View
266
Download
17
Category
Preview:
DESCRIPTION
tentang berbagai pemikiran politik yang berkembang di Indonesia
Citation preview
DR. Ainur Rofiq, M.AgDosen Fakultas SyariahIAIN Sunan Kalijaga
NOTA DINASHal : Skripsi Saudara Ahmad Anfasul Marom Kepada Yth:
Dekan Fakultas SyariahIAIN Sunan KalijagaDi Yogyakarta
As-salamu’alaikum Wr.Wb.
Setelah membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan seperlunya, maka menurut kami skripsi saudara:
Nama : Ahmad Anfasul MaromNIM : 99363504Judul : “DISKURSUS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA
(Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara),”
Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar sarjana strata satu dalam Perbandingan Mazhab dan Hukum pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan mengharap agar segera dimunaqasyahkan, untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Was-salamu’alaikum Wr.Wb.
Yogyakarta, 29 Syawal 1424 H
23 Desember 2003 M
Pembimbing I
DR. Ainur Rofiq, M.Ag.
ii
NIP: 150289213
M. Nur, S.Ag, M.AgDosen Fakultas SyariahIAIN Sunan Kalijaga
NOTA DINASHal : Skripsi Saudara Ahmad Anfasul Marom Kepada Yth:
Dekan Fakultas SyariahIAIN Sunan KalijagaDi Yogyakarta
As-salamu’alaikum Wr.Wb.
Setelah membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan seperlunya, maka menurut kami skripsi saudara:
Nama : Ahmad Anfasul MaromNIM : 99363504Judul : “DISKURSUS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA
(Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara)”.
Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar sarjana strata satu dalam perbandingan Mazhab dan Hukum pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan mengharap agar segera dimunaqasyahkan, untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Was-salamu’alaikum Wr.Wb.
Yogyakarta, 29 Syawal 1424 H
23 Desember 2003 M
iii
Pembimbing II
M. Nur, S.Ag, M.Ag.
NIP: 150282522
PENGESAHAN
Skripsi berjudul
DISKURSUS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA(STUDI PEMIKIRAN M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA)
Yang disusun oleh:
Ahmad Anfasul MaromNIM: 99363504
Telah dimunaqasyahkan di depan sidang munaqasyah pada tanggal 10 Februari 2004 M / 19 Dzulhijjah 1424 H. Dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam Hukum Islam.
Yogyakarta, 1 Muharram 1425 H
22 Februari 2004 M
DEKANFAKULTAS
SYARI’AHIAIN SUNAN
KALIJAGA
iv
Drs. Malik Madany, M.Ag.
NIP: 150182698
Panitia MunaqasyahKetua Sidang
Sekretaris Sidang
Drs. Kholid Zulfa, M.Si Drs. Slamet Khilmi NIP: 150266740 NIP:150252260
Pembimbing I Pembimbing II
DR. Ainur Rofiq, M.Ag. M. Nur, S.Ag, M.Ag.
NIP: 150289213 NIP: 150282522
Penguji I Penguji II
DR. Ainur Rofiq, M.Ag. A. Yani Anshori, S.Ag, M,Ag
NIP: 150289213 NIP: 150276308
v
Kupersembahkan;Untuk Kampus Putih IAIN
Ibu (Almarhumah) dan BapakMbak Luluk, Mas Asfan, Mbak Arin,
Adikku Azim, serta Ponakan-ponakanku
Guru-Guruku Yang Penuh Ikhlas MendidikkuDan Yang Tak Sekedar Hasrat Perjuangan
Yakni Sang Waktu Yang Setia Mengiringi Pengembaraan Intelektualku
Motto:
vi
رك صد لك نشـرح وزرك ●ألم الذى ●ووضعـناعنك
ظهـرك ذكرك أنقض لك مع ●ورفعنا فإن!
العسريسـرا ●العسريسـرا مع فرغت ●إن! فإذا
فارغـب ●فانصـب !ك رب ●وإلى
Artinya:
Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? (1) Dan kami telah menghilangkan beban darimu (2) Yang memberatkan punggungmu (3) Dan kami tinggikan sebutan (nama) mu (4) Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (5) Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (6) Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (7) Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (8) . (QS. Alam Nasyrah : 1-8)
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
vii
Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penyusunan skripsi ini
menggunakan pedoman transliterasi dari keputusan bersama Menteri Agama RI
dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 158 dan no. 0543 b/U/1987.
Secara garis besar uraiannya adalah sebagai berikut:
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
ا
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
س
ش
ص
ض
ط
Alif
Ba’
Ta’
Sa’
Jim
H{a
Kha
Dal
Z|al
Ra’
Zai
Sin
Syin
S{ad
D{ad
T{a
Tidak dilambangkan
B
T
S|
J
H{
Kh
D
Z|
R
Z
S
Sy
S{
D{
T{
Tidak dilambangkan
Be
Te
Es (titik di atas)
Je
Ha (titik di bawah)
Ka dan ha
De
Zet (titik di atas)
Er
Zet
Es
Es dan Ye
Es (titik di bawah)
De (titik di bawah)
Te (titik di bawah)
viii
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
هـ
ء
ي
Z{a
‘Ain
Gain
Fa’
Qaf
Kaf
Lam
Mim
Nun
Wau
Ha’
Hamzah
Ya
Z{
‘-
G
F
Q
K
L
M
N
W
H
’-
Y
Zet (titik di bawah)
Koma terbalik (di atas)
Ge
Ef
Qi
Ka
El
Em
En
We
Ha
Apostrof
Ye
B. Konsonan Rangkap
Konsonan rangkap yang disebabkan Syaddah ditulis rangkap.
Contoh : ل ditulis نز! nazzala.
ditulis بهن! bihinna.
C. Vokal Pendek
Fathah ( _ _ ) ditulis a, Kasrah ( _ _ ) ditulis I, dan Dammah ( _ _ ) ditulis u.
Contoh : ditulis أحمد ah}mada.
ditulis رفق rafiqa.
صلح ditulis s}aluha.
ix
D. Vokal Panjang
Bunyi a panjang ditulis a, bunyi I panjang ditulis I dan bunyi u panjang ditulis
u, masing-masing dengan tanda hubung ( - ) di atasnya.
1. Fathah + Alif ditulis a
فال ditulis fala>
2. Kasrah + Ya’ mati ditulis i
ميثاق ditulis mi>s}aq
3. Dammah + Wawu mati ditulis u
أصول ditulis us}u>l
E. Vokal Rangkap
1. Fathah + Ya’ mati ditulis ai
الزحيلي ditulis az-Zuh}aili>
2. Fathah + Wawu mati ditulis au
طوق ditulis t}auq
F. Ta’ Marbutah di Akhir Kata
Bila dimatikan ditulis h. Kata ini tidak berlaku terhadap kata ‘Arab yang sudah
diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti: salat, zakat dan sebagainya kecuali
bila dikehendaki lafaz aslinya.
Contoh : المجتهد .ditulis Bida>yah al-Mujtahid بداية
G. Hamzah
x
1. Bila terletak di awal kata, maka ditulis berdasarkan bunyi vokal yang
mengiringinya.
إن ditulis inna
2. Bila terletak di akhir kata, maka ditulis dengan lambang apostrof ( ’ ).
وطء ditulis wat}’un
3. Bila terletak di tengah kata dan berada setelah vokal hidup, maka ditulis
sesuai dengan bunyi vokalnya.
ربائب ditulis raba>’ib
4. Bila terletak di tengah kata dan dimatikan, maka ditulis dengan lambang
apostrof ( ’ ).
.ditulis ta’khużu>naتأخذون
H. Kata Sandang Alif + Lam
1. Bila diikuti huruf qamariyah ditulis al.
البقرة ditulis al-Baqarah.
2. Bila diikuti huruf syamsiyah, huruf ا diganti dengan huruf syamsiyah
yang bersangkutan.
النساء ditulis an-Nisa’.
KATA PENGANTAR
xi
الرحيم الرحمن الله بسم
الله إال إله ال أن أشهد ، العالمين رب لله الحمدهدانا الذى سبحان ، الله رسول محمدا أن وأشهد
، الدين يوم إلى للتابعين عبرة وجعلها ، الغابرين بقصصالله صلى الله رسول محمد سيدنا على والسالم والصالة
األخالق بمكارم مملؤة حياته كانت الذى ، وسلم عليهبعد أما ، أجمعين وأصحابه أله وعلى ، الصفات ومحاسن
Puji syukur saya haturkan ke Hadirat Allah s.w.t. Yang telah
menganugerahkan nikmat Islam dan Iman. Shalawat dan salam semoga senantiasa
dicurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W. Rasul pembawa misi pembebasan
dari pemujaan terhadap berhala, Rasul dengan misi suci untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia. Semoga kesejahteraan senantiasa menyelimuti keluarga dan
sahabat Nabi beserta seluruh ummat Islam.
Dengan tetap mengharapkan pertolongan, karunia dan hidayah-Nya, al-
hamdulillah penyusun mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk
melengkapi salah satu syarat memperolah gelar sarjana dalam Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan judul : Diskursus Pemikiran Politik
Islam di Indonesia: Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang
Relasi Islam dan Negara.
Penyusun menyadari, penyusunan skripsi ini tentunya tidak bisa lepas dari
kelemahan dan kekurangan serta menjadi pekerjaan yang berat bagi penyusun
yang jauh dari kesempurnaan intelektual. Namun, berkat pertolongan Allah
S.W.T. Dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.
xii
Karena itu, dalam kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih
sedalam-dalamnya kepada:
1. Malik Madany, M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
2. Drs. Abdul Halim, MA dan Moh. Agus Nadjib, M.Ag, selaku Ketua
Jurusan dan Sekretaris Jurusan PMH.
3. Dr. Ainur Rofiq, M.Ag, selaku pembimbing I, dan sekaligus sahabat
diskusi dalam penyusunan skripsi ini, yang dengan sabar bersedia
membimbing kesulitan penyusun di tengah kesibukan waktunya.
4. M. Nur, S.Ag, M.Ag, selaku pembimbing II yang telah banyak
memberikan masukan dan arahannya yang sangat berharga dalam
membantu penyempurnaan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen beserta seluruh civitas akademika Fakultas
Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penyusun ucapkan terima
kasih atas semua pengetahuan yang telah diberikan. Selain itu,
penyusun ucapkan terima-kasih pula pada pihak-pihak yang banyak
membantu proses akumulasi data, di antaranya seluruh pegawai UPT
dan perpustakaan Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, perpustakaan
ST. Ignatius, dan Perpustakaan LKiS, yang semuanya ada di
Yogyakarta.
6. Bank Indonesia (BI), yang telah memberikan bantuan beasiswa atas
penulisan skripsi ini, sehingga meringankan penyusun dalam
memperoleh data buku atau karya ilmiah yang berkaitan.
xiii
7. Seluruh keluarga yang berkat kasih-sayangnya benar-benar memahami
kemauan saya, terkhusus Ayahanda dan Ibunda tercinta (almarhumah),
yang senantiasa melantunkan do’a di sela-sela waktunya dengan tulus
dan ikhlas, demi proses pengembaraan intelektual ananda. Untuk
kakak-kakak dan adikku: Mbak Luluk-Mas Sohib, Mas Asfan-Mbak
Anis, Mbak Arin-Mas Jun, adinda Azim, serta keponakan-
keponakanku, yaitu Bahru, Arul, Najib, Humaida, Nadim, Aliya, yang
telah banyak menaruh perhatian, dan harapan pada diri penyusun. Tak
lupa juga penyusun ucapkan terima-kasih kepada semua keluarga
terkait yang mendukung studi saya di Yogyakarta.
8. Saudara Ahmad Sahidah, M.Ag, dan Ainul Yaqin, M.Ed, Mas
Umarrudin Masdar, S.Ag, Mas Isfah (Alex), Mas Udin, dan Mas Atho’
yang ikut memperkaya wawasan saya mengenai sejarah dan
perkembangan politik di Tanah Air ini, melalui perbincangan ringan
yang selalu menyegarkan, serta untuk seluruh komunitas “Griya
Natural” 45i Sapen yang hampir setiap hari selalu bersama dalam
menjalani proses belajar.
9. Rekan-rekan “Senat Mahasiswa” di Lembaga S M I (Senat Mahasiswa
Institut) IAIN Sunan Kalijaga, sahabat-sahabat diskusi di pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), teman-teman kelas PMH-2 ’99
yang sedikit banyak turut membantu proses pendewasaan berfikir, dan
mereka yang tidak bisa penyusun sebut satu persatu di sini.
xiv
10. Yang tidak sekedar indah, yang terakhir dan yang telah memberikan
arti dalam diri penyusun, Tatinia.
Semoga mereka semua selalu mendapatkan rahmat, hidayah dan ma’unah
dari Allah S.W.T. Amin.
Yogyakarta, 23 Desember 2003
Penyusun
xv
A
h
m
a
d
A
n
f
a
s
u
l
M
a
r
o
m
xvi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN NOTA DINAS ............................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................…. v
xvii
HALAMAN MOTTO ......................................................................................
vi PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB
LATIN ............................................
vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................
xi
DAFTAR ISI .....................................................................................................
xv
BAB I : PENDAHULUAN ............…..................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Pokok Masalah ................................................................... 7
C. Tujuan Dan Kegunaan ...................................................... 7
D. Telaah Pustaka ................................................................... 8
E. Kerangka Teoretis .......................................................... 11
F. Metode Penelitian .............................................................. 19
G. Sistematika Pembahasan .................................................. 22
BAB II : ASAL - USUL DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN TENTANG
RELASI ISLAM DAN NEGARA ........................................… 24
A. Awal Perdebatan Islam dan Negara di
Indonesia ...................................................................................
.......... 24
B. Tipologi Pemikiran Islam dan Negara ........................... 45
1. Perspektif Modernisme ............................................. 48
xviii
2. Perspektif Neo-Modernisme ...................................... 51
BAB III : POKOK-POKOK PEMIKIRAN M. NATSIR DAN
ABDURRAHMAN WAHID TENTANG RELASI ISLAM DAN
NEGARA ............................................……….....................….. 57
A. Sketsa Biografi M.Natsir .............................................…. 57
1. Latar belakang Sosial Politik ..................................... 57
2. Pemikiran M. Natsir tentang Relasi Islam dan Negara
........................................................................................ 68
B. Sketsa Biografi Abdurrahman Wahid ............................ 85
1. Latar belakang Sosial Politik ..................................... 85
2. Pemikiran Gus Dur tentang Relasi Islam dan Negara
........................................................................................ 96
BAB IV : ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN M. NATSIR
DAN ABDURRAHMAN
WAHID.................................................. 111
A. Persamaan ........................................................................ 111
B. Perbedaan ......................................................................... 117
C. Implikasi ........................................................................... 129
BAB V : PENUTUP ................................................................................ 148
A. Kesimpulan ....................................................................... 148
B. Saran-Saran ...................................................................... 150
BIBLIOGRAFI ................................................................................................ 151
LAMPIRAN-LAMPIRAN: ............................................................................ I
xix
Lampiran I. Terjemahan ........................................................ I
Lampiran II. Biografi
Ulama ................................................. III
Lampiran III. Daftar Istilah .................................................. VII
Lampiran IV. Curiculum Vitae ............................................. IX
BAB I
PENDAHULUAN
xx
A. Latar Belakang Masalah.
Gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di
Indonesia meskipun telah diperdebatkan beberapa tahun yang lalu, dan
mengalami fluctuative discourse dalam percaturan politik di Indonesia, akan
tetapi wacana ini selalu survive pada momen-momen tertentu. Hampir bisa
dipastikan ketegangan dan perdebatan ini muncul menjelang pemilu karena
momen ini merupakan kesempatan besar bagi semua golongan yang ingin
memperjuangkan aspirasi politiknya, baik itu yang berideologikan nasionalis,
maupun Islam.
Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada
tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang
tak terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam.1 Pada tahun
1950-1955 melahirkan sistem multipartai, ini merupakan kesempatan besar
bagi Partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai asas Negara, akan
tetapi apa yang dicita-citakannya masih belum bisa dicapai sampai sekarang.
Hal yang sama terjadi pada 1999 tahun lalu yang menggunakan sistem
multipartai dan lagi-lagi Islam belum cukup kuat untuk meletakkan ideologi
Islam sebagai dasar negara. Berhubung partai politik merupakan salah satu
alat untuk mewujudkan cita-cita gagasan, tidak menutup kemungkinan bahwa
pemilu 2004 yang akan datang juga muncul polemik sistem negara apalagi
Islam formalis masih berada di ujung kekakalahan.
1 Douglas E. Ramage, Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi, alih bahasa Hartono Hadikusumo, cet. ke-1(Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 2
xxi
Sebelumnya pada tahun 1978-1985 telah terjadi ideologisasi pancasila
yang diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian menimbulkan perdebatan
yang luar biasa di kalangan tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik
semacam itu sempat terulang kembali pada tahun 1990 di negeri ini, yakni
mengenai perdebatan ideologi. Sebenarnya sumber perdebatan itu adalah
relasi Islam dan negara,2 khususnya mengenai sistem negara apa yang akan
dipakai untuk membangun Indonesia, apakah berasaskan Islam atau sekuler ?
Penelitian ini mengambil judul "Diskursus Pemikiran Politik Islam di
Indonesia (Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid3 tentang
Relasi Islam dan Negara)," penyusun lebih memfokuskan pada dua tokoh ini
yang tentunya telah banyak mewarnai wacana perdebatan Islam dan Negara
sepanjang lahirnya kemerdekaan bangsa Indonesia sampai saat ini.
Menurut Munawir Sjadzali ada tiga kategori dalam memandang hubungan
Islam dan negara di kalangan tokoh Islam. Pertama, aliran konservatif
tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam
mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab
itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini
ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang
berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di
dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka
yaitu M. Husein Haikal. Dan yang Ketiga, aliran nasionalis sekuler, Islam
2 Ibid., hlm. 19.
3 Untuk penulisan selanjutnya Penyusun akan mengganti nama Abdurrahman Wahid menjadi Gus Dur yang telah akrab dikalangan masyarakat luas.
xxii
tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad
tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah
Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.4
Dari ketiga aliran tersebut, M. Natsir dan Gus Dur memang masuk dalam
kategori aliran integratif modernis yang sebenarnya dalam klasifikasinya
Munawir Sjadzali merupakan terma dari modernis, dalam hal ini penyusun
lebih suka memposisikan M. Natsir sebagai tokoh modernis, sedangkan Gus
Dur sebagai tokoh neo-modernis (meminjam istilah Greg Barton), ini karena
pemikirannya yang liberal dan rasional tentang isu kontemporer (baik itu
politik, budaya dan agama) dengan tetap setia pada posisi konservatif-
tradisional bahwa kejujuran dan kebenaran al-Qur'an tidak perlu diganggu
gugat.5
Kedua tokoh ini menarik untuk dikaji. Pertama, secara umum keduanya
masuk dalam kategori aliran yang sama yaitu integratif modernis tetapi beda
pendapat mengenai relasi Islam dan negara, khususnya azas negara, apalagi
kelompok (background) yang diwakilinya sangat kontradiktif dengan gagasan
dan prilaku politik tokoh tersebut, Gus Dur yang dibesarkan dalam lingkungan
kaum tradisionalis,6 yaitu NU yang nota bene orientasi politiknya berkiblat
pada ulama klasik seperti Al-Mawardi dan Al-Ghazali ternyata mampu
4 Baca, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, edisi ke-5 (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 1-2.
5 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, alih bahasa Nanang Tahqiq, cet. ke-1 (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 518.
6 Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), hlm. 39.
xxiii
mengapresiasikan pemikiran liberal yang cenderung ala Ali Abd al-Raziq,7
sedangkan M. Natsir yang dibesarkan dalam lingkungan modernis justru lebih
akrab dengan pemikiran politik Islam fundamentalis seperti al-Maududi yang
sangat menginginkan Islam dijadikan sebuah dasar negara karena menurut M.
Natsir sendiri meniru sistem pemerintahan Barat adalah tindakan sekuler yang
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.8
Kedua, wacana ini selalu aktual di Indonesia apalagi ketika mendekati
pemilu. Dan tentunya gagasan kedua tokoh tersebut juga masih banyak
mempengaruhi wacana perdebatan Islam dan negara di Indonesia. Setidaknya
kedua alasan inilah yang menyebabkan penelitian ini dilakukan.
M. Natsir menawarkan Islam sebagai azas negara bukanlah aksi
pembangkangan negara (makar), akan tetapi lebih pada penghidupan
demokrasi. Oleh sebab itu dalam pidatonya pada sidang pleno konstituante (12
November 1957) ia menghendaki negara Indonesia ini berazaskan ideologi
Islam. "Negara demokrasi berdasarkan Islam".9 Keinginannya ini Bukan
semata-mata karena Islam agama mayoritas di Indonesia melainkan ajaran
Islam mengenai ketatanegaraan dan kehidupan bermasyarakat itu mempunyai
sifat yang sempurna dalam menjamin kerukunan beragama dan bernegara.10
7 Andrée Feillard, NU vis-a-vis NEGARA: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 380.
8 M. Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, cet. ke-1 (Jakarta: Media Dakwah, 2001), hlm. 200.9
? Ibid.10 Ibid., hlm. 203.
xxiv
Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, M. Natsir
berpendapat boleh meniru pemerintahan Barat asalkan tidak melanggar nilai-
nilai dasar Islam. Karena baginya Islam memang tidak mempunyai sistem
ketatanegaraan yang sempurna.11 Ini menarik untuk dicermati satu sisi M.
Natsir terbuka untuk memakai sistem apa yang akan dipakai di Indonesia sisi
lain dia bersikeras memperjuangkan Islam sebagai azas ideologi negara.12
Sedangkan menurut Gus Dur apabila politik, budaya dan agama
diideologikan fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur
yang lebih baik melainkan konflik horizontal.13 Hal yang senada diungkapkan
oleh Cak Nur bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi, sebab pendapat Islam
sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu setaraf dengan ideologi-
ideologi yang ada di dunia.14
Dalam memandang relasi Islam dan negara, masalah ketatanegaraan
merupakan hal yang tak bisa ditinggalkan, sebab faktor inilah yang kemudian
seringkali memunculkan perdebatan antara kelompok muslim idealis dan
realis di negara kita. Adanya “Sistem Kekhalifahan” di masa Rasulullah
S.A.W. dan Sahabat membuat sebagian masyarakat muslim dunia semakin
11 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis. (Magelang: IndonesiaTera, 2001), hlm. 70.
12 Natsir berpendapat bahwa Islam bukan hanya suatu agama tapi juga sebuah ideologi karena di dalamnya mengandung dua unsur yaitu Mu‘ammalah ma‘a Allah dan Mu‘a,,alah ma‘a an-Nas. baca M. Natsir, Agama dan Negara, 219.
13 ? Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), hlm. 77.
14 ? Ibid. hlm. 169.
xxv
menyakini bahwa jauh sebelum sistem demokrasi muncul, sebenarnya Islam
telah mempunyai sistem Tata Negara sendiri.
Dalam perspektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama>‘ah pemerintahan
dinilai dari segi fungsionalnya bukan pada formalitas bentuknya, apakah
negara Islam atau bukan. Disamping itu, menurut Gus Dur Islam tidak
mempunyai konsep pemerintahan yang definitif, misalnya tentang suksesi
kepemimpinan terkadang memakai istikhla>f, bay‘ah, dan ahl al-
H{alli wa al-Aqdi (sistem formatur). Hal ini menunjukkan Islam
inkonsisten dan tidak mempunyai konsep yang baku.15
Atas dasar pemikiran inilah, Gus Dur menerima ideologi pancasila sebagai
azas negara, dan yang terpenting baginya adalah umat Islam bisa
melaksanakan kehidupan beragama secara penuh dan tetap berpegang pada
etika sosial (social ethic).
Berbeda dengan M. Natsir yang menolak secara tegas ideologi pancasila
sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi bukan berarti jalannya pemerintahan
terlepas dan terpisah dari keagamaan begitu saja karena baginya Islam sendiri
tidak asing dengan nilai-nilai demokrasi dan kemajemukan. Menurut
penyusun "posisi Gus Dur yang menempatkan pancasila sebagai pra-syarat
demokratisasi dan pembangunan keIslaman yang sehat di Indonesia
nampaknya harus dilihat dari perspektif neo-modernisme."16
15 ? Ibid.
16 ? Andrrée Fillard dkk., Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 104.
xxvi
Integrasi antara kemajemukan, demokrasi, Islam dan nasionalisme inilah yang secara intelektual politis melatarbelakangi keikutsertaan Islam dalam diskursus politik dan ideologi negara di Indonesia
selama ini.B. Pokok Masalah.
Dari uraian di atas dipaparkan bahwa ada persamaan dan perbedaan
pemikiran di antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai hubungan Islam dan
negara, keduanya sama-sama menjunjung nilai demokrasi tetapi berbeda
dalam gagasan dan prilaku politiknya Hal ini bisa disebabkan latar belakang
sosiohistoris yang berbeda. Oleh sebab itu perlu penyusun tegaskan bahwa
fokus dari permasalahan ini yaitu:
1. Bagaimanakah pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai relasi Islam dan
negara?
2. Mengapa kedua tokoh itu mengajukan tesis yang berbeda?
3. Apa implikasi tesis mereka terhadap pemikiran politik Islam di Indonesia?
Tiga pokok masalah di atas diharapkan dapat mewakili (cover) dari
beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping itu juga
berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.
C. Tujuan dan Kegunaan.
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana dalam bidang Perbandingan Madzhab Dan Hukum di Fakultas
Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu juga ada tujuan yang lain
yaitu:
xxvii
1. Untuk mendapatkan penjelasan (explanation) yang lebih tajam tentang
karakteristik pemikiran antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai wacana Islam
dan negara, khususnya azas negara Indonesia.
2. Mengidentifikasi asal-usul gagasan kedua tokoh tersebut dalam perspektif
perbandingan, baik itu latar belakang sosial, pendidikan dan politik.
3. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi kedua gagasan
tersebut dalam konteks perkembangan Islam dan politik Indonesia saat ini.
Adapun dari penulisan ini diharapkan dapat diambil beberapa manfaat atau
kegunaan, di antaranya:
1. Dapat diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan
terhadap karakteristik pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mengkaji azas
negara (Pancasila).
2. Bisa dijadikan salah satu sumber diskusi dalam mengkaji relasi Islam dan
negara di Indonesia, khususnya dalam perspektif Islam modernis dan neo-
modernis.
3. Sebagai prediksi, sejauh mana implikasi kedua pemikiran itu dalam
perubahan dan perkembangan politik Islam di Indonesia saat ini.
D. Telaah Pustaka.
M. Natsir dan Gus Dur adalah tokoh pemikir dan sekaligus seorang
politikus yang sangat dikenal oleh masyarakat luas, meskipun keduanya hidup
pada masa yang berlainan, namun gagasannya selalu aktual bahkan sering
dijadikan rujukan dalam diskusi dan aksi politik.
xxviii
Penelitian ini mempunyai Dua variabel. Pertama, mengenai diskursus
pemikiran politik Islam di Indonesia. Kedua, pemikiran M. Natsir dan Gus
Dur mengenai Relasi Islam dan Negara di Indonesia. Banyak buku atau karya
ilmiah yang membahas M. Natsir dan Gus Dur, baik itu biografi, prilaku
politik maupun gagasannya. Akan tetapi pembahasan itu sering kali tidak
dilakukan secara bersamaan hanya difokuskan pada satu tokoh saja kalau
memang ada yang mengkaji perbandingan itu juga tidak membahas M. Natsir
dan Gus Dur sekaligus. Karena penulisan ini meliputi dua variabel di atas,
maka penyusun merasa perlu menelaah buku-buku yang berkaitan dengan
variabel tersebut.
Dalam tesisnya A. Syafi'i Maarif yang dibukukan dengan judul Islam dan
Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Karya
ini meneliti tentang relasi Islam dan politik yang kemudian menggambarkan
prilaku partai-partai Islam dalam menghadapi kebijakan politik Soekarno saat
itu, khususnya partai Masyumi yang dibubarkannya. Di sini penyusun sempat
membahas M. Natsir namun tidak lengkap karena lebih memfokuskan pada
gerakan partai politiknya.
Disamping itu, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama'at Islami
(Pakistan) karya Yusril Ihza Mahendra, buku ini lebih menitik beratkan pada
partai-partai di atas meskipun ada tokoh yang dilibatkan seperti M. Natsir dan
Maududi sebagai representasi dari modernisme dan fundamentalisme akan
xxix
tetapi kedua tokoh itu tidak menjadi fokus kajiannya karena lebih pada partai
tempat tokoh ini berpolitik.
Bahtiar Effendy dalam bukunya Islam dan Negara: Transformasi
Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (1998) yang menjelaskan
relasi Islam dan negara di Indonesia. Dengan kesimpulan bahwa buku ini
hanya menyoroti keterwakilan kaum muslim secara proporsional dalam
lembaga-lembaga negara dan dipertahankannya komitmen bahwa Indonesia
bukanlah negara sekuler. Di samping itu penulis juga menyinggung sedikit
polemik M. Natsir dengan Soekarno mengenai azas negara.
Sedangkan Ahmad Suhelmi dalam bukunya Soekarno Versus Natsir:
Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler (1999) juga
mengkaji pemikiran kenegaraan dalam perspektif M. Natsir, khususnya
pandangan M. Natsir vis-a-vis Soekarno. Buku ini lebih melihat sosok pemikir
M. Natsir dibanding Natsir yang mewakili tokoh modernisme Islam.
Sementara itu, Buku politics in Indonesia: Democracy, Islam and Ideology
of Tolerance yang ditulis Douglas E. Ramage membahas Islam dan
demokrasi, khususnya mengenai ideologi pancasila dalam relevansinya
dengan persoalan dekonfensionalisasi politik Islam di Indonesia. Buku ini
merupakan hasil penelitian yang banyak didasarkan pada wawancara personal
untuk melihat pola pemikirannya Abdurrrahman Wahid dalam mengakaji
pancasila sebagai asas negara.
Skrpisi yang dibukukan dengan judul Membaca Pikiran Gus Dur dan
Amin Rais tentang Demokrasi. Karya Umaruddin Masdar, berusaha melacak
xxx
pola pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mempertemukan Islam dan
demokrasi. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pada konsep demokrasi
dengan menggunakan teori politik sunni sebagai rujukan utama untuk meneliti
gagasan kedua tokoh tersebut.
Sedangkan buku Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Perjuangan
Umat Model Gus Dur dan Amien Rais yang disunting oleh Arief Affandi
merupakan buku yang lebih menyoroti tentang strategi perjuangan kedua
tokoh tersebut dalam menyikapi gerakan demokratisasi di Indonesia.
Dan yang terakhir tesis yang berjudul Menyingkap Pemikiran Politik Gus
Dur Dan Amien Rais Tentang Negara karya Ma'mun Murod al-Brebesy, tesis
ini telah dibukukan dengan fokus kajian membandingkan pemikiran kedua
tokoh tersebut mengenai relasi Islam dan negara, civil society dan
demokratisasi.
Selain buku-buku di atas penyusun juga menelaah karya asli dari kedua
tokoh tersebut yang banyak berupa tulisan lepas dan artikel media.
E. Kerangka Teoretis.
Lahirnya kemerdekaan Indonesia membuat para tokoh nasional, baik
paham nasionalis, sekuler maupun Islam untuk berfikir serius dalam
meletakan dasar filosofis negara, terlepas itu perjuangan atau kepentingan
golongan yang jelas Indonesia saat itu memerlukan konsep dasar negara yang
kuat sehingga terjamin kemaslahatannya dan terhindar dari segala
kemudlaratan .
xxxi
Lebih lanjut, karena penelitian ini mengkaji masalah Islam dan negara
maka penyusun mengkategorikannya dalam perspektif Fiqih as-
Siyya>syah atau Siyya>syah as-Syar‘iyyah. Menurut Abdul Wahab
Khallaf definisi Siyya>syah as-Syar‘iyyah ialah wewenang seorang
penguasa atau pemimpin dalam mengatur kepentingan umum demi terciptanya
kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan.17 Dengan demikian siapapun
yang ingin membangun pemerintahan yang baik harus berlandaskan pada
Mas}lah}ah al-Mursalah (kepentingan umum).
Menurut Imam Malik Mas}lah}ah al-Mursalah itu merupakan salah
satu dari epistimologi syari'ah. Dengan syarat bahwa: 1) kepentingan umum
itu bukanlah suatu hal yang berkaitan dengan ibadat (transeden). 2)
kepentingan umum itu selaras dan tidak bertentangan dengan nilai dasar
Syari‘ah (Al-qur'an dan Sunnah).3) kemaslahatan umum itu haruslah
merupakan kepentingan esensial yang sangat diperlukan.18
Setidaknya kepentingan esensial yang diperlukan di atas sejalan dengan
dirumuskannya lima tujuan syari'ah meskipun tidak tercover secara Ka>ffah,
lima tujuan tersebut yaitu: memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa,
memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta dan
kehormatan.19
17 ? Abdul Aziz Dahlan (ed), dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)V: 1626, artikel "Siyasyah as-Syar'iyyah". 18
? Dikutip dari, Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 7
19 Ismail Muhammad Syah dkk., Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 67.
xxxii
Objek kajian fiqih siyasah atau Siya>syah as-Syari‘yyah menurut
Abdul Wahab Khallaf adalah membuat peraturan dan perundang-undangan
yang dibutuhkan untuk mengurus negara sesuai dengan dasar ajaran agama
yang bertujuan merealisasikan kemaslahatan manusia untuk kebutuhan
mereka.20 Dengan demikian secara garis besar bahasan Fiqih as-
Siya>syah meliputi tiga aspek utama di antaranya: 1) Peraturan dan
Perundang-Undangan Negara sebagai pedoman dan landasaan idiil dalam
mewujudkan kemaslahatan umat. 2) Pengorganisasian untuk mewujudkan
kemaslahatan. 3) Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak
dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai negara.21
Untuk mengkaji pemikiran politik Islam memang tidak lepas dari Fiqih
as-Siya>syah dan hukum Islam. Hukum Islam dibagi menjadi dua yaitu
hukum yang bersifat Qat}‘i (Syari'ah) dan yang bersifat Z}anni (fiqih),
karena politik seringkali mengalami perubahan sesuai dengan situasi maka
penyusun memasukkanya dalam kategori fiqih. Dimana fiqih siyasah
mempunyai dimensi yang sangat luas dalam mengimplementasikan kehidupan
bernegara seperti menjamin kemaslahatan, keadilan dan kestabilan.22
Dengan demikian al-Mas}lahah al-Mursalah menempati posisi yang
sangat penting dalam mengkaji diskursus relasi Islam dan negara, lebih khusus
20 Abdul Wahab Khallaf, Al-Siyasat al-Syari'at, (AL-Qahirat: Dār al-Anshār, 1977), hlm. 4.21
? J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 28.
22 ? K.H. Ibrahim Hoesen, “Fiqih Siyasi dalam Tradisi Pemikiran Islamik Klasik” , Jurnal Ulumul Qur'an, No.2 Vol. IV (1993), hlm. 58. lihat, Muhammad Azhar, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam Dan Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 15.
xxxiii
lagi dalam menentukan sistem dasar ketatanegaraan. Apakah berideologikan
Islam atau sekuler? Karena yang terpenting bukanlah formalitas bentuk
pemerintahan tetapi esensi nilai dasar al-Qur'an dan Sunnah tetap berjalan
(tidak kontradiktif),23 sehingga terciptalah kemaslahatan umum sesuai dengan
kebutuhan zaman.
