View
219
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
1/22
1
CHITIN DAN CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh :
Nama : Devi Indaryanti Taryono
NIM : 13.70.0016
Kelompok E1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
2/22
2
1. MATERI DAN METODE
1.1. Materi
1.1.1.
Alat
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan
gelas, timbangan analitik, dan kain saring.
1.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1
N; dan 1,25 N, NaOH 3,5 %; NaOH 40 %; NaOH 50 %; dan NaOH 60 %.
1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi
Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan
Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan
Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan
ditimbang
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
3/22
3
Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan
10:1
Dipanaskan hingga suhu 80oC dan diaduk selama 1 jam
Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama 24
jam
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
4/22
4
1.2.2. Deproteinasi
2.Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan
perbandingan 6:1
Dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC
selama 24 jam dan dihasilkan chitin
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
5/22
5
1.2.3. Deasetilasi
Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu
90oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan
Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60%
dengan perbandingan 20:1
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
6/22
6
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada tabel 1
berikut ini.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan
Kel PerlakuanRendemen
Kitin I (%)
Rendemen
Kitin II (%)
Rendemen
Kitosan (%)
E1 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +
NaOH 40%
26,32 28,57 32
E2 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +
NaOH 40%
37,93 27,78 17,23
E3 HCl 1 N + NaOH 3,5% +NaOH 50%
23,53 30,77 28,89
E4 HCl 1 N + NaOH 3,5% +
NaOH 50%
35 18,18 15,33
E5 HCl 1,25 N + NaOH 3,5% +
NaOH 60%
29,17 25 42,5
Berdasarkan data yang terdapat pada tabel hasil pengamatan kitin dan kitosan diatas,
dapat diketahui bahwa penambahan HCl dan NaOH dengan konsentrasi yang berbeda
akan mempengaruhi jumlah rendemen kitin I, rendemen kitin II, dan rendemen kitosan.
Jumlah rendemen kitin I berkisar antara 23,53 % hingga 37,93 %, dimana rendemen kitin
I terbesar diperoleh oleh kelompok E2 dengan perlakuan HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +
NaOH 40%, sedangkan rendemen terkecil diperoleh oleh kelompok E3 dengan perlakuan
HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%. Jumlah rendemen kitin II berkisar antara 18,18 %
hingga 30,77 %, dimana rendemen terbesar diperoleh oleh kelompok E3, sedangkan
rendemen terkecil diperoleh oleh kelompok E4 dengan perlakuan HCl 1 N + NaOH 3,5%
+ NaOH 50%. Jumlah rendemen kitosan berkisar antara 15,33 % hingga 42,5 %, dimana
rendemen terbesar diperoleh oleh kelompok E5 dengan perlakuan HCl 1,25 N + NaOH
3,5% + NaOH 60%, sedangkan rendemen terkecil diperoleh oleh kelompok E4 dengan
perlakuan HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%.
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
7/22
7
3. PEMBAHASAN
Pada praktikum Teknologi Hasil Laut kali ini dilakukan percobaan mengenai kitin dan
kitosan. Menurut Shahidi et al., (2005) dalam Islam, Md. M. et al., (2011), kitosan
merupakan salah satu contoh value added by product. Kitosan sendiri diproduksi dari
kitin, yang merupakan polimer karbohidrat alami yang dapat ditemukan dalam
crustaceans, seperti kepiting, udang, lobster, dan juga pada eksoskeleton dari
zooplankton spp, termasuk karang dan ubur-ubur. Pada praktikum pembuatan kitin
kitosan kali ini, bahan yang digunakan adalah kulit udang. Pemilihan bahan tersebut
sesuai dengan teori Islam, Md. M. et al., (2011) di atas dan teori Marganov (2003) yang
mengatakan bahwa kitin dan kitosan dapat diperoleh dari limbah udang. Wilayah perairan
Indonesia adalah sumber cangkang hewan invertebrata laut yang berkulit keras
(crustacea) yang mengandung kitin dalam jumlah berlimpah. Kulit udang mengandung
kalsium karbonat 45-50%, protein 25-40%, dan kitin 15-20%. Akan tetapi, jumlah
kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udang serta tempat hidupnya. Kulit
udang adalah sumber potensial dalam pembuatan kitin dan kitosan, yakni biopolimer
yang berpotensi dalam berbagai bidang industri. Moeljanto (1992) menambahkan bahwa
dalam proses pengolahannya, udang menghasilkan limbah seperti misalnya kulit, kepala
yang memerlukan penanganan yang tepat sehingga dapat diolah menjadi produk yang
bermanfaat. Kulit udang mengandung protein yang jumlahnya cukup tinggi dan
merupakan sumber pembuatan kitin dan kitosan.
