View
483
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
MAKALAH AR-RAHN
Disusun Oleh:SAIFUDIN
NIM. .........................
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAMSTAI AL-MA’ARIF BARADATU
WAY KANAN – LAMPUNG
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
limpahan rahmat, taufiq dan hidayahNya kami mampu menyelesaikan tugas
Makalah ini.
Kami berharap tugas yang kami selesaikan ini dapat bermanfaat bagi penyusun
maupun bagi pembacanya. Agar dapat memahami betapa pentingnya ilmu pendidikan di
dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana kita ketahui di zaman modern ini semua
manusia dituntut untuk mengenyang pendidikan baik di kota maupun di desa. Kita
dituntut untuk menempuh pendidikan hingga tahap yang tinggi. Supaya kita menjadi
tenaga pengajar yang professional.
Penyusun menyadari bayak kekurangan dalam menyelesaikan tugas ini. Maka
dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak supaya kami bisa lebih
baik dan memperbaiki kekuarangan kami.
Baradatu, November 2015
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................iKATA PENGANTAR ..........................................................................iiDAFTAR ISI .....................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................1
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................2A. Pengertian dan Dasar Hukum ....................................................2B. Rukun dan Syarat ......................................................................4C. Hukum-hukum Gadai dan Efeknya ............................................7D. Pertambahan Gadai ...................................................................8E. Berakhirnya Akad Gadai .............................................................9
BAB III PENUTUP .............................................................................10Kesimpulan ....................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Islam sebagai agam yang universal, mengatur seluruh kegiatan manusia. Dalam
kehidupan perekonomian, Islam bahkan mengaturnya dengan sebuah sistem yang
sekarang disebut dengan sistem ekonmi syari'ah. Dalam sistem ekonomi syari'ah, setiap
akad yang terbentuk seperti jual beli, sewa, mudharabah, hawalah, wakalah, harus
selaras dengan hukum Islam. Sebagaimana yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh bahwa
hukum dasar dalam mu’amalah adalah mubah, maka setiap kegiatan muamalah boleh
dilakukan dan dikembangkan umat Islam, selama tidak ada pelarangan tentang hal itu,
seperti munculnya praktik riba, atau gharar.
Sebagaimana setiap akad yang harus memenuhi rukun dan syaratnya masing-
masing, akad rahn (gadai) juga harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam
syari'ah Islam. Gadai dalam Islam bertujuan untuk memberikan keamanan bagi pemberi
hutang agar ia dapat tenang dan tak khawatir bahwa hutangnya tidak akan dilunasi.
Akan tetapi sikap saling percaya dan amanah bagi kedua pihak yang berakad itu lebih
penting agar terbentuk ukhuwah Islamiyyah yang terjaga kokoh dalam tubuh umat
Islam.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai seluk beluk akad rahn, mulai dari
pengertian, syarat dan rukunnya, manfaatnya, hukum-hukum yang ditimbulkannya,
sampai hal-hal yang mengakhiri akad rahn.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu
jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Pengertian ar-
rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam yang
berarti tetap dan kekal. Pengertian tetap dan kekal yang dimaksud merupakan makna
yang tercakup dalam kata al-habsu yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna
yang bersifat materiil. Karena itu secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan suatu
barang yang bersifat materi sebagai pengikat uang”.[1]
Adapun menurut pengertian syara’ adalah : menjadikan barang yang mempunyai
nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang
bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat)
barang itu.[2]
Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan akad ar-rahn seperti berikut : menjadikan
barang sebagai jaminan utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang
tersebut ketika pihak yang berutang tidak bisa membayar utang tersebut. Ulama
Hanabilah mendefinisikan ar-rahn seperti berikut : harta yang dijadikan sebagai jaminan
utang ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa melunasinya, maka utang tersebut
dibayar dengan menggunakan harga hasil penjualan harta yang dijadikan jaminan
tersebut. Ulama Malikiyah mendefinisikannya sebagai berikut : sesuatu yang berbentuk
harta dan mempunyai nilai yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan jaminan utang
yang keberadaannya sudah positif dan mengikat.[3]
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak
yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu
barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang
mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena itu
barang gadaian dalam hukum perundangan disebut sebagai barang jaminan, atau agunan
atau rungguhan.[4]
2
Kesemua pengertian yang tersebut diatas pada intinya sama, akan tetapi ada
beberapa perbedaan yang disebabkan oleh syarat-syarat akad ar-rahn yang berbeda yang
dipahami oleh masing-masing definitor yang pada subbab selanjutnya akan dibahas
perbedaan pendapat tersebut.
