51
LAPORAN AKHIR ANALISIS LIBERALISASI JASA ANGKUTAN LAUT INDONESIA DALAM KERANGKA KERJASAMA ASEAN TRADE IN SERVICES AGREEMENT (ATISA) PUSAT PENGKAJIAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA 2016

LAPORAN AKHIR ANALISIS LIBERALISASI JASA ANGKUTAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/10/Laporan... · 2019. 9. 16. · laporan akhir analisis liberalisasi jasa angkutan laut

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • LAPORAN AKHIR

    ANALISIS LIBERALISASI JASA ANGKUTAN LAUT INDONESIA DALAM

    KERANGKA KERJASAMA ASEAN TRADE IN SERVICES AGREEMENT

    (ATISA)

    PUSAT PENGKAJIAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL

    BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN

    KEMENTERIAN PERDAGANGAN

    JAKARTA

    2016

  • ABSTRAK

    ANALISIS LIBERALISASI JASA ANGKUTAN LAUT INDONESIA DALAM KERANGKA KERJASAMA ASEAN TRADE IN SERVICES

    AGREEMENT (ATISA)

    Dalam rangka integrasi kawasan ekonomi ASEAN, maka pembangunan konektivitas di setiap negara anggota ASEAN sangat penting. Pembangunan konektivitas tersebut merupakan syarat utama untuk memperlancar arus perpindahan barang dan jasa di kawasan ASEAN sehingga diperlukan dukungan jasa angkutan laut yang memadai dan efisien. Selain itu, sebagai upaya mendukung implementasi ATISA Indonesia seharusnya telah memenuhi target liberalisasi ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dari foreign equity participation (FEP) sebesar 60 persen menjadi 70 persen. Namun, hingga tahun 2016 Indonesia belum memenuhi target tersebut. Analisis ini menggunakan data primer dan data sekunder serta metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil analisis DEA menyimpulkan bahwa jasa angkutan laut luar negeri Indonesia tidak berdaya saing dibandingkan dengan penyedia jasa dari negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia dan Thailand. Berdasarkan Index Hoekman, jasa angkutan laut luar negeri Indonesia relatif terbuka, namun aliran FDI dari ASEAN ke Indonesia masih rendah. Hal tersebut dikarenakan Indonesia baru menetapkan batasan FEP di AFAS sebesar 60 persen. Faktor lain yang diidentifikasi sebagai penyebab rendahnya investasi jasa angkutan laut luar negeri di Indonesia adalah tingkat suku bunga dan tarif pajak pendapatan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan rata-rata tingkat suku bunga dan tarif pajak pendapatan negara-negara ASEAN. Oleh karena itu, direkomendasikan agar Indonesia meningkatkan komitmen keterbukaan FEP-nya dari 60 persen menjadi 70 persen sesuai target liberalisasi pada ATISA dan sejalan dengan Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Negatif Investasi serta menurunkan tingkat suku bunga tarif pajak pendapatan di Indonesia menjadi sekurang-kurangnya rata-rata ASEAN.

    Kata Kunci: AFAS, Daya Saing, Indeks Hoekman

    JEL: F13, F14, F15, F21, F36

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    BAB I. PENDAHULUAN .................................................................. 1

    1.1. Latar Belakang ............................................................... 1

    1.2. Rumusan Masalah ......................................................... 3

    1.3. Tujuan ............................................................................ 3

    1.4. Hasil Analisis.................................................................. 3

    1.5. Dampak/Manfaat ............................................................ 3

    1.6. Ruang Lingkup ............................................................... 4

    BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 5

    2.1. Definisi ........................................................................... 5

    2.1.1. Jasa Secara Umum ............................................. 5

    2.1.2. Jasa Transportasi ................................................ 5

    2.2. Teori Perdagangan Internasional ................................... 7

    2.3. Liberalisasi ..................................................................... 8

    2.4. MEA dan AFAS .............................................................. 9

    2.4.1. Komitmen Liberalisasi Perdagangan Jasa

    dalam AFAS ........................................................ 11

    2.5. ATISA ............................................................................ 12

    2.6. Perdagangan Jasa dan Investasi ................................... 13

    2.7. Comparative Advantage ................................................ 15

    2.8. Penelitian-Penelitian Sebelumnya ................................. 17

    BAB III. METODOLOGI ANALISIS .................................................... 18

    3.1. Metode Analisis .............................................................. 18

    3.1.1. Analisis Kualitatif Deskriptif ................................. 18

    3.1.2. Analisis Kuantitatif ............................................... 18

  • 3.1.2.1. Data Envelopment Analysis ................... 18

    3.1.2.2. Indeks Hoekman .................................... 20

    3.1.3 Wawancara dan FGD .......................................... 20

    3.2.Data dan Teknik Pengumpulan Data.............................. 21

    3.3. Kerangka Pemikiran ....................................................... 21

    BAB IV. PERKEMBANGAN PERDAGANGAN JASA DAN

    INVESTASI .......................................................................... 22

    4.1. Perkembangan Perdagangan Jasa dan Investasi

    di Kawasan Ekonomi ASEAN ........................................ 22

    4.1.1. Perdagangan Jasa di Kawasan ASEAN .............. 22

    4.1.2. Perkembangan FDI di Kawasan ASEAN ............. 24

    4.2. Perkembangan Perdagangan Jasa dan Investasi

    di Indonesia.................................................................... 26

    4.2.1. Perkembangan Perdagangan Jasa di Indonesia . 26

    4.2.2. Kinerja Jasa Angkutan Laut Nasional .................. 28

    4.2.3. Perkembangan FDI Jasa Angkutan Laut

    di Indonesia ......................................................... 31

    BAB V. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ........................................... 33

    5.1. Hasil Analisis DEA ......................................................... 33

    5.2. Hasil Analisis Indeks Hoekman ...................................... 34

    5.3. Kebijakan di Dalam Negeri ............................................ 37

    BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................. 41

    6.1 Kesimpulan .................................................................... 41

    6.2 Rekomendasi ................................................................. 41

    DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 42

    LAMPIRAN........................................................................................ 44

  • DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

    Daftar Gambar Halaman

    2.1. Schedule of Commitment dalam AFAS .......................... 11

    3.1. Kerangka Pemikiran ....................................................... 21

    4.1. Perkembangan FDI di Kawasan ASEAN ....................... 25

    4.2. Perkembangan FDI pada Jasa Angkutan Laut

    di Indonesia.................................................................... 32

    Daftar Tabel

    3.1. Indeksasi dengan Hoekman Index ................................. 20

    3.2. Data Sekunder dan Sumber Data .................................. 21

    4.1. Liner Shipping Billateral Connectivity Index

    Negara-Negara ASEAN ................................................. 24

    4.2. Perkembangan Perdagangan Jasa Indonesia ............... 27

    4.3. Logistic Performance Index Negara-Negara ASEAN ..... 29

    5.1. Tingkat Efisiensi Jasa Angkutan Laut Nasional dan Jasa

    Pendukungnya Dibandingkan Negara ASEAN Lainnya . 33

    5.2. Perbandingan Indeks Hoekman Jasa Angkutan Laut

    Indonesia Dibandingkan Negara ASEAN Lainnya ......... 35

    5.3. Perbandingan Tingkat Suku Bunga dan Tarif Pajak

    Pendapatan di Negara-Negara ASEAN ......................... 3

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan

    karunianya sehingga analisis yang berjudul Analisis Liberalisasi Jasa

    Angkutan Laut Indonesia Dalam Kerangka Kerjasama Asean Trade in

    Services Agreement (ATISA), dapat diselesaikan.

    Selain itu Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala

    Pusat Pengkajian Kerjasama Perdagangan Internasional, BPPP Kemendag

    dan Kepala Bidang Multilateral di Pusat Pengkajian Kerjasama Perdagangan

    Internasional atas arahan dan bimbingan dalam penulisan ini. Penulis juga

    mengucapkan terima kasih kepada rekan dan pihak lain yang memberikan

    bantuan dan tidak dapat disebutkan satu per satu.

    Menyadari laporan ini masih banyak kekurangan, diharapkan

    masukan yang membangun untuk memperbaiki laporan ini dimasa

    mendatang.

    Jakarta, Oktober 2016

    Tim Penulis

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Organisasi ASEAN telah berkembang saat ini dibandingkan pada saat

    awal berdirinya pada 8 Agustus 1967, yang semula ditujukan untuk mempercepat

    pertumbuhan ekonomi dan stabilitas wilayah menjadi suatu ambisi untuk

    menciptakan suatu kawasan ekonomi yang terintegrasi dalam satu wadah yang

    dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA adalah sebuah bentuk

    komitmen bersama untuk menjadikan ASEAN sebagai sebuah kawasan yang

    terintegrasi, stabil, dan berdaya saing dengan meminimalkan hambatan

    pergerakan aliran barang dan jasa, investasi, tenaga kerja terampil, serta aliran

    modal diantara negara-negara ASEAN. Untuk mencapai tujuan MEA tersebut,

    pembangunan konektivitas di setiap negara anggota menjadi sangat penting

    dalam rangka menciptakan kawasan ASEAN yang terintegrasi.

    Transportasi laut memainkan peran kunci untuk mendukung konektivitas

    ASEAN yang terintegrasi, khususnya jasa angkutan laut. Selain sebagai cara

    untuk membantu perpindahan orang/penumpang dari suatu tempat ke tempat

    lain, jasa angkutan laut juga berfungsi sebagai cara untuk memperlancar arus

    perpindahan barang dari asal barang tersebut diproduksi ke tempat tujuan

    dimana barang tersebut dibutuhkan oleh pembeli atau pengguna. Berdasarkan

    UNCTAD (2016), kondisi yang ada saat ini adalah konektivitas negara-negara

    ASEAN belum optimal secara keseluruhan. Hal ini disebabkan antara lain karena

    terbatasnya sarana dan prasarana angkutan laut di masing-masing negara

    anggota. Oleh karena itu, peningkatan investasi pada jasa angkutan laut

    sangatlah penting untuk memperbaiki konektivitas tersebut dan sekaligus

    mendorong perekonomian suatu negara dengan cara meningkatkan daya saing

    barang-barang hasil produksi dari negara tersebut dan rantai nilai kawasan

    secara keseluruhan.

    Di Indonesia, ada beberapa alasan mengapa peningkatan investasi pada

    sektor jasa angkutan laut menjadi sangat penting. Pertama, sebagai negara

    kepulauan, Indonesia sangat bergantung kepada moda transportasi laut karena

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 2

    berperan sebagai “masukan” pada sektor-sektor lainnya. Permasalahan

    konektivitas masih menjadi hambatan utama bagi Indonesia untuk menciptakan

    jasa angkutan laut yang efisien, dimana infrastruktur masih dianggap sebagai

    penyebab utamanya. Kedua, upaya peningkatan konektivitas juga perlu didukung

    oleh armada transportasi yang memadai sehingga investasi pada jasa angkutan

    laut sangatlah diharapkan sebagai upaya mendapatkan biaya transfer yang lebih

    efisien. Namun demikian, kebutuhan dana yang diperlukan untuk peningkatan

    konektivitas dan pendukungnya tersebut sangatlah besar, sehingga peran serta

    semua pihak sangat diperlukan. Sektor swasta dapat memainkan peran yang

    lebih besar untuk membantu menjembatani kesenjangan tersebut, salah satunya

    melalui penanaman modal asing/foreign direct investment (FDI) dari negara-

    negara mitranya di ASEAN.

