View
12
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
41
BAB II
ANALISIS DATA
Tahap terpenting dalam sebuah penelitian ialah analisis data. Analisis data
dalam bab ini menguraikan style yang terdapat dalam lirik lagu berbahasa Jawa
karya Nur Bayan. Data yang dianalisis berupa hasil transkrip 15 lagu yang dapat
dilihat pada halaman lampiran beserta terjemahannnya. Analisis dalam bab ini
meliputi, 1) pemanfaatan aspek bunyi (purwakanthi), 2) pilihan kata dan aspek
penanda morfologis, 3) gaya bahasa, dan 4) pencitraan yang terdapat dalam lirik
lagu karya Nur Bayan.
1. Pemanfaatan Aspek Bunyi (Purwakanthi)
Bunyi merupakan komponen terpenting dalam sebuah lirik lagu. Bunyi-
bunyi tersebut tidak hanya menciptakan makna secara semantis namun juga
membentuk suatu keestetisan. Munculnya bunyi dalam teks LLBJKNB sangat
variatif, baik itu berupa vokal maupun konsonan. Bentuk perulangan bunyi atau
persamaan bunyi dalam bahasa Jawa disebut dengan purwakanthi. Dalam bahasa
Jawa purwakanthi terbagi menjadi tiga yaitu: 1) Purwakanthi guru swara
(asonansi); 2) Purwakanthi guru sastra (aliterasi); dan 3) Purwakanthi lumaksita
atau disebut juga dengan purwakanthi basa. Masing-masing jenis purwakanthi di
atas memiliki karakteristik berbeda. Untuk lebih detailnya akan diuraikan
berdasarkan kategorial dan penerapannya pada LLBJKNB berikut.
a. Purwakanthi Guru Swara (Asonansi)
Asonansi atau dalam bahasa Jawa disebut dengan purwakanthi guru swara
merupakan perulangan atau persamaan bunyi vokal pada deretan kata secara
42
beruntun yang mampu memperindah karya sastra. Asonansi bertitik berat pada
satuan lingual fonologis yaitu fonem vokal, dimana bunyi vokal terbagi menjadi
lima yaitu bunyi /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/. Vokal dalam bahasa Jawa terdiri dari: /a/
miring, /a/ jêjêg, /i/ jêjêg, /i/ miring, /u/ jêjêg, /u/ miring, /e/ jêjêg, /è/, /ê/, /o/ jêjêg,
dan /o/ miring. Purwakanthi guru swara sangat penting dalam pembentukan
bunyi kerena membangun struktur pelafalan. Pembahasan asonansi dalam
penelitian ini, dapat dilihat melalui analisis berikut. Untuk memperjelas
pembahasan, tiap-tiap bunyi vokal terkait pada kutipan syair lagu akan dipertebal
penulisannya.
a) Asonansi vokal /a/ miring
Perulangan atau persamaan bunyi vokal [a] dalam teks LLBJKNB dapat
dilihat dari beberapa data berikut.
(34) Abot rasane atiku (PIL/I/2) ‘Terasa berat di hatiku’
Data (34), asonansi vokal /a/ miring terbuka diulang sebanyak tiga kali
pada suku kata pertama dari kata abot ‘berat’, rasane ’terasa’, dan atiku ‘di
hatiku’. Perulangan ini berfungsi menambah keindahan bunyi saat dilafalkan.
(35) Tobat.... tobat... (TO/I/2) ‘Tobat… tobat…’
Dudu soto babat (TO/I/2) ‘Bukan soto babat’
Data (35), menunjukkan adanya perulangan bunyi vokal /a/ tertutup
konsonan /t/ di suku kata terakhir sebanyak tiga kali yang ditunjukkan oleh kata
tobat ‘tobat’ yang diulang dua kali di baris pertama dan kata babat ‘babat’di baris
kedua. Perulangan vokal /a/ pada data berfungsi memberikan kemerduan bunyi.
43
(36) Sênadyan aku amung bojo simpênan (BS/IV/4)
Sêjatine aku trêsna têmênan (BS/IV/5)
‘Meskipun saya hanya istri simpanan’
‘Sebenarnya saya benar-benar cinta’
Kutipan syair di atas merupakan asonansi vokal [a] dengan perulangan
vokal /a/ tertutup konsonan /n/ sebanyak tiga kali di suku kata terakhir yang
ditunjukkan oleh kata sênadyan ‘meskipun’, simpênan ‘simpanan’, dan têmênan
‘benar-benar’. Bunyi vokal /a/ miring pada data (36), berfungsi memberikan kesan
suara yang runtut sehingga dapat memperindah syair.
(37) Kirim-kiriman salam (GA/I/4)
Njur têrus gol-sènggolan (GA/I/5)
Pênasaran pengin ngajak kêtêmuan (GA/I/6)
‘Saling mengirim salam’
‘Kemudian saling menyenggol’
‘Penasaran ingin mengajak bertemu’
Data (37), terdapat asonansi vokal /a/ tertutup dengan konsonan /n/
sebanyak empat kali pada suku kata terakhir (ultima) dari kata ulang kirim-
kiriman ‘saling mengirim’, kata ulang gol-sènggolan ‘saling menyenggol’, kata
pênasaran ‘penasaran’, dan kêtêmuan ‘bertemu’. Asonansi vokal /a/ miring pada
kutipan data (37), berfungsi memberikan kepaduan bunyi pada lirik lagu.
(38) Awune mubal lahar panas dha sumêbar (PM/I/3)
Nganti omah-omah ajur mumur padha bubrah (PM/I/4)
‘Abunya keluar membuat lahar panas menyebar’
‘Hingga rumah-rumah hancur lebur menjadi rusak’
Berdasarkan kutipan di atas, didapati asonansi vokal /a/ miring sebanyak
lima kali dengan adanya variasi. Variasi pada baris pertama yaitu adanya vokal /a/
tertutup konsonan /r/ di suku kata terakhir dari kata lahar ‘lahar’ dan sumêbar
‘menyebar’. Kemudian pada baris kedua, vokal /a/ tertutup konsonan /h/ pada
suku kata terakhir dari kata ulang omah-omah ‘rumah-rumah’ dan kata bubrah
44
‘rusak’. Keberadaan variasi tersebut menimbulkan keselarasan bunyi, dimana
dalam satu baris terdapat pola yang sama. Asonansi yang ditunjukkan oleh data di
atas selain membentuk pola juga berfungsi memperindah tuturan lirik lagu.
Data lain yang mendukung adanya perulangan bunyi vokal [a] pada
LLBJKNB dapat dilihat pada analisis berikut.
(39) Nanging awakku wis ngrumangsani marang kahanan (BS/II/1)
Lakon trêsna iki kasunyatan (BS/II/2)
Aku sadhar yèn amung bojo simpênan (BS/II/3)
Wis nasibe mbên dina ra kêtunggonan (BS/II/4)
‘Tetapi saya sudah menyadari keadaan’
‘Cerita cinta ini benar-benar nyata’
‘Saya sadar jika hanya istri simpanan’
‘Sudah nasibnya setiap hari tidak ditemani’
Data (39) menampilkan asonansi vokal /a/ miring tertutup konsonan /n/
pada suku kata terakhir tiap baris dalam satu bait lagu yang sama, ditunjukkan
oleh kata kahanan ‘keadaan’, kasunyatan ‘benar-benar nyata’, simpênan
‘simpanan’, dan kêtunggonan ‘ditemani’. Asonansi vokal /a/diulang sebanyak
empat kali pada data. Fungsi dari perulangan vokal /a/ pada data tersebut
menambah keselarasan bunyi.
(40) Nyawang sliramu sêsandhingan (MMLT/I/2)
Mêlêngkung janur, kuning neng gawangan (MMLT/I/3)
Trênyuh atiku kèlingan (MMLT/I/4)
‘Melihat dirimu bersanding’
‘Melengkung janur kuning di gawang pintu’
‘Terharu hatiku ketika teringat’
Data (40), terdapat vokal /a/ miring tertutup konsonan /n/ yang muncul
sebanyak tiga kali pada suku kata terakhir (ultima) tiap akhir baris dalam satu bait
yang ditunjukkan oleh kata sêsandhingan ‘bersanding’, gawangan ‘gawang
(pintu)’, dan kèlingan ‘teringat’. Adapun fungsi dari perulangan vokal [a] dalam
bait data (40) yaitu memberikan efek keharmonisan pada syair.
45
(41) Akèh sing padha gêlempangan (O/V/2)
Uga akèh sing kêlèsètan (O/V/3)
Ditumpake ambulan (O/V/4)
‘Banyak yang tergeletak (di tanah)’
‘Juga banyak yang terkapar’
‘Dinaikkan ambulan’
Data (41), kutipan lirik di atas menunjukkan adanya perulangan bunyi
vokal [a] tertutup konsonan [n] sebanyak tiga kali di suku kata terakhir (ultima)
pada akhir baris dalam satu judul lagu. perulangan tersebut ditunjukkan oleh kata
gêlempangan ‘tergeletak (di tanah), kêlèsètan ‘terkapar’, dan ambulan ‘ambulan’.
Asonansi /an/ pada data (41) membentuk pola yang sama di akhir baris dalam satu
bait dengan fungsi menambah kemerduan bunyi.
(42) Mlakune sempoyongan (TO/IV/1)
Ora ngerti yèn juglangan (TO/IV/2)
Tiba mak blêêêkk.... (TO/IV/3)
Dadi gotong-gotongan (TO/IV/4)
‘Jalannya sempoyongan’
‘Tidak tahu jika ada kubangan’
‘Jatuh mak blêêêkk....’
‘Jadi gotong-gotongan’
Data (42), menunjukkan variasi pengulangan vokal /a/ tertutup konsonan
/n/ sebanyak tiga kali di suku kata terakhir pada akhir baris yang ditunjukkan oleh
kata sempoyongan ‘sempoyongan’, juglangan ’kubangan’, dan kata ulang gotong-
gotongan ‘gotong-gotongan’. Adanya perulangan /an/ pada data selain
membentuk pola di akhir baris dalam satu bait, juga menimbulkan kesan merdu
pada bait tersebut.
b) Asonansi vokal /a/ jêjêg
(43) Ra nyana ra ngira yèn prahara bakal teka (PM/I/1)
‘Tidak menyangka tidak mengira jika bencana akan datang’
46
Data (43), terdapat perulangan bunyi vokal [ɔ] terbuka sebanyak empat
kali pada suku kata terakhir dari kata nyana ‘menyangka’, ngira ’mengira’,
prahara ‘bencana’ dan teka ‘datang’ dalam satu baris. Keberadaan asoansi /a/
jêjêg pada data berfungsi menyelaraskan pelafalan dalam satu baris.
(44) Aku amung bisa ngrasa nêlangsa (MMLT/I/1)
‘Saya hanya bisa merasa sedih’
Data di atas merupakan asonansi dalam satu baris yakni dengan
ditemukannya perulangan vokal /a/ jêjêg terbuka yang didahului oleh konsonan /s/
sebanyak tiga kali pada suku kata terakhir dari kata bisa ‘bisa’, ngrasa ‘merasa’,
dan nêlangsa ‘sedih’. Meskipun perulangan /a/ jêjêg pada data (44) tidak
menyeluruh dalam kalimat, akan tetapi menimbulkan kesan merdu karena
membentuk pola yang beruntun setelah kata kedua dari depan.
(45) Tak coba tak apura (CA1/VI/1) ‘Saya coba untuk memaafkan’
Sênajan ati isih gêla (CA1/VI/2) ‘Meskipun hati masih kecewa’
Data (45) menjelaskan adanya perulangan vokal [ɔ] sebanyak tiga kali
pada suku kata terakhir dari kata coba ‘coba’, apura ‘memaafkan’, dan gêla
‘kecewa’. Perulangan vokal [ɔ] pada data berfungsi mengharmoniskan bunyi syair
lagu.
(46) Aku lunga nang manca (SLNJ/III/1) ‘Saya pergi ke luar negeri’
Golèk makarya (SLNJL/III/2) ‘Mencari pekerjaan’
Kutipan syair di atas menampilkan asonansi vokal /a/ jêjêg sebanyak tiga
kali di suku kata terakhir dari kata lunga ‘pergi’, manca ‘luar negeri’, dan
makarya ‘pekerjaan’. Perulangan vokal /a/ jêjêg pada data (46), menonjolkan
keteraturan bunyi pada lirik lagu.
(47) Sumêdhot rasa nèng dhadha (BS/III/4)
Kandhamu yèn wêngi iki ora têka (BS/III/5)
47
‘Mendadak terasa sakit di dada’
‘Katamu jika malam ini tidak datang’
Data (47) menampilkan asonansi bunyi vokal [ɔ] terbuka di suku kata
terakhir sebanyak tiga kali yang ditunjukkan oleh kata rasa ‘terasa’, dhadha
‘dada’, dan têka ‘datang’. Fungsi dari perulangan /a/ jêjêg pada data (47),
menimbulkan kepaduan bunyi di suku kata terakhir data tersebut.
(48) Kaya-kaya ora ikhlas nggonku lunga (PIL/I/3)
Ninggalake kutha sing wis rong taun tak saba (PIL/I/4)
‘Seperti saya tidak ikhlas untuk pergi’
‘Meninggalkan kota yang sudah dua tahun saya singgahi’
Data (48), terdapat asonansi /a/ jêjêg sebanyak lima kali pada suku kata
terakhir dari kata kata ulang kaya-kaya ‘seperti’, kata lunga ‘pergi’, kutha ‘kota’,
dan saba ‘singgahi’. Adanya perulangan bunyi vokal [ɔ] pada data menimbulkan
kemerduan bunyi dalam kutipan syair.
(49) Pama sliramu ngêrti (BK/II/1) ‘Seumpama dirimu mengetahui’
Rasa atiku iki (BK/II/2) ‘Rasa hatiku ini’
Kaya ngapa larane (BK/II/3) ‘Seperti apa sakitnya’
Dadi bojo simpênan (BK/II/4) ‘Jadi istri simpanan’
Pada data (49), terdapat asonansi vokal /a/ jêjêg sebanyak delapan kali
pada suku kata pertama dan terakhir dari kata pama ‘seumpama’, rasa ‘rasa’, kaya
‘seperti’, dan ngapa ‘apa’. Adapun fungsi dari perulangan asoansi bunyi vokal [ɔ]
pada data di atas yaitu menimbulkan harmonisasi pada tuturan.
(50) Bayangna umpama (SS/I/1)
Nèng donya ora ana cahya (SS/I/2)
Ndahne ya pêtênge kaya apa (SS/I/3)
‘Bayangkan seumpama’
‘Di dunia tidak ada cahaya’
‘Betapa petangnya seperti apa’
(51) Bayangna umpama (SS/II/1)
Nang donya ra ana swara (SS/II/2)
Ndahne ya sêpine kaya apa (SS/II/3)
48
‘Bayangkan seumpama’
‘Di dunia tidak ada suara’
‘Betapa sepinya seperti apa’
Data (50) dan (51), menunjukkan pola perulangan bunyi vokal [ɔ] terbuka
yang sama, dengan mengulang bunyi /a/ jêjêg terbuka sebanyak delapan kali
dalam satu bait yang ditunjukkan oleh suku kata terakhir dari kata bayangna
‘bayangkan’, umpama ‘seumpama’, donya ‘dunia’, ana ‘ada’, cahya ‘cahaya’,
ndahne ya ‘betapa’, kaya ‘seperti’, apa ‘apa’, dan swara ‘suara’. Keberadaan
asonansi [ɔ] pada kedua data di atas semakin memperindah pelafalan syair lagu.
(52) Bayangna umpama (SS/III/1)
Nang donya ora ana dosa (SS/III/2)
Wis pirang menungsa sing bakal tumindak ala (SS/III/3)
‘Bayangkan seumpama’
‘Di dunia tidak ada dosa’
‘Sudah berapa manusia yang akan bertindak buruk’
Data (52), dengan perulangan asonansi /a/ jêjêg sebanyak tujuh kali dalam
satu bait berfungsi menambah kemerduan lirik lagu. Asonansi [ɔ] terbuka pada
data (52) berdistribusi di suku kata terakhir pada kata bayangna ‘bayangkan’,
umpama ‘seumpama’, donya ‘dunia’, ana ‘ada’, dosa ‘dosa’, menungsa
‘manusia’, dan ala ‘apa’.
(53) Padhange lampu kutha sing nyorote mênyang mata (SS/VIII/1)
Ndadèkne wêrna-werni, ning rupane ora padha (SS/VIII/2)
Nanging eling dulur-dulur kabèh mau rizki saking sing Kuwasa (SS/VIII/3)
‘Terangnya lampu kota yang sorotnya ke mata’
‘Menjadikan warna-warni, tetapi rupanya tidak sama’
‘Tetapi ingat saudara-saudara semua tadi rizki dari Yang Kuasa’
Asonansi yang ditampilkan oleh data (53), terdapat di suku kata terakhir
dari kata kutha ‘kota’, mata ‘mata’, kata ulang wêrna-werni ‘warna-warni’, kata
padha ‘sama’, dan Kuwasa ‘Kuasa’ dengan perulangan sebanyak lima kali.
49
Fungsi dari perulangan asonansi [ɔ] dalam bait data (53), menambah kepaduan
bunyi pada lagu.
(54) Umure donya iki pancèn uwis tuwa (PM/III/1)
Akèh malapêtaka kang lagi dicoba (PM/III/2)
Pacobaning urip saking kang Maha Kuwasa (PM/III/3)
Ra ana siji mênungsa sing bisa ngramalna (PM/III/4)
‘Umur dunia ini memang sudah tua’
‘Banyak malapetaka yang sedang diujikan’
‘Ujian hidup dari Yang MahaKuasa’
‘Tidak ada satu manusia yang bisa meramalkan’
Dalam satu bait kutipan di atas, memuat perulangan bunyi vokal [ɔ]
sebanyak sepuluh kali dengan letak perulangan yang sama yaitu pada suku kata
terakhir yang ditunjukkan oleh kata donya ‘dunia’, tuwa ‘tua’, malapêtaka
‘malapetaka’, dicoba ‘diujikan’, Maha ‘Maha’, Kuwasa ‘Kuasa’, ana ‘ada’,
mênungsa ‘manusia’, bisa ‘bisa’, dan ngramalna ‘meramalkan’. Perulangan vokal
[ɔ] pada kutipan tersebut menimbulkan keindahan bunyi.
(55) Wis aja ngrêsula (BK/III/1) ‘Sudah jangan mengeluh’
Wis aja nêlangsa (BK/III/2) ‘Sudah jangan bersedih’
Donga-dongakna (BK/III/3) ‘Doakan’
Bojoku lila... (BK/III/4) ‘Istriku rela’
Data (55), memiliki pola perulangan vokal [ɔ] sebanyak enam kali yang
ditunjukkan oleh suku kata terakhir dari kata aja ‘jangan’, ngrêsula ‘mengeluh’,
nêlangsa ’bersedih’, dongakna ‘doakan’, lila ‘rela’. Perulangan vokal [ɔ] pada
data (55), menimbulkan keharmonisan bunyi dalam satu bait.
(56) Wis cukupna anggonmu lara (CA2/V/1)
Wis cukupna anggonmu gela (CA2/V/2)
Apa anane sliramu tansah tak trima (CA2/V/3)
‘Sudah cukup dirimu sakit’
‘Sudah cukup dirimu kecewa’
‘Apa adanya dirimu akan saya terima’
50
Data (56) memiliki pola perulangan vokal [ɔ] sebanyak enam kali yang
ditunjukkan oleh suku kata terakhir dari kata cukupna ‘cukupkan’, lara ‘sakit’,
gela ‘kecewa’, apa ‘apa’ dan trima ‘terima’.
