View
19
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PERBEDAAN SIKAP KEWIRAUSAHAAN ANTARA ETNIS TIONGHOA DAN
ETNIS JAWA PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
OLEH
BASTIAN SUDIBYO
802011042
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
PERBEDAAN SIKAP KEWIRAUSAHAAN ANTARA ETNIS TIONGHOA DAN
ETNIS JAWA PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
Bastian Sudibyo
Berta Esti Ari Prasetya
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan sikap kewirausahaan antara etnis
Tionghoa dan etnis Jawa pada mahasiswa fakultas psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Subjek penelitian berjumlah 100 mahasiswa
yang dibagi menjadi dua yaitu 50 mahasiswa dari etnis Tionghoa dan 50 mahasiswa dari etnis
Jawa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah insidental sample. Data penelitian
diambil menggunakan skala EAO terdiri dari 75 item dan 46 item yang dinyatakan lolos seleksi
daya diskriminasi item dengan koefisien alpha cronbachnya 0,914. Berdasarkan uji perbedaan
menggunakan teknik uji beda uji t diperoleh nilai t = -0,114 dengan nilai signifikansi atau p =
0,910. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan sikap Kewirausahaan
antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa pada mahasiswa fakultas psikologi Universitas Kristen
Satya Wacana. Berdasarkan hasil uji analisis menunjukkan bahwa mahasiswa etnis Tionghoa
dan etnis Jawa memiliki sikap kewirausahaan pada kategori tinggi. Meskipun secara umum
tidak ada perbedaan namun pada pengujian pada masing-masing aspek ditemukan adanya
perbedaan dalam aspek innovation dan personal control dengan etnis Tionghoa memiliki skor
yang lebih tinggi dibanding etnis Jawa sedangkan dalam aspek achievement dan self esteem
tidak ditemukan adanya perbedaan.
Kata Kunci : Sikap Kewirausahaan, Etnis Tionghoa dan Jawa.
Abstract
The purpose of the research is to know about different of entrepreneural attitude between
Tionghoa ethnicity and Javanese ethnicity in students of Psychology Satya Wacana Christian
University. The type of research is quantitative research. The research subjects are 100
students that divided to 2 groups, 50 Tionghoa ethnicity students and 50 Javanese ethnicity
students. sampling technique used is incidental sample. Data research is taken with EAO,
which is consisted of 75 items and 46 item that got away of from item discrimination power
with alpha cronbach’s coefficient is 0,914. According to difference T test, we got t = -0,114
with significant value or p = 0,910. This result shows that there is no difference of
entrepreneural attitude between Tionghoa ethnicity and Javanese ethnicity in students of
Psychology Satya Wacana Christian University. With entrepreneural attitude Tionghoa
ethnicity and Javanese ethnicity at high level. Although in general there is no difference but in
testing on each aspect found theris difference in the aspect of innovation and personal control
with Tionghoa ethnicity have hinger score than Javanese ethnicity while in the aspect of
achievement and self -esteem did not reveal any difference.
Keyword: entrepreneural attitude, Tionghoa ethnicity and Javanese ethnicity
1
PENDAHULUAN
Kewirausahaan menurut European Commision (dalam Alcalde dan Cohard,
n.a) adalah suatu sikap yang mencerminkan motivasi dan kemampuan individu untuk
mengidentifikasi dan mengejar peluang dan untuk menghasilkan suatu hal yang baru
atau keberhasilan ekonomi. Sedangkan orang yang melakukan kegiatan
kewirausahaan disebut dengan wirausahawan. Wirausahawan sendiri menurut Rye
(dalam Saiman, 2012) adalah seseorang yang mengorganisasikan dan mengarahkan
usaha baru. Wirausahawan berani mengambil resiko yang terkait dengan proses
pemuliaan usaha. Sedikitnnya jumlah wirausahawan di Indonesia sendiri tidak lepas
dari sikap yang memandang negatif wirausaha itu sendiri.
Kewirausahaan sendiri menurut Rusdiana (2014) memiliki dua darma bakti
bagi pembangunan bangsa, yaitu sebagai pengusaha, memberikan darma baktinya
dalam melancarkan proses produksi, distribusi dan konsumsi. Wirausaha mengatasi
kesulitan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan sebagai pejuang
bangsa dalam bidang ekonomi, meningkatkan ketahanan nasional, mengurangi
ketergantungan pada bangsa asing. Selain itu Suryana (2008) mengatakan fungsi dan
peran wirausaha dapat dilihat menjadi dua pendekatan, yaitu secara mikro dan makro.
Secara mikro wirausaha sendiri memiliki dua peran yaitu sebagai penemu (inovator)
dan perencana (planner). Sedangkan secara makro, peran wirausaha adalah
menciptakan kemakmuran, pemerataan kekayaan, dan kesempatan kerja yang
berfungsi sebagai mesin pertumbuhan perkekonomian suatu negara. Selain itu,
penelitian yang dilakukan Jackson dan Rodkey (dalam Wyk, Boshof dan Bester, 2003)
menunjukan bahwa pengalaman dibanyak negara menunjukan bahwa kegiatan
kewirausahaan sangat penting bagi kesehatan perekonomian pasar dan secara kusus
2
dapat menjadi sumber utama penciptaan lapangan pekerjaan. Keputusan seseorang
untuk menjadi seorang wirausahawan ataupun menjadi karyawan perusahaan biasanya
diputuskan pada masa dewasa awal.
Masa dewasa awal adalah masa dimana seseorang mulai menentukan tentang
apa yang akan dilakukannya pada masa mendatang. Santrock (2012) mengatakan masa
dewasa awal adalah masa untuk bekerja. Masa dewasa awal adalah individu yang
berada pada rentang usia antara 20 hingga 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan
psikologis pada diri individu. Seseorang pada masa ini akan memiliki kemandirian
dalam bidang ekonomi dan bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindikannya
sendiri. Selain itu pada masa ini seseorang sudah dapat menentukan pilihan karier
yang akan mereka lakukan apakah akan bekerja sebagai karyawan atau sebagai
wirausahawan.
Mahasiswa sendiri menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) memiliki
arti orang yang belajar di perguruan tinggi. Menurut Putra (2012) mahasiswa sebagai
salah satu golongan elit masyarakat yang diharapkan menjadi pemimpin–pemimpin
bangsa masa depan, sudah sepantasnya menjadi pelopor dalam mengembangkan
semangat kewirausahaan. Berdasarkan data dari BPS, ada 7,4 juta pengangguran
terbuka per Februari 2015. Ironisnya, kenaikan tersebut sebagian disebabkan sarjana
yang menganggur. Kondisi ini mengkhawatirkan. Apalagi, akhir tahun ini, Indonesia
akan mulai memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ini artinya, SDM
Indonesia tidak hanya bersaing dengan sesama anak bangsa saja, tapi juga dengan
bangsa ( dalam Indopos.co.id, Senin, 8 Juni 2015).
Menurut Astamoen (2008) sebagian besar sarjana masih cenderung mengejar
status sebagai pegawai negeri, padahal peluangnya sedikit. Oleh karena itu
3
diperlukannya sikap positif mahasiswa pada kewirausahaan agar para sarjana dapat
menjadi pionir dalam gerakan menumbuhkan kewirausahaan di Indonesia agar
tercapai angka 4 juta wirausahawan dalam rangka memajukan perekonomian
Indonesia. Hanaan, Hazlett , dan Leitch ( dalam Segumpan dan Zahari, 2012) bahwa
untuk meningkatkan tingkat inisiatif kewirausahaan di kalangan mahasiswa ,
diperlukan untuk meningkatkan sikap positif terhadap kewirausahaan , sehingga sikap
dapat dilihat sebagai batu loncatan untuk memunculkan niat kewirausahaan. Jika
mahasiswa memiliki sikap positif didalam kewirausahaan akan ada besar
kemungkinan mereka akan menjadi wirausahawan pada suatu saat (Segumpan dan
Zahari, 2012). Padahal dengan banyaknya wirausaha dua indikator penting dalam
suatu negara maju dan makmur secara ekonomi dapat terpenuhi, yaitu rendahya angka
pengangguran dan tingginya devisa terutama dari hasil barang-barang ekspor yang
dihasilkan (dalam Astamoen,2008).
