Upload
ugm
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS KELOMPOK LINGUISTIK KLINIS
Oleh :
Dea Editha Ningtyas
15/389026/PSA/07880
Linguistik B
Tugas Linguistik Terapan
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2016
Definisi Linguistik Klinis :
Linguistik sebagai ilmu bahasa tidak hanya membahas mengenai struktur atau
sistem kebahasaan secara internal, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
Namun, linguistik juga dapat dipandang secara luas yang mana bahasa itu sendiri akan
bergabung dan diterapkan bersama dengan disiplin ilmu lain. Hal ini dapat ditemukan
dalan linguistik terapan. Berbicara mengenai linguistik terapan itu sendiri, ada banyak
permasalahan yang dapat dibahas, salah satunya adalah linguistik klinis.
Linguistik klinis sebagai salah satu cabang linguistik terapan merupakan gabungan
dua bidang ilmu, yakni linguistik yang berbicara tentang kebahasan dengan ilmu medis.
Berikut definis linguistik klinis menurut Crystal (via Ball, Perkins, Müller, dkk) :
Crystal defines clinical linguistics as “the application of linguistic science to the study of communication disability, as encountered in clinical situations”. Further, Crystal adds to his definition: “clinical linguistics is the application of the theories, methods and findings of linguistics (including phonetics) to the study of those situations where language handicaps are diagnosed and treated.”
Crystal mendefinisikan linguistik klinis sebagai “penerapan studi linguistik
mengenai ketidakmampuan komunikasi secara medis.” Lebih dari itu, Crystal
menambahkan dalam definisnya : “linguistik klinis merupakan penerapan teori, metode,
dan data linguistik (termasuk fonetik) menjadi kajian di mana cacat bahasa didiagnosa
dan diterapi.” Meskipun linguistik klinis merupakan gabungan antar dua disiplin ilmu
yakni linguistik dan ilmu medis, data yang digunakan harus berupa bahasa. Sisi medis
dalam penelitian ini hanya bersifat membantu dalam mendiagnosa dan menerapi cacat
bahasa tersebut.
Berbicara mengenai linguistik klinis, maka neurolinguistik juga mendi sangat
penting. Menurut KBBI, neurolinguistik adalah ilmu tentang hubungan antara bahasa
dan syaraf otak.
Neurolinguistic is the study of how language is represented in the brain: that is, how and where our brains store our knowledge of the language (or languages) that we speak, understand, read, and write, what happens in our brains as we use it in our everyday lives. (Linguistic Society of America)
1
Neurolinguistik merupakan studi tentang bagaimana bahasa direpresentasikan di
dalam otak, bagaimana dan di mana otak manusia menyimpan pengetahuan bahasa yang
manusia ujarkan, pahami, dan tulis, dan cara kerja otak dalam kaitannya dengan bahasa
dalam kehidupan sehari-hari. Otak merupakan salah satu organ tubuh yang sangat
krusial. Semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia diatur dan diproses di dalam otak,
begitu juga dalam kegiatan berbahasa. Berdasarkan definisi neurolinguistik di atas,
dapat dikatakan bahwa pembahasan neurolinguistik sangat luas, mulai dari cara kerja
otak terhadap bahasa, letak atau bagian bahasa di dalam otak, bagaimana otak bekerja
dalam pemerolehan bahasa dan pembedaan bahasa, dll. Oleh karenanya, secara sekilas
hubungan neurolinguistik dan linguistik klinis tidak tampak. Namun, sebenarnya
keduanya tetap berhubungan. Misalnya, seseorang yang mengendap penyakit aphasia
akan kesulitan dalam memproduksi bahasa, atau dalam kasus kecelakan parah seperti
gegar otak juga akan mengalami kesulitan dalam berbahasa.
Sejarah Singkat :
Kemunculan linguistik klinis dapat dikatakan berawal dari sebuah karya ilmiah
tulisan Roman Jakobson yang berjudul Kindersprache, Aphasie und Allgemeine
Lautgesetze (1941). Publikasi ini memiliki pengaruh yang sangat penting dalam bidang
linguistik klinis. Tema-tema seperti linguistik secara keseluruhan, kompleksitas, kontras
maksimal, hubungan implikasi, dan pemarkah dikupas tuntas dalam tulisan Jakobson.
