Upload
independent
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim,
Salam Sejahtera untuk kita semua yang selalu diberkahi Tuhan Maha Esa.
Puji syukur atas Rahmat-Hidayah Kasih Sayang Allah SWT yang
selalu hadir mengalir tak putus-putus kepada seluruh semesta
alam, yang mana kita di sini dan kini masih bisa mengetahui dan
merasakan nafas kehidupan. Rahmat dan Hidayat Allah SWT yang
berlimpah itu terwakili dalam cinta baginda Rasul Muhammad SAW
yang mulia sebagai percontohan terbaik umat manusia, sholawat dan
salam serta permohonan syafa’at kepada beliau, amen.
Rasa syukur itu semoga sekarang dapat terwakili dengan
terhidangnya makalah kali ini di hadapan pembaca dengan judul
Landasan dan Pilihan Ontologis Masyarakat Nusantara, diharapkan
nantinya akan menjadi pembahasan, kajian dan pembelajaran bersama
sebagai wawasan dan pengetahuan dalam kelas perkuliahan Filsafat
Nusantara.
Namun, selesainya penulisan bukan berarti keberakhiran,
karena tiada yang sempurna selain kesempurnaan itu sendiri. Maka,
segala hal berupa kritik, saran atau apapun bentuknya menuju pada
kesempurnaan dalam kajian ini sangat diharapkan dari para teman-
teman tercinta sidang pembaca. Tak lupa kepada pihak yang
memperlancar penulisan ini kami ucapkan terimaksih yang special,
kepada Mba Tanti “thx Mba atas saran pembuatan kartu perpusnya serta kopi
hitamnya”, Sdri Nisa “thx Nis, atas obrolannya n ide-ide ke depannya” dan
1
Sdri Ida “thx yah atas pinjaman makalahnya n komunikasinya” , “Selamat
untuk kalian berdua yang telah bisa diwisuda”. Dengan demikian,
kurang dan lebihnya kami haturkan maaf dan terimakasih yang
setepat-tepatnya. Sekian, semoga menjadi manfaat dan berkah kita
bersama untuk dapat kembali dan mengakrabi Yang Azali-Hakiki.
Amen.
Wassalamu’alaikum warahmatuLlaahi wabarakaatuh.
Tanjung Karang Pusat, 30 Oktober 2014
Pemakalah,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Abad kontemporer belakangan ini gandrung akan kegiatan
penggalian kembali-research suatu bangunan falsafah sebagai basis-
akar peradaban dan identitas sebuah Bangsa-Negara yang di
dalamnya terdiri dari berbagai lokus kebudayaan manusia agar
tidak lagi krisis eksistensial. Indonesia Raya sebagai Negara
yang terus berproses menjadi lokus peradaban di mata dunia telah
terekstrakkan dengan falsafah bangsanya berupa Pancasila, UUD
kemerdekaan yang secara lahir-bathin dapat diartikulasikan ke-
Bhineka Tunggal Ika-annya sebagai peradaban kepulauan Nusantara
2
dengan khasanahnya yang kaya, namun Nusantara kini telah sangat
memprihatinkan.1
Secara historis, perjalanan Negara Indonesia dengan ragam dan
kayanya sumber daya tak bisa diabaikan begitu saja. Auman Singa
Bangsa Presiden Soekarno terus terngiang, “Jangan sekali-kali
meninggalkan sejarah”, statemen ini bukan tanpa latar belakang,
dalam pidatonya yang mengobarkan api semangat rakyat itu
mengingatkan bahwa bangsa Indonesia telah memiliki kesadaran jiwa
satu dan bersama yakni kemerdekaan dan gotong royong, untuk itu
revolusi patut diperjuangkan dengan terus menentang imperialisme,
maka kita harus percaya diri dan bangga akan keaslian bangsa kita
yang sejati yang telah diakui oleh bangsa-bangsa lain.2
Sebuah riset menunjukkan adanya peninggalan Peradaban
“Atlantis” Nusantara, rupanya telah unggul lebih dulu diabanding
peradaban China, Arab dan India apalagi Eropa3. Pencapaian-
pencapaian riset itu tidak lepas dari beragam relevansi dan
signifikansi tidaknya nilai itu. Dalam hal ini, kecenderungan
kesadaran sejarah kepulauan ini makin tampil yang tentu tidak
tanpa sebab, terutama benturan yang substantif dalam falsafah
beserta peristiwa besarnya itu hadir secara ontologis bermuara
1 Nabilah Lubis, dalam wawancara di Jurnal Refleksi Keagamaan & Kebudayaan Tashwirul Afkar: Filologi Nusantara (Jakarta: Lakpesdam NU, 2014) edisi No, 34, h. 1352 Detailnya lihat, Presiden Soekarno, Amanat Proklamasi IV 1961-1966 (Jakarta: IntiIdayu Press, 1986), h. 197-2263 Ahmad Yanuan Samantho, Peradaban Atlantis Nusantara; berbagai penemuan spektakuler yang makin meyakinkan keberadaannya (Jakarta: Ufuk Press, 2014). Dalam riset yang penuh spekulasi-imaji-harap ini nyaris membuat pembaca tidak hanya beromantikamelainkan merasa percaya diri bahwa jati diri bangsa kita sebagai masyarakat nusantara dulu telah memiliki peradaban awal yang canggih.
3
dari biasnya epistemologi falsafah di muka bumi ini, embrio
pembiasan itu dikokang oleh filsafat modernisme dengan corak
pemikiran dualistis-reduksionis-koruptif-eksploitatif dan
seterusnya yang membuat berbagai krisis timbul di tiap-tiap
peradaban bangsa.4 boleh kita bertanya pada diri kita, produk
apakah kita?
Secara ontologis, sebuah peradaban layaknya iklim yang terus
berputar dan berganti. Babak per babak hadir di hadapan kita
sebagai blueprint perjalanan bangsa manusia. Babak awal yang
menyisakan peradaban dan terpilih itu bermula dari keturunan
seorang bapak yang sama, yakni Nabi Nuh a.s, isyarat kapal
merupakan sisa manusia pilihan selanjutnya sebagai Bani Adam.5
Amat istimewa bahwa seluruh manusia di muka bumi hadir melalui
Rahim dan Bapak seorang Nabi-utusan Tuhan. Untuk itu,
memungkinkan adanya kebenaran bahwa peradaban-peradaban bangsa di
dunia ini menjalin perpaduan antar satu peradaban dengan lainnya
tetap dalam perumahan bangsa, termasuk di dalamnya Nusantara.
