43
1 BAB I PENDAHULUAN Produktivitas ternak perah dipengaruhi kondisi fisiologi lingkungan yang terdiri dari suhu udara, kelembaban dan radiasi matahari dan dapat mempengaruhi kenyamanan ternak dan kondisi fisiologi ternak meliputi suhu tubuh, frekuensi denyut nadi dan frekuensi respirasi. Kesehatan ternak berbanding lurus dengan produktivitas, apabila ternak itu sehat produktivitas pada ternak akan meningkat sehingga produksi susu meningkat. Ambing merupakan salah satu karakteristik utama pada mamalia dan merupakan organ penunjang untuk memproduksi susu pada ternak. Setiap produksi susu yang dihasillkan ternak memiliki kadar lemak yang berbeda, sehingga perlu dilakukan uji berat jenis susu untuk mengetahui kadar lemak yang terkandung di dalam susu. Pencatatan produksi yang ideal untuk sapi perah setiap hari pagi dan sore selama laktasi dan pencatatan

LAPORAN PTP ACC

  • Upload
    undip

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

Produktivitas ternak perah dipengaruhi kondisi

fisiologi lingkungan yang terdiri dari suhu udara,

kelembaban dan radiasi matahari dan dapat mempengaruhi

kenyamanan ternak dan kondisi fisiologi ternak meliputi

suhu tubuh, frekuensi denyut nadi dan frekuensi

respirasi. Kesehatan ternak berbanding lurus dengan

produktivitas, apabila ternak itu sehat produktivitas

pada ternak akan meningkat sehingga produksi susu

meningkat. Ambing merupakan salah satu karakteristik

utama pada mamalia dan merupakan organ penunjang untuk

memproduksi susu pada ternak. Setiap produksi susu yang

dihasillkan ternak memiliki kadar lemak yang berbeda,

sehingga perlu dilakukan uji berat jenis susu untuk

mengetahui kadar lemak yang terkandung di dalam susu.

Pencatatan produksi yang ideal untuk sapi perah setiap

hari pagi dan sore selama laktasi dan pencatatan

2

dilakukan secara rutin untuk mengetahui pertumbuhan dan

perkembangan ternak secara individu.

Praktikum ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui

pengaruh fisiologi lingkungan terhadap fisiologi

ternak, mengetahui anantomi ambing dan mengukur

kualitas susu berdasarkan berat jenis. Manfaat

praktikum ini adalah agar praktikan dapat mengetahui

cara pengukuran fisiologi lingkungan dan ternak,

anatomi ambing, pengukuran berat jenis susu dan

mengetahui keturunan setiap individu ternak.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1..............................................Sapi

Peranakan Fries Holland (PFH)

Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan

persilangan antara sapi Friesian Holstein (FH) dengan sapi

3

lokal Indonesia (Affandi, 2009). Bentuk dan sifat sapi

PFH sebagian besar dikuasai oleh darah sapi FH,

sehingga warna bulu dan tipe hampir sama dengan sapi

FH. Ciri-ciri sapi PFH adalah belang hitam putih atau

merah putih, punggung agak melengkung ke atas, bentuk

ambing seperti cawan dengan puting susu yang kebanyakan

kecil dan kurang seragam, pada dahi terdapat bulu putih

yang berbentuk segitiga. Sapi PFH jantan dewasa dapat

mencapai bobot badan antara 800-1.000 kg sedangkan sapi

PFH betina dewasa dapat mencapai bobot badan sekitar

625 kg (Wijaya, 2008).

2.2.

Fisiologi Lingkungan

2.2.1............................................Suhu

udara

Sapi PeranakanFriesien Holstein (PFH) menunjukkan

penampilan produksi terbaik apabila ditempatkan

4

padasuhu lingkungan 18,30C dengan kelembaban 55% (Yani

dan Purwanto, 2006). Pertumbuhan dan produktivitas

ternak yang hidup didaerah nyaman dapat maksimal serta

tidak banyak energi yang dikeluarkan untuk mengatur

keseimbangan panas tubuhnya, sedangkan bila diluar

daerah nyaman maka ternak memerlukan energi untuk

memelihara keseimbangan panas tubuh yang lebih besar

sehingga energi yang dihasilkan metabolisme pakan tidak

mencukupi untuk produksi dan reproduksi (Utomo et al.,

2009). Suhu dan kelembaban udara di dalam kandang dapat

mempengaruhi tingkat konsumsi pakan dan air. Kelembaban

dapat pula mempengaruhi mekanisme pengaturan temperatur

tubuh misalnya pengeluaran panas melalui keringat

ataupun melalui respirasi akan lebih cepat (Hadziq,

2011).

2.2.2.

Kelembaban

5

Sapi FH menunjukkan penampilan produksi terbaik

apabila ditempatkan pada suhu lingkungan 18,30C dengan

kelembaban 55% (Yani dan Purwanto, 2006). Rendahnya

kelembaban udara di waktu siang hari, kemungkinan

disebabkan semakin tingginya radiasi matahari dan suhu

udara sehingga penguapan air semakin banyak (Utomo et al.,

2009). Suhu dan kelembaban udara di dalam kandang dapat

mempengaruhi tingkat konsumsi pakan dan air. Kelembaban

dapat pula mempengaruhi mekanisme pengaturan temperatur

tubuh misalnya pengeluaran panas melalui keringat

ataupun melalui respirasi akan lebih cepat (Hadziq,

2011).