Adapun dasar hukum disyariatkannya akad gadai dalam Islam didasari dari Al-
Quran surah Al-Baqarah : 283,
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)....
Ulama sepakat bahwa ar-rahn hukumnya boleh, baik ketika berada dalam
perjalan maupun ketika menetap. Karena sunnah menjelaskan tentang pensyariatan ar-
rahn secara mutlak, baik ketika sedang di tengah perjalanan maupun ketika sedang
menetap. Penyebutan as-safar pada ayat di atas hanya berdasarkan kebiasaan yang
lumrah berlaku saja, bukan merupakan syarat. Karena pada masa dahulu, biasanya di
tengah perjalan, sulit untuk menemukan juru tulis.[5]
Adapun dalil dari hadits yaitu[6] :
شعيرا : منه اخذ و بالمدينة يهودي عند له درعا الله رسول رهن قال انس عن
( ماجه ( ابن و النسائي و البخاري دو اهمد رواه الهله
Artinya : Dari Anas, ia berkat, Nabi SAW pernah menggadaian sebuah baju besi
kepada seorang Yahudi di Madinah dan Nnabi SAW mengambil gandum dari si Yahudi
itu untuk keluarganya. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasa’i dan Ibnu Majah).
Dari dalil-dalil yang didapatkan, ulama sepakat hukum ar-rahn adalah boleh
(jaiz), tidak wajib. Karena ar-rahn adalah jaminan utang, oleh karena itu tidak wajib.
Adapun bunyi ayatfarihaanum maqbuudhah (maka hendaklah ada barang tanggungan
3
yang dipegang), perintah tersebut bersifat irsyad ( pengarahan kepada yang lebih baik)
bagi kaum mukminin, bukan perintah yang wajib. Hal ini berdasarkan bunyi ayat
setelahnya yang artinya akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya). Juga karena di
dalam ayat ini Allah memerintahkan adanya ar-rahn ketika tidak menemukan seorang
juru tulis. Karena menuliskan dan mendokumntasikan utang hukumya tidak wajib,
maka begitu juga solusi pengganti penulisan, hukumnya juga tidak wajib.[7]
Rahn dalam syariat memiliki beberapa manfaat, yaitu[8] :
- Menjaga kemungkinan rahin untuk lalai atau bermain-main dengan hutangnya
- Memberikan kemanan bagi murtahin.
B. Rukun dan Syarat
Sebagaimana akad jual beli memiliki rukun dan syarat, maka ar-rahn juga
memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar akad ar-rahn sah dan mengikat bagi
pihak-pihak yang melakukan akad. Adapun rukun ar-rahn yaitu :
a. Rahin (pihak yang menggadai)
b. Murtahin (pihak yang menerima gadai)
c. Marhun (barang yang digadaikan)
d. Marhun bih (tanggungan utang)
Sedangkan menurut ulama Hanafiyyah, rukun ar-rahn adalah ijab dari rahin dan
qabul darimurtahin, tetapi akad ar-rahn belum sempurna dan belum berlaku mengikat
kecuali setelah adanya al-qabdhu (serah terima barang yang digadaikan).
Adapun syarat-syarat akad rahn sebagai berikut[9] :
a. Syarat ‘aqid (rahin dan murtahin)
Pihak yang berakad mestilah memenuhi syarat agar akad rahn yang dilakukan
berlaku sah dan mengikat, adapun syaratnya yaitu ahliyah yakni memiliki kelayakan,
kepatutan dan kompetensi untuk melakukan akad. Para pihak harus berakal dan
mumayyiz. Namun tidak syaratkan baligh, selama ia mumayyiz. Jadi anak yang belum
baligh sah melakukan akad rahn, namun statusnya digantungkan kepada persetujuan dan
pengesahan pihak wali. Pendapat ini menurut ulama Hanafiyyah. Adapun menurut
Jumhur ulama akad rahn tidak sah dilakukan oleh orang yang berada dalam keadaan
4
terpaksa, anak yang belum baligh, orang gila, dan orang bangkrut. Akad rahn juga tdak
sah dilakukan oleh pihak wali, kecuali ada alasan kondisi darurat demi kebaikan si anak
yang berada dalam perwalian.