Kitin (C8H13NO5)n adalah biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang berikatan
melalui ikatan glikosidik (1,4) (Muzzarelli, 1985). Kitin adalah kelompok polisakarida
yang paling melimpah kedua di alam setelah selulosa. Kitin terdapat pada komponenstruktural eksoskeleton dari crustaceandan serangga serta di dalam dinding sel jamur dan
ragi (30-60%). Salah satu manfaat kitin adalah sebagai bahan pendukung beberapa enzim
seperti kimotripsin, laktase, papain, asam fosfatase, dan glukosa isomerase. Penggunaan
kitin yang paling sering adalah pada industri kosmetik dan pangan (Peter, 1995).
Sedangkan menurut Alamsyah, R. (2001), kitin adalah polimer rantai panjang yang tidak
bercabang, tidak larut dalam air dan asam-asam encer, tidak toksik dan mempunyai berat
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
8/22
8
molekul yang ukurannya besar yakni 1,2 x 106. Struktur kimia kitin yakni 2-asetamida 2-
deoksi D-glukosa.
Kitosan merupakan senyawa kimia yang memiliki rumus kimia 2-amino-2-dioksi--D-
Glukosa yang dihasilkan dari hidrolisis dengan basa kuat. Kitosan merupakan turunan
dari kitin (Balley et al., 1997). Kitosan adalah kopolimer dari N-asetil glukosamin, yang
terbentuk secara alami dalam dinding sel beberapa insecta dan fungi. Kitosan dapat
diperoleh dari kitin melalui proses deasetilasi pada suhu 120-160oC dengan larutan basa
40-50%. Beberapa kelebihan kitosan sebagai biomaterial adalah tidak beracun, mudah
terdegradasi, kompatibel, dan antithromboganic (Radhakumary et al., 2005). Menurut
Robert (1992), kitosan memiliki bentuk yang mirip dengan selulosa, perbedaannya hanya
pada gugus hidroksi C-2nya, dimana gugus tersebut digantikan dengan gugus amino
(NH2). Kitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena kandungan gugus amino yang
memiliki muatan positif yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Sifat
inilah yang menyebabkan kitosan menjadi unik, karena biasanya polisakarida memiliki
muatan netral.
Fermentasi asam laktat dengan menggunakan bahan kulit udang akan menghasilkan kitin
dengan kualitas rendah jika dibandingkan dengan kitin yang dihasilkan dengan
menggunakan metode kimia. Meskipun begitu, produksi kitin dengan menggunakan
metode biologi tersebut dapat menjadipre treatmentyang efektif untuk memperpanjang
umur simpan kulit udang. Selain itu, kitosan yang dihasilkan dari kitin tersebut juga
mempunyai kandungan fisikokimia fungsional yang sama dengan kitin yang diproduksi
dengan menggunakan metode kimia. Perbedaan utama yang terdapat pada kedua kitin
tersebut adalah pada kandungan bahan inorganiknya, terutama kalsium. Maka oleh karenaitu diperlukan adanya proses purifikasi lebih lanjut untuk menghilangkan kandungan
mineral inorganiknya (Beaney et al., 2004).
Aplikasi penggunaan kitin dan kitosan dalam dunia industri sangatlah bermacam-maam.
