View
240
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
1/193
i
ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI
PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA
KARYA AHMAD FUADI
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Megister
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh:
Anjar Setianingsih
S841008004
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
2/193
ii
HALAMAN PENGESAHAN
ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA
NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI
Disusun Oleh:
Anjar Setianingsih
S841008004
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Komisi
Pembimbing
Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.
NIP 19440315 1978041001
…………… …..……2012
Pembimbing II Dr. Andayani, M.Pd.
NIP. 196010301986012001
……………. …………2012
Mengetahui
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia,
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd.
NIP 19440315 1978041001
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
3/193
iii
ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA
NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI
Disusun Oleh:
Anjar Setianingsih
S841008004
Tm Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.
NIP 196204071987031001
………………. ……… 2012
Sekretaris Dr. Nugraheni Eko W, M.Hum
NIP. 197007162002122001
………………. ……… 2012
Anggota
Penguji
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.
NIP 19440315 1978041001
………………. ……… 2012
Dr. Andayani, M.Pd
NIP. 196010301986012001
………………. ……… 2012
Telah dipertahankan di depan penguji
Dinyatakan telah memenuhi syarat
Pada tanggal …….…………. 2012
Direktur
Program Pascasarjana UNS
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S.
Nip 196107171986011001
Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa Indonesia
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.
NIP 19440315 1978041001
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
4/193
iv
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya
Nama : Anjar Setianingsih
NIP : S841008004
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul ANALISIS
SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI
LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI adalah betul-betul karya saya
sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya
peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, 4 Januari 2012
Yang membuat pernyataan,
Anjar Setianingsih
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
5/193
v
Persembahan
1.
Bapak dan Ibu tercinta
2. Keluarga besar Bapak Sahono
3. Suami tercinta, Irsyad Afrianto
4. Anakku tersayang, Natasya Aura Putri
5. Almamater
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
6/193
vi
MOTTO
Sungguh manusia diciptakan suka mengeluh. Apabila dia ditimpa
kesusahan, dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta), dia
jadi kikir. (QS Al-Ma’arij:19-21)
Mimpi adalah kunci untuk menakhlukan dunia
(Penulis)
Manusia tidak dilihat dari usianya, tetapi dari seberapa jauh dia
bertumbuh dan berkembang serta memberikan kontribusi nyata bagi
dunia sesuai tingkat usianya.
(Xavier Quentin)
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
7/193
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga tesis yang berjudul “Sosiologi Sastra dan
Nilai Pendidikan pada Novel Negeri Lima M enara karya Ahmad Fuadi” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Tesis ini berusaha menjelaskan dan mendeskripsikan Sosiologi Sastra
dan Nilai Pendidikan pada Novel Negeri Lima M enara dengan menggunakan
pendekatan Sosiologi Sastra.
Tesis dibuat guna memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar
magister pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tesis ini dapat diselesaikan
karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulismenyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S., Direktur PPs UNS yang telah
memberikan izin penyusunan tesis ini;
2.
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., Ketua Program Studi Bahasa
Indonesia Program Pascasarjana UNS dan sekretaris program Prof. Dr.
Sarwiji Suwandi, M.Pd., yang telah membantu proses perkuliahan
sehingga dapat berjalan dengan lancar;
3. Prof. Dr. Herman J. Waluyo M.Pd., sebagai pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran, ketulusan, ketelitian dan
penuh harapan sehingga tesis ini dapat tersusun dengan lancar;
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
8/193
viii
4. Dr.Andayani,M.Pd sebagai pembimbing II yang telah, bimbingan,
masukan yang sangat berharga, serta memotivasi sampai ke lubuk hati
yang paling dalam sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan
dengan tepat waktu;
5. Seluruh Dosen Pascasarjana, ilmu yang diberikan oleh Bapak Ibu akan
menjadi bekal hidup penulis sebagai calon pegajar;
6. Suroto, S.pd dan Sukarti sebagai orang tua yang telah memberikan
dukungan dan motivasi sehingga jejang pendidikan Megister ini dapat
ditempuh dan diselesaikan dengan lancar.
7. Irsyad Afianto, S.pd selaku pendamping hidup yang telah memberikan
semangat dan motivasi.
8. Seluruh teman satu angkatan, staf TU Pascasarjana yang tidak dapat
disebutkan satu persatu. Semoga Allah Yang Maha Kaya membalas
kebaikan Bapak Ibu.
Kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan tesis agar lebih
baik dan bermanfaat. Semoga Allah selalu menyertai langkah kita, sekarang dan
selamanya. Amin.
Surakarta, Januari 2012
Penulis,
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
9/193
viii
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI TESIS...................................................... .... iii
PERNYATAAN............................................................................................... iii
PERSEMBAHAN ............................................................................................ iv
MOTTO ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii
ABSTRAK ....................................................................................................... xiv
ABSTRACT ..................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 5C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 6
D Manfaat Penelitian ................................................................................ 6
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR ...................... 8
A. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 8
1. Kajian Tentang Novel .......................................................................... 8
a. Pengertian Novel ........................................................................ .... 8
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
10/193
ix
b. Jenis-Jenis Novel .............................................................................. 13
c. Unsur-Unsur Novel .......................................................................... 18
d. Novel sebagai Dokumen Sosial (Teeuw) ......................................... 28
2. Kajian Tentang Sosiologi Sastra ........................................................... 30
a. Pengertian Sastra .............................................................................. 30
b. Pengertian Sosiologi ......................................................................... 35
c. Pengertian Sosiologi Sastra .............................................................. 39
3. Hakikat Aspek Sosial Budaya............................ ..................................... 55
4. Kajian Tentang Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel ........................... 65
a. Pengerian Nilai ................................................................................. 65
b. Pengertian Pendidikan ...................................................................... 67
c. Pengertian Nilai Pendidikan (Edukasi) dalam Novel...................... 68
B. Penelitian yang Relevan....................................................................... 78
C. Kerangka Berfikir................................................................................ 81
BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………………………… 83
A. Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………. 83
B. Metode Penelitian…………………………………………………… 84
C. Data dan Sumber Data………………………………………………. 84
D. Teknik Cuplikan (Sampling)………………………………………… 85
E. Teknik Pengumpulan Data………………………………………….. 86
F. Uji Validitas Data…………………………………………………… 87
G. Teknik Analisis Data………………………………………………... 88
H. Prosedur Penelitian…………………………………………………. 92
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 95
A. Hasil Penelitian ....................................................................................... 95
1. Pandangan Pengarang terhadap Novel Negeri Lima Menara
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
11/193
x
karya Ahmad Fuadi .............................................................................. 95
2. Aspek Sosial Budaya tang terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi ............................................................................. .. 109
a. Sistem Religi…………………………………………… ............... 110
1. Sistem Kepercayaan......................................................... ........... 110
2. Sistem Nilai dan Pandangan Hidup.................................... ....... 113
3. Komunikasi Keagamaan............................................... .............. 115
b.
Sistem Kemasyarakat atau Organisasi Sosial............................... .. 116
1. Kekerabatan………………………………………………..... .. 116
2. Asosiasi dan Perkumpulan………………………………….. ... 118
c. System Pengetahuan……………………………………………... .. 121
d. Bahasa…………………………………………………………… .... 123
1. Lisan.................................................................................. ........ 123
1) Bahasa Minang............................................................... ..... 123
2) Bahasa Arab................................................................... ...... 125
3) Bahasa Inggris................................................................ ..... 132
2. Tulisan............................................................................... ........ 136
1) Bahasa Arab................................................................... ...... 136
2) Bahasa Inggris................................................................ ..... 137
e. Kesenian................................................................................... ......... 139
1. Kaligrafi............................................................................. ........ 139
2. Bangunan............................................................................ ....... 140
f.
Sistem Mata Pencaharian............................................................. ..... 141
1. Guru................................................................................... ........ 141
2. Pegawai Pemda.................................................................... ...... 142
g. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi.......................................... .. 143
1. Transportasi......................................................................... ...... 143
2. Peralatan komunikasi............................................................ ..... 145
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
12/193
xi
3.
Peralatan Konsumsi dalam Bentuk Wadah............................ ..... 145
4. Pakaian................................................................................ ....... 146
5. Tempat Berlindung dan Perumahan .................................... ...... 147
3. Nilai-Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi........................................................................ ....... 147
a. Nilai Vitalitas atau Kehidupan Sosial............................................ .... 148
b. Nilai Spiritual dan Nilai Agama................................................... ..... 149
c. Ungkapan Nilai Moral secara Positif dan secara Negatif.................. 152
d. Nilai Budaya.............................................................................. ........ 155
B. Pembahasan................................................................................... ........ 156
1. Pandangan Pengarang terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi............................................................ ...... 156
2. Aspek Sosial Budaya yang Terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara karya
Ahmad Fuadi................................................................................. ........ 158
3. Nilai- Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara
katya Ahmad Fuadi........................................................................ ........ 161
BAB V PENUTUP................................................................................. ......... 163
A.