Publikasi ini menginspirasi linguis-linguis lain seperti Tobin (1997, 2002), Gierut
(1989), Dinnsen, Chin, Elbert, dan Powell (1990), Tyler dan Figurski (1994), dll.
Sementara itu, pada tahun 1968 Chomsky dan Halle menerbitkan karya ilmiah yang
berjudul The Sound Pattern of English (SPE) yang merupakan tolak ukur dalam sejarah
linguistik. SPE memberikan dorongan yang sangat besar dalam ilmu patologi yang
mana permasalahan-permasalahan lama diselesaikan menggunakan cara pendekatan
baru, dan para tenaga medis juga bekerja sama dalam penelitian ini dengan memberikan
keterangan-keterangan letak alat ucap yang sangat berguna nantinya dalam
mendiagnosa dan memberikan penyembuhan bagi si penderita cacat bahasa.
Kemudian, pada tahun 1972, David Crystal mengukuhkan kembali dasar-dasar
dalam linguistik klinis. Pada saat itu, linguistik klinis lebih berfokus pada permasalahan
2
fonologi. Pada tahun1976, linguistik klinis muncul sebagai disiplin ilmu mandiri atau
merupakan salah satu spesialisasi cabang linguistik di Inggris, dan David Crystal
dinobatkan menjadi bapak linguistik klinis. Beliau juga aktif dalam pembuatan
publikasi ilmiah di bidang linguistik klinis seperti ‘Studies in Language Disability and
Remediation’ bersama Jean Cooper. Karya ini juga tidak kalah menginspirasi banyak
linguis dunia lainnya untuk membuat penelitian di bidang yang sama. Buku kedua dari
karya Crystal ini lebih berfokus pada gangguan fonologi dari sudut pandang linguistik.
Bahkan setelah kemunculan buku ini, penelitian linguistik klinis merambah tidak hanya
pada tataran fonologi tetapi juga sosiolinguistik (Edward, 1979), gangguan membaca
(Thompson, 1984), dan gangguan pendengaran (Bamford dan Saunders, 1985).
Tujuan Linguistik Klinis :
Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai tujuan, tidak terkecuali dengan
Linguistik Klinis. Tujuan utama dari kajian linguistik klinis ini yakni untuk
mengidentifikasi permasalahan linguistik cacat bahasa atau gangguan kebahasaan serta
mendeskripsikannya secara sistematis.
Secara luas, linguistik klinis memiliki lima tujuan, yakni :
1. Clarification
2. Description
3. Diagnosis
4. Assessment
5. Intervention
Clarification bermanfaat dalam mengklarifikasikan berbagai jenis gangguan
kebahasaan. Setelah klarifikasi, deskripsi berguna untuk memberikan deskripsi dan
analisis mengenai gangguan kebahasaan yang diderita. Setelah dilakukannya klasifikasi
dan deskripsi, penanganan diagnosis menjadi lebih mudah. Pada tahap ini, tenaga medis
dapat mendiagnosis penyakit apa yang diderita oleh si penderita. Sementara itu,
assessment berguna untuk mengukur seberapa jauh atau parahnya penyakit yang
diderita. Terakhir, Intervention yakni penanganan membahas seputar apa yang harus
dilakukan agar si penderita menjadi sembuh.
3
Cakupan Linguistik Klinis :
Linguistik Klinis merupakan bidang linguistik yang berhubungan dengan gangguan
kebahasaan, seperti yang telah dijelaskan di atas. Gangguan berbahasa ini menurut
Chaer (2003:148) secara garis besar dapat dibagi menjadi dua. Pertama, gangguan
akibat faktor medis, yakni gangguan baik akibat kelainan fungsi otak maupun kelainan
alat-alat bicara. Kedua, gangguan akibat faktor lingkungan sosial, yakni lingkungan
kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan
kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.
Menurut Sidharta (via Chaer, 2003:148-149), gangguan berbahasa secara medis
dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu (1) gangguan berbicara, (2) gangguan
berbahasa, dan (3) gangguan berpikir. Ketiga gangguan itu masih dapat diatasi jika
penderita gangguan itu mempunyai daya dengar yang normal; bila tidak tentu menjadi
sukar atau sangat sukar.