Menurut pernyataan PBB, bahwa suatu negara akan mampu membangun
apabila memiliki wirausahawan sebanyak 2 persen dari jumlah penduduk. Jadi, jika
Indonesia berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa, maka wirausahawannya harus lebih
dari 4 juta. Menurut Ciputra (dalam Kompas.com, Rabu, 28 oktober 2009), untuk
menjadi negara yang kuat dalam sisi ekonomi, Indonesia membutuhkan 4,4 juta
pengusaha. Saat ini jumlah wirausahawan di Indonesia hanya mencapai 1,56% dari
total jumlah penduduk di Indonesia, meskipun mengalami peningkatan namun masih
kurang dari 2% jumlah penduduk di Indonesia (Fajri, http://entrepreneur.bisnis.com/,
Minggu, 04/03/2012). Menurut Rusdiana (2014) wirausaha merupakan potensi
pembangunan, baik dalam jumlah maupun dalam mutu wirausaha tersebut. Jumlah
wirausahawan Indonesia masih sedikit dan mutunya belum sepenuhnya baik, sehingga
4
peningkatan jumlah wirausaha di Indonesia merupakan persoalan mendesak bagi
suksesnya pembangunan. Selain itu menurut Astamoen (2008) salah satu penyebab
kurang cepatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah masih sedikitnya jumlah
wirausahawan sebagai pelaku ekonomi.
Surayana (2008) berpendapat perilaku kewirausahaan dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor dari
dalam individu yaitu meliputi kebutuhan berprestasi, internal locus of control,
kebutuhan akan kebebasan, nilai-nilai pribadi, dan pengalaman. Sedangkan faktor
eksternal merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungan hal ini meliputi role
model, dukungan keluarga dan teman, serta pendidikan. Selain dua faktor tersebut latar
belakang seseorang juga berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk
berwirausaha. Alma (2010) menyebutkan ada beberapa latar belakang seseorang yang
juga berpengaruh kepada pengambilan keputusan berwirausaha yaitu lingkungan
keluarga semasa kecil, pendidikan, niai-nilai (values) personal, usia dan riwayat
pekerjaan. Kewirausaahaan sendiri bukan sekedar pengetahuan, tehnik, atau
keterampilan, tetapi lebih kepada sikap mental melalui proses diri dengan praktik dan
pengalaman karena dorongan dari motivasi diri sendiri (Astamoen, 2008).
Perkembangan pelaku ekonomi atau wirausahawan dalam suatu bangsa tidak akan
lepas dari kultur bangsa tersebut yang berupa mental, attitude (sikap), norma, pola
pikir, karakter, tindakan-tindakan, dan sebagainya (Astamoen, 2008).
Sikap sendiri menurut Secord dan Backman (dalam Azwar,2012) adalah
keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi
tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek dilingkungan sekitarnya. Sedangkan
menurut Robinson et al. (dalam Wyk, Boshoff dan Belster, 2003) , sikap adalah
5
kecenderungan yang telah ditentukan untuk merespon dengan cara yang umumnya
positif atau negatif terhadap obyek sikap. Menurut Azwar (2012) pembentukan sikap
sendiri dapat depengaruhi oleh beberapa hal antara lain pengalaman pribadi, pengaruh
orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media masa, lembaga
pendidikan dan lembaga agama, dan pengaruh faktor emosional. Sikap kewirausahaan
sendiri menurut Wyk, Boshof dan Bester (2003, halaman 2) “Entrepreneurial attitudes
can therefore be defined as predetermined but changeable thoughts, feelings and
behavioural intentions covering organisational creation and operation”.
Robbinson. et. al. (dalam Iberkleid, 2010) dalam studinya menggunakan skala
pengukuran EAO (enterprenur attitude orientation) untuk menentukan seberapa besar
kecenderungan sikap seseorang terhadap orientasi kewirausahaan di masa mendatang.
Aspek-aspek yang digunakan meliputi achievement orientation, innovation, self
esteem, dan personal control. Achievement orientation adalah faktor penting yang
mendorong seseorang untuk memiliki sikap positif terhadap kegiatan kewirausahaan,
yaitu apresiasi seseorang yang tinggi terhadap hal-hal yang mampu menumbuhkan
motivasi untuk menjadi wirausahawan yang sukses. Innovation dalam EAO adalah
tendensi dan kemampuan individu dalam memikirkan ide-ide bisnis baru serta
mengembangkan ide tersebut untuk diaplikasikan dalam kegiatan kewirausahaan. Self
esteem merefleksikan self-confidence seseorang akan keahlian dan kompetensi yang
dimilikinya dalam mencapai kesuksesan di masa mendatang. Self esteem terkait
dengan karakteristik kewirausahaan memungkinkan seorang wirausahawan untuk
dapat mengatasi kondisi ketidak pastian dan berbagai tantangan dalam proses
kewirausahaan. Personal control terkait dengan kemampuan seseorang didalam
mengontrol kondisi yang akan dialami.
6
Menurut Astamoen (2008) dalam bidang ekonomi, nilai-nilai budaya yang
masuk dalam aspek mentallah yang akan menuntun seseorang menuju perilaku yang
menguntungkan atau bahkan merugikan bagi roda ekonomi yang telah dijalanjan.
Mental suatu bangsa merupakan bagian dari kultrur (budaya) suatu bangsa sebagai
suatu sistem nilai kultur (cultural value system) yang berhubungan dengan sikap
(attitude). Sistem nilai budaya serta sikap akan dapat berpengaruh baik secara
langsung maupun tidak terhadap pola cara berpikir dan tingkah laku seseorang. Sistem
nilai budaya yang tercermin melalui norma-norma yang ada akan membentuk cara
berpikir masyarakat, yang akan dituangkan dalam bentuk konkret berupa tindakan,
tindakan ini yang kemudian akan membentuk karakter.
Etnis atau suku bangsa menurut Koentjaraningrat (dalam Wijaya, 2007)
merupakan suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identiitas akan
kesatuan budaya. Kesadaran dan identitas tersebut seringkali dikuatkan oleh kesatuan
bahasa. Kesatuan budaya terbentuk karena faktor internal (warga kebudayaan) yang
bersangkutan dan bukan ditentukan oleh orang di luar mereka. Menurut Lindsay
(2015) budaya adalah pemrograman kolektif pikiran yang membedakan anggota satu
kategori orang dari yang lain, budaya sendiri mempengaruhi sikap dan perilaku
bervariasi dalam negara-negara dan etnis dan sangat tertanam pada suatu adat
masyarakat. Sedangkan menurut Valtonen (2007) kebudayaan adalah cara hidup yang
menggabungkan nilai-nilai, sikap, dan konsepsi dunia, sehingga kewirausahaan sendiri
memiliki keterkaitan dengan kebudayaan. Salah satu etnis yang memiliki sikap mental
kewirausahaan di Indonesia adalah etnis Tionghoa.
7
Keberhasilan etnis Tionghoa sendiri didalam wirausaha sudah terlihat sejak
jaman penjajahan Belanda. Sejak jaman penjajahan belanda etnis Tionghoa di percaya
oleh pihak Belanda menjadi penghubung antara pihak Belanda dan masyarakat
pribumi Indonesia dalam perdagangan. Etnis Tionghoa semasa penjajahan Belanda
memegang kontrol dalam distribusi perdagangan dan pasar retail (dalam Tan, 2008).
Keberhasilan etnis Tionghoa sendiri didalam kewirausahaan tidak terlepas dari sikap
mental yang dimilikinya yaitu berani mengambil resiko, pantang menyerah, dan
kecepatan dan fleksibilitas. Selain itu, seperti yang dikemukakan oleh Duyvendak
yang dikutip oleh Djie (Siburian, t.t) bahwa orang-orang Tionghoa sangat gesit dan
rajin serta mereka tidak segan bekerja dan tidak gentar menghadapi kesulitan demi
memperoleh uang. Oleh karena itu, orang Tionghoa dapat unggul di bidang
perdagangan. Selain itu menurut Maharani (2013) keberhasilan etnis Tionghoa dalam
berwirausaha tidak lepas dari etos kerjanya yang tinggi, keberanian mereka dalam
berwirausaha sudah tidak diragukan lagi, etos kerja yang tinggi, kemauan untuk
berspekulasi, dan berinvestasi mendukung kemampuan etnis Tionghoa dalam
berwirausaha.
Sikap kewirausahaan yang ditampilkan itu telah membuat etnis Tionghoa
mampu membangun jaringan yang luas dan potensial untuk mengembangkan bisnis.