Menurut Muzzarelli (1985) dalam Patria, A. (2013), kitosan dapat berfungsi dalam bidang
farmasi, biochemistry, biotechnology, kosmetik, biomedical, industri kertas, makanan,
industri tekstil, dll. Selain itu, kitosan juga dapat digunakan sebagai emulsifier, bahan
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
9/22
9
antikoagulasi, chelating agent, thickening agent, serta sebagai subtitusi formalin untuk
mengawetkan makanan dengan aman. Ditambahkan oleh Tarafdar, A. & Gargi Biswas
(2013), kitosan memiliki kandungan antifungal dan antibakteri yang bisa digunakan
sebagai biofertilizersdan biopestisida yang menghasilkan keuntungan ekonomi. Selain
itu, kandungan antioksidan yang terdapat pada kitosan dapat digunakan pada industri
pangan sebagai pengganti bahan tambahan pangan sintetis. Kandungan antimikroba yang
terdapat pada kitosan juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan lapisan kemasan pada
makanan maupun obat-obatan. Penggunaan kitosan sebagai coatingpada sayuran dan
buah-buahan memiliki efektivitas yang sama dengan fungisida karena dapat mencegah
pembusukan selama penyimpanan.
Pemanfaatan kitosan sebagai coating dalam bahan pangan sudah terbukti dapat
memperpanjang umur simpannya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Abdou, E. S. et
al., (2012), dilakukan pengujian penggunaan kitosan sebagai active coatingpada produk
fish fingers yang dibandingkan dengan produk tanpa coating dan produk yang hanya
menggunakan edible coating biasa. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa
penggunaan kitosan sebagai active coatingdapat memperpanjang umur simpan produk
karena setelah penyimpanan selama 6 bulan, jumlah total bakteri, bakteri psikrofilik,
bakteri koliform, serta bakteri proteolitik pada produk yang diberi active coatingkitosan
memiliki jumlah bakteri yang lebih rendah daripada produk tanpa coatingmaupun produk
yang menggunakan edible coating.
Pada praktikum tentang kitin dan kitosan ini, terdapat 3 tahap yang perlu dilakukan untuk
mendapatkan rendemen kitosan yaitu demineralisasi kitin, deproteinasi dan deasetilasi
kitin menjadi kitosan. Hal tersebut sesuai dengan teori Yunizal et al. (2001) yangmengatakan bahwa secara umum proses pembuatan kitosan terdiri dari 3 tahap, yaitu
demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Proses demineralisasi adalah proses
pengurangan kadar mineral (CaCO3) untuk memperoleh kitin dengan menggunakan
larutan asam konsentrasi rendah. Proses deproteinasi adalah proses pengurangan kadar
protein dengan menggunakan larutan alkali atau basa encer serta pemanasan yang cukup.
Proses deasetilasi adalah proses penghilangan gugus asetil dari kitin melalui pemanasan
dalam larutan basa kuat yang memiliki konsentrasi tinggi.
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
10/22
10
Tahap pertama yang dilakukan pada praktikum kitin kitosan ini adalah demineralisasi
kitin. Pertama-tama, limbah kulit udang dicuci dengan menggunakan air mengalir, lalu
dikeringkan. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang masih
menempel yang dapat mencemari proses ekstraksi kitin (Bastaman, 1989). Selanjutnya
kulit udang tersebut dicuci dengan air panas sebanyak dua kali. Pencucian dengan air
panas berfungsi sebagai tahap sterilisasi sehingga dapat menghilangkan mikroorganisme
merugikan yang ada pada kulit udang (No & Meyers, 1997). Kulit udang kemudian
dikeringkan kembali. Proses pengeringan ini bertujuan untuk menghilangkan air panas
yang masih terdapat pada kulit udang, sehingga diperoleh kulit udang yang kering (No &
Meyers, 1997). Kulit udang yang sudah kering tersebut lalu dihancurkan menjadi serbuk
dan diayak menggunakan ayakan berukuran 4060 mesh. Penghancuran menjadi serbuk
memiliki tujuan yakni mempermudah proses selanjutnya sehingga dapat berlangsung
lebih cepat dan sempurna, karena permukaannya menjadi luas dan dapat kontak secara
maksimal dengan larutan alkali (No & Meyers, 1997).
Setelah itu, setiap kelompok menimbang serbuk kulit udang tersebut sebanyak 10 gram
dan dilakukan penambahan HCl dengan perbandingan kitin : pelarut adalah 1:10.
