Upload
undip
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
Produktivitas ternak perah dipengaruhi kondisi
fisiologi lingkungan yang terdiri dari suhu udara,
kelembaban dan radiasi matahari dan dapat mempengaruhi
kenyamanan ternak dan kondisi fisiologi ternak meliputi
suhu tubuh, frekuensi denyut nadi dan frekuensi
respirasi. Kesehatan ternak berbanding lurus dengan
produktivitas, apabila ternak itu sehat produktivitas
pada ternak akan meningkat sehingga produksi susu
meningkat. Ambing merupakan salah satu karakteristik
utama pada mamalia dan merupakan organ penunjang untuk
memproduksi susu pada ternak. Setiap produksi susu yang
dihasillkan ternak memiliki kadar lemak yang berbeda,
sehingga perlu dilakukan uji berat jenis susu untuk
mengetahui kadar lemak yang terkandung di dalam susu.
Pencatatan produksi yang ideal untuk sapi perah setiap
hari pagi dan sore selama laktasi dan pencatatan
2
dilakukan secara rutin untuk mengetahui pertumbuhan dan
perkembangan ternak secara individu.
Praktikum ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui
pengaruh fisiologi lingkungan terhadap fisiologi
ternak, mengetahui anantomi ambing dan mengukur
kualitas susu berdasarkan berat jenis. Manfaat
praktikum ini adalah agar praktikan dapat mengetahui
cara pengukuran fisiologi lingkungan dan ternak,
anatomi ambing, pengukuran berat jenis susu dan
mengetahui keturunan setiap individu ternak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1..............................................Sapi
Peranakan Fries Holland (PFH)
Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan
persilangan antara sapi Friesian Holstein (FH) dengan sapi
3
lokal Indonesia (Affandi, 2009). Bentuk dan sifat sapi
PFH sebagian besar dikuasai oleh darah sapi FH,
sehingga warna bulu dan tipe hampir sama dengan sapi
FH. Ciri-ciri sapi PFH adalah belang hitam putih atau
merah putih, punggung agak melengkung ke atas, bentuk
ambing seperti cawan dengan puting susu yang kebanyakan
kecil dan kurang seragam, pada dahi terdapat bulu putih
yang berbentuk segitiga. Sapi PFH jantan dewasa dapat
mencapai bobot badan antara 800-1.000 kg sedangkan sapi
PFH betina dewasa dapat mencapai bobot badan sekitar
625 kg (Wijaya, 2008).
2.2.
Fisiologi Lingkungan
2.2.1............................................Suhu
udara
Sapi PeranakanFriesien Holstein (PFH) menunjukkan
penampilan produksi terbaik apabila ditempatkan
4
padasuhu lingkungan 18,30C dengan kelembaban 55% (Yani
dan Purwanto, 2006). Pertumbuhan dan produktivitas
ternak yang hidup didaerah nyaman dapat maksimal serta
tidak banyak energi yang dikeluarkan untuk mengatur
keseimbangan panas tubuhnya, sedangkan bila diluar
daerah nyaman maka ternak memerlukan energi untuk
memelihara keseimbangan panas tubuh yang lebih besar
sehingga energi yang dihasilkan metabolisme pakan tidak
mencukupi untuk produksi dan reproduksi (Utomo et al.,
2009). Suhu dan kelembaban udara di dalam kandang dapat
mempengaruhi tingkat konsumsi pakan dan air. Kelembaban
dapat pula mempengaruhi mekanisme pengaturan temperatur
tubuh misalnya pengeluaran panas melalui keringat
ataupun melalui respirasi akan lebih cepat (Hadziq,
2011).
2.2.2.
Kelembaban
5
Sapi FH menunjukkan penampilan produksi terbaik
apabila ditempatkan pada suhu lingkungan 18,30C dengan
kelembaban 55% (Yani dan Purwanto, 2006). Rendahnya
kelembaban udara di waktu siang hari, kemungkinan
disebabkan semakin tingginya radiasi matahari dan suhu
udara sehingga penguapan air semakin banyak (Utomo et al.,
2009). Suhu dan kelembaban udara di dalam kandang dapat
mempengaruhi tingkat konsumsi pakan dan air. Kelembaban
dapat pula mempengaruhi mekanisme pengaturan temperatur
tubuh misalnya pengeluaran panas melalui keringat
ataupun melalui respirasi akan lebih cepat (Hadziq,
2011).
2.2.3. Radiasi matahari
Sapiakanmengalamicekamanpanaspadasaatradiasimataha
ridiatas 450
kkal/m2/jamldansapiakanmengalamicekamanpanasmaksimaldar
iradiasimataharipada jam 13.00-14.00
dimanapadawaktutersebutnilairadiasimataharimencapai 480
kkal/m2/jam (YanidanPurwanto, 2006). Bebanpanas yang
6
terjadipadasiangharikarenaadanyapeningkatansuhuudara
(Utomoet al., 2009).
2.2.4.
