View
28
Download
9
Category
Preview:
DESCRIPTION
intussusepsi
Citation preview
Referat Bedah Anak
Judul : Reduksi Nonoperatif Intussusepsi
Sub Divisi : Digestif-Trauma
Disusun oleh : Agoes Wibisono
Pembimbing : dr. Vita Indriasari, SpBA
Penguji : dr. Dikki Drajat Kusmayadi, SpB(K)BA
REDUKSI NONOPERATIF INTUSUSEPSI
I. Pendahuluan
I.1. Definisi
Istilah intususepsi berasal dari 2 kata bahasa Latin yaitu “intus” (within)
yang berarti berada didalamnya dan “suscipere” (to receive) yang berarti
menerima. Intususepsi didefinisikan sebagai invaginasi atau masuknya satu
bagian usus ke dalam bagian usus lainnya. Swenson menggambarkan lebih
jelas dengan menyebutkan terdapatnya tiga silinder dinding usus yang terlibat
di mana silinder dinding usus terdalam (inner) dan di tengah (middle)
merupakan bagian usus yang mengalami invaginasi atau disebut intususeptum
sedangkan bagian silinder dinding usus yang terluar (outer) adalah yang
menerima invaginasi tersebut atau disebut intususepien.1,2,3
I.2. Insiden
Intususepsi merupakan penyebab kedua paling sering dari nyeri akut
abdomen pada bayi dan anak pra sekolah setelah konstipasi. Intususepsi juga
sering merupakan penyebab obstruksi akut usus halus pada kelompok umur
tersebut. Insidennya sendiri diperkirakan mencapai 1 dari 2000 bayi atau anak.
Bahkan pada beberapa studi di Inggris dan Skotlandia melaporkan insiden
yang lebih tinggi yaitu antara 1,5 sampai 4 per 1000 kelahiran hidup. Jenis
kelamin laki-laki merupakan predominan dengan rasio berkisar 3:2 sampai
dengan 2:1. Intususepsi dapat ditemukan pada semua kelompok usia anak
1
mulai dari prenatal sampai remaja bahkan pada orang dewasa. 75% kasus
ditemukan pada usia 2 tahun pertama, dimana 40%nya didapatkan pada usia
antara 3 dan 9 bulan. Intususepsi yang terjadi pada saat prenatal dapat
menyebabkan atresia intestinal biasanya atresia ileum.1,2,3
Insiden intususepsi cenderung bervariasi sesuai dengan musim yang sering
dikorelasikan dengan adanya infeksi virus. Dari hasil evaluasi kasus
intususepsi selama 25 tahun di Toronto didapatkan bahwa insiden kelainan ini
mencapai puncaknya pada bulan Mei dan Juni di tahun 1959 sampai 1968
sementara dari tahun 1985 sampai dengan 1990 terdapat dua kali lonjakan
yaitu pada bulan Januari dan Juli. Adanya infeksi virus yang mendahului
kelainan ini ditemukan pada 20% kasus. Pada kebanyakan laporan yang
publikasikan melaporkan peningkatan insiden terjadi di bulan Mei, Juni, dan
Juli.1,3
II. Patogenesis
Setiap intususepsi akan mengikuti kelainan anatomi sebagai berikut:
seiring dengan berkembangnya suatu intususepsi akibat peristaltic usus, bagian
usus proksimal yang mengalami invaginasi (intususeptum) membawa serta
mesenteriumnya ke dalam bagian distal intususepien. Pembuluh darah
mesenterium akan mengalami angulasi, penjepitan, dan terkompresi di antara
lapisan-lapisan intususeptum, yang selanjutnya akan menghasilkan kompresi
vena, kongesti, dan statis sehingga akan diproduksi mucus dan darah dari
bagian intususeptum, sering tapi tidak selalu akan tampak suatu gambaran
klasik kotoran berupa darah dan lendir yang berwarna merah gelap (red
currant jelly stool). Jika proses ini terus berlangsung, kongesti usus dan
peningkatan tekanan akan menyebabkan iskemik pada bagian usus tersebut
yang selanjutnya akan mengalami nekrosis. Dari hasil pengamatan yang
dilakukan oleh Ravitch, lapisan tengah intususepsi akan mengalami kerusakan
terlebih dahulu diikuti oleh lapisan paling dalam, sedangkan lapisan terluar
yang merupakan bagian dari intususepien adalah yang paling terakhir yang
mengalami nekrosis. Namun dari sejumlah kasus yang mengalami perforasi,
2
lokasi perforasinya justru ditemukan pada dinding intususepien dekat
intususeptum. Ukuran perforasi bervariasi mulai dari ukuran pin point sampai
dengan 2cm di daerah kolon yang mengalami nekrosis. Dari hasil pemeriksaan
mikroskopik terlihat suatu iskemik full-thickness pada daerah perforasi.
Diperkirakan proses iskemik dan nekrosis akan terjadi jika intususepsi
berlangsung selama 72 jam. 1,2,4
Intususepsi dapat dikategorikan berdasarkan perbedaan patogenesanya ke
dalam empat tipe, yaitu: tipe umum atau general, spesifik, anatomik, dan tipe
lainnya.1
Gambar 1. Patogenesis IntususepsiSumber : Coran’s Pediatric Surgery
Pada tipe umum dibedakan menjadi permanen dan transien. Kebanyakan
intususepsi (sekitar 80%) bersifat permanen, simptomatik (85%) dan semuanya
membutuhkan penanganan. Sementara pada transien intususepsi yang berkisar
20% dari semua kasus intususepsi mengalami reduksi spontan dengan sempurna.
Lebih dari setengah kasus transien intususepsi bersifat asimptomatik. 3
3
Pada tipe spesifik intususepsi dibedakan menjadi idiopatik, pathologic lead
point (PLP), dan post operatif. 1,2
A. Idiopatik
Idiopatik intususepsi tidak memiliki pathologic lead point. Umumnya
(95%) tipe ini muncul pada daerah ileocolic (ileocolic 85% dan ileoileocolic
10%). Menurut Ein dan Daneman sebenarnya setiap intususepsi mempunyai lead
point tetapi mayoritas (90%) lead pointnya hanya berupa penebalan dinding usus
oleh kelenjar limpoid (Payer’s patches). Bayi dan anak-anak memiliki jumlah
kelenjar limpoid yang cukup banyak pada saluran pernapasan dan pencernaannya.
Pada saat terjadinya infeksi virus kelenjar-kelenjar limpoid ini akan membesar
atau mengalami hipertropi. Pada saluran cerna hipertropi kelenjar limfoid ini akan
banyak ditemukan pada dinding usus bagian distal ileum. Biasanya kelenjar
limfoid ini terletak pada antemesenterik tetapi semakin ke distal ileum kelenjar ini
akan terdapat pada seluruh lingkaran permukaan mukosa dinding usus. Saat
kelenjar-kelenjar limfoid ini mengalami hipertropi dan berlangsungnya gerakan
peristaltic usus maka lumen usus akan semakin menyempit, sehingga dapat
mencetuskan terjadinya intususepsi. Infeksi virus ditemukan pada 20% kasus
mendahului terjadinya intususepsi. Adenovirus dan rotavirus menyebabkan
hyperplasia limfoid dan dihubungkan dengan intususepsi pada anak. Pada tahun
1999 badan pengawas obat dan makanan Amerika (FDA) melarang penggunaan
vaksin rotavirus tetravalent karena berhubungan dengan 20 kasus intususepsi.
