View
113
Download
1
Category
Preview:
DESCRIPTION
makaah blok 12, demam tifoid, demam, tifus, deIirium, demam tif0id tif0id tif0id tif0id
Citation preview
Demam Tifoit yang Terjadi karna Makan di Tempat yang Kurang Bersih
Ronaldi Susilo102012459
C7Falkutas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510Ronaldisusilo@yahoo.co.id
Pendahuluan
Latar Belakang
Demam tifoid atau typhus abdominalis adalah suatu infeksi akut yang
terjadi pada usus kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Di
Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000
penduduk per tahun dan tersebar di mana-mana. Ditemukan hampir sepanjang
tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada
semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun dan laki-
laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1.
Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat
mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang
dikonsumsi kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila
terdapat demam terus menerus lebih dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan
obat demam dan diperkuat dengan kesan anak baring pasif, nampak pucat, sakit
perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari.
Makin cepat demam tifoid dapat didiagnosis makin baik. Pengobatan dalam
taraf dini akan sangat menguntungkan mengingat mekanisme kerja daya tahan
tubuh masih cukup baik dan kuman masih terlokalisasi hanya di beberapa tempat
saja.
1
Isi
Anamnesis
Anamnesis merupakan proses wawancara yang dapat mengungkap 80% dari
penyakit pasien. Tujuan utama suatu anamnesis adalah untuk mengumpulkan semua
informasi dasar yang berkaitan dengan penyakit pasien dan adaptasi pasien terhadap
penyakitnya. Komunikasi adalah kunci untuk berhasilnya suatu wawancara.
Pewawancara harus dapat menanyakan pertanyaan – pertanyaan kepada pasien
dengan bebas. Pertanyaan – pertanyaan ini harus mudah dimengerti dan disesuaikan
dengan pengalaman medik pasien. Jika perlu, bahasa pasaran yang tidak baku yang
melukiskan keadaan tertentu dapat dipakai untuk mempermudah komunikasi dan
menghindari kesalahpahaman. Dokter harus dapat memperoleh dan mengenali
berbagai gejala dan tanda. Kata gejala berarti apa yang dirasakan pasien. Gejala
dipakai oleh pasien untuk melukiskan sifat penyakitnya. Sesak napas, sakit dada,
mual, diare, dan penglihatan ganda semuanya merupakan gejala. Gejala tersebut
bersifat tidak mutlak. Misalnya gejala nyeri. Pasien memiliki ambang rasa nyeri yang
berbeda -beda. Istilah konstitusional menunjukan gejala yang lazim ditemukan
bersama–sama dengan problem pada setiap sistem tubuh, seperti demam, menggigil,
penurunan berat badan, atau pengeluaran keringat secara berlebihan. Kata tanda
menunjuk pada apa yang ditemukan pemeriksa. Tanda dapat diamati dan diukur.
Tanda–tanda tertentu juga merupakan gejala. Tugas utama pewawancara adalah
misahkan gejala dan tanda yang berkaitan dengan penyakit tertentu.1
Secara umum, anamnesis berisi data diri pasien, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang (RPS), riwayat penyakit dahulu (RPD), riwayat pekerjaan dan
lingkungan, dan riwayat keluarga. Sumber data anamnesis dapat berasal dari pasien
itu sendiri (autoanamnesis) atau dari orang terdekat pasien, misalnya keluarga
(aloanamnesis). Seorang pasien dalam keadaan sadar, sehat secara fisik dan mental,
serta kompeten seharusnya dapat diwawancara secara langsung. Sehat secara fisik
artinya pasien tersebut berada dalam kesadaran penuh dan kompeten artinya pasien
tersebut tidak mengalami gangguan kejiwaan atau merupakan pasien di bawah umur.
2
Pada kasus skenario 3, hasil anamnesa adalah sebagai berikut:
Keluhan utama :
- Keluhan demam sejak 1 minggu yang lalu.
- Demam berlangsung sepanjang hari dan memburuk pada sore-malam hari.
Keluhan tambahan :
- Demam disertai nyeri kepala (pusing), nyeri ulu ati, mual, dan muntah.
- Belum BAB sejak 4 hari yang lalu.
- Tidak ada riwayat pendarahan.