Dalam diskursus pemikiran politik Islam dewasa ini, penyusun meminjam
istilah Munawir Sjadzali dalam mengkategorikan aliran yang concern
terhadap relasi Islam dan negara, meskipun berbeda dalam menggunakan
terma aliran ini akan tetapi substansinya sama. Ada tiga aliran dalam hal ini.
Pertama, aliran konservatif tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah
agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk
kehidupan bernegara karena menurutnya Islam adalah ad-Din wa ad-
Daulah, tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran
integratif modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem
negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara.
Tokoh aliran ini ialah Muhammad Abduh dan Muhammad Husein Haikal.
Ketiga, aliran nasionalis sekuler, yang mengatakan Islam tidak ada
hubungannya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak
pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh aliran ini ialah Ali Abd al-
Raziq dan Thaha Husein.24
23 ? Nilai dasar al-Qur’an dalam hal ini ialah amanah, musyawarah, keadilan, kebebasan, perdamaian, kesejahteraan dan ketaatan rakyat. Lihat, M. Tahir Azhary, Negara Hukum, hlm. 79.24 ? Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 1-2. M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 14. lihat juga Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 57.
xxxiv
Dalam paragraf ini penyusun mencoba memaparkan beberapa tokoh
politik sunni kontemporer sebagai landasan teoritis penelitian ini, diantaranya
Jamaluddin al-Afghani, Abdul Raziq dan Fazlur Rahman.25 Tokoh-tokoh ini
dikaji guna membidik kerangka teoritis pemikiran M. Natsir dan Gus Dur.
Jamaluddin al-Afghani, 26 Pemikiran politiknya besifat reaktif terhadap
kondisi kemunduran umat Islam saat itu, dengan menganjurkan pembentukan
Jam‘iyah Isla>miyah yang biasa disebut Pan-Islamisme,27 ikatan ini
didasarkan pada akidah Islam yang bertujuan 1) menentang sistem
pemerintahan yang despotik (sewenang-wenang) dan diganti dengan sistem
pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, 2)
menentang kolonialisme atas dominasi barat.28
Dalam perjalanan politiknya ia selalu memunculkan gagasan revolusioner,
seperti pembentukan pemerintah dan dewan melalui partisipasi rakyat, selain
itu dia juga menganjurkan kepada rakyat untuk merebut kebebasan dan
kemerdekaannya melalui revolusi kalau perlu dengan pertumpahan darah.29
Hal inilah yang sering kali mengakibatkan pengusiran atas dirinya dari negara
25 ? Untuk memastikan tokoh-tokoh tersebut adalah kelompok pemikir kontemporer, baca. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 111. M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 142.26
? Ia dilahirkan pada tahun 1838 di As'adabad, dekat Kanar, wilayah Kabul, Afganistan. Dikutip dari Munawir Sjadzali, Ibid, hlm. 117.
27 ? Pan-Islamisme yaitu suatu ikatan politik yang bertujuan mempersatukan seluruh ummat Islam di dunia, yang kemudian saat ini berembrio menjadi OKI, yang tidak jauh berbeda visi dan misinya. Lihat, M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 107.
28 ? Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 126.
29 ? Ibid., hlm.128-129.
xxxv
yang ia kunjungi.30 Oleh sebab itu Afghani lebih cocok diposisikan sebagai
tokoh aktivis dan agitator politik daripada pemikir politik.
Ali Abdul Raziq,31 menurutnya nabi Muhammad hanyalah seorang utusan
Allah yang ditugaskan syiar agama Islam, untuk itu tidak ada maksud dalam
misinya mendirikan sebuah negara Islam (Khilafah).32 Dia sama seperti nabi-
nabi sebelumnya bukan nabi atau pendiri negara yang diutus mendirikan
kerajaan dalam arti politik, lebih lanjut ia menolak adanya keharusan sistem
khilafah dalam pengertian pemimpin negara, karena menurutnya tidak ada
ayat ataupun hadis yang bisa dijadikan dasar kuat untuk mendirikan khilafah.
al-Raziq memang mengakui perlunya pemerintahan untuk mengatur negara
tapi bukan berarti harus bentuk khilafah boleh konstitusional, diktator,
republik atau totaliter.33
Meskipun ia mengakui Ijma‘ sebagai H{ujjah Syar‘iyyah akan tetapi
dalam hal ini ia tidak mengakuinya sebagai ijma' yang shahih, alasannya sejak
sistem khilafah dibentuk sampai sekarang selalu saja ada pihak oposisi yang
tidak setuju dan seringkali menimbulkan bencana bagi Islam dan umatnya,
terkecuali Abu Bakar, Umar dan Usman.34
30 ? Negara-negara tersebut yaitu: Afganistan, India, Mesir, Inggris, Prancis, Teheran, dan Persia. Baca, Ibid., hlm. 117.
31 ? Lahir pada tahun 1888 dan wafat 1966 M, ia penganut Abduh meskipun secara langsung tidak sempat belajar banyak darinya. Disamping itu dia cukup reseptif dan akomodaif terhadap peradaban Barat yang kemudian membawanya pada semangat nasionalisme dan paham sekulerisme di kalangan cendikiawan Islam Mesir. Karyanya yang terkenal yaitu Islam wa Usul al-Hukm. Dikutip dari Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 139.
32 ? Ibid., hlm. 142.
33 ? M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 116.
34 ? Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 141.
xxxvi
Fazlur Rahman,35 pada hakikatnya Pemikiran politik Rahman didasarkan
pada konsepsi al-Qur'an. Dalam al-Qur'an, menurut Rahman, umat merupakan
suatu "penengah" sehingga menjadi saksi terhadap umat manusia. Umat Islam
diharapkan mampu menengahi antara sikap kekakuan ideologi komunisme
dan kapitalisme atau sikap ekstrem yang lain.36 "Tugas umat adalah
menciptakan ketertiban di muka bumi di mana tata tertib itu merupakan
sosiopolitis yang harus ditegakkan atas dasar etika yang sah dan viable.37
Sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an.38
أمـ خير بالمعروف ةكنتم تأمرون للنـاس أخرجتأهل ولوأمن بالله المنكروتؤمنون عن وتـنهون
وأكثرهم المؤمنون منهم خيرالهم لكان الكـتاب: الفاسقـون عمران( )١١۰ال
إالان بغـيرحق ديارهم أخرجوامن الذينببعض بعضهم الناس الله ولودفع يقولواربنـاالله
ومساجديذكرفيهااسم وصلوات وبيع صوامع لهدمتلقوى الله إن ينصره من الله كثيـراولينصرن الله
: عزيز )٤٠الحج(
35 ? Dikutip dari Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan,1989), hlm. 79. 36
? M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 155.
37 ? Ibid.
38 Ali ‘Imran (4 ) : 110., dan al-Hajj (17): 40.
xxxvii
Lebih lanjut, menurut Rahman Istilah syura yang merupakan nilai dasar
al-Qur'an bisa dikembangkan menjadi sebuah institusi yang efektif dan
permanen seperti halnya di Barat, akan tetapi apabila secara formal
institusional proses dan bentuk demokrasi ‘ala Barat itu tetap sejalan dengan
orientasi nilai dasar Islam maka sistem ini bisa diterapkan di dunia Islam.39
Rahman memang liberal dan radikal dalam gagasannya, menurut hemat
penyusun sikap ini muncul sebagai respon terhadap tantangan modernitas
yang tak terelakan. Rahman dikenal sebagai pemikir kontemporer yang
menggagas aliran neo-modernisme Islam. Dikatakan demikian karena
pemikirannya yang selalu berusaha menemukan titik temu antara kaum Islam
modernis dengan kaum Islam tradisionalis, bagi Rahman meskipun
modernisme memberikan sumbangan positif pada era kebangkitan Islam tetapi
tetap memperlihatkan kelemahan dan kekurangan tertentu.40
Demikianlah sepintas gambaran mengenai tokoh-tokoh Islam kontempoer
yang nantinya diharapkan banyak membantu penyusun dalam membuat
kerangka teoritis, menurut penyusun tidak ada seorang tokohpun yang bisa
dibidik Pemikirannya menganut satu paham tokoh sebelumnya karena dalam
kenyataannya banyak tokoh yang mengadopsi suatu paham tertentu untuk
masalah tertentu dan paham lain untuk masalah yang lain pula.
39 ? Ibid., hlm. 156.
40 ? "Salah satu kelemahan tersebut ialah kurangnya sistematika dan metodologi yang komprehensif untuk menafsirkan al-Qur'an dan Sunnah, selain itu penolakannya terhadap potensi kekayaan pemikiran Islam tradisional."Baca, Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 12.
xxxviii
Hal yang sama terjadi pada M. Natsir dan Gus Dur, sekilas pemikiran
Natsir tampak maududian akan tetapi banyak juga diwarnai paham Abduhis.
F. Metode Penelitian.
Dalam sub bab ini perlu penyusun paparkan tentang metode penelitian
yang digunakan. Antara lain meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, tehnik
pengumpulan data, pendekatan-pendekatannyadan analisa data.
1. Jenis penelitian.
Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yang mana
lebih mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber utamanya. Karena
ini studi tokoh maka ada dua metode pokok untuk memperoleh pemikiran
tokoh tersebut. Pertama, penelitian pikiran dan keyakinan kedua tokoh
tersebut. Kedua, penelitian tentang biografinya sejak dari permulaan sampai
akhir pemikiran politiknya.41
2. Sifat Penelitian.
Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih bersifat deskriptif-
analisis dan komparatif. Yang dimaksud dengan deskriptif adalah
menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam masyarakat
atau literatur. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang dikaji dalam
penelitian ini ialah karakter dari kedua tokoh tersebut dan fenomena yang
mempengaruhi pemikiran mereka. Adapun analisis disini adalah analisis
dalam pengertian historis, yakni meneliti akar sejarah yang melatarbelakangi
41
? H. A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 34.
xxxix
gagasan mereka, dalam hal ini penyusun lebih memfokuskan pada dua aliran
pemikiran Islam kontemporer yakni modernis dan neo-modernis yang
penyusun anggap sebagai representasi dari kedua tokoh tersebut.
Sedangkan komparatif berarti membandingkan pemikiran kedua tokoh
tersebut dalam proses penelitiannya, supaya mendapatkan letak persamaan dan
perbedaan yang tepat.
3. Tehnik Pengumpulan Data.
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua macam yaitu: data primer dan data sekunder. Karya-karya asli dari kedua tokoh tersebut baik buku, artikel dan kumpulan tulisan yang dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan karya yang mengkaji tentang gagasan kedua tokoh tersebut dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan
kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.4. Pendekatan.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
normatif dan sosio-historis. Yang dimaksud pendekatan normatif ialah suatu
pendekatan untuk menjelaskan masalah yang dikaji dengan norma atau hukum
(fiqih) yang berlaku sebagai upaya penegasan. Hal ini penting untuk
dilakukan karena diskursus Islam dan negara merupakan bagian dari kajian
hukum Islam, khususnya fiqih siya>sah.
Adapun pendekatan sosio-historis yaitu pendekatan yang menyatakan
bahwa setiap produk pemikiran itu merupakan hasil interaksi pemikir dengan
xl
lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya.42 Berkaitan
dengan penelitian ini sudah barang tentu sosial politik dan kultur yang
melatarbelakangi metode pemikiran M. Natsir dan Gus Dur akan dikaji
sepanjang peristiwa tersebut mempengaruhi pemikiran mereka dalam masalah
ini.
5. Analisa Data
Setelah data terkumpul penyusun akan menganalisa dengan metode
kualitatif analisis deduksi dan komparasi. Deduksi yaitu metode yang berawal
dari pengetahuan umum ditarik ke pengetahuan khusus.43 Dalam hal ini
analisa dari kedua tokoh tersebut tentang Islam dan negara di Indonesia,
khususnya mengenai asas negara akan dipersempit dalam paradigma
modernisme dan neo-modernisme Islam. Sementara komparasi dimaksudkan
untuk membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut apakah terdapat
persamaan dan perbedaan yang tajam dan signifikan di antara keduanya.44
G. Sistematika Pembahasan.
Dalam pembahasan ini penyusun membagi menjadi lima bab. Bab pertama
memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
42 ? M. Atho' Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 105. 43
? Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach, (Yogyakarta:Andi Offset, 1989), hlm. 42. Di samping itu penelitian ini berupa telaah pustaka maka metode yang dipakai adalah deduksi sebab metode ini memang tidak menuntut penelitiaan lapangan. Baca, Soenjoto, Peneliti dan Peteliti, (Yogyakarta: Ranggon Studi, 1983), hlm. 8.
44 ? Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 51.
xli
tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian,
dan yang terakhir sistematika pembahasan.
Bab kedua melacak asal-usul dan tipologi relasi agama dan negara dalam
sejarah politik Islam, yang tentunya berimplikasi terhadap pemikiran tokoh
politik Islam Indonesia dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di
Indonesia. Selain itu karakteristik pemikiran ini kemudian dibagi pada dua
perspektif, yaitu modernisme dan neo-modernisme. Yang dalam
pembahasannya kedua perspektif tersebut akan dihadapkan pada dua tokoh
yang dikaji.
Bab ketiga memaparkan biografi M. Natsir dan Gus Dur.
Penelaahan ini meliputi latar belakang sosial dan prilaku politik
kedua tokoh tersebut dalam menggagas relasi Islam dan negara di
Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita-cita ideologi
negara yang mereka perjuangkan sebagai repesentasi tokoh muslim
yang peduli terhadap bangsa, di antaranya yang berkaitan dengan
Islam, demokrasi dan dasar negara.
Bab keempat menganalisa pemikiran kedua tokoh tersebut
tentang relasi Islam dan negara, khususnya tentang demokrasi dan
ideologi pancasila, yaitu dengan membandingkan gagasan kedua
tokoh di atas, apakah dalam penelitian ini terdapat persamaan dan
perbedaan yang signifikan. Selain itu, bab ini juga berusaha
menjelaskan implikasi gagasan kedua tokoh tersebut terhadap tokoh
xlii
politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik Islam generasi saat
ini.
Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan
dimaksudkan untuk memperlihatkan letak signifikansi penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya, dengan memberikan konklusi pemikiran M. Natsir dan
Gus Dur tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia, sedangkan saran-
saran ditujukan bagi para penyusun atau peneliti yang akan mengkaji masalah-
masalah yang berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.
BAB II
ASAL-USUL DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN
TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA
A. Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia.
xliii
Wacana tentang makna, penafsiran dan fungsi pancasila telah menjadi
perdebatan sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak bangsa
ini merdeka, perdebatan ini selalu menjadi aktual di kalangan akademisi dan
politisi Indonesia sampai saat ini. Apalagi didorong dengan lahirnya beberapa
Partai Islam, permintaan diberlakukannya syariat Islam di Aceh (NAD),
munculnya teroris-teroris yang berkedok Islam, laskar serta organisasi yang
bernafaskan Islam kanan, di antaranya Laskar Jihad, Hizbu Tahrer, Jaringan
Islamiyah dan Front Pembela Islam (FPI). Selain itu yang paling jelas menjadi
indikator perlunya kejelasan relasi Islam dan negara dalam kehidupan
berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari‘at Isla>m
dalam amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999.45
Hal ini juga sering terjadi dalam wacana politik Indonesia di penghujung
tahun 1990-an yang juga sibuk memperdebatkan ideologi dan peristiwa-
peristiwa politik yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, di antaranya
mengenai hubungan Islam dan negara, peran ABRI dalam politik, dan bentuk
demokrasi yang sesuai dengan negara ini.46 Dalam skripsi ini penyusun
menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu mengenai hubungan Islam
dan negara.
Untuk memperjelas tahap-tahap perjuangan umat Islam Indonesia dalam
merespon perdebatan Islam dan negara. M. Rusli Karim membagi menjadi
empat tahap. Tahap pertama, 1912 hinggga proklamasi kemerdekaan, tahap
45 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, cet. ke-1 (Bandung: Teraju, 2002), hlm. xi
46 ? Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 16.
xliv
kedua 1945-1955, tahap ketiga, 1955-1965 dan tahap keempat 1965 sampai
sekarang.47 Akan tetapi dalam bab ini penyusun akan memfokuskan asal-usul
lahirnya perdebatan Islam dan negara sepanjang sejarah perpolitikkan
Indonesia secara global.
Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya persiapan
kemerdekaan yang diharapkan,48 dan telah disetujui oleh pemerintahan Jepang.
Hal ini juga dinyatakan dalam pidato Perdana Menteri Kuniaki Koiso kepada
Parlemen Jepang pada tahun 1944 yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia
dalam "waktu dekat".49
Akan tetapi kalau kita teliti lebih dalam bahwa persinggungan antara Islam
dan negara di Nusantara ini sudah berlangsung lama sebelum Indonesia
merdeka yakni di bawah tekanan kolonial Belanda dan Jepang, namun
demikian untuk melacak isu tentang istilah negara Islam di Indonesia
bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini yang diketahui hanyalah
pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti Surjopronoto dan Dr. Sukiman
Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu kekuasaan atau pemerintahan
Islam di akhir tahun 1920-an.50 Saat itu Surjopronoto menggunakan tema een
47 Tahap keempat ini masih dibagi lagi menjadi empat era: 1965-1972 sebagai era mencari bentuk, 1973-1985 sebagai era partai tunggal, 1985 1989 sebagai era transisi rekonsiliasi, dan 1990 sampai sekarang sebagai era akomodasi, baca M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 21.
48 ?Badan Penyelidik Usaha-Usaha kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di bentuk pada tanggal 7 Desember 1945 yang terdiri dari tokoh-tokoh kelompok sosial, etnis, regional dan politisi di Hindia Belanda yang diduduki Jepang. Lihat, Douglas E Ramage, ibid, hlm. 18.
49 ?Deliar Noer, Partai Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), hlm. 30. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, vol. VI (Jakarta: Departemen P&K, 1984), hlm. 66.
50 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. Viii.
xlv
Islamietsche regeering (Suatu Pemerintahan Islam) sementara Sukiman
memakai istilah een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (Suatu
kekuassan Islam di bawah benderanya sendiri) semua ini digunakan untuk
menciptakan kekuasaan Islam di Indonesia yang substansinya sebagai alat
mencapai kemerdekaan.51
Barangkali wacana dan teori tentang Negara Islam ini belum banyak
ditulis secara terperinci oleh pemimpin Islam pada saat itu, sehingga dalam
sidang BPUPKI pada 1945 wacana ini terkesan begitu aktual diperdebatkan
karena secara resmi peristiwa ini muncul pertama kalinya dalam panggung
politik Indonesia.
Anggota BPUPKI ini terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang
akhirnya mengalami kesulitan dalam mencari titik temu (Kalimah as-
Sawa’) posisi masing-masing anggota tersebut, di antaranya. Pertama,
mereka yang ingin menegakkan demokrasi konstitusional sekuler. Kedua,
mereka yang menganjurkan negara integralistik, dan ketiga. Yang paling
emosional dan konfrontasional adalah mereka yang menginginkan Islam
dijadikan dasar negara.52
Badan penyelidik ini mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama,
dari 29 Mei - 2 Juni 1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini
Soekarno membuat pidato yang sangat berpengaruh tentang dasar negara dan
kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila.53 Sedangkan pada sidang
51 Ibid.52 ? Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 19.
53 ? Departemen Penerangan, Lahirnya Pancasila, (Jakarta:). kalau memang tulisan Yamin tentang perdebatan sidang BPUPKI dapat dipercaya maka lahirnya pancasila itu belum tentu
xlvi
kedua, 10-14 Juni 1945 membahas tentang isi konstitusi negara yang akan
dibentuk.54 Dalam kedua pembahasan sidang ini menimbulkan perdebatan
keras di antara para anggota penyelidik terutama kalangan Islam yang diwakili
Abdoel Kahar Moezakkir dengan cita-cita ideologi Islamnya dan kalangan
nasionalis diwakili oleh Soekarno yang cenderung netral terhadap agama.
Masalah yang sangat krusial dan mengundang perdebatan dalam sidang ini
adalah tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah ini berkaitan dengan
integritas agama, budaya dan bangsa yang plural. Karena khawatir akan
kegagalan Badan Penyelidik yang terus-menerus semakin memanas maka para
anggota mengambil iniasiatif dengan membentuk panitia BPUPKI yang terdiri
dari 9 orang.55
Semula anggota BPUPKI ini berjumlah 62 orang, lalu ditambah enam
orang yang kebanyakan berasal dari Jawa dan satu orang lagi dari Jepang
yakni Ichibangase yang menjabat sebagai ketua yunior dan anggota luar biasa,
untuk mengamati secara lebih detail keanggotaan Badan Penyelidik ini maka
penyusun paparkan pendapat Prawoto Mangkusasmito, dari 68 anggota
BPUPKI, hanya 15 orang (+ 20%) yang menyuarakan aspirasi politik Islam
gagasan Soekarno murni karena sebelum Soekarno melahirkan konsep Pancasila , Yamin telah mengemukakan kelima sila tesebut dalam pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik, yaitu: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke-Tuhanan, peri kerakyatan , peri kesejahteraan rakyat yang juga meliputi keadilan sosial. lihat, Muhamad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hlm. 87-21.
54 Mengenai sidang BPUPKI terdapat perbedaan dalam tenggang waktunya, dalam bukunya Deliar Noer sidang pertama berlangsung dari 29-Mei-2 Juni 1945 dan sidang kedua dari 10-14 Juni 1945, sedangkan menurut Yamin sidang pertama berlangsung dari 29 Mei-1 Juni dan sidang keduanya berlangsung dari 10-16 Juli 1945, dikutip dari karyanya Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 17.55 ?Deliar Noer, Parta-Partai Islam, hlm. 34-35.
xlvii
yakni berasal dari nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal dari
kelompok nasionalis-sekuler.56 Statistik ini menunjukkan betapa tidak
seimbangnya representasi dari masing-masing kelompok itu.
Di antara wakil dari kelompok Islam yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul
Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masykur, K.H. A. Wahid
Hasyim, Abikusno Cokrosujoso, H. Agus Salim, Sukiman Wiryosanjoyo,
K.H. A. Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, sedangkan wakil dari kelompok
nasionalis, antara lain, Rajiman Widiodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta,
Prof. Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, Dr. Buntaran
Martoatmojo dan Muhammad Yamin, untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI
dijabat oleh Rajiman Widiodiningrat dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan
bahwa kepemimpinan BPUPKI berada di tangan kelompok nasionalis. 57
Akan tetapi karena banyaknya anggota Badan Penyelidik yang malah
dikhawatirkan akan membawa kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri (atas
perdebatan yang semakin memanas) maka dibentuklah Panitia Kecil BPUPKI
yang hanya terdiri dari 9 orang itu, yaitu: empat orang dari kalangan Islam (H.
Agus salim, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkir) dan
lima orang dari kalangan Naionalis (Soekarno, Mohammad Hatta, A. A.
Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).58
Dalam panitia ini, Islam politik mempunyai kepentingan untuk
menjadikan Islam sebagai dasar negara, sebab menurutnya yang paling banyak
56 ? Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Refleksi, (Jakarta: Hudaya, 1970), hlm. 60-61.
57 ? Muhamad Yamin, Naskah Persiapan, hlm. 60-61. 58 ? Deliar Noer, Partai-Partai Islam, hlm. 35.
xlviii
berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah kelompok
Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kelompok
nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota mereka dalam
badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah akhirnya Jepang
membentuk “Panitia Sembilan” di atas.
Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang
rumusan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban
menjalankan Syari‘at Isla>m bagi pemeluk-pemeluknya”,59 kesepakatan
ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingannya saat itu,
akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa karena dalam UUD 1945 yang
disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah menghapuskan Piagam
Jakarta tersebut.60 Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang pertama
dalam perjuangan politiknya.
Diterimanya pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan
puncak dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok
Islam yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang
sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara dalam
mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan pancasila. Keinginan keras
umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang mayoritas
kemerdekaan, pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat debatable.
59 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, hlm. 170. 60 Ibid., hlm. 23.
xlix
Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri. Kedua, tentang makna
penting pancasila jika dibanding dengan agama.61
Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu
bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang
mewajibkan umat Islam menjalankan Syari‘at Isla>m dirasakan oleh
kawasan Timur Indonesia sebagai sikap diskriminatif terhadap pemeluk
agama lain.62 Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik
Islam terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus
1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD
1945.
Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) yang merupakan pengganti dari BPUPKI yang telah dibubarkan.
Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21 orang, kemudian atas usul
Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang menarik dicermati
dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari organisasi Islam, yaitu Ki
Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo.63 Betapa
ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak melawan
penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota.
Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan
memilih presiden dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua
61 Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, (Jakarta: yayasan perkhidmatan, 1983), hlm.108.
62 Hatta, Memoir, (Jakarta: Tintamas, 1978), hlm. 452- 458.63 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin 1959-1965, cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 29.
l
dan wakil PPKI saat itu yaitu Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno
mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari kultur Minang/Sumatera, terang
saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan pelebur sikap keras Ki Bagus yang
selalu bersekukuh mempertahankan rumusan Piagam Jakarta. Soekarno
sebenarnya sangat kewalahan menghadapi konsistensi Ki Bagus yang tetap
bertahan dengan Piagam tersebut, maka melalui Hatta yang memanfaatkan
Teuku Moehammad Hassan anggota PPKI dari Sumatera berhasil melunakan
sikap keras Ki Bagus dan dalam waktu 15 menit anak kalimat pada sila
Ketuhanan itu diganti dengan Yang Maha Esa.64
Akar perdebatan ini tidak lepas dari letupan pertarungan ideologi saat itu,
yaitu Nasionalis dan Islam.65 Golongan nasionalis adalah kelompok yang
berprinsip bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan negara) harus
dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi
agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan
akhirat dan urusan pribadi saja, Sedangkan negara memang merupakan
masalah politik yang berurusan dengan duniawi.66 Sementara itu golongan
Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat
dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam menurut mereka tidak hanya
64 Prawoto Mangkusasmito, Perumusan Historis, hlm 21-22. Hatta, Memoir, hlm 457-458.
65 Akan tetapi apabila diteliti lebih jauh pertarungan ideologi yang menjadi pertimbangan dalam peletakkan dasar negara saat itu bukan hanya ideologi nasionalis dan Islam, tetapi lebih besar dari itu yaitu pertarungan dua ideologi besar dunia antara kapitalis dan komunis. Baca Hasyim Wahid dkk, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, cet. ke-1 (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm.17-24.
66 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 4.
li
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga
hubungan sesama manusia, lingkungan dan alam semesta.67
Indikasi pertarungan ideologi ini bisa dilihat sejak tahun 1920-1930-an
dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis
Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem dan
peristiwa itu perdebatan sengit antara tokoh Nasionalis-Muslim, seperti
Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan M. Natsir dengan tokoh-
tokoh Nasionalis-sekuler yang diwakili Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan
lain-lain, Polemik inilah yang kemudian berlanjut sampai sekarang. 68
Di sisi lain, konsep “Piagam Madinah” dan praktek pemerintahan Islam
pada zaman Rasulullah, sahabat dan komunitas muslim lainnya juga ikut
mempengaruhi lahirnya perdebatan Islam dan negara di Indonesia, sebab
munculnya terma Piagam Jakarta di Indonesia sedikit banyak terinspirasi dari
konsep Piagam Madinah yang pasti tidak bisa lepas dari persinggungan
wacana politik Islam yang telah berlaku di bangsa Arab itu. Selain itu praktik
67 Ibid., lihat juga, Endang Saefuddin Anshary, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler, tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1949-1959, (Bandung: Pustaka Salman, 1981), hlm. 8.
68 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm 4 dan 54-55. Yang dimaksud nasionalis sekuler adalah kelompok pemimpin politik Indonesia yang menolak secara tegas agama sebagai dasar negara, kelompok ini terdiri dari muslim, katolik, protestan, Hindu dll. Meskipun secara personal mereka bukan kaum sukularis dan kelompok yang tidak lepas dari sentimen, tendensi dan afiliasi keagamaan. Mereka tetap memilih untuk tidak menggunakan agama sebagai ideologi politik. Sebaliknya apa yang dimaksud nasionalis muslim adalah kelompok pemimpin muslim yang menginginkan Islam harus dijadikan dasar negara, karena bagi mereka agama dan politik tidak bisa dipisahkan, jelasnya bahwa tidak ada pemisahan antara persoalan duniawi dan ukhrawi dalam ajaran Islam. Baca, Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 5.
lii
pemerintahan Negara Turki yang memisahkan negara dan agama juga ikut
mewarnai perdebatan ini.69
Jadi, untuk memaparkan secara lebih jelas pemikiran politik tokoh Islam
dan keterkaitan mereka dalam memperjuangkan negara berdasarkan Islam di
Indonesia, perlu penyusun bahas secara singkat tentang teori-teori yang
diajukan para intelektual muslim.
Secara umum pemikiran politik Muslim bisa diklasifikasikan menjadi tiga
teori.70 Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara dan agama tidak harus
dipisahkan, karena Islam merupakan agama yang integral dan komprehensif
dalam mengatur kehidupan baik urusan duniawi maupun ukhrawi, oleh sebab
itu menurut pandangan ini konstitusi negara harus didasarkan pada Islam.
Tokoh teori ini antara lain , Abu A’la Maududi71 (1903-1979) dari Pakistan
yang memimpin Jamiy‘ah al-Isla>m, Sayyid Qutb72 (1906-1966) dan para
ideolog lain Ikhwan al-Muslimin73 dari Mesir. Baik Jam‘iyah al-
69 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 5, Soekarno, Memudahkan Pengertian Islam, di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta:Panitia di bawah bendera revolusi, 1994), hlm. 369- 402.
70 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 1-2. M. Azhar, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 14. lihat juga Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, hlm. 57.
71 Maududi , Islamic Law and Constitution, alih bahasa Khursihid Ahmad, edisi ke-10 (Lahore: Islamic Publication, 1990), hlm. 203. Maududi adalah seorang politikus dan pengarang yang terkenal dalam Islam, dia pernah akan dijatuhi hukuman mati oleh penguasa karena aktivitas politiknya pada tahun 1953, namun hukuman tersebut dibatalkan atas desakan pemimpin dunia muslim pada Pemerintahan Pakistan.
72 Pada tahun 1966, Sayyid Qutb dan beberapa pemimpin Ikhwan al-Muslimun lainya ditangkap dan diadili, setelah Nasser mengetahui rencana makar mereka dalam menjatuhkan rezim, salah satu karyanya yaitu, Khas}ais} at-Tas}awwuri al-Isla>mi wa Muqawwamatuhu (Kairo: Issa al-Babi al-Halabi wa Shuraka’uhu, 1962); Hadha al-Din, (Kairo: Dar al-Qalam, 1962).
73 Tentang Ikwan al-Muslimun, bisa dibaca dalam karyanya, Richard P. Mitcell, The Society of Muslim Brothers, (Oxford: Oxford University Press, 1969).
liii
Isla>m maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan
Fundamentalis di Iran, Pakistan dan Saudi Arabia, hal ini bisa dilihat dari
jargon politiknya bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan Negara) tidak
bisa dipisahkan.74 Pandangan komprehensif ini dikutip dari nash al-Qur’an75:
تتبعوا وال !فة كآ فىالسلم ادخلوا أمنوا ين ياأيهاالذم!بين عدو! لكم !ه إن الشيطـن )٢٠٨البقرة( : .خطوات
Menurut teori yang kedua, agama dan negara harus dipisahkan, urusan
agama sebatas pada urusan pibadi dan ukhrawi tidak perlu mencampuri urusan
politik. Oleh sebab itu konstitusi negara dalam pandangan ini tidak harus
didasarkan pada Islam, namun pada nilai sekuler, contoh konkret teori ini
adalah negara Turki Modern. Teori ketiga, sepakat dengan adanya pemisahan
antara agama dan negara dalam arti konstitusi negara tidak harus didasarkan
Islam, akan tetapi nilai agama harus menjadi ruh kehidupan masyarakat
bernegara, 76
Ketiga teori ini mewakili pilihan-pillihan yang dapat menentukan
karakteristik struktur sosial dan politik negara-negara muslim dunia dalam
menghadapi tantangan modernitas. Terutama teori pertama ini sangat kuat
mewarnai pemikiran politik muslim Indonesia tahun 1940-an dan 1950-an,
karena dalam sidang BPUPKI 1945 maupun konstituante (1956-1959) para
pemimpin muslim berjuang keras agar Islam dijadikan dasar negara.77 Selain
74 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 37.
75 al-Baqarah (2): 208.76 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 38.
77 Faisal Ismail, Ibid.
liv
itu tidak ada indikasi yang tampak bahwa pemikiran politik nasionalis-muslim
Indonesia saat itu, dipengaruhi oleh Kemal Attaturk ataupun Ali Abd al-
Raziq (1888-1966) yang berpendapat bahwa Nabi tidak pernah berupaya
membangun sebuah negara, beliau hanyalah seorang utusan yang dikirim oleh
Tuhan semata.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, konflik ideologi antara
kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-muslim bisa diperkirakan sejak
menjelang kemerdekaan (Sidang BPUPKI). Melengkapi data sebelumnya,
pada tanggal 31-Mei 1945 Soepomo lebih mendukung gagasan Hatta yang
mengusulkan bentuk Indonesia sebagai negara kesatuan daripada keinginan
umat Islam dalam meletakkan dasar negara , yakni memisahkan negara dari
persoalan agama.78
Menurut Soepomo sendiri, jika negara Islam diciptakan di Indonesia maka
sudah pasti persoalan minoritas, persoalan kelompok-kelompok kecil agama
dan yang lainnya akan muncul. Meskipun Islam menjamin kelompok agama
lain sebaik mungkin, kelompok kecil ini tidak akan merasakan keterlibatannya
dalam negara, karena cita-cita negara Islam tidak sesuai dengan cita-cita
negara kesatuan yang diharapkan bersama.79
Pada tahun 1953 Soekarno juga mengungkapkan kekhawatirannya secara
terbuka tentang implikasi-implikasi negatif yang muncul, apabila umat Islam
Indonesia tetap memaksakan kehendaknya (negara Islam), yakni pengakuan
78
? Lihat Muhammad Hatta, Memoir, hlm. 456-458, M. Yamin, Naskah Persiapan, Vol. I, hlm. 115.
79 Dikutip dari Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 40.
lv
Islam secara legal formal di negara ini.80 Dengan mengingat kekhawatiran
yang diungkapkan Hatta pada tahun 1945, Soekarno mengatakan bahwa ia
cemas, kalau banyak bagian negara Republik Indonesia memisahkan diri, atau
negara bekas jajahan Hindia Belanda seperti Irian Barat juga tidak ikut
menggabungkan diri dengan Indonesia yang ber-ruh Islami ini.81
Melihat keberatan kelompok nasionalis-muslim terhadap Negara Sekuler
mengharuskan kita meninjau kembali sejarah Islam yang menyatukan
pemahaman antara agama (di>n) dan negara (daulah). Istilah “negara”
dalam bahasa Indonesia mempunyai arti; pertama, organisasi di suatu wilayah
yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Kedua,
kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang
diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif,
mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan
nasionalnya.82
Dalam Bab ini penyusun merasa perlu mengkaji pula istilah-istilah dalam
kajian politik Islam seperti daulah, khalifah, imamah dan kesultanan yang
seringkali dikonotasikan dengan istilah negara. Di samping itu teori-teori
tersebut paling tidak ikut mempengaruhi pemikiran politik Islam di Indonesia.
a. Daulah.