Namun perdebatan tentang hal ini masih tetap hangat dibicarakan dalam literature
sampai dengan saat ini. 1,2,3
B. Patologik Lead Point (PLP)
Pada tipe PLP insidennya diperkirakan bervariasi antara 1,5% sampai 12%
dengan rata-rata 8%. Angka kejadian PLP meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, mulai dari 5% pada usia tahun pertama menjadi 60% pada
kelompok usia 5-14 tahun. Terdapat dua tipe PLP yang dapat ditemukan yaitu
berupa lesi fokal (tunggal) atau berupa kelainan difus saluran cerna. Pada
4
kebanyakan literature dalam topic ini menyebutkan divertikulum Meckel
merupakan penyebab PLP yang paling umum, diikuti oleh polip ileal serta
duplikasi ileal dan cekal. Lesi fokal lainnya yang lebih jarang ditemukan namun
pernah dilaporkan sebagai PLP adalah periappendisitis, stump appendix,
appendisial mucocele, local suture line, hyperplasia massif limfoid local, ektopik
pancreas, trauma abdomen, tumor jinak (adenoma, leiomyoma, carcinoid,
neurofibroma, hemangioma), dan tumor ganas (lymphoma, sarcoma, leukemia).
Penyakit yang menyebabkan kelainan difus saluran cerna berupa penebalan
dinding usus atau gangguan motilitas usus ataupun keduanya sehingga
menyebabkan intususepsi meliputi Henoch-Schonlein purpura, cystic fibrosis,
celiac disease, gangguan koagulasi, hemophilia, neutropenic colitis,
Hirschsprung’s enterocolitis, Peutz-Jeghers syndrome, dan familial polyposis. 1,2,3
Intususepsi yang disebabkan oleh PLP masih merupakan tantangan dalam
diagnosis karena variasi dan manifestasi yang sering tidak spesifik serta tipe lesi
yang luas dan melibatkan kelainan difus saluran cerna. Kebanyakan intususepsi
PLP akan memberikan tanda dan gejala yang sama seperti halnya pada tipe
idiopatik ileocolic. Faktor-faktor yang dapat membantu diagnosis intususepsi
akibat PLP menurut Navaro dan Daneman adalah adanya riwayat penyakit yang
dapat mencetuskan terjadinya intususepsi, tipe intususepsi ileoileocolic, usia anak
yang lebih tua, penurunan berat badan yang dihubungkan dengan penyakit kronis,
dan rekuren intususepsi. 1,3
Kebanyakan PLP secara anatomis bermanifestasi sebagai ileoileocolic
intususepsi dengan sejumlah kecil prosentase kasus berlokasi pada jejuno-jenunal,
ileoileal, ileocolic, appendicocolic, cecocolic, dan colocolic. Walaupun
intususepsi ileoileocolic dapat terjadi tanpa PLP namun pada 40% kasus
disebabkan oleh PLP. 1,2,3
Anak yang berusia lebih tua cenderung untuk mengalami intususepsi
karena PLP. Pada penelitian yang dilakukan oleh Blakelock dan Beasley
menunjukan bahwa insiden PLP meningkat seiring dengan bertambahnya usia
5
anak, dimana angka kejadiannya meningkat dari 5% pada usia tahun pertama
menjadi 60% pada saat berusia antara 5-14 tahun. Namun perlu diingat walaupun
kelompok usia ini dapat dijadikan predictor untuk PLP tetapi PLP juga dapat
ditemukan pada kelompok usia bayi dan anak yang merupakan tipikal usia untuk
tipe intususepsi ileocolic atau idiopatik. 1,2,3
Dari studi terhadap 1200 anak di Toronto selama lebih dari 40 tahun
didapatkan 11 kasus lymphoma (tumor ganas pada usus halus) yang
bermanifestasi sebagai intususepsi karena PLP. Umumnya pasien berusia lebih
dari 4,5 tahun, sakit kronis selama beberapa bulan, terdapat massa intraabdomen,
dan mengalami penurunan berat badan, dari semua gejala ini ditujukan karena
proses keganasan.2,4
Insiden PLP yang dilaporkan pada anak sangat bervariasi, secara umum
mencapai 12%, tetapi dari pengalaman yang didapatkan di Toronto menunjukan
angka kejadian PLP yang lebih tinggi khususnya pada pasien dengan rekuren
intususepsi yaitu mencapai 33%. Pemeriksaan radiologis memegang peranan
penting untuk menunjukkan ada tidaknya PLP. Navaro dan kawan-kawan
menunjukkan bahwa PLP didapatkan pada 4-5% pasien yang mengalami rekuren
pertama kali sementara pada pasien yang mengalami lebih dari satu kali rekuren
berkisar antara 14-19%. Walaupun multiple rekurensi menunjukkan adanya PLP,
namun pada umumnya pasien rekuren tidak ditemukan adanya PLP. 1,2,4
C. Post Operatif
Post operatif merupakan penyebab ketiga yang paling umum dari
intususepsi dan bermanifestasi sebagai obstruksi usus halus. Ini biasanya
ditemukan setelah laparotomi yang lama dengan retraksi dan manipulasi usus
yang signifikan, hampir selalu hanya melibatkan usus halus tetapi walaupun
jarang dapat juga ditemukan pada ileocolic. Tipikal post operatif intususepsi tidak
memiliki PLP namun pada 40% kasus didapatkan adanya PLP. Diperkirakan tipe
intususepsi ini berkisar antara 5-10% dari semua post operatif obstruksi usus
halus. Resiko terjadinya adhesi usus halus setelah laparotomi untuk alasan apapun
6
sekitar 5% dimana 80%nya menunjukkan gejala obstruksi usus halus dalam waktu
2 tahun pertama setelah laparotomi. Mayoritas obstruksi usus halus terjadi setelah
retroperitoneal diseksi (Wilms’ tumor, neuroblastoma) atau setelah ektensif
prosedur pada usus (abdominoperineal pull-through, Ladd prosedur). Pada
kebanyakan laparotomi, saat operasi berlangsung tidaklah aneh jika ditemukan
satu atau beberapa intususepsi kecil (<2cm) yang melibatkan usus halus yang
selanjutnya akan terkoreksi spontan saat observasi. Hal ini bukanlah sesuatu yang
patologik dan tidak merupakan predictor untuk terjadinya intususepsi dikemudian
hari. 1,2,5
Sejumlah penulis melaporkan terjadinya intususepsi setelah operasi yang
dilakukan pada struktur di luar abdomen. Diduga sebagai implikasi dari abnormal
peristaltic akibat banyak faktor seperti elektrolit imbalance, chemotherapy,
radiotherapy, anesthesia, obat-obatan, dan faktor neurogenik. Dasar diagnosis dari
“true” post operatif intususepsi yang harus diingat adalah tipe ini dapat terjadi dan
sungguh dapat ditemukan khususnya setelah suatu major laparotomi.
Manifestasinya dapat ditemukan pada waktu awal setelah operasi berupa obstruksi
usus halus dan mungkin hanya berupa gejala adinamik ileus setelah operasi. 1,3
Tipe ileocolic merupakan tipe yang paling umum meliputi 85% dari
seluruh kasus intususepsi dan merupakan tipe anatomic utama dari idiopatik
intususepsi. 1,2,3
Tipe kedua yang paling umum adalah ileoileocolic (4%). Tipe ini
mempunyai dua komponen, yang pertama adalah bagian ileoileal yang kemudian
mengalami invaginasi ke dalam cecum dan colon sehingga menjadi ileoileocolic.
Pada beberapa laporan lainnya menyebutkan insiden tipe ini sekitar 5-12%.
