View
356
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
UNIVERSITAS TRILOGIJL TMP. KALIBATA 01 – JAKARTA selatan
2014/2015
Dosen Pembimbing
Lestari Agusalim
Disusun Oleh :
UMI LAILATUL MASFUFAH
S1 EKONOMI PEMBANGUNAN
13103009
Perdagangan Luar Negeri
dan Neraca Pembayaran 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kebijaksanaan neraca pembayaran, sebagai bagian integral dari
kebijaksanaan pembangunan dan mempunyai peranan penting dalam
pemantapan stabilitas di bidang ekonomi, diarahkan guna mendorong
pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Kebijaksanaan neraca
pembayaran juga diarahkan agar tercapai perubahan fundamental dalam
struktur produksi dan perdagangan luar negeri sehingga dapat meningkatkan
ketahanan ekonomi Indonesia terhadap gejolak ekonomi dunia, seperti yang
digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.
Di bidang Perdagangan luar negeri, kebijaksanaan ditujukan untuk
meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri dalam negeri, menunjang
pengembangan ekspor nonmigas, memelihara kestabilan harga dan
penyediaan barang-barang yang dibutuhkan di dalam negeri serta menunjang
iklim usaha yang makin menarik bagi penanaman modal. Kebijaksanaan di
bidang pinjaman luar negeri, melengkapi kebutuhan pembiayaan
pembangunan di dalam negeri, diarahkan untuk menjaga kestabilan
perkembangan neraca pembayaran secara keseluruhan.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang terdapat pada makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana Perkembangan kebijakan perdaganga luar negeri pada tahun
1993/1994 s/d 1996/1997 ?
2. Bagaimana Perkembangan Neraca Pembayaran pada tahun 1993/1994 s/d
1996/1997?
Perdagangan Luar Negeri
dan Neraca Pembayaran 2
C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sekaligus menganalisa perkembangan kebijakan
perdagangan luar negeri secara terus menerus dari masa ke masa.
2. Untuk menganalisa perkembangan Neraca Pembayaran dari masa ke
masa.
Perdagangan Luar Negeri
dan Neraca Pembayaran 3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri
Kebijaksanaan di bidang perdagangan dan keuangan luar negeri
diarahkan sepenuhnya untuk mendukung pelaksanaan dan kelangsungan
pembangunan di dalam negeri. Memasuki tahun 1996/1997, perdagangan luar
negeri Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat. Melemahnya
pertumbuhan perdagangan dunia, munculnya tuduhan dumping terhadap
eksportir Indonesia, maraknya isu ecolabelling, dan meningkatnya persaingan
di antara negara-negara berkembang dalam mengekspor barang, telah
mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Di sisi lain, relatif rendahnya
tingkat efisiensi untuk memproduksi barang ekspor dan struktur ekspor yang
masih mengandalkan komoditas berasal dari sumber daya alam dan tenaga
kerja murah, serta belum memadainya fasilitas pelabuhan ekspor di luar Jawa
juga telah mempengaruhi perkembangan perdagangan luar negeri Indonesia.
Upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang
muncul selama pelaksanaan Repelita VI terus dilanjutkan. Berbeda dengan
tahun-tahun sebelumnya, kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang
diluncurkan dalam tahun 1996/97 tidak lagi mencakup seluruh bidang atau
sektor, namun dimungkinkan untuk meluncurkan di bidang atau sektor yang
telah siap untuk dideregulasi. Untuk itu, pada bulan Juni 1996 telah
dikeluarkan paket kebijaksanaan yang mencakup bidang ekspor, impor, dan
iklim usaha. Paket ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan ketahanan
ekonomi, menciptakan iklim berusaha yang kondusif, serta meningkatkan
daya saing produksi nasional di pasaran internasional.
Di bidang ekspor, kemudahan ekspor dan kemudahan pelayanan bagi
perusahaan eksportir terus dilanjutkan. Sejak Juni 1996, nilai barang ekspor
yang tidak perlu dilengkapi dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB)
dinaikkan dari maksimum sebesar Rp. 10 juta menjadi maksimum Rp. 100
Perdagangan Luar Negeri
dan Neraca Pembayaran 4
juta. Ketentuan mengenai pemeriksaan barang ekspor oleh surveyor telah
dicabut sehingga pemeriksaannya dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang
Kepabeanan. Selanjutnya dilakukan pula penyederhanaan persyaratan dan
prosedur untuk memperoleh Surat Keterangan Asal (SKA) barang ekspor
Indonesia. Jumlah pengaturan mengenai SKA dikurangi dari 31 macam
menjadi 4 macam, lampiran pendukung dokumen SKA dikurangi dari 4
macam menjadi 2 macam, instansi penerbit SKA ditambah menjadi 3 tempat,
dan pejabat yang berwenang menerbitkan SKA ditambah menjadi 3 pejabat.