4 Rene Guenon, The Crisis of The Modern World, (Sophia Perennis, 2001) bab I dengan judul The Dark Age. Di situ diterangkan bahwa bangunan dari falsafah modern dalam pandangan tradisional merupakan filsafat profan. “what is called the Renaissance was in reality not a re-birth but the death of many things”,h. 15-165 Ibnu Katsir menyebutkan ketiga anak Nabi Nuh yang tersisa itu al: Sam, Ham, dan Yafits. Lih, Sami’ bin Abdullah al-Maghlouth, Sejarah para Nabi & Rasul; menggali nilai-nilai kehidupan para utusan Allah. Terj. (Jakarta: Almahira, 2011) cet, III, h. 79.Diriwayatkan bahwa Sam ialah bapak orang Arab, Ham adalah bapak orang Habsyi, dan Yafits adalah bapak orang Romawi (Yunani). Sebagai jilid baru keturunan manusia-manusia yang tersisa, dari ketiga ini bangsa-bangsa lahir dan mendiaspora di muka bumi. Bisa pula dilihat dalam kitab suci Q.S ash-Shaffat:77. Bila dibandingkan dengan sejumlah riset manusia purba, seperti teori Darwinisme-evolusionisme hingga proses menuju manusia fisikal itu, tentu banyak yang menentangnya apalagi mengguyoninya.
4
Tentu membahas ke-Nusantara-an tak lepas dari problematikanya.
Seperti yang digelisahkan filolog ternama Nabilah Lubis di atas,
barangkali ini disebabkan pemaksaan system norma Eropa
(positivism, neo-positivisme) terhadap tradisi Asia (keagamaan).6
Di mata Gus Dur disinggung bahwa “Sejarah lama kita sebagai
bangsa memang sangat menarik. Rasa tertarik itu timbul dari
kenyataan bahwa yang tertulis sering tidak sama dengan yang
terjadi. Dengan kata lain, sejarah masa lampau sering dijadikan
sebagai alat legitimasi kekuasaan”.7 Sebuah kenyataan yang
berikutnya melatarbelakangi banyaknya kegiatan riset dan kajian-
kajian khasanah lampau.
Dalam penulisan ini, bukan alasan karena keterbiasan konteks
sejarah, serta imaji spekulatif peradaban yang dicipta melalui
karya-karya para putera/i bangsa belakangan, tetapi karena
keterbatasan kemampuan riset penulis yang dapat dihadirkan dalam
penelitian ini membuat kajiannya terbatasi pula demi upaya
mengurai secara deskriptif-analitis tentang ontologi masyarakat
nusantara, kajian ini merupakan lanjutan dari pengembangan
makalah-makalah sebelumnya yang bermula dari Historisitas Filsafat
Nusantara, oleh Siti Masyiam dan Syafiuddin dan Unsur-Unsur Filsafat
Nusantara, oleh Ida Munfarida dan Tanti Widiyastuti. Dengan
6 Lihat, Abdul Hadi W.M, Hermeneutika Sastra Barat & Timur (Jakarta: Sadra Press, 2014)hlm, 147. Terdapat corak perbedaan yang amat jauh antar Barat dan Timur dalam hermeneutika karya sastra, sebagai pergulatan peradaban berikutnya tendensi itu nampak oleh kalangan orientalis pada abad 19-20.7 Abdurrahman Wahid, Membaca Sejarah Nusantara; 25 kolom sejarah Gus dur (Yogyakarta: LKiS, 2010) hlm, 1.
5
begitu, judul yang bisa diterima dan dieksplore ialah “Landasan
dan Pilihan Ontologis Masyarakat Nusantara”.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang telah dikemukakan secara eksplisit dapat
dirumuskan demikian:
1. Apa itu Masyarakat Nusantara itu? Seperti apa Modelnya?
2. Bagaimana landasan-epistemologi Masyarakat Nusantara itu?
C. Tujuan Pembahasan
Tinjauan pembahasan dari sumber yang terbatas ini, setidaknya
penulis memiliki tujuan, antara lain:
1. Sebagai pemenuhan rangkaian kajian dalam kelas Filsafat
Nusantara di Falsafah Agama-Program Pasca Sarjana, IAIN
Raden Inten Bandar Lampung 2014.
2. Sebagai penambahan khasanah pengetahuan-wawasan serta
penguraian landasan epistemologis-ontologis masyarakat
nusantara secara tepat.
6
BAB II
ONTOLOGI MASYARAKAT NUSANTARA
A. Keragaman dan Kesatuan Bangsa
Barangkali di sini sebagai bukti atau isyarat yang
mengindikasikan bahwa masyarakat nusantara itu bersaudara-
etnikal, inklusif-satu rumpun, berdarah maritime-kawin silang
budaya kepulauan, serta bernenek moyang yang sama itu dapat
dilihat dari ilmu kebangsaan, dengan penelitian historis-
antropologis-geografis dan segala macam bidang teknik ilmu
lainnya yang terisetkan bahwa:
“Nenek moyang Indonesia bukanlah mulanya dari Indonesia,
tetapi dahulu kala mereka datang dari daratan Asia yang
berasal dari Junan, yaitu suatu tempat Tiongkok bagian selatan
pada hulu sungai Mekong. Di sinilah tanah air nenek moyang
kita yang pertama hingga pada perjalanan selanjutnya mereka
meninggalkan junan, sebagian pindah ke arah selatan menuju ke
India belakang yang terbentuk suku bangsa monkmer, dan
sebagian meneruskan ke India terbentuk suku mundha dan Santali.
India belakang sebagai tanah air kedua dari nenek moyang kita,
berkisar 1500 SM ditinggalkan lalu menuju kepulauan selatan
7
(austro) Asia, yang disebut berikutnya Austronesia itu merupakan
tanah air yang ketiga dari nenek moyang kita”.8 Fakta bahwa
memang nenek moyang kita dulunya seorang pelaut-maritim,
seperti lagu “Nenek Moyangku Seorang Pelaut, dst” (Ibu Soed, 1940).
Dalam ilmu bangsa-bangsa pula, masyarakat di kepulauan
nusantara dapat digolongkan dalam ras Mongoloid, diantaranya:
1. Ras kulit kuning atau Ras Asiatic Mongoloid, termasuk
beberapa ras orang tiong hoa, Jepang. 2. Ras kulit sawo matang
atau Ras (Indonesia) Melayu. 3. Ras kulit merah atau Ras
Indian Amerika. Kaum migrant Mongoloid ini bercampur dengan
Caucasoid (India) dan Negroid, dengan percampuran itu
terjadilah orang-orang Indonesia yang sebagian besar berasal
dari Ras Mongoloid, sedangkan Ras Caucasoid dan Negroid berada
di daerah terpencil tertentu.9 Di sini menunjukkan bahwa alam
bumi nusantara sebagai kepulauan terbuka jalur kehidupan
bernusantara yang nyaris tak bertuan awalnya, dengan begitu
sangat mudah untuk dibentuk babak kehidupan manusia
bermasyarakat menusantara sesuai konteks alamnya yang
“terbuka” dan “dalam” seperti lautan, serta alam yang
menjulang ke “atas” dan “melangit” seperti pegunungan. Maka
besar kemungkinan ada masyarakat pesisir dan pegunungan itu
lama mula bermukim.
Luasnya kepulauan Austronesia menciptakan kebudayaan yang
mulanya sama menjadi berbeda, dapat dibagi dalam 4 lingkungan8 Mr. Ali Basya Lubis, Azaz-Azaz Ilmu Bangsa-Bangsa; azaz-azaz antropologi budaya (Jakarta: Erlangga, 1967) h. 15.9 Mr. Ali Basya, ibid, h. 112.
