32
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahiim, Salam Sejahtera untuk kita semua yang selalu diberkahi Tuhan Maha Esa. Puji syukur atas Rahmat-Hidayah Kasih Sayang Allah SWT yang selalu hadir mengalir tak putus-putus kepada seluruh semesta alam, yang mana kita di sini dan kini masih bisa mengetahui dan merasakan nafas kehidupan. Rahmat dan Hidayat Allah SWT yang berlimpah itu terwakili dalam cinta baginda Rasul Muhammad SAW yang mulia sebagai percontohan terbaik umat manusia, sholawat dan salam serta permohonan syafa’at kepada beliau, amen. Rasa syukur itu semoga sekarang dapat terwakili dengan terhidangnya makalah kali ini di hadapan pembaca dengan judul Landasan dan Pilihan Ontologis Masyarakat Nusantara, diharapkan nantinya akan menjadi pembahasan, kajian dan pembelajaran bersama sebagai wawasan dan pengetahuan dalam kelas perkuliahan Filsafat Nusantara. Namun, selesainya penulisan bukan berarti keberakhiran, karena tiada yang sempurna selain kesempurnaan itu sendiri. Maka, segala hal berupa kritik, saran atau apapun bentuknya menuju pada kesempurnaan dalam kajian ini sangat diharapkan dari para teman- teman tercinta sidang pembaca. Tak lupa kepada pihak yang memperlancar penulisan ini kami ucapkan terimaksih yang special, kepada Mba Tanti “thx Mba atas saran pembuatan kartu perpusnya serta kopi hitamnya, Sdri Nisa “thx Nis, atas obrolannya n ide-ide ke depannya” dan 1

Pilihan Landasan Ontologis dan Epistemologis Masyarakat Nusantara

Embed Size (px)

Citation preview

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim,

Salam Sejahtera untuk kita semua yang selalu diberkahi Tuhan Maha Esa.

Puji syukur atas Rahmat-Hidayah Kasih Sayang Allah SWT yang

selalu hadir mengalir tak putus-putus kepada seluruh semesta

alam, yang mana kita di sini dan kini masih bisa mengetahui dan

merasakan nafas kehidupan. Rahmat dan Hidayat Allah SWT yang

berlimpah itu terwakili dalam cinta baginda Rasul Muhammad SAW

yang mulia sebagai percontohan terbaik umat manusia, sholawat dan

salam serta permohonan syafa’at kepada beliau, amen.

Rasa syukur itu semoga sekarang dapat terwakili dengan

terhidangnya makalah kali ini di hadapan pembaca dengan judul

Landasan dan Pilihan Ontologis Masyarakat Nusantara, diharapkan

nantinya akan menjadi pembahasan, kajian dan pembelajaran bersama

sebagai wawasan dan pengetahuan dalam kelas perkuliahan Filsafat

Nusantara.

Namun, selesainya penulisan bukan berarti keberakhiran,

karena tiada yang sempurna selain kesempurnaan itu sendiri. Maka,

segala hal berupa kritik, saran atau apapun bentuknya menuju pada

kesempurnaan dalam kajian ini sangat diharapkan dari para teman-

teman tercinta sidang pembaca. Tak lupa kepada pihak yang

memperlancar penulisan ini kami ucapkan terimaksih yang special,

kepada Mba Tanti “thx Mba atas saran pembuatan kartu perpusnya serta kopi

hitamnya”, Sdri Nisa “thx Nis, atas obrolannya n ide-ide ke depannya” dan

1

Sdri Ida “thx yah atas pinjaman makalahnya n komunikasinya” , “Selamat

untuk kalian berdua yang telah bisa diwisuda”. Dengan demikian,

kurang dan lebihnya kami haturkan maaf dan terimakasih yang

setepat-tepatnya. Sekian, semoga menjadi manfaat dan berkah kita

bersama untuk dapat kembali dan mengakrabi Yang Azali-Hakiki.

Amen.

Wassalamu’alaikum warahmatuLlaahi wabarakaatuh.

Tanjung Karang Pusat, 30 Oktober 2014

Pemakalah,

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Abad kontemporer belakangan ini gandrung akan kegiatan

penggalian kembali-research suatu bangunan falsafah sebagai basis-

akar peradaban dan identitas sebuah Bangsa-Negara yang di

dalamnya terdiri dari berbagai lokus kebudayaan manusia agar

tidak lagi krisis eksistensial. Indonesia Raya sebagai Negara

yang terus berproses menjadi lokus peradaban di mata dunia telah

terekstrakkan dengan falsafah bangsanya berupa Pancasila, UUD

kemerdekaan yang secara lahir-bathin dapat diartikulasikan ke-

Bhineka Tunggal Ika-annya sebagai peradaban kepulauan Nusantara

2

dengan khasanahnya yang kaya, namun Nusantara kini telah sangat

memprihatinkan.1

Secara historis, perjalanan Negara Indonesia dengan ragam dan

kayanya sumber daya tak bisa diabaikan begitu saja. Auman Singa

Bangsa Presiden Soekarno terus terngiang, “Jangan sekali-kali

meninggalkan sejarah”, statemen ini bukan tanpa latar belakang,

dalam pidatonya yang mengobarkan api semangat rakyat itu

mengingatkan bahwa bangsa Indonesia telah memiliki kesadaran jiwa

satu dan bersama yakni kemerdekaan dan gotong royong, untuk itu

revolusi patut diperjuangkan dengan terus menentang imperialisme,

maka kita harus percaya diri dan bangga akan keaslian bangsa kita

yang sejati yang telah diakui oleh bangsa-bangsa lain.2

Sebuah riset menunjukkan adanya peninggalan Peradaban

“Atlantis” Nusantara, rupanya telah unggul lebih dulu diabanding

peradaban China, Arab dan India apalagi Eropa3. Pencapaian-

pencapaian riset itu tidak lepas dari beragam relevansi dan

signifikansi tidaknya nilai itu. Dalam hal ini, kecenderungan

kesadaran sejarah kepulauan ini makin tampil yang tentu tidak

tanpa sebab, terutama benturan yang substantif dalam falsafah

beserta peristiwa besarnya itu hadir secara ontologis bermuara

1 Nabilah Lubis, dalam wawancara di Jurnal Refleksi Keagamaan & Kebudayaan Tashwirul Afkar: Filologi Nusantara (Jakarta: Lakpesdam NU, 2014) edisi No, 34, h. 1352 Detailnya lihat, Presiden Soekarno, Amanat Proklamasi IV 1961-1966 (Jakarta: IntiIdayu Press, 1986), h. 197-2263 Ahmad Yanuan Samantho, Peradaban Atlantis Nusantara; berbagai penemuan spektakuler yang makin meyakinkan keberadaannya (Jakarta: Ufuk Press, 2014). Dalam riset yang penuh spekulasi-imaji-harap ini nyaris membuat pembaca tidak hanya beromantikamelainkan merasa percaya diri bahwa jati diri bangsa kita sebagai masyarakat nusantara dulu telah memiliki peradaban awal yang canggih.

3

dari biasnya epistemologi falsafah di muka bumi ini, embrio

pembiasan itu dikokang oleh filsafat modernisme dengan corak

pemikiran dualistis-reduksionis-koruptif-eksploitatif dan

seterusnya yang membuat berbagai krisis timbul di tiap-tiap

peradaban bangsa.4 boleh kita bertanya pada diri kita, produk

apakah kita?

