View
52
Download
10
Category
Preview:
DESCRIPTION
bnmkj
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
Stroke adalah suatu sindroma yang ditandai dengan gangguan fungsi otak,
fokal atau global, yang timbul mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam atau
berakhir dengan kematian tanpa penyebab yang jelasn selain vaskuler (WHO,
1998). Stroke atau serangan otak (brain attack) sampai saat ini masih merupakan
masalah besar, sekaligus tantangan di bidang kesehatan. Data epidemiologik dari
berbagai wilayah di seluruh dunia saat ini menunjukkan bahwa stroke menduduki
peringkat kedua dalam urutan penyebab kematian. Berdasarkan laporan WHO
(World Health Organization), pada tahun 1999 diperkirakan 5,54 juta orang
meninggal akibat stroke. Jumlah ini merupakan 9.5% dari seluruh kematian di
dunia (Islam,2004).
Hingga sekitar 50% stroke diakibatkan oleh peningkatan tekanan darah
dan hipertensi merupakan faktor resiko utama yang dapat dimodifikasi. Resiko
terjadinya stroke dapat dilihat dari hubungan antara kenaikan tekanan darah baik
sistolik maupun diastolik pada pria dan wanita dari semua kalangan usia, dimana
tekanan darah sistolik lebih berpengaruh. Insidensi stroke meningkat sekitar 25%
setiap kenaikan tekanan sistolik 10 mmHg. Baik stroke iskemik maupun
hemoragik memiliki hubungan yang kuat dengan hipertensi. Setiap kenaikan
tekanan sistolik 20 mmHg resiko terjadinya stroke iskemik dan hemoragik
meningkat 2,23-3,18 kali (Abro et al, 2007). Data epidemiologi menunjukkan
bahwa hipertensi merupakan salah satu faktor resiko yang penting pada stroke,
baik tekanan sistolik maupun diastolik mempunyai peranan yang sama terhadap
2
kemungkinan timbulnya stroke, diketahui pula bahwa insiden stroke meningkat
sejalan dengan tingginya tekanan darah, disamping itu tekanan darah yang tetap
tinggi pada penderita stroke berpengaruh buruk terhadap prognosis jangka
panjang, baik terhadap kemungkinan terjadinya stroke ulang atau kematian jangka
panjang pasca strokr (cachofeira, 2009). Pada kebanyakan kasus, hipertensi
terdeteksi saat pemeriksaan fisik karena penyakit tertentu, sehingga sering disebut
silent killer. Tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada organ vital
seperti jantung, otak ataupun ginjal. Gejala-gejala akibat hipertensi seringkali
terjadi pada saat hipertensi sudah lanjut disaat tekanan darah sudah mencapai
angka tertentu yang bermakna (Roger et al, 2011)
Data epidemiologi menunjukkan bahwa hipertensi merupakan salah satu
faktor risikoyang paling panting pada stroke, baik tekanan sistolik maupun
diastolik mempunyai perananyang sama terhadap kemungkinan timbulnya
stroke, diketahui pula bahwa insiden stroke meningkat sejalan dengan
tingginya tekanan darah, di samping itu tekanan darah yang tetaptinggi pada
penderita stroke berpengaruh buruk terhadap prognosa jangka panjang,
baik (terhadap kemungkinan terjadinya stroke ulang atau kematian jangka
panjang pasca stroke) (cachofeira, 2009).
Pada kebanyakan kasus, hipertensi terdeteksi saat permeriksaan fisik
karena alasan penyakit tertentu, sehingga sering disebut sebagai silent killer.
Tanpa disadari penderita mnegalami komplikasi pada organ organ vital seperti
jantung, otak maupun ginjal. Gejala-gejala akibat hipertensi seringkali terjadi pada
saat hipertensi seringkali terjadi pada saat hipertensi sudah lanjut disaat tekanan
darah sudah mencapai angka tertentu yang bermakna (Roger, 2011)
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tekanan Darah
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Tekanan darah
2.1.1.1 Anatomi pembuluh darah
Gambar 2.1 Anatomi pembuluh darah
2.1.1.2 Fisiologi pembuluh darah
Hubungan antara tekanan,aliran dan resistensi. Aliran darah yang
melalui pembuluh darah ditentukan oleh dua faktor : (1) perbedaan tekanan
daradi antara kedua ujung pembuluh, kadang-kadang juga disebut gradien
tekanan di sepanjang pembuluh darah, dan (2) rintangan bagi aliran darah
yang melalui pembuluh, yang disebut resistensi pembuluh darah.
