View
9
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
""....ui-1itan 2019 dcngan tCll1 'Il ~,u;~nl t;ra Revolusi Industri 4.0
I
11& diselenggarakan p kUIYl UniversitasUaavan_..
IJekan SekretaTisPaltillu-Hu).'9!IUaiver,si:tas Ud_syana
1
ASET “DEBITOR PAILIT” TERKAIT HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI)
Oleh: M a r w a n t o
Fakultas Hukum Universitas Udayana
I.PENDAHULUAN
Secara umum kepailitan adalah Sita umum terhadap semua aset Debitor yang
telah dinyatakan Pailit oleh Pengadilan. Sita umum, dimaksudkan “sebagai penyitaan
atau pembeslahan terhadap seluruh harta Debitor pailit.”1 Pengertian sita umum ini
untuk membedakan dengan sita khusus misalnya, revindikatoir beslaag, conservatoir
beslaag dan eksekutoir beslaag, yang semuanya merupakan beslaag atau sita khusus
karena ditujukan terhadap benda-benda tertentu. Meskipun kepailitan tersebut
dikatakan sebagai “Sita Umum”, sebagaimana menurut Pasal 21 Undang-Undang
Nomor: 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang ( selanjutnya disebut UUKPKPU), “kepailitan meliputi seluruh kekayaan
Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang
diperoleh selama kepailitan”. Namun, terdapat beberapa benda yang di luar boedel
pailit, artinya tidak termasuk yang disita. Benda-benda di luar boedel pailit tersebut
menurut pasal 22 UUKPKPU, yaitu:
a. benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang
digunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapan yang digunakan
1Man S Sastrawidjaja, 2006, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, PT. Alumni, Bandung, h.78
2
oleh Debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari
bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
b. segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai
penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu
atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
c. uang yang diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban
memberi nafkah menurut Undang-Undang.
Dari ketentuan tersebut tampak bahwa benda-benda di luar kepailitan atau
yang tidak boleh disita adalah benda-benda yang sangat bersifat pribadi, atau yang
berhubungan dengan kehidupan Debitor atau keluarganya. Jadi Kepailitan itu
ditujukan terhadap harta bukan terhadap pribadi Debitor. Jika Debitor dinyatakan
Pailit, akibatnya semua asetnya disita ( kecuali yang disebut dalam pasal 22
UUKPKPU) dan selanjutnya dijual, hasilnya sebagai sumber pembayaran terhadap
utang-utangnya dan dibagi-bagikan secara proporsional kepada para kreditornya. Di
samping itu, “Debitor Pailit” kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai
hartanya.2 Selanjutnya harta/aset Debitor diurus dan dikuasai oleh Kurator.
Dinamika terhadap aset “Debitor Pailit”, adalah terkait dengan Hak Kekayaan
Intelektual (HKI). Seiring dengan perlindungan HKI, aset “Debitor Pailit” tidak
sebatas aset berwujud kebendaan (tangible assets) melainkan meliputi juga aset yang
tidak berwujud (intangible assets) antara lain adalah Hak Kekayaan Intelektual
2
Selengkapnya baca pasal 24 UUKPKPU
3
(HKI) yang juga mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi. Masalahnya adalah,
bagaimanakah mekanisme penjualan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai
bagian dari aset “Debitor Pailit”?, dan apakah kendala-kendala yang mungkin akan
muncul dalam penjualan terhadap aset “Debitor Pailit” yang berbentuk Hak
Kekayaan Intelektual tersebut? Makalah ini akan mencoba membahas kedua masalah
tersebut.
