View
6
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
LAPORAN AKHIR
ANALISIS LIBERALISASI JASA ANGKUTAN LAUT INDONESIA DALAM
KERANGKA KERJASAMA ASEAN TRADE IN SERVICES AGREEMENT
(ATISA)
PUSAT PENGKAJIAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
JAKARTA
2016
ABSTRAK
ANALISIS LIBERALISASI JASA ANGKUTAN LAUT INDONESIA DALAM KERANGKA KERJASAMA ASEAN TRADE IN SERVICES
AGREEMENT (ATISA)
Dalam rangka integrasi kawasan ekonomi ASEAN, maka pembangunan konektivitas di setiap negara anggota ASEAN sangat penting. Pembangunan konektivitas tersebut merupakan syarat utama untuk memperlancar arus perpindahan barang dan jasa di kawasan ASEAN sehingga diperlukan dukungan jasa angkutan laut yang memadai dan efisien. Selain itu, sebagai upaya mendukung implementasi ATISA Indonesia seharusnya telah memenuhi target liberalisasi ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dari foreign equity participation (FEP) sebesar 60 persen menjadi 70 persen. Namun, hingga tahun 2016 Indonesia belum memenuhi target tersebut. Analisis ini menggunakan data primer dan data sekunder serta metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil analisis DEA menyimpulkan bahwa jasa angkutan laut luar negeri Indonesia tidak berdaya saing dibandingkan dengan penyedia jasa dari negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia dan Thailand. Berdasarkan Index Hoekman, jasa angkutan laut luar negeri Indonesia relatif terbuka, namun aliran FDI dari ASEAN ke Indonesia masih rendah. Hal tersebut dikarenakan Indonesia baru menetapkan batasan FEP di AFAS sebesar 60 persen. Faktor lain yang diidentifikasi sebagai penyebab rendahnya investasi jasa angkutan laut luar negeri di Indonesia adalah tingkat suku bunga dan tarif pajak pendapatan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan rata-rata tingkat suku bunga dan tarif pajak pendapatan negara-negara ASEAN. Oleh karena itu, direkomendasikan agar Indonesia meningkatkan komitmen keterbukaan FEP-nya dari 60 persen menjadi 70 persen sesuai target liberalisasi pada ATISA dan sejalan dengan Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Negatif Investasi serta menurunkan tingkat suku bunga tarif pajak pendapatan di Indonesia menjadi sekurang-kurangnya rata-rata ASEAN.
Kata Kunci: AFAS, Daya Saing, Indeks Hoekman
JEL: F13, F14, F15, F21, F36
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................... 3
1.3. Tujuan ............................................................................ 3
1.4. Hasil Analisis.................................................................. 3
1.5. Dampak/Manfaat ............................................................ 3
1.6. Ruang Lingkup ............................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 5
2.1. Definisi ........................................................................... 5
2.1.1. Jasa Secara Umum ............................................. 5
2.1.2. Jasa Transportasi ................................................ 5
2.2. Teori Perdagangan Internasional ................................... 7
2.3. Liberalisasi ..................................................................... 8
2.4. MEA dan AFAS .............................................................. 9
2.4.1. Komitmen Liberalisasi Perdagangan Jasa
dalam AFAS ........................................................ 11
2.5. ATISA ............................................................................ 12
2.6. Perdagangan Jasa dan Investasi ................................... 13
2.7. Comparative Advantage ................................................ 15
2.8. Penelitian-Penelitian Sebelumnya ................................. 17
BAB III. METODOLOGI ANALISIS .................................................... 18
3.1. Metode Analisis .............................................................. 18
3.1.1. Analisis Kualitatif Deskriptif ................................. 18
3.1.2. Analisis Kuantitatif ............................................... 18
3.1.2.1. Data Envelopment Analysis ................... 18
3.1.2.2. Indeks Hoekman .................................... 20
3.1.3 Wawancara dan FGD .......................................... 20
3.2.Data dan Teknik Pengumpulan Data.............................. 21
3.3. Kerangka Pemikiran ....................................................... 21
BAB IV. PERKEMBANGAN PERDAGANGAN JASA DAN
INVESTASI .......................................................................... 22
4.1. Perkembangan Perdagangan Jasa dan Investasi
di Kawasan Ekonomi ASEAN ........................................ 22
4.1.1. Perdagangan Jasa di Kawasan ASEAN .............. 22
4.1.2. Perkembangan FDI di Kawasan ASEAN ............. 24
4.2. Perkembangan Perdagangan Jasa dan Investasi
di Indonesia.................................................................... 26
4.2.1. Perkembangan Perdagangan Jasa di Indonesia . 26
4.2.2. Kinerja Jasa Angkutan Laut Nasional .................. 28
4.2.3. Perkembangan FDI Jasa Angkutan Laut
di Indonesia ......................................................... 31
BAB V. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ........................................... 33
5.1. Hasil Analisis DEA ......................................................... 33
5.2. Hasil Analisis Indeks Hoekman ...................................... 34
5.3. Kebijakan di Dalam Negeri ............................................ 37
BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................. 41
6.1 Kesimpulan .................................................................... 41
6.2 Rekomendasi ................................................................. 41
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 42
LAMPIRAN........................................................................................ 44
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Daftar Gambar Halaman
2.1. Schedule of Commitment dalam AFAS .......................... 11
3.1. Kerangka Pemikiran ....................................................... 21
4.1. Perkembangan FDI di Kawasan ASEAN ....................... 25
4.2. Perkembangan FDI pada Jasa Angkutan Laut
di Indonesia.................................................................... 32
Daftar Tabel
3.1. Indeksasi dengan Hoekman Index ................................. 20
3.2. Data Sekunder dan Sumber Data .................................. 21
4.1. Liner Shipping Billateral Connectivity Index
Negara-Negara ASEAN ................................................. 24
4.2. Perkembangan Perdagangan Jasa Indonesia ............... 27
4.3. Logistic Performance Index Negara-Negara ASEAN ..... 29
5.1. Tingkat Efisiensi Jasa Angkutan Laut Nasional dan Jasa
Pendukungnya Dibandingkan Negara ASEAN Lainnya . 33
5.2. Perbandingan Indeks Hoekman Jasa Angkutan Laut
Indonesia Dibandingkan Negara ASEAN Lainnya ......... 35
5.3. Perbandingan Tingkat Suku Bunga dan Tarif Pajak
Pendapatan di Negara-Negara ASEAN ......................... 3
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunianya sehingga analisis yang berjudul Analisis Liberalisasi Jasa
Angkutan Laut Indonesia Dalam Kerangka Kerjasama Asean Trade in
Services Agreement (ATISA), dapat diselesaikan.
Selain itu Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala
Pusat Pengkajian Kerjasama Perdagangan Internasional, BPPP Kemendag
dan Kepala Bidang Multilateral di Pusat Pengkajian Kerjasama Perdagangan
Internasional atas arahan dan bimbingan dalam penulisan ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada rekan dan pihak lain yang memberikan
bantuan dan tidak dapat disebutkan satu per satu.
Menyadari laporan ini masih banyak kekurangan, diharapkan
masukan yang membangun untuk memperbaiki laporan ini dimasa
mendatang.
Jakarta, Oktober 2016
Tim Penulis
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Organisasi ASEAN telah berkembang saat ini dibandingkan pada saat
awal berdirinya pada 8 Agustus 1967, yang semula ditujukan untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas wilayah menjadi suatu ambisi untuk
menciptakan suatu kawasan ekonomi yang terintegrasi dalam satu wadah yang
dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA adalah sebuah bentuk
komitmen bersama untuk menjadikan ASEAN sebagai sebuah kawasan yang
terintegrasi, stabil, dan berdaya saing dengan meminimalkan hambatan
pergerakan aliran barang dan jasa, investasi, tenaga kerja terampil, serta aliran
modal diantara negara-negara ASEAN. Untuk mencapai tujuan MEA tersebut,
pembangunan konektivitas di setiap negara anggota menjadi sangat penting
dalam rangka menciptakan kawasan ASEAN yang terintegrasi.
Transportasi laut memainkan peran kunci untuk mendukung konektivitas
ASEAN yang terintegrasi, khususnya jasa angkutan laut. Selain sebagai cara
untuk membantu perpindahan orang/penumpang dari suatu tempat ke tempat
lain, jasa angkutan laut juga berfungsi sebagai cara untuk memperlancar arus
perpindahan barang dari asal barang tersebut diproduksi ke tempat tujuan
dimana barang tersebut dibutuhkan oleh pembeli atau pengguna. Berdasarkan
UNCTAD (2016), kondisi yang ada saat ini adalah konektivitas negara-negara
ASEAN belum optimal secara keseluruhan. Hal ini disebabkan antara lain karena
terbatasnya sarana dan prasarana angkutan laut di masing-masing negara
anggota. Oleh karena itu, peningkatan investasi pada jasa angkutan laut
sangatlah penting untuk memperbaiki konektivitas tersebut dan sekaligus
mendorong perekonomian suatu negara dengan cara meningkatkan daya saing
barang-barang hasil produksi dari negara tersebut dan rantai nilai kawasan
secara keseluruhan.
Di Indonesia, ada beberapa alasan mengapa peningkatan investasi pada
sektor jasa angkutan laut menjadi sangat penting. Pertama, sebagai negara
kepulauan, Indonesia sangat bergantung kepada moda transportasi laut karena
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 2
berperan sebagai “masukan” pada sektor-sektor lainnya. Permasalahan
konektivitas masih menjadi hambatan utama bagi Indonesia untuk menciptakan
jasa angkutan laut yang efisien, dimana infrastruktur masih dianggap sebagai
penyebab utamanya. Kedua, upaya peningkatan konektivitas juga perlu didukung
oleh armada transportasi yang memadai sehingga investasi pada jasa angkutan
laut sangatlah diharapkan sebagai upaya mendapatkan biaya transfer yang lebih
efisien. Namun demikian, kebutuhan dana yang diperlukan untuk peningkatan
konektivitas dan pendukungnya tersebut sangatlah besar, sehingga peran serta
semua pihak sangat diperlukan. Sektor swasta dapat memainkan peran yang
lebih besar untuk membantu menjembatani kesenjangan tersebut, salah satunya
melalui penanaman modal asing/foreign direct investment (FDI) dari negara-
negara mitranya di ASEAN.
Dalam hal perdagangan jasa, ASEAN Framework Agreement on Services
(AFAS) telah disusun sebagai bentuk implementasi konkrit liberalisasi yang
berkelanjutan bagi setiap negara anggota dalam pencapaian tujuan MEA. Dua
hal penting yang menjadi fokus kesepakatan liberalisasi dalam AFAS adalah arus
perpindahan modal dan tenaga kerja. Sejak ditandatanganinya pertama kali pada
tahun 1996, sejumlah paket komitmen AFAS telah berhasil diselesaikan dan
ditandatangani oleh seluruh negara anggota ASEAN. Hingga saat ini, negara-
negara ASEAN telah mencapai tahap perundingan AFAS-10 sebelum nantinya
diimplementasikan secara utuh pada ASEAN Trade in Services Agreement
(ATISA). Pada implementasi ATISA, semua negara ASEAN seyogyanya dapat
memanfaatkan aliran investasi sekurang-kurangnya foreign equity participation
(FEP) sebesar 70% di masing-masing negara mitra intra ASEAN.