Perkandangan
Tinggiatapkandang di
daerahdengansinarmataharipenuhsebaikyaantara 3,6-4,2m
danbahanatapsepertiasbes, besiberlapissengatau
aluminium
kurangefektifmenahanradiasikarenakoefisienkonduksinyabe
sar, sehinggasuhudiatasdandibawahhampirsama
( YanidanPurwanto, 2006). Konstruksiatapkandang di
daerah yang berhawapanasseharusnyadibuatagaktinggi agar
ruangankandangtidakterlalupanassertadibuatdaribahan
yang tidakpanassepertianyamandaunilalang,
gentengatauanyamandaunkelapa (Guntoro, 2002).
2.3.
Fisiologi Ternak
7
2.3.1............................................Suhu
rektal
Pengaturan keseimbangan panas merupakan upaya
ternak mempertahankan suhu tubuhnya relatif konstan
terhadap perubahan suhu lingkungan yang merupakan
perwujudan kerja organ-organ tubuh untuk mempertahankan
proses homeostasis (Utomo et al., 2009). Kisaran suhu
rektal pada sapi perah PFH adalah 38,7oC-40oC (Yani dan
Purwanto, 2006).
2.3.2.
Frekuensi denyut nadi
Tingginya frekuensi denyut nadi disebabkan tinginya
beban panas dari dalam dan luar tubuh (Utomo et al.,
2009). Mekanisme peningkatan denyut nadi yaitu terjadi
peningkatan suhu darah yang secara langsung
mempengaruhi jantung dan penurunan tekanan darah
(Suherman et al., 2013).
8
2.3.3.
Frekuensi pernafasan
Frekuensi pernafasan adalah jumlah inspirasi dan
ekspirasi yang dilakukan dalam setiap menitnya. Tujuan
dari respirasi adalah untukl memaksimalkan pengeluaran
panas karena sapi perah berada di kandang dengan
kelembaban tinggi. Kisaran normal frekuensi respirasi
sapi perah yaitu antara 10 sampai 30 kali per menit
(Utomo et al., 2009). Tingginya respirasi dapat disebabkan
oleh ketidaknyamanan ternak saat ada petugas pengamat
dan karena perubahan temperatur dan kelembaban. Naiknya
frekuensi respirasi merupakan salah satu tanda sapi
perah mengalami stres panas.Semakin tinggi suhu
lingkungan ternak maka frekuensi pernafasan semakin
meningkat (Hadziq, 2011). Hal ini merupakan salah satu
upaya tubuh ternak untuk mempertahankan keseimbangan
panas tubuh saat suhu udara dalam kandang meningkat.
2.3.4. Konsumsi air minum
9
Tinggi rendahnya konsumsi air minum dipengaruhi
oleh suhu lingkungan.
Semakintinggisuhulingkunganmakakonsumsi air
minumpadaternaksemakinmeningkat(Yani dan Purwanto,
2006).
Cekamanpanaspadaternakberdampakpadapeningkatankonsumsi
air minum. Beberapa upaya pengurangan panas yang dapat
dilakukan oleh sapi perah antara lain berteduh,
mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak minum,
peningkatan frekuensi respirasi, meningkatkan produksi
saliva, meningkatkanproduksikeringat, serta
mengeluarkan urin (SudrajaddanAdiarto, 2011).
2.3.5.
Frekuensi urinasi dan defekasi
Urinasi merupakan salah satu usaha ternak dalam
mengatur proses keseimbangan tubuh dengan cara membuang
urin sedangkan defekasi merupakan suatu usaha ternak
untuk mengatur kseimbangan tubuh dengan mengeluarkan
10
feses. Urinasi merupakan salah satu upaya upaya yang
dapat dilakukan sapi perah dalam mengurangi panas
akibat suhu lingkungan yang tinggi. Selain itu, upaya
lain yang dapat dilakukan sapi perah antara lain
berteduh, mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak
minum, peningkatan frekuensi respirasi, meningkatkan
produksi saliva dan keringat (Sudrajad dan Adiarto,
2011). Mekanisme evaporative heat loss dilakukan dengan
pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) atau
melalui pertukaran panas di sepanjang saluran
pernapasan (panting) dan sebagian melalui feses dan urin
(Yani dan Purwanto, 2006).
2.4.
Anatomi Ambing
Kelenjar mamae atau ambing pada sapi betina terbagi
menjadi 4 bagian yang disebut kuartir-kuartir. Kulit
permukaan ambing ditutupi rambut kecuali pada putingnya
(Frandson, 1992). Ambing sapi terdapat alveol-alveol
11
yang berkemampuan memproduksi susu. Sapi perah memiliki
potensi genetik menghasilkan susu, diikuti pemberian
pakan yang baik terutama pada fase laktasi, alveol akan
mempercepat produksi susu, sehingga ambing cepat penuh
dan terlihat besar (Rusdiana dan Sejati, 2009).
2.5..............................................Berat
Jenis Susu
Kualitas susu dapat dilihat dari susunan dan
keadaannya. Susunan meliputi apa yang terkandung,
keadaan meliputi kondisi organoleptik dan berat jenis.
