View
570
Download
48
Category
Preview:
DESCRIPTION
pertikaian yang membawa bencana untuk hubungan kerabat keluarga
Citation preview
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
1
PANDAWA KURAWA
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
2
PANDAWA KURAWA
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
3
PANDAWA KURAWA
AWAL PERTIKAWAL PERTIKAWAL PERTIKAWAL PERTIKAAAAIAN IAN IAN IAN
Karya Karya Karya Karya
Hermawan Hermawan Hermawan Hermawan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
4
PANDAWA KURAWA
Novel ini aku persembahkan untuk kedua
orang tuaku sebagai tanda baktiku dan
untuk adikku tercinta semoga kalian tetap
sehat dan berada bersama Allah SWT
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
5
PANDAWA KURAWA
DAFTAR ISI
1. AWAL KISAH...................................................................... 8
2. TEKA _ TEKI NARASOMA............................................ . 22
3. SAYEMBARA MANDURA............................................. . 47
4. LAHIRNYA DARAH KURU............................................. . 64
5. AWAL PERTIKAIAN....................................................... .. 97
6. DRONA SANG GURU SEJATI......................................... . 107
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
6
PANDAWA KURAWA
7. MELENYAPKAN PANDAWA BAG 1.............................. . 164
8. MEMBASMI KEJAHATAN............................................... . 194
9. SEKUTU PRINGGONDANI............................................. . 244
PRAKATA
Sebuah sejarah yang panjang yang mengisahkan darah yang bergejolak
dari sebuah negara yang harus di perebutan oleh dua orang yang masih keturunan
sama. Yaitu keturunan Prabu Barata. Terselip suatu peristiwa yang mengilhami
bahwa suatu peperangan dapat membuat negera tersebut menderita dan membawa
bencana tapi apakah suatu kekekuasan harus di peroleh dengan tindakan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
7
PANDAWA KURAWA
kekerasan?. Dan mengapa agar suatu kekuasaan yang bukan miliknya harus
dipertahanan dengan menempuh perang ?.
Sebenarnya apa yang ada di pikiran manusia. Mengapa kekuasan dan
kewibawan yang berarti harus ada kemewahan dan keindahan dalam
pemerintahan ..??. Apa yang sebenarnya itu ?”.
Dari kisah yang saya tulis yang mengkisah dua keturunan yang berseteru.
Yaitu kurawa dan Pandawa. Kisah ini mengilhami kisah perang Baratayauda.
Dalam kisah ini pasti ada dua kubu. Yang satu baik dan jahat. Pandawa yang
merupakan kubu baik dan merupakan trah raja yang sah sebagai penerus kerajaan
Hastina. Tapi apa yang terjadi ..?”. Setelah Pandawa dewasa ia malah mendapat
perlakuan kasar dari para saudara Kurawa. Tapi mereka tetap diam selama masih
dalam Kebenaran. Saat mengumumkan Puntadewa sebagai pewaris tahta kerajaan
Hastina. Kurawa mulai menggunakan rencana licik agar kekuasan jatuh padanya.
Tapi apa yang didapatkan .../?”
Bahwa Kebenaran pasti Menang. Selama Pandawa masih dalam
Kebenaran maka kemenanagan akan datang. Sesuai janji yang tertulis dalam buku
yang pernah ditulis oleh eyang mereka tentang nasib kerajaan yang ditentukan
lewat perang jika hubungan damai tidak berhasil.
Dalam buku ini kisah patriot seorang anak Pandawa yang rela mati demi
kemenangan para junjungan. Walaupun sekarang banyak generasi muda yang
telah hilang semangat patriot tanah air bahkan rela negara dijajah.
Tapi itu semua belum cukup. Bagaimana bahwa kebenaran itu harus
ditegakkan. Sesuai dengan agama yang kita anut.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
8
PANDAWA KURAWA
Buku ini saya tulis hanya untuk sebagai contoh sikap hidup yang selalu
memegang teguh sikap Kebenaran sesuai dengan agama yang dianut. Dan untuk
memberikan gambaran bahwa Kebenaran akan selalu menang walaupun tidak
begitu cepat.
Demikian kata – kata yang dapat saya tulis dan ungkapkan. Bila dalam
penulisan kata atau kalimat tidak berkenan. Saya mohon maaf. Dan saya
menunggu saran dan kritik dari Anda untuk kemajuan buku yang saya tulis ini.
Sekian terima kasih
PENULIS
AWAL KISAH
Inilah aku begawan Palasara, ingin mengungkapkan bahwa akulah, bukan
Sentanu sebagaimana kitab-kitab besar menulisnya, pemilik sah Hastinapura.
Semenjak awal, hikayat memang sarat dengan absurditas. Aku mungkin bukan
siapa-siapa, manusia yang tak ber-apa-apa. Putri, berbaliklah.”Kubalurkan minyak
dari telapak, kuusapkan menyusuri permukaan perutnya, Namun Sakri, ayahku,
dan Sakutrem, kakekku, pernah mencoreng wajah para dewa-setidaknya menurut
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
9
PANDAWA KURAWA
nalar-ketika keduanya, pada masa yang berbeda, berhasil membasmi para
penyerang Suralaya, yang tak mampu dihadapi bahkan oleh dewanya para dewa.
Sakutrem membunuh raja Nuswantara, sedangkan Sakri membinasakan entah raja
siapa, karena tak tercatat dalam hikayat. Logika yang kacau pula, bukan?
Bedanya, kemudian,Sakutrem mendapat anugerah seorang dewi jelita, sedangkan
keinginan Sakri untuk beristrikan bidadari yang serupa ditolak mentah-mentah
para dewa. Padahal, kurasa, keinginan Sakri itu wajar saja.
Disamping mengalahkan penyerbu Suralaya, ia juga masih berdarah
dewa. Bukankah Sakutrem itu putra Resi Manumayasa, cucu Resi Parikenan, dan
cicit Resi Bremani? Bukankah Bremani itu putra Batara Brama? Dan bukankah
Batara Brama itu putra Sang Manikmaya dan Dewi Uma? Bukan berarti aku
sedang mengaku-aku sebagai keturunan dewa. Aku juga tidak bangga karenanya.
Aku hanya mencoba menguraikan bukti bahwa ada bibit-bibit ketidakadilan yang
dilakukan para dewa. Aku sendiri tak punya banyak ambisi. Sejak muda aku
malah lebih suka bertapa di rimba raya. Aku ingin mengikuti laku kakek Resi
Manumayasa, yang mencapai taraf mumpuni dalam olah batin dan kanuragan
sekaligus.
Jangankan hanya sepasang burung pipit, sedangkan terhadap yang
berwujud segala rupa yang menakutkan aku tak beringsut setapak pun dari titik
pusat semadiku. Apalagi hanya selusin bidadari yang gemulai menari, cuma
berbusana kelopak bunga di sekeliling pinggangnya. Juga ketika kedua burung
kecil itu membangun sarang, melalui jalinan tangkai demi tangkai ranting dan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
10
PANDAWA KURAWA
helai demi helai ilalang dan daun kering, lalu bercinta dan membuahkan telur di
atas kepalaku.
Sebuah awal kehidupan, yang ditandai dengan akhir riwayat kehidupan
yang lain. Hanya cicit-cicit makhluk mungil, pilu mengorek telinga, ketika
pasangan induknya justru terbang entah ke mana. Dewata, jangan kau uji aku
dengan penderitaan bibit-bibit kehidupan yang murni. Biarlah aku gagal menjalani
tapa, tapi jangan sampai terputus harapan-harapan baru.
Tak tahan aku mendengar cicit-cicit tak berdaya itu. Gelombang suaranya
yang tak seberapa ternyata mampu meremukkan jantung melebihi auman raja
rimba. Kubatalkan tapaku, kuturunkan sarang di atas kepalaku, dan kukejar induk
yang telah meninggalkan anak-anaknya. Kukejar dari kedalaman rimba, hingga
semakin masuk kedalam. Di tepi Bengawan Gangga. Aku hanya menemukan
kesunyian. Hanya desir angin dan riak air sungai.
“Apa yang kaucari, anak muda?”Aku membalik badan.Dua sosok
bercahaya putih berdiri dengan sikap jumawa.“Aku mencari sepasang burung
pipit.”“Kamilah burung yang kaucari,” kata yang seorang, dengan sepasang
tangan berlipat di dada dan sepasang tangan lain mencengkeram tongkat bertatah
permata. Mataku luruh. Aku berlutut dan menyembah.
“Bagaimana dengan nasib anak-anak burung itu?”
“Tak perlu kau pikirkan. Engkau punya kewajiban yang lebih besar,
mengobati penderitaan Putri Wirata.”“Bagaimana caranya?” “Engkau akan tahu.”
Salah satu tangan kanannya mengasongkan sebuah botol warna jingga.
“Di mana bisa kutemui dia?” “Arah matahari terbenam.”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
11
PANDAWA KURAWA
Aku menoleh. Matahari yang hampir jatuh di seberang sungai membuat
pandanganku silau, dan tak kulihat apa-apa. Ketika kutolehkan lagi kepala, dua
sosok bercahaya itu telah sirna. Kutatap gelombang Gangga. Terlalu besar,
terlampau lebar, dan pasti sangat dalam untukkuarungi. Bahkan daratan di
seberang pun hanya tampak seperti garis samar.
Ada kecipak air beriak. Sebuah perahu pelahan melaju. Ah, mungkin ada
orang yang bersedia menyeberangkanku. Dan benar, justru perahu itulah yang
mendekat. Perahu nelayankah? Bau amisnya begitu menyengat hidungku. “Tuan
hendak menyeberang?” Seseorang bertanya lebih dulu. Suara perempuan. Lembut
dan sedikit serak. Bau amis makin menyesaki hidungku. “Apakah aku berhadapan
dengan Putri Wirata?”
“Bagaimana Tuan tahu?”
“Tuan Putri bersedia menyeberangkanku?” Aku balik bertanya
“Asal Tuan bersedia mengobatiku hingga sembuh.” Aku meloncat ke
perahu. Mendekati putri cantik itu.
Perempuan yang cantik, berlilit kain sederhana hingga sebatas dada.
Rambutnya air terjun yang berkilau oleh segaris sisa matahari. Benarkah bau amis
itu meruab dari sekujur tubuhnya yang sesungguhnya indah tiada tara? “Benar,
Tuan, dan saya sangat menderita karenanya.” Ia seakan sudah tahu apa isi hatiku.
“Aku akan memohon.”
Kulipat kedua kakiku di lantai perahu. Kutangkupkan kedua telapak
tanganku, dan kupejamkan mataku. Hanya bidang hitam. Dan kemudian titik
cahaya putih, gemilang, makin lama makin besar, dan akhirnya mewujud sosok
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
12
PANDAWA KURAWA
bertangan empat itu. Oleskan minyak Jayengkaton yang kuberikan padamu,
bisiknya, jelas menyelusup dalam isi kepala.
“Ampuni Tuan Putri, saya akan mengoleskan minyak ini ke sekujur
tubuhmu.” Oh, jagat, ampuni aku, hanya inilah jalan yang bisa kutempuh.“Tuan
Putri, bukalah pakaianmu. Saya akan menutup mataku.”
Kulepas ikatan bandana di kepala, lalu kupasang menutupi mata, dan
kuikat kencang di bagian belakang. Gelap segera menyungkup. Hanya napas yang
kutahan-tahan, agar bau amis tak menyelusup hingga dada. Kuusapkan
Jayengkaton ke sekujur tubuhnya. Oh, tubuh yang begitu mulus. Seandainya tak
meruabkan bau amis yang menyengat. Dewa pengatur jagat, beri aku kekuatan.
Kubalurkan cairan minyak dari telapak, kuusapkan dari bawah tengkuk
pelan-pelan menyusuri kulitmu yang, duhai, kenyal dan lembut seperti karet,
menuruni lekukan di tengah punggungnya yang melandai bagai alur sungai lurus
ke dataran rendah, dan berakhir di lembah, di antara tonjolan bokongnya yang
membukit. Kurasakan, bukit itu menggerinjal seperti entakan sebuah gempa.
“Ampun Tuan yang lembut, hmm — seperti boneka, melesak sedikit
melalui lekuk pusarnya dan yang sedikit menonjol di tengahnya, mendaki hingga
celah dua bulatan payudaranya yang melembung dan kurasakan seperti kubah
kembar, dan berakhir menjelang pundak kirinya.
Oh, disertai lenguhan di bibir, tubuhnya bergetar. Tubuhku menggetar.
Tak ada lagi bau amis. Yang ada adalah keharuman yang memabukkan.
“Lepaskan bandanamu,” bisiknya. Napasnya mengusappipiku.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
13
PANDAWA KURAWA
Mentari telah hilang. Langit menyungkup dengan bidangnya yang remang.
Ombak Gangga hanya riak. Namun ombak di dada bergemuruh menggelegak.
Dan berahi pun tak terkendali.
Duhai dewata, jangan salahkan hamba, berahi adalah karunia purba yang
turun-temurun diwariskan para dewa, semenjak Sang Manikmaya dan Dewi Uma
bahkan bercinta di angkasa di atas punggung Sang Andini.) Tentu tak bisa
kunihilkan peran dewata, yang membantuku menolong Putri Wirata, dan lantas
memboyongnya menjadi belahan jiwa, dan kemudian membangun sebuah negara
yang kelak akan menjadi adidaya.
“Kunamakan negeri ini Hastina, dan engkau menjadi permaisuri yang akan
memancarkan keharuman ke negeri-negeri manca,” kataku. “Aku sangat bahagia,”
katanya. Wajahnya memancarkan cahaya, apalagi setelah rahimnya menjadi
pelindung setia sang putra, Abiyasa. Namun (begitulah selalu bagian dari cerita:
namun –) di jagat fana ini kebahagiaan tak pernah abadi.
Ketika itu Prabu Santanu mendengar desas-desus bahwa di sekitar sungai
Yamuna tersebar bau yang sangat harum semerbak. Suatu hari, seperti angin yang
membadai tiba-tiba, datang ksatria gagah tampan menggendong bayi dalam
pelukan. Wajahnya muram, tapi matanya seakan menggeram.
“Tolong susui bayiku Dewabrata, dengan susu Sang Ratu,” katanya. Aku
tak mampu berkata-kata mendengar permintaannya yang tak biasa. “Aku tak bisa
mengizinkan kecuali dengan izinnya, ”jawabku. “Aku hanya ingin agar anakku,
yang tak lagi beribu, dapat mencicip zat-zat kehidupan yang paling bermutu.”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
14
PANDAWA KURAWA
Kupanggil istriku. Matanya tersenyum.Kuanggukkan kepala. Namun mata
ksatria itu benar-benar menggeram ketika mulut mungil Dewabrata dengan rakus
mengisap puting Putri Wirata, permaisuriku. “Aku Sentanu dari Talkanda.
Permaisuri terlalu rupawan bagimu. Bagaimana kalau aku meminta agar ia
menjadi istriku?”Aku membelalak.
“Oh, ksatria yang baru kukenal, benarkah kata-kata yang kudengar?”“Bila
perlu, kita tentukan di palagan. ”Tak tahan lagi mendengar penghinaan yang
paling menghinakan, kuterjang tubuhnya yang tak berkuda-kuda.Ia menggelepak
dalam sekali gebrak.
Dengan cepat ia melenting dan menjulurkan tinjunya. Namun aku sudah
menduga gerakannya. Kumentahkan pukulannya dengan tangan yang terbuka.
Tubuhnya kembali terjengkang. Dan aku akan melayangkan hantaman pemungkas
tatkala melayang cahaya terang dari langit siang. “Cucuku, tahan
pukulanmu!”Sesosok tubuh tambun yang bercahaya berdiri di antarakami.
Mmh, kebayan para dewa rupanya.“Sudahlah, berikan negara dan
istrimu,” katanya.
“Mengapa?”“Kau akan tahu kelak sebabnya.”“Tapi mengapa?”
“Sudahlah, aku dewa, dan aku lebih tahu segalanya.
”Namun hingga sekarang aku tak pernah tahu mengapa negeri dan istriku
tercinta harus menjadi milik orang lain. Aku juga terus-menerus sangsi benarkah
dewa lebih tahu segalanya. Akhirnya Palasara menuruti bisikan dewa. Ia
menyerahkan istri dan negeranya. Ia hidup sebagai pandita di pertapan Rahtawu.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
15
PANDAWA KURAWA
Barata
Prabu Santanu jatuh cinta dan hendak melamar gadis tersebut. Ketika Sang
Raja melamar gadis tersebut, Gandawati mengajukan syarat bahwa jika ia harus
menjadi permaisuri Prabu Santanu, ia harus diperlakukan sesuai dengan Dharma
dan keturunan Gandhawati-lah yang harus menjadi penerus tahta. Mendengar
syarat tersebut, Sang Raja pulang dengan kecewa dan menahan sakit hati. Ia
menjadi jatuh sakit karena terus memikirkan gadis pujaannya yang tak kunjung ia
dapatkan. Sementara Abiyasa mengikuti ayahnya yang bertapa di Rahtawu.
Sampai akhir hayat di Rahtawu.
Melihat ayahnya jatuh sakit, Dewabrata menyelidikinya. Ia bertanya
kepada kusir yang mengantarkan ayahnya jalan-jalan. Dari sana ia memperoleh
informasi bahwa ayahnya jatuh cinta kepada seorang gadis. Akhirnya, ia
berangkat ke sungai Yamuna. Ia mewakili ayahnya untuk melamar puteri
Dasabala, Gandhawati, yang sangat diinginkan ayahnya. Ia menuruti segala
persyaratan yang diajukan Dasabala.
Ia juga bersumpah tidak akan menikah seumur hidup dan tidak akan
meneruskan tahta keturunan Raja Kuru agar kelak tidak terjadi perebutan
kekuasan antara keturunannya dengan keturunan Gandhawati. Sumpahnya
disaksikan oleh para Dewa dan semenjak saat itu, namanya berubah menjadi
Bisma. Akhirnya Prabu Santanu dan Dewi Gandhawati menikah lalu memiliki
dua orang putra bernama Citrānggada dan Wicitrawirya. Prabu Santanu wafat dan
Bisma menunjuk Citrānggada sebagai penerus tahta Hastinapura. Belum lama
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
16
PANDAWA KURAWA
berkuasa Citranggada meninggal dan belum mempunyai permasuri. Maka untuk
selanjutnya di serahkan kepada Wicitrawirya.
Maka naik tahta sang Wicitrawirya. Kelak Wicitrawirya akan menurunkan
keluarga besar Pandawa dan Kurawa. Maka agar tak seperti kakaknya yang tak
memiliki keturunan sebelum turun tahta. Sang Ibu Setyawati segera mencarikan
permasuri. Bahwa terdengar kabar di kerajaan Kasi ada sebuah sayembara tanding
untuk merebutkan seorang putri cantik dari Kerajaan Kasi. Ia menyuruhnya
Anaknya Dewabrata untuk mengikuti sayembara tersebut. Karena demi janji yang
telah diucapakn sang Dewabrata menuruti perintah sang Ibu.
Bisma segera berangkat ke Kerajaan Kasi. Dan mohon doa restu dari sang
ibu agar berhasil. Bisma segera datang ke tempat sayembara. Ia mengalahkan
semua peserta yang ada di sana, termasuk Raja Salwa yang konon amat tangguh.
Bisma memboyong Amba tepat pada saat Amba memilih Salwa sebagai
suaminya, namun hal itu tidak diketahui oleh Bisma dan Amba terlalu takut untuk
mengatakannya.
Bersama dengan tiga adiknya yang lain, yaitu Ambika dan Ambalika,
Amba diboyong ke Hastinapura oleh Bisma untuk dinikahkan kepada
Wicitrawirya. Kedua adik Amba menikah dengan Wicitrawirya, namun hati
Amba tertambat kepada Salwa. Setelah Amba menjelaskan bahwa ia telah
memilih Salwa sebagai suaminya, Wicitrawirya merasa bahwa tidak baik untuk
menikahi wanita yang sudah terlanjur mencintai orang lain. Akhirnya ia
mengizinkan Amba pergi menghadap Salwa.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
17
PANDAWA KURAWA
Ketika Amba tiba di istana Salwa, ia ditolak sebab Salwa enggan menikahi
wanita yang telah direbut darinya. Karena Salwa telah dikalahkan oleh Bisma,
maka Salwa merasa bahwa yang pantas menikahi Amba adalah Bisma. Maka
Amba kembali ke Hastinapura untuk menikah dengan Bisma. Namun Bisma yang
bersumpah untuk tidak kawin seumur hidup menolak untuk menikah dengan
Amba. Akhirnya hidup Amba terkatung-katung di hutan. Ia tidak diterima oleh
Salwa, tidak pula oleh Bisma.
Karena Amba terus mendesak dan memaksanya, akhirnya tanpa sengaja
ia tewas oleh panah Dewabrata yang semula hanya bermaksud untuk menakut-
nakutinya. Sebelum meninggal Amba mengeluarkan kutukan, akan menuntut
balas kematiannya dengan perantara seorang prajurit wanita, yaitu Srikandi.
Kutukan Dewi Amba terhadap Dewabrata menjadi kenyataan. Dalam perang
Bharatayuddha, arwahnya menjelma dalam tubuh Srikandi dan berhasil
menewaskan Bisma (Dewabrata).
Dalam kurun waktu yang tak terlalu lama Citrawirya tak kunjung
memberikan cucu malah kematian datang menjemput. Ia mati dalam keadaan
belum punya keturunan.
Setelah kematian Citranggada dan Citrawirya anak-anak Dewi Setyawati
dengan Prabu Sentanu.” Dewi Gandawati merasakan kebimbangan terus siapa
yang akan melanjutkan pemerintahan Hastina...?”. Ia mulai teringat akan anak
yang pertama di Rahtawu. Maka ia mengirim utusan untuk memberitahukan
maksudnya. Surat sudah di tangan Abiyasa. Dewi Gandawati meminta Begawan
Abiyasa untuk memberikan keturunan. Atas permintaan ibunya, Begawan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
18
PANDAWA KURAWA
Abiyasa menikah dengan janda adik tirinya. Maka lahirlah kestatria yang buta dari
Dewi Ambika karena saat bertemu Abiyasa ia menutup mata yang diberinama
Destarata. Dan Pandu yang tengleng dan bule dari Dewi Ambalika karena pada
saat bertemu ia memaling muka. Karena anaknya cacat, Dewi Satyawati
memintanya untuk berketurunan lagi sehingga lahir Yamawidura dari dayang
bernama Datri. Namun, Yamawidura pun cacat, yaitu kakinya timpang. Karena
ketika Datri bertemu Abiyasa ia lari sambil terpincang – pincang.
Karena pemerintahan Hastina yang komplang tanpa ada pemimipin.
Abiyasa disuruh sang Ibu untuk naik tahta menggantikan adiknya. Abiyasa
menurut. Dan bergelar Prabu Kresnadwipayana. Naik tahta sang Abiyasa menjadi
raja Hastina. Ketentraman dan kedamaian bagi kerajaan Hastina.
Barata
Melihat anaknya sudah mencapai dewasa. Di Negara Astina, Prabu
Kresnadwipayana sedang memikirkan suksesi kerajaan untuk menggantikan
dirinya. Ia merasa sudah tua dan saatnya untuk diganti yang lebih muda. Hal itu
untuk melancarkan jalannya tata pemerintahan dan menghindari adanya konflik
baik dari dalam maupun dari luar.
Tetapi Prabu Kresna Dwipayana merasa gundah karena sesuai adat hukum
kerajaan bahwa yang berhak menggantikannya adalah putra tertua yakni Raden
Drestarasta tetapi ia mempunyai kekurangan yakni cacat netra. Hal ini akan
menimbulkan ketidaklancaran jalannya pemerintahan, sehingga bisa
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
19
PANDAWA KURAWA
menimbulkan ringkihnya kerajaan. Tapi bila ia memilih anaknya yang kedua,
inipun akan dianggap menyalahi adat hukum kerajaan, yang nantinya akan
menimbulkan ketidakpuasaan disisi lain.
Apalagi memilih anaknya yang ketiga, jelas tidak mungkin. Untuk itu ia
tidak ingin memaksakan kehendak, justru ia menyerahkan kepada ketiga anaknya
untuk berfikir siapa yang lebih mampu dan berhak untuk menggantikan dirinya R.
Drestarasta mengusulkan R. Pandu untuk menggantikan raja Astina. Ia merasa,
walau sebagai putra tertua, namun ia menyadari akan kekurangannya. Sebagai
seorang raja harus sempurna lahir dan batin hal ini untuk menjaga kewibawaan
raja dan lancarnya pemerintahan. Namun R. Pandu tidak bersedia, ia berpedoman
sesuai adat hukum kerajaan bahwa yang berhak menduduki raja adalah putra
tertua, bila dipaksakan dikawatirkan dikemudian hari akan menimbulkan masalah.
R. Yamawidura juga menolak karena merasa paling muda dan belum cukup umur
untuk memikul tanggung jawab sebagai raja.
Prabu Kresnadwipayana pertama merasa senang ternyata anak-anaknya
dapat berfikir dengan hati nuraninya, menyadari akan kekurangan yang ada dalam
dirinya dan bisa mendudukkan posisinya masing-masing, sehingga tidak saling
berebut kekuasaan yang bisa menimbulkan perpecahan dan persaudaraan. Tapi
Prabu Kresnadwipayana juga semakin gundah, bila suksesi tidak segera dilakukan
akan menimbulkan ringkihnya kerajaan dan kurang lancarnya tata pemerintahan,
hal ini akan menimbulkan ancaman baik dari luar maupun dari dalam kerajaan.
Disaat suasana semakin sedih dan gundah, tiba-tiba dikejutkan datangnya
laporan bahwa Astina kedatangan musuh dari negara Lengkapura yang dipimpin
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
20
PANDAWA KURAWA
Prabu Wisamuka. Prabu Krenadwipayana semakin gundah tapi satu sisi ia merasa
dapat jalan, dalam dirinya berfikir. Kini, inilah jalan untuk menguji ketiga
putranya, siapa diantara ketiga putranya yang berhasil mengusir musuh sehingga
disitu dapat dijadikan alasan untuk menetapkan jadi raja, sehingga rakyat nanti
betul-betul menilai pemimpinnya sudah teruji dam mampu menyelamatkan
rakyat, bangsa dan negaranya. Akhirnya ketiga putranya berangkat ke medan
perang menghadapi Prabu Wisamuka
Di medan pertempuran ketiga putra Astina berhadapan dengan Prabu
Wisamuka. Namun karena kesaktian Prabu Wisamuka, ketiga putra Astina dapat
dikalahkan, sehingga mengundurkan diri dan kembali ke Istana, tetapi R. Pandu,
tidak kembali ke istana tapi masuk ke hutan mencari sarana untuk dapat
mengalahkan musuh.
Dalam perjalanan di hutan, R. Pandu betemu dengan Batara bayu dan
Kamajaya yang sebelumnya menyamar menjadi raksasa dan menyerang Pandu
setelah dikalahkan kembali ke ujudnya. Oleh Bayu Pandu mendapat Aji
Bargawastra dan di aku anak oleh Bayu dan diberi nama Gandawrakta dan oleh
Kamajaya diberi keris Kyai Sipat Kelor. Setelah mendapatkan kesaktian R. Pandu
kembali ke istana.
Di Negara Amarta, Prabu Kresnadwipayana merasa sedih karena
kepergian R. Pandu yang tidak berpamitan sebelumnya, apalagi negara dalam
keadaan bahaya. Tiba-tiba R. Pandu datang dan menceritakan maksud
kepergiannya. Selanjutnya R. Pandu bermaksud ingin mengusir musuh dari
Negara Astina. Maka dengan dibantu sahabat-sahabat kerajaan Astina, antara lain
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
21
PANDAWA KURAWA
Prabu Kuntiboja dari Mandura, Prabu Mandradipa dari Kerajaan Mandraka,
Pandu berangkat ke medan pertempuran.
Dengan kesaktian R. Pandu, Prabu Wisamuka dapat dibunuh dan bala
tentaranya melarikan diri. Negara Astina kembali dalam keadaan aman, Pandu
kembali ke Istana. Dengan keberhasilan R. Pandu mengusir musuh dan
menyelamatkan negara ini, mendorong hati saudara tua maupun mudanya yakni
R. Drestarasta dan R. Yamawidura untuk mendukung sepenuhnya R. Pandu untuk
menggantikan Raja Astina. Prabu Kresna Dwipayana juga sependapat dengan
anak-anaknya bahwa Pandu dianggap yang paling mampu memimpin negara
Astina. Resi Bisma yang hadir di negara Astina saat itu juga mendukung
pengangkatan R. Pandu untuk menjadi raja Astina. Maka dengan dukungan penuh
baik dari kakek, ayah, saudara dan rakyat Astina, Pandu dinobatkan menjadi raja
Astina menggantikan Prabu Kresna Dwipayana dengan gelar Prabu Pandu
Dewanata.
TEKA – TEKI NARASOMA
Sebelumnya ada sebuah kisah lain disisi kerajaan Mandraka . Kisah ini
berawal dari seorang resi muda yang telah berhasil membantu para dewa dalam
menumpas kerusuhan bangsa Jin Banujan di kahyangan Suralaya. Tersebutlah
Bambang Anggana Putra dari pertapaan Argabelah, putra kedua Resi Jaladara dari
pertapaan Dewasana dengan dewi Anggini, keturunan Prabu Citragada, raja
negara Magadha. Atas jasa-jasanya itulah Anggana Putra mendapat anugerah dari
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
22
PANDAWA KURAWA
Batara Guru, yaitu diperkenankan menikahi salah seorang bidadari kahyangan
Maniloka
Di istana Jonggring Salaka, kahyangan Suralaya Maniloka, para dewa
sesangga jawata duduk di paseban agung menunggu sabda Raja Triloka.
Sementara di dampar kencana Mercupunda, Sanghyang Tengguru atau juga yang
dikenal dengan nama Sanghyang Manikmaya, Jagatnata, Batara Guru, bersabda.
"Anggana Putra, sesuai janjiku padamu, atas jasa-jasamu dalam menumpas
kerusuhan di kahyangan Suralaya, maka aku akan menganugerahkanmu seorang
bidadari untuk kau persunting. Pilihlah olehmu salah seorang diantara para
bidadari Maniloka ini".
Mendapatkan anugerah dan penghormatan dari raja Tribuana, Bambang
Anggana Putra sangat suka cita hatinya, ia merasa tersanjung atas penghormatan
yang telah diberikan kadewatan kepadanya, penghormatan dimana ia
diperkenankan bebas memilih sendiri bidadari yang akan dijadikan istrinya.
Bambang Anggana Putra adalah seorang yang berbudi luhur, jujur, dan polos
wataknya, ia salah seorang yang memiliki darah putih, hanya saja dibalik
kepribadian-kepribadiannya yang baik, sebagai manusia tetap ada satu kelemahan
yang dimilikinya, yaitu sifat jenakanya yang terkadang tidak dapat menempatkan
diri, ia sangat suka bersenda gurau yang pada akhirnya menyeret dia pada satu
masalah yang merenggut hari-hari depannya.
"Ampun pukulun... Sungguh hamba sangat bahagia mendapat anugerah
pukulun, seperti yang pukulun tawarkan kepada hamba memilih salah seorang
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
23
PANDAWA KURAWA
bidadari Maniloka untuk dipersunting, namun melihat para bidadari penghuni
Maniloka ini yang semuanya berparas jelita membuat hamba tidak mampu
menentukan pilihan, akan tetapi walaupun begitu, sesungguhnya hamba pernah
mengagumi salah seorang diantara mereka".
"Siapakah gerangan Anggana Putra? Aku telah memberimu kesempatan
untukmu”.
"Jika pukulun tidak keberatan, pilihan hamba jatuh pada dewi Uma,
bidadari yang selama ini hamba kagumi".
Seperti ada halilintar menghantam dampar kencana Mercupunda, tubuh
Batara Guru bergetar, mukanya merah padam, hatinya menjadi panas sepanas
kawah Candradimuka. Semua para dewa terkesiap mendengar ucapan Bambang
Anggana Putra.
"Samudra madu kupersembahkan untukmu, namun sebaliknya kau
memberi cawan yang berisi racun kepadaku. Lancang ucapmu, Anggana Putra".
Batara Guru tidak dapat menahan amarahnya, ia sangat tersinggung dengan
ucapan Anggana Putra yang telah dianggap menodai kewibawaannya sebagai Raja
Tribuana. Betapa tidak, dewi Uma adalah kameswari Suralaya, ia adalah kekasih
hati dan permaisuri Sanghyang Guru sendiri.
Melihat gelagat yang kurang mengenakan, Anggana Putra segera menjura
hormat.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
24
PANDAWA KURAWA
“Ampun pukulun… Maafkan ucapan hamba tadi, sebenarnya hamba tidak
bermaksud menghina kewibawaan paduka, hamba hanya bermaksud bersenda
gurau karena pukulun menyuruh hamba memilih salah seorang bidadari penghuni
Maniloka tanpa pengecualian, maka hamba mengguraui pukulun, sebab dewi
Uma sendiri adalah bidadari penghuni Maniloka. Mohon pukulun memafkan sifat
jenaka hamba”.
Mungkin mudah memadamkan api yang sedang membakar, tetapi sangat
sulit meredakan api kemarahan dalam hati. Kemarahan tidak pernah timbul tanpa
alasan, walau alasan itu tidak selamanya benar. Dan alasan apapun yang dikatakan
Anggana Putra tidak mampu meredam kemarahan Sanghyang Guru.
"Sifatmu sangat tidak terpuji, kau tidak memiliki tatakrama. Hai putra
Jaladara! Kau telah menodai kewibawaanku, sungguh tidak pantas seorang resi
sepertimu memiliki sifat demikian, kau tidak ubahnya seperti Duruwiksa (raksasa
yang bertabiat biadab)”.
Sekecap sabda Raja Triloka, sabda yang dilambari sir aji kemayan
seketika merubah wujud Bambang Anggana Putra. Sirna kerupawanannya
berubah bentuk menjadi raksasa. Para dewa sesangga jawata geger melihat
perubahan wujud Bambang Anggana Putra.
"Ampun pukulun... Mohon pukulun mempertimbangkan kesalahan hamba
dengan hukuman yang pukulun jatuhkan kepada hamba. Mohon kembalikan
wujud hamba". Anggana Putra merasa sedih melihat perubahan dirinya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
25
PANDAWA KURAWA
"Ludah telah dibuang pantang kujilat kembali. Sabdaku adalah hukum.
Pulanglah kau ke pertapaanmu. Sesuai janjiku, aku akan memberikan seorang
bidadari untukmu, tetapi aku akan menunjuk dewi Darmastuti sebagai istrimu, ia
akan menemani hari-harimu di Argabelah, namun kelak jika dewi Darmastuti
melahirkan seorang anak, maka ia akan kembali pulang ke kahyangan”.
Batara Narada tertegun mendengar sabda Raja Tribuana, ia sangat prihatin
dengan keadaan Bambang Anggana Putra. "Oladalaa... Adi Guru, tidak cukupkah
hukuman yang kau berikan? Setelah wujudnya kau rubah menjadi raksasa,
kebahagiaannya pun kau renggut. Pertimbangkan kebijaksanaanmu. Jagalah hati
dan pikiranmu dari nafsu amarahmu agar sabdamu tidak selalu bertindak lebih
cepat dari pikiranmu”.
Batara Guru menganggap semuanya sudah terlanjur, tidak dapat dirubah
lagi. Anggana Putra sangat sedih, ia tidak menyangka akan mendapat hukuman
sedemikian rupa. Setelah melakukan penghormatan yang terakhir kalinya,
Anggana Putra lalu pergi meninggalkan kadewatan Suralaya menuju Argabelah.
Sepeninggalnya Bambang Anggana Putra, ternyata Batara Guru masih
menyimpan dendam. Diam-diam ia masuk ke dalam perut bumi, menembus Sapta
Pertala (lapisan bumi ketujuh). Disana ia mengambil selongsong kulit Raja Naga
Hyang Antaboga yang mengalami pergantian kulit setiap 1000 tahun sekali.
Dengan kesaktiannya selongsongan kulit Raja Naga itu dicipta menjadi Taksaka
(naga) yang sangat sakti mandraguna. Saktinya Taksaka karena Batara Guru telah
memasukan sukma Candrabhirawa yang telah ditangkapnya saat melayang-layang
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
26
PANDAWA KURAWA
mencari penitisan. Taksaka lalu dititahnya untuk menghadang perjalanan
Bambang Anggana Putra dengan maksud membinasakannya. Taksaka segera
melesat secepat kilat tatit menyusuri lapisan-lapisan bumi, mengejar Bambang
Anggana Putra.
Tidak berapa lama ketika Anggana Putra masih melayang di udara hendak
dalam perjalanan pulang, Taksaka yang memiliki kecepatan luar biasa telah
sampai mengejarnya, ia melesat cepat keluar dari dasar bumi dan segera
menyergap tubuh Bambang Anggana Putra. Tubuh Anggana Putra diterkam dan
dibanting dari atas udara. Anggana Putra luruh jatuh menghantam bumi,
menghancurkan bebatuan cadas gunung. Tidak sampai disitu, Takasaka kembali
memburu Anggana Putra yang saat itu segera bangkit. Secepat tatit Taksaka
kembali menyerangnya dengan menyemburkan wisa upas/racun dan api yang
keluar dari mulutnya. Api berkobar diseantero pertarungan mereka, wisa racun
melepuh meleburkan batu-batu dan tanah yang terkena semburannya. Akan tetapi,
racun-racun itu tidak mampu mematikan tubuh Anggana Putra, api pun tidak
mampu membakarnya. Bambang Anggana Putra digjaya, tubuhnya tidak cidera
sama sekali.
Perang tanding Anggana Putra melawan Taksaka berlangsung hebat.
Beberapa kali Taksaka melilit tubuh Anggana Putra dan hendak menghancur
luluhkan tulang-tulangnya, tapi tubuh raksasa itu seperti memiliki kekuatan yang
melebihi pasukan gajah Erawati. Hingga pada akhirnya, sang Taksaka tidak
mampu menandingi kesaktian Anggana Putra. Taksaka ditangkap, mulutnya
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
27
PANDAWA KURAWA
dirobek hingga kepalanya terbelah menjadi dua. Lenyap wujud Taksaka tanpa
bekas, berubah menjadi sosok raksasa.
Raksasa jelmaan Taksaka itu merangsak maju menyerang Anggana Putra.
Dua raksasa mengadu kesaktian, mengadu kedigjayaan, saling pukul, saling
dorong, dan saling banting. Untuk beberapa saat pertempuran diantara keduanya
seperti seimbang, sama-sama tangkas dan cekatan, namun namun pada satu
kesempatan putra Resi Jaladara itu berhasil melukai dan membunuh musuhnya.
Ajaib! Setiap tetes darah yang keluar dari tubuh raksasa jelmaan Taksaka, dari
setiap darahnya yang membasahi rerumputan, bebatuan, dan benda apapun akan
berubah wujud menjadi raksasa yang besar dan bentuknya sangat sama satu antara
lainnya. Belum habis rasa heran Anggana Putra, raksasa-raksasa itu
menyerangnya. Anggana Putra dikepung, dikeroyok, dan diserang dari segala
penjuru. Anggana Putra berusaha melawan, akan tetapi setiap ia mampu melukai
dan membunuh raksasa-raksasa itu, maka tetesan darah mereka berubah menjadi
raksasa. Semakin banyak raksasa itu terlukai, maka tetesan darahnya menjadi
raksasa yang jumlahnya kian bertambah banyak dari sebelumnya, mati satu
tumbuh seribu. Karena merasa terdesak, Anggana Putra segera melompat jauh
menghindari kepungan bala raksasa. Dari tempat yang jauh Anggan Putra segera
melakukan meditasi, mengheningkan cipta, merapatkan kedua tangannya
menguncupkan seluruh panca indranya, sidakep sinuku tunggal.
Melalui wisik ghaib yang diterimanya, Anggana Putra diharuskan tidak
melawan, meredam segala nafsunya, menyatukan cipta dan rasa, menunjukan jati
dirinya sebagai seorang yang mengalir dalam tubuhnya darah putih. Semilir angin
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
28
PANDAWA KURAWA
berhembus halus keluar dari setiap lubang tubuhnya, memancar cahaya putih dari
tubuhnya, tubuh Anggana Putra murub ngebyar memancarkan cahaya. Saat
raksasa-raksasa mengejar, dan mulai berdatangan mendekat, seketika raksasa-
raksasa itu sirna melebur menjadi satu, sirna wujud berubah menjadi cahaya.
"Bopo resi, ampun bopo resi… Aku, Candrabhirawa tidak sanggup
melawanmu karena engkau adalah seorang yang dialiri darah putih, untuk itu
perkenankan aku mengabdi kepadamu bopo resi... Jika kau membutuhkan aku
panggilah aku, Candrabhirawa." Sekelebat cahaya Candrabhirawa merasuk
menyusup ke gua garba, meraga sukma menjadi satu dengan Bambang Anggana
Putra. Demikian Candrabhirawa akan mengabdi kepada manusia berdarah putih,
seperti sebelumnya di jaman Arjuna Sasrabahu, ia mengabdi kepada Sukasrana,
dan kini ia kembali mengabdi kepada seorang berdarah putih, Anggana Putra
titisan Sukasrana.
Hari-hari selanjutnya, sesuai janji Sanghyang Otipati, dewi Darmastuti
turun dari kahyangan. Sang dewi kemudian diperistri oleh Bambang Anggana
Putra, mereka hidup rukun saling mengasihi dan menyayangi. Walau bentuk dan
rupa Bambang Anggana Putra kini adalah sosok seorang raksasa, tetapi dewi
Darmastuti sangat menyintainya, sangat patuh dan berbakti kepada suaminya.
Mahligai cinta diantara mereka kian tumbuh merekah seperti mekarnya bunga
hingga benih-benih cinta itu kemudian berbuah melahirkan seorang anak.
Anggana Putra dan dewi Darmastuti merasa bahagia karena cinta mereka
telah melahirkan seorang putri jelita yang kecantikannya telah mewarisi
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
29
PANDAWA KURAWA
kecantikan ibunya. Namun kebahagiaan mereka berangsur surut ketika teringat
sabda Batara Guru, bahwa kelak sang dewi akan kembali pulang ke kahyangan
setelah ia melahirkan seorang anak. Anggana Putra sangat sedih karena ia akan
kehilangan istri yang sangat dicintai, begitu pun dengan dewi Darmastuti yang
harus meninggalkan bayi kecilnya. Kebahagiaan mereka seperti direnggut paksa,
direnggut oleh sebuah dendam, dendam yang tak kunjung padam.
Hari-hari dilalui Anggana Putra bersama putri kecilnya, Pujawati. Ia
membesarkan Pujawati dengan cinta dan kasih. Keteguhan hatinya membuat para
dewa dewi penghuni kahyangan merasa terharu, kecuali Sanghyang Guru yang
masih menaruh dendam kepadanya. Oleh sebab itu Batara Narada menamakannya
Bagaspati yang berarti matahari. Matahari yang bersinar terhadap bumi. Begitulah
Bagaspati kepada putrinya, ia menyinari, menumbuh kembangkan semangat,
memberikan penghidupan serta melindungi dengan penuh kasih sayang.
Barata
Sebuah kerajaan Mandaraka, negeri nan gemah ripah loh jinawi, subur
makmur tata tentrem kerta raharja. Negeri Mandaraka dipimpin oleh seorang raja
yang bernama Prabu Mandrapati dengan permaisurinya dewi Tejawati. Prabu
Mandrapati memiliki dua orang anak yang pertama seorang putra bernama
Bambang Narasoma, dan yang kedua adalah seorang putri bernama dewi Madrim.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
30
PANDAWA KURAWA
Alkisah Prabu Mandrapati mengundang putranya, Bambang Narasoma
untuk membicarakan masalah pernikahan putranya. Sudah sangat lama sang prabu
memendam rasa mengidam-idamkan seorang cucu dari putra mahkotanya, namun
hingga sampai saat itu Narasoma masih juga belum berkeinginan untuk membina
rumah tangga. Walau sang prabu sudah sering membujuknya, bahkan
menawarkan perjodohan dengan putri-putri anak raja dan bangsawan yang
menjadi sahabatnya, tetapi Narasoma selalu menolak secara halus.
"Ayahanda prabu, bukannya ananda menolak maksud baik ayahanda,
bukan pula ananda tidak berkeinginan untuk menikah, tetapi sampai saat ini
ananda masih belum menemukan seorang wanita yang sangat ananda idam-
idamkan, yaitu seorang wanita yang mirip seperti ibunda ratu”.
Ungkapan Narasoma membuat Prabu Mandrapati tersentak kaget, ia
menganggap putranya telah durhaka karena menyukai ibunya sendiri, padahal
sebenarnya maksud Narasoma adalah kemiripan kepribadiannya, sifat-sifatnya,
lemah lembut, kasih sayang terhadap anak dan setia kepada suami, hanya saja
tatkala ungkapan hati Narasoma belum tuntas diutarakan Prabu Mandrapati sudah
menuduhnya yang bukan-bukan dengan disertai amarah terlebih dahulu. Karena
murkanya, Prabu Mandrapati mengusir Narasoma dari istana. Ia tidak
memperkenankan putranya pulang sebelum mendapatkan seorang wanita untuk
dijadikan permaisuri.
Sebenarnya Narasoma adalah anak yang baik, berbakti kepada orangtua.
Dalam kesehariannya, ia sangat dekat dengan ibu dan adiknya, bercengkeraman
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
31
PANDAWA KURAWA
dengan mereka, dan lebih banyak mencurahkan perasaan hatinya kepada mereka,
maka dari itu Narasoma sangat menyayangi ibu dan adiknya. Kepada mereka
Narasoma berjanji akan pulang kembali ke Mandaraka setelah nanti mendapatkan
wanita yang menjadi dambaan hatinya. Sebelum pergi meninggalkan istana,
Narasoma sempat menjenguk ibu dan adiknya di wisma Mandaraka, ia
menceritakan semua kesalah pahaman ayahandanya. Dewi Tejawati dan dewi
Madrim sangat prihatin, sebab mereka sangat memahami apa yang dimaksudkan
oleh Narasoma.
Dalam pengembaraannya ada banyak hal yang ditemui di luar istana. Ia
begitu merasa bebas seperti burung yang terbang sesuka hati, tanpa ada aturan-
aturan istana yang dirasakannya sangat membelenggu dan membatasi dirinya
dengan dunia luar. Dari sini ia dapat melatih diri dan mencari pengalaman baru,
mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan dari alam lingkungan sekitar yang
dipijaknya sebagai gudang dari segala ilmu, agar kelak dirinya menjadi lebih
matang sebelum dinobatkan menjadi seorang raja.
Kita tinggalkan sejenak perjalanan pengembaraan Narasoma, beralih
kepada Resi Bagaspati bersama putri tercintanya, dewi Pujawati.
Barata
Sementara waktu berputar digaris edarnya, di pertapaan Argabelah,
Pujawati telah tumbuh menjadi gadis dewasa, wajahnya cantik jelita tidak berbeda
dengan para bidadari hapsari penghuni kahyangan Maniloka. Tidak sia-sia
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
32
PANDAWA KURAWA
Bagaspati mencurahkan seluruh kasih sayangnya terhadap Pujawati, sebab ia
tumbuh menjadi anak yang baik, berbakti dan sangat patuh kepada ayahnya. Suatu
hari Pujawati bermimpi dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan seorang
kesatria tampan yang mampu merebut simpatiknya.
Mimpi itu kerap terjadi berulang-ulang membuat Pujawati jatuh rindu.
Ada harapan tumbuh di dalam hati, dara jelita penghuni hutan Argabelah ini
mendamba cinta, hingga hari-harinya larut dalam lamunan. Melihat putri tercinta
sering melamun seorang diri, Bagaspati menjadi sangat prihatin. Apakah Pujawati
merindukan ibunya? Sungguh malang nasib si buah hati jika benar-benar sangat
merindukan pertemuan dengan ibunya, dari kecil ia tidak pernah melihat paras
ayu ibunya, ia hanya mendengar dongeng dan dongeng kisah ibunya sebelum
tertidur, sambil mendekap erat golek-golek kayu akar pohon, memejamkan kedua
mata indahnya, dan lalu menggapai mimpi-mimpi indahnya bersama putri raja
dan pangeran. Begitu yang tersirat dalam pikiran Resi Bagaspati.
"Putriku Pujawati, ada apakah gerangan yang mengganggu hati dan
pikiranmu sehingga beberapa hari ini bopo sering melihamu melamun?
Katakanlah putriku. Bopo sangat sedih jika melihatmu seperti itu. Apakah kau
merindukan ibumu?"
Pujawati menggeleng pelan. "Ananda tidak sedang merindukan ibu, bopo
resi. Ananda tahu, mungkin ananda tidak akan pernah dapat bertemu dengannya,
seperti yang pernah bopo ceritakan. Ananda pun telah merelakannya. Bagi
ananda, bopo resi sudah lebih dari cukup mewakili kasih sayangnya."
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
33
PANDAWA KURAWA
"Lalu apa yang menjadi rasa gundahmu, putriku?"
Pujawati yang lugu, akhirnya berterus terang. Ia menceritakan segala
ihwal mimpinya, mimpi bertemu dengan seorang kesatria yang mengaku bernama
Narasoma dari negeri Mandaraka, kini kesatria itu telah mengganggu relung-
relung hatinya. Bagaspati terharu tapi juga bahagia mendengar ungkapan sang
putri, tidak disangka walau ia hanya seorang gadis gunung, hidupnya di tengah
hutan belantara, namun di hatinya telah tumbuh cinta, lumrahnya seorang manusia
normal. Walau Pujawati merindukan pangeran yang hadir lewat bunga-bunga
tidurnya, Bagaspati yakin itu adalah takdir perjodohan yang telah digariskan.
Bagaspati berjanji kepada putrinya untuk mencari kesatria itu, di ujung dunia pun
akan ia cari dan akan dibawanya pulang untuk dipersembahkan kepada sang putri.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Setelah sekian beberapa hari Bagaspati
melayang-layang di udara mencari sosok kesatria yang digambarkan oleh
putrinya, kini pencarian itu membuahkan hasil. Bagaspati bertemu dengan
Narasoma dalam sebuah perjalanan pengembaraannya. Bagaspati menceritakan
ihwal mimpi putrinya kepada Narasoma, dan menyimpulkan bahwa mimpi itu
mungkin saja telah menjadi takdir perjodohan diantara mereka. Sang resi
mengajak Narasoma untuk ikut ke pertapaan Argabelah. Di atas punggung kuda
nya dengan jumawa putra Mandaraka menolak.
“Cuih! Siapa sudi menikah dengan raksasa!”
Bagaspati meyakinkan bahwa putrinya sangat cantik jelita, sebab ia adalah
keturunan seorang bidadari hapsari, ibunya adalah seorang dewi dari kahyangan.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
34
PANDAWA KURAWA
Akan tetapi semua ucapan Bagaspati sedikit pun tidak membuat Narasoma
percaya, siapapun tidak akan percaya seorang raksasa mempunyai anak seorang
putri cantik jelita, begitu pikirnya. Tetapi karena Bagaspati terus menerus
mendesak agar dirinya ikut serta ke Argabelah, dan hal tersebut dianggap sebagai
paksaan, maka Narasoma menjadi marah. Siang itu cuaca sangat cerah. Matahari
memancarkan sinarnya tatkala putra Mandaraka melepaskan panah-panah
saktinya. Panah-panah itu berdesingan menghujani tubuh Bagaspati. Sang resi
tidak bergeming dari tempatnya berdiri, ia membiarkan anak-anak panah itu
mengenai sasarannya dengan tepat.
Trak! Trak!
Tidak satupun panah Narasoma mampu menembus kulit tubuh Bagaspati.
Narasoma semakin marah, menganggap raksasa dihadapannya sedang
memamerkan ilmu kekebalan, maka dengan sigap ia melayang dari atas kudanya,
menerjang Resi Bagaspati. Pertempuran terjadi cukup hebat, Narasoma cukup
mumpuni dalam hal kanuragan, ia seorang kesatria pilih tanding yang cukup
disegani diantara kesatria-kesatria negara sahabatnya. Akan tetapi Bagaspati tidak
melayaninya dengan sungguh-sungguh, karena ia tidak ingin Narasoma yang
menjadi pujaan hati putrinya terluka. Setelah cukup bagi Bagaspati untuk menguji
calon menantunya ini, ia pun segera mengakhiri pertarungan, dengan pukulan
sakti ajian ginengnya, ia melumpuhkan Narasoma. Putra Mandaraka terkulai
lemah tidak berdaya hingga Bagaspati memanggulnya dan membawanya ke
pertapaan Argabelah.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
35
PANDAWA KURAWA
Sesampainya di Argabelah, setelah Narasoma tersadar dari pinsannya
terkesima melihat kecantikan dewi Pujawati, tidak dapat ditolak suara hatinya,
bahwa ia pun jatuh cinta kepada putri Bagaspati. Mereka berdua lalu dinikahkan
oleh Bagaspati. Berhari-hari Narasoma sementara itu tinggal di pertapaan
Argabelah mengarungi lautan madu bersama Pujawati, istrinya yang sangat
dicintai. Entah kenapa, walau hati Narasoma terasa berbunga-bunga mendapatkan
seorang istri yang selama ini menjadi idamannya, tetapi hati kecilnya yang lain
merasa gelisah, ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Kenapa setiap kali
berdekatan dengan ayah mertuanya, ia merasa risih dan tidak betah. Dan jika ayah
mertuanya menanyakan kapan Narasoma akan memboyong pulang Pujawati ke
Mandaraka, Narasoma selalu mengelak, ia selalu beralasan masih ingin
menikmati hidupnya di pegunungan Argabelah. Begitulah, setiap hari Narasoma
pergi berburu menghindari Bagaspati, paling tidak agar dalam sehari-harinya ia
tidak selalu berlama-lama bersanding dengan ayah mertuanya. Siang hari ia
berburu, malamnya baru pulang. Sebenarnya Pujawati merasa sangat kesepian,
karena ia masih ingin bercengkraman, bersenda gurau dan berkasih mesra
menikmati siang hari yang indah di bukit nan penuh bunga, di pegunungan
Argabelah. Begitupun yang dirasakan Bagaspati. Sang resi sangat prihatin dengan
sikap menantunya yang sering meninggalkan putrinya seorang diri, karena hari-
hari itu seharusnya milik mereka, hari-hari bahagia dimana seorang pasutri
berkasih mesra. Dan ketika Bagaspati mencoba menawarkan diri melakukan
perburuan, Narasoma selalu menolak. Padahal Bagaspati merasa senang jika ia
dapat memberikan sesuatu untuk kebahagiaan mereka.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
36
PANDAWA KURAWA
Pada suatu hari seperti biasanya Narasoma melakukan perburuan di hutan
sekitar pegunungan Argabelah. Di tengah hutan belantara itu Narasoma sering
merenung sendiri, ada perasaan gundah, bingung, kepada siapa harus ia curahkan
isi hatinya itu, pada Pujawati? Tidak mungkin. Ia tidak bisa mengatakannya
kepada Pujawati. Ia sangat menyayangi istrinya, ia tidak mau melukai hatinya.
Menjelang sore hari Narasoma tidak mendapatkan hewan buruan sebab hari itu ia
habiskan dalam lamunan kegelisahan hatinya. Ia memutuskan untuk bermalam di
tengah hutan sampai esok hari kembali melakukan perburuan, walau perburuan
hewan hutan itu hanya sebagai alasan saja tetapi Narasoma tidak ingin melihat
istrinya menjadi kecewa setelah beberapa lama pergi namun tidak mendapat hasil
tangkapan.
Malam yang dingin dan pekatnya hutan tidak mampu tertembus cahaya
bulan. Malam itu Narasoma melihat bayangan seekor babi hutan yang sedang
mengendap di rerimbunan tanaman liar. Ia mencoba membidikan anak panahnya,
membangkitkan kepekaan naluri berburunya, dan anak panah pun melesat.
Bidikan Narasoma meleset dari sasaran, babi hutan melarikan diri. Entah karena
gelapnya malam yang mengganggu pandangannya, atau karena kegelisahan hati
yang telah membuyarkan konsentrasinya? Narasoma mencoba mengejar babi
hutan tadi, ia masuk lebih dalam ke dalam hutan. Nun tidak seberapa jauh dari
tempat Narasoma melepaskan anak panahnya tadi, ada sebuah goa yang dijadikan
sebagai tempat pemujaan & bertapanya seorang resi. Tanpa sepengetahuan
Narasoma, anak panah yang dilepasnya tadi telah melukai ibu salah satu jari
tangan sang resi hingga putus. Resi pertapa sangat marah dengan perbuatan yang
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
37
PANDAWA KURAWA
dilakukan seorang pemburu yang telah melukainya, ia segera mencari orang
tersebut untuk dimintai pertanggungjawaban. Sang Resi menyusuri hutan namun
yang dicarinya tidak ditemukan, tetapi ia terus mencari, menjelajahi hutan
pegunungan Argabelah.
Pujawati duduk diserambi pondok menanti sang kekasih yang tidak
kunjung pulang, sementara Bagaspati mencoba mencari menantunya, ia khawatir
Narasoma tersesat di dalam hutan. Tiba-tiba Pujawati dikejutkan dengan
kedatangan seorang pertapa yang menunjukan anak panah, menanyakan apakah ia
mengenali anak panah tersebut. Pujawati mengaku menganali anak panah tersebut
adalah milik suaminya. Ada rasa was-was pada diri Pujawati, ia khawatir terjadi
apa-apa dengan suaminya. Sang pertapa sangat marah setelah mendengar
pengakuan Pujawati.
“Aku ingin suamimu memotong jari tangannya untuk menggantikan jari
tanganku. Jika suamimu tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya, aku
akan mengadukannya kepada dewa Brahma agar menghukumnya!”
Dewi Pujawati sangat mencintai Narasoma, ia sangat sayang kepada suaminya, ia
tidak mau suaminya terluka apalagi mendapat hukuman dari dewa Brahma. Maka,
Pujawati mengajukan permohonan kepada sang pertapa. Pujawati memotong jari
tangannya sendiri sebagai pertanggungjawaban perbuatan suaminya yang telah
dianggap salah. Begitulah kesetiaan dewi Pujawati. Ia berani mengorbankan diri
untuk keselamatan Narasoma.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
38
PANDAWA KURAWA
Malam itu perasaan Bagaspati sangat tidak enak hingga ia memutuskan
kembali pulang ke pertapaannya. Sebagai seorang ayah yang sangat mencintai
putrinya, perasaan Bagaspati sangat peka. Ia sangat terkejut setelah melihat salah
satu jari putrinya tidak lengkap, dan setelah mendengar cerita Pujawati, betapa
murkanya Bagaspati kepada si pertapa, namun Bagaspati sangat terharu atas
pembelaan Pujawati kepada suami. Kesetiaan Pujawati sebagai seorang istri
begitu sangat terpuji hingga Bagaspati menambahkan namanya menjadi
Setyawati, dewi Setyawati.
Disebuah gua di dalam hutan belantara, sang pertapa tengah bermujasmedi
di depan kobaran api pemujaan, ia sangat senang karena jari tangannya kini telah
terlengkapi oleh jari Pujawati, namun tiba-tiba api pemujaan sang pertapa menjadi
besar membuat sang pertapa menjadi terkejut. Lebih terkejut lagi ketika dalam
kobaran api yang membesar itu terlihat wajah raksasa Resi Bagaspati dengan
tawanya yang membahana.
“Hwahahaha… Ggrrrr… Hai pertapa! Kau boleh mengadu kepada
Brahma, bahkan kepada Yamadipati sekalipun, niscaya mereka tidak akan
sanggup mencabut nyawaku! Kembalikan jari tangan putriku, atau aku akan
menghancurkan tempat pemujaanmu dan membunuhmu!”