Secara ontologis, sebuah peradaban layaknya iklim yang terus

berputar dan berganti. Babak per babak hadir di hadapan kita

sebagai blueprint perjalanan bangsa manusia. Babak awal yang

menyisakan peradaban dan terpilih itu bermula dari keturunan

seorang bapak yang sama, yakni Nabi Nuh a.s, isyarat kapal

merupakan sisa manusia pilihan selanjutnya sebagai Bani Adam.5

Amat istimewa bahwa seluruh manusia di muka bumi hadir melalui

Rahim dan Bapak seorang Nabi-utusan Tuhan. Untuk itu,

memungkinkan adanya kebenaran bahwa peradaban-peradaban bangsa di

dunia ini menjalin perpaduan antar satu peradaban dengan lainnya

tetap dalam perumahan bangsa, termasuk di dalamnya Nusantara.

4 Rene Guenon, The Crisis of The Modern World, (Sophia Perennis, 2001) bab I dengan judul The Dark Age. Di situ diterangkan bahwa bangunan dari falsafah modern dalam pandangan tradisional merupakan filsafat profan. “what is called the Renaissance was in reality not a re-birth but the death of many things”,h. 15-165 Ibnu Katsir menyebutkan ketiga anak Nabi Nuh yang tersisa itu al: Sam, Ham, dan Yafits. Lih, Sami’ bin Abdullah al-Maghlouth, Sejarah para Nabi & Rasul; menggali nilai-nilai kehidupan para utusan Allah. Terj. (Jakarta: Almahira, 2011) cet, III, h. 79.Diriwayatkan bahwa Sam ialah bapak orang Arab, Ham adalah bapak orang Habsyi, dan Yafits adalah bapak orang Romawi (Yunani). Sebagai jilid baru keturunan manusia-manusia yang tersisa, dari ketiga ini bangsa-bangsa lahir dan mendiaspora di muka bumi. Bisa pula dilihat dalam kitab suci Q.S ash-Shaffat:77. Bila dibandingkan dengan sejumlah riset manusia purba, seperti teori Darwinisme-evolusionisme hingga proses menuju manusia fisikal itu, tentu banyak yang menentangnya apalagi mengguyoninya.

4

Tentu membahas ke-Nusantara-an tak lepas dari problematikanya.

Seperti yang digelisahkan filolog ternama Nabilah Lubis di atas,

barangkali ini disebabkan pemaksaan system norma Eropa

(positivism, neo-positivisme) terhadap tradisi Asia (keagamaan).6

Di mata Gus Dur disinggung bahwa “Sejarah lama kita sebagai

bangsa memang sangat menarik. Rasa tertarik itu timbul dari

kenyataan bahwa yang tertulis sering tidak sama dengan yang

terjadi. Dengan kata lain, sejarah masa lampau sering dijadikan

sebagai alat legitimasi kekuasaan”.7 Sebuah kenyataan yang

berikutnya melatarbelakangi banyaknya kegiatan riset dan kajian-

kajian khasanah lampau.

Dalam penulisan ini, bukan alasan karena keterbiasan konteks

sejarah, serta imaji spekulatif peradaban yang dicipta melalui

karya-karya para putera/i bangsa belakangan, tetapi karena

keterbatasan kemampuan riset penulis yang dapat dihadirkan dalam

penelitian ini membuat kajiannya terbatasi pula demi upaya

mengurai secara deskriptif-analitis tentang ontologi masyarakat

nusantara, kajian ini merupakan lanjutan dari pengembangan

makalah-makalah sebelumnya yang bermula dari Historisitas Filsafat

Nusantara, oleh Siti Masyiam dan Syafiuddin dan Unsur-Unsur Filsafat

Nusantara, oleh Ida Munfarida dan Tanti Widiyastuti. Dengan

6 Lihat, Abdul Hadi W.M, Hermeneutika Sastra Barat & Timur (Jakarta: Sadra Press, 2014)hlm, 147. Terdapat corak perbedaan yang amat jauh antar Barat dan Timur dalam hermeneutika karya sastra, sebagai pergulatan peradaban berikutnya tendensi itu nampak oleh kalangan orientalis pada abad 19-20.7 Abdurrahman Wahid, Membaca Sejarah Nusantara; 25 kolom sejarah Gus dur (Yogyakarta: LKiS, 2010) hlm, 1.

5

begitu, judul yang bisa diterima dan dieksplore ialah “Landasan

dan Pilihan Ontologis Masyarakat Nusantara”.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang telah dikemukakan secara eksplisit dapat

dirumuskan demikian:

1. Apa itu Masyarakat Nusantara itu? Seperti apa Modelnya?

2. Bagaimana landasan-epistemologi Masyarakat Nusantara itu?

C. Tujuan Pembahasan

Tinjauan pembahasan dari sumber yang terbatas ini, setidaknya

penulis memiliki tujuan, antara lain:

1. Sebagai pemenuhan rangkaian kajian dalam kelas Filsafat

Nusantara di Falsafah Agama-Program Pasca Sarjana, IAIN

Raden Inten Bandar Lampung 2014.

2. Sebagai penambahan khasanah pengetahuan-wawasan serta

penguraian landasan epistemologis-ontologis masyarakat

nusantara secara tepat.

6

BAB II

ONTOLOGI MASYARAKAT NUSANTARA

A. Keragaman dan Kesatuan Bangsa

Barangkali di sini sebagai bukti atau isyarat yang

mengindikasikan bahwa masyarakat nusantara itu bersaudara-

etnikal, inklusif-satu rumpun, berdarah maritime-kawin silang

budaya kepulauan, serta bernenek moyang yang sama itu dapat

dilihat dari ilmu kebangsaan, dengan penelitian historis-

antropologis-geografis dan segala macam bidang teknik ilmu

lainnya yang terisetkan bahwa:

“Nenek moyang Indonesia bukanlah mulanya dari Indonesia,

tetapi dahulu kala mereka datang dari daratan Asia yang

berasal dari Junan, yaitu suatu tempat Tiongkok bagian selatan

pada hulu sungai Mekong. Di sinilah tanah air nenek moyang

kita yang pertama hingga pada perjalanan selanjutnya mereka

meninggalkan junan, sebagian pindah ke arah selatan menuju ke

India belakang yang terbentuk suku bangsa monkmer, dan

sebagian meneruskan ke India terbentuk suku mundha dan Santali.

India belakang sebagai tanah air kedua dari nenek moyang kita,

berkisar 1500 SM ditinggalkan lalu menuju kepulauan selatan

7

(austro) Asia, yang disebut berikutnya Austronesia itu merupakan

tanah air yang ketiga dari nenek moyang kita”.8 Fakta bahwa

memang nenek moyang kita dulunya seorang pelaut-maritim,

seperti lagu “Nenek Moyangku Seorang Pelaut, dst” (Ibu Soed, 1940).

