View
224
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
IMPLEMENTASI AKAD HAWALAH PADA PEMBIAYAAN
BERMASALAH DI PERBANKAN SYARIAH
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Hukum (M.H)
Di susun oleh :
Oleh :
Wulan Siti Mariyam
NIM. 21140433000001
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H/2018 M
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan merupakan alih aksara versi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu sebagai berikut:
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ث
Ts te dan es ث
J Je ج
H h dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha ر
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
D de dengan garis di bawah ض
T te dengan garis di bawah ط
Z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ى
W We و
H Ha ه
Apostrof ‘ ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftrong dan vokal rangkap atau diftrong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksara adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dhammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
....ي ai a dan i
....و au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ا Â a dengan topi di atas
ي Î i dengan topi di atas
و Û u dengan topi di atas
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
dialihaksarakan menjadi huruf /1/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf
qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem Arab dilambangkan dengan sebuah
tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata ( الضرورة ) tidak ditulis ad-
darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
6. Ta’ Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang
berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1
di bawah). Hal yang sama juga berlaku hika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata
sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata
benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Tariqah طريقت 1
al-jami’ah al-islamiyyah الجاهعت اإلسالهيت 2
الوجود وددة 3 wahdat al-wujud
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital
tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh:
Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal
(bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian
halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.Berkaitan dengan penulisan nama,
untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak
dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri,
tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat
dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
ھ ة ت اذ ذ األ س dzahaba al-ustâdzu
ر ث ب ج األ ج tsabata al-ajru
م ت ر يت ال ذر الع ص al-harakah al-‘asriyyah
ھ د هلل إ ل إ لھ ل أ ى أش asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
ل ن ا و ل ل ه ال خ ه الص Maulânâ Malik al-Sâlih
ن م ث ر هلل ي ؤ yu’atstsirukum Allâh
ق ل يت الوظ اھ ر الع al-mazâhir al-‘aqliyyah
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama
orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu dialihaksarakan.
Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd; Mohamad Roem, bukan
Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân.
ABSTRACK
This study aims to identify, explain and analyze the application of hawalah contract
on Muamalat Bank and BPRS Al-Saalam in troubled financing in terms of fatwa DSN-
MUI. This research uses normative juridical method with descriptive analytic
research. This study uses secondary data as the main research material, obtained by
reviewing documents at Muamalat Bank and BPRS Al-Saalam. The data obtained were
analyzed qualitatively. The results showed that the application of hawalah contract in
financing problems by Muamalat Bank and BPRS Al-Saalam by using bil ujroh hawalah
contract. Implementation of hawalah contract does not work effectively because most of
Sharia Banking Money does not know the availability of this contract. This is because
Muamalat Bank and BPRS Al-Saalam are still optimal in introducing the hawalah
contract product through the results of research at Muamalat Bank and BPRS al-Saalam.
The hawalah contract form applied in Muamalat Bank and BPRS Al-Saalam is a
muthlaqah hawaalah with the imposition of ujrah / fee. The customer who wishes to use
the hawalah contract is the first to be performed, his ability to pay the financing is feared
there is a problem at the end of his payment. Muamalat Bank and BPRS Al-Saalam do
not apply muqayyadah hawalah in daily banking transactions, but apply mawlaqah
hawalah with the imposition of ujrah / fee. This is because it is not contradictory to the
National Sharia Council Fatwa No: 58 / DSNMUI / V / 2007 on Hawalah Bil Ujrah
which is allowing hawalah bil ujrah i.e hawalah with the imposition of ujrah or fee. It
must pay more attention to the principles of the Islamic agreement both in the
manufacture of banking financing products and in its application.
For the settlement of non-performing financing of the bank in the contract the hawalah
has the following series, giving some debtor debt, giving all debtor debts, impose delete
books and write off, execution of collateral, update the debt by way of inovation and
cassie.
Keywords: Implementation, Hawalah contract, Fatwa of National Sharia Council,
Troubled Financing.
x
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, menjelaskan dan menganalisis penerapan
akad hawalah pada Bank Muamalat dan BPRS Al-Saalam dalam pembiayaan bermasalah
ditinjau dari fatwa DSN-MUI. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan
spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini menggunakan data sekunder
sebagai bahan uatama penelitian, yang diperoleh melalui penelaahan dokumen pada bank
Muamalat dan BPRS Al-Saalam. Data yang diperoleh dianalisis secara analisis kualitatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penerapan akad hawalah dalam pembiayaan bermasalah oleh
Bank Muamalat dan BPRS Al-Saalam dengan menggunakan akad hawalah bil ujroh.
Implementasi akad hawalah tidak berjalan efektif karena sebagian besar nasabah perbankan
syariah tidak mengetahui tersedianya akad ini. Hal ini disebabkan karena Bank Muamalt dan
BPRS Al-Saalam belum optimal dalam memperkenalkan produk akad hawalah Berdasarkan
hasil dari penelitian di Bank Muamalat dan BPRS al-Saalam.
Bentuk akad hawalah yang diterapkan di Bank Muamalat dan BPRS Al-Saalam adalah
hawalah muthlaqah dengan pengenaan ujrah/fee. Nasabah yang ingin menggunakan akad
hawalah ini terlebih dahulu diteliti tingkat kemampuannya dalam melakukan pembayaran
pembiayaanya ditakutkan ada masalah diakhir pembayarannya. Bank Muamalat dan BPRS Al-
Saalam tidak menerapkan hawalah muqayyadah dalam transaksi perbankan sehari-hari, akan
tetapi menerapkan hawalah muthlaqah dengan pengenaan ujrah/fee. Hal ini antara lain karena
tidak bertentangan dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 58/DSNMUI/V/2007 tentang
Hawalah Bil Ujrah yang membolehkan adanya hawalah bil ujrah yaitu hawalah dengan
pengenaan ujrah atau fee.Harus lebih memperhatikan asas-asas dari perjanjian Islam baik
dalam pembuatan produk-produk pembiayaan perbankan maupun dalam pengaplikasiannya.
Untuk penyelesaian pembiayaan bermasalah terhadap bank pada akad hawalah
mempunyai rangkaian sebagai berikut, penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan
kembali (reconditioning), penataan kembali (restructuring. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) lebih mengedepankan akad hiwalah dengan akad tabarru' yakni pengalihan
utang dikembalikan kepada akad aslinya sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh
klasik. akad tabarru' pada prinsipnya merupakan akad tolong-menolong. Artinya, harus murni
bersifat sosial dan tidak boleh mengambil keuntungan dari akad hiwalah.
Kata Kunci: Implementasi, Akad Hawalah, Fatwa Dewan Syariah Nasional, Pembiayaan
Bermasalah.
xi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Sang
pemilik alam semesta, Zat yang Maha sempurna, yang Maha mengetahui dan Maha
berkehendak. Tak ada Tuhan selain Dia, dan tak ada daya dan upaya selain atas izin-Nya. Tesis
ini hanya setitik atom dijagat kekuasaan-Nya. Tak ada satu hurufpun yang dapat penulis kerjakan
tanpa izin- Nya. Allhamdullillahi robbilalamin.
Sholawat dan salam kepada rahmat terbesar bagi seluruh alam, cahaya kehidupan ruhani
yang termegah, sosok manusia yang pantas ditauladani, Nabi Muhammad SAW. Bersamanya
bangsa yang kecil menjadi raja, bangsa yang besar menjadi hamba, ditebarnya kebenaran dengan
akhlak, disucikannya pengetahuan dengan amal, dan dibukanya jalan kehidupan tanpa batas
menuju kesempurnaan.
Tesis ini ditulis untuk menganalisa tentang Impelemntasi Akad Hiwalah pada
Pembaiyaan Bermasalah di Perbankan Syariah ( Studi kasus pada Bank Muamalat Indonesia dan
BPRS Al-Saalam). Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Tesis ini, baik
dalam penyajian materi maupun dalam pembahasan materi serta analisa- analisa penulis, karena
itu Tesis ini masih jauh dari sempurna. Penulis juga menyadari bahwa penulisan Tesis ini tidak
lepas dari berbagi petunjuk, dukungan, Do’a dan bantuan secara langsung ataupun tidak dari
berbagai pihak. Karena itu, penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.,A, selaku rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.,A, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dosen Pembimbing, Dr. Muhammad Maksum, SH, M.,A, penulis yang dengan segala
keikhlasan dan ketulusan bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
mengoreksi dan mengarahkan peneliti, sehingga tesis ini memenuhi kualifikasi akademik
baik dar segi penulisan maupun subtansinya.
xii
4. Dr. Nurhasanah, M.Ag sebagai ketua program studi Magister HukumEkonomi Syariah UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memmabtu peneliti secara tidak langsung dalam
menyiapkan tesis ini.
5. Terimaksih juga penulis sampaikan kepada para guru besar dan dosen Program MHES
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memperkenalkan teori dan juga perspektif, serta berhasil mem-prvokasi penulis untuk
terus berfikir progresif, seperti Prof. H. Muhammad Amin Suma, SH,M.,A,M.,M, Prof. Dr.
Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.,A, Prof. M. Atho Mudzhar, MA, Prof. Dr. H.
Faturrohman Djamil, MA, Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM, dan lain-lain yang tidak bisa
disebut satu persatu.
6. Hasil karya tesis ini, penulis persembahkan kepada seluruh keluarga, orang tua Tercinta
Ayahanda H. Sobari dan Ibunda Hj. Babay yang tak pernah lelah setiap harinya
memberikan semangat, motivasi dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini. Selama hidupnya jasa beliau tidak akan hilang sampai akhir hayat. Kaka dan Teteh
tersayang, Ka Ence, Ka Juju (Alm), Ka Asep, Teteh Eyi, Teteh Yayu, Teteh Nunung, Adi
Imam, Ka Khotib, Om Agus, Teteh Iroh, Teteh Yuyun serta ponakan-ponakan Ate
terimaksih yang tak henti-hentinya memberikan support dan terus menerus mendukung
penulis untuk terus berusaha menyelesikan Tesis ini. Barakallah Fikum Daiman Abadaa.
7. Sahabat seperjuangan MHES angkatan 2014, yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu. Terimaksih telah berdiskusi, tempat berbagi keluh kesah dan menggapai cita-cta
bersama.
8. Rekan kerja di Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), Kaka Syakur, Ba Reni, Teh Yuli dan yang
lainnya yang tidak bisa disebut satu persatu, yang telah mendorong semangat penulis
sehingga tesis ini selesai.
9. Penelitian untuk penulisan tesis ini dilakukan dibeberapa lembaga keuangan syariah yaitu
Bank Muamalat Indonesia dan BPRS Al-Saalam terimaksih kepada Iman Ni'matullah dan
Ikhwanda selaku narasumber yang telah memberikan informasi untuk penulis memperoleh
sebagian referensi yang menunjang penulisan.
10. Segenap pimpinan Satf. Akademik, Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Staf
Perpustakaan Utama yang telah member bantuan dan fasilitas untuk penulis memeperoleh
sebagian referensi yang menunjang penulisan.
xiii
11. Semua rekan-rekan yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan
kontribusi yang cukup besar sehingga penulis dapat menjalani perkuliahan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Sampailah penulis pada kalimat penutup dari kata pengantar ini, Penulis menyadari
sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan tesis ini masih banyak terdapat kekurangan,
walaupun penulis telah berusaha dengan sebaik – baiknya. Oleh karena itu kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna penyempurnaan penyusunan dan
penulisan tesis ini. Penulis berharap agar tesis ini bermanfaat dan dapat memperluas serta
menambah pengetahuan bagi kita semua.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Jakarta, 27 Juli 2018
Wulan Siti Mariyam
xiv
DAFTAR ISI
LEMBAR SAMPUL ............................................................................................................
LEMBAR JUDUL .............................................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................................................... iv
HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ v
ABSTRAK ..........................................................................................................................x
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... xi
DAFTAR ISI................................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................1
B. Permasalahan ...............................................................................................18
1. Identifikasi Masalah ................................................................................18
2. Pembatasan Masalah ...............................................................................19
3. Perumusan Masalah .................................................................................19
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................19
1. Tujuan Penelitian .....................................................................................19
2. Manfaat Penelitian ...................................................................................19
D. Review Studi Terdahulu ..............................................................................20
E. Metode Penelitian ........................................................................................24
1. Metode Penelitian ....................................................................................24
2. Pendekatan Penelitian ..............................................................................24
3. Sumber Data ............................................................................................24
4. Teknik Pengumpulan Sumber Data .........................................................25
5. Teknik Analisa Data ................................................................................26
6. Teknik Penulisan .....................................................................................26
F. Sistematika Penulisan ..................................................................................26
xv
BAB II AKAD HIWALAH DALAM HUKUM ISLAM ............................................27
A. Pengertian Prinsip-prinsp Akad Hiwalah ..................................................27
1. Pengertian Akad dalam Hukum Islam .................................................27
2. Prinsip akad Hiwalah ...........................................................................32
B. Dasar Hukum Akad Hiwalah .....................................................................40
1. Al-Qur'an .............................................................................................40
2. Hadist ...................................................................................................41
3. Ijma' .....................................................................................................42
4. Hukum Postif .......................................................................................42
C. Tujuan Manfaat dan Apliksi akad Hiwalah ...............................................43
a. Tujuan dan Manfaat .............................................................................43
b. Aplikasi akad Hiwalah .........................................................................44
D. Berakhirnya Akad Hawalah ......................................................................44
E. Beban Muhil setelah akad Hiwalah ...........................................................45
F. Pengertian Pembiayan dan Pembiayaan Bermasalah ................................46
a. Pembiayaan ..........................................................................................46
b. Pembiayaan Bermasalah ......................................................................53
G. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ( KHES )………………………….64
BAB III KAJIAN FIQH TERHADAP AKAD HIWALAH ........................................66
Perdebatan Ulama Terkait Perubahan Hawalah menjadi
Hawalah bil Ujroh .....................................................................................66
BAB 1V ANALISIS PENERAPAN AKAD HIWALAH DALAM PEMBIAYAAN
BERMASALAH ..............................................................................................74
A. Implementasi Akad Hiwalah pada Pembiayaan Bermasalah
di Bank Muamalat dan BPRS Al-Saalam ..................................................74
B. Kesesuaian Akad Hiwalah pada Pembiayaan Bermasalah dengan
Fatwa DSN-MUI ........................................................................................91
C. Hiwalah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)…………97
BAB V PENUTUP..........................................................................................................100
A. Kesimpulan .............................................................................................100
B. Saran .......................................................................................................101
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................
LAMPIRAN
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1: Skema Hawalah dalam Bank Syariah...............................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu fungsi utama bank adalah fungsi intermediary yaitu
menghimpun dana-dana dari pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus
of funds) dalam bentuk tabungan, deposito atau bentuk-bentuk simpanan lainnya
untuk kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan
dalam bentuk pemberian fasilitas kredit.1 Hal ini berarti fungsi utama bank
adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada
masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai financial intermediary.2
Lembaga perbankan merupakan salah satu instrumen keuangan modern
yang mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara.
Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai intermediasi antara pihak-pihak yang
mengalami kelebihan dana (surplus of fund) dengan pihak-pihak yang
kekurangan dan membutuhkan dana (lack of fund).3 Guna menjalankan fungsi
kelembagaan, perbankan akan bergerak melalui kegiatan penghimpunan dana
sebelum kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada pihak-pihak yang
membutuhkan, baik untuk pembiayaan usaha maupun dalam rangka menjalankan
fungsi sosial dan untuk mendukung kelancaran transaksi keuangan, perbankan
syariah juga menyediakan berbagai jasa pelayanan yang beroperasi secara
profesional. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu
perwujudan dari kebutuhan masyarakat yang menghendaki suatu sistem
1 Muhdarsyah Sinungan, Manajemen Dana Bank, (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), hlm. 3
2 Sigit Triandaru dan Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta : Salemba
Empat, 2006), hlm. 9 3Burhanuddin Susanto. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. (Yogyakarta:UII. 2008), h. 3.
2
perbankan yang mampu menyediakan jasa keuangan yang sehat, juga memenuhi
prinsip-prinsip syariah.4
Lembaga keuangan perbankan syariah adalah sebuah lembaga intermediasi
yang menegakkan aturan ekonomi Islam. Kegiatan pokoknya pada dua hal yakni
melakukan penghimpunan dana masyarakat dan menyalurkan dana.
Perkembangan dunia keuangan syariah5 diberbagai negara Islam mengalami
peningkatan baik dari bertambahnya lembaga maupun produk yang diinovasi
oleh para aktor keuangan syariah. Serta orientasi utama sistem ekonomi syariah
adalah untuk merealisasikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi individu
dan masyarakat, baik di dunia maupun di akhirat.6
Perbankan syariah memang sudah seharusnya selalu memperkaya
produk-produknya untuk memenuhi kebutuhan objektif masyarakat modern,.
Melalui upaya memperkaya produk dan berbagai terobosan yang dilakukan oleh
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam menjawab
kebutuhan ummat akan perbankan modern tetapi tetap sejalan dengan ajaran
Islam, maka ke depan diharapkan akan lahir sistem perbankan syariah yang
modern, universal dan terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan
konsep Islam yang rahamatan lil `alamin (rahmat bagi seluruh alam semesta),
4 Burhanuddin Susanto. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. (Yogyakarta:UII. 2008), h.4.
5Rahmani Timorita Yulianti Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syariah
(Yogyakarta: Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia, Jurnal Ekonomi Islam La-Riba
Vol.11, No. 1, Juli 2008) , h. 91. Lihat juga Jaribah Bi Ahmad Al-Haritsi Fikih Ekonomi Umar Bin Al-
Khathab (Jakarta: Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup, 2006), h. 396-399. Menyatakan bahwa
Perkembagan keuangan atau ekonomi Islam memiliki kriteria diantaranya: Pertama, pengembangan
ekonomi dalam Islam tidak akan dapat merealisasikan tujuannya jika terpisahkan dari sisi-sisi lain
tentang pengembangan yang komperhensif yang menjadi tujuan politik syriah. Kedua, merealisasikan
kesejahteraan dan meningkatkan tingkat kehidupan umat adalah tuntutan syariah. Tiga, pengembangan
ekonomi dalam Islam mencakup semua rakyat Negara. Empat, pengembangan ekonomi dalam Islam
adalah suatu kewajiban syaroah dan ibadah yang mendekatkan seorang muslim kepada Allah jika
dilakukannya dengan ikhlas. Lima, sesungguhnya politik pengembangan ekonomi yang berdampak
pada bertambahnya pemasukan itu menjadi tidak dibenarkan jika berakibat terhadap rusaknya nilai-
nilai Islam. Enam, sesungghnya upaya pengembangan ekonomi di masa Umar terfokus pada
penanggulangan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan dasar bagi individu masyarakat. 6 Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer
(Jakarta: Gramata Publishing, 2011), h. 30.
3
sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari
konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks
kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Bank
Syariah yang modern dapat berupa bank yang mampu menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman dan pada sisi lain tetap menjunjung tinggi sistem
perbankan yang sesuai dengan tuntunan syariah dan perbankan syariah berusaha
menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang
dirumuskan secara bijaksana.
Bank syariah di tanah air mendapatkan pijakan yang kokoh setelah
adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Sejak itu diberikan
keleluasaan penentuan tingkat suku bunga, termasuk nol persen atau peniadaan
bunga sekaligus. Hal ini berlangsung sampai tahun 1988 dimana pemerintah
mengeluarkan Pakto 1988 yang memperkenankan berdirinya bank-bank baru.
Kemudian posisi perbankan syariah semakin pasti setelah disahkan Undang-
undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 dimana bank diberikan kebebasan untuk
menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga
ataupun keuntungan bagi hasil.
Regulasi mengenai Bank Syariah tertuang dalam UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Di Indonesia sudah banyak yang mendirikan Bank
Syariah. Pada dasranya manusia adalah mahluk sosial yang tidak bias hidup
sendiri tanpa bantuan orang lain. Sudah menjadi kodrat dari manusia untuk saling
tolong menolong antar sesame. Terkait itu Allah SWT berfirman dalam Al-
Qur‟an Surat Al-Maidah ayat 2 yang artinya :
ثت ع إ و إ ع ت ثإثإ ع ت ع و ت ع و ع ع لعت ت ع ت ت ى ت ت ع قإ ع ت بثر إ ع ت ع و ت ع و ع ع ع
„‟Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan (kebajikan) dan
takwa dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan
pelanggaran.‟‟ (Qs.Al Maa‟idah 5:2)
4
Berdsar ayat di atas jelas bahwa Allah SWT menyuruh manusia untuk
saling tolong-menolong dalam kebaikan. Agama Islam mengajarkan apabila kita
melakukan kegiatan hutang-piutang harus segera melunsinya, apabila kita
sebagai orang yang mampu melunasi hutang tetapi menunda-nunda pelunasan
tersebut maka kita termasuk orang yang zalim. Namun terdapat kemudahan bagi
orang yang tidak mampu membayarnya.
Terkait hal ini orang yang berhutang (debitur) dapat mengalihkan haknya
kepada pihak lain. Hal ini juga berlaku pada orang yang berpiutang (kreditur)
dapat mengalihkan piutangnya kepada pihak lain. Pada hukum Islam hal ini
disebut Hiwalah/Hawalah yaitu pemindahan hutang dari satu tanggungan kepada
tanggungan yang lain dengan nilai yang sama menurut para ulama hiwalah
adalah pemindahan beban hutang dari muhil ( orang yang berhutang) menjadi
tanggungan Muhal‟alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang ).7
Dalam Islam terdapat transaksi-transaksi ekonomi yang bebas dari riba,
gharar dan maysir. Transaksi-transaksi itu adalah jual beli yang terdiri dari Bai‟
Al-Murabahah, Bai‟ As-Salam dan Bai‟ Al-Istshna,‟ sewa yang terdiri dari Al-
Ijarah, dan jasa yang terdiri dari Al-Wakalah, Al-Kafalah, Ar-Rahn dan Al-
Qardh. Salah satu dari transaksi-transaksi dalam Islam adalah hiwalah.8Hiwalah
adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang
wajib menaggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak
dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal „alaih (orang yang
berkewajiban membayar hutang) . Menurut Ibnu Abidin dari kalangan Hanafiyah
yang dimaksud hiwalah adalah pemindahan kewajiban membayar hutang dari
7 M. Syafii Antonio. Bank Syariah dan Teori ke Praktek. (Jakarta: Gema Insani, 2001 ), h .124
8 Kata hiwalah huruf haa‟ dibaca fathah atau kadang dibaca kasrah, berasal dari kata tahwil yang
berarti intiqal (pemindahan)
5
orang yang berhutang (muhil) kepada orang yang berhutang lainnya (muhal
‟alaih).9
Hiwalah secara etomologi menurut Hendi Suhendi, sebagaimana dikutip
oleh Mardani yaitu, al-intiqal dan al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan
mengoverkan.10
Akad Hiwalah, dalam praktiknya dapat dibedakan ke dalam dua
kelompok. Yang pertama adalah berdasarkan jenis pemindahannya. Dan yang
kedua adalah berdasarkan rukun Hiwalahnya. Kelompok pertama yang
berdasarkan jenis pemindahannya, terdiri dari dua jenis Hiwalah, yaitu Hiwalah
Dayn dan Hiwalah Haqq. Hiwalah Dayn adalah pemindahan kewajiban melunasi
hutang kepada orang lain. Sedangkan Hiwalah Haqq adalah pemindahan
kewajiban piutang kepada orang lain.11
Sedangkan secara terminologi menurut
al-Syarbaini dalam kitab Mughni alMuhtaj, sebagaimana dikutip oleh Hulwati,
Hiwalah12
yaitu merupakan pemndahan beban hutang dari muhil atau madin (
orang yang berhutang ), pihak yang memberi hutang ( muhil atau da‟in ) dan
pihak menjadi tanggungan hutang (muhil ‟alaih), berarti dalam hal ini terdapat
tiga orang yang terlibat.13
Dalam agama islam dikenal adanya lembaga pengalihan hutang atau
hawalah merupakan pengalihan tangguhan hutang dari orang yang ber-utang
kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Karena itu, hawalah ini
merupakan suatu persoalan yang penting, apalagi pada masa sekarang. Jika yang
dialihkan utang maka akad hawalah merupakan akad pengalihan hutang dari satu
10 Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, h.243
11 Agustianto. Hiwalah/Hawalah. (Jakarta : Presentasi Universitas Indonesia, IEF Trisakti, dan
Universitas Paramadina, 2008 ), h. 11 12
Pengertian Hiwalah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah pengalihan utang dari muhil
al-ashil kepada muhal „alaih. Sedangkan menurut fatwa DSN-MUI, Hawalah yaitu akad pengalihan
utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung ( membayar)-nya 13
Hulwati, Ekonomi Islam : Teori dan Prakteknya dalam Perdagangan Obligasi Syariah di Pasar
Modal Indonesia dan Malayia, h. 109
6
pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung membayar
utangnya. Transaksi seperti ini dapat terjadi dengan adanya saling mempercayai
antara pihak yang bertransaksi.14
Pengertian hawalah yang ditetapkan oleh UU No.21 Tahun 2008 secara
substansial sama dengan yang difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN)
majelis ulama‟ indonesia (MUI) dengan sedikit perbedaan redaksional bahasa.