8
daerah kebudayaan: Indonesia, Micronesia, Melanesia, Polynesia. Sebelum
penduduk Austronesia dari Tiongkok Selatan itu menetap di
Indonesia, telah terdapat pula suku-suku bangsa lain; suku
Wedda dan Negrito (suku Caucasoid dan Negroid tadi). Mereka telah
mendiami sejak sebelum sejarah dengan kebudayaannya yang
Paleolithikum (kebudayaan batu tua), dua suku ini memengaruhi
suku-suku pedalaman. Perkembangan selanjutnya, terdapat ras
Melayu yang disebut pula bangsa Melayu. Melayu dalam arti
sempit berarti penduduk Malaka dan Sumatera Timur serta
penduduk yang berdiam di sekitar Selat Malaka yang bahasa
daerahnya dikenal sebagai bahasa Melayu. Melayu dalam arti
luas berarti segala bangsa yang terdapat di tanah air (kecuali
penduduk Halmahera utara dan Irian yang mempunyai bahasa
daerah masing-masing). Bangsa Melayu besar dibedakan pula
menjadi Melayu Tua (Proto) yang kebudayaannya masih sedikit
bercampur dengan kebudayaan asing, misalnya bangsa Batak,
Toradja, Dayak dan sebagainya. Berikutnya, Melayu Muda
(Deutro) yaitu bangsa-bangsa yang kebudayaannya sudah banyak
bercampur Hindu, Islam dan sebagainya, seperti bangsa Djawa,
Sunda, Minang-kabau dan sebagainya yang pada umumnya berdiam
di pesisir kepulauan kita.10 Meskipun berbeda yang nampak pada
etnik namun, akarnya tetap sama.11 Persilangan budaya dalam
masyarakat nusantara menjadi embrio terciptanya bangsa-bangsa
10 Mr. Ali Basya, ibid, h. 1511 Wertheim, W.F, Indonesian Society in Transition; a study of social change. Terj, Misbah Zulfa Elizabeth, Masyarakat Indonesia dalam Transisi (Yogya: Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 2
9
berikutnya yang semua tetap dalam satu rumpun bangsa etnis
bukan bangsa politis (Negara).
Lebih jauh lagi budayawan Rendra mengeksplore bahwa jauh
sebelum ada Negara dan peradaban Eropa, masyarakat nusantara
telah berlaku kebangsaan, akrab dengan dunia intelektual
hingga melahirkan banyak khasanah pengetahuan dan karya sastra
dengan tanpa adanya kesenjangan sosial, memiliki lingua franca
yang bermusiman dari Jawa Kuna hingga Melayu serta
penghitungan waktu –kalender-. Fase di mana kejayaan nusantara
lebih dulu beradab jauh sebelum Eropa yang dianggap beradab
itu. Di daerah-daerah kita telah menciptakan hukum adat. Orang
Sulawesi misalnya melantangkan “merdeka orang wajo hukum kami
pertuankan”. Karena dulu sudah ada ahli-ahli bangsa dan
kenegaraan lokal nusantara.12 Tak heran bila belakangan ini di
kalangan akademisi bergiat dalam kajian filologi, termasuk
karya dari Sulawesi itu berjudul Illa-galligo yang lebih banyak
halamannya dibanding karya epos Mahabharata-Ramayana.
Manuskrip asli ini masih ada di Belanda.
Secara global, kesadaran berkebangsaan ini rupanya tidak
bisa dilepas oleh masyarakat nusantara dari abad ke abad.
12 Rendra, wawancara Impact tv, 2004. Bahasa melayu saat itu pun menjadi bahasadunia yang diriseti merupaka bahasa turunan Austronesia Purba yang berada sekarang di Kalimantan barat, lihat James T. Collins, Malay, World Language: a shorthistory. Terj. Alma Evita Almanar, Bahasa Melayu Bahasa Dunia; sejarah singkat (Jakarta: Obor, 2011) h. 4-5. Dinyatakan pula bahwa bahasa ini lingua franca Asia Tenggara; merupakan bahasa kerajaan, keagamaan dan milik seluruh bangsa dipergunakan sehari-hari; perdagangan pasar-pelabuhan. Peran dan posisinya benar-benar melampaui cakupan fungsi dari bahasa-bahasa yang diketahui orang-orang Eropa. Hlm, 32.
10
Layaknya ombak dengan lautan. Arus yang kencang mengguncang
masyarakat nusantara tak henti-henti itu turut mendewasakan
diri. Pada titik tertentu, masyarakat nusantara dengan
kerajaan-kerajaan yang mewakilinya dari bangsa-bangsa yang ada
itu bagaikan karang yang menerima apapun keadaan ombak.
Hempasan dan terjangan itu antaralain pengaruh-pengaruh bangsa
yang cukup melekat pada sector keagaman, India-Hindu, China-
Buddha, Arab-Islam dan paling belakang Eropa (Portugis,
Spanyol, Inggris, Belanda)-Kegerejaan. Yang dari kesemuanya
itu Islamlah mendominasi di masyarakat nusantara, karena ia
datang sebagai pemberian disiplin Agama, sedangkan yang lain
seperti Hindu dan Budha masuk sebagai pembentukkan
kebudayaan.13 Hal ini dilihat karena pengaruh penetrasi
kolonial Barat-Eropa yang makin menggumpal di abad belakangan,
maka perlunya reformasi keagamaan di masyarakat nusantara.14
Spirit keagamaan masyarakat nusantara telah me-nubuh dan ini
bukti spritualitas yang cair di atmosphere masyarakat
nusantara.
Hal ini dipertegas oleh Soekmono (1973: 116-117), bahwa
Islam dapat mudah diterima oleh kalangan masyarakat nusantara
yang mulanya bercorak animisme, lalu disusul Hinduisme dan
Buddhisme itu karena adanya disiplin mistik-tasawuf dalam
Islam yang akrab dan ramah dalam keintiman hamba dengan Tuhan.
Artinya, disini jiwa masyarakat nusantara sangatlah kaya
13 R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (Yogyakarta: Kanisius, 1973),h.11814 Wertheim, W.F, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, h. 153
11
dengan hadirnya banyak sipritualitas kebangsaan di dalamnya.
Bhineka Tunggal Ika oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma
sangatlah tepat dalam pengartikulasian demikian.15
Persilangan ajaran budaya-agama antar kerajaan terjadi,
seperti Kertanegara dengan benturan hindu-Budha itu lahirlah
Candi Prambanan.16 Secara tidak langung, tak dapat disangkal
bahwa masyarakat nusantara sudah sangat kenal dengan ajaran
ilahiah-langit yang transcendental dan itu menubuh serta
mendarah daging di alam bumi nusantara.
