27
Demam Tifoit yang Terjadi karna Makan di Tempat yang Kurang Bersih Ronaldi Susilo 102012459 C7 Falkutas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 [email protected] Pendahuluan Latar Belakang Demam tifoid atau typhus abdominalis adalah suatu infeksi akut yang terjadi pada usus kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun dan tersebar di mana- mana. Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1. Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan suatu demam 1

Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makaah blok 12, demam tifoid, demam, tifus, deIirium, demam tif0id tif0id tif0id tif0id

Citation preview

Page 1: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

Demam Tifoit yang Terjadi karna Makan di Tempat yang Kurang Bersih

Ronaldi Susilo102012459

C7Falkutas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat [email protected]

Pendahuluan

Latar Belakang

Demam tifoid atau typhus abdominalis adalah suatu infeksi akut yang

terjadi pada usus kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Di

Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000

penduduk per tahun dan tersebar di mana-mana. Ditemukan hampir sepanjang

tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada

semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun dan laki-

laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1.

Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat

mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang

dikonsumsi kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila

terdapat demam terus menerus lebih dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan

obat demam dan diperkuat dengan kesan anak baring pasif, nampak pucat, sakit

perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari.

Makin cepat demam tifoid dapat didiagnosis makin baik. Pengobatan dalam

taraf dini akan sangat menguntungkan mengingat mekanisme kerja daya tahan

tubuh masih cukup baik dan kuman masih terlokalisasi hanya di beberapa tempat

saja.

1

Page 2: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

Isi

Anamnesis

Anamnesis merupakan proses wawancara yang dapat mengungkap 80% dari

penyakit pasien. Tujuan utama suatu anamnesis adalah untuk mengumpulkan semua

informasi dasar yang berkaitan dengan penyakit pasien dan adaptasi pasien terhadap

penyakitnya. Komunikasi adalah kunci untuk berhasilnya suatu wawancara.

Pewawancara harus dapat menanyakan pertanyaan – pertanyaan kepada pasien

dengan bebas. Pertanyaan – pertanyaan ini harus mudah dimengerti dan disesuaikan

dengan pengalaman medik pasien. Jika perlu, bahasa pasaran yang tidak baku yang

melukiskan keadaan tertentu dapat dipakai untuk mempermudah komunikasi dan

menghindari kesalahpahaman. Dokter harus dapat memperoleh dan mengenali

berbagai gejala dan tanda. Kata gejala berarti apa yang dirasakan pasien. Gejala

dipakai oleh pasien untuk melukiskan sifat penyakitnya. Sesak napas, sakit dada,

mual, diare, dan penglihatan ganda semuanya merupakan gejala. Gejala tersebut

bersifat tidak mutlak. Misalnya gejala nyeri. Pasien memiliki ambang rasa nyeri yang

berbeda -beda. Istilah konstitusional menunjukan gejala yang lazim ditemukan

bersama–sama dengan problem pada setiap sistem tubuh, seperti demam, menggigil,

penurunan berat badan, atau pengeluaran keringat secara berlebihan. Kata tanda

menunjuk pada apa yang ditemukan pemeriksa. Tanda dapat diamati dan diukur.

Tanda–tanda tertentu juga merupakan gejala. Tugas utama pewawancara adalah

misahkan gejala dan tanda yang berkaitan dengan penyakit tertentu.1

Secara umum, anamnesis berisi data diri pasien, keluhan utama, riwayat

penyakit sekarang (RPS), riwayat penyakit dahulu (RPD), riwayat pekerjaan dan

lingkungan, dan riwayat keluarga. Sumber data anamnesis dapat berasal dari pasien

itu sendiri (autoanamnesis) atau dari orang terdekat pasien, misalnya keluarga

(aloanamnesis). Seorang pasien dalam keadaan sadar, sehat secara fisik dan mental,

serta kompeten seharusnya dapat diwawancara secara langsung. Sehat secara fisik

artinya pasien tersebut berada dalam kesadaran penuh dan kompeten artinya pasien

tersebut tidak mengalami gangguan kejiwaan atau merupakan pasien di bawah umur.

2

Page 3: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

Pada kasus skenario 3, hasil anamnesa adalah sebagai berikut:

Keluhan utama :

- Keluhan demam sejak 1 minggu yang lalu.

- Demam berlangsung sepanjang hari dan memburuk pada sore-malam hari.

Keluhan tambahan :

- Demam disertai nyeri kepala (pusing), nyeri ulu ati, mual, dan muntah.

- Belum BAB sejak 4 hari yang lalu.