Dalam konsep hukum perdata, hiwalah adalah serupa dengan lembaga
pengambilalihan utang atau lembaga pelepasan utang atau penjualan utang, atau
lembaga penggantian kreditor atau penggantian debitor.15
Hiwalah merupakan
akad pengalihan hutang dari pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib
menanggung atau membayar”. 16
Dalam buku “Bank Syari'ah dari Teori ke Praktik karangan M. Syafi'i
Antonio mengungkapkan bahwa dalam transaksi hiwalah, muhal memberi
pinjaman kepada muhil. Sedangkan muhil masih mempunyai pihutang kepada
muhal 'alaih begitu muhil tidak mampu membayar hutangnya pada muhal. Ia lalu
mengalihkan beban hutang tersebut pada muhal „alaih dengan demikian muhal
„alaih harus membayar hutang muhil kepada muhal sedangkan hutang muhal
„alaih sebelumnya pada muhal dianggap selesai.17
Dalam Bidayatul Mujtahid jilid I yang dikarang oleh Ibnu Rusyd
dikatakan bahwa pemindahan hutang atau hiwalah adalah suatu perbuatan yang
sah dan dikecualikan dari prinsip-prinsip hutang pihutang (transaksi dengan
hutang pihutang secara kontan)18
. Diantara syarat-syarat yang diperselisihkan
oleh fuqoha ialah mengenai perlunya dpegangi persetujuan orang yang
14
Nurhayanti Sri, Akuntansi Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2011), h. 260. 15
Heri, Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Edisi2 (Yogyakarta: EKONISIA, 2004),
h.. 71. 16
Atang abd hakim, Fiqh Perbankan Syariah (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), h. 283 17
Muhammad Syafi‟I Antonio, loc. Cit. 18
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,juz II, Beirut: Daar Alkalam,1996, h. 303.
7
dipindahkan piutangnya dan orang yang menerima perpindahan utang. Sebagian
fuqoha ada yang memegangi persetujuan orang yang dipindahkan piutangnya
tanpa memegangi persetujuan orang yang menerima perpindahan utang. Ini
adalah pendapat malik.
Sebagian lainnya ada yang memegangi persetujuan orang yang
dipindhkan piutangnya. Ini adalah kebalikan dari pendapat malik. Dan pendapat
ini juga dkemukakan oleh dawud. Fuqoha yang berpendapat bahwa perpindahan
utang merupakan suatu muamalat memandang persetujuan kedua belah pihak
diperlukan.19
Fuqoha yang menemaptkan kedudukan orang yang menerima
perpindahan utang terhadap orang yang dipindahkan piutangnya terhadap debitur
(orang yang memindahkan utang ) tidak memegangi persetujuan orang yang
menerima perpindahan utang, bersama orang yang dipindahkan piutangnya,
seperti ia juga tidak memegangi persetujuan itu bersama orang yang
memindahkan utang (debitur) manakala ia meminta haknya dan tidak
memindahkannya kepada seseorang.
Dalam kitab fathul qorib, (Fasal) menjelaskan hawalah. Lafadz “al
hawalah” dengan terbaca fathah huruf ha‟nya. Dan ada yang menghikayahkan
pembacaan kasrah pada huruf ha‟nya. Hawalah secara bahasa adalah pindah. Dan
secara syara‟ adalah memindah hak dari tanggungan muhil (yang memindah
hutang) kepada tanggungan muhal „alaih (yang menerima tanggungan peralihan
hutang)20
Selain itu dalam kitab Al fiqh Al Islam wa Adilatuhu jilid VI karangan
Wahbah Azzuhaily terdapat pembahasan tentang hiwalah dimana hiwalah
dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/benda karena hiwalah
19
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,Analisa Fiqih Para Mujtahid, juz III, Beirut: Daar Al-Jill,1989, h.
263 20 http://contohdakwahislam.blogspot.com/2014/01/bab-hawalah-peralihan-hutang.html, Tanggal 27
Juli 2018, pukul 10.00
8
adalah pemindahan hutang oleh karena itu harus pada uang.21
Dalam buku
”Hukum-Hukum Fiqih Islam Tinjauan Antar Mazhab” yang ditulis oleh Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqiey terdapat berbagai macam pendapat masing-
masing mazhab tentang tidak kembalinya si muhal itu kepada si muhil, baik si
muhal ‟alaih mengingkari hutang ataupun timbul suatu sebab yang lain, karena
dia salah tidak membahaskan lebih dahulu sebelum ia menerima hawalah22
Berdasarkan pembahasan di atas ulama fiqih berbeda pendapat mengenai
lunas atau tidaknya hutang dalam transaksi hiwalah yaitu :
a. Jumhur ulama mengatakan bahwa apabila hiwalah dilakukan dengan sah,
maka tanggungan menjadi gugur atau berakhir jika muhal „alaih
mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia atau tidak memenuhi
proses pengalihan maka muhal tidak diperbolehkan kembali nenuntut
kepada muhil23
b. Ulama Hanafiyah berpendapat sebaliknya yaitu muhal boleh menuntut
kembali kepada muhil selama tidak ada syarat khiyar24
c. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa dalam pengalihan pembayaran
hutang, jika ternyata muhal ‟alaih mengalami kebangkrutan atau
meninggal dunia dan ia belum membayar kewajibannya tersebut,
sehingga yang memberi hutang tidak mendapatkan apa-apa dari orang
tersebut, ia tidak dibolehkan kembali lagi kepada pihak pertama (untuk
menagih hutang) kecuali jika muhil telah menipu kepada muhal atau
21
Wahab Azzuhaily,Alfiqh al Islam wa Adilatuhu,jilid VI, Beirut: Daar Alkalam,1994, h .102. 22
Hasbi Ash Shidieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam Tinjauan Antar Madzab,( Semarang: Pustaka Rizk
Putrai, 2001), h. 386. 23
Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: pena pundit aksara, 2004 , h. 224. 24
Ibnu Abidin, op.cit. h. 10
9
muhtal, yaitu dengan mengalihkan pembayaran hutang kepada orang
yang tidak memiliki apa-apa (fakir)25
.
Jika mencermati pendapat-pendapat ulama fiqih di atas, dapat
dikemukakan bahwa pada dasarnya mereka sepakat mengenai adanya transaksi
hiwalah dalam kehidupan manusia. Namun sejauh mana transaksi hiwalah
berperan dalam mensejahterakan masing-masing pihak yang terlibat dalam
trnsaksi hiwalah sehingga masing-masing pihak merasa tenang, pada
kenyataannya mereka berbeda pendapat. Dari pendapat-pendapat ulama fiqih di
atas Ibnu Abidin yang nama lengkapnya adalah Muhammad Amin bin Umar bin
Abdul Aziz bin Ahmad bin Abdur Rahim bin Najmudin bin Muhammad
Salahuddin mempunyai pendapat bahwa muhal boleh menuntut kembali kepada
muhil apabila muhal „alaih meninggal dunia atau bangkrut26
Disisi lain Ibnu Abidin27
berbeda pendapat dalam mendefinisikan
hiwalah walaupun Ibnu Abidin setuju dengan adanya transaksi hiwalah. Tetapi
bagaimana Ibnu Abidin berpendapat bahwa muhal boleh menuntut kembali
kepada muhil apabila muhal „alaih meninggal dunia atau bangkrut dalam
transaksi hiwalah, hal ini tentunya memerlukan adanya suatu penelitian yang
khusus dan mendalam.
Pada Bank Syariah, Hiwalah merupakan akad pelengkap yang
dimaksudkan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan dan tidak untuk
mencari keuntungan.28
Karena pada dasarnya akadnya ta‟awuni atau tabarru‟.
Terkait demikian dalam bank syariah dilarang mengambil keuntungan atas akad
tersebut dikarenakan, inti dari akad tabarru adalah tolong-menolong bagi orang
yang sedang kesulitan.
25
Abdurrahman Aljaziri, Fiqih „ala Madzabil Arbaah, maktabah altijariyah,h. 155. 26
Ibnu Abidin, Raad al Mukhtar, Beirut: Daar Kitab Alilmiah, juz VIII, 1994, h. 10 27
Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar , Beirut: Daar Kitab Alilmiah, juz VIII ,1996 28
Heri Sudarsono. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. ( Yogyakarta: Ekonisia, 2005 ), h .71
10
Bank Negara Malaysia juga mendefinisikan Hawalah sebagai pengalihan
tangguhan hutang dari orang yang ber-utang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya tetapi ada fee didalamnya. Bank Islam Malaysia Berhad
(BIMB) telah menerapkan akad hawalah tetapi di BIMB konsep ini tidak hanya
kepada hutang tetapi juga dalam pemindahan dana dari seorang kepada orang
lain kerana kedua-duanya mempunyai konsep yang sama. Pihak BIMB telah
menggabungkan konsep al Hiwalah dan Wakalah bi Ujrah. Konsep Wakalah bi
Ujrah ini digunakan supaya pihak Bank menerima fee dalam pemindahan dana
yang dilaksanakan. Meskipun pelaksanaannya sudah diterapkan di BIMB,
namun ada beberapa kelemahan dan kekurangan yang ada supaya dapat
meningkatkan lagi sistem muamalat islam di Perbankan Malaysia.
Produk-produk yang ditawarkan di Bank Muamalat dan BPRS Al Saalam
secara garis besar adalah : Mobilisasi dana mayarakat bank akan menggerakan
dana masyarakat dalam berbagai bentuk seperti menerima simpanan wadi‟ah,
adanya fasilitas tabungan dan deposito berjangka fasilitas ini dapat digunakan
untuk menitip shadaqah, infaq, zakat, persiapan ongkos naik haji mobilisasi dana
meliputi : Simpanan Amanah, Tabungan Wadiah, Deposito Mudharabah.
Penyaluran dana yang meliputi : Pembiayaan Mudharabah, Pembiayaan
Musyarakah, Pembiayaan Bai Bitsamann Ajil, Pembiayaan Mudharabah,
Pembiayaan Qardhul Hasan, Pembiayaan Istishna‟, Pembiayaan Al-Hiwalah
Jasa perbankan lainya secara bertahap bank akan meneyediakan jasa untuk
memperlancar pembayaran berupa proses transfer dan inkaso, pembayaran
rekening listrik, telepon, bank juga mempersiapkan bentuk pelayanan berupa
dana talang berdasarkan bai salam. Penyaluran dana yang meliputi: Pembiayaan
11
Mudharabah, Pembiayaan Musyarakah, Pembiayaan Bai Bitsaman Ajail,
Pembiayaan Murabahah, Pembiayaan Istishna‟, Pembiayaan al-Hiwalah29
Bank Muamalat Indonesia dan BPRS Al Salaam merupakan badan usaha
dalam bidang perbankan syariah yaitu mengenai pembiayaan dan simpanan
dengan prinsip Syariah. Bank Muamalat dan BPRS Al Salaam memiliki produk-
produk penghimpunan dana dan pembiayaan. Produk penghimpunan dana antara
lain : Tabungan Wadiah (TAWA), Tabungan Idul Fitri (TIFI), dan Deposito
Mudharabah. Sedangkan produk pembiayaan BPRS Al Salaam antara lain
menggunakan akad: Murabahah (Jual Beli), Mudharabah (Bagi Hasil),
Musyarakah, Al-Ijarah (Sewa), dan Hiwalah (Talangan). Hiwalah di Bank
Muamalat Indonesia di BPRS Al Salaam disebut akad pemberian jasa talangan
dalam waktu tertentu melalui pembayaran ujroh / upah. Maksud “manfaat”
adalah berguna, yaitu talangan yang mempunyai banyak manfaat dan selama
menggunakannya sesuai keperluan misal untuk talangan untuk dana pendidikan
anak sekolah, biaya pernikahan, dan pembayaran hutang dan biaya perjalanan.
Bank Muamalat Indonesia dan BPRS Al-Saalam adalah lembaga
keuangan syariah yang menerapkan pembiayaan menggunakan akad hiwalah.
Tetapi dalam penerapan akad hiwalah dalam mengatasi pembiayaan bermasalah
masih sangat sedikit digunakan oleh pihak bank tersebut. Hal ini diakui oleh
pihak Bank Muamalat dan BPRS Al-Salaam, bahwa “Dalam praktik perbankan
syariah hampir jarang dipergunakan. Mungkin ketidak-mengertian masyarakat
tentang hawalah, sehingga jarang dipergunakan30
Ketidaktahuan masyarakat
terhadap keberadaan akad hawalah sebagaimana dikemukakan di atas telah
menyebabkan masyarakat khususnya masyarakat muslim yang potensial untuk
29
www. wordpress.com/2018/1/28/bank-perkreditan-rakyat-bpr-syariah/ html, diakses pada 11 April
2018 Pukul.10.00 WIB 30
Wawancara Bank Muamalat 25 April 2018 sampai dengan tanggal 11 Mei 2018 dan BPRS Al-
Saalam, tanggal 14 Mei 2018 sampai dengan tanggal 31 Mei 2018
12
menjadi nasabah perbankan syariah kehilangan peluang atau kesempatan untuk
memperoleh kemanfaatan dan kemaslahatan dari keberadaan perbankan syariah
di tanah air.
Keberadaan fatwa untuk mendinamisasikan hukum Islam dalam
merespon persoalan yang muncul, termasuk permasalahan ekonomi modern,
sesuai dengan dimensi ruang dan waktu yang melingkupinya.31
Fatwa dijadikan
standar untuk memastikan kesyariahan produk dan operasional keuangan syariah
dan sebagian fatwa merupakan tranformasi akad-akad dalam hukum Islam ke
dalam kegiatan transaksi keuangan syariah yang modern.
Keuangan syariah merupakan bentuk aplikasi dari hukum Islam.32
Menurut M. Syafi‟I Antonio menjelaskan bahwa pembiayaan merupakan salah
satu tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan
pihak-pihak yang merupakan deficit unit33
. Pembiayaan merupakan pendanaan yang
dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.34
Dalam pemberian pembiayaan, terdapat masalah-masalah dalam
pemberian pembiayaan tersebut, seperti adanya kredit macet atau bisa disebut
dengan Non Performing Financing (pembiayaan bermasalah), yang dalam hal ini
banyak faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan tersebut.
Pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah menurut UU no. 10
1998 pasal 8 dilakukan berdasarkan analisis dengan menetapkan prinsip kehati-
hatian agar nasabah debitur mampu melunasi utangnya atau mengembalikan
pembiayaan sesuai dengan perjanjian sehingga resiko kegagalan atau kemacetan
dalam pelunasanya dapat dihindari.
31
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos, 1995), h. 19. 32
Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Islamic Law And Finance: Religion, Risk And Return (The
Netherlands: Kluwer Internasional, 1998), h. 23. 33
Muhammad Syafi‟I Antonio,. Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press.
2001) h. 160. 34
Muhamad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, ( YogyakartaUnit Penerbit dan Percetakan (UPP)
AMP YKPN, 2005) , h. 17.
13
Walaupun demikian, pembiayaan yang diberikan kepada para nasabah
tidak akan lepas dari resiko terjadinya pembiayaan bermasalah yang akhirnya
dapat memengaruhi terhadap kinerja bank syariah ataupun lembaga keuangan
syariah lainnya tersebut. Dalam resiko pembiayaan merupakan risiko yang
disebabkan oleh kegagalan counterparty dalam memenuhi kewajiban.
Secara umum dalam pemberian pembiayaan kepada nasabah, pihak Bank
atau lembaga keuangan lainya perlu memperhatikan prinsip-prinsip penilaian
dalam pemberian pembiayaan diantaranya (Caracter), kemampuan (Capacity),
modal (Capital), agunan (Collateral), prospek usaha (Condition of economic),
kaitannya dalam bank syariah atau lembaga keuangan yang memberikan
pembiayaan maka prinsip penilaian berdasarkan ketentuan Al-Qur‟an dan Hadits
(Syariah) sangat peru dilakukan untuk proses pemberian pembiayaan.
Bank Muamalat Indonesia Merupakan bank pertama yang menggunakan
prinsip syariah dalam operasionalnya. Sampai saat ini sudah banyak cabang-
cabang Bank Muamalat Indonesia yang tersebar diseluruh Indonesia, salah
satunya adalah Bank Muamalat Indonesia Cabang Cirebon yang menjadi objek
penelitian saat ini. Bank Muamalat Indonesia Cabang Cirebon, merupakan salah
satu bank syariah yang dalam penyaluran pembiayaan para debitur tingkat
kelancaran pengembalian pembiayaannya cukup tinggi, namun demikian, Bank
Muamalat Indonesia Cabang Cirebon juga beresiko mengalami resiko
pembiayaan, dalam hal in tentunya resiko pembiayaan bermasalah.
Banyak Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembiayaan
bermasalah di bank syariah. Pada Bank Muamalat Indonesia Indonesia dan BPRS
Al-Saalam faktor-faktor penyebab pembiayaan bermasalah ini diantaraya adalah
karena karakter nasabah, rasio modal (capital) terhadap hutang (leverage), serta
jumlah jaminan.
Secara teori Firdaus dan Ariyanti dalam bukunya yang berjudul
manajemen perkreditan bank umum tahun 2008 menjelaskan bahwa karakter atau
watak merupakan salah satu pertimbangan yang terpenting dalam memutuskan
14
pemberian kredit. Bank sebagai pemberi kredit harus yakin bahwa calon
peminjam kredit harus bertingkah laku baik, dalam arti harus berpegang teguh
atas janjinya, selalu berusaha dan bersedia untuk melunasi utang-utangnya sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan. Sehingga apabila calon peminjam
merupakan pribadi ang berkarakter baik, maka kemungkinan terjadinya
kegagalan dalam pengembalian pembiayaan atau pembiayaan bermasalah
kemumgkinan tidak terjadi, dan sebaliknya apabila calon peminjam tersebut
merupakan pribadi yang berkarakter kurang baik atau jelek, maka kemungkinan
untuk pengembalian pembiayaan kemungkinan akan terjadi. Kemudian aspek
kekayaan (equity) yang dimili oleh calon peminjam atau perusahaan dan rasionya
terhadap hutang (leverage) juga berpengaruh terhadap terjadinya pembiayaan
bermasalah. secara teori Saunders dan Allen menjelaskan bahwa aspek capital
sebagai kontribusi kekayaan (equity) oleh pemilik perusahaan dan rasionya
terhadap huang (Leverage). Ini dipandang sebagai predictor probabilitas
kebangkrutan yang baik. Leverage yang tinggi yang tinggi dipandang
mempunyai probabilitas yang tinggi pula. Apabila tingkat hutang yang dialami
oleh calon peminjam atau pemilik perusahaan tinggi, maka tingkat kebangkrutan
yang dialami akan tinggi pula sehingga untuk tingkat pengembalian pembiayaan
akan tinggi begitupun sebaliknya. Selain itu, pemberian jaminan juga memiliki
kontribusi juga terhadap tejadinya pembiayaan bermasalah. Firdaus dan Ariyanti
memberikan penjelasan collateral sebagai jaminan atau agunan, yaitu harta benda
milik debitur atau pihak ke-3 yang diikat sebagai agunan andaikata terjadi
ketidakmampuan debitur menyelesaikan utangnya sesuai dengan perjanjian
kredit.
Dengan kata lain, pemberian jaminan yang dilakukan oleh bank kepada
debitur atau calon peminjam dimaksudkan untuk berjaga-jaga kemungkinan
terjadinya pembiayaan yang bermasalah kemudian sebagai menjalankan fungsi
pemberian jaminan yaitu sebagai fungsi kehati-hatian/jaga-jaga serta sebagai
15
penentu jumlah kredit yang akan diberikan dengan cara menetukan jumlah
jaminan.
Pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan tidak lancar, dimana nasabah
tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan, pengembalian pembiayaan yang
tidak menepati jdawal angsuran sehingga pembiayaan yang diberikan memiliki
potensi merugikan bank serta pengembalian pembiayaan yang menunggak dalam
waktu tertentu disebabkan karena usaha yang dijalankan oleh nasabah.35
Semakin tingginya tingkat pembiayaan bermasalah di sebuah lembaga
keuangan perbankan syariah menjadikan alat sebagai pengangkat semangat bagi
employee bank tersebut untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam hal ini
pembiayaan bermasalah. Penyebab terjadinya pembiayaan bermasalah
mempunyai 2 kemungkinan kesalahan yakni dari pihak lembaga keuangan
syariah (LKS) dan nasabahnya.
Kesalahan dari pihak LKS ketika melakukan analisis pembiayaan
dikhawatirkan pihak analis kurang begitu teliti ataupun ada kolusi antara pihak
peminjam dengan pihak analis sehingga kemungkinan besar akan ada pemalsuan
data. Sebagai salah satu pilar sektor keuangan dalam melaksanakan fungsi
intermediasi dan pelayanan jasa keuangan, sektor perbankan jelas sangat
memerlukan adanya distribusi risiko yang efisien. Tingkat efisiensi dalam
distribusi risiko inilah yang nantinya menentukan alokasi sumberdaya dana di
dalam perekonomian. Oleh karena itu pelaku sektor perbankan, dan bank syariah
khususnya di tuntut untuk mampu secara efektif mengelola risiko yang
dihadapinya. Adapun kesalahan dari nasabah dimungkinkan karena nasabah
tersebut memang tidak mampu membayarnya/bangkrut ataupun nasabah memang
tidak mempunyai iktikad baik untuk membayar angsuran tersebut.
Allah mensyariatkan akad hawalah karena telah menjadi kebutuhan
manusia. Melalui akad hawalah, seseorang dapat mengalihkan hak piutang dari
35
Abdullah Saed, Bank Islam dan Bunga, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014) , h. 139
16
pihak yang mengalami kesulitan financial kepada pihak lain yang berkecukupan.
Adapun rukun dan syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan hawalah
adalah:
1. Adanya para pihak yang mengadakan akad hawalah. Para pihak yang terlibat
dalam akad hawalah umumnya terdiri dari, yaitu: (a) pihak berutang dan
berpiutang yang akan mengalihkan utangnya (muhil), (b) pihak yang
memberikan utang (muhal lahu) dan (c) pihak lain yang menerima pengalihan
utang untuk dilunasinya (muhal „alaih), namun agar keabsahan akad hawalah
dapat terwujud, maka masing-masing pihak harus memenuhi syarat sebagai
subjek hukum.
2. Sesuatu yang menjadi objek akad hiwalah (muhalul bih) adalah yang bersifat
financial. Hiwalah tidak diperbolehkan berlaku terhadap utang yang bersifat
barang. Karena itu agar dapat dihiwalahkan, utang harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
a. Utang tersebut merupakan akibat hukum dari suatu akad yang bersifat pasti
(luzum). Karena itu tidak sah hukumnya mengalihkan hutang yang timbul dari
suatu akad yang masih berlaku hak khiyar.
b. Jika pengalihan hutang berbentuk hiwalah muqayyadah maka jumlah
secara kuantitas/kualitas utang yang dialihkan harus sama. Karena apabila
jumlahnya berbeda, hukumnya menjadi tidak sah, kecuali sisa hiwalah
tersebut dikembalikan kepada para pihak untuk menyelesaikan sendiri
menurut hak dan kewajibannya, sedangkan apabila pengalihan berbentuk
hiwalah mutlaqah, maka jumlah utang yang dialihkan tidak mesti sama,
tergantung kesediaan dan kemampuan pihak yang akan menerima pengalihan
utang tersebut (muhal „alaih).
c. Pada prinsipnya pembayaran utang bisa dilakukan secara tunai (naqdan)
atau tangguh (muajjal), tergantung kesepakatan para pihak. Namun dalam hal
ini diisyaratkan, bahwa pihak yang menerima pengalihan hutang (muhal
17
„alaih) adalah orang yang dijamin memiliki kemampuan untuk melunasi utang
tersebut.
3. Pernyataan ijab qabul (shigat al-„aqd) harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka mengadakan pengalihan hutang. Dalam akad
hiwalah, pernyataan ijab qabul bisa datang dari pihak yang ber-utang (muhil)
maupun pihak yang menerima pengalihan hutang (muhal „alaih). Pernyataan
ijab yang datang dari pihak yang berutang (muhil) misalnya: Saya hiwalahkan
utang ku agar menjadi kewajibanmu untuk membayarnya sedangkan
pernyataan qabul dari pihak yang menerima hiwalah (muhal „alaih) misalnya:
Saya terima hiwalah engkau untul melunasi utang.
Namun yang perlu dipahami, bahwa pernyataan ijab qabul harus
diketahui oleh pihak yang mengutangi (muhal lahu). Ketentuan ini didasarkan
pada pertimbangan, bahwa Rasulullah memerintahkan kepada pihak yang
mengutangi (muhal lahu) untuk mengetahui dan menerima hiwalah, terutama
jika ada orang yang mengalihkan pembayaran utangnya kepada yang mampu.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa
Rasulullah saw, bersabda:36
مطل ا لغني ظلم فادا أ تبع أ حدكم على ملي فليتبع
“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya
merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada
orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima
pengalihan tersebut)”.(HR Jama‟ah).
Pada Hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang
menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang
kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan
36
Burhanuddin, Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2009), h.140.
18
hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya
(muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).
Akad hawalah dapat memberikan beberapa manfaat dan keuntungan, di
antaranya: Memungkinkan penyelesaian hutang piutang dengan cepat,
tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan, dan dapat
menjadi salah satu fee-based income/sumber pendapatan non pembiayaan bagi
Bank Syariah.37
Akad hawalah ini banyak digunakan untuk pengalihan hutang
nasabah dan menjadi suatu produk tersendiri di dalam dunia perbankan syariah.
