diminati masyarakat bawah
dan tidak atau kurang dilirik oleh masyarakat menengah atas
(upper midle class), sebaliknya jika madrasah secara
internal dikelola dengan sistem managemen profesional dan
mampu memahami dan merespon tuntutan dan aspirasi masyarakat
tersebut, maka madrasah akan memperoleh peluang yang lebih
besar untuk menjadi pilihan utama dan pertama bagi
masyarakat.
Sejalan dengan statemen di atas, berdasarkan pengamatan
A. Malik fadjar (1998: 47) bahwa semakin terpelajar
masyarakat semakin banyak aspek yang menjadi pertimbangan
masyarakat dalam melilih suatu lembaga pendidikan. Dan
sebaliknya, semakin awam masyarakat semakin sederhana
pertimbangannya dalam memilih lembaga pendidikan atau
barangkali, bahkan hanya sekadar menjadi makmum dengan
kepercayaannya. Menurutnya, ada tiga hal yang paling tidak
menjadi pertimbangan masyarakat terpelajar dalam memilih
suatu lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka, yaitu cita-
cita dan gambaran hidup masa depan, posisi dan status
sosial, serta agama. Dalam kaitan ini, jika madrasah atau
lembaga pendidikan Islam lainnya memenuhi ketiga kreteria di
atas, maka akan semakin diminati oleh masyarakat terutama
masyarakat terpelajar, tetapi sebaliknya, banyak lembaga
pendidikan Islam yang akan semakin meminggir posisinya
karena tidak menjanjikan apa-apa.
Kesan marginalitas madrasah, sebenarnya lebih banyak
disebabkan karena sebagian besar madrasah lebih berorientasi
pada kerakyatan (populis), pendidikan hanya dijadikan
sebagai fungsi “cagar budaya” dan pada saat bersamaan ia
mengabaikan kualitas dan prestasi, sebab itu penyelenggaraan
pendidikan cenderung dilakukan secara konvensional, apa
adanya, managemen non-profesional, stagnan dan status qou,
dan pada akhirnya pendidikan semacam ini ditinggalkan oleh
masyarakat dan hanya diminati kelompok masyarakat bawah.
Akan tetapi dewasa ini persepsi atau pemahaman masyarakat
tentang madrasah sudah mengalami pergeseran sejalan dengan
perbahan-perubahan yang terjadi secara makro yang dilakukan
pemerintah dengan kebijakan-kebijakan barunya. Pada awalnya
madrasah dipahami sebagai sekolah yang hanya mengajarkan
agama tetapi sekarang ini persepsi masyarakat sudah berubah
bahwa ternyata madrasah pada dasarnya sama dengan sekolah
umum lainnya karena memiliki kurikulum yang sama, di sisi
lain madrasah dianggap asebagai sekolah umum plus agama.
Perubahan persepsi dan pemahaman tersebut seiring dengan
perubahan-perubahan yang terjadi secara makro, madrasah
dianggap sebagai sekolah agama ketika kurikulum madrasah
masih berbanding 70% agama dan 30% umum, tetapi ketika
terjadi perubahan dimana madrasah adalah sekolah umum yang
berciri khas Islam yang memiliki kurikulum sama dengan
sekolah umum dan memiliki kelebihan yakni “identitas
keIslaman”, maka madrasah kemudian dianggap sebagai sekolah
umum plus yang memiliki nilai lebih dibanding dengan sekolah
umum.
Jika dilihat dari kecenderungan atau gejala sosial baru
yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini yang berimplikasi
pada tuntutan dan harapan tentang model pendidikan yang
mereka harapkan, maka sebenarnya madrasah memiliki potensi
dan peluang besar untuk menjadi alternatif pendidikan masa
depan. Kecenderungan tersebut antara lain sebagai berikut
Pertama, terjadinya mobilitas sosial yakni munculnya
masyarakat menengah baru terutama kaum intelektual yang
akhir-akhir ini mengalami perkembangan pesat. Kelas menengah
baru senantiasa memiliki peran besar dalam proses
transformasi sosial, di bidang pendidikan misalnya akan
berimplikasi pada tuntutan terhadap fasilitas pendidikan
yang sesuai dengan aspirasinya baik cita-citanya maupun
status sosialnya. Karena itu lembaga pendidikan yang mampu
merespon dan mengapresiasi tuntutan masyarakat tersebut
secara cepat dan cerdas akan menjadi pilihan masyarakat ini.
Kedua, munculnya kesadaran baru dalam beragama
(santrinisasi), terutama pada masyarakat perkotaan kelompok
masyarakat menengah atas, sebagai akibat dari proses re-
Islamisasi yang dilakukan secara intens oleh organisasi-
organisasi keagamaan, lembaga-lembaga dakwah atau yang
dilakukan secara perorangan. Terjadinya santrinisasi
masyarakat elit tersebut akan berimplikasi pada tuntutan dan
harapan akan pendidikan yang mengaspirasikan status sosial
dan keagamaannya. Sebab itu pemilihan lembaga pendidikan
didasarkan minimal pada dua hal tersebut, yakni status
sosial dan agama.