Dalam ilmu bangsa-bangsa pula, masyarakat di kepulauan

nusantara dapat digolongkan dalam ras Mongoloid, diantaranya:

1. Ras kulit kuning atau Ras Asiatic Mongoloid, termasuk

beberapa ras orang tiong hoa, Jepang. 2. Ras kulit sawo matang

atau Ras (Indonesia) Melayu. 3. Ras kulit merah atau Ras

Indian Amerika. Kaum migrant Mongoloid ini bercampur dengan

Caucasoid (India) dan Negroid, dengan percampuran itu

terjadilah orang-orang Indonesia yang sebagian besar berasal

dari Ras Mongoloid, sedangkan Ras Caucasoid dan Negroid berada

di daerah terpencil tertentu.9 Di sini menunjukkan bahwa alam

bumi nusantara sebagai kepulauan terbuka jalur kehidupan

bernusantara yang nyaris tak bertuan awalnya, dengan begitu

sangat mudah untuk dibentuk babak kehidupan manusia

bermasyarakat menusantara sesuai konteks alamnya yang

“terbuka” dan “dalam” seperti lautan, serta alam yang

menjulang ke “atas” dan “melangit” seperti pegunungan. Maka

besar kemungkinan ada masyarakat pesisir dan pegunungan itu

lama mula bermukim.

Luasnya kepulauan Austronesia menciptakan kebudayaan yang

mulanya sama menjadi berbeda, dapat dibagi dalam 4 lingkungan8 Mr. Ali Basya Lubis, Azaz-Azaz Ilmu Bangsa-Bangsa; azaz-azaz antropologi budaya (Jakarta: Erlangga, 1967) h. 15.9 Mr. Ali Basya, ibid, h. 112.

8

daerah kebudayaan: Indonesia, Micronesia, Melanesia, Polynesia. Sebelum

penduduk Austronesia dari Tiongkok Selatan itu menetap di

Indonesia, telah terdapat pula suku-suku bangsa lain; suku

Wedda dan Negrito (suku Caucasoid dan Negroid tadi). Mereka telah

mendiami sejak sebelum sejarah dengan kebudayaannya yang

Paleolithikum (kebudayaan batu tua), dua suku ini memengaruhi

suku-suku pedalaman. Perkembangan selanjutnya, terdapat ras

Melayu yang disebut pula bangsa Melayu. Melayu dalam arti

sempit berarti penduduk Malaka dan Sumatera Timur serta

penduduk yang berdiam di sekitar Selat Malaka yang bahasa

daerahnya dikenal sebagai bahasa Melayu. Melayu dalam arti

luas berarti segala bangsa yang terdapat di tanah air (kecuali

penduduk Halmahera utara dan Irian yang mempunyai bahasa

daerah masing-masing). Bangsa Melayu besar dibedakan pula

menjadi Melayu Tua (Proto) yang kebudayaannya masih sedikit

bercampur dengan kebudayaan asing, misalnya bangsa Batak,

Toradja, Dayak dan sebagainya. Berikutnya, Melayu Muda

(Deutro) yaitu bangsa-bangsa yang kebudayaannya sudah banyak

bercampur Hindu, Islam dan sebagainya, seperti bangsa Djawa,

Sunda, Minang-kabau dan sebagainya yang pada umumnya berdiam

di pesisir kepulauan kita.10 Meskipun berbeda yang nampak pada

etnik namun, akarnya tetap sama.11 Persilangan budaya dalam

masyarakat nusantara menjadi embrio terciptanya bangsa-bangsa

10 Mr. Ali Basya, ibid, h. 1511 Wertheim, W.F, Indonesian Society in Transition; a study of social change. Terj, Misbah Zulfa Elizabeth, Masyarakat Indonesia dalam Transisi (Yogya: Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 2

9

berikutnya yang semua tetap dalam satu rumpun bangsa etnis

bukan bangsa politis (Negara).

Lebih jauh lagi budayawan Rendra mengeksplore bahwa jauh

sebelum ada Negara dan peradaban Eropa, masyarakat nusantara

telah berlaku kebangsaan, akrab dengan dunia intelektual

hingga melahirkan banyak khasanah pengetahuan dan karya sastra

dengan tanpa adanya kesenjangan sosial, memiliki lingua franca

yang bermusiman dari Jawa Kuna hingga Melayu serta

penghitungan waktu –kalender-. Fase di mana kejayaan nusantara

lebih dulu beradab jauh sebelum Eropa yang dianggap beradab

itu. Di daerah-daerah kita telah menciptakan hukum adat. Orang

Sulawesi misalnya melantangkan “merdeka orang wajo hukum kami

pertuankan”. Karena dulu sudah ada ahli-ahli bangsa dan

kenegaraan lokal nusantara.12 Tak heran bila belakangan ini di

kalangan akademisi bergiat dalam kajian filologi, termasuk

karya dari Sulawesi itu berjudul Illa-galligo yang lebih banyak

halamannya dibanding karya epos Mahabharata-Ramayana.

Manuskrip asli ini masih ada di Belanda.

Secara global, kesadaran berkebangsaan ini rupanya tidak

bisa dilepas oleh masyarakat nusantara dari abad ke abad.

12 Rendra, wawancara Impact tv, 2004. Bahasa melayu saat itu pun menjadi bahasadunia yang diriseti merupaka bahasa turunan Austronesia Purba yang berada sekarang di Kalimantan barat, lihat James T. Collins, Malay, World Language: a shorthistory. Terj. Alma Evita Almanar, Bahasa Melayu Bahasa Dunia; sejarah singkat (Jakarta: Obor, 2011) h. 4-5. Dinyatakan pula bahwa bahasa ini lingua franca Asia Tenggara; merupakan bahasa kerajaan, keagamaan dan milik seluruh bangsa dipergunakan sehari-hari; perdagangan pasar-pelabuhan. Peran dan posisinya benar-benar melampaui cakupan fungsi dari bahasa-bahasa yang diketahui orang-orang Eropa. Hlm, 32.

10

Layaknya ombak dengan lautan. Arus yang kencang mengguncang

masyarakat nusantara tak henti-henti itu turut mendewasakan

diri. Pada titik tertentu, masyarakat nusantara dengan

kerajaan-kerajaan yang mewakilinya dari bangsa-bangsa yang ada

itu bagaikan karang yang menerima apapun keadaan ombak.

Hempasan dan terjangan itu antaralain pengaruh-pengaruh bangsa

yang cukup melekat pada sector keagaman, India-Hindu, China-

Buddha, Arab-Islam dan paling belakang Eropa (Portugis,

Spanyol, Inggris, Belanda)-Kegerejaan. Yang dari kesemuanya

itu Islamlah mendominasi di masyarakat nusantara, karena ia

datang sebagai pemberian disiplin Agama, sedangkan yang lain

seperti Hindu dan Budha masuk sebagai pembentukkan

kebudayaan.13 Hal ini dilihat karena pengaruh penetrasi

kolonial Barat-Eropa yang makin menggumpal di abad belakangan,

maka perlunya reformasi keagamaan di masyarakat nusantara.14

Spirit keagamaan masyarakat nusantara telah me-nubuh dan ini

bukti spritualitas yang cair di atmosphere masyarakat

nusantara.

Hal ini dipertegas oleh Soekmono (1973: 116-117), bahwa

Islam dapat mudah diterima oleh kalangan masyarakat nusantara

yang mulanya bercorak animisme, lalu disusul Hinduisme dan

Buddhisme itu karena adanya disiplin mistik-tasawuf dalam

Islam yang akrab dan ramah dalam keintiman hamba dengan Tuhan.

