View
223
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
MITIGASI RISIKO SENGKETA
AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISAH
(Studi Kasus Perkara Pada Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1024 K/Pdt/2016)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Iffah Karimah
NIM : 11140460000106
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H/2018 M
ABSTRAK
Iffah Karimah. NIM 1140460000106. MITIGASI RISIKO SENGKETA
AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISAH (Analisis Perkara pada Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1024 K/Pdt/2016). Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah (HES), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2018 M. xii + 89 halaman.
Studi tentang Mitigasi Risiko Sengketa Akad Musyarakah Mutanaqisah ini
menganalisa mitigasi yang dapat dilakukan terhadap risiko yang ada pada akad
Musyarakah Mutanaqisah agar tidak terjadi sengketa atau setidaknya dapat
meminimalisir sengketa. Akad Musyarakah Mutanaqisah merupakan akad
campuran, yang mana di dalamnya terdapat kerja sama, jual-beli, dan diikuti
sewa-menyewa. Dengan itu, terdapat dua bentuk pembayaran, yaitu pembayaran
pembelian porsi kepemilikan bank oleh nasabah dan pembayaran sewa. Rumitnya
mekanisme akad Musyarakah Mutanaqisah dapat menyebabkan terjadinya
perselisihan antara nasabah dan bank yang berujung pada sengketa, seperti
perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 1024 k/Pdt/2016. Pada perkara akad
Musyarakah Mutanaqisah tersebut, sengketa terjadi karena wanprestasi oleh pihak
nasabah, perselisihan sisa pembiayaan akad Musyarakah Mutanaqisah, dan
ketidakpahaman nasabah akan mekanisme akad Musyarakah Mutanaqisah.
Dengan itu, akad Musyarakah Mutanaqisah memiliki risiko tersendiri, yang mana
jika tidak dimitigasi dapat berakhir pada sengketa. Penelitian ini bertujuan
menemukan mitigasi terhadap risiko-risiko yang muncul dari akad Musyarakah
Mutanaqisah untuk meminimalisir terjadinya perselisihan yang menyebabkan
sengketa dengan studi kasus pada Perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor
1024 K/Pdt/2016
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yuridis
normatif, yaitu pengkajian pada peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan, dan buku-buku yang sesuai dengan permasalahan pada skripsi ini.
Sesuai dengan jenis penelitian ini, teknik pengumpulan data pun menggunakan
pengamatan dan studi kepustakaan. Dalam penelitian ini, data kualitatif dikaji dan
dianalisis berdasarkan peraturan yang berlaku.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor penyebab
terjadinya sengketa pada Putusan Nomor 1024 K/Pdt/2016. Dengan adanya
penyebab sengketa tersebut, dihasilkan mitigasi yang dapat dilakukan untuk
meminimalisir risiko-risiko yang ada agar tidak menjadi perselisihan yang
menyebabkan sengketa.
Kata kunci : Musyarakah Mutanaqisah, Sengketa
Pembimbing : Dr. Hj. Isnawati Rais, M. A.
Nurul Handayani, S. Pd., M. Pd.
Daftar Pustaka : 2002 s.d 2015
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, rasa syukur adalah kalimat pembuka dari barisan
kata pengantar yang hendak penulis uraikan. Segala puji, syukur dan
sujud kehadirat Allah SWT, yang selalu melimpahkan rahmat, ampunan,
serta keberkahan-Nya, atas nikmat yang tak terhitung jumlahnya, dengan
petunjuk dan bimbingan-Nyalah sehingga penulis mampu menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Shalawat beriring salam, semoga senantiasa
tercurahkan kepada baginda nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW,
yang menjadi bingkai uswatun hasanah bagi seluruh umat manusia di
muka bumi ini hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi
persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program
Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat) Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.Skripsi ini
mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak yang telah membantu selama proses
penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan
ucapan terimakasih kepada yang terhormat :
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. Asep Saepudin
Jahar, MA.
2. Bapak A.M, Hasan Ali, M.A. dan Drs. Abdurrauf, L.C., M.A.
Selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah (Muamalat) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Hj. Isnawati Rais, M. A., dan Ibu Nurul Handayani,
S. Pd., M. Pd., selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan
nasihat, motivasi, serta perbaikan-perbaikan selama penyusunan
skripsi ini, terimakasih banyak atas arahan, masukan dan koreksi
skripsinya yang bersifat membangun, semoga Allah SWT
senantiasa membalas semua kebaikan Ibu.
4. Pimpinan Perpustakaan, Pengelola Perpustakaan, Perpustakaan
Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberi fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan.
5. Untuk kedua orang tua penulis, Ayah H. Ahmad Sadek, M. Pd.,
dan Ibu tercinta Hj. Hasnah, S. Ag., serta adik Muhammad
Ratal, yang tidak henti-hentinya mendoakan dan membimbing
penulis, memberikan dukungan baik moril maupun materiil.
Semoga seluruh pengorbanan, ketulusan dan keikhlasan, serta
vii
cinta dan kasih sayang mendapat ganjaran pahala di sisi Allah.
6. Kepada Sahabat-Sahabat penulis, Princess (Venny
Andrianingtias, Ulfa Mardiyah, Nabilla Yudhia Putri,
Musyarofah, Inez Nur Afifah, dan Yuanita Nindyas), Larva
(Novia Nurinnisa Muti’ah, Hanoum Nabilla, Rizky Putri
Sakinah), Aufa Saffanah, Zulfa Inayati, BBU, Avangers, yang
telah memberikan support dan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan studi yang penulis tempuh.
7. Teman-teman Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat) angkatan
2014, khususnya teman-teman seperjuangan kelas Native C yang
telah sama-sama berjuang dan saling memberikan motivasi serta
semangat dalam menyelesaikan studi demi meraih cita-cita.
8. Teman seperjuangan selama 1 (satu) bulan di Jasinga, Bogor
Kuliah Kerja Nyata (KKN) “Arjuna” yang telah memberikan
semangat dan motivasi dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi
ini. Akhirnya atas jasa, dukungan, semangat dan doa dari semua pihak
baik secara moril maupun materil, penulis berdoa semoga Allah
memberikan kebaikan pahala atas segala kebaikan yang telah diberikan.
Aamiin Ya Rabbal Aalamiin.
Jakarta, 25 November 2018 M
11 Dzulhijjah 1439 H
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL...................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN..................................................................................iv
ABSTRAK..............................................................................................................v
KATA PENGANTAR..........................................................................................vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................viii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................... 7
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................... 8
E. Metode Penelitian........................................................................................ 9
F. Tinjauan Studi Terdahulu .......................................................................... 11
G. Rancangan Sistematika Penelitian ............................................................ 13
BAB II .................................................................................................................. 15
AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISAH DAN MITIGASI RISIKO ....... 15
A. Musyarakah Mutanaqisah ......................................................................... 15
1. Pengertian Musyarakah Mutanaqisah ......................................... 15
2. Rukun dan Syarat Musyarakah Mutanaqisah .............................. 19
3. Bentuk Akad Musyarakah Mutanaqisah dan Dasar Hukumnya.. 21
4. Skema Musyarakah Mutanaqisah ................................................ 27
ix
B. Risiko dalam Ekonomi Syariah ................................................................. 28
1. Pengertian Risiko ........................................................................ 28
2. Risiko dalam Perbankan Syariah ................................................. 29
3. Manajemen Risiko di Bank Syariah sebagai Mitigasi Risiko ..... 34
BAB III ................................................................................................................. 39
GAMBARAN UMUM PERKARA PUTUSAN NOMOR 1024 K/PDT/2016
TENTANG AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISAH ................................ 39
A. Sengketa Ekonomi Syariah ....................................................................... 39
1. Pengertian .................................................................................... 39
2. Bentuk Sengketa Ekonomi Syariah ............................................. 40
3. Penyebab Sengketa Ekonomi Syariah ......................................... 40
B. Tinjauan Sengketa Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1024
K/Pdt/2016 ................................................................................................ 41
1. Duduk Perkara ............................................................................. 41
2. Pertimbangan Hakim ................................................................... 47
BAB IV ................................................................................................................. 48
LANGKAH MEMINIMALISIR RISIKO PADA AKAD MUSYARAKAH
MUTANAQISAH ................................................................................................ 48
A. Penyebab Sengketa pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1024
K/Pdt/2016 ................................................................................................ 48
1. Wanprestasi ................................................................................... 49
2. Perselisihan nominal sisa pembayaran dalam pembiayaan akad
MMq .............................................................................................. 53
3. Ketidakpahaman nasabah akan pembiayaan akad MMq ............ 55
4. Tidak Adanya Musyawarah Sebagai Penyelesaian Perselisihan . 58
x
B. Akibat Hukum dari Sengketa Akad Musyarakah Mutanaqishah .............. 59
C. Risiko yang Timbul dari Akad Musyarakah Mutanaqishah ..................... 60
D. Mitigasi Risiko pada Akad Musyarakah Mutanaqishah ........................... 66
1. Mitigasi Risiko dengan Regulasi yang kuat .................................. 66
2. Mitigasi Risiko dengan Pemahaman pembiayaan Akad MMq Pra
Perjanjian Akad ............................................................................. 68
3. Mitigasi Risiko dengan Memanfaatkan Musyawarah Secara
Efektif ............................................................................................ 71
BAB V ................................................................................................................... 75
PENUTUP ............................................................................................................ 75
A. Kesimpulan ............................................................................................... 75
B. Saran .......................................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia diawali dengan
didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1992. Berdirinya BMI
diikuti dengan pertumbuhan bank-bank berbasis syariah di samping
bertambahnya pengetahuan masyarakat akan ekonomi syariah. Hal tersebut
berdampak pada inovasi produk-produk perbankan syariah sehingga tidak
kalah bersaing dengan bank konvensional dan meningkatkan minat
masyarakat akan produk perbankan syariah. Salah satu produk yang digemari
masyarakat ialah produk penyaluran dana atau pembiayaan.
Dalam menyalurkan dananya pada nasabah, secara garis besar produk
pembiayan syariah terbagi ke dalam empat kategori yang dibedakan
berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu pembiayaan dengan prinsip jual-beli
seperti akad murabahah, salam, dan istishna‟, pembiayaan dengan prinsip
sewa berupa akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik (IMBT), pembiayaan dengan
prinsip bagi hasil yakni akad musyarakah dan mudharabah, serta pembiayaan
dengan akad pelengkap seperti akad hiwalah, rahn, qardh, wakalah, dan
kafalah.1
Di antara akad-akad pembiayaan tersebut, akad murabahah mendominasi
pembiayaan dan diminati masyarakat dalam pembiayaan konsumer. Marwini
mengemukakan dalam lembaga keuangan syariah, produk pembiayaan yang
menggunakan mekanisme murabahah mendominasi sekitar 80-95% dari
transaksi keuangan yang ada. Murabahah menjadi produk andalan bank
syariah karena secara operasionalnya, transaksi murabahah menggunakan
model kontrak Natural Certainty Contract, yaitu sebuah kontrak jual beli yang
memberi kepastian pembayaran, dari segi jumlah (amount), waktu (timing),
1 Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2014), h. 97.
2
mutu (quality), harga (price), atau memberikan cash-flow yang yang pasti dan
rata-rata profit yang jelas, sehingga bersifat fixed and predetermined.1
Namun terdapat beberapa pendapat yang menyebut bahwa pembiayaan
akad murabahah yang sekarang banyak digunakan di bank syariah kurang
sesuai dengan prinsip syariah. Azharuddin Lathif memaparkan tiga tipe umum
penerapan praktik murabahah di bank syariah. Pertama, tipe penerapan
murabahah yang konsisten terhadap fikih muamalah. Dalam tipe ini, bank
membeli dahulu barang yang akan dibeli nasabah setelah sebelumnya sudah
ada perjanjian antara bank dan nasabah. Setelah barang dibeli atas nama bank,
bank menjualnya ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin
keuntungan sesuai kesepakatan. Pembelian dapat dilakukan secara tunai, atau
tangguh, baik angsuran maupun sekaligus pada waktu tertentu. Tipe kedua
mirip dengan tipe pertama, tapi pada tipe kedua perpindahan kepemilikan
barang langsung dari penjual pertama (supplier) ke nasabah, sedangkan
pembayaran langsung dilakukan dari bank ke supplier. Nasabah selaku
pembeli terakhir menerima barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian
murabahah dengan bank. Pembayarannya sama dengan tipe pertama, tapi
umumnya dilakukan secara tangguh. Tipe ketiga paling banyak diterapkan
oleh bank syariah. Bank melakukan perjanjian murabahah dengan nasabah dan
pada saat yang sama bank mewakilkan nasabah untuk membeli sendiri barang
yang ingin dibelinya. Dana lalu dikreditkan ke rekening nasabah dan nasabah
menandatangani tanda terima uang. Tanda terima uang ini dijadikan dasar
bagi bank untuk menghindari klaim bahwa nasabah tidak berhutang ke bank.
Dari tiga tipe penerapan murabahah tersebut, tipe kedua dan ketigalah yang
cenderung disebut menyimpang dari prinsip syariah.2
Menurut Marwini, yang membuat murabahah cenderung mirip dengan
sistem kredit di bank konvensional ialah penentuan keuntungannya. Penentuan
keuntungan pada pembiayaan murabahah menggunakan komponen cost of
1 Marwini, “Aplikasi Pembiayaan Murabahah Produk KPRS di Perbankan Syariah“, Al-
Ihkam Vol. 8, No. 1 (Juni 2013), h. 143-144. 2 Ah. Azharuddin Lathif, “Konsep dan Aplikasi Murabahah pada Perbankan Syariah di
indonesia”, Ahkam Vol. 12 No. 2 (Juni 2012), h. 74-75.
3
found, overhead cost, premi risiko, dan jangka waktu. Komponen-komponen
inilah yang digunakan bank konvensional untuk menghitung bunga kredit.3
Dengan dikeluarkannya Fatwa DSN No. 73 Tahun 2008 tentang akad
Musyarakah Mutanaqisah (MMq)4, maka akad MMq dapat dijadikan akad
alternatif sebagai skema pembiayaan selain murabahah. Karena itu, akad
MMq juga dapat digunakan sebagai produk pembiayaan di perbankan syariah
seperti halnya akad murabahah. Akad MMq merupakan kerjasama antara dua
pihak atau lebih yang mana kepemilikan aset salah satu pihak berkurang dan
kepemilikan aset pihak lainnya bertambah dengan cara pembelian porsi
kepemilikan bank atas objek akad oleh nasabah secara angsuran. Akad ini
berakhir dengan perpindahan kepemilikan aset dari pihak satu ke yang
lainnya.5
Berbeda dengan akad murabahah yang merupakan pembiayaan berbasis
jual beli, akad MMq berupa akad campuran yang berbentuk kerja sama dan
jual beli, serta diikuti sewa-menyewa. Jadi, nasabah yang kekurangan modal
untuk membeli suatu barang dapat mengajukan pembiayaan ke bank syariah
dengan akad MMq. Setelah permohonan nasabah diterima, bank dan nasabah
menyatukan modal untuk membeli objek akad dengan persentase yang
biasanya dipraktekan 80% dari bank dan 20% dari nasabah. Dengan cara
angsuran, nasabah membeli porsi kepemilikan bank agar terjadi perpindahan
kepemilikan di akhir pembayaran dari bank ke nasabah. Selama proses
pembiayaan berlangsung, nasabah dapat menyewa objek akad jika ingin
memanfaatkan objek akad tersebut, yang akhirnya nasabah bisa mewujudkan
keinginannya untuk menggunakan dan memiliki objek akad tersebut.
Walaupun akad MMq dan akad Murabahah sama-sama akad pembiayaan,
namun akad MMq belum sefamiliar akad murabahah, karena mekanisme akad
murabahah lebih mudah dipahami bagi kebanyakan nasabah. Padahal
3 Marwini, “Aplikasi Pembiayaan Murabahah Produk KPRS di Perbankan Syariah“, Al-
Ihkam Vol. 8, No. 1 (Juni 2013), h. 159. 4 Selanjutnya Musyarakah Mutanaqisah akan disebut MMq.
5 Pada lengkapnya Fatwa DSN Nomor 73 Tahun 2008 Tentang akad Musyarakah
Mutanaqishah dapat dilihat di https://dsnmui.or.id/produk/fatwa/.
4
sebenarnya akad MMq mempunyai keunggulan tersendiri dalam prakteknya.
Nadratuzzaman Hosen mengungkapkan kelebihan akad MMq, yaitu (1) bank
syariah dan nasabah sama-sama memiliki atas suatu aset yang menjadi obyek
perjanjian. Karena merupakan aset bersama maka antara bank syariah dan
nasabah akan saling menjaga atas aset tersebut. (2) Adanya bagi hasil yang
diterima kedua belah pihak atas margin sewa atas aset tersebut. (3) Kedua
belah pihak dapat menyepakati adanya perubahan harga sewa. (4) Risiko
financial cost dapat diminimalisir jika terjadi inflasi dan kenaikan suku bunga
pasar pada perbankan konvensional, dan (5) Inflasi atau fluktuasi bunga pasar
pada bank konvensional tidak akan mempengaruhi harga.6
Dalam penelitian yang sama, Nadratuzzaman Hosen juga menjelaskan
bahwa akad murabahah kurang disenangi pihak bank untuk jangka waktu
melebihi 10 tahun, karena terdapat risiko di mana nilai uang yang dikaitkan
dengan waktu, yakni kemungkinan tidak cocoknya (mismatch) antara aset dan
likuiditas akibat perubahan besarnya margin dari hasil pembiayaan, serta bagi
hasil yang harus dibayar kepada pihak ketiga yang berasal dari dana pihak
ketiga. Sedangkan akad MMq lebih tepat dilakukan untuk jangka waktu
melebihi 10 tahun pelunasan, karena keuntungan bank didapat dari sewa,
bukan cicilan.
Selain itu, akad MMq juga bisa dijadikan skema akad pembiayaan ulang
(refinancing), yang mana jika ada nasabah yang melakukan kontrak di bank
konvensional dan nasabah tersebut ingin memindahkan kontraknya ke bank
syariah, maka bisa digunakan akad pembiayaan ulang dengan skema MMq.
Selain itu, pada penelitian M. Ridwan dan Syahruddin, MMq bisa digunakan
untuk take over dalam modal kerja. Jadi, nasabah yang berhutang kepada bank
konvensional dalam bentuk modal usaha bisa datang ke bank syariah untuk
mengajukan take over dengan skema MMq. 7
6 Nadratuzzaman Hosen, “Musyarakah Mutanaqishah”, Al-Iqtishad Vol. I, No. 2, (Juli
2009), h. 9. 7 M. Ridwan dan Syahruddin. “Implementasi Musyarakah Mutanaqisah sebagai Alternatif
Pembiayaan Murabahah di Perbankan Syariah Indonesia”. Tsaqafah Vol. 9, No. I (April 2013), h.
115.
5
Sementara itu, Abdul Rokhim mengemukakan bahwa pembiayaan akad
MMq pada bank syariah menggunakan sistem yang saling berhubungan, yaitu
a) Terjadinya kesepakatan untuk melakukan kemitraan pemilikan aset antar
pihak, b) Adanya unsur jual beli, c) Adanya unsur sewa-menyewa, d) Adanya
penurunan kepemilikan bank dan peningkatan kepemilikan nasabah atas objek
akad, e) Akhirnya, terjadi kepemilikan penuh oleh nasabah.8
Berdasarkan pendapat tersebut, terdapat beberapa unsur penting pada akad
MMq, yaitu perjanjian kerjasama untuk membeli suatu barang/aset,
kepemilikan bersama antara bank dan nasabah, angsuran pembelian porsi
kepemilikan bank oleh nasabah, penyewaaan barang/aset pada nasabah, dan
perpindahan kepemilikan dari bank ke nasabah. Hal itu dikarenakan akad
MMq merupakan hybrid contract, yaitu akad gabungan yang terdiri dari
kerjasama dan jual beli, serta diikuti sewa. Bentuk akad gabungan pada akad
MMq berupa kerjasama antara bank dan nasabah untuk membeli suatu barang
atau membuat suatu usaha dan berupa jual beli yakni pembelian porsi
kepemilikan bank oleh nasabah secara bertahap hingga kepemilikan bank
menjadi nol dan kepemilikan nasabah menjadi seutuhnya, maka terjadi
perpindahan kepemilikan di akhir akad.
Akad MMq umumnya diikuti akad ijarah atau sewa, yakni penyewaan
objek akad dari bank ke nasabah sebagai bentuk keuntungan bank karena bank
ikut memiliki objek tersebut, sementara nasabah menyewa objek akad untuk
digunakan secara pribadi. Keuntungan sewa-menyewa tersebut berbentuk bagi
hasil, yang mana hasil keuntungan tersebut dibagi pada nasabah dan bank.
Keuntungan nasabah dibayarkan pada bank untuk menambah pembelian porsi
bank dalam memperbesar asetnya, sedangkan bagi bank hasil penyewaan
tersebut merupakan keuntungan untuk bank. Sekilas akad MMq terkesan rumit
karena terdapat dua bentuk pembayaran, yakni pembelian porsi bank dan
pembayaran sewa yang harus dilakukan nasabah. Mengingat pemahaman
masyarakat akan akad MMq belum merata, hal tersebut dapat mengakibatkan
8 Abdul Rokhim, “Konstruk dan Model Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah di Bank
Syariah”, Human Falah Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. 2 No. 1, 2014, h. 65.
6
kesalahpahaman nasabah akan pembayaran pembelian porsi bank yang
mereka lakukan sebagai cicilan utang dan biaya sewa sebagai bunga.
Dalam kerja sama antara nasabah dan bank, termasuk di dalamnya produk
MMq, tidak menutup kemungkinan akan adanya wanprestasi, yang dapat
berupa pembiayaan bermasalah, yakni macetnya pembayaran yang dilakukan
oleh nasabah yang dapat berakibat pada sengketa. Risiko ketidakpahaman
nasabah juga dapat memicu adanya sengketa pada akad MMq. Seperti
sengketa antara nasabah dan bank pada akad MMq yang terjadi di Bank
OCBC NISP Unit Usaha Syariah, yang kemudian sampai ke Mahkamah
Agung dan diputus dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1024
K/Pdt/2016. Sengketa akad MMq terjadi karena nasabah atau pihak penggugat
tidak memahami dengan benar akad MMq sebagai pembiayaan rumah yang
dilakukannya. Nasabah atau penggugat menyebut sisa pembiayaan akad MMq
berupa utang, sedangkan bank atau tergugat menyebut sisa pembiayaan
dengan sisa pembelian porsi kepemilikan bank ditambah biaya sewa oleh
nasabah, sehingga terjadi perselisihan nominal sisa pembiayaan.
Sengketa akad MMq pada Putusan Nomor 1024 K/Pdt/2016
menggambarkan adanya ketidakpemahaman nasabah akan akad MMq yang
mengakibatkan terjadinya sengketa antara bank dan nasabah. Hal ini
dikarenakan pembiayaan akad MMq memiliki mekanisme yang lebih rumit
dibandingkan pembiayaan lainnya, sehingga risiko akan tidak pahamnya
nasabah atas akad MMq dapat memicu terjadinya sengketa. Padahal jika
nasabah ataupun bank mempunyai pemahaman yang sama akan akad MMq,
ketika terjadi wanprestasi, bukan tidak mungkin perselisihan dan sengketa
dapat dihindari atau paling tidak diminimalisir. Untuk itu, diperlukan mitigasi
terhadap risiko-risiko yang muncul dalam akad MMq untuk mencegah
terjadinya sengketa.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa perlu untuk
mengadakan penelitian tentang mitigasi akan risiko sengketa yang timbul dari
akad MMq, agar risiko sengketa tersebut dapat dihindari atau paling tidak
7
diminimalisir, dengan studi kasus Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor
1024 K/Pdt/2016, yang berjudul:
“MITIGASI RISIKO SENGKETA AKAD MUSYARAKAH
MUTANAQISAH (STUDI KASUS PERKARA PADA PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1024 K/PDT/2016)”
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah adalah beberapa permasalahan yang berkaitan dengan
tema yang dibahas. Maka, penulis mengidentifikasikan masalah yang muncul
sebagai berikut:
1. Musyarakah mutanaqisah merupakan inovasi dari akad musyarakah
dan sesuai dengan prinsip syariah, yakni profit and loss sharing.
2. Musyarakah mutanaqisah merupakan akad gabungan (hybrid contract)
yang terdiri dari jual-beli, kerjasama, dan sewa.
3. Musyarakah mutanaqisah digunakan pada pembiayaan konsumer di
perbankan syariah.
4. Implementasi akad musyarakah mutanaqisah baru diterapkan beberapa
bank syariah.
5. Musyarakah mutanaqisah belum banyak diketahui masyarakat umum.
6. Mitigasi terhadap risiko yang muncul dari akad musyarakah
mutanaqisah untuk meminimalisir terjadinya sengketa.
A. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Supaya penelitian ini fokus, maka penulis membatasi masalah pada
risiko yang timbul dari akad Musyarakah Mutanaqisah (MMq) dengan
studi kasus Putusan Nomor 1024 K/Pdt/2016, akibat hukum dari sengketa
pada putusan tersebut, dan mitigasi risiko yang dapat dilakukan untuk
menghindari sengketa akad musyarakah mutanaqisah.
8
2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
a) Rumusan Masalah
Bagaimana mitigasi untuk meminimalisir risiko yang muncul dari akad
musyarakah mutanaqisah agar sengketa dapat dihindari?
b) Pertanyaan Penelitian
1) Apa penyebab terjadinya sengketa antara nasabah dan bank pada
akad musyarakah mutanaqisah dan akibat hukumnya?
2) Bagaimana mitigasi risiko yang seharusnya dilakukan agar tidak
terjadi sengketa pada akad musyarakah mutanaqisah?
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui penyebab terjadinya sengketa akad musyarakah
mutanaqisah dalam Putusan Nomor 1024 K/Pdt/2016 dan akibat
hukumnya.
b. Untuk memahami mitigasi risiko yang harus dilakukan demi
menghindari sengketa akad musyarakah mutanaqisah.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
sumbang pemikiran pada khazanah keilmuan, baik sebagai bahan
perbandingan maupun bahan rujukan, yang berkaitan dengan sengketa
ekonomi syariah dan akad musyarakah mutanaqisah.
b. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam masyarakat
sebagai bahan pengetahuan dan dapat diterapkan dengan baik bagi
pihak-pihak yang bersangkutan dalam ruang lingkup sengketa
ekonomi syariah dan akad musyarakah mutanaqisah, khususnya para
9
pihak yang berkecimpung dalam dunia perbankan syariah dan
masyarakat sebagai nasabah bank syariah.
C. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
a. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan penulis berupa metode deskriptif
analisis, yakni penelitian yang dilakukan dengan mengemukakan dan
mendeskripsikan fakta pada Putusan Mahkamah Agung dan
menganalisa faktor-faktor sengketa pada akad musyarakah
mutanaqisah.
b. Jenis Pendekatan
Penulis menggunakan pendekatan kualitatif dalam pendekatan
penelitian. Pendekatan kualitatif merupakan upaya mencari kebenaran
dalam suatu bidang lewat penemuan kekuatan atau kapasitas dalam
setiap konsep. Selanjutnya, dari setiap konsep itu diupayakan metode
untuk mengenali terdapat tidaknya pengaruh yang satu dengan yang
lainnya, baik secara searah maupun timbal-balik. Kemudian mencari
sesuatu yang substansi atau yang paling hakiki dari terdapatnya
hubungan pengaruh di antara satu konsep dengan konsep lainnya.9 Ada
pun objek penelitian ini adalah sengketa akad musyarakah
mutanaqisah pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1024
K/Pdt/2016.
9 Tim Lembaga Penelitian UIN Jakarta, Pedoman Penelitian UIN Syarif Hidatullah
Jakarta, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 62-63.
10
2. Bentuk Data
a. Sumber Data
1) Data Primer merupakan data yang menjadi sumber pertama
yakni, Putusan Pengadilan, Fatwa DSN-MUI, Undang-Undang
(UU), KUH Perdata, KHES, dan peraturan lainnya.
2) Data Sekunder merupakan bahan-bahan tambahan yang
menjadi sumber selanjutnya yang berupa literatur, yakni buku-
buku, jurnal, dan artikel.
b. Jenis Data
Data kualitatif, yaitu data yang berbentuk kalimat dan didapat
melalui analisis yang dalam serta tidak diperoleh secara langsung.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Pengamatan
Pengamatan dilakukan dengan mengamati dan menganalisa
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1024 K/Pdt/2016.
b. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan yaitu meneliti bahan-bahan literatur, seperti
buku, jurnal, artikel, dan koran yang berkaitan dengan akad
musyarakah mutanaqisah dan sengketa ekonomi syariah.
4. Metode Analisis Data
Metode penelitian yang dipakai penulis yakni metode kualitatif. Sesuai
dengan jenis penelitian yang digunakan penulis, analisis data yang
digunakan yakni deskriptif analisis. Data kualitatif dianalisis dan
diinterpretasi bersamaan dengan proses pengumpulan data. Langkah awal
yakni menyusun teori atau konsep, perencanaan penelitian, sehingga
didapatkan formulasi definisi konseptual.10
Langkah selanjutnya penulis
10
Tim Lembaga Penelitian UIN Jakarta, Pedoman Penelitian UIN Syarif Hidatullah
Jakarta, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, hlm. 86-87.
11
mereduksi data yang ada, yaitu proses pemfokusan dan penyederhanaan
data sehingga data berbentuk informasi yang telah tersusun dan dapat
dilakukan penarikan kesimpulan atau pun pengambilan tindakan. Langkah
terakhir yaitu kesimpulan, yang mana dalam penelitian kualitatif,
kesimpulan diverifikasi dengan mengecek data lain dan sebenarnya
kesimpulan telah diambil sejak awal mereduksi data namun kesimpulan
tersebut dapat berubah secara bertahap seiring dengan penelitian kualitatif
dilakukan.11
D. Tinjauan Studi Terdahulu
1. Analisis Risiko Implementasi Akad Musyarakah Mutanaqishah Pada
Perbankan Syariah di Indonesia, Alfiana Irsyanti (2017), Thesis
Universitas Brawijaya Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Pada penelitian
ini ditemukan bentuk risiko yang terjadi pada produk pembiayaan
berbasis musyarakah mutanaqisah adalah risiko kepatuhan yang
muncul akibat ketidaksesuaian implementasi dengan Fatwa dalam
aspek kepemilikan aset, pembayaran angsuran, serta perpindahan aset.
Dalam perlakuan akuntansi berdasarkan analisis peneliti terdapat
ketidaksesuaian perlakuan akuntansi yang dilakukan oleh bank dengan
aplikasi yang diterapkan. Berdasarkan risiko kepatuhan yang muncul
maka dapat berakibat pada timbulnya risiko pasar, risiko hukum,
risiko reputasi, risiko strategi, dan risiko investasi. Untuk risiko kredit
dipastikan muncul pada setiap jenis pembiayaan khususnya
pembiayaan dengan akad musyarakah mutanaqisah karena rentan
terjadinya gagal bayar/default. Perbedaannya dengan penelitian
penulis yaitu penelitian penulis menganalisa risiko yang menjadi
penyebab terjadinya sengketa pada akad MMq dan mitigasi risikonya
dengan studi kasus Putusan Nomor 1024 K/Pdt/2016, sementara
penelitian yang dilakukan Alfiana Irsyanti merupakan analisa atas
11
Prof. Dr. A. Muri Yusuf, M. Pd. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan
Penelitian Gabungan. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h. 407-409.
12
risiko yang muncul dari akad MMq dengan studi kasus di perbankan
syariah.
2. Strategi Mitigasi Risiko Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat
Indonesia, Mutia Saravati (2015), Skripsi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum. Penelitian ini mengemukakan
risiko pembiayaan musyarakah yang dihadapi Bank Muamalat
Indonesia yaitu, yang berkaitan dengan risiko investasi, risiko
operasional, dan kepatuhan. Umumnya, risiko-risiko tersebut muncul
karena adanya permasalahan principal agent yakni permasalahan pada
hubungan kemitraan antara bank dan nasabah. Sementara itu, strategi
mitigasi risiko pembiayaan musyarakah Bank Muamalat berupa
penetapan limit segmen pembiayaan terbatas pada segmen retail,
komersial, dan korporat, serta syarat-syarat tertentu dalam pemberian
pembiayaan. Lalu, adanya evaluasi mendalam pada usaha dan karakter
nasabah yang dibiayai, pengikatan jaminan utama berupa fixed asset
dan personal guarantee, dan penggunaan sistem bagi hasil revenue
sharing. Terdapat pula monitoring berkala, peningkatan kompetensi
karyawan, serta penggunaan risk tools berupa Muamalat Early
Warning System (MEWS) dan Internal Customer Rating. Berbeda
dengan penelitian penulis yang menganalisa risiko akad MMq dan
mitigasi risikonya agar tidak terjadi sengketa, penelitian yang
dilakukan Mutia Saravati berupa analisa terhadap mitigasi yang
dilakukan Bank Mumalat untuk menghindari risiko yang muncul dari
akad MMq.
3. Analisis Profil Risiko Terhadap Pembiayaan Perumahan Secara
Musyarakah Mutanaqishah Pada PT. Bank Muamalat Cabang
Surabaya, Erlinda Kurniawati (2015), Artikel Ilmiah Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi Perbanas Surabaya. Hasil penelitian ini menunjukkan
dari keempat risiko yaitu risiko kepemilikan, risiko Regulasi, Risiko
Pasar dan Risiko Kredit dapat memberikan dampak pada pembiayaan
perumahan secara musyarakah mutanaqisah. Untuk risiko
13
kepemilikan, dampak yang diberikan pada Bank Muamalat adalah dari
kepemilikan rumah ready stock yang telah dibeli status
kepemilikannya menjadi milik bank untuk sementara hingga nasabah
melunasi sesuai dengan apa yang disepakati pada saat akad yang
dilakukan dengan musyarakah mutanaqisah. Untuk risiko regulasi,
risiko ini terjadi pada umumnya terkait dengan akad musyarakah
mutanaqisah adalah masalah pembebanan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) untuk kepemilikan rumah. Pada risiko pasar, risiko ini rentan
terjadi pada penggunaan akad musyarakah mutanaqisah khusus
pembiayaan perumahan dikarenakan perbedaan wilayah atas
kerjasama menyebabkan perbedaan harga. Sementara pada risiko
kredit, risiko ini terjadi pada pembiayaan perumahan (KPR IB) secara
musyarakah mutanaqisah pada saat pembayaran angsuran yang sering
mengalami macet atau angsuran tidak terbantahkan lancar dan
tentunya akan berpengaruh besar terhadap margin yang diperoleh oleh
pihak bank. Penelitian yang dilakukan Erlinda Kurniawati berbeda
dengan penelitian penulis karena penelitian Erlinda Kurniawati
menganalisa dampak risiko dari akad MMq yang terjadi pada produk
pembiayaan perumahan di Bank Muamalat.
E. Rancangan Sistematika Penelitian
Untuk pembahasan yang lebih terarah dan memudahkan pemahaman,
maka penelitian terbagi menjadi lima bab. Pada tiap-tiap bab terdapat sub-sub
bab yang mempunyai pembahasan masing-masing yang saling berkaitan
dengan yang lainnya. Penulis menggunakan sistematika sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bagian ini, bab satu berisi tentang latar belakang, identifikasi masalah,
pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
14
metode penelitian, serta kajian studi terdahulu yang sesuai dengan penelitian
penulis.
BAB II : AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISAH DAN MITIGASI
RISIKO
Pada bagian ini, bab dua akan memaparkan teori-teori tentang kajian akad
musyarakah mutanaqisah, bentuk risiko, dan mitigasinya.
BAB III : GAMBARAN UMUM PERKARA PUTUSAN NOMOR 1024
K/PDT/2016 TENTANG AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISAH
Pada bagian ini, bab tiga berisi tinjauan tentang sengketa yang terjadi pada
akad musyarakah mutanaqisah pada Putusan Nomor 1024 K/Pdt/2016.
BAB IV : HASIL PENELITIAN
Pada bagian ini, bab empat merupakan inti dari penelitian, yang
mengemukakan analisa tentang mitigasi risiko sengketa akad musyarakah
mutanaqisah dengan studi kasus Putusan MA Nomor 1024 K/Pdt/2016.
BAB V : PENUTUP
Bab lima ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah dilakukan dan
merupakan jawaban dari rumusan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
15
BAB II
AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISAH DAN MITIGASI RISIKO
A. Musyarakah Mutanaqisah
1. Pengertian Musyarakah Mutanaqisah
Secara etimologi, syirkah berarti ikhtilaat (pencampuran), yakni
mencampurkan satu harta dengan harta yang lain sehingga tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Dalam bahasa Indonesia, kata syirkah dapat
diterjemahkan dengan istilah kemitraan, persekutuan, atau perkongsian.
Sedangkan secara terminologi, syirkah didefinisikan beragam oleh ulama
fiqih.
Menurut ulama golongan Malikiyah, syirkah berupa izin untuk
mendayagunakan harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh
keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya
untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun keduanya memiliki
hak yang sama.
Ulama golongan Hanabilah mendefinisikan syirkah dengan
penghimpunan hak (kewenangan) atau pengelolaan harta (tasharruf).
Sedangkan menurut ulama golongan Syafi‟iyah, syirkah merupakan
ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan cara
yang masyhur (diketahui). Ulama golongan Hanafiyah mendefinisikan
syirkah dengan ungkapan tentang adanya transaksi antara dua orang yang
bersekutu pada pokok harta dan keuntungan.1
Dengan demikian, musyarakah adalah akad kerja sama antara dua
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.2
1 Isnawati Rais, Hasanudin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, (Ciputat,
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah. (Jakarta; Oktober 2011), h. 105-106. 2 Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. (Jakarta, Gema
Insani; Juli 2009), h. 90.
16
Sementara itu, Musyarakah Mutanaqisah (MMq) merupakan produk
turunan dari akad musyarakah, yang mana akad MMq terdiri dari dua kata
dasar. Kata dasar dari musyarakah adalah Syirkah yang berasal dari kata
syaraka-yusriku-syarkan-syarikan-syirkatan (syirkah) yang berarti kerja
sama, perusahaan atau kelompok/kumpulan. Musyarakah atau syirkah
merupakan kerja sama dalam modal dan keuntungan. Sedangkan,
mutanaqisah berarti mengurangi secara bertahap. Dengan itu, akad MMq
merupakan suatu skim musyarakah, di mana porsi dana salah satu pihak
akan menurun terus hingga akhirnya menjadi nol. Pada saat porsi dana
salah satu pihak menjadi nol, maka akan terjadi perpindahan kepemilikan
dari satu pihak kepada pihak lainnya. Pada skim ini, bank dan nasabah
saling mencampurkan dananya untuk membiayai suatu proyek, dan
kemudian secara bertahap bank akan mengurangi porsi modalnya hingga
menjadi nol dalam suatu saat. Bank akan melengkapi kekurangan dana
milik nasabah sebagai implementasi percampuran dana. Kemudian barang
tersebut disewakan kepada nasabah dengan akad ijarah. Pembayaran sewa
dari nasabah kemudian dibagi secara proporsional antara bank dan
nasabah. Porsi bagi hasil untuk nasabah digunakan untuk mengurangi
porsi modal bank.1
Menurut Wahbah Zuhaili, musyarakah mutanaqisah merupakan
kesepakatan di antara dua pihak, yang mana bank akan membiayai
sebagian dari harga objek pembiayaan. kemudian, nasabah berhak
membayar bagian atau porsi kepemilikan bank secara bertahap dengan
teratur selama periode yang disepakati. Ketika nasabah membayar
angsuran ke bank, bagian bank dalam kepemilikan objek pembiayaan
berkurang dan bagian nasabah dalam kepemilikan objek pembiayaan
bertambah. Jika proses pembayaran berakhir, kepemilikan bank atas objek
1 Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. (Jakarta: Zikrul
Hakim, 2007), h. 74-75.
17
pembiayaan menjadi habis dan nasabah menjadi pemilik utuh atas objek
pembiayaan akad MMq.2
Terdapat beberapa pendapat yang diperkenalkan oleh ulama mengenai
istilah musyarakah mutanaqisah, salah satunya ialah kerja sama antara
para syarik (dalam hal ini bank dengan nasabah) guna membeli suatu
barang, kemudian barang tersebut dijadikan “modal usaha” oleh nasabah
untuk mendapatkan keuntungan yang akan dibagi bersama di antara bank
dengan nasabah disertai dengan pembelian barang modal milik bank yang
dilakukan secara berangsur sehingga kepemilikan bank terhadap barang
modal sekian lama semakin berkurang. Dengan demikian, akad ini
dinamai musyarakah mutanaqisah karena memerhatikan kepemilikan bank
dalam syirkah, yakni penyusutan porsi kepemilikan bank karena dibeli
oleh nasabah secara berangsur.3
Akad ini mulai dirumuskan dan diperkenalkan oleh ulama pada abad
20 M (tepatnya tahun 1997) yang dibahas oleh Majma‟al-fiqhi. Najih
Hammad (1997) dan Muhammad Ali al-Qari (1997) berpendapat bahwa
musyarakah mutanaqisah bersumber pada syirkah-milik yang diikuti
secara pararel dengan akad jual-beli (al-bai). Dengan demikian menurut
beliau berdua, musyarakah mutanaqisah terjadi karena dua akad yang
dijalankan secara pararel.
Abd al-Razaq al-Haiti (1998) berpendapat bahwa musyarakah
mutanaqisah bersumber pada akad mudharabah yakni pihak bank
menyediakan modal usaha (berkedudukan sebagai shahib al-mal) dan
pihak nasabah yang menjalankan usaha (berkedudukan sebagai mudharib).
Hakikat musyarakah mutanaqisah dalam al-Haiti adalah penyerahan harta
dari pihak bank kepada nasabah untuk dijadikan modal usaha, dan nasabah
membagi keuntungan (dengan bank) dan mengembalikan modal usaha
2 Wahbah al-Zuhaily, Al-Mu‟amalat al-Maliyah al-Mu‟asirah. (Damaskus: Daarul Fikr,
2002), h. 434. 3 H. Maulana Hasanudin & H. Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah. (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012), h.. 60.
18
secara berangsur, sehingga modal pada akhirnya menjadi milik nasabah
secara penuh (al-muntahiyyah bit tamlik).4
Akad MMq juga disebut Musyarakah Menurun, yaitu akad berpola
bagi hasil ketika dua pihak bermitra untuk kepemilikan bersama untuk
suatu aset seperti properti. Sebagai pemodal, bagian aset pihak pertama
atau bank akan dibeli pihak kedua atau nasabah secara periodik, sehingga
aset pihak nasabah meningkat sampai objek akad milik nasabah
sepenuhnya dan aset pihak bank berkurang sampai habis.5 Aset atau objek
akad tersebut kemudian disewakan kepada nasabah dengan biaya sewa
bulanan. Bagian pendapatan sewa nasabah digunakan sebagai pembayaran
penambahan kepemilikan.6
Dalam musyarakah menurun (diminishing musyarakah), terdapat
perjanjian antara bank dan nasabah bahwa porsi kepemilikan bank akan
menurun dari waktu ke waktu dan kepemilikan atas objek akad akan
beralih ke nasabah seutuhnya. Menurut konsep musyarakah menurun,
biasanya bank berpartisipasi sebagai mitra keuangan (financial partner),
yang mana bank dapat mengambil seluruh penanaman modal atau
sebagian saja, sedangkan sebagian penanaman modal yang lain merupakan
bagian nasabah. Dengan cara pembayaran untuk pembelian porsi bank atas
objek akad, bagian bank dalam permodalan tersebut secara progresif
berkurang sehingga pada akhirnya nasabah menjadi pemilik seutuhnya
atas objek akad. Untuk membayar penjualan kepemilikan bank tersebut,
bank setuju untuk menerima pembayaran secara cicilan dari nasabah.
setelah pembayaran atas kepemilikan bank itu lunas, nasabah menjadi
satu-satunya pemilik atas objek akad MMq.7
4 H. Maulana Hasanudin & H. Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah. (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 65. 5 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah. (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2015). h.
160. 6 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah. (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2015), h.
195. 7 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah; Produk-Produk dan Aspek-Aspek
Hukumnya. (Jakarta: Kencana, 2014), h. 336.
19
2. Rukun dan Syarat Musyarakah Mutanaqisah
Menurut ulama Hanafiyah, Rukun syirkah ada dua, yaitu ijab dan
kabul. Hal tersebut ketika salah satu pihak berkata, “Aku bersekutu
denganmu dalam hal ini dan ini,” pihak kedua pun menjawab, “Aku
terima.”8 Walaupun rukun syirkah hanya ijab dan kabul, objek akad dan
para pihak mengikuti rukun syirkah tersebut. Sementara itu, mayoritas
ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa rukun syirkah ada tiga, yaitu
1) shighat, yakni ungkapan yang keluar dari masing-masing pihak yang
bertransaksi untuk menunjukkan kehendaknya, 2) „aqidhain, yakni dua
pihak yang melakukan transaksi, dan 3) objek akad syirkah, yakni modal
pokok.
Adapun yang menjadi syarat syirkah menurut kesepakatan ulama,
yaitu:
a. Dua pihak yang melakukan transaksi mempunyai kecakapan/keahlian,
yang mana pihak-pihak tersebut berstatus merdeka, baligh, dan
pandai,9 serta bisa diwakilkan. Maksudnya, di antara ketentuan syirkah
adanya persekutuan dalam keuntungan yang dihasilkan dan
keuntungan tersebut tidak akan menjadi hak milik bersama kecuali jika
masing-masing pihak bersedia menjadi wakil bagi mitranya dalam
mengelola harta syirkah.10
b. Jumlah modal syirkah diketahui oleh para pihak.11
c. Pembagian keuntungan masing-masing pihak hendaknya jelas.
d. Nominal jumlah keuntungan yang diberikan tidak ditentukan. Artinya,
penetuan bagian keuntungan dengan jumlah nominal tertentu
8 Sayyid Sabiq, Penerjemah. Abdurrahim dan masrukhin, Fikih Sunnah 5. Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2009, h. 405. 9 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah; Fiqh Muamalah. (Jakarta, Kencana: 2013), h. 220.
10 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Fiqih Islam 5.
(Depok, Gema Insani & Darul Fikir: 2007), h. 450. 11
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah; Fiqh Muamalah. (Jakarta, Kencana: 2013), h. 221.
20
bertentangan dengan konsekuensi akad syirkah, yang mana bisa saja
keuntungan yang ditargetkan tidak tercapai.12
Berdasarkan ketentuan ulama fiqih, para praktisi perbankan
menyimpulkan bahwa rukun dan syarat syirkah menjadi:
a. Ucapan (sighat), penawaran dan penerimaan (ijab dan qabul). Berakad
dianggap sah jika diucapkan secara verbal. Kontrak syirkah dicatat
dalam tulisan dan disaksikan.
b. Para pihak yang berkontrak, pihak yang berkontrak harus berkompeten
dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.13
Syarat akad MMq mengikuti syarat yang ada pada akad musyarakah,
tapi ada tiga syarat lain yang sudah disepakati pada konferensi Bank Islam
pertama di Dubai, yaitu:
a. Akad MMq bukan hanya proses pembiayaan pinjaman, melainkan di
dalamnya harus ada partisipasi, yang mana para pihak harus
menanggung beban kerugian, maka para pihak juga berhak atas
keuntungan yang ada dan disepakati selama akad MMq.
b. Bank harus berpartisipasi dalam kemitraan dan bank juga memiliki hak
dalam manajemen perilaku, pemantauan kinerja, serta tindak lanjut
sebagai penyedia produk pembiayaan akad MMq.
c. Pada kontrak MMq, nasabah tidak disyaratkan harus mengembalikan
bagian modalnya pada bank (hanya modal bank saja yang
dibeli/dikembalikan) dan tidak ada keuntungan yang harus
dikembalikan nasabah. Hal ini agar pembiayaan akad MMq terhindar
dari syubhat atau pun riba.14
12
Wahbah Az-Zuhaili. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Fiqih Islam 5. Depok:
Gema Insani & Darul Fikir, 2007, h. 450-451. 13
Isnawati Rais, Hasanudin, “Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS”, (Ciputat,
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Oktober 2011), h. 108. 14
Wahbah al-Zuhaily, Al-Mu‟amalat al-Maliyah al-Mu‟asirah. (Damaskus, Daarul Fikr:
2002), h. 436.
21
3. Bentuk Akad Musyarakah Mutanaqisah dan Dasar Hukumnya
Akad musyarakah mutanaqisah merupakan akad campuran antara akad
musyarakah dan akad ijarah, karena di dalamnya terdapat unsur syirkah
dan unsur ijarah.
a. Syirkah
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, syirkah merupakan
kerjasama antara dua pihak atau lebih, yang mana pihak-pihak yang
berkontribusi menyatukan modalnya untuk suatu usaha dengan
menanggung bersama keuntungan dan kerugiannya sesuai
kesepakatan. Akad syirkah ini dibenarkan secara syariat dengan dalil-
dalil sebagai berikut:
1) Ayat Al-Quran
a) Al-Qur‟an Surat Shad, ayat 24:
إن كثشا مه انخهطاء نبغ بعضم عهى عمها بعض إل انزه آمىا
قهم ما م انحاث انص
"…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat
itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali
orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat
sedikitlah mereka ini…."
Maksud dari ayat ini ialah kebanyakan orang yang berserikat
(orang yang melakukan musyarakah), sebagian dari mereka
menzhalimi sebagian yang lainnya. Kecuali orang-orang yang beriman
kepada Allah, taat pada Allah, serta mematuhi perintah dan larangan-
Nya, tapi jumlah mereka (orang-orang yang taat pada Allah) ini
sedikit.15
Berdasarkan ayat ini, semua macam bentuk kerjasama
termasuk akad musyarakah, tidak boleh ada kezhaliman di antara para
pihak.
15
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Penerjemah Misbah, Abdul Somad,
Abdurrahim Supandi, Tafsir Ath-Thabari. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, h. 122.
22
b) Al-Qur‟an Surat al-Ma‟idah, Ayat 1:
د ... ابانعق ف اأ ه آمى اانز اأ
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
Ada yang berpendapat bahwa aufaa dan waffaa16
adalah dua dialek
(yang artinya sama, yaitu memenuhi. Sementara al „uquud adalah al
„uhuud (janji). Asal makna al „uquud adalah ar-rubuuth (ikatan), yang
bentuk tunggalnya „aqd. Dikatakan „aqatu al habl (aku mengikat tali)
dan „aqadtu al „ahd (aku mengikat janji). Jadi, kata ini digunakan
untuk sesuatu yang berbentuk materi dan abstrak. Jika digunakan
untuk sesuatu yang abstrak, maka artinya merupakan ikatan yang
sangat kuat. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud al
„uquud adalah ikatan antara Allah dan hamba-Nya dan hukum yang
ditetapkan kepada mereka. Ada juga yang mengatakan bahwa al
„uquud adalah akad-akad di antara sesama manusia, yang berupa akad
muamalah. Pendapat yang tepat dalam masalah ini mencakup
keduanya. Az-Zajjaj berkata, “Maknanya adalah penuhilah janji
terhadap Allah dan antar sesama kalian.” Hal itu berarti akad
(perjanjian) yang harus dipenuhi adalah yang sesuai dengan
Kitabullah dan sunnah Rasulullah, adapun yang tidak sesuai tidak
harus dipenuhi atau tidak halal dipenuhi.17
Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan untuk memenuhi akad.
Al Hasan berkata, “Yang dimaksud dengan akad tersebut adalah akad
utang-piutang, yaitu akad yang dibuat oleh seseorang atas dirinya,
baik berupa penjualan, pembelian, penyewaan, pernikahan, paroan
sawah, maslahat, kepemilikan, hak pilih/khiyar, kemerdekaan,
pengaturan, dan hal-hal lainnya sepanjang tidak keluar dari syari‟ah.
16
Kata aufuu merupakan kata perintah dari kata aufaa dan kata waffa merupakan dasar
dari kata aufaa. 17
Imam Asy-Syaukani. Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin, Asep Saefullah. Tafsir
Fathul Qadir. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 224-225.
23
Demikian pula dengan akad yang dibuat seseorang terhadap Allah
yang berupa ketaatan, seperti haji, puasa, i‟tikaf, menghidupkan
malam, nadzar, dan hal lainnya yang termasuk dalam ketaatan
menurut agama Islam. Demikianlah yang dikatakan Ibnu Al-Arabi.”18
2) Hadist
Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW
berkata:
ى ما نم ك ش ل : أوا ثانث انش حعانى ق فإرا خان خه أحذماصاحب إن للا
ما ى خشجج مه ب
“Allah swt. berfirman: „Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang
bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang
lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.”
(HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu
Hurairah).19
Maksud dari hadist ini adalah Allah SWT akan menjaga dan
menolong dua orang selama mereka bersekutu dan menurunkan
berkah pada pandangan mereka. Namun, jika salah seorang yang
bersekutu itu mengkhianati temannya, Allah SWT akan
menghilangkan pertolongan dan keberkahan.20
Dari ayat dan hadist di atas, dapat disimpulkan bahwa syirkah
dibolehkan dalam Islam dengan syarat pihak-pihak yang bersyarikat
jujur, saling menepati perjanjian yang disepakati, dan tidak
mencurangi pihak lainnya.