Hal ini sesuai dengan praktik di Bank Muamalat Indonesia dan BPRS Al Salaam
yang menerapkan akad hiwalah terhadap pembiayaan yang bermasalah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk
memberikan judul penelitian ini dengan judul‟‟Implementasi Hawalah Pada
Pembiayaan Bermasalah di Perbankan Syariah Ditinjau dari Fatwa DSN
MUI”.’’
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang terungkap, ada beberapa permasalahan terkait
dalam kajian ini:
a. Formulasi penerapan akad hawalah menimbulkan adanya biaya yang
harus ditanggung oleh nasabah
b. Akad ini memberikan altenatif kemudahan kepada kedua belah pihak
antara Bank dan Nasabah.
c. Konsepsi biaya dan keuntungan dari produk pembiayaan yang adil dalam
sistem ekonomi syariah.
d. Penentuan biaya atas pengalihan hutang di Perbankan Syariah hanya
menguntungkan pihak pemilik modal.
e. Adanya kesamaan implementasi yang berpedoman dengan fatwa DSN-
MUI.
37
Dumairi Nor dkk, Ekonomi Syariah (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008), h .129.
19
2. Pembatasan Masalah
Sehubungan dengan identifikasi masalah yang sangat luas, agar
pembahasan tesis ini terarah dan sistematis, maka kajian difokuskan terhadap
Implementasi Hawalah Pada Pembiayaan Bermasalah di Perbankan Syariah.
3. Perumusan Masalah
Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah
dalam Tesis ini fokus pada satu permasalahan mengenai bagaimana
Implementasi akad hawalah dalam pembiayaan bermasalah, dengan
penjabaran rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana implementasi akad hawalah pada pembiayaan yang
bermasalah di Perbankan Syariah?
b. Bagaimana kesesuaian akad hawalah pada pembiayaan yang bermasalah
di Perbankan Syariah dengan Fatwa DSN-MUI?
c. Bagaimana Hiwalah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)?
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka Tesis ini memiliki tujuan
sebagai berikut:
a. Untuk Menjelaskan implementasi akad hawalah pada pembiayaan yang
bermasalah di Perbankan Syariah
b. Untuk Menjelaskan kesesuaian akad hawalah pada pembiayaan yang
bermasalah di Perbankan Syariah dengan Fatwa DSN-MUI.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai nilai manfaat atau
kegunaan bagi berbagai pihak, sebagai berikut:
a. Kegunaan Akademisi
20
Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi penelitian
selanjutnya dan sebagai bahan referensi yang diharapkan dapat menambah
wawasan pengetahuan bagi pembaca terutama tentang Implementasi akad
hawalah pada pembiayaan yang bermasalah.
b. Kegunaan Praktisi
1) Bagi Pihak Praktisi
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi pihak Bank
Syariah untuk mengetahui kesesuaian praktik akad hawalah dengan fatwa
DSN-MUI. Selain itu, untuk memberikan sumbangan pemikiran yang
bermanfaat bagi perusahaan dalam mengevaluasi atau memperbaiki
kinerjanya guna meningkatkan strategi kesyariahan sehingga dapat
dijadikan sebagai masukan untuk memahami dan memenuhi kebutuhan
konsep syariah.
2) Bagi Regulator
Hasil penelitian ini bisa memberikan gambaran praktik akad
hawalah pada pembiayaan bermasalah sehingga menjadi salah satu bentuk
penanganan terhadap pembiayaan bermasalah di Bank Syariah.
C. Review Studi Terdahulu
Ada beberapa kajian pemikir ekonomi konvensional dan ekonomi muslim
yang relevan dengan penelitian ini, terutama yang berkaitan dengan wacana
praktik akad hiwalah dalam transaksi ekonomi syariah.
a) Tesis Siti Fatima Tahun (2008) UIN Sunan Kalijaga melakukan penelitian
yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek hawalah di BMT
Bina Ihsanul Fikri Gedongkuning Yogyakarta, yang menjadi fokus
penelitian tersebut adalah BMT BIF Gedongkuning sebagai salah satu
lembaga keuangan syari'ah juga menggunakan akad hiwalah sebagai salah
satu produk pembiayaan. Dalam pelaksanaan akad hiwalah tersebut, BMT
BIF Gedongkuning mengenakan fee. Hal ini berbeda dengan teori dasar akad
21
hiwalah, yakni akad tabarru' yang merupakan akad yang tidak bertujuan untuk
mencari keuntungan. Selain itu, mengenai sigaht, dalam Fatwa DSN MUI No:
12/DSN-MUI/IV/2000. Dalam hal ini, akad hiwalah tersebut terdapat tiga
pihak yang terlibat, yakni muhil, muhal dan muhal alaih. Namun, dalam
prakteknya di BMT BIF Gedongkuning hanya dilakukan oleh dua pihak yaitu
pihak BMT BIF dan pihak anggota, sehingga jika dilihat, praktek tersebut
hampir sama dengan akad al-Qard (hutang piutang).
Berbeda dengan penelitian yang sedang diteliti penulis dari segi pengenaan
fee di Perbankan Syariah tidak diperbolehkan karena akad hiwalah termasuk
akad tabarru', yakni jenis akad yang berkaitan dengan transaksi non profit
atau transaksi yang tidak bertujuan untuk mendapatkan laba / keuntungan.38
b) Dalam Jurnal Ilmiah Andana Ramadani yang berjudul Perlindungan Hukum
Terhadap Bank Syariah pada Akad Hiwalah Apabila Nasabah Melakukan
Wanprestasi Vol.4 No.11 Maret 2013, dalam Jurnal Hukum Fakultas Hukum
Universitas Jember, fokus penelitian ini Bank Syariah juga menggunakan
akad hiwalah sebagai salah satu produk pembiayaan. Hiwalah sebagai suatu
cara untuk mendaptkan fresh money bagi pihak klien/nasabah tidak luput juga
dari resiko, terutama dari pihak bank. Adapun resiko yang harus diwaspadai
oleh pihak bank syariah dari sebuah kontrak hiwalah adalah adanya
kecurangan nasabah dengan invoice palsu atau wanprestasi untuk memenuhi
kewajiban hiwalah ke Bank. Guna mengantisipasi terjadinya wanprestasi oleh
nasabah, Bank Syariah mempunyai upaya-upaya untuk mengantisipasi resiko
akad hiwalah. Diantaranya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan wajib
menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank syariah serta kepentingan
dalam menyimpan dananya. Pada kasus ini Bank memerlukan perlindungan
hukum berdsarkan subtansi Teori Perlindungan Hukum Salmond dan
38
http://alhushein.blogspot.co.id/2017/01/akad-tabaru-dan-tijarah.html, diakses pada 15 Januari 2017
Pukul.09.00 WIB
22
Fitgerald. Perbedaan dalam penelitian yang penulis teliti adalah dari segi
penyelesaian permasalahan dalam pembiayaan di Perbankan Syariah merujuk
dalam Fatwa DSN MUI.
c) Dalam Jurnal Ilmiah Daniatu Listianti yang berjudul Upaya Penanganan
Pembiayaan Murabahah Bermasalah pada Lembaga Keuangan Syariah Vol.
1 No. 1 Januari 2015, dalam Jurnal Administrasi Bisnis Universitas
Brawijaya, berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa faktor-
faktor penyebab pembiayaan bermasalah tidak hanya datang dari nasabah
melainkan pihak internal yang kurang teliti dalam analisa awal dan survei
sebelum pemberian pembiayaan dan upaya yang dilakukan dalam menangani
pembiayaan bermasalah adalah dengan teguran, rescheduling dan
restructuring serta pihak BMT tidak pernah melakukan sita jaminan karena
benar-benar menerapkan syariah dan tindakan manusiawi meski dinilai
kurang efesien. Sedangkan perbedaan yang peneliti tulis yaitu dari segi akad
yang dipakai menggunakan akad hiwalah untuk penyelesaian pembiyaan
bermasalah.
d) Dalam Jurnal Ilmiah Baerin Octaviani yang berjudul Perbandingan Konsep
Anjak Piutang Syariah DSN-MUI dan Konsep Akad Hiwalah dalam Surat
Edaran Bank Indonesia Vol. 6 No. 2 Desember 2015, dalam Jurnal Hukum
Syariah Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Dalam
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa anjak piutang dan akad hiwalah
memiliki persamaan antara lain dalam aspek definisi dan mekanisme.
Sedangkan perbedaan di antara keduanya berkaitan dengan pengurusan
piutang, pihak yang mengalihkan hutang, lembaga pelaksana, obyek transaksi,
pemberian dana talangan (qardh) dan fee, dan lembaga penyelesaian sengketa.
Berbeda dengan penelitian yang penulis teliti konsep yang dipakai dalam
penyelesaian pembiayaan bermasalah dilihat dari akad hiwalah yang tertuang
dalam Fatwa DSN MUI.
23
e) Dalam Tesisnya Chekky Kurniasari Dewi Tahun 2011 yang berjudul
Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah pada Perbankan Syariah Ditinjau dari
Undang-undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Menyimpulkan pembiayaan bermasalah merupakan resiko yang sangat berat
yang harus dipikul oleh Bank, oleh karena itu sebaiknya dalam menyalurkan
pembiayaan Bank harus lebih memperhatikan prinsip ke hati-hatian dan
pengawasan yang terarah dan berkesinambungan terhadap pembiayaan yang
disalurkann. Bank harus melakukan pengamanan preventif dengan melakukan
analisa yang memperhatikan prinsip kehati-hatian terhadap kemampuan
Nasabah untuk mengembalikan pembiayaan yang telah diterimanya agar
terhindar atau meminimalisir terjadinya pembiayaan bermasalah. Sedangkan
perbedaan dalam penelitian yang penulis teliti adalah dari segi penyelesaian
permasalahan dalam pembiayaan di Perbankan Syariah merujuk dalam Fatwa
DSN MUI.
Selain penelitian yang telah penulis sebutkan di atas, tidak menutup
kemungkinan masih ada penelitian mengenai hawalah. Namun, sepengetahuan
penulis belum ada yang meneliti tentang “Implementasi Hawalah Pada
Pembiayaan Bermasalah di Perbankan Syariah Ditinjau dari Fatwa DSN
MUI”. Peneltian ini memiliki beberapa persamaan diantaranya, tema yang
diangkat peneliti yaitu pengalihan piutang sesuai syariah, akad hawalah dan
metode yang diambil sama-sama kualitatif dari beberapa penelitian tersebut.
Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sudah ada
diantaranya, Isu yang diangkat tentang akad hawalah yang ada di Bank Syariah
sebagai produk utama dan pada perbankan syariah sebagai produk tambahan,
akad hawalah tersebut sama-sama dianalisis dengan kesesuaian Fatwa DSN-MUI
dan Lokasi penelitian dilakukan di lembaga perbankan yang ada di wilayah
jabotabek dalam penelitian ini yaitu kualitatif dengan pendekatan Yuridis
Normatif.
24
D. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada dalam suatu
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan,39
karena tanpa adanya
metode, maka peneliti tidak akan mungkin mampu untuk menemukan,
merumuskan, menganalisa maupun memcahkan masalah-masalah tertentu
untuk mengungkapkan kebenaran dan ilmu pengetahuan tidak akan hidup
apalgi berkembang.
Secara umum penelitian tesis ini, menggunakan pendekatan kualitatif
(naturalistic)40
dan kajian kepustakaan yang didukung oleh data-data
lapangan.
2. Pendekatan
Motode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat
Yuridis Normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum
yang tertulis, baik yang dituangkan dalam bentuk peraturan maupun dalam
bentuk literature lainnya. Alesan menggunakan penelitian hukum yuridis
normatife adalah penelitian ini mengacu pada norma hukum yang terdapat
pada peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang berlaku.
3. Sumber Data
Dalam penelitian hukum sebagaimana diungkap Peter Mahmud
Marzuki, untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan peskripsi
mengenai apa yang seyogianya, maka diperlukan sumber-sumber penelitian.
Oleh karenanya sumber yang akan digunakan adalah sumber hukum dan
sumber non hukum,41
39
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet 3 (Jakarta: Universitas Indonesia-Press, 1986
), h. 7 40
Hasan Basri, Model Penelitian Fiqh; Pradigma Penelitian Fiqh Dan Fiqh Penelitian, Jilid 1
(Jakarta: Kencana, 2003), h.100. 41
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 181-184.
25
Untuk jenis penelitian yuridis normatif, data yang digunakan adalah
data sekunder, yaitu menggunakan data yang diperoleh dari kepustakaan
dimana tata cara pengumpulan datanya bersumber pada bahan-bahan
kepustakaan42
Selain itu, penelitian juga menggunakan sumber data dari draft akad
pembiayaan bermasalah di Bank Muamalat dan BPRS Al Salaam, serta data-
data lapangan yang dikumpulkan dengan metode wawancara terhadap
sejumlah karyawan Bank Muamalat dan BPRS Al Salaam untuk memperkuat
analisis, kajian juga menggunakan sumber sekunder lain dan karya-karya
ulama fikih kontemporer, literatur teori etika dan etika bisnis, buku-buku
pembiayaan bermasalah, jurnal, laporan penelitian serta data-data dari
internet. Sejumlah laporan penelitian terkait juga menjadi rujukan.
Sedangkan untuk data Primer dengan in-depth interview berupa hasil
wawancara dengan Narasumber. Dalam melakukan penulisan ini penulis
menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
4. Tehnik Pengumpulan Sumber Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi dokumen yaitu mencari dan mengumpulkan data berdasarkan data yang
tertulis seperti buku, peraturan-peraturan dan wawancara terhadap pihak yang
berkompeten (narasumber). Metode analisa yang digunakan adalah metode
kualitatif, sebagai hasil pengumpulan data melalui data sekunder, yaitu studi
terhadap dokumen yang didukung wawancara dengan narasumber sehingga
hasil dari analisa tersebut dapat ditarik kesimpulan yang dikaitkan dengan
teori-teori untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah..
Metode kajian yang digunakan dalam kajian ini, pertama memahami
fenomena keuangan syariah dengan pendekatan dikotomis. Selanjutnya,
pendekatan fikih yang dilahirkan dari pemahaman dikotomis dihubungkan
42
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2001), h.13-14
26
dengan fatwa DSN-MUI dalam wacana pengalihan hutang dengan bentuk
akad syariah.
5. Teknik Analisis Data
Untuk mendapatkan deskripsi yang benar tentang akad hawalah dalam
aturan Islam ataupun aplikasinya dalam lembaga keuangan syariah
khususnya dalam akad hawalah digunakan metode analisis deskriptif, dengan
memberikan gambaran secara sistematis, aktual, dan akurat. Kemudian
konsep analisis dengan menggunakan metode analisis isi (content analisys).
Adapun analisis dilakukan dengan melalui beberapa tahapan, yakni
penyusunan teori dan kriteria tertentu yang diambil dari sumber sekunder
yang kemudian disebut dengan kategori pertama. Pada tahapan selanjutnya,
dilakukan perbandingan secara induktif kategori kedua (yang berasal dari
sumber primer) terhadap kategori pertama dalam rangka mengidentifikasi
terpenuhinya tiap kriteria dan tolak ukur tertentu.
6. Teknis Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah
berdasarkan pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis,
dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.”
E. Sistematika Pembahasan
Pembahasan tesis ini dibagi menjadi lima bab. Sebagaimana layaknya
karya ilmiah Tesis ini dimulai dari Bab 1 yang dimulai dengan pendahuluan,
yang berisi Latar belakang Identifikasi, Pembatasan, Perumusan Masalah,
Tujuan dan Kegunaan Penelitian, serta penelitian terdahulu yang terkait.
Terakhir adalah Metodelogi Penelitian yang terdiri dari tehknik pengelolaan
data, metode analisi serta sistematika pembahasan tesis.
Selanjutnya, Bab II menjelaskan kerangka teori yang memaparkan
Pengertian mengenai pengertian akad, dan akad hawalah , Pemaparan mengenai
Pembiayaan dan Pembiayaan Bermasalah, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES) Bab III Memaparkan kajian fiqh terhadap akad hawalah.
27
Bab IV Merupakan analisis tentang Penerapan Akad Hawalah pada
pembiayaan bermasalah di Perbankan Syariah, kesesuaian akad hiwalah pada
pembiayaan bermasalah dengan ketentuan Fatwa DSN-MUI dan hiwalah dalan
hukum ekonomi syariah.
Sebagai uraian akhir penulis memaparkan Bab V. Bagian ini mengandung
uraian tentang kesimpulan yang diambil dari hasil analisis terhadap hasil
penelitian yang telah dilakukan serta disajikan saran-saran untuk aplikasi hasil
penelitian di lapangan dan untuk kemungkinan studi lebih lanjut.
28
BAB II
AKAD HIWALAH DALAM HUKUM ISLAM
A. Prinsip-prinsip Akad Hiwalah
a. Pengertian Akad dalam Hukum Islam
Akad termasuk salah satu perbuatan hukum dalam hukum Islam.
Berdasarkan sudut pandang ilmu fiqih, akad diartikan sebagai pertalian antara
ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan)
sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh terhadap objek perikatan.
”Sesuai kehendak syariat maksudnya bahw seluruh perikatan yang dilakukan
oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sesuai dengan
kehendak syariat”.1 Berdasarkan al-Qur‟an, setidaknya ada 2 (dua) istilah yang
berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-’aqdu (akad) dan al-’ahdu (janji).
Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Di katakan ikatan (al-
rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan
mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan
menjadi seutas tali yang satu.2
Kata al-`aqdu terdapat dalam surat al- Maidah ayat 1, bahwa manusia
diminta untuk memenuhi akadnya. “Istilah al-’aqdu ini dapat disamakan dengan
istilah verbintenis dalam KUH Perdata”.3 Sedangkan istilah al-’ahdu dapat
disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan
dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak untuk mengerjakan sesuatu yang
tidak berkaitan dengan orang lain.4
1 Gemala Dewi, et. al., Hukum Perikatan Islam Indonesia, Cetakan Kedua (Jakarta: Kencana, 2006), h.
45 2 Ghufron A. Mas‟adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Cetakan Pertama (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 75 3 Fatturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Darus Badrulzaman et..al., Kompilasi
Hukum Perikatan (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), h. 247-248. 4 Fatturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Darus Badrulzaman et..al.,Kompilasi
Hukum Perikatan (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), h. 248.
29
Secara terminologi, ulama fiqih membagi akad dilihat dari dua segi, yaitu
secara umum dan secara khusus. Akad secara umum adalah segala sesuatu yang
dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf,
talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan
dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai. Pengertian akad secara umum
di atas adalah sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat
ulama Syafi`iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah5 Pengertian akad secara khusus
adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan
syara‟ yang berdampak pada objeknya.6
Lafal akad berasal dari lafal Arab Al-‘aqad yang berarti perikatan,
perjanjian dan permufakatan al-ittifaq. Secara terminologi fiqih, akad
didefinisikan dengan pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul
(pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang
berpengaruh pada objek perikatan.7 Pengertian akad secara bahasa adalah
ikatan, mengikat. Ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun atau
mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang
lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu.8
Kata ‘ahd atau al-‘ahdu di dalam al-Qur‟an secara etimologi berarti
masa, pesan penyempurnaan, dan janji atau perjanjian 9 Jelaslah bahwa yang
dimaksud dengan akad adalah kesepakatan antara satu pihak dan pihak lain
yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai
dengan prinsip syariah, yaitu melalui adanya ijab dan qabul yaitu suatu
perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu kerelaan dalam berakad di
5 Rachmad Syafe`i, Fiqih Muamalah, Cetakan Kedua (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004), hlm. 43.
6 Rachmad Syafe`i, Fiqih Muamalah, Cetakan Kedua (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004), hlm. 44.
7 Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) dalam Fiqih Islam dan Praktik di Bank Sistem Syariah,
(Medan : Program Pasca Sarjana USU Konsentrasi Hukum Islam, 2005), hlm. 1. 8 Ghufron A. Mas‟adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Cetakan Pertama (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), hlm.75 9 H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2011), hlm. 17
30
antara dua orang atau lebih, sehingga terhindar dari suatu ikatan yang tidak
berdasarkan syara‟.
b. Rukun dan Syarat Akad
Secara umum dapat dikemukakan bahwa untuk sahnya suatu akad, harus
dipenuhi rukun dan syaratnya dari suatu akad tersebut.
Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam suatu hal,
peristiwa atau tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk
suatu hal, peristiwa atau tindakan tersebut”.51 Suatu akad harus memenuhi
beberapa rukun dan syarat. “Rukun merupakan hal yang harus dipenuhi agar
suatu perbuatan sah secara hukum Islam. Rukun adalah suatu unsur yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga, yang
menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu
itu”.10
Ada beberapa rukun yang harus terdapat dalam suatu akad. Menurut
Hasballah Thaib, rukun akad terdiri atas pernyataan untuk mengikatkan diri
(sighat al-aqad), pihak-pihak yang berakad (almuta’aqidain), dan objek akad
(al-ma’qudalaihi).11
Sedangkan menurut Abdullah Jayadi, rukun akad yaitu
sebagai beriku12
Orang yang berakad (‘aqid), contoh: penjual dan pembeli. Alaqid adalah
orang yang melakukan akad. Keberadaannya sangat penting karena tidak akan
pernah terjadi akad manakala tidak ada aqid. 2) Sesuatu yang diakadkan
(ma’qud alaih), contoh: harga atau barang. (al-Ma’qud Alaih) adalah objek akad
atau bendabenda yang dijadikan akad yang bentuknya tampak dan membekas.
Barang tersebut dapat berbentuk harta benda, seperti barang dagangan, benda
10
Gemala Dewi, et. al., Hukum Perikatan Islam Indonesia, Cetakan Kedua (Jakarta: Kencana,
2006),H.49-50 11
asballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) dalam Fiqih Islam dan Praktik di Bank Sistem Syariah,
(Medan : Program Pasca Sarjana USU Konsentrasi Hukum Islam, 2005) 12
Abdullah Jayadi, Beberapa Aspek tentang Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2011),H.45-51
31
bukan harta seperti dalam akad pernikahan, dan dapat pula berbentuk suatu
kemanfaatan seperti dalam masalah upah-mengupah dan lainlain. 3) Shighat,
yaitu ijab dan qobul. Sighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua
belah pihak yang berakad, yang menunjukkan atas apa yang ada di hati
keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal ini dapat diketahui dengan ucapan,
perbuatan, isyarat, dan tulisan.
Selanjutnya di dalam Kitab Hukum Ekonomi Syariah (KHES) juga
ditegaskan bahwa suatu akad haruslah memenuhi rukun sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 22 KHES. Rukun akad terdiri atas: pihak-pihak yang berakad (al-
muta’aqidain/al-‘aqidain), objek akad (alma’qud alaih/mahal al-‘aqd), tujuan
pokok akad (maudhu’ al-‘aqd), dan kesepakatan (shigat al-‘aqd).
Akad itu adalah tindakan hukum dua pihak. Sedangkan tindakan hukum
satu pihak, seperti janji memberi hadiah, wasiat, atau wakaf bukanlah akad,
karena tindakan-tindakan tersebut bukan merupakan tindakan dua pihak dan
karenanya juga tidak memerlukan qabul.13
Dengan demikian, berkenaan dengan
pihak-pihak yang berakad (almuta’aqidain/al-‘aqidain), dapat dikatakan bahwa
“Dalam suatu akad harus ada para pihak yang melakukan akad atau yang
berakad. Tidak disebut akad, jika hanya dilakukan oleh satu pihak saja”.
Dengan demikian, berkenaan dengan pihak-pihak yang berakad
(almuta’aqidain/al-‘aqidain), dapat dikatakan bahwa “Dalam suatu akad harus
ada para pihak yang melakukan akad atau yang berakad. Tidak disebut akad,
jika hanya dilakukan oleh satu pihak saja14
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa setidaknya ada
beberapa rukun yang harus dipenuhi untuk sahnya sebuah akad yaitu ada para
pihak yang berakad, ada sesuatu yang diakadkan, tujuan dari akad, serta ada ijab
13
Agus Pandoman, Sistem Hukum Lembaga Keuangan Kovensional Bank dan Non Bank, Jilid II,
Diktat Kuliah (Yogyakarta: Program Pascasarjana S-2 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, 2016), h.89 14
Gemala Dewi, et. al., Hukum Perikatan Islam Indonesia, Cetakan Kedua (Jakarta: Kencana,
2006),h.51
32
dan qabulnya, termasuk juga syarat yang harus dipenuhi dalam setiap rukun
akad tersebut.
Berkenaan dengan syarat akad, Pasal 23 KHES menyebutkan bahwa
syarat pihak-pihak yang berakad adalah orang perseorangan, kelompok orang,
persekutuan, atau badan usaha. Orang yang berakad harus cakap hukum,
berakal, dan tamyiz. Pasal 2 KHES menyebutkan bahwa seseorang dipandang
memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal telah
mencapai umur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau pernah menikah.
Sedang badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, dapat
melakukan perbuatan hukum dalam hal tidak dinyatakan taflis/pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Berikutnya berkenaan dengan kesepakatan (shigat al-‘aqd), maka dapat
dikatakan bahwa “Shigat adalah pernyataan untuk mengikatkan diri dengan ijab
(offer) dan kabul (acceptance)”.15
Di dalam Pasal 59 dan 60 KHES dinyatakan
bahwa kesepakatan dapat dilakukan dengan tulisan, lisan, dan isyarat, dimana
ketiganya memiliki makna hukum yang sama. Kesepakatan tersebut dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan dan harapan masing-masing pihak, baik kebutuhan
hidup maupun pengembangan usaha. Khusus untuk akad dengan transaksi tidak
tunai atau yang dilakukan dengan pemberian tangguh untuk jangka waktu
tertentu, Allah SWT dalam firman-Nya menyuruh agar transaksi tersebut
dicatatkan atau dituliskan oleh seorang penulis dan dihadiri oleh saksi-saksi.
