View
324
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
IMPLEMENTASI PP. NO. 48 TAHUN 2014 TENTANG BIAYA NIKAH
TERHADAP TERTIB ADMINISTRASI PERNIKAHAN
DI KUA KECAMATAN PRAYA BARAT
Oleh:
W A R D I NIM. 1504222289
Tesis ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan Untuk mendapat gelar Magister Hukum
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA PASCASARJANAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2018
iii
IMPLEMENTASI PP. NO. 48 TAHUN 2014 TENTANG BIAYA NIKAH
TERHADAP TERTIB ADMINISTRASI PERNIKAHAN
DI KUA KECAMATAN PRAYA BARAT
Pembimbing:
Dr. H. SAINUN, M.Ag Dr. ZAINUDDIN MANSYUR, M.Ag
Oleh:
W A R D I NIM. 1504222289
Tesis ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan Untuk mendapat gelar Magister Hukum
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA PASCASARJANAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2018
iv
v
vii
viii
IMPLEMENTASI PP. NO. 48 TAHUN 2014 TENTANG BIAYA NIKAH
TERHADAP TERTIB ADMINISTRASI PERNIKAHAN
DI KUA KECAMATAN PRAYA BARAT
Oleh W A R D I
NIM. 1504222289
ABSTRAK
Hadirnya PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah sungguh telah memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melangsungkan perkawinan. Inti dari PP. No. 48 Tahun 2014 adalah memberikan alternatif bagi masyarakat terkait biaya nikah yaitu, jika pernikahan dilangsungkan di Kantor KUA maka tidak di-kenakan biaya, sedangkan jika melangsungkan pernikahan di rumah akan dikena-kan biaya Rp. 600.000. Penelitian ini akan coba mengelaborasi impelementasi PP tersebut dengan problematikanya.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan fenomenologi.Menggunakan data primer dan data sekunder. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, dokumentasi dan wawancara. Tehnik analisa data dilakukan melalui tiga tahaapan: reduksi data, modeling data dan pe-narikan kesimpulan.
Penelitian ini menghasilkan dua kesimpulan bahwa: 1) Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah dalam Perkawinan Masyarakat Kecama-tan Praya Barat berjalan efektif. PP. Tersebut memberikan alternatif kepada ma-syarakat untuk melakukan akad nikah. Jika akad nikah dilakukan di Kantor KUA, tidak dikenakan biaya. Sedangkan untuk akad nikah yang dilakukan diluar kantor KUA, dikenakan biaya sebesar Rp. 600.000. Dalam praktiknya masyarakat Ke-camatan Praya Barat lebih dominan melaksanakan akad nikah di luar KUA wa-laupun harus mengeluarkan biaya Rp. 600.000. Hal ini disebabkan oleh faktor tra-disi dan budaya yang telah mengakar di Masyarakat Kecamatan Praya Barat.2) Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah dalam pernikahan Masyarkat Kecamatan Praya Barat, berimplikasi langsung terhadap tertib admini-strasi pernikahan di KUA Kecamatan Praya Barat. Disamping itu, juga berpenga-ruh terhadap kinerja pegawai KUA dan peningkatan kualitas layanan kepada ma-syarakat terkait dengan administrasi pernikahan.
Kata Kunci: Pernikahan, Pencatatan Perkawinan, Administrasi Perkawinan
ix
x
xi
xii
Motto:
و
“Dan segala sesuatu Kami Ciptakan Berpasang – pasangan supaya kamu men-gingat kebesaran Allah.”
xiii
PERSEMBAHAN
Tesis ini kupersembahkan untuk:
Orang tuaku yang telah mendidik dan membesarkanku
Istri dan anak-anaku yang telah memberiku dorongan dan semangat.
Guru=guruku atas ilmu yang telah diberikan
xiv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil Alamin, segala puji bagi Allah atas berkat rahmat
Allah peneliti dapat merampungkan penulisan tesis yang sederhana ini. Sholawat
serta salam semoga selalu tercurah ke Baginda Nabi Muhammad saw.
Terselesaikannya penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan du-
kungan berbagai pihak.Untukitulahdengansegalakerendahanhatisaya
menghaturkan ucapan terimakasihuntuk semuapihak, mereka diantaranya:
1. Dr. H.. Sainun, M.Ag dan Dr. Zainuddin Mansyur, M.Ag selaku pembimbing
yang telah membimbing penulisan tesis ini hingga selesai.
2. Dosen dewan penguji yang telah memberikan saran kosntruktif bagi penyem-
purnaan tesis ini.
3. Dr. Hj. Teti Indrawati selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga PPs.
UIN Mataram.
4. Prof. Dr. Suprapto, M.Ag selaku Direktur Program Pascasarjan UIN Mataram.
5. Prof. Dr. H. Mutawalli, M.Ag Rektor UIN Mataram atas kesempatan menim-
ba ilmu di Pascasarjana UIN Mataram.
6. Istri dan anak-anaku atas curahan cinta, kasing sayang dan dorongannya.
7. Rekan-rekan seperjuangan baik dikantor maupun di PPs. UIN Mataram.
Semoga semua yang telah diperbuat tercatat sebagai amal ibadah dan
mendapat ganjaran yang berlimpah dari Allah swt. Semnoga karya sederhana ini
dapat memberi manfaat bagi semesta amin.
Mataram, 20 Desember 2018
Peneliti,
xv
HALAMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi: Arabic Romanization Table dengan Font Times New Arabic
b = z = f = ف
t = ت s = س q =
th = sh = k =
j = ج s = ص l =
h = ح d = ض m = م
kh = t = n =
d = د z = ظ h =
dh = ‗ = ع w = و
r = ر gh = y = ي
Short : a =‗ i = . u=‖
Long : a = ا i = ي u= و
Dipthong : ay = اي aw = او
xvi
DAFTAR ISI
KOVER LUAR .......................................................................................................... i LOGO ......................................................................................................................... ii KOVER DALAM ...................................................................................................... iii PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................. iv PENGESAHAN PENGUJI ........................................................................................ v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................................. vii LEMBAR PENGECEKAN PLAGIARISME .......................................................... vii ABSTRAK ................................................................................................................. viii MOTTO ..................................................................................................................... xi PERSEMBAHAN ...................................................................................................... xii KATA PENGANTAR ............................................................................................... xiii TRANSLITERASI ..................................................................................................... xiv DAFTAR ISI ............................................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang Masalah ........................................................................ 1
B. IdentifikasiMasalah .............................................................................. 5
C. TujuanPenelitian .................................................................................. 5
D. ManfaatPenelitian ................................................................................ 6
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ..................................................... 6
BAB II KERANGKA TEORI
A. Pernikahan & Pencatatan Pernikahan .................................................. 11
B. PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah ..................................... 24
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ..................................................................................... 29
B. Sumber dan Jenis Data ........................................................................ 29
C. Metode Pengumpulan Data ................................................................. 30
D. Tehnik Analisa Data ............................................................................ 32
xvii
E. Tehnik Validitas Data .......................................................................... 34
F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 35
BAB IV PENERAPAN PP NO. 48 TAHUN 2014 TENTANG BIAYA NI-
KAH
DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT DI KUA KECAMA-
TAN
PRAYA BARAT
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................................... 36
B. Penerapan PP No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah
Di KUA Kecamatan Praya Barat .......................................................... 43
C. Efektivitas Penerapan PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya
Nikah Terhadap Tertib Administrasi Perkawinan di KUA
Praya Barat. ........................................................................................... 53
BAB V ANALISISPENERAPAN PP NO. 48 TAHUN 2014 TENTANG
BIAYA NIKAH TERHADAP TERTIB ADMINISTRASI PERKA-
WINANDI KUA KEC. PRAYA BARAT
A. Analisis Penerapan PP. No. 48 Tahun 2014 di KUA Kecamtan
Praya Barat. ........................................................................................... 68
B. Analisis Efektivitas Penerapan PP. No. 48 Tahun 2014 Ten-
tang Biaya Nikah Terhadap Tertib Administrasi di KUA
Praya Barat ........................................................................................... 81
BAB VIPENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 103
B. Saran – Saran ....................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN - LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah mensyari‘atkan pernikahan1 dalam rangka membangun rumah tangga
di antara pasangan suami isteri menuju kehidupan yang lebih baik, di bangun atas
kecintaan dan kasih sayang diantara keduanya, saling menjaga keharmonisan pasan-
gannya, menuju rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wani-
ta sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang ba-
hagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dalam pasal 2
ayat 2 menyatakan ―Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku‖2
Guna melindungi dan menjamin keabsahan pernikahan yang dilakukan oleh
masyarakat, maka kegiatan yang berkaitan dengan perkawinan hendaknya disertai
dengan bukti administrasi yang lengkap dan diproses melalui pencatatan yang tertib.
Tertib administrasi tersebut meliputi kelengkapan formulir dan tertib proses., per-
syaratan harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pencatatan perkawinan pada dasarnya menjadi bagian penting yang harus di-
lakukan oleh sebuah negara dan dipatuhi oleh warga negara. UU No 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, disebutkan dalam pasal 2 ayat (2). bahwa perkawinan dianggap
sah apabila dicatat oleh negara. Bagi umat Islam sendiri pencatatan perkawinan di-
lakukan oleh Kantor Urusan Agama. Hal ini juga ditegaskan dalam instruksi presi-
den No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), Sebuah produk hu-
kum yang sering dijadikan referensi hukum bagi KUA Indonesia. Amanah
1 Pernikahan yang dinyatakan sebagai sunnatullāh ini merupakan kebutuhan setiap naluri manu-
sia yang dalam istilah agama disebut mithāqan ghalīzā yaitu suatu perjanjian yang sangat kokoh dan lu-hur, yang ditandai dengan pelaksanaan sighat ijab dan qabul antara wali nikah dengan mempelai pria, dengan tujuan untuk membentuk suatu rumah tangga yang bahagia, sejahtera dan kekal berdasarkan Ke-tuhanan Yang Maha Esa. Lihat Departemen Agama RI, 2008, Pedoman Akad Nikah, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Jakarta, h.1
2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2
peraturan ini semakin menambah peran strategis dalam memberikan layanan
kepada masyarakat atau dikenal dengan layanan publik.
Di Indonesia sendiri, pencatatan perkawinan bagi orang muslim dilakukan
oleh Kantor Urusan Agama (KUA). Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan lem-
baga Kementerian Agama tingkat kecamatan yang memberikan pelayanan langsung
kepada masyarakat muslim. Kantor inilah yang memberikan pelayanan kepada umat
Islam dalam urusan perkawinan dan pembinaan keluarga muslim agar menjadi ke-
luarga sakinah. Dalam pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat ni-
kah/ wakil pegawai pencatat nikah (penghulu).
Pencatatan Pernikahan adalah suatu proses untuk menuju sebuah perkawinan
yang sah yang harus dilaksanakan oleh kedua calon mempelai ditempat dimana ia
melangsungkan pernikahannya. Persoalan pencatatan pernikahan yang menjadi sya-
rat sah sebuah perkawinan di Indonesia menjadi sebuah produk yang sangat krusial
dalam kajian perkawinan baik secara konseptual maupun operasional. Ada yang
mengatakan bahwa pencatatan sebagai syarat sah perkawinan karena sesuai dengan
hukum Islam baik dalam Al-Quran maupun Hadis Nabi saw. Namun dipihak lain ti-
dak sedikit beranggapan bahwa pencatatan nikah tidak lebih dari sekedar fungsi ter-
tib administrasi saja.3
Tujuan pencatatan perkawinan dan perceraian adalah untuk kepentingan ad-
ministrasi negara, agar hak-hak yang timbul dari perkawinan itu misalnya pembua-
tan akta kelahiran, kartu keluarga, dan lain sebagainya yang memerlukan akta nikah
sebagai bukti adanya suatu perkawinan dapat terjamin. Perkawinan, perceraian dan
poligami itu perlu diatur agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.4
Secara tehnis proses pencatatan pernikahan bagi kedua mempelai harus di-
laksanakan di hadapan pejabat agama yang ditunjuk untuk keperluan tersebut. Peja-
bat ini disamping bertugas mengawasi acara nikah juga berkewajiban mencatat pe-
ristiwa tersebut dalam sebuah akte otentik. Pejabat agama ini resmi dan termasuk
dalam lembaga Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
Biaya pencatatan nikah dan rujuk atau biasa disingkat NR, secara formal di-
atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2000 dan ditegaskan kembali
3 Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan 1/1974 (Jakarta: Tinta Mas, 1986), h. 5. 4 Iskandar Ritonga, Hak-Hak Wanita dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), h. 31.
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 dengan besaran Rp. 30.000,00
per peristiwa. Biaya pencatatan NR yang ditetapkan dalam PP tersebut adalah biaya
pencatatan atas peristiwa NR yang terjadi di KUA, sedangkan biaya pencatatan pe-
ristiwa yang dilangsungkan di luar KUA tidak diatur dalam Peraturan pemerintah
tersebut. Karena permintaan masyarakat yang menghendaki adanya pernikahan di
luar kantor KUA bahkan di luar hari kerja. Untuk mengawasi dan mencatat peristi-
wa nikah sesuai tugas dan fungsinya, PPN atau wakil PPN (penghulu) memerlukan
biaya tambahan transport dan biaya-biaya lainnya. Pungutan-pungutan inilah yang
dinilai liar dan tidak memiliki payung hukum yang memadai.
Pada tanggal 10 Juli 2014 mulai diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor
48 Tahun 2014. Peraturan pemerintah ini lahir untuk menggantikan Peraturan Peme-
rintah Nomor 47 tahun 2004 agar tidak terjadi pungutan liar atau gratifikasi. Peratu-
ran Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 ini berisi penetapan biaya pencatatan nikah
di KUA pada jam dan hari kerja Rp0,00 (nol rupiah) dan apabila dilaksanakan di
luar KUA dikenakan biaya Rp 600.000,00. Pengecualian terhadap warga negara
yang tidak mampusecara ekonomi dan/ atau korban bencana yang melaksanakan ni-
kah atau rujuk di luar KUA Kecamatan dapat dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah).
Hadirnya PP No 48 Tahun 2014 memberikan angin reformasi di tubuh Ke-
menterian Agama dalam hal pencatatan nikah. PP sebelumya, yaitu PP No 47 Tahun
2004 mengatur bahwa biaya pendaftaran pernikahan telah dipatok sebesar Rp.
30.000, Namun pada realita di lapangan seringkali untuk pendaftaran pernikahan di-
pungut jauh melebihi dari ketentuan yang berlaku. Maka dengan berlakunya PP No
48 Tahun 2014 dapat dipastikan adanya suatu dampak bagi masyarakat yang ingin
menikah, baik di dalam Kantor Urusan Agama dengan tarif Rp 0,00 ,maupun yang
ingin menikah di luar Kantor Urusan Agama dengan tarif 600.000. Selain itu hadir-
nya PP No 48 Tahun 2014 ini juga secara pasti memberikan kejelasan bagi penghulu
dalam menjalankan tugas dan kewajibanya sebagai abdi masyarakat. Pada akhirnya
PP No 48 tahun 2014 tersebut juga akan mempengaruhi sistem birokrasi yang ber-
kerja dalam lingkup Kementerian Agama, khususnya KUA Kecamatan.
Implementasi penerapan PP No 48 Tahun 2014 terhadap masyarakat pada
dasarnya cukup terasa signifikan hal ini dikarenakan dengan adanya PP No 48 Ta-
hun 2014 masyarakat diberikan dua kategori pilihan pernikahan dengan budget yang
mengakomodir seluruh lapisan masyarakat. Penerapan PP No 48 Tahun 2014 cukup
berdampak bagi masyarakat khususnya yang mendaftarkan nikah secara langsung di
KUA. Bagi masyarakat yang mendaftar tidak langsung atau melalui perantara P3N
atau amil penerapan PP No 48 Tahun 2014 tentu tidak akan dirasakan dampaknya
atau tidak mengurangi beban biaya pernikahan.
Dalam hal Efisien, Penerapan PP No 48 Tahun 2014 bagi masyarakat tidak
mengurangi tahapan birokrasi yang dilalui, Justru dengan adanya peraturan setor
langsung biaya nikah di rumah atau di luar jam kerja ke bank menambah tahapan bi-
rokrasi yang harus dilalui masyarakat, selain itu adanya kebijakan untuk mengambil
buku nikah beberapa hari setelah pelaksanaan akad nikah juga menambah panjang
proses birokrasi yang harus dilalui masyarakat.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
a. Bagaimana peran KUA dalam mensosialisasikan PP. No. 48 Tahun 2014
Tentang Biaya Nikah?
b. Bagaimana respon masyarakat tentang PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Bi-
aya Nikah?
c. Apakah faktor pendukung dan penghambat penerapan PP. No. 48 Tahun
2014 Tentang Biaya Nikah di KUA Kecamatan Praya Barat?
d. Bagaimana efektivitas penerapan PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Ni-
kah di KUA Kecamatan Praya Barat
2. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini dapat terarah maka permasalahan penelitian ini ter-
fokus pada Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah Terha-
dap Tertib Administrasi Pernikahan di KUA Kecamatan Praya Barat dan prob-
lematikanya dalam masyarakat setempat.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasala-
han dari penelitian ini yaitu:
a. Bagaimana penerapan PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah di KUA
Kecamatan Praya Barat?
b. Bagaimana efektivitas penerapan PP. No. 48 Tentang Biaya Nikah Terhadap
tertib administrasi perkawinan di KUA Kecamatan Praya Barat?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan ter-
sebut, yaitu untuk mengetahui:
1. Penerapan PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah di KUA Kecamatan
Praya Barat.
2. Efektivitas penerapan PP. No. 48 Tentang Biaya Nikah Terhadap tertib admini-
strasi perkawinan di KUA Kecamatan Praya Barat.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
a. Untuk memperluas dan mengembangkan khazanah ilmu pengetahuan
terutama di bidang pengembangan Hukum Islam.
b. Memperdalam pemahaman dalam teori spesifik tentang permasalahan hu-
kum keluarga di lapangan.yang terjadi di masyarakat dan merumuskan
konsep pengembangan Hukum.
2. Secara Praktis
a. Dapat memberikan input (masukan) bagi pihak-pihak terkait yang berwe-
nang dalam kebijakan terkait dengan hukum keluarga dan perkawinan..
b. Dapat menjadi referensi bagi pihak-pihak terkait dalam merumuskan kebija-
kan dalam hukum perkawinan.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini sesung-
guhnya telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Beberapa penelitian ter-
sebut adalah sebagai berikut:
1. Yurda Hety meneliti tentang Respon Masyarakat Terhadap Pelayanan Pernika-
han Pasca Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 Tentang
Biaya Nikah (Studi Kasus di KUA Kec. Selebar Kota Bengkulu).
Penelitian ini mengangkat permasalahan respon masyarakat tentang ni-
kah gratis dan nikah berbayar di rumah di KUA Kecamatan Selebar Kota Beng-
kulu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respon masyarakat ten-
tang nikah gratis dan nikah berbayar di rumah di KUA Kecamatan Selebar Kota
Bengkulu. Penelitian ini mengunakan metode yuridis empiris, dengan teknik
pengumpulan data wawancara, angket dan dokumentasi, setelah data didapat di-
analisa menurut Miles and Huberman dalam Sugiyono untuk menganalisa kuali-
tatif dapat dilakukan dengan cara reduksi data (Data Reduction), penyajian data
(Data Display), kesimpulan (verification), sehingga dapat ditarik suatu kesimpu-
lan untuk menjawab dari setiap permasalahan yang ada.
Dari hasil penelitian menunjukan respon masyarakat tentang nikah gra-
tis di KUA Kecamatan Selebar Kota Bengkulu yang memberikan responnya me-
lalui angket dan wawancara diketahui bahwa masyarakat Kecamatan Selebar
Kota Bengkulu kurang merespon dengan baik, hal ini dibuktikan dari 100% hasil
jawaban informan mereka tidak mengetahui dengan dikeluarkannya PP. 48 ta-
hun 2014 bahwa nikah di KUA gratis kemudian masyarakat kecamatan selebar
kota Bengkulu tidak menyetujui nikah di KUA walaupun gratis hal ini dibukti-
kan dari jawaban informan 86% tidak menyetujui nikah di KUA dan Respon
masyarakat tentang nikah berbayar di rumah menyambut positif walaupun harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Hal ini dibuktikan dari hasil jawaban angket informan yang menjawab
tidak keberatan mengeluarkan biaya sebesar Rp. 600.000,—bila menikah di ru-
mah sebesar 94%, kemudian masyarakat menyetujui pernikahan di luar KUA
sebesar 100%.5
2. I Nyoman Yoga Segara dan H. Fachruddin meneliti tentang Biaya Perkawinan di
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Semarang Barat dan Kecamatan Mi-
jen, Jawa Tengah Pasca ditetapkannya PP Nomor 48 Tahun 2014 Dan PMA
Nomor 24 Tahun 2014.
5 Yurda Hety, Respon Masyarakat Terhadap Pelayanan Pernikahan Pasca Pemberlakuan Pera-
turan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah (Studi Kasus di KUAKec. Selebar Kota Bengkulu). Jurnal QIYASVol. 2, No. 1, April 2017, 41
Kesimpulan akhir dari penelitian ini didapatkan beberapa fakta tentang
masalah penelitian yaitu:6
a. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, PP Nomor 48/2014 dan PMA Nomor
24/2014 sudah diterapkan di dua KUA:
1) PP tersebut telah disosialisasikan dari Ditjen Bimas Islam ke seluruh
Kanwil Kemenag, Kankemenag dan KUA.
2) Kepala KUA menindaklanjutinya dengan melakukan sosialisasi hingga
ke tingkat kelurahan, termasuk kepada para modin, serta pada saat pen-
daftaran nikah dan kursus catin.
3) Selain sosialisasi, KUA juga menyebarkan PP tersebut ke para modin,
dan khusus biaya nikah dipasang melalui papan pengumuman dan
pamphlet di tempat-tempat strategis,
4) Dampaknya, KUA telah menerapkan bunyi PP tersebut secara konsisten
dan tidak ditemukan pemungutan biaya di luar ketentuan yang telah dite-
tapkan dalam PP.
b. Kendala penerapan PP Nomor 48/2014 dan PMA Nomor 24/2014, Penera-
pan PP dalam bentuk sosialisasi dan prakteknya di lapangan tidak ditemukan
kendala, namun beberapa hal berikut adalah kendala atas penerapan PP seca-
ra umum, antara lain:
1) Secara sosiologis
a) Masih terdapat stigma jika ada biaya tinggi di luar ketentuan diyakini
sebagai tindakan menyimpang dari oknum KUA.
b) Modin secara tradisi dianggap lebih berperan ketimbang KUA
c) Modin yang bukan PNS oleh masyarakat wajib diberikan insentif,
sehingga terdapat semacam kepasrahan jika harus membayar lebih
tinggi dari ketentuan
6I Nyoman Yoga Segara dan H. Fachruddin, Biaya Perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Semarang Barat dan Kecamatan Mijen, Jawa Tengah Pasca ditetapkannya PP Nomor 48 Tahun 2014 Dan PMA Nomor 24 Tahun 2014. Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama Republik Indonesia Tahun 2014, 30
d) Masih terdapat mindset bahwa masyarakat merasa lebih nyaman,
efektif dan efisien melaksanakan pernikahan di luar kantor KUA
meskipun mereka dalam kondisi ekonomi lemah serta menganggap
perkawinan di kantor KUA tidak bergengsi karena dilakukan oleh
mereka yang menikah di bawah umur, hamil di luar penikahan dan
status janda/duda
e) Masih kuatnya pandangan masyarakat yang menempatkan modin se-
bagai tokoh atau pemuka agama yang lebih dipercaya untuk mengu-
rus pernikahan, sehingga ada legitimasi moral jika mereka diminta
membayar lebih tinggi dianggap sebagai ketulusan tanpa balas.