Dalam penelitian Ekosiswoyo, Joko, dan Suminar (t.t) keluarga etnis Tionghoa pola
pengasuhan anak berdasarkan pandangan hidup yang bersifat duniawi, terkait dengan
kharakteristik jiwa wiraswastawan. Nilai sikap egostik, ulet, pola hidup elegen atau
mewah dan pelit (kurang dermawan). Hidup di dunia dikatakan harmonis jika memiliki
benda kekayaan. Dorongan kepekaan emosional tentang nilai spiritual, nilai sosial
saling menolong, dermawan, kejujuran, kepemimpinan di bidang politik dan rendah
8
hati kurang menjadi perhatian. Upaya membentuk perilaku mandiri, disiplin, percaya
diri, kreatif dan pantang menyerah (ulet), santun kepada senioritas dan menjalin
komunikasi dengan orang lain sebagai bagian keterampilan berwirausaha menjadi
perhatikan yang sangat diutamakan bagi keluarga etnis Tionghoa. Menurut
Sulistyawati (2011) keberhasilan etnis Tionghoa sendiri didalam berwirausaha tidak
terlepas dari sikap disiplin, bekerja secara total, memanfaatkan potensi diri secara
maksimal, bersemangat tinggi, tidak mudah putus asa, kreatif mencipta, berpendirian
kuat dan bekerja secara efektif dan efisien (hidup hemat).
Kondisi ini berbeda dengan mayoritas masyarakat pribumi dalam hal ini adalah
etnis Jawa. Etnis Jawa lebih menekankan kepada anak-anak mereka untuk menjadi
pegawai negri dari pada menjadi wirausahawan. Selain itu menurut Geertz (dalam
Koentjraningrat, 1984 ) orang tua Jawa tidak berusaha atau berambisi untuk mendidik
anaknya agar menjadi orang yang memiliki inisiatif atau orang yang kelak tidak akan
tergantung kepada orang lain. Pola pendidikan orang tua Jawa kepada anaknya ini
menyebabkan ketika bekerja anak-anak mereka akan lebih memilih untuk bekerja
dengan orang lain dari pada membangun usaha secara mandiri. Selian itu, mereka
cenderung tidak ingin anak-anak mereka untuk menekuni bidang kewirausahaan dan
berusaha mengalihkan perhatian anak-anak mereka untuk menjadi pegawai negeri
(Rusdiana,2014). Koentjaraningrat (1984) melihat bahwa orang Jawa memiliki
keyakinan hidup yang cenderung bersifat pasif. Keyakinan tersebut tergambar dari
konsepsi hidup yang rela, narima, dan sabar. Pandangan hidup dari orang jawa ini tidak
mendukung didalam kewirausahaan.
Setiap akan berperilaku, orang Jawa seakan-akan dituntut untuk berpikir
mengenai sesuatu yang akan dilakukan itu sesuai dengan falsafah hidup etnis Jawa.
9
Falsafah hidup itu diringkas menjadi 3 hal yang saling terkait: rela, nerima, dan sabar
(Fifo dan Sinambela dalam Wijaya, 2007). Penelitian dari Supraktiknya (dalam
Maharani, 2013) bahwa nilai-nilai tradisional Jawa sejalan dengan ciri-ciri utama
kolektivisme, yaitu : (1) menekankan sifat rendah hati, patuh pengendalian diri, tidak
suka menonjolkan diri, serta mengutamakan pandangan, kebutuhan dan tujuan
kelompok, (2) menekankan status, peran, dan hubungan baik, mengutamakan sikap
mendahulukan kepentingan orang lain serta kemampuan menyesuaikan diri dan
menjaga harmoni dengan lingkungan sosial. Dapat diambil kesimpulan dari penelitian
Supraktiknya bahwa budaya Jawa memang tidak mendukung perilaku kewirausahaan.
Budaya Jawa oleh banyak ahli dianggap sebagai sebuah budaya yang tidak
menimbulkan sikap mental bagi tumbuhnya kewirausahaan yaitu sifat mental yang
berorientasi pada karya. Sarsono (dalam Maharani, 2013) berpendapat bahwa tujuan
dan idaman sosial orang Jawa adalah untuk memperoleh kekuasaan dan kehormatan.
Oleh karena itu derajat dan nilai seseorang diukur dari hubungan sosialnya bukan dari
keahlian dan ketrampilannya sehingga hal ini menyababkan kurangnya sikap di dalam
kewirausahaan pada masyarakat etnis Jawa. As’ad (dalam Wijaya, 2007)
mendeskripsikan sikap mental orang jawa yang tidak mendukung dalam
kewirausahaan yaitu mengambil keuntungan jangka pendek, cepat merasa puas, serta
sikap anti resiko. Hal ini menurutnya karena orang jawa lebih meletakkan pentingnya
hubungan dengan orang lain sehingga menumbuhkan sikap mental untuk lebih
tergantung pada koneksi dari pada rasa percaya pada kemampuan diri sendiri.
. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maharani (2013)
menemukan adanya perbedaan sifat pada wirausahawan dari etnis Cina dan Jawa di
pasar Yaik Semarang diperoleh hasil terdapat perbedaan yang signifikan antara
10
Perilaku Kewirausahaan pada Pedagang Etnis Cina dan Pedagang Etnis Jawa (dengan
t-hitung = 3.798 dengan p < 0.05), di mana perilaku kewirausahaan pedagang etnis
cina lebih tinggi dibandingkan dengan perilaku kewirausahaan pedagang etnis Jawa.
Pada penelitian yang dilakukan Raharjo (2008) tentang perbedaan minat
kewirausahaan antara remaja etnis Cina dan etnis Sunda menemukan adanya
perbedaan minat kewirasahaan antara remaja etnis Cina dan remaja etnis Sunda
dengan hasil mean etnis Cina sebesar 152,52 dan remaja etnis Sunda sebesar 146,48
dengan kata lain minat kewirausahaan remaja etnis Cina lebih tinggi dibandingkan
minat wirausaha remaja etnis Sunda. Hasil berbeda ditemukan dalam penelitian Nadaa
(2013) menunjukan adanya perbedaan minat kewirausahaan pada remaja etnis Arab,
Jawa, dan Cina dengan nilai rerata hasil minat kewirausahaan pada remaja etnis Jawa
sebesar 70,03, etnis Cina 69,00 dan etnis Arab 64,43 sehingga terdapat perbedaan yang
signifikan dengan etnis Jawa memiliki minat wirausaha yang paling tinggi. Meskipun
dalam riset-riset sebelumnya hanya meneliti tentang minat, namun dalam theory of
planned behavior menjelaskan bahwa minat sendiri merupakan variable antara yang
menyebabkan terjadinya perilaku dari suatu sikap maupun variable lainnya (dalam
Lestari dan Wijaya, 2012). sehingga dapat disimpulkan anatara minat dengan sikap
merupakan dua variable yang saling berhubungan. Hal ini juga didukung dengan
penelitian yang dilakukan oleh Fitzsimmons dan Douglas (2005) yang menemukan
bahwa sikap kewirausahaan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan minat
seseorang didalam kewirausahaan. Hasil dari penelitian Winarsih (2014) menemukan
bahwa sikap memiliki pengaruh positif terhadap minat kewirausahaan. Semakin baik
sikap kewirausahaan maka akan semakin baik pula minat kewirausahaannya,
sebaliknya semakin rendah sikap kewirausahaannya maka akan semakin buruk minat
11
kewirausahaannya. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Rochayati, Setia, dan Sari
(2013) menemukan tedapat pengaruh positif antara sikap dan minat kewirausahaan
pada siswa SMK di Kabupaten Bantul.
Salah satu usaha pemerintah dalam meningkatkan kewirausahaan adalah
melalui Kementerian Koordinator Perekonomian dengan kebijakan pemberian
bantuan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pemerintah telah memberikan plafon KUR di
tahun 2012 sejumlah Rp. 96.438,2 Milyar, namun KUR yang tersalurkan sebesar
58,2%sejumlah Rp. 40.333,4 Milyar dengan jumlah debitur yang dapat menikmati
KUR sejumlah 7.659.840 orang dengan rata-rata setiap orang menerima sejumlah Rp.
13,2 juta selain itu, Pemerintah berusaha mendorong masyarakat terutama generasi
muda untuk menjadi wirausaha karena peningkatan penyerapan tenaga kerja pada
UMKM berhasil menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.
Pemerintah merancang dan menerapkan pendidikan kewirausahaan di tingkat Sekolah
dan Perguruan Tinggi untuk mendorong generasi muda membuka lapangan pekerjaan
pada UMKM. (dalam Trimurti, t.t). Selain itu, berdasarkan hasil wawancara peneliti
kepada beberapa orang mahasiswa psikologi dari etnis jawa pada 1 July 2015 di
kafetaria kampus Universitas Kristen Satya Wacana yang mengatakan dalam
perencanaan jangka panjang mereka ingin membuat suatu usaha karena tidak ingin
terus menerus bekerja sebagai karyawan. Mahasiswa yang saya wawancarai ada
beberapa yang mengatakan setelah lulus kuliah ingin meneruskan usaha yang sudah di
miliki oleh orang tua mereka dan ada yang mengatakan akan bekerja terlebih dahulu
untuk mengumpulkan modal usaha dan mencari pengalaman didalam bekerja yang
dapat bermanfaat nantinya bagi usaha yang akan didirikan. Hal ini menunjukan adanya
12
perubahan sikap pada etnis Jawa tidak sama seperti dulu yang lebih memilih jenjang
karir sebagai pekerja atau PNS.