Sang pertapa mengigil ketakutan, ia sangat mengenal nama Bagaspati, ia
tidak mengira bahwa Pujawati adalah putri dari Bagaspati, maka tanpa syarat
apapun sang pertapa segera memotong kembali jari tangan dewi Pujawati yang
telah ia satukan diantara jari-jarinya. Begitulah kisah kesetiaan dewi Pujawati
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
39
PANDAWA KURAWA
terhadap Narasoma hingga saat itu Narasoma sendiri memanggilnya dengan nama
Setyawati, sesuai yang diberikan Bagaspati.
Setelah kejadian itu, Narasoma yang telah kembali pulang ke pertapaan,
tidak lagi meninggalkan istrinya. Bagaspati senang karena akhirnya Narasoma
menjalani hari-harinya kembali bersama Setyawati (Pujawati). Bagaspati kini
menggantikan Narasoma mencari hewan buruan, ia mencarikan ayam hutan dan
daging menjangan (rusa) untuk dihadiahkan kepada mereka. Untuk beberapa hari
Narasoma memendam perasaan yang telah mengganggu pikirannya, walau pada
akhirnya ganjalan hati itu tetap saja meracuninya. Pada suatu hari, dalam
cengkeramanya Narasoma memberikan sebuah teka-teki kepada istrinya. Walau
teka-teki itu ia sampaikan dengan sifat canda dan senda gurau tetapi sempat
membuat Setyawati menjadi penasaran. Beberapa kali ia meminta jawaban dari
teka-teki tersebut, tapi Narasoma tidak mau menjawabnya, ia hanya menyuruh
Setyawati mencoba meminta jawaban kepada ayahnya.
“Bopo resi… Kanda Narasoma memberikan sebuah teka-teki kepada
ananda, walau itu hanyalah sebuah teka-teki, namun entah mengapa hati ananda
merasa gundah dan dilipur rasa penasaran. Kanda Narasoma selalu menolak
tatkala ananda meminta arti dari teka-teki itu, kakanda hanya mengatakan bahwa
ananda coba meminta arti tersebut kepada bopo resi”.
"Katakanlah, apa teka-teki itu putriku"
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
40
PANDAWA KURAWA
“Seperti hidangan seperiuk nasi putih hangat yang harum bagai pandan
wangi, sangat nikmat untuk dirasakan, namun sayang ada satu gabah yang terselip
diantara butiran nasi yang ranum itu”.
Bagaspati menarik nafas panjang. Ia sudah mengetahui maksud dari
sebaris kata yang disampaikan Narasoma kepada putrinya. Ia tidak menduga
bahwa selama ini Narasoma menganggap dirinya hanya merusak keindahan
mahligai cintanya kepada Pujawati. Pantas saja jika selama ini Narasoma selalu
menghindar dan selalu beralasan untuk tidak buru-buru pulang kembali kepada
orang tuanya di Mandaraka, mungkin karena dia merasa malu mempunyai mertua
seorang raksasa, kasta yang selama ini dianggap paling rendah martabatnya. Sedih
kembali dirasakan oleh Bagaspati, dilain pihak ia sangat mencintai putrinya,
apapun akan ia berikan asal putrinya bahagia, walau nyawa yang harus jadi
pertaruhannya. Mungkin kematian akan menjadi jalan terbaik dan merupakan
akhir dari dendam Bathara Guru kepadanya.
Bagaspati berbisik kepada putri tercintanya agar segera memanggil
Narasoma, dan meminta sang putri menyiapkan seperangkat peralatan upacara
dan sesaji dengan alasan bahwa Ia akan menganugerahkan Narasoma aji kesaktian
Candrabhirawa yang selama ini dimilikinya. Setyawati segera menuruti titah
ayahandanya.
Saat Setyawati sibuk menyiapkan perlengkapan upacara, Narasoma telah
menghadap Bagaspati, duduk tertunduk. Hatinya yang gelisah menyimpan tanda
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
41
PANDAWA KURAWA
tanya, apa gerangan yang akan disampaikan ayah mertuanya, jantungnya terasa
berdebar.
“Narasoma, bopo akan mencoba memberi jawaban atas teka-teki yang
telah disampaikan Setyawati. Bopo akan menjawabnya dihadapan kalian, agar
semuanya menjadi jembar, tidak ada lagi yang harus dipendam, tidak ada yang
harus dipersalahkan. Selain itu bopo juga akan menganugerahkan aji kesaktian
Candrabhirawa kepadamu, namun sebelum itu semua bopo minta kau berjanji.
Jaga dan rawatlah Setyawati, kasih sayangilah dia, cintai dia dengan sepenuh
kasih sayang. Janganlah kau sia-siakan dia, walaupun dia hanya seorang anak
gadis gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan,
tetapi dia anak yang baik, patuh dan sangat setia kepadamu. Jika nanti kau
kembali ke Mandaraka, tidak urung nanti Pegang teguhlah janjimu”.
Narasoma tidak mampu menatap Bagaspati, dengan bibir bergetar ia
mencoba memaksa mulutnya untuk mengucapkan sumpah dihadapan sang resi
bahari.
“Bopo resi… Demi langit dan bumi ananda bersumpah tidak akan menyia-
nyiakan Setyawati. Setulus cinta ananda kepadanya, ananda akan selalu
menjaganya, sehidup semati”.
Hanya itu yang mampu diucapkan Narasoma, begitu sulit bibirnya untuk
berkata-kata, seperti ada beban batin yang menghimpitnya. Bagi Bagaspati,
sedikit ucapan Narasoma itu telah menyejukan hatinya, menenteramkan
pikirannya. Bagaspati lalu menjelaskan aji kesaktian Candrabhirawa yang akan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
42
PANDAWA KURAWA
diturunkan kepadanya. Candra yang berarti bulan dan bhirawa yang mengandung
arti kegelapan bermakna ‘bulan yang menerangi kegelapan’. Bulan yang
diumpamakan sebagai tempat cahayanya hati orang-orang yang arif, cahaya yang
keluar dari hati memantulkan kekuatan yang tidak dimiliki oleh benda-benda
lainnya. Cahaya itu dapat melembutkan kerasnya hati dan pikiran manusia,
sehingga dapat membentuk peradaban yang berguna bagi alam semesta, maka
jadilah seseorang yang mampu menentramkan dan menyenangkan bagi
sesamanya. Bagaspati mengingatkan bahwa aji Candrabhirawa sangat ampuh,
namun aji kesaktian itu akan sangat tidak bertuah jika hanya dipergunakan untuk
mengagungkan nafsu diri dan keserakahan.
Malam kian larut, bulan yang bersinar dengan bintang gumintangnya
menghias malam, sementara awan hitam mulai merayap, sedikit demi sedikit
gumpalannya yang hitam mulai menyaput, memupuskan cahaya rembulan.
Setyawati telah datang membawa perlengkapan upacara dan sesaji, yang menurut
mereka adalah upacara untuk menurunkan aji Candrabhirawa. Kain kafan
dibentang, wangi dupa dan kembang menebar di ruang pesangrahan, api pancaka
mulai bergemeletakan ketika Resi Bagaspati mulai melakukan mujasmedi
melantunkan doa. Selanjutnya suasana hening, Bagaspati mengatupkan mulutnya,
mengheningkan cipta. Di hadapannya, Narasoma mengikuti segala apa yang
diperintahkan sang resi, sedangkan Setyawati hanya duduk menunggu dua orang
manusia yang sangat disayanginya, tanpa mengetahui apa-apa yang akan terjadi.
Setyawati yang polos, Setyawati yang lugu.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
43
PANDAWA KURAWA
Sekelebat cahaya keluar dari tubuh Bagaspati, namun cahaya itu seperti
ragu untuk meninggalkan jasad sang resi. Di alam sunyaruri awang uwung
suwung, alam diantara ada dan tiada, alam hening yang jauh dari segala jasad
kasar, dimana saat itu hanya Bagaspati yang merasakannya;
“Candrabhirawa, keluarlah! Dihadapanku adalah ahli warisku, menyatulah
kau dengannya, aku ingin pergi ke alam keabadian yang sejati. Telah tiba
waktunya bagiku untuk pulang ke alam kelanggengan. Keluarlah…
Candrabhirawa, ikutlah kau bersamanya, bersama menantuku, Narasoma sebagai
pewaris kejayaan Candrabhirawa.”
"Bopo resi… kenapa bopo mengeluarkanku dari gua garba, bopo… Aku
hanya ingin ikut dengan bopo resi, aku meragukan gua garba ahli warismu. Dia
tidak memiliki darah putih sepertimu bopo…”
“Percayalah padaku, Candrabhirawa. Menantuku seorang yang baik, patuh
dan berbudi luhur, cobalah menyesuaikan diri bersemayam dengannya.”
Awalnya Candrabhirawa menolak, tetapi pada akhirnya dengan sangat
terpaksa ia menuruti kata-kata Resi Bagaspati. Candrabhirawa melesat keluar dari
garba Bagaspati dan seketika merasuk ke dalam gua garba Narasoma. Putra
Mandaraka sempat bergetar tubuhnya saat menerima penyatuan Candrabhirawa.
Dilain pihak, berbarengan dengan keluarnya Candrabhirawa dari gua garba
Bagaspati, maka ruh Bagaspati pun terlepas dari jasadnya. Sang resi ambruk dari
dampar pesangrahan, jatuh ke dalam Pancaka Braja. Dewi Setyawati menjerit
tatkala melihat ayahnya terkapar di api pembakaran. Narasoma terkejut, ia segera
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
44
PANDAWA KURAWA
memeluk Setyawati yang saat itu menangis menjerit ketika mengetahui
ayahandanya telah menghembuskan nafas. Itulah jawaban Resi Bagaspati.
Narasoma menyesali diri, ia merasa sangat bersalah.
Barata
Surya memancar menghangatkan bumi pertanda pagi mulai terang
benderang. Sepi lengang di pertapaan Argabelah tidak ada lagi canda tawa dara
jelita penghuni kuil, tidak ada lagi senandung syahdu ditepian telaga kecil yang
berhias bunga-bunga padma, begitu pun alunan doa rajaresi tidak lagi
mengumandang. Argabelah menjadi tempat mati berselimut belukar setelah
sepeninggalnya Resi Bagaspati.
Satu-satunya ahli waris sang resi telah diboyong oleh putra mahkota
Mandaraka. Demikian pengorbanan Bagaspati sebagai seorang ayah, ia rela
mengorbankan apa saja yang menjadi milikinya, sekalipun nyawa yang harus ia
berikan, asalkan sang putri bisa berlayar menempuh harapan kebahagiaan.
Narasoma dan Pujawati telah menetap di Mandaraka, kehadiran mereka
disambut hangat oleh keluarga Prabu Mandrapati. Pujawati sangat bersuka cita,
kini ia memiliki tempat dan kawan bermain yang baru, hidup di lingkungan istana
yang megah, dilayani oleh dayang-dayang yang setia menemani. Dewi Tejawati
ibu mertuanya, dan Dewi Madrim adik iparnya sangat menyayanginya, mereka
selalu menghibur disaat Pujawati sedih teringat mendiang bopo resi.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
45
PANDAWA KURAWA
Pada suatu hari di Paseban Agung istana Mandaraka, Prabu Mandrapati
memanggil Narasoma. Tidak ada orang lain selain mereka berdua, seakan ada
rahasia penting yang hendak disampaikan sang prabu kepada putranya.
"Narasoma, saat ini Prabu Basukunti, raja negara Mandura bermaksud
ingin menikahkan putrinya, namun ia menginginkan seorang kesatria yang cakap
dan tangguh untuk dijadikan menantu, maka dari itu ia berencana akan menggelar
sayembara. Kepada siapa saja yang dapat memenangkan sayembara, Prabu
Basukunti akan menganugerahkan Kunti Nalibrata.
Seperti yang ananda tahu, bahwa Mandaraka dan Mandura masih kerabat
baik, dalam darah kita mengalir juga darah mereka, darah bangsa Yadawa. Untuk
itu ayahanda ingin ananda mengikuti sayembara agar jalinan kekerabatan kita
menjadi semakin kukuh. Ayahanda percaya, ananda akan dapat
memenangkannya. Kecakapan dan keperkasaan ananda sebagai putra mahkota
Mandaraka akan dihormati dan disegani oleh raja-raja mancanegara."
Narasoma tertegun mendengar keinginan ayahandanya. Ia jadi gelisah dan
bingung, sebab jika ia mengikuti sayembara dan memenangkannya, maka Dewi
Kunti akan menjadi istrinya, sedangkan ia sangat mencintai Pujawati. Apalagi ia
sudah berjanji tidak akan menikahi wanita lain selain Pujawati, tetapi jika
keinginan ayahandanya tidak dituruti tentu ia akan mendapat kemurkaan dari
ayahandanya. Dalam keadaan bingung itu, Narasoma mencoba menjelaskan
kepada ayahandanya.
"Ampun ayahanda prabu, sesungguhnya ananda telah berjanji untuk tidak
menghianati Pujawati. Bahkan, di hadapan bopo Resi Bagaspati, ananda telah
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
46
PANDAWA KURAWA
mengangkat sumpah tidak akan menduakan Pujawati, apalagi menyakiti hatinya.
Sebagai seorang kesatria, ananda tidak mugkin menjilat ludah sendiri. Maka dari
itu, bukannya ananda menolak mengikuti sayembara, akan tetapi ananda hanya
tidak ingin menduakan Pujawati dengan siapapun."
Prabu Mandrapati mencoba membujuk agar putranya mau mengikuti
sayembara, tetapi Narasoma selalu menolak secara halus dan berdalih, membuat
Prabu Mandrapati marah karena Narasoma dianggap tidak memiliki bakti kepada
orang tua, tidak bisa menyenangkan hati orang tua. Prabu Mandrapati merasa
sangat terpukul hingga menderita sakit. Sejak peristiwa itu Prabu Mandrapati
jarang tampil di paseban agung kerajaan, membuat para pembesar dan punggawa
istana menjadi khawatir, terlebih keluarga kerajaan sangat prihatin dengan
keadaan sang prabu. Dewi Tejawati, istri sang prabu sangat iba melihat suaminya
terbaring lemah di pembaringan, begitu juga Dewi Madrim yang selalu menangis
di samping ayahandanya, sedangkan Pujawati sendiri sangat tekun mengurusi
ayah mertuanya, membantu tabib-tabib istana yang mencoba memberi
pengobatan.
Narasoma hanya bisa tertunduk di samping pembaringan ayahandanya.
Sebenarnya ia sangat sayang terhadap keluarga, kepada ayahanda, ibunda, adik
dan istrinya. Dan ketika sakit ayahandanya tidak juga kunjung sembuh, maka
Narasoma memutuskan untuk memenuhi keinginan ayahandanya. Ia berbisik
kepada sang ayah, berjanji dan meminta restu untuk mengikuti sayembara. Hanya
kepada Pujawati, Narasoma beralasan ingin mencari tabib sakti untuk mengobati
ayahanda. Ia segera berangkat menuju negeri Mandura.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
47
PANDAWA KURAWA
SAYEMBARA MANDURA
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
48
PANDAWA KURAWA
Di Hastina Prabu Pandudewanata di hadapan Destrarata, Yamawidura,
Resi Bisma dan Sang nenek Dewi Gandawati. Dalam pertemuan tersebut sang
nenek mengusulkan agar Prabu Pandudewanata segera mencari permasuri.
Terdengar kabar desas – desus di Mandura. Ada sebuah sayembara memanah
untuk merebutkan seorang putri cantik jelita bernama Dewi Kunti.
Dewi Kunti Nalibrata (Dewi Prita) sebenarnya adalah anak angkat Prabu
Basukunti, ia anak dari Raja Surasena yang juga berbangsa Yadawa, yang berarti
masih kerabat dekat Prabu Basukunti sendiri. Dewi Kunti diangkat anak oleh
Prabu Basukunti sejak masih bayi, pada saat itu Prabu Basukunti sendiri telah
memiliki seorang putra yang bernama Basudewa, namun kemudian setelah ia
diberi seorang anak perempuan oleh kerabatnya, dari istrinya, Dewi Dayita putri
Raja Boja, Prabu Basukunti dikaruniai seorang putra lagi, bernama Ugrasena.
Karena didesak terus – menerus oleh sang nenek Dewi Gandawati. Prabu
Pandudewanata bersedia untuk mengikuti sayembara memanah. Bersama para
Punakawan dan kedua saudaranya berangkat ke Mandura. Mereka mohon pamit
dan restu dari sesepuh Hastina. Sebelum ke Mandura. Prabu Pandudewanata
singgah di tempat sang bopo di Saptarengga. Ia minta restu dari boponya agar
dapat memenangkan sayembara tersebut. Berangkatlah mereka masuk ke dalam
hutan.
Barata
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
49
PANDAWA KURAWA
Sebenarnya sayembara yang digelar oleh Prabu Basukunti tidak lain
adalah untuk menutupi aib yang telah menjadi rahasia keluarga istana. Diceritakan
bahwa, Dewi Kunti (Prita) telah mengalami peristiwa yang menggegerkan
keluarga istana Mandura. Kisahnya berawal saat negeri Mandura kedatangan
seorang pertapa sakti bernama Resi Druwasa dari pertapaan Jagadwitana. Prabu
Basukunti memberi tempat kepada sang resi, dan mengangkatnya sebagai
danghyang ajarya (guru) bagi putra-putrinya.
Di istana Mandura, Resi Druwasa sangat terkesan dengan prilaku dan
pelayanan Dewi Kunti. Sang dewi sangat santun dan patuh, berbudi pekerti baik,
sangat menghormati hidup orang lain, apalagi kepada orang tua dan gurunya.
Karena rasa sayangnya itulah Resi Druwasa menganugerahi japa mantra sakti
Adityarhedaya kepada kunti Nalibrata, yang mana kegunaan mantra tersebut
adalah untuk memanggil dewa-dewi kahyangan, sesuai yang dikehendaki.
Dikisahkan pula, setelah Dewi Kunti menerima japa mantra dari Resi
Druwasa, ketika ia sedang menyendiri di kaputren, ia sangat penasaran dengan
mantra sang resi, walau gurunya telah memberi amanat bahwa mantra tersebut
hanya dipergunakan jika benar-benar dibutuhkan. Tetapi, sebagai seorang dara
yang belum cukup dewasa dan matang, rasa penasaran itu sangat menggoda
dirinya untuk mencoba mantra tersebut.
Ketika itu Dewi Kunti sedang menyendiri di taman Batachinawi, taman
indah berhias seribu bunga. Diantara hangatnya dekapan sinar mentari pagi dan
semilirnya angin yang berhembus, Dewi Kunti melantunkan mantra-mantra
Adityarhedaya. Seketika ia terkejut melihat taman kaputren menjadi terang
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
50
PANDAWA KURAWA
benderang bertaburan cahaya. Di hadapannya telah berdiri sosok Batara Surya
dengan menggunakan mahkota yang bergemerlapan.
"Apa yang kau inginkan dariku, dewi?"
Dewi Kunti terpesona melihat keelokan Batara Surya.
"Hamba hanya mencoba mantra dari guru hamba, Resi Druwasa..."
"Tapi kau telah membacakannya ketika hangat mentari menyinari
tubuhmu."
Sejak saat itu, tidak ada lagi kata-kata terucap dari dua insan yang telah
sama-sama terpaut hati, menyelami samudra hati diantara mereka. Dari kejadian
itulah, hingga akhirnya Dewi Kunti berbadan dua, hamil. Dewi Kunti hamil diluar
pernikahan, membuat seluruh keluarga istana Mandura menjadi bingung, lebih-
lebih Prabu Basukunti yang marah karena merasa malu. Apa yang akan dikatakan
oleh rakyat negerinya, juga raja-raja sahabat mancanegara, jika kehamilan
putrinya yang tanpa suami itu tersiar. Resi Druwasa sangat prihatin, tetapi juga
merasa sangat bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Bagaimanapun, Kunti
adalah muridnya, dan ia juga yang telah memberikan mantra sakti kepadanya.
Untuk menjaga nama baik keluarga kerajaan, maka dengan kesaktiannya,
ketika tiba waktunya Dewi Kunti akan melahirkan putra pertamanya dari Batara
Surya, Resi Druwasa mengeluarkan jabang bayi Kunti melalui telinga sebelah
kiri. Hal tersebut dimaksudkan agar keperawanan Kunti tetap terjaga.
Setelah putra Surya terlahir, Prabu Basukunti memerintahkan sang dewi
membuang bayi tersebut. Dengan perasaan sedih dan berat hati, Dewi Kunti
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
51
PANDAWA KURAWA
menuruti kehendak ayahandanya. Ia membuang putranya yang telah diberinama
Basukarna (karena ia terlahir melalui telinga). Bayi elok yang telah memiliki
pusaka pembawaan sejak lahir berupa baju Tamsir Kerei Kaswargan dan anting
mustika sakti Pucunggul Maniking Surya itu akhirnya dilarung (dihanyutkan) ke
sungai Gangga. Kelak Basukarna ditemukan oleh Adhirata, kusir kerajaan
Hastinapura.
Negeri Mandura telah ramai dikunjungi oleh para kesatria, putra mahkota,
dan raja-raja dari seluruh mancanegara. Pada waktu itu, setiap harinya alun-alun
negeri Mandura dipadati oleh rakyat bangsa Yadawa yang ingin menyaksikan
jalannya sayembara. Rakyat Mandura ingin menyaksikan sendiri ketangguhan
kesatria yang akan memboyong putri sekar kedaton, dewi Kunti Nalibrata.
Singkat cerita, satu persatu para kesatria dan raja-raja mancanegara yang
telah menjadi peserta sayembara mencoba memanah seekor burung yang berada
dalam sangkar besi. Bentuk sayembara yang diselenggarakan oleh Prabu
Basukunti adalah memanah seekor burung yang berada dalam sangkar besi yang
diputar sangat kencang. Barang siapa yang mampu memanah burung di dalam
sangkar yang berputar, maka dialah yang akan memenangkan sayembara. Satu
persatu anak-anak panah yang dilepaskan para peserta sayembara luruh
berjatuhan. Panah-panah mereka tidak mampu menembus seekor burung di dalam
sangkarnya, sebab jari-jari sangkar besi yang berputar sangat cepat menjadi
perisai ketika anak-anak panah itu mencoba menyusup pada celah-celahnya.
Kegagalan para peserta sayembara sempat membuat peserta lainnya
menjadi putus asa, beberapa diantara mereka mengundurkan diri, ada yang
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
52
PANDAWA KURAWA
langsung pulang kembali ke negara mereka, dan ada pula yang masih penasaran
ingin ikut menyaksikan tuntasnya sayembara. Baik keluarga raja ataupun rakyat
Mandura berharap ada satu diantara mereka yang mampu memenangkan
sayembara, tapi lagi-lagi gagal. Telah beberapa hari sayembara digelar, namun
belum juga ada peserta sayembara yang memenangkan pertandingan. Hingga tiba
giliran peserta terakhir maju ke arena pertandingan, ia tidak lain adalah Narasoma
dari Mandaraka. Narasoma mengangkat busur panahnya, mengarah pada sangkar
besi yang terletak berjarak puluhan tumbak di hadapannya. Semua yang hadir
bertanya-tanya dalam hati mereka, akankah anak panah itu bernasib serupa
dengan anak-anak panah sebelumnya yang telah dilepaskan para kesatria tanding
sebelumnya? Mampukah Narasoma melakukannya?
Narasoma melepas anak panah dari busurnya tatkala sangkar besi berputar
sangat kencang. Ribuan mata masih menatap sangkar yang berputar, yang
berangsur-angsur putarannya menjadi pelan. Serentak sorak sorai meriuh,
menyoraki kemenangan putra mahkota Mandaraka. Panah Narasoma menembus
seekor burung yang berada tepat di dalam sangkarnya. Prabu Basukunti beserta
keluarga kerajaan sangat gembira, karena pada akhirnya ada seorang kesatria yang
mampu memenangkan sayembara.
Narasoma dielu-lukan oleh rakyat Mandura, ibarat seorang pahlawan
perang yang telah memenangkan pertempuran di medan perang. Ini merasakan
kemengan telah menjadi miliknya.
Barata
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
53
PANDAWA KURAWA
Di Pertapa Sapta Arga sang Resi begawan Abiyasa bersenda gurau dengan
para cantrik. Sepoi – sepoi angin terasa dingin pada badan yang resi yang ssudah
tua. Hampir tulang yang terbungkus dengan kulit. Raut wajah yang keriput bagai
layunya bunga mawar. Badan yang tidak lagi tegak dengan berjalan sudah pakai
tongkat. Dengan nafas yang tersenggal – senggal. Berjubahbatik loreng seperti
loreng harimau. Dengan cantrik – cantrik padepokan yang setia menemani.
Suara kicauan burung dengan merdu terdengar indah bagai bnyanyian lagu
syahdu. Desiran angin yang semilir menebarkan aroma wangi yang tercium dari
hidung yang hampir tertutup. Serta alunan musik dari para tumbuhan menambah
keagungan suara di padepokan Sapta Arga.
Dari arah luar terdengar bunyi seperti akan ada tamu yang akan
berkunjung ke Sapta arga. Tak lama datang Punakawan berserta ketiga putra
Prabu Pandudewanata, Destarata, dan Yama Widura. Langkah kaki ketiga putra
bagai sesuap surga kehidupan yang mengalir. Suara alunan tenag bagai air
mengalir tanpa gangguan.
Salam yang terucap dari mulut sang Pandhu bagai suara adzan yang indah
dan merdu.
“Assalamualaikum........bopo .....!” kata Pandhu.
“Wa’alaikum salam..........!” jawab resi Abiyasa.
Oh anakku bocah bagus raharjo ger Pandhu........! tanya Resi Abiyasa.
“Pangestunipun romo raharjo sowan kula.......hormatku romo .......!” kata
Pandhu.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
54
PANDAWA KURAWA
“Ya ger tak terima pangestune romo terimalah........!” kata resi Abiyasa.
“Saya angkat di kepala supaya jadi jimat keselamatan ...........!.”
“Destrarata mengucapkan bekti romo..........!.”
“Ya ger Destrarata romo bektimu restu terimalah.........!”
“Saya angkat di kepala supaya jadi jimat keselamatan ...........!.”
“Yama Widura mengucapkan bekti romo..........!.”
“Ya ger Widura romo bektimu restu terimalah.........!”
“Saya angkat di kepala supaya jadi jimat keselamatan ...........!.”
“Ada apa ketiga putra kesayangan datang kemari....?” kata resi Abiyasa.
“Romo resi kami diperintahkan eyang ratu Gandawati untuk mengikuti
sayembara di Mandura. Agar dapat mempersunting putri Prabu Basukunti.
Menurut romo resi bagaimana......?”kata Pandhu.
Resi Abiyasa menyarankan agar mengikuti sayembara tersebut. Dan
memberinya restu. Karena sudah cukup. Prabu Pandudewanata dan kedua
saudaranya berserta para Punakawan mohon pamit dan restu agar dapat
memenangkan sayembara tersebut. Berangkatlah mereka ke Mandura.
Barata
Setelah semuanya mereda menahan kegirangan, Narasoma lalu
menghadap Prabu Basukunti di pelataran panggung sayembara, tapi tiba-tiba dari
kerumunan penonton sayembara datang tiga orang satria menuju pelataran
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
55
PANDAWA KURAWA
sayembara, salah satu dari mereka menyatakan ingin mengikuti sayembara.
Membuat Prabu Basukunti menanyakan jatidiri mereka.
"Siapa gerangan kisanak bertiga? Berasal dari manakah?"
"Perkenalkan, nama hamba Pandu Dewanata. Ini kakak hamba, kanda
Destarata, dan adik hamba Widura. Kami putra Praburesi Abyasa dari negeri
Hastinapura. Kedatangan kami tidak lain adalah ingin mengikuti Sayembara Kunti
Nalibrata."
Prabu Basukunti tertegun setelah mengetahui siapa ketiga satria tersebut.
"Oh!.. Ternyata kalian dari wangsa Kuru, datang dari jauh ingin mengikuti
sayembara. Sungguh sangat disayangkan kedatangan kalian terlambat. Ketahuilah
Pandu, sayembara Kunti Nalibrata baru saja usai, dan sayembara telah
dimenangkan oleh Narasoma, putra mahkota Mandaraka."
Para putra Hastina tertunduk setelah mendengar sayembar ditutup karena
sudah ada pemenangnya. Kedatangan mereka ternyata terlambat, namun saat
ketiganya hendak pamit meninggalakan tempat, tiba-tiba Narasoma menahannya.
Dengan kesombongan.
“Hai tunggu kau putra Hastina. Layaknya kau tak suka.....”.
"Jika paduka berkenan, biarkan mereka diberi kesempatan untuk
mengikuti sayembara."
Narasoma meminta Prabu Basukunti mengulang kembali sayembara.
Dalam pikiran Narasoma, ini adalah kesempatan baik untuk menguji ketangguhan
putra-putra Hastina. Bukanlah Wangsa Kuru telah tersohor keberbagai negara
Mancanegara? Secara turun temurun wangsa itu telah disegani kawan dan ditakuti
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
56
PANDAWA KURAWA
lawan, tapi itu leluhur mereka yang terdahulu, dan ia hanya mendengar cerita. Dan
sekarang, apakah ketiga kesatria Hastina itu setangguh para pendahulunya. Ini
adalah waktu yang tepat untuk menguji kemampuan mereka, apakah mereka
memiliki kemampuan melakukan hal yang sama dengan dirinya? Kesatria dan
raja-raja mancanegara sendiri tidak ada yang sanggup melakukannya. Begitulah
yang ada dalam pikiran Narasoma, ia hendak bermaksud mempermalukan para
kesatria Kuru. Narasoma pun nampak kesombongannya setelah dielu-elukan, ia
sangat suka dipuji.
"Apa maksudmu Narasoma? Kau yang telah memenangkan sayembara,
dan aku tidak mungkin merubah peraturan!"
"Kalau begitu, biar hamba yang membuka sayembara baru untuk mereka.
Karena Kunti Nalibrata telah menjadi hak hamba, maka hamba berhak membuat
keputusan atas Kunti."
Prabu Basukunti sangat tersinggung dengan perkataan Narasoma, walau
memang betul Kunti Nalibrata telah menjadi haknya karena telah memenangkan
sayembara, tetapi Narasoma dianggap tidak menghargai orang lain, bahkan
menghormatinya sebagai raja Mandura, sekaligus bakal menjadi mertuanya. Tapi
mengingat Narasoma adalah putra Prabu Mandrapati yang menjadi sahabatnya
sekaligus masih memiliki hubungan kekerabatan darah Yadawa, maka Prabu
basukunti mencoba menahan diri, membiarkan Narasoma melakukan
kemauannya. Toh, segala kesombongan tidak akan berakhir baik.
"Aku memberi kesempatan padamu untuk mengikuti sayembara, tapi
dengan satu pertaruhan, jika kau mampu melakukan apa yang telah aku lakukan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
57
PANDAWA KURAWA
pada sayembara tadi, maka Kunti Nalibrata akan aku serahkan padamu, tapi jika
kau tidak mampu melakukannya, maka negeri Hastina menjadi negeri taklukan
Mandaraka."
Semua yang hadir terkejut mendengar perkataan Narasoma, termasuk
Prabu Basukunti. Tetapi para kesatria Kuru masih bersikap tenang, mereka seolah
tidak terpengaruh oleh tantangan Narasoma.
"Kedatangan kami ke Mandura hanya ingin mengikuti sayembara yang
digelar oleh Prabu Basukunti. Adapun sang prabu telah menutup sayembara
karena kau telah memenangkannya, maka kami pun akan turut undur diri, kami
tidak menginginkan hal lain yang akan menimbulkan perkara."
Pandu Dewanata lalu memberi hormat kepada Prabu Basukunti dan
mengajak kedua saudaranya beranjak pergi meninggalkan Mandura, tapi
Narasoma malah mengejeknya.
"Apa kau takut menghadapi tantangan, Pandu? Bukankah kalian putra-
putra Hastina yang tersohor itu? Aku kira kau memiliki sifat gagah berani seperti
leluhurmu, Baharata. Apakah kesatria terhormat seperti Bhisma Dewabrata tidak
mengajarimu keberanian sebagai seorang kesatria? Atau ayahmu tidak
membekalimu?
Kata-kata Narasoma sangat merendahkan di depan khalayak ramai,
membuat telinga Pandu menjadi panas. Terlebih Destarata, kakak Pandu yang
tunanetra itu giginya gemeretakan menahan marah. Diam-diam Destarata merapal
aji Kumbalageni, namun Widura membisikinya, agar sang kakak bisa menahan
emosi.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
58
PANDAWA KURAWA
"Apakah kau membiarkan orang lain menghina leluhur kita, Pandu?"
berkata sang Destarata kepada adiknya, hingga akhirnya Pandu Dewanata
menyanggupi tantangan Narasoma.
"Aku tidak pernah menolak tantangan, Narasoma! Jika itu yang menjadi
pertaruhanmu, aku tidak menolak!"
Masih disaksikan oleh ribuan rakyat Mandura, para kesatria dan juga raja-
raja mancanegara, sayembara kembali digelar. Pandu Dewanata berdiri di tengah
gelanggang, gondewa dan anak panahnya telah siap dalam genggaman. Tatkala
sangkar besi mulai diputar kencang, Pandu membidik sasarannya. Panah melesat
cepat mengarah sasaran, begitu kuatnya tenaga yang mendorong anak panah
hingga sangkar besi terlepas dari tiang pancang. Semua yang hadir tercengang dan
berdecak kagum. Pandu tidak hanya mampu melakukan seperti yang dilakukan
Narasoma, lebih dari itu, selain panah Pandu mampu menyusup jari-jari besi dan
menembus seekor burung di dalam sangkarnya, ia pun sekaligus mampu
menjatuhkan sangkarnya. Sorak sorai terdengar mengumandang, memuji
kehebatan Pandu Dewanata.
Narasoma tidak menyangka Pandu mampu melakukannya, dan dengan
sangat malu Narasoma akhirnya menyerahkan Kunti Nalibrata kepada Pandu, ia
kemudian pergi meninggalkan Mandura. Kini Dewi Kunti telah menjadi milik
Pandu Dewanata. Prabu Basukunti merasa sangat senang, tidak disangka akhirnya
ia akan berbesan dan menjalin kekerabatan dengan Hastinapura. Keesokan
harinya, setelah mendapat restu dari Prabu Basukunti, Pandu Dewanata
memboyong dewi Kunti untuk dibawa ke Hastinapura.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
59
PANDAWA KURAWA
Saat menuju perjalanan pulang, di tengah perjalanan, masih dalam wilayah
negara Mandura, rombongan Pandu Dewanata terhenti. Pandu menghentikan laju
kereta kencananya ketika di hadapanya telah menghadang seorang kesatria
penunggang kuda. Kesatria itu tidak lain adalah Narasoma. Ternyata putra Prabu
Mandrapati tidak benar-benar meninggalkan Mandura, ia tidak langsung pulang
ke Mandaraka. Setelah kemarin meninggalkan gelanggang sayembara, di tengah
perjalanan pulang, Narasoma merasa bimbang. Ia teringat ayahandanya, Prabu
Mandrapati yang sedang terbaring sakit. Apa yang akan ia katakan di hadapan
ayahandanya nanti. Apakah ia harus bercerita dusta dengan mengatakan ia kalah
dalam pertandingan sayembara? Atau menceritakan terus terang bahwa
kemenangannya telah digadaikan untuk sebuah pertaruhan? Semua itu hanya akan
memperparah sakit ayahandanya, maka dari itu Narasoma memutuskan untuk
tidak langsung pulang ke Mandaraka, ia berbalik arah menghadang Pandu.
"Kenapa kau menghadang perjalananku, Narasoma?"
"Pertaruhan kemarin kurang menguntungkan buatku, Pandu. Aku ingin
kau mengulang kembali pertaruhan itu. Kita tanding jurit! Jika aku yang menang,
maka kau serahkan kembali Dewi Kunti kepadaku, tapi jika aku yang kalah, aku
akan menyerahkan adiku, Dewi Madrim kepadamu."
"Silahkan, kau yang memulai Narasoma..."
Keduanya lalu terlibat perang tanding. Narasoma menggempur Pandu
dengan serangan yang begitu mematikan, dan Pandu mengimbanginya.
Pertempuran mereka sangat seimbang, sama-sama digjaya, sama-sama menguasai
ilmu kanuragan, dan senjata. Terkadang Pandu Dewanata terdesak oleh serangan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
60
PANDAWA KURAWA
Narasoma yang dilancarkan secara bertubi-tubi, begitu pula sebaliknya. Narasoma
sempat dibikin kerepotan dengan serangan balik yang dilancarkan Pandu.
Perang semakin menjadi, daya-daya kesaktian mereka memporak
porandakan sekitarnya. Tanah batu berhamburan, pohon-pohon tumbang dan
terbakar. Dan ketika keduanya beradu pukulan sakti, Narasoma terpental jauh dan
jatuh terpelanting. Darah segar menyembur dari mulutnya, dadanya berdenyut
sakit. Saat itu amarahnya kian menjadi, ia pun lalu ingin menjajal kesaktian
Chandrabhirawa. Tapi sesaat ketika Narasoma hendak membaca mantra
Chandrabhirawa, ia teringat pesan mendiang mertuanya, Resi Bhagaspati.
"Narasoma... Aji Candrabhirawa sangat ampuh, namun aji kesaktian itu
akan sangat tidak bertuah jika hanya dipergunakan untuk mengagungkan nafsu
diri dan keserakahan.
Jaga dan rawatlah Setyawati, kasih sayangilah dia, cintai dia dengan
sepenuh kasih sayang. Janganlah kau sia-siakan dia, walaupun dia hanya seorang
anak gadis gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan
kerajaan, tetapi dia anak yang baik, patuh dan sangat setia kepadamu. Pegang
teguh janjimu, Narasoma..."
Kata-kata Resi Bagaspati mengiang di telinganya, seolah sang resi
membisikan langsung kepadanya, mengingatkan sumpahnya. Narasoma sangat
terganggu karenanya, ia mencoba melupakan dan tidak memperdulikan,
amarahnya sudah terlanjur berkobar. Ia segera merapal aji Chandrabirawa.
Sekejap, di hadapannya telah berdiri sosok raksasa cebol dengan seringai taring
yang terlihat menyeramkan.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
61
PANDAWA KURAWA
"Chandrabirawa! Binasakan musuhku!"
Raksasa Chandrabirawa segera melaksanakan perintah tuannya, ia
menyerang Pandu secara membabi buta. Mendapat serangan demikian, Pandu
segera mengeluarkan pusaka Chandrasa.
Cras! Cras! Cras!
Beberapa kali pusaka Pandu melukai tubuh Chandrabirawa. Darah
bercipratan keluar dari tubuh Chandrabirawa. Ajaib! Setiap percik darah yang
membasahi tanah bebatuan dan rerumputan berubah wujud menjadi raksasa cebol
yang bentuk dan rupanya sama persis dengan Chandrabirawa. Tanpa diperintah,
raksasa-raksasa jelmaan itu menyerang Pandu secara serentak. Pandu terkejut
melihat keanehan yang terjadi pada musuhnya, beberapa kali ia mencoba
membinasakan raksasa-raksasa jelmaan Chandrabirawa dengan pusakanya, tapi
Chandrabirawa justru semakin banyak jumlahnya. Pandu menjadi kerepotan
menghadapi musuh yang bertambah banyak jumlahnya, ia hanya berkelit,
menangkis, dan menghindari serangan, ia tidak lagi melukai raksasa jejadian
Chandrabirawa karena akan semakin bertambah banyak.
"Duuh... Ayahanda Resi Abyasa... Ayahanda Bhisma... Putramu keteteran
menghadapi musuh-musuh ini..."Pandu membatin.
Ia merasa putus asa menghadapi Chandrabirawa. Dan pada saat-saat yang
kritis, Pandu mendapat bisikan ghaib dari ayahandanya, Resi Abyasa. Pandu
dititah melakukan hening cipta, memusatkan segala nafsu murni dengan berpasrah
diri kepada Yang Maha Tunggal.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
62
PANDAWA KURAWA
Raksasa-raksasa Chandrabirawa kebingungan ketika melihat musuhnya
tidak melakukan apa-apa, diam tak bergerak. Naluri mereka pun mengisyaratkan
seperti tidak ada nafsu pada diri seseorang yang menjadi lawannya. Dalam
keadaan seperti itulah secara serta merta raksasa-raksasa Chandrabirawa
berkurang jumlahnya, terus dan terus berkurang hingga kembali menjadi satu
wujud Chandrabirawa.
Chandrabirawa melesat kembali masuk ke dalam gua garba Narasoma.
Candrabhirawa berkata kepada Narasoma agar tidak mempergunakannya
melawan orang-orang yang tidak memiliki nafsu angkara. Pandu tidak menyia-
nyiakan kesempatan, ia segera menerjang Narasoma yang sedang dalam
kebingungan. Putra Mandaraka terbanting dan jatuh terkapar saat pukulan-
pukulan Pandu beruntun menghantam dirinya, dan ketika Narasoma tertaih
mencoba bangun, ujung pusaka Pandu telah mengancam di hadapannya. Akhirnya
Narasoma menyerah, dan berjanji akan memboyong Dewi Madrim ke
Hastinapura.
Pandu beserta rombongan kembali melakukan perjalanan pulang ke
Hastinapura. Di tengah perjalanan ia kembali dihadang. Kali ini yang
menghadangnya adalah Harya Suman, putra Prabu Suwala dari negeri Gandhara.
Harya Suman yang juga telah terlambat mengikuti sayembara segera mengejar
perjalanan Pandu Dewanata.
Harya Suman dan Pandu kemudian terlibat perang tanding, tetapi
pertarungan itu tidak memakan waktu cukup lama. Putra mahkota Gandhara
bukanlah lawan tanding yang tangguh bagi Pandu, dengan mudah Pandu dapat
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
63
PANDAWA KURAWA
membuat Harya Suman tidak berdaya. Harya Suman menyerah dan berjanji akan
memboyong kakaknya, Dewi Gandhari ke Hastinapura.
"Aku pegang janjimu, jika kau berdusta, maka Hastinapura akan meluluh
lantakan negerimu!"
Hastinapura mendapatkan tiga putri boyongan, Dewi Kunti dari negara
Mandura, Dewi Madrim dari negara Mandaraka, dan Dewi Ghandari dari negara
Gandhara. Ketiga putri tersebut awalnya akan dipasangkan dengan Destarata,
Pandu Dewanata, dan Widura, akan tetapi Widura menolak. Ia beralasan ketiga
putri tersebut usianya tidak sepadan dengan dirinya, maka Widura memberikan
haknya kepada Pandu, karena Pandu yang telah banyak berjasa dalam
memenangkan sayembara.
Untuk menghargai Destarata sebagai putra tertua, Pandu memberi
kesempatan kakaknya memilih satu diantara ketiga putri tersebut. Dalam hati
ketiga putri itu sendiri sebenarnya mereka menolak dijodohkan dengan Destarata
yang tunanetra, apalagi tahta Hastina akan diwariskan kepada Pandu Dewanata,
maka ketiganya memanjatkan doa agar tidak terpilih oleh Destarata.
Dewi Gandhari dengan dibantu adiknya, Harya Suman mencoba
membaluri tubuhnya dengan bau hanyir ikan dengan maksud agar dirinya tidak
terpilih oleh Destarata. Tetapi, Destarata yang selalu menggunakan naluri,
menggunakan indra penciumannya dalam memilih, saat ia mencium bau hanyir
ikan yang berasal dari tubuh Gandhari, bau hanyir itu justru mengingatkannya
pada panggang ikan yang menjadi makanan kesukaannya, maka Destarata
memutuskan jatuh pilihannya kepada Dewi Gandhari.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
64
PANDAWA KURAWA
Pandu Dewanata kemudian naik tahta menjadi raja Hastinapura
menggantikan Praburesi Abyasa (Prabu Kresna Dwipayana) yang mandita di
Wukir Retawu. Ia memiliki dua permaisuri yaitu, Dewi Kunti dan Dewi Madrim.
Kelak dari rahim kedua putri tersebut akan lahir kesatria-kesatria utama, Pandawa
Lima. Dari dewi Kunti akan lahir Yudhistira, Bima, dan Arjuna, sedangkan dari
rahim Dewi Madrim lahir Nakula dan Sadewa.
Sementara, Narasoma sendiri telah dinobatkan menjadi raja menggantikan
ayahandanya, Prabu Mandrapati yang telah meninggal setelah mendengar
kegagalan putranya dalam merebut sayembara. Narasoma menjadi raja Mandaraka
dengan gelar Prabu Salyapati. Dari rahim Pujawati, Narasoma dianugerahi lima
orang anak, yaitu ; Dewi Erawati (kelak menjadi istri Baladewa), Dewi Surtikanti
(kelak menjadi istri Basukarna), Dewi Banowati (kelak menjadi istri
Duryudhana), Bhurisrawa, dan Rukmarata. Hanya saja, salah satu putra
Narasoma/Prabu Salya yang bernama Bhurisrawa berwajah buruk seperti raksasa.
Ini dikarenakan dahulu Narasoma merasa jijik mempunyai mertua seorang
raksasa.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
65
PANDAWA KURAWA
LAHIRNYA DARAH KURU
Negara yang makmur dan sauasana yang begitu damai. Kehidupan
rakyatnya serba kecukupan yang negara tersebut berdiri karena kekuatan seorang
pertapa yang menurutnya kakek moyangnya. Ini negara gung binatara. Hastina
yang merupakan adi kuasa dibawah raja Pandudewanata.Tersiar kabar bahwa sang
permasuri Dewi Kunti telah mengandung anak yang pertama. Tapi telah bulan
kelahirannya anak tersebut belum juga lahir.
“Ada apa gerangan ...?”.
Pertemuan di istana Ngastina segera diadakan. Prabu Pandhu dihadap oleh
Dhestharata, Widura dan Patih Jayaprayitna. Mereka membicarakan kandungan
Kunthi yang telah sampai bulan kelahirannya belum juga lahir. Tengah mereka
berunding. Kedatangan tanpa diundang suara alunan melodi semilirnya gamelan
yang ditabuh bagai sebuah persembahan akan kedatangan sang bagus dari
mandura. Dengan langkah tenang sang Prabu Rukma berjlan ke mimbar Hastina.
“Raharjo dimas Prabu.......!”
“Pangestunipun kanda Prabu Pandhu raharjo sowan saya...bektiku
kanda..........!”
“Ya dimas Prabu Rukma.........restunipun enggal terimalah......!”
“Saya angkat datang mustaka supaya dadi jimat keselamatan........ !”
“Ada apa dimas tanpa ada kabar datang ke Hastina .......?”
“Pertama saya diutus kanda Prabu Basudewa untuk mengirimkan salam
sejahtera dari kanda Prabu Basudewa untuk kanda Prabu Pandhu. “
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
66
PANDAWA KURAWA
“Ya dimas......!”
“Yang kedua saya ingin melihat ketentraman kerajaan Hastina........!”
“Ya dimas...!”
“Yang ketiga........saya diutus kanda Prabu Basudewa untuk meminta
bantuan kepada kanda Prabu Pandhu......!”\
“Bantuan apa dimas.......?”
Arya Prabu Rukma datang memberi tahu, bahwa negara Mandura akan
diserang perajurit dari negara Garbasumandha. Raja Garbasumandha ingin
merebut Dewi Maherah. Istri Prabu Basudewa. Raja Basudewa minta bantuan
dengan utusan Arya Prabu Rukma. Mendengar ada bahaya yang akan mengancam
kerajaan kakak ipar. Dengan sigap sang Prabu Pandhu bersedia untuk membantu.
Paseban agung di mimbar Hastina diteruskan. Kali ini sang Prabu Pandhu
memberikan perintah pada adiknya Arya Widura. Arya Widura disuruh pergi ke
Wukir Retawu dan ke Talkandha, supaya mohon doa restu demi kelahiran bayi.
Arya Widura menerima perintah kandanya.
“Perintah kanda akan hamba laksnakan ........!”
Berangkatlah Arya Widura meninggalkan paseban agung Hastina. Prabu
Pandhu menyerahkan pemerintahan Hastina kepada sang Patih Gandamana.
Badan tegak. Gagah perkasa bagai superman. Dengan jalan langkah yang
bagaikan suara hentak gajah. Biarpun sudah tua, tapi badan masih segar bugar
bagai satria muda.
“Kakang Gandamana aku serahkan Hastina pada kakang Patih.......!”
“Perintah Paduka akan hamba laksanakan.....!”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
67
PANDAWA KURAWA
Prabu Pandhu meninggalkan paseban agung. Raja Pandhu menemui Dewi
Kunthi yang sedang berbincang-bincang dengan Dewi Ambika, Dewi Ambiki dan
Dewi Madrim. Setelah memberi tahu tentang rencana kepergiannya ke Mandura,
ia segera bersamadi. Ia berganti baju satria, dengan keris dibelakang. Ia berangkat
ke Mandura bersama Arya Prabu Rukma. Saudara tua yang buta, Dhestharata
menunggu kerajaan Ngastina.
Barata
Di negara yang tak jauh berbeda, yang berkuasa raja raksasa. Raja yang
sangat bengis dan rakus. Dengan kejamnya ia memerintah kerajaannya. Tubuh
kekar dan berwajah beringas bagai harimau yang siap menerkam. Tubuh gembal
dan gemuk dengan tinggi kurang lebih 3 meter. Langkah yang berjalan dengan
guncangan bagai sebuah gempa bumi berkekuatan 3 SR. Ia bernama Prabu
Yaksadarma. Yaksadarma raja Garbasumandha. Paseban agung segera digelar.
Prabu Yaksadarma dihadap oleh Arya Endrakusuma, adiknya yang berwujud
sama dengannya yang memiliki sifat rakus dan tamak. Patih Kaladruwendra,
Togog, Sarawita dan Ditya Garbacaraka. Pembahasan segera dibuka. Sang raja
siap menumpah isi hatinya dihadapan para punggawa. Bagai lahar yang siap
meletus. Semua is yang siap keluar bagi sebuah pistol yang siap membidik
seorang penjahat.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
68
PANDAWA KURAWA
Raja berkeinginan memperisteri Dewi Maherah isteri raja Mandura. Para
punggawa di inta pendapat. Semua terdiam tiada yang berani keluar kata – kata.
Bagai sebuah mulut yang tetutup lakban. Raja menanyai patihnya. Ia terdiam
bagai sebuah ging yang tak dipukul. Bagaimana bilang ia tidak kalau permintaan
rajanya.
Ia memberi perintah pada patihnya. Sang patih tak mungkin menolaknya.
Ia memerintahkan Ditya Garbacaraka. Ditya Garbacaraka disuruh melamar,
Togog menyertainya, Patih Kaladruwendra dan perajurit disuruh mengawal
perjalanan mereka.
Perjalanan yang panajng bagai jalan sebauh rel kereta. Perajurit
Garbasumandha bertemu dengan perajurit Ngastina. Terjadilah perang, tetapi
perajurit Garbasumandha menyimpang jalan.
Barata
Negara gung binanatara yang merupakan kerajaan keturunan Batara
Wisnu. Kerajan yang gemah ripah loh jinawi. Mandura rajanya Bernama Prabu
Basudewa. Raja Basudewa dihadap oleh Patih Saraprabawa, Arya Ugrasena dan
hulubalang raja. Mereka menanti kedatangan Arya Prabu Rukma. Arya Prabu
Rukma datang bersama Pandhu. Kedatangan bagai sebuah jalan yang menyatakan
kebenaran. Iringan suara merdu burung – burung berkicauan. Sambutan hangat
dari Prabu Basudewa, Arya Ugrasena.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
69
PANDAWA KURAWA
Setelah berwawancara, raja Basudewa masuk ke istana akan menjumpai
para isteri. Namun Garbcaraka telah masuk ke istana lebih dahulu, dan berhasil
melarikan Dewi Maherah. Dewi Mahendra dan Dewi Badraini kebingungan.
Mereka bagai gajah yang kehilangan gading. Harum semerbak bagai aroma bunga
mawar. Kedatangan Basudewa dan Pandhu. Melihat kedua istri kebingungan . ia
mendekati kedua istrinya.
“Dinda dewi ada apa ?” tanya Prabu Basudewa.
“Begini kanda kang mbok Dewi Maherah telah diculik.........!” kata
istrinya.
“Di culik dinda.........!”
Mendengar berita dari istrinya, Basudewa minta agar Pandhu segera
mencarinya. Pandhu mohon pamit. Pandhu segera berangkat meninggalkan
kerajaan Mandura.
Tak lama Pandhu berhasil mengejar Garbacaraka dan merebut Dewi
Maherah, pertarungan sempat terjadi. Kedua memang sakti. Tapi Prabu Pandhu
lebih berpengalaman.
“Hai satria siapa kau berani mengganggu urusanku....?”
“Aku raja Hastina, Pandhu Dewanata..!”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
70
PANDAWA KURAWA
“Oh inikah raja termashyur akan kedigdayaannya......kenalkan akau Ditya
Garbacaraka.....”
Pertarungan kembali terjadi, dengan keris kalanadah Pandhu berhasil
mengalahkan Garbacaraka. Dewi Maherah berhasil direbutnya. lalu dibawa
kembali ke Mandura. Dewi Maherah diserahkan kepada kakak ipar Prabu
Basudewa. Setelah menyerahkan Dewi Maherah, Pandhu minta pamit, kembali ke
Ngastina, Raja Basudewa mengikutinya.
Barata
Bunyi gamalan dengan iringan gending – gending jawa. Alunan merdu
bagai nyainyian syair merdu untuk sang kekasih. Kemunculan empat punakawan
Semar, Gareng, Petruk dan Bagong bersenda gurau. Semar dengan bentuk bulat
seperti gentong, kuncung dikepalanya mata yang sedikit merem. Menandakan
bahwa ia bukan pemalas melainkan sesuatu lambang menandakan bahwa dia
seorang yang sangup melawan hawa nafsu dunia. Anak yang pertama Gareng
bentuk badan seperti kapal dengan tangan cengkot dan kaki pincang. Ia
merupakan pertanda kawula yang hati – hati dalam bertindak. Dan tidak suka
mengambil hak milik oarng lain. Anak yang kedua Petruk. Memiliki hidung
panjang dan berkulit hitam dengan badan tinggi. Anak yang ketiga Bagong.
Badan seperti gentong bibir tebal dan suka menghibur.
Mereka kemudian menghadap Begawan Abiyasa. Bagawan Abiyasa
sedang berunding dengan Resi Bisma tentang kehamilan Kunthi. Arya Widura
datang dengan para Punakawan. Suara gemuruh angin petanda akan kedatangan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
71
PANDAWA KURAWA
satria yang telah ditunggu kedatangannya. Arya Widura berserta Punakawan
menghadap Resi Abiyasa.
“Raharjo ger Widura....!”
“Restunya romo begawan, bektiku romo......!”
“Ya tak terima bektimu, pangestunipun bopo terimalah......!”
“Saya angkat di kepala suapya jadi jimat keselamatan ...”!
“Bagaimana Widura keadaan kandungan anakku Kunti.......?”
“Begini romo panemabahan saya diminta kanda Prabu Pandhu
memintakan sarana untuk kelahiran bayi yang dikandung oleh kang mbok
Kunthi.”
Mendengar perkataan dari anaknya kedua panemabahan bersiap untuk ke
Hastina. Arya Widura disuruh berangkat kembali ke Ngastina, Bagawan Abiyasa
dan Resi Bisma segera mengikutinya. Arya Widura dan punakawan mohon pamit.
Mereka meninggalkan pertapan Sapta Arga.
Dalam perjalanan Arya Widura dihadang oleh raksasa Garbasumandha.
Melihat rombongan raksasa yang tak dikenal Arya Widura mengamuk, perajurit
raksasa banyak yang gugur dan melarikan diri.
Barata
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
72
PANDAWA KURAWA
Dikahayangan tempat para dewa bersemayam. Dengan tubuh gagah dan
berwibawa duduk di Mercupundu manik kahyangan sang Hayng Guru. Badan
tegak dengan memilik banyak tangan. Disetiap tangan memegang senjata. Bathara
Guru mengadakan pertemuan di Suralaya, dihadiri oleh Bathara Narada, Bathara
Panyarikan, Bathara Dharma dan Bathara Bayu. Batara Narada merupakan
seorang patih kahyangan dengan tubuh cebol dan berwajah badut. Batara
Panyarikan, tubuh kurus, kecil dan berwajah tampan.ia merupakan dewa senopati
kahyangan. Batara Bayu merupakan dewa angin. Batara Bayu dengan tubuh
gagah, tegak dan kuat berwajah tampan. Begitu dengan Sang Hyang Darma
merupakan dewa keadilan. Berparas tampan. Mereka berbicara tentang kehamilan
Kunthi.
“Kakang Batara Narada, bagaimana kabar Kunthi, kakang...?”
“Adhi Guru, anakku Kunthi sudah mengandung 9 bulan, menurut adhi
Guru bagaimana selanjutnya.....”
“Turunlah kakang Batara bersama Batara Darma, Panyarikan, dan
Bayu...untuk memberi pertolongan pada Kunthi anakku....”
“Sendika adhi Guru....!”
Sang Hyang Guru mengutus para dewa untuk pergi ke Hastina. Bathara
Narada disuruh turun ke marcapada bersama Bathara Dharma, Bathara Panyarikan
dan Bathara Bayu. Batara Narada, bata Mereka disuruh memberi pertolongan
kepada Dewi Kunthi.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
73
PANDAWA KURAWA
Barata
Dalam perjalanan menuju ke Hastina. Raja Basudewa dan Pandhu
berjumpa dengan Patih Kaladruwendra. Mereka dihadang oleh pasukan
Garbasumandha. Pasukan raksasa dipimpim seorang patih yang kejam dan bengis.
Mata melotot bagai mau keluar dengan muka merah merona bagi kilatn api. Patih
Kaladruwendra dengan keris menghadang perjalanan Prabu Basudewa dan
Pandhu.
“Hai satria siapa naamu....haaa...haaaaaaa.......?”
“Jangan bentak – bentak bertanya, bertanyalah dengan sopan, sebelum aku
jawab siapa namamu wahai raksasa... dan dimana dangka( tingggal)mu?”
“Ditanya balik tanya....aku Patih Kaladruwendra dari kerajaan
Garbasumandha...”
“Aku Raja Mandura, Prabu Basudewa dan ini adik iparku raja Hastina,
Prabu Pandhu Dewanata......”
“Oh ini ratu Mandura, kalau begitu serahkan Dewi Maherah pada untuk
kuberikan pada rajaku......”
“Jangan kau ambil istri kakakku, langkahi dulu mayat Pandhu.......”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
74
PANDAWA KURAWA
Terjadilah perkelahian, pertarungan sengit terjadi. Dua kekuatan saling
beradu. Adu jotos keduanya. Hantaman demi hantaman dilancarkan Pandhu.
Begitu pula Kaladruwendra. Tapi hantaman Kaladruwendra tak membuat Pandhu
gentar. Bahkan ia masih berdiri kokoh setiap hantaman Kaladruwendra di
lancarkan mengenai tubuhnya. Melihat pertarungan yang tidak akan selesai
sebelum salah satu mati. Dengan sigap Pandhu mengambil panah. Rentangan
busur panah segera ditarik.
Rek ......rek......!
Juuuuus......juuuuus....melancar bagai kilatan cahaya. Dengan cepat anak
panah tubuh Kaladruwendra. Kaladruwendra terbunuh oleh panah Pandhu. Kepala
sang patih terbang bersama anak panah yang dilepas. Melihat gusti patih mati,
pasukan Garbasumandha lari terbirit untuk menyelamatkan. Dan pasukan
Garbasumandha menghilang. Lari pasukan patih Kaladruwendra segera bergegas
melaporkan akan kematian sang patih.
Melihat aman dan damai, Prabu Pandhu dan Prabu Basudewa melanjutkan
begitu juga raden Ugrasena dan Arya Prabu Rukma.
Barata
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
75
PANDAWA KURAWA
Di kerajaan Garbasumandha, Raja Yaksadarma dan Endrakusuma menanti
kedatangan Garbacaraka. Suara semilir dengan hembuasan angin lebat dan hujan
deras mengiringi kedatangan Garbacaraka. Disambutnya sang utusan tersebut.
“Garbacaraka, bagaimana hasilnya...... ?”
