11
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 93 Banda Aceh 16 – 17 September 2017 Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural dr. Iskandar, M.Kes. Sp. BS Division Of Neurosurgery, Departement Of Surgery, Dr. Zainoel Abidin General Hospital Medical Faculty Of Syiah Kuala University, Banda Aceh, Indonesia PENDAHULUAN Cedera kepala merupakan salah satu jenis cedera yang terbanyak di Unit Gawat Darurat rumah sakit. Banyak pasien cedera kepala berat meninggal sebelum tiba di rumah sakit, dan sekitar 90 % kematian pra rumah sakit disebabkan karena cedera kepala. Pasien yang dapat bertahan hidup dari cedera kepala seringkali menderita kecacatan neurofisiologis yang akan menyebabkan ketidakmampuan untuk bekerja atau aktifitas sosial lainnya. Fokus utama dalam penanganan pasien dengan kecurigaan cedera kepala, terutama cedera kepala berat adalah harus mencegah cedera otak sekunder. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak merupakan langkah paling penting untuk menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder, yang pada akhirnya akan meningkatkan tingkat kesembuhan pasien. Sistim triase bagi pasien cedera kepala tergantung pada beratnya cedera dan fasilitas yang ada di tempat pertolongan pertama. Pada kondisi dimana tidak terdapat fasilitas bedah saraf, diharapkan tenaga medis setempat mempunyai kompetensi yang baik dalam penanganan awal sebelum melakukan rujukan, bahkan dapat merawat pasien-pasien yang dapat ditangani secara non operatif, untuk mengurangi rujukan pada kasus yang seharusnya dapat ditangani di daerah dengan tetap memperhatikan keselamatan pasien dan outcome yang baik. Konsultasi dengan ahli bedah saraf harus dilakukan seawal mungkin, terutama bila pasien mengalami koma atau dicurigai mengalami cedera kepala dengan perdarahan intrakranial. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 klasifikasi, yaitu berdasarkan mekanisme cedera, berat-ringannya dan morfologi. Mekanisme Cedera Cedera kepala dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh luka bacok atau luka tembak. Berat Ringan Cedera Untuk mengukur berat-ringannya cedera kepala secara klinis digunakan Glasgow Coma Scale (GCS) dengan nilai minimal 3 dan nilai maksimal 15. Ini tercermin dari nilai GCS enam jam pertama atau sesudah resusitasi, dibagi atas 3 katagori : - Cedera kepala ringan : GCS 13 15 - Cedera kepala sedang : GCS 9 12 - Cedera kepala Berat : GCS 3 8 Dalam praktek klinis dapat diurai lagi : - Cedera kepala minimal : GCS 15 tanpa gangguan kesadaran. - Cedera kepala kritis : GCS 3 4

Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural

National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 93 Banda Aceh 16 – 17 September 2017

Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural

dr. Iskandar, M.Kes. Sp. BS Division Of Neurosurgery, Departement Of Surgery,

Dr. Zainoel Abidin General Hospital – Medical Faculty Of Syiah Kuala University,

Banda Aceh, Indonesia

PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan salah satu jenis cedera yang terbanyak di Unit Gawat Darurat rumah sakit.

Banyak pasien cedera kepala berat meninggal sebelum tiba di rumah sakit, dan sekitar 90 % kematian pra

rumah sakit disebabkan karena cedera kepala. Pasien yang dapat bertahan hidup dari cedera kepala

seringkali menderita kecacatan neurofisiologis yang akan menyebabkan ketidakmampuan untuk bekerja

atau aktifitas sosial lainnya.

Fokus utama dalam penanganan pasien dengan kecurigaan cedera kepala, terutama cedera kepala

berat adalah harus mencegah cedera otak sekunder. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan

mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak merupakan langkah paling penting untuk

menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder, yang pada akhirnya akan meningkatkan tingkat

kesembuhan pasien.

