View
15
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 93 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural
dr. Iskandar, M.Kes. Sp. BS Division Of Neurosurgery, Departement Of Surgery,
Dr. Zainoel Abidin General Hospital – Medical Faculty Of Syiah Kuala University,
Banda Aceh, Indonesia
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan salah satu jenis cedera yang terbanyak di Unit Gawat Darurat rumah sakit.
Banyak pasien cedera kepala berat meninggal sebelum tiba di rumah sakit, dan sekitar 90 % kematian pra
rumah sakit disebabkan karena cedera kepala. Pasien yang dapat bertahan hidup dari cedera kepala
seringkali menderita kecacatan neurofisiologis yang akan menyebabkan ketidakmampuan untuk bekerja
atau aktifitas sosial lainnya.
Fokus utama dalam penanganan pasien dengan kecurigaan cedera kepala, terutama cedera kepala
berat adalah harus mencegah cedera otak sekunder. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan
mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak merupakan langkah paling penting untuk
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder, yang pada akhirnya akan meningkatkan tingkat
kesembuhan pasien.
Sistim triase bagi pasien cedera kepala tergantung pada beratnya cedera dan fasilitas yang ada di
tempat pertolongan pertama. Pada kondisi dimana tidak terdapat fasilitas bedah saraf, diharapkan tenaga
medis setempat mempunyai kompetensi yang baik dalam penanganan awal sebelum melakukan rujukan,
bahkan dapat merawat pasien-pasien yang dapat ditangani secara non operatif, untuk mengurangi rujukan
pada kasus yang seharusnya dapat ditangani di daerah dengan tetap memperhatikan keselamatan pasien
dan outcome yang baik. Konsultasi dengan ahli bedah saraf harus dilakukan seawal mungkin, terutama
bila pasien mengalami koma atau dicurigai mengalami cedera kepala dengan perdarahan intrakranial.
KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 klasifikasi, yaitu
berdasarkan mekanisme cedera, berat-ringannya dan morfologi.
Mekanisme Cedera
Cedera kepala dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus
disebabkan oleh luka bacok atau luka tembak.
Berat Ringan Cedera
Untuk mengukur berat-ringannya cedera kepala secara klinis digunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
dengan nilai minimal 3 dan nilai maksimal 15. Ini tercermin dari nilai GCS enam jam pertama atau
sesudah resusitasi, dibagi atas 3 katagori :
- Cedera kepala ringan : GCS 13 – 15
- Cedera kepala sedang : GCS 9 – 12
- Cedera kepala Berat : GCS 3 – 8
Dalam praktek klinis dapat diurai lagi :
- Cedera kepala minimal : GCS 15 tanpa gangguan kesadaran.
- Cedera kepala kritis : GCS 3 – 4
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 94 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
- Mati otak/mati batang otak (Brain death/Brainsteam death) : GCS 3 tanpa adanya fungsi
otak/batang otak.
Morfologi
Cedera kepala dapat menimbulkan kelainan struktur kepala dan otak berupa :
- Fraktur tulang :
o Kalvaria :
Linear
Diastasis
Depressed
o Basis Kranii :
Fossa anterior
Fossa media
Fossa posterior
- Lesi intrakranial :
o Fokal :
Epidural hematoma
Subdural hematoma
Intraserebral hematoma
o Difus :
Konkusi
Kontusio Multipel
Hipoksia/iskhemik
Aksonal injury
DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN :
Secara umum, setiap pasien dengan cedera kepala ditangani dengan prinsip-prinsip berikut :
- Primary survey
Lakukan primary survey pada seluruh pasien cedera kepala, terutama pasien dengan
penurunan kesadaran, meliputi pemeriksaan dan penatalaksanaan :
o A = Airway ( Jaga jalan nafas dengan perlindungan terhadap servikal spine).
o B = Breathing (pernafasan).
o C = Circulation (nadi, tekanan darah, tanda-tanda syok dan kontrol perdarahan).
o D = Disability (level kesadaran dan status neurologis lain).
Pada primary survey ini dilakukan pemeriksaan status neurologis dasar yang disebut
AVPU ( Alert, Verbal stimuli response, Painful stimuli response or unresponsive).