Pada pembuluh darah, P1 mewakili tekanan pada permulaan
pembuluh: pada ujung yang lain tekanannya adalah p2. Resistensi terjadi
karena gesekan antara aliran darah dan endotel di dalam pembuluh darah di
sepanjang bagian dalam pembuluh. Aliran melalui pembuluh dapat dihitung
melalui rumus berikut, yang disebut hukum ohm :
4
F = Δ P/ R
F adalah aliran darah, delta P adalah perbedaan tekanan (p1-p2) antara
kedua ujung pembuluh, dan R adalah resistensi. Sebagai pengaruhnya, rumus
ini menetapkan bahwa aliran darah berbanding lurus dengan perbedaan
tekanan tetapi berbanding terbalik dengan resistensi
Tekanan darah hampir selalu dinyatakan dalam milimeter air raksa
(mmHg) karena manometer air raksa telah dipakai sejak lama sebagai rujukan
baku untuk pengukuran tekanan. Sebenarnya, tekanan darah berarti daya yang
dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh. Bila
dikatakan bahwa tekanan dalam pembuluh adalah 50 mmHg, hal itu berarti
bahwa daya yang dihasilkan cukup untuk mendorong kolom air raksa
melawan gravitasi sampai setinggi 50 mm. Bila tekanan adalah 100 mmHg,
kolom air raksa akan didorong setinggi 100 mm.
Metode pengukuran tekanan darah dengan ketepatan tinggi. Air raksa
dalam manometer air raksa sangat lembab sehingga tidak bisa naik dan turun
secara cepat. Karena alasan inilah, manometer air raksa, meskipun sangat baik
untuk pengukuran tekanan yang stabil, tidak dapat berespon terhadap
perubahan tekanan yang stabil, tidak dapat berespons terhadap perubahan
tekanan yang terjadi lebih cepat dari 1 siklus setiap 2 sampai 3 detik.
Resistensi merupakan hambatan aliran darah dalam pembuluh, tetapi
tidak dapat diukur secara langsung dengan cara apapun. Sebaliknya, resistensi
harus dihitung dari pengukuran aliran darah dan perbedaan tekanan antara dua
titik di dalam pembuluh. Bila perbadaan tekanan antara dua titik adalah 1
5
mmHg dan aliran adalah 1ml/detik, resistensinya dikatakan sebesar 1 satuan
resistensi perifer, biasanya disingkat PRU ( peripheral resistensi unit).
Kecepatan aliran darah yang melalui seluruh sistem sirkulasi sama
dengan kecepatan pompa darah oleh jantung-yakni, sama dengan curah
jantung. Pada orang dewasa, kecepatannya sekitar 100 ml/detik. Perbedaan
tekanan dari arteri sistemik sampai vena sistemik adalah sekitar 100 mmHg.
Oleh karena itu, resistensi di seluruh sirkulasi sistemik, yang disebut resistensi
perifer total, adalah sekitar 100/100, atau 1 PRU.
Pada keadaan ketika semua pembuluh darah di seluruh tubuh
berkontraksi kuat, resistensi perifer total kadang kadang meningkat menjadi 4
PRU. Sebaliknya, bila semua pembuluh berdilatasi kuat, resistensi dapat
menurun hingga sekecil 0,2 PRU.
Perubahan kecil pada diameter pembuluh akan menyebabkan
perubahan yang luar biasa terhadap kemampuan pembuluh untuk
menghantarkan darah bila aliran darah bersifat laminar. Contoh, tiga
pembuluh darah ang terpisah dengan diameter relatif sebesar 1,2, dan 4mm
tetapi dengan perbedaan tekanan yang sama antara kedua ujung pembuluh
darah tersebut, yaitu 100 mmHg. Meskipun diameter pembuluh-pembuluh
darah ini meningkat hanya empat kali lipat, aliran darah di dalam pembuluh
darah masing-masing menjadi 1, 16, dan 256 ml/mm, atau terdapat kenaikan
aliran sebesar 256 kali lipat. Jadi, konduktans pembuluh darah meningkat
sebanding dengan pangkat empat diameternya (Guyton, 2006).