Sebagai upaya mendukung implementasi ATISA, Pemerintah Indonesia
seharusnya telah memenuhi target liberalisasi AFAS dari FEP sebesar 60 persen
menjadi 70 persen pada sektor jasa angkutan laut luar negeri. Namun, hingga
tahun 2016 Indonesia belum memenuhi target tersebut. Hal inilah yang kemudian
diduga penyebab investasi intra anggota ASEAN ke Indonesia dianggap masih
berjalan lambat pada sektor ini. Padahal, peningkatan investasi sangatlah
diharapkan dalam rangka mendukung peningkatan konektivitas Indonesia ke
kawasan ASEAN. Selain itu, implementasi FDI dari negara mitra Indonesia di
ASEAN juga sangat bergantung kepada iklim investasi dan kebijakan-kebijakan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 3
di dalam negeri yang sifatnya menumbuhkembangkan kegiatan investasi itu
sendiri. Oleh karena itu, diperlukan suatu analisis untuk mengukur daya saing
dan tingkat keterbukaan jasa angkutan laut Indonesia dibandingkan negara
ASEAN lainnya, serta untuk mengetahui kebijakan di dalam negeri yang
menghambat investasi pada jasa angkutan laut di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut, permasalahan dari
analisis ini adalah:
a. Bagaimana daya saing sektor jasa angkutan laut nasional saat ini
dibandingkan dengan jasa angkutan laut dari negara ASEAN lainnya?
b. Bagaimana tingkat keterbukaan sektor jasa angkutan Iaut Indonesia
dibandingkan negara ASEAN lainnya?
c. Bagaimana kebijakan di dalam negeri yang menghambat investasi pada jasa
angkutan laut di Indonesia?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan analisis ini adalah:
a. Untuk mengetahui daya saing sektor jasa angkutan laut nasional saat ini
dibandingkan dengan jasa angkutan laut dari negara ASEAN lainnya.
b. Untuk mengetahui tingkat keterbukaan sektor jasa angkutan Iaut Indonesia
dibandingkan negara ASEAN lainnya.
c. Untuk mengetahui kebijakan di dalam negeri yang menghambat investasi
pada jasa angkutan laut di Indonesia.
1.4. Hasil Analisis
Adapun hasil dari analisis ini adalah tersedianya satu laporan mengenai
kebijakan Analisis Liberalisasi Jasa Angkutan Laut Indonesia Dalam
Kerangka Kerjasama ASEAN Trade in Services Agreement (ATISA).
1.5. Dampak/Manfaat
Hasil analisis ini diharapkan dapat digunakan oleh stakeholders sebagai
bahan pengambilan keputusan.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 4
1.6. Ruang Lingkup Analisis
Adapun ruang lingkup dalam analisis ini adalah:
a. Tingkat liberalisasi jasa angkutan laut Indonesia di tingkat ASEAN
khususnya jasa angkutan laut luar negeri.
b. Tingkat keterbukaan diukur sesuai dengan Schedule of Commitment
(SoC) Indonesia dalam ASEAN Framework Agreement on Services
(AFAS) ke-8.
c. Analisis DEA dilakukan terhadap 5 (lima) negara anggota ASEAN antara
lain Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.1.1. Jasa Secara Umum
Berdasarkan Kotler (2003), jasa adalah setiap tindakan atau kinerja yang
ditawarkan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya yang pada dasarnya tidak
berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun, serta produksinya
mungkin terikat atau tidak pada suatu produk fisik. Lebih lanjut, menurut Zeithaml
dan Bitner (1996), jasa adalah semua kegiatan ekonomi yang outputnya bukan
produk fisik atau barang dan umumnya dikonsumsi pada saat jasa itu diproduksi,
dan memberikan nilai tambah dalam banyak bentuk (seperti kenyamanan,
hiburan, dan kesehatan). Jadi berdasarkan definisi di atas, jasa adalah produk
yang tidak berwujud (intangible), yang penggunaannya bersifat sementara (tidak
tahan lama) dan tidak menghasilkan kepemilikan bagi yang membelinya. Jasa
diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan dimana produksinya dapat
dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik.
2.1.2. Jasa Transportasi
Berdasarkan (Kamaluddin, 2003) dalam (Kadir, 2006), transportasi
merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin, yaitu transportare, dimana trans
artinya seberang atau sebelah lain dan portare yang berarti mengangkut atau
membawa. Secara harfiah, transportasi berarti mengangkut sesuatu dari suatu
tempat ke tempat lainnya. Transportasi juga dapat didefinisikan sebagai usaha
dan kegiatan mengangkut atau membawa barang dan/atau penumpang dari
suatu tempat ke tempat lainnya. Munawar (2005) mendefinisikan transportasi
sebagai kegiatan pemindahan penumpang dan barang dari satu tempat ke
tempat lain dimana ada 5 (lima) unsur pokok dalam sistem transportasi, yaitu:
a. Orang yang membutuhkan;
b. Barang yang dibutuhkan;
c. Kendaraan sebagai alat angkut;
d. Jalan sebagai prasarana angkutan;
e. Organisasi/pengelola angkutan.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 6
Berdasarkan definisi jasa dan transportasi di atas, jasa transportasi dapat
diartikan sebagai kegiatan ekonomi untuk mengangkut atau membawa barang
dan/atau penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Berbeda halnya
dengan produk berupa barang, produk jasa yang ditawarkan adalah manfaat bagi
pengguna jasa itu sendiri, dimana konsumen jasa hanya bisa mengevaluasi
kualitas jasa tersebut berdasarkan pengalaman dan kepercayaan setelah
menggunakannya. Oleh karena itu, dalam Kotler (2003), merek (brand) dan
nama baik suatu penyedia jasa sangat menentukan keputusan pembelian jasa.
Konsumen akan yakin dan cenderung memilih penyedia jasa yang secara
historical mampu memenuhi permintaan konsumen tersebut di masa lampau.
Berdasarkan peraturan perundang-perundangan di Indonesia, jasa
transportasi laut didefinisikan sebagai jasa angkutan laut, baik penumpang
maupun barang. Jasa ini dikelola oleh perusahaan angkutan laut nasional
dan/atau perusahaan angkutan laut asing dengan menggunakan kapal
berbendera Indonesia dan/atau kapal asing yang ketentuannya mengacu kepada
UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dalam Ristianingrum (1999),
angkutan laut mempunyai beberapa jenis atau tipe yang didasarkan pada cara
pengoperasian kapal, antara lain:
a. Liner Service, yaitu pengoperasian kapal dimana perusahaan yang
mengusahakan kapal/perusahaan pelayaran melayani trayek tertentu
secara teratur misalnya rute Indonesia – Malaysia, Indonesia – Jepang,
dan sebagainya. Beberapa perusahaan pelayaran yang melayani rute
yang sama tunduk kepada suatu freight conference untuk menentukan
ongkos pengangkutan dengan maksud untuk menghindarkan persaingan
yang tidak sehat. Umumnya, pada Liner Service juga berlaku liner term,
yaitu dalam hal pemakaian ruangan kapal, pemilik barang tidak dibebani
biaya tambahan kecuali freight rate. Bahkan biaya bongkar muat barang
ke atas dan ketika turun kapal (stevedoring) telah menjadi tanggungan
perusahaan pelayaran yang bersangkutan. Pemilik barang hanya
berkewajiban menyerahkan barang sampai di sisi kapal.
b. Tramp Service/Tramper, yaitu pengoperasian kapal dimana pengusaha
kapal tidak terikat untuk melayani rute tertentu. Kapal datang ke
pelabuhan mana saja setelah menerima informasi adanya muatan yang
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 7
akan diangkut. Perusahaan kapal tidak terikat pada suatu conference
sebagai dasar penentuan ongkos pengangkutan. Freight rate ditetapkan
atas dasar tawar-menawar antara perusahaan kapal dengan calon
pemakai jasa angkutan kapal.
c. Charter, yaitu pengoperasian kapal dengan cara time charter dan voyage
charter. Antara penyewa ruang kapal dengan pengusaha kapal melakukan
kesepakatan untuk melakukan satu atau lebih pelayaran tertentu atau
melakukan pelayaran pada suatu periode tertentu, guna mengangkut
barang-barang yang dikomitmenkan oleh penyewa ruang kapal. Dalam hal
ini, biaya sewa dihitung berdasarkan banyaknya muatan yang diangkut
sebagaimana yang dijanjikan oleh penyewa dan dicatat dalam charter
party (C/P). Kapal yang telah di-charter harus melakukan pelayaran
melalui trayek sebagaimana yang diatur dalam C/P, meskipun ruangan
kapal digunakan seluruhnya atau sebagian. Pada umumnya, jenis
pengoperasian kapal charter ini digunakan oleh para pengusaha atau
perusahaan yang melakukan aktivitas jual beli antar pulau dan juga antar
negara dimana jual beli barang-barang tersebut berlangsung atas dasar
FOB atau CIF.
2.2. Teori Perdagangan Internasional
David Ricardo memberikan landasan tentang perdagangan internasional
yang dimulai dari konsep keunggulan komparatif (comparative advantage).
Ricardo hanya menekankan labour content theory atau produktivitas tenaga kerja
sebagai basis keunggulan komparatif. Suatu negara akan mendapatkan
keuntungan perdagangan (gain from trade) apabila kedua negara
menspesialisasikan diri pada sektor yang mana negara itu memiliki keunggulan
komparatif.
Krugman (2003; 2005), dalam Kementerian Perdagangan (2014),
menjelaskan bahwa suatu Negara memiliki keunggulan komparatif pada suatu
produk apabila opportunity cost memproduksi produk tersebut lebih kecil di
negara tersebut dibandingkan dengan diproduksi di negara lain. Dalam hal ini,
keunggulan komparatif dilihat dengan cara membandingkan opportunity cost
yang akan hilang oleh suatu negara apabila negara tersebut melakukan realokasi
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 8
sumber daya yang ada kepada suatu produk sehingga kehilangan
kemampuannya untuk memproduksi produk yang lain (Krugman, 2003).
Lebih lanjut, permintaan dunia akan menentukan posisi keunggulan
komparatif suatu negara (Krugman, 2005). Apabila harga dunia berada pada
kisaran perbandingan rasio opportunity cost kedua negara maka keunggulan
komparatif akan terbentuk sehingga kedua negara dapat berdagang. Namun
apabila harga dunia terlalu tinggi atau terlalu rendah dibandingkan dengan rasio
opportunity cost kedua negara, maka kedua negara akan memiliki perdagangan
satu arah.
Efisiensi dan produktivitas suatu negara akan membentuk keunggulan
komparatif suatu negara. Perkembangan teknologi akan mengubah alokasi
sumberdaya dalam suatu negara dan akan mengubah keunggulan komparatif
suatu negara. Konsep keunggulan komparatif menjelaskan walaupun suatu
negara tidak memiliki keunggulan absolut, suatu negara masih dapat
mendapatkan keuntungan perdagangan. Suatu negara dapat dipastikan memiliki
keunggulan komparatif (Krugman 2003).
