21
Temu Ilmiah Universitas Airlangga KESEHATAN MENTAL MASYARAKAT DI INDONESIA Oleh: Johana E. Prawitasari Pensiunan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Abstrak Makalah ditulis berdasarkan pemikiran yang telah banyak tertuang di artikel jurnal, buku, dan disajikan di berbagai forum. Perlu dipikirakan adanya pembaruan dalam paradigma tentang kesehatan mental masyarakat. Indikator dapat menggunakan kesehatan psiko-sosial. Pengiraan juga mengalami perubahan cara pandang dari unit analisis perorangan menjadi komunitas. Demikian pula intervensi dapat menggunakan pengalihan teori, konsep, metode, teknik dalam psikologi klinis pada unit di luar individu, keluarga, dan kelompok. Dalam makalah disajikan beragam contoh pengalihan kekayaan psikologi klinis tersebut pada masyarakat. Untuk mendalami cara pandang baru ini dapat dibaca berbagai pustaka acuan yang ada dalam makalah. Penulis mengajak peserta temu ilmiah untuk memikirkan pembaruan dalam cara pandang pendidikan psikologi, sehingga pemikiran tentang kesehatan mental masyarakat dapat disajikan dalam komunitas ilmiah global. Tulisan ini akan menyajikan pemikiran tentang kesehatan mental masyarakat. Selama ini psikologi biasa berorientasi pada orang per orang. Istilah kesehatan mental masyarakat akan mengacu pada publik. Dengan sendirinya muncul berbagai hal yang perlu dipertimbangkan. Antara lain proses pengiraan atau assessment dan tindakan, perlakuan, atau intervensi perlu disesuaikan dengan publik atau masyarakat luas. Proses pengiraan orang per orang biasa menggunakan pengukuran psikologis dengan validitas dan reliabilitas sesuai dengan kaidah psikometri. Sedangkan proses pengiraan untuk masyarakat dapat disesuaikan dengan validitas dan reliabilitas dengan kaidah ekometri. Psikometri menggunakan data kuantitatif yang sesungguhnya berasal dari data kualitatif dan menggunakan skala interval di satu pihak. Di lain pihak, bila kita menghadapi masyarakat sebagai unit analisis, data kualitatif dan perilaku biasa digunakan. Biasanya individu disarangkan di unit yang diteliti atau yang diberi layanan. Misalnya, individu disarangkan dalam Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), dusun, desa, kecamatan, kota dan seterusnya bergantung pada unit analisis atau

KESEHATAN MENTAL MASYARAKAT DI INDONESIA

Embed Size (px)

Citation preview

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

KESEHATAN MENTAL MASYARAKAT DI INDONESIA

Oleh:

Johana E. Prawitasari

Pensiunan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)

Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)

Abstrak

Makalah ditulis berdasarkan pemikiran yang telah banyak tertuang di

artikel jurnal, buku, dan disajikan di berbagai forum. Perlu dipikirakan

adanya pembaruan dalam paradigma tentang kesehatan mental

masyarakat. Indikator dapat menggunakan kesehatan psiko-sosial.

Pengiraan juga mengalami perubahan cara pandang dari unit analisis

perorangan menjadi komunitas. Demikian pula intervensi dapat

menggunakan pengalihan teori, konsep, metode, teknik dalam

psikologi klinis pada unit di luar individu, keluarga, dan kelompok.

Dalam makalah disajikan beragam contoh pengalihan kekayaan

psikologi klinis tersebut pada masyarakat. Untuk mendalami cara

pandang baru ini dapat dibaca berbagai pustaka acuan yang ada dalam

makalah. Penulis mengajak peserta temu ilmiah untuk memikirkan

pembaruan dalam cara pandang pendidikan psikologi, sehingga

pemikiran tentang kesehatan mental masyarakat dapat disajikan

dalam komunitas ilmiah global.

Tulisan ini akan menyajikan pemikiran tentang kesehatan mental masyarakat.

Selama ini psikologi biasa berorientasi pada orang per orang. Istilah kesehatan mental

masyarakat akan mengacu pada publik. Dengan sendirinya muncul berbagai hal yang

perlu dipertimbangkan. Antara lain proses pengiraan atau assessment dan tindakan,

perlakuan, atau intervensi perlu disesuaikan dengan publik atau masyarakat luas.

Proses pengiraan orang per orang biasa menggunakan pengukuran psikologis

dengan validitas dan reliabilitas sesuai dengan kaidah psikometri. Sedangkan proses

pengiraan untuk masyarakat dapat disesuaikan dengan validitas dan reliabilitas dengan

kaidah ekometri. Psikometri menggunakan data kuantitatif yang sesungguhnya berasal

dari data kualitatif dan menggunakan skala interval di satu pihak. Di lain pihak, bila kita

menghadapi masyarakat sebagai unit analisis, data kualitatif dan perilaku biasa

digunakan. Biasanya individu disarangkan di unit yang diteliti atau yang diberi layanan.

Misalnya, individu disarangkan dalam Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW),

dusun, desa, kecamatan, kota dan seterusnya bergantung pada unit analisis atau

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

layanan yang terlibat dalam penelitian. Begitu kita memberikan layanan pada

masyarakat, mau tidak mau kita melakukannya bersama masyarakat yang kita layani.

Apabila tidak demikian, belum tentu program yang dikembangkan berterima pada

masyarakat.

Kesehatan masyarakat atau public health berorientasi pada epidemiologi; artinya

ilmu pengetahuan tentang penyakit-penyakit yang merebak di masyarakat. Akan

diperoleh data prevalensi atau jumlah total kasus yang ada atau insidensi atau jumlah

kasus baru yang ditemukan. Indikator kesehatan masyarakat selama ini berupa angka

kelahiran, angka kematian terutama ibu dan anak, dan usia harapan hidup. Lalu

bagaimana dengan indikator kesehatan mental masyarakat? Saya mengajukan usulan

kesehatan psikososial masyarakat dengan rasio perbandingan antara jumlah penduduk

dengan kegiatan masyarakat. Indikator ini bukan sesuatu yang diskrit tapi kontinum

dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Begitu kita memelajari batinan

manusia, kita perlu belajar tentang kait mengait antara satu hal dengan hal lainnya yang

tidak dapat begitu saja dipilah dan dipisahkan. Seperti halnya pikiran, perasaan,

dorongan, perilaku semua menyatu ada di satu manusia. Kita membuat konsep untuk

menerangkan perilaku manusia. Berbagai konsep tersebut dapat diabstraksikan

menjadi teori. Untuk meneliti berbagai konsep tersebut kita perlu metode dan dalam

metode ada berbagai teknik.

Lalu kesehatan mental masyarakat Indonesia akan seperti apa? Saya akan

mengajukan pemikiran tentang itu. Sebelumnya saya akan mengajukan pemikiran

tentang psikologi nusantara yang dapat menunjukkan kekhasan Indonesia di mata

dunia. Lebih lengkap tentang psikologi nusantara dan indikator kesehatan mental

masyarakat ada di buku saya: Psikologi Klinis: Pengantar Terapan Mikro dan Makro

(Prawitasari, 2011). Selain itu sebagian tulisan dalam makalah ini telah saya sajikan

pada acara temu ilmiah Ikatan Psikologi Klinis (IPK) di Surabaya pada tanggal 1 dan 2

November 2012.

PSIKOLOGI NUSANTARA?

Mungkin terdengar latah psikologi dengan nama itu karena sudah ada Bina

Nusantara, Satria Nusantara, ataupun Taruna Nusantara. Maka saya tulis nama itu

dengan tanda tanya. Saya tidak terlalu yakin bahwa psikologi nusantara akan berterima.

Tapi apalah arti sebuah nama kata William Shakespeare. Marilah kita bersama-sama

menamai psikologi yang berkembang di persada pertiwi ini kalau memang ada.

Bukankah jargon yang dibuat, konsep yang dibangun, teori yang disusun, dan model

yang dikembangkan perlu disetujui oleh masyarakat ilmiah kita? Jadi sebetulnya kita

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

tidak perlu ragu-ragu menyebutkan bahwa penelitian kita memang bersifat inovatif.