2.2.3. Radiasi matahari

Sapiakanmengalamicekamanpanaspadasaatradiasimataha

ridiatas 450

kkal/m2/jamldansapiakanmengalamicekamanpanasmaksimaldar

iradiasimataharipada jam 13.00-14.00

dimanapadawaktutersebutnilairadiasimataharimencapai 480

kkal/m2/jam (YanidanPurwanto, 2006). Bebanpanas yang

6

terjadipadasiangharikarenaadanyapeningkatansuhuudara

(Utomoet al., 2009).

2.2.4.

Perkandangan

Tinggiatapkandang di

daerahdengansinarmataharipenuhsebaikyaantara 3,6-4,2m

danbahanatapsepertiasbes, besiberlapissengatau

aluminium

kurangefektifmenahanradiasikarenakoefisienkonduksinyabe

sar, sehinggasuhudiatasdandibawahhampirsama

( YanidanPurwanto, 2006). Konstruksiatapkandang di

daerah yang berhawapanasseharusnyadibuatagaktinggi agar

ruangankandangtidakterlalupanassertadibuatdaribahan

yang tidakpanassepertianyamandaunilalang,

gentengatauanyamandaunkelapa (Guntoro, 2002).

2.3.

Fisiologi Ternak

7

2.3.1............................................Suhu

rektal

Pengaturan keseimbangan panas merupakan upaya

ternak mempertahankan suhu tubuhnya relatif konstan

terhadap perubahan suhu lingkungan yang merupakan

perwujudan kerja organ-organ tubuh untuk mempertahankan

proses homeostasis (Utomo et al., 2009). Kisaran suhu

rektal pada sapi perah PFH adalah 38,7oC-40oC (Yani dan

Purwanto, 2006).

2.3.2.

Frekuensi denyut nadi

Tingginya frekuensi denyut nadi disebabkan tinginya

beban panas dari dalam dan luar tubuh (Utomo et al.,

2009). Mekanisme peningkatan denyut nadi yaitu terjadi

peningkatan suhu darah yang secara langsung

mempengaruhi jantung dan penurunan tekanan darah

(Suherman et al., 2013).

8

2.3.3.

Frekuensi pernafasan

Frekuensi pernafasan adalah jumlah inspirasi dan

ekspirasi yang dilakukan dalam setiap menitnya. Tujuan

dari respirasi adalah untukl memaksimalkan pengeluaran

panas karena sapi perah berada di kandang dengan

kelembaban tinggi. Kisaran normal frekuensi respirasi

sapi perah yaitu antara 10 sampai 30 kali per menit

(Utomo et al., 2009). Tingginya respirasi dapat disebabkan

oleh ketidaknyamanan ternak saat ada petugas pengamat

dan karena perubahan temperatur dan kelembaban. Naiknya

frekuensi respirasi merupakan salah satu tanda sapi

perah mengalami stres panas.Semakin tinggi suhu

lingkungan ternak maka frekuensi pernafasan semakin

meningkat (Hadziq, 2011). Hal ini merupakan salah satu

upaya tubuh ternak untuk mempertahankan keseimbangan

panas tubuh saat suhu udara dalam kandang meningkat.

2.3.4. Konsumsi air minum

9

Tinggi rendahnya konsumsi air minum dipengaruhi

oleh suhu lingkungan.

Semakintinggisuhulingkunganmakakonsumsi air

minumpadaternaksemakinmeningkat(Yani dan Purwanto,

2006).

Cekamanpanaspadaternakberdampakpadapeningkatankonsumsi

air minum. Beberapa upaya pengurangan panas yang dapat

dilakukan oleh sapi perah antara lain berteduh,

mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak minum,

peningkatan frekuensi respirasi, meningkatkan produksi

saliva, meningkatkanproduksikeringat, serta

mengeluarkan urin (SudrajaddanAdiarto, 2011).

2.3.5.

Frekuensi urinasi dan defekasi

Urinasi merupakan salah satu usaha ternak dalam

mengatur proses keseimbangan tubuh dengan cara membuang

urin sedangkan defekasi merupakan suatu usaha ternak

untuk mengatur kseimbangan tubuh dengan mengeluarkan

10

feses. Urinasi merupakan salah satu upaya upaya yang

dapat dilakukan sapi perah dalam mengurangi panas

akibat suhu lingkungan yang tinggi. Selain itu, upaya

lain yang dapat dilakukan sapi perah antara lain

berteduh, mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak

minum, peningkatan frekuensi respirasi, meningkatkan

produksi saliva dan keringat (Sudrajad dan Adiarto,

2011). Mekanisme evaporative heat loss dilakukan dengan

pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) atau

melalui pertukaran panas di sepanjang saluran

pernapasan (panting) dan sebagian melalui feses dan urin

(Yani dan Purwanto, 2006).

2.4.