Kemampuan suatu negara menemukan keunggulan komparatifnya akan
memberikan optimalisasi kesejahteraan dan keuntungan negara tersebut dalam
berdagang (Krugman, 2003). Krugman (2003) mencontohkan hal tersebut
dengan model ekonomi satu faktor, dimana suatu negara akan mendapatkan
kesejahteraan lebih tinggi apabila negara tersebut menspesialisasikan pada
produk yang memiliki keunggulan komparatif. Selain itu, kemampuan suatu
negara menemukan dan menspesialisasikan pada keunggulan komparatif akan
menentukan pola perdagangan kedua negara. Pembentukan efisiensi suatu
negara akan berdampak pada keunggulan komparatif suatu Negara (Krugman,
2003).
2.3. Liberalisasi
Dalam perdagangan internasional, liberalisasi berarti penghilangan
kebijakan dan aturan yang sifatnya menghambat perdagangan. Kebijakan atau
aturan tersebut berlaku, baik kebijakan tarif maupun non-tarif, pada perdagangan
barang dan jasa. Dalam perdagangan barang, liberalisasi perdagangan berarti
mengurangi hambatan impor barang dari luar negeri untuk lebih bebas masuk ke
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 9
dalam negeri, dan begitu pula sebaliknya pengurangan hambatan untuk ekspor
barang ke luar negeri yang diberikan oleh negara mitra. Dengan kata lain,
penghilangan hambatan perdagangan dapat dikatakan sebagai insentif bagi
kegiatan perdagangan sehingga dapat berimplikasi pada semakin intensifnya
perdagangan antar negara.
Ide liberalisasi perdagangan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan negara-negara yang terlibat di dalamnya. Teori perdagangan
internasional yang ditawarkan oleh Adam Smith, David Ricardo, Heckscher-
Ohlin, dan teori perdagangan internasional modern lainnya memberikan
penekanan bahwa negara-negara akan menjadi lebih sejahtera dengan
perdagangan internasional yang semakin bebas hambatan. Lebih lanjut,
pandangan outward looking memandang bahwa dengan masuknya barang impor
ke pasar domestik akan menekan produsen domestik untuk menjadi lebih efisien.
Semakin efisien perusahaan domestik, semakin kompetitif perusahaan tersebut
yang pada akhirnya mampu berkompetisi dan melakukan ekspansi ke pasar
dunia.
Pada sisi lain, pandangan yang berbeda atas liberalisasi perdagangan di
atas meyakini bahwa kesejahteraan produsen lokal diprediksi akan tergerus jika
arus barang dan jasa dari luar negeri dibiarkan bebas masuk. Pandangan ini
disebut sebagai inward looking yang mengarahkan kepada strategi substitusi
impor, yakni hanya mengimpor barang-barang untuk menutupi kekurangan
produksi di dalam negeri. Impor akan dihentikan jika industri domestik siap untuk
memenuhi permintaan domestik.
2.4. MEA dan AFAS
Perjalanan MEA berawal pada KTT ASEAN di Kuala Lumpur Desember
1997 ditandai dengan terbentuknya ASEAN Vision 2020 dalam rangka
menciptakan kawasan yang stabil, kemakmuran bersama, berdaya saing tinggi
dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan penurunan tingkat kemiskinan
dan kesenjangan ekonomi. Kemudian, KTT ASEAN ke-9 di Bali pada Oktober
2003 dimana para pemimpin ASEAN menandatangani Deklarasi ASEAN
Concord II (Bali Concord II) sebagai bentuk penegasan kembali visi mereka
tersebut untuk mendirikan Masyarakat ASEAN dalam kerangka-kerangka
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 10
kerjasama yang kemudian dikenal sebagai tiga pilar Masyarakat ASEAN.
Kerangka kerjasama tersebut antara lain membentuk Masyarakat Ekonomi
ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC), Masyarakat Keamanan ASEAN
(ASEAN Security Community/ASC), dan Masyarakat Sosial Budaya ASEAN
(ASEAN Socio-Cultural Community/ASCC). Lebih lanjut, saat KTT ke-13 ASEAN
digelar di Singapura pada 20 November 2007, para pemimpin ASEAN
menandatangani ASEAN Charter dan AEC Blueprint 2015 yang menandai
pengaturan lebih formal dan roadmap bagi negara-negara ASEAN untuk
mengimplementasikan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat menjadi
suatu langkah kongkrit yang terperinci dan terjadwal.
Di bidang perdagangan jasa dan investasi, Indonesia telah meratifikasi
sejumlah kesepakatan sesama negara-negara anggota ASEAN. ASEAN
Framework Agreement on Services (AFAS) disusun sebagai bentuk kesepakatan
di bidang perdagangan jasa yang lebih rinci serta penjabaran dari implementasi
cetak biru sesuai dengan tingkat komitmen dan jadwal yang telah disepakati tiap
negara anggota ASEAN. Langkah kongkrit dari negara-negara ASEAN untuk
berkontribusi secara progresif menghapus hambatan-hambatan perdagangan
jasa dalam rangka realisasi akhir tujuan integrasi ekonomi sebagaimana yang
dicanangkan dalam ASEAN Vision 2020.
Sejak ditandatanganinya pertama kali pada tahun 1996, sejumlah paket
komitmen AFAS telah berhasil diselesaikan dan ditandatangani oleh seluruh
negara anggota ASEAN. Melalui proses liberalisasi ini, investasi di bidang jasa
yang sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi diharapkan semakin meningkat.
Tujuan AFAS disusun adalah:
a. Untuk meningkatkan kerjasama di bidang jasa sesama negara anggota
ASEAN dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing, diversifikasi
kapasitas produksi serta pasokan dan distribusi jasa, baik antara para
penyedia jasa di ASEAN maupun diluar ASEAN;
b. Untuk menghapus hambatan perdagangan jasa secara substansial antara
anggota ASEAN;
c. Untuk meliberalisasikan perdagangan bidang jasa dengan memperdalam
dan memperluas cakupan liberalisasi dalam kerangka GATS/WTO yang
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 11
ditujukan untuk merealisasikan area perdagangan bebas bidang jasa di
kawasan ASEAN.
2.4.1. Komitmen Liberalisasi Perdagangan Jasa dalam AFAS
Merujuk kepada Kementerian Perdagangan (2016), perdagangan jasa
meliputi aktivitas-aktivitas perdagangan yang terdiri dari empat moda, antara lain:
a. Mode 1 (Cross Border Supply) yaitu kebebasan pemasok jasa asing untuk
memberikan jasanya secara lintas batas tanpa harus hadir di negara tersebut;
b. Mode 2 (Consumption Abroad) yaitu kebebasan bagi konsumen untuk menggunakan
jasa di negara lain dengan cara berada pada negara tempat penyedia jasa tersebut;
c. Mode 3 (Commercial Presence) yaitu kebebasan perusahaan asing untuk hadir dan
mendirikan badan usahanya di negara lain; dan
d. Mode 4 (Movement of Natural Person) yaitu kebebasan bagi orang pribadi untuk
bekerja atau memberikan jasanya di negara lain.
Mode of supply:
1) Cross-border supply; 2) Consumption abroad; 3) Commercial presence; 4) Movement of natural person
Sector or subsector Limitation on market accsess
Limitation on national treatment
Additional commitment
I. HORIZONTAL COMMITMENTS
1) 2) 3) 4)
1) 2) 3) 4)
II. SECTOR-SPECIFIC COMMITMENTS
1) 2) 3) 4)
1) 2) 3) 4)
Gambar 2.1. Schedule of Commitment dalam AFAS
Sumber: Kementerian Perdagangan, 2016.
Lebih lanjut, dalam setiap putaran perundingan AFAS, setiap negara
anggota mengkomitmenkan liberalisasi perdagangan jasanya yang kemudian
didokumentasikan dalam suatu bentuk schedule of commitment (SOC). Terdapat
12 (dua belas) sektor yang dikomitmenkan dalam AFAS, antara lain (1) business
services; (2) communication services; (3) construction services; (4) distribution
services; (5) educational services; (6) enviromental services; (7) financial
services; (8) health-related and social services; (9) tourism and travel – related
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 12
services; (10) recreational; cultural and supporting services; (11) transport
services; dan (12) other services not elsewhere included. Secara sederhana,
SOC terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama tentang pembatasan horisontal
dan bagian kedua tentang komitmen sektor secara lebih spesifik. Adapun bentuk
SOC tersebut disajikan pada Gambar 2.1.
2.5. ATISA
ASEAN mengakui bahwa integrasi ekonomi kawasan merupakan suatu
proses dinamis dan berkelanjutan sebagaimana ekonomi domestik masing-
masing negara anggota dan lingkungan eksternal terus berubah secara terus
menerus. Walaupun implementasi AEC Blueprint 2015 secara keseluruhan
belum terlaksana, namun secara substansial implementasinya telah banyak
kemajuan hingga saat ini. Menyadari hal tersebut, pada tahun 2015 ASEAN
berupaya menginisiasi suatu bentuk cetak biru baru yang disebut AEC Blueprint
2025, dimana visi dan langkah-langkah pada cetak biru sebelumnya masih tetap
dianggap relevan, dengan menekankan kepada penciptaan jaringan, daya saing,
inovasi, dan ASEAN yang terintegrasi. Di bidang perdagangan jasa, tujuan AEC
Blueprint 2025 adalah untuk lebih memperluas dan memperdalam integrasi
layanan dalam ASEAN, integrasi ASEAN ke dalam rantai pasokan global pada
barang dan jasa, dan meningkatkan daya saing sektor jasa negara-negara
anggota ASEAN. Selain itu, sektor jasa yang kuat akan memfasilitasi
pengembangan industri, inovasi, dan efisiensi yang pada akhirnya adalah
maksimalisasi potensi kontribusi sektor jasa terhadap pembangunan ekonomi
dan pertumbuhan.
Melalui serangkaian putaran perundingan dalam kerangka AFAS, ASEAN
terus memperluas cakupan dan mengurangi batasan-batasan terkait akses pasar
dan perlakuan nasional di sektor jasa. Saat ini, negara ASEAN telah mencapai
tahap perundingan AFAS-10 sebelum nantinya diimplementasikan secara utuh
pada ATISA yang menjadi dasar hukum pembentukan integrasi secara utuh pada
sektor jasa di ASEAN. Dalam rangka mendukung implementasi ATISA, Indonesia
seharusnya telah memenuhi agenda penting liberalisasi AFAS untuk
meningkatkan batas kepemilikan modal asing atau FEP dari rata-rata 49 persen
menjadi 70 persen. Namun, hingga tahun 2016 Indonesia belum dapat
memenuhi target tersebut. FEP menjadi sangat penting karena menentukan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 13
batas maksimum kepemilikan modal bagi penyedia jasa asing di Indonesia yang
kemudian akan melakukan kontrol pada perusahaan jasa yang didirikan baik
melalui modal patungan (merger) dengan pengusaha lokal di Indonesia. Oleh
karena itu, agenda terpenting berikutnya adalah untuk memfasilitasi negosiasi
dan implementasi ATISA dan upaya-upaya yang berkelanjutan, antara lain:
a. Mencari alternatif-alternatif pendekatan lainnya dalam rangka liberalisasi jasa
lebih lanjut serta meninjau kembali kebijakan yang ada menjadi lebih tepat
guna seperti tentang fleksibilitas, batasan, ambang batas;
b. Meningkatkan mekanisme untuk menarik FDI pada sektor jasa, termasuk
peningkatan FEP dalam rangka mendukung aktivitas GVC;
c. Membangun tata kelola yang mungkin pada peraturan domestik untuk
memastikan daya saing pada sektor jasa, mempertimbangkan tujuan non-
ekonomi atau pembangunan lainnya;
d. Meningkatkan kerjasama teknis pada sektor jasa dalam hal human resource
development (HRD), kegiatan promosi bersama untuk menarik FDI pada
sektor jasa, dan pertukaran pengalaman sesama negara anggota.