2) Secara antropologis
a) Telah sangat lama para penghulu hidup nyaman dengan sumbangan
yang diberikan secara sukarela oleh masyarakat, sehingga terdapat
ketidak siapan ketika mekanisme pembayaran dan besaran honor (ja-
sa profesi dan transport) tidak sesuai dengan keinginan, terlebih sejak
pemberlakuan PP masih belum direalisasikan
b) Berdasarkan pengalaman yang panjang, modin secara struktural telah
menjadi dan dijadikan semacam broker, meski tidak semua modin
dapat digeneralisasi dengan anggapan ini.
3) Secara Yuridis
a) Belum terdapatnya petunjuk teknis yang jelas dan tegas sehingga ma-
sih terdapat pungutan biaya nikah di luar ketentuan
b) Belum ada sanksi yang tegas terhadap perilaku modin dan pengawa-
san yang ketat terhadap laporan pertanggung jawaban biaya opera-
sional KUA.
c) Belum jelasnya posisi modin dalam PP karena meskipun sudah diha-
pus sejak 2009, modin masih menjalankan perannya.
3. Moh. Badrus Sholeh menulis tentang Biaya Nikah di KUA Klojen Malang (Tin-
jauan Hukum Islam dan Undangundang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi)
Tulisan ini ingin mengetahui dua hal, yaitu tentang: (1) motivasi pem-
bayaran biaya pencatatan pernikahan di KUA Kecamatan Klojen Kota Malang;
dan (2) tinjauan Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 terha-
dap pembayaran biaya pencatatan pernikahan di KUA Kecamatan Klojen Kota
Malang. Dalam akhir tulisan ini disimpulkan, bahwa:
pertama, praktek pemberian tambahan biaya dalam pencatatan nikah dari
calon pengantin kepada penghulu ini dianggap sebagai suatu yang wajar karena
tidak terjadi unsur-unsur penyelewengan dari setiap proses pencatatan pernika-
han.
Kedua, pemberian biaya pencatatan nikah lebih itu tidak termasuk katego-
ri grativikasi karena dilakukan dilakukan secara sukarela atas kepatutan kepada
para penghulu yang notabene juga berstatus sebagai tokoh masyarakat setem-
pat.7
7 Moh. Badrus Sholeh menulis tentang Biaya Nikah di KUA Klojen Malang (Tinjauan Hukum
Islam dan Undangundang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi).Jurnal Al-Qānūn, Vol. 19, No. 1, Juni 2016
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pernikahan dan Pencatatan Nikah
1. Pernikahan dalam Islam
a. Pengertian Perkawinan
Dalam Yureprudensi Syariah, istilah perkawinan dikenal dengan isti-
lah nikah. Dalam Islam, persoalan nikah adalah salah satu persoalan penting
yang diatur dalam berbagai ajarannya. Al -Qur‘an dan As-Sunah, dua sumber
utama ajaran islam, banyak berbicara tentang persoalan ini. Secara lebih
sistematis dan komprehensif, tema ini dipaparkan di dalam kitab-kitab fiqih
dari berbagai mazhab.
Menurut bahasa Nikah berasal dari kata ح ي -ح , Nikah menurut
bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majas). Arti
sebenarnya dari nikah adalah ―dham”yang berarti menghimpit, menindih atau
berkumpul. Sedangkan arti kiasan ialah ―watha”yang berarti setubuh atau
aqad yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.Perkawinan menurut
fiqih dipakai dengan perkataan nikah dan zawaj. Dari segi bahasa nikah
berarti mengikat tali perkawinan, dapat juga berarti bersetubuh dengan istri.
Adapun nikah ditinjau dari syari‘at ialah pertalian (akad) antara laki-
laki dengan perempuan dengan maksud agar masing-masing dapat menikmati
yang lain (istimta‟) dan untuk membentuk keluarga yang sakinah dan
membangun masyarakat yang beriman dan bertaqwa.8
Menurut Al-Juzairi, kata nikah dapat didekati dari tiga aspek
pengertian, yaitu makna lughawi, ushuli, dan fiqhi.9Makna secara lughawi da-
8 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqh Wanita (Terj.), M. Abdul Ghoffar E.M. (Penerbit
Pustaka Al-Kautsar, t.th), 375. 9Abdur Rahman al-Juzairi, al-Fiqh `ala al-Madzahib al-Arba`ah, Jilid 4 (Dar al-Fikri, Beirut,
1990), 2.
lam Kamus Umum Bahasa Indonesia memiliki perbedaan antara kata kawin
dan nikah. Kawin dapat diartikan sebagai perjodohan laki-laki dan perem-
puan menjadi suami isteri, sementara nikah dapat diartikan sebagai sudah be-
ristri atau berbini.10
Dalam al-qur`an dan hadits, perkawinan disebut dengan "an-nikah"
dan "az-ziwaj"atau ―az-zawj". Kata "an-nikah" secara harfiah berarti al-
wath`u, adh-dhommu, dan al-jam`u yang berarti bersetubuh dan berkumpul.
Sementara kata ‖az-ziwaj" yang secara harfiah berarti menaburkan be-
nih,namun yang dimaksud dalam konteks ini adalah mencampuri, memper-
gauli, atau memperistri.11
Berdasarkan definisi perkawinan secara lughowi di atas, maka dapat
dirumuskan pengertian perkawinan menurut istilah. Menurut sebagian ulama
Hanafiyah, nikah adalah akad yang memberi faedah kepemilikan untuk ber-
senang-senangsecara sadar bagi seorang pria dengan seorang wanita. Semen-
tara menurut sebagian mazhab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan bagi
suatu akad yang dimaksudkan untuk meraih kenikmatan seksual. Sedangkan
ulama Syafi`iyyah, nikah dirumuskan sebagai suatu akad yang menjamin ke-
pemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan lafaz nikah atau tazwij.
Adapun ulama Hanabilah mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad
dengan tujuan untuk mendapatkan kesenangan.12
Al -Qur`an menyebutkan pernikahan itu dengan mitsaqon gholizhan,
yaitu perjanjian yang sangat kuat. Hal ini mengisyaratkan bahwa pernikahan
merupakan perjanjian yang serius antara laki-laki (sebagai suami) dengan pe-
rempuan (sebagai isteri). Oleh karena itu, pernikahan yang sudah terbentuk
10 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, Jakarta, 1985), 453. 11 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Pondok Pesantren al-
Munawwir, Yogyakarta, 1984), 630. 12 Al -Juzairi, al-Fiqh, 2-3
harus tetap dipertahankan kelangsungannya dan suami atau isteri harus men-
jaga atau menjauhi hal-hal yang dapat merusak pernikahan mereka.13
Menurut Sayuthi Thalib, setidaknya perkawinan dapat dilihat dari tiga
segi, yaitu (1) perkawinan dari segi sosial, (2) perkawinan dari segi agama,
dan (3) perkawinan dari segi hukum.14
Segi sosial dari suatu perkawinan adalah bahwa dalam setiap
masyarakat, ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang sudah
berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih
dihargai dari mereka yang tidak kawin.15Sementara dari segi agama, perka-
winan merupakan sesuatu hal yang dipandang sakral (suci) atau mulia. Dalam
Islam, perkawinan memiliki kedudukan yang sangat terhormat yang tidak
hanya menyangkut aspek sosial, tetapi perkawinan juga mengandung nilai-
nilai ibadah. Sementara dari segi hukum, perkawinan dipandang sebagai
suatu perbuatan hukum, yaitu perbuatan dan tingkah laku subyek hukum
yang membawa akibat hukum. Oleh karena itu, subyek hukum itu terikat oleh
kekuatan hukum itu sendiri.16
Sebagai tambahan dari sisi sosiologi, sebagaimana menjadi kenyataan
dalam masyarakat Indonesia, bahwa perkawinan dapat juga dilihat sebagai
fenomena penyatuan dua kelompok keluarga besar. Dalam arti kata, dengan
perkawinan maka dapat sebagai sarana terbentuknya satu keluarga besar yang
asalnya terdiri dari satu keluarga yang tidak saling mengenal, yakni satu dari
kelompok keluarga suami dan satunya dari kelompok keluarga isteri. Dengan
demikian, perkawinan yang semula hanya perpaduan dua insan, dapat pula
menjadi sarana pemersatu dua keluarga menjadi satu kesatuan yang utuh dan
menyatu.
13 Akh. Minhaji, Islamic Law and Local Tradition: A Socio-Historical Approach (Kurnia Kalam
Press, Yogyakarta, 2008), 117. 14 Sayuthi Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (UI Press, Jakarta, 1986), 47-48. 15 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Bumi Aksara, Jakarta, 1999), 18. 16 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Sinar Grafika, Jakarta, 1993), 251.
Adapun dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
pasal 1 ayat (2) dapat ditemukan pengertian dari perkawinan yaitu:
“ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Kata ikatan lahir batin memberikan pengertian bahwa perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama sehingga perkawinan
bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani saja akan tetapi juga
memiliki unsur batin atau rohani.17
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam ( KHI) pasal 2 dinyatakan
bahwa pernikahan adalah:
“akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”
b. Tujuan dan Landasan Perkawinan
Dalam Islam, terdapat beberapa tujuan dari sebuah perkawinan. Tujuan-
tujuan yang dimaksud di antaranya adalah:18
a. Membangun keluarga yang sakinah;19 Tujuan pertama ini merupakan tujuan
pokok dari perkawinan, yaitu membangun keluarga atau rumah tangga yang
sakinah.
b. Reproduksi atau memperkembangbiakkan generasi;20 Tujuan reproduksi atau
memperkembangbiakkan keturunan secara tidak langsung merupakan
jaminan eksistensi agama Islam.
17 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Bumi Aksara, Jakarta, 1996), 2. 18 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim (Tazzafa dan ACAdeMIA, Yogyakarta, 2009), 223-228. 19Tujuan ini diabadikan dalam Al Qur‘an surat ar-rum ayat 21 20Kaitannya dengan tujuan kedua dari perkawinan ini, maka dapat dilihat dalam beberapa surah
dalam al-qur`an, di antaranya surah asy-Syura: 11
c. perkawinan bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan biologis atau seksual;21
d. perkawinan bertujuan untuk menjaga kehormatan;
e. perkawinan memiliki tujuan ibadah.22 Tujuan ibadah sebagai tujuan dari
perkawinan secara implisit disebutkan dalam sejumlah ayat al-qur`an dan
hadis.
Tujuan-tujuan perkawinan di atas merupakan orientasi dari
perkawinan itu sendiri. Misalnya kaitannya dengan dengan nash yang
menunjukkan pentingnya reproduksi agar umat islam kelak di kemudian hari
menjadi umat yang banyak dan tentu juga umat yang berkualitas.
c. Asas atau Prinsip Perkawinan
Secara umum, asas atau prinsip perkawinan dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian, yakni asas atau prinsip yang bersifat fondasi dan asas
atau prinsip yang bersifat instrumen. Masing-masing bagian tersebut
memiliki sub bagian tertentu.
Adapun asas atau prinsip perkawinan yang bersifat fondasi adalah
sebagai berikut:
a. Masing-masing suami dan isteri mempunyai tekad hanya mempunyai
seorang sebagai pasangan dalam kehidupan rumah tangga (monogami);
b. Ada kerelaan dan persetujuan antara suami dan isteri;
Artinya: “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu ber-kembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.”
21maka dapat dilihat dalam beberapa surah dalam al-Qur`an, Surah al-Ma`arij: 29-31
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya (29) kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela, (30) Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas (31)” Surah al-Mu`minun: 5-7
22Di antara hadis Nabi saw yang menjelaskan tentang tujuan ibadah dari sebuah erkawinan adalah: “Seseorang yang melakukan perkawinan sama dengan seseorang yang melakukan setengah dari agamanya”
c. Adanya tekad antara suami dan isteri bahwa perkawinan mereka adalah
untuk selamanya.
Sementara asas atau prinsip perkawinan yang bersifat instrumen
adalah sebagai berikut:
a. Anggota keluarga memenuhi dan melaksanakan norma agama;
b. Kehidupan rumah tangga berjalan secara musyawarah dan demokrasi;
c. Berusaha menciptakan rasa aman, nyaman, dan tenteram dalam
kehidupan keluarga;
d. Menghindari terjadinya kekerasan;
e. Bahwa hubungan suami dan isteri adalah hubungan patnership, yaitu
saling membutuhkan, saling menolong, dan saling membantu dalam
menyelesaikan semua urusan rumah tangga;
f. Keadilan; dan
g. Terbangunnya komunikasi antar anggota keluarga.
Berdasarkan pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan
sebagaimana disebutkan pada bagian di atas, menurut Yahya Harahap bahwa
asas atau prinsip perkawinan setidaknya ada tujuh asas penting yaitu sebagai
berikut:23
a. Undang-Undang Perkawinan menampung di dalamnya segala unsur
ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing;
b. Terpenuhinya aspirasi wanita yang menuntut adanya emansipasi dan
perkembangan sosial-ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang
telah membawa implikasi terhadap mobilitas sosial di segala aspek
kehidupan dan pemikiran;
c. Suami-isteri saling bantu membantu, serta saling melengkapi. Masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan
23 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional (Zahir Trading, Medan, 1975), 10.
kepribadian itu suami-isteri harus saling membantu sehingga akan
terwujud keluarga atau rumah tangga yang sejahtera spritual dan
material;
d. Perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan
masing-masing serta memenuhi administratif pemerintahan dalam bentuk
pencatatan perkawinan;
e. Undang-undang perkawinan menganut asas monogami;
f. Pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-pribadi yang telah matang
jiwa dan raganya; dan
g. Kedudukan suami-isteri dalam keluarga adalah seimbang baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
Menurut Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, asas-asas dari
perkawinan terdiri dari beberapa asas, yaitu sebagai berikut:24
a. Asas sukarela;
b. Partisipasi dalam keluarga;
c. Mempersulit terjadinya perceraian;
d. Poligami bersyarat;
e. Kematangan calon mempelai; dan
f. Memperbaiki derajat kaum wanita.
d. Keluarga Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah
Kata sakinah berasal dari bahasa Arab ―sakana-yaskunu-sukuunan”,
yang berarti hilang atau terputusnya dari sebuah gerakan, atau juga bisa
diartikan dengan lawan dari bergerak yang dapat berarti pula tenang.25 Kata
sakinah yang merupakan derivasi dari kata sakana bermakna thuma`ninah,
24 Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Bulan Bintang, Ja-
karta, 1978), 35. 25 Lois Ma`luf, al-Munjid fi al-Lighah wa al-A`lam (Beirut: dara l-Musyriq, 1997), 342.
yaitu tenang. Dari kata sakana lahir juga kata sukna dan maskan yang berarti
rumah atau tempat tinggal, artinya, seseorang itu telah mendiami sebuah
rumah atau tempat tinggal dengan rasa tentang.26 Dalam kamus besar Bahasa
Indonesia, kata sakinah bermakna kedamaian, ketenteraman, ketenangan, dan
kebahagiaan.27
Adapun kata mawaddah berasal dari bahasa Arab dengan akar
katanya wadda, yawaddu, mawaddatan yang berarti mencintai.28 Dalam al-
Qur`an sendiri kata ini dengan berbagai bentuk variannya telah terulang
sebanyak 29 kali.29 Sementara dalam Bahasa Indonesia kata ini sering
diartikan dengan cinta dan kasih sayang.30
Sedangkan Kata rahmah berasal dari Bahasa Arab yaitu rahim-
yarhamu-rahmah yang berarti lembut, lunak, atau juga bisa diartikan kasih
sayang. Kata ini juga bisa dimaknai dengan riqqah yang berarti juga lemah
lembut, lunak, serta kasih sayang.31
Berpijak pada kenyataan di atas, maka menurut al-Faruqi, bahwa ada
beberapa prinsip yang penting untuk disoroti dalam keluarga Islam,32
diantaranya adalah:
a. Prinsip kebersamaan diantara sesama anggotanya. Dengan adanya
prinsip ini maka jalinan yang dihasilkan dalam keluarga adalah jalinan
yang timbal balik, dan simbolis mutualisme dan bukanlah simbolis
parasitisme.
b. Prinsip keberbedaan peran. Secara kodrati adalah berbeda mengenai
keberbedaan laki-laki dan wanita. Namun keberbedaan tersebut pada
26Ibid. 27 Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 769. 28 Louis Ma`luf, al-Munjid, 892. 29 Fu`ad Abd. Al-Baqi, Mu`jam, 747. 30 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hida Karya, 1990), 490. 31 Lois Ma`luf, al-Munjid, 253. 32 Isma`il Raja l-Faruqi, At-Tawhid: It`s Implications for Thought and Life (Virginia USA: Inter-
national Institute of Islamic Thought, 1992), 133-135.
dasarnya berfungsi sebagai pendukung fungsi masing-masing dan bukan
untuk saling mengalahkan.
c. Keterbukaan dan saling menjaga. Untuk membina keluarga yang islami,
diperlukan pembinaan yang terus menerus agar suasana kehidupan
rumah tangga bisa tetap terpelihara dengan baik oleh para penghuninya,
yaitu suami, misteri, dan anak.
2. Pencatatan Nikah
a. Urgensi Pencatatan Nikah
Perkawinan selanjutnya disebut pernikahan, merupakan sebuah lem-
baga yang memberikan legimitasi seorang pria dan wanita untuk bisa hidup
dan berkumpul bersama dalam sebuah keluarga. Ketenangan atau ketentera-
man sebuah keluarga ditentukan salah satunya adalah bahwa pernikahan itu
harus sesuai dengan dengan tuntutan syariat Islam (bagi orang Islam). Selain
itu, ada aturan lain yang mengatur bahwa pernikahan itu harus tercatat di
Kantor Urusan Agama/Catatan Sipil.
Pencacatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar dalam
keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri maupun
anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain.
Dalam hal nikah siri atau perkawinan yang tidak dicatatkan dalam
administrasi Negara mengakibatkan perempuan tidak memiliki kekuatan hu-
kum dalam hak status pengasuhan anak, hak waris, dan hak-hak lainnya se-
bagai istri yang pas, akhirnya sangat merugikan pihak perempuan.
b. Landasan Yuridis Pencatatan Nikah
1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946; menyatakan: Nikah yang dila-
kukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pe-
gawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai
yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama
Islam selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai
Pencatat Nikah.
2) Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan pada pasal 2
ayat 2. Menyatakan; "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan pe-
rundang-undangan yang berlaku.
3) Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 477 Tahun 2004, tentang
Pencatatan Nikah.
4) Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 1 Tahun 1995, tentang Kutipan
Akta Nikah.
5) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, tentang pelaksanaan UU. No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Secara lebih rinci , pasal 2 menjelasa-
kan tentang pencatatan perkawinan :
a) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawi-
nannya menurut agama Islam , dilakukan oleh pegawai pencatat se-
bagaimana dimaksudkan dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang pen-
catatan nikah , Talak , dan Rujuk.
b) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawi-
nannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Is-
lam , dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor cata-
tan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan
mengenai pencatatan perkawinan.
c) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku
bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan
yang berlaku , tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaima-
na ditentukan dalam pasal 9 PP ini .
Dalam pasal 3 PP No.9 Tahun 1975 menyatakan;
a) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknnya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan
akan dilangsungkan .
b) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-
kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan di langsungkan.
c) Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan se-
suatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati
Kepala Daerah.
Kalau melihat teks dari perundang-undangan Indonesia dapat
disimpulkan bahwa fungsi pencatatan perkawinan adalah hanya untuk
memenuhi urusan administrasi, bukan untuk menentukan sah atau tidak-
nya perkawinan. Namun, jika teks-teks tersebut dihubungkan dengan
pasal-pasal lain yang ada dalam undang-undang khususnya UU No. 01
tahun 1974 secara keseluruhan, dan dihubungkan dengan perundang-
undangan lain yang pernah berlaku di Indonesia, ternyata memunculkan
sikap pro dan kontra tentang fungsi pencatatan perkawinan. Ada yang
berpandangan bahwa pencatatan perkawinan sebagai syarat sahnya per-
kawinan dan ada yang berpendapat hanya sebagai syarat administrasi.
c. Tujuan Pencatatan Nikah
Pada mulanya syari‘at Islam baik dalam Alquran atau as-Sunnah ti-
dak mengatur secara kongkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini
berbeda dengan ayat muamalat (mudayanah) yang dalam situasi tertentu di
perintahkan untuk mencatatnya. Tuntunan perkembangan, dengan berbagai
pertimbangan kemaslahatan, hukum Islam di Indonesia mengaturnya mem-
buat undang-undang tentang pencatatan pernikahan.
Pencatatan pernikahan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban per-
nikahan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (misaq al-
galid) perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah
tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah,
yang masing-masing suami-isteri mendapat salinannya, apabila terjadi perse-
lisihan atau percekcokkan di antara mereka, atau salah satu tidak bertang-
gung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna memperta-
hankan atau memperoleh hak-hak masing-masing. Karena dengan akta ter-
sebut, suami isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah
mereka lakukan.
Tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk kepentingan admini-
strasi negara, agar hak-hak yang timbul dari perkawinan itu misalnya pem-
buatan akta kelahiran, kartu keluarga, dan lain sebagainya yang memerlukan
akta nikah sebagai bukti adanya suatu perkawinan dapat terjamin. Perkawi-
nan, perceraian dan poligami itu perlu diatur agar tidak terjadi kesewenang-
wenangan.33
B. PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah
a. Isi PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah
Peraturan pemerintah No. 48 Tahun 2014 ini merupakan perubahan atas
peraturan pemerintah No. 47 Tahun 2004. Adapun isinya adalah sebagai berikut:
Menetapkan : Peraturan pemerintah tentang perubahan atas peraturan pemerin-
tah nomor 47 Tahun 2004 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak
yang berlaku pada Departemen Agama.
Pasal 1
Beberapa ketentuan dalam peraturan pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang
tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Departemen
Agama (lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 149, tambahan
lembaran negara Republik indonesia nomor 4455) diubah sebagai berikut:
Ketentuan pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
1) Setiap warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan
Agama Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak di-
kenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk.
2) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama ke-
camatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan
dari Kantor Urusan Agama Kecamatan.
33 Iskandar Ritonga, Hak-Hak Wanita dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hu-
kum Islam (Jakarta:L Nuansa Madani, 1999), h. 31.
3) Terhadap warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/ korban ben-
cana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Ke-
camatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan tarif Rp0,00
(nol rupiah).
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk dapat dikenakan
terif Rp0,00 (nol rupiah) kepada warga negara yang tidak mampu secara
ekonomi dan/ korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar
Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di-
atur dengan Peraturan Menteri Agama setelah berkoordinasi dengan Menteri
Keuangan.
b. Penjelasan Umum PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah
Untuk meningkatkan pelayanan pencatatan nikah atau rujuk serta untuk
melakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak
sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 47 tahun 2004 tentang
tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian
Agama, perlu dilakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara
bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Agama.