b. Syarat marhun bih
Marhun bih adalah tanggungan utang pihak rahin kepada pihak marhun. Syarat-
syaratnya yaitu :
- Marhun bih harus merupakan hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya,
maksudnya marhun bih harus berupa utang yang ditanggung yang wajib dibayar dan
diserahkan olehrahin
- Marhun bih harus berupa utang yang dimungkinkan untuk dibayar dan dipenuhi
darimarhun, karena tujuan menerima gadai adalah untuk mendapatkan jaminan
pembayaran utang. Oleh karena itu jika marhun tidak mampu mengganti
pembayaran utang, maka akad rahn tidak sah.
- Hak yang menjadi marhun bih harus diketahui dengan jelas dan pasti .
c. Syarat marhun
Marhun adalah harta yang ditahan oleh pihak murtahin untuk mendapatkan
pemenuhan atau pembayaran haknya yang menjadi marhun bih. Jika marhun sama
jenisnya dengan marhun bih, maka pelunasan utang dapat langsung diambil dari
marhun. Jika berbeda jenis maka pelunasan dilakukan dengan menjual marhun terlebih
dahulu untuk diambil harganya dan mengembalikan kelebihan harga itu (jika ada)
kepada rahin.
Menurut ulama Hanafiyyah, marhun harus memenuhi syarat sebagai berikut :
- Marhun telah ada saat akad berlangsung, maka tidak ah menggadaikan sesuatu yang
tidak ada ketika akad, seperti menggadaikan buah yang akan dihasilkan oleh
pohonnya tahun ini, karena belum tentu pohon itu akan berbuah.
- Marhun harus bisa dijual dan bernilai.
- Marhun harus berupa harta, maka tidak sah menggadai bangkai.
- Marhun tidak boleh berupa kemanfaatan, contohny tidak sah menggadai
kemanfaatan menempati rumah dalam tempo tertentu. Karena menurut ulama
Hanafiyyah kemanfaatan bukanlah harta, dan selain ulama Hanafiyyah beralasan
5
karena kemanfaatan tidak bisa diserhterimakan pada waktu akad dan tidak memiliki
sifat yang pasti dan tetap.
- Marhun harus diketahui dengan jelas dan pasti
- Marhun harus berstatus milik rahin atau milik orang yang berada dalam
perwalian rahinatau telah mendapat izin dari pemiliknya untuk digadaikan
oleh rahin. Maka, sah seorang ayah menggadaikan harta anak yang berada dalam
perwaliannya. Begitu juga, sah menggadaikan harta orang lain atas izin pemilik
harta tersebut.
- Marhun harus mufarragh dan muhawwaz, maksudnya barang yang digadaikan
tidak melekat dengan barang yang tidak digadaikan. Contohnya, tidak sah
menggadai sebidang tanah saja tanpa mengikutsertakan tanamannya.
Qabdhu (serah terima marhun)
Selain syarat-syarat yang harus dipenuhi pada rukun-rukunnya, akad rahn juga
mempunyai syarat lain yaitu Qabdhu, penyerahterimaan marhun kepada murtahin. Hal
ini didasari oleh bunyi ayat yang artinya maka hendaklah ada berang tanggungan yang
dipegang oleh yang berpiutang(Al-Baqarah : 283). Qabdhu disyaratkan ada untuk
menerapkan tujuan dari gadai itu sendiri yaitu untuk memberikan jaminan
pada murtahin dan kepastian bahwa hutang yang diberikannya padarahin akan dibayar.
Jumhur ulama berpendapat bahwa qabdhu bukanlah syarat sah akad rahn, akan
tetapi syarat berlaku mengikatnya akad rahn. Oleh karena itu akad rahn belum mengikat
kecuali setelah adanya qabdhu, maka sebelum adanya qabdhu rahin masih memiliki
kebebasan unutk membatalkan akad secara sepihak. Namun setelah adanya qabdhu,
akad telah saling mengikat pihak, sehingga pihak yang berakad tidak boleh
membatalkan akad secara sepihak.
Qabdhu baru dianggap sah jika memenuhi syarat sebagai berikut :
- Qabdhu harus atas izin dari pihak rahin,
- Ketika dilakukan qabdhu, kedua pihak harus memiliki ahliyah.