2.6. Perdagangan Jasa dan Investasi
Hubungan antara investasi dan perdagangan terhadap pertumbuhan
ekonomi telah menjadi salah satu isu penting dalam pembahasan ekonomi
internasional. Para pengambil kebijakan di banyak negara terus mengupayakan
untuk meningkatkan kapasitas perdagangannya dengan negara-negara mitra
dagangnya untuk menstimulasi pertumbuhan ekonominya. Selain itu, mereka
juga berupaya untuk menciptakan segala bentuk insentif agar menarik bagi
investasi karena dianggap telah berdampak pada perkembangan ekonomi
secara positif. Kedua hal ini telah banyak mengilhami para peneliti dan akademisi
untuk melihat lebih jauh tentang dampak investasi dan perdagangan terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Stimulus utama pertumbuhan ekonomi dan pembangunan adalah
investasi. Pada awalnya, sumber utama untuk investasi tersebut di banyak
negara adalah berasal tabungan nasional (saving). Namun, sebagian besar
negara-negara berkembang dan terbelakang menghadapi kondisi kesulitan dana
untuk investasi itu sendiri karena beberapa kesulitan fundamental ekonominya,
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 14
seperti pendapatan nasional yang rendah, inflasi, pengangguran, dan lain
sebagainya. Untuk alasan ini, negara berkembang dan terbelakang
mengupayakan terus-menerus untuk memanfaatkan pinjaman luar negeri dalam
rangka menutupi kekurangan tersebut. Namun, akibat beberapa alasan dana-
dana investasi yang digulirkan tidak digunakan sebagaimana mestinya pada
proyek-proyek yang tidak menguntungkan sehingga pada akhirnya mereka
kesulitan untuk membayar pinjamannya. Masalah ini menyebabkan peningkatan
hutang luar negeri yang memiliki efek buruk pada beberapa ekonomi negara-
negara tersebut. Untuk mengurangi resiko dampak buruk akibat pinjaman luar
negeri, negara-negara maju kemudian mengusulkan untuk menggunakan
Foreign Direct Investment (FDI) yang pada akhirnya menyebabkan negara-
negara maju tersebut membandingkan satu negara dengan negara lainnya
sebagai tujuan investasi mereka.
Blomstrom, et al (1994) mengatakan bahwa FDI memiliki efek positif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Ada hubungan antara tingkatan ambang
penghasilan dengan FDI, sehingga investasi langsung tersebut memiliki efek
positif pada pertumbuhan ekonomi di negara tuan rumah. Negara-negara yang
telah mencapai tingkat pendapatan tertentu dapat menyerap teknologi baru dan
manfaat dari transfer teknologi, sehingga menuai keuntungan tambahan dari FDI.
Hal ini karena dibutuhkan penduduk terdidik (human capital) untuk memahami
dan menyebarkan manfaat inovasi baru ke seluruh perekonomian. Selain itu,
Borensztein, et al (1998) mengemukakan bahwa diperlukan ketersediaan
batasan minimum sumber daya manusia di negara tuan rumah untuk dapat
menikmati efek positif dari FDI.
Lebih lanjut, berdasarkan De Mello (1997) dan De Mello (1999), FDI akan
meningkatkan pengetahuan di negara tuan rumah melalui transfer knowledge
seperti pemberian pelatihan tenaga kerja, transfer keterampilan, dan transfer
pemahaman manajerial dan praktik organisasi yang lebih baik. FDI juga dapat
memperkenalkan penggunaan teknologi yang lebih canggih dengan cara
akumulasi modal di negara-negara tuan rumah. Dengan demikian, FDI terkait
dengan spillover teknologi dapat mengimbangi efek-efek deminishing returns dari
modal dan menjaga perekonomian tetap tumbuh dalam jangka panjang. Oleh
karena itu, FDI dengan cara akumulasi modal dan spillover pengetahuan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 15
memainkan peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi. Selain itu, berdasarkan
De Gregorio (2003), FDI memungkinkan suatu negara untuk mengembangkan
teknologi dan pengetahuan yang tidak tersedia dari investor domestik, sehingga
FDI merupakan cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui
produktivitas yang lebih baik.
Kemudian, Wacziarg (2001) berpendapat bahwa keterbukaan
perdagangan menimbulkan dampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi karena percepatan peningkatan infrastruktur, alih teknologi
berkelanjutan,dan kebijakan ekonomi makro yang lebih baik. Selain itu, ada
banyak alasan yang bisa menjelaskan mengapa keterbukaan perdagangan
memberikan pengaruh positif pada tingkat pertumbuhan atau tingkat pendapatan.
Pengaruh tersebut berasal dari kebijakan domestik yang lebih baik, peningkatan
fungsi lembaga-lembaga, transmisi teknologi yang difasilitasi oleh keterbukaan
terhadap perdagangan, peningkatan langsung investasi asing dan efek
penyebaran. Oleh karena itu, atas dasar studi-studi sebelumnya yang telah
disebutkan di atas, perdagangan dan FDI telah diakui sebagai faktor penting
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu negara.
2.7. Comparative Advantage
Daya saing menawarkan sejumlah tantangan karena menciptakan
keuntungan bagi perusahaan, kesejahteraan bagi warga negara, dan
kemakmuran berkelanjutan bagi perekonomian. Porter (1990) menyebutkan
bahwa keunggulan bersaing (comparative advantage) adalah seberapa besar
kemampuan suatu entitas, baik negara atau perusahaan, untuk lebih unggul
dibandingkan pesaingnya. Keunggulan dapat ditentukan oleh beragam faktor
seperti sumber daya, biaya, teknologi, dan lain sebagainya sehingga suatu
entitas mendapatkan nilai maksimal untuk memproduksi suatu barang terhadap
satuan modal yang digunakan. Keunggulan bersaing dapat diperoleh dengan
melakukan inovasi dalam hal cara melakukan sesuatu yang lebih baik dan lebih
efisien.
Keunggulan bersaing juga dapat dicapai dengan meningkatkan
produktifitas dan biaya yang efisien. Produktifitas adalah nilai output yang
diproduksi oleh satuan unit tenaga kerja atau modal serta kesesuaiannya dengan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 16
kualitas dan fitur produk yang dihasilkan. Adapun, biaya yang efisien dapat
diterjemahkan sebagai seberapa efisien biaya operasional perusahaan-
perusahaan di suatu negara yang lebih baik dibandingkan perusahaan-
perusahaan di negara pesaingnya untuk menghasilkan barang dan atau jasa.
Dalam arti kata lain, daya saing merupakan kemampuan dari suatu entitas untuk
memberikan nilai tinggi terhadap produk sehingga berdaya saing.
Dalam perdagangan internasional, pertukaran barang dan jasa erat
kaitannya dengan perusahaan-perusahaan multinasional dengan skala regional
dan global (multi national enterprises/MNEs) yang menentukan suatu negara
untuk menjadi bagian dari rantai nilai (global value chain/GVC mereka. Seperti
halnya permintaan impor yang sangat dipengaruhi oleh seberapa besar
keikutsertaan produsen di suatu negara yang menjadi basis produksi perusahaan
MNEs tersebut atau juga disebut sebagai buyer skala global. Perusahaan MNEs
ini mayoritas melakukan kegiatan bisnisnya di negara pengimpor dan sangat
menentukan di negara mana suatu barang atau jasa akan diproduksi, sehingga
akan memilih negara-negara dengan tingkat daya saing tinggi serta didukung
perjanjian perdagangan yang menguntungkan di negara tersebut. Mereka
biasanya menggunakan model outsourcing, joint venture, dan bahkan
kepemilikan penuh yang secara signifikan mempengaruhi bagaimana GVC
tersebut dilaksanakan dan difungsikan.
GVC menjadi semakin berpengaruh dalam menentukan perdagangan
masa depan, peluang investasi, dan peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih
baik. GVC menawarkan kesempatan untuk mengintegrasikan ekonomi dunia
dengan biaya yang lebih rendah. Akan tetapi, keuntungan dari partisipasi GVC
tersebut tidaklah otomatis. Manfaat GVC juga dapat bervariasi tergantung pada
apakah suatu negara beroperasi di tingkatan yang tinggi atau pada tingkatan
rendah pada rantai nilai tersebut, terutama bagi negara-negara berkembang
yang menjadi basis produksi. Namun demikian, fasilitas-fasilitas perdagangan
yang diberikan suatu negara kepada mitra dagangnya tidak akan berdampak
maksimal jika negara tersebut produktifitasnya rendah, dalam arti kata lain “tidak
berdaya saing”.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 17
2.8. Penelitian-Penelitian Sebelumnya
Berdasarkan Tanti Novianti (2013), kualitas infrastruktur dan kelembagaan
merupakan faktor penting yang menentukan kinerja perdagangan serta daya
saing perekonomian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas infrastruktur
dan kualitas kelembagaan negara Indonesia lebih memengaruhi biaya dan
volume perdagangan internasional Indonesia. Dari berbagai indikator kualitas
infrastruktur transportasi, kualitas pelabuhan (port quality) merupakan indikator
yang paling memengaruhi biaya ekspor maupun volume ekspor serta biaya impor
maupun volume impor, baik total tanpa membedakan moda transportasi maupun
berdasarkan moda transportasi laut. Semakin baik kualitas pelabuhan Indonesia
akan menurunkan biaya ekspor maupun impor Indonesia sehingga akan
meningkatkan volume ekspornya dan mampu meningkatkan daya saing
perdagangan Indonesia di pasar internasional. Faktor penentu kualitas
pelabuhan diantaranya adalah kapasitas pelabuhan, tersedianya pelabuhan hub
intrenasional, sarana prasarana bongkar muat, waktu tunggu, SDM pengelola
pelabuhan dan bongkar muat, serta peraturan terkait pelabuhan dan pelayaran.
Sementara indikator kualitas kelembagaan yang lebih memengaruhi biaya ekspor
maupun impor Indonesia adalah terkait dengan efisiensi terkait peraturan dan
birokrasi pemerintah (burden of government regulatory) khususnya terkait
kepabeanan serta indikator terkait keamanan dari kejahatan yang terorganisir
(organized crime).
