View
218
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
Daftar Isi
Halaman
A. Pengantar ............................................................................................................... 1
B. 1. Metode Penelitian ........................................... ................................ ................. 3
2. Subjek ............................................................................................................... 6
C. Hasil Penelitian ..................................................................................................... 7
1. Hasil Observasi ................................................................................................. 7
2. Hasil Wawancara .............................................................................................. 9
D. Pembahasan .......................................................................................................... 17
E. Kesimpulan ........................................................................................................... 22
Daftar Pustaka ............................................................................. .............................. 23
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
SAMADHI SEBAGAI WAHANA UNTUK MENCAPAI
KETENANGAN HIDUP
Oleh :
Wiwik Sulistyaningsih
A. PENGANTAR
Manusia adalah makhluk bio-psiko-sosial-spiritual. Sebagai makhluk biologis yang
terdiri dari sel-sel yang membentuk organ-organ, ia akan berkembang menjadi makhluk
organismik yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Sedangkan sebagai makhluk spiritual,
manusia tidak hanya berhubungan dengan orang lain dalam sistem masyarakat atau dunia,
namun ia juga berhubungan dengan Sang Pencipta. la mengakui bahwa ada suatu
kekuatan di luar dirinya yang banyak mempengaruhi kehidupannya. Setelah berbagai
usaha ia lakukan dan menemui kegagalan, maka ia akan menyerahkan dirinya pada
kekuatan ini. Selain itu spiritualitas dalam diri manusia diwujudkan dalam bentuk rasa
kasihnya terhadap sesama. Sifatnya yang altruistik yaitu keinginannya untuk memberikan
apa yang dipunyainya untuk orang lain adalah suatu tanda adanya spiritualitas tersebut
(Prawitasari, 1995).
Di dalam hidupnya manusia akan selalu berhadapan dengan perubahan. Baik
perubahan itu yang terjadi di dalam dirinya sendiri maupun perubahan yang terjadi diluar
dirinya. Kesemua perubahan tersebut dapat menimbulkan stress atau tekanan. Bila dinilai
secara positif, stress dapat mendorong timbulnya perilaku
1
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
kreatif, inovatif atau kemampuan inisiatif. Namun sebaliknya, apabila dinilai negatif, stress
dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan pada individu.
Ketidakseimbangan yang terjadi akan mendorong individu untuk berusaha menemukan
kembali keseimbangannya. Kesanggupan untuk memelihara keseimbangan psikologik ini
adalah daya utama dalam mempertegar ketahanan mental (mental resilience), apa dan
betapapun stressor yang bermunculan yang melanda manusia (Fuad Hassan, 2000). Berbagai
upaya akan dilakukan manusia untuk memelihara keseimbangan tersebut.
Salah satu upaya untuk mendapatkan keseimbangan di dalam menjalani kehidupan yang
penuh problem dan perubahan adalah dengan cara melakukan meditasi atau samadhi. Tujuan
akhir yang ingin dicapai dengan jalan ini adalah meluasnya kesadaran dan transendensi diri.
Karena pelaku samadhi meyakini bahwa manusia berasal dan akan kembali kepada Sang
Pencipta, maka tidak ada pilihan lain kecuali menjalani hidup menurut kemauan NYA. Untuk
itulah manusia dipandang perlu secara terus menerus menjalani transendensi dengan Sang
Pencipta. Kesadaran untuk menjalani hidup di alam semesta semestinya dibimbing oleh
kesadaran lain yang lebih tinggi. Ruh atau spiritual manusia yang bersifat luhur diyakini akan
dapat membimbing sehingga manusia dapat menjalani hidup yang selaras, harmonis, atau
menyatu dengan alam semesta.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan kondisi
psikologis yang terjadi pada seseorang. Subjek pada penelitian ini adalah orang yang
mengalami banyak kegagalan dan tekanan, namun akibat yang timbul
2
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
bukannya kelemahan, stress, ataupun akibat negatif lainnya. Meskipun beberapa waktu
sebelumnya sempat terjadi kemunduran, namun pada akhirnya subjek justru berkembang
bertambah kuat secara mental dan spiritualnya. Dari kasus ini ingin dibahas apa dan
bagaimana manusia dapat bertahan, bahkan muncul potensi yang melebihi orang pada
umumnya, sehingga seseorang dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Juga ingin
diketahui sejauhmana telah terjadi perubahan-perubahan sikap, mental, dan perilaku
akibat berkembangnya suatu “kesadaran yang lain” pada seseorang.
Tinjauan kasus ini akan dibahas menurut perspektif psikologi transpersonal. Oleh
karenanya metode yang dipergunakan adalah pendekatan penelitian kualitatif yang
berlandaskan phenomenologi. Data diambil melalui observasi partisipan dan wawancara
kepada subjek serta informan, yang dilaksanakan pada bulan Nopember sampai dengan
Desember 2001 di Surakarta.
B. 1. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif berlandaskan phenomenologi
yang mengakui empat kebenaran empirik, yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran
empirik logik, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transendental. Menurut
Muhadjir (2000) kemampuan penghayatan dan pemahaman manusia atas indikasi
empiri ini menjadikan manusia mampu mengenal keempat kebenaran tersebut di atas.