“Ampun sinuwun, hamba Garbacaraka akan bercerita tentang hasil yang
diperoleh, tetapi direbut oleh raja Pandhu.”
Cerita belum selesai, tiba-tiba sebuah jatuh dihadapan raja. Buk.....! suara
jatuh seperti kepala manusia, terlihat darah berceceran. Dilihat wajah kepala itu.
Melihat wajah tak asing, ini kepala Kaladruwendra. Melihat patihnya telah tewas,
Yaksadarma marah, lalu mempersiapkan perajurit, akan menyerang negara
Hastina.
“Dimas Endrakusuma, aku serahkan keamanan kerajaan Garbasumdha
padamu....”
“Baik kanda Prabu, hati – hati kanda...”.
Berangkatlah Prabu Yaksadarma ke Hastina. Bersama beribu – beribu
pasukan yang dipimpin Garbacaraka segera menuju Hastina. Amarah yang panas
bagai gunung berapi siap meletus akibat lamaran di tolak patihnya meninggal.
“Hutang nyawa dibalas dengan nyawa.......!” kata Prabu Yaksadarma.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
76
PANDAWA KURAWA
Hembusan semilir telah bertiup sepoi – sepoi. Tak lama kedatangan
rombongan Prabu Pandhu, Prabu Basudewa, Ugrasena dan Arya Prabu Rukma
disambut baik oleh rakyat Hastina. Rakyat Hastina berhamburan keluar untuk
menyaksikan kedatangan raja mereka, dari perang. Keselamatan raja Pandhu
sangat diharapkan oleh para rakyat Hastina. Karena selama pemerintahan Hastian
tentram dan damai.
Dipaseban Agung Arya Widura telah menanti kedatangan Kanda Prabu
Pandhu berserta rombongan Mandura. Pandhu segera naik tahta. Paseban yang
telah digelar. Bagai sebauh musayawah besar. Raja Pandhu berbicara dengan
Arya Prabu Rukma, Ugrasena, raja Basudewa dan Arya Widura.
“Bagaimana dimas mengenai romo Resi Abiyasa dan romo begawan
Begawan Bisma?”
Arya Widura memberi tahu tentang kesanggupan Bagawan Abiyasa dan
Resi Bisma. Prabu Pandhu merasa bahagia karena kedua orang tua berkenan hadir
dalam kelahiran anak pertamanya. Tengah mereka berbincang-bincang. Suara
angin yang bertiup bagai suara lagu khasiidah yang di dendangkan. Kedatangan
Bagawan Abiyasa dan resi Bisma telah dinanti.
“Raharjo romo resi.. bektiku romo !”
“Ya ger anak Prabu ...pangestunipun terimalah...!”
“Saya terima di atas kepala supaya jadi jimat keselamatan......”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
77
PANDAWA KURAWA
Setelah mereka berdua disambut, lalu diajak masuk ke istana. Suara angin
yang bertiuop dengan aroma bau wangi bunga setaman. Membuat suasana Hastina
dilanda suatu pertanda baik.
“Ada apa gerangan ini bopo resi.......?”
“Oh apa ini kakang Bisma.....?”
“Mana aku tahu dimas resi......?”
“Kang semar menurut ini pertanda apa ?”
“Tenang saja, doro resi ini kedatangan dewa.......!”
“Oh begitu kakang semar.....”
Kedatangan Bathara Narada dan Bathara Darma.Raja Pandhu dan
Basudewa cepat-cepat menyambut kedatangan para dewa.
“Bekti kami bukulun Narada dan bukulun Darma......!”
“Ya Ger Pandhu dan Basudewa........!”
Bathara Narada memberi tahu tentang tujuan kedatangannya. Bathara
Narada menyuruh agar Bathara Darma merasuk kepada Dewi Kunthi,
membimbing kelahiran bayi. Bathara Darma merasuk, bayi dalam kandungan
Dewi Kunthi lahir melalui ubun-ubun. Bayi lahir laki-laki. Bathara Narada
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
78
PANDAWA KURAWA
memberi nama Puntadewa, dan mendapat sebutan Darmaputra. Semua yang hadir
menyambut kelahiran sang bayi.
Kedatangan musuh tanpa diundang, laporan pasukan teleksandi, Raja
Yaksadarma dan para pengikutnya datang menyerang negara Ngastina.
Mendengar Hastina diserang dengan sigap Pandhu menerjang Prabu Yaksadarma.
Raja Yaksadarma mati oleh Pandhu. Mendengar kakak tewas, Endrakusuma maju
kepalagan, ia menantang satria Hastina. Majulah sang Widura, Endrakusuma
mati oleh Arya Widura, Garbacaraka mati oleh Arya Ugrasena. Bathara Bayu
menghalau semua perajurit raksasa. Musuh telah berhasil dibasmi. Pesta besar di
negara Ngastina. Menyambut kelahiran sang Yudistira.
Barata
Sementara Destarastra memilih Dewi Gendari untuk dijadikan istrinya.
Dewi Gendari merasa kecewa. Karena ia gagal sebagai calon permasuri Hastina.
Seharusnya putri cantik sepertinya menjadi istri Pandu Dewanata, bukan
Destarastra yang buta itu. Dalam hati ia bersumpah bahwa anak keturunannya
dengan Destarastra tidak akan pernah akur dengan anak keturunan Pandu
Dewanata.
Tak lama, Dewi Gendari hamil. Namun, Destarastra merasa sangat
bersedih hati, Kesedihan mereka disebabkan kandungan Dewi Gendari yang telah
mencapai usia tiga tahun lamanya. Walau telah mencapai 1000 hari lebih,
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
79
PANDAWA KURAWA
melampaui batas kenormalan usia hamil, akan tetapi belum juga ada tanda-tanda
akan melahirkan si jabang bayi.
Selama mengandung, angan-angan Dewi Gendari tak pernah lepas dari
rasa dendam dan sakit hati kepada Pandu Dewanata. Ambisi untuk menumpas
keturunan sang pandu sebagai pelampiasan dendam sakit hatinya selalu tak pernah
lupa diucapkan dalam permohonan doa Dewi Gendari kepada dewata. Akan tetapi
saat itu belum juga ada dampak terkabulnya doa permintaan isteri adipati negara
Ngastinapura ini. Pagi, siang, sore hingga malam hari, hatinya senantiasa
dirundung perasaan resah gelisah, gundah gulana. Dan bahkan hampir putus asa,
Mengingat antara apa yang menjadi cita-cita dendam hatinya, maupun ingat akan
kandungannya yang telah melampaui kenormalan itu, sama sekali belum
membawa hasil seperti apa yang diharapkannya.
Selama masa kehamilan, Dewi Gendari tak pernah memiliki ketentraman
di hati. Apalagi setelah mengetahui Dewi Kunthi, permaisuri Pandu telah
melahirkan puteranya yang pertama, yang diberi nama Raden Puntadewa atau
juga disebut Raden Wijakangka. Bahkan Dewi Kunthi kini telah dan hampir
melahirkan puteranya yang kedua. Kecemasan serta seribu satu macam perasaan
gelisah dan tidak enak terkandung dalam hati Dewi Gendari ini semakin menjadi-
jadi.
Ketiadamenentuan perasaan hati Dewi Gendari yang sedang berbadan dua
itu, mengakibatkan tubuhnya terasa gerah dan tidak betah tinggal dalam bangsal
Kaputren. Dewi Gendari kemudian melangkahkan kakinya, dengan langkah-
langkah gontai menuruni tangga pualam di bangsalnya menulusuri jalan setapak
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
80
PANDAWA KURAWA
di antara hijaunya rerumputan, menuju ke taman sari kerajaan Ngastinapura yang
luas dan asri, diikuti oleh empat orang emban sebagai abdi pengiringnya. Kala itu
surya telah condong ke barat, saat Dewi Gendari beserta empat orang abdinya
menulusuri jalan setapak yang terbuat dari pualam, diantara semerbak harum
aneka bunga, serta rimbunnya pohon buah-buahan yang menghiasi taman
kerajaan, gerbang-gerbang sebagai batas bagian-bagian taman yang luas itu,
pandangan matanya yang sayu lurus memandang ke depan seakan-akan tak peduli
dengan segala keindahan taman di sekelilingnya. Tak lama kemudian Dewi
Gendari telah melalui gerbang taman yang ke tujuh dan merupakan bagian taman
yang terakhir.
Dalam bagian taman ini berisi aneka macam binatang buas maupun jinak
serta beragam unggas sebaga hiasannya, tak ubahnya seperti isi kebun binatang
layaknya namun tampat terawat bersih dan rapi. Di tengah petamanan margasatwa
ini terdapat sebuah kolam besar yang terbuat dari batu pualam dengan dihiasi
kelompok bunga teratai nan mekar dengan indahnya. Ikan-ikan yang berwarna-
warni berlari berpasangan berkejar-kejaran d bawah warna biru jernihnya air.
Tanpa sepengetahuan Dewi Gendari bahwa kedatangannya di taman satwa itu,
telah membuat seluruh binatang buas yang ada di taman menjadi beringas,
sementara binatang yang jinak serta unggas seperti gelisah dan ketakutan,semua
ini merupakan firasat buruk.
Hembusan angin keras membuyarkan lamunan Dewi Gendari, mengetahui
cuaca buruk, Dewi Gendari mengajak para emban kembali ke kaputren. Langkah
Dewi Gendari semakin dipercepat karena gerimis telah mulai turun. Tiba tiba saja
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
81
PANDAWA KURAWA
Dewi Gendari yang sedang mengandung ini tersentak kaget saat mendengar suara
harimau mengaum begitu keras. Karena rasa kaget yang teramat sangat tubuh
Dewi Gendari gemetar, wajah pucat, tak terasa Dewi Gendari telah melahirkan di
tempat di mana ia berdiri, yaitu bebrapa jengkal sebelum mencapai gerbang
kaputren tempat tinggalnya. Dewi Gendari bukan melahirkan bayi sehat dan
mungil, melainkan adalah segumpal daging yang bercampur darah mengental,
berwarna mrah kehitam-hitaman, daging yang baru lahir dari rahim Dewi Gendari
itu bergerak-gerak serta berdenyut-denyut seakan-akan bernyawa.
Setelah melihat dan mengetahui hal ini, bukan main marah Dewi Gendari,
karena emosinya gumpalan daging itu diinjak injah hingga terpecah belah, lalu
ditendang-tendang dengan kakinya ke arah yang tak menentu, pecahan serta
serpihan daging yang dilahirkan Dewi Gendari tercerai berai berserakan di atas
rerumputan taman. Dewi Gendari merasa emosi, geram dan marah. Setelah itu ia
pun menjerit dan mengangis histeris. Anehnya, setiap serpihan daging yang
berserakan itu besar atau kecil tetap berdenyut dan bergerak-gerak.
Sang Destrarasta menjadi bingung. Dialam bawah sadar ia mendengar
perkataan ayahnya sang resi Abiyasa. Atas nasehat Begawan Abiyasa yang telah
datang secara gaib dari pertapaannya, meminta agar Destarasta untuk menutupi
setiap serpihan daging itu dengan daun jati.
Dewi Gendari segera melakukan perintah sang resi. Dengan perasaan
was-was serta perasaan takut yang tertahan, Dewi Gendari serta emban dan
beberapa orang prajurit penjaga taman melaksanakan tugas yang diperintahkan
Destarasta, menutupi serpihan daging itu dengan daun jati, jumlahnya mencapai
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
82
PANDAWA KURAWA
100 keping. Bersamaan dengan kejadian itu, suasana taman di Ngastinapura
berubah menjadi sangat menyeramkan. Binatang buas mengeluarkan suaranya,
disusul dengan lolongan anjing hutan yang berkepanjangan bersahutan, burung
hantu, kelelawar, burung gagak serta binatang malam lainnya. Binatang-binatang
yang lelolong tak kunjung berhenti, suasana seram dan menakutkan meliputi
Ngastinapura. Banyak para emban dan prajurit penjaga malam ketakutan,
wajahnya pucat, badannya menggigil, merinding bulu romanya.
Selesai memutupi gumpalan darah ,Dewi Gendari turun segera menuju
tempat pemujaan, ia memohon kepada dewa, agar cita-citanya untuk berputera
banyak, bisa terkabul. Tiba-tiba saja Batari Durga muncul secara gaib dan
memberitahukan, apabila lewat tengah malam mendengar tangisan bayi di taman,
Dewi Gendari agar cepat-cepat menghampiri bayi tersebut, karena itu adalah
puteranya. Setelah memberikan pesan Batari Durgapun menghilang dari hadapan
Dewi Gendari secara gaib, kembali ke kahyangan di wukir pidikan.
Dan benar saja, saat terdengar tangisan, Dewi Gendari segera menuju ke
taman. Dan betapa terkejutnya ia saat ia melihat ada 100 bayi di sana. Seluruh isi
kerajaan bahagia mendengar berita tersebut
Berikut nama-nama Kurawa :
1. Duryodana (Suyodana)
2. Dursasana (Duhsasana)
3. Abaswa
4. Adityaketu
5. Alobha
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
83
PANDAWA KURAWA
6. Anadhresya (Hanyadresya)
7. Anudhara (Hanudhara)
8. Anuradha
9. Anuwinda (Anuwenda)
10. Aparajita
11. Aswaketu
12. Bahwasi (Balaki)
13. Balawardana
14. Bhagadatta (Bogadenta)
15. Bima
16. Bimabala
17. Bimadewa
18. Bimarata (Bimaratha)
19. Carucitra
20. Citradharma
21. Citrakala
22. Citraksa
23. Citrakunda
24. Citralaksya
25. Citrangga
26. Citrasanda
27. Citrasraya
28. Citrawarman
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
84
PANDAWA KURAWA
29. Dharpasandha
30. Dhreksetra
31. Dirgaroma
32. Dirghabahu
33. Dirghacitra
34. Dredhahasta
35. Dredhawarman
36. Dredhayuda
37. Dretapara
38. Duhpradharsana
39. Duhsa
40. Duhsah
41. Durbalaki
42. Durbharata
43. Durdharsa
44. Durmagati
45. Durmarsana
46. Durmukha
47. Durwimocana
48. Duskarna
49. Dusparajaya
50. Duspramana
51. Hayabahu
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
85
PANDAWA KURAWA
52. Jalasandha
53. Jarasanda
54. Jayawikata
55. Kanakadhwaja
56. Kanakayu
57. Karna
58. Kawacin
59. Krat
60. Kundabhedi
61. Kundadhara
62. Mahabahu
63. Mahacitra
64. Nandaka
65. Pandikunda
66. Prabhata
67. Pramathi
68. Rodrakarma (Rudrakarman)
69. Sala
70. Sama
71. Satwa
72. Satyasanda
73. Senani
74. Sokarti
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
86
PANDAWA KURAWA
75. Subahu
76. Sudatra
77. Suddha (Korawa)
78. Sugrama
79. Suhasta
80. Sukasananda
81. Sulokacitra
82. Surasakti
83. Tandasraya
84. Ugra
85. Ugrasena
86. Ugrasrayi
87. Ugrayudha
88. Upacitra
89. Upanandaka
90. Urnanaba
91. Wedha
92. Wicitrihatana
93. Wikala
94. Wikatanana
95. Winda
96. Wirabahu
97. Wirada
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
87
PANDAWA KURAWA
98. Wisakti
99. Wiwitsu
100. Wyudoru (Wiyudarus )
Barata
Setelah kelahiran putra pertamanya Pandu merasa bahagia kemudian sang
dewi mulai mengandung lagi. Tak lama pada bulan kelahirannya telah tiba.
Maka lahirlah putra kedua yang berwujud bungkus. Seluruh kerajaan Astina
sangat berduka karena kelahiran anak jabang bayi Prabu Pandu dan Dewi
Kunti yang berwujud terbungkus. Tak ada senjata yang mampu untuk
memecah bungkus tersebut. Kurawa yang juga ikut membantu memecah
bungkus tersebut, walaupun dengan tujuan berbeda ingin melenyapkan sang
jabang bayi – juga tidak sanggup melakukannya. Sampai akhirnya, terdapat
wangsit dewata yang meminta bayi bungkus tersebut dibuang di hutan
Krendawahana.
Sementara belum lama hamil pada anak kedua Dewi Kunti mengandung
lagi. Tapi aneh, pada saat lahir, sukma Arjuna yang berwujud cahaya yang
keluar dari rahim ibunya dan naik ke kayangan Kawidaren tempat para
bidadari. Semua bidadari yang ada jatuh cinta pada sukma Arjuna tersebut
yang bernama Wiji Mulya. Kegemparan tersebut menimbulkan kemarahan
para dewa yang lalu menyerangnya. Cahaya yang samar samar tersebut lalu
berubah menjadi sesosok manusia tampan yang berpakaian sederhana.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
88
PANDAWA KURAWA
Hilangnya sukma Wiji Mulya dari tubuh Dewi Kunthi menyebabkan
kesedihan bagi Prabu Pandu. Atas nasehat Semar, Pandu lalu naik ke
kayangan dan meminta kembali putranya setelah diberi wejangan oleh Batara
Guru. Mengenai hasta brata. Selesai diberi Wejangan pandhu meminta putra
kembali dan mohon pamit untuk kembali ke Hastina. Sang dewi Kunti merasa
bahagia mendengar putranya selamat. Dan memberinama Arjuna, Permadi,
Maka tumbuh dewasa lah bayi tersebut menjadi satria yang tampan.
Merasa kakaknya yang berwujud bungkus belum dapat ditolong, ia pergi ke
pertapan Wukir Retawu. Di pertapaan wukir retawu Begawan Abyasa
kedatangan Raden Permadi yang dikuti oleh punakawan.
“Kakek bagaimana nasib kakak bungkus, sudah sampai beberapa tahun tak
ada kabar baik mengenai ini eyang, menjadikan dukanya ibu Kunti”
“Tentu saja sang Begawan yang memang dipenuhi oleh budi luhur sudah
mengetahui apa yang akan terjadi.
Adanya bayi bungkus tersebut menjadikan gegernya suralaya. Bumi
gonjang ganjing bergetar seperti dibelah. Lautan menjadi kering.
Di suralaya Batara Guru memanggil Gajah Sena putra sang batara yang
berwujud gajah untuk memecah si bungkus sehingga menjadi manusia yang
sejati. Sang guru juga mengutus Dewi Umayi untuk melatih tentang
keutamaan kepada si bayi bungkus.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
89
PANDAWA KURAWA
Selanjutnya Gajahsena dengan kekuatan yang dimilikinya membuka
bungkus sijabang bayi. Namun dengan pecahnya bungkus, sang bayi menjadi
marah karena ia merasa disakiti, maka terjadilah perkelahian yang dahsyat
diantara keduanya. Pertempuran tersebut berakhir dengan kalahnya Gajah
Sena. Namun bersamaan dengan sirnanya jasad sang Gajah, seluruh roh dan
kekuatannya merasuk kedalam badan si bayi bungkus., Kemudian datanglah
Betara Narada.
Si bungkus kemudian bertanya pada Sang Batara Narada ,”Heeem,
siapakah aku ini?”
“Perkencong, perkencong waru doyong …”. “Anakku ger bungkus , kamu
itu sesungguhnya adalah putra nomor dua dari Raja Prabu Pandu Dewanata di
Hastina. Kamu lahir berwujud bungkus, dan kehendak Dewata kamu akan
menjadi ksatria utama, dan untuk itu engkau kuberi nama Bratasena”.
Bratasena kemudian hari menjelma menjadi seorang yang gagah dan
menakutkan karena badannya yang tinggi besar dengan suara yang
menggelegar. Sampai suatu ketika. Datanglah Raja dari Tasikmadu yang
meminta pertolongan kepada Bratasena untuk melenyapkan raja raksasa
bernama Kala Dahana. Patih Kala Bantala, Kala Maruta dan Kala Ranu.
Dengan kekuatannya Bratasena mengalahkan para raksasa tersebut. Mereka
sirna dan semua kekuatan para raksasa tadi menyatu dalam tubuh Raden
Bratasena; itulah kekuatan api, tanah,angin dan air.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
90
PANDAWA KURAWA
Barata
Sementara sang istri yang kedua yaitu Dewi Madrim yang telah
mengandung. Tapi keinginan yang diminta aneh untuk dipenuhi. Merasa
bingung maka Raja Pandhudewanata berwawancara dengan Resi Bisma,
Yamawidura, Patih Kuruncana, Puntadewa, Sena dan Permadi. Sang raja
minta petunjuk dan nasihat kepada Resi Bisma, bahwa Madrim ingin naik
Lembu Andini kendaraan Batara Guru. Resi Bisma memberi saran agar raja
minta nasihat kepada Bagawan Abyasa di Saptaarga, di pertapaan Wukir
Retawu. Raja Pandhudewanata menerima saran Resi Bisma, Patih Kuruncana
diperintahkan mempersiapkan perajurit. Setelah selesai perundingan, raja
masuk ke Gupitmandragini menemui dua isterinya, raja memberi tahu tentang
hasil pertemuan, dan rencana kepergian raja ke Saptaarga.
“Dinda dewi aku akan pergi Sapta arga untuk meminta saran pada romo
resi.....”
“Baik kanda, berhati – hatilah kanda......!”
Yamawidura mengumumkan perintah dan rencana kepergian raja kepada
para perajurit. Para perajurit diperintah supaya menghormat keberangkatan
raja. Sebagian perajurit dipersiapkan untuk mengawal kepergian raja ke Wukir
Retawu. Raja bersama perajurit berangkat ke Saptaarga, dipimpin oleh
Yamawidura.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
91
PANDAWA KURAWA
Barata
Di kerajaan yang tak jauh Hastina yang masih merupakan wilayah
Hastina. Kesuburan tanah gemah rimpah loh jinawi. Yaitu kerajaan Turilaya.
Bogadata raja negara Turilaya berunding dengan Gandapati, Kartipeya, Patih
Hanggadenta, Gendhingcaluring, Togog dan Sarawita. Mereka membicarakan
amanat Arya Suman yang disampaikan oleh Kartipeya, tentang perang
Baratayuda. Mereka menginginkan urungnya perang itu. Mereka mengambil
putusan untuk menyerang negara Ngastina, membunuh raja Pandhudewanata
beserta anak-anaknya. Patih Hanggadenta ditugaskan menyerang negara
Ngastina. Gendhingcaluring ditugaskan menjaga tapal batas, dan siapa saja
yang akan membantu Ngastina supaya dihancurkannya. Raja Bogadata dan
Kartipeya akan pergi ke Ngastina secara sembunyi-sembunyi. Gandapati
ditugaskan menjaga keamanan negara Turilaya. Setelah siap, mereka
berangkat menjalankan tugasnya masing-masing. Perajurit Turilaya bertemu
dengan perajurit Ngastina, terjadilah pertempuran. Pertempuran padam setelah
mereka menghentikan perang. Masing-masing menyimpang jalan mencari
selamat.
Barata
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
92
PANDAWA KURAWA
Pandepokan yang sangat sejuk berada di tengah hutan. Tertutup oleh hutan
lebat dan rimbun. Tinggallah seorang resi dengan putri yang cantik jelita.
Bernama Resi Darmana dan Endang Darmi. Resi Darmana dan anaknya
Endang Darmi berbicara dengan para cantrik di padepokan Hargasana. Sang
Resi membicarakan surat lamaran Brahmana Kamindana. Endang Darmi
menurut kehendak ayahnya.
Tak lama Brahmana Kamindana datang, menagih kesanggupan dan
jawaban Resi Darmana tentang lamarannya. dengan kata keras dan kasar
keluar dari mulut sang Brahmana Kamindana. Watak sang Brahmana
Kamindana amat kasar tutur katanya, mendengar ucapan Resi Kamindana
yang kasar dan tidak santun, membuat Resi Darmana marah, terjadilah
perkelahian. Para cantrik ikut membantu resi Darmana.
Para cantrik mengeroyok Brahmana Kamindana. Mula-mula Brahmana
Kamindana kalah, kemudian menggunakan pusaka saktinya berupa tombak
pendek. Resi Darmana ditangkap akan dibunuhnya. Sebelum terbunuh, Resi
Darmana mengutuk. Brahmana Kamindana dikatakan seperti rusa. Bersamaan
dengan jatuhnya pusaka Brahmana Kamindana ke dada Resi Darmana,
Brahmana Kamindana berubah menjadi rusa dan Resi Darmana meninggal
dunia.
Setelah mendengar kematian ayahnya, Endang Darmi pergi meninggalkan
padepokan. Brahmana Kamindana mengejarnya, tetapi ia tidak dapat
menangkapnya. Dikatakan oleh sang brahmana, Endang Darmi lari cepat
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
93
PANDAWA KURAWA
seperti rusa. Seketika Endang Darmi berubah menjadi rusa betina. Rusa
Kamindana berhasil menangkap rusa Darmi, mereka masuk ke hutan.
Barata
Angin semilir membawa Prabu Pandhu di padekona ayahnya. Raja
Pandhudewanata bersama Semar, Gareng, Petruk dan Bagong menghadap
Begawan Abyasa di Saptaarga. Raja menyampaikan maksud kedatangannya.
Bagawan Abyasa memberi petunjuk dan nasihat, bahwa permintaan Madrim
itu kelewat batas, dan besar bahayanya. Bagawan Abyasa menyerahkan
kepada sikap Pandhudewanata sendiri. Pandhu ingin menuruti keinginan
Madrim, lalu minta diri bersama para punakawan. Bagawan Abyasa
mengawal dari kejauhan, menuju ke Ngastina.
Di tengah perjalanan Pandhu dan para panakawan bertemu dengan
perajurit raksasa dari Turilaya. Terjadilah pertempuran. Perajurit yang
dipimpin Gendhingcaluring kalah dan tidak mampu menglahkan kedigdyaan
Pandu. Togog dan Sarawita kembali ke Turilaya. Pandhu meneruskan
perjalanan ke Suralaya.
Bathara Narada dan Bathara Indra, Bathara Yama, Bathara Aswan,
Bathara Aswin dan Lembu Andini menghadap Bathara Guru. Bathara Guru
bertanya kepada Bathara Aswi dan Bathara Aswin, sebab apa mereka berdua
turun ke Ngastina. Mereka menjawab, bahwa mereka datang atas panggilan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
94
PANDAWA KURAWA
Madrim isteri Raja Pandhu, yang ingin mempunyai anak. Bathara Guru
menyuruh agar mereka berdua turun ke Ngastina, untuk bertanggungjawab
atas kelahiran bayi yang akan datang. Bathara Aswan dan Bathara Aswin
berangkat ke Ngastina.
Sepeninggalnya Bathara Aswan dan Bathara Aswin, raja Pandhu datang,
menghadap Bathara Guru, minta pinjaman Lembu Andini. Bathara Guru
marah, sebab raja Pandhu pernah mendirikan taman larangan dewa yang
disebut Taman Kadilengleng, yang mirip dengan taman Tinjomaya. Pandhu
minta maaf, tetapi Bathara Guru bertambah marah, karena ia hanya menuruti
keinginan perempuan isterinya. Pandhu minta maaf dan menyampaikan
beberapa sanggahan dengan berbagai pertanyaan.
“ Apakah ia bersalah karena menuruti permintaan isteri? “
“Makhluk yang mengajukan permohonan kepada Dewa itu bersalah?”
“Apakah salah bila raja minta perlindungan kepada raja semua
raja?Apakah sudah benar raja Tribuana menolak permintaan raja kecil?
Bukankah raja besar wajib mengabulkan permintaan raja kecil dan
melindunginya? Akhirnya Bathara Guru mengabulkan permintaan Pandhu
dengan syarat, Pandhu tidak akan berbuat salah lagi. Bila Pandhu sudah
selesai naik Lembu Andini maka akan dicabut nyawanya. Pandhu sanggup
menerima hukumannya, lalu mohon diri. Para panakawan dan Lembu Andini
mengikutinya.”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
95
PANDAWA KURAWA
Sepeninggal Pandhu dari Suralaya, Bathara Guru mengutus Bathara
Narada supaya turun ke Ngastina. Nyawa Pandhu harus dicabut sesudah
mengendarai Lembu Andini. Bathara Yama diberi tugas untuk mengikuti
Bathara Narada. Mereka berdua berangkat ke Ngastina. Pandhu mengikuti
jalannya Lembu Andini masuk ke hutan Kandhawa. Di tengah hutan Pandhu
melihat sepasang Rusa yang sedang memadu kasih. Ia iri melihatnya. Rusa
jantan dipanah, berubah menjadi Brahmana Kamindana. Brahmana
Kamindana mengutuk, pandhu akan mati bila memadu kasih dengan isterinya.
Rusa betina juga dipanahnya, lalu kembali menjadi Endang Darmi. Endang
Darmi mengutuk, isteri Pandhu akan mati setelah melahirkan bayi
kandungannya. Brahmana Kamindana dan Endang Darmi musnah dari
pandangan Pandhu. Pandhu kembali ke negara Ngastina.
Bagawan Abyasa dihadap oleh Resi Bisma, Yamawidura, Patih Kuruncana
dan Sena, mereka memperbincangkan kepergian Pandhu ke Suralaya. Pandhu
dan punakawan datang bersama Lembu Andini. Pandhu melapor segala
usahanya, kemudian masuk ke istana menemui Dewi Kunthi dan Dewi
Madrim. Setelah memberi tahu tentang hasil yang diperoleh, Pandhu dan
Dewi Madrim naik Lembu Andini. Mereka melayang-layang di angkasa, di
atas negara Ngastina. Di atas angkasa Pandhu dan Madrim berwawan asmara,
kemudian turun ke bumi Ngastina. Lembu Andini kembali ke Suralaya.
Pandhu masuk istana, bercerita kepada Begawan Abyasa, Resi Bisma,
Yamawidura, Patih Kuruncana, Sena dan Arjuna.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
96
PANDAWA KURAWA
Mereka asyik mendengarkan cerita Pandhu di istana. Bathara Narada dan
Bathara Yama menjalankan tugas mereka, nyawa Pandhu dicabutnya. Pandhu
meninggal dunia, orang seistana gempar kesedihan. Bathara Aswan dan
Bathara Aswin menjelma kepada bayi yang dikandung oleh Dewi Madrim.
Setelah Dewi Madrim tahu bahwa raja Pandhu telah meninggal, ia bunuh
diri, sebuah patrem ditusukkan ke dalam perutnya. Dua bayi lahir melalui luka
perut Dewi Madrim. Bathara Narada dan Bathara Yama datang, menemui
Abyasa, minta agar bayi itu diberi nama Pingsen ( Nakula ) dan Tangsen (
Sadewa ). Kemudian jenasah Pandhu dan Madrim dibawa ke Tepetloka.
Tempat pembakaran mayat. Suara tangis dan haru seluruh rakyat akan
kepergian Raja tercinta mereka. Karena kedua putra Madrim telah ditinggal
ibunya Dewi Madrim. Maka Begawan Abyasa meminta agar Kunthi
mengasuh dua bayi itu seperti anaknya sendiri. Kunthi menerima kedua bayi
dengan senang hati.
Raja Bogadata, Kartipeya dan perajurit Turilaya bersiap-siap menggempur
negara Ngastina. Bagawan Abyasa berunding dengan Resi Bisma.
Yamawidura, Sena, Patih Kuruncana dan Arjuna. Mereka membicarakan
kekacauan negara dan serangan musuh. Bogadata dan perajurit telah
menyerang. Patih Kuruncana ditugaskan untuk menyiapkan perajurit. Sena,
Arjuna dan Yamawidura ikut berperang. Bogadata dipanah oleh Arjuna,
Kartipeya kena panah Yamawidura, Hanggadenta mati oleh Patih Kuruncana,
para perajurit Turilaya musnah oleh amukan Sena. Perang pun selesai.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
97
PANDAWA KURAWA
Bagawan Abyasa, Resi Bisma, Yamawidura dan Patih Kuruncana
berunding, mereka akan menobatkan Dhestharasta sebagai pemegang
pemerintahan sampai para Pandhawa dewasa. Mereka mengadakan pesta
penobatan. Dan arya Suman menjadi patih Hastina. Sementara para Pandawa
tingal bersama eyang mereka di Sapta arga. Menginjak dewasa para Pandawa,
maka diboyonglah ke Hastina.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
98
PANDAWA KURAWA
AWAL PERTIKAIAN
Pagi itu udara segar, langit cerah. Burung berkicau merdu, ayam jantan
berkokok bersusulan. Pertanda hari baru mulai dibentangkan. Negara besar yang
bernama Hastinapura mengawali hari itu dengan mengadakan pasowanan agung.
Sang Prabu Destarastra duduk di dampar kencana, beralaskan beludru hitam
beraroma bunga melati. Sang raja memakai mahkota Jamang Mas bersusun tiga,
didampingi sang prameswari Dewi Gendari, dan dikelilingi para emban, cethi,
keparak, manggung. Hadir dalam pasowawan agung tersebut, Patih Sengkuni,
Resi Bisma, Yamawidura, para tumenggung, mantri, bupati, demang, lurah,
sentana, nayaka dan para kawula.
Menurut silsilah, Prabu Destarastra adalah anak sulung raja Hastinapura
yang bernama Abiyasa atau Prabu Kresnadwipayana dengan Dewi Ambika.
Namun karena ia buta, maka yang diangkat sebagai raja, anak ke duanya yang
bernama Pandudewanata. Pada masa pemerintahan Pandu, Negara Hastinapura
mengalami kemajuan pesat, kesejahteraan meningkat, kejayaan negeri terangkat.
Namun sayang, pada puncak pemerintahannya, Pandudewanata beserta Dewi
Madrim wafat akibat menemuhi permintaan sang istri Dewi Madrim. Maka para
sesepuh istana menyaran agar Destarasta yang memegang tahta Hastina. Menungu
hingga putra Pandu dewasa. Hingga sekarang Destarastralah yang memegang
tahta Hastinapura. Tahta itu telah memberinya segalanya, kesenangan kepuasan,
kekuasaan, kekayaan, kebesaran, kewibawaan dan keagungan. Betapa nikmatnya
tahta itu. Semakin lama duduk di atas tahta, akan semakin nikmat rasanya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
99
PANDAWA KURAWA
Ya itulah tahta, sesuatu yang terbaik di bumi Hastinapura. Berikanlah yang
terbaik kepada anak-anak kita, kata Gendari terngiang ditelinga Destarastra.
Tidak! Itu bukan yang terbaik, karena hal itu dapat menjerumuskan anak-anak kita
ke dalam perang saudara. Namun dikarenakan bujukan Gendari tak pernah henti,
Destarastra terombang-ambing, antara mempertahankan atau menyerahkan tahta.
Jika menuruti pikirannya, tahta akan dipertahankan untuk isteri dan anak-anaknya.
Namun jika menuruti kesadarannya, tahta akan diserahkan kepada anak-anak
Pandudewanata.
Untuk mengatasai konflik batinnya, Destarastra mengadakan Pasowanan
agung, untuk menyampaikan niatnya kepada para tetua dan penasihat negri,
bagaimana pendapat mereka jika anak-anak Pandudewanata diboyong di
Hastinapura, agar diantara Kurawa dan Pandawa dapat hidup berdampingan
dengan damai, bahu-membahu membangun negeri dan meneruskan kejayaan
Hastinapura.
“Sinuwun Prabu sesembahan hamba, hamba menyetujui rencana sinuwun
Prabu memboyong anak-anak Pandudewanata, dan hamba akan mempersiapkan
upacara besar-besaran menyambut kedatangan mereka.”
“Sengkuni, penyambutan itu tidak perlu dengan kemewahan. Semenjak
Negara Hastina ditinggalkan Pandudewanata, banyak kawula yang hidup dibawah
garis kemiskinan. Melihat kenyataan itu, apakah engkau sampai hati
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
100
PANDAWA KURAWA
menghamburkan kemewahan, di tengah-tengah kemiskinan, hanya demi sebuah
upacara? Bukankah yang terpenting adalah keselamatan para Pandawa?”
“Maafkan hamba dhuh Sang Maha Resi Bisma, sesungguhnya maksud
hamba tidak lain kecuali demi menjaga kewibawaan Raja.”
“Ada cara lain untuk menjaga kewibawaan raja, tidak dengan kemewahan
dan kekuatan. Di tengah-tengah keprihatinan, seorang raja akan semakin
berwibawa jika dia rela menanggalkan kewibawaanya dan bersama-sama dengan
kawula ikut merasakan dan menjalani keprihatinan.” Sahut Bisma.
“Ampun Kakanda Prabu.” Sela Yamawidura. “Benar apa yang dikatakan
Paman Resi Bisma, bahwa kewibawaan tidak terletak pada kemewahan, kekuatan
dan simbol-simbol raja yang ada di keraton, tetapi kewibawaan raja ada pada
mereka, para kawula. Bukankah tahta dan mahkota tidak ada artinya jika tanpa
kawula? Dan tepatlah kiranya jika Kakanda Prabu memboyong Pandawa di
Hastinapura. Dengan kebijaksanaan tersebut, rakyat akan menilai bahwa Kakanda
Prabu memperhatikan mereka, mendengarkan suara mereka, serta merasakan
jeritan hati mereka yang dirundung rindu kepada anak-anak Pandudewanata.”
Yamawidura memang dikenal sebagai penasehat bijaksana dan waskitha.
Para sesepuh dan Destarastra menyetujui saran Yamawidura. Maka segeralah
diputuskan hari pelaksanaan memboyong Pandawa, Yamawidura diangkat
menjadi duta, menemui Begawan Abiyasa di Saptarengga, untuk memboyong
Kunthi dan ke lima anaknya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
101
PANDAWA KURAWA
Pada hari yang ditentukan, sejak pagi kawula berduyun-duyun memenuhi
alun-alun dan ruas-ruas jalan yang akan di lewati anak-anak Pandu. Dengan
kesadaran dan ketulusan hati, para kawula memasang umbul-umbul, rontek,
bendera, penjor dan macam-macam hiasan untuk menyambut anak-anak Pandu.
Hastinapura berubah wajah. Ibarat seorang gadis sedang bersolek, untuk
menyambut kekasihnya yang telah lama berpisah. Waktu itu, ketika
Pandudewanata, meninggalkan Hastinapura, rakyat mengiring dengan tetesan air
mata. Nestapa Pandudewanata adalah duka kawula Hastinapura. Setelah lama
berpisah, hari itu, kerinduan antara kawula dan raja tumpah kepada anak-anak
Pandudewanata.
“Hore! Horeee! Calon Raja kita datang.”
“Hidup calon Raja!” “Hidup anak Pandu!” “Hiduuup!”
Sepanjang jalan para kawula Hastinapura mengelu-elukan. Mereka saling
berebut ingin melihat dari dekat putra-putra Pandudewanata. Pancaran
kebijaksanaan Puntadewa, kekokohan Bimasena, ketampanan Harjuna,
ketenangan Nakula dan kecerdasan Sadewa, mampu mengudang kekaguman
rakyat Hastinapura. Ketika kereta yang ditumpangi Dewi Kunthi melintas di
depan mereka, ada rasa iba tersembul dari ekspresi wajah rakyat Hastinapura,
tatkala melihat kerut-kerut wajah wanita setengah baya itu menggoreskan
penderitaan yang teramat dalam.
Sore hari, setelah upacara Pandawa Boyong usai. Jalan-jalan menuju
kotaraja menjadi lengang, alun-alun kembali sepi. Prabu Destarastra termenung,
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
102
PANDAWA KURAWA
merasakan peristiwa yang baru saja berlalu. “Gendari, Benar apa yang dikatakan
Yamawidura bahwa kewibawaan tidak berada pada simbol raja. Tanpa simbol-
simbol raja, anak-anak Pandudewanata disambut bak raja besar, melebihi raja
yang berkuasa. Itu artinya bahwa simbol-simbol raja yang aku pakai selama ini
kosong, dan isinya ada di tangan anap-anak Pandu. Untuk itu sudah sepantasnya
tahta Hastinapura aku berikan kepada Pandawa”
“Jangan Kanda Prabu, Kakanda harus mempertahankan tahta Hastinapura”
“Mempertahankan tahta tanpa kewibawaan?”
“Bukankah Kanda Prabu yang memegang kekuasaan dan menguasai
negeri ini? Termasuk menguasai kewibawaan. Jika kewibawaan itu diyakini
berada di tanggan Pandhawa kita akan merebutnya dan memberikan kepada para
Kurawa. Ingat! Kakanda, kita belum memberikan yang terbaik untuk anak-anak
kita.” Sore menjelang malam, langit menjadi semakin merah. Cahaya matahari
mulai enggan menambah panasnya Bumi Hastinapura yang kian panas, sepanas
hati Dewi Gendari.
Di dalem kasatrian Hastinapura, Puntadewa berkumpul dengan kedua
adiknya, Suasana sedikit hening. Beberapa pepohon yang berada di halaman
memantulkan cahaya matahari ke wajah mereka, melalui balik daun-daunnya
yang berwarna ke coklat-coklatan. Siang itu, saat istirahat, matahari berada diatas
kepala, Semar memanfatkan waktunya untuk mengunjungi momongannya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
103
PANDAWA KURAWA
“Dhuh doro kula, Puntadewa, Bimasena, Harjuna, ada goresan sendu di
wajah kalian. Adakah sesuatu perkara besar yang melebihi kemampuan kalian
untuk menanggungnya, sehingga menggelisahkan hati?”
“Kakang Semar, engkau sungguh seorang panakawan pinunjul, mampu
merasakan apa yang kami rasakan. Memang benar, ada perasaan yang menyesak
hati. Keberadaan kami di Hastinapura rupa-rupanya tidak dikehendaki oleh para
Kurawa. Mereka menunjukan sikap tidak bersahabat, bahkan mengarah pada
permusuhan. Gerak-gerik kami dicurigai, kami dilarang keluar masuk benteng
untuk bertatap muka dengan para kawula, sehingga kami jadi serba salah untuk
melakukan sesuatu.”
“Dhuh doro kula, dengan keadaan yang kurang menguntungkan tersebut
bukan berarti kalian tidak dapat berbuat sesuatu. Bagi orang bijak, waktu jangan
disia-siakan. Setiap denyutnya harus membawa manfaat. Pekerjaan itu jangan
ditunggu, tetapi dikerjakan. Dharma bakti jangan dinanti, tetapi dijalani.”
“Kakang Semar, kami menjadi bingung, apa yang musti kami kerjakan?”
“Dhuh adhuh, ndara, ndara, bendara kula. Sampeyan itu bagaimana ya ?
Di Saptarengga eyangmu Abiyasa telah mengajari banyak hal, baru
beberapa bulan hidup di istana, rasa pangrasa kalian menjadi tumpul. Apakah
kalian tidak melihat dan merasakan kehidupan di lingkungan beteng dalam ini.
Para abdi menjadi korban kebijakan raja, hidup dalam penderitaan dan tekanan.
Mereka butuh dibela, dilindungi dan dibebaskan dari berbagai ancaman. Sebagai
seorang satria masihkan kalian bertanya, apa yang musti dikerjakan?” “Kakang
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
104
PANDAWA KURAWA
Semar, kami telah mencoba melakukan hal itu, namun kami malahan dituduh
menentang kebijaksanaan raja dan membuat kerusuhan di benteng dalam ini”
“Kalian memang harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Kalian
dapat melakukan sesuatu untuk sebuah keadilan, tanpa harus menimbulkan
kecurigaan dan membuat keonaran. Jangan berhenti karena dihalangi! Karena
sesungguhnya pekerjaan mulia tidak akan pernah selesai hanya dengan berpangku
tangan dan keragu-raguan.” Tanpa menunggu jawaban, Semar segera melangkah
pergi. Kakinya yang besar dan kokoh menapaki hamparan pasir, melewati sela-
sela pohon Sawo Beludru. Puntadewa, Bimasena dan Harjuna terpaku diam.
Mereka menatap kepergian Semar hingga hilang ditelan pintu depan menuju arah
keluar.
Siang itu matahari tak terhalang mega, wajah mereka yang merah karena
teguran Semar, semakin memerah diterpa pasir di halaman Kasatrian yang
beterbangan tertiup angin. Dari pandangan matanya dapat diketahui bahwa
perasaan mereka sangat terpukul. Mereka menyadari ketidak mampuannya
menghadapi sebuah suasana yang sengaja dibuat untuk semakin memojokkan
mereka.
Tiba-tiba siang yang hening itu pecah oleh kegaduhan para Kurawa yang
datang di Dalem Kasatrian. Disertai teguran sinis, mereka menghampiri
Puntadewa dan adik-adiknya. Ketiga anak Pandu itu diam saja. Suara yang tidak
mengenakan dan menyakitan itu, sudah terbiasa keluar dari mulut para Kurawa.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
105
PANDAWA KURAWA
“Huaa ha ha…! Bingung! Linglung! Pantas saja anak gunung di kraton
bingung. Ha ha ha. Bukankah hidup di keraton menyenangkan? Makan enak, tidur
nyenyak, apakah masih kurang? Apakah menginginkan wanita sintal manis,
cantik bahenol? Huaaaa …” “Hmm, jaga mulutmu Kakang Dursasana, jika tidak
ingin aku robek.”
Para Kurawa terdiam, mereka tergetar oleh kata-kata Bimasena.
Puntadewa mencoba meredakan ketegangan.
“Sebagai saudara tua yang kami hormati seharusnya kalian tidak
mengeluarkan kata-kata pedas menusuk, karena sesungguhnya kami ingin hidup
berdampingan dengan damai. Di Hastinapura ini bukankah tidak ada perbedaan
diantara kita”
“Tidak berbeda dengan kami? Hua ha ha ha. Menggelikan! Kami adalah
para putra raja yang hidup di keraton, sedangkan kalian adalah anak Pandhu yang
hidup di hutan.”
“Tetapi Ramanda Pandhu adalah raja yang berhak atas tahta Hastinapura.”
“Orang mati tidak dapat naik tahta. Tetapi kalau memang kalian ingin
diperlakukan sama seperti putra raja, silakan minta dikeloni arwah bapakmu,
huaaaaa.” Ejek Dursasana. “Hmm, kurang ajar.”
Bimasena tak mampu menahan amarah ketika ayahnya yang sudah
meninggal dihina. Duryudana dan Dursasana yang berada dipaling depan,
dihampirinya dengan kakinya, Keduanya jatuh terlentang menyentuh pasir. Para
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
106
PANDAWA KURAWA
kurawa maju mengerubut. Belum berlanjut keributan itu, tiba-tiba terdengarlah
suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Bima anakku.”
Ditolehnya arah datangnya suara. Ia melihat Dewi Kunthi ibundanya dan
Yamawidura pamandanya telah berada diantara Puntadewa dan Harjuna.
Bersamaan dengan itu Para Kurawa meninggalkan Kasatrian.
“Bima, jaga amarahmu, tidak ada gunanya membuat onar di negri yang
kita cintai ini.” “Benar kata ibumu Kunthi, jika nafsu amarahmu kau biarkan liar,
akibatnya akan merugikan negri, mencelakai sesama dan menghancurkan diri
sendiri.”
Tanpa sepatah katapun Bimasena berjalan memasuki dalem kasatrian,
dikuti oleh Kunthi, Yamawidura dan kedua adiknya.
Sesampainya di ruang tengah, mereka duduk bersama. Dalam kesempatan
tersebut, Yamawidura menyampaikan perkembangan terbaru yang menyangkut
keberadaan Anak-anak Pandu di Negara Hastinapura. Ada sekelompok petinggi
Negri dan para bangsawan yang membuat laporan, bahwa semenjak Pandawa
memasuki kota raja, kewibawaan raja berangsur-angsur surut. Jika hal ini
dibiarkan, pada saatnya nanti wahyu raja akan berpindah kepada Pandhawa. Maka
jalan satu-satunya yang harus dilakukan adalah mengusir Pandawa dari Bumi
Astinapura.
“Aku sudah mengingatkan kepada Raja, agar meneliti terlebih dahulu
kebenaran laporan itu sebelum mengambil keputusan. Namun omongan Sengkuni
dan Gendari lebih berpengaruh. Kakanda Prabu memutuskan, kalian diusir dari
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
107
PANDAWA KURAWA
Hastinapura. Namun ada secercah harapan, ketika Kakanda Prabu masih
mendengarkan suaraku, untuk tidak mengusir kalian keluar dari bumi Astinapura.
Ia memperbolehkan aku memboyong kalian di Panggombakan, yang masih
terhitung wilayah Hastinapura.”
Malam itu malam purnama, Kunthi, kelima anaknya dan Yamawidura
meninggalkan kotaraja Hastinapura. Tidak seperti ketika mereka memasuki
kotaraja, kali ini, disepanjang jalan yang dilaluinya, tidak ada rakyat yang
mengelu-elukannya, kecuali suara binatang malam yang mengidungkan tembang
kesedihan. Sementara itu, bulan bundar menyembunyikan mukanya di balik awan
hitam, ia tidak sampai hati melihat ketidak adilan yang disandang anak-anak
manusia. Maka berangkatlah mereka ke kadipaten Panggombakkan kediaman
Yamawidura.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
108
PANDAWA KURAWA
DURNA SANG GURU SEJATI
Pagi itu di kapautren Panggombakan yang sekitarnya banyak ditumbuhi
pohon besar kecil nan rindang, ramai oleh kicaunya burung-burung. Teristimewa
suara burung prenjak bersautan persis didepan rumah sebelah kanan. Biasanya itu
pertanda akan datang seorang wiku, pandhita atau panembahan. Semar meyakini
pertanda itu, maka ia bersama para abdi panggombakan mempersiapkan segala
sesuatu untuk menyambut tamu agung tersebut.
Keyakinan Semar dalam menanggapi pertanda alam melalui suara burung
prenjak menjadi kenyataan. Tak lama kemudian, datanglah Begawan Abiyasa dari
Pertapaan Saptaarga. Yamawidura, Kunthi dan Pandhawa tergopoh-gopoh
menyambutnya. Kedatangan Begawan Abiyasa sungguh amat tepat, karena
kerabat Pandhawa sedang gundah hatinya menyusul pengusirannya dari Negara
Hastinapura. Bagaikan air kendi yang telah berusia delapan tahun menyiram
kepala dan hatinya. Dingin menyegarkan. Suasana menjadi tenang tentram.
Belum genap sepekan Begawan Abiyasa tinggal di Panggombakan, tiba-
tiba suasana damai dihempaskan oleh kedatangan Patih Sengkuni dan para
Kurawa. Dengan alasan karena terdorong oleh kerinduannya kepada sauadaranya
yaitu para Pandhawa. Namun ternyata itu sekedar basa-basi yang tidak
berlangsung lama. Rupanya para Kurawa telah mengatur strategi. Beberapa orang
ditugaskan untuk menjauhkan Bima dan saudaranya dengan Begawan Abiyasa.
Karena yang menjadi tujuan utama adalah untuk menemui Begawan Abiyasa.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
109
PANDAWA KURAWA
Pada mulanya mereka menghaturkan sembah seperti layaknya seorang
cucu kepada eyangnya yang bijak. Tetapi apa yang kemudian terjadi? Para
Kurawa yang diwakili Patih Sengkuni menanyakan perihal Lenga (minyak) Tala
milik Begawan Abiyasa. “Kami tidak percaya bahwasanya Sang Begawan tidak
membawanya. Tidak mungkin Lenga Tala lepas dari dirinya.
Karena Lenga Tala merupakan minyak yang mempunuai kasiat luar biasa.
Siapa saja yang sekujur badannya diolesi Lenga Tala ia tidak akan terluka oleh
bermacam jenis senjata. Oleh karena itu kedatangan kami ke Panggombakan ini
untuk memimta Lenga Tala sekarang juga. Jika Sang Begawan Abiyasa
mengatakan bahwa Lenga Tala tidak dibawa, kami akan melepaskan semua
pakaian yang menempel, untuk membuktikan bahwa Sang Begawan telah
membohongi kami! He he he.”
Belum mendapat jawaban, Dursasana mulai melakukan aksinya. Ia dengan
cepat menjulurkan tangannya dan menarik ubel-ubel tutup kepala yang dipakai
Begawan Abiyasa. Bersamaan itu tampaklah benda bercahaya berbentuk oval,
berujud cupu, jatuh dan menggelinding di lantai. Dengan cekatan Dursasana
menyahut benda tersebut dan membawanya kabur, seraya terkekeh-kekeh.
“Memang benar engkau tidak berhohong hai Abiyasa, bahwa dirimu tidak
membawa Lenga Tala. Karena yang membawa adalah aku, hua ha ha” Dursasana
berlari sambil menari-nari menimang cupu yang berisi Lenga Tala, diikuti oleh
Patih Sengkuni, Duryudana dan beberapa Kurawa. Abiyasa bersama beberapa
cantrik tidak mapu berbuat apa-apa. Namun dibalik raganya yang lemah, Sang
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
110
PANDAWA KURAWA
Begawan Abiyasa mempunyai kekuatan lain yang jauh melebihi kekuatan ragawi
manapun, yaitu dengan kekuatan sabda yang keluar dari mulutnya. “Inikah
Destrarastra hasil didikkanmu? Apakah engkau tidak cemas bahwa suatu saat
perilaku anak-anakmu Kurawa yang diperbuat untukku akan menimpamu pula?
Bahkan lebih dari itu, mereka akan beramai-ramai menginjak-injak kepalamu, hai
Destarastra. Dan engkau Sengkuni. Karena mulutmulah semua ini terjadi. Oleh
karena hasutanmu, mulutmu akan menjadi lebar, selebar badanmu.”
Para cantrik mengerti bahwa apa yang di katakan Guru mereka tidak
sekedar ungkapan ketidak puasan, tetapi merupakan kutukan bagi Drestarastra dan
Patih Sengkuni. Maka ketika guntur menggelegar dibarengi angin bertiup
kencang, para Cantrik merasa ngeri, karena hal tersebut menjadi pertanda bahwa
kutukan Begawan Abiyasa benar-benar akan terjadi.
Para cantrik Padepokan Saptaarga yang ikut ke Panggombakan merasa
tercabik hatinya, menyaksikan Sengkuni dan para Kurawa menghina guru mereka,
Begawan Abiyasa. Sikap diam mereka bukan karena ketakutan, tetapi bagi
mereka tidaklah terpuji membuat keributan pada saat bertandang di
Panggombakan. Karena kesadaran tersebut, tanpa diperintah salah satu diantara
para cantrik berlari keluar, untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Bimasena.
Sementara itu, rombongan Kurawa yang berhasil membawa Lenga Tala,
bergantian menimang-nimang benda berbentuk oval bercahaya, sembari menari-
nari di sepanjang jalan. Para peladang yang sedang merawat tanamannya, memilih
menyembunyikan diri, dari pada harus memberi hormat sembah kepada para
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
111
PANDAWA KURAWA
bangsawan yang tidak mereka sukai. Burung-burung pun terbang berhamburan
meninggalkan pepohonan di pinggir jalan untuk mengabarkan kepada kawula
Panggombakan untuk menjauhi jalan yang akan dilewati rombongan Patih
Sengkuni dan para Kurawa, supaya hati mereka tidak dikotori oleh kejahatannya.
Cupu bercahaya berisi Lenga Tala yang dapat membuat kekebalan badan
dari serangan segala jenis senjata dan pusaka, sungguh menyilaukan hati Patih
Sengkuni dan Kurawa. Oleh karena nafsunya itu, mereka tidak memperdulikan
lagi sesamanya, bahkan saudaranya atau malah pepundhennya yang seharusnya
mereka hormati. Saking asyiknya mengamati benda hasil rampasannya, Patih
Sengkuni dan Para Kurawa tidak menyadari bahwa Bimasena telah menyusul
mereka.
Panas hati Bima. Ia tidak mampu lagi membendung luapan amarah. Tanpa
banyak kata, dengan cepat kaki Bima yang perkasa menghampiri dada Dursasana.
Terjengkang-lah Dursasana menipa Kurawa yang lain. Saat itulah tiba-tiba
Bimasena merebut Lenga Tala dari tangan Duryudana. Patih Sengkuni
kebingungan, seperti orang kebakaran jenggot. Dengan suara parau ia berteriak
“Kejar Bimasena dan rebut Lenga Tala!” Dursasana segera bangkit mengejar
Bimasena, diikuti Duryudana dan adik-adiknya serta Patih Sengkuni.
Bimasena adalah seoarang Ksatria sejati. Ia tidak lari. Dengan dada tegak
Bima menunggu terjangan para Kurawa. Bimasena bergeming menerima pukulan
bertubi-tubi. Ia berusaha dengan sekuat tenaga mempertahankan Lenga Tala.
Namun sedahsyat apapun tenaga manusia tentu ada batasnya. Demikian pula
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
112
PANDAWA KURAWA
Bimasena, menghadapi keroyokan para Kurawa. Tenaganya semakin menyusut.
Pada saat kelelahan, ia memutuskan untuk melempar Lenga Tala, jauh ke arah
gunung Sataarga. Sengkuni dan para Kurawa terkejut sesaat, namun kemudian
bagaikan gerombolan Serigala mengejar Domba, mereka berlari kearah jatuhnya
Cupu Lenga Tala. Bimasena dan Harjuna dan beberapa cantrik menyusulnya.
Bima berdiri tegak memandang ke arah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Ada kelegaan
dihati Bima, ketika ia membayangkan bahwa cupu tersebut akan membentur batu
dan isinya tumpah, tidak dapat dimanfaatkan.
Tidaklah mudah untuk menemukan cupu yang dilempar Bimasena.
Walaupun dengan sisa tenaganya, lemparan Bimasena jauh hingga menjangkau di
balik bukit, sehingga Patih Sengkuni dan Kurawa kehilangan arah jatuhnya Cupu
Lenga Tala. Menjelang sore, Cupu Lenga Tala belum di temukan. Akhirnya Patih
Sengkuni dan Kurawa dipaksa menghentikan pencariannya, karena hari mulai
gelap. Mereka bertekad tidak akan pulang ke Negara Hastinapura sebelum dapat
menemukan cupu tersebut.
Malam merambat pelan. Di tempat peristirahatan, Patih Sengkuni,
Duryudana dan Dursasana tidak dapat segera memejamkan mata. Kekhawatiran
yang sama, muncul di dalam benaknya. Mereka khawatir jika malam terlalu
panjang, Cupu Lenga Tala ditemukan orang lain. Niat mereka ingin merobek
malam sehingga pagi segera menjelang, untuk melanjutkan usahanya mencari dan
menemukan Lenga Tala. Namun sang malam berjalan seperti biasanya, hingga
gelapnya mencapai titik sempurna. Pada saat itu, hampir bersamaan, ketiganya
tercengang melihat seleret sinar kebiru-biruan yang membelah langit dari bawah
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
113
PANDAWA KURAWA
ke atas. Tanpa diperintah ketiganya bergegas menuju tempat asal sinar misterius
tersebut. Karena kegaduhan langkah mereka, para Kurawa yang lain terbangun
dari tidurnya. Tanpa mengetahui apa yang dilakukan oleh para pimpinan mereka,
mereka bangun menyusul Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursasana yang sudah
mendahului hilang ditelan pekatnya malam.
Niat Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan Kurawa lainnya berubah.
Jika semula mereka menginginkan hari segera pagi, namun dengan adanya cahaya
kebiru-biruan, mereka bermaksud menghentikan gelap, sebelum dapat
menemukan apa yang menjadi sumber cahaya tersebut. Karena di dalam gelap
mereka dapat dengan jelas melihat sinar kebiru-biruan itu, sehingga dengan
mudah dapat menemukan tempat cahaya itu berasal.
Di pinggir hamparan tanah pategalan, tepatnya di sebuah sumur tua, awal
dari cahaya itu. Secara bebarengan mereka mendekati sumur melongok di
dalamnya. Mata mereka berkilat-kilat melihat benda yang menjadi sumber dari
cahaya. Hampir bersamaan mereka berucap “Cupu Lenga Tala.” Betapa senang
hati mereka melihat benda yang dicarinya ada di depan mata dalam keadaan utuh.
Maksud hati ingin segera mengambilnya, namun mereka kebingungan bagaimana
caranya? Sumur yang tidak begitu luas itu amat dalam. Dinding sekelilingnya
penuh lobang, ditumbuhi semak belukar. Tampaklah di antara rimbunnya semak,
beberapa ekor ular berbisa dengan badannya yang mengkilat tertimpa cahaya.