Sementara ini, dapat disederhanakan bahwa masyarakat
nusantara sebagai bangsa yang satu akar yang sama sekaligus
plural ialah merupakan masyarakat yang sadar akan keterbukaan
alam –langit dan bumi- dengan segala unsurnya, sadar akan daya
cipta olah kebudayaan –pengetahuan, perniagaan, politik-
kenegaraan, pelayaran-maritimnya, sadar akan eksistensi
sebagai manusia beragama –spiritualitas-, serta sadar akan
keberlangsungan hidup holistik Tuhan-Manusia-Alam. Yang semua
ini telah terwakili dalam ekstraksi falsafah bangsa Indonesia,
yakni –Pancasila-.17
B. Karakteristik Masyarakat Nusantara
15 Untuk lebih jelas dapat periksa Wertheim, W.F, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, h. 1-10.16 Abdurrahman Wahid, Membaca Sejarah Nusantara. Hlm, 2-3.17 Bisa dibandingkan dengan makalah Fil. Nusantara oleh Siti Masiyam dan Syaifuddin, Historisitas Filsafat Nusantara h. 12. Dinyatakan di situ bahwa “Pancasilaialah Epistemology Filsafat Nusantara”.
12
Bermula dari hubungan yang kuat dengan alam; tumbuhan,
binatang dan segala unsur alami –benda hidup/mati- di bumi
nusantara ini telah menghadirkan suatu kepercayaan animisme
(paham kepercayaan terhadapa roh yang kuat dari manusia itu
sendiri). Kepercayaan ini makin tumbuh dengan adanya kekuatan
orang-orang suci yang telah meninggal dunia atau para leluhur
masyarakat setempat, sehingga itu terus dipelihara seperti
upacara selamatan, dan seterusnya. Dengan itu, kesuburan alam dan
kesejahteraan masyarakat dianggap tergantung dari para leluhur
suci. Berikutnya, memungkinkan hadirnya kepercayaan dinamisme;
sebuah kepercayaan dalam beberapa benda yang hidup dan yang mati,
sebab sifatnya yang luar biasa karena kebaikan dan keburukannya
dianggap suci, oleh karena itu pula dapat memancarkan pengaruh
baik atau jelek terhadap manusia dan dunia sekitarnya, seperti
benda keramat, jimat, keris, dan lain-lain. 18 Dari fenomena
bangsa awal yang disebut primitive (asli) ini mengindikasikan
bahwa masyarakat nusantara dulu sudah terkonstruk pada kesadaran
alam diri dan di luar dirinya –kekuatan ghaib- dan supranatural.
Secara natural, dalam kebutuhan pokok hidup manusia seutuhnya
tidak dapat diasingkan dari tiga hal berikut, yakni: Sandang,
Pangan dan Papan. Sebagai kebutuhan itu tentunya manusia dulu dan
sekarang tetap pada pokok utama ini, namun coraknya yang berbeda
menuntut pola hidup yang berbeda pula. Secara spekulatif,
mengindikasikan bahwa masyarakat nusantara terkonstruk oleh alam
yang natural baik yang hidup di daerah terpencil –pedalaman-,
18 Mr. Ali Basya, ibid, hlm, 21-23.
13
pegunungan maupun pesisir yang meniscayakan terbentuknya tubuh
pola masyarakat nusantara itu alamiah. Maka, ramailah kebudayaan-
kebudayaan yang hadir menyesuaikan ruang dan waktunya. Dengan
begitu banyak tercipta pula golongan-golongan manusia terkhusus
bagi masyarakat nusantara.19 Kontruksi masyarakat nusantara di
sini memperkuat bahwa bangsa-bangsa di dalamnya bersaing secara
ketat dan bertahan hidup meng-alam sampai paripurna yang
menelurkan generasi keturunannya masing-masing.
Secara sosio-kultural, hasil penelitian Koentjoroningrat dkk,
mengklasifikasikan masyarakat nusantara menjadi masyarakat
Indonesia yang telah dianalisis dari tiap daerah itu, antara
lain:20
No Tipe masyarakat System masyarakat Pengaruh agama-
kebudayaan1 Berkebun; ubi
jalar, keladi,
kombinasi berburu
dan meramu.
persawahan tak
dibiasakan.
Desa terpencil, tanpa
differensiasi-
stratifikasi berarti,
gelombang pengaruh
kebudayaan menanam
padi, kebudayaan
perunggu
Pengaruh kebudayaan
Hindu dan Islam tidak
dialami; isolasi dibuka
oleh Zending dan Missie.
2. Pedesaan bercocok Komuniti petani – Pengaruh kebudayaan
19 Detailnya lihat, Mr. Ali basya, hlm 48-51. Di situ digolongkan bahwa tiap bangsa mengenal pembagian menurut ukuran usia, kelamin, tingkatan kedudukan, kesediaan untuk bekerja.20 Detail lihat, Koentjoroningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Sapdodadi: Djambatan, 1971), h. 32-33.
14
tanam; padi tanaman
pokok.
differensiasi&
stratifikasi sedang;
orientasi kepegawaian
colonial-Zending,
Missie, juga RI.
Hindu dan Islam
3. Pedesaan bercocok
tanam; padi tanaman
pokok
Komuniti petani –
differensiasi&
stratifikasi sedang;
orientasi peradaban
sisa kerajaan berdagang
Gelombang pengaruh
kebudayaan Hindu tak
dialami. Kuat pengaruh
Islam
4 Pedesaan bercocok
tanam; padi tanaman
pokok
Komuniti petani –
differensiasi&
stratifikasi complex;
orientasi bekas
kerajaan pertanian mix
kepegawaian colonial
Semua gelombang
pengaruh kebudayaan
dialami.
5 Perkotaan Perdagangan dan
industry lemah
(Pengaruh budaya semua)
6 Metropolitan Perdagangan dan
industry signifikan
namun didominasi
pemerintahan, sector
kepegawaian dan politik
daerah-nasional.Pembagian ini bisa dilihat dari beberapa kebudayaan
penduduknya antara lain, contoh pada tipe 1: kebudayaan Nias,
15
Batak, Kal-Teng, Minahasa, Flores dan Ambon. Tipe 2: Kebudayaan
Aceh, Minangkabau dan Makassar. Tipe 3: Kebudayaan Sunda, Jawa
dan Bali juga termasuk pad tipe 4. Adapun tipe 5 dan 6 beberapa
menjadi ibu kota propinsi dan kota-kota besar; Jakarta, Surabaya,
Bandung, Semarang, Medan, Palembang, yang ke semuanya itu butuh
riset khusus. Beberapa hal pula terukur dalam faktor-faktor yang
mendorong dan menghambat kemajuan dari suku-suku Bangsa.21
Sedangkan pengamatan Wertheim, hal ini dapat dibandingkan
karena beberapa karakteristik umum yang berbeda di sini sebagian
besar berdasarkan tradisi,22 antara lain:
1. Sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur, selama berabad-
abad telah ditanami secara intensif. Penanaman padi di sawah
yang beririgasi tinggi telah dikenal selama lebih dari
seribu tahun. Kepadatan penduduk sangat tinggi. Kehidupan
desa didasarkan perekonomian tertutup. Meskipun terjadi
pertukaran uang dengan desa luar, namun petani merasa cukup
dalam penghasilan kehidupan sehari-harinya dan berumah
tangga.