Artinya, disini jiwa masyarakat nusantara sangatlah kaya

13 R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (Yogyakarta: Kanisius, 1973),h.11814 Wertheim, W.F, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, h. 153

11

dengan hadirnya banyak sipritualitas kebangsaan di dalamnya.

Bhineka Tunggal Ika oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma

sangatlah tepat dalam pengartikulasian demikian.15

Persilangan ajaran budaya-agama antar kerajaan terjadi,

seperti Kertanegara dengan benturan hindu-Budha itu lahirlah

Candi Prambanan.16 Secara tidak langung, tak dapat disangkal

bahwa masyarakat nusantara sudah sangat kenal dengan ajaran

ilahiah-langit yang transcendental dan itu menubuh serta

mendarah daging di alam bumi nusantara.

Sementara ini, dapat disederhanakan bahwa masyarakat

nusantara sebagai bangsa yang satu akar yang sama sekaligus

plural ialah merupakan masyarakat yang sadar akan keterbukaan

alam –langit dan bumi- dengan segala unsurnya, sadar akan daya

cipta olah kebudayaan –pengetahuan, perniagaan, politik-

kenegaraan, pelayaran-maritimnya, sadar akan eksistensi

sebagai manusia beragama –spiritualitas-, serta sadar akan

keberlangsungan hidup holistik Tuhan-Manusia-Alam. Yang semua

ini telah terwakili dalam ekstraksi falsafah bangsa Indonesia,

yakni –Pancasila-.17

B. Karakteristik Masyarakat Nusantara

15 Untuk lebih jelas dapat periksa Wertheim, W.F, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, h. 1-10.16 Abdurrahman Wahid, Membaca Sejarah Nusantara. Hlm, 2-3.17 Bisa dibandingkan dengan makalah Fil. Nusantara oleh Siti Masiyam dan Syaifuddin, Historisitas Filsafat Nusantara h. 12. Dinyatakan di situ bahwa “Pancasilaialah Epistemology Filsafat Nusantara”.

12

Bermula dari hubungan yang kuat dengan alam; tumbuhan,

binatang dan segala unsur alami –benda hidup/mati- di bumi

nusantara ini telah menghadirkan suatu kepercayaan animisme

(paham kepercayaan terhadapa roh yang kuat dari manusia itu

sendiri). Kepercayaan ini makin tumbuh dengan adanya kekuatan

orang-orang suci yang telah meninggal dunia atau para leluhur

masyarakat setempat, sehingga itu terus dipelihara seperti

upacara selamatan, dan seterusnya. Dengan itu, kesuburan alam dan

kesejahteraan masyarakat dianggap tergantung dari para leluhur

suci. Berikutnya, memungkinkan hadirnya kepercayaan dinamisme;

sebuah kepercayaan dalam beberapa benda yang hidup dan yang mati,

sebab sifatnya yang luar biasa karena kebaikan dan keburukannya

dianggap suci, oleh karena itu pula dapat memancarkan pengaruh

baik atau jelek terhadap manusia dan dunia sekitarnya, seperti

benda keramat, jimat, keris, dan lain-lain. 18 Dari fenomena

bangsa awal yang disebut primitive (asli) ini mengindikasikan

bahwa masyarakat nusantara dulu sudah terkonstruk pada kesadaran

alam diri dan di luar dirinya –kekuatan ghaib- dan supranatural.

Secara natural, dalam kebutuhan pokok hidup manusia seutuhnya

tidak dapat diasingkan dari tiga hal berikut, yakni: Sandang,

Pangan dan Papan. Sebagai kebutuhan itu tentunya manusia dulu dan

sekarang tetap pada pokok utama ini, namun coraknya yang berbeda

menuntut pola hidup yang berbeda pula. Secara spekulatif,

mengindikasikan bahwa masyarakat nusantara terkonstruk oleh alam

yang natural baik yang hidup di daerah terpencil –pedalaman-,

18 Mr. Ali Basya, ibid, hlm, 21-23.

13

pegunungan maupun pesisir yang meniscayakan terbentuknya tubuh

pola masyarakat nusantara itu alamiah. Maka, ramailah kebudayaan-

kebudayaan yang hadir menyesuaikan ruang dan waktunya. Dengan

begitu banyak tercipta pula golongan-golongan manusia terkhusus

bagi masyarakat nusantara.19 Kontruksi masyarakat nusantara di

sini memperkuat bahwa bangsa-bangsa di dalamnya bersaing secara

ketat dan bertahan hidup meng-alam sampai paripurna yang

menelurkan generasi keturunannya masing-masing.

Secara sosio-kultural, hasil penelitian Koentjoroningrat dkk,

mengklasifikasikan masyarakat nusantara menjadi masyarakat

Indonesia yang telah dianalisis dari tiap daerah itu, antara

lain:20

No Tipe masyarakat System masyarakat Pengaruh agama-

kebudayaan1 Berkebun; ubi

jalar, keladi,

kombinasi berburu

dan meramu.

persawahan tak

dibiasakan.

Desa terpencil, tanpa

differensiasi-

stratifikasi berarti,

gelombang pengaruh

kebudayaan menanam

padi, kebudayaan

perunggu

Pengaruh kebudayaan

Hindu dan Islam tidak

dialami; isolasi dibuka

oleh Zending dan Missie.

2. Pedesaan bercocok Komuniti petani – Pengaruh kebudayaan

19 Detailnya lihat, Mr. Ali basya, hlm 48-51. Di situ digolongkan bahwa tiap bangsa mengenal pembagian menurut ukuran usia, kelamin, tingkatan kedudukan, kesediaan untuk bekerja.20 Detail lihat, Koentjoroningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Sapdodadi: Djambatan, 1971), h. 32-33.

14

tanam; padi tanaman

pokok.

differensiasi&

stratifikasi sedang;

orientasi kepegawaian

colonial-Zending,

Missie, juga RI.

Hindu dan Islam

3. Pedesaan bercocok

tanam; padi tanaman

pokok

Komuniti petani –

differensiasi&

stratifikasi sedang;

orientasi peradaban

sisa kerajaan berdagang

Gelombang pengaruh

kebudayaan Hindu tak

dialami. Kuat pengaruh

Islam

4 Pedesaan bercocok

tanam; padi tanaman

pokok

Komuniti petani –

differensiasi&

stratifikasi complex;

orientasi bekas

kerajaan pertanian mix

kepegawaian colonial

Semua gelombang

pengaruh kebudayaan

dialami.