6
Endotel adalah lapisan sel epithelial yang berasal dari mesoderm yang
membatasi dinding pemuluh darah dan dinding pembuluh limfe. Endotel
terletak diantara sirkulasi darah dan pembuluh dara. Fungsi utama endotel
adalah mengatur tonus pembuluh darah, mengatur adhesi leukosit dan
inflamasi, dan mempertahankan keseimbangan antara trombosis dan
fibrinolisis. Fungsi endotel ini dilakukan oleh substansi-substansi khusus yang
dikelompokkan dalam dua golongan besar yaitu Endhotelium Derived
Relaxing Factor (EDRFs) dan Endhotelium Derived Contracting Factor
(EDCFs).
2.2 Stroke
2.2.1 Definisi
Stroke merupakan manifestasi klinis dari gangguan fungsi otak,
baik fokal maupun global (menyeluruh), yang berlangsung cepat,
berlangsung lebih dari 24 jam atau sampai menyebabkan kematian, tanpa
penyebab lain selain gangguan vaskuler (WHO, 1998).
2.2.2 Klasifikasi Stroke
2.2.2 1 Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:
a. Stroke iskemik
1. Transient Ischemic Attack (TIA)
2. Trombosis serebri
3. Emboli serebri
b. Stroke hemoragik
1. Perdarahan intraserebral
2. Perdarahan subarakhnoid
7
2.2.2.2 Berdasarkan stadium atau pertimbangan waktu:
a. Serangan iskemik sepintas atau TIA
Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul
akibat gangguan peredaran darah di otak akan menghilang
dalam waktu 24 jam.
b. Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang
dalam waktu lebih lama dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari
seminggu.
c. Progressing stroke atau stroke in evolution
Gejala neurologik yang makin lama makin berat.
d. Completed stroke
Gejala klinis yang telah menetap.
2.2.2.3. Berdasarkan lokasi lesi vaskuler
Sistem karotis dan sistem vertebrobasiler.
Stroke juga umumnya diklasifikasikan menurut
patogenesisnya. Dalam hal ini stroke terbagi dalam dua
klasifikasi, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik.
2.2.3. Faktor resiko infark
Faktor resiko untuk terjadinya stroke infark dapat diklasifikasikan
berdasarkan kemungkinannya untuk dimodifikasi atau tidak (nonmodifiable,
modifiable, atau potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented
atau less well documented) (Goldstein, 2006).
1. Non modifiable risk factors :
8
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Ras/etnis
d. genetik
2. Modifiable risk factors
a. Well-documented and modifiable risk factors
Hipertensi
Paparan asap rokok
Diabetes
Atrial fibrilasi dan beberapa kondisi jantung tertentu
Dislipidemia
Stenosis arteri karotis
Sickle cell disease
Terapi hormonal pasca menopause
Diet yang buruk
Obesitas
b. Less well-documented and modifiable risk factors
Sindroma metabolik
Penyalahgunaan alkohol
Penggunaan kontrasepsi oral
Sleep-disordered breathing
Nyeri kepala migren
Hiperhomosisteinemia
Peningkatan lipoprotein (a)
9
Peningkatan lipoprotein-associated phospholipase
Hypercoagulability
Inflamasi
Infeksi
2.2.4. Patofisiologi Stroke infark
Pada level makroskopik, stroke infark paling sering disebabkan oleh
emboli dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga
disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap
proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu
kaskade infark, yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark
otak (Rohkamm, 2004).
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian
inti (core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini
akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar
daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan
jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi –
fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya
makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat
dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral
(luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi
sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak
berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak
terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami
kematian (Rohkamm, 2004) .
10
Gambar 2.1 Daerah iskemik dan penumbra (Rohkamm, 2004)
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara
bertahap.
Tahap 1 :
a. Penurunan aliran darah
b. Pengurangan O2
c. Kegagalan energi
d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion
Tahap 2 :
a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion
b. Spreading depression
Tahap 3 :
a. Inflamasi
Tahap 4 : Apoptosis
11
Proses patofisiologi pada cedera SSP akut sangat kompleks dan
melibatkan permeabilitas patologis dari sawar darah otak, kegagalan energi,
hilangnya homeostasis ion sel, asidosis, peningkatan kalsium ekstraseluler,
eksitotoksisitas dan toksisitas yang diperantarai oleh radikal bebas. (Sherki
dkk, 2002).