3
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
Penelitian kualitatif di sini dapat didefinisikan sebagai penelitian yang memiliki tujuan
dokumentasi, identifikasi, dan interpretasi mendalam terhadap pandangan dunia, nilai,
makna, keyakinan, pikiran, dan karakteristik umum seseorang atau kelompok masyarakat
tentang peristiwa-peristiwa kehidupan, situasi kehidupan, kegiatan-kegiatan ritual, dan
gejala-gejala khusus kemanusiaan yang lain (Wiseman, 1993).
Terdapat beberapa model metodologi dalam penelitian kualitatif yakni antara lain
fenomenologi, etnometodologi, dan interaksionisme simbolik. Pada model fenomenologis,
penelitian ditekankan pada cara manusia sebagai subjek berinteraksi dengan dunia gejala,
baik terhadap objek-objek empirik maupun peristiwa. Ini sesuai dengan pengertian
fenomenologi sebagai disiplin yang mempelajari makna suatu gejala bagi manusia secara
individual. Model etnometodologi menekankan pada cara-cara orang mengkonstruk dunia
budaya mereka. Model ini terutama membahas cara berpikir antar individu berkenaan dengan
aturan-aturan etnik kultural yang melatarbelakangi interaksi sosial kelompok budaya mereka.
Sedangkan interaksionisme simbolik menekankan pada makna yang tercakup dalam
cara-cara manusia menggunakan dan menginterpretasikan pola-poly simbolik dalam
melakukan interaksi sosial (Persell, 1987).
Untuk mencapai tujuan penelitian seperti tersebut di atas, penelitian ini menggunakan
pendekatan naturalistik atau interpretif terhadap topik-topik penelitian yang dikaji.
Naturalistik berarti-peneliti melakukan penelitian
4
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
terhadap objek-objek atau subjek-subjek penelitian dalam seting alamiah atau lingkungan
hidup asli mereka. Interpretif berarti bahwa berdasar pada lingkungan hidup asli itu
kemudian peneliti kualitatif mencoba untuk memahami secara mendalam atau membuat
interpretasi mendalam suatu gejala dalam hubungan dengan makna yang dibangun oleh
subjek atau partisipan penelitian.
Untuk mendapatkan pemahaman tentang subjek, maka penelitian dilakukan dalam
tahapan-tahapan sebagai berikut : (1) tahap refleksi yang bertujuan untuk mengidentifikasi
subjek dan permasalahan penelitian, (2) tahap pengumpulan data (observasi dan wawancara
mendalam) dan analisis data, (3) pembahasan, dan (4) kesimpulan (Denzin & Lincoln, 1994).
Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi partisipan.
Wawancara mendalam yang dilakukan terhadap subjek dan sejumlah informan lainnya
dimaksudkan untuk memperoleh data tentang pengalaman spiritual subjek, sehingga ia
berada dalam kondisi mental-spiritual seperti saat ini. la merasa memiliki dan menjalani
hidup yang penuh ketenangan dan keharmonisan. Selain itu juga dilakukan observasi untuk
memperoleh gambaran tentang dinamika psikologis dari kondisi yang dihadapi melalui
interaksi interpersonalnya dengan orang lain, termasuk pula suasana keseharian di rumahnya.
5
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
B. 2. SUBJEK
Subjek adalah seorang pria berusia sekitar 44 tahun. la memiliki seorang anak
perempuan. Isterinya termasuk kerabat keraton Kasunanan Solo yakni salah seorang
anak dari Raja Susuhunan Paku Buwono XII. Subjek sendiri dilahirkan oleh ibu yang
bersuku Madura, sedangkan ayahnya berasal dari suku Sindh di daerah Kashmir India.
Kedua orangtuanya saat ini telah meninggal, ayahnya meninggal pada waktu subjek
berusia 10 tahun.
Selepas mengikuti pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Surakarta, ia
sempat kuliah di Institut Teknologi Bandung. Namun tidak sampai tamat, ia terkena
skorsing Drop Out sehingga harus keluar dari ITB. Kemudian ia menempuh pendidikan
hukum di Universitas Dr Sutomo di Surabaya sampai selesai sehingga bergelar sarjana
hukum.
Riwayat pekerjaan pertama yang dijalani adalah di kantor pengacara sebuah
badan hukum di Surabaya. Pekerjaan ini ditekuninya sambil kuliah sampai lulus
sarjana. Setelah itu ia pindah ke Jakarta bekerja sebagai ahli spiritual yang ditempatkan
di kantor sekretariat negara dan juga di perusahaan PT Citra milik Tutut, putri mantan
presiden Suharto. Kemudian pada Februari 1998, subjek memutuskan kembali tinggal
di Surakarta sampai saat ini. Bersama isterinya sekarang ini ia berwiraswasta berdagang
batik yang dilakukannya di sela-sela waktunya menekuni masalah spiritualitas.
6
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
C. HASIL PENELITIAN
1. HasilObservasi
Observasi dilakukan dalam dua seting lingkungan yang berbeda, yaitu di rumah
subjek dan di ruang kelas aula tempat diselenggarakannya kursus pengenalan tentang
spritualitas manusia.