Chaer (2003:149-165) menyimpulkan bahwa gangguan berbicara dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang
berimplikasi pada gangguan organik; kedua, gangguan berbicara psikogenik; dan ketiga,
gangguan multifaktorial. Gangguan berbicara berdasarkan mekanismenya ini dapat
dirinci menjadi gangguan berbicara akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada
pita suara (laringal), pada lidah (lingual), dan pada rongga mulut dan kerongkongan
(resonantal).
1. Gangguan Akibat Faktor Pulmonal dialami oleh para penderita penyakit paru-
paru. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernapasnya sangat kurang
sehingga cara bicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara yang
kecil sekali, dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak
ada masalah.
2. Gangguan Akibat Faktor Laringal merupakan gangguan pada pita suara yang
menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali, tanpa
kelainan semantik dan sintaksis.
3. Gangguan Akibat Faktor Lingual dapat berupa lidah yang sariawan atau terluka
yang akan terasa pedih jika digerakkan.Untuk mencegah timbulnya rasa pedih ini
ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi semaunya. Misalnya jika
4
si penutur ingin mengucapkan kalimat “Sudah barang tentu dia akan menyangkal”
mungkin akan diucapkan menjadi “Hu ah ba-ang ke-ku ia a-an me-angkay”. Selain
itu, pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah, maka lidahnya
pun lumpuh sebelah. Istilah medis untuk ini adalah disatria (yang berarti
terganggunya artikulasi).
4. Gangguan Akibat Faktor Resonansi menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi
sengau. Contoh penderita akibat faktor resonansi ini adalah orang sumbing ,
penderita lumpuh pada langit-langit lunak (velum), dan penderita miastenia gravis
(gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah).
Gangguan akibat multifaktorial atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya
gangguan bicara, antara lain :
1. Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan cepat sekali,
dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan “menelan” sejumlah suku kata
sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami. Misalnya, jika si penutur bermaksud
mengucapkan kalimat “Kemarin pagi saya sudah beberapa kali ke sini” diucapkan
dengan cepat menjadi “Kemary sdada berali ksni”. Berbicara serampangan ini
terjadi karena kerusakan di serebelum atau bisa juga terjadi sehabis terkena
kelumpuhan ringan sebelah badan.
2. Berbicara Propulsif biasanya terdapat pada para penderita penyakit parkinson
(kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku, dan lemah).
Biasanya penderita ini sukar untuk memulai suatu gerakan. Namun, bila sudah
bergerak maka ia dapat terus-menerus bergerak tanpa henti. Artikulasi sangat
terganggu karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara, sebagian besar
lenyap. Dampak pada produksi bahasa secara lisan yakni volume suara menjadi
kecil, iramanya datar (monoton), suara mula-mula tersendat-sendat, kemudian
terus-menerus, dan akhirnya tersendat-sendat kembali.
3. Berbicara Mutis (Mutisme) yakni di mana penderita gangguan ini tidak dapat
berbicara sama sekali. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat
berkomunikasi secara verbal saja, tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara
visual maupun isyarat, seperti dengan gerak-gerik, dan sebagainya. Kebanyakan
5
orang mengira bahwa penderita mutisme ini sama dengan penderita bisu. Namun,
dunia ilmiah hingga saat ini belum dapat menjelaskan dengan tepat apa mutisme
itu. Mutisme tidak bisa disamakan dengan orang bisu, apalagi dengan bisu-tuli.
Gangguan berbicara psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu
gangguan berbicara. Mungkin lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang
normal, tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental. Gangguan
berbicara psikogenik ini antara lain sebagai berikut :
1. Berbicara Manja, disebut demikian karena ada kesan anak (orang) yang
melakukannya meminta perhatian untuk dimanja. Contohnya adalah fonem atau
bunyi [s] dilafalkan sebagai bunyi [c] seperti pada kalimat “Saya sakit, jadi tidak
suka makan, sudah saja, ya” akan diucapkan menjadi “Caya cakit, jadi tidak cuka
makan, udah caja, ya”.