Qabdhu tidak mesti dilakukan oleh rahin atau murtahin, melainkan boleh juga
dilakukan oleh wakilnya. Kedua belah pihak (rahin dan murtahin) juga boleh
melakukan kesepakatan untuk menitipkan marhun kepada pihak ketiga yang
disebut ‘adl karena mungkin rahin tidak suka jikamarhun berada di
6
tangan murtahin, dan terkadang murtahin sendiri tidak suka marhun berada di
tangannya. ‘Adl adalah pihak ketiga yang dipercaya oleh kedua belah pihak, maka dari
itu dia harus memenuhi syarat sebagai ’adl , yaitu mumayyiz, berakal, tidak boros, dan
dia bukan merupakan seorang yang memiliki bagian harta dari marhun tersebut.
C. Hukum-Hukum Gadai dan Efeknya
Akad rahn ada yang sah dan ada yang tidak sah. Akad rahn yang sah adalah
akad yang memenuhi syarat-syarat akad rahn, sedangkan akad yang tidak sah adalah
akad yang tidak terpenuhi syaratnya. Menurut Hanafiyyah, akad yang tidak sah terbagi
menjadi akad baathil(batal) dan akad fasid (rusak).
Akad yang batal yaitu yang tidak memenuhi salah satu syarat yang berkaitan
dengan asal akad, seperti pihak yang mengadakan akad tidak memiliki ahliyah. Akad
yang fasid yaitu akad ang tidak memenuhi salah satu syarat yang berkaitan dengan sifat
akad, seperti marhun tidakmufarragh dan muhawwaz. Sedangkan menurut jumhur, akad
yang tidak sah hanya satu yaitu akad batal, kad yang tidak terpenuhi syaratnya.
a. Hukum akad rahn yang sah
Berlaku mengikatnya akad rahn adalah hanya sepihak, yaitu hanya
bagi rahin saja, bukan bagi murtahin. Oleh karena itu rahin tidak memiliki hak unutk
membatalkan akad, karena akad rahn adalah jaminan utang. Adapun murtahin, maka ia
memiliki hal untuk membatalkannya kapan saja karen akad rahn dalah unutk
kemashlahatan dan kepentingan dirinya. Akad rahn belum memiliki konsekuensi apa-
apa kecuali dengan adanya qabdhu. Oleh karena itu harga barang yang digadaikan
belum bisa hanya diperuntukkan bagi murtahin saja atau dengan kata lain blum
memiliki hak priorotas terhadap harga barang yang digadaikan itu sebelum
tejadi qabdhu.
Setelah terjadinya akad rahn yang sah, maka akan timbul efek-efek hukum yang
terikat bagi kedua pihak, seperti berikut ;
- Marhun terikat dengan hutang yang ada. Jika barang yang digadaikan sebagai
jaminan hutang, maka seluruh bagian dan satuan dari barang itu terikat dengan
hutang tersebut. Marhun tidak terikat dengan hutang yang tidak dilalui dengan
akad rahn, ia hanya terikat dengan sejumlah utang yang dilalui dengan akad rahn.
7
- Murtahin berhak untuk menahan marhun, akan tetapi tidak berhak untuk
memilikinya.Murtahin hanya berhak terhadap harga barang itu sebanyak nilai
hutang yang diberikannya, jika rahin tidak mampu untuk membayar hutangnya.
- Ulama Hanafiyyah tidak memperbolehkan pihak rahin meminta
kembali marhun untuk dimanfaatkan. Akan tetapi ulama Syafi’iyyah
memperbolehkan hal tersebut.
- Menurut ulama Hanafiyyah, murtahin wajib menjaga marhun seperti menjaga
hartanya sendiri. Jika marhun rusak maka, murtahin bertanggung jawab atas
kerusakan tersenut.
- Manfaat yang dihasilkan dari marhun adalah unutk rahin.
- Menurut Jumhur, seluruh biaya pengurusan dan penjagaan marhun dibebankan
padarahin. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa biaya penjagaan dibebankan
pada murtahinsedangkan biaya pengurusan dibebankan pada rahin.