Ketentuan dalam Pasal 27 dan Pasal 28 KHES memperjelas bahwa
dengan terpenuhinya rukun dan syarat-syarat suatu akad, maka akad tersebut
menjadi akad yang sah. Namun, suatu akad walaupun telah terpenuhi rukun dan
syaratnya, akad tersebut masih dapat dibatalkan jika terdapat segi atau hal lain
yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat, akad seperti ini
disebut dengan akad yang fasad. Apabila terdapat kekurangan dalam hal rukun
15
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Cetakan Kedua
(Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 65
33
maupun syaratsyaratnya, maka akad tersebut menjadi batal demi hukum atau
disebut juga dengan akad yang batal. Dengan demikian rukun dan syarat akad
sangat perlu diperhatikan pemenuhannya agar akad itu dapat dilaksanakan dan
tidak bertentangan dengan ketentuan syariat.
a. Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa, kata "al-hiwalah"--huruf ha‟ dibaca kasrah atau kadang-
kadang dibaca fathah--berasal dari kata "at-tahawwul" yang berarti 'alintiqal'
(pemindahan/pengalihan)16
Orang Arab biasa mengatakan, "Hala ’anil’ahdi"
yaitu 'berlepas diri dari tanggung jawab'. Abdurrahman Al-Jaziri berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan "al-hiwalah", menurut bahasa adalah,
“Pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain.”17
Secara etimologi, al Hawalah berarti pengalihan, pemindahan, perubahan
warna kulit, memikul sesuatu diatas pundak. Sedangkan secara terminologi al
hawalah didefinisikan dengan: Pemindahan kewajiban membayar hutang dari
orang membayar hutang (al Muhil) kepada orang yang berhutang lainya (al
muhtal alaih)18
.
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama‟ berbeda-beda
dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
a) Menurut Idris Ahmad, Hiwalah adalah “Semacam akad (ijab qobul)
pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada
orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang
memindahkan.
16
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al Islamy Wa Adillatuh, Juz 5, Dar Al-Fikr, (Damaskus, 1986), h. 143 17
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut, Dar Al-Fikr, t.t) h.
210. 18
Nasrun haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama 2007). h. 221
34
b) menurut Fuqaha bahwa Hiwalah (perpindahan utang) merupakan suatu
muamalah yang memandang persetujuan dari kedua belah pihak.19
c) Menurut Zainul Arifin yang di kutip dalam buku Abdul Ghofur
Anshori. Hiwalah adalah akad pemindahan utang piutang suatu pihak
kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak, yaitu pihak berutang
(muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal atau da‟in),
dan pihak yang menerima tambahan (muhal „alaih).20
d) Menurut Hanafiyah, yang dimaksud "al-hiwalah" adalah,
“Memindahkan
beban utang dari tanggung jawab muhil (orang yang berutang) kepada
tanggung jawab muhal „alaih (orang lain yang punya tanggung jawab
membayar utang pula).”21
e) Menurut Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali, "al-hiwalah" adalah,
“Pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran utang
dari satu pihak kepada pihak yang lain.”22
Pada prinsipnya akad hiwalah difungsikan untuk menyediakan dana
sebagai pengganti pembayaran utang yang timbul sehingga bisnis pemilik
utang/usaha tetap berjalan. Dalam lembaga keuangan Syariah, pembiayaan
dengan menggunakan akad hiwalah didasarkan atas hukum ta‟awun (saling
tolong menolong) untuk menciptakan kemaslahatan. Hiwalah dikenal dengan
istilah factoring atau anjak piutang yaitu sebagai kegiatan pembiayaan dalam
bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan
19
Ibnu Rusyd, "Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujatahid" Kitab Al-Hiwalah, (Jakarta :
Pustaka Amani, 2002). 20
Anshori, Abdul Ghufor, Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press,2007), h. 146 21
Ad-Dur Al-Mukhtar Syarhu Tanwir Al-Abshar, V:340; dinukil dari Mauqif Asy-Syari’ah min
AlMasharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashshirah, karya Dr. Abdullah Abdurrahim Al-Abadi, h. 339. 22
Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah, (Jakarta, Karya Indah, 1986), h. 47
35
jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar
negeri.
Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada
orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan
tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama,
hiwalah adalah pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang)
menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar
hutang). Gambaran sederhananya adalah: Si A (muhal) memberi pinjaman
kepada si B (muhil), sedangkan si B masih mempunyai piutang pada si C
(muhal ‘alaih). Begitu si B tidak mampu membayar utangnya pada si A, ia
mengalihkan beban utang tersebut kepada si C. Dengan demikian, si C yang
harus membayar utang si B kepada si A, sedangkan utang si C sebelumnya--
yang ada pada si B- dianggap selesai.23
Dengan demikian dalam prakteknya akad hiwalah dalam perbankan
syariah terdiri dari tiga pihak, yaitu: Bank sebagai faktor (muhal ‘alaihi),
Nasabah selaku klien (muhil), Customer sebagai pihak yang memiliki utang.
b. Rukun dan Syarat Hiwalah
a. Rukun Hiwalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan
melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima
hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga. Menurut mazhab Maliki, Syafi‟i
dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
1) Pihak pertama, Muhil yakni orang yang berhutang dan sekaligus
berpiutang,
23 Muhammad Syafi‟i Antoni, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insane,2001), h.
126
36
2) Pihak kedua, Muhal atau Muhtal yakni orang berpiutang
kepada Muhil.
3) Pihak ketiga Muhal ‘alaih yakni orang yang berhutang kepada
Muhil dan wajib membayar hutang kepada Muhtal.
4) Ada hutang pihak pertama pada pihak kedua, Muhal bih yakni
hutang Muhil kepada Muhtal.
5) Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama, Utang Muhal ‘alaih
kepada Muhil.
6) Ada Sighoh (pernyataan hiwalah).
Penjelasan, umpama A (muhil) berhutang dengan B (muhal) dan
A berpiutang dengan C (muhal alaih), jadi A adalah orang yang
berhutang dan berpiutang , B hanya berpiutang dan C hanya berhutang.
Kemudian A dengan persetujuan B menyuruh C membayar hutangnya
kepada B, setelah terjadi aqad hiwalah, terlepaslah A dari hutangnya
kepada B, dan C tidak berhutang dengan A, tetapi hutangnya kepada A,
telah berpindah kepada B bererti C harus membayar hutangnya itu
kepada B tidak lagi kepada A.24
c. Syarat-Syarat Hiwalah
Syarat hiwalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih
dan Muhal Bih (hutang yang dipindahkan).
1) Syarat Muhil (Pemindah Hutang)
Ia disyaratkan harus dengan dua syarat :
a) Berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini
hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hiwalah
tidak sah dilakukan oleh orang gila dan kanak-kanak karena
24
Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah, Jakarta, Karya Indah, 1986, h.. 57--58.
37
tidak mampu atau belum dapat dipandang sebagai orang
yang bertanggung secara hukum.
b) Kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena hiwalah mengandungi
pengertian pelupusan hak milik sehingga tidak sah jika ia
dipaksakan. Ibn Kamal berkata dalam al Idah bahawa syarat
kerelaan pemindah hutang diperlukan ketika berlaku
tuntutan.25
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi‟iah berpendapat
bahwa kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang
wajib dalam hiwalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya,
maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang
lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian tanggungan
itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda. Hanabilah
berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih (orang yang berhutang kepada
muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak
membangkang, muhal (orang yang menerima pindahan) wajib menerima
pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka
mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajiban muhal
(orang yang menerima pindahan) untuk menerima hiwalah adalah karena
muhal ‘alaih kondisinya berbeda-beda, ada yang mudah membayar dan
ada yang menundanunda pembayaran. Dengan demikian, jika muhal
‘alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwa
muhal wajib menerima hiwalah. Namun jika muhal ‘alaih termasuk
orang yang sulit dan suka menunda-nunda membayar hutangnya, semua
ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hiwalah.
25
Ali Fikri, Al-Mu’amalat Al-Madiyah wa al-Adabiyah, Juz 2, (Mesir Mathba‟ah Musthafa Al-Babiy
AlHalaby, cet I, 1357 ), h. 74-80
38
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhil, ia disyaratkan harus,
pertama, berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya
dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hawalah tidak sah dilakukan
oleh orang gila dan anak kecil karena tidak bisa atau belum dapat
dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum. Kedua,
kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena hawalah mengandung pengertian
kepemilikan sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Di samping itu
persyaratan ini diwajibkan para fukoha terutama untuk meredam rasa
kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh Muhil
ketika diadakan akad hawalah.
2) Syarat Muhal (Pemiutang Asal)
Syarat muhal terdiri dari tiga syarat antara lain :
a) Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak.
Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil.
b) Kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan.
c) Penerimaan penawaran hendaklah berlaku dalam majlis aqad.
Ini adalah syarat beraqad.
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi‟iah dan Hanabilah berpendapat
bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal „alaih, ini berdasarkan hadist yang
artinya: jika salah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya
kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di
samping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau
mewakilkan kepada orang lain. Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan
adanya kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang
berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka ia tidak
wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya. Pendapat yang
rajah (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih. Dan
muhal ‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama
kepada siapa saja dari keduanya.
39
3) Syarat Muhal Alaih (Penerima Pindah Hutang)
a) Sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal iaitu
berakal dan baligh.
b) Kerelaan. Kalau ada unsur-unsur paksaan dala penerimaan
pindah hutang, aqadnya tidak sah Ulama Maliki tidak
mensyaratkan kerelaan bagi penerima hiwalah.
c) Penerimaan hendaklah dibuat dalam majlis aqad. Menurut Abu
Hanifah da Muhammad, syarat ketiga ini adalah syarat
beraqad.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Alaih. Pertama, sama
dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal dan
balig. Kedua, kerelaan dari hatinya karena tidak boleh dipaksakan.
Ketiga, ia menerima akad hawalah dalam majlis atau di luar majlis.
4) Syarat Muhal Bih (Hutang).
Para ulama sekata bahawa hutang yang dipindahkan memenuhi
dua syarat :
a) Ia hendaklah hutang yang berlaku pada pemiutang da
pemindah hutang. Sekiranya ia bukan hutang, kedudukan
aqadnya menjadi perwakilan. Implikasinya, hiwalah dalam
bentuk barang yang ada tidak sah, karena ia tidak sabit dalam
tanggungan.
b) Hutang tersebut hendaklah berbentuk hutang lazim. Hutang
yang tidak lazim tidak sah dipindahkan, seperti bayaran
ganjaran yang mesti dibayar oleh hamba makatab (hamba yang
dibenarkan menebus diri dengan bayaran), karena hutangnya
tidak boleh dianggap sebagai hutang lazim. Ringkasnya, setiap
40
hutang yang tidk sah untuk tujuan jaminan, ia tidak sah juga
untuk dipindah-pindahkan.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Bih. Pertama, ia harus
berupa hutang dan hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada
Muhal. Kedua, hutang tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya
bahwa hutang tersebut hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau
penghapusan.
d. Jenis-Jenis Hiwalah
a. Hiwalah Muthlaqoh
Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang
pertama) kepada orang lain (orang kedua) mengalihkan hak
penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini
berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A
mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya
hubungan hutang pituang kepada B, maka hiwalah ini disebut
Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi‟ah sedangkan
jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah.
b. Hiwalah Muqoyyadah
Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika muhil mengalihkan hak
penagihan muhal kepada muhal alaih karena yang terakhir punya hutang
kepada muhal. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan
para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya
membolehkan hiwalah muqayyadah dan mensyaratkan pada hiwalah
muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih
kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama
jenis dan jumlahnya, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi jika salah satunya
berbeda, maka hiwalah tidak sah.
41
Ditinjau dari segi obyeknya hiwalah dibagi 2, yaitu :26
a. Hiwalah Haq
Hiwalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang
kepada piutang yang lain dalam bentuk wang bukan dalam
bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil
adalah pemberi hutang dan ia mengalihkan haknya kepada
pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak
berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi
jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
b. Hiwalah Dayn
Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain
yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah
Haq. Pada hakikatnya hiwalah dayn sama pengertiannya dengan
hiwalah yang telah diterangkan terdahulu.
B. Dasar Hukum Hiwalah
a. Al-Qur’an
"Dan Jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian
atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui". (Q.S.
Al-Baqarah : 280)27
.
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kita untuk bersabar terhadap orang
yang berada dalam kesulitan, di mana orang tersebut belum bisa
melunasi utang. Oleh karena itu, Allah Ta‟ala berfirman (yang artinya),
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan.” Hal ini tidak seperti perlakuan
orang jahiliyah dahulu. Orang jahiliyah tersebut mengatakan kepada
26
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Perbankan Syari’ah, (Jakarta : Zikrul Hakim 2001), h. 30
27
https://rumaysho.com/149-mudahkanlah-orang-yang-berutang-padamu.html,diakses,15 Januari
2017 Pukul.10.00 WIB
42
orang yang berutang ketika tiba batas waktu pelunasan: “Kamu harus
lunasi utangmu tersebut. Jika tidak, kamu akan kena riba.” Memberi
tenggang waktu terhadap orang yang kesulitan adalah wajib. Selanjutnya
jika ingin membebaskan utangnya, maka ini hukumnya sunnah
(dianjurkan). Orang yang berhati baik seperti inilah (dengan
membebaskan sebagian atau seluruh utang) yang akan mendapatkan
kebaikan dan pahala yang melimpah. Oleh karena itu, Allah Ta‟ala
berfirman (yang artinya), “Dan menyedekahkan (sebagian atau semua
utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
b. Hadist
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa
Rasulullah saw, bersabda:28
"Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang
kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu
dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka
hendaklah ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(HR alBukhari
dan Muslim).29
Dalam hadis tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan agar pemberi utang apabila diminta oleh
pengutangnya menagih kepada orang yang mampu hendaknya menerima
hiwalahnya, yakni hendaknya ia meminta haknya kepada orang yang
dihiwalahkan kepadanya sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika
pengutang memindahkan utangnya kepada orang yang bangkrut, maka si
pemberi pinjaman berhak mengalihkan penagihan kepada si pengutang
pertama.
28
https://yufidia.com/fiqh-hiwalah-pemindahan-utang/html, diakses, 15 Januari 2017 29
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz 2, Dar al-Fikr, (Beirut, tt,) h.. 37.
43
Perintah menerima pengalihan penagihan utang menurut sebagian ulama
adalah wajib, namun jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya
sunat. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa hiwalah itu tidak
sejalan dengan qias, karena hal itu sama saja jual beli utang dengan
utang, sedangkan jual beli utang dengan utang itu terlarang. Pendapat ini
dibantah oleh Ibnul Qayyim, ia menjelaskan bahwa hiwalah itu sejalan
dengan qias, karena termasuk jenis pemenuhan hak, bukan termasuk
jenis jual beli. Ibnul Qayyim mengatakan, “Kalaupun itu jual beli utang
dengan utang, namun syara‟ tidak melarangnya, bahkan ka‟idah-ka‟idah
syara‟ menghendaki harus boleh.
c. Ijma'
Para ulama sepakat membolehkan Hiwalah. Hiwalah dibolehkan pada
hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hiwalah adalah
perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban
finansial.30
d. Landasan Hukum Positif
Hawalah sebagai salah satu produk perbankan syariah di bidang jasa
telah mendapatkan dasar hukum dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 Perbankan Syariah. Dengan diundangkannya Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008, hawalah mendapatkan dasar hukum
yang lebih kokoh. Pasal 19 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 menegaskan bahwa “Kegiatan usaha bank umum syariah
meliputi : melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hiwalah
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah”. Produk
jasa perbankan syariah berdasarkan akad hawalah secara teknis
mendasarkan pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) yaitu PBI No. 71
30
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani, 2012),
h.127
44
9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam
Penghimpunan Kegiatan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan
Jasa Bank Syariah, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No.
10/16/PBI/2008. Pasal 3 huruf c PBI No. 9/19/PBI/2007 menyebutkan
bahwa “Pemenuhan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1), dilakukan sebagai berikut : dalam kegiatan pelayanan jasa
dengan mempergunakan antara lain akad kafalah, hawalah dan sharf”.31
C. Tujuan, manfaat dan aplikasi di perbankan syariah
a. Tujuan dan Manfaat
Tujuan hiwalah adalah untuk membantu supplier mendapatkan
modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti
biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi risiko
kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas
kemampuan pihak yang berhutang dan kebenaran transaksi antara yang
memindahkan piutang dengan yang berhutang.32
Seperti yang diuraikan
diatas akad hiwalah dapat
memberikan banyak sekali manfaat dan keuntungan,
diantaranya:
1) Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat
dan simultan.
2) Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang
membutuhkan.
3) Dapat menjadi salah satu fee-based income sumber pendapatan
non pembiayaan bagi bank syariah.
31
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 2009,h.154-155 32
Adiwarman Karim, Bank Islam, ( Jakarta : Pt Rajagrafindo Persada,2004), h. 95
45
4) Bagi pihak nasabah selaku klien dari bank akan mendapatkan
instancash sehingga dapat meningkatkan cash flow perusahaan.
b. Apliksi diperbankan syariah
Hiwalah merupakan pengalihan hutang orang yang berhutang
kepada orang lain yang wajib menanggungnya, atau dalam istilah
bahasa arab adalah pemindahan beban hutang dari muhil ( orang yang
berhutang) menjadi tanggungan muhal’alaih (orang yang berkewajiban
membayar hutang
Kontrak hiwalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-
hal berikut ini:33
a. Factoring/anjak piutang, dimana nasabah yang memiliki
piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu
kepada bank. Bank lalu membayar piutang tersebut dan
bank menagihnya dari pihak ketiga tersebut,
b. Post-dated check, diman bank bertindak sebagai juru tagih
tanpa membayarkan dulu piutang tersebut,
c. Bill discounting, secara prinsip, billdiscounting serupa
dengan hiwalah,hanya saja, dalam billdiscounting, nasabah
harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee tisak
didapati dalam kontrak hiwalah.
D. Berakhirnya Akad Hiwalah
Akad hiwalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini :
a. Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hiwalah belum
dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini
hak penagihan dari muhal akan kembali lagi kepada muhil.
33
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011),h.209
46
b. Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau
ia mengingkari adanya akad hiwalah sementara muhal tidak dapat
menghadirkan bukti atau saksi.
c. Jika muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada muhal. Ini
berarti akad hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
d. Meninggalnya muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hiwalah
karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad
ini hiwalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hiwalah itu
menurut madzhab Hanafi.
e. Jika muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah kepada
Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
f. Jika muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada
muhal Alaih.34
E. Beban muhil setelah akad hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab
muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau
membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali
lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.35
Menurut madzhab
Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang
tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali
lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghiwalahkan hutang
kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau
meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh
kembali kepada muhil.36
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa
dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia,
34
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004), h.
225. 35
Sayyid sabiq,Fikih Sunnah 13 (Bandung : PT Al Ma‟rif, Cet 1, 1987), h.42 36
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada,2002), h.103
47
maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk
menagihnya.
F. Pembiayaan Bermasalah
1. Pengertian Pembiayaan
Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan
yang dipersamakan dengan itu berupa:
a) Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.
b) Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik.
c) Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan
istishna’.
d) Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh.
e) Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa.
Suatu pembiayaan akan terwujud atas dasar persetujuan atau
kesepakatan antara Bank Syariah maupun Unit Usaha Syariah (UUS) dan
pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai atau diberi fasilitas dana
untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Menurut Muhammad,
pembiayaan terdiri dari dua katagori yaitu pembiayaan dalam arti luas dan
pembiayaan dalam arti sempit, sebagaimana dikemukakannya sebagai berikut:
Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan, yaitu pendanaan
yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan baik
dilakukan sendiri maupun djalankan oleh orang lain. Dalam arti sempit,
pembiayaan dipakai untuk mendefiisikan pendanaan yang dilakukan oleh
lembaga pembiayaan seperti bank syariah kepada nasabah37
37
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Op. Cit, hlm. 260.
48
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas
dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit.38
Untuk itu ada tiga aspek penting dalam pembiayaan, yakni aman, lancar dan
menguntungkan
a. Aman, yaitu keyakinan bahwa dana yang telah dilempar ke
masyarakat dapat ditarik kembali sesuai dengan jangka waktu yang
telah disepakati.
b. Lancar, yaitu keyakinan bahwa dana tersebut dapat berputar oleh
lembaga keuangan dengan lancar dan cepat.
c. Menguntungkan, yaitu perhitungan dan proyeksi yang tepat.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan
pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan
itu, pemberian fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak tertentu,
atau pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung
investasi yang telah direncanakan baik dilakukan sendiri maupun djalankan
oleh orang lain.
2. Fungsi Pembiayaan
Dalam pembiayaan, memiliki beberapa fungsi yang sangat beragam,
karena keberadaan Bank syariah yang menjalankan pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah bukan hanya untuk mencari keuntungan dan meramaikan
bisnis perbankan di Indonesia, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan
bisnis yang aman, diantaranya :
a. Memberikan pembiayaan dengan prinsip syariah yang menerapkan
sistem bagi hasil yang tidak memberatkan debitur.
38
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani Press,
2001),h.160
49
b. Membantu kaum dhuafa yang tidak tersentuh oleh bank konvensional
karena tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh bank
konvensional.
c. Membantu masyarakat ekonomi lemah yang selalu dipermainkan oleh
rentenir dengan membantu melalui pendanaan untuk usaha yang
dilakukan.
Selain fungsi-fungsi di atas, terdapat fungsi lainnya yang berhubungan dengan
suatu pembiayaan, di antaranya:39
a. Meningkatkan daya guna uang yaitu, para penabung menyimpan uangnya di
bank dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito. Uang tersebut dalam
persentase tertentu ditingkatkan kegunaanya oleh bank guna suatu usaha
peningkatan produktivitas.
b. Meningkatkan daya guna barang yaitu, produsen dengan bantuan pembiayaan
dapat mengubah bahan mentah menjadi bahan jadi sehingga utility dari bahan
tersebut meningkat.
c. Meningkatkan peredaan uang yaitu, pembiayaan yang disalurkan melalui
rekening-rekening Koran pengusaha menciptakan pertambahan peredaran
uang giral dan sejenisnya seperti cek, bilyet giro, wesel, dan sebagainya.
Melalui pembiayaan peredaran uang kartal dan giral akan lebih berkembang
karena pembiayaan meniptakan suatu kegairahan berusaha sehingga
penggunaan uang akan bertambah baik secara kualitatif apalagi secara
kuantitatif.
Setelah melihat beberapa fungsi diatas, bisa terlihat bahwa adanya
pembiayaan dalam sebuah Bank dan lembaga keuangan juga itu untuk
39
Veithzal Rivai, dan Arfian Arifin. Islamic Banking: Sebuah teori, konsep, dan aplikasi. Ed. 1 Cet. 1
(Jakarta: Bumi Aksara, 2010)
50
meningkatkan peredaran uang di masyarakat, sehingga Bank sebagai lembaga
intermediasi antara pihak surplus dengan pihak defisit mampu bekerja secara
optimal.
3. Jenis-jenis Pembiayaan
Berkenaan dengan jenis-jenis pembiayaan, maka dapat dikatakan
bahwa jenis-jenis pembiayaan antara lain dapat dibedakan menurut sifatnya
dan menurut tujuan penggunaannya. Menurut sifatnya, pembiayaan dapat
dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk
peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun
investasi. Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi
menjadi pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk
memenuhi kebutuhan: peningkatan produksi, baik secara kuantitatif,
yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu
peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi, untuk keperluan
perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang, dan
pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-
barang modal (capital goods);
b) Pembiayaan konsumtif, pembiayaan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan kousumsi, yang akan habis digunakan untuk
memenuhi kebutuhan.40
Selanjutnya berkenaan dengan tujuan penggunaannya, ada beberapa
jenis pembiayaan yaitu
a) Pembiayaan dengan prinsip jual beli (ba`i). Prinsip jual beli
(ba`i) adalah prinsip jual beli yang dilaksanakan sehubungan
40
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani
Press, 2001),h.37
51
dengan adanya perpindahan hak milik barang atau benda
(transfer of property), yang mana tingkat keuntungan ditentukan
di depan (di awal) dan menjadi bagian harga atas barang yang
dijual. Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk
pembayaran dan waktu penyerahan41
, yakni sebagai berikut : a)
Pembiayaan Murabahah; b) Pembiayaan Salam; c) Pembiayaan
Istisna.
b) Pembiayaan dengan prinsip sewa (Ijarah). Transaksi ijarah
dilandasi oleh adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya
prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi
perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual
beli objek transaksinya adalah barang, pada ijarah objek
transaksi adalah jasa. Pada akhir masa sewa, bank dapat saja
menjual barang yang disewakan kepada nasabah.
c) Berdasarkan prinsip bagi hasil. Produk pembiayaan syariah
yang didasarkan atas prinsip bagi hasil adalah pembiayaan
musyarakah, murabahah dan pembiayaan mudharabah.
