View
5
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI DAN
WANPRESTASI
2.1 Pengertian dan Asas-asas yang berlaku dalam suatu Perjanjian
2.1.1 Pengertian Perjanjian
Dalam dunia bisnis atau yang dijalankan dalam berbagai bentuk bisnis,
baik untuk menjaga hubungan bisnis, maupun dalam memilih bentuk penyelesaian
sengketa bisnis, perjanjian menjadi pegangan dan tolok ukurnya. Oleh karena itu,
dalam membuat perjanjian untuk menjaga dan menyelesaikan sengketa haruslah
didasarkan kepada ketentuan-ketentuan hukum, khususnya hukum perjanjian yang
diatur dalam Buku ke III KUHPerdata, untuk menghindari tejadinya penyelesaian
di dalam masalah hukum yang terkadang dapat melahirkan masalah hukum baru.1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan
tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing
bersepakat akan mentaati apa yang terkandung dalam persetujuan itu.”2
Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang
dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat
untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”3
Menurut Subekti, mengatakan bahwa, perjanjian adalah suatu peristiwa
1 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2003, Implementasi Ketentuan-ketentuan Hukum Perjanjian ke dalam Perancangan Kontrak, h. 27
2 Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar lkthasar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, hal. 458.
3 Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Jakarta, Rincka Cipta, hal. 36
dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang tersebut saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal yang menimbulkan suatu perikatan
antara dua pihak yang membuatnya.4 Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian
adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam
mana suatu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak
melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.5
Menurut ketentuan pasal 1313 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih lainnya.” Ketentuan pasal ini sebenarnya kurang begitu
memuaskan karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut
adalah seperti diuraikan berikut ini:
a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan "satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orangn atau lebih
lainnya". Kata keda "mengikatkan" sifatnya hanya datang dari satu pihak
saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu "saling
mengikatkan diri", selagi aria konsensus antara pihak-pihak.
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian
"perbuatan" termasuk juga tindakan melak sanakan togas tanpa kuasa
(zaakwaameming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang
tidak mengandung suatu konsensus seharusnya dipakai kata "persetujuan".
c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal
tersebut di atas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan
4 Subekti, 1996, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, h. 12 5 Wirjono Prodjodikoro, 1991, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
Sumur, Bandung, h. 7
perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.
Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur
dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh
buku ke III KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat
kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan
tujuan mengadakan pedanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu
tidak jelas untuk apa.6
Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas, maka perlu
dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Berdasarkan
alasan-alasan tersebut, maka "perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana
dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam
lapangan harta kekayaan." Hukum ari istilah inggris "yang mengatur tentang
perjanjian itu disebut hukum perjanjian (law of contract). Perumusan ini erat
hubungannya dengan pembicaraan tentang syarat-syarat perjanjian yang diatur
dalam pasal 1320 KUHPerdata yang akan dibicarakan kemudian.
Suatu perikatan lahir karena undang-undang maupun karena kontrak atau
perjanjian. Karena itu sebenamya kontrak merupakan salah satu sumber dari
perikatan. Dalam tampilannya yang klasik, untuk istilah kontrak ini sering disebut
"perjanjian" sebagai terjemahan dari "agreement" dalam bahasa inggris atau
“overeenkomst” dalam bahasa Belanda. Di samping itu ada juga istilah yang
sepadan dengan istilah kontrak yaitu istilah "transaksi" yang merupakan
6 Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung, h. 77-79
terjemahan dari istilah inggris "transaction". Namun demikian, istilah kontrak
"contract" adalah yang paling modem, paling luas dan paling lazim digunakan
termasuk pemakaiannya dalam dunia bisnis. Dan hukum yang mengatur tentang
kontrak itu disebut dengan ”hukum kontrak”.
Selanjutnya ada juga yang memberikan pengertian, kontrak sebagai suatu
perjanjian atau serangkaian perjanjian dimana, hukum memberikan ganti rugi
terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh hukum, pelaksanaan dari
kontrak tersebut dianggap merupakan suatu tugas yang harus dilaksanakan.7
Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek
yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta, kekayaan, dimana subjek
hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga, subjek hukum yang lain
berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah
disepakatinya.8
2.1.2 Asas-asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian, dikenal beberapa, asas penting terhadap suatu
perjanjian, yaitu sebagai berikut :
1. Asas kontrak sebagai hukum mengatur
Hukum mengatur (aanvullen recht, optional law) adalah peraturan-
peraturan hukum yang berlaku bagi subjek hukum, misalnya para pihak dalam
7 Munir Fuady, 2008, Pengantar Hukum Bisnis, menata bisnis modem di era global. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.9-10
8 Salim MS, Hukum Kontrak, 2008, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, h. 27.
suatu kontrak. Akan tetapi, ketentuan hukum seperti ini tidak mutlak berlakunya,
karena jika para pihak mengatur sebaliknya, maka yang berlaku adalah apa yang
diatur oleh para pihak tersebut. Jadi, peraturan yang bersifat hukum mengatur
dapat disampingi oleh para pihak. Pada prinsipnya hukum kontrak tersebut ke
dalam kategori hukum mengatur, yakni sebagian besar (meskipun tidak
selundinya) dari hukum kontrak atau perjanjian tersebut dapat disampingi oleh
para pihak dengan mengaturnya sendiri. Karena itu, hukum perjanjian ini disebut
sebagai hukum yang mempunyai sistem terbuka (open system). Sebagai lawan
dari hukum mengatur adalah apa yang dimaksud dengan "hukum memkasa"
(dwingend recht, mandatory law).