- Tidak ada batuk dan pilek.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik yang diilakukan pada kasus skenario tiga, didapati
bahwa kesadaran pasien adalah compos mentis (conscious), yaitu kesadaran normal,
sadar sepenuhnya, dan dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya. Tingkat kesadaran lainnya adalah:
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh.1,2
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-
teriak, berhalusinasi, kadang berhayal. 1,2
Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang
lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal. 1,2
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap
nyeri. 1,2
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga
tidak ada respon pupil terhadap cahaya). 1,2
Kemudian selain tingkat kesadaran, pemeriksaan fisik menunjukkan suhu tubuh
380 C, nadi 80x per menit, tingkat respirasi (respiratory rate) 20x per menit, tekanan
3
darah 110/80 mmHg, dan pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan pada
epigastrium.
Apabila suatu penyakit merupakan demam typhoid, maka pada pemeriksaan
fisik, yang tampak hanya suhu badan yang meningkat. Sifat demam adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, gejala
akan menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang berselaput,
hematomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia. 1
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada skenario 3 adalah pemeriksaan
laboratorium dengan hasil Hb = 14 g/dl, Ht = 38%, leukosit = 4000/ul, dan trobosit =
200.000/ul. Pemeriksaan lainnya adalah Widal dengan titer S. typhi O = 1/320, S.
typhi H = 1/320, S. paratyphi AO = 1/80, dan S. paratyphi AH = negatif (tidak ada).
Pemeriksaan rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leucopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis
dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat
ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis
leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada tifoid
dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi
normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan pennanganan
khusus.
UJi widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antobodi terhadap kuman S.thypi. pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antar antigen kuman S.thypi dengan antibody
yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah
4
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid
yaitu : agglutinin O (dari tubuh kuman), agglutinin H (flagella kuman), dan
cagglutinin Vi ( simpai kuman). Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O
dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada
akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai
puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selam beberapa minggu. Pada fase
akut mula-mula timbul O, kemudian diikuti aglutinin H. pada orang yang telah
sembuh agglutinin O masih dijumpai setelah 4-6 bulan, sedang agglutinin H menetap
lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan
kesembuhan penyakit. Ada beberapa factor yang mempengaruhi uji widal yaitu;
Pengobatan dini dengan antibiotic.
Gangguan pembentukan antibody dan pemberian kortikosteroid.
waktu pengambilan darah.
Daerah endemic atau non endemic.
Riwayat vaksinasi.
Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibaat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
Factor teknik pemeriksaan laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain
salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. Saat ini belum ada
kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic.
Uji tubex
Merupakan uji semi kuantitatif kolometrik yang cepat(beberapa meni) dan
mudah untuk di kerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-Styphi O9 pada serum
pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonkugasi pada
partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida s.typhi yang terkonjugasi pada
partikel magnetic latex. Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
salmonella serogroup D walau tidak spesifik menunjukkan pada S,typhi. Infeksi oleh
S.paratyphi akan member hasil negative.
5
Uji Typidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membrane luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-
3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan
IgG terhadap antigen s.typhi seberat 50 KD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Uji IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap s.typhi pada
specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung anti
gen lipopolisakarida (LPS) s.typhoid dan anti IgM(sebagai control), reagen deteksi
yang mengandung anti IgM yang dilekati dengan lateks berwarna, vairan membasahi
strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien , tabung uji. Komponen
perlengkapan ini stabil untk disimpan selama dua tahun pada suhu 4-250 C di tempat
kering tanpa paparan sinar matahari.
Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negative tidak menyingkirkan demam tfoid, karena mungkin sisebabkan beberapa hal
sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negative, 2) volume darah yang kuran(diperlukan
kurang lebih 5cc darah). Bila darah yang dibikkan sedikit maka hasil negative. Darah
yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimaukna ke dalam media cair
empedu untuk pertumbuhan kuman, 3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau
menimbulkan antibody dalam darah pasien. Antibody (agglutinin) dapat menekan
bakteremia hingga biakan darah dapat negative ,4) saat pengambilan darah setelah
minggu pertama, pada saat agglutinin semakin meningkat.1,3,4
Diagnosis
6
Diagnosis ditegakkan dengan cara menguji sampel najis atau darah untuk
memastikan keberadaan bakteri Salmonella sp dalam darah penderita, dengan
membiakkan darah pada hari 14 yang pertama dari penyakit. Selain itu tes widal (O
dah H agglutinin) mulai posotif pada hari kesepuluh dan titer akan semakin meningkat
sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari menunjukkan
peningkatan progresif dari titer agglutinin (diatas 1:200) menunjukkkan diagnosis
positif dari infeksi aktif demam tifoid.