II. PEMBAHASAN
1.Perihal Kepailitan
Kepailitan merupakan Lembaga Hukum Perdata sebagai realisasi dari dua
asas pokok dalam hukum perdata Eropa sebagaimana tercantum dalam pasal 1131
dan pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( selanjutnya disebut KUH
Perdata). Asas yang terkandung dalam kedua pasal tersebut adalah: a). apabila
Debitor tidak membayar utangnya dengan sukarela, walaupun telah ada putusan
pengadilan yang menghukumnya supaya melunasi utangnya, maka seluruh harta
bendanya disita untuk dijual dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan kepada semua
Kreditornya menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali ada alasan-
alasan yang sah untuk didahulukan; b). semua kreditor mempunyai hak yang sama;
c). tidak ada nomor urut dari para Kreditor yang didasarkan atas timbulnya piutang
mereka.
Untuk melaksanakan asas yang terkandung dalam pasal 1131 dan pasal 1132
KUH Perdata itulah, maka dibuat Peraturan Kepailitan. Hukum Kepailitan Indonesia
4
pada saat ini diatur dalam UUKPKPU. Pasal 1 angka 1 UUKPKPU menentukan:
”kepailitan adalah sita umum (cetak tebal dari penulis) atas semua kekayaan
Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik unsur-unsur kepailitan adalah:
a. kepailitan merupakan sita umum terhadap semua aset Debitor Pailit;
b. terhadap kekayaan Debitor Pailit. Hal ini menunjukkan bahwa kepailitan
terhadap harta, bukan terhadap pribadi Debitor;
c. pengurusan dan pemberesan oleh Kurator, dengan demikian sejak saat
pernyataan pailit Debitor Pailit kehilangan haknya untuk mengurus dan
menguasai hartanya;
d. terdapat Hakim Pengawas. Tugas utama Hakim Pengawas dalam kepailitan
Debitor adalah melakukan pengawasan atas pengurusan dan penguasaan harta
Debitor Pailit oleh Kurator.
Penyitaan umum tersebut kemudian dilanjutkan dengan penjualan seluruh
harta kekayaan “Debitor Pailit” untuk pemenuhan atau pelunasan utang-utang kepada
para Kreditornya secara bersama-sama. Hal ini untuk mencegah adanya eksekusi
oleh seorang Kreditor atau lebih secara perorangan yang dapat merugikan Kreditor
lainnya.
Dari paparan tersebut di atas, dapat disimpulkan, bahwa tujuan kepailitan
sebenarnya adalah untuk mendapatkan suatu penyitaan umum (conservatoir beslaag)
atas semua kekayaan Debitor untuk kepentingan semua kreditornya, sehingga apabila
5
sebelum ada putusan pailit kekayaan Debitor sudah disita oleh salah seorang
Kreditornya untuk mendapatkan pelunasan piutangnya, maka penyitaan khusus ini
menurut undang-undang menjadi hapus karena dijatuhkannya putusan pailit.
Di samping hal-hal seperti dikemukakan di atas, kepailitan juga bertujuan
untuk: a). menjamin pembagian terhadap harta kekayaan debitor diantara para
kreditornya; b).mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
dapat merugikan kepentingan para Kreditornya; c). memberikan perlindungan kepada
Debitor yang beritikad baik dari para kreditornya dengan cara memperoleh
pembebasan utang.3 Sayang tujuan yang terakhir ini sebagai asas “Debt Forgiveness”
tidak dinormakan dalam UUKPKPU.4 Hal ini berimplikasi bahwa Debitor yang telah
dinyatakan pailit tetap harus bertanggungjawab terhadap sisa utang yang belum
terbayar.5
Dalam ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan pailit atau bangkrut antara lain adalah seseorang (atau Badan
Hukum) yang oleh suatu pengadilan dinyatakan Pailit, dan yang aktivanya atau
warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya.6 Menurut Hadi
3 Susanti Adi Nugroho, 2018, Hukum Kepailitan di Indonesia Dalam Teori dan Praktek Serta
Penerapan Hukumnya, Prenadha Media Group, Jakarta, h. 59
4 Hadi Shubhan, M, 2008, Hukum Kepailitan Prinsip Norma, dan Praktik di Peradilan,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 43
5Penjelasan umum UUKPKPU, bahwa kepailitan tidak membebaskan seorang yang
dinyatakan pailit dari kewajiban untuk membayar utang-utangnya.