Gambar 2.2 Mekanisme seluler pada iskemik SSP akut
12
2.2.5. Etiologi stroke perdarahan
Tabel 2.1. Etiologi penyebab stroke perdarahan (Islam, 2000)Faktor anatomik
Lipohialinosis dan mikroaneurisma
Arteriovenous malformation (AVM)
Angiopati amiloid
Mikroangioma
Faktor hemodinamik
Hipertensi arterial akut maupun kronik
Migrain
Faktor hemostatik
Antikoagulan
Antiplatelet
Trombolitik
Hemofilia
Leukimia
Trombositopenia
Faktor lain
Tumor intra serebral
Alkohol
Amfetamin
Vaskulitis
13
2.2.6. Patofisiologi Stroke Hemoragik
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan
perdarahan subarachnoid. Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih 20 %
adalah stroke hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan
subarachnoid dan perdarahan intraserebral.
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya
mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling
sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi
kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400 mikrometer
mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa
lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard.
Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba
menyebabkan rupturnya penetrating arteri yang kecil. Keluarnya darah dari
pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan pembuluh
kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini
mengakibatkan volume perdarahan semakin besar.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik
akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di dearah
yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik
timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan
nekrosis.
Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah
disekitar permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang
subarachnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya
14
aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM).
(Testai, et al. 2008)
2.2.7. Gejala Klinik Stroke
2.2.7.1 Gejala klinik stroke infark
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan
peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan
pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi,
gejala tersebut pada umumnya terjadi secara mendadak, saat bangun
tidur.
Gambar 2.3 Tempat penyebab stroke iskemik di otak
2.2.7.2 Gejala klinis perdarahan intra serebral :
15
Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan
aktivitas dan dapat didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan
tekanan darah yaitu nyeri kepala, mual, muntah, gangguan memori,
bingung, perdarhan retina, dan epistaksis.
Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai
hemiplegia/hemiparese dan dapat disertai kejang fokal / umum. Tanda-
tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks pergerakan
bola mata menghilang dan deserebrasi. Dapat dijumpai tanda-tanda
tekanan tinggi intrakranial, misalnya papiledema dan perdarahan
subhialoid.
2.2.7.3 Gejala klinis perdarahan subarahnoid :
Nyeri kepala hebat yang akut (thunderclap headache) disertai
pusing, nyeri orbita, diplopia, pandangan kabur. kaku kuduk, fotofobia
dengan nyeri pinggang bawah sebagai gejala dari rangsang meningeal, dan
mual, muntah karena peningkatan TIK
a. Tanda defisit neurologi fokal:
hemiparesis dengan atau tanpa afasia
Paresis nervus kranialis
Perdarahan retina berupa perdarahan subhialoid merupakan gejala
karakteristik perdarahan subarakhnoid.
Bisa pula sudah ada gejala klinik pada 10%-15% pasien yang muncul
sejak sebelum terjadi ruptur aneurisma, seperti paresis motorik atau
parestesia, kejang, ptosis, bruit dan disfasia.
16
Pada 60%-70% PSA ditemukan faktor pencetus seperti kerja fisik
berat, ketegangan emosional, mengedan, berhubungan seksual, dan
trauma, sedangkan 30%-40% sisanya terjadi waktu istirahat.
Gambar 2.4 perbedaan gejala klinis stroke
2.2.8. Pemeriksaan penunjang
1. CT scan
Dengan pemeriksaan ini, adanya perdarahan otak dapat segera
diketahui.
2. EKG
Karena pentingnya iskemia dan aritmia jantung, serta penyakit
jantung lainnya sebagai penyebab stroke, maka pemeriksaan EKG harus
dilakukan pada semua pasien stroke akut
3. Kadar gula darah
Pemeriksaan kadar gula darah snagat diperlukan karena pentingnya
diabetes melitus sebagai salah satu faktor resiko utama stroke.
4. Elektrolit serum dan faal ginjal
17
Pemeriksaan ini perlu dilakukan, terutama berkaitan dengan
kemungkinan pemberian obat osmotrapi pada pasien stroke yang disertai
peningkatan tekanan intrakranial, dan keadaan dehidrasi.