2. Berbicara Kemayu berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan.
Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan
lafal yang dilakukan secara ekstra menonjol atau ekstra lemah gemulai dan ekstra
memanjang. Meskipun berbicara seperti ini bukan suatu gangguan ekspresi bahasa,
tetapi dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan
identitas kelamin terutama jika yang dilanda adalah kaum pria.
3. Berbicara Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat,
mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya,
dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan.
4. Berbicara Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo atau
menirukan apa yang dikatakan orang lain; tetapi sebenarnya latah adalah suatu
sindrom yang terdiri atah curah verbal repetitif yang bersifat jorok (koprolalla) dan
gangguan lokomotorik yang dapat dipancing.
Gangguan selanjutnya adalah gangguan berbicara yang memiliki hubungan dengan
syaraf otak. Gangguan berbahasa dalam kaitannya dengan syaraf otak ini sering disebut
afasia dalam dunia neurolinguistik. Kemudian, ada juga jenis gangguan lain yaitu
gangguan berpikir. Setiap ujaran yang keluar dari mulut seseorang merefleksikan isi
6
pikiran dari orang tersbut. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa ekspresi verbal yang
terganggu bersumber atau disebabkan oleh pikiran yang terganggu. Gangguan ekspresi
verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran dapat berupa hal-hal berikut :
1. Pikun (Demensia) menunjukkan banyak sekali gangguan seperti agnosia,
apraksia, amnesia, perubahan kepribadian, perubahan prilaku, dan kemunduran dalam
segala macam fungsi intelektual. Semua gangguan itu menyebabkan kurangnya
berpikir, sehingga ekspresi verbalnya diwarnai dengan kesukaran menemukan kata-kata
yang tepat. Kalimat seringkali diulang-ulang, pembicaraan sering terputus karena arah
pembicaraan tidak ingat atau tidak diketahui lagi sehingga berpindah ke topik lain.
Penyebab pikun ini antara lain karen aterganggunya fungsi otak dalam jumlah besar,
termasuk menurunnya jumlah zat-zat kimia dalam otak. Selain itu dapat pula
disebabkan oleh penyakit seperti stroke, tumor otak, depresi, dan gangguan sistemik.
2. Sisofrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir. Para penderita
ini dapat mengucapkan word-salad dengan lancar, dengan volume yang cukup, ataupun
lemah sekali. Curah verbalnya penuh dengan kata-kata neologisme. Irama serta
intonasinya menghasilkan curah verbal yang melodis. Seorang penderita sisofrenik
dapat berbicara terus-menerus. Ocehannya hanya merupakan ulangan curah verbal
semula dengan tambahan sedikit-sedikit atau dikurangi beberapa kalimat.
3. Depresif, orang yang tertekan jiwanya memproyeksikan penderitaannya pada
gaya bahasanya dan makna curah verbalnya. Volume curah verbalnya lemah lembut dan
kelancarannya terputus-putus oleh interval yang cukup panjang, terputus-putus oleh
tarikan napas dalam, serta pelepasan napas keluar yang panjang. Curah verbal yang
depresif dicoraki oleh topik yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri,
kehilangan gairah bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan.
Gangguan lainnya yang juga memengaruhi kelancaran berbahasa adalah gangguan
lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan adalah terasingnya
seorang anak manusi, yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan
manusia. Keterasingan bisa disebabkan karena siperlakukan dengan sengaja (sebagai
eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia, melainkan
dipelihara oleh binatang seperti kasus Kamala dan Mougli.
7
Linguistik Klinis tidak hanya berfokus pada tataran fonologi saja tetapi juga
merambah pada tataran linguistik yang lebih luas, yakni gramatika, pragmatik,
semantik, sosiolinguistik, dll. Namun, secara garis besar kerangka kerja linguistik klini
dapat dibagi menjadi tiga, yakni :
1. Reception Disabilities / Gangguan Resepsi
2. Central Disabilities / Gangguan Pusat
3. Production Disabilities / Gangguan Produksi
Reception Disabilities atau Gangguan Resepsi berhubungan dengan tidakmampuan
manusia dalam menangkap ujaran-ujaran yang diucapkan oleh orang lain. Alat tubuh
yang berpengaruh penting dalam permasalahan ini adalah telinga. Reception Disabilities
itu sendiri dapat dibagi menjadi dua macam, yakni conductive deafness dan
sensorineural deafness. Pada conductive deafness, bagian telinga yang bermasalah
terletak pada saluran pendengaran, sedangkan sensorineural deafness yakni
permasalahan pada gendang telinga.