5 Perkotaan Perdagangan dan

industry lemah

(Pengaruh budaya semua)

6 Metropolitan Perdagangan dan

industry signifikan

namun didominasi

pemerintahan, sector

kepegawaian dan politik

daerah-nasional.Pembagian ini bisa dilihat dari beberapa kebudayaan

penduduknya antara lain, contoh pada tipe 1: kebudayaan Nias,

15

Batak, Kal-Teng, Minahasa, Flores dan Ambon. Tipe 2: Kebudayaan

Aceh, Minangkabau dan Makassar. Tipe 3: Kebudayaan Sunda, Jawa

dan Bali juga termasuk pad tipe 4. Adapun tipe 5 dan 6 beberapa

menjadi ibu kota propinsi dan kota-kota besar; Jakarta, Surabaya,

Bandung, Semarang, Medan, Palembang, yang ke semuanya itu butuh

riset khusus. Beberapa hal pula terukur dalam faktor-faktor yang

mendorong dan menghambat kemajuan dari suku-suku Bangsa.21

Sedangkan pengamatan Wertheim, hal ini dapat dibandingkan

karena beberapa karakteristik umum yang berbeda di sini sebagian

besar berdasarkan tradisi,22 antara lain:

1. Sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur, selama berabad-

abad telah ditanami secara intensif. Penanaman padi di sawah

yang beririgasi tinggi telah dikenal selama lebih dari

seribu tahun. Kepadatan penduduk sangat tinggi. Kehidupan

desa didasarkan perekonomian tertutup. Meskipun terjadi

pertukaran uang dengan desa luar, namun petani merasa cukup

dalam penghasilan kehidupan sehari-harinya dan berumah

tangga.

2. Sepanjang pantai Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Malayu, di

muara-muara sungai besar Kalimantan, dan tersebar di pulau-

pulau bag. timur, berkembang kerajaan pantai. Kerajaan ini

berbeda dengan pedalaman Jawa. Kota-kota pantai ini punya

relasi dengan kota-kota pantai Hindustan, India Luar, Cina

dan Jepang. Perdagangan kepulauan sudah berlangsung. Jelas,21 Lebih rinci dapat lihat Koentjoroningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, h. 368. Faktor tertabelkan.22 Wertheim, W.F, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, h. 2-4

16

hubungan internasional sudah tak asing bagi masyarakat

nusantara.

3. Wilayah pedalaman kerajaan pantai Sumatera dan Kalimantan

sangat berbeda dengan wilayah beririgasi yang padat penduduk

di Jawa. Penduduk di pulau-pulau besar sangat jarang. Tanah

luas dan dapat ditanami lada di samping tanaman pangan.

Sekitar 1600-an, sebagian besar Jawa Barat masih merupakan

kelanjutan hutan Sumatra. Di sini nampak hubungan antar

pulau-daerah dengan kerajaan-kerajaan saat itu sangat dekat,

akrab dan terkesan mudah.

Pembagian-pembagian di atas memberikan pengertian pada kita

bahwa masyarakat nusantara telah menciptakan karakter-karakter

besar dengan peninggalan-peninggalan yang bermakna darinya untuk

bisa lebih diperkaya hingga bangsa yang besar dan beradab ini

benar-benar berkarakter kuat-khas yang mungkin menjadi prototype

generasi ke depan.

Diperkuat oleh Edi Sedyawati, pada perkembangan berikutnya

masyarakat nusantara dari pre-historis ditemukan beberapa hasil

interpretasi akan kebudayaannya telah memberikan nilai dan

khasanah besar seperti; Teknologi, Kesenian, Tradisi Tulisan,

Agama dan Kepercayaan, Perdagangan dengan artefak-artefak yang

terwariskan hingga sekarang.23

Tak kalah hebatnya dalam hal teknologi, kecanggihan masyarakat

nusantara begitu tinggi yang nampak dalam pola kehidupan maritim,23 Untuk lebih rinci lihat, Budaya Indonesia; kajian arkeologi, seni, dan sejarah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h.63-69 & 160-170.

17

adanya transportasi bangsa-bangsa saat itu menggunakan pelayaran

yang hebat dan berteknologi canggih. Peninggalan-peninggalan

teknologi kemaritiman itu di masa kemudian sebagai warisan untuk

generasi penerus.24 Bahkan, adanya sumber daya alam seperti,

rempah-rempah, bahan wewangian (cendana-gaharu), serta kapur

barus (Barus-Aceh) saat itu menjadi sentral perdagangan yang

sudah lama dikenal para saudagar Anak Benua India (Hindu-Buddha)

dan Timur Tengah (Islam).25 indikasi berikut bahwa masyarakat

nusantara telah mengenal perekonomian-dagang-jual beli, artinya

masyarakat nusantara memiliki peranan penting dalam siklus daya

ukur pasar global.

Dalam konstruk pola hidup –pandangan dunia-, menurut

pengamatan Ali Basya (1961: 80) orang-orang primitf –yang sempat

disinggung di atas sebagai mula bangsa ini- membedakan dua hal:

pertama, perbuatan sehari-hari yang tunduk pada sebab-akibat yang

masuk akal, dan kedua, perbuatan keagamaan yang tunduk pada

sebab-akibat yang ghaib, yang tidak masuk akal. Dalam hal ini,

kita kenal pula dalam agama Nasrani dan Islam.

Menurutnya yang dikutip dari Ruth Benedict 26, bentuk-bentuk

perbuatan keagamaan dapat dibagi sebagai berikut: Menyembah para

Hyang (sembahyang) sambil berdo’a mengucapkan mantera, Menyiksa

diri agar roh berbelas kasihan kepada kita, Menjadikan tabu24 Edi Sedyawati, Budaya Indonesia, h. 30-31.25 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: Gramedia-Univ. Paramadina, 2004), h. 7-826 Mr. Ali Basya, Ibid, hlm 84.

18

sesuatu untuk menyenangkan para roh; menyerahkan milik sebagai

tanda terimakasih kepada roh-roh yang baik.

Konstruk masyarakat nusantara bisa juga dilihat dari beberapa

unsur yang telah dimilikinya hingga dapat menjadi pendekatan

dalam filsafat nusantara27, kaitannya dalam hal ini bisa

simpulkan secara de facto oleh adanya hubungan dengan keagamaan

awal; system kepercayaan Animisme, disusul dengan Hindu, Buddha,

Islam hingga masuk Kristen abad belakangan. Bahkan sekarang

nampak dengan tegas lahir agama-agama baru di Indonesia. Dalam

kebangsaan, dihadiri dari penjuru dunia; Cina, India, Arab,

Eropa, Asia, dan sebaliknya pula masyarakat nusantara pun

menghadiri penjuru dunia. Artinya masyarakat nusantara tidak

pernah merasa kekurangan, justru semakin bertambah khazanah yang

hadir di dalamnya. Sepertinya, agak sensitif bila dikaitkan soal

Teologi atau paham keagamaan berikutnya. Namun, melubernya segala

khazanah di nusantara sepertinya bagi penulis ada falsafah yang

tersimpan dan tak terartikulasikan dengan eksplisit di masyarakat

nusantara. Di sinilah muara epistemology masyarakat nusantara

hidup dan berkembang.

27 Bisa diperiksa kembali pada Ida dan Tanti, Unsur-Unsur Filsafat Nusantara, (Bandar Lampung: Makalah Fil. Nusantara, 2014), h.3-5

19

BAB II

EPISTEMOLOGI MASYARAKAT NUSANTARA

A. Kesadaran Alam & Kebudayaan

Kebanggaan dimiliki oleh masyarakat nusantara tak kunjung

habis-habisnya dari segala aspek baik itu sumber daya alam dan

kreatifitas kebudayaan manusianya. Namun, hal itu tidak lepas

dari persoalan konflik yang ada dalam proses terjalinnya suatu

peradaban. Bukti sejarah pertempuran tiap kerajaan demi kekuasaan

wilayah dan penyebarannya itu nampak suatu yang wajar karena

disebabkan kelimpahan bumi nusantara yang sangat kaya dan indah

mempesona.28 Kesadaran alam yang kaya, indah memesona tiap mata

memandang ini menjadi kewaspadaan untuk bisa dijaga bahkan

dimiliki. Suatu paradox, satu sisi memberikan keindahan kehidupan

surgawi, satu sisi memberikan musibah kematian dalam perebutan

kemenangan. Mental pertempuran sudah dimiliki pula oleh sebagian

masyarakat nusantara.