80 Dikutip dari, Douglas E. Ramage. Percaturan Politik, hlm. 29.
81 Ibid.82 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, edisi ke-2, cet. ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 685.
lvi
Istilah daulah berasal dari bahasa Arab yang bermakna bergilir, beredar
dan berputar (rotate, alernate, take turns or Occur priodically).83 menurut
Olaf Schuman istilah “daulah” sama dengan “dinasti atau wangsa” yang
berarti sistem kekuasaan yang berpuncak pada seorang pribadi dan didukung
oleh keluarganya atau clanya.84 Jadi dalam konteks sekarang istilah tersebut
bisa diartikan negara, selain itu Paham ini juga erat dengan paham Da>r al-
Isla>m yang bermakna bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan seorang
penguasa muslim yang memberlakukan Hukum Islam sebagai hukum utama
di dalam wilayahnya.85
Menurut sejarah istilah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam
ketika masa kemenangan kekhalifahan dinasti Abbasiyyah pada pertengahan
abad delapan.86 Kalau memang istilah ini pernah ada, berarti masa itu terdapat
pada daullah Umayyah yang kemudian begilir pada keluarga Bani Abbas
(Daulah Abbasiyyah).87
b. Khilafah.
Istilah “Khila>fah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan
atau pergantian. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua
83 Sebenarnya yang dimaksud bergilir, beredar dan berputar adalah perputaran (legitimasi) kekuasaan dari yang lama (demisioner) kepada yang baru diamanati oleh kekuasaan lama tersebut. Lihat Olaf Schumann, “Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat Modern dan Negara Islam,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, No, 2, Vol I (Jakarta : Paramadina, 1999), hlm. 57.
84 Olaf Schumann, Ibid., hlm. 59.85
? Ibid.
86 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, alih bahasa Ihsan Ali Fausi, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 50.
87 M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), hlm. 78.
lvii
rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma‘) dan pemberian legitimasi
(Bay‘ah).88 Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang lazim dalam pemilihan
pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit politik
melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution sistem ini
menyerupai dengan sistem republik daripada sistem kerajaan, karena
pemimpin dalam hal ini dipilih bukan merupakan sistem monarkhi yang
bersifat turun-temurun.89
Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah
Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato
inagurasinya Abu Bakar menyatakan dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah
dalam artian sebagai “Pengganti Rasulullah” yang bertugas meneruskan misi-
misinya.90 Sedangkan menurut Bernard Lewis istilah khalifah muncul pertama
kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu prasasti Islam di
Arabia.91
c. Imamah.
Selain kedua istilah di atas, “imamah” dalam kajian Islam juga sering
digunakan sebagai teori yang menyerupai makna negara. Menurut Mawardi,
imam bisa dimaknai khalifah, raja, sultan atau kepala negara, dengan
demikian menurut Munawir Sjadzali, Mawardi memberikan ruang bagi agama
88 Hamid Enayat, alih bahasa Asep Hikmat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, (Bandung: Pustaka, 1998), hlm. 8.
89 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. ke-5 (Jakarta: UI Press, 1985), I: 95.
90 M. Din Syamsuddin, Etika Agama, hlm. 80.
91 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, hlm. 61.
lviii
suatu jabatan politik yaitu kepala negara.92 Sementara menurut Taqiyuddin an-
Nabhani, imamah dan khilafah merupakan dua istilah yang sama maknanya,
karena khilafah adalah suatu kepemimpinan yang berlaku secara umum bagi
seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at
dan mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.93
Pada dasarnya teori imamah lebih banyak berkembang di aliran syi’ah
daripada aliran sunni, dalam aliran Syi’ah Imama>h menekankan dua
rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian Imam (‘ismah).94
d. Kesultanan.
Adapun istilah kesultanan seringkali diartikan kekuasaan dalam kitab al-
Qur’an, menurut Lewis ada seorang penulis dari kelompok scribal, Abd
Hamid, yang hidup pada awal abad kedelapan, secara umum menggunakan
istilah sultan untuk pemerintah.95
Dari uraian di atas, tampak bahwa istilah negara dalam Islam memiliki
beberapa sinonim di antaranya Daulah, Khila>fah, Ima>mah dan
S{ult}aniyyah, oleh sebab itu merupakan hal yang lazim kalau wacana
Negara Islam selalu hangat untuk diperdebatkan, karena secara de facto
ternyata Islam mempraktekkan beberapa istilah yang bersinonom dengan
konsep negara, sedangkan secara konseptual atau de jure Islam memang tidak
92 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 63.
93 Dikutip dari Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 32. baca juga karya asli, Taqiyuddin an-Nabhani, alih bahasa Moh. Magfur Wachid, Sistem Pemerintahan dan Realitas Doktrin, Sejarah dan Doktrin, Sejarah Empirik, (Bangil: Al-Izzah,1996), hlm. 39.
94
? Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni, hlm. 9. M. Din Syamsuddin, Etika Agama, hlm. 79.
95 Bernard Lewis, Bahasa Politik, hlm. 49.
lix
mengenal konsep negara yang detail. Namun demikian patut diteliti apakah
teori-teori tersebut untuk konteks modern saat ini bisa dikategorikan sebuah
konsep negara.
Mengingat wacana negara Islam di Indonesia selalu menjadi perdebatan
panjang dalam sejarah didirikannya negara ini, sejak pra-kemerdekaan sampai
sekarang. Patut dicari apa sebenarnya yang membuat tokoh muslim
berkeinginan keras meletakkan Islam sebagai dasar negara Indonesia? Salah
satu jawaban atas pertanyaan ini, yaitu karena mereka bertujuan menerapkan
Syari‘at secara efektif di seluruh penjuru wilayah negara, M. Natsir salah
satu tokoh Islam yang kontra dengan gagasan Soekarno mengklaim bahwa
kemerdekaan Indonesia merupakan salah satu cita-cita Islam oleh sebab itu
pencapaian kemerdekaan Indonesia merupakan bagian integral dari
perjuangan Islam untuk menerapkan Syari‘at.96
Tampaknya klaim ini didasarkan pada kenyataan saat itu, bahwa umat
Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas mempunyai peran yang sangat
besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Untuk mendukung
opini ini bisa dilihat dari semangat jihad Islam yang terukir dalam sejarah
tanah air ini, seperti Sultan Babullah dari Ternate, Sultan Hasanuddin dari
Makassar, Pangeran Diponegoro (pemimpin Perang Diponegoro 1825-1830,
Imam Bonjol (pemimpin Perang Padri 1921-1937), Teuku Umar, Tjut
Nya’Dien dan Tengku Tjhik di Tiro (pemimpin Perang Aceh tahun 1872-
96 Dikutip dari Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 41.
lx
1912).97 Di samping itu terdapat juga ulama-ulama Jawa, salah satunya Syekh
Hayim Asy’ari yang terkenal dengan “Resolusi Jihadnya”.
Selain alasan di atas, kekecewaan umat Islam atas dihapuskannya “Piagam
Jakarta” bisa juga dipahami melalui berbagai organisasi kultural dan
ekonomis Islam yang telah didirikan jauh sebelum Indonesia merdeka, apalagi
organisasi tersebut banyak memberi konstribusi dalam kemerdekaan ini,
misalnya Sarekat Islam (didirikan tahun 1912), gerakan Modernis
Muhammadiyah (yang juga didirikan tahun 1912, dan organisasi Tradisionalis
NU (didirikan 1926).98 Menurut hemat penyusun organisasi ini merupakan
alat konsolidasi yang sangat efektif saat itu.
Meski dalam kenyataanya umat Islam merupakan mayoritas dalam bangsa
ini dan organisasi Islam memainkan peran penting pada masa kemerdekaan,
menurut Fred von den Mehden "Indonesia sebagai satu bangsa Islam tidak
seluruhnya sepakat dengan apa yang harus dilakukan sebagai pemeluk
Islam”.99 Hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran dan
praktik agama yang dikerjakan, sebagaimana yang dinyatakan Cliford Geertz
bahwa rakyat Indonesia terbagi menjadi tiga aliran atau trikotomi, yaitu
Priyayi, Santri dan Abangan.100
97 Ibid. 98
? Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942 (Singapura: Oxford University Press, 1973). Lihat juga Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 26.
99 Fred von den Mehden, Religion and Modernization in South East Asia Syracuse: Syracause University Press, 1986), hlm. 184. Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 27.
100 Aliran santri menunjuk pada pemeluk Islam yang taat dan setiap harinya dekat dengan prilaku spritual atau sosial yang didasarkan pada al-Qur’an. Sementara Abangan adalah pemeluk Islam nominal, yang bagi mereka Islam adalah lapisan terakhir yang menyelubungi kepercayaan-kepercaaan relegius Hindu, Budha, dan kejawen. Baca, Douglas E. Ramage. Ibid, hlm. 27.
lxi
Perbedaan relegius dan politik dalam komunitas Muslim tampak jelas
dalam wacana pancasila, Seperti halnya yang penyusun bahas di atas. Dengan
demikian suatu dinamika “Islam versus Pancasila” telah mempengaruhi
sebagian besar perdebatan dan wacana pemikiran politik Indonesia sepanjang
tahun 1980-an sampai 1990-an.101 Sebagaimana yang akan dibahas dalam bab-
bab berikut, dinamika ini memiliki implikasi-implikasi penting bagi
perpolitikan nasional.
Dalam catatan sejarah, tuntutan-tuntutan Islam politik atas negara sangat
tampak dalam pemberontakkan Darul Islam melawan Pemerintahan Pusat
antara tahun 1948-1962.102 Akibat serangan pemberontakan ini, bentuk
konkret ancaman “ekstrem kanan” (istilah yang secara resmi dipakai untuk
menunjuk fundamentalisme Islam di era Orde Baru) semakin jelas. Djohan
Effendi menambahkan bahwa Darul Islam mempertinggi kecurigaan militer
bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara partai-partai Islam dengan
pemberontak Darul Islam. Satu-satunya perbedaan, menurut pihak militer
adalah bahwa yang pertama memperjuangkan negara Islam dengan jalan legal,
sedangkan yang kedua dengan kekuatan illegal.103
Deliar Noer, tidak sepakat dengan cara pandang militer ini, baginya cita-
cita partai Islam ini dilakukan secara demokratis. Jadi tentu berbeda dengan
gerakan Darul Islam yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo, gerakan ini
101 Douglas E. Ramage. Ibid, hlm. 28.102 Mengenai pemberontakan Darul Islam bisa dilihat B.J. Boland, The Struggle of Islam
in Modern Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971 dan 1982), hlm. 54-74.
103 Dikutip dari Douglas E. Ramage. Percaturan Politik, hlm. 31. Djohan Effendi, The contribution of the Islamic Parties to the Decline of Democracy in the 1950s, makalah Confrence on Indonesia Democracy, Monash University, 18 Desember 1992.
lxii
menggunakan kekerasan dan mementingkan simbol-simbol, seperti nama
Darul Islam, istilah Imam untuk Kepala negara dan lain sebagainya,
Sedangkan partai Islam lebih pada substansi tujuan. Dalam kasus ini gerakan
Kartosuwiryo tidak berkesempatan mengembangkan pemikiran substansi
tujuannya karena terburu menggunakan kekerasan.104 Peristiwa ini sedikit
banyak menumbuhkan citra negatif pada sebagian kalangan bangsa kita dalam
merespon hubungan Islam dan negara, yang kemudian berdampak negatif pula
terhadap cita-cita dan perjuangan partai-partai Islam selama ini.
Dan saat itu, citra negatif ini digunakan untuk mendeskriditkan kedudukan
partai Masyumi105 dan umat Islam secara umum. Padahal dalam kasus DI ini
secara perlahan-lahan juga ditunggangi oleh golongan yang tidak bersimpati
terhadap RI, di antaranya orang-orang Belanda seperti Jungschlager, Schmidt,
dan Van Kleef. Selain itu masalah pemberontakan PRRI/Permesta (1958-
1961) juga sering dihubungkan dengan cita-cita Islam sehingga membuat
partai Masyumi dibubarkan (tahun 1960), walupun banyak orang Kristen yang
terlibat di dalamnya karena tokoh-tokoh cabang Parkindo dan komandan
daerah yang beragama Kristen jelas-jelas menyokong pemberontakan ini.106
Posisi Islam semakin mengkhawatirkan ketika Soekarno membubarkan
partai Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan
regional berideologi Islam. Dalam usaha menyeimbangkan kekuatan-kekuatan
ideologis antara Islam, nasionalisme, dan komunisme Soekarno tidak hanya
104 Deliar Noer, Partai-Partai Islam, hlm. 430.105 NU saat itu masih bergabung dalam partai tersebut.
106 Ibid.
lxiii
menganjurkan konsep Pancasila, melainkan juga sebuah konsep
NASAKOM,107 yang akhirnya malah menimbulkan struktur politis dan
ideologis yang labil pada awal tahun 1960-an karena masing-masing
kepentingan politisnya jelas saling berlawanan.108
Demikian pembahasan asal-usul perdebatan Islam dan negara di Indonesia. Semoga prawacana ini akan lebih memudahkan kita dalam memahami bab-
bab berikutnya.B. Tipologi Pemikiran Relasi Islam dan Negara.
Islam di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari dinamika pemikiran dan
gerakan pembaharuan, di antaranya dipengaruhi ide-ide pembaharuan Abduh
yang dianggap rasional-liberal, dan kemudian di Indonesia berpadu dengan
faham Wahabiyyah yang skriptural-formal.109 Di sisi lain, masih terdapat
kuatnya madzhab yang dilestarikan oleh para kyai melalui pesantren, yang
dianggap sebagai basis kelompok tradisionalis Islam. Dengan adanya
dialektika modernis versus tradisionalis inilah yang akhirnya melahirkan
pemikiran neo-modernisme Islam Indonesia.
Sebelum membahas lebih jauh, penyusun ingin mempertegas antara Islam
dan pemikiran Islam. Menurut Moslem Abdurrahman “Islam” adalah wahyu,
sedangkan “pemikiran Islam” adalah kebenaran subjektif yang dihasilkan dari
107
? NASAKOM, berarti persatuan antara nasionalisme, agama dan komunisme. Konsep ini dimunculkan Soekarno pada masa demokrasi terpimpin.
108
? Douglas E. Ramage. Percaturan Politik, hlm. 34.
109 Moslem Abdurrahman, Islam Transformatif, cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 66.
lxiv
penangkapan seseorang terhadap pesan obyektif Tuhan.110 Sebagai kebenaran
subjektif pemikiran Islam bisa berubah-rubah sesuai dengan konteks dan
perkembangan pemahaman seseorang tersebut terhadap pesan Tuhan. Oleh
sebab itu untuk memamahami tokoh pemikir Islam harus diletakkan pada
kerangka Ijtiha>d.
Suatu hal yang wajar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia wacana
relasi Islam dan negara mendapatkan komentar, kritik dan debat yang tajam
karena masalah ini termasuk kategori Ijtiha>d seseorang dalam memahami
teks Tuhan.
Pada tahun 1940-an sampai 1990-an sering terjadi perdebatan hangat
mengenai masalah tersebut, Seperti yang penyusun bahas sebelumnya.
Padahal perdebatan ini sudah pernah menemukan titik temunya, yaitu dalam
konsep “Piagam Jakarta”, yang kemudian dianulir sehari setelah
kemerdekaan. Upaya penyelesaian masalah tersebut pada sidang konstituante
kandas di tengah jalan karena dipotong oleh Soekarno melalui Dekrit 1959.
Demikian pula yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru, yang sengaja
menutupi kemungkinan-kemungkinan pembicaraan mengenai persoalan
tersebut.
Diawali perdebatan antara Natsir dan Soekarno, akhirnya Islam mencari
jalannya sendiri dalam kehidupan sosial politiknya dengan cara yang bisa
dibilang formalistik, agar kehadirannya tidak hanya dirasakan tapi juga diakui.
110 Ibid., hlm. 67.
lxv
Dalam pandangan umum, langkah-langkah ini telah menempatkan Islam
dalam posisi antagonistik vis-a-vis negara dengan seluruh implikasinya.111
Akhirnya, situasi inilah yang mendorong pemikir Islam Indonesia generasi
kedua (sejak tahun 1970-an), yang kemudian sering disebut sebagai kelompok
“Islam kultural”. Dalam pandangan ini Islam politik merupakan sesuatu yang
sulit untuk dijual karena trauma politik yang membekas para aktivis politik
saat itu, baik dari pihak Islam politik maupun negara. Untuk itu generasi
kedua ini tidak menginginkan Islam dijadikan sebuah ideologi, dengan
memfokuskan pada bidang garapan “transformasi sosial” yang disesuaikan
dengan kebutuhan tertentu. Di antaranya pandangan dasar Nurcholish Madjid
yang mengemukakan desakralisasi; Abdurrahman Wahid dengan gagasan
Pribumisasi Islam,112 Dawam Rahardjo yang menggeluti Masyarakat pedesaan
melalui pesantren; dan Munawir Sjadzali yang menyatakan perlunya melihat
Islam dalam konteks Indonesia.113
Sebenarnya kalau dilihat dari aspek politik, aktivitas Islam kultural dan
Islam politik mempunyai persamaan, karena kalangan inilah yang meletakkan
dasar-dasar kehidupan politik yang demokratis, dengan menonjolkan aspek-
aspek keadilan, musyawarah, dan egalitarianisme yang disesuaikan dengan
111 Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, cet. ke-1 (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 191.
112 Yang dimaksud Pribumisasi Islam adalah bagaimana mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Jadi bukan meninggalkan norma demi budaya, akan tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan budaya dengan mempergunakan pemahaman nash, yaitu fiqih dan qaidah fiqih. Lihat Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam” dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), hlm. 83.
113 Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, hlm. 191.
lxvi
spirit Islam. Lebih spesifik dalam pembahasan ini, Munawir Sjadzali
mengklasifikasikan relasi Islam dan negara menjadi tiga kategori.
Pertama, aliran konservatif, yang berpendapat Islam adalah agama yang
sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan
bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara
para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran
modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara
yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh
yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Ketiga, aliran sekuler, Islam tidak
ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak
pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah Ali
Abd al-Raziq dan Thaha Husein114
Akan tetapi dalam tipologi ini, penyusun akan mengkaji pada kategori
kedua, yakni aliran Modernis, yang kemudian penyusun klasifikasikan
kembali menjadi dua aliran: modernis dan neo-modernis. Pemetaan ini
didasarkan pada analisa pemikiran yang telah bekembang, bahwa pemikiran
politik Islam di Indonesia memang tidak lepas dari hubungan dialektis antara
aliran tradisionalis dan modernis,115 yang akhirnya melahirkan neo-
modernisme tersebut.
Dalam pandangan politik Islam, kelompok modernis biasanya
menggunakan pendekatan struktural yang dapat juga disebut sebagai kaum
114 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 1-2.
115 Untuk lebih lengkapnya baca, Moslem Abdurrahman, Menyimak Pemikiran Islam, dalam karyannya, Islam Transformatif, hlm.62-114.
lxvii
idealis, sementara kelompok neo-modernis menggunakan pendekatan kultural
yang biasa disebut kaum realistis atau akomodasionis.116
1. Perspektif Modernisme.
Pemikiran modernisme Islam sudah dimulai sejak abad ke 20-an sebelum
Indonesia merdeka. Pada tahun 1912 didirikan sarekat Islam, yakni sebuah
organisasi politik Islam modern pertama kali di Indonesia yang didasarkan
pada sebuah prinsip antipenjajahan.117 Di bawah pengaruh modernisme Islam,
nilai-nilai demokrasi menjadi suatu yang lazim di kalangan intelektual muslim
prakemerdekaan.118
Menurut Mukti Ali, munculnya Modernisme karena didorong kesadaran
akan kemunduran umat Islam yang disebabkan telah meninggalkan sumber
ajaran al-Qur’an yang asli, Oleh sebab itu kalangan modernisme seringkali
menyerukan umat Islam untuk “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah secara
murni”.119 Sebagai reaksi terhadap Barat, wajar apabila kalangan modernisme
mengagendakan sebuah apologia melalui “ideologisasi Islam” bahwa Islam
adalah agama yang Ka>ffah.
Dalam konteks pembahasan, perspektif ini dihadapkan penyusun pada
pemikiran M. Natsir. Tokoh ini dikategorikan dalam perspektif modernis
116 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 227.117
? Anders Uhlin, alih Bahasa Rofik Suhud, Oposisi Berserak, Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, cet. ke-2 (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 32
118 Deliar Noer, Pengantar ke pemikiran politik, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), hlm. 215-216.
119 Dikutip dari, Moslem Abdurrahman, Islam Transformatif, hlm. 28.
lxviii
karena gagasannya yang rasional-fundamental, penulis katakan rasional-
fundamental karena satu sisi Natsir mengakui bahwa di dalam Islam juga
mengandung unsur-unsur demokrasi, dalam artian demokrasi adalah sistem
pemerintahan yang bermanfaat bagi rakyat atau dari rakyat oleh rakyat untuk
rakyat,120 sisi fundamentalnya, M. Natsir bersikap keras meletakkan Islam
sebagai dasar negara, dengan tujuan supaya ajaran Islam bisa laksanakan
secara utuh dan konsekuen dalam kehidupan bernegara.121
Ide-ide pemikiran modernisme tentang Islam dan negara cenderung
bercirikan konservatif, liberal dan demokratis sosial.122 Di Indonesia sendiri
menurut Dawam Rahardjo ciri yang menonjol dari kalangan modernisme
adalah “apologik”, pemurnian dan “skripturalistik”,123 sedangkan dalam
pandangan Liddle istilah modernisme dalam politik mempunyai dua corak,
pertama, “skripturalistis”-yang masih menginginkan bentuk negara Islam dan
berlakunya undang-undang Islam; kedua, “substansialis”-kelompok ini lebih
mengedepankan pada isi daripada bentuk.124
120 Moh. Mahfud MD, Konfigurasi Politik dan Hukum pada Era Orde Lama Dan Orde Baru, dalam, M. AS. Hikam,dkk., Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999), hlm. 20.
121 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 98.
122 Bahtiar Effendy dan Fachry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 171. Baca juga, Anders Uhlin, Oposisi Berserak, hlm. 77.
123 M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim.(Bandung:Mizan, 1993), hlm. 284. lihat juga, M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, hlm. 211.
124 Dikutip dari, M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, hlm. 211, lihat karya asli William Liddle, Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order Indonesia. kertas kerja belum diterbitkan.
lxix
Untuk memperjelas pada pembahasan lebih lanjut, perlu penyusun
tegaskan bahwa yang dimaksud modernisme di sini adalah aliran pemikiran
yang selalu mengidealkan pemerintahan Islam, dengan tetap menerima sistem
Barat asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebenarnya secara
genetik kelompok ini sudah ada sebelum Orde Baru lahir, yaitu Masyumi dan
Muhammadiyah.125 Kedua organisasi ini mempunyai pemikiran yang sama
dalam memandang konsep negara, menurut tokoh-tokoh modernis, Islam dan
negara mempunyai hubungan integral, tetapi bukan berarti menolak sistem
Barat secara totalitas. Karena menurut M. Natsir sendiri Islam memang tidak
mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna, maka dari itu apabila
negara Islam nanti didirikan boleh mengadopsi sistem Barat asal tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Islam.126
Pada intinya aliran modernisme semacam ini mendukung negara Islam
secara ideologis, karena baginya secara tekstual, al-Qur’an dan Sunnah telah
menunjukkan perangkat dasar negara yang dapat diterapkan di zamannya.127
Selain itu, masih ada alasan-alasan lain yang akan dibahas dalam bab
selanjutnya, mengapa tokoh modernisme seperti M. Natsir ingin menjadikan
Indonesia sebagai negara Islam. Untuk lebih lengkapnya akan penyusun bahas
dalam bab selanjutnya.
2. Perspektif Neo-Modernisme.
125 Ibid. 126 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 70-72.
127 Ibid., hlm. 73.
lxx
Pola pemikiran neo-modernisme sangat identik dengan Fazlur Rahman,
menurutnya meskipun di era modern pemikiran modernisme memberikan
sumbangan positif terhadap kebangkitan Islam, tetapi aliran ini masih
menunjukkan kelemahan-kelemahan tertentu, di antaranya adalah kurangnya
metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah, dan terlalu apriori
terhadap kekayaan potensi pemikiran Islam tradisional.128
Lebih lanjut, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa meninggalkan tradisi
lama akan menimbulkan jump to conslusion (kesimpulan yang melompat),
artinya mengambil pokoknya saja tanpa memahami latar belakangnya,129
dengan meminjam istilah H.A.R. Gibb, dia mengkritik kaum modernisme
Islam bahwa kalangan ini menurutnya, akan terancam intellectual
impoverisment (pemiskinan intelektual), karena pemikiran-pemikirannya
seringkali terjebak pada proses pengambilalihan konsep-konsep Barat. Oleh
sebab itu kaum neo-modernisme menggunakan kaidah Islam klasik berikut
ini, 130 sebagai prinsip pengembangan pemikirannya. Yaitu:
األصلح ةالمحافظـ بالجديد واألخذ الصالح القديم على
Neo-Modernisme adalah aliran pemikiran yang melakukan usaha-usaha
untuk menemukan titik temu antara kaum Islam tradisionalis dengan kaum
128 Dikutip dari, Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 12.129 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 178.
130 Ibid.
lxxi
Islam modernis.131 Di Indonesia sendiri gagasan neo-modernisme Islam
dimulai sejak tahun 1970-an, sebagai pemikiran generasi kedua setelah
modernisme yang mengarah pada Islam politik, kemudian pada tahun 1980-an
generasi kedua ini dikenal dengan sebutan Islam kultural.132
Menurut Greg Barton, ada lima ciri yang menonjol dari aliran neo modernisme. Pertama, neo modernisme adalah gerakan pemikiran progresif yang mempunyai sikap positif terhadap modernitas, perubahan dan pembangunan. Kedua, aliran ini sangat berbeda dengan fundamentalisme yang menganggap Barat sebagai ancaman bagi umat Islam. Neo-modernis justru membela ide-ide liberal Barat, tetapi juga mengajukan argumentasi bahwa Islam juga mempunyai kepedulian yang sama terhadap ide-ide Barat seperti demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Ketiga, neo-modernisme Islam mengarfimasi semangat sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena menurutnya al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah menyuruh mendirikan negara Islam. Keempat, neo-modernisme sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, khususnya dalam merespon pluralisme masyarakat. Kelima, neo-modernisme selalu berijtihad dalam membuat sintesis antara khazanah pemikiran Islam tradisional dengan gagasan-gagasan Barat mengenai ilmu-ilmu sosial dan humoniora.133
Banyak penulis yang mengkategorikan tokoh-tokoh muslim Indonesia,
seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, dan
Munawir Sjadzali masuk dalam aliran ini, di antaranya.134 Dalam pembahasan
ini, corak pemikiran neo-modernisme akan penyusun hadapkan dengan
pemikiran Abdurrahman Wahid, ia seorang neo-modernis yang latar belakang
sosialnya berasal dari golongan tradisionalis, meskipun Abdurrahman Wahid
sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah di tahun 1990-an, tetapi
dia tergolong akomodasionis terhadap sistem sosial yang berlaku di
Indonesia.135
131 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 11.
132 Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, hlm. 191.133 Dikutip dari, Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang
Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 122.
134 Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, hlm. 191.
135 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 18.
lxxii
Dalam memandang relasi Islam dan negara, kalangan ini lebih suka
menggunakan pendekatan kultural, yakni dengan memerankan Islam sebagai
“faktor komplementer” untuk mengembangkan sosio-ekonomi, politik, dan
moralitas bangsa. Di antara kalangan neo-modernis yang paling utama
mendukung pendekatan kultural ini adalah Nurcholis Madjid dan
Abdurrahman Wahid, meskipun mereka tidak sepenuhnya sama dalam
berpendapat, tetapi mereka menyadari bahwa secara historis ekspresi Islam
ideologis tidak pernah berhasil.136
Selain itu, menurut Abdurrahman Wahid kalau Islam di Indonesia
dijadikan faktor alternatif, yakni diideologikan, maka fungsinya bisa
terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan
konflik horizontal dan ancaman disintegrasi bangsa,137 hal yang senada
diungkapkan oleh Nurcholish Madjid bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi,
sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu
setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.138
Meskipun demikian, bukan berarti pemikir neo-modernisme ini
mengabaikan aspek agama dalam politik, karena dalam pemikirannya selalu
mempertimbangkan aspek fiqih. Hal ini terlihat dalam pemikiran
Abdurrahman Wahid yang mengajukan dalil agar kebijaksanaan pemerintah
harus senantiasa disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan fiqih, dalam kaidah
136 Ibid., hlm. 239.
137 ? Dedy Djamaluddin M, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 77. baca juga, Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 116.
138 ? Dedy Djamaluddin M, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 169.
lxxiii
fiqihnya "Tas}araf al Ima>m manu>t}un bi al-Mas}lahah"
(kebijaksanaan kepala pemerintah harus mengikuti kesejahteraan rakyat)”.139
Pokok pikiran kedua aliran ini, baik modernisme maupun neo-modernisme
dalam memandang agama dan negara sudah tentu berbeda, karena secara
teoritis dalam konteks agama dan negara kedua pemikiran tersebut memang
terbagi dua, yakni idealistik dan realistik. Dalam kerangka pemikiran
idealistik dirumuskan sebuah sistem negara yang sepenuhnya berdasarkan
wawasan Islam. Kelompok inilah yang kemudian menggunakan Islam sebagai
“tawaran alternatif” dan selanjutnya penyusun kategorikan dalam “kelompok
modernis”. Sementara pemikiran realistik lebih tertarik menempatkan Islam
sebagai “faktor komplementer”, yang menekankan pada substansi bukan
sebuah bentuk formal, 140 dan kemudian penyusun kategorikan sebagai
kelompok neo-modernisme.
Sebenarnya kedua kelompok di atas sama-sama menyadari bahwa di
dalam al-Qur’an maupun Sunnah memang tidak ada yang menyatakan untuk
mendirikan negara Islam, akan tetapi dalam aksi politiknya masing-masing
berbeda. Kelompok modernis lebih suka menggunakan pendekatan Islam
politik dalam kehidupan bernegara, karena untuk memberlakukan syari’ah
pasti membutuhkan kekuatan politik dan yang memiliki kekuatan itu adalah
negara, sedangkan negara dalam pandangan mereka adalah penjaga
syari’ah.141 Sementara generasi kedua, neo-modernisme tidak tertarik dengan
139 Ibid., hlm. 170.140 Ibid.
141 Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 41.
lxxiv
pendekatan Islam politik tetapi lebih pada Islam kultural, yang menempatkan
syari’ah sebagai tata nilai masyarkat dalam kehidupan bernegara, karena pada
dasarnya agama adalah urusan pribadi yang tidak bisa diintervensi siapapun.
Dari uraian di atas, bisa dimengerti mengapa persoalan agama dan negara di Indonesia selalu menjadi pembicaraan hangat di kalangan intelektual muslim kita. Ini tidak lain karena pengaruh geneologi pemikiran yang melatarbelakangi
keduanya, baik itu faktor organisasi ataupun studi yang dijalaninya.
lxxv
BAB III
POKOK-POKOK PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA
Sketsa Biografi M. Natsir
1. Latar Belakang Sosial Politik
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, nama M. Natsir tidak pernah luput
dari pembahasan. Selain seorang tokoh yang gigih memperjuangkan cita-cita
Islam, dia juga dikenal sebagai bapak pemersatu bangsa karena mosi yang
dilontarkannya dalam Sidang Parlemen RIS 3 April 1950, yang kemudian
dikenal dengan Mosi Integral Nastir.142 M. Natsir berasal dari Sumatera Barat,
daerah yang memang banyak memunculkan tokoh-tokoh pembaharu nasional,
baik dalam bidang politik, pendidikan, maupun keagamaan. Diantaranya:
Imam Bonjol, HAMKA, Haji Agus Salim, Muhammad Hatta, dan Sutan
Sjahrir.143
Secara tidak langsung, masyarakat Minangkabau telah akrab dengan dunia
politik, budaya dan agama. Hal ini bisa dilihat dari masyarakatnya sendiri
142 Anwar Harjono, dkk, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, cet. ke-3 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm.10. Selama pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat), Indonesia terpecah-belah menjadi 17 negara bagian. Keadaan inilah yang akhirnya menggigihkan semangat M. Nastir untuk meyakinkan masyarakat bahwa ada kemungkinan RI bisa bersatu kembali.
143 Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 21.
lxxvi
yang terdiri dari sejumlah republik (negeri-negeri), dan dibentuk sesuai tradisi
kepala kelompok suku keluarga yang didasarkan pada suatu sistem
Matriarchat.144 Di sisi lain adat-istiadat, suku juga sangat dipertahankan,
terutama oleh golongan adat atau kaum tradisionalis.
Akibat tradisi keagamaan yang berlangsung di daerah itu, melahirkan para
gerakan pembaharu Islam, mereka adalah ulama muda yang dipengaruhi oleh
gerakan Wahabi di Arab Saudi dan gerakan pembaharuan Islam Mesir.
Bahkkan di antara mereka itu ada yang berguru secara langsung kepada
tokoh-tokoh Wahabi, dan dipengaruhi kuat dengan gagasan-gagasannya M.
Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh.145 Salah satu tuntutan gerakan ini
adalah pemurnian ajaran Islam (purifikasi).
Menurut Mahmud Yunus, awal timbulnya aliran pembaharuan Islam ini
disebabkan beredarnya buku yang mengecam ulama dengan melarang berdiri
waktu membaca “Maulid Nabi” (waktu Marh}aban) dan melafalkan
Us}alli ketika niat sholat.146 Deliar Noer menambahkan, selain dua masalah
di atas Syeikh Ahmad Khatib selaku penulis buku tersebut, juga menentang
keras praktik T{ariqah Naqsabandiyyah dan peraturan-peraturan adat
tentang warisan. Padahal kedua praktik itu telah menjadi tradisi masyarakat
setempat.147
144 Dikutip dari, Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 29. lihat juga, B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies: Selected Writing, Vol. I, (Amsterdam: W Van Hoeve ltd, 1955), hlm. 95.
145 Ibid.
146 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidayat Agung, 1982), hlm. 91. Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 29.
lxxvii
Gerakan pembaharuan ini, menurut penyusun membawa implikasi besar
dalam kehidupan masyarakat. Pertama, gerakan ini menimbulkan reaksi keras
dari kalangan tradisionalis dan Kepala suku. Akibatnya masyarakat
terpolarisasi menjadi kaum adat dan puritan. Kedua, gerakan ini membawa
perubahan-perubahan positif bagi kehidupan keagamaan masyarakat
Minangkabau, sehingga mengkondisikan lahirnya institusi keagamaan. Seperti
yang di tulis Mahmud Yunus bahwa ada sisi positif dari dealektika dikotomi
di atas, antara lain:
“Dari kalangan pembaharu melahirkan Sumatera Thawalib, majalah al-Munir, al-Bayan, al-Imam al-Basyir dan al-Ittiqan, sedangkan dari kalangan tradisional ada Tarbiyah Islamiyah dan majalah al-Mizan. Kedua golongan itu juga berlomba-lomba menyelidiki, membahas, mendalami ilmu-ilmu agama, dan mencari dalil untuk memperkuat fakta masing-masing, akibatnya ilmu agama semakin berkembang di Minangkabau dan melahirkan banyak madrasah agama.”148
M. Natsir lahir pada tgl 17 Jumadil Akhir 1326 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908 di Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok. Ia merupakan anak ketiga dari pasangan Idris Sutan Saripado Dan Khadijah,149 pola pemikirannya sedikit banyak dipengaruhi dengan kondisi sosiologis di mana ia tumbuh, yakni saat masyarakat Minangkabau bersemangat bangkit melawan politik kolonial dan
mengadakan perubahan doktrin keagamaan.