Pembiayaan dengan akad pelengkap. Untuk mempermudah
pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan akad pelengkap. Akad
pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, tetapi di tujukan
untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan
untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk
meminta pengganti biayabiaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan sebuah
akad. Adapun jenis-jenis akad pelengkap64 ini adalah sebagai berikut : a)
Hiwalah (alih hutang-piutang); b) Rahn (gadai); c) Qardh (penyediaan dana
tagihan); d) Wakalah (perwakilan); dan e) Kafalah (garansi bank).
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pembiayaan setidaknya
41
Ahmad Djazuli, Lembaga Perekonomian Umat (Jakarta : Grafindo Persada, 2002), hlm. 78.
52
terdiri dari dua jenis yaitu menurut sifatnya dan menurut tujuan
penggunaannya. Menurut sifatnya, pembiayaan terbagi menjadi pembiayaan
konsumtif dan produktif. Sedangkan menurut tujuan penggunaannya terbagi
menjadi pembiayaan dengan prinsip jual beli, pembiayaan dengan prinsip
sewa, pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, dan pembiayaan dengan akad
pelengkap
Pembiayaan adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada
pihak lain untuk mendukung investasi yang direncanakan, baik dilakuan
sendiri ataupun lembaga42
. Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk
mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti
bank syariah kepada nasabah. Pembiayaan secara luas berarti financing atau
pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi
yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan oleh
orang lain.43
Menurut M. Syafi‟I Antonio menjelaskan bahwa pembiayaan
merupakan salah satu tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas dana untuk
memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit.44
Sedangkan menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan
“Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”45
Pembiayaan adalah suatu proses mulai dari analisis kelayakan
pembiayaan sampai kepada realisasinya. Namun realisasi pembiayaan
42
Vaithzal Rivai, Arvian arifin, Islamic banking, (Jakarta: PT Bumi aksara, 2010), h. 618. 43
Muhamad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta Unit Penerbit dan Percetakan (UPP)
AMP YKPN, 2005 ), h. 17 44
Syafi‟I Antonio, Muhammad. Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press.
2001) , h.160 45
Undang-Undang no. 10 tahun 1998 tentang perbankan.
53
bukanlah tahap terakhir dari proses pembiayaan. Setelah realisasi pembiayaan
maka bank syariah perlu melakukan pemantauan dan pengawasan
pembiayaan, karena dalam jangka waktu pembiayaan tidak mustahil terjadi
pembiayaan bermasalah dikarenakan beberapa alasan. Bank syariah harus
mampu menganalisis penyebab pembiayaan bermasalah sehingga dapat
melakukan upaya untuk melancarkan kembali kualitas pembiayaan tersebut.
Pembiayaan adalah salah satu jenis kegiatan usaha bank syariah. Yang
dimaksud dengan pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa:
a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musharakah.
b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiyah bittamlik.
c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istisna.
d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qard.
e. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa.
Pembiayaan adalah suatu proses mulai dari analisis kelayakan
pembiayaan sampai kepada realisasinya. Namun realisasi pembiayaan
bukanlah tahap terakhir dari proses pembiayaan. Setelah realisasi
pembiayaan maka bank syariah perlu melakukan pemantauan dan
pengawasan pembiayaan, karena dalam jangka waktu pembiayaan tidak
mustahil terjadi pembiayaan bermasalah dikarenakan beberapa alasan.
Bank syariah harus mampu menganalisis penyebab pembiayaan
bermasalah sehingga dapat melakukan upaya untuk melancarkan kembali
kualitas pembiayaan tersebut.
Proses pemberian pembiayaan pada bank syariah maka tahapan
yang dilakukan oleh bank syariah tidak jauh berbeda dengan tahapan
54
yang dilakukan oleh bank konvensional dalam memberikan kreditnya.
Proses pemberian pembiayaan diawali dengan tahapan :
a. Tahap sebelum pemberian pembiayaan diputuskan oleh bank syariah,
yaitu tahap bank syariah mempertimbangkan permohonan
pembiayaan calon nasabah penerima fasilitas. Tahap ini disebut tahap
analisis kelayakan penyaluran dana.
b. Tahap setelah permohonan pembiayaan diputuskan pemberiannya
oleh bank syariah dan kemudian penuangan keputusan tersebut
kedalam perjanjian pembiayaan (akad pembiayaan) serta
dilaksanakannya pengikatan agunan untuk pembiayaan yang
diberikan itu. Tahap ini disebut tahap dokumentasi pembiayaan.
c. Tahap setelah perjanjian pembiayaan (akad pembiayaan)
ditandatangani oleh keduabelah pihak dan dokumentasi pengikatan
agunan telah selesai dibuat serta selama pembiayaan itu digunakan
oleh nasabah penerima fasilitas sampai jangka waktu pembiayaan
berakhir. Tahap ini disebut tahap penggunaan pembiayaan.
d. Tahap setelah pembiayaan menjadi bermasalah tetapi usaha nasabah
penerima fasilitas masih memiliki prospek sehingga pembiayaan yang
bermasalah itu dapat diselamatkan untuk menjadi lancar kembali.
Tahap ini disebut tahap penyelamatan pembiayaan.
e. Tahap setelah pembiayaan menjadi macet. Tahap ini disebut tahap
penyelesaian pembiayaan. 46
4. Pembiayaan Bermasalah
Pembiayaan Bermasalah adalah pembiayaan yang menurut
kualitasnya didasarkan atas resiko kemungkinan terhadap kondisi dan
kepathuan nasabah pembiayaan dalam memenuhi kewajiban untuk
membayar bagi hasil, serta melunasi pembiayaannya.
46
Trisadini Prasastinah Usanti dan A.Shomad, “Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Bank Syariah”,
Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Unair, 2008, h.16
55
Pembiayaan bermasalah merupakan resiko yang tekadang terjadi
dalam setiap pembiayaan oleh bank. Resiko tersebut terjadi apabila dana
pembiayaan tidak dapat kembali pada pihak kreditur tepat pada waktunya
atau melebihi jangka waktu yang telah disepakati.47
Pembiayaan yang
dikeluarkan bertujuan untuk membantu nasabah (anggota) dalam
membiayaai usaha yang dijalankannya, namun tidak menutup
kemungkinan dalam penyalurannya terjadi masalah atau pembiayaan
macet, baik itu masalah yang disengaja ataupun yang tidak sengaja.
Pembiayaan bermasalah adalah suatu penyaluran dana yang
dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah yang dalam
pelaksanaan pembayaran pembiayaan oleh nasabah itu terjadi hal-hal
seperti pembiayaan yang tidak lancer, pembiayaan yang debiturnya tidak
memenuhi persyaratan yang dijanjikan, serta pembiayaan tersebut tidak
menepati jadwal angsuran. Sehingga hal-hal tersebut memberikan
dampak negative bagi kedua belah pihak (debitur dan kreditur).
Pembiayaan bermasalah merupakan salah satu dari resiko dalam
suatu pelaksanaan pembiayaan. Adiwarman A. Karim menjelaskan
bahwa resiko pembiayaan merupakan resiko yang disebabkan oleh
adanya counterparty dalam memenuhi kewajibannya. Dalam bank
syariah, resiko pembiayaan mencakup resiko terkait produk dan resiko
terkait dengan pembiayaan korporasi.48
Pembiayaan bermasalah merupakan salah satu resiko yang pasti
dihadapi oleh setiap Bank karena resiko ini sering juga disebut dengan
resiko kredit. Robert Tampubolon menjelaskan bahwa resiko kredit
adalah eksposur yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak lawan
47
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2007), h. 75 48
Adiwarman A. Karim. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Ed. Empat. (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada. 2010) hal. 260
56
(counterparty) memenuhi kewajibannya. Disatu sisi resiko ini dapat
bersumber dari berbagai aktivitas fungsional bank seperti penyaluran
pinjaman, kegiatan tresuri dan investasi, dan kegiatan jasa pembiayaan
perdagangan, yang tercatat dalam buku bank. Disisi lain resiko ini timbul
karena kinerja satu atau lebih debitur yang buruk. Kinerja debitur yang
buruk ini dapat berupa ketidak mampuan atau ketidak mauan debitur
untuk memenuhi sebagian atau seluruh perjanjian kredit yang telah
disepakati bersama sebelumnya. Dalam hal ini yang menjadi perhatian
bank bukan hanya kondisi keuangan dan nilai pasar dari jaminankredit
termasuk collateral tetapi juga karakter dari debitur.49
Pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan tidak lancar, dimana
nasabah tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan, pengembalian
pembiayaan yang tidak menepati jdawal angsuran sehingga pembiayaan
yang diberikan memiliki potensi merugikan bank serta pengembalian
pembiayaan yang menunggak dalam waktu tertentu disebabkan karena
usaha yang dijalankan oleh nasabah.50
Pembiayaan bermasalah adalah sebagai penyalur dana yang
dilakukan lembaga syariah yang dalam pelaksanaan pembayaran oleh
nasabah terjadi seperti pembiayaan yang tidak lancar, pembiayaan yang
debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan, serta
pembiayaan tersebut tidak menepati jadwal angsuran hingga memberikan
dampak negatif bagi kedua belah pihak.
Pembiayaan yang telah disetujui oleh bank syariah dan dinikmati
oleh nasabah, maka peranan bank syariah lebih berat dibandingkan pada
saat dana tersebut belum mengucur di tangan nasabah. Untuk
menghindari terjadinya kegagalan pembiayaan maka bank syariah harus
49
Robert Tampubolon. Risk Mangement: Pendekatan Kualitatif Untuk Bank Komersial. (Jakarta: PT
Elex Media Komputindo, 2004) h. 24 50
Abdullah Saed, Bank Islam dan Bunga, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014) , h. 139
57
melakukan pembinaan dan regular monitoring yaitu dengan cara
monitoring aktif dan monitoring pasif. Monitoring aktif yaitu
mengunjungi nasabah secara regular, memantau laporan keuangan secara
rutin dan memberikan laporan kunjungan nasabah/call report kepada
komite pembiayaan/supervisor, sedangkan monitoring pasif yaitu
memonitoring pembayaran kewajiban nasabah kepada bank syariah
setiap akhir bulan Bersamaan pula diberikan pembinaaan dengan
memberikan saran, informasi maupun pembinaan tehnis yang bertujuan
untuk menghindari pembiayaan bermasalah.
Pada jangka waktu (masa) pembiayaan tidak mustahil terjadi
suatu kondisi pembiayaan yaitu adanya suatu penyimpangan utama
dalam hal pembayaran yang menyebabkan keterlambatan dalam
pembayaran atau diperlukan tindakan yuridis dalam pengembalian atau
kemingkinan potensial loss. Kondisi ini yang disebut dengan pembiayaan
bermasalah, keadaan turunnya mutu pembiayaan tidak terjadi secara tiba-
tiba akan tetapi selalu memberikan ” warning sign” atau faktor-faktor
penyebab terlebih dahulu dalam masa pembiayaan.
Demikian penilaian kualitas pembiayaan dapat digolongkan
menjadi.51
a. Lancar
Apabila pembayaran angsuran dan margin tepat waktu, tidak ada
tunggakan, sesuai dengan persyaratan akad, selalu menyampaikan
laporan keuagan secara teratur dan akurat, secara dokumentasi
perjanjian piutang lengkap dan pengikatan agunan kuat.
b. Dalam Perhatian Khusus
Apabila terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dam atau
margin sampai dengan 90 hari. Akan tetapi selalu menyampaikan
51
Trisadini. P., Transaksi Bank Syariah, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013), h. 105
58
laporan keuangan secara teratur dan akurat, dokumentasi perjanjian
piutang lengkap dan pengikatan agunan kuat, serta pelanggaran
terhadap persyaratan perjanjian piutang yang tidak prinsipil.
c. Kurang Lancar
Apabila terdapat tunggakan pembiayaan angsuran pokok dan atau
margin yang telah melewati 90 hari sampai 180 hari, penyampaian
laporan keuangan tidak secara teratur dan meragukan, dokumentasi
perjanjian piutang kurang lengkap dan pengikatan agunan kuat.
Terjadi pelanggaran terhadap persyaratan pokok perjanjian piutang,
dan berupaya melakukan perpanjangan piutang untuk
menyembunyikan kesulitan keuangan.
d. Diragukan
Apabila terjadi tunggakan pembiayaan angsuran pokok dan atau
margin yang telah melewati 180 hari sampai dengan 270 hari.
Nasabah tidak menyampaikan informasi keuangan atau tidak dapat
dipercaya, dokumentasi perjanjian piutang tidak lengkap dan
pengikatan agunan lemah serta terjadi pelanggaran yang prinsipil
terhadap persyaratan pokok perjanjian.
e. Macet
Apabila terjadi tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau
margin yang telah melewati 270 hari, dan dokumentasi perjanjian
piutang dan pengikatan agunan tidak ada.
Dalam berbagai peraturan yang diterbitkan Bank Indonesia tidak
dijumpai pengertian dari Pembiayaan Bermasalah. Begitu juga istilah
Non Performing Fanancing (NPF) untuk menfasilitasi pembiayaan
maupun istilah Non Performing Loan (NPL) untuk fasilitas kredit tidak
dijumpai dalam peraturan-peraturan yang diterbitkan Bank Indonesia.
Namun dalam setiap statistik Perbankan Syariah yang diterbitkan oleh
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia dapat dijumpai istilah Non
59
Performing Financings (NPF) yang diartikan sebagai Pembiayaan Non
Lancar mulai dari kurang lancar sampai macet.
Pembiayaan bermasalah dilihat dilihat dari segi produktifitasnya
(Performance-nya) yaitu dalam kaitannya dengan kemampuan
mengahasilkan pendapatan bagi Bank, bila sudah berkurang atau
menurun dan bahkan mungkin sudah tidak ada lagi sudah tentu
mengurangi pendapatan dan memperbesar biaya pencadangan, yaitu
PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif), sedangkan dari skala
makro ekonomi dapat mengurangi kontribusi terhadap pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi.
5. Penyebab Pembiayaan Bermasalah
Secara umum pembiayaan bermasalah disebabkan oleh faktor
internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam
perusahaan sendiri, dan faktor utama dalam faktor ini adalah faktor
managerial. Timbulnya kesulitan-kesulitan keuangan perusahaan yang
disebabkan perusahaan. Untuk menentukan langkah yang perlu diambil
dalam menghadapi pembiayaan bermasalah terlebih dahulu perlu diteliti
sebab-sebab terjadinya pembiayaan bermasalah. Apabila pembiayaan
bermasalah disebabkan faktor eksternal, perusahaan tidaklah perlu
melakukan analisis lebih lanjut.
Yang perlu dianalisis adalah faktor internal yaitu faktor yang
terjadi akibat manajerial. Apabila Bank telah melakukan pengawasan
secara seksama dari hari kehari, bulan ke bulan, dan tahun ketahun, lalu
timbul pembiayaan bermasalah, sedikit banyak terkait pula dengan
kelemahan pengawasan itu sendiri. Kecuali aktivitas pengawasan telah
dilaksanakan dengan baik, masih juga terjadi kesulitan keuangan, perlu
diteliti sebab akibat pembiayaan bermasalah secara lebih mendalam.
Kemungkinan kesalahan tersebut diakibatkan oleh kesengajaan
managemen perusahaan, yang berarti pengusaha telah melakukan hal-hal
60
yang tidak jujur. Misalnya mengalihakan pengunaan dana yang tersedia
untuk keperluan kegaiatan usaha lain diluar usaha yang disepakati.52
Dalam lembaga keuangan tentunya pembiayaan bermasalah
menjadi musuh nomor satu dalam sebuah pengembagan usaha,
keberadaanya mempengaruhi rentabilitas usaha dan menurunkan tingkat
kualitas aktiva produktif. Secara umum pembiayaan bermasalah
disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor Internal antara lain:
1) kurang baiknya pemahaman atas bisnis nasabah
2) kurang dilakukan evaluasi keuangan nasabah
3) kesalahan setting fasilitas pembiayaan (berpeluang melakukan
sidestreaming)53
4) perhitungan modal kerja tidak didasarkan kepada bisnis usaha
nasabah
5) proyeksi penjualan terlalu optimis
6) proyeksi penjualan tidak memperhitungkan kebiasaan bisnis dan
kurang memperhitungkan aspek kompetitor
7) aspek jaminan tidak diperhitungkan aspek marketable
8) lemahnya supervisi dan monitoring
9) terjadinya erosi mental : kondisi ini dipengaruhi timbali balik
antara nasabah dengan pejabat bank sehingga mengakibatkan
proses pemberian pembiayaan tidak didasarkan pada praktek
perbankan yang sehat
b. Faktor Eksternal
1) Anggota penerima pembiayaan
52
Faturrahman, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah,( Jakarta : Sinar Grafika 2012) h. 73-74.
61
Jika masyarakat mengetahui keberadaan Bank Syairah yang
dapat memberikan pinjaman dana, tentunya ada sebagian orang
yang berbondong-bondong datang untuk mengajukan
pembiayaan untuk memenuhi kebutuhannya. pengelola Bank
Syariah untuk lebih berhati-hati dalam memilih atau menyeleksi
calon penerima pembiayaan. Ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan terhadap calon penerima pembiayaan yaitu 5C
yaitu54
:
a) Character Of Akhlaq (Karakter akhlaknya)
b) Condition Of Economy (Kondisi Ekonomi atau Usaha)
c) Capacity (Kemampuan Managerial)
d) Capital ( modal )
e) Collateral ( jaminan )
2) Kondisi Lingkungan
Faktor bencana alam merupakan indicator kegagalan yang sulit
diprediksi seperti: gempa bumi, banjir, sunami, dan lain
sebagainya, merupakan salah satu penyebab terjadinya
pembiayaan bermasalah. Antisipasi kondisi ini dapat
diminimalkan melalui asuransi baik jiwa maupun asset-aset yang
dimilikinya.
3) Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah terkadang mempengaruhi pula terjadinya
pembiayaan bermasalah salah satu contohnya, kebijakan untuk
beras impors beras dari luar negeri menyebabkan turunya harga
beras dipasaran sementara biaya produksi pertanian menjadi
tidak sebanding dnegan hasil yang diperoleh. Jiak pembiayaan
diperoleh dari pembiayaan tersebut maka pembiayaan yang
54
Nur Syamsudin Buchori, Koperasi Syari’ah, (Tangerang: Pustaka Aufa Media, 2012) , h. 172.
62
dilakuakan akan terjadi kemacetan dalam pengembalian. Adanya
kebijakan pemerintah, yaitu peraturan suatu produk akan sektor
ekonomi atau industry dapat berdampak positif maupun negative
bagi perusahaan yang berkaitan dengan industry tersebut.55
4) Kendala Musim
Iklim di Indonesia yang saat ini tidak menentu, hal ini menjadi
salah satu yang harus dihadapi dalam pemberian pembiayaan.
Sebagai contohnya, di Indonesia ada dua musim yaitu musim
panas dan musim dingin, dalam hal ini BMT memberikan
pembiayaan kepada pedagang es pada musim penghujan, pada
saat musim panas tentunya usaha yang dilakukan pedagang es
tidak menjadi permasalahan, tetapi pada musim penghujan,
untuk pedagang es akan menjadi permasalahan karena
menurunya pendapatan yang disebabkan oleh faktor cuaca yang
mempengaruhi turunya permintaan. Oleh karena itu calon
penerima pembiayaan akan mengalami maslaah dalam
pengembalian pembiayaan.
6. Penanganan Pembiayaan Bermasalah
Dalam hal ini penanganan atau restrukturisasi pembiayaan adalah
istilah teknis yang dipergunakan dikalangan perbankan atau lembaga
keuangan lainnya terhadap upaya dan langkah-langkah yang dilakukan
Bank Syariah dalam usaha mengatasi permasalahan pembiayaan yang
dihadapi. Restrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank
Syariah atau lembaga keuangan lainnya dalam rangka membantu nasabah
agar dapat menyelesaikan kewajibannya.
Dalam penanganan pembiayaan bermasalah tentunya ketentuan-
ketentuan Fatwa DSN-MUI berkaitan dengan penyelesaian piutang.
55
Trisadini P Usanti, Transaksi Bank Syariah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013 ), h.43
63
Bahwa restrukturisasi merupakan suatu cara penyelesaian yang sejalan
dengan prinsip syariah dalam penyelesaian utang atau kewajiban dari
pembiayaan bermasalah. Dari ketentuan-ketentuan Bank Indonesia dalam
uraian di atas, restrukturisasi terhadap pembiayaan bermasalah
berdasarkan prinsip syariah dilakukan antara lain melalui:56
a. Penjadwalan Kembali (rescheduling)
Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal
pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya, tidak termasuk
perpanjangan atau pembiayaan mudharabah atau musyarakah yang
memenuhi kualitas lancar dan telah jatuh tempo serta bukan disebabkan
nasabah mengalami penurunan kemampuan membayar.
b. Persyaratan Kembali (reconditioning)
Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian
atau seluruh persyaratan pembiayaan tanpa menambah sisa pokok
kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BMT, antara lain
meliputi:
1) Perubahan jadwal pembayaran
2) Perubahan jumlah angsuran
3) Perubahan jangka waktu
4) Perubahan nisbah dalam pembiayaan mudharabah atau
musyarakah
5) Perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah
atau musyarakah
6) Pemberian potongan
c. Penataan Kembali (restructuring)
Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan
pembiayaan yang antara lain meliputi:
56
Faturrahman Djamil, Penyelesaian pembiayaan bermsalah dibank syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h.83
64
1) Penambahan dana fasilitas pembiayaan BUS atau UUS.
2) Konversi akad pembiayaan.
3) Konversi pembiayaan menjadi Surat Berharga Syariah
Berjangka Waktu Menengah.
4) Konversi pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara
pada perusahaan nasabah yang dapat disertai dengan
reschenduling atau reconditioning.
d. Kebijakan dan Prosedur57
Dalam BMT kebijakan dan prosedur restrukturisasi pembiayaan
bermasalah mencangkup beberapa hal yaitu:
1) Penetapan pejabat khusus setingkat dengan Manager unit keatas
untuk menangani restrukturisasi pembiayaan.
2) Dalam hal ini unit manager yang memutuskan pembiayaan yang
direkstrukturisasi.
3) Criteria pembiayaan yang dapat direstrukturisasi.
4) Sistem dan standar operasi prosedur restrukturisasi pembiayaan,
termasuk penetapan penyerahan pembiayaan yang akan
direstrukturisasi kepada pejabat setingkat Manager Unit yang
ditunjuk dan penyerahan kembali kepada petugas pembiayaan
yang ditunjuk sebagai pengelola pembiayaan.
5) Sistem informasi managemen restrukturisasi pembiayaan, antara
lain berupa laporan berkala mengenai perkembagan penanganan
pembiayaan nasabah yang direstrukturisasi.
e. Penerapan Prinsip Syariah
57
Nur Syamsudin Buchori, koperasi syari‟ah, (Tangerang: Pustaka Aufa Media, 201), h. 204.
65
1) Bank Syariah dapat mengenakan ganti rugi (ta‟widh) kepada
anggota pembiayaan bermasalah dalam rangka restruksturisasi
pembiayan.
2) Ganti rugi ditetapkan hanya sebesar biaya riil yang dikelurkan
dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan oleh
anggota dan bukan potensi kerugian yang diperkirakan akan
terjadi karena adanya waktu yang hilang.
3) Perubahan-perubahan yang disepakati antara BMT dengan
anggota dalam merestrukturisasi pembiayaan, termasuk
penetapan ganti rugi dan harus ditungkan dalam addendum
(perpanjangan kontrak) akad pembiayaan.
4) Dalam merestrukturisasi pembiayaan dilakukan melalui
konversi akad maka akan dibuat akad pembiayaan baru atau
akad ulang.
G. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Istilah kompilasi diambil dari perkataan compilare yang mempunyai
arti mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan peraturanperaturan
yang tersebar dimana-mana. Definisi hukum dari Oxford English Dictionary
adalah kumpulan aturan, perundang-undangan atau hukum kebiasaan, dimana
suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai sesuatu yang mempunyai
kekuatan mengikat terhadap warganya.58
Ekonomi syariah adalah usaha atau
kegiatan yang dilakukan oleh orang perorangan, kelompok orang, badan usaha
yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam memenuhi kebutuhan
yang bersifat komersial menurut prinsip syariah.59
58
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenada Media, 2012), h. 376. 59
M. Fauzan, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h.
3
66
`Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disusun sebagai respon terhadap
perkembangan baru dalam hukum muamalat dalam bentuk praktek-praktek
ekonomi syariah melalui lembaga keuangan syariah yang memerlukan payung
hukum. Secara konstitusional, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disusun
sebagai respon terhadap UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA), yang memperluas
kewenangan Peradilan agama, seperti Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Dengan kata lain, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah merupakan
upaya “positifisasi” hukum muamalat dalam kehidupan umat Islam di Indonesia
yang secara konstitusional sudah dijamin oleh sistem konstitusi Indonesia.60
Adapun dasar dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, UndangUndang Nomer 19
tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Tujuan dari Kompilasi
hukum ekonomi syariah adalah: a. Hakim peradilan dalam lingkungan peradilan
agama yang memeriksa, mengadili, menyelesaikan perkara yang berkaitan
dengan ekonomi syariah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syariah
dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, b. Mempergunakan sebagai
pedoman prinsip syariah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi tanggungjawab hakim untuk
mengadili dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan
benar.61
60
Abdul Mughits, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dalam Tinjauan Hukum Islam,
(Yogyakarta: Al-Mawarid, 2008), h. 157 61
Abdul Mughits, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dalam Tinjauan Hukum Islam, h.158
67
67
BAB III
KAJIAN FIQH TERHADAP AKAD HIWALAH
A. Perdebatan Ulama Terkait Perubahan Hawalah menjadi Hawalah bil
Ujroh.
