View
151
Download
14
Category
Preview:
DESCRIPTION
gangguan otonom, stroke, kardiovaskular, termoregulasi, genitourinary
Citation preview
Gangguan Otonom Pada Stroke Akut
I. PENDAHULUAN
Menurut WHO (World Health Organization) stroke didefinisikan sebagai suatu gangguan fungsional
otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang
berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat menimbulkan kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran
darah atau vaskularisasi otak.1
Stroke adalah salah satu sindrom neurologi yang merupakan ancaman terbesar menimbulkan
kematian dan kecacatan dalam kehidupan manusia. Di Amerika Serikat, stroke menempati urutan ketiga
penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker. Di Indonesia data nasional stroke menunjukkan
bahwa stroke merupakan penyakit dengan angka kematian tertinggi, yaitu sebesar 15,4%. 2 Dari semua
pasien yang terkena stroke iskemik pertama kalinya, sekitar 50% meninggal atau menjadi tergantung dalam
kegiatan sehari-hari pada 1 tahun pertama setelah serangan sehingga menimbulkan beban bagi
perekonomian. Biaya langsung dan tidak langsung yang dikeluarkan per tahunnya mencapai rata-rata 6,1%
dari anggaran kesehatan sebuah negara. Selain beban ekonomi, stroke juga memberikan dampak sosial dan
psikologis yang beragam, karena banyak korban tetap dinonaktifkan untuk sisa hidup mereka.3
Mortalitas stroke dipengaruhi beberapa hal, selain prediktor mortalitas tradisional seperti usia, jenis
kelamin, subtipe stroke, komorbiditas dan keparahan gejala neurologis.4 Gangguan otonom juga memiliki
faktor prognostik pada pasien dengan stroke, terutama yang berkaitan dengan sistem kardiovaskular.
Namun demikian, gangguan otonom sebagai salah satu gejala stroke yang memerlukan observasi pada fase
akut masih jarang dibahas.5
II. ISI
II.1. SISTEM SARAF OTONOM
II.1.1. ANATOMI SISTEM SARAF OTONOM
Sistem saraf otonom (Autonomic Nervous System/ANS) adalah bagian saraf perifer berupa jaringan
saraf luas yang peran utamanya adalah untuk mengatur lingkungan internal manusia dengan mengendalikan
homeostasis serta fungsi viseral. ANS bersifat “self-governed” atau involunter dan berfungsi menyesuaikan
kerja berbagai organ dalam menghadapi perubahan kondisi internal dan eksternal, mempertahankan fungsi-
fungsi homeostatik yang penting untuk kehidupan. Pada saat tubuh menghadapi stress, ANS melalui efek
simpatis memberikan respon “fight or flight”, sementara pada keadaan istirahat parasimpatis akan
mendominasi dan memberikan respon “rest and digest”.6 Fungsi otot jantung, berbagai otot polos, kelenjar
sekretorik dan sekresi hormon diatur oleh ANS. ANS juga memainkan peran penting dalam modulasi nyeri
dan persepsi. Ketika transmisi saraf otonom terganggu, organ tubuh akan tetap berfungsi, tetapi tidak lagi
1
efektif dalam mempertahankan homeostasis dan beradaptasi dengan perubahan kondisi internal dan stres
eksternal.7
ANS memiliki komponen pada setiap tingkat dari sistem saraf. Perbedaan ANS dengan sistem saraf
somatik ialah, ANS memiliki 2 buah ganglion, yaitu preganglion muncul dari inti di medulla spinalis dan
postganglion.8 Secara fungsional, sistem saraf simpatik (Sympathetic Nervous System/SNS) dan sistem saraf
parasimpatik (Parasympathetic Nervous System/PNS) saling melengkapi dalam menjaga keseimbangan di
banyak struktur visceral. Struktur visceral sebagian besar diinervasi oleh baik serabut simpatis maupun
parasimpatis, dengan pengecualian pada kelenjar keringat dan beberapa pembuluh darah yang hanya
memiliki persarafan tunggal saja, yaitu simpatis.6
Serabut saraf simpatis preganglionik merupakan serabut yang bermielin dan berasal dari kolom sel
intermediolateral dan intermediomedial substansia grisea dari medulla spinalis antara thoracal pertama
sampai lumbal ketiga. Serabut ini kemudian akan bersinaps dengan neuron postganglionik di paravertebral.
Sementara serabut postganglioniknya merupakan serabut yang tidak bermyelin yang langsung berhubungan
dengan pembuluh darah, kelenjar keringat dan folikel rambut, jantung, saluran pernapasan, ginjal, usus,
pankreas, kandung kemih dan organ seks. Serabut saraf parasimpatis berasal dari segmen kranial dan sakral.