Intususepsi ileoileocolic ditandai dengan obstruksi komplit usus halus sehingga
semakin sulit untuk direduksi. Tipe ini dapat ditemukan pada idiopatik intususepsi
tetapi 40%nya memiliki PLP sebagai penyebabnya. 1,2,3
Tipe Appendicocolic, cecocolic, dan colocolic jarang didapatkan dan
hanya berkisar 2,5%. Biasanya berhubungan dengan PLP. 1,2,3
7
Tipe jejunojejunal dan ileoileal juga jarang ditemukan berkisar 2,5% dan
biasanya mempunyai PLP kecuali jika ditemukan pada post operatif intususepsi. 1
Tipe yang terakhir adalah around tube intususepsi. Tipe ini mulai menjadi
permasalahan seiring dengan semakin banyak digunakannya tube untuk
dekompresi dan feeding selama decade terakhir. Hughes dan Connonly
melaporkan intususepsi terjadi pada 16% gastrojejunostomy tube. Komplikasi ini
terjadi pada semua jenis tube dan kateter yang ditempatkan pada jejunum.
Intususepsi bersifat antegrade (prograde), biasanya terjadi pada sepanjang atau
pada akhir gastrojejunostomy. Hal ini akan menyebabkan obstruksi tinggi usus
halus dengan muntah bilious tetapi tanpa disertai kolik ataupun nyeri. Diagnosis
ditegakkan dengan mudah melalui pemeriksaan USG dan masalah ini akan dapat
diatasi dengan mengeluarkan, memindahkan, menarik keluar, atau merubah tube
menjadi gastrostomy atau nasogastric tube. Jarang dibutuhkan tindakan
pembedahan tetapi dapat terjadi rekuren. Kebanyakan intususepsi ini bersifat
transient dan dapat mengalami reduksi spontan sehingga prevalensi sebenarnya
dari kelainan ini kurang diperhitungkan. Bukanlah suatu hal yang aneh jika
intususepsi yang diinduksi oleh tube ditemukan secara incidental dan
asimptomatik dimana terapi yang mungkin diberikan hanya berupa konservatif
klinikal monitoring. Retrograde jejunoduodenogastric intususepsi terjadi ketika
gastrostomy tube berpindah ke dalam duodenum atau jejunum ataupun keduanya
akibat peristaltic gaster. Kelainan ini berkembang tanpa disertai nyeri dengan tube
yang masih berfungsi baik, disertai obstruksi tinggi usus halus berupa muntah
bilious dan tidak disertai dengan feeding yang diberikan. Penyebab terjadinya hal
ini adalah pada waktu menarik gastrostomy tube yang masuk ke dalam tanpa
mengempeskan dahulu balon tube yang masih mengembang. Diagnosis dengan
mudah dilakukan melalui pemeriksaan USG dan tindakan pembedahan mungkin
diperlukan. Intususepsi yang terjadi akibat gastroenterostomi dengan manifestasi
gastric outlet obstruction hampir selalu memerlukan tindakan pembedahan. 2,3
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Toronto pada tahun 1968, angka
rekurensi secara keseluruhan adalah 5%. 11% diantaranya setelah reduksi barium
8
enema (BE), 3% setelah operasi dengan reduksi manual, dan 0% setelah operasi
dengan reseksi segmen intususepsi. Laporan lainnya menunjukkan angka 8-15%.
Pada tahun 1998, dari hasil evaluasi selama 17 tahun di Toronto masih
menunjukkan gambaran yang sama dengan penelitian sebelumnya di tahun 1968. 1
Pola rekurensi yang ditunjukkan oleh 68% pasien anak hanya
menunjukkan satu kali rekurensi dan pada umumnya muncul pada beberapa hari
setelah inisial intususepsi. Beberapa pasien mengalami rekurensi dalam beberapa
jam setelah komplit reduksi berhasil dilakukan. Semakin dekat waktu rekurensi
terjadi dari waktu inisial intususepsi semakin besar kemungkinan tidak
komplitnya inisial reduksi atau bukan merupakan rekurensi. Sementara 32%
pasien anak lainnya mengalami multiple rekurensi yang muncul dalam beberapa
waktu tertentu baik dalam hitungan hari, minggu, bulan ataupun tahun. 2,4,5
Pada tahun 2000, Lin dan kawan-kawan menggunakan premedikasi
dexamethazone intramuskuler sebelum procedure pneumatic air enema (AE)
untuk menurunkan angka rekurensi awal dengan tujuan meminimalkan
hyperplasia kelenjar limfoid. Dari 122 pasien yang menerima steroid selama 6
bulan follow-up hanya satu pasien yang mengalami rekurensi. Tetapi validasi
lebih lanjut mengenai keuntungan penggunaan steroid dalam mencegah rekurensi
belum dipublikasikan. 2,4
Pada sejumlah serial penelitian menunjukkan angka reduktibilitas yang
sangat tinggi untuk intususepsi inisial dan rekuren, masing-masing mencapai
angka 90% dan 95% tanpa adanya perforasi. Tingginya angka ini karena beberapa
faktor seperti: waktu antara munculnya tanda dan gejala rekurensi dan saat tiba di
rumah sakit tergolong singkat rata-rata 8 jam. Hal ini dimungkinkan karena
tingginya tingkat kepedulian orang tua pasien. Semakin dini diagnosis ditegakkan
semakin besar kemungkinan berhasilnya reduksi. Faktor lainnya yang berperan
adalah perfusi pada rekuren intususepsi lebih baik sehingga akan lebih mudah
untuk direduksi, namun hal ini juga akan memperbesar kemungkinan terjadinya
rekurensi. 2,3
9
Disarankan bahwa tindakan pembedahan sebaiknya hanya dilakukan pada
rekuren intususepsi yang tidak tereduksi setelah beberapa kali percobaan reduksi,
jika terdapat perforasi dari enema, atau jika terdapat PLP yang didokumentasikan
lewat pemeriksaan radiologis. 2,4,6
IV. Gambaran Klinis dan Diagnosis
IV.1. Gejala
Gejala klasik yang paling umum (85%) dari pediatrik intususepsi adalah
nyeri perut yang sifatnya muncul secara tiba-tiba, kolik, intermiten,
berlangsung hanya selama beberapa menit, dan pada bayi sering terlihat kedua
kakinya terangkat pada saat berlangsungnya gejala. Setelah episode nyeri
tersebut, bayi akan kelihatan tenang, pucat, dan berkeringat, kemudian untuk
sementara mereka akan kembali pada aktivitas normalnya. Pada anak yang
berusia lebih tua dapat mengeluhkan nyeri perut dan menentukan lokasinya.
Fakta terpenting adalah pada 15% bayi dan anak tidak menunjukkan gejala
nyeri yang jelas. Tidak ditemukannya nyeri perut tetapi disertai dengan
muntah, massa di abdomen, dan perdarahan perektal akan menyebabkan
tertundanya diagnosis (51 jam) hampir dua kali lipat dari waktu rata-rata
dalam penegakkan diagnosis intususepsi. Ravitch menyatakan bahwa
didapatkannya nyeri perut lebih umum pada anak yang berusia di atas 2 tahun.