Simpulan..................................................................................... ........ 163
B. Implikasi Hasil Penelitian.............................................................. ..... 165
C. Saran – Saran............................................................................... ....... 166
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... ...... 168
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
13/193
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian..................................... ........ 83
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
14/193
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir ............................................................. 82
Gambar 2. Bagan model interatif Miles & Huberman ............................ ... 89
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
15/193
xiv
ABSTRAK
ANJAR SETIANINGSIH. S841008004. 2011. SOSIOLOGI SASTRA DAN
NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA
AHMAD FUADI. Komisi Pembimbing Pertama Prof. Dr. Herman J. Waluyo
M.Pd. Pembimbing Dua Dr.Andayani, M.Pd. Tesis: Program Studi Pendidikan
Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini menjelaskan dan mendeskripsikan (1) pandangan pengarang
terhadap Pondok Madani; (2) sosiologi sastra yang terungkap pada novel dan (3)
nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara. Novel berlatar
pendidikan di pondok ini cukup menarik untuk dikaji melalui pendekatan sosiologi
sastra, yaitu tentang perjuangan enam anak laki-laki yang belajar di Pondok Madani
dan berlomba-lomba melukis negeri impiannya di langit.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode
kualitatif deskriptif. Data penelitian berupa dokumentasi berbentuk novel. Teknik
cuplikan yang digunakan adalah purposive sampling, sampel mewakili
informasinya. Teknik pengumpulan data mengkaji dokumen melalui content
analysis. Uji validasi data menggunakan triangulasi data/sumber, triangulasi teori
dan teori metode.
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis data interaktif yang meliputitiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan simpulan.
Penelitian ini menyimpulkan (1) pandangan pengarang terhadap novel; (2)
aspek sosiologi sastra pada novel meliputi: a. Sistem Religi yang berupa Sistem
Kepercayaan, Sistem Nilai dan Pandangan Hidup dan Komunikasi Keagamaan; b.
Sistem Kemasyarakat atau Organisasi Sosial yang meliputi Kekerabatan, Asosiasi
atau Perkumpulan dan Sistem Pengetahuan; c. Bahasa yang meliputi bahasa Lisan
yaitu Bahasa Minang, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, Tertulis yaitu Bahasa Arab
dan Bahasa Inggris; d. Kesenian meliputi kaligrafi Dan Bangunan; e. Sistem Mata
Pencaharian berupa Guru dan Pegawai Pemda; f. Sistem Peralatan Hidup Atau
Teknologi dan Perumahan meliputi Transportasi, Peralatan Komunikasi, Peralatan
Konsumsi dalam Bentuk Wadah dan Pakaian dan Tempat Berlindung (3) nilai-nilai
pendidikan yang terungkap adalah nilai vitalitas dan kehidupan, nilai spiritual atau
keagamaan, nilai moral yang positif dan negatif dan nilai budaya.
Kata Kunci: Pendekatan, Sosiologi Sastra, Nilai Pendidikan
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
16/193
xv
ABSTRACT
ANJAR SETIANINGSIH. S841008004. 2011. SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI
PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI .
First Advisors Prof. Dr. Herman J. Waluyo M.Pd. second mentors Dr.Andayani,
M.Pd. Thesis: Education Indonesian Studies Program in Graduate Program of Sebelas
Maret University of Surakarta.
This study explains and describes (1) views of the author against MadaniCottage (2) the sociology of literature which was revealed at the novel and (3)educational value contained in the Negeri Lima Menara novels. Novel set in
education at the cottage is quite interesting to examine through sociological approach
to literature, which is about the struggle of six boys who studied in Pondok Madaniand the country vying to paint his dream in the sky.
This study is a qualitative research, which using qualitative descriptive
methods. The research data is the form of a novel form of documentation. Thetechnique used is footage of purposive sampling, the samples represent the
information. Data collection techniques examine documents through content analysis.
Test data validation using triangulation of data / sources, triangulation theory and the
theory of the method.
Analysis technique used is an interactive data analysis that includes three
components, namely data reduction, data presentation, and conclusions.This study concludes (1) views of the author of the novel, (2) aspects of the
sociology of literature in the novel which include: a. Religions systems of belief
systems, value systems and views of Life and Religious Communication; b. Civic orsocial organization system which includes Kinship, Association or Society and
Knowledge Systems; c. Oral language includes Minang Language, Arabic and
English, and the written are Arabic and English; d. Art covers calligraphy AndBuilding; e. Livelihood System of Teachers and Employees of Local Government; f.
Life Or Equipment Systems Technology and Housing include Transportation,
Communications Equipment, Appliances Consumption in the form of container,
Clothing and Shelter (3) educational values expressed are the vitality and life,
spiritual or religious values, moral values, and positive and negative cultural values.
Keywords: Approaches, Sociology of Literature, Values Education
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
17/193
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra merupakan sebuah karya seni. Sastra adalah hasil kegiatan
kreativitas seorang sastrawan. Sebuah karya sastra mencerminkan berbagai
masalah kehidupan manusia. Karya sastra dapat berinteraksi dengan lingkungan,
sesama manusia dan dengan Tuhannya.
Menurut Nyoman Kutha Ratna (2010:307) bahwa imajinasi dalam karya
sastra adalah imajinasi yang didasarkan atas kenyataan, imajinasi yang juga
diimajinasikan orang lain. Karya sastra tidak hanya berupa imajinasi saja,
melainkan berupa penghayatan dan perenungan secara sadar. Karya sastra hasil
sebuah imajinasi yang didasari atas kesadaran yang menghasilkan kreativitas
sebagai karya seni. Karena sebagai hasil imajinasi, karya sastra menciptakan
dunia sendiri. Meskipun kita juga menyadari tidak jarang karya sastra yang
menyajikan sebuah konteks realitas sosial.
Karya sastra sebagai hasil imajinasi, tidak hanya berguna sebagai hiburan
yang menyenangkan saja. Karya sastra juga berguna untuk menambah
pengalaman bagi pembaca.Lukens dalam Burhan Nurgiyantoro (2010 : 3)
mengatakan bahwa sastra memberikan dua hal utama, yaitu kesenangan dan
pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca pertama-tama adalah memberikan
hiburan, hiburan yang menyenangkan. Sastra menampilkan cerita yang menarik,
mengajak pembaca untuk memanjakan fantasi, membawa pembaca ke suatu alur
1
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
18/193
2
kehidupan yang penuh daya suspens, daya yang menarik hati pembaca untuk ingin
tahu dan merasa terikat emosinya sehingga ikut larut dalam cerita, dan
kesemuanya itu di kemas dalam bahasa yang menarik
Meskipun sebuah karya imajinatif, karya sastra menampilkan suatu
gambaran kehidupan. Kehidupan itu sendiri merupakan kejadian yang nyata
dalam kehidupan sosial dan kultural (sosial and cultural facts). Kehidupan itu
diwarnai oleh sikap, latar belakang dan keyakinan pengarang. Persoalan atau
peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat akan terjadi sepanjang masa. Artinya
terjadi pada masyarakat yang berbeda-beda menurut zaman. Bukan hanya
sekarang, melainkan terjadi pada setiap zaman. Persoalan itu juga akan
mempengaruhi kreativitas pemikiran seorang pencipta karya sastra, sehingga
memungkinkan muncul konflik atau ketegangan batin tersebut dalam bentuk
karya sastra.
Luxemburg (1984: 23) memaparkan bahwa sastra yang ditulis pada suatu
kurun waktu tertentu berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu.
Selain itu, sastra juga menggambarkan suatu kebudayaan yang tumbuh dalam
lingkungan masyarakat yang diangkat untuk menjadi ciri yang ditonjolkan dalam
karya tersebut. Di samping mengekspresikan dan mengemukakan persoalan hidup
yang terjadi, pengarang juga mengajak pembaca untuk ikut memecahkan
persoalan kehidupan. Karya satra tercipta karena adanya keinginan dari pengarang
dalam mengungkapkan kreativitasnya yang dituangkan melalui pola berpikir, ide,
gagasan, pesan dan prinsip yang berasal dari imajinasi dan realitas sosial budaya
pengarang serta menggunakan media bahasa sebagai penyampaianya. Pencipta
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
19/193
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
20/193
4
Novel Negeri Lima Menarakarya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun
2009 dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengetahui sosiologi sastra dan nilai-
nilai pendidikan yang terkandung dalam novel tersebut. Novel Negeri Lima
menara mempunyai masalah-masalah kehidupan sosial budaya yang berasal dari
daerah masing-masing oleh para tokoh. Novel Negeri Lima menara juga memiliki
nilai positif yaitu penjelasan nilai keteladanan dalam sebuah lembaga pendidikan
sehingga bisa dijadikan panutan bagi pembaca. Novel Negeri Lima menara karya
Ahmad Fuadi dipilih karena memiliki beberapa kelebihan baik dari segi isi atau
bahasanya dibandingkan novel yang lain.