Selain itu, diberikan pula kemudahan pelayanan kepabeanan, perpajakan, dan
perbankan bagi eksportir tertentu yang mengekspor tekstil dan produk tekstil,
alas kaki, barang elektronik, serta barang jadi dari kayu, rotan, dan produk
kulit.
Di bidang impor, paket Juni 1996 mencakup penghapusan dan
perubahan tarif bea masuk (BM) dan bea masuk tambahan (BMT),
penyederhanaan tata niaga impor, dan pembentukan komite anti dumping
Indonesia (KADI).
Guna memberikan kepastian berusaha dalam menentukan rencana
investasi dan rencana produksi, tarif bea masuk barang-barang tertentu
diturunkan sampai dengan tahun 2003 dengan jadwal sebagai berikut : (a)
untuk kelompok sasaran dengan tarif pada tahun 2000 setinggi-tingginya 5%,
pada tahun 1997 dan 1999 setiap tarif dikurangi 5% kecuali yang sudah
mencapai 5%; (b) untuk kelompok sasaran dengan tarif tahun 2003 setinggi-
tingginya 10%, pada tahun 1996, 1998, 2000, dan 2002 dikurangi 5%, kecuali
yang sudah mencapai 10%. Produk-produk yang dikecualikan dari
penjadwalan penurunan tarif bea masuk ini adalah produk pertanian, produk
otomotif, produk kimia, barang plastik dan logam, dan produk alkohol
sulingan dan minuman yang mengandung alkohol. Dengan adanya
penjadwalan tarif bea masuk tersebut, maka telah diturunkan tarif bea masuk
sebanyak 1.497 pos tarif dari 7.288 pos tarif yang ada.
Selanjutnya, dilakukan pula penurunan bea masuk atas 385 pos tarif
barang modal yang meliputi mesin penggerak kendaraan air (motor tempel),
Perdagangan Luar Negeri
dan Neraca Pembayaran 5
dapur api dan tungku industri atau laboratorium, serta mesin pengangkat,
pemindah, pemuat atau pembongkar yang dirancang untuk penggunaan di
bawah tanah. Sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan, bea masuk
tambahan dihapuskan sedangkan produk-produk yang impornya dipandang
masih perlu dibatasi dengan tarif yang meliputi 80 pos tarif, bea masuk
tambahan yang berlaku selama ini diakumulasikan ke dalam bea masuknya.
Sementara itu, dilakukan pula penyederhanaan tata niaga impor untuk
produk-produk kacang kedelai, mesin piston dan diesel, pompa displasemen,
motor dan generator listrik, serta traktor. Untuk produk-produk tersebut
yang semula impornya hanya dapat dilakukan oleh importir produsen (IP),
sejak Juni 1996 dapat dilakukan oleh importir umum (IU).
Untuk menghadapi praktek dumping dan sekaligus melindungi industri
dalam negeri, sejak Juni 1996 telah dikenakan bea masuk anti dumping bagi
barang impor dumping dan bea masuk imbalan bagi impor bersubsidi. Komite
Anti Dumping Indonesia (KADI) yang dibentuk bertugas untuk melakukan
penelitian dan penyelidikan terhadap dumping dan subsidi serta pengusulan
langkah-langkah yang diperlukan.
Di bidang iklim usaha, paket Juni 1996 mencakup penyeder- hanaan
perijinan bagi industri yang berlokasi di kawasan industri, penyelenggaraan
tempat penimbunan berikat dan gudang berikat, kelonggaran kegiatan impor
bagi perusahaan penanaman modal asing manufaktur, dan penyederhanaan
prosedur impor limbah untuk bahan baku industri. Bagi perusahaan-
perusahaan industri yang berlokasi di kawasan industri yang telah
memperoleh persetujuan penanaman modal asing dari Presiden, penanaman
modal dari BKPM, dan persetujuan prinsip atau ijin usaha dari instansi teknis
untuk perusahaan dalam rangka non PMA/PMDN, tidak diwajibkan memiliki
perijinan. Penyederhanaan perijinan ini ditujukan untuk pengembangan
industri yang berwawasan lingkungan sekaligus mendorong pemusatan
industri ke dalam kawasan industri yang sesuai dengan Rencana Umum Tata
Ruang.