Hal ini sejalan dengan upaya mengoptimalkan penerimaan negara bukan
pajak guna menunjang pembangunan nasional, sebagai salah satu sumber pene-
rimaan negara yang perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk peningkatan pelaya-
nan kepada masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut dan untuk memenuhi
ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang penerimaan negara
bukan pajak, perlu menetapkan jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bu-
kan pajak yang berlaku pada Kementerian Agama dengan Peraturan Pemerintah
ini.
c. Tujuan
Terdapat beberapa tujuan kenapa PP Nomor 47 Tahun 2004 ini dirubah
oleh PP Nomor 48 Tahun 2014. Di antaranya, adalah:
1) Semangat menjadikan KUA yang berintegritas dan terbebas dari gratifikasi;
2) Memperjelas keuangan yang dibayarkan masyarakat untuk biaya pernikahan;
3) Mengakomodir kepentingan, kompensasi, dan penghargaan kepada para
penghulu yang menghadiri pernikahan di luar kantor atau luar jam kantor.
Tiga faktor tersebut yang tidak diakomodir oleh PP Nomor 47 Tahun
2004.
d. Besaran Nominal
1) Perubahan yang ditetapkan di dalam PP Nomor 48 Tahun 2014 di antaranya
yaitu adanya multi tarif yang dikenakan kepada masyarakat yang akan meni-
kah. Di dalam PP Nomor 48 Tahun 2014 disebutkan pada pasal 6: Setiap
warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama
Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan
biaya pencatatan nikah atau rujuk.
2) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama Ke-
camatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan
dari Kantor Urusan Agama Kecamatan;
3) Terhadap warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban
bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama
Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan tarif Rp
0,00 (nol rupiah);
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk dapat dikenakan
tarif Rp0,00 (nol rupiah) kepada warga negara yang tidak mampu secara
ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di
luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Menteri Agama setelah berkoordinasi dengan Men-
teri Keuangan.
e. Cara Penerimaan
Di dalam PMA Nomor 71 Tahun 2009 BAB II Pasal 1 ayat (1) Ca-
tin membayar biaya NR kepada Bendahara penerimaan pada Kandepag me-
lalui Bendahara Pembantu pada KUA. Di dalam PMA Nomor 24 Tahun
2014 BAB III Pasal 6 ayat (1) Catin wajibmenyetorkan biaya nikah atau ru-
juk ke renening Bendahara Penerimaan sebesar Rp 600,000,- pada Bank.
Pada ayat (2) Apabila kondisi geografis, jarak tempuh, atau tidak
terdapat layanan Bank pada wilayah kecamatan setempat, catin menyetorkan
biaya nikah atau rujuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui PPS pa-
da KUA Kecamatan. Jadi jelas, bahwa perubahan juga terjadi pada cara pe-
nerimaan PNBP. Yaitu yang tadinya disetorkan/dititipkan melalui Bendahara
Pembantu di KUA yang kemudian disetorkan ke Bendahara Penerimaan
Kemenag Kabupaten/Kota, dirubah menjadi ―disetorkan catin langsung‖ ke
rekening bank atas nama Bendahara Peneriman PNBP Kemenag Pusat.
Dalam hal ini penulis berpendapat, bahwa kata ―wajib‖ di dalam
pasal 6 ayat (1), adalah tidak dapat diwakilkan. Sehingga pembayaran PNBP
sebesar Rp 600.000,- benar-benar dibayarkan dan terhindar dari penyalah
gunaan atau terhindar dari prasangka buruk. Ini adalah upaya transparansi
kepada masyarakat.
f. Penggunaan Biaya NR
Penggunaan biaya NR pada PMA Nomor 71 Tahun 2009 ada pada
BAB IV Pasal 5 ayat (2):
1) Peningkatan SDM dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan NR
kepada masyarakat;
2) Pelayanan dan bimbingan di bidang perkawinan serta penegakan hu-
kum; Investasi yang berkaitan dengan kegiatan NR.
3) Pemeliharaan, perbaikan kantor, gedung dan investasi lainnya lainnya
yang berkaitan dengan pelayanan NR; dan Operasional perkantoran da-
lam rangka meningkatkan pelayanan NR serta transport Penghulu, pega-
wai dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dilihat dari sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualita-
tif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin ten-
tang manusia atau keadaan dan gejala-gejala lainnya.34
Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif ini diharapkan akan di-
temukan makna-makna yang tersembunyi dibalik obyek ataupun subyek yang akan
diteliti, dengan demikian metode ini dapat menjangkau dua hal sekaligus yaitu dunia
obyektif sebagai suatu konsep keseluruhan (holistik) untuk mengungkapkan rahasia
sesuatu dilakukan dengan menghimpun informasi dalam keadaan sewajarnya (natu-
ral setting), mempergunakan cara kerja yang sistematik, terarah dan dapat diper-
tanggungjawabkan, artinya penelitian ini tidak hanya merekam hal-hal yang nampak
secara eksplisit saja bahkan harus melihat secara keseluruhan fenomena yang terjadi
dalam masyarakat.35
Penelitian ini akan mendeskripsikan implementasi PP No 48 Tahun 2014
tentang nikah dan relevansinya dengan tertib administrasi perkawinan di KUA
Lombok Tenbgah.
B. Sumber dan Jenis Data
Data dalam penelitian akan dijaring melalui sekumpulan dokumen yang
terkait dengan objek penelitian. Disamping itu, data akan dijaring dari informan
yang telah diidentifikasi oleh peneliti.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan se-
kunder. Data primer adalah data lapangan dari hasil wawancara, observasi maupun
dokumentasi. sedangkan data sekunder ialah data dokumen sebagai data pendukung
keterangan atau menunjang kelengkapan data primer. Sumber data digali dari hasil
34 Soeryono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Press, Jakarta, 1986), 10. 35 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, Gadjah Mada University Press, Yo-
gyakarta, 1994, 175.
observasi, wawancara dan dokumentasi berupa dokumen-dokumen yang terkait
dengan objek penelitian.
C. Metode Pengumpulan Data
Penggalian data dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data
terkait tentang penelitian ini, adapun tehnik pengumpulan data dilakukan dengan ca-
ra sebagai berikut:
a. Dokumentasi
Metode dokumentasi yang penulis gunakan bertujuan untuk mengum-
pulkan data dan informasi. Data dan informasi yang di kumpulkan berupa do-
kumen-dokumen penting yang mengenai objek penelitian. Metode dokumentasi
ini peneliti gunakan untuk mengumpulkan data-data tertulis yang dapat membe-
rikan keterangan yang sesuai dengan yang di butuhkan seperti di lokasi dan se-
bagaianya.
Dokumen-dokumen yang dianggap penting menjadi sumber data pene-
litian adalah, diantaranya:
1) Profil KUA Kecamatan Praya Barat
2) Profil KecamatanPraya Barat
3) Data Pernikahan di KUA KecamatanPraya Barat
4) Regulasi yang mengatur tentang sistem operasinal kerja KUA
5) Regulasi-regulasi tentang pernikhan.
b. Observasi
Urgensitas pengunaan metode observasi36 dalam penelitian ini adalah
untuk melihat/mengamati bagaimana kondisi riil di lapangan terkait dengan im-
plementasi PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah di KUA Kabupten
Praya Barat serta problematikanya dalam masyarakat.
Adapun yang menjadi objek observasi dalam penelitian ini adalah se-
bagai berikut:
36 Observasi adalah meliputi kegiatan pemusatan terhadap susuatu objek yang menggunakan se-
luruh alat indra. Lihat, Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Dasar-Dasar dan Aplikasi (Jakarta: Raja Garafindo Persada, 1989), 51.
1) Kondisi riil KUA di Kecamatan Praya Barat
2) Kegiatan-kegiatan pra pernikahan di KUA KecamatanPraya Barat.
3) Acara akad nikah para mempelai baik dirumah masing-masing maupun di
Kantor KUA.
c. Tehnik Wawancara
Tehnik wawancara dan dalam hal ini wawacara ―semi structured‖, yai-
tu mula-mula pewawancara menanyakan serentetan pertanyaan yang terstruktur
dilanjutkan dengan mendalami pertanyaan guna mengorek keterangan lebih lan-
jut37.
Selain itu, peneliti juga menggunakan tehnik wawancara yang bersifat
depth interview dengan tehnik snowboling38. Artinya, peneliti mencari informasi
dari satu kunci ke informan kunci lainnya secara berkelanjutan sampai akhirnya
pencarian informasi baru dihentikan ketika informasi yang dicari sudah cukup
sebagai bahan penulisan.
Dalam hal ini peneliti akan melakukan wawancara dengan narasumber-
narasumber yang terlibat langsung dalam pernikahan. Adapun narasumber yang
diwawancarai adalah sebagai berikut:
1) Kepala KUA KecamatanPraya Barat
2) Penghulu KUA KecamatanPraya Barat
3) Para Kadus dan Kyai di KecamatanPraya Barat
4) Para calon pengantin yang sedang melangsungkan pernikahan baik dirumah
maupun di KUA KecamatanPraya Barat.
D. Tehnik Analisa Data
Analisa data sangat penting dipergunakan karena merupakan tahap lanjutan dari
metode pengumpulan data. Dalam menganalisa data dan materi yang disajikan dalam
penelitian ini, dipergunakan dua metode yaitu metode deduktif. Metode deduktif merupakan
salah satu metode berfikir yang berangkat dari - yang umum, dalam ini teori, dalil, hukum,
kaidah–kaidah kemudian dianalisa ke arah yang lebih khusus.39 disamping itu juga
37 Ibid., 229-230. 38 Ahmad Arifi, Pergulatan Pemikiran Fiqh Tradisional Pola Mazhab (Yogyakarta: eLSAQ
Press 2010), 24. 39. Lihat Nasution, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif ( Bandung: Tarsito, 1992.), 186
digunakan metode induktif. Metode deduktif merupakan salah satu metode berfikir yang
berangkat dari - yang umum, dalam ini teori, dalil, hukum, kaidah–kaidah kemudian
dianalisa ke arah yang lebih khusus40.
Adapun tahapan tahapan yang dilakukan dalam analisa data adalah sebagai
berikut:
a. Reduksi Data
Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu
perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti : merangkum, memi-
lih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema
dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Data yang telah direduksi akan
memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan
pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
Reduksi data bisa dibantu dengan alat elektronik seperti :komputer ,
dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu. Dengan reduksi , maka
peneliti merangkum, mengambil data yang penting, membuat kategorisasi,
berdasarkan huruf besar, huruf kecil dan angka. Data yang tidak penting di-
buang.
b. Model Data (Data Display)
Setelah data direduksi, maka langkah berikutnya adalah mendisplay-
kan data. Display data dalam penelitian kualitatif bisa dilakukan dalam bentuk :
uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sebagainya.
Fenomena sosial bersifat kompleks, dan dinamis sehingga apa yang
ditemukan saat memasuki lapangan dan setelah berlangsung lama di lapangan
akan mengalami perkembangan data. Peneliti harus selalu menguji apa yang te-
lah ditemukan pada saat memasuki lapangan yang masih bersifat hipotetik itu
berkembang atau tidak. Bila setelah lama memasuki lapangan ternyata hipotesis
yang dirumuskan selalu didukung data pada saat dikumpulkan di lapangan, ma-
40 Metode induktif yaitu cara berfikir yang berangkat dari fakta-fakta dan peristiwa yang khusus
dan kongkrit, kemudian ditarik generalisasi yang bersifat umum. Lihat, Nasution, Metode Penelitian Na-turalistik-Kualitatif ( Bandung: Tarsito, 1992.), 190
ka hipotesis tersebut terbukti dan akan berkembang menjadi teori yang
grounded.
Teori grounded adalah teori yang ditemukan secara induktif, berda-
sarkan data-data yang ditemukan di lapangan, dan selanjutnya diuji melalui pen-
gumpulan data yang terus menerus. Bila pola-pola yang ditemukan telah didu-
kung oleh data selama penelitian, maka pola tersebut menjadi pola yang baku
yang tidak lagi berubah. Pola tersebut selanjutnya didisplaykan pada laporan ak-
hir penelitian.
c. Penarikan/Verifikasi Kesimpulan
Langkah ketiga adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan
awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak
ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan da-
ta berikutnya. Namun bila kesimpulan memang telah didukung oleh bukti-bukti
yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data,
maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel (da-
pat dipercaya).
E. Tehnik Validitas Data
Untuk mendapatkan validitas yang teruji, perlu di lakukan uji kesahihan data.
Upaya-upaya yang menguji kesahihan data dalam penelitian ini menggunakan em-
pat macam metode uji kesahihan data yaitu:
a. Perpanjangan Penelitian;
Peneliti memberlakukan perpanjangan waktu penelitian dalam rangka
mendapatkan data yang benar-benar valid dan kredibe. Perpanjangan waktu ini
peneliti lakukan manakala data yang di perlukan kurang refrensentatif.
b. Triangulasi;
Disamping perpanjangan penelitian, peneliti juga menggunakan metode
triangulasi yaitu membandingkan hasil wawancara dengan observasi dan do-
kumentasi. Hal ini di gunakan untuk memadukan apa yang dilihat dan apa yang
didengar oleh peneliti tidak bertolak belakng dengan fakta dan realitasnya.
c. Pemeriksaan Sejawat;
Data-data yang berhasil di kumpulkan oleh peneliti selanjutnya akan di-
diskusikan bersama rekan-rekan yang mempunyai kopetensi di bidang hal yang
sedang di teliti. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh masukan–masukan
yang menambah validitas dan kesempurnaan data dari hasil penelitian ini.
d. Kecukupan Referensi;
Refrensi yang cukup dipandang sangat perlu bagi kesempurnaan peneli-
tian ini. Oleh karena itu peneliti selalu berupaya untuk memperbanyak refrensi
agar data yang di peroleh dapat di pertanggung jawabkan secara cerdas dan il-
miah.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan gambaran mengenai isi penelitian ini maka sistematika
pembahasannya disusun sebagaimana berikut:
BAB I. Merupakan bab pendahuluan yang di dalamnya terdapat sub pemba-
hasan antara lain tentang konteks penelitian, fokus penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sitematika penulisan.
BAB II.Adalah bab yang berisikan tentang kajian teori yang di dalamnya-
membahas tentang hukum pernikahan perspektif Hukum Islam dan Undang. dan se-
gala ruang lingkup yang terdapat di dalamnya. Disamping itu juga akan mengurai-
kan tentang administrasi pencatatan pernikahan.
BAB III. Dalam bab ini khusus membahas tentang metode penelitian menca-
kup pembahasan tentang jenis dan pendekatan penelitian, rancangan penelitian, lo-
kasi penelitian, kehadiran peneliti, data dan sumber data, teknik pengumpulan data,
teknik analisis data dan pengecekan keabsahan data.
BAB IV. Merupakan bab tentang pemaparan data dan temuan penelitian
yang terdiri dari: Gambaran Umum Lokasi Penelitian; penerapan PP. No. 48 Tahun
2014 Tentang Biaya Nikah Terhadap Tertib administrasi di KUA KecamatanPraya
Barat.
BAB V.Merupakan bab yang membahas tentang hasil penelitian yang di da-
lamnya analisa terhadap hasil temuan penelitian terkait implementasi PP. No. 48
Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah Terhadap Tertib administrasi di KUA Kecama-
tanPraya Barat
BAB VI. Merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan, dan saran
BAB IV
PENERAPAN PP NO. 48 TAHUN 2014 TENTANG BIAYA NIKAH DALAM
PERKAWINAN MASYARAKAT DI KUA
KECAMATAN PRAYA BARAT
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Profil Kecamatan Praya Barat
Salah satu kecamatan yang terletak di bagian selatan wilayah Kabupaten
Lombok Tengah dan berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia adalah
Kecamatan Praya Barat. Secara geografis Kecamatan Praya Barat memiliki ba-
tas-batas wilayah sebagai berikut:41
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Praya Barat dan Kecamatan
Praya
b. Sebelah Timur berbatasasn dengan Kecamatan Pujut
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia
d. Sebelah Barat berbatasan demgan Kecamatan Praya Barat Daya
Kecamatan yang beribu kota di Penujak ini memiliki wilayah seluas
15.275 ha atau sekitar 12,72% dari luas Kabupaten Lombok Tengah dan berada
diurutan ke-3 dari 12 kecamatan yang ada. Dari luas tersebut terdiri dari 6.196
ha (40,62 %) lahan sawah, 4.925 ha (32,17%) lahan non sawah dan sekitar
4.154 ha (27,21 %) merupakan lahan non pertanian dan tersebar di 10 desa.42
Lebih detail tentang luas wilayaha dan persentasenya di Kecamtan Praya
Barat dapat dilihat pada tabel berikut:
41 Tim, Kecamatan Praya Barat Dalam Angka Tahun 2016, Biro Pusat Statistik Kabupaten Lom-
bok Tengah 42
Ibid
Tabel 1.
Luas Wilayah dan Persentasenya di Kecamatan Praya Barat
Tahun 2016
No. Nama Desa
Luas Wilayah
(Km2) Persentase
1. Selong Blanak 18,20 11,83
2. Mekar Sari 21,45 13.95
3. Banyu Urip 21,59 14,04
4. Kateng 22,35 14,53
5. Mangkung 23,13 15,04
6. Bondir 6,82 5,09
7. Setanggor 6,51 4,23
8. Penujak 15,32 9,96
9. Batujai 12,13 7,88
10. Tanak Praya Barat 5,25 3,41
Jumlah 152,75 100,00
Sumber : Koordinator Statistik Kecamatan Praya Barat
2. Iklim Kecamatan Praya Barat
Sebagai salah satu penentu corak kehidupan suatu wilayah, secara detail Ik-
lim dapat berpengaruh terhadap berbagai jenis tanaman dan hewan yang ada di wi-
layah yang bersangkutan. Dengan demikian sektor ekonomi yang paling dipenga-
ruhi oleh iklim adalah sektor pertanian. Seperti halnya kecamatan-kecamatan lain-
nya, iklim di Kecamatan Praya Barat tergolong iklim tropis yang ditandai dengan
musim kemarau yang cukup panjang.
3. Pemerintahan
Sumber daya manusia yang ada di sektor pemerintahan (aparat) sangat me-
nentukan dalam mendukung kelancaran kegiatan pembangunan dan pemerataan
hasil-hasilnya sampai wilayah paling kecil seperti /kelurahan termasuk didalamnya
unsur pelayanan kepada masyarakat. Karenanya agar pelayanan dapat berjalan
dengan optimal, pengaturan kelembagaan yang ada perlu dilakukan.
Untuk memperlancar kegiatan pembangunan di tingkat kecamatan, ditem-
patkan aparat pemerintah yang berasal dari berbagai unsur yang mewakili di-
nas/instansi di tingkat kabupaten. Lembaga-lembaga inilah yang bertugas untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menjadi agen pembangunan di
tingkat kecamatan khususnya kecamatan Praya Barat. Pada Tahun 2015 kecamatan
Praya Barat terdiri dari 10 definitif. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 11 ta-
hun 2000 maka setiap desa dilengkapi dengan aparat pemerintahan yang akan
mengatur jalannya pemerintahan di tingkat sekaligus menjadi perpanjangan tan-
gan dari pemerintah kecamatan.
Di Kecamatan Praya Barat terdapat 135 kepala dusun dan 70 pamong . Den-
gan semakin lengkapnya sarana operasional yang ada maka pelayanan aparat pe-
merintah terhadap masyarakat diharapkan untuk dapat terus ditingkatkan. Selain
keberadaan aparat, di Kecamatan Praya Barat juga terdapat sarana penunjang yang
sangat penting bagi perekonomian masyarakat. Sarana tersebut berupa 3 unit pasar
permanen, 2 koperasi serta 2 unit lembaga perbankan. Keberadaan lembaga-
lembaga perekonomian ini dapat menjadi barometer tingkat kemajuan masyarakat
di kecamatan Praya Barat.
4. Penduduk
Pada Tahun 2015 jumlah penduduk Kecamatan Praya Barat tercatat seba-
nyak 73.612 jiwa yang terdiri dari 35.206 jiwa penduduk laki-laki dan 38.406 jiwa
penduduk perempuan. Apabila dihitung maka akan didapat rasio jenis kelamin (sex
ratio) sebesar 92 %, Ini menunjukkan bahwa dalam setiap 100 jiwa penduduk pe-
rempuan terdapat 92 jiwa penduduk laki-laki. Dengan kata lain penduduk perem-
puan lebih banyak dibandingkan penduduk laki-laki.
Dari 10 yang ada di kecamatan Praya Barat, Batujai menempati urutan per-
tama dalam hal jumlah penduduk dimana sekitar 19,78 persen dari penduduk ke-
camatan Praya Barat bertempat tinggal di ini. Urutan kedua dan ketiga ditempati
oleh Penujak dan Mangkung dengan persentase masing-masing mencapai 15,76
persen dan 15,73 persen. Sedangkan Tanak Praya Barat merupakan dengan jum-
lah penduduk paling sedikit yakni mencapai 2,42 persen dari jumlah penduduk ke-
camatan.
Dibandingkan dengan luas wilayah maka dapat diketahui bahwa kepadatan
penduduk di Kecamatan Praya Barat tercatat sebesar 483 jiwa untuk setiap 1 km2 .
Angka ini menjadi sangat kontras bila disandingkan dengan kepadatan penduduk
di Batujai yang mencapai angka 1.200 jiwa untuk setiap satu km2 . kemudian Pe-
nujak dan Mangkung dengan kepadatan masing-masing 757 jiwa dan 500 jiwa per
km2 .
Sebaliknya untuk - seperti Setanggor dan Tanak Praya Barat kepadatan pen-
duduknya hanya sebesar 576 dan 339 jiwa per km2 . Data-data kepadatan tiap tadi
memberi gambaran mengenai tidak meratanya jumlah penduduk antara yang satu
dengan yang lain di Kecamatan Praya Barat. Lapangan usaha yang digeluti oleh
mayoritas rumah tangga di Kecamatan Praya Barat adalah pertanian, khusunya
pertanian tanaman pangan.
Lebih detail dengan kependudukan Kecamatan Praya Barat, dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel. 4.
Jumlah Penduduk Kecamatan Praya Barat
Tahun 2016
NO. Nama Dea
Jumlah Rumah
Tangga L P Jum
1. Selong Blanak 1.281 2.324 2.382 4.706
2. Mekar Sari 1.654 2.478 2.597 5.075
3. Banyu Urip 1.471 2.413 2.629 5.042
4. Kateng 1.879 3.591 3.851 7.442
5. Mangkung 3.332 5.499 6.079 11.578
6. Bonder 2.235 3.876 4 195 8.071
7. Setanggor 1.317 1.772 1.982 3.754
8. Penujak 3.162 5.615 5.984 11.599
9. Batujai 4.688 6.826 7.740 14.566
10 Tanak Praya Barat 624 812 967 1.779
Jumlah / Total 21.643 35.206 38.406 73.612
Sumber: Biro Pusat Statistik Lombok Tengah 2017
5. Kehidupan Sosial
Meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan makin mem-
baiknya keadaan sosial ekonomi merupakan salah satu indikasi keberhasilan pem-
bangunan yang dilaksanakan pemerintah. Kondisi sosial masyarakat di Kecamatan
Praya Barat pada umumnya tidak berbeda jauh dengan masyarakat yang ada di ke-
camatan lain.