Memang kita kalah dalam perkembangan ilmu pengetahuan berikut terapannya di

negara maju, lebih lagi ilmu perilaku. Kita seolah-olah hampir selalu menjadi konsumen

tidak hanya dalam ilmu pengetahuan tetapi dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan

inovatif jarang didanai karena konsep yang terdengar asing (catatan: ada usaha

mengajukan penelitian interdisiplin untuk mengembangkan psikologi nusantara;

misalnya usulan tentang kepemimpinan gamelan dengan sejawat dari ilmu kesehatan

masyarakat berikut mahasiswa pasca sarjana psikologi dan kesehatan masyarakat, tapi

ditolak.) Apalagi untuk usulan dengan metode kualitatif untuk menggali informasi awal,

pendana belum terbuka untuk itu. Mereka masih mengutamakan pendekatan kuantitatif

dengan kepastian yang dapat diramalkan. Padahal sesungguhnya penelitian perilaku

berasal dari data kualitatif yang dikuantifikasikan.

Apabila kita lebih percaya diri, banyak kajian berdasarkan kearifan lokal dapat

diangkat menjadi konsep perilaku orang kita sendiri. Kemudian konsep tersebut dapat

dibingkai dengan kaidah ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat

berterima di antara masyarakat ilmiah, tidak hanya di dalam negeri tetapi di dunia

global pula. Dengan adanya kemajuan teknologi informasi, kita sebetulnya dapat

memenggal di tengah, sehingga kita tidak perlu melalui tahap perkembangan psikologi

di Amerika atau negara maju lainnya. Kita dapat mengembangkan apa yang kita punyai

di sini untuk disumbangkan pada dunia global.

Untuk mendukung pengembangan psikologi nusantara ada dukungan dari ilmu

filsafat dengan gagasan tentang dekonstruksi. Tokohnya adalah Jacques Derrida, orang

Yahudi Perancis. A. Sudiadjo memberikan pengantar tentang ajaran Derrida ini di

majalah Basis terbitan November-Desember 2005. Derrida lahir tahun 1930 dan baru

saja meninggal di tahun 2004. Dalam riwayat hidup yang dikutip Sudiardjo tersebut

terlihat bahwa Derrida dua kali mengalami kegagalan. Di tahun 1947 dia gagal ujian

sarjana muda dan tahun 1955 dia gagal ujian lisan di bidang psikologi. Menurut

Sudiardjo Derrida mulai terkenal ketika dia diundang di Universitas Johns Hopkins di

Amerika Serikat di tahun 1966. Dia mulai terkenal dengan gagasannya tentang

dekonstruksi. A. Sumarwan di dalam tulisannya menyebutkan bahwa “…dekonstruksi

mewakili sebuah hasrat dan cita-cita untuk membongkar bangunan yang sudah mapan,

mempreteli sebuah konstruksi…” (hal. 16). Jadi ada baiknya kalau kita juga melakukan

dekonstruksi terhadap kemapanan teori-teori utama psikologi yang ditulis oleh ahli-ahli

dari Eropa dan Amerika. Mengapa kita tidak berani untuk mengembangkan dan

mengkonstruksikan psikologi nusantara? Terutama kita perlu berani untuk

mengemukakan konstruksi psikologis berdasarkan pengalaman dan pemikiran orang

Indonesia? Kita juga perlu berani memilahkan antara konstruksi sosial dan melakukan

dekonstruksi terhadap kemapanan itu.

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Saya baru tahu kalau Interactional Group Discussion (IGD) yang kami kembangkan

untuk perubahan perilaku petugas kesehatan mengurangi injeksi yang tidak rasional di

tahun 1992 (Prawitasari Hadiyono, Suryawati, Danu, Sunartono, dan Santoso, 1996)

diulang dengan sukses di Kamboja, Pakistan, dan Tanzania (Hutin, 2004). Kami datang

di International Conference on Improving Use of Medicine (ICIUM) ke-2 di Chiang Mai,

Thailand 30 Maret-2 April 2004. Memang IGD bukan psikologi nusantara tapi prinsip

ilmu perilaku yang diterapkan untuk perubahan perilaku petugas kesehatan dalam

penggunaan obat rasional di puskesmas telah diakui secara global. Terutama kerjasama

berbagai ilmu dalam satu wadah membuahkan hasil yang signifikan untuk

pengembangan psikologi terapan yang berguna untuk bidang lain dan negara lain.

Pengalaman dalam IGD dan proses penelitian bersama lain (Prawitasari Hadiyono,

2001), saya sajikan di hadapan mahasiswa internasional di bidang kesehatan di

Universitas Oslo, Norwegia pada minggu ketiga September 2004. Apakah itu juga bagian

dari psikologi nusantara? Pembaca akan menjawab.

Usaha untuk mengembangkan psikologi nusantara sudah ada. Antara lain Happy

Sola Gracia (2004) meneliti “Isin” sebagai kontrol moral dan bentuk penyesuaian diri

pada masyarakat Jawa. Endang Ekowarni, Diana Rahmi Andriani, dan Andri

Kushendarto (2004) meneliti pemahaman budi luhur pada para abdi dalem keraton

Yogyakarta. Kedua penelitian ini dibiayai oleh proyek SP4 pengembangan jurusan

Program Studi Psikologi UGM. Proyek ini menggunakan kearifan lokal untuk

menerangkan perilaku orang di Jawa. Gracia menggunakan pendekatan kualitatif,

sedangkan Ekowarni, Andriani, dan Kushendarto menggunakan pendekatan kuantitatif.

Usaha ini diharapkan menyumbang pada psikologi nusantara.

Sebelumnya Nanik Prihartanti di Anima April 2003 telah menyumbang pada

psikologi nusantara. Dalam disertasi doktornya, Prihartanti meneliti tentang kajian

psikologis konsep rasa yang diciptakan oleh Suryomentaram. Dalam disertasinya ia

ingin menunjukkan bahwa ada konsep pribumi yang dapat dikembangkan sebagai

model kesehatan mental positif. Sejak di program S2 Prihartanti telah mulai melakukan

penelitian tentang konsep rasa Suryomentaram. Ia menggunakannya untuk pemecahan

masalah yang tujuannya mengurangi gangguan penyesuaian diri. Dengan Karyani,

Prihartanti (1998) meneliti kompetensi sosial dengan menggunakan konsep rasa.

Prihartanti (1999) telah menulis tentang penggunaan olah rasa untuk mengembangkan

kualitas kepribadian. Meskipun nama saya ada di situ berikut dua pembimbing lainnya,

apa yang tertulis itu betul-betul karya Prihartanti dalam disertasinya. Nama saya di situ

hanyalah nebeng. (Catatan: kalimat dalam alinea ini sebagian besar saya kutip dari

tulisan saya untuk kongres HIMPSI di awal tahun 2004).

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Apa yang telah ditulis Prihartanti di Anima saya sajikan di hadapan mahasiswa

University College of Boras, Swedia ketika saya menjadi profesor tamu di pertengahan

September dan awal Oktober 2004. Jadi ketika Prihartanti menyebutkan bahwa

psikologi yang dikembangkan itu untuk Indonesia saja, saya bantah karena orang di luar

Indonesia juga perlu belajar tentang itu. Salah satu mahasiswa pada waktu itu

berkomentar mengapa harus meneliti beberapa orang secara kualitatif dulu, mengapa

tidak langsung saja menulis berdasarkan teori yang ada. Ketika itu saya jawab bahwa

Prihartanti ingin menggali dulu secara emik (catatan: dalam psikologi lintas budaya ada

pendekatan etik dan emik, pendekatan etik berdasarkan teori yang ada dan emik

berdasarkan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh subjek yang diteliti)

perilaku orang Indonesia dengan konsep Indonesia atau Jawa tepatnya. Seperti

psikologi kita, mahasiswa di sana juga sangat bertumpu pada analisis statistik. Mereka

jarang menggunakan pendekatan kualitatif kecuali mereka yang berasal dari program

pedagogi. Selain Prihartanti, jauh sebelumnya Darmanto Jatman telah menulis tentang

konsep Suryamentaram untuk tesis S2-nya. Ilmuwan dan budayawan ini dengan setia

menggunakan konsep rasa Suryamentaram untuk analisis perilaku orang Indonesia

(Jatman, 2003).