18
Syaikh Imam Al-Qurtubi. Penerjemah Ahmad Khotib, Tafsir Al Qurthubi. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008, h. 77-78. 19
Imam Asy-Syaukani. Penerjemah A. Qadir Hassan, dkk,. Nailul Authar 4: Himpunan
Hadits-Hadits Hukum. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2007, h. 1830. 20
Mardani, “Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah”, (Jakarta, Kencana: 2012), h. 224.
24
b. Ijarah
Kata ijarah secara bahasa berarti al-ajru, yaitu imbalan terhadap
suatu pekerjaan. Dalam bentuk lain, kata ijarah juga biasa dikatakan
sebagai al-ujrah yang berarti upah.21
Ijarah menurut etimologi berarti
upah, sewa, jasa, dan imbalan.22
Dalam konteks perbankan syariah,
ijarah adalah suatu kontrak sewa (lease contract) di mana suatu bank
atau lembaga keuangan menyewakan barang pada nasabah dengan
pembebanan biaya sewa yang sudah ditentukan.23
Dengan demikian,
ijarah merupakan akad pengalihan hak manfaat atas barang atau jasa
dengan pembayaran upah sewa, tanpa diikuti pengalihan kepemilikan
barang tersebut.24
Ijarah dibenarkan dalam Islam berdasarkan pada
dalil-dalil sebagai berikut:
a. Al-Quran
Al-Qur‟an Surat al-Baqarah, ayat 233:
ان اسدح كم إرا سهمخم ما لدكم فال جىاح عه ا أ خم م أن حسخشضع آح
ش ن بص بما حعمه ا أن للا اعهم ا للا انخق ف بانمعش
“…Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Menurut Ats-Tsauri dan Mujahid, makna ayat ini adalah: tidak apa-
apa kalian menyusukan anak-anak kalian kepada selain ibu-ibu
mereka apabila kalian memberikan upah penyusuan kepada para
wanita yang menyusui anak-anak itu hingga waktu yang dikehendaki.
21
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah. (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 150. 22
Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat. (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), h. 120. 23
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah; Produk-Produk dan Aspek-Aspek
Hukumnya. (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), h. 263. 24
Fathurrahman Djamil, “Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di LEmbaga
Keuangan Syariah”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 151.
25
Ada juga yang berpendapat bahwa: apabila kamu memberikan upah
kepada wanita yang menyusui anak tersebut, maka berilah upah yang
patut, yaitu harga yang dianggap pantas oleh masyarakat, tanpa
ditunda-tunda atau dikurangi.25
Dengan demikian, makna ayat ini dapat merujuk bahwa apabila
seorang suami ingin anaknya disusui oleh selain ibunya, ini
diperbolehkan, dan si suami memberikan wanita yang menyusui
anaknya upah sesuai yang disepakati ketika akad.26
Dalam ayat ini pula mengandung dalil kebolehan mencari
perempuan yang mau menyusui anak lain, apabila ayah dan ibu
sepakat akan hal ini. Kemudian, serahkanlah upah kepada perempuan
yang mau menyusui anak orang lain, demikian yang dikatakan oleh
Sufyan. Mujahid berkata, “Artinya, kalian serahkan kepada para ibu
upah mereka, senilai biaya yang telah mereka keluarkan selama
menyusui sampai waktu hendak menyusukan anak kepada perempuan
lain.”27
b. Hadist
1) Hadist dari Imam Bukhari, dari Ibnu Umar berkata:
صهى اقال انبخ قال ابه عمش :أعطى انه ب للااسي , ش بـ خ سهم عه
ذ نك عهى ر بانشطش فكان للاهى اص بانى ع صذ س س عه بكش أب هم
عم بأ نأ زكش نم ش مه خال فت عم بانى قبض اجاسة بـعذ م دال ذج ش ا بكش
للاهى اص هم س عه
Imam bukhari berkata: dan imam umar berkata: Nabi Saw
memberi (upah) separoh (dari hasil) tanah khaibar (kepada para
25
Imam Asy-Syaukani. Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin, Asep Saefullah. Tafsir
Fathul Qadir. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 947. 26
Syaikh Asy-Syanqithi. Penerjemah Fathurazi, Tafsir Adhwa‟ul Bayan. Jakarta: Pustaka
azzam, 2006, h. 437. 27
Syaikh Imam Al-Qurtubi. Penerjemah Faturrahman, Ahmad Hotib, Dudi Rasyadi,
Tafsir Al Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, h. 367-368.
26
pekerja). Dan yang demikian itu terjadi pada masa Nabi Saw, Abu
Bakar di permulaan masa pemerintahan Umar sedang Ibnu Umar
tidak menyebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar memperbaharui
(perjanjian) penyewaan itu sesudah wafat nabi Saw.28
Hadist ini menunjukkan bolehnya bekerja sebagai buruh dalam
waktu-waktu tertentu, yaitu misalnya buruh tersebut bekerja untuk
mengerjakan pekerjaan tertentu (dalam waktu tertentu) dan dengan
upah tertentu pula. Hadist tersebut juga menunjukan dibolehkannya
menyewakan tanah dengan separuh hasil pada setiap tahun.29
2) Hadist riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi
bersabda:
شأجشي قبم أن جف عشق أعطااألج
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
Hadist ini menjelaskan bahwa bahwa Nabi SAW menyuruh
umatnya untuk memberikan upah kepada pekerja secepat mungkin,
yang mana mengandung dua hal penting, yaitu: a) Sebagai pekerja,
seseorang dituntut menjadi pekerja keras, professional, dan sungguh-
sungguh. Hal ini diisyaratkan secara simbolis dengan perkataan
Rasulullah “pekerjaan yang mengandung keringat.” b) Upah diberikan
tepat waktu sesuai dengan tingkat pekerjaan yang dilakukan.
Seseorang tidak boleh dieksploitasi tenaganya sementara haknya tidak
diberikan tepat waktu.30
28
Imam Asy-Syaukani. Penerjemah A. Qadir Hassan, dkk,. Nailul Authar 4: Himpunan
Hadits-Hadits Hukum. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2007, h. 1886-1887. 29
Imam Asy-Syaukani. Penerjemah A. Qadir Hassan, dkk, Nailul Authar 4: Himpunan
Hadits-Hadits Hukum. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2007, h. 1886-1887. 30
Isnaini Harahap dkk, Hadis-Hadis Ekonomi. (Jakarta: Prenada Media Group, 2015), h.
84.
27
Dari dalil-dalil tersebut dapat diketahui bahwa ijarah dibenarkan
dalam Islam dengan syarat upah yang diberikan kepada pekerja
sepatutnya sesuai pekerjaannya dan diberikan secara tepat waktu.
4. Skema Musyarakah Mutanaqisah
Akad MMq merupakan kesepakatan kerjasama antara bank dan
nasabah untuk melakukan kerja sama usaha, yang mana masing-masing
pihak menyertakan hartanya untuk dijadikan modal usaha dengan tujuan
untuk mendapatkan keuntungan dengan syarat bahwa nasabah wajib
membeli porsi kepemilikan bank dan nasabah wajib menyewa objek akad
supaya mendatangkan keuntungan yaitu uang sewa.31
Umumnya, mekanisme akad Mmq dimulai ketika nasabah mengajukan
permohonan pembiayaan akad MMq pada bank syariah, disertai dengan
dokumen yang menunjukan kelayakan pembiayaan, dan dokumen lainnya
seperti akta, serta lisensi resmi dari Negara tempat objek pembiayaan itu
berada. Kemudian, bank menilai kesanggupan atau kelayakan nasabah
yang mengajukan pembiayaan dan menilai dokumen yang ada pada
nasabah. Jika bank setuju atas permohonan pembiayaan, nasabah dan bank
menulis dan menandatangani kontrak, yang mana di dalamnya terdapat
ketentuan jaminan untuk menjamin kelancaran pembayaran nasabah, juga
terdapat jumlah masing-masing modal yang didistribusikan baik dari pihak
bank maupun dari pihak nasabah, serta terdapat ketentuan pembagian
keuntungan dan kerugian yang nantinya ditanggung bersama antara bank
dan nasabah.32
Selanjutnya, nasabah akan membayar (mengangsur)
sejumlah modal/dana yang dimiliki oleh bank syariah. Perpindahan
kepemilikan dari porsi bank syariah kepada nasabah seiring dengan
bertambahnya jumlah modal nasabah dari pertambahan angsuran yang
31
H. Maulana Hasanudin & H. Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah.
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 32
Wahbah al-Zuhaily, Al-Mu‟amalat al-Maliyah al-Mu‟asirah. (Damaskus, Daarul Fikr:
2002), h. 435.
28
dilakukan oleh nasabah. Hingga angsuran berakhir, kepemilikan suatu
barang atau benda tersebut sepenuhnya menjadi milik nasabah. Penurunan
porsi kepemilikan bank syariah terhadap barang atau benda berkurang
secara proposional sesuai dengan besarnya angsuran.
Selain sejumlah angsuran yang harus dilakukan oleh nasabah untuk
mengambil alih kepemilikan, nasabah harus membayar sejumlah sewa
kepada bank syariah hingga berakhirnya batas kepemilikan bank syariah.
Pembayaran sewa dilakukan bersamaan dengan pembayaran angsuran.
Pembayaran angsuran merupakan bentuk pengalihan porsi kepemilikan
bank syariah. Sedangkan pembayaran sewa merupakan bentuk kompensasi
kepemilikan dan kompensasi jasa bank syariah.33
Penyewaan objek akad
tersebut dapat diberikan kepada nasabah maupun pihak lain. Jika nasabah
yang menyewa objek akad, keuntungan sewa tersebut dibagi hasil antara
nasabah dan bank, namun porsi bagi hasil nasabah dibayarkan pada bank
untuk menambah pembelian porsi kepemilikan bank. Jika objek akad
disewakan pada pihak lain, keuntungan sewa juga dibagi hasil antara bank
dan nasabah. Porsi keuntungan sewa nasabah juga disetorkan pada bank
sebagai tambahan pembelian kepemilikan bank atas objek akad. Adapun
contoh skema akad MMq pada pembiayaan perumahan di perbankan
syariah adalah sebagai berikut:
a. Bank syariah dan nasabah melakukan perjanjian pembiayaan dengan akad
Musyarakah Mutanaqishah (MMq) dalam jangka waktu 10 tahun berupa
KPR iB sebagaimana yang disepakati para pihak dengan total modal
kemitraan MMq senilai misalnya Rp 2.000.000.000,- di mana porsi bank
sebesar 80% senilai Rp 1.200.000.000,- juta dan porsi nasabah sebesar
20% senilai Rp 800.000.000,- dengan nisbah pembagian keuntungan 60 :
40.
33
Nadratuzzaman Hosen, “Musyarakah Mutanaqishah”, Al-Iqtishad Vol. I, No. 2, (Juli
2009), h. 48.
29
b. Bank menyalurkan dana senilai porsi modalnya dan nasabah menyetorkan
dana senilai porsi modalnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan
kesepakatan para pihak.
c. Pembiayaan MMq digunakan untuk pembelian aset MMq sebagai modal
usaha bersama antara bank dan nasabah berupa rumah untuk disewakan
(ijarah).
d. Penyewa aset/aktiva MMq sebagai objek usaha bersama yang dapat
disewa sendiri oleh nasabah selaku konsumen penyewa dengan membayar
sewa yang hasilnya dibagi antara bank dan nasabah sesuai nisbah yang
disepakati.
e. Pembayaran uang sewa oleh nasabah selaku konsumen penyewa kepada
kemitraan usaha yang dimiliki bersama (Bank dan Nasabah MMq) selaku
sewa sebesar misalnya Rp 10.000.000,- perbulan.
f. Pembagian hasil usaha penyewaan rumah berupa pendapatan Rp 10
juta/bulan antara bank dan nasabah sesuai nisbah bagi hasil, bank
mendapat bagi hasil sebesar Rp 6 juta dan nasabah mendapat bagi hasil
sebesar Rp 4 juta.
g. Pembayaran bagi hasil yang wajib disetorkan nasabah kepada bank
sebesar Rp 6 juta/bulan dan pendapatan bagi hasil nasabah selaku nasabah
mitra MMq sebagai salah satu bagian sumber pembayaran angsuran pokok
untuk pengambilalihan porsi modal bank oleh nasabah.
h. Disamping membayar bagi hasil, nasabah setiap bulan juga membayar
angsuran pokok sebesar Rp 10 juta untuk pengambilalihan porsi modal
bank sampai dengan berakhirnya masa perjanjian pembiayaan MMq, yang
mana kepemilikan bank berkurang hingga menjadi nol dan kepemilikan
nasabah bertambah hingga seluruh aset MMq menjadi milik penuh
nasabah.
30
Sementara contoh skema akad MMq pada pembiayaan ulang (refinancing) di
perbankan syariah sebagai berikut:
a. Calon Nasabah mengajukan pembiayaan kepada Lembaga Keuangan
Syariah dalam rangka pembiayaan ulang (refinancing);
b. Lembaga Keuangan Syariah melakukan penaksiran (taqwim al-'urudh)
terhadap barang atau aset calon nasabah untuk ditentukan harga yang
wajar, dalam rangka penentuan modal usaha (ra'sul mal) yang disertakan
nasabah dalam bersyirkah dengan Lembaga Keuangan Syariah;
c. Lembaga Keuangan Syariah menyertakan dana dalam jumlah tertentu
yang akan dijadikan modal usaha syirkah dengan nasabah; yang disertai
syarat agar Nasabah menyelesaikan kewajiban dan/atau utang atas
pembiayaan sebelumnya jika ada;
d. Lembaga Keuangan Syariah memberikan kuasa (akad wakalah) kepada
nasabah untuk melakukan usaha yang halal dan baik antara lain dengan
akad ijarah;
e. Nasabah dan Lembaga Keuangan Syariah membagi keuntungan usaha
sesuai nisbali yang disepakati atau porsi modal yang disertakan
(proporsional), dan kerugian dibagi sesuai dengan porsi modal; dan
f. Nasabah melakukan pengalihan komersil atas hishah milik Lembaga
Keuangan Syariah secara berangsur sesuai perjanjian;34
34
Fatwa DSN Nomor 89 Tahun 2013 tentang Pembiayaan Ulang (Refinancing) Syariah.
31
B. Risiko dalam Ekonomi Syariah
1. Pengertian Risiko
Risiko muncul ketika terdapat lebih dari satu kemungkinan hasil dan
hasil yang paling akhir ini tidak dapat diketahui. Risiko dapat
didefinisikan sebagai perubahan atau perbedaan hasil yang tidak
diharapkan.35
Menurut kamus ekonomi, risiko adalah peluang di mana hasil yang
sesungguhnya bisa berbeda dengan hasil yang diharapkan atau
kemungkinan nilai yang hilang atau diperoleh yang dapat diukur.36
Djojosoedarsono mencatat beberapa pengertian risiko secara umum
seperti disampaikan beberapa penulis, antara lain:
1) Risiko adalah suatu variasi dari hasil-hasil yang dapat terjadi
selama periode tertentu.
2) Risiko adalah ketidaktentuan yang mungkin melahirkan peristiwa
kerugian.
3) Risiko adalah ketidakpastian atas terjadinya peristiwa.
4) Risiko merupakan penyebaran/penyimpangan hasil aktual dari
hasil yang diharapkan.
5) Risiko adalah probabilitas suatu hasil yang berbeda dengan yang
diharapkan.
Dari definisi-definisi tersebut, risiko memiliki karateristik, yaitu
ketidakpastian atas terjadinya suatu peristiwa dan ketidakpastian yang bila
terjadi akan menimbulkan kerugian.37
Risiko dalam konteks perbankan
merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan
35
Tariqullah Khan, Habib Ahmed. Penerjemah Ikhwan Abidin Basri, Manajemen Risiko
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008, h. 9. 36
Ari Kristin Prasetyoningrum, Risiko Bank Syariah. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar:
2015), h. 37. 37
Ari Kristin Prasetyoningrum, Risiko Bank Syariah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), h. 38-39.
32
(anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang
berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank.38
2. Risiko dalam Perbankan Syariah
Secara umum, risiko yang dihadapi perbankan syariah bisa
diklasifikasikan menjadi dua bagian besar, yaitu risiko yang sama dengan
yang dihadapi bank konvensional dan risiko yang memiliki keunikan
tersendiri karena harus mengikuti prinsip-prinsip syariah. Risiko kredit,
risiko pasar, risiko benchmark, risiko operasional, risiko likuiditas, dan
risiko hukum harus dihadapi bank syariah. Tetapi, karena harus mematuhi
aturan syariah, risiko-risiko yang dihadapi bank syariah pun menjadi
berbeda. Risiko unik ini muncul karena isi neraca bank syariah berbeda
dengan bank konvensional. Dalam hal ini, pola bagi hasil (profit and loss
sharing) yang dilakukan bank syariah menambah kemungkinan
munculnya risiko-risiko lain, seperti withdrawal risk, fiduciary risk, dan
displaced commercial risk.39
Berikut risiko-risiko yang ada pada
perbankan syariah:
a. Risiko Komersial (Displaced Commercial Risk)
Displaced commercial risk adalah transfer risiko yang
berhubungan dengan simpanan kepada pemegang ekuitas atau pada
saat return investasi di bank syariah lebih rendah dari suku bunga bank
konvensional. Risiko ini muncul ketika bank berada di bawah tekanan
untuk mendapatkan profit, tapi bank juga harus memberikan sebagian
profitnya kepada deposan untuk menghindari adanya penarikan dana
akibat rendahnya tingkat return. 40
38
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2014), h. 255. 39
Ari Kristin Prasetyoningrum, Risiko Bank Syariah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), h. 51. 40
Ari Kristin Prasetyoningrum, Risiko Bank Syariah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), h. 53.
33
b. Risiko Penarikan (Withdrawal Risk)
Bank syariah bisa terkena risiko bahwa deposan akan menarik dana
mereka jika mereka menerima tingkat return yang lebih rendah
daripada yang akan mereka terima dari bank lain.
c. Risiko Tata Kelola
Pengelolaan risiko mengacu pada risiko yang timbul dari
kegagalan untuk mengelola lembaga, kelalaian dalam melakukan
usaha dan memenuhi kewajiban kontrak, dan kelemahan lingkungan
kelembagaan internal dan eksternal, yang mana bank tidak dapat
menegakkan perjanjian mereka.41
d. Risiko Fidusia (Fiducia Risk)
Rendahnya tingkat return bank dibandingkan dengan tingkat
return yang berlaku di pasar juga berakibat pada munculnya risiko
fidusia (fiduciary risk), yaitu ketika deposan atau investor menafsirkan
rendahnya tingkat return tersebut sebagai pelanggaran kontrak
investasi atau kesalahan manajemen dana oleh pihak bank. Risiko
fidusia bisa dipicu pelanggaran kontrak oleh pihak bank. Misalnya,
bank tidak menjalankan kontrak dengan penuh kepatuhan pada
ketentuan syariah. Sementara justifikasi bahwa bisnis yang dijalankan
bank syariah telah sesuai syariah dan ketidakmampuan untuk
melaksanakannya dapat memicu masalah kepercayaan dan penarikan
dana.42
41
Hennie Van Greuning, Zamir Iqbal. Penerjemah Yulianti Abbas, Analisis Risiko
Perbankan Syariah. (Jakarta: Salemba Empat, 2011), h. 170. 42
Tariqullah Khan, Habib Ahmed, Penerjemah Ikhwan Abidin Basri, Manajemen Risiko
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008, h. 53.
34
e. Risiko Transparansi
Kurangnya transparansi dapat menciptakan risiko kerugian akibat
keputusan yang buruk berdasarkan informasi yang tidak lengkap atau
tidak akurat.43
f. Risiko Syariah
Risiko syariah terkait dengan struktur dan fungsi pengawasan
syariah di tingkat institusional dan sistemik. Risiko ini bisa menjadi
dua jenis, yang pertama karena praktek-praktek standar yang terkait
kontrak berbeda dalam yuridiksi, kedua karena kegagalan untuk
mematuhi aturan syariah.
Sebagai contoh, beberapa ulama syariah mempertimbangkan
syarat-syarat kontrak murabahah atau istishna‟ untuk mengikat
pembeli, sedangkan yang lain berpendapat bahwa pembeli memiliki
pilihan untuk menolak bahkan setelah menempatkan pesanan dan
membayar biaya komitmen. Ketika mempertimbangkan praktek-pratek
yang berbeda dapat diterima, risiko bank lebih tinggi dalam kasus
mengikat dan dapat menyebabkan litigasi dalam kasus transaksi yang
tidak stabil.
g. Risiko Reputasi
Risiko reputasi adalah risiko bahwa dalam tindakan yang tidak
bertanggung jawab atau perilaku manajemen akan merusak
kepercayaan klien. Walaupun risiko fidusia dan risiko syariah juga
berasal dari kelalaian dan ketidakpatuhan, risiko reputasi adalah risiko
perilaku yang tidak bertanggung jawab dari suatu lembaga dapat
mencemari reputasi bank-bank lainnya.44
43
Hennie Van Greuning, Zamir Iqbal. Penerjemah Yulianti Abbas, Analisis Risiko
Perbankan Syariah. Jakarta: Salemba Empat, 2011, h. 171. 44
Hennie Van Greuning, Zamir Iqbal. Penerjemah Yulianti Abbas, Analisis Risiko
Perbankan Syariah. Jakarta: Salemba Empat, 2011, h. 172.
35
h. Risiko Operasional
Risiko operasional didefinisikan sebagai risiko kerugian akibat
ketidakcukupan atau kegagalan proses internal, yang terkait dengan
orang dan sistem, atau dari risiko eksternal. Risiko operasional juga
meliputi risiko kegagalan teknologi, sistem, dan model analitis. 45
i. Risiko Kredit
Risiko kredit merupakan bentuk risiko pembayaran yang muncul
pada saat satu pihak bersepakat untuk membayar sejumlah uang atau
mengirimkan barang sebelum menerima aset atau uang cash-nya
sendiri, sehingga menyebabkan kerugian. Dalam pembiayaan berbasis
bagi hasil, risiko kredit berupa tidak terbayarnya kembali bagian bank
oleh pihak pengusaha ketika jatuh tempo. Masalah ini bisa muncul
bagi bank akibat adanya kesenjangan informasi yang memadai tentang
pofit perusahaan yang sesungguhnya.
j. Risiko Benchmark
Bank syariah tidak berhubungan dengan suku bunga, hal ini
ditunjukkan bahwa bank syariah tidak menghadapi risiko pasar yang
muncul karena perubahan suku bunga. Namun, perubahan suku bunga
di pasar memunculkan beberapa risiko dalam pendapatan lembaga
keuangan syariah. Lembaga keuangan syariah memakai benchmark
rate. Ketika benchmark rate mengalami perubahan maka akad-akad
yang berbasis pendapatan tetap tidak akan dapat disesuaikan. Sebagai
hasilnya, bank syariah menghadapi risiko dari perubahan suku bunga
di pasar.
45
Ari Kristin Prasetyoningrum, Risiko Bank Syariah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), h. 59-61.
36
k. Risiko Likuiditas
Risiko likiuditas bisa muncul karena sulitnya mendapatkan dana
cash dengan biaya yang wajar, baik melalui pinjaman maupun melalui
penjualan aset. Risiko likuiditas yang muncul dari kedua sumber ini
sangat kritis bagi bank syariah. Karena bunga atas pinjaman dilarang
dalam syariah maka bank syariah tidak dapat meminjam dana untuk
memenuhi kebutuhan likuiditasnya di pasar konvensional. Bank
syariah juga tidak diperbolehkan untuk menjual utang selain pada nilai
awalnya. Dengan demikian, meningkatkan dana dengan menjual aset
berbasis utang tidak dapat dijadikan opsi bagi lembaga keuangan
syariah.
l. Risiko Hukum
Karena adanya perbedaan karateristik akad atau kontrak keuangan,
bank syariah menghadapi risiko yang berhubungan dengan proses
dokumentasi dan pelaksanaan hukum. Akibat tidak adanya standar
kontrak bagi instrumen-instrumen keuangan yang ada, bank syariah
harus menyiapkan hal ini berdasarkan pemahamannya terhadap
syariah, undang-undang yang berlaku, dan sesuao dengan kebutuhan
dan kepentingan sendiri. Langkanya standarisasi kontrak disertai
dengan adanya kenyataan akan tidak adanya sistem peradilan untuk
menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan pelaksanaan
kontrak, telah meningkatkan risiko hukum bagi bank syariah.46
Di antara risiko-risiko tersebut, risiko yang muncul pada akad
MMq, yaitu risiko jaminan (fidusia), risiko transparansi, risiko syariah,
risiko angsuran (kredit), dan risiko hukum. Selain itu, terdapat risiko-
risiko lain pada akad MMq yang akan dipaparkan lebih jelas di bab IV,
seperti risiko wanprestasi, risiko akad campuran, dan risiko bagi hasil.
46
Tariqullah Khan, Habib Ahmed. Penerjemah Ikhwan Abidin Basri, Manajemen Risiko
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), h. 51-52.
37
3. Manajemen Risiko di Bank Syariah sebagai Mitigasi Risiko
Seiring dengan semakin meningkatnya risiko pada bank syariah karena
semakin kompleks dan variatifnya produk dan aktifitas bank, maka bank
perlu mengendalikan risiko secara memadai, sehingga kualitas penerapan
manajamen risiko di bank semakin meningkat. Upaya peningkatan kualitas
penerapan manajemen risiko dimaksud tidak hanya ditujukan bagi
kepentingan bank tetapi juga bagi kepentingan nasabah.47
Efektivitas dari
manajemen risiko keuangan sebuah bank, pengawasan eksposur48
risiko,
dan kepatuhan terhadap pedoman kehati-hatian dari pengawasan
perbankan membentuk tulang belakang dari proses pengawasan, baik
pengawasan lapangan maupun di luar lokasi (off-site).49
Dalam menerapkan manajemen risiko dari nol bukanlah hal yang
mudah. Menurut Zainul Arifin, terdapat model manajemen risiko yang
mapan, layak, dan teruji untuk dicontoh, seperti pada industri
penerbangan, industri petrokimia, dan industri militer. Lembaga-lembaga
keuangan dapat mengadopsi model ini untuk memenuhi kebutuhannya.
Sebagai contoh, Angkatan Udara Amerika Serikat menggunakan enam
tahap proses yang jelas dan sederhana.50
Tahapan proses manajemen risiko
tersebut berupa:
47
Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), h. 307. 48
Eksposur merupakan objek yang rentan terhadap risiko dan berdampak pada kinerja
perusahaan jika risiko yang diperkirakan benar-benar terjadi. 49
Hennie Van Greuning, Zamir Iqbal. Penerjemah Yulianti Abbas, Analisis Risiko
Perbankan Syariah. Jakarta: Salemba Empat, 2011, h. 237. 50
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. (Jakarta, Azkia Publisher:
2009), h. 266-267.