Perubahan-perubahan sosial yang semakin maju baik terjadi sebagai akibat
dari keberhasilan pembangunan di bidang sosial dan ekonomi. Sarana dan prasara-
na bidang pendidikan, kesehatan, sosial kemasyarakatan lainnya semakin banyak
dan tersebar relatif merata. Dengan demikian masyarakat akan semakin mudah dan
gampang dalam mengaksesnya. Karena sumber daya manusia dianggap sebagai
modal utama pembangunan maka pengembangan SDM harus menjadi prioritas
agar pambangunan dapat berjalan dengan lancar dan berkesinambungan.
Untuk mendukung hal tersebut dibutuhkan peran aktif masyarakat serta ke-
tersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Peran aktif masyarakat dapat terli-
hat dari keberadaan sarana sekolah madrasah yang ada yang sebagian besar meru-
pakan lembaga pendidikan yang pendirian dan pengelolaannya dilakukan oleh ma-
syarakat. Dibidang lain, indikasi keberhasilan pembangunan juga dapat terlihat da-
ri meningkatnya taraf kesehatan masyarakat, oleh karena itu ketersediaan sarana
dan prasarana kesehatan merupakan suatu kebutuhan yang cukup vital.
Pada Tahun 2015 di Kecamatan Praya Barat terdapat 2 Puskesmas, 7
Poskesdes, 3 Polindes dan7 tempat praktek dokter serta 132 Posyandu. Adapun da-
ta-data mengenai profil kesehatan dan Keluarga Berencana di Kecamatan Praya
Barat dapat dilihat pada tabel 4.14 sampai dengan tabel 4.25. Sarana lain yang ti-
dak kalah penting dibanding sarana-sarana diatas adalah sarana peribadatan seperti
masjid, langgar, gereja dan pura. Hampir semua penduduk kecamatan Praya Barat
beragama Islam. Hal ini tergambar dari sarana peribadatan yang ada yakni masjid
dan musholla.
6. Pertanian
Kecamatan Praya Barat yang masuk dalam lingkar Lombok Selatan, bebera-
pa tahun yang lalu dikenal sebagai daerah tandus yang identik dengan kemiskinan,
kelaparan dan keterbelakangan. Namun seiring perjalanan waktu, adanya pemban-
gunan dam dan bendungan setidaknya dapat mengurangi permasalahan diatas,
meskipun sektor pertanian sebagai salah satu sumber pencaharian sebagaian besar
penduduk belum mampu terangkat secara optimal.
Selain dengan memanfaatkan bendungan yang ada, peningkatan produktivi-
tas lahan pertanian juga dilakukan melalui peningkatan pengetahuan petani dalam
tehnik bertani ditambah dengan pengetahuan tentang berbagai jenis komoditi per-
tanian yang dapat menciptakan output yang memiliki harga jual yang lebih men-
janjikan bagi petani, sehingga tingkat kesejahteraan petani dapat terangkat dari
waktu ke waktu.
Alam yang tergolong masih luas di wilayah ini tidak saja menjadi potensi
bagi pertanian tanaman pangan semata, namun dapat pula merupakan potensi yang
tidak kecil bagi pengembangan peternakan, baik untuk ternak besar maupun ternak
kecil termasuk unggas. Namun dalam hal ini perlu perhatian pemerintah menyang-
kut keamanan, karena tidak jarang faktor ini menjadi faktor penghambat bagi per-
kembangan dunia peternakan di wilayah ini.
Sebagai salah satu upaya dalam rangka meningkatkan usaha pertanian dan
peternakan peranan berbagai lembaga baik yang terkait langsung maupun tidak
langsung dengan pertanian masih sangat diperlukan. Keberadaan lembagalembaga
seperti lembaga pertanian tentu akan dapat memberikan motivasi bagi petani dalam
melakukan aktivitasnya sebagai petani. Dan keberadaan lembaga diluar itu seperti
pam swakarsa sebagai mitra Polisi dan pemerintah juga diperlukan dalam rangka
mendukung rasa aman bagi petani dalam melakukan aktivitasnya.
B. Praktik Perkawinan Masyarakat di KUA Kec. Praya Pasca PP. No. 48 Ta-
hun 2014 Tentang Biaya
1. Peran KUA Kecamatan Paraya Barat Daya dalam Implementasi PP.
No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah
Dalam rangka penerapan PP No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Ni-
kah KUA Kecamatan Praya Barat berperan cukup strategis, yaitu:
a. Dokumentasi dan Administrasi
Kegiatannya antara lain melaksanakan surat menyurat, meng-
himpun dan menggunakan arsip, NR, wakaf, tempat ibadah, zakat,
TPA/TPQ, majelis ta‘lim dan kegiatan lainnya di masyarakat; membuat
job description. Program kerja pada bidang ini bisa dikatakan terlaksana.
Akurasi data yang dimiliki KUA Kecamatan Praya Barattelah terbukti
sehingga menjadi rujukan oleh berbagai pihak yang membutuhkannya
dan memudahkan pekerjaan-pekerjaan KUA ketika melakukan pembi-
naan dan penyuluhan keagamaan di setiap desa/kelurahan.
Sebagai contoh KUA Kecamatan Praya Barat memiliki data
mengenai keberadaan masjid dan musholla berserta majelis disertai po-
tensi-potensi yang dimilikinya. Data ini jelas sangat memudahkan ketika
KUA hendak melakukan kegiatan penyuluhan atau sosialisasi UU ten-
tang perkawinan melalui majelis taklim sebagai salah satu sarana yang
cukup efektif.
b. Bimbingan dan Pelayanan NR
Diantara kegiatan pada bidang ini adalah memberikan penyulu-
han tentang UU Perkawinan tahun 1974; menyelenggarakan kursus calon
pengantin melaluiBP4. Upaya merealisasikan program kerja di bidang
bimbingan dan pelayanan NR merupakan kebutuhan mendasar karena
kegiatan ini bisa dikatakan sebagai ruh dari kegiatan kepenghuluan. Atau
bisa dikatakan program yang satu ini merupakan program pokok atau
utama dalam pelayanan keagamaan pada masyarakat, dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1) Melaksanakan administrasi pencatatan nikah dan rujuk sesuai den-
gan peraturan yang berlaku (KMA No.11/2007);
2) Memeliharan laporan arsip NR;
3) Menyelenggarakan penataran calon mempelai sebagai realisasi teng-
gang waktu sepuluh hari kerja dengan materi hukum munakahat, ke-
luarga bahagia sejahtera, gizi dan lain-lain. Pada kegiatan kursus ca-
lon pengantin atau SUSCATIN diselenggarakan tingkat Kecamatan
dengan mengadakan seminggu sekali kegiatan SUSCATIN yang di-
kuti oleh semua P3N se Kecamatan Medan Labuhan.
4) Bekerja sama dengan instansi terkait dalam melaksanakan program
tetanus txcoid calon pengantin di Puskesmas.
c. Bimbingan Keluarga Sakinah
Kegiatan pada aspek ini, KUA melakukan kegiatan-kegiatan
penyuluhan di masyarakat di daearah-daerah yang tergolong keluarga pra
sakinah. Dari tujuh Kelurahan yang ada, 1 kelurahan diantaranya menja-
di daerah binaan keluarga sakinah, yakni Kelurahan Nelayan Indah. Se-
buah kelurahan yang berbasis tingkat ekonomi, sosial dan agamanya ter-
golong minim.
2. Sistem Perkawinan Masyarakat di KUA Kecamatan Praya Barat Pasca
Pemberlakuan PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biya Nikah
Sebagai warga Negara yang baik, taat aturan dan perundang-
undangan yang berlaku, masyarakat kecamatan Praya Barat Lombok Ten-
gah, pelaksanaan perkawinan harus dilaksanakan sesuai prosedur yang dite-
tapkan oleh undang-undang. Sebagai umat Islam yang taat dalam beragama
perkawinannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
dalam hukum Islam, baik menyangkut rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan
lainnya. Demikian pula mereka sebagai masyarakat yang konsisten meme-
gang ketentuan (awik-awik) adat maka perkawinan juga harus sesuai dengan
adat setempat.
Negara kita adalah negara hukum, dimana setiap tindakan yang di-
lakukan negara ( pemerintah) dan warga negara harus tunduk dan patuh pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga setiap orang tidak bo-
leh melakukan suatu perbuatan yang tidak dibenarkan oleh undang-undang
dan bertindak atas kehendak sendiri atau diluar hukum.43
Setelah keluarnya Instruksi dari Dirjen Bimas Islam Nomor : Dj.
II/113 Tahun 2009 Tanggal 10 Pebruari 2009. Tentang penggunaan dana
PNBP nikah dan rujuk dan penataan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (
P3N ),44 sejak bulan Pebruari 2013 seluruh proses pelayanan pencatatan ad-
ministrasi pernikahan ditangani langsung oleh PPN (Pegawai Penacatat Ni-
kah), mulai pendaftaran pernikahan di Kantor Urusan Agama sampai kepada
proses pelaksanaan pernikahan baik dikantor maupun di luar kantor baik pa-
da hari dan jam kerja maupun di luar kantor dan di luar jam kerja.
Berdasarkan instruksi Dirjen Bimas di atas, sejak 2012 Kementerian
Agama Kabupaten Lombok Tengah tidak lagi mengeluarkan surat keputusan
pengangkatan, penetapan atau pemberhentian P3Nyang sebelumnya tiap 2
43 Darji Darmodiharjo, Sumber Dari Segala Sumber Hukum di Indonesia(Suatu Tinjauan Da-
ri Segi Filsafat), (pidato) Pengukuhan Sebagai Guru Besar Dalam Bidang Filsafat Hukum, (Universi-tas Brawijaya, Malang: 1976), 9.
44 Kementerian Agama RI, Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam, (Jakarta: 2011), 257.
(dua) tahun sekali menerbitkan surat keputusan. Sebagian akad nikah dalam
tradisi masyarakat kecamatan Praya Barat dilaksanakan pada sore hari dan
malam hari dan pelaksanaan akad nikah sebagian besar dilaksanakan di Mas-
jid atau Mushalla agar dapat dihadiri dan disaksikan oleh para tuan guru
maupun tokoh agama dan masyarakat lainnya.
Dengan terbitnya PP nomor 48 tahun 2014, sejak bulan pebruari
2014 Pembantu Pegawai Pencatat Nikah ( P3N ) sudah tidak lagi memiliki
kewenangan menangani proses pernikahan. Sehingga pendaftaran calon pen-
gantin ke KUA dilakukan langsung oleh calon pasangan pengantin atau ke-
luarga dari calon pengantin. Praktik perkawinan masyarakat kecamatan
Praya Barat sebagaimana berlaku di kalangan masyarakat suku Sasak
umunya, perkawinan diawali dengan memaling atau memulang, yaitu calon
pengantin laki-laki atau orang kepercayaannya membawa lari calon pengan-
tin wanita menuju tempat persembunyian (penyeboan).
Setelah beberapa hari atau malam calon pengantin wanita secara
resmi dibawa ke rumah orang tua calon pengantin laki-laki untuk melang-
sungkan proses perkawinan secara Islami. Selama akad nikah bahkan semua
proses adat belum selesai terlaksana, calon pengantin tidak diperkenankan
keluar rumah atau bepergian jauh, juga tidak diperkenankan bekerja.
Tradisi demikian menyulitkan bagi para calon pengantin kalau harus
melaporkan perkawinannya ke PPN/KUA. Kalaupun orang tua pengantin
yang dituntut melaporkannya, tidak semua orang tua memahami prosedur
tersebut, karena selama ini semua proses itu dilaksanakan oleh P3N. Akibat-
nya meskipun pembantu PPN tidak ada karena SK-nya tidak diterbitkan lagi,
tetapi fakta di lapangan sampai penelitian ini dilakukan, pengakuan dari be-
berapa P3N non aktif menunjukkan bahwa mereka masih dibutuhkan oleh
masyarakat.
Salah seorang P3N non aktif menuturkan bahwa meskipun secara
resmi SK penugasan sebagai P3N sudah tidak terbit lagi, tetapi hampir setiap
peristiwa perkawinan masyarakat keberadaannya masih dibutuhkan. Kebe-
radaan P3N sangat membantu lancarnya pelaksanaan pernikahan warga ma-
syarakat dusun Bunbao karena tidak semua masyarakat atau calon pengantin
memahami aturan pengurusan nikah dan kami sudah terbiasa dan merasa
terbantu oleh adanya petugas yang memang diangkat khusus untuk menan-
gani penyelesaian perkara nikah.45
Penjelasan yang sama juga disampaikan oleh Kepala Desa Penujak
kec. Praya Barat, menurutnya keberadaan P3N sangat membantu penyele-
saian pernikahan bagi masyarakat. Setiap perkawinan segera diselesaikan
tuntas oleh P3N, sejak mengurus persyaratan sampai pasangan pengantin
menerima akte nikah, bahkan kami tinggal menghadiri undangan akad ni-
kahnya, kalau kebetulan diundang. Keuntungan lainnya, dengan adanya P3N
penyelesaian persyaratan nikah lebih cepat karena ada yang mengurusnya
dan semua proses pernikahan lebih lancar.46
Setelah terbit PP no 48 tahun 2014 semua proses yang menjadi tugas
pokok dari P3N beralih menjadi tugas dan tanggung jawab dari PPN sedang-
kan jumlah Pegawai Pencatat Nikah ( PPN ) atau Penghulu di Kantor Urusan
Agama ( KUA ) kecamatan Praya Barat hanya 1 (satu) orang dengan luas
wilayah kerja 7.155 Km² yang terdiri dari 13 desa. Kalau sebelumnya per-
kawinan ditangani langsung oleh P3N berjumlah 25 (dua puluh lima) orang
yang tersebar di sepuluh desa se kecamatan Praya Barat. Setelah P3N tidak
lagi difungsikan maka wilayah kerja yang demikian luas menjadi tanggung
jawab pejabat kepenghuluan.
Luasnya wilayah dan sulitnya medan serta jauhnya lokasi terutama
di wilayah bagian Selatan dan Utara, apalagi jika akad nikah itu dilaksana-
kan malam hari sementara transportasi dan pengamanan tidak tersedia, se-
hingga sering setelah selesai akad nikah keluarga pihak pemilik acara dimin-
ta mengantarkan petugas sampai ke lokasi yang dipandang aman.
Sikap ini dilakukan oleh penghulu atau pejabat KUA karena sering
akad nikah itu berlangsung sehabis sholat isya‘ dan selesai terkadang sampai
jam 12 (dua belas) malam. Melihat luas wilayah dan problematika yang
muncul dalam proses perkawinan ini maka wilayah kerja seluas kecamatan
Praya Barat dan banyaknya peristiwa perkawinan yang terjadi maka ini tidak
45 Kadus Penujak Wawancara, tanggal 30 Juli 2018 46 kepala desa Bonder kec. Praya Barat, Wawancara, tanggal, 15 Juli 2018
sebanding dengan jumlah PPN dan Penghulu yang berkewajiban langsung
menghadiri, mengawasi, memeriksa dan mencatat pernikahan.47
Sebagai instansi pemerintah yang menangani pernikahan, tentu sela-
lu berpedoman pada aturan resmi yang telah ditetapkan pemerintah. Demi-
kian pula pasca terbitnya PP nomor 48 tahun 2014 yang initinya mengama-
natkan bahwa pernikahan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama dibe-
baskan dari baiaya pernikahan bagi calon pengantin
Sedangkan apabila pernikahan itu dilaksanakan di luar Kantor Uru-
san Agama maka bagi calon pengantin dikenakan biaya sebesar Rp. 600.000
(enam ratus ribu rupiah). Meskipun pernikahan dilakukan di dalam maupun
di luar Kantor Urusan Agama, akan tetapi setiap perkawinan yang ditangani
oleh Kantor Urusan Agama harus mengikuti prosedur yang ditetapkan, yaitu
melengkapi segala persyaratan yang ditentukan sesuai undang-undang. Se-
mua proses setelah calon pengantin melaporkan rencana pernikahannya, ma-
ka tanggung jawab penanganannya bukan lagi P3N tetapi ditangani langsung
oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
3. Respon Masyarakat Praya Barat Terhadap PP. No. 48 Tahun 2014 Ten-
tang Biaya Nikah.
Masyarakat Kecamatan Praya Barat merupakan masyarakat yang
memegang teguh nilai-nilai budaya dan tradisi yang diwarisi secara turun
temurun dari generasi ke generasi, terlebih pada kegiatan kegiatan yang sa-
kral seperti pernikahan.
Terkait dengan respon masyarakat Kecamatan Praya Barat terkait
PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah mendapat sambutan yang posi-
tif oleh masyarakat, mengingat hal ini seiring dengan budaya masyarakat
yang melaksanakan pernikahan secara terbuka dengan prinsip gotong
royong. Setiap ada upacara pernikahan masyarakat antusias berkumpul di-
rumah mempelai untuk membantu segala hal terkait dengan pelaksanaan
pernikahan.
47 Sudirman, penghulu KUA kecamatan Praya Barat, wawancara, tanggal 10 Juli 2016
Salah seorang kepala dusun di Kecamatan Praya Barat merespon
positif lahirnya PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya menikah, menurutnya
ini merupakan bentuk akomodir undang-undang terhadap budaya lokal, ia
mengatakan:
“Di Masyarakat kami, sudah menjadi tradisi bahwa perni-kahan dilaksanakan secara terbuka yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Terkait biaya sesungguhnya memang tidak sedikit, tapi hal itu sudah dipertimbangkan oleh ke-luarga mempelai sehingga bisa melakukan upacara perni-kahan, terkait biaya nikah yang tertuang dalam PP tersebut juga tidak masalah dan tidak menjadi beban masyarakat, walaupun ada alternatif dengan biaya 0 tapi masyarakat malah banyak yang memilih nikah dirumah”
Menurut oberservasi peneliti, memang masyarakat Kecamatan
Praya Barat ketika hendak melaksanakan upacara pernikahan putra putri me-
reka melakukan dengan upacara yang besar atau paling tidak melibatkan
masyarakat dikampung tersebut. Semiskin-miskinnya warga Kecamatan
Praya Barat tidak akan melakukan pernikahan dibawah tangan kecuali ter-
kait pada ―pernikahan yang tidak diinginkan‖ dan itu bukan soal biaya tapi
soal privasi.
Salah seorang penghulu KUA Kecamatan Praya Barat yang peneliti
wawancara mengatakan bahwa pernikahan di Kecamatan Praya Barat bisa
dikatakan 100% dilakukan dirumah mempelai sehingga intensitas kegiatan
penghulu lebih banyak di luar kantor. Ia mengatakan:
“Masyarakat Kecamatan Praya Barat, bisa dikatakan kuat memegang teguh tradisi. Dalam perkawinan misalnya sudah menjadi tradisi akan nikah harus dilakukan dirumah mem-pelai dengan menghadirkan keluarga, handai taulan dan masyarakat sekitar. Ada semacam rasa malu ketika melaku-kan pernikahan di KUA walaupun gratis dan rumahnya de-kat dengan KUA, entah mengapa tapi begitulah”
Peneliti juga sempat mengamati salah satu prosesi akad nikah ayng
dilakukan di dekat KUA Kecamatan Praya Barat. Rumah mempelai hanya
jarak beberapa rumah dari kantor KUA, ketika ditanya alasannya mengapa
tidak melakukan pernikahan di kantor KUA yang dekat dan tidak berbiaya,
ia mengatakan:
“Bukan soal biaya sih, bukan juga soal dekat atau jauh, tapi ini soal kebiasaan yang sudah terbangun sejak bertahun ta-hun di masyarakat. Bisa saja sih kita ngadakan di KUA, tapi kalo disini melakukan pernikahan di KUA itu image nya ti-dak bagus di masyarakat. Kalau soal biaya nikah itu gak masalah, Cuma 600 ribu”
Seorang kepala dusun yang juga sedang menghadiri upacara perni-
kahan yang peneliti sempat wawancara mengatakan bahwa hadirnya PP. No.
48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah sama sekali tidak memberatkan masya-
rakat bahkan PP tersebut terbit untuk memberikan alternatif kepada masya-
rakat mau yang berbiaya atau tidak, tapi masyarakat sini malah lebih memi-
lih yang berbiaya, ia mengatakan:
“Biaya nikah segitu mah gak apa-apanya bagi masyarakat sini, lah untuk kecimol dan gendang belek saja rela menge-luarkan uang jutaan padahal itu kan bukan rukun. Jadi PP ini sebenarnya bagus, karena walaupun biaya naik dari 300 menjadi 600 tapi jelas anggarannya, jelas masuk ke negara”
Pernyataan kepala dusun menemukan realitanya dilapangan, me-
mang sangat sedikit warga Kecamatan Praya Barat melakukan pernikahan di
Kantor KUA. Meskipun PP tersebut lahir untuk memberikan alternatif kepa-
da masyarakat tentang biaya nikah, tapi masyarakat malah memilih melaku-
kan pernikahan di rumah. Salah seorang penghulu KUA Kecamatan Praya
Barat mengatakan:
“Ya sangat sedikit sekali warga yang mengadakan pernika-han di Kantor KUA, kebanyakan dirumah, kalaupun ada yang di luar KUA, palingan 1 atau 2 kasus, itupun pada se-bab pernikahan yang tidak lazim. Kalau soal biaya nikah gak masalah bagi mereka bahkan kami sering ditawarkan amplop tapi kami tolak akhirnya mereka ngasihnya awon awon”
Dengan Demikian sesungguhnya masyarakat tidak keberatan den-
gan berlakunya PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah. Masyarakat
Masyarakat Kecamatan Praya Barat menganggap biaya nikah diluar kantor
KUA itu masih wajar terlebih jika diikuyti oleh peningkatan kualitas pelaya-
nan.
Seorang Kepala Dusun mengatakan bahwa dibandingkan dengan
sebelum berlakunya PP No. 48 Tahun 2014 tentang Biaya Nikah, maka bi-
aya lebih besar namun lebih transparan dan dan lebih baik pelayanannya, ia
menegaskan:
“menurut pendapat saya lebih mahal yang sekarang, tapi kan jelas masuk ke negara, regulasinya jelas. Dan juga pro-sesnya lebih transparan karena melalui bank, disamping itu terdata secara administrasi”
Dapat dikatakan, bahwa pemberlakukan PP. No. 48 Tahun 2014
Tentang Biaya Nikah di Masyarakat Kecamatan Praya Barat direspon positif
dan berjalan sesuai dengan harapan dari regulasi tersebut.
Sebelum lahirnya PP ini, masih banyak masyarakat tidak menca-
tatkan pernikahannya di KUA, akan tetapi mengingat pentingnya pencatatan
pernikahan mereka kemudian melakukan itsbat nikah di Pengadilan Agama
Lombok Tengah Tahun 2018. Bersarya jumlah perkawinan tidak tercatat di
Kecamatan Praya Barat dapat dilihat dari data itsbat nikah di Pengadilan
Agama Lombok Tengah sebagai berikut:
Data Itsbat Nikah
Pengadilan Agama Lombok Tengah
NO. BULAN JUMLAH
1 Januari -
2 Pebruari 88
3 Maret 52
4 April 13
5 Mei 1
6 Juni 3
7 Juli 3
8 Agustus 2
9 September 2
10 Oktober 2
11 November 1
12 Desember 4 Data Pengadilan Agama Lombok Tengah 2018
C. Efektivitas Penerapan PP. No 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah Terhadap
Tertib Administrasi Pernikahan di KUA Kec. Praya Barat
1. Administrasi Perkawinan di KUA Kec. Praya Barat
Setiap pernikahan di KUA Kecamatan Praya Barat, melalui prosedur
yang telah ditetapkan secara nasional. Adapun prosedur administrasi pernikahan
di KUA Kecamatan Praya Barat berdasarkan SOP adalah sebagai berikut:
a. Pendaftraran
Pasangan yang akan melakukan pernikahan melakukan pendafataran
ke KUA Kecamatan Praya Barat, sebagai persyaratan pendaftaran, maka
mempelai harus menyertakan:
1) Kutipan Akta Kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam
hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir dapat dipergunakan su-
rat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai
yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;
2) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat
tinggal orang tua calon mempelai;
3) Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2),
(3), (4), dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai
atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
4) Izin Pengadilan sebagi dimaksud pasal 14 Undang-undang; dalam hal
calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;
5) Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Un-
dang-undang;
6) Izin kematian isteri atau suami yang terdahuluatau dalam hal perceraian
surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau
lebih;
7) Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HAN-
KAM/PANGAB, apabila salah satu calon mempelai atau keduanya ang-
gota Angkatan Bersenjata;
8) Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan Pegawai Penca-
tat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat ha-
dir sendiri karena sesuatu alas an yang penting, sehingga mewakilkan
kepada orang lain.