KESEHATAN MENTAL MASYARAKAT

Di aras mana pun, apakah itu mikro atau makro, saat psikologi klinis diterapkan,

tetap saja pengiraan atau asesmen mau tidak mau harus dilakukan. Hasilnya digunakan

untuk menentukan tindakan paling tepat bagi kasus yang sedang ditangani. Untuk kasus

perorangan, banyak sekali metode dan teknik tersedia. Antara lain telah berkembang

pesat asesmen dengan norma untuk berbagai populasi, misalnya Millon Clinical

Multiaxial Inventory-III (MCMI-III) telah menyediakan norma gender dan tambahan

skala validitas. Milik kami, Skala Kepribadian UGM masih macet, belum dikembangkan

lagi. Belum ada yang bersedia meneliti lagi. Selain battery test psikologi baku yang biasa

digunakan dalam praktek perorangan, seperti tes Rorschach, Thematic Apperception

Test (TAT), Skala Wechsler, Minnessota Multiphasic Personality Inventory (MMPI), Draw

A Person (DAP), atau Draw A Tree (DAT), wawancara dan pengamatan tetap digunakan

untuk memperoleh data tentang proses psikologis orang yang ditangani.

Di aras makro, psikologi klinis perlu menggunakan pendekatan kualitatif.

Penggunaan Focus Group Discussion (FGD) merupakan salah satu cara mengumpulkan

data awal sebelum tindakan dilakukan. Pengamatan dan wawancara orang-orang

penting di suatu komunitas juga menjadi metode andalan bila kita menerapkan

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

psikologi klinis makro. Berbagai dokumen yang ada juga menjadi sumber data sebelum

tindakan dilakukan. Data rekaman elektronik seperti kamera, audio dan video juga

sangat penting untuk dikumpulkan (lihat Zaumseil & Prawitasari-Hadiyono, 2012).

Demikian pula perlu dijajaki pengumpulan data dari pemerintah daerah termasuk

eksekutif dan legislatifnya apabila kita akan meneliti kebijakan. Analisis jejaring sosial

juga perlu dilakukan. Proses asesmen di aras makro tidak terlalu berbeda jauh dari

penelitian kualitatif. Willig (2009) menulis tentang pengantar penelitian kualitatif

dalam psikologi. Isinya antara lain dari resep ke petualangan, rancangan penelitian

kualitatif, teori lapangan, metode fenomenologi, studi kasus, psikologi diskursif, analisis

diskursif Foucauldian, kerja dengan ingatan, kualitas dalam penelitian kualitatif.

Terlihat di sini bahwa psikologi telah terbuka untuk menggunakan pendekatan

kualitatif yang biasanya digunakan oleh disiplin lain.

Sebetulnya pendekatan perilakuan juga menyediakan metode yang tiap kali dikaji

ulang di jurnal perilakuan internasional. Uniknya pengiraan atau asesmen dengan

menggunakan pendekatan ini akan mampu mengantarai penelitian ilmu sosial yang

murni menggunakan pendekatan kualitatif dan ilmu kedokteran atau kesehatan yang

murni menggunakan pendekatan kuantitatif (lihat Prawitasari 2012). Begitu kita

menggunakan pendekatan perilakuan, skala rasio dapat digunakan terutama untuk

frekuensi dan durasi perilaku yang diteliti. Pengamatan berkali-kali dapat dilakukan

pada satu kasus saja. Terapan psikologi klinis dengan menggunakan pendekatan

perilakuan sangat khas terapan mikro yang dianggap lebih ilmiah daripada pendekatan

lainnya. Penelitian sekaligus terapan dilakukan bila kita menggunakan pendekatan

perilakuan, sehingga hasilnya dianggap lebih ilmiah. Dari pengamatan visual akan

terlihat apakah perilaku yang diteliti betul-betul berubah. Apakah perilaku akan

bertambah atau berkurang frekuensi dan durasinya bergantung pada tujuan perubahan

perilaku yang dirancang sejak awal. Rancangan kasus tunggal ingin membuat lebih

ilmiah studi kasus klinis.

Berdasarkan hasil pengiraan, psikolog klinis dapat merancang tindakan yang

tepat. Pengaruh tindakan juga perlu dikira lagi. Terutama bila kita akan menerapkan

psikologi klinis secara makro, maka penelitian tindakan akan sangat tepat dilakukan.

Bersama peserta penelitian, kita akan menentukan persoalan yang dihadapi, melakukan

pengiraan kebutuhan, mengumpulkan data awal, melakukan tindakan bersama peserta

penelitian, dan mengevaluasi hasil tindakan sehingga akan ditemukan secara bersama

persoalan baru lagi. Daur akan diulangi.

Saya membaca milis psikologi Indonesia di awal tahun 2010. Ada situs “jangan

bunuh diri” di internet dan disebutkan bahwa sudah ada 800 pengunjung, 20 di

antaranya melanjutkan konsultasi melalui surat elektronik (surel). Gerakan seperti ini

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

meskipun menggunakan teknologi informasi tetap mencakup perorangan di komunitas

pengguna internet. Mereka yang bukan pengguna tidak akan terjangkau. Gerakannya

dapat dimasukkan ke dalam psikologi komunitas. Pelayanannya masih di aras mikro.

Gerakan seperti ini juga dapat dimasukkan ke dalam kesehatan mental publik.

Meskipun pelayanannya tetap pada perorangan tapi di ranah publik yaitu internet.

Konsultasi juga bukan secara tradisional bertatap muka tetapi melalui surel. Pengelola

situs telah diwawancarai oleh BBC London dan majalah Time. Dalam hal

penyebarluasan situs tersebut dan usaha untuk menjangkau publik memang berada di

aras global, meskipun pengguna adalah perorangan. Pelayanannya secara mikro.

Caranya secara makro. Bukan isi situs tapi cara menyebarluaskan informasi, sebagai

salah satu intervensi psikologi, dapat disebut terapan makro. Jadi dapat disebut usaha

ini sebagai terapan mikro-makro.

Di APA Monitor bulan November 2009 presidential’s columns yang ditulis oleh

James H. Bray, presiden APA tahun 2009, menulis tentang masa depan ilmu

pengetahuan psikologi. Dia menyatakan bahwa akhir-akhir ini psikologi berkembang

menjadi gabungan dengan ilmu lain menjadi ilmu pengetahuan saraf, ilmu pengetahuan

perkembangan, ekonomi perilakuan, dst. Ini dalam hal psikologi sebagai ilmu

pengetahuan. Bagaimana dengan terapannya? Di kolomnya bulan Desember 2009, dia

menulis tentang terapan psikologi dari mikro ke makro. Pelayanan pada perorangan

tetap berjalan seperti biasanya dan APA didesak anggotanya agar psikolog mulai terjun

ke ranah publik seperti keterlibatan dalam pembuatan kebijakan tentang aborsi,

hukuman mati, perkawinan sejenis, interogasi dsb. APA sangat mendukung gerakan ini.

Psikolog yang berjuang di ranah publik Indonesia dimotori oleh senior kita Prof.

Saparinah Sadli. Sampai di usia lanjutnya, Ibu Sap tetap aktif berjuang terutama untuk

hak perempuan. Gerakan seperti ini dapat dimasukkan ke dalam kesehatan mental

publik, yang pusatnya baru saja diresmikan di Fakultas Psikologi UGM. Jelas psikologi

klinis dapat diterapkan secara mikro-makro.

Di APA Monitor Januari 2010, presiden APA Carol D. Goodheart, menulis tentang

dampak internet yang menimbulkan perdebatan. Ia melanjutkan apa yang telah ditulis

oleh presiden APA pendahulunya tentang peran aktif psikolog dalam pembuatan

kebijakan. APA memutuskan untuk menyampaikan beberapa laporan tentang bukti

ilmiah aborsi dan perkawinan sejenis. Banyak perdebatan muncul sehubungan dengan

laporan tentang aborsi dan kesehatan mental. Disebutkan bahwa aborsi bagi

perempuan dewasa tidak menyebabkan gangguan mental. Ada lagi tentang orientasi

seksual, yang disebutkan bahwa tidak ada satu pun intervensi psikologi mampu

mengubah orientasi tersebut. Kemudian tidak cukup bukti bahwa perkawinan sejenis

ataupun keluarga sejenis menimbulkan gangguan mental, sehingga mereka

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

diperbolehkan kawin dan mengangkat anak. Semua ini menimbulkan berbagai pro dan

kontra. Perubahan tentang hal-hal itu menimbulkan perjuangan, kata presiden APA

tahun 2010 ini. Sebagai perempuan, dia menenangkan kemarahan ini. Ia mengingatkan

bahwa perbedaan penting diperhatikan, tapi tujuan bersama jauh lebih penting untuk

diperhatikan.