Dalam hal ini yang dimaksudkan oleh hukum memaksa adalah aturan
hukum yang berlaku secara memaksa, atau mutlak, dalam arti tidak dapat
disampingi oleh para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) ini merupakan
konsekuensi dari berlakunya asas kontrak sebagai hukum mengatur. Dalam hal ini
yang dimaksudkan dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang
mengajarkan bahwa para pihak dalam suatu kontrak pada prinsipnya bebas untuk
membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasannya untuk
mengatur sendiri isi kontrak tersebut, bebas menentukan bentuk, macam dan isi
perjanjian, sepanjang tetap memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh rambu-rambu hukum sebagai
berikut:
a. Harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
b. Tidak dilarang oleh undang-undang
c. Tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
d. Harus dilaksanakan dengan itikad baik.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Istilah "pacta sunt servanda" berarti "janji itu mengikat". Yang dimaksudkan
adalah bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para
pihak tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut. Istilah terkenalnya adalah
"my word is my bonds" atau sesuai dengan tampilan bahasa Indonesia bahwa jika
sapi dipegang talinya, jika manusia dipegang mulutnya". Mengikatnya secara
penuh atas kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut oleh hukum kekuatannya
dianggap sama saja dengan kekuatan mengikat dari suatu undang-undang. Karena
itu apabila suatu pihak dalam kontrak tidak menuruti kontrak yang telah dibuatnya,
oleh hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksanaan kontrak secara paksa.
4. Asas Konsensual
Yang dimaksud dengan asas konsensual dari suatu kontrak adalah bahwa jika
suatu kontrak telah dibuat, maka dia telah sah dan mengikat secara penuh, bahkan
pada prinsipnya persyaratan tertulis pun tidak disyaratkan oleh hukum, kecuali
untuk beberapa jenis kontrak tertentu, yang memang dipersyaratkan syarat tertulis.
Syarat tertulis tersebut misalnya dipersyaratkan untuk jenis kontrak berikut ini :
a. Kontrak perdamaian
b. Kontrak pertanggungan
c. Kontrak penghibahan
d. Kontrak jual beli tanah
5. Asas Obligator
Asas obligator adalah asas yang menentukan bahwa jika suatu kontrak telah
dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatannya itu hanya sebatas
timbulnya hak dan kewajiban semata-mata. Sedangkan prestasi belum dapat
dipaksakan karena kontrak kebendaan (zakelijke overeenkomst) belum terjadi. Jadi,
jika terhadap kontrak jual beli misalnya, maka dengan kontrak saja, hak milik
belum berpindah, jadi baru terjadi kontrak obligator saja. Hak milik baru
berpindah setelah adanya kontrak kebendaan tersebut atau yang sering disebut
juga dengan serah terima. Kontrak hukum Indonesia memberlakukan asas,
obligator ini karena hukum kontrak Indonesia berdasarkan pada Kitab Undang--
undang Hukum Perdata. Sungguh pun hukum adat tentang kontrak tidak
mengakui asas obligator karena hukum adat memberlakukan asas kontrak riil.
Artinya, suatu kontrak haruslah dibuat secara riil, dalam hal ini harus dibuat
secara "terang" dan "tunai". Dalam hal ini kontrak haruslah dilakukan di depan
pejabat tertentu, misalnya di depan penghulu adat atau ketua adat, yang sekaligus
juga dilakukan leveringnya. Jika hanya sekadar janji-janji saja, seperti dalam
sistem obligator, dalam hukum adat kontrak seperti itu tidak punya kekuatan sama
sekali.
6. Asas Kepribadian
Asas ini mempunyai arti, bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para
pihak pembuatnya. Menurut Pasal 1315 Burgerlijk Wetboek pada umumnya tidak
seorangpun dapat mengikatkan dirinya atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri.
Unsur-unsur di dalam suatu perjanjian yang terdiri dari :
1. Essentialia adalah unsur-unsur pokok di dalam suatu persetujuan yang
mutlak harus ada, dan tanpa itu persetujuan tidak mungkin ada.
2. Naturalia adalah Unsur naturalia merupakan unsur yang dianggap telah
ada dalam perjanjian sekalipun para pihak tidak menentukan secara tegas
dalam perjanjian, seperti itikad baik para pihak dalam melaksanakan isi
perjanjian dimana undang-undang yang menentukan sebagai ketentuan
yang bersifat mengatur.
3. Accidentalia adalah unsur tambahan dalam persetujuan, dan undang-
undang tidak mengaturnya.9
2.2 Macam-macam Perjanjian
Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji
kepada seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, menurut
Subekti, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu :
1. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, misalnya :
a) Perjanjian jual-beli
Suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual)
berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak
yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas
sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Sedangkan
9 Munir Fuady, op. cit, h. 11
dilihat dalam Pengaturan tentang jual beli sebagai perjanjian di dapat pada
Bab kelima yang pada pasal 1457 KUHPerdata diartikan sebagai suatu
persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirimya untuk
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yan telah
dijanjikan.
b) Perjanjian Tukar-menukar
Dalam Pasal 1541 KUHPerdata menyatakan bahwa tukar menukar ialah
suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk
saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya barang
lain. Sebagaimana dengan perjanjian jual beli, perjanjian ini juga bersifat
konsensual dan sudah mengikat pada saat tercapainya kata sepakat di antara para
pihak. Dan juga bersifat obligator, dalam arti ia belum memindahkan hak milik,
tetapi baru sebatas memberikan hak dan kewajiban.
Pada saat terjadinya levering lah baru secara yuridis, hak milik berpindah.