5. Darah lengkap
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menentukan keadaan
hematologik yang dapat mempengaruhi stroke iskemik, misalnya anemia,
polisitemia vera, dan keganasan.
6. Faal hemostasis
Pemeriksaan jumlah trombosit, PT dan Aptt diperlukan terutama
berkaitan dengan pemakaian obat antikoagulan dan trombolitik
7. X-foto toraks
Pemeriksaan lain yang diperlukan pada keadaan tertentu sesuai
indikasi, seperti: tes faal hati, saturasi oksigen, analisis gas darah. EEG.
2.2.9. Penatalaksanaan umum stroke akut
1. Evaluasi cepat dan diagnosis, meliputi:
Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan,
aktivitas penderita saat serangan, gejala lain seperti sakit
kepala, mual, muntah, rasa berputar kejang, cegukan.
Gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor resiko
stroke.
Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi,
oksimetri, dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher,
toraks, abdomen, kulit dan ekstremitas.
18
Pemeriksaan neurologis, terutama meliputi pemeriksaan saraf
kranialis, meningeal sign, refleks, koordinasi dan fungsi kognitif.
2. Terapi umum
a. Stabilisasi jalan napas dan pernapasan
b. Stabilisasi hemodinamik
c. Pemeriksaan awal fisik umum
d. Pengendalian peninggian tekanan intra kranial :
Tinggikan posisi kepala 20o-30o dengan cara
osmoterapi, atas indikasi: manitol 0.25-0.50
gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4-6 jam
dengan target <310 mOsm/L.
e. Penanganan transformasi hemorhagik
f. Pengendalian kejang
Bila kejang, berikan diasepam bolus lambat intra vena 5-20
mg dan diikuti fenitoin loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan
kecepatan maksimum 50 mg/menit.
g. Pengendalian suhu tubuh
Berikan asetaminofen 650 mg bila suhu lebi dari 38,5oc
(AHA/ASA guideline) atau 37,5 oc (ESO guideline). Pada pasien
febris atau beresiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan
hapusan.
h. Pemeriksaan penunjang
EKG
Laboratorium
19
Pemeriksaan radiologi
Pada kecurigaan perdarahan subarahnoid, lakukan punksi
lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal.
2.2.9.1 Penatalaksanaan stroke iskemik
a. Letakkan kepala pasien pada posisi 30o, kepala dan dada pada satu
bidang : ubah posisi tidur setiap 2 jam, mobilisasi dimulai bertahap
bila hemodinamik sudah stabil.
b. Bebaskan jalan nafas, beri oksigen 1-2 liter/ menit sampai
didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perllu, ldilakukan intubasi.
c. Demam diatasi dengan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya.
d. Jika kandung kemih penuh, dikosongkan
e. Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid
1500-2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan
mengandung glukosa atau sainsotonik. Pemberian nutrisi peroral
hanya jika fungsi menelannya baik: jika didapatkan gangguan
menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melali nasogastrik
f. Kadar gula darah > 150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula
darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu
selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemi (kadar gula darah <60 mg%
atau <80 mg% dengan gejala ) diatasi segera dengan dextrosa 40%
iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya.
g. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mmHg, diastolik
≤ 70 mmHg diberi Nacl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan
500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai
20
hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah
sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberikan dopamin 2-20μg/kg/
menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.
h. Jika kejang, diberi dizaepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3
menit, maksimal 100 mg per hari, dilanjutkan pemberian
antikonvulsan per oral (fenitoin, CBZ) Jika kejang muncul setelah 2
minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang
(Cachoifera, 2009).
i. Terapi khusus ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian
antiplatelet seperti aspirin dan antikoagulan, atau yang dianjurkan
dengan trombolitik rt-PA (recombinant tissue Plasminogen
Activator). Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin
atau pirasetam (jika didapatkan afasia)
2.2.9.2 Penatalaksanaan stroke hemorragic
a. Bila tekanan darah sistolik > 200 mmHg atau MAP >150 mmHg.
Turunkan TD secara agresif dengan labetolol, nikardipin,
diltiazem.
b. Bila tekanan sistolik > 180 mmHg, atau MAP > 130 mmHg dan
ada bukti peninggia TIK, turunkan TD dengan targetCPP > 60-80
mmHg
c. Bila tekanan sistolik > 180 mmHg, atau MAP >130 mmHg dan
tidak ada bukti peninggian TIK , turunkan TD dengan target TD
160/90 mmHg atau MAP 110 mmHg, monitor TD setiap 15 menit.