Perdagangan Luar Negeri
dan Neraca Pembayaran 6
Di samping itu, dikeluarkan pula peraturan mengenai tempat
penimbunan berikat di daerah pabean dan penyelenggaraan kawasan berikat
serta gudang berikat oleh swasta. Selanjutnya untuk mendorong peningkatan
ekspor nonmigas dan perluasan lapangan kerja, bagi perusahaan PMA
manufaktur diberi ijin dengan syarat-syarat tertentu untuk mengimpor barang
komplementer dari perusa- haan afiliasinya di luar negeri, menjual hasil
produksinya di dalam negeri sampai tingkat penyalur, dan menjual barang
komplementer impor di pasar dalam negeri. Sedangkan penyederhanaan
prosedur impor limbah untuk bahan baku industri berupa penyempurnaan
prosedur dan uraian barang/pos tarif atas limbah yang dapat diimpor dan
melakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Kepabeanan yang berlaku.
Dalam rangka standarisasi mutu dan menangkal isu ecolabelling, pihak
swasta telah dihimbau untuk mendapatkan sertifikasi standar dalam skema
ISO-9000 dan ISO-14000. Di samping itu terus ditingkatkan kesiapan
lembaga surveyor dan kegiatan Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) yang
menyusun skema ekolabel untuk Indonesia yang mengacu pada standar teknis
ekolabel internasional.
Upaya lain yang ditempuh untuk mendorong peningkatan ekspor
nonmigas adalah dibentuknya Tim Pengkajian Strategi Ekspor (TIPSE).
Pembentukan TIPSE ditujukan untuk membantu unit-unit operasional yang
bertanggung jawab dalam melakukan diplomasi, promosi, dan fasilitasi
perdagangan dengan sasaran untuk mendorong ekspor nonmigas,
menyelesaikan berbagai hambatan perdagangan di negara tujuan ekspor, serta
meningkatkan kerjasama bilateral dengan mitra dagang. Selain itu, Tim ini
akan memberikan strategi penetrasi pasar tujuan ekspor yang tepat melalui
pendekatan wilayah dan pendekatan produk ekspor.
Untuk mendukung kemantapan neraca pembayaran dan kestabilan
moneter, pada bulan Maret 1997 dikeluarkan ketentuan baru mengenai
pinjaman komersial luar negeri (PKLN). Ketentuan baru ini mencakup antara
lain pengkaitan penerimaan PKLN dengan pembiayaan ekspor dan kewajiban
membayar terhadap pelanggaran ketentuan PKLN.
Perdagangan Luar Negeri
dan Neraca Pembayaran 7
Selanjutnya, dalam rangka kerjasama keuangan antara Indonesia
dengan negara-negara donor, Consultative Group for Indonesia (CGI), telah
mengadakan pertemuan ke lima di Paris pada bulan Juni 1996. Negara-negara
donor telah sepakat untuk memberikan komitmen pinjaman kepada
Indonesia sebesar US$5.260,3 juta yang terdiri dari sebesar US$2.563,6 juta
pinjaman bilateral dan US$2.696,7 juta pinjaman multilateral. Seperti tahun
sebelumnya, kebijaksanaan penggunaan pinjaman diarahkan antara lain
untuk pengembangan sumber daya manusia, pengembangan infrastruktur,
pengentasan kemiskinan dan pemerataan, dan pembangunan di bidang
pertanian.
2. Perkembangan Neraca Pembayaran
Perkembangan neraca pembayaran dalam tahun 1996/97 ditandai dengan
meningkatnya defisit transaksi berjalan, namun tetap dalam batas yang aman.
Peningkatan defisit transaksi berjalan terutama disebabkan oleh melambatnya
pertumbuhan ekspor non migas. Melambatnya kinerja ekspor tidak hanya
dialami oleh Indonesia saja, namun merupakan gejala regional dan juga
dialami oleh negara-negara kelompok emerging markets di Asia seperti Korea
Selatan, Taiwan, Thailand, dan Malaysia.