Konsentrasi HCl yang ditambahkan pada setiap kelompok berbeda-beda. Pada kelompok
E1 dan E2 diberikan penambahan HCl 0,75 N; kelompok E3 dan E4 diberikan
penambahan HCl 1 N, dan kelompok E5 diberikan penambahan HCl 1,25 N. Tujuan
penambahan larutan HCl ini adalah untuk menghilangkan mineral yang masih terkandung
dalam serbuk kulit udang dimana kalsium karbonat dapat dihilangkan menggunakan asam
klorida (HCI) encer pada suhu kamar (Suhardi, 1992). Menurut Bastaman (1989), kulit
udang mengandung 30-50% mineral dari berat keringnya. Mineral utama yang terdapat
pada kulit udang adalah kalsium fosfat dan kalsium karbonat. Sebelum dilakukan prosesekstraksi kitin, mineral yang ada pada kulit udang harus dipisahkan terlebih dahulu
dengan penggunaan asam encer seperti asam laktat, HCl, atau H2SO4.
Setelah dilakukan penambahan HCl, larutan tersebut kemudian diaduk serta dipanaskan
selama 1 jam pada suhu 800C diatas hot plate. Tujuan dari pemanasan tersebut adalah
untuk mendenaturasi protein yang terkandung dalam kitin (Moeljanto, 1992). Sedangkan
proses pengadukan yang dilakukan bertujuan untuk menghindari letupan gelembung-
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
11/22
11
gelembung udara yang dihasilkan karena proses pemisahan mineral selama proses
demineralisasi (Puspawati et al., 2010). Setelah dipanaskan selama 1 jam, kitin tersebut
kemudian dicuci dengan air hingga diperoleh pH netral. Tujuan dari pencucian hingga pH
netral adalah agar mineral yang masih terkandung dalam serbuk kulit udang hilang serta
mencegah agar kitin tidak ikut menguap pada proses pengeringan dalam oven (Bartnicki-
Garcia, 1989). Setelah pHnya menjadi netral, kitin tersebut dikeringkan dengan oven
selama 24 jam dengan suhu 900C.
Tahap kedua yang dilakukan pada praktikum kitin kitosan ini adalah deproteinasi.
Pertama-tama, hasil kulit udang yang telah di demineralisasi dan dikeringkan pada tahap
sebelumnya (kitin) ditambah NaOH 2,5% dengan perbandingan NaOH : tepung adalah 6
: 1. Tujuan penambahan NaOH adalah mengubah susunan kristalin kitin yang kompak
sehingga enzim lebih mudah melakukan penetrasi untuk mendeasetilasi polimer kitin
(Martinou et al., 1995). Larutan tersebut selanjutnya diaduk dan dipanaskan pada suhu
70oC selama 1 jam. Tujuan dari pemanasan tersebut adalah untuk mendenaturasi protein
yang terkandung dalam kitin (Moeljanto, 1992). Setelah dipanaskan selama 1 jam, kitin
tadi kemudian dicuci dengan air hingga pH netral. Proses penetralan pada metode ini
dilakukan sama seperti proses demineralisasi. Proses netralisasi ini sendiri akan
berpengaruh terhadap sifat penggembungan kitin menggunakan alkali. Dengan adanya
proses netralisasi ini, maka proses hidrolisis basa terhadap gugus asetamida pada rantai
kitin akan semakin baik (Rogers, 1986). Setelah pHnya menjadi netral, kitin tersebut
dikeringkan dengan oven selama 24 jam dengan suhu 800C.
Pada praktikum ini, proses deproteinasi dilakukan setelah proses demineralisasi. Akan
tetapi, pada penelitian yang dilakukan oleh Puvvada, Y. S. et al., (2012), prosespembuatan kitosan dimulai dengan proses deproteinasi kemudian baru dilanjutkan
dengan proses demineralisasi. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah struktur
dari kitin tersebut hilang. Sedangkan apabila proses demineralisasi dilakukan terlebih
dahulu maka struktur asli dari kitin dapat terjaga dan stabil. Hal ini menunjukkan bahwa
langkah yang dilakukan pada praktikum ini sudah tepat. Langkah ini sesuai seperti teori
Alamsyah, R. (2001) yang mengatakan jika isolasi kitin menggunakan tahap
demineralisasi-deproteinasi maka rendemen yang dihasilkan akan lebih banyak jika
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
12/22
12
dibandingkan dengan tahap deproteinasi-demineralisasi. Hal tersebut dapat terjadi karena
kulit udang akan membentuk pelindung yang keras dengan penggunaan mineral, dimana
mineral memiliki struktur yang lebih keras dibandingkan protein, sehingga jika mineral
sudah dihilangkan terlebih dahulu maka proses deproteinasi dapat berlangsung lebih
optimal.