Divisi kranial berasal dari midbrain, pons dan medula, sementara divisi sakral berasal dari sel-sel kornu
lateral kedua, ketiga dan keempat segmen sakral medulla spinalis.9
2
Fight or Flight Rest and Digest
SNS mampu menghasilkan respon massal sebagai respon dari pengeluaran epinefrin dari adrenal
medula. Rasio serabut postganglionik / preganglionik yang tinggi serta serat postganglionik yang panjang,
menyebabkan respon simpatik dapat berlangsung lebih luas dalam waktu lebih singkat. Sementara pada
sistem parasimpatik, rasio serat postganglionik / preganglionik jauh lebih rendah dan akson preganglionik
bersinaps dengan neuron postganglionik di daerah yang lebih dekat dengan organ efektor, sehingga respon
menjadi lebih selektif.9
3
Asetilkolin adalah neurotransmitter untuk neuron preganglionik di baik sistem parasimpatis maupun
simpatis. Sementara neuron postganglionik simpatis bersifat adrenergik, dengan pengecualian serat
sudomotor, yang bersifat kolinergik. Serabut postganglionik neuron parasimpatis bersifat kolinergik.9
II.1.2. PERAN PENGATURAN SENTRAL TERHADAP SISTEM SARAF OTONOM
Pusat kontrol fungsi otonom terdiri dari hubungan timbal balik antara area di korteks, forebrain,
hipotalamus, midbrain, pons dan medula. Sistem saraf otonom pusat menerima dan mengintegrasikan
informasi visceral, humoral dan memberikan respon melalui neuron preganglionik, neuroendokrin, pusat
pernapasan, serta sfingter motor neuron.10
Hipotalamus memiliki peranan penting dalam pengaturan sistem otonom. Bagian posterior/caudal
hipotalamus berperan dalam kontrol simpatis, sementara bagian anterior/rostral berperan dalam kontrol
parasimpatis. Hipotalamus penting dalam pengaturan otonom karena mengontrol setiap fungsi vital dan
mengintegrasikan sistem neuroendokrin dan otonom. Terutama nukleus paraventricularnya, karena nukleus
ini mempersarafi semua pusat otonom, mengintegrasikan respon terhadap stres, mengatur fungsi
kardiovaskular, metabolisme energi, serta respon imun.10
4
Penelitian yang telah ada terutama menjelaskan mengenai pengaturan sentral terhadap respon
jantung pada gangguan neurologis akut. Selain hipotalamus, amygdala, korteks orbitofrontal, cingulate, dan
korteks temporal juga dapat mempengaruhi respon jantung, namun dalam frekuensi yang lebih rendah
dibandingkan hipotalamus dan batang otak. Sebagian besar bukti menunjukkan bahwa korteks insula juga
berperan besar dalam respons otonom dan berkaitan erat dengan gangguan kardiologis yang menyertai
cedera neurologis.5
Nukleus traktus solitarius (NTS) merupakan daerah relay dari impuls sensorik viseral di otak dan
menerima masukan dari seluruh organ utama tubuh. Serabut aferen dari sistem kardiovaskular,
baroreseptor dari jantung dan paru, serta kemoreseptor dari karotis dan aorta yang melalui serabut saraf
5
glossopharing dan vagus berproyeksi ke daerah tertentu dari NTS. Dari NTS, impuls aferen tersebut dibagi
menjadi 2, proyeksi pertama adalah menuju nukleus vagus, nukleus ambiguus, serta kolumna
intermediolateral di medulla spinalis. Proyeksi ini terlibat dalam modifikasi refleks otonom, misalnya neuron
yang masuk ke dalam subnucleus dorsolateral NTS akan memberikan efek terhadap siklus jantung dengan
memberikan efek vasodepressor dan bradikardia. Sementara dan proyeksi lain dibawa SSP yang lebih
tinggi.11
Tingkat tertinggi integrasi fungsi otonom dieksekusi oleh struktur otonom di kortikal, termasuk lobus
insula, anterior cingulate, dan korteks prefrontal medial. Korteks tersebut akan mengintegrasikan respon
viscerosensory dan visceromotor.11 Stimulasi dari korteks prefrontal medial, yang memiliki hubungan dengan
amigdala, hippocampus, thalamus, hypothalamus, inti parabrachial dan NTS, akan menginduksi bradikardia,
hipotensi dan memodulasi sekresi lambung. Medial prefrontal cortex juga dapat mempengaruhi proses
otonom yang mendasari apresiasi dan ekspresi emosi. Aktivasi korteks insular menyebabkan perubahan
dalam tekanan darah dan denyut nadi, piloereksi, sekresi epinefrin dan aktivitas gastrointestinal.12
6
Korteks insula kiri memiliki fungsi yang didominasi respon parasimpatis, sedangkan
korteks insular kanan mendominasi dalam respon simpatik. Amigdala, mengintegrasikan respon otonom,
neuroendokrin dan emosi. Transmisi informasi di sistem otonom pusat melibatkan beberapa
neurotransmiter, termasuk asam amino, asetilkolin, monoamin dan neuropeptida. Asam amino memediasi
komunikasi yang cepat melalui reseptor saluran ion. Sementara asetilkolin, monoamin, dan neuropeptida
memediasi modulasi yang lebih lambat dengan bertindak pada reseptor spesifik.13
Angiotensin II, vasopresin, natriuretik peptid, opioid, corticotrophin-releasing hormon dan berbagai
sitokin mempengaruhi kontrol kardiovaskular pusat dengan bertindak sebagai neurotransmiter endogen /
neuromodulators di jalur otonom pusat sekaligus memberikan sinyal yang berefek langsung pada target
organ perifer.13
7
II.2 DISFUNGSI OTONOM PADA STROKE
Disfungsi otonom sebagai salah satu manifestasi klinis pada stroke telah diketahui sejak lebih dari 50
tahun yang lalu. Stroke dikaitkan dengan berbagai manifestasi klinis disfungsi ANS, termasuk kardiovaskular,
gastrointestinal, urogenital, sudomotor dan gangguan termoregulasi.9
Namun ketertarikan terhadap manifestasi klinis stroke ini semakin meningkat dalam dekade
terakhir, karena beberapa penelitian terakhir mengungkapkan bahwa disfungsi otonom memiliki faktor
prognostik yang lebih buruk terhadap pasien stroke. Gangguan kardiovaskular meningkatkan angka
kematian pada pasien post stroke dengan angka yang cukup signifikan. Sementara gangguan lain yang
melibatkan gastrointestinal dan urogenital, walaupun dinilai tidak membahayakan namun mengganggu
kualitas hidup pasien stroke.9
8
II.2.1 KARDIOVASKULAR
II.2.1.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI PERSARAFAN JANTUNG
Pusat yang berperan dalam pengaturan impuls simpatis dan parasimpatis kardiovaskular terletak di
dalam otak dikenal sebagai pusat vasomotor (vasomotor center). Pusat vasomotor terletak pada substansi
retikular pada medulla dan pons. Pusat ini mengirimkan impuls parasimpatis melalui nervus vagus ke jantung