Melihat keadaan sumur yang menyeramkan, diantara mereka tidak ada yang
punya nyali untuk masuk ke dalam sumur. Beberapa lama mereka mondar-mandir
di seputar sumur, tanpa berbuat sesuatu.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
114
PANDAWA KURAWA
Bersamaan dengan merekahnya fajar di ujung Timur, Bimasena, Harjuna
dan saudara-saudaranya datang. Sengkuni menyapanya dengan amat manis.
“Anak-anakku Pandawa, kebetulan kalian datang. Hampir saja kami putus asa
tidak dapat menemukan Cupu Lenga Tala. Sekarang cupu telah diketemukan di
dalam sumur tua ini. Namun di antara kami tak ada berani mengambil. Hanya
kalianlah yang kami harapkan dapat mengambilnya, untuk kemudian dibagi
dengan adil.” Bimasena dapat menangkap dibalik kata-kata manis, ada tipu
muslihat yang kotor. “Aku tidak mau! Biarlah Cupu Lenga Tala tenggelam di
dasar sumur, dari pada jatuh ke tangan orang-orang durhaka.”
Bimasena dan saudara-saudaranya ingin segera pergi, tanpa berniat
melongok sumur tua itu. Namun langkah mereka terhenti ketika melihat
kelebatnya seseorang. Dengan langkahnya yang ringan orang tersebut menuju
sumur tua. Ia membawa rumput kalanjana yang telah disambung-sambung. Semua
mata menatapnya. Walaupun badannya cacat, mata orang itu tajam bagai elang.
Kewibawaan memancar kuat darinya. Sesampainya di bibir sumur, sembari
menebarkan pandangan ke arah Kurawa dan Pandhawa, ia berkakata. “Apa yang
kalian inginkan dariku?” “Ambilkan benda itu untuk kami!.” Teriak para Kurawa.
“Baiklah! Lihatlah!” Seperti mendapatkan aba-aba, para Kurawa berebut merapat
di bibir sumur, ingin melihat apa yang akan dikerjakan orang asing tersebut.
Dengan penuh keyakinan ia menurunkan rangkaian rumput kalanjana ke dalam
sumur. Ditanganya, sambungan rumput-rumput itu berubah bagaikan seekor naga
kecil yang ganas, menyergap Cupu Lenga Tala, dan mengangkatnya ke
permukaan sumur. Dalam sekejap Cupu Lenga Tala telah berada dalam
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
115
PANDAWA KURAWA
genggamannya. Para kurawa bersorak gembira. Bagaikan anak-anak kecil yang
mendapatkan kembali mainan kesukaannya. Mereka saling berdesakan, berebut
menjulurkan tangannya, untuk mendapatkan Cupu Lenga Tala.
Orang asing tersebut mengerutkan keningnya, ia nampak tidak senang atas
perilaku para Kurawa. “Tidak sembarang orang yang mempunyai benda istimewa
ini. Aku ingin bertemu dengan pemiliknya untuk mengembalikan padanya.”
Dalam hati mereka bertanya-tanya. Siapakah orang ini? Apakah dia kenal dengan
Begawan Abiyasa, pemiliknya?. Namun mereka tidak berani menanyakan hal
tersebut. Ada rasa getar dan takut menyaksikan kesaktian yang telah ditunjukkan.
Oleh karena itu para Kurawa tidak berani memaksakan kehendak untuk
mendapatkan Cupu Lenga Tala. Mereka menyerahkan kepada Patih Sengkuni
yang dipercaya mempunyai banyak siasat untuk mendapatkan cupu dari tangan
orang asing tersebut.
Sementara itu para Pandhawa justru lebih tertarik kepada perilaku orang
asing tersebut yang dipercaya mempunyai segudang ilmu tingkat tinggi, dari pada
Cupu Lenga Tala. Bagi para Pandhawa yang sejak kecil gemar berguru, bertemu
dengan orang berilmu tinggi merupakan kesempatan yang tidak boleh sia-siakan.
Maka dengan tak segan-segan mereka menghampirinya. Harjuna bersimpuh
menyembahnya dan Bimasena mengangkat orang itu di atas kepala wujud lain
dari sembah Bimasena. Keduanya hampir bersamaan berucap: “Perkenankanlah
aku menjadi muridmu ya maha guru.” Orang itu terharu karenanya.. Sejak awal ia
mengamati Bimasena dan Harjuna. Matanya yang tajam dapat melihat kejujuran,
kepatuhan, kesetiaan dan bakat yang luar biasa dibalik ketampanan Harjuna dan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
116
PANDAWA KURAWA
kegagahan Bimasena. Gayungpun pun bersambut. Sesungguhnya penggembaran
orang asing tersebut hingga sampai ke tempat ini dalam upaya mencari murid
terbaik. Dan saat ini telah ditemukan dalam diri Harjuna dan Bimasena.. “Siapa
namamu bocah bagus?” “Nama hamba Harjuna” “Dan kau bocah gagah perkasa?”
“Bimasena” “Baiklah Harjuna dan Bimasena mulai hari ini kalian aku angkat
menjadi muridku”
Orang sakti bertubuh cacad itu telah mengangkat murid baru, Bimasena
dan Harjuna, dan disusul Puntadewa, Nakula dan Sadewa. Dalam pernyataan awal
mereka berlima berjanji akan selalu patuh kepada guru. “Ha, ha, ha, bagus-bagus!
Aku tidak menyangka bertemu kalian berlima yang terkenal dengan sebutan
Pandhawa Lima. Dengan suka hati aku bersedia menjadi gurumu”
Patih Sengkuni gusar. Orang asing yang berhasil mengambil Cupu Lenga
Tala, telah mengangkat murid Pandhawa. Dengan demikian dapat dipastikan
bahwa Lenga Tala akan diberikan Pandhawa. Apalagi setelah mengetahui bahwa
para Kurawa telah merebut paksa dari tangan Begawan Abiyasa. Namun sebelum
kemungkinan paling buruk terjadi, Patih Sengkuni segera mendekatinya, dengan
penuh hormat ia memperkenalkan diri. “Namaku Sengkuni, patih Hastinapura,
dan yang berada di sekitar sumur itu adalah putra-putra raja. Jika diperbolehkan
aku akan memanggilmu Kakang, seperti layaknya sebutan untuk saudara tua.
Kebetulan Sang raja butuh guru sakti bagi putra-putranya. Untuk itu kakang,
sekarang juga engkau aku ajak menghadap raja. Aku akan meyakinkan
kesaktianmu, sehingga raja berkenan mengangkatmu menjadi guru resmi istana.”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
117
PANDAWA KURAWA
“Sebenarnya orang asing tersebut tidak membutuhkan murid, selain
Pandhawa lima. Namun tawaran Patih Sengkuni perlu dipertimbangkan. Karena
dengan menjadi guru istana, ia dapat memanfaatkan kekuatan dan kebesaran
Hastinapura untuk tujuan-tujuan pribadi. “Baiklah Adhi Sengkuni, aku terima
tawaranmu, asalkan anakku Aswatama dan Pandhawa lima boleh masuk ke istana
untuk bersama putra-putra raja mendapatkan ilmu dariku.”
Sengkuni keberatan dengan syarat itu. Ia tidak suka Pandhawa tinggal di
istana. Bahkan beberapa waktu lalu Patih Sengkuni berhasil membujuk raja untuk
mengusir Pandhawa, dengan alasan bahwa Pandhawa telah menghasut rakyat
untuk memusuhi raja. “Jika kalian keberatan dengan syarat itu, akupun keberatan
untuk masuk istana. Maaf! Selamat tinggal! Ayo murid-muridku, ikutilah aku!”
“Adhuh celaka! Lenga Tala dibawa! Para Kurawa kejar dia!!”
Ketika Kurawa bergerak untuk mengejar mereka, tiba-tiba kabut tebal
menghadang jalan. Orang sakti dan Pandawa lima lenyap di balik putihnya kabut.
Tak lama para Pandawa tiba di Sokalima. Dan saat menjelang pagi para
Pandawa mulai belajar ilmu dari sang guru. Arjuna yang ahli menggunakan
gandewa. Bima sangat ahli mengunakan gada. Yudistira ahli mengunakn tombak.
Nakula dan Sadewa ahli mengunakan pedang. Hari – hari para Pandawa belajar
pada sang guru. Terutama Arjuna yang sangat hebat dalam memanah hal ini
dirasakan ole sang Drona. Kebehatan bahkan bisa melebihi sang guru Drona.
Maka menjelang tengah malam, Harjuna memasuki halaman padepokan
Sokalima. Temaramnya cahaya lampu minyak menyambut wajah halus nan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
118
PANDAWA KURAWA
tampan di pintu gerbang padepokan. Wajah tersebut sudah sangat dikenal oleh
para cantrik yang jaga, sehingga dengan serta-merta mereka menyambutnya
dengan penuh hormat, dan mengantarnya sampai di depan pintu, tempat sang guru
menanti.
Sang Guru Durna sudah cukup lama duduk bersila di ruang dalam
menghadap meja dengan lampu minyak yang diletakkan di tengah-tengahnya. Di
meja pendek itulah Guru Durna meletakan pusaka andalan yang berujud busur
panah pemberian Batara Indra, namanya Gandewa. Kedahsyatan pusaka ini
adalah, jika busur tersebut ditarik di medan perang, akan mengeluarkan anak
panah dengan jumlah tak terbatas, dapat mencapai ratusan ribu, tergantung dari
pemakainya. Sesungguhnya busur ini akan diwariskan kepada Aswatama, anak
laki-laki satu-satunya. Namun rupanya sang guru Durna tidak cukup puas dengan
kemampuan Aswatama. Dibandingkan dengan murid-murid yang lain, Aswatama
tidak memiliki keistimewaan, sehingga jika pusaka Gandewa dipercayakan
kepada Aswatama, ia akan mengalami kesulitan untuk menggunakannya, apalagi
jika harus menarik busur Gandewa di medan perang.
Dengan mempertimbangkan kemampuan yang ada, terlebih pada
penguasaan berolah senjata panah, maka Harjunalah yang mempunyai
kemampuan memanah jauh meninggalkan murid-murid yang lain. Maka tidak
dapat disalahkan jika Harjuna lebih diistimewakan dibanding murid-murid yang
lain, termasuk juga Aswatama, karena Harjuna memang istimewa.
Suara gemerit menandakan pintu ruang tengah dibuka.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
119
PANDAWA KURAWA
“Saya datang menghadap di tengah malam ini bapa guru, maafkan saya”
“Masuklah Harjuna, aku telah lama menunggumu.”
Dengan langkah hati-hati Harjuna memasuki ruangan, menyembah, untuk
kemudian laku dhodhok dan duduk menunduk di hadapan sang guru Durna. Mata
Harjuna menatap sebuah busur yang pernah diperlihatkan kepadanya. Ada getar
yang kuat di hati Harjuna melihat busur Gandewa yang sengaja diletakan dan
disiapkan di meja. Sebagai murid yang lantip dan cerdas Harjuna dapat membaca
bahwa ada hubungannya antara pemanggilan dirinya dengan pusaka Gandewa.
Suasana menjadi hening dan khidmat ketika Durna mengawali
pembicaraan yang wigati dan serius.“Harjuna murid yang aku kasihi, engkau tahu
pusaka ini adalah pemberian Batara Indra pemimpin para Dewa. Diberikan
padaku karena ketekunanku menjalani laku belajar ilmu memanah, baik secara
lahir dan juga secara batin. Sehingga bagiku busur Gandewa ini merupakan tanda
puncak prestasiku dalam hal ilmu memanah.
Namun sekarang aku tidak muda lagi, apalagi fisikku cacat sehingga tidak
mungkin berprestasi seperti dulu lagi. Oleh karenanya, busur Gandewa ini
sebaiknya aku wariskan kepada murid yang dapat mencecap ilmu memanahku
dengan tuntas.
Pada mulanya aku memang berharap banyak kepada anakku Aswatama,
namun dengan jujur aku mengakui bahwa ia tidak mampu mewarisi pusaka
dahsyat ini, dikarenakan ilmu memanahnya tidak sempurna. Harjuna tentunya
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
120
PANDAWA KURAWA
engkau dapat membaca arah pembicaraanku ini. Namun pasti engkau tidak akan
pernah menduga rencanaku atas pusaka ini.”
“Ampun Bapa Guru, saya tidak akan pernah mengungkapkan isi hatiku,
sebelum Bapa Guru mengatakan kepadaku. Karena sesungguhnya, bapa guru
dapat membaca isi hatiku.”
“He he he, Harjuna engkau memang murid yang selalu bisa membuat aku
bangga. Kepatuhan, ketekunan, kemampuan dan kesetiaan yang telah engkau
baktikan kepadaku selama ini adalah dasar pertimbanganku untuk memberikan
semua ilmu yang ada padaku, khususnya ilmu memanah. Sehingga dengan
demikian kemampuan memanah yang telah engkau kuasai sejajar dengan dengan
kemampuanku. Jika aku lebih unggul dalam pengalaman, engkaupun lebih unggul
dalam hal tenaga.
Harjuna bocah bagus, seorang guru sejati akan sangat berbahagia jika
dapat menghasilkan murid yang mempunyai kemampuan melebihi gurunya. Maka
untuk itulah aku memanggilmu secara khusus di tengah malam ini untuk
menyempurnakan ilmu memanah yang telah aku ajarkan padamu.”
Tangan Durna yang mulai menampakan keriputnya tersebut bergetar,
dengan perlahan dan hati-hati ia mengambil pusaka Gandewa.
“Terimalah pusaka ini, Harjuna”
“Bapa Guru”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
121
PANDAWA KURAWA
“Seperti ketika aku menerima pusaka ini dari Batara Indra, demikian pula
aku memberikan pusaka ini kepadamu sebagai tanda penghargaan atas prestasimu
dalam ilmu memanah.”
“Adhuh Bapa Guru, apakah aku cukup pantas menerima penghargaan
yang demikian tinggi? Tidakkah Aswatama yang lebih berhak menerima warisan
pusaka dari Bapa Guru Durna?”
“Harjuna, purbawasesa ada padaku, aku masih percaya bahwa engkau
tidak akan pernah mencoba untuk tidak taat kepada perintahku.”
“Ampun bapa guru Durna, dengan penuh rasa bakti dan hormat pusaka
Gandewa aku terima. Terimakasih bapa guru atas penghargaan ini.”
Dengan perlahan tangan Harjuna dijulurkan menerima pusaka Gandewa.
Di sisi gelap, jauh dari jangkauan cahaya lampu minyak, ada sepasang
mata yang sejak awal memperhatikan dialog antara guru dan murid tersebut. Pada
saat pusaka Gandewa telah berpindah ke tangan Harjuna, dari ke dua sudut mata
tersebut menyembul airmata bening berkilau. Walau hanya beberapa tetes, namun
telah mampu membasahi ke dua pipinya.
Aswatama sakit hati melihat haknya direbut oleh orang lain. Bagaimana
tidak? Bukankah ia adalah anak semata wayang, satu-satunya pewaris dari sang
Guru Durna, tetapi mengapa dengan enaknya, tanpa pembicaraan dan
pemberitahuan lebih dulu, bapanya telah mewariskan mustikaning pusaka
Gandewa pemberian Dewa Indra itu kepada Harjuna. Siapakah Harjuna itu?
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
122
PANDAWA KURAWA
Bukankah ia hanyalah salah satu murid Sokalima? Tidak ada hubungan darah
sama sekali dengan Sang Guru Durna?
“Dhuh Dewa!!!” Aswatama merebahkan diri di lantai, air matanya akan
menetes, namun tiba-tiba ditahannya, ketika ia mendengar langkah kaki yang
tidak asing di telinga mendekati dirinya. Dengan segera ia bangkit. Panas hatinya
telah mengeringkan air di matanya. Sebelum suara langkah kaki tersebut sampai
ditempat itu, ia lari menembus kegelapan malam. Langkah Durna dipercepat agar
dapat mengetahui kemana Aswatama mengarahkan larinya.
Di tanah lapang ujung dusun Aswatama menghentikan larinya. Ia
berbaring terlentang dirumput yang mulai dibasahi embun malam. Walaupun
malam itu bulan sedang tidak bertahta, langit tidak menjadi gelap-pekat karena
bertaburnya berjuta bintang. Aswatama membiarkan rasa dingin mulai menyentuh
kulit, merambat ke aliran darah menuju ke jantung dan meyebar ke hati, ke otak
dan ke seluruh tubuh.
Proses pendinginan itulah yang kemudian membuat Aswatama tidak
mampu lagi membendung air matanya. Ia menagis tersedu-sedu bukan karena
pusaka Gandewa, tetapi lebih kepada bahwa keberuntungan tidak pernah berpihak
padanya. Dhuh Sang Hyang Tunggal, tidakah Engkau cabut saja nyawaku, dari
pada hidupku hanya akan menambah cacatan buruk bagi sejarah manusia.
Dalam keadaan seperti itu biasanya Aswatama mulai berimajinasi tentang
ibunya yang adalah seorang bidadari bernama Wilutama. Dengan cara demikian
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
123
PANDAWA KURAWA
maka semua persoalan hidup akan terlupakan. Yang ada adalah sebuah kerinduan
untuk berjumpa dengan seorang ibu yang pernah melahirkannya.
Dicarinya wajah ibunya diantara bintang-bintang yang berserakan, namun
tidak pernah ditemukan. Bahkan senyumnyapun tidak.
Barata
Siang itu langit biru bersih tanpa awan. Sang surya bersinar dengan
sempurna. Namun walaupun begitu panasnya tidak mampu menembus lebatnya
pepohonan di hutan kecil yang berada di sekitar Padepokan Sokalima. Di ujung
jalan setapak yang diapit oleh rimbunnya semak belukar, ada serombongan
bangsawan sedang berburu binatang hutan. Salah satu di antaranya adalah
Harjuna dengan membawa anjing pelacak. Tanpa seorang pun mengetahui apa
yang terjadi, tiba-tiba si anjing menyalak dengan keras dan berlari menuju arah
tertentu. Tanpa diberi aba-aba Harjuna dan saudara-saudaranya mengikuti anjing
pelacak tersebut.
Cep! Langkah mereka terhenti, demikian juga nyalak anjing pelacak diam
seketika. Perlahan-lahan Harjuna mendekati anjing kesayangannya yang sudah
tidak bergerak. Hatinya berdesir, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Kesatria luar biasa, murid andalan Sokalima tersebut tak kuasa menahan gejolak
hatinya. Kemarahan besar meledak-ledak di dadanya. Selama hidupnya belum
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
124
PANDAWA KURAWA
pernah ia mendapat malu seperti saat ini. Sebagai satu-satunya murid Sokalima
yang ahli berolah senjata panah telah dihadapkan kenyataan bahwa tingkat
kemampuan menggunakan senjata panah yang dikuasai Harjuna masih berada di
bawah seorang yang melepaskan anak panahnya ke kepala anjing pelacak
tersebut. Dengan seksama Harjuna dan saudara-saudaranya meneliti panah yang
tepat menancap di antara kedua mata anjingnya dengan sempurna. Ada tujuh anak
panah yang menancap hampir bersamaan pada satu titik yang sama. Sehingga
cukup menyisakan satu anak panah rangkap tujuh. Sangat luar biasa.
“Kurang ajar, siapa orang yang telah memanah anjing kesayanganku!?”
Bima, Puntadewa, Sadewa dan Nakula, lebih heran lagi dibandingkan
dengan Harjuna. Mata mereka tidak melihat ketika ada tujuh panah yang hampir
bersamaan menghujam otak si anjing pelacak yang hanya berjarak beberapa
jengkal di depannya.
Harjuna adalah seorang ksatria yang gemar ‘tapa ngrame’, selalu siap
sedia menolong sesamanya yang membutuhkan, melindungi yang lemah,
membela yang teraniaya. Ia senantiasa memperjuangkan kebenaran dan
menentang yang durhaka. Maka tidak mengherankan, jika pada saat Sang Harjuna
menyusuri jalan-jalan pedesaan, mereka berebut untuk menawarkan agar Harjuna
berkenan singgah di rumahnya, untuk memberikan cunduk bunga melati, lambang
dari cinta dan kasih sayang. Oleh karenanya bagi keluarga yang dikunjungi
Harjuna menjadi berkah akan berkelimpahan.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
125
PANDAWA KURAWA
“Hore! Hore! Hore! Sang Pekik datang, kita sambut dia, kita taburkan
bunga mawar warna-warni. Ayo jongkok, ayo jongkok, jongkok. Beri sembah
hormat kepadanya. Sang Pekik mampirlah di gubuk kami, mangga pinarak Raden,
Raden Harjuna. Horeee!”
Cep klakep! Suara suka-cita para kawula pedesaan yang terngiang di
telinga berhenti seketika. Demikian pula suasana penuh kasih yang pernah
singgah di sanubari lenyap tak berbekas. Ketika sang Harjuna melihat anjing
kesayangannya tergeletak mati ditembus tujuh anak panah sekaligus. Yang
ditinggal adalah sebuah kemarahan, yang semakin menjadi besar.
“Kurang ajar! Siapa yang berani menghina Harjuna, ayo keluarlah! Perang
tanding melawan panengah Pandawa.”
Suasana hening sepi, tidak ada suara yang menanggapi tantangan Harjuna.
Puntadewa cemas akan keadaan adiknya.
“Dinda Harjuna, mengapa jiwamu menjadi ringkih, engkau tidak dapat
mengendalikan amarahmu ketika melihat panah luar biasa.”
“Karena anjing kesayanganku dibunuh.”
“Bukan Dinda Harjuna, bukan karena anjing kesayanganmu yang telah
mati, tetapi karena pembunuhnya adalah orang yang sangat luar biasa dalam
menggunakan senjata panah, melebihi kemampuanmu. Bukankah begitu Harjuna.
Seharusnya engkau menjadari, bahwa di atas langit masih ada langit.”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
126
PANDAWA KURAWA
“Kakanda Punta, bukankah langit di atasku adalah Bapa Guru Durna?
Mungkinkah yang melakukan ini adalah Bapa Guru Durna? Karena hanya Bapa
Guru yang mempunyai ilmu panah Sapta Tunggal yaitu melepaskan tujuh anak
panah pada satu titik sasaran. Namun selama aku menjadi muridnya, Bapa Guru
Durna belum pernah memberi contoh ilmu panah Sapta Tunggal sesempurna kali
ini. Bapa Durna! Aku datang menghadap.”
Kedatangan Harjuna dan saudara-saudaranya disambut Pandita Durna
dengan wajah berseri-seri. Maklumlah, Harjuna dan Bimasena adalah murid-
murid kesayangan yang menjadi andalan Sokalima. Namun rupanya keceriaan
wajah sang guru terhenti. Dahinya yang memang sudah keriput semakin keriput
ketika ditatapnya Harjuna membawa anjing yang mati tertancap panah di dahinya
dengan ilmu Sapta Tunggal.
Hatinya berdesir. Ia tahu siapa yang melakukannya, siapa lagi kalau bukan
Ekalaya. Tetapi bagaimana jika Harjuna tahu tentang Ekalaya?
“Apakah Bapa Guru yang telah melakukan ini?”
Durna menggelengkan kepalanya
“Lalu siapa yang telah menguasai ilmu Sapta Tunggal, salah satu ilmu
panah andalan Sokalima dengan sempurna?”
Durna berusaha untuk menyembunyikan nama Ekalaya terutama di
hadapan Harjuna. Karena ia tahu jika Harjuna mengetahui bahwa ada murid
Sokalima yang lebih pandai dibandingkan dirinya, akan fatal jadinya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
127
PANDAWA KURAWA
“Harjuna, akhir-akhir ini hutan di sekitar Sokalima sering didatangi
pemburu asing, mungkin salah satu di antaranya yang telah melepaskan panah
itu.”
“Ampun Bapa Guru, apakah ilmu Sapta Tunggal juga diajarkan di luar
Sokalima?”
“Tidak Harjuna, tetapi ada ribuan ilmu memanah yang diajarkan di luar
Sokalima. Dan bisa saja beberapa di antaranya mirip dengan ilmu Sapta Tunggal.
Lolongan anjing yang terus-menerus dirasa dapat mengganggu semedinya,
maka Ekalaya melepaskan anak panah dari jarak jauh dan diarahkan ke suara
anjing. Namun ternyata tindakan yang dilakukan Ekalaya tersebut berbuntut
panjang. Pasalnya anjing yang terkena panah bukan anjing hutan, dan bukan pula
anjing milik penduduk sekitar, seperti yang diduga oleh Ekalaya. Namun anjing
tersebut ternyata anjing pelacak milik Harjuna.
Ketika Harjuna membawa bangkai anjingnya kepada Pandita Durna, dan
menanyakan perihal panah yang menancap, Harjuna belum sepenuhnya lega atas
keterangan Sang Guru Durna. Ia akan mencari sampai ketemu, siapa
sesungguhnya orang berilmu tinggi yang telah membunuh anjingnya. Maka
Harjuna segera mohon pamit untuk kembali ke hutan kecil di pinggiran Sokalima.
Barata
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
128
PANDAWA KURAWA
Melihat kegelisahan Harjuna, Aswatama yang sejak awal mengamati dari
kejauhan, diam-diam mendahului Harjuna masuk ke tengah hutan untuk
mengabarkan kepada Ekalaya dan Anggraeni. Demi keselamatan dua sahabatnya
Aswatama menyarankan agar keduanya pergi ke tempat yang aman untuk
sementara.
Sejatinya Ekalaya tidak gentar sedikit pun berhadapan dengan Harjuna,
namun jika ia dan Anggraeni mau menyingkir ke tempat yang aman, tindakan itu
merupakan penghargaannya kepda Aswatama sahabatnya. Tidak beberapa lama
sejak kepergian Ekalaya dan Anggraeni, Harjuna sampai di sanggar Ekalaya.
Mata Harjuna teperanjat melihat ada patung Pandita Durna di tengah.
Siapa yang membuat patung ini? Patung yang diletakkan sedemikian rupa itu
sangat hidup. Mata dan senyum bibirnya akan membuat getar siapa pun yang
memandangnya. Pandangan Harjuna ditebarkan mengamati tempat di sekitarnya.
Dilihat dari kebersihan dan perlengkapan yang ada, tempat ini masih aktif
digunakan untuk latihan memanah. Lalu siapa orangnya? Apakah ia yang
memanah anjingku? Sembunyi di mana ia?
Harjuna, satria berbudi halus dan suka menolong tersebut, perlahan-lahan
dirambati perasaan marah. Darahnya menghangat dan mulai mendidih.
“Kurang ajar! Jika engkau satria keluarlah! Hadapi aku......”
Harjuna adalah murid Pandhita Durna yang masuk kategori lantip, cerdas
dan cepat tanggap akan sasmita perlambang yang diberikan gurunya. Oleh
karenanya sebelum sang Guru Durna menyelesaikan ceritanya, Harjuna sudah
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
129
PANDAWA KURAWA
mampu menangkap bahwa Gurunya secara tidak langsung telah mengangkat raja
muda Paranggelung sebagai muridnya.
“Bapa Guru yang aku hormati, jika berkenan sebaiknya cerita mengenai
raja muda yang rupawan, sakti dan rendah hati dicukupkan. Kami sesungguhnya
tidak mempunyai hak untuk melarang sang Guru mengangkat murid baru.
Demikian pula kiranya seorang Guru tidak berhak melarang muridnya berguru
kepada guru yang lain. Tetapi bukankah selama ini pengangkatan murid-murid
Sokalima selalu melibatkan saudara tua perguruan? Adakah kekhususan untuk
murid yang satu ini? Adakah rahasia yang tidak boleh diketahui oleh murid-murid
yang lain?”
“Harjuna jangan terlalu jauh berprasangka. Jika engkau mau dengan sabar
mendengarkan ceritaku sampai selesai, tentunya akan menjadi jelas bahwa
prasangkamu mengenai diriku keliru. Berhubung engkau telah memotong
ceritaku, maka aku tegaskan bahwa Raja muda itu telah tiba di Sokalima dan
belajar ilmu-ilmu Sokalima, tetapi aku tidak mengangkatnya sebagai murid.”
“Ampun Bapa Guru, maafkan saya yang khilaf ini.”
Harjuna menyesal. Karena merasa dirinya diremehkan oleh orang lain,
hatinya panas terbakar, sehingga tanpa sadar ia telah berani memotong cerita Sang
Guru. Nampaknya Durna kecewa atas tindakan murid yang dikasihi tersebut. Ia
tidak ingin memperpanjang suasana yang tidak mengenakkan ini. Maka segeralah
ia masuk ke ruang dalam, meninggalkan Harjuna dan empat saudaranya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
130
PANDAWA KURAWA
Karena kedudukannya sebagai murid papan atas di Sokalima telah tergeser
oleh murid lain, padahal keberadan murid tersebut tidak diketahui sebelumnya,
dan tiba-tiba menjadi orang istimewa di Sokalima, Harjuna merasa kesulitan
untuk mengendalikan emosinya, menjernihkan pikirannya dan mendinginkan
hatinya. Oleh karenanya ia ingin segera bertemu dengan raja muda Paranggelung
untuk membuktikan sejauh mana ketampanannya dan menakar seberapa tinggi
ilmunya.
Jika pada awalnya Ekalaya atau juga sering disebut Palgunadi ingin
menghindari Harjuna atas saran Aswatama, namun setelah mendengarkan cerita
dari para cantrik ia tidak sampai hati membiarkan Sang Guru Durna dipojokkan
oleh desakan Harjuna. Maka atas pertimbangan dan kesepakatan Ekalaya,
Aswatama dan Anggraeni, mereka berniat menemui Pandita Durna untuk
memohon agar sang Guru memperkenankan Palgunadi meladeni tantangan
Harjuna.
Pada teriknya siang, mereka bertiga tiba di halaman padepokan Sokalima.
Sebelum kaki-kaki mereka menapaki lantai pendapa induk untuk menemui Guru
Durna, ada lima orang datang menghampiri. Sebelum mereka saling menyapa,
Aswatama memperkenalkan Ekalaya dan Anggraeni kepada Harjuna, Puntadewa,
Bimasena, Nakula dan Sadewa. Pada kesempatan tersebut, Ekalaya memohon
maaf terutama kepada Harjuna, karena khilaf ia telah membunuh anjing pelacak
milik Harjuna. Namun permintaan maaf yang tulus tersebut tidak menyelesaikan
masalah. Karena sesungguhnya bukan itu permasalahannya. Nampaknya Harjuna
gagal dalam mencoba mengendalikan gejolak hatinya yang sangat luar biasa.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
131
PANDAWA KURAWA
Sulit rasanya menerima kenyataan bahwa Ekalaya secara penampilan
mampu mengimbangi dirinya yang selama ini mendapat julukan lelananing jagad
dan lancuring bawana yang berarti laki-laki tampan yang mampu memberi warna
keindahan bagi dunia. Apalagi ketika dilihatnya Anggreni, wanita yang
mendampingi Ekalaya, darah Harjuna mengalir lebih cepat. Kecantikan dan
kemolekan Anggraeni tidak kalah dibandingkan dengan isteri-isteri Harjuna.
Bahkan pendamping Ekalaya ini mempunyai daya tarik sangat luar biasa yang
tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain, termasuk isteri-isteri Harjuna. Keempat
saudara Harjuna pun merasakan bahwa pasangan Ekalaya dan Anggraeni
merupakan pasangan ideal yang mempunyai daya magnet kuat. Siapa saja akan
merasa bangga mengenal dan mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan
pasangan raja dan ratu dari Negara Paranggelung tersebut.
Tentunya dapat dimaklumi jika Harjuna tak kuasa menyiram bara api
cemburu yang menyala di hatinya. Bahkan kesempurnaan Anggraeni sebagai
isteri setia Ekalaya bak minyak yang memercik, maka sekejap kemudian bara api
di hati Harjuna mulai menyala tak terkendali.
“Bocah Bagus aku ingin mengajakmu bertanding, seperti kebiasaan di
Padepokan Sokalima yang belum pernah engkau jalani.”
“Maaf Kisanak, aku perlu mendapat ijin dari Bapa Guru Durna.”
“Jangan mengaku guru kepada seseorang yang tidak pernah
mengangkatmu sebagai murid.”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
132
PANDAWA KURAWA
“Aku tidak peduli! Siapa pun yang telah membantuku menuju
kesempurnaan hidup, beliau adalah guruku. Demikian juga jika engkau dapat
membantuku menerapkan ilmu-ilmu Sokalima dalam arena pertandingan, engkau
pun menjadi guruku.”
“Baiklah, aku ajari engkau cara menarik panah dengan baik!”
Reeeet!! Dengan gerakan halus namun mengandung daya luar biasa
Harjuna menarik busurnya dan diarahkan ke dada Palgunadi. Semua orang tegang
melihatnya. Mereka dapat merasakan ada kemarahan besar di balik gemeretnya
suara busur Harjuna. “Jangan Adinda, jangan lakukan itu.” Pinta Puntadewa,
saudara sulung Harjuna.
“Maaf Kakanda Punta, bukankah Kakanda juga pernah mengalami jiwa
Ksatria yang terkoyak?”
Kata-kata Harjuna mengingatkan ketika Puntadewa menjelma menjadi
raksasa putih sebesar gunung karena tak kuasa menahan amarahnya. Maka
dibiarkannya adiknya memilih cara untuk mengatasi kemarahannya yang tidak
mudah dikendalikan.
Busur Harjuna semakin melengkung tajam. Anak panahnya siap
menembus dada Ekalaya yang dibiarkannya terbuka wajar. Tidak lebih dari lima
hitungan maka panah Harjuna akan meninggalkan busurnya menembus dada
Ekalaya tanpa perlawanan. Anggraeni memejamkam matanya dan menggigit
bibirnya, tidak tega melihat suaminya ditembus anak panah Harjuna. Namun ia
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
133
PANDAWA KURAWA
tidak berbuat apa pun, karena percaya bahwa suaminya akan mampu
menyelamatkan diri.
Wuuuss, tiba-tiba Sang Guru Durna berdiri di antara Ekalaya dan Harjuna.
Kedatangan Durna di tengah-tengah mereka memaksa pertikaian antara
Harjuna dan Ekalaya berhenti sementara.
“Aku dapat merasakan apa yang kalian rasakan. Sebagai seorang ksatria,
perang tanding merupakan cara penyelesaian pamungkas yang terbaik. Kecuali
jika salah satu di antara kalian mau mengalah atau mengaku kalah sebelum
bertanding. Itu pun tidak mungkin kalian lakukan. Pasti! Karena aku tahu watak
keduanya. Maka jangan salah sangka jika aku melarang kalian ber perang tanding.
Silakan berperang tanding, asalkan jelas alasannya.”
“Ampun Bapa Guru, orang ini telah membunuh anjing pelacakku.”
“Ampun Sang Maha Resi, aku telah meminta maaf.”
“Bagus! Sisi lain dari seorang ksatria adalah mau mengakui
kesalahannya.”
“Bagaimana dengan pihak yang tidak melakukan kesalahan, tetapi pihak
yang dirugikan?”
“Itu tergantung orangnya. Jika yang dirugikan seorang Brahmana tentunya
ia akan memaafkan, karena yang bersangkutan telah mengakui kesalahannya. Jika
yang dirugikan seorang raja, ia akan memberi ampun tetapi bersyarat. Syaratnya
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
134
PANDAWA KURAWA
bisa hukuman, denda atau yang lain. Jika yang dirugikan adalah seorang Ksatria,
ia dapat memilih di antara keduanya, seperti raja atau seperti brahmana.”
“Ampun Bapa Guru, bolehkah saya tidak memilih di antara keduanya?”
“Boleh! Boleh! Apa yang kau pilih Harjuna?”
“Cara Ksatria sejati. Perang tanding!”
“Bagaimana Ekalaya?”
”Perang tanding untuk apa? Jika untuk anjing yang mati aku tidak mau.
Lebih baik aku mengaku kalah dan minta maaf.”
Harjuna terdiam. Ia kebingungan. Sesungguhnya untuk apa perang
tanding? Yang pasti tidak untuk seekor anjing, melainkan untuk sebuah martabat
dan harga diri.
“Bagaimana jawabmu Harjuna?”
Durna melemparkan pertanyaan Ekalaya.
“Sebagai saudara tua seperguruan aku ingin menjajal ilmu Ekalaya.”
“Bagus Harjuna! Sesungguhnya aku pun ingin menjajal seberapa tinggi
tingkat ilmu seorang lelananging jagad.”
Darah muda Ekalaya mulai panas. Ia mulai tidak senang, bahkan
cenderung muak melihat sikap ksatria besar seperti Harjuna bersifat arogan,
meremehkan sesamanya. Maka ia sengaja membakar hati Harjuna yang sudah
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
135
PANDAWA KURAWA
membara. Seperti dikomando, keduanya melakukan sembah kepada Sang Guru
Durna dan memberi hormat kepada Aswatama, Anggraeni, Puntadewa, Bimasena,
Nakula, Sadewa dan para cantrik-mentrik.
Maka mulailah mereka bertempur. Keduanya sama-sama sakti dan
mempunyai bekal ilmu yang cukup. Jurus demi jurus mereka keluarkan. Ilmu
demi ilmu mereka benturkan, namun keadaan masih berimbang. Mereka yang
menyaksikan tegang berdebar menyaksikan kedua orang sakti beradu ilmu.
Beberapa di antaranya menjadi pusing menyaksikan gerakan-gerakan Harjuna dan
Ekalaya. Maka mereka lebih memilih menjauhi arena pertempuran dan duduk di
bibir pendapa.
Hari menjelang sore, pertempuran belum berakhir. Keduanya sama-sama
muda, sama-sama sakti, sama-sama tampan-rupawan, dan sama-sama
menggunakan ilmu-ilmu Sokalima.
“Luar biasa, ternyata ilmu-ilmu Sokalima sangat dahsyat. Tetapi mengapa
aku yang sudah belasan tahun menjadi cantriknya tidak dapat seperti mereka ya?”
Celetuk seorang cantrik.
“Lha iya jelas, wong kamu kalau diajari malah tidur,” timpal cantrik yang
lain.
Karena hari mulai gelap dan keduanya sudah kehabisan tenaga maka
Durna menghentikan pertempuran. Dengan wajah cemas Anggraeni memapah
suaminya, diajak masuk ke bilik untuk kemudian dirawat dengan penuh kasih dan
kesetiaan. Sedangkan di pihak Harjuna, Nakula dan Sadewa yang cemas sejak
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
136
PANDAWA KURAWA
awal pertempuran berlari mendapati Harjuna untuk diajak berjalan memasuki
salah satu bilik yang biasa ditempati Harjuna. Sementara Aswatama dan para
cantrik-mentrik meninggalkan arena pertempuran untuk menceritakan kepada
sanak saudara tentang pengalaman luar biasa yang baru sekali disaksikan
sepanjang hidup mereka.
Suasana memang menjadi sangat sepi. Durna masih duduk sendirian, tidak
ada satu cantrik pun yang berani mendekat. Tampaklah garis-garis wajahnya
semakin dalam, sedalam kesenduan hatinya, menyaksikan kedua murid pilihan
bertaruh antara hidup dan mati. Jika saat ini keduanya masih hidup, tentunya pada
saatnya nanti hanya ada satu yang hidup. Ekalaya atau Harjuna.
Sejatinya yang menjadi harapan Durna, pertikaian antara Ekalaya dan
Harjuna tidak usah dilanjutkan. Keduanya sama-sama sakti, ibarat dua sayap
Sokalima yang perkasa. Mereka dapat membawa terbang nama Sokalima tinggi-
tinggi, ke segala penjuru dunia. Sangat disayangkan jika satu di antaranya gugur
pada medan harga diri. Namun itu tidaklah mungkin, karena di antara keduanya
masih menyisakan bara api didadanya. Dinginnya malam di Sokalima tak kuasa
mendinginkan hati mereka yang bertikai.
Dari masing-masing bilik yang ditempati Harjuna dan Ekalaya memancar
energi yang saling bertemu sehingga bagi para cantrik yang kebetulan lewat di
antara kedua bilik tersebut, pasti akan terkejut, dikarenakan ada sengatan hawa
panas yang tidak mengenakkan.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
137
PANDAWA KURAWA
Walau di dalam komplek padepokan Sokalima ada perbawa hawa panas,
di depan pintu gerbang padepokan menebar energi lembut penuh kedamaian lewat
kidungan cantrik jaga yang terbawa angin. Jika yang sedang bertikai mau
membuka jendela hati dan membiarkan kidungan malam itu menyusup ke relung-
relungnya, niscaya tidak mustahil pertempuran lanjutan yang tentunya lebih
dahsyat tidak akan pernah terjadi.
Tidak peduli didengar atau pun tidak didengar, dirasakan maupun
diabaikan, kidung malam tetap mengalun dari bibir cantrik tua yang berkulit
kehitam-hitaman.
Tidak beberapa lama kemudian, cantrik tua yang menjadi sumber suara
kidungan tak kuasa menahan kantuknya, ia berbaring di gardu jaga. Akhirnya
kidung malam yang mengingatkankan bahwa manusia ini lemah tak berdaya
tetapi congkak dan tinggi hati, tak mau mengakui kelemahannya, hilang tak
berbekas, tertutup suara burung hantu kutu-kutu walang ataga atau serangga-
serangga malam yang saling bersahutan. Dengan demikian daya kidungan tersebut
tak pernah menembus bilik mereka yang bertikai. Bilik hati Harjuna dan Ekalaya
Malam kian larut, tidak ada lagi senda gurau di antara para cantrik yang
jaga, tidak terdengar lagi kidung malam. Hari menjelang dini hari, tidak seperti
biasanya Guru Durna duduk sendirian di ruang tengah. Disorot lampu temaram,
tampaklah bahwa ia sedang berduka, duka yang sangat dalam. Baru kali ini
sebagai guru besar ia tak kuasa menghentikan pertikaian kedua muridnya. Yah
walaupun secara resmi Ekalaya tidak diangkat menjadi muridnya, tetapi jujur saja
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
138
PANDAWA KURAWA
secara batin Durna telah mengangkat Ekalaya sebagai muridnya. Apalagi
diperkuat dengan adanya patung Durna di Sanggar Ekalaya yang dijadikan pusat
konsentrasi dalam mempelajari ilmu-ilmu Sokalima.
Selagi masih ada kesempatan, Durna berusaha mencegah kemungkinan
yang paling buruk yaitu kematian salah satu di antara keduanya. Namun usaha
Durna hanya mampu menunda saatnya. Karena permasalahannya sudah
merambah pada harga diri, hal yang paling berharga bagi seorang kesatria. Dan
penyelesaiannya hanya satu yaitu perang tanding. Dua hari lagi di saat bulan
purnama mereka akan berperang tanding antara hidup dan mati.
Kabar tentang perang tanding antara Harjuna dan Ekalaya telah tersebar
tidak hanya di wilayah padepokan Sokalima, tetapi jauh di luar Sokalima. Di
tanah lapang yang biasanya menjadi tempat pendadaran murid-murid Sokalima,
malam itu menjadi istimewa. Sejak sore hari ribuan orang mulai berdatangan.
Mereka ingin meyaksikan lanjutan pertandingan maha dahsyat di abad ini.
Di tengah kerumunan orang yang jumlahnya mencapai ribuan, Durna
berdiri tegar di antara keduanya, Harjuna dan Ekalaya. Detik-detik purnama telah
muncul di ufuk timur. Harjuna dan Ekalaya telah mempersiapkan diri. Demi
sebuah harga diri, mereka telah siap menghadapi kemungkinan yang paling buruk,
yaitu kematian.
Sebentar kemudian perang tanding dimulai. Bayangan keduanya tidak
dikenali lagi yang mana Ekalaya dan yang mana Harjuna. Seperti pertandingan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
139
PANDAWA KURAWA
pertamanya, sebagian besar dari mereka pandangannya kabur dan kepalanya
menjadi pusing.
Sebelum menyadari apa yang terjadi tiba-tiba Harjuna terlempar ke luar
arena. Sorak membahana dari penonton menambah bara api di dada Harjuna
menjadi semakin menyala. Ia mulai tak sabar, tangannya manyambar busur yang
telah disiapkan di pinggir arena. Bruull! Ribuan anak panah keluar dari busurnya.
Dengan tenang Ekalaya menyambut hujan panah yang diluncurkan Harjuna.
Hanya hitungan detik patahan anak panah jatuh berserakan di antara Harjuna dan
Ekalaya.
Perang adu kesaktian ilmu memanah berlangsung lama. Pada akhirnya
Harjuna mengeluarkan pusaka andalan Sokalima yang diwariskan Guru Durna
kepadanya yaitu pusaka Gandewa. Pusaka tersebut memancarkan cahaya berkilau
yang menyilaukan mata.
Reketek!! Pusaka gandewa ditarik oleh Harjuna. Durna sangat terkejut, ia
ingin mencegahnya namun terlambat. Dari pusaka gandewa telah meluncur ribuan
anak panah yang tak habis-habisnya, mengarah pada Ekalaya. Semua penonton
tercengang memandangnya. Sungguh luar biasa.
Aswatama yang pernah kecewa karena Rama Durna telah mewariskan
pusaka dahsyat kyai Gandewa kepada Harjuna, mencemaskan keselamatan
Ekalaya sahabatnya yang dihujani ribuan anak panah yang muntah dari busur
Gandewa. Wah gawat!! Namun setelah menyaksikan bagaimana Ekalaya
menyambut hujan panah yang dilontarkan Harjuna, dengan busur pusaka yang tak
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
140
PANDAWA KURAWA
kalah dahsyatnya dengan pusaka Gandewa, kecemasan Aswatama berkurang.
Namun ketegangan justru semakin bertambah. Tidak saja bagi Aswatama, tetapi
juga dirasakan oleh mereka yang menyaksikan ribuan anak panah saling beradu
dan meledak-ledak di angkasa Sokalima.
Malam bulan purnama semakin bercahaya karena dihiasai oleh percikan-
percikan api warna-warni akibat beradunya ribuan anak panah yang dilontarkan
Harjuna dan Ekalaya. Kejadian yang luar biasa tersebut membuat Kahyangan
Jonggring Saloka gonjang-ganjing. Ada hawa panas menebar di seluruh wilayah
para dewa tersebut, di tempat Batara Guru bertahta. Karena terusik
kenyamanannya diutuslah Patih Narada untuk melerai pertikaian antara Harjuna
dan Ekalaya. Dalam perjalanan menuju ke Marcapada, Hyang Narada tertegun
melihat pemandangan di depannya, tepat di atas langit Soka Lima. Ada percikan
cahaya api warna-warni silih berganti. Sampai sehebat inikah kesaktian
keduanya? Layak jika pengaruhnya sampai ke Kahyangan Jonggring Saloka.
Maka tanpa membuang waktu, Dewa nomor dua di Kahyangan Jonggring Saloka
tersebut segera turun ke arah yang sedang bertikai. Namun niat Patih Narada
terhalangi oleh asap hitam pekat yang muncul tiba-tiba menyusul suara ledakan
menggelegar. Awan hitam tersebut semakin tebal bergulung-gulung menyelimuti
langit Soka Lima. Bersamaan dengan suara ledakan dahsyat, Batara Guru diiringi
para Dewa dan Dewi turun dari Kahyangan ingin menyaksikan apa yang terjadi di
Marcapada.
Suasana menjadi sangat mencekam. Malam bulan purnama yang
sebelumnya semakin mempesona dengan adanya percikan-percikan api warna-
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
141
PANDAWA KURAWA
warni kini menjadi gelap gulita dan sepi mencekam. Tidak ada lagi sorak sorai
dan tepuk tangan dari para penonton yang menyaksikan perang-tanding antara
Ekalaya dan Harjuna. Melihat keadaan yang semakin tidak nyaman, Batara Guru
memerintahkan agar para Dewa-Dewi menaburkan bunga-bunga dengan aroma
nan wangi untuk menyingkirkan asap hitam yang menyelimuti Soka Lima.
Sekejap kemudian hujan bunga telah mengguyur Soka Lima. Daya dan aromanya
mampu menyibak asap hitam yang menutupi kejadian besar yang ada di Soka
Lima. Pelan tapi pasti, asap hitam pekat yang menutupi padepokan Soka Lima
berangsur-angsur menghilang. Malam bulan purnama menjadi sempurna kembali.
Malam menjadi mempesona. Ribuan penonton perang tanding yang sejak sore
berdatangan di Soka Lima belum beranjak dari tempatnya. Mereka yang telah
menumpahkan perhatiannya dengan segenap rasa-perasaan dan emosinya di
dalam perang tanding tersebut semakin dibuat terheran-heran dengan kejadian
berikutnya.
Tanah lapang di Soka Lima, tempat Harjuna dan Ekalaya bertanding, kini
penuh bertaburan bunga warna-warni dengan aroma keharumannya masing-
masing. Asap tebal yang muncul akibat ledakan yang ditimbulkan karena
beradunya kedua busur pusaka milik Harjuna dan Ekalaya kini telah berganti
dengan para Dewa-Dewi yang mengiringi Batara Guru yang menyusul Batara
Narada untuk menghentikan yang sedang bertikai.
“Kang! Bermimpikah aku?”
“Coba aku cubit lenganmu”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
142
PANDAWA KURAWA
“Aduh! Sakit kang.”
“Itu namanya kamu tidak sedang bermimpi. Kau dan aku berada di dalam
alam sadar.”
“Tetapi lihatlah itu kang, langit di sekeliling kita penuh dengan gambar
para dewa yang sangat mempesona dan para dewi yang amat jelita.”
“Ssst! Jangan keras-keras dan gumunan isteriku, itu adalah para Dewa dan
para Dewi yang mengiringi Batara Guru dan Batara Narada, ingin melerai perang
tanding antara Harjuna dan Ekalaya.”
Sepasang suami isteri tersebut tidak memperpanjang pembicaraannya.
Mereka bersama-sama ribuan penonton yang lain lebih memilih memusatkan
perhatiannya dengan apa yang akan dilakukan Batara Guru dan Batara Narada
terhadap Harjuna dan Ekalaya yang tergeletak tak berdaya. Dikarenakan mereka
berdua telah menguras tenaga dan ilmunya untuk memuntahkan puluhan ribu anak
panah melalui busur pusakanya masing masing. Pada puncaknya Busur Gandewa
milik Harjuna dan busur pusaka milik Ekalaya saling menyedot dan beradu. Maka
terjadilah ledakan amat dahsyat disertai asap hitam pekat yang bergulung-gulung,
menggulung kedua busur pusaka hingga hilang tak berbekas.
Durna tergopoh-gopoh menyembah rajanya dewa serta pengiring yang
menginjakkan kakinya di Soka Lima. Setelah menanggapi sembah Durna dan juga
sembah dari ribuan orang yang hadir, Batara Guru didampingi Batara Narada
mendekati Ekalaya dan Harjuna untuk kemudian memercikkan air kehidupan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
143
PANDAWA KURAWA
kepada mereka. Setelah itu didekatinya orang nomor satu di Soka Lima sembari
bersabda:
“Durna selesaikan pertikaian di antara muridmu dengan adil.”
Sekejap kemudian Batara Guru dan seluruh pengiringnya meninggalkan
Soka Lima. Malam pun pulih seperti malam purnama sebelumnya, sebelum ada
pertikaian yang menimbulkan hawa panas ke seluruh alam semesta dan mengusik
kenyamanan alamnya para Dewa-Dewi. Soka Lima berangsur-angsur pulih seperti
hari-hari biasa yang tenang dan damai jauh dari mereka yang bertikai.
Orang-orang mulai melangkah pulang dengan perasaan yang sulit
digambarkan dan terlalu banyak untuk diceritakan. Namun di masing-masing hati
masih tersisa pertanyaan bagaimanakah akhir dari pertikaian antara hidup dan
mati. Dan kalau boleh mereka berharap bahwa pertikaian akan berubah menjadi
perdamaian dan persahabatan.
Memang benar, di sisa malam itu Soka Lima boleh menikmati ketenangan
dan ketentraman, dikarenakan yang bertikai terbaring tak berdaya. Bahkan
mungkin jika Sang Hyang Guru tidak memercikkan air kehidupannya di raga
mereka yang lemah, tidak ada kehidupan lagi. Dengan demikian tentunya akan
tamatlah pertikaian mereka bersama kerapuhan raganya. Ketika pertarungan
tersebut Arjuna melihat ada ilmu yang berbeda yang dimiliki oleh Ekalaya.
Barata
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
144
PANDAWA KURAWA
Saat pagi yang cerah tiba, udara yang semilir menyentuh kulit hingga
terasa dingin. Tidak jauh dari kediaman Kerajaan Paranggelung, Sang Prabu
Palgunadi sedang mengadakan pisowan Agung. Ia mengadakan sayembara
menamah dalam istana untuk mengadakan pesta karena telah kembali dari
perburuan, saat memanah Prabu Palgunadi begitu hebat menggunakan panah
melebihi Arjuna. Melihat sang Prabu Palgunadi yang begitu hebat menggunakan
ilmu sapta tunggal Arjuna merasa cemburu oleh Begawan Drona ia meminta
untuk ditambah ilmu keskatian saat memanah.” Guru, kenapa Palgunadi lebih
hebat dari saya padahal ilmu yang digunakan sama...?”, keluh Arjuna.
Saat pisowan itu Arjuna yang memakai tutup muka memanah dengan
memberi bunga pada sang dewi, Prabu Plagunadi terkejut dan terheran. Walaupun
ia jago mengolah gandewa tapi tidak dapat melakukan apa yang dilakukan Arjuna.
Drona saat sepi segera mendatangi Ekalaya. Saat akan mulai pertandingan
yang ketiga, Prabu Ekalaya, harus mengalah. Prabu Ekalaya tak sanggup untuk
mengalah, Maafkan aku Bapa Resi, hal itu tidak mungkin dapat aku lakukan. Aku
tidak dapat berpura-pura untuk kalah. Karena ketika tangganku telah menarik
busur dan memegang anak panah, ada daya luar biasa yang terhimpun dengan
sendirinya di seluruh budi, pikiran dan sekujur tubuhku serta otot bebayuku, guna
menghadang serangan musuh.”
“Oo lole, lole blegudhug monyor-monyor prit gantil buntute bedhug. Lalu
ilmu apa yang engkau gunakan?“
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
145
PANDAWA KURAWA
“Maafkan aku Bapa Resi Durna, pada tataran luar aku menggunakan ilmu
Sapta Tunggal, ilmu andalan Soka Lima, tetapi tenaga dalamnya berasal dari
pusaka Mustika Ampal.”
“Mustika Ampal?”
”Bapa Resi, Mustika Ampal adalah pusaka pemberian Sang Hyang
Wenang, wujudnya adalah cincin. Menurut Ramanda Prabu Hiranyandanu, cincin
Mustika Ampal dianugerahkan ketika Ramanda sedang melakukan tapa guna
memohon agar anak yang ada dalam kandungan sang prameswari kelak dapat
memimpin Negara Nisada dengan adil dan bijaksana. Ramanda juga mengisahkan
bahwa cincin Mustika Ampal mempunyai daya sangat luar biasa dan ketepatan
yang akurat pada saat digunakan untuk menarik busur dan melepaskan anak
panah. Sehingga sudah menjadi kehendaknyalah Mustika Ampal dianugerahkan
kepada calon raja di Negara Nisada, di mana seluruh rakyatnya terampil
menggunakan panah.
Bapa Resi, dikarenakan Cincin Mustika Ampal dikenakan di ibu jariku
sejak bayi, hingga sekarang setelah aku menjadi raja di Negara Nisada atau
Paranggelung menggantikan Ramanda Prabu yang telah wafat, cincin tersebut
telah berada di bawah kulit dan di luar daging, menyatu dengan ibu jari tanganku.
Oleh karena Cincin Mustika Ampal itulah aku tidak mungkin untuk berpura-pura
kalah. Kecuali jika serangan musuh lebih dahsyat daripada kekuatan Cincin
Mustika Ampal.”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
146
PANDAWA KURAWA
Pantas, pusaka Gandewa dapat dihadang dengan kekuatan Mustika Ampal.
Bahkan pusaka pemberian Dewa Indra yang baru saja diwariskan kepada Harjuna
tersebut hancur lebur musnah tak berbekas.
Tiba-tiba hati Pandita Durna terusik. Ilmu-ilmu yang digunakan Ekalaya
tidak murni ilmu Sokalima, tetapi telah dipadukan dengan sipat kandel pribadi
yang didapat sejak masih bayi. Walaupun Harjuna juga menimba ilmu di banyak
tempat, ilmu-ilmu yang digunakan dalam perang tanding adalah ilmu-ilmu yang
diajarkan di Sokalima.Membandingkan di antara keduanya sang Guru besar
tersebut tak kuasa lagi berdiri di tengah secara adil. Ia mulai berpihak kepada
Harjuna, murid mula pertama yang patuh berbakti dan telah mengangkat nama
Sokalima melambung tinggi berkat ilmu-ilmu yang selalu digunakannya. Tak
terkecuali ketika berperang tanding melawan Ekalaya.
“Ekalaya, jika niatmu tidak berubah, mau mengalah dengan cara berpura-
pura kalah dalam perang tanding, ada cara yang dapat ditempuh, yaitu jika Cincin
Mustika Ampal tersebut dilepas untuk sementara.”
“Ampun Bapa Resi Durna, bagaimana bisa dilepas, Mustika Ampal telah
jadi satu dengan ibu jari tangan kananku.”
“Ekalaya, apakah engkau tidak percaya bahwa aku dapat melakukannya?”
“Ampun Bapa Resi, maafkan aku yang bodoh ini, maafkan aku.”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
147
PANDAWA KURAWA
Dengan tergopoh-gopoh Ekalaya menyembah Sang Resi Durna, beringsut
mendekat, sembari mengulurkan ibu jari tangan kanannya, tempat Cincin Mustika
Ampal berada.
Sang Guru bertanya kepada muridnya,
“Tidak percayakah engkau padaku Ekalaya?”
“Ampun Bapa Resi, bukan maksudku untuk tidak mempercayai
kemampuan Bapa Resi Durna. Aku percaya, Bapa Resi mampu melakukannya.
Silakan Bapa Resi, ambilah cincin Mustika Ampal ini dari ibu jari tanganku.”
Pandita Durna ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah guru yang
mumpuni dan menguasai berbagai ilmu tingkat tinggi. Sehingga tidak akan
kesulitan dalam melepas Cincin Mustika Ampal, walaupun sudah manjing
menjadi satu dengan ibu jari tangan kanan Ekalaya.
Ekalaya memberikan tangan kanannya kepada seorang yang sangat ia
hormati. Tangan itu bergetar tanpa dapat dicegahnya. Dengan amat perlahan
Durna mencoba mengeluarkan cincin Mustika Ampal itu.
Satu kali, dua kali usaha Durna belum berhasil. Cincin tersebut masih
terpendam rapat di antara kulit dan daging. Walaupun tidak kelihatan mencolok,
Durna telah mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya, sehingga keringatnya
susul menyusul meninggalkan dahinya yang semakin berkerut. Dikarenakan
tangan Ekalaya bergetar, Durna menganggap bahwa Ekalaya telah menghimpun
energi untuk menghalangi pengambilan Mustika Ampal
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
148
PANDAWA KURAWA
“Ekalaya, jangan berusaha menahan cincin Mustika Ampal.”
“Ampun Bapa Resi, aku tidak menahannya. Tangan ini bergetar dengan
sendirinya.”
Durna mencoba lagi. Kali ini ia mengerahkan seluruh kemampuannya.
Tangan Ekalaya dan tangan Pandita Durna bergetar semakin cepat dan semakin
kuat. Pusaran hawa panas memancar dari kedua tangan tersebut.
Panas, panas dan semakin panas.
“Aduh! “
Tiba-tiba Ekalaya mengeluh pendek. Kemudian terkulai di lantai bilik.
Mendengar bahwa suaminya dalam bahaya, Anggraeni segera masuk ke
biliknya,“Kangmaaass!”
Anggraeni menubruk Ekalaya yang tergeletak tidak sadarkan diri.
Sungguh amat mengejutkan, ibu jari Ekalaya telah tiada. Dan meninggalkan luka
memilukan. Anggraeni tahu bahwa di ibu jari itulah pangkal kesaktian suaminya.