147 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 91.
148 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 92
149 Ajib Rosidi, M. Natsir, Sebuah Biografi, (Jakarta: Girimurti Pustaka, 1990), hlm. 145-152.
lxxviii
Pendidikan formalnya ditempuh di HIS (Holland Inlandische School) Adabiyah150 dan Madrasah Diniyah Solok pada tahun 1916-1923. setelah lulus dari HIS ia melanjutkan ke MULO151 (Meer Uitgerbreid Lager Onderswij) Padang. M. Natsir mulai terlibat organisasi sejak di MULO, awalnya ia masuk Jong Sumatranen Bond di Padang, dan kemudian beralih ke Jong Islameten Bond (JIB), kedua organisasi tersebut diketuai oleh Sanusi Pane. Pada Juli 1927 ia tamat dari MULO dan melanjutkan ke AMS152 (Algemene Middelbare School) dengan
jurusan sastra Barat (Eropa) klasik di Bandung. 153
Jika dilihat dari jenjang pendidikannya, M. Natsir tampak menguasai bahasa-bahasa Eropa tersebut, dengan demikian bisa dipastikan kalau ia tidak banyak mengalami kesulitan dalam memahami karya-karya bangsa Eropa, di antaranya sejarah, filsafat, sastra, politik dan orientalisme.154 Selain itu, M. Natsir sendiri mengakui bahwa bahasa-bahasa Eropa; Belanda,
150 H.I.S. (Hollands Inlandsche School) Adabiyah adalah madrasah sekolah agama yang pertama di Minangkabau, sekolah ini didirikan oleh almarhum Abdullah Ahmad pada 1909. Adabiyah ini berlangsung sebagai sekolah agama sampai tahun 1914, yang kemudian berubah menjadi H.I.S pada tahun 1915. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 63.
151 MULO adalah sekolah rendah dengan program yang diperluas. Sekolah ini berfungsi sebagai subkultur AMS, sekolah kejuruan, dan sekolah terminal bagi mereka yang tidak melanjutkan studinya. Di dalamnya terdiri 4 program bahasa, yaitu: Belanda, Prancis, Inggris, dan Jermaan. Setengah waktu digunakan untuk pelajaran bahasa, sepertiga untuk matematika dan ilmu pengetahuan sosial. Baca, S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 122 dan 128.
152 AMS adalah sekolah lanjutan MULO dan sebagai persiapan untuk Universitas di Nederland, oleh sebab itu bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa belanda. Ibid, hlm. 137-141.
153 Yusril Ihza Mahendra, “Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Natsir,” Jurnal ISLAMIKA, no 13, (1994), hlm. 65.
154 Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara, hlm. 55.
lxxix
Inggris dan sebagainya memang banyak membantu kecerdasan bangsa Indonesia.155
Namun demikian, ia juga mempunyai kepedulian khusus terhadap karya-karya klasik ulama Islam yang berbahasa Arab. Baginya bahasa Arab bukanlah bahasa agama semata, bukan satu dialek atau salah satu bahasa propinsi, malainkan suatu bahasa dunia yang merupakan kunci dari berbagai pengetahuan yang kaya raya untuk mengutarakan suatu pengertian, dari yang mudah sampai yang sesulit-sulitnya atau dari yang bersifat Maddah (konkrit) sampai yang bersifat Ma‘nawi (abstrak), oleh sebab itu baginya bahasa
Arab lebih kaya dari bahasa Eropa manapun juga.156
Melalui bahasa arab tersebut, tidak heran juga kalau M. Natsir sangat tertarik dengan karya Ibnu Taimiyah dan Ibn Qayyim.157 Di samping itu ia juga tertarik dengan pemikiran-pemikiran keagamaan para tokoh modernis, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,
Ahmad Khan, dan Syed Amir Ali di Asia Selatan.158
Pada dasarnya M. Natsir telah mengenal ajaran-ajaran Islam yang bercorak pembaharuan sejak usia muda, hal ini bisa dilihat dari pengaruh gurunya, Tuanku Mudo Amid, seorang pengikut gerakan pembaharuan Islam yang juga merupakan kawan dekat Haji Rasul yakni seorang tokoh pembaharu
155 M. Natsir, Capita Selecta, cet. ke-3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 132.
156 Ibid., hlm. 133.
157 Dikutip dari, Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 55.
158 Ali Nuhannif, Mohammad Natsir Pemadu Politik dan Dakwah, dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.). Tokoh dan Pimpinan Agama: Biografi Sosial-Intelektual, (Jakarta: Badan Litbang Agama Depag RI dan PPIM, 1998). Hlm. 227. Lihat juga, Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 55.
lxxx
pemikiran di Minangkabau. Selain itu, M. Natsir mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Haji Abdullah Ahmad secara teratur, seorang tokoh
pembaharu di Padang.159
Pemikiran Natsir semakin berkembang ketika ia belajar pada tokoh utama Persis (Persatuan Islam) di Bandung160, Ahmad Hassan, salah seorang pendiri organisasi Persis, selain Ahmad Hassan ada juga Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus yang ikut mendirikan organisasi tersebut, tanpa bermaksud memperkecil peranan Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus sebagai pelopor pendiri Persis, namun organisasi ini memang baru terlihat karakternya sebagai kubu gerakan muslim modernis
pada waktu dipimpin oleh Ahmad Hassan.161 Menurut M. Natsir ada dua alasan mengapa ia tertarik berguru pada Ahmad Hassan. Pertama, Hassan sangat menguasai berbagai ajaran Islam, hal ini terlihat bagaimana Hassan mampu menghadapi persoalan masyarakat muslim yang berkembang saat itu. Kedua, pendekatan Hassan terhadap kajian Islam sangatlah menarik bagi generasi muda muslim karena cara yang digunakan sangat berbeda dengan para
ulama lainnya.162
159 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 56.
160 Persis resmi dibentuk pada tanggal 12 September 1923 oleh sekelompok Muslim yang pada dasarnya menaruh perhatian pada kajian dan kegiatan keagamaan, tetapi kemudian meluas pada diskusi pergerakan dan wacana pembaharuan Islam. Lihat Howard Fidersfield, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentith Century Indonesia, (Ithacha: Cornell University Press, 1970), hlm. 11., Baca juga, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 95.
161 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 36.
162 Akhmad Minhaji, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2001), Hlm. 340; Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara,
lxxxi
Selain pengaruh dari tokoh-tokoh di atas, kondisi sosial masyarakat Minangkabau juga ikut mempengaruhi corak pemikiran M. Natsir. Karena pada masa kecil, ia telah menyaksikan pertentangan antara kaum adat dan agamawan di daerahnya. Oleh sebab itu tidak menutup kemungkinan kalau pandangan Natsir tentang keagamaan nanti sedikit banyak terpengaruh dengan fenomena yang ia lihat sewaktu kecil, yaitu pertentangan antara kaum adat dengan kaum muslim puritan, yang kemudian ikut membentuk pemikirannya dalam menentang paham
sekulerisme.Pola pemikiran politik Natsir mulai terlihat khas ketika ia berdomisili di Bandung, di mana ia banyak terlibat dalam organisasi, di antaranya Jong Islamieten Bond 163(the Association of Muslim Youth) dan Persis (The Unity of Islam). JIB berdiri pada tanggal 1 Januari 1925, organisasi ini merupakan perkumpulan generasi muda muslim yang didirikan di Jakarta dan kemudian membuka cabang di daerah-daerah. Pada tahun 1929 M. Natsir menjadi anggota JIB cabang Bandung.164 Dan kemudian ia mengajar Islam di Hollands Inlandse Kweekkschool (HIK) atau sekolah
guru dan MULO di kota ini juga .
hlm. 56.163 JIB merupakan organisasi yang bertujuan untuk mempelajari dan memotivasi hidupnya
agama Islam, menumbuhkan rasa simpati dan toleran antar sesama muslim atau dengan golongan yang lain, menyelenggarakan kursus agama, seni, darmawisata dan olah raga dengan menggunakan label Islam, selain itu orgainasasi ini juga meningkatkan kemajuan jasmani dan rohani anggotanya dengan cara menahan diri dan sabar. Untuk lebih detailnya baca, Mohammad Roem, Sejarah Berdirinya Jong Islamieten Bond, dalam Kustiniyati Mochtar (peny), Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm 129.
164 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 57.
lxxxii
Namun demikian, pengaruh Persis terhadap dirinya lebih dominan ketimbang JIB. Karena dalam Persis M. Natsir merasa lebih banyak mendapatkan teman yang dapat memecahkan masalah yang sedang berkembang dalam pemikirannya, khususnya dalam bidang politik dan agama.165 M. Natsir mempunyai hubungan yang dekat dengan tokoh-tokoh Persis, apalagi ia juga sangat tekun dalam mengikuti kelas khusus yang memang diperuntukkan anggota muda Persis oleh Hassan, terutama yang sedang belajar di sekolah
menengah Belanda.166 Ditambah lagi, adanya majalah Persis Pembela Islam 167 yang memberinya kesempatan untuk menuangkan pendapat-pendapatnya dalam bentuk tulisan, selain itu yang menarik bagi Natsir adalah perhatian besarnya Persis pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tabligh dan publikasi.168 Yang semuanya itu mengantarkannya sebagai pejuang, negarawan, dan agamawan di negara Republik Indonesia ini.169 Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa Persis merupakan wahana awal yang menjadikannya sebagai tokoh nasional, karena melalui kegiatan yang dipelopori Persis seperti tablig, penerbitan majalah, buku, dan pendidikan itulah ia berkesempatan terjun langsung
165 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 100.
166 Ibid.
167 Pembela Islam adalah Majalah tengah bulanan yang diterbitkan tokoh-tokoh Persis di Bandung (1929-1935), dan kemudian majalah ini dilarang penguasa karena dianggap menyerang misi Kristen.
168 Ibid.
169 Thoir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, hlm 29; Kamaruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 58.
lxxxiii
sebagai juru bicara, pendidik, dan team redaksi Pembela Islam.170
Selain pengalaman organisasi di atas, secara akademis ia juga terlihat lebih serius dalam mempelajari ilmu pengetahuan Barat di AMS Bandung daripada sebelumnya, di sekolahan ini ia telah banyak mempelajari berbagai aspek sejarah peradaban Islam, Romawi, dan Yunani dengan menggunakan literatur yang berbahasa Arab, Prancis
dan Latin.171 Jadi bisa dikatakan bahwa dalam usia yang relatif muda (21 tahun) Natsir telah menguasai lima bahasa asing (Belanda, Arab, Inggris, Prancis, dan Latin), dengan demikian tidak heran apabila ia dengan mudah menjelajahi dunia intelektual. Melihat kecerdasan yang dimiliki Natsir, Pemerintah Belanda sempat menawarkan sebuah beasiswa untuk mengantarkannya ke Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta atau Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam Belanda, tetapi ia menolak tawaran beasiswa tersebut karena
kecintaannya terhadap studi keislaman saat itu.172
Kesadaran Natsir untuk menentang sistem kolonial Belanda, mulai terlihat saat ia mengkritik pandangan guru Belandanya yang menganggap bahwa sistem kerja kolonial di pabrik-pabrik gula di Jawa telah banyak memberi keuntungan kepada petani. Menurut M. Natsir yang mendapat keuntungan bukanlah petani
170 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 37.171 Dikutip dari Ahmad Suhelmi, Ibid, hlm. 33.
172 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 100.
lxxxiv
melainkan para pemilik modal dan bupati yang memaksa rakyatnya untuk menyewakan tanah mereka dengan sewa rendah. Dan justru sistem inilah menurutnya yang membuat petani semakin menderita
karena tidak pernah bebas dari beban-beban hutang.173 Inilah awal perlawanan Natsir terhadap kolonial Belanda, ia mulai berontak akan penindasan yang dilakukan Belanda atas bangsanya. Dari peristiwa tersebut, ia terdorong untuk mempelajari politik lebih dalam, ia sadar bahwa untuk melawan tirani kolonialisme sangat ditentukan oleh perjuangan politik rakyat.174 Oleh sebab itu bisa dimungkinkan bahwa pemikiran politik Natsir pasca kemerdekaan juga dipengaruhi atas perjuangan politiknya ketika memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini melawan
bangsa kolonial.Sedangkan Peristiwa lain yang juga memperkuat cita-cita politik
keislaman Natsir pada periode ini adalah responnya terhadap kalangan
nasionalis netral agama atau yang biasa dikenal dengan sebutan kalangan
sekuler, yang dipelopori oleh PNI dengan tokoh utamanya Ir. Soekarno,
Tjipto Mangunkusumo dan lain-lain.175 Organisasi ini berbasiskan anggota di
Bandung, tempat di mana Natsir mengembangkan pemikiran politik dan
agamanya. Sebagai aktivis Persis yang bermukim di kota tersebut, M. Natsir
tertarik dan seringkali mengujungi propoganda PNI yang dikampanyekan
173 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 34.
174 Ibid.
175 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, cet. ke-2 (Bandung: Mizan, 2000), hlm 49. Lihat juga, Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 38.
lxxxv
Soekarno, hanya saja ia tidak suka ketika kampanye PNI merendahkan aturan-
aturan agama.176
Perbedaan ideologi politik itulah, yang kemudian mempengaruhi
perdebatan keras di antara keduanya dalam menentukan bentuk dan dasar
negara, setelah kemerdekaan Indonesia ini tercapai. Dan selanjutnya, yang
perlu dicermati setelah kondisi di atas adalah keterlibatan Natsir dalam
mendirikan partai Islam di Indonesia yaitu Masyumi. Partai ini didirikan pada
tanggal 7 Novemper 1945 dalam kondisi revolusi yang bergolak untuk
menentang tentara kolonial yang hendak kembali lagi ke Indonesia.177
Menurut Yusril Ihza Mahendra, ide pembentukan partai ini datang dari
sejumlah tokoh politik dan pergerakan sosial keagamaan Islam Indonesia yang
telah aktif sejak zaman Belanda. Di antaranya adalah Haji Agus Salim, Prof.
Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Natsir,
Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Sukiman Wiryosajoyo, Ki
Bagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah.178
M. Natsir sendiri pernah memimpin partai ini selama beberapa periode,
dalam pidatonya yang disampaikan pada hari jadinya Masyumi yang
kesebelas (7 november 1956), ia menyampaikan bahwa Masyumi didirikan
176 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 39.177 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia dan Partai Jama’at I-islami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 62.
178 Ibid.
lxxxvi
atas hasrat umat Islam yang diwakili oleh para tokoh Ulama dan Zuama dari
seluruh kepulauan Indonesia di ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.179
Dalam organisasi partai tersebut, pada tahun 1945, M. Natsir masih
menjadi anggota, selanjutnya pada tahun 1945 ia dipilih sebagi ketua sampai
lima kali berturut-turut dari tahun 1951, 1952, 1954, dan 1956.180 Masyumi
merupakan partai Islam yang asalnya terdiri dari empat macam organisasi
masyarakat yang bernafaskan Islam, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama,
Perikatan Umat Islam, dan persatuan Umat Islam Indonesia.181
Namun demikian, pada bulan April 1952 Nahdlatul Ulama sebagai
Organisasi Masyarakat terbesar di nusantara ini, yang sekaligus menjadi salah
satu anggota Partai Masyumi sebelumnya, akhirnya memisahkan diri dari
keanggotaan partai tersebut dan kemudian mendirikan partai politik sendiri.182
2. Pemikiran M. Natsir tentang Relasi Islam dan Negara.
Dalam pidatonya di Pakistan, M. Natsir menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia merupakan negara Islam, meskipun tidak disebutkan dalam konstitusi, Islam adalah agama negara. Baginya secara de facto sudah pasti
menunjukkan bahwa Islam diakui sebagai agama dan anutan jiwa bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu persoalan kenegaraan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari agama.183
Menurut A. Muchlis, M. Natsir beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral Islam, yang di dalamnya mengandung falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis Atau
Komunisme.184 Dengan berdasarkan H{ujjah nas} al-Qur’a>n yang dianggapnya mendukung pendapatnya tentang Islam sebagai dasar negara, Natsir menyebutkan185:
ون ليعبـد إال اإلنس و الجن ماخلقـت : و )٥٦الذاريات(
179 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm.59.
180 Lihat data lengkap Deliar Noer, Partai Islam, Hlm. 107-111.181 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 60.
182 Andrée Feillard, NU Vis-à-Vis Negara: Pencariaan isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 45.
183 M. Natsir, Agama dan Negara, 128.
184 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 87.185 aż-ża>riya>t (27) : 56.
lxxxvii
Jadi, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, agar mendapat kejayaan dunia dan akhirat kelak.186
Namun demikian, untuk mencapai kejayaan tersebut, menurut M. Natsir Allah telah memberikan aturan-aturan kepada manusia, yakni:
Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita, dan cara kita berhubungan dengan sesama manusia. Di antaranya aturan-aturan yang berhubungan
dengan sesama manusia, yang kemudian di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap
masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang, yang saat ini diistilahkan dengan urusan kenegaraan.187
Untuk melacak pemikiran M. Natsir tentang negara, menurut Ahmad
Suhelmi ada dua faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, faktor sosial politik
pada tahun 1940-an yang memunculkan polemik dan pertarungan ideologi
antara kaum nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler. Kedua, faktor
emosional Natsir selaku tokoh negarawan muslim saat itu, akhirnya
melahirkan gagasan-gagasan yang cukup reaksioner terhadap pemikiran
Soekarno yang cenderung sekuler.188
Sedangkan dalam konteks eforia politik Islam saat itu, wacana tersebut
juga sedang hangat diperdebatkan di Timur Tengah karena isu tentang
sekulerisme juga sangat kuat di sana. Yakni pemisahan antara agama dan
negara seperti halnya yang diterapkan Kemal Fasya di Turki.189
Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran-pemikiran
Soekarno banyak dipengaruhi oleh sekularisasi yang sedang terjadi di Turki,
186 M. Natsir, Capita Selecta, hlm. 436.
187 Ibid.
188 Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir, hlm.73. lihat Juga, Kamaruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 61. Deliar Noer juga berpendapat bahwa pandangan mereka ( Soekarno dan Natsir) mewakili pandangan dua golongan besar di Indonesia, yakni golongan nasionalis Islam dan nasionalis netral agama, baca Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, 315.
189 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 61.
lxxxviii
dan di sisi lain, M. Natsir juga berkeinginan memposisikan Indonesia seperti
Pakistan yang telah menjadi Republik Islam, meskipun dengan cara
memperkenalkan Pancasila yang sebelumnya ia tentang sendiri.190
Di samping itu, banyaknya ide pembaharuan dari tokoh-tokoh Indonesia
dan Timur Tengah yang melekat dalam jiwa Natsir, juga telah ikut
mempengaruhi pemikirannya dalam menggagas kenegaraan dalam Islam.
Khususnya dalam menyumbangkan pemikirannya tentang bentuk negara
Indonesia yang ideal menurut Islam, Padahal saat itu Indonesia belum
merdeka.
M. Natsir pernah menegaskan dalam pidatonya dalam sidang Pleno
Konstituante 12 November 1957 bahwa mengenai dasar negara Indonesia
hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Sekulerisme; tanpa agama (La>
diniyyah) dan paham agama (Dini>).191 Dari pernyataan tegas Natsir
tersebut bisa disimpulkan bahwa M. Natsir telah memberikan dua pilihan
tersebut sebagai respon atas menguatnya dualisme pemikiran Islam saat itu
antara yang menginginkan dasar negara Islam dan sekular.
Paham sekulerisme menurutnya sangat berbahaya dalam membentuk
masyarakat ke depan, karena paham ini akan menagakibatkan manusia
kehilangan pegangan hidup yang asasnya kokoh, yakni gampang terserang
penyakit syaraf dan rohani, seorang sekulerisme memang beranggapan bahwa
190 Ibid.
191 M. Natsir, Agama dan Negara, hlm. 204.
lxxxix
konsep tentang Tuhan adalah relatif, yakni ditentukan oleh keadaan
masyarakat sendiri, bukan oleh Wahyu.192
Sebagaimana yang ia katakan bahwa ajaran sekulerisme, selalu
memandang remeh kehidupan agama, karena “menurunkan nilai-nilai hidup
manusia dari taraf kehidupan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata”.193
Paham inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang
menggerakkan fikiran Natsir, sebagai pemikir Islam. Dengan
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Selain itu berdasarkan atas
alasan bahwa secara sosiologis, mayoritas penduduk Indonesia adalah
muslim, dan masyarakat muslimlah yang mempunyai andil besar dalam
mengusir penjajah dari bumi nusantara ini, di samping itu baginya ajaran
Islam mempunyai sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dalam
menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan.194
Adapun Thohir Luth, memandang bahwa alasan Natsir bersama-sama
partai-partai Islam lainnya mengusulkan Islam sebagai dasar negara karena
tiga hal. Pertama, adanya fakta sosiologis, yakni mayoritas masyarakat
Indonesia adalah muslim. Kedua, adanya fakta normatif yang jauh sebelum
Pancasila lahir, umat Islam di Indonesia telah menjadikan dan mengamalkan
Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Ketiga, adanya komitmen yang sangat
kuat tentang Islam dalam diri Natsir, hal ini terbukti dalam pernyataannya
192 Ibid., hlm. 206
193 Ibid.
194 Dikutip dari Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 62.
xc
yang memperjuangkan Islam sebagai pedoman kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.195
Kalau kita meminjam perkataan seorang orientalis, H.A.R. Gibb, kata
Natsir, maka kita dapat simpulkan bahwa Islam is much more than a religious
system, it is a complete civilization, Islam itu lebih dari sebuah sistem
peribadatan, ia merupakan suatu kebudayaan yang lengkap dan sempurna.196
Artinya Islam tidak hanya membicarakan persoalan keakhiratan unsich,
melainkan juga masalah keduniawiaan, seperti masalah sosial politik, hukum
dan pendidikan.
Bukan hanya itu, Natsir juga menyebutkan bahwa agama Islam adalah
agama yang meliputi semua kaedah-kaedah, hudud-hudud (batas-batas) dalam
muamalah (pergaulan) masyarakat, menurut garis yang telah ditetapkan oleh
Islam.197 Dengan demikian bisa dikatakan bahwa berdasarkan : pertama.
Watak holistik Islam, kedua, keunggulan Islam atas ideologi dunia lain, dan
ketiga, kenyataaan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas masyarakat
Indonesia, Natsir dan teman-temannya mengusulkan agar Islam dijadikan
ideologi bangsa Indonesia.198
Sedangkan menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa ketika
Mohammad Natsir berbicara tentang kelebihan agama, mengemukakan dua
195 Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 105.
196 Anwar Harjono, dkk, Pemikiran dan Perjuangan, hlm. 199.
197 Natsir, Capita Selecta, hlm. 437.
198 Bahtiar Efendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 107. Yang dimaksud teman-teman Natsir adalah Kasman Singodimedjo, Zaenal Abidin, Isa Anshari, dan K.H.Masjkur.
xci
premis pokok. Pertama, agama memberi kemungkinan lebih banyak kepada
pemeluknya untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran; sedangkan
dalam filsafat hanya mengakui tiga dasar berpikir tidak mengakui adanya
wahyu, yaitu empirisme, rasionalisme dan intusionisme. Kedua, jangkauan
agama meliputi seluruh aspek kehidupan.199
Dari pandangan-pandangan tokoh dan pendapat Natsir sendiri, yang
menyebutkan alasan historis sosiologis di atas; mayoritas penduduk Indonesia
adalah beragama Islam, maka sangat ironis jika agama Islam menjadi
minoritas di negara ini. oleh sebab, itu untuk memperkuat ajaran Islam dalam
jiwa masyarakat muslim Indonesia, Islam perlu dijadikan dasar negara.
apalagi dalam sejarah dinyatakan bahwa sejak Islam masuk di Indonesia telah
menjadi salah satu sumber kekuatan politik di nusantara ini, ini terbukti
dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam yang hampir semuanya
menjadikan Islam sebagai dasar ideologi kerajaan tersebut.200
Menarik untuk dicermati kembali isi pidato Natsir, yang terkesan tidak
konsisten dalam menyatakan alasan. Sebelumnya ia berpendapat bahwa sudah
sewajarnya Islam dijadikan dasar negara karena secara sosiologis umat Islam
di Indonesia memang mayoritas jumlahnya, sedangkan dalam kesempatan lain
ia menyatakan:
“bukan semata-mata umat Islam adalah golongan terbanyak di kalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami memajukan Islam sebagai dasar negara kita, tetapi berdasarkan pada
199 Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, cet. ke-3 (Jakarta:LP3ES, 1996) hlm. 164.
200 Dikutip dari Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 65. untuk lebih lengkapnya mengenai kedatangan Islam dan perkembangannya di Indonesia. Baca, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Abad XVII dan XVIII: Melcak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 23-58.
xcii
keyakinan kami bahwa ajaran-ajaran Islam yang mengenai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, serta dapat menjamin hidup keagaman atas saling harga menghargai antara berbagai golongan di dalam negara ini”.201
Dengan usaha meyakinkan pada seluruh lapisan bangsa Indonesia, M.
Natsir juga menyatakan dalam pidatonya, “kalau pun besar tidak akan
melanda, kalupun tinggi malah akan melindungi”.202
Sedangkan dalam sisi lain, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, bahwa
pernyataan Natsir sebagai salah satu anggota Masyumi tentang maksud suatu
negara akan bersifat Islam bukan berarti secara formal harus dinamakan
negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tetapi negara disusun sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam, baik dalam teori maupun praktiknya.203 Dan mengenai
dasar negara menurut Natsir dapat dirumuskan dalam klausul-klausul yang
bersifat umum sepanjang mencerminkan kehendak-kehendak Islam.204
Untuk menjelaskan sebuah negara, menurut Natsir tidak perlu memberi
definisi panjang karena malah tidak akan menjelaskan pengertian apa-apa
tentang negara ini, apalagi sudah terdapat banyak pandangan tokoh yang
berlainan dalam hal ini di antaranya, Ibnu Khaldun, Machiavely, Hegel, Marx,
Adam Smith, Robert Owen, Plato, Agustinus, Hobbes, Rosseau dan lain
sebagainya.205
201 M. Natsir, Agama dan Negara, hlm. 203.
202 Ibid.
203 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme, hlm. 205.
204 Ibid., yang diperkuat dengan hasil wawancara antara Yusril dan M. Natsir pada 24 Oktober 1988.
205 M. Natsir, Agama dan Negara, hlm. 198.
xciii
Negara menurut Natsir adalah suatu institusi yang mempunyai hak, tugas
dan tujuan khusus. Institusi secara umum adalah suatu badan atau organisasi
yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material,
peraturan-peraturan sendiri dan diakui oleh umum.206
Lebih dari itu, Natsir menambahkan bahwa untuk sesuatu dinamakan
institusi apabila207 :
a. Bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di lapangan jasmani maupun rohani.b. Diakui oleh masyarakat.c. Mempunyai alat untuk melaksanakan tujuan.d. Mempunyai peraturan-peraturan, norma-norma dan nilai-nilai tertentu.e. Berdasarkan atas paham hidup.f. Mempunyai keanggotaan.g. Mempunyai daerah berlakunya.h. Mempunyai kedaulatan atas anggotanya.i. Memberikan hukuman terhadap pelanggaran atas peraturan-peraturan dan norma-
normanya.
.Maka negara sebagai suatu institutsi, menurutnya harus mempunyai: a)
wilayah. b) Rakyat. c) Pemerintah. D) Kedaulatan. E) Undang-undang Dasar,
atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis. 208 Melihat
dari karakteristik yang disampaikan Natsir di atas, maka bisa dikatakan
bahwa konsep negara yang dinyatakan termasuk syarat-syarat negara modern.
Menurutnya, dalam kenegaraan Islam memang hanya mengatur dasar dan
pokok-pokoknya saja, seperti halnya kepentingan dan keperluan masyarakat
manusia yang tidak berubah-ubah selama manusia masih bersifat manusia,
206 Ibid.
207 Ibid., hlm 199.
208 Ibid.
xciv
baik itu manusia zaman unta, manusia zaman kapal terbang dan lain
sebagainya.209
Mengenai bersikerasnya M. Natsir dalam memperjuangkan Islam sebagai
dasar negara republik ini, karena ia berpandangan bahwa negara bisa menjadi
alat yang kokoh bagi berlakunya hukum-hukum Islam.210 Dengan demikian
negara hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan, yakni mewujudkan
ajaran-ajaran Islam.
Sebagaimana di atas, Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan
akhir Islam, melainkan hanya alat untuk merealisasikan aturan-aturan Islam
yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, ia menyebutkan bahwa di antara
aturan-aturan tersebut yaitu kewajiban belajar, kewajiban zakat,
pemberantasan perzinaan dan lain-lain.211 Menurutnya negara di sini berfungsi
sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya undang-
undang Ilahi,baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri,
(sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat”.212
Menanggapi statemen tentang tidak adanya doktrin agama yang menyuruh
dan mendirikan negara sebagaimana dinyatakan oleh Soekarno, bahwa tidak
ada ijma‘ ulama yang memerintahkan membentuk negara dibantah oleh
209 Natsir, Capita Selecta, hlm. 447.
210 Ibid., hlm. 452.
211 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 89.
212 Natsir, Capita Selecta, hlm. 442.
xcv
Natsir, menurutnya pengutipan ijma‘ oleh Soekarno tentang masalah ini
hanya mempersulit persoalan.213
Menurut Natsir, ada atau tidak adanya Islam, eksistensi negara nerupakan
keharusan di dunia ini dan di zaman apapun, mendirikan negara tidak perlu
disuruh Rasulullah lagi, eksistensi negara telah ada sebelum dan sesudah
Islam, Jadi dengan Islam atau tidak tetap saja merupakan sebuah negara.214
Melihat pemikiran Natsir tentang dasar negara Indonesia di atas,
menimbulkan kesan bahwa Natsir selama perjuangannya adalah anti
Pancasila, padahal dalam pidatonya di depan Pakistan Institute of World
Affairs pada 1952, sikapnya yang anti Pancasila berubah. Ia menyatakan
bahwa:
Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena telah
menyatakan Islam sebagai agama negara, begitu pula Indonesia, menurutnya
negara ini juga negeri Islam, karena kenyataannya negara ini diakui sebagai
agama rakyat, meskipun dalam konstitusi kami tidak dinyatakan tegas sebagai
agama negara. Tetapi Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem
kenegaraan, bahkan kepercayaan tauhid (monothestic belief) telah
ditempatkan pada tempat teratas dari sila Pancasila , yang berfungsi sebagai
dasar etik, moral dan spritual bangsa dan negara kita.215
Dalam tulisannya yang berjudul “Apakah Islam bertolak belakang dengan
doktrin al-Qur’an ?”, Natsir mengatakan:
213 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 89.
214 M. Natsir, Capita Selecta, hlm.442-443.
215 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 66.
xcvi
“Pancasila adalah formulasi lima cita-cita kebaikan sebagai hasil dari konsensus para pemimpin kita pada tahap perjuangan sembilan tahun yang lalu. Dan sebagai lima dasar kebaikan tidaklah bertentangan dengan al-Qur’an, kecuali apabila dimasuki oleh sesuatu yang tidak sesuai dengan al-Qur’an. Dalam pandangan umat Islam, rumusan Pancasila tidak memperlihatkan sesuatu yang asing dalam ajaran al-Qur’an, dan meskipun tidak identik dengan Islam itu sendiri, Pancasila telah mencakup cita-cita islam. Dan kemudian ia menambahkan, Pancasila adalah manifestasi dari maksud dan cita-cita tentang kebaikan dimana kita akan melakukan setiap usaha untuk meletakannya ke dalam praktik negara kita.216
Namun kemudian, Natsir terlihat inkonsisten dengan pendiriaannya, pada
1957 di sidang konstituante ia kembali menolak Pancasila sebagai dasar
negara, karena ideologi ini dianggap sebagai hasil ciptaan manusia dan
tergolong sekuler. Dalan hal ini Syafi’i Ma’arif memandang bahwa mungkin
Natsir mengambil sikap keras dalam majelis karena telah terjadi pengaburan
interprestai Pancasila yang dibuat-buat oleh masyarakat kita.217
Bahkan dalam sidang konstituante tersebut, terang-terangan ia menyatakan
bahwa sidang konstituante adalah forum tempat mengemukakan pendapat dan
pikiran anggota secara lurus, jujur, dan mencerminkan pemikiran yang hidup
di masyarakat. Oleh sebab itu ia beranggapan bahwa kesempatan inilah yang
tepat untuk menolak Pancasila .218
Menurut Njoto, salah satu tokoh komunis, mengatakan bahwa penerimaan
Natsir terhadap Pancasila selama 12 tahun sebagai dasar dan ideologi negara
sekedar “di bibir saja”, karena dalam majelis tersebut, ia sepenuhnya menolak
Pancasila , dan bahkan mengusulkan Islam sebagai dasar dan ideologi
negara.219
216 Dikutip dari, Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 72
217Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, hlm. 155.
218 Deliar Noer, Partai Islam, hlm. 141.
219 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni. 72
xcvii
Dan lebih keras lagi, Njoto menyerang pandangan Natsir di atas, dengan
mempertanyakan mengapa Natsir dalam sidang-sidang majelis,
memperlihatkan sikap-sikap “kejam” terhadap Pancasila dengan
menyebutnya tidak berdasar, netral, dan streril yang sepenuhnya menolak
Pancasila. Njoto kemudian mengajukan pertanyaan: Natsir yang mana yang
harus diikuti, apakah Natsir pada tahun 1954 atau Natsir pada tahun 1957?