Production Disabilities atau Gangguan Produksi berhubungan dengan
ketidakmampuan seseorang dalam memproduksi ujaran. Alat tubuh yang berpengaruh
atau terganggu adalah alat ucap manusia. Sedangkan Central Disabilities atau Gangguan
Pusat berhubungan dengan gangguan atau kelainan pada otak bagian kebahasaan.
Gangguan ini terkenal dengan sebutan aphasia. Gangguan ini erat kaitannya dengan
neurolinguistik.
DAFTAR PUSTAKA :
Ball, Martin J., Michael R. Perkins, Nicole Müller, and Sara Howard. 2008. The
Handbook of Clinical Linguistic. Blackwell Publishing.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
http://www.academia.edu/243967/
A_Short_History_of_Clinical_Linguistics_and_Phonetics diakses 22 Mei 2016 pukul
23.05 WIB
https://www.llas.ac.uk/resources/gpg/401 diakses 22 Mei 2016 pukul 03.00 WIB
http://kbbi.web.id/ diakses 21 Mei 2016 pukul 22.00 WIB
http://www.linguisticsociety.org/resource/neurolinguistics diakses 21 Mei 2016 pukul
8
23.25 W
GANGGUAN BERBAHASA SECARA KLINIS
Dosen Pengampu: Sailal Arimi, S.S., M.Hum., Dr.
Riris Sumarna
15/389048/PSA/07902
Linguistik Kelas B
PROGRAM PASCASARJANA LINGUISTIK
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2016
9
Gangguan berbahasa secara klinis
Gangguan berbahasa (language disability) merupakan ruang lingkup dalam kajian
neurolinguistik. Menurut Hanke (2014) dalam Clinical Linguistics-An Overview, secara
garis besar cakupan gangguan berbahasa secara klinis dapat dibagi menjadi tiga, yakni
reception disabilities atau gangguan resepsi, central disabilities atau gangguan pusat
(otak) dan production disabilities atau gangguan produksi bahasa. Berikut ini akan
dibahas satu persatu mengenai gangguan berbahasa tersebut:
1. Reception disabilities atau gangguan resepsi
Gangguan ini berkaitan dengan fungsi alat pendengaran, yakni telinga manusia.
Gangguan ini merupakan gangguan dalam meresepsikan kode-kode fonetik dalam
bahasa. Secara garis besar gangguan ini meliputi conductive deafness, sensorineural
deafness. Conductive deafness merupakan gangguan berbahasa yang disebabkan karena
bagian luar telingan atau tengah telinga tidak dapat bekerja dengan baik. Penyebab pada
umumnya adalah adanya masalah pada tulang telinga bagian luar atau tengah.
Conductive deafness menyebabkan transmisi suara pada area ini mengalami distorsi.
conductive deafness
sensorineural coclea deafness dan sensorineural vestibule deafness
Sensorineural deafness merupakan gangguan berbahasa yang disebabkan adanya
masalah atau gangguan pada bagian inti telinga atau saraf telinga. Pada bagian ini
terdapat dua tipe gangguan yakni sensorineural coclea deafness dan sensorineural
vestibule deafness. Gangguan keduanya disebabkan karena koklea dan vestibula
10
mengalami gangguan. Sehingga kedua bagian organ telinga tersebut tidak dapat
mengolah bunyi yang diterima dengan baik oleh telinga. Sedangkan mixed deafness
adalah gabungan antara sensorineural deafness dan conductive deafness, sehingga
semua bagian organ telinga tersebut keseluruhannya mengalami gangguan.