Lebih lanjut, kajian Kementerian Perdagangan (2014) mengusulkan
roadmap kebijakan peningkatan pencatatan ekspor menggunakan Terms of
Delivery Cost Insurance and Freight (TOD-CIF). Peningkatan TOD-CIF
dimaksudkan untuk mengatasi defisit neraca perdagangan akibat besarnya
defisit perdagangan jasa freight. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan cara peningkatan penggunaan kapal nasional dalam kegiatan ekspor
dan impor karena masih didominasi oleh penggunaan kapal asing. Pada
kesimpulannya, kajian ini mengusulkan untuk meningkatkan pengadaan kapal
nasional guna mencapai target 20 persen volume ekspor diangkut dengan kapal
nasional di tahun 2020.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 18
BAB III
METODOLOGI ANALISIS
3.1. Metode Analisis
Sebagai upaya mendukung peningkatan konektivitas dan mendukung
implementasi ATISA Indonesia di ASEAN, digunakan analisis kualitatif deskriptif
dan kuantitatif untuk mengetahui apakah suatu sektor perlu diliberalisasi lebih
luas lagi atau tidak. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang
potensi dari sektor itu sendiri dan kebijakan apa yang seharusnya dilakukan
dengan harapan keputusan yang diambil adalah demi kepentingan yang lebih
luas untuk kemakmuran Indonesia.
3.1.1. Analisis Kualitatif Deskriptif
Metode kualitatif dilakukan dengan cara melakukan studi literatur dari
penelitian-penelitian sebelumnya dan berbagai sumber lainnya.
3.1.2. Analisis Kuantitatif
Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui kondisi jasa angkutan laut
nasional di Indonesia dibandingkan dengan kondisi di negara ASEAN lainnya
dan tingkat keterbukaan jasa angkutan laut Indonesia di ASEAN.
3.1.2.1. Data Envelopment Analysis (DEA)
Merujuk kepada Kementerian Perdagangan (2016), analisis DEA
digunakan untuk melihat apakah penyedia jasa mampu mengoperasikan
usahanya secara efisien atau tidak. Dalam hal ini, penyedia jasa yang efisien
dianggap berdaya saing karena mereka mampu mengelola input lebih baik untuk
menghasilkan suatu output yang sama dibandingkan penyedia jasa lainnya, atau
dengan input yang sama untuk menghasilkan output yang lebih besar. Trade-off
akan terjadi dalam proses pengambilan keputusan ketika daya saing penyedia
jasa domestik lebih rendah dibandingkan penyedia jasa asing. Existing player
akan berupaya mempengaruhi pemerintah agar dilindungi pasar domestiknya
karena tidak bisa bersaing dengan penyedia jasa asing. Namun, pada sisi lain,
konsumen domestik akan terbebani oleh biaya tinggi akibat jasa yang tidak
efisien. Bagi konsumen sekaligus produsen yang menggunakan jasa tersebut
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 19
sebagai input produksinya, kondisi ini akan menurunkan daya saing mereka
dibandingkan dengan produsen sejenis dari negara lain untuk memproduksi
suatu barang atau jasa yang sama. Oleh karena itu, analisis DEA ini digunakan
untuk mendapatkan informasi lengkap apakah suatu sektor perlu diliberalisasi
atau tidak dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing ekonomi secara
keseluruhan.
Dalam analisis DEA, rasio antara input dan output lazim dipergunakan
sebagai indikator. DEA berasumsi bahwa setiap DMU (Dicision Making Unit)
akan memiliki bobot yang memaksimumkan rasio efisiensinya (maximize total
weighted output/ total weighted input). Maksimalisasi rasio efisiensi ini
menggunakan orientasi output untuk menghitung efisiensi teknik. Orientasi
lainnya adalah meminimalisasi input. Namun, perhitungan kedua orientasi
tersebut, baik sisi input maupun output, akan diperoleh hasil yang sama. Hasil
perhitungan DEA berupa indeks yang berkisar antara 0 sampai dengan 1. Suatu
DMU dikatakan efisien secara relatif apabila nilainya sama dengan 1 (nilai
efisiensi 100 persen), atau dalam arti kata lain berdaya saing. Sebaliknya,
apabila nilainya kurang dari 1, maka DMU bersangkutan dianggap tidak efisien
secara relatif atau mengalami inefisien. Semakin kecil nilai skor dan mendekati 0,
maka dapat dikatakan sektor jasa tersebut tidak efisien dan daya saingnya
lemah. Bagi sektor-sektor jasa yang efisien dapat dianggap memiliki potensi
untuk melakukan ekspor jasa keluar pasar domestiknya dan mampu bersaing
dengan penyedia jasa asing yang masuk ke pasar domestik.
Secara matematis, teknis programasi linier untuk menghitung DEA adalah
sebagai berikut:
Max: 𝐸𝑚 = Σ Vjm . Qjm
Uim . Xim
Tergantung pada :0 ≤ Σ Vjm . Qjm
Uim . Xim≤ 1
uim and vjm ≥ 0
E adalah efisiensi,U dan V adalah bobot, Q dan X masing-masing adalah output
dan input.
Analisis DEA memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah
dapat menangani multiple input dan multiple ouput tanpa perlu mengetahui
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 20
hubungan antara input dan outputnya serta dapat digunakan dengan data input
dan output yang unitnya berbeda. Hal yang diperbandingkan dapat dilihat secara
langsung dari output olahan yang dihasilkan. Sedangkan, kelemahan DEA
adalah tidak mengukur tingkat efisiensi mutlak. Untuk mengukur tingkat
kesalahan yang dipengaruhi oleh tingkat signifikansi, uji stastistik yang digunakan
harus secara manual.
3.1.2.2. Indeks Hoekman
Merujuk kepada Kementerian Perdagangan (2016), Indeks Hoekman (IH)
merupakan suatu metode indeksasi yang diusulkan oleh Hoekman (1995) untuk
mengukur tingkat komitmen GATS-style di sektor jasa. Nilai IH
menginterpretasikan tingkat keterbukaan suatu negara dibandingkan negara
lainnya pada suatu kerangka kerjasama, atau dalam kata lain seberapa liberal
suatu negara dibandingkan yang lainnya. Adapun bentuk indeksasi pada metode
ini, yaitu jika suatu negara memberikan komitmen pada schedule of commitment-
nya berupa none (komitmen penuh) diberikan nilai indeks 1. Jika dibuka dengan
pembatasan diberikan nilai indeks 0.5 dan jika belum dikomitmenkan (unbound)
diberikan nilai indeks 0. Schedule of commitment yang terdiri dari 2 kolom dan
setiap kolom terdiri dari 4 (empat) mode of supply kemudian diindeksasi
sehingga diperoleh nilai rata-rata sederhana sebagai nilai IH (Ishido, 2011).
Tabel 3.1. Indeksasi dengan Hoekman Index
No. Komitmen Indeks Hoekman
1. None (komitmen penuh) 1
2. Limitation (terbuka dengan pembatasan) 0,5
3. Unbound (tertutup) 0
Sumber: Ishido, 2011.
3.1.3. Wawancara dan Focus Group Discussion (FGD)
Wawancara dan FGD merupakan sumber primer untuk mengidentifikasi
apakah kebijakan di dalam negeri sejalan dengan tujuan liberalisasi Indonesia di
tingkat ASEAN. Sinkronisasi kebijakan penting dilakukan agar aturan-aturan
yang ada di dalam negeri sifatnya menumbuhkembangkan investasi itu sendiri.
Dengan sinkronisasi kebijakan, diharapkan investasi asing dari ASEAN pada jasa
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 21
angkutan laut nasional dapat lebih besar lagi sebagai upaya mendukung peran
pemerintah dalam meningkatkan konektivitas dan mendukung implementasi
ATISA.
3.2. Data dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang digunakan adalah data primer maupun sekunder untuk
berbagai alat analisis yang digunakan. Data primer dikumpulkan melalui
wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) dengan para pemangku
kepentingan terkait, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai studi dan
publikasi yang diterbitkan oleh berbagai institusi seperti pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Data Sekunder dan Sumber Data
Alat Analisis Jenis Data Sumber Data
Data Envelopment Analysis Tabel Input – Output WIOD
Indeks Hoekman SOC AFAS 8 ASEAN
3.3. Kerangka Pemikiran
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran
Tujuan ATISA adalah untuk Mendukung Peningkatan Investasi dan
Konektivitas Sesama Negara Anggota ASEAN
Jasa Angkutan Laut Indonesia belum Terkoneksi Secara Baik ke Dalam
ASEAN
Sinkronisasi Dengan Kebijakan Nasional (Investasi, Pajak)
Rekomendasi Kebijakan sebagai Upaya Peningkatan Konektivitas
Indonesia ke ASEAN dan Mendukung Implementasi ATISA
Analisis Daya Saing
Analisis Tingkat Keterbukaan
DEA Hoekman Index
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 22
BAB IV
PERKEMBANGAN PERDAGANGAN JASA DAN INVESTASI
4.1. Perkembangan Perdagangan Jasa dan Investasi di Kawasan
Ekonomi ASEAN
4.1.1. Perdagangan Jasa di Kawasan ASEAN
ASEAN merupakan pasar yang sangat potensial dengan total penduduk
lebih dari 620 juta orang dan nilai produk domestik bruto mencapai USD 2,5
triliun. Hal ini menjadikan peluang bagi perdagangan jasa untuk terus
ditingkatkan sebagai pendorong pertumbuhan produktifitas dan pendapatan di
tiap negara anggota. Negara-negara ASEAN telah menyadari hal tersebut
dimana sektor jasa memainkan peran kunci dalam pertumbuhan ekonomi dan
penciptaan lapangan kerja, serta menjadi bagian input penting bagi sektor
ekonomi lainnya. Pada tahun 2009 total perdagangan jasa di ASEAN mencapai
USD 343 miliar atau telah mewakili 5 persen dari pangsa perdagangan jasa
dunia pada saat itu dan kecenderungannya terus meningkat. Pada tahun 2015
total perdagangan jasa ASEAN mencapai lebih dari USD 610 miliar dimana
kontribusi sektor jasa diperkirakan telah mencapai 40 hingga 70 persen dari
pendapatan nasional bruto masing-masing negara anggota ASEAN. Selain itu,
investasi asing langsung (FDI) di sektor jasa telah menyumbang sekitar 60
persen dari total FDI-nya ASEAN sejak tahun 2013. Oleh karena itu, dapat
digarisbawahi bahwa integrasi sektor-sektor jasa menjadi sangat penting bagi
ASEAN dalam rangka menciptakan ekonomi kawasan yang lebih maju baik saat
ini dan di masa mendatang.
Kebijakan restriktif menjadi salah satu tantangan penting dalam
pengintegrasian kawasan dalam rangka pembangunan dan pengembangan
konektivitas untuk meningkatkan daya saing kawasan. Saat ini, integrasi sektor
jasa ASEAN terus diupayakan dimana nantinya jasa, investasi, dan tenaga kerja
terampil akan bergerak bebas antar sesama negara anggota. Namun demikian,
pencapaian integrasi sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam AEC Blueprint
tersebut dirasakan berjalan lambat sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi
ASEAN saat ini. Lambatnya pencapaian integrasi tersebut salah satunya
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 23
disebabkan karena secara rata-rata ASEAN dianggap lebih restriktif
dibandingkan negara-negara di dunia lainnya. Kebijakan restriktif tersebut dapat
dilihat dari nilai Services Trade Restrictions Index (STRI), dimana untuk wilayah
ASEAN nilai STRI-nya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kawasan lainnya.