38
a. Mengidentifikasi Hazard51
Identifikasi hazard adalah mempertimbangkan semua aspek
dari situasi saat ini dan yang akan datang, lingkungan dan masalah
yang secara historis sudah diketahui.
b. Menaksir risiko
Berdasarkan identifikasi hazard, tahap berikutnya adalah
menganalisis risiko terkait, bagaimana dan seberapa besar
kemungkinannya. Angkatan Udara Amerika Serikat percaya bahwa
tahap ini merupakan inti dari program manajemen risiko.
Kesuksesan tahap ini tergantung pada kualitas analisis risiko dan
biaya.52
Pada perbankan, bank berkewajiban melakukan proses
identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko
perbankan terhadap seluruh faktor-faktor risiko (risk factors) yang
bersifat material. Pelaksanaan untuk proses-proses tersebut wajib
didukung oleh sistem informasi manajemen yang tepat waktu,
laporan yang akurat, informatif mengenai kondisi keuangan bank,
kinerja aktivitas fungsional, dan eksposur risiko bank. Proses
identifikasi risiko perbankan minimal dilakukan dengan melakukan
analisis terhadap karateristik risiko yang melekat pada bank dan
risiko dari produk serta kegiatan usaha bank.53
c. Menganalisis Kadar Pengawasan Risiko
Angkatan Udara Amerika Serikat menggunakan risk
assessment matrix untuk membangun kadar pengawasan yang
diperlukan. Matriks tersebut berupa tingakatan risiko sampai lima
51
Hazard merupakan kondisi yang potensial menyebabkan terjadinya kerugian dan
kerusakan. 52
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. (Jakarta, Azkia Publisher:
2009), h. 267-268. 53
Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. (Jakarta, Sinar
Grafika: 2012), h. 312.
39
level, yakni sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat
rendah.
Level-level risiko tersebut fleksibel dan bervariasi antara
perusahaan, tergantung sifat dasar operasi dan kemauan perusahaan
tersebut untuk menerima risiko. Hal ini dapat diformulasikan
perbankan dalam bentuk kebijakan tertulis. Ada empat tahap dalam
menganalisis kadar pengawasan risiko:
1) Membangun pengawasan risiko; kadar pengawasan yang
harus dibangun untuk mengeliminasi hazard dan
mengurangi risiko. Begitu pengawasan risiko dibangun,
maka risiko dievaluasi sampai dapat dikurangi hingga ke
tingkat yang mana manfaatnya lebih banyak daripada biaya
potensial.54
Pada pemantauan risiko perbankan, bank wajib
melakukan evaluasi terhadap eksposur risiko dan
penyempurnaan proses. Bank juga wajib mengendalikan
risiko perbankan untuk mengelola risiko tertentu yang
dapat membahayakan kelangsungan usaha bank.55
2) Mengidentifikasi pengawasan risiko; pembangunan
pengawasan risiko diawali dengan pengambilan tingkat
risiko yang ditentukan sebelumnya.
3) Menentukan efektifitas risiko; yaitu menentukan efek dari
setiap pengawasan yang berkaitan dengan hazard.
4) Memilih pengawasan risiko; pengawasan terbaik adalah
yang konsisten dengan tujuan operasional dan penggunaan
sumber daya yang tersedia secara optimal.
54
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. (Jakarta: Azkia Publisher,
2009), h. 268-269. 55
Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), h. 312.
40
d. Membuat Keputusan Pengawasan Risiko
Keputusan pengelolaan risiko harus dibuat secara dini dalam
tahap penyusunan perencanaan. Keputusan tersebut dibuat setelah
menganalisis semua aspek operasi secara hati-hati.
e. Menerapkan Pengawasan
Tahap berikutnya adalah menerapkan pengawasan. Setiap
pernyataan yang berhubungan dengan manajemen risiko harus
jelas, praktis, dan disosialisasikan.56
Dalam hal pengawasan di bank syariah, Direksi disyaratkan
harus memiliki pemahaman yang memadai mengenai risiko yang
melekat pada seluruh aktivitas fungsional bank dan mampu
mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan profil risiko
bank yang bersangkutan. 57
f. Supervisi dan evaluasi
Setiap program manajemen risiko secara berkesinambungan
harus ditinjau dan diperbaharui. Bila ditemukan sesuatu yang tidak
direncanakan, maka program tersebut harus dihentikan dan
dievaluasi.58
Sementara itu, terdapat manajemen risiko tersendiri bagi bank umum
syariah, yaitu mencakup:
a. Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi
b. Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit manajemen
risiko
56
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. (Jakarta: Azkia Publisher,
2009), h. 269-270. 57
Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), h. 309. 58
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. (Jakarta: Azkia Publisher,
2009), h. 270-271.
41
c. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan,
pengendalian risiko, serta sistem informasi manajemen risiko
d. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh
Pada dasarnya penerapan manajemen risiko perbankan disesuaikan
dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran usaha, kompleksitas usaha, dan
kemampuan bank.59
Sementara itu, manajemen risiko pada Angkatan
Udara Amerika Serikat belum dipraktekkan sebagai manajemen risiko
perbankan. Namun, manajemen risiko Angkatan Udara Amerika Serikat
tersebut dapat diadopsi sebagai manajemen risiko di perbankan dengan
menyesuaikan kebutuhan perbankan tersebut. Karena manajemen risiko
perbankan difokuskan pada andil para pihak yang berpengaruh untuk
mengatur strategi manajemen risiko di bank tersebut. Sementara pengaruh
para pihak tersebut tidak mutlak berpengaruh jika sistem manajemen
risiko yang ada tidak kuat untuk mencegah atau mengurangi risiko yang
ada. Dengan itu, manajemen risiko Angkatan Udara Amerika Serikat dapat
diaplikasikan sebagai manajemen risiko pada perbankan yang jelas dan
sederhana.
59
Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), h. 308.
42
BAB III
GAMBARAN UMUM PERKARA PUTUSAN NOMOR 1024 K/PDT/2016
TENTANG AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISAH
A. Sengketa Ekonomi Syariah
1. Pengertian
Kata “sengketa” menurut bahasa Inggris disebut dengan “conflict” dan
“dispute”. Keduanya mengandung pengertian tentang adanya perselisihan
atau percekcokan, atau perbedaan kepentingan antara dua pihak atau lebih.
Kata conflict sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”,
sedangkan dispute dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi “sengketa”. Kata dispute juga sering dipergunakan untuk istilah
sengketa di bidang perbankan.
Konflik merupakan sebuah situasi di mana dua pihak atau lebih
dihadapkan pada perbedaan kepentingan. Konflik atau percekcokan adalah
adanya pertentangan atau ketidaksesuian antara para pihak yang akan atau
sedang mengadakan hubungan atau kerja sama. Konflik tidak akan
berkembang menjadi sebuah sengketa jika pihak yang merasa dirugikan
hanya memendam perasaan tidak puas. Konflik berubah dan berkembang
menjadi sebuah sengketa jika pihak yang merasa dirugikan telah
menyatakan rasa tidak puasnya secara langsung kepada pihak yang
dianggap merugikan. Jadi, sengketa merupakan kelanjutan dari konflik.1
Sementara itu, sengketa perbankan syariah adalah perbedaan kepentingan di
antara dua pihak atau lebih dalam perbankan syariah yang mengakibatkan
terjadinya kerugian bagi pihak atau pihak-pihak tertentu dan perbedaan
kepentingan atau kerugian tersebut dinyatakan kepada pihak yang dianggap
menjadi penyebab kerugian dan pihak tersebut memberikan pendapat yang
berbeda.2
1Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia.
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 46. 2 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah; Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2009), h. 166.
43
2. Bentuk Sengketa Ekonomi Syariah
Secara garis besar, sengketa ekonomi syariah dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yakni:
a. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan atau
lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya.
b. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan
lembaga pembiayaan syariah.
c. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang
beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan
tegas bahwa kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip
syariah.1
Pada penelitian ini, bentuk sengketa yang terjadi merupakan sengketa
di bidang ekonomi syariah yaitu akad MMq antara bank syariah dengan
nasabahnya, seperti yang dimaksud pada poin a di atas.
3. Penyebab Sengketa Ekonomi Syariah
Sengketa ekonomi syariah dapat berbentuk kemacetan dalam
pelunasan pembiayaan oleh nasabah atau tidak amannya dana masyarakat
yang disimpan di bank syariah, di mana bank syariah tidak lagi mampu
membayarkan dana masyarakat yang disimpan padanya, pada saat
penarikan dana oleh nasabah penyimpan, artinya sengketa bank syariah
dapat timbul dari nasabah atau pun dari bank syariah. Biasanya, yang
menjadi faktor utama terjadinya sengketa adalah karena tidak terpenuhinya
akad yang telah diperjanjikan antara bank syariah dengan nasabah atau
tidak dipenuhinya prinsip syariah dalam akad tersebut. Secara rinci dapat
dikemukakan mengenai bentuk-bentuk sengketa bank syariah yang
disebabkan karena adanya pengingkaran atau pelanggaran terhadap
perikatan yang telah dibuat, yaitu:
a. Kelalaian bank untuk mengembalikan dana titipan nasabah.
1Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia.
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 43.
44
b. Bank mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan.
c. Nasabah melakukan kegiatan yang diharamkan menurut syariat
Islam dan bersumber dari dana pinjaman bank syariah.2
Sementara itu, pada penelitian ini penyebab sengketa terjadi karena
tidak adanya pemahaman yang sama antara bank dan nasabah ketika
nasabah melakukan wanprestasi dalam perjanjian akad MMq.
B. Tinjauan Sengketa Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1024
K/Pdt/2016
1. Duduk Perkara
Putusan Nomor 1024 K/Pdt/2016 merupakan penyelesaian sengketa
tentang gugatan kasasi nasabah pada bank syariah mengenai akad MMq,
yang mana permohonan kasasi di Mahkamah Agung tersebut diajukan
oleh Ruslan Farik, S. E. sebagai Pemohon kasasi dahulu
penggugat/pembanding. Sebelumnya, penggugat mengajukan gugatan
tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Bandung. Mengenai kewenangan
dalam mengadili perkara ekonomi syariah seperti perkara akad MMq telah
diatur pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49 Tentang
Pengadilan Agama, yang mana Pengadilan Agama berwenang mengadili
perkara-perkara perdata Islam dan bidang ekonomi syariah. Hal ini juga
dikuatkan dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 14
Tahun 2016 Tentang Tata cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah.
Dengan ini, penggugat seharusnya mengajukan gugatan di Pengadilan
Agama.
Pemohon kasasi bertempat tinggal di Jalan Bukit Raya IV RT 002 RW
011, Desa/Kelurahan Sariwangi, Kecamatan Parongpong Nomor 19 Kota
Bandung, dalam hal ini memberi kuasa kepada Musa Darwin Pane, S.H.,
M.H., dan kawan-kawan Para Advokat dan Konsultan Hukum pada kantor
2 Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 41.
45
Asosiasi Debitur Bank Dan Asuransi (ADBDA) yang beralamat di Jalan
Emong Nomor 7 Lantai 2 Ruangan 25 Kota Bandung, berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tanggal 2 Desember 2014 sebagai pemohon kasasi dahulu
penggugat/pembanding.
Gugatan tersebut diajukan kepada tiga termohon kasasi, yakni:
a. PT Bank OCBC NISP Tbk Unit Usaha Syariah bekedudukan di Jalan
Asia Afrika Nomor 100 Kota Bandung, yang diwakili oleh Joseph
Chan Fook Onn dan Low She Kiat, keduanya bertindak dalam jabatan
masing-masing selaku Direktur mewakili Direksi PT Bank OCBC
NISP Tbk, dalam hal ini memberi kuasa kepada FX. Tri Sumaryanto,
S.H., M.H., dan kawan-kawan, Para Advokat pada kantor Law Offices
SGS Mandiri, beralamat di Wisma Korindo Lantai 5 Jalan MT.
Haryono Kav. 62 Jakarta Selatan, berdasarkan surat kuasa khusus
tanggal 8 Januari 2016 sebagai Termohon Kasasi dahulu
Tergugat/Terbanding.
b. Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI cq Kantor Pertanahan
Nasional Kota Bandung, berkedudukan di Jalan Soekarno Hatta
Nomor 586 Kota Bandung.
c. Pemerintah Republik Indonesia cq Kementrian Keuangan Republik
Indonesia cq Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Cq.
Kantor Wilayah VIII DJKN Bandung Cq. Kantor Kekayaan Negara &
Lelang (KPKNL) Bandung, berkedudukan di Jalan Ambon Nomor 1
Kota Bandung.
Di tahun 2012, pemohon kasasi dan termohon kasasi telah melakukan
perjanjian pembiayaan dengan Nomor 14 Akta Akad Pembiayaan
Musyarakah Mutanaqisah juncto Akad Ijarah Nomor 15, yang dibuat
dihadapan Elisa Kurniati, S.H., M.H., Notaris dan PPAT, dan dengan
pembiayaan sebesar Rp2.230.000.000,00. Pembiayaan akad MMq tersebut
disertai jaminan berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2132, yakni
atas tanah dan bangunan setempat terletak di Jalan Batununggal Mulia
Raya, Nomor 33, Kelurahan Mengger, Kecamatan Bandung Kidul, Kota
46
Bandung, Propinsi Jawa Barat, tercatat atas nama Ruslan Farik, Surat
Ukur Nomor 01483/Mengger/2007, seluas 200 meter persegi serta
Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2133, yakni atas tanah dan
bangunan setempat terletak di Jalan Batununggal Mulia Raya, Nomor 33,
Kelurahan Mengger, Kecamatan Bandung Kidul, Kota Bandung, Provinsi
Jawa Barat, tercatat atas nama Ruslan Farik, Surat Ukur Nomor
01484/Mengger/2007, seluas 194 meter persegi.
Dalam gugatannya, penggugat mengaku telah mengeluarkan dana
sejumlah Rp 500.411.000,00 yang merupakan pembayaran biaya pokok,
bunga, dan biaya lainnya. Karenanya, penggugat merasa utangnya tersisa
sebesar Rp 1.729.589.000,00 setelah jum;ah pembiayaan dikurangi jumlah
yang sudah dibayarkan. Namun menurut penggugat, tergugat mengatakan
penggugat baru membayar bunga saja dan tergugat tidak memberi
kejelasan pasti mengenai besaran sisa yang harus dibayarkan penggugat
pada tergugat baik pokok maupun bunganya.
Hal tersebut ditolak oleh tergugat dalam eksepsinya, tergugat
menyatakan peristiwa hukum yang terjadi antara penggugat dan tergugat
ialah kerja sama akad MMq, yaitu penggugat dan tergugat bersepakat
untuk membiayai pembelian barang berupa tanah dan bangunan rumah,
yang mana besar porsi kepemilikan tergugat berjumlah Rp
2.230.000.000,00 atau 53,1% dan besar kepemilikan penggugat sebanyak
Rp 1. 970.000.000,00 atau 46,9% dari total harga barang. Selanjutnya
penggugat bersedia melakukan pembayaran pengambilalihan rumah yang
menjadi porsi kepemilikan secara bertahap dengan jangka waktu yang
disesuaikan dengan jangka waktu sewa atas dasar kesepakatan. Untuk
pembelian porsi kepemilikan tergugat oleh nasabah, angsuran pertama
sebesar Rp 22.618.145,00, yang terdiri dari pembayaran ambilalih
kepemilikan (pokok) sejumlah Rp 5.893.145,00 dan pembayaran bagi
hasil tergugat sejumlah Rp 16.725.000,00, demikian seterusnya
dilanjutkan setiap bulannya selama 180 kali angsuran.
47
Pembiayaan akad MMq tersebut berlangsung untuk jangka waktu 180
bulan, terhitung sejak tanggal 2 April 2012 sampai dengan 2 April 2027
dengan disertai sewa. Kemudian, atas permintaan penggugat, tergugat
setuju untuk menyewakan porsi tergugat atas objek akad pada penggugat.
Jangka waktu sewa akan berlangsung 180 bulan juga dengan harga sewa
sebesar Rp 31.500.000,00 per bulan, untuk 24 bulan pertama. Tergugat
memiliki hak penuh untuk menentukan kenaikan harga sewa sesuai situasi
terkini. Dengan itu, bagi hasil awal penggugat sebesar Rp 14.755.000,00
dan bagi hasil tergugat sebesar Rp 16.725.000,00.
Berdasarkan uraian tersebut, hubungan hukum antara penggugat dan
tergugat bukanlah hubungan utang piutang, yang mana penggugat
menganggap tergugat memberikan pinjaman kepada penggugat senilai
Rp 2.230.000.000,00, melainkan kerja sama secara akad MMq, yang mana
penggugat dan tergugat bekerja sama untuk membeli barang modal, lalu
penggugat membeli porsi kepemilikan tergugat secara bertahap disertai
sewa yang dilakukan penggugat untuk memanfaatkan objek akad tersebut.
Selain itu dalam eksepsi tergugat, pembayaran jumlah angsuran yang
harus dibayar penggugat juga sudah jelas, yaitu berupa pembayaran pokok
dan pembayaran sewa. Jika penggugat lalai dalam pembayaran, maka
marjin sewa dan denda keterlambatan akan bertambah terus sampai
pembayaran dilakukan kembali. Pernyataan penggugat yang mengatakan
penggugat baru membayar bunga saja pun tidak terbukti berdasarkan
fakta-fakta di atas.
Selain itu, objek jaminan dalam utang piutang tersebut dalam gugatan
penggugat akan dilelang oleh tergugat pada tanggal 4 Desember 2014,
yang mana menurut penggugat hal tersebut melawan perbuatan hukum.
Sedangkan menurut tergugat, penggugat telah keliru dalam menguraikan
dasar pemberian jaminan, yang mana jaminan tersebut guna menjamin
kelancaran pembayaran penggugat. Menurut tergugat, penggugat juga
tidak memenuhi kewajibannya dalam membayar angsuran pokok dan
marjin sewa.
48
Hal itu diakui penggugat dalam klausul gugatannya sehingga dapat
dijadikan bukti penggugat wanprestasi, bahwa penggugat mengalami
kemerosotan ekonomi pada usahanya sehingga penggugat mulai berhenti
membayar angsuran. Akan tetapi, tergugat terus saja melakukan penagihan
kepada penggugat tanpa memberikan rincian kewajiban yang harus
dibayar penggugat dengan jelas dan rinci. Kemudian penggugat memohon
pada majelis hakim agar tergugat diperintahkan untuk melakukan
penjadwalan utang dengan angsuran sebesar Rp 5.000.000,00 per bulan.
Tergugat menolak hal tersebut dengan alasan pembayaran yang
seharusnya dilakukan penggugat ialah pembayaran pokok, dan marjin
sewa, disertai denda keterlambatan, sehingga penggugat tidak bisa
mengklaim sisa utang adalah jumlah pokok pembiayaan dikurangi jumlah
total pembayaran angsuran yang sudah dilakukan.
Pada putusan tingkat pertama Nomor 568/Pdt.G/2014/PN Bandung
tanggal 8 Juli 2015, Nasabah selaku pemohon kasasi dahulu
penggugat/pembanding mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri
Bandung dan mengaku telah melunasi pembiayaan MMq sebesar
Rp 500.411.000,00 sebagai sisa utang, tapi tidak terdapat kejelasan pasti
mengenai sisa pembiayaan dari pihak bank selaku termohon kasasi dahulu
penggugat/pembanding. Sementara pada eksepsi termohon kasasi, bank
menyatakan pembiayaan yang dilakukan berupa kerja sama untuk
membiayai pembelian tanah dan bangunan yang terletak di: a) Propinsi
Jawa Barat, Kota Bandung, Kecamatan Bandung Kidul, Kelurahan
Mengger, setempat dikenal sebagai Jalan Batununggal Mulia Raya Nomor
33, seluas 200 m2 (dua ratus meter persegi), sebagaimana Sertifikat Hak
Guna Bangunan Nomor 2132/Mengger, atas nama Nyonya Yayuk
Rachmanti, Sarjana Tenik. b) Propinsi Jawa Barat, Kota Bandung,
Kecamatan Bandung Kidul, Kelurahan Mengger, setempat dikenal sebagai
Jalan Batununggal Mulia Raya Nomor 33, seluas 194 m2 (seratus
sembilan puluh empat meter persegi), sebagaimana Sertifikat Hak Guna
Bangunan Nomor 2133/ Mengger, atas nama Nyonya Yayuk Rachmanti,
49
Sarjana Tenik; Sebagaimana ternyata dalam Akad Pembiayaan
Musyarakah Mutanaqisah Nomor 14 tanggal 2 April 2012, yang dibuat di
hadapan Elisa Kurniati, S.H., M.H., Notaris di Kota Bandung.
Nasabah melakukan pembayaran perpindahan porsi kepemilikan bank
ke nasabah secara bertahap dan diikuti dengan akad ijarah untuk
penyewaan objek akad oleh nasabah. Eksepsi bank selaku penggugat juga
mengungkapkan bahwa bank dan nasabah telah menyepakati kewenangan
penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama Bandung. Akhirnya, Putusan
Pengadilan Negeri (PN) Bandung menyatakan bahwa eksepsi tergugat
diterima, PN Bandung tidak berwenang memeriksa perkara tersebut, serta
biaya perkara dibebankan kepada nasabah selaku penggugat pada sidang
tingkat pertama.
Kemudian dalam tingkat banding, pembanding dahulu penggugat
mengajukan banding untuk memeriksa Putusan PN Bandung. Namun,
Pengadilan Tinggi (PT) Bandung menimbang bahwa tidak ada hal baru
yang perlu ditimbang, maka PT Bandung dapat menyetujui dan
membenarkan putusan pengadilan tingkat pertama, sehingga Putusan
PT Bandung Nomor 462/PDT/2015/PT Bdg tanggal 10 November 2015
hanya membenarkan dan menguatkan Putusan Nomor 568/Pdt.G/2014/PN
Bdg.
Pada tingkat kasasi, pemohon kasasi dahulu pembanding menolak
pertimbangan hukum PT Bandung. Lalu pemohon mengajukan
permohonan kasasi di Mahkamah Agung karena merasa PT Bandung
dalam pertimbangannya telah salah menerapkan hukum. Namun, dalam
Putusan MA Nomor 1024 K/Pdt/2016, pertimbangan hakim menyatakan
Putusan PT Bandung tidak bertentangan dengan Undang-Undang (UU)
atau peraturan lainnya, dan bahwa antara pemohon dan termohon terikat
perjanjian akad MMq, serta kedua pihak telah sepakat memilih forum
penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama Bandung, sehingga atas
pertimbangan tersebut Majelis Mahkamah agung menolak permohonan
pemohon kasasi.
50
2. Pertimbangan Hakim
Pertimbangan hakim Mahkamah Agung pada Putusan Nomor 1024
K/Pdt/2016 menyatakan:
a. Alasan pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan dan Pengadilan
Negeri tidak berwenang mengadili perkara akad MMq.
b. Putusan PT Bandung tidak bertentangan dengan hukum atau
undang-undang yang berlaku, maka permohonan kasasi pemohon
ditolak.
Dengan demikian, dapat diketahui nasabah sebagai penggugat tidak
mengerti perbedaan perhitungannya dengan perhitungan bank dalam
pembiayaan akad MMq. Nasabah menghitung sisa pembiayaannya dengan
cara total pembiayaan dikurangi jumlah total yang sudah dibayarkan,
sedangkan bank menghitung sisa pembiayaan dengan cara total
pembiayaan dikurangi pembayaran pokok dan marjin sewa. Perbedaan
perhitungan tersebut menunjukkan ketimpangan pengetahuan akan
mekanisme pembiayaan akad MMq.
Di samping itu, perhitungan sisa pembiayaan di bank juga ditambah
denda, yang mana ketika nasabah wanprestasi dalam pembayarannya maka
nasabah terkena denda. Denda tersebut diberlakukan jika pembayaran
melewati tenggak waktu angsuran pokok atau pun tenggak waktu
pembayaran sewa. Dalam kasus ini, ketika nasabah wanprestasi, bank
memberlakukan denda secara otomatis tanpa adanya peringatan terlebih
dahulu. Justru peringatan dilakukan untuk menagih angsuran pokok dan
pembayaran sewa nasabah yang tak kunjung dilakukan. Setelah somasi
tiga kali, bank mengeksekusi jaminan pembiayaan untuk mengganti
kerugian bank dan sebagai akibat dari wanprestasi nasabah. Penerapan
denda tersebut juga tidak dipahami nasabah, sehingga nasabah merasa
perhitungan sisa pembiayaan di bank tidak jelas.
51
BAB IV
LANGKAH MEMINIMALISIR RISIKO AKAD MUSYARAKAH
MUTANAQISAH
A. Penyebab Sengketa pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1024
K/Pdt/2016
Sengketa antara nasabah atau pemohon kasasi dan bank atau termohon
kasasi bermula ketika nasabah sedang melakukan pembiayaan rumah dengan
akad MMq dengan bank. Di tengah pembiayaan, nasabah mengalami pailit
yang berakibat macetnya pembelian porsi kepemilikan bank serta biaya
sewanya. Setelah bank mengingatkan nasabah sebanyak tiga kali, bank
melakukan eksekusi terhadap jaminan pembiayaan rumah dengan cara
dilelang. Lalu nasabah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung
terhadap bank karena terjadi perselisihan nominal sisa pembiayaan rumah.
Nasabah menyebut sisa pembiayaan dengan utang, sedangkan bank menyebut
sisa pembiayaan ialah pembelian porsi kepemilikan bank ditambah biaya sewa
oleh nasabah.
Pada sidang tingkat pertama, Putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung
Nomor 568/Pdt. G/2014/PN Bdg menyatakan eksepsi tergugat mengenai
kewenangan pengadilan diterima karena pada perjanjian akad MMq antara
nasabah dan bank telah disepakati penyelesaian sengketa dilakukan di
Pengadilan Agama Bandung. Sedangkan pada tingkat banding, Putusan PN
Bandung dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung dalam Putusan
Nomor 462/PDT/2015/PT Bdg dengan pertimbangan bahwa benar PN
Bandung tidak berwenang menangani perkara akad MMq.
Sementara itu, pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1024 k/Pdt/2016,
permohonan kasasi oleh pemohon kasasi atau nasabah ditolak dengan
pertimbangan pengadilan negeri tidak berwenang memeriksa serta mengadili
perkara akad musyarakah mutanaqisah dan Putusan PT Bandung tidak
bertentangan dengan hukum/undang-undang.