Basinger (2000:20) mengemukakan jika sensorineural deafness dapat ditest dengan
menempatkan earphone pada telinga pasien dan memberikan suatu nada yang jelas, jika
nada tersebut hilang atau tidak terdengar bisa saja mengalami gangguan pada bagian
tulang telinga tersebut, sehingga dilanjutkan dengan test untuk mengetahui level
ketidakdengaran tersebut. Test lanjutan tersebut dengan cara memberikan getaran pada
bagian kepala pasien. Getaran dari bagian kepala tersebut secara langsung ditujukan
kepada saraf bagian dalam telinga. Jika pasien tersebut dapat mendengar getaran
tersebut lebih baik, maka pasien tersebut mengalami conductive deafness. Sedangkan
jika pasien tidak mendengar lebih baik getaran tersebut maka pasien tersebut mengalami
Sensorineural deafness.
Orang-orang yang mengalami deafness atau ketulian akan mengalami gangguan
bahkan kesulitan dalam mengkontruksi kalimat gramatikal bahkan dalam menulis.
Contohnya mengalami kesulitan dalam mengenal artikel, tenses, agreement
(persetujuan), preposition (kata depan) dan lain-lain. Secara garis besar struktur
kalimatnya terbatas.
2. Central disabilities gangguan pusat (otak)
Gangguan berbahasa pusat terjadi pada otak. Gangguan ini merupakan gangguan
yang sangat serius dibandingkan dengan gangguan lainnya karena berhubungan dengan
bagian-bagian otak ataupun saraf-saraf otak yang tidak dapat berfungsi secara normal.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai jenis gangguan berbahasa yang disebabkan
oleh kelainan otak, berikut ini akan dibahas terlebih dahulu mengenai struktur, fungsi
otak yang berhubungan dengan kebahasaan.
11
Struktur dan fungsi otak
Secara garis besar otak manusia terdiri dari dua hemisfer (belahan), yaitu hemisfer
kiri dan femisfer kanan. Keduanya dihubungkan oleh korpus kolosum. Setiap hemisfer
terbagi lagi menjadi bagian-bagian yang disebut sebagai lobus, yaitu lobus frontalis,
lobus parientalis, lobus oksipitalis, dan lobus temporalis.
Permukaan otak yang disebut sebagai korteks serebri tampak berkelok-kelok
membentuk lekukan (sulkus) dan benjolan (girus). Dengan adanya sulkus dan girus ini
permukaan otak yang disebut korteks serebri menjadi lebih luas. Korteks serebri
mempunyai peranan penting seperti pergerakan, perasaan, pancaindra, fungsi mental,
fungsi kortikal. Fungsi kortikal terdiri dari pikiran manusia, ingatan atau memori,
emosi, persepsi, organisasi gerak dan aksi, dan juga fungsi bicara. Girus pada korteks
hemisfer kiri dan hemisfer kanan menguasai elementer bagian tubuh yang saling
berkebalikan. Hemisfer kiri menguasai tubuh bagian kanan, hemisfer kanan menguasai
tubuh bagian kiri. Apabila korteks prasental sebelah kanan rusak maka akan terjadi
kelumpuhan sisi bagian tubuh kiri, sebaliknya jika prasental sebelah kiri rusak maka
terjadi kelumpuhan bagian tubuh kanan.
Pada awalnya penentuan pembagian otak manusia dalam kaitannya dengan fungsi-
fungsi bahasa dan lainnya pada awalnya dilakukan dengan penelitian-penelitian orang-
orang yang mengalami kerusakan atau kecelakaan dibagian kepala, kemudian dilakukan
juga penelitian terhadap orang sehat. Pada tahun 1848 Phineas Gate seorang pekerja
12
kereta api dinegara bagian Vermount, Amerika serikat mengalami luka dibagian
kepalanya akibat terkena lemparan balok bantalan rel dan mencederainya (Fromkin and
Rodman via Chaer). Saat itu juga Gate dikabarkan tidak akan sembuh, akan tetapi
sebulan kemudian ia dapat bekerja kembali dan tidak terdapat kerusakan indra
pengucapan dan penglihatannya. Dia dapat berbicara dengan lancar. Berdasarkan
peristiwa yang dialami Gate dapat disimpukan bahwa kemampuan berbahasa tidak
terdapat pada bagian depan otak.