Sistim triase bagi pasien cedera kepala tergantung pada beratnya cedera dan fasilitas yang ada di

tempat pertolongan pertama. Pada kondisi dimana tidak terdapat fasilitas bedah saraf, diharapkan tenaga

medis setempat mempunyai kompetensi yang baik dalam penanganan awal sebelum melakukan rujukan,

bahkan dapat merawat pasien-pasien yang dapat ditangani secara non operatif, untuk mengurangi rujukan

pada kasus yang seharusnya dapat ditangani di daerah dengan tetap memperhatikan keselamatan pasien

dan outcome yang baik. Konsultasi dengan ahli bedah saraf harus dilakukan seawal mungkin, terutama

bila pasien mengalami koma atau dicurigai mengalami cedera kepala dengan perdarahan intrakranial.

KLASIFIKASI CEDERA KEPALA

Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 klasifikasi, yaitu

berdasarkan mekanisme cedera, berat-ringannya dan morfologi.

Mekanisme Cedera

Cedera kepala dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan

dengan kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus

disebabkan oleh luka bacok atau luka tembak.

Berat Ringan Cedera

Untuk mengukur berat-ringannya cedera kepala secara klinis digunakan Glasgow Coma Scale (GCS)

dengan nilai minimal 3 dan nilai maksimal 15. Ini tercermin dari nilai GCS enam jam pertama atau

sesudah resusitasi, dibagi atas 3 katagori :

- Cedera kepala ringan : GCS 13 – 15

- Cedera kepala sedang : GCS 9 – 12

- Cedera kepala Berat : GCS 3 – 8

Dalam praktek klinis dapat diurai lagi :

- Cedera kepala minimal : GCS 15 tanpa gangguan kesadaran.

- Cedera kepala kritis : GCS 3 – 4

Page 2: Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural

National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 94 Banda Aceh 16 – 17 September 2017

- Mati otak/mati batang otak (Brain death/Brainsteam death) : GCS 3 tanpa adanya fungsi

otak/batang otak.

Morfologi

Cedera kepala dapat menimbulkan kelainan struktur kepala dan otak berupa :

- Fraktur tulang :

o Kalvaria :

Linear

Diastasis

Depressed

o Basis Kranii :

Fossa anterior

Fossa media

Fossa posterior

- Lesi intrakranial :

o Fokal :

Epidural hematoma

Subdural hematoma

Intraserebral hematoma

o Difus :

Konkusi

Kontusio Multipel

Hipoksia/iskhemik

Aksonal injury

DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN :

Secara umum, setiap pasien dengan cedera kepala ditangani dengan prinsip-prinsip berikut :

- Primary survey

Lakukan primary survey pada seluruh pasien cedera kepala, terutama pasien dengan

penurunan kesadaran, meliputi pemeriksaan dan penatalaksanaan :

o A = Airway ( Jaga jalan nafas dengan perlindungan terhadap servikal spine).

o B = Breathing (pernafasan).

o C = Circulation (nadi, tekanan darah, tanda-tanda syok dan kontrol perdarahan).

o D = Disability (level kesadaran dan status neurologis lain).

Pada primary survey ini dilakukan pemeriksaan status neurologis dasar yang disebut

AVPU ( Alert, Verbal stimuli response, Painful stimuli response or unresponsive).

Evaluasi neurologis yang cepat dan berulang dilakukan setelah selesai primary survey,

meliputi derajat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan gejala

cedera spinal. GCS adalah metode yang cepat untuk menentukan level kesadaran dan

dapat memprediksi outcome pasien.

o E = Exposure (Seluruh tubuh pasien diekspose untuk pemeriksaan dan penanganan

menyeluruh, dengan memperhatikan faktor suhu dan lingkungan).

Page 3: Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural

National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 95 Banda Aceh 16 – 17 September 2017

Tabel 1. Glasgow Coma Scale

Penilaian Nilai

Respon buka mata (Eye opening ; E)

Spontan

Terhadap suara

Terhadap nyeri

Tidak ada

4

3

2

1

Respon motorik terbaik (M)

Turut perintah

Melokalisir nyeri

Fleksi normal (menarik anggota gerak yang

dirangsang)

Fleksi abnormal (dekortikasi)

Ekstensi abnormal (deserebrasi)

Tidak ada (flasid)

6

5

4

3

2

1

Respon verbal (V)

Berorientasi baik

Berbicara mengacau (bingung)

Kata-kata tidak teratur

Suara tidak jelas

Tidak ada

5

4

3

2

1

Nilai GCS = (E + M + V) : Nilai tertinggi = 15 dan terendah = 3

- Secondary survey

Setelah primary survey selesai, tanda vital pasien sudah normal, maka dimulai secondary

survey, mengevaluasi head to toe (seluruh tubuh pasien), meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.