2. Sepanjang pantai Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Malayu, di
muara-muara sungai besar Kalimantan, dan tersebar di pulau-
pulau bag. timur, berkembang kerajaan pantai. Kerajaan ini
berbeda dengan pedalaman Jawa. Kota-kota pantai ini punya
relasi dengan kota-kota pantai Hindustan, India Luar, Cina
dan Jepang. Perdagangan kepulauan sudah berlangsung. Jelas,21 Lebih rinci dapat lihat Koentjoroningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, h. 368. Faktor tertabelkan.22 Wertheim, W.F, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, h. 2-4
16
hubungan internasional sudah tak asing bagi masyarakat
nusantara.
3. Wilayah pedalaman kerajaan pantai Sumatera dan Kalimantan
sangat berbeda dengan wilayah beririgasi yang padat penduduk
di Jawa. Penduduk di pulau-pulau besar sangat jarang. Tanah
luas dan dapat ditanami lada di samping tanaman pangan.
Sekitar 1600-an, sebagian besar Jawa Barat masih merupakan
kelanjutan hutan Sumatra. Di sini nampak hubungan antar
pulau-daerah dengan kerajaan-kerajaan saat itu sangat dekat,
akrab dan terkesan mudah.
Pembagian-pembagian di atas memberikan pengertian pada kita
bahwa masyarakat nusantara telah menciptakan karakter-karakter
besar dengan peninggalan-peninggalan yang bermakna darinya untuk
bisa lebih diperkaya hingga bangsa yang besar dan beradab ini
benar-benar berkarakter kuat-khas yang mungkin menjadi prototype
generasi ke depan.
Diperkuat oleh Edi Sedyawati, pada perkembangan berikutnya
masyarakat nusantara dari pre-historis ditemukan beberapa hasil
interpretasi akan kebudayaannya telah memberikan nilai dan
khasanah besar seperti; Teknologi, Kesenian, Tradisi Tulisan,
Agama dan Kepercayaan, Perdagangan dengan artefak-artefak yang
terwariskan hingga sekarang.23
Tak kalah hebatnya dalam hal teknologi, kecanggihan masyarakat
nusantara begitu tinggi yang nampak dalam pola kehidupan maritim,23 Untuk lebih rinci lihat, Budaya Indonesia; kajian arkeologi, seni, dan sejarah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h.63-69 & 160-170.
17
adanya transportasi bangsa-bangsa saat itu menggunakan pelayaran
yang hebat dan berteknologi canggih. Peninggalan-peninggalan
teknologi kemaritiman itu di masa kemudian sebagai warisan untuk
generasi penerus.24 Bahkan, adanya sumber daya alam seperti,
rempah-rempah, bahan wewangian (cendana-gaharu), serta kapur
barus (Barus-Aceh) saat itu menjadi sentral perdagangan yang
sudah lama dikenal para saudagar Anak Benua India (Hindu-Buddha)
dan Timur Tengah (Islam).25 indikasi berikut bahwa masyarakat
nusantara telah mengenal perekonomian-dagang-jual beli, artinya
masyarakat nusantara memiliki peranan penting dalam siklus daya
ukur pasar global.
Dalam konstruk pola hidup –pandangan dunia-, menurut
pengamatan Ali Basya (1961: 80) orang-orang primitf –yang sempat
disinggung di atas sebagai mula bangsa ini- membedakan dua hal:
pertama, perbuatan sehari-hari yang tunduk pada sebab-akibat yang
masuk akal, dan kedua, perbuatan keagamaan yang tunduk pada
sebab-akibat yang ghaib, yang tidak masuk akal. Dalam hal ini,
kita kenal pula dalam agama Nasrani dan Islam.
Menurutnya yang dikutip dari Ruth Benedict 26, bentuk-bentuk
perbuatan keagamaan dapat dibagi sebagai berikut: Menyembah para
Hyang (sembahyang) sambil berdo’a mengucapkan mantera, Menyiksa
diri agar roh berbelas kasihan kepada kita, Menjadikan tabu24 Edi Sedyawati, Budaya Indonesia, h. 30-31.25 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: Gramedia-Univ. Paramadina, 2004), h. 7-826 Mr. Ali Basya, Ibid, hlm 84.
18
sesuatu untuk menyenangkan para roh; menyerahkan milik sebagai
tanda terimakasih kepada roh-roh yang baik.
Konstruk masyarakat nusantara bisa juga dilihat dari beberapa
unsur yang telah dimilikinya hingga dapat menjadi pendekatan
dalam filsafat nusantara27, kaitannya dalam hal ini bisa
simpulkan secara de facto oleh adanya hubungan dengan keagamaan
awal; system kepercayaan Animisme, disusul dengan Hindu, Buddha,
Islam hingga masuk Kristen abad belakangan. Bahkan sekarang
nampak dengan tegas lahir agama-agama baru di Indonesia. Dalam
kebangsaan, dihadiri dari penjuru dunia; Cina, India, Arab,
Eropa, Asia, dan sebaliknya pula masyarakat nusantara pun
menghadiri penjuru dunia. Artinya masyarakat nusantara tidak
pernah merasa kekurangan, justru semakin bertambah khazanah yang
hadir di dalamnya. Sepertinya, agak sensitif bila dikaitkan soal
Teologi atau paham keagamaan berikutnya. Namun, melubernya segala
khazanah di nusantara sepertinya bagi penulis ada falsafah yang
tersimpan dan tak terartikulasikan dengan eksplisit di masyarakat
nusantara. Di sinilah muara epistemology masyarakat nusantara
hidup dan berkembang.
27 Bisa diperiksa kembali pada Ida dan Tanti, Unsur-Unsur Filsafat Nusantara, (Bandar Lampung: Makalah Fil. Nusantara, 2014), h.3-5
19
BAB II
EPISTEMOLOGI MASYARAKAT NUSANTARA
A. Kesadaran Alam & Kebudayaan
Kebanggaan dimiliki oleh masyarakat nusantara tak kunjung
habis-habisnya dari segala aspek baik itu sumber daya alam dan
kreatifitas kebudayaan manusianya. Namun, hal itu tidak lepas
dari persoalan konflik yang ada dalam proses terjalinnya suatu
peradaban. Bukti sejarah pertempuran tiap kerajaan demi kekuasaan
wilayah dan penyebarannya itu nampak suatu yang wajar karena
disebabkan kelimpahan bumi nusantara yang sangat kaya dan indah
mempesona.28 Kesadaran alam yang kaya, indah memesona tiap mata
memandang ini menjadi kewaspadaan untuk bisa dijaga bahkan
dimiliki. Suatu paradox, satu sisi memberikan keindahan kehidupan
surgawi, satu sisi memberikan musibah kematian dalam perebutan
kemenangan. Mental pertempuran sudah dimiliki pula oleh sebagian
masyarakat nusantara.