Banyak psikolog berada di badan legislatif, kata Ketua Himpunan Psikologi

Indonesia (HIMPSI), Dra. Retno Suhapti, SU, MA (komunikasi pribadi, tanggal 28 Januari

2010). Dengan adanya mereka di sana, keterlibatan psikologi dalam pengambilan

kebijakan dan undang-undang akan banyak gunanya. Baru saja saya baca di Kompas

tentang Undang-Undang (UU) Kesehatan Jiwa (Keswa) yang telah menjadi keputusan

DPR RI. Laporan dinyatakan oleh salah satu anggota DPR RI, ibu Yusuf, legislatif muda

yang sangat gigih memerjuangkan UU Keswa tersebut (sayangnya saya lupa tanggal

penerbitan Kompas dan saya tidak punya akses untuk cek terbitan tersebut).

APA Monitor bulan Januari 2010 melaporkan bahwa anggota kongres Amerika

yang merupakan psikolog anak, Tim Murphy wakil Partai Republik Pennsylvania,

memilih untuk kebijakan Amerika melanjutkan perang di Irak dan Afganistan. Dia

mengakui adanya dampak perang tentu saja. Tidak hanya mandeg menyetujui perang

tapi dia aktif di komisi sebagai psikolog militer di Naval Reserve. Dia jadi relawan di

sana tanpa dibayar. Sebagai psikolog militer dia bekerja dengan suatu tim terdiri dari

profesional kesehatan pada the National Naval Medical Center di Bethesda, Merryland.

Dia terlibat dalam tim kesehatan tersebut terutama untuk rencana tindakan dan

menelusuri kemajuan pasien. Apa yang terjadi pada psikolog di Amerika ini

menunjukkan keterlibatannya secara mikro dan makro. Secara mikro ia menjadi

psikolog militer yang menangani pasien secara individual. Secara makro ia terlibat

dalam pengambilan kebijakan.

INDIKATOR KESEHATAN SOSIAL-PSIKOLOGIS

Untuk kesehatan mental masyarakat perlu indikator khusus yang bersifat sosial-

psikologis. Yang pertama, konsep sehat secara sosial-psikologis yaitu bila seseorang

atau masyarakat mampu belajar. Berdasarkan konsep ini, indikator kesehatan

masyarakat secara sosial-psikologis yaitu bila masyarakat mampu belajar, baik secara

formal di sekolah atau di luar sekolah. Banyaknya tempat untuk belajar dapat dijadikan

indikator kesempatan untuk belajar masyarakat. Berapa banyak manusia Indonesia

yang telah mengenyam pendidikan formal dapat dijadikan indikator kualitas

kesempatan belajar masyarakat. Rasio orang yang terdidik dan terlatih dibandingkan

dengan jumlah penduduk di daerahnya dapat digunakan untuk indikator kesehatan

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

sosial-psikologis masyarakat. Adanya akses informasi bagi masyarakat dapat juga

digunakan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. Rasio ketersediaan

perpustakaan masyarakat dengan jumlah penduduk dapat juga digunakan sebagai

indikator kesempatan belajar terus-menerus bagi masyarakat di daerah itu. Dari

indikator ini saja terlihat betapa rendahnya kesempatan orang Indonesia untuk belajar

terus menerus. Bagaimana kita bisa menjadi masyarakat madani bila kesempatan

belajar sangat terbatas?

Demikian pula masyarakat disebut sehat bila mereka mampu bekerja. Mereka

yang mampu bekerja apakah itu sebagai pegawai atau pengambil keputusan di sektor

formal menunjukkan derajat kesehatan sosial-psikologisnya. Rasio antara mereka yang

bekerja formal dengan jumlah penduduk di daerahnya dapat digunakan sebagai

indikator kesehatan masyarakat. Demikian pula mereka yang mampu menggerakkan

pasar di sektor informal seperti berjualan dapat disebut sehat sosial-psikologis. Rasio

jumlah mereka yang berjualan dengan jumlah penduduk di daerahnya dapat digunakan

sebagai indikator kesehatan masyarakat. Secara umum indikator sehat juga dapat

dilihat dari berapa luas lapangan pekerjaan yang tersedia. Berapa banyak tenaga kerja

yang telah terserap di sektor formal maupun informal, dapat dijadikan indikator

kesehatan sosial-psikologis masyarakat. Apakah negara memberikan kesempatan kerja

seluas-luasnya dapat dijadikan indikator derajat kesehatan negara.

Tentang kesehatan masyarakat dari segi tersedianya pekerjaan baru saja disadari

oleh pengambil kebijakan di Kanada. Mereka menyadari bahwa ada keterkaitan erat

antara kondisi kehidupan masyarakat dengan kesehatan. Kemiskinan akibat tidak

adanya pekerjaan dan penghasilan akan menimbulkan status kesehatan yang rendah.

Mereka ini ketika sakit tidak mempunyai cara untuk meningkatkan keadaannya.

Berbagai kerjasama antar sektor, seperti perumahan, transportasi, pendidikan, dan

pekerjaan, diperlukan untuk meningkatkan kesehatan. Untuk itu di Manitoba, Kanada

telah dibentuk kerjasama antara Kementerian Kesehatan dengan Pelayanan Keluarga

(lihat Manitoba Centre for Health Policy and Evaluation, February, 2001). Kerjasama

inilah yang sering menjadi kendala di negara kita. Tiap sektor mempunyai agendanya

sendiri tanpa memerhatikan kebutuhan masyarakat.

Selain ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan kesehatan. Laporan Manitoba

Centre for Health Policy and Evaluation (May, 2001) menyebutkan bahwa sistem

pelayanan kesehatan di Winnipeg menyambut baik kebutuhan warganya. Mereka yang

hidup di daerah tinggi kebutuhan/kesehatan buruk, lebih banyak masuk rumah sakit

dan mengunjungi dokter keluarga. Sebaliknya daerah dengan kesehatan yang lebih baik,

kurang menggunakan pelayanan tersebut. Akan tetapi kunjungan pada spesialis tidak

sama polanya. Banyak mereka yang paling sehat menggunakan jasa prosedur yang lebih

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

canggih seperti sken MRI (Magnetic Resonance Imaging), angioplasti koroner, operasi by

pass koroner, penggantian panggul dan lutut. Dari sini terlihat bahwa makin kaya

masyarakat, mereka akan mampu menggunakan uangnya untuk meningkatkan

kesejahteraan hidup mereka. Di negara maju dengan pajak yang sangat tinggi, kekayaan

ini biasanya berasal dari hasil kerja mereka. Tanpa tersedianya pekerjaan yang layak,

masyarakat akan tetap miskin. Suatu ironi bagi bangsa kita bahwa tanah air kita kaya

raya akan sumber alam, tetapi rakyatnya tetap miskin.

Selain indikator tersedianya pekerjaan, setiap makhluk hidup membutuhkan

kegiatan bermain. Demikian pula keadaannya dengan manusia. Indikator sehat sosial-

psikologis masyarakat dapat dilihat dari berapa waktu digunakan masyarakat untuk

bermain. Berapa banyak tempat untuk bermain seperti taman-taman yang asri dan

bersih tersedia bagi masyarakat dapat dijadikan indikator kesehatan sosial-psikologis.

Berapa kali mereka bermain dalam satu minggu dapat merupakan indikator kebutuhan

kesehatan bermain terpenuhi. Rasio antara jumlah tempat bermain dengan jumlah

penduduk dapat dijadikan indikator derajat kesehatan masyarakat.

Indikator kesehatan ini sangat tidak terpenuhi di tempat-tempat yang saat ini

tidak aman. Terutama di Aceh atau beberapa saat yang lalu di Ambon bahwa sebagian

masyarakat terutama laki-laki seperti bermain perang-perangan tetapi menggunakan

senjata betulan dan kalau kena tembak luka atau mati sungguhan. Atau kalau beberapa

saat yang lalu kita melihat pasukan jihad yang terdiri dari anak-anak muda laki-laki di

televisi yang membawa pedang panjang terkesan bahwa mereka siap untuk bertempur

dalam permainan perang. Indikator sehat sosial-psikologis yaitu manusia mampu

bermain dengan aturan-aturan tertentu dan tanpa membahayakan dirinya dan orang

lain. Kalaupun ada luka ringan ataupun kecacatan yang berat itupun disebabkan oleh

kecelakaan selama bermain. Tiap tindakan manusia biasanya ada dampak baik yang

diharapkan maupun yang tidak diharapkan sebagai konsekuensinya.