Objek tukar menukar dalam KUHPerdata adalah semua yang dapat diperjual
belikan, maka dapat menjadi objek tukar menukar. Terhadap hal ini juga dalam
KUHPerdata menyatakan bahwa semua pengaturan jual beli juga berlaku untuk
perjanjian tukar menukar. Lebih lanjut, ketentuan pasal 1545 KUHPerdata
mengatur tentang resiko yang berbunyi : “Jika suatu barang tertentu yang telah
dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka persetujuan
dianggap sebagai gugur dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi
persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar
menukar”.
c) Perjanjian Sewa-menyewa
Ketentuan KUHPerdata yang mengatur tentang sewa menyewa dapat
dilihat pada pasal 1548 yang berbunyi : “sewa menyewa adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada
yang lain kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan
pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi
pembayarannya”.
Sebagaimana halnya dengan perjanjian lainnya, sewa menyewa adalah
perjanjian konsensual yang artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik
tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya yaitu barang dan harga.
Penyerahan barang untuk dapat dinikmati oleh pihak penyewa diberikan oleh
yang menyewakan, dengan mana kewajiban penyewa adalah untuk membayar
harga. Penyerahan barang hanyalah untuk dipakai dan dinikmati.
d) Perjanjian Hibah (pemberian)
Suatu perjanjian dengan mana si penghibah (pemberi hibah) pada masa
hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan
sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan
tersebut. Pengaturan atas hibah didapat pada pasal 1666 sampai dengan pasal
1693 KUHPerdata. Menelaah dari pengertian tersebut di atas, dapat diketahui
bahwa perjanjian adalah bersifat sepihak, dikarenakan dalam perjanjian ini pihak
penerima hibah tidak perlu memberikan kontraprestasi sebagai imbalan kepada
pihak pengibah. Hibah sebagaimana perjanjian lainnya adalah bersifat obligator,
penyerahan hak milik baru akan terjadi jika telah terlaksananya “levering”, yang
untuk barang tetap dilakukan melalui akta notaris sedangkan untuk barang
bergerak tidak diperlukan formalitas ini, namun demi kepentingan para pihak
sangatlah dianjurkan melalui akta notaris, terutama jika bendanya bernilai tinggi.
Dan penting juga untuk memperhatikan bahwa dalam pelaksanaannya perjanjian
hibah tetap harus memperhatikan ketentuan serta tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
e) Perjanjian Pinjam Pakai
Perjanjian pinjam pakai adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan cuma-
cuma dengan syarat bahwa yang menerima barang ini setelah memakai atau
setelah lewat waktu tertentu akan mengembalikannya. Pengaturan dalam hal ini
terdapatm pada pasal 1794 KUHPerdata. Perjanjian pinjam pakai mensyaratkan
pihak yang meminjam pakai untuk mengembalikan barangnya dan
memperlakukan barangnya sebagaimana bapak rumah yang baik dan terhadap
objeknya ditentukan adalah setiap barang yang dapat dipakai oleh orang dan
mempunyai sifat tidak musnah karena pemakaian.
2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu adalah perjanjian untuk membuat sesuatu
lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membikin sebuah garansi dll
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya : perjanjian untuk tidak
mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang
sejenis dengan kepunyaan seorang lain dll.10
Apabila di lihat menurut Burgerlijk Wetboek dikenal beberapa macam-
macam perjanjian diantaranya yaitu :
10 Subekti, 1994, Hukum Perjanjian, bagian hukum dari buku Pokok-pokok Hukum
Perdata, cetakan X, PT. Intermasa, Jakarta, h. 36
1) Perjanjian timbal balik (bilateral contract)
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan
kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian ini sering kita alami dalam
kehidupan bermasyarakat, seperti perjanjian yang disebutkan oleh Subekti di atas
yaitu perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian tukar-menukar,
dan sebagainya.
2) Perjanjian sepihak
Perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada
pihak lainnya, missal perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban
menyerahkan benda yang menjadi obyek perikatan, dan pihak lainnya berhak
menerima benda yang diberikan itu.
3) Perjanjian cuma-cuma
Berdasarkan Pasal 1314 ayat (1) dijelaskan bahwa suatu persetujuan dibuat
dengan cuma-cuma atau atas beban dan pada ayat (2) dijelaskan bahwa suatu
persetujuan dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang
satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima manfaat
bagi dirinya sendiri misal perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.
4) Perjanjian Atas Beban
Berdasarkan Pasal 1314 ayat (3) Burgerlijk Wetboek disebutkan bahwa
suatu perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-
masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
artinya bahwa dalam perjanjian atas beban terhadap prestasi pihak yng satu selalu
terdapat kontra prestasi dari pihak yang lain.
5) Perjanjian Bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang
dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas,
misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pertanggungan.
6) Perjanjian Tidak Bernama
Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur dalam
KUHPerdata dan terdapat di dalam masyarakat dan tetapi jumlah perjanjian ini
disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti
perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran dan perjanjian pengelolaan. Lahirnya
perjanjian ini berdasarkan asas kebebasan berkontrak.
7) Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat,
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.
Menurut KUHPerdat perjanjian jual beli saja tidak mengakibatkan beralihnya hak
milik atas suatu benda dari penjual kepada pembeli. Fase ini baru merupakan
kesepakatan (konsensual) dan harus diikuti dengan perjanjian penyerahan
(perjanjian kebendaan).
8) Perjanjian Kebendaan (Zakelijk)
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang
menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain, yang membebankan
kewajiban (oblige) pihak itu menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain
(levering, transfer). Penyerahannya itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan.