(57) Gelombang asmara (GA/V/3)
Ra nyana nuwuhke trêsna (GA/V/4)
Saka swara ndadèkke bungahing rasa (GA/V/5)
‘Gelombang asmara’
‘Tidak menyangka dapat menumbuhkan cinta’
‘Dari suara membuat rasa bahagia’
Asonansi vokal [ɔ] pada data (57) ditunjukkan oleh kata asmara
‘asmara’, nyana ‘menyangka’, trêsna ‘cinta’, saka ‘dari’, swara ’suara’, dan rasa
‘rasa’ dengan jumlah perulangan sebanyak enam kali. Adanya perulangan vokal
[ɔ] pada data di atas berfungsi untuk menambah nilai kepuitisan.
(58) Ra mbok tututana (CA1/IV/1)
Kabeh wis ra ana guna (CA1/IV/2)
Têlat kudune jaman sêmana (CA1/IV/3)
‘Tidak Kamu kejarpun’
‘Semua sudah tidak ada gunanya’
‘Telat harusnya zaman dahulu’
Asonansi [ɔ] pada data di atas ditunjukkan oleh suku kata terakhir dari
kata tututana ‘kejar’, ana ‘ada’, guna ‘guna’, sêmana ‘dahulu’ yang diulang
sebanyak tiga kali dalam satu bait. Perulangan bunyi vokal [ɔ] pada data
menimbulkan keserasian bunyi di akhir baris.
Asonansi bunyi vokal [ɔ] dalam LLBJKNB juga didapati pada data-data
berikut.
(59) Nyêbar godhong kara (PIL/II/1)
Ati sabar sak wêtara (PIL/II/2)
Nandhang lara ati sing kêranta-ranta (PIL/II/3)
‘Menyebar daun kara’
‘Hati sabar sementara’
‘Merasakan sakit hati yang teramat sangat sakit’
51
Asonansi bunyi vokal [ɔ] pada data di atas mengalami variasi pola yaitu
dengan adanya kombinasi /ar/ dan /a/ jêjêg pada baris pertama dan kedua.
Sedangkan bunyi vokal [ɔ] data (59), muncul sebanyak empat kali pada suku kata
terakhir dari kata kara ‘(daun) kara’, wêtara ‘sementara’, lara ‘sakit’ dan kêranta-
ranta ‘teramat sangat sakit’. Berdasarkan analisis di atas, fungsi dari perulangan
vokal [ɔ] untuk menambah keindahan bunyi.
(60) Nèng kene kabèh kanca (PJ/VI/1)
Ora ana sing beda (PJ/VI/2)
Sing tawuran bêrarti kuwi ndesa (PJ/VI/3)
‘Di sini semua teman’
‘Tidak ada yang beda’
‘Yang tawuran berarti itu kampungan’
Bentuk perulangan vokal [ɔ] pada data (60), terletak pada suku kata
terakhir dalam akhir baris sebanyak tiga kali beruntun yang ditunjukkan oleh kata
kanca ‘teman’, ana ‘ada’, beda ‘beda’, ndesa ‘kampungan’. Perulangan vokal [ɔ]
pada data memberikan kesan keteraturan bunyi akhir dalam satu bait.
(61) Ya mari-maria (O/VI/3) ‘Sembuhkanlah’
Ya lèrèn- lèrèna (O/VI/4) ‘Berhentilah’
Aja ditêrus-têrusna (O/VI/5) ‘Jangan diterus-teruskan’
Pada kata mari-maria ‘sembuh-sembuhlah’, lèrèn- lèrèna ‘berhenti-
berhentilah’, dan ditêrus-têrusna terdapat asonansi [ɔ] terbuka di suku kata
terakhir yang diulang sebanyak tiga kali dalam satu bait. Fungsi dari perulangan
ini menimbulkan kesan merdu.
c) Asonansi vokal /i/ jêjêg
(62) Nganti nekad ati jêgur nang lokalisasi (CA1/I/3)
Tega tenan kowe cidra ing janji (CA1/I/4)
‘Hingga nekad hati masuk ke lokalisasi’
‘Tega betul Kamu ingkari janji’
52
Pada baris di atas asonansi vokal /i/ jêjêg diulang sebanyak empat kali
pada suku kata terakhir dari kata nganti ‘hingga’, ati ‘hati’, lokalisasi ‘lokalisasi’
dan janji ‘janji’. Perulangan tersebut menimbulkan keselarasan bunyi vokal /i/
terbuka yang ditampilkan oleh data (62).
(63) Nèng lokalisasi nggonku nandhang lara cupêt ati (CA2/II/3)
Nêm taun sliramu ra bali (CA2/II/4)
‘Di lokalisasi tempatku merasakan sakit karena berkecil hati (putus asa)’
‘Enam tahun dirimu tidak kembali’
Asonansi /i/ yang ditunjukkan pada suku terakhir dari kata lokalisasi
‘lokalisasi’, ati ‘hati’,dan bali ‘kembali’ dengan jumlah perulangan sebanyak tiga
kali memiliki fungsi untuk memberikan kesan merdu pada data tersebut.
(64) Aku ra bakal lali marang janji sing kêtali (SLNJ/IV/2)
Ning simpang lima iki sing nyêksèni sumpahe ati (SLNJ/IV/3)
Janjiku mêngko mesti tak tepati (SLNJ/IV/4)
‘Saya tidak akan lupa pada janji yang telah terikat’
‘Simpang lima ini yang menyaksikan sumpah hati’
‘Janji saya nanti pasti akan saya tepati’
Data (64), menunjukkan adanya perulangan vokal [i] sebanyak delapan
kali yang ditampilkan oleh kata lali ‘lupa’, janji ‘janji’, kêtali ‘terikat’, iki ‘ini’,
nyêksèni ‘menyaksikan’, ati ‘hati’, mesti ‘pasti’, dan tak tepati ‘saya tepati’.
Pemaparan vokal [i] pada data di atas memiliki fungsi untuk menambah
keputisian lagu.
(65) Dudu karêp ati iki jêgur nang lokalisasi (CA1/II/1)
Wis nêm taun sliramu ora bali (CA1/II/2)
Wis ra ana kabar êmbuh papanku nèng êndi (CA1/II/3)
Kêpèpèt aku kadhung cupêt ati (CA1/II/4)
‘Bukan maksud hati ini masuk ke lokalisasi’
‘Sudah enam tahun dirimu tidak kembali’
‘Sudah tidak ada kabar bingung harus tinggal dimana’
‘Terpaksa saya terlanjur berkecil hati (putus asa)’
53
Bait di atas menunjukkan adanya asonansi vokal /i/ sebanyak enam kali,
tiga pada baris pertama dan selebihnya pada akhir baris kedua, ketiga dan
keempat. Asonansi yang ditampilkan pada data, berdistribusi di suku kata terakhir
dari kata ati ‘hati’, iki ‘ini’, lokalisasi ‘lokalisasi’, bali ‘kembali’, nèng êndi
‘dimana’, ati ‘hati’. Fungsi dari asoanansi /i/ pada data yaitu memberikan
keselarasan bunyi.
(66) Kadhung wis kelara-lara ati iki (PIL/IV/1)
Aku kudu ikhlas nrima kahanan iki (PIL/IV/2)
Mandar muga sing Kuwasa ngijabahi (PIL/IV/3)
‘Terlanjur sudah sakit hati ini’
‘Saya harus ikhlas menerima keadaan ini’
‘Semoga Yang MahaKuasa mengabulkan’
Data (66) menunjukkan adanya asonansi vokal /i/ terbuka yang diulang
sebanyak empat kali pada suku kata terakhir dari kata ati ‘hati’, iki ‘ini’ pada baris
pertama, iki ‘ini’ pada baris kedua, dan ngijabahi ‘mengabulkan’ pada baris
ketiga. Perulangan yang di tunjukkan oleh data di atas memberikan kesan
keteraturan bunyi pada kutipan syair.
(67) Dorèmi dadhu karo rèmi (D/I/1)
Wiwit iki mbok ya dilèrèni (D/I/2)
Muga-muga Gusti (D/I/3)
Enggala ngijabahi (D/I/4)
Lèrèn judhi Insya Allah munggah kaji (D/I/5)
‘Doremi dadu dan remi’
‘Mulai sekarang sebaiknya dihentikan’
‘Semoga Tuhan’
‘Segera mengabulkan’
‘Berhenti judi Insya Allah naik haji’
Data (67), menunjukan adanya asonansi vokal /i/ sebanyak empat kali di
suku kata terakhir dari kata dorèmi ‘doremi’, rèmi ‘remi’, iki ‘iki’, dilereni
‘dihentikan’, Gusti ‘judi’, ngijabahi ‘mengabulkan’, judhi ‘judi’, dan kaji ‘haji’.
Adapun fungsi asonansi vokal /i/ pada data yaitu memberikan kemerduan bunyi.
54
(68) Wiwit dina iki (TO/VII/1) ‘Mulai hari ini’
Mêndêmku tak marèni (TO/VII/2) ‘Mabuknya saya hentikan’
Mugi Gusti..... (TO/VII/3) ‘Semoga Tuhan’
Enggal Ngijabahi.... (TO/VII/4) ‘Segera mengabulkan’
Data (68) menunjukkan adanya asonansi vokal /i/ terbuka yang diulang
sebanyak lima kali pada suku kata terakhir dari kata iki ‘ini’ pada baris pertama,
marèni ‘hentikan’ pada baris kedua, dan mugi Gusti ‘semoga Tuhan’ pada baris
ketiga, serta pada kata ngijabahi ‘mengabulkan’ pada baris keempat. Perulangan
yang di tunjukkan oleh data di atas berfungsi untuk menyelaraskan bunyi pada
kutipan syair.
Data perulangan vokal [i] juga muncul di akhir baris dalam satu bait
dengan kutipan sebagai berikut.
(69) Nanging aku amung bisa nangis brêbês mili (ARK/II/3)
Mêrga sing tak trêsnani (ARK/II/4)
Uwis ana sing nduwèni (ARK/II/5)
‘Tetapi saya hanya bisa meneteskan air mata yang jatuh mengalir (ke
bawah)’
‘Karena yang saya cintai’
‘Sudah ada yang memiliki’
(70) Nanging aja kowe nglali (SS/V/1) ‘Tetapi jangan Kamu lupa’
Kabèh mau mêrga Gusti (SS/V/2) ‘Semua tadi karena Tuhan’
Sing nyiptake donya iki (SS/V/3) ‘Yang menciptakan dunia ini
Data (69) dan (70) terdapat asoanansi vokal /i/ muncul sebanyak tiga kali
di suku terakhir pada akhir baris dalam satu bait yag ditunjukkan oleh kata mili
‘mengalir’, trêsnani ‘cintai’, nduwèni ‘memiliki’, nglali ‘lupa’, Gusti ‘Tuhan’,
dan iki ‘ini’. Adanya perulangan vokal /i/ pada data di atas berfungsi untuk
menimbulkan keindahan dalam syair.
55
(71) Gelase amung siji (TO/II/1) ‘Gelasnya hanya satu’
Diputêr gonta-ganti (TO/II/2) ‘Diputar bergantian’
Kanca-kanca ngentèni (TO/II/3) ‘Teman-teman menunggu’
Tiba wayahe dijoki (TO/II/4) ‘Tiba waktunya diisi’
Data (71), menampilkan asonansi vokal /i/ di akhir baris sebanyak empat
kali pada suku kata terakhir dari kata siji ‘satu’, gonta-ganti ‘bergantian’, ngentèni
‘menunggu’ dan dijoki ‘dituang’. Adanya perulangan vokal /i/ pada data
menimbulkan suara merdu di akhir baris.
d) Asonansi vokal /i/ miring
Pada LLBJKNB ditemukan penggunaan asonansi vokal /i/ miring hanya
dalam satu bait yang terdapat pada lirik lagu berjudul Pokoke Joget dengan
adanya variasi bentuk. Variasi yang dimaksudkan adalah variasi vokal /i/ miring
tertutup oleh konsonan /ng/ di akhir baris dalam satu bait seperti yang terdapat
pada pemaparan berikut.
(72) Krungu swarane suling (PJ/III/1) ‘Dengar suara suling’
Kêpênak ana nèng kuping (PJ/III/2) ‘Enak di telinga’
Penontone (PJ/III/3) ‘Penontonnya’
Jogèt nganti ora eling (PJ/III/4) ‘Joget hingga tidak ingat’
Pada kutipan syair di atas terdapat perulangan suku kata vokal /i/ miring
sebanyak tiga kali dalam satu baris di akhir baris yang ditunjukkan oleh kata
suling ‘suling’, kuping ‘telinga’, dan eling ‘ingat’. Adanya perulangan bunyi
vokal [I] pada data diatas, dapat menyelaraskan pelafalan bunyi di akhir baris.
e) Asonansi vokal /u/ jêjêg
(73) Aku krungu swaramu (GA/I/2) ‘Saya dengar suaramu’
(74) Semana uga atiku yèn kêprungu swaramu (GA/V/1)
‘Begitupula hatiku jika terdengar suaramu’
56
Data (73) dan (74), vokal /u/ jêjêg diulang sebanyak tiga kali di suku kata
terakhir dari kata aku ‘saya’, krungu ‘dengar’, swaramu ‘suaramu’, atiku ‘hatiku’,
kêprungu ‘terdengar’, dan swaramu ‘suaramu’. Keberadaan perulangan vokal /u/
jêjêg pada data di atas memberi kesan merdu pada lirik lagu.
(75) Apuranên aku (CA1/V/1)
Yèn nggawe gêla atimu (CA1/V/2)
Dudu karêping ati (CA1/V/3)
Dadèke rusak awakmu (CA1/V/4)
‘Maafkan saya’
‘Jika membuat kecewa hatimu’
‘Bukan maksud hati’
‘Membuat rusak dirimu’
Data (75), menunjukkan asonansi vokal /u/ jêjêg terbuka sebanyak empat
kali pada suku kata terakhir dari kata aku ‘saya’, atimu ‘hatimu’, dudu
‘bukan’,dan awakmu ‘dirimu’. Fungsi dari asonansi vokal [u] pada data di atas
ialah menambah keteraturan bunyi dalam satu bait lagu.
(76) Tumètèse êluhmu (PIL/III/1)
Ngêbot-ngêboti lakuku (PIL/III/2)
Kudu-kudu aku mbalik nang sliramu (PIL/III/3)
Nanging wis dadi sumpahku (PIL/III/4)
Ra bakal nrima sliramu (PIL/III/5)
‘Menetesnya air matamu’
‘Memberatkan langkahku’
‘Ingin saya kembali pada dirimu’
‘Tetapi sudah menjadi sumpahku’
‘Tidak akan menerima dirimu’
Kata êluhmu ‘air matamu’, lakuku ‘langkahku’, kudu-kudu ‘ingin’, aku
‘saya’, sliramu ‘dirimu’, sumpahku ‘sumpahku’, dan sliramu ‘dirimu’,
menunjukkan asonansi vokal [u] terbuka sebanyak delapan kali pada suku kata
terakhir dengan fungsi menambah kemerduan syair.
57
(77) Wong ayu sak tenane aku (ARK/IV/1) ‘Wanita cantik sebenarnya saya’
Ngêrti rasa atimu (ARK/IV/2) ‘Tahu rasa hatimu’
Wis lalèkna aku (ARK/IV/3) ‘Sudah lupakan saya’
Pancèn dudu jodhomu.. (ARK/IV/4) ‘Memang bukan jodohmu’
Data (77), terdapat asonansi vokal [u] sebanyak enam kali yang
ditunjukkan oleh suku kata terakhir dari kata ayu ‘cantik’, aku ‘saya’, dan atimu
‘hatimu’, pada baris pertama dan kedua. Kemudian kata aku ‘saya’, dudu ‘bukan’,
dan jodhomu ‘jodohmu’, pada baris ketiga dan keempat. Adapun fungsi dari
perulangan vokal [u] pada data tersebut untuk memperoleh kepaduan bunyi.
(78) Nrima awakmu (BK/III/9) ‘Menerima dirimu’
Dadi bojoku (BK/III/10) ‘Jadi istriku’
Sênadyan bojo kêtêlu (BK/III/11) ‘Meskipun istri ketiga’
Kata awakmu ‘dirimu’, bojoku ‘istriku’, dan kêtêlu ‘ketiga’ pada data (78)
merupakan asonansi vokal [u] pada suku kata terakhir yang diulang sebanyak tiga
kali dengan fungsi memperindah pelafalan.
(79) Tutupên botolmu (O/III/1) ‘Tutup botolmu’
Tutupên oplosanmu (O/III/2) ‘Tutup oplosanmu’
Emanên nyawamu (O/III/3) ‘Sayangi nyawamu’
Data (79), menunjukkan adanya asonansi vokal [u] sebanyak tiga kali di
akhir baris dalam satu bait yang ditunjukkan oleh kata botolmu ‘botolmu’,
oplosanmu ‘oplosanmu’, dan nyawamu ‘nyawamu’. Fungsi dari perulangan vokal
[u] pada data diatas memberikan kesan merdu.
(80) Domino kiyu-kiyu (D/V/3)
Togèle ora metu (D/V/4)
Ben dina sambat mumêt sambat ngêlu (D/V/5)
‘Domino kiyu-kiyu’
‘Togelnya tidak keluar’
‘Setiap hari mengeluh pusing mengeluh pening’
58
Pada kutipan data (80) terdapat perulangan suku kata vokal [u] sebanyak
empat kali dalam satu bait yang ditunjukkan oleh kata ulang kiyu-kiyu ‘kiyu-
kiyu’, metu ‘keluar’, dan ngêlu ‘pening’. Perulangan vokal /u/ pada pemaparan di
atas berfungsi untuk menambah nilai kepuitisan lagu.
f) Asonansi vokal /u/ miring
(81) Tansah ngêlayung, mung tansah ngêlamun (MMLT/II/3)
Eling nalika kayungyun (MMLT/II/3)
‘Akan terlihat pucat (karena sedih), hanya akan melamun’
‘Ingat ketika jatuh hati’
Data (81), menunjukkan adanya asonansi vokal /u/ miring dengan variasi
tertutup konsonan /ng/ pada suku kata terakhir kata ngêlayung ‘pucat’, mung
‘hanya’, dan tertutup konsonan /n/ pada suku kata terakhir kata ngêlamun
‘melamun’, kayungyun ‘jatuh hati’. Adanya asonansi vokal /u/ miring pada data
(81) memberi kesan indah dan serasi.
(82) Mêndhung mêntiyung langit Tulungagung (MMLT/III/1)
Mayungi tresnaku sing wurung (MMLT/III/2)
‘Awan menggantung di langit Tulungagung’
‘Memayungi cintaku yang kandas’
Perulangan bunyi vokal [ʊ] tertutup konsonan [ŋ] pada data (82) diulang
sebanyak lima kali yang ditunjukkan oleh kata mêndhung ‘mendung’, mêntiyung
‘menggantung’, Tulungagung ‘Tulungagung’, dan wurung ‘kandas’. Vokal /ung/
pada data di atas memiliki fungsi untuk menonjolkan kesan estetis saat dilafalkan.
g) Asonansi vokal /e/
(83) Jaman biyèn kae make wis nate ngelingne (D/III/1)
Judhine mbok aja diterusne (D/III/2)
Mbok dipikir tuwèke (D/III/3)
Timbang sara uripe (D/III/4)
Ora sugih sing ana malah kere (D/III/5)
‘Zaman dahulu itu ibu sudah pernah mengingatkan’
‘Judinya sebaiknya jangan diteruskan’
59
‘Sebaiknya dipikirkan masa tuanya’
‘Daripada susah hidupnya’
‘Tidak kaya yang ada malah miskin’
Kutipan syair di atas terdapat perulangan vokal [e] terbuka, di akhir baris
pada suku kata terakhir dari kata kae ‘itu’, make ‘ibu’, nate ‘pernah’, ngelingne
‘mengingatkan’, judhine ‘judinnya’, diterusne ‘diteruskan’, tuwèke ‘tuanya’,
uripe ‘hidupnya’, dan pada kata kere ‘miskin’. Perulangan vokal [e] pada data di
atas berfungsi memberikan kesan puitis.