- Tidak ada riwayat pendarahan.

- Tidak ada batuk dan pilek.

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik yang diilakukan pada kasus skenario tiga, didapati

bahwa kesadaran pasien adalah compos mentis (conscious), yaitu kesadaran normal,

sadar sepenuhnya, dan dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan

sekelilingnya. Tingkat kesadaran lainnya adalah:

Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,

sikapnya acuh tak acuh.1,2

Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-

teriak, berhalusinasi, kadang berhayal. 1,2

Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang

lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah

dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal. 1,2

Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap

nyeri. 1,2

Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap

rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga

tidak ada respon pupil terhadap cahaya). 1,2

Kemudian selain tingkat kesadaran, pemeriksaan fisik menunjukkan suhu tubuh

380 C, nadi 80x per menit, tingkat respirasi (respiratory rate) 20x per menit, tekanan

3

Page 4: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

darah 110/80 mmHg, dan pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan pada

epigastrium.

Apabila suatu penyakit merupakan demam typhoid, maka pada pemeriksaan

fisik, yang tampak hanya suhu badan yang meningkat. Sifat demam adalah meningkat

perlahan-lahan dan terutama pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, gejala

akan menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang berselaput,

hematomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,

stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang

Indonesia. 1

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada skenario 3 adalah pemeriksaan

laboratorium dengan hasil Hb = 14 g/dl, Ht = 38%, leukosit = 4000/ul, dan trobosit =

200.000/ul. Pemeriksaan lainnya adalah Widal dengan titer S. typhi O = 1/320, S.

typhi H = 1/320, S. paratyphi AO = 1/80, dan S. paratyphi AH = negatif (tidak ada).

Pemeriksaan rutin

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan

leucopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis

dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat

ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis

leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada tifoid

dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi

normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan pennanganan

khusus.

UJi widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antobodi terhadap kuman S.thypi. pada uji

widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antar antigen kuman S.thypi dengan antibody

yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi

salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah

4

Page 5: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid

yaitu : agglutinin O (dari tubuh kuman), agglutinin H (flagella kuman), dan

cagglutinin Vi ( simpai kuman). Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O

dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya

semakin besar kemungkinan terinfeksi. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada

akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai

puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selam beberapa minggu. Pada fase

akut mula-mula timbul O, kemudian diikuti aglutinin H. pada orang yang telah

sembuh agglutinin O masih dijumpai setelah 4-6 bulan, sedang agglutinin H menetap

lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan

kesembuhan penyakit. Ada beberapa factor yang mempengaruhi uji widal yaitu;

Pengobatan dini dengan antibiotic.

Gangguan pembentukan antibody dan pemberian kortikosteroid.

waktu pengambilan darah.

Daerah endemic atau non endemic.

Riwayat vaksinasi.

Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan

demam tifoid akibaat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.

Factor teknik pemeriksaan laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain

salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. Saat ini belum ada

kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic.

Uji tubex

Merupakan uji semi kuantitatif kolometrik yang cepat(beberapa meni) dan

mudah untuk di kerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-Styphi O9 pada serum

pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonkugasi pada

partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida s.typhi yang terkonjugasi pada

partikel magnetic latex. Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi

salmonella serogroup D walau tidak spesifik menunjukkan pada S,typhi. Infeksi oleh

S.paratyphi akan member hasil negative.

5

Page 6: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

Uji Typidot

Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada

protein membrane luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-

3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan

IgG terhadap antigen s.typhi seberat 50 KD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.

Uji IgM Dipstick

Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap s.typhi pada

specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung anti

gen lipopolisakarida (LPS) s.typhoid dan anti IgM(sebagai control), reagen deteksi

yang mengandung anti IgM yang dilekati dengan lateks berwarna, vairan membasahi

strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien , tabung uji. Komponen

perlengkapan ini stabil untk disimpan selama dua tahun pada suhu 4-250 C di tempat

kering tanpa paparan sinar matahari.