Evaluasi neurologis yang cepat dan berulang dilakukan setelah selesai primary survey,
meliputi derajat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan gejala
cedera spinal. GCS adalah metode yang cepat untuk menentukan level kesadaran dan
dapat memprediksi outcome pasien.
o E = Exposure (Seluruh tubuh pasien diekspose untuk pemeriksaan dan penanganan
menyeluruh, dengan memperhatikan faktor suhu dan lingkungan).
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 95 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
Tabel 1. Glasgow Coma Scale
Penilaian Nilai
Respon buka mata (Eye opening ; E)
Spontan
Terhadap suara
Terhadap nyeri
Tidak ada
4
3
2
1
Respon motorik terbaik (M)
Turut perintah
Melokalisir nyeri
Fleksi normal (menarik anggota gerak yang
dirangsang)
Fleksi abnormal (dekortikasi)
Ekstensi abnormal (deserebrasi)
Tidak ada (flasid)
6
5
4
3
2
1
Respon verbal (V)
Berorientasi baik
Berbicara mengacau (bingung)
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tidak ada
5
4
3
2
1
Nilai GCS = (E + M + V) : Nilai tertinggi = 15 dan terendah = 3
- Secondary survey
Setelah primary survey selesai, tanda vital pasien sudah normal, maka dimulai secondary
survey, mengevaluasi head to toe (seluruh tubuh pasien), meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
- Penanganan Cedera kepala
Penanganan kasus cedera kepala secara umum dapat mengikuti alur sebagai berikut :
Diagnosis klinis cedera kepala
(Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik/neurologis)
Pemeriksaan penunjang (schedel x-ray, CT Scan, Laboratorium)
Diagnosis morfologis (EDH/SDH/ICH, dsb)
Penanganan
Operatif atau Non Operative
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 96 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
PENANGANAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 13 – 15)
Algoritma penanganan cedera kepala ringan adalah sebagai berikut :
Gambar 1: Algoritma penatalaksanaan cedera otak ringan. (Dipetik dengan ijin dari Valadka AB, Narayan
RK : Emergency room management of head injured patient, in Narayan RK, Willberger JE, Povlishock JT
(eds) : Neurotrauma, New York, Mc.Graw-Hill,1996)
Definisi : Pasien sadar dan berorientasi (GCS 13 – 15)
RIWAYAT
- Nama, umur, jenis kelamin, ras, Pekerjaan
- Mekanisme cedera - Waktu cedera - Tidak sadar setelah cedera
Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
Pemeriksaan neurologis terbatas
Pemeriksaan rontgen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi
Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksin dalam urin
Pemeriksaan CT scan kepala merupakan indikasi bila memenuhi criteria kecurigaan
perlunya tindakan bedah saraf sangat tinggi (lihat table 6-3)
Observasi atau dirawat di RS Dipulangkan dari RS
CT scan tidak ada CT scan abnormal Semua cedera tembus Riwayat hilang kesadaran Kesadaran menurun Nyeri kepala sedang-berat Intoksikasi alkohol/obat-obatan Fraktur tulang Kebocoran likuor:Rhinorea-otorea Cedera penyerta yang bermakna Tidak ada keluarga dirumha GCS < 15 Defisit neurologis fokal
Tidak memenuhi criteria rawat Diskusikan kemungkinan kembali ke rumah sakit bila memburuk dan berikan kertas observasi Jadwalkan untuk control ulang
Tingkat kewaspadaan
Anamnesia: Retrograde, Antegrade
Sakit kepala: ringan, sedang, berat
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 97 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
Indikasi CT Scan kepala pada Cedera Kepala Ringan :
- Nilai GCS kurang dari 15 pada 2 jam setelah cedera.
- Dicurigai adanya fraktur kalvaria.
- Adanya tanda-tanda fraktur dasar tengkorak.
- Muntah lebih dari 2 eposide.
- Usia lebih dari 65 tahun.
- Amnesia lebih dari 30 menit.
- Kejang.
- Cedera tembus tengkorak.
- Adanya defisit neurologis.
- Mekanisme cedera yang berat.
Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur linear terbuka di daerah rural :
- Diagnosa : Bila ada luka terbuka, eksplorasi luka sampai kalvaria sebelum luka dijahit.