Novel-novel lain yang mempunyai masalah-masalah sosial yaitu novel
Singkar karya Siti Aminah tahun 2008 dari Yogyakarta yang menceritakan
tentang masalah politik, pergerakan mahasiswa dan masalah rumah tangga, Novel
Para Priyayi karya Umar Kayam bercerita tentang seorang anak dari keluarga
buruh tani yang oleh orang tua dan sanak saudaranya diharapkan dapat menjadi
“sang pemula” untuk membangun dinasti keluarga priyayi kecil, Novel Di Kaki
Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari yang menggambarkan keadaan sosial
masyarakat Jawa Tengah, pada salah satu desa kecil bernama Desa Tanggir tahun
70-an dan lain-lain.
Novel Negeri Lima menara karya Ahmad Fuadi menggambarkan tentang
kisah seorang anak dari Kabupaten Agam, Bukittinggi yang melanjutkan sekolah
ke Pondok Madani di Jawa Timur. Keinginan masuk ke Podok Madani ini atas
permintaan ibunya. Yang menarik setelah masuk ke Pondok Madani, ia terkesan
dengan mantra dari kiayinya yaitu man jadda wa jadda, artinya bahwa siapa yang
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
21/193
5
bersungguh-sungguh akan berhasil, kedisiplinan yang kuat, persabatan yang tak
pernah putus walau jarak memisahkan, dan cita-cita yang didasari dengan
keyakinan yang kuat. Kisah ini diperankan oleh enam anak yang berasal dari
berbagai daerah di Indonesia.
Latar pesantren yang kuat dengan kedisiplinan menjadi latar cerita yang
memikat dan memberikan nilai lebih bagi pembaca. Hal ini mengajarkan tentang
pergaulan yang kuat, mandiri, belajar keras dan sampai pada belajar menjadi
seorang pemimpi yang sejati. Kelebihan lain adalah gaya bahasa yang lugas dan
mudah dipahami serta pencitraan dalam novel Negeri Lima menara mudah
diekspresikan dan diinterprestasikan.
Adapun alasan diangkatnya sosiologi sastra dan nilai-nilai pendidikan
sebagai kajian karena novel Negeri Lima menara memiliki kelebihan tersendiri.
Apalagi didukung masalah kehidupan sosial yang terjadi selama di dalam
pesantren. Nilai pendidikan terlihat pada segala sesuatu yang terlihat melalui
proses pendidikan. Baik bentuk pengalaman di menara, tatap muka di kelas dan
hukuman yang dijatuhkan pada setiap anak yang melanggar peraturan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pandangan pengarang terhadap Pondok Madani dalam
novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi?
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
22/193
6
2. Bagaimanakah aspek sosial budaya yang terdapat dalam novel Negeri
Lima Menara karya Ahmad Fuadi?
3.
Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan pengarang terhadap Pondok
Madani dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan aspek sosial budaya yang terdapat
dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
3. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terdapat
dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberi sumbangan bagi penelitian sastra khususnya dalam pengkajian
novel sebagai salah satu genre sastra.
b. Menambah wawasan tentang pengkajian nilai sosiologi sastra dan nilai
pendidikan khususnya novel yang nantinya dapat diterapkan atau menjadi
referensi untuk meneliti dan mengkaji novel yang lain.
c. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan penerapan
ranah ilmu sastra serta studi tentang karya sastra.
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
23/193
7
2. Manfaat Praktis
a.
Bagi Guru
Hasil penelitian ini mendeskripsikan sosiologi sastra dan nilai-nilai
pendidikan dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Guru
dapat mengajarkan nilai-nilai tersebut dapat dijadikan teladan bagi siswa
dalam menghadapi serta menyikapi setiap permasalahan yang terjadi
dalam kehidupan.
b. Bagi Siswa
Menambah perbendaharaan tentang kajian terhadap novel terutama
pengkajian nilai sosiologi sastra dan nilai pendidikan yang merupakan
salah satu materi ajar pada Pembelajaran Sastra.
c. Membantu pembaca atau penikmat sastra dalam menginterpretasikan
novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sehingga pemaknaan
terhadap karya sastra akan lebih terarah.
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
24/193
8
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR
A. Landasan Teori
1. Hakikat Novel
a. Pengertian Novel
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang sekaligus disebu
sebagai fiksi. Istilah novel berasal dari kata novella yang berasal dari bahasa
Italia. Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 9), secara harafiah
novella berarti sebagai sebuah barang baru yang kecil yang kemudian diartikan
sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.
Abrams (1971: 110) menjelaskan bahwa
“ Novel is term novel is now applied to great variety of writings that havein common only the attribute of being extended works of prose fiction. As an
extended narrative, the novel is distinguished from the short story and from the
work of midlle length called thenovelette. “
Abrams menjelaskan bahwa novel adalah istilah novel sekarang
diterapkan untuk berbagai macam tulisan yang berbentuk suatu karangan yang
berupa prosa fiksi. Karangan tersebut berupa cerita pendek dan prosa. Fiksi
adalah cerita rekaan atau dibuat-buat, sedangkan yang termasuk fiksi adalah
novel dan cerpen. Namun kadangkala fiksi juga sering digunakan sinonim dari
novel.
Burhan Nurgiyantoro (2002: 9-10) memaparkan bahwa dewasa ini istilah
novella atau novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia,
novellet yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak
8
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
25/193
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
26/193
10
Dengan kata lain, novel merupakan salah satu bentuk fiksi dalam bentuk
prosa yang memiliki panjang cukupan dalam arti tidak terlalu panjang dan juga
tidak terlalu pendek serta di dalamnya terkandung 3 hal yang berkaitan dengan
isicerita novel, antara lain: (1) perubahan nasib tokoh cerita; (2) ada beberapa
episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama yang
diceritakan tidak sampai mati. Secara garis besar, novel merupakan sebuah
karangan yang memaparkan ide, gagasan atau khayalan dari penulisanya.
Hal tersebut sejalan dengan definisi novel yang terdapat di dalam The
American College Dictionary (dalam Henry Guntur Tarigan,1993: 120) novel
adalah (1) cabang dari sastra yang menyusun karya-karya narasi imajinatif,
terutama dalam bentuk prosa; (2) karya-karya dari jenis ini, seperti novel/
dongeng-dongeng; (3) sesuatu yang diadakan, dibuat-buat atau diimajinasikan,
suatu cerita yang disusun.
Sementara itu menurut Orr dalam Journal of European Studies.Volume, 9
No. 36 bahwa tujuan novel adalah penyadaran terhadap realitas.
Intended as an original contribution to the sociology of the novel. It is is
concerned with the destiny of the modern novel itself. This destiny would appear
to the needful resuscitation of tragic realism after its demise with or around,
Orwell. (Orr, 1977: 304-305).
Orr (1977 :304-305) pada pernyataan di atas mengatakan bahwa kontribusi
asli untuk sosiologi pada novel. Hal ini berkaitan dengan novel modern tersebut.
Misalnya seperti hal yang diperlukan dalam peristiwa yang tragis, kematian atau
kejadian yang terjadi di sekitar kita.
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
27/193
11
Selanjutnya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas, Brooks (dalam
Henry Guntur Tarigan, 1993: 120) mendefinisikan fiksi sebagai sebuah bentuk
penyajian ataucara seseorang memandang hidup ini. Jadi karya fiksi memang
bukan nyata, tetapikarya sastra juga bukan kebohongan karena fiksi adalah suatu
jenis karya sastra yang menekankan kekuatan kesastraannya pada daya
penceritaannya. Karya sastra bukan hanya sebuah khayalan semata, tetapi juga
merupakan sebuah refleksi dari suatu hal yang dirasakan, dilihat, bahkan mungkin
juga dialami oleh penulis.
Sedikit berbeda dengan beberapa pendapat di atas, Goldmann (dalam
Faruk, 2010: 29) mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian
yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero
yang problematik dalam sebuah dunia yang juga tergradasi. Nilai-nilai otentik
yang dimaksud tersebut adalah nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah novel
yang dapat mengorganisasikan sebuah novel secara keseluruhan meskipun tidak
tertuang secara eksplisit.