Bukan kesadaran mental kolonial yang dimaksud, tetapi
kesadaran kebersatuan dengan alam sebagai rumah rumpun bangsa-
bangsa yang tercipta di dalamnya itu menjadi bagian bersama
seperti keluarga besar bersama. Hal ini menjadi laku hidup
masyarakat tradisional yang masih murni-asali.29 Kesadaran alam28 Krisna Bayu Adji, Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Yogyakarta: Araska, 2014) hlm, 11-12.29 Wertheim. W.F, Masyarakat Indonesia dalam , Transisi; studi perubahan sosial, h. 185-185. Dipaparkan di situ, bahwa dulu kerja tradisional menjadi bagian penting dalam
20
ini, di mata masyarakat nusantara –tradisional- telah menjadi
falsafah tersendiri, seperti ungkapan “Alam Takambang Jadi Guru”,
bukan hanya tempat tinggal tetapi tanda-simbol ajaran yang telah
tersedia untuk manusia akan kesadarannya dari mana dan hendak ke
mana “Sangkan Paraning Dumadi”. Pepatah atau pituah ke-alam-an yang
murni lahir dari rahim masyarakat nusantara –tradisio- itu
bukanlah sembarang pepatah, melainkan sebagai filosofi hidup yang
eksistensial.30 Keberadaan itu berhierarkis dalam kesatuan
namanya daulat alam. Kesadaran alam akhirnya terstruktur; macan
tetap macan, rusa tetap rusa,dan masing-masing tahu diri. Dari
sini kedaulatan tuanku –Raja- merupakan jiplakan dari kedaulatan
alam, dengan begitu tatanan masyarakat menggambarkan tatanan
alam.31 Kebudayaan dengan demikian tercipta hasil olah cerminan
alam.
Tak diragukan lagi bahwa kesadaran alam yang telah dimiliki
oleh masyarakat nusantara merupakan unsur yang telah azali
sebagai manusia cerminan Ilahi, di mana alam dengan segala
unsurnya terdapat pula dalam unsur kemanusiaan. Sebagai lokomotif
kealaman itu, manusia menjadi penjaga dan pengolah dengan tepat,
baik dan segar, karenanya manusia memiliki unsur-unsur sublime-
subtil keilahian yang nampak seperti model para UtusanNya yang
menjaga alam semesta ini. Pentingnya Nabi Muhammad tampil dalam
hidup bermasyarakat dan bertatanan kerajaan-negara. Contoh, pertukran barang –barter- penghasilan menjadi pasar bersama.30 Lengkapnya lihat, A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru; Adat dan Kebudayaan Minangkabau (Jakarta: Grafitipers, 1984), h. 59-6031 Rendra, Membela Masa Depan; kumpulan orasi (Jakarta: Burung Merak Press, 2008), h. 12
21
panggung sejarah manusia, karena eksistensinya yang memanifest
Insan Kamil –uswatun hasanah- (prototype terbaik) dan
rahmatanlil’alamin (rahmat semesta). Perkembangan rahmat itu pula
terupayakan oleh sekian hadirnya banyak manusia yang telah
meginovasikan alam ini hingga tercipta sebuah kebudayaan-
peradaban.
Dari banyaknya bangsa yang primor sampai yang berkembang maju
di kepulauan nusantara melahirkan ragam kebudayaan yang terbagi
dalam 2 jenis: kebudayaan dalam lapangan kerohanian, dan
kebudayaan dalam lapangan kebendaan.32 Kerohanian dalam budi daya
cipta merupakan bagian internal-dalam diri manusia. Sedangkan
kebendaan budi daya cipta lapangan luar diri manusia. Keduanya
integral berkelindan mereproduksi dalam pertemuan ruang dan waktu
tertentu lahirlah bentuk khasanah tradisi, yang secara umum
tradisi itu terisi oleh tata nilai (agama, kepercayaan,
mythology,ideology) dan cita-rasa (pilihan naluriah dari
pergumulan inderawi, perasaan, ingatan-ingatan) yang
terpostulatkan dalam keagungan, kekuatan dan kematangan budaya
menjadi bentuk hukum adat.33
Beberapa tempat masih tersisa oleh masyarakat nusantara dengan
hukum-hukum adat yang berlaku meskipun telah terjajah Eropa, ini
membuktikan bahwa kekuatan budaya dari masyarakat nusantara
berupa tatanan aturan bersama yakni “hukum adat” sebagai sistem
sakral yang hubungannya bersifat transcendental. A. A Navis
32 Mr. Ali basya, ibid, h. 11.33 Rendra, Ibid, 65-66
22
menyinggung terciptanya aturan-hukum adat itu pula karena
banyaknya ego manusia yang perlu diatur-kendalikan agar
harmonisasi dengan alam tetap terjaga.34
Manusia dengan potensi olah jiwa; mental-psikologikal hingga
spiritual-metafisikal dalam pribadi seseorang dapat menjadi
realitas tersendiri. Sebagai realitas tersendiri itu pun tidak
lepas dari realitas luarnya, karena ia bercermin dalam
kediriannya ia pun bercermin dalam kesemestaan. Prinsip realitas
demikian terjadi di beberapa tempat yang beratmosferkan
tradisional, dalam keagamaan disebut hinduisme, ortodoksi atau
tirakat yang menjadi perjalanan manusia bertujuan dalam
penyempurnaan diri hingga Abadi, Merdeka dan Absolute.35 namun
belakangan abad modern ini fenomena kebudayaannya berkembang
dieksposisikan menjadi New-Age oleh karena pada dasarnya haus
spiritualitas dan kembali ke Timur dengan mengkompromikan
manusia-manusia modern-postmodern36, yang bisa bahayanya terkena
pseudo-spiritual, seperti paham atau perkumpulan okultisme.37
Telah disinggung bahwa sebagian besar kebudayaan awal
nusantara itu terkena unsur spiritualitas seperti Hindu dan
Buddha. Sebagaimana diketahui bahwa Hindu berkitab Veda yang
34 A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, h. 6335 Ach. Dhofier Zuhry, Filsafat Timur; sebuah pergulatan menuju manusia paripurna (Malang: Madani, 2013), h. 169-17236 Untuk lebih detailnya bisa periksa Buddy Munawar Rachman, Gagasan-Gagasan Mistik-Spiritual Dewasa ini dalam Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 45-7937 Seyyed Hossein Nasr, Tentang Tradisi dalam Ahmad Norma Permata, Editor, Perennialisme; melacak jejak filsafat abadi (Yogyakarta: Tiara Wcana Yogya, 1996), h. 153.