Terkait dengan proses pendaftaran nikah, maka mempelai melaku-
kan tahapan-tahapan sebagai berikut:
1) Meminta surat pengantar kepada ketua RT dan ketua RW.
2) Mendatangi Kantor Kepala Desa / Kelurahan untuk membuat model N1
(Surat Keterangan untuk Nikah), N2 (Surat Keterangan tentang Orang
Tua) dan N4 (Surat Keterangan Asal-usul).
3) Bagi yang berstatus duda/janda karena ditinggal mati isteri/suami ditam-
bah dengan model N6 (Surat Keterangan Kematian Suami / Isteri).
4) Untuk sebagian daerah kecamatan Praya Barat yang masih memperta-
hankan jasa Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N), bisa meminta
bantuannya untuk mengantar dan /membantu proses pendaftaran hingga
pelaksanaan pencatatan nikah.
5) Menghadap ke Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Praya Barat
yang membawahi tempat tinggal calon mempelai.
1) Bagi Calon Suami:
Bila calon suami bertempat tinggal dalam satu kecamatan
yang sama dengan calon isteri, maka proses di atas sudah cukup.
Namun apabila Calon suami berbeda Kecamatan dengan calon isteri,
maka calon suami terlebih dahulu mendatangi Kantor Urusan Agama
yang membawahi wilayah tempat tinggalnya untuk meminta surat
pengantar (Pemberitahuan Kehendak Nikah) dari KUA setempat un-
tuk kemudian diserahkan kepada KUA yang akan melakukan penca-
tatan nikah.
2) Bagi Calon Isteri:
Setelah mendapatkan model N1, N2, dan N4 dari Kelurahan
/ Desa, maka seluruh persyaratan tersebut ditambah persyaratan ad-
ministrasi pihak calon suami dibawa ke Kantor Urusan Agama Ke-
camatan tempat tinggal istri (dimana akan dilakukan pencatatan ni-
kah).
3) Jika pernikahan dilakukan di KUA Kecamatan, maka calon pengan-
tin tidak dikenai biaya atau gratis.
4) Jika pernikahan dilakukan diluar KUA Kecamatan, maka calon pen-
gantin mendatangi Bank Persepsi yang ada di wilayah KUA tempat
menikah untuk membayar biaya nikah sebesar Rp600.000,00 lalu
menyerahkan slip setoran ke KUA tempat akadnikah.
5) Melakukan tes kesehatan dan imunisasi di puskesmas setempat den-
gan membawa surat pengantar dari KUA
6) Langkah selanjutnya mempersiapkan fisik dan mental sambil me-
nunggu waktu pelaksanaan akad nikah.
b. Pengecekan Berkas
Langkah selanjutnya adalah melakukan pengeckan berkas. Semua
berkas yang masuk diteliti keabsahannya. kemudian hasil pengecekan dari
Pegawai Pencatatan kemudian ditulis dalam suatu daftar yang diperuntukan
untuk itu sebagaimana disebutkan pada pasal 7 ayat 1.
Akan tetapi apabila hasil dari penelitiannya menunjukkan adanya
yang halangaan perkawinan sebagai dimaksud Undang-Undang dan belum
terpenuhi persyaratannya seperti di atur dalam pasal 6 ayat (2) Peraturan
Pemerintah, Pegawai memberitahukan kepada calon mempelai atau kepada
orang tua atau wakilnya hal ini diatur dalam pasal 7 ayat 1.
c. Pengumuman Nikah
Setelah dilakukan pemeriksaan Calon Pengantin (Catin) secara
mendalam oleh Penghulu, kemudian pihak Kantor Urusan Agama (KUA)
membuat Pengumuman Kehendak Nikah (Model NC) untuk ditempelkan
pada papan pengumuman yang telah tersedia di masing-masing Kantor Uru-
san Agama (KUA) untuk memudahkan bagi warga masyarakat untuk mela-
kukan pengawasan (controlling) terhadap Calon Pengantin, apakah ada pihak
yang keberatan terhadap rencana pernikahan tersebut, apakah ada halangan-
halangan untuk dilangsungkannya pernikahan antar calon pengantin tersebut.
Kemudian jika syarat-syarat telah terpenuhi seperti tertera diatas,
maka pernikahan dapat dilaksanakan sebagaimana semestinya. Adapun tu-
juan pengumuman tersebut, bertujuan agar masyarakat umum mengetahui
siapakah orang-orang yang hendak menikah. Selanjutnya dengan adanya
pengumuman itu apabila ada pihak yang keberatan terhadap perkawinan
yang hendak dilangsungkan maka yang bersangkutan dapat mengajukan ke-
beratan kepada kantor pencatatan nikah.
d. Penulisan Akta Nikah
Akta sebelum dipergunakan diberi nomor urut lembar pertama dan
terakhir ditanda tangani Kepala Seksi Urusan Agama Islam (URAIS) pada
Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kota dan lembar lainnya di paraf.
Setelah dilakukan akad nikah, maka langkah selanjutnya adalah pe-
nulisan pada Akta Nikah (Model N). Penulisan tersebut harus dilakukan se-
cara cermat dengan mengunakan tinta berwarna hitam. Untuk pelaksanaan
Nikah di Balai Nikah, maka Pencatatan Akta Nikah (Model N) dapat lang-
sung dilakukan oleh Penghulu yang mengawasi dan mencatat Pernikahan
tersebut.
Sedangkan untuk pelaksanaan nikah diluar Balai Nikah, maka Penca-
tatan Akta Nikah (Model N) dilakukan setelah selesainya Akad Nikah terse-
but dengan ketentuan Pencatatan tersebut dilaksanakan pada hari efektif ker-
ja. Adapun Nikah yang dilakukan pada hari Libur, maka pencatatannya pada
hari efektif kerja berikutnya.
Penulisan Akta Nikah (Model N) dibuat rangkap dua (2), helai per-
tama disimpan oleh Kantor Urusan Agama KUA dan helai kedua disampai-
kan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat dilangsungkannya Akad
Nikah.
e. Penulisan Buku Kutipan Akta nikah (Model NA)
Penulisan Kutipan akta nikah harus segera dilakukan setelah pelak-
sanaan akad nikah dan sudah dituangkan dalam buku Akta Nikah ( Model N
), untuk segera disampaikan kepada pasangan Pengantin. Buku kutipan Akta
Nikah terdiri b dua helai, satu berwarna coklat untuk suami, sedangkan sa-
tunya berwarna hijau untuk istri.
Kutipan akta nikah ditulis dengan mempergunakan tinta hitam den-
gan menggunakan huruf balok. Apabila terdapat kesalahan kemudian dila-
kukan pencoretan, maka penghulu wajib membubuhi tanda tangan, karena
akta nikah atau kutipan akta nikah tidak boleh di type ex. Kutipan akta nikah
tidak boleh diadakan suatu perubahan kecuali dengan keputusan pengadilan
yang berwenang.
f. Penyimpanan Arsip Nikah
Untuk meningkatkan pelayanan serta pengamanan Arsip nikah, perlu
dilakukan upaya-upaya penanganan arsip sebagai berikut :
1) Untuk model NB, dijilid dengan cara di kelompokkan menurut bulan pe-
laksanaan nikah, sehingga memudahkan pencarian data.
2) Untuk model N, Dimasukkan ke dalam file box sesuai dengan urut tahun
pelaksanaan nikah.
3) Tanda terima kutipan Akta Nikah (Cibir), Dijilid dengan cara berurutan
menurut bulan pelaksanaan atau dimasukkan dalam Daftar pemeriksaan
nikah (Model NB )
4) Semua berkas tersebut di atas di simpan pada tempat yang memadai da-
lam arti aman, rapi dan mudah di ambil ketika dibutuhkan, dengan men-
gacu pada kaidah kaidah penyimpanan arsip.
2. Dampak Penerapan PP. No, 48 Tentang Biaya Nikah Terhadap Tertib
Administrasi Perkwinan di KUA Kecamatan Praya Barat
Denga ditertibkannya PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Ni-
kah, sesungguhnya memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam menye-
lenggarakan pernikahan. Untuk menjamin semua pernikahan harus tercatat,
PP ini memberikan solusi terkait dengan biaya, jika pencatatan pernikahan
terkendala hanya karena biaya maka bisa melakukan pernikahan di Kantor
KUA, namun jika biaya bukan kendala maka pelaksanaannya bisa rumah,
sehingga masyarakat mempunyai akses yang luas kepada KUA dalam me-
nyelenggarakan pernikahan.
Hal ini tentu berdampak pada pelayanan administrasi pernikahan
di KUA Praya Barat. KUA Praya Barat tentu telah menyiapkan segala ben-
tuk administrasi yang diperlukan karena itu adalah tugas Kementerian Aga-
ma yang dibebankan melalui KUA-KUA Kecamatan.
Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk serta
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa untuk
melaksanakan tugas telah ditetapkan adanya Pegawai Pencatat Nikah yang
sehari-hari dalam masyarakat dikenal dengan sebutan Penghulu, sebagai Pe-
jabat terdepan dan ujung tombak Departemen Agama dalam melaksanakan
tugas pelayanan, pengawasan dan pembinaan pelaksanaan pernikahan atau
perkawinan.
Penerapan PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah mempu-
nyai pengaruh yang signifikan terhadap tertib administrasi pernikahan di
KUA Praya Barat. Semua peristiwa pernikahan terdata dengan rapi. Karena
semua prosedur pernikahan berjalan sesuai sesuai standar operasional yang
telah ditetapkan.
Kehadiran PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah, telah
berperan cukup efektif dalam meningkatkan profesionalisme pelayanan
KUA Kecamatan Praya Barat. Kepala KUA Praya Barat mengatakan:
“Kehadiran PP No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah cukup berpengaruh terhadap tertib administrasi dan pe-ningkatan kualitas layanan kepada masyarakat, hal ini se-suai dengan yang diharapkan oleh undang-undang. Para staf juga kita tekankan untuk lebih meningkatkan kiner-janya”
Dilihat data pernikahan tahun 2018 terlihat bahwa data perkawi-
nan yang tercatat lebih dominan diadakan dirumah, seperti yang tercantum
dalam tabel berikut:
Data Pernikahan Tahun 2018
KUA Kecamatran Praya Barat
No. Bulan Lokasi Pernikahan
KUA Rumah
1 Januari 1 51
2 Pebruari 0 60
3 Maret 2 57
4 April 1 52
5 Mei 0 32
Terlihat dari tabel diatas, terlihat bahwa pernikahan lebih dominan
dilakukan dirumah yang notabene berbayar dari pada di KUA yang tidak
berbayar, hal ini mengindikasikan bahwa PP. No. 48 Tahun 2014 sebenarnya
tidak berpengaruh terhadap lokasi pelaksanaan akad pernikahan, walaupun
menurut PP tersebut pelaksanaan akad dirumah dikenakan biaya lebih tinggi,
yang sebelumnya Rp. 300.000 menjadi Rp. 600.000. akan tetapi hal itu tidak
berpengaruh dan warga lebih memilih untuk mengadakan akad nikah diru-
mah.
Adapun hubungannya tertib administrasi, baik yang dilakukan di
KUA maupun di rumah sama harus memenuhi persyaratan administratif dan
para pengantin akan mendapatkan buku akad nikah seuasi pelaksanaan akad.
Kepala KUA Kecamatan Praya Barat Mengatakan:
“Semua persyaratan administratif pernikahan dituntaskan dulu, setelah beres baru pelaksanaan akad nikah dan para mempelai akan langsung mendapatkan akad nikah setelah terjadinya akad nikah, jadi penyerahan akad nikah adalah proses terakhir terkait tertib administrasi pernikahan”
Terkait dengan pencatatan nikah, menurut pengamatan peneliti di
Masyarakat, rata-rata masyarakat mencatatkan pernikahannya di KUA,
hampir tidak ada kasus nikah yang tidak dicatatkan. Menurut Kepala Dusun
(Kadus), masyarakat di wilayahnya sudah melek hukum, ia mengatakan:
“Untuk saat ini sangat sedikit sekali warga yang nikah ti-dak melalui, semua harus melalui KUA agar teradmini-strasi daqn tercatat di KUA agar sah menurut undang-undang. Ada sih satu atau dua kasus per tahun yang tidak melalui KUA tapi itu ada faktor lain, tapi secara umum masyarakat sudah sadar hukum”
Berdasarkan penuturan tersebut, dapat dikatakan bahwa masyara-
kat kecamatan Praya Barat sudah sangat menyadari akan arti pentignya ad-
ministrasi pernikahan, sehingga semua pernikahan harus melalui KUA.
Dengan lahirnya PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah se-
sungguhnya telah menghapus peran Pelayanan, pengawasan dan Pembinaan
Pernikahan, sehingga yang paling berperan dalam hal ini pasca terbhitnya PP
tersebut adalah penghulu KUA.
Terkait dengan peran itu, penghulu mendapatkan honorarium dari
setiap akad nikah yang dilakukan diluar Kantor KUA Kecamatan Praya Ba-
rat, besarannya tergantung dari tipologi KUA. Untuk KUA Kecamatan Praya
Barat masuk type B. Uang tersebut terhitung sebagai biaya jasa profesi. Be-
sarannya adalah sebagai berikut:
a. Tipologi A, jasa profesi yang diberikan sebesar Rp125.000,00 (seratus
dua puluh lima ribu rupiah).
b. Tipologi B, jasa prosfesi yang diberikan sebesar Rp150.000,00 (seratus
lima puluh ribu rupiah).
c. Tipologi C, jasa profesi yang diberikan sebesar Rp175.000,00 (seratus
tujuh puluh lima ribu rupiah).
d. Tipologi D1, jasa profesi yang diberikan sebesar Rp400.000,00 (empat
ratus ribu rupiah).
e. Tipologi D2, jasa profesi yang diberikan Rp 400.000,00 (empat ratus ri-
bu rupiah).
Sedangkan Tipologi KUA kecamatan masing-masing wilayah di-
tetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementrian Agama Provinsi dengan
ketentuan:
a. Tipologi A adalah KUA yang jumlah peristiwa nikahnya di atas 100 pe-
ristiwa dihitung rata-rata perbulan;
b. Tipologi B adalah KUA yang jumlah peristiwa nikahnya antara 50 sam-
pai dengan 100 peristiwa rata-rata perbulan;
c. Tipologi C adalah KUA yang jumlah peristiwa nikahnya dibawah 50 pe-
ristiwa rata-rata perbulan;
d. Tipologi D1 adalah KUA yang secara geografis berada pada daerah ter-
dalam, terluar, dan daerah perbatasan daratan;
e. Tipologi D2 adalah KUA yang secara geografis berada pada daerah ter-
dalam, terluar, dan daerah perbatasan di kepulauan.
Dengan adanya biaya jasa profesi yang diberikan kepada penghulu,
maka mau tidak mau harus profesional dalam menjalankan tugasnya. Hal ini
pula yang mendorong para penghulu untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kepada masyarakat.
Penghulu KUA Kecamatan Praya Barat mengatakan bahwa dengan
adanya biaya jasa profesi merupakan tuntutan dari negara untuk mening-
katkan kinerja dan profesionalisme dalam bidang kepenghuluan, ia mene-
gaskan:
“ini merupakan tuntutan profesi yang harus kami jalankan, untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kepada masyara-kat. Terkait dengan itu seringkali saya mengunjungi daerah daerah pelosok di Kecamatan Praya Barat jalanan berbatu, jurang dan bukit, tapi karena ini merupakan tuntutan ya harus dilakoni”
Jasa profesi hanya didapatkan penghulu jika pernikahan diadakah di-
rumah mempelai, jika akad nikah dilakukan di KUA maka penghulu tidak
mendapatkan biaya jasa profesi.
Akan tetapi seringkali penghulu merasa kewalahan dengan acara
akad nikah di luar KUA, seringkali dalam satu hari ada dua atau tiga acara
akad nikah yang diselenggarakan di luar Kantor KUA, syukurlah kalau loka-
sinya berdekatan. Penghulu KUA Praya Barat menceritakan:
“Kadang-kadang dalam satu hari ada dua atau tiga akad yang harus saya hadiri di luar KUA. Kalau lokasi berdekatan enak, tapi pernah saya menghadiri 3 acara akad nikah, 1 di ujung barat kecamatan 1 satu lagi di-ujung timur kecamatan, 1 nya lagi dipelosok tengah, tapi yang namanya tugas harus dijalankan”
Menjadi penghulu pasca terbitnya PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang
Biaya Nikah, sesungguhnya peluang bagi penghulu untuk mendapat tamba-
han pendapatan, tapi disatu sisi jika masyarakat dominan melakukan perni-
kahan KUA indikasinya pendapatan tidak bertambah. Tapi untuk ukuran
masyarakat seperti Kecamatan Praya Barat, peluangnya besar. Disamping itu
berpeluang untuk lebih dekat dengan masyarakat sehingga pergaulan menja-
di lebih luas.
3. Problematika Penerapan PP. No. 48 Tentang Biaya Nikah di KUA Kecama-
tan Praya Barat.
Peraturan Pemerintah nomor 48 tahun 2014, tertanggal 27 Juni 2014
dan mulai diberlakukan sejak tanggal 10 Juli 2014, mengamanatkan bahwa se-
tiap perkawinan tidak dipungut biaya nikah apabila akad nikahnya dilaksanakan
di Kantor Urusan Agama (KUA) dan apabila akad nikahnya dilaksanakan di luar
Kantor Urusan Agama baik masih dalam waktu jam kerja maupun di luar jam
kerja, maka pernikahan dikenakan biaya Rp. 600. 000 (enam ratus ribu). Dari
segi biaya nikah peraturan ini bertujuan memudahkan bagi pasangan calon pen-
gantin.
Selain itu peraturan ini juga menghendaki agar setiap peristiwa perka-
winan yang terjadi hendaknya tercatat dan mendapatkan akte nikah sah dan res-
mi yang dikeluarkan oleh Menteri Agama RI. Biaya administrasi yang dikelua-
rkan langsung disetorkan ke KAS Negara melalui bendahara penerimaan kemen-
terian agama RI BRI. Cab. Jakarta Cut Mutiah dengan nomor rekening : 0230-
01-002788-30-4.
Meskipun ketentuan di atas memberikan kemudahan bagi masyarakat
muslim melakukan perkawinan, namun sebagai komunitas yang tidak bisa terle-
pas dari ketentuan adat yang berlaku, maka perkawinan tidak selalu dilaksana-
kan di Kantor Urusan Agama. Ini dilakukan karena kuatnya control masyarakat
sekaligus mengentalnya tradisi yang berlaku di kalangan masyarakat.
Disamping adat, ada pula ketentaun lain yang memberikan peluang ba-
gi masyarakat untuk melaksanakan perkawinan seperti ketentuan yang tertuang
dalam hukum Islam. Ketentuan ini tidak mengharuskan perkawinan itu tercatat.
Ketentuan umum sebagai rambu-rambunya adalah selama rukun dan syarat per-
kawinan itu terpenuhi maka perkawinan tersebut dinyatakan sah. Sehingga per-
laksanaan perkawinan bagi masyarakat kecamatan Praya Barat terbuka peluang
melalui tiga ketentuan tersebut, meskipun dalam ketentuan undang-undang se-
mua perkawinan harus tercatat tetapi sebagai muslim tentu aturan dalam agama
Islam yang paling diutamakan.48
48Tokoh agama kecamatan Praya Barat, Wawancara, tanggal 2 Agustus 2018
Dalam praktiknya ada beberapa model perkawinan yang terjadi pada
masyarakat kecamatan Praya Barat, yaitu:
a. Perkawinan di Kantor Urusan Agama.
Perkawinan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama kecamatan
Praya Barat adalah perkawinan yang sudah memenuhi ketentuan yang ada da-
lam undang-undang perkawinan. Kehendak undang-undang atau aturan ini
sesungguhnya perkawinan itu bukan hanya tercatat tetapi apabila ketentuan
ini diikuti berarti semua ketentuan yang lain seperti adat dan hukum Islam
sudah terpen/uhi. Karena ketentuan ini sangat lengkap dan melampaui dua ke-
tentuan di atas.49
Adapun problem yang terjdi ketika pernikahan di lakukan di kantor
KUA salah satunya adalah lokasi yang tidak kecil, sedangkan peristiwa per-
nikahan pada umumnya dihadiri oleh banyak orang sehingga lokasi yang ke-
cil menjadi penuh sesak.
Kondisi demikian menjadi lebih padat ketika terjadi pernikahan bebe-
rapa pasang pengantin dalam waktu yang bersamaan, masing-masing mempe-
lai membawa keluarga masing-masing, tidak jarang pula yang menghadiri
pernikahan itu warga kampung dimana pengantin berasal.
b. Perkawinan di rumah / kediaman calon pengantin laki-laki.
Perkawinan semacam ini terjadi dua kemungkinan, pertama: sesuai ke-
tenuan undang-undang apabila perkawinan tersebut dihadiri oleh PPN atau
penghulu dari Kantor Urusan Agama. Artinya pejabat/penghulu akan mengha-
diri perkawinan yang telah memenuhi aturan/ undang-undang perkawinan.
Akan tetapi kalau perkawinan itu dilaksanakan di rumah atau kediaman calon
pengantin dikenakan biaya administrasi sebesar Rp. 600.000 karena pelaksa-
naan perkawinan tersebut dikategorikan perkawinan di luar Kantor Urusan
Agama.
Dalam pelaksanaan operasional kendala yang dihadapi adalah jarak
tempuh yang jauh dengan jalan yang tidak bagus, sehingga penghulu sering
terlambat sampai di lokasi. Di satu sisi waktu pelaksanaan perkawinan di ma-
49Tokoh agama kecamatan Praya Barat, Wawancara, tanggal 2 Agustus 2018
lam hari yang seringkali dilakukan setelah shalat isya menjadi problem tersen-
diri bagi penghulu.
c. Perkawinan bawah umur
Perkawinan semacam ini menurut kepala Kantor Urusan Agama ke-
camatan Praya Barat masih terjadi di kalangan masyarakat. Peristiwa perkawi-
nan ini diketahui karena ada diantara mereka yang melaporkan peristiwa per-
kawinannya. Setelah diteliti ternyata ditemukan pasangan atau salah satu pasan-
gan berusia di bawah ketentuan undang-undang. Disarankan agar mengurus re-
komendasi / ijin dari Pengadilan Agama. Karena belum memenuhi persyaratan
perundang-undangan maka perkawinannya tidak bisa dilaksanakan di KUA.50
Diantara mereka ada juga yang mengurus rekomendasi dari Pengadi-
lan Agama seperti pasangan calon pengantin inisial NF yang berasal dari
Mangkung. Saat akad nikah dilaksanakan ia masih berusia 15 tahun lebih empat
bulan yang menikah dengan HEJ yang berdomisili di dusun Bonjeruk di satu
kecamatan.