Hisrich (dalam Alma, 2010) menyatakan salah satu pengusaha sukses pernah
mengenyam pendidikan sarjana berasal dari jurusan psikologi yang kemudian mereka
melengkapi pengetahuan mereka dalam bidang finansial, perencanaan strategis,
marketing, manajemen, komunikasi, menulis, dan berbicara yang lancar. Berdasarkan
latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk meneliti “Apakah terdapat perbedaan
sikap kewirausahaan antara etnis Tionghoa dan Jawa pada mahasiswa psikologi”.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah “terdapat perbedaan sikap kewirausahaan
antara etnis Tionghoa dan Jawa pada mahasiswa psikologi UKSW ” dengan etnis Cina
memiliki sikap kewirausahaan lebih tinggi dari pada etnis Jawa.
13
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif.
Menurut Azwar (2012), pada pendekatan penelitian kuantitatif, data penelitian hanya
akan dapat diinterpretasikan dengan lebih objektif apabila diperoleh lewat suatu proses
pengukuran di samping valid dan reliabel, juga objektif.
Variabel-variabel yang akan dilibatkan dalam penelitiani adalah:
a. Variabel terikat (Y) : Sikap Kewirausahaan
b. Variabel bebas (X) : Etnis Tionghoa dan Jawa
Populasi dan Sampel
Populasi adalah serumpun atau sekelompok objek yang menjadi sasaran penelitian.
Penentuan populasi harus berpedoman pada tujuan dan permasalahan penelitian
(Bungin, 2006). Purwanto (2008) juga berpendapat populasi adalah keseluruhan objek
yang mempunyai satu karakteristik yang sama.
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa psikologi UKSW angkatan 2011-
2013. Pemilihan subjek ini didsarkan karena mahasiswa pada angkatan tersebut sudah
tergolong kedalam masa dewasa awal. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 297
orang dengan sampel penelitian sebannyak 50 mahasiswa etnis Jawa dan 50
mahasiswa etnis Tionghoa.
Tehnik Pengambilan Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang ditentukan dengan teknik tertentu
sehingga mempunyai sifat yang sama dengan populasi (Purwanto 2008). Tehnik
14
Sampling adalah merupakan tehnik pengambilan sampel. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah insidental sample yaitu teknik penentuan
sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/insidental
bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang
kebetulan ditemui itu cocok dengan sumber data (Purwanto 2008).
Alat Ukur Penelitian
Pengukuran sikap kewirausahaan yang dilakukan menggunakan Instument
EAO (enterprenur attitude orientation) yang dikembangkan oleh Robbinson. Et. Al.
(dalam Iberkleid, 2010) untuk menentukan seberapa besar sikap seseorang terhadap
orientasi entrepreneurial di masa mendatang. Instrument ini mengukur sikap
kewirausahaan melalui empat dimensi yaitu achievement orientation, innovation, self
esteem, dan internal locus of control dan didasarkan pada tiga komponen sikap yaitu
kognisi, afeksi, dan konasi. Dimensi-dimensi ini terbukti dapat membedakan sikap
Wirausahawan dan yang non-wirausahawan.
Model EAO menggunakan sepuluh point skala likert, dimana 1 menunjukkan
sangat tidak setuju dan 10 menunjukkan sangat setuju 5 menunjukan agak tidak setuju
dan 6 menunjukkan agak setuju. Namun didalam penelitian ini menggunakan tujuh
point sekala likert karena dianggap oleh peneliti merupakan skala likert yang umum
digunakan dengan pilihan jawaban SS menunjukan sangat setuju, S menunjukan
setuju, AS menunjukan agak setuju, R menunjukan ragu-ragu, ATS menunjukan agak
tidak setuju, dan STS menunjukan sangat tidak setuju. Robinson et al (dalam Gibson,
Haris, Mick, dan Burkhalter, 2011) menjelaskan keempat aspek tersebut memiliki uji
reliabilitas Achievement α = 0,84, Internal locus of control α = 0,70, Self esteem α = 0,73, dan
Innovation α = 0,90. keempat subskala dapat secara akurat memprediksi klasifikasi
15
kewirausahaan sebesar 77 persen. Jumlah keseluruhan item dalam skala ini berjumlah
75 item.
Selanjutnya alat ukur yang digunakan telah diuji lagi dengan uji daya
diskriminasi item dan reliabilitasnya menggunakan bantuan SPSS.17 for Windows
dengan standar validitas.
Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas Skala EAO yang
terdiri dari 75 item, pada pengujian pertama terdapat 29 item yang gugur dan setelah
melakukan pengujian ulang dengan mengeluarkan item yang gugur didapatkan 46 item
yang valid. Daya diskriminasi item dengan koefisien korelasi item totalnya bergerak
antara (0,261-0,626). Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah
menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha
pada Skala EAO sebesar 0,822 pada pengujian yang pertama dan 0,914 pada pengujian
yang kedua. Hal ini berarti skala EAO tergolong reliable. Berdasarkan uji reliabilitas
per aspek diperoleh hasil Achievement α = 0,811, Internal locus of control α = 0,687,
Self esteem α = 0,710 , dan Innovation α = 0,753.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji t (Independent
Sample t test) dengan bantuan SPSS. 17 for Windows. Beberapa pengujian sebelum
dilakukan uji perbedaan atau uji t adalah pengujian terhadap normalitas data dan
homogenitas varian
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisis Deskriptif
Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan standar
deviasi sebagai hasil pengukuran skala sikap kewirausahaan pada mahasiswa Psikologi
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1
Tabel Statistik Deskriptif
Kategori Skor Sikap Kewirausahaan etnis Cina dan etnis Jawa
Interval Kategori Tionghoa % Jawa %
267≤x<322 Sangat
Tinggi 25 50% 18 36%
212≤x<267 Tinggi 21 42% 32 64%
157≤x<212 Sedang 4 8% 0 0%
102≤x<157 Rendah 0 0% 0 0%
47≤x<102 Sangat
Rendah 0 0% 0 0%
Jumlah 50 100% 50 100%
Mean 261.04 261.56
StDev 27.186 17.445
Data tersebut menunjukan bahwa sebanyak 25 (50%) mahasiswa fakultas
psikologi UKSW etnis Tionghoa tergolong dalam sikap kewirausahaan yang sangat
tinggi, sebanyak 21 (42%) mahasiswa etnis Tionghoa berada pada kategori tinggi dan
sebanyak 4 (8%) mahasiswa etnis Tionghoa pada kategori sedang. Dalam hal ini sikap
kewirausahaan mahasiswa psikologi UKSW etnis Tionghoa tergolong kategori tinggi.
17
Sedangkan 18 (36%) mahasiswa fakultas psikologi UKSW etnis Jawa pada
kategori sangat tinggi dan 32 (64%) mahasiswa etnis Jawa pada ketegori tiggi. Dalam
hal ini sikap kewirausahaan mahasiswa psikologi UKSW etnis Jawa tergolong
kategori tinggi.
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Uji
normalitas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2
Tabel Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Cina Jawa
N 50 50
Normal Parametersa,,b Mean 261.04 261.56
Std. Deviation 27.186 17.445
Most Extreme Differences Absolute .103 .115
Positive .071 .058
Negative -.103 -.115
Kolmogorov-Smirnov Z .731 .813
Asymp. Sig. (2-tailed) .660 .523
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Pada Skala sikap kewirausahaan pada kelompok etnis Tionghoa diperoleh nilai
K-S-Z sebesar 0,731 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,660 (p>0,05).
Sedangkan pada skor sikap kewirausahaan pada kelompok etnis Jawa memiliki nilai
K-S-Z sebesar 0,813 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,523. Dengan
demikian kedua jenis kelompok berdistribusi normal.
18
Sementara dari hasil uji homogenitas dapat dilihat pada tabel berikut:
Test of Homogeneity of Variances
Sikap
Levene Statistic df1 df2 Sig.
9.441 1 98 .003
Dari tabel di atas dapat dilihat nilai signifikansi dari uji homogenitas dari
sampel sikap kewirausahaan dari etnis Tionghoa dan etnis Jawa menunjukan bahwa
nilai koefisien Levene Statistic sebesar 9,441. Dengan signifikansi sebesar 0,003.
Karena signifikansi 0,003 < 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini
bersifat tidak homogen atau tidak memiliki varians yang sama.