    Dalam hal perdagangan jasa, ASEAN Framework Agreement on Services

    (AFAS) telah disusun sebagai bentuk implementasi konkrit liberalisasi yang

    berkelanjutan bagi setiap negara anggota dalam pencapaian tujuan MEA. Dua

    hal penting yang menjadi fokus kesepakatan liberalisasi dalam AFAS adalah arus

    perpindahan modal dan tenaga kerja. Sejak ditandatanganinya pertama kali pada

    tahun 1996, sejumlah paket komitmen AFAS telah berhasil diselesaikan dan

    ditandatangani oleh seluruh negara anggota ASEAN. Hingga saat ini, negara-

    negara ASEAN telah mencapai tahap perundingan AFAS-10 sebelum nantinya

    diimplementasikan secara utuh pada ASEAN Trade in Services Agreement

    (ATISA). Pada implementasi ATISA, semua negara ASEAN seyogyanya dapat

    memanfaatkan aliran investasi sekurang-kurangnya foreign equity participation

    (FEP) sebesar 70% di masing-masing negara mitra intra ASEAN.

    Sebagai upaya mendukung implementasi ATISA, Pemerintah Indonesia

    seharusnya telah memenuhi target liberalisasi AFAS dari FEP sebesar 60 persen

    menjadi 70 persen pada sektor jasa angkutan laut luar negeri. Namun, hingga

    tahun 2016 Indonesia belum memenuhi target tersebut. Hal inilah yang kemudian

    diduga penyebab investasi intra anggota ASEAN ke Indonesia dianggap masih

    berjalan lambat pada sektor ini. Padahal, peningkatan investasi sangatlah

    diharapkan dalam rangka mendukung peningkatan konektivitas Indonesia ke

    kawasan ASEAN. Selain itu, implementasi FDI dari negara mitra Indonesia di

    ASEAN juga sangat bergantung kepada iklim investasi dan kebijakan-kebijakan

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 3

    di dalam negeri yang sifatnya menumbuhkembangkan kegiatan investasi itu

    sendiri. Oleh karena itu, diperlukan suatu analisis untuk mengukur daya saing

    dan tingkat keterbukaan jasa angkutan laut Indonesia dibandingkan negara

    ASEAN lainnya, serta untuk mengetahui kebijakan di dalam negeri yang

    menghambat investasi pada jasa angkutan laut di Indonesia.

    1.2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut, permasalahan dari

    analisis ini adalah:

    a. Bagaimana daya saing sektor jasa angkutan laut nasional saat ini

    dibandingkan dengan jasa angkutan laut dari negara ASEAN lainnya?

    b. Bagaimana tingkat keterbukaan sektor jasa angkutan Iaut Indonesia

    dibandingkan negara ASEAN lainnya?

    c. Bagaimana kebijakan di dalam negeri yang menghambat investasi pada jasa

    angkutan laut di Indonesia?

    1.3. Tujuan

    Adapun tujuan analisis ini adalah:

    a. Untuk mengetahui daya saing sektor jasa angkutan laut nasional saat ini

    dibandingkan dengan jasa angkutan laut dari negara ASEAN lainnya.

    b. Untuk mengetahui tingkat keterbukaan sektor jasa angkutan Iaut Indonesia

    dibandingkan negara ASEAN lainnya.

    c. Untuk mengetahui kebijakan di dalam negeri yang menghambat investasi

    pada jasa angkutan laut di Indonesia.

    1.4. Hasil Analisis

    Adapun hasil dari analisis ini adalah tersedianya satu laporan mengenai

    kebijakan Analisis Liberalisasi Jasa Angkutan Laut Indonesia Dalam

    Kerangka Kerjasama ASEAN Trade in Services Agreement (ATISA).

    1.5. Dampak/Manfaat

    Hasil analisis ini diharapkan dapat digunakan oleh stakeholders sebagai

    bahan pengambilan keputusan.

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 4

    1.6. Ruang Lingkup Analisis

    Adapun ruang lingkup dalam analisis ini adalah:

    a. Tingkat liberalisasi jasa angkutan laut Indonesia di tingkat ASEAN

    khususnya jasa angkutan laut luar negeri.

    b. Tingkat keterbukaan diukur sesuai dengan Schedule of Commitment

    (SoC) Indonesia dalam ASEAN Framework Agreement on Services

    (AFAS) ke-8.

    c. Analisis DEA dilakukan terhadap 5 (lima) negara anggota ASEAN antara

    lain Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Definisi

    2.1.1. Jasa Secara Umum

    Berdasarkan Kotler (2003), jasa adalah setiap tindakan atau kinerja yang

    ditawarkan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya yang pada dasarnya tidak

    berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun, serta produksinya

    mungkin terikat atau tidak pada suatu produk fisik. Lebih lanjut, menurut Zeithaml

    dan Bitner (1996), jasa adalah semua kegiatan ekonomi yang outputnya bukan

    produk fisik atau barang dan umumnya dikonsumsi pada saat jasa itu diproduksi,

    dan memberikan nilai tambah dalam banyak bentuk (seperti kenyamanan,

    hiburan, dan kesehatan). Jadi berdasarkan definisi di atas, jasa adalah produk

    yang tidak berwujud (intangible), yang penggunaannya bersifat sementara (tidak

    tahan lama) dan tidak menghasilkan kepemilikan bagi yang membelinya. Jasa

    diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan dimana produksinya dapat

    dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik.

    2.1.2. Jasa Transportasi

    Berdasarkan (Kamaluddin, 2003) dalam (Kadir, 2006), transportasi

    merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin, yaitu transportare, dimana trans

    artinya seberang atau sebelah lain dan portare yang berarti mengangkut atau

    membawa. Secara harfiah, transportasi berarti mengangkut sesuatu dari suatu

    tempat ke tempat lainnya. Transportasi juga dapat didefinisikan sebagai usaha

    dan kegiatan mengangkut atau membawa barang dan/atau penumpang dari

    suatu tempat ke tempat lainnya. Munawar (2005) mendefinisikan transportasi

    sebagai kegiatan pemindahan penumpang dan barang dari satu tempat ke

    tempat lain dimana ada 5 (lima) unsur pokok dalam sistem transportasi, yaitu:

    a. Orang yang membutuhkan;

    b. Barang yang dibutuhkan;

    c. Kendaraan sebagai alat angkut;

    d. Jalan sebagai prasarana angkutan;

    e. Organisasi/pengelola angkutan.

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 6

    Berdasarkan definisi jasa dan transportasi di atas, jasa transportasi dapat

    diartikan sebagai kegiatan ekonomi untuk mengangkut atau membawa barang

    dan/atau penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Berbeda halnya

    dengan produk berupa barang, produk jasa yang ditawarkan adalah manfaat bagi

    pengguna jasa itu sendiri, dimana konsumen jasa hanya bisa mengevaluasi

    kualitas jasa tersebut berdasarkan pengalaman dan kepercayaan setelah

    menggunakannya. Oleh karena itu, dalam Kotler (2003), merek (brand) dan

    nama baik suatu penyedia jasa sangat menentukan keputusan pembelian jasa.

    Konsumen akan yakin dan cenderung memilih penyedia jasa yang secara

    historical mampu memenuhi permintaan konsumen tersebut di masa lampau.

    Berdasarkan peraturan perundang-perundangan di Indonesia, jasa

    transportasi laut didefinisikan sebagai jasa angkutan laut, baik penumpang

    maupun barang. Jasa ini dikelola oleh perusahaan angkutan laut nasional

    dan/atau perusahaan angkutan laut asing dengan menggunakan kapal

    berbendera Indonesia dan/atau kapal asing yang ketentuannya mengacu kepada

    UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dalam Ristianingrum (1999),

    angkutan laut mempunyai beberapa jenis atau tipe yang didasarkan pada cara

    pengoperasian kapal, antara lain:

    a. Liner Service, yaitu pengoperasian kapal dimana perusahaan yang

    mengusahakan kapal/perusahaan pelayaran melayani trayek tertentu

    secara teratur misalnya rute Indonesia – Malaysia, Indonesia – Jepang,

    dan sebagainya. Beberapa perusahaan pelayaran yang melayani rute

    yang sama tunduk kepada suatu freight conference untuk menentukan

    ongkos pengangkutan dengan maksud untuk menghindarkan persaingan

    yang tidak sehat. Umumnya, pada Liner Service juga berlaku liner term,

    yaitu dalam hal pemakaian ruangan kapal, pemilik barang tidak dibebani

    biaya tambahan kecuali freight rate. Bahkan biaya bongkar muat barang

    ke atas dan ketika turun kapal (stevedoring) telah menjadi tanggungan

    perusahaan pelayaran yang bersangkutan. Pemilik barang hanya

    berkewajiban menyerahkan barang sampai di sisi kapal.

    b. Tramp Service/Tramper, yaitu pengoperasian kapal dimana pengusaha

    kapal tidak terikat untuk melayani rute tertentu. Kapal datang ke

    pelabuhan mana saja setelah menerima informasi adanya muatan yang

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 7

    akan diangkut. Perusahaan kapal tidak terikat pada suatu conference

    sebagai dasar penentuan ongkos pengangkutan. Freight rate ditetapkan

    atas dasar tawar-menawar antara perusahaan kapal dengan calon

    pemakai jasa angkutan kapal.

    c. Charter, yaitu pengoperasian kapal dengan cara time charter dan voyage

    charter. Antara penyewa ruang kapal dengan pengusaha kapal melakukan

    kesepakatan untuk melakukan satu atau lebih pelayaran tertentu atau

    melakukan pelayaran pada suatu periode tertentu, guna mengangkut

    barang-barang yang dikomitmenkan oleh penyewa ruang kapal. Dalam hal

    ini, biaya sewa dihitung berdasarkan banyaknya muatan yang diangkut

    sebagaimana yang dijanjikan oleh penyewa dan dicatat dalam charter

    party (C/P). Kapal yang telah di-charter harus melakukan pelayaran

    melalui trayek sebagaimana yang diatur dalam C/P, meskipun ruangan

    kapal digunakan seluruhnya atau sebagian. Pada umumnya, jenis

    pengoperasian kapal charter ini digunakan oleh para pengusaha atau

    perusahaan yang melakukan aktivitas jual beli antar pulau dan juga antar

    negara dimana jual beli barang-barang tersebut berlangsung atas dasar

    FOB atau CIF.

    2.2. Teori Perdagangan Internasional

    David Ricardo memberikan landasan tentang perdagangan internasional

    yang dimulai dari konsep keunggulan komparatif (comparative advantage).

    Ricardo hanya menekankan labour content theory atau produktivitas tenaga kerja

    sebagai basis keunggulan komparatif. Suatu negara akan mendapatkan

    keuntungan perdagangan (gain from trade) apabila kedua negara

    menspesialisasikan diri pada sektor yang mana negara itu memiliki keunggulan

    komparatif.

    Krugman (2003; 2005), dalam Kementerian Perdagangan (2014),

    menjelaskan bahwa suatu Negara memiliki keunggulan komparatif pada suatu

    produk apabila opportunity cost memproduksi produk tersebut lebih kecil di

    negara tersebut dibandingkan dengan diproduksi di negara lain. Dalam hal ini,

    keunggulan komparatif dilihat dengan cara membandingkan opportunity cost

    yang akan hilang oleh suatu negara apabila negara tersebut melakukan realokasi

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 8

    sumber daya yang ada kepada suatu produk sehingga kehilangan

    kemampuannya untuk memproduksi produk yang lain (Krugman, 2003).

    Lebih lanjut, permintaan dunia akan menentukan posisi keunggulan

    komparatif suatu negara (Krugman, 2005). Apabila harga dunia berada pada

    kisaran perbandingan rasio opportunity cost kedua negara maka keunggulan

    komparatif akan terbentuk sehingga kedua negara dapat berdagang. Namun

    apabila harga dunia terlalu tinggi atau terlalu rendah dibandingkan dengan rasio

    opportunity cost kedua negara, maka kedua negara akan memiliki perdagangan

    satu arah.