23
berarti Pengetahuan/ Wahyu Suci Abadi -teremanasi dan
mengiluminasi di kalangan Brahman ekspresinya berupa sabda-sabda
dan mantra-. Buddha sebagai metafisika dan buddhisme sebagai
Agama merupakan gerak intelektual dan spiritual fase lanjutan
dari Hinduisme, yang berikutnya masuk Falsafah China sebagai way
of the life.yang menjadi dasar bertahan di Tiongkok (mulanya bangsa
nusantara berasal dari Tiongkok selatan) bertujuan
mentransformasi diri pada penyempurnaan segala potensi umat
manusia.38 Dari unsur spiritualitas ini maka, masyarakat
nusantara sangatlah berkhasanahkan falsafah tradisional. Ruang
berikut merupakan epistemology-landasan dari masyarakat nusantara
pada masa awal dan perkembangannya. Dengan demikian masyarakat
nusantara dapat diindikasikan dalam pola tradisional serta
berbagai unsur spiritualitas hidup-alamiah yang secara induktif
bisa jadi berperspektifkan pada mulanya itu ialah perennialisme
kenusantaraan.39
B. Kesadaran Timur; Falsafah Tradisi Primordial-Perennial40
Timur dalam artian di sini bukanlah sebagai geografis
melainkan lanskap perspektif –simbolis, yang bila dikenal dalam
khasanah intelektual islam sebagai Isyraqiy sebagai harmonisasi
spiritualitas dan filsafat.41 Maka, terma “Timur” sebagai38 Ach. Dhofier Zuhry, Filsafat Timur, h. 49-50, 62, dan 91-95.39 Istilah ini “perennialisme nusantara” diperoleh dari Ahmad Norma Permata, Editor, Perennialisme; melacak jejak filsafat abadi (Yogyakarta: Tiara Wcana Yogya, 1996), h. 28-3040 Mungkin butuh tulisan khusus mengenai falsafah ini. Sementara sangat terbatas.41 Pelopor Isyraqi ialah Syekh Suhrawardi, lihat Seyyed Hossein Nasr, Theology, Philosophy and Spirituality. Terj, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis terj, Suharsono
24
perspektif dapat disandingkan dengan Tradisi Primordial atau pula
Perennial yang terhubung oleh Pusat –Realitas Ultim, Tuhan-,
lawannya ialah perspektif “Barat” atau Modernisme yang terputus
dari Pusat –Tuhan-.42
Huston Smith menyatakan Filsafat Perennial atau Tradisi
Primordial secara tegas itu bersifat Ontologis dalam pengertian
bahwa perhatian utamanya adalah Wujud, yang meniscayakan adanya
hierarki alam-realitas.43 Dalam hal ini sungguh tepat
pengartikulasian dan pengekspresian falsafah Perennial yang
melibatkan atau meliputi semua kebenaran dari tiap Tradisi-Agama.
Dalam Islam misalnya, terdapat tradisi mistiko-tasawuf falsafi
dengan doktrin kuatnya Wahdat al-Wujud, dan diberlangsungkan secara
transformative sistemnya dengan falsafah Shadra –Hikmah
Muta’aliyyah- bahwa realitas bergradasi-dimensional dan bergerak
tranformatif.44 Postulat berikutnya yang mustahil terbantahkan
dalam pandangan Perennial mengenai Wujud atau Realitas Ultim itu
ialah seperti ungkapan F. Schuon, dilihat dua dimensi, yakni
karena Realitas-Wujud adalah Absolut maka itu Tak Berhingga.45
Falsafah Perennial merupakan falsafah abadi dan terus
berlangsung Keberadaannya (Ontologis) dan Kebenarannya
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 69-74. Symbol ini pula bisa dilihat dalam Ahmad Norma Permata, Perennialisme, h. 42Ahmad Norma Permata/Editor, Perennialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi (Yogyakarta: Tiara Wicana, 1996), h.
43 Huston Smith, Filsafat Perennial, Tradisi Primordial, dalam A. Norma Permata, Perennialisme, h. 11844 Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, h. 76-8345 Ahmad Norma, Perennialisme, h. 10
25
(Epistemologis). Kemungkinannya bersifat terbuka dengan segala
system dan pendekatan filsafat di dalamnya berperan sebagai
disiplin logis ilmu. Sehingga memiliki beberapa karakter
falsafahnya. Karena epistemology yang digunakan ialah “Intelek”
sebagai pusat keberadaan metafisika-pengetahuan Ilahi. Dari sini
dapat disinyalir bahwa Perennialime ialah ajaran profetik yang
dilangsungkan dari tiap Nabi-Rasul, Wali, Orang suci, Saint,
Brahman, Avatar, dan sebutan tradisi lainnya yang mengabarkan
berita Ilahi-Divine, maka manusianya disebut Divinus Man-Manusia
Ilahi.46
Konteks Nusantara, sangatlah nampak memiliki khasanah
Perennial, dengan kecenderungan sifat-sifat religious, inklusif
dan perennialis. Yang lebih menonjol temuan Perennialitas itu
adanya perpaduan dari pasangan-pasangan elemen etnis, kultur
maupun religious.47 Pada tataran kosmologis yakni keberadaan
Alam–Manusia dengan segala dimensi yang berhubungan darinya
berupa intelektualitas dan sosio-spiritualitas serta fisikalnya
yang telah inheren dengan falsafah tradisio-perennial ini, maka
manusia nusantara menjadi lokus prototype yang berepistemologikan
Timur-Tradisio Primordial-Perennial, ini adalah ontologis
merupakan keniscayaan bahkan lebih dari pilihan yang memang sudah
adi kodrati. Jika pun memang harus memilih landasan yang
bagaimana manusia nusantara itu sepatutnya, maka Tradisi dan
46 Lebih lengkap uraiannya lihat, Ahmad Norma Permata, Perennialisme, h. 3-13. Sangat akrab dalam doktrin kosmologi islam “Insan Kamil”.47 Ahmad Norma, ibid, h. 14
26
Timur adalah jawabannya. Lain soal nanti memang sudah cukup
mengakar pula budaya barat di beberapa tempat nusantara.48
Dari corak di atas memberikan keterangan bahwa setiap wilayah
dengan memiliki khasanah lokal yang kuat dan terbuka juga
menyisakan akses kepada Sang Pencipta-Ilahiah dan Alam sebagai
cerminanNya yang senantiasa hidup harmonis, dengan perwakilan
setiap insan di dalamnya, baik disebut kepala suku, pimpinan umat
ataupun wali-wali itu bisa masih terasakan atmospherenya di
kepulauan nusantara ini. Bukan hendak memaksa untuk memilih
sebuah falsafah di masyarakat nusantara melainkan sebagai
kenyataan bahwa tidak mungkin dengan banyaknya masyarakat serta
alam yang luas dan iklim yang begitu berubah-ubah di suatu bangsa
tidak memiliki kekuatan falsafahnya. Dengan agak mendesak dapat
dikatakan bahwa falsafah nusantara ialah Perennialisme Nusantara.
Dan itu terbukti periodisasi yang dilewati masyarakat atau
insane-insan unggul di dalamnya dalam mempertahankan tanah-air
hingga merdeka tercetus Piagam Jakarta dan Pancasila lalu UUD
sebagai falsafah yang memfondasikan nilai “Ketuhanan Yang Maha
Esa” di awal sebagai Ruh bangsa dan masyarakat di dalamnya.