Tetapi tidak didapatkannya nyeri perut tidak akan mengesampingkan
intususepsi. 2,4,5,6
Ravitch dan Young mendapatkan gambaran klinis intususepsi yang serupa
pada kebanyakan negara, tetapi yang menarik adalah muntah menjadi gejala
inisial yang paling umum (44%) melampaui gejala klasik nyeri perut. Pada
penelitian serial di Toronto selama 25 tahun didapatkan bahwa muntah adalah
gejala kedua yang paling umum setelah nyeri perut. Muntah cenderung
didapatkan pada bayi daripada anak yang berusia lebih tua. Tidak adanya
muntah belum dapat mengeluarkan intususepsi dari kemungkinan diagnosis. 2
10
IV.2. Tanda
Dua tanda klasik intususepsi yaitu massa di abdomen dan perdarahan
perektal ditemukan dengan frekuensi yang hampir sama. Massa abdomen,
yang sering disebut seperti sosis (sausage-like), paling sering teraba pada
bagian kanan atas abdomen dan dapat memanjang ke kiri (epigastrium)
sapanjang lokasi colon transversum. Pada kebanyakan penelitian dilaporkan
tanda ini didapatkan pada 65% kasus tetapi pada penelitian di Toronto tahun
1997 menurun menjadi 22% tanpa penjelasan yang jelas. Massa tersebut
teraba sedikit tegang dan hanya mungkin didapatkan bila bayi atau anak
berbaring terlentang dan tenang di antara dua periode nyeri. Dapat dimengerti
mengapa pada pasien pediatrik dengan intususepsi tanpa nyeri baru dapat
terdiagnosis setelah beberapa waktu kemudian dimana pasien telah terlihat
dalam keadaan syok, pucat dan sakit berat. Pada saat ini massa abdomen dapat
dilihat tanpa harus dipalpasi. Tanda ini juga dikenal sebagai ”signe de Dance”
dimana tidak teraba usus pada kuadran kanan bawah abdomen. Pada beberapa
kasus bagian usus yang mengalami invaginasi masuk sampai jauh ke distal
dan 5% kasus dapat teraba pada pemeriksaan rektum. Pada sebagian kecil
kasus intususeptum dapat mengalami prolaps keluar dari rektum sehingga
sering disalah diagnosis dengan prolaps rekti. Ravitch melaporkan hal ini
ditemukan pada sekitar 3% kasus. Tidak ditemukannya massa abdomen yang
dapat dipalpasi belum dapat menyingkirkan suatu intususepsi. 2,4,5
Tanda kedua yaitu perdarahan perektal, menurut Ravitch didapatkan lebih
sering daripada terabanya massa abdomen (95% pada bayi dan 65% pada anak
yang berusia lebih tua). Pada serial penelitian di Toronto, perdarahan perektal
didapatkan pada 60% kasus di tahun 1968 dan 43% pada tahun 1997.
Perdarahan perektal digambarkan secara klasik sebagai ”a currant jelly
appearance” yaitu BAB darah bercampur lendir. Tanda ini merupakan alasan
utama bagi orang tua setelah nyeri perut untuk datang ke rumah sakit. Perlu
diingat bahwa tanda ini merupakan tanda yang paling terakhir muncul dari
11
suatu intususepsi sehingga tidak ditemukannya perdarahan perektal tidak
menyingkirkan kemungkinan terjadinya intususepsi. 2,4,5,6
IV.3. Diagnosis Klinis
Dengan didapatkannya dua gejala klasik yaitu nyeri abdomen dan muntah
disertai dengan dua tanda klasik yaitu massa abdomen dan perdarahan perektal
akan membantu menegakkan diagnosis intususepsi pada bayi atau anak. Waktu
rata-rata yang diperlukan sebelum kombinasi dari keempat gejala dan tanda ini
membawa kita pada diagnosis sekitar 24 jam (42% dalam 12 jam dan 70% dalam
24 jam). Dari hasil evaluasi terhadap 300 lebih kasus intususepsi dari tahun 1985
sampai 1990 di Toronto waktu rata-rata yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis adalah 36 jam. Namun hanya dibutuhkan 8 jam untuk menegakkan
diagnosis rekuren intususepsi. 2,3,4
Gejala dan tanda klinis intususepsi tidaklah sulit untuk dikenali selama
seorang pemeriksa mengenali dan menyadari kemungkinan terjadinya suatu
intususepsi. Walaupun demikian riwayat nyeri kolik abdomen sangat dibutuhkan
terlebih pada bayi. Biasanya satu, dua, atau tiga dari gejala dan tanda klasik
(muntah, perdarahan perektal, dan massa abdomen) dapat ditemukan untuk
membantu diagnosis. Jika kita menunggu untuk ditemukannya keempat gejala dan
tanda klasik (hanya ditemukan pada 30% kasus) tersebut sebelum menegakkan
diagnosis maka akan terlambat. Tiga dari empat gejala dan tanda klasik tersebut
hanya ditemukan pada 40% kasus, dua dari empat pada 20% kasus, dan satu dari
empat pada 10% kasus. Pada 20% pasien pediatrik dengan intususepsi didahului
dengan diare akibat infeksi virus sebelum munculnya gejala dan tanda klasik,
sehingga menyebabkan penundaan dalam diagnosis. Tidak jarang bayi atau anak
dengan diare tersebut dipulangkan atau dirawat di unit penyakit infeksi dengan
diagnosis yang keliru yaitu gastroenteritis. Penundaan ini dapat menyebabkan
konsekuensi yang serius. Tidak diragukan bahwa diagnosis intususepsi dapat
ditegakkan secara klinis tetapi secara keseluruhan tingkat akurasi diagnosis yang
hanya didasarkan pada klinis hanya mencapai 50%.2,4,5
12
Lima prinsip diagnosis menurut Wansbrough dari hasil penelitiannya pada
lebih dari 600 kasus selama 35 tahun di Toronto tahun 1953 masih dapat
diterapkan yaitu: adalah kewajiban seorang dokter untuk menyingkirkan
kemungkinan intususepsi pada bayi yang menolak untuk makan dan minum atau
muntah selama beberapa jam; pada bayi dengan keadaan demikian harus dicari
ada tidaknya perdarahan perektal atau massa pada abdomen; adanya diare tidak
menyingkirkan kemungkinan intususepsi; anak yang berusia lebih tua dengan
tanda-tanda obstruksi intestinal dapat disebabkan oleh intususepsi; intususepsi
harus dipertimbangkan pada setiap bayi dengan keluhan keluarnya darah melalui
rektum. Perlu ditambahkan juga tentang riwayat nyeri kolik abdomen agar jangan
sampai terlupakan. 2,4,5
V. Diagnosis Radiologis1-7
V.1. Foto Polos Abdomen
Peranan foto polos abdomen dalam membantu mendiagnosis intususepsi
pada pasien anak masih tetap diperdebatkan. Pada tahun 1999 dilakukan
survey pada sejumlah anggota European Society of Pediatric Radiology dan
didapatkan data bahwa 73% radiologis masih menggunakan pemeriksaan foto
polos abdomen secara rutin. 4,5,6
Dari sejumlah data penelitian disimpulkan bahwa peranan foto polos
abdomen sering tidak dapat membantu diagnosis intususepsi dimana tingkat
akurasinya hanya berkisar antara 25-50%. Walaupun demikian terdapat
beberapa tanda karakteristik intususepsi yang bisa didapatkan pada foto polos
abdomen yaitu ”meniscus sign” dan ”target sign”. Disamping itu foto polos
abdomen dapat membantu untuk melihat adanya udara bebas intraperitoneal
sebelum dilakukan reduksi enema. 4,5,7
Di negara-negara maju foto polos abdomen tidak lagi disarankan untuk