Biakan tinja yang dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin
pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya
Salmonella.
Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat
lekopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari
demam, maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis
polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus.
Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita
waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita.5
Diagnosis banding
Demam Bedarah Dengue = sama sama mengalami nyeri kepala dan nyeri otot serta
demam. Akan tetapi demam pada demam berdarah dengue bersifat bifasik yang naik
turun tidak teratur, berbeda dengan demam tifoid yang demamnya sepanjang hari.
Malaria = demam pada malaria adalah demam intermitten, dimana suhu badan turun
ke tingkat normal selama beberapa jam dalam satu hari. Berbeda dengan demam
tifoid yang tergolong demam kontinyu, demam sepanjang hari.
Demam kuning (yellow fever) = demam yang muncul bersifat bifasik, mirip dengan
demam berdarar dengue.
Influenza = demam disertai pilek dan batuk.
Leptospirosis = seperti demam tifoid, sama-sama mengalami demam, tetapi pada
leptospirosis terdapat nyeri tiba-tiba di kepala, terutama bagian frontal, nyeri otot
yang hebat terutama pada paha, betis, dan pinggang disertai nyeri tekan. Selain itu
pada leptospirosis ditemukan fotofobia.
7
Campak = pada campak tampak jelas adanya konjungtivitis, yang tidak dapat
ditemukan pada demam tifoid.
Hepatitis karena virus = pada hepatitis karena tifoid kenaikan enzim transaminase
tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin. 1,2
Diagnosis banding demam tifoid sangat luas karena sebagian besar penyakit infeksi
memiliki gejala demam, nyeri kepala, nyeri otot, mual, dan gangguan kesadaran.
Diagnosis yang tepat dapat dicapai dengan pemeriksaan penunjang.
Etiologi Demam Typhoid
Demam Typhoid disebabkan oleh Salmonella typhi. Infeksi berasal dari
penderita atau seseorang yang secara klinik tampak sehat tetapi yang mengandung
kuman yang keluar bersama faecesnya atau bersama kemih (carrier). Kuman–kuman
ini mengkontaminasi makanan, minuman, dan tangan. Lalat merupakan penyebar
kuman typhus yang penting, karena dari tempat kotor ia dapat mengotori makanan.
Infeksi selalu terjadi pada saluran pencernaan. Porte d’entree ialah jaringan limfoid
usus halus. Dari usus, kuman–kuman menuju ke kelenjar getah bening mesenterium,
disini mereka berpoliferasi lalau menuju ke ductus thoracicus dan masuk ke dalam
peredaran darah. Banyak kuman musnah, endotoksinnya keluar dan menyebabkan
gejala–gejala penyakit.1,5,7
Epidemiologi
Antara 300-500 kasus baru infeksi Salmonella typhi dilaporkan terjadi setiap
tahun di Amerika Serikat. Insiden penyakit ini telah menurun secara tetap sejak tahun
1900. Kebanyakan penderita demamtifoid berusia dibawah 20 tahun. Beberapa karier
kronis Salmonella typhi tercatat pada departemen kesehatan di seluruh negara bagian
Amerika Serikat.
Basil tifoid hanya menginfeksi manusia dan penderita tersebut akan
mengekskresikan Salmonella typhi di dalam sekret pernafasan, air kemih, dan tinja
dalam waktu yang berbeda – beda. Secara khas, karier tersebut adalah orang dewasa
8
yang mungkin telah mengalami penyakit enterik dan mengalami kontak, serta
seringkali sebagai orang yang menyiapkan makanan. Lamanya kemampuan hidup
S.typhii dalam makanan mempermudah penyebaran. Penyebaran melalui air biasanya
terjadi karena pemasangan pipa air minum atau sanitasi yang tidak memadai dan hal
ini menjadi penyebab kasus sporadis di Amerika Serikat dan negara – negara
berkembang.1,6,8
Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria.