Anatomi Ambing

Kelenjar mamae atau ambing pada sapi betina terbagi

menjadi 4 bagian yang disebut kuartir-kuartir. Kulit

permukaan ambing ditutupi rambut kecuali pada putingnya

(Frandson, 1992). Ambing sapi terdapat alveol-alveol

11

yang berkemampuan memproduksi susu. Sapi perah memiliki

potensi genetik menghasilkan susu, diikuti pemberian

pakan yang baik terutama pada fase laktasi, alveol akan

mempercepat produksi susu, sehingga ambing cepat penuh

dan terlihat besar (Rusdiana dan Sejati, 2009).

2.5..............................................Berat

Jenis Susu

Kualitas susu dapat dilihat dari susunan dan

keadaannya. Susunan meliputi apa yang terkandung,

keadaan meliputi kondisi organoleptik dan berat jenis.

Jadi berat jenis susu menentukan kualitas susu

(Dwitania dan Swacita, 2013). Berat jenis susu adalah

berat suatu benda dibagi dengan volumenya. Nilai berat

jenis air susu pada suhu 20°C dapat bervariasi

antara1,0260−1,032. Pengukuran berat jenis dilakukan

dengan alat laktodensimeter. Kemudian dilakukan

penyetaraan pada suhu 27,5°C. Penyebab utama

12

bervariasinya berat jenis ini adalah kandungan lemak

susu (Sumantri et al., 2005).

2.6.

Recording

Recording merupakan segala hal yang berkaitan

dengan pencacatan terhadap ternak secara individu yang

menunjukan pertumbuhan dan perkembangannya. kegunaan

utama catatan produksi adalah memberikan keterangan

tentang individu sapi maupun secara keseluruhan,

sehingga dapat membantu peternak dalam mengambil

keputusan-keputusan yang sifatnya teknis dan ekonomis

(Rahayu et al., 2013). Recording merupakan pemberian

keterangan atau pecatatan kegiatan yang meliputi

silsilah, produksi, reproduksi dan kesehatan reproduksi

ternak, untuk mengembangkan sistem usaha perbibitan

sapi perah maka recording merupakan suatu kegiatan yang

harus ada (Talib et al., 2001)

13

BAB III

MATERI DAN METODE

Praktikum Produksi Ternak dengan materi Anatomi

Ambing dan Berat Jenis Susu dilaksanakan pada hari

Kamis, 1 Mei 2014 di Laboratorium Produksi Ternak

Potong dan Perah, sedangkan materi Fisiologi

Lingkungan, Fisiologi Ternak dan Recording dilaksanakan

pada hari Minggu, 4 Mei 2014 di kandang sapi perah,

Fakultas Peternakan dan Pertanian, Unversitas

Diponegoro, Semarang.

3.1.

Materi

Materi yang digunakan adalah air, sapi 2013,

preparat awetan ambing sapi, susu segar dan susu

kemasan (Indomilk). Alat yang digunakan adalah

higrometeruntuk mengukur suhu dan kelembaban, black globe

14

untuk mengukur radiasi matahari, ember untuk memberi

minum sapi, meteran untuk mengukur kandang, termometer

rektal untuk mengukur suhu rektal sapi, tisu basah

untuk mengelap termometer, stetoskop untuk mengukur

denyut nadi sapi,stopwatch untuk mengukur waktu, nampan

untuk wadah preparat, gelas ukur untuk wadah susu dan

laktodensimeter untuk mengukur suhu dan berat jenis

susu.

3.2.

Metode

3.2.1. Fisiologi lingkungan

3.2.1.1. Suhu udara, pengukuran suhu udara dilakukan

dengan menggantungkan higrometer di dalam kandang dan

jangan sampai terkena sinar matahari langsung dan untuk

mengukur suhu luar kandang dilakukan dengan meletakkan

higrometer di luar kandang dan diusahakan terkena sinar

matahari secara langsung. Skala yang dibaca adalah

skala dry.

15

3.2.1.2. Kelembaban, pengukuran kelembaban udara

dilakukan dengan menggunakan higrometer. Pengukuran

dilakukan dengan membaca dan mencatat skala suhu bola

kering dan bola basah serta menghitung selisih antara

temperatur bola basah dan bola kering, selanjutnya

dilihat pada tabel konversi pada bagian paling atas

selisih tersebut dan diurutkan antara hasil pembacaan

dengan DBT.

3.2.1.3. Radiasi matahari, metode yang dilakukan dalam

praktikum yaitu mengukur radiasi matahari dengan cara

mengamati suhu pada black globe, kemudian menghitung

radiasi matahari menggunakan rumus R = δT4 , dengan :

R = Radiasi Matahari (kCal/m2/jam)

δ = Konstanta Stefann Boltzman (4,903 x 10-8)

T = Suhu Mutlak dalam Kelvin (273 + ͦC)

3.2.1.4. Perkandangan, pengukuran kandang meliputi

panjang kandang, lebar kandang, tinggi atap, panjang

palung, lebar palung, kedalaman palung, tinggi palung,

16

lebar selokan, panjang selokan, kedalaman selokan,

lebar flock, panjang flock, tinggi flock, dan luas kamar

susu. Setelah itu mencatat hasil pengamatan praktikum

pada buku.

3.2.2.

Fisiologi ternak

3.2.2.1. Suhu rektal, metode yang digunakan dalam

pengukuran suhu rektal yaitu dengan memasukkan

termometer klinis ke dalam rektum ternak sampai

berbunyi dan melihat angka yang ditunjukkan pada

termometer. Pengukuran dilakukan secara duplo.