Di rumahnya subjek tinggal bersama isteri dan seorang anak. Di rumahnya juga
tinggal bersama mereka dua orang mahasiswa, yang setiap harinya juga sering mengikuti
langkah spiritual yang dilakukan oleh subjek. Pada waktu penulis datang ke rumah
(sebanyak empat kali) subjek selalu mempersilakan untuk berbincang-bincang sambil
duduk di lantai, meskipun ada ruang tamu yang berkursi. la lebih suka duduk di lantai
dengan meja rendah ada di samping bantal-bantal untuk duduk. Dari atas meja tercium
bau wangi dupa yang dibakar yang diletakkan di cawan di atas meja.
Wawancara , yang berfokus pada diri subjek dengan pengalaman-pengalamannya ini
berlangsung sekitar dua jam setiap kali pertemuan. la sangat lancar dan penuh semangat
dalam berbicara, argumentatif, dan terkesan menguasai pembicaraan. Suaranya cukup
tegas, terkadang intonasi suaranya meninggi. Dari cara berbicara terkesan subjek adalah
orang yang kokoh kuat memegang prinsip pendiriannya, banyak wawasan, dan terkadang
tidak peduli dengan pendapat orang lain. Namun ia juga bersikap rendah hati karena
menyadari bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia hanyalah setitik kecil ilmu Tuhan
yang tidak terbatas luasnya.
7
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
Observasi kedua dilakukan di suatu ruang kelas yang berupa aula dimana subjek berperan
sebagai instruktur pelatihan. Dalam observasi partisipan ini, penulis menjadi peserta
pelatihan yang mengikuti kursus yang diberikan. Separuh dari waktu pelatihan, yakni sekitar
satu jam, dipergunakan oleh subjek untuk menjelaskan secara teori tentang masalah
spiritualitas manusia. Kemudian sejam berikutnya dipergunakan untuk praktek secara
langsung membimbing peserta kursus untuk melatih kemampuan spiritual yang dimiliki.
Pelatihan dilakukan sebanyak delapan kali, yang dilakukan pada malam hari yakni setiap
Kamis pukul 20.00 sampai 22.00 WIB. Setiap kali memberikan pelatihan, ia didampingi oleh
dua orang muridnya yang telah lebih dahulu dibimbingnya.
Dalam salah satu penyampaiannya di kelas, subjek mengajarkan bahwa manusia dapat
mengambil manfaat dari energi alam. Bila energi alam ini disimpan di dalam diri manusia,
maka simpanan energi ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan seperti misalnya untuk
penyembuhan penyakit, kekuatan fisik, ataupun kekuatan mental. Energi alam ini dapat
diambil dengan cara meditasi atau samadhi. Delapan sumber energi alam yang disebut
sebagai hasta brata ini adalah matahari, bulan, bintang, awan, air, angin, api, dan bumi.
Pada waktu berlatih mengenal energi alam, peserta diminta untuk mengambil sikap
samadhi. Kemudian subjek membimbing agar peserta mulai menyerap satu per satu energi
alam. Palo kesempatan tersebut, penulis sebagai peserta pelatihan merasakan betul sensasi
fisik seolah-olah berada di alam semesta. Sewaktu menyerap energi awan, seluruh tubuh
merasa dingin. Pada waktu menyerap
8
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
energi angin, di seluruh tubuh terasa seperti terhembusi angin. Sedang pada waktu
menyerap energi matahari, tubuh merasakan sensasi rasa panas terutama di depan wajah
terasa sekali panas dan silau, padahal mata tertutup rapat. Peserta latihan juga merasakan
berat menahan rasa panas dan tekanan yang sangat kuat. Demikianlah setelah itu kembali
‘cooling down’, pelatihan samadhi diakhiri dengan mengucap syukur atas kebesaran
NYA.
Bila latihan terus menerus dilakukan, pelatih mengatakan bahwa tubuh akan merasa
sehat, kuat, dan keseimbangan fisik terjaga. Secara umum pelatihan tersebut bertujuan
agar peserta mampu mengenali dan selanjutnya mengembangkan kemampuan spiritual
yang dimiliki sehingga dapat bermanfaat untuk memperoleh ketenangan. Tujuan akhir
yang ingin dicapai adalah agar manusia dapat hidup secara sempurna, sehingga
selanjutnya kehidupan masyarakat yang damai, aman, dan sejahtera dapat terwujud.
2. Hasil Wawancara
Wawancara diawali dengan pernyataan subjek bahwa di era kehidupan manusia
modern dewasa ini, banyak manusia yang merasakan hidupnya hampa, mereka tidak
mengenal jati dirinya, sehingga hidup menjadi kehilangan makna. Menurutnya hal ini
terjadi karena manusia modern melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandang di
pinggiran eksistensi, tidak pada ‘pusat spiritualitas dirinya’, sehingga berakibat manusia
lupa siapa dirinya. Dalam keseluruhan hidupnya, menyangkut pengertian-pengertian
mengenai dirinya sendiri, ternyata amat
9
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
dangkal yang diketahui. Dekadensi atau kejatuhan manusia di jaman modern ini terjadi
karena manusia kehilangan pengetahuan langsung mengenai dirinya itu. Dan selanjutnya
menjadi bergantung pada pengetahuan eksternal, yang tidak langsung berhubungan dengan
dirinya. Kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang adalah siapakah manusia itu,
bagaimana asal usulnya, dan apa tugasnya di dunia ini.