Hiwalah ini disyari‟atkan oleh Islam dan dibolehkan olehnya karena
adanya masalahat, butuhnya manusia kepadanya serta adanya kemudahan
dalam bermuamalah. Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada
sesama, mempermudah muamalah mereka, memaafkan, membantu memenuhi
kebutuhan mereka, membayarkan utangnya dan menenangkan hati mereka.
Pengalihan hutang tersebut tentunya mengandung risiko, sehingga
perusahaan pembiayaan syariah harus benar-benar menganalisis kondisi dari
muhil supaya hutangnya yang telah dibayarkan dapat dibayar pula oleh muhil
di kemudian hari. Dalam praktik hawalah tersebut, tentunya yang
diuntungkan adalah muhal/penyuplai/pihak ketiga yang berpiutang dari
konsumen. Namun demikian akad yang terjadi adalah antara perusahaan
pembiayaan syariah sebagai muhal ala’ih dengan muhil, sehingga perusahaan
pembiayaan syariah tidak diperkenankan untuk meminta ujrah atau fee dari
muhal. Walaupun dasar hukum diperbolehkannya akad hawalah bil ujrah,
lebih kepada sudut pandang dari sisi muhal yaitu, hadits Rasulullah “
menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu
adalah suatu kedzaliman. Maka, jika seorang diantara kamu dialihkan hak
penagihan piutangnya pada pihak yang mampu maka terimalah”. Pada hadits
tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang menghutangkan, jika
orang yang berhutang menghawalahkan kepada orang yang mampu,
hendaklah ia menerima hawalah tersebut, dan hendaklah ia menagih kepada
orang yang dihawalahkan. Dengan demikian haknya dapat terpenuhi. Ulama
68
sepakat membolehkan akad hawalah dengan catatan, hawalah dilakukan atas
hutang yang tidak berbentuk barang atau benda, karena hawalah adalah proses
pemindahan hutang bukan pemindahan benda.
Bahwa lembaga-lembaga keuangan syari‟ah masih kewalahan dalam
menghadapi persaingan dengan lembaga-lembaga keuangan konvensonal.
Maka merupakan kewajiban bagi ulama islam untuk mendukung dan
memperkuat posisi LKS dengan pendapat-pendapat yang mempermudah
mereka dalam mengembangkan bisnisnya. Dan melihat fakta di
lapangan,banyak produk dan jasa perbankan yang menggunakan akad
hawalah, dan banyak pula nasabah yang membutuhkan produk dan jasa
tersebut. Supaya peluang semacam itu bisa dimanfaatkan oleh LKS sebagai
lading usaha yang menghasilkan keuntungan. DSN memandang perlu
menetapkan fatwa yang mengatur pengambilan ujrah atas komitmen dan
kesediaan bank untuk membayarkan utang nasabah dalam akad hiwalah bil
ujrah.
Akad hiwalah juga diaplikasikan di Bank Muamalat Indonesia dan
BPRS Al-Saalam sebagai salah satu produk pembiayaanya. Akad hiwalah
biasanya digunakan anggota untuk membayar hutang anggota dipihak lain,
sebagai modal awal untuk pelaksanaan sebuah proyek dan lain-lain. Dalam
pelaksanaan akad hiwalah, Bank Muamalat dan BPRS Al-Saalam
mengenakan fee. Ini berbeda dengan teori hiwalah yang merupakan akad
tabarru' yaitu akad yang tidak mencari keuntungan.Dalam pelaksanaan
akadnya,dalam Fatwa DSN MUI N0: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang hiwalah
menyebutkan bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para
pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak
(akad).
Dalam hal ini, akad hiwalah harus mendapatkan persetujuan oleh tiga
pihak. Pihak-pihak tersebut adalah muhil, muhal/muhtal, dan muhal 'alaih.
Bank Muamalat dan BPRS Al-Saalam dalam prakteknya hanya dilakukan
69
oleh dua pihak saja yakni pihak Bank Muamalat dan BPRS Al-Saalam dan
anggota sehingga praktek yang dilaksanakan mirip dengan akad al-Qard.
Dalam pelaksanaan akad hiwalah, pengenaan fee di Bank Muamalat dan
BPRS Al-Saalam tidak diperbolehkan. Hal ini dikarenakan akad hiwalah
termasuk ke dalam akad tabarru' yaitu akad yang berkaitan dengan transaksi
yang tidak bertujuan mendapatkan laba/keuntungan.Jika Bank Muamalat dan
BPRS Al-Saalam ingin mengenakan fee maka akad yang digunakan adalah
hiwalah bil ujrah.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa Bank Muamalat
dan BPRS Al-Saalam telah berusaha mengefektifkan penerapan akad hiwalah
terutama sebagai salah satu solusi dalam mengatasi pembiayaan bermasalah,
namun dalam kenyataannya implementasi akad hawalah untuk kepentingan
umat dalam penerapannya masih belum efektif. karena di Bank Muamalat
Indonesia dan BPRS Al-Saalam dalam mengatasi pembiayaan bermasalah
lebih sering menggunakan akan musyarakah mutanaqisah (MMQ), murabahah
dan mudharabah karena lebih menguntungkan menurut pihak bank. untuk
penerapan aplikasi akad hiwalah di Bank Muamalat Indonesia dan BPRS Al-
Saalam memakai fee.
Dibolehkannya praktik al hiwalah bil ujrah, merupakan terobosan dan
wacana baru dalam dunia fiqh, karena al hiwalah dikenal sebagai bagian aqad
tabarru’, aqad yang ditujukan untuk menolong pihak lain, sehingga tidak
dibenarkan meminta kompensasi dari transaksi al hiwalah. Ketika al hiwalah
dipadukan dengan kata bil ujrah (dengan kompensasi) maka secara hukum
dan fakta akan menghilangkan makna dan arti al hiwalah.
Dasar-dasar hukum (dalil-dalil) yang digunakan untuk merumuskan
fatwa DSN Nomor 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah yang
dicatumkan di tubuh fatwa, terdiri dari lima unsure, ayat al-Qur‟an, hadist,
ijma‟, kaidah fiqh, dan pendapat ulama kontemporer yang berisi qiyas. Selain
dalil-dalil yang tercantum pada fatwa tersebut, ditemukan beberapa dalil lain
70
yang memperkuat isi fatwa, yaitu „urf dan maslahah mursalah. Dilihat dari
metodologi DSN dalam pengolahan dalil-dalil diatas sehingga memunculkan
fatwa pembolehan mengambil ujrah atas hawalah. DSN menggunakan
beberapa metode secara berurutan atau bersamaan, yaitu, metode tarjih,ilhaqi
(qiyasi), istimbati dan I’adah an-nazar, yang keempat metode tersebut
merupakan cabang-cabagng dari metode manhaji.
Teknis pengambilan keputusan dalam merumuskan muatan fatwa
dengan metode-metode di atas, dilakukan DSN melalui ijtihad kolektif (
ijtihad jama’I, yang mengumpulkan para ulama, pakar dan praktisi ekonomi
dan bisnis syari‟ah untuk bermusyawarah dan bertukar pendapat. Metode
qiyas terlihat digunakan DSN dalam mengqiyaskan pembolehan mengambil
ujrah atas hawalah diperbolehkan dalam mazhab-mazhab fiqh. Metode tarjih
terlihat dipakai DSN dalam melakukan studi komparatif terhadap pendapat-
pendapat para ulama lintas mazhab dan meneliti kembali dalil-dalil beserta
metode ijtihad yang mereka gunakan, sehingga dapat diketahui dan dipilih
pendapat yang membolehkan pengambilan ujrah atas hawalah. Dengan
demikian, DSN dalam menanggai permasalahan-permasalahan yang baru
muncul dalam bidang fiqh ekonomi/ mu’amalat cenderung tidak terikat
dengan mazhab fiqh tertentu, tetapi cukup dengan mengambil nilai-nilai islam
(Maqasid asy-syari’ah) dalam bermu’amalah untuk menjawab masalah
hukum kekinian
Dasar hukum akad hawalah antara lain telah diatur dalam Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah.
Mekanisme pelaksanaan hawalah telah diperkuat dan dipertegas lagi dengan
keluarnya Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 58/DSN-MUI/V/2007
tentang Hawalah bi Ujrah sebagai tindak lanjut dan penyempurnaan dari
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Hawalah. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 12/DSN-MUI/IV/2000
tentang Hawalah sebagaimana dikemukakan di atas belum mengatur tentang
71
bolehnya menerima ujrah/fee atas kesediaan dan komitmennya untuk
membayar utang muhil, maka dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bi Ujrah, dalam akad hawalah
muthlaqah yaitu hawalah di mana muhil adalah orang yang berutang tetapi
tidak berpiutang kepada muhal ’alaih, boleh menerima ujrah/fee atas
kesediaan dan komitmennya untuk membayar utang muhil.
Dalam fatwa DSN-MUI No.58/DSN-MUI/V/2007 dijelaskan hawalah
bil ujrah adalah hawalah dengan pengenaan ujrah/fee, di mana hawalah bil
ujrah hanya berlaku pada hawalah muthlaqah. Pada hawalah muthlaqah,
muhal’alaih boleh meminta ujrah/fee atas ketersediaan dan komitmennya
untuk membayar utang muhil, di mana besarnya fee harus ditetapkan pada saat
akad secara jelas, tetap dan pasti sesuai kesepakatan para pihak.
Berkenaan dengan hal ini, Tarmizi sebagaimana dikutip oleh
Darsono,dkk mengemukakan : “Terdapat perbedaan antara teori hawalah
dengan Fatwa DSN-MUI mengenai hawalah bil ujrah, dimana fatwa ini
bertentangan dengan takhrij fiqhy para ulama mazhab. Hal ini dikarenakan
para ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi‟i menetapkan bahwa hawalah
muthlaqah ini sama dengan kafalah, di mana ujrah yang diambil dari akad
hawalah hukumnya adalah riba sebagaimana kesepakatan para ulama.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa bentuk akad hawalah muthlaqah adalah
pihak yang menerima pengalihan utang memberikan pinjaman kepada orang
yang mengalihkan utang. Apabila orang yang mengalihkan utang
mengembalikan utangnya berlebih dari utang yang diberikan oleh penerima
pengalihan, maka tambahan uang ini adalah riba”.1 Pemberian fee kepada
pihak yang bersedia menanggung hutang dalam akad hawalah ini sekilas
mengesankan telah ada unsur riba di dalamnya, karena sesuai dengan hadist
(HR Muslim No.1584 dan HR Muslim) sebagaimana dikutip oleh Agus
1 Darsono, Ali Sakti, Ascarya, dkk. Perbankan Syariah di Indonesia (Kelembagaan dan Kebijakan
Serta Tantangan Kedepan), Cetakan 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2017), h. 246
72
Pandoman2 bahwa ”Syarat untuk tidak terkena riba jumlahnya mesti sama
(kuantitas dan kualitasnya harus sama, tidak berbunga/tidak berlipat ganda,
tidak boleh menipu, dan jika berbentuk uang jumlah nominal harus sama) dan
serah terima dilakukan secara tunai”.3 Demikian pula banyak muslim yang
percaya bahwa interpretasi riba seperti yang terdapat dalam fiqh (hukum
Islam) adalah interpretasi yang tepat dan karenanya harus diikuti.
Ujrah di dalam kamus perbankan syariah yakni imbalan yang
diberikan atau yang diminta atas suatu pekerjaan yang dilakukan.4 Ujrah
sendiri dalam bahasa Arab mempunyai arti upah atau upah dalam sewa
menyewa, sehingga pembahasan mengenai ujrah ini termasuk dalam
pembahasan ijarah yang mana ijarah sendiri mempunyai arti sendiri. “Ijarah
secara etimologi berasal dari kata al-ajru yang berarti al-‘iwadh atau
pergantian, dari sebab itulah ats-tsawabu dalam konteks pahala dinamai juga
al-ajru yakni upah”5
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa DSN-MUI
melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 58/DSN-MUI/V/2007 tentang
Hawalah Bil Ujrah membolehkan adanya hawalah bil ujrah yaitu hawalah
dengan pengenaan ujrah atau fee, dengan ketentuan bahwa dalam hawalah
muthlaqah, muhal `alaih boleh menerima ujrah atau fee atas kesediaan dan
komitmennya untuk membayar utang muhil. Namun ada satu hal penting yang
harus diperhatikan yaitu bahwa besarnya fee itu harus ditetapkan pada saat
akad secara jelas, tetap dan pasti sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Ada perbedaan pendapat antar ulama mengenai boleh tidaknya
mengambil ujrah atau imbalan atas akad tabarru`. Ulama yang tidak
2 Agus Pandoman, Sistem Hukum Lembaga Keuangan Konvenional Bank dan Non Bank (Diktat
Kuliah), Jilid I, h. 35-36. 3 Agus Pandoman, Sistem Hukum Lembaga Keuangan Konvenional Bank dan Non Bank (Diktat
Kuliah), Jilid I, h. 35-36. 4 Maryanto Supriyono, Buku Pintar Perbankan, (Yogyakarta: Andi, 2011), h.162
5 Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 277.
73
membolehkan berargumen bahwa pengambilan ujrah atas akad tabarru` akan
merusak karakter dari akad tabarru` tersebut, dan mengubahnya dari yang
asalnya akad untuk donasi dan berbuat kebajikan terhadap sesama, menjadi
akad untuk berbisnis mencari keuntungan dunia. Namun, pendapat yang
paling kuat adalah pendapat yang membolehkan pengambilan ujrah atas akad
tabarru` dengan dua syarat : adanya keridhaan antar para pihak dan
pengambilan ujrah itu tidak menimbulkan aktivitas ribawi, yakni akad
tabarru` yang dipungut upah atasnya bukanlah akad utang piutang atau akad
yang berpotensi menjadi akad utang piutang.6
Ada perbedaan yang jelas antara fee (ujrah) pada perbankan syariah
dengan bunga pada perbankan konvensional. Perbedaan utama antara fee
dengan bunga yaitu fee atau ujrah adalah imbal bagi hasil berupa fee atau
imbal jasa atas transaksi sewa menyewa dan/atau jasa lainnya yang
nominalnya sudah bisa dipastikan sejak awal karena kategori transaksinya
memang demikian. Sedangkan bunga memastikan nominal rupiah yang
diperoleh karena nasabah menerima kredit dari bank konvensional
Berdasarkan uraian-uraian di atas jelaslah bahwa bank syariah itu bank yang
dijalankan sesuai ketentuan syariah, yakni meninggalkan yang dilarang
syariah seperti penipuan, ketidakpastian, riba, manipulasi, suap, maisir, tidak
sahnya akad, bisnis zat haram, zhalim, dan maksiat. Sedangkan di bank
konvensional tidak ada ketentuan seperti itu, bahkan dijalankan dengan bisnis
basis murni riba. Pendapatan di bank syariah diambil dari skema transaksi riil.
Sedangkan keuntungan di bank konvensional diambil dari jual beli
(menganakpinakan) uang yang direpresentasikan dalam bentuk bunga, atau
dalam terminologi Islam disebut dengan nama riba.
6 Abd Al Karim as-Sima`il, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Khoirudin, Analisis Fikih Terhadap
Pengambilan Ujrah/Fee dalam Fatwa DSN No : 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah,
Tesis, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 2016), hlm. 18.
74
Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam al-Qur‟an, riba dapat
dipahami dalam delapan macam arti, yaitu: pertumbuhan (growing),
peningkatan (increasing), tambahan (swelling), meningkat (rising), menjadi
besar (being big), dan besar (great), dan juga digunakan dalam beberapa
makna, namun dapat diambil satu pengertian umum, yaitu meningkat
(increase), baik menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.7
7 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004), hlm. 34.
75
BAB IV
ANALISIS PENERAPAN AKAD HIWALAH DALAM PEMBIAYAAN
BERMASALAH
A. Implementasi akad hiwalah pada pembiayaan yang bermasalah di
Perbankan Syariah.
Tujuan Fasilitas hawalah adalah untuk membantu supplier
mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank
mendapat imbalan (fee) atas jasa pemindahanan piutang tersebut. Untuk
mengantisipasi resiko kerugian yang timbul, bank perlu melakukan penelitian
atas kemampuan pihak berutang dan kebenaran transaksi antara yang
memindahkan piutang dan yang berhutang.1
Dalam aplikasinya di bank syariah tetap harus memperhatikan fatwa
yang dikeluarkan oleh DSN-MUI, yaitu, fatwa No. 12/DSN-MUI/IV/2000
tentang Hawalah. Keberadaan prinsip syariah yang dituangkan ke dalam
fatwa Majelis Ulama Indonesia, merupakan salah satu aspek yang mendasari
berjalannya sistem perbankan syariah, sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 26 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah yang mengatakan bahwa:
1. Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, pasal 20 dan
pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada prinsip
syariah.
2. Prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh
Majlis Ulama Indonesia.
3. Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam peraturan
Bank Indonesia.
1 Adi Warman Karim, Bank Islam (Jakarta : Raja Wali Pers, 2004), h.105
76
4. Dalam rangka penyusunan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) Bank Indonesia membentuk komite perbankan
syariah, yang beranggotakan unsure-unsur dari Bank Indonesia,
Departemen Agama dan unsure masyrakat dengan komposisi yang
berimbang, memiliki keahlian di bidang syariah dan berjumlah paling
banyak 11 orang.
Peraturan Bank Indonesia No.10/32/PBI/2008 tentang komite
Perbankan Syariah, bertugas membantu Bank Indonesia dalam:
1. Menafsirkan fatwa MUI yang terkait dengan perbankan syariah
2. Memberikan masukan dalam rangka implementasi fatwa ke dalam
peraturan Bank Indonesia
3. Melakukan pengembangan industri perbankan syariah dari bertugas
melakukan penafsiran dan pemaknaan fatwa di bidang perbankan syariah.
Fatwa DSN-MUI ini dan PBI yag dikeluarkan oleh Bank Indonesia,
merupakan landasan hukum untuk jasa pelayanan hiwalah dalam perbankan
syariah.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa walaupun
pimpinan dan manajemen Bank Muamalat dan BPRS Al-Salaam telah
berusaha mengefektifkan penerapan akad hawalah terutama dalam
pembiayaan bermasalah namun dalam kenyataannya implementasi akad
hawalah masih belum efektif2. Belum efektifnya penerapan akad hawalah
tersebut terutama adalah karena masyarakat yang menjadi nasabah perbankan
syariah belum mengetahui adanya akad hawalah sebagai salah satu solusi
yang dapat digunakan oleh mereka untuk pembiayaan bermasalah.
Hal ini diakui oleh pihak Bank Muamalat dan BPRS Al-Salaam,
bahwa “Dalam praktik perbankan syariah hampir jarang dipergunakan.
Mungkin ketidak-mengertian masyarakat tentang hawalah, sehingga jarang
2 Wawancara Bank Muamalat 25 April 2018 sampai dengan tanggal 11 Mei 2018 dan BPRS Al-
Saalam, tanggal 14 Mei 2018 sampai dengan tanggal 31 Mei 2018
77
dipergunakan.3 Ketidaktahuan masyarakat terhadap keberadaan akad
hawalah sebagaimana dikemukakan di atas telah menyebabkan masyarakat
khususnya masyarakat muslim yang potensial untuk menjadi nasabah
perbankan syariah kehilangan peluang atau kesempatan untuk memperoleh
kemanfaatan dan kemaslahatan dari keberadaan perbankan syariah di tanah
air. Oleh karena itu menurut pihak Bank Muamalat dan BPRS Al- Slaam,
dalam upaya untuk mengefektifkan penggunaan akad hawalah, maka usaha
yang perlu atau dapat dilakukan oleh perbankan syariah adalah dengan
melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang keberadaan akad hawalah
agar mereka mengetahui kelebihan akad hawalah sebagai akad dalam
pembiayaan bermasalah.4
Kemanfaatan dan kemaslahatan merupakan salah satu asas penting
dalam perbankan syariah. ”Asas ini mengandung pengertian bahwa semua
bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan
kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian
maupun bagi masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat ketentuannya dalam
al Qur‟an dan Al Hadits”5 Imam Al-Ghazali dalam al-Mustasyfa
mengemukakan bahwa tujuan utama syariah adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia yang terletak pada pemeliharaan iman, hidup, akal,
keturunan, dan harta. Segala tindakan yang berupaya meningkatkan kelima
maksud tersebut merupakan upaya yang memang seharusnya dilakukan serta
sesuai dengan kemaslahatan umum.6
3 Wawancara Bank Muamalat 25 April 2018 sampai dengan tanggal 11 Mei 2018 dan BPRS Al-
Saalam, tanggal 14 Mei 2018 sampai dengan tanggal 31 Mei 2018 4 Wawancara Bank Muamalat 25 April 2018 sampai dengan tanggal 11 Mei 2018 dan BPRS Al-
Saalam, tanggal 14 Mei 2018 sampai dengan tanggal 31 Mei 2018 5 M.Tamyiz Muharrom, Kontrak Kerja: Antara Kesepakatan dan Tuntutan Pengembangan SDM, dalam
Al Mawarid Jurnal Hukum Islam, Edisi X tahun 2003, (Yogyakarta: Program Studi Syariah FIAI UII 6 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep, Produk dan
Implementasi Operasional, (Jakarta : Penerbit Djambatan, 2001), h. 11.
78
Bank Muamalat dan BPRS Al-Saalam tidak menerapkan hawalah
muqayyadah dalam transaksi perbankan sehari-hari, akan tetapi menerapkan
hawalah muthlaqah dengan pengenaan ujrah/fee.7 Hal ini antara lain karena
tidak bertentangan dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No:
58/DSNMUI/V/2007 tentang Hawalah Bil Ujrah yang membolehkan adanya
hawalah bil ujrah yaitu hawalah dengan pengenaan ujrah atau fee. Untuk itu
Bank sebagai muhal `alaih boleh menerima ujrah atau fee atas kesediaan dan
komitmennya untuk membayar utang muhil. Untuk itu nasabah dapat
memilih sendiri model angsuran yang diinginkan. Akad hawalah akan
diterbitkan setelah nasabah menyatakan kesediaannya dan bersedia mematuhi
ketentuan atau syarat yang diberikan oleh Bank.
Contoh kasus di Bank Muamalat Indonesia dan BPRS Al-Saalam
Penerapan menggunakan akad hiwalah mutlhaqoh Keterangan:8
a) Nasabah (muhil) membeli rumah kepada kepada kontraktor.
Artinya, nasabah memiliki kewajiban (hutang) kepada kontraktor.
b) Nasabah mengajukan pembiayaan kepada bank syariah untuk
membayarkan kewajiban (hutang) tersebut kepada kontraktor dan
nasabah berjanji akan mebayar hutang tersebut sesuai sistem
pembayaran yang ditentukan.
c) Bank syariah membayar kewajiban (hutang) nasabah kepada
kontraktor. Di sini bank syariah berhak mengambil ujrah dari jasa
hiwalahnya (hiwalah bil ujrah).
d) Bank syariah menagih hutang kepada nasabah sesuai skema
pembayaran yang disepakati antara nasabah dan bank syariah.
7 Wawancara Bank Muamalat 25 April 2018 sampai dengan tanggal 11 Mei 2018 dan BPRS Al-
Saalam, tanggal 14 Mei 2018 sampai dengan tanggal 31 Mei 2018 8 Wawancara Bank Muamalat 25 April 2018 sampai dengan tanggal 11 Mei 2018 dan BPRS Al-
Saalam, tanggal 14 Mei 2018 sampai dengan tanggal 31 Mei 2018
79
Di Bank Muamalat dan BPRS Al-Saalam untuk penerapan akad
hiwalah dalam menyelesaikan pembiayaan bermasalah dengan menggunakan
akad hawalah hanya sedikit. dikarenakan pihak bank sendiri menganggap
tidak ada keuntungan didalamnya. akan tetapi untuk penyelesaian terhadap
pembiayaan bermasalah lebih sering mengguankan musyarakah mutanaqisah
(MMQ) dan murabahah karena dinilai lebih menguntungkan terhadap bank.9
Dalam akad hiwalah juga harus diperhatikan untuk mengantisipasi
risiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas
kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang
memindahkan piutang dengan yang berutang. Misalnya seorang supplier
bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan
dibayar dua bulan kemudian, karena kebutuhan supplier akan likuiditas,
maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan
menerima pembayaran dari pemilik proyek.
Adapun resiko yang harus diwaspadai dari akad hiwalah adalah
kemungkinan adanya kecurangan nasabah dengan member invoice palsu atau
wanprestasi untuk memenuhi kewajiban hawalah ke bank syariah.
9 Wawancara Bank Muamalat 25 April 2018 sampai dengan tanggal 11 Mei 2018 dan BPRS Al-
Saalam, tanggal 14 Mei 2018 sampai dengan tanggal 31 Mei 2018
80
Gambar 4.1: Skema Hawalah dalam Bank Syariah
Sebagai bahan kajian penerapan akad hawalah pada perbankan
syariah, dapat dilihat dari dua sisi akad hawalah hanya dilakukan oleh dua
pihak yaitu pihak bank dengan pihak nasabah, sehingga jika dilihat praktek
tersebut hampir sama dengan akad pembiayaan pada umumnya dan bukan
dilakukan oleh tiga pihak yaitu antara Bank sebagai muhal‟alaih, nasabah
sebagai muhil dan supplier sebagai muhal.