52
Dapat disimpulkan, sengketa pada Putusan Mahkamah Agung Nomor
1024 K/Pdt/2016 merupakan sengketa akad MMq yang mana nasabah dan
bank bekerja sama (musyarakah) menyatukan modal untuk pembelian rumah.
Lalu nasabah membeli porsi kepemilikan bank pada objek akad atau rumah
tersebut agar diakhirnya kepemilikan rumah trsebut berpindah ke nasabah.
Selama pembayaran porsi milik bank, nasabah menyewa objek akad atau
rumah tersebut untuk digunakan secara pribadi. Namun, di tengah pembiayaan
akad MMq, nasabah mengalami kemerosotan ekonomi sehingga sulit
melanjutkan pembiayaannya. Pada saat yang sama, bank mengirimkan surat
peringatan agar nasabah melanjutkan pembiayaannya. Karena nasabah sudah
diperingatkan selama tiga kali, bank mengeksekusi jaminan akad MMq berupa
rumah dengan cara melelangnya. Akhirnya, nasabah mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri Bandung dengan dalil bank melakukan perbuatan melawan
hukum.
Dengan demikian, dapat diuraikan penyebab sengketa akad MMq pada
Putusan Nomor 1024 K/Pdt/2016 sebagai berikut:
1. Wanprestasi
Awal mula sengketa terjadi karena nasabah wanprestasi. Nasabah
mengalami kemerosotan ekonomi sehingga tidak dapat melanjutkan
pembiayaannya dengan lancar. Nasabah dan bank sebelumnya sudah
menyepakati perjanjian akad MMq, dari adanya perjanjian tersebut timbul
suatu perikatan antara nasabah dan bank. Dalam perikatan, terdapat hak
dan kewajiban masing-masing pihak. Ketika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau lalai, kondisi ini disebut wanprestasi. Hal
ini sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal
1238, yang menegaskan bahwa debitur dinyatakan Ialai dengan surat
perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari
perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus
dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.1 KUH Perdata
1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
53
Pasal 1243 juga menegaskan bahwa Penggantian biaya, kerugian dan
bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila
debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi
perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya
hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui
waktu yang telah ditentukan.2 Artinya, nasabah dapat disebut wanprestasi
jika setelah dianggap lalai nasabah tetap tidak memenuhi perjanjian atau
prestasi yang dilakukan nasabah melewati masa jatuh tempo yang sudah di
sepakati di perjanjian. Namun, dalam klausul gugatannya, nasabah selaku
penggugat memohon agar terdapat penjadwalan ulang, yang mana hal
tersebut merupakan salah satu bentuk kemauan nasabah untuk
bertanggung jawab atas wanprestasi yang dilakukannya. Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 36 memaparkan bentuk-bentuk
wanprestasi sebagai berikut:
Pihak dapat dianggap melakukan ingkar janji (wanprestasi), apabila:
a. Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak
sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat; atau
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan.3
Dengan demikian, yang terjadi pada perkara akad musyarakah
mutanaqisah Putusan MA No. 1024 K/Pdt/2016 diawali karena nasabah
selaku penggugat melalukan wanprestasi karena kondisi ekonominya
memburuk. Karena wanprestasi dapat merugikan pihak bank, maka bank
mengirimkan surat peringatan atau somasi sebanyak tiga kali agar nasabah
meneruskan pembiayaannya. Namun, pembayaran yang seharusnya
dilakukan nasabah tetap tidak berlanjut, maka bank melelang jaminan
pembiayaan. Karena merasa tertekan dan dirugikan, nasabah mengajukan
2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
3 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).
54
gugatan terhadap bank ke Pengadilan Negeri dengan dalil perbuatan
melawan hukum.
Sementara itu, yang dimaksud perbuatan melawan hukum yakni
perbuatan yang dilakukan seseorang yang melanggar hukum atau undang-
undang yang berlaku dan merugikan orang lain. KUH Perdata Pasal
1365menegaskan tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan
kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.4
Padahal, eksekusi jaminan yang dilakukan bank merupakan bagian
dari implementasi klausul dalam perjanjian akad MMq antara nasabah dan
bank. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Penyaluran
Dana Pasal 6 dan Pasal 8 mengatur bahwa bank dapat meminta jaminan
atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat
memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Akad karena kelalaian
dan/atau kecurangan.5 Peraturan tersebut memberikan hak bagi bank untuk
meminta jaminan pada nasabah agar nasabah tidak lalai atau pun curang
dalam melakukan pembayarannya. KUH Perdata Pasal 1267 juga
menegaskan bahwa pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi,
dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan,
jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan,
dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.6
Seperti perkara akad MMq di atas, nasabah melakukan wanprestasi
dan karenanya bank mengeksekusi jaminan setelah somasi yang ketiga
kalinya. Jika bank dikatakan melawan hukum, maka hal itu tidak tepat
karena bank hanya melakukan haknya. Hal ini sesuai Undang-Undang
(UU) Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Berserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) Pasal 21, yang
berbunyi apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang
Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang
4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Penyaluran Dana.
6 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
55
diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini7. Dalam UUHT,
terdapat tiga cara eksekusi jaminan dengan hak tanggungan, yaitu:
a. Eksekusi melalui pengadilan
Menurut UUHT Pasal 14, sertifikat hak tanggungan mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang
sudah berkekuatan hukum tetap, sehingga eksekusi jaminan hak
tanggungan dapat dilakukan di pengadilan, sebagaimana UUHT Pasal
14 Poin 2 dan 3, yaitu:
1) Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHAN-AN YANG MAHA ESA”.
2) Sertifikat Hak Tanggunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekeuatan hukum tetap dan
berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang
mengenai hak atas tanah.
b. Eksekusi atas kekuasaan sendiri
UUHT Pasal 6 menjelaskan apabila debitor cidera janji, pemegang
Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Ini
berarti eksekusi jaminan hak tanggungan dapat dilakukan bank atas
kekuasaan sendiri sebagai pemegang hak tanggungan.
7 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Berserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT).
56
Hal tersebut juga ditegaskan pada UUHT Pasal 20 Poin 1, yang
berbunyi:
Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :
1) Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual
obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, atau
2) Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (2),
obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum
menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang
Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada
kreditor-kreditor lainnya.
c. Eksekusi dengan cara penjualan bawah tangan
Sementara eksekusi dengan cara penjualan di bawah tanga
ditegaskan dalam UUHT Pasal 20 Poin 2 dan 3:
1) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan,
penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah
tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga
tertinggi yang mengun-tungkan semua pihak.
2) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak
diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang
Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan
diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang
beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa
setempat, serta tidak ada pihak yang menyata-kan keberatan.
57
2. Perselisihan nominal sisa pembayaran dalam pembiayaan akad
MMq
Salah satu dalil nasabah dalam gugatannya terhadap bank merupakan
perselisihan sisa pembayaran dalam akad MMq, yakni:
Bahwa, in casu adanya perselisihan antara PENGGUGAT dengan
TERGUGAT terkait JUMLAH HUTANG TIDAK PASTI, hal mana
menurut PENGGUGAT sisa hutang Penggugat kepada Tergugat untuk
perjanjian aquo yakni sebesar Rp. 2.230.000.000 - Rp. 500.411.000,- =
Rp. 1.729.589.000,- (satu milyar tujuh ratus dua puluh sembilan juta lima
ratus delapan puluh sembilan riburupiah namun menurut TERGUGAT,
PENGGUGAT hanya baru membayar bunga saja, oleh karenanya nyata
ada sengketa antara PENGGUGAT dengan TERGUGAT, selaku demikian
dalam kesempatan ini PENGGUGAT memohon kiranya Yang Mulia
Majelis Hakim Pemeriksa menyatakan menetapkan sisa hutang
PENGGUGAT kepada TERGUGAT yakni sejumlah Rp.1.729.589.000,-
(satu milyar tujuh ratus dua puluh sembilan juta lima ratus delapan puluh
sembilan ribu rupiah) atau sejumlah tertentu yang menurut Yang Mulia
Majelis Hakim adil dan patut dibayarkan oleh PENGGUGAT kepada
TERGUGAT.8
Dalam perkara Putusan Nomor 1024 K/Pdt/2016, nasabah dan bank
telah menyepakati perjanjian akad MMq dengan akta notaris sehingga
pembiayaan MMq tersebut sah dan memiliki kekuatan hukum. Akad MMq
merupakan akad campuran berupa kerja sama dan jual beli, bukan jual-beli
yang terdapat utang-piutang di dalamnya. Karena berbentuk kerja sama,
nasabah dan bank sama-sama menyatukan modal untuk membeli objek
akad. Sementara itu, perpindahan kepemilikan objek akad tersebut
dilakukan dengan cara nasabah membeli porsi kepemilikan bank akan
objek akad tersebut. Untuk penggunaan pribadi, nasabah menyewa objek
akad dengan akad ijarah atau sewa. Jadi, selain kerja sama dan jual beli,
akad MMq juga diikuti sewa. Dalam dalil gugatan yang disebutkan
8 Putusan Mahkamah Agung Nomor 1024 K/Pdt/2016.
58
nasabah di atas, terdapat perselisihan sisa utang tidak pasti, yang mana
menurut nasabah selaku penggugat utang tersisa sebesar Rp
1.729.589.000,00. Selain itu, menurut nasabah, bank menyatakan nasabah
baru membayar bunganya saja. Hal ini ditolak bank dalam eksepsinya,
bahwa hubungan hukum yang terjadi antara penggugat dan tergugat ialah
kerja sama untuk membiayai pembelian barang dengan akad MMq. Lalu
nasabah bersedia melakukan pembayaran pengambilalihan porsi
kepemilikan barang bank dengan jangka waktu yang disesuaikan dengan
jangka waktu sewa. Jangka waktu sewa akan berlangsung selama 180 hari
dengan harga sewa sebesar Rp 31.500.000,00 per bulan untuk 24 bulan
pertama dan selanjutnya akan disesuaikan dengan kondisi pasar. Dengan
itu, bagi hasil untuk nasabah sejumlah Rp 14.755.000,00, sedangkan
keuntungan bank sejumlah Rp 16.725.000,00. Untuk pembayaran
angsuran sebesar Rp 22.618.145,00, yang terdiri dari pengambilalihan
porsi bank (pokok) sebesar Rp 5.893.145,00 dan bagi hasil untuk porsi
bank (margin ijarah) sebesar Rp 16.725.000,00. Dengan demikian, sudah
jelas terdapat dua bentuk pembayaran yang harus dibayarkan nasabah,
yaitu pembayaran pokok dan pembayaran margin ijarah.
Perselisihan yang terjadi dalam perkara di atas dikarenakan perbedaan
perspektif akan pembiayaan MMq. Nasabah menyebut sisa pembayaran
MMq di gugatannya dengan utang dan disertai bunga. Sementara bank
menyesuaikan pembiayaan akad MMq dengan Fatwa DSN dan peraturan
yang berlaku. Sehingga terdapat perbedaan perhitungan sisa pembiayaan
akad MMq. Seharusnya sisa pembiayaan akad MMq dihitung dengan
dikurangi pembayaran pembelian porsi kepemilikan bank, sementara biaya
sewa merupakan pembayaran yang harus dilakukan nasabah ketika
nasabah menyewa manfaat atas objek akad MMq. Jadi, terdapat dua
bentuk pembayaran yang harus dilakukan nasabah dan kedua pembayaran
tersebut bukan merupakan satu kesatuan. Artinya, pembayaran pembelian
porsi kepemilikan bank untuk menambah aset nasabah dalam kepemilikan
objek akad dan mengurangi porsi kepemilikan bank. Lalu, biaya sewa
59
dibayarkan karena nasabah menggunakan manfaat dari objek akad dan
sebagai keuntungan bank. Ketimpangan dalam ketidakpahaman akan akad
MMq ini merupakan faktor sengketa yang akan dibahas selanjutnya.
3. Ketidakpahaman nasabah akan pembiayaan akad MMq
a. Pengajuan Gugatan ke Pengadilan Negeri
Ketidakpahaman nasabah akan pembiayaan MMq bermula sejak
nasabah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung. Dalam
perjanjian akad MMq yang sudah disepakati nasabah dan bank,
terdapat klausul bahwa ketika terjadi perselisihan dan musyawarah
tidak memberi kata sepakat, para pihak sepakat memilih domisili yang
tetap dan tidak berubah pada Kantor Panitera Pengadilan Agama
Bandung.
KUH Perdata Pasal 1338 mengatur bahwa semua persetujuan yang
dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.9 Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
dilaksanakan dengan i‟tikad baik. Dengan ini, klausul-klausul pada
akad MMq yang disepakati nasabah dan bank menjadi undang-undang
bagi mereka. Karena nasabah dan bank sudah menyepakati
penyelesaian perselisihan di Pengadilan Agama Bandung, nasabah dan
bank harus mematuhi apa yang sudah disepakati.
Kewenangan Pengadilan Agama dalam memeriksa perkara
ekonomi syariah juga diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama Pasal 49, yang berbunyi Pengadilan agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a.
9 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
60
perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h.
shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.10
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 14 Tahun 2016
Pasal 1 Poin 4 juga menegaskan bahwa Perkara Ekonomi Syariah
adalah perkara di bidang ekonomi syariah meliputi bank syariah,
lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah,
reksadana syariah, obligasi syariah, surat berharga berjangka syariah,
sekuritas syariah, pembiayaan syariah, penggadaian syariah, dana
pensiun lembaga keuangan syariah, bisnis syariah, termasuk wakaf,
zakat, infaq, dan shadaqah yang bersifat komersial, baik yang bersifat
kontensius maupun volunteer.11
Maka, pembiayaan akad MMq dalam
perkata di atas sangat jelas termasuk perkara ekonomi syariah.
Namun, dalam gugatannya, nasabah mengajukan ke Pengadilan
Negeri Bandung, yang mana hal tersebut menyimpang dari
kesepakatan dalam akad MMq. Seharusnya nasabah mengajukan
gugatan terhadap bank di Pengadilan Agama Bandung sesuai yang
disepakati dan sesuai peraturan yang berlaku.
b. Penyebutan sisa pembayaran akad MMq dengan utang
Dalam gugatannya, nasabah menyebut sisa pembayaran akad
MMqnya dengan utang dan terdapat bunga. Hal ini jelas sangat
berbeda dengan pembiayaan akad MMq yang terdiri dari kerja sama
dan jual beli. Karena pembiayaan akad MMq berupa kerja sama antara
nasabah dan bank untuk membeli objek akad, maka tidak terdapat
utang. Sedangkan saat nasabah membeli porsi kepemilikan bank, itu
adalah perjanjian yag wajib dilakukan nasabah dalam akad MMq dan
tidak berbentuk pinjam-meminjam sehingga tidak ada utang.
Walaupun ada angsuran yang harus dibayarkan nasabah ke bank itu
bukanlah utang, melainkan pembelian porsi kepemilikan bank atas
10
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 11
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 14 Tahun 2016.
61
objek akad. Maka tidak tepat jika sisa pembayaran disebut utang.
Sementara itu, bunga merupakan riba yang mana dilarang dalam
syariat Islam. Tentu penyebutan pembayaran bunga tidak dapat
disesuaikan dengan pembiayaan akad MMq.
Inilah risiko yang timbul ketika nasabah tidak memahami akad
MMq. Dengan akad campuran, akad MMq dapat disalahpahami karena
terdapat dua pembayaran yang berbeda, yakni pembayaran porsi
kepemilikan bank oleh nasabah dan pembayaran sewa oleh nasabah
karena menggunakan manfaat dari objek akad sampai terjadinya
pengalihan kepemilikan.
4. Tidak Adanya Musyawarah Sebagai Penyelesaian Perselisihan
Ketika terjadi perselisihan dalam pembiayaan di bank syariah, terdapat
musyawarah sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Dalam
Putusan No. 1024 K/Pdt/2016, wanprestasi yang dilakukan nasabah dapat
terhindar menjadi sengketa jika nasabah dan bank sama-sama beritikad
baik untuk menyelesaikan perselisihan. Perbedaan perspektif akan sisa
nominal pembiayaan dapat diluruskan dengan musyawarah yang baik,
yaitu bank dapat memberi pemahaman yang lebih mendalam akan
pembiayaan MMq agar nasabah mengerti pembiayaan yang dilakukannya.
Tentu saja musyawarah yang disertai itikad baik bukan tidak mungkin
menghindarkan masing-masing pihak dari sengketa.
Pada Keputusan DSN-MUI Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman
Implementasi Musyarakah Mutanaqishah dalam Produk Pembiayaan,
Pembiayaan bermasalah dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
musyawarah mufakat dengan cara penjadwalan kembali (rescheduling),
penambahan syarat baru (reconditioning), maupun penggunaan struktur
baru (restructuring). Bank Syariah/LKS juga dapat melakukan
penyelesaian (settlement) Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah bagi
62
nasabah yang tidak menyelesaikan atau melunasi pernbiayaannya sesuai
jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:
a. Aset Musyarakah Mutanaqisah atau jaminan lainnya dijual oleh
nasabah rnelalui Bank Syariah/ Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
dengan harga yang disepakati;
b. Nasabah melunasi sisa kewajibannya kepada Bank Syariah/LKS
dari hasil penjualan;
c. Apabila hasil penjualan melebihi sisa utang, rnaka Bank
Syariah/LKS mengembalikan sisanya kepada nasabah;
d. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang maka sisa utang
tetap menjadi utang nasabah;
e. Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa utangnya, maka
Bank Syariah/LKS dapat membebaskannya berdasarkan kebijakan
Bank Syariah/LKS.12
B. Akibat Hukum dari Sengketa Akad Musyarakah Mutanaqishah
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Buku II Pasal 46
menegaskan bahwa suatu akad hanya berlaku antara pihak-pihak yang
mengadakan akad.13
Hal ini berarti akad MMq yang dilakukan nasabah dan
bank berlaku bagi nasabah dan bank sebagai subjek hukum dalam perjanjian.
KUH Perdata Pasal 1267 mengatur pihak yang terhadapnya perikatan tidak
dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi
persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan
persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Menurut pasal
ini, ketika suatu perjanjian terjadi pelanggaran atau wanprestasi oleh salah
satu pihak, pihak lainnya berhak menuntut pembatalan persetujuan. Hal ini
berlaku pada perkara Putusan Nomor 1024 K/Pdt/2016, yang mana karena
12
Keputusan DSN-MUI Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Implementasi
Musyarakah Mutanaqishah dalam Produk Pembiayaan. 13
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).
63
nasabah melakukan wanprestasi, bank berhak melakukan pembatalan kontrak
akad MMq.
Perjanjian akad MMq antara nasabah dan bank merupakan peristiwa
hukum. Karena adanya perjanjian atau peristiwa hukum tersebut, munculah
hubungan hukum antara nasabah dan bank. Dengan adanya hubungan hukum
tersebut, lahirlah akibat hukum berupa kewajiban dan hak antara nasabah dan
bank. Jika pembiayaan akad MMq ini berhasil hingga perpindahan hak
kepemilikan objek akad, hubungan hukumnya pun menjadi selesai.
Dalam perkara Putusan No. 1024 K/Pdt/2016, di tengah pembiayaan
terjadi wanprestasi oleh pihak nasabah yang berujung dengan sengketa di
pengadilan. Namun nasabah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri
Bandung, bukan ke Pengadilan Agama Bandung seperti yang tertera pada
perjanjian. Lalu gugatan nasabah ditolak dan eksepsi bank diterima. Maka
akibat hukum yang muncul dari putusan pengadilan tersebut yakni Pengadilan
Negeri Bandung tidak berwenang dalam memeriksa perkara yang diajukan
nasabah. Sementara akibat hukum yang muncul dari sengketa akad MMq ini
berupa batalnya perjanjian akad MMq.
Pada perkara di atas, terdapat pembiayaan bermasalah yakni ketika
nasabah wanprestasi untuk melakukan pembayaran pembelian porsi
kepemilikan bank, lalu bank mengeksekusi jaminan akad. Maka, pembatalan
kontrak terjadi karena tidak dipenuhinya salah satu kewajiban dalam
perjanjian. Akibat hukumnya dari pembatalan kontrak yaitu keadaan
dikembalikan pada posisi semula, yang berarti nasabah mengembalikan dana
modal bank untuk pembelian rumah dalam pembiayaan akad MMq yang
belum dibayarkan nasabah. Hal tersebut terjadi karena nasabah sudah berjanji
membeli porsi kepemilikan bank dan bank sudah menyetujui bekerja sama
dengan akad MMq karena perjanjian nasabah.
64
C. Risiko yang Timbul dari Akad Musyarakah Mutanaqishah
Risiko-risiko ini harusnya dapat diantisipasi pihak bank maupun pihak
nasabah untuk menghindari atau meminimalisir terjadinya sengketa pada
pembiyaan akad MMq.
1. Risiko Wanprestasi
Risiko wanprestasi dapat terjadi sebagai konsekuensi adanya angsuran
dalam pembiayaan akad MMq. Risiko ini bisa muncul ketika nasabah
melakukan angsuran dalam pembelian porsi kepemilikan bank atas objek
akad. Walaupun keuntungan bank diambil dari sewa, bukan penjualan
porsi kepemilikan, tetapi dana penjualan porsi kepemilikan bank
merupakan aset yang akan diputar dalam pembiayaan yang lainnya agar
bank tersebut terus berjalan. Jika nasabah tidak memenuhi perjanjiannya
untuk membeli porsi kepemilikan bank, maka bank akan dirugikan karena
kurangnya dana sebagai aset. Karena itu, bank melakukan eksekusi
jaminan akad MMq ketika nasabah wanprestasi untuk mencegah krisis
dana sebagai aset bank.
Di sisi lain, bank bukan tidak mungkin melakukan wanprestasi yang
dapat merugikan nasabah. Risiko wanprestasi yang dilakukan bank dapat
berupa pemberlakuan besaran denda yang tidak sesuai perjanjian atau
pemberlakukan ganti rugi yang tidak disebut dalam klausul perjanjian
ketika nasabah menunggak angsurannya. Namun, risiko wanprestasi ini
pada prakteknya lebih banyak disebabkan oleh nasabah, karena nasabah
memiliki beban untuk membayar angsuran sebagai pembelian porsi
kepemilikan bank atas objek akad. Seperti pada perkara No. 1024
K/Pdt/2016, yang menjadi penyebab terjadinya perselisihan ialah
wanprestasi yang dilakukan nasabah. Setelah somasi tiga kali, bank
mengeksekusi jaminan akad MMq, sehingga nasabah merasa lebih
tertekan dan memutuskan untuk menggugat bank.
65
2. Risiko Syariah
Risiko syariah muncul karena akad-akad ekonomi syariah memiliki
ciri khas yang berbeda dari produk-produk perbankan konvensional.
Secara umum, Akad-akad ekonomi syariah berbasis profit and loss
sharing, karena itu akad-akad ekonomi syariah memiliki ketentuan sendiri,
yang mana harus sesuai syariah. KHES Buku II Pasal 45 mengatur bahwa
suatu akad tidak hanya mengikat untuk hal yang dinyatakan secara tegas di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu menurut sifat akad yang
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan nash-nash syariah.14
Hal ini
berarti ketentuan bagi para pihak tidak hanya berdasarkan perjanjian akad
yang disepakati, tapi juga berdasarkan prinsip syariah yang berlaku. UU
Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 2 menegaskan bahwa Perbankan Syariah
dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah,
demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.15
Dengan demikian, kepatuhan akan prinsip syariah merupakan
kewajiban bagi para pihak yang melakukan perjanjian akad ekonomi
syariah. Maka orang-orang yang melakukan perjanjian akad ekonomi
syariah otomatis tunduk pada prinsip syariah. Risiko syariah terjadi ketika
salah satu pihak ada yang tidak mematuhi prinsip syariah atau tidak
memenuhi ketentuan akad.
3. Risiko Hukum
Risiko hukum terjadi ketika ada perkara ekonomi syariah dan tidak
terdapat peraturan yang mengatur untuk menyelesaikan perkara ekonomi
syariah tersebut. Seperti perjanjian pada umumya, akad ekonomi syariah
juga diikuti risiko akan sengketa. Namun, regulasi yang mengatur tentang
perikatan lebih condong pada perikatan konvensional, yang mana tidak
terdapat asas-asas berlandaskan prinsip syariah.
14
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). 15
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
66
Sementara itu, dengan dikeluarkannya PERMA Nomor 2 Tahun 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), KHES dapat
menjadi pedoman yang berprinsip syariah bagi praktisi hukum untuk
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Namun, akad MMq merupakan
inovasi dari akad Syirkah/Musyarakah, yang mana di dalam KHES tidak
terdapat ketentuan tentang akad MMq secara rinci. Dalam KHES, akad
MMq mengacu pada ketentuan Syirkah.
Hal ini menjadi penting karena dengan adanya inovasi akad ekonomi
syariah seperti akad MMq, tentu perikatan sebagai peristiwa hukum yang
muncul dari akad tersebut tidak hanya kerja sama dan akibat hukumnya
pun menjadi berbeda. Dalam akad MMq, terdapat peristiwa hukum berupa
kerja sama dan jual-beli, serta diikuti sewa-menyewa. Sedangkan, akibat
hukumnya berupa hak-hak dan kewajiban antara nasabah dan bank, yakni
kewajiban nasabah dan bank untuk menyatukan modal untuk membeli
objek akad, kewajiban bank menjual porsi kepemilikannya atas objek
akad, kewajiban nasabah membeli porsi kepemilikan bank, hak nasabah
untuk menyewa objek akad, dan hak bank untuk menyewakan objek akad.
Dengan ini, diperlukan adanya regulasi yang mengatur secara rinci akad-
akad ekonomi syariah dengan model pembiayaan, karena risiko syariah
dapat muncul disebabkan kurangnya peraturan yang berlaku.
4. Risiko Akad Campuran
Pembiayaan akad MMq merupakan campuran akad yang terdiri dari
kerja sama dan jual beli. Kerja sama bank dan nasabah berupa penyatuan
modal untuk pembelian suatu objek akad. Kemudian jual belinya berupa
pembelian porsi kepemilikan bank atas objek akad oleh nasabah hingga
nasabah memiliki objek akad seutuhnya. Akad MMq diakhiri dengan
perpindahan kepemilikan porsi bank kepada nasabah. Pembiayaan ini juga
disertai akad ijarah atau sewa, yang mana pada prakteknya objek akad
yang sudah dimiliki bersama antara nasabah dan bank disewakan
67
manfaatnya pada nasabah sembari nasabah mengangsur pembelian porsi
kepemilikan bank.
Dengan demikian, terdapat dua bentuk pembayaran dalam pembiayaan
akad MMq, yakni pembayaran porsi kepemilikan bank atas objek akad dan
pembayaran biaya sewa yang dilakukan nasabah. Risiko akad campuran
timbul ketika nasabah tidak memahami akad campuran yang terdapat pada
akad MMq dan pihak bank tidak memberikan penjelasan yang memadai
pada nasabah. Ketidakpahaman salah satu pihak dan tidak adanya
persamaan perspektif akan pencampuran akad ini di antara pihak bukan
tidak mungkin dapat menimbulkan perselisihan antar pihak.