21
d. Pada fase akut tekanan darah tidak bole diturunkan > 20%-25%
dari tekanan darah rerata.
e. Bila tekanan sstolik < 180 mmHg dan tekanan diastoik < 105
mmHg, tangguhkan pemberian obat antihipertensi.
f. Pada penderita dengan riwayat hipertensi, penurunan tekanan darah
harus dipertahankan dibawah tekanan arterial rata-rata 130 mmHg.
g. Tekanan darah arterial rata-rata lebih dari 110 mmHg pada waktu
pasca operasi dekompresi harus segera dicegah.
h. Bila tekanan darah arterial sistolik turun < 90 mmHg harus
diberikan obat menaikkan tekanan darah (vasopressor).
2.2.9.3 Penatalaksanaan perdarahan subarachnoid
a. Tata laksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess
(H&H) adalah sebagai berikut :
Gambar 2.5 Skala HUNT and HESS (H&H PSA) (Davis, 2005)
Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin.
22
Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30o
dalam ruangan dan lingkungan yang tenang dan
nyaman, bila perlu O2 2-3 lpm.
Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam
penilaian tingkat kesadaran).
Pasang infus di ruang gawat darurat, usahakan
euvolemia dan monitor ketat sistem kardiopulmoner
dan kelainan neurologi yang timbul.
b. Pasien PSA derajat III, IV, atau H&H, perawatan harus lebih
intensif :
Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol
pasien di ruang gawat darurat.
Perawatan sebaiknya dilakukan di ruang intensif.
Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan nafas
yang adekuat perlu dipertimbangkan intubasi
endotrakheal dengan hati-hati terutama apabila
didapatkan tanda-tanda TIK meningkat.
Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi
untuk diberikan hiperventilasi. Tiopental dan etomidate
dipakai sebagai obat induksi optimal. Awasi
hiperventilasi sehingga P CO2 pada kisaran 30-35
mmHg untuk menjaga peningkatan TIK. Hiperventilasi
yang berlebihan akan menyebabkan bahaya vasospasme
(PERDOSSI, 2011).
23
Hindari pemakaian obat sedatif yang berlebihan karena
menyulitkan penilaian status neurologi.
c. Bila didapatkan TIK meningkat, lakukan intervensi dengan
cara :
Larutan hiperosmolar seperti maitol 20% yang dapt
menurunkan TIK 50% dalam waktu 30 menit dengan
dosis 0,25-1 mg/kg/BB.
Diuretikseperti furosemid bolus IV 40 mg dapat
menurunkan TIK tanpa menurunkan osmolaritas serum.
Pemakaian steroid IV masih diperdebatkan (Bahrudin,
2013).
2.2.10. Prognosis
Angka kematian stroke berkisar antara 20-30%, dan pada stroke
perdarahan, angka ini dapat mencapai 40%. Penyebab kematian ini terjadi
pada minggu pertama setelah serangana terutama disebabkan oleh herniasi
otak. Herniasi otak sering terjadi pada 24 jam pertama setelah serangan.
Kematian pada minggu berikutnya paling sering disebabkan olej penyakit non
neurologik seperti kelainan jantung, pneumonia, emboli paru, dan sepsis.
Faktor-faktor yang memperngaruhi prognosis stroke antara lain:
a. Usia: mempunyai nilai negatif terhadap prognosis stroke
b. Jenis kelain, pengaruhnya belum jelas
c. Riwayat stroke sebelumnya dan atrial fibrilasi berpengaruh negatif
terhadap prognosis pasien stroke
d. Berat stroke dan lokasi lesi.
24
Para peneliti menyebutkan beberapa faktor lain yang juga
mempengaruhi prognosis diantaranya: penyakir penyerta (komorbiditas)
seperti penyakit DM, hipertensi, sakit jantung, lesi otak bilateral,
demensia, neglect yang menetap, inkontinensia urin dan alvi yang lebih
dari 3-4 minggu, defisit persepsi menyeluruh, paralisis flaksid, disfasia
yang berat, tirah baring yang lama, depresi, waktu mulai pengobatan dan
rehabilitasi.