Di lamina propia kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama
hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten kedalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag
telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.
9
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S. typhi intramakrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan,
dan gangguan organ lainnya. 1,6,7
Penatalaksana
Sampai saat ini, masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu
istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang, dan pemberian antimikroba. Dua
terapi pertama merupakan terapi non-medikamentosa sedangkan terapi dengan
antimikroba termasuk dalam terapi medikamentosa.1,5
Medikamentosa
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid
adalah :
Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien
demam tifoid.Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau
intravena,sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol siuksinat
intramuskuler tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Dengan kloramfenikol,demam pada demam tifoid dapat
turun rata 5 hari.
Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan
kloramfenikol.Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang
10
daripada klloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam
tiofoid dapat turun rata-rata 5-6 hari.
Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol) : Efektivitas ko-
trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol,Dosis untuk orang dewasa,2
kali 2 tablet sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80
mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol).dengan ko-trimoksazol demam rata-rata
turun d setelah 5-6 hari.
Ampislin dan Amoksisilin : Dalam hal kemampuan menurunkan demam,efektivitas
ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi
mutlak penggunannnya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang
dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB sehari,digunakan sampai 7 hari bebas
demam.
Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin
generasi ketiga antara lain Sefoperazon,seftriakson, dan sefotaksim efektif untuk
demam tifoid. Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
diberika selama setengah jam per infuse sekali sehari, diberikan selama 3 sampai 5
hari.
Fluorokinolon : terdiri atas norfloksasin, siproflosaksin, oflosaksin, peflosaksin, dan
fleroksasin.
Azitromisin : Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan azitromisin mengurangi
kemungkinan kegagalan klinis, durasi rawat inap, dan mengurangi angka relaps.
Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun
konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika akan terkonsentrasi dalam sel
sehingga ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi S. typhi yang merupakan
kuman intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan
oral maupun suntikan intravena.
Selain memberikan antimikroba diatas, terapi medikamentosa juga dapat berupa
pemberia kombinasi dari antimikroba tersebut. Kombinasi dua atau lebih antimikroba
hanya pada keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi,
11
serta syok septik. Kemudian bisa juga terapi dengan pemberian kortikosteroid, khusus
untuk toksik tifoid atau syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.
Pada wanita hamil, tidak dianjurkan pemberian kloramfenikol, terutama pada
trimester pertama karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematus, kematian fetus
intrauterine, dan grey syndrome pada neonates. Tiamfenikol juga tidak dianjurkan
karena kemungkinan efek teratogenik yang belum dapat disingkirkan, terutama pada
trimester pertama. Demikian juga obat golongan fluorokuinon dan kotrimoksazol
tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin,
amoksilin, dan seftriakson.
Nonmedikamentosa
Terapi nonmedikamentosa yang dilakukan adalah istirahat dan perawatan serta
diet dan terapi penunjang. Istirahat (tirah baring) dan perawatan profesional bertujuan
untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat
seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu
dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu
diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan
tetap perlu dijaga.
Terapi lain adalah diet serta terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup
penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang
kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan
proses penyembuhan akan menjadi lama. Diet yang dianjurkan berupa makanan yang
cukup cairan, kalori, vitamin & protein, tidak mengandung banyak serat, tidak
merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas, dan makanan lunak diberikan selama
istirahat. Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap bersamaan
dengan mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3
makanan biasa, dan seterusnya. 1,6,7
Komplikasi
12
Sebagai suatu penyakit sistemik, maka hampir semua organ utama tubuh
dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Komplikasi tifoid dapat
berupa komplikasi intestinal dan komplikasi ekstra-intestinal.
Komplikasi intestinal
Komplikasi intestinal yang terjadi dapat berupa pendarahan intestinal dan
perforasi usus. Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka
berbentuk lonjong dan memangjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen
usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi pendarahan. Selanjutnya bila tukak
menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka,
pendarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah atau gabungan kedua
faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapaat mengalami pendarahan minor
yang tidak membutuhkan transfusi darah. Pendarahan hebat dapat terjadi sehingga
penderita mengalami syok. Secara klinis pendarahan akut darurat bedah ditegakkan
bila terdapat pendarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostatis dalam
batas normal. Jika penanganan terlambat, dapat meningkatkan kemungkinan
mortalitas. Jika pendarahan terlalu hebat, maka bedah perlu dipertimbangkan. 1,6,7
Kemudian ada perforasi usus. Terjadi pada 3% penderita yang dirawat.
Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.
Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi, maka penderita demam tifoid
dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di kuadran kanan bawah
yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai tanda-tanda ileus. Bising usus
melemah sampai 50% dan pekak hati biasanya tidak ditemukan karena adanya udara
bebas di abdomen.
Antibiotik yang digunakan dalam perforasi usus diberikan secara selektif, bukan
hanya untuk mengobati kuman S. typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang
bersifat fakultatif dan anaerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik
spetrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk
kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan
dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube.
Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat pendarahan
intestinal. 1,6,7
Komplikasi ekstra-intestinal
13
Komplikasi yang dapat terjadi adalah komplikasi hematologi. Komplikasi
hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan prothrombin
time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation
products, sampai koagulasi intravaskular diseminata (KIP) dapat ditemukan pada
kebanyak pasien demam tifoid. Kemudian komplikasi lain dapat berupa hepatitis
tifosa. Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan
demam tifoid, dapat terjadi pada pasien malnutrisi dan sistim imun kurang. Meskipun
jarang, komplikasi hepatosenselopati dapat terjadi.1
Komplikasi ektra-intestnal lain adalah pankreatitis tifosa. Komplikasi ini
merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri
dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, caciing, maupun zat-zat
farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CT-Scan
dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat. Lalu ada miokarditis, terjadi
pada 1-5% pasien demam tifoid. Perubahan elektrokardiografi yang terjadi akibat
mikoarditis mempunyai prognosis yang buruk.1
Dan yang terakhir adalah manifestasi neropsikiatrik/tifoid toksik.
Manifestasinya dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau
koma, parkinson, sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus,
skizofrenia sitotoksi, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, sindroma
Guillain-Barre, dan psikosis. 1
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau
penurunan kesadaran akut dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan
dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Diduga faktor-faktor sosial
ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi,
kebudayaan, dan kepercayaan yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya
hal tersebut dan akibatnya meningkatkan kematian.1
Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid
berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 400 mg ditambah
ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg. 1
Pencegahan
Untuk dapat mencegah penyakit ini harus tahu terlebih dahulu cara penularan dan
faktor resikonya. Kuman S typhi menular melalui jalur oro-fekal, artinya kuman
masuk melalui makanan atau minuman yang tercermar oleh feses yang mengandung S
14
typhi. Di negara endemis seperti Indonesia, faktor resikonya antara lain makan
makanan yang tidak disiapkan sendiri di rumah (karena tidak terjamin
kebersihannya), minum air yang terkontaminasi, kontak dekat dengan penderita tifoid,
sanitasi perumahan yang buruk, higiene perorangan yang tidak baik dan penggunaan
antibiotik yang tidak tepat.5-7
Oleh karena itu, pencegahan yang paling sederhana adalah dengan mencuci
tangan sebelum makan dan sesudah buang air, menyiapkan makanan sendiri, tidak
buang air besar sembarangan (di negara kita masih banyak keluarga yang tidak
memiliki jamban sendiri), memasak makanan terlebih dahulu, bijak dalam
menggunakan antibiotik.
Selain hal-hal di atas, saat ini sudah tersedia vaksin untuk tifoid. Ada 2 macam
vaksin, yaitu vaksin hidup yang diberikan secara oral (Ty21A) dan vaksin
polisakarida Vi yang diberikan secara intramuskular/disuntikkan ke dalam otot. 5-7
Menurut FDA Amerika, efektivitas kedua vaksin ini bervariasi antara 50-80 %.
Vaksin hidup Ty21A diberikan kepada orang dewasa dan anak yang berusia 6 tahun
atau lebih. Vaksin ini berupa kapsul, diberikan dalam 4 dosis, selang 2 hari. Kapsul
diminum dengan air dingin (suhunya tidak lebih dari 37 oC), 1 jam sebelum makan.