mendiagnosis intususepsi pada bayi dan anak. Hal ini dimungkinkan karena
penggunaan USG sebagai sarana diagnostik dan kondisi pasien saat datang
pada umunya masih dalam tahap awal. Sebaliknya di negara-negara
13
berkembang kebutuhan akan foto polos abdomen masih sangat besar karena
kemungkinan ditemukannya peritonitis dan perforasi masih sangat besar
karena tertundanya diagnosis. 4,5,6
V.2. Ultrasonografi (USG)
Pada tahun1987, Pracros dan kawan-kawan melaporkan tingkat akurasi
USG dalam mendiagnosis intususepsi mencapai 100%. Hal yang senada juga
telah dilaporkan oleh sejumlah penelitian lainnya. 4,7,8
Intususepsi mempunyai karakteristik dalam gambaran ultrasonografi
sehingga membuat diagnosisnya sangatlah mudah. Gambaran tersebut adalah
gambaran massa seperti donut atau target berdiameter 3-5cm biasanya ditemukan
pada bagian kanan abdomen. Selain itu keunggulan USG adalah bersifat non-
invasif dan bebas radiasi. Namun yang perlu diingat bahwa USG bersifat operator
dependent sehingga tingkat akurasinya dapat menurun jika dilakukan oleh
radiologis yang kurang berpengalaman. 4,7,8
Keunggulan USG lainnya adalah sangat efektif dalam
mendokumentasikan adanya PLP. Navarro dan kawan-kawan melaporkan USG
mampu menunjukkan adanya PLP pada 66% kasus dimana 26% lebih banyak dari
yang dapat ditunjukkan oleh BE dan 55% lebih banyak dari AE. 4,7,9
Kelebihan USG telah dievaluasi dalam memperkirakan reduksibilitas
suatu intususepsi melalui enema dan adanya nekrosis usus. Tanda-tandanya
meliputi penebalan peripheral hypoechoic rim dari intususepsi, cairan bebas
intraperitoneal, cairan yang terperangkap dalam intususeptum, pembesaran KGB
mesenterium yang tertarik bersama ke dalam intususepsi, PLP, dan yang paling
penting adalah tidak adanya aliran darah pada intususepsi pada pemeriksaan
dengan USG Doppler. 4,6,8
V.3. Kontras Enema
Pemeriksaan colon dengan barium enema (BE) telah menjadi gold standar
untuk diagnosis ataupun untuk menyingkirkan kemungkinan intususepsi di
14
banyak tempat di dunia sampai dengan pertengahan 1980-an, dimana pada saat itu
peranan USG mulai dikenali. Namun di beberapa institusi masih
merekomendasikan kontras barium enema sebagai metode yang tercepat dan
paling murah. Keunggulan teknik ini adalah tingkat akurasinya yang mencapai
100% dan prosedur diagnostik ini sekaligus juga untuk terapi. Kekurangan
metode ini adalah bersifat invasif dan membutuhkan dosis kecil radiasi. Di
samping itu teknik ini tidak dapat menunjukkan ada tidaknya kelainan
intraperitoneal lainnya ataupun keberadaan PLP. 4,7,8
VI. Penatalaksanaan1-7
Penatalaksanaan intususepsi pada bayi dan anak harus dimulai pada saat
pasien tiba di unit gawat darurat dan seorang ahli bedah sudah harus dilibatkan
mulai dari saat itu juga. Resusitasi cairan dan pemasangan NGT harus dilakukan
terlebih pada pasien dengan muntah-muntah. Pemberian antibiotic (termasuk
untuk bakteri anaerobic) perlu dilakukan mengingat kemungkinan diperlukannya
tindakan pembedahan yang membutuhkan reseksi usus. Persiapan darah harus
segera disiapkan untuk kemungkinan transfusi. Sementara hal-hal di atas
dikerjakan permintaan pemeriksaan radiologis harus segera dikonfirmasi sekaligus
untuk keperluan reduksi. Persiapan kamar operasi secara bersamaan harus
disiapkan sehingga pada saat tindakan non operatif tidak berhasil, pasien dapat
dengan segera dilakukan tindakan pembedahan. 1,4,7,9
Pilihan penatalaksanaan cukup sederhana meliputi medikasi (pada situasi
yang jarang dan sangat spesifik), reduksi radiologis (hidrostatik barium enema
atau pneumatic air enema), ataupun pembedahan (reduksi, reseksi, penutupan
perforasi enema, ataupun eksisi PLP secara laparotomi ataupun laparoskopi).
Selama 25 tahun terakhir terjadi perubahan besar pada penatalaksanaa intususepsi
dimana terjadi peningkatan dalam percobaan reduksi radiologis. Jika pada tahun
1968 di Toronto hanya sekitar 75% pasien intususepsi yang menerima percobaan
reduksi hidrostatik dengan barium enema maka pada saat sekarang ini semua
15
pasien intususepsi tanpa melihat riwayat lamanya perlangsungan penyakit
dilakukan percobaan reduksi radiologis baik reduksi hidrostatik menggunakan
barium enema atau kontras water-soluble maupun dengan reduksi pneumatic
menggunakan udara. 4,11
VI.1. Medikal
Pada situasi yang sangat spesifik beberapa kasus intususepsi yang
disebabkan oleh PLP tipe penebalan difus dinding abdomen diterapi dengan
pemberian steroid sebelum, atau bersamaan, dan atau setelah percobaan reduksi
radiologis baik itu gagal atau berhasil. Sejauh ini telah dilaporkan dua jenis
kelainan dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi yaitu dua kasus limpoid
hyperplasia dengan keberhasilan 100% dan 7 kasus Henoch-Schonlein Purpura
(HSP) dengan tingkat keberhasilan 50%.1,4,7,8
Mekanisme kerja steroid pada limpoid hyperplasia masih belum jelas.
Kokkonen dan Karttunen berspekulasi bahwa pemberian steroid dapat menekan
reaksi imunologik intestinal terhadap antigen makanan sehingga dapat
menurunkan limpoid hyperplasia. 1,4,7,8
Kebanyakan pasien dengan HSP memiliki gejala gastrointestinal yang
pada inisialnya diterapi secara konservatif, tetapi jumlah laparotomi yang
dilakukan karena komplikasi yang mengancam nyawa sekitar 5-22%. Komplikasi
yang paling sering adalah intususepsi, didapatkan pada 3% pasien HSP. Walaupun
dilaporkan jenis intususepsi ileoileal dan ileocolic sebanding pada HSP tetapi 6
dari 7 pasien memiliki tipe ileoileal. Hanya ileocolic intususepsi yang
memungkinkan untuk dilakukannya percobaan reduksi enema. 1,4,5,12
Kegunaan steroid pada terapi HSP secara umum masih controversial.
Sebuah studi yang membandingkan pasien HSP yang diberikan steroid dan yang
tidak mengungkapkan bahwa morbiditas seperti nyeri gastrointestinal akan
menghilang pada pasien HSP yang diberikan steroid dalam waktu singkat (24-48
jam). Namun dari literature dikatakan bahwa keuntungan penggunaan steroid
adalah untuk menghilangkan gejala yang disebabkan oleh HSP tetapi tidak untuk
16
menyembuhkannya. Efek steroid pada gejala gastrointestinal ini dimungkinkan
oleh kemampuannya untuk mengurangi edema dinding usus. Tetapi tidak
diketahui apakah dengan kelebihannya ini steroid dapat mencegah intususepsi
pada HSP. 1,4,7,8
Bila steroid diberikan sebagai terapi inisiasi pada pasien HSP dengan
intususepsi dan tetap tidak tereduksi maka pasien tersebut harus diobservasi ketat.