- Penanganan Cedera kepala

Penanganan kasus cedera kepala secara umum dapat mengikuti alur sebagai berikut :

Diagnosis klinis cedera kepala

(Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik/neurologis)

Pemeriksaan penunjang (schedel x-ray, CT Scan, Laboratorium)

Diagnosis morfologis (EDH/SDH/ICH, dsb)

Penanganan

Operatif atau Non Operative

Page 4: Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural

National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 96 Banda Aceh 16 – 17 September 2017

PENANGANAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 13 – 15)

Algoritma penanganan cedera kepala ringan adalah sebagai berikut :

Gambar 1: Algoritma penatalaksanaan cedera otak ringan. (Dipetik dengan ijin dari Valadka AB, Narayan

RK : Emergency room management of head injured patient, in Narayan RK, Willberger JE, Povlishock JT

(eds) : Neurotrauma, New York, Mc.Graw-Hill,1996)

Definisi : Pasien sadar dan berorientasi (GCS 13 – 15)

RIWAYAT

- Nama, umur, jenis kelamin, ras, Pekerjaan

- Mekanisme cedera - Waktu cedera - Tidak sadar setelah cedera

Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

Pemeriksaan neurologis terbatas

Pemeriksaan rontgen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi

Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksin dalam urin

Pemeriksaan CT scan kepala merupakan indikasi bila memenuhi criteria kecurigaan

perlunya tindakan bedah saraf sangat tinggi (lihat table 6-3)

Observasi atau dirawat di RS Dipulangkan dari RS

CT scan tidak ada CT scan abnormal Semua cedera tembus Riwayat hilang kesadaran Kesadaran menurun Nyeri kepala sedang-berat Intoksikasi alkohol/obat-obatan Fraktur tulang Kebocoran likuor:Rhinorea-otorea Cedera penyerta yang bermakna Tidak ada keluarga dirumha GCS < 15 Defisit neurologis fokal

Tidak memenuhi criteria rawat Diskusikan kemungkinan kembali ke rumah sakit bila memburuk dan berikan kertas observasi Jadwalkan untuk control ulang

Tingkat kewaspadaan

Anamnesia: Retrograde, Antegrade

Sakit kepala: ringan, sedang, berat

Page 5: Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural

National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 97 Banda Aceh 16 – 17 September 2017

Indikasi CT Scan kepala pada Cedera Kepala Ringan :

- Nilai GCS kurang dari 15 pada 2 jam setelah cedera.

- Dicurigai adanya fraktur kalvaria.

- Adanya tanda-tanda fraktur dasar tengkorak.

- Muntah lebih dari 2 eposide.

- Usia lebih dari 65 tahun.

- Amnesia lebih dari 30 menit.

- Kejang.

- Cedera tembus tengkorak.

- Adanya defisit neurologis.

- Mekanisme cedera yang berat.

Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur linear terbuka di daerah rural :

- Diagnosa : Bila ada luka terbuka, eksplorasi luka sampai kalvaria sebelum luka dijahit.

- Penanganan :

o Debridement lokal.

o Tidak perlu fiksasi tulang.

o Jahit luka primer.

o Pasien di rawat inap. Observasi : Level kesadaran (GCS), bila GCS turun berarti ada

lucid interval, kemungkinan ada perdarahan Epidural, maka pasien dirujuk ke rumah

sakit rujukan dengan fasilitas bedah saraf.

o Pasien dipulangkan bila kesadaran baik setelah beberapa hari rawatan dengan

penjelasan peringatan untuk pasien cedera kepala ringan yang dipulangkan.

Page 6: Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural

National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 98 Banda Aceh 16 – 17 September 2017

Gambar 2. Fraktur linear pada kasus fraktur terbuka dan gambaran X-Ray.

Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur basis kranii di daerah rural :

- Diagnosa :

o Rhinorhea, Brill hematoma, anosmia (Fraktur basis kranii anterior).

o Otorhea, Battle sign (Retroaurikular hematoma), parese N VII/VIII.

- Penanganan :

o Fraktur basis bukan kasus mengancam jiwa (life threatening), bila GCS memburuk,

hal itu disebabkan faktor lain atau komplikasi.

o Pasien di rawat inap, terapi non operatif.

Head up 30 derajat.

Diet : MB

Obat : antibiotik (kontroversi), analgetik.

Perawatan rhinorhea/otorhea : biarkan mengalir, jaga kebersihan. Umumnya

berhenti spontan dalam 3 – 5 hari.

o Observasi :

Tanda vital.

GCS/pupil/motorik

Rhinorhea/Otorhea

Tanda-tanda infeksi (meningitis ?)

Defisit neurologis.

o Rawat jalan, bila :

Tanda vital stabil.

GCS 15.

Rhinorhea/Otorhea berhenti.

Tanda-tanda infeksi (-).

Page 7: Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural

National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 99 Banda Aceh 16 – 17 September 2017

Gambar 3. Gambaran klinis fraktur basis kranii.

Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur depressed di daerah rural :

- Diangnosa :

o Fraktur tertutup :

Sulit didiagnosa dengan pemeriksaan fisik karena jaringan SCALP yang

bengkak, kecuali fraktur depressed yang ekstrim atau pembengkakan jaringan

SCALP minimal.

Foto Schedel : Gambaran double contour.

o Fraktur terbuka :

Dapat didiagnosa dengan inspeksi/eksplorasi luka SCALP.

Kadang disertai jaringan otak yang prolaps.

- Penanganan :

o Pada fraktur terbuka dilakukan debridement lokal, hentikan perdarahan, bila perlu

jahit luka situasional.

o Rujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitas pelayanan bedah saraf.

Page 8: Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural

National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 100 Banda Aceh 16 – 17 September 2017

Gambar 4 : Gambaran Fraktur depressed terbuka dan X-Ray .

PENANGANAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9 – 12)

Algoritma penanganan cedera kepala sedang adalah sebagai berikut :

Gambar 5. Algoritme penatalaksanaan cedera otak sedang. (Dipetik dengan seijin dari Valadka AB,

Narayan RK : Emergency room management of the head injured patient, in Narayan RK, Wilberger JE,

Povlishock JT (eds) : Neurotrauma, New York, Mc Graw-Hill, 1996)

Definisi : GCS 9 - 12

Pemeriksaan inisial

1. Sama dengan pasien cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhana

2. Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus 3. Dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas bedah saraf

Setelah dirawat inap

Lakukan pemeriksaan neurologis periodic

Lakukan pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi pasien memburuk dan bila pasien akan dipulangkan

Bila kondisi membaik (90%) Bila kondisi memburuk (10%)

Pulang bila memungkin

Kontrok di poliklinik

Bila pasien tidak mampu

melakukan perintah sederhana

lagi, segera lakukan pemeriksaan

CT scan ulang dan

penatalaksanaan selanjutnya

sesuai protokol cedera kepala

berat.

Page 9: Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural

National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 101 Banda Aceh 16 – 17 September 2017

PENANGANAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3 – 8)

Algoritma penanganan cedera kepala berat, adalah sebagai berikut :

Gambar 6 : Algoritme penatalaksanaan awal cedera otak berat. (Dikutip dengan seijin dari Valadka AB,

Narayan RK: Emergency room management of the head injured patient, in Narayan RK, Wilberger JE,

Povlishock JT (eds): Neurotrauma. New York, Mc Graw-Hill, 1996)

TERAPI MEDIKAMENTOSA UNTUK CEDERA KEPALA

Tujuan utama protokol perawatan intensif adalah mencegah terjadinya kerusakan sekunder otak

yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk

pemulihan, maka diharapkan sel tersebut dapat pulih dan kembali ke fungsi normal. Terapi

medikamentosa antara lain cairan intravena, hiperventilasi, manitol, furosemid, steroid, barbiturate dan

antikejang.