Bukan kesadaran mental kolonial yang dimaksud, tetapi

kesadaran kebersatuan dengan alam sebagai rumah rumpun bangsa-

bangsa yang tercipta di dalamnya itu menjadi bagian bersama

seperti keluarga besar bersama. Hal ini menjadi laku hidup

masyarakat tradisional yang masih murni-asali.29 Kesadaran alam28 Krisna Bayu Adji, Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Yogyakarta: Araska, 2014) hlm, 11-12.29 Wertheim. W.F, Masyarakat Indonesia dalam , Transisi; studi perubahan sosial, h. 185-185. Dipaparkan di situ, bahwa dulu kerja tradisional menjadi bagian penting dalam

20

ini, di mata masyarakat nusantara –tradisional- telah menjadi

falsafah tersendiri, seperti ungkapan “Alam Takambang Jadi Guru”,

bukan hanya tempat tinggal tetapi tanda-simbol ajaran yang telah

tersedia untuk manusia akan kesadarannya dari mana dan hendak ke

mana “Sangkan Paraning Dumadi”. Pepatah atau pituah ke-alam-an yang

murni lahir dari rahim masyarakat nusantara –tradisio- itu

bukanlah sembarang pepatah, melainkan sebagai filosofi hidup yang

eksistensial.30 Keberadaan itu berhierarkis dalam kesatuan

namanya daulat alam. Kesadaran alam akhirnya terstruktur; macan

tetap macan, rusa tetap rusa,dan masing-masing tahu diri. Dari

sini kedaulatan tuanku –Raja- merupakan jiplakan dari kedaulatan

alam, dengan begitu tatanan masyarakat menggambarkan tatanan

alam.31 Kebudayaan dengan demikian tercipta hasil olah cerminan

alam.

Tak diragukan lagi bahwa kesadaran alam yang telah dimiliki

oleh masyarakat nusantara merupakan unsur yang telah azali

sebagai manusia cerminan Ilahi, di mana alam dengan segala

unsurnya terdapat pula dalam unsur kemanusiaan. Sebagai lokomotif

kealaman itu, manusia menjadi penjaga dan pengolah dengan tepat,

baik dan segar, karenanya manusia memiliki unsur-unsur sublime-

subtil keilahian yang nampak seperti model para UtusanNya yang

menjaga alam semesta ini. Pentingnya Nabi Muhammad tampil dalam

hidup bermasyarakat dan bertatanan kerajaan-negara. Contoh, pertukran barang –barter- penghasilan menjadi pasar bersama.30 Lengkapnya lihat, A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru; Adat dan Kebudayaan Minangkabau (Jakarta: Grafitipers, 1984), h. 59-6031 Rendra, Membela Masa Depan; kumpulan orasi (Jakarta: Burung Merak Press, 2008), h. 12

21

panggung sejarah manusia, karena eksistensinya yang memanifest

Insan Kamil –uswatun hasanah- (prototype terbaik) dan

rahmatanlil’alamin (rahmat semesta). Perkembangan rahmat itu pula

terupayakan oleh sekian hadirnya banyak manusia yang telah

meginovasikan alam ini hingga tercipta sebuah kebudayaan-

peradaban.

Dari banyaknya bangsa yang primor sampai yang berkembang maju

di kepulauan nusantara melahirkan ragam kebudayaan yang terbagi

dalam 2 jenis: kebudayaan dalam lapangan kerohanian, dan

kebudayaan dalam lapangan kebendaan.32 Kerohanian dalam budi daya

cipta merupakan bagian internal-dalam diri manusia. Sedangkan

kebendaan budi daya cipta lapangan luar diri manusia. Keduanya

integral berkelindan mereproduksi dalam pertemuan ruang dan waktu

tertentu lahirlah bentuk khasanah tradisi, yang secara umum

tradisi itu terisi oleh tata nilai (agama, kepercayaan,

mythology,ideology) dan cita-rasa (pilihan naluriah dari

pergumulan inderawi, perasaan, ingatan-ingatan) yang

terpostulatkan dalam keagungan, kekuatan dan kematangan budaya

menjadi bentuk hukum adat.33

Beberapa tempat masih tersisa oleh masyarakat nusantara dengan

hukum-hukum adat yang berlaku meskipun telah terjajah Eropa, ini

membuktikan bahwa kekuatan budaya dari masyarakat nusantara

berupa tatanan aturan bersama yakni “hukum adat” sebagai sistem

sakral yang hubungannya bersifat transcendental. A. A Navis

32 Mr. Ali basya, ibid, h. 11.33 Rendra, Ibid, 65-66

22

menyinggung terciptanya aturan-hukum adat itu pula karena

banyaknya ego manusia yang perlu diatur-kendalikan agar

harmonisasi dengan alam tetap terjaga.34

Manusia dengan potensi olah jiwa; mental-psikologikal hingga

spiritual-metafisikal dalam pribadi seseorang dapat menjadi

realitas tersendiri. Sebagai realitas tersendiri itu pun tidak

lepas dari realitas luarnya, karena ia bercermin dalam

kediriannya ia pun bercermin dalam kesemestaan. Prinsip realitas

demikian terjadi di beberapa tempat yang beratmosferkan

tradisional, dalam keagamaan disebut hinduisme, ortodoksi atau

tirakat yang menjadi perjalanan manusia bertujuan dalam

penyempurnaan diri hingga Abadi, Merdeka dan Absolute.35 namun

belakangan abad modern ini fenomena kebudayaannya berkembang

dieksposisikan menjadi New-Age oleh karena pada dasarnya haus

spiritualitas dan kembali ke Timur dengan mengkompromikan

manusia-manusia modern-postmodern36, yang bisa bahayanya terkena

pseudo-spiritual, seperti paham atau perkumpulan okultisme.37

Telah disinggung bahwa sebagian besar kebudayaan awal

nusantara itu terkena unsur spiritualitas seperti Hindu dan

Buddha. Sebagaimana diketahui bahwa Hindu berkitab Veda yang

34 A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, h. 6335 Ach. Dhofier Zuhry, Filsafat Timur; sebuah pergulatan menuju manusia paripurna (Malang: Madani, 2013), h. 169-17236 Untuk lebih detailnya bisa periksa Buddy Munawar Rachman, Gagasan-Gagasan Mistik-Spiritual Dewasa ini dalam Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 45-7937 Seyyed Hossein Nasr, Tentang Tradisi dalam Ahmad Norma Permata, Editor, Perennialisme; melacak jejak filsafat abadi (Yogyakarta: Tiara Wcana Yogya, 1996), h. 153.