Dari perhitungan uji-t, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4
Tabel Hasil Uji-t sikap kewirausahaan pada etnis Tionghoa dan etnis Jawa
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Difference
F Sig. t Df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference Lower Upper
sikap Equal
variances
assumed
9.441 .003 -.114 98 .910 -.520 4.568 -9.585 8.545
Equal
variances not
assumed
-.114 83.504 .910 -.520 4.568 -9.605 8.565
19
Hasil perhitungan uji beda (uji-t), diperoleh nilai t-hitung adalah sebesar -0,114
dengan signifikansi = 0,910 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan antara sikap kewirausahaan antara etnis Tionghoa dan Jawa.
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisa data penelitian mengenai perbedaan sikap
kewirausahaan etnis Tionghoa dan etnis Jawa mahasiswa Psikologi menggunakan
program SPSS versi 17.0, diperoleh t hitung -0,114 dengan signifikasi 0,910 > 0,05.
Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan sikap kewirausahaan antara etnis
Tionghoa dan etnis Jawa pada mahasiswa Psikologi UKSW. Hasil ini bertolak
belakang dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Maharani (2013) menemukan
adanya perbedaan sifat pada wirausahawan dari etnis Cina dan Jawa di pasar Yaik
Semarang diperoleh hasil terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku
kewirausahaan pada pedagang etnis Cina dan pedagang etnis Jawa (dengan t-hitung =
3.798 dengan p < 0.05), di mana perilaku kewirausahaan pedagang etnis Cina lebih
tinggi dibandingkan dengan perilaku kewirausahaan pedagang etnis Jawa. Pada
penelitian yang dilakukan Raharjo (2008), tentang perbedaan minat kewirausahaan
antara remaja etnis Cina dan etnis Sunda menemukan adanya perbedaan minat
kewirasahaan antara remaja etnis Cina dan remaja etnis Sunda dengan hasil mean etnis
Cina sebesar 152,52 dan remaja etnis Sunda sebesar 146,48 dengan kata lain minat
kewirausahaan remaja etnis Cina lebih tinggi dibandingkan minat wirausaha remaja
etnis Sunda. Hasil berbeda ditemukan dalam penelitian Nadaa (2013) menunjukan
adanya perbedaan minat kewirausahaan pada remaja etnis Arab, Jawa, dan Cina
dengan nilai rerata hasil minat kewirausahaan pada remaja etnis Jawa sebesar 70,03,
etnis Cina 69,00 dan etnis Arab 64,43 sehingga terdapat perbedaan yang signifikan
20
dengan etnis Jawa memiliki minat wirausaha yang paling tinggi. Sedangkan didalam
penelitian ini tidak ditemukannya perbedaan sikap kewirausahaan pada etnis Tionghoa
dan etnis Jawa. Kedua etnis baik etnis Tionghoa dan etnis Jawa memiliki sikap
kewirausahaan pada tingkat tinggi.
Menurut Koentjaraningrat (dalam Nasution, 2008) keluarga Jawa telah banyak
berubah. Sebagai contoh bahwa orang Jawa sekarang sudah lebih banyak berorientasi
kepada keberhasilan karya mereka dan merasakan kepuasan dan kebahagiaan atas
usaha mereka untuk mencapai keberhasilan. Menurutnya banyak orang Jawa telah
berhasil menganalisa rahasia-rahasia serta kekuatan-kekuatan alam berkat pendidikan.
Perubahan nilai-nilai Jawa juga terjadi dalam proses sosialisasi dan enkulturasi pada
banyak keluarga Jawa. Anak anak Jawa pada saat ini lebih banyak diajarkan untuk
berdiri sendiri (mandiri) dan memiliki tanggung jawab pribadi.
Koentjaraningrat (1984) mengungkapkan bahwa anak Jawa sekarang lebih
banyak diajarkan untuk berdiri sendiri dan memiliki tanggung jawab pribadi, karena
gotong-royong memudar. Secara teoritik budaya Jawa sebagaimana Koentjaraningrat
(1984) paparkan, cenderung mengarah kepada pola hidup yang pasif. Hanya saja,
sebagaimana juga diakui oleh Koentjaraningrat (1984), budaya Jawa yang berorientasi
tradisional itu telah mengalami berbagai perubahan seiring dengan industrialisasi yang
terjadi. Masyarakat Jawa yang benar-benar tradisional atau yang terisolasi dari dunia
luar hampir tidak ditemukan lagi pada saat ini. Hal itu terjadi pada era tahun 80-an.
Apalagi jika dibandingkan dengan konteks hidup saat ini, dimana arus informasi telah
mengglobal. Perubahan orientasi budaya menjadi semakin mungkin untuk terjadi.
Selain itu menurut Carlson (dalam Tanjungsari, 2011) sikap sendiri dapat mengalami
perubahan seiring dengan perjalanan waktu dan melalui berbagai situasi yang dialami
21
dari proses interaksi seseorang dengan lingkungannya, tetapi saat sikap seseorang telah
terukur maka dapat disusun suatu prediksi mengenai tindakan yang akan dilakukan di
masa mendatang. Menurut Wijaya (2007) Pengalaman selama mengalami kontak
budaya dengan luar, juga proses industrialisasi yang sekarang telah mengarah pada
globalisasi, mampu memberi pengaruh terhadap nilai-nilai atau keyakinan hidup
tradisional Jawa sehingga dapat merubah sikap kebudayaan Jawa yang memandang
negatif kewiraushaan menjadi lebih positif.
Khairuddin (dalam Nasution, 2008) menyebutkan ada 2 implikasi yang
mungkin terkait dengan itu. Pertama, manusia menemukan sistem penilaian dan
filsafat hidup yang baru. Kedua, manusia tenggelam dalam persoalan-persoalan yang
dihadapinya dan tidak dapat mengambil sikap terhadap keadaan baru. Pengalaman
selama mengalami kontak budaya dengan luar, juga proses industrialisasi yang
sekarang telah mengarah pada globalisasi, mampu memberi pengaruh terhadap nilai-
nilai atau keyakinan hidup tradisional Jawa dan Tionghoa. Begitu pula tekanan sosial
berupa ketatnya persaingan mencari kerja, turut mendorong seseorang untuk mencoba
berwirausaha, baik dari etnis Tionghoa ataupun etnis Jawa..
Pembauran yang terjadi selama di Indonesia telah menjadi alasan bagi Skinner
(Coppel, 1994) untuk menolak mengidentifikasi etnis Tionghoa berdasarkan
kebudayaannya. menurutnya, semakin banyak etnis Tionghoa di Indonesia yang
meninggalkan pola kebudayaan tradisionalnya. Ia menggaris bawahi dua faktor yang
paling menonjol yang mempengaruhi perubahan budaya etnis Tionghoa di Indonesia.
Pertama, faktor lamanya bermukim. Kedua, tingkat budaya perbandingan dari
penduduk pribumi setempat. Perubahan sosial yang berlangsung selama ini telah
22
memungkinkan manusia menemukan sistem nilai dan filsafat hidup yang baru, yang
setidaknya bisa melunturkan nilai-nilai yang lama (Hariyono dalam Wijaya, 2007).
Selain itu perubahan sikap yang ada tidak terlepas dari faktor pendidikan yang
ada. Seperti yang di kemukakan oleh Azwar (2012) bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi pembentukan sikap sendiri adalah lembaga pendidikan. Pada fakultas
Psikologi UKSW sendiri memiliki beberapa matakuliah yang mendukung dalam
kewirausahaan antara lain psikologi konsumen, psikologi industri dan organisasi,
psikologi manajemen, manajemen sumber daya manusia, dan psikologi kewirausahan.
Dengan adanya mata kuliah tersebut mungkin dapat mempengaruhi perubahan sikap
mahasiswa fakultas Psikologi UKSW baik dari etnis Tionghoa dan etis Jawa dalam
berwirausaha.
Meskipun dalam penelitian tidak ada perbedaan sikap kewirausahaan antara etnis
Tionghoa dan etnis Jawa, untuk mempertajam pembahasan penulis melakukan
pengujian pada masing-masing dimensi sikap kewirausahaan. Berdasarkan hasil
pengujian pada masing-masing dimensi sikap kewirausahaan ditemukan adanya
perbedaan sikap kewirausahaan antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa pada aspek
innovation dan personal control. Sedangkan pada aspek achievement dan self esteem
tidak ditemukan adanya perbedaan.