3.2.2.2. Frekuensi denyut nadi, metode yang digunakan

dalam pengukuran denyut nadi yaitu dengan meletakkan

tangan pada pangkal ekor sapi sampai merasakan denyut

nadi, atau menggunakan stetoskop yang diletakkan di

17

dekat belakang kaki depan sebelah kiri selama 1 menit.

Pengukuran dilakukan secara duplo.

3.2.2.3. Frekuensi pernafasan, metode yang digunakan

dalam pengukuran frekuensi pernafasan adalah

menempelkan telapak tangan didekat lubang hidung sapi

kemudian menghitung frekuensinya selama 1 menit dan

mencatat hasil pengamatan dibuku catatan. Pengukuran

dilakukan secara duplo.

3.2.2.4. Konsumsi air minum, dilakukan dengan mengisi

ember dengan air, setiap habis ditambah secara ad libitum,

setiap penambahan harus dihitung berapa liter

penambahannya.

3.2.2.5. Frekuensi urinasi dan defekasi, metode yang

digunakan dalam pengukuran frekuensi urinasi dan

defekasi yaitu dengan cara menghitung jumlah frekuensi

urinasi dan defekasi sapi perah kemudian mencatat

waktunya setiap pengeluaran dan mencatat hasil

pengamatan dibuku catatan.

18

3.2.3.Anatomi ambing

Metode yang dilakukan dalam praktikum anatomi

ambing adalah mengamati preparat awetan ambing sapi,

mengidentifikasi bagian-bagian dan fungsinya serta

menganalisa proses sintesis dan pengeluaran susu.

3.2.4............................................Berat

jenis susu (BJ)

Susu dituangkan ke dalam gelas ukur,

laktodensimeter dimasukkan dan suhu serta berat jenis

terukur diamati pada masing-masing sampel, hasil yang

ditunjukkan dimasukkan ke dalam rumus untuk mengetahui

berat jenis sebenarnya.

BJ susu = BJ terukur – (27,5 –suhu) x 0,0002

3.2.5.

Recording

19

Recording dilakukan melalui wawancara kepada penjaga

kandang mengenai pencatatan identitas sapi, kesehatan

sapi, reproduksi sapi dan kebangsaan sapi.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Fisiologi Lingkungan

Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata suhu dalam

kandang yaitu 290C, sedangkan untuk luar kandang

sebesar 270C (Tabel 1). Suhu di dalam kandang maupun

20

diluar kandang tidak sesuai dengan standar normal sapi

PFH. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani dan Purwanto

(2006) yang menyatakan bahwa sapi PFH menunjukkan

penampilan produksi terbaik apabila ditempatkan pada

suhu lingkungan 18,30C dengan kelembaban 55%. Tinggi

rendahnya suhu lingkungan dapat mempengaruhi tingkat

konsumsi air, saat suhu meningkat maka konsumsi air

meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadziq (2011)

yang menyatakan bahwa suhu dan kelembaban udara di

dalam kandang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan

dan air.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Suhu, Kelembaban danRadiasi Matahari No. Jam Suhu Kelembaban RadiasiDalam Luar Dalam Luar

-----oC----- ------

%------

--kkal/m2/jam--

1 06.00 26 24 83 90 386,662 12.00 33 32 69 84 435,533 18.00 29 26.5 83 88 397,144 24.00 28 25.5 91 96 386,66

Rerata 29 27 81,5 89,5 401,5Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah,

2014.

21

Berdasarkan hasil praktikum, dapat diketahui bahwa

kelembaban rata rata di dalam kandang yaitu 81,5%,

sedangkan untuk luar kandang 89,5% (Tabel 1).

Kelembaban ini tergolong sangat tinggi. Yani dan

Purwanto (2006) menyatakan bahwa sapi PFH menunjukkan

penampilan produksi terbaik apabila ditempatkan

padasuhu lingkungan 18,30C dengan kelembaban 55%. Hasil

pengamatan menunjukkan bahwa pada pukul 12.00 terjadi

penurunan kelembaban dan kemudian terjadi peningkatan

pada pukul 18.00, hal ini diakibatkan radiasi matahari

yang lebih tinggi pada siang hari.Utomo et al.(2009)

menyatakan bahwa rendahnya kelembaban udara di waktu

siang hari, disebabkan semakin tinggi radiasi matahari

dan suhu udara sehingga penguapan air semakin banyak.

Berdasarkan praktikum didapatkan hasil bahwa

radiasi matahari tertinggi terjadi pada siang hari

yaitu 435,53 kkal/m2/jam. Peningkatan radiasi matahari

pada siang hari disebabkan karena cahaya matahari jatuh

tegak lurus terhadap permukaan bumi. Hal ini sesuai

22

dengan pendapat Johan (2008) yang menyatakan bahwa

intensitas maksimum radiasi pada tiap kawasan terjadi

pada saat cahaya matahari jatuh tegak lurus, yaitu pada

waktu tengah hari. Radiasi matahari yang tinggi

biasanya diikuti dengan peningkatan suhu, sehingga

dapat menyababkan cekaman panas pada sapi, namun hasil

radiasi matahari tersebut belum menyebabkan cekaman

panas pada sapi PFH. Yani dan Purwanto (2006)

menyatakan bahwa sapi mengalami cekaman panas pada saat

radiasi matahari diatas 450 kkal/m2/jam. Ditambahkan

oleh Utomo et al.(2009) bahwa beban panas yang terjadi

pada siang hari karena adanya peningkatan suhu udara.