Menurut Sonmez dan kawan-kawan terapi konservatif mungkin dilakukan pada
pasien HSP dengan intususepsi usus halus yang kecil selama onsetnya diketahui
dan diagnosisnya telah dikonfirmasi dengan USG dan x-ray, fasilitas operasi
emergensi tersedia serta tim ahli bedah anak yang berpengalaman mengawasi
pasien tersebut. 1,2,8
VI.2. Reduksi Radiologis
Sangatlah penting untuk menyeleksi bayi dan anak sebagai kandidat yang
tepat untuk dilakukannya percobaan reduksi hidostatik atau pneumatic enema,
disamping sangat jarang pasien yang memerlukan pembedahan segera. Seleksi ini
dapat dilakukan sementara resusitasi cairan berlangsung dan pasien berada dalam
kondisi yang cukup stabil. Beberapa ahli berpendapat bahwa kontraindikasi
dilakukannya reduksi enema bila ditemukan adanya peritonitis dan udara bebas
dalam intraperitoneum. Namun kondisi tersebut sangat tidak lazim ditemukan
pada pasien-pasien intususepsi dari pengalaman di Toronto. Beberapa faktor yang
dapat menjadi indicator terjadinya perforasi dengan barium enema yaitu, usia
kurang dari 6 bulan, riwayat gejala selama 72 jam, dan obstruksi komplit usus
halus. 7,8,10
Saat ini dikenal empat teknik reduksi radiologis non-operatif yang telah
digunakan secara luas yaitu: reduksi pneumatic dengan bimbingan fluoroscopic,
reduksi pneumatic dengan bimbingan USG, reduksi hidrostatik dengan bimbingan
fluoroscopic, dan reduksi hidrostatik dengan bimbingan USG. Selama beberapa
tahun terakhir terdapat trend perubahan dari reduksi hidrostatik ke teknik
17
pneumatic dengan bimbingan USG. Jelasnya keuntungan penggunaan USG yang
dapat menghindarkan paparan radiasi, menyediakan informasi yang lebih banyak
daripada yang bisa diberikan oleh teknik fluoroscopic, tingkat akurasi yang tinggi
untuk memonitor proses reduksi, mampu memvisualisasikan semua komponen
intususepsi termasuk udem katup ileocecal post reduksi, dan dapat dengan mudah
mengenali PLP, menjadikan USG sebagai pilihan pertama. Kekurangan utamanya
adalah diperlukannya seorang radiologis yang benar-benar berpengalaman dalam
menggunakan USG dalam membimbing reduksi. Selain itu pengalaman teknik
reduksi dengan bimbingan USG untuk mengenali perforasi masih kurang.7,8,10
Gambar 2. Reduksi RadiologiSumber : Coran’s Pediatric Surgery
a. Hidrostatik Barium Enema
Keunggulan utama penggunaan teknik reduksi hidrostatik barium enema
adalah sebagian besar radiologis sangat familiar dan memiliki banyak pengalaman
dengan penggunaan bahan kontrasnya serta teknik fluoroscopic untuk metode ini.
Teknik ini sederhana, aman, dan effisien. Kerugian dari penggunaan barium dan
media cair lainnya adalah pengunaannya yang “messy”, jika perforasi terjadi akan
menyebabkan peningkatan kontaminasi intraperitoneum khususnya untuk barium. 7,8,10,11
Teknik ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1926 dengan
menggunakan larutan saline. Cairan dimasukkan melalui rectum menggunakan
18
rectal tube dari ketinggian 3 kaki (91,44 cm) di atas meja radiologi selama 3 menit
kemudian dapat dicoba sampai dengan 3 kali. 7,8,10
Teknik hidrostatik barium enema yang digunakan di Toronto adalah
modifikasi Ravitch. Larutan Barium yang masukkan dimulai pada ketinggian 3
kaki, tetapi secara perlahan dapat dinaikkan ketinggiannya jika diperlukan.
Ravitch menyarankan untuk melanjutkan BE walaupun dalam waktu 10 menit
tidak terjadi perubahan, namun tidak melebihi 45 menit. Terdapat variasi
kecepatan yang sangat besar pada saat reduksi tercapai, dimana ada reduksi yang
prosesnya berlangsung cepat sebaliknya ada pula yang memakan waktu yang
cukup lama. Biasanya terdapat perhentian saat barium mencapai lokasi
intususepsi. Secara tipikal kolum barium yang awalnya berbentuk lonjong
berubah menjadi konkaf dan berbentuk meniscus di sekitar ujung distal
intususepsi. Ketika intususepsi bergeser, bentuk meniscus akan berubah mendatar.
Karena intususeptum mengisi lumen intususipien yang relative lebih besar maka
barium akan merembes masuk di antara lapisan keduanya dan memberikan
gambaran karakteristik “coiled spring appearance”. Pengisian kontras dalam
cecum kadangkala berlangsung lambat sehingga akan terjadi distensi untuk
sementara waktu sebelum secara tiba-tiba terjadi pengaliran cepat barium ke
dalam distal ileum yang menandakan telah tereduksi. Jika ileum tidak terisi
dengan bebas sepanjang beberapa kaki maka reduksi belum dapat dikatakan
komplit. Proses ini mungkin perlu dilakukan kembali jika barium keluar kembali
melalui rectum atau rectal tube yang digunakan posisinya terdorong keluar atau
tercabut. Pada saat reduksi berhasil bayi atau anak akan terbebas dari rasa nyeri
dan umumnya akan tertidur. 7,8,10
b. Pneumatik Air Enema
Teknik reduksi pneumatik dengan fluoroscopi telah diterima secara luas
karena beberapa keuntungan yaitu: mudah dan cepat dikerjakan, kurang ”messy”,
paparan radiasi yang lebih sedikit, lebih nyaman, angka perforasi yang lebih kecil
serta kontaminasi peritoneal yang lebih sedikit. Kekurangan metode ini adalah
19
udara dapat memasuki terminal ileum tanpa menghasilkan reduksi komplit dari
intususepsi ileocolic. Radiologis di Toronto memulai prosedur ini dengan
memberikan tekanan pneumatik rendah, 50 mmHg yang terkadang bisa berhasil
mereduksi, bila tidak tekanan dinaikkan secara perlahan-lahan sesuai kebutuhan
tetapi tidak melebihi 110-120 mmHg. 7,8,10
VI.3. Metode Untuk Meningkatkan Angka Reduksi1,5,6
Beberapa penulis menyarankan beberapa praktek tertentu yang oleh
mereka diyakini dapat meningkatkan angka reduksi enema.
a. Medikal
Beberapa ahli merekomendasi penggunaan steroid sebelum dan atau pada
saat reduksi dilakukan. Penjelasan mengenai hal ini telah diuraikan di bagian
medikal sebelumnya. 7,8,11
Sejumlah ahli lainnya menyarankan penggunaan relaxan otot polos
(khususnya glukagon) dan sedasi untuk membantu percobaan reduksi. Tetapi hasil
yang didapatkan sangat bervariasi dan belum dapat dimengerti secara jelas. 8,9,10
Pada tahun 1992, Mayer melakukan survey dan mendapatkan bahwa
glukagon dan sedasi tidak banyak digunakan oleh para ahli pediatrik radiologi di
Amerika Utara. Hasil yang serupa juga didapatkan pada survey tahun 1999 yang
dilakukan oleh European Pediatric Radiologists, dimana hanya 35% sedasi
digunakan secara rutin. Secara umum masih sedikit bukti klinis yang mendukung
penggunaan sedasi dalam reduksi intususepsi. 8,9,10
b. Delayed Repeat Enema
Pada masa lalu, intervensi operasi segera merupakan standard praktek jika
intususepsi tidak berhasil direduksi dengan teknik enema. Tetapi pada saat
pembedahan didapatkan 10% kasus yang telah tereduksi dan 40% lainnya dapat
dengan mudah direduksi manual. Sehingga secara spekulatif dapat dikatakan
bahwa tindakan pembedahan dapat dihindarkan pada 50% kasus jika dilakukan
20
pendekatan yang berbeda pada teknik enema yang dilakukan oleh radiologis.