dan mengirimkan impuls simpatis melaui spinal cord dan saraf simpatis perifer yang selanjutnya akan
menuju ke pembuluh darah arteri, arteriola, dan vena.14
Pusat vasomotor mengontrol konstriksi pembuluh darah dan mengontrol aktivitas jantung. Bagian
lateral dari pusat vasomotor mengirimkan impuls eksitatori melalui serat saraf simpatis ke jantung saat
tubuh membutuhkan peningkatan detak jantung dan kontraktilitas. Sebaliknya, pada saat tubuh
membutuhkan penurunan detak jantung, bagian medial dari pusat vasomotor mengirimkan sinyal ke nervus
vagus yang kemudian akan mentransmisikan impuls parasimpatik ke jantung sehingga terjadi penurunan
detak jantung dan kontraktilitas. Impuls yang dikirim saraf simpatis ke jantung akan menyebabkan
peningkatan detak jantung (efek kronotropik), kecepatan transmisi pada jaringan konduktif jantung (efek
dromotropik) dan kekuatan kontraksi (efek inotropik). Impuls yg dikirim melalui saraf simpatis juga dapat
menghambat efek dari parasimpatis melalui nervus vagus.14
9
Jantung diinervasi oleh dua divisi dari sistem saraf otonom, yang dapat mengubah kecepatan dan
juga kekuatan kontraksi, walaupun rangsangan saraf tidak dibutuhkan untuk memulai kontraksi. Saraf
parasimpatis jantung, nervus vagus, mempersarafi atrium terutama SA node dan AV node. Persarafan
parasimpatis untuk ventrikel hanya sedikit. Saraf simpatis jantung juga mempersarafi atrium termasuk SA
node dan AV node dan juga secara dominan mempersarafi ventrikel.14
Dengan sistem hantaran jantung, maka irama denyut jantung dapat dikendalikan agar tetap dalam
batas-batas normal. Sistem hantaran jantung diawali pada simpul sinoatrial atau simpul sinus yang terdapat
di bagian atrium kanan, di dekat muara vena cava superior. Simpul sinus normal merupakan “primary
cardiac pacemaker” tetapi dalam kondisi tertentu maka sistem pacu jantung (“cardiac pacemaker”) yang
terdapat di dalam simpul atrioventrikular atau di sepanjang sistem hantaran jantung dapat tetap
berdenyut.Sistem hantaran jantung tersebut terdiri dari simpul sinus, preferential internodal pathways,
simpul atrioventrikular, berkas His dan sistem Purkinje.15
Sistem hantaran khusus mendapat pelayanan saraf otonom simpatis dan parasimpatis. Simpul
sinoatrial dipersarafi oleh saraf parasimpatis melalui saraf vagus kanan, sedangkan saraf vagus kiri melayani
simpul atrioventrikular. Kedua saraf otonom tersebut mengatur denyut jantung miogenik sehingga
mempengaruhi “cardiac performance” seperti otomatisitas, konduktivitas, kontraktilitas, dan “rhythmicity”
jantung. Simpul sinoatrial merupakan pusat tertinggi pacu jantung, dan dari sinilah munculnya “ inherent
rhythm” yang tidak pernah berhenti berdenyut, yang berjalan secara spontan dan impulsnya dihantarkan ke
seluruh bagian jantung lainnya dan selanjutnya timbul irama jantung yang senada dengan irama simpul
sinoatrial.14
10
Rangsangan saraf parasimpatis pada simpul sinus, cenderung memperlambat kecepatan
pembentukan impuls pada pusat pacu jantung, hal ini terjadi karena ujung-ujung saraf parasimpatis
mengeluarkan asetilkolin, yang pengaruhnya dapat menurunkan jumlah produksi impuls di simpul sinus dan
menurunkan kepekaan atrio-ventricular junction terhadap impuls atau rangsang yang datang dari simpul
sinus, sehingga terjadi perlambatan hantaran impuls ke otot ventrikel. Rangsangan yang sangat kuat oleh
parasimpatis akan menghentikan perubahan ritmik aktivitas potensial aksi pada pacu jantung dan terjadilah
blok hantaran impuls ke atrio-ventricular junction. Bila keadaan ini terjadi, maka ventrikel tidak akan
berkontraksi. Tetapi dengan adanya pacemaker system lain di dalam ventrikel dan otot-otot jantung itu
sendiri, maka terjadilah rangsangan pada ventrikel yag menyebabkan ventrikel dapat berkontraksi di luar
kontrol simpul sinus. Dan ini merupakan salah satu mekanisme kompensasi untuk mempertahankan denyut
jantung. Denyut ventrikel demikian disebut sebagai ekstrasistole ventrikel dan pada rekaman
elektrokardiogram tampak gelombang QRS tanpa didahului oleh gelombang P. Sistem parasimpatis
mempunyai sedikit efek pada kontraksi vetrikel, karena sedikitnya inervasi pada ventrikel.15
Rangsangan simpatis pada simpul sinus akan memberikan pengaruh yang berlawanan dengan
rangsangan parasimpatis, hal ini karena simpatis meningkatkan potensial aksi pusat pacu jantung di dalam
simpul sinus. Di lain pihak karena rangsangan simpatis, juga akan terjadi peningkatan permeabilitas
membran semua jaringan termasuk otot-otot jantung terhadap kalium dan natrium, sehingga hantaran
impuls dipercepat dan kekuatan kontraksi otot jantung juga meningkat. Tabel di bawah ini menunjukkan
efek sistem saraf otonom terhadap jantung.15
Area yang dipengaruhi Efek dari rangsangan parasimpatis Efek dari rangsangan simpatis
Simpul SA Menurunkan tingkat depolarisasi,
memperlambat denyut jantung
Meningkatkan tingkat depolarisasi,
mempercepat denyut jantung
Simpul AV Menurunkan eksitabilitas,
meningkatkan perlambatan simpul AV
Meningkatkan eksitabilitas, menurunkan
perlambatan simpul AV
Jalur konduksi
ventrikular
Tidak ada efek Meningkatkan eksitabilitas, mempercepat
konduksi melalui berkas His dan sel-sel Purkinje
Otot Atrium Menurunkan kontraktilitas,
memperlemah kontraksi
Meningkatkan kontraktilitas, memperkuat
kontraksi
Otot Ventrikel Tidak ada efek Meningkatkan kontraktilitas, memperkuat
kontraksi
Medulla adrenal Tidak ada efek Merangsang pengeluaran epinephrin
Vena Tidak ada efek Meningkatkan aliran balik vena
11
Fluktuasi dari denyut jantung dan tekanan darah mencerminkan respon dinamik dari fungsi sistem
kontrol kardiovaskular terhadap perubahan fisiologis. Otak menerima dan mengintegrasikan semua
rangsangan eksternal dan internal untuk memungkinkan kontrol yang tepat dari fungsi kardiovaskular
melalui ANS dan sistem endokrin-humoral sebagaimana tergambar pada bagan di bawah ini.16
II.2.1.2 DISFUNGSI OTONOM KARDIOVASKULAR PADA STROKE
Gangguan kardiovaskular terkait stroke dapat bervariasi mulai dari gangguan EKG yang bersifat
sementara hingga cedera miokardial. Gangguan jantung pada pasien dengan keadaan neurologis akut
berkaitan dengan prognosis yang lebih buruk, sehingga memahaminya dapat memperbaiki manajemen klinis