Jika sekarang ibu jari tersebut telah tiada, artinya bahwa kesaktiannya telah
lenyap.
Namun sekarang Cincin Mustika Ampal yang telah mempecundangi nama
besar Sokalima di hadapan orang banyak berada dalam genggamannya. Apa yang
dapat kau lakukan, Ekalaya, menghadapi Harjuna tanpa Cincin Mustika Ampal.
Tiba-tiba hati Durna telah dibakar oleh sakit hatinya, karena ilmu-ilmu Sokalima
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
149
PANDAWA KURAWA
yang diperagakan dengan sempurna oleh Harjuna, murid kesayangannya, tak
mampu mengalahkan Ekalaya.
Durna menimang-nimang Cincin Mustika Ampal, menuju bilik Harjuna.
Namun sebelum tangan Durna mengetuk pintu, Harjuna telah membukakannya.
“Silakan masuk Bapa Guru Durna.”
“Harjuna, aku membawa pusaka dahsyat, namanya Cincin Mustika
Ampal. Dengan pusaka ini engkau dapat mengalahkan Ekalaya dengan mudah.
Kenakanlah pusaka ini pada ibu jari tangan kananmu, serta tunjukkan kepadanya
dan kepada banyak orang bahwa ilmu Sokalima tak terkalahkan.”
Harjuna menyembah, kemudian memberikan tangan kanannya. Pandita
Durna segera mengenakan Cincin Mustika Ampal di ibu jari Harjuna sebelah
kanan.
Sungguh ajaib!
Dengan masih menyisakan rasa herannya, Durna dan Harjuna mengamati
keajaiban itu. Jari tangan Harjuna bertambah satu, sehingga jumlahnya menjadi
enam.
“Dimanakah Cincin Mustika Ampal yang disebut-sebut Bapa Guru?”
“Ada di dalam ibu jari yang baru itu Harjuna.”
Harjuna juga ingin membuktikan daya kekuatan dari Cincin Mustika
Ampal. Maka segeralah satria Panengah Pandawa tersebut menyahut busur serta
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
150
PANDAWA KURAWA
anak panahnya, lalu pergi keluar dari biliknya. Di tengah gulita malam, Harjuna
melepaskan anak panahnya ke arah pohon beringin yang berdiri angker di sudut
halaman komplek bilik-bilik siswa Sokalima. Jari tangan yang berjumlah enam
menjadi sangat pas untuk membidikan anak panah. Bagai suara ribuan kumbang,
anak panah itu telah melesat meninggalkan busurnya. Sekejap kemudian, luar
biasa akibatnya, ribuan sulur pohon beringin putus berserakan menumpuk di
tanah. Sehingga pohon yang semula dinamakan beringin wok, pohon beringin
yang mempunyai brewok itu, menjadi bersih tanpa brewok lagi.
Harjuna tertegun atas daya luar biasa yang ditimbulkan oleh pusaka Cincin
Mustika Ampal pemberian Bapa Guru Durna. Segera setelahnya, Harjuna
memberi sembah dan mengucap terimakasih yang tak terhingga atas pusaka
dahsyat pemberian sang guru besar Sokalima itu. Kemudian Harjuna berjanji akan
mengalahkan Ekalaya pada pertemuan yang ke tiga kalinya nanti, dengan ilmu-
ilmu Sokalima yang dilambari Cincin Mustika Ampal.
Hatinya Dewi Angggaini saat Arjuna datang ke kaputren ia sangat sedih,
Maka Arjuna menghiburnya. “Cah ayu kamu kenapa?”, tanya Arjuna. “Aku tidak
apa – apa kang mas”. Bersama para punkawan Arjuna menyandungkan gending –
gending jawa dengan kidung asmara. Merasa terhibur oleh hati sang Dewi. Sang
dewi mulai menampakan senyum kembali. Ini membuat hati Arjuna berbunga –
bunga ketika melihat senyum bibirnya yang mempesona.
“Kang mas, kenapa kang mas kesini?”, tanya sang dewi. “Aku kesini
untuk melihat sang dewi yang mempesona hatiku”. Dengan rayuan manis keluar
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
151
PANDAWA KURAWA
dari mulut Arjuna. “Ah kang mas bisa saja”. Mereka berdua sedang tetaman
asmara yang maha dashyat. Hingga terlupa semua kejadian yang ada. Gelora
asmara yang ada pada Arjuna melupakan semua pertandingan yang akan
dilaksanakan sang Guru. Sesaat kemudian ia teringat, terperanjatlah Arjuna. “Ada
apa kang mas?’, tanya sang dewi. Sebenarnya sang dewi ingin agar Arjuna
melupakan pertandingan yang akan dilaksanakan. “Maaf diajeng Angraini, saya
ada urusan sebentar”. Arjuna segera meningglkan kaputren. Ekalaya yang melihat
istri bersama pria lain mersa cemburu. Saat malam menjelang, sang dewi
menemui suaminya Ekalaya. “Bagaimana keadaan kang mas Prabu?”. “Aku tidak
apa – apa”. “Diajeng jangan kau tinggalkan aku sendirian”. Mendengar perkataan
suaminya dewi Anggarini, tergugah hatinya. Ia tidak akan meningglakan
suaminya lagi.
Pagi hari yang cerah, burung merdu berkicauan. Diatas pepohonan yang
rindang membuat suasana hati menjadi bahagia. Tetapi tidak bagi sang dewi.
Karena ini saat pertandingan antara Prabu Ekalaya dan Arjuna dimulai. Maka
membuat hati sang dewi sangat was – was dan cemas. “Aku tidak ingin kedua
terluka”. Maka sang dewi menyusulnya kedalam hutan.
Pertarungan Antara Arjuna dan Ekalaya dimulai disansikan puluhan raja
dari berbagai kerajaan. Pertandinganpun segera dimulai, “hai Palgunadi
menyerahlah engkau padaku”, teriak Arjuna. “Jangan suruh aku menyerah wahai
Palguna, inilah jiwa satriaku”,jawab Ekalaya. Pukulan pertama dilancar Arjuna.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
152
PANDAWA KURAWA
Ekalaya yang sudah lenyap kesaktiannya tidak bisa bangkit dari pukulan
Arjuna. Bertubi – tubi Ekalaya menerima pukulan Arjuna. Drona yang meliaht
Ekalaya tergopoh menghadapi Arjuna.” Lanjutkan...terus! Lanjutkan... Terus!” ,
teriak sang resi. Arjuna mau menghentikan pertandingan tidak jadi, karean ia
mendenagr perinath gurunya.Tiba – tiba sang Dewi datang memeluk suaminya ini
membuat ia membenci Arjuna.
Walaupun perasaan asmara yang kian mempesona dalam pandangan , tapi
berubah ketika melihat suaminya terbaring jatuh dan ditertawakan oleh raja – raja
yang hadir menyaksikan. “Mana perasanmu Droan sebagai seorang resi” terdiam
Drona tanpa ada kata – kata dari mulut. “Dan kalian para raja mana jiwa satria
kalian”. Tetegun seketika tawa para raja. “Dan kamu Arjuna tegakah kamu
menyayat hatiku ini”, terdiam sang Arjuna. “Dewi....., Dewi Anggraini.... Bukan
begitu maksud saya”.
Dewi Anggaini segera membawa suami meninggalkan pertandingan,
dengan tatapan tajam ia terus memandang Arjuna. Dewi Anggraini segera naik
kuda bersama Palgunadi. Dibawalah Prabu Palgunadi ke istana, suara prak....
Prak...! Tinggal kedengaran jauh kuda tersebut meningglakan pertandinagan.
Dewi Anggraini tiba di Paranggelung, sang suami segera dibaringkan
ditempat tidur. “Bertahanlah kang mas”. “Diajeng jangan tinggalkan aku”.
Dengan suara terpatah –patah suara yang diucapkan Ekalaya. “Kanda harus
bertahan”. Tiba napas sang Prabu tidak terasa dan detang jantung tak terdengar
lagi. “ Kanda jangan tinggalkan aku”.Karena tidak tertolong lagi maka Prabu
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
153
PANDAWA KURAWA
Palgunadi meninggal. Kanda Prabu...!, kanda Prabu....!. Melihat suaminya telah
tiada. Dewi Anggraini mau menyusul kematian suaminya, dengan patrem ia
menusuk tubuhnya, maka sang dewi ikut Meninggal.
Arjuna yang melihat dewi Anggraini yang tak mempedulikan segea
rmenyusul ke Paranggelung. Dengan sigap ia naik kuda, di cambuknya, suara
prak....!.prak.......!Meninggalkan sang resi. Sang resi yang gelagat Arjuna yang tak
ada peduli anjuran guru, maka disusullah Arjuna yang pergi ke Paranggelung.
Dengan secepat kilat Arjuna sampai di Paranggelung.
Ia segera mencari Dewi Anggraini, tanpa diduga sang dewi sudah tiada.
Hati Arjuna menjadi putus asa. Melihat Arjuna yang telah kehilangan cinta, maka
sang Guru segera memeluknya. Ini menghilangkan cintanya pada Anggraini dan
Karena ilmu telah sempurna maka sang guru mengajaknya untuk kembali ke
Sakolima. Dengan hati yang sudah teriris – iris Arjuna mengikuti gurunya. Drona
dan Arjuna meninggalkan Paranggelung. Prak ....! Prak..... Akhirnya tiba di
Sakoalima dan para saudara – saudaranya telah menunggu kedatangannya.
Barata
Sementara itu, sesampainya di keraton Hastinapura, Patih Sengkuni
melaporkan kepada raja, bahwa lenga tala gagal direbut. Sekarang dibawa pergi
oleh seorang pandhita sakti. Bahkan ia telah mengangkat murid Pandhawa dan
membawa serta mereka ke padepokannya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
154
PANDAWA KURAWA
Duryudana dan para Kurawa merengek-rengek memohon kepada raja agar
Pandhita sakti tersebut diangkat menjadi Guru Istana.
“Ampun Kakanda Prabu, perlu menjadi pertimbangan, ia mau menjadi
guru para Kurawa asalkan Pandawa lima diperkenankan masuk istana, pada hal
beberapa waktu yang lalu Kanda Prabu telah mengusir mereka.”
“Jika demikian biarlah anak-anakku yang datang berguru ke padanya”
“Ampun Kakanda Prabu, langkah tersebut akan merosotkan kewibawaan
paduka raja,”
“Lantas bagaimana pendapatmu Patih Sengkuni?”
“Kanda Prabu, sebelumnya aku ingin mencari padepokannya untuk
kemudian memaksa dia datang di istana tanpa Pandawa Lima”
Mendengar rencana Patih Sengkuni, Duryudana yang menyaksikan sendiri
kesaktiannya padhita tersebut bertanya, lalu siapa yang mampu memaksanya?
Sengkuni sempat gelagepan, namun ia kemudian berkata, “Aku akan
memerintahkan satu bregada prajurit untuk mengepung dan kemudian
menangkapnya.
“Sengkuni! Apakah untuk mendapatkan seorang guru tidak boleh dengan
cara paksa. Jika terjadi korban nyawa apakah engkau mau bertanggungjawab?
“Maksud saya tidak begitu Maha Resi Bisma. Apa yang akan kami
lakukan ini semata-mata merupakan tanda bakti kepada raja. Karena jika nantinya
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
155
PANDAWA KURAWA
para putra raja mendapatkan guru yang sakti, dan menyerap ilmunya, mereka akan
mampu menjaga, memperkuat dan memperluas kerajaan Hastinapura”
“Sengkuni, Sengkuni, apakah engkau tidak pernah melihat guru sakti di
Hastinapura ini? Coba kamu jawab dengan jujur, tidak adakah Guru Sakti di
Hastinapura? Sengkuni!”
“Ada, ada Maha Resi, bahkan tidak sekedar ada, tetapi banyak. Jumlahnya
kira-kira ratusan, ee mungkin bisa mencapai ribuan. Sedangkan yang diangkat
menjadi guru istana saja sudah seratus lebih. Padahal gaji mereka…” “Cukup!!
Sekarang jawab pertanyaanku, apakah para Kurawa telah menyerap semua ilmu
dari mereka, terutama para guru yang digaji istana?” Eee sudah, eh belum dhing.
Maksud saya semua ilmu telah diajarkan dan dipahami, tetapi belum semua di
kuasai.” “Bagus, lalu apa usahamu agar para Kurawa mampu menyerap ilmu para
guru istana dengan baik? “
Ampun Maha Resi Bisma, jika bibir ini menjadi panjang, salah satunya
karena setiap waktu aku selalu mengatakan kepada keponakanku para kurawa,
belajarlah yang tekun dan rajin. Tetapi memang mempelajari ilmu-ilmu tingkat
tinggi tidak cukup dengan rajin dan tekun, tetapi membutuhkan bakat dan
kemampuan” “Jadi menurutmu cucu-cucuku para Kurawa itu rajin dan tekun?”
Iya, eee kadang-kadang rajin, dan kadang-kadang tekun. Eee rajin kok, tetapi”
“Sengkuni, engkau akan mengatakan bahwa para Kurawa itu tekun dan rajin
tetapi tidak berbakat dan tidak mampu menguasai ilmu-ilmu tinggi?” “Tidak
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
156
PANDAWA KURAWA
demikian Sang Maha Resi, para Kurawa itu mempunyai bakat dan kemampuan,
tetapi belum ada guru yang mampu menggali bakat dan kemampuannya”
“Sengkuni! Engkau jangan menyalahkan para guru istana! Engkau
menganggap aku buta? Tidak dapat melihat kenyataan yang sebenarnya?
Bukankah para Kurawa tidak dengan sungguh-sungguh menyerap ilmu dari para
guru istana? Dan itu sesungguhnya menjadi tanggunggjawabmu untuk memotivasi
mereka.”
“Ampun Maha Resi, hamba ini seorang Patih, tugas hamba mengabdi
kepada negara dan raja. Bukan sebagai pengasuh anak-anak raja.” “Baik! Jika
demikian jangan ikut campur dalam hal mencari guru untuk para Kurawa. Anak
Prabu Destarastra, ijinkanlah aku sendiri yang akan menemui guru sakti yang
diinginkan anak-anakmu. Pertimbanganku agar para Kurawa dan para Pandawa
menyerap ilmu dari guru yang sama, dengan aturan dan disiplin yang sama serta
sumpah ketaatan yang sama pula. Sehingga dengan demikian ada harapan untuk
mempersatukan diantara mereka.”
Destarastra setuju usul Resi Bisma, karena sesungguhnya ada harapan
yang sama, agar diantara anak-anaknya dan anak-anak Pandudewanata hidup
berdampingan dengan rukun. Tetapi entah apa sebabnya benih-benih permusuhan
telah tumbuh lebih cepat dari pada benih-benih kerukunan.
Dengan pertimbangan bahwa Yamawidura mengetahui letak padepokan,
tempat Pandhita Sakti berada, maka Destarastra memerintahkan kepada
Yamawidura untuk mengiring Resi Bisma. Menurut keterangan Sadewa, sewaktu
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
157
PANDAWA KURAWA
mohon restu kepada Ibunda Dewi Kunthi ke Panggombakan, ia beserta keempat
saudaranya selama beberapa waktu tinggal di Padepokan Sokalima yang terletak
di tapal batas wilayah Negara Pancalaradya, untuk berguru kepada Padhita Durna.
Pada hari yang telah disepakati, sebelum matahari terbit, Resi Bisma
diiringi Yamawidura keluar dari Kestalan Keraton Hastinapura, menuju arah
tenggara. Derap dari delapan kaki kuda yang mereka tumpangi, meninggalkan
debu yang terbang terbawa angin dan menempel pada lekuk-lekuk bangunan
Keraton Hastinapura yang indah.
Di tengah terik matahari, Resi Bisma dan Yamawidura sengaja tidak
berhenti, agar segera sampai di Padepokan Sokalima, tempat Pandhita Durna
menggembleng cantrik-cantriknya, termasuk Pandhawa Lima. Jika pun harus
istirahat, sekedar untuk memberi makan minum kuda-kuda mereka.
Dilihat pada garis-garis wajahnya, Resi Bisma sudah tidak muda lagi,
bahkan dapat dikatakan lanjut usia, namun badannya masih tegap dan jiwanya
masih tegar, jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. Sorot matanya tajam
bagai rajawali. Segudang ilmu sakti yang ia pelajari sejak masa kanak-kanak,
masih melekat kuat di badan dan jiwanya. Waktu muda ia mendapat tiga anugerah
besar yaitu; umur panjang sampai tujuh turunan, tidak pernah kalah dalam
berperang dan tidak dapat mati jika tidak atas permintaan sendiri. Ia menjadi
putera mahkota kerajaan Hastinapura pada masa pemerintahan ayahnya, Prabu
Sentanu. Namun karena Dewi Setyawati, ibu sambungnya menginginkan tahta
demi anaknya, maka ia mengalah, dengan ikhlas tahta diserahkan kepada anak
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
158
PANDAWA KURAWA
Setyawati. Bahkan ia berjanji untuk menjalani hidup ‘wadat’ tidak menikah, agar
tidak mempunyai keturunan yang akan mengusik tahta Hastinapura, dan
menimbulkan pertumpahan darah diantara saudara.
Dengan kebesaran hati, Resi Bisma telah melepaskan tahtanya dan
menjalani hidup wadat. Walaupun ada godaan besar dari seorang wanita bernama
Dewi Amba, Bisma tetap setia dengan janjinya untuk tidak menurunkan anak dari
seorang wanita. Namun saat ini ia sangat kecewa, bukan karena ia telah merelakan
tahtanya dan menjalani laku hidup wadat, tetapi lebih dikarenakan pergolakan
tahta Hastinapura tidak terhindarkan karenanya. “Apakah keputusanku untuk
melepaskan tahta salah? Jikakalau benar, mengapa Citragada dan Wicitrawirya
anak Setyawati, belum genap hitungan tahun menduduki tahta, meninggal secara
berurutan? Menurut anggapan rakyat Hastinapura, Citragada dan Wicitrawirya
tidak kuat menduduki tahta, mereka kuwalat kepada pendiri Keraton dan Rakyat
Hastinapura. Karena secara tidak langsung telah merebut tahta yang bukan haknya
dari tanganku. Rupanya Ibunda Setyawati mempercayainya anggapan rakyat. Ia
sangat menyesalkan telah mengajukan anak-anaknya untuk menduduki tahta.
Pada suatu malam, Ibunda Ratu menemuiku, dan meyapaku. Ia selalu
memanggilku dengan nama kecilku, Dewa Brata. Ketika nama itu disebut, aku
diingatkan kepada ibuku Dewi Ganggawati, seorang bidadari yang memberikan
nama itu. Aku rindu padanya, ingin dipeluk, dicium, dibelai dengan penuh cinta.
Namun itu tak pernah aku rasakan. Sejak bayi, Ibunda telah meninggalkan aku
dan ramanda Prabu Sentanu kembali ke kahyangan.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
159
PANDAWA KURAWA
“Dewa Brata, aku telah melakukan kesalahan besar kepadamu dan rakyat
Hastinapura. Semenjak kedua adik tirimu meninggal berurutan, tahta Hastinapura
kosong. Aku sadar, tragedi ini merupakan peringatan ‘Hyang Akarya Jagad’
bahwa sesungguhnya hanya engkaulah yang berhak atas tahta Hastinapura.”
“Bukan Ibunda yang bersalah, melainkan aku. Karena dengan memberikan
tahta kepada keturunan Ibunda Dewi Setyawati, aku telah mengkhianati
leluhurku, pendiri Keraton Hastinapura ini. Seakan-akan tahta Hastinapura adalah
milikku, dapat aku gunakan sesukaku, boleh aku diberikan sesuai keinginanku.
Demikian pula kedudukan putera mahkota yang kutanggalkan tanpa persetujuan
rakyat, artinya aku telah menyelewengkan kepercayaan rakyat Hastinapura.”
“Dewa Brata inilah saat yang tepat untuk menebus kesalahan kita”
“Katakan apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahan.”
“Jika engkau mau melakukan, kesalahku tertebus pula”
“Katakan Ibunda, katakanlah”
“Duduklah di tahta Hastinapura”
Malam itu terang benderang, tidak turun hujan. Bulan penuh menggantung
di langit, kidung malam mengalun merdu. Namun kata-kata Ibunda Ratu laksana
halilintar menggelegar di dada Dewa Brata. Sesungguhnya yang dikatakan Ibunda
Ratu, sama dengan bisikan nuraninya bahkan sama pula dengan nurani rakyat,
yang beranggapan bahwa satu-satunya orang yang berhak, pantas dan kuat
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
160
PANDAWA KURAWA
menduduki tahta adalah Dewa Brata. Namun kesadarannya menolak untuk
menjadi raja.
Aku mengalami goncangan yang amat hebat, jika aku tidak bersedia
menjadi raja, artinya aku telah mengingkari tradisi pendiri kraton Hastinapura,
dan menolak mandat yang diberikan rakyat. Namun sebaliknya jika aku bersedia
menjadi raja, aku telah mengkianati janjiku dan menghina para Dewa yang telah
memberikan tiga anugerah karena kerelaanku menyerahkan tahta dan hidup
wadat.
Resi Bisma menghentikan permenungan masa lalunya, ia dan Yamawidura
sampai di gapura masuk padepokan Sokalima. Sang Resi Bisma banyak berharap
kepada guru besar Soka Lima, untuk membantu mengurangi beban perasaan
bersalah, dengan mempersatukan Pandhawa dan Kurawa, sehingga mampu
meredam sengketa dan pertumpahan.
Dua orang cantrik menyambut dengan penuh hormat, sopan dan ramah,
walaupun mereka tidak tahu bahwa tamunya adalah dua orang besar dari negara
yang besar pula.
Bisma dan Yamawidura turun dari kudanya, segera dua orang cantrik
menghampirinya untuk menambatkan kuda-kuda mereka. Begitu pula dengan dua
cantrik lain mengiring Bisma dan Yamawidura menuju ke bangunan induk
padepokan. Sepanjang jalan, aneka bunga warna-warni menjulur tangkainya,
merunduk di pinggir jalan, bagaikan pagar-ayu, menyambut datangnya kedua
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
161
PANDAWA KURAWA
tamu agung. Di bibir tangga bangunan induk, Pandita Durna, beserta Puntadewa,
Bimasena, Harjuna, Nakula dan Sadewa tergopoh-gopoh menyongsong mereka.
“Selamat datang di padepokan Sokalima, Sang Resi Agung Hastinapura.
Sudah tiga hari ini, sepasang burung prenjak berkicau bersautan persis di depan
rumah induk. Itu pertanda bahwa padepokan akan kedatangan tamu Resi Agung.”
“Pandhita Durna jangan berlebihan, aku manusia biasa seperti engkau,
bukan manusia agung.”
Durna mengangguk-angguk, walaupun sesungguhnya ia tahu bahwa
Bisma adalah Resinya para Resi.
Setelah mereka dipersilakan duduk, Bisma mengawali pembicaraan.
“Pandhita Durna, tentunya engkau telah mengetahui banyak tentang aku
dari cucu-cucuku Pandhawa. Namun aku ingin mengatakan bahwa hingga saat ini
hidupku selalu dibayang-bayangi perasaan bersalah. Menyusul keputusanku yang
pertama: ketika aku merelakan tahta kepada anak-anak Setyawati dengan
Ramanda Prabu Sentanu yaitu Citragada dan Wicitrawirya, yang meninggal
berurutan setelah menduduki tahta. Keputusan yang ke dua: mengangkat Abiyasa,
anak Setyawati dengan Palasara trah Pertapa Saptaarga, bukan trah Hastinapura.
Sejak Abiyasa menduduki tahta, Hastinpura selalu bermasalah. Terlebih lagi
setelah kehadiran Kurawa dan Pandhawa perebutan tahta Hastinapura semakin
meruncing.”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
162
PANDAWA KURAWA
“Sang Resi Bisma, perjalanan hidupku rupanya juga tidak lebih baik.”
Pandita Durna berkisah pula.
“Sampai saat ini perasaan bersalah seperti yang dirasakan Sang Resi juga
menggelayut dalam hidupku. Ketika Ramanda Prabu Baratwaja menginginkan
aku menjadi raja di Hargajembangan, aku menolak, dan memilih pergi ke Tanah
Jawa, untuk berguru kepada Begawan Abiyasa. Tetapi tragedi telah menimpaku,
badan dan wajahku cacat seumur hidup. Aku menggembara tak tentu arah di
negeri orang, dengan membawa anak tanpa ibu.”
Mereka terdiam untuk sementara waktu, ingin saling memahami
perjalanan hidup masing-masing.
“Pandita Durna, aku tahu engkau dalam penderitaan, namun engkaulah
yang kurasa dapat membantu mencegah perang antara Kurawa dan Pandawa.
Untuk itulah aku datang memohon engkau bersedia menjadi guru mereka. Karena
dengan menjadikan mereka murid-muridmu, mereka akan menjadi saudara
seperguruan, yang akan menumbuhkan perasaan senasib, seperjuangan. Bukankah
hal tersebut akan memperkecil benih-benih permusuhan?”
“Pada awalnya aku lebih berminat mengangkat murid para Pandhawa.
Namun setelah Sang Resi mengungkapkan tujuan mulia dibalik pengangkatan
murid Para Kurawa, aku bersedia menjadi guru mereka.”
“Terimakasih Kumbayana. Tentunya dengan kesediaanmu, Prabu
Destrarastra akan memberikan gelar guru istana.”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
163
PANDAWA KURAWA
“Dhuh Sang Resi Bisma, ada yang lebih penting dari gelar itu, yaitu
kebebasan mengajar setiap orang yang membutuhkan.”
Bisma dapat memahaminya, karena ia tahu persis darma seorang pandita
atau resi, ialah memberikan ilmu kepada siapa saja, tidak pilih-pilih. Ibaratnya
sebuah sumur yang selalu terbuka bagi yang menimba air darinya.
Sebelum kembali ke Istana Resi Bisma dan Yamawidura berpesan agar
selain mengajarkan ilmu, ada hal mendasar yang wajib ditanamkan kepada
Pandhawa dan Kurawa, yaitu agar diantara mereka dibangun rasa mencintai, sikap
saling menghargai dan rela memberi maaf.
Membangun sikap moral tidak lebih mudah dibandingkan dengan
mengajarakan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Oleh karenanya seorang guru
diharuskan mempunyai otoritas penuh, teguh adil dan berwibawa. Dengan alasan
tersebut, Bisma setuju bahwa tempat penggemblengan para murid, dilakukan di
Sokalima. Maka para Kurawa segera mendapatkan pelajaran dari sang Resi. Saat
berlatih saja para kurawa merasa malas dan bergemar bernain wanita. Dan terlihat
sikap para kurawa selalu mengganggap remeh musuh terlihat sudah. Bukti nyata
bahwa kemampuan Pandawa dalam menyerap ilmu Sokalima lebih baik
dibanding dengan warga Kurawa, dapat ditengarai ketika diadakan pendadaran
murid-murid Sokalima. Dalam ketrampilan berolah aneka senjata keluarga
Pandawa lebih unggul. Demikian juga ketika Durna menguji murid-muridnya
untuk menundukkan Raja Durpada dan Patih Gandamana. Yang berhasil
menundukkan mereka adalah keluarga Pandawa. Oleh karena alasan tersebut
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
164
PANDAWA KURAWA
warga Kurawa merasa terancam atas keberadaan keluarga Pandawa yang lebih
sakti dan lebih unggul. Maka disusunlah sebuah rencana untuk menyingkirkan
warga Pandawa.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
165
PANDAWA KURAWA
MELENYAPKAN PANDAWA Bag 1
Tuntas sudah ilmu Soka lima di berikan pada Pandawa dan Kurawa.
Terlihat berbeda dalam olah kanuragan pada diri satria Pandawa terutama Bima.
Bima yang secara fisik mempunyai kekuatan yang luar biasa, tetapi lugu dan
sederhana dalam pola pikir, dijadikan target utama dan pertama untuk
disingkirkan. Patih Sengkuni dan Duryudana menyusun rencana untuk membunuh
Bima. Maka dibuatlah sebuah pesanggrahan yang nyaman dan indah di hutan
Pramanakoti, di pinggir Sungai Gangga. Bimasena diundang pesta di
pesanggrahan tersebut. Makanan dan minuman tersedia melimpah. Bimasena
datang sendirian memenuhi undangan Duryudana yang dianggap sebagai saudara
tua yang dihormati. Sengkuni, Duryudana, Dursasana, dan warga Kurawa lainnya
menampakkan rasa persahabatan penuh keakraban dalam menjamu Bimasena.
Tanpa perasaan curiga, Bimasena menikmati hidangan yang disajikan.
Berkali-kali Duryudana menambah tuak ke dalam bumbung minuman di
tangan Bima. Entah mengapa, Bima tak kuasa menolak tawaran warga Kurawa.
Apakah ia takut akan menyakiti hati para Kurawa jika menolak tawarannya.
Walau sesungguhnya Bimasena telah merasakan kepalanya berat dan pusing
karena kebanyakan minum tuak, toh ia selalu meneguknya tatkala minuman yang
ada di bumbungnya ditambah Duryudana.
Sekuat apa pun Bima bertahan memaksakan diri untuk menuruti kehendak
para Kurawa, akhirnya sampailah pada batas daya tahan Bimasena. Selanjutnya
Bimasena tidak kuat lagi dan jatuh di lantai. Sebagian besar warga Kurawa
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
166
PANDAWA KURAWA
terkejut melihat Bima jatuh begitu cepat. Namun tidak banyak yang tahu kecuali
Sengkuni dan Duryudana, bahwasanya tuak yang khusus diminum Bimasena telah
dicampuri dengan racun yang mematikan. Bima terkulai tak berdaya, dari
mulutnya keluar busa berwarna putih. Sengkuni segera memerintahkan warga
Kurawa segera mengikat badan Bimasena dengan akar-akar pohon. Setelah diikat
kuat-kuat, lalu diberi bandul batu yang sangat besar, Bimasena dilemparkan ke
sungai Gangga yang membentuk kedung dengan kedalaman lebih dari 12 meter.
Warga Kurawa bersorak gembira, bak tumpukan batu bata yang roboh
membarengi deburan air sungai Gangga yang memecah ditimpa Bimasena.
Sebentar kemudian permukaan air sungai Gangga menutup kembali untuk
menyembunyikan apa yang sesungguhnya terjadi dengan diri Bimasena. Puluhan
pasang mata warga Kurawa tak kuasa menembus kedalaman sungai Gangga lebih
dari satu meter. Namun semua yang ikut pesta mempunyai anggapan yang sama,
bahwa Bimasena akan segera mati.
Kedung Sungai Gangga terkenal sangat gawat, karena dihuni oleh ribuan
ular ganas yang dirajai oleh raja ular bernama Aryaka. Ular-ular ganas tersebut
tidak membuang-mbuang waktu. Mereka bergerak amat cepat menyambut benda
asing yang masuk ke dalam air. Beratnya tubuh Bima ditambah dengan beratnya
batu mengakibatkan tubuh Bimasena tenggelam semakin cepat menuju ke dasar
sungai. Ribuan ular beracun mematuki tubuh Bima.
Eloknya terjadi peristiwa yang tak terbayangkan manusia. Patukan ular-
ular beracun tersebut tidak membuat Bimasena mati lebih cepat. Racun yang telah
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
167
PANDAWA KURAWA
masuk di tubuh Bima lewat minuman yang disajikan, tidak mempunyai daya
pembunuh lagi, bahkan telah menjadi tawar ketika bereaksi dengan racun akibat
patukan ribuan ular. Dengan sangat cepat tubuh Bimasena berangsur-angsur pulih
kekuatannya. Bimasena kemudian sadar, tetapi tidak diberi kesempatan untuk
mengingat kejadian yang menimpa dirinya, karena sekujur badannya dipatuk oleh
ribuan ular berbisa. Ia mengamuk membunuh ribuan ular yang menyerangnya.
Raja ular Aryaka mendapat laporan bahwa ada orang mengamuk di dasar sungai,
dan telah membunuh ribuan ular. Raja Aryaka mendekatinya, dan tahulah dia
bahwa orang itu bukan orang sembarangan. Bima adalah anak Dewa Bayu,
dewanya angin.
Dengan keramahan kebapakan. Naga Aryaka mendekati Bimasena. Dan
redalah kemarahan Bimasena. Kemudian Bimasena melakukan penghormatan
kepada Naga Aryaka dan meminta maaf atas kelakuannya karena telah membunuh
ribuan rakyatnya. Setelah segalanya menjadi baik, termasuk ular-ular yang telah
dibunuh dihidupkan kembali oleh Naga Aryaka, Bima ingat akan semua kejadian
yang menimpanya sejak awal hingga akhir, dan menceritakannya kepada Naga
Aryaka.
Naga Aryaka mendengarkan cerita Bima dengan seksama. Ada ungkapan
syukur dari Naga Aryaka bahwasannya Bima akhirnya lolos dari ancaman
pembunuhan yang dilakukan oleh Patih Sengkuni dan Duryudana. Sebagai tanda
rasa syukur itu Naga Aryaka memberi anugerah kepada Bima berujud minum
Tirta Rasakundha. Setelah meminum Tirta Rasakundha, Bima tidak merasakan
bahwa dirinya berada di dalam air di dasar Bengawan Gangga. Tidak ada bedanya
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
168
PANDAWA KURAWA
dengan di atas daratan, napasnya lancar, badan serta pakaiannya tidak basah. Naga
Aryaka menghendaki agar beberapa hari Bima berada di dasar Bengawan Gangga
untuk memperoleh ilmu darinya.
Dengan senang hati Bima memenuhi permintaan Naga Aryaka yang telah
berperan dalam menyelamatkan dirinya. Berbagai ilmu tentang hidup di
wejangkan kepada Bima. Setelah dianggap cukup, Naga Aryaka berpesan.
”Bima, janganlah engkau membalas kejahatan saudara tuamu dengan
kejahatan pula, karena hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Serahkan
masalahmu kepada Sang Hyang Tunggal penguasa alam semesta. Serahkan
kepada Dia perbuatan jahat Sengkuni dan Kurawa. Jika pun ada hukuman, birlah
Dia yang menghukumnya.” Bima berjanji akan mentaati nasihat Naga Aryaka,
dan mohon diri meninggalkan Bengawan Gangga untuk kembali ke
Panggombakan.
Sesampainya di Panggombakan, Bima disambut oleh paman Yamawidura,
Ibunda Kunthi, Puntadewa serta adik-adiknya dengan sukacita. Karena beberapa
pekan sejak diundang pesta di pesanggrahan alas Pramanakoti, Bima belum
kembali. Kepada mereka diceritakannya apa yang dialami Bima dari awal sampai
akhir. Sungguh mengharukan tetapi juga membahagiakan. Bima lolos dari maut,
bahkan memperoleh ilmu dan Tirta Rasakundha dari Naga Aryaka.
Kabar kepulangan Bima di Panggombakan dalam keadaan segar bugar
membuat Sengkuni, Duryudana dan warga Korawa kelimpungan. Mereka sudah
terlanjur mengabarkan kepada Raja Destrarasta bahwa Bima jatuh tenggelam di
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
169
PANDAWA KURAWA
kedung Bengawan Gangga sewaktu berpesta pora di Pesanggrahan Alas
Pramanakoti. Karena lama tidak muncul Bima dianggap telah mati disantap naga-
naga ganas penghuni kedung bengawan Gangga. Tetapi ternyata, Bima belum
mati, ia menjadi semakin perkasa. Dengan mendapat kesaktian baru yang
memungkinkan ia dapat hidup di dalam air seperti layaknya berada di atas daratan
”Sengkuni! Aku mendengar bahwa Bima kembali dalam keadaan selamat.,
benarkah itu?”
”Ampun Sang Prabu Destrarasta, apa yang paduka dengar benar adanya.
Bima masih hidup. Untuk itu kami mohon ampun atas praduga hamba
sebelumnya yang mengatakan bahwa Bima telah mati. Karena lebih dari sepekan
warga Kurawa menunggu disekitar kedung bengawan Gangga, tempat Bima
tenggelam, namun Bima tidak muncul. Kami beranggapan bahwa tidak ada
seorang manusia yang dapat bertahan hidup di dalam air, selama berhari-hari. Jika
ternyata ia masih hidup, hamba sendiri cukup heran, dengan ilmu sihir macam apa
yang digunakan Bima.”
”Cukup Sengkuni! Panggil Bima dan saudara-saudaranya, aku ingin
mendengar kisahnya.”
”Baik Sang Prabu, perintah paduka segera aku laksanakan.”
Dengan terbata-bata Sengkuni segera undur diri. Prabu Destarastra
menarik napas panjang. Ia dapat merasakan kepatuhan Sengkuni dan juga Gendari
isterinya adalah kepatuhan semu. Walaupun telah dibungkus dengan kata-kata
manis, suasana yang damai menentramkan, toh kebusukan hatinya tercium juga.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
170
PANDAWA KURAWA
Jika dapat memilih ia lebih senang tidak menjadi raja di Hastinapura. Percuma
saja ia memerintah. Karena aturan, wewenang, keputusan dan kebijakan raja
selalu diselewengkan demi kepentingan Isteri dan Patihnya.
Sengkuni gelisah, apa jadinya jika Bima berkisah tentang penganiayaan
yang dilakukan warga Kurawa. Walaupun Sengkuni dan Gendari menganggap
remeh Destrarastra karena kebutaan matanya, mereka miris juga kepada aji Lebur
Sakethi yang dimiliki Destarastra. Namun kegelisahan Sengkuni tak
berkepanjangan. Ia segera mendapat akal, untuk menghadapi cerita Bima. Yang
penting menjaga agar Destarastra tidak marah.
Usaha membunuh para Pandawa yang dilakukan oleh Sangkuni, Gendari
dan para Kurawa berkali-kali gagal. Namun berkali pula ia lolos dari tuduhan
Sang Raja. Dan itu tidak membuat jera. Bahkan semakin terbakar hati mereka
untuk segera menyingkirkan Pandawa.
Diilhami oleh sebuah peristiwa kebakaran, Sengkuni mendapat gagasan
baru untuk menyingkirkan Pandawa. Ya dengan cara dibakar akan sulit dilacak
penyebabnya. Gagasan tersebut disetujui oleh Gendari, Duryudana dan para
Kurawa. Kemudian diteruskan kepada Purucana, seorang ahli membuat bangunan
yang cepat dan indah. Maka mulailah dibangun sebuah bale di Waranawata, yang
letaknya jauh dari kotaraja Hastinapura.
Untuk mengetahui kisah Bima yang sebenarnya maka para Pandawa
diundang ke Hastina. Bersama para sauadaranya. Bima datang menghadap. Prabu
Destarata segera menanyakan kisahnya pada Bima.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
171
PANDAWA KURAWA
Di hadapan sang raja, Bimasena tidak mengisahkan peristiwa yang
sebenarnya menimpa dirinya di kedung Sungai Gangga wilayah hutan
Pramanakoti. Hal tersebut dilakukan semata-mata agar tidak a...da dendam yang
tersisa di hatinya. Ia teringat nasihat Naga Aryaka ”Bima, janganlah engkau
membalas kejahatan saudara tuamu dengan kejahatan pula, karena hal tersebut
tidak menyelesaikan masalah. Serahkan masalahmu kepada Sang Hyang Tunggal
penguasa alam semesta. Serahkan kepada Dia perbuatan jahat Sengkuni dan
Kurawa. Jika pun ada hukuman, biarlah Dia yang menghukumnya.” Dan
Bimasena telah berjanji untuk mentaati nasihat Naga Aryaka, dewa penguasa
sungai telah menolong, menyelamatkan dan bahkan memberikan anugerah Tirta
Rasakundha kepada dirinya.
Prabu Destarastra tahu bahwa ada sesuatu kejadian buruk yang
disembunyikan Bimasena, maka pada kesempatan lain Deatarastra memanggil
beberapa orang terdekat tanpa kehadiran Bimasena dan saudara-saudaranya. Pada
kesempatan tersebut, Sang Prabu Destarastra melampiaskan amarahnya kepada
Sengkuni.
“Sengkuni, Sengkuni, sampai kapankah engkau akan mempermainkan
aku? Berapa kali engkau telah meniupkan kabar bohong kepadaku yang adalah
raja Hastinapura.”
“Ampun Sang Prabu Destarastra, waktu itu memang benar, saya melihat
dengan mata kepala sendiri, bahwa seusai pesta, mungkin karena saking
banyaknya minum tuak, Bimasena jalan sempoyongan dan masuk ke kedung
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
172
PANDAWA KURAWA
sungai Gangga. Para perajurit berjaga-jaga di pinggir sungai, dan siap menolong
jika sewaktu-waktu Bimasena timbul dari kedung tersebut. Namun hingga sampai
dengan hari ke tiga, anak ke dua dari Pandudewanata tersebut tidak muncul juga.
Salahkah jika kemudian aku menyimpulkan bahwa Bimasena telah mati? Adakah
seseorang yang mampu bertahan di dalam air selama tiga hari?”
“Sengkuni! Nyatanya engkau salah! Bimasena masih hidup!!!
Bentakan Destarastra membuat semua yang ada di pisowanan tersebut
tertunduk diam. Tidak ada satupun yang berani mengeluarkan kata-kata.
Destarastra sendiri nampaknya sudah tidak ingin lagi mengeluarkan sepatah kata
pun. Bahkan ia memberi isyarat kepada Gendari agar dituntunnya meninggalkan
pisowanan terbatas.
Sengkuni semakin terbakar atas nasib baik yang dialami Bimasena. Api
kebencian yang menyala-nyala di hati Sengkuni memang ingin sungguh-sungguh
diwujudkan untuk membakar, tidak hanya Bimasena tetapi juga Kunti dan ke lima
anaknya.
Untuk sebuah rencana besar tersebut, Sengkuni tidak mau gagal lagi. Ia
memerintahkan Purucona, arsitek nomor satu di Hastinapura untuk membuat
sebuah bangunan peristirahatan yang indah dan nyaman di atas pegunungan di
luar kotaraja Hastinapura. Bangunan semi permanent tersebut dirancang kusus.
Tiang-tiang bangunan diisi dengan sendawa dan gandarukem, bahan sejenis mesiu
dan minyak yang mudah terbakar.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
173
PANDAWA KURAWA
Kunti dan Anak-anaknya memang bukan tipe pendendam. Di hati mereka
telah diajarkan bagaimana senantiasa menumbuhkan sikap nan tulus untuk
mengasihi kepada siapapun tak terkecuali, termasuk kepada mereka yang telah
menganiaya dirinya. Karena dengan demikian hatinya tidak ditumbuhi dendam
yang menggerogoti dan meracuni hidupnya.
Oleh karenanya, sekali lagi, bujuk rayu Sengkuni dan Duryudana berhasil
mengajak Ibu Kunti, Puntadewa, Bimasena, Herjuna, Nakula dan Sadewa untuk
merasakan nyamannya rumah peristirahatan yang bernama Bale Sigala-gala di
puncak pegunungan.
Dua pekan lagi, saat purnama sidhi, Kunti dan ke lima anaknya berjanji
akan memenuhi undangan Sengkuni dan para Kurawa dalam acara andrawina di
Bale Sigalgala. Mendengar rencana tersebut Sang Paman Yamawidura, orang
yang mempunyai kelebihan dalam hal membaca kejadian yang belum terjadi,
merasakan firasat buruk yang harus dihindari. Maka ia memanggil Kanana
abdinya, yang ahli membuat terowongan. Kanana diperintahkan untuk
menyelidiki Pesanggrahan Bale Sigala-gala dan secepatnya membuat terowongan
untuk jalan penyelamatan jika terjadi sesuatu atas pesanggrahan tersebut.
Kanana segera melaksanan perintah rahasia Yamawidura dengan sebaik-
baiknya, serapi-rapinya dan secepat-cepatnya. Ia tahu bahwa sosok Yamawidura
adalah titisan Bathara Dharma, dewa keadilan dan kebenaran. Ia mempunyai
kelebihan dan tak tertanding di negara Hastinapura dalam hal membaca kejadian
yang akan terjadi. Raja Sendiri mengakui kelebihan adiknya yang sangat
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
174
PANDAWA KURAWA
disayanginya itu. Maka Kanana meyakini bahwa bakal terjadi huru-hara besar,
dan terowongan yang ia buat atas perintah Yamawidura, benar-benar akan
menjadi sarana untuk jalan penyelamatan. Kurang dari dua pekan Terowongan
yang panjangnya lebih dari 400 langkah tersebut telah selesai. Kanana benar-
benar menunjukan kualitasnya.
Pada malam menjelang pesta di Balai Sigala-gala, tepat pada tabuh ke
sebelas Yama Widura mengidungkan mantra-syair yang isinya mengingatkan agar
setiap orang selalu waspada dan berjaga-jaga dalam doa dan pujian, untuk
memohon keselamatan, jauh dari segala yang jahat.
Kunti dan Bima belum tidur. Mereka terhanyut oleh syair-syair yang
dikidungkan Yamawidura. Batin yang cerdas dapat menangkap bahwa melalui
Kidung malam tersebut Yamawidura ingin mengingatkan agar Kunti dan Anak-
anaknya yang besok sore akan memenuhi undangan para Kurawa di Bale Sigala-
gala jangan menanggalkan kewaspadaan dan selalu berdoa mohon terhindar dari
segala mara bahaya.
Lewat tengah malam, Yamawidura menyelesaikan pembacaan mantra
yang di kidungkan. Hampir bersamaan, Kunti dan Bimasena terlelap dalam tidur,
menyusul Puntadewa, Herjuna, Sadewa, Nakula dan juga Padmarini isteri
Yamawidura dan kedua anaknya Sanjaya dan Yuyutsuh.
Malam merambat pelan dilangit Panggombakan. Seakan enggan menemui
pagi. Mungkin karena ia tidak sampai hati menyaksikan tragedi besar yang akan
terjadi di rumah indah dan asri yang bernama Bale Sigala-gala.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
175
PANDAWA KURAWA
Kicau burung bersautan di pagi itu. Langit Panggombakan biru cerah. Tak
ada sedikit pun awan yang menggelantung. Kunthi dan anak-anaknya merasakan
pula cerahnya hari itu. Secerah hati mereka yang tidak pernah terhalang awan
dendam dan kebencian, kendati mereka menjadi sasaran irihati. Seperti yang
terjadi belum lama ini, para Kurawa gagal membunuh Bimasena di hutan
Pramanakoti. Dikarenakan dari pihak Pandawa mudah melupakan perbuatan jahat
yang dilakukan Sengkuni dan para Kurawa maka Pandawa tidak menaruh curiga
seikitpun atas undangan pesta di Bale Sigala-gala nanti sore. Bahkan bagi
Pandhawa kesempatan tersebut dapat menjadi sarana untuk merekatkan hubungan
persaudaraan.
Lain yang dirasakan para Pandhawa, lain pula yang dirasakan Yama
Widura. Sejak Kunthi dan para Pandhawa merencakan akan datang pesta
memenuhi undangan warga Korawa di Bale Sigala-gala, Yama Widura, paman
dari para Pandhawa itu gelisah. Semalaman ia tidak dapat tidur. Kidung mantra
tulak bala, memohon keselamatan mengalun hingga tenggah malam. Sementara
malam yang tersisa digunakan untuk berdoa di sanggar pamujan. Apa yang telah
dilakukan Yama Widura, termasuk juga pembuatan terowongan yang dikerjakan
oleh Kanana, adalah semata-mata demi keselamatan Kunti dan para Pandhawa.
Pagi itu, Yama Widura menerima Kunthi dan anak-anaknya yang hendak
berpamitan pergi ke gunung Waranawata menghadiri undangan pesta di Bale
Sigala-gala
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
176
PANDAWA KURAWA
“Kakang Mbok Kunti dan anak-anakku Pandawa, kemeriahan pesta dapat
dengan mudah membuat orang lupa. Oleh karenanya jangan tinggalkan
kewaspadaan. Bimasena engkau orang yang paling perkasa diantara Ibu dan
saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan keselamatan Ibu dan saudara-
saudaramu.”
Dihantar oleh tatapan cemas Yamawidura. Kunthi dan ke lima anaknya
meninggalkan Panggombakan.
Sejak pagi Bale Sigala-gala menampakan kesibukannya. Aneka bunga dan
umbul-umbul menghias halaman dan ruangan. Sebagian besar warga Kurawa
telah hadir di situ. Bale Sigala-gala nampak indah mempesona. Purucona dengan
bangga melihat karyanya yang istimewa. Semua yang melihat bangungan tersebut
selalu berdecak kagum. Nama Purucona yang sudah dikenal menjadi semakin
terkenal.
Namun tiba-tiba hati Purucona berdesir tatkala membayangkan bahwa
nanti malam Bale yang indah menawan akan berubah menjadi kobaran api. Dan
api tersebut akan membakar Kunti dan anak-anaknya.
“Purucona!!! Engkau harus mencegah agar Bale Sigala-gala tidak menjadi
alat untuk membunuh orang yang tak berdosa.”
Puruncona merasa bersalah. Ia gelisah sepanjang hari. Hingga menjelang
pesta kegelisahan Purucona semakin menjadi-njadi. Satu persatu tamu yang
datang menambah rasa bersalah semakin berat menekan hati sang arsitek nomor
satu di Hastinapura.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
177
PANDAWA KURAWA
Ketika sayup terdengar bunyi kenthongan tujuh kali, tamu undangan telah
memenuhi ruangan pesta. Namun Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan para
Kurawa belum menampakan kelegaan. Dikarenakan tamu istimewa yang
ditunggu-tungu belum datang, yaitu Kunti dan anak-anaknya. Jika para Pandawa
tidak datang apalah artinya pesta yang menelan biaya sangat banyak ini?.
Kunthi dan Pandhawa seharusnya sudah sampai di tempat pesta, namun
sebelum memasuki lokasi pesta mereka ditemui oleh Kanana, utusan
Yamawidura. Ada pesan rahasia disampaikan khususnya kepada Bimasena,
seperti yang telah diisyaratkan Jamawidura; “Jangan tinggalkan kewaspadaan!
Bimasena engkau orang yang paling perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu.
Padamulah aku titipkan keselamatan mereka” Bimasena meminta Kanana untuk
berterus terang apa yang akan terjadi dan tindakan apa yang seharusnya aku
lakukan. Namun Kanana tergesa untuk pergi, karena takut diketahui oleh Patih
Sengkuni dan warga Kurawa.
Sejak Kanana menyelesaikan terowongan rahasia yang berada di ruang
paling belakang, ia menyamar sebagai tenaga kasar yang ikut mempersiapkan
perlengkapan pesta. Hal tersebut dilakukan supaya ia dapat menjaganya agar
keberadaan terowongan rahasia teresebut tidak diketahui oleh para Kurawa.
Menjelang tabuh ke delapan, Kunti, Puntadewa, Bimasena, Arjuna dan si
kembar Sadewa dan Nakula datang. Duryudana mendekati Sengkuni sambil
berbisik. Sengkuni menolehkan mukanya kegerbang masuk. Patih Sengkuni dan
Duryudana tergopoh-gopoh menyambut mereka.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
178
PANDAWA KURAWA
Keramahtamahan Sengkuni memang berlebihan, membuat risi tamu-tamu
yang hadir, selain warga Kurawa. Namun tidak untuk Kunti dan Pandawa sikap
Sengkuni dan warga Kurawa dirasakan merupakan perhomatan khusus sesama
saudara.
Pesta itu sungguh meriah. Para petugas yang mengurusi makanan,
minuman dan acara pesta, menjalankan tugasnya dengan baik dan rapi. Aneka
hidangan pesta mbanyu mili, mengalir tak pernah henti. Demikian juga acara yang
dipentaskan, berganti-ganti penuh variasi.
Suasana gembira, acara meriah dan makanan melimpah, menyihir para
penikmat pesta untuk terhanyut dalam suasana memabukan. Satu persatu
kewaspadaan mereka hilang, Para Kurawa kecuali Patih Sengkuni, Duryudana
dan Dursasana sudah tidak dapat mengontrol diri sendiri. Melihat suasana yang
semakin memabukan, pemuka pesta terpaksa menghentikan satu acara yang masih
tersisa, karena sudah tidak mendapat perhatian.
Keadaan menjadi lebih hening. Yang tersisa tinggal beberapa suara
gemelintingnya gelas minuman dan piring makanan. Karena sebagian besar yang
lain sudah menghentikan makannya karena sudah tidak ada sedikitpun ruang perut
yang kosong.
Jika semula pesta ini dirancang untuk membawa Kunti dan anak-anaknya
terhanyut dalan suasana pesta yang memabukan dan lupa akan dirinya, sehingga
mudah diperdaya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Justru para Kurawa
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
179
PANDAWA KURAWA
yang seharusnya berpura-pura, malah lebih dahulu terhanyut dalam haru birunya
pesta.
Sengkuni menjadi binggung. Bagaimana akan melaksanakan rencananya.
Dalam keadaan mabuk, ia kesulitan membawa warga Kurawa keluar dari Bale
Sigala-gala.
Suasana berangsur-angsur hening. Dentingan perkakas yang saling beradu
diantara sendok dengan gelas, mangkuk dan piring, sudah tidak terjadi lagi. Para
petugas yang mengontrtol makanan dan minuman sudah berhenti melakukan
panambahan hidangan. Dikarenakan makanan memang masih cukup ada, masih
cukup untuk tamu yang ada. Bahkan mereka mulai mencicil untuk menyingkirkan
aneka perkakas yang sudah kotor oleh sisa-sisa makanan dan minuman.
Bersamaan dengan itu, datanglah rombongan petapa yang sengaja mampir untuk
meminta makanan. Jumlahnya enam orang lima orang putra dan satu orang putri.
Kedatangannya disambut hangat oleh para Pandawa, mereka dipersilakan
menikmati makanan yang masih terhidang dengan leluasa.
Sementara itu Sengkuni dan Duryudana dibuat geram. Warga Kurawa
telah gagal melaksanakan tugasnya. Semula diharapan warga Kurawa ikut
berpesta tersebut hanya untuk membuat suasana pesta meriah. Dengan berpura-
pura ikut makan dan minum sebanyak-banyaknya, agar para Pandhawa terpancing
untuk ikut makan dan minum sampai mabuk dan tak sadarkan diri, sehingga
dengan mudah Sengkuni dapat melaksanakan rencananya yaitu membakar Bale
Sigala-gala beserta Kunthi dan para Pandhawa.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
180
PANDAWA KURAWA
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Para warga Kurawa lah yang tidak
dapat menahan diri. Mereka terlalu banyak makan dan minum sehingga menjadi
mabuk. Perilaku warga Kurawa tersebut secara tidak sadar telah menghambat
rencananya sendiri, rencana warga Kurawa yang diprakarsai oleh Patih Sengkuni.
Tentunya tidaklah mungkin untuk menunggu mereka yang mabuk sadar kembali.
Sengkuni dan Duryudana harus berpacu dengan waktu. Jangan sampai fajar mulai
merekah diufuk Timur, Bale-Sigala-gala masih utuh berdiri.
Maka dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi Kunthi
dan anak-anaknya, Duryudana dibantu oleh para hulubalang dan tenaga kasar
yang lain, memapah keluar para pemabuk yang tak sadarkan diri. Setelah semua
warga Kurawa dan beberapa orang yang mabuk di amankan di tempat yang jauh
dari Bale Sigala-gala, Sengkuni mempersilakan Kunthi dan Nakula untuk
beristirahat dan tidur di ruang yang telah disediakan, tepatnya di belakang ruang
pesta, menyusul Bimasena, Arjuna dan Sadewa. Ketika Kunthi dan Nakula
menuju ke ruang belakang, mereka melihat ke enam Petapa tidur nyenyak sekali
di lantai, tidak seberapa jauh dengan pintu ruang belakang. Mereka sangat
kecapaian. Dewi Kunthi menyapa lembut, dengan tanpa mengharap balasan.
“Selamat malam sang petapa, selamat beristirahat dan sampai jumpa di
esok hari.”
Malam merambat menuju pagi. Dari kejauhan, terdengar suara kentongan
yang berbunyi dua kali, mengisyaratkan bahwa waktu telah menunjukan pukul
dua dini hari. Sampai di ruang belakang Kunthi melihat Bimasena, Arjuna dan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
181
PANDAWA KURAWA
Sadewa masih terjaga. Yang mengejutkan Kunthi bahwa diantara mereka ada
seorang abdi dari Panggombakan, orang terdekatnya Yamawidura yang ahli
membuat terowongan, bernama Kanana. Ada apa dengan Kanana?
Dengan wajah serius Kanana memohon agar diberi kesempatan
menjelaskan hal rahasia dengan tanpa didengar oleh orang lain selain Dewi
Kunthi dan dan anak-anaknya. Pintu ruangan ditutup perlahan sekali, mereka
memusatkan perhatian dan pandangannya pada Kanana yang akan membeberkan
hal penting penuh rahasia.
“Mohon maaf sebelumnya, Ibu Kunthi dan para Putra, beberapa pekan
lalu, saya diperintahkan untuk membuat terowongan rahasia sebagai jalan
penyelamatan jika sewaktu-waktu terjadi bencana di pesta Bale Sigala-gala.
Terutama kepada Raden Bimasena, Bapa Yamawidura mengingatkan agar selalu
waspada dan bertindak cepat untuk menyelamatkan Ibu Kunthi beserta saudara-
saudaranya, sewaktu bencana yang di kawatirkan benar-benar terjadi. Inilah pitu
terowongan itu.
Kunthi dan para Pandawa ternganga. Mereka tidak menyangka bahwa
lantai yang beralas permadani di ruang itu dapat dibuka dengan mudah. Setelah
dibuka oleh Kanana ternyata dari lobang tersebut ada tangga yang menuju ke
pintu terowongan. “Jika terjadi sesuatu, terowongan inilah yang akan membawa
kita sampai di bawah bukit dengan selamat”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
182
PANDAWA KURAWA
Baru saja Kanana akan menutup pintu terowongan kembali, mereka
dikejutkan oleh cahaya merah yang tiba-tiba saja menjadi besar. Hawa panas
dengan cepat merambat ke seluruh tubuh mereka.
“Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!
Kunthi teringat kepada ke enam petapa yang tidur tidak jauh dari pintu
ruangan ini. Tetapi ketika akan membuka pintu, ternyata pintu tersebut telah
dikancing dari luar. Kunthi sempat berteriak “ Selamat malam Sang Petapa”
Kunthi berusaha untuk membuka pintu, namun sebelum berhasil ia telah disaut
oleh Bimasena dan bersama para Pandhawa dibawa masuk ke pintu terowongan.
Kanana bergerak cepat menutup pintu, setelah Kunthi dan anak-anaknya
dipastikan telah masuk terowongan
Kunthi bersama lima anaknya telah masuk terowongan rahasia, menyusul
peristiwa kebakaran hehat di Bale Sigala-gala. Namun pikiran dan hatinya masih
tertinggal di ruangan tempat ke enam petapa tidur. Ia membayangkan bahwa
keenam brahmana yang tidur nyenyak, tidak akan mampu menyelamatkan diri
dari kepungan api yang merambat teramat cepat. Betapa dahsyatnya kebakaran
itu. Hawa panasnya mampu menembus beberapa langkah dari mulut terowongan.
Bima menggendong Nakula dan Sadewa berjalan paling belakang menyusuri
terowongan, menjauhi pintu trowongan yang terasa semakin panas. Mereka
mengikuti cahaya putih yang berjalan paling depan. Bima berusaha menenangkan
Ibu dan saudara-saudaranya, terutama si kembar Nakula dan Sadewa yang
menangis ketakutan.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
183
PANDAWA KURAWA
Siapakah cahaya putih di depan itu? Dialah Kanana? Abdi Paman
Yamawidura yang ahli membuat terowongan? Pertanyaan Dewi Kunthi dan anak-
anaknya rupanya tidak membutuhkan jawaban. Bagi mereka yang penting adalah
bahwa cahaya putih itu akan menuntunnya keluar dari terowongan ini menuju
tempat yang aman, jauh dari kobaran api Bale Sigala-gala, api yang dinyalakan
dari kobaran hati yang penuh dendam dan kebencian.