Jadi berat jenis susu menentukan kualitas susu
(Dwitania dan Swacita, 2013). Berat jenis susu adalah
berat suatu benda dibagi dengan volumenya. Nilai berat
jenis air susu pada suhu 20°C dapat bervariasi
antara1,0260−1,032. Pengukuran berat jenis dilakukan
dengan alat laktodensimeter. Kemudian dilakukan
penyetaraan pada suhu 27,5°C. Penyebab utama
12
bervariasinya berat jenis ini adalah kandungan lemak
susu (Sumantri et al., 2005).
2.6.
Recording
Recording merupakan segala hal yang berkaitan
dengan pencacatan terhadap ternak secara individu yang
menunjukan pertumbuhan dan perkembangannya. kegunaan
utama catatan produksi adalah memberikan keterangan
tentang individu sapi maupun secara keseluruhan,
sehingga dapat membantu peternak dalam mengambil
keputusan-keputusan yang sifatnya teknis dan ekonomis
(Rahayu et al., 2013). Recording merupakan pemberian
keterangan atau pecatatan kegiatan yang meliputi
silsilah, produksi, reproduksi dan kesehatan reproduksi
ternak, untuk mengembangkan sistem usaha perbibitan
sapi perah maka recording merupakan suatu kegiatan yang
harus ada (Talib et al., 2001)
13
BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Produksi Ternak dengan materi Anatomi
Ambing dan Berat Jenis Susu dilaksanakan pada hari
Kamis, 1 Mei 2014 di Laboratorium Produksi Ternak
Potong dan Perah, sedangkan materi Fisiologi
Lingkungan, Fisiologi Ternak dan Recording dilaksanakan
pada hari Minggu, 4 Mei 2014 di kandang sapi perah,
Fakultas Peternakan dan Pertanian, Unversitas
Diponegoro, Semarang.
3.1.
Materi
Materi yang digunakan adalah air, sapi 2013,
preparat awetan ambing sapi, susu segar dan susu
kemasan (Indomilk). Alat yang digunakan adalah
higrometeruntuk mengukur suhu dan kelembaban, black globe
14
untuk mengukur radiasi matahari, ember untuk memberi
minum sapi, meteran untuk mengukur kandang, termometer
rektal untuk mengukur suhu rektal sapi, tisu basah
untuk mengelap termometer, stetoskop untuk mengukur
denyut nadi sapi,stopwatch untuk mengukur waktu, nampan
untuk wadah preparat, gelas ukur untuk wadah susu dan
laktodensimeter untuk mengukur suhu dan berat jenis
susu.
3.2.
Metode
3.2.1. Fisiologi lingkungan
3.2.1.1. Suhu udara, pengukuran suhu udara dilakukan
dengan menggantungkan higrometer di dalam kandang dan
jangan sampai terkena sinar matahari langsung dan untuk
mengukur suhu luar kandang dilakukan dengan meletakkan
higrometer di luar kandang dan diusahakan terkena sinar
matahari secara langsung. Skala yang dibaca adalah
skala dry.
15
3.2.1.2. Kelembaban, pengukuran kelembaban udara
dilakukan dengan menggunakan higrometer. Pengukuran
dilakukan dengan membaca dan mencatat skala suhu bola
kering dan bola basah serta menghitung selisih antara
temperatur bola basah dan bola kering, selanjutnya
dilihat pada tabel konversi pada bagian paling atas
selisih tersebut dan diurutkan antara hasil pembacaan
dengan DBT.
3.2.1.3. Radiasi matahari, metode yang dilakukan dalam
praktikum yaitu mengukur radiasi matahari dengan cara
mengamati suhu pada black globe, kemudian menghitung
radiasi matahari menggunakan rumus R = δT4 , dengan :
R = Radiasi Matahari (kCal/m2/jam)
δ = Konstanta Stefann Boltzman (4,903 x 10-8)
T = Suhu Mutlak dalam Kelvin (273 + ͦC)
3.2.1.4. Perkandangan, pengukuran kandang meliputi
panjang kandang, lebar kandang, tinggi atap, panjang
palung, lebar palung, kedalaman palung, tinggi palung,
16
lebar selokan, panjang selokan, kedalaman selokan,
lebar flock, panjang flock, tinggi flock, dan luas kamar
susu. Setelah itu mencatat hasil pengamatan praktikum
pada buku.
3.2.2.
Fisiologi ternak
3.2.2.1. Suhu rektal, metode yang digunakan dalam
pengukuran suhu rektal yaitu dengan memasukkan
termometer klinis ke dalam rektum ternak sampai
berbunyi dan melihat angka yang ditunjukkan pada
termometer. Pengukuran dilakukan secara duplo.
3.2.2.2. Frekuensi denyut nadi, metode yang digunakan
dalam pengukuran denyut nadi yaitu dengan meletakkan
tangan pada pangkal ekor sapi sampai merasakan denyut
nadi, atau menggunakan stetoskop yang diletakkan di
17
dekat belakang kaki depan sebelah kiri selama 1 menit.
Pengukuran dilakukan secara duplo.