Atar Semi (1993: 32) juga memaparkan pendapat yang tidak jauh berbeda
dengan pendapat-pendapat di atas, bahwa novel mengungkapkan suatu
konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang dan pemusatan kehidupan
yang tegas. Dalam hal ini novel lebih mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan
yang lebih mendalam dan disajikan dengan lebih halus. Pendapat tersebut dapat
diartikan bahwa sebuah novel merupakan suatu hasil imajinasi penulis yang
menggambarkan refleksi kehidupan tokoh dan segala masalah yang menyertainya
secara utuh dengan berbagai nilai yang turut membangun kelengkapan
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
28/193
12
sebuahcerita. Nilai-nilai yang terkandung di dalam novel tersebut tidak
dituangkan secara eksplisit oleh penulisnya dan nilai tersebut pada akhirnya dapat
diambil oleh pembaca sebagai sebuah pelajaran yang mungkin bermanfaat untuk
kehidupannya.
Novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat
artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur,
yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling
menguntungkan. Unsur-unsur tersebut turut membangun sebuah novel yang
kemudian membentuk sebuah totalitas tersebut. Secara tradisional, unsur-unsur
pembangun novel dapat dibedakan menjadi dua bagian walaupun tidak
sepenuhnya terpisah, unsur tersebut adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik (Burhan
Nurgiyantoro, 2002: 23).
Mengenai segi unsur dari dalam novel yang turut membangun jalinan
keutuhan sebuah novel, Burhan Nurgiyantoro (2002: 4) memaparkan bahwa novel
merupakan sebuah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia yang imajiner,
dunia yang diharapakan menjadi model kehidupan yang nyata yang dibangun
melalui berbagai unsur intrinsik, seperti plot , setting, peristiwa, tokoh, tema, dan
sudut pandang.
Dari berbagai teori di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah
karya sastra yang berisi tentang rangkaian cerita yang memaparkan ide, gagasan,
maupun khayalan penulisnya. Akan tetapi, novel tidak hanya khayalan semata,
novel juga memaparkan tentang refleksi dari suatu hal yang dilihat, dirasa, bahkan
mungkin juga dialami oleh penulisnya. Keterjalinan cerita dan kesempurnaan
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
29/193
13
sebuah novel dapat dilihat dari beberapa unsur yaitu unsur intrinsik yang terdiri
dari alur, penokohan, setting, tema, dan sudut pandang serta unsur ekstrinsik yang
berupa latar belakang pengarang, amanat, dan berbagai unsur lain yang turut
membangun sebuah novel hingga novel tersebut dapat dengan mudah dipahami
oleh para penikmatnya.
b. Jenis-Jenis Novel
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 16), novel terdiri dari dua macam
yaitu novel serius dan novel populer. Pembedaan novel tersebut sering mengalami
kekaburan makna. Hal ini disebabkan karena pembedaan tersebut cenderung
mengarah pada subjektifitas penikmat sastra. Para penikmat sastra beranggapan
bahwa novel yang ditulis oleh beberapa penulis tertentu dan penerbit tertentu yang
sering menerbitkan karya sastra yan cenderung “berat” kadar kesastraannya.
Novel serius merupakan novel yang mengandung unsur sastra yang kental. Novel
ini juga harus sanggup memberikan hal yang serba mungkin terjadi, dan itulah
makna dari sastra yang sastra.
Pada umunya novel serius mengandung tujuan yang tersirat didalamnya
untuk memberikan pengalaman yang berhargabagi pembaca, setidaknya novel
tersebut mampu mengajak pembacanya untuk meresapi dan merenungkan
masalah yang diangkat oleh sebuah novel (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 18-19).
Dengan demikia, novel serius lebih mengarah pada suatu bentuk karya yang di
dalamnya terdapat sebuah pelajaran berharga yang dapat diambil oleh para
penikmat sastra melalui pemahaman yang mendalam.
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
30/193
14
Burhan Nurgiyantoro (2002: 18) mendefinisikan novel popular sebagai
novel yang popular pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya
pembaca di kalangan remaja.Namun, novel popular hanya bersifat
sementara,cepat ketinggalan zaman, dan tidak dapat memaksa pembacanya untuk
membaca sekali lagi novel tersebut.Selain itu, novel popular juga cepat
ditinggalkan oleh pembacanya setelah muncul novel yang lebih baru dan popular
(Burhan Nurgiyantoro, 2002: 16). Novel ini menampilkan masalah-masalah yang
aktual dan selalu menzaman namun hanya sampai pada tingkat permukaan saja,
tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih mendalam atau dengan
katalain tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Apabila hal tersebut terjadi
dalam penulisan novel popular maka novel akan menjadi lebih berat, menjadi
novelserius, dan bisa dimungkinkan akan ditinggalkan oleh pembacanya.
Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 2010: 31) membagi
novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel
pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimisme
dalam petualangan tanpa menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel jenis kedua
sang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh
dunia fantasi. Sedangkan dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan
pencariannya akan nilai-nilai yang otentik.
Di pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2011: 126), yang
memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural,
mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil merekonstruksi
struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
31/193
15
menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh
imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk
merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal, termasuk
peristiwa-peristiwa historis (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 127).
Kita harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk
memahaminya, khususnya novel. A. Teeuw (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 59-
60) menyebutkan bahwa sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama
eksterne strukturrelation, yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa pengarang
terikat oleh bahasa yang dipakainya; kedua interne strukturrelation, yaitu struktur
dalam bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan; dan ketiga
model dunia sekunder, yaitu model dunia yang dibangun oleh pengarang, dunia
fantasi atau dunia imajinasi.
Wellek dan Warren (1993: 75-130) menyebutkan adanya empat faktor
ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi
pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat dan filosofis. Untuk memahami
sebuah novel, harus dilakukan pembedahan struktur yang dimiliki Kenney (1966:
6-7) berpendapat,
“To analyze a literary work is to identify the sparate parts that make it up(this correspondsroughly to the notion of tearing it to pieces), to determine
the relationships among the parts, and to discover the relation of the parts,
to the whole. The end of the analysis is always the understanding of the
literary work as a unified and complex whole”.
Dari pendapat Kenney (1966:6-7) dijelaskan bahwa menganalisis sebuah
karya sastra dengan mengidentifikasi bagian-bagian karya yang membentuk,
dengan menentukan hubungan antar bagian-bagian, dan menemukan antar bagian-
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
32/193
16
bagian secara keseluruhan. Analisis akhir suatu pemahaman karya sastra sebagai
satu kesatuan yang utuh dan kompleks.
Fiksi modern di bagi menjadi tiga golongan besar yaitu, bacaan hiburan,
cerita dengan kecenderungan konvensional, dan fiksi modern dengan
kecenderungan inkonvensional. Bacaan hiburan berfungsi sebagai sarana hiburan
bagi pembacanya. Pembagian cerita dengan kecenderungan konvensional dan
inkonvensional tersebut berkaitan dengan konvensi unsur-unsur intrinsik sastra.
Konvensional merupakan cerita yang masih berpegang pada aturan atau konvensi
sastra yang ada, sedangkan inkonvensional tidak berpegang dan bahkan
menyimpang dari konvensi atau aturan sastra yang telah ada. Pembedaan tersebut
sedikit berbeda dengan kategorisasi yang dilakukanoleh Goldmann.
Lubis (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993:165-166) mengkategorikan
novel menjadi beberapa jenis, antara lain roman avontur, roman psikologis, roman
detektif, roman sosial, roman politik, roman kolektif. Terdapat sedikit perbedaan
dari pengkategorian di atas adalah pembagian yang ada dalam Ensiklopedia
Indonesia (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 166), yaitu romansosial, roman
bersejarah, roman tendens, roman keluarga, roman psikologis.
Berdasar pada berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa secara
garis besar novel terbagi menjadi dua, yaitu novel serius dan novel popular. Novel
serius merupakan sebuah karya sastra yang memiliki kadar kesastraan yang tinggi
dan membutuhkan suatu pemahaman yang lebih untuk dapat memahaminya.