Dalam hal perjanjian jual beli benda tetap, maka perjanjian jual belinya
disebutkan pula perjanjian jual beli sementara (voorlopig koopcontract). Untuk
perjanjian jual beli benda-benda bergerak maka perjanjian obligatoir dan
perjanjian kebendaannya jatuh bersamaan.
9) Perjanjian Konsensual adalah persesuaian kehendak untuk mengadakan
perikatan dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai kesepakatan.
Menurut Burgerlijk Wetboek perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan
mengikat ( vide Pasal 1338 Burgerlijk Wetboek).
10) Perjanjian Riil
Didalam Burgerlijk Wetboek ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya
berlaku sesudah terjadi penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan barang
(vide Pasal 1694 Burgerlijk Wetboek), pinjam pakai (vide Pasal 1740 Burgerlijk
Wetboek).
11) Perjanjian Liberatoir ialah Perjanjian dimana para pihak membebaskan
diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang (kwijtschelding)
Pasal 1438 Burgerlijk Wetboek.
12) Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomst) ialah Perjanjian dimana para
pihak menentukan pembuktian mana yang berlaku diantara mereka.
13) Perjanjian Untung-untungan ialah Perjanjian yang objeknya ditentukan
kemudian, misalnya perjanjian asuransi Pasal 1774 Burgerlijk Wetboek.
14) Perjanjian Publik yaitu keluruhan perjanjian atau sebagian perjanjian yang
dikuasai oleh hukum publik, dimana salah satu pihak yang bertindak
adalah pemerintah dan pihak lainnya swasta. Keduanya terdapat hubungan
atasan dengan bawahan, (Subordinated) dan tidak berada dalam
kedudukan yang sama (Co-ordinated), misalnya perjanjian ikatan dinas.
15) Perjanjian Campuran (Contractus Sui Generis) yaitu Perjanjian campuran
ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, perjanjian
campuran itu ada berbagai paham, yaitu paham pertama mengatakan
bahwa perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur
dari perjanjian khusus tetap ada (contractus kombinasi), dan paham kedua
mengatakan ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan
dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).
2.3 Sahnya Perjanjian dan akibat hukum dari perjanjian yang sah
2.3.1 Sahnya Perjanjian
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mengatakan bahwa
semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya, sehingga isi diakui oleh hukum (legall concluded
contract).
Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, syarat-syarat sahnya perjanjian
adalah :
1) Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat
perjanjian (consensus)
Yang dimaksud dengan persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia
sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu. Pokok
perjanjian itu berupa obyek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.11 Dalam
kesepakatan, dapat ditandai oleh penawaran dan penerimaan dengan cara :
a) Tertulis
Kesepakatan dengan cara tertulis, dapat dilakukan dengan akta otentik
ataupun akta di bawah tangan. Perbedaan khas dari akta otentik dengan akta
dibawah tangan terletak dalam beban pembuktiannya sebagaimana diatur dalam
pasal 1856 KUHPerdata, 163 HIR (asas Actori incubit probatio), yaitu: apabila
akta otentik dibantah kebenarannya oleh pihak lawan, maka pihak lawan harus
membuktikan kepalsuan dari akta itu; apabila akta dibawah tangan dibantah oleh
pihak lawan, maka yang mengajukan akta di bawah tangan sebagai bukti harus
membuktikan keaslian dari akta di bawah tangan tersebut. Oleh karena itu,
pembuktian akta otentik disebut pembuktian kepalsuan sedangkan pembuktian
akta di bawah tangan adalah pembuktian keaslian.
b) Lisan
Kesepakatan secara lisan banyak terjadi dalam pergaulan masyarakat
sederhana, serta merta, sering tidak disadari namun sudah terjadi kesepakatan,
misalnya dalam kegiatan berbelanja di toko, di pasar-pasar untuk kebutuhan
sehari-hari. Kesepakatan lisan menjadi selesai dengan dilakukan penyerahan dan
penerimaan suatu barang.
11 Abdulkadir Muhammad, op. cit, h.88
c) Secara diam-diam
Kesepakatan secara diam-diam, misalnya dalam berbelanja di swalayan,
mengambil barang, menyerahkan kepada kasir dan membayar harganya, naik
angkutan umum, membayar biaya sebagaimana biasanya, memarkir kendaraan,
membayar biaya parkir sesuai tarifnya, duduk di ruang makan, memesan makanan
selesai makan lalu membayar harganya, sesuai harga pemesan makanan tadi.
d) Simbol-simbol tertentu
Kesepakatan menggunakan simbol juga sering terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, misal dalam membeli rokok hanya dengan menempel dua jari dimulut,
dagang rokok membawakan rokok, dengan mengacungkan satu jari tukang bakso
membawakan satu mangkok bakso, dll.12
Dengan demikian kesepakatan atau persetujuan ini tidak lagi dalam proses
perundingan. Persetujuan kehendak ini, bersifat bebas artinya betul-betul atas
kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan (dwang) sama sekali dari pihak
manapun. Dalam arti persetujuan kehendak ini juga tidak ada kehilafan (dwaling)
dan tidak ada penipuan (bedrog) (pasal 1321, 1322, dan 1328 KUHPerdata).
Dikatakan persetujuan ini tidak ada paksaan, apabila orang melakukan perbuatan
itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun
dengan upaya yang bersifat menakut-nakuti, misalnya akan membuka rahasia
sehingga dengan demikian orang itu terpaksa menyetujui perjanjian itu (pasal
1324 KUHPerdata).
Dikatakan tidak ada kehilafan atau kekeliruan atau kesesatan, apabila salah
satu pihak tidak hilaf tentang hal yang pokok yang dipedanjikan atau tentang sifat-
12 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, h.51
sifat penting barang yang menjadi obyek perjanjian atau mengenai orang dengan
siapa diadakan perjanjian itu. Kehilafan itu harus sedemikan rupa sehingga
seandainya orang itu tidak hilaf mengenai hal itu, ia tidak akan menyetujuinya.