Setelah mengajukan rekomendasi dari Pengadilan Agama, meskipun
usia masih berada di bawah ketentuan undang-undang maka perkawinannya da-
pat dilaksanakan di Kantor Urusan Agama dan tercatat berdasarkan rekomenda-
si tersebut. Peristiwa perkawinan bawah umur tidak terdata di KUA kecamatan
Praya Baratkarena tidak melalui prosedur dan ketentuan yang ditetapkan un-
dang-undang kecuali yang sesuai dengan prosedur seperti kasus di atas.
d. Perkawinan bawah tangan.
Perkawinan semacam ini terjadi ketika kedua pasangan atau salah seo-
rang pasangan calon pengantin melakukan perkawinan tampa melalui prosedur
yang ditetapkan undang-undang, meskipun secara adat dan hukum Islam per-
kawinan itu dibenarkan. Sampai saat penelitian ini dilakukan diperoleh data pa-
sangan calon pengantin sudah sepakat untuk menikah akan tetapi faktanya se-
jauh yang peneliti peroleh menunjukkan masih terdapat masalah yang berkaitan
dengan orang lain yang menurut peneliti lebih berhak mendapatkan wanita ter-
sebut. Wanita calon pengantin dalam kasus ini masih ada ikatan perkawinan
dengan laki-laki yang selama ini menjadi suaminya.
50Kepala KUA Kec. Praya Barat, Wawancara, tanggal 27 Juli 2018q azq az
BAB V
ANALISIS PENERAPAN PP NO. 48 TAHUN 2014 TENTANG
BIAYA NIKAH TERHADAP TERTIB ADMINISTRASI PERKAWINAN DI
KUA KEC. PRAYA BARAT
A. Analisis Penerapan PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah dalam Prak-
tik Perkawinan Masyarakat di KUA Kecamatan Praya Barat
1. PP No. 48 Tahun 2018 Tentanbg Biaya Nikah dan Kesadaran Hukum Ma-
syarakat
Berdasarkan hasil penelitian tentang Impelentasi PP No. 48 Tahun
2014 di Masyarakat Kecamatan Praya Barat, terlihat bahwa masyarakat Praya
Barat merespon positif terhadap PP ini dan tidak berpengaruh terhadap biaya.
Sesungguhnya PP ini dalam pandangan masyarakat Praya Barat bukan pada sisi
biaya tapi sisi administratif, terbukti mereka tetap melakukan pernikahan di ru-
mah dari pada di KUA yang berbiaya 0.
Hal ini mengindikasikan bahwa kesadarah hukum masyarakat Keca-
matan Praya Barat cukup memadai yang dibarengi dengan kepatuhan hukum,
terbukti dari rendahnya angka nikah dibawah tangan.
Secara teoritis kepatuhan masyarakat terhadap hukum sangat terkait
dengan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Timbulnya kesadaran hukum
bagi masyarakat karena keinginan masyarakat itu sendiri untuk taat hukum. Satu
hal yang menjadi perhatian, bahwa UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ti-
dak memuat dan mencantumkan ketentuan pidana (sanksi), kecuali masalah per-
kawinan campuran yang dimuat di dalam PP No. 9 tahun 1975 yang statusnya
masih di bawah Undang-Undang tersebut.
Kesadaran hukum dalam masyarakat perlu dipupuk dan ditanamkan
agar masyarakat akan lebih patuh terhadap hukum yang ada, baik itu merupakan
hukum tertulis maupun hukum yang memang tumbuh dan berkembang di ma-
syarakat dan keberadaannya pun diakui oleh masyarakat.
Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak di dalam diri manusia,
tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau se-
pantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pem-
bentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesada-
ran nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada. Kesadaran
hukum berkaitan dengan kepatuhan hukum, hal yang membedakannya yaitu da-
lam kepatuhan hukum ada rasa takut akan sanksi.
Kesadaran hukum adalah kesadaran diri sendiri tanpa tekanan, pak-
saan, atau perintah dari luar untuk tunduk pada hukum yang berlaku. Dengan
berjalannya kesadaran hukum di masyarakat maka hukum tidak perlu menjatuh-
kan sanksi. Sanksi hanya dijatuhkan pada warga yang benar-benar terbukti me-
langgar hukum. Hukum berisi perintah dan larangan. Hukum memberitahukan
kepada kita mana perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang bila dilaku-
kan akan mendapat ancaman berupa sanksi hukum. Terhadap perbuatan yang
bertentangan dengan hukum tentu saja dianggap melanggar hukum sehingga
mendapat ancaman hukuman
Kesadaran hukum pada masyarakat bukanlah merupakan proses yang
sekali jadi, melainkan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap de-
mi tahap sebagai berikut:51
a. Tahap pengetahuan hukum; Dalam hal ini, merupakan pengetahuan seseo-
rang berkenaan dengan perilaku tertentu yang diatur oleh hukum tertuluis,
yakni tentang apa yang dilarang atau apa yang dibolehkan
b. Tahap pemahaman hukum Yang dimaksud adalah bahwa sejumlah informasi
yang dimiliki seseorang mengenai isi dari aturan hukum (tertulis), yakni
mengenai isi, tujuan, dan manfaat dari peraturan tersebut.
c. Tahap sikap hukum (legal attitude); Merupakan suatu kecenderungan untuk
menerima atau menolak hukum karena adanya penghargaan atau keinsyafan
bahwa hukum tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Dalam hal ini sudah ada elemen apresiasi terhadap aturan hukum.
51 Munir Fuady. Sosiologi Hukum Kontemporer, Interaksi Kekeuasaan, Hukum, dan Masyarakat
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), 80
d. Tahap Pola Perilaku Hukum; Yang dimaksud adalah tentang berlaku atau ti-
daknya suatu aturan hukum dalam masyarakat. Jika berlaku suatu aturan hu-
kum, sejauh mana berlakunya dan sejauh mana masyarakat mematuhinya.
Suatu bangsa yang ingin melihat terciptanya suatu ketertiban dan per-
damaian dalam masyarakat akan terus berusaha untuk mengatur dan mengarah-
kan tingkah laku seluruh warga masyarakat menurut pola-pola tertentu. Salah sa-
tu cara yang dapat dipakai untuk memperlancar interaksi antara para warga ma-
syarakat adalah dengan mengeluarkan norma-norma hukum tertentu. Melalui
hukum inilah antara lain ditetapkan peranan-peranan yang seharusnya dilakukan
oleh warga masyarakat. Namun berdasarkan pengamatan maupun beberapa hasil
penelitian menunjukkan adanya ketidakcocokan antara apa yang diharapkan oleh
hukum da tingkah laku nyata warga masyarakat.
Membangun kesadaran hukum tidaklah mudah, tidak semua orang me-
miliki kesadaran tersebut. Hukum sebagai Fenomena sosial merupakam institusi
dan pengendalian masyarakat. Didalam masyarakat dijumpai intitusi yang mas-
ing-masing diperlukan didalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya dan memperlancar jalannya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ter-
sebut, oleh karena fungsinya demikian masyarakat perlu akan kehadiran institusi
sebagai pemahaman kesadaran.
Pentingnya kesadaran membangun masyarakat yang sadar akan hukum
inilah yang diharapkan akan menunjang dan menjadikan masyarakat menjunjung
tinggi intitusi/ aturan sebagai pemenuhan kebutuhan untuk mendambakan ketaa-
tan serta ketertiban hukum. Peran dan fungsi membangun kesadaran hukum da-
lam masyarakat pada umumnya melekat pada intitusi sebagai pelengkap masya-
rakat dapat dilihat dengan:
a. Stabilitas,
b. Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyara-
kat,
c. Memberikan kerangka sosial institusi berwujud normanorma,.
Ketatan hukum pada hakikatnya adalah kesetiaan yang dimiliki seseo-
rang sebagai subyek hukum terhadap peraturan hukum yang diwujudkan dalam
bentuk perilaku yang nyata. Sementara kesadaran hukum masyarakat merupakan
sesuatu yang masih bersifat abstrak yang belum diwujudkan dalam bentuk peri-
laku yang nyata untuk memenuhi kehendak hukum itu sendiri.
Banyak di antara masyarakat yang sesungguhnya telah sadar akan pen-
tingnya hukum dan menghormati hukum sebagai aturan yang perlu ditaati, baik
itu karena dorongan insting maupun secara rasional. Namun secara faktual, ke-
sadaran tersebut tidak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari atau dalam prak-
tek yang nyata. Kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat tersebut dapat
dengan mudah luntur oleh perilaku oportunis yang memungkinkan seseorang
untuk bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar baik materil maupun im-
materil jika tidak patuh terhadap hukum. Dalam hal ini kepentingan seseorang
tersebut akan lebih banyak terakomodir dengan tidak patuh terhadap hukum
meskipun harus merugikan atau berpotensi merugikan kepentingan orang ba-
nyak. Oleh karena itu kesadaran hukum mesti terus didorong untuk ditingkatkan
menajdi ketaatan hukum sehingga konsepsi ideal mengenai kesadaran hukum
masyarakat dapat diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari.
Faktor–faktor yang mempengaruhi efektifitas hukum dalam masyarakat.
Bila membicarakan efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan
daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat
terhadap hukum. Efektifitas hukum yang dimaksud berarti menkaji kembali hu-
kum yang harus memenuhi syarat ; yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara
sosiologis dan berlaku dan berlaku secara filosofis oleh karena itu faktor-faktor
yangdapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat yaitu:
a. Kaidah Hukum.
Dalam teori Ilmu hukum dapat dibedakan tiga macam hal mengenai
berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapkan sebagai berikut:
1) Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila penetuannya didasarkan
pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar
yang telah ditetapkan.
2) Kaidah hukum berlaku secara Sosiologis apabilah kaidah tersebut efek-
tif artinya kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa
walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori Kekuasaa). Atau
kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.
3) Kaidah hukum berlaku secara filosofis yaitu seseai dengan cita hukum
sebagai nilai positif yang tertinggi.
b. Penegak Hukum
Dalam hal ini akan dilihat apakah para penegak hukum sudah be-
tul– betul melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik, sehingga den-
gan demikian hukum akan berlaku secara efektif dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya para penegak hukum tentu saja harus berpedoman pada
peraturan tertulis, yang dapat berupa peraturan perundang–undangan peratu-
ran pemerintah dalam aturan–aturan lainnya yang sifatnya mengatur, sehing-
ga masyarakat mau atau tidak mau, suka atau tidak suka harus patuh pada
aturan–aturan yang dijalankan oleh para penegak hukum karena berdasarkan
pada aturan hukum yang jelas.
Namun dalam kasus–kasus tertentu, penegak hukum dapat melak-
sanakan kebijakan–kebijakan yang mungkin tidak sesuai dengan peraturan–
peraturan yang ada dengan pertimbangan–pertimbangan tertentu sehingga
aturan yang berlaku dinilai bersifat fleksibel dan tidak terlalu bersifat mengi-
kat dengan tidak menyimpang dari aturan – aturan yang telah ditetapkan.
c. Masyarakat
Kesadaran hukum dalam masyarakat belumlah merupakan proses
sekali jadi, melainkan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap
demi tahap kesaaran hukum masyarakat sangat berpengaruh terhadap ketatan
hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam masyarakat
maju orang yang taat pada hukum karena memang jiwanya sadar bahwa me-
reka membutuhkan hukum dan hukum itu bertujuan baik untuk mengtur ma-
syarakat secara baik benar dan adil.
Sebaliknya dalam masyarakat tradisional kesadaran hukum masya-
rakat berpengaruh secara tidak langsung pada ketaatan hukum. Dalam hal ini
mereka taat pada hukum bukan karena keyakinannya secara langsung bahwa
hukum itu baik atau karena mereka memang membutuhkan hukum melain-
kan mereka patuh pada hukum lebih karena dimintahkan, bahkan dipaksakan
oleh para pemimpinnya (formal atau informal) atau karena perintah agama
atau kepercayaannya.
Jadi dalam hal pengaruh tidak langsung ini kesaaran hukum dari
masyarakat lebih untuk patuh kepada pemimpin, agama, kepercayaannya dan
sebagainnya. Namun dalam perkembangan saat ini bagi masyarakat modern
terjadi pergeseran– pergeseran bahwa akibat faktor–faktor tertentu menye-
babkan kurang percayanya masyarakat terhadap hukum yang ada, sehingga
mengalami krisis kesadaran hukum dan ketaatan hukum masyarakat, salah
satunya adalah karena faktor penegak hukum yang menjadikan hukum atau
aturan sebagai alasan untuk melakukan tindakan–tindakan yang dianggap
oleh masyarakat mengganggu bahkan tidak kurang masyarakat yang merasa
telah dirugikan oleh oknum – oknum penegak hukum seperti itu apalagi ma-
sih banyak masyarakat yang awam tentang masalah hukum sehingga dengan
mudah dapat dimanfaatkan sebagai objek penderita.
Kesadaran hukum masyarakat tidaklah identik dengan ketaatan hu-
kum masyarakat itu sendiri. Pada hakikatnya Ketaatan hukum adalah ―kese-
tian‖ seseorang atau subyek hukum terhadap hukum yang diujudkan dalam
bentuk prilaku yang nyata, sedang ―kesadaran hukum masyarakat‖ masih
bersifat abstrak belum merupakan bentuk prilaku yang nyata yang menga-
komodir kehendak hukum itu sendiri.
Banyak di antara anggota masyarakat sebenarnya sadar akan per-
lunya penghormatan terhadap hukum baik secara ―instinktif‖ maupun secara
rational namun mereka cenderung tidak taat terhadap hukum. Kebudayaan
hukum yang berkembang dimasyarakat kita ternyata lebih banyak mencer-
minkan bentuk prilaku opportunis yang dapat diibaratkan mereka yang ber-
kenderaan berlalu lintas di jalan raya, ketika lampu merah dan kebetulan ti-
dak ada polisi yang jaga maka banyak diantara pengendara nekat tetap jalan
terus dengan tidak mengindahkan atau memperdulikan lampu merah yang
sedang menyala.
Kesadaran seseorang tentang hukum ternyata tidak serta merta
membuat seseorang taat pada hukum karena banyak indikator-indikator so-
sial lain yang mempengaruhinya. Ketaatan hukum merupakan dependen va-
riabel maka untuk membangun masyarakat patuh hukum perlu dicari inde-
penden variabel atau intervening variabel agar program Pemerintah yang
menghendaki terciptanya masyarakat sadar hukum hasilnya dapat dilihat da-
lam bentuk ketaatan masyarakat tersebut pada hukum itu sendiri, sehingga
tidak diperlukan alat pemaksa (kekuasaan cq Polisi) yang membuat masya-
rakat takut agar mereka patuh pada hukum.
2. Biaya Administrasi Pernikahan Perspektif Hukum Islam
PP Nomor 48 Tahun 2014 telah diberlakukan di seluruh KUA sejak bu-
lan Agustus 2014. Keberadaan PP yang baru tersebut saat ini telah dilengkapi
dengan PMA Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) atas Biaya Nikah dan Rujuk (NR) di Luar KUA Kecama-
tan. Salah satu isinya mengatur mekanisme terkait penyetoran dan penerimaan
dana PNBP biaya NR tersebut.
Terkait penyetoran di antaranya adalah, 1) Catin wajib menyetor biaya
NR ke rekening Bendahara Penerima sebesar Rp. 600 ribu pada Bank, 2) apabila
kondisi geografis, jarak tempuh, atau tidak terdapat layanan Bank pada wilayah
kecamatan setempat, Catin menyetor biaya NR melalui PP pada KUA Kecama-
tan. Sedangkan penggunaan dana PNBP yang sudah disetor catin, maka penggu-
naannya adalah untuk, 1) transport dan jasa profesi penghulu. 2), Pembantu Pe-
gawai Pencatat Nikah (P3N). 3), Pengelola PNBP Biaya NR. 4), kursus biaya
nikah, dan. 5), supervise administrasi NR.
Sebelumnya, terkait dengan biaya nikah sudah ada regulasi yaitu PP
Nomor 47 Tahun 2004, akan tetapi diamandemn olehPP Nomor 48 Tahun 2014.
Adapun alasasan yang mendasarinya adalah:
a. Analisa Implikasi PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Semangat menja-
dikan KUA yang berintegritas dan terbebas dari gratifikasi;
b. Memperjelas keuangan yang dibayarkan masyarakat untuk biaya pernikahan;
c. Mengakomodir kepentingan, kompensasi, dan penghargaan kepada para
penghulu yang menghadiri pernikahan di luar kantor atau luar jam kantor.
Tiga faktor tersebut yang tidak diakomodir oleh PP Nomor 47 Tahun
2004 yang akan dicermati di bawah ini:
a. Nominal Biaya
Perubahan yang ditetapkan di dalam PP Nomor 48 Tahun 2014 di an-
taranya yaitu adanya multi tarif yang dikenakan kepada masyarakat yang
akan menikah. Di dalam PP Nomor 48 Tahun 2014 disebutkan padapasal 6:
1) Setiap warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Uru-
san Agama Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan ti-
dak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk.
2) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama
Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai pene-
rimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan;
3) Terhadap warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau kor-
ban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan
Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan
tarif Rp 0,00 (nol rupiah);
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk dapat dikena-
kan tarif Rp0,00 (nol rupiah) kepada warga negara yang tidak mampu se-
cara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau
rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Agama setelah berkoordi-
nasi dengan Menteri Keuangan.
Dari perubahan pasal ini dapat diketahui bahwa penerimaan negara
dari masyarakat untuk biaya pernikahan berubah, yang tadinya Rp 30.000,-
untuk biaya pencatatan nikah dan rujuk menjadi Rp 600.000,- untuk biaya
nikah dan rujuk
b. Biaya Pencatatan Nikah Vs Biaya Nikah
Perubahan besar ini dapat dimaklumi, karena adanya perubahan
penggunaannya. Perubahan penggunaan ini dapat dilihat dari PMA Nomor
24 Tahun 2014 yang merubah PMANomor 71 Tahun 2009. Dari judul PMA
itu sendiri sudah dapat diketahui bahwa adanya transformasi (perubahan)
dari “biaya pencatatan nikah dan rujuk” menjadi “biaya nikah dan rujuk”. Di
dalam PMA Nomor 24 Tahun 2014 yang baru adalah turunan dari PP. No-
mor 48 Tahun 2014 dapat diketahui bahwa tidak ada lagi biaya pencatatan
pernikahan atau rujuk.
c. Cara Penerimaan
Di dalam PMA Nomor 71 Tahun 2009 BAB II Pasal 1 ayat (1) Catin
membayar biaya NR kepada Bendahara penerimaan pada Kandepag melalui
Bendahara Pembantu pada KUA. Di dalam PMA Nomor 24 Tahun 2014
BAB III Pasal 6 ayat (1) Catin wajibmenyetorkan biaya nikahatau rujuk ke
renening Bendahara Penerimaan sebesar Rp 600,000,- pada Bank. Pada ayat
(2) Apabila kondisi geografis, jarak tempuh, atau tidak terdapat layanan
Bank pada wilayah kecamatan setempat, catin menyetorkan biaya nikah atau
rujuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui PPS pada KUA Kecama-
tan.
Jadi jelas, bahwa perubahan juga terjadi pada cara penerimaan
PNBP. Yaitu yang tadinya disetorkan/dititipkan melalui Bendahara Pemban-
tu di KUA yang kemudian disetorkan ke Bendahara Penerimaan Kemenag
Kabupaten/Kota, dirubah menjadi ―disetorkan catin langsung‖ ke rekening
bank atas nama Bendahara Peneriman PNBP Kemenag Pusat. Dalam hal ini
penulis berpendapat, bahwa kata ―wajib‖ di dalam pasal 6 ayat (1), adalah ti-
dak dapat diwakilkan. Sehingga pembayaran PNBP sebesar Rp 600.000,-
benar-benar dibayarkan dan terhindar dari penyalah gunaan atau terhindar
dari prasangka buruk. Ini adalah upaya transparansi kepada masyarakat.
Adanya biaya yang dibebankan kepada calon pengantin yang mengada-
kan akad nikah di luar KUA, disamping untuk pemasukan bagi negara juga men-
jadi pendapatan bagi penghulu dalam bentuk biaya jasa profesi.
Biaya jasa profesi dalam hukum Islam disebut dengan ujrah. Menurut
bahasa ujrah berarti ―upah‖ atau ―ganti‖atau imbalan atau komisi, karena itu la-
fadz ujrah mempunyai pengertian umum yang meliputi upah atas pemanfaatan
sesuatu benda atau imbalan sesuatu kegiatan atau upah karena melakukan sesua-
tu aktifitas.52
Dalam istilah bahasa arab al-ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti
al-„Iwadhu (ganti). Menurut pengertian syara‘ al-Ijarah ialah ―Suatu jenis akad
untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian‖.53Ijarah/ujrah merupakan
salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manu-
sia. Seperti sewa-menyewa, kontrak, atau menjual jasa.
Pegertian ijarah/Ujrah secara bahasa dan istilah dapat di dikemukakan
beberapa pengertian sebagai berikut:
a. Ijarah secara bahasa yaitu upah sewa, jasa atau imbalan. Ijarah secara istilah
yaitu jual beli jasa (upah mengupah) yaitu mengambil manfaat tenaga manu-
sia, dan juga dapat diartikan sebagai sewa-menyewa.54
b. memberikan upah menurut syari‘at yaitu hadiah atau pemberian seseorang
dalam jumlah tertentu kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus,
diketahui atau tidak diketahui. yaitu mengambil manfaat dari barang.55
c. Al-ijarah secara bahasa yaitu suatu jenis akad untuk mengambil manfaat
dengan jalan penggantian (sewa-menyewa), sedangkan jasa yang diberikan
sebagai imbalan manfaat disebut ajran atau ujrah (upah).56
52 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 29 53 Sayyid sabiq, Fiqh Sunnah, penerjemah; Kamaluddin A. Marzuki, fikih sunnah 13 (Bandung,
Al maarif; 1987), h. 15 54 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), h. 122. 55 Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Hukum Perdata Islam dan Perilaku Ekonomi Islam, (Sura-
baya : Pustaka VIV Grafika, 2008), h. 87. 56 Sayyid Sabiq, Fiqh Muamalah 13,…………..,h. 7.