Kultur Darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil

negative tidak menyingkirkan demam tfoid, karena mungkin sisebabkan beberapa hal

sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan

kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan

terhambat dan hasil mungkin negative, 2) volume darah yang kuran(diperlukan

kurang lebih 5cc darah). Bila darah yang dibikkan sedikit maka hasil negative. Darah

yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimaukna ke dalam media cair

empedu untuk pertumbuhan kuman, 3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau

menimbulkan antibody dalam darah pasien. Antibody (agglutinin) dapat menekan

bakteremia hingga biakan darah dapat negative ,4) saat pengambilan darah setelah

minggu pertama, pada saat agglutinin semakin meningkat.1,3,4

Diagnosis

6

Page 7: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

Diagnosis ditegakkan dengan cara menguji sampel najis atau darah untuk

memastikan keberadaan bakteri Salmonella sp dalam darah penderita, dengan

membiakkan darah pada hari 14 yang pertama dari penyakit. Selain itu tes widal (O

dah H agglutinin) mulai posotif pada hari kesepuluh dan titer akan semakin meningkat

sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari menunjukkan

peningkatan progresif dari titer agglutinin (diatas 1:200) menunjukkkan diagnosis

positif dari infeksi aktif demam tifoid.

Biakan tinja yang dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin

pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya

Salmonella.

Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat

lekopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari

demam, maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis

polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus.

Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita

waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita.5

Diagnosis banding

Demam Bedarah Dengue = sama sama mengalami nyeri kepala dan nyeri otot serta

demam. Akan tetapi demam pada demam berdarah dengue bersifat bifasik yang naik

turun tidak teratur, berbeda dengan demam tifoid yang demamnya sepanjang hari.

Malaria = demam pada malaria adalah demam intermitten, dimana suhu badan turun

ke tingkat normal selama beberapa jam dalam satu hari. Berbeda dengan demam

tifoid yang tergolong demam kontinyu, demam sepanjang hari.

Demam kuning (yellow fever) = demam yang muncul bersifat bifasik, mirip dengan

demam berdarar dengue.

Influenza = demam disertai pilek dan batuk.

Leptospirosis = seperti demam tifoid, sama-sama mengalami demam, tetapi pada

leptospirosis terdapat nyeri tiba-tiba di kepala, terutama bagian frontal, nyeri otot

yang hebat terutama pada paha, betis, dan pinggang disertai nyeri tekan. Selain itu

pada leptospirosis ditemukan fotofobia.

7

Page 8: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

Campak = pada campak tampak jelas adanya konjungtivitis, yang tidak dapat

ditemukan pada demam tifoid.

Hepatitis karena virus = pada hepatitis karena tifoid kenaikan enzim transaminase

tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin. 1,2

Diagnosis banding demam tifoid sangat luas karena sebagian besar penyakit infeksi

memiliki gejala demam, nyeri kepala, nyeri otot, mual, dan gangguan kesadaran.

Diagnosis yang tepat dapat dicapai dengan pemeriksaan penunjang.

Etiologi Demam Typhoid

Demam Typhoid disebabkan oleh Salmonella typhi. Infeksi berasal dari

penderita atau seseorang yang secara klinik tampak sehat tetapi yang mengandung

kuman yang keluar bersama faecesnya atau bersama kemih (carrier). Kuman–kuman

ini mengkontaminasi makanan, minuman, dan tangan. Lalat merupakan penyebar

kuman typhus yang penting, karena dari tempat kotor ia dapat mengotori makanan.

Infeksi selalu terjadi pada saluran pencernaan. Porte d’entree ialah jaringan limfoid

usus halus. Dari usus, kuman–kuman menuju ke kelenjar getah bening mesenterium,

disini mereka berpoliferasi lalau menuju ke ductus thoracicus dan masuk ke dalam

peredaran darah. Banyak kuman musnah, endotoksinnya keluar dan menyebabkan

gejala–gejala penyakit.1,5,7

Epidemiologi

Antara 300-500 kasus baru infeksi Salmonella typhi dilaporkan terjadi setiap

tahun di Amerika Serikat. Insiden penyakit ini telah menurun secara tetap sejak tahun

1900. Kebanyakan penderita demamtifoid berusia dibawah 20 tahun. Beberapa karier

kronis Salmonella typhi tercatat pada departemen kesehatan di seluruh negara bagian

Amerika Serikat.

Basil tifoid hanya menginfeksi manusia dan penderita tersebut akan

mengekskresikan Salmonella typhi di dalam sekret pernafasan, air kemih, dan tinja

dalam waktu yang berbeda – beda. Secara khas, karier tersebut adalah orang dewasa

8

Page 9: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

yang mungkin telah mengalami penyakit enterik dan mengalami kontak, serta

seringkali sebagai orang yang menyiapkan makanan. Lamanya kemampuan hidup

S.typhii dalam makanan mempermudah penyebaran. Penyebaran melalui air biasanya

terjadi karena pemasangan pipa air minum atau sanitasi yang tidak memadai dan hal

ini menjadi penyebab kasus sporadis di Amerika Serikat dan negara – negara

berkembang.1,6,8

Patofisiologi

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh

manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman

dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos ke dalam usus dan selanjutnya

berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka

kuman akan menembus sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria.