dan pada akhirnya mempengaruhi prognosis pasien dengan gangguan neurologis akut.17
Gangguan jantung dapat terjadi hingga 60-70% pasien stroke. Gangguan yang paling sering ditemui
ialah perubahan pada gambaran EKG, aritmia, serta yang paling berat yaitu gangguan struktur dan fungsi
12
miokardial. Sulit untuk membedakan apakah gangguan jantung pada pasien stroke murni disebabkan oleh
stroke itu sendiri atau justru gangguan jantung merupakan suatu faktor resiko terjadinya stroke. Gangguan
jantung merupakan hal yang penting untuk diketahui, karena memberikan kontribusi besar dalam mortalitas
pasien pasca stroke. Gangguan jantung dan gangguan otonom pada stroke iskemik diketahui berkaitan
dengan prognosis yang lebih buruk. Gangguan jantung diketahui menjadi penyebab setidaknya 6% kematian
tiba-tiba pada bulan pertama setelah serangan stroke.5
Kelainan kardiovaskular yang disebabkan oleh lesi serebral fokal disebabkan kerusakan pada pusat-
pusat otak yang mengatur fungsi kardiovaskular, klinis dan studi eksperimental menunjukkan bahwa struktur
kortikal dan subkortikal seperti korteks insula dan amygdala memainkan peran patogenik. Mekanisme
perifer ini melibatkan aktivitas simpatis yang abnormal, gangguan aktivitas parasimpatis, dan peningkatan
kadar katekolamin yang bersirkulasi.17
Korteks insula telah diketahui besar peranannya pada gangguan kardiovaskular poststroke. Iskemia
pada korteks insula terkait dengan pemanjangan QT interval, aritmia, peningkatan tekanan darah nokturnal,
dan peningkatan plasma katekolamin. Korteks insula memiliki jaras-jaras yang berhubungan luas dengan
berbagai area lain di otak, dan jaras tersebut diketahui berhubungan dengan fungsi otonom baik secara
eksperimental maupun bukti klinis. Oppenheimer et al dalam penelitiannya menyatakan aritmia yang fatal
serta kerusakan miokardium dapat terjadi pada tikus dengan jejas korteks insula yang serupa dengan jejas
yang disebabkan oleh stroke pada manusia. Stimulasi pada korteks insula bagian posterior menimbulkan
gangguan EKG berupa blok (bersifat progresif, mulai dari AV block derajat ringan hingga blok komplit),
pemanjangan QT, ST depresi, ektopi ventrikel, dan berakhir pada asistol. Perubahan pada gambaran EKG ini
berhubungan secara langsung dengan gambaran patologis pada miokardium yang disebut miositolisis.
Miositolisis sendiri dicurigai diinduksi oleh aktivasi yang berlebihan dari saraf simpatis pada otot intrinsik
jantung. Dalam dua studi mengenai pasien stroke iskemik, keterlibatan korteks insular terkait dengan
prognosis jangka panjang yang buruk dan peningkatan risiko kematian mendadak. Jalur yang diusulkan
terlibat dalam hal ini diilustrasikan pada gambar di bawah ini.18
13
Percobaan dengan menggunakan binatang sebagai model memberikan gambaran lebih jauh
mengenai keterlibatan insula dalam regulasi otonom jantung. Pada percobaan dengan menggunakan tikus
yang lain, infark pada insula diketahui berhubungan dengan peningkatan aktivitas simpatis renal,
pemanjangan interval QT, dan peningkatan kadar epinefrin. Secara patologis, gambaran miositolisis hanya
ditemukan pada keterlibatan korteks insula. Lebih jauh, stroke yang melibatkan korteks insula ternyata juga
mempengaruhi siklus nokturnal tubuh, mengurangi pengaruh parasimpatis, serta mengurangi dominansi
vagal. Semua penemuan tersebut mendukung pernyataan bahwa stroke dapat berpengaruh pada sistem
kardiovaskular melalui kerusakan pada korteks insula dan area terkait lainnya yang pada akhirnya menggeser
sistem keseimbangan otonom pada tubuh menjadi dominan aktivitas simpatis.18
14
II.2.1.2.1 PERUBAHAN GAMBARAN ELEKTROKARDIOGRAM
Komplikasi kardiovaskular yang paling umum ditemukan pada komplikasi otonom terkait lesi
serebral akut ialah perubahan elektrofisiologi jantung. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa keadaan ini
ditemukan pada 92% pasien dengan stroke akut. Perubahan EKG sering ditemukan selama beberapa hari
pertama setelah infark serebri, berkembang selama beberapa hari dan menghilang dalam waktu 2 minggu.
Gambaran yang ditimbulkan pada keadaan post stroke menyerupai kelainan iskemia atau infark miokard
yang pada akhirnya menimbulkan dilema diagnostik dan manajemen bagi dokter. Perubahan gambaran
repolarisasi jantung, yang terdiri dari gelombang T datar, terbalik (T inverted) atau memuncak (tall T waves),
elevasi atau depresi segmen ST dan pemanjangan QT interval, serta gelombang Q patologis, dan gelombang
U, adalah gambaran paling umum EKG pada pasien stroke.18
Pada tahun 1947, Byer pertama kali menjelaskan mengenai pemanjangan interval QT dengan
gelombang T besar dan gelombang U pada EKG dari 4 pasien dengan akut stroke. Burch pada penelitiannya
menyebutkan pola EKG setelah stroke akut yang terdiri dari gelombang T inverted yang besar, pemanjangan
interval QT, dan gelombang U yang besar merupakan tanda khas dari cedera serebrovaskular. Pemanjangan
interval QT lebih sering ditemui pada pasien dengan stroke hemoragik, gangguan ini terjadi pada 45-71%
pasien dengan SAH atau ICH, dibandingkan dengan 38% dari mereka dengan stroke iskemik.5
Kelainan EKG yang paling umum ditemukan pada stroke adalah pemanjangan interval QT, suatu
kelainan repolarisasi miokard yang dikaitkan dengan peningkatan risiko aritmia dan transformasi gelombang
menjadi gambaran torsade de pointes. Takiaritmia ventrikel, kematian mendadak,dan torsade de pointes
15
sering didahului oleh perpanjangan QT pada pasien post stroke. Pemanjangan interval QT, disertai dengan
gelombang U dan perubahan gelombang T, sering berkorelasi dengan peningkatan tekanan darah sistolik
pada saat masuk. Penilaian penyebab lain kelainan EKG tersebut, seperti hipokalemia, hipomagnesemia, dan
toksisitas obat, dianjurkan sebelum menghubungkan perubahan ini ke stroke yang mendasarinya.5
Kesamaan antara kelainan EKG karena iskemia/infark miokard akut dan kelainan terkait stroke yang
paling mencolok dengan kelainan repolarisasi yang melibatkan segmen ST. Perubahan segmen ST (termasuk
ST elevasi) terjadi pada 22 - 35% dari pasien dengan stroke iskemik. Kelainan gelombang T ditemukan pada
sekitar 15% pasien dengan stroke akut tanpa adanya gangguan elektrolit atau penyakit jantung iskemik.