- Penanganan :
o Debridement lokal.
o Tidak perlu fiksasi tulang.
o Jahit luka primer.
o Pasien di rawat inap. Observasi : Level kesadaran (GCS), bila GCS turun berarti ada
lucid interval, kemungkinan ada perdarahan Epidural, maka pasien dirujuk ke rumah
sakit rujukan dengan fasilitas bedah saraf.
o Pasien dipulangkan bila kesadaran baik setelah beberapa hari rawatan dengan
penjelasan peringatan untuk pasien cedera kepala ringan yang dipulangkan.
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 98 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
Gambar 2. Fraktur linear pada kasus fraktur terbuka dan gambaran X-Ray.
Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur basis kranii di daerah rural :
- Diagnosa :
o Rhinorhea, Brill hematoma, anosmia (Fraktur basis kranii anterior).
o Otorhea, Battle sign (Retroaurikular hematoma), parese N VII/VIII.
- Penanganan :
o Fraktur basis bukan kasus mengancam jiwa (life threatening), bila GCS memburuk,
hal itu disebabkan faktor lain atau komplikasi.
o Pasien di rawat inap, terapi non operatif.
Head up 30 derajat.
Diet : MB
Obat : antibiotik (kontroversi), analgetik.
Perawatan rhinorhea/otorhea : biarkan mengalir, jaga kebersihan. Umumnya
berhenti spontan dalam 3 – 5 hari.
o Observasi :
Tanda vital.
GCS/pupil/motorik
Rhinorhea/Otorhea
Tanda-tanda infeksi (meningitis ?)
Defisit neurologis.
o Rawat jalan, bila :
Tanda vital stabil.
GCS 15.
Rhinorhea/Otorhea berhenti.
Tanda-tanda infeksi (-).
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 99 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
Gambar 3. Gambaran klinis fraktur basis kranii.
Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur depressed di daerah rural :
- Diangnosa :
o Fraktur tertutup :
Sulit didiagnosa dengan pemeriksaan fisik karena jaringan SCALP yang
bengkak, kecuali fraktur depressed yang ekstrim atau pembengkakan jaringan
SCALP minimal.
Foto Schedel : Gambaran double contour.
o Fraktur terbuka :
Dapat didiagnosa dengan inspeksi/eksplorasi luka SCALP.
Kadang disertai jaringan otak yang prolaps.
- Penanganan :
o Pada fraktur terbuka dilakukan debridement lokal, hentikan perdarahan, bila perlu
jahit luka situasional.
o Rujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitas pelayanan bedah saraf.
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 100 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
Gambar 4 : Gambaran Fraktur depressed terbuka dan X-Ray .
PENANGANAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9 – 12)
Algoritma penanganan cedera kepala sedang adalah sebagai berikut :
Gambar 5. Algoritme penatalaksanaan cedera otak sedang. (Dipetik dengan seijin dari Valadka AB,
Narayan RK : Emergency room management of the head injured patient, in Narayan RK, Wilberger JE,
Povlishock JT (eds) : Neurotrauma, New York, Mc Graw-Hill, 1996)
Definisi : GCS 9 - 12
Pemeriksaan inisial
1. Sama dengan pasien cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhana
2. Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus 3. Dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas bedah saraf
Setelah dirawat inap
Lakukan pemeriksaan neurologis periodic
Lakukan pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi pasien memburuk dan bila pasien akan dipulangkan
Bila kondisi membaik (90%) Bila kondisi memburuk (10%)
Pulang bila memungkin
Kontrok di poliklinik
Bila pasien tidak mampu
melakukan perintah sederhana
lagi, segera lakukan pemeriksaan
CT scan ulang dan
penatalaksanaan selanjutnya
sesuai protokol cedera kepala
berat.
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 101 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
PENANGANAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3 – 8)
Algoritma penanganan cedera kepala berat, adalah sebagai berikut :
Gambar 6 : Algoritme penatalaksanaan awal cedera otak berat. (Dikutip dengan seijin dari Valadka AB,
Narayan RK: Emergency room management of the head injured patient, in Narayan RK, Wilberger JE,
Povlishock JT (eds): Neurotrauma. New York, Mc Graw-Hill, 1996)
TERAPI MEDIKAMENTOSA UNTUK CEDERA KEPALA
Tujuan utama protokol perawatan intensif adalah mencegah terjadinya kerusakan sekunder otak
yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk
pemulihan, maka diharapkan sel tersebut dapat pulih dan kembali ke fungsi normal. Terapi
medikamentosa antara lain cairan intravena, hiperventilasi, manitol, furosemid, steroid, barbiturate dan
antikejang.