Dan dikatakan tidak ada penipuan, apabila tidak ada tindakan menipu menurut arti
undang-undang (pasal 378 KUHP), ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
dengan memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak
lawannya supaya menyetujui (pasal 1328 KUHPerdata).
Akibat hukum tidak ada persetujuan kehendak (karena paksaan, kehilafan,
penipuan) ialah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya kepada
hakim (voidable). Menurut ketentuan pasal 1454 KUHPerdata, pembatalan dapat
dimintakan dalam tenggang waktu lima tahun; dalam hal ada paksaan dihitung
sejak hari paksaan itu berhenti; dalam hal ada kehilafan dan penipuan dihitung
sejak dari diketahuinya keholafan dan penipuan itu.
2) Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity)
Pada umumnya orang itu dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum,
apabila ia sudah dewasa, berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa orang yang telah dewasa adalah
telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah. Kemudian orang yang
dinyatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal ini membuat
perjanjian ialah orang yang sehat akal pikiran yaitu orang yang tidak dungu atau
tidak memiliki keterbelakangan mental, tidak sakit jiwa atau gila dan juga bukan
orang yang pemboros (Pasal 433 KUHPerdata). Selain itu orang yang cakap untuk
melakukan perbuatan hukum seperti membuat perjanjian adalah orang yang tidak
dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan perbuatan
hukum tertentu, seperti orang yang sedang pailit dilarang untuk mengadakan
perjanjian utang-piutang.
Menurut ketentuan pasal 1330 KUHPerdata, dikatakan tidak cakap
membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah
pengampuan, dan wanita bersuami. Mereka ini apabila melakukan perbuatan
hukum harus diwakili oleh wali mereka dan bagi istri ada izin suaminya. Menurut
hukum nasional Indonesia sekarang, wanita bersuami sudah dinyatakan cakap
melakukan hukum, jadi tidak perlu lagi izin suaminya. Perbuatan hukum yang
dilakukan istri itu sah menurut hukum dan tidak dapat dimintakan pembatalan
kepada hakim. Selain kecakapan, ada lagi yang disebut kewenangan membuat
perjanjian. Dikatakan ada kewenangan, apabila ia mendapat kuasa dan pihak
ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, dalam hal membuat perjanjian.
Dikatakan tidak ada kewenangan, apabila tidak mendapat kuasa untuk itu.
Akibat hukum ketidakcakapan atau ketidakwenangan membuat perjanjian
ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya
kepada hakim (voidable). Jika pembatalan itu tidak dimintakan oleh pihak yang
berkepentingan maka perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak.
3) Ada suatu hal tertentu (a certain subject matter)
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang
perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, yang merupakan obyek perjanjian. Prestasi
itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang
diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya. Berdasarkan Pasal 1234
KUHPerdata, prestasi terdiri dari memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak
berbuat sesuatu. Syarat-syarat objek suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1333
KUHPerdata dimana suatu perjanjian harus :
a. Diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.
b. Tertentu atau dapat ditentukan, artinya prestasi tersebut harus dapat
ditentukan dengan jelas mengenai jenis maupun jumlahnya, atau setidak-
tidaknya dapat diperhatikan.
c. Mungkin dilakukan, artinya prestasi tersebut harus mungkin dilakukan
menurut kemampuan manusia pada umumnya dan kemampuan debitur
pada khususnya. Jumlah boleh tidak disebutkan asal dapat dijelaskan
tentang kualitasnya, misalnya apa bila dihitung atau ditetapkan. Misalnya
perjanjian jual beli beras untuk harga. Rp.8.750, dianggap tidak jelas,
sebab tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang kualitas maupun
kuantitasnya sehingga perjanjian itu dinyatakan tidak sah. Sebaliknya,
apabila dijelaskan tentang kualitasnya, misalnya beras Talangpadang hasil
panen tahun 1981 (beras baru), perjanjian itu sah, walaupun jumlahnya
tidak ditentukan karena, jumlah itu dapat ditentukan berdasarkan
perhitungan. Syarat bahwa prestasi itu harus ditentukan, gunanya ialah
untuk menetapkan hak dan kew ajiban kedua belah pihak, jika, timbal
perselisihan dalam pelaksanaan pedanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga
perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek
pedanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi
hukum (voidnietig).
4) Ada suatu sebab yang halal (legal cause)
Kata "causa" berasal dari bahasa, Latin artinya. "sebab". Sebab adalah
suatu yang menyebabkan orang membuat pedanjian, yang mendorong orang
membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam pasal
1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang
mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti "isi perjanjian
itu sendiri", yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.
Karena undang-undang sangat memperhatikan atau yang diawasi oleh undang-
undang itu adalah "isi perjanjian itu", apakah dilarang oleh undang-undang atau
tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.
Misalnya dalam perjanjian jual beli, isi perjanjian ialah pihak yang satu
menghendaki hak milik atas barang, dan pihak lainnya menghendaki sejumlah
uang, tujuannya ialah hak milik berpindah dan sejumlah uang diserahkan. Dalam
perjanjian sewa-menyewa, isi perjanjian ialah hak milik berpindah dan sejumalah
uang diserahkan. Dalam sewa-menyewa, isi perjanjian ialah pihak yang satu
menginginkan kenikmatan atas suatu barang, sedangkan pihak lainnya
menghendaki sejumlah uang, tujuannya ialah penguasaan barang itu diserahkan
dan sejumlah uang dibayar. Dalam contoh-contoh ini causa atau sebab itu halal.