(84) Ra kênal penyanyine (PJ/VIII/1) ‘Tidak kenal penyanyinya’
Ra ngêrti penciptane (PJ/VIII/2) ‘Tidak tahu penciptanya’
Sing pênting hore rame-rame (PJ/VIII/3) ‘Yang penting hore ramai-ramai’
Perulangan vokal [e] di suku kata terakhir pada baris yang ditunjukkan
oleh kata penyanyine ‘penyanyinya’, penciptane ‘penciptanya’, hore ‘hore’ dan
kata ulang rame-rame ‘ramai-ramai’. Perulangan vokal /e/ pada data di atas
berfungsi untuk memperindah syair.
(85) Ora ngêrti lagune (PJ/VII/1) ‘Tidak tahu lagunya’
Ora ngêrti syaire (PJ/VII/2) ‘Tidak tahu syairnya’
Sing pênting aku jogèt wae... (PJ/VII/3) ‘Yang penting saya joget saja’
Kata lagune ‘lagunya’, syaire ‘syairnya’, dan wae ‘saja’ pada data (85)
menunjukkan asonasi vokal [e] terbuka, di akhir baris dalam satu bait. Fungsi
perulangan vokal [e] pada data (84) memberikan unsur keindahan.
h) Asonansi vokal /ê/
(86) Awak wis lêmês (TO/V/1) ‘Badan sudah lemas’
Dhuwite ludhês (TO/V/2) ‘Uangnya amblas’
Tak rasa ati saya nggêgês (TO/V/3) ‘Terasa hati semakin lemas’
Pada data (85), vokal /ê/ muncul sebanyak tiga kali di suku kata terakhir
pada akhir baris dalam satu bait yang ditunjukkan oleh kata lêmês ‘lemas’, ludhês
‘amblas’, dan nggêgês ‘lemas’. Adanya perulangan bunyi vokal [ə] pada data di
60
atas merupakan suatu bentuk variasi vokal /ê/ tertutup konsonan /s/ pada suku kata
terakhir. Fungsi dari perulangan ini menimbulkan keselarasan bunyi dan
memunculkan kesan penyangatan.
i) Asonansi vokal /o/ miring
(87) Kapok-kapok (TO/VI/3) ‘Tobat-tobat’
Dudu kapok lombok (TO/VI/4) ‘Bukan tobat kumat’
Data (86), menunjukkan adanya asonansi bunyi vokal [O] sebanyak empat
kali pada suku kata terakhir dari kata kapok ‘tobat’ yang diulang dua kali di baris
pertama serta pada suku kata terakhir dari kata kapok ‘tobat’ dan lombok ‘kumat’
di baris kedua. Perulangan vokal /o/ miring tertutup konsonan /k/ pada data
berfungsi menambah keharmonisan bunyi.
Tabel 1.1 Dominasi Asonansi dalam LLBJKNB
No Asonansi Jumlah Persentase Posisi
1 Vokal [a] 9 16,67%
suku kata pertama, suku
kata terakhir
2 Vokal [ɔ] 19 35,18%
suku kata pertama, suku
kata terkhir
3 Vokal [i] 10 18,51% suku kata terakhir
4 Vokal [I] 1 1,85% suku kata terakhir
5 Vokal [u] 8 14,81% suku kata terakhir
6 Vokal [ʊ] 2 3,70% suku kata terakhir
7 Vokal [e] 3 5,56% suku kata terakhir
8 Vokal [ə] 1 1,85% suku kata terakhir
9 Vokal [O] 1 1,85% suku kata terakhir
Total 54 100%
Melalui tabel di atas, diketahui bahwa asonansi dengan persentase
tertinggi adalah asonansi vokal [ɔ] yang memperoleh persentase sebesar 35,18%
dengan posisi asonansi di suku kata pertama dan terakhir, disusul asonansi vokal
/i/ jêjêg sebanyak 18,51% dan asonansi vokal /a/ miring dengan persentase
16,67% yang masing-masing dominan berdistribusi di suku kata terakhir.
61
Persentase terkecil ditunjukkan oleh asoansi vokal [I], vokal [ə], dan vokal [O]
yang hanya memperoleh pesentase sebesar 1,85% dari keseluruhan jumlah total
persentase.
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diperoleh informasi bahwa
persentase tertinggi dari keseluruhan total data merupakan asoansi vokal [ɔ]
dengan produktifitas tertinggi menjadi pembangun struktur bunyi terbesar dalam
LLBJKNB.
1.2 Purwakanthi Guru Sastra (Aliterasi)
Aliterasi atau purwakanthi guru sastra merupakan perulangan bunyi
konsonan yang sama pada satu larik atau baris. Letak dari aliterasi beragam dapat
berupa perulangan konsonan di awal, tengah maupun akhir kata. Aliterasi yang
terdapat dalam LLBJKNB meliputi perulangan konsonan /k/, /l/, /m/, /n/, /ng/,
/ny/, /r/, /s/, /t/, dan /w/. Berikut adalah uraian dari aliterasi pada LLBJKNB.
a) Aliterasi konsonan /k/
(88) Aku kudu ikhlas nrima kahanan iki (PIL/IV/1)
‘Saya harus ikhlas menerima keadaan ini’
Konsonan /k/ pada data (88) mendominasi data dengan jumlah perulangan
sebanyak lima kali yang ditunjukkan oleh kata suku kata terakhir dari kata aku
‘saya’, iki ‘ini’; dan suku kata pertama dari kata kudu ‘harus’, ikhlas ‘ikhlas’,
kahanan ‘keadaan’. Aliterasi yang ada pada data tersebut menambah kepaduan
dan keindahan suara.
(89) Krungu kabar saka Ngayogjakarta (PM/I/1)
‘Dengar kabar dari Yogyakarta’
Data (89), terdapat aliterasi konsonan /k/ yang tersebar merata dalam satu
baris seperti adanya konsonan /k/ pada suku kata pertama dari kata krungu
62
‘dengar’, kabar ‘kabar’; suku kata terakhir dari kata saka ‘dari’; dan suku kata
kedua dari belakang (penultima) dari kata Ngayogjakarta ‘Yogyakarta’ yang
diulang sebanyak empat kali pada data. Keberadaan aliterasi /k/ pada data (88)
memberikan sentuhan indah pasda syair lagu.
(90) Atiku kangên, kangênku marang kowe (SLNJ/I/2)
‘Hatiku rindu, rinduku pada dirimu’
Perulangan konsonan /k/ pada data (90) menunjukkan adanya aliterasi
yang mendominasi data dengan perulangan sebanyak lima kali pada suku kata
terakhir dari kata atiku ‘hatiku’; suku kata pertama dari kata kangên ‘rindu’ dan
kowe ‘Kamu’; dan suku kata pertama dan terakhir dari kata kangênku ‘rinduku’.
Adapun fungsi dari aliterasi konsonan /k/ yang dipaparkan pada analisis di atas
ialah menambah keindahan tuturan.
b) Aliterasi konsonan /l/
(91) Kêrlip-kêrlip lintang (BK/I/3) ‘Kerlap-kerlip bintang’
Aliterasi konsonan /l/ pada data (91) muncul sebanyak tiga kali pada setiap
kata dalam satu baris yang ditampilkan oleh suku kata terakhir dari kata ulang
kêrlip-kêrlip ‘kerlap-kerlip’ dan suku kata pertama dari kata lintang ‘bintang’.
Aliterasi konsonan /l/ dalam analisis tersebut berfungsi memperindah pelafalan
lirik.
c) Aliterasi konsonan /m/
(92) Mobat-mabit montang-manting (BS/I/3)
‘Terombang-ambing, terpontang-panting’
(93) Mêndêmku tak marèni (TO/VIII/2) ‘Mabuknya saya sudahi’
(94) Kirim-kiriman salam (GA/I/4) ‘Berkiriman salam’
63
Berdasarkan data di atas, aliterasi konsonan /m/ muncul sebanyak empat
kali pada data (92) serta muncul sebanyak tiga kali pada data (93) dan (94).
Pengulangan konsonan /m/ diantaranya yaitu pada suku kata pertama dari kata
ulang mobat-mabit ‘terombang-ambing’, kata ulang montang-monting
‘terpontang-panting’ dan kata tak marèni ‘saya sudahi’; suku kata terakhir dari
kata ulang kirim-kiriman ‘berkiriman’, dan kata salam ’salam; suku kata pertama
dan penultima dari kata mêndêmku ‘mabukku’. Pengulangan konsonan /m/ pada
data berfungsi menciptakan keselarasan bunyi.
d) Aliterasi konsonan /n/
(95) Lakon trêsna iki kasunyatan (BS/II/2) ‘Cerita cinta ini kenyataan’
Perulangan konsonan /n/ pada data (95) terjadi sebanyak tiga kali yang
ditunjukkan oleh suku kata terakhir dari kata lakon ‘cerita’, trêsna ‘cinta’,dan
kasunyatan ‘kenyataan’. Aliterasi dari konsonan /n/ tersebut berfungsi menambah
keharmonisan bunyi saat dilafalkan.
e) Aliterasi konsonan /ng/
(96) Mêlêngkung janur kuning nèng gawangan (MMLT/I/3)
Trênyuh atiku kelingan (MMLT/I/4)
‘Melengkung janur kuning di gawang (pintu)’
‘Terharu (bercampur sedih) hatiku ingat’
Pada kata mêlêngkung ‘melengkung’, perulangan konsonan /ng/ nampak
pada penultima dan ultima dari kata tersebut, sedangkan pada kata kuning
‘kuning’, nèng ‘di’, gawangan ‘gawang (pintu)’, dan kelingan
‘ingat’menunjukkan adanya aliterasi konsonan /ng/ di suku kata terakhir yang
diulang sebanyak enam kali dalam satu baris dengan fungsi untuk memperindah
tuturan data tersebut.
(97) Tansah ngêlayung, mung tansah ngêlamun (MMLT/II/3)
Eling nalika kayungyun (MMLT/II/4)
64
‘Akan pucat (karena sedih), hanya akan melamun’
‘Ingat ketika jatuh hati’
Pada data (97), aliterasi bunyi konsonan [ŋ] diulang sebanyak empat kali
pada suku terakhir dari kata ngêlayung ‘pucat’, mung ‘hanya’, eling ‘ingat’, dan
pada penultima dari kata kayungyun ‘jatuh hati’ dengan maksud untuk
memberikan keselarasan antar kata saat dilafalkan.
(98) Mêndhung mêntiyung langit Tulungagung (MMLT/III/1)
Mayungi tresnaku sing wurung (MMLT/III/2)
‘Awan menggantung di langit Tulungagung’
‘Memayungi cintaku yang kandas’
Aliterasi konsonan /ng/ pada data (98) ditunjukkan oleh perulangan bunyi
[ŋ] yang diulang sebanyak lima kali pada suku kata terakhir dari kata mêndhung
‘mendung’, mêntiyung ‘melengkung’, Tulungagung ‘Tulungagung’, dan wurung
‘kandas’; dan penultima dari kata mayungi ‘memayungi’. Perulangan konsonan
/ng/ pada data menambah kemerduan syair.
(99) Jingkrak-jingkrak goyang-goyang (PJ/II/4)
‘Lompat-lompat goyang-goyang’
Aliterasi yang ditunjukkan oleh data (99), ditunjukkan oleh suku pertama
dari kata ulang jingkrak-jingkrak ‘lompat-lompat’ dan suku kata terakhir dari kata
ulang goyang-goyang ‘goyang-goyang’. Adapun fungsi dari aliterasi konsonan
/ng/ pada pemaparan di atas ialah memperindah tuturan saat dilafalkan.
f) Aliterasi kosonan /ny/
(100) Trênyuh nyawang nyawa-nyawa ilang (PM/IV/2)
‘Terharu (bercampur sedih) melihat nyawa-nyawa hilang’
Data (100) menunjukkan adanya perulangan konsonan /ny/ sebanyak
empat kali dalam satu baris yaitu pada suku kata terakhir dari kata trênyuh
‘terharu (bercampur sedih)’ , kemudian pada suku kata pertama kata nyawang
65
‘melihat’, dan kata ulang nyawa-nyawa ‘nyawa-nyawa’. Adanya perulangan
bunyi konsonan [ñ] pada data menimbulkan keruntutan bunyi dalam satu larik.
g) Aliterasi konsonan /r/
(101) Dorèmi dadhu karo rèmi (D/I/1) ‘Doremi dadu dan remi’
Wiwit iki mbok ya dilereni (D/I/2) ‘Mulai sekarang sebaiknya dihentikan’
Berdasarkan uraian di atas perulangan konsonan /r/ terjadi pada baris
pertama yang ditunjukkan oleh suku kata kedua dari kata dorèmi ‘doremi’; suku
kata terakhir dari kata karo ‘dengan’; dan suku kata pertama dari kata rèmi ‘remi’.
Penggunaan aliterasi konsonan /l/ berfungsi memperindah tuturan saat dilafalkan.
h) Aliterasi konsonan /s/
(102) Sênadyan saka lokalisasi (CA2/I/3) ‘Meskipun dari lokalisasi’
Tansah tak tampa (CA2/I/3) ‘Akan saya terima’
Perulangan konsonan /s/ yang menunjukkan adanya aliterasi terdapat pada
baris pertama yang diwakili oleh suku kata pertama dari kata sênadyan
‘meskipun’ dan saka ‘dari’; serta pada penultima dan ultima dari kata lokalisasi
‘lokalisasi’. Fungsi dari aliterasi tersebut yaitu menambah keseragaman bunyi saat
dilafalkan sehingga akan terasa lebih indah.
(103) Sila donga sujud syukur (SS/VI/2) ‘Sila doa sujud syukur’
Aliterasi yang di tampilkan pada data (103) adalah aliterasi konsonan /s/
dengan perulangan sebanyak tiga kali dalam satu baris yang ditunjukkan oleh
suku kata pertama dari kata sila ‘sila’, sujud ‘sujud’, dan syukur ‘syukur’. Maksud
dari perulangan tersebut ialah untuk menyelaraskan bunyi konsonan di awal kata
sehingga akan lebih enak untuk dilafalkan.
66
i) Aliterasi konsonan /t/
(104) Senadyan aku amung bojo simpênan (BS/IV/4)
Sêjatine aku trêsna têmênan (BS/IV/5)
‘Meskipun saya hanya istri simpanan’
‘Sebenarnya saya benar-benar cinta’
Data (104), menunjukkan adanya aliterasi konsonan /t/ sebanyak tiga kali
pada baris kedua oleh penultima dari kata sêjatine ‘sejatinya’; suku kata pertama
dari kata trêsna ‘cinta’, dan têmênan ‘sungguhan’. Perulangan ini menimbulkan
kesan suara yang runtut dan indah.
(105) Tansah tak trima (CA2/IV/4)
Tak tampa kanti ikhlas ati (CA2/IV/5)
‘Akan saya terima’
‘Saya terima dengan ikhlas hati’
Pada suku kata pertama dari kata tansah ‘akan’, tak trima ‘saya terima’,
tak tampa ‘saya terima’; dan suku kata terakhir dari kata kanti ‘dengan’, dan ati
‘hati’ menunjukkan aliterasi konsonan /t/ yang nampak pada baris pertama dan
kedua dari data (105). Fungsi dari perulangan konsonan /t/ pada data yaitu
menciptakan keharmonisan bunyi sehingga lebih merdu diucapkan.
(106) Durung suwe nggonku kenalan (GA/IV/1)
Bên keprungu swarane (GA/IV/2)
Ati tansah tratapan (GA/IV/3)
‘Belum lama saya berkenalan’
‘Setiap terdengar suaramu’
‘Hati akan berdebar’
Aliterasi konsonan /t/ pada baris ketiga data (106) menunjukkan kesan
indah dengan menampilkan bunyi [t] yang diulang-ulang sebanyak empat kali.
oleh suku kata terakhir kata ati ‘hati’; suku kata pertama kata tansah ‘akan’; dan
suku kata pertama dan kedua kata tratapan ‘berdebar-debar’ yang berada pada
67
baris ketiga. Fungsi dari perulangan konsonan /t/ tersebut memberikan kesan
indah dengan menampilkan bunyi [t] yang diulang-ulang sebanyak empat kali.
j) Aliterasi konsonan /w/
(107) Merga kowe sing tak trêsna (ARK/I/4)
Wis diduwèni wong liya (ARK/I/5)
‘Karena Kamu yang saya cintai’
‘Sudah ada yang memiliki’
Perulangan konsonan /w/ pada kutipan syair di atas ditunjukkan oleh suku
kata pertama dari kata wis ‘sudah’, dan wong ‘orang’; penultima dari kata
diduwèni ‘dimiliki’. Aliterasi konsonan /w/ yang ditampilkan pada baris kedua
data (107), berfungsi menambah keindahan syair lagu.
Tabel 1.2 Dominasi Aliterasi dalam LLBJKNB
No Aliterasi Jumlah Persentase Posisi
1 a. Konsonan [k] 3 15%
suku kata pertama, suku kata kedua
dari belakang, dan suku kata terakhir
2 b. Konsonan [l] 1 5%
suku kata pertama , suku kata
terakhir
3 c. Konsonan [m] 3 15%
suku kata pertama, suku kata kedua
dari belakang, dan suku kata terakhir
4 d. Konsonan [n] 1 5% suku kata terakhir
5 e. Konsonan [ŋ] 4 20%
suku kata pertama, suku kata kedua
dari belakang, dan suku kata terakhir
6 f. Konsonan [ñ] 1 5%
suku kata pertama, suku kata kedua
dari belakang, dan suku kata terakhir
7 g. Konsonan [r] 1 5%
suku kata pertama, suku kata kedua
dari belakang, dan suku kata terakhir
8 h. Konsonan [s] 2 10%
suku kata pertama, suku kata kedua
dari belakang, dan suku kata terakhir
9 i. Konsonan [t] 3
15%
suku kata pertama, suku kata kedua
adri depan, suku kata kedua dari
belakang (penultima), dan suku kata
terakhir
10 j. Konsonan [w] 1 5%
suku kata pertama, suku kata kedua
dari belakang
Total 20 100%
68
Melalui tabel di atas, diketahui bahwa aliterasi dengan persentase tertinggi
adalah aliterasi konsonan [ŋ] yang memperoleh persentase sebesar 20% dengan
distribusinya pada suku kata pertama, suku kata kedua dari belakang, dan suku
kata terakhir, disusul aliterasi konsonan [k] sebanyak 15% dan aliterasi konsonan
[m] dengan persentase 15% dengan posisi terletak pada suku kata pertama, suku
kata kedua dari belakang (penultima), dan suku kata terakhir, serta aliterasi
konsonan [t] sebesar 15% pada suku kata pertama, suku kata kedua adri depan,
suku kata kedua dari belakang (penultima), dan suku kata terakhir.
Persentase terkecil ditunjukkan oleh aliterasi konsonan [l] dengan posisi di
suku kata pertama dan suku kata terakhir, aliterasi konsonan [n] pada suku kata
terakhir, aliterasi konsonan [ñ] pada suku kata pertama, suku kata kedua dari
belakang, dan suku kata terakhir, serta aliterasi konsonan [w] pada suku kata
pertama dan suku kata kedua dari belakang yang masing-masinghanya
memperoleh persentase sebesar 5% dari keseluruhan jumlah total persentase.