6 Abdurrachman , A, 1991, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Prdnya Paramita,
Jakarta, h. 89
6
Shubhan, pailit adalah suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan
pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para Kreditornya.7
Seorang Debitor dapat dinyatakan pailit apabila memenuhi persyaratan yang
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU yang menentukan: “Debitor yang
mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau
lebih Kreditornya”. Dari ketentuan pasal 2 ayat (1) tersebut dapat diketahui bahwa
permohonan pernyataan pailit terhadap Debitor hanya dapat diajukan apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. debitor mempunyai lebih dari seorang Kreditor;
b. debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang kepada salah satu
Kreditornya;
c. utang yang tidak dibyar itu harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
“Syarat-syarat kepailitan merupakan tolok ukur bagi Pengadilan Niaga yang akan
menetapkan kepailitan Debitor apakah permohonan kepailitan yang diajukan
Kreditor atau Debitor memenuhi syarat untuk menetapkan Debitor pailit”.8
“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dapat dinyatakan
7 Hadi Shubhan, Op.Cit. h. 1
8 Sutan Remy Sjahdheini, 2016, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan Memahami
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Prenadamedia Group, Jakarta, h. 127
7
pailit sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”. (Pasal 8 ayat (4)
UUKPKPU). Norma ini merupakan ancaman bagi perusahaan yang solven untuk
dipailitkan.
2.Perihal Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
Hak Kekayaan Intelektual adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang
bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio manusia yang menalar, dan hasil
kerja itu berupa benda immaterial.9 Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa tidak semua
orang dapat dan mampu mempekerjakan otaknya (nalar, ratio, intelektual) secara
maksimal. Hal ini berimplikasi pula bahwa tidak semua orang dapat menghasilkan
“intellectual Property Rights”. Hanya orang yang mampu memberdayakan
otaknyalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan yang disebut “Intellectual
Property Rights”, dan itu pulalah sebabnya hasil kerja otak yang membuahkan hak
atas kekayaan intelektual bersifat eksklusif dan perlu dilindungi oleh hukum.10
Sistem perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual itu terpisah
dengan benda materiel yang merupakan hasil jelmaan fisik dari Hak tersebut. Sebagai
contoh dapat dikemukakan misalnya, hak cipta dalam bidang ilmu pengetahuan
(berupa hak atas kekayaan intelektual), dan hasil materiel yang menjadi bentuk
jelmaannya adalah buku. Jadi yang dilindungi dalam kerangka hak atas kekayaan
intelektual adalah Haknya, bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak
9 Saidin, OK, 2003, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights),
PT .RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 9
10 Ibid, h. 10 - 11
8
tersebut dilindungi oleh hukum benda dalam kategori benda materiel (benda
berwujud).
Hak Kelayaan Intelektual dapat beralih dan dialihkan berdasarkan undang-
undang dan perjanjian. HKI yang dapat beralih dan dialihkan tersebut adalah hak
ekonominya, sedangkan hak moralnya tidak bisa dialihkan.Pengalihan HKI
berdasrkan undang-undang dilakukan dengan cara pewarisan, hibah dan wasiat.