    Efisiensi dan produktivitas suatu negara akan membentuk keunggulan

    komparatif suatu negara. Perkembangan teknologi akan mengubah alokasi

    sumberdaya dalam suatu negara dan akan mengubah keunggulan komparatif

    suatu negara. Konsep keunggulan komparatif menjelaskan walaupun suatu

    negara tidak memiliki keunggulan absolut, suatu negara masih dapat

    mendapatkan keuntungan perdagangan. Suatu negara dapat dipastikan memiliki

    keunggulan komparatif (Krugman 2003).

    Kemampuan suatu negara menemukan keunggulan komparatifnya akan

    memberikan optimalisasi kesejahteraan dan keuntungan negara tersebut dalam

    berdagang (Krugman, 2003). Krugman (2003) mencontohkan hal tersebut

    dengan model ekonomi satu faktor, dimana suatu negara akan mendapatkan

    kesejahteraan lebih tinggi apabila negara tersebut menspesialisasikan pada

    produk yang memiliki keunggulan komparatif. Selain itu, kemampuan suatu

    negara menemukan dan menspesialisasikan pada keunggulan komparatif akan

    menentukan pola perdagangan kedua negara. Pembentukan efisiensi suatu

    negara akan berdampak pada keunggulan komparatif suatu Negara (Krugman,

    2003).

    2.3. Liberalisasi

    Dalam perdagangan internasional, liberalisasi berarti penghilangan

    kebijakan dan aturan yang sifatnya menghambat perdagangan. Kebijakan atau

    aturan tersebut berlaku, baik kebijakan tarif maupun non-tarif, pada perdagangan

    barang dan jasa. Dalam perdagangan barang, liberalisasi perdagangan berarti

    mengurangi hambatan impor barang dari luar negeri untuk lebih bebas masuk ke

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 9

    dalam negeri, dan begitu pula sebaliknya pengurangan hambatan untuk ekspor

    barang ke luar negeri yang diberikan oleh negara mitra. Dengan kata lain,

    penghilangan hambatan perdagangan dapat dikatakan sebagai insentif bagi

    kegiatan perdagangan sehingga dapat berimplikasi pada semakin intensifnya

    perdagangan antar negara.

    Ide liberalisasi perdagangan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan

    kesejahteraan negara-negara yang terlibat di dalamnya. Teori perdagangan

    internasional yang ditawarkan oleh Adam Smith, David Ricardo, Heckscher-

    Ohlin, dan teori perdagangan internasional modern lainnya memberikan

    penekanan bahwa negara-negara akan menjadi lebih sejahtera dengan

    perdagangan internasional yang semakin bebas hambatan. Lebih lanjut,

    pandangan outward looking memandang bahwa dengan masuknya barang impor

    ke pasar domestik akan menekan produsen domestik untuk menjadi lebih efisien.

    Semakin efisien perusahaan domestik, semakin kompetitif perusahaan tersebut

    yang pada akhirnya mampu berkompetisi dan melakukan ekspansi ke pasar

    dunia.

    Pada sisi lain, pandangan yang berbeda atas liberalisasi perdagangan di

    atas meyakini bahwa kesejahteraan produsen lokal diprediksi akan tergerus jika

    arus barang dan jasa dari luar negeri dibiarkan bebas masuk. Pandangan ini

    disebut sebagai inward looking yang mengarahkan kepada strategi substitusi

    impor, yakni hanya mengimpor barang-barang untuk menutupi kekurangan

    produksi di dalam negeri. Impor akan dihentikan jika industri domestik siap untuk

    memenuhi permintaan domestik.

    2.4. MEA dan AFAS

    Perjalanan MEA berawal pada KTT ASEAN di Kuala Lumpur Desember

    1997 ditandai dengan terbentuknya ASEAN Vision 2020 dalam rangka

    menciptakan kawasan yang stabil, kemakmuran bersama, berdaya saing tinggi

    dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan penurunan tingkat kemiskinan

    dan kesenjangan ekonomi. Kemudian, KTT ASEAN ke-9 di Bali pada Oktober

    2003 dimana para pemimpin ASEAN menandatangani Deklarasi ASEAN

    Concord II (Bali Concord II) sebagai bentuk penegasan kembali visi mereka

    tersebut untuk mendirikan Masyarakat ASEAN dalam kerangka-kerangka

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 10

    kerjasama yang kemudian dikenal sebagai tiga pilar Masyarakat ASEAN.

    Kerangka kerjasama tersebut antara lain membentuk Masyarakat Ekonomi

    ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC), Masyarakat Keamanan ASEAN

    (ASEAN Security Community/ASC), dan Masyarakat Sosial Budaya ASEAN

    (ASEAN Socio-Cultural Community/ASCC). Lebih lanjut, saat KTT ke-13 ASEAN

    digelar di Singapura pada 20 November 2007, para pemimpin ASEAN

    menandatangani ASEAN Charter dan AEC Blueprint 2015 yang menandai

    pengaturan lebih formal dan roadmap bagi negara-negara ASEAN untuk

    mengimplementasikan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat menjadi

    suatu langkah kongkrit yang terperinci dan terjadwal.

    Di bidang perdagangan jasa dan investasi, Indonesia telah meratifikasi

    sejumlah kesepakatan sesama negara-negara anggota ASEAN. ASEAN

    Framework Agreement on Services (AFAS) disusun sebagai bentuk kesepakatan

    di bidang perdagangan jasa yang lebih rinci serta penjabaran dari implementasi

    cetak biru sesuai dengan tingkat komitmen dan jadwal yang telah disepakati tiap

    negara anggota ASEAN. Langkah kongkrit dari negara-negara ASEAN untuk

    berkontribusi secara progresif menghapus hambatan-hambatan perdagangan

    jasa dalam rangka realisasi akhir tujuan integrasi ekonomi sebagaimana yang

    dicanangkan dalam ASEAN Vision 2020.

    Sejak ditandatanganinya pertama kali pada tahun 1996, sejumlah paket

    komitmen AFAS telah berhasil diselesaikan dan ditandatangani oleh seluruh

    negara anggota ASEAN. Melalui proses liberalisasi ini, investasi di bidang jasa

    yang sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi diharapkan semakin meningkat.

    Tujuan AFAS disusun adalah:

    a. Untuk meningkatkan kerjasama di bidang jasa sesama negara anggota

    ASEAN dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing, diversifikasi

    kapasitas produksi serta pasokan dan distribusi jasa, baik antara para

    penyedia jasa di ASEAN maupun diluar ASEAN;

    b. Untuk menghapus hambatan perdagangan jasa secara substansial antara

    anggota ASEAN;

    c. Untuk meliberalisasikan perdagangan bidang jasa dengan memperdalam

    dan memperluas cakupan liberalisasi dalam kerangka GATS/WTO yang

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 11

    ditujukan untuk merealisasikan area perdagangan bebas bidang jasa di

    kawasan ASEAN.

    2.4.1. Komitmen Liberalisasi Perdagangan Jasa dalam AFAS

    Merujuk kepada Kementerian Perdagangan (2016), perdagangan jasa

    meliputi aktivitas-aktivitas perdagangan yang terdiri dari empat moda, antara lain:

    a. Mode 1 (Cross Border Supply) yaitu kebebasan pemasok jasa asing untuk

    memberikan jasanya secara lintas batas tanpa harus hadir di negara tersebut;

    b. Mode 2 (Consumption Abroad) yaitu kebebasan bagi konsumen untuk menggunakan

    jasa di negara lain dengan cara berada pada negara tempat penyedia jasa tersebut;

    c. Mode 3 (Commercial Presence) yaitu kebebasan perusahaan asing untuk hadir dan

    mendirikan badan usahanya di negara lain; dan

    d. Mode 4 (Movement of Natural Person) yaitu kebebasan bagi orang pribadi untuk

    bekerja atau memberikan jasanya di negara lain.

    Mode of supply:

    1) Cross-border supply; 2) Consumption abroad; 3) Commercial presence; 4) Movement of natural person

    Sector or subsector Limitation on market accsess

    Limitation on national treatment

    Additional commitment

    I. HORIZONTAL COMMITMENTS

    1) 2) 3) 4)

    1) 2) 3) 4)

    II. SECTOR-SPECIFIC COMMITMENTS

    1) 2) 3) 4)

    1) 2) 3) 4)

    Gambar 2.1. Schedule of Commitment dalam AFAS

    Sumber: Kementerian Perdagangan, 2016.

    Lebih lanjut, dalam setiap putaran perundingan AFAS, setiap negara

    anggota mengkomitmenkan liberalisasi perdagangan jasanya yang kemudian

    didokumentasikan dalam suatu bentuk schedule of commitment (SOC). Terdapat

    12 (dua belas) sektor yang dikomitmenkan dalam AFAS, antara lain (1) business

    services; (2) communication services; (3) construction services; (4) distribution

    services; (5) educational services; (6) enviromental services; (7) financial

    services; (8) health-related and social services; (9) tourism and travel – related

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 12

    services; (10) recreational; cultural and supporting services; (11) transport

    services; dan (12) other services not elsewhere included. Secara sederhana,

    SOC terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama tentang pembatasan horisontal

    dan bagian kedua tentang komitmen sektor secara lebih spesifik. Adapun bentuk

    SOC tersebut disajikan pada Gambar 2.1.

    2.5. ATISA

    ASEAN mengakui bahwa integrasi ekonomi kawasan merupakan suatu

    proses dinamis dan berkelanjutan sebagaimana ekonomi domestik masing-

    masing negara anggota dan lingkungan eksternal terus berubah secara terus

    menerus. Walaupun implementasi AEC Blueprint 2015 secara keseluruhan

    belum terlaksana, namun secara substansial implementasinya telah banyak

    kemajuan hingga saat ini. Menyadari hal tersebut, pada tahun 2015 ASEAN

    berupaya menginisiasi suatu bentuk cetak biru baru yang disebut AEC Blueprint

    2025, dimana visi dan langkah-langkah pada cetak biru sebelumnya masih tetap

    dianggap relevan, dengan menekankan kepada penciptaan jaringan, daya saing,

    inovasi, dan ASEAN yang terintegrasi. Di bidang perdagangan jasa, tujuan AEC

    Blueprint 2025 adalah untuk lebih memperluas dan memperdalam integrasi

    layanan dalam ASEAN, integrasi ASEAN ke dalam rantai pasokan global pada

    barang dan jasa, dan meningkatkan daya saing sektor jasa negara-negara

    anggota ASEAN. Selain itu, sektor jasa yang kuat akan memfasilitasi

    pengembangan industri, inovasi, dan efisiensi yang pada akhirnya adalah

    maksimalisasi potensi kontribusi sektor jasa terhadap pembangunan ekonomi

    dan pertumbuhan.