C. Transformasi Peluang dan Tantangan Masyarakat Nusantara
Berbagai suku-bangsa serta kebudayaan dan agama yang
tertampungi dalam kepulauan nusantara ini, amatlah sensitive bila
tiada pengertian bersama di lingkaran Bhineka Tunggal Ika. Tidak
asing bagi kita melihat polemik etnik Cina, Indo, Arab dan lokal.48 Bisa diperiksa kecenderungan pilihan ini sudah diupayakan dari beberapa kalangan cendikia perennial, lihat, Ahmad Norma, Perennialisme, h. 14 dan 28-30
27
Konflik antar dan intern Agama. Masyarakat yang brutal karena
perut lapar. Korupsi membudaya sebab longgarnya hukum. Bangsa
yang kini sudah melewati berbagai fase hingga kemerdekaan ini pun
masih dalam transisi dan proses bersama menuju suatu proyeksi
yang terterap dalam Pancasila. Hal ini seperti yang dilihat Cak
Nur49, kenusantaraan sebagai wilayah dan pola kehidupan
masyarakatnya satu sisi penuh kebudayaan hibrida kekayaan, namun
satu sisi rentan “terjajah”.
Tanpa sengaja penulis dengar berita pagi TVRI-30 Oktober
2014-, mengabarkan bahwa Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
mengumumkan Indonesia ke depan siap menjadi Poros Maritim
Nusantara. Artinya, kesadaran bermaritim-nusantara hendak
digerakkan secara massive. Mengingat pula bulan ini hadirnya
Sumpah Pemuda, maka patutlah menjadi agenda besar bersama tiap
kalangan –muda/tua- di tiap suku-bangsa yang telah cukup mapan
pada kebudayaannnya masing-masing itu, baik di dataran tinggi,
rendah ataupun perairan, tak pandang kelas. Namun, lautan masih
misteri Bung!.
Dengan kemisteriannya itu, setidaknya memberikan spirit
pelayarannya. Nilai-nilai serta khasanah yang terpendam di dasar
samudera takkan pernah hilang, ia selalu terjaga. Tradisi serta
Falsafah Timur melekat dalam tubuh air-tanah bumi nusantara.
Keyakinan itu sebagai modal utama dalam menjelajahi segala
peluang dan tantangan besar bangsa ini. Ruang besar kerja-karya
49 Lebih detail lihat, Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: Gramedia-Univ. Paramadina, 2004), h. 7-8
28
kreatif anak bangsa nusantara tak terbatas -langit terbuka,
gunung tersusun termenung, matahari selalu tersenyum, dan lautan
membentang menyapa- hendak memompa kapal pesiar bangsa ini melaju
landas hingga layar menyimpan angin selama-lamanya. Kesadaran
Alam, kesadaran kebangsaan-kebudayaan menyatu padu dalam jiwa
putera-puteri nusantara –fitrah-.
Maka, patutlah keproporsionalitasan peran putera-puteri bangsa
di segala elemen laku kehidupan berbangsa dan bernegara disokong
bersama –gotong royong-, antara lain: Kerja Intelektual –
Pendidikan-, Keagamaan, Kesehatan, Perekonomian, Keterampilan
Budaya- Sosial-Politik, Pertahanan, Olahraga, LSM/Ormas dan
segenap elemen pendukung kinerja masyarakat nusantara seluruhnya.
dengan begitu sangat memungkinkan bagi generasi-generasi
berikutnya untuk bisa mentranfosmasikan kedirian-pribadian-
bangsa yang patent dan utuh sesuai masa dan kondisi yang berlaku
di dalamnya. Segala sokongan itu bukanlah sekedar “kepentingan
sesaat” –pragmatis- melainkan memupuk kesadaran besar dengan
agenda-agenda besar yang revolusioner dan progressive. Cukup baik
kiranya bila Presiden kali ini membenturkan jargon ke mental kita
dengan bunyi “revolusi mental”, yang secara implicit sepertinya
menuju kesadaran spiritual sebagai epistemology dan ontologi
masyarakat nusantara seutuhnya.
PENUTUP
A. Penutup-Kesimpulan
29
Dari segelintir pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
masyarakat nusantara secara eksistensial memiliki nilai peradaban
di mata bangsa dunia. Dalam mata bangsa dunia itu menjalin
hubungan kebangsaan, pola yang mendominasi ialah kemaritiman,
kuatnya kerajaan pesisir sebagai pintu awal dan pertahanan
kepulauan. Selebihnya pedalaman dan pegunungan. Dalam konstuk
kemasyarakatan nusantara nampak karakter yang kuat ialah gotong-
royong, keterbukaan dan primordial-tradisional. Kolektivitas
terjalin, ingat permainan anak-anak yang ada di nusantara?
Semuanya berkolektif, beda dengan sekarang yang berhadapan dengan
monitor!
Secara epistemik, masyarakat nusantara sangat melandasi
kesadaran azali yakni primordialitas-perennial; keberadaan dan
kebenaran abadi, hubungan yang tak putus-putus itu
terselenggarakan dengan Kesadaran Alam-Kebudayaan dan lebih utama
lagi ialah Kesadaran Ilahi-Tuhan-Transendental, dengan begitu
tidaklah asing mengenal para Wakil Tuhan yang berkeliaran di
pulau Nusantara ini sebagai manusia langit ia menjaga alam bumi
nusantara. Sebagai missal yang paling norak, fenomena dukun
sangat menebal di pulau nusantara. Tapi, yang lebih azali itu
ialah khasanah Intelektual dari para Insan-Insan langit di bumi
nusantara. Produk kebudayaan primordial pun sangat teknologik.
Ex,; rendang, gudeg, telor asin yang tak terduga sebagai lauk
pauk untuk penjagaan berhari-hari tanpa memerlukan alat pengawet
seperti kulkas sekarang ini. Ilmu Sains teknologi supra rasio-
30
tradisional-perennial; keterpaduan utuh spiritual-material inilah
landasan dan pilihan masyarakat nusantara.
Wassalam, Wallahu a’lam.
BACAAN PILIHAN
Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila (Jakarta: CSIS,
1976)
FA. Sutjipto, dkk, Sejarah Nasional Indonesia IV (Jakarta: Balai
Pustaka, Depdikbud, 1977)
Ir. Eko Budihardjo, Menuju Arstitektur Indonesia (Bandung: Alumni,
1983)
Presiden Soekarno, Amanat Proklamasi IV 1961-1965 (Jakarta: Inti
Idayu Press, 1986)
Ahmad Norma Permata/Editor, Perennialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi
(Yogyakarta: Tiara Wicana, 1996)
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: Gramedia, 2004)
Sapardi Djoko Damono, dkk, Revolusi, Nasionalisme, dan Banjir Roman;
kumpulan esai (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2005)
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)
Rendra, Membela Masa Depan; kumpulan orasi (Jakarta: burung Merak
Press, 2008)
31
James T. Collins, Malay, World Language: a short history. Terj. Alma
Elvita Almanar, Bahasa Melayu Bahasa Dunia; sejarah singkat (Jakarta:
YOI, 2011) cet ,II
Krisna Bayu Adji, Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara
(Yogyakarta: Araska, 2014)
Tashwirul Afkar , jurnal refkleksi pemikiran keagamaan dan kebudayaan; Filologi
Nusantara (Jakarta: Lakpesdam NU, 2014) ed. 34.
32