Pengalihaan HKI berdasarkan perjanjian dilakukan dengan cara lisensi. HKI yang
beralih karena pewarisan terjadi secara otomatis dari pemilik atau pemegang hak
selaku pewaris kepada ahli warisnya. Hibah terjadi saat pemberi hibah di masa
hidupnya menyerahkan HKI kepada penerima hibah secara Cuma-Cuma, sedangkan
wasiat terjadi saat pemberi wasiat meninggal dunia dan meninggalkan wasiat kepada
penerima wasiat. Pengalihan HKI dengan perjanjian lisensi harus dibuat dalam suatu
kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk akta yang ditanda tangani oleh pemberi
dan penerima lisensi dan dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang yaitu notaris
atau dilakukan dengan akta di bawah tangan untuk hak cipta.11
3. Dinamika Kebendaan
Perihal kebendaan dalam Hukum Perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Buku Kedua tentang Kebendaan. Pasal 499 menentukan, “bahwa
yang dimaksud dengan benda adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat
dikuasi oleh hak milik.” Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa, konsep benda
11 Selengkapnya, baca pasal 16 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak cipta
9
dalam ketentuan tersebut adalah benda dalam arti materiel, dan benda dalam arti
immaterial, yaitu hak. Hal tersebut dikuatkan oleh Pasal 503 yang menentukan,
“bahwa tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau tak bertubuh”. Benda tak bertubuh
adalah merupakan “Hak”, contohnya antara lain adalah Hak Kekayaan Intelektual
(HKI). Benda itu sendiri merupakan bagian dari harta kekayaan
(vermogensbestanddeel)12
, dan yang dimaksud dengan benda dalam arti hukum
adalah segala sesuatu yang menjadi hak milik.13
Sedangkan Hak yang melekat pada
suatu benda disebut sebagai hak kebendaan (zakenlijk recht), yaitu suatu hak yang
memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan kepada
setiap orang.14
Karya intelektual yang dihasilkan oleh manusia diakui sebagai kekayaan, hal
ini berarti ada konsep kepemilikan dan kebendaan yang terkandung didalamnya.
Kepemilikan berarti memiliki sesuatu, sesuatu ini dalam ranah hukum
diinterpretasikan sebagai benda, dengan demikian dalam setiap kata milik secara
implisit mengandung makna kepemilikan atas benda tertentu. “Pemilik suatu hak
memiliki kebebasan untuk menggunakan miliknya, dan segala sesuatu yang dapat
dikuasai dengan hak milik disebut sebagai benda.”15
HKI sebagai salah satu jenis benda, dari dimensi hukum kepailitan merupakan
jenis benda tak bertubuh sebagai bagian dari aset dalam proses pembayaran utang-
12 Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perdata, Penerbit: PT. Citra Aditya Bhakti,
Bandung, h.125 - 126
13
Ibid
14
Subekti, 2010, Pokok- Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, h. 62
15
Indirani Wauran-Wicaksono, 2017, “Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Benda: Penelusuran
Dasar Perlindungan HKI di Indonesia”, Jurnal Refleksi Hukum, Vol.9 No. 2, h. . 139
10
utang Debitor kepada Kreditor. Pasal 1131 KUH Perdata menentukan: “segala
kebendaan si-berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perseorangan. Frase “segala kebendaan si-berutang” dalam pasal terebut
mengandung makna bahwa semua kebendaan Debitor (baik berwujud, maupun tidak
berwujud), merupakan jaminan untuk segala perikatan yang dibuat oleh Debitor
tersebut. Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata menentukan: “kebendaan tersebut
menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya;
pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu
menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.” Untuk menentukan
alasan-alasan sah untuk didahulukan merujuk pada pasal 1133 KUH Perdata yang
mengatur bahwa hak untuk didahulukan diantara para Kreditor bersumber pada Hak
Istimewa, pada gadai, dan Hipotik. Debitor yang dinyatakan Pailit oleh pengadilan
tidak berhak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas semua aset yang
termasuk dalam budel pailit. Jadi, sejak dinyatakan pailit pengurusan dan penguasaan
seluruh asetnya beralih ke Kurator.
4. Penjualan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), sebagai bagian dari Aset “Debitor
Pailit” dan Kendalanya
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa dengan dijatuhkannya
putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk
mengurus dan menguasai seluruh harta kekayaannya. Selanjutnya hal tersebut
11
menjadi kewenangan Kurator. penjualan aset Debitor dilakukan oleh Kurator, semua
benda harus dijual di muka umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan
dalam hal penjualan di muka umum tidak tercapai, maka penjualan di bawah tangan
dapat dilakukan dengan izin Hakim Pengawas.16
“Penjualan aset benda bergerak yang
berwujud prosesnya sangat sederhana, yaitu dengan menjual barang-barang tersebut
di muka umum”.17
Kurator selaku pihak yang melakukan pengurusan dan pemberesan aset
Debitor menjadi tidak mudah dalam melakukan tugasnya menjual aset, ketika
menghadapi aset yang bukan kebendaan berwujud ( ingatable assets), HKI
merupakan aset Debitor Pailit yang berupa “hak”, sebagai benda tidak berwujud.