    Melalui serangkaian putaran perundingan dalam kerangka AFAS, ASEAN

    terus memperluas cakupan dan mengurangi batasan-batasan terkait akses pasar

    dan perlakuan nasional di sektor jasa. Saat ini, negara ASEAN telah mencapai

    tahap perundingan AFAS-10 sebelum nantinya diimplementasikan secara utuh

    pada ATISA yang menjadi dasar hukum pembentukan integrasi secara utuh pada

    sektor jasa di ASEAN. Dalam rangka mendukung implementasi ATISA, Indonesia

    seharusnya telah memenuhi agenda penting liberalisasi AFAS untuk

    meningkatkan batas kepemilikan modal asing atau FEP dari rata-rata 49 persen

    menjadi 70 persen. Namun, hingga tahun 2016 Indonesia belum dapat

    memenuhi target tersebut. FEP menjadi sangat penting karena menentukan

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 13

    batas maksimum kepemilikan modal bagi penyedia jasa asing di Indonesia yang

    kemudian akan melakukan kontrol pada perusahaan jasa yang didirikan baik

    melalui modal patungan (merger) dengan pengusaha lokal di Indonesia. Oleh

    karena itu, agenda terpenting berikutnya adalah untuk memfasilitasi negosiasi

    dan implementasi ATISA dan upaya-upaya yang berkelanjutan, antara lain:

    a. Mencari alternatif-alternatif pendekatan lainnya dalam rangka liberalisasi jasa

    lebih lanjut serta meninjau kembali kebijakan yang ada menjadi lebih tepat

    guna seperti tentang fleksibilitas, batasan, ambang batas;

    b. Meningkatkan mekanisme untuk menarik FDI pada sektor jasa, termasuk

    peningkatan FEP dalam rangka mendukung aktivitas GVC;

    c. Membangun tata kelola yang mungkin pada peraturan domestik untuk

    memastikan daya saing pada sektor jasa, mempertimbangkan tujuan non-

    ekonomi atau pembangunan lainnya;

    d. Meningkatkan kerjasama teknis pada sektor jasa dalam hal human resource

    development (HRD), kegiatan promosi bersama untuk menarik FDI pada

    sektor jasa, dan pertukaran pengalaman sesama negara anggota.

    2.6. Perdagangan Jasa dan Investasi

    Hubungan antara investasi dan perdagangan terhadap pertumbuhan

    ekonomi telah menjadi salah satu isu penting dalam pembahasan ekonomi

    internasional. Para pengambil kebijakan di banyak negara terus mengupayakan

    untuk meningkatkan kapasitas perdagangannya dengan negara-negara mitra

    dagangnya untuk menstimulasi pertumbuhan ekonominya. Selain itu, mereka

    juga berupaya untuk menciptakan segala bentuk insentif agar menarik bagi

    investasi karena dianggap telah berdampak pada perkembangan ekonomi

    secara positif. Kedua hal ini telah banyak mengilhami para peneliti dan akademisi

    untuk melihat lebih jauh tentang dampak investasi dan perdagangan terhadap

    pertumbuhan ekonomi.

    Stimulus utama pertumbuhan ekonomi dan pembangunan adalah

    investasi. Pada awalnya, sumber utama untuk investasi tersebut di banyak

    negara adalah berasal tabungan nasional (saving). Namun, sebagian besar

    negara-negara berkembang dan terbelakang menghadapi kondisi kesulitan dana

    untuk investasi itu sendiri karena beberapa kesulitan fundamental ekonominya,

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 14

    seperti pendapatan nasional yang rendah, inflasi, pengangguran, dan lain

    sebagainya. Untuk alasan ini, negara berkembang dan terbelakang

    mengupayakan terus-menerus untuk memanfaatkan pinjaman luar negeri dalam

    rangka menutupi kekurangan tersebut. Namun, akibat beberapa alasan dana-

    dana investasi yang digulirkan tidak digunakan sebagaimana mestinya pada

    proyek-proyek yang tidak menguntungkan sehingga pada akhirnya mereka

    kesulitan untuk membayar pinjamannya. Masalah ini menyebabkan peningkatan

    hutang luar negeri yang memiliki efek buruk pada beberapa ekonomi negara-

    negara tersebut. Untuk mengurangi resiko dampak buruk akibat pinjaman luar

    negeri, negara-negara maju kemudian mengusulkan untuk menggunakan

    Foreign Direct Investment (FDI) yang pada akhirnya menyebabkan negara-

    negara maju tersebut membandingkan satu negara dengan negara lainnya

    sebagai tujuan investasi mereka.

    Blomstrom, et al (1994) mengatakan bahwa FDI memiliki efek positif

    terhadap pertumbuhan ekonomi. Ada hubungan antara tingkatan ambang

    penghasilan dengan FDI, sehingga investasi langsung tersebut memiliki efek

    positif pada pertumbuhan ekonomi di negara tuan rumah. Negara-negara yang

    telah mencapai tingkat pendapatan tertentu dapat menyerap teknologi baru dan

    manfaat dari transfer teknologi, sehingga menuai keuntungan tambahan dari FDI.

    Hal ini karena dibutuhkan penduduk terdidik (human capital) untuk memahami

    dan menyebarkan manfaat inovasi baru ke seluruh perekonomian. Selain itu,

    Borensztein, et al (1998) mengemukakan bahwa diperlukan ketersediaan

    batasan minimum sumber daya manusia di negara tuan rumah untuk dapat

    menikmati efek positif dari FDI.

    Lebih lanjut, berdasarkan De Mello (1997) dan De Mello (1999), FDI akan

    meningkatkan pengetahuan di negara tuan rumah melalui transfer knowledge

    seperti pemberian pelatihan tenaga kerja, transfer keterampilan, dan transfer

    pemahaman manajerial dan praktik organisasi yang lebih baik. FDI juga dapat

    memperkenalkan penggunaan teknologi yang lebih canggih dengan cara

    akumulasi modal di negara-negara tuan rumah. Dengan demikian, FDI terkait

    dengan spillover teknologi dapat mengimbangi efek-efek deminishing returns dari

    modal dan menjaga perekonomian tetap tumbuh dalam jangka panjang. Oleh

    karena itu, FDI dengan cara akumulasi modal dan spillover pengetahuan

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 15

    memainkan peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi. Selain itu, berdasarkan

    De Gregorio (2003), FDI memungkinkan suatu negara untuk mengembangkan

    teknologi dan pengetahuan yang tidak tersedia dari investor domestik, sehingga

    FDI merupakan cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui

    produktivitas yang lebih baik.

    Kemudian, Wacziarg (2001) berpendapat bahwa keterbukaan

    perdagangan menimbulkan dampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan

    ekonomi karena percepatan peningkatan infrastruktur, alih teknologi

    berkelanjutan,dan kebijakan ekonomi makro yang lebih baik. Selain itu, ada

    banyak alasan yang bisa menjelaskan mengapa keterbukaan perdagangan

    memberikan pengaruh positif pada tingkat pertumbuhan atau tingkat pendapatan.

    Pengaruh tersebut berasal dari kebijakan domestik yang lebih baik, peningkatan

    fungsi lembaga-lembaga, transmisi teknologi yang difasilitasi oleh keterbukaan

    terhadap perdagangan, peningkatan langsung investasi asing dan efek

    penyebaran. Oleh karena itu, atas dasar studi-studi sebelumnya yang telah

    disebutkan di atas, perdagangan dan FDI telah diakui sebagai faktor penting

    dalam proses pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu negara.

    2.7. Comparative Advantage

    Daya saing menawarkan sejumlah tantangan karena menciptakan

    keuntungan bagi perusahaan, kesejahteraan bagi warga negara, dan

    kemakmuran berkelanjutan bagi perekonomian. Porter (1990) menyebutkan

    bahwa keunggulan bersaing (comparative advantage) adalah seberapa besar

    kemampuan suatu entitas, baik negara atau perusahaan, untuk lebih unggul

    dibandingkan pesaingnya. Keunggulan dapat ditentukan oleh beragam faktor

    seperti sumber daya, biaya, teknologi, dan lain sebagainya sehingga suatu

    entitas mendapatkan nilai maksimal untuk memproduksi suatu barang terhadap

    satuan modal yang digunakan. Keunggulan bersaing dapat diperoleh dengan

    melakukan inovasi dalam hal cara melakukan sesuatu yang lebih baik dan lebih

    efisien.

    Keunggulan bersaing juga dapat dicapai dengan meningkatkan

    produktifitas dan biaya yang efisien. Produktifitas adalah nilai output yang

    diproduksi oleh satuan unit tenaga kerja atau modal serta kesesuaiannya dengan

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 16

    kualitas dan fitur produk yang dihasilkan. Adapun, biaya yang efisien dapat

    diterjemahkan sebagai seberapa efisien biaya operasional perusahaan-

    perusahaan di suatu negara yang lebih baik dibandingkan perusahaan-

    perusahaan di negara pesaingnya untuk menghasilkan barang dan atau jasa.

    Dalam arti kata lain, daya saing merupakan kemampuan dari suatu entitas untuk

    memberikan nilai tinggi terhadap produk sehingga berdaya saing.

    Dalam perdagangan internasional, pertukaran barang dan jasa erat

    kaitannya dengan perusahaan-perusahaan multinasional dengan skala regional

    dan global (multi national enterprises/MNEs) yang menentukan suatu negara

    untuk menjadi bagian dari rantai nilai (global value chain/GVC mereka. Seperti

    halnya permintaan impor yang sangat dipengaruhi oleh seberapa besar

    keikutsertaan produsen di suatu negara yang menjadi basis produksi perusahaan

    MNEs tersebut atau juga disebut sebagai buyer skala global. Perusahaan MNEs

    ini mayoritas melakukan kegiatan bisnisnya di negara pengimpor dan sangat

    menentukan di negara mana suatu barang atau jasa akan diproduksi, sehingga

    akan memilih negara-negara dengan tingkat daya saing tinggi serta didukung

    perjanjian perdagangan yang menguntungkan di negara tersebut. Mereka

    biasanya menggunakan model outsourcing, joint venture, dan bahkan

    kepemilikan penuh yang secara signifikan mempengaruhi bagaimana GVC

    tersebut dilaksanakan dan difungsikan.

    GVC menjadi semakin berpengaruh dalam menentukan perdagangan

    masa depan, peluang investasi, dan peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih

    baik. GVC menawarkan kesempatan untuk mengintegrasikan ekonomi dunia

    dengan biaya yang lebih rendah. Akan tetapi, keuntungan dari partisipasi GVC

    tersebut tidaklah otomatis. Manfaat GVC juga dapat bervariasi tergantung pada

    apakah suatu negara beroperasi di tingkatan yang tinggi atau pada tingkatan

    rendah pada rantai nilai tersebut, terutama bagi negara-negara berkembang

    yang menjadi basis produksi. Namun demikian, fasilitas-fasilitas perdagangan

    yang diberikan suatu negara kepada mitra dagangnya tidak akan berdampak

    maksimal jika negara tersebut produktifitasnya rendah, dalam arti kata lain “tidak

    berdaya saing”.

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 17

    2.8. Penelitian-Penelitian Sebelumnya

    Berdasarkan Tanti Novianti (2013), kualitas infrastruktur dan kelembagaan

    merupakan faktor penting yang menentukan kinerja perdagangan serta daya

    saing perekonomian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas infrastruktur

    dan kualitas kelembagaan negara Indonesia lebih memengaruhi biaya dan

    volume perdagangan internasional Indonesia. Dari berbagai indikator kualitas

    infrastruktur transportasi, kualitas pelabuhan (port quality) merupakan indikator

    yang paling memengaruhi biaya ekspor maupun volume ekspor serta biaya impor

    maupun volume impor, baik total tanpa membedakan moda transportasi maupun

    berdasarkan moda transportasi laut. Semakin baik kualitas pelabuhan Indonesia

    akan menurunkan biaya ekspor maupun impor Indonesia sehingga akan

    meningkatkan volume ekspornya dan mampu meningkatkan daya saing

    perdagangan Indonesia di pasar internasional. Faktor penentu kualitas

    pelabuhan diantaranya adalah kapasitas pelabuhan, tersedianya pelabuhan hub

    intrenasional, sarana prasarana bongkar muat, waktu tunggu, SDM pengelola

    pelabuhan dan bongkar muat, serta peraturan terkait pelabuhan dan pelayaran.