Pada tahun 1861, seorang ahli bedah Perancis, Paul Broca menemukan pasien
yang tidak dapat berbicara dan hanya dapat mengucapkan ‘tan-tan’. Setelah pasien
tersebut meninggal dan dibedah otaknya, ditemukan kerusakan otak bagian frontal,
daerah tersebut akhirnya diberi nama daerah Broca. Menurut Broca, kerusakan daerah
broca akan menyebabkan sesorang mendapatkan kesulitan dalam menghasilkan ujaran
(Simanjuntak via Chaer, 2009:122). Broca melaporkan bahwa kerusakan pada daerah
yang sama pada hemisfer kanan tidak akan menimbulkan pengaruh yang sama. Dalam
kata lain pasien pasien yang mengalmai kerusakan yang sama pada hemisfer kanan tetap
dapat menghasilkan ujaran secara normal. Penemuan tersebut menjadi dasar bahwa
kemampuan bahasa terletak dibagian kiri otak, dan daerah broca berperan penting dalam
pemrosesan bahasa.
Pada tahun 1873 seorang dokter dari Jerman, Carl Wernicke menemukan kasus
pasien yang memiliki kelainan wicara. Pasien tersebut tidak mengerti maksud
pembicaraan orang lain, tetapi masih dapat bicara sekadaranya. Setelah dibedah ternyata
terdapat kelainan dibagian belakang (temporalis), daerah tersebut akhirnya dinamakan
daerah Wernicke. Penemuan tersebut menyatakan bahwa daerah Wernicke berperan
penting dalam pemahaman ujaran. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan
bahwa ujaran didengar dan dipahami melalui daerah Wernicke pada hemsifer kiri,
ujaran tersebut kemudian dipindahkan ke area Broca untuk menghasilkan balasan ujaran
tersebut.
Kedua penemuan Broca dan Wernicke tersebut merupakan teori neurolinguistik
klasik. Penemuan keduanya menyatakan bahwa letak kemampuan bahasa di belahan kiri
13
otak. Akan tetapi teori modern mengemukakan bahwa otak kanan juga berperan penting
dalam pemrosesan bahasa. Hemisfer kanan mengendaliakan semua fonem
suprasegmental (aspek intonasi dan prosodi), tone, ekspresi muka, gerak-gerik badan,
makna perumpamaan dan ungkapan idiomatik. Teori-teori neurolinguistik klasik dan
modern menyempurnakan teori neurolinguistik secara umum bahwa sebenarnya
hemisfer kiri dan hemisfer kanan keduanya sama-sama memiliki peran dalam
berbahasa. Hemisfer kiri dominan untuk fungsi bicara, akan tetapi tanpa aktivitas
hemisfer kanan pembicaraan sesorang akan monoton, tidak ada prosodi, tidak ada lagu
kalimat, tanpa menampakkan emosi dan isyarta-isyarat bahasa. Menurut Cummings via
Dardjowidjojo (1991:39) spesialisasi hemisfer kiri dan kanan pada fungsi kebahasaan
adalah sebagai berikut:
Hemisfer kiri Hemisfer kanan
Language Speaking aloud Auditory comprehension
Auditory comprehension Reading comprehension
Naming Prosodic expression
Reading comprehenion Prosodic comprehension
Reading aloud Writing
Construction Internal detail External configuration
Calculation Arithmetic processing Spatial arragement
Memory Verbal Visuospatial
Miscellaneous Praxis Facial recognition
Berdasarkan pembagian hemisfer otak diatas dapat diketahui jika dalam proses
berbicara otak kanan dan otak kiri saling melengkapi agar perkataan seseorang ketika
berbicara menjadi jelas dan tidak menimbulkan ambiguitas ataupun salah persepsi.
Contohnya dalam melafalkan kalimat ‘Dia seorang mahasiswa’, jika kalimat tersebut
dilafalkan dengan datar tanpa ada perubahan nada maka kalimat tersebut menjadi
sebuah kalimat pernyataan, lain halnya jika kalimat tersebut dilafalkan dengan nada
tingi diakhir kalimat, maka kalimat tersebut menjadi kalimat pertanyaan. Sehingga
apabila salah satu hemisfer mengalami gangguan maka proses berbicara seseorang
tersebut juga akan terganggu.