Gelombang T inverted atau flat juga dilaporkan pada 55% pasien dengan SAH, subkelompok stroke dengan
prevalensi penyakit jantung yang terendah. Bukti lain diperoleh dari otopsi pada lima pasien dengan
perubahan EKG yang meninggal setelah SAH. Tidak satupun dari pasien tersebut terbukti memiliki gangguan
jantung koroner. Kono melakukan penilaian jantung yang mendalam terhadap 12 pasien dengan SAH akut
disertai gambaran elevasi ST pada EKG. Meskipun pada pasien tersebut ditemukan adanya abnormalitas
gerakan dinding apikal pada ekokardiogram, namun tidak ada bukti stenosis arteri koroner atau vasospasme
pada angiografi jantung.5
Gelombang Q baru yang serupa dalam morfologi yang diamati pada infark miokard akut juga
umum ditemui setelah stroke akut. Gambaran ini dilaporkan pada sekitar 10% pasien stroke iskemik atau
16
stroke hemoragik yang bersifat akut. Gelombang Q bisa bersifat sementara atau melanjutkan perubahan
evolusioner seperti terlihat pada infark miokard. Evaluasi jantung mungkin diperlukan pada pasien dengan
gelombang Q dan perubahan segmen ST, terutama jika mereka lebih tua dari 65 tahun dengan faktor risiko
koroner seperti diabetes mellitus.18
Gelombang U terjadi dapat ditemukan pada sekitar 13-15%pasien dengan stroke iskemik akut dan
SAH. Gelombang ini dapat dijumpai sendiri, atau bersamaan dengan gelombang T dan kelainan segmen QT.
Gelombang U terisolasi dijumpai merata antara stroke iskemik dan perdarahan, namun kombinasi
gelombang U dan pemanjangan QT lebih umum pada pasien dengan stroke hemoragik. Tidak ada hubungan
antara gelombang U dengan kematian pada kejadian stroke, sehingga perubahan EKG tidak memerlukan
pengobatan atau evaluasi khusus.18
II.2.1.2.2 ARITMIA
Hampir semua jenis aritmia jantung dapat ditemukan pada kejadian stroke akut termasuk
bradikardia, takikardia supraventricular, atrial flutter, fibrilasi atrium, ventricular ectopic beat, ventricular
tachycardia (uni/multifocal), torsade de pointes, dan fibrilasi ventrikel. Kebanyakan aritmia terjadi dalam
minggu pertama setelah stroke, terjadi di 25- 40% pasien dengan stroke iskemik dan ICH, dan 98% pasien
dengan SAH. Dalam sebuah studi kasus-kontrol retrospektif yang dilakukan tanpa memisahkan pasien
dengan kelainan jantung, disebutkan bahwa aritmia yang paling umum ditemukan adalah fibrilasi atrium
(14%- 21%), diikuti oleh aritmia ventrikel (5%- 13%). Sementara penelitian lain yang memisahkan pasien
dengan kelainan jantung ditemukan bahwa ventrikel ekstrasistol lebih sering ditemukan, diikuti oleh
ekstrasistol atrium, supraventricular tachycardia, dan fibrilasi atrium.18
Lokasi perdarahan berkorelasi dengan kejadian gangguan irama jantung. Yamour melaporkan
korelasi antara perdarahan batang otak dengan fibrilasi atrium, aritmia ventrikel berkorelasi dengan lokasi
temporoparietal, sedangkan sinus bradikardia dan takikardia supraventricular lebih umum ditemukan pada
perdarahan lobus frontal. Stober pada penelitiannya mengenai gangguan irama pada SAH menyebutkan
bahwa ektopi ventrikel multifokal merupakan gangguan irama yang paling sering ditemukan (54%), diikuti
dengan interval asystolic (27%), sinus bradikardia (23%), dan atrial fibrilasi (4%). Karena frekuensi dan tingkat
keparahan aritmia secara signifikan lebih tinggi pada pasien dalam waktu 48 jam dari onset SAH, maka
pemantauan jantung yang ketat serta perawatan di ruangan intensif sangat direkomendasikan untuk semua
pasien dengan SAH. Aritmia jantung lebih sering ditemukan pada pasien dengan stroke sisi kanan, dan
kerusakan korteks insula kanan juga dikaitkan dengan aritmia yang lebih kompleks dan berkaitan dengan
kasus kematian mendadak yang terjadi awal setelah stroke.18
17
II.2.1.2.3 JEJAS DAN DISFUNGSI JANTUNG
Gangguan jantung, baik struktur maupun fungsi dapat terjadi tanpa adanya CAD yang mendasari.