Kesehatan masyarakat dari segi sosial-psikologis dapat dilihat dari kemampuan

masyarakat untuk bercinta. Dalam hal ini bercinta bukan berarti sempit seperti

kegiatan seksual saja, tetapi yang penting di sini yaitu bagaimana manusia

menggunakan cinta-kasihnya untuk menumbuhkan perdamaian di antara sesama

manusia. Yang terlihat saat ini banyak manusia bertengkar, berbunuhan, berkelahi,

berperang. Ini dapat dijadikan indikator kesehatan yang rendah secara sosial-

psikologis. Pancaran cinta-kasih di antara sesama terlihat sangat kurang. Terlihat

adanya saling curiga antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Padahal kalau

mau sehat secara sosial-psikologis manusia perlu belajar untuk bercinta. Indikator

sehat ini dapat dilihat dari seberapa banyak pasangan hidup dalam masyarakat,

seberapa besar masyarakat mempunyai sahabat sejati, seberapa besar mereka yang

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

melaporkan punya teman dekat dan dukungan sosial yang memadai. Sekali lagi di sini

indikator sehat sosial-psikologis selain indikator kuantitatif yaitu jumlah, juga dapat

bersifat kualitatif berdasarkan laporan diri individu yang juga dapat dikuantifikasikan.

Indikator sehat kegiatan bercinta dapat pula dilihat dari seberapa damai suatu

masyarakat. Seperti Yogyakarta yang bersemboyan Bersih Sehat Indah dan Nyaman

(Berhati Nyaman) dapat dijadikan indikator kesehatan sosial-psikologis masyarakat.

Berapa tempat yang bersih, bebas polusi, indah, dan nyaman dapat dihitung dan

dibandingkan dengan jumlah penduduk di daerah itu. Apabila rasionya tidak sebanding

dan masih banyak tempat yang belum seperti itu maka Yogyakarta masih jauh dari

situasi sehat secara sosial-psikologis. Semboyan itu hanya kosong belaka. Masyarakat

belum menyadari bahwa semua itu tanggung jawab kita semua.

UPAYA KESEHATAN MENTAL MASYARAKAT

Dari uraian indikator kesehatan sosial-psikologis, maka upaya kesehatan

masyarakat menjadi berbeda dari upaya kesehatan fisik saja. Upaya kesehatan menjadi

menyeluruh yakni dari kesempatan belajar, bekerja, bermain, dan bercinta. Kalau

diterjemahkan ke dalam program-program maka dibutuhkan kerjasama lintas sektoral.

Selama ini kelemahan kita yaitu koordinasi. Masing-masing bekerja sendiri-sendiri.

Sekarang ini yang mengurusi itu adalah Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial.

Dibawah koordinasi kementerian itu diharapkan kesehatan sosial-psikologis

masyarakat juga akan terangkat.

Puskesmas yang sudah tidak bergiat pada pukul 12 sebetulnya dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya. Adanya gedung yang tersedia dan petugas

yang telah dibayar pemerintah sebetulnya dapat berbuat banyak untuk masyarakat.

Meskipun telah dicanangkan 18 program, yang kalau dikerjakan sungguh-sungguh pasti

akan menyita banyak waktu tenaga kesehatan, ironisnya puskesmas tutup di tengah

hari. Derajat kesehatan masyarakat juga masih rendah. Sering terjadi petugas

disibukkan dengan pencatatan dokumentasi yang dipertanyakan validitasnya. Tidak

mengherankan bahwa angka kematian anak dan angka kematian ibu masih tetap tinggi

di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya.

Terkesan bahwa petugas kesehatan di puskesmas bersaing dengan diri mereka

sendiri. Dalam arti mereka mempunyai praktek swasta dan mereka memberikan

pelayanan yang lebih prima ketika mereka praktek di luar puskesmas. Alangkah

baiknya kalau puskesmas dibenahi dan bekerjasama dengan masyarakat sekitarnya

untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Seperti yang telah dilakukan di

Inggris, masyarakat bekerjasama dengan puskesmas untuk mengembangkan inovasi

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

dalam pelayanan masyarakat dan kesehatan primer yang telah dilaporkan oleh Patrick

Pietroni dan Christopher Pietroni (1996). Pengalaman eksperimen Marylebone

dituangkan di buku itu. Pendekatan kesehatan yang diterapkan bersifat menyeluruh

yaitu fisik, psikis, sosial, dan spiritual. Semua pihak terlibat dalam pelayanan kesehatan

tersebut. Termasuk di dalam tim tidak hanya dokter dan paramedik, tetapi juga ahli

jejamuan, ahli akupuntur, ahli pijat, psikolog, pemuka agama, dan tentu saja anggota

masyarakat lainnya. Mereka membuat yayasan yang tugasnya mencari dana bagi

puskesmas mereka. Apakah kita tidak mampu untuk meniru seperti itu? Apabila ada

seseorang yang mampu melakukan koordinasi semacam itu, saya yakin masyarakat kita

bersedia untuk bergabung dan mengelola puskesmas bersama untuk kesehatan

masyarakat yang menyeluruh (lihat pula Perkins, Simnet, & Wright, 1999).

Salah satu kelemahan kelembagaan publik yang didukung dana pemerintah yaitu

adanya sikap tidak memiliki oleh mereka yang bekerja di situ. Mereka merupakan

pegawai negeri yang tentu saja gajinya kecil. Tetapi kalau di luar mereka punya rumah

yang relatif representatif, punya usaha samping seperti apotik, atau kalau bidan

mempunyai klinik bersalin. Jadi kegiatan pelayanan swasta jauh lebih menguntungkan

daripada melayanai pasien di puskesmas. Keadaan ini menimbulkan keprihatinan.

Apabila masyarakat di sekitar puskesmas diajak kerjasama untuk pelayanan kesehatan

menyeluruh tidak hanya untuk penyakit fisik saja, saya yakin kalau ini dapat terwujud.

Tinggal sekarang kemauan baik seorang tokoh masyarakat yang bersedia untuk

menjadi koordinator kegiatan seperti itu ada atau tidak. Siapa dia? Ini perlu promosi ide

dasarnya dulu dan menjual kepada donor internasional sebagai modal dasar untuk

pelestarian usaha pelibatan masyarakat untuk kesehatan yang menyeluruh tersebut.

Setelah kegiatan di puskesmas sudah usai di sore hari, kegiatan belajar, bekerja,

bermain, dan bercinta dapat dilakukan. Keempat indikator kesehatan sosial-psikologis

dapat dipromosikan oleh masyarakat bersama anggota puskesmas dan untuk

masyarakat di sekitarnya. Telah ada sebetulnya usaha-usaha ke arah sana seperti

kegiatan bina balita. Juga sudah ada posyandu kesehatan ibu dan anak dan lansia, tetapi

tetap saja kegiatan itu untuk kesehatan fisik saja. Kegiatan konseling hampir tidak

dilakukan. Kegiatan terpadu untuk belajar, bekerja, bermain, dan bercinta perlu

diuraikan menjadi kegiatan yang jelas dan dikelola bersama pula. Kegiatan belajar dapat

dilakukan secara bermain sambil bekerja dan belajar bercinta. Misalnya dalam kegiatan

bina balita, ibu mengajari anak-anak untuk bermain bersama dengan alat-alat tertentu

bagi perkembangan psikomotor anak. Kegiatan ini memberi kesempatan hubungan

cinta antara ibu dan anaknya. Demikian pula bila remaja bergabung untuk memerangi

narkoba dengan mengembangkan kegiatan yang lebih bermanfaat; misalnya belajar

berorganisasi dalam promosi kesehatan lingkungan. Kegiatan seperti inipun dapat

untuk berlatih belajar, bekerja, bermain, dan bercinta. Idealnya memang seperti itu.

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Yang penting sekarang siapa mau memprakarsai kegiatan itu? Saya berharap

puskesmas dapat dimanfaatkan menjadi pusat kegiatan kesehatan fisik, sosial,

psikologis, dan spiritual.