Ketiga, arus globalisasi dan modernisasi yang demikian
cepat perlu disikapi secara arif. Modernisasi dengan
berbagai macam dampaknya perlu disiapkan manusia-manusia
yang memiliki dua kompetensi sekaligus; yakni Ilmu
Pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan nilai-nilai
spiritualitas keagamaan (IMTAQ). Kelemahan di salah satu
kompetensi tersebut menjadikan perkembangan anak tidak
seimbang, yang pada akhirnya akan menciptakan pribadi yang
pincang (split personality), sebab itu pontensi-potensi
insaniyah yang meliputi kedua hal tersebut secara bersamaan
harus diinternalisasi dan dikembangkan pada diri anak didik.
Arus globalisasi dan modernisasi tersebut akhirnya
berimplikasi pada tuntutan dan harapan masyarakat terhadap
pendidikan yang disamping dapat mengembangkan potensi-
potensi akademik ilmu pengetahuan dan teknologi juga
internalisasi nilai-nilai riligiusitas.
Kecenderungan di atas harus segera direspon oleh madrasah
jika lembaga ini tidak ingin ditinggalkan oleh masyarakat.
Disamping itu Madrasah juga harus dapat membaca alasan-
alasan dan pertimbangan orang tua dalam memilih lembaga
pendidikan baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Alasan masyarakat memilih lembaga pendidikan paling tidak
didasarkan pada lima kategori sebagai berikut ;
Pertama, alasan teologis. Alasan ini didasarkan pada
kecenderungan global sekarang ini dimana nilai-nilai agama
dan moralitas menjadi taruhan seiring dengan arus
globalisasi tersebut, sebab itu orang tua berfikir agar
bagaimana di tengah arus globalisasi tersebut sejak dini
anak-anak sudah dibentengi dengan moralitas dan agama.
Kedua, alasan sosiologis. Berdasarkan alasan ini
pemilihan lembaga pendidikan adalah didasarkan pada seberapa
jauh lembaga pendidikan dapat memenuhi peran-peran
sosiologis; peran alokasi posisionil berupa kedudukan dan
peran penting dalam kehidupan sosial; memungkinkan
terjadinya mobilitas sosial; peran mengukuhkan status
sosial; dan peran untuk meningkatkan prestise seseorang di
masyarakat.
Ketiga, alasan fisiologis. Alasan ini didasarkan pada
faktor-faktor eksternal yang bersifat fisik, seperti; letak
dan kondisi geografis, bangunan fisik, lingkungan
pendidikan, sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan,
dan seterusnya.
Keempat, Alasan akademis. Alasan ini didasarkan pada
prestasi dan performa lembaga pendidikan yang menunjukkan
bahwa lembaga pendidikan tersebut dikelola secara
profesional. Performa dan profesionalitas pengelolaan
lembaga pendidikan akan mempunyai pengaruh signifikan
terhadap tinggi rendahnya prestasi akademik, dan lembaga
pendidikan yang mempunyai prestasi yang tinggi, bagi
masyarakat terpelajar, akan dikukuhkan sebagai lembaga
pendidikan unggul, favorit dan menjadi pilihan masyarakat.
Kelima, Alasan Ekonomis. Alasan ini didasarkan pada
tinggi rendahnya biaya yang dikeluarkan oleh orang untuk
pembiayaan pendidikan di lembaga bersangkutan. Bagi
masyarakat menengah ke bawah permasalahan biaya menjadi
masalah penting, sebaliknya bagi masyarakat elit tingginya
biaya pendidikan kadang menjadi ukuran bahwa lembaga
pendidikan tersebut unggul, elit, prestise, dan menjanjikan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Keberadaan madrasah sejak Indonesia merdeka sampai sekarang
pada hakikatnya adalah kelanjutan dari keberadaan madrasah
sejak awal berdirinya. Perbedaan utama tentang keberadaan
madrasah di zaman ini terletak pada perhatian pemerintah
yang sangat tinggi terhadap usaha peningkatan kualitas dan
kuantitas madrasah baik negeri maupun swasta.
Madrasah terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman,
seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
proses perubahan kurikulum dari tahun ke tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Aly, Abdullah & Djamaluddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
Bandung: Pustaka Setia, 1998
Arifin, M, Kapita Selekta Pendidikan: (Islam dan Umum), Jakarta: Bumi
Aksara, 1995
Daulay, Hardar Putra, Historis Dan Eksistensi Pesantren Sekolah Dan
Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001
Nata, Abudin, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-
Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grafindo, 2001
Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Malang: UMM Press,
2006
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1999
Mulyasa, E, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2002
Mulyasa, E, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007
REFERENSI
1. Djamaluddin & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam
(Bandung: Pustaka Setia, 1998), 23.
2. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan : (Islam dan Umum) (Jakarta:
Bumi Aksara, 1995), 109.
3. Hardar Putra Daulay, Historis Dan Eksistensi Pesantren Sekolah Dan
Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 75.
4. Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-
Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2001),
206.
5. Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia (Malang: UMM
Press, 2006), 122.
6. Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan……,206.
7. Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 74.