3.2.2.3. Frekuensi pernafasan, metode yang digunakan
dalam pengukuran frekuensi pernafasan adalah
menempelkan telapak tangan didekat lubang hidung sapi
kemudian menghitung frekuensinya selama 1 menit dan
mencatat hasil pengamatan dibuku catatan. Pengukuran
dilakukan secara duplo.
3.2.2.4. Konsumsi air minum, dilakukan dengan mengisi
ember dengan air, setiap habis ditambah secara ad libitum,
setiap penambahan harus dihitung berapa liter
penambahannya.
3.2.2.5. Frekuensi urinasi dan defekasi, metode yang
digunakan dalam pengukuran frekuensi urinasi dan
defekasi yaitu dengan cara menghitung jumlah frekuensi
urinasi dan defekasi sapi perah kemudian mencatat
waktunya setiap pengeluaran dan mencatat hasil
pengamatan dibuku catatan.
18
3.2.3.Anatomi ambing
Metode yang dilakukan dalam praktikum anatomi
ambing adalah mengamati preparat awetan ambing sapi,
mengidentifikasi bagian-bagian dan fungsinya serta
menganalisa proses sintesis dan pengeluaran susu.
3.2.4............................................Berat
jenis susu (BJ)
Susu dituangkan ke dalam gelas ukur,
laktodensimeter dimasukkan dan suhu serta berat jenis
terukur diamati pada masing-masing sampel, hasil yang
ditunjukkan dimasukkan ke dalam rumus untuk mengetahui
berat jenis sebenarnya.
BJ susu = BJ terukur – (27,5 –suhu) x 0,0002
3.2.5.
Recording
19
Recording dilakukan melalui wawancara kepada penjaga
kandang mengenai pencatatan identitas sapi, kesehatan
sapi, reproduksi sapi dan kebangsaan sapi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Fisiologi Lingkungan
Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata suhu dalam
kandang yaitu 290C, sedangkan untuk luar kandang
sebesar 270C (Tabel 1). Suhu di dalam kandang maupun
20
diluar kandang tidak sesuai dengan standar normal sapi
PFH. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani dan Purwanto
(2006) yang menyatakan bahwa sapi PFH menunjukkan
penampilan produksi terbaik apabila ditempatkan pada
suhu lingkungan 18,30C dengan kelembaban 55%. Tinggi
rendahnya suhu lingkungan dapat mempengaruhi tingkat
konsumsi air, saat suhu meningkat maka konsumsi air
meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadziq (2011)
yang menyatakan bahwa suhu dan kelembaban udara di
dalam kandang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan
dan air.
Tabel 1. Hasil Pengukuran Suhu, Kelembaban danRadiasi Matahari No. Jam Suhu Kelembaban RadiasiDalam Luar Dalam Luar
-----oC----- ------
%------
--kkal/m2/jam--
1 06.00 26 24 83 90 386,662 12.00 33 32 69 84 435,533 18.00 29 26.5 83 88 397,144 24.00 28 25.5 91 96 386,66
Rerata 29 27 81,5 89,5 401,5Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah,
2014.
21
Berdasarkan hasil praktikum, dapat diketahui bahwa
kelembaban rata rata di dalam kandang yaitu 81,5%,
sedangkan untuk luar kandang 89,5% (Tabel 1).
Kelembaban ini tergolong sangat tinggi. Yani dan
Purwanto (2006) menyatakan bahwa sapi PFH menunjukkan
penampilan produksi terbaik apabila ditempatkan
padasuhu lingkungan 18,30C dengan kelembaban 55%. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa pada pukul 12.00 terjadi
penurunan kelembaban dan kemudian terjadi peningkatan
pada pukul 18.00, hal ini diakibatkan radiasi matahari
yang lebih tinggi pada siang hari.Utomo et al.(2009)
menyatakan bahwa rendahnya kelembaban udara di waktu
siang hari, disebabkan semakin tinggi radiasi matahari
dan suhu udara sehingga penguapan air semakin banyak.
Berdasarkan praktikum didapatkan hasil bahwa
radiasi matahari tertinggi terjadi pada siang hari
yaitu 435,53 kkal/m2/jam. Peningkatan radiasi matahari
pada siang hari disebabkan karena cahaya matahari jatuh
tegak lurus terhadap permukaan bumi. Hal ini sesuai
22
dengan pendapat Johan (2008) yang menyatakan bahwa
intensitas maksimum radiasi pada tiap kawasan terjadi
pada saat cahaya matahari jatuh tegak lurus, yaitu pada
waktu tengah hari. Radiasi matahari yang tinggi
biasanya diikuti dengan peningkatan suhu, sehingga
dapat menyababkan cekaman panas pada sapi, namun hasil
radiasi matahari tersebut belum menyebabkan cekaman
panas pada sapi PFH. Yani dan Purwanto (2006)
menyatakan bahwa sapi mengalami cekaman panas pada saat
radiasi matahari diatas 450 kkal/m2/jam. Ditambahkan
oleh Utomo et al.(2009) bahwa beban panas yang terjadi
pada siang hari karena adanya peningkatan suhu udara.