Dengan pertimbangan ini maka suatu tindakan pembedahan hanya diperlukan
pada kasus-kasus yang sulit untuk direduksi manual atau intususepsinya telah
mengalami nekrosis, perforasi akibat enema, atau adanya PLP. Guo dan Collins
melaporkan prosedur delayed repeat enema sebelum pasien dibawa ke kamar
operasi. Namun dari laporan mereka dan sejumlah laporan lainnya tidak secara
jelas menyatakan interval waktu di antara prosedur ulangan tersebut. Walaupun
delayed repeat enema banyak dibicarakan dalam literatur namun prosedur ini
telah berhasil diterapkan di Toronto dan di beberapa institusi lainnya selama
bertahun-tahun. Dari angka keberhasilan teknik enema radiologik saat ini yang
mencapai 90% hanya sekitar 12% yang merupakan kontribusi dari delayed repeat
enema. Reduksi parsial dan interval waktu antara delayed repeat enema
memungkinkan penurunan kongesti vena dan edema dinding usus sehingga
memfasilitasi reduksi residual intususepsi yang telah berkurang kongesti pada saat
prosedur ulangan. 8,9,10
Guideline untuk delayed repeat enema telah dibuat oleh Toronto Study
berdasarkan pengalamannya sebagai berikut:
1. Durasi gejala dan tanda kurang dari 36 jam
2. Suhu badan pasien kurang dari 38°C
3. Nadi kurang dari 150 per menit
4. Intususepsi bergerak (lebih dekat ke katup ileocecal lebih baik)
5. Pasien menjadi asimptomatik
6. Interval antara percobaan reduksi 2-4 jam kelihatannya sesuai dan aman
walaupun interval yang lebih lama mungkin untuk dicoba selama kondisi
pasien stabil.
Pendekatan ini membutuhkan kerjasama yang baik antara pediatrik radiologis
yang berpengalaman dan ahli bedah anak. Resiko akan melampaui keuntungannya
kecuali jika bayi dan anak dimonitor secara ketat di antara percobaan delayed
repeat enema. 8,9,10,11
c. Perawatan Pasca Reduksi
21
Setelah percobaan reduksi enema bayi atau anak harus diobservasi ketat
minimal 24-48 jam, tergantung pada keadaan umum pasien dan keberhasilan
reduksi enema. Jika intususepsi dikenali pada tahap awal, anak belum
menunjukkan gejala muntah, reduksi enema berhasil dengan mudah, orang tua
dapat diandalkan, dan bertempat tinggal di daerah yang tidak terlalu jauh dari
rumah sakit maka pasien dapat dipulangkan. Pada umumnya pasien dirawat inap
untuk obeservasi dan terapi lebih lanjut. 8,9,10
VI.4. Pembedahan (Laparotomy)1-4,7
Bila semua penanganan non-operatif yang telah disebutkan sebelumnya
tidak berhasil maka tindakan pembedahan diperlukan. Dari pengalaman di
Toronto didapatkan sekitar 10% kasus yang harus dilakukan pembedahan.
Insisi pilihan yang biasanya dilakukan adalah insisi transverse pada sisi
kanan abdomen dapat di atas ataupun di bawah umbilicus. Saat penderita di
anestesi massa intususepsi biasanya teraba dan hal ini dapat mempengaruhi lokasi
insisi yang dilakukan oleh operator. Lokasi insisi alternative adalah insisi midline
atas dengan fleksibilitas tergantung pada apa yang ditemukan dan apa yang harus
dikerjakan, insisi dapat diperlebar ke bawah melingkari umbilicus. Ukuran dan
posisi insisi harus memungkinkan operator menjangkau intususepsi yang biasanya
berada di bagian kanan abdomen, terkadang di bagian epigastrium, dan yang
paling jarang dapat berada dibagian kiri abdomen. Semakin distal suatu
intususepsi semakin sukar untuk direduksi. Sekum pada bayi biasanya tidak
terfiksasi dengan baik sehingga dengan setiap jenis insisi yang disebutkan di atas
dapat dijangkau dengan mudah. 8,9,10,11
Pada saat memasuki rongga abdomen, usus yang nekrosis dapat
terdiagnosis melalui warna cairan peritoneum yang berwarna serosanguineus.
Massa intususepsi biasanya dapat dengan mudah dikeluarkan dari tempat insisi.
Selanjutnya kunci keberhasilan dari reduksi manual adalah pinching (menekan
dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk) secara konstan dan perlahan-lahan,
squeezing (seperti menekan tube untuk mengeluarkan isinya), atau milking ke arah
22
proximal pada bagian distal intususepsi melalui dinding intususepien. Ini dapat
dibantu oleh asisten dengan menarik intususepsi secara perlahan dan hati-hati
keluar dari intususepien. Ravitch berpendapat bahwa tindakan menarik intususepsi
tidak boleh dilakukan sementara Gross mengatakan hal itu dapat saja dilakukan
dengan sangat hati-hati. Kombinasi manuver di atas (secara primer pinching,
squeezing, atau milking) merupakan bagian esensial dari reduksi manual dan
harus dilakukan secara perlahan-lahan dan terus-menerus tanpa interupsi. Efek
teknik ini adalah meningkatkan tekanan intralumen seperti halnya pada enema.
Ravitch menyarankan pemberian injeksi minyak mineral steril secara hati-hati di
antara intususeptum dan intususepien karena dapat membantu reduksi. Namun
Ravitch menolak memasukkan jari atau klem Kelly pada celah ini untuk
mengevakuasi cairan edema. Dengan cara yang serupa jari telunjuk dapat
dimasukkan di antara intususepsi dan intususepien untuk membuat celah yang
lebih lebar di antara keduanya, teknik ini dikenal dengan modified Hutchinson’s
maneuver. 8,9,10,12
Banyak ahli bedah yang melakukan appendektomi setelah reduksi manual
berhasil diikuti dengan beberapa buah jahitan sero-serosal dari ileum terminalis ke
colon ascenden dengan tujuan mencegah terjadinya rekurensi. Namun hal ini
masih hangat diperdebatkan. 8,9,10
Gross mengatakan hanya dengan melalui pengalaman, seorang operator
akan tahu berapa lama percobaan reduksi manual dilakukan. Kadang-kadang lebih
baik meluangkan waktu 20 menit daripada langsung melakukan reseksi. Akan
tetapi percobaan reduksi yang berlangsung terlalu lama dan tidak berhasil akan
memperberatkan kondisi anak. Beberapa ahli bedah lainnya berpendapat adanya
“serosal tear” pada saat percobaan reduksi manual merupakan indikasi
dilakukannya reseksi karena usus yang belum tereduksi telah mengalami nekrosis.
Tetapi hal ini tidak sepenuhnya benar. Gross menulis bahwa tear yang berukuran
kecil di dalam lapisan serosa usus tidak berbahaya, tetapi ini merupakan tanda
peringatan bagi operator bahwa lapisan muskularis dan mukosa tidak dapat lagi
bertahan jika diberikan tekanan. Jika peritoneal tear terlihat panjang dan dalam,
23
maka penempatan beberapa jahitan segera akan cukup untuk memperbaikinya.