Tahap ketiga yang dilakukan pada praktikum kitin dan kitosan ini adalah deasetilasi kitin.
Pertama-tama, kitin yang sudah dikeringkan diambil dan ditambah dengan NaOH dengan
perbandingan (20 : 1). Pada kelompok E1 dan E2 diberikan penambahan NaOH dengan
konsentrasi 40%, untuk kelompok E3 dan E4 diberikan penambahan NaOH dengan
konsentrasi 50% dan untuk kelompok E5 diberikan penambahan NaOH dengan
konsentrasi 60%. Tujuan penambahan NaOH adalah mengubah susunan kristalin kitin
yang rapat sehingga enzim lebih mudah melakukan penetrasi untuk mendeasetilasi
polimer kitin (Martinou et al. 1995). Jumlah penambahan NaOH yang diberikan pada
proses deasetilasi ini sudah sesuai dengan teori Hirano (1989) yang mengatakan bahwa
untuk mendapatkan kitosan, pada proses deasetilasi digunakan larutan NaOH dengan
konsentrasi sekitar 4050 % dengan suhu yang tinggi. Hal ini disebabkan karena pada
kristal kitin terdapat ikatan yang kuat antara gugus karboksil dan ion nitrogen. Ikatan
tersebut dapat diputus dengan menggunakan larutan alkali konsentrasi tinggi (Martinou,
1995). Menurut Mekawati et al. (2000), dengan penggunaan konsentrasi NaOH yang
tinggi, maka akan dihasilkan derajat deasetilasi yang tinggi pula. Hal ini mengakibatkan
proses deasetilasi berjalan lebih optimal.
Larutan tersebut selanjutnya diaduk dan dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam.
Menurut Mekawati et al. (2000), tujuan dari pemanasan adalah untuk meningkatkanderajat deasetilasi kitosan. Setelah dipanaskan selama 1 jam, kitin tadi kemudian dicuci
dengan air hingga diperoleh pH netral. Tujuan dari pencucian tersebut adalah untuk
menetralkan pH dari kitosan. Setelah pHnya menjadi netral, kitin tersebut dikeringkan
dengan oven selama 24 jam dengan suhu 900C sehingga akan diperoleh hasil berupa
kitosan.
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
13/22
13
Berdasarkan tabel hasil pengamatan, dapat diketahui jumlah rendemen kitin I pada semua
kelompok berkisar antara 23,53 % hingga 37, 93 %. Jumlah rendemen kitin I terbesar
diperoleh oleh kelompok E2 dengan perlakuan HCl 0,75 N. Sedangkan jumlah rendemen
terkecil diperoleh oleh kelompok E3 dengan perlakuan HCl 1 N. Hal tersebut belum
sesuai dengan pernyataan Laila & Hendri (2008) yang mengatakan bahwa semakin tinggi
konsentrasi HCl yang ditambahkan maka rendemen kitin yang dihasilkan juga akan
semakin banyak. Menurut Johnson & Peterson (1974), penambahan asam atau basa
dengan konsentrasi yang lebih tinggi serta waktu yang lebih panjang akan meregangkan
ikatan protein dan mineral dengan kitin serta bahan organik lainnya pada kulit udang. Hal
tersebut akan menyebabkan jumlah rendemen semakin banyak karena senyawa-senyawa
mineral dalam serbuk udang semakin mudah dilepaskan. Seharusnya jumlah rendemen
kitin terbesar diperoleh oleh kelompok E5 dengan perlakuan HCl 1,25 N. Hasil yang
diperoleh pada praktikum ini juga sangat acak, yakni pada kelompok E1 dan E2 serta E3
dan E4 yang konsentrasi HCl nya sama memiliki jumlah rendemen yang sangat berbeda
jauh. Kesalahan tersebut mungkin disebabkan karena proses pemanasan yang terlalu lama
sehingga diperoleh nilai rendemen yang tinggi. Menurut Lehninger (1975), nilai
rendemen yang tinggi disebabkan karena proses pemanasan yang dilakukan bersama
dengan penambahan HCl dan pengadukan akan membantu proses pelepasan mineral dari
kitin, sehingga jumlah rendemen yang dihasilkan akan semakin banyak. Selain faktor
proses pemanasan, kesalahan dapat juga disebabkan karena kekuranghatian praktikan saat
proses penetralan. Mungkin terdapat kitin yang terbawa dengan air saat pencucian
sehingga nilai rendemennya menurun.