Namun demikian, kebijakan restriktif yang diterapkan bervariasi di tiap negara.
Secara rata-rata, Kamboja dan Singapura memiliki kebijakan yang paling terbuka
di sektor jasa. Myanmar dan Vietnam juga relatif terbuka dengan beberapa
pembatasan, dan sisanya (Indonesia, Thailand, Filipina, dan Malaysia) memiliki
kebijakan restriktif yang sangat signifikan (ASEAN Services Integration Report,
2015).
Terkait sektor jasa angkutan laut, ada beberapa hal mengapa
pengembangan sektor ini menjadi sangat penting untuk dikembangkan di tiap
negara. Pertama, seiring meningkatnya pendapatan negara-negara ASEAN,
konsumen akan mencari beragam jenis jasa dan mengkonsumsinya lebih
intensif. Pada sisi lain, produsen juga mencari penyedia jasa yang lebih spesifik
dan canggih serta layanan yang lebih profesional. Kedua, aktivitas Global Value
Chain (GVC) dari perusahaan-perusahaan MNEs di kawasan ASEAN yang terus
meningkat juga menjadi pendorong tentang bagaimana mengelola jasa-jasa
profesional yang dapat mendukung operasi bisnis mereka. Bagi jasa yang tidak
tersedia di domestik negara anggota, tuntutan ini diharapkan dapat dipenuhi
melalui perdagangan internasional dengan sesama negara anggota sehingga
keterlibatan aktif masing-masing negara anggota dalam GVC terus diupayakan.
Lebih lanjut, layanan backbone, seperti transportasi, logistik,
telekomunikasi, dan jasa keuangan merupakan bagian integral dari kerja rantai
nilai global, yang berfungsi sebagai perekat yang memungkinkan kegiatan
produksi yang dapat dilakukan di beberapa negara secara terpisah dengan
melihat masing-masing tingkat daya saing produk tersebut. Hal ini dimungkinkan
seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi, termasuk
digitalisasi konten, sehingga semakin banyak kegiatan jasa yang dapat
dipertukarkan melalui perdagangan internasional. Pengalaman internasional
menunjukkan bahwa perluasan perdagangan jasa di suatu negara secara positif
meningkatkan pendapatan per kapita dan produktifitas yang lebih tinggi di negara
tersebut (ASEAN Services Integration Report, 2015).
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 24
Ketiga, jasa angkutan laut memainkan peran kunci dalam pendukung
konektivitas yang lebih baik antar sesama anggota. Pengembangan sektor ini
menjadi semakin penting untuk mengimbangi perpindahan arus barang yang
terus meningkat di kawasan ASEAN yang saat ini menjadi basis produksi dunia.
Akan tetapi, berdasarkan Liner Shipping Billateral Connectivity Index (LSBCI)
yang dikeluarkan oleh UNCTAD, kondisi yang saat ini terjadi adalah konektivitas
antar negara ASEAN belum terkoneksi secara optimal yang diindikasikan dengan
masih kecilnya nilai LSBCI beberapa negara di dalam kawasan. Indeks LSBCI
digunakan untuk melihat seberapa baik suatu negara terhubung ke dalam
shipping networks dan juga cerminan seberapa baik jasa angkutan laut yang
mendukung perdagangan kedua negara secara bilateral. Semakin besar nilai
LSBCI berarti semakin baik konektivitas kedua negara tersebut secara bilateral,
begitupun sebaliknya. Konektivitas Indonesia sendiri masih tertinggal
dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia,
Thailand, dan Vietnam (Tabel 4.1.). Beberapa faktor yang dianggap sebagai
penyebab konektivitas Indonesia rendah adalah jasa angkutan laut dari dan ke
Indonesia kurang efisien dikarenakan banyaknya transshipments yang harus
dilalui, terbatasnya koneksi langsung antar pelabuhan, serta minimnya jumlah
armada dan daya angkut yang efisien.
Tabel 4.1. Liner Shipping Billateral Connectivity Index Negara-Negara ASEAN
Sumber: UNCTAD, 2016.
4.1.2. Perkembangan FDI di Kawasan ASEAN
ASEAN kini dipandang sebagai tujuan investasi utama yang mendorong
Multi National Enterprises (MNEs) untuk melakukan ekspansi di wilayah ini lebih
besar lagi. Aliran FDI ke kawasan ASEAN meningkat pesat dari tahun 2013 yang
hanya USD 117,7 milliar menjadi USD 136,2 milliar pada tahun 2014. Meskipun
aliran FDI global turun 16% pada tahun 2014, negara-negara anggota ASEAN
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 25
secara kolektif tetap menjadi penerima aliran FDI terbesar diantara negara-
negara berkembang lainnya. Hal ini disebabkan karena fundamental ekonomi
regional yang semakin kuat, keunggulan dari segi biaya, integrasi regional, dan
upaya-upaya yang terus dilakukan untuk memperbaiki lingkungan investasi di
ASEAN (ASEAN Investment Report, 2015).
Lebih lanjut, aliran investasi dari sesama negara anggota ASEAN juga
terus meningkat, mencapai USD 24,4 milliar pada tahun 2014 dari USD 19,4
milliar pada tahun sebelumnya, atau peningkatan sebesar 26% (Gambar 4.1).
Nominal tersebut sama dengan 18% dari keseluruhan FDI yang masuk ke
kawasan ASEAN itu sendiri sehingga menjadikan negara-negara ASEAN
sebagai investor nomor dua di kawasannya sendiri. Banyak hal yang
menyebabkan peningkatan investasi ke kawasan ASEAN tersebut yang juga
menjadi peran penting dalam peningkatan investasi ke kawasan ini. Strategi
ekspansi MNEs dari negara ASEAN menjadikan peran penting sektor swasta
sebagai penjembatan untuk membantu pemerintah dalam pembangunan
infrastruktur melalui investasi serta memperbaiki keseluruhan rantai nilai
kawasan ke taraf yang lebih baik.
Gambar 4.1. Perkembangan FDI di Kawasan ASEAN (dalam Juta Dollar) Sumber: ASEAN Secretariat, 2015.
Untuk meningkatkan daya tarik FDI ke kawasan ASEAN, diperkirakan
hingga tahun 2025, ASEAN membutuhkan investasi sebesar USD 110 miliar
setiap tahunnya untuk pembangunan infrastruktur yang meliputi listrik,
transportasi, information communications technology (ICT), air, dan sanitasi.
Namun demikian, mengingat beban pengeluaran negara-negara anggota saat ini,
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 26
kesenjangan pendanaan di bidang infrastruktur perlu dicari solusinya untuk
memenuhi permintaan di masa depan yang semakin besar. Lagi-lagi, sektor
swasta diharapkan memainkan peran yang lebih besar untuk membantu
menjembatani kesenjangan tersebut melalui FDI sehingga dibutuhkan upaya
yang lebih terpadu oleh semua pemangku kepentingan untuk memobilisasi
seluruh potensi saluran investasi dan sumber daya tambahan untuk
pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut. Misalnya, menarik dana yang
dimiliki kebanyakan oleh private sector dari negara-negara ASEAN yang
jumlahnya setidaknya ada sebesar USD 10 triliun kembali masuk sebagai
sumber potensial pendanaan investasi di kawasan ASEAN.
Saat ini, negara anggota ASEAN terus mengupayakan kebijakan-
kebijakan yang menguntungkan dalam hal investasi. Hal tersebut termasuk
langkah-langkah untuk menjadikan investasi lebih mudah, meningkatkan
transparansi, dan memperbaiki iklim investasi. Kebijakan lainnya adalah
reformasi kebijakan investasi nasional, kebijakan pengembangan industri, insentif
dan reformasi pajak, fasilitasi investasi, penyederhanaan prosedur investasi,
penguatan dukungan kelembagaan bagi investor, pembentukan zona ekonomi
yang lebih ekonomis dan pembangunan infrastruktur. Negara-negara Anggota
ASEAN juga terlibat aktif dengan perjanjian terkait investasi lainnya di tingkat
bilateral, plurilateral dan regional, termasuk perjanjian investasi untuk perjanjian
perdagangan bebas ASEAN dengan mitra dagangnya dan Regional
Comprehensive Economic Partnership (ASEAN Investment Report, 2015). Oleh
karena itu, perbaikan iklim usaha dan investasi yang berkelanjutan di kawasan ini
menjadi aspek penting untuk mendukung peningkatan ekonomi di kemudian hari.
4.2. Perkembangan Perdagangan Jasa dan Investasi di Indonesia
4.2.1. Perkembangan Perdagangan Jasa di Indonesia
Walaupun nilai perdagangan jasa masih kecil dibandingkan total
perdagangan barang, namun perdagangan jasa memiliki dampak yang sangat
besar terhadap perekonomian Indonesia. Secara umum, perdagangan jasa
Indonesia perkembangannya relatif stagnan dalam kurun waktu lima tahun
terakhir. Dapat dilihat pada Tabel 4.2, tercatat pada tahun 2011 perdagangan
jasa Indonesia sebesar USD 53,58 miliar dan pada tahun 2015 adalah sebesar
USD 52,76 miliar dan terus mengalami defisit karena Indonesia masih menjadi
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 27
net importir jasa hingga saat ini. Jasa transportasi merupakan penyumbang
defisit terbesar dengan nilai USD 6,12 miliar pada tahun 2015. Selain itu, jasa
bisnis lainnya, biaya penggunaan kekayaan intelektual, jasa asuransi dan dana
pensiun, serta jasa keuangan juga merupakan penyumbang defisit neraca jasa.
Jasa bisnis lainnya menunjukkan perkembangan defisit yang sangat signifikan
dimana pada tahun 2011 hanya mencapai USD 704 juta kemudian meningkat
signifikan menjadi USD 2,46 miliar pada tahun 2015. Sedangkan, jasa
perjalanan, jasa manufaktur, dan jasa pemerintah merupakan penyumbang
surplus pada neraca jasa Indonesia.
Tabel 4.2. Perkembangan Perdagangan Jasa Indonesia (USD Juta)
Sumber: Bank Indonesia, 2016.
Lebih lanjut, kondisi defisitnya neraca jasa Indonesia merupakan salah
satu penyebab transaksi berjalan Indonesia terus mengalami tekanan sejak
tahun 2012 hingga tahun 2015. Hal ini diperparah dengan menurunnya harga
komoditas internasional dimana barang komoditi merupakan penopang ekspor
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Komponen penyumbang defisit
terbesar pada neraca jasa itu sendiri adalah jasa angkutan barang dengan nilai
sebesar USD 5,18 pada tahun 2015 atau mengambil porsi 85% dari total defisit
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 28
yang disumbangkan oleh jasa transportasi itu sendiri. Kondisi ini dikarenakan
Indonesia masih bergantung kepada jasa angkutan laut asing untuk mengangkut
barang dari Indonesia ke luar negeri. Oleh karena itu, investasi pada sektor jasa
angkutan laut di Indonesia perlu ditingkatkan agar perannya terhadap
perekonomian Indonesia menjadi lebih besar khususnya untuk memperbaiki
transaksi berjalan yang terus mengalami defisit.