Di lamina propia kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-sel fagosit terutama

oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan

selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening

mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam

makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama

yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama

hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian

berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam

sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai

tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan

bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten kedalam lumen usus.

Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi

setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag

telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi

pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala

reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,

instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.

9

Page 10: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia

jaringan (S. typhi intramakrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,

hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat

erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan

hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis

jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat

mengakibatkan perforasi.

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat

timbulnya komplikasi seperti gangguan neropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan,

dan gangguan organ lainnya. 1,6,7

Penatalaksana

Sampai saat ini, masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu

istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang, dan pemberian antimikroba. Dua

terapi pertama merupakan terapi non-medikamentosa sedangkan terapi dengan

antimikroba termasuk dalam terapi medikamentosa.1,5

Medikamentosa

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid

adalah :

Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien

demam tifoid.Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau

intravena,sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol siuksinat

intramuskuler tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan

tempat suntikan terasa nyeri. Dengan kloramfenikol,demam pada demam tifoid dapat

turun rata 5 hari.

Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan

kloramfenikol.Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang

10

Page 11: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

daripada klloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam

tiofoid dapat turun rata-rata 5-6 hari.

Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol) : Efektivitas ko-

trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol,Dosis untuk orang dewasa,2

kali 2 tablet sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80

mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol).dengan ko-trimoksazol demam rata-rata

turun d setelah 5-6 hari.

Ampislin dan Amoksisilin : Dalam hal kemampuan menurunkan demam,efektivitas

ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi

mutlak penggunannnya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang

dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB sehari,digunakan sampai 7 hari bebas

demam.

Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin

generasi ketiga antara lain Sefoperazon,seftriakson, dan sefotaksim efektif untuk

demam tifoid. Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc

diberika selama setengah jam per infuse sekali sehari, diberikan selama 3 sampai 5

hari.

Fluorokinolon : terdiri atas norfloksasin, siproflosaksin, oflosaksin, peflosaksin, dan

fleroksasin.

Azitromisin : Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan azitromisin mengurangi

kemungkinan kegagalan klinis, durasi rawat inap, dan mengurangi angka relaps.

Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun

konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika akan terkonsentrasi dalam sel

sehingga ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi S. typhi yang merupakan

kuman intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan

oral maupun suntikan intravena.

Selain memberikan antimikroba diatas, terapi medikamentosa juga dapat berupa

pemberia kombinasi dari antimikroba tersebut. Kombinasi dua atau lebih antimikroba

hanya pada keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi,

11

Page 12: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

serta syok septik. Kemudian bisa juga terapi dengan pemberian kortikosteroid, khusus

untuk toksik tifoid atau syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.

Pada wanita hamil, tidak dianjurkan pemberian kloramfenikol, terutama pada

trimester pertama karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematus, kematian fetus

intrauterine, dan grey syndrome pada neonates. Tiamfenikol juga tidak dianjurkan

karena kemungkinan efek teratogenik yang belum dapat disingkirkan, terutama pada

trimester pertama. Demikian juga obat golongan fluorokuinon dan kotrimoksazol

tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin,

amoksilin, dan seftriakson.

Nonmedikamentosa

Terapi nonmedikamentosa yang dilakukan adalah istirahat dan perawatan serta

diet dan terapi penunjang. Istirahat (tirah baring) dan perawatan profesional bertujuan

untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat

seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu

dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga

kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu

diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan

tetap perlu dijaga.

Terapi lain adalah diet serta terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup

penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang

kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan

proses penyembuhan akan menjadi lama. Diet yang dianjurkan berupa makanan yang

cukup cairan, kalori, vitamin & protein, tidak mengandung banyak serat, tidak

merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas, dan makanan lunak diberikan selama

istirahat. Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap bersamaan

dengan mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3

makanan biasa, dan seterusnya. 1,6,7

Komplikasi

12

Page 13: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

Sebagai suatu penyakit sistemik, maka hampir semua organ utama tubuh

dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Komplikasi tifoid dapat

berupa komplikasi intestinal dan komplikasi ekstra-intestinal.