Subjek mengatakan bahwa dalam perjalanan hidupnya sangat banyak penderitaan dan
pengorbanan yang harus dijalaninya akibat konsekuensi pilihan sikap yang diyakininya.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah di SMA Negeri 1 Surakarta, ia berhasil
diterima di Institut Teknologi Bandung. Namun hanya beberapa semester dijalaninya dan
tidak sempat menyelesaikan studi karena ia terkena skorsing DO dari universitas. Penyebab
jatuhnya skorsing dikatakan karena keaktifannya dalam demonstrasi politik melawan
pemerintah pada saat itu. la ikut berpartisipasi dalam penulisan buku putih yang berjudul
“Indonesia di bawah sepatu lars”. Akibatnya ia mendapat skorsing harus keluar dari ITB,
selain juga mengalami kekerasan secara fisik dan mental dari aparat. Dari pengalamannya ini
ia berpendapat bahwa menegakkan kebenaran itu harus dibayar dengan pengorbanan yang
sangat besar. Karena itulah pada umumnya orang lebih suka mencari yang aman, meskipun
kadang harus menempuh jalan yang tidak benar. Namun bagaimanapun harus ada sebagian
kecil dari masyarakat yang bersedia berjuang menegakkan kebenaran. Karena kalau tidak
demikian, maka seluruh manusia akan tersesat dan menjalani hidup secara salah.
10
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
Setelah keluar dari ITB, subjek kembali tinggal di Surakarta. Saat itu ia merasa dirinya
menjalani kehidupan yang benar-benar kacau, disebutkannya sebagai ‘kehidupan yang
sungguh bejad’. Ia tenggelam dalam pengaruh buruk narkotika. Namun di puncak
kesesatannya tersebut, tiba-tiba ia tersentak karena ada ‘kekuatan lain’ yang
menyadarkannya. la menjadi tersadar, apalagi ketika ia mulai menatap alam semesta (yakni
menatap bintang di langit) tubuhnya menjadi bergetar penuh keringat. Seolah ia tersadar
bahwa ada zat yang Maha Kuasa yang mengatur kehidupan ini. Kemudian dari dalam
sanubarinya timbul dorongan yang sangat mendesaknya untuk mencari tahu lebih lanjut
tentang kekuatan Yang Maha tersebut.
Dorongan hati membawanya pergi ke Gunung Lawu untuk bersamadhi. Selama sekitar
satu setengah tahun sendirian ia menjalani samadhi di sana. Dalam samadhinya itu ia merasa
dibimbing oleh “sang guru”. Yang dimaksud dengan “guru” tersebut sebenarnya tidak lain
adalah ruh atau sukma dari jati diri setiap manusia. Karena sifat ruh yang suci, maka ruh itu
bisa membimbing manusia untuk menjalani kehidupan yang baik sesuai kehendak Ilahi.
Pada suatu ketika subjek diperintahkan untuk duduk di tepian lereng sebuah kawah yang
di bawahnya mengeluarkan asap belerang. Mengetahui bahwa asap belerang itu mengandung
racun yang dapat mematikan manusia, maka timbul sikap ragu-ragu subjek untuk
melaksanakannya. Sempat hampir seharian ia berpikir untuk menjalankan perintah itu atau
tidak. Akhirnya ia diingatkan “Apakah kamu ragu terhadap guru sehingga kamu kira aku
akan
11
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
mencelakakanmu?”. Kemudian akhirnya ia berangkat dan mencari lereng kawah yang
dimaksud. Lalu ia mengambil posisi duduk di tepian lereng yang di bawahnya mengeluarkan
asap. Tidak lama setelah ia duduk, tubuhnya jatuh rebah ke belakang tersandar pada tepian
lereng. la merasa mengalami mati suri dalam jangka waktu yang lama.
Dalam kondisi mati suri itu subjek merasa ruhnya terlepas dari tubuh dan melayang, lalu
berada pada suatu kehidupan pada dimensi ruang dan waktu yang jauh sebelumnya dari saat
itu. la melihat secara tiga dimensi suatu kehidupan dalam sejarah kerajaan-kerajaan masa
lampau. Bahkan juga kehidupan manusia pada jaman pra sejarah. Selain melihat kehidupan
yang terjadi di masa lampau, subjek juga dibawa melihat kehidupan di atas langit yang
berlapis-lapis. Pada lapisan yang tertinggi, yakni tempat terdekat dengan hadirat Ilahi,
nampak cahaya yang amat menyilaukan yang tidak mampu ditangkap oleh keterbatasan
indera manusia.