    Sementara indikator kualitas kelembagaan yang lebih memengaruhi biaya ekspor

    maupun impor Indonesia adalah terkait dengan efisiensi terkait peraturan dan

    birokrasi pemerintah (burden of government regulatory) khususnya terkait

    kepabeanan serta indikator terkait keamanan dari kejahatan yang terorganisir

    (organized crime).

    Lebih lanjut, kajian Kementerian Perdagangan (2014) mengusulkan

    roadmap kebijakan peningkatan pencatatan ekspor menggunakan Terms of

    Delivery Cost Insurance and Freight (TOD-CIF). Peningkatan TOD-CIF

    dimaksudkan untuk mengatasi defisit neraca perdagangan akibat besarnya

    defisit perdagangan jasa freight. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah

    dengan cara peningkatan penggunaan kapal nasional dalam kegiatan ekspor

    dan impor karena masih didominasi oleh penggunaan kapal asing. Pada

    kesimpulannya, kajian ini mengusulkan untuk meningkatkan pengadaan kapal

    nasional guna mencapai target 20 persen volume ekspor diangkut dengan kapal

    nasional di tahun 2020.

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 18

    BAB III

    METODOLOGI ANALISIS

    3.1. Metode Analisis

    Sebagai upaya mendukung peningkatan konektivitas dan mendukung

    implementasi ATISA Indonesia di ASEAN, digunakan analisis kualitatif deskriptif

    dan kuantitatif untuk mengetahui apakah suatu sektor perlu diliberalisasi lebih

    luas lagi atau tidak. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang

    potensi dari sektor itu sendiri dan kebijakan apa yang seharusnya dilakukan

    dengan harapan keputusan yang diambil adalah demi kepentingan yang lebih

    luas untuk kemakmuran Indonesia.

    3.1.1. Analisis Kualitatif Deskriptif

    Metode kualitatif dilakukan dengan cara melakukan studi literatur dari

    penelitian-penelitian sebelumnya dan berbagai sumber lainnya.

    3.1.2. Analisis Kuantitatif

    Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui kondisi jasa angkutan laut

    nasional di Indonesia dibandingkan dengan kondisi di negara ASEAN lainnya

    dan tingkat keterbukaan jasa angkutan laut Indonesia di ASEAN.

    3.1.2.1. Data Envelopment Analysis (DEA)

    Merujuk kepada Kementerian Perdagangan (2016), analisis DEA

    digunakan untuk melihat apakah penyedia jasa mampu mengoperasikan

    usahanya secara efisien atau tidak. Dalam hal ini, penyedia jasa yang efisien

    dianggap berdaya saing karena mereka mampu mengelola input lebih baik untuk

    menghasilkan suatu output yang sama dibandingkan penyedia jasa lainnya, atau

    dengan input yang sama untuk menghasilkan output yang lebih besar. Trade-off

    akan terjadi dalam proses pengambilan keputusan ketika daya saing penyedia

    jasa domestik lebih rendah dibandingkan penyedia jasa asing. Existing player

    akan berupaya mempengaruhi pemerintah agar dilindungi pasar domestiknya

    karena tidak bisa bersaing dengan penyedia jasa asing. Namun, pada sisi lain,

    konsumen domestik akan terbebani oleh biaya tinggi akibat jasa yang tidak

    efisien. Bagi konsumen sekaligus produsen yang menggunakan jasa tersebut

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 19

    sebagai input produksinya, kondisi ini akan menurunkan daya saing mereka

    dibandingkan dengan produsen sejenis dari negara lain untuk memproduksi

    suatu barang atau jasa yang sama. Oleh karena itu, analisis DEA ini digunakan

    untuk mendapatkan informasi lengkap apakah suatu sektor perlu diliberalisasi

    atau tidak dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing ekonomi secara

    keseluruhan.

    Dalam analisis DEA, rasio antara input dan output lazim dipergunakan

    sebagai indikator. DEA berasumsi bahwa setiap DMU (Dicision Making Unit)

    akan memiliki bobot yang memaksimumkan rasio efisiensinya (maximize total

    weighted output/ total weighted input). Maksimalisasi rasio efisiensi ini

    menggunakan orientasi output untuk menghitung efisiensi teknik. Orientasi

    lainnya adalah meminimalisasi input. Namun, perhitungan kedua orientasi

    tersebut, baik sisi input maupun output, akan diperoleh hasil yang sama. Hasil

    perhitungan DEA berupa indeks yang berkisar antara 0 sampai dengan 1. Suatu

    DMU dikatakan efisien secara relatif apabila nilainya sama dengan 1 (nilai

    efisiensi 100 persen), atau dalam arti kata lain berdaya saing. Sebaliknya,

    apabila nilainya kurang dari 1, maka DMU bersangkutan dianggap tidak efisien

    secara relatif atau mengalami inefisien. Semakin kecil nilai skor dan mendekati 0,

    maka dapat dikatakan sektor jasa tersebut tidak efisien dan daya saingnya

    lemah. Bagi sektor-sektor jasa yang efisien dapat dianggap memiliki potensi

    untuk melakukan ekspor jasa keluar pasar domestiknya dan mampu bersaing

    dengan penyedia jasa asing yang masuk ke pasar domestik.

    Secara matematis, teknis programasi linier untuk menghitung DEA adalah

    sebagai berikut:

    Max: 𝐸𝑚 = Σ Vjm . Qjm

    Uim . Xim

    Tergantung pada :0 ≤ Σ Vjm . Qjm

    Uim . Xim≤ 1

    uim and vjm ≥ 0

    E adalah efisiensi,U dan V adalah bobot, Q dan X masing-masing adalah output

    dan input.

    Analisis DEA memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah

    dapat menangani multiple input dan multiple ouput tanpa perlu mengetahui

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 20

    hubungan antara input dan outputnya serta dapat digunakan dengan data input

    dan output yang unitnya berbeda. Hal yang diperbandingkan dapat dilihat secara

    langsung dari output olahan yang dihasilkan. Sedangkan, kelemahan DEA

    adalah tidak mengukur tingkat efisiensi mutlak. Untuk mengukur tingkat

    kesalahan yang dipengaruhi oleh tingkat signifikansi, uji stastistik yang digunakan

    harus secara manual.

    3.1.2.2. Indeks Hoekman

    Merujuk kepada Kementerian Perdagangan (2016), Indeks Hoekman (IH)

    merupakan suatu metode indeksasi yang diusulkan oleh Hoekman (1995) untuk

    mengukur tingkat komitmen GATS-style di sektor jasa. Nilai IH

    menginterpretasikan tingkat keterbukaan suatu negara dibandingkan negara

    lainnya pada suatu kerangka kerjasama, atau dalam kata lain seberapa liberal

    suatu negara dibandingkan yang lainnya. Adapun bentuk indeksasi pada metode

    ini, yaitu jika suatu negara memberikan komitmen pada schedule of commitment-

    nya berupa none (komitmen penuh) diberikan nilai indeks 1. Jika dibuka dengan

    pembatasan diberikan nilai indeks 0.5 dan jika belum dikomitmenkan (unbound)

    diberikan nilai indeks 0. Schedule of commitment yang terdiri dari 2 kolom dan

    setiap kolom terdiri dari 4 (empat) mode of supply kemudian diindeksasi

    sehingga diperoleh nilai rata-rata sederhana sebagai nilai IH (Ishido, 2011).

    Tabel 3.1. Indeksasi dengan Hoekman Index

    No. Komitmen Indeks Hoekman

    1. None (komitmen penuh) 1

    2. Limitation (terbuka dengan pembatasan) 0,5

    3. Unbound (tertutup) 0

    Sumber: Ishido, 2011.

    3.1.3. Wawancara dan Focus Group Discussion (FGD)

    Wawancara dan FGD merupakan sumber primer untuk mengidentifikasi

    apakah kebijakan di dalam negeri sejalan dengan tujuan liberalisasi Indonesia di

    tingkat ASEAN. Sinkronisasi kebijakan penting dilakukan agar aturan-aturan

    yang ada di dalam negeri sifatnya menumbuhkembangkan investasi itu sendiri.

    Dengan sinkronisasi kebijakan, diharapkan investasi asing dari ASEAN pada jasa

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 21

    angkutan laut nasional dapat lebih besar lagi sebagai upaya mendukung peran

    pemerintah dalam meningkatkan konektivitas dan mendukung implementasi

    ATISA.

    3.2. Data dan Teknik Pengumpulan Data

    Sumber data yang digunakan adalah data primer maupun sekunder untuk

    berbagai alat analisis yang digunakan. Data primer dikumpulkan melalui

    wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) dengan para pemangku

    kepentingan terkait, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai studi dan

    publikasi yang diterbitkan oleh berbagai institusi seperti pada Tabel 3.2.

    Tabel 3.2. Data Sekunder dan Sumber Data

    Alat Analisis Jenis Data Sumber Data

    Data Envelopment Analysis Tabel Input – Output WIOD

    Indeks Hoekman SOC AFAS 8 ASEAN

    3.3. Kerangka Pemikiran

    Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran

    Tujuan ATISA adalah untuk Mendukung Peningkatan Investasi dan

    Konektivitas Sesama Negara Anggota ASEAN

    Jasa Angkutan Laut Indonesia belum Terkoneksi Secara Baik ke Dalam

    ASEAN

    Sinkronisasi Dengan Kebijakan Nasional (Investasi, Pajak)

    Rekomendasi Kebijakan sebagai Upaya Peningkatan Konektivitas

    Indonesia ke ASEAN dan Mendukung Implementasi ATISA

    Analisis Daya Saing

    Analisis Tingkat Keterbukaan

    DEA Hoekman Index

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 22

    BAB IV

    PERKEMBANGAN PERDAGANGAN JASA DAN INVESTASI

    4.1. Perkembangan Perdagangan Jasa dan Investasi di Kawasan

    Ekonomi ASEAN

    4.1.1. Perdagangan Jasa di Kawasan ASEAN

    ASEAN merupakan pasar yang sangat potensial dengan total penduduk

    lebih dari 620 juta orang dan nilai produk domestik bruto mencapai USD 2,5

    triliun. Hal ini menjadikan peluang bagi perdagangan jasa untuk terus

    ditingkatkan sebagai pendorong pertumbuhan produktifitas dan pendapatan di

    tiap negara anggota. Negara-negara ASEAN telah menyadari hal tersebut

    dimana sektor jasa memainkan peran kunci dalam pertumbuhan ekonomi dan

    penciptaan lapangan kerja, serta menjadi bagian input penting bagi sektor

    ekonomi lainnya. Pada tahun 2009 total perdagangan jasa di ASEAN mencapai

    USD 343 miliar atau telah mewakili 5 persen dari pangsa perdagangan jasa

    dunia pada saat itu dan kecenderungannya terus meningkat. Pada tahun 2015

    total perdagangan jasa ASEAN mencapai lebih dari USD 610 miliar dimana

    kontribusi sektor jasa diperkirakan telah mencapai 40 hingga 70 persen dari

    pendapatan nasional bruto masing-masing negara anggota ASEAN. Selain itu,

    investasi asing langsung (FDI) di sektor jasa telah menyumbang sekitar 60

    persen dari total FDI-nya ASEAN sejak tahun 2013. Oleh karena itu, dapat

    digarisbawahi bahwa integrasi sektor-sektor jasa menjadi sangat penting bagi

    ASEAN dalam rangka menciptakan ekonomi kawasan yang lebih maju baik saat

    ini dan di masa mendatang.