Ketika cedera jaringan miokard ditemukan, kecurigaan terbesar adalah bahwa jejas tersebut didasari
penyakit jantung, namun studi mengenai gambaran patologis jantung memberikan hasil berbeda jejas yang
disebabkan iskemia arteri koroner. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa lesi serebral akan menghasilkan
kerusakan miokardium yang berbeda dari lesi yang murni disebabkan oleh iskemia miokardium. Lesi akibat
gangguan neurologis disebut sebagai koagulatif myocytolysis, yang terdiri atas perdarahan petekie
subendocardial, infiltrasi sel mononuklear interstitial, pembentukan edema dan degenerasi myofibrillar,
terutama ditemukan di daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan ujung saraf jantung.5
Stimulasi sistem saraf di berbagai lokasi seperti hipotalamus dan korteks limbik disebabkan oleh
induksi katekolamin juga akan menghasilkan lesi miokardium yang berbeda dengan lesi akibat infark
miokardium. Penelitian dari Offerhaus dan Van Gool menunjukkan bahwa disfungsi strukutural jantung pada
keadaan neurologis akut disebabkan oleh peningkatan katekolamin jaringan jantung memiliki perbedaan
secara patologi anatomi dibandingkan dengan kerusakan akibat infark. Lesi subendocardial yang diinduksi
katekolamin memperlihatkan gambaran pembengkakkan miosit dikelilingi oleh infiltrasi monosit,
perdarahan interstitial, dan degenerasi myofibrillar yang tersebar. Sementara pada pasien dengan CAD,
nekrosis miokardium biasanya mengikuti distribusi vaskular yang terkena. Dalam myocytolysis akibat
neurogenik juga ditemukan dominasi infiltrasi mononuklear, dengan gambaran awal kalsifikasi, dan infark
sel.18
Disfungsi sistolik ventrikel kiri, baik global maupun regional, yang nampak pada gambaran EKG
ditemukan pasca kejadian SAH dengan persentase sebesar 10-28 %. Disfungsi diastolik juga seringkali
ditemui, dan derajat keparahannya berhubungan dengan derajat keparahan cedera neurologis yang terjadi.
Disfungsi ventrikel kiri terjadi pada awal perjalanan dari SAH. Penelitian terbesar mengenai hal ini
menyebutkan bahwa gangguan ini timbul dalam 2 hari pertama dan kemudian prevalensi menurun pada hari
ke-3 sampai 8 hari setelah perdarahan. Disfungsi ini menunjukkan resolusi lengkap atau sebagian (bersifat
reversibel).5
18
Disfungsi miokardium terkait gangguan neurologis dan CAD dapat pula dibedakan melalui pola
gangguan gerakan dinding apikalnya. Pada disfungsi miokardium post stroke (terutama SAH), segmen yang
paling sering terkena adalah bagian basal dan pertengahan ventrikel dari dinding anteroseptal dan anterior,
serta bagian pertengahan dari ventrikel inferoseptal dan anterolateral, sedangkan keterlibatan apeks
jantung jarang dijumpai.5
II.2.1.2.4 PENANDA PLASMA / PLASMA MARKER
Perbedaan disfungsi jantung akibat gangguan neurologis juga dapat diketahui melalui plasma
marker/penanda plasma. Peningkatan enzim jantung pada pasien post stroke memberikan bukti cedera
miokard setelah stroke. Hal ini disebabkan creatine kinase (CK), khususnya isoenzim jantung CK-MB,
dilepaskan dari miokardium rusak, hal ini ditemukan pada 10-45% pasien. Peningkatan ini juga terjadi pada
gangguan jantung akibat iskemia/infark miokard, yang membedakannya ialah tidak seperti infark miokard
akut, peningkatan stroke diinduksi dalam serum CK-MB terjadi lebih lambat dengan puncaknya terjadi pada
hari ke-4 post stroke. Selain itu kadar maksimalnya pun tidak setinggi enzim CK pada iskemia/infark miokard.
Peningkatan kadar serum CK berkaitan dengan peningkatan mortalitas pada pasien stroke.5
Cardiac troponin adalah penanda spesifik dan lebih sensitif dari kerusakan miokard. Peningkatannya
juga dapat terjadi pada pasien pasca stroke, terutama SAH. Peningkatan troponin ditemukan pada 20- 25%
pasien SAH. Seperti juga creatinine kinase, enzim troponin juga berkaitan dengan peningkatan mortalitas
pasien pasca stroke.5
19
Serum natriuretik peptida tipe B juga sering digunakan sebagai penanda gagal jantung. Peningkatan
kadar serum natriuretik peptida tipe B secara signifikan berkorelasi dengan disfungsi sistolik dan diastolik,
edema paru, dan fraksi ejeksi jantung yang rendah. NP adalah hormon peptida jantung yang bersifat
vasoaktif, hormon ini terlibat dalam homeostasis volume darah dan remodeling. NP merelaksasikan otot
halus pada pembuluh darah, menyebabkan dilatasi baik arteri maupun vena, dan pada akhirnya akan
menurunkan tekanan darah dan preload. NP juga berfungsi sebagai neuromodulator yang mempengaruhi
kontrol otonom kardiovaskular jantung. NP memiliki efek inhibisi simpatik, baik pada level sentral maupun
perifer serta meningkatkan neurotransmisi vagal parasimpatis. Selain itu, NP memiliki efek sitoprotektif pada
kondisi iskemia miokard serta efek anti-proliferasi dan anti migrasi pada sel jantung dan pembuluh darah.5
II.2.1.2.5 PERUBAHAN TEKANAN DARAH
Baik tekanan darah sistolik maupun diastolik cenderung mengalami peningkatan segera setelah
terjadinya lesi stroke iskemik, namun akan mengalami perbaikan secara spontan dalam minggu pertama.
Tekanan darah umumnya sudah mengalami penurunan pada menit atau jam pertama setelah iskemia.
Peningkatan tekanan darah akut mungkin didahului hipertensi yang sudah ada sebelumnya, yang kemudian
diperburuk oleh peningkatan kerja simpatik atau stres, tetapi juga dapat menjadi respon protektif untuk
menjaga perfusi otak. Hipertensi neurogenik paroksismal terkait dengan hiperaktivitas simpatik telah diamati
pada stroke hemisfer, terutama ketika korteks insula kanan terlibat dan infark otak dengan lesi di NTS.