23

berarti Pengetahuan/ Wahyu Suci Abadi -teremanasi dan

mengiluminasi di kalangan Brahman ekspresinya berupa sabda-sabda

dan mantra-. Buddha sebagai metafisika dan buddhisme sebagai

Agama merupakan gerak intelektual dan spiritual fase lanjutan

dari Hinduisme, yang berikutnya masuk Falsafah China sebagai way

of the life.yang menjadi dasar bertahan di Tiongkok (mulanya bangsa

nusantara berasal dari Tiongkok selatan) bertujuan

mentransformasi diri pada penyempurnaan segala potensi umat

manusia.38 Dari unsur spiritualitas ini maka, masyarakat

nusantara sangatlah berkhasanahkan falsafah tradisional. Ruang

berikut merupakan epistemology-landasan dari masyarakat nusantara

pada masa awal dan perkembangannya. Dengan demikian masyarakat

nusantara dapat diindikasikan dalam pola tradisional serta

berbagai unsur spiritualitas hidup-alamiah yang secara induktif

bisa jadi berperspektifkan pada mulanya itu ialah perennialisme

kenusantaraan.39

B. Kesadaran Timur; Falsafah Tradisi Primordial-Perennial40

Timur dalam artian di sini bukanlah sebagai geografis

melainkan lanskap perspektif –simbolis, yang bila dikenal dalam

khasanah intelektual islam sebagai Isyraqiy sebagai harmonisasi

spiritualitas dan filsafat.41 Maka, terma “Timur” sebagai38 Ach. Dhofier Zuhry, Filsafat Timur, h. 49-50, 62, dan 91-95.39 Istilah ini “perennialisme nusantara” diperoleh dari Ahmad Norma Permata, Editor, Perennialisme; melacak jejak filsafat abadi (Yogyakarta: Tiara Wcana Yogya, 1996), h. 28-3040 Mungkin butuh tulisan khusus mengenai falsafah ini. Sementara sangat terbatas.41 Pelopor Isyraqi ialah Syekh Suhrawardi, lihat Seyyed Hossein Nasr, Theology, Philosophy and Spirituality. Terj, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis terj, Suharsono

24

perspektif dapat disandingkan dengan Tradisi Primordial atau pula

Perennial yang terhubung oleh Pusat –Realitas Ultim, Tuhan-,

lawannya ialah perspektif “Barat” atau Modernisme yang terputus

dari Pusat –Tuhan-.42

Huston Smith menyatakan Filsafat Perennial atau Tradisi

Primordial secara tegas itu bersifat Ontologis dalam pengertian

bahwa perhatian utamanya adalah Wujud, yang meniscayakan adanya

hierarki alam-realitas.43 Dalam hal ini sungguh tepat

pengartikulasian dan pengekspresian falsafah Perennial yang

melibatkan atau meliputi semua kebenaran dari tiap Tradisi-Agama.

Dalam Islam misalnya, terdapat tradisi mistiko-tasawuf falsafi

dengan doktrin kuatnya Wahdat al-Wujud, dan diberlangsungkan secara

transformative sistemnya dengan falsafah Shadra –Hikmah

Muta’aliyyah- bahwa realitas bergradasi-dimensional dan bergerak

tranformatif.44 Postulat berikutnya yang mustahil terbantahkan

dalam pandangan Perennial mengenai Wujud atau Realitas Ultim itu

ialah seperti ungkapan F. Schuon, dilihat dua dimensi, yakni

karena Realitas-Wujud adalah Absolut maka itu Tak Berhingga.45

Falsafah Perennial merupakan falsafah abadi dan terus

berlangsung Keberadaannya (Ontologis) dan Kebenarannya

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 69-74. Symbol ini pula bisa dilihat dalam Ahmad Norma Permata, Perennialisme, h. 42Ahmad Norma Permata/Editor, Perennialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi (Yogyakarta: Tiara Wicana, 1996), h.

43 Huston Smith, Filsafat Perennial, Tradisi Primordial, dalam A. Norma Permata, Perennialisme, h. 11844 Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, h. 76-8345 Ahmad Norma, Perennialisme, h. 10

25

(Epistemologis). Kemungkinannya bersifat terbuka dengan segala

system dan pendekatan filsafat di dalamnya berperan sebagai

disiplin logis ilmu. Sehingga memiliki beberapa karakter

falsafahnya. Karena epistemology yang digunakan ialah “Intelek”

sebagai pusat keberadaan metafisika-pengetahuan Ilahi. Dari sini

dapat disinyalir bahwa Perennialime ialah ajaran profetik yang

dilangsungkan dari tiap Nabi-Rasul, Wali, Orang suci, Saint,

Brahman, Avatar, dan sebutan tradisi lainnya yang mengabarkan

berita Ilahi-Divine, maka manusianya disebut Divinus Man-Manusia

Ilahi.46

Konteks Nusantara, sangatlah nampak memiliki khasanah

Perennial, dengan kecenderungan sifat-sifat religious, inklusif

dan perennialis. Yang lebih menonjol temuan Perennialitas itu

adanya perpaduan dari pasangan-pasangan elemen etnis, kultur

maupun religious.47 Pada tataran kosmologis yakni keberadaan

Alam–Manusia dengan segala dimensi yang berhubungan darinya

berupa intelektualitas dan sosio-spiritualitas serta fisikalnya

yang telah inheren dengan falsafah tradisio-perennial ini, maka

manusia nusantara menjadi lokus prototype yang berepistemologikan

Timur-Tradisio Primordial-Perennial, ini adalah ontologis

merupakan keniscayaan bahkan lebih dari pilihan yang memang sudah

adi kodrati. Jika pun memang harus memilih landasan yang

bagaimana manusia nusantara itu sepatutnya, maka Tradisi dan

46 Lebih lengkap uraiannya lihat, Ahmad Norma Permata, Perennialisme, h. 3-13. Sangat akrab dalam doktrin kosmologi islam “Insan Kamil”.47 Ahmad Norma, ibid, h. 14

26

Timur adalah jawabannya. Lain soal nanti memang sudah cukup

mengakar pula budaya barat di beberapa tempat nusantara.48

Dari corak di atas memberikan keterangan bahwa setiap wilayah

dengan memiliki khasanah lokal yang kuat dan terbuka juga

menyisakan akses kepada Sang Pencipta-Ilahiah dan Alam sebagai

cerminanNya yang senantiasa hidup harmonis, dengan perwakilan

setiap insan di dalamnya, baik disebut kepala suku, pimpinan umat

ataupun wali-wali itu bisa masih terasakan atmospherenya di

kepulauan nusantara ini. Bukan hendak memaksa untuk memilih

sebuah falsafah di masyarakat nusantara melainkan sebagai

kenyataan bahwa tidak mungkin dengan banyaknya masyarakat serta

alam yang luas dan iklim yang begitu berubah-ubah di suatu bangsa

tidak memiliki kekuatan falsafahnya. Dengan agak mendesak dapat

dikatakan bahwa falsafah nusantara ialah Perennialisme Nusantara.

Dan itu terbukti periodisasi yang dilewati masyarakat atau

insane-insan unggul di dalamnya dalam mempertahankan tanah-air

hingga merdeka tercetus Piagam Jakarta dan Pancasila lalu UUD

sebagai falsafah yang memfondasikan nilai “Ketuhanan Yang Maha

Esa” di awal sebagai Ruh bangsa dan masyarakat di dalamnya.