Hawalah sebagai suatu cara untuk mendapatkan fresh money bagi
pihak klien/nasabah tidak luput juga dari resiko, terutama dari pihak bank.
Adapun risiko yang haarus diwaspadai oleh pihak bank syariah dari sebuah
kontrak hawalah adanya kecurangan nasabah dengan member invoice palsu
atau wanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi kewajiban hawalah ke bank
Terkait praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk
membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan
produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang.
Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu
melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran
transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang.
81
Keuntungan atau provit bank syariah dapat diperoleh antara lain dari
penerapan prinsip bagi hasil. Bank Syariah dapat menciptakan iklim investasi
yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan
maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang
berimbang antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan
mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak
hanya dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal.
Ada satu persamaan antara bank syariah dan bank konvensional adalah
keduaduanya berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Tentu
saja dengan tujuan tersebut, bank syariah dituntut untuk berkembang dan
menjadi lembaga finansial yang bonafid dan profesional.
Bank syariah dalam menajemen investasi dan finansial juga dituntut
untuk menggunakan asas profit oriented sebagaimana bank konvensional.
Oleh karena itu bank syariah bukan sekedar menggunakan jalur emosional
keagamaan untuk menjaring nasabahnya dengan memanfaatkan pasar
potensial karena mayoritas penduduk Indonesia beragam Islam dan dengan
semakin tumbuhnya kesadaran mereka untuk berperilaku secara Islami
termasuk didalamnya yaitu aspek muamalah atau bisnis. Akan tetapi juga
mempunyai tugas dan kewajiban yaitu menjalankan pertumbuhan ekonomi
berdasarkan ketentuan syariah, dimana usaha mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya itu harus didasarkan pada pedoman yang telah ditetapkan
syariah, disinilah letak simpul perbedaannya.
Keuntungan bank syariah sebagai bank yang berdasarkan prinsip
syariah memiliki prinsip-prinsip dasar, diperoleh dari berbagai aktifitas
perbankan dengan menggunakan berbagai prinsip antara lain prinsip titipan
atau simpanan- al wadiah. Al wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni
dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum yang
harus dijaga dan dikembalikan kapan saja jika penitip kehendaki. Pemberikan
bonus dalam penitipan ini tidak dilarang dengan catatan tidak diisyaratkan
82
sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase
secara tetap, tetapi benar-benar merupakan kebijakan bank.
Ada beberapa solusi yang ditawarkan untuk menyelamtkan produk
dari jasa perbankan yang menggunakan akad hawalah bil ujroh dari
keharaman yaitu, a). supaya produk dan jasa perbankan yang menggunakan
akad hawalah tetap berjalan sesuai syariat islam, tetapi bnak tetap mendapat
keuntungan dari produk dan jasanya itu, maka pengambilan ujrah dilakukan
bukan atas komitmen dan kesediaan bank untuk membayarkan utang,
melainkan diambil atas layanan-layanan dan fasilitas-fasilitas yang diberikan
bank kepada nasabahnya dalam menciptakan dan melengkapi kontrak yang
memakai akad hawalah tersebut. b). LKS bisa mengganti pemaiakan akad
hawalah dalam prdouk dan jasanya dengan menggunakan akad-akad lain yang
tidak berpotensi memunculkan aktivitas ribawi supaya prodik jasa perbankan
tetap berjalan sesuai syari'ah dan keuntungan yang besar bisa diperoleh dari
produk dan jasa tersebut
Selanjutnya ada pula prinsip bagi hasil, yaitu pembagian hasil dari
usaha pembiayaan sebagai ganti dari konsep pembungaan dalam bank
konvensional, al-mudharabah, yaitu akad kerja sama usaha antara dua pihak,
dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain
menjadi pengelola. Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik
modal selama kerugian tersebut diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian
pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Demikian pula ada al-musyarakah, dalam prinsip ini terjadi kerja sama
antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tersebut. Para pihak bekerja
sama memberikan kontribusi modal. Keuntungan ataupun risiko usaha
83
tersebut akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Selanjutnya ada
prinsip al-murabahah, dimana dalam prinsip ini, terjadi jual beli suatu barang
pada harga dengan tambahan keuntungan yang nilainya disepakati kedua
belah pihak. Penjual dalam hal ini harus memberi tahu harga produk yang
dibelinya dengan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahan.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka ada satu sisi yang dapat
digerakkan oleh Bank Muamalat dan BPRS al-Saalam khususnya, yaitu lebih
memperkenalkan produk akad hawalah kepada masyarakat melalui upaya yang
terencana dengan baik dan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan kenyataan
memperlihatkan bahwa produk (hawalah) sudah diciptakan, mekanisme
perolehan produk sudah ditetapkan, sehingga produk (akad hawalah) sudah
benar-benar siap untuk dipasarkan kepada nasabah. Agar produk hawalah
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal, maka masyarakat tentu
saja perlu mengetahui kehadiran produk tersebut, manfaat produk, di mana
dapat diperoleh, kelebihan produk dibandingkan produk pesaing, dan
sebagainya. Dalam tataran teoritis, cara untuk memberitahu atau menawarkan
produk kepada masyarakat dikenal dengan istilah promosi.
Sepandai apapun analisis pembiayaan dalam menganalisa permohonan
pembiayaan, kemungkinan pembiayaan bermasalah pasti ada. Hal ini kurang
lebih disebabkan oleh 2 unsur, yakni dari pihak bank kurang teliti dalam
menganalisa, atau bahkan dapat pula terjadi kongkalikong antara pihak analis
pembiayaan dengan pihak debitur sehingga analisanya dilakukan secara
subyektif. Kemudian unsur yang kedua yaitu kelalaian dari pihak nasabah yang
menyebabkan pembiayaan bermasalah, yang mana dapat disebabkan oleh
faktor kesengajaan ataupun ketidaksengajaan. Dalam menangani pembiayaan
bermasalah pimpinan bank harus tetap berpegang teguh pada pedoman pokok
84
penanganan pembiayaan bermasalah yaitu usaha menyelamatkan pembiayaan
secara maksimal. Salah satu upaya penyelamatan pembiayaan melalui jalur non
hukum adalah restrukturisasi.
Restrukturasi adalah upaya yang dilakukan bank dalam rangka
membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain
melalui penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali
(reconditioning), dan penataan kembali (restructuring).
Sebelum terjadinya pembiayaan bermaslaah di Bank Muamalat dan
BPRS al-Saalam. mempunyai beberapa strategi pencegahan sebagai berikut :
1. Analisis Kelayakan Nasabah Sebelum mengabulkan permohonan
pembiayaan nasabah, wajib hukumnya bagi pihak Bank Syariah untuk
mengetahui bagaimana kondisi nasabah pembiayaan, apakah layak
untuk mendapatkan pembiayaan atau tidak. Dalam menilai kelayakan
nasabah untuk mendapatkan pembiayaan bagi pihak Bank Syariah.
menggunakan analisa aspek 5C. Analisa 5C digunakan sebagai langkah
awal dalam menentukan status nasabah, apakah layak mendapatkan
pembiayaan atau tidak. Bank syariah dalam melakukan kegiatan usaha
wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan wajib menempuh cara-cara
yang tidak merugikan Bank syaria‟ah serta kepentingan nasabah dalam
menyimpang dananya.10
Guna mengantisipasi resiko penyaluran dana
nasabah tersebut maka bank syari‟ah harus memelihara kesehatan dan
meningkatkan daya tahannya, bnak diwajibkan membayar resiko
dengan penyaluran pembiayaan berdsarkan prinsip syari‟ah, pemberian
jaminan atau fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada
nasabah debitur atau kelompok nasabah tertentu.
10
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah ( Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012 ), h.94
85
2. Survey Survey yang dilakukan bagi pihak Bank Syariah adalah dengan
mengunjungi tempat usaha nasabah. Hal ini dilakukan untuk
menegtahui kondisi nasabah yang sebenarnya, agar dapat dicocokkan
dengan keterangan nasabah pada saat permohonan pembiayaan kepada
pihak Bank Syariah. Kegiatan survey yang dilakukan dapat menjawab
aspek 5C yang dibutuhkan Bank dalam menganalisis kemampuan dan
karakter nasabah. Selain mengunjungi tempat usaha nasabah. pihak
Bank Syariah juga melakukan survey melalui supplier (pemasok)
barang dagangan yang bekerjasama dengan nasabah. Dari supplier
dapat diketahui bagaimana karakter nasabah dalam bertransaksi. Survey
juga dilakukan pada tetangga rumah dari nasabah hingga kondisi
jaminan yang disertakan dalam permohonan pembiayaan kepada pihak
Bank Syariah. Survey yang dilakukan pada jaminan meliputi, croscek
kepemilikan jaminan (BPKB atau sertifikat tanah),kondisi tanah (lokasi
jaminan), hingga taksiran harga tanah dan atau bangunan yang
dijaminkan.
3. Pengawasan setelah pencairan Pengawasan setelah pencairan dilakukan
pihak Bank Syariah dengan memberikan perhatian, berupa
mengingatkan nasabah bahwa beberapa hari lagi jatuh tempo
pembayaran angsuran. Bentuk pengingatan tersebut diberikan kepada
nasabah yang memiliki plafon pembiayaan yang besar. Karena mereka
memiliki resiko pembiayaan yang lebih besar dari pada nasabah yang
memiliki pembiayaan kecil, maka bentuk pengawasan pihak Bank
Syariah berupa kunjungan ke tempat usaha nasabah. Hal ini juga akan
meningkatkan rasa kekeluargaan diantara bagi pihak Bank Syariah
dengan nasabahnya. Metode pengawasan yang dilakukan oleh pihak
Bank Syariah yaitu : a. pihak Bank Syariah menghubungi nasabah
yang sudah mendekati jatuh tempo pembayaran hutang melalui telepon
b. pihak Bank Syariah melakukan kunjungan silaturrahim ketempat
86
nasabah (rumah dan atau tempat usaha). c. Mengevaluasi mutasi
rekening dan atau keuangan nasabah. d. Memperhatikan kelangsungan
usaha nasabah. e. Membantu nasabah untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi terutama yang berkaitan langsung dengan
problem cash flow.
Guna mengurangi resiko terjadinya pembiayaan bermasalah oleh
nasabah, maka penanggulangan dapat dilakukan melalui upaya-upaya yang
bersifat preventif dan repersif11
Upaya yang bersifat preventif untuk menanggulangi resiko terjadinya
pembiayaan bermasalah oleh nasabah wajib dilakukan oleh bank sebelum
terjadinya akad, yaitu bank syari‟ah harus mempunyai keyakinan atas
kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi
seluruh kewajiban pada waktunya. Memperoleh keyakinan mengenai
kelayakan penyaluran dana maka bank syari‟ah harus mempunyai keyakinan
atas‟‟kemauan‟‟dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk
melunasi seluruh kewajiban pada waktunya. „‟kemauan‟‟ berkaitan dengan
itikad baik dari nasabah penerima fasilitas untuk membayar kembali
penggunaan dana yang disalurkan oleh bank syari‟ah.„‟Kemampuan
berkaitan dengan keadaan dan atau asset nasabah penerima untuk membayar
kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh bank.
Bank syari‟ah wajib melakukan penilaian seksama terhadap watak
(character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral) dan
prospek usaha (condition of economic) dari calon nasabah penerima fasilitas.
Kelima faktor tersebut dalam perbankan dikenal dengan „‟five C‟s‟.12
Pada penilaian terhadap proyek usaha calon nasabah penerima
fasilitas, bank syariah harus melakukan analisis mengenai keadaan pasar,
baik untuk masa yang telah lalu maupun yang yang akad dating sehingga
11 Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah ( Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012 ), h.95
12 Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah ( Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012 ), h.96
87
dapat diketahui prospek nasabah calon penerima. Analisis terhadap
faktor’’five C’s’ dilakukan oleh petugas analisis pembiayaan suatu bank
syari‟ah sebelum pembiayaan diberikan meliputi aspek yuridis dan non
yuridis yang terkait dengan factor „five C’s’ tersebut. Untuk itu, dalam
praktik bank perlu meminta data terkait dengan „’five C’s’, antara lain data
keuangan dan data yuridis.
Upaya yang selanjutnya adalah upaya yang bersifat refersif, yaitu
upaya-upaya penanggulangan yang bersifat penyelamatan pembiayaan
(restruktrurasi pembiayaan) adalah istilah yang biasa dipergunakan
dikalangan perbankan terhadap upaya dan langkah-langkah yang dilakukan
bank dalam mengatasi akad atau pembiayaan bermaslah.13
Berdasarkan ketentuan-ketentuan Bank Indonesia dalam uraian diatas,
rekuntrukturasi terhadap akad hawalah berdasarkan prinsip syariah dilakukan
antara lain melalui:
1. Penjadwalan kembali (rescheduling)
Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran
kewajiban nasabah atau jangka waktunya, tidak termasuk perpanjangan
yang memenuhi kualitas lancer dan telah jatuh tempo serta bukan
disebabkan nasabah mengalami penurunan kemampuan membayar.
2. Persyaratan kembali (reconditioning)
Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau
seluruh persyaratan perubahan sebagian atau seluruh persyaratan hawalah
tanpa menambah sisa pokok kewajban nasabah yang harus dibayarkan
kepada bank, antara lain meliputi, perubahan jawdal pembayaran,
perubahan jumlah angusran, perubahan jangka waktu, dan pemberian
potongan.
13
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah ( Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012 ), h.448
88
3. Penataan kembali (restructuring)
Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan
pembiayaan yang antara lain meliputi, penambahan dana fasilitas dan
pembiayaan bank umum syari‟ah, konversi akad pembiayaan, konversi
pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan
nasabah yang dapat disertai dengan rescheduling atau reconditioning. 14
Berdsasarkan surah Al-Baqarah ayat 280 sebagaimana tersebut diatas,
maka untuk pelaksanaan/prosedur penanganan dan penyelesaian piutang
bermasalah atau pembiayaan bermasalah (non performing financing),
dilakukan melalui tiga tahap yaitu:
1. Memberi tangguh sampai debitur berkelapangan
Tahap pertama menangguhjan pembayaran utang sampai debitur
berkelapangan. Berdasar penangguhan atau penjadwalan pembayaran
kewajiban (rescheduling) tersebut diharapkan debitur mempunyai
kemampuan untuk membayar kembali kewajibannya sehingga dapat
melunasi semua hutangnya kepada kreditur. Kemampuan untuk
membayar kembali utang tersebut oleh debitur boleh jadi karena usaha
debitur dapat berjalan kembali sebagai first way out. Jadi dalam tahap
pertama kreditur hanya memberikan penangguhan atau memperpanjang
jangka waktu pembayaran utang saja sampai debitur berkelapangan. Saat
ini memberikan peangguhan pembayaran hutang dalam praktik
perbankan dilakukan dengan cara penjadwalan kembali (rescheduling).
2. Menyedekahkan sebagian utang debitur
Tahap kedua, apabila setelah diberikan penagguhan (rescheduling)
ternyata debitur tidak mampu melunasi hutangnya, maka kredtur dapat
menyedekahkan piutangnya kepada debitur. Bagi seorang muslim
menyedekahkan piutang ini lebih baik. Qur‟an tidak menjelaskan
14
Pasal 1 angka 7 PBI No.13/9/PBI/2011
89
besarnya jumlah hutang/piutang yang boleh disedekahkan kepada debitur
karena tergantung kerelaan debitur, dapat sebagian atau seluruh jumlah
outsanding utang debitur. Apabila disedekahkan hanya sebagian dari
jumlah outsanding hutang debitur maka debitur tetap berkewajiban
membayar sisa hutangnya kepada kreditur. Menyedekahkan dengan
meberikan sebagian potongan dari hutang pokok dan kewajiban lainnya
dari debitur seperti bagi hasil, dalam praktek perbankan dilakukan
dengan cara melalui persyaratan kembali (reconditioning) akad
pembiayaan.
3. Menyedekahkan seluruh sisa hutang debitur
Tahap ketiga, apabila telah dilakukan upaya-upaya penangguhan dan
penyedekahkan sebagian utang pokok atau kewajiban lain dari debitur,
ternyata pembiayaan tersebut tetap bermasalah dan debitur tetap tidak
mampu memenuhi kewajibannya, maka terhadap seluruh sisa hutang
debitur dapat disedekahkan. Dalam praktik perbankan, menyedekahkan
seluruh sisa utang debitur dilakukan dengan cara memberikan hapus tagih
Hawalah merupakan akad yang bersifat tolong menolong dan tidak
untuk mencari keuntungan, karena pada dasarnya akadnya adalah ta’awuni
atau tabarru’. Terkait demikian di dalam bank syariah dilarang mengambil
keuntungan atas akad tersebut, dikarenakan inti dari akad tabarru’ adalah
tolong-menolong bagi orang sedang kesulitan, contoh orang yang kesulitan
membayar hutang.
Dengan melihat berbagai transaksi modern saat ini yang menggunakan
akad hawalah, ditemukan bahwa telah terjadi perubahan model dalam proses
akad hawalah. Dimana pada model klasik berdasarkan definisi, muhil
menjadi hilang tanggung jawab hutangnya karena muhal‟alaih yang
meneruskan hutang muhil kepada muhal karena muhal‟alaih telah memiliki
hutang kepada muhil sebelumnya. Namun dalam model modern saat ini,
muhil masih bertanggung jawab terhadap hutangnya. Hanya pihak
90
piutangnya saja yang berpindah dari muhak ke muhal „alaih. Dari segi sigh,
transaksi ini tidak sah dikarenakan salah satu dari tiga pihak tidak
mengetahui adanya akad hawalah dan tidak terpenuhinya salah satu syarat
dari akad hawalah yaitu adanya pihak supplier.
Hal ini hanya memenuhi syarat sah nya suatu perjanjian saja yaitu
sesuai Pasal 1320 KUH Perdata dan asas kebebasan berkontrak yang diatur
dalam Pasal 1338 KHU Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan
bahwa syarat sahnya suatu perjanjian atau persetujuan yang dianggap sah
mesti memenuhi beberapa syarat yaitu:15
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Cakap untuk membuat perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab atau kausa yang halal
Sedangkan terjadinya kontrak atau akad hawalah harus berdasarkan
kesepakatan para pihak yang membuatnya, sangatlah sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.
Menurut Subekti16
bahwa Pasal 1338 KUH Perdata ini mengandung
suatu asas kebebasan dalam membuat perjanjian atau disebut juga dengan
asas terbuka.
Berkenaan dengan implementasi akad hawalah dalam bentuk
pembiayaan bermasalah dengan pengenaan ujrah atau fee, maka dapat
diketahui bahwa walaupun Bank Muamalat dan BPRS Al-Saalam telah
mengimplementasikan akad hawalah dalam mengatasi pembiayaan
bermasalah, namun dalam praktiknya, akad hawalah bukan merupakan salah
15
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2011, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456
BW), (Jakarta Rajagrafindo Persada, ), h.3-5 16
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, (Jakarta : Sinar Grafika 1987),h.34
91
satu akad yang populer atau dikenal luas oleh masyarakat. Hal ini tentunya
disebabkan oleh berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah karena
ketidaktahuan nasabah terhadap akad ini. Masyarakat yang menjadi nasabah
perbankan syariah umumnya kurang mengetahui bahkan ada yang tidak
pernah mendengar istilah hawalah ini, yang biasa mereka dengar dan terlibat
didalamnya adalah akad murabahah, musyarakah dan mudharabah.17
Berdasarkan uraian-uraian di atas jelaslah bahwa akad hawalah dalam
perbankan syariah cukup diperhatikan kebutuhan dan perkembangannya oleh
DSN-MUI dan disiapkan untuk menjawab segala tantangan kehidupan dan
kebutuhan masyarakat modern terhadap jasa perbankan. Perbankan syariah
berusaha mengadaptasi sistem perbankan universal namun tanpa
mengabaikan konsep spiritual Islam, dengan cara melakukan berbagai
terobosan di bawah pengawasan DSN-MUI, seperti sistem pengenaan fee
atau imbalan dalam penyelesaian hiwalah muthlaqah.
Walaupun fee ini bersifat kerelaan bukan sebuah kewajiban, namun
perbankan syariah telah berusaha menerapkan sistem perbankan yang
menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang
dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian, sehingga upaya
pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dibutuhkan dan
diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kebutuhan sistem perbankan
yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa meninggalkan aspek
spiritualitas Islam.
Berdasarkan analisis tentang akad hawalah di atas, maka kedudukan
perusahaan pembiayaan syariah akan dapat dijelaskan dalam konstruksi akad
hawalah mutlaqah, namun tidak demikian halnya apabila menggunakan akad
17
Wawancara Bank Muamalat 25 April 2018 sampai dengan tanggal 11 Mei 2018 dan BPRS Al-
Saalam, tanggal 14 Mei 2018 sampai dengan tanggal 31 Mei 2018
92
hawalah muqayyadah. Penulis berpendapat bahwa akad hawalah
muqayyadah sulit untuk diterapkan dalam kegiatan jasa perusahaan
pembiayaan syariah karena konstruksi tiga pihak dengan perusahaan
pembiayaan syariah bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan
utang atas utang konsumen kepada pihak ketiga, dimana sebelumnya
perusahaan pembiayaan syariah memiliki utang kepada nasabah, tidak
dimungkinkan terjadi
B. Kesesuaian akad hiwalah pada pembiayaan yang bermasalah di
Perbankan Syariah dengan Fatwa DSN-MUI.
Hawalah sebagai salah satu produk perbankan syariah di bidang jasa
telah mendapatkan dasar hukum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, dimana Undang-Undang ini telah mengatur tentang prinsip
syariah dalam perbankan syariah. Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 menegaskan sebagai berikut:
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah,
antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah),
pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakahl, prinsip
jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan
(ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang
yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)".
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, hawalah mendapatkan dasar hukum yang lebih
kokoh. Dalam Pasal 19 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 disebutkan bahwa kegiatan usaha Bank Umum Syariah antara lain
meliputi “Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau
93
akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah”, dan di ayat (1)
huruf i yang meliputi “Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri
surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata
berdasarkan prinsip syariah, antara lain, seperti akad ijarah, musyarakah,
mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah.
Sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, berkenaan dengan hawalah, Dewan Syariah
Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah terlebih dahulu
mengeluarkan dasar hukum pelaksanaan hawalah yaitu Fatwa DSN-MUI
Nomor 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah.
Fatwa DSN-MUI Nomor 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah
ditetapkan dengan pertimbangan bahwa terkadang seseorang tidak dapat
membayar utang-utangnya secara langsung. Karena itu, ia boleh
memindahkan penagihannya kepada pihak lain, yang dalam hukum Islam
disebut dengan hawalah, yaitu akad pengalihan utang dari satu pihak yang
berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayarnya).
Untuk itu ada beberapa ketentuan umum yang harus dipenuhi sesuai
dengan Fatwa DSN-MUI Nomor 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah,
yaitu sebagai berikut :
1. Rukun hawalah adalah muhil ( ),يـل مح الyakni orang yang berutang dan
sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal ( او محال ال ),تـال مح الyakni
orang berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih ( ),يـه ل ع محـال الyakni
orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada
muhtal, muhal bih (,)الـحمال هـب yakni utang muhil kepada muhtal, dan
sighat (ijab-qabul).
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
94
4. Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan
muhal ‘alaih.
5. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad
secara tegas.
6. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat
hanyalah muhtal dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah
kepada muhal ‘alaih.
7. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
Setelah Fatwa DSN-MUI Nomor 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Hawalah berlaku beberapa tahun, maka pada tahun 2007 dikeluarkan Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor : 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil
Ujrah. Fatwa ini dikeluarkan dengan pertimbangan sebagai berikut :
a) Bahwa fatwa DSN No.12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah
belum mengatur hawalah muthlaqah dan ketentuan ujrah/fee
dalam hawalah;
b) Bahwa akad Hawalah bil ujrah diperlukan oleh LKS guna
memenuhi kebutuhan objektif dalam rangka memberikan
pelayanan terhadap nasabah;
c) Bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip
syariah, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang
Hawalah bil Ujrah untuk dijadikan pedoman. Berdasarkan
kepada beberapa pertimbangan sebagaimana dikemukakan di
atas, maka DSN memutuskan menetapkan Fatwa tentang
Hawalah bil Ujrah, yang terdiri ketentuan umum, ketentuan
akad, dan ketentuan penutup, yaitu sebagai berikut :
95
1. Ketentuan Umum. Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
a) Hawalah adalah pengalihan utang dari satu pihak ke pihak lain,
terdiri atas hawalah muqayyadah dan hawalah muthlaqah;
b) Hawalah muqayyadah adalah hawalah di mana muhil adalah orang
yang berutang sekaligus berpiutang kepada muhal ’alaih
sebagaimana dimaksud dalam Fatwa No.12/DSNMUI/IV/2000
tentang Hawalah;
c) Hawalah muthlaqah adalah hawalah di mana muhil adalah orang
yang berutang tetapi tidak berpiutang kepada muhal ’alaih;
d) Hawalah bil ujrah adalah hawalah dengan pengenaan ujrah/fee;
2. Ketentuan Akad:
a) Hawalah bil ujrah hanya berlaku pada hawalah muthlaqah.
b) Dalam hawalah muthlaqah, muhal ’alaih boleh menerima ujrah/fee
atas kesediaan dan komitmennya untuk membayar utang muhil.
c) Besarnya fee tersebut harus ditetapkan pada saat akad secara jelas,
tetap dan pasti sesuai kesepakatan para pihak.
d) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
e) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
f) Hawalah harus dilakukan atas dasar kerelaan dari para pihak yang
terkait.
g) Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad
secara tegas.
h) Jika transaksi hawalah telah dilakukan, hak penagihan muhal
berpindah kepada muhal „alaih.
i) LKS yang melakukan akad Hawalah bil Ujrah boleh memberikan
sebahagian fee hawalah kepada shahibul mal.