- Ulama Syafi’iyyah berpendapat marhun boleh dimanfaatkan oleh rahin selama
tidak merugikan murtahin. Jumhur berpendapat rahin sama sekali tidak boleh
memanfaatkanmarhun.
b. Hukum akad rahn yang tidak sah
Para imam mazhab sepakat bahwa akad rahn yang batal tidak memiliki efek
hukum apa-apa. Oeh karena itu murtahin tidak memiliki hak menahan dan rahin berhak
meminta kembali marhundari tangan murtahin. Apabila murtahin tidak menyerahkan
atau merusak marhuun tanpa menggantiya maka ia dianggap menguasai harta orang lain
secara zalim. Penahanan murtahinterhadap marhun dihukumkan sebagai harta amanat
bukan sebagai barang gadaian.
D. Pertambahan Gadai
Menambah marhun atau marhun bih dalam akad rahn dijelaskan dseperti
berikut.
Menambah marhun adalah memberikan lagi barang gadaian disamping barang
gadaian yang ada dengan utang yang sama. Hal ini hukumnya bolleh menurut Jumhur
Ulama, karena itu merupakan bentuk tambahan penguat jaminan yang merupakan
tujuan inti dari akad rahn. Sedangkan tambahan utang atas marhun yang sama,
8
maksudnya rahin meminjam utang lagi dengan barang gadai yang sama, terdapat
perbedaan pendapat tentang kebolehannya : Imam Hanafi dan Ulama Hanabilah
berpendapat hal tersebut tidak diperbolehkan, karena tambahan seperti itu merupakan
akad rahn baru, yang berarti menggadaikan lagi barang sudah digadaikan. Sementara itu
Imam Malik, Abu Yusuf, Abu Tsur berpendapat hal itu boleh. Karena tambahan
dalam marhun bih berarti menghapus akad rahn yang lama dan mengadakan akad rahn
yang baru dengan jumlah marhun bih yang baru juga.
E. Berakhirnya Akad Gadai
Akad rahn selesai dan berakhir karena beberapa hal, diantaranya :
a. Diserahkannya marhun kepada pemiliknya. Menurut jumhur selain Syafi’iyyah,
jikamarhun diserahkan kepada pemiliknya maka jaminan penguat utang akan
hilang sehingga akad rahn menjadi batal.
b. Terlunasinya seluruh marhun bih.
c. Penjualan marhun secara paksa yang dilakukan oleh rahin atas perintah hakim, atau
yang dilakukn oleh hakim ketika rahin menolak menjual marhun.
Apabila marhun dijual dan utang terlunasi dengan harga penjualan itu,maka akad
rahn telah selesai.
d. Terbebasnya rahin dari utang yang ada wlau dengan cara apapun.
e. Binasanya marhunf. Marhun ditasharufkan oleh salah satu pihak seperti meminjamkannya, menjualnya
atau menyedekahkannya.
9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas secara global, dapat dirangkum bahwa Rahn adalah
menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai
jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa
mengambil sebagian (manfaat) barang itu.
Rukun akad rahn yaitu :
a. Rahin (pihak yang menggadai)
b. Murtahin (pihak yang menerima gadai)
c. Marhun (barang yang digadaikan)
d. Marhun bih (tanggungan utang).
Akad rahn terbagi dua yaitu :
a. Akad rahn yang sah, yakni akad rahn yang terpenuhi seluruh rukun dan syaratnya
b. Akad rahn yang tidak sah yaitu akad rahn yang tidak terpenuhi seluruh syaratnya.
10
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Hukum Gadai Syari'ah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008).
Antonio, Muhammad Syafi’i , Bank Syari'ah, (Jakarta : Gema Insani, 2001).
Az-Zuhaili , Wahbah, Fikih Islam, (Jakarta : Gema Insani, 2011).
Faishal bin Abdul Aziz, Nailul Authar, (Surabaya : PT Bina Ilmu, 2000).
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, (Bandung : PT. Alma’arif, 1987).
[1] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syari'ah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008). Halaman 1.
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung : PT. Alma’arif, 1987). Halaman 150.
[3] Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam, (Jakarta : Gema Insani, 2011). Halaman 107.
[4] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syari'ah,... Halaman 2.
[5] Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam,... Halaman 108.
[6] Faishal bin Abdul Aziz, Nailul Authar, (Surabaya : PT Bina Ilmu, 2000). Halaman
1771.
[7] Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam,... Halaman 111.
[8] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari'ah, (Jakarta : Gema Insani, 2001). Halaman
129.
[9] Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam,... Halaman 112-138.
11
Recommended