C. Transformasi Peluang dan Tantangan Masyarakat Nusantara

Berbagai suku-bangsa serta kebudayaan dan agama yang

tertampungi dalam kepulauan nusantara ini, amatlah sensitive bila

tiada pengertian bersama di lingkaran Bhineka Tunggal Ika. Tidak

asing bagi kita melihat polemik etnik Cina, Indo, Arab dan lokal.48 Bisa diperiksa kecenderungan pilihan ini sudah diupayakan dari beberapa kalangan cendikia perennial, lihat, Ahmad Norma, Perennialisme, h. 14 dan 28-30

27

Konflik antar dan intern Agama. Masyarakat yang brutal karena

perut lapar. Korupsi membudaya sebab longgarnya hukum. Bangsa

yang kini sudah melewati berbagai fase hingga kemerdekaan ini pun

masih dalam transisi dan proses bersama menuju suatu proyeksi

yang terterap dalam Pancasila. Hal ini seperti yang dilihat Cak

Nur49, kenusantaraan sebagai wilayah dan pola kehidupan

masyarakatnya satu sisi penuh kebudayaan hibrida kekayaan, namun

satu sisi rentan “terjajah”.

Tanpa sengaja penulis dengar berita pagi TVRI-30 Oktober

2014-, mengabarkan bahwa Menteri Luar Negeri Republik Indonesia

mengumumkan Indonesia ke depan siap menjadi Poros Maritim

Nusantara. Artinya, kesadaran bermaritim-nusantara hendak

digerakkan secara massive. Mengingat pula bulan ini hadirnya

Sumpah Pemuda, maka patutlah menjadi agenda besar bersama tiap

kalangan –muda/tua- di tiap suku-bangsa yang telah cukup mapan

pada kebudayaannnya masing-masing itu, baik di dataran tinggi,

rendah ataupun perairan, tak pandang kelas. Namun, lautan masih

misteri Bung!.

Dengan kemisteriannya itu, setidaknya memberikan spirit

pelayarannya. Nilai-nilai serta khasanah yang terpendam di dasar

samudera takkan pernah hilang, ia selalu terjaga. Tradisi serta

Falsafah Timur melekat dalam tubuh air-tanah bumi nusantara.

Keyakinan itu sebagai modal utama dalam menjelajahi segala

peluang dan tantangan besar bangsa ini. Ruang besar kerja-karya

49 Lebih detail lihat, Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: Gramedia-Univ. Paramadina, 2004), h. 7-8

28

kreatif anak bangsa nusantara tak terbatas -langit terbuka,

gunung tersusun termenung, matahari selalu tersenyum, dan lautan

membentang menyapa- hendak memompa kapal pesiar bangsa ini melaju

landas hingga layar menyimpan angin selama-lamanya. Kesadaran

Alam, kesadaran kebangsaan-kebudayaan menyatu padu dalam jiwa

putera-puteri nusantara –fitrah-.

Maka, patutlah keproporsionalitasan peran putera-puteri bangsa

di segala elemen laku kehidupan berbangsa dan bernegara disokong

bersama –gotong royong-, antara lain: Kerja Intelektual –

Pendidikan-, Keagamaan, Kesehatan, Perekonomian, Keterampilan

Budaya- Sosial-Politik, Pertahanan, Olahraga, LSM/Ormas dan

segenap elemen pendukung kinerja masyarakat nusantara seluruhnya.

dengan begitu sangat memungkinkan bagi generasi-generasi

berikutnya untuk bisa mentranfosmasikan kedirian-pribadian-

bangsa yang patent dan utuh sesuai masa dan kondisi yang berlaku

di dalamnya. Segala sokongan itu bukanlah sekedar “kepentingan

sesaat” –pragmatis- melainkan memupuk kesadaran besar dengan

agenda-agenda besar yang revolusioner dan progressive. Cukup baik

kiranya bila Presiden kali ini membenturkan jargon ke mental kita

dengan bunyi “revolusi mental”, yang secara implicit sepertinya

menuju kesadaran spiritual sebagai epistemology dan ontologi

masyarakat nusantara seutuhnya.

PENUTUP

A. Penutup-Kesimpulan

29

Dari segelintir pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa

masyarakat nusantara secara eksistensial memiliki nilai peradaban

di mata bangsa dunia. Dalam mata bangsa dunia itu menjalin

hubungan kebangsaan, pola yang mendominasi ialah kemaritiman,

kuatnya kerajaan pesisir sebagai pintu awal dan pertahanan

kepulauan. Selebihnya pedalaman dan pegunungan. Dalam konstuk

kemasyarakatan nusantara nampak karakter yang kuat ialah gotong-

royong, keterbukaan dan primordial-tradisional. Kolektivitas

terjalin, ingat permainan anak-anak yang ada di nusantara?

Semuanya berkolektif, beda dengan sekarang yang berhadapan dengan

monitor!

Secara epistemik, masyarakat nusantara sangat melandasi

kesadaran azali yakni primordialitas-perennial; keberadaan dan

kebenaran abadi, hubungan yang tak putus-putus itu

terselenggarakan dengan Kesadaran Alam-Kebudayaan dan lebih utama

lagi ialah Kesadaran Ilahi-Tuhan-Transendental, dengan begitu

tidaklah asing mengenal para Wakil Tuhan yang berkeliaran di

pulau Nusantara ini sebagai manusia langit ia menjaga alam bumi

nusantara. Sebagai missal yang paling norak, fenomena dukun

sangat menebal di pulau nusantara. Tapi, yang lebih azali itu

ialah khasanah Intelektual dari para Insan-Insan langit di bumi

nusantara. Produk kebudayaan primordial pun sangat teknologik.

Ex,; rendang, gudeg, telor asin yang tak terduga sebagai lauk

pauk untuk penjagaan berhari-hari tanpa memerlukan alat pengawet

seperti kulkas sekarang ini. Ilmu Sains teknologi supra rasio-

30

tradisional-perennial; keterpaduan utuh spiritual-material inilah

landasan dan pilihan masyarakat nusantara.

Wassalam, Wallahu a’lam.

BACAAN PILIHAN

Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila (Jakarta: CSIS,

1976)

FA. Sutjipto, dkk, Sejarah Nasional Indonesia IV (Jakarta: Balai

Pustaka, Depdikbud, 1977)

Ir. Eko Budihardjo, Menuju Arstitektur Indonesia (Bandung: Alumni,

1983)

Presiden Soekarno, Amanat Proklamasi IV 1961-1965 (Jakarta: Inti

Idayu Press, 1986)

Ahmad Norma Permata/Editor, Perennialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi

(Yogyakarta: Tiara Wicana, 1996)

Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: Gramedia, 2004)

Sapardi Djoko Damono, dkk, Revolusi, Nasionalisme, dan Banjir Roman;

kumpulan esai (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2005)

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)

Rendra, Membela Masa Depan; kumpulan orasi (Jakarta: burung Merak

Press, 2008)

31

James T. Collins, Malay, World Language: a short history. Terj. Alma

Elvita Almanar, Bahasa Melayu Bahasa Dunia; sejarah singkat (Jakarta:

YOI, 2011) cet ,II

Krisna Bayu Adji, Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara

(Yogyakarta: Araska, 2014)

Tashwirul Afkar , jurnal refkleksi pemikiran keagamaan dan kebudayaan; Filologi

Nusantara (Jakarta: Lakpesdam NU, 2014) ed. 34.

32