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diperoleh informasi bahwa
persentase tertinggi dari keseluruhan total data merupakan asoansi konsonan /ng/
dengan produktifitas tertinggi berdistribusi paling intensif muncul menjadi
pembangun struktur bunyi dalam LLBJKNB.
1.3 Purwakanthi Lumaksita
Purwakanthi lumakasita merupakan perulangan kata maupun suku kata
yang beruntun pada akhir baris kemudian diulang pada awal baris selanjutnya.
Realisasi dari purwakanthi lumaksita dalam LLBJKNB dapat dilihat melalui
analisis berikut.
69
(108) Akèh malapêtaka kang lagi dicoba (PM/III/2)
Pacobaning urip saking kang Maha Kuwasa (PM/III/3)
‘Banyak malapetaka yang sedang diujikan’
‘Ujian hidup dari Yang MahaKuasa’
Data (108), purwakanthi lumaksita ditunjukkan pada akhir baris pertama
yaitu kata coba ‘uji’ yang memproleh afiksasi dan diulang di awal baris
berikutnya dengan adanya variasi bentuk dari kata tersebut. Kata dasar coba ‘uji’
pada baris pertama memperoleh prefiks {di-} sehingga berubah menjadi kata
dicoba ‘diujikan’. Pada baris kedua kata coba ‘uji’ memperoleh konfiks {pa- -an}
menjadi pacobaan → pacoban yang kemudian bergabung dengan kata ing
menjadi kata pacobaning.
Akèh malapêtaka kang lagi (di- + coba)
{(pa- -an + coba)+ -ing} saking kang Maha Kuwasa
Purwakanthi lumaksita pada data di atas memiliki fungsi menegaskan
maksud pengarang bahwa Tuhanlah sumber segala ujian hidup manusia di dunia
ini dengan mengulang kata coba ‘uji’ yang divariasi.
(109) Kusumawicitra sing dadi sêksine (MMLT/II/1)
Nyinêksèni trêsnaku mring kowe (MMLT/II/2)
‘Beraneka macam bunga yang menjadi saksinya’
‘Menyaksikan cintaku pada Kamu’
Data (109), terdapat purwakanthi lumaksita dengan mengulang kata sêksi
‘saksi’ yang divariasi bentuk di akhir baris pertama dan awal aris kedua. Kata
sêksi ‘saksi’ pada baris pertama mendapat sufiks {-ne} menjadi kata sêksine
‘saksinya’. Sedangkan kata sêksi ‘saksi’ pada awal baris kedua mendapat afiksasi
berupa perfiks {ny-} dan sufiks {-an} menjadi nyêksèn, kemudian mendapat
infiks {-in} dan sufiks {-i} menjadi kata nyinêksèni ‘menyaksikan’.
Kusumawicitra sing dadi (sêksi + -ne)
70
[{((ny- + sêksi ) + -an) + -i} + -in-] trêsnaku mring kowe
Purwakanthi lumaksita pada data (109) memiliki maksud bahwa dengan
adanya perulangan tersebut lebih menekankan makna bahwa bermacam-macam
bunga tersebut menjadi saksi cinta seseorang.
Tabel 1.3 Rekapitulasi Aspek Penanda Bunyi dalam LLBJKNB
No Aspek Penanda Bunyi Jumlah Persentase
1 Asonansi
a. Vokal [a] 9 11,84%
b. Vokal [ɔ] 19 25,00%
c. Vokal [i] 10 13,15%
d. Vokal [I] 1 1,31%
e. Vokal [u] 8 10,52%
f. Vokal [ʊ] 2 2,63%
g. Vokal [e] 3 3,94%
h. Vokal [ə] 1 1,31%
i. Vokal [O] 1 1,31%
2 Aliterasi
k. Konsonan [k] 3 3,94%
l. Konsonan [l] 1 1,31%
m. Konsonan [m] 3 3,94%
n. Konsonan [n] 1 1,31%
o. Konsonan [ŋ] 4 5,26%
p. Konsonan [ñ] 1 1,31%
q. Konsonan [r] 1 1,31%
r. Konsonan [s] 2 2,63%
s. Konsonan [t] 3 3,94%
t. Konsonan [w] 1 1,31%
3 Purwakanthi Lumaksita 2 2,63%
Total 76 100%
Berdasarkan tabel di atas, aspek penanda bunyi yang paling dominan
adalah asonansi vokal [ɔ] dengan persentase 25%, kemudian urutan di bawahnya
yaitu asonansi [i] sebesar 13,15% dan asoansi vokal [a] sebesar 11,84%. Jika
dibandingkan dengan pemerolehan persentase asonansi lainnya, asonansi vokal
71
[I], [ə], dan vokal [O] mendapat jumlah persentase terendah yaitu hanya
memperoleh 1,31%.
Aspek penanda bunyi yaitu aliterasi [ŋ] pada tabel di atas menunjukkan
persentase terbanyak dibandingkan asonansi yang lainnya yaitu sebesar 5,26%.
Sedangkan purwakanthi lumaksita dalam tabel dengan jumlah perolehan dua
hanya memiliki persentase sebesar 2,63% pada keseluruhan data.
Melalui tabel dominasi tersebut, dapat diketahui bahwa asonansi
merupakan aspek penanda bunyi dengan jumlah tertinggi dibanding aliterasi dan
purwakanthi lumaksita. Hal ini dikarenakan asonansi merupakan aspek penanda
bunyi yang paling produktif membentuk struktur pelafalan dan pola variasi
dengan konsonan.
2. Diksi dan Aspek Penanda Morfologis
a. Diksi
Diksi merupakan pilihan kata yang selaras dalam penggunaannya untuk
mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu seperti yang
diharapakan. Adapun pemanfaatan diksi pada LLBJKNB dapat dilihat pada
uraian berikut.
1) Sinonimi
Sinonimi adalah dua kata atau lebih yang mempunyai makna berdekatan.
Sinonimi dalam bahasa Jawa memiliki istilah tersendiri yaitu dasanama. Berikut
adalah pilihan diksi yang menandakan adanya sinonimi pada LLBJKNB.
(110) Nèng donya ora ana cahya (SS/I/1)
Ndahne ya pêtênge kaya apa (SS/I/2)
‘Di dunia tidak ada cahaya’
‘Betapa gelapnya seperti apa’
72
(111) Nang donya ra ana swara (SS/II/1)
Ndahne ya sêpine kaya apa (SS/II/2)
‘Di dunia tidak ada suara’
‘Betapa sepinya seperti apa’
(112) Ora sugih sing ana malah kere (D/III/5)
‘Tidak kaya yang ada malah miskin’
(113) Ben dina sambat mumêt sambat ngêlu (D/V/5)
‘Setiap hari mengeluh pusing mengeluh pening’
(114) Sing pênting têrtib lan ora tawuran (PJ/V/3)
‘Yang penting tertib dan tidak tawuran’
(115) Ndadèkne wêrna-werni, ning rupane ora padha (SS/VIII/2)
‘Menjadikan warna-warni, tetapi rupanya tidak sama’
(116) Ilang bandha donya uga sanak uga kadang (PM/II/2)
‘Hilang harta benda juga sanak juga keluarga
Data (110) sampai dengan (116) di atas, menunjukkan adanya kata yang
berbentuk sinonimi. Pada data (110), sinonimi terdapat pada tuturan ora ana
cahya ‘tidak ada cahaya’ pada akhir baris pertama yang bersinonim dengan kata
pêtêng ‘gelap’ pada kata ketiga baris setelahnya. Seperti halnya data (110), pada
data (111) terdapat sinonimi pada tuturan ra ana swara ‘ tidak ada suara’ di akhir
larik pertama yang bersinonim dengan kata sêpi ‘sepi’ pada larik setelahnya. Pada
data (112), (113), (114), (115) dan (116), sinonimi terdapat pada akhir baris dari
tuturan ora sugih = kere ‘miskin’, mumêt = ngêlu ‘pusing’, têrtib = ora
tawuran ‘teratur’, wêrna-werni = rupane ora padha ‘warna-warni’ sanak
‘sanak’ = kadang ‘keluarga’.
Sinonimi pada tuturan tersebut memiliki fungsi penekanan pada suatu hal
yang ingin dipertegas oleh pengarang dengan menampilkan diksi yang memiliki
kemiripan makna.
73
2) Antonimi
Antonimi adalah kata-kata yang mengalami pertentangan makna.
Antonimi berdasarkan sifatnya terbagi menjadi lima kategorial yaitu 1) Oposisi
Mutlak, 2) Oposisi Kutub, 3) Oposisi Hubungan, 4) Oposisi Hirarkial, dan 5)
Oposisi Majemuk. Akan tetapi, dalam LLBJKNB hanya ditemukan antonimi
dengan oposisi mutlak dan oposisi kutub. Berikut pemaparan dari antonimi yang
ditemukan dalam LLBJKNB.
(117) Tak unggah udhukne (PIL/II/4)
Pancen wis tiba wancine (PIL/II/5)
Ikhlas ati yèn pancèn amung sêmene (PIL/II/6)
‘Saya pertimbangkan’
‘Memang sudah tiba saatnya’
‘Ikhlas hati jika cukup hanya sekian’
Data (117) merupakan antonimi oposisi kutub, maksudnya pada tuturan
tersebut terdapat oposisi makna yang menyatakan adanya tingkatan pada kata-kata
tersebut. Pada data (117) antonimi terdapat pada kata unggah >< udhuk ‘naik ><
turun’. Kata unggah berasal dari kata munggah yang mengalami aferesis dengan
menghilangkan konsonan /m/ di awal kata. Sedangkan kata undhuk berasal dari
kata mudhuk/mudhun yang mengalami pelesapan huruf /m/ di suku kata pertama,
kemudian mengalami aferesis di awal suku kata menjadi udhuk.
Antonimi yang di tampilkan pada data di atas terletak pada akhir baris
pertama memiliki fungsi untuk menerangkan maksud bahwa dalam memutuskan
sesuatu tidak boleh gegabah, harus mempertimbangkan baik buruknya keputusan
yang diambil. Oleh karena itu, pengarang memilih diksi ungah udhuk agar
memperjelas konteks lagu yang disampaikan lewat tuturan data (117).
(118) Bandha lan donya (D/IV/1)
Kabèh ilang musna (D/IV/2)
74
Sing ana kari raga karo nyawa (D/IV/3)
‘Harta benda’
‘Semua hilang musna’
‘Yang ada tinggal raga dengan nyawa’
Data (118), antonimi terdapat pada akhir baris ketiga yang ditunjukkan
oleh kata raga ‘raga (badan)’ >< nyawa ‘nyawa (roh)’ yang memiliki
pertententangan makna secara mutlak. Pemilihan diksi raga >< nyawa yang
mencerminkan adanya antonimi dengan maksud meyampaikan sindiran kepada
orang lain apabila semua harta bendanya musnah yang ada tinggallah raga dengan
nyawa. Bentuk sindiran yang seperti ini bertujuan agar memperoleh respon dari
pendengar.
3) Kosakata Asing
Kosakata asing yang ada pada LLBJKNB terdiri dari kosakata bahasa
Indonesia dan kosakata bahasa Inggris. Penggunaan kosakata bahasa Indonesia
pada LLKNB dapat dilihat dari data-data berikut.
1. Kosakata bahasa Indonesia
(119) Dadèkne bubrahing moral lan akhlakmu (CA1/I/2)
‘Membuat rusak moral dan akhlakmu’
(120) Nganti nekad ati jêgur nang lokalisasi (CA1/I/3)
‘Hingga nekat hati masuk ke lokalisasi’
(121) Dudu karêp ati iki jêgur nang lokalisasi (CA1/II/1)
‘Bukan maksud hati ini masuk ke lokalisasi’
(122) Sênadyan saka lokalisasi (CA2/I/3)
‘Meskipun dari lokalisasi’
(123) Nèng lokalisasi nggonku nandhang lara cupêt ati (CA2/II/3)
‘Di lokalisasi tempatku merasakan sakit hati’
(124) Lêwat gêlombang radio (GA/II/1) ‘Lewat gelombang radio’
75
(125) Ora ngêrti lagune (PJ/VII/1) ‘Tidak tahu lagunya’
(126) Ora ngêrti syaire (PJ/VII/2) ‘Tidak tahu syairnya’
(127) Ra kênal penyanyine (PJ/VIII/1) ‘Tidak kenal penyanyinya’
(128) Ra ngêrti penciptane (PJ/VIII/2) ‘Tidak tahu penciptanya’
Kosakata bahasa Indonesia LLBJKNB diantaranya, yaitu kata moral dan
akhlak pada akhir larik dari data (119), kata lokalisasi yang muncul pada akhir
dan tengah baris data (120) sampai dengan (123); kata gelombang radio pada data
(124); kata lagu, syair, penyanyi, pencipta pada akhir baris data (125) sampai
(128). Terselipnya kata bahasa Indonesia dalam data-data di atas dimaksudkan
agar tuturan lebih mudah dipahami. Akan tetapi, pada data (125) sampai dengan
(128) menunjukkan adanya interferensi morfologi yakni usaha mengubah kata-
kata dalam bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa dengan membubuhkan sufiks
{-e/ne} pada akhir kata tersebut. Meskipun hal ini melanggar kaidah gramatikal
bahasa yang diserap, pola seperti ini menjadi karakteristik dalam LLBJKNB
untuk memberikan kesan komunikatif.
2. Kosakata Bahasa Inggris
Selain kosakata bahasa Indonesia, terdapat pula kosakata bahasa Inggris
pada LLBJKNB. Namun, kosakata bahasa Inggris dalam LLBJKNB sangat minim
penggunaannya. Dari keseluruhan sampel, hanya ditemukan satu data yang
mewakili adanya penggunaan kosakata bahasa Inggris. Berikut pemaparan data
tersebut.
(129) Request lagu (GA/II/4) ‘Minta lagu’
‘Gelombang asmara (GA/II/5) ‘Gelombang Asmara’
76
Kata bahasa Inggris yang ditunjukkan pada awal baris data (129) yaitu
kata request ‘minta’ yang menunjukkan adanya variasi bahasa. Kata request
dalam data (129) menunjukkan adanya maksud pengarang untuk sekedar
mengikuti trend/gaya bahasa anak muda saat ini yang sering menyisipkan
kosakata Inggris untuk meningkatkan kesan komunikatif.
4) Kosakata Kawi (Tembung Kawi)
Selain kosakata bahasa Indonesia dan Inggris, Kosakata Kawi dalam
LLBJKNB menambah jumlah variasi bahasa yang dipakai Nur Bayan dalam
menciptakan lagu. Pada LLBJKNB ditemukan kosakata Kawi sebagai berikut.
(130) Kusumawicitra sing dadi sêksine (MMLT/I/2)
‘Bermacam-macam bunga yang menjadi saksinya’
(131) Eling nalika kayungyun (PM/I/2)
‘Ingat ketika jatuh hati’
Kata-kata yang termasuk dalam tembung Kawi diantaranya kata
kusumawicitra ‘(kêmbang warna-warna) bermacam-macam bunga’ pada awal
baris data (130), dan kata kayungyun ‘(kêsêngsêm) jatuh hati’ pada akhir baris
data (131). Kata-kata Kawi tersebut berdistribusi di akhir dan awal baris. Kata
Kawi digunakan oleh pengarang dengan tujuan untuk menambah nilai arkhais
data-data di atas.
5) Kosakata dialek Jawa Timuran
Pada LLBJKNB juga ditemukan kosakata dialek Jawa Timuran khususnya
kosakata dialek Kediri dan daerah sekitarnya. Adapun analisis dari dialek tersebut
dapat dilihat pada kutipan berikut.
(132) Nganti nekad ati jêgur nang lokalisasi (CA1/I/3)
‘Hingga nekat hati masuk ke lokalisasi’
77
(133) Dudu karêp ati iki jêgur nang lokalisasi (CA1/I/3)
‘Bukan keinginan hati ini masuk ke lokalisasi’
(134) Nang donya ra ana swara (CA1/I/3)
‘Di dunia tidak ada suara’
(135) Nang donya ora ana dosa (CA1/I/3)
‘Di dunia tidak ada dosa’
Kata nang dalam LLBJKNB merupakan ragam dialek Jawa Timur dengan
maksud menyatakan padanan kata anèng (ana + ing) atau nèng. Fungsi dari
kosakata nang sebagai kata tunjuk untuk menunjukkan tempat. Pada data (132)
dan (133), kosakata nang berdistribusi di kata kedua dari belakang. Sedangkan
pada data (134) dan (135), kosakata nang berdistribusi di depan.
(136) Mandar muga sing Kuwasa ngijabahi (CA1/I/3)
‘Semoga Yang MahaKuasa mengabulkan’
Kosakata dialek Jawa Timuran lainnya yang ditemukan dalam LLBJKNB
ialah kata mandar ‘malah’. Kosakata ini merupakan kosakata khas dari daerah
Jawa Timur, khususnya daerah Kediri dan sekitarnya. Kata mandar sering
digunakan dalam percakapan sehari-hari di kawasan Kediri dan sekitarnya.
Berdasarkan penggunaan kosakata yang mengandung unsur dialek tersebut,
pengarang bermaksud memberikan penciri atas karya sastranya agar nampak khas.
6) Kata Sapaan
Kata sapaan dalam LLBJKNB berbentuk satuan lingual bahasa yang
menunjukkan unsur komunikatif untuk menyapa dan menambah efek keakraban.
Kata sapaan yang ditemukan di LLBJKNB, dapat dilihat pada pemaparan berikut.
(137) Mêrga kowe sing tak trêsna (ARK/I/5) ‘Karena Kamu yang saya cinta’
(138) Mêrga kowe ra nang kene (SLNJ/II/5) ‘Karena Kamu tidak ada di sini’
78
(139) Tega tênan kowe cidra ing janji (CA1/I/4)
‘Tega benar Kamu ingkari janji’
(140) Pama biyèn kowe manut kandhane wong tuwa (D/IV/1)
‘Seumpama dahulu Kamu menurut perkataan orang tua’
(141) Nanging aja kowe nglali (SS/V/1) ‘Tetapi jangan Kamu lupa’
(142) Nyinêksèni trêsnaku mring kowe (MMLT/II/2)
‘Menyaksikan cintaku padamu’
(143) Nggo sangune urip aku lan kowe (SLNJ/III/3)
‘Untuk bekal hidup saya dan Kamu’
Data (137) dan (138) menunjukkan adanya kata sapaan yang ditunjukkan
dengan diksi kowe pada kata kedua dari depan. Pada data (139), (140), dan (141),
kata sapaan kowe berdistribusi pada kata ketiga dari depan. Sedangkan kata
sapaan kowe pada data (142) dan (143) berdistribusi di akhir baris. Kata kowe
merupakan kata sapaan yang mengacu pada pronomia persona kedua tunggal
bentuk bebas.
(144) Pama sliramu ngêrti (BK/II/1) ‘Seumpama dirimu tahu’
(145) Nyawang sliramu sêsandhingan (MMLT/I/2) ‘Melihat dirimu bersanding’
(146) Marang sliramu wong bagus (ARK/I/2) ‘Pada dirimu pria tampan’
(147) Nêm taun sliramu ra bali (CA2/II/4) ‘Enam tahun dirimu tidak kembali’
(148) Apa anane sliramu tansah tak trima (CA2/V/3)
‘Apa adanya dirimu akan saya terima’
(149) Tak wèhna sliramu sayang (GA/III/3) ‘Saya berikan padamu sayang’
(150) Wis nêm taun sliramu ora bali (CA1/II/2)
‘Sudah enam tahun dirimu tidak kembali’
(151) Dhuh Kangmas kudune sliramu kandha apa anamu (CA2/IV/1)
79
‘Dhuh Kakanda harusnya dirimu mengatakan apa adamu’
(152) Kaya ra lila aku kèlangan sliramu (MMLT/IV/2)
‘Seperti tidak ikhlas saya kehilangan dirimu’
(153) Kudu-kudu aku mbalik nang sliramu (PIL/III/3)
‘Ingin saya kembali pada dirimu’
(154) Ra bakal nrima sliramu (PIL/III/5) ‘Tidak akan menerima dirimu’
Pada data (144), (145), dan (146) terdapat kata sapaan yaitu sliramu pada
kata kedua. Data (147) hingga (149), kata sapaan yaitu sliramu berada pada kata
ketiga dari depan. Kemudian data (150) dan (151), kata sliramu terdapat pada
kata keempat dari depan. Sedangkan pada data (152) hingga (154), kata sliramu
berdistribusi di akhir baris. Kata sliramu merupakan kata sapaan yang mengacu
pada pronomina persona kedua tunggal bentuk bebas.