4.2.2. Kinerja Jasa Angkutan Laut Nasional
Jasa angkutan laut merupakan sektor yang sangat vital karena memiliki
pengaruh yang besar bagi perekonomian Indonesia. Sebagai negara kepulauan,
Indonesia sangat bergantung kepada jasa angkutan laut sehingga peran sektor
ini sangat penting sebagai “masukan” pada sektor-sektor lainnya. Sektor-sektor
produksi seringkali mengkaitkan jasa angkutan dengan biaya transfer atau biaya
yang dibebankan atas aktifitas distribusi input produksi dan output yang pada
akhirnya mempengaruhi daya saing produk di negara tersebut. Selain itu,
sebagai bagian dari biaya logistik, kinerja jasa angkutan laut di Indonesia sendiri
juga masih jauh dari yang diharapkan. Berdasarkan studi World Bank, Logistic
Performance Index (LPI) Indonesia (ranking 63) masih di bawah negara-negara
ASEAN lainnya seperti Singapura (ranking 5), Malaysia (ranking 32), dan
Thailand (ranking 45). LPI adalah suatu ukuran penilaian untuk melihat seberapa
baik suatu negara dalam pengelolaan logistik ekspor di negara tersebut yang
terdiri dari beberapa dimensi penilaian antara lain customs, infrastructure,
international shipments, logistic competence, tracking & tracing, dan timeliness.
Infrastruktur yang tidak terkoneksi secara baik (ranking 73) di Indonesia masih
menjadi kendala utama dalam rangka menekan biaya logistik. Begitu pula halnya
dalam hal kemudahan untuk mendapatkan harga pengiriman yang kompetitif
(international shipments), Indonesia kurang kompetitif (ranking 71) atau dengan
kata lain biaya transportasi dari Indonesia dipersepsikan lebih mahal
dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya namun lebih baik dibandingkan
dengan Myanmar dan Laos (Tabel 4.3).
Baik tidaknya jasa angkutan laut terkait erat dengan konektivitas dan
pendukung konektivitas itu sendiri di suatu wilayah atau negara. Dalam hal ini,
konektivitas adalah pelabuhan yang terkoneksi antara satu pelabuhan dengan
pelabuhan yang lainnya dan kualitas dari pelabuhan-pelabuhan itu sendiri yang
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 29
berfungsi untuk memfasilitasi kemudahan perpindahan orang dan barang dan
mengurangi waktu tempuh perjalanan. Infrastruktur masih menjadi motor
penggerak utama dalam pembentukan konektivitas tersebut karena infrastruktur
dianggap memainkan peran penting terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan,
pembangunan sosial, dan sebagai pendongkrak dampak spillover di kawasan
tersebut. Terbatasnya infrastruktur pelabuhan, seperti kedalaman alur, kolam
sandar, dan fasilitas-fasilitas pendukungnya menyebabkan kendala utama bagi
Indonesia untuk meningkatkan kinerja logistik nasional.
Tabel 4.3. Logistic Performance Index Negara-Negara ASEAN
Sumber: World Bank, 2016.
Namun demikian, pembentukan konektivitas tidak hanya masalah aspek
fisik pada infrastruktur saja, tetapi juga melalui pengembangan basis produksi,
investasi, dan perdagangan yang terus meningkat dan saling memiliki keterkaitan
antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut dibentuk dari tiga tingkatan sektor
industri yang saling berkaitan antara lain infrastruktur, infrastruktur yang
mendukung industri, dan infrastruktur jasa. Tiga tahapan ini tidak saja saling
berkaitan tetapi juga saling menghubungkan satu sama lain yang berimplikasi
kepada daya tarik investasi di negara tersebut. Dalam setiap tahapan, asing dan
lokal selalu terlibat sehingga tercipta pembangunan yang terus berkelanjutan.
Mereka bekerja sama untuk membangun, memiliki, berinvestasi, mengelola, dan
membiayai proyek-proyek tersebut. Oleh karena itu, pengembangan infrastruktur
yang terkoneksi di setiap daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
sehingga dapat mendukung pertumbuhan investasi dan perdagangan khususnya
di Indonesia dan kawasan ASEAN secara keseluruhan.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 30
Indonesia yang terkoneksi secara berkelanjutan ke kawasan ASEAN juga
sangat diperlukan untuk mendukung MNEs dalam rangka pembentukan regional
value chains dan regional production networks. Perusahaan-perusahaan tersebut
mengambil keunggulan lokasi yang saling melengkapi yang ditawarkan oleh
setiap negara anggota terutama dalam hal penurunan biaya transaksi (misal
kebijakan tarif impor 0% antar negara ASEAN), biaya tenaga kerja, dan lain
sebagainya. Dalam rangka meraih efisiensi produksi, MNEs dan perusahaan-
perusahaan di ASEAN bekerja melalui suatu sistem berbasis web dengan
supplier-suppliernya di sesama kawasan yang sudah terkoneksi di kawasan ini.
Oleh karena itu, konektivitas memberikan implikasi yang sangat besar terhadap
kelangsungan bisnis mereka karena dapat meningkatkan daya saing mereka di
kawasan, meningkatkan efisiensi produksi, dan mengurangi biaya transaksi.
Selain itu, jasa angkutan laut nasional juga dianggap masih belum
menunjukkan kekuatannya di negeri sendiri. Seluruh potensi yang ada belum
dimanfaatkan secara baik sehingga dalam banyak hal masih didominasi oleh
pihak asing. Terkait kemudahan mendapatkan harga freight yang kompetitif,
biaya angkut muatan dalam negeri menggunakan kapal nasional dianggap lebih
mahal dibandingkan dengan biaya angkut dari penyedia jasa asing.
Penyebabnya adalah industri pelayaran nasional belum memiliki armada kapal
yang memadai, baik dari segi jumlah maupun kapasitasnya sehingga armada
kapal nasional masih sangat terbatas untuk memenuhi semua kebutuhan jasa
angkutan dan logistik ke seluruh wilayah di Indonesia dan pengiriman ke luar
negeri. Selain itu, kapal-kapal yang tersedia kebanyakan adalah kapal-kapal
dengan ukuran kecil dan dioperasikan yang disesuaikan dengan permintaan
(order basis, baru berlayar ketika muatan penuh) sehingga jadwal pengiriman
menjadi tidak pasti. Kondisi ini menyebabkan biaya logistik ekspor menjadi mahal
yang pada akhirnya menurunkan daya saing produk ekspor nasional.
Sebagai gambaran, berdasarkan data Kementerian Perhubungan, jumlah
kapal berbendera Indonesia pada September 2010 tercatat sebanyak 9.835 unit
dengan rata-rata kapasitas angkutan kapal sebesar 13,03 juta Gross Ton (GT).
Pada tahun 2013, total armada nasional bertambah sebanyak 12.972 unit kapal
dengan kapasitas angkut 18,7 juta ton. Walaupun terjadi peningkatan jumlah
armada kapal, namun kekuatan armada nasional tersebut sangatlah kecil jika
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 31
dibandingkan dengan total muatan angkutan secara keseluruhan. Pada tahun
2012 total muatan angkutan nasional saja telah mencapai 952,67 juta ton
sehingga armada kapal nasional hanya mampu menguasai 43,1% pangsa
muatan angkutan laut di Indonesia dan selebihnya masih tetap mengandalkan
armada kapal angkut asing. Khusus pangsa muatan angkutan laut luar negeri,
armada kapal nasional hanya mampu menguasai 10% pangsa muatan dan 90%
pangsa muatan adalah kapal asing.
4.2.3. Perkembangan FDI Jasa Angkutan Laut di Indonesia
Saat ini, Indonesia sedang berupaya mengakselerasi pembangunan
infrastruktur di segala bidang termasuk peningkatan konektivitas. Hal ini
dilakukan untuk memperbaiki kondisi yang saat ini ada dan mengejar ketinggalan
Indonesia dengan negara lainnya. Berdasarkan RPJMN 2015 – 2019, kebutuhan
dana untuk pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia lebih dari
Rp.5.500 triliun. Salah satu fokus utamanya adalah pembangunan pelabuhan
dengan nilai proyek sebesar Rp.900 triliun. Peran serta semua pihak sangat
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan yang sangat besar tersebut
antara lain pemerintah, BUMN, dan swasta. Lebih lanjut, berdasarkan analisis
Kementerian Perdagangan (2015), beberapa pelabuhan di Indonesia tengah
melakukan revitalisasi dan peningkatan kualitas pelayanan pelabuhan.
Pelabuhan-pelabuhan tersebut antara lain Tanjung Priok, Tanjung Perak,
Makasar, Samarinda, dan pelabuhan-pelabuhan lainnya. Revitalisasi dilakukan
untuk meningkatkan kedalaman alur laut, kolam sandar kapal, dan penyediaan
infrastruktur pendukungnya sehingga mampu disinggahi oleh kapal dengan bobot
besar. Selain itu, revitalisasi juga ditujukan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan pelabuhan dengan cara perluasan area bongkar muat barang dan
penggunaan teknologi pada sarana-sarana penunjang aktivitas pelabuhan.
Pembangunan infrastruktur di beberapa pelabuhan tersebut untuk
mengantisipasi peningkatan jumlah angkutan dan waktu tunggu sandar kapal
yang terus meningkat setiap tahunnya.
Pada sisi lain, upaya peningkatan kualitas infrastruktur pelabuhan tersebut
perlu juga didukung oleh pengembangan armada angkutan laut yang memadai
dan efisien. Kebutuhan dana untuk pengembangan angkutan laut itu sendiri
sangatlah besar, sehingga peran serta semua pihak sangat diperlukan. Sektor
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 32
swasta dapat memainkan peran yang lebih besar untuk membantu menjembatani
kesenjangan tersebut melalui FDI. Secara akumulasi, FDI ASEAN pada sektor
jasa angkutan laut di Indonesia kecenderungannya meningkat (Gambar 4.2.).
Dari tahun 2006 hingga 2015, aliran FDI pada angkutan laut domestik dan
angkutan laut internasional adalah sebesar USD 1.887 juta. Pada periode yang
sama, total FDI pada sub-sektor angkutan laut domestik adalah sebesar USD
1.804 juta. FDI pada angkutan laut domestik meningkat secara signifikan sejak
tahun 2010 dan peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2014 yang mencapai
USD 989 juta. Walaupun FDI pada sektor jasa angkutan laut domestik
kecenderungannya meningkat, namun tidak halnya dengan angkutan laut luar
negeri. FDI pada angkutan laut luar negeri cenderung stagnan dan tidak banyak
mengalami perubahan. Tercatat pada tahun 2006 hingga tahun 2015, FDI
ASEAN pada sub-sektor jasa angkutan laut luar negeri hanya mencapai USD 83
juta.