Ada dua macam penyembuhan pada pasien setelah serangan stroke
yaitu:
Pengurangan ketidakmampuan neurologis yang dapat disebabkan
oleh penyembuhan neurologis spontan, efek pengobatan yang membatasi
perluasan stroke atau dari intervensi lainyang meningkatkan fungsi
neurologis. Contoh: perbaikan kekuatan motorik, kemampuan bahasa, atau
fungsi neurologis lainnya
Kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari0hari dalam
keterbatasan fisik yang dialami pasien, kemampuan ini dapat diperoleh
melalui adaptasi dan latihan (Bahruddin, 2013).
2.3 Hubungan tekanan darah dengan stroke
. Aliran darah otak (ADO) adalah jumlah darah yang menuju ke orak. Otak
orang dewasa menggunakan 20% darah yang di pompa oleh jantung pada saat
keadaan istirahat dan darah dalam keadaan normal mengisi 10% dari ruang
intrakranial. ADO secara ketat meregulasi kebutuhan dari metabolik otak, rata-
25
rata aliran ADO dipertahankan 50 ml/100 gram jaringan otak per menit pada
manusia dewasa (Cachofeira, 2009).
Sangat penting untuk mempertahankan ADO dalam batas yang normal
karena terlalu banyak ADO dapat meningkatkan tekanan intrakranial sehingga
dapat menekan dan merusak jaringan otak, sedangkan terlalu sedikit ADO akan
menyebabkan suplai darah yang tidak adekuat. Iskemik akan terjadi jika aliran
darah ke otak di bawah 18-20 ml per 100 gram otak permenit dan kematian
jaringan otak terjadi bila ADO turun di bawah 8-10 ml per 100 gram jaringan otak
per menit. Di dalam jaringan otak terdapat biochemical cascade atau yang disebut
sebagai iskemik.
Cascade yang menyebabkan jaringan otak menjadi iskemik,
yanglebih lanjut menyebabkan kerusakan dan kematian dari sel-sel otak
(Cachofeira, 2009).
ADO ditentukan oleh beberapa faktor seperti viskositas darah,
kemampuan pembuluh darah dalam berdilatasi, tekanan perfusi serebral yang
ditentukan oleh tekanan darah dan tekanan intrakranial. Pembuluh darah serebral
mempunyai kemampuan untuk mengubah aliran darah dengan cara mengubah
diameter lumen pembukuh darah, proses ini disebut autoregulasi. Konstriksi
pembuluh darag akan terjadi bila tekanan darah meningkat dan akan berdilatasi
bila tekanan darah menurun (Savoia et al, 2011).
Hipertensi dapat menimbulkan perubahan patologik yang berbeda pada
pembuluh darah sedang dan pembuluh darah kecil otak. Berdasarkan ini, stroke
yang timbul akibat hipertensi dapat dibedakan menjadi dua golongan yang
gambaran patologi kliniknya berbeda (Setyopranoto, 2011).
26
Pada pembuluh darah sedang, seperti arteri karotis, arteri vertebrobasilaris
atau arteri di basal otak, perubahan patologiknya adalah berupa aterosklerosis, dan
manifestasi kliniknya adalah stroke iskemik. Disini peranan hipertensi hanya
merupakan faktor resiko disamping faktor-faktor lain seperti diabetes melitus,
hiperlipidemi, merokok dan lain-lain. Pembuluh darah kecil otaj, ialah cabang-
cabang penetrans arteri yang menembus ke dalam jaringan otak, berukuran
diameter 50-200 mikron. Dasar kelainan pada pembuluh darah jenis ini adalah
spasme terjadi pada hipertensi akut seperti hipertensi maligna, dan manifestasi
kliniknya adalah infark lakunar.
Lipohialinosis juga terjadi pada hipertensi kronik, pembuluh darah dengan
lipohialinosis ini dapat mengalami mikroaneurisma.
Pada pasien normotensif perdarahan intraserebral terjadi karena adanya
angiopati amiloid yaitu penumpukan protein amiloid pada dinding arteri
leptomening dan kortikal yang berukuran kecil dan sedang yang akan menggeser
kolagen dan elemen kontraktil sehingga dinding arteri menjadi lemah dan rapuh
dan akan dapat terjadi perdarahan spontan (Bahrudin, 2013).