Pada data (151) juga terdapat kata sapaan yang berdistribusi pada kata
kedua, kata Kangmas untuk menyebut seseorang yang dekat dengan penutur, bisa
digunakan untuk menyebut kekasih. Pemakaian kata sapaan pada data-data di atas
berfungsi menambah nilai komunikatif tuturan.
7) Tembung saroja
Tembung saroja yaitu dua kata yang mempunyai makna yang sama atau
hampir menyamai yang dipakai secara bersamaan, apabila salah satu kata berdiri
sendiri maka maknanya akan berbeda. Dalam LLBJKNB ditemukan tembung
saroja yang dapat dilihat pada data berikut ini.
(155) Nanging aku amung bisa nangis brêbês mili (ARK/II/3)
‘Tetapi saya hanya bisa meneteskan air mata yang jatuh mengalir
(ke bawah)’
(156) Bandha lan donya (D/IV/3) ‘Harta dan benda’
Kabèh ilang musna (D/IV/3) ‘Semua hilang musnah’
80
Adanya tembung saroja dalam data ditunjukkan oleh akhir baris dari kata
brêbês mili yang merupakan gabungan dari kata brêbês ‘jatuh’ mili ‘mengalir (ke
bawah)’ yang memiliki makna yang hampir sama, kata tersebut juga berdistribusi
di akhir baris. Kemudian data (156), tembung saroja ditunjukkan oleh kata ilang
musna yang merupakan gabungan dari kata ilang ‘hilang’, dan musna ‘musnah’.
Kata ilang musna berdistribusi di akhir baris kedua dari data (156). Pemilihan
kata-kata dengan menggunakan tembung saroja mempunyai maksud agar ada
variasi kata yang berkesan arkhais dan estetis pada syair lagu Nur Bayan.
8) Tembung Garba
Tembung garba pada LLBJKNB hanya ditemukan satu bentuk yaitu berupa
aferesis dari kata anèng (ana + ing) yang mengalami mengalami persandian.
(157) Nèng lokalisasi nggonku nandhang lara cupêt ati (CA2/II/3)
‘Di lokalisasi tempatku merasakan sakit berkecil hati’
(158) Nèng penjara panggonanku nglakoni mangsa ukuman (CA2/III/3)
‘Di penjara tempatku menjalani waktu hukuman’
(159) Nèng donya ora ana cahya (SS/I/2) ‘Di dunia ini tidak ada cahaya’
(160) Nèng kene kabèh kanca (PJ/VI/1) ‘Disini semua teman’
(161) Nèng gisik dermaga, Waduk Wonorejo (MMLT/III/3)
‘Di bibir dermaga, Waduk Wonorejo’
(162) Ning nèng awak krasa angêt (TO/III/2) ‘Tetapi di badan terasa hangat’
(163) Kutha Pare sing wis kêtali nèng ati (BK/II/6)
‘Kota Pare yang sudah terikat di hati’
81
Distribusi kata nèng pada data di atas terletak di awal larik, kata kedua
dari depan, dan kata kedua dari belakang. Fungsi dari tembung garba pada data-
data di atas untuk mempermudah pelafalan lirik.
9) Tembung Panyeru
Kata seru atau tembung panyeru merupakan kata yang menggambarkan
perasaan sedih, senang, kecewa, susah, dan rasa heran. Berikut kata seru yang
ditemukan dalam LLBJKNB.
(164) Dhuh kangmas pancèn jêmbar têmênan atimu (CA2/II/1)
‘Duh Kakanda memang lapang betul hatimu’
(165) Dhuh wong ayu pêpujanku sing tak sayang (CA2/III/1)
‘Duh wanita cantik pujaanku yang aku sayang’
(166) Dhuh kangmas kudune sliramu kandha apa anamu (CA2/IV/1)
‘Duh Kakanda harusnya dirimu mengatakan apa adamu’
(167) Ra kênal penyanyine (PJ/VIII/1)
Ra ngêrti penciptane (PJ/VIII/2)
Sing pênting hore rame-rame... (PJ/VIII/2)
‘Tidak kenal penyanyinya’
‘Tidak tahu penciptanya’
‘Yang penting hore bersama-sama’
Pada data (164) hingga (166), kata seru yang ditampilkan merupakan
aferesis dari kata adhuh yang mengungkapkan perasaan sedih. Kata dhuh pada
data menggambarkan kesedihan seorang pasangan suami istri yang telah lama
berpisah kemudian bertemu kembali. Kata seru dhuh, berdistribusi di awal baris.
Data (167), terdapat kata seru hore yang menyatakan perasaan gembira.
Kata seru hore berdistribusi di tengah baris pada larik terakhir data (167). Fungsi
dari penggunaan kata seru hore dalam data yaitu pengarang ingin menyampaikan
pesan bahwa apabila kita berkumpul dengan teman-teman yang kita rasakan ialah
rasa gembira.
82
10) Epentesis
Epentesis merupakan penambahan bunyi atau penyisipan bunyi di tengah
kata. Dalam LLBJKNB hanya ditemukan satu bentuk epentesis yaitu kata
umpama yang berasal dari kata upama dengan mengalami penyisipan bunyi
konsonan /m/ di tengah kata, namun tidak merubah makna kata tersebut.
(168) Umpama bisa aku gayuh lintang (GA/III/1)
Kêpengin tak pêthik (GA/III/1)
Tak wèhna sliramu sayang (GA/III/1)
‘Seumpama bisa saya meraih bintang’
‘Akan saya petik’
‘Saya berikan padamu sayang’
(169) Bayangna umpama (SS/I/1)
Nèng donya ora ana cahya (SS/I/2)
Ndahne ya pêtênge kaya apa (SS/I/3)
‘Bayangkan seumpama’
‘Di dunia tidak ada cahaya’
‘Betapa petangnya seperti apa’
(170) Bayangna umpama (SS/II/1)
Nang donya ra ana swara (SS/II/2)
Ndahne ya sêpine kaya apa (SS/II/3)
‘Bayangkan seumpama’
‘Di dunia tidak ada suara’
‘Betapa sepinya seperti apa’
(171) Bayangna umpama (SS/III/1)
Nang donya ora ana dosa (SS/III/2)
Wis pirang mênungsa sing bakal tumindak ala (SS/III/3)
‘Bayangkan seumpama’
‘Di dunia tidak ada dosa’
‘Sudah berapa manusia yang akan bertindak buruk’
Data (168), menunjukkan adanya epentesis kata umpama di awal baris.
Sedangkan pada data (169) hingga (171), epentesis kata umpama berada di akhir
bait pada tiap baris pertama. Epentensis kata umpama pada data-data di atas
berfungsi memberikan kesan indah dengan sedikit menyisipkan bunyi konsonan
di tengah kata.
83
11) Aferesis
Aferesis adalah pengurangan jumlah suku kata di awal untuk melancarkan
pelafalan dan mempersingkat tuturan saat diucapkan. Pada LLBJKNB ditemukan
ada beberapa kata yang masuk dalam kategorial aferesis. Adapun aferesis yang
dimaksudkan adalah sebagai berikut.
a) Pama
(172) Pama sliramu ngêrti (BK/II/1) ‘Seumpama dirimu tahu’
(173) Pama biyen kowe manut kandhane wong tuwa (D/IV/1)
‘Sumpama dulu Kamu menurut perkataan orang tua’
Data (172) dan (173) menunjukkan adanya aferesis pada kata pama yang
berasal dari kata upama ‘seumpama’. Kata upama pada data di atas selalu
berdistribusi di depan kalimat karena digunakan pengarang di awal syair.
b) Ra
(174) Ra mbok tututana (CA1/IV/1) ‘Tidak Kamu kejarpun’
(175) Ra kudune aku cupêt ati sing kaya mêngkene (CA2/IV/2)
‘Tidak seharusnya saya berkecil hati (putus asa) seperti ini’
(176) Ra mungkin uripmu tansah rêkasa (D/IV/2)
‘Tidak mungkin hidupmu akan kesulitan’
(177) Ra kênal penyanyine (PJ/VII/1) ‘Tidak kenal penyanyinya’
(178) Ra ngêrti penciptane (PJ/VII/2) ‘Tidak kenal penciptanya’
(179) Ra bakal nrima sliramu (PIL/III/5) ‘Tidak akan menerima dirimu’
(180) Ra nyana nuwuhke trêsna (PJ/V/4)
‘Tidak menyangka menumbuhkan cinta’
(181) Ra ana siji mênungsa sing bisa ngramalna (PM/III/4)
‘Tidak ada satu manusia yang bisa meramalkan’
(182) Kabeh wis ra ana guna (PJ/IV/2) ‘Semua sudah tidak ada guna’
84
(183) Merga kowe ra nang kene (SLNJ/II/5) ‘Karena Kamu tidak ada di sini’
(184) Nang donya ra ana swara (PJ/II/2) ‘Di dunia tidak ada suara’
(185) Wis ra ana kabar êmbuh papanku nèng êndi (CA1/II/3)
‘Sudah tidak ada kabar tidak tahu tempatku di mana’
(186) Kaya ra lila aku kèlangan sliramu (MMLT/IV/2)
‘Seperti tidak ikhlas saya kehilangan dirimu’
(187) Aku ra bakal lali marang janji sing kêtali (SLNJ/IV/2)
‘Saya tidak akan lupa pada janji yang terikat’
(188) Kaya-kaya ra lila (BK/II/6) ‘Seperti tidak ikhlas’
(189) Wis nasibe mbên dina ra kêtunggonan (BS/II/4)
‘Sudah nasibnya setiap hari tidak ditemani’
(190) Nêm taun sliramu ra bali (BK/II/4) ‘Enam tahun dirimu tidak kembali’
Data (174) sampai dengan data (190) menunjukkan adanya aferesis pada
kata ra yang berasal dari kata ora ‘tidak’. Letak dari aferesis tersebut sangat
beragam karena berada di awal baris yang ditunjukkan pada data (174) sampai
dengan data (181), berada pada kata ketiga dari depan yang ditunjukkan pada data
(182) hingga (184), berada setelah kata pertama (kata kedua dari depan) yang
ditunjukkan data (185) hingga (188), serta berada sebelum kata terakhir (kata
kedua dari belakang baris) yang ditunjukkan oleh data (189) dan (190).
c) Dha
(191) Bocah-bocah dha cakrukan (BK/VII/2)
‘Anak-anak sedang berkumpul’
Data (191) menunjukkan adanya aferesis pada kata dha yang berasal dari
kata padha ‘pada’. Kata dha dominan berdistribusi sebelum kata terakhir pada
baris (kata kedua dari belakang).
d) Isa
(192) Sing isa madhangi (BK/II/6) ‘Yang bisa menerangi’
85
Data (192) menunjukkan adanya aferesis pada kata isa yang berasal dari
kata bisa ‘bisa’ yang mengalami penghilangan konsonan /b/ pada suku kata
pertamanya. Letak dari aferesis isa pada data ditunjukkan pada kata kedua dari
belakang.
e) Mung
(193) Aku mung lampune lilin (BK/II/6) ‘Saya hanya lampunya lilin’
(194) Tansah ngêlayung, mung tansah ngêlamun (MMLT/II/3)
‘Akan pucat (karena sedih), hanya akan melamun’
(195) Mung swara radio sing bisa dadi gantine (GA/III/5)
‘Hanya suara radio yang bisa jadi gantinya’
Kata mung pada data (193) hingga (195) berasal dari kata amung ‘hanya’
yang mengalami aferesis di suku kata pertama sehingga menghilangkan vokal /a/
miring di depannya. Kata mung ‘hanya’ pada data di atas berdistribusi pada kata
kedua, kata ketiga dari belakang, dan awal baris.
f) Ndahne
(196) Nèng donya ora ana cahya (SS/I/2)
Ndahne ya pêtênge kaya apa (SS/I/3)
‘Di dunia tidak ada cahaya’
‘Betapa gelapnya seperti apa’
(197) Nang donya ra ana swara (SS/II/2)
Ndahne ya sêpine kaya apa (SS/II/3)
‘Di dunia tidak ada suara’
‘Betapa sepinya seperti apa’
Kata ndahne pada data (196) dan (197) merupakan aferesis dari kata
mendahne yang mengalami pengurangan jumlah vokal sebanyak dua yaitu
konsonan /m/ dan vokal /e/. Distribusi dari kata tersebut yaitu berada di awal
baris.
86
g) Nèng
(198) Nèng lokalisasi nggonku nandhang lara cupêt ati (CA2/II/3)
‘Di lokalisasi tempatku merasakan sakit berkecil hati’
(199) Nèng penjara panggonanku nglakoni mangsa ukuman (CA2/III/3)
‘Di penjara tempatku menjalani waktu hukuman’
(200) Nèng donya ora ana cahya (SS/I/2) ‘Di dunia ini tidak ada cahaya’
(201) Nèng kene kabèh kanca (PJ/VI/1) ‘Disini semua teman’
(202) Nèng gisik dermaga, Waduk Wonorejo (MMLT/III/3)
‘Di bibir dermaga, Waduk Wonorejo’
(203) Ning nèng awak krasa angêt (TO/III/2) ‘Tetapi di badan terasa hangat’
(204) Kutha Pare sing wis kêtali nèng ati (BK/II/6)
‘Kota Pare yang sudah terikat di hati’
Afiksasi yang ditunjukkan data di atas adalah afiksasi kata anèng yang
mengalami pengurangan jumlah kata di depan menjadi kata nèng. Kata anèng
berasal dari kata ana + ing yang mengalami mengalami persandian. Distribusi
kata nèng pada data di atas terletak di awal larik, kata kedua dari depan, dan kata
kedua dari belakang.
h) Ning
(205) Ning nèng awak krasa angêt (TO/III/2) ‘Tetapi di badan terasa hangat’
(206) Ning kahanane aku durung ngêrti slirane (GA/III/4)
‘Tetapi keadaannya saya belum tahu bagaimana parasnya’
(207) Ndadèkne wêrna-wêrni, ning rupane ora padha (SS/VIII/2)
‘Membuat warna-warni, Tetapi rupanya tidak sama’
Pada data (205) hingga (207) terdapat afiksasi yaitu kata ning. Kata ning
berasal dari kata nanging ‘tetapi’ yang mengalami penghilangan sejumlah huruf
87
di awal. Pada data di atas, kata ning terletak di awal baris data (206) dan (206).
Serta pada kata keempat dari belakang baris data (207).
i) Kang
(208) Marang kang Maha Kuwasa (SS/VI/3) ‘Kepada Yang MahaKuasa’
Kata kang ‘Yang’ pada kata kedua data di atas berasal dari kata ingkang
yang mengalami pengurangan jumlah suku kata di awal. Kata kang pada data
berdistribusi pada kata kedua dari depan.
j) Njur
(209) Njur têrus gol-sènggolan (GA/I/3) ‘Kemudian terus bersenggolan’
Data (209) di atas menunjukkan adanya aferesis pada kata njur yang
berasal dari kata banjur ‘kemudian’. Kata ini berdistribusi di awal baris data
(209).
k) Nggo
(210) Nggo sangune urip aku lan kowe (SLNJ/III/3)
‘Untuk bekal hidup saya dan Kamu’
Kata nggo pada awal larik di atas menunjukkan adanya aferesis dengan
menghilangkan sejumlah huruf di awal pada kata kanggo ‘untuk’ sehingga
berubah menjadi kata nggo. Aferesis pada data di atas berada pada awal baris.
l) Make
(211) Jaman biyèn kae make wis nate ngelingne (D/III/1)
‘Zaman dahulu ibu sudah pernah mengingatkan’
Pada data di atas, kata make merupakan bentuk dari penghilangan
sejumlah huruf pada kata mamak ‘ibu’ dan kemudian mendapat sufiks {-e} di
akhir kata. Kata mamak menurut persepsi penulis merupakan kata sebutan untuk
88
memanggil ibu. Kata make pada data tersebut berada pada kata keempat dari
depan maupun dari belakang.
m) Wong
(212) Dhuh wong ayu pêpujanku sing tak sayang (CA2/III/1)
‘Duh wanita cantik pujaanku yang saya sayang’
(213) Wong ayu sak tenane aku (ARK/IV/1) ‘Wanita cantik sebenarnya saya’
Kata wong pada data (212) dan (213) merupakan bentuk aferesis dari kata
uwong ‘orang’ yang mengalami penghilangan sejumlah huruf di awal. Letak dari
afiksasi wong ini berada pada kata kedua dari data (212) dan kata pertama pada
data (213).
n) Nggonku
(214) Kaya-kaya ora ikhlas nggonku lunga (PIL/I/3)
‘Seperti tidak ikhlas saya pergi’
(215) Nèng lokalisasi nggonku nandhang lara cupêt ati (CA2/II/3)
‘Di lokalisasi tempatku merasa sakit berkecil hati’
Pada data (214), aferesis ditunjukkan oleh kata nggonku pada kata
keempat yang berasal dari kata anggon yang mendapat sufiks {-ku} dan
mengalami pengurangan vokal /a/ di awal. Berbeda dengan data (214), data (215)
menunjukkan adanya aferesis pada kata nggonku yang berasal dari kata panggon
yang mendapat sufiks {-ku} dan mengalami pengurangan jumlah huruf di awal.
Meskipun kedua kata tersebut memiliki hasil aferesis yang sama, yaitu sama-sama
menggunakan kata nggonku akan tetapi memiliki perbedaan asal kata. Data (214),
menunjukkan bentuk aferesis nggonku yang mengacu pada persona atau orang,
sedangkan nggonku pada data (215) mengacu pada lokasi atau tempat.
o) Bên
(216) Bên kêprungu swarane (GA/IV/2) ‘Setiap terdengar suaranya’
89
(217) Bên dina sambat mumêt sambat ngêlu (D/V/5)
‘Setiap hari mengeluh pusing mengeluh pening’
Data (216) dan (217) menunjukkan adanya aferesis pada awal baris yaitu
ditandai dengan kata bên yang berasal dari kata sabên ‘setiap’ yang mengalami
pengurangan sejumlah dua huruf di awal kata. Kata bên pada data (198), maupun
data (199) berdistribusi di depan baris.
p) Nêm
(218) Wis nêm taun sliramu ora bali (CA1/II/2)
‘Sudah enam tahun dirimu tidak kembali’
(219) Nêm taun sliramu ra bali (CA2/II/4)
‘Enam tahun dirimu tidak kembali’
Data di atas menunjukkan adanya aferesis pada kata nêm yang merupakan
pelesapan dari kata ênêm ‘enam’ yang mengalami penghilangan vokal /ê/ di suku
kata pertama. Kata nêm menunjuk pada nama bilangan angka. Distribusi aferesis
tersebut dalam data (218) terdapat di kata kedua dari depan, sedangkan pada data
(219) terletak pada awal baris.
Berdasarkan pemaparan data, didapati adanya aferesis yang bervariasi.