Sering terjadi orang malas untuk berpikir dan kurang usaha untuk belajar

kembali. Padahal belajar selalu terbuka setiap hari dari pengalaman berhubungan

dengan orang lain. Tetapi sering terjadi orang menggunakan mekanisme pertahanan

terlalu tebal sehingga ia telah menutup dirinya untuk memelajari dan memerbaiki

perilakunya sehari-hari. Kemampuan dan kemauan belajar menandakan kesehatan

mental prima. Demikian pula bila ia mampu untuk memancarkan kasihnya sehingga

orang yang ada di sekitarnya akan merasa damai, ia dapat disebut sehat mental. Untuk

itu ia perlu mempunyai keterampilan sosial yang tinggi. Semua ini dapat dipelajari dan

dilatihkan di puskesmas. Kerjasama antara akademisi dan masyarakat dengan mediator

puskesmas perlu dikembangkan.

Kebiasaan hidup sehat perlu dipelajari sejak usia dini. Ajaran agama saja tidak

cukup untuk kebiasaan-kebiasaan sehat. Yang penting sebetulnya bagaimana ajaran itu

diterapkan ketika kita berhubungan dengan orang lain. Kasih sayang, kedamaian, perlu

ditumbuhkan sejak dini. Padahal sering terjadi karena ajaran agama, orang lalu saling

curiga karena keberbedaan cara menjalankan agama masing-masing. Kalau indikator

kesehatan sosial-psikologis yaitu belajar, bekerja, bermain, dan bercinta digalakkan,

kita akan menjadi masyarakat madani yang tidak terombang-ambing oleh provokasi-

provokasi negatif yang akan mencerai-beraikan masyarakat. Kita akan menjadi

masyarakat yang damai. Orang-orang dari negara lain akan berdatangan dan mau

bekerjasama dengan kita, sehingga devisa kita cukup. Krisis multidimensi akan

berakhir. Kita akan menjadi masyarakat yang kaya sesuai dengan sumber alam yang

kita miliki.

PSIKOLOGI KOMUNITAS

Untuk menggabungkan kesehatan mental masyarakat dengan indikator kesehatan

sosial-psikologis perlu gerakan yang disebut psikologi komunitas. Berbagai program

tersedia untuk masyarakat supaya mereka dapat hidup lebih nyaman dan sejahtera.

Berikut berbagai program dapat dicontoh dari negara maju. Semua tersedia di jurnal

internasional. Alangkah baiknya bila kita mulai menulis apa yang telah kita lakukan

untuk masyarakat, sehingga kita tidak hanya jadi konsumen perkembangan psikologi

dari luar negeri. Kita dapat menjadi pemain di dunia global. Keunikan budaya nusantara

dengan berbagai latar etnik yang kaya tersebut dapat kita jadikan model pengembangan

program kesehatan mental masyarakat.

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Berbagai artikel tersedia di American Journal of Community Psychology, yang

kebanyakan artikelnya berasal dari Society for Community Research and Action. Jurnal

tersebut diterbitkan secara online. Ada juga Journal of Community Psychology. Terlihat

bermacam-macam penelitian dan terapan telah dilakukan di negera maju seperti

Amerika Serikat. Tiap komunitas ilmiah mempunyai penerbitan sendiri dan biasanya

ada penerbit komersial yang mengelola jurnalnya. Alangkah indahnya bila di negara kita

ini sudah ada kerjasama seperti itu. Kita tidak bergulat sendiri dengan pemikiran

sendiri dan diterbitkan sendiri.

Indonesia terdiri dari beragam agama, bahasa, budaya, ras, suku yang merupakan

sumber kekayaan kita. Hanya saja kekayaan itu dapat musnah karena ada usaha untuk

menyeragamkannya. Psikologi komunitas dapat berkembang di Indonesia bila kita

mengakui keragaman tersebut dan menggunakannya sebagai modal sosial kita.

Demikian pula pengetahuan tradisional ataupun kebijakan lokal dapat dijadikan modal

untuk berkembang.

Berbeda dengan psikologi klinis yang berorientasi pada individu, psikologi

komunitas menggunakan unit analisis dan unit pelayanan komunitas. Memang pada

awalnya mereka yang terbiasa menerapkan psikologi klinis secara individual sering

menggunakan unit individual meskipun dalam penelitian komunitas. Hal itu tidak dapat

begitu saja dihindari. Seperti Seidman (2012) sebagai lulusan dari program psikologi

klinis, ia terbiasa menggunakan unit analisis dan pelayanan individual, sehingga

awalnya dalam projek komunitas, meskipun meneliti komunitas sekolah, tetap saja

yang diperhatikan tiap siswa. Kemudia ia melanjutkan dengan melakukan analisis

hubungan siswa dengan siswa lain, guru, orang tua, dan lingkungan sekolah. Lama

kelamaan orientasi psikologi komunitas menjadi lebih jelas yaitu dari individu pada

jejaring sosial misalnya. Dalam pengukuran yang biasa kita lakukan adalah dengan

psikometri menjadi ekometri dalam psikologi komunitas. Analisis berdasarkan rating

perilakuan, pengamatan interaksi di kelas atau kelompok, suasana emosi di kelas atau

tempat lain, ataupun pengukuran lain yang sesuai dengan tujuan program

pengembangan komunitas. Meskipun menggunakan laporan diri tapi yang dinilai bukan

dirinya sendiri tapi diri di dalam situasi tertentu seperti yang digunakan ketika meneliti

kesejahteraan dusun ( lihat Prawitasari dkk., 2009 dan Prawitasari, 2011). Saya

menyebutnya sebagai laporan orang lain yaitu laporan mengenai situasi dan suasana

dusun (lihat Prawitasari, 2011).

Setelah Seidman (2012) lebih berorientasi pada psikologi komunitas ia

mengembangkan intervensi menggunakan desain eksperimen controlled trial di

universitas, sekolah dasar, sekolah lanjutan, program usai sekolah, dan pelayanan

kesehatan mental kaum muda. Terlihat dalam tulisannya bahwa intervensi komunitas

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

tidak dapat dilepaskan dari penelitian. Pertama-tama dia mengembangkan projek

dialog lintas kelompok terutama yang berkaitan dengan kelompok ras yang berbeda.

Projek meliputi sembilan universitas di seantero negeri. Yang menjadi persoalan adalah

kompleksitas data komunitas. Data disarangkan dalam beberapa interaksi, misalnya

siswa di kelas, di sekolah. Memang untuk mengukur kekuatan intervensi jadi lebih

rumit, tapi dengan desain randomized cluster trial dapat diukur dampak intervensi

pada individu yang disarangkan dalam kelas, sekolah, Rukun Tetangga (RT), Rukun

Warga (RW), kecamatan, dusun, desa.

Contoh lain intervensi psikologi komunitas dapat berupa sosiodrama yang dapat

disederhanakan menjadi metode panggung gembira (lihat Prawitasari dkk, 2009 dan

Pawitasari, 2011). Setelah gempa yang memorakporandakan Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY) terutama Bantul, kami mendampingi masyarakat untuk mengelola

konflik sosial yang terjadi karena adanya rasa ketidakadilan dalam distribusi dana

bantuan. Unit analisis dalam penelitian kami adalah Rukun Tetangga (RT). Tiap RT

menyajikan cerita sebelum, saat, setelah gempa dengan masing-masing membuat

skenarionya sendiri yang didramakan di atas panggung. Teknik yang digunakan dalam

penyajian panggung gembira adalah monolog, dialog, nyanyi, tari, dan musik terutama

gamelan. Masing-masing orang berperan menjadi orang lain. “Dusun Bercermin”

menjadi terkenal di antara mereka dan setelah lama berlalu, peristiwa tersebut tetap

diingat. Demikian pula pesan perdamaian menjadi fokus pembicaraan di antara para

tokoh di dusun saat ada acara-acara bersama (pengamatan pribadi saat berkunjung ke

dusun beberapa kali di tahun 2010 dan 2011 dalam penelitian lanjutan).

Cook & Kilmer (2012) menyajikan sistem perawatan dan pelayanan kesehatan

mental terutama untuk keluarga dan anak-anak di komunitas. Sistem perawatan ini

berpusat pada anak, berfokus pada keluarga, berbasis komunitas, dan peka budaya

setempat. Program seperti ini tentu saja memberdayakan komunitas, berorientasi pada

kerjasama, dan menuju pada perubahan sosial yang bersifat makro yaitu ke arah

perubahan kebijakan. Salah satu penulis di buku yang saya sunting (lihat Prawitasari,

2012), Adelina Simatupang mendampingi tersusunnya peraturan daerah persiapan

bencana dengan menggunakan siklus Gestalt. Inilah salah satu contoh terapan psikologi

klinis makro yang sangat sesuai dengan kebutuhan di Indonesia.