Sebenarnya apa yang terjadi di Bale Sigala-gala? Bale artinya bangunan
rumah, Gala adalah jabung. Bahan yang bisa menjadi keras seperti semen, namun
mudah terbakar. Itulah alasan Patih Sengkuni menggunakan jabung sebagai bahan
utama untuk membuat bangunan. Ditambah lagi dengan tiang-tiang penyangga
bangunan, yang telah diisi dengan sendawa dan gandarukem, bahan sejenis mesiu
yang bisa meledak. Dengan demikian jadilah pesanggrahan “Bale Sigala-gala”
yang siap dibakar dan diledakan. Sengkuni yakin, bahwa Bale Sigala-gala akan
mampu mengubah tulang daging Kunthi dan Pandawa menjadi abu dan arang.
Purucona cepat bakar! Bakar! Bakar!!! Perintah tersebut terdengar keras,
namun walaupun begitu tidak ada seorang pun diantara Kunthi dan para
Pandhawa yang bisa menyelamatkan diri keluar dari Bale Sigala-gala. Apalagi
ruangan yang ditempati Kunti dan anak-anaknya telah dikancing dari luar.
Sehingga dipastikan bahwa mereka terbakar di dalam ruangan.
Api berkobar ganas, disusul suara ledakan ledakan keras dari tiang-tiang
bangunan yang diisi sendawa dan gandarukem. Malang bagi Purocana, undagi
nomor satu di Hastinapura tersebut sengaja dijadikan tumbal untuk peristiwa
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
184
PANDAWA KURAWA
Balesigala-gala ini Ia, setelah menyulut Bale Sigala-gala dilempar paksa ke dalam
api oleh beberapa perajurit yang ditugaskan Sengkuni. Karena jika tidak,
dikhawatirkan Purucona akan membeberkan rekayasa kebakaran di Bale Sigala-
gala.
Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan para Korawa yang lain, serta
para perajurit dan pekerja pesta, dari kejauhan memandangi lidah-lidah api yang
menimbulkan asap hitam pekat. Tanpa berkedip Patih Sengkuni memandangi Bale
Sigala-Gala yang dibakar, untuk memastikan bahwa tidak ada seorangpun
diantara Kunthi dan anak-anaknya menyelamatkan diri, keluar dari kobaran api.
Artinya bahwa Kunthi dan ke lima anaknya hangus terbakar. Karena memang
hanya tinggal enam orang yang masih berada di dalam bangunan Bale Sigala-gala,
karena yang lainnya telah diajak keluar sebelum kebakaran terjadi. Yah tinggal
enam orang. Kunthi, Puntadewa. Bimasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Dan
pasti tubuh mereka telah menjadi arang dan abu. Demikian pikir Sengkuni.
Wajah Sengkuni dan warga Kurawa nampak lega dan senang. Karena
dengan tewasnya para Pandawa, tidak ada lagi yang menghalangi Duryudana
menduduki tahta Hastinapura.
Namun bagi yang tidak tahu menahu rencana dibalik semua itu, termasuk
para pekerja pesta, peristiwa kebakaran di Bale Sigala-gala itu sungguh
mengherankan. Pasalnya bahwa warga Kurawa dan perajuritnya. Tidak berusaha
untuk memadamkan api Juga perihal evakuasi. Semua warga Kurawa yang
mabuk, telah dibawa keluar dari Bale Sigala-gala sesaat sebelum kebakaran
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
185
PANDAWA KURAWA
terjadi. Sepertinya ada rencana sebelumnya bawa Bale Sigala-gala sengaja
dibakar. Tanda-tanda adanya kesengajaan dalam peristiwa kebakaran tersebut
semakin dikuatkan ketika menjelang deti-detik terjadinya kebakaran, terdengar
teriakan ‘cepat bakar!’
Lepas dari sekenario yang dilakukan, peristiwa kebakaran Bale Sigala-gala
merupakan tragedi kemanusiaan yang memilukan. Rakyat pedusunan yang berada
dibawah bukit pesanggrahan terbangun karenanya. Mereka tidak tahu-menahu
latar belakang dan penyebab kebakaran Bale Sigala-gala. Namun mata hati
mereka menatap pilu api yang berkobar menjilat angkasa pada dini hari itu.
Dibenak mereka muncul gambaran yang memilukan. Adhuh, Dewi Kunthi dan
para Pandawa ada di sana. Tadi siang lewat di dusun ini. Dielu-elukan oleh warga
dusun. Disambut sebagai calon raja pengganti Pandudewanata. Rakyat berharap,
pada saatnya nanti, ketika Raden Puntadewa menjadi raja akan mampu merubah
nasib mereka.
Namun saat ini, ketika api telah membakar Bale Sigala-gala, mereka
menangis. Para Pandhawa yang mereka cintai dan mereka harapkan akan menjadi
raja yang adil bijaksanan telah hangus terbakar. Seperti harapan mereka akan
kesejahteraan dan ketenteraman. Telah lenyap ditelan asap.
Dini hari yang naas itu akan segera berlalu, dan kidung malam pun tak
terdengar lagi, namun rupanya fajar masih enggan menyinarkan cahayanya,
sebelum yang bertikai membuka cedela hati.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
186
PANDAWA KURAWA
Pesanggrahan Bale Sigala-gala yang indah megah, tak mampu bertahan
lama dari amukan api. Purucona seorang undag...i atau ahli bangunan terkemuka
di Hastinapura. Termasuk juga menjadi korban keganasan api. Ia dipaksa untuk
menyulut Bale Sigala-gala yang ia bangun dengan bahan yang mudah terbakar.
Ketika api mulai ganas menyala, Purucona dilemparkan ke dalam api oleh
beberapa pengawal yang telah dipersiapkan. Sungguh malang nasibnya si
Purucona. Ia sengaja dijadikan tumbal untuk rencana besar ini. Awal tragedi
Purucona adalah ketika Patih Sengkuni menemui dirinya dan memerintahkan
untuk membangun sebuah pesanggrahan yang indah menawan. Kepercayaan
langsung dari Patih Hastinapura kepada dirinya membuat Purucona benar-benar
merasa bangga dan gembira. Oleh karena kepercayaan yang diberikan kepadanya
Purucona ingin menunjukkan bahwa dalam waktu yang relatif pendek ia mampu
menciptakan sebuah karya bangunan yang indah.
Konsep bangunan pesanggrahan Bale Sigala-gala adalah ‘Pradah’ artinya
ruang-ruang yang ada dibuat terbuka. Dengan desain yang sedemikian rupa
Purucona menginginkan setiap ruangan yang ada mampu mempunyai daya
undang bagi siapa saja untuk masuk. Setelah mereka masuk, mereka akan
dimanjakan dengan ruangan yang nyaman, udara yang segar dan hidangan yang
lezat. Sehingga semua orang yang datang, masuk ruangan dan menikmati
hidangan yang disajikan akan menjadi lupa terhadap beban hidup yang berat.
Semula tidak terlintas sedikitpun dibenaknya bahwa pada akhirnya
bangunan itu dibuat demi sebuah sarana untuk melenyapkan Pandhawa lima dari
muka bumi. Para Pandawa diundang masuk menikmati hidangan pesta agar
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
187
PANDAWA KURAWA
menjadi lupa, sehingga meninggalkan kewaspadaan dan akhirnya tidak tahu akan
datangnya bahaya api yang meluluh-lantakan semuanya.
Maka pada malam itu Purucona menjadi shock setelah mengetahui bahwa
Bale Sigala-gala karyanya akan dijadikan sarana untuk membunuh Pewaris tahta
Hastinapura yang sah. Sekarang semuanya telang berlangsung amat cepat. Arsitek
nomor satu di Hastinapura benar-benar tekah luluh lantak menjadi arang dan abu,
bersama dengan karya terakhirnya yang sebelumnya sangat mempesona. Selain
Purucona, ada enam orang yang mengalami nasib seperti Purucona. Mereka
ditemukan di depan pintu ruang belakang.
Siapa lagi kalau bukan Kunthi dan ke lima anaknya.
Ketika matahari mulai meninggi, bukit letak pesanggrahan Bale Sigala-
gala dibangun, penuh sesak. Orang-orang pada datang untuk memastikan apakah
Raden Yudhisthira dan saudara-saudaranya dan juga Ibunya dapat menyelamatkan
diri?
“Inilah mayat Kunthi, walaupun sudah menjadi arang, masih kelihatan
bahwa ini adalah mayat seorang wanita. Dan yang lima ini adalah anak-anaknya,
yaitu: Yudhisthira, Bimasena, Herjuna, Nakula dan Sadewa.”
Dengan penuh kelegaan Sengkuni menyakinkan bahwa ke enam mayat
yang ada, adalah Kunthi dan Pandhawa lima. Dan rupanya keyakinan Sengkuni
tersebut tak terbantahkan, karena ada bukti yang ditunjukan. Para rakyat bersedih.
Para kawula menangis, melihat ke enam mayat yang diyakinkan Sengkuni adalah
mayat Kunthi dan anak-anaknya. Tidak ada yang menyuruh, para kawula pedesan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
188
PANDAWA KURAWA
yang datang, bersimpuh mengelilingi keenam mayat tersebut. Rasa hormat dan
rasa cinta yang begitu tinggi yang ditunjukkan oleh rakyat Hastinapura kepada
Pandawa, walaupun sudah menjadi abu, membuat Sengkuni dan Para Kurawa
panas hatinya. Maka segeralah Patih Sengkuni memberikan perintah untuk
membubarkan para kawula pedesaan itu. Satu persatu mereka meninggalkan
puing-puing Bale Sigala-gala dengan kepala tunduk. Tanpa disadari kaki mereka
menginjak-injak abu Purucona sang Arsitek yang malang.
Para kawula yang diusir Patih Sengkuni menjauh dari puing-puing
kebakaran, namun mereka enggan untuk meninggalkan halaman Bale Sigala-gala.
Jika pun ada yang keluar halaman, mereka berpencar tidak jauh dari pagar
halaman Bale Sigala-gala. Diantara para kawula Hastinapura yang masih berada
disekeliling Bale Sigala-gala, terdapat istri dan anak Purucona.. Ibu dan anak
tersebut datang dari kotaraja ingin menyaksikan secara langsung keindahan
Pesanggrahan Bale Sigala-gala, hasil karya Purucona. Sampai di tempat pesta
isteri dan anak arsitektur nomor satu negara Hastinapura tersebut memandang
kagum Bangunan pesanggrahan Bale Sigala-gala. Kekaguman mereka tidak
sendiri. Karena hampir sebagian besar para tamu undangan yang hadir
mengagumi karya Purucona.
Namun keindahan bangunan tersebut dalam sekejap berubah dengan cepat.
Seperti mimpi rasannya. Kini pesanggrahan yang indah telah hangus terbakar. Tak
terbayangkan bahwa pesanggrahan yang dibangun ayahnya siang malam dengan
susah payah tak kenal lelah, telah lenyap dalam seketika. Bahkan Purucona ikut
lenyap bersama bangunan karyanya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
189
PANDAWA KURAWA
Rasa cemas dan kawatir semakin memuncak, ketika sampai siang hari, ibu
dan anak tersebut tidak mendapati orang yang amat disayangi.
Tidak! Purucona tidak mati! Ia masih hidup pada waktu yang amat
panjang.. Buktinya bahwa karya bangunan yang dihasilkan tersebar di seluruh
penjuru negeri Hastinapura. Ilmu-ilmunya tentang bangunan sudah diberikan
kepada murid-muridnya, anak buahnya, tukang-tukangnya. Lihatlah banyak
bangunan yang berdiri di kotaraja Hastinapura yang disebut gaya Purucanan. Dan
kemudian ilmu-ilmu arsitektur Purucanan tersebut telah tumbuh dan berkembang
bahkan hingga ke manca negara.
Ibu dan anak itu berusaha menyangkal bahwa Purucona tidak mati hangus
bersama bangunan karyanya. Mereka masih mengharapakan bahwa Purucona
hidup dan tinggal bersama-sama dengan keluarga dalam damai, dan penuh kasih
sayang.
Namun harapan tersebut semakin tipis. Purucona sudah tidak tampak lagi.
Menurut dua tamu yang hadir pada malam pesta, mereka menyaksikan, ketika ada
api berkobar dan langsung menjadi besar, empat perajurit menghalangi Purucona
yang hendak menyelamatkan diri dari kobaran api. Bahkan yang lebih
mengerikan, keempat perajurit tersebut melemparkan Purucona ke dalam kobaran
api. Purucona menjerit keras-keras. Namun suara jeritannya tenggelam oleh suara
ledakan tiang-tiang yang berisi sendawa.
“Ayah! Betapa malang nasibmu. Engkau dipakai sebagai alat konspirasi
tingkat tinggi. Awalnya ia diberi kesempatan untuk berjalan di depan tetapi
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
190
PANDAWA KURAWA
kemudian ditusuk dari belakang. Patih Sengkuni, si jahanam akan kubunuh
engkau.”
“Jangan anakku! Jangan! Jika kau lakukan, ibarat sulung masuk api, tak
ada gunanya. Engkau akan mati sia-sia. Aku tidak mau kehilangan engkau.”
Anak Purucona tidak meneruskan niatnya. Benar apa yang dikatakan
ibunya. Jika ia menuruti emosinya dan berusaha membunuh Patih Sengkuni, entah
berhasil ataupun tidak, maka akibatnya ia sendiri yang akan dibunuh. Dan jika hal
itu yang terjadi, ibunya pasti akan lebih menderita. Sudah kehilangan suami dan
kemudian kehilangan anak satu-satunya.
“Ibu kita tinggalkan tempat ini dengan segera”.
Peristiwa Bale Sigala-gala menjadi sejarah hitam-pekat bagi keluarga
Purucona. Walaupun di kotaraja mereka mempunyai rumah besar, megah dan asri,
mereka tidak mau lagi kembali ke Hastinapura. Bagi mereka negaranya tidak
dapat diandalakan untuk mengayomi warganya. Para penguasa negeri itu bersikap
arogan. Ambisi pribadi dikedepankan. Kekuasaan dipakai sebagai alat untuk
menguasai. Kedudukan hanya menjadi sarana untuk menginjak-injak rakyat dan
memperlakukan rakyat sesuka hatinya. Jika untuk kepentingan diri sendiri, yang
benar dapat disalahkan dan yang lurus diadili.
“Huh! Tidak sudi lagi aku menginjakan kakiku di kotaraja, sebelum Patih
Sengkuni dan begundalnya lengser dari jabatannya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
191
PANDAWA KURAWA
Anak Purucona dan Ibunya berjalan tanpa tujuan. Mereka mempunyai
hasrat yang sama, yaitu menjauhi Kotaraja Hastinapura, tempat para penguasa
memperlakukan dan membunuh ayahnya sedemikian keji.
Peristiwa Bale Sigala-gala sangat menggemparkan seluruh kawula
Hastinapura. Bukan karena bangunan yang elok asri itu ludes terbakar, tetapi
terutama karena Anak-anak Pandudewanata calon raja yang didambakan rakyat
menjadi korban. Pandita Durna yang pada waktu kejadian belum berperan banyak
selain sebagai guru dari warga Pandawa dan warga Korawa, ikut prihatin dan
bersedih, pasalnya karena dua murid terbaiknya yakni Bimasena dan Herjuna
menjadi korban.
Jika oleh banyak orang peristiwa Bale Sigala-gala dicatat sebagai tragedi
pilu umat manusia, namun tidak oleh Patih Sengkuni. Ludesnya Bale Sigala-gala
sama artinya dengan sirnanya penghalang yang merintangi ambisinya untuk
mendudukan Doryudana di tahta Hastinapura. Oleh karenanya patut disambut
dengan sukaria. Tetapi benarkah Sengkuni berhasil menyingkirkan para Pandawa?
Memang sementara ini kawula Hastinapura mempercayai bahwa warga Pandawa
telah mati.
“Telah Mati!? Ucapkan sekali lagi Sengkuni dengan sejelas-jelasnya!
“Ampun Kakanda Prabu, memang benarlah adanya. Kami tidak dapat
berbuat apa-apa. Api terlalu cepat berkobar dan menghabiskan Pesanggrahan
Bale-Sigala se isisnya. Termasuk Kakang Mbok Kunthi, dan ananak-anaknya,
juga Purucona sang arsitek itu.’
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
192
PANDAWA KURAWA
Destarastra menyesali dirinya yang dilahirkan buta. Karena dengan tidak
dapat melihat, banyak kendala-kendala yang dihadapi dalam memerintahkan
negara besar seperti Hastinapura ini. Ia selama ini hanya mengandalkan laporan-
laporan yang sering tidak sesuai dengan kenyataannya. Bahkan tidak jarang yang
merah dilaporkan hijau dan yang kuning dilaporkankan putih. Tergantung dari
kepentingan yang melaporkan. Sedih rasa menjadi raja tidak dapat mengerti
kondisi yang sebenarnya dari rakyatnya. Kalau tidak karena rasa cintanya kepada
Pandu adiknya, sesungguhnya ia tidak mau menduduki tahta Hastinapura. Jika
pun dirinya berambisi menjadi raja, tentunya sebagi anak sulung laki-laki dari
Prabu Kresnadwipayana, raja Hastinapura sebelumnya. Ia akan bersikeras
menduduki tahta. Namun karena menyadari keterbatasannya, dengan tulus ia
merelakan tahta Hastinapura kepada adiknya.
Namun yang terjadi selanjutnya adalah bahwa tahta kembali pada dirinya.
Pandu telah wafat akibat kutukan Resi Kimindama. Destarastra memerintah
negara Hastinapura dengan segala keterbatasannya. Satu hal yang masih dipegang
teguh oleh Destarastra, yaitu bahwa tahta Hastinapura ini adalah titipan Pandu
untuk diwariskan kepada anak-anaknya. Tinggal menunggu waktu. Yamawidura
adik bungsu Destarastra ditugaskan untuk mendampingi anak-anak Pandu dan
mempersiapkan lahir batin, agar pantas menjadi raja.
Selang waktu mulai dari meninggalnya Pandudewanata hingga sampai
para Pandhawa tumbuh dewasa dan siap menjadi raja inilah yang dimanfaat oleh
Patih Sengkuni dan Gendari. Mereka menyusun rencana untuk mendudukan
Duryudana menjadi raja. Salah satunya usaha yang dilakukan mereka adalah
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
193
PANDAWA KURAWA
menjebak Destarastra dengan undang-undang kerajaan yang berbunyi bahwa
setiap anak sulung laki-laki raja yang usianya sudah mencukupi, wajib diwisuda
menjadi Putra Mahkota. Destarastra menolak. Ia tahu kelicikan Patih Sengkuni
dan Gendari, isterinya. Jika Destarsatra mewisuda Duryudana sebagai Putra
Mahkota, sama halnya dengan menjilat ludahnya sendiri, menarik tahtanya dari
Pandu dan memberikannya kepada Duryudana anaknya.
Cara kasarpun pernah dilakukan, yaitu dengan meracun Bimasena yang
menjadi kekuatan Pandawa. Namun gagal. Dan sekarang dengan cara yang lebih
kasar dan keji, yaitu dengan membakar para pandawa dalam arena pesta.
Oleh karenanya Destarastra dapat menangkap kelicikan dan kepalsuan
melalui laporan Patih Sengkuni perihal tragedi Bale Sigala-gala. Destarastra
marah besar. Ia tak kuasa mengendalikan dirinya ketika mendengar kabar
kematian Kunti dan Pandawa. Destarastra tak kuasa mengeluarkan kata-kata,
badannya bergetar, giginya gemeretak. Dari kedua tangannya muncul asap tipis
berwarna merah.
“Lebur Sekethi!” Sengkuni gemetar ketakutan, ia bergeser menjauh dari
Prabu Destarastra. Para Abdi, Kerabat, Punggawa, Senapati dan Permaisuri panik
ketakutan. Telapak tangan Prabu Destarastra yang telah berisi aji Lebur Sekethi
diarahkan ke tempat Patih Sengkuni duduk.
“Dhuaaarr”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
194
PANDAWA KURAWA
Suara menggelegar menggema di sitihinggil. Kursi kepatihan lebur jadi
debu, dan menyisakan lobang di lantai yang cukup besar dan dalam.
Semua diam, tak ada yang berani mengeluarkan suara. Prabu Destarastra
tersengal napasnya. Ia duduk lemas di kursi raja, kursi yang banyak direbutkan
orang. Pandangannya seakan menerawang jauh dan jauh sekali. Benarkah Kunthi
dan anak-anaknya telah mati? Rasanya tidak mungkin. Bukankah masih ada tugas
yang harus dikerjakan? Diantaranya adalah menyeimbangkan negara Hastinapura
dari perilaku yang tidak baik dan perilaku yang baik.
Gendari tahu persis bagaimana harus mendampingi Destarastra. Setelah
cukup lama Sang Prabu dibiarkan terbang dengan pikirannya dan menyelam
dalam perasaannya, Gendari mendekati Sang Prabu dan meraba dadanya dengan
penuh kelembutan.
“Sang Prabu, hari menjelang senja, perlulah kiranya Sang Prabu mandi
agar badan menjadi segar dan pikiran menjadi dingin.”
Destarastra tidak menolak, ketika dirinya dituntun oleh isterinya yang
walaupun tidak suka dengan perilakunya, namun sebenarnya sangat ia sayangi.
Tapi pikirannya yang masih dipenuhi perasaan cemas ketika kelima
keponakannya mati hangus terbakar dan adik iparnya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
195
PANDAWA KURAWA
MEMBASMI KEJAHATAN
Ketika perjalanan Kunti berserta kelima anaknya dan kanana sampai di
alam terbuka yang terang benderang, mereka tidak melihat lagi cahaya itu. Jika
semula Kunthi dan Pandhawa mengira bahwa cahaya putih itu adalah Kanana,
nyatanya bukan. Bahkan Kanana sendiri melihat bahwa cahaya Putih itu adalah
Batara Narada, Dewa yang bertubuh bulat pendek. Lalu siapa cahaya putih yang
menuntun di dalam kegelapan tadi?
Kunthi, Pandawa Lima dan Kanana saling berpandangan. Mereka heran
dengan apa yang baru saja mereka alami. Berawal dari peristiwa kebakaran di
Bale Sigala-gala, kemudian mereka dibukakan pintu terowongan oleh Kanana,
kemudian Bima menggendong mereka dan membawa masuk ke pintu
terowongan. Di terowongan mereka mengikuti cahaya putih dan akhirnya selamat
sampai di tempat terbuka yang belum pernah mereka jumpai sebelumnya.
Tempat yang asing tersebut merupakan halaman pintu gerbang kerajaan.
Kerajaan manakah ini. Pintu gerbangnya megah perkasa, dihiasi dengan ukiran
bermotif binatang dan tumbuh-tumbuhan yang mempesona. Seperti kerajaan besar
lainnya, pintu gerbang tersebut dijaga oleh beberapa perajurit yang mengawasi
orang yang keluar masuk kerajaan. Jika dirasa perlu para penjaga tersebut
berwenang memeriksa dan menggeledah tamu yang ingin masuk ke kerajaan.
Kunti, Pandawa Lima dan Kanana disambut oleh kepala perajurit jaga dengan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
196
PANDAWA KURAWA
penuh hormat. Kemudian mereka dikawal beberapa perajurit untuk masuk menuju
kedaton, kecuali Kanana yang memilih tinggal bersama perajurit jaga.
Kunthi dan Pandawa heran, para prajurit di kerajaan ini berkulit kasar
saperti sisik, baunya amis seperti ular. Mereka membawa Kunti dan anak-anaknya
kepada yang dikenalkan sebagai putra raja, bernama Nagatatmala. Orangnya
gagah pakaiannya gemerlap ia juga bersisik seperti perajurit-perajurit yang lain.
Nagatatmala memberi hormat dan bertanya mengenai keselamatan mereka.
Nagatatmala mempersilakan mereka beristirahat di tempat yang sudah disediakan,
sebelum ketemu raja. Seorang gadis cantik dikenalkan oleh Nagatatmala, sebagai
adiknya bernama Nagagini.
Kunthi dan Pandawa terpesona melihat kecantikan Nagagini. Kulitnya
halus bersinar tidak seperti kakaknya dan para perajurit, yang berkulit kasar
bersisik. Hampir tak berkedip, para Pandawa memandang Nagagini yang
berperangai lembut dan menawan. Nagagini memberi salam hormat kepada Kunti
dan kepada Puntadewa, Bimasena, Herjuna, Nakula dan Sadewa. Tidak ada yang
tahu bahwa ketika Nagagini memberi salam hormat kepada Bimasena, Nagagini
bergetar gugup. Detak jantungnya berdegup keras. Bimasena adalah sosok yang
pernah ia jumpai dalam mimpinya. Bahkan di dalam mimpi tersebut Bimasena
dan Nagagini telah saling memadu kasih.
“Oh Raden Bima”
Nagagini berkeluh pendek dan segera meninggalkan ruangan tempat Kunti
dan para Pandawa berada, takut jika gejolak hatinya terbaca. Gejolak hati yang tak
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
197
PANDAWA KURAWA
karuan ketika berjumpa dengan kekasih hatinya. Bagi Nagagini sulit membedakan
antara mimpi dan kenyataan. Karena mimpinya belum lama ini menjadi
kenyataan.
Nagagini menyadari bahwa dirinya dan Bima bukan merupakan satu
rumpun bangsa. Nagagini adalah keturunan dewa berjenis ular Naga. Sedangkan
Bima adalah kesatria keturunan manusia pada umumnya. Namun Bima bagi
Nagagini adalah keistimewaan. Ada getaran khusus yang belum didapatkannya
pada manusia kebanyakan. Sejak perkenalannya dengan Bima, Nagagini tidak
pernah melepaskan pikirannya atas Bima. Usaha untuk menghapus bayangan
Bima diangannya tak pernah berhasil, bahkan semakin jelas tergambar.
Demikian halnya yang terjadi dengan Bima. Sejak pertemuannya dengan
Nagagini, Bima gelisah luar biasa. Tidak ada yang tahu apa yang dirasakan Bima.
Bahkan Bima sendiri tak habis mengerti mengapa tiba-tiba saja ada perasaan aneh
yang menggelayut di angannya. Selama hidup belum pernah ia merasakan gejolak
perasaan yang seperti ini. Bima tidak tertarik lagi membicarakan tentang peristiwa
Bale Sigala-gala, kejahatan Sengkuni dan tahta Hastinapura, kecuali pembicaraan
perihal pertemuannya dengan Dewi Nagagini. Bima juga tidak mempunyai hasrat
untuk makan ketika dijamu dan tidur ketika larut malam, kecuali hasratnya untuk
selalu bertemu dan bersanding dengan Nagagini. Lain yang dirasakan Nagagini,
Bima tidak mempedulikan bahwa dirinya dan Nagani adalah berbeda. Yang
dirasakan Bima adalah bahwa Nagagini telah menawan seluruh akal budinya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
198
PANDAWA KURAWA
Sama-sama berangkat dari kegerahan hati yang memuncak, mereka berdua
dipertemukan di sebuah taman“Raden Bima, belum tidurkah?”
Pertanyaan Nagagini tidak membutuhkan jawaban, namun cukup
mengejutkan Bima, yang tidak menyangka bahwa Nagagini berada ditaman yang
sama.
“Engkau juga belum tidur Nagagini?”
Jika keduanya mau jujur pasti jawabnya sama. Karena engkaulah yang
menyebabkan aku tidak dapat tidur malam ini.
“Raden Bima senangkah engkau tinggal di sini?”
“Sangat senang Nagagini”
“Sangat senang? Mengapa?”
“Karena ada kau”
“Sungguhkah Raden? Karena aku?”
“Sungguh Nagagini. Aku berkata dengan hati.”
“Engkau amat jujur Raden. Aku kagum kepadamu.”
“Sungguhkah Nagagini, engkau kagum padaku?”
Sembari tersenyum Nagagini mengangguk. Dada Bima bergelora. Hatinya
tumbuh seribu bunga.
“Nagagini ini negara mana?”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
199
PANDAWA KURAWA
“Apakah kakakku Nagatamala belum menjelaskan kepadamu?”
Bima menggelengkan kepala. Selanjutnya Ngagini memberitahukan
bahwa ini adalah kahyangan Saptapertala, yang berpusat di dasar bumi lapisan ke
tujuh. Rajanya adalah ayah Nagagini, bernama Sang Hyang Antaboga.
“Ibuku adalah bidadari bernama Dewi Supreti. Kami sebenarnya adalah
bangsa ular yang sudah menjadi dewa-dewi.”
Bima mencoba mengingat apa yang telah dilihatnya. Para perajurit dan
orang-orang di Saptapertala, termasuk Nagatatmala berbau amis, berkulit kasar
seperti sisik ular. Namun yang mengherankan adalah Nagagini. Kulitnya kuning
halus bersinar.
“Apakah Sang Hyang Antaboga berujud Dewa? Atau Ular Naga?”
“Berubah-ubah. Tetapi jika ayahku marah, ia menjelma menjadi seekor
naga ganas yang mengerikan. Apakah engkau takut Raden”
Tatapan mata Nagagini menyimpan kekawatiran yang amat dalam. Jika
Bima takut, harapannya untuk bersanding dengan Bima lebih lama, takkan pernah
kesampaian.
“Aku tidak takut Nagagini”
“Benarkah Raden?”
“Aku pernah ditolong naga Aryaka penguasa Bengawan Gangga dan
diberi minum Tirta Rasakundha. Setelah meminum Tirta Rasakundha, itu aku
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
200
PANDAWA KURAWA
merasakan daya yang luar biasa. Walaupun aku berada di dasar Bengawan
Gangga. Rasanya berada di atas daratan, napasnya lancar, badan serta pakaiannya
tidak basah.”
”Ah Bima, pengalaman luar biasa.”
Hampir saja Nagagini melompat kegirangan. Pengalaman Bima dengan
naga Aryaka menyiratkan bahwa perkenalan dengan Bima akan berlanjut lebih
jauh.
Mata Nagagini berbinar-binar mendengar penuturan Bima. Pemuda di
hadapannya yang pernah melintas di dalam mimpi tersebut benar-benar istimewa.
Di dalam darahnya telah mengalir Tirta Rasakundha, sebuah daya kekuatan yang
hanya dimiliki oleh bangsa Naga. Tirta Rasakundha ibarat benang merah yang
menghubungkan naluri mereka, maka pantas saja ada getaran khusus di antara
kedua hati yang saling menyenangkan, membahagiakan dan menentramkan.
Nagagini semakin percaya bahwasannya pertemuan ini telah diatur oleh Sang
Hyang Widiwasa. Betapa indahnya hari itu. Saat mereka untuk pertamakali saling
bertemu, saling mengenal dan terutama saling berbagi cinta, cinta antara pria dan
wanita yang baru pertama kali ini bersemi, bahkan bersemi dengan cepat.
“Raden Bima, engkau mengatakan sangat senang tinggal di Saptapertala
ini, lantas apa rencanamu selanjutnya?”
Bima kebingungan sebentar, kemudian ia menjawab:
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
201
PANDAWA KURAWA
“Aku tidak mempunyai rencana apa pun, karena bagiku tinggal di tempat
ini dan berdampingan dengan engkau, adalah segalanya.”
“Ooh! Benarkah Raden Bima? Aku merasa tersanjung oleh kata-katamu
Raden. Alangkah bahagianya jika engkau tinggal di sini berada di sampingku dan
tidak akan pernah meninggalkanku.”
“Sesungguhnya aku pun merasakan hal yang sama, ingin selalu berada di
sampingmu, Nagagini.”
“Benarkah Raden?! Oo alangkah bahagianya jika pertemuan ini terus
berlanjut sampai waktu yang tak terbatas.”
“Iya, aku setuju Nagagini, lalu bagaimana caranya?”
“Nah, itulah yang tadi aku tanyakan kepada Raden, apa rencana Raden
selanjutnya?”
“Terserah kamu Nagagini, aku manut.”
“Manut bagaimana ta Raden? Tidak selayaknya dalam hal ini pria
mengekor wanita.”
Nagagini tersenyum geli atas keluguan dan kejujuran Bima. Mereka
berdua semakin akrab. Dunia menjadi milik mereka berdua termasuk taman
Saptapertala yang asri. Sehingga tidak menyadari kehadiran Puntadewa dan
Arjuna di taman tersebut. Sejak datang di taman Saptapertala beberapa saat lalu,
Puntadewa dan Arjuna tidak enak untuk menyapa Bima yang sedang berduaan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
202
PANDAWA KURAWA
dengan Dewi Nagagini. Puntadewa dan Arjuna diam-diam mengagumi Nagagini
yang mempunyai kecantikan khusus yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Kecantikan Nagagini adalah kecantikan yang memancar dari dalam keluar melalui
matanya, senyumnya, gerak-geriknya dan seluruh kulitnya. Sungguh luar biasa.
Pantas saja Bima yang lugu-kaku terpana karenanya.
Rupanya Puntadewa dan Arjuna kalah betah dengan Nagagini dan Bima di
taman Saptapertala berlama-lama. Mereka akhirnya terpaksa menyapa Bima yang
memang sudah beberapa waktu tidak menyadari kedatangan kakak dan adiknya.
Baru setelah disapa Puntadewa, Bima tersadar bahwa mereka tidak hanya
berdua di taman Saptapertala.
“Adikku Bima, dan engkau Dewi Nagagini, maafkan kami telah
mengganggu kalian berdua. Kedatangan kami di taman ini untuk menemui Bima
dan mengajaknya bersama ibu Kunthi dan adik-dikku yang lain menghadap Sang
Hyang Antaboga, penguasa kahyangan Saptapertala ini, malam ini juga.”
Bima mempunyai perasaan tidak enak kepada Puntadewa kakaknya.
Karena hingga saat ini Puntadewa belum pernah menjalin hubungan akrab degan
seorang wanita. Namun apa mau dikata, Bima menyadari bahwa dirinya adalah
manusia biasa, yang tidak kuasa menolak atau pun menghindar dari apa yang
sudah diatur oleh Sang Hyang Tunggal. Termasuk pertemuannya dengan
Nagagini bukanlah secara kebetulan, tapi telah diatur oleh-Nya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
203
PANDAWA KURAWA
Nagagini tersipu malu. Ia mempersilakan Bima mengikuti Raden
Puntadewa dan Raden Arjuna meninggalkan taman Saptapertala. Taman yang
menjadi saksi, bahwa di tempat ini dua sejoli telah mengawalinya, merenda
benang-benang cinta.
Barata
Kunthi, Puntadewa, Bimasena, Herjuna, Sadewa dan Nakula diantar
Nagatatmala menghadap Sang Hyang Antaboga yang bertahta di kahyangan
Saptapertala. Sang Hyang Antaboga mengucapkan selamat datang. Di Kahyangan
dasar Bumi l...apis tujuh. Kunthi dan para Pandhawa secara bergantian
mengucapkan terimakasih atas kebaikan Sang Hyang Antaboga, Nagatatmala dan
Nagagini serta kerabat Saptapertala yang telah menolong dan memberi tempat
yang mewah dan nyaman. Sehingga mereka dapat merasa tenang dan aman, jauh
dari bencana yang hampir saja merenggut jiwa mereka. Rasa trauma yang
mencekam masih dirasakan terutama oleh Nakula dan Sadewa, yang hingga
sekarang masih sering menangis ketakutan.
Nagatatmala dan Nagagini ditugaskan oleh Hyang Antaboga untuk
membuat Kunthi dan anak-anaknya betah tinggal di Saptapertala. Tempat yang
disediakan dan makanan yang sajikan diusahakan membuat mereka nyaman dan
senang. Sehingga dengan demikian usaha untuk memulihan mentalnya dari
trauma yang diderita, terutama Sadewa dan Nakula cepat berhasil. Tetapi yang
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
204
PANDAWA KURAWA
lebih penting adalah, bahwa jangan sampai peristiwa Bale Sigala-gala nantinya
menimbulkan dendam di hati Kunthi dan para Pandhawa.
Sang Hyang Antaboga mengetahui akan keadaan yang diderita Kunthi dan
Para Pandhawa baik secara lahir maupun batin. Oleh karenanya Kunthi beserta
anak-anaknya disarankan untuk sementara waktu tinggal di Kahyangan
Saptapertala. Dengan tinggal beberapa lama di Kahyangan Saptpertala, Hyang
Antagoba berharap agar Kunthi dan anak-anaknya mampu melupakan peristiwa
mecekam di Bale Sigala-gala.
Ketika kebakaran Bale-Sigala-gala, bumi terasa panas. Sebagai Dewa
penguasa bumi, Hyang Antaboga mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Dan
menimpa mereka. Nagatatmala diutus untuk menyelamatkan para korban
kebakaran. Maka berangkatlah Nagatatmala menyusuri bumi mengarah ke tempat
kebakaran. Bersamaan dengan itu, di Kahyangan Jonggring Saloka Batara Guru
dan para Batara dan Batari merasakan hawa panas yang menyesakkan. Maka
diutuslah Hyang Narada turun ke marcapada, menuju ke sumber hawa panas.
Pada waktu yang hampir bersamaan Batara Narada dan Nagatatmala bertemu di
pintu terowongan, tempat Kanana, Kunthi dan para Pandhawa berusaha
menyelamatkan diri. Di dalam suasana panik, gelap, sesak dan sempit, Batara
Narada dan Nagatatmala dengan caranya masing-masing berusaha menolong dan
menyelamatakan Kunthi dan Pandhawa. Nagatatmala berubah sebgai garangan
Putih bercahaya dan Batara Narada menuntun membukakan jalan menuju
Kahyangan Saptapertala, tempat yang paling aman di Bumi lapis ke tujuh. Secara
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
205
PANDAWA KURAWA
gaib tahu-tahu mereka telah berada di depan pintu gerbang kerajaan yang indah
megah.
Hingga sekarang Kunthi dan anak-anaknya juga Kanana belum tahu secara
pasti siapa yang telah menyelamatkan mereka dan mengantarnya sampai ke
kahyangan Sapta pertala, kecuali Kanana yang mengawalinya membuka
terowongan buatannya atas perintah Yamawidura.
Hyang Antaboga merasa Kasihan kepada Kunthi dan anakaanaknya.
Semenjak meninggalnya Pandudewanata derita mereka silih berganti. Hal tersebut
dikarenakan Sengkuni, Gendari dan Para Korawa selalu berusaha menyingkirkan
para Pandhawa. “Kunthi tanamkanlah di hati anak-anakmu sikap welasasih.
Welas asih kepada siapa saja termasuk juga kepada orang yang memusuhi kamu.
Karena hanya dengan sikap welasasihlah orang mudah mengampuni dan tidak
akan pernah tumbuh benih-benih dendam dihati.”
“Terimakasih Pukulun atas nasihatnya yang berharga. Aku akan
melaksanakannya. Tetapi maaf Sang Hyang Antaboga, sebenarnya apa yang
sesungguhnya terjadi dibalik peristiwa Bale Sigala-gala?”
“Kunthi, sebenarnya engkau sudah tahu, atau paling tidak engkau telah
merasakan kejanggalan-kejanggalan sebelum pesta berlangsung.”
“Hyang Pukulun, aku orang yang bodoh dan tumpul, sehingga tidak
merasakan kejanggalan-kejanggalan sebelumnya.”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
206
PANDAWA KURAWA
Sang Hyang Antaboga tidak mau berterus terang. Ia justru mengajak
Kunthi dan para Pandhawa bersyukur, karena telah terhindar dari marabahaya.
“Namun maafkanlah Pukulun, kalau boleh tahu siapakah yang
menyelamatkan kami dan menuntunnya sampai ke tempat ini?” Hyang Antaboga
tidak menjawab pertanyaan Kunthi, tetapi sekali lagi ia mengajak Kunthi dan
anak-anaknya merayakan syukur atas keselamatan yang masih boleh diterima.
Sudah beberapa bulan Kunthi dan para Pandhawa serta juga Kanana
tinggal di Saptapertala. Hubungan antara Bimasena dan Naga Gini semakin intim,
seakan-akan mereka tidak mau berpisah. Dari hari ke hari cinta mereka semakin
bersemi. Betapa indah dan ajaibnya hidup yang penuh cinta. Terlebih lagi cinta
yang semakin menjadi sempurna. Seperti rembulan saat Purnamasidi, yang
mampu membuat malam menjadi romantis indah mempesona. Bagaikan kidung
malam yang syahdu menyusup kalbu, hingga membuat setiap insan merasa betapa
berharganya hidup ini.
Kunthi adalah sosok ibu yang baik. Ia ikut bahagia melihat anaknya
bahagia. Saat ini anak nomor dua yang bernama Bimasena sedang mengalami
kebahagiaan. Semenjak tinggal di Kahyangan Saptapertala, Bimasena telah
menjalin asmara dengan putri Sang Hyang Antaboga yang bernama Dewi
Nagagini. Namun dibalik kebahagiaan tersebut ada kekhawatiran dibenak Kunthi.
Pasalnya, Bimasena adalah anak nomor dua, jika pertalian Asmara dengan Dewi
Nagagini nantinya berlanjut ke jenjang perkawinan, lalu bagaimanakah dengan
Puntadewa anak Kunthi yang nomor satu? Apakah ia rela dilangkahi oleh
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
207
PANDAWA KURAWA
adiknya? Di sudut taman bunga, Dewi Kunthi duduk sendirian. Hatinya
terombang-ambing oleh dua perasaan yang saling bergelayut. Disatu sisi perasaan
bahagia yang tumbuh karena ikut merasakan kebahagiaan anak nomor dua yang
bernama Bimasena. Di sisi lain, perasaan sedih karena Kunthi membayangkan
alangkah sedihnya anak nomor satu yang bernama Puntadewa karena belum
mendapat kesempatan untuk merasakan kebahagiaan menjalin asmara seperti
yang dialami Bimasena dan Dewi Nagagini.
Puntadewa yang melihat Ibunda Kunthi duduk sendirian lewat pukul 11
malam berniat untuk menemaninya. Kedatangan Puntadewa dianggap Kunthi
sebagai pembenaran atas perasaannya yang sedang menggelayut di kalbunya. Apa
yang dirasakan Puntadewa tentunya tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan
Kunthi. Dengan persepsi yang demikian, Dewi Kunthi membuka pembicaraan.
“Anakku Punta, apa yang engkau rasakan malam ini?” “Aku merasa
tenteram di Saptapertala ini Ibu”“Apakah adik-adikmu juga merasakan seperti
yang engkau rasakan?”“Iya Ibu” “Termasuk juga adikmu Bima?” “Iya Ibu”
Kunthi menatap lembut anak sulungnya yang dengan polos menjawab setiap
pertanyaan tanpa gejolak perasaan sesuai dengan yang diperkirakannya. Benarkah
Puntadewa tidak tersinggung atas sikap Bimasena yang lebih dahulu menjalin
hubungan asmara dengan seorang wanita.
“Punta, maksud Ibu adalah, apakah engkau senang melihat Bimasena
menjalin asmara dengan Dewi Nagagini?”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
208
PANDAWA KURAWA
“Tidak sekedar senang Ibu, tetapi aku sungguh bahagia melihat adikku
Bima bahagia dengan Dewi Nagagini. Alangkah sempurnanya kebahagiaan
adikku Bima jika Ibu berkenan membicarakan hubungan antara mereka berdua
kepada Sang Hyang Antaboga, dan meresmikan mereka menjadi suami isteri.”
Perkiraan Kunthi bertolak belakang dengan perasaan Puntadewa yang
sesungguhnya. Kunthi terharu atas sikap Puntadewa. Walaupun sejak kecil Kunthi
tahu bahwa Puntadewa mempunyai watak sabar dan sikap mengalah terhadap
siapapun, tidak mengenai soal asmara. Karena menurut Kunthi, masalah asmara
bagi anak muda adalah masalah yang peka menimbulkan permasalahan.
“Punta, semula aku berniat untuk melarang Bima bergaul lebih akrab
dengan Nagagini, dengan pertimbangan bukankah kita di sini telah ditolong, dan
diperlakukan seperti layaknya tamu terhormat? Apakah kita tega bersikap tidak
sopan kepada tuan rumah dan putrinya? Namun niat itu aku urungkan, aku tidak
sampai hati memisahkan mereka berdua, karena hal tersebut akan menyakitkan
hati Bima dan membuatnya ia bersedih. Oleh karenanya, demi kebahagiaan
mereka berdua aku akan membicarakan kepada Sang Hyang Antaboga, sesuai
yang engkau usulkan.”
Semua menyetujui usulan Puntadewa, terlebih Bimasena yang
menyambutnya dengan sukacita. Maka hari pun dipilih untuk menghadap Sang
Hyang Antaboga dengan tujuan membicarakan hubungan antara Bimasena dan
Dewi Nagagni Sang Hyang Antaboga didampingi oleh Nagatatmala menyambut
kedatangan Kunthi dan Puntadewa. Mereka berempat menyetujui hubungan
Bimasena dan Dewi Nagagini diresmikan sebagai suami isteri. “Kunthi,
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
209
PANDAWA KURAWA
kebahagiaan anak-anak kita adalah kebahagiaan kita sebagai orang tua. Hubungan
antara Bimasena dan Nagagini sudah menjadi kehendak ‘Dewa’ kita wajib
memberikan restu agar mereka selalu bahagia dalam suka dan duka, sakit dan
sehat jauh dan dekat” Hyang Antaboga tersenyum bahagia, mengawali
kebahagiaan calon pengantin berdua yang tidak lama lagi diresmikan Ketika
matahari mulai menampakan sinarnya kemerah-merahan, terdengar suara gamelan
mengalun dari di pusat kotaraja Saptapertala. Dari kejauhan suara gamelan
tersebut terdengar menyatu dengan suara serangga-serangga malam yang saling
bersaut-sautan. Perpaduan aneka suara tersebut bagaikan sebuah komposisi musik
para dewa tatkala sedang melakukan pujaasmara.
Malam itu ibu kota Kahyangan Saptapertala berhias dengan keindahan.
Bak gadis dewasa yang sedang bersolek manja. Disetiap sudut kota dipasang
umbul-umbul serta rontek, dan dipadu dengan penjor-penjor berhiaskan janur
kuning. Hiasan-hiasan tersebut ditancapkan ke pinggir jalan dengan sudut
kemiringan enampuluh derajat, sehingga seakan menunduk memberi salam
hormat kepada siapa saja yang melewati jalan itu. Kawula Saptapertala yang
hampir sebagian besar berkulit kasar seperti sisik, berduyun-duyun menuju pusat
koata raja. Di dunia bawah tanah pada lapis ke tujuh yang disebut Kahyangan
Saptapertala ini kehidupannya tidak jauh berbeda dengan kehidupan di atas dunia
atau di marcapada, yang membedakan adalah orang-orang di Saptapertala berkulit
kasar seperti sisik.
Menjelang tabuh tujuh, alun-alun Kotaraja berubah menjadi lautan
manusia mereka datang dari penjuru negeri, ingin menyaksikan peristiwa yang
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
210
PANDAWA KURAWA
amat bersejarah, yaitu perkawinan antara bangsa manusia dan keturunan dewa
ular. Perkawinan antara Raden Bimasena dan Dewi Nagagini.
Sebelum kedua Calon Penganten dipertemukan dalam upacara Panggih, di
pendapa induk yang terletak di pinggir alun-alun, diadakan tarian sakral lingga-
yoni yang melambangkan perkawinan agung antara Dewa Siwa dan Dewi Uma.
Konon tarian tersebut diadakan, adalah untuk ritual penghormatan kepada dewa
Siwa. Namun saat ini tarian tersebut dipentaskan untuk menyambut dan
menghormat calon pengantin berdua. Selain itu tarian Lingga-yoni juga
merupakan doa pengharapan agar bumi Saptapertala mengalami kesuburan dan
kesejahteraan.
Setelah tari Lingga-yoni selesai, mengumandanglah kidung malam yang
berisi sebuah mantra untuk mengingatkan agar semua makhluk, baik yang
kelihatan maupun yang tidak kelihatan saling menempatkan diri pada tempatnya,
sesuai dengan demensi mereka, sehingga diantara mereka tidak saling
mengganggu.
Singgah-singgah kala singgah pan suminggah durga kala sumingkir sing
aama sing awulu sing asuku sing asirahsing atenggak kalawan sing abuntut padha
sira suminggah muliha mring asal neki.
Hening suasana, semua yang hadir diam. Mereka mencoba mengikuti dan
menghayati tiap kata yang ditembangkan dengan telinga dan hatinya hingga
sampai dengan nada terakhir. Maka legalah batin mereka, setelah tembang
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
211
PANDAWA KURAWA
singgah-singgah usai. Mereka berkeyakinan bahwa upacara panggih pengantin
akan lancar dan baik adanya.
Seperti apa yang direncanakan dan dilaksanakan, semuanya berjalan
dengan baik Raden Bimasena dan Dewi Nagagini telah resmi dipersatukan
sebagai suami istri. Hyang Antaboga amat gembira menyaksikan pasangan Raden
Bimasena dan Dewi Nagagini. Bagi Dewa penguasa bumi ini, perkawinan antara
Raden Bimasena dan Dewi Nagagini tidaklah merupakan perkawinan pada
umumnya. Perkawinan mereka bagaikan symbol bersatunya antara bangsa
manusia dan bangsa ular yang selama ini tidak saling bersahabat. Atau juga dapat
dimaknai sebagai upaya untuk membangun kembali keharmonisan alam. Namun
yang lebih penting dan sangat disyukuri oleh Dewi Kunthi dan Sang Hyang
Antaboga adalah bahwa perkawinan tersebut telah mengalihkan perhatiannya
Bimasena khususnya atas kejahatan Sengkuni dan Korawa yang telah mencelakai
para Pandhawa.
Seandainya saja Bimasena tidak berjumpa dengan Dewi Nagagini, tentu
saja panas hatinya akan semakin menjilat tak terkendali dan membakar Sengkuni
dan para Korawa. Namun syukurlah sebelum semuanya terjadi Dewi Nagagini
telah menyiram hatinya dengan kelembutan dan kesejukan. Sehingga malam itu
Bimasena tak mampu lagi melepaskan pelukan Nagagini yang menentramkan.
Kebahagian Bimasena juga menjadi kebahagiaan Puntadewa dan adik-
adiknya. Tidak seperti yang dikhawatirkan Kunthi, bahwa Puntadewa sebagai
saudara sulung akan merasa di langkahi oleh adiknya. Bimasena dan Dewi
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
212
PANDAWA KURAWA
Nagagini menikmati masa bulan madu yang sungguh membahagiakan. Namun
ada saat berjumpa dan ada saat berpisah. Waktu untuk menikmati sebuah
kebahagiaan di dunia mana pun tidaklah abadi, bahkan dapat dikatakan terbatas.
Demikian halnya dengan pasangan temanten baru Bimasena dan Nagagini.
Mereka boleh puas menikmati waktu bercengkeraman yang tidak genap
satu tahun. Walaupun begitu, cinta diantara mereka telah membuahkan benih di
rahim Dewi Nagagini. Berat rasanya untuk meninggalkan isterinya yang sedang
hamil. Namun apa boleh buat tugas sebagai kesatria dan pelindung Ibu dan
saudara-saudara berada di atas kepentingan pribadinya. Bahkan sebagai salah satu
pewaris tahta Hastinapura, Bimasena bersama Pandhawa berkewajiban berjuang
untuk mengembalikan kekuasaan yang sekarang dikuasai oleh warga Korawa.
Bagi warga Pandhawa sesungguhnya bukan kekuasaan itu yang ingin dikuasai,
melainkan sebagai bukti rasa baktinya kepada rakyat Hastinapura yang
mempercayakan tahta Hastinapura kepada putra-putra Pandudewanata. Suara
rakyat itulah yang menjadi energi perjuangan untuk meraih kekuasaan.
Dengan alasan itulah Sang Hyang Antaboga menyarankan agar Kunthi dan
anak-anaknya, termasuk menantunya segera meninggalkan Kahyangan
Saptapratala menuju Hastinapura, untuk menunaikan panggilannya sebagai
pewaris tahta.
Pagi-pagi benar, Kunthi, Puntadewa, Bimasena, Arjuna, Nakula dan
Sadewa dan juga Kanana seorang abdi dari Panggomabakan ahli membuat
terowongan meninggalkan Kahyangan Saptapertala. Perpisahan yang
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
213
PANDAWA KURAWA
mengharukan antara Dewi Nagagini dan Bimasena tidak dapat dihindarkan.
Namun diantara mereka ada janji untuk saling bertemu kembali agar cinta mereka
berdua semakin sempurnanya adanya.
Mereka diantar oleh Sang Hyang Antaboga dengan pethitnya atau
ekornya. Dan tiba-tiba saja mereka telah berada dipermukaan bumi, yang dipanasi
dan diterangi oleh matahari. Semakin lama bumi Saptapertala semakin jauh
ditinggalkan. Kunthi dan Para Pandhawa menuju jalan ke Hastinapura sedangkan
Kanana menuju ke Panggombakan.
Barata
Dalam perjalanan Kunthi dan Pandhawa sampailah di sebuah desa yang
sangat subur tanahnya. Tetapi ada keganjilan yang dirasakan. Banyaknya rumah
kosong tanpa berpenghuni menimbulkan dugaan ada hal yang tidak beres di desa
tersebut. Kunthi dan anak-anaknya beristirhat di salah satu rumah besar yang tidak
terurus. Rumput liar di halaman depan dan samping rumah mulai tumbuh lebat.
Herjuna mengelilingi rumah tersebut, siapa tahu ada orang yang bisa ditanya
perihal desa tersebut. Namun tidak ada satu pun orang yang nampak disekitar
rumah. Sadewa dan Nakula merengek minta makan. Kunthi kebingungan.
Disuruhnya Bimasena dan Harjuna mencari makan di dusun sebelah yang
berpenghuni.
Tidak seperti biasanya, pagi itu dusun kabayakan kelihatan masih sepi,
khususnya di rumah kepala desa Kabayakan. Rara Winihan dan Lurah Sagotra
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
214
PANDAWA KURAWA
belum bangun. Hanya ada dua orang sekabat atau pembantu Lurah yang sedang
membersihkan meja kursi di pendapa. Baru setelah tabuh sepuluh, ada satu, dua
orang yang mulai berdatangan untuk bertemu dengan Lurah Sagotra.
Sementara itu perjalanan Bima dalam mencari dua bungkus nasi untuk
adiknya Sadewa dan Nakula bertemu dengan para pengungsi. Dari para pengungsi
itulah Bima mendapat keterangan bahwa daerah ini masih dibawah kerajaan
Manahilan atau kerajaan Ekacakra. Yang bertahta adalah seorang raja bertulang
besar dan bergigi tajam, bernama Prabu Dawaka atau Prabu Baka. Pada setiap
bulan sekali Prabu Baka meminta kepada rakyatnya untuk menghidangkan
hidangan istimewa berupa ingkung manusia (daging manusia utuh) Tentu saja hal
tersebut membuat rakyatnya hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Banyak
diantara mereka yang secara diam-diam mengungsi ke negara Pancala untuk
meminta perlindungan. Suasana di Ekacakra semakin sepi. Di sana-sini banyak
dijumpai rumah tak berpenghuni. Mengetahui keadaan yang seperti itu, Prabu
Baka marah-marah. Ia menyerukan agar semua penduduk tidak boleh
meninggalkan negara Manahilan. Bagi yang melanggar perintah tersebut
akibatnya akan lebih mengerikan.
Sejak diberlakukan aturan itu suasana tambah mencekam. Para warga
semakin ketakutan. Mau meninggalkan Ekacakra takut jika ketahuan oleh para
perajurit. Tetapi jika tetap tinggal di negara Ekacakra juga takut karena akan
mendapat giliran korban keganasan raja. Pantas saja Desa-desa di seluruh pelosok
negeri bagaikan desa mati, yang tidak mengungsi lebih memilih bersembunyi.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
215
PANDAWA KURAWA
Para pengungsi yang ketemu Bima disore itu adalah mereka yang
mengambil langkah untung-untungan. Dari pada tinggal di Ekacakra hidup dalam
kecemasan terus-menerus, lebih baik segera meninggalkan negeri ini. Mereka
mencari celah-celah yang kemungkinan besar dapat lolos dari penjagaan perajurit.
Namun ternyata para pengungsi yang ketemu Bima tersebut belum
beruntung. Walaupun telah memperhitungkan waktu dan tempat dengan cermat
untuk dapat lolos dari pantauan perajurit, ternyata meleset. Ditikungan desa para
pengungsi dihadang oleh beberapa perajurit. Walaupun jumlah mereka tidak lebih
banyak daripara pengungsi, mereka membawa senja lengkap yang siap merajam
atau jika memungkinkan menangkapnya hidup-hidup untuk dipersembahkan
kepada Prabu Dwaka.
Melihat dan merasakan penindasan dan penderitaan sesama, naluri Bima
tergugah. Sebelum para perajurit menyerang para pegungsi yang ketakutan. Bima
lebih dahulu menerjang perajurit yang rata-rata berbadan besar dan bergigi tajam.
Para perajurit sangat terkejut menghadapi keberanian Bima. Belum pernah rakyat
di negeri ini mempunyai keberanian seperti Bima. Terjangan Bima yang
menyeruak diantara para pengungsi membuyarkan para perajurit. Beberapa
pengungsi yang bernyali menyaksikan sepak terjang Bima dengan penuh takjub.
Sedangkan pengungsi yang lain lari bersembunyi. Bima tidak membutuhkan
banyak waktu untuk melumpuhkan para perajurit Ekacakra. Tidak ada satu pun
yang mampu mengimbangi kesaktian Bima. Belum sampai lecet kulitnya, merela
lari ketakutan.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
216
PANDAWA KURAWA
Para pengungsi yang menyaksikan kesaktian Bima bersorak gembira.
Sementara pengungsi yang lain keluar dari persembunyiannya. Ucapan
terimakasih terlontar tanpa disuruh dari mulut mereka. Wajahnya yang penuh
dengan garis-garis ketakutan mulai terurai. Hampir bersamaan, para pengungsi
yang telah berkumpul itu menghaturkan sembah kepada Bima.
“Ampun Raden, hamba semua ini orang bodoh, sehingga tidak tahu bahwa
pada hari ini, desa kami telah kedatangan tamu istimewa yang akan mengentaskan
kami dari rasa ketakutan yang berkepanjangan. Maafkan hamba Raden atas
kesalahan kami. Bolehkan kami mengetahui siapa sesungguhnya Raden ini?”
“Namaku Bima. Aku adalah anak Prabu Pandudewanata yang nomor dua.”
“Ooo Raden Bima? Pantas saja mempunyai kesaktian yang luar biasa.
Sekali lagi maafkan hamba yang tidak menghormat pada awal berjumpa. Sungguh
kami tidak tahu sebelumnya bahwa Raden adalah salah satu pewaris tahta
Hastinapura.”
“Sudahlah kami maafkan semuanya, namun jangan menghormatiku secara
berlebihan seperti ini. Aku sampai ditempat ini sesungguhnya mencari dua
bungkus nasi untuk adik saya yang lelaparan.”
Dengan senang hati para pengungsi tersebut berebut menawarkan sebagian
bekalnya untuk adik Bima yang kelaparan.
“Dimanakah adik Raden Bima berada?”
“Diujung desa yang berbatasan dengan Gunung?”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
217
PANDAWA KURAWA
“Ooo di Giripurwa. Apakah di rumah Resi Hijrapa?”
“Aku tidak tahu. Tetapi rumah itu kosong tidak berpenghuni.”
Setelah menerima dua bungkus nasi, Bima segera meninggalkan para
pengungsi yang mengagumi Bima tak berkesudahan.
Setelah Bima jauh meninggalkannya, para pengungsi tersebut kembali
menyadari bahwa jiwa mereka belum bebas sepenuhnya dari ancaman. Ketakutan
mulai merambati lagi. Dikhawatirkan para perajurit yang dikalahkan Bima akan
mengejar mereka dalam jumlah yang lebih besar. Maka lebih baik mereka tidak
meneruskan perjalanannya mengungsi ke Negara Pancala, tetapi mengikuti Bima
menuju ke Giripurwa.
Siang itu, pendapa Kabayakan mulai menggeliat. Rara Winihan
mendahului suaminya, menemui para warga yang butuh pelayanannya. Para
warga yang datang pada intinya menyatakan keprihatinannya bahwa pada minggu
ini, desa Kabayakan mendapat giliran untuk menyediakan korban bagi Prabu
Dwaka. Mendapat pengaduan itu Rara Winihan tidak memperlihatkan kecemasan.
Wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya yang tipis
merah.
“Para bebahu Desa yang aku banggakan. Jangan khawatir akan hal itu.
Prabu Baka boleh saja mengirimkan hulu-balangnya ke desa kita untuk
mengambil korban manusia, tetapi kita juga punya hak untuk tidak menyediakan
baginya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
218
PANDAWA KURAWA
Rara Winihan memberikan pengharapan, bahwa tidak lama lagi desa
Kabayakan akan terbebas dari rasa cemas takut. Bahkan Desa ini akan mendapat
anugerah yang begitu besar.
Tanda akan datangnya anugerah besar itu di sampaikan oleh Hyang Widi
Wasa lewat mimpinya. Pada dini hari tadi, Rara Winihan bermimpi sedang
melakukan perjalanan ke dusun-dusun, bersama Ki Lurah Sagotra, Para Bebahu,
dan beberapa orang yang dituakan. Sesampainya di setiap dusun yang mereka
kunjungi, para warga mengelu-elukan rombongan Lurah Sagotra. Suasana
kunjungan tersebut mirip sebuah perjalanan pesiar. Diakhir perjalanannya,
rombongan Lurah Sagotra memasuki jalur sungai. Keanehan terjadi, mereka
berjalan diatas sungai dan kakinya tidak menyentuh air.
Mendengar penuturan mimpi Rara Winihan, para bebahu desa Kabayakan
tersebut mulai timbul keberaniannya. Mereka sepakat untuk tidak menyediakan
korban bagi Prabu Baka. Rara Winihan menyarankan agar salah satu bebahu desa
menghadap Resi Hijrapa di padepokan Giripurwa, untuk memohon agar Resi
Hijrapa berani menolak korban untuk Prabu Baka. Dua orang bebahu desa segera
berangkat menuju ke rumah Resi Hijrapa.
Barata
Kembali kepada Kunthi yang sedang menunggui anaknya Nakula dan
Sadewa yang kelaparan. Hati Kunthi teriris-iris melihat Nakula dan Sadewa
menangis kelaparan. Hingga terucap dalam bibirnya yang pecah dan kering. Jika
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
219
PANDAWA KURAWA
pun aku harus mengiris dagingku demi untuk Nakula dan Sadewa, aku akan
lakukan. Kunthi semakin gelisah menghadapi tangis Nakula dan Sadewa yang
semakin serak. Walupun Kunthi sudah mengutus Bima dan Arjuna untuk mencari
makan bagi si kembar, Kunthi masih berupaya untuk mendapatkan makanan
secepatnya, agar tangis si kembar segera berhenti. Pada saat mengbibur si
Kembar, Kunthi mendengar ada suara di dalam rumah yang sebelumnya dikira
tidak berpenghuni.
“Puntadewa ke sinilah, rupanya ada orang sengaja bersembunyi di dalam
rumah ini. Coba dengarlah baik-baik. Tidak salahkah pendengaranku bahwa ada
beberapa orang sedang berbicara? Tolong Punta temui mereka, siapa tahu ada
makanan yang dapat dibagikan untuk Nakula dan Sadewa. Puntadewa bergegas
pergi menemui orang yang berdialog di rumah dalam. Kunthi tinggal sendirian
menunggui anak kembarnya yang merengek menyedihkan. Tak lama kemudian
Puntadewa datang dengan membawa sedikit makanan dan minuman. Makanan
tersebut sedikit untuk ukuran orang dewasa, juga belum mencukupi untuk ukuran
anak-anak. Namun makanan yang didapat dari pemilik rumah tersebut sungguh
dapat menolong untuk sementara, sembari menunggu usaha Bima dan Arjuna.
Tak beberapa lama makanan yang sedikit itu segera habis. Nakula dan
Sadewa masih lapar, namun sudah tidak menangis lagi. Kunthi sangat lega, ingin
mengucapkan terimakasih kepada tuan rumah yang telah menyambung nyawa
anak kembarnya. Dengan membawa Nakula Sadewa dan diiringi Puntadewa,
Kunthi menemui si pemilik rumah yang bernama Resi Hijrapa.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
220
PANDAWA KURAWA
“Dengan apakah kami harus membalas? Jika tidak sekarang, nanti pasti
aku balas kebaikan Sang Resi. Karena jika kebaikan itu tidak aku balas, aku
seperti seorang pepriman yang kerjanya ke sana-ke mari hanya untuk minta-
minta.
Resi Hijrapa tersenyum getir mendengar pernyataan Kunthi. Di jaman
seperti ini, masih adakah seseorang yang merasa wajib untuk membalas budi?
Tentu saja semua orang tua bisa berbicara seperti apa yang dikatakan oleh ibu
setengah baya tersebut, atas nama kebaikan budi, manakala anaknya dibebaskan
dari bahaya kelaparan, kesakitan atau pun kematian. Namun jika bahaya kematian
masih mengacam anaknya, masihkah orang tua itu mampu berbicara tentang
kebaikan budi? Jikapun pernyataan ibu setengah baya tersebut sungguh-sungguh,
tidak sekedar basa-basi, apakah ia dapat gantian membebaskan anaknya dari
bahaya kematian? Jika dapat, tentunya gantian aku yang mebicarakan tentang
kebaikan budi.
Resi Hijrapa adalah pengasuh sebuah Padepokan yang berada di wilayah
Giripurwa. Ia hidup bersama isteri dan tiga anaknya. Sebelumnya, rumah besar ini
menjadi pusat kegiatan cantrik-cantriknya. Namun sayang, sekarang rumah besar
tersebut menjadi tidak terurus. Tidak ada lagi cantrik yang datang. Tinggal Resi
Hijrapa dan keluarga yang menunggui rumah itu. Itu pun bersembunyi di ruang
paling dalam, takut jika diketahui oleh perajurit Ekacakra.
Kelemahan Resi Hijrapa itulah yang menyebabkan para cantrik-cantriknya
tidak lagi berguru kepada Resi Hijrapa. Mereka kecewa kepada gurunya yang
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
221
PANDAWA KURAWA
takut membela para korban kekejaman Prabu Baka. Bahkan ketika Resi Hijrapa
pada gilirannya diharuskan mengorbankan salah satu anaknya untuk Prabu Baka,
Resi Hijrapa tidak berani menolak. Maka kecuali keluarganya, hampir semua
warga giripurwa termasuk cantrik-cantriknya mengungsi ke negara Pancalradya.
Oleh karenanya kedatangan enam orang asing di rumahnya membuat hati
Resi Hijrapa berkurang ketakuatannya. Mereka untuk sementara waktu boleh
menempati di rumah depan. Kunthi mengucap terimakasih atas kebaikannnya.
Menjelang sore hari Arjuna datang dengan membawa dua bungkus nasi.
Kunthi tidak berkenan dengan cerita Harjuna. Dua bungkus nasi ditolaknya,
karena dua bungkus nasi tersebut didapatkannya dengan cara meminta belas
kasihan dari seseorang? Aku tidak mau darah anakku akan mengalir darah seorang
pepriman yang pekerjaannya meminta-minta. Harjuna diam, ia meletakan dua
bungkus nasi tersebut di depan kaki Ibu Kunthi. Sebelum Kunthi mengambil
tindakan mau diapakan nasi hasil dari minta-minta tersebut, Bima datang dengan
membawa dua bungkus nasi. Kepada Ibu Kunthi, Bima bercerita tentang para
pengungsi yang memberikan sebagian dari bekalnya karena telah ditolong dan
diselamatkan. Kunthi menerima dua bungkus nasi dari tangan Bimasena.
Sementara itu hampir bersamaan Nakula dan Sadewa yang masih merasa lapar
segera mengambil bungkusan nasi dan kemudian memakannya. Nakula
mengambil bungkusan nasi yang dibawa Arjuna sedangkan Sadewa memakan
nasi yang dibawa Bimasena. Kunthi membiarkannya nasi yang dibawa Arjuna
dimakan oleh Nakula. Namun hal itu merupakan hutang budi kepada orang yang
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
222
PANDAWA KURAWA
memberi. Dan tentunya ia akan beruasaha membalasnya seperti yang akan
dilakukan kepada Resi Hijrapa.
Malam itu bulan menggantung sepenggal. Wilayah Giripurwa yang
hampir separonya terdiri dari daerah pegunungan, meniupkan hawa dingin yang
berselimut kabut. Bunyi kentongan dari beberapa rumah warga yang masih
berpenghuni, bersusul bersautan dengan irama doro-muluk. Mulai dari suara yang
paling jauh hinngga suara yang paling dekat.
Irama doromuluk adalah irama memukul kentongan mulai dari pukulan
lembut dan pelan menuju ke pukulan keras dan cepat. Setelah pukulan tersebut
mencapai tingkat suara yang paling keras dan tingkat kecepatan yang paling cepat,
irama dikembalikan lagi menuju ke irama semula, yaitu lembut dan pelan. Jika
dirasakan, suara kentongan doro-muluk ini seperti sebuah irama kidung yang
dibawa angin malam, dari tidak jelas menjadi semakin jelas dan kembali lagi
menjadi tidak jelas dan kemudian hilang. Kentongan irama doro-muluk ini
biasanya menjadi pertanda bahwa suasana di sebuah wilayah tempat kentongan itu
dipukul, dalam keadaan aman. Sehingga irama doro-muluk memberi suasana
batin tentram.
Namun tidak untuk malam itu. Suara doro-muluk yang di bunyikan warga
yang masih tersisa, tidak untuk menggambarkan suara hati yang aman dan
tenteram, melainkan merupakan sebuah jeritan permohonan untuk dibebaskan dari
rasa takut dan cemas.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
223
PANDAWA KURAWA
Ketakutan dan kecemasan dirasakan oleh seluruh rakyat Ekacakra,
termasuk keluarga Resi Hijrapa. Malam itu, keluarga Resi Hijrapa, yang terdiri
dari isteri dan ketiga anaknya belum dapat terlelap. Segunung rasa takut dan
cemas menindih hati mereka. Hal tersebut berkaitan dengan keputusan raja yang
memutuskan bahwa salah satu dari tiga remaja anak Resi Hijrapa dikorbankan
untuk santapan raja.
Menurut tradisi negara Ekacakra, hari yang dipilih untuk mengadakan
korban bakaran secara besar-besaran adalah hari Anggara Jenar atau Selasa Paing,
yang jatuh pada bulan pertama pada setiap tahunnya. Dikatakan besar karena
sesaji yang dikorbankan paling lengkap, termasuk satu diantaranya adalah
‘ingkung’ manusia.
Lima hari lagi waktunya telah tiba, Resi Hijrapa belum memastikan siapa
diantara anaknya yang dipilih untuk dikorbankan. Karena ketidak berdayaan
untuk menolak perintah raja dan juga ketidak teganya mengorbankan salah satu
anaknya, ketenangan kewibawaan yang biasanya menjadi ciri khas bagi para resi,
tak sedikitpun tersisa. Resi Hijrapa gusar pikirannya dan bingung hatinya.
Walaupun dalam hati ia mempunyai kecenderungan untuk memilih, namun ia
tidak berani menyatakan dihadapan anak-anaknya. Oleh karena kesulitannya, Resi
Hijrapa membiarkan isteri dan ke tiga anaknya mengalami kecemasan yang
berkepanjangan.
Dalam situasi yang tidak berpengharapan itulah, tiba-tiba Raden Rawan
anak nomor dua menyatakan kesanggupannya untuk dijadikan korban bagi Prabu
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
224
PANDAWA KURAWA
Dwaka. Mendengar kesanggupan Raden Rawan Resi Hijrapa, Nyai Resi dan dua
saudaranya terharu. Jika mau jujur, dengan pernyataan kesanggupan Raden
Rawan tersebut, Resi Hijrapa dibebaskan dari ketidakberdayaannya untuk
memilih salah satu diantara ketiga anaknya. Namun bagaimanapun juga sebagai
orang tua tentunya hatinya teriris, tatkala menyerahkan anaknya sebagai
pangewan-ewan raja..
Dimata orang tua dan keluarga, raden Rawan tidak mempunyai
keistimewaan. Selain tidak cukup tampan jika dibandingkan dengan kakak dan
adiknya Raden Rawan adalah anak yang paling pendiam dan sederhana. Namun
dibalik itu semua sesekali waktu, terutama pada saat-sat yang sulit, muncul
pribadi yang mengejutkan dan bahkan mecengangkan, yang tidak terduga
sebelumnya
Seperti yang terjadi pada saat itu, malam dingin beku, dan embunpun
mulai turun, tiba-tiba dihanggatkan oleh keberanian Raden Rawan untuk
menghadapi Prabu Dwaka dan siap mati menjadi ‘tawur agung.” Resi Hijrapa
ingin tahu apa yang mendasari keberanian anaknya tersebut. Dengan jujur raden
Rawan mengatakan dihadapan Bapak, ibu, kakak serta adiknya.
“Bapak dan Ibu, maafkan anakmu ini, jika pernyataanku menyakitkan hati
Bapak dan Ibu. Aku berani menghadapi Prabu Dwaka dan siap mati menjadi
santapannya, kare di keluarga ini aku adalah anak yang paling tidak berarti.
Menurut yang aku rasakan, bapak sangat menyayangi kakaku dan Ibu sangat
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
225
PANDAWA KURAWA
mengasihi adikku. Sehingga jika aku yang dikorbankan keluarga ini akan segera
lupa kesedihannya, lupa akan aku dan cepat pulih kembali”
“Rawaaaan! Ooh Rawaaaan!”
Hampir bersamaan Resi Hijrapa dan Nyai Resi menubruk Rawan anaknya.
Kedua orang tua itu menangis seperti anak kecil. Pernyataan Rawan yang jujur
dan polos itu.sungguh telah menyadarkan bahwa selama ini tanpa disengaja ia
telah melakukan ‘mban cindhe, mban siladan.’ Mengemban anaknya yang satu
dengan kain cindhe empuk dan halus, dan mengemban anak yang lainnya dengan
siladan, sesetan bambu hitam yang tajam dan melukai. Resi Hijrapa dan Nyai Resi
telah pilih kasih dalam mendidik dan mendampingi ke tiga anaknya. Layaklah jika
padepokan Giripurwa ambyar diterpa badai ketakutan, karena guru utamanya saja
tidak berhasil dalam mengatasi ketakutan dan membagi keadilan di dalam
keluarga. Akibatnya para cantriknya pada pergi mengungsi dan sebagian menjadi
bebahu desa di Kalurahan Kabayakan.
“Tidaaaak! Tidak anakku, engkau tidak boleh menjadi korban. Biar aku
saja, orang tua ‘balilu’ yang tak tahu malu. Orang tua bangka yang tak banyak
guna”. Resi Hijrapa mengakui segala kedunguannya. Namun Rawan tetap pada
niatnya, bahwa ia ingin menjadi tumbal negara dan keluarga.
Suara gaduh di ruang tengah itu cukup menggangu Kunthi beserta anaknya
yang numpang di emper bagian depan. Bahkan telinga Kunthi telah mendengar
semua yang dibicarakan Keluarga Resi Hijrapa.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
226
PANDAWA KURAWA
Bersamaan dengan suara kokok ayam, ketegangan keluarga Resi Hijrapa
mulai reda. Mau tidak mau mereka harus mengakui kebenaran Raden Rawan.
Bahwa untuk memperkecil bencana keluarga, dirinyalah yang harus dikorbankan.
Kecuali jika Resi Hijrapa berani dan tegas menentang keputusan Prabu Dwaka,
dan berani mengatakan bahwa hal tersebut adalah jahanam, aku tidak sudi untuk
melaksanakan. Huh!
Ketika fajar nampak merekah diufuk timur, dan sinarnya mulai membagi
terang dan kehidupan bagi yang jahat, bagi yang baik dan bagi siapa saja tanpa
kecuali, keluarga Resi Hijrapa justru baru mulai terlelap dalam tidur. Entah karena
semalamnya belum tidur atau karena mereka enggan atau bahkan malu kepada
Matahari yang saban hari memberikan teladan bagaimana seharusnya untuk
berlaku adil kepada semua ciptaan.
Pada hari-hari yang masih tersisa, sikap Resi dan Nyai Hijrapa berubah
180 derajat terhadap Raden Rawan. Mereka ingin menebus kesalahan dalam
mendampingi anak-anaknya. Raden Rawan telah menyadarkan kedua orang
tuanya, bahwasannya mereka telah pilih kasih dalam memperlakukan ke tiga
anaknya. Jika sebelumnya Resi Hijrapa lebih memperhatikan dan mencintai anak
sulungnya, dan Nyai Hijrapa lebih dekat dengan anak bungsunya, sekarang
mereka lebih memperhatikan Raden Rawan anak yang lahir nomor dua.
Sesungguhnya Raden Rawan merasa risih atas perlakuan kedua orang
tuanya yang berlebih. Namun ia tidak akan mengungkapkannya kepada ke dua
orang tuanya. Raden Rawan sendiri ingin mengisi hari-hari terakhirnya dengan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
227
PANDAWA KURAWA
kebaikan dan kedamaian. Beberapa hari sebelum ia siap mati untuk menjadi
korban keganasan Prabu Dwaka, ia berpamitan kepada beberapa teman-temanya
dan beberapa orang yang ia hormati, termasuk diantaranya Lurah Sagotra dan
Rara Winihan.
Di mata Raden Rawan, Rara Winihan adalah pemimpin yang luar biasa. Ia
mampu memberikan semangat dan keberanian untuk mengatasi ketertindasan dan
memerangi ketidak adilan. Ia peduli terhadap warganya yang mengalami
kesulitan. Beberapa hari yang lalu Rara Winihan mengutus dua bebahu desa
menemui ayahnya, agar menolak menyediakan korban untuk Prabu Dwaka.
Namun ayahnya menolak usulan itu dengan halus. Ia tidak berani melawan Prabu
Dwaka.
Keteladanan Rara Winihan itulah yang membuat Raden Rawan berani
menjadi korban dengan dada membusung dan muka tengadah. Apalagi ia juga
mempunyai keyakinannya bahwa keberanian dan ketulusan akan dapat
menghancurkan kesewenang-wenangan.
“Aku bangga, engkau jujur dan pemberani. Terlebih engkau mempunyai
keyakinan yang kuat bahwa kesewenang-wenangan akan hancur oleh keberanian
dan ketulusan. Maju terus Rawan aku dan para bebahu desa Kabayakan berada
dibelakangmu.”
“Terimakasih Ibu Rara, aku mohon diri.”
Hari Anggara Jenar yang jatuh pada bulan pertama pada setiap tahunnya,
tinggal tiga hari lagi, Rara Winihan memutar otak, mencari strategi yang tepat
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
228
PANDAWA KURAWA
untuk menghadapi Prabu Dwaka, pada saat menghidangkan korban Raden Rawan.
Ketika malam menjelang, di Kobongan Senthong tengah, Rara Winihan mendapat
pencerahan. Tiba-tiba ia teringat kepada Harjuna yang mempunyai jasa luar biasa
pada kehidupan rumah tangganya. Ia ingin menghadap Harjuna yang bersama
keluarganya berada di rumah Resi Hijrapa. Diajaknya Ki Lurah Sagotra untuk
menemui ibu dan saudara-saudara Harjuna.
Ki Lurah Sagotra dan Rara Winihan ditemui oleh Ibunda Kunthi dan para
Putra.
“Dhuh Ibu Kunthi dan para putra, saya beserta suami, sebagai yang
dituakan, mewakili seluruh warga desa Kabayakan menyampaikan terimakasih.
Kedatangan Ibu dan para putra membawa berkat yang melimpah kepada warga
Desa Kabayakan dan Giripurwa. Saya bersama pasangan saya telah mendapatkan
berkah kerukunan itu melalui Raden Harjuna. Demikian pula beberapa warga
yang mengungsi juga telah mendapatkan berkah pertolongan melalui Raden Bima.
Aku meyakini bahwa Hyang Maha Agung telah menuntun Ibunda Kunthi dan
para putra untuk singgah di wilayah ini dan melimpahkan berkahnya bagi seluruh
warga.”
“Rara Winihan, aku dan anak-anakku adalah orang orang yang numpang
makan dan tidur di tempat ini. Seharusnya kamilah yang mengucapkan
terimakasih kepada semua warga Desa Kabayakan dan Giripurwa, karena mereka
telah memberikan tempat dan makanan dengan ramah dan ikhlas. Aku secara
pribadi mohon maaf karena telah merepotkan banyak orang.”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
229
PANDAWA KURAWA
“Kerendahan hati seorang permaisuri Raja sungguh menakjubkan. Dengan
kerendahan hati seorang ibu sejati, aku berkeyakinan bahwa Ibunda Kunthi tidak
tega melihat penderitaan putra-putrinya.”
“Benar katamu Rara Winihan, aku tidak tega ketika melihat anakku
kembar kelaparan. Tetapi apa yang dapat kulakukan? Aku hanyalah seorang
wanita yang lemah dan miskin.”
“Bukankah ibu tinggal memerintahkan putra-putranya yang perkasa?”
“Tetapi aku kecewa dengan Harjuna, ia hanya meminta-minta makanan
kepadamu”
“Ampun Ibunda Kunthi, dua bungkus nasi bukanlah apa-apa jika
dibandingkan dengan berkah yang ditinggalkan. Oleh karena kehadiran Raden
Harjuna, aku dan suamiku boleh menikmati kebahagiaan suami isteri yang telah
kami tunggu hampir setahun lamanya.”
“Jika yang terjadi adalah kebaikan, itu bukan karena Harjuna, melainkan
karena kebaikan-Nya.”
“Iya Ibunda Kunthi, aku sependapat dengan Ibunda, termasuk juga berkat
kebaikan-Nya yang akan dilimpahkan kepada semua warga Kabayakan dan
Giripurwa melalui putra-putra Ibunda yang perkasa. Baru beberapa hari Ibunda
Kunthi dan para putra tinggal di rumah ini, semakin banyak warga yang datang di
tempat ini. Mereka yang telah mengetahui siapakah sesungguhnya Ibunda Kunthi
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
230
PANDAWA KURAWA
dan putra-putranya, ingin meminta perlindungan atas kesewenang-wenangan
Prabu Dwaka”
“Rara Winihan, aku telah mendengarnya dari keluarga Resi Hijrapa yang
mendapat kewajiban mengorbankan salah satu anaknya kepada Prabu Dwaka.
Aku tidak tega ketika Rawan akan dikorbankan. Aku telah membujuk anakku
Bima untuk menolong keluarga Hijrapa, dengan menjadi silih korban. Namun
Bima belum menyanggupi, dengan alasan karena Resi Hijrapa tidak
memintanya.”
Kecerdasan dan kecekatan Rara Winihan telah menangkap sebuah peluang
yang sangat penting untuk sebuah pengharapan yang membebaskan. Bermula dari
rasa iba Ibunda Kunthi terhadap ketakutan dan penderitaan keluarga Resi Hijrapa,
khususnya Raden Rawan yang akan dikorbankan. Ibu Kunthi membujuk Bima
agar mau menolongnya. Bima mau menolongnya tetapi dengan syarat, agar Resi
Hijrapa-lah yang meninginkan pertolongan tersebut. Ibunda Kunthi
memakluminya kepada anak nomor dua ini. Orangnya sederhana dan jujur,
tentunya kalau tidak diminta, ia sungkan untuk menawarkan kemampuannya,
karena hal tersebut akan menggiring kepada kesombongan.
Rara Winihan tahu, tinggal satu hal lagi yang harus dikerjakan jika
semuanya akan menjadi beres, yaitu Resi Hijrapa mau datang memohon
belaskasihan kepada Kunthi untuk menolongnya.
“Ibunda Kunthi, jika Resi Hijrapa tahu siapakah sesungguhnya orang-
orang yang menumpang di rumahnya, tentu tanpa diminta pun ia akan tergopoh-
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
231
PANDAWA KURAWA
gopoh bersujud meminta perlindungan. Namun karena saat ini ia sedang
mengalami tekanan yang luar biasa, Resi Hijrapa tidak memperhatikan orang-
orang disekitarnya. Baginya Ibunda Kunthi dan para putra sebatas seorang
penggembara yang numpang sementara di rumahnya. Sehingga Resi Hijrapa
beranggapan bahwa Ibunda Kunthi dan para putra tidak dapat menolongnya. Oleh
karenanya biarlah aku yang menghadap Resi Hijrapa untuk mengatakan hal ini.”
Tanpa menunggu jawaban Ibunda Kunthi, Rara Winihan undur diri, dan
segera menemu Resi Hijrapa.
Rara Winihan tidak mau membuang waktu, setelah mohon diri, Kunthi,
Puntadewa, Bimasena, Harjuna dan sikembar Nakula, Sadewa ditinggalkannya. Ia
menemui Resi Hijrapa diruang dalam. Sebelum Rara Winihan masuk, Rawan
mendahului keluar menyambut dengan wajah berseri-seri. Bocah remaja itu
mengalami sukacita didatangi Ibu Lurah dan Bapak Lurah yang sangat ia kagumi.
Apalagi di hari-hari terakhir sebelum ia dikorbankan, kehadiran seseorang yang
menjadi idola dapat menjadi kekuatan dan penghiburan.
“Bapa Resi, dua bebahu desa yang kami utus menghadap Bapa Resi
melaporkan bahwa Bapa Resi tetap akan mengorbankan Rawan, tidak adakah
jalan lain?
“Kami tidak menemukan jalan lain. Kecuali jika kami menolak. Dan itu
fatal akibatnya, seluruh keluargaku akan ditumpas.”
“Apakah tidak meminta tolong”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
232
PANDAWA KURAWA
“Orang yang mau menolong kami artinya ia mau menjadi silih korban
anakku. Saya tidak percaya bahwa ada orang yang bersedia menolong kami
dengan berani menggantikan anakku menjadi santapan Prabu Dwaka.”
“Bapa Resi, tahukah Bapa Resi siapakah sesungguhnya seorang janda
beserta ke lima anaknya yang numpang di rumah Bapa Resi?”
“Ibu Lurah, hatiku gelap dan pikiranku kalut sehingga tidak pernah
menanyakan siapakah mereka sesungguhnya.”
“Bapa Resi, merekalah yang akan menjadi dewa penolong, jika Bapa mau
menemuinya untuk memohon pertolongan.”
“Ibu Lurah, siapakah sesungguhnya mereka?”
“Mereka adalah Ibu Kunthi dan Pandhawa Lima”
“Benarkah Ibu Lurah?
Rara Winihan mengganguk mantap. Pernyataan Rara Winihan bagaikan
matahari yang tiba-tiba muncul memecah mendung kelabu. Wajah Resi Hijrapa
berseri. Secercah harapan baru menyembul dari sanubarinya. Dengan tergopoh-
gopoh, Resi Hijrapa berjalan menuju ruang depan, tempat Kunthi dan anak-
anaknya menumpang. Rara Winihan, Lurah Sagotra dan Raden Rawan
mengikutinya.
Sesampainya di depan Kunthi, Resi Hijrapa bersimpuh dan menghaturkan
sembah di depan kaki Kunthi, untuk memohon pertolongan.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
233
PANDAWA KURAWA
“Ibu Prameswari maafkan hamba si tua bangka yang bodoh ini, jauhkan
dari tulah sarik, dari kutuk dan dari hukuman, karena kesalahan hamba. Hamba
telah memperlakukan Ibu Prameswari dan para pewaris tahta Hastinapura dengan
sangat tidak layak.”
“Bapa Resi janganlah merendahkan dan menghinakan dirimu sendiri,
duduklah, dan bicaralah dengan wajar, katakanlah apa yang engkau inginkan dari
kami.”
“Dhuh Ibu Prameswari, ampunilah kesalahanku, karena penyambutanku di
rumah ini tidak sesuai denga kedudukan Sang Ibu Kunthi beserta para putra.”
“Sudahlah Bapa Resi. Bapa Resi tidak bersalah. Kamilah yang telah
merepotkan Bapa resi dan keluarga. Tetapi bukankah ada sesuatu yang lebih
penting dari semuanya itu. Katakanlah Bapa Resi”
Karena kehalusan budi dan kerendah hati dan belas-kasih Sang Ibu
Kunthi, Resi Hijrapa memberanikan diri untuk menceritakan masalah berat yang
dihadapi oleh keluarganya dan kemudian memohon pertologannya. Dewi Kunthi
yang sudah mendengar dan mengetahui semuanya, bahkan sudah berembug
masalah ini dengan Bima anaknya, menyarankan kepada Resi Hijrapa agar
langsung meminta bantuan kepada anaknya yang nomor dua yang bernama
Bimasena. Karena dialah orangnya yang tepat untuk melakukan pertolongan ini.
Bima adalah sosok yang sederhana dan jujur, ia selalu siap memberikan
pertolongan kepada siapapun yang membutuhkan, apalagi jika yang bersangkutan
datang memohon langsung kepada dirinya, maka akan semakin mantaplah ia
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
234
PANDAWA KURAWA
melakukan pertolongan. Ketika ditemui Resi Hijrapa, Bima bersedia dikorbankan
sebagai ganti Rawan anaknya. Resi Hijrapa sangat lega, terbebas dari beban berat
yang menindihnya.
Sesaat setelah Bima menyanggupkan diri menjadi sesaji yang akan
dipersembahkan kepada Prabu Dwaka, datang serombongan perajurit Ekacakra
dengan jumlah yang lebih banyak dari jumlah perajurit yang kemarin lusa
mencegat para pengungsi. Mereka melacak keberadaan seorang tinggi perkasa
yang telah menolong para pengungsi dan mengalahkannya. Ketika kemudian
mereka menemukan orang yang dimaksud yaitu Bima di rumah Resi Hijrapa,
maka kemudian mereka datang dengan maksud menawan Bima. Bima dengan
dibantu oleh Harjuna bermaksud melawannya.
Namun sebelum peperangan terjadi Lurah Sagotrra didampingi Rara
Winihan menyerukan kepada pemimpin perajurit Ekacakra, agar mau bersabar.
Kecerdasan Rara Winihan berhasil mempengaruhui pimpinan perajurit untuk
membatalkan niatnya nenangkap Bima. Dengan alasan bahwa Bima telah
menyanggupkan diri sebagai korban untuk Prabu Dwaka.
”Di rumah ini segala sesuatunya telah disiapkan. Jika pimpinan perajurit
mau menangkap Raden Bima dan Raden Bima melawan, maka akan terjadi
pertempuran. Jika pertempuran terjadi di rumah ini maka semuanya yang ada
bakal rusak dan hancur. Termasuk juga ubarampe sesaji yang telah dipersiapkan.
Jika hal ini benar-benar terjadi, artinya para perajurit telah menghancurkan
persiapan sesaji yang akan dipersembahkan kepada raja, termasuk calon
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
235
PANDAWA KURAWA
korbannya yaitu Raden Bimasena. Jika pemimpin perajurit akan nekat
memaksakan kehendak, aku sebagai lurah di wilayah ini akan menghadap raja dan
menghaturkan bahwa calon sesaji yang telah dipersiapan dirusak oleh perajurit
Ekacakra sendiri.”
Mendengar seruan Ibu Lurah yang lantang tersebut, pemimpin perajurit
tanpa berucap sepatah kata pun membalikan kudanya bersama dengan pasukannya
meninggalkan rumah Resi Hijrapa. Mereka takut jika tindakannya menangkap
orang tinggi perkasa dianggap mengacaukan persiapan korban terbesar sepanjang
tahun yang akan diadakan besok lusa.
Kabar kesanggupan Bima mau menjadi korban santapan menggantikan
Rawan cepat tersebar di Desa Sendangkandayakan dan pertapaan Giripurwa.
Mereka berdatangan di rumah Resi Hijrapa. Ketika ditemuinya ada Lurah Sagotra
dan Rara Winihan, semakin mantaplah mereka bergabung.
Ketika tiba saatnya, hari Anggara Jenar yang jatuh pada bulan pertama
pada setiap tahunnya, Resi Hijrapa telah siap dengan sesajinya. Rara Winihan
berperan besar dalam pembuatan sesaji. Ia telah menutupi badan Bima dengan
parutan kelapa muda yang dimasak bothok.
Pagi itu mereka membawa sesaji komplit meninggalkan Rumah Resi
Hijrapa, menuju keraton Ekacakra. Selain Bima sendiri, yang mengiringi sesaji
dari Giripurwa adalah : Harjuna, Rawan, Rara Winihan, Lurah Sagotra, Resi
Hijrapa, warga Sendangkandayakan dan Giripurwa. Dengan keberadaan Bima
diantara mereka, mereka tidak takut, karena mereka percaya dengan nama besar
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
236
PANDAWA KURAWA
Pandhawa Lima dan sebagian dari mereka telah melihat kesaktian Bima waktu
menolong para pengungsi.
Barata
Sesampainya di balairung keraton Ekacakra, sesaji dari Giripuwa yang
berupa Bima dibumbu bothok menarik perhatian banyak orang termasuk Sang
Prabu Dwaka, karena sosok Bima yang tinggi besar sepadan dengan Prabu
Dwaka.
Setelah segalanya siap, upacara sesaji dimulai dengan pemukulan gong
beri tiga kali. Selesai gaung gong yang ketiga, mereka mulai melakukan
pembakaran aneka macam daging dan ikan secara serentak. Di tengah-tengah
membumbungnya asap bakaran, Prabu Baka berjalan keliling sebelum mendekati
korban mausia yaitu Bima Bothok. Baru setalah langkahnya tertuju kepada Bima
Bothok, perutnya mulai keroncongan, dan air liurnya mengumpul di ujung
lidahnya.
Sitihinggil Ekacakra penuh dengan asap korban bakaran. Prabu Dwaka
mulai merasa lapar mencium bau asap dari daging yang dibakar. Terlebih ketika
melihat Bima yang diberi bumbu bothok, ia mengarahkan langkah dan
pandangannya menuju korban yang di sajikan dari Giripurwa. Selangkah demi
selangkah kaki yang besar dan berat itu menginjak bumi, dan menimbulkan getar
disekitarnya. Bimasena, Arjuna, Lurah Sagotra, Rara Winihan, Rawan dan para
pengiring mulai meningkatkan kewaspadaan. Kecuali Bima dan Arjuna, jantung
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
237
PANDAWA KURAWA
mereka berdetak semakin cepat merasakan getar tanah yang ditimbulkan oleh
langkah Prabu Dwaka, hawa dingin mulai mengalir dari ujung kaki dan telapak
tangan mereka.
Prabu Dwaka semakin tidak kuasa menahan lapar, melihat sosok Bima
yang berbadan tinggi besar, berotot kuat dan kencang, berlumuran bumbu bothok
kesukaannya. Karena tertariknya dengan sosok Bima, Prabu Dwaka tidak
memperhatikan rangkaian korban yang lain yang telah disiapkan oleh Rara
Winihan di dalam sebuah gerobak. Tangan Prabu Dwaka yang besar kuat, penuh
dengan bulu, mendulit bumbu bothok di tubuh Bima.
“Hmm enaaak”
Bima tidak gentar menghadapi Prabu Dwaka. Sejak ia sanggup menjadi
korban untuk menggantikan Rawan, ia sudah siap lahir batin. Ditatapnya Prabu
Dwaka dihadapannya dengan ketajaman mata laksana burung hantu. Otot tubuh
yang menjadi daya kekuatan Bimasena mulai dikencangkan.
Prabu Dwaka tidak sabar, dengat cepat ia menyahut Bima. Jika pada
korban sebelumnya, baik yang bulanan maupun yang tahunan, korban hanya dapat
menjerit dan kemudian diam, kali ini tidak ada jeritan. Bima mampu menepis
tangan Prabu Dwaka dengan kekuatan yang lebih besar. Prabu Dwaka terkejut
bukan kepalang, merasakan kekuatan besar yang keluar dari calon koorbannya.
Ulah Bima yang belum pernah dilakukan oleh para korban sebelumnya, justru
meningkatkan selera Prabu Dwaka. Ia dengan tawa sinisnya mengelilingi Bima,
ingin mempermainkan calon korbannya sebelum disantapnya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
238
PANDAWA KURAWA
Namun yang apa yang terjadi sungguh mengejutkan, terutama bagi Prabu
Dwaka. Bima dengan cepat dan tiba-tiba melayangkan kakinya ke dada Prabu
Dwaka. Prabu Dwaka senggoyoran hampir jatuh. Ia baru sadar, bahwa korban
yang disajikan kali ini bukan orang sembarangan. Prabu Dwaka menatapnya Bima
dengan kemarahan puncak. Bima tidak mau kalah, ia balas menatapnya sembari
berdiri teguh, seteguh batu karang. Dengan menghimpun kekuatan, Prabu Dwaka
menerkam Bima. Kali ini Bima menghindar. Prabu Dwaka semakin marah. Dan
sebentar kemudian terjadilah pertepuran yang dahsyat. Dikarenakan keduanya
tidak merasa leluasa bertempur di pelataran sitihinggil, maka tanpa kesepakatan
pertempuran bergeser keluar dari sitihinggil menuju ke alun-alun.
Korban besar tahunan menjadi kacau. Para pelaku korban, petugas jaga,
para perajurit dan pengawal raja, menghentikan aktifitasnya. Mereka bersama-
sama menyaksikan pertepuran langka. Bahkan orang-orang mulai berdatangan ke
alun-alun untuk menyaksikan pertempuran dahsyat sepanjang abad.
Para pajurit yang setia kepada raja, ikut geram kepada Bimasena. Namun
dibalik kegeramannya, mereka mengakui keberanian Bima untuk melawan raja
mereka. Karena selama mereka mengabdi kepada Prabu Dwaka, belum pernah ia
menjumpai seseorang yang berani kepada raja mereka. Barulah sekarang untuk
yang pertamakali ia menyaksikan ada orang yang berani melawan raja mereka
dengan tidak menampakkan ketakutannya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
239
PANDAWA KURAWA
Walaupun diantara mereka pernah menyaksikan dan merasakan kesaktian
Bima ketika menolong para pengungsi, mereka semakin tergetar keberaniannya
menyaksikan kehebatan Bima saat melawan Prabu Dwaka.
Sementara itu, bagi mereka, baik para perajurit atau kawula Ekacakra yang
selama ini tidak senang dengan raja mereka, sangat berharap agar Bima berhasil
memenangkan pertempuran.
Hari semakin siang, matahari telah hampir berada di tengah. Pertempuran
berlangsung semakin seru. Keduanya saling mengeluarkan ilmu-ilmu andalan.
Debu mengepul, mengelilingi dan menutupi Prabu Dwaka dan Bimasena. Para
penonton tidak dapat lagi melihat keduanya dengan jelas. Namun melalui suara
yang ditimbulkan mereka dapat ikut merasakan bahwa pertempuran tersebut
semakin dahsyat. Oleh karenanya para penonton semakin mundur dengan
perasaan cemas, sehingga tempat bertempur pun menjadi semakin luas.
Beberapa saat kemudian, debu yang membumbung perlahan-lahan pergi
dibawa angin. Dari kejauhan, tampaklah Bimasena dan Prabu Dwaka berdiri
berhadapan. Rupanya mereka sepakat untuk beristirahat sejenak sambil mengatur
napas mereka masing-masing. Tidak beberapa lama kemudian, pertempuran
dilanjutkan kembali.
Prabu Dwaka yang lapar karena belum berhasil menyantap korban,
bertempur dengan membabi buta. Ia ingin segera mengakhiri pertempuran.
Namun lawannya bukanlah orang sembarangan, ia mempunyai ilmu tingkat tinggi
yang jarang ada tandingannya. Oleh karenanya, Prabu Dwaka menjadi frustasi
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
240
PANDAWA KURAWA
karena tidak dapat segera mengalahkan Bimasena. Sebaliknya, Bimasena menjadi
semakin tenang dan mantap. Sehingga dengan demikian ia dapat dengan jelas
melihat kelemahan daya pertahanan lawannya. Pusaka Kuku Pancanaka andalan
Bimasena telah disiapkan. Dan pada saat yang tepat, Bimasena berhasil
menyarangkan Kuku Pancanaka ke dada Prabu Dwaka.
Terdengar suara teriakan menggelegar dan disusul dengan robohnya tubuh
Prabu Dwaka yang tinggi besar. Sorak membahana gemuruh menyambut
kemenangan Bimasena. Beberapa pengawal yang setia Raja mengarahkan mata
tombaknya ke dada Bimasena, namun sebelum Bimasena luka, Arjuna dengan
tangkas menarik busur dan melepaskan anak panahnya dalam jumlah banyak.
Maka berjatuhanlah mereka. Pengawal yang lain tergetar hatinya, melihat
kesaktian Arjuna dalam memananh.. Mereka mengurungkan niatnya membela
rajanya, dan meyerah dihadapan Bimasena.
Setelah dipastikan bahwa Prabu Dwaka sudah gugur, para kawula
Ekacakra memohon agar badan Prabu Dwaka yang sudah tidak bernyawa
dipisahkan, yang satu ditanam di gunung gamping barat yang satu ditanam di
gunung gamping Timur. Menurut kepercayaan, hal tersebut dimaksudkan untuk
menghilangkan energi negatif yang akan ditimbulkan oleh raga Prabu Dwaka.
Pada puncak korban tahunan kali ini, tidak ada lagi kawula yang
dikorbankan, melainkan Prabu Dwaka sendiri dan beberapa pengawalnya yang
menjadi korban.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
241
PANDAWA KURAWA
Prabu Baka atau Prabu Dwaka yang menjadi sumber ketakutan kawula
Ekacakra telah dihancurkan oleh Bimasena. Para pejabat, pengawal perajurit dan
pengikut yang selama ini berada di lingkaran pusat kekuasaan merasa terancam
keberadaannya. Pengawal raja lapis pertama yang mengandalkan insting jika
rajanya ada dalam bahaya dengan cepat menyerang Bima yang telah mencelakai
tuannya, namun dengan cepat pula dilumpuhkan oleh panah Arjuna.
Walaupun tenaganya belum pulih, setelah mengalahkan Prabu Dwaka,
Bima sendiri juga telah bersiaga untuk menghadapi para pengawal dan pengikut
Prabu Dwaka yang tidak terima akan kematian Rajanya. Namun tidak ada lagi
yang menyerang Bima setelah serangan pengawal lapis pertama gagal total.
Mereka keder juga menyaksikan kesaktian Bima yang menggetarkan.
Ditambah lagi bahwa rombongan pembawa korban dari Giripurwa
terdapat orang sakti selain Bima, yang ahli menggunakan senjata panah.
Kesaktiannya dalam memanah telah ditunjukkan ketika membendung serangan
para pengawal raja lapis pertama yang hendak mengeroyok Bimasena. Orang sakti
tersebut adalah adik Bimasena yang bernama Arjuna. Ia memang sengaja
mennunjukan kesaktiannya agar yang lain jera, sehingga dengan demikian akan
mengurangi korban.
Kesaktian memanah yang ditunjukan Arjuna dengan melumpuhkan
puluhan korban dalam waktu sekejab merupakan ilmu terbaik Sokalima.
Ditambah pula dengan pusaka ali-ali ampal dari Prabu Ekalaya raja Paranggelung,
membuat ilmu memanah Arjuna tidak tertandingi. Maka jika pun pengawal lapis
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
242
PANDAWA KURAWA
dua berniat melawan Bima dan Arjuna dapat dipastikan nasibnya akan sama
seperti pengawal lapis pertama yang dalam sekejap roboh bersamaan.
Untung saja gebrakan awal Arjuna berhasil membuat nyali para pengawal
raja menciut, sehingga mereka mengurungkan niatnya untuk melawan Bima dan
Arjuna. Karena sudah tidak punya nyali untuk melawan, para pejabat, pengawal
dan pengikut setia Prabu Dwaka kini sudah tidak setia lagi, mereka meletakan
senjata dan menyerah.
Sorak sorai membahana. Kawula Ekacakra merayakan kemenangan.
Korban bakaran yang sedianya diperuntukan untuk kehormatan dan kekuasaan
raja menjadi korban sukacita dan pesta kemenangan rakyat Ekacakra. Bimasena
dielu-elukannya dan juga Arjuna. Hal yang lebih membanggakan dirasakan oleh
rombongan korban dari Giripurwa. Karena berawal dari Bima yang hadir di
wilayahnya dan bersedia menjadi silih korban menggantikan Rawan, akhirnya
mampu menumbangkan angkaramurka dan menanamkan ketamakan Prabu Baka
di gunung Gamping yang beku.
Gugurnya Prabu Baka membuat keadaan negeri Ekacakra secara
keseluruhan berbalik 180 derajat. Jika sebelumnya rasa takut dan suasana
mencekam melanda setiap hati kawula Ekacakra, kini setelah Prabu Baka gugur,
suasana berubah menjadi sukacita dan lepas bebas dari takut dan cemas. Seluruh
rakyat menjadi tenteram karenanya.
Dengan perubahan itu, beberapa bebahu desa Kabayakan teringat akan
kata-kata Rara Winihan yang memberikan pengharapan, bahwa tidak lama lagi
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
243
PANDAWA KURAWA
desa Kabayakan akan terbebas dari rasa cemas takut. Bahkan Desa ini akan
mendapat anugerah yang begitu besar.
Tanda akan datangnya anugerah besar itu di sampaikan oleh Hyang Widi
Wasa lewat mimpinya. Pada dini hari tadi, Rara Winihan bermimpi sedang
melakukan perjalanan ke dusun-dusun, bersama Ki Lurah Sagotra, Para Bebahu,
dan beberapa orang yang dituakan. Sesampainya di setiap dusun yang mereka
kunjungi, para warga mengelu-elukan rombongan Lurah Sagotra. Suasana
kunjungan tersebut mirip sebuah perjalanan pesiar. Diakhir perjalanannya,
rombongan Lurah Sagotra memasuki jalur sungai. Keanehan terjadi, mereka
berjalan di atas sungai dan kakinya tidak menyentuh air.
Dan benarlah, makna yang terselubung dalam mimpi, bahwa jika orang
yang bermimpi berjalan di atas air, akan mendapat kabegjan anugerah yang luar
biasa. Kini mimpi Rara Wunihan telah menjadi kenyataan.
Selain Bima dan Arjuna nama Rara Winihan menjadi semakin berkibar.
Banyak kawula Giripurwa menginginkan Ibu Lurah tersebut menempati jabatan
yang lebih tinggi lagi. Namun Rara Winihan menolaknya. Ia justru menjadi malu,
karena sesungguhnya ia hanyalah seorang yang tidak berarti dibandingkan dengan
Bimasena dan Arjuna, atau dengan Ibu Kunthi. Ia hanyalah istreri Lurah Sagotra,
Kanca Wingking yang seharusnya hanya berada di wilayah belakang.
Ambisi para bebahu yang ingin mengangkat dirinya menduduki jabatan
yang lebih tinggi, justru telah menyadarkan dirinya, bahwa langkah yang ia
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
244
PANDAWA KURAWA
jalankan selama ini telah kemajon, atau terlalu ke depan dibandingkan dengan
peran yang seharusnya ia jalani, yaitu sebagai isteri Lurah, tidak lebih.
Pada keesok harinya ketika semuanya berkumpul di Rumah Resi Hijrapa,
tak satupun rasa takut menyusup di hati dan pikiran mereka. Sehingga yang
nampak adalah wajah-wajah ceria yang terbebas dari kecemasan. Dalam
kesempatan tersebut, Resi Hijrapa, Rawan, Lurah Sagotra dan Rara Winihan
mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Ibu Kunthi, Bimasena dan
Arjuna. Selain itu Resi Hijrapa dan kemudian diikuti oleh Rawan, Ki Lurah
Sagotra dan Rara Winihan menyatakan diri, jika kelak terjadi perang besar antara
Pandhawa dan Korawa yang disebut Bharatayudha mereka siap membantu
Pandhawa sebagai tawur awal pada perang tersebut. Kunthi dan Pandhawa sangat
terharu merasakan ketulusan yang dinyatakan mereka untuk siap berkorban bagi
Pandhawa.
Sepeninggal Prabu Dwaka, kerajaan Ekacakra komplang, tanpa raja.
Untuk sementara sebelum sampai kepada orang yang paling berhak menduduki
tahta, kebijaksanaan kerajaan dipasrahkan kepada Prabu Durpada yang
memerintah di negara Pancala. Karena wilayah Ekacakra bergandengan dengan
wilayah Pancala.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
245
PANDAWA KURAWA
SEKUTU PRINGGODANI
Banyak orang tidak percaya Prabu Baka atau Prabu Dwaka telah gugur.
Lalu siapa yang berani melawannya, bahkan sampai berhasil mengalahkan dan
membunuhnya? Kalau ia manusia pastilah ia bukan manusia biasa, tetapi manusia
keturunan dewa. Atau malah mungkin ia seorang dewa yang menyamar jadi
manusia?. Untuk memastikan kebenaran kabar itu, orang-orang berduyun-duyun
menuju Padepokan Giripurwa.
Sesampainya di Giripurwa orang banyak telah lebih dahulu berada di sana.
Kedatangnya mereka selain untuk memastikan kebenaran tentang gugurnya Raja
pemakan manusia itu, mereka juga ingin melihat dari dekat kesatria yang telah
berhasil membunuh Prabu Dwaka.
Selama sepekan, terhitung sejak gugurnya Prabu Dwaka, pada setiap
harinya padepokan Giripurwa dibanjiri oleh orang-orang dari berbagai penjuru
negeri Ekacakra. Ekspresi kelegaan dan sukacita memancar dari wajah mereka.
Bimasena menadat ucapan terimakasih krena keberhasilannya menyingkirkan
angkaramurka yang menjadi sumber kecemasan dan ketakutan.
Setelah semua menjadi reda, suasana kembali normal, bahkan ketentraman
dan kedamaian mulai dirasakan, Ibu Kunthi dan kelima anaknya berpamitan
kepada resi Hijrapa, meninggalkan Giripurwa. Tidak lupa mereka juga berpamitan
kepada Lurah Desa Kabayakan, Kyai Sagotra dan Rara Winihan, beserta seluruh
warganya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
246
PANDAWA KURAWA
Rasa haru meremas kalbu. Tak kuasa mereka menahan tetesan air mata
dari bola-bola mata yang bening bersahaja. Sesungguhnya mereka mengharapakan
para kesatria Pandhawa dan Ibu Kunthi yang luhur budi agar berkenan tinggal
untuk memimpin negeri. Mereka merindukan sosok pemimpin yang sepi ing
pamrih, rame ing gawe. Pemimpin yang mengayomi dan mencintai rakyatnya.
Namun tangan-tangan mereka tak kuasa menahannya. Lambaian tangan
mengantar kepergian Kunthi dan Pandhawa.
Walaupun setelah membelok di sudut desa, Kunthi dan Pandhawa sudah
tidak nampak lagi, mata hati mereka justru semakin jelas memandang ketulusan
hati yang telah dikorbankan oleh Ibu Kunthi dan anak-anaknya.
Kunthi, Puntadewa, Bimasena, Arjuna dan sikembar Nakula Sadewa telah
jauh meninggalkan Padepokan Giripurwa. Mereka tidak ingin kembali ke
Hastinapura. Peristiwa Bale Sigala-gala telah membuat mereka trauma. Walaupun
ketika tinggal di kahyangan Saptapertala, Kunthi telah berusaha agar Sadewa dan
Nakula dapat melupakan peristiwa yang mengerikan di Bale Sigala-gala, hingga
saat ini si kembar belum mau memasuki bumi Hastina
Oleh karenya Kunthi dan kelima anaknya bertekad hidup seperti layaknya
seorang Brahmana yang sedang menjalani laku tapa, berjalan tanpa tujuan, masuk
keluar hutan dalam waktu yang tak terbatas. Mereka menggunakan pakaian dari
kulit binatang, memakan buah-buahan dan akar-akaran yang ditemuinya di hutan.
Siang malam Bima dan Arjuna selalu waspada menjaga ibu dan saudara-
saudaranya dari serangan binatang buas dan juga raksasa hutan.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
247
PANDAWA KURAWA
Kabar gugurnya Prabu Dwaka terdengar jauh sampai di negara
Pringgandani. Prabu Arimba raja Pringgandani yang bermuka raksasa ini masih
terhitung sahabatnya Prabu Baka, terbakar hatinya mendengar kabar tersebut. Ia
mengutus Arimbi adiknya, yang bermuka raseksi, untuk mencari tahu siapkah
orang yang telah membunuh Prabu Dwaka. Jika sudah ketemu, Arimbi diberi
kuasa untuk membunuhnya. “Namun jika kamu tidak dapat membunuhnya,
segeralah pulang ke Pringgandani, biar aku sendiri yang akan membunuhnya.”
Kata Prabu Arima kepada Arimbi adiknya.
Saat itu juga Arimbi, meninggalkan Negara Pringgandani sendirian,
menuju Negara Ekacakra. Sesampainya di Ekacakra ia mendapat keterangan
untuk menuju ke Padepokan Giripurwa. Namun sesampainya di Giripurwa, yang
dicari sudah tidak ada. Arimbi kecewa. Ia kemudian mencari keterangan
mengenai ciri-ciri orang yang telah membunuh Prabu Dwaka
Setelah mendapat keterangan cukup jelas dari salah seorang warga Desa
Kabayakan, mengenai ciri-ciri kesatria yang telah membunuh Prabu Dwaka,
Arimbi segera mencari keberadaannya. Berkat pengalamannya dan daya
penciumannya yang tajam Arimbi tidak kesulitan menemukan jejaknya.
Di Hutan Waranawata Kunthi dan kelima anaknya berada. Dan Arimbi
telah menemukannya. Arimbi mengamati mereka dari balik lebatnya pepohonan.
Menurut ciri-ciri yang disampaikan oleh warga Desa Kabayakan, sungguh
benarlah bahwa keenam orang itu adalah Kunthi dan ke lima anaknya. Salah satu
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
248
PANDAWA KURAWA
diantara anak Kunthi, adalah pembunuh Prabu Dwaka. Namanya Bimasena.
Orangnya tinggi perkasa.
Arimbi mengarahkan pengamatannya kepada orang yang dimaksud.
Namun ketika ia melihat Bimasena, hatinya berdesir. Ada gelombang magnet
yang luar biasa besar, yang menarik-narik hatinya. Arimbi tak kuasa menahan
gejolak itu. Pada pandangan pertama, hati Arimbi telah tertambat kepada sosok
perkasa yang mempesona.
Terdorong oleh hasratnya yang tak mungkin dibendung, Arimbi bergerak
ringan menghampiri Bimasena yang sedang duduk bersama Ibunda Kunthi.
Keduanya terkejut, terlebih Bima, yang tidak tahu dari mana arah datangnya, tiba-
tiba ada sosok raseksi bersimpuh dihadapannya.
Sesampainya di depan Kunthi dan Bima, Arimbi menjadi lupa tujuan
semula, untuk membuat perhitungan dengan orang yang membunuh Prabu
Dwaka. Ketika mata Arimbi menatap Bima dari jarak dekat, ia terkena panah
asmara, yang lepas dengan sendirinya dari pribadi mempesona. Kunthi menyapa
dengan lembut, apa maksud kedatangannya? Arimbi tidak segera dapat menjawab
pertanyaan Kunthi. Memang pada semula ia bermaksud membuat perhitungan
dengan orang yang telah membunuh Prabu Dwaka. Namun kenyataannya Arimbi
tidak berdaya setelah menemukan orang yang dimaksud. Bahkan ia dengan terus
terang menyatakan jatuh cinta kepada Bimasena. Kunthi tersenyum lembut. Ia
memahami hati seorang wanita yang lebih mengutamakan perasaannya
dibandingkan dengan pikirannya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
249
PANDAWA KURAWA
Arimbi yang diutus oleh Prabu Arimba raja Pringgandani, untuk mencari
pembunuh Prabu Dwaka, telah menemukan orangnya di Hutan Waranawata, yang
bernama Bimasena Dengan tidak terduga pula, ternyata Bimasena adalah anak
Pandhudewanata, raja Hastinapura yang telah membunuh ayah Arimbi yang
bernama Prabu Tremboko, raja Hastinapura sebelum Prabu Arimba..
Namun hal tersebut tidaklah mampu menyulut dendam dan kebencian
Arimbi kepada Bimasena. Karena Arimbi telah terkena panah asmara, yang lepas
dengan sendirinya dari pribadi mempesona sang Bimasena. Arimbi menjadi lupa
tujuan semula, untuk membuat perhitungan dengan orang yang membunuh Prabu
Dwaka..
Arimbi, yang adalah seorang rasaksa wanita, mempunyai postur yang
tinggi besar, melebihi postur wanita pada umumnya, wanita biasa yang bukan
raseksi, sangatlah mendambakan sosok tinggi besar dan gagah perkasa. Apalagi
sosok tinggi besar dan gagah perkasa tersebut bukan dari golongan raksasa, tetapi
dari golongan kesatria seperti halnya Bimasean. Tentu saja Arimbi terpana.
Sebagai seorang raseksi, Arimbi tidak sungkan-sungkan menyatakan
gejolak hatinya yang meluap-luap, di depan Ibu Kunthi dan Bimasena, bahwa ia
telah jatuh cinta kepada Bimasena pada pandangan pertamanya. Kunthi
menanggapi pernyataan Arimbi, dengan senyum dan kelembutan. Namun Bima
justru merasa risih dan tidak senang, sembari menggerutu, dasar raseksi, tidak
tahu diri.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
250
PANDAWA KURAWA
Atas sikap Bimasena tersebut, Arimbi menangis, memohon pertolongan
Kunthi, agar Bimasena mau memperisterinya. Kunthi tidak dapat berbuat apa-apa.
Karena pada dasarnya semuanya itu bergantung kepada Bimasena yang
menjalaninya. Namun Kunthi menyarankan agar Arimbi mau bersabar.
Arimbi tidak sakit hati ditolak Bimasena. Ia justru semakin mengagumi
sosok Bima yang jujur dan tegas. Panah Asmara yang tidak pernah dilepaskan
Bimasena kepada Arimbi, pada kenyatanya telah menembus sangat dalam di
lubuk hati Arimbi. Ajaib memang. Cinta membuat segalanya baru. Pandangan
Arimbi terhadap Bimasena berubah seratus delapan puluh derajat. Dari musuh
menjadi orang yang digandrunginya.
Walaupun Bimasena tidak pernah mempedulikannya, bahkan tidak
senang, Arimbi tetap saja mengikuti kemana Bima dan keluarganya pergi. Nasihat
Kunthi agar bersabar, menjadi kekuatan bagi Arimbi untuk bertahan dalam
menyalakan api cintanya kepada Bimasena. Karena ia menyakini, dibalik
kesabaran yang dijalaninya dengan tulus, ada sebuah harapan. Harapan bahwa jika
tiba pada waktunya, ia dapat bersanding dengan pujaan hatinya. Saat itulah dapat
diibaratkan seperti rumput kering yang mendamba siraman air hujan, untuk
tumbuh menghijau.
Hingga sampai hitungan bulan, Bima tidak menampakkan perubahan sikap
kepada Arimbi. Bahkan Bima semakin merasa risih terhadap tingkah laku Arimbi
yang ditujukan kepada dirinya dan juga kepada keluarganya. Namun tidaklah
demikian dengan Ibunda Kunthi. Kunthi justru merasa iba kepada Arimbi, yang
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
251
PANDAWA KURAWA
tidak hanya mengikutki kemana Pandhawa pergi, tetapi juga selalu membantu,
melayani dan menyediakan apa saja yang menjadi kebutuhan Kunthi dan
Pandhawa.
Disuatu pagi nan cerah, datanglah beberapa punggawa Pringgandani yang
diutus Prabu Arimba menemui Arimbi. Arimbi merasa dirinya telah mengkianati
perintah kakaknya. Maka dengan jujur Arimbi berkata kepada utusan raja, bahwa
ia tidak kuasa untuk berperang kepada orang yang membunuh Prabu Dwaka,
apalagi sampai mencelakainya, karena ia telah jatuh cinta kepadanya.
Dengan baik-baik Arimbi memerintahkan beberapa punggawa utusan,
untuk pulang dan melaporkan kepada raja apa adanya.