Adanya aferesis pada LLBJKNB memiliki fungsi antara lain: 1) untuk
mempermudah pengucapan, 2) mendapatkan keseuaian tuturan dengan irama
lagu, 3) menambah nilai komunikatif lirik.
b. Aspek Penanda Morfologis
Aspek penanda morfologis yang terdapat dalam LLBJKNB terdiri dari
afiksasi dan reduplikasi. Afiksasi yang ditemukan dalam LLBJKNB berupa infiks/
seselan. Sedangkan reduplikasi yang ditemukan di LLBJKNB meliputi dwilingga
90
dan dwipurwa. Berikut merupakan analisis dari penanda morfologi yang ada
dalam LLBJKNB.
1. Reduplikasi
Reduplikasi yang paling menimbulan kesan arkhais dan mendukung
keindahan dalam LLBJKNB hanya terdapat pada reduplikasi dwipurwa. Adapun
analisisnya dapat dilihat pada kutipan berikut.
Dwipurwa merupakan perulangan kata yang menjadi suku pertama pada
awal baris atau di depan kata dasar yang menjadi kata pertama dalam baris.
Berikut pemaparan dari dwipurwa dalam LLBJKNB.
(220) Sêsandhing priya liya, pilihan wong tuwa (MMLT/IV/4)
‘Bersanding pria lain, pilihan orang tua’
(sa + sandhing) priya liya, pilihan wong tuwa
Kata sêsandhing pada data (220) berasal dari kata sandhing ‘duduk
berdekatan’, yang suku kata pertamanya diulang disertai pelemahan bunyi vokal
pada suku kata yang mereduplikasi (sandhing → sasandhing → sêsandhing).
Fungsi dwipurwa pada data (220), untuk menambah kearkhaisan dengan
menampilkan data yang memuat bentuk-bentuk tersebut.
Selain kata sêsandhing, variasi juga muncul pada kutipan data di bawah
ini. Kata dasar sandhing berubah menjadi sêsandhingan ‘bersandingan’. Berikut
analisis dwipurwa dari kata sêsandhingan.
(221) Nyawang sliramu sêsandhingan (MMLT/I/2)
‘Melihat dirimu bersandingan’
Nyawang sliramu {(sa + sandhing) + -an}
Kata sêsandhingan pada data (221) berasal dari kata sandhing ‘duduk
berdekatan’, yang suku kata pertamanya diulang menjadi kata sasandhing. Kata
91
sasandhing dengan adaya pelemahan bunyi vokal pada suku kata yang
mereduplikasi sehingga mengalami perubahan menjadi kata sêsandhing
(sandhing→sasandhing→sêsandhing). Kata sêsandhing kemudian memperoleh
sufiks {-an} menjadi kata sêsandhingan. Pada data di atas, kata sêsandhingan
‘bersandingan’ berfungsi menambah keindahan syair dengan menambah jumlah
suku kata.
(222) Dhuh wong ayu pêpujanku sing tak sayang (CA2/IV/4)
‘Duh wanita cantik pujaanku yang saya sayang’
Dhuh wong ayu [{pu + (puja +-an)}+ -ku] sing tak sayang
Data di atas menampilkan reduplikasi di suku kata pertama dari kata dasar
puja [pujɔ] ‘puja’ yang memperoleh sufiks {-an} menjadi kata pujaan [pujɔan],
karena vokal /a/ jêjêg bertemu dengan vokal /a/ miring terjadilah ellipsis dengan
penghilangan bunyi vokal [ɔ] hingga berubah menjadi kata pujan. Kata pujan
kemudian mengalami reduplikasi pada suku kata pertamanya menjadi kata
pupujan. Kata pupujan mengalami pelemahan bunyi pada suku kata yang
mereduplikasi berubah menjadi kata pêpujan (pujan→pupujan→pêpujan).
Sedangkan kata pêpujan memperoleh sufiks {-ku} sehingga menjadi kata
pêpujanku.
Berdasarkan analisis di atas, tembung rangkep dwipurwa pêpujanku
‘pujaanku’ berfungsi menampilkan kearkhaisan bentuk yang mendukung
keindahan syair.
2. Afiksasi
Afiksasi merupakan proses pembentukan kata dengan penambahan afiks
pada kata dasar, afiks terdiri dari prefik (afiks yang ditambahkan pada bagian
92
depan kata), infiks, sufiks, konfiks, dan simulfiks. Afiksasi yang ditemukan dalam
LLBJKNB hanya berupa infiks yang menandakan adanya kearkhaisan dan
kestetisan kata. Berikut analisis afiksasi tersebut.
(223) Sumêdhot rasaning dhadha (BS/III/4)
‘Mendadak sakit rasa di dada’
(224) Sumilir angin dadi kanca sabên wêngi (ARK/II/1)
‘Semilir angin menjadi teman setiap malam’
Pada data (223) dan (224) penambahan afiks berupa sisipan {-um-} yang
termasuk daam ragam literer bahasa Jawa terdapat pada awal baris.
(sêdhot + -um- ) rasaning dhadha
Infiks {-um-} muncul pada kata sumêdhot ‘mendadak sakit’ yang berasal
dari kata dasar sêdhot/sêdhut ‘secara tiba-tiba’.
Pada data (224) ,infiks {-um-} ditunjukkan oleh kata sumilir ‘semilir’.
(silir + -um- ) angin dadi kanca sabên wêngi
Kata sumilir yang berasal dari kata dasar silir ‘sejuk’. Fungsi infiks {-um}
pada data memperindah dan memberikan kesesuaian pada lirik dengan
penambahan suku kata.
Tabel 1.4 Rekapitulasi Aspek Penanda Diksi dan Pemilihan Kosakata dalam
LLBJKNB
No Diksi Jumlah Persentase Posisi
1 Sinonimi 7 6,36% baris berikutnya, akhir baris
2 Antonimi 2 1,81% akhir baris
3 Kosakata Indonesia 10 9,09% akhir baris, kata kedua
4 Kosakata Inggris 1 0,90% awal baris
5 Kosakata Kawi 2 1,81% awal baris, akhir baris
6 Kosakata dialek
Jawa Timuran
5 4,54% kata kedua dari belakang,
awal baris
7 Kata Sapaan 18 16,36% kata kedua dari depan, kata
ketiga dari depan, kata
93
keempat dari depan, akhir
baris
8 Tembung Saroja 2 1,81% akhir baris
9
Tembung Garba 7 6,36% Awal baris, kata kedua dari
depan, dan kata kedua dari
belakang
10
Tembung Panyeru 4 3,63% Awal baris, baris terakhir
pada kata kedua dari
belakang
11 Epentesis 4 3,63% Awal baris, akhir baris pada
larik pertama
12 Aferesis 48 43,63% awal baris, kata kedua dari
depan, kata kedua dari
belakang, kata ketiga dari
depan, tengah baris
Total 110 100%
No Penanda Morfologis Jumlah Persentase Posisi
1 Dwipurwa 3 60% awal, akhir, dan tengah baris
2 Afiksasi 2 40% awal baris
Total 5 100%
Berdasarkan tabel di atas, aspek penanda diksi berupa aferesis paling
mendominasi dalam LLBJKNB dengan persentase 43,63% dengan posisi di awal
baris, kata kedua dari depan, kata kedua dari belakang, kata ketiga dari depan, dan
tengah baris. Disusul dengan kata sapaan sebesar 16,36% yang berdistribusi pada
kata kedua dari depan, kata ketiga dari depan, kata keempat dari depan, akhir
baris, serta kosakata bahasa Indonesia sebesar 9,09% dengan posisi di akhir baris
dan kata kedua dari depan. Pada tabel di atas, kosakata bahasa Inggris
mendapatkan persentase terkecil yaitu 1,06% di awal baris. Sedangkan untuk
penanda morfologis didominasi oleh dwipurwa sebesar 60%.
Melalui tabel tersebut maka dapat diperoleh informasi bahwa dalam
LLBJKNB, aferesis menjadi unsur yang dominan dalam membentuk kearkhaisan
94
syair dengan mengurangi jumlah suku kata untuk mempersingkat, memperindah,
dan menyelaraskan tuturan.
3. Gaya bahasa
a. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
a) Epizeuksis
Epizeuksis merupakan gaya bahasa dengan perulangan pada satuan lingual
yang diulang-ulang secara langsung pada kata yang dipentingkan secara berturut-
turut.
(225) Tansah ngêlayung, mung tansah ngêlamun (MMLT/II/3)
‘Akan pucat (karena sedih), hanya akan melamun’
(226) Wis wis ya wis cukup Kangmas (CA1/VI/3)
‘Sudah sudah ya sudah cukup Kakanda’
(227) Nanging, nanging, nanging arume rambutmu (SLNJ/II/3)
Namung bisa tak bayangne (SLNJ/II/4)
‘Tetapi, tetapi, tetapi harumnya rambutmu’
‘Hanya bisa saya bayangkan’
(228) Tak coba tak apura (CA1/VI/1)
‘Saya mencoba maafkan’
Pada data (225), kata yang mengalami perulangan ialah kata tansah ‘akan’
yang diulang sebanyak dua kali dalam satu baris pada awal baris dan kata kedua
dari belakang. Sedangkan pada data (226), kata wis ‘sudah’ diulang secara
beruntun mulai dari awal baris sebanyak tiga kali dalam satu baris. Kemudian
pada data (227), kata nanging ‘tetapi’ diulang secara beruntun sebanyak tiga kali.
Serta pada data (228), perulangan terjadi pada kata seru (interjeksi) atau dalam
bahasa Jawa disebut dengan tembung panyeru yang ditunjukkan oleh kata tak
95
yang mengikuti kata coba ‘coba’, dan apura ‘maafkan’di awal baris dan kata
kedua dari belakang.
(229) Tansah tak trima (CA2/I/4)
Tak tampa kanti ikhlas ati (CA2/I/5)
‘Akan saya terima’
‘Saya terima dengan ikhlas hati’
(230) Judhine mbok aja diterusne (D/II/2)
Mbok dipikir tuwèke (D/II/1)
‘Judinya sebaiknya jangan diteruskan’
‘Sebaiknya dipikirkan masa tuanya’
(231) Nganti omah-omah ajur mumur padha bubrah (PM/I/4)
………………………………………………………
Omah-omah ajur rata karo lemah (PM/IV/4)
‘Hingga rumah-rumah hancur lebur menjadi rusak’
…………………………………………………
‘Rumah-rumah hancur rata dengan tanah’
(232) Trênyuh nyawang nyawa-nyawa ilang (PM/IV/2)
Trênyuh, Ngayogjakarta trênyuh (PM/IV/3)
‘Terharu (bercampur sedih) melihat nyawa-nyawa hilang’
‘Sedih, Yogyakarta bersedih’
Data (229) dan (232) memiliki pola perulangan yang sama yaitu pada kata
kedua baris pertama yang diulang di awal baris berikutnya. Kata yang mengalami
perulangan merupakan partikel tak dan mbok yang mengikuti kata trima ‘terima’,
dan tampa ‘terima’, serta aja ‘jangan’, dan dipikir ‘dipikir’. Masing-masing kata
seru tersebut diulang sebanyak dua kali pada data. Kemudian data (231)
menujukkan pola perulangan yang sama dengan data (229) dan (230), dimana kata
omah-omah ajur ‘rumah-rumah hancur’ diulang sebanyak dua kali di kata kedua
baris pertama dan awal baris berikutnya. Sedangkan pada data (232), kata trenyuh
‘terharu’ diulang sebanyak tiga kali di awal baris pertama, awal baris kedua, dan
akhir baris kedua.
96
Berdasarkan hasil analisis di atas, adanya gaya bahasa epizeuksis dalam
kutipan LLBJKNB mempertegas tuturan yang dianggap penting oleh pengarang.
b) Anafora
Anafora merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata atau frase yang
sama di depan larik-larik pada kalimat-kalimat sebelumnya (Sutejo, 2010:28).
Anafora ditentukan oleh perulangan atau repetisi satuan lingual baik berupa kata,
frasa, maupun klausa di awal baris atau larik secara berturut-turut, sehingga posisi
atau distribusi penanda dari gaya bahasa ini di awal struktur kalimat atau larik
lagu. Penggunaan gaya bahasa anafora LLBJKNB dapat dilihat pada data berikut.
(233) Nganti kapan aku (BS/III/1)
Nganti kapan aku (BS/III/2)
Nganti kapan dadi bojo simpênan (BS/III/3)
‘Sampai kapan saya’
‘Sampai kapan saya’
‘Sampai kapan saya jadi istri simpanan’
(234) Wis aja ngrêsula (BK/III/1) ‘Sudah jangan mengeluh’
Wis aja nêlangsa (BK/III/2) ‘Sudah jangan bersedih’
(235) Wis nêm taun sliramu ora bali (CA1/II/2)
Wis ra ana kabar êmbuh papanku nèng êndi (CA1/II/3)
‘Sudah enam tahun dirimu tidak kembali’
‘Sudah tidak ada kabar tidak tahu tempatku dimana’
(236) Wis cukupna anggonmu lara (CA2/V/1) ‘Sudah cukup dirimu sakit’
Wis cukupna anggonmu gela (CA2/V/2) ‘Sudah cukup dirimu kecewa’
(237) Ana sing egol-egolan (PJ/V/1)
Ana sing punji-punjian (PJ/V/2)
‘Ada yang mengoyang-goyangkan pinggul’
‘Ada yang saling memanggul (membawa di atas bahu)’
(238) Ora ngêrti lagune (PJ/VII/1) ‘Tidak tahu lagunya’
Ora ngêrti syaire (PJ/VII/2) ‘Tidak tahu syairnya’
(239) Ra kênal penyanyine (PJ/VIII/1) ‘Tidak kenal penyanyinya’
Ra ngêrti penciptane (PJ/VIII/2) ‘Tidak kenal penciptanya’
97
(240) Tutupên botolmu (O/III/1) ‘Tutup botolmu’
Tutupên oplosanmu (O/III/2) ‘Tutup oplosanmu’
(241) Ya wis cukupna anggonmu mêndêm (O/VI/1)
Ya wis cukupna anggonmu gêndhêng (O/VI/1)
‘Ya sudah cukup dirimu mabuk’
‘Ya sudah cukup dirimu gila’
(242) Ya mari-maria (O/III/3) ‘Sembuhkanlah’
Ya lèrèn- lèrèna (O/III/4) ‘Berhentilah’
Data (233) terdapat gaya bahasa anafora pada tuturan nganti kapan
‘sampai kapan’ yang mengalami perulangan sebanyak tiga kali dimana pengarang
bermaksud menggambarkan kesedihan seorang istri simpanan yang menginginkan
adanya kepastian akan statusnya menjadi istri sah. Data (234), tuturan wis aja
‘sudah jangan’ yang muncul sebanyak dua kali pada setiap unsur langsungnya,
maksud dari perulangan kata wis aja dalam konteks lagu ini pengarang
menceritakan seorang pria yang meminta istri ketiganya untuk tidak lagi bersedih
dan menerima kenyataan bahwa menjadi istri ketiga tidak bisa memperoleh
perhatian yang penuh dari suami.
Seperti halnya data (234), data (235) juga terdapat anafora yang
ditunjukkan oleh kata wis yang diulang sebanyak dua kali. Kata wis terkait dengan
konteks lagu menekankan pada maksud pengarang untuk menggambarkan
kepergian suami menjadi alasan utama seorang istri menjadi seorang WTS
(Wanita Tuna Susila). Data (236), perulangan juga terdapat pada tuturan wis
cukupna anggonmu ‘sudah cukupkan Kamu’ yang diulang sebanyak dua kali
dengan maksud agar berhenti untuk bersedih dan kecewa. Pada data (237), (238),
dan (239), anafora terdapat pada tuturan ana sing ‘ada yang’, ora ngêrti ‘tidak
98
tahu’, dan ra ‘tidak’ yang diulang sebanyak dua kali dengan maksud
menggambarkan kegiatan dan suasana saat melihat orkes musik dangdut.
Data (240) hingga (242) terdapat anafora pada kata tutupên ‘Tutup’,
tuturan wis cukupna anggonmu ‘sudah cukupkan Kamu’, dan kata ya ‘ya’ yang
diulang sebanyak dua kali dengan maksud untuk menghimbau agar mau
menghentikan minum oplosan (miras).
(243) Nêm taun sliramu ra bali (CA2/II/4)
………………………………………
Nêm taun suwene aku sengaja ngilang (CA2/III/2)
‘Enam tahun dirimu tidak kembali’
………………………………………
‘Enam tahun lamanya saya sengaja menghilang’
(244) Mêrga kowe sing tak trêsna (ARK/I/4) ‘Karena Kamu yang saya cintai’
…………………………..........................................................
Mêrga sing tak trêsnani (ARK/II/4) ‘Karena yang saya cintai’
(245) Sing tawuran bêrarti kuwi ndesa (PJ/V/3)
………………………………………..
Sing pênting aku jogèt wae (PJ/VI/3)
………………………………………..
Sing pênting hore rame-rame (PJ/VIII/3)
‘Yang tawuran berarti itu kampungan’
……………………………………….
‘Yang penting saya joget saja’
………………………………
‘Yang penting hore ramai-ramai’
(246) Dhuh Kangmas pancèn jêmbar têmênan atimu (CA2/II/1)
………………………………………………
Dhuh wong ayu pêpujanku sing tak sayang (CA2/III/1)
……………………………………………...
Dhuh Kangmas kudune sliramu kandha apa anamu (CA2/IV/1)
‘Duh Kakanda memang lapang betul hatimu’
……………………………………………………...
‘Duh wanita cantik pujaanku yang saya sayang’
…………………………………………………..
‘Duh Kakanda harusnya dirimu berkata apa adanya dirimu’
99
Kutipan yang ditunjukkan oleh data (243) hingga (246) merupakan
perulangan kata di awal baris pada bait yang berbeda namun masih dalam satu
judul lagu. Frekuensi munculnya perulangan dalam setiap data berbeda beda. Pada
data (243) dan (244), kata nêm ‘enam’ dan kata mêrga ‘karena’ diulang sebanyak
dua kali pada awal baris. Kata nêm ‘enam’ terkait konteks lagu, digunakan
pengarang untuk menegaskan lamanya waktu kepergian suami tanpa adanya kabar
berita sehingga membuat istrinya terpaksa harus menghidupi diri dengan bekerja
di lokalisasi. Sedangkan kata mêrga ‘karena’ pada data (244) menggambarkan
perasaan seseorang yang dipendam karena dia yang dicintai sudah dimiliki orang
lain.
Pada data (245) dan (246), kata sing ‘yang’, dan kata seru dhuh ‘duh’
diulang sebanyak tiga kali di awal baris. Kata sing ‘yang’ oleh pengarang
digunakan untuk menggambarkan keleluasaan dan kebebasan setiap orang untuk
mengekspresikan suasana hatinya. Sedangkan kata dhuh ‘duh’ lebih menjelaskan
ungkapan kesedihan seorang pasangan suami istri yang sudah lama tidak
berjumpa.
c) Epistrofa
Epistrofa adalah repetisi atau perulangan kata atau frasa pada akhir baris
kalimat secara berurutan, sehingga posisi atau distribusi penanda dari gaya bahasa
ini di akhir struktur kalimat atau larik lagu. Pada LLBJKNB ditemukan data yang
mengandung gaya bahasa epistrofa yang dapat dilihat pada hasil analisis berikut.