Tabel 2. HasilPengukuranKandangParameter Ukuran

PanjangKandang (m) 12,64LebarKandang (m) 8,33TinggiKandang (m) 4,25Lebar Flock (m) 1,36Tinggi Flock (m) 1,64Panjang Flock (m) 1,05

23

Sumber : Data Primer PraktikumProduksiTernakPerah,

2014.

Ilustrasi 1. Kandang Sapi PFH Tampak Depan (kiri)dan Samping (kanan)

Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah,

2014.

Berdasarkanpraktikumkandangsapi PFH memilikipanjang

12,64 m, luas 8,33 m, tinggi 4,25 m, lebar flock 1,36

m, tinggi flock 1,64 m dan panjang flock 1,05 m (Tabel

2).

Tinggikandangsapiperahsudahbaikkarenadenganketinggiante

rsebutpertukaranudaradanpanasdaridalamkandangdanluarkan

dangdapatterjadidenganlancar.

Namun,konstruksiatapkandangyang

menggunakanasbesmenyebabkan pada siang hari

suhudalamkandanglebihtinggidaripadasuhuluarkandang(33

24

ºC dan32 ºC)(Tabel2).YanidanPurwanto (2006)

menyatakanbahwatinggiatapkandang di

daerahdengansinarmataharipenuhsebaikyaantara 3,6-4,2 m.

Guntoro (2002) menambahkanbahwakonstruksiatapkandang di

daerah yang berhawapanashendaknyadibuatagaktinggi agar

ruangankandangtidakterlalupanassertadibuatdaribahan

yang tidakpanassepertianyamandaunilalang,

gentengatauanyamandaunkelapa.

4.2.

Fisiologi Ternak

Berdasarkan hasil praktikum yang telahdilakukan,

diperoleh rerata suhu rektal pada sapi 2013 sebesar

38,9oC (Tabel 3). Suhu tersebut masih tergolong normal

untuk sapi. Meskipun suhu lingkungan tinggi (Tabel 1),

suhu tubuh sapi masih stabil. Hal ini sesuai dengan

pendapat Utomo et al. (2009) yang menyatakan bahwa suhu

rektal sapi perah mempunyai kisaran normal antara

38,5oC sampai 39,5oC. Hadziq (2011) menambahkanbahwa

25

suhu rektal dapat dijadikan sebagaiindikator panas

tubuh dan kondisi fisiologis tubuh serta respon ternak

terhadap suhu lingkungan.

Tabel 3. Hasil Pengukuran Suhu Tubuh, Denyut Nadidan Frekuensi Nafas

No.

Jam SuhuTubuhTernak

DenyutNadi

FrekuensiNafas

----oC----

-----kali/menit-----

1 06.00 38,4 61 252 12.00 38,5 70 323 18.00 39,2 73 244 24.00 39,5 42 27

Rerata 38,9 62 27Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2014.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, rerata

denyut nadi sapi 2013 sebanyak 62 kali permenit (Tabel

3). Jumlah tersebut masih dalam kisaran normal yaitu

60-70 kali permenit. Denyut nadi merupakan respon yang

diberikan sapi untuk menghadapi perubahan suhu.

Perubahan suhu yang dilihat dari respondenyut nadi

merupakan mekanisme dari tubuh sapi untuk mengurangi

atau melepaskan panas yang diterima dan untuk

26

menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ

yang lebih dingin. Denyut nadi sapi perah normalnya

berkisar antara60-70 kali permenit (Yani dan Purwanto,

2006), sedangkan menurut Suherman et al.(2013) sebesar

50-80 kali per menit, mekanisme peningkatan denyut nadi

yaitu terjadi peningkatan suhu darah yang secara

langsung mempengaruhi jantung dan pengaruh penurunan

tekanan darah.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan,

diperoleh hasil bahwa rerata frekuensi pernafasan sapi

perah adalah 27 kali per menit (Tabel 3). Hal ini

menandakan bahwa frekuensi pernafasan sapi perah masih

normal. Kisaran normal frekuensi respirasi sapi perah

dewasa adalah 24-32 kali per menit. Hal ini sesuai

dengan pendapat Utomo et al. (2009) yang menyatakan bahwa

kisaran normal frekuensi respirasi sapi perah yaitu

antara 10 sampai 30 kali per menit. Suhu lingkungan

berpengaruh terhadap frekuensi pernafasasan sapi perah,

semakin tinggi suhu lingkungan ternak maka frekuensi

pernafasan semakin meningkat. Hal ini merupakan salah

27

satu upaya tubuh ternak untuk mempertahankan

keseimbangan panas tubuh saat suhu udara dalam kandang

meningkat. Pernyataan ini dibuktikan pada suhu tinggi

di siang hari (Tabel 1) menyebabkan peningkatan

frekuensi pernafasan (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan

pendapat Hadziq (2011) yang menyatakan bahwa semakin

tinggi suhu lingkungan ternak maka frekuensi pernafasan

semakin meningkat.