    Kebijakan restriktif menjadi salah satu tantangan penting dalam

    pengintegrasian kawasan dalam rangka pembangunan dan pengembangan

    konektivitas untuk meningkatkan daya saing kawasan. Saat ini, integrasi sektor

    jasa ASEAN terus diupayakan dimana nantinya jasa, investasi, dan tenaga kerja

    terampil akan bergerak bebas antar sesama negara anggota. Namun demikian,

    pencapaian integrasi sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam AEC Blueprint

    tersebut dirasakan berjalan lambat sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi

    ASEAN saat ini. Lambatnya pencapaian integrasi tersebut salah satunya

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 23

    disebabkan karena secara rata-rata ASEAN dianggap lebih restriktif

    dibandingkan negara-negara di dunia lainnya. Kebijakan restriktif tersebut dapat

    dilihat dari nilai Services Trade Restrictions Index (STRI), dimana untuk wilayah

    ASEAN nilai STRI-nya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kawasan lainnya.

    Namun demikian, kebijakan restriktif yang diterapkan bervariasi di tiap negara.

    Secara rata-rata, Kamboja dan Singapura memiliki kebijakan yang paling terbuka

    di sektor jasa. Myanmar dan Vietnam juga relatif terbuka dengan beberapa

    pembatasan, dan sisanya (Indonesia, Thailand, Filipina, dan Malaysia) memiliki

    kebijakan restriktif yang sangat signifikan (ASEAN Services Integration Report,

    2015).

    Terkait sektor jasa angkutan laut, ada beberapa hal mengapa

    pengembangan sektor ini menjadi sangat penting untuk dikembangkan di tiap

    negara. Pertama, seiring meningkatnya pendapatan negara-negara ASEAN,

    konsumen akan mencari beragam jenis jasa dan mengkonsumsinya lebih

    intensif. Pada sisi lain, produsen juga mencari penyedia jasa yang lebih spesifik

    dan canggih serta layanan yang lebih profesional. Kedua, aktivitas Global Value

    Chain (GVC) dari perusahaan-perusahaan MNEs di kawasan ASEAN yang terus

    meningkat juga menjadi pendorong tentang bagaimana mengelola jasa-jasa

    profesional yang dapat mendukung operasi bisnis mereka. Bagi jasa yang tidak

    tersedia di domestik negara anggota, tuntutan ini diharapkan dapat dipenuhi

    melalui perdagangan internasional dengan sesama negara anggota sehingga

    keterlibatan aktif masing-masing negara anggota dalam GVC terus diupayakan.

    Lebih lanjut, layanan backbone, seperti transportasi, logistik,

    telekomunikasi, dan jasa keuangan merupakan bagian integral dari kerja rantai

    nilai global, yang berfungsi sebagai perekat yang memungkinkan kegiatan

    produksi yang dapat dilakukan di beberapa negara secara terpisah dengan

    melihat masing-masing tingkat daya saing produk tersebut. Hal ini dimungkinkan

    seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi, termasuk

    digitalisasi konten, sehingga semakin banyak kegiatan jasa yang dapat

    dipertukarkan melalui perdagangan internasional. Pengalaman internasional

    menunjukkan bahwa perluasan perdagangan jasa di suatu negara secara positif

    meningkatkan pendapatan per kapita dan produktifitas yang lebih tinggi di negara

    tersebut (ASEAN Services Integration Report, 2015).

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 24

    Ketiga, jasa angkutan laut memainkan peran kunci dalam pendukung

    konektivitas yang lebih baik antar sesama anggota. Pengembangan sektor ini

    menjadi semakin penting untuk mengimbangi perpindahan arus barang yang

    terus meningkat di kawasan ASEAN yang saat ini menjadi basis produksi dunia.

    Akan tetapi, berdasarkan Liner Shipping Billateral Connectivity Index (LSBCI)

    yang dikeluarkan oleh UNCTAD, kondisi yang saat ini terjadi adalah konektivitas

    antar negara ASEAN belum terkoneksi secara optimal yang diindikasikan dengan

    masih kecilnya nilai LSBCI beberapa negara di dalam kawasan. Indeks LSBCI

    digunakan untuk melihat seberapa baik suatu negara terhubung ke dalam

    shipping networks dan juga cerminan seberapa baik jasa angkutan laut yang

    mendukung perdagangan kedua negara secara bilateral. Semakin besar nilai

    LSBCI berarti semakin baik konektivitas kedua negara tersebut secara bilateral,

    begitupun sebaliknya. Konektivitas Indonesia sendiri masih tertinggal

    dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia,

    Thailand, dan Vietnam (Tabel 4.1.). Beberapa faktor yang dianggap sebagai

    penyebab konektivitas Indonesia rendah adalah jasa angkutan laut dari dan ke

    Indonesia kurang efisien dikarenakan banyaknya transshipments yang harus

    dilalui, terbatasnya koneksi langsung antar pelabuhan, serta minimnya jumlah

    armada dan daya angkut yang efisien.

    Tabel 4.1. Liner Shipping Billateral Connectivity Index Negara-Negara ASEAN

    Sumber: UNCTAD, 2016.

    4.1.2. Perkembangan FDI di Kawasan ASEAN

    ASEAN kini dipandang sebagai tujuan investasi utama yang mendorong

    Multi National Enterprises (MNEs) untuk melakukan ekspansi di wilayah ini lebih

    besar lagi. Aliran FDI ke kawasan ASEAN meningkat pesat dari tahun 2013 yang

    hanya USD 117,7 milliar menjadi USD 136,2 milliar pada tahun 2014. Meskipun

    aliran FDI global turun 16% pada tahun 2014, negara-negara anggota ASEAN

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 25

    secara kolektif tetap menjadi penerima aliran FDI terbesar diantara negara-

    negara berkembang lainnya. Hal ini disebabkan karena fundamental ekonomi

    regional yang semakin kuat, keunggulan dari segi biaya, integrasi regional, dan

    upaya-upaya yang terus dilakukan untuk memperbaiki lingkungan investasi di

    ASEAN (ASEAN Investment Report, 2015).

    Lebih lanjut, aliran investasi dari sesama negara anggota ASEAN juga

    terus meningkat, mencapai USD 24,4 milliar pada tahun 2014 dari USD 19,4

    milliar pada tahun sebelumnya, atau peningkatan sebesar 26% (Gambar 4.1).

    Nominal tersebut sama dengan 18% dari keseluruhan FDI yang masuk ke

    kawasan ASEAN itu sendiri sehingga menjadikan negara-negara ASEAN

    sebagai investor nomor dua di kawasannya sendiri. Banyak hal yang

    menyebabkan peningkatan investasi ke kawasan ASEAN tersebut yang juga

    menjadi peran penting dalam peningkatan investasi ke kawasan ini. Strategi

    ekspansi MNEs dari negara ASEAN menjadikan peran penting sektor swasta

    sebagai penjembatan untuk membantu pemerintah dalam pembangunan

    infrastruktur melalui investasi serta memperbaiki keseluruhan rantai nilai

    kawasan ke taraf yang lebih baik.

    Gambar 4.1. Perkembangan FDI di Kawasan ASEAN (dalam Juta Dollar) Sumber: ASEAN Secretariat, 2015.

    Untuk meningkatkan daya tarik FDI ke kawasan ASEAN, diperkirakan

    hingga tahun 2025, ASEAN membutuhkan investasi sebesar USD 110 miliar

    setiap tahunnya untuk pembangunan infrastruktur yang meliputi listrik,

    transportasi, information communications technology (ICT), air, dan sanitasi.

    Namun demikian, mengingat beban pengeluaran negara-negara anggota saat ini,

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 26

    kesenjangan pendanaan di bidang infrastruktur perlu dicari solusinya untuk

    memenuhi permintaan di masa depan yang semakin besar. Lagi-lagi, sektor

    swasta diharapkan memainkan peran yang lebih besar untuk membantu

    menjembatani kesenjangan tersebut melalui FDI sehingga dibutuhkan upaya

    yang lebih terpadu oleh semua pemangku kepentingan untuk memobilisasi

    seluruh potensi saluran investasi dan sumber daya tambahan untuk

    pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut. Misalnya, menarik dana yang

    dimiliki kebanyakan oleh private sector dari negara-negara ASEAN yang

    jumlahnya setidaknya ada sebesar USD 10 triliun kembali masuk sebagai

    sumber potensial pendanaan investasi di kawasan ASEAN.

    Saat ini, negara anggota ASEAN terus mengupayakan kebijakan-

    kebijakan yang menguntungkan dalam hal investasi. Hal tersebut termasuk

    langkah-langkah untuk menjadikan investasi lebih mudah, meningkatkan

    transparansi, dan memperbaiki iklim investasi. Kebijakan lainnya adalah

    reformasi kebijakan investasi nasional, kebijakan pengembangan industri, insentif

    dan reformasi pajak, fasilitasi investasi, penyederhanaan prosedur investasi,

    penguatan dukungan kelembagaan bagi investor, pembentukan zona ekonomi

    yang lebih ekonomis dan pembangunan infrastruktur. Negara-negara Anggota

    ASEAN juga terlibat aktif dengan perjanjian terkait investasi lainnya di tingkat

    bilateral, plurilateral dan regional, termasuk perjanjian investasi untuk perjanjian

    perdagangan bebas ASEAN dengan mitra dagangnya dan Regional

    Comprehensive Economic Partnership (ASEAN Investment Report, 2015). Oleh

    karena itu, perbaikan iklim usaha dan investasi yang berkelanjutan di kawasan ini

    menjadi aspek penting untuk mendukung peningkatan ekonomi di kemudian hari.

    4.2. Perkembangan Perdagangan Jasa dan Investasi di Indonesia

    4.2.1. Perkembangan Perdagangan Jasa di Indonesia

    Walaupun nilai perdagangan jasa masih kecil dibandingkan total

    perdagangan barang, namun perdagangan jasa memiliki dampak yang sangat

    besar terhadap perekonomian Indonesia. Secara umum, perdagangan jasa

    Indonesia perkembangannya relatif stagnan dalam kurun waktu lima tahun

    terakhir. Dapat dilihat pada Tabel 4.2, tercatat pada tahun 2011 perdagangan

    jasa Indonesia sebesar USD 53,58 miliar dan pada tahun 2015 adalah sebesar

    USD 52,76 miliar dan terus mengalami defisit karena Indonesia masih menjadi

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 27

    net importir jasa hingga saat ini. Jasa transportasi merupakan penyumbang

    defisit terbesar dengan nilai USD 6,12 miliar pada tahun 2015. Selain itu, jasa

    bisnis lainnya, biaya penggunaan kekayaan intelektual, jasa asuransi dan dana

    pensiun, serta jasa keuangan juga merupakan penyumbang defisit neraca jasa.

    Jasa bisnis lainnya menunjukkan perkembangan defisit yang sangat signifikan

    dimana pada tahun 2011 hanya mencapai USD 704 juta kemudian meningkat

    signifikan menjadi USD 2,46 miliar pada tahun 2015. Sedangkan, jasa

    perjalanan, jasa manufaktur, dan jasa pemerintah merupakan penyumbang

    surplus pada neraca jasa Indonesia.

    Tabel 4.2. Perkembangan Perdagangan Jasa Indonesia (USD Juta)

    Sumber: Bank Indonesia, 2016.