Atau malah tidak kedua-duanya.220
Sebagai seorang demokrat sejati Natsir harus menerima Pancasila sebagai
dasar negara, yang telah diberlakukan sejak 1945 sampai tejadinya perdebatan
ideologis di majelis konstituante 1957. Namun perlu diketahui bahwa apa
yang dilakukan Natsir dalam sidang konstituante tersebut secara
konstitusional adalah sah, karena pada saat itu majelis belum menetapkan
dasar negara baru yang permanen. Dan sebagaimana tokoh politik yang lain,
Natsir sebagai representasi dari pihak muslim berhak mengajukan Islam
sebagai dasar negara melawan pendukung Pancasila dalam momen itu.221
Perubahan sikap Natsir dalam sidang konstituante saat itu, menurut Deliar
Noer dipicu oleh tiga alasan. Pertama, majelis konstituante merupakan forum
tertinggi bagi para anggotanya untuk mengusulkan ideologi negara yang
mereka yakini dan cocok untuk negara Indonesia. Kedua, dalam majelis,
Natsir dan teman-temanya memikul tanggung jawab agama dan politik dalam
memperjuangkan aspirasi politik umat Islam, yang menginginkan Islam
sebagai dasar negara. Ketiga, sebagaimana wakil-wakil non muslim yang
220 Ibid., hlm. 73.
221 Ibid., hlm. 74.
xcviii
menjelaskan argumentasi usulan mereka, Natsir juga menjelaskan usulannya
secara argumentatif pula.222
Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, Natsir
mengatakan boleh saja meniru negara non Islam asalkan tidak menyalahi
ajaran-ajaran Islam, sebab dari syarat-sayarat negara yang ia sebut di atas
adalah tidak sepenuhnya sistem negara Islam. Kemudian menyinggung soal
nama penguasa negara, Natsir juga tidak bersikeras menggunakan istilah-
istilah penguasa Islam, menurutnya boleh saja bernama khalifah, Amir al-
Mu‘minin, presiden dan lain sebagainya.223
Selain itu titel “kholifah” menurutnya tidak menjadi syarat mutlak dalam
pemerintahan Islam, bukan conditio sine qua non, yang terpenting adalah
seorang kepala negara tersebut sanggup bertindak bijaksana dan menerapkan
peraturan-peraturan Islam dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik
dalam kaidah maupun praktiknya.224 Dan untuk syarat sebagai kepala negara
Islam, Natsir menilai dari sisi: agamanya, sifat dan tabi’atnya, akhlak dan
kecakapannya dalam menjalankan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Jadi,
bukan dari bangsa dan keturunannya atau semata-mata keintelekannya saja.225
Dalam menjalankan roda pemerintahan, seorang kepala negara menurut
Natsir, wajib bermusyawarah dengan orang-orang yang layak diajaknya dalam
mengatur umat. Adapun untuk urusan-urusan yang di luar ketetapan agama,
222 Deliar Noer, Partai Islam, hlm. 284-285. Lihat juga, Faisal, Ibid., hlm. 74.
223 Natsir, Capita Selecta, hlm. 447.
224 Ibid., hlm.443..
225 Ibid., hlm. 448. Baca juga Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 90
xcix
semua boleh diatur menurut keadaan zaman, dengan cara-cara yang
Muna>sabah, dan tidak melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan.226
Oleh sebab itu, Natsir membolehkan umat Islam untuk mencontoh sistem
negara lain, dalam hal ini ia menuliskan:
Bila sudah ada sistem yang dikehendaki itu terdapat di negara-negara lain, kita orang Islam ada hak mencontoh negara itu selama tidak berlawanan atau bertentangan dengan aturan-aturan yang diadakan Islam. Sebab tiap-tiap hasil kebudayaan, bukanlah monopoli salah satu bangsa atau salah satu negara saja. Kita ada hak mengambil peraturan-peraturan yang baik, yang tidak berlawanan dengan agama kita, dari Inggris, Jepang, Rusia, atau dari Finlandia umpamanya.227
Dengan demikian Natsir mengakui sistem pemerintahan sekular, sebab
dari negara-negara yang ia sebut di atas adalah negara yang memisahkan
agama dan negara. dan lebih spesifik, bisa dikatakan bahwa Natsir
menganggap Islam tidak mempunyai sistem negara yang lengkap sehingga ia
harus mencontoh Barat.
Lebih lanjut, Yusril Ihza Mahendra juga mengatakan hal yang sama, yakni
contoh negara-negara yang disebutkan Natsir di atas sangatlah liberal, karena
Jepang di masa itu adalah sebuah negara totaliter yang berhaluan fasis, apalagi
Rusia adalah sebuah negara komunis. Contoh-contoh itu lanjut Yusril, sengaja
ditunjukkan oleh Natsir, semata-mata ingin memeperlihatkan bahwa doktrin
politik Islam itu bersifat terbuka untuk beradaptasi dengan sistem-sistem
pemerintahan yang telah ada di dunia ini.228
Namun demikian, ketika Natsir berbicara tentang sistem pemerintahan
demokrasi, perlu dicermati lebih lanjut, sebab dalam pandangannya prinsip
226 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 69.
227 Natsir, Capita Selecta, hlm. 450.
228 Dikutip dari, Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 70.
c
musyawarah dalam Islam tidak selalu identik dengan azas demokrasi,
meskipun ia mengemukakan bahwa Islam anti Istiibdad (despostisme), anti
absolutisme dan kesewenang-wenangan.229 Bukan berarti bahwa dalam
pemerintahan Islam semua urusan diserahkan kepada keputusan majelis
Syura, sebab Dalam parlemen negara Islam yang boleh dimusyawarahkan
hanyalah masalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syari’at Islam), bukan
dasar negaranya.230
Dalam Islam pengertian demokrasi diartikannya suatu aturan yang
memberikan hak kepada rakyat untuk mengkritik dan membetulkan
pemerintahan yang zalim, kalau perlu menggunakan kekuatan dan kekerasan
untuk menghilangkannya.231
Natsir mengakui bahwa demokrasi itu baik, akan tetapi sistem kenegaraan
Islam tidaklah menggantungkan semua urusannya kepada instrumen
demokrasi, menurutnya demokrasi tidak kosong dari berbagai bahaya yang
terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa perjalanan demokrasi dari
abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan tetapi
bukan berarti ia lepas sama sekali dari pelbagai sifat-sifat bahaya.232
Dengan tegas ia mengatakan bahwa Islam adalah suatu pengertian, suatu
paham, suatu begrip sendiri, yang juga mempunyai sifat-sifat sendiri. Intinya
“Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu…yah
229 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 91
230 M. Natsir, Capita Selecta, hlm. 452.
231 Ibid., hlm. 439.
232 Ibid., hlm. 452.
ci
Islam”.233 Hal ini disebabkan karena politik tidaklah semata-mata harus
didasarkan kepada kemauan mayoritas anggota parlemen. Keputusan itu tidak
dapat melampaui H{udud (batas-batas) yang telah ditetapkan Tuhan.234
Dari uraian di atas, Natsir tidak menjelaskan bagaimana sesungguhnya
demokrasi dalam Islam. Namun kemudian dalam sidang konstituante 1957 ia
memperkenalkan konsep demokrasi yang ia maksudkan, “Thestic
Democracy”, yaitu demokrasi yang dilandasakan pada nilai-nilai ketuhanan.235
Maksudnya keputusan mayoritas yang berpedoman kepada nilai-nilai
ketuhanan, yang kemudian ia anggap sebagai ijma’ yang mengikat untuk
tempat dan zaman tertentu.
Oleh sebab itu, berangkat dari pandangan-pandangan Natsir di atas dapat
ditarik kesimpulan sementara bahwa hubungan Islam dan negara tidak dapat
dipisahkan, dan secara tersurat ia mendukung Islam dijadikan ideologi negara.
kesimpulan tersebut bisa dilihat dari pernyataannya bahwa:
Fungsi agama dalam negara sangatlah penting dan tidak boleh diabaikan sama sekali, lebih lanjut ia mendefiniskan persatuan agama dan negara. Bagi kita kaum muslimin negara bukanlah suatu badan tersendiri yang menjadi tujuan, melainkan sebuah alat. Persatuan tersebut bukanlah dimaksudkan bahwa agama itu cukup dimasuk-masukkan saja di sana sini kepada negara, bukan begitu!
Dan urusan kenegaraan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu “intergreerend deel” dari Islam. Yang menjadi tujuan adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (individu), ataupun sebagai masyarakat236.
233 Ibid., hlm. 453.
234 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 71.
235 Ibid., baca juga, Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Islam, hlm. 79.
236 Natsir, Capita Selecta, 442.
cii
Dan pada intinya. Pertama, sistem ketatanegaraan dalam pandangan Natsir
boleh meniru bentuk mana saja (Barat), asalkan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Kedua, menurutnya, hubungan agama dan negara dalam politik
Islam tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab Islam tidak seperti agama
yang lain. Islam baginya telah menyediakan perangkat dasar yang dapat
diterapkan sesuai zamannya. Ketiga, berdasarkan fakta di atas, Natsir sebagai
tokoh muslim tampak ingin sekali menjadikan Islam sebagai dasar negara
Indonesia.
Kemudian, Natsir juga menghimbau kepada kaum muslimin agar dalam
masalah persatuan atau pemisahan agama dan negara ini tidak menjadikan
“sejarah sebagai ukuran” kebenaran terakhir.237
Sketsa Biografi Abdurrahman Wahid
1. Latar Belakang Sosial Politik
Berbeda dengan Natsir, Abdurrahman Wahid lahir dari latar belakang
kalangan tradisional, sejak kecil ia dididik dan dibesarkan dalam naungan
keluarga ulama. Kakeknya adalah seorang pelopor pesantren Tebuireng,
Jombang dan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syeikh
Hasyim Asy’ari.
Pada saat usia kanak-kanak ia tidak seperti kebanyakan anak-anak
seusianya, Gus Dur tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut
bersama kakeknya. Dan saat tinggal serumah dengan kakeknya itulah, ia
237 Ibid., hlm. 489.
ciii
mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah
kakeknya.238
Tahun 1950, Gus Dur dan saudara-saudaranya harus pindah ke Jakarta,
sebab saat itu bapaknya dilantik menjadi menteri agama Republik Indonesia.
Sehingga mengharuskannya bermukim di Jakarta. Keluarga Gus Dur tinggal
di Hotel Des Indes yang sekarang menjadi pusat pertokoan Duta Merlin.
Karena kedudukan bapaknya ini pulalah, ia semakin akrab dengan dunia
politik yang ia dengar dari rekan-rekan ayahnya saat bincang-bincang di
rumahnya itu. Lagi pula, Gus Dur termasuk anak yang sangat peka mengamati
dunia sekelilingnya. Maka tak heran menurut pengakuan ibunya, “sejak usia
lima tahun, dia sudah lancar membaca, dan gurunya saat itu adalah bapaknya
sendiri”.239
Selain membaca buku, Gus Dur mempunyai hobi lain, yaitu: main bola,
catur, musik, dan nonton film. Di usia yang masih belasan tahun ia sudah
banyak menghabiskan segala macam majalah, buku, surat kabar. Mulai dari
filsafat, sejarah, agama, cerita silat, dan fiksi cerita.240 Buku-buku itu bisa ia
dapatkan dari perpustakaan pribadi bapaknya, yang memang terdapat berbagai
macam buku yang dikoleksinya, baik buku yang diterbitkan oleh orang-orang
katolik atau non muslim lainnya.241
238 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 79.
239 Ibid.
240 Ibid.
241 Greg Barton, Biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 40.
civ
Sementara itu, perkenalannya dengan musik dimulai lewat pertemuannya
dengan seorang pria Jerman, teman baik bapaknya yang telah berpindah ke
agama Islam dan dipanggil dengan nama Williem Iskandar Bueller. Dan dari
sinilah pertama kali Gus Dur tertarik dan mencintai musik klasik, khususnya
karya Bethoven.242
Kegemaran Gus Dur terhadap berbagai hal tersebut, membuat sekolah
formalnya terganggu, bahkan sampai membuatnya tidak naik kelas di sekolah
menengah ekonomi pertama (SMEP). Ini disebabkan sangat gandrungnya ia
dalam menonton sepak bola dan membaca buku, di samping itu juga karena ia
masih dalam keadaan sedih karena kehilangan bapaknya saat kecelakaan
mobil tanggal 18 April 1953.243
Gus Dur dilahirkan di Denanyar, Jombang, pada tanggal 4 sya’ban
menurut penanggalan Islam, yang kemudian bertepatan dengan tanggal 7
September 1940 M. Namun demikian perayaan hari kelahirannya selalu
diadakan pada tanggal 4 Agustus,244 hal ini memang aneh, sebagaimana
terlihat dalam aspek kepribadiannya yang nyleneh pula, seringkali
mengundang kontroversial.
Ditilik dari geneologi keluarganya, Gus Dur termasuk dari golongan
“darah biru” pesantren. Ia merupakan anak dari K.H. Abdul Wahid Hasyim,
yang ia sendiri merupakan anak dari Hadratu al-Syaikh Hasyim Asy’ari,
242 Ibid., hlm. 39.243 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 80.
244 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 25. Memang dalam kebanyakan penulis yang menulis biografi Gus Dur selalu menganggapnya tanggal 4 bulan Agustus sebagai hari kelahirannya.
cv
pendiri pesantren Tebuireng, Jombang. Sementara ibunya, bernama Nyai Hj.
Siti Salekhah yang merupakan anak dari K.H. Bisri Syamsuri, pendiri
pesantren Denanyar, Jombang. Dan kedua kakeknya itu dikenal sebagai
Founding Father NU di samping K.H. Wahab Hasbullah.245
Walupun bapaknya seorang menteri dan terkenal di lingkungan Jakarta,
Gus Dur tidak ingin sekolah di sekolahan elit yang biasanya dimasuki anak-
anak pejabat pemerintah, ia lebih menyukai sekolah-sekolah biasa,
menurutnya sekolahan elit membuatnya tidak betah.
Gus Dur memulai pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (SD) KRIS, di
Jakarta Pusat. Ia hanya mengikuti kelas tiga dan empat di sekolahan ini,
karena kemudian ia pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari, yang terletak
di dekat rumah keluarganya yang baru di Matraman, Jakarta Pusat.246
Pada tahun 1953, Gus Dur tamat dari sekolah dasarnya di Jakarta. Lalu
setahun setelah tamat SD, pada tahun 1954 ia melanjutkan ke Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta dan berhasil
menamatkannya pada tahun 1956.247 Di kota ini persisnya di desa Kauman,
Gus Dur bermukim di rumah salah seorang teman ayahnya, Kiai Junaidi,
seoarang ulama kecil yang terlibat dalam gerakan organisasi Muhammadiyah.
Bahkan Lebih dari itu, ia juga termasuk anggota Majelis Tarjih (Dewan
Penasihat Agama Muhammadiyah). Selain itu, Gus Dur juga mengaji tiga kali
245 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 27.
246 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 40.
247 Hartono Ahmad Jaiz, Gus Dur Menjual Bapaknya, Bantahan Pengantar Buku: Aku Bangga Jadi Anak PKI, (Jakarta: Darul Falah, 2003), hlm. 30. akan tetapi menurut tulisannya Greg Barton, tentang Biorafi Gus Dur, ia tamat dari SMEP pada tahun 1957. Lihat, hlm. 49.
cvi
seminggu di pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan
K.H. Ali Maksum. 248
Ketika di Jakarta, Gus Dur sudah mampu berbicara bahasa Inggris dengan
baik dan bisa membaca tulisan dalam bahasa Prancis dan Belanda, serta sudah
mengerti bahasa Arab tetapi masih pasif. Namun ketika ia belajar di kota
Yogyakarta, perkembangan bahasanya berkembang cepat.249 Bagi Gus Dur
yang suka membaca buku, Jogja merupakan kota pembawa berkah bagi
perkembangannya.
Setelah tamat dari SMEP di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus Dur mulai
mengikuti pelajaran pesantren secara penuh, tepatnya di pesantren Tegalrejo
Magelang, yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta. Ia belajar di
pesantren ini dari tahun 1957-1959 pada Kiai Khudori, salah satu pemuka
NU.250
Kemudian pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke pesantren Tambak beras
Jombang. Di bawah bimbingan Kiai Wahab Chasbullah, sampai pada tahun
1963. Di sini ia sempat mengajar dan menjadi kepala sekolah, namun
kemudian Gus Dur pindah lagi ke pesantren Krapyak Yogyakarta dan tinggal
di rumah Kiai Ali Ma’shum.251 Pada masa-masa itulah (sejak akhir 1950-an
248 Ini sangat menarik untuk dicermati, karena Gus Dur lahir dari latar belakang NU, yang pada saat itu jelas sekali tidak ada pertautan antara organisasi modernis Muhammadiyah dengan kaum tradisionalis NU, baik dalam aspek pendekatan maupun penafsiran agama. Baca Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 47-49.
249 Greg Barton, Ibid, hlm. 49.
250 Di bawah asuhan Kiai Khudori, Gus Dur termasuk santri yang cerdas dan berbakat. Karena kebanyakan para santri di sini menghabiskan waktu studinya selama empat tahun sedangkan Gus Dur cuma dua tahu, selain di pesantren Gus Dur juga menghabiskan sebagaian besar waktunya di luar kelas dengan membaca buku-buku Barat. Lihat Greg Barton, Ibid, hlm. 50.
251 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 119.
cvii
sampai 1963) Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang
Islam dan sastra Arab klasik.
Di samping itu, perpindahannya dari Yogyakarta ke Magelang dan
kemudian ke Jombang, yang dalam proses pertumbuhan dari kanak-kanak
menjadi remaja, menjadikannya mulai serius memasuki dunia bacaan: tokoh-
tokoh teori sosial Eropa dan novel-novel besar Inggris, Parancis dan Rusia.
Sebagai seorang remaja ia mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan
Aristoteles, dua pemikir penting bagi sarjana-sarjana mengenai Islam zaman
pertengahan.
Pada saat yang sama ia juga tertarik menggeluti karya Das Kapital yang
ditulis oleh Marx dan What is Tobe Done nya Lenin. Kedua buku itu
menurutnya gampang diperoleh, karena saat itu partai komunis Indonesia
membuat kemajuan besar. Di samping itu ia juga tertarik pada ide Lenin
tentang ketelibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism
(kekiri-kirian Penyakit Kekanak-kanakan) dan dalam Little Res Book-Mao
(kutipan kata-kata ketua Mao).252
Setelah menimba ilmu dari pesantren-pesantren di atas, pada tahun 1964
Gus Dur memperoleh kesempatan belajar ke Universitas al-Azhar Kairo
Mesir, melalui beasiswa Departemen Agama. Saat itu ia sedang berumur 23
tahun, dan telah menyelesaikan gramatika bahasa Arab sebanyak 1000 bait
(Alfiah) di luar kepala. Di negeri ini, Gus Dur mengambil spesialisasi bidang
Syari’ah. Namun, ia merasa tidak betah belajar di sini karena materi yang
252 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 53.
cviii
diajarkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang ia dapatkan di pesantren
dulu.253
Oleh sebab itu, di Mesir Gus Dur lebih memilih aktif di organisasi
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia daripada menekuni belajarnya. Dengan
demikian, sebagian waktunya ia habiskan untuk membaca di perpustakaan
terkenal di kota itu, American University Library, sebuah perpustakaan
terlengkap di kota Kairo dan waktu lebihnya ia manfaatkan menonton film.254
Namun demikian bukan berarti Gus Dur kecewa sepenuhnya kepada institusi
al-Azhar, karena di kota ini ia juga banyak memanfaatkan kelompok diskusi
dengan para intelektual muda Mesir untuk bertukar fikiran, di samping
menonton kegemarannya film-film Prancis dan sepak bola.255
Dari Kairo Gus Dur pindah ke Irak, untuk mengikuti kuliah di Universitas
Baghdad, Fakultas Sastra, selama empat tahun. Di sini ia banyak belajar
tentang sastra dan kebudayaan Arab, filsafat Eropa dan teori sosial. Menurut
pengakuannya ia sangat senang dengan sistem Universitas Baghdad ini karena
kampus tersebut jauh lebih mirip Eropa daripada al-Azhar Kairo, selain itu
Gus Dur juga pernah menjadi ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Timur
Tengah dari tahun 1964 sampai 1970.256
Di negeri inilah bakat empirismenya tumbuh pesat, lingkungan baru ini
juga membantunya banyak membaca karya-karya pemikiran seperti pemikiran
253 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 83.
254 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 83.
255 Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogyakarta: LkiS, 1997), hlm. 164.
256 Ibid., hlm. 165.
cix
Emile Durkhim. Minatnya tentang Indonesia juga mulai tumbuh di
Universitas tersebut, sebab referensi buku tentang Indonesia cukup banyak
tersedia di sana. Dan akhirnya di univesitas Baghdad ini pulalah ia diminta
untuk meneliti asal-usul historis Islam di Indonesia.257
Lalu pada tahun 1971, Gus Dur melanjutkan petualangannya ke negeri
Eropa dengan harapan bisa belajar di salah satu universitas di sana, tetapi
harapan ini sukar terwujud, karena background studinya di Kairo dan
Baghdad tidak diakui di Eropa. Ia juga sempat bermaksud pergi ke McGill
Univesity di Kanada, untuk belajar program studi Islam yang sangat
diseganinya. Tapi tidak kesampaian karena ia lebih memilih balik ke
Indonesia. 258 Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk tetap tinggal di
Indonesia saja, sebagian karena diilhami oleh berita-berita perkembangan baru
dunia pesantren yang menggembirakan.259
Setelah itu, akhirnya Gus Dur kembali lagi ke Indonesia dan kehidupan
pesantren. Pada tahun 1972-1974, ia menjadi dosen dan dekan Fakultas
Ushuluddin di Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY), yang sekarang
menjadi Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA), Jombang. Kemudian
dari tahun 1975-1979, ia menjadi sekretaris umum pondok pesantren
Tebuireng, Jombang.260
257 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 83.
258 Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, hlm. 165.
259 Akan tetapi dalam wawancaranya Ma’mun Murod dengan Gus Dur, dinyatakan bahwa petualangan Gus Dur ke Eropa yang menghabiskan waktu selama satu tahun itu, yaitu setengah tahun di Belanda, empat bulan di Jerman, dan dua bulan di Prancis. Sempat mengantarkannya menjadi kandidat Master (S2) di Sorbone University, Prancis. Baca, Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 33.
260 Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, hlm. 165.
cx
Selama periode ini, Gus Dur juga banyak terlibat dalam kepemimpinan
nasional NU. Sampai akhirnya pada tahun 1979 ia hijrah ke Jakarta, dan
mengawali kariernya di PB NU sebagai katib awal Syuriah NU, dan menjadi
dosen IAIN Syarif Hidayatullah, sebelum akhirnya mendirikan Pesantren
Ciganjur, di Jakarta Selatan.261 Selain itu, ia juga banyak terlibat dalam
berbagai proyek dan aktivitas di Jakarta termasuk mengajar di dalam program
pelatihan bulanan kependetaan Protestan.262
Setelah menetap di Jakarta, secara teratur ia melakukan kontak dengan
intelektual muslim progresif di Jakarta, seperti Nurcholish Madjid dan Djohan
Effendi untuk ikut bergabung dalam forum diskusi dan lingkaran studi
mereka. Meskipun latar belakang pendidikannya berbeda, akan tetapi Gus Dur
jauh lebih siap untuk menggagas wacana agama yang bercorak liberal.263
Rentetan petualangan pendidikannya di atas, telah menjadikannya sebagai
tokoh intelektual yang berfikiran liberal, longgar dan moderat. Bahkan
menurut Greg Barton, meskipun Gus Dur tidak pernah menempuh pendidikan
formalnya di Barat, akan tetapi sikap dan pemikirannya jauh lebih siap untuk
berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran Barat,
pendidikan Islam dan masyarakat muslim. Selain belajar secara otodidak,
studinya di Baghdad juga banyak memberikan dasar-dasar yang baik
mengenai wacana liberal yang bercorak Barat dan sekular.264
261 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 33
262 Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, hlm. 165.
263 Ibid.
264 Ibid., hlm. 166.
cxi
Karena sikap liberal, progresif dan inklusif inilah, kemudian ia diberi
kepercayaan untuk menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
pada tahun 1982-1985. Ia juga pernah menjadi juri pada Festifal Film
Indonesia, yang saat itu masih dianggap tabu oleh kaum santri (NU).265 Sikap
dan pemikiran Gus Dur semakin liberal dan progresif ketika dipercaya
menjabat ketua PBNU pada tahun 1984,266 hal ini bisa dilihat dari gagasan-
gagasannya,267 seperti Pribumisasi Islam, orang-orang non muslim menjadi
presiden Indonesia, rukun tetangga (sosial), dan lain sebagainya.268
Kemudian dari tahun 1985 hingga 1990 ia berkhidmat dalam Majelis
Ulama Indonesia (MUI), dan sejak tahun 1994 ia menjadi penasehat
International Dialogue Foundation on Perspective Studies of Syari’ah and
Secular Law, di Den Haag.269
Namun sebelumnya dalam periode yang sama tahun 1993, Gus Dur
dinobatkan sebagai seorang yang layak menerima piagam “Ramon Magsasay”
dan hadiah senilai 50.000 dollar AS, sebuah penghargaan bergengsi yang
diberikan pada tokoh Asia karena dinilai telah memberi kemajuan yang khas
265 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 120.
266 Gus Dur telah terpilih empat kali menjabat ketua PBNU, di antaranya pada tahun 1984, 1989, 1994 dan 1999. Baca Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 83.
267 Maksud Pribumisasi Islam ialah mengokohkan kembali akar budaya kita dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. Kemudian Rukun tetangga, sebuah istilah yang memandang dimensi pribadi menjadi dimensi sosial. Berangkat dari usaha menjembatani persoalan antara kehidupan muslim yang baik tapi a-sosial dengan muslim yang begitu sosial tapi tanpa keimanan. Baca, K.H. Imron Hamzah dan Drs. Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, Gus Dur Diadili Kiai-Kiai, cet. ke-1 (Surabaya: Jawa Pos, 1989), hlm. 30
268 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 33
269 Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, hlm. 166.
cxii
bagi bangsanya.270 Bersamaan pada periode itu, Gus Dur juga terlibat dalam
aktivitas-aktivitas sosial, seperti LSM Fodem (Forum Demokrasi), di sini ia
menjabat sebagai ketuanya.271
Karena kritik politiknya terhadap kediktatoran negara dan gagasan-
gagasannya yang berkaitan dengan demokrasi, pluralisme agama, kebebasan
berpendapat, dan pribumisasi Islam, telah mendapat respon dari kalangan luas
(sejak tahun 1980-an sampai 1990-an), maka tidak aneh saat reformasi 1998
terjadi, ia dijuluki sebagai salah satu tokoh pembawa gerbong reformasi.
Akhirnya pada tahun 1998 pasca reformasi, Gus Dur yang saat itu masih
aktif menjabat ketua umum PBNU mendirikan sebuah Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), pada tanggal 23 Juli 1998, dengan menyatakan bahwa PKB
bukanlah Partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan negara
sekuler.272 Dengan dukungan PKB dan Partai-Partai Islam yang dinamakan
“poros tengah” saat itu, telah berhasil mengantarkannya pada kursi
kepresidenan pada tahun 1999 di masa reformasi ini.
Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden, dengan cara yang sangat
demokratis telah mengangkat citra kelompok santri dalam percaturan politik
270 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 93. tokoh tokoh Asia tersebut ialah Noboru Iwamura (Jepang), Banoo Coyaji (India), Vo-Tong Xuan (Vietnam), dan Bievendido Lumbrera (Filiphina).
271 Jabatannya di Fodem bersamaan dengan masa jabatannya sebagai ketua PBNU, oleh sebab itu menimbulkan kritik keras di kalangan NU, khususnya pamannya sendiri, K.H. Yusuf Hasyim. Namun Gus Dur tetap tabah, bahkan sempat menyatakan akan memilih Fodem daripada NU, ini menunjukkan bahwa Gus Dur sebenarnya seorang demokrat. M. Arief Hakim, Gus Dur dan Demokrasi, dalam Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur Dan Gerakan Sosial NU, (Yogyakarta, Titian Ilahi Press), hlm. 147
272 Dikutip dari karyanya Bahrul Ulum, Bodohnya NU Apa NU Dibodohi?, Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz: 2002), hlm. 135-136.
cxiii
nasional, yang sebelumnya seringkali dimarginalkan. Namun sayang masa
pemerintahan Gus Dur harus berhenti di tengah jalan pada tanggal 23 Juli
2001 secara inkonstitusional karena sikap politiknya yang mengundang
banyak kritik, dari pengamat dan lawan politik yang mengantarkannya dulu.
Cara pemberhentian ini benar-benar menyakiti kalangan santri, yang
kemudian membuat mereka terpaksa kembali menelan kepahitan politik di
awal sejarah reformasi ini. Namun yang menjadi cukup menarik setelah ia
dijatuhkan dari kepresidenan, Gus Dur kembali membuat geger masyarakat
muslim dengan menerima penobatan sebagai anggota kehormatan Legium
Kristus pada 28 Januari 2002 di Tataaran Tonando, Minahasa, Sulawesi
Utara.273 Dan mengenai peran Gus Dur di PKB saat ini (tahun 2003-2004), ia
masih menjabat sebagai ketua Dewan Syura partai tersebut.
2. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara.
Masalah relasi Islam dan negara merupakan salah satu hal yang penting
dalam pemikiran Gus Dur, oleh sebab itu banyak orang yang melakukan
review terhadap pemikirannya ini. Secara garis besar bisa dikatakan bahwa
arus pemikiran Gus Dur mengenai relasi Islam dan negara dapat dikategorikan
sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan antara agama dan
negara, yang sejalan dengan pemikiran Ali Abd al-Raziq.
Berbeda dengan M. Natsir dengan berbagai alasannya di atas, yang
menginginkan Islam dijadikan kekuatan ideologi dan dasar negara ini. Gus
Dur sebaliknya, ia menolak Islam dijadikan ideologi, karena menurutnya
273 Hartono Ahmad Jaiz, Gus Dur Menjual Bapaknya, hlm. 32.
cxiv
kalau agama, politik dan budaya diideologikan fungsinya akan terdistorsi dan
bukan malah mendapatkan struktur yang lebih baik, melainkan justru akan
memicu disintegrasi yang berbasis sekretarian dan konflik horizontal.274
Menurutnya, ada dua alasan mengapa ia menolak didirikannya negara
Islam.275 Pertama, argumentasi normatif-teologis, yang menyebutkan bahwa
Daulah Isla>miyyah (Islamic State) tidak pernah disebutkan secara
eksplisit dalam al-Qur’an. Memang dalam al-Qur’an ada ayat yang berbunyi
Baldatun T{ayibatun wa rabbun Gafur, sebuah ayat yang lebih pada
konteks sosiologis, yaitu negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan. Atas
dasar inilah Islam tidak memberi konsep yang jelas, melainkan hanya
memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan negara.
Kedua, argumentasi historis, yaitu berkaitan dengan fakta bahwa dalam
sejarah Islam tidak pernah menunjukan adanya mekanisme baku bagaimana
suksesi dalam Islam. Ini bisa dilihat dari keempat khalifah pertama
sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang
berbeda satu sama lain,276 padahal pengangkatan seorang kepala negara
merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.
Selain itu, dalam konteks negara pluralistik seperti Indonesia, menjadikan
Islam atau agama apapun sebagai ideologi negara hanya akan memicu
disintegrasi bangsa, karena menurutnya sangat tidak mungkin memberlakukan
formalisme agama tertentu dalam komunitas agama masyarakat yang sangat 274 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 78.
275 Dikutip dari, Khamami Zada, Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta: Lakpesdam, 2002), hlm. 122-123.
276 Mengenai hal ini bisa dibaca lebih jauh dalam karyanya, Munawir Sjadzali, Islam, dan Tata Negara, hlm. 21-33.
cxv
beragam. Oleh sebab itu, baginya pluralitas merupakan hukum alam atau
Sunnatullah di negeri ini, dan seharusnya Islam dijadikan sebuah nilai etik
sosial (social ethics), yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam
kehidupan negara.277
Apabila Islam dijadikan ideologi negara, berarti akan membuka peluang
intervensi negara terhadap agama dan politisasi agama, padahal ajaran-ajaran
agama itu sendiri bersifat privat, yang berjalan di kalangan masyarakat melalui
persuasif, bukan melalui perundangan negara yang bersifat kohesif.
Selanjutnya, Gus Dur menyatakan bahwa agama merupakan dimensi privat
yang paling independen dari manusia dan tidak boleh diintervensi oleh negara
yang bersifat publik.278
Baginya Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang, toleran dan
keadilan. Untuk itu Gus Dur sepakat dengan aksioma bahwa Islam adalah
agama pembebasan (a liberating religion), yang lahir dalam konteks protes
terhadap ketidakadilan di tengah komersial Arab dengan nilai-nilai dasarnya,
seperti musyawarah, persamaan dan keadilan.279
Pemaksaan formalisasi hukum Islam melalui struktur negara, bagi Gus
Dur, merupakan pengingkaran terhadap demokrasi yang ingin ditegakkan di
negeri ini, padahal dalam negara demokrasi nilai egalitarianisme sangatlah
277 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 129.
278 Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 125.
279 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 127.
cxvi
dijunjung tinggi, bukan malah menjadikan pemeluk agama lain menjadi warga
negara kelas dua.280
Dalam pandangan Greg Barton, Fachry Ali, dan Bachtiar Effendi, Gus
Dur dikategorikan dalam aliran neo-modernis.281 Ini dikarenakan gagasan-
gagasannya yang liberal dan tetap menggunakan esensi khazanah pemikiran
tradisional (legacy of past).
Berkaitan dengan ideologi Pancasila, yang ia sampaikan dalam
sambutannya saat menerima penghargaan Magsaysay, Gus Dur menunjukkan
pemikirannya dengan berkomentar mengenai prestasi umat Islam Indonesia:
“Pada mulanya ada semacam pertentangan antara Islam, yang saat itu ditawarkan dalam bentuk ideologi melawan Pancasila , di satu sisi adalah pemberontakan kelompok militan muslim yang dikenal pada tahun 1950-an sebagai Darul Islam. Sisi lain, pertentangan itu tercermin dalam kemacetan sidang konstituante pada tahun 1959, yang ditugaskan menetapkan sebuah konstitusi bagi republik ini.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mampu menyelesaikan masalah itu secara pasti, yaitu dengan menghasilkan sebuah formulasi mendasar bahwa Pancasila dijadikan asas dasar dan ideologi setiap organisasi, sementara agama tetap dijadikan landasan kepercayaan. Pengakuan atas berbagai ragam agama dan ideologi nasional itu memberi jaminan kebebasan bagi setiap pemeluk agama untuk menjalankan kepercayaannya masing-masing”.282
Lebih dari itu, Gus Dur juga menyatakan bahwa tanpa Pancasila negara
Indonesia akan bubar, ideologi ini merupakan asas negara yang harus kita
miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya pertahankan dengan
280 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 169.
281 Baca, Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikian Islam Indonesia Masa Orde Baru, cet. ke-2 (Bandung: Mizan, 1990). Hlm. 29-81.
282 Dikutip dari, Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 93.
cxvii
nyawa saya sendiri, tidak peduli apakah ia dikebiri angkatan bersenjata,
dimanipulasi umat Islam, atau malah disalahgunakan oleh keduanya.283
Ini merupakan pernyataan yang penuh resiko pada tahun 1990-an, karena
pada saat itu rakyat Indonesia sudah sangat bosan dan jenuh mendengar
Pancasila yang selalu disebut oleh pejabat-pejabat dan hampir setiap hari
dipropogandakan dalam media massa. Seolah-olah Pancasila saat itu telah
menjadi mantra pemerintahan dalam menjalankan kebijakan, dan sempat
menjadi ejekan karena semua kegiatan harus berlabelkan Pancasila , seperti
pers Pancasila , ekonomi Pancasila , bahkan sepak bola Pancasila .284
Selanjutnya, mengenai relasi antara agama dan negara yang selalu
menimbulkan ketegangan sejak periode awal Indonesia merdeka, antara kaum
nasionalis dan kaum muslim. Gus Dur sebagaimana K.H. Achmad Siddiq,
berupaya untuk mencairkan ketegangan tersebut, dengan menyatakan bahwa
Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan
perorangan maupun kolektif, sedangkan negara tidak mungkin
memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh masyarakat yang berbeda-
beda agama dan pandangan hidupnya.285
Singkatnya, Gus Dur menginginkan adanya pemisahan wewenang
fungsional agama dan negara yang berbau sekularistik. Lalu bagaimana ia
283 Dikutip dari pernyataan Gus Dur dalam, Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 80.
284 Ibid., hlm. 85.285 Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia, dalam Budhy
Munawar Rahman, Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 583. lihat juga Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 124.
cxviii
menanggapi tuntutan sebagian masyarakat yang selalu mendesak penerapan
syari’at Islam dengan mengundangkan secara positif dalam hukum negara?