Menurut undang-undang, causa atau sebab itu halal apabila tidak
dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan
kesusilaan (pasal 1337 KUHPerdata). Perjanjian yang berisi causa atau sebab
yang tidak halal, tidak diperbolehkan Akibat hukum perjanjian yang berisi causa
yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum (void, nietig).
Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka
hakim, karena sejak semula dianggap tidak pemah ada perjanjian. Demikian juga
apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa atau sebab, ia dianggap tidak pernah
ada (pasal 1335 KUHPerdata).
Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang memenuhi syarat menurut
undang-undang, diakui oleh hukum. Sebaliknya, perjanjian yang tidak memenuhi
syarat tidak akan diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Karena itu selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian
yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat, perjanjian itu berlaku antara
mereka. Apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya lagi,
maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.13
2.3.2 Akibat hukum dari suatu perjanjian yang sah
Menurut ketentuan pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat secara
sah, yaitu memenuhi syarat-syarat pasal 1320 KUHPerdata berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa
persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menuntut
undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
a. Berlaku sebagai undang-undang
Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya
pihak-pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang.
Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan
melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi-
hukum. Jadi, barang siapa yang melanggar perjanjian, ia akan mendapat hukuman
13 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 88-96
seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Dalam perkara
perdata, hukuman bagi pelanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan
undang-undang atas permintaan pihak lamanya. Menurut undang-undang, pihak
yang melanggar perjanjian itu diharuskan membayar ganti kerugian (pasal 1243
KUHPerdata), perjanjiannya dapat diputuskan (ontbinding, pasal 1266
KUHPerdata), menanggung beban resiko (pasal 1237 ayat 2), membayar biaya
perkara itu jika sampai diperkarakan di muka hakim.
b. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak perjanjian
tersebut tidak boleh ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin
menarik kembali atau membatalkan itu harus memperoleh persetujuan pihak
lainnya, jadi diperjanjikan lagi. Namun demikian, apabila ada alasan-alasan yang
cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan
secara sepihak.
Alasan-alasan yang diberikan oleh undang-undang itu dapat diketahui
dalam pasal-pasal undang-undang seperti berikut ini:
(a) Perjanjian yang bersifat terus menerus, berlakunya itu dapat dihentikan
secara sepihak. Misalnya pasal 1571 KUHPerdata tentang sewa-menyewa
yang dibuat secara tidak tertulis dapat dihentikan dengan memberitahukan
kepada penyewa.
(b) Perjanjian sewa suatu rumah pasal 1587 KUHPerdata setelah berakhir
waktu sewa seperti ditentukan dalam perjanjian tertulis, penyewa tetap
menguasai rumah tersebut tanpa ada teguran dari pemilik yang
menyewakan, maka penyewa dianggap tetap meneruskan penguasaan
rumah itu atas dasar sewa-menyewa dengan syarat-syarat yang sama untuk
waktu yang ditentukan menurut kebiasaan setempat. Jika pemilik
menghentikan sewa-menyewa tersebut, ia harus memberitahukan kepada
penyewa menurut kebiasaan setempat.
(c) Perjanjian pemberian kuasa (lastgeving) pasal 1814 KUHPerdata, pemberi
kuasa dapat menarik kembali kuasanya, apabila ia menghendakinya.
(d) Perjanjian pemberian kuasa (lastgeving) pasal 1817 KUHPerdata,
penerima kuasa dapat membebaskan diri dari kuasa yang diterimanya
dengan memberitahukan kepada pemberi kuasa.
c. Pelaksanaan dengan itikad baik
Istilah "itikad baik" (in good faith, to goeder trouw) ada dua macam yaitu
sebagai unsur subyektif, dan sebagai ukuran obyektif untuk menilai pelaksanaan.
Dalam hukum benda, istilah itikad baik berarti "kejujuran" atau "kebersihan".
Dalam pasal 531 KUHPerdata ditentukan bahwa yang menguasai bends itu
beritikad baik apabila menguasainya dengan cara memperoleh hak milik, tanpa
mengetahui cacat yang terkandung di dalamnya. Dalam pasal 533 KUHPerdata
ditentukan bahwa itikad baik selamanya harus dianggap ada pada setiap orang
yang menguasai benda, barang siapa meragukannya harus membuktikan
tuduhannya itu. Salah satu cara memperoleh hak milik itu ialah jual beli. Pembeli
yang beritikad baik adalah orang yang jujur, bersih, karena ia tidak mengetahui
ada cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, misalnya mengenai asal-usul
barang itu.
Dalam uraian disini itikad baik adalah unsur subyektif Tetapi yang
dimaksudkan dengan itikad baik dalam pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, bukanlah
dalam arti unsur subyektif, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan
dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi, yang
dimaksud dengan itikad baik adalah ukuran obyektif untuk menilai pelaksanaan
perjanjian itu. Artinya pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan di atas rel yang
benar yaitu harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
Kepatutan artinya kepantasan. kelayakan, kesesuaian, kecocokan; sedangkan
kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Dari arti kata ini dapat digambarkan
kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai ”nilai yang patut, pantas, layak,
sesuai, cocok, sopan, dan beradab, sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh
masing-masing pihak yang berjanji”.