Banyak lagi pengalaman-pengalaman lain yang terjadi, dari mulai subjek digoda oleh
makhluk cantik, binatang buas harimau dan ular besar yang hendak memangsa sampai
dengan makhluk yang berbentuk besar dan menyeramkan, yang semuanya ingin menguji
ketahanan mental subjek. Dalam menghadapi semua godaan tersebut, ia berserah diri
sepenuhnya dan ikhlas menjalani apapun kehendak Ilahi. Dan ternyata ia selamat dari semua
godaan tersebut. Pada tahun 1987, setelah ia dinyatakan cukup menerima pelajaran dari
‘guru’, kemudian ia turun gunung dan kembali menjalani kehidupan di tengah masyarakat.,
12
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
Dari pengalamannya samadhi di Gunung Lawu, subjek mengatakan bahwa melalui
pengenalan terhadap alam semesta manusia dapat mengenal Tuhan. Untuk menjadi beriman,
yakni mempercayai adanya Tuhan, bisa saja seseorang memperolehnya tidak harus melalui
teks-teks Kitab Suci melainkan bisa juga melalui penalaran, pengalaman, dan perenungan
hidup. Yaitu berupaya sekuat kemampuannya untuk menjelaskan Kekuatan Gaib atau Misteri
yang menguasai alam semesta ini, bahkan juga misteri yang ada dalam diri setiap individu.
Tuhan disebut Misteri dalam arti manusia meyakini akan pengaruh dari keberadaan dan
kekuatan NYA, namun sepanjang zaman manusia merasa tidak mampu untuk mengetahui
secara pasti dengan kekuatan nalar dan inderanya (Hidayat & Nafia, 1995).
Setelah beberapa saat di Surakarta, subjek memutuskan untuk pindah ke Surabaya. Di
kota ini ia kuliah sambil bekerja. la bekerja untuk suatu kantor pengacara sebagai ‘law
investigator’. Tugasnya adalah mengumpulkan data tentang apa saja yang berkaitan dengan
kasus hukum yang sedang ditangani. Sambil bekerja ia berhasil menyelesaikan studi
sehingga bergelar sarjana hukum dari Universitas Dr Sutomo Surabaya.
Selama menjalankan tugas tersebut, ada satu pengalaman yang berkesan sangat
mendalam bagi subjek. Karena tugasnya membela orang yang berperkara, maka ia harus
berhadapan dengan mafia tanah yang ingin menguasai tanah rakyat. Pihak yang ingin
menguasai tanah berusaha membujuknya agar ia mau menerima uang sogok sebesar lima
puluh juta rupiah, dengan syarat ia mau berhenti
13
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
membela si empunya tanah. Subjek menolak karena ia ingin membela pihak yang lemah.
Tidak disangka ternyata mafia tanah tadi menjadi marah dan dendam, lalu mengancam akan
memenjarakan subjek agar keinginannya berhasil.
Ternyata betul, tidak lama kemudian subjek dimasukkan ke penjara tanpa tahu apa
kesalahannya. Selama di penjara, ia merasakan siksaan fisik dan mental serta penganiayaan,
agar ia mau mengaku bersalah. Semua penderitaan yang dialaminya tersebut diterimanya
dengan tabah. la berprinsip bahwa untuk membela yang benar memang harus dibayar dengan
pengorbanan yang mahal. Dengan demikian rasa sakit dan penderitaan secara fisik yang
dialami tidak dirasakannya sebagai beban mental.
Kemudian tiba-tiba pada hari yang kesepuluh ia dipenjara, datang ‘guru’ yang selama ini
menempanya. Dikatakan oleh ‘guru’ tersebut bahwa besok pagi ia akan keluar dari sel. Tidak
lama setelah ‘guru’ pergi, tiba-tiba tanpa ada hujan atau pertanda alam yang lain, datang
luetir yang sangat hebat sehingga semua ralatan elektronik di kantor polisi itu terbakar dan
rusak. Ternyata betul, esok paginya tanpa ada proses apapun yang menyulitkan, subjek
diminta keluar dari,sel.
Merasa usahanya memenjarakan subjek gagal, si mafia tanah menjadi penasaran dan
mengancam untuk mengirimnya lagi ke penjara. “Tunggu, tidak lama lagi saya akan panen
udang. Saya akan punya cukup uang untuk memberi pelajaran kepadamu!”. Begitulah
ancaman yang ditujukan kepada subjek. Banyak teman-teman subjek yang menyarankan agar
ia menyerah dan minta maaf saja agar ia terhindar dari celaka. Namun subjek tetap teguh
pada pendiriannya yakni
14
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
kejahatan harus dilawan dengan kebenaran. Maka pada malam harmya, subjek bersamadhi
sambil memohon kekuatan Ilahi untuk memancarkan energi alam, sehingga air sungai
meluap ke arah tambak udang tersebut. Selang beberapa hari kemudian teman-temannya
mengabarkan bahwa orang tadi tidak jadi panen udang karena tambaknya terkena banjir.
Dengan demikian subjek terhindar dari ancaman akan dipenjarakan lagi. Dari kejadian ini
subjek semakin yakin bahwa kebenaran Ilahi akan dapat mengalahkan segala kejahatan yang
diupayakan oleh manusia.
Setelah beberapa lama tinggal di Surabaya, subjek memutuskan untuk pindah ke Jakarta.