Untuk menjawab ini, Gus Dur berbicara tentang “hukum Islam” yang
dalam kenyataannya hanya berlaku sebagai panduan moral yang dilakukan
atas kesadaran masyarakat, mengikat dengan sendirinya (Mulzimun
binafsihi), bukan karena dipaksa negara. Dan menurutnya, sebuah hukum
agama dapat diundangkan negara apabila hal itu dapat berlaku untuk seluruh
komponen masyarakat, meskipun berbeda agama, (Wad‘u al-Ah}kam fi
H{alati Imka>niyyah Wad‘ihi). 286
Sebagaimana yang ia katakan di atas, bahwa rumusan Pancasila sebagai
ideologi negara harus kita pegang teguh. Di samping itu, yang terpenting bagi
umat Islam menurut Gus Dur adalah pengaturannya (al-H{ukmu) bukan al-
Qur’an. Dalam Islam sendiri tidak mengenal sistem pemerintahan yang
definitif, seperti yang dikatakan negara bangsa (nation state) saat ini, memang
pernah ada tiga sistem yang dipakai dalam Islam, di antaranya sistem
Istikhlaf, Bay‘ah, Ahl H{alli wa al-‘Aqdi, tetapi ini hanya terjadi dalam
tempo 13 tahun.287
Ada beberapa teoritisi Islam seperti al-Mawardi (al-Ah}ka>m as-
S}ultaniyyah), Ibnu Abi ‘Arabi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun
(Muqadimah), yang telah banyak merumuskan konsepsi kenegaraan. Dan
286 Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 124.287 K.H. Imron Hamzah dan Drs. Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, hlm.
55.
cxix
ternyata paham kebangsaan ini, menurut Gus Dur pernah digali oleh pikiran
cemerlang Ibnu Khaldun.288
Dalam konteks ini, Gus Dur setuju dengan pendapat Ibnu Khaldun yang
menyatakan, bahwa agama saja tidak cukup untuk dapat membentuk negara.
Pembentukan negara, disamping paham keagamaan juga diperlukan rasa
‘As}h}abiyyah (perasaan keterikatan) untuk membentuk ikatan sosial
kemasyarakatan. Sebab, menurut Ibnu Khaldun, alasan berdirinya sebuah
negara karena adanya perasaan kebangsaan.289
Dan yang tak kalah penting menurutnya adalah fungsi negara sebagai
penyerap heterogenitas dan kepentingan masyarakat, oleh sebab itu tidak aneh
kalau Gus Dur menolak Islam sebagai ideologi negara di Indonesia, sekalipun
agama itu merupakan anutan mayoritas penduduk di negara ini.290
Di Indonesia, hubungan Islam dan negara pernah mengalami ketegangan
politik yang tajam, sebab Islam politik dianggap sebagai pesaing yang
mengusik basis kebangsaan. Ketegangan itu bisa dikatakan relatif berhenti,
setidaknya secara de jure, semua ormas Islam menerima Pancasila sebagai
satu-satunya asas organisasi pada tahun 1980-an yang lalu.291
Ada dua hal yang ditawarkan Gus Dur dalam menetralisasi ketegangan
kedua pihak tersebut. Pertama, menjadikan Islam sebagai etika sosial dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, mengembangkan Islam sesuai
288 Ibid.
289 A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasai Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm.105.
290 Ibid.291 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 132.
cxx
dengan konteks setempat atau yang biasa dikenal pribumisasi Islam. Dan
kedua tawaran itu kemudian mengarah pada penempatan Islam sebagai faktor
komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik di Indonesia.292
Dengan berprinsip al-Gayah wa al-Wasa>il (tujuan dan cara
penyampaiannya), Gus Dur menegaskan bahwa Islam bertugas melestarikan
sejumlah nilai dan prilaku sosial yang mengaitkan pencapaian tujuan dengan
kemulian cara yang digunakan. Oleh sebab itu, menurutnya selama tujuan
masih tetap, maka cara penyampaian menjadi masalah sekunder, dan yang
dimaksud nilai dan prilaku tersebut adalah Ah}laq al-Karimah.293
Jelaslah dengan demikian, Islam berfungsi sebagai etika sosial yang
memandu jalannya kehidupan bernegara bukan sebagai bentuk kenegaraan
tertentu.294 Pendapat-pendapat Gus Dur tersebut merupakan konsekuensinya
dalam memperjuangkan demokrasi dan semangat pluralisme di negeri ini.
Di samping itu, menurutnya dalam prespektif Ahl as-Sunnah wa al-
Jama‘ah, pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari
norma formal eksistensinya, negara Islam atau bukan.295 Selama kaum muslim
dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka
bentuk pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikirannya.
292 Ibid., hlm 132-133.
293 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 75.
294 Ibid.
295 Abdurrahman Wahid, “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia,” Prisma, no. 4 (April 1984), hlm 35. lihat juga, Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 169.
cxxi
Dan atas dasar kerangka berfikir inilah, NU di bawah aksi politik yang
dimotori Gus Dur secara sadar menerima asas tunggal Pancasila, dan tentunya
dengan mendapat persetujuan para ulama organisasi tersebut. Lebih lanjut,
Pancasila dalam pandangan NU merupakan ideologi bangsa yang sejalan
dengan visi Imam Syafi’i tentang tiga jenis negara: Da>ru al-Isla>m,
Da>ru al-H{arbi dan Da>ru as-S}ulh}.296 Dan Gus Dur sendiri
dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa pemerintahan yang
berideologikan Pancasila ini, bisa dikategorikan dalam negara damai
(Da>ru as-S}ulh) yang harus dipertahankan.
Melihat kebijakan NU, yang dalam sejarah politik Indonesia acapkali
menunjukkan sikap akrab dengan negara, tak heran kalau banyak orang yang
menuduh NU sebagai organisasi opurtunistik. Namun Gus Dur membantah
itu, karena bagi NU, pedomannya bukanlah strategi perjuangan politik atau
ideologi Islam dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahan di mata
hukum fiqih.297
Secara teoritis, Gus Dur juga mengakui bahwa pemikiran negara dalam
Islam telah terbagi menjadi dua arus, yakni idealistik dan realistik.298 Dalam
pemikiran idealistik menginginkan sebuah konsep kenegaraan yang
sepenuhnya berwawasan Islam, yang kemudian arus ini dinamakan Gus Dur
sebagai kelompok alternatif.
296 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm 170.
297 Ibid.
298 Ibid.
cxxii
Sementara pandangan realistik, lebih tertarik pada pemecahan masalah
bagaimana perkembangan historis yang berkaitan dengan negara dapat
ditampung dalam pandangan Islam, yang kemudian dalam konteks ini Islam
dijadikan sebagai faktor komplementer bagi ideologi negara.
Gus Dur seringkali memunculkan gagasan kontroversial di mata
masyarakat, baik ketika di NU, PKB maupun di Pemerintahan. Oleh sebab itu,
ia kerap memperoleh serangan sebagai pro-Kristen, agen Zionis dan berbagai
tuduhan minor lainnya.299 Ini dikarenakan sepak terjangnya yang terkesan
tidak membela Islam.
Bahkan menurut Liddle, di antara para tokoh tradisionalis, Gus Dur adalah
seorang tokoh yang paling unik, karena sering memimpin ke mana para
pengikutnya tidak mau ikut.300 Sedangkan meminjam analisis Cak Nun,
menurutnya kita bisa melihat sepak terjang Gus Dur, baik dari sikapnya yang
biasa-biasa saja, yang kontroversial, yang radikal, yang gendheng, maupun
yang membingungkan. Karena semuanya itu terletak pada grand theory yang
tidak sukar dipahami.
Pertama, dalam perspektif universal ia bermaksud menumbuhkan demokrasi setelanjang-telanjangnya.
Kedua, dalam konstelasi keindonesiaan ia bermaksud menerapkan suatu ideologi nasionalisme habis-habisan, yakni dengan menomorsatukan apa pun yang indikatif terhadap primordialisme dan anti-nasionalisme.
Ketiga, khusus kaitannya dengan Islam, Gus Dur dengan segala resikonya berkehendak melakukan domestikasi atau pembumian nilai-nilai Islam dalam kerangka nuansa kultural yang tak bersedia ditawar oleh segala “kegamangan teologis” apapun.301
299 A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU, hlm. 108.
300 Dikutip dari, Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 95.
301 Ibid., hlm. 94. Untuk lebih jelasnya baca, Emha Ainun Nadjib, “Gus Dur Pelindung Minoritas,” Yogya Post, (12 April 1991).
cxxiii
Sejak dipilih sebagai pemimpin NU pada tahun 1984, retorika Gus Dur
semakin bernada liberal dan progresif, ia banyak bersikap positif dan fleksibel
dalam merespon modernitas, dan menegaskan bahwa watak pluralistik dan
multi komunal masyarakat Indonesia harus dipertahankan dari
kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Berkaitan dengan sumber-
sumber pemikiran Islam, ia mengkombinasikan antara apa yang baik dalam
nilai-nilai modernitas dengan komitmen terhadap rasionalitas, keulamaan dan
kebudayaan tradisional.
Untuk mendukung tujuan-tujuan demokratis dan sosialnya, Gus Dur lebih
sering menggunakan ideologi Pancasila daripada Islam dalam melegitimasi
partisipasinya dalam wacana politik dan pengekspresian gagasan kunci
politiknya. Dari sini bisa dilihat bahwa pemikiran politiknya didasarkan pada
visi politik yang demokratis, sekular dan nasionalis.302
Bagi Gus Dur Pancasila adalah ideologi nasional yang esensial untuk
mempertahankan kesatuan nasional. Pandangan ini menurutnya penting untuk
disampaikan karena beberapa muslim memandang Pancasila sebagai ideologi
sekular yang tidak sesuai dengan Islam. Ia kemudian menunjukkan bahwa
ayahnya, Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU pada tahun 1945 juga
sepakat mendukung sebuah negara nasional non Islam.303
302 Douglas E. Ramage, Demokrasi, Toleransi Agama Dan Pancasila : Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid, dalam Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, hlm. 194.
303 Pernyataan Wahid Hasyim, dikutip dari, Ibid., hlm 196. baca juga, Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm.93.
cxxiv
Untuk memahami sepenuhnya politik Abdurrahman Wahid dan
penggunaannya terhadap Pancasila dalam mengembangkan demokratisasi,
perlu ditinjau terlebih dahulu “keluarnya NU” dari panggung politik formal
pada tahun 1984. Padahal pada tahun 1983, NU adalah ormas Islam yang
pertama kali menyetujui asas tunggal.
Keputusan untuk keluar dari politik atau yang dikenal dengan kembali ke
khittah 1926, menurut Gus Dur, bukan hanya karena adanya keinginan untuk
memusatkan perhatian pada tujuan-tujuan sosial, pendidikan dan keagamaan,
tetapi juga sebagai respons terhadap depolitisasi orde baru. Singkatnya, NU
ingin tetap menjaga independensi politiknya dan menghindari intervensi serta
manipulasi pemerintah, karena saat itu pemerintah terus-terusan menekan
politik Islam dengan menggunakan Pancasila untuk membatasi kegiatan
partai politik yang legal pada tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an.304
Selanjutnya, berkaitan dengan perannya sebagai Kepala Presiden yang
relatif singkat. Visi demokrasi, humanisme dan toleransi agama yang Gus Dur
perjuangkan semakin kuat, ini terlihat dalam upaya pencabutan Inpres No. 14
tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat cina. Dalam Inpres
ini, terlihat tidak adanya pengakuan hak-hak penganut Konghucu sehingga
mereka terpaksa harus pindah ke agama lain, Namun pada masa Pemerintahan
Gus Dur Inpres No. 14 tahun 1967 itu dicabut dengan Kepres No. 6 tahun
2000.305
304 Ibid., hlm. 200.305 Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 142.
cxxv
Selain itu, ada ide yang lebih kontroversial, yakni pencabutan Tap MPRS
XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran Marxisme,
Leninisme dan Komunisme, yang menurutnya telah mendiskriminasikan
sebagian warga dalam kehidupan publik dan negara. Akan tetapi ide
pencabutan kemudian memunculkan gelombang demonstran selama kurun
masa kekuasaannya dan akhirnya di tolak oleh MPR.306
Di luar masalah tersebut, Gus Dur juga harus menghadapi sebuah cita-cita
politik yang bertolak belakang dengan trade mark pemikirannya, yakni
adanya masyarakat muslim yang ingin menghidupkan kembali “Piagam
Jakarta” dan mengharapakan penerapan Syari‘ah Islam melalui power
negara. sebagai seorang demokrat Gus Dur tidak memangkas keinginan itu
melalui kekuasaannya, melainkan membiarkan rakyat untuk menguji wacana
tersebut.
Akhirnya, pada Sidang Tahunan Agustus 2000, dua partai politik Islam
(PPP dan PBB) mengusulkan kembali “Tujuh Kata Piagam Jakarta”307 untuk
dimasukkan dalam pasal yang mengatur bab agama dalam proses amandemen
1945. Tetapi hasrat kedua parpol tersebut gagal, karena banyaknya kalangan
yang khawatir akan campur tangan negara terhadap agama dan politisasi
agama, sebagaimana yang pernah diungkapkan Gus Dur.308
Berdasarkan uraian panjang lebar di atas, dapat disimpulkan beberapa hal
pemikirannya mengenai hubungan Islam dan negara. Pertama, Gus Dur
306 Ibid., 62.
307 Tujuh kata itu berbunyi: …dan kewajiban menjalankan Syari‘ah Isla>m bagi para pemeluknya.
308 Ibid., hlm. 145.
cxxvi
selalu ingin menjaga independensi keberagamaan masyarakat dalam
menghadapi negara, karena ketaatan seseorang harus muncul dari kesadaran
pribadi, bukan dari paksaan negara.
Kedua, penolakan Gus Dur terhadap sebagian masyarakat muslim yang
ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara, merupakan konsekuensi dari
pemahaman demokrasi yang ia perjuangakan, yakni menempatkan masyarakat
secara egaliter di hadapan negara. Karena pengistimewaan agama tertentu
dalam negara yang plural ini, berarti pengingkaran nilai-nilai demokrasi.
Ketiga, negara tidak boleh mengintervensi urusan-urusan agama
masyarakat. Begitu juga sebaliknya agama tidak perlu mengemis legitimasi
kepada negara karena hal tersebut bukan menguatkan eksistensi agama
sebagai kepercayaan, melainkan justru merendahkan.
Sebagai seorang pemikir dan aktivis Islam, sikap dan gagasan Gus Dur
mengenai relasi Islam dan negara sebenarnya cukup jelas, yaitu bagaimana
membangun independensi agama dan para pemeluknya vis a vis negara. Yang
mana agama sebagai wilayah privat manusia seharusnya tidak boleh
dicampuri oleh siapapun.
Sikap itu begitu tegas disampaikan oleh Gus Dur, baik melalui tulisan-
tulisan maupun ceramahnya, yang menunjukkan bahwa ia menolak bentuk
formalisme agama dalam kehidupan politik, baik sebagai kehendak
masyarakat maupun sebagai kehendak negara. Hal ini juga bisa dilihat dari
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikannya, partai mayoritas
cxxvii
muslim yang tidak melabelkan Islam, sebuah refleksi pemikirannya dalam
membangun relasi Islam dan negara.
cxxviii
BAB IV
ANALISIS
TERHADAP
PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN
ABDURRAHMAN
WAHID
A. Persamaan.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab III, bahwa gambaran kedua
tokoh di atas sangat diperlukan untuk menganalisa pemikiran keduanya. Di
antaranya mengenai latar belakang kehidupan, karier politik, dan organisasi
yang menjadi dapur pertama pemikiran politiknya. Selain itu ulasan tersebut,
setidaknya dapat dijadikan pertimbangan sebelum menempatkan atau
mengklaim kedua tokoh tersebut dalam kategori aliran tertentu.
Pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa M. Natsir sebagai Prototype modernisme Islam dan Gus Dur sebagai neo-modernisme Islam, telah banyak mewarnai sejarah perpolitikan Indonesia. Terlepas dari itu, perlu diakui bahwa perdebatan Islam dan negara sudah lama terjadi, sejak dasawarsa 1930-an antara M. Natsir dan Soekarno, yang kemudian dalam situasi itulah Islam menapaki langkah-langkah yang boleh dibilang idealistik atau formalistik. Singkatnya,
cxxix
gerakan ini ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara.309
Situasi inilah yang mendorong aktivis dan pemikir Islam generasi kedua
pada tahun 1970-an, yang kemudian dinamakan Islam kultural. Dalam
pandangan kelompok ini, Islam politik merupakan sesuatu yang sulit dijual,
karena masih kuatnya trauma politik yang membekas antara aktivis politik
Islam dengan negara. Oleh sebab itu kalangan ini lebih memilih garapan
transformasi sosial, dengan menawarkan Islam yang sesuai dengan konteks
Indonesia dan tidak begitu ideologis.310
Meskipun keduanya hidup pada masa yang tidak bersamaan, tetapi
pemikiran politik kedua tokoh tersebut masih tetap mewarnai panggung
politik Indonesia sampai saat ini. Yang kemudian terpolarisasi pada kelompok
modernis dan neo-modernis.
Dalam diskursus kaum modernis, ada dua faktor yang telah disepakati
sebagai penyebab kemunduran dunia Islam. Pertama, secara internal, praktik-
praktik keagamaan umat Islam telah banyak yang menyimpang dari ajaran
Islam yang asli, al-Qur’an dan Hadits, yang kemudian menyebabkan umat
Islam mengalami kemunduran, oleh sebab itu pembaharuan doktrin Islam
sangat diperlukan. Kedua, peradaban Barat sekular yang mulai masuk dalam
percaturan peradaban Islam, dianggap sebagai faktor lain (eksternal) yang
dominan menyebabkan kemuduran dunia Islam.311
309 Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, hlm. 190.310 Ibid.
311 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais, hlm. 160.
cxxx
Di Indonesia Gerakan modernis ini termanifestasikan dalam beberapa
organisasi, seperti Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan Sarekat Islam,
sebuah organisasi yang mengedepankan motif gerakan kembali ke al-Qur’an
dan Hadis, yang menurutnya sebagai sumber ilmu yang otentik, abadi dan
akan tetap relevan dengan perubahan zaman dan tempat. (S{a>lih} Likulli
Zama>nin wa Maka>nin).
Dengan demikian pemikiran-pemikiran politik kaum modernis Islam
banyak diwarnai oleh idiom-idiom al-Qur’an dan Hadis. Pada dasarnya
doktrin kembali ke al-Qur’an dan Hadis di atas, merupakan rintisan yang tepat
dengan realitas politik Islam saat itu, hanya saja doktrin tersebut kemudian
terkontaminasi dengan sikap anti Barat yang rigid dan akhirnya melahirkan
pemikiran normatif dan cenderung apologetik, misalnya dengan menawarkan
sistem ekonomi Islam dan negara Islam sebagai alternatif menghadapi Barat.
Dalam diskursus politik Islam (al-Fiqh as-Siya>syi), upaya untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dirumuskan dalam suatu kaidah312:
بالمصلحـ منوط الرعـية على اإلمام ةتصرف
Menurut Abd al-Wahab Khalaf, kaidah di atas dapat dijadikan sebagai
landasan teori hukum atau referensi untuk pengambilan keputusan hukum
aktual, apabila memenuhi tiga kriteria berikut ini. Pertama, maslahah itu
bersifat essensial, yakni kepentingan yang secara praksis dapat mewujudkan
kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan. Kedua, maslahah
itu ditujukan pada kepentingan rakyat banyak, bukan individu. Ketiga,
312 Abd al-Hamid Hakim, As-Sulam, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, t.t.), II: 65.
cxxxi
maslahah itu tidak bertentangan dengan ketetentuan atau dalil-dalil umum
nash.313
Teori kemaslahatan inilah yang kemudian dijadikan pisau analisis oleh M.
Natsir dan Gus Dur dalam memecahkan persoalan hubungan Islam dan
negara. Dan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran kedua
tokoh tersebut, memang perlu diawali dari teori ini.
Ada beberapa persamaan dari kedua tokoh tersebut dalam merespon
hubungan Islam dan negara. Dan yang pasti secara esensial kedua tokoh
tersebut sepakat bahwa tujuan diterapkannya demokrasi di negeri ini adalah
untuk mencapai kemaslahatan bersama dan keadilan yang merata bagi umat
manusia.
Dalam sejarah politik Indonesia, M. Natsir dan Gus Dur dikenal sebagai
pemikir muslim yang sekaligus praktisi politik terkemuka di negeri ini,
keduanya sama-sama mempunyai komitmen untuk menjadikan Islam sebagai
agama pembebas yang membebaskan manusia dari segala bentuk eksploitasi
dan diskriminasi
Sedangkan sisi persamaan yang dominan antara M. Natsir dengan Gus Dur
dalam membangun relasi Islam dan negara adalah pengakuan mereka tentang
tidak adanya sistem politik yang rigid dalam Islam sebagaimana yang telah
ada dewasa ini, dan bagi mereka yang ada dalam Islam hanyalah prinsip dasar
berbangsa dan bernegara, seperti musyawarah, keadilan, persamaan,
kebebasan, dan kebersamaan.
313 Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Usūl al-Fiqh, cet. ke-11 (Kairo: Dar al-Qalam, 1977), hlm. 86-87.
cxxxii
Menurut Natsir, dalam kenegaraan, Islam hanyalah mengatur dasar dan
pokok-pokokmya saja seperti yang dinyatakan di atas, maka dari itu dalam
membangun sebuah negara M. Natsir banyak menggunakan syarat-syarat
sebuah negara modern, di antaranya harus mempunyai wilayah, rakyat,
Pemerintah, Kedaulatan, Undang-Undang Dasar atau sumber hukum atau
kekuasaan lain yang tidak tertulis.314
Masih dalam konteks yang sama, Gus Dur juga menyatakan secara tegas
bahwa Islam tidak memberi konsep yang jelas untuk membangun sebuah
negara, melainkan hanya memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan
negara. Secara historis juga telah terbukti bahwa dari keempat khalifah
sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang
berbeda satu sama lain,315 ini menunjukkan bahwa Islam memang tidak
mempunyai mekanisme baku sebuah suksesi, padahal pengangkatan seorang
kepala negara merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.
Oleh sebab itu, sistem demokrasi menurut kedua tokoh tersebut
merupakan sistem yang paling realistik untuk mewujudkan terbentuknya suatu
masyarakat yang adil, egaliter dan manusiawi sebagaimana yang dicita-
citakan Islam. Karena dengan adanya nilai-nilai dasar di atas Islam bisa
dikatakan sebagai agama pembebas sepenuhnya kompatibel dengan aturan
demokrasi.
314 Natsir, Capita Selecta, hlm. 199.
315 Mengenai hal ini bisa dibaca lebih jauh dalam karyanya, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 21-33.
cxxxiii
Mengenai tipologi pemikiran kedua tokoh tersebut, memang tidak
sepenuhnya murni sebagaimana yang telah penyusun tempatkan, sebab
walaupun Yusril mengkategorikan Natsir sebagai kalangan modernis, akan
tetapi tidak jarang pendapat-pendapat Natsir yang mengarah pada faham
fundamentalisme, menentang pemisahan agama dan negara. Begitu juga
dengan pemikiran Gus Dur, yang menurut Greg Barton seringkali terkesan
sekuler , namun juga terkadang terlihat konservatif dalam wacana keislaman
yang lain.
Sebagaimana Abduh, M. Natsir menganggap sumber kekuasaan bagi
pemerintahan adalah rakyat. Karena itu, demokrasi yang berdasarkan doktrin
kedaulatan rakyat diterima secara terbuka, akan tetapi bukan berarti ia
menerima konsep sekulerisme sebagaimana yang inheren dalam sistem
demokrasi Barat. Oleh sebab itu ia menawarkan sebuah konsep thestic
democracy, yaitu demokrasi yang sesuai dengan prinsip tauhid.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa konsep demokrasi ini ditujukan untuk
menetapkan hak-hak dan kewajiban timbal balik antara rakyat dengan
penguasa, dan sistem yang ada harus mampu menegakkan keadilan,
kebebasan, persamaan sebagaimana yang dituntut oleh Islam secara radikal.
Menurutnya, Syari‘ah sebagai suatu sistem hukum terpadu dan lengkap
hanya bisa dilaksanakan apabila ada suatu otoritas yang melakasanakan
penerapan (law enforcement), sehingga pelaksanaan Syari‘ah memerlukan
dukungan kekuasaan politik, yaitu negara. Dengan demikian tujuan pertama
cxxxiv
didirikannya negara demokrasi adalah untuk menjaga dan melindungi
Syari‘at itu sendiri.
Sedangkan Gus Dur ingin menegakkan demokrasi yang seutuhnya, artinya
tidak ada tendensi agama yang melekat pada konsep ini. Dengan demikian ada
perbedaan yang sangat mendasar mengenai paradigma dalam
memperjuangkan konsep demokrasi, meskipun keduanya sama-sama
menerima demokrasi secara terbuka. Dan sebenarnya sikap ini sudah jelas
terlihat di atas, bagaimana reaksi dan sikap keduanya dalam memandang
Pancasila di negeri ini.
Atas dasar pemahaman, Islam mempunyai prinsip-prinsip dasar dalam
berbangsa dan bernegara, maka keduanya sepakat untuk menjadikan
demokrasi sebagai sistem yang paling rasional untuk negara republik ini.
Terlepas bagaimana cara kedua tokoh itu dalam memperjuangkannya.
B. Perbedaan.
Sedangkan sisi perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan Gus Dur dalam
memandang relasi Islam dan negara yang paling fundamental terdapat dua hal.
Pertama, respon mereka terhadap paham sekuler, yang memisahkan antara
agama dan negara. Kedua, pemikiran politik mereka dalam menyikapi
demokrasi dan ideologi Pancasila sebagai dasar negara di Indonesia ini.
Berangkat dari wacana relasi Islam dan negara di atas, M. Natsir dengan
tegas menolak negara yang berdasarkan sekularisme, menurutnya sekularisme
adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap yang
cxxxv
hanya sebatas keduniawian saja. Walaupun para sekularis mengakui adanya
Tuhan, tapi dalam kehidupan sehari-harinya tidak menganggap perlu adanya
hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku, ibadah dan
tindakan sehari-harinya.
Ditarik dalam konteks Indonesia, tampaknya M. Natsir ingin
membuktikan bahwa Indonesia telah terkontaminasi dengan paham ini.
Baginya dengan adanya konsep Pancasila berarti telah terbukti bahwa negara
Indonesia telah terjangkit penyakit sekularisme, karena konsep ini jelas
bercorak La>-diniyyah yang tidak mau mengakui wahyu sebagai
sumbernya, di samping itu Pancasila adalah hasil penggalian dari
masyarakat.316
Dilihat dari beberapa pernyataan Natsir pada bab-bab sebelumnya, bisa
dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara, menurutnya tidak dapat
dipisahkan, karena keduanya mempunyai fungsi timbal balik, simbiosis
mutualisme. Baginya, negara adalah sebuah alat bukan tujuan, berarti negara
di sini selain merupakan institusi pemerintahan, juga mempunyai kekuatan
penuh untuk menjaga dan memberlakuan undang-undang Syari‘ah, yang
berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu, maupun masyarakat
secara kolektif.317
Sedangkan Gus Dur, lebih mengasumsikan agama sebagai sumber
motivasi pandangan hidup bangsa atau ideologi negara (Pancasila).
Maksudnya agama berperan mendorong kegiatan individu melalui nilai-nilai
316 Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, hlm. 127.
317 Natsir, Capita Selecta, hlm. 442.
cxxxvi
yang diserap Pancasila dengan menjadikannya sebagai bentuk pandangan
hidup bangsa.318 Jadi agama di sini hanyalah bersifat dialogis bukan simbiosis.
Pola pemikiran Gus Dur ini bisa dikategorikan cukup sekuler, mengingat
gagasan yang ia hasilkan selalu mengesampingkan simbolisasi agama
terhadap negara atau sebaliknya. Ia tidak pernah berkeinginan untuk
memanfaatkan negara sebagai alat pemberlakuan hukum agama tertentu,
seperti tuntutan diberlakuannya syariah oleh negara, karena menurutnya hanya
akan menciptakan diskriminasi agama.
Dan tentunya, kalau kebijakan tersebut sampai diterapkan di negara yang
sangat heterogen ini, berarti kita telah melakukan pengingkarana terhadap
nilai-nilai demokrasi, karena telah mengabaikan prinsip-prinsip pluralisme
agama, persamaan hak dan kemaslahatan umat. Jadi, bagi Gus Dur, Pancasila
sebagai ideologi negara sudah sesuai dengan konteks demokrasi dan tidak
perlu lagi diperdebatkan, apalagi diganti. Meskipun ia merupakan hasil ijtihad
manusia.
Selain itu, demokrasi yang menurut Natsir dan Gus Dur merupakan
konsep paling rasional untuk sistem negara. Secara tegas dikatakan Natsir,
Islam tetap tidak perlu menganut demokrasi 100%, dan konsep demokrasi
yang cocok bagi Indonesia adalah demokrasi yang tidak meninggalkan nilai-
nilai ketuhanan, thestic democracy, maksudnya, keputusan mayoritas yang
berpedoman pada ketuhanan.319 Ini menunjukkan bahwa Natsir selaku tokoh
318 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, hlm. 92.
319 Yusril Ihza Mahendra, “Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik M. Natsir,” Jurnal Islamika, No. 3, (1994), hlm. 79. baca juga Kamaruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 71.
cxxxvii
modernis muslim sangat selektif dalam menerapkan filterisasi (saringan)
terhadap Barat.
Dalam modernisasi politik Islam, Natsir mempunyai pandangan untuk
berusaha menerapkan ajaran dan nilai-nilai, kerohanian, sosial, dan politik
Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an dan sunnah dengan menyesuaikan
terhadap perkembangan zaman. Selanjutnya, Natsir mewajibkan seoarang
muslim untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam.320
Berbeda dengan Natsir, Gus Dur menilai demokrasi sebagai suatu
kedaulatan rakyat sepenuhnya, ia tidak sepakat kalau urusan Tuhan
dicampuradukkan dalam kepentingan ini. Baginya demokrasi adalah urusan
manusia yang diberi kebebasan untuk mengatur dunia, sedangkan kedaulatan
Tuhan (Syari‘ah) merupakan prinsip-prinsip universal yang menjadi patokan
etik moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.321
Terlebih lagi, apabila hukum Islam atau hukum gereja harus diberlakukan
oleh negara melalui (taqnin, legislasi) ajaran agama tersebut pada hakikatnya
merupakan pengingkaran hakikat demokrasi yang ingin kita tegakkan di
negeri ini,322 karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama
mayoritas menjadi warga negara kelas dua dan kehilangan haknya dalam
memperoleh keadilan sesama dalam bernegara.
Untuk merealisasikan demokrasi tersebut, ada enam kaidah demokrasi
dalam Islam, yaitu: 1) Ta‘a>ruf (saling mengenal); 2) Syu>ra
320 Thoir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 85.
321 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien, hlm. 176.
322 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 169.
cxxxviii
(musyawarah); 3) Ta‘a>wun (kerja sama); 4) Mas}lah}ah
(menguntungkan masyarakat); 5) ‘Adl (adil); dan 6) Tagyir (perubahan).323
Natsir dan Gus Dur sama-sama terlibat dalam pemerintahan, akan tetapi
keduanya mempunyai tujuan politik yang berbeda, Natsir masuk dalam
birokrasi pemerintahan berharap akan bisa memperjuangkan pemeberlakuan
syari’ah Islam melalui otoritas negara. Sedangkan Gus Dur justru sebaliknya,
ia malah berkeinginan untuk meminimalisir intervensi negara terhadap agama,
termasuk penolakannya terhadap pemberlakuan syari’ah di negara ini.
Berbicara mengenai Syari‘ah, terdapat berbagai macam pemahaman.
Menurut terori klasik, Syari‘ah merupakan kehendak Ilahi yang suci dan
bertujuan mengatur kehidupan masyarakat muslim.324 Sedangkan dalam al-
Qur’an kata Syir‘ah atau Syari‘ah dimaknai agama,325 baik sebagai jalan
lurus (T{ariq Mustaqi>mah) yang ditentukan oleh Allah untuk manusia
atau suatu ketentuan yang harus dilaksanakan. Ketika nabi Muhammad
S.A.W. ditanya tentang syari’at Islam, beliau menjelaskan tentang sholat,
zakat, puasa, dan haji.326
Ini menunjukkan bahwa secara terminologis, Syari‘ah pada masa nabi
Muhammad S.A.W. digunakan untuk menyebut masalah essensial dalam
ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah yang telah diyakini
kesahihannya. Lebih lanjut, Manna al-Qattan (ahli fiqh) mendefiniskan
323 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 91-105.
324 Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam; Sebuah Pengantar, cet. ke-2 (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 16.
325 Al-Qur’an, Surat 5: 51: 17.
326 Mun’im A. Sirry., Ibid.
cxxxix
Syari‘ah sebagai segala ketentuan Allah bagi hambanya yang meliputi
masalah akidah, ibadah, dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai
kebahagian mereka di dunia dan akhirat.
Berdasarkan definisi Syari‘ah di atas, ulama fiqih dan usul fiqih
menyatakan bahwa Syari‘ah merupakan sumber fiqih. Dinyatakan demikian,
karena fiqih merupakan hasil ijtihad atau pemahaman ulama terhadap ayat-
ayat suci al-Qur’an tersebut.
Ada beberapa definisi fiqih yang kemudian dikemukakan oleh ulama.
Imam Abu Hanifah yang mendefinisikan fiqih dengan Ma‘rifat al-Nafsi
ma>laha wa ma> ‘alaiha (pengetahuan seseorang tentang hak-hak dan
kewajibannya), definisi ini memberi gambaran bahwa fiqih meliputi aspek
kehidupan, baik dari akidah, hukum sampai pada tingkah laku kehidupan.327
Sedangkan al- Amidi, seorang ulama Syafi’iyyah terkemuka dalam
bukunya al-Ih}kam fi us}uli al-Ah}ka>m, mendefinisikan fiqih sebagai
ilmu tentang hukum-hukum syari’ah amaliah dari dalil-dalilnya yang
terperinci (‘adilah tafs}iliyyah),328 selain itu, menurut fuqaha Malikiyyah,
fiqih adalah ilmu tentang perintah-perintah syari’ah dalam masalah khusus
yang diperoleh dari aplikasi teori Istidla>l atau pencarian hukum dengan
dalil (process of reasoning).
Tampaknya, pola pemikiran Gus Dur di atas, didasarkan pada
pertimbangan fiqih bahwa urusan politik atau negara lebih pada kepentingan
dan kreativitas manusia, sehingga masuk dalam wilayah fiqih. Dan sebagai
327 Ibid., hlm. 13.
328 Ibid., hlm. 14; Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, I: 5.
cxl
wilayah fiqih, setiap apa yang dirumuskan dan diinterpretasikan merupakan
produk ijtihad yang bebas. Namun demikian, kreativitas itu harus mengacu
pada kemaslahatan rakyat, sebagaimana dalam kaidah fiqihnya bahwa
“seluruh kebijakan penguasa harus sesuai dengan kepentingan seluruh warga
negara”.
Paradigma di ataslah, yang kemudian secara teoritis membedakan gagasan
kedua tokoh tersebut, Walaupun pada masalah-masalah tertentu mereka juga
mempunyai persamaan pendapat. Pola pemikiran Natsir yang cenderung
idealistik dalam memahami ad-Din wa ad-Daulah, sebenarnya merupakan
konsekuensi logis dari pemikiran politik yang didasarkan pada konsep tauhid.
Konsep tauhid menderivasikan prinsip-prinsip universal yang kemudian
menjadi sumber etik-moral bagi sebuah negara demokrasi, selain itu Natsir
juga lebih suka mendasarkan gagasannya pada dua sumber utama Syari‘ah,
al-Qur’an dan sunnah, daripada menggunakan metodologi khazanah
intelektual sunni klasik, seperti fiqih, Us}ul al-Fiqh ataupun Qawa>‘id
al-Fiqhiyyah.