Pada perkara Putusan No. 1024 K/Pdt/2016, nasabah tidak memahami
dengan baik adanya dua bentuk pembayaran sebagai konsekuensi
percampuran akad dalam akad MMq, sehingga nasabah merasa dicurangi
oleh bank. Sementara itu, ketidakpahaman nasabah menunjukkan
kekurangjelasan pihak bank dalam memberi pemahaman akan pembiayaan
akad MMq.
5. Risiko Bagi Hasil
Pembiayaan akad MMq menggunakan mekanisme pembagian
keuntungan dengan cara bagi hasil. Ketika nasabah menyewa objek akad,
bagi hasil sebagai keuntungan sewa yang menjadi hak nasabah dibayarkan
kepada bank untuk ditambahkan dalam pembayaran angsuran pembelian
porsi kepemilikan bank. Risiko bagi hasil muncul ketika nasabah tidak
memahami dengan baik pembagian bagi hasil dalam pembiayaan akad
MMq. Karena pada dasarnya nasabah datang ke bank untuk melakukan
pembiayaan pembelian rumah, yang mana dalam pembiayaan hunian
rumah terdapat dua akad yang biasa digunakan, yakni akad murabahah dan
akad MMq. Jika nasabah menerima tawaran akad MMq tapi tak
memahami mekanisme akad MMq, hal ini dapat menimbulkan
kesalahpahaman ketika ada dua pembayaran berbeda dan bagi hasil yang
dibayarkan pula.
68
6. Risiko Jaminan
Dalam pembiayaan, risiko jaminan seringkali memicu adanya
perselisihan dan sengketa. Hal ini dikarenakan pembiayaan tidak luput dari
risiko pembiayaan bermasalah atau wanprestasi. Risiko jaminan muncul
ketika nasabah tidak memenuhi jatuh tempo angsuran selama beberapa
waktu, sementara bank memiliki hak untuk mengeksekusi jaminan jika
nasabah tidak meneruskan pembiayaannya setelah tiga kali somasi.
Perselisihan dan persengketaan dapat muncul jika nasabah dan bank tidak
melakukan musyawarah dengan baik dalam menyelesaikan solusi
pembiayaan bermasalah nasabah. Pada pembiayaan akad MMq di
perbankan syariah terdapat angsuran, yaitu angsuran pembelian porsi
kepemilikan bank atas objek akad.
Dalam perkara Putusan MA Nomor 1024 K/Pdt/2016, bank
mengeksekusi jaminan pembiayaan akad MMq. Namun, nasabah merasa
eksekusi jaminan tersebut merugikan dirinya, maka nasabah mengajukan
gugatan terhadap pihak bank. Risiko jaminan sebagai pemicu sengketa
dalam perkara ini muncul akibat wanprestasi yang dilakukan nasabah.
setelah disomasi tiga kali, nasabah masih belum meneruskan
pembiayaannya, maka bank mengeksekusi jaminan pembiayaan akad
MMq.
7. Risiko transparansi
Risiko ini muncul ketika bank sebagai penyalur dana pembiayaan tidak
bersifat transparans pada nasabah selaku penerima saluran dana. Prinsip
transparansi tidak hanya berlaku bagi bank konvensional tapi juga bagi
bank syariah. Dalam akad-akad pembiayaan, risiko transparansi muncul
ketika data pembiayaan angsuran tidak sesuai dengan apa yang dibayarkan
nasabah.
Dalam perkara akad MMq Putusan No. 1024 K/Pdt/2016, terdapat
salah satu dalil gugatan nasabah terhadap bank bahwa bank tidak
69
menjelaskan detail sisa pembayaran pembiayaan akad MMq. Sementara
dari analisa di atas, terdapat faktor ketidakpahaman nasabah akan
pembiayaan akad MMq. Namun di sisi lain bank juga tidak memberi
pemahaman yang detail pada nasabah agar nasabah paham dengan
pembiayaan yang dilakukannya. Jadi, ketidaktransparansi bank terhadap
nasabah dapat mengakibatkan adanya perselisihan dan berlanjut pada
sengketa.
8. Risiko Angsuran
Dalam pembiayaan akad MMq di perbankan syariah, untuk membeli
porsi kepemilikan bank atas objek akad, nasabah melakukan angsuran
sampai porsi kepemilikan bank atas objek berkurang hingga habis. Risiko
angsuran muncul sebagai konsekuensi karena terdapat prestasi yang harus
dilakukan nasabah sebagai pengangsur selama waktu yang ditentukan.
Lebih lagi, setiap pembayaran angsuran ada jatuh tempo yang tidak boleh
dilewatkan nasabah agar tidak didenda. Karena adanya kewajiban nasabah
untuk mengangsur tadi, risiko angsuran terlambat atau pun macet tentu
bisa terjadi.
Dalam perkara Putusan No. 1024 K/Pdt/2016, sengketa yang terjadi
diawali dengan macetnya angsuran nasabah dalam pembayaran porsi
kepemilikan nasabah. Bank mengeksekusi objek jaminan setelah somasi
tiga kali dan nasabah mengajukan gugatan terhadap bank karena nasabah
merasa dirugikan atas eksekusi jaminan tersebut.
D. Mitigasi Risiko pada Akad Musyarakah Mutanaqishah
Mitigasi harus dilakukan terhadap kemungkinan risiko-risiko yang timbul
dari akad MMq agar kedepannya sengketa dari akad MMq dapat dihindari
atau paling tidak diminimalisir. Sementara itu, mitigasi risiko yang ada pada
bab II tidak berlaku secara otomatis pada akad MMq karena akad MMq
memiliki kekhasan tersendiri dan teori mitigasi risiko pada bab II merupakan
70
teori secara umum. Dengan ini, mitigasi risiko yang dapat dilakukan pada
akad MMq, yaitu:
1. Mitigasi Risiko dengan Regulasi yang Kuat
Akad-akad ekonomi syariah mengalami perkembangan seiring dengan
bertumbuhnya perbankan syariah. Dalam hukum Islam, segala bentuk
muamalat dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Maka perkembangan akad-akad ekonomi syariah dibolehkan selama tidak
melanggar hukum Islam. Belakangan, terdapat beberapa akad yang
diinovasikan agar dapat memenuhi kebutuhan nasabah. Salah satunya
ialah pembiayaan akad MMq, yang mana akad MMq merupakan inovasi
dari akad Musyarakah. Jika akad musyarakah merupakan akad kerja sama
yang mana dua pihak atau lebih menyatukan modal untuk suatu usaha,
maka akad MMq tidak hanya melakukan kerja sama tapi juga jual beli
porsi kepemilikan salah satu pihak kepada yang lainnya. Dengan ini,
dalam akad MMq terdapat perpindahan kepemilikan dari milik bersama
menjadi milik salah satu pihak, sedangkan akad musyarakah diakhiri
dengan bagi hasil keuntungan sesuai kesepakatan para pihak.
Akad Musyarakah diatur dalam Fatwa DSN Nomor 8 Tahun 2000,
sementara akad MMq diatur dalam Fatwa DSN Nomor 73 Tahun 2008 dan
Keputusan DSN-MUI Nomor 1 untuk mengatur mekanisme akad MMq.
Tapi, dalam akad MMq juga berlaku hukum yang tercantum dalam Fatwa
DSN tentang akad Musyarakah karena dalam akad MMq terdapat unsur
akad musyarakah.
Selain itu, perikatan akad Musyarakah juga diatur dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Namun, akad MMq tidak diatur secara
khusus dalam KHES, jadi tata cara perikatan akad MMq masih tunduk
pada peraturan akad Musyarakah di dalam KHES. Padahal terdapat
karakteristik tersendiri dalam akad MMq, yang mana perikatan dalam akad
MMq tidak hanya berupa kerja sama tapi juga jual beli. Pembiayaan akad
MMq juga diikuti dengan akad ijarah ketika nasabah menyewa manfaat
71
atas objek akad. Dengan ini, terdapat beberapa perikatan yang ada pada
akad MMq, yaitu kerja-sama, jual-beli, dan sewa-menyewa. Perikatan
tersebut merupakan peristiwa hukum yang menyebabkan adanya
hubungan hukum antara nasabah dan bank, sehingga akibat hukum dari
perikatan tersebut berupa hak dan kewajiban antara nasabah dan bank
dalam kerja-sama, jual-beli, dan sewa-menyewa. Sementara itu, dalam
KHES tentang akad Syirkah, yang diatur adalah perikatan berupa kerja
sama. Sedangkan perikatan jual-beli dan sewa-menyewa diatur dalam bab
sendiri di dalam KHES.
Lahir dengan bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2
Tahun 2008, KHES memberi kemudahan akad-akad ekonomi syariah
khususnya akad MMq untuk dipraktekkan secara luas di lembaga
keuangan syariah. Hal tersebut dikarenakan regulasi yang kuat merupakan
fondasi agar suatu sistem dapat dijalankan secara efektif dan
menguntungkan masing-masing pihak. Namun, regulasi yang mengatur
perikatan tentang akad-akad inovatif seperti akad MMq belum memadai.
Padahal, kebutuhan akan regulasi tersebut demi meningkatkan efektivitas
akad MMq sebagai akad alternatif dalam produk pembiayaan selain akad
murabahah. Dengan ini, sistem akad-akad ekonomi syariah seperti akad
MMq harus didorong dengan adanya regulasi yang kuat untuk mengatur
mekanisme pelaksanannya.
Di sisi lain, sistem akad ekonomi syariah seperti akad MMq yang
berbasis profit and loss sharing seharusnya tidak hanya diaplikasikan
secara praktek saja, tetapi nilai-nilai profit and loss sharing yang berupa
keuntungan dan kerugian ditanggung bersama dijadikan dasar untuk
beri‟tikad baik, yang mana masing-masing pihak memiliki tanggung jawab
dan hak untuk saling membantu. Untuk menciptakan kondisi yang
memungkinkan masing-masing pihak untuk sama-sama beri‟tikad baik,
diperlukan suatu regulasi yang kuat dan kokoh dalam mengatur sistem
akad ekonomi syariah, khususnya pada akad inovasi seperti akad MMq.
Regulasi yang kuat akan memberikan landasan yang kokoh pada praktek
72
akad MMq sehingga dapat membuat akad MMq lebih mudah dipahami,
sehingga dapat meminimalisir risiko sengketa.
2. Mitigasi Risiko dengan Pemahaman Pembiayaan Akad MMq Pra
Perjanjian Akad
Pemahaman pembiayaan akad MMq pra kontrak menjadi penting
karena saat itu nasabah dan bank menyamakan persepsi akan pembiayaan
akad MMq yang dilakukan agar di masa mendatang risiko perselisihan
dapat dihindari. Namun, perkara pada Putusan Nomor 1024 K/Pdt/2016
menunjukkan tidak adanya forum antara nasabah dan bank untuk
menyamakan persepsi dalam memahami akad MMq. Jadi, nasabah dan
bank sama-sama menandatangani kontrak akad MMq tanpa pihak bank
mengetahui apakah nasabah memahami dengan benar produk MMq dan
mekanismenya. Pada prakteknya, biasanya nasabah mengajukan
permohonan pembiayaan pada bank syariah, lalu bank hanya menilai dari
sisi kesanggupan nasabah untuk melakukan pembiayaan dengan prinsip
5C, yaitu:
a. Character
Karakter nasabah merupakan hal penting untuk melakukan
pembiayaan. Bank menilai apakah nasabah memiliki karakter yang
baik pada kehidupan sehari-hari sehingga risiko wanprestasi yang
bisa dilakukan nasabah dalam pembiayaan dapat diminimalisir.
b. Capacity
Prinsip capacity ini menilai apakah nasabah memiliki masalah
keuangan atau tidak. Jadi kemampuan nasabah untuk melakukan
pembiayaan dinilai demi mencegah terjadinya wanprestsi di
kemudian hari.
73
c. Capital
Prinsip capital merupakan penilaian akan aset kekayaan yang
dimiliki nasabah seperti sumber penghasilan nasabah. Penilaian ini
untuk menjamin nasabah tidak akan mengalami pembiayaan
bermasalah dan juga untuk menentukan besaran angsuran dalam
pembiayaan.
d. Condition
Prinsip condition ini merupakan suatu kondisi yang disebabkan
faktor di luar bank dan nasabah. Prinsip kondisi ini penting karena
dalam melakukan pembiayaan kondisi perekonomian negara juga
dapat berpengaruh.
e. Collateral
Prinsip terakhir adalah collateral, yaitu jaminan. Dalam
melakukan pembiayaan, nasabah harus memberikan jaminan
sebagai tanda sungguh-sungguh nasabah dalam melakukan
pembiayaan.16
Setelah nasabah dinilai sanggup melakukan pembiayaan, bank dan
nasabah dapat melakukan perjanjian akad MMq. Seringkali pembiayaan
yang diajukan nasabah diterima bank jika syarat dan penilaian 5C
terpenuhi. Padahal, pembiayaan MMq merupakan pembiayaan yang dapat
dilakukan dalam jangka panjang, yaitu sekitar 5-15 tahun, yang mana
walaupun diawalnya pembiayaan berjalan normal, namun mungkin saja
terjadi wanprestasi yang bisa dilakukan salah satu pihak, baik nasabah
maupun pihak bank. Dengan demikian, penilaian kesanggupan
pembiayaan 5C saja tidak menjamin terhindarkan risiko yang
16
Ismail. Manajemen Perbankan: dari Teori Menuju Aplikasi. (Jakarta, Kencana Prenada
Media Group: 2011), h. 112-114.
74
menyebabkan perselisihan. Karenanya, pemahaman yang baik akan akad
MMq sebelum dilakukan perjanjian sangat penting.
Misalnya saja, jika nasabah dinilai mempunyai kemampuan membayar
angsuran dalam pembiayaan sekitar 5-10 tahun, tapi pemahaman akan
akad MMq yang dilakukannya kurang baik, maka risiko terjadinya
perselisihan dapat meningkat. Hal ini terjadi karena dalam akad MMq
terdapat dua bentuk pembiayaan yang disebabkan adanya akad campuran.
Nasabah yang tidak memahami akad MMq bisa saja merasa dirugikan
karena melakukan dua bentuk pembayaran, padahal pembayaran yang
dilakukannya sudah sesuai ketentuan akad MMq.
Ketidakpahaman pihak nasabah dapat dihindari atau paling tidak
diminimalisir dengan adanya penjelasan yang rinci sebelum perjanjian
dilakukan. Bank syariah sebagai pihak yang menyediakan produk
pembiayaan dengan akad MMq harus memiliki Sumber Daya Manusia
(SDM) yang kompeten dalam bidang ekonomi syariah agar tujuan tersebut
dapat dilaksanakan. Pada prakteknya, sebagian praktisi bank syariah yang
secara langsung menangani permohonan pembiayaan nasabah tidak
memiliki kompetensi yang memadai dalam bidang ekonomi syariah. Hal
ini menjadi salah satu faktor tidak adanya penjelasan yang mendalam akan
akad ekonomi syariah pada nasabah, khususnya akad MMq. Jadi, SDM
bank syariah yang mempunyai kompetensi dalam akad ekonomi syariah
sangat penting untuk membantu nasabah memahami pembiayaan yang
dilakukannya. Selanjutnya, kesadaran pihak bank mau pun pihak nasabah
untuk menyamakan pemahaman akan akad yang dipakai akan sangat
berguna untuk menghindari atau setidaknya meminimalisir munculnya
perselisihan.
75
3. Mitigasi Risiko dengan Memanfaatkan Musyawarah Secara
Efektif
Dalam suatu transaksi, terdapat kemungkinan perbedaan pendapat
sampai menjadi perselisihan antara nasabah dan bank, tidak terkecuali
pada pembiayaan akad MMq. Apalagi, pada pembiayaan akad MMq tidak
hanya ada satu akad tapi terdapat akad campuran yaitu musyarakah, ba‟i,
serta ijarah, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahpahaman yang
menyebabkan perselisihan pada waktu nasabah membayar angsuran yang
dikiranya sebagai pengurangan utang, tapi sebenarnya pembayaran
angsuran tersebut terdiri dari pembayaran pokok berupa pembelian porsi
kepemilikan bank dan pembayaran sewa karena nasabah menyewa objek
akad. Perselisihan ini dapat diminimalisir agar tidak menjadi sengketa
dengan dilakukannya musyawarah. Jadi sebelum mengambil langkah
hukum, pihak-pihak semestinya mengadakan musyawarah untuk
mengatasi perbedaan pandangan dan perselisihan yang terjadi. Dalam
musyawarah, para pihak harus mendengarkan penjelasan pihak-pihak lain,
lalu diambil kesimpulan atau pun tingkat lanjutannya. Dengan
musyarawah, diharapkan para pihak dapat menyelesaikan perselisihan
tanpa harus ke pengadilan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Namun, sering kali musyawarah antar pihak diabaikan, sehingga sengketa
di tingkat pengadilan lebih mudah terjadi.
Padahal, yang dinamakan perselisihan ialah suatu pemahaman yang
tidak sama, maka yang dilakukan dalam musyawarah ialah menyamakan
pemahaman dengan i‟tikad baik untuk menyelesaikan perselisihan.
Ketidakefektifan musyawarah juga terjadi di dalam pengadilan, yakni pada
saat mediasi. Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa dengan
cara musyawarah dan dibantu dengan pihak ketiga. Di pengadilan, mediasi
wajib dilakukan sebelum perkara masuk ruang sidang, namun hanya
sedikit atau bahkan tidak ada perkara yang berhasil di tahap mediasi, maka
perkara dilanjutkan di ruang sidang. Hal tersebut menunjukkan mediasi di
pengadilan tidak efektif menjadi alternatif penyelesaian sengketa. Namun,
76
ketidakefektifan mediasi bukan disebabkan mekanisme mediasi yang
menjunjung musyawarah tapi dapat diakibatkan para pihak yang tidak
beri‟tikad baik untuk menyelesaikan sengketa atau pihak mediator yang
tidak bisa membimbing para pihak dalam mediasi.
Alternatif sengketa lainnya yaitu berupa arbitrase. Menurut UU Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian sengketa, arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa.17
Perbedaan mendasar mediasi dan arbitrase
adalah:
a. Mediasi mengutamakan win-win solution atau hasil
kesepakatan bersama. Sedangkan pada abitrase, walaupun
berlandaskan win-win solution, terdapat pihak yang masih tidak
puas dan pihak yang sudah puas.
b. Dalam mediasi, mediator memiliki tugas mendinginkan
suasana dan mengusulkan solusi. Sedangkan dalam arbitrase,
arbiter tidak hanya menyamankan suasana tapi juga
memutuskan putusan arbitrase.
c. Biaya yang dikeluarkan untuk sebuah mediasi cenderung lebih
murah dibanding di arbitrase.
Dalam sengketa ekonomi syariah, alternatif penyelesaian sengketa
dapat dilakukan di Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).
Sedangkan mediasi dapat dilakukan atas keinginan para pihak dengan
memakai lembaga-lembaga yang menawarkan jasa mediasi. Hal yang
terpenting dalam alternatif penyelesaian sengketa ialah i‟tikad baik para
pihak untuk menyelesaikan sengketa dengan mengesampingkan
penyelesaian sengketa dengan cara litigasi.
Dengan adanya alternatif penyelesaian sengketa, persengketaan dalam
ekonomi syariah dapat diselesaikan tanpa harus ke pengadilan. Selain itu,
17
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian sengketa.
77
penyelesaian sengketa sebenarnya juga dapat diselesaikan dengan
musyawarah antara bank nasabah, tapi dengan syarat para pihak
mempunyai keinginan dan i‟tikad baik dalam menyelesaikan sengketa.
Namun, yang sering terjadi adalah suatu perselisihan dialihkan ke meja
sidang tanpa ada forum musyawarah. Untuk melakukan musyawarah,
memang membutuhkan kesabaran masing-masing pihak, tapi keuntungan
yang didapat juga sesuai karena hasilnya merupakan kesepakatan bersama,
sehingga tidak ada yang dirugikan atau menang-kalah, juga tidak
memerlukan biaya yang mahal.
Dalam prinsip Islam, musyawarah merupakan langkah penting jika
terjadi perselisihan. Hal tersebut membuat mediasi sangat cocok
diterapkan pada sengketa di perbankan syariah. Jadi, tidak hanya akad-
akad ekonomi syariah yang diterapkan, tapi juga prinsip syariah dalam
menjalankan muamalah perlu diterapkan. Maka, diperlukan regulasi yang
kokoh agar aplikasi mediasi dalam menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah dapat dijalankan secara efektif.
Pada perkara Putusan No. 1024 K/Pdt/2016, persengketaan antara
nasabah dan bank terjadi setelah nasabah wanprestasi dan bank
mengeksekusi jaminan. Dilihat dari gugatan nasabah dan eksepsi bank,
tampak bahwa sebelum melangkah ke jalur pengadilan tidak ada
musyawarah yang mendalam antara nasabah dan bank. Tidak adanya
musyawarah memberi dampak negatif terhadap hubungan nasabah dan
bank. Seharusnya, terdapat musyawarah sebelum bank mengirimkan
somasi pada nasabah dan juga selama somasi dilayangkan. Dalam hal ini,
pihak bank berperan penting untuk menciptakan suasana yang lebih
bersahabat untuk bersepakat secara musyawarah. Dengan itu, diharapkan
nasabah yang sedang mengalami kemerosotan ekonomi tidak tertekan
dengan adanya kesepakatan hasil musyawarah dengan bank. Sebagai pihak
yang lebih mengerti prinsip syariah, harusnya bank tidak hanya
memberikan peringatan, tapi juga bimbingan untuk bermusyawarah demi
mendapatkan solusi. Solusi untuk pembiayaan bermasalah dapat berupa
78
penjadwalan ulang (reschedulling), karena pembiayaan ulang tidak hanya
dilakukan ketika perkara akad MMq selesai disengketakan di pengadilan.
Penjadwalan ulang juga dapat dijadikan mitigasi risiko sebelum terjadinya
sengketa di ruang sidang ketika nasabah melakukan pembiayaan
bermasalah. Penjadwalan ulang dapat dijadikan produk di bank syariah
sebagai solusi bagi nasabah yang mengalami pembiayaan bermasalah di
bank tersebut.
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab-bab
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:
1. Penyebab Sengketa Akad MMq dan Akibat Hukumnya
Pada perkara Nomor 1024 K/Pdt/2016, terdapat beberapa penyebab
terjadinya sengketa, berikut juga disimpulkan akibat hukum dari
adanya perkara akad MMq, dan risiko pada akad MMq.
a. Penyebab Sengketa Putusan Nomor 1024 K/Pdt/2016
1) Wanprestasi
Dalam pembiayaan akad MMq, terdapat angsuran yang
sudah disepakati di kontrak akad MMq, yang mana nasabah
mengangsur pembelian porsi kepemilikan bank. Namun,
Nasabah mengalami kemerosotan ekonomi sehingga tidak
dapat melanjutkan angsurannya. Karena tidak memenuhi
klausul perjanjian akad MMq yang sudah disepakati antara
nasabah dan bank, maka nasabah disebut wanprestasi.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 36
memaparkan bentuk-bentuk wanprestasi sebagai berikut:
Pihak dapat dianggap melakukan ingkar janji (wanprestasi),
apabila:
a) Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk
melakukannya;
b) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak
sebagaimana dijanjikan;
c) Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat;
atau
80
d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan.
Sesuai KHES Pasal 36, nasabah tidak melakukan apa yang
dijanjikan untuk melakukannya, yaitu nasabah tidak
membayarkan angsuran selama beberapa waktu yang
seharusnya dilakukan sesuai perjanjian akad MMq.
Wanprestasi yang dilakukan nasabah berakibat pada eksekusi
jaminan yang dilakukan bank, sehingga nasabah merasa
dirugikan dan munculah perselisihan antara nasabah dan bank
yang berujung pada sengketa.
2) Perselisihan nominal sisa pembiyaan akad MMq
Perselisihan dalam sisa pembiayaan akad MMq terjadi
karena tidak terdapat pemahaman yang sama antara nasabah
dan bank akan akad MMq. Nasabah menganggap sisa
pembayaran yang dilakukannya adalah utang dan disertai
bunga. Sedangkan bank menyesuaikan pembayaran sesuai
ketentuan yang berlaku, yakni pembayaran angsuran pembelian
porsi kepemilikan bank oleh nasabah dan pembayaran biaya
sewa.
3) Ketidakpahaman nasabah akan akad MMq
Ketidakpahaman nasabah terhadap akad MMq
menyebabkan terjadinya sengketa antara nasabah dan bank,
karena nasabah menganggap pembayaran yang dilakukannya
berupa utang dan terdapat bunga. Sedangkan, sebenarnya
pembiayaan akad MMq berbentuk kerja sama untuk membeli
objek akad, jual beli untuk pembelian porsi kepemilikan bank
oleh nasabah, dan sewa untuk penyewaan objek akad oleh
nasabah. Dengan demikian, dalam akad MMq terdapat dua
bentuk pembayaran, yaitu pembayaran pembelian porsi
81
kepemilikan bank oleh nasabah dan pembayaran sewa.
Ketidakpahaman nasabah akan mekanisme pembayaran pada
akad MMq tersebut memicu terjadinya perselisihan antara
nasabah dan bank yang berujung di meja sidang.
Di samping itu, ketidakpahaman nasabah terlihat pada
pengajuan gugatan terhadap bank di Pengadilan Negeri
Bandung, yang mana hal tersebut tidak sesuai dengan
perjanjian akad MMq antara nasabah dan bank. Dalam
perjanjian akad MMq, nasabah dan bank sudah sepakat jika
terjadi perselisihan dan tidak bisa diselesaikan dengan
musyawarah, akan diselesaikan di Pengadilan Agama Bandung.