Menurut Wahbah Zuhaili, ujrah/upah/komisi harus memenuhi beberapa
persyaratan:
a. Berupah harta yang dapat diketahui keberadaanya persyaratan ini ditetapkan
berdasarkan sabda Nabi yang artinya : “ Sesungguhnya Nabi elarang mem-
pekerjakan buruh sampai ia menjelaskan besaran upahnya".57
b. Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah seperti menyewa ru-
mah untuk di tempati dengan upah secara sewa menempati rumah lainya
atau mengupah suatu pekerjaan yang serupa.58
Dalam hukum Islam diatur sejumlah persyaratan yang berkaitan dengan
ujrah (upah) sebagai berikut:
a. Upah harus dilakukan dengan cara-cara musyawarah dan konsultasi terbuka,
sehingga dapat terwujudkan di dalam diri setiap individu pelaku ekonomi,
rasa kewajiban moral yang tinggi dan dedikasi yang loyal terhadap kepentin-
gan umum.59
b. Upah harus berupa mal mutaqawwim dan upah tersebut harus dinyatakan se-
cara jelas.60 Konkrit atau dengan menyebutkan kriteriakriteria. Karena upah
merupakan pembayaran atas nilai manfaat, nilai tersebut disyaratkan harus
diketahui dengan jelas.61
c. upah harus berbeda dengan jenis obyeknya. Mengupah suatu pekerjaan den-
gan pekerjaan yang serupa, merupakan contoh yang tidak memenuhi persya-
ratan ini. Karena itu hukumnya tidak sah, karena dapat mengantarkan pada
praktek riba.62
d. upah perjanjian persewaan hendaknya tidak berupa manfaat dari jenis sesua-
tu yang dijadikan perjanjian. Dan tidak sah membantu seseorang dengan
upah membantu orang lain. Masalah tersebut tidak sah karena persamaan je-
57 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir : Dar al-Ma'arif, 1988), no. 11139 58 Wahbah Az Zuhaili, Alfiqhu Al Islami Waadillatuhu,(Beirut : Darul fikr, tt) juz 5, h. 3822. 59 Ali Hasan , Berbagai macam transaksi Dalam Islam: Fiqh Muamalat, (Semarang: Asy- Syifa‘,
1990), h. 231 60 Ghufran A. Mas‘adi, Fiqh Muamalah Konstektual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
h. 186 61 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 4, …………………….,h. 208 62 Ghufran A. Mas‘adi, h. 187
nis manfaat. Maka masing-masing itu berkewajiban mengeluarkan upah atau
ongkos sepantasnya setelah menggunakan tenaga seseorang tersebut.63
B. Efektivitas Penerapan PP. No. 48 Tahun 2018 Tentang Biaya Nikah Terhadap
Tertib Administrasi Pernikahan di KUA Kec. Praya Barat
1. Urgensi Administrasi Pernikahan
pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab fikih klasik tidak ditemukan.
Pembahasannya berkutat pada nikah sirri yang terkait dengan saksi. Menurut
jumhur ulama suatu perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan
syarat-syarat, diantaranya adalah wali. Dan hal ini sudah menjadi kesepakatan
para Fuqoha.
Kalau melihat teks dan penjelasan perundang-undangan indonesia dapat
disimpulkan bahwa fungsi pencatatan perkawinan adalah hanya untuk memenu-
hi urusan administrasi, bukan untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan.
Namun, jika teks-teks tersebut dihubungkan dengan pasal-pasal lain yang ada
dalam undang-undang khususnya UU No. 01 tahun 1974 secara keseluruhan,
dan dihubungkan dengan perundang-undangan lain yang pernah berlaku di In-
donesia, ternyata memunculkan sikap pro dan kontra tentang fungsi pencatatan
perkawinan.
Secara fikih apabila rukun dan syarat pernikahan sudah terpenuhi maka
akad pernikahan itu adalah sah. Namun, apabila dihubungkan dengan hukum po-
sitif, selain harus memenuhi rukun dan syarat tersebut, akad nikah harus dicatat
di KUA agar memperoleh legalisasi untuk terciptanya ketertiban pernikahan.
63 Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzab (Al-Fiqh‘ Alal Madzahibil Arba‘ah), juz IV,
(Semarang: CV. As-Syifa‘, 1994), h. 180
Begitu juga halnya dengan perceraian yaitu haruslah dilakukan di depan sidang
Peradilan Agama dengan beberapa tahapan sidang yang telah diatur dalam UU
No 3 tahun 2006 tentang PA. Sesungguhnya apabila dilihat dari aspek kemasla-
hatan, pencatatan perkawinan di KUA dan perceraian melalui PA adalah demi
menjaga ikatan suci perkawinan tersebut agar terbina dengan baik dan tertib.
Pencatatan ini dianggap penting sebagai upaya memberikan kepastian hukum
bagi pihak-pihak yang melakukan perkawinan. Disamping itu perkawinan yang
tidak memenuhi syarat yuridis sering pula disebut dengan perkawinan di bawah
tangan atau nikah sirri, kawin kontrak, atau istri simpanan hal ini tidak direstui
oleh agama dan tidak dibenarkan oleh Undang-Undang Perkawinan yang sah.64
Pencatatan Pernikahan adalah suatu proses untuk menuju sebuah perka-
winan yang sah yang harus dilaksanakan oleh kedua calon mempelai ditempat
dimana ia melangsungkan pernikahnnya. Persoalan pencatatan pernikahan yang
menjadi syarat sah sebuah perkawinan di Indonesia menjadi sebuah produk yang
sangat krusial dalam kajian perkawinan baik secara konseptual maupun opera-
sional. Ada yang mengatakan bahwa pencatatan sebagai syarat sah perkawinan
karena sesuai dengan hukum Islam baik dalam Alquran maupun Hadis Nabi
saw. Namun dipihak lain tidak sedikit beranggapan bahwa pencatatan nikah ti-
dak lebih dari dari sekedar fungsi tertib administrasi saja.65
Karena pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil dengan tu-
juan agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) bahwa dirinya benar-benar
telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah satu bukti yang di-
anggap sah sebagai bukti syar‘iy (bayyinah syar‟iyyah) adalah dokumen resmi
yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pen-
catatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bi-
sa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, bila
terjadi sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir
64 Yahya Harahap, Informasi Materi KHI; Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, dalam buku
KHI dan PA dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Logos, 1999), h. 53. 65 7Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan 1/1974 (Jakarta: Tinta Mas, 1986), h. 5.
akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain se-
bagainya.
Pelayanan administratif di bidang akta nikah khususnya di Kantor Uru-
san Agama Kecamatan, berperan cukup besar karena Indonesia sebagai negara
mayoritas muslim terbesar di dunia. Dalam dasar-dasar perkawinan menyatakan
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki-
nah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan juga bertujuan menghindari diri dari
fitnah antara satu sama lain, sehingga dalam pelaksanaannya perlu ada wali dan
saksi. Selain itu agar tidak terjadi kekhilafan/kesalahpahaman, maka perkawinan
harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah atau Kepenghuluan.
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan-
nya, bagi yang Muslim pencatatan akta nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pen-
catatan Nikah, Talak dan Rujuk. Setiap perkawinan harus dilangsungkan diha-
dapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan hanya
dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Jika dilihat dari segi hukum perkawinan di dalam KHI (Kompilasi Hu-
kum Islam) yang tertuang dalam pasal 5 dan 6, ternyata unsur sah dan unsur tata
cara pencatatan diberlakukan secara komulatif. Bahkan di pasal 7 ayat (1) dika-
takan; bahwa bagi orang yang akan melaksanakan pernikahan menurut hukum
Islam hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh PPN (Pegawai
Pencatatan Nikah). Dengan demikian KHI sudah menyatakan bahwa unsur pen-
catatan nikah menjadi syarat adanya nikah yang sah.66
Demikian pula menurut Hukum Islam di Indonesia, sebagaimana dis-
ebutkan oleh Muhammmad Daud Ali, syarat nikah bila disederhanakan ada em-
pat macam yaitu:67
66 Abdul Gani Abdullah, Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Tangan, dalam Mim-bar Hukum No. 23 tahun VI, 1995, h. 49.
67 Muhammad Daud Ali, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grapindi Per-sada, 1995), h. 2.
a. persetujuan keduamempelai
b. Mahar atau mas kawin,
c. tidak melanggar larangan-larangan perkawinan, dan
d. setiap perkawinan harus dicatatkan.
Tujuan pencatatan perkawinan dan perceraian adalah untuk kepentingan
administrasi negara, agar hak-hak yang timbul dari perkawinan itu misalnya
pembuatan akta kelahiran, kartu keluarga, dan lain sebagainya yang memerlukan
akta nikah sebagai bukti adanya suatu perkawinan dapat terjamin. Perkawinan,
perceraian dan poligami itu perlu diatur agar tidak terjadi kesewenang-
wenangan.68
Melihat manfaat-manfaat pencatatan akad nikah di atas, maka hampir
semua Negara sekarang membuat undang-undang agar pernikahan warganya di-
catat oleh pegawai yang telah ditunjuk pemerintah. Undang-undang ini merupa-
kan politik syar‘i. yang ditetapkan oleh pemerintah karena memandang maslahat
di baliknya yang sangat besar sekali yaitu untuk menjaga hak dan khawatir
adanya pengingkaran.
Secara tehnis proses pencatatan pernikahan bagi kedua mempelai harus
dilaksanakan di hadapan pejabat agama yang ditunjuk untuk keperluan tersebut.
Pejabat ini disamping bertugas mengawasi acara nikah juga berkewajiban men-
catat peristiwa tersebut dalam sebuah akte otentik. Pejabat agama ini resmi dan
termasuk dalam lembaga Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang wilayah yurisdik-
sinya meliputi sebuah kecamatan. Dalam menjalankan tugas-tugasnya melaku-
kan pencatatan dan pengawasan di desa-desa, ia dibantu oleh Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah (P3N) dan kedudukan P3N, baik pengangkatan, tugas, maupun
kewajiban dan honorariumnya telah diatur oleh Peraturan Perundangan-
undangan.
2. Pencatatan Pernikahan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif
68 Iskandar Ritonga, Hak-Hak Wanita dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hu-kum Islam (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), h. 31.
Pada mulanya syari‘at Islam baik dalam Alquran atau as-Sunnah tidak
mengatur secara kongkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda
dengan ayat muamalat (mudayanah) yang dalam situasi tertentu di perintahkan
untuk mencatatnya. Tuntunan perkembangan, dengan berbagai pertimbangan
kemaslahatan, hukum Islam di Indonesia mengaturnya membuat undang-undang
tentang pencatatan pernikahan.
Hukum pencatatan perkawinan belum ada pada masa Rasulullah saw.
Pada masa itu perkawinan cukup dengan syarat dan rukun terpenuhi maka sah
lah perkawinan itu secara hukum Islam. Tetapi pada zaman sekarang syarat dan
rukunnya walaupun sudah terpenuhi, namun diperlukan lagi sebuah upaya mele-
galkan ikatan yang suci itu agar kepentingan-kepentingan yang timbul sesudah-
nya seperti pengakuan sahnya seorang anak, ahli waris, penyelesaian harta ber-
sama dan masalah-masalah keluarga lainnya yang memerlukan bukti berupa akta
nikah haruslah dibuat peraturannya. Perubahan hukum itu sesuai dengan peruba-
han situasi dan kondisi suatu zaman asalkan tetap dalam garis-garis ketentuan
syariat yang telah ditetapkan.
Perkawinan harus dicatat di KUA dan perceraian dicatat di PA merupa-
kan sesuatu yang sulit bagi masyarakat yang belum memahami secara mendalam
tentang arti pentingnya pencatatan itu. Pencatatan dianggap sebagai halangan
atau mempersulit orang melangsungkan perkawinan dan perceraian, padahal ti-
dak demikian. Justru dengan adanya pencatatan itu, maka aspek legalitas sebuah
perkawinan akan terjaga dengan aman dan tertib.
Mengenai hukum pencatatan perkawinan di KUA dan perceraian di PA
dapat menjadi wajib apabila sekiranya pencatatan itu mengandung kemaslahatan
yang sangat besar bagi seseorang dan apabila tidak dicatat akan menimbulkan
mudarat. Selain itu juga dengan adanya pencatatan perkawinan itu maka akan
sempurnalah suatu kewajiban pernikahan itu.
Pencatatan pernikahan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban pernika-
han dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perun-
dang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (misaq al-galid) per-
kawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga.
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah,
yang masing-masing suami-isteri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisi-
han atau percekcokkan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung ja-
wab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau
memperoleh hak-hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami isteri
memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.
Tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk kepentingan administrasi
negara, agar hak-hak yang timbul dari perkawinan itu misalnya pembuatan akta
kelahiran, kartu keluarga, dan lain sebagainya yang memerlukan akta nikah se-
bagai bukti adanya suatu perkawinan dapat terjamin. Perkawinan, perceraian dan
poligami itu perlu diatur agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.
Sekiranya perkawinan itu tidak dicatat maka dapat menimbulkan masa-
lah-masalah seperti apakah sebelum terjadinya perkawinan syarat-syarat kedua
mempelai sudah sah secara hukum atau ada halangan-halangan yang mengha-
ramkan perkawinan itu terjadi, apakah kedua mempelai sudah setuju adanya
perkawinan tersebut atau karena terpaksa, atau ada hal-hal lain yang menyebab-
kan perkawinan itu tidak sah karena kesalahan tentang penetapan wali nikah.
Maka oleh sebab itu untuk menghindari kemudaratan yang demikian diperlukan
adanya sebuah pencatatan, padahal kemudaratan itu harus dihilangkan.
Pencatatan perkawinan dampak kemaslahatannya bukan hanya untuk
kepentingan kedua mempelai, tetapi juga berdampak pada masalah-masalah so-
sial lainnya. Misalnya ketika yang menikah adalah seorang PNS dan pernikahan
itu tercatat secara resmi di KUA, maka dengan bukti akta nikah dan kartu ke-
luarga dapat dijadikan syarat untuk menambah tunjangan gajinya perbulan. Be-
gitu juga dalam masalah perceraian, ada beberapa maslahat yang dihasilkan
dengan adanya pencatatan perceraian di PA itu, seperti dengan adanya akta ni-
kah orang dapat lebih mudah melakukan proses perceraian di PA dibandingkan
dengan orang yang kawin liar, kemudian juga hak anak yang timbul karena per-
ceraian kedua orang tuanya dapat terjamin karena hak asuhnya diputuskan oleh
hakim. Bagi duda / janda yang ingin melangsungkan pernikahan lagi akan mu-
dah prosesnya karena mempunyai bukti akta cerai dari PA.
Tujuan pencatatan nikah menurut Kompilasi Hukum Islam menjelaskan
dalam pasal 5 akan halnya tentang pencatatan perkawinan yakni:
a. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap Perkawi-
nan harus di catat.
b. Pencatatan Perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pen-
catat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954, yang berisi; ―Nikah yang
dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pe-
gawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh Pegawai
yang ditunjuk olehnya.‖
Teknis dari pelaksanaan KHI tersebut , diuraikan dalam pasal 6. ayat :
1) untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilang-
sungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah.
2) perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum diatas yang mengatur ten-
tang pencatatan perkawinan dapat dipahami bahwa pencatatan tersebut adalah
Syarat Administratif. Pencatatan diatur dikarenakan tanpa pencatatan suatu per-
kawinan tidak mempunyai ketentuan hukum. Akibatnya apabila salah satu pihak
melalaikan kewajiban nya maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum,
karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah dan otentik dari perkawinan yang di-
langsungkannya.
Selain itu, Pencatatan juga memiliki manfaat preventif, yakni untuk me-
nanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-
syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaanya itu, maupun
menurut perundang-undangan. Namun di antara perundang-undangan yang
mengatur tentang keharusan mencatatkan pernikahan, nampak di daerah keca-
matan Medan Labuhan Kota Medan masih mendominasi bahwa pencatatan ni-
kah tersebut hanya merupakan syarat administrasi saja sehingga pernikahan tan-
pa dicatat pun sudah sah hukumnya menurut hukum Islam.
Sebenarnya kalau dilihat dari esensi antara hukum Islam dengan Kompi-
lasi Hukum Islam terdapat persamaan dalam usaha mewujudkan kemaslahatan
bagi manusia. Namun sesuai dengan kenyataan di mana Kompilasi Hukum Is-
lam khususnya dalam hal pencatatan nikah yang berlaku secara nasional masih
dianggap sebagai hukum yang tidak mengikat. Padahal pencatatan nikah juga
berasal dari ajaran Islam itu sendiri.
Oleh karena itu, dibuatlah regulasi tentang admnistrasi pernikahan. Bebe-
rapa dasar hukum mengenai pencacatan perkawinan/pernikahan, antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946; menyatakan: Nikah yang dilakukan
menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pen-
catat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk
olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya
disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.
b. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan pada pasal 2
ayat 2. Menyatakan; "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perun-
dang-undangan yang berlaku."
c. Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 477 Tahun 2004, tentang Penca-
tatan Nikah.
d. Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 1 Tahun 1995, tentang Kutipan Akta
Nikah.
e. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, tentang pelaksanaan UU. No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Secara lebih rinci , pasal 2 menjelasakan
tentang pencatatan perkawinan :
1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama Islam , dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana
dimaksudkan dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah ,
Talak , dan Rujuk.
2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam , dilaku-
kan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor catatan sipil seba-
gaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pen-
catatan perkawinan.
3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi
tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang
berlaku , tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana diten-
tukan dalam pasal 9 PP ini .
Dalam pasal 3 PP No.9 Tahun 1975 menyatakan;
1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknnya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan .
2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya
10 hari kerja sebelum perkawinan di langsungkan.
3) Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu
alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala
Daerah.
Adapun manfaat dari administrasi pernikahan adalah
a. Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa na-
sab, nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti
otentik yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tersebut.
b. Menyelesaikan persengkatan antara suami istri atau para walinya ketika me-
reka bersengketa dan berselisih, karena bisa jadi salah satu di antara mereka
akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya ti-
dak memiliki bukti karena saksi telah tiada. Maka dengan adanya catatan ini,
hal itu tidak bisa diingkari.
c. Catatan dan tulisan akan bertahan lama jangka waktunya, sehingga sekalipun
yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih bisa digu-
nakan setiap waktu. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan merupa-
kan salah satu cara penentuan hukum.
d. Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak
sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernika-
han serta penghalang-penghalangnya.
e. Menutup pintu pengakuan-pengakuan dusta dalam pengadilan, di mana bisa
saja sebagian orang yang hatinya rusak mengaku telah menikahi seorang
wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehor-
matannya hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.
Dengan demikian, pencatatan pernikahan jika ditinjau dari hukum Islam
lebih mengedepankan aspek maslahah. Aspek maslahah merupakan salah satu
aspek penting dalam maqashidud al-syariah.
Secara garis besar maqashid al-syariah dapat dikelompokkan menjadi tiga
bagian, yaitu:69
1) Al-Dharuriyat (ت وري (ا
Al -dharuriyat adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat
essensial bagi kehidupan manusia.Maksudnya kemaslahatan-kemaslahatan
yang kepadanya bersandar kehidupan manusia dan eksistensi masyarakat.
Jika kemaslahatan itu tidak ada maka akan terjadi ketidakstabilan, kerusakan
dan kesengsaraan di dunia dan akhirat. Seperti makanan, minuman dll
Penjelasan Al-Dharuriyat terbagi menjadi lima pokok yaitu :
a) Memelihara Agama (ي ( ا
Memelihara agama dalam peringkat Al-Dharuriyat ini adalah
memelihara dan melaksanakan kewajiiban keagamaan yang masuk dalam
kategori tingkat primer. Seperti melaksanakan sholat lima waktu yang
apabila sholat tersebut diabaikan maka akanterancamlah eksistensi agama
tersebut.
b) Memelihara Jiwa (س ( ا
69 Fathurrahman Djamil, Metode Majlis Tarjih Muhammadiayah, ( Jakarta : Logos, 1995) 40 dan
128.
Memelihara jiwa dalam peringkat Al-Dharuriyat ini seperti
memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan
hidup. Apabila kebutuhan pokok ini diabaikan maka akan berakibat
terancamnya eksistensi jiwa manusia.
c) Memelihara Akal ( ( ا
Memelihara akal dalam peringkat Al-Dharuriyat ini seperti
diharamkan meminum-minuman keras. Dan apabila ketentuan ini tidak
diindahkan maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
d) Memelihara Keturunan ( ض/ ا ا )
Memelihara keturunan dalam peringkat Al-dharuriyat ini
sebagaimana disariatkan nikah dan dilarang berzinah. Dan apabila
kegiatan in diabaikan begitu saja maka akan berakibat eksistensi manusia
akan terancam
e) Memelihara Harta ( ( ا
Adapun memelihara harta dalam peringkt Al-Dharuriyat adalah
seperti tentang cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang
lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar maka akan
berakibat akan terancamnya eksistensi harta.
2) Al-Hajiyat (ت جي (ا
Alhajiyat adalah perkara-perkara yang dibutuhkan manusia untuk
menghilangkan kesulitan. Jika perkara-perkara itu tidak terwujud, maka
tidak akan merusakan tatanan kehidupan, namun manusia akan mengalami
kesulitan dan kesempitan. Dan Al-Hajiyat ini erat hubungannya dengan
rukhsah atau keringanan dalam ilmu fiqih.
Penjelasan Al-Hajiyat ini terbagi menjadi lima kelompok yaitu:
a) Memelihara Agama (ي ( ا
Memelihara agama dalam peringkat Al-hajiyat yaitu
melaksanakan ketentuan agama dengan maksud untuk menghindari
kesulitan seperti shalat jama‘ dan shalat qashar bagi orang yang sedang
berpergian. Dan apabila ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan
mengancam eksistensi agama melainkan hanya akan mempersulit bagi
orang yang melakukannya.
b) Memelihara Jiwa (س ( ا
Memelihara jiwa dalam peringkat Al-Hajiyat ini seperti
diperbolehkannya berburu binantang untuk menikmati makanan yang
lezat dan halal. Dan apabila hal ini diabaikan maka tidak akan
mengancam eksistesi manusia melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c) Memelihara Akal ( ( ا
Memelihara akal dalam peringkat al-hajiyat ini seperti
dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Dan apabila sekiranya hal
tersebut tidak dilakukan maka tidak akan merusak akal akan tetapi akan
mempersulit dir seseorang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
d) Memelihara Keturunan ( ض/ ا ا )
Memelihara keturunan dalam peringkat Al-Hajiyat ini seperti
diberikan hak talaq pada pada suami. suami akan mengalami kesulitan
apabila ia tidak menggunakan hak talaqnya padahal situasi rumah
tangganya tidak harmonis lagi.
e) Memelihara Harta ( ( ا
Memelihara harta dalam peringkat Al-Hajiyat ini seperti syari‘at
tentang jual-beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dilakukan
maka tidak akan mengancam eksistensi harta melainkan akan
mempersulit orang yang memerlukan modal.
3) Al-Tahsiniyyat (ت ي ي 70(ا
Al -Tahsiniyyat merupakan sesuatu yang menjadikan hidup manusia
lebih pantas dan beradab.Jika sesuatu itu tidak ada maka tidak akan merusak
70 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2003) 257
tatanan kehidupan serta tidak menyulitkan. Hanya saja akan mengurangi
ketidakpantasan, etika dan fithrah.
Adapun penjelasan Al-Tahsiniyyat ini juga terbagi menjadi lima
pokok yaitu :
a) Memelihara Agama (ي ( ا
Memelihara agama dalam peringkat Al-Tahsiniyyat ini adalah
mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia
sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. Misalnya
menutup aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan,
pakaian dan tempat. Hal seperti itu erat kaitannaya dengan akhlak terpuji.