Novel serius cenderung mengangkat tema-tema yang lebih “berat”, seperti tema
tentang politik, pendidikan, psikologi, dan lai-lain.Novel popular merupakan
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
33/193
17
sebuah karya sastra yang berfungsi sebagai sebuah sarana hiburan.Meskipun
hanya sebagai sebuah sarana hiburan, novel popular tak lantas mengabaikan
konvensi-konvensi sastra yang ada.Novel popular tetap mengindahkan konvensi
sastra yang ada dan juga memiliki nilai estetis yang dapat dinikmati oleh pembaca
dan nilai pedagogis yang dapat dipetik oleh pembaca. Untuk memahaminya pun
pembaca tidak membutuhkan pemikiran yang lebih.
c. Unsur-Unsur Novel
Jakob Sumarjo (1982:11) mencantumkan unsur-unsur fiksi (novel) sebagai
berikut: (1) plot atau alur; (2) kerakter atau penokohan; (3) tema; (4) setting atau
latar; (5) suasana; (6) gaya; dan (7) sudut pandang penceritaan.
Berbeda dengan pendapat di atas, Zainuddin Fanani (2000 : 84)
mendefinisikan bahwa unsur-unsur prosa dibagi menjadi: (1) Tema; (2)
Penokohan; (3) Plot; dan (4) Setting.
Lebih lanjut lagi akan dipaparkan satu persatu struktur tersebut:
1. Plot
Plot sering juga disebut alur. Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka
awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang
berlawanan (Herman J. Waluyo, 2002: 8).
William Kenney (1966: 13-14) menyatakan:
“ plot reveals event to us, not only in their temporal, but also in
relationships. Plot makes us aware of events not merely as elements in
temporal series, but also as an intricate pattern of cause and effect”. “The
structure of plot to recognize this much, however.Is only a beginning. We
must consider in more specific terms the form this “arrangement” we call
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
34/193
18
plot is likely to take. For, underlying the evident diversity of fiction, we
may discern certain recurring patterns”.
Berpijak dari pendapat William Kenney (1966: 13-14) dapat dijelaskan
bahwa plot mengungkapkan suatu rencana, bukan hanya dalam duniawi penulis
tetapi juga dalam hal hubungan antar jalinan cerita.Plot merupakan peristiwa yang
tidak hanya sebagai elemen dalam seri temporal, tetapi juga sebagai pola sebab
akibat.
Alur/ Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang
yang beranggapan bahwa alur merupakan unsur terpenting dalam sebuah cerita
diantara berbagai unsur fiksi yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh, kejelasan
alur sebuah cerita erat kaitannya dengan jalinan antarperistiwa yang disajikan oleh
penulis sehingga dapat membantu mempermudah pemahaman kita terhadap
ceritayang ditampilkan.Kejelasan alur berarti kejelasan cerita, kesederhanaan alur
berarti kemudahan cerita untuk dimengerti (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 110).
Forster (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 113) mengemukakan bahwa
alur atau plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada
adanya hubungan kausalitas. Hal tersebut sejalan dengan Stanton (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2002: 113) yang menyebutkan bahwa alur adalah cerita yang berisi
urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain.
Alur ada bermacam-macam, dilihat dari aspek urutan waktu terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi yang besagkutan atau lebih
tepatnya urutan penceritaan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan, alur terbagi
menjadi:
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
35/193
19
1) Plot lurus/ progresif , alur/ plot sebuah novel dikatakan lurus atau progresif
apabila peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa –
peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa atau meyebabkan terjadinya
peristiwa yang kemudian. Atau secara runtut cerita dimulai dari tahap awal,
yaitu penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik, tengah/ konflik
meningkat, klimaks, dan akhir/ penyelesaian (Burhan Nurgiyantoro, 2002:154).
2) Plot Sorot-balik/ Flash-back , Urutan kejadian yang disajikan dalam dalam
sebuah karya fiksi dengan alur regresif tidak bersifat kronologis. Cerita tidak
dimulai dari tahap awal melainkan mungkin cerita disuguhkan mulai dari
tengah atau bahkan dari tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita disajikan.
Karya sastra dengan jenis ini, langsung menyuguhkan konflik bahkan telah
sampai pada konflik yang meruncing (Burhan Nurgiyantoro,2002:154).Dalam
menyajikan sebuah alur cerita, penulis umumnya memiliki tahapan–tahapan
atau urutan penceritaan yang berbeda-beda.
Berikut ini tahapan alur yangdijabarkan oleh Tasrif dalam Mochtar Lubis
(dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:149) yang membedakan tahapan plot menjadi
lima bagian, antara lain:
1) Tahap situation (penyituasian), yaitu tahap yang terutama berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap
pembukaan cerita, pemberian informasi awal. Tahap ini berfungsi sebagai
landasan tumpu cerita yang akan dikisahkan;
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
36/193
20
2) Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik), pada tahap ini
masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut konflik mulai
dimunculkan;
3) Tahap rising action (tahap peningkatan konflik), konflik-konflik yang
dimunculkan mulai berkebang atau dikembangkan kadar intensitasnya.
Peristiwa-peristiwa yang menjadi inti cerita mulai menegangkan;
4) Tahap climax (tahap klimaks), konflik dan atau pertentangan yang terjadi
padapara tokoh mulai mencapai puncaknya; dan
5) Tahap denouement (tahap penyelesaian), pada tahap ini konflik utama yang
telah mencapai klimaks mulai diberi jalan keluar begitu juga dengan konflik-
konflik tambahan yang lain juga mulai diberi jalan keluar.
Dari berbagai teori di atas dapat disimpulkan bahwa alur atau plot adalah
rangkaian peristiwa yang disajikan secara kronologis oleh pengarang mulai dari
tahap awal atau tahap pegenalan tokoh, pemunculan konflik hingga konflik
tersebut dapat diselesaikan.
2. Perwatakan atau Penokohan
Penokohan adalah pelukisan tokoh atau pelaku cerita melalui sifat-sifat,
sikap dan tingkah lakunya dalam cerita (Zulfahnur, dkk., 1996: 29). Pengertian
penokohan tersebut, menurut Panuti Sudjiman (dalam Zulfahnur, dkk., 1996: 29)
merupakan individu rekaan berwujud atau binatang yang mengalami peristiwaatau
lakuan dalam cerita. Manusia yang menjadi tokoh dalam certa fiksi dapat
berkembang perwatakannya baik dari segi fisik maupun mentalnya.
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
37/193
21
Wellek danWarren (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993:133-134),
menyatakan ada beberapa cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan rupa,
watak, dan pribadi para tokoh,yaitu: (1) Physical description, yaitu melukiskan
bentuk lahiriah tokoh yang dilakukanoleh pengarang; (2) Portroyal of througth
streem or of conscious though, yaitu pelukisan jalan pikiran pelakon atau tokoh
atau apa yang terlintas dalam pikiran pengarangnya; (3) Reaction of events, yaitu
pengarang melukiskan bagaimana reaksi tokoh ataulakon terhadap kejadian yang
ada; (4) Direct author analisys, yaitu pengarang menganalisis watak tokoh atau
lakon secara langsung; (5) Discussion of environment, yaitu pengarang
melukiskan keadaan sekitar lakonatau tokoh. Misalnya, melukiskan keadaan
kamar, sehingga pembaca akan memperoleh kesan secara jelas terhadap tokoh
yang ada; (6) Reaction of others about character, yaitu pengarang melukiskan
bagaimanapandangan-pandangan pelakon lain dalam suatu cerita terhadap
pelakon utama; dan (7) Conversation of others about character, yaitu pelakon
atau tokoh yang laindalam suatu carita memperbincangkan keadaan pelakon
utama dengan demikian maka secara tidak langsung pembaca mendapat kesan
tentang segala sesuatu mengenai pelakon utama.
Herman J. Waluyo (2002: 16) mengklasifikasikan tokoh menjadi beberapa
macam yaitu, pertama berdasar peranannya terhadap jalan cerita, terdapat tokoh-
tokoh yaitu, tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada
satu atau dua tokoh protagonis utama yang dibantu oleh tokoh-tokoh lain yang
ikut terlibat sebagai pendukung cerita; tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang
cerita biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita, dan beberapa
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
38/193
22
figur pembantu yang ikut menentang cerita; dan tokoh tritagonis, yaitu tokoh
pembantu baik untuk tokoh protagonist maupun tokoh antagonis.
Kedua berdasarkan peranannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat
tokoh-tokohyaitu, tokoh sentral, yaitu tokoh-tokoh yang paling menentukan gerak
lakon. Tokoh sentral merupakan biang keladi dari pertikaian.Tokoh sentral adalah
tokoh protagonis maupun antagonis; tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau
tokoh penentang tokoh sentral.Bisa juga sebagai medium atau perantara tokoh
sentral.Dalam hal inimerupakan tokoh tritagonis; dan tokoh pembantu, yaitu
tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkapdalam mata rangkai cerita.