Tabel 4. Hasil Pengukuran Konsumsi Air MinumPengisian ke- Volume (L)

1 122 43 104 10

Total 36Sisa 8,5

Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah,2014.

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan

diperolehhasilbahwa konsumsi air minum pada sapi perah

dalam sehari sebanyak 27,5 L dengan suhu lingkungan

28,60C. Tinggi rendahnya konsumsi air minum dipengaruhi

28

oleh suhu lingkungan. Suhu lingkungan yang

tinggidapatmeningkatkan konsumsi air minum sebaliknya

suhu yang rendah mengurangi konsumsi air minum. Hal ini

sesuai denganpendapat Yani dan Purwanto (2006) yang

menyatakan bahwa cekaman panas pada ternak berdampak

pada peningkatan air minum.Sudrajad dan Adiarto

(2011)menambahkanbeberapa upaya pengurangan panas yang

dapat dilakukan oleh sapi perah antara lain berteduh,

mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak minum,

peningkatan frekuensi respirasi, meningkatkan produksi

saliva dan keringat, serta mengeluarkan urin.

Tabel 5. Hasil Pengamatan Urinasi dan DefekasiNo Waktu Urinasi Waktu Defekasi1 07.00 06.202 09.20 07.453 13.50 11.574 16.05 13.485 22.44 15.316 17.027 22.358 24.029 03.45

Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah,

2014.

29

Hasil pengamatan terhadap frekuensi urinasi dan

defekasi menunjukkan bahwa sapi perah melakukan urinasi

sebanyak 5 kali dan defekasi sebanyak 10 kali selama 24

jam (Tabel5). Urinasi merupakan salah satu upaya yang

dapat dilakukan sapi perah dalam mengurangi panas

akibat suhu lingkungan yang tinggi. Suhu tinggi pada

siang hari (Tabel 1) mengakibatkan urinasi dan defekasi

meningkat (Tabel 4). Hal ini sesuai dengan pendapat

Sudrajad dan Adiarto (2011) yang menyatakan bahwa

beberapa upaya pengurangan panas yang dapat dilakukan

oleh sapi perah antara lain berteduh, mengurangi

konsumsi pakan, memperbanyak minum, peningkatan

frekuensi respirasi, meningkatkan produksi saliva dan

keringat, serta mengeluarkan urin. Yani dan Purwanto

(2006) menambahkan jalur utama pelepasan panas melalui

mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan

pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) atau

melaluipertukaran panas di sepanjang saluran pernapasan

(panting) dan sebagian melalui feses dan urin.

30

4.3.

Anatomi Ambing

Berdasarkan pengamatan dapat diketahui bahwa

anatomi ambing sapi terdiri atas medial suspensori ligament,

lateral suspensori ligament, membran, alveolus, lobulus, lobus, gland

sistern, otot springter, teat sistern dan teat meatus (Ilustrasi 2).

Dua kuartir kanan dan dua kuartir kiri dipisahkan oleh

selaput yang disebut medial suspensori ligament. Hal ini

sesuai dengan pendapat Frandson (1992) bahwa ambing

dipisah menjadi dua bagian secara vertikal dengan

adanya lekukan longitudinal pada selaput intermamae

atau medial susoensori ligament. Ditambahkan oleh

Pabana (2010) bahwa ambing kiri dan kanan dipisahkan

oleh medial suspensori ligament.

Ilustrasi 2.Bagian-Bagian Eksterior Ambing (kiri)dan Interior Ambing (kanan)

31

12345678910

Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah,2014.

Keterangan: 1. Teat meatus 6. Ligamentum suspensorium

medialis2. Teat cistern 7. Ligamentum suspensorium

leteralis3. Anular ford 8. Fine membrane4. Gland Cistern 9. Alveolus5. Sinuslaktoferus 10. Lobus

Bagian dalam terdapat alveolus yang berfungsi

menghasilkan susu. Beberapa alveolus tergabung menjadi

lobulus, beberapa lobulus tergabung dalam satu lobus.

Susu yang dihasilkan oleh alveolus dikumpulkan atau

ditampung dalam gland cistern melalui milk ductus. Antaragland

cisterndan teat cistern terdapat otot springter yang berfungsi

menahan masuknya bakteri ke dalam penampungan susu,

kemudian susu dikeluarkan melalui saluran teat cistern dan

32

bermuara di teat meatus. Hal ini sesuai pendapat Taufik

dan Depison (2008) bahwa di dalam ambing terdapat

alveolus-alveolus yang berkemampuan memproduksi susu,

alveolus-alveolus tergabung menjadi satu lobulud,

beberapa lobulus terdapat dalam satu lobus, susu yang

diproduksi oleh alveolus ditampung dalam gland cistern

melalui milk ductus. Susu yang ditampung dilindungi oleh

otot springter agar tidak ada bakteri yang masuk.Rusdiana

dan Sejati (2009) menambahkan bahwa sapi perah memiliki

ambing yang di dalamnya terdapat alveol-alveol yang

berkemampuan memproduksi susu.Sintesis dan sekresi susu

di alveolus sangat dipengaruhi oleh hormon. Menurut

Mukhtar (2006) hormon yang berpengaruh dalam proses

tersebut adalah LH (Lactogenic Hormon). Hormon tersebut

meningkat setelah sapi melahirkan, dan menimbulkan

serta menjaga keberlangsungan masa laktasi. Selain itu

hormon tersebut juga meningkatkan kecepatan sekresi

susu.