Pada rendemen kitin II diperoleh hasil pada semua kelompok berkisar antara 18,18 %
hingga 30,77 %. Jumlah rendemen terbesar diperoleh oleh kelompok E3 dan yang terkecildiperoleh oleh kelompok E4. Menurut Puspawati et al., (2010), kitin yang berasal dari
limbah udang akan menghasilkan rendemen lebih besar dari 20 %. Jumlah rendemen kitin
yang diperoleh pada praktikum ini mayoritas sudah melebihi 20 %, hanya kelompok E4
saja yang kurang dari 20 %. Selain itu, pada kelompok E2, E4, dan E5, rendemen kitin II
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan rendemen kitin I. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Fennema (1985) yang mengatakan bahwa protein dan mineral lebih
larut pada suasana basa daripada asam. Hal ini disebabkan karena larutan basa seperti
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
14/22
14
NaOH memiliki aktivitas hidrolisis yang lebih tinggi. Berdasarkan teori tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa proses deproteinasi dengan NaOH akan mengoptimalkan
proses penghilangan mineral dan protein, sehingga massa rendemen yang diperoleh
semakin sedikit. Akan tetapi, pada kelompok E1 dan E3, rendemen kitin II nya
mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan rendemen kitin I. Hal ini dapat
disebabkan karena proses deproteinasi yang kurang optimal karena pengeringan yang
belum optimal, adanya kitin yang terbawa dengan air saat proses penetralan, atau proses
demineralisasi yang kurang optimal sehingga pada kulit udang masih terdapat pelindung
mineral yang dapat menghambat proses deproteinasi.
Untuk rendemen kitosan, diperoleh jumlah rendemen yang berkisar antara 15,33 %
hingga 42,5 %. Rendemen kitosan tertinggi dimiliki oleh kelompok E5 dengan perlakuan
NaOH 60 % dan nilai rendemen kitosan terendah dimiliki oleh kelompok E4 dengan
perlakuan NaOH 50 %. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori Angka & Suhartono (2000)
yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang ditambahkan maka
proses deasetilasi dapat berjalan sempurna karena gugus fungsional amino (-NH3+)
mensubstitusi gugus asetil kitin di dalam sistem larutan dan pada akhirnya menghasilkan
rendemen kitosan yang rendah karena terjadi penurunan berat molekul. Menurut Knoor
(1984), derajat deasetilasi adalah parameter mutu yang menunjukkan jumlah gugus asetil
yang dapat dihilangkan dari rendemen kitosan. Semakin tinggi derajat deasetilasi kitosan,
maka gugus asetil yang terdapat dalam kitosan juga semakin sedikit. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi derajat deasetilasi pada kitosan, maka jumlah rendemennya akan
semakin rendah. Dimana semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan, seharusnya
akan semakin rendah rendemennya. Sehingga derajat deasetilasi tertinggi seharusnya
dimiliki oleh kelompok yang mendapat perlakuan penambahan NaOH 60%. Seharusnyarendemen kitosan kelompok E5 adalah paling rendah dari kelompok lain yang
menggunakan konsentrasi NaOH lebih kecil. Akan tetapi hasil yang diperoleh pada
praktikum ini adalah kebalikannya. Kesalahan tersebut dapat disebabkan karena
kekuranghatian praktikan saat proses penetralan. Proses penetralan yang berulang-ulang
menggunakan air dapat menyebabkan sebagian kitin maupun kitosan ikut terbawa
bersama air.