Tabel 2. HasilPengukuranKandangParameter Ukuran
PanjangKandang (m) 12,64LebarKandang (m) 8,33TinggiKandang (m) 4,25Lebar Flock (m) 1,36Tinggi Flock (m) 1,64Panjang Flock (m) 1,05
23
Sumber : Data Primer PraktikumProduksiTernakPerah,
2014.
Ilustrasi 1. Kandang Sapi PFH Tampak Depan (kiri)dan Samping (kanan)
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah,
2014.
Berdasarkanpraktikumkandangsapi PFH memilikipanjang
12,64 m, luas 8,33 m, tinggi 4,25 m, lebar flock 1,36
m, tinggi flock 1,64 m dan panjang flock 1,05 m (Tabel
2).
Tinggikandangsapiperahsudahbaikkarenadenganketinggiante
rsebutpertukaranudaradanpanasdaridalamkandangdanluarkan
dangdapatterjadidenganlancar.
Namun,konstruksiatapkandangyang
menggunakanasbesmenyebabkan pada siang hari
suhudalamkandanglebihtinggidaripadasuhuluarkandang(33
24
ºC dan32 ºC)(Tabel2).YanidanPurwanto (2006)
menyatakanbahwatinggiatapkandang di
daerahdengansinarmataharipenuhsebaikyaantara 3,6-4,2 m.
Guntoro (2002) menambahkanbahwakonstruksiatapkandang di
daerah yang berhawapanashendaknyadibuatagaktinggi agar
ruangankandangtidakterlalupanassertadibuatdaribahan
yang tidakpanassepertianyamandaunilalang,
gentengatauanyamandaunkelapa.
4.2.
Fisiologi Ternak
Berdasarkan hasil praktikum yang telahdilakukan,
diperoleh rerata suhu rektal pada sapi 2013 sebesar
38,9oC (Tabel 3). Suhu tersebut masih tergolong normal
untuk sapi. Meskipun suhu lingkungan tinggi (Tabel 1),
suhu tubuh sapi masih stabil. Hal ini sesuai dengan
pendapat Utomo et al. (2009) yang menyatakan bahwa suhu
rektal sapi perah mempunyai kisaran normal antara
38,5oC sampai 39,5oC. Hadziq (2011) menambahkanbahwa
25
suhu rektal dapat dijadikan sebagaiindikator panas
tubuh dan kondisi fisiologis tubuh serta respon ternak
terhadap suhu lingkungan.
Tabel 3. Hasil Pengukuran Suhu Tubuh, Denyut Nadidan Frekuensi Nafas
No.
Jam SuhuTubuhTernak
DenyutNadi
FrekuensiNafas
----oC----
-----kali/menit-----
1 06.00 38,4 61 252 12.00 38,5 70 323 18.00 39,2 73 244 24.00 39,5 42 27
Rerata 38,9 62 27Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2014.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, rerata
denyut nadi sapi 2013 sebanyak 62 kali permenit (Tabel
3). Jumlah tersebut masih dalam kisaran normal yaitu
60-70 kali permenit. Denyut nadi merupakan respon yang
diberikan sapi untuk menghadapi perubahan suhu.
Perubahan suhu yang dilihat dari respondenyut nadi
merupakan mekanisme dari tubuh sapi untuk mengurangi
atau melepaskan panas yang diterima dan untuk
26
menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ
yang lebih dingin. Denyut nadi sapi perah normalnya
berkisar antara60-70 kali permenit (Yani dan Purwanto,
2006), sedangkan menurut Suherman et al.(2013) sebesar
50-80 kali per menit, mekanisme peningkatan denyut nadi
yaitu terjadi peningkatan suhu darah yang secara
langsung mempengaruhi jantung dan pengaruh penurunan
tekanan darah.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan,
diperoleh hasil bahwa rerata frekuensi pernafasan sapi
perah adalah 27 kali per menit (Tabel 3). Hal ini
menandakan bahwa frekuensi pernafasan sapi perah masih
normal. Kisaran normal frekuensi respirasi sapi perah
dewasa adalah 24-32 kali per menit. Hal ini sesuai
dengan pendapat Utomo et al. (2009) yang menyatakan bahwa
kisaran normal frekuensi respirasi sapi perah yaitu
antara 10 sampai 30 kali per menit. Suhu lingkungan
berpengaruh terhadap frekuensi pernafasasan sapi perah,
semakin tinggi suhu lingkungan ternak maka frekuensi
pernafasan semakin meningkat. Hal ini merupakan salah
27
satu upaya tubuh ternak untuk mempertahankan
keseimbangan panas tubuh saat suhu udara dalam kandang
meningkat. Pernyataan ini dibuktikan pada suhu tinggi
di siang hari (Tabel 1) menyebabkan peningkatan
frekuensi pernafasan (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan
pendapat Hadziq (2011) yang menyatakan bahwa semakin
tinggi suhu lingkungan ternak maka frekuensi pernafasan
semakin meningkat.