CAIRAN INTRAVENA
Cairan intravena harus diberikan sesuai kebutuhan untuk resusitasi dan mempertahanakan
normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu juga diperhatikan
untuk tidak memberikan cairan berlebihan. Jangan diberikan cairan hipotonik. Juga, penggunaan cairan
yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang
cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan Ringer Laktat atau garam
fisiologis. Kadar natrium serum perlu dimonitor pada pasien dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia
sangat berkaitan dengan endema otak sehingga harus dicegah.
HIPERVENTILASI
Untuk sebagian besar pasien, keadaan normokarbia lebih diinginkan. Perlakuan hiperventilasi
yang agresif dan lama akan menurunkan kadar PaCO2 yang menyebabkan vasokonstriksi berat pembuluh
darah serebral sehingga menimbulkan gangguan perfusi otak. Hal ini terjadi terutama bila PaCO2
dibiarkan turun sampai di bawah 30 mm Hg (4,0 kPa)
Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya dalam batas waktu tertentu.
Umumnya, PaCO2 dipertahankan pada 35 mmH. Hiperventilasi dalam waktu singkat (PaCO2 antara 25-30
Definisi : pasien tidak mampu melakukan perintah sederhana karena kesadaran yang menurun (GCS 3-8)
Pemeriksaan dan penatalaksanaan
ABCDE
Primary Survey dan resusitasi
Secondary Survey dan riwayat AMPLE
Rujuk ke rumah sakit dengan fasilitas Bedah Saraf
Reevaluasi neurologis : GCS
Respon buka mata
Respon motorik
Respon verbal
Refleks cahaya pupil
Obat-obatan (diberikan setelah konsultasi dengan bedah saraf)
Manitol
Hiperventilasi sedang (PCO2 < 35 mm Hg)
Antikonvulsan
CT Scan
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 102 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
mm Hg) dapat dilakukan jika diperlukan pada keadaan perburukan neurologis akut, sementara
pengobatan lainnya baru dimulai. Hiperventilasi akan mengurangi tekanan intrakranial pada pasien
dengan perburukan neurologis akibat hematoma intrakranial yang membesar, sampai operasi kraniotomi
emergensi dapat dilakukan.
ANTIKONVULSAN
Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup
dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi: (1) Kejang
awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) Perdarahan Intrakranial, atau (3) Fraktur depresi. Penelitian
tersamar ganda / double blind menunjukkan bahwa fenitoin sebagai profilaksis bermanfaat untuk
menurunkan angka insidensi kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak setelahnya. Fenitoin atau
fosfenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang
diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis
pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar terapetik serum. Pada pasien
dengan kejang berkepanjangan, diazepam atau lorazepam digunakan sebagai tambahan selain fenitoin
sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang yang terus menerus kadang memerlukan anestesi umum.
Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30
sampai 60 menit) dapat menyebabkan cedera otak.
MANITOL
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat. Sediaan yang
tersedia cairan manitol dengan konsentrasi 20% (20 gram setiap 100 ml larutan). Dosis yang diberikan
0.25 – 1 g/kg BB diberikan secara bolus intravena. Manitol jangan diberikan pada pasien yang hipotensi,
karena manitol tidak mengurangi tekanan intrakranial pada kondisi hipovolemik dan manitol merupakan
diuretic osmotic yang potensial. Adanya perburukan neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi
pupil, hemiparesis maupun kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi merupakan indikasi kuat
untuk diberikan manitol. Pada keadaan tersebut pemberian bolus manitol (1 g/kgBB) harus diberikan
secara cepat (dalam waktu lebih dari 5 menit) dan pasien segera di bawa ke CT scan ataupun langsung ke
kamar operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui.
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 103 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
DAFTAR PUSTAKA
1. Advanced Trauma Life Support (ATLS), Student Course Manual, American College of Surgeons,
Committee on Trauma, 2008.
2. Greenberg, MS, Handbook of Neurosurgery, Sixth Edition, Thieme, 2006.
3. Reilly PL, Bullock R, Head Injury : Pathophysiology and Management, second edition, Hodder
Arnold, 2005.
Recommended