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
15/22
15
Pada praktikum ini, diperoleh warna kitin maupun kitosan yang dihasilkan adalah putih
kecoklatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Muzarelli (1985), bahwa kitin memiliki ciri-
ciri berbentuk kristal amorphous berwarna putih, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak
dapat larut dalam air, asam-asam anorganik, pelarut organik dan basa encer. Sedangkan
kitosan memilki ciri-ciri berwarna putih, berbentuk padatan amorf, dan memiliki struktul
kristal yang sama dari bentuk awal kitin murni. Intensitas warna yang berbeda-beda pada
tiap kelompok menunjukkan jumlah kandungan kitin pada produk kitosan tersebut.
Apabila warnanya lebih putih maka kandungan kitinnya semakin tinggi. Sedangkan
apabila warnanya semakin coklat maka kandungan kitinnya semakin rendah (Naznin,
2005).
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
16/22
16
4. KESIMPULAN
Kitin dan kitosan bisa diperoleh dari limbah udang.
Kitin (C8H13NO5)n adalah biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang berikatan
melalui ikatan glikosidik (1,4)
Kitosan merupakan senyawa kimia yang memiliki rumus kimia 2-amino-2-dioksi--
D-Glukosa yang dihasilkan dari hidrolisis dengan basa kuat.
Proses pembuatan kitosan terdiri atas 3 tahap, yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan
deasetilasi.
Fungsi proses demineralisasi adalah untuk mengurangi kandungan mineral pada kulit
udang.
Fungsi proses deproteinasi adalah untuk mengurangi kandungan protein pada kitin.
Fungsi proses deasetilasi adalah untuk menghilangkan gugus asetil pada kitin.
Tujuan penambahan larutan HCl adalah untuk menghilangkan mineral yang masih
terkandung dalam serbuk kulit udang.
Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan maka rendemen kitin yang
didapatkan akan semakin banyak.
Mineral dan protein lebih mudah larut pada larutan basa daripada asam.
Jumlah rendemen kitin II akan mengalami penurunan.
Tujuan penambahan NaOH adalah mengubah susunan kristalin kitin yang kompak
sehingga enzim lebih mudah melakukan penetrasi untuk mendeasetilasi polimer kitin.
Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang ditambahkan pada proses deasetilasi maka
rendemen kitosan yang dihasilkan akan semakin rendah.
Warna dari kitin kitosan adalah putih.
Semarang, 31 Oktober 2015 Asisten Dosen :
- Tjan, Ivana Chandra
Devi Indaryanti Taryono
13.70.0016
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
17/22
17
5. DAFTAR PUSTAKA
Abdou, E. S., Osheba, A. S., M. A. Sorour. (2012). Effect of Chitosan and Chitosan-
Nanoparticles as Active Coating on Microbiological Characteristics of FishFingers. International Journal of Applied Science and Technology Vol. 2 No. 7.
Diakses pada tanggal 11 September 2015 pada pk 13.25 WIB.
Alamsyah, Rizal. (2001). Karakteristik dan Penerapan Kitin dan Kitosan. J. Tek. Ind. Pert.
Vol. 11(2), 61-68
Angka, S.L. dan Suhartono, M. T. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. PKSPL-IPB.
AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Balley, J.E., and Ollis, D.F. (1997). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw
Hill Kogakusha, ltd., Tokyo.
Bartnicki-Garcia, S. 1989. The biological cytology of chitin and chitosan synthesis in
fungi. Di Dalam G. Skjak-Braek, T. Anthonsen, P. Sandford (ed.). Chitin and
Chitosan: Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties and
Application. Elsevier, London.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from
Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronauticaland Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.
Beaney P, Mendoza J.L., Healy M. (2004). Comparison of chitins produced by chemical
and bioprocessing methods. Journal of Chemical Technology and Biotechnology 80:145
150
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan. Jepang.
Islam, Md. Monarul, Shah Md. Masum, M. Mahbubur Rahman, Md. Ashraful Islam
Molla, A. A. Shaikh, S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell
and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied
Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01 77. Diakses pada tanggal 10 September
2015 pada pk 12.09 WIB.