Komplikasi intestinal

Komplikasi intestinal yang terjadi dapat berupa pendarahan intestinal dan

perforasi usus. Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka

berbentuk lonjong dan memangjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen

usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi pendarahan. Selanjutnya bila tukak

menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka,

pendarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah atau gabungan kedua

faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapaat mengalami pendarahan minor

yang tidak membutuhkan transfusi darah. Pendarahan hebat dapat terjadi sehingga

penderita mengalami syok. Secara klinis pendarahan akut darurat bedah ditegakkan

bila terdapat pendarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostatis dalam

batas normal. Jika penanganan terlambat, dapat meningkatkan kemungkinan

mortalitas. Jika pendarahan terlalu hebat, maka bedah perlu dipertimbangkan. 1,6,7

Kemudian ada perforasi usus. Terjadi pada 3% penderita yang dirawat.

Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.

Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi, maka penderita demam tifoid

dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di kuadran kanan bawah

yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai tanda-tanda ileus. Bising usus

melemah sampai 50% dan pekak hati biasanya tidak ditemukan karena adanya udara

bebas di abdomen.

Antibiotik yang digunakan dalam perforasi usus diberikan secara selektif, bukan

hanya untuk mengobati kuman S. typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang

bersifat fakultatif dan anaerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik

spetrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk

kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan

dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube.

Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat pendarahan

intestinal. 1,6,7

Komplikasi ekstra-intestinal

13

Page 14: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

Komplikasi yang dapat terjadi adalah komplikasi hematologi. Komplikasi

hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan prothrombin

time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation

products, sampai koagulasi intravaskular diseminata (KIP) dapat ditemukan pada

kebanyak pasien demam tifoid. Kemudian komplikasi lain dapat berupa hepatitis

tifosa. Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan

demam tifoid, dapat terjadi pada pasien malnutrisi dan sistim imun kurang. Meskipun

jarang, komplikasi hepatosenselopati dapat terjadi.1

Komplikasi ektra-intestnal lain adalah pankreatitis tifosa. Komplikasi ini

merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri

dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, caciing, maupun zat-zat

farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CT-Scan

dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat. Lalu ada miokarditis, terjadi

pada 1-5% pasien demam tifoid. Perubahan elektrokardiografi yang terjadi akibat

mikoarditis mempunyai prognosis yang buruk.1

Dan yang terakhir adalah manifestasi neropsikiatrik/tifoid toksik.

Manifestasinya dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau

koma, parkinson, sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus,

skizofrenia sitotoksi, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, sindroma

Guillain-Barre, dan psikosis. 1

Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau

penurunan kesadaran akut dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan

dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Diduga faktor-faktor sosial

ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi,

kebudayaan, dan kepercayaan yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya

hal tersebut dan akibatnya meningkatkan kematian.1

Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid

berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 400 mg ditambah

ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg. 1

Pencegahan

Untuk dapat mencegah penyakit ini harus tahu terlebih dahulu cara penularan dan

faktor resikonya. Kuman S typhi menular melalui jalur oro-fekal, artinya kuman

masuk melalui makanan atau minuman yang tercermar oleh feses yang mengandung S

14

Page 15: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

typhi. Di negara endemis seperti Indonesia, faktor resikonya antara lain makan

makanan yang tidak disiapkan sendiri di rumah (karena tidak terjamin

kebersihannya), minum air yang terkontaminasi, kontak dekat dengan penderita tifoid,

sanitasi perumahan yang buruk, higiene perorangan yang tidak baik dan penggunaan

antibiotik yang tidak tepat.5-7

Oleh karena itu, pencegahan yang paling sederhana adalah dengan mencuci

tangan sebelum makan dan sesudah buang air, menyiapkan makanan sendiri, tidak

buang air besar sembarangan (di negara kita masih banyak keluarga yang tidak

memiliki jamban sendiri), memasak makanan terlebih dahulu, bijak dalam

menggunakan antibiotik.

Selain hal-hal di atas, saat ini sudah tersedia vaksin untuk tifoid. Ada 2 macam

vaksin, yaitu vaksin hidup yang diberikan secara oral (Ty21A) dan vaksin

polisakarida Vi yang diberikan secara intramuskular/disuntikkan ke dalam otot. 5-7

Menurut FDA Amerika, efektivitas kedua vaksin ini bervariasi antara 50-80 %.

Vaksin hidup Ty21A diberikan kepada orang dewasa dan anak yang berusia 6 tahun

atau lebih. Vaksin ini berupa kapsul, diberikan dalam 4 dosis, selang 2 hari. Kapsul

diminum dengan air dingin (suhunya tidak lebih dari 37 oC), 1 jam sebelum makan.