Untuk lingkungan, perlu kerjasama antar warga dalam menjaga kelestariannya.

Psikologi komunitas menyediakan model ekologis. Moskell & Allred (2012) menyajikan

model tersebut. Mereka mengembangkan model itu untuk keikutsertaan masyarakat

menjaga lingkungan terutama pepohonan di kota atau pengembangan hutan kota.

Berkaitan dengan model ekologis tersebut saya akan berbagi pengalaman. Minggu yang

lalu saya ke Samarinda, dan tuan rumah saya dari Penerbit Erlangga, yang juga seorang

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

psikolog, dan dari program studi psikologi Universitas Mulawarman mengeluhkan ada

kegundulan hutan dan pembangunan yang kurang memerhatikan lingkungan. Alangkah

baiknya, bila para ilmuwan psikologi di sana bekerjasama dengan pemda dan dinas

lingkungan hidup untuk mengembangkan program masyarakat menjaga kelestarian

hutan. Begitu pula wakil masyarakat dapat terlibat dalam kebijakan menjaga hutan.

Akan tetapi hal ini biasanya akan dijawab “sulit” karena kita merasa “tak berdaya”

menghadapi kapitalisme yang sangat memengaruhi pembangunan daerah.

Begitu kita melayani komunitas, yang perlu kita kembangkan adalah berbagai

program dan tentu saja tidak hanya terapannya saja, tetapi program-program tersebut

perlu diteliti kesangkilan dan kemangkusannya. Tugas ilmuwan psikologi klinis adalah

mengembangkan program dan menghasilkan bukti empirik bahwa program-

programnya tersebut memang dapat diterapkan oleh praktisi. Kerjasama antara

praktisi, yang menerapkan program serupa di komunitas, dengan ilmuwan psikologi

komunitas dibutuhkan yaitu praktisi memberi balikan dan ilmuwannya meneliti

kembali. Itu baru disebut kita mampu bersaing dengan ilmuwan lain secara global.

Contoh berbagai program komunitas dapat dilihat dari hasil penelitian ilmuwan

dari beberapa negara. Di Negeri Belanda Fukkink & Hermans (2009) meneliti konseling

anak-anak melalui program Helpline yaitu melalui “ngobrol” secara maya atau “telepon.”

Penggunaan program ini meningkatkan rasa sejahtera di antara pengguna anak-anak.

Dari Negeri Belanda juga Bohlmeijer, Kramer, Smit, Onrust, & van Marwijk (2009)

menggunakan inovasi “cerita hidupmu” dengan kombinasi integrasi “ngunandika”

tentang peristiwa yang dialaminya sendiri atau dengan orang lain dan terapi naratif.

Peserta dalam program ini adalah anggota masyarakat berumur 55 tahun ke atas yang

mengalami depresi. Tampaknya Negeri Belanda jauh lebih maju dalam psikologi

komunitas. Selain dua kelompok peneliti tersebut, Kortrijk, Mulder, Roosenschoon, &

Wiersma (2009) mengembangkan penanganan komunitas asertif yang telah terbukti

efektif di Amerika Serikat, meskipun belum ada bukti di negara Eropa. Penelitian ini

khusus untuk penderita gangguan mental yang motivasi berobatnya rendah.

Di Amerika Serikat di kota Long Beach, California, Ayón & Lee (2009) membangun

komunitas kuat dengan menyediakan program kepemimpinan di area perkotaan. Warga

masyarakat dilatih kepemimpinan meliputi pengorganisasian komunitas supaya

keterampilan kepemimpinan mereka meningkat. Di Australia, Havighurst, Wilson,

Harley, & Prior (2009) dari Universitas Melbourne mengembangkan program “emotion-

focused parenting” yang merupakan percobaan di komunitas.

Dengan hibah guru besar, kami mengembangkan beberapa program komunitas.

Pendekatan kelompok penuh empati dapat dikembangkan di puskesmas dan komunitas

untuk meningkatkan kesejahteraan mental warga masyarakat yang menderita

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

gangguan fisik seperti diabetes dan hipertensi (lihat Prawitasari dkk, 2011). Petugas

puskesmas yang menggunakan komunikasi nonverbal, seperti tersenyum dan

menganggug dinilai lebih empatik (lihat Prawitasari dkk, 2010). Terapi kelompok

berorientasi pada data dapat dimodifikasi untuk kepentingan komunitas, misalnya

untuk gangguan psikofisik seperti asma, tukak lambung, gangguan kulit, meskipun

pendekatan ini perlu diteliti lagi secara epidemiologis (lihat Prawitasari dkk, 2012).

Dari contoh-contoh tersebut ilmuwan psikologi dari berbagai negara telah

mengembangkan program intervensi komunitas dan berhasil secara signifikan.

Sebetulnya kitapun sudah melakukan hal yang sama, hanya saja apa yang kita kerjakan

itu tidak diterbitkan di jurnal internasional. Orang lain sulit untuk mengamati apa yang

telah kita kerjakan dengan sungguh-sungguh di komunitas kita sendiri. Alangkah

bergunanya bila kita mulai menulis dan menerbitkan apa yang telah kita kerjakan untuk

masyarakat kita.

PENUTUP

Telah saya tulis berbagai pemikiran yang ada di buku saya ditambah hasil

penelitian terbaru tentang psikologi komunitas. Beberapa hasil penelitian tentang

psikologi komunitas juga telah saya sajikan. Harapan saya bahwa kita akan lebih banyak

memberikan pelayanan kepada komunitas sesuai dengan konteks budaya Indonesia.

Masyarakat kita membutuhkan pengalihpindahan teori, konsep, metode, dan teknik

yang kita punyai untuk kesejahteraan mereka. Bukan hanya kita melayani individu per

individu, tetapi kita bekerjasama dengan masyarakat untuk mengembangkan program

kesehatan mental bagi mereka. Keterlibatan aktif warga akan menghasilkan program

yang bermanfaat bagi komunitas.

Program-program yang telah dikembangkan di negara lain dapat kita jadikan

contoh. Tentu saja kita perlu melakukan modifikasi sesuai dengan konteks budaya kita.

Kita disebut masyarakat kolektif, dengan sendirinya pendekatan dalam psikologi

komunitas akan lebih cocok.

Setelah melakukan provokasi dengan judul dan penggunaan kearifan lokal, saya

akan memberikan berbagai pertanyaan yang perlu kita pikirkan dan jawab bersama.

Pertama, apakah kita memang akan mengembangkan psikologi nusantara berdasarkan

kearifan lokal? Kalau memang demikian sudah siapkah kita dengan berbagai penelitian

dan penulisan teoretis yang mendukung itu? Dari hasil penelitian dan kajian teoretis

kita dapat menjabarkan ke kurikulum. Atau sebaiknya kita mendidik mahasiswa untuk

lulus sebagai peneliti, sehingga kurikulum juga disesuaikan dengan tujuan itu. Kita

dapat menggabungkan dasar-dasar teori psikologi, metodologi, statistik, psikometrik,

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

dan ekometrik untuk mendasari kemampuan lulusan sebagai peneliti. Materi psikologi

nusantara menjadi kajian utama dan sebagai model untuk pengembangan psikologi ke

depan. Tidak kalah pentingnya yaitu sebaiknya program studi S1 psikologi bersifat

terminal. Jadi, lulusan jenjang pendidikan S1 dapat langsung bekerja tanpa harus

melanjutkan ke pasca sarjana. Dengan bekal sebagai peneliti, mereka akan dapat

bekerja di mana saja. Hasil penelitian mereka di berbagai bidang akan dapat diumpan

balikkan lagi ke fakultas, sehingga pengembangan ilmu dapat terus berlanjut dari

lapangan ke pengujian di laboratorium.

Pertanyaan kedua yaitu apakah kita ingin mendidik mahasiswa kita untuk menjadi

perancang perubahan perilaku? Kurikulum akan lebih difokuskan pada dasar-dasar

teori psikologi, metodologi penelitian, statistik, dasar-dasar pengukuran perilaku

berikut model perubahan perilaku apakah pada tataran individu, kelompok, keluarga,

organisasi, dan masyarakat. Dengan demikian kita juga menyiapkan lulusan kita siap

bekerja di mana saja. Mereka juga akan siap bekerjasama dengan disiplin lain.