CAIRAN INTRAVENA

Cairan intravena harus diberikan sesuai kebutuhan untuk resusitasi dan mempertahanakan

normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu juga diperhatikan

untuk tidak memberikan cairan berlebihan. Jangan diberikan cairan hipotonik. Juga, penggunaan cairan

yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang

cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan Ringer Laktat atau garam

fisiologis. Kadar natrium serum perlu dimonitor pada pasien dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia

sangat berkaitan dengan endema otak sehingga harus dicegah.

HIPERVENTILASI

Untuk sebagian besar pasien, keadaan normokarbia lebih diinginkan. Perlakuan hiperventilasi

yang agresif dan lama akan menurunkan kadar PaCO2 yang menyebabkan vasokonstriksi berat pembuluh

darah serebral sehingga menimbulkan gangguan perfusi otak. Hal ini terjadi terutama bila PaCO2

dibiarkan turun sampai di bawah 30 mm Hg (4,0 kPa)

Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya dalam batas waktu tertentu.

Umumnya, PaCO2 dipertahankan pada 35 mmH. Hiperventilasi dalam waktu singkat (PaCO2 antara 25-30

Definisi : pasien tidak mampu melakukan perintah sederhana karena kesadaran yang menurun (GCS 3-8)

Pemeriksaan dan penatalaksanaan

ABCDE

Primary Survey dan resusitasi

Secondary Survey dan riwayat AMPLE

Rujuk ke rumah sakit dengan fasilitas Bedah Saraf

Reevaluasi neurologis : GCS

Respon buka mata

Respon motorik

Respon verbal

Refleks cahaya pupil

Obat-obatan (diberikan setelah konsultasi dengan bedah saraf)

Manitol

Hiperventilasi sedang (PCO2 < 35 mm Hg)

Antikonvulsan

CT Scan

Page 10: Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural

National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 102 Banda Aceh 16 – 17 September 2017

mm Hg) dapat dilakukan jika diperlukan pada keadaan perburukan neurologis akut, sementara

pengobatan lainnya baru dimulai. Hiperventilasi akan mengurangi tekanan intrakranial pada pasien

dengan perburukan neurologis akibat hematoma intrakranial yang membesar, sampai operasi kraniotomi

emergensi dapat dilakukan.

ANTIKONVULSAN

Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup

dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi: (1) Kejang

awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) Perdarahan Intrakranial, atau (3) Fraktur depresi. Penelitian

tersamar ganda / double blind menunjukkan bahwa fenitoin sebagai profilaksis bermanfaat untuk

menurunkan angka insidensi kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak setelahnya. Fenitoin atau

fosfenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang

diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis

pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar terapetik serum. Pada pasien

dengan kejang berkepanjangan, diazepam atau lorazepam digunakan sebagai tambahan selain fenitoin

sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang yang terus menerus kadang memerlukan anestesi umum.

Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30

sampai 60 menit) dapat menyebabkan cedera otak.

MANITOL

Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat. Sediaan yang

tersedia cairan manitol dengan konsentrasi 20% (20 gram setiap 100 ml larutan). Dosis yang diberikan

0.25 – 1 g/kg BB diberikan secara bolus intravena. Manitol jangan diberikan pada pasien yang hipotensi,

karena manitol tidak mengurangi tekanan intrakranial pada kondisi hipovolemik dan manitol merupakan

diuretic osmotic yang potensial. Adanya perburukan neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi

pupil, hemiparesis maupun kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi merupakan indikasi kuat

untuk diberikan manitol. Pada keadaan tersebut pemberian bolus manitol (1 g/kgBB) harus diberikan

secara cepat (dalam waktu lebih dari 5 menit) dan pasien segera di bawa ke CT scan ataupun langsung ke

kamar operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui.

Page 11: Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural

National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 103 Banda Aceh 16 – 17 September 2017

DAFTAR PUSTAKA

1. Advanced Trauma Life Support (ATLS), Student Course Manual, American College of Surgeons,

Committee on Trauma, 2008.

2. Greenberg, MS, Handbook of Neurosurgery, Sixth Edition, Thieme, 2006.

3. Reilly PL, Bullock R, Head Injury : Pathophysiology and Management, second edition, Hodder

Arnold, 2005.