(247) Arêp sambat sapa (BS/IV/1)
Arêp sambat sapa (BS/IV/2)
Têrus aku kudu sambat sapa (BK/IV/3)
‘Akan mengeluh pada siapa’
100
‘Akan mengeluh pada siapa’
‘Terus saya harus mengeluh pada siapa’
(248) Kadhung wis kelara-lara ati iki (PIL/IV/1)
Aku kudu ikhlas nrima kahanan iki (PIL/IV/2)
‘Terlanjur sudah sakit hati ini’
‘Saya harus ikhlas menerima keadaan ini’
Pada data-data di atas ditemukan adanya pengulangan di setiap akhir
kalimat. Pada data (247), tuturan sambat sapa diulang sebanyak tiga kali pada
akhir kalimat yang barmaksud bahwa pengarang ingin menggambarkan konflik
batin yang dialami seorang istri simpanan yang tidak bisa membagi kesedihannya
pada orang lain. Data (248) adanya pengulangan pada kata iki yang muncul
sebanyak dua kali, dengan maksud pengarang ingin mempertegas kondisi seorang
yang dihianati oleh kekasihnya.
(249) Nganti nekad ati jêgur nang lokalisasi (CA1/I/3)
………………………………………….
Dudu karêp ati iki jêgur nang lokalisasi (CA1/II/1)
‘Hingga nekad hati masuk ke lokalisasi’
…………………………………………
‘Bukan ingin hati ini masuk ke lokalisasi’
Pada data (249), perulangan nampak pada akhir baris antar bait yang
ditunjukkan oleh tuturan jêgur nang lokalisasi ‘masuk ke lokalisasi’. Perulangan
tersebut muncul sebanyak dua kali pada bait pertama dan kedua pada judul lagu
Cupet Ati 1. Dengan adanya repetisi seperti yang ada pada data-data di atas
menambah pendalaman makna terhadap lagu.
101
d) Mesodiplosis
Mesodiplosis adalah perulangan kata atau frasa di tengah baris kalimat
secara berurutan. Dalam analisis LLBJKNB, ditemukan kalimat-kalimat yang
mengandung gaya bahasa mesodiplosis, dapat dilihat pada hasil analisis berikut.
(250) Têrus aku kudu sambat sapa (BS/IV/3)
Sênadyan aku amung bojo simpênan (BS/IV/4)
Sêjatine aku trêsna têmênan (BS/IV/5)
‘Terus saya harus mengeluh pada siapa’
‘Meskipun saya hanya istri simpanan’
‘Sebenarnya saya benar-benar cinta’
Kata yang diulang dalam data tersebut adalah kata aku yang diulang
sebanyak tiga kali secara berturut-turut di kata kedua tiap baris data (250). Kata
aku pada data (250) menekankan bahwa pengarang ingin menggambarkan aku
dalam lagu tersebut merasakan sendiri rasa sakit yang dialaminya karena
kepedihan itu tidak dapat dibagi bersama orang lain. Kata aku mengacu pada kata
ganti orang pertama tunggal bentuk bebas.
(251) Bên kêprungu swarane (GA/IV/2)
…………………………..
Semana uga atiku yèn kêprungu swaramu (GA/V/1)
‘Setiap terdengar suaramu’
…………………………………..
‘Begitu juga hatiku jika terdengar suaramu’
(252) Ra bakal nrima sliramu (PIL/III/5)
…………………………………………
Aku kudu ikhlas nrima kahanan iki (PIL/IV/2)
‘Tidak akan menerima dirimu’
‘Saya harus ikhlas menerima keadaan ini’
Data (251), kata kêprungu mengalami perulangan dua kali pada bait ke
empat baris kedua dan pada bait kelima baris pertama. Kemudian pada data (252),
kata nrima pada kata kedua bait ketiga diulang kembali pada bait ketiga baris
102
kelima diulang kembali pada bait keempat baris kedua. Perulangan kata aku
‘saya’, kêprungu ‘terdengar’ dan kata nrima ‘menerima’ pada berfungsi sebagai
penambah keestetisan bahasa pengarang.
e) Anadiplosis
Anadiplosis adalah gaya bahasa dimana kata atau frasa terakhir dari suatu
klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama pada klausa setelahnya.
Dalam analisis LLBJKNB ditemukan beberapa data yang termasuk dalam gaya
bahasa anadiplosis sebagai berikut.
(253) Nandhang rasa kangên, kangên marang sliramu (ARK/III/2)
‘Merasakan rasa rindu, rindu pada dirimu’
(254) Nanging pancèn, pancèn wis dadi nasibe (SLNJ/I/3)
‘Memang sudah, sudah menjadi nasibnya’
Data (253) kata kangên pada tuturan pertama sebelum tanda koma (,)
diulang kembali pada tuturan berikutnya setelah tanda (,) dalam satu baris. Data
(254), kata pancèn juga diulang dengan pola serupa dengan data di atasnya yaitu
diulang kembali pada kalimat setelahnya. Data di atas bertujuan untuk
menegaskan maksud dengan menampilkan kata kangen yang menunjukkan
kesungguhan rasa rindunya, menekankan kata pancen yang menandakan adanya
kepasrahan, dan menekankan kata sêsandhingan yang mewakili rasa kecewa
karena tidak bisa memiliki kekasih hatinya.
f) Repetisi utuh (penuh)
Repetisi utuh adalah perulangan satu baris, satu kalimat atau beberapa
kalimat, maupun satu bait secara utuh. Pada LLBJKNB terdapat repetisi utuh
sebagai berikut.
(255) Nanging aku sadhar (BK/I/6) ‘Tetapi saya sadar’
103
Aku mung lampune lilin (BK/I/7) ‘Saya hanya lampu lilin’
Sing mobat-mabit (BK/I/8) ‘Yang terombang-ambing’
Kêna silire angin (BK/I/9) ‘Terkena semilir angin’
………………………………
………………………………
Nanging aku sadhar (BK/IV/5) ‘Tetapi saya sadar’
Aku mung lampune lilin (BK/IV/6) ‘Aku hanya lampu lilin’
Sing mobat-mabit (BK/IV/7) ‘Yang terombang-ambing’
Kêna silire angin (BK/IV/8) ‘Terkena semilir angin’
(256) Wis aja ngrêsula (BK/III/1) ‘Sudah jangan mengeluh’
Wis aja nêlangsa (BK/III/2) ‘Sudah jangan bersedih’
Donga-dongakna (BK/III/3) ‘Doa-doakan’
Bojoku lila (BK/III/4) ‘Istriku rela’
Wis aja ngrêsula (BK/III/5) ‘Sudah jangan mengeluh’
Wis aja nêlangsa (BK/III/6) ‘Sudah jangan bersedih’
Donga-dongakna (BK/III/7) ‘Doa-doakan’
Bojoku lila (BK/III/8) ‘Istriku rela’
(257) Nganti kapan... nganti kapan... nganti kapan dadi bojo simpênan (BS/V/1)
Nganti kapan... nganti kapan... nganti kapan dadi bojo simpênan (BS/V/2)
Nganti kapan... nganti kapan... nganti kapan dadi bojo simpênan (BS/V/3)
‘Sampai kapan... Sampai kapan… Sampai kapan jadi istri simpanan’
‘Sampai kapan... Sampai kapan… Sampai kapan jadi istri simpanan’
‘Sampai kapan... Sampai kapan… Sampai kapan jadi istri simpanan’
(258) Oplosan (O/IV/1) ‘Oplosan’
Oplosan (O/IV/2) ‘Oplosan’
Oplosan (O/IV/3) ‘Oplosan’
(259) Tutupên botolmu (O/III/1) ‘Tutup botolmu’
Tutupên oplosanmu (O/III/2) ‘Tutup oplosanmu’
Emanên nyawamu(O/III/3) ‘Sayangilah nyawamu’
Aja mbok têrus-têrusne (O/III/4) ’Jangan Kamu terus-teruskan’
Mêrgane ora ana gunane (O/III/5) ’Karena tidak ada gunanya’
…………………………….
…………………………….
…………………………….
Tutupên botolmu (O/VII/1) ‘Tutup botolmu’
Tutupên oplosanmu (O/VII/2) ‘Tutup oplosanmu’
Emanên nyawamu (O/VII/3) ‘Sayangilah nyawamu’
Aja mbok têrus-têrusne (O/VII/4) ’Jangan Kamu terus-teruskan’
Mêrgane ora ana gunane (O/VII/5) ’Karena tidak ada gunanya’
Tutupên botolmu (O/VIII/1) ‘Tutup botolmu’
Tutupên oplosanmu (O/VIII/2) ‘Tutup oplosanmu’
Emanên nyawamu (O/VIII/3) ‘Sayangilah nyawamu’
104
Aja mbok têrus-têrusne (O/VIII/4) ’Jangan Kamu terus-teruskan’
Mêrgane ora ana gunane (O/VIII/5) ’Karena tidak ada gunanya’
(260) Nangis sabên dina aku nganti asat êluhku (ARK/III/1)
Nandhang rasa kangên, kangên marang sliramu (ARK/III/2)
Nangis sabên dina aku nganti asat êluhku (ARK/III/3)
Nandhang rasa kangên, kangên marang sliramu (ARK/III/4)
‘Menangis setiap hari saya hingga kering air mataku’
‘Merasakan rasa rindu, rindu pada dirimu’
‘Menangis setiap hari saya hingga kering air mataku’
‘Merasakan rasa rindu, rindu pada dirimu’
(261) Arume kêmbang mêkar ing wayah sore (SLNJ/II/1)
..........................................................................................
Arume kêmbang mêkar ing wayah bêngi (SLNJ/III/4)
‘Harumnya bunga mekar di waktu sore’
………………………………………….
‘Harumnya bunga mekr di waktu malam’
(262) Nanging aku amung bisa nggonku nyimpên rasa (ARK/I/3)
………………………………………………………………….
Nanging aku amung bisa nangis brêbês mili (ARK/II/3)
‘Tetapi saya hanya bisa menyimpan rasa’
…………………………………………………….
‘Tetapi saya hanya bisa meneteskan air mata yang jatuh mengalir (ke
bawah)’
Pada kutipan diatas terdapat repetisi utuh yang ditunjukkan oleh data (255)
hingga (262). Pada data (255), reduplikasi utuh terjadi pada satu bait pada bait
pertama yang kemudian diulang kembali pada bait keempat secara utuh. Data
(256) repetisi utuh ditunjukkan oleh baris pertama hingga keempat yang diulang
kembali secara utuh pada baris kelima hingga kedelapan. Sedangkan pada data
(257), baris pertama diulang sebanyak tiga kali dalam satu bait. Kemudian kata
oplosan pada data (258), diulang tiga kali dalam satu bait. Selanjutnya pada data
(259) bait ketiga diulang kembali pada bait ketujuh dan kedelapan secara utuh.
Data (260), baris pertama dan kedua diulang kembali pada baris ketiga dan
keempat. Data (261), repetisi nampak pada baris pertama bait kedua yang diulang
105
pada baris keempat bait ketiga. Kemudian, data (262) repetisi utuh ditunjukkan
oleh baris ketiga bait pertama yang diulang secara utuh pada baris ketiga bait
kedua.
(263) Bayangna umpama (SS/I/1) ‘Bayangkan seumpama’
Nèng donya ora ana cahya (SS/I/2) ‘Di dunia tidak ada cahaya’
………………………..
Bayangna umpama (SS/II/1) ‘Bayangkan seumpama’
Nang donya ra ana swara (D/II/2) ‘Di dunia tidak ada suara’
………………………
Bayangna umpama (SS/III/1) ‘Bayangkan seumpama’
Nang donya ora ana dosa (D/III/2) ‘Di dunia tidak ada dosa’
Pada bait pertama, kedua, dan ketiga terdapat repetisi utuh dengan
mengalami variasi dan pelesapan bentuk yang ditunjukkan oleh baris kedua dari
bait pertama, dimana kata nèng ‘di’ menggantikan kata nang ‘di’ pada baris
kedua bait pertama sehingga diksi mengalami variasi berbeda dengan baris kedua
bait kedua an ketiga. Sedangkan pada baris kedua bait kedua didapati pelesapan
bentuk diruas kiri yaitu dengan menghilangkan suku kata pertama dari kata ora
‘tidak’ menjadi ra ’tidak’. Fungsi dari reduplikasi utuh pada LLBJKNB yaitu
menekankan pada tuturan yang ingin diperjelas pengarang, selain itu juga
menunjukkan adanya suatu keruntutan dalam syair lagu sehingga saling berkaitan.
a. Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan dibentuk berdasarkan perbandingan dan persamaan.
Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba
menemkan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut.
perbandingan sebenarnya mengandung dua penertian, yaitu perbandingan yang
termasuk dalam gaya bahasa polos atau langsung, dan perbandingan yang
termasuk dalam bahasa kiasan (Keraf, 2002:136).
106
a) Metonimia
Metonimia merupakan suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah
kata untuk menyatakan hal lain, karena mempunyai pertalian yang erat. Hubungan
ini dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang
dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya,
dan sebagainya. Pada LLBJKNB ditemukan majas metonimia antara lain.
(264) Gawe tuku banyu setan (BK/I/6) ‘Untuk beli air setan’
Data (264) terdapat majas metonimia pada akhir baris yang ditunjukkan
kata banyu setan dengan maksud menyebut minuman keras karena dianalogikan
yang meminum air tersebut telah terbujuk rayuan setan. Dalam posisi mabuk,
seseorang kehilangan akal sehatnya, yang ada hanyalah bisikan-bisikan setan yang
dapat menjerumuskan manusia untuk berbuat dosa.
(265) Dorèmi dadhu karo rèmi (BK/I/6) ‘Doremi dadu dna remi’
Wiwit iki mbok ya dilereni (BK/I/6) ‘Mulai sekarang sebaiknya dihentikan’
Domino kiyu-kiyu (BK/I/6) ‘Domino kiyu-kiyu’
Togèle ora metu (BK/I/6) ‘Togelnya tidak keluar’
Pada data (265), metonimia terdapat pada kata dadhu, rèmi, domino kiyu-
kiyu, dan togèl merupakan jenis perjudian. Pengarang menggunakan kata-kata
tersebut untuk menyebut ragam jenis perjudian mulai dari permainan lempar
dadu, kartu, hingga permainan menebak angka yang biasanya menggunakan
taruhan uang.
Adapun fungsi dari adanya majas metonimia dalam LLBJKNB ialah untuk
menyebut nama benda sebagai sarana mengungkapkan gagasan agar pendengar
maupun pembaca langsung memahami maksud tersebut dengan menunjuk atau
menyebut langsung nama objek.
107
b) Sinisme
Sinisme merupakan gaya bahasa yang mengandung ejekan maupun
sindiran yang dapat membuat orang lain akan merasa tersinggung oleh ungkapan-
ungkapan tersebut. Adapun majas sinisme yang ditemukan pada LLBJKNB
sebagai berikut.
(266) Sing tawuran bêrarti kuwi ndesa (BK/I/6)
‘Yang tawuran berarti itu kampungan’
(267) Domino kiyu-kiyu (BK/I/6)
Togèle ora metu (BK/I/6)
Bên dina sambat mumêt sambat ngêlu (BK/I/6)
‘Domino kiyu-kiyu’
‘Togelnya tidak keluar’
‘Setiap hari mengeluh pusing mengeluh pening’
Kata ndesa ‘kampungan’ pada akhir baris data di atas menegaskan adanya
majas sinisme yang mengandung maksud untuk mencemooh atau mengejek
karena ungkapan ndesa lebih diinterpretasikan pada orang yang kampungan,
norak, dan ketinggalan zaman. Fungsi dari majas sinisme dalam LLBJKNB yaitu
sebagai himbauan dari pengarang agar dalam menonton orkes dangdut janganlah
membuat onar hingga menimbulkan tawuran. Sedangkan pada data (267), tuturan
bên dina sambat mumêt sambat ngêlu ‘setiap hari mengeluh pusing, mengeluh
pening’ yang mengandung maksud menyindir orang yang kalah judi akan
kehabisan uang dan ujungnya pasti akan mengeluh pusing. Fungsi dari tuturan
data (267), menyindir untuk mendapatkan respon dari pendengar supaya berhenti
berjudi karena judi hanya akan merugikan orang secara materi.
108
c) Sarkasme
Sarkasme adalah merupakan gaya bahasa yang didalamnya mengandung
celaan yang mengandung kata-kata kasar sehingga terkadang dapat membuat
orang lain tersinggung. Pada LLBJKNB terdapat gaya bahasa sarkasme yang
ditunjukkan oleh data berikut.
(268) Ya wis cukupna anggonmu mêndêm (O/VI/1)
Ya wis cukupna anggonmu gêndhêng (O/VI/2)
‘Ya sudah cukupkan mabukmu’
‘Ya sudah cukupkan gilamu’
(269) Ora sugih sing ana malah kere (D/III/5)
‘Tidak kaya yang ada malah miskin’
Pada data di atas terdapat gaya bahasa sarkasme yaitu pada akhir baris
yang ditunjukkan kata gêndhêng ‘gila’, dan kere ‘miskin’ yang terdengar kasar
jika dimaksudkan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Tentunya ketika orang
lain yang mendengar kata tersebut bisa saja merasa tersinggung dan sakit hati.
Adanya majas sarkasme pada data tersebut, pengarang ingin menyampaikan
himbauan dengan menggunakan kata-kata tersebut agar lebih diperhatian
pendengar.
d) Simile
Simile merupan gaya bahasa perumpamaan yang dijelaskan dengan
pemakaian kata seperti, bak, laksana, umpama, seperti, serupa. Pada LLBJKNB
ditemukan penggunaaan majas simile sebagai berikut.
(270) Aku kêpengin dadi (BK/I/6) ‘Saya ingin menjadi’
Kêrlip-kêrlip lintang (BK/I/6) ‘Kerlap-kerlip bintang’
Sing bisa ngancani (BK/I/6) ‘Yang bisa menemani’
Ing sabên wêngimu (BK/I/6) ‘Di setiap malammu’
(271) Aku kêpengin dadi (BK/I/6) ‘Saya ingin menjadi’
Cahyane rêmbulan (BK/I/6) ‘Cahayanya rembulan’
109
Sing isa madhangi (BK/I/6) ‘Yang bisa menerangi’
Pêtênge atimu (BK/I/6) ‘Gelapnya hatimu’
(272) Paribasane kaya layangan (BK/I/6) ‘Ibaratnya seperti layangan’
Sing mabur tanpa tali goci (BK/I/6) ‘Yang terbang tanpa tali goci’
Pada data (270), (271), dan (272) terdapat adanya majas simile dengan
adanya penanda kata yaitu kêpengin dadi ‘ingin menjadi’ dan kaya ‘seperti’ pada
tuturan aku kêpengin dadi kerlip-kerlip lintang ‘saya ingin menjadi kerlap-kerlip
bintang’, aku kêpengin dadi cahyane rêmbulan ‘saya ingin menjadi cahayanya
rembulan’, serta paribasane kaya layangan ‘ibaratnya seperti layangan’. Kata
kêpengin dadi pada data (270) dan (271) menegaskan bahwa pengarang ingin
menggambarkan keadaan istri ketiga yang berangan-angan ingin menjadi bintang
dan rembulan dengan maksud menjadi lebih berarti untuk suaminya. Sedangkan
kata kaya dalam data tersebut menegaskan suatu perumpamaan dimana pengarang
ingin mengibaratkan istri simpanan seperti layangan putus tali pengaitnya. Fungsi
dari majas simile pada data tersebut yaitu menggungkapkan adanya
perumpamaan-perumpamaan yang dapat dianalogikan menggambarkan sesuatu
melalui kata-kata.
e) Personifikasi
Personifikasi merupakan gaya bahasa kiasan yang mengumpamakan
benda-benda mati yang tidak bernyawa seolah-olah dapat hidup berprilaku seperti
manusia. Adapun hasil analisis gaya bahasa personifikasi dalam LLBJKNB, yaitu
seperti berikut.