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. (1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The
AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
18/22
18
Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi
Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan
(Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.
Laila, A & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media
Pendukung Amobilisasi Enzim -Amilase. http://lemlit.unila.ac.id
/file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf.
Diakses tanggal 30 Oktober 2015.
Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium, dan Tembaga) di Perairan.http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/
marganof.htm.Diakses tanggal 29 Oktober 2015.
Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by
enzymatic means.
Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000).Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi
Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam
Timbal.Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal.
51-54.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc.
Orlando. San Diego.
Naznin N. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell by Chemical
Method. Pakistan Journal of Biological Science 8 (7) :1051-1054
No H.K dan S.P. Meyers. (1997). Preparation of chitin and chitosan. Di Dalam R.A.A.
Patria, Anshar. (2013). Production and characterization of Chitosan from shrimp shells
waste. AACL Bioflux, Volume 6, Issue 4. Diakses pada tanggal 10 September
2015 pada pk 21.07 WIB.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and
Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm.
629-639.
http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htmhttp://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htmhttp://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htmhttp://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htm7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
19/22
19
Puspawati, N. M dan I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang
dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui
Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 7090.
Puvvada, Yateendra Shanmukha, Saikishore Vankayalapati, Sudheshnababu Sukhavasi.
(2012). Extraction of chitin from chitosan from exoskeleton of shrimp for
application in the pharmaceutical industry. International Current Pharmaceutical
Journal 2012, 1(9): 258-263. Diakses pada tanggal 10 September 2015 pada pk
21.03 WIB.
Radhakumary, C., P.D. Nair, S. Mathew, C.P.R. Nair. (2005). Biopolymer Composite of
Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. Trends Biomater.
Artif. Organs. Vol 18(2) : 117-124.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.
California.
Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi
Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Tarafdar, Abhrajyoti & Gargi Biswas. (2013). Extraction of Chitosan from Prawn Shell
Wastes and Examination of its Viable Commercial Applications. International
Journal on Theoretical and Applied Research in Mechanical Engineering
(IJTARME) ISSN : 2319 3182, Volume-2, Issue-3. Diakses pada tanggal 10
September 2015 pada pk 21.30 WIB.
Yunizal dkk, (2001), Ekstraksi Khitosan dari Kepala Udang Putih (Penaeus
merguensis). J. Agric. Vol. 21 (3), hal 113-117.
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
20/22
20
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Kelompok E1
Rendemen kitin I
=berat kering
berat basah I 100%
=5
19 100% = 26,32%
Rendemen kitin II
=
berat kering
berat basah I 100%
=2
7 100% = 28,57%
Rendemen kitin III
=berat kering
berat basah I 100%
=1,76
5,5 100% = 32%
Kelompok E2
Rendemen kitin I
=berat kering
berat basah I 100%
=5,5
14,5 100% = 37,93%
Rendemen kitin II
=berat kering
berat basah I 100%
=2,5
9 100% = 27,78%
Rendemen kitin III
=berat kering
berat basah I 100%
=1,12
6,5 100% = 17,23%
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
21/22
21
Kelompok E3
Rendemen kitin I
=berat kering
berat basah I 100%
=4
17 100% = 23,53 %
Rendemen kitin II
=berat kering
berat basah I 100%
=2
6,5
100% = 30,77%
Rendemen kitin III
=berat kering
berat basah I 100%
=1,3
4,5 100% = 28,89%
Kelompok E4
Rendemen kitin I
=berat kering
berat basah I 100%
=3,5
10 100% = 35 %
Rendemen kitin II
=berat kering
berat basah I 100%
= 211
100% = 18,18%
Rendemen kitin III
=berat kering
berat basah I 100%
=0,23
1,5 100% = 15,33%
Kelompok E5
7/24/2019 Kitin Kitosan_DeviIndaryanti_13.70.0016_E1_UNIKASOEGIJAPRANATA
22/22
22
Rendemen kitin I
=berat kering
berat basah I 100%
= 3,512
100% = 29,17%
Rendemen kitin II
=berat kering
berat basah I 100%
=2
8 100% = 25%
Rendemen kitin III
= berat keringberat basah I
100%
=0,85
2 100% = 42,5%
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Jurnal
Recommended