Di samping paradigma, faktor perbedaan masa kehidupan juga cukup
mempengaruhi pola pemikiran keduanya, di mana Natsir hidup pada masa
kolonial dan pasca kolonial yang selalu berjuang memerdekakan bangsa ini
melalui jargon Islam. Sedangkan gagasan dan perjuangan Gus Dur dihadapkan
pada masa 1980-an, pasca kolonial. Namun demikian, apa yang dihadapi Gus
Dur tentang wacana keislaman sebenarnya juga masih banyak diwarnai
wacana-wacana keislaman di masa Natsir hidup.
cxli
Perbedaan paradigma dan masa itulah yang kemudian melahirkan
polarisasi aliran, antara modernisme dan neo-modernisme. Gerakan
modernisme di Indonesia lahir sejak tahun 1912-an, sebagai salah satu respon
intelektual terhadap berbagai persoalan aktual modern yang secara umum
menempatkan Islam pada posisi dilematis, antara keharusan menyesuaikan diri
dengan perubahan arus modernitas atau menegaskan diri sebagai agama secara
eksklusif.
Modernisme Islam mempunyai kecenderungan kuat untuk mengembalikan
kejayaan dan keunggulan Islam atas partai atau peradaban yang lain, dengan
cara memperbaharui doktrin-doktrin sesuai dengan tuntutan zaman. Secara
teoritis gerakan ini cenderung eksklusif karena dasar argumentasinya lebih
ditekankan pada sumber Syari‘ah yang absolut, al-Qur’an dan sunnah.
Lain halnya, dengan pemikiran neo-modernisme Islam, yang baru lahir
pada masa 1970-an. Kalangan ini cenderung akomodasionis dalam merespon
tradisionalisme dan modernisme. Menurutnya, sikap modernitas seharusnya
tidak menggantikan sama sekali nulai-nilai lama dengan nilai-nilai baru,
seperti apa yang diungkapkan oleh mayoritas kalangan modernis Islam saat
ini, melainkan bahwa antara tradisi dan modernitas harus dilihat sebagai
proses kontinuitas.
Sedangkan untuk mengelaborasi wacana pemikiran Islam semacam ini,
bagi mereka penggunaan metodologi fiqh atau Qawa>‘id al-Fiqh
transformatif lebih cocok daripada memakai konsep tauhid yang cenderung
dogmatis. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa gagasan modern yang mereka
cxlii
tawarkan bukan berarti anti tradisionalisme sama-sekali, seperti apa yang
tertulis dalam Qawa>‘id al-Fiqh.
األصلح ةالمحافظـ بالجديد واألخذ الصالح القديم على
Selain kaidah di atas, masih banyak kaidah lain yang digunakan sebagai
upaya melaksanakan transformasi gagasan. Di antaranya,329 yaitu:
المصالح جلب على مقدم سد المفا درءالضرورة ةالحاجـ منزل تـنزل
المحظورة تبيح الضرورةSelanjutnya, Gus Dur menjelaskan bahwa apa yang ditawarkan kelompok
modernis, seperti legalisme (pemikiran keislaman yang telah dibakukan lewat
mazhab yang empat) baik dalam kerangka mazhab fiqih, maupun melalui
pembaharuan (pemurnian) ternyata malah tidak mampu menjawab tantangan
zaman. Ditambah lagi, over idealissasi Islam sebagai sistem kehidupan
alternatif tidak menunjukkan prospek yang baik, bahkan menjurus ke situasi
traumatik di masa depan.
Untuk itu, menurutnya perlu dibuat kerangka pemahaman kontekstualisasi
ajaran Islam dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut: 1) asas
menyeluruh. 2) asas keterbukaan. 3) asas kontinuitas sejarah. 4) asas
deinstitusionalisasi Islam, 5) asas depoloitisasi Islam. 6) asas kesejarahan 7)
asas pluralitas. 8) dan asas konvergensi.330
329 Abd al-Hamid Hakim, Ibid, II: 65.
330 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 182.
cxliii
Beradasarkan uraian di atas dan bab-bab sebelumnya, bisa disimpulkan
bahwa antara M. Natsir dan Gus Dur sangat berbeda dalam memandang relasi
Islam dan negara, Natsir beranggapan bahwa agama dan negara tidak dapat
dipisahkan sebagai konsekuensi dari penolakannya atas paham sekular,
sebaliknya dengan Gus Dur, ia lebih mengarah pada paham sekular,
memisahkan agama dan negara, tetapi dengan tetap menjadikan nilai-nilai
agama sebagai motivasi bukan formalisasi dalam berbangsa dan bernegara.
Dan pandangan inilah, yang kemudian mempengaruhi sikap mereka dalam
menerima ideologi Pancasila. Bagi Gus Dur, meskipun Pancasila merupakan
hasil ijtihad manusia yang ditentukan oleh kondisi sosialnya, akan tetapi
konsep ini harus tetap dipertahankan demi kemaslahatan bangsa Indonesia
yang plural ini, sedangkan Natsir lebih memilih Islam sebagai ideologi negara
daripada Pancasila, karena dengan ideologi ini masyarakat akan terjamin
kehidupan beragama dan bernegaranya.331
Demikianlah persamaan dan perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan
Gus Dur. Sebenarnya apa yang ingin penyusun tegaskan di sini adalah bahwa
pemikiran kedua tokoh di atas, sangat dipengaruhi oleh realitas sosial politik
di saat mereka hidup. Dan dari sisi inilah, yang kemudian melahirkan
klasifikasi pemikiran, yakni modernisme dan neo-modernisme. Untuk lebih
singkatnya bisa dilihat dalam tabel berikut ini.
331 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 114
cxliv
PERSAMAAN
PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
1. Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion) yang membebaskan manusia dari segala bentuk eskploitasi dan diskriminasi.
2. Sebagai agama pembebasan Islam sepenuhnya kompatibel dengan demokrasi.
3. Demokrasi diterima sebagai sistem yang paling rasional dan realistik untuk mewujudkan masyarakat yang adil, egaliter, dan manusiawi sebagaimana yang diidealkan Islam.
4. Seorang pemikir dan praktisi politik yang terlibat langsung dalam lembaga kenegaraan.
5. Penggagas dan pendiri partai politik.
PERBEDAAN PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
Perbedaan tentang M. Natsir Gus Dur
cxlv
1. Basis pendidikan
2. Dasar paradigma pemikiran
3. Sifat pemikiran
4. Tipologi aliran pemikiran
5. Pandangan terhadap sistem nilai Islam
6. Sikap terhadap sekularisasi
7. Negara demokrasi yang dicita-citakan
8. Tujuan membela demokrasi
9. Pluralisme yang diterima
10. Penerapan ideologi Pancasila
11. Partai yang diperjuangkan
12. Fungsi politik
Pendidikan modern
Al-qur’an dan Hadits.
Islam ideologis
Modernisme
Islam sebagai sumber hukum yang lengkap
Negatif (menolak dengan tegas)
Thestic Democracy (Demokrasi yang tidak meninggalkan nilai-nilai ketuhanan)
Untuk melindungi Syari’ah
Pluralisme eksklusif
Menolak
Partai Islam
Pesantren tradisional
Konsep Fiqih Transformatif
Islam kultural
Neo-modernisme
Islam hanya salah satu unsur dalam bangunan kebangsaan yang ada
Afirmatif
Negara demokrasi yang utuh dan tidak ada unsur fundamentalismenya
Untuk melindungi pluralitas
Pluralisme inklusif
Menerima secara terbuka
Partai sekular
Gerakan moral
cxlvi
C. Implikasi.
Pemikiran-pemikiran M. Natsir dan Gus Dur yang berkaitan dengan
wacana relasi Islam dan negara di atas, sudah pasti semakin menambah
khazanah pemikiran politik Islam di negara kita. Dan tentunya, pemikiran-
pemikiran tersebut membawa implikasi besar terhadap kehidupan politik
masyarakat Indonesia, khususnya bagi generasi muslim selanjutnya.
Untuk lebih jelasnya, penyusun akan membagi implikasi pimikiran kedua
tokoh tersebut menjadi dua aspek, yaitu implikasi yang bersifat institusional
(Institusional Implication) dan implikasi personal (Personal Implication).
Pertama, implikasi institusional, aspek ini lebih mengarah pada pemikiran
suatu lembaga organisasi atau partai politik saja, baik itu partai yang mereka
pimpin sendiri atau bukan. Kedua, implikasi personal, yang berarti pemikiran
mereka tidak hanya berimplikasi pada sebuah partai saja, tetapi juga terhadap
praktik dan pemahaman masyarakat dalam bernegara. Khususnya bagi
generasi pemikir politik masa sekarang.
Peran politik Natsir mulai diperhitungkan oleh khalayak umum, sejak
keterlibatannya dalam pembentukan partai Islam yang pertama kali di
Indonesia, Masyumi, sebuah partai Islam yang berhasil mengantarkannya ke
kursi birokrasi negara. Sebenarnya, keaktifan Natsir di partai ini sudah jelas
menunjukkan bahwa manuver dan pemikirannya memang bersifat idealistik.
Kegigihannya dalam memperjuangkan Islam melalui dakwah politiknya,
banyak mengundang simpati para kalangan modernis Islam Indonesia.
cxlvii
Manuver dan pemikiran politiknya sampai saat ini masih tetap mendapat
tempat istimewa di kalangan generasi muslim modernis abad 20-an ini,
bahkan lebih dari itu, tampaknya generasi yang terinspirasi ini, tidak hanya
mengaguminya namun juga mengembangkan ide dan perjuangan politiknya
melalui gerakan dan partai Islam yang sama sekali baru.
Implikasi Pemikiran M. Natsir
Dari sisi institusional, ide-pemikiran M. Natsir ini sangat mempengaruhi
karakter partai dan organisasi muslim modernis Indonesia, di antaranya
Masyumi, Parmusi (Partai Muslim Indonesia), PBB dan DDII. Dalam
pandangan Natsir dakwah merupakan sarana yang cukup efektif dalam
memperjuangkan ajaran dan kepentingan politik umat Islam Indonesia,
bahkan ia menganjurkan umat Islam untuk menggunakan politik sebagai
media dakwah umat.
Pemikiran-pemikiran Natsir disambut baik oleh kalangan modernis
muslim Indonesia, sebab spirit pesan yang disampaikannya sama-sama
bertujuan mengembalikan kejayaan Islam, yakni dengan cara menerapkan
pembaharuan pemikiran-pemikiran Islam klasik dan kemudian dipadukan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Pada zaman orde lama, pemikiran Natsir banyak mempengaruhi visi dan
strategi partai politik Masyumi yang dibubarkan Soekarno, selain disebabkan
keterlibatannya sebagai pendiri yang sekaligus pemimpin partai selama 5 kali
berturut-turut. Ia juga tertarik lantaran platform partai ini sangat cocok dengan
ide perjuangannya yang menurutnya sebagai representasi kelompok Islam.
cxlviii
Dan salah satu cita-cita partai yang sesuai dengan ide pemikirannya yaitu
mentransformasikan hukum Islam menjadi hukum nasional.
Sebagai tokoh politisi Islam modernis, ia mencoba memadukan ilmu
pengetahuan modern dengan ajaran-ajaran Islam yang kemudian
diaplikasikannya sesuai dengan keadaan masyarakat setempat. Keinginannya
untuk memasukkan nilai-nilai dasar Islam dalam institusi negara inilah yang
kemudian menggerakkannya untuk tetap konsisten mempertahankan dan
memperjuangkan misi partai Islam yang bercorak modern di atas
(Masyumi).332
Tampak jelas, bahwa cita-cita dan pemikiran Natsir mempunyai pengaruh
yang besar terhadap misi perjuangan partai Islam ini. Meskipun partai
Masyumi sebelumnya merupakan partai Islam yang terdiri dari berbagai aliran
Islam (fundamentalis, tradisionalis dan modernis), namun pada perkembangan
selanjutnya partai ini lebih didominasi oleh pemkiran-pemikiran kelompok
Islam modernis.
Selanjutnya pada masa orde baru, politik Islam masih saja menemui jalan
buntu. Selain dibatasi ruang geraknya, ia juga ditempatkan sebagai kelompok
yang berhaluan ekstrem kanan333 serta dinilai berpotensi melahirkan
kekacauan nasional karena berupaya mendirikan negara Islam di tengah
masyarakat yang plural, sehingga pada proses selanjutnya politik Islam
332 Untuk mengetahui visi dan misi partai Masyumi bisa dilihat dalam karyanya Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme.
333 Istilah ekstrem merupakan stigma politik yang dilontarkan negara terhadap kelompok tertentu, ektsrem kanan untuk partai Islam (Masyumi) dan ekstrem kiri untuk partai komunis (PKI).
cxlix
seringkali menerima intimidasi, pengekangan dan pengkebirian hak politiknya
oleh negara.
Sikap negara yang memusuhi politik Islam ini, tampaknya membuat
mantan aktivis Masyumi harus memilih jalan lain, yakni dengan membentuk
sebuah partai politik yang sama sekali baru, tetapi idealisme dan semangat
Masyumi diharapkan tetap mengalir di dalamnya. Akhirnya dengan jalan
penuh liku negara mengizinkan pembentukan partai ini, asalkan pemimpin
dan penggiat partai Masyumi dicoret dari daftar kepemimpin, sehingga pada
tanggal 20 Februari 1968 lahir “Partai Muslimin Indonesia” (Parmusi) di
bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun, dua pegiat
terkemuka dari Muhammadiyah.334
Selain di Masyumi dan Parmusi, pemikiran M. Natsir juga masih banyak
mempengaruhi peta politik Islam saat ini, khususnya PBB (Partai Bulan
Bintang). Partai ini bukan hanya lahir karena dorongan eforia politik pasca
reformasi 1998, akan tetapi juga mempunyai perjalanan sejarah yang lebih
panjang, yakni dari masa politik orde lama, orde baru dan sampai sekarang
masa reformasi.
Sejatinya secara historis, embrio lahirnya partai ini telah dirintis oleh
tokoh-tokoh Islam terkenal, seperti Dr. H. M. Natsir, K.H. Masykur, K.H.
Rusli Abdul Wahid dan Prof. Dr. H.M. Rosjidi yang sebelumnya bergerak
dalam satu wadah yang dinamai dengan Forum Ukhuwah Islamiyyah (FUI).
FUI didirikan pada tanggal 17 Agustus 1989, pendiriannya dilatarbelakangi
oleh keprihatinan para pemuka muslim tersebut, atas gencarnya gerakan
334 Bahtiar Efendy, Islam dan Negara (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 113-115.
cl
tans}iriyyah (kristenisasi) dalam merongrong akidah umat Islam Indonesia
selama rezim Orde Baru berkuasa.335
Pada mulanya Partai Bulan Bintang akan diberi nama “Partai Politik Islam
Masyumi” oleh tim perumus partai ini. Namun keinginan itu diurungkan
karena beberapa alasan. Pertama, tokoh-tokoh Masyumi di masa lalu dikenal
integritas pribadinya yang tak tebantahkan, sehingga generasi baru yang akan
memimpin partai ini dikhawatirkan akan sangat berat menanggung beban
moral apabila tidak mampu menjaganya, dan akibatnya akan mencoreng nama
baik Masyumi. Kedua, selama ini penyebutan keluarga besar Bulan Bintang
pun identik dengan keluarga Masyumi.336
Dari uraian-uraian tersebut bisa dipahami, bahwa pemikiran M. Natsir
secara institusional mempunyai implikasi besar terhadap pembentukan partai-
partai Islam di atas, di antaranya Masyumi, Parmusi, dan PBB. Meskipun
masih banyak organisasi lain yang juga terpengaruh oleh pemikirannya,
seperti DDII, FUI, Persis dan lain sebagainya.
Di antara implikasi yang sangat menonjol dari partai-partai Islam itu
adalah semangat juangnya yang selalu menjadikan prinsip-prinsip Universal
Islam itu sebagai rujukan dalam memecahkan masalah-masalah masyarakat
dan negara seperti kemiskinan, ketimpangan sosial ekonomi, sistem
kenegaraan, dan simbiosisme antara agama dan negara dan seterusnya. Selain
itu labelisasi Islam sebagai asas partai ini tidak pernah mereka tinggalkan.
335 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik: Pasca-Soeharto, cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003), hlm. 61
336 Ibid., hlm. 65. untuk lebih lengkapnya mengenai proses pembentukan PBB didasarkan pada buku Hasil Mukernas I Partai Bulan Bintang (Jakarta: DPP PBB, 1999)
cli
Sehingga tidak aneh kalau kelompok ini sangat kritis dan selektif terhadap
pemikiran Barat, sebagaimana yang ditunjukkan Natsir sebelumnya.
Sedangkan dari aspek personal, pemikiran Natsir ini juga cukup
berpengaruh pada generasi intelektual muslim Indonesia zaman sekarang. Ini
terlihat dalam pemikiran-pemikiran tokoh muslim modernis seperti Amien
Rais, Nurcholish Madjid, dan Yusril Ihza Mahendra. Meskipun tidak
sepenuhnya mereka sama dalam memahami relasi Islam dan negara, akan
tetapi ada masalah-masalah tertentu yang membuat mereka terkesan Natsiris
dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasannya.
Sebagai tokoh pembaharu Muhammadiyah, Amien Rais sangat apresiatif
dengan pemikiran-pemikiran Natsir sepanjang sejarah perpolitikan bangsa ini,
baik itu yang berkaitan dengan masalah kenegaraan maupun keagamaan.
Apalagi mengingat figur tokoh Islam Indonesia yang sangat dikagumi Amien
ketika muda adalah M. Natsir, oleh sebab itu tidaklah berlebihan kalau Cak
Nur mengatakan : “Dia itu sangat Natsiris”.337 Ini terlihat dari sikap kritisnya
terhadap Barat dan kecintaannya terhadap umat Islam.
Lebih khusus, Amien cenderung anti terhadap Orientalisme dan
sekularisme. Dalam analisanya, umat Islam dunia sengaja dipisahkan dari
ajaran-ajarannya oleh hegemoni Barat, yakni dengan cara imprerialisme baru,
melakukan proses peng-alienasian masyarakat Islam dari agamanya dan
meracuninya dengan pemikiran-pemikaran Barat (Westoxication), yang
337 Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 112.
clii
mengakibatkan umat Islam terjangkit penyakit Westomania, sejenis penyakit
jiwa yang menganggap Barat adalah segala-galanya.338
Selanjutnya, ia berpendapat bahwa antara agama dan negara adalah saling
bersatu yang berarti satu sama lainnya tak bisa dipisahkan, oleh sebab itu ia
dengan tegas menolak ide sekularisme, baik itu sekulerisme moderat ataupun
radikal. Dari uraian-uraian tersebut tampak jelas bahwa pengaruh Natsir
dalam pemikiran Amien sangatlah besar.339
Berbeda dengan Nurcholis Madjid, yang justu menggagas wacana
sekularisme di tahun 1980-an. Namun demikian, sewaktu muda Cak Nur juga
pernah menyandang gelar sebagai “Natsir Muda”. Hal ini disebabkan inovasi
pemikirannya yang dirasa sesuai oleh kaum Islam modernis yang lebih tua
saat itu,340 bahkan selama masih menjadi mahasiswa Cak Nur secara luas
dianggap sebagai generasi penerus spritual M. Natsir.341
Selain Amien Rais dan Nurcholis, Yusril Ihza Mahendara juga sangat
dikenal sebagai kader penerus gagasan-gagasan M. Natsir. Ini terlihat
bagaimana ia memperjuangkan aspirasi partai yang dipimpinnya, yakni PBB
(Partai Bulan Bintang) yang sampai saat ini masih eksis mempertahankan
Islam sebagai asas dasar partainya.
338 Amien Rais, “Beberapa Catatan Kecil tentang Pemerintahan Islam”, dalam Cakrawala Islam, hlm. 36
339 Ibid., hlm. 123. baca juga, Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 113.
340 Akan tetapi harapan kalangan Modernis untuk menjadikan Cak Nur sebagai generasi penerus M. Natsir kemudian pupus, karena pemikiran Cak Nur yang saat itu dianggap mereka kelewat liberal, sekuler dan bahaya (tidak berdasarkan informasi yang cukup). Secara pribadi M. Natsir merasa kecewa dan marah terhadap Cak Nur yang sudah dianggap sebagai anak asuhnya sendiri itu.
341 Greg Barton, Islam dan Modernitas, dalam tulisannya, Biografi Gus Dur, hlm. 137.
cliii
Implikasi Pemikiran Gus Dur
Secara institusional, pemikiran Abdurrahman Wahid cukup mewarnai
manuver politik NU. Meskipun secara lahiriyah NU merupakan organisasi
sosial akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sense natural politiknya selalu
muncul di tengah-tengah kemelut politik bangsa ini. Hal ini bisa dilihat dari
sejarah perjuangannya, pada tahun 1978-an NU yang saat itu masih berafiliasi
dengan PPP, dituduh oleh rezim Orde Baru sebagai embrio gerakan anti
Pancasila.
Tuduhan itu diangkat dari tindakan protes dan walk out para tokoh NU
dari sidang MPR yang membahas tentang rancangan ketetapan P4. Menurut
Sidney Jones NU adalah Organisasi Sosial terbesar di negara ini yang masih
memiliki aspirasi-aspirasi politis. Dan pada tahun 1971 ia menolak untuk
mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang prilaku Politik, kemudian
pada tahun 1981 NU juga menolak mendukung Soeharto untuk menjabat
kembali atau memberinya gelar “Bapak Pembangunan”.342 Prilaku inilah yang
membuat NU menjadi sasaran tuduhan anti Pancasila oleh rezim Soeharto.
Lebih lanjut, ditegaskan dalam pidato presiden Soeharto pada Rapim
ABRI 1980 di Pekanbaru. Soeharto memperingatkan untuk tidak mencoba
mengubah Pancasila atau UUD 1945, ia mengingatkan “walk out” (walau
tidak menyebut NU) sebagaimana yang dilakukan ketika pembahasan masalah
P4 pada tahun 1978 adalah salah satu contoh gerakan anti-Pancasila yang
342 Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 56.
cliv
harus diwaspadai.343 Ini menunjukkan kecemasan Soeharto terhadap gerakan
politik Islam.
Dalam perkembangan politik selanjutnya, NU yang saat itu sedang dipimpin Gus Dur semakin dinamis dan akomodatif dalam merespon kebijakan pemerintahan, ia menjadi aktor politik “nonpolitis” yang paling penting atau
yang biasa disebut dengan istilah NU kembali ke khittah 1926, dan tentu saja inisiatif ini dimaksudkan untuk menjaga independensi politik NU dari intervensi Soeharto.
Pemikiran liberal Gus Dur sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan Ormas Islam ini, meskipun ada juga beberapa pemimpin NU terkemuka yang tidak sepakat dengan pemikirannya, di antaranya para Kyai dan tokoh senior NU, termasuk pamannya, Yusuf Hasyim, yang seringkali menentang inisiatif dan pernyataan-pernyataannya. Untuk itu, implikasi pemikiran Gus Dur terhadap NU ini tampaknya harus
dilihat dari aspek nasionalisme dan Islam .NU menurut Gus Dur, mempunyai akar fondasi nasionalis yang kuat sebagaimana yang telah dikatakan bapaknya (Wahid Hasyim) bahwa ia bersedia mendukung suatu negara nasionalis non-Islami. Selain itu, Gus Dur juga sering menekankan aspek-aspek nasionalis NU. Misalnya, dalam sebuah pidato penting kepada anggota-anggota NU pada tahun 1992, ia mengingatkan bahwa penerimaan NU kepada Pancasila bisa diterima karena beberapa
alasan.Dia menjelaskan bahwa pada tahun 1945 Soekarno meminta nasihat para
pemimpin NU, termasuk bapaknya untuk membantu Soekarno merumuskan
lima asas Pancasila. Lebih dari itu, Gus Dur menyatakan bahwa sebenarnya
tidak ada kontradiksi antara Islam dan nasionalisme, karena Islam tetap bisa
343 Ibid., hlm. 58.
clv
berkembang dalam suatu negara nasionalisme yang tidak didasarkan pada
Islam resmi.344
Akibat dari pemikirannya yang bisa dikatakan nasionalis-Islam, Akhirnya
pada tahun 1983 Nahdlatul Ulama menjadi Ormas Islam besar pertama yang
menerima Pancasila dalam Anggaran Dasarnya, yang kemudian dipertegas
kembali pada Muktamar ke 27-1984 di Situbondo Jawa-Timur bahwa
Indonesia adalah negara yang didasarkan Pancasila, dan UUD 1945 adalah
merupakan “Bentuk Final dari Negara” yang akan memerintah kepulauan
Indonesia. Dan yang perlu diingat bahwa Pernyataan tersebut ditegaskan di
tengah-tengah iklim politis yang saat itu benar-benar dalam keadaan memanas
antara Islam dan negara, yakni pasca peristiwa Tanjungpriok dan
pengeboman di Jakarta.345
Sebenarnya yang mengeluarkan inisiatif kompromi Pancasila di atas adalah Kyai Ahmad Shidiq346 (almh) dan Gus Dur sendiri dalam membentuk dwitunggal yang bertangung jawab bagi transformasi dan revitalisasi NU sebagai basis kekuatan Islam yang pluralis dan neomodernis. Sebelumnya Ahmad Shidiq pernah menjelaskan bahwa NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal karena merupakan hasil filsafat
manusia, sementara Islam merupakan wahyu Tuhan.
344 Ibid., hlm. 94-95.
345 Ibid., hlm. 97.
346 Kyai Ahmad Shidiq adalah sosok Kyai kharismatik yang sangat dihormati di kalangan NU, sikap dan manuver politiknya membuat NU yang sebelumnya sering dicurigai menjadi lebih bisa diterima oleh negara.
clvi
Selain berimplikasi di NU, pemikiran Gus Dur juga banyak
mempengaruhi visi dan misi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang ia
pelopori sendiri. Maka tidaklah mustahil kalau PKB selama ini tetap
menempatkannya sebagai Dewan Pertimbangan Penting di partai ini. PKB
dipelopori oleh K.H. Ilyas Ruchiyat, K.H. Munasir Ali, K.H. Mustofa Bisri,
K.H. Muchit Muzadi, dan K.H. Abdurrahman Wahid.347
Melihat komposisi dari para pelopor di atas, sangatlah absurd kalau PKB
tidak terkait sama sekali dari kepentingan NU, sebab sebagian besar yang
membidani pembentukan partai ini adalah dari kalangan Kyai NU, ditambah
lagi Gus Dur yang saat itu sebagai Ketua Umum PB NU, meskipun masih
juga terdapat pro-kontra dalam pembentukannya. Pembentukan PKB
merupakan upaya jalan tengah warga NU untuk berjuang di garis struktural
politik, dengan seraya melakukan gerakan kultural melalui NU yang tetap
dipertahankan sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam‘iyah Diniyyah)
seiring dengan perubahan yang terjadi di pentas nasional.
Kekonsistenan pemikiran para tokoh NU, termasuk Gus Dur, masih tetap
bertahan dalam memberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal di era
reformasi ini, meskipun saat itu rezim Orde Baru telah jatuh dan eforia politik
Islam sedang mendapatkan kebebasannya. Di lain kesempatan, Gus Dur yang
saat itu didampingi oleh Matori Abdul Djalil pernah menyatakan, bahwa PKB
bukanlah partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan negara
sekuler.348
347 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik, hlm. 113.348 Bahrul Ulum, dkk., Bodohnya NU Apa NU Dibodohi, hlm. 136.
clvii
Dari sini bisa dilihat seberapa jauh implikasi pemikiran Gus Dur terhadap
strategi perjuangan partai ini. Sebagaimana uraian di atas bahwa implikasi
pemikiran Gus Dur ini tidak lepas dari aspek nasionalisme dan Islam, yang
keduanya itu tampak dalam AD/ART PKB yang menjadikan Pancasila
sebagai asas partai.349 Mengenai dipilihnya nasionalisme dan demokrasi yang
dijadikan landasan dasar PKB daripada dasar agama, Gus Dur mengatakan
bahwa PKB mengutamakan kepentingan nasional.350
PKB senantiasa mengutamakan substansi Hukum Islam melalui Hukum
Nasional dan bukan mengutamakan simbol-simbol formal keagamaan, karena
Republik Indonesia adalah sebuah negara dengan kepentingan-kepentingan
nasional dan bukan sebuah negara agama.351 Sedangkan dari sisi Islamnya,
bagi Gus Dur bukan berarti karena PKB tidak mengusung simbol-simbol
Islam kemudian dikatakan partai yang tidak Islami.
Dalam kaitan ini Gus Dur mengatakan:
“Tidak penting bagi PKB berasaskan Islam. Yang penting PKB adalah Partai Islam. Banyak partai yang berasaskan Islam, tapi mereka main tipu, main curang dan tidak berakhlak Islami. Islam hanya dijadikan mereknya saja. Jadi, parpol berasaskan Islam tidak bisa dibuat jaminan. Dan PKB tidak mementingkan mereknya, tapi isinya.352
“Akhlak dari Tauhid PKB adalah Islam. Daripada parpol yang berasas Islam tapi tidak Islami, maka lebih baik seperti PKB, asas bukan Islam, tetapi kelakuan dan tauhidnya orang Islam.353
Penegasan bahwa PKB merupakan Partai Islam dengan corak keislaman
yang substantif dapat ditemukan pula dalam Prinsip Perjuangan Partai yang 349 Lihat, Anggaran Dasar PKB BAB III pasal 3
350 Bahrul Ulum, dkk., Bodohnya NU Apa NU Dibodohi, hlm. 140.
351 Abdurrahma Wahid, PKB, “Syariah dan Negara Sekuler”, dalam tulisannya, Mengurai Agama dan Negara, hlm. 352-353.
352 Republika, 27 Mei 1999. baca juga, Zainal Abidin Amir, Peta Politik Islam, hlm. 114.353 Jawa Pos, 29 Mei 1999.
clviii
menyatakan: “pengabdian kepada Allah S.W.T., menjunjung tinggi
kebenaran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan
persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahl as-
Sunnah wa al-Jama‘ah”.354 Walaupun kekentalan PKB dengan aspek
Islam sedemikan rupa, akan tetapi dalam kenyataannya tetap tidak membuat
partai ini tergoda untuk menegaskan dirinya sebagai partai Islam.
Pemikiran-pemikiran Gus Dur tampaknya banyak mewarnai perjuangan
PKB, di mana sebuah partai yang nota bene berbasiskan muslim santri
pedesaan ternyata mampu membuat mereka (konstituennya) menerima
pendekatan partai yang bersifat nasionalis atau Islam-kultural dibanding
Islam-formal. Pemakaian Pancasila sebagai asas partai dilandasi oleh cara
pandang tokoh PKB dalam melihat Islam, mereka meyakini bahwa Islam
tidak perlu dilembagakan secara formal, tetapi yang penting adalah nilai
ajaran Islam harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari.355
Selain dari aspek institusional di atas, pemikiran Gus Dur juga mempunyai implikasi yang bersifat personal terhadap tokoh-tokoh politik dan pemikir Indonesia, Alwi Shibab merupakan salah satu politisi sekaligus akademisi yang sedikit banyak mempunyai persamaan visi dan misi dengan Gus Dur dalam memandang “relasi agama dan negara”, sebagaimana yang sering dikatakan Gus Dur mengenai demokrasi, Alwi juga menandaskan agama idealnya dapat
354 Anggaran Dasar PKB BAB III pasal 4.
355 Zainal Abidin Amir, Peta Politik Islam, hlm. 114.
clix
mendorong proses demokratisasi bukan malah menjadi alat legitimasi politik.356
Dan istimewanya lagi ia dinilai mampu menerjemahkan pola pemikiran Gus Dur, sehingga banyak kalangan yang menganggap kedua tokoh ini merupakan duet yang ideal.357 Di samping itu, ia juga dikenal sebagai politisi yang mengedepankan etika dan moralitas. Mengenai visi dan misinya dalam PKB, ia menyatakan bahwa partai ini merupakan partai terbuka dan inklusif yang bercita-cita mewujudkan masyarakat bermoral, bukan membentuk sebuah
negara yang berdasarkan Syari‘at Isla>m.358
Menurutnya, apabila Masyarakat telah menerapkan moralitas tentunya akan membentuk negara yang bermoral pula. Bukan bentuk, sistem atau asas yang diutamakannya, tetapi yang terpenting adalah usaha untuk menanamkan substansi dan essensi Islam dalam menciptakan masyarakat yang beradab.359 Lebih lanjut, Alwi mengatakan bahwa agama dan demokrasi juga sangat berkaitan, karena nilai-nilai substansi tersebut telah mendukung proses demokrasi, di antaranya yaitu keadilan, pemerataan, dan persamaan. Sekali lagi, ia menegaskan bahwa tujuan Islam adalah menciptakan masyarakat yang bermoral bukan menciptakan negara agama karena hanya akan memecah belah keutuhan
356 Alwi Shihab, Mengemban Tuntutan Jaman, cet ke-1 (Yogyakarta: Wahyu Pustaka, 2000), hlm. 60.
357 Kompas Harian Amanat Rakyat, PKB Rekrut Nur Mahmudi juga Tokoh-tokoh Muhammadiyah, Selasa, 4 Februari 1999.
358
? Alwi Shihab, Mengemban Tuntutan, hlm. 60.359
? Ibid.
clx
bangsa saja, maka ide semacam itu harus ditinggalkan.360
Saat ini Alwi Shihab menjabat sebagai Ketua Umum PKB, kehadirannya dalam dunia politik patut diperhitungkan oleh kawan dan lawan politiknya. Di samping itu, sebelum mejabat Ketua Umum PKB Alwi juga sempat menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia di era kepresidenan Gus Dur. Persamaan visi dan misi membuatnya dekat dengan Gus Dur, bahkan karena kedekatannya ia diangap sebagai loyalis Gus Dur. Maka tak heran kalau dia kelihatan cukup fasih dalam membahasakan kebijakan Gus Dur seperti hubungan dagang dengan Israil. Namun demikian bukan berarti pembelaannya ini hanya disebabkan kedekatannya dengan Gus Dur semata, tetapi karena secara argumentatif memang ada nilai-
nilai positif baginya.361
Sebenarnya Karier politik Alwi lebih dilatarbelakangi dari jalur akademisi daripada organisasi, sebab sebelum terjun di dunia politik praktis, Alwi adalah seorang pengajar Islamic Studies di Harvard Divity School dan di Auburn Theological Seminary of New York. Namun demikian, sikap dan pemikiran politisnya yang elegan tersebut membuatnya bisa diterima oleh kalangan organisatoris tokoh NU dan PKB dan terpilih sebagai Ketua Umum
PKB.