Gangguan akut pada level batang otak yang lebih rendah atau edema pada infark cerebellar mungkin akan
memberikan respon Cushing yang terdiri atas hipertensi, bradikardia, dan pernapasan yang lambat serta
tidak teratur. Tabel di bawah ini merupakan ringkasan dari efek otonom sentral terhadap tekanan darah dan
denyut jantung.7
20
II.2.2 THERMOREGULASI
Gangguan dalam berkeringat merupakan salah satu disfungsi otonom yang cukup sering ditemui
pada pasien dengan penyakit serebrovaskuler seperti stroke. Seperti juga gangguan kardiovaskular terkait
stroke, gangguan berkeringat juga jarang diteliti dan disebutkan dalam literatur karena kurang memilliki
signifikansi dalam diagnosis lesi. Bahkan gangguan ini lebih sedikit mendapatkan perhatian karena tidak
memiliki faktor prognostik dalam kasus stroke. Namun demikian, gangguan ini perlu diketahui karena
seringkali dikeluhkan oleh pasien post stroke.19
21
Pada penelitian yang dilakukan oleh Korpelainen hiperhidrosis yang signifikan ditemukan pada
sekitar 50% subjek penelitian, jumlah tersebut meningkat menjadi 70% setelah subjek menerima stimulus
panas. Hasil penelitian berbeda dipublikasikan oleh Carmel yang dalam suatu studi selama 1 tahun
menyebutkan bahwa hanya 3 dari 633 pasien stroke diketahui memiliki keluhan ini, sebelumnya Labar juga
pada studinya memberikan hasil serupa, di mana hanya 6 dari 600 subjek ditemukan mengalami
hiperhidrosis. Namun penelitian terdahulu memiliki kekurangan karena status hidrosis hanya dinilai dari
inspeksi, sementara penelitian yang lebih baru menggunakan metode penilaian kuantitatif.19
Pasien post stroke juga seringkali mengeluhkan ekstremitas yang dingin pada sisi yang mengalami
parese. Mekanisme dari gangguan termoregulasi ini belum diketahui, namun keluhan ini biasanya menyertai
keluhan hiperhidrosis.20
Hiperhidrosis diketahui berkaitan dengan derajat kelemahan motorik, penurunan tonus otot, dan
kemunculan refleks ekstensor plantar (babinski). Hiperhidrosis paling banyak dikeluhkan pada regio kening
dan tangan dari sisi yang mengalami parese. Keringat yang berlebihan dilaporkan pada pasien dengan infark
serebri yang luas, yang juga melibatkan korteks insula atau melibatkan bagian korteks dan subkorteks secara
bersamaan. Respon tidak berbeda baik pada pasien dengan infark di daerah frontal, parietal, maupun
temporal. Patogenesis hiperhidrosis pada pasien dengan stroke akut hingga kini masih belum diketahui.
Salah satu hipotesis yang dikemukakan menyebutkan adanya keterlibatan dari jalur inhibisi putatif yang
memang berperan dalam pengaturan keringat dari sisi kontralateral tubuh. Jalur ini mengikuti jalur
piramidal, berasal dari berbagai area kortikal yang kemudian diproyeksikan ke batang otak dan kemudian
menyilang di medulla dan membuat sinaps akhir di level medulla spinalis.19
Gangguan dalam kontrol keringat dapat menjadi tanda adanya kerusakan jalur simpatoinhibisi lain
mengingat jalur ini melewati area kortikal otak yang sama. Kegagalan jalur inhibisi putatif dapat menjadi
refleksi kondisi otonomik kardiovaskular yang memiliki nilai prognostik lebih besar. Sehingga walaupun efek
hiperhidrosis terhadap morbiditas dan mortalitas pasien stroke masih belum diketahui secara pasti, namun
observasi lebih lanjut diperlukan pada pasien dengan keluhan ini.19
II.2.3 GASTROINTESTINAL
Beberapa literatur menyatakan bahwa konstipasi mungkin berhubungan dengan stroke, walaupun
hingga kini belum ada studi yang menelitinya. Konstipasi merupakan gejala yang sering dikeluhkan oleh
pasien stroke, terutama pada pasien usia tua dengan defisit neurologis yang berat. Pada pasien-pasien ini
konstipasi dihubungkan dengan dehidrasi, imobilisasi dalam jangka waktu lama, dan konsumsi berbagai obat
dalam jangka waktu bersamaan (multidrugs consumption). Obat-obatan yang disebutkan dapat
meningkatkan risiko konstipasi adalah diuretik, obat yang mengandung logam (Fe, Al, Mg), antihipertensi,
antipsikotik, dan analgesik opioid.21
22
Tidak ada perbedaan angka kejadian pada pasien dengan lesi iskemik ataupun perdarahan. Namun
lesi yang melibatkan pons diketahui lebih sering menyebabkan gangguan ini. Hal ini disebabkan gangguan
komponen otonom yang menimbulkan gangguan gerak peristaltik, serta gangguan dinding pelvis dan
sphincter eksterna.21
Gejala gastrointestinal lain yang mungkin dikeluhkan ialah Cyclic Vomiting Syndrome (CVS). CVS
merupakan suatu sindroma yang ditandai episode muntah berulang yang stereotipik dengan durasi bebas
gejala di antaranya. Diagnosis CVS dibuat dengan terlebih dahulu mengeksklusi gangguan-gangguan organik
yang dapat menimbulkan gejala muntah berulang. Selain itu gejala harus bersifat akut, dengan episode
muntah lebih dari 3 kali, dan disertai periode di mana gejala sama sekali tidak dijumpai.21
CVS terdiri atas beberapa fase, yaitu inter-episodic di mana pada fase ini gejala sama sekali tidak
ditemukan, fase prodromal yang berupa rasa mual dan keluhan perasaan tidak enak pada perut, dan fase
emetik. Fase emetik ditandai muntah-muntah yang mungkin berlangsung hingga 1 jam dan gejala ini
berlangsung di pagi hari. Muntah yang hanya dikeluhkan di pagi hari merupakan gejala khas CVS yang
berkaitan dengan sistem neuroendokrin yaitu pelepasan corticotrophin-releasing hormone (CRH) yang
memiliki ritme diurnal, di mana hormon ini baru disekresikan pada pukul 1 dini hari dan mencapai
puncaknya pada pukul 6 pagi. Walaupun mekanisme dari hal ini belum diketahui, namun pelepasan CRH
yang abnormal dipikirkan berkaitan dengan lesi hipotalamus.21
II.2.4 UROGENITAL
Beberapa penelitian menyebutkan gejala urogenital sebagai salah satu gejala yang dikeluhkan oleh
pasien stroke, di antaranya adalah gangguan mikturisi dan disfungsi seksual. Penelitian oleh Sakibara
menyebutkan, 53% pasien stroke mengalami keluhan mikturisi 3 bulan setelah serangan. Keluhan yang
paling sering berupa peningkatan kekerapan berkemih di malam hari (nocturnal urinary frequency) yang
dikeluhkan sebesar 36% pasien, diikuti inkontinesia urine pada 29% pasien, kesulitan berkemih pada 25%
pasien, dan retensi urine pada 6% pasien. Belum ada hipotesis yang dikemukakan mengenai penyebab dari
gangguan ini. Namun, neuroimaging menunjukkan bahwa lesi di daerah anteromedial lobus frontal
merupakan lesi yang paling sering ditemui pada pasien dengan keluhan ini.22
Sekitar 75% pasien stroke mengalami disfungsi seksual, gejala ini terutama dikeluhkan oleh pria, di
mana terjadi penurunan frekuensi koitus dan disfungsi orgasme. Disfungsi seksual tidak dipengaruhi derajat
beratnya defisit neurologis dan dapat terjadi bahkan pada pasien dengan defisit neurologis sangat minimal
sekalipun. Keluhan ini diketahui berkaitan dengan gangguan fungsi kognitif seperti afasia. Pasien dengan
hipestesia juga seringkali mengeluhkan disfungsi seksual, hal ini diduga sebagai akibat dari hilangnya
sensitivitas zona-zona erogen pada sisi parese. Hiperseksual, walaupun sangat jarang dilaporkan disebutkan
dapat terjadi, hal ini biasanya terjadi pada pasien dengan lesi infark pada lobus frontal atau temporal.17
23
III. KESIMPULAN
Gangguan otonom sebagai salah satu manifestasi klinis yang umum terjadi pada pasien dengan
cedera neurologis akut seperti stroke, dan gejala ini telah diketahui untuk jangka waktu yang lama.