Pengajuan gugatan tersebut juga tidak sesuai dengan KUH
Perdata Pasal 1338 yang mengatur bahwa semua persetujuan
yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
4) Tidak dilakukannya musyawarah sebagai alternatif
penyelesaian sengketa akad MMq
Dalam perkara Putusan Nomor 1024 K/Pdt/2016,
perselisihan terjadi karena wanprestasi yang dilakukan
nasabah, lalu bank langsung melakukan somasi dan diikuti
eksekusi jaminan objek akad tanpa melakukan musyawarah
dengan nasabah, sehingga perselisihan tersebut akhirnya
dibawa ke pengadilan. Seandainya terdapat musyawarah
sebelum somasi dilayangkan atau ketika somasi berjalan,
barangkali ada hasil kesepakatan yang dapat menguntungkan
kedua belah pihak.
b. Akibat Hukum
Perjanjian akad MMq antara nasabah dan bank merupakan
peristiwa hukum, yang mana terdapat pembelian porsi kepemilikan
82
bank oleh nasabah, sehingga porsi kepemilikan bank makin lama
berkurang dan porsi kepemilikan nasabah makin lama bertambah,
hingga di akhir transaksi terjadi perpindahan kepemilikan
seutuhnya ke nasabah. Karena adanya perjanjian atau peristiwa
hukum tersebut, munculah hubungan hukum antara nasabah dan
bank yang melahirkan akibat hukum berupa kewajiban dan hak
antara nasabah dan bank. Jika pembiayaan akad MMq ini berhasil
hingga perpindahan hak kepemilikan objek akad, hubungan
hukumnya pun menjadi selesai.
Pada perkara Putusan Nomor 1024 K/Pdt/2016, pembatalan
kontrak terjadi karena tidak dipenuhinya salah satu kewajiban
dalam perjanjian, yaitu ketika nasabah tidak meneruskan
angsurannya. Akibat hukum dari pembatalan kontrak tersebut
berupa keadaan dikembalikan pada posisi semula, yang berarti
nasabah mengembalikan dana modal bank untuk pembelian rumah
dalam pembiayaan akad MMq yang belum dibayarkan nasabah.
Hal tersebut terjadi karena nasabah sudah berjanji membeli porsi
kepemilikan bank dan bank sudah menyetujui bekerja sama dengan
akad MMq karena perjanjian nasabah.
2. Risiko Akad MMq dan Mitigasi yang dapat dilakukan pada risiko akad
MMq
a. Risiko yang timbul dari akad MMq
Dengan adanya pembiayaan akad MMq, terdapat risiko-risiko yang
bisa saja terjadi dan dapat berdampak pada adanya perselisihan dan
sengketa, risiko-risiko tersebut ialah risiko wanprestasi, risiko syariah,
risiko hukum, risiko akad campuran, risiko bagi hasil, risiko jaminan,
risiko transparansi, risiko angsuran. Dari risiko-risiko tersebut, risiko
yang paling berdampak dalam sengketa Putusan Nomor 1024
K/Pdt/2016 ialah risiko angsuran, risiko wanprestasi, risiko akad
campuran, risiko jaminan, dan risiko syariah. Untuk meminimalisir
83
risiko-risiko tersebut agar tidak terjadi perselisihan yang menyebabkan
sengketa diperlukan mitigasi risiko.
b. Mitigasi Risiko pada Akad MMq
Risiko-risiko yang dapat menyebabkan sengketa pada pembiayaan
MMq dapat dihindari dengan mitigasi risiko sebagai berikut:
1) Mitigasi risiko dengan regulasi yang kuat
Akad Musyarakah diatur dalam Fatwa DSN Nomor 8 Tahun
2000, sementara akad MMq diatur dalam Fatwa DSN Nomor 73
Tahun 2008. Tapi, dalam akad MMq juga berlaku hukum yang
tercantum dalam Fatwa DSN tentang akad Musyarakah. Ini berarti
akad MMq tetap tunduk pada peraturan akad Musyarakah. Selain
itu, KHES juga mengatur tata cara perikatan akad Musyarakah.
Namun, akad MMq tidak diatur secara khusus dalam KHES, jadi
tata cara perikatan akad MMq masih tunduk pada peraturan akad
Musyarakah di dalam KHES.
Untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan masing-
masing pihak untuk sama-sama beri‟tikad baik, diperlukan suatu
regulasi yang kuat dan kokoh dalam mengatur sistem akad
ekonomi syariah, khususnya akad inovasi seperti akad MMq.
2) Mitigasi risiko dengan pemahaman pembiayaan akad MMq pra
perjanjian akad
Ketika terjadi perselisihan yang disebabkan ketidakpahaman
pihak nasabah, hal ini dapat dihindari atau paling tidak
diminimalisir dengan adanya penjelasan yang rinci sebelum
perjanjian dilakukan. Bank syariah tentunya menjadi pihak yang
menyediakan produk pembiayaan dengan akad MMq harus
memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten dalam
bidang ekonomi syariah agar tujuan tersebut dapat dilaksanakan.
84
Jadi, SDM bank syariah yang mempunyai kompetensi dalam
akad ekonomi syariah sangat penting untuk membantu nasabah
memahami pembiayaan yang dilakukannya. Selanjutnya,
kesadaran pihak bank mau pun pihak nasabah untuk menyamakan
pemahaman akan akad yang dipakai akan sangat berguna untuk
menghindari atau setidaknya meminimalisir munculnya
perselisihan.
3) Mitigasi risiko dengan memanfaatkan musyawarah secara
efektif
Dalam suatu perjanjian, tentu terdapat risiko terjadinya
perselisihan. Hal ini tidak terkecuali pada pembiayaan akad MMq.
Perselisihan yang terjadi sebenarnya dapat dihindari agar tidak
menjadi sengketa dengan musyawarah. Namun, sering kali
musyawarah antar pihak tidak berjalan semestinya, sehingga
sengketa di tingkat pengadilan lebih mudah terjadi.
Dalam prinsip Islam, musyawarah merupakan keutamaan jika
terjadi perselisihan. Hal tersebut membuat mediasi sangat cocok
diterapkan pada sengketa di perbankan syariah. Jadi, tidak hanya
akad-akad ekonomi syariah yang diterapkan, tapi juga prinsip
syariah dalam menjalankan muamalah perlu diterapkan. Maka,
diperlukan regulasi yang kokoh agar aplikasi mediasi dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dapat dijalankan secara
efektif.
85
B. Saran
Berdasarkan temuan-temuan dari penelitian ini, juga dari kesimpulan
yang diperoleh, maka penulis menyarankan:
1. Penulis menyarankan kepada penyusun undang-undang untuk
mengadakan peraturan setingkat undang-undang yang mengatur
khusus akad ekonomi syariah dari segi perikatannya. Hal tersebut
penting mengingat akad ekonomi syariah memiliki karakteristik yang
khas dan tidak ditemukan pada KUH Perdata. Misalnya akad MMq
merupakan hybrid contract yang mana di dalamnya terdapat kerja
sama, jual-beli, dan sewa. Akan lebih mudah bagi petinggi hukum jika
terdapat peraturan semacam KUH Perdata yang mengatur lebih rinci
keperdataan akad ekonomi syariah. Hal ini juga tentu akan membatu
pertumbuhan ekonomi syariah karena dapat meminimalisir tingkat
sengketa ekonomi syariah.
2. Menyarankan kepada pihak bank syariah sebagai pelaku dalam
menyediakan produk-produk pembiayaan seperti akad MMq agar
mengoptimalkan sistem musyawarah. Musyawarah dapat dilakukan
ketika sebelum perjanjian akad dan jika ada perselisihan selama
pembiayaan berlangsung. Musyawarah pra akad antara bank nasabah
berguna untuk menyamakan pemahaman akan akad yang digunakan.
Sedangkan musyawarah yang diadakan ketika terjadi perselisihan
berguna agar perselisihan tersebut tidak perlu menjadi sengketa dan
dapat diselesainya secara kekeluargaan. Pihak bank syariah juga
sebagai pihak yang harusnya memahami betul prinsip syariah. Hal ini
karena pihak bank akan selalu dihadapkan pada berbagai macam
nasabah, yang mana tidak semua nasabah memahami pembiayaan
yang dilakukannya, apalagi seperti pada akad MMq yang merupakan
akad campuran. Karena itu, diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM)
yang kompeten di bidang ekonomi syariah untuk suatu bank syariah
agar dapat memaksimalkan transaksi keuangan syariah.
86
3. Menyarankan kepada pihak nasabah atau pun calon nasabah yang
ingin melakukan pembiayaan di bank syariah, khususnya pada
pembiayaan akad MMq, agar memahami dengan baik mekanisme
pembiayaan yang dilakukannya. Jika tidak, bisa saja terjadi
kesalahpahaman antara nasabah dan bank yang membuat masing-
masing pihak dirugikan. Padahal, kesalahpahaman tersebut masih bisa
diminimalisir agar tidak menjadi sengketa dengan cara musyawarah
antara nasabah dan bank. Penulis juga menyarankan kepada nasabah
agar ketika terjadi perselisihan atau sengketa, untuk lebih menekankan
musyawarah. Jika musyawarah tidak berhasil, maka hendaknya
mengajukan gugatan sesuai kesepakatan yang ada di kontrak atau
mengajukan ke Pengadilan Agama. Selain itu, terdapat penyelesaian
sengketa ekonomi syariah non litigasi, yaitu Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS).
87
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al-Qurtubi, Syaikh Imam, Penerjemah Ahmad Khotib, Tafsir Al-Qurthubi.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Al-Zuhaily, Wahbah. Al-Mu‟amalat al-Maliyah al-Mu‟asirah. Damaskus: Daarul
Fikr, 2002.
Antonio, Muhammad Syafi‟I. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani, 2009.
Arifin, Zainul. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Azkia Publisher,
2009. Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Depok: PT RajaGrafindo
Persada, 2015.
Asy-Syanqithi, Syaikh, Penerjemah Fathurazi. Tafsir Adhwa‟ul Bayan. Jakarta:
Pustaka azzam: 2006.
Asy-Syaukani, Imam, Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin, Asep Saefullah.
Tafsir Fathul Qadir. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Asy-Syaukani, Imam, Penerjemah A. Qadir Hassan, dkk. Nailul Authar 4:
Himpunan Hadits-Hadits Hukum. Surabaya: PT Bina Ilmu, 2007.
Ath-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir, Penerjemah Misbah, Abdul
Somad, Abdurrahim Supandi. Tafsir Ath-Thabari. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Djamil, Fathurrahman. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Greuning, Hennie Van, Zamir Iqbal, Penerjemah Yulianti Abbas. Analisis Risiko
Perbankan Syariah. Jakarta: Salemba Empat, 2011.
Harahap, Isnaini, dkk. Hadis-Hadis Ekonomi. Jakarta: Prenada Media Group,
2015.
88
Hasanudin, H. Maulana & H. Jaih Mubarok. Perkembangan Akad Musyarakah.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Ismail. Manajemen Perbankan: dari Teori Menuju Aplikasi. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2011.
Karim, Adiwarman A. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2014.
Khan, Tariqullah, Habib Ahmed, Terj. Ikhwan Abidin Basri. Manajemen Risiko
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta Timur: PT. Bumi Aksara, 2008.
Lathif, Azharuddin. Fiqh Muamalat. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005.
Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana, 2012.
Mujahidin, Ahmad. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di
Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Prasetyoningrum, Ari Kristin. Risiko Bank Syariah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015.
Rachmadi, Usman. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.
Rais, Isnawati & Hasanudin. Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS.
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Sabiq, Sayyid. Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin. Fikih Sunnah 5. Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2009.
Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Syariah; Produk-Produk dan Aspek-Aspek
Hukumnya. Jakarta: Kencana, 2014.
Sutedi, Adrian. Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010.
89
Tim Lembaga Penelitian UIN Jakarta. Pedoman Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009.
Zulkifli, Sunarto. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta Timur:
Zikrul Hakim, 2007.
Yusuf, Muri. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan.
Jakarta: Prenadamedia Group, 2014.
Jurnal
Hosen, Nadratuzzaman. “Musyarakah Mutanaqishah”. Al-Iqtishad. Vol. I, 2,
(2009): 9.
Lathif, Ah. Azharuddin. “Konsep dan Aplikasi Murabahah pada Perbankan
Syariah di Indonesia”. Ahkam. Vol. 12, 2, (2012): 74-75.
Marwini. “Aplikasi Pembiayaan Murabahah Produk KPRS di Perbankan
Syariah”. Al-Ihkam. Vol. 8, 1, (2013): 143-144.
M. Ridwan dan Syahruddin. “Implementasi Musyarakah Mutanaqisah sebagai
Alternatif Pembiayaan Murabahah di Perbankan Syariah Indonesia”. Tsaqafah.
Vol. 9, 1, (2013): 115.
Rokhim, Abdul. “Konstruk dan Model Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah di
Bank Syariah”. Human Falah Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam. Vol. 2, 1, (2014):
65.
Peraturan
Fatwa DSN-MUI Nomor 73 Tahun 2008 Tentang akad Musyarakah Mutanaqisah.
Fatwa DSN-MUI Nomor 89 Tahun 2013 Tentang Pembiayaan Ulang (Refinancing)
Syariah.
90
Keputusan DSN-MUI Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Implementasi Musyarakah
Mutanaqishah dalam Produk Pembiayaan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Penyaluran Dana.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 14 Tahun 2016.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1024 K/Pdt/2016.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian sengketa.
Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Berserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT).
Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 1 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
P U T U S A NNomor 1024 K/Pdt/2016
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESAM A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara perdata pada tingkat kasasi telah memutus sebagai berikut
dalam perkara:
RUSLAN FARIK, S.E., bertempat tinggal di Jalan Bukit Raya IV
RT 002 RW 011, Desa/Kelurahan Sariwangi, Kecamatan
Parongpong Nomor 19 Kota Bandung, dalam hal ini memberi
kuasa kepada Musa Darwin Pane, S.H., M.H., dan kawan-kawan
Para Advokat dan Konsultan Hukum pada kantor Asosiasi Debitur
Bank Dan Asuransi (ADBDA), beralamat di Jalan Emong Nomor 7
Lantai 2 Ruangan 25 Kota Bandung, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tanggal 2 Desember 2014;
Pemohon Kasasi dahulu Penggugat/Pembanding;
L a w a n
PT BANK OCBC NISP Tbk UNIT USAHA SYARIAH, Cs,bekedudukan di Jalan Asia Afrika Nomor 100 Kota Bandung,
yang diwakili oleh Joseph Chan Fook Onn dan Low She Kiat,
keduanya bertindak dalam jabatan masing-masing selaku
Direktur mewakili Direksi PT Bank OCBC NISP Tbk, dalam hal ini
memberi kuasa kepada FX. Tri Sumaryanto, S.H., M.H., dan
kawan-kawan, Para Advokat pada kantor Law Offices SGS
Mandiri, beralamat di Wisma Korindo Lantai 5 Jalan MT. Haryono
Kav. 62 Jakarta Selatan, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal
8 Januari 2016;
Termohon Kasasi dahulu Tergugat/Terbanding;
D a n:
1. KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL (BPN) RI CQKANTOR PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIAKANTOR PERTANAHAN NASIONAL KOTA BANDUNG,berkedudukan di Jalan Soekarno Hatta Nomor 586 Kota
Bandung;
2. PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA CQ KEMENTRIANKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA CQ DIREKTORATJENDERAL KEKAYAAN NEGARA (DJKN) Cq. Kantor
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 2 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
Wilayah VIII DJKN Bandung Cq. Kantor Kekayaan Negara& Lelang (KPKNL) Bandung, berkedudukan di Jalan Ambon
Nomor 1 Kota Bandung;
Para Turut Termohon Kasasi dahulu Para Turut Tergugat/Para
Turut Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata sekarang Pemohon
Kasasi dahulu sebagai Penggugat/Pembanding telah menggugat sekarang
Termohon Kasasi dahulu sebagai Tergugat/Terbanding dan Para Turut Termohon
kasasi dahulu Para Turut Tergugat/Para Turut Terbanding di muka persidangan
Pengadilan Negeri Bandung pada pokoknya atas dalil-dalil:
1. Bahwa, pada Tahun 2012 sepengetahuan Penggugat antara Penggugat,
selaku debitur dengan Tergugat (PTBank OCBC NISP, Tbk-Unit Usaha
Syariah) selaku kreditur, telah terjalin hubungan keperdataan dalam hal
perjanjian kredit sebagaimana perjanjian kredit Nomor 14 Akta Akad
Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah juncto Akad Ijarah Nomor 15, yang
dibuat dihadapan Elisa Kurniati, S.H., M.H., Notaris dan PPAT, hal mana
perjanjian kredit dimaksud terkait hutang piutang antara Penggugat dengan
Tergugat yang pada pokoknya Penggugat mendapat pinjaman kredit yakni
sejumlah Rp2.230.000.000,00 (dua miliar dua ratus tiga puluh juta rupiah)
dengan kewajiban membayar bunga serta biaya lain-lain;
2. Bahwa, sepengetahuan Penggugat atas pinjaman kredit a quo, Penggugat
telah memberikan jaminan berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor
2132, yakni atas tanah dan bangunan setempat terletak dan dikenal di
Jalan Batununggal Mulia Raya, Nomor 33, Kelurahn Mengger, Kecamatan
Bandung Kidul, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat, tercatat atas nama
Ruslan Faruk, Surat Ukur Nomor 01483/Mengger/2007, seluas 200 m2 (dua
ratus meter persegi) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2133, yakni
atas tanah dan bangunan setempat terletak dan dikenal di Jalan
Batununggal Mulia Raya, Nomor 33, Kelurahan Mengger, Kecamatan
Bandung Kidul, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat, tercatat atas nama
Ruslan Faruk, Surat Ukur Nomor 01484/Mengger/2007, seluas 194 m2
(seratus sembilan puluh empat meter persegi);
3. Bahwa, oleh karena nyata perjanjian kredit tersebut didasari atas dasar iktikad
baik para pihak, dan senyatanya Penggugat telah menikmati fasilitas kredit
tersebut dan Penggugat juga telah melakukan pembayaran-pembayaran
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 3 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
kepada Tergugat sebagaimana posita point 1 di atas, maka beralasan bagi
Hakim Yang Mulia menyatakan perjanjian kredit antara Penggugat dengan
Tergugat sebagaimana terurai pada posita point 1 (perjanjian kredit Nomor 14
Akta Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah juncto Akad Ijarah Nomor
15, yang dibuat di hadapan Elisa Kurniati, S.H., M.H., Notaris dan PPAT)
adalah sah dan memiliki kekuatan hukum;
4. Bahwa, menurut penghitungan dan data yang ada pada Penggugat
sebagaimana bukti yang akan diajukan oleh Penggugat di dalam agenda
pembuktian, dana yang telah dikeluarkan oleh Penggugat kepada Tergugat
untuk perjanjian kredit a quo terhitung sejak perjanjian dibuat yakni sejumlah
kurang lebih Rp500.411.000,00 (lima ratus juta empat ratus sebelas ribu
rupiah), sehingga setidak-tidaknya Penggugat telah mengeluarkan prestasi-
prestasi berupa uang pembayaran untuk perjanjian a quo yakni sejumlah
Rp500.411.000,00 (lima ratus juta empat ratus sebelas ribu rupiah), hal mana
pembayaran tersebut menurut hemat Penggugat merupakan pembayaran
baik pokok, bunga dan biaya lainnya;
5. Bahwa, dengan mengacu pada pembayaran-pembayaran prestasi yang telah
dikeluarkan oleh Penggugat kepada Tergugat sebagaimana perhitungan di
atas yakni setidak-tidaknya sebesar Rp500.411.000,00 (lima ratus juta empat
ratus sebelas ribu rupiah), maka dalam kesempatan ini Penggugat memohon
kepada Hakim pemeriksa agar menyatakan bahwa Penggugat telah
melakukan prestasi berupa pembayaran kepada Tergugat untuk perjanjian
kredit a quo yakni sejumlah Rp500.411.000,00 (lima ratus juta empat ratus
sebelas ribu rupiah);
6. Bahwa, in casu adanya perselisihan antara Penggugat dengan Tergugat
terkait jumlah hutang tidak pasti, hal mana menurut Penggugat sisa hutang
Penggugat kepada Tergugat untuk perjanjian a quo yakni sebesar
Rp2.230.000.000,00 - Rp500.411.000,00 = Rp1.729.589.000,00 (satu miliar
tujuh ratus dua puluh sembilan juta lima ratus delapan puluh sembilan ribu
rupiah) namun menurut Tergugat, Penggugat hanya baru membayar bunga
saja, oleh karenanya nyata ada sengketa antara Penggugat dengan
Tergugat, selaku demikian dalam kesempatan ini Penggugat memohon
kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa menyatakan menetapkan sisa
hutang Penggugat kepada Tergugat yakni sejumlah Rp1.729.589.000,00
(satu miliar tujuh ratus dua puluh sembilan juta lima ratus delapan puluh
sembilan ribu rupiah) atau sejumlah tertentu yang menurut Yang Mulia
Majelis Hakim adil dan patut dibayarkan oleh Penggugat kepada Tergugat;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 4 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
7. Bahwa, in casu Penggugat, tidak pernah ada kejelasan pasti mengenai
berapa sebenarnya sisa kewajiban Penggugat yang harus dibayarkan
kepada pihak kreditur in casu Tergugat baik pokok maupun bunganya, hal
tersebut menimbulkan sengketa antara Penggugat dengan Tergugat,
ketidak pastian jumlah hutang (baik penghitungan pokok, bunga dan denda)
tidak terlepas dari peran dan tanggung jawab Tergugat yang lalai dan tidak
hati-hati menjalankan sistem perbankan yang baik, hal mana tindakan
tersebut dapat merugikan Penggugat baik secara materiil maupun moril,
termasuk beban beban yang seharusnya tidak dibayarkan atau dibayarkan
menjadi tidak pasti, sulit untuk menghitung dan memastikan jumlah sisa
hutangnya, tindakan Tergugat tersebut menurut Penggugat dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud di
dalam Pasal 1365 KUH Perdata, selaku demikian dalam kesempatan ini
Penggugat memohon kepada Hakim Yang Mulia agar menyatakan Tergugat
telah melakukan perbuatan melawan hukum;
8. Bahwa, selain itu terhadap objek jaminan dalam hutang piutang tersebut,
Tergugat memberitahukan kepada Penggugat dan mengumumkan bahwa
objek yang dijaminkan Penggugat akan dilelang pada tanggal 4 Desember
2014, hal ini tentu saja bertentangan dengan hukum hal mana masih ada
hak kebendaan Penggugat yang melekat pada bidang-bidang tanah dan
bangunan tersebut;
9. Bahwa, sejak dibuatnya perjanjian a quo, Penggugat selalu membayar
angsuran dengan tepat waktu dan tertib, akan tetapi dalam perjalanannya
Penggugat mulai berhenti membayar angsuran, hal ini diakibatkan karena
usaha Penggugat mengalami kemerosotan drastis dan Penggugat mengalami
musibah dalam usahanya, sehingga dalam melakukan pembayaran kewajiban
Penggugat kepada Tergugat pun mengalami hambatan, namun demikian
meskipun dalam kondisi yang demikian itu Penggugat tetap beriktikad baik
untuk membayar hutangnya tersebut kepada Tergugat dan berupaya terus
berjuang membangkitkan kembali usahanya, akan tetapi pada saat yang
sama Tergugat terus saja melakukan penagihan kepada Penggugat tanpa
memberikan rincian kewajiban bayar Penggugat kepada Tergugat yang pasti
dan jelas, tindakan Tergugat ini semakin membuat Penggugat merasa di
bawah tekanan dan menjadi bingung karena disatu sisi Penggugat harus
membangkitkan usaha Penggugat dan di sisi lain Penggugat harus
menanggung beban untuk membayar cicilan/angsuran kredit yang menurut
Penggugat dalam keadaan kondisi Penggugat saat ini sangatlah berat untuk
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 5 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
dilaksanakan sebagaimana dalam keadaaan-keadaan normal (usaha stabil),
selaku demikian beralasan bagi hakim yang mulia menyatakan Tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum;
10. Bahwa, atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat
sebagaimana uraian posita-posita di atas, Penggugat mengalami kerugian
baik material maupun immaterial, dalam kesempatan ini Penggugat
memohon agar Tergugat dihukum membayar kerugian secara tunai dan
seketika, yang diperinci sebagai berikut:
a. Kerugian Material yakni biaya-biaya untuk memperjuangkan hak haknya
sebesar Rp125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah);
b. Kerugian Immaterial berupa beban pikiran atas ketidakjelasan besarnya
kewajiban pembayaran dan beban moril atas pengumuman lelang yang
tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang sulit diukur, namun dalam
kesempatan ini mohon dipersamakan sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) atau sejumlah tertentu yang menurut hakim patut dan adil;
11. Bahwa, demi keadilan dan kepastian hukum, terkait dengan Penggugat
tetap beritikad baik untuk melakukan kewajiban pembayaran pinjaman
kreditnya kepada Tergugat, hal mana Penggugat memohon agar Tergugat
dihukum dan diperintahkan untuk menjadwalkan hutang kreditnya yang
disesuaikan dengan kemampuan kekinian dari Penggugat, yakni
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per bulannya, selaku demikian Penggugat
memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk menghukum dan
memerintahkan Tergugat agar melakukan penjadwalan ulang hutang
Penggugat dengan menetapkan sisa hutang sebesar Rp1.729.589.000,00
(satu miliar tujuh ratus dua puluh sembilan juta lima ratus delapan puluh
sembilan ribu rupiah) atau sejumlah tertentu yang menurut Yang Mulia
Majelis Hakim adil dan patut dibayarkan oleh Penggugat kepada Tergugat
dan menjadwalkan angsurannya sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)
perbulan dengan jangka waktu disesuaikan sampai dengan lunasnya
kewajiban Penggugat kepada Tergugat;
12. Bahwa, Penggugat tidak pernah mengalihkan dalam bentuk jual beli atau
hibah atas asset jaminan tersebut kepada pihak lain, dan di sisi lain bahwa
nilai jaminan yang diberikan masih jauh melebihi nilai pinjaman Penggugat
kepada Tergugat sehingga tidak perlu ada kekhawatiran dari Tergugat
terhadap asset jaminan tersebut, selaku demikian beralasan bagi Ketua/
Majelis Hakim untuk mengabulkan petitum-petitum gugatan Penggugat
untuk seluruhnya termasuk terkait dengan adanya permohonan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 6 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
penjadwalan hutang;
13. Bahwa, dalam Perjanjian kredit a quo, nyata Penggugat memberikan jaminan
kepada Tergugat berupa Sertifikat-sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2132,
yakni atas tanah dan bangunan setempat terletak dan dikenal di Jalan
Batununggal Mulia Raya, Nomor 33, Kelurahan Mengger, Kecamatan
Bandung Kidul, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat, tercatat atas nama
Ruslan Faruk, Surat Ukur Nomor 01483/Mengger/2007, seluas 200 m2 (dua
ratus meter persegi) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2133, yakni
atas tanah dan bangunan setempat terletak dan dikenal di Jalan Batununggal
Mulia Raya, Nomor 33, Kelurahan Mengger, Kecamatan Bandung Kidul, Kota
Bandung, Propinsi Jawa Barat, tercatat atas nama Ruslan Faruk, Surat Ukur
Nomor 01484/Mengger/2007, seluas 194 m2 (seratus sembilan puluh empat
meter persegi) agar terhadap objek tanah dan bangunan jaminan a quo tidak
disalahgunakan oleh pihak Tergugat ataupun pihak lain yang mendapat kuasa
atasnya selama proses perkara ini masih berjalan, maka Penggugat
memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Yang Mulia untuk berkenan dalam
putusan provisinya memerintahkan kepada Tergugat dan atau siapapun yang