27
BAB III
KESIMPULAN
Stroke merupakan penurunan sistem syaraf secara tiba-tiba selama 24 jam
tanpa adanya penyebab lainnya selainan kelainan vaskuler. Hingga sekitar 50%
stroke diakibatkan oleh peningkatan tekanan darah. Insidensi stroke meningkat
sekitar 25% setiap kenaikan sistolik 10 mmHg, dan tekanan diastolik lebih dari
110 mmHg. Baik stroke iskemik maupun hemorhagik memiliki hubungan yang
kuat dengan tekanan darah. Setiap kenaikan sistolik 20 mmHg resiko terjadinya
stroke iskemik dan Hemorhagik meningkat 2,23 -3,18 kali.
Hubungan tekanan darah dengan stroke sendiri dapat terjadi melalui proses
disfungsi endotel yang menyebabkan aterosklerosis, lipohialinosis dan aneurisma
pembuluh darah yang didukung dengan adanya faktor resiko lain yakni diabetes
mellitus, dislipidemia, dan gaya hidup seperti merokok.
Diagnosis stroke didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan laboratorium
untuk melihat adanyor resiko stroke, dan pemeriksaan penunjang lainnya seperti
CT-Scan, MRI, Angiografi, dan EKG.
28
Penatalaksanaan stroke terdiri dari terapi pada fase akut, dan fase lanjutan
yang bertujuan mengurangi luka sistem syaraf yang sedang berlangsung dan
menurunkan kematian dan cacat jangka panjang, mencegah komplikasi sekunder
untuk imobilitas dan disfungsi sistem syaraf.
29
DAFTAR PUSTAKA
Abro, Alla-ud-din, Muhammad Aslam Abbasi, Hafeezullah, Jawaid Sammo, Muzafar Sheikh. 2007. Incident of Stroke In Context of Hypertension In Local Population. Pak JPhysiol 2007;3(2).
Bahruddin, Moch, dr. Sp.S. 2013. Neurologi Klinis. UMM Press: Malang
Cachofeira, victoria, Maria Miana. Natalia de las Heras, Beatriz Martin-Fernandez, Sandra Ballesteros, Gloria Balfagon, And Vicente Lahera. 2009. Inflammation: A Link Between Hypertension and Atherosclerosis. Current Hyper tens ion Rev iews , .2009, 5, 40-48.
Goldstein L, Adams R, Alberts M, et al.2006. Primary Prevention of Ischemic Stroke: A Guideline From the American Heart Association/American Stroke Association. 2006; 37:1583-1633.
Guyton AC; Hall JE, 2006, Sirkulasi , In : Guyton AC, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta, pp. 170-174.
Islam, MS. 2004. pedoman praktis penatalaksanaan stroke iskemik akut. Pendidikan kedokteran berkelanjutan.
PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke tahun 2011. Jakarta
Roger, Veronique, et al. 2011. Heart Disease and Stroke Statistic 2011 Update : A Report From the American Heart Association. http://circ.ahajournals.org/content/123/4/e18.full
Rohkamm,Reinhard. 2004. Stroke in Color Atlas of Neurology. Newyork : Thieme
Savoia, Carmine. Lidya Sada, Luigi Zezza. 2011. Vascular Inflammation and Endothelial Dysfunction in Experimental Hypertension. International Journal of Hypertension Volume2011 (2011), Article ID 281240
Setyopranoto, Ismail. 2011. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05_185Strokegejalapenatalaksanaan.pdf/05_185Strokegejala penatalaksanaan.pdf. (online) diakses tanggal 1 Maret 2014
30
Sherki,Y.G., Rosenbaum.Z., Melamed,E., Offen,D. 2002. Antioxidant Therapy in Acute Central Nervous System Injury: Current State. Pharmacol Rev. 54:271-284
Silbernagl, S., Florian Lang. 2007. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC:Jakarta
Testai, Fernando D. Venkatesh Aiyagari. 2008. Acute Hemorrhagic Stroke Pathophysiology and Medical Interventions: Blood Pressure Control, Management of Anticoagulat-Associated Brain Hemorrhage and General Management Principle. Neurol clin 26 (2008) 963-985.
Thuillez, V. Richard. 2005. Targeting Endothelial Dysfunction In Hypertensive subjects. Journal of Human Hypertension. (2005)19
WHO. 1998. recommendation on stroke prevention, diagnosis, and therapy, stroke vol 20, 1407-31
Recommended