Dan apabila hal ini tidak mungkin untuk dilakukan maka hal ini tidak
akan mengancam eksisitensi agama dan tidak pula mempersulit bagi
orang yang melakukannya.
b) Memelihara Jiwa (س ( ا
Memelihara jiwa dalam peringkat Al-Tahsiniyyat ini seperti
ditetapkan tatacara makan dan minum. Hal ini hanya berhubungan
dengan kesopanan dan etika dan sama sekkali tidak akan mengancam
eksistensi jiwa manusia ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
c) Memelihara Akal ( ( ا
Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat ini seperti
menghindarkan diri diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang
tidak berfaidah. Hali ini erat kaitannya dengan etika, dan tidak akan
mengancam eksistensi akal secara langsung.
d) Memelihara Keturunan ( ض/ ا ا )
Memelihara keturunan dalam peringkat Al-Tahsiniyyat
sebagaimana disyari‘atkan khitbah dan walimah dalam perkawinan. Dan
hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi egiatan perkawinan. Apabila
hal tersebut tidak dilakukan maka tidak akan mengancam eksistensi
keturunan dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan
perkawinan.
e) Memelihara Harta ( ( ا
Memelihara harta dalam peringkat Al-Tahsiniyyat ini seperti
ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.
Hal ini erat kaitannya dengan bermuamalah atau etika bisnis. Dan hal
tersebut juga akan berpengaruh kepada sah atau tidaknya jual-beli itu.
3. Problematika dan Solusi Penerapan PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Bi-
aya Nikah
Memperhatikan prosedur dan tahapan proses penyelesaian administrasi
pelaksanaan pernikahan yang demikian panjang, membutuhkan ketelitian da-
lam memverifikasi seluruh persyaratan administrasi sehingga semua proses
tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan praturan atau perundang-
undangan yang berlaku. Dan keseluruhan proses yang demikian panjang
dengan segala tahapannya, sebelum terbitnya PP nomor 48 tahun 2014, di-
laksanakan langsung oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang di-
angkat langsung oleh kepala kantor kementerian agama kota/kabupaten.
Tahapan-tahapan proses tersebut mulai dari penyelesaian segala per-
syaratan yang ditentukan undang-undang, menghadiri akad nikah, mengawa-
si, sampai pada memeriksa dan melakukan pencatatan nikah. Setelah proses
akad nikah dinyatakan selesai dilaksanakan selanjutnya semua berkas dila-
porkan ke Kantor Urusan Agama. PPN atau Penghulu yang memiliki tugas
pokok dalam penataan administrasi perkawinan di Kantor Urusan Agama
cenderung bersifat menunggu dan menerima laporan dari Pembantu Pegawai
Penacatat Nikah (P3N).
Penyelesaian administrasi perkawinan yang ditangani langsung oleh
kantor Urusan Agama kecamatan Praya Barat tentu tidak lepas dari keluhan
dan permasalahan yang terjadi di lapangan. Diantara permasalahan yang
mengemuka dalam penyelesaian administrasi perkawinan masyarakat keca-
matan Praya Barat, antara lain :
Pertama: Tidak terlaksananya pernikahan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pelaksanaan akad nikah diatur dengan
ketentuan apabila akad nikah dapat dilaksanakan pada sepuluh hari kerja se-
jak pemberitahuan kehendak nikahnya kepada Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih terdapat pelaksanaan
pernikahan kurang dari sepuluh hari sejak pelaporan, hal ini terjadi karena
waktu pernikahan kehendak wali nikah masih ikut menentukan dan disesuai-
kan dengan kesempatan atau waktu yang dia inginkan. Terkadang mereka ti-
dak pernah memperhatikan berapa lama anak mereka sudah dilarikan atau
dilarikan dari rumah orang tuanya.
Dalam kondisi seperti inilah nampak kelemahan sekaligus kelebihan
masih diberlakukannya pluralism hukum yang berjalan di tengah masyarakat
sehingga terkadang masyarakat lebih mengedepankan adat daripada undang-
undang yang berlaku. Dalam prosesi adat tersebut diperolehnya kesepakatan
mengenai pisuke, atau hal-hal lainnya termasuk penetapan waktu pelaksa-
naan akad nikah. Bahkan dalam kondisi tertentu masyarakat lebih menguta-
makan penyelesaian adat terlebih dahulu daripada penyelesaian syari‘at
agama. Akibat tidak langsung dari memprioritaskan penyelesaian adat, maka
cepat lambatnya pelaksanaan akad nikah sangat tergantung pada terselesai-
kannya proses adat tersebut. Berhadapan dengan situasi demikian maka kea-
rifan penghulu atau PPN sangat diperlukan, tentu selama persyaratan dileng-
kapi dan prosedur yang substantive tidak dilanggar.
Kedua : Pelaksanaan akad nikah sebelum persyaratan terpenuhi. Perni-
kahan semacam ini terjadi diakibatkan oleh tidak adanya perencanaan terle-
bih dahulu sebelum akad nikah dilakukan dalam arti akad nikah dilaksana-
kan sesuai dengan kondisi kesiapan wali nikahnya. Sehingga karena pertim-
bangan kemaslahatan, maka akad nikah dapat dilangsungkan setelah itu ba-
rulah persyaratan yang dibutuhkan dilengkapi. Salah satu pertimbangan yang
dimunculkan oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah adalah situasi atau pe-
ristiwa yang terjadi berkaitan dengan proses pengambilan calon pengantin
wanita oleh calon pengantin pria yang menurut orang tua atau wali calon
mempelai wanita dianggap tidak sesuai dengan kehendaknya.
Peristiwa nikah semacam ini dapat terjadi ketika P3N masih aktif. Se-
dangkan pasca terbitnya PP no 48 tahun 2014, hal semacam ini tidak terjadi
lagi karena akad nikah selalu dihadiri oleh penghulu dan penghulu bisa
menghadiri akad nikah bagi perkawinan yang telah melengkapi syarat-syarat
yang ditentukan undang-undang.
Ketiga : Perkawinan dilakukan pasangan calon pengantin dibawah
umur. Ketentuan undang-undang mensyaratkan usia minimal 19 tahun bagi
laki-laki dan 16 tahun bagi wanita. Ketentuan ini terkadang dikalangan ma-
syarakat kecamatan Praya Barat masih terjadi pelanggaran, yaitu dilang-
sungkannya akad nikah meskipun usia pasangan calon pengantin belum
memenuhi ketentuan undang-undang. Perkawinan semacam ini tetap dilak-
sanakan ketika melaporkannya ke PPN, pejabat KUA menolak untuk men-
gawinkan. Namun ketika usulan rencana pernikahannya ditolak maka akad
nikah tetap dilaksanakan, tentu mengacu pada ketentuan hukum Islam dan
adat yang berlaku di kalangan mereka. Akte nikah baru diselesaikan setelah
usia mereka mencapai batas sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.
Akibatnya perkawinan yang telah dilaksanakan terhitung sejak akte nikah itu
terbit, yang berdampak pada usia kehamilannya disesuaikan dengan tanggal
perkawinan yang tertulis dalam akte nikahnya.
Alternative solusi yang diberikan oleh undang-undang agar pernikahan
yang bersangkutan tercatat maka harus mendapatkan rekomendasi dari Pen-
gadilan Agama. Meskipun usia calon pengantin dibawah ketentuan undang-
undang perkawinan tetap dapat dilaksanakan dan dinyatakan sah menurut
undang-undang apabila yang bersangkutan mendapatkan rekomendasi dari
Prngadilan Agama dan inilah yang menjadi dasar pernikahan dapat tercatat.
Keempat : Setatus calon pengantin belum jelas. Ketidak jelasan status
ini terlihat dari perspektif undang perkawinan, bahwa perkawinan bagi janda
atau duda dapat dilaksanakan apabila surat perceraian atau kematian pasan-
gan telah diterbitkan oleh Pengadilan Agama setempat. Ketika usulan mere-
ka masuk ke KUA maka sikap pejabat KUA adalah menyarankan agar yang
bersangkutan mengajukan permohonan kejelasan status janda atau dudanya
ke Pengadilan Agama, akan tetapi sering saran tersebut diabaikan dan per-
kawinan tetap dilangsungkan di rumah yang bersangkutan. Jika perkawinan
semacam ini terjadi maka perkawinan tersebut tergolong perkawinan sirri,
meskipun secara hukum Islam dan adat tetap sah namun tidak tercatat dan
akte nikah tidak bisa diterbitkan.
Kelima : Kutipan Akta Nikah tidak diterima setelah akad nikah ber-
langsung. Pernikahan yang berlangsung, akte nikah tidak selalu diterima
langsung oleh pasangan pengantin saat akad nikah selesai dilaksanakan. Hal
ini terjadi kadangkala disebabkan oleh belum terselesaikannya urusan admi-
nistrasi perkawinan di Kantor Urusan Agama. Penyelesaian administrasi ini
sangat tergantung pada kelengkapan persyaratan yang harus dipenuhi oleh
kedua pasangan calon pengantin. Disamping itu keaktipan dan kejujuran dari
pembantu PPN sangat dibutuhkan, karena segala proses penyelesaian admi-
nistrasi ditangani langsung oleh pembantu PPN. Oleh karena itu kedisiplinan
dan kepedulian dari pembantu PPN sangat menentukan selesai atau tidak
administrasi perkawinan tersebut.
Kalau administrasinya belum selesai maka KUA tidak dapat mener-
bitkan akte nikah bagi pasngan pengantin tersebut. Akan tetapi sejauh yang
peneliti temukan di lapangan, setelah proses perkawinan ditangani langsung
oleh PPN hal semacam di atas tidak terjadi lagi, karena setiap peristiwa per-
kawinan dihadiri langsung oleh penghulu setelah terlebih dahulu semua per-
syaratan terselesaikan kecuali peristiwa perkawinan yang tidak dilaporkan.
Keenam : Pasangan suami isteri tidak memiliki Kutipan Akta Nikah.
Pasangan suami isteri yang secara hukum Islam dan adat dinyatakan sah
perkawiannya tetapi tidak memiliki Kutipan Akta Nikah atau Buku nikah,
karena kelengkapan persyaratan administrasi nikahnya tidak diantarkan ke
Kantor Urusan Agama oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dengan ber-
bagai macam alasan, seperti persyaratan administrasi nikah yang belum di-
lengkapi, belum bayar administrasi nikah yang harus disetor ke Negara, ber-
kas nikahnya lupa diantarkan ke Kantor Urusan Agama, dan berbagai alas an
klasik lainnya.
Bahkan sampai saat penelitian ini dilakukan masih banyak pasangan
suami isteri yang belum memiliki kutipan akte nikah, terutama pasangan
yang menikah sebelum undang-undang perkawinan ini diberlakukan. Agar
pasangan suami isteri mendapatkan kutipan akte nikah maka pihak pemerin-
tah seperti kepala Kantor Urusan Agama hendaknya menawarkan alternative
solusi dalam bentuk program nikah masal yang sampai saat penelitian ini di-
lakukan belum pernah diadakan untuk masyarakat kecamatan Praya Barat.
Perkawinan yang tidak memiliki kutipan akte nikah, secara administra-
si peristiwa perkawinan tersebut tidak tercatat di Kantor Urusan Agama. Ka-
rena perkawinan itu tidak tercatat maka apabila ada persoalan yang penyele-
saiannya membutuhkan kutipan akte nikah maka barulah pasangan suami is-
teri merasakan bahwa kutipan akte nikah itu menjadi penting.
Ada beberapa hal yang menyebabkan pasangan suami isteri tidak me-
miliki kutipan akte nikah antara lain, perkawinan itu terjadi sebelum keten-
tuan pernikahan harus tercatat. Penyebab lainnya adalah kemalasan dari pa-
sangan suami isteri untuk mengurusnya karena belum merasa kalau akte ni-
kah itu penting, disamping itu Pembantu PPN yang tidak aktif dan tidak jujur
menjadi salah satu penyebab kutipan akte nikah tidak dimiliki oleh pasangan
suami isteri tertentu.
Munculnya berbagai macam masalah di tengah-tengah masyarakat ter-
kait pelayanan Kantor Urusan Agama yang tentunya akan berdampak kepada
Kementerian Agama, sehingga muncullah berbagai macam terobosan yang
dilakukan oleh Kementerian Agama sehingga apa yang menjadi tujuan, yaitu
ingin memberikan Pelayanan Prima kepada Masyarakat dapat terlaksana.
Diterbitkannya Instruksi Dirjen Bimas Islam nomor 113 tahun 2009
tentang penataan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) menjadi salah sa-
tu solusi alternative ingin mendekatkan masyarakat dengan Kantor Urusan
Agama sebagai garda terdepan dalam memberikan pelayanan kepada masya-
rakat sehingga bisa terlayani dengan baik.
Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai garda terdepan ujung tom-
bak Kementerian Agama dalam melayani masyarakat memiliki peranan dan
tugas yang cukup berat sekaligus mempunyai peran strategis dalam masya-
rakat. Layanan prima yang dilaksanakan oleh KUA merupakan layanan yang
menyentuh masyarakat, oleh karena itu harus bisa memberikan kenyamanan
dan tepat waktu sehingga masyarakat merasa puas dan terlayani.
Saat ini tugas KUA sangat banyak dan padat. Selain bertugas untuk
melaksanakan pencatatan nikah dan bimbingan perkawinan, KUA juga dibe-
bani tugas dalam bidang pembinaan keluarga sakinah, produk halal, penyu-
luhan agama, hisab rukyat, dan bimbingan jamaah haji. Selain itu Kepala
KUA secara ex officio adalah merupakan Panitia Pencatat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW) serta sebagai Mufti. Dengan semakin banyaknya frekuensi tugas
KUA ini diperlukan sumber daya manusia handal dan kredibel yang mampu
memahami dan membenahi tertib administrasi nikah dengan baik serta
mampu mempertanggungjawabkan seluruh aktifitas kegiatan yang telah di-
laksanakan di lingkungannya secara transparan.
Prisip transparansi membuka peluang bagi masyarakat terutama yang
jarang bersentuhan dengan lingkungsn formal biroktarif menjadi tersaranai.
Sikap demikian dapat dengan mudah terjaminnya pelayanan masyarakat
dengan baik sehingga problem yang selama ini mengganjal keleluasaan ma-
syarakat dalam persoalan perkawinan menemukan solusinya. Seperti akses
yang mempermudah mendapatkan kutipan akte nikah, dipermudahnya segala
proses yang berkaitan dengan kelengkapan administrasi perkawinan. Meng-
hadapi persoalan yang berkaitan dengan kehendak masyarakat, tertama da-
lam penyelesaian persoalan perkawinan bermasalah tentu pejabat atau petu-
gas berwenang dituntut pro-aktif, tidak perlu harus menunggu dan bersifat
pasif.
Keaktifan pejabat berwenang sangat dituntut, misalnya dalam kasus
pemalsuan data kutipan akte nikah dan informasi atau laporannya secara
formal sampai ke Kantor Urusan Agama semestinya harus ditangai serius.
Namun kenyataannya kasus semacam ini masih dianggap tidak terlalu men-
desak untuk diselesaikan, bahkan alternative solusi yang ditawarkan agar
yang bersangkutan segera mengajukan itsbat nikah untuk mendapatkan lega-
litas formal sebagai dasar penerbitan kutipan akte nikah. Alternative solusi
semacam ini sangat disayangkan, dan tidak perlu beralasan karena belum
adanya sanksi pidana yang tertuang dalam ketentuan undang-undang perka-
winan.
Akan tetapi yang lebih penting bagaimana memberikan pembelajaran
bagi masyarakat, terutama bagi oknum pelaku pemalsuan agar tidak terulang
lagi. Kalau solusinya tidak berdampak efek sera bagi pelaku tidak menutup
kemungkinan kasus yang sama akan terulang kembali dan menimpa masya-
rakat tertentu yang secara pendidikan masih memiliki kemampuan tergolong
rendah.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelum, ma-
ka terkait dengan Implementasi PP. No. 48 Tahun 2018 Tentang Biaya Nikah di
Masyarakat Kecamatan Praya dapat ditarik kesimpulan:
1. Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah dalam Perkawi-
nan Masyarakat Kecamatan Praya Barat berjalan efektif. PP. Tersebut mem-
berikan alternatif kepada masyarakat untuk melakukan akad nikah. Jika
akad nikah dilakukan di Kantor KUA, tidak dikenakan biaya. Sedangkan un-
tuk akad nikah yang dilakukan diluar kantor KUA, dikenakan biaya sebesar
Rp. 600.000. Dalam praktiknya masyarakat Kecamatan Praya Barat lebih
dominan melaksanakan akad nikah di luar KUA walaupun harus mengelua-
rkan biaya Rp. 600.000. Hal ini disebabkan oleh faktor tradisi dan budaya
yang telah mengakar di Masyarakat Kecamatan Praya Barat.
2. Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah dalam pernika-
han Masyarkat Kecamatan Praya Barat, berimplikasi langsung terhadap ter-
tib administrasi pernikahan di KUA Kecamatan Praya Barat. Disamping itu,
juga berpengaruh terhadap kinerja pegawai KUA dan peningkatan kualitas
layanan kepada masyarakat terkait dengan administrasi pernikahan. Dengan
demikian berlakunya PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah telah
mendorong terwujudnya lembaga KUA yang profesional berorientasi pada
pelayanan publik dan bebas korupsi.
B. Saran – Saran
Beberapa rekomendasi yang peneliti dapat uraikan yang sekiranya dapat
menjadi rujukan dalam implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Ni-
kah, yaitu:
1. Di Wilayah tertentu, semacam Kecamatan Praya Barat memiliki wilayah
yang cukup luas dengan intensitas pelaksanaan nikah di luar KUA yang
tinggi menjadi kendala bagi penghulu dalam melaksanakan tugasnya, belum
lagi kondisi jalan yang belum semuanya bagus, sehingga sering terlambat.
Tenaga penghulu di Kecamatan yang luas perlu ditambah personilnya agar
lebih efektif dalam menjalankan tugasnya, serta dapat menjangkau masyara-
kat.
2. Seringkali di Kantor KUA terjadi pernikahan lebih dari 1 pasangan dalam
satu waktu. Sehingga menyebabkan musholla yang kecil kurang kondusif
sebagai tempat pelaksanaan akad nikah, mengingat acara nikah melibatkan
keluarga dari kedua mempelai. 1 pasangan saja kadang sudah cukup mem-
buat Kantor KUA yang kecil menjadi ramai dan sumpek. Jadi, perlu dibua-
tkan ruangan/aula atau tempat yang refresentatif untuk melaksanakan akad
nikah, agar lebih tertib, rapi dan hidmat, mengingat pernikahan merupakan
momen yang sakral.
3. Pada masyarakat dengan tingkat pernikahan yang tinggi dilakukan di luar
Kantor KUA semacam di Masyarakat Kecamatan Praya Barat, maka peng-
hulu memiliki mobilitas yang tinggi. Perlu ditunjang dengan kendaraan dinas
yang sesuai dengan medan dan kondisi daerah setempat, sehingga memu-
dahkan mobilitas dan layanan kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Arifi, Pergulatan Pemikiran Fiqh Tradisional Pola Mazhab (Yogyakarta: eL-
SAQ Press 2010).
Ali Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence Termasuk Interprestasi Undang-undang (legispru-
dence,Kencana,2009.
Beni Ahmad Saebeni, Sosiologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hlm 197
Departemen Agama RI, 2008, Pedoman Akad Nikah, Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam, Jakarta
Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1994.
Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan 1/1974 (Jakarta: Tinta Mas, 1986).
I Nyoman Yoga Segara dan H. Fachruddin, Biaya Perkawinan di Kantor Urusan Aga-
ma (KUA) Kecamatan Semarang Barat dan Kecamatan Mijen, Jawa Tengah
Pasca ditetapkannya PP Nomor 48 Tahun 2014 Dan PMA Nomor 24 Tahun
2014. Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kemente-
rian Agama Republik Indonesia Tahun 2014, 30
Iskandar Ritonga, Hak-Hak Wanita dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), h. 31.
Iskandar Ritonga, Hak-Hak Wanita dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam (Jakarta:L Nuansa Madani, 1999), h. 31.
Moh. Badrus Sholeh menulis tentang Biaya Nikah di KUA Klojen Malang (Tinjauan
Hukum Islam dan Undangundang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi).Jurnal
Al -Qānūn, Vol. 19, No. 1, Juni 2016
Nasution, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif ( Bandung: Tarsito, 1992.)
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Dasar-Dasar dan Aplikasi (Jakarta:
Raja Garafindo Persada, 1989), 51.
Soejono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Edisi Pertama, Jakarta :
Rajawali, 1982.
Soeryono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Press, Jakarta, 1986)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Yurda Hety, Respon Masyarakat Terhadap Pelayanan Pernikahan Pasca Pemberla-
kuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah (Studi
Kasus di KUA Kec. Selebar Kota Bengkulu). Jurnal QIYASVol. 2, No. 1, April
2017.
Yurda Hety, Respon Masyarakat Terhadap Pelayanan Pernikahan Pasca Pemberla-
kuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah (Studi
Kasus di KUA Kec. Selebar Kota Bengkulu). Jurnal QIYASVol. 2, No. 1, April
2017.
Munir Fuady. Sosiologi Hukum Kontemporer, Interaksi Kekeuasaan,Hukum, dan Ma-
syarakat (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007),
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997)
Sayyid sabiq, Fiqh Sunnah, penerjemah; Kamaluddin A. Marzuki, fikih sunnah 13
(Bandung, Al maarif; 1987).
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2006)
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Hukum Perdata Islam dan Perilaku Ekonomi Islam,
(Surabaya : Pustaka VIV Grafika, 2008).
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir : Dar al-Ma'arif, 1988)
Wahbah Az Zuhaili, Alfiqhu Al Islami Waadillatuhu,(Beirut : Darul fikr, tt) juz 5.
Ali Hasan , Berbagai macam transaksi Dalam Islam: Fiqh Muamalat, (Semarang: Asy-
Syifa‘, 1990).
Ghufran A. Mas‘adi, Fiqh Muamalah Konstektual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002).
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzab (Al-Fiqh‘ Alal Madzahibil Arba‘ah), juz
IV, (Semarang: CV. As-Syifa‘, 1994).
Yahya Harahap, Informasi Materi KHI; Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, dalam
buku KHI dan PA dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Logos, 1999).
Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan 1/1974 (Jakarta: Tinta Mas, 1986).
Abdul Gani Abdullah, Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Tangan, dalam
Mimbar Hukum No. 23 tahun VI, 1995.
Muhammad Daud Ali, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Gra-
pindi Persada, 1995).
Iskandar Ritonga, Hak-Hak Wanita dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam (Jakarta: Nuansa Madani, 1999).
Fathurrahman Djamil, Metode Majlis Tarjih Muhammadiayah, ( Jakarta : Logos, 1995).
A. Djazuli, Fiqh Siyasah, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2003).
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri Nama : WARDI Tempat/Tanggal Lahir : Praya, 21 Desember 1977 Alamat Rumah : Desa Pengadang Kec. Praya Tengah Nama Ayah : Ahmad Nama Ibu : Amnih Nama Istri : Sri Umayati Nama Anak : 1. Muhammad Fathurrahman 2. Muhammad Ade Efriansyah 3. Afifa Wardni
B. Riwayat Pendidikan 1. Pendidikan Forml
a. SDN Karya Mukti Damsol Donggala Tahun Lulus 1988 b. MTs.N Sabang Damsol Donggala Tahun Lulus 1992 c. MAN 1 Palu Sulawesi Sulawesi Tengah Tahun Lulus 1996 d. S1. Fak. Dakwah IAIN Mataram Tahun Lulus 2006 e. S2. Hukum Keluarga UIN Mataram Tahun Lulus 2019
2. Pendidikan Non Formal - C. Riwayat Pekerjaan
1. PNS di Kementerian Agama Lombok Tengah D. Prestasi/Penghargaan
1 …………….
E. Pengalaman Organisasi 1………….
F. Karya Ilmiah 1 ……………….
Mataram, 28 Desember 2018
Recommended