Dalam tahun 1996/97 nilai ekspor secara keseluruhan meningkat sebesar
9,0% dari US$47,8 miliar pada tahun 1995/96 menjadi US$52,0 miliar. Laju
pertumbuhan tersebut melambat dibandingkan dengan kenaikan sebesar
13,3% dalam tahun 1995/96. Melambatnya pertumbuhan ekspor dalam tahun
1996/97 ini terutama disebabkan melambatnya laju pertumbuhan ekspor
non migas dari 17,1% menjadi 5,7%. Sejalan dengan naiknya harga minyak
bumi di pasaran internasional, nilai ekspor minyak bumi dan gas alam cair
(LNG) termasuk gas minyak bumi cair (LPG) masing-masing meningkat dari
3,4% menjadi 15,1% dan dari -1,1% menjadi 28,7% (Tabel III-1 dan III-2).
Peranan ekspor non migas dalam nilai ekspor keseluruhan sedikit menurun
dari 77,8% dalam tahun 1995/96 menjadi 75,5% dalam tahun 1996/97.
Perdagangan Luar Negeri
dan Neraca Pembayaran 8
Sementara itu, dalam tahun 1996/97 nilai impor (f.o.b.) secara
keseluruhan pertumbuhannya melambat dibandingkan pertumbuhan tahun
sebelumnya yaitu dari 21,6% menjadi 10,4% (Tabel III-1 dan III-3).
Perlambatan laju pertumbuhan impor ini terutama berasal dari melambatnya
pertumbuhan impor nonmigas dari 23,4% menjadi 9,4%. Sejalan dengan
meningkatnya konsumsi dalam negeri untuk keperluan angkutan dan industri,
laju pertumbuhan impor migas mengalami kenaikan dari 7,1% menjadi
20,2%.
Pengeluaran devisa neto untuk jasa-jasa mengalami peningkatan sebesar
7,9% sehingga menjadi US$14,3 miliar pada tahun 1996/97. Defisit transaksi
jasa yang cukup besar ini terutama terjadi pada jasa pengangkutan barang
impor dan pembayaran bunga hutang luar negeri. Sementara itu, penerimaan
devisa dari jasa-jasa di luar jasa-jasa sektor migas masih bertumpu pada
sektor pariwisata dan panda- patan dari tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Dari berbagai perkembangan tersebut defisit transaksi berjalan meningkat
dari US$7,0 miliar atau sekitar 3,4% terhadap PDB pada tahun 1995/96
menjadi sebesar US$8,1 miliar atau sekitar 3,5% terhadap PDB pada tahun
1996/97.
Bersamaan dengan defisit transaksi berjalan yang makin membesar, arus
modal masuk neto mengalami surplus yang cukup besar yaitu sebesar
US$11,0 miliar pada tahun 1996/97. Surplus tersebut terutama berasal dari
pemasukan modal sektor swasta neto terdiri dari investasi langsung, investasi
portfolio, dan modal lainnya yang berjumlah sebesar US$11,8 miliar, sedikit
meningkat dibandingkan tahun 1995/96 yang sebesar US$11,7 miliar.
Besarnya jumlah arus modal masuk neto sektor swasta ini erat kaitannya
dengan semakin menariknya iklim investasi dan meningkatnya kepercayaan
investor asing terhadap kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Selanjutnya, pemasukan modal pemerintah menurun dari US$5,7 miliar pada
tahun 1995/96 menjadi US$5,4 miliar pada tahun 1996/97. Dalam periode
yang sama, pelunasan pokok pinjaman meningkat dari US$5,9 miliar menjadi
Perdagangan Luar Negeri
dan Neraca Pembayaran 9
US$6,1 miliar, sehingga secara neto pemasukan modal pemerintah menjadi
negatif sebesar US$0,7 miliar.
Semua perkembangan tersebut di atas telah menyebabkan jumlah
cadangan devisa meningkat dari US$16,0 miliar pada akhir tahun 1995/96
menjadi US$19,9 miliar pada akhir tahun 1996/97. Jumlah cadangan devisa
tersebut cukup untuk membiayai impor (c&f) nonmigas selama 5,2 bulan.
NERACA PEMBAYARAN
1993/94 – 1996/97
(juta US dolar)
Perdagangan Luar Negeri
dan Neraca Pembayaran 10
Keterangan
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara
3) Angka ekspor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)
yang diolah oleh Bank Indonesia.