Tabel 4. Hasil Pengukuran Konsumsi Air MinumPengisian ke- Volume (L)
1 122 43 104 10
Total 36Sisa 8,5
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah,2014.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan
diperolehhasilbahwa konsumsi air minum pada sapi perah
dalam sehari sebanyak 27,5 L dengan suhu lingkungan
28,60C. Tinggi rendahnya konsumsi air minum dipengaruhi
28
oleh suhu lingkungan. Suhu lingkungan yang
tinggidapatmeningkatkan konsumsi air minum sebaliknya
suhu yang rendah mengurangi konsumsi air minum. Hal ini
sesuai denganpendapat Yani dan Purwanto (2006) yang
menyatakan bahwa cekaman panas pada ternak berdampak
pada peningkatan air minum.Sudrajad dan Adiarto
(2011)menambahkanbeberapa upaya pengurangan panas yang
dapat dilakukan oleh sapi perah antara lain berteduh,
mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak minum,
peningkatan frekuensi respirasi, meningkatkan produksi
saliva dan keringat, serta mengeluarkan urin.
Tabel 5. Hasil Pengamatan Urinasi dan DefekasiNo Waktu Urinasi Waktu Defekasi1 07.00 06.202 09.20 07.453 13.50 11.574 16.05 13.485 22.44 15.316 17.027 22.358 24.029 03.45
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah,
2014.
29
Hasil pengamatan terhadap frekuensi urinasi dan
defekasi menunjukkan bahwa sapi perah melakukan urinasi
sebanyak 5 kali dan defekasi sebanyak 10 kali selama 24
jam (Tabel5). Urinasi merupakan salah satu upaya yang
dapat dilakukan sapi perah dalam mengurangi panas
akibat suhu lingkungan yang tinggi. Suhu tinggi pada
siang hari (Tabel 1) mengakibatkan urinasi dan defekasi
meningkat (Tabel 4). Hal ini sesuai dengan pendapat
Sudrajad dan Adiarto (2011) yang menyatakan bahwa
beberapa upaya pengurangan panas yang dapat dilakukan
oleh sapi perah antara lain berteduh, mengurangi
konsumsi pakan, memperbanyak minum, peningkatan
frekuensi respirasi, meningkatkan produksi saliva dan
keringat, serta mengeluarkan urin. Yani dan Purwanto
(2006) menambahkan jalur utama pelepasan panas melalui
mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan
pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) atau
melaluipertukaran panas di sepanjang saluran pernapasan
(panting) dan sebagian melalui feses dan urin.
30
4.3.
Anatomi Ambing
Berdasarkan pengamatan dapat diketahui bahwa
anatomi ambing sapi terdiri atas medial suspensori ligament,
lateral suspensori ligament, membran, alveolus, lobulus, lobus, gland
sistern, otot springter, teat sistern dan teat meatus (Ilustrasi 2).
Dua kuartir kanan dan dua kuartir kiri dipisahkan oleh
selaput yang disebut medial suspensori ligament. Hal ini
sesuai dengan pendapat Frandson (1992) bahwa ambing
dipisah menjadi dua bagian secara vertikal dengan
adanya lekukan longitudinal pada selaput intermamae
atau medial susoensori ligament. Ditambahkan oleh
Pabana (2010) bahwa ambing kiri dan kanan dipisahkan
oleh medial suspensori ligament.
Ilustrasi 2.Bagian-Bagian Eksterior Ambing (kiri)dan Interior Ambing (kanan)
31
12345678910
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah,2014.
Keterangan: 1. Teat meatus 6. Ligamentum suspensorium
medialis2. Teat cistern 7. Ligamentum suspensorium
leteralis3. Anular ford 8. Fine membrane4. Gland Cistern 9. Alveolus5. Sinuslaktoferus 10. Lobus
Bagian dalam terdapat alveolus yang berfungsi
menghasilkan susu. Beberapa alveolus tergabung menjadi
lobulus, beberapa lobulus tergabung dalam satu lobus.
Susu yang dihasilkan oleh alveolus dikumpulkan atau
ditampung dalam gland cistern melalui milk ductus. Antaragland
cisterndan teat cistern terdapat otot springter yang berfungsi
menahan masuknya bakteri ke dalam penampungan susu,
kemudian susu dikeluarkan melalui saluran teat cistern dan
32
bermuara di teat meatus. Hal ini sesuai pendapat Taufik
dan Depison (2008) bahwa di dalam ambing terdapat
alveolus-alveolus yang berkemampuan memproduksi susu,
alveolus-alveolus tergabung menjadi satu lobulud,
beberapa lobulus terdapat dalam satu lobus, susu yang
diproduksi oleh alveolus ditampung dalam gland cistern
melalui milk ductus. Susu yang ditampung dilindungi oleh
otot springter agar tidak ada bakteri yang masuk.Rusdiana
dan Sejati (2009) menambahkan bahwa sapi perah memiliki
ambing yang di dalamnya terdapat alveol-alveol yang
berkemampuan memproduksi susu.Sintesis dan sekresi susu
di alveolus sangat dipengaruhi oleh hormon. Menurut
Mukhtar (2006) hormon yang berpengaruh dalam proses
tersebut adalah LH (Lactogenic Hormon). Hormon tersebut
meningkat setelah sapi melahirkan, dan menimbulkan
serta menjaga keberlangsungan masa laktasi. Selain itu
hormon tersebut juga meningkatkan kecepatan sekresi
susu.