Selama hidup di Jakarta secara materi ia sangat berkecukupan karena memperoleh gaji yang
cukup besar. Dengan kemampuannya untuk melihat visi ke depan secara spiritual,
keahliannya dimanfaatkan sebagai staf ahli pendamping di kantor sekretariat negara dan juga
di perusahaan PT Citra milik Tutut putri mantan presiden Suharto. Pada awal tahun 1998 ia
melihat bahwa situasi kehidupan masyarakat akan mengalami kekacauan, maka pada
Februari tahun itu juga ia memutuskan untuk kembali ke Surakarta. Selain itu ia juga merasa
banyak idenya yang tidak dimanfaatkan. Karena merasa pendapatnyalah yang benar, maka ia
lebih memilih untuk mengundurkan diri. Selang tiga bulan setelah itu, tepatnya pada bulan
Mei 1998 memang betul terjadi kekacauan masyarakat yang menandai runtuhnya
pemerintahan orde baru.
Dari pengalamannya selama hidup di Jakarta, subjek menarik kesimpulan bahwa ternyata
kebanyakan orang belum memiliki kejujuran dan keberanian
15
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
untuk berkata benar. Saat ini subjek berupaya memusatkan perhatiannya pada masalah
bagaimana bisa menyebarkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan kebaikan agar manusia
dapat hidup selaras dengan alam dan sesuai dengan hukum alam. Apabila manusia dapat
hidup sesuai dengan kehendak Ilahi, maka hidup yang penuh dengan ketenangan dan
keharmonisan akan terwujud.
Subjek juga menjelaskan bahwa kemampuan spiritual yang berkembang dan dapat
dimanfaatkan untuk kebaikan hidup hanya dapat dimiliki oleh orang yang telah mencapai
kedewasaan spiritual, selain sebelumnya juga telah mencapai kedewasaan individual dan
kedewasaan sosial. Kedewasaan spiritual ditandai dengan kemampuan untuk memahami
“Sangkan Paraning Dumadi” atau mampu bersikap bijaksana dalam menghadapi hidup.
Kedewasaan individual ditandai oleh kematangan jasmani dan jiwa, yaitu berani mengambil
alternatif dan mandiri. Sedang kedewasaan sosial ditandai oleh aktualisasi potensi dialogis,
mengendapnya rasa, tanggung jawab, kesediaan untuk mencintai dan dicintai orang lain, dan
kerelaan berkorban (Damardjati Supadjar, 1984).
Dalam melakukan samadhi atau meditasi, subjek percaya bahwa manusia dapat
mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan melalui tanggapan batin. Alat untuk
menghampiri ke hadirat Tuhan ini bukan panca indera atau akal, melainkan mata hati. Jalan
untuk mencapai penghayatan ini adalah penyucian hati dan meditasi. Sesudah hatinya
menjadi suci, tidak memikirkan dan tidak terikat dengan dunia (apa-apa selain Tuhan), baru
melangkah ke meditasi atau samadhi. Samadhi dilakukan dengan cara mengkonsentrasikan
seluruh pikiran dan
16
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
kesadaran untuk merenungkan keagungan Tuhan. Meditasi pada hakekatnya berusaha
mengalihkan kesadaran terhadap dunia luar untuk dipusatkan ke alam batin.
Orang yang mampu mendekati ke hadirat Tuhan ini disebut sebagai orang yang
sanggup mencapai makrifat, dan dianggap sebagai orang sempurna. Hidupnya diliputi
ketenangan, keharmonisan, dan selalu ingin menyucikan diri sehingga selalu berjalan
lurus sesuai dengan kehendak Tuhan. Nafsu-nafsu materi yang sifatnya duniawi tidak lagi
menarik perhatiannya. Orang yang telah mencapai kesempumaan ini hidupnya diimbasi
sifat-sifat ke-Tuhanan, laksana baying-bayang Tuhan di atas alam semesta (Simuh, 1984).
D. PEMBAHASAN
Pengalaman dan penghayatan spiritual yang dialami oleh subjek dalam penelitian ini
menunjukkan adanya suatu fenomena yang dapat dijelaskan dalam perspsektif psikologi
transpersonal. Ditunjukkan dalam kasus ini telah terjadi adanya pengalaman puncak,
transendensi diri, dan penghayatan meditasi atau samadhi. Ketiga konsep ini merupakan
dasar untuk menjelaskan adanya gejala transpersonal yang dialami oleh subjek.
Pengalaman puncak dinyatakan oleh Davis (1993) memiliki beberapa (meski tidak
semua) karakteristik antara lain: emosi yang amat kuat dan mendalam mirip ekstase;
merasakan kedamaian atau ketenangan yang mendalam; merasa selaras,
17
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
harmonis, atau menyatu dengan alam semesta; merasa tahu secara lebih mendalam atau
memiliki pemahaman yang mendalam, dan; merasa bahwa itu suatu pengalaman yang sangat
istimewa yang sukar atau mustahil diceritakan dengan kata-kata. Dalam hal ini pengalaman
puncak dialami oleh subjek sewaktu ia samadhi di Gunung Lawu, dimana ia merasakan
seperti seolah menyatu dengan alam serta, merasakan ketenangan dan harmonis di dalam
dirinya. Bersamaan dengan rasa harmoni dengan alam semesta ini, transendensi diri pada
subjek juga berlangsung. Sedangkan untuk memupuk keadaan transpersonal yang telah
dialami, subjek terus menerus melakukan meditasi atau samadhi yang bertujuan untuk
meluasnya kesadaran dan transendensi diri.