23
Tabel 5
Perbedaan sikap kewirausahaan etnis Tionghoa dan Jawa ditinjau dari
Aspek
Berdasarkan tabel di atas, diperoleh hasil rata-rata setiap aspek sikap
kewirausahaan sebagai berikut. Pada aspek achievement etnis Tionghoa memperoleh
hasil rata-rata 104,20 sedangkan etnis Jawa memperoleh hasil rata-rata 104,26 dengan
signifikasi 0,888, sedangkan pada aspek innovation etnis Tionghoa memperoleh hasil
rata-rata 88,74 sedangkan etnis Jawa memperoleh hasil rata-rata 74,60 dengan
signifikasi 0,000, pada aspek personal control etnis Tionghoa memperoleh hasil rata-
rata 77,42 dan etnis Jawa memperoleh rata-rata 45,90 dengan signifikasi 0,000, dan
pada aspek self esteem etnis Tionghoa memperoleh hasil rata-rata 33,94 dan etnis Jawa
memperoleh rata-rata 34,04 dengan signifikasi 0,908. Berdasarkan hasil pembahasan
diatas menunjukan bahwa ada perbedaan sikap kewirausahaan antara etnis Tionghoa
dan etnis Jawa pada aspek innovation dan personal control dengan etnis Tionghoa
memiliki sikap innovation dan personal control lebih tinggi dari etnis Jawa.
Aspek T
Sig. (2-
tailed)
N
Tionghoa Jawa
Std.
Deviation
Mean
Std.
Deviation
Mean
Achievement -0,141 0,888 50 10,960 104,20 7,005 104,26
Innovation 5,079 0,000 50 18,528 88,74 6,646 74,60
Personal Control 7,186 0,000 50 30,748 77,42 4,062 45,90
Self Esteem -0,115 0,908 50 4,959 33,94 3,597 34,04
24
Pada aspek achievement tidak ditemukan tidak adanya perbedaan antara etnis
Tionghoa dan etnis Jawa dengan nilai t = 0,888 (0,888>0,5) senhingga diperoleh
kesimpulan tidak ada perbedaan sikap kewirausahaan dalam aspek achievement
dengan nilai mean etnis Tionghoa 104,20 dan etnis Jawa 104,26. Handaru, Pagita, dan
Paramita (2015) dalam penelitiannya menemukan salah satu prinsip dagang yang
dimiliki orang jawa adalah “Panggautan Gelaring Pambudi” yaitu setiap usaha yang
dijalankan harus digeluti secara maksimal. Maknanya menyiratkan pesan totalitas,
konsistensi, visi dan kerja keras dalam karya dan usaha. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Susminingsih (2012) pedagang etnis jawa memiliki pandangan dagang
sregep (rajin), bersungguh-sungguh (pethel), tabah (tegen), tekun (wekel) dan berhati-
hati (ngati-ati). Ojo leren lamun durung wayah, ojo mangan lamun durung luwe
artinya jangan berhenti bekerja sebelum capai, jangan makan sebelum lapar, selalu
berusaha secara maksimal sesuai dengan kemampuan (panggautan gelaring pambudi).
Sedangkan pada etnis Tionghoa, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Noviantri, Suharso, dan Ani (2015) menemukan bahwa etnis Tionghoa memiliki
perilaku dalam berwirausaha yaitu mau dan suka bekerja keras, berani mengambil
resiko, percaya terhadap diri sendiri dan mandiri, bertanggung jawab, berorientasi
pada masa depan, dan menilai prestasi lebih penting dari pada uang. Selain itu
Sulistyawati (2011) berpendapat etnis Tionghoa memiliki sifat disiplin, efisien,
energik, fokus, gesit, jeli, kerja keras, kreatif, rajin, ramah, sabar, semangat, tanggung
jawab, tekun, teliti, tepat waktu, teratur, terkendali, dan ulet. Selain itu etnis Tionghoa
memiliki pandangan sebagai kaum pendatang mereka ditantang untuk berusaha agar
mendapatkan yang lebih baik dari pada apa yang mereka miliki sebelumnya hal ini
yang membuat mereka berusaha untuk mencapai apa yang menjadi keinginan mereka.
25
Sehingga baik etnis Tionghoa maupun etnis Jawa memiliki sikap yang positif didalam
achievement.
Kemudian dalam aspek innovation ditemukan adanya perbedaan sikap antara
etnis Tionghoa dan etnis Jawa dengan etnis Tionghoa lebih tinggi hal ini dapat terlihat
dari hasil perhitungan dengan nilai t = 5,079 (0,000 < 0,05) sehingga dapat diambil
kesimpulan adanya perbedaan sikap kewirausahaan antara etnis Tionghoa dan etnis
Jawa pada aspek innovation dengan nilai mean etnis Tionghoa 88,74 dan etnis Jawa
74,60. Tingginya sikap inovasi pada etnis Tionghoa sendiri tidak terlepas dari ajaran
konfusius yang mengajarkan tidak takut gagal, berjuang tanpa henti akan ide kreatif
dan inovatif (Mariza dalam Yulianti, 2010). Selain itu inovasi yang dimiliki etnis
Tionghoa sendiri dapat terlihat dari sejak awal masuk ke Indonesia. Tampilnya
dominasi etnis Tionghoa di sektor perdagangan khususnya di Indonesia dimaksudkan
sebagai strategi untuk bertahan hidup sebagai etnis Minoritas dan warga perantau.
Sebab, etnis Tionghoa tidak mempunyai lahan pertanian yang dapat memberi mereka
jaminan hidup. Untuk hidup dari sektor pertanian dibutuhkan lahan yang tidak sedikit.
Berbeda dengan sektor perdagangan, lahan yang luas tidak begitu penting, tetapi yang
terutama adalah lokasi yang strategis agar pembeli dapat dengan mudah
menjangkaunya (dalam Siburian, t.t). Selain itu etnis Tionghoa sendiri menggunakan
waktu luang yang dimiliki tidak untuk bermalas-malasan namun berusaha untuk
menciptakan peluang lagi demi kemajuan usahanya ( dalam kompasiana.com, 22 Januari
2012).
Kondisi ini berbeda dengan etnis Jawa, Koentjaraningrat (1984) melihat bahwa
orang Jawa memiliki keyakinan hidup yang cenderung bersifat pasif. Keyakinan
tersebut tergambar dari konsepsi hidup yang rela, narima, dan sabar. Konsepsi ini
26
menyebabkan kurangnya kemauan etnis Jawa didalam mengeksplorasi suatu hal-hal
yang baru yang ada. Selain itu menurut Geertz (dalam Koentjraningrat, 1984 ) orang
tua Jawa tidak berusaha atau berambisi untuk mendidik anaknya agar menjadi orang
yang memiliki inisiatif atau orang yang kelak tidak akan tergantung kepada orang lain.
Menurut As’ad (dalam Wijaya, 2007) salah satu sikap yang dimiliki oleh orang jawa
adalah sikap anti resiko. Pendapat yang dikemukakan oleh As’ad ini di dukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Noviantri, Suharso, dan Ani (2015) yang menemukan
bahwa etnis Tionghoa lebih berani mengambil resiko didalam kemajuan usahanya.
Kebranian etnis Tionghoa didalam mengambil resiko sendiri ditunjukan dengan cara
berani meminjam modal yang besar demi kemajuan usahanya.
Dalam aspek personal control ditemukan adanya perbedaan sikap antara etnis
Tionghoa dan etnis Jawa dengan etnis Tionghoa lebih tinggi dengan nilai nilai t =
7,186 (0,000 < 0,5) senhingga diperoleh kesimpulan adanya perbedaan sikap
kewirausahaan antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa pada aspek personal control
dengan nilai mean Etnis Tionghoa 77,42 dan etnis Jawa 45,90. Tingginya personal
control etnis Tionghoa sendiri tidak terlepas dari falsafah taoisme dan konfusius yang
dimilikinya. Menurut Ahh Wan Seng (dalam Noviantri, Suharso, dan Ani, 2015)
falsafah hidup etnis Tionghoa menyiratkan bahwa nasib bisa dirubah oleh orang itu
sendiri, melalui jerih payah tanpa putus asa orang akan mampu mencapai kesuksesan.
Dengan nilai itu mereka bekerja keras untuk merubah nasib menjadi lebih baik.
Hal berbeda ditunjukan pada etnis Jawa, dalam etnis Jawa sendiri konsepsi
didalam kehidupan jawa mengenal konsepsi hidup aji mumpung atau yang sering
disebut mumpungisme yang percaya bahwa hidup manusia didunia ini telah diatur oleh
tuhan sedemikian rupa sehingga putaran hidup manusia itu seperti halnya roda yang
27
berputar yang terkadang dibawah dan terkadang diatas. Herusatoto (1984) berpendapat
konsepsi hidup yang dimiliki masyarakat jawa ini cenderung menyebabkan mereka
pasrah atau pasif didalam kehidupan sehingga menyebabkan kurangnya kontrol diri
didalam mengontrol kondisi-kondisi yang akan dialami.