33

4.4. Berat

Jenis Susu

Tabel 6. Berat Jenis Susu

Parameter Susu Murni Susu Kemasan(Indomilk)

Jumlah Susu (ml) 500 ml 500 mlSuhu Terukur 27o 29o

BJ Susu 1,020 1,029Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah,2014.

Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa berat

jenis susu kemasan lebih tinggi daripada susu segar

(Tabel 6). Kondisi ini menunjukkan bahwa susu murni

kurang berkualitas dibandingkan susu kemasan. Kondisi

tersebut didasarkan pada pendapat Sumantri et al.(2005)

bahwa syarat mutu susu segar adalah memiliki berat

jenis antara 1,026-1,028. Ditambahkan oleh Taufik

(2004) bahwa berat jenis susu segar yang bermutu adalah

yang berkisar 1,0282. Keberadaan tersebut dikarenakan

susu segar diperoleh dari peternak tradisional yang

kurang memperhatikan kualitas pakan untuk diberikan

kepada sapi, selain itu suhu lingkungan pemeliharaan

34

kurang sesuai dengan suhu zona aman sapi perah,

sehingga kualitas susunya menurun.Menurut Hamtiah et al.

(2012) ungaranmemiliki ketinggian 350-900 m di atas

permukaan laut dengan suhu rata-rata 30oC. Suhu

tersebut terlalu tinggi untuk pemeliharaan sapi perah

sehingga kualitas susu yang dihasilkan di bawah

standar. Anggraeni et al. (2008) menambahkanbahwa sapi

perah dapat berproduksi optomal pada lingkungan

ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut dengan

suhu rata-rata 19,3oC.

4.5.

Recording

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan,

diperoleh hasil bahwa sapi yang diamati saat praktikum

adalah sapi no. 2013. Sapi tersebut sapi dara yang

berumur 3 tahun dan pernah dikawinkan satu kali,

kemudian bunting 2 bulan, belum terdiagnosa terserang

penyakit dan belum pernah dilakukan vaksin. Sapi perah

35

yang berada di kandang Fakultas Pertenakan dan

Pertanian tidak menggunakan recording, semua data

mengenai ternak tidak dilakukan pencacatan dengan rapi,

sehingga data yang diperoleh belum pasti. Pencacatan

identifikasi ternak perlu dilakukan dengan mencatat

semua informasi tentang nomor atau nama ternak, nomor

registrasi, tanggal lahir dan jenis kelamin. Hal ini

sesuai dengan pendapat Rahayu et al.(2013) yang

menyatakan bahwa kegunaan utama catatan produksi adalah

memberikan keterangan tentang individu sapi maupun

secara keseluruhan, sehingga dapat membantu peternak

dalam mengambil keputusan-keputusan yang sifatnya

teknis dan ekonomis. Talib et al.(2001) jugamenyatakan

bahwa recording merupakan pemberian keterangan atau

pecatatan kegiatan yang meliputi silsilah, produksi,

reproduksi dan kesehatan reproduksi ternak, untuk

mengembangkan sistem usaha perbibitan sapi perah maka

recording merupakan suatu kegiatan yang harus ada.

36

BAB V

37

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Fisiologi lingkungan di kawasan Fakultas Peternakan

dan Pertanian Universitas diponegoro tidak cukup nyaman

untuk memelihara sapi perah. Terbukti dengan kondisi

fisiologi ternak yang tidak stabil antara siang dan

malam. Sistem perkandangan sudah memenuhi syarat.

Anatomi ambing pada sapi perah terdiri atas medial

suspensori ligament, lateral suspensori ligament,

membran, alveolus, lobulus, lobus, gland sistern, otot

springter, teat sistern dan teat meatus. Susu segar

yang diperoleh dari petani kurang berkualitas ditinjau

dari berat jenisnya. Recording dilakukan agar semua

riwayat sapi tercatat.

Saran

Praktikum recording yang sekedar bertanya pada

petugas saja belum cukup mengajarkan bagaimana cara

38

recording yang tepat bagi mahasiswa, sehingga perlu

perbaikan metode praktikum recording.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, A. A. 2009. Pengaruh umur terhadap heattolerance coeefficient dan pertambahan bbot badabdengan pemberian pakan serat kasar rendah pasa sapiPFH jantan (Peranakan Fries Holland jantan).Universitas Brawijaya. Malang. (Skripsi)

Anggraeni, A., Fotriyani, Y., Atabany, A dan Komala, I.2008. Penampilan produksi susu dan reproduksi sapiFriesian-Holstein di balai pengembangan perbibitanternak sapi perah Cikole, Lembang. Seminar NasionalTeknologi Peternakan dan Veteriner. Hal: 137-145.

Dwitania, DC dan Swacita, I. B. N. 2013. Uji didih,alkohol dan derajad asam susu sapi kemasan yangdijual di pasar tradisional kota denpasar. JurnalIndonesian Medicus Vetenerinus 2(4) : 437-444.

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi TernakEdisi Keempat. Gajah Mada University, Yogyakarta.