360 Ibid., hlm. 62
361 http://www.tokohindonesia.com, Dr. Alwi Shihab Kandidat Wakil Presiden 2004, 11 Desember 2003.
clxi
Mengenai eksistensi agama di Indonesia, penulis buku inclusive Islam (1997) ini, tidak jauh berbeda dengan pemikiran Gus Dur. Baginya Islam adalah agama rah}matan li al-‘alami>n, jadi tidak perlu menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan ajaran, seperti yang dilakukan kalangan Islam Radikal. Dalam acara silaturrahmi warga NU dan PKB di Jember, Alwi Shihab meminta pada seluruh umat Islam Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah untuk berhati-hati terhadap berkembangnya Islam radikal, menyusul banyaknya pengeboman yang dilakukan Islam radikal itu. Dan katanya, kita adalah satu-satunya partai yang memiliki otoritas keagamaan yang dapat menkounter
radikalisme ini.362
Untuk itu, ia juga sepakat kalau Syari‘at Isla>m tidak perlu diundang-undangkan di negara ini, karena hanya akan memicu disintegrasi bangsa yang plural ini. Selain itu, meskipun Islamlah yang mayoritas di negara ini, namun dalam kenyataannya tidak semua orang Islam Indonesia mengerti dan menjalankan ‘Aqidah dan Syari‘ah-nya. Lalu apakah harus dipaksa? Padahal Islam dalam mensyiarkan Syari‘ah-nya itu selalu bertahap dan disesuaikan
dengan kemampuan manusia itu sendiri.363 Selain Alwi Shihab, banyak generasi muda NU yang saat ini masih terus mencoba mengembangkan pemikiran-pemikiran Gus Dur, baik dalam memahami agama maupun negara (politik). Salah satunya adalah Ulil Abshar Abdalllah, ia dikenal sebagai intelektual
362 Ibid.
363 Ibid.
clxii
muda yang sangat kontroversial di kalangan NU, meskipun ia tidak akrab dengan dunia politik praktis tetapi kekritisannya mengenai intervensi negara terhadap agama menyegarkan kembali pemahaman wacana Islam di negara kita yang cenderung membeku
baginya.Saat ini Ulil menjabat sebagai Direktur JIL (Jaringan Islam Liberal) di Jakarta, sebelumnya ia aktif di LAKPESDAM NU. Pemikirannya sempat mengundang reaksi keras para tokoh Islam Indonesia yang tergabung dalam FUI, yang sampai mengeluarkan fatwa hukuman mati untuknya. Sebenarnya ada beberapa pokok pikiran Ulil yang secara essensial sama dengan pemikiran Gus Dur, seperti Pribumisasi Islam, Islam kontekstual, dan
Islam Universal .Beberapa pemahaman yang menurut Ulil perlu disegarkan kembali, di
antaranya yaitu:364 Pertama, penafsiran Islam yang non literal, substansial dan
sesuai dengan peradaban manusia yang selalu berubah. Kedua, pemisahan
unsur-unsur budaya lokal dan nilai fundamental dalam ajaran Islam, artinya
kita harus membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh
kultur Arab dan yang bukan. Misalnya, masalah jilbab, potong tangan, rajam,
jenggot, Jubbah dan ekspresi budaya arab lainnya. Bagi Ulil budaya semacam
itu tidak wajib diikuti, karena itu hanyalah ekspresi lokal partikular Islam
Arab saja, justru yang wajib diikuti adalah nilai universal yang melandasi
praktik-praktik itu.
364 Ulil Abshar Abdalla, dkk., Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, dalam tulisannya, Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, cet. ke-2 (Yogyakarta: eLSAQ, 2003), hlm. 2.
clxiii
Ketiga, perlu adanya pemisahan yang jelas antara kekuasaan politik dan
agama. Bagi Ulil agama adalah urusan pribadi, sedangkan pengaturan
kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil konsesi masyarakat melalui
prosedur demokrasi. Meskipun demikian nilai-nilai universal agama365 tetap
diharapkan partisipasinya dalam membentuk nilai-nilai publik.
Dalam wawancara yang dilakukan majalah Gatra, mengenai tuntutan
pemberlakuan syariat Islam oleh negara. Ulil mengatakan bahwa Islam
sebagai agama adalah masalah privat.366 Oleh sebab itu menurutnya, Islam
tidak perlu memformalkan Syari‘at Isla>m karena hanya akan melibatkan
peran negara (publik) secara penuh terhadap kehidupan beragama kita
(privat), dan kemungkinan yang lebih parah lagi adalah terjadinya
penyempitan pemahaman dan penyeragaman umat Islam dalam beragama,
padahal perbedaan itu sendiri adalah sunnatullah.
Selanjutnya ia mengkritik secara tegas terhadap cara pandang yang
menyebutkan Islam adalah agama dan negara, baginya agama haruslah
dipisahkan dari peran negara sebagaimana yang ia uraikan di atas, agar
kesucian agama tetap terjaga.367 Hal ini sesuai dengan apa yang Gus Dur cita-
citakan selama ini bahwa umat Islam tidak harus menjadikan Islam sebagai
merk atau label belaka, akan tetapi lebih ditekankan pada nilai-nilai
365 Yang dimaksud nilai-nilai universal agama adalah prinsip-prinsip umum universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut Maqa>s}id al-Syari’ah atau tujuan umum syari’at Islam. Di antaranya yaitu perlindungan atas kebebasan beragama, akal, kepemilikan, keluarga/keturunan, kehormatan dan lain sebagainya.
366 Majalah GATRA, Tafsir Agama Pemicu Fatwa, no. 05, 16 Desember 2002. Baca juga Ulil Abshar Abdalla, dkk., Ibid., 206.
367 Majalah TEMPO, Fatwa Itu Lemah Tapi Menghawatirkan, no. 42, 22 Desember 2002.
clxiv
substansinya karena kita hidup di negara yang sangat plural agama dan
budayanya, dan tentunya sangat berbeda dengan tradisi Arab di sana.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dari uraian di atas, bisa dipahami bahwa secara historis kondisi sosial
politiknya M. Natsir dan Gus Dur memang berbeda, Akan tetapi secara
ideologis perjuangan dan cita-cita politik mereka masih terus mewarnai
clxv
panggung politik Indonesia hingga saat ini. Hal ini bisa dilihat dari implikasi
pemikiran dan cita-cita mereka terhadap pemikiran politik Islam yang sedang
berkembang kini. Dan untuk lebih jelasnya, penyusun simpulkan sebagai
berikut:
1. Mengenai relasi Islam dan negara, meskipun secara teoritis
keduanya sepakat bahwa Islam tidak mempunyai sistem kenegaraan yang
baku, akan tetapi secara praksis aksi politik mereka berbeda. Menurut M.
Natsir, Islam dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan
(integratif), ia beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya
merupakan bagian integral Islam yang di dalamnya mengandung ideologi
atau falsafah hidup. Sementara menurut Gus Dur, antara agama dan negara
harus dipisahkan secara jelas fungsi wewenangnya (sekular), supaya tidak
terjadi pendistorsian. Dan seharusnya Islam hanya dijadikan sebagai etika
sosial saja dalam kehidupan bernegara, bukan sebagai landasan ideologi.
2. Secara normatif paradigma M. Natsir mengenai relasi Islam dan
negara di atas didasarkan pada salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi:
ون ليعبـد إال اإلنس و الجن ماخلقـت )٥٦ الذاريات( : وSedangkan paradigma Gus Dur didasarkan pada salah satu kaidah Usul
Fiqih yang berbunyi:
بالمصلحـ منوط الرعـية على اإلمام ةتصرفSelain dari aspek normatif tersebut, aspek sosio-historis juga sangat
mempengaruhi cita-cita politik mereka baik dari setting sosial maupun
aktivitas organisasinya. M. Natsir dibesarkan di lingkungan Islam
clxvi
modernis, yang sudah banyak melakukan pembaharuan dan pemurnian
ajaran Islam. Sedangkan Gus Dur tumbuh besar di lingkungan Islam
tradisionalis, yang memegang teguh doktrin Islam klasik dengan
mengkontekskan pada tradisi atau budaya setempat.
3. Corak pemikiran politik M. Natsir dikategorikan sebagai kelompok
idealis dalam wacana politik Islam. Dan sebagai konsekuensinya,
pemikiran semacam ini banyak berimplikasi pada tokoh Islam modernis,
yang mereformasi doktrin-doktrin lama dengan tetap berlandaskan al-
Qur’an, akan tetapi tetap menolak keras paham sekular.
Sedangkan pemikiran politik Gus Dur dikategorikan sebagai kelompok
realis, yang cenderung moderat dalam merespon realitas sosial. Meskipun
berlatar belakang tradisionalis, akan tetapi pemikirannya cukup mewarnai
di kalangan Islam neo-modernis, sebuah kelompok yang afirmatif dalam
merespon sekulerisme, dan secara tegas menolak formalisasi agama.
B. Saran-saran.
Relasi Islam dan negara selalu mengalami ketegangan, dalam kehidupan
politik Indonesia, apalagi menjelang Pemilu baik di era orde lama ataupun
orde baru. Akan tetapi ketegangan itu telah mengalami metamorfosis di era
reformasi ini, karena aspirasi politik Islam sudah tidak dipasung lagi dalam
berpolitik praktis seperti mendirikan partai Islam.
clxvii
Selanjutnya, skripsi ini hanyalah salah satu cara bagaimana menyikapi
relasi Islam dan negara di Indonesia. Dan lebih menitik beratkan pada
perbedaan cita-cita ideologi negara yang kemudian penyusun hadapkan pada
dua tokoh, M. Natsir dan Gus Dur. Untuk itu masih banyak aspek lain yang
bisa diteliti oleh penyusun selanjutnya mengingat baru sebagian masalah
yang saat ini penyusun kaji dari pemikiran kedua tokoh tersebut. Di
antaranya mengenai demokrasi, sistem tata negara Islam, eksistensi partai
Islam di Indonesia dan pandangan mereka terhadap pemberlakuan Syari‘at
Isla>m.
Dan tentunya, berkaitan dengan skripsi ini penyusun mengharapkan
saran dan kritik para pembaca guna memperbaiki kesalahan atau kekurangan
yang ada. Selain itu penyusun sendiri sadar bahwa karya ini merupakan
buah pertama dari proses panjang pendewasaan intelektual penyusun,
sehingga masih sangat dimungkinkan jauh dari kesempurnaan.
BIBLIOGRAFI
I. Kelompok Al-Qur’an/Tafsir
Departemen Agama RI (pengawas), Al-Qur,an dan Terjemahnya, Madinah: tp, 26 Rajab 1415 H
II. Kelompok Fiqih/Usul Fiqih
clxviii
Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Madinah Dan Masa Kini, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.
Dkk, Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Haikal, Muhammad Husein, al-Hukumat al-Islamiyyat, Mesir, Dar al-Ma'arif, 1983.
Khallaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kairo, Dar al-Qolam, 1977.
---------------------------, Al-Siyasat as-Syari'at, AL-Qahirat: Dār al-Anshār, 1977.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqih Siyasah: ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.
Sirry, A Mun’im, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya, Risalah Gusti, 1996.
III. Kelo
mpok Buku Lain
Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual
Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Abdurrahman, Moslem, Islam Transformatif, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995.
Anggaran Dasar PKB.
Ahmad, Abd. Al-'Athi Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Li al-Imam Muhammad Abduh, Mesir, al-Maiat al-Mishriyyat al-'Ammat li al-Kitab, 1978.
Ali, A. Mukti, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1991.
Ali, Fachry & Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Di Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1995.
----------------------------------------, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1990.
clxix
Amal, Taufiq Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung, Mizan 1989.
Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik: Pasca-Soeharto, Jakarta, Pustaka LP3ES, 2003.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Pemerintahan dan Realitas Doktrin, Sejarah dan Doktrin, Sejarah Empirik, Bangil, al-Izzah, 1996.
Anshari, Endang Saefuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler, tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1949-1959, Bandung, Pustaka Salman, 1981.
Azhar, Muhammad, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.
Azra, Azyumardi, dan Saiful Umam (ed), Tokoh dan Pimpinan Agama: Biografi Sosial Intelektual, Jakarta, Badan Litbang DEPAG RI dan PPM, 1998.
,---------------------Jaringan Ulama Timur Tengah Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1994.
---------------------, Pergolakan Politik Islam di Indonesia dari Fundamentalisme, Modernisme dan Post Modernisme, Jakarta, Paramadina, 1999.
Bakker, Anton & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1999.
Barton, Greg, Biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LKiS, 2003.
----------------, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, alih bahasa Nanang Tahqiq, Jakarta, Paramadina, 1999, cet. 1.
Barton, Greg, dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama Negara, Yogyakarta, LKiS, 1997.
Boland, B.J., The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Hgue, Martinus Nijhoff, 1971 dan 1982.
Dkk, Andrrée Fillard, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta, LKiS, 1994.
clxx
Dkk, Anwar Haryono, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001.
Dkk, Hasyim Wahid, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 1999.
Dkk, Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992.
Dkk, Ulil Abshar Abdalla, Islam Liberal dan Fundamental: sebuah
Pertarungan Wacana, Yogyakarta, eLSAQ, 2003.
Effendy, Bahtiar, dan Fachry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung, Mizan, 1986.
Effendy, Bahtiar, (RE) Politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung, Mizan, 2000.
--------------------, Islam dan Negara, Jakarta, Paramadina, 1999.
--------------------, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1998.
Effendy, Djohan, The Contribution of The Islamic Parties to The Decline of Democracy in the 1950, makalah Confrense on Indonesia Democrasy, Monash University, 18 Desember 1992.
Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, Bandung, Pustaka, 1998.
Feillard, Andrée, NU vis-a-vis NEGARA: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta, LkiS, 1999.
Gatra, No. 15, 16 Desesmber, 2002.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Reseach, Yogyakarta, Andi Offset, 1989,
Hakim, Abd al-Hamid, as-Sulam, Jakarta, Sa’adiyah Putra, tt.
Hakim, M. Arief, Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU, Yogyakarta, Titian Ilahi Press.
Hamzah, K.H. Imron, dan Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, Gus Dur diadili Kiai-kiai, Surabaya, Jawa Pos, 1989.
Hasil Mukernas I Partai Bulan Bintang, Jakarta, DPP PBB, 1999.
clxxi
Hatta, Memoir, Jakarta, Tintamas, 1978.
http://www.tokohindonesia.com, Dr. Alwi Shihab Kandidat Wakil Presiden 2004, 11 Desember 2003.
Hoesen, K.H. Ibrahim, Fiqih Siyasi Dalam Tradisi Pemikiran Islamik Klasik, Ulumul Qur'an, No.2 Vol.IV/1993.
Ida, Laode dan & Thantowi Jauhari, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta, Rajawali Press, 1999.
Ismail, Faisal, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya,
1999.
Jawa Pos, Surabaya, 29 Mei 1999.Jaiz, Hartono Ahmad, Gus Dur Menjual Bapaknya, Bantahan Pengantar
Buku: Aku Bangga Jadi Anak PKI, Jakarta, Darul Falah, 2003.
Kreatif Islam dan Pancasila , Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara: Perspektif Modernis Dan Fundamentalis, Magelang, IndonesiaTera, 2001.
Karim, A. Gaffar, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995.
Karim, Muhammad Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Kompas Harian Amanat Rakyat, PKB Rekrut Nur Mahmudi juga Tokoh-tokoh Muhammadiyah, Selasa, 4 Februari 1999.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung, Mizan, 1999.
Lewis, Bernard, Bahasa Politik Islam, Jakarta, Gramedia, 994.
Liddle, William, Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thougt and Action in New Order Indonesia, kertas kerja tidak diterbitkan.
clxxii
Luth, Thoir, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta, Gema Insani Press, 1999.
Ma'arif, Ahmad Syafi'i, Islam dan Masalah kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta, LP3ES, 1996.
---------------------------, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi terpimpin 1959-1965, Jakarta, Gema Insani Press, 1996.
---------------------------, Peta Bumi Intelektualisme Islam Indonesia, Bandung, Mizan, 1995.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at I-Islami (Pakistan), Jakarta, Paramadina, 1999.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Natsir, Jurnal ISLAMIKA, No 13, 1994.
Malik, Dedy Djamaluddin & Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Zaman Wacana Mulia, 1998.
Mangkusasmito, Prawoto, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan
Sebuah Refleksi, Jakarta, Hudaya, 1970.
Masdar, Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Maududi, Islamic Law and Constitution, Lahore, Islamic Publication, 1990.
MD, Moh. Mahfud, Konfigurasi Politik dan Hukum pada Era Orde Lama dan Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Mehden, Fred Den, Religion and Modernization in South East Asia Syracuse, Syracuse University Press, 1986.
Minhaji, Ahmad, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta, 2001.
Mitchel, Richard P., The Society of Muslim Brother, Oxford, Oxford Universuty Press, 1969.
Mochtar, Kustiniyati (peny), Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, Jakarta, Gramedia, 1989.
clxxiii
Mudzhar, M. Atho', Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1998.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, 1985.
Nasution, S, Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara, 1995.
Natsir, M, Capita Selecta, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
-----------, Agama Dan Negara Dalam Perspektif Islam, Jakarta, Media Dakwah, 2001, cet 1.
Noer, Deliar, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Singapura, Oxford University Press, 1973.
----------------, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1966.
----------------, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1982.
----------------, Islam, Pancasila dan Asas tunggal, Jakarta, Yayasan Perkhidmatan, 1983.
----------------, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Bandung, Mizan, 2000.
----------------, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Poesponegoro, Marwati Djoenod, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta, Departemen P&K, 1984.
Qutb, Sayyid, Khas}ais} al-Tasawwur al-Isla>mi wa Muqawwamatuhu, Kairo: Issa al-Babi al-Halabi wa Shuraka’uhu, 1962
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993.
Rahman, Budhy Munawar, Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, Paramadina, 1995.
Ramage, Douglas Edward, Percaturan Politik Di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi, Jogjakarta, Mata Bangsa, 2002, cet. I.
clxxiv
Republika, 27 Mei 1999, hlm. 3.
Rosidi, Ajib, M. Natsir, Sebuah Biografi, Jakarta, Girimurti Pustaka, 1990.
Schuman, Olaf, “Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat Modern dan Negara Islam”, Jurnal Paramadina, No. 2, Vol I, Jakarta, Paramadina, 1999
Shihab, Alwi, Mengemban Tuntutan Jaman, Yogyakarta, Wahyu Pustaka, 2000.
Sitompul, Einar M., NU dan Pancasila, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, UI Press, 1993, edisi V.
Soekarno, Memudahkan Pengertian Islam, di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, Panitia di Bawah bendera Revolusi, 1994.
Soenjoto, Peneliti dan peteliti, Yogyakarta, Ranggon Studi, 1983.
Suhelmi, Ahmad, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, Bandung, Teraju, 2002.
Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta, Logos, 2000.
Tempo, No. 42, 22 Desember 2002.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994.
Uhlin, Anders, Oposisi berserak, Arus Deras Demokratisasi Glombong Ketiga di Indonesia, Bandung, Mizan, 1998.
Ulum, Bahrul, Bodohnya NU apa NU Dibodohi?, Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta, 2002.
Wahid, Abdurrahman, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta, P3M, 1989.
---------------------------, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta, Grasindo, 1999.
---------------------------, Prisma Pemikiran Gus Dur, yogyakarta, LkiS, 1999.
clxxv
---------------------------, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia, Prisma, No. 4, April 1984.
Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Yayasan Prapanca, 1959.
Yogya Post, 12 April 1991, hlm. 2.
Lampiran I.
TERJEMAHAN
Hlm F.N. Terjemahan
18
18
34
38
38
75
Bab I
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
clxxvi
52
69
113
125
125
125
130
185
312
329
329
329
Bab II
Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.
Bab III
Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Bab IV
Kebijakan penguasa yang diberlakukan untuk warga negara harus didasarkan pada pertimbangan kesejahteraan.
Menutup kemungkinan bahaya harus didahulukan sebelum melakukan kemaslahatan.
Kebutuhan setara dengan keadaan darurat.
Keadaan darurat kemungkinan dihalalkannya yang dilarang.
clxxvii
Lampiran II.
BIOGRAFI TOKOH-ULAMA
1. Abu al-A’la al-Maududi.Lahir pada 25 September 1903 M (3 Rajab 1321 H) di Aurangabad India Selatan, dan berasal dari keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India Utara) dari Delhi yang bermukim di Deskan. Ia sempat berkiprah di Dar al-Islam, sebuah proyek pendidikan di Punjab yang semula diprakarsai oleh M. Iqbal, namun ketertarikannya pada politik memalingkannya dari Dar al-Islam. Momentum dari aksi politik Maududi adalah berdirinya Jema’at Islam pada 1941. Ketika India pecah, Maududi bersama 385 anggota Jema’at Islam memilih Pakistan dan mendirikan markas di Lahore. Melalui Jema’at Islam Maududi banyak berkiprah dalam perpolitikan Pakistan, sejak pemerintahan Ayub Khan sampai Ziaul Haq. Maududi meninggal di Bufallo, New York, pada 22 September 1979 dan dimakamkan di Lahore.
2. Ahmad Syafi’i Ma’arif.Lahir pada tanggal 31 Mei 1935 di Sumpurkudus Sumatera Barat. Ia pernah belajar di Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Lintau (1953) dan Yogyakarta (1956), FKIP Universitas Cokroaminoto Surakarta sampai sarjana Muda (1941), dan tamat FKIS IKIP
clxxviii
Yogyakarta (1968), belajar sejarah pada Nothern Illionis University (1973) dan memperoleh gelar MA dalam ilmu sejarah pada OHIO University, Athens Amerika Serikat (1980) dan meraih gelar ph.D dalam bidang pemikiran Islam diperoleh dari the University of Chichago, Amerika Serikat (1982). Kemudian menjadi dosen FKIS IKIP Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga dan UII Yogyakarta, dan pada tahun 1999 ia menjabat sebagai Ketua Umum P.P Muhammadiyah sampai sekarang.
3. Alwi Shihab.Lahir pada 19 Agustus 1946 di Rappang Sulawesi Selatan, sebelum terjun di politik ia dikenal sebagai seorang akademisi dan pengusaha. Alwi mendapat gelar sarjana di bidang Akidah Filsafat di IAIN Alaudin Ujung Pandang pada 1986, ketika itu ia sudah meraih gelar Master dari Universitas al-Azhar, Mesir, dalam bidang yang sama. Pada tahun 1980 ia meraih gelar Doktornya yang pertama dari Universitas ‘Ain Syam, Mesir dalam bidang Filasafat, karena belum merasa cukup, kemudian ia hijrah ke Universitas Temple, Amerika, untuk meneruskan studinya di bidang Agama. Sembari meluangkan waktu untuk mengajar studi agama Islam di almamaternya tersebut. Antara 1995-1996, Alwi mengikuti Program Pasca Doktoralnya di Pusat Studi Agama-Agama Dunia (The Centre for Studi of World Relegion), di Universitas Harvard. Dan sejak 1996 ia tercatat sebagai pengajar agama Islam di Hartford Seminary. Kemudian pada tahun 1999-2000 ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI, dan saat ini ia memegang jabatan penting di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai Ketua Umum, selain itu ia masih tercatat sebagai anggota International Connection Commite, American Academy of Relegion, Atlanta, Georgia. Karya-karyanya yang telah diterbitkan yaitu : Inclusive Islam (1997), Muhammadiyah Movement and Controversy With Christian Mission (1998), Sufistic Islam (2001) dan Teaching Islam in the West (segera).
4. Amien Rais.Lahir pada 26 April 1944 di Solo, ayah dan ibunya adalah aktivis Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial keagamaan kalangan modernis Islam yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan. Sejak jenjang TK hingga SMA seluruh pendidikannya dihabiskan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Setamat dari SMA Muhammadiyah Solo, pada 1962, Amien melanjutkan kuliah di Fisipol UGM, ia juga tercatat sebagai mahasiswa Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Lalu pada tahun 1972 Amien melanjutkan pendidikannya di Universitas Notre Dame, Indiana, AS. Pada tahun 1974 ia berhasil meraih gelar Master of Art (MA), kemudian pada tahun 1975 ia berangkat ke Universitas Chichago, AS, untuk melanjutkan studi Doktornya di Ilmu Politik, akhirnya
clxxix
pada tahun 1981 ia berhasil meraih gelar ph.D. selanjutnya ia juga sempat tercatat sebagai mahasiswa luar biasa di Universitas al-Azhar, Kairo (1978-1979). Selain menjadi Dosen di UGM, pada 1995 Amien juga sempat menjabat sebagai ketua umum P.P Muhammadiyah. Selain itu. Ia juga dikenal sebagai seorang politisi, tepat pasca Reformasi 1998 ia mempelopori berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) dan diketuainya. sehingga pada tahun 1999-sekarang ia menjabat di birokrasi pemerintahan sebagai Ketua Umum MPR RI.
5. Azyumardi Azra.Lahir pada Maret 1955 di Lubuk Aling, Sumatera Barat. Pada tahun 1982 ia menyelesaikan sarjana strata 1 di Fakultas Tarbiyyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan pada tahun 1986 ia memperoleh beasiswa Fullbright untuk melanjutkan studi di Columbia University, saat ini ia menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, karya tulisnya antara lain: Islam dan Masalah-masalah Kemasyarakatan, Perkembangan Modern dalam Islam, Perspektif Islam di Asia Tenggara dan Jaringan Ulama Timur Tengah Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.
6. Fazlur Rahman.Lahir pada tahun 1919 M di Barat Laut Pakistan, ia termasuk salah satu pemikir pembaharuan Islam yang liberal dan radikal. Rahman dibesarkan di keluarga yang memiliki tradisi Madzhab Hanafi yang dikenal lebih rasionalis dibanding dengan madzhab lainnya. Pada tahun 1942 ia berhasil meraih gelar MA dalam bidang Sastra Arab dari Universitas Punjab. Sebelumnya ia pernah diajak bergabung oleh Maududi dalam Jama'at al-Islami, seraya berkata "semakin engkau (Rahman) banyak belajar maka semakin beku kemampuan praktismu" akan tetapi Rahman lebih memilih meneruskan studinya, bahkan menjadi seorang kritikus yang tangguh terhadap pemikiran keagamaan Maududi. Pada tahun 1950 ia berhasil meraih gelar Doktor dari Universitas Oxford Inggris dengan desertasi tentang Ibnu Sina, setelah menyelesaikan studinya Rahman lebih memilih untuk tetap tinggal di Inggris sambil mengajar di berbagai perguruan tinggi seperti Durham University, Inggris. Dan Institute of Islamic Studies, McGill Kanada. Pada tahun 1962 Rahman kembali ke Pakistan dan mendapat banyak jabatan di negerinya, akan tetapi ia merasa lingkungannya tidak mendukung pengembangan intelektualnya, akhirnya ia pindah ke Chichago, Amerika Serikat Departement of Near Eastern Languages and Civilization. Rahman sudah banyak menghasilkan karya ilmiah, di antaranya adalah Islam and Modernity: Transformation of Intellectual Tradition, Islamic Methodology in History, Major Themes of The Qur’an dll.
7. Kuntowijoyo.Seorang dosen Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Lahir di Yogyakarta pada 18 September 1938. Ia memperoleh gelar MA dari Universitas Connecticat,
clxxx
Amerika Serikat dan ph.D pada 1980 dari Colombia University, selain menerbitkan banyak karya tulis yang terhimpun dalam beberapa buku, Kunto juga dikenal sebagai budayawan yang banyak menghasilkan karangan-karangan fiksi, di antara tulisan-tulisannya yang sudah diterbitkan yaitu: Paradigma Islam, Interprestasi untuk Aksi (1991), Identitas Politik Umat Islam (1997) dan Muslim tanpa Masjid, Esai-esai Agama Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Trasendental (2001).
8. M. Din Syamsuddin.Seorang guru besar pemikiran politik Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, lahir di Sumbawa Besar, 31 Agustus 1958. Ia pernah nyantri di Gontor sampai tahun 1975, lalu melanjutkan di IAIN Jakarta sampai tahun 1982. Dan meraih gelar Master (1988) dan Doktor (1991) dari University of Califonia Los Angeles (UCLA). Selain seorang akademisi, ia juga aktif di banyak organisasi seperti Muhammadiyah, ICMI, MUI, bahkan sempat menjadi aktivis Golkar, dan saat ini menjabat sebagai Sekretaris Umum MUI Pusat dan menjadi Pengurus Pusat Muhammadiyah.
9. Munawir Sjadzali.Lahir di Klaten 7 November 1925, ia seorang intelektual, pernah belajar di University of Exeter, Inggris (1953-1954) dan memperoleh gelar MA dari Georgetown University, Washington DC, Amerika Serikat. Setelah menyelesaikan tesisnya yang berjudul Indonesian’s Muslim Parties and Their Political Concept (1959). Selain seorang intelektual ia juga dikenal sebagai seorang diplomat dan pernah menjabat berbagai posisi penting di Pemerintahan, antara lain: Dubes untuk beberapa negara Timur Tengah seperti Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Perserikatan Keamiran Arab (1976-19800), menjadi Menteri Agama selama dua periode yaitu Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) dan Kabinet Pembangunan V (1988-1993).
10. Nurcholish Madjid.Lahir 17 Maret 1939 di Mojoanyar, Jombang Jawa Timur, Ia dikenal sebagai tokoh pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Cak Nur menyelesaikan pendidikannya dengan meraih gelar ph.D dari University of Chichago dengan desertasi yang berjudul Pimikiran Filsafat dan Kalam Ibnu Taimiyyah. Semasa mahasiswa Cak Nur aktif di organisasi, HMI dan IFSO (International Islamic Federation of Students Organizations). Saat ini, ia menjabat sebagai rektor Universitas Paramadina Mulya Jakarta. Selain itu menjelang pemilu 2004 ini, Cak Nur juga sedang sibuk dicalonkan menjadi calon Presiden RI ke-6. Karya-karyanya banyak yang telah diterbitkan. Di antaranya Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1988), Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Terhadap Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (1992).
clxxxi
Lampiran III.
DAFTAR ISTILAH
Ahl al-H{all wa al-Aqdi: Kelompok sahabat-sahabat utama Nabi Muhammad yang senantiasa diajak bermusyawarah dalam mengambil keputusan yang behubungan dengan kepentingan umum, semacam parlemen di dalam konsepsi fiqih abad pertengahan.
Ahl as-Sunnah wa al-Jama>‘ ah: Madzhab yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad dan merupakan menempati posisi mayoritas secara nominal.
‘Ash}abiyah: Sentimen etnik, chauvinism
clxxxii
Asas Tunggal: Prinsip yang terdapat dalam ideologi nasional, Pancasila, yang diberlakukan sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi pada masa tahun 1985.
Bay‘ah: Sumpah setia kepada seorang khalifah atau pemimpin
BPUPKI: Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
DDII: Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia, badan dakwah kaum modernis radikal. Dipimpin oleh M. Natsir hingga wafatnya tahun 1993.
Darul Islam: Nama yang diberikan untuk negara Islam yang diproklamasikan oleh Kartosoewiryo di Jawa Barat tangal 7 Agustus 1949. Sebagai perluasan makna digunakan juga untuk menyebut pemberontakan.
DI-TII: Singkatan dari Darul Islam-Tentara Islam Indonesia, untuk menyebut pemberontakan Kartosoewiryo dan tentaranya yang memberontak.
Doktrin: Ajaran agama, teks-teks keagamaan.
Fodem: Forum Demokrasi, kelompok pro-demokrasi yang diketuai oleh Abdurrahman Wahid, dibentuk pada tahun 1991.
Ijtiha>d: Dalam hukum Islam adalah upaya untuk menetapkan hukum melalui penalaran bebas berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam arti yang lebih sempit adalah upaya untuk menggunakan metode pemikiran melalui analogi.
Mu‘ammalah: Amalan-amalan yang bersifat kemasyarakatan dan keduniaan.
Masyumi: Singkatan dari Majelis syura Muslimin Indonesia, didirikan pada tahun 1943. ia menjadi partai politik muslim modernis yang kemudian dilarang oleh Soekarno tahun 1960.
Muhammadiyah: Gerakan reformis dan modernis yang didirikan pada tahun 1912 di Yogyakarta, Muhammadiyah merupakan gerakan reformis yang lebih luwes dibanding Persis dan al-Irsyad. Secara politis ia menyalurkan aspirasi politiknya melalui Masyumi, kemudian melalui Parmusi, lalu ke PPP di bawah Orde Baru, namun juga dapat ditemukan di Golkar. Nahdlatul Ulama (NU): Kebangkitan kembali para ulama, perkumpulan alim ulama yang didirikan pada tahun 1936, menjadi partai politik pada tahun 1952 kemudian kembali menjadi organisasi sosial pada tahun 1984.
Nasakom: Singkatan yang menunjukkan persekutuan antara nasionalisme, agama dan komunisme, konsep yang diajukan oleh Soekarno.
clxxxiii
PKI: Partai Komunis Indonesia
PRRI: Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, pemerintahan ini dibentuk untuk menentang Soekarno dan partai komunis yang sedang menanjak, didirikan pada tahun 1958 di Sumatera Barat dan dihancurkan dalam beberapa bulan saja.
Pesantren: Sekolah agama yang didirikan oleh para kyai, murid dari sekolahan ini biasa disebut santri.
Pribumisasi: Kata baru yang dibentuk dari “pribumi”, penekanan identitas muslim khas Indonesia, Islam tanpa arabisasi, juga berarti dominasi penduduk asli di bidang ekonomi Indonesia.
Sekularisme: Paham yang memisahkan urusan keagamaan dengan urusan keduniaan; Nasionalis sekular: golongan yang menganut paham kebangsaan yang menghendaki agama dipisahkan dari kehidupan negara.
Syari‘ah: Peraturan-peraturan hukum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Tradisionalisme: Paham yang mempertahankan pandangan-pandangan keagamaan yang diwariskan oleh tradisi Islam zaman abad pertengahan.
Tanfidziah: Badan eksekutif NU.
Wahhabi>: Paham pembaharuan keagamaan Islam yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahab di tanah Hijaz.
Lampiran IV.
CURRICULUM VITAE
Nama : Ahmad Anfasul Marom.
Tempat/Tgl Lahir : Bojonegoro, 7 November 1981.
Alamat Asal : Jl. Kanor 504 RT 16 RW 9 Pasinan-Baureno,
kabupaten Bojonegoro Jawa-Timur 62192.
Alamat di Yogyakarta : Komplek IAIN “Griya Natural” CT XI 45i
Sapen Yogyakarta 55281.
Nama Ayah : H. Ahwan Affandi.
Nama Ibu : Hj. Siti Azah (Almarhumah).
clxxxiv
Pendidikan Formal:
1. MI Darul Ulum Baureno - Bojonegoro (1987 - 1993).
2. MTs Islamiyyah at-Tanwir Sumberjo - Bojonegoro (1993 - 1996).
3. MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) Tebuireng - Jombang,
(1996-1999).
4. Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (1999 -
Sekarang).
5. English Extension Sanata Dharma Yogyakarta, Masuk 2001 -
Sekarang.
Pendidikan Informal:
1. Pondok Pesantren “at-Tanwir” Sumberjo Bojonegoro Jawa-Timur.
2. Pondok Pesantren “Tebuireng” Jombang Jawa-Timur.
3. Kursus Bahasa Inggris di “Wisma Bahasa” Yogyakarta.
4. Kursus Komputer di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas
Negeri Yogyakarta.
Pengalaman Organisasi :
1. Sekretaris Organisasi Daerah CSPB (Collega Siswa Pesantren
Bojonegoro) 1997-1998 di Pesantren Tebuireng Jombang.
2. Anggota Divisi Lembaga Kajian eLSIP (Lingkar Studi Islam
Pembebasan) 2000-2001 Kordiska IAIN Sunan Kalijaga.
3. Sekjend PMII Rayon Faklutas Syari’ah 2000-2001 IAIN
Sunankalijaga Yogyakarta.
4. Ketua Ospek 2001 Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga-Yogyakarta.
5. Departemen Kajian dan Intelektual BEMJ PMH 2000-2002, IAIN
Sunan kaliga Yogyakarta.
6. Sekjend Senat Mahasiswa Institut (SMI) 2003-2004 IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
clxxxv
clxxxvi
Recommended