Kapsul harus disimpan dalam kulkas (bukan di freezer). Vaksin ini tidak boleh

diberikan kepada orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV, keganasan).

Vaksin juga jangan diberikan pada orang yang sedang mengalami gangguan

pencernaan.5-7

Penggunaan antibiotik harus dihindari 24 jam sebelum dosis pertama dan 7 hari

setelah dosis keempat. Sebaiknya tidak diberikan kepada wanita hamil. Vaksin ini

harus diulang setiap 5 tahun. Efek samping yang mungkin timbul antara lain, mual,

muntah, rasa tidak nyaman di perut, demam, sakit kepala dan urtikaria.

Vaksin polisakarida Vi dapat diberikan pada orang dewasa dan anak yang berusia 2

tahun atau lebih. Cukup disuntikkan ke dalam otot 1 kali dengan dosis 0,5 mL. Vaksin

ini dapat diberikan kepada orang yang mengalami penurunan sistem imun. 5-7

Satu-satunya kontra indikasi vaksin ini adalah riwayat timbulnya reaksi lokal

yang berat di tempat penyuntikkan atau reaksi sistemik terhadap dosis vaksin

sebelumnya. Vaksin ini harus diulang setiap 2 tahun. Efek samping yang mungkin

timbul lebih ringan dari pada jika diberikan vaksin hidup. Dapat timbul reaksi lokal di

daerah penyuntikkan. Tidak ada data yang cukup untuk direkomendasikan kepada

wanita hamil. 5-7

15

Page 16: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

Prognosis

Prognosis demam tifoid tergantung pada usia penderita, status kesehatan

sebelumnya, dan tipe komplikasi yang terjadi. Penderita yang tidak mendapatkan

pengobatan antibiotika dapat meninggal dunia (10% bayi dan sebagian kecil anak –

anak berusia lebih tua). Pengobatan dengan kloramfenikol berhasil menurunkan angka

kematian hingga 1% di berbagai daerah. Adanya penyakit dasar yang melemahkan,

perforasi saluran cerna atau perdarahan yang hebat, akan meningkatkan kemungkinan

kematian.

Kekambuhan terjadi pada 10% penderita yang tidak mendapat pengobatan

antibiotika. Manifestasi klinik kekambuhan nyata dalam 2 minggu setelah

penghentian obat dengan antibiotika dan menyerupai bentuk penyakit akut. Tetapi,

kekambuhan tersebut umumnya bersifat lebih ringan dan lebih singkat. Kekambuhan

dapat terjadi berkali – kali pada orang yang sama.

Individu yang mengesekresikan S. Typhosa selama 3 bulan atau lebih setelah

infeksi biasanya menjadi ekskretor setahun setelah infeksi atau sering seumur hidup.

Risiko menjadi karier kronis pada anak – anak adalah kecil, tetapi akan meningkat

seiring bertambahnya umur. Lima persen penderita orang dewasa akan menjadi karier

kronis; umumnya mereka mengalami infeksi kronis kandung empedu dan akan

diekskresikan lewat tinja.8

Kesimpulan

16

Page 17: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif

Salmonella typhi. Keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit

perut, diare atau sulit buang air beberapa hari, sedangkan pemeriksaan fisik hanya

didapatkan suhu tubuh meningkat dan menetap. Suhu meningkat terutama sore dan

malam hari. Lingkungan yang tidak bersih, yang terkontaminasi dengan Salmonella

typhi merupakan penyebab paling sering timbulnya penyakit ini. Kebiasaan tidak

sehat seperti jajan sembarangan, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan

juga menjadi penyebab terbanyak terjadinya demam tifoid.

Daftar Pustaka

17

Page 18: Makalah Blok 12 - Demam Tifoid - Skenario 3 - Ronaldi Susilo

1. Widodo D. Demam tifoid, dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,

Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing;

2009.hal.2797-806.

2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit

dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.hal.2767-993.

3. Kresno SB. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi 4. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI; 2010.hal.405-36.

4. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran 2. Edisi 22. Jakarta:

Salemba Medika; 2008.hal.276-309.

5. Widoyono. Penyakit tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan dan

pemberantasannya. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.h. 41-6, 64-6, 71-4, 157-60.

6. Grace AP, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Erlangga.h.

167.

7. Setyawan S. Penyakit infeksi dalam: patologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.h. 67-8

8. Behrman RE. Penyakit menular dalam ilmu kesehatan anak bagian dua. Jakarta: EGC;

2007. h. 95-100.

18