39

Guntoro, S. 2002. Membudidaya Sapi Bali. Kanisius,Yogyakarta.

Hadziq, A. 2011. Status fisiologis dan performa pedetperanakan friesien Holstein prasapih yangdiinokulasi bakteri pencerna serat dengan pakanbersuplemen kobalt. Institut Pertanian Bogor.Bogor, (Skripsi)

Hamtiah, S., Dwijatmiko, S dan Satmoko, S. 2012.Efektivitas media audio visual terhadap tingkatpengetahuan petani sapi perah tentang kualitas susudi Desa Indrokilo Kecamatan Ungaran Barat KabupatenSemarang. Anim. Agri. J.2(1): 322-330.

Johan, Y. 2008. Fluktuasi intensitas radiasi mataharikawasan padat polusi dan hijaukota Solok.Universitas Andalas. (Tesis)

Mukhtar, A. 2006. Ilmu Produksi Ternak Perah. UNS,Surakarta.

Pabana, T. 2010. Korelasi antara dimensi ambing danputting dengan produksi susu kambing peranakan ettawa(PE). Skripsi. Fakultas Peternakan UniversitasHasanuddin, Makasar. (Skripsi)

Rahayu, A, Santosa, dan Susanto, A. 2013. Evaluasi mutugenetik sapi perah menggunakan catatan produksisusu harian dan centering date method (Cdm). JurnalIlmiah Peternakan. 1(1). 236-243.

Rusdiana, S. dan W. K. Sejati. 2009. Upaya pengembanganagribisnis sapi perah dan peningkatan produksi susumelalui pemberdayaan koperasi susu. Jurnal AgroEkonomi 27(1): 43-51.

Sudrajad, P dan Adiarto. 2011. Pengaruh stres panasterhadap performa produksi susu sapi friesianholstein dibalai besar pembibitan ternak unggulsapi perah Baturraden. Seminar Nasional TeknologiPakan dan Veteriner.

40

Suherman D. 2013. Simulasi artifisial neural networks untukmenentukan suhu kritis pada sapi Fries Hollandberdasarkan respons fisiologis. JITV 18(1): 70-80.

Sumantri, C., Maheswari, R. R. A., Anggraeni, A.,Duwiyanto, K dan Farajallah, A. 2005. Pengaruhgenotipe kappakasein (k-kasein) terhadap kualitassusu pada sapi perah fh di baturraden. JurnalNasional Teknologi Peternakan Dan Vetenerian.

Talib, A. Anggraeni, Dan K. Diwyanto.2001. Kelembagaansistem perbibitan untuk mengembangkan bibit sapiperah FH nasional. Wartazoa 11 (2): 1-6

Taufik, A dan Depison. 2008. Hubungan antara lingkarperut dan volume ambing dengan kemampuan produksisusu kambing peranakan etawa. XI (2) :59-67.

Taufik, E. 2004. Dadih susu sapi hasil fermentasiberbagai starter bakteri probiotik yang disimpanpada suhu rendah: karakteristik kimiawi. MediaPeternakan. 27(3): 88-100.

Utomo, B., D. P. Miranti, dan G. C. Intan. 2009. Kajiantermoregulasi sapi perah periode laktasi denganintroduksi teknologi peningkatan kualitas pakan.Seminar Nasional Teknologi Peternakan danVeteriner: 263 – 268.

Wijaya, A. Pengaruh imbangan hijauan dengan konsentratberbahan baku limbah pengolahan hasil pertaniandalam ransum terhadap penampilan sapi PFH jantan.Universitas Sebelas Maret. Surakarta. (Skripsi)

Yani, A., dan B. P. Purwanto. 2006. Pengaruh iklimmikro terhadap respons fisiologi sapi perahperanakan fries holland dan modifikasi lingkunganuntuk meningkatkan produktivitasnya. MediaPeternakan29 (1): 35-46.

41

LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Nilai Radiasi

Nilai radiasi matahari pukul

Nilai radiasi matahari pukul 06.00

T = 25ᵒC + 273 = 298 K

R = ᵟT4

R = 4,903 x 10-8. 2984

   = 386,66 Kcal m-2 jam-1

Nilai radiasi matahari pukul 12.00

T = 37ᵒC + 273 = 310 K

42

R = ᵟT4

R = 4,903 X 10-8. 3104

= 435,53 Kcal m-2 jam-1

Nilai radiasi matahari pukul 17.00

T = 28ᵒC + 273 = 301 K

R = ᵟT4

R = 4,903 X 10-8. 3014

= 397,14 Kcal m-2 jam-1

Nilai radiasi matahari pukul 00.00

T = 25ᵒC + 273 = 298 K

R = ᵟT4

R = 4,903 X 10-8. 2984

= 386,66 Kcal m-2 jam-1

Lampiran 2. Perhitungan Berat Jenis Susu

Susu segar

BJ susu = 1,020 – (27,5 – 27) x 0,0002

= 1,020 – (0,5 x 0,0002)

= 1,020 – 0,0001

= 1,0199

= 1,020

43

Susu olahan

BJ susu = 1,028 – (27,5 – 29) x 0,0002

= 1,028 + (1,5 x 0,0002)

= 1,028 + 0,0003

= 1,0283

= 1,029