Bila reduksi intususepsi masih berlangsung sekalipun didapatkan serosal tear,
operator harus tetap terus melanjutkan reduksi manual. Tetapi jika didapatkan
serosal tear dan tidak ada kemajuan dalam reduksi maka reseksi intususespsi
yang tidak tereduksi harus dilakukan biasanya hemikolektomi kanan. Bila
didapatkan intususepsi ileoileocolic, maka reduksi akan selalu berlangsung dalam
dua tahap, pertama komponen ileocolic kemudian setelah melewati katup
ileocecal diikuti oleh komponen ileoileal. Setelah tereduksi bagian usus yang
menjadi leading area intususeptum dapat berwarna kebiruan, kongesti, dan
viabilitasnya mungkin meragukan. Tetapi dengan kesabaran dan menempatkan
kassa yang dibasahi dengan larutan saline hangat untuk membungkus bagian usus
tersebut maka dalam waktu 5-10 menit hampir selalu usus tersebut akan kembali
berwarna merah muda. Namun jika viabilitas usus yang mengalami intususepsi
(biasanya distal ileum) tetap meragukan maka harus direseksi. Konsep yang
menyatakan bahwa tidak mungkin mereduksi usus nekrotik pada pasien anak
tidaklah selalu benar. Ein dan Stephens mendapatkan 50% dari non-viabel
intususepsi dapat direduksi manual sebelum direseksi. Pada saat reduksi operator
harus mempertimbangkan keuntungan prosedur tersebut dengan resiko perforasi
dan kontaminasi dibandingkan dengan reduksi yang berhasil dan hanya
membutuhkan reseksi usus yang lebih kecil pada bagian yang mengalami nekrosis
saja dimana jauh lebih kecil daripada melakukan reseksi massa intususepsi
ileocolic atau hemicolectomi kanan. 8,9,10,12
Operasi untuk perforasi yang terjadi pada saat reduksi enema (<1%)
memiliki permasalahannya sendiri. Biasanya perforasi terjadi sebelum intususepsi
tereduksi dan sering terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan. Walaupun
kebanyakan dari intususepsi ini memiliki bagian usus yang nekrotik namun 50%
dapat direduksi manual setelah perforasinya di tutup dengan klem usus sehingga
dapat mengurangi panjang usus yang harus direseksi. Tetapi jika reduksi tidak
berhasil dilakukan maka reseksi dilakukan mulai dari dekat lokasi perforasi
bersama seluruh massa intususepsi. Perforasi akibat cairan hidrostatik enema
24
biasanya menyebabkan colon tear yang besar, dan jika barium yang digunakan
maka mixture barium akan tetap berada dalam rongga peritoneum dan akan
terlihat gambaran permanent pada pemeriksaan radiologis seperti “snowstorm”.
Barium merupakan activator kuat untuk sel-sel fagositik yang dapat menyebabkan
melemahnya respons fagositik terhadap bakteri sehingga dapat menyebabkan
memanjangnya efek samping akibat kontaminasi fecal barium. 8,9,1,11
Perforasi yang terjadi pada penggunaan kontras water-soluble saat reduksi
enema akan menyebabkan masuknya banyak cairan dan fecal material ke dalam
cavum peritoneum sehingga meningkatkan resiko fecal kontaminasi walaupun
tidak seberat barium. Sebaliknya perforasi yang terjadi dengan penggunaan
pneumatic AE akan menyebabkan ukuran lubang perforasi yang lebih kecil dan
kontaminasi peritoneum yang lebih sedikit sehingga mudah untuk dievakuasi.
Udara bebas dalam peritoneum lebih mudah dikenali dengan peralatan
fluoroscopic modern.
Kadang, segera setelah perforasi terjadi pada saat masih berada di meja
radiologi dapat ditemukan adanya tension pneumoperitoneum yang biasanya
simptomatik dan membutuhkan aspirasi jarum secepatnya (paling baik dilakukan
pada midline di atas umbilicus dengan jarum 18 G). Hal ini dapat dihindarkan
dengan segera menghentikan prosedur pada saat udara bebas dalam peritoneum
terdeteksi dan membuka rectal enema tube untuk dekompresi colon. Jika tidak
dibutuhkan reseksi maka lubang perforasi biasanya cukup dilakukan local
trimming kemudian ditutup primer. 8,9,10
Bila reseksi dari bagian yang tidak tereduksi atau usus yang nekrosis
dibutuhkan maka anastomosis primer end to end dapat dilakukan pada
kebanyakan kasus. Jika bayi atau anak berada dalam keadaan sakit berat, setelah
dilakukan reseksi kedua ujung usus dieksteriorisasikan sebagai temporer stoma.
Di saat sekarang ini hal ini tidak biasa ditemukan. 8,9,10
Jika reduksi manual berhasil dilakukan khususnya pada intususepsi
ileoileocolic harus dicek ada tidaknya PLP, yang biasanya adalah divertikulum
25
Meckel atau polip ileal distal, bila ditemukan harus direseksi. Pada intususepsi
yang disebabkan oleh PLP dan berhasil direduksi dengan enema akan terlihat
gambaran residual filling defect yang tidak menghilang setelah beberapa hari
seperti halnya edema katup ileocecal pada pemeriksaan enema atau USG. PLP
harus direseksi melalui operasi elektif. 8,9,10
VII. Komplikasi1-7
a. Radiologik
Komplikasi utama dari percobaan reduksi enema adalah perforasi. Angka
kejadian perforasi dari keseluruhan teknik enema sangat rendah jika dilakukan
oleh ahli yang berpengalaman yaitu kurang dari 1%.8,9,10,12
b. Pembedahan
Komplikasi pembedahan yang dapat ditemukan adalah seperti halnya pada
komplikasi laparotomi umumnya seperti sepsis, infeksi luka operasi dan wound
dehiscence. Komplikasi yang dapat timbul kemudian (late complication)
umumnya dalam kurun waktu 2 tahun post operasi adalah obstruksi usus halus
akibat adhesi didapatkan pada sekitar 5% kasus. 1,5
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Ein SH & Daneman A. Intussusception. Dalam: Grosfeld JL, O’Neill JA,
Coran AG, Fonkalsrud EW, Pediatric Surgery. Edisi ke-6. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2006. h. 1313-41.
2. Fallat ME. Intussusception. Dalam: Ashcraft KW, Holcomb GW, Murphy JP,
Pediatric Surgery. Edisi ke-4. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. h.
533-42.
3. Waag KL. Intussusception. Dalam: Puri P, Hollwarth M, Pediatric Surgery.
Berlin: Springer-Verlag; 2006. h. 313-20.
4. Berrocal T & Del Pozo G. Imaging in Pediatric Gastrointestinal Emergencies.
Dalam: Devos AS & Blickman JG, Radiological Imaging of the Digestive
Tract in Infants and Children. Berlin: Springer-Verlag; 2008. h. 36-45.
5. Digant, Shastri M, Seth R, Dessai E. "Ultrasound guided reduction of an
ileocolic intussusception by a hydrostatic method by using normal saline
enema in paediatric patients: a study of 30 cases." Journal of clinical and
diagnostic research: JCDR 6.10 (2012): 1722.
6. Abraham, Mohan K., et al. "A simple and safe technique for pneumatic
reduction of intussusception." Asian Journal of Surgery 29.3 (2006): 170.
7. Gilmore, Andrea W, Martin R, Milton T. "Management of childhood
intussusception after reduction by enema." The American journal of
emergency medicine 29.9 (2011): 1136-40.
8. Karadağ, Çetin Ali, et al. "Ultrasound-guided hydrostatic reduction of
intussusception with saline: Safe and effective." Journal of pediatric
surgery (2015).
9. Fallon, Sara C., et al. "Risk factors for surgery in pediatric intussusception in
the era of pneumatic reduction." Journal of pediatric surgery 48.5 (2013):
1032-6.
10. Bai, Yu Zuo, et al. "Ultrasound-guided hydrostatic reduction of
intussusceptions by saline enema: a review of 5218 cases in 17 years." The
American journal of surgery 192.3 (2006): 273-5.
27
11. Fragoso, Ana C, et al. "Pneumatic reduction of childhood intussusception. Is
prediction of failure important?." Journal of pediatric surgery 42.9 (2007):
1504-8.
12. Fike, Frankie B., et al. "Predictors of failed enema reduction in childhood
intussusception." Journal of pediatric surgery 47.5 (2012): 925-7.
28
Recommended