Ketiga hubungan antartokoh. Penokohan dan perwatakan mempunyai
hubungan yang sangat erat karena kedua unsur tersebut berada pada objek yang
sama yaitu tokoh atau suatu peran.Penokohan yang baik adalah yang dapat
menggambarkan tokoh-tokoh dan mengembangkan watak dari tokoh-tokoh
tersebut yang mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat.
Perkembangannya haruslah wajar dan dapat diterima berdasarkan hubungan
kausalitas. Penggambaran perwatakan dari tokoh-tokoh cerita disebut sebagai
penokohan.
Pengenalan tokoh dalam suatu cerita, menurut Jakob Sumardjo dan Saini
K. M. (1994:65), ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk memahami
karakter tokoh-tokoh dalam cerita, yaitu : (1) melalui apa yang diperbuatnya; (2)
melalui ucapan-ucapannya; (3) melalui gambaran fisik tokoh; (4) melalui pikiran-
pikirannya; (5) melalui penerangan langsung dari pengarang.
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
39/193
23
Watak para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi (watak dimensional),
dan penggambaran itu berdasarkan keadaan fisik, psikis, dan sosial (fisiologis,
psikologis, dan sosiologis) (Herman J. Waluyo, 2002 : 17). Yang termasuk dalam
keadaan fisik tokoh adalah: umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmaniah,
ciri khas yang menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukaan, tinggi/pendek, kurus
/gemuk, suka senyum/cemberut, dan sebagainya. Keadaan psikis meliputi watak,
kegemaran, mentalitas, standar moral, tempramen, ambisi, kompleks psikologi
yang dialami, keadaan emosinya dan sebagainya. Keadaan sosiologis meliputi
jabatan, pekerjaan, kelas sosial, ras, agama, ideologi, dan sebagainya.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah
watak tokoh yang berupa perilaku, ucapan maupun kebiasaan. Hubungan
antartokoh dapat dilihat dari perwatakan atau penokohan yang digambarkan oleh
pengarang. Dari penokohan tersebut akan tergambar tentang perilaku, cara
bicara,dan sikap dari para tokoh yang kemudian dapat digunakan untuk
menganalisis.
3. Tema
Tema/ theme, menurut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 67)
adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Pendapat yang sama juga
disampaikan oleh Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 67) yang juga
menyatakan bahwa tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah
cerita. Lebih rinci lagi, Hartoko dan Rahmanto (dalam Burhan Nurgiyantoro,
2002: 67) mendefinisikan tema sebagai gagasan dasar umum yang menopang
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
40/193
24
sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam sebuah teks sastra sebagai
struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-
perbedaan.
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh
Zulfahnur, dkk. (1996: 25) yang menyatakan bahwa tema adalah ide sentral yang
mendasari sebuah cerita, tema mempunyai tiga fungsi, yaitu: sebagai pedoman
bagi pengarang dalam menggarap cerita; sasaran atau tujuan penggarapan cerita:
dan mengikat peristiwa-peristiwa cerita dalam satu alur. Tema merupakan
maknakeseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan
“tersembunyi” dibalik cerita yang mendukungnya. Oleh karena itu, untuk
menemukan tema dari sebuah cerita, haruslah disimpulkan terlebih dahulu
keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu dari sebuah
cerita.
Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema
berhubungan dengan premis dari prosa tersebut yang berhubungan pula dengan
nada dasar dari sebuah prosa dan sudut pandangan yang dikemukakan oleh
pengarangnya (Herman J. Waluyo, 2002: 24). Mengenai premis, ia juga
mengemukakan bahwa premis dapat juga disebut sebagi landasan pokok yang
menentukan arah tujuan lakon yang merupakan landasan bagi pola konstruksi
lakon.
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tema atau theme
adalah ide pokok dari sebuah cerita yang mengandung makna dari sebuah cerita
yang pada umunya tekandung secara tersirat, maka untuk menyimpulkan tema
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
41/193
25
dari sebuah karya fiksi haruslah menyimpulkannya secara keseluruhan terlebih
duhulu, melalui tema pula sebuah cerita dikembangkan oleh penulisnya.
4.
Setting atau Latar
Setting sering juga disebut latar cerita. Asul Wiyanto(2004: 28).
berpendapat bahwa setting adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu
adegan.Latar adalah situasi tempat, ruang dan waktu terjadinya cerita.Tercakup di
dalamnya lingkungan geografis mulai dari rumah tangga, pekerjaan, benda-benda
dan alat-alat yang berkaitan dengan tempat terjadinya peristiwa cerita waktu,
suasana dan periode sejarah (Zulfahnur, dkk., 1996: 37).
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat yang diugkapkan oleh Abrams
(dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 216) landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Latar atau setting yang
disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan.
Ada empat bagian penyusun setting menurut William Kenney(1966:40),
yaitu:
(1) the actual geographical location, including topographyscenery, even
the details of a room’s interior; (2) the accupationsand modes of day-to-day
existence of the characters; (3) the time inwhich the action takes plece,e.g,
historical period, season of theyear; (4) the religious, moral, intellecctual, sosial,
and emotional environment of the characters.
Mengacu dari pendapat William Kenney (1966 : 40) menjelaskan bagian
penyususn setting adalah (1) lokasi geografis yang sebenarnya, termasuk
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
42/193
26
rancangan bentuk dan desain interior; (2) model karakter pemain sesuai dengan
kehidupan sehari-hari; (3) waktu pegambilan tempat, misalnya periode, sejarah,
musim dan tahun; (4) karakter yang mencerminkan keagamaan, moral,
lingkungan, sosial dan emosional.
Burhan Nurgiyantoro (2002: 227), menjelaskan unsur latar dapat
dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu (1) latar tempat, yaitu mengacu pada
lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar
tempat disebut pula sebagai latar fisik ( physical setting); (2) latar waktu, yaitu
berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi; (3) latar sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, tradisi, cara berpikir dan
bersikap, pandangan hidup, keyakinan, dan status sosial.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa setting atau latar
adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu peristiwa yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat pada suatu tempat dalam karya
fiksi.
d. Novel Sebagai Dokumen Sosial (Teeuw)
Karya sastra sebagai dokumen sosial, hal ini sesuai dengan
konsekuensinya untuk pemakaian karya sastra, khususnya roman, untuk tujuan
penelitian ilmu-ilmu sosial. Ada kalanya roman disebut sebagai dokumen sosial,
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
43/193
27
walaupun sebutan ini dari segi tertentu ada benarnya. Namun roman tidak berarti
dapat dipergunakan langsung sebagai dokumen seperti laporan wartawan,
kumpulan data statistik dan lain-lainnya. Oleh karena itu tiap karya sastra ada
keterpaduan antara mimesis dan kreasi, antara kenyataan dan khayalan orang
harus hati-hati dalam mengambil data faktual dari tulisan rekaan, walaupun
tulisan itu sebenarnya sangat realis.
Sebagai penyedia data dan fakta roman tidak dapat dipercaya karena tidak
bisa diketahui di mana fakta berakhir dan rekaan dimulai. Penulis roman tidak
dapat dan tidak perlu mempertanggungjawabkan takaran kenyataan dalam isi
faktual karyanya. Dalam arti ini roman biasanya bukan dokumen sosial. Hanya
tulisan rekaan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada data yang
diperoleh dari sumber yang jelas bersifat dokumen sosial.
Novel merupakan karya rekaan. Karya rekaan memang merupakan
dokumen sosial, yang lebih dahulu disebut jalan keemapat ke kebenaran: lewat
sastra pembaca sering kali jauh lebih baik dari lewat tulisan sosiologi mana pun
juga, dapat menghayati hakikat eksistensi manusia dengan segala
permasalahannya (Teeuw, 1984:237).
Richard Hoggart dalam Teeuw (1984:237) menjelaskan bahwa sastra yang
baik menciptakan kembali rasa kehidupan, bobotnya dan susunannya.
Menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayatinya, kehidupan emosi,
kehidupan budi, individu maupun sosial, dunia yang syarat obyek.Hal ini
diciptakannya bersama-sama dan secara saling keterjalinan, seperti terjadi dalam
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
44/193
28
kehidupan yang kita hayati sendiri.Sastra baik menciptakan kembali
kemendesakan hidup.Tetapi arti karya sastra semacam itu tidak bias ditangkap
dengan metode dan teknik ilmu-ilmu sosial. Untuk itu diperlukan kepekaan
kesastraan, kemahiran membaca, memahami dan menilai karya sastra sesuai
dengan ciri khasnya sebagai rekaan, yang diciptakan oleh manusia dengan dengan
daya cipta yang peka pula.