Sedangkan dalam aspek Self Esteem tidak ditemukan adanya perbedaan sikap
antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa. Hal ini dapat terlihat dalam hasil penghitungan
t = -0,115 (0,908 > 0,05) sehingga diperoleh kesimpulan tidak ada perbedaan sikap
kewirausahaan pada etnis Tionghoa dan Jawa pada aspek self esteem dengan nilai
mean Etnis Tionghoa 33,94 dan etnis Jawa 34,04. Dalam etnis Tionghoa sendri dalam
pendidikan orang tua upaya membentuk perilaku mandiri, disiplin, percaya diri, kreatif
dan pantang menyerah (ulet), santun kepada senioritas dan menjalin komunikasi
dengan orang lain sebagai bagian keterampilan berwirausaha menjadi perhatikan yang
sangat diutamakan bagi keluarga etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa memiliki sikap
mental kehidupan yang tertutup atau eksklusif, mereka merasa dirinya lebih penting,
lebih tinggi derajatnya dan lebih merasa senior dibandingkan dengan penduduk
pribumi selain itu, etnis Tionghoa sendiri memiliki keyakinan bahwa mereka adalah
pusat pemerintahan dunia (dalam Hidajat, 1984). Sejak Indonesia dalam penjajahan
Belanda, orang-orang Tionghoa di Indoensia telah hidup dalam stratifikasi sosial
khusus (dalam jong, 1997). Berdasarkan hal-hal tersebut memungkinkan
membentuknya harga diri yang tinggi pada etnis Tionghoa.
Sedangkan pada etnis Jawa sendiri, pengasuhan keluarga Jawa cenderung
menerapkan pola asuh mendorong, Idrus (dalam Rohmiati, 2008) membaginya
menjadi enam ciri-ciri, antara lain adalah membelokkan dari tujuan yang tidak
diinginkan, menunda kebutuhan sesaat, mengajarkan kepatuhan, mengajarkan
28
kesopanan, memberi perintah terperinci tanpa emosional dan memberi hadiah. Salah
satu ciri khas tersebut terlihat dari sikap orang tua yang diterapkannya dalam pola
pengasuhan mendorong, khususnya dalam hal mengajarkan kesopanan pada anak.
Dalam pengasuhan keluarga Jawa, orang tua Jawa selalu menginginkan anak-anak
mereka untuk menjadi orang yang njawani. Dalam Istilah bahasa Jawa orang njawani
adalah orang yang matang secara pribadi, tahu bagaimana bersikap dan berperilaku
terhadap orang lain. Dengan begitu bahwa remaja yang njawani adalah sosok remaja
yang penuh tanggung jawab, mampu membawa diri di depan orang lain, dan tentunya
percaya diri. Berdasarakna Hasil penelitian yang dilakukan Rohmiati (2008)
menemukan bahwa pola asuh mendorong orang tua Jawa berpengaruh terhadap
kepercayaan diri, sehingga dapat dikatakan bahwa pola asuh mendorong orang tua
Jawa merupakan pola asuh yang tepat dan mampu mendorong anak untuk menjadi
pribadi yang njawani seperti yang diharapkan oleh para orang tua Jawa. harga diri
(self esteem) pada kebudayaan jawa berkaitan dengan nilai sosial kemasyarakatan agar
selalu tercipta kondisi harmoni, maka orang jawa berusaha untuk dipandang baik di
mata orang lain (dalam Soehada, 2014). Oleh karena itu sikap njawani sendiri
berpengaruh terhdapat harga diri etnis Jawa karena sikap njawani sendiri tahu
bagaimana bersikap dan berperilaku terhadap orang lain yang dengan demikian
berpengaruh terhadap harga diri seseorang. Oleh karena itu baik etnis Cina maupun
etnis Jawa akan memiliki tingkat self esteem yang tinggi.
29
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas tentang perbedaan sikap
kewirausahaan antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa pada mahasiswa psikologi
UKSW, maka dapat disimpulkan :
1. Bahwa tidak ada perbedaan sikap kewirausahaan antara etnis Tionghoa dan
etnis Jawa pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga.
2. Mahasiswa etnis Tionghoa dan etnis Jawa berada pada kategori tinggi.
3. Meskipun secara umum tidak ada perbedaan, setelah pengukuran yang
didasarkan setiap aspek ditemukan perbedaan dengan etnis Tionghoa lebih
tinggi pada aspek innovasi dan personal control.
Saran
Setelah penulis melakukan penelitian dan pengamatan langsung dilapangan
serta melihat hasil penelitian yang ada, maka berikut ini beberapa saran yang penulis
ajukan:
1. Bagi Subjek Penelitian
Berdasarkan penelitian ini terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan sikap antara
mahasiswa etnis Tionghoa dan etnis Jawa dalam kewirausahaan. Sehingga
diharapkan mahasiswa kedepan dapat menjadi wirausahawan sehingga dapat
membantu kemajuan perekonomian di Indonesia serta dapat membantu
didalam penciptaan lapangan kerja yang baru. Selain itu bagi subjek penelitian
etnis Tionghoa diharapkan dapat mempertahankan sikap mereka dalam
kewirausahaan dan dapat lebih meningkatkan sikap mereka didalam
kewirausahaan, sedangkan untuk subjek yang berasal dari etnis Jawa
30
diharapkan dapat lebih meningkatkan sikap mereka didalam kewirausahan
terutama didalam berinovasi dan kontrol diri.
2. Bagi orang tua
Bagi orang tua diharapkan dapat mendidik anak-anaknya didalam
menumbuhkan sikap-sikap yang mendukung didalam kewirausahaan. Serta
diharapkan bagi orangtua-orangtua memiliki pendangan positif terkait
kewirausahaan. Selain itu bagi orang tua dari etnis Jawa, diharapkan dapat
lebih mendorong anak-anak mereka agar dapat lebih berinovasi dan dapat
memiliki kontrol diri yang lebih baik sehingga dapat memunculkan sikap
didalam kewirausahaan.
3. Bagi penelitian selanjutanya
Bagi penelitian selanjutanya diharapkan dapat melakukan penelitian serupa
dengan menambahkan variable-variable yang bekaitan dengan topik penelitian
seperti pola asuh orang tua pada masing-masing etnis serta menambahkan
etnis-etnis lain didalam penelitian yang dilakukan.
Mengingat jumlah pernyataan dalam kuisioner terlalu banyak, sebaiknya
peneliti selanjutnya dapat lebih mempertimbangkan waktu penelitian pada saat
pelaksanaan untuk menghindari atau memperkecil kemungkinan peneliti
mendapatkan unrepresentative dalam menggambarkan diri responden.
Penelitian selanjutnya juga diharapkan dapat meneliti sikap kewirausahaan
antar etnis dengan melakukan penelitian mendalam pada masing-masing
aspek.
31
DAFTAR PUSTAKA
Adhitama, Paulus Patria. (2014). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat
Berwirausaha (Studi Kasus Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis UNDIP,
Semarang). Skripsi. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Alcade, F.L., Cohard, J.C.R. (n.a). Entrepreneurial Attitudes Of Andalusian Students.
Jurnal Dept.Economia Aplicada.
Alma, H. Buchari. (2010). Kewirausahaan Untuk Mahasiswa dan Umum. Bandung:
Alfabeta
Astamoen, Moko.P. (2005). Entrepreneurship Dalam Perspektif Kondisi Bangsa
Indonesia. Bandung : Alfabeta.
Azwar, Saifudin. (2012). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Bisniskeuangan.kompas.com. (2009). Ciputra Saatnya Pemuda Indonesia Jadi
Usahawan.
bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/10/28/16000059/Ciputra.Saatnya.Pemu
da.Indonesia.jadi Usahawan.
Budiarti, Y., Yani, T.E., Universari, N. (2012). Minat Mahasiswa Menjadi Wirausaha
(Studi Pada Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Semarang). J Dinamika
Sosbud. Vol.14, No,1. 89-101.
Bungin, B. (2010). Metodologi penelitian kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Copel, Charle. A,. (1994). Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan.
Ekosiswoyo, Rasdi., Joko, Tri., & Suminar, Tri. (t.t). Potensi Keluarga Dalam
Pendidikan Holistik Berbasis Karakter Pada Anak Usia Dini. Jurnal Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negri Semarang. 1-19.