Berdasarkan pengertian psikologi transpersonal yang membahas tentang potensi tertinggi
manusia serta pengenalan dan pemahaman dari kesadaran yang transenden maupun spiritual
manusia, maka pada diri subjek telah tercapai suatu kondisi puncak. Hal ini melibatkan
keadaan kesadaran yang berubah, tercapainya potensi manusia yang tertinggi, mampu
mengatasi ego, transenden, serta menghayati spiritualitas (Alexander, 1996). Adanya
kesadaran yang berubah telah memungkinkan subjek untuk mampu melihat sesuatu yang
tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu.
Pengalaman-pengalaman seperti yang telah dikemukakan oleh subjek merupakan bagian
dari fenomena psikis, yang oleh Tart (1975) disebut sebagai transpersonal experience, yaitu
sebuah pengalaman dimana ada jarak terhadap masukan sensoris (yang ada hanya
keheningan atau ectasy), sehingga eksistensi
18
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
wadag dan waktu terlupakan. Menurut Valle (1989) dalam kondisi seperti ini subjek
mengalami transendental being, dimana individu mengalami ASCs (Altered State of
Counsciousness). Dengan kata lain self-nya lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan
kekuatan yang transendental.
Dari pengalaman transendensinya tersebut, telah menempatkan subjek pada kondisi
memiliki kecerdasan spiritual. Ini artinya subjek mampu menilai bahwa tindakan atau jalan
hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Menurut Zohar dan
Marshall, kecerdasan spiritual ini adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ
dan EQ secara efektif, oleh karena kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia yang
paling tinggi. Hal ini berkaitan dengan kemampuan manusia untuk transenden. Melalui
transendensi diri, manusia mampu “mengatasi” (beyond) - mengatasi masa kini, mengatasi
rasa suka dan rasa duka. Dengan demikian dapat dipahami, mengapa subjek teguh
memutuskan pilihan dan menjalani pilihan tersebut dengan berbagai resiko yang tidak mudah
untuk dijalani. Dalam hal ini kekuatannya untuk menahan segala penderitaan fisik dan
mental, dimungkinkan dengan kemampuannya bertransenden sehingga ia mampu untuk
“mengatasi”.
Selain ciri-ciri psikologis, dimensi spiritual memberikan gambaran penjelasan tentang
orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi yaitu : (1) kemampuan bersikap fleksibel;
(2) tingkat kesadaran yang tinggi; (3) kemampuan menghadapi dan memanfaatkan
penderitaan; (4) kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa takut; (5) kualitas hidup
yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai;
19
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
(6) keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu; (7) kecenderungan untuk
melihat keterkaitan antara berbagai hal; (8) kecenderungan untuk mencari jawaban yang
mendasar; (9) pemimpin yang penuh pengabdian dan tanggung jawab; (10) kemampuan
menghayati keberadaan Tuhan; (11) memahami diri secara utuh; (12) memahami hakekat di
balik realitas; (13) menemukan hakekat diri; (14) tidak terkungkung egosentrisme; (15)
memiliki rasa cinta; (16) memiliki kepekaan batin; (17) mencapai pengalaman spiritual
(Subandi, 2001).
Orang yang tinggi kecerdasan spiritualnya antara lain dicirikan oleh adanya kemampuan
memahami hakekat di balik realitas, sehingga mampu menghadapi dan memanfaatkan
penderitaan. Berkaitan dengan jalan hidup subjek yang dilaluinya dengan penuh penderitaan
dan pengorbanan, maka dapat dikatakan bahwa ia adalah orang yang memiliki kecerdasan
spiritual.
Keberanian subjek untuk bersikap dan berperilaku yang agak kurang lazim, karena ia
lebih mengambil pilihan yang beresiko, ini dapat diterangkan dengan teori determinasi diri
atau Self Determination Theory. Dinyatakan oleh teori ini bahwa pengaturan sikap dan
perilaku akan terjadi jika sikap dan perilaku tersebut secara pribadi dinilai penting dan
bermakna. Dengan demikian perilaku seseorang tidak dipengaruhi oleh sesuatu di luar
dirinya, namun lebih ditentukan oleh dirinya sendiri dan bersifat otentik (Carver & Scheier,
1998).
Di dalam penjelasannya subjek cenderung mengkaitkan antara Tuhan, manusia, dan
alam. Untuk itu sudut pandang filsafat perennial akan dapat
20
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
membantu menjelaskan hal ini. Pandangan perennial menjelaskan bahwa segala kejadian
yang bersifat hakiki, menyangkut kearifan yang diperlukan dalam menjalankan hidup yang
benar yang ini sesuai dengan tradisi besar spiritualitas manusia. Aldous Huxley (dalam
Hidayat & Nafis, 1995) menyebut bahwa filsafat perennial adalah : (1) metafisika yang
memperlihatkan suatu hakikat kenyataan Ilahi dalam segala sesuatu : kehidupan dan pikiran;
(2) suatu psikologi yang memperlihatkan adanya sesuatu dalam jiwa manusia yang identik
dengan kenyataan Ilahi; dan (3) etika yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam
pengetahuan - yang bersifat imanen maupun transenden - mengenai suatu keberadaan.