    Lebih lanjut, kondisi defisitnya neraca jasa Indonesia merupakan salah

    satu penyebab transaksi berjalan Indonesia terus mengalami tekanan sejak

    tahun 2012 hingga tahun 2015. Hal ini diperparah dengan menurunnya harga

    komoditas internasional dimana barang komoditi merupakan penopang ekspor

    Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Komponen penyumbang defisit

    terbesar pada neraca jasa itu sendiri adalah jasa angkutan barang dengan nilai

    sebesar USD 5,18 pada tahun 2015 atau mengambil porsi 85% dari total defisit

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 28

    yang disumbangkan oleh jasa transportasi itu sendiri. Kondisi ini dikarenakan

    Indonesia masih bergantung kepada jasa angkutan laut asing untuk mengangkut

    barang dari Indonesia ke luar negeri. Oleh karena itu, investasi pada sektor jasa

    angkutan laut di Indonesia perlu ditingkatkan agar perannya terhadap

    perekonomian Indonesia menjadi lebih besar khususnya untuk memperbaiki

    transaksi berjalan yang terus mengalami defisit.

    4.2.2. Kinerja Jasa Angkutan Laut Nasional

    Jasa angkutan laut merupakan sektor yang sangat vital karena memiliki

    pengaruh yang besar bagi perekonomian Indonesia. Sebagai negara kepulauan,

    Indonesia sangat bergantung kepada jasa angkutan laut sehingga peran sektor

    ini sangat penting sebagai “masukan” pada sektor-sektor lainnya. Sektor-sektor

    produksi seringkali mengkaitkan jasa angkutan dengan biaya transfer atau biaya

    yang dibebankan atas aktifitas distribusi input produksi dan output yang pada

    akhirnya mempengaruhi daya saing produk di negara tersebut. Selain itu,

    sebagai bagian dari biaya logistik, kinerja jasa angkutan laut di Indonesia sendiri

    juga masih jauh dari yang diharapkan. Berdasarkan studi World Bank, Logistic

    Performance Index (LPI) Indonesia (ranking 63) masih di bawah negara-negara

    ASEAN lainnya seperti Singapura (ranking 5), Malaysia (ranking 32), dan

    Thailand (ranking 45). LPI adalah suatu ukuran penilaian untuk melihat seberapa

    baik suatu negara dalam pengelolaan logistik ekspor di negara tersebut yang

    terdiri dari beberapa dimensi penilaian antara lain customs, infrastructure,

    international shipments, logistic competence, tracking & tracing, dan timeliness.

    Infrastruktur yang tidak terkoneksi secara baik (ranking 73) di Indonesia masih

    menjadi kendala utama dalam rangka menekan biaya logistik. Begitu pula halnya

    dalam hal kemudahan untuk mendapatkan harga pengiriman yang kompetitif

    (international shipments), Indonesia kurang kompetitif (ranking 71) atau dengan

    kata lain biaya transportasi dari Indonesia dipersepsikan lebih mahal

    dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya namun lebih baik dibandingkan

    dengan Myanmar dan Laos (Tabel 4.3).

    Baik tidaknya jasa angkutan laut terkait erat dengan konektivitas dan

    pendukung konektivitas itu sendiri di suatu wilayah atau negara. Dalam hal ini,

    konektivitas adalah pelabuhan yang terkoneksi antara satu pelabuhan dengan

    pelabuhan yang lainnya dan kualitas dari pelabuhan-pelabuhan itu sendiri yang

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 29

    berfungsi untuk memfasilitasi kemudahan perpindahan orang dan barang dan

    mengurangi waktu tempuh perjalanan. Infrastruktur masih menjadi motor

    penggerak utama dalam pembentukan konektivitas tersebut karena infrastruktur

    dianggap memainkan peran penting terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan,

    pembangunan sosial, dan sebagai pendongkrak dampak spillover di kawasan

    tersebut. Terbatasnya infrastruktur pelabuhan, seperti kedalaman alur, kolam

    sandar, dan fasilitas-fasilitas pendukungnya menyebabkan kendala utama bagi

    Indonesia untuk meningkatkan kinerja logistik nasional.

    Tabel 4.3. Logistic Performance Index Negara-Negara ASEAN

    Sumber: World Bank, 2016.

    Namun demikian, pembentukan konektivitas tidak hanya masalah aspek

    fisik pada infrastruktur saja, tetapi juga melalui pengembangan basis produksi,

    investasi, dan perdagangan yang terus meningkat dan saling memiliki keterkaitan

    antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut dibentuk dari tiga tingkatan sektor

    industri yang saling berkaitan antara lain infrastruktur, infrastruktur yang

    mendukung industri, dan infrastruktur jasa. Tiga tahapan ini tidak saja saling

    berkaitan tetapi juga saling menghubungkan satu sama lain yang berimplikasi

    kepada daya tarik investasi di negara tersebut. Dalam setiap tahapan, asing dan

    lokal selalu terlibat sehingga tercipta pembangunan yang terus berkelanjutan.

    Mereka bekerja sama untuk membangun, memiliki, berinvestasi, mengelola, dan

    membiayai proyek-proyek tersebut. Oleh karena itu, pengembangan infrastruktur

    yang terkoneksi di setiap daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi

    sehingga dapat mendukung pertumbuhan investasi dan perdagangan khususnya

    di Indonesia dan kawasan ASEAN secara keseluruhan.

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 30

    Indonesia yang terkoneksi secara berkelanjutan ke kawasan ASEAN juga

    sangat diperlukan untuk mendukung MNEs dalam rangka pembentukan regional

    value chains dan regional production networks. Perusahaan-perusahaan tersebut

    mengambil keunggulan lokasi yang saling melengkapi yang ditawarkan oleh

    setiap negara anggota terutama dalam hal penurunan biaya transaksi (misal

    kebijakan tarif impor 0% antar negara ASEAN), biaya tenaga kerja, dan lain

    sebagainya. Dalam rangka meraih efisiensi produksi, MNEs dan perusahaan-

    perusahaan di ASEAN bekerja melalui suatu sistem berbasis web dengan

    supplier-suppliernya di sesama kawasan yang sudah terkoneksi di kawasan ini.

    Oleh karena itu, konektivitas memberikan implikasi yang sangat besar terhadap

    kelangsungan bisnis mereka karena dapat meningkatkan daya saing mereka di

    kawasan, meningkatkan efisiensi produksi, dan mengurangi biaya transaksi.

    Selain itu, jasa angkutan laut nasional juga dianggap masih belum

    menunjukkan kekuatannya di negeri sendiri. Seluruh potensi yang ada belum

    dimanfaatkan secara baik sehingga dalam banyak hal masih didominasi oleh

    pihak asing. Terkait kemudahan mendapatkan harga freight yang kompetitif,

    biaya angkut muatan dalam negeri menggunakan kapal nasional dianggap lebih

    mahal dibandingkan dengan biaya angkut dari penyedia jasa asing.

    Penyebabnya adalah industri pelayaran nasional belum memiliki armada kapal

    yang memadai, baik dari segi jumlah maupun kapasitasnya sehingga armada

    kapal nasional masih sangat terbatas untuk memenuhi semua kebutuhan jasa

    angkutan dan logistik ke seluruh wilayah di Indonesia dan pengiriman ke luar

    negeri. Selain itu, kapal-kapal yang tersedia kebanyakan adalah kapal-kapal

    dengan ukuran kecil dan dioperasikan yang disesuaikan dengan permintaan

    (order basis, baru berlayar ketika muatan penuh) sehingga jadwal pengiriman

    menjadi tidak pasti. Kondisi ini menyebabkan biaya logistik ekspor menjadi mahal

    yang pada akhirnya menurunkan daya saing produk ekspor nasional.

    Sebagai gambaran, berdasarkan data Kementerian Perhubungan, jumlah

    kapal berbendera Indonesia pada September 2010 tercatat sebanyak 9.835 unit

    dengan rata-rata kapasitas angkutan kapal sebesar 13,03 juta Gross Ton (GT).

    Pada tahun 2013, total armada nasional bertambah sebanyak 12.972 unit kapal

    dengan kapasitas angkut 18,7 juta ton. Walaupun terjadi peningkatan jumlah

    armada kapal, namun kekuatan armada nasional tersebut sangatlah kecil jika

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 31

    dibandingkan dengan total muatan angkutan secara keseluruhan. Pada tahun

    2012 total muatan angkutan nasional saja telah mencapai 952,67 juta ton

    sehingga armada kapal nasional hanya mampu menguasai 43,1% pangsa

    muatan angkutan laut di Indonesia dan selebihnya masih tetap mengandalkan

    armada kapal angkut asing. Khusus pangsa muatan angkutan laut luar negeri,

    armada kapal nasional hanya mampu menguasai 10% pangsa muatan dan 90%

    pangsa muatan adalah kapal asing.

    4.2.3. Perkembangan FDI Jasa Angkutan Laut di Indonesia

    Saat ini, Indonesia sedang berupaya mengakselerasi pembangunan

    infrastruktur di segala bidang termasuk peningkatan konektivitas. Hal ini

    dilakukan untuk memperbaiki kondisi yang saat ini ada dan mengejar ketinggalan

    Indonesia dengan negara lainnya. Berdasarkan RPJMN 2015 – 2019, kebutuhan

    dana untuk pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia lebih dari

    Rp.5.500 triliun. Salah satu fokus utamanya adalah pembangunan pelabuhan

    dengan nilai proyek sebesar Rp.900 triliun. Peran serta semua pihak sangat

    dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan yang sangat besar tersebut

    antara lain pemerintah, BUMN, dan swasta. Lebih lanjut, berdasarkan analisis

    Kementerian Perdagangan (2015), beberapa pelabuhan di Indonesia tengah

    melakukan revitalisasi dan peningkatan kualitas pelayanan pelabuhan.

    Pelabuhan-pelabuhan tersebut antara lain Tanjung Priok, Tanjung Perak,

    Makasar, Samarinda, dan pelabuhan-pelabuhan lainnya. Revitalisasi dilakukan

    untuk meningkatkan kedalaman alur laut, kolam sandar kapal, dan penyediaan

    infrastruktur pendukungnya sehingga mampu disinggahi oleh kapal dengan bobot

    besar. Selain itu, revitalisasi juga ditujukan untuk meningkatkan kualitas

    pelayanan pelabuhan dengan cara perluasan area bongkar muat barang dan

    penggunaan teknologi pada sarana-sarana penunjang aktivitas pelabuhan.

    Pembangunan infrastruktur di beberapa pelabuhan tersebut untuk

    mengantisipasi peningkatan jumlah angkutan dan waktu tunggu sandar kapal

    yang terus meningkat setiap tahunnya.

    Pada sisi lain, upaya peningkatan kualitas infrastruktur pelabuhan tersebut

    perlu juga didukung oleh pengembangan armada angkutan laut yang memadai

    dan efisien. Kebutuhan dana untuk pengembangan angkutan laut itu sendiri

    sangatlah besar, sehingga peran serta semua pihak sangat diperlukan. Sektor

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 32

    swasta dapat memainkan peran yang lebih besar untuk membantu menjembatani

    kesenjangan tersebut melalui FDI. Secara akumulasi, FDI ASEAN pada sektor

    jasa angkutan laut di Indonesia kecenderungannya meningkat (Gambar 4.2.).

    Dari tahun 2006 hingga 2015, aliran FDI pada angkutan laut domestik dan

    angkutan laut internasional adalah sebesar USD 1.887 juta. Pada periode yang

    sama, total FDI pada sub-sektor angkutan laut domestik adalah sebesar USD

    1.804 juta. FDI pada angkutan laut domestik meningkat secara signifikan sejak

    tahun 2010 dan peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2014 yang mencapai

    USD 989 juta. Walaupun FDI pada sektor jasa angkutan laut domestik

    kecenderungannya meningkat, namun tidak halnya dengan angkutan laut luar

    negeri. FDI pada angkutan laut luar negeri cenderung stagnan dan tidak banyak

    mengalami perubahan. Tercatat pada tahun 2006 hingga tahun 2015, FDI

    ASEAN pada sub-sektor jasa angkutan laut luar negeri hanya mencapai USD 83

    juta.