Entrepreneur.bisnis.com. (2012). Jumlah Wirausahawan RI meningkat 1,56%. Fajri,
A Nurul. 2012. Jumlah wirausahawan RI meningkat 1,56%. Artikel.
http://entrepreneur.bisnis.com/read/20120304/88/67018/jumlah-wirausaha-ri-
naik-jadi-1- 56-percent (diakses jumat 26 juni 2015)
32
Fitzsimmons, J.R., Douglas, E.J. (2005), “Entrepreneurial Attitudes and
Entrepreneurial Intentions: A Cross-Cultural Study of Potential Entrepreneurs In
India, China, Thailand And Australia”, Babson-auffman Entrepreneurial
Research Conference, Wellesley, MA. June 2005
Gibson, Shanan G., Michael L. Harris, Todd D. Mick, Toni M. Burkhalter, (2011)
."Comparing the Entrepreneurial Attitudes of University and Community
College Students," Journal of Higher Education Theory and Practice, Vol.11,
Iss. 2, pp. 11 – 19.
Handaru, A.W., Pagita, M.P., Paramita, W. (2015). Karakteristik Entrepreneur melalui
Multiple Diskriminan Analisis ( Studi Pada Etnis Tionghoa, Jawa dan Minang
di Bekasi Utara). Jurnal Riset Manajemen Sains Indonesia (JRMSI). Vol 6. No
1. 351-375.
Herusatoto, Budiono. (1984). Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT.
Hanindita.
Hidajat, Z.M., (1977). Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung: Tarsito.
Iberkleid. David.A. (2010). Entrepreuneurial Attitude Towards Social Design Patterns.
University Of North Carolina. 1-74
Indopos.co.id. (2015). Tingkat Pengangguran Sarjana di Indonesia Terus Naik.
http://www.indopos.co.id/2015/06/tingkat-pengangguran-sarjana-di-indonesia-
terus-naik.html#sthash.o7ajucKj.dpuf
Jong, S.de. (1976). Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta : Yayasan
Kanisius.
Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Kompasiana.com. (2012). Belajar Berdagang dari Etnis
Tionghoa.http://www.kompasiana.com/hagemaru_j/belajar-berdagang-dari-
etnis-tionghoa_550d7a92a33311cd1c2e3c84
Lestari, Retno Budi & Wijaya, Trisnadi (2012). Pengaruh Pendidikan Kewirausahaan
Terhadap Minat Berwirausaha Mahasiswa di STIE MDP, STMIK MDP, dan
STIE MUSI. Forum Bisnis dan Kewirausahaan Jurnal Ilmiah STIE MDP. Vol 1.
112-119.
33
Lindsay, Noel.J. (2015). Toward a Cultural Model of Indigenous Entrepreneurial
Attitude. Academy of Marketing Science Review. No. 05. 1-15.
Maharani, Dian Mega. (2013). Perilaku Kewirausahaan Pedagang Etnis Cina dan
Pedagang Etnis Jawa Di Pasar Yaik Permai Semarang.Skripsi. Semarang:
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negri Semarang.
Nadaa. (2013). Perbedaan Minat Kewirausahaan Pada Etnis Arab, Jawa dan Cina.
Skripsi. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhamadiyah
Surakarta.
Nasution, Anggita. (2008). Perbedaan Perilaku Pengambilan Resiko Antara Wirausaha
Etnis Tionghoa, Etnis Jawa, dan Etnis Minang Di Yogyakarta. Skripsi.
Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam
Indonesia.
Noviantri, T.D., Suharso, P., Ani, H.M. (2015). Perbedaan Perilaku Wirausaha
Saudagar Etnis Cina dan Etnis Pribumi di Rambipuji Kabupaten Jember. Artikel
Ilmiah Mahasiswa. Vol 1. No 1. 1-11.
Pratiwi, Wahyuni Eka. (2015). Pengaruh Budaya Jawa dan Harga Diri Terhadap
Asertivitas Pada Remaja Siswa Kelas X di SMA Negri 3 Ponorogo. eJournal
Psikologi. Vol 3, No 1. 348-357.
Purwanto. (2008). Metodologi peneltian kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Putra, Rano Aditia. (2012). Faktor-Faktor Penentu Minat Mahasiswa Berwirausaha
(Studi Mahasiswa Manajemen FE Universitas Negeri Padang). Jurnal
Manajemen. Vol 01, Nomor 01. 1-15
Raharjo, Adi Warih. (2008). Perbedaan minat entrepreneurship antara remaja Etnis
Cina dengan remaja Etnis Sunda. Abstrak.
Rochayati, Umi., Setia, Mahardika., Sari, Arum Kartika. (2013). Pengaruh Faktor
Sosiodemografi, Sikap, dan Konstektual terhadap Niat Berwirausaha Siswa.
Jurnal Kependidikan. Vol. 43. No.2. 154-163.
Rohmiati, Anas (2008). Tingkat Kepercayaan Diri Remaja di Tinjau dari Pola Asuh
Orang Tua Etnis Jawa. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial
Budaya Universitas Islam Indonesia.
Rosmiati. Junias, D.T.S., Munawar. (2015). Sikap, Motivasi, dan Minat Berwirausaha
Mahasiswa. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Vol 17. No 1. 21-30.
34
Rusdiana, H A. (2014). Kewirausahaan Teori dan Praktik. Bandung: Pustaka Setia.
Saiman, Leonardus. (2012). Kewirausahaan Teori, Praktik, dan Kasus-kasus. Jakarta:
Selemba Empat.
Santrock, John W. (2012). Life-span development : perkembangan masa-hidup.
Jakarta : Erlangga.
Segumpan, R.G., Zahari, J.S.A. (2012). Attitude Towards Entrepreneurship Among
Omani College Students Trained in Business. International Journal of Business
and Behavioral Sciences. Vol. 2, No.4. 61-72.
Siburian, Robert (t.t). Etnis Cina di Indoenesia Fakta Komunikasi Antar Budaya.
Jurnal Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. 1-15.
Soehada, Moh. (2014). Wedi Isin ( Takut Malu); Ajining Diri (Harga Diri) Orang Jawa
Dalam Perspektif Wong Cilik (Rakyat Jelata). Artikel. Religi, Vol X, No1. 1-11.
Suhartini, Yati. (2011). Analisis Faktor-Faktor Yang Menmepengaruhi Minat
Mahasiswa Dalam Berwiraswasta (Studi Pada Mahasiswa Universitas PGRI
Yogyakarta). Jurnal Akmenika UPY. Vol.7. 38-59.
Suharyat, Yayat. (t.t). Hubungan Antara Sikap, Minat, dan Perilaku Manusia.
Sulistyawati. (2011). Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam Budaya Bali dan
Indonesia. Bali : Universitas Udayana.
Sulistyawati., Hadi, C.W., (t.t). Meneladani Etos Kerja Warga Tionghoa.
Suryana. (2008). Kewirausahaan Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses
Jakarta: Selemba Empat.
Tan, Mely G. (2008). Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tanjungsari, Hetty Karunia. (2011). Entrepreneurial Attitude, Status Pekerjaan, dan
Penerapan Pola Asuh Entrepreneurial pada Anak. Jurnal Ekonomi dan Bisnis.
Vol XVI. No.1. 25.34.
35
Trimurti, Christimulia Purnama. (t.t). Peran Pemerintah dalam Kemajuan UMKM di
Indonesia.
Valtonen, Heli. (2007). Does Culture Matter? Entrepreuneurial Attitude In The
Autobiographies of Twentieth-Century Business Leaders in Finland and the
United States. Business and Economic History on-line. Vol.5. 1-24.
Widaryanti. (2013). INTENSI KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA (STUDI
KASUS PADA PTS X DI SEMARANG). Jurnal Dinamika Ekonomi dan Bisnis.
Vol. 10. No.2. 115-125.
Wijaya, Hariz Enggar. (2007). Perbedaan Kecerdasan Adversity Antara Etnis Cina dan
Jawa Dalam Berwirausaha. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu
Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
Wijaya, Tony. (2008). Kajian Model Empiris Perilaku Berwirausaha UKM DIY dan
Jawa Tengah. Jurnal Management dan Kewirausahaan. Vol.10. No.2. 93-104.
Winarsih, Puji. (2014). Minat Berwirausaha Ditinjau dari Motivasi dan Sikap
Kewirausahaan pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Akuntansi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhamadiyah Surakarta Angkatan
2011/2012. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Wyk, R.V,. Boshoof, AB,. Bester, CL. (2003). Entrepreneurial Attitude: What Are
Their Sources?. SAJEMS NS. Vol.6 No.1. 1-24.
Wyk, R.V,. Boshoof, AB,. Bester, CL. (2004). Entrepreneurial Attitudes: A
Distinction Between Two Profesional Groups. S.Afr.J.Bus.Manage. 35.2. 33-38.
Yulianti, Dewi. (2010). Entrepreneurship Motivation on The Chinese Ethnic. Skripsi.
Depok : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Recommended