33
4.4. Berat
Jenis Susu
Tabel 6. Berat Jenis Susu
Parameter Susu Murni Susu Kemasan(Indomilk)
Jumlah Susu (ml) 500 ml 500 mlSuhu Terukur 27o 29o
BJ Susu 1,020 1,029Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah,2014.
Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa berat
jenis susu kemasan lebih tinggi daripada susu segar
(Tabel 6). Kondisi ini menunjukkan bahwa susu murni
kurang berkualitas dibandingkan susu kemasan. Kondisi
tersebut didasarkan pada pendapat Sumantri et al.(2005)
bahwa syarat mutu susu segar adalah memiliki berat
jenis antara 1,026-1,028. Ditambahkan oleh Taufik
(2004) bahwa berat jenis susu segar yang bermutu adalah
yang berkisar 1,0282. Keberadaan tersebut dikarenakan
susu segar diperoleh dari peternak tradisional yang
kurang memperhatikan kualitas pakan untuk diberikan
kepada sapi, selain itu suhu lingkungan pemeliharaan
34
kurang sesuai dengan suhu zona aman sapi perah,
sehingga kualitas susunya menurun.Menurut Hamtiah et al.
(2012) ungaranmemiliki ketinggian 350-900 m di atas
permukaan laut dengan suhu rata-rata 30oC. Suhu
tersebut terlalu tinggi untuk pemeliharaan sapi perah
sehingga kualitas susu yang dihasilkan di bawah
standar. Anggraeni et al. (2008) menambahkanbahwa sapi
perah dapat berproduksi optomal pada lingkungan
ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut dengan
suhu rata-rata 19,3oC.
4.5.
Recording
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan,
diperoleh hasil bahwa sapi yang diamati saat praktikum
adalah sapi no. 2013. Sapi tersebut sapi dara yang
berumur 3 tahun dan pernah dikawinkan satu kali,
kemudian bunting 2 bulan, belum terdiagnosa terserang
penyakit dan belum pernah dilakukan vaksin. Sapi perah
35
yang berada di kandang Fakultas Pertenakan dan
Pertanian tidak menggunakan recording, semua data
mengenai ternak tidak dilakukan pencacatan dengan rapi,
sehingga data yang diperoleh belum pasti. Pencacatan
identifikasi ternak perlu dilakukan dengan mencatat
semua informasi tentang nomor atau nama ternak, nomor
registrasi, tanggal lahir dan jenis kelamin. Hal ini
sesuai dengan pendapat Rahayu et al.(2013) yang
menyatakan bahwa kegunaan utama catatan produksi adalah
memberikan keterangan tentang individu sapi maupun
secara keseluruhan, sehingga dapat membantu peternak
dalam mengambil keputusan-keputusan yang sifatnya
teknis dan ekonomis. Talib et al.(2001) jugamenyatakan
bahwa recording merupakan pemberian keterangan atau
pecatatan kegiatan yang meliputi silsilah, produksi,
reproduksi dan kesehatan reproduksi ternak, untuk
mengembangkan sistem usaha perbibitan sapi perah maka
recording merupakan suatu kegiatan yang harus ada.
37
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Fisiologi lingkungan di kawasan Fakultas Peternakan
dan Pertanian Universitas diponegoro tidak cukup nyaman
untuk memelihara sapi perah. Terbukti dengan kondisi
fisiologi ternak yang tidak stabil antara siang dan
malam. Sistem perkandangan sudah memenuhi syarat.
Anatomi ambing pada sapi perah terdiri atas medial
suspensori ligament, lateral suspensori ligament,
membran, alveolus, lobulus, lobus, gland sistern, otot
springter, teat sistern dan teat meatus. Susu segar
yang diperoleh dari petani kurang berkualitas ditinjau
dari berat jenisnya. Recording dilakukan agar semua
riwayat sapi tercatat.
Saran
Praktikum recording yang sekedar bertanya pada
petugas saja belum cukup mengajarkan bagaimana cara
38
recording yang tepat bagi mahasiswa, sehingga perlu
perbaikan metode praktikum recording.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, A. A. 2009. Pengaruh umur terhadap heattolerance coeefficient dan pertambahan bbot badabdengan pemberian pakan serat kasar rendah pasa sapiPFH jantan (Peranakan Fries Holland jantan).Universitas Brawijaya. Malang. (Skripsi)
Anggraeni, A., Fotriyani, Y., Atabany, A dan Komala, I.2008. Penampilan produksi susu dan reproduksi sapiFriesian-Holstein di balai pengembangan perbibitanternak sapi perah Cikole, Lembang. Seminar NasionalTeknologi Peternakan dan Veteriner. Hal: 137-145.
Dwitania, DC dan Swacita, I. B. N. 2013. Uji didih,alkohol dan derajad asam susu sapi kemasan yangdijual di pasar tradisional kota denpasar. JurnalIndonesian Medicus Vetenerinus 2(4) : 437-444.
Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi TernakEdisi Keempat. Gajah Mada University, Yogyakarta.
39
Guntoro, S. 2002. Membudidaya Sapi Bali. Kanisius,Yogyakarta.
Hadziq, A. 2011. Status fisiologis dan performa pedetperanakan friesien Holstein prasapih yangdiinokulasi bakteri pencerna serat dengan pakanbersuplemen kobalt. Institut Pertanian Bogor.Bogor, (Skripsi)
Hamtiah, S., Dwijatmiko, S dan Satmoko, S. 2012.Efektivitas media audio visual terhadap tingkatpengetahuan petani sapi perah tentang kualitas susudi Desa Indrokilo Kecamatan Ungaran Barat KabupatenSemarang. Anim. Agri. J.2(1): 322-330.
Johan, Y. 2008. Fluktuasi intensitas radiasi mataharikawasan padat polusi dan hijaukota Solok.Universitas Andalas. (Tesis)
Mukhtar, A. 2006. Ilmu Produksi Ternak Perah. UNS,Surakarta.
Pabana, T. 2010. Korelasi antara dimensi ambing danputting dengan produksi susu kambing peranakan ettawa(PE). Skripsi. Fakultas Peternakan UniversitasHasanuddin, Makasar. (Skripsi)
Rahayu, A, Santosa, dan Susanto, A. 2013. Evaluasi mutugenetik sapi perah menggunakan catatan produksisusu harian dan centering date method (Cdm). JurnalIlmiah Peternakan. 1(1). 236-243.
Rusdiana, S. dan W. K. Sejati. 2009. Upaya pengembanganagribisnis sapi perah dan peningkatan produksi susumelalui pemberdayaan koperasi susu. Jurnal AgroEkonomi 27(1): 43-51.
Sudrajad, P dan Adiarto. 2011. Pengaruh stres panasterhadap performa produksi susu sapi friesianholstein dibalai besar pembibitan ternak unggulsapi perah Baturraden. Seminar Nasional TeknologiPakan dan Veteriner.
40
Suherman D. 2013. Simulasi artifisial neural networks untukmenentukan suhu kritis pada sapi Fries Hollandberdasarkan respons fisiologis. JITV 18(1): 70-80.
Sumantri, C., Maheswari, R. R. A., Anggraeni, A.,Duwiyanto, K dan Farajallah, A. 2005. Pengaruhgenotipe kappakasein (k-kasein) terhadap kualitassusu pada sapi perah fh di baturraden. JurnalNasional Teknologi Peternakan Dan Vetenerian.
Talib, A. Anggraeni, Dan K. Diwyanto.2001. Kelembagaansistem perbibitan untuk mengembangkan bibit sapiperah FH nasional. Wartazoa 11 (2): 1-6
Taufik, A dan Depison. 2008. Hubungan antara lingkarperut dan volume ambing dengan kemampuan produksisusu kambing peranakan etawa. XI (2) :59-67.
Taufik, E. 2004. Dadih susu sapi hasil fermentasiberbagai starter bakteri probiotik yang disimpanpada suhu rendah: karakteristik kimiawi. MediaPeternakan. 27(3): 88-100.
Utomo, B., D. P. Miranti, dan G. C. Intan. 2009. Kajiantermoregulasi sapi perah periode laktasi denganintroduksi teknologi peningkatan kualitas pakan.Seminar Nasional Teknologi Peternakan danVeteriner: 263 – 268.
Wijaya, A. Pengaruh imbangan hijauan dengan konsentratberbahan baku limbah pengolahan hasil pertaniandalam ransum terhadap penampilan sapi PFH jantan.Universitas Sebelas Maret. Surakarta. (Skripsi)
Yani, A., dan B. P. Purwanto. 2006. Pengaruh iklimmikro terhadap respons fisiologi sapi perahperanakan fries holland dan modifikasi lingkunganuntuk meningkatkan produktivitasnya. MediaPeternakan29 (1): 35-46.
41
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Nilai Radiasi
Nilai radiasi matahari pukul
Nilai radiasi matahari pukul 06.00
T = 25ᵒC + 273 = 298 K
R = ᵟT4
R = 4,903 x 10-8. 2984
= 386,66 Kcal m-2 jam-1
Nilai radiasi matahari pukul 12.00
T = 37ᵒC + 273 = 310 K
42
R = ᵟT4
R = 4,903 X 10-8. 3104
= 435,53 Kcal m-2 jam-1
Nilai radiasi matahari pukul 17.00
T = 28ᵒC + 273 = 301 K
R = ᵟT4
R = 4,903 X 10-8. 3014
= 397,14 Kcal m-2 jam-1
Nilai radiasi matahari pukul 00.00
T = 25ᵒC + 273 = 298 K
R = ᵟT4
R = 4,903 X 10-8. 2984
= 386,66 Kcal m-2 jam-1
Lampiran 2. Perhitungan Berat Jenis Susu
Susu segar
BJ susu = 1,020 – (27,5 – 27) x 0,0002
= 1,020 – (0,5 x 0,0002)
= 1,020 – 0,0001
= 1,0199
= 1,020