14
Macam-macam gangguan bahasa pusat (otak)
Gangguan bahasa yang disebabkan oleh kerusakan otak terutama hemisfer kiri
dinamakan afasia. Istilah afasia berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘aphatos’ atau
‘tidak bisa berkata-kata’. Sehingga orang yang mengalami afasia mengalami kesulitan
dalam mengungkapkan kata-katanya. Afasia dapat disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya stroke, benturan pada kepala dan infeksi atau tumor. Stroke merupakan
penyakit yang diakibatkan karena penyumbatan ataupun pecahnya pembuluh darah di
otak. Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya luka pokok pada belahan
otak kiri (Cummings, 2010:179). Apabila pembuluh darah di bagian area kebahasaan
diotak tersebut pecah atau tersumbat, maka bagian yang rusak tersebut berakibat kepada
fungsi bahasanya, sehingga produksi bicaranya akan mengalami gangguan.
Selain stroke benturan kepala juga dapat menyebabkan gangguan fungsi otak.
Benturan kepala akan mengakibatkan saraf maupun pembuluh darah pecah. Perbedaan
penyebab antara ‘stroke’ dan ‘kerusakan otak akibat benturan kepala’ adalah stroke
dapat disebabkan karena pola makan, hipertensi kemudian jatuh, sedangkan benturan
kepala ini dapat terjadi melalui benturan benda yang sangat keras ataupun kecelakaan.
Infeksi ataupun tumor juga dapat menyebabkan gangguan fungsi otak. Penyakit tumor
otak dapat terjadi karena pola makan, terpapar radiasi maupun faktor genetik.
Jenis-jenis afasia adalah sebagai berikut:
1. Wernicke Afasia
Dikenal juga sebagai Receptive Aphasia atau Fluent Aphasia atau Sensory
Aphasia. Dalam kasus ini, sisi kiri tengah otak (bagian kendali bahasa)
mengalami kerusakan sehingga mengarah ke afasia. Orang yang mengalami
kondisi ini masih dapat membentuk kalimat panjang, tetapi dengan tingkat
kesulitan tertentu. Kalimat yang penderita buat biasanya tidak masuk akal yang
berupa rangkaian kata-kata tanpa arti dan hanya mereka sendiri yang
menyadarinya. Selain itu penderita mengalami kesulitan memahami apa yang
dikatakan orang lain. Terjadi pula kelemahan dalam kemampuan membaca dan
menulis.
15
2. Broca Afasia
Disebut juga sebagai Non fluent aphasia atau Expressive aphasia atau Motor
aphasia. Kondisi ini terjadi akibat kerusakan di bagian otak depan. Seseorang
yang menderita jenis afasia ini akan mengalami kesulitan dalam membentuk
kalimat secara lengkap. Kesulitan dalam menentukan ‘kiri’ dan’ kanan’.
3. Global Afasia
Global afasia merupakan gabungan dari Wernicke afasia dan Broca afasia.
Penderita yang mengalami gangguan ini akan kehilangan kemampuan berbicara
secara total untuk berbicara, membaca ataupun menulis. Sehingga penderita
yang menderita jenis afasia ini tidak mampu untuk berkomunikasi.
4. Anomia Afasia
Anomia afasia dipicu oleh segala macam trauma yang biasa mempengaruhi otak.
Anomia afasia membuat penderitanya kesulitan untuk mengingat kata dan
menyusun kalimat saat berbicara dan menulis.
Referensi:
Basinger,C. 2000. Everything You Need to Know about Deafness. New York: Rose
Publising Group.
Chaer, Abdul.2009. Psikolinguistik; Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Cummings, L. 2010. Pragmatik Klinis: Kajian tentang Penggunaan dan Gangguan
Bahasa Secara Klinis. Diterjemahkan oleh Adolina Leefan dkk. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Jὒrgen Hanke. 2014. Clinical Linguistics-An Overview, The VLC Video Library.
Marburg University, Germany,. 17.52 mints.
Soejono, S. 1991. Pellba 4; Linguitik Neurologi. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma
Jaya Jakarta.
16