Dengan demikian, filsafat perennial memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di
alam semesta ini dengan Realitas yang Terakhir.
Dalam menjalani hidupnya, subjek sangat menginginkan terwujudnya kesempumaan
hidup yang dapat dicapai melalui transendensi dengan cara samadhi. Keinginan ini hampir
sama dengan ajaran tasawuf yang menjanjikan penyelamatan. Apalagi di tengah berbagai
krisis kehidupan yang serba materialis, hedonis, sekular, plus kehidupan yang makin sulit
secara ekonomis maupun psikologis itu, tasawuf memberikan obat penawar rohani, yang
memberi daya tahan. Dalam wacana kontemporer, sering dibahas tasawuf sebagai obat
mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia
tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari kehidupan di dunia ini. Ketidakjelasan
atas makna dan tujuan.hidup ini memang sangat tidak mengenakkan, dan membuat
penderitaan batin. Maka mata air tasawuf yang sejuk
21
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
akan memberikan penyegaran dan penyelamatan pada manusia-manusia yang terasing itu
(Rachman, 2001).
E. KESIMPULAN
Subjek dalam penelitian ini menunjukkan adanya gejala transpersonal, yakni
terjadinya pengalaman puncak, transendensi diri, dan penghayatan meditasi. Hal ini
menimbulkan kesadaran yang berubah yang memungkinkan subjek mampu untuk melihat
sesuatu yang tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu.
Adanya pilihan sikap dan perilaku subjek yang terkadang beresiko menimbulkan
penderitaan, atau harga mahal yang harus ditanggungnya, mengindikasikan bahwa
subjek lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianutnya daripada pengaruh eksternal.
Dalam bersikap dan berperilaku, ia cenderung berorientasi pada makna dan hakekat di
balik realitas. Kecenderungan subjek ini sesuai dengan prinsip self determination theory.
Pandangan subjek menggambarkan adanya saling keterkaitan antara seluruh
eksistensi yang ada di alam semesta, yakni Tuhan, manusia, dan alam semesta. Manusia
akan dapat hidup bermakna dan sempurna kalau ia mampu memahami keteraturan alam
semesta, untuk selanjutnya menyesuaikan diri dengan irama dan dinamika keteraturan
alam semesta itu.
Pada akhirnya, agar manusia dengan segala sikap dan perilakunya dapat dipahami
secara menyeluruh, maka seluruh aspek yang ada pada diri manusia harus dilibatkan. Hal
ini berarti, dari pandangan psikologis baik itu aspek
22
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
biologis, psikologis, sosial, dan spiritualitas harus dipahami secara menyeluruh. Dengan
demikian gambaran utuh tentang diri manusia akan diperoleh dengan baik.
23
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
Daftar Pustaka
Alexander, J. 1996. Human Person in the Mirror of Transpersonal Psychology. Journal of
Dharma, Vol. XXI (1), 104-124.
Carver, C.S. & Scheier, M.F. 1998. On the Self-Regulation of Behavior. Cambridge:
Cambridge University Press.
Davis, J. 1993. Introduction to Transpersonal Psychology.
Denzin, N. & Lincoln, Y.S. 1994. Handbook of Qualitative Research. London Sage
Publications.
Hanurawan, F. 2001. Kontroversi Pendekatan Kuantitatif dan Pendekatan Kualitatif dalam
Penelitian Psikologi. Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang.
Hassan, F. 2000. Urbanisme dan Ketahanan Mental, dalam Tantangan Psikologi Menghadapi
Milenium Baru. Yogyakarta : Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM.
Hidayat, K. & Nafis, M. W. 1995. Agama Masa Depan : Perspektif Filsafat Perennial.
Jakarta: Penerbit Paramadina.
Muhadjir, N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta Penerbit Rake
Sarasin.
Persell, C.H. 1987. Understanding Society : An Introduction to Sociology. New York: Harper
& Row Publisher Inc.
Prawitasari, J.E. 1995. Handout Teori, sistem, dan model dalam Psikologi. Yogyakarta:
Program Pasca Sarjana UGM.
Rachman, B.M. 2001. Demam Tasawuf. Makalah. Tidak diterbitkan.
Simuh. 1984. Aspek Mistik Islam dalam Wirid Hidayat Jati. Yogyakarta Yayasan Javanologi.
Subandi, 2001. Menyoal Kecerdasan Spiritual. Makalah, dalam Seminar Spiritual
Intelligence PW IJABI, Yogyakarta.
24
Wiwik Sulistyaningsih: Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup, 2002 USU Repository©2006
Supadjar, D. 1984. Kata-kata Kunci Wulang-wulang Kajawen. Yogyakarta Yayasan
Javanologi.
Tart, C.T. 1975. Transpersonal Psychology. New York : Harper & Row Publisher.
Valle, R.S. & Halling, S. (Eds). 1989. Existential Phenomenological Perspectives in
Psychology : Exploring the Breadth of Human Experience. New York Plenum Press.
Wiseman, R. 1993. The Interpretive Approach. Dalam H.C. Connote, B.Smith & R.
Wiseman (Eds). Research Methodology I : Issues and Methods in Research. Geelong:
Deakin University.
25
Recommended