(273) Kusumawicitra sing dadi sêksine (MMLT/II/1)
Nyinêksèni trêsnaku mring kowe (MMLT/II/2)
‘Bermacam-macam bunga yang menjadi saksinya’
‘Menyaksikan cintaku pada Kamu’
110
(274) Nangis, Ngayogjakarta nangis (PM/IV/1)
‘Menangis, Yogyakarta menangis’
Data (273), kusumawicitra yang berarti bermacam-macam bunga
diibaratkan seperti manusia yang memiliki mata dan telinga, dapat menjadi saksi
cinta seseorang. Data (274) adanya penggunaan gaya bahasa personifikasi pada
frasa Ngayogjakarta nangis ‘Yogyakarta menangis’, Yogyakarta merupakan
nama dari daerah istimewa di selatan pulau Jawa. Dalam data tersebut Yogyakarta
digambarkan dapat menangis seperti manusia yang sedang bersedih. Gaya bahasa
personifikasi pada data-data di atas digunakan untuk memeberikan efek dramatis,
sehingga pendengar dapat larut degan suasana yang diciptakan oleh lagu tersebut.
b. Gaya Bahasa Penegasan
a) Enumerasia
Enumerasia adalah gaya bahasa yang digunakan untuk melukiskan
peristiwa atau keadaan dengan pernyataan yang mampu memberikan gambaran-
gambaran yang jelas.
(275) Mlakune sêmpoyongan (TO/IV/1) ‘Jalannya sempoyongan’
Ora ngêrti yèn juglangan (TO/IV/2) ‘Tidak tahu ada kubnagan’
Tiba mak blêêêkk.... (TO/IV/3) ‘Jatuh mak blêêêkk....’
Dadi gotong-gotongan (TO/IV/4) ‘Jadi gotong-gotongan’
(276) Krungu kabar saka Ngayogjakarta (PM/I/1)
Gunung Merapi mblêdhos ngêtokne dahana (PM/I/2)
Awune mubal lahar panas dha sumêbar (PM/I/3)
Nganti omah-omah ajur mumur padha bubrah (PM/I/4)
‘Dengar kabar dari Yogyakarta’
‘Gunung Merapi meletus mengeluarkan api’
‘Abunya keluar lahar panas pada menyebar’
‘Hingga rumah-rumah hancur lebur menjadi rusak’
Data di atas menunjukkan adanya majas enumerasia yaitu pada tuturan
mlakune sêmpoyongan ‘jalannya sempoyongan’ pada data (275), yang
111
menjelaskan keadaan orang yang tengah mabuk dalam pengaruh minuman keras
berjalan sempoyongan tidak fokus dengan jalan hingga tidak tahu jika didepannya
ada kubangan dan jatuh di kubangan tersebut sehingga jadi gotong-gotongan
orang. Kemudian pada data (276), majas enumerasia ditunjukkan oleh tuturan
Gunung Merapi mbledhos ngêtokne dahana ‘Gunung Merapi meletus
mengeluarkan api’, Gunung Merapi yang meletus mengeluarkan api, lahar, dan
abu vulkanik yang menghancurkan rumah-rumah penduduk. Adanya majas
enumerasia pada data tersebut berfungsi untuk menyampaikan suatu gambaran
peristiwa yang disampaikan pengarang kepada pendengar melalui kata-kata
tersebut.
b) Hiperbola
Hiperbola merupakan gaya bahasa penegasan yang mengandung suatu
ungkapan yang berlebihan dari objek yang sesungguhnya. Penggunaan gaya
bahasa ini memberikan kemustahilan yang diperoleh dari ungkapan yang
dipaparkan. Gaya bahasa hiperbola ditemukan dalam LLBJKNB dengan analisis
sebagai berikut.
(277) Tumètèse êluhmu (PIL/III/1)
Ngêbot-ngêboti lakuku (PIL/III/2)
‘Menetesnya air matamu’
‘Memberatkan langkahku’
(278) Udan tangis rasane ati kaya diiris (BK/I/6)
‘Hujan air mata rasanya hati seperti teriris’
Tuturan tumètèse êluhmu ngêbot-ngêboti lakuku ‘menetesnya air
matamu membertkan langkahku’ pada data (277) merupakan majas hiperbola
karena melebih-lebihkan ungkapan seakan air mata memiliki massa hingga
mampu memberatkan langkah seseorang. Kemudian pada data (278) terdapat
112
majas hiperbola pada tuturan udan tangis rasane ati kaya diiris ‘hujan air mata
rasanya hati seperti teriris’ yang mengandung ungkapan melebih-lebihkan tuturan
tersebut dengan melukiskan adanya hujan air mata hingga membuat hati terasa
teriris-iris menyaksikan korban bencana. Majas hiperbola yang terdapat pada dua
kutipan di atas berfungsi untuk menimbulkan respon pendengar melalui ungkapan
tesebut.
Tabel 1.5 Dominasi Gaya Bahasa dalam LLBJKNB
No Gaya Bahasa Jumlah Persentase Posisi
1 Epizeuksis 8 14,54% dalam satu baris, antar bait
2 Anafora 14 25,45% awal baris
3 Epistrofa 3 5,45% akhir baris
4 Mesodiplosis 3 5,45% tengah baris
5 Anadiplosis 3 5,45% tuturan berikutnya
6 Repetisi Utuh 9 16,36% bait berikutnya
7 Metonimia 2 3,63% akhir baris, dalam satu bait
8 Sinisme 2 3,63% akhir baris, baris terakhir
9 Sarkasme 2 3,63% akhir baris
10 Simile 3 5,45% dalam satu baris, dalam satu
bait
11 Personifikasi 2 3,63% dalam satu baris
12 Enumerasia 2 3,63% dalam satu baris
13 Hiperbola 2 3,63% dalam satu baris, dalam
beberapa baris
Total 55 100%
Berdasarkan tabel di atas aspek gaya bahasa berupa anafora paling
mendominasi dalam LLBJKNB dengan persentase 25,45% dengan posisi repetisis
pada awal baris secara beruntun, disusul dengan repetisi utuh sebesar 16,36%
dengan merepetisi penuh kalimat dalam satu bait. Berikutnya gaya bahasa
epizeuksis sebesar 14,54% dengan letak perulangan secara beruntun dalam satu
baris maupun antar bait pada satu judul lagu yang sama. Sedangkan persentase
terkecil didapatkan oleh gaya bahasa metonimia, sinisme, sarkasme, personifikasi,
113
enumerasia, dan hiperbola dengan perolehan sebesar 3,63%. Melalui tabel
tersebut, dapat diperoleh informasi bahwa gaya bahasa yang paling menjadi
penciri dari LLBJKNB adalah gaya bahasa anafora dengan penekanan struktur
perulangan di depan.
4. Pencitraan
Pencitraan merupakan media yang digunakan oleh seorang penyair untuk
memperkuat imajinasi dan kepekaan rasa pembaca melalui tanggapan inderawi
manusia yang ditafsirkan melalui kata-kata. Fungsi dari citraan atau imaji
digunakan untuk memperdalam penghayatan pembaca terhadap karya yang
dihasilkan oleh seorang pengarang ataupun penyair. Citraan atau imaji bersifat
deskriptif imajinatif, yaitu berupa pemaparan objek-objek kebendaan melalui
kata-kata yang dipaparkan secara deskriptif untuk memahami suatu karya sastra
berdasarkan pengalaman inderawinya. Pemanfaatan citraan dalam LLBJKNB
ditemukan adanya lima macam pencitraan, yaitu pencitraan penglihatan (visual
imagery), pendengaran (auditory imagery), perabaan (tactile imagery), penciuman
(olfactory) dan citraan gerak (kinesthetic imagery). Berikut uraian analisis yang
terdapat dalam LLBJKNB.
a. Citra penglihatan
Citraan penglihatan atau visual imagery merupakan jenis pencitraan yang
menekankan pada rangsangan visual yang dapat merangsang imajinasi pembaca
maupun pendengar seolah dapat melihat suatu peristiwa yang digambarkan
melalui kata-kata. Dalam LLBJKNB penggunaan citraan penglihatan dapat dilihat
pada analisis berikut.
114
(279) Coba sawangên kae kanca-kancamu (O/V/1)
Akèh sing padha gêlempangan (O/V/2)
Uga akèh sing kêlèsètan (O/V/3)
Ditumpakke ambulan (O/V/4)
‘Coba lihat itu teman-temanmu’
‘Banyak yang tergeletak (di tanah)’
‘Juga banyak yang terkapar’
‘Dinaikkan ambulan’
(280) Omah-omah ajur rata karo lemah (PM/I/IV/4)
‘Rumah-rumah hancur rata dengan tanah’
(281) Aku amung bisa ngrasa nêlangsa (MMLT/I/1)
Nyawang sliramu sêsandhingan (MMLT/I/2)
‘Saya hanya bias merasa sedih’
‘Melihat dirimu bersanding (di pelaminan)’
(282) Ilang bandha donya uga sanak uga kadang (PM/I/II/2)
‘Hilang harta benda juga sanak juga keluarga’
Data (279), menunjukkan gambaran penglihatan pada kata kedua dari
depan yaitu kata sawangên ‘lihatlah’, kata terakhir pada baris yaitu kata
gêlempangan ‘tergeletak’ serta kêlèsètan ‘terkapar’ dan kata kedua dari belakang
yaitu kata nyêksèkne ‘menyaksikan’. Kata sawangên ‘lihatlah’, gêlempangan
‘tergeletak’, kêlèsètan ‘terkapar’, ditumpakke ambulan ‘dinaikkan ambulan’
menjelaskan adanya suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dilihat dengan
indera penglihatan manusia yang digunakan untuk menunjukkan akibat dari
perbuatan manusia yang suka minum-minuman keras.
Selain kata, juga ditemukan citraan dalam tuturan ajur rata karo lemah
hancur rata dengan tanah’ dan pada unsur langsung ilang banda donya uga sanak
uga kadang ‘hilang harta benda juga sanak juga keluarga’ yang menggambarkan
keadaan sesudah terjadi bencana. Tuturan nyawang sliramu sêsandhingan data
115
(281), menggambarkan kesediahan seseorang melihat kekasihnya bersanding di
pelaminan dengan orang lain.
Kalimat-kalimat pencitraan di atas menunjukkan adanya penggambaran
situasi yang seolah dapat dilihat dengan mata ketika menyaksikan orang yang
sedang mabuk, orang yang dicintainya duduk bersanding dengan orang lain dan
ketika melihat erupsi gunung yang meletus mengeluarkan abu serta lahar yang
menghancurkan semua benda yang dilewatinya termasuk harta benda berharga,
sanak saudara, keluarga, dan tempat tinggal.
Adanya pencitraan pada LLBJKNB berfungsi sebagai penciri pada lirik
lagu tersebut yang banyak menggambarkan situasi, kondisi, dan peristiwa lewat
kata-kata yang dapat menimbulkan imajinasi pembaca dan pendengar seolah-olah
melihat, dan menyaksikan sendiri kejadian tersebut.
b. Citra pendengaran
Citraan pendengaran atau auditory imagery merupakan pencitraan yang
erat hubungannya dengan indera pendengaran yaitu telinga untuk menumbuhkan
imajinasi pembaca seolah-olah dapat mendengar melalui pilihan kata yang
digunakan penyair atau pengarang. Penggunaan pencitraan pendengaran pada
LLBJKNB dapat dilihat dari analisis berikut.
(283) Krungu swarane suling (PJ/III/1) ‘Dengar suara suling’
Kêpênak ana nèng kuping (PJ/III/2) ‘Enak di telinga’
(284) Lêwat gêlombang radio (GA/I/1) ‘Lewat gelombang radio’
Aku krungu swaramu (GA/II/1) ‘Saya dengar suaramu’
(285) Semana uga atiku yèn kêprungu swaramu (GA/V/1)
‘Begitu juga hatiku jika terdengar suaramu’
(286) Dag dig dug swara jantungku (GA/V/2) ‘Dag dig dug suara jantungku’
116
(287) Krungu kabar saka Ngayogjakarta (PM/I/1) ‘Dengar kabar dari
Yogyakarta’
Pada data (283) hingga (287) menunjukkan adanya citraan pendengaran
yang diidentifikasi dari penggunaan diksi yang berhubungan dengan bunyi suara.
Diksi yang dimaksud antara lain kata krungu, keprungu,dan tuturan dag dig dug
yang sebagian besar selalu diikuti dengan kata swara dan kata yang yang
menandakan adanya kedekatan dengan indera pendengaran yaitu telinga.
Distribusi diksi penanda citraan pendengaran ini tersebar merata di awal, tengah,
bahkan di akhir baris. Citraan pendengaran dalam LLBJKNB ini berfungsi untuk
memperdalam penghayatan makna lagu melalui pengalaman indera pendengaran.
c. Citra penciuman
Citraan penciuman atau olfactory merupkan pencitraan yang berhubungan
dengan indera penciuman manusia yaitu hidung. Citraan ini dapat ditandai dengan
adanya kata-kata yang seolah-olah membuat pendengar mencium sesuatu dengan
hidung. Pemanfaatan citraan penciuman dalam LLBJKNB sebagai berikut.
(288) Arume kêmbang mêkar ing wayah sore (SLNJ/II/1)
‘Harumnya bunga mekar di waktu sore’
(289) Arum ambune isih bisa tak rasakne (SLNJ/II/2)
‘Harum baunya masih bisa saya rasakan’
(290) Nanging, nanging, nanging arume rambutmu (SLNJ/II/3)
Namung bisa tak bayangne (SLNJ/II/3)
‘Tetapi, tetapi, tetapi harumnya rambutmu’
‘Hanya bisa saya bayangkan’
Data (288) hingga (290) menunjukkan penggunaan citraan penciuman
yaitu dengan adanya diksi arum ‘harum’. Diksi ini menjadi penanda citraan
penciuman karena erat hubungannya dengan bau maupun aroma yang
117
berhubungan dengan indera manusia yaitu hidung dengan objeknya berupa
tumbuhan dan manusia. Distribusi diksi penanda citra penciuman ini pada awal,
tengah dan akhir baris. Fungsi dari adanya citraan penciuman pada LLBJKNB
menimbulkan kesan mendalam terhadap lagu dengan membandingkan harum
bunga dengan harum rambut kekasihnya melalui kata-kata yang menggunakan
diksi arum ‘harum’ agar pendengar ikut membayangkan melalui pengalaman
indera penciumannya.
d. Citra perabaan
Citraan perabaan atau tactile imagery merupakan penggambaran melalui
indera peraba manusia. Adanya citraan ini dapat ditentukan dengan adanya diksi
yang menunjukkan rangsangan yang dapat dirasakan kulit manusia, misalnya rasa
panas, dingin, kasar, lembut dan sebagaianya. Berikut penggunaan citra perabaan
dalam LLBJKNB.
(291) Sumilir angin dadi kanca sabên wêngi (ARK/II/1)
Adêm bangêt tak rasakne (ARK/II/2)
‘Semilir angin menjadi teman setiap malam’
‘Dingin sekali saya rasakan’
(292) Rada suwe krasa mumêt (TO/III/1)
Ning nèng awak krasa angêt (TO/III/2)
Apa iki sing diarani wong mêndêm (TO/III/3)
‘Semakin lama terasa pusing’
‘Tetapi di badan terasa hangat’
‘Apa ini yang dinamakan orang mabuk’
Data (291) menunjukkan adanya pencitraan dengan menggunakan diksi
adêm ‘dingin’ yang mewakili adanya citraan perabaan terhadap kulit manusia
yang merasakan rangsangan dingin. Diksi penanda citraan perabaan tersebut
terletak di awal larik dengan maksud memberikan gambaran respon tubuh
118
terhadap hembusan angin di malam hari. Kemudian pada data (292), terdapat
pencitraan perabaan yang ditunjukkan oleh kata angêt ’hangat’ di akhir baris yang
menggambarkan kondisi tubuh setelah menenggak miras akan merasakan
kehangatan. Fungsi dari citraan pada LLBJKNB merefleksikan rasa dingin dan
hangat berdasar pengalaman inderawi agar memperoleh penghayatan terhadap
lagu sehingga rasa dingin maupun hangat yang digambarkan mampu
tersampaikan dan terimajinasikan pada pendengar.
e. Citra gerak
Citraan gerak merupakan citraan yang muncul akibat adanya pengamatan
terhadap suatu gerakan. Citraan ini dibangun dari hasil respon panca indera
terutama indera penglihatan dan pendengaran untuk memberikan rangsangan
sensoris dan mengidentifikasikan suatu gerak. Citraan gerak tidak hanya
digunakan untuk mencitrakan benda tak bernyawa, namun manusia dan
aktifitasnya dapat dikategorikan dalam citraan ini. Citraan gerak erat
hubungannya dengan indera penggerak dan menimbulkan imajinasi pendengar
melalui kata-kata yang tidak bisa bergerak seolah menjadi bergerak sesuai apa
yang dilukiskan oleh kata-kata tersebut di angan-angan pendengar atau pembaca.
Berikut ini merupakan citraan gerak yang ditemukan pada LLBJKNB.
(293) Aku mung lampune lilin (BK/I/7) ‘Saya hanya lampunya lilin’
Sing mobat-mabit (BK/I/8) ‘Yang terombang-ambing’
Kêna silire angin (BK/I/9) ‘Terkena semilirnya angin’
(294) Paribasane kaya layangan (BS/I/1)
Sing mabur tanpa tali goci (BS/I/2)
Mobat-mabit, montang-manting(BS/I/3)
Kêgawa silire angin (BS/I/4)
‘Ibaratnya seperti layangan’
119
‘Yang terbang tanpa tali goci’
‘Terombang-ambing,terpontang-panting’
‘Terbawa semilirnya angin’
Pada data (293) citraan gerak ditujukan pada baris kedua kata terakhir
yaitu kata mobat-mabit, baris ketiga dari data (294) pada tuturan mobat-mabit,
montang-manting. Citraan pada kutipan data tersebut menggambarkan gerakan
api sebuah lilin yang terkena hembusan angin, oleh pengarang gerakan api
tersebut diumpamakan nasib istri ketiga. Data (294) dengan kata mobat-mabit
montang-manting, pengarang hendak mencitrakan nasib seorang istri simpanan
yang seperti gerak layangan yang putus tali gocinya sehingga terbang kesana-
kemari tanpa tujuan. Fungsi dari citraan gerak di atas penulis menyampaikan
seolah pendengar juga bisa mengetahui gerakan dari lilin dan layangan putus tadi
untuk merefleksikan pengalaman batin seorang istri simpanan.
Tabel 1.6 Dominasi Pencitraan dalam LLBJKNB
No Citraan Jumlah Persentase Posisi
1 Penglihatan 4 25% dalam satu bait, dalam satu baris
2 Pendengaran 5 31,25% awal baris, kata kedua dari belakang
3 Penciuman 3 18,75% awal baris, kata kedua dari belakang
4 Perabaan 2 12,50% awal baris, akhir baris
5 Gerak 2 12,50% akhir baris, dalam satu baris
Total 16 100%
Berdasarkan tabel di atas aspek citraan pendengaran paling mendominasi
dalam LLBJKNB dengan persentase 31,25% dengan posisi di awal baris dan kata
kedua dari belakang, disusul dengan citraan penglihatan sebesar 25% yang
muncul dalam satu bait maupun satu baris pada satu judul lagu yang sama.
Berikutnya citraan penciuman dengan persentase 18,75% di awal baris dan kata
kedua dari belakang. Sedangkan citraan dengan persentase sedikit dan kurang
120
produktif dalam LLBJKNB adalah citraan perabaan dan citraan gerak yang hanya
memperoleh12,50% di awal maupun akhir dalam satu baris. Melalui tabel di atas
dapat diperoleh informasi,bahwa pencitraan pendengaran menjadi citraan yang
paling sering digunakan pengarang untuk membangun imajinasi pembaca.
Recommended