Perubahan patologis dalam miokardium, fluktuasi tekanan darah, dan perubahan EKG merupakan hal yang
umum ditemukan namun sering diabaikan dalam praktek klinis karena jarang disebutkan pada literatur dan
tidak membantu dalam diagnosis lesi otak. Begitu juga dengan gangguan otonom non kardiovaskular seperti
perubahan status hidrosis. Namun demikian, disfungsi otonom terutama yang berkaitan dengan sistem
kardiovaskular, perlu diperhatikan dan diobservasi pada fase akut perawatan stroke karena hal tersebut
berkaitan dengan prognosis dan mortalitas pasca stroke. Sementara keluhan thermoregulasi,
gastrointestinal, dan urogenital perlu diperhatikan karena akan menurunkan kualitas hidup pasien.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Hatano, S. Experience From A Multicentre Stroke Register: A Preliminary Report In Bulletin Of The World Health Organization. 1976. 54, 541 -553.
2. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. 2007
3. Bamford J, Dennis MS, Sandercock P, Burn J, Warlow C . The Frequency, Cause And Timing Of Death Within 30 Days Of A First Stroke: The Oxfordshire Community Stroke Project. J Neurol Neurosurg Psychiatr. 1990. 53:824-829.
4. Petty GW, Brown RD Jr, Whisnant JP, Sicks JD, O’Fallon WM & Wiebers DO. Ischemic Stroke Subtypes. A Population-Based Study Of Functional Outcome, Survival And Recurrence. Stroke. 2000. 31: 1062-1068.
5. Nerissa U, Zaroff J. Cardiac Manifestations Of Acute Neurological Stroke In Neurology And General Medicine . Elsevier. 2009
6. Appenzeller O. Anatomy And Histology. In: Appenzeller O (Ed) The Autonomic Nervous System, 4th Ed. Elsvier Science Publishes B.V. Amsterdam. 2000. 1-33.
7. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disorders Of The Autonomic Nervous System And Respiration. In: Principles Of Neurology, 6th Ed. Mcgraw-Hill, New York. 1998. 522-553.
8. Harati Y & Machkhas H. Spinal Cord And Peripheral Nervous System: In: Low PA (Ed) Clinical Autonomic Disorders, 2nd Ed. Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia. 1997. 25-45.
9. Collins KJ. Temperature Regulation And The Autonomic Nervous System. In: Mathias CJ & Bannister R (Eds) Autonomic Failure: A Textbook Of Clinical Disorders Of The Autonomic Nervous System, 4th Ed. Oxford University Press, Inc., New York. 1999. 92-98.
10. Swanson LW. The Hypothalamus In Handbook Of Chemical Neuroanatomy. Integrated Systems Of The CNS . Elsvier Science Publishers, Amsterdam. 1-24.
11. Loewy AD. Central Autonomic Pathways. In Central Regulation Of Autonomic Function. Oxford University Press, New York. 1990. 88-103.
12. Cechetto DF, Chen SJ. Subcortical Sites Mediating Sympathetic Responses From Insular Cortex In The Rat. Am J Physiol 258: 1990. 245-255.
13. Benarroh EE. Central Disorders Of Autonomic Function In Clinical Autonomic Disorders. 2nd Ed. Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia. 1997. 421-428.
14. Guyton & Hall. Text Book Of Medical Physiology,11th Ed. Elsevier Saunders Inc., Philadelphia, 2006; 60: 748-760
15. Barret, Kim E; Boitano, Scott; Barman, Susan M; Brooks, Hedden L; Ganong’s, Review Of Medical Physiology; Chap. 33 : 555-557, Twenty-Third Edition, Mc Graw Hill Medical Co.
16. Joyner MJ & Shepherd JT. Autonomic Regulation Of Circulation In Clinical Autonomic Disorders, 2nd Ed. Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia. 1997. 61-71.
17. Korpelainen JT, Sotaniemi KA, Huikuri HV & Myllylä VV. Abnormal Heart Rate Variability As A Manifestation Of Autonomic Dysfunction In Hemispheric Brain Infarction. Stroke. 1996. 2059-2063.
18. Oppenheimer SM, Cechetto DF & Hachinski VC. Cerebrogenic Cardiac Arrhythmias: Cerebral Electrocardiographic Influences And Their Role In Sudden Death. Arch Neurol 47:513-519.
19. Korpelainen JT, Sotaniemi KA & Myllylä VV . Asymmetric Sweating In Stroke: A Prospective Quantitative Study Of Patients With Hemispheral Brain Infarction. Neurology. 1993. 1211-1214.
20. Labar DR, Mohr JP, Tatemichi TK. Unilateral Hyperhidrosis After Cerebral Infarction. Neurology. 1988
21. Lee KL, Shin JI. Cyclic Vomiting Syndrome Developed After Stroke. Ann Rehabil Med. 2012 Feb;36(1):141-322. Sakakibara R, Hattori T, Yasuda K, Yamanishi T. Micturitional Disturbance After Acute Hemispheric
Stroke: Analysis Of The Lesion Site By CT And MRI. J Neurol Sci 1996; 137: 47–56.
25
26
Recommended