    Gambar 4.2. Perkembangan FDI pada Jasa Angkutan Laut di Indonesia Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2016.

    -

    200.000

    400.000

    600.000

    800.000

    1.000.000

    1.200.000

    (KLBI 5011 dan 5013) Angkutan Laut Domestik

    (KLBI 5012 dan 5014) Angkutan Laut Internasional

    Satuan: ‘000 US Dollar

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 33

    BAB V

    ANALISIS DAN PEMBAHASAN

    5.1. Hasil Analisis DEA

    Analisis DEA dilakukan untuk mengetahui tingkat efisiensi yang menjadi

    acuan tingkat daya saing jasa angkutan laut nasional dibandingkan jasa

    angkutan laut dari negara ASEAN lainnya, antara lain Malaysia, Thailand,

    Vietnam, dan Filipina. Perhitungan DEA sendiri akan menghasilkan nilai absolut

    1 s.d. 0 dimana nilai 1 berarti suatu sektor telah efisien atau berdaya saing tinggi

    dan semakin turun mendekati ke angka 0 berarti semakin kurang efisien atau

    tidak memiliki daya saing. Berdasarkan Tabel 5.1, nilai DEA Indonesia pada

    sektor jasa angkutan laut sebesar 0,219, Vietnam 0,122, dan Filipina 0,037. Hal

    ini berarti sektor jasa ini tidak efisien di ketiga negara tersebut, dengan kata lain

    tidak berdaya saing. Nilai DEA Malaysia dan Thailand masing-masing sebesar 1

    yang artinya sektor jasa tersebut telah efisien atau berdaya saing. Selain itu,

    tidak berdaya saingnya jasa angkutan laut nasional seiring dengan tidak berdaya

    saingnya jasa pendukung pengusahaan angkutan laut Indonesia yang

    diindikasikan dengan nilai DEA sebesar 0,212. Sedangkan, di negara ASEAN

    lainnya telah memiliki jasa pendukung pengusahaan angkutan laut yang berdaya

    saing. Di Singapura karena tidak tersedia data maka perhitungan nilai DEA tidak

    dapat diketahui. Meskipun demikian, Singapura dianggap sebagai negara yang

    paling maju bagi sektor jasa angkutan laut di ASEAN.

    Tabel 5.1. Tingkat Efisiensi Jasa Angkutan Laut Nasional dan Jasa

    Pendukungnya Dibandingkan Negara ASEAN Lainnya

    Sumber: WIOD 2011; diolah dengan POM-QM.

    Kondisi ini berarti jika sektor jasa angkutan laut Indonesia semakin

    diliberalisasi penuh akan berdampak kepada kalah bersaingnya penyedia jasa

    Nilai DEA IND SIN MAL THA VIE PHI

    Jasa Angkutan Laut 0,219 N/A 1 1 0,122 0,037

    Jasa Pendukung

    Pengusahaan Angkutan Laut0,212 N/A 1 1 1 1

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 34

    angkutan laut nasional. Pada akhirnya penyedia jasa nasional akan berupaya

    untuk dilindungi dari kemungkinan pasar dalam negerinya direbut oleh penyedia

    jasa angkutan dari kedua negara ASEAN tersebut. Namun demikian,

    konsekuensi dengan tetap mempertahankan sektor jasa angkutan Indonesia

    yang tidak efisien adalah konsumen terbebani biaya tinggi dari apa yang

    semestinya mereka harus bayarkan. Hal ini akan berakibat negatif kepada

    turunnya daya saing dari sektor-sektor ekonomi lainnya yang menggunakan jasa

    angkutan laut sebagai input maupun output dalam produksi mereka.

    Trade-off terjadi ketika akan memutuskan apakah melindungi penyedia

    jasa nasional yang tidak unggul secara komparatif atau meliberalisasi sektor ini

    untuk meningkatkan keunggulan komparatif secara keseluruhan. Berdasarkan

    (Krugman, 2003), kemampuan suatu negara menemukan keunggulan

    komparatifnya akan memberikan optimalisasi kesejahteraan dan keuntungan

    negara tersebut dalam berdagang dimana suatu negara akan mendapatkan

    kesejahteraan lebih tinggi apabila negara tersebut menspesialisasikan hanya

    pada produk yang memiliki keunggulan komparatif. Pembentukan efisiensi suatu

    negara akan berdampak pada keunggulan komparatif suatu negara secara

    keseluruhan.

    5.2. Hasil Analisis Indeks Hoekman

    Untuk mengetahui tingkat keterbukaan sektor jasa angkutan laut Indonesia

    digunakan Indeks Hoekman (IH). Dalam analisis ini, penulis mengacu kepada

    komitmen negara-negara ASEAN dalam AFAS-8 sebagai landasan untuk

    melakukan indeksasi. Pada sektor transport services, AFAS-8 hanya

    mengkomitmenkan jasa angkutan laut luar negeri diluar cabotage. Artinya

    masing-masing negara ASEAN mengakui asas cabotage sehingga jasa angkutan

    laut domestik bukanlah bagian dari komitmen liberalisasi mereka di tingkat

    ASEAN, kecuali Brunei Darussalam dan Laos yang tidak membedakan dalam

    komitmennya di AFAS-8. Cabotage merupakan hak masing-masing negara

    anggota untuk mengatur pelayaran di dalam negerinya hanya untuk penyedia

    jasa domestik. Oleh karena itu, Analisis Indeks Hoekman disini cakupannya lebih

    banyak hanya terbatas pada jasa angkutan laut luar negeri, sedangkan jasa

    angkutan laut domestik akan dibahas lebih lanjut pada kebijakan di dalam negeri

    pada sub bab berikutnya.

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 35

    Di tingkat ASEAN, sub sektor jasa angkutan laut Indonesia sudah cukup

    terbuka (Tabel 5.2). Hal ini dapat dilihat dari nilai Indeks Hoekman Indonesia

    pada sektor ini sebesar 0,75. Sedangkan, negara ASEAN lainnya yang telah

    dianggap efisien sektor jasa angkutan lautnya cenderung sedikit lebih tertutup

    dibandingkan Indonesia, seperti Singapura (0,63), Malaysia (0,69), dan Thailand

    (0,63). Negara ASEAN yang paling terbuka pada sub sektor ini adalah Filipina

    dengan nilai Indeks Hoekman sebesar 0,94.

    Tabel 5.2. Perbandingan Indeks Hoekman Jasa Angkutan Laut Indonesia

    Dibandingkan Negara ASEAN Lainnya

    Sumber: Schedule of Commitment AFAS-8, diolah.

    Berdasarkan mode of supply, hampir semua negara ASEAN telah

    membuka untuk Moda 1 dan Moda 2. Negara-negara cenderung membuka Moda

    1 (cross border supply) dan Moda 2 (consumption abroad) karena moda-moda

    tersebut sulit untuk diatur perdagangannya. Sebagai contoh, importir Thailand

    membeli barang FOB dari Indonesia dengan menggunakan penyedia jasa

    angkutan asal Indonesia. Hal ini lumrah terjadi dalam perdagangan internasional

    dimana pembeli dari negara lain dapat mengkonsumsi suatu jasa dari negara

    lain dimana asal jasa tersebut diproduksi. Hanya satu negara ASEAN yang

    belum membuka penuh Moda 1 pada sub sektor ini yaitu negara Kamboja (0).

    Lebih lanjut, pada Moda 2, semua negara ASEAN tidak lagi memberlakukan

    pembatasan bagi konsumen dari luar negeri untuk mengkonsumsi jasa angkutan

    laut di dalam negeri setiap negara-negara ASEAN. Oleh karena itu, setiap

    negara lebih intensif untuk mengatur pembatasan pada Moda 3 (commercial

    presence) dan Moda 4 (movement of natural person).

    Pada Moda 3, negara-negara ASEAN cenderung membuka moda ini

    dengan pembatasan. Indonesia sendiri membuka moda ini dengan nilai indeks

    sebesar 0,5. Sedangkan, Malaysia dan Vietnam lebih terbuka dengan nilai indeks

    sebesar 0,75. Satu-satunya negara yang telah membuka moda ini secara penuh

    IND SIN MAL THA VIE PHI CAM MYN BRU LAO

    1. Rata-Rata Keseluruhan 0,75 0,63 0,69 0,63 0,69 0,94 0,38 0,75 0,75 0,63

    2. Moda 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1

    3. Moda 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

    4. Moda 3 0,5 0,5 0,75 0,5 0,75 1 0,5 0,5 0,5 0,5

    - FEP (dalam %) 60 100 51 51 49 100 100 100 51 100

    5. Moda 4 0,5 0 0 0 0 0,75 0 0,5 0,5 0

    Indeks HoekmanNo. Deskripsi

  • Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 36

    adalah Filipina, dengan nilai indeks sebesar 1. Lebih lanjut, berdasarkan

    kepemilikan modal asing yang diperbolehkan, FEP negara-negara ASEAN

    adalah antara 49-100 persen. Singapura, Filipina, Kamboja, Myanmar, dan

    Brunei Darussalam merupakan negara-negara yang paling terbuka bagi

    kepemilikan asing dengan kebijakan FEP sebesar 100 persen. Sedangkan,

    negara yang paling rendah FEP-nya adalah Vietnam, yaitu sebesar 49 persen.

    Dengan nilai Indeks Hoekman sebesar 0,5, kebijakan FEP Indonesia

    adalah membolehkan kepemilikan asing sebesar 60 persen. Lebih terbuka

    dibandingkan negara-negara lainnya seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan

    Brunei. Lain halnya dengan Singapura yang memiliki nilai indeks sebesar 0,5,

    negara ini memiliki kebijakan FEP yang membolehkan kepemilikan modal asing

    sebesar 100 persen dengan hanya memberlakukan persyaratan bahwa kapal

    yang dimiliki pemodal asing diregistrasi sebagai kapal berbendera Singapura.

    Begitu pula dengan Kamboja, Myanmar, dan Laos yang telah membolehkan

    kepemilikan asing sebesar 100 persen. Lebih lanjut, walaupun Malaysia dengan

    nilai indeks 0,75 dinilai lebih terbuka dibandingkan negara ASEAN lainnya,

    seperti Singapura, Indonesia, dan negara lainnya, namun Malaysia memiliki

    kebijakan FEP yang hanya membolehkan kepemilikan asing sebesar 51 persen.

    Demikian halnya dengan Vietnam yang hanya membolehkan kepemilikan modal

    asing sebesar 49 persen. Hanya Filipina sebagai satu-satunya negara yang

    dinilai terbuka dan sejalan dengan kebijakan FEP-nya yang membolehkan

    kepemilikan asing sebesar 100 persen. Oleh karena itu, tingkat keterbukaan

    suatu negara dalam suatu komitmen tidak menentukan apakah secara riil negara

    tersebut benar-benar terbuka bagi kepemilikan modal asing atau tidak akibat

    peraturan dalam negeri mereka yang sifatnya masih membatasi.

    Untuk Moda 4, negara-negara ASEAN cenderung memberikan restriksi

    yang ketat dan tertutup. Ketatnya peraturan mengenai tenaga kerja asing pada

    peraturan-peraturan domestik menyebabkan rendahnya komitmen negara-

    negara ASEAN pada Moda 4 ini. Artinya, negara-negara ASEAN memilih

    kepentingannya masing-masing secara ekonomi, dimana tenaga kerja domestik

    lebih diutamakan dari pada tenaga kerja asing. Walaupun telah tersedia roadmap

    AFAS yang mendoro