Hal ini diperkuat oleh Hoggart dalam Teeuw (1984:238) bahwa
pemahaman puitik, metaforik, intuitif adalah wujud pengetahuan, walaupun tidak
dapat diukur secara obyektif. Kesahihannya tergantung pada daya imajinasi
pengarang (imajinasi terkandung pula didalamnya penembusan, kekompleksan,
kejujuran) dan pada kemampuan kita sebagai pembaca untuk mengujinya dengan
rasa pengalaman sendiri.
Permasalahan dalam novel yang terjadi di dalam masyarakat, ketika
diangkat oleh pengarang melalui karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya, akan
memberikan makna yang kompleks dan mengandung misi tertentu. Sehubungan
dengan hal itu, novel dianggap sebagai sebuah dokumen sosiobudaya yang
mengandung makna. Setiap makna yang terkandung pada sebuah novel tentunya
dapat diperoleh dari kajian berbagai aspek dan unsur yang membangunnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah karya sastra
dapat dikatakan sebagai dokumen sosial, jika karya sastra tersebut berdasarkan
cerita rekaan yang datanya diambil dari kehidupan masyarakat yang
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
45/193
29
sebenarnya.Hal ini sesuai dengan karya sastra berupa novel yang banyak
mengisahkan tentang kehidupan manusia.
2. Kajian tentang Sosiologi Sastra
a. Pengertian Sastra
Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sehingga,
berbatasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak.
Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta; akar kata
sas-, dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, memberi petunjuk atau
instruksi. Akhiran –tra biasanya menujukkan alat, sarana. Maka dari itu sastra
dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran,
seperti silpasastra (buku arsitektur), kamasastra (buku petunjuk mengenai
petunjuk seni cinta) (Teeuw, 1984 : 23).
Selanjutnya Teeuw (1984 :22) juga merumuskan nama sastra sebenarnya
merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari nama yang digunakan dalam
masyarakat bahasa asing, khususnya eropa. Dalam bahasa Inggris sastra
dinamakan literature, dalam bahasa Jerman sastra dinamakan literature, dalam
bahasa Perancis literature. Nama susastra digunakan yang kurang lebih berarti
“tulisan yang indah” juga digunakan dalam masyarakat Eropa tersebut:
letterkunde dalam bahasa Belanda, belles-letters dalam bahasa Perancis.
Merujuk dari pendapat Teeuw di atas bahwa dalam usahanya untuk
merumuskan pengertian sastra memusatkan banyak perhatian pada pengertian
tulisan dengan berbagai cirinya.
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
46/193
30
Rene Wellek dan Austin Waren memberikan pengertian sastra sebagai
berikut:
“Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-
teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial
merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra menyajikan
kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial,
walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subjektif kehidupan
manusia.” (Rene Wellek dan Austin Warren, 1993:109)
Berhubungan dengan istilah sastra, Atar Semi (1993:8) menjelaskan sastra
adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah
manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Jakob Sumardjo dan Saini K. M. (1994:3) menjelaskan bahwa sastra
adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan,
ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang
membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Sastra juga dapat diartikan sebagai hasil kreativitas pengarang yang
bersumber dari kehidupan manusia secara langsung atau melalui rekaannya
dengan bahasa sebagai medianya. Sastra dianggap sebagai karya yang berpusat
pada moral manusia (humanitat), yang di satu sisi terkait dengan sejarah dan pada
sisi lain pada filsafat (Darma dalam Retno Winarni, 2009:7).
Dari beberapa istilah sastra di atas yang dikemukakan oleh beberapa ahli
memiliki persamaan bahwa sastra sama-sama menggunakan media atau perantara
berupa bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi bagi masayarakat. Bahasa
diciptakan oleh manusia berdasarkan tempat tinggalnya. Namun, kosa kata dalam
bahasa merupakan kesepakatan antar masyarakat. Selain bahasa, persamaan lain
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
47/193
31
adalah obyeknya adalah manusia. Ungkapan karya sastra manusia tersebut berupa
kehidupan sehari-hari atau hasil imajinasi pengarang.
Sementara itu Sastra menurut Luxemburg (1984 : 5) merupakan sebuah
ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sang seniman
menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta
alam, bahkan meyempurnakannya.
Merujuk dari pendapat di atas, sastra memang hidup dan berasal dari
masyarakat. Masyarakat mampu menciptakan karya sastra merupakan masyarakat
yang memiliki daya kreatifitas yang tinggi. Hasil karya tersebut akan dinikmati
oleh pembaca dan dijadikan pandahuan dalam kehidupan. Di mana karya sastra
mempunyai ide, gagasan dan nilai-nilai kehidupan yang baik dan patut diikuti
oleh masyarakat.
Secara intuitif, kita ketahui bahwa sastra termasuk dalam seni, tetapi juga
lebih dari seni.Sastra selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang
lebih luas daripada yang bersifat estetik (seni) saja. Sastra selalu melibatkan
pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi dan etika.Dengan demikian sastra
cenderung menjadi lebih penting dan menarik perhatian pembaca dari pada
bentuknya sebagai penjelmaan pengungkapan seni. Pembicaraan sastra lebih
banyak berhubungan dengan kehidupan yang dipaparkan dalam karya sastra
daripada masalah estetikanya (Sastrowardoyo dalam Nani Tuloli, 2000:2).
Sementara itu Nani Tutoli (2000:2) mengatakan bahwa sastra merupakan
ungkapan batin seseorang melalui bahasa dengan cara penggambaran.
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
48/193
32
Penggambaran atau imajinasi ini dapat merupakan titian terhadap kenyataan
hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan, dapat pula imajinasi
murni pengarang yang tidak berkaitan dengan kenyataan hidup (rekaan), atau
dambaan intuisi pengarang dan dapat pula sebagai campuran semuanya itu.
Merujuk dari beberapa pendapat di atas, untuk memudahkan pengertian
sastra, perlu dikembangkan beberapa pandangan sebagai berikut:
b. Dalam sastra ada penanganan bahan yang khusus, yang berlaku
pada puisi dan prosa. Misalnya terdapat paralisme, kiasan,
penggunaan bahasa yang tidak gramatikal, peristiwaan dan sudut
pandang yang bermacam-macam. Maka untuk mengerti sastra kita
haru kembali kepengetahuan tentang bahasa.c.
Ada anggapan bahwa sastra cenderung sebagai fiksi. Fiksionalitas
ini dapat dikaji dalam sastra tulis maupun sastra lisan, juga terdapat
pada semua ragam (puisi dan prosa)
d. Penggunaan tanda-tanda khusus dalam sastra, memungkinkan
munculnya wawasan bersifat umum tentang keberadaan menusia
sosial atau budaya dan intelektual.e. Dengan memahami sastra sebagai sebagai karya fiksi, serta
hubungan antara yang khusus dan umum, kita dapat
menginterpretasikan sastra sesuai dengan wawasan kita. Dalam
teks sastra, secara implisit terdapat banyak “tempat terbuka” bagi
penafsiran dan pemahaman.
f. Penciptaan karya sastra berada pada ketegangan antara kreatikvitas
dan konvensi. Karya sastra itu di satu pihak tergantung (terkait)
dengan konvensi sastra, tetapi pada sisi lain dituntun keaslian dan
kraatifitas peniptaan (Nani Tutoli, 2000:2-3)
Definisi-definisi sastra yang ada dijadikan patokan tentang pengertian
sastra, umumnya masih bersifat parsial sehingga belum mampu memberikan
gambaran pengertian sastra secara utuh. Keparsialan definisi tersebut oleh
Luxemburg (1984:4) digolongkan menjadi empat bagian yang meliputi:
a. Definisi yang mencakup aspek terlalu banyak, sering dilupakan
antara definisi deskriptif mengenai sastra itu apa. Dengan devinisi
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
49/193
33
evaluative yang berkaitan dengan nilai yang menentukan suatu
karya bernilai tinggi atau tidak.
b.
Definisi yang merupakan definisi ontologism, yaitu definisi yangmengungkapkan hakikat sebuah karya sastra sambil melupakan
bahwa hendaknya didefinisikan di dalam situasi para pemakai atau
pembaca sastra, norma dan deskripsi sering dicampurbaurkan
sehingga tidak disadari bahwa sementara karya untuk orang ini
termasuk sastra sedang munurut orang lain bukan sastra.
c. Definisi yang terlalu dititikberatkan pada contoh sastra Barat.
Khususnya sejak jaman Renaissance, tanpa memperhitungkan
sastra di luar jaman tersebut. Padahal di luar kebudayaan sastra
Eropa, banyak dijumpai sastra yang berbeda yang mempunyai
kekhasan.
d.