Gambar 4.2. Perkembangan FDI pada Jasa Angkutan Laut di Indonesia Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2016.
-
200.000
400.000
600.000
800.000
1.000.000
1.200.000
(KLBI 5011 dan 5013) Angkutan Laut Domestik
(KLBI 5012 dan 5014) Angkutan Laut Internasional
Satuan: ‘000 US Dollar
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 33
BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Analisis DEA
Analisis DEA dilakukan untuk mengetahui tingkat efisiensi yang menjadi
acuan tingkat daya saing jasa angkutan laut nasional dibandingkan jasa
angkutan laut dari negara ASEAN lainnya, antara lain Malaysia, Thailand,
Vietnam, dan Filipina. Perhitungan DEA sendiri akan menghasilkan nilai absolut
1 s.d. 0 dimana nilai 1 berarti suatu sektor telah efisien atau berdaya saing tinggi
dan semakin turun mendekati ke angka 0 berarti semakin kurang efisien atau
tidak memiliki daya saing. Berdasarkan Tabel 5.1, nilai DEA Indonesia pada
sektor jasa angkutan laut sebesar 0,219, Vietnam 0,122, dan Filipina 0,037. Hal
ini berarti sektor jasa ini tidak efisien di ketiga negara tersebut, dengan kata lain
tidak berdaya saing. Nilai DEA Malaysia dan Thailand masing-masing sebesar 1
yang artinya sektor jasa tersebut telah efisien atau berdaya saing. Selain itu,
tidak berdaya saingnya jasa angkutan laut nasional seiring dengan tidak berdaya
saingnya jasa pendukung pengusahaan angkutan laut Indonesia yang
diindikasikan dengan nilai DEA sebesar 0,212. Sedangkan, di negara ASEAN
lainnya telah memiliki jasa pendukung pengusahaan angkutan laut yang berdaya
saing. Di Singapura karena tidak tersedia data maka perhitungan nilai DEA tidak
dapat diketahui. Meskipun demikian, Singapura dianggap sebagai negara yang
paling maju bagi sektor jasa angkutan laut di ASEAN.
Tabel 5.1. Tingkat Efisiensi Jasa Angkutan Laut Nasional dan Jasa
Pendukungnya Dibandingkan Negara ASEAN Lainnya
Sumber: WIOD 2011; diolah dengan POM-QM.
Kondisi ini berarti jika sektor jasa angkutan laut Indonesia semakin
diliberalisasi penuh akan berdampak kepada kalah bersaingnya penyedia jasa
Nilai DEA IND SIN MAL THA VIE PHI
Jasa Angkutan Laut 0,219 N/A 1 1 0,122 0,037
Jasa Pendukung
Pengusahaan Angkutan Laut0,212 N/A 1 1 1 1
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 34
angkutan laut nasional. Pada akhirnya penyedia jasa nasional akan berupaya
untuk dilindungi dari kemungkinan pasar dalam negerinya direbut oleh penyedia
jasa angkutan dari kedua negara ASEAN tersebut. Namun demikian,
konsekuensi dengan tetap mempertahankan sektor jasa angkutan Indonesia
yang tidak efisien adalah konsumen terbebani biaya tinggi dari apa yang
semestinya mereka harus bayarkan. Hal ini akan berakibat negatif kepada
turunnya daya saing dari sektor-sektor ekonomi lainnya yang menggunakan jasa
angkutan laut sebagai input maupun output dalam produksi mereka.
Trade-off terjadi ketika akan memutuskan apakah melindungi penyedia
jasa nasional yang tidak unggul secara komparatif atau meliberalisasi sektor ini
untuk meningkatkan keunggulan komparatif secara keseluruhan. Berdasarkan
(Krugman, 2003), kemampuan suatu negara menemukan keunggulan
komparatifnya akan memberikan optimalisasi kesejahteraan dan keuntungan
negara tersebut dalam berdagang dimana suatu negara akan mendapatkan
kesejahteraan lebih tinggi apabila negara tersebut menspesialisasikan hanya
pada produk yang memiliki keunggulan komparatif. Pembentukan efisiensi suatu
negara akan berdampak pada keunggulan komparatif suatu negara secara
keseluruhan.
5.2. Hasil Analisis Indeks Hoekman
Untuk mengetahui tingkat keterbukaan sektor jasa angkutan laut Indonesia
digunakan Indeks Hoekman (IH). Dalam analisis ini, penulis mengacu kepada
komitmen negara-negara ASEAN dalam AFAS-8 sebagai landasan untuk
melakukan indeksasi. Pada sektor transport services, AFAS-8 hanya
mengkomitmenkan jasa angkutan laut luar negeri diluar cabotage. Artinya
masing-masing negara ASEAN mengakui asas cabotage sehingga jasa angkutan
laut domestik bukanlah bagian dari komitmen liberalisasi mereka di tingkat
ASEAN, kecuali Brunei Darussalam dan Laos yang tidak membedakan dalam
komitmennya di AFAS-8. Cabotage merupakan hak masing-masing negara
anggota untuk mengatur pelayaran di dalam negerinya hanya untuk penyedia
jasa domestik. Oleh karena itu, Analisis Indeks Hoekman disini cakupannya lebih
banyak hanya terbatas pada jasa angkutan laut luar negeri, sedangkan jasa
angkutan laut domestik akan dibahas lebih lanjut pada kebijakan di dalam negeri
pada sub bab berikutnya.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 35
Di tingkat ASEAN, sub sektor jasa angkutan laut Indonesia sudah cukup
terbuka (Tabel 5.2). Hal ini dapat dilihat dari nilai Indeks Hoekman Indonesia
pada sektor ini sebesar 0,75. Sedangkan, negara ASEAN lainnya yang telah
dianggap efisien sektor jasa angkutan lautnya cenderung sedikit lebih tertutup
dibandingkan Indonesia, seperti Singapura (0,63), Malaysia (0,69), dan Thailand
(0,63). Negara ASEAN yang paling terbuka pada sub sektor ini adalah Filipina
dengan nilai Indeks Hoekman sebesar 0,94.
Tabel 5.2. Perbandingan Indeks Hoekman Jasa Angkutan Laut Indonesia
Dibandingkan Negara ASEAN Lainnya
Sumber: Schedule of Commitment AFAS-8, diolah.
Berdasarkan mode of supply, hampir semua negara ASEAN telah
membuka untuk Moda 1 dan Moda 2. Negara-negara cenderung membuka Moda
1 (cross border supply) dan Moda 2 (consumption abroad) karena moda-moda
tersebut sulit untuk diatur perdagangannya. Sebagai contoh, importir Thailand
membeli barang FOB dari Indonesia dengan menggunakan penyedia jasa
angkutan asal Indonesia. Hal ini lumrah terjadi dalam perdagangan internasional
dimana pembeli dari negara lain dapat mengkonsumsi suatu jasa dari negara
lain dimana asal jasa tersebut diproduksi. Hanya satu negara ASEAN yang
belum membuka penuh Moda 1 pada sub sektor ini yaitu negara Kamboja (0).
Lebih lanjut, pada Moda 2, semua negara ASEAN tidak lagi memberlakukan
pembatasan bagi konsumen dari luar negeri untuk mengkonsumsi jasa angkutan
laut di dalam negeri setiap negara-negara ASEAN. Oleh karena itu, setiap
negara lebih intensif untuk mengatur pembatasan pada Moda 3 (commercial
presence) dan Moda 4 (movement of natural person).
Pada Moda 3, negara-negara ASEAN cenderung membuka moda ini
dengan pembatasan. Indonesia sendiri membuka moda ini dengan nilai indeks
sebesar 0,5. Sedangkan, Malaysia dan Vietnam lebih terbuka dengan nilai indeks
sebesar 0,75. Satu-satunya negara yang telah membuka moda ini secara penuh
IND SIN MAL THA VIE PHI CAM MYN BRU LAO
1. Rata-Rata Keseluruhan 0,75 0,63 0,69 0,63 0,69 0,94 0,38 0,75 0,75 0,63
2. Moda 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1
3. Moda 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4. Moda 3 0,5 0,5 0,75 0,5 0,75 1 0,5 0,5 0,5 0,5
- FEP (dalam %) 60 100 51 51 49 100 100 100 51 100
5. Moda 4 0,5 0 0 0 0 0,75 0 0,5 0,5 0
Indeks HoekmanNo. Deskripsi
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 36
adalah Filipina, dengan nilai indeks sebesar 1. Lebih lanjut, berdasarkan
kepemilikan modal asing yang diperbolehkan, FEP negara-negara ASEAN
adalah antara 49-100 persen. Singapura, Filipina, Kamboja, Myanmar, dan
Brunei Darussalam merupakan negara-negara yang paling terbuka bagi
kepemilikan asing dengan kebijakan FEP sebesar 100 persen. Sedangkan,
negara yang paling rendah FEP-nya adalah Vietnam, yaitu sebesar 49 persen.
Dengan nilai Indeks Hoekman sebesar 0,5, kebijakan FEP Indonesia
adalah membolehkan kepemilikan asing sebesar 60 persen. Lebih terbuka
dibandingkan negara-negara lainnya seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan
Brunei. Lain halnya dengan Singapura yang memiliki nilai indeks sebesar 0,5,
negara ini memiliki kebijakan FEP yang membolehkan kepemilikan modal asing
sebesar 100 persen dengan hanya memberlakukan persyaratan bahwa kapal
yang dimiliki pemodal asing diregistrasi sebagai kapal berbendera Singapura.
Begitu pula dengan Kamboja, Myanmar, dan Laos yang telah membolehkan
kepemilikan asing sebesar 100 persen. Lebih lanjut, walaupun Malaysia dengan
nilai indeks 0,75 dinilai lebih terbuka dibandingkan negara ASEAN lainnya,
seperti Singapura, Indonesia, dan negara lainnya, namun Malaysia memiliki
kebijakan FEP yang hanya membolehkan kepemilikan asing sebesar 51 persen.
Demikian halnya dengan Vietnam yang hanya membolehkan kepemilikan modal
asing sebesar 49 persen. Hanya Filipina sebagai satu-satunya negara yang
dinilai terbuka dan sejalan dengan kebijakan FEP-nya yang membolehkan
kepemilikan asing sebesar 100 persen. Oleh karena itu, tingkat keterbukaan
suatu negara dalam suatu komitmen tidak menentukan apakah secara riil negara
tersebut benar-benar terbuka bagi kepemilikan modal asing atau tidak akibat
peraturan dalam negeri mereka yang sifatnya masih membatasi.
Untuk Moda 4, negara-negara ASEAN cenderung memberikan restriksi
yang ketat dan tertutup. Ketatnya peraturan mengenai tenaga kerja asing pada
peraturan-peraturan domestik menyebabkan rendahnya komitmen negara-
negara ASEAN pada Moda 4 ini. Artinya, negara-negara ASEAN memilih
kepentingannya masing-masing secara ekonomi, dimana tenaga kerja domestik
lebih diutamakan dari pada tenaga kerja asing. Walaupun telah tersedia roadmap
AFAS yang mendoro
Recommended