Kapsul harus disimpan dalam kulkas (bukan di freezer). Vaksin ini tidak boleh
diberikan kepada orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV, keganasan).
Vaksin juga jangan diberikan pada orang yang sedang mengalami gangguan
pencernaan.5-7
Penggunaan antibiotik harus dihindari 24 jam sebelum dosis pertama dan 7 hari
setelah dosis keempat. Sebaiknya tidak diberikan kepada wanita hamil. Vaksin ini
harus diulang setiap 5 tahun. Efek samping yang mungkin timbul antara lain, mual,
muntah, rasa tidak nyaman di perut, demam, sakit kepala dan urtikaria.
Vaksin polisakarida Vi dapat diberikan pada orang dewasa dan anak yang berusia 2
tahun atau lebih. Cukup disuntikkan ke dalam otot 1 kali dengan dosis 0,5 mL. Vaksin
ini dapat diberikan kepada orang yang mengalami penurunan sistem imun. 5-7
Satu-satunya kontra indikasi vaksin ini adalah riwayat timbulnya reaksi lokal
yang berat di tempat penyuntikkan atau reaksi sistemik terhadap dosis vaksin
sebelumnya. Vaksin ini harus diulang setiap 2 tahun. Efek samping yang mungkin
timbul lebih ringan dari pada jika diberikan vaksin hidup. Dapat timbul reaksi lokal di
daerah penyuntikkan. Tidak ada data yang cukup untuk direkomendasikan kepada
wanita hamil. 5-7
15
Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung pada usia penderita, status kesehatan
sebelumnya, dan tipe komplikasi yang terjadi. Penderita yang tidak mendapatkan
pengobatan antibiotika dapat meninggal dunia (10% bayi dan sebagian kecil anak –
anak berusia lebih tua). Pengobatan dengan kloramfenikol berhasil menurunkan angka
kematian hingga 1% di berbagai daerah. Adanya penyakit dasar yang melemahkan,
perforasi saluran cerna atau perdarahan yang hebat, akan meningkatkan kemungkinan
kematian.
Kekambuhan terjadi pada 10% penderita yang tidak mendapat pengobatan
antibiotika. Manifestasi klinik kekambuhan nyata dalam 2 minggu setelah
penghentian obat dengan antibiotika dan menyerupai bentuk penyakit akut. Tetapi,
kekambuhan tersebut umumnya bersifat lebih ringan dan lebih singkat. Kekambuhan
dapat terjadi berkali – kali pada orang yang sama.
Individu yang mengesekresikan S. Typhosa selama 3 bulan atau lebih setelah
infeksi biasanya menjadi ekskretor setahun setelah infeksi atau sering seumur hidup.
Risiko menjadi karier kronis pada anak – anak adalah kecil, tetapi akan meningkat
seiring bertambahnya umur. Lima persen penderita orang dewasa akan menjadi karier
kronis; umumnya mereka mengalami infeksi kronis kandung empedu dan akan
diekskresikan lewat tinja.8
Kesimpulan
16
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella typhi. Keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit
perut, diare atau sulit buang air beberapa hari, sedangkan pemeriksaan fisik hanya
didapatkan suhu tubuh meningkat dan menetap. Suhu meningkat terutama sore dan
malam hari. Lingkungan yang tidak bersih, yang terkontaminasi dengan Salmonella
typhi merupakan penyebab paling sering timbulnya penyakit ini. Kebiasaan tidak
sehat seperti jajan sembarangan, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan
juga menjadi penyebab terbanyak terjadinya demam tifoid.
Daftar Pustaka
17
1. Widodo D. Demam tifoid, dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing;
2009.hal.2797-806.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.hal.2767-993.
3. Kresno SB. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2010.hal.405-36.
4. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran 2. Edisi 22. Jakarta:
Salemba Medika; 2008.hal.276-309.
5. Widoyono. Penyakit tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan dan
pemberantasannya. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.h. 41-6, 64-6, 71-4, 157-60.
6. Grace AP, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Erlangga.h.
167.
7. Setyawan S. Penyakit infeksi dalam: patologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.h. 67-8
8. Behrman RE. Penyakit menular dalam ilmu kesehatan anak bagian dua. Jakarta: EGC;
2007. h. 95-100.
18
Recommended