Jika terjadi selisih pendapat tentang pelaksanaan dengan itikad baik
(kepatutan dan kesusilaan), hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengawasi dan menilai pelaksanaan, apakah ada pelanggaran terhadap norma-
norma kepatutan dan kesusilaan itu. Ini berarti hakim berwenang untuk
menyimpang dari isi perjanjian menurut kata-katanya, apabila pelaksanaan
menurut kata-kata itu akan bertentangan dengan itikad baik yaitu norma kepatutan
dan kesusilaan itulah yang dipandang adil. Tujuan hukum adalah menciptakan
keadilan.
Keadilan dalam hukum itu menghendaki kepastian, yaitu apa yang
diperjanjikan harus dipenuhi, janji itu mengikat seperti undang-undang (pasal
1338 ayat 1), sedangkan yang harus dipenuhi itu sesuai dengan kepatutan dan
kesusilaan (pasal 1338 ayat 3, asas keadilan). Hakim berwenang mencegah suatu
pelaksanaan perjanjian yang tidak adil, yaitu yang tidak sesuai dengan kepatutan
dan kesusilaan atau dengan itikad jahat (te kwader trouw, in bad faith).
Dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik, perlu diperhatikan juga,
"kebiasaan". Hal ini ditentukan dengan pasal 1339 KUHPerdata : "perjanjian-
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang. "
Dengan demikian, setiap perjanjian dilengkapi dengan aturan-aturan
undang-undang adat kebiasaan di suatu tempat, di samping kepatutan. Atas dasar
pasal ini, kebiasaan juga, ditunjuk sebagai sumber di samping undang-undang,
sehingga kebiasaan itu ikut menentukan hak dan kewajiban pihak-pihak dalam
perjanjian. Namun demikian, adat kebiasaan tidak boleh menyampingkan undang-
undang, apabila ia, menyimpang dari ketentuan undang-undang. Ini berarti bahwa,
undang-undang tetap berlaku (dimenangkan) meskipun sudah ada adat kebiasaan
yang mengatur sesuatu, tetapi normanya itu menyimpang dari norma, undang-
undang. Apabila dalam pelaksanaan perjanjian ditunjuk peraturan undang-undang,
itu harus dibenarkan, tidak boleh disalahkan. Hal ini diakui oleh yurisprudensi
tentang sewa-menyewa rumah.
Dalam yurisprudensi tersebut, pemilik rumah berpegang pada, pasal
1393 KUHPerdata, supaya uang sewa, diantarkan ke rwnahnya (tempat
tinggalnya). Tetapi penyewa berkeras tidak mau mengantarkan kerumah dengan
alasan adat kebiasaan, bahwa sewa ditagih dan diterima, di tempat penghuni
(penyewa).
Setelah uang sewa banyak di tunggak, pemilik rumah menggugat
penyewa ke muka pengadilan. Dalam putusannya pengadilan mengalahkan
penyewa dan mengharuskan membayar sewa tersebut ditambah membayar ongkos
perkara, karena penyewa dinyatakan bersalah.
Pasal 1393 ayat 2 KUHPerdata menentukan bahwa "pembayaran harus
dilakukan di tempat tinggal kreditur selama ia terus-menerus berdiam dalam
daerah dimana dia berdiam sewaktu membuat perjanjian. Dihubungkan dengan
kasus sewa-menyewa rumah di atas, penyewa harus mengantarkan uang sewa
kepada kreditur (pemilik) di tempat kediamannya, walaupun kebiasaan di situ
bahwa pemilik menagih uang sewa ke tempat penyewa.
Dari kasus di atas jelas bahwa undang-undang tetap berlaku, sekalipun
sudah ada adat kebiasaan yang menyimpang dari ketentuan undang-undang.
Dengan kata lain, undang-undang tidak dapat disingkirkan oleh adat kebiasaan
yang menyimpang dari ketentuan undang-undang tersebut.14
2.4 Wanprestasi dalam perjanjian dan Akibat Hukumnya
2.4.1 Wanprestasi dalam perjanjian
Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda
"wanprestatie", artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam
perikatan, baik perikatan yang timbal karena perjanjian maupun perkataan yang
timbul karena undang-undang.15
14 Abdulkadir Muhammad, op. cit, h.96-102 15 Ibid, h.20
Sebelum meninjau wanprestasi ada baiknya terlebih dahulu kita mengenal
yang dimaksud dengan prestasi. Ketika membuat surat perjanjian, pihak-pihak
yang bertemu saling mengungkapkan janjinya masing-masing dan mereka sepakat
untuk mengikatkan diri melaksanakan sesuatu. Pelaksanaan sesuatu itu merupakan
sebuah prestasi, yaitu yang dapat berupa:
1. Menyerahkan suatu barang (penjual menyerahkan barangnya kepada
pembeli dan pembeli menyerahkan uangnya kepada penjual).
2. Berbuat sesuatu (karyawan melaksanakan pekerjaan dan perusahaan
membayar upahnya).
3. Tidak berbuat sesuatu (karyawan tidak bekerja di tempat lain selain di
perusahaan tempatnya sekarang bekerja).
Jika debitur tidak melaksanakan prestasi-prestasi tersebut yang merupakan
kewajibannya, maka perjanjian itu dapat dikatakan cacat atau katakanlah prestasi
yang buruk. Wanprestasi merupakan suatu prestasi yang buruk, yaitu para pihak
tidak melaksanakan kewajibannya sesuai isi perjanjian. Wanpestasi dapat terjadi
baik karena kelalaian maupun kesengajaan.16
Menurut J Satrio: "Wanprestasi adalah Suatu keadaan di mana debitur
tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan
kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya".17
Sedangkan Menurut Yahya Harahap: "Wanprestasi sebagai pelaksanaan
kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut
selayaknya, sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk
16 Nasrun Haroen, 2000, Perjanjian Jual beli, Filth Muamalah, Jakarta, Gaya Media Pratama,
cetakan I, h. 120-122
17J.Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 4
membenkan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya
wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan
perjanjian.
Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada dua kemungkinan alasannya yaitu :
(a) Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena
kelalaian.
(b) karena keadaan memaksa (force majeure), jadi di luar kemampuan debitur,
debitur tidak bersalah.18
Untuk menentukan apakah seorang debitur itu bersalah melakukan
wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana seorang debitur itu
dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan yaitu:
(a) Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali artinya debitur tidak
memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam
suatu perjanjian, atau tidak memnuhi kewajiban yang ditetapkan undang-
undang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang.
(b) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru. Disni debitur
melaksanakan atau memenuhi apa yang dipedanjikan atau apa yang
ditentukan oleh undang-undang, tetapi tidak sebagaimana mestinya
menurut kualitas yang ditentukan dalam perjanjian atau menurut kualitas
yang ditetapkan undang-undang.
(c) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya. Disini debitur
memenuhi prestasi tetapi terlambat. Waktu yang ditetapkan dalam
18 M. Yahya Harahap, 1996, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, h.32
perjanjian tidak terpenuhi.19
Cara memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasinya apabila
tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan dalam
perjanjian, dalam hal ini debitur perlu diperingatkan secara tertulis, dengan surat
perintah atau akta sejenis itu (bevel of soortgelijke) dalam surat perintah atau akta
mana ditentukan bahwa debitur segera pada waktu tertentu yang disebutkan
memenuhi prestasinya; jika tidak dipenuhi, ia telah dinyatakan lalai atau
wanprestasi. Ketentuan pasal ini dapat juga diikuti oleh perikatan untuk berbuat
sesuatu. Namun ada cara lain untuk menghentikan agar debitur dalam menunda-
nunda pemenuhan prestasinya, tidak bertentangan dengan kehendak kreditur,
undang-undang memberikan satu upaya untuk memperingatkan debitur akan
waktu terakhir untuk pemenuhan itu dengan cara fixatie, dan sebagai
pemberitahuan akan ganti rugi, apabila ia tidak memperhatikan jangka waktu
tersebut. Apabila untuk adanya prestasi itu diperhatikan waktu, maka haruslah
diberikan kesempatan untuk memenuhinya. Tentang waktu ini tidaklah perlu
terlalu lama, apabila pihak kreditur tanpa melalaikan atau membiarkan
kepentingannya sendiri dapat mengijinkannya, adalah cukup, apabila untuk
tercapainya prestasi, waktu tersebut telah dipandang cukup.20
Apabila dalam melaksanakan perikatan itu dibutuhkan waktu yang cukup
lama, maka ini berarti, bahwa pihak kreditur harus memberikan waktu yang layak
pula untuk itu. Bahkan pada umumnya pihak debitur adalah bebas untuk
melaksanakan prestasi itu sampai pada saat ia disommer yaitu atas dasar bahwa ia
telah memperoleh kesempatan yang cukup untuk menunaikan kewajibannya itu 19 Abdulkadir Muhammad, op. cit, h. 21
20 Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 1984, Aneka Perjanjian Jual beli, PT Bina Ilmu, h.30
Van Brakel dan Losecaat-vermeer berpendapat, bahwa bilamana jangka waktu
yang diberikan itu terlalu singkat maka sommatie itu kehilangan kemanfaatannya,
tetapi pihak debitur harus sedapat mungkin berusaha untuk memenuhi prestasi itu
tepat pada waktunya, setelah ia menerima sommatie.21
Sommatie adalah surat peringatan tertulis yang resmi dari pengadilan,
biasanya peringatan itu dilakukan oleh seorang jurusita dari pengadilan, yang
membuat proses verbal tentang pekerjaannya itu. Sedangkan peringatan tertulis
hanya melalui surat tercacat, surat kawat, tidak dari pengadilan dan asal saja
jangan sampai dengan dimungkiri oleh si berhutang. Surat peringatan (akta) biasa
yang disampaikan oleh kreditur kepada debitur itu disebut "ingebreke Stelline.22
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan
wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).
Dalam perkembangannya, suatu sommasi atau teguran terhadap debitur
yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk
mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut
ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.23
2.4.2 Akibat Hukum dari Wanprestasi
Bilamana debitur tidak dapat memenuhi atau melaksanakan kewajibannya
dan tidak dapat menyandarkan hal tersebut pada overmacht atau force majeur,
sehingga ia berbuat onrechtmatig, maka terdapat wanprestasi.
21 Ibid, h.31 22 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.22 23 Nindyo Pramono, 2003, Hukum Komersil, Jakarta, Pusat Penerbitan UT, cetakan I, hal. 221
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah
hukuman atau sanksi-sanksi berikut ini:
(i) Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh
kreditur (pasal 1243 KUHPerdata). Ketentuan ini berlaku untuk semua
perikatan.
(ii) Dalam perjanjian timbal batik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak
memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau
memutuskan per anjian lewat hakim (pasal 1266 KUHPerdata).
(iii) Resiko beralih kepada ddebitur sejak saat terjadinya wanprestasi (pasal
1237 ayat 2 KUHPerdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan
untuk memberikan sesuatu.
(iv) Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim. Debitur
yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara.
Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.
(v) Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan
perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (pasal 1267
KUHPerdata). Ini berlaku untuk semua perikatan.24
24 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 24
Recommended