Prabu Arimba tak mampu mengendalikan emosinya, tatkala para
punggawa memberikan laporan tentang keberadaan Arimbi dan juga sikap Arimbi
yang telah membelot bersama musuh. Apalagi dalam laporan tersebut
diungkapkan pula, bahwa Bimasena pembunuh Prabu Dwaka adalah anak
Pandudewanata.
Braaak! Prabu Arimba memecah meja di depannya. Para punggawa
gemetar ketakutan. Suara gemuruh didada Prabu Arimba menimbulkan hawa
panas. Hawa panas tersebut memenuhi Balairung Negara Pringgandani.
Arimbi adalah satu-satunya adik perempuan dan sangat dicintainya.
Namun ia sangat murka bilamana Arimbi jatuh cinta kepada anak Pandudewanata
yang telah membunuh ayahanda Prabu Tremboko.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
252
PANDAWA KURAWA
Semenjak naik tahta menggantikan Prabu Tremboko yang gugur di tangan
Pandudewanata, Prabu Arimba ingin mengadakan perhitungan dengan
Pandudewanata. Namun niat itu tidak kesampaian, dikarenakan Pandudewanata
telah meninggal di pertapaan. Namun setelah diketahui dari laporan punggawa
utusan, bahwa Pandudewanata mempunyai lima anak laki-laki, Prabu Arimba
akan mengadakan perhitungan dengan mereka. Khususnya Bimasena yang
sekaligus adalah pembunuh Prabu Dwaka, saudaranya.
Selagi bara dendam dihatinya mulai menyala kembali, Prabu Arimba
segera memerintahkan perajurit pengawal raja, untuk mengikutinya memasuki
hutan Waranawata, guna mengadakan perhitungan dengan Bimasena.
Lima adik Raja Arimba yang kesemuanya laki-laki kecuali Arimbi, ikut
bersamanya. Mereka masing-masing adalah: Brajadenta, Brajamusti,
Brajawikalpa, Brajalamatan dan yang bungsu adalah Kala Bendana.
Kemarahan Prabu Arimba belum juga reda. Ingin rasanya ia menghajar
Arimbi adiknya, yang telah berkhianat kepadanya, dengan mengabaikan
perintahnya. Pada awalnya Arimbi menyanggupi perintah kakanya untuk
mengadakan perhitungan dengan pembunuh Prabu Dwaka yang masih
saudaranya. Namun setelah melihat pelakunya yang bernama Bimasena, Arimbi
jatuh hati. Ia menjadi tak berdaya untuk melaksanakan perintah kakaknya. Oleh
karenanya dengan jujur Arimbi mengatakan kepada utusan kakaknya bahwa
Arimbi tidak mempunyai daya untuk melukai Bimasena, terlebih
membunuhnya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
253
PANDAWA KURAWA
Oleh karenanya Arimba ingin segera menuju ke hutan Waranawata untuk
menghukum Arimbi dan kemudian membunuh Bimasena dan saudaranya.
Di siang yang terik, Prabu Arimba dengan diiringi beberapa pengawal
pilihan meninggalkan negara Pringgandani. Dadanya gemuruh karena kemarahan.
Akibatnya matanya memerah dan kedua tangannya bergetar. Para pengawal tahu
bahwa raja Arimba sedang dalam keadaan marah besar, dan jika tidak hati-hati
dalam melayaninya, sedikit saja membuat kesalahan akan berakibat fatal.
Di hutan Waranawata, Arimbi merasa cemas. Ia tahu bahwa kakaknya
akan sangat marah mendapat laporan utusannya, bahwa Arimbi telah jatuh hati
kepada musuhnya. Maka dari itu, sebelum Arimba sampai di tengah hutan, tempat
Kunthi dan anak-anaknya berada, Arimbi menyonsong kakaknya di pinggir hutan.
Benarlah apa yang perkirakan Arimbi, dari kejauhan ia melihat kakaknya yang
diikuti beberapa pengawalnya menampakkan kemarahannya. Maka dari itu,
sebelum Prabu Arimba melampiaskan kemarahannya, Arimbi mendahuluinya
memeluk kakinya. Sembari menangis, Arimbi memohon belaskasihan kepada
Prabu Arimba.
“Dhuh Kakanda Prabu, pada siapa lagi aku sesambat kalau bukan kepada
Kakanda Prabu yang menjadi silih orang tuaku. Jikapun aku harus mendapat
hukuman, hukumlah aku karena aku telah mengkianati Sang Raja. Bahkan jikapun
aku harus dihukum mati, aku rela menerimanya. Namun sebelumnya aku akan
mengatakan dengan sejujurnya bahwa aku sebagai wanita yang sudah dewasa,
sedang jatuh cinta kepada seseorang. Rasa kasmaran itu tiba-tiba menyergapku.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
254
PANDAWA KURAWA
Dan aku tak kuasa melepaskannya. Walau aku tahu bahwa ia yang telah
membuatku jatuh cinta tersebut adalah musuh kita. Kakanda Prabu salahkah
aku?”
Dada Prabu Arimba naik turun, nafasnya tidak beraturan. Kemarahannya
yang sudah mencapai puncak dicoba untuk ditahan. Sebetulnya dilubuk hati yang
paling dalam, Prabu Arimba sangat menyayangi satu-satunya adik perempuannya.
Sepeninggal ayahnya Prabu Tremboko, Prabu Arimba yang kemudian naik tahta
menyadari perannya sebagai pengganti orang tuanya. Maka ketika Arimbi
mengingatkan peran yang seharusnya diemban, kemarahan Prabu Arimba
berangsur-angsur mereda. Air mata Arimbi yang membasahi kaki Prabu Arimba
merambat naik dan menyiram dada yang panas gemuruh.
Walaupun dada masih tetap membusung dan kedua tanganya masih
berkacak pinggang, tatapan mata Prabu Arimba mulai merunduk. Dipandanginya
adiknya yang masih menangis memeluk kakinya. Pelan-pelan rasa iba telah
menyusup di hatinya. Ia menyadari, bahwa adiknya telah tumbuh menjadi dewasa,
tanpa ditunggui orang tua, dan sekarang sedang jatuh cinta. Jika saja prabu
Tremboko masih hidup alangkah senangnya dia. Namun gara-gara Pandu ia
terpaksa meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil.
Tiba-tiba Prabu Arimba berteriak lantang, “Bangsat Pandudewanata,
engkau telah memisahkan aku dan adik-adikku dengan ayahku. Terkutuklah
engkau dan keturunanmu. Rama Prabu Tremboko, akan aku habisi hari ini
keturunan Pandu, agar engkau berdiam di alam baka dengan damai..
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
255
PANDAWA KURAWA
Prabu Arimba lari meninggalkan Arimbi, masuk hutan ingin
membinasakan keturunan Pandu. Belum jauh Prabu Arimba meninggalkan
Arimbi, Bimasena menghadang di jalan. Prabu Arimba terkejut dengan
keberanian orang ini. Apakah ini yang bernama Bimasena. Jika benar ini adalah
Bimasena, pantas jika adiknya jatuh cinta kepadanya.
Sebelum terjadi perang tanding diantara keduanya, Arimbi telah menyusul
dan mengatakan kepada Arimba bahwa itu adalah Bimasena, dan memohon agar
sang Prabu tidak membunuhnya.
Jeritan Arimbi yang melaranganya agar kakaknya tidak berperang kepada
Bimasena, justru membakar hati Arimba untuk segera menghabisi Bimasena.
Dengan tenaga yang berlebih, Arimba menerjang Bimasena. Sejenak kemudian
terjadilah perang tanding yang hebat.
Perang tanding yang dahsyat antara Bimasena dan Prabu Arimba
berlangsung dipinggiran hutan Waranawata, disaksikan oleh Arimbi dan para
perajurit pengawal dari Pringgandani. Dalam perang tersebut Prabu Arimba dan
Bimasena saling mengeluarkan kesaktiannya. Daya kesaktian diantara keduanya
sampai menimbulkan debu tanah yang bergulung-gulung, laksana awan mendung.
Beberapa kali terjadi suara ledakan keras, menggoncang beberapa ranting
pohonan yang berada disekitarnya. Akibatnya merontokan sebagian daun dan
ranting pohon di hutan tersebut.
Melihat pertempuran yang kian sengit, Arimbi semakin cemas. Keringat
dingin keluar dari sekujur tubuhnya. Ia kawatirkan jika salah satu diantaranya
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
256
PANDAWA KURAWA
cidera atau bahkan mati. Oleh karenanya tak henti-hentinya ia berteriak,
memohon agar peperangan dihentikan. Namun teriakan-teriakan Arimbi tak ada
yang menghiraukannya. Perang tanding terus berlangsung. Bahkan semakin
dahsyat.
Mereka yang menyaksikan terpaksa menjauhi arena perang tanding.
Kecuali Arimbi yang tidak mau beranjak dari tempat semula. Ia begitu dekat
dengan mereka yang berperang. Ia tidak mempedulikan dirinya sendiri. Ia lebih
mencemaskan yang sedang berperang tanding. Baik itu Arimba maupun
Bimasena.
Setelah peperangan berjalan beberapa lama, tiba-tiba Bimasena terlempar
keluar arena, dibarengi suara tawa yang menggelegar-glegar. Arimbi segera
mendekatinya, ditangisinya tubuh Bimasena yang tergeletak lemas di tanah. Ia
tahu bahwa tenaga Bima telah tersedot habis oleh ilmu andalan yang dimiliki
kakaknya.
Arimbi tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan terhadap Bima untuk
memulihkan tenaganya. Namun ia tidak tega membiarkannya tubuh Bimasena
tergeletak sendirian. Dikipasinya Bimasena yang pucat pasi tak sadarkan diri.
Arimba memandangi adiknya, yang sedang menunggui musuhnya dengan
setia. Ada rasa iba dihatinya. Adiknya memang benar benar jatuh cinta kepada
Bimasena. Disadarinya bahwa, ada kuasa dari atas yang menghendaki benih cinta
itu bersemi di hati adiknya, dengan tanpa dapat ditolaknya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
257
PANDAWA KURAWA
Diakui pula bahwa Bimasena bukan orang sembarangan. Tubuhnya yang
tinggi perkasa menjadi ideal jika berpasangan dengan raseksi Arimbi. Demikian
pula wajahnya dan kesaktiannya, pantaslah jika adiknya jatuh cinta pada
pandangan pertama.
Namun sayang, bagi Arimba pesona Bimasena tidaklah mampu menutup
luka batin karena gugurnya Ramanda Prabu Tremboko dari tangan Pandu.ayah
Bimasena. Masih tergambar jelas peristiwa puluhan tahun lalu, ketika
Pandudewanata yang kala itu menjadi raja di Hastinapura, mengirim surat
tantangan kepada Ramanda Prabu Tremboko. Pada hal yang ia ketahui bahwa,
Prabu Pandudewanata adalah sahabat Ramanda Prabu Temboko.
Walaupun Ramanda Prabu Arimba masih meragukan kebenaran surat
tantangan tersebut, Prabu Pandudewanata dan para perajurit terbaiknya telah
menggempur Pringgandani menyusul Patihnya, Gandamana yang lebih dahulu
menyerang Pringgandani.
Perang yang tidak jelas penyebabnya pun akhirnya terjadi. Dan bahkan
menjadi perang yang sangat hebat, antara dua negara besar yaitu Hastinapura dan
Pringgandani. Dalam catatan sejarah perang besar tersebut dinamakan dengan
Perang Pamukswa.
Di dalam perang Pamukswa itulah Rama Prabu Tremboko Gugur di
tangan Pandudewanata. Aku sangat terpukul karenanya. Sebagai anak tertua aku
harus bertanggungjawab atas kerusakan bangunan negara Pringgandani, serta para
perajurit yang tercerai berai dan menjadi korban. Dalam kondisi yang belum siap,
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
258
PANDAWA KURAWA
sembari melakukan pembenahan di sana-sini, Ibunda Ratu menyarankan agar aku
menduduki tahta Pringgandani.
Maka tidak lama dari waktu gugurnya Prabu Tremboko, aku naik tahta
disaksikan oleh seluruh kekuatan Pringgandani yang masih tersisa. Dalam acara
resmi penobatanku, aku berjanji akan mengadakan perhitungan dengan
Pandudewanata. Tepuk tanganpun bergemuruh mendukung tekadku.
Kini aku telah berhadapan dan berperang tanding dengan keturunan
Pandu, dan sekarang ia dalam tak berdaya dihadapanku. Jika aku berniat
membunuhnya, ibaratnya tinggal membalikan tangan. Tetapi aku tidak mau
melakukannya. Karena jika aku lakukan, artinya aku tidak berwatak kesatria.
Walaupun wujudku adalah raksasa, di dalam hatiku telah terpatri watak kesatria
yang diajarkan dan diteladankan oleh Ramanda Prabu Tremboko. Maka aku akan
menunggu kekuatan Bimasena pulih, dan kembali bertanding denganku.
Bimasena anak nomor dua yang lahir dari Ibunda Kunthi tersebut
sesungguhnya bukanlah anak Pandudewanata. Ia adalah anak dari Dewa Bayu.
Dewa yang berkuasa atas angin. Berkaitan dengan hal tersebut, secara tidak
sengaja apa yang dilakukan oleh Arimbi untuk memulihkan tenaga Bimasena
dengan cara dikipasi adalah tepat. Karena melalui angin yang menerpa wajah
Bima, Dewa Bayu telah membelai putranya dan memulihkan tenaganya.
Maka sebentar kemudian, setelah Arimbi mengipasi Bima, kekuatannya
pulih kembali seperti semula, dan bahkan menjadi semakin segar. Bimasena
kemudian meloncat untuk menghampiri Prabu Arimba.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
259
PANDAWA KURAWA
Berkat pertolongan Arimbi tubuh Bima yang lunglai karena tersedot oleh
ilmu Arimba telah pulih kembali. Ia bangun dan menghampiri Arimba. Kini
keduanya siap melanjutkan perang tanding. Sebentar kemudian perang tanding
babak kedua terjadi. Lagi-lagi tenaga Bima cepat menyusut, sedangkan tenaga
Arimba malah semakin bertambah.
Arimbi dapat memahami apa yang dilakukan Arimba kakanya, bahwa
untuk menghadapi lawan setangguh Bima tiada pilihan lain kecuali mengeluarkan
ilmu andalan Pringgandani yang khusus diwariskan kepada pemegang tahta. Ilmu
andalan tersebut mempunyai daya sedot tenaga lawan. Proses penyedotan
berlangsung pada saat terjadi benturan badan. Maka semakin sering dan semakin
cepat badan beradu, akan semakin cepat pula tenaga tersedot.
Demikian yang terjadi pada diri Bima, tenaganya cepat menyusut tanpa
diketahui penyebabnya. Hanya beberapa saat setelah perang tanding babak ke dua
berlangsung, Bima sudah kehabisan tenaga. Ia tak mampu lagi melanjutkan
perang tanding. Ia heran dengan apa yang terjadi pada dirinya. Semakin ia
bernafsu melumpuhkan lawannya, semakin cepat tenaganya hilang.
Kesedihan menggumpal di hati Bima. Sedhih bukan karena ia takut kalah
dan takut mati, melainkan ia meratapi mengapa dirinya tidak mampu berbuat
banyak.
Dengan tenaga yang masih tersisa, ia mencoba berteriak memberi khabar
kepada Ibu dan saudara-saudaranya, untuk pamit mati. Namun dikarenakan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
260
PANDAWA KURAWA
tenaganya sangat lemah, tidak ada teriakan, yang ada adalah rintihan kekalahan
yang hampir tak terdengar.
“Ibu Kunthi aku kalah. Aku pamit mati. Anakmu tidak berdaya, tidak
dapat berbuat apa-apa lagi. Kunthi Ibuku aku mohon ampun, Punta kakakku dan
adik-adikku maafkan aku.”
Matahari di ujung kulon semakin redup sinarnya. Sebentar lagi ia akan
masuk keperaduan. Seakan-akan ia sengaja meninggalkan Bimasena karena tak
sampai hati melihat orang terkuat di Pandhawa itu jatuh dalam ketidak berdayaan.
Sementara itu, Arimba yang melihat Bima tidak berdaya, hanya tertawa
ringan. Ia tidak melakukan tindakan apapun juga terhadap lawannya yang sudah
tidak berdaya. Arimba masih mencoba menghidupi jiwa kesatrianya, seperti yang
diteladankan ayahnya Prabu Tremboko. Ia meninggalkan musuhnya dalam
ketidak berdayaan, untuk memberi kesempatan memulihkan tenaganya.
Malam merambat pelan, sayup-sayup terdengar kidung pilu ditengah
gulitanya hutan. Kunthi Puntadewa, Arjuna dan si kembar Nakula Sadewa berada
dalam kecemasan. Mereka menanti Bima yang tak kunjung datang. Arjuna diutus
menerobos lebatnya pepohonan dalam malam yang pekat, untuk menemukan
Bima.
Pada waktu yang bersamaan dengan usaha Arjuna mencari Bima. Arimbi
mendekati Bima dengan hati-hati. Disadarinya bahwa Bima tidak menyukai
dirinya, membenci raut mukanya yang berparas raseksi. Namun Arimbi tahu
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
261
PANDAWA KURAWA
bahwa Bima tak kuasa mengusirnya atau bahkan meninggalkan dirinya. Seperti
ketika dikipasi dengan daun jati, Bima hanya pasrah.
Setelah berada disamping Bima, Arimbi melakukan hal yang sama, seperti
yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu mengipasi wajah Bima. Karena dengan
cara demikian tenaga Bima cepat pulih. Walaupun Arimbi heran, mengapa
semudah dan secepat itu tenaga Bima pulih, ia tidak menemukan jawabannya.
Tidak seorangpun tahu kecuali Bima, bahwa pada saat Arimbi meniupkan
anginnya ke wajah Bima melalui kipas, Dewa Bayu, datang bersamaan semilirnya
angin malam, mengusap tubuh Bima sehingga menjadi kuat dan segar.
Bima segera meloncat berdiri dan siap untuk bertempur. Namun hari telah
gelap, dan Arimba musuhnya tidak ada di depannya, yang ada hanyalah Arimbi si
raseksi yang ia benci. Segeralah Bima meninggalkan tempat itu untuk
menghindari Arimbi yang menjijikan.
Bima ingin menemui Kunthi dan saudara-saudaranya, sembari menunggu
mentari pagi untuk meneruskan perang tanding melawan Arimba. Disepanjang
langkahnya, Bima mencoba mengingat-ngingat apa yang terjadi pada saat
berperang tanding melawan Arimba? Ia heran mengapa tenaganya cepat menjadi
susut? Namun Bima tidak menemukan jawabannya.
Belum jauh Bima meninggalkan Arimbi yang diam tak bergerak,
bertemulah ia dengan Arjuna adiknya, keduanya berlangkulan lega. Untuk
kemudian bersama-sama menuju ke tempat Ibu Kunthi dan saudara-saudaranya
berada.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
262
PANDAWA KURAWA
Diwaktu yang sama Arimbi menemui kakaknya Prabu Arimba di kemah
pinggir hutan.
“Kakanda Prabu, tidak lebih baikkah jika Kakanda berdamai dengan
Bimasena.?” Prabu Arimba tidak segera menjawab. Hatinya sesak dan marah
terhadap pertanyaan Arimbi. Bukankah adiknya tahu bahwa ketika upacara
wisuda raja, aku bersumpah dihadapan rakyat Pringgandani, bahwa aku akan
menagih hutang nyawa kepada Pandudewanata.
“Aku masih ingat, pada waktu penobatan raja, Kakanda berjanji akan
mengadakan perhitungan hanya dengan Pandudewanata, tidak kepada anak-
anaknya. Bimasena adalah anaknya. Ia tidak berdosa, berdamailah dengannya
Kakanda”
Benar juga kata Arimbi. Bima tidak bersalah, ayahnya yang bersalah.
Tetapi ayahnya sudah meninggal. Tidak mungkin mengadakan perhitungan
dengan orang yang sudah mati. Yang mungkin dilakukan adalah mengadakan
perhitungan dengan yang masih hidup. Dan wajarlah jika kesalahan dan dosa
orang tuanya ditimpakan kepada anaknya. Seperti halnya kepopuleran,
kehormatan dan nama baik orang tua, anaknyalah yang ikut merasakan
keuntungannya.
“Arimbi aku sudah bersumpah akan mengadakan perhitungan dengan
Pandudewanata. Dengan darahnya yang masih mengalir di dalam pribadi anak-
anaknya. Jika engkau lebih menyayangi Bimasena, berpihaklah kepadanya dan
lawanlah aku.”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
263
PANDAWA KURAWA
Arimbi menangis. Ia tidak dapat memilih diantara ke duanya. Ia
menghormati dan mencintai Arimba sebagai pengganti orang tuanya. Tetapi ia
jatuh cinta kepada Bimasena.
Arimba habis kesabarannya. Adik yang sesungguhnya ia cintai tersebut
diusir dari hadapannya. Dengan terisak Arimbi meninggalkan Arimba. Arimba
menatap kepergian Arimbi dengan dingin. Hingga gelap malam menelan
bayangnya.
Tatkala pagi tiba, Arimbi sudah berada di halaman rumah kayu tempat
Kunthi dan ke lima anaknya tinggal. Bima menampakan wajah gelap. Tidak
senang atas kehadiran Arimbi. Maka kemudian Arimbi diusirnya. Kunthi merasa
kasihan kepada Arimbi.
“Sena anakku, jangan memperlakukan sesamamu tidak dengan hormat dan
merendahkan martabatnya. Kalau pun engkau tidak senang jangan begitu
caranya.”
“Ibunda, sejak awal aku sudah mengatakan tidak senang, tetapi ia selalu
membuatku risih dan jijik.”
Memang akhirnya Kunthi dapat ikut merasakan apa yang dirasakan Bima,
maka disarankannya agar Arimbi untuk sementara menjauhi tempat itu.
Matahari belum begitu tinggi.Prabu Arimba bergegas mendatangi
Bimasena untuk segera membinasakan.anak-anak Pandu. Gara-gara Arimbi,
perang tak kunjung usai. Maka kali ini naluri raksasanya lebih diberi tempat jika
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
264
PANDAWA KURAWA
dibandingkan dengan sifat kesatrianya. Dengan keganasannya ia ingin secepatnya
membinasakan semua keturunan Pandu sebelum matahari sepenggalah.
Bima cukup terkejut dan belum siap mendapat serangan mendadak dari
Prabu Arimba. Beruntung ia masih sempat menghindar kesamping dan
menusukkan Kuku Pancanaka ke dada Prabu Arimba. Namun dada tersebut
sangat ulet, tidak mampu ditembus Kuku Pancanaka. Arimba tak mau melepaskan
lawannya, segera ia menyusul dengan serangan berikutnya
Perang dahsyatpun terjadi lagi. Mereka saling serang dan masing-masing
berusaha untuk menjatuhkan lawannya. Kunthi, Puntadewa, Harjuna, Nakula dan
Sadewa, termasuk juga Arimbi cemas dibuatnya. Sedangkan para pengawal
Pringgandani. Tenang-tenang saja. Bahkan sesekali diantara mereka melempar
senyum ejekan kepada kubu Bimasena.
Arimba mulai mengetrapkan ajian andalannya, maka setahap demi setahap
tenaga Bima tersedot. Semakin banyak tenaga yang dikeluarkan semakin banyak
pula tenaga yang tersedot.
Perang tanding antara Prabu Arimba dan Bimasena tidak banyak
mengalami perubahan dibandingkan perang tanding sebelumnya. Ketika Prabu
Arimba mulai mengetrapkan ajian andalanya yang dapat menyedot tenaga lawan,
maka kekuatan Bimasena susut dengan cepat. Tidak hanya itu, selain dapat
menyedot tenaga lawan, ajian andalan Prabu Arimba menjadikan kulitnya alot
seperti janget, tidak luka oleh segala macam senjata tajam, termasuk juga kuku
Pancanaka.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
265
PANDAWA KURAWA
Bima menyadari bahwa lawannya mulai mengetrapkan ajian andalannya,
yang dapat mencuri tenaga lawan dengan tidak diketahui dan dirasakan oleh
lawannya. Dua kali Bima menjadi korban ajian tersebut, sehingga ia kehabisan
tenaga di peperangan. Untunglah, pada saat itu Arimba tidak mengabiskan Bima
pada saat Bima tak berdaya. Namun untuk perang tanding yang ke tiga ini, jauh
berbeda dengan perang tanding sebelumnya. Prabu Arimba tidak lagi
menampakkan sifat kesatrianya, tetapi menonjolkan naluri raksasa yang ganas.
Sepak terjangnya tidak lagi tenang dan mantap, tetapi kasar dan nagwur. Maka
jika kali ini Bima sampai kehabisan tenaga di peperangan, pastilah Arimba akan
melumatkannya. Bima tidak mau jatuh di peperangan melawan Arimba untuk ke
tiga kalinya. Oleh karenanya Bima telah mempelajari bagaimana cara menghadapi
ilmu andalan Prabu Arimba, yaitu dengan mengurangi sentuhan langsung dengan
badan Arimba. Terlebih pada saat mengeluarkan tenaga besar, karena tenaga yang
akan tersedot juga besar.
Selain mengurangi benturan langsung, Bima mengetrapkan ajian
Angkusprana, angkus artinya kait dan prana artinya nafas atau angin. Dengan
mengetrapkan aji angkusprana, Bima dapat mengkait dan menghimpun kekuatan
angin dari Sembilan saudara tunggal bayu termasuk dirinya, yaitu: Dewa Bayu,
Dewa Ruci, Anoman, Wil Jajagwreka, Gajah Situbanda, Naga Kuwara, Garuda
Mahambira, dan Begawan Mainaka. Sembilan kekuatan angin yang dihimpun
menjadi satu, membuat tenaga Bima mampu bertahan dan mengimbangi aji
andalan Arimba. Sehingga perang tanding semakin panjang dan rame. Namun
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
266
PANDAWA KURAWA
satu hal yang menggelisahkan Bima, bahwa Prabu Arimba tidak dapat luka oleh
kuku pusaka Bimasena.
Menjelang tengah hari, Prabu Arimba meningkatkan serangannya dan
sangat berambisi untuk segera menghabisi Bima. Bima kesulitan membendung
serangannya dan mulai terdesak. Hantaman, tendangan dan gigitan acap kali
menghampiri tubuh Bima. Hingga pada akhirnya Prabu Arimba berhasil
menguasai Bimasena. Pada saat Bima akan dihabisi, tepat matahari bertahta pada
puncaknya, Arimbi berteriak nyaring
“Bima! Tusuk pusarnya!!”
Keduanya sama-sama terkejut. Arimba memandang adiknya dengan
ekspresi kemarahan. Jahanam Arimbi! Engkau bocorkan titik kelemahanku.
Sehabis hatinya mengumpat adiknya, Arimba memandang ke langit, kearah
matahari yang persis berada di atas kepalanya. Pada saat itulah, Bima yang berada
dalam cengkeramannya memanfaatkan kesempatan. Kuku ditangan Bima modot,
muncul keluar dan segeralah ditusukkan di pusar Arimba. Raja raksasa sebesar
anak gunung menggerang keras.. Bima kemudian menarik kukunya dan menjauhi
lawannya.
Pusar Arimba menganga karena luka. Ia berjalan sempoyongan mendekati
Arimbi adiknya. Bumi bergetar-getar karena langkahnya yang berat. Arimbi
sangat kecemasan. Ia menanti dan pasrah apa yang akan dilakukan kakaknya,
untuk menebus kesalahannya. Kunthi juga mencemaskan keselamatan Arimbi dan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
267
PANDAWA KURAWA
memberi isyarat kepada Arjuna untuk waspada. Semua mata tertuju kepada
Arimba yang semakin gontai mendekati Arimbi.
Ketika tepat berada di depan Arimbi, raja Raksasa yang tinggi besar
tersebut jatuh bertumpu pada dua tangan dan lututnya. Dugaan mereka yang
mengamati peristiwa itu meleset. Prabu Arimba tidak menumpahkan
kemarahannya kepada Arimbi. Dengan nada berat dan patah-patah ia berpesan
kepada Arimbi, untuk menitipkan Negara Pringgandani dan merestui
hubungannya dengan Bima yang sakti perkasa dan kesatria.
Tangis Arimbi memecah hutan Waranawata, mengiring gugurnya
Kakanda Prabu Arimba, pengganti orang tuanya yang ia hormati dan cintai.
Arimbi sangat bersedih, dirinya merasa berdosa, atas kepergian Kakanda Arimba
ke alam keabadian
Siang hari itu, di saat matahari sedikit bergeser dari puncaknya, para
pengawal Pringgandani membawa pulang rajanya yang sudah tidak bernyawa.
Mereka tidak berani mengganggu Arimbi yang telah diwarisi kekuasaan Negara
Pringgandani secara lesan oleh Prabu Arimba.
Sepeninggalnya para pengawal Pringgandani, Kunthi mendekati Arimbi,
yang telah menyelamatkan nyawa Bimasena dan saudara-saudaranya. Sebagai
tanda terimakasihnya, Kunthi membisikan mantra sakti ditelinganya. Dengan
sepenuh hati Arimbi mendengarkan dan mngucapkan apa yang dibisikan Kunthi.
Sebentar kemudian keajaiban terjadi, Arimbi si raseksi perempuan
berubah menjadi putri cantik, berkulit kuning langsat dengan postur tubuh yang
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
268
PANDAWA KURAWA
tinggi besar. Naluri lelaki Bima terpana, ia mendekati Arimbi dan Arimbi pun
segera menghaturkan sembah.
Semua mata memandang keduanya, dalam hati mereka berkata sungguh
mereka adalah pasangan yang pantas dan ideal.
Bima menundukkan kepalanya untuk menatap Arimbi yang bersimpuh
menyembah dan memeluk kaki Bima. Raseksi Arimbi yang sudah menjelma
menjadi seorang wanita nan cantik menawan mampu membuat Bima terpana. Jika
menuruti nalurinya sebagai lelaki, Bima ingin membungkuk, memegang ke dua
pundak Arimbi untuk diangkatnya dan kemudian dipeluknya erat-erat, agar
payudaranya menghangatkan dadanya. Jika hal itu yang dilakukan, dapat
dipastikan bahwa Arimbi bakal menyambut hangat pelukan Bima. Dikarenakan
Arimbilah yang pada awal mula jatuh cinta kepada Bima.
Namun gejolak keinginan Bima tidak dengan serta merta dituruti. Sebagai
seorang kesatria Bima berusaha untuk menjaga citranya. Maka dibiarkannya
tangan Arimbi memeluk kakinya. Tidak seperti sebelumnya ketika masih berujud
rakseksi, Bima merasa jijik dan selalu menghindari Arimbi.
Kunthi, Puntadewa, Arjuna, Nakula dan Sadewa memandangi keduanya
dengan perasaan senang. Dalam hati mereka sepakat bahwa pasangan Bimasena
dan Arimbi merupakan pasangan yang serasi. Mereka juga bersyukur karena
Bimasena tidak lagi membenci Arimbi yang telah banyak membatu Kunthi dan
para Pandawa.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
269
PANDAWA KURAWA
Arimbi merasa lega karena sembahnya diterima Bima. Titik terang mulai
memancarkan harapan bahwa cinta Arimbi bakal diterima Bima. Ketika harapan
mulai terbuka, Arimbi memberanikan diri untuk maju selangkah lagi dengan
melakukan ngaras pada yaitu mencium kaki Bima. Ketika bibir Arimbi
menyentuh kaki Bima, seluruh tubuh Bima bergetar, terutama detak jantungnya
yang berdetak semakin cepat. Untuk menormalkan kembali detak jauntungnya,
Bima memegang kedua pundak Arimbi, untuk di tarik ke atas, agar bibir yang
basah bak delima merekah tidak lagi menempel dikaki Bima. Arimbi menuruti
pundaknya diangkat Bima untuk berdiri berhadapan dengan Bima. Ke dua pasang
mata saling menatap. Entah apa yang terbaca di palung hati mereka yang
terdalam.
Hari-hari selanjutnya, Arimbi mengikuti penggembaraan Kunthi dan
Pandawa di hutan Waranawata. Hubungan Arimbi dan Bima semakin intim.
Kunthi mencoba membaca perasaan anak-anaknya selain Bima, terutama
Puntadewa, apakah ada sesuatu yang mengganjal dihatinya melihat semakin
dekatnya hubungan Bima dan Arimbi.
Untuk memastikannya Kunthi menemui Puntadewa secara khusus.
“Puntadewa anakku, seperti yang kita lihat bersama bahwa pertemuannya
Bima dan Arimbi bukan aku yang merencana. Demikian kedekatan mereka yang
semakin dekat bukan pula karena aku.”
“Aku paham Ibunda Kunthi, bahwa semuanya itu telah diatur oleh Sang
Hyang Widiwasa”
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
270
PANDAWA KURAWA
“Jika demikian tentunya engkau sebagai saudara sulung rela dan ikhlas
seandainya adikmu Bima akan mempunyai dua isteri.”
“Sungguh Ibunda Kunthi aku rela dan ikhlas.”
Kunthi lega mendengar pernyataan Puntadewa, walaupun dibalik kelegaan
ada rasa kasihan terhadap Puntadewa.
Hari berikutnya seluruh anggota keluarga termasuk Arimbi dikumpulkan
oleh Kunthi. Hal tersebut dilakukan demi membicarakan hubungan Bima dan
Arimbi. Pada kesempatan tersebut Kunthi menghendaki agar hubungan antara
Bima dan Arimbi diresmikan menjadi suami isteri. Mengingat bahwa diantara
keduanya telah terjalin benang asmara yang sedang bertumbuh, saling mengikat
dan saling membutuhkan, sehingga jika dipisahkan akan melukai keduanya.
Semua saudara Bima menyetujui kehendak ibu Kunthi. Maka segera
setelah memilih hari yang baik bagi pasangan Bima dan Arimbi, mereka
diresmikan sebagai suami isteri dengan selamatan yang sederhana.
Perkawinan Bima dengan Arimbi yang adalah bangsa raksasa menyusul
perkawian Bima dengan Nagagini yang adalah bangsa ular merupakan wujud
bahwa Pandawa Lima bisa manjing ajur ajer, luluh menjadi satu dengan semua
golongan manusia. Bima kesatria yang gagah perkasa patuh, sederhana, berani,
sakti, dan jujur memang pantas menjadi idaman banyak wanita. Oleh karena
kejujuran dan kesederhanaannya Bima tak pernah berpikir yang macam-macam,
tak pernah menolak dengan apa yang memang sudah menjadi tugasnya dan
kewajibannya.. Hidup ini dijalaninya dengan apa adanya, mung saderma nglakoni
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
271
PANDAWA KURAWA
hanya sebatas menjalani saja, karena sudah ada yang mengatur. Bagaikan air,
Bima mengalir begitu saja sesuai dengan kehendaknya. Oleh karenanya ketika
dipertemukan dengan Arimbi yang cantik Bima tak kuasa menolaknya.
Dengan pemahaman tersebut Bima tidak merasa bersikap kurang ajar
terhadap Puntadewa kakaknya yang telah dua kali dilangkahi. Bima juga tidak
merasa mengkianati Nagagini pada saat ia bercengkerama dengan Arimbi.
Sedangkan dipihak Arimbi Bima adalah segalanya. Hidup bersanding
dengan Bima ibarat kejatuhan bulan di saat purnama, mendapat keberuntungan
penuh. Oleh karenanya Arimbi tega mengorbankan Arimba Kakaknya demi
cintanya kepada Bima.
Namun walaupun Arimbi telah bahagia bersanding dengan pujaan hati,
hatinya sedih juga saat mengingat gugurnya Arimba yang sangat menyayangi
dirinya. Sesungguhnya Arimbi tidak rela kalau dianggap membunuh kakanya
melalui kekasihnya. Yang dilakukan adalah membela yang lemah tak berdaya.
Jika akhirnya yang terjadi adalah kematian Kakaknya, itu sungguh diluar
perhitungannya. Arimbi tahu bahwa jika Prabu Arimba ditusuk pusarnya ia akan
lemas untuk sementara sehingga Bima dapat melepaskan cengkeramannya.
Namun ia tidak tahu bahwa pada saat Arimbi berteriak “tusuk pusarnya” tepat
pada saat bedug tengange, saat mata hari berada persis dipuncak ketinggian. Saat
itulah kulit Arimba menjadi lunak seperti gethuk dan dengan mudah dikoyak
dengan benda tajam. Dengan pembenaran tersebut Arimbi memperoleh
keringanan beban hatinya.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
272
PANDAWA KURAWA
Beberapa bulan berlalu, Bima dan Arimbi menjalani masa bualan madu.
“Kakanda Bima aku sunguh bahagia karena benih dari buah cinta kita
berdua telah tumbuh di rahimku. Aku mendambakan anak laki-laki, agar nantinya
dapat mewarisi Negara Pringgondani. Apakah Kanda Bima setuju?” Tanya
Arimbi manja. Bima menganguk-angguk sembari membetulkan posisi duduknya,
agar Arimbi tidak jatuh dari pangkuannya. Angin hutan meniup perlahan
mengusap sekujur tubuh mereka yang berpasihan.
Karena keinginan Arimbi yang ingi kembali ke Pringgodani. Bima
mengikutinya. Arimbi dan Bima meninggalkan hutan Kamiyaka menuju Negara
Pringgandani. Arimbi yang sudah menjelma menjadi seorang putri cantik tinggi
perkasa adalah seorang putri raja yang bakal menggantikan Arimba kakaknya
menjadi raja di Pringgandani. Maka tidak mengherankan jika Arimbi mempunyai
berbagai ilmu tingkat tinggi, salah satunya adalah ilmu meringankan tubuh.
Sehingga ia bisa terbang tanpa menggunakan sayap.
Demikian juga Bima pasangannya walaupun badannya besar perkasa, ia
mempunyai ilmu Angkusprana yang dapat menghimpun kekuatan angin dari
Sembilan saudara tunggal bayu termasuk dirinya, yaitu: Dewa Bayu, Dewa Ruci,
Anoman, Wil Jajagwreka, Gajah Situbanda, Naga Kuwara, Garuda Mahambira,
dan Begawan Mainaka. Sembilan kekuatan angin tersebut membuat Bima dapat
melompat sangat jauh seperti terbang. Sehingga dua sejoli itu laksana dua burung
garuda perkasa terbang membelah langit biru.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
273
PANDAWA KURAWA
Sekejap kemudian mereka telah menginjakan kakinya di Negara
Pringgandani. Arimbi mengamati suasana Kraton Pringgandani tempat ia lahir
dan dibesarkan. Suasana duka atas meninggalnya Prabu Arimba masih nampak
pada pemasangan bendera, umbul-umbul dan rontek. Arimbi merasa berdosa,
karena gara-gara dialah Prabu Arimba gugur di tangan Bima. Selagi merenung
dalam kesedihan, Prajurit jaga menghentikan langkah Arimbi dan Bima di pintu
gerbang utama bagian luar kraton. Arimbi menjelaskan bahwa dia adalah Arimbi
raseksi yang sudah menjadi putri berkat pertolongan Kunthi ibu Bima. Oleh
karenanya Arimbi minta jalan mau masuk kraton menemui adik-adiknya. Namun
penjelasan Arimbi tidak dengan serta merta dipercaya oleh prajurit jaga. Karena
menurut aturan bagi orang asing yang ingin memasuki wilayah inti kraton harus
tinggal beberapa waktu di bilik panganti untuk diperiksa oleh beberapa petugas
yang ada. Namun Arimbi tidak mau melakukannya. Bahkan Arimbi menjadi
jengkel atas sikap para perajurit jaga yang sudah tidak mengenalnya lagi dan
besikeras menahannya.
Sebagai salah satu pewaris tahta Pringgandani, perlakuan prajurit jaga
sungguh menyakitkan. Arimbi dan Bima dipaksa memasuki bilik panganti untuk
diperiksa seperti yang diberlakukan bagi orang asing.
Kesabaran Arimbi tidak tersisa lagi. Prajurit jaga yang berlaku kasar
terhadap dirinya dilumpuhkan dalam sekejap. Melihat rekannya tersungkur tak
berdaya prajurit jaga yang lain mengepung Arimbi. Belum sempat mereka
bergerak, Arimbi mendahului menyerang mereka. Satu gebrakan sudah cukup
bagi Arimbi untuk melumpuhkan beberapa prajurit jaga sekaligus. Melihat
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
274
PANDAWA KURAWA
beberapa rekannya jatuh tak berdaya panglima jaga memerintahkan untuk
menutup pintu gerbang dan salah satu prajurit diperintahkan melapor kepada
Brajadenta, salah satu adik Arimbi. Sementara itu Panglima jaga mempersiapkan
prajuritnya yang masih tersisa untuk menjadi palang terakhir yang menghalangi
Arimbi dan Bima masuk gerbang utama.
Arimbi menoleh kepada Bima, untuk memohon persetujuan kepada
kekasihnya bagaimana sebaiknya yang dilakukan untuk menghadapi prajurit jaga
yang sudah siaga penuh. Bima menggelengkan kepala tanda tidak menyetujui
Arimbi melakukan kekerasan. Arimbi tersadar bahwa dirinya sudah bukan raseksi
lagi. Arimbi adalah seorang dewi yang cantik jelita. Ia menjadi malu kepada
dirinya sendiri dan juga malu kepada Bima. Bahkan dibalik itu ada rasa kawatir
jika Arimbi berperangai kembali sebagai raseksi Bima akan segera
meninggalkannya. Maka segeralah Arimbi menarik kembali amarahnya.
Ketika hatinya menjadi dingin, Arimbi diingatkan akan sebuah ilmu yang
menyatukan anak-anak Prabu Tremboko yaitu aji pamomong. Dengan ilmu
tersebut diantara anak-anak Tremboko dapat saling berhubungan saling
mengingatkan dan saling menjaga walaupun mereka tidak berada dalam satu
tempat. Sewaktu hidupnya, Prabu Tremboko menggunakan ajian pamomong
untuk menyatukan anak-anaknya, mengetahui keberadaannya dan untuk
melindunginya. Oleh karenannya Arimbi segera mengetrapkan aji pamomong
untuk mengabarkan keberadaannya kepada adik-adinya. Para prajurit jaga siaga
penuh mengira bahwa Arimbi sedang mempersiapkan serangannya. Namun lama
ditunggu dalam ketegangan serangan tak kunjung datang. Bahkan dari pintu
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
275
PANDAWA KURAWA
gerbang munculah adik-adik Arimbi mulai dari Prabakesa, Brajadenta,
Brajamusti, Brajawikalpa, Brajalamatan dan yang bungsu adalah Kala Bendana.
Mereka berhamburan menyambut Arimbi dengan gembira. Suasana berubah
menjadi haru. Para prajurit jaga ikut hanyut dalam keharuan. Walaupun Arimbi
sekarang sudah menjelma menjadi seorang dewi yang cantik jelita, mereka masih
mengenali Arimbi lewat aji pamomong. Keenam adik-adik Arimbi tak berkedip
dalam menatap Arimbi yang cantik. Terbayanglah diangan mereka, seorang raja
putri yang cantik menawan yang bakal memerintah Negara Pringgandani untuk
masa-masa yang akan datang.
Kedatangan Arimbi mengubah suasana duka menjadi gembira. Adik-adik
Arimbi dan rakyat pringgandani yang sebagian besar adalah bangsa raksasa, akan
terangkat derajatnya mempunyai pewaris tahta putri cantik bak bidadari
kahyangan.
Namun ketika Arimbi mengenalkan Bima sebagai suaminya, Barajadenta
dengan tegas menolak. Bima adalah musuh rakyat Pringgandani. Bima adalah
pembunuh Prabu Arimba, maka harus dilenyapkan.
Pernyataan Brajadenta dengan cepat merubah suasana haru dan gembira
menjadi tegang. Prajurit bersiaga kembali untuk mengamankan negara. Prabakesa,
Brajadenta, Brajamusti, Barajawikalpa dan Brajalamatan menantang Bima untuk
mengadakan perhitungan atas meninggalnya Prabu Arimba. Bima sebelumnya
sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya. Maka
dengan tenang Bima meladeni tantangan adik-adik Arimbi.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
276
PANDAWA KURAWA
Namun sebelum perang terjadi Arimbi mendekati Bima sambil berbisik,
“jangan lakukan kekerasan, Kakanda Bima.
Jika boleh memilih tentunya Arimbi akan memilh diantara Bima dan adik-
adiknya tidak perlu bertempur. Karena jika hal itu terjadi hati Arimbi akan
dihimpit rasa cemas dari dua penjuru, seperti yang pernah dirasakan ketika Bima
bertempur melawan Arimba. Disatu pihak Arimbi mencemaskan Bima suaminya,
dipihak yang lain Arimbi juga mengkawatirkan adik-adiknya. Namun apa boleh
buat, untuk menundukkan adik-adiknya tidak ada jalan lain kecuali bertempur.
Harapannya agar Bima dapat memenangkan pertempuran melawan adik-adiknya
dengan tidak menyisakan luka, baik luka di badan maupun luka di hati.
Dikarenakan tidak ada pilihan lain Bima pun meladeni tantangan adik-adik
Arimbi. Dengan melangkah tenang namun berat Bima mendekati Brajadenta yang
dipandang sebagai pimpinan diantara mereka. Sebelum Bima mendekat semakin
dekat, Brajadenta telah memberi aba-aba kepada keempat adiknya untuk
menyerang Bima secara serentak. Maka sebentar kemudian terjadilah pertempuran
sengit. Bima dikeroyok oleh adik-adik Arimbi, kecuali Kala Bendana yaitu
Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Brajawikalpa dan Brajalamatan.
Arimbi yang menyaksikan pertempuran itu menilai bahwa pertempuran
bakal berjalan seru dan dahsyat. Karena masing-masing dari mereka mempunyai
ilmu-ilmu tingkat tinggi. Namun jika dibandingkan dengan Bima ilmu-ilmu yang
dimiliki ke lima adik-adinya masih berada dibawahnya. Tetapi dikarenakan
kekuatan kelimanya bergabung menjadi satu maka akan sungguh merepotkan
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
277
PANDAWA KURAWA
Bima. Walaupun Bima merasakan bahwasannya tingkat ilmu adik-adik Arimbi
masih berada di bawah Arimba, tidak ada niat di hati Bima untuk menganggap
enteng serangan-serangan mereka. Bima selalu waspada menunggu serangan demi
serangan yang dilancarkan adik-adik Arimbi jurus demi jurus secara bergantian.
Bahkan kadang kala putra-putra Pringgandani tersebut melakukan serangan secara
serentak. Menghadapi serangan beruntun Bima lebih memilih menunggu serangan
dari pada mengambil inisiatif menyerang. Hal tersebut dilakukan karena Bima
tidak berniat untuk menyakiti adik-adik Arimbi, seperti yang dibisikan Arimbi
sebelumnya.
Setelah pertempuran berjalan cukup lama, adik-adik Arimbi yang pada
mulanya membenci Bima sebagai seorang pembunuh Kakak Arimba, perlahan-
lahan mulai mempertanyakan kebencian itu. Benarkah Bima seorang pembunuh
yang kejam dan wajib dibenci dan dimusnahkan? Pertanyaan-pertanyaan itu
muncul setelah mereka merasakan bahwa perilaku Bima tidak seperti yang
dibayangkan sebelumnya yaitu ganas dan kejam. Pada kenyataannya Bima adalah
seorang kesatria sejati yang penuh tatakrama juga ketika Bima berada di medan
laga. Dengan sifat Bima yang demikian dapat dimungkinkan bahwa gugurnya
Arimba di tangan Bima akibat dari pembelaan diri Bima menghadapi serangan
Prabu Arimba.
Watak ksatria yang melekat pada pribadi Bima telah mengusik watak
ksatria anak-anak Pringgandani yang dahulu pernah ditanamkan oleh Prabu
Tremboko. Dengan watak ksatria tersebut lalu munculah kesadaran bahwa ilmu
mereka masih berada di bawah ilmu Bima. Walaupun mereka telah mengeroyok
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
278
PANDAWA KURAWA
Bima, adik-adik Arimbi tersebut sulit untuk mengalahkannya. Bahkan kemudian
munculah rasa malu di hati mereka karena mengeroyok seseorang adalah
tindakkan yang jauh dari watak ksatria.
Oleh karenanya, seperti diberi aba-aba Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti,
Brajawikalpa dan Brajalamatan mengendorkan serangan, untuk kemudian
menghentikan serangan. Para prajurit jaga pada heran melihatnya. Apa yang
terjadi? Brajadenta dapat membaca apa yang diinginkan oleh keempat adiknya.
Untuk itulah maka kemudian Brajadenta melangkah mendekati Bima. Semua
mata mengarahkan pandangannya kepada sosok Brjadenta. Apa yang akan
diperbuat? Setelah tepat di depan Bima, Brajadenta berkata “Kami mengaku
kalah.”
Arimbi melonjak senang, tawaran damai yang dibawa Arimbi telah
diterima oleh adik-adiknya. Selanjutnya terjadilah pemandangan yang
mengharukan. Bima memeluk adik-adik Arimbi satu persatu. Mereka telah
menerima Bima sebagai bagian dari keluarganya, tidak sebagai musuhnya.
Dengan menghidupi watak ksatria, para putra Pringgandani yang berparas
rasaksa dapat ikhlas merelakan kematian Prabu Arimba dalam perang tading
melawan Bima. Mereka mengakui bahwa Bima memang seorang ksatria
keturunan trah Girisarangan yang sakti. Maka dari itu ada rasa bangga di hati
mereka ketika Bima telah menyunting Kakang Mbok Arimbi yang sudah menjadi
jelita, dan menjadi satu keluarga di Pringgandani.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
279
PANDAWA KURAWA
Dengan bergabungnya Bima di Pringgandani, para putra Pringgandani
optimis menatap masa depan negara Pringgandani. Karena pasangan Bima dan
Arimbi telah mampu menghidupi kembali watak ksatria yang telah diwariskan
oleh para pendahulunya, tat kala membangun dan mendirikan negara
Pringgandani. Karena dengan watak berani, bersih, jujur, dan tulus, yang menjadi
ciri khas watak seorang ksatria, negara Pringgandani telah menjadi besar. Dan
akan semakin besar dan jaya manakala nilai-nilai luhur yang telah diwariskan
akan dihidupi dalam menjalankan pemerintahan negara Pringgandani.
Waktu merambat pelan, untuk beberapa waktu Bima tinggal di
Pringgandani membantu dan mendampingi Arimbi dalam menata pemerintahan
yang telah beberapa waktu komplang tanpa raja. Seiring dengan penataan
kerajaan, kandungan Arimbi bertambah semakin besar. Ada secercah kebahagiaan
dan harapan yang berkaitan dengan bayi yang dikandung. Tangan Bima dan
Arimbi meraba lembut perut Arimbi dengan sebuah permohonan yang bulat dan
utuh, jadikanlah anak ini seorang raja ksatria yang membawa kejayaan negara
Pringgandani.
Suasana duka masih terasa sejak kepergian Raja besar Pringgandani untuk
selamanya. Prabu Arimba telah mempercayakan negara Pringgandani kepada
Arimbi. Senyum abadi yang ditinggalkan Prabu Arimba memberi semangat
optimisme untuk mewujudkan harapan akan kebesaran dan kejayaan Negara
Pringgandani.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
280
PANDAWA KURAWA
Berangsur-angsur mendung kesedihan yang menggelayut di langit
Pringgandani tersibak. Negara mulai tertata dan pulih kembali seperti sebelum
Prabu Arimba meninggal. Atas kesepakatan ke enam adik-adik Arimba, yang
terdiri dari Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Brajawikalpa, Brajalamatan dan
Kala Bendana, Arimbi sebagai saudara paling tua ditunjuk menggantikan Prabu
Arimba untuk menjalankan pemerintahan Pringgandani.
Beberapa bulan Bima menjalani hidup dengan Arimbi di Pringgandani.
Jika menuruti perasaan hatinya Bima ingin mendampingi Arimbi, setidak-
tidaknya sampai dengan kelahiran anak yang dikandung Arimbi. Namun hatinya
gundah juga mengingat bahwa Bima telah berjanji kepada Ibu Kunthi untuk tidak
meninggaklkan saudara-saudaranya terlalu lama. Kegundahan hati Bima
diungkapkan kepada Arimbi, dan disepakati untuk sementara waktu Bima kembali
menemui Ibu Kunthi dan saudara-saudaranya di hutan Kamiyaka. Dan jika sampai
pada saatnya bayi yang dikandung Arimbi lahir, Bima akan kembali ke
Pringgandani.
Tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama, Bima telah sampai di
hadapan Ibu dan saudara-saudaranya. Mendengar cerita bahwa pada akhirnya
Bima diterima sebagai saudara tua oleh adik-adik Arimbi dan menjadi bagian dari
Negara Pringgandani, Kunthi dan saudara-saudara Bima dipenuhi dengan rasa
sukacita.
Barata
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
281
PANDAWA KURAWA
Pagi itu udara sungguh cerah. Kehangatan sinar mentari mampu
menembus lebatnya dedaunan hutan Kamiyaka. Kunthi memandangi sepasang
burung prenjak yang berkicau bersautan, tak henti-hentinya. Kicau sepasang
burung Prenjak jantan dan betina tersebut selain membangkitkan suasana
keceriaan alam semesta juga dapat dibaca sebagai pertanda alam bagi manusia..
Jika sepasang burung Prenjak tersebut berkicau di arah barat rumah, itu pertanda
jelek, akan ada tamu yang mengajak bertengkar. Jika sepasang burung Prenjak
tersebut berkicau di arah Timur rumah, itu pertanda jelek juga, karena akan terjadi
kebakaran. Jika sepasang burung Prenjak berkicau mengitari rumah, itu pertanda
baik, akan mendapat rejeki dari jerih payahnya. Jika sepasang burung Prenjak,
berkicau bersautan di arah selatan rumah, itu pertanda baik, akan ada tamu
bangsawan yang berkendak baik. Jika sepasang burung Prenjak berkicau di arah
utara rumah, itu pertanda sangat baik, akan ada tamu seorang guru memberi
wangsit yang benar dan suci.
Benarkah akan ada tamu agung, seorang resi, pandita atau begawan yang
datang di Hutan Kamiyaka ini? Dengan menengarai sepasang burung Prenjak
yang tak henti-hentinya berkicau bersautan di sebelah utara rumah kayu ini. Jika
benar pertanda tersebut, Kunthi tidak bisa memperkirakan siapakah sesepuh yang
bakal datang. Karena selain Resi Bisma, Yamawidura, Begawan Abiyasa dan
Semar tidak ada lagi orang yang dianggap agung dan suci. Namun apakah
mungkin salah satu di antara empat orang agung tersebut datang ke Hutan
Kamiyaka ini?
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
282
PANDAWA KURAWA
Semenjak peristiwa bale sigala-gala, Kunthi dan anak-anaknya sengaja
mengasingkan diri menyamar sebagai orang sudra yang hidup menggembara dari
hutan ke hutan. Kunthi menitipkan pesan kepada Kanana abdi setia Yamawidura
yang berjasa membuat terowongan rahasia yang dipakai oleh Hyang Antaboga
dan Nagatamala untuk menyelamatkan Kunthi dan Pandawa dari peristiwa
Balesigala-gala. Pesan yang disampakai kepada Kanana adalah bahwa Kunthi dan
anak-anaknya janganlah dicari untuk diajak pulang ke Panggombakan. Biarlah
anak-anaknya terutama sikembar Nakula dan Sadewa melupakan trauma prahara
Balesigala-gala.
Matahari telah bergeser condong ke ujung kulon, pertanda hari telah
beranjak dari siang. Tamu agung yang dinanti Kunthi dalam hati belum juga
datang. Seperti biasanya, setelah panas matahari berkurang, Arjuna selalu
menyempatkan diri mengajari adiknya Nakula dan Sadewa untuk berolah senjata
panah. Sedangkan Kunthi, Puntadewa dan Bima melihat dari kejauhan. Mereka
cukup puas melihat kecerdasan dan ketrampilan Nakula dan Sadewa. Pada saat
Kunthi melupakan pertanda yang dikabarkan kicau sepasang burung Prenjak di
sebelah utara rumah, mendadak dari kejauhan, arah matahari tenggelam ada dua
orang yang datang dengan langkah ringan, Mereka adalah Begawan Abiyasa dan
pamomongnya yaitu Semar. Dapat dibayangkan betapa mengharukan pertemuan
itu. Setelah bertahun-tahun mereka tidak saling berjumpa, sekarang bertemu di
hutan yang kotor, beratap daun dan berlantai tanah. Namun satu hal yang
disyukuri bahwa mereka berjumpa dalam keadaan selamat dan sehat walafiat.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
283
PANDAWA KURAWA
Abiyasa adalah sosok mertua yang sangat dihormati Kunthi lebih dari
Prabu Basukunthi ayahnya sendiri. Oleh karena kedatangannya di Hutan
Kamiyaka yang tak dinyana sebelumnya sungguh membuat hati Kunthi dan para
Pandawa merasa tentram dan damai. Kunthi sangat terharu atas usaha panjang
yang dilakukan rama Begawan Abiyasa untuk menemukan dirinya dan anak-
anaknya. Tidak Nampak keletihan yang disandang pada kedua orang tua tersebut.
Wajahnya tetap ceria berwibawa dan suci.
Tentunya selain ingin mendapati menantu dan cucu-cucunya dalam
keadaan selamat, ada hal khusus dan penting yang ingin disampaikan oleh
Abiyasa dan Semar. Di ruang yang tidak begitu luas dengan diterangi oleh lampu
minyak Begawan Abiyasa menyampaikan beberapa hal khusus kepada Kunthi dan
Pandawa Lima.
“Kunthi dan cucuku Pandawa, semenjak peristiwa Balesigala-gala, Negara
Hastinapura mewartakan kabar resmi, bahwa Kunthi dan Pandawa Lima telah
mati terbakar, Hanya Yamawidura dan Kanana abdinya yang mengetahui keadaan
kalian yang sesungguhnya. Namun keadaan kalian yang selamat dari peristiwa
Balesigala-gala tidak diungkapkan oleh Yamawidura kepada Prabu Destarastra,
dengan pertimbangan, agar para Kurawa tidak memburu kalian untuk
dilenyapkan. Oleh karenanya aku sengaja tidak memanggil kalian untuk pulang di
Panggomabakan. Tetapi tanpa sepengetahuan kalian, aku telah mengutus Semar
untuk selalu memomong kalian dari kejauhan.
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
284
PANDAWA KURAWA
Namun saat ini adalah saat yang tepat untuk menunjukkan dirimu kepada
kawula Hastinapura dan para Kurawa bahwa Pandawa Lima selamat tidak kurang
sesuatu apa pun. Tentunya rakyat akan mengelu-elukanmu dengan gegap gempita.
Dan meyakini bahwa kalian adalah titah terpilih yang diutus dewa untuk memayu
hayuning bawana.
“Kebetulan saat ini dibuka sayembara memanah di Cempalaradya,” kata
Semar. “Bukankah ndara Arjuna adalah ahli panah yang mumpuni. Itu artinya
bahwa ndara Arjuna mendapat kesempatan emas untuk memenangkan sayembara.
Pada hal bagi siapa yang berhasil akan mendapatkan putri Prabu Durpada yang
bernama Durpadi.”
Barata
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
285
PANDAWA KURAWA
Nama : Hermawan
Alamat : Jln Menteri 4 Gg Sejahtera no 90 Martapura
Email : frenkygila@gmail.com
No : 082155969038
Bank : Mandiri syariah No rek : 7041610427 an Banjarbaru Kalimatan Selatan
Saya dulu lulusan SMK Muh Prambanan Yogyakarta tahun 2008. Pernah
disekolah SMP N 2 Prambanan. Sekarang masih kuliah di STKIP – PGRI
Banjarmasin jurusan Matematika. Saya ini bukan siapa – siapa, saya menulis baru
AWAL PERTIKAIAN
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
286
PANDAWA KURAWA
kali pertama. Disini saya menulis hanya sebagai cara saya memperkenalkan
budaya Indonesia yang hampir tak di ingat oleh generasi muda, semangat ini saya
tunjukkan agar generasai muda tidak melupakan budaya sendiri. Agar kemajuan
suatu bangsa dapat bangkit sehebat negera lain didunia.
Recommended