Definisi yang hanya berkecenderungan dengan jenis-jenis sastratertentu sehingga tidak relevan apabila diterapkan pada semua jenis
sastra.
Pengertian tentang sastra (Luxemburg, 1984: 3-4) juga berlaku pada
zaman romantik. Beberapa pengertian sastra pada zaman romantik;
a. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah
imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses
penciptaan di alam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra
terutama merupakan sesuatu luapan emosi yang spontan.
b. Sastra bersifat otonom , tidak mengacu pada yang lain, sastra tidak bersifat
komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya
sendiri. Dalil ini masih bergema di hampir setiap pendekatan terhadap sastra.
c. Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian
koherensi itu pertama-tama dapat ditafsirkan sebagai suatu keselarasan yang
mendalam antara bentuk dan isi.
d. Sastra menghindarkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan.
Pertentangan-pertentangan tersebut aneka rupa bentuknya ada pertentangan
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
50/193
34
antara yang di sadari dan yang tidak di sadari, antara pria dan wanita, antara
roh dan benda, dan seterusnnya.
e. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan.
Berdasarkan pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa sastra adalah hasil
kreatifittas masyarakat yang berupa ide, pengalaman, pemikiran dan perasaan
melalui media bahasa dengan cara penggambaran. Penggambaran atau imajinasi
ini dapat berupa titian terhadap kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap
kenyataan kehidupan, dapat pula imajinasi murni pengarang yang tidak berkaitan
dengan kenyataan hidup (rekaan), atau dambaan intuisi pengarang dan dapat pula
sebagai campuran semuanya itu.
b. Pengertian Sosiologi
Nyoman Kutha Ratna (2011:1) menjelaskan bahwa sosiologi berasal dari
akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman)
dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan
berikutnya mengalami perubahan makna, soio/socius berarti masyarakat,
logi/logos berarti ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan
pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari
keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat , sifatnya umum,
rasional dan empiris.
Soerjono Soekanto (2010: 4) merumuskan “secara etimologis sosiologi
sastra berasal dari bahasa Latin socius yang berarti kawan dan logos dari kata
Yunani yang berarti ilmu”. Lebih lanjut Soekanto menjelaskan:
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
51/193
35
Secara singkat sosiologi adalah ilmu sosial yang objeknya adalah
keseluruhan masyarakat dalam hubungannya dengan orang-orang di
sekitar masyarakat itu. Sebagai ilmu sosial, sosiologi terutama menelaahgejala-gejala di masyarakat seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan
masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, perubahan sosial dan
kebudayaan serta perwujudannya. Selain itu sosiologi sastra juga
mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar dan gejala abnormal atau
gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial. (Soerjono
Soekanto, 1993: 395)
Swingewood (dalam Faruk, 2010: 1) mendefinisikan sosiologi sebagai
studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dan masyarakat, studi mengenai
lembaga-lembaga dan proses-proses sosial.
Berkaitan dengan pendapat di atas, Giddens dalam Faruk (2010:18)
mengatakan bahwa :
“…The study of human sosial life, groups, dan societies.it is a dazzling
and compelling enterprise, having as its subject matter our own behavior as
sosial beings. The scope of sociology is extremely wide, ranging from the analysis
of passing encounters between individuals in the street up to the investigation ofglobal sosial processes.”
Bertumpu pada penjelasan di atas bahwa Giddens dalam Faruk (2010:18)
mengatakan studi tentang kehidupan manusia, kelompok dan masyarakat.Studi
tersebut merupakan permasalahan manusia dalam kehidupan sosial. Ruang
lingkup sosiologi sangat luas mulai dari individu sampai proses sosial dalam
masyarakat.
Selanjutnya Pitirim Sorokin dalam Soerjono Soekanto (2010: 17)
mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:
a. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala
sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan
moral, hukum dengan ekonomi, gerak masayarakat dengan politik dan lain
sebagainya);
b. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-
gejala non sosial (misalnya gejala geografis, biologis dan sebagainya);
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
52/193
36
c. Ciri-ciri umum semua jenis gejala – gejala sosial.
Abdulsyani (2007:5) mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu
pengetahuan yang mempunyai obyek studi masyarakat.Sosiologi berkembang di
dalam masyarakat.Masyarakatlah yang menjadi obyek ilmu.Baik itu dilihat dari
aspek sosial, aturan, adat-istiadat, kebudayaan dan sebagainya.
Sosiologi sebenarnya mempelajari manusia sebagaimana ditemukan dan
dialami secara langsung dalam kenyataan keseharian kehidupan (Faruk, 2010:17).
Sebuah usaha untuk menemukan aturan, hukum dan pola-pola yang berulang dan
berlangsung dalam waktu relatif lama. Hal ini disebabkan obyek pengalaman
dalam kehidupan sehari-hari berlangsung tak beraraturan.Pengalaman tersebut
senantiasa berubah, hilang sesaat atau muncul kembali.
Michael Zeratta dalam Elizabeth dan Tom Burns (1973:11)
mendefinisikan sosiologi dalam novel:
In the sociology of the novel, sociologi is dealing with an art. True,
narrative fiction is contained within language and takes most of its own
character from it; the form and content of the novel derive more closely
from sosial phenomena than do those of other arts, except perhaps
cinema; novels often seem bound up with particular moments in the
history of society; we are none the less concerned with a specific art.
Dalam sosiologi novel, ilmu sosiologi berhubungan dengan suatu
seni.Adalah benar, fiksi naratif termasuk dalam bahasa dan membentuk
karakternya sendiri paling banyak dari bahasa itu; bentuk dan isi novel mengambil
lebih dekat fenomena sosial dibanding bentuk kesenian lain kecuali, film; novel
seringkali terlihat berhubungan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah
manusia.
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
53/193
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
54/193
38
ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan
resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut.
Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-
persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.
Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut
para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan
antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi
ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya.Mereka
memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak
terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams,
1971:178).
Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak
sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan
suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1978:3) berkaitan
dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat
analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra
berdasarkan prinsip otonomi sastra.
Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang
terjadi dewasa ini (das sein) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen).
Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Menurut
Nyoman Kutha Ratna (2011: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra
yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
55/193
39
antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:(1) Pemahaman terhadap karya
sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya;(2) Pemahaman terhadap
totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di
dalamnya;(3) Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan
masyarakat yang melatarbelakangi; (4) Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah
(dialektik) anatara sastra dengan masyarakat; dan (5) Sosiologi sastra berusaha
menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Endraswara (2010: 79) dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra,
memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada
masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia
dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi.
Lebih lanjut Nurhayati Harahap (2006:31-32) dalam Jurnal Ilmiah dan
Bahasa menjelaskan bahwa sebuah karya sastra didekatidari hal-hal yang berada
di luar sastra itu sendiri (ekstrinsik) dengan memfokuskan perhatiannya pada latar
belakang sosiobudaya. Dalam ilmu sastra, pendekatan ini di sebut sosiologi
sastra,yaitu pendekatan sastra dengan mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatannya. Segi kemasyarakatan berhubungan dengan masyarakat yang
berada di sekitar sastra itu, baik penciptanya, gambaran masyarakat yang
diceritakannya itu dan pembacanya.
Sementara, Faruk (2010: 1) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra
sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi
mengenai lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya, dikatakan bahwa
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
56/193
40
sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat
dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan
hidup. Lewat penelitian mengenai lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi,
politik dan keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut
sebagai struktur sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga yang secara
bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, sosiologi
dikatakan memperoleh gambaran mengenai cara-cara menyesuaikan dirinya
dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai
mekanisme sosialitas, proses belajar secara kultural yang dengannya individu-
individu dialokasikannya pada dan menerima peranan tertentu dalam struktur
sosial itu.
Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak
penelitian-penelitian yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami
stagnasi. Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan
sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus
dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara
keseluruhan.
Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 332) ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan
dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai
berikut; (1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita,
disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat;(2) Karya sastra hidup
8/19/2019 Anjar Setianingsih S841008004.pdf
57/193
41
dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam
masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat; (3) Medium
karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat
yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan; (4) Berbeda
denga ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam
karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat
berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut; (5) Sama dengan masyarakat, karya
sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya
dalam suatu karya.
Sastra dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat, atau diasumsikan
sebagai salinan kehidupan, tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya dapat
tergambar dalam sastra. Yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah
masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan
berperan sebagai mikrokosmos sosial. Seperti lingkungan bangsawan, penguasa,
gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Perkembangan sosiologi sastra
modern tidak terlepas dari Hippolyte Taine, seorang ahli sosiologi s
Recommended