Ketiga, pertanyaan saya yaitu apakah kita siap untuk meninggalkan pola lama

yaitu psikologi identik dengan psikotes? Asesmen psikologi tidak hanya psikotes dan

psikotes tidak hanya yang kita kenal itu saja. Banyak sekali psikotes yang telah

dikembangkan terutama di Amerika. Jadi kalau hanya mengajari mahasiswa tes yang

itu-itu saja, kita pasti telah ketinggalan jaman. Bukankah lebih baik apabila kita

memberikan dasar-dasar pengembangan kelompok psikotes, sehingga mahasiswa tahu

konsep pembuatannya dengan landasan teori yang kuat pula.

Catatan akhir adalah kita perlu mengubah tujuan pendidikan psikologi terutama

pada jenjang S1, karena selama ini tampaknya kita memberi bekal yang terlalu luas

tetapi kurang jelas arahnya. Meskipun saat ini kita telah pula sibuk dengan kurikulum

berbasis kompetensi. Menurut pengamatan saya, pengajaran dengan satuan kredit yang

besar dengan pengajar yang banyak hanya cocok untuk perguruan tinggi yang sudah

mapan. Untuk perguruan tinggi yang masih kecil, perlu penyesuaian proses belajar

mengajar dan perlu mengembangkan ciri khas masing-masing lembaga. Untuk itu kita

perlu melakukan banyak penelitian berdasarkan kearifan lokal supaya hasilnya dapat

menjadi bahan pengajaran dengan arah yang sudah lebih jelas, sekaligus dapat menjadi

sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia global. Apakah itu akan

dinamai psikologi nusantara atau lainnya, saya serahkan kepada pembaca.

Akhir kata, selamat bertemu ilmiah dan semoga apa yang saya tulis ini dapat

menggugah para peserta melakukan tindakan bagi masyarakat yang membutuhkan

pelayanan kita. Kita dapat mengembangkan kesehatan mental masyarakat dengan

melibatkan mereka. Sekaligus kita juga perlu berperan dalam pengambilan kebijakan

dengan menyajikan hasil penelitian tentang berbagai program kesehatan mental

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

masyarakat kepada pemangku kepentingan seperti dinas kesehatan dan kementerian

kesehatan.

Jakarta, 04 November 2012

DAFTAR PUSTAKA

Ayón, C., & Lee, C.D. 2009. Building strong communities: An evaluation of a

neighborhood leadership program in a diverse urban area.Journal of Community

Psychology, 37(8), 975-986.

Bohlmeijer, E., Kramer, J., Smit, F., Onrust, S., Marwijk, H.V. 2009. The effects of

integrative reminiscence on depressive symptomatology and mastery of older

adults. Community Mental Health Journal (Original Paper:DOI 10.1007/s10597-009-

9246-z), published online September, 24.

Cook, J.R., & Kilmer, R.P. 2012. Systems of care: New partnerships for community

psychology. American Journal Community Psychology, 49, 393-403.

Fukkink, R., & Hermanns, J. 2009. Counseling children at a helpline: Chatting or

calling?.Journal of Community Psychology, 37(8), 939-948.

Ekowarni, E., Andriani, D. R., & Kushendarto, A. 2004. Pemahaman sifat budi luhur pada

abdi dalem Keraton Yogyakarta. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi

UGM.

Gracia, H. S. 2004. “Isin” sebagai kontrol moral dan bentuk penyesuaian diri pada

masyarakat Jawa. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Proyek SP4 Pengembangan

Jurusan Program Studi Psikologi UGM.

Havighurst, S.S., Wilson, K.R., Harley, A.E., & Prior M.R. 2009. Tunning in to kids: An

emotion-focused parenting program-initial findings from a community trial. Journal

of Community Psychology, 37(8), 1008-1023.

Hutin, Y. 2004. Impact of the work of the Safe Injection Global Network (SIGN).

Disajikan dalam Second International Conference on Improving Use of Medicines,

March 30-April 2, Early Bird Breakfast Session 1, Chiang Mai, Thailand.

Jatman, D. 2003. Glenyengan Jawa Darmanto: Bilung kesasar. Semarang: LIMPAD.

Kortrijk, H.E., Mulder C.L., Roosenchoon, B.J., & Wiersma, D. 2009. Treatment outcome in

patients receiving assertive community treatment.Community Mental Health

Journal (Original Paper: DOI 10.1007/s10597-009-9257-9), published online

October, 22.

Moskell, C., & Allred S.B. (2012). Integrating human and natural systems in community

psychology: An ecological model of stewardship behavior.American Journal

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Community Psychology (Original Paper: DOI 10.1007/s10464-012-9532-8), diunduh

pada tanggal 22 Oktober 2012.

Prawitasari Hadiyono, J.E. 2001. The development of transdisciplinary approach in drug

use studies: Indonesian experience. Dalam N. Higginbotham, R. Briceno-Leon, & N.

Johnson (Eds.). Applying health social science: Best cases from the developing world.London: Zed.

Prawitasari, J.E. 2011. Psikologi klinis: Pengantar terapan mikro dan makro. Jakarta:

Erlangga.

Prawitasari, J.E., Napitupulu, C.A., Paramita, D.A.K., Purwaningtyas, K., & Maharani, S.

2011. Multilevel social support and simple teaching tips for the community.

Unpublished Report. GMU: Professor Grant. Yogyakarta: Fakultas Psikologi.

Prawitasari, J. E., Olivia, H., Handayani, H. D ., Winarti, S., & Intriaty. 2010. Empathic

caring consultation ( ECC ): Will it be able to improve the quality of care at the

health centers ?. Anima, Indonesian Psychological Journal, 26(1), 46-55.

Prawitasari, J.E., Widyastuti, T., & Asitasari, W. 2011. Data Focus Approach in

psychotherapy. Unpublished Report. GMU: Professor Grant. Yogyakarta: Fakultas

Psikologi.

Prawitasari, J.E. 2012. Behavior Approach as Social Representations in Health: From

Research to Action. Dalam Risa Permanadeli, Denise Jodelet, & Toshio Sugiman.

Alternative Production of Knowledge and Social Representations (Proceeding of 9th

International Conference on Social Representations). Jakarta: University of

Indonesia.

Prawitasari-hadiyono, J. E., Paramastri, I., Suhapti, R., Novianti, P., Widiastuti, T. R., &

Rengganis, N. (2009). Social Artistry , Local Wisdom , and Post Earthquake Conflict.

www.springerlink.com.

Prawitasari, J.E., Suryawati, S., Danu, S, Santoso, B. (1996). Interactional Group

Discussion: Results of a controlled trial using a behavioral intervention to reduce

the use of injections in public health facilities. Social Science & Medicine: an

international journal, 42, 8, 1177-1184.

Prihartanti, N., & Karyani, U. 1998. Pemahaman rasa untuk meningkatkan kompetensi

sosial. Kognisi, 2, 1, 58-71.

Prihartanti, N. 1999. Pengembangan kualitas kepribadian melalui olah rasa. Anima, 59,

1266-1278.

Prihartanti, N., Suryabrata, S., Prawitasari, J. E., & Wibisana, K. 2003. Kualitas

kepribadian ditinjau dari konsep rasa Suryomentaram dalam perspektif psikologi.

Anima, 18, 3, 229-247.

Willig, C. 2009. Introducing qualitative research in psychology (2nded.). New York, N.Y.:

McGraw Hill, Open University Press .

Temu Ilmiah Universitas Airlangga | 2 0 N o v e m b e r 2 0 1 2

Seidman, E. (2012). An emerging action science of social settings. American Journal

Community Psychology, 50, 1-16.

Simatupang, A. R. 2012. Peraturan Daerah Tentang Bencana dalam J.E. Prawitasari (ed)

Psikologi Terapan: Melintas Batas Disiplin Ilmu. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Zaumseil, M., & Prawitasari-Hadiyono, J. 2012.Researching Coping Mechanisms in

Response to Natural Disasters: The Earthquake in Java, Indonesia (2006). Dalam

Ute Luig (ed.). Negotiating Disasters: Politics, Representation, Meanings. Frankfurt:

Peter Lang.

Sumber Acuan Lain:

Anima April 2004

APA Monitor September 2004.

APA Monitor April 2006.

APA Monitor bulan November 2009

APA Monitor bulan Desember 2009

APA Monitor Januari 2010

Manitoba Centre for Health Policy and Evaluation (May, 2001)

Manitoba Centre for Health Policy and Evaluation, February, 2001)

Majalah Basis November-Desember 2005.