96
3. Ketentuan Penutup Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah atau
Pengadilan Agama setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
Selain dari dua Fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia sebagaimana telah dikemukakan di atas,
maka ada pula fatwa terbaru yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia yang juga berkenaan dengan pengaturan tentang
hawalah, yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Nomor: 103/DSN-MUI/X/2016 tentang Novasi Subjekti Berdasarkan Prinsip
Syariah.
Demikian telah dikemukakan tentang dasar hukum penerapan akad
hawalah terutama yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPbS
tanggal 17 Maret 2008 perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah. Dikeluarkannya produk pelayanan jasa dengan akad hawalah
didasarkan pada pertimbangan bahwa terkadang seseorang tidak mampu
untuk membayar hutang kepada orang lain secara tunai, oleh karena itu, agar
pihak yang memberi hutang tidak merasa dirugikan, maka pihak yang
berhutang mengalihkan hutangnya kepada pihak lain atau kepada bank
syariah. Atas dasar itulah, maka DSN-MUI mengeluarkan fatwa terkait
dengan akad hawalah tersebut yang diharapkan dapat diaplikasikan dengan
baik oleh masyarakat yang membutuhkan dan perbankan syariah itu sendiri.
Bentuk akad hawalah yang diterapkan di Bank Muamalat dan BPRS
Al-Saalam adalah hawalah muthlaqah dengan pengenaan ujrah/fee. Nasabah
yang ingin menggunakan akad hawalah ini terlebih dahulu diteliti tingkat
kemampuannya dalam melakukan pembayaran pembiayaanya ditakutkan ada
97
masalah diakhir pembayarannya. Bank Muamalat dan BPRS Al-Saalam tidak
menerapkan hawalah muqayyadah dalam transaksi perbankan sehari-hari,
akan tetapi menerapkan hawalah muthlaqah dengan pengenaan ujrah/fee. Hal
ini antara lain karena tidak bertentangan dengan Fatwa Dewan Syariah
Nasional No: 58/DSNMUI/V/2007 tentang Hawalah Bil Ujrah yang
membolehkan adanya hawalah bil ujrah yaitu hawalah dengan pengenaan
ujrah atau fee. Untuk itu Bank sebagai muhal `alaih boleh menerima ujrah
atau fee atas kesediaan dan komitmennya untuk membayar utang muhil.
Untuk itu nasabah dapat memilih sendiri model angsuran yang diinginkan.
Dengan demikian penerapan akad hawalah yang diterapkan di Bank
Muamalat dan BPRS al-Saalam sudah sesuai dengan ketentuan Fatwa DSN
No.12/DSNMUI/IV/2000, dan Fatwa DSN No: 58/DSNMUI/V/2007 tentang
hawalah bil ujroh.
Akad hawalah akan diterbitkan setelah nasabah menyatakan
kesediaannya dan bersedia mematuhi ketentuan atau syarat yang diberikan
oleh Bank. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 58/DSN-MUI/V/2007
tentang Hawalah Bil Ujrah antara lain ditetapkan dengan menggunakan
metode tarjihi untuk mengesampingkan adanya pendapat sebagian ulama
yang menyatakan bahwa pengambilan ujrah dari akad hawalah hukumnya
adalah riba.
Metode tarjihi terlihat dipakai Dewan Syariah Nasional dalam
melakukan studi komparatif terhadap pendapat-pendapat para ulama‟ lintas
mazhab dan meneliti kembali dalil-dalil beserta metode ijtihad yang mereka
gunakan, sehingga dapat diketahui dan dipilih pendapat yang terkuat dalilnya
dan alasannya pun sesuai dengan kaidah tarjihi. Di sini, dengan mengutip
pendapat Mustafa al-Hamsyari, Dewan Syariah Nasional Dewan Syariah
Nasional memilih pendapat yang membolehkan pengambilan ujrah atas
hawalah. Dan mengenai riwayat ijma’ atas keharaman ujrah atas hawalah
98
mutlaqah, Dewan Syariah Nasional memilih pendapat sebagian ulama yang
menyatakan bahwa periwayatan adanya ijma’ tersebut adalah lemah18
C. Hiwalah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES)
Konsep pengalihan hutang selain dari Fatwa DSN-MUI, pengalihan
hutang juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
yakni sebagaimana yang terdapat dalam Buku II Bab XIII tentang hiwalah.19
secara bahasa, hiwalah bermakna al-intiqaal ( pindah ). sedangkan menurut
istilah, definisi al-hiwalah menurut ulama hanafiyyah adalah memindahkan
(an-Naqlu) penuntutan atau penagihan dari tanggungan pihak yang berutang
(al-Madiin) kepada tanggungan pihak al-Multazim (yang harus membayar
hutang, dalam hal ini adalah al-Muhaal'alaihi)20
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) mengatur mekanisme
pengalihan utang hanya menggunakan satu alternati akad saja, tidak seperti
yang terdapat dalam Fatwa DSN-MUI, akad tersebut yaitu hiwalah.
Mengenai jenis-jenis hiwalah juga tidak dijelaskan secara lengkap, dan
KHES hanya mengatur seputar syarat, rukum dan mekanisme pelaksanaan
hiwalah. Mengenai rukun hiwalah menurut Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) yang diatur dalam Pasal 362 ayat (1) adalah sebagai
berikut:21
Muhil (peminjam), Muhal (pemberi pinjaman), Muhal'alaih
(penerima hiwalah), Muhal bih (utang) dan akad. Sedangakan syarat
pelaksanaan hiwalah dalam penggunaanya sama dengan syarat pelaksanaan
18
Ahmad Khoirudin, Analisis Fikih Terhadap Pengambilan Ujrah/Fee dalam Fatwa DSN No :
58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah, Tesis, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 2016),
hlm.242 19
PPHIMM, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana, 2009), h.102 20
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu 6, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, ( Cet. I; Jakarta:
Gema Inasani, 2011), h.84 21
PPHIMM, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana, 2009), h.102
99
akad pada umumnya. dimana mengenai syarat-syarat pelaksanaan hiwalah
tersebut dalam KHES terdapat pada Pasal 362 sampai Pasal 372.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) lebih
mengedepankan akad pengalihan hutang dengan akad tabarru' yakni
pengalihan utang dikembalikan kepada akad aslinya sebagaimana yang
terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik. akad tabarru' pada prinsipnya
merupakan akad tolong-menolong. Artinya, harus murni bersifat sosial dan
tidak boleh mengambil keuntungan dari peristiwa akad dimaksud. dalam
akad tabarru' pihak bank yang berbuat kebaikan tersebut tidak
diperkenankan mengambil imbalan (fee) dalam bentuk apapun.
Ada perbedaan pengaturan akad dalam mekanisme pengalihan utang
yang terdapat dalam KHES dengan fatwa DSN-MUI mengenai mekanisme
pengalihan utang disebabkan KHES tidak menyerap fatwa No.31/DSN-
MUI/VI/2002 tentang pengalihan utang tersebut. melainkan hanya menyerap
fatwa No. 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang pemindahan hutang berbasis akad
hiwalah seperti dalam kitab-kitab fiqh, dan beberapa fatwa umum lainnya.
pengalihan utang yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES) lebih diarahkan kepada akad aslinya tentang pengalihan utang
berdasarkan ketentuan dalam KHES Buku II Bab XII Paasal 362 sampai
dengan Pasal 372 tentang akad hiwalah yang berdiri sendiri dengan tujuan
sosial semata. Meskipun fatwa No.31/DSN-MUI/VI/2002 tentang
pengalihan utang dengan alternatif multikadanya boleh digunakan dalam
praktiknya sebab fatwa tersebut juga atas permintaan dari masyarakat dan
Bank Indonesia, namun kegiatan dengan menggunakan multiakad dalam
pengalihan utang akan memberikan kesan riba yang disamarkan jika
melenceng dari prinsip tabarru'/tolong-menolong terhadap esensi akad qard
Maupun akad hiwalah yang merupakan akad sosial.
Sebagai konsekwensinya, ketentuan pembiayaan pengalihan utang
dalam KHES kurang efektif jika dipraktekan dalam usaha perbankan
100
sebagaimana alternatif pengalihan utang dalam fatwa No.31/DSN-
MUI/IV/2002 tentang pengalihan utang, karena lembaga perbankan
merupakan lembaga yang bidang usahanya mengharap adanya margin
tertentu dari setiap produk perbankan yang ditawarkannya.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) mengenai upaya
yang dilakukan untuk membantu nasabah agar dapat menyelesaikan
kewajibannya jika pembayaranya bermasalah, terdapat dalam Pasal 124 yang
berbunyi sebagaimana berikut:22
a. Sistem pembayaran dapat dilakukan secara tunai atau cicilan dalam
kurun waktu yang disepakati.
b. dalam hal pembeli mengalami peurunan kemampuan dalam
pembayaran cicilan, maka ia dapat diberi keringanan.
c. keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas dapat
diwujudkan dalam bentuk konversi dengan membuat akad baru dalam
penyelesaian kewajiban.
Mengenai upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah nasabah
dilembaga keuangan syariah, datur dalam beberapa pasal dalam KHES 23
yaitu Pasal 128 dan Pasal 129.
22
PPHIMM, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, hal 47-48 23
PPHIMM, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, hal 49
101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil dari penelitian di Bank Muamalat dan BPRS al-
Saalam Bentuk akad hawalah yang diterapkan di Bank Muamalat dan BPRS
Al-Saalam adalah hawalah muthlaqah dengan pengenaan ujrah/fee. Nasabah
yang ingin menggunakan akad hawalah ini terlebih dahulu diteliti tingkat
kemampuannya dalam melakukan pembayaran pembiayaanya ditakutkan ada
masalah diakhir pembayarannya. Bank Muamalat dan BPRS Al-Saalam tidak
menerapkan hawalah muqayyadah dalam transaksi perbankan sehari-hari, akan
tetapi menerapkan hawalah muthlaqah dengan pengenaan ujrah/fee.
Hal ini antara lain karena tidak bertentangan dengan Fatwa Dewan
Syariah Nasional No: 58/DSNMUI/V/2007 tentang Hawalah Bil Ujrah yang
membolehkan adanya hawalah bil ujrah yaitu hawalah dengan pengenaan ujrah
atau fee. Untuk itu Bank sebagai muhal `alaih boleh menerima ujrah atau fee
atas kesediaan dan komitmennya untuk membayar utang muhil. Untuk itu
nasabah dapat memilih sendiri model angsuran yang diinginkan. Bahwa agar
cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip syariah, DSN memandang perlu
menetapkan fatwa tentang hiwalah bil ujrah untuk dijadikan pedoman.
Berdasarkan kepada beberapa pertimbangan sebagaimana dikemukakan di atas,
maka DSN memutuskan menetapkan Fatwa tentang Hawalah bil Ujrah
Cara penyelesaian pembiayaan bermasalah terhadap bank pada akad
hawalah mempunyai rangkaian sebagai berikut, bank pada awalnya memberi
respon terhadap penyelesaian pembiayaan bermasalah dengan cara
1. Penjadwalan kembali (rescheduling)
2. Persyaratan kembali (reconditioning)
3. Penataan kembali (restructuring)
102
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) lebih
mengedepankan akad hiwalah dengan akad tabarru' yakni pengalihan utang
dikembalikan kepada akad aslinya sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab
fiqh klasik. akad tabarru' pada prinsipnya merupakan akad tolong-menolong.
Artinya, harus murni bersifat sosial dan tidak boleh mengambil keuntungan dari
akad hiwalah, karena dalam akad tabarru' pihak bank yang berbuat kebaikan
tersebut tidak diperkenankan mengambil imbalan (fee) dalam bentuk apapun.
B. SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan penelitian ini, yang menyatakan bahwa
implementasi akad hawalah pada pembiayaan bermasalah tidak bertentangan
dengan fatwa DSN No. 12/DSN-MUI/IV/2000 peneliti mencoba untuk
memberikan saran dan rekomendasi sebagai berikut:
1. Disarankan kepada Pihak Bank Syariah untuk melakukan komunikasi
intensif dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), agar dapat melahirkan
regulasi yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat terhadap
keberadaan akad hawalah sebagai akad dalam menyelesaikan pembiayaan
bermasalah. Selain regulasi yang telah ditetapkan oleh Dewan Syariah
Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Melakukan sosialisasi lebih
intensif agar masyarakat lebih mengetahui tentang keberadaan akad hiwalah
yang digunakan sebagai akad pembiayaan yang lebih islami, yang dilakukan
dengan berbagai bentuk promosi terutama dalam bentuk bauran promosi.
2. Disarankan kepada perbankan syariah untuk lebih memperhatikan asasasas
dari perjanjian Islam baik dalam pembuatan produk-produk pembiayaan
perbankan maupun dalam pengaplikasiannya. Hal ini bertujuan agar
perbankan syariah dapat benar-benar terhindar dari unsurunsur riba. Dengan
demikian dapat terciptanya sebuah lembaga keuangan berbasis syariah yang
103
sesuai dengan konsep Islam dan para nasabah perbankan syariah menjadi
lebih yakin dan merasa nyaman karena dapat terbebas dari unsur riba
3. Disarankan bagi peneliti , agar hasil penelitian dapat digunakan secara umum
dan luas, maka peneliti berikutnya dapat menggunakan subjek penelitian
lainya atau menambah subjek penelitian, serta menggunakan akad-akad lain
yang sekiranya untuk penyelesaian pembiayaan bermasalah.
104
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Antonio, Muhammad. Bank Syariah dari Teori ke Praktek Jakarta: Gema Insani
Press, 2001.
Agustianto. Hiwalah/Hawalah. Presentasi Universitas Indonesia, IEF Trisakti, dan
Universitas Paramadina. Jakarta.,2008.
Abd Hakim, Atang, Fiqh Perbankan Syariah, Bandung: PT Refika Aditama, 2011.
Iswandi, Andi, Peran Etika Qur’ani Terhadap Sistem Ekonomi Islam “Jurnal Al-
Iqtishad Ilmu Ekonomi Syariah, Vol. VI. No. 1” Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, Januari , 2014.
Amalia, Euis “Mekanisme Pasar dan Kebijakan Penetapan Harga Adil dalam
Perspektif Ekonomi Islam” Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah Al-Iqtishad Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, Januari 2014.
Alwi, Hasan dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2005.
A. Mas'adi , Ghufron , Fiqih Muamalah Kontekstual, Cetakan Pertama, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002.
Agustianto. Hiwalah/Hawalah. Jakarta: Presentasi Universitas Indonesia, IEF
Trisakti, dan Universitas Paramadina, 2008.
Abd Al Karim as-Sima`il, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Khoirudin, Analisis Fikih
Terhadap Pengambilan Ujrah/Fee dalam Fatwa DSN No : 58/DSN-
MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah, Tesis, (Yogyakarta : IAIN Sunan
Kalijaga, 2016).
Ahmad, Idris , Fiqh al-Syafi’iyah, Jakarta, Karya Indah, 1986.
Ad-Dur Al-Mukhtar Syarhu Tanwir Al-Abshar, V:340; dinukil dari Mauqif Asy-
Syari’ah min AlMasharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashshirah, karya Dr. Abdullah
Abdurrahim Al-Abadi.
105
Abdul Ghufor, Anshori, Abdul Ghufor, Perbankan Syariah Di Indonesia,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,2007.
Antonio, Muhammad Syafi‟i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Aljaziri, Abdurrahman, Al-fiqh „Ala Madzahib Al-Arba‟ah, juz XII, Maktabah al-
Tijariyah
Al Dardir, Hasyiata Qalyubi Umaira, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah Indonesia.
Tth.
al –Dimyati, Sayyid al bakri al-Dimyati, I‟anat al Thalihin, Semarang: Toha Putra.
Tth.
Arifian,Veithzal Rivai, Islamic Banking: Sebuah teori, konsep, dan aplikasi. Ed. 1
Cet. 1 Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Ali sakti, Darsono, Ascarya, dkk. Perbankan Syariah di Indonesia (Kelembagaan dan
Kebijakan Serta Tantangan Kedepan), Cetakan 1, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2017.
Alwi, Hasan dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2005.
Aziz, Abdul Aziz,Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Inter Mas, 1997.
Ahmad, Idris , Fiqih al-Syafi‟iyah, Jakarta: Karya Indah, 1986.
Ahmad, Idris , Fiqh al-Syafi’iyah, Jakarta : Karya Indah, 1986
Anshori, Abdul Ghofur , Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2009
Basri, Hasan Model Penelitian Fiqh; Pradigma Penelitian Fiqh Dan Fiqh Penelitian,
Jilid 1 Jakarta: Kencana, 2003.
Basyir, Ahmad Azhar, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Cetakan
Kedua, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Buchori, Nur Syamsudin, Koperasi Syari’ah, Tangerang: Pustaka Aufa Media, 2012.
106
Burhanuddin, Hukum Kontrak Syariah , Yogyakarta: BPFE Yogyakarta , 2009.
Dumairi nor dkk, Ekonomi Syariah , Pasuruan: Pustaka Sidogiri , 2008.
Djamil, Fathurrahman Filsafat Hukum Islam Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997.-------- Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah Jakarta: Logos, 1995.
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:
Logos, 1995.
Dewi, Gemala Dewi, et. al., Hukum Perikatan Islam Indonesia, Cetakan Kedua
Jakarta: Kencana, 2006.
Daeng, H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2011.
Fikri, Ali , Al-Mu’amalat Al-Madiyah wa al-Adabiyah, Juz 2, Mesir Mathba‟ah
Musthafa Al-Babiy AlHalaby, cet I, 1357.
Ghazaly, Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana, 2010.
Djazuli, Ahmad Djazuli, Lembaga Perekonomian Umat, Jakarta : Grafindo Persada,
2002.
Hakim, Atang abd, Fiqh Perbankan Syariah, Bandung: PT Refika Aditama, 2011.
Hasan, Zubairi, Undang-Undang Perbankan Syariah, Jakarta : Rajawali Pers,2009
Hulwati, Ekonomi Islam, Teori dan Prakteknya dalam Perdagangan Obligasi
Syariah di Pasar Modal Indonesia dan Malayia, Ciputat Press. 2015.
Haroen, Nasrun, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama 2007.
Hasan, Ali , Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta:PT RajaGrafindo
Persada, 2004.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2007
Ismail Al-Bukhari, Muhammad bin, Shahih Al-Bukhari, Juz 2, Dar al-Fikr, Beirut, tt.
Ibnu Abidin Raad Almukhtar, Juz VIII, beirut: Darul Kitab Al-Ilmiah,1994.
107
Ibnu Abidin, Raad al Mukhtar, Beirut: Daar Kitab Alilmiah, juz VIII, 1994, h. 10
Rusyd, Ibnu, "Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujatahid" Kitab Al-Hiwalah,
Jakarta : Pustaka Amani, 2002
Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011.
Jafri, Syafii, Fiqh Muamalah, Pekanbaru : Suska Press, 2008.
Jayadi, Abdullah, Beberapa Aspek tentang Perbankan Syariah, Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2011.
Karim, Adiwarman A, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: Raja Raja Wali Pers,
2004
Muharrom, M.Tamyiz, Kontrak Kerja: Antara Kesepakatan dan Tuntutan
Pengembangan SDM, dalam Al Mawarid Jurnal Hukum Islam, Edisi X :
Yogyakarta: Program Studi Syariah FIAI UII, 2003.
Muhamad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Unit Penerbit dan Percetakan
(UPP) AMP YKPN, Yogyakarta, 2005.
Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2015.
Muharrom, M.Tamyiz, Kontrak Kerja: Antara Kesepakatan dan Tuntutan
Pengembangan SDM, dalam Al Mawarid Jurnal Hukum Islam, Edisi X :
Yogyakarta: Program Studi Syariah FIAI UII, 2003.
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: Ekonisia 2004.
Muhamad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta Unit Penerbit dan
Percetakan (UPP) AMP YKPN, 2005.
Nurhayanti Sri, Akuntansi Syariah Di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2011.
Nur Syamsudin Buchori, koperasi syari‟ah, Tangerang: Pustaka Aufa Media, 2001
Nor dkk, Dumairi, Ekonomi Syariah, Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008.
.
108
Samuel L, Hayes, Frank E. Vogel, Islamic Law And Finance: Religion, Risk And
Return The Netherlands: Kluwer Internasional, 1998.
.
Soemitra, Andi, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana , 2010.
Susanto Burhanuddin . Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta:UII.
2008,
Suhendi, H. Hendi , Fiqh Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2011
Sri, Nurhayanti, Akuntansi Syariah Di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2011.
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Yogyakarta: EKONISIA,
2003.
Sakka Pati, Ahmadi Miru, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai
1456 BW), (Jakarta Rajagrafindo Persada,2011.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta : Sinar Grafika 1987.
Susanto, Burhanuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Mataram: Genta
Press, 2008
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia,
2005.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cet 3 Jakarta: Universitas
Indonesia-Press, 1986.
Sri Mamudji, Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2001.
Syafe'I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Cetakan Kedua, Bandung: CV. Pustaka Setia,
2004.
Thalib, Hasballah, Hukum Aqad (Kontrak) dalam Fiqih Islam dan Praktik di Bank
Sistem Syariah, Medan : Program Pasca Sarjana USU Konsentrasi Hukum Islam,
2005).
Saeed, Abdullah, Bank Islam dan Bunga, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014.
109
Supriyono, Maryanto, Buku Pintar Perbankan, Yogyakarta: Andi, 2011.
Sabiq, Sayyid , Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara,2004.
Saeed, Abdullah, Bank Islam dan Bunga, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004.
Trisadini Prasastinah Usanti dan A.Shomad, “Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah
Bank Syariah”, Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Unair, 2008.
Trisadini. P., Transaksi Bank Syariah, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah:
Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta : Penerbit Djambatan, 2001.
Tampubolon, Robert, Risk Mangement: Pendekatan Kualitatif Untuk Bank
Komersial. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004.
Taqiyudin Abu Bakar Muhammad al-Husain al-Damsyiqi, Kifayat al-Akhyar, Daar
AL- Qutub Al-Ilmiah.
Usanti Trisadini P, Transaksi Bank Syariah, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013.
Yulianti, Rahmani Timorita, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak
Syariah, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia,
Jurnal Ekonomi Islam La-Riba Vol.11, No. 1, Juli 2008.
Zulkifli, Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Perbankan Syari’ah, Jakarta : Zikrul
Hakim 2001.
Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al Islamy Wa Adillatuh, Juz 5, Dar Al-Fikr, Damaskus
1986
B. Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Pada Pasal 1 (Butir 4) Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disusun sebagai respon terhadap UU No. 3
Tahun 2006
110
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA),
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang no. 10 tahun 1998 tentang perbankan
UndangUndang Nomer 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Perbankan Syariah
Peraturan Bank Indonesia (PBI) yaitu PBI No. 71 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan
Prinsip Syariah dalam Penghimpunan Kegiatan Dana dan Penyaluran Dana
Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah
PBI No. 10/16/PBI/2008. Pasal 3 huruf c PBI No. 9/19/PBI/2007 menyebutkan
bahwa “Pemenuhan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1), dilakukan sebagai berikut : dalam kegiatan pelayanan jasa dengan
mempergunakan antara lain akad kafalah, hawalah dan sharf
Fatwa DSN-MUI Nomor: 103/DSN-MUI/X/2016 tentang Novasi Subjekti
Berdasarkan Prinsip Syariah.
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 perihal
Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah
Fatwa No.12/DSNMUI/IV/2000 tentang Hawalah
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor : 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil
Ujrah
Peraturan Bank Indonesia No.10/32/PBI/2008 tentang komite Perbankan Syariah
111
C. Majalah/Seminar/Wawancara/Artikel/Website
www. wordpress.com/2018/1/28/bank-perkreditan-rakyat-bpr-syariah/ html, diakses
pada 11 April 2018 Pukul.10.00 WIB.
http://alhushein.blogspot.co.id/2012/01/akad-tabaru-dan-tijarah.html
www. wordpress.com/2018/1/28/bank-perkreditan-rakyat-bpr-syariah/.
http://alhushein.blogspot.co.id/2017/01/akad-tabaru-dan-tijarah.html, diakses pada 15
Januari 2017 Pukul.09.00 WIB.
https://rumaysho.com/149-mudahkanlah-orang-yangberutangpadamu.html,diakses,15
Januari 2017 Pukul.10.00 WIB.
https://yufidia.com/fiqh-hiwalah-pemindahan-utang/html, diakses, 15 Januari 2017
http://contohdakwahislam.blogspot.com/2014/01/bab-hawalah-peralihan-hutang.html,
Tanggal 27 Juli 2018, pukul 10.00
Recommended