Aset yang demikian itu wajib dinilai duhulu oleh Appraisal (penilai) yang
bersertifikasi, sehingga akan dapat diketahui berapa nilai sesungguhnya dari suatu
jenis HKI tertentu dengan mempertimbangkan kemanfaatannya bagi suatu
perusahaan, harapannya dapat memaksimalkan nilai aset tersebut.
Kemungkinan kendala yang bisa dihadapi oleh Kurator ketika melakukan
penjualan aset dalam bentuk HKI adalah terkait dengan relatif masih rendahnya
pemahaman masyarakat terhadap HKI itu sendiri, sehingga penjualannya juga relatif
tidak mudah. Tidak mudahnya penjualan HKI dapat saja terjadi karena belum
didaftarkan, sehingga tidak laku dijual.
16
Selengkapnya baca pasal 185, UUKPKPU
17
Harahap, M. Yahya, 2005, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, PT.
Sinar Grafika, Jakarta, h. 25.
12
5.Kesimpulan
Dari paparan tersebut di atas dapat disimpulkan:
1. Hak Kekayaan Intelektual (HKI),sebenarnya merupakan bagaian dari aset
Debitor Pailit, yaitu berupa kebendaan tidak berwujud (ingatable asset). Jika
Debitor dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga, maka aset tersebut oleh
Kurator dijual di muka umum.
2. Kendala yang mungkin timbul dalam penjualan aset berupa Hak Kekayaan
Intelektual, adalah tidak mudah menjual aset, karena aset tersebut tidak
berwujud. Apalagi jika HKI tersebut belum didaftarkan, sehingga tidak laku
dijual.
6. Rekomendasi
1. Dalam rangka adanya kepastian hukum, diperlukan Pranata hukum yang
mengatur penjualan aset Debitor yang berupa Hak Kekayaan Intelektual.
2. Diperlukan pengaturan tentang lembaga Penilai (Appraisal) aset yang
independen, sehingga dapat memaksimalkan penjualan aset Debitor yang
berupa Hak Kekayaan Intelektual.
3. Dalam rangka peningkatan pemahaman HKI kepada masyarakat, perlu terus
disosialisasikan Undang-undang tentang Kekayaan Intelektual dalam berbagai
jenisnya ( Hak Cipta, Hak Paten , Merek, dsb).
Denpasar, 27 Juni 2019
13
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perdata, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Abdurrachman , A, 1991, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Pradnya
Paramita, Jakarta.
Adi Nugroho, Susanti, 2018, Hukum Kepailitan di Indonesia Dalam Teori dan
Praktek Serta Penerapan Hukumnya, Prenadha Media Group, Jakarta.
Harahap, M. Yahya, 2005, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
PT. Sinar Grafika, Jakarta.
Hadi Shubhan, M, 2008, Hukum Kepailitan Prinsip Norma, dan Praktik di Peradilan,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Indirani Wauran-Wicaksono, 2017, “Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Benda:
Penelusuran Dasar Perlindungan HKI di Indonesia”, Jurnal Refleksi Hukum,
Vol.9 No. 2.
Sastrawidjaja, Man,S, 2006, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, PT. Alumni, Bandung.
Saidin, OK, 2003, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), PT .Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Subekti, 2010, Pokok- Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta
Sutan Remy Sjahdheini, 2016, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan
Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Prenadamedia Group,
Jakarta.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti, Penerbit : Pradnya Paramita, Jakarta
Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, UU No. 37 Tahun 2004, LN RI No.131 Tahun 2004.
*****
Recommended