Dengan menggunakan “Open date system”. Angka-angka ini berbeda
dengan angka-angka dari Biro Pusat
Statistik yang mengolah dokumen PEB dengan menggunakan “cut-off date
system”
4) Mulai tahun 1987/88 termasuk gas minyak bumi cair (LPG)
5) Tahun 1988/89 – 1990/91 termasuk yang dibiayai melalui Bantuan
Khusus;
Mulai tahun 1991/92 termasuk yang dibiayai melalui Fast Disbursing
Assistance
6) Tahun 1988/89 – 1990/91 termasuk Bantuan Khusus yang tidak berupa
Bantuan Program
7) Mulai tahun 1991/92 termasuk Fast Disbursing Assistance yang tidak
berupa Bantuan Program
8) Pokok Pinjaman1
1 www.bappenas.go.id / bab-03-1997-cek__20090203100511__1782__2
Perdagangan Luar Negeri
dan Neraca Pembayaran 11
BAB III
PENUTUP
Dua isu penting telah di bahas dalam makalah ini, yakni perkembangan
perdagangan dan utang luar negeri Indonesia. Dua isu ini dapat dikatakan atau
harus dianggap sebagai factor-faktor kritis bagi kelanjutan pembangunan ekonomi
di dalam negeri. Dua isu itu saling mempengaruhi. Bila ekspor lebih kecil dari
pada impor sehingga mengakibatkan defisit TB, untuk kondisi ekonomi seperti di
Indonesia yang belum mampu membiayai sendiri defisit tersebut, jumlah
pinjaman dan berarti utang luar negeri juga meningkat. Terkecuali bila peranan
PMA di Indonesia sudah demikian besar hingga arus modal dari luar dalam
bentuk pinjaman, baik jangka pendek maupun jangka panjang, sudah tidak perlu
lagi atau paling sedikit bisa dikurangi dengan jumlah yang besar setiap tahun.
Demikian juga, jumlah utang luar negeri yang dibiarkan meningkat terus setiap
tahunnya akhirnya akan memberi dampak sangat negative terhadap pembangunan
karena beban pembayaran cicilan utang dan bunganya semakin berat, bahkan bisa
melebihi tabungan dalam negeri plus arus modal masuk neto. Proses
perekonomian dalam negeri praktis bisa terhenti (stagnasi). Akibatnya
pembangunan industri untuk ekspor juga terhenti yang berarti menambah defisit
TB.
Usaha utama untuk mengurangi beban utang luar negeri melalui
peningkatan ekspor barang-barang dengan nilai tambah yang besar, harga dipasar
dunia yang stabil, dan yang memiliki permintaan dunia yang besar. Barang-barang
tersebut antara lain computer pribadi, alat-alat telekomunikasi, dan barang
elektronik lainnya. Untuk bisa bersaing dengan Negara lainnya yang juga menjual
barang-barang tersebut, perlu diperhatikan secara serius faktor-faktor mulai dari
penguasaan teknologi baru, peningkatan sumber daya manusia, penyediaan sarana
serta prasarana penunjang yang diperlukan, keinginan untuk maju dan lebih
unggul daripada Negara lain dari sektor swasta dan juga pemerintah, stabilitas
politik, social dan ekonomi, serta faktor lainnya yang telah dibahas dalam
makalah ini yang sangat menentukan keunggulan kompetitif suatu perusahaan dan
Negara.
Perdagangan Luar Negeri
dan Neraca Pembayaran 12
Keberhasilan Indonesia untuk turut serta dalam persaingan pada era pasar
bebas abad ke-21 nanti, yang berarti juga menentukan kelanjutan pembangunan
ekonomi nasional, sangat tergantung pada faktor-faktor keunggulan kompetitif
tersebut. Upah murah dan sumber daya alam yang berlimpah sudah membuktikan
bahwa sejak menjelang akhir abad ke-20 ini tidak lagi membutuhkan dukungan
yang berarti, dibandingkan pada decade tujuh puluhan dan sebelumnya, terhadap
keunggulan ekspor Indonesia di pasar dunia dan barang-barang buatan sendiri di
pasar domestic menghadapi barang-barang impor, seperti buah-buahan di
Bangkok.2
2 Tambunan, Tulus T.H .1996.Perekonomian Indonesia.Jakarta : Ghalia Indonesia
Recommended