mendapat hak atasnya untuk tidak melakukan penyemprotan/pemasangan
plang dijual, pengalihan hak (jual-beli, lelang, sewa, gadai atau hibah) atau
tindakan apapun atas objek jaminan tersebut sampai dengan adanya putusan
yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara a quo, serta mohon diletakkan
sita jaminan/sita persamaan atas obyek a quo;
14. Bahwa, terkait petitum gugatan Penggugat yang memohon kepada hakim
yang mulia agar ditetapkannya pembayaran yang telah dilaksanakan, sisa
hutang/kewajiban pembayaran dan/atau penjadwalan ulang hutang atas
dasar asas kepatutan dan keadilan tersebut mohon dibandingkan pula
putusan-putusan hakim/pengadilan yang memiliki nilai "Landmark
Decision", diantaranya sebagai berikut:
a. Putusan PengadilanNegeri Kelas IA Bandung Nomor 210/Pdt/G/2008/
PN Bdg., tanggal 23 Desember 2008 (telah berkekuatan hukum tetap)
dalam perkara gugatan dengan pihak Penggugat: Irwan Kahfi, S.E., dan
Peny Andrejani Nugroho, S.H., (Debitur), melawan pihak Tergugat: PT
Bank Bumiputera Indonesia, Tbk, cq. PT Bank Bumiputera Indonesia,
Tbk, Cabang Bandung (Kreditur), dalam pertimbangan hukumnya pada
halaman 18 alinea 1 putusan tersebut menyatakan: `:..bahwa Majelis
berpendapat bahwa sesuai rasa keadilan dan kepatutan gugatan
Penggugat untuk penjadwalan kreditnya cukup beralasan dan dapat
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 7 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
dikabulkan disesuaikan dengan kemampuan Penggugat..'; kemudian di
dalam Amar putusannya halaman 20 baris 1 sampai dengan 4: "-
menghukum Tergugat untuk menjadwalkan hutang Penggugat sehingga
cicilan perbulannya yang harus dibayar oleh Penggugat sebesar
Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah)...';
b. Putusan PengadilanNegeri Kelas IA Bale Bandung Nomor 148/Pdt/G/
2010/PN BB., tanggal 21 Maret 2011 antara H. Ujang Setiawan (Debitur)
Vs Ruyanto, Pimpinan CV Anugerah Jaya Lama (Kreditur), putusan
mana telah memiliki kekuatan hukum tetap Pertimbangan hukumnya
pada hal 21: "dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan,
maka cukup beralasan untuk menentukan mengenai sistem pembayaran
hutang Penggugat kepada Tergugat sebagai berikut: bahwa hutang
Penggugat sebesar Rp1.494.035.000,00 (satu miliar empat ratus
sembilan puluh juta tiga puluh lima ribu rupiah) wajib dibayarkan kepada
Tergugat dengan sistem diangsur atau dicicil dengan jumlah yang harus
dibayar pada tiap bulannya sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta
rupiah) sampai dengan seluruh hutang Penggugat sebagaimana di atas
dibayar lunas". Amar putusannya hal 22: "Mengabulkan gugatan
Penggugat sebagian,- Menyatakan bahwa jumlah hutang Penggugat
kepada Tergugat adalah sejumlah Rp1.494.035.000,00 (satu miliar
empat ratus sembilan puluh juta tiga puluh lima ribu rupiah);-Menghukum
Penggugat untuk membayar jumlah hutang tersebut di atas dengan
sistem diangsur atau dicicil dengan cara dibayar pada setiap bulannya
sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) sampai dengan
dibayar lunas seluruh hutang Penggugat tersebut di atas;-Menghukum
Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar
Rp566.000,00 (lima ratus enam puluh enam ribu rupiah)... ";
c. Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung Nomor 351/Pdt.G/2012/PN
Bdg., tanggal 9 April 2013 dalam perkara gugatan antara pihak Penggugat
Herry Suherman (debitur) VS pihak Tergugat PT Bank Perkreditan Rakyat
Mangun Pundiyasa (Kreditur), pertimbangan hukumnya halaman 55
menyatakan : "...Bahwa Majelis Hakim memandang patut dan adil untuk
dikabulkan petitum Penggugat mengenai penjadwalan ulang pembayaran
hutang Penggugat kepada Tergugat dan dengan memperhatikan azas
keadilan dan kepatutan..'; kemudian amar putusannya pada halaman 56,
pokoknya sebagai berikut:"
Dalam Pokok Perkara:
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 8 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan bahwa Penggugat sampai saat ini telah membayar
hutangnya kepada Tergugat sebesar Rp47.295.000,00 (empat puluh
tujuh juta dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah);
- Menetapkan sisa hutang Penggugat kepada Tergugat Rp61.005.000,00
(enam puluh satu juta lima ribu rupiah);
- Menghukum dan memerintahkan Tergugat untuk menjadwalkan
hutang Penggugat tersebut dengan cara diangsur perbulannya
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) sampai dengan lunasnya dibayar
sejumlah hutangnya tersebut yakni Rp61.005.000,00 (enam puluh
satu juta lima ribu rupiah);
d. Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Bandung Nomor
245/Pdt/G/2014/PN Bdg, antara H. Eddy S. K, Vs PT Bank Jabar Banten
Syariah, yanq pada pokoknya memperkenankan Debitur melaksanakan
kewajibannya dengan cara dianqsur yakni sejumlah Rp20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah) per bulan hingga lunas kewajibannya yakni sebesar
Rp2.665.129.333,00 (dua miliar enam ratus enam puluh lima juta seratus
dua puluh sembilan ribu tiga ratus tiga puluh tiga rupiah dari yang
seharusnya Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) per bulannya;
15. Bahwa, agar dapat terlaksananya asas peradilan yang cepat, sederhana
dan biaya murah, serta dapat terhindarnya kerugian yang dapat muncul di
kemudian hari dirasakan oleh Penggugat, maka mohon kepada hakim
pemeriksa menyatakan terhadap putusan a quo dapat dilaksanakan terlebih
dahulu meski Tergugat mengajukan upaya hukum (banding, verset, kasasi);
16. Bahwa, ditariknya pihak Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II di dalam
perkara a quo adalah guna tertibnya hukum dan tidak kurangnya pihak, dan
agar tidak membantu peralihan hak (lelang, Jual Beli, Sewa dan Gadai)
terhadap objek bidang tanah dan bangunan milik Penggugat sampai dengan
adanya putusan yang bersifat final dan mengikat, selaku demikian mohon pula
kepada Hakim Yang Mulia menghukum dan memerintahkan Turut Tergugat I
dan Turut Tergugat II untuk tunduk dan patuh terhadap putusan dalam perkara
a quo terutama dalam hal tidak membantu proses peralihan hak (lelang, Jual
Beli, Sewa dan Gadai) terhadap objek jaminan a quo sampai dengan adanya
putusan yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara a quo;
17. Bahwa, gugatan yang diajukan telah beralasan hukum untuk diterima dan
dikabulkan seluruhnya, tentunya para pihak haruslah dipanggil di muka
persidangan serta bagi Tergugat beralasan agar dihukum untuk membayar
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 9 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
seluruh biaya perkara;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan mengingat ketentuan HIR,
peraturan perundang-undangan terkait yang berlaku di Negara Kesatuan
Republik Indonesia, serta asas keadilan dan kepatutan dengan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Penggugat selaku subyek hukum pencari
keadilan mohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA
Bandung yang memeriksa dan mengadili memberi putusan sebagai berikut:
Dalam Provisi:
"Memerintahkan kepada Tergugat, Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II dan atau
siapapun yang mendapat hak atasnya untuk tidak melakukan penyemprotan/
pemasangan plang dijual, pengalihan hak (Jual-beli, lelang, sewa, gadai atau
hibah) atau tindakan apapun atas tanah dan bangunan sebagaimana Sertifikat
Hak Guna Bangunan Nomor 2132 yang setempat terletak dan dikenal di Jalan
Batununggal Mulia Raya, Nomor 33, Kelurahan Mengger, Kecamatan Bandung
Kidul, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat, tercatat atas nama Ruslan Faruk, Surat
Ukur Nomor 01483/Mengger/2007, seluas 200 m2 (dua ratus meter persegi) dan
tanah dan bangunan sebagaimana Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2133
yang setempat terletak dan dikenal di Jalan Batununggal Mulia Raya, Nomor 33,
Kelurahan Mengger, Kecamatan Bandung Kidul, Kota Bandung, Propinsi Jawa
Barat, tercatat atas nama Ruslan Faruk, Surat Ukur Nomor 01484/Mengger/2007,
seluas 194 m2 (seratus sembilan puluh empat meter persegi), sampai dengan
adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara a quo;
Dalam Pokok Perkara:
Primair:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan perjanjian kredit antara Penggugat dengan Tergugat
sebagaimana terurai pada posita point 1 (perjanjian kredit Nomor 14 Akta
Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah Juncto Akad Ijarah Nomor 15,
yang dibuat dihadapan Elisa Kurniati, S.H., M.H., Notaris dan PPAT) adalah
sah dan memiliki kekuatan hukum;
3. Menyatakan bahwa Penggugat telah melakukan prestasi berupa
pembayaran kepada Tergugat untuk perjanjian kredit a quo yakni sejumlah
Rp500.411.000,00 (lima ratus juta empat ratus sebelas ribu rupiah);
4. Menyatakan menetapkan sisa hutang Penggugat kepada Tergugat yakni
sejumlah Rp1.729.589.000,00 (satu miliar tujuh ratus dua puluh sembilan
juta lima ratus delapan puluh sembilan ribu rupiah) atau sejumlah tertentu
yang menurut Yang Mulia Majelis Hakim adil dan patut dibayarkan oleh
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 10 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
Penggugat kepada Tergugat;
5. Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
6. Menghukum dan memerintahkan Tergugat agar melakukan penjadwalan
hutang Penggugat dari sisa hutang Penggugat yakni sebesar
Rp1.729.589.000,00 (satu miliar tujuh ratus dua puluh sembilan juta lima ratus
delapan puluh sembilan ribu rupiah) atau sejumlah tertentu yang menurut
Majelis Hakim adil dan patut dibayarkan oleh Penggugat kepada Tergugat dan
menjadwalkan angsurannya sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)
perbulannya dengan jangka waktu disesuaikan sampai dengan lunasnya
kewajiban Penggugat kepada Tergugat;
7. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi secara tunai dan seketika
yang diperinci sebagai berikut:
a. Kerugian Material yakni biaya-biaya untuk memperjuangkan hak-haknya
sebesar Rp125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah);
b. Kerugian Immaterial berupa beban pemikiran atas ketidakjelasan beban
kewajiban pembayarannya dan atas pengumuman lelang yang tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu yang sulit diukur, namun dalam
kesempatan ini mohon sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
atau sejumlah tertentu yang menurut hakim patut dan adil;
8. Meletakkan sita jaminan/sita persamaan terhadap objek terperkara yakni:
tanah dan bangunan sebagaimana Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor
2132 yang setempat terletak dan dikenal di Jalan Batununggal Mulia Raya,
Nomor 33, Kelurahan Mengger, Kecamatan Bandung Kidul, Kota Bandung,
Propinsi Jawa Barat, tercatat atas nama Ruslan Faruk, Surat Ukur Nomor
01483/ Mengger/2007, seluas 200 m2 (dua ratus meter persegi) dan tanah
dan bangunan sebagaimana Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2133 yang
setempat terletak dan dikenal di Jalan Batununggal Mulia Raya, Nomor 33,
Kelurahan Mengger, Kecamatan Bandung Kidul, Kota Bandung, Propinsi
Jawa Barat, tercatat atas nama Ruslan Faruk, Surat Ukur Nomor 01484/
Mengger/2007, seluas 194 m2 (seratus sembilan puluh empat meter persegi);
9. Menyatakan terhadap putusan a quo dapat dilaksanakan terlebih dahulu
meski Tergugat mengajukan upaya hukum (banding, verset, kasasi);
10. Menghukum dan memerintahkan Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II
untuk tunduk dan patuh terhadap putusan dalam perkara a quo terutama
dalam hal tidak membantu proses peralihan hak (lelang, Jual Beli, Sewa
dan Gadai) terhadap objek jaminan a quo sampai dengan adanya putusan
yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara a quo;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 11 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
11. Membebankan biaya perkara kepada Tergugat untuk seluruhnya;
Atau: Subsidair;
Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung
berpendapat lain, mohon agar memberikan putusan yang seadil-adilnya, ex a
quo et bono;
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat mengajukan
eksepsi dan gugatan rekonvensi yang pada pokoknya sebagai berikut:
Dalam Eksepsi:
Kompetensi Absolut:
1. Bahwa menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., dalam bukunya
“Hukum Acara Perdata Indonesia”, Edisi Keempat, 1993, Penerbit Liberty,
Yogyakarta, pada halaman 62, alinea kedua menyatakan “wewenang
mutlak atau kompetensi absolut, yaitu wewenang badan pengadilan dalam
memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa
oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama
(Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan
peradilan lain (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama)”;
2. Bahwa hubungan hukum yang terjadi antara Penggugat dan Tergugat
adalah hubungan kerja sama untuk membiayai pembelian barang secara
Musyarakah Mutanaqisah menurut ketentuan Syariah, dimana besar porsi
pembelian masing-masing sudah ditentukan di awal sesuai dengan
kesepakatan, yaitu pembelian berupa tanah dan bangunan rumah yang
terletak di:
- Propinsi Jawa Barat, Kota Bandung, Kecamatan Bandung Kidul,
Kelurahan Mengger, setempat dikenal sebagai Jalan Batununggal Mulia
Raya Nomor 33, seluas 200 m2 (dua ratus meter persegi), sebagaimana
Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2132/Mengger, atas nama Nyonya
Yayuk Rachmanti, Sarjana Tenik;
- Propinsi Jawa Barat, Kota Bandung, Kecamatan Bandung Kidul,
Kelurahan Mengger, setempat dikenal sebagai Jalan Batununggal Mulia
Raya Nomor 33, seluas 194 m2 (seratus sembilan puluh empat meter
persegi), sebagaimana Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2133/
Mengger, atas nama Nyonya Yayuk Rachmanti, Sarjana Tenik;
Sebagaimana ternyata dalam Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah
Nomor 14 tanggal 2 April 2012, yang dibuat di hadapan Elisa Kurniati,
S.H., M.H., Notaris di Kota Bandung;
3. Bahwa selanjutnya Penggugat bersedia melakukan pembayaran
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 12 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
pengambilalihan rumah yang menjadi porsi kepemilikan Tergugat secara
bertahap dalam jangka waktu yang disesuaikan dengan jangka waktu sewa
atas dasar kesepakatan, sebagaimana ternyata dalam Akad Ijarah Nomor 15
tanggal 2 April 2012, yang dibuat di hadapan Elisa Kurniati, S.H., M.H., Notaris
di Korta Bandung;
4. Berdasarkan Pasal 21 ayat (2) Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah
Nomor 14 tanggal 2 April 2012, yang dibuat di hadapan Elisa Kurniati, S.H.,
M.H., Notaris di Kota Bandung (”Akad Pembiayaan Musyarakah
Mutanaqisah”), ditegaskan bahwa ”Bilamana musyawarah sebagai dimaksud
ayat 1 Pasal ini tidak menghasilkan kata sepakat mengenai penyelesaian
perselisihan, maka mengenai Akad ini dan segala akibatnya Para Pihak
sepakat memilih tempat kedudukan hukum (domisili) yang tetap dan tidak
berubah pada Kantor Panitera Pengadilan Agama di Kota Bandung”;
Selanjutnya Pasal 26 ayat (2) Akad Ijarah Nomor: 15 tanggal 2 April 2012,
yang dibuat di hadapan Elisa Kurniati, S.H., M.H., Notaris di Korta Bandung
(”Akad Ijarah”), kembali menegaskan bahwa ”Bilamana musyawarah
sebagai dimaksud ayat 1 Pasal ini tidak menghasilkan kata sepakat
mengenai penyelesaian perselisihan, maka mengenai Akad ini dan segala
akibatnya Para Pihak sepakat memilih tempat kedudukan hukum (domisili)
yang tetap dan tidak berubah pada Kantor Panitera Pengadilan Agama di
Kota Bandung”;
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam hal terjadi perselisihan atau
sengketa dalam pelaksanaan kedua Akad tersebut di atas, jika kemudian
penyelesaian secara musyawarah tidak menghasilkan kata sepakat, maka
Penggugat dan Tergugat sepakat untuk menyelesaikannya melalui
Pengadilan Agama Bandung, sebagaimana pilihan domisili yang dipilih
dalam Pasal 21 ayat (2) Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah dan
Pasal 26 ayat (2) Akad Ijarah;
Oleh karenanya in casu yang mempunyai wewenang mutlak atau
kompetensi absolut untuk memeriksa dan mengadili perkara gugatan
Penggugat adalah Pengadilan Agama Bandung, bukan Pengadilan Negeri
Bandung, sehingga Pengadilan Negeri Bandung tidak berwenang
memeriksa dan mengadili perkara Nomor 568/Pdt.G/2014/PN Bdg;
5. Bahwa dalam dalil Penggugat disebutkan bahwa pokok sengketa dalam
perkara ini adalah tentang ketidakpastian jumlah hutang Penggugat kepada
Tergugat, yang mendasarkan pada Akad Pembiayaan Musyarakah
Mutanaqisah dan Akad Ijarah;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 13 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
Berdasarkan Pasal 24 Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah
ditegaskan bahwa ”Nasabah tunduk kepada semua ketentuan Syariah dan
kebiasaan mengenai akad pembiayaan musyarakah mutanaqisah dan
perjanjian pemberian jaminan yang berlaku pada Bank serta peraturan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) baik yang telah maupun yang akan
ditetapkan dikemudian hari dan hal tersebut telah disetujui oleh Nasabah”;
Selanjutnya Pasal 25 Akad Ijarah kembali menegaskan bahwa
”Pelaksanaan Akad tunduk kepada ketentuan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia dan ketentuan Syariah yang berlaku bagi Bank,
termasuk tetapi tidak terbatas pada Peraturan Bank Indonesia dan Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia”;
Pasal 49 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (”UU
Nomor 3/2006”), menyatakan bahwa ”Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a)
Perkawinan; (b) Waris; (c) Wasiat; (d) Hibah; (e) Wakaf; (f) Zakat; (g) Infaq;
(h) Shadaqah; dan (i) Ekonomi Syariah”;
Berdasarkan Penjelasan Undang Undang Nomor 3/2006 Pasal 49,
disebutkan bahwa ”yang dimaksud dengan antara orang-orang yang
beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan
sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai
dengan ketentuan Pasal ini”;
Selanjutnya Penjelasan Undang Undang Nomor 3/2006 Pasal 49 huruf (i)
menjelaskan bahwa ”yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah,
antara lain meliputi: (a) bank syariah; (b) lembaga keuangan mikro syariah;
(c) asuransi syariah; (d) reasuransi syariah; (e) reksa dana syariah; (f)
obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; (g)
sekuritas syariah; (h) pembiayaan syariah; (i) pegadaian syariah; (j) dana
pensiun lembaga keuangan syariah; dan (k) bisnis syariah ”;
Pasal 1 angka 12 Undang Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (”Undang Undang Nomor 21/2008”), menyatakan bahwa ”Yang
dimaksud dengan Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 14 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”;
Pasal 1 angka 13 Undang Undang Nomor 21/2008, menyatakan bahwa
”Yang dimaksud dengan Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank
Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak
dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah”;
Pasal 1 angka 25 Undang Undang Nomor 21/2008, menyatakan bahwa
”Yang dimaksud dengan pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan
yang dipersamakan dengan itu berupa: (a) transaksi bagi hasil dalam
bentuk mudharabah dan musyarakah; (b) transaksi sewa menyewa dalam
bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau
Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil”;
Selanjutnya Pasal 55 Undang Undang Nomor 21/2008 menyatakan dalam:
Ayat (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;
Ayat (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi Akad;
Ayat (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah;
6. Sebagaimana telah dikemukakan dimuka bahwa hubungan hukum yang
terjadi antara Penggugat dan Tergugat adalah hubungan kerja sama untuk
membiayai pembelian barang secara Musyarakah Mutanaqisah menurut
ketentuan Syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, dalam hal mana Penggugat bersedia melakukan pembayaran
pengambilalihan rumah yang menjadi porsi kepemilikan Tergugat secara
bertahap dalam jangka waktu yang disesuaikan dengan jangka waktu sewa
atas dasar kesepakatan (Ijarah);
Dengan demikian terbukti bahwa tindakan/perbuatan yang dilaksanakan
diantara Penggugat dengan Tergugat tersebut adalah termasuk dalam
bidang ekonomi syariah atau Perbankan Syariah, oleh karenanya jelaslah
pokok sengketa yang didalilkan oleh Penggugat tersebut di atas adalah
mengenai sengketa ekonomi syariah atau Perbankan Syariah;
7. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa perkara ini
termasuk dalam perkara sengketa ekonomi syariah atau Perbankan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 15 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
Syariah, sehingga berdasarkan Pasal 49 Undang Undang Nomor 3/2006
dan Pasal 55 Undang Undang Nomor 21/2008, yang mempunyai
wewenang mutlak atau kompetensi absolut untuk memeriksa dan mengadili
perkara gugatan Penggugat adalah pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama, bukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, oleh
karenanya Pengadilan Negeri Bandung tidak berwenang mengadili perkara
Nomor 568/Pdt.G/2014/PN Bdg;
8. Bahwa untuk itu, Tergugat mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Bandung yang memeriksa dan mengadili perkara gugatan ini kiranya
berkenan untuk memberikan putusan sela atas eksepsi tentang kompetensi
absolut ini;
Petitum/Tuntutan Tidak Jelas:
1. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., sebagaimana diuraikan dalam
bukunya yang berjudul “Hukum Acara perdata Indonesia“, Penerbit Liberty
1993-Yogyakarta, halaman 41, menyatakan bahwa “petitum atau tuntutan
ialah apa yang oleh Penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan
oleh hakim. Jadi petitum itu akan mendapatkan jawabannya didalam dictum
atau amar putusan. Maka oleh karena itu Penggugat harus merumuskan
petitum dengan jelas dan tegas (Pasal 8 Rv). Tuntutan yang tidak jelas atau
tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut”;
2. Bahwa ternyata petitum/tuntutan butir 3 telah dirumuskan secara tidak jelas,
yaitu: “Menyatakan bahwa Penggugat telah melakukan prestasi berupa
pembayaran kepada Tergugat untuk perjanjian kredit a quo yakni sejumlah
Rp500.411.000,00 (lima ratus juta empat ratus sebelas ribu rupiah)”;
Bahwa petitum/tuntutan ini tidak jelas (kabur), karena hanya menyebutkan
perjanjian kredit a quo, tidak dirumuskan secara jelas dan tegas, yang
manakah yang dimaksud dengan perjanjian kredit a quo, apakah
merupakan akta otentik atau akta di bawah tangan, jika otentik dibuatnya di
hadapan Notaris siapa, kemudian juga nomor dan tanggal dibuatnya
perjanjian tidak disebutkan;
3. Dengan demikian, terbukti bahwa petitum/tuntutan Penggugat tersebut
tidak jelas, oleh karenanya gugatan Penggugat haruslah dinyatakan tidak
dapat diterima (vide: Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 Desember
1975 Nomor 582 K/sip/1973);
Eksepsi Turut Tergugat I:
Bahwa Turut Tergugat I berpendirian perkara ini adalah murni perkara perdata
antara pihak Penggugat dan Tergugat yang tidak ada keterkaitan dengan Turut
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 16 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
Tergugat I, dan telah terbukti pula baik pada Posita maupun Petitum dalam
Surat Gugatan Penggugat tidak terdapat perbuatan Turut Tergugat I yang
merugikan kepentingan pihak lain (dalam hal ini Penggugat), maka Turut
Tergugat I mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini berkenan
untuk memutuskan mengeluarkan Turut Tergugat I sebagai pihak dari perkara ini;
Eksepsi Turut Tergugat II:
1. Eksepsi Kompetensi Absolut:
Bahwa Pengadilan Negeri Bandung tidak berwenang untuk memeriksa dan
memutus perkara a quo dengan alasan:
- Bahwa dalam positanya, Penggugat mendalilkan mempunyai hutang
kepada PT Bank OCBC NISP, Tbk Unit Usaha Syariah sebagaimana
dalam Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah Nomor 14 tanggal 2
April 2012 dan Akad Ijarah Nomor 15 tanggal 2 April 2012 yang dibuat
dihadapan Notaris Elisa Kurniati, S.H., Notaris di Kota Bandung;
- Bahwa dalam Pasal 26 Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah
Nomor 14 tanggal 2 April 2012 dan Akad Ijarah Nomor 15 tanggal 2 April
201, menyatakan apabila terjadi perselisihan diantara para pihak yang
tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah, para pihak sepakat
memilih tempat kedudukan hukum (domisili) yang tetap dan tidak
berubah pada Kantor Pengadilan Agama Bandung;
- Bahwa terkait dengan hal tersebut di atas, Pengadilan Negeri Bandung
harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa dan
mengadili perkara a quo;
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Bandung telah
memberikan Putusan Nomor 568/Pdt.G/2014/PN Bdg., tanggal 8 Juli 2015
dengan amar sebagai berikut:
1. Menyatakan eksepsi Tergugat dapat diterima;
2. Menyatakan Pengadilan Negeri Bandung tidak berwenang memeriksa
perkara ini;
3. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat sebesar Rp2.071.000,00
(dua juta tujuh puluh satu ribu rupiah);
Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan
Penggugat putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi Bandung dengan Putusan Nomor 462/PDT/2015/PT BDG.,
Tanggal 10 November 2015;
Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada
Penggugat/Pembanding pada tanggal 2 Desember 2015 kemudian terhadapnya
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 17 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
oleh Penggugat/Pembanding dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tanggal 2 Desember 2015 diajukan permohonan kasasi pada
tanggal 16 Desember 2015 sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Kasasi
Nomor 93/Pdt/KS/2015/PN Bdg, yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri
Bandung, permohonan tersebut diikuti dengan memori kasasi yang memuat
alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada
tanggal 28 Desember 2015;
Bahwa memori kasasi dari Pemohon Kasasi/Penggugat/Pembanding
tersebut telah diberitahukan kepada Termohon Kasasi/Tergugat/Terbanding
pada tanggal 31 Desember 2015 dan kepada Para Turut Termohon Kasasi/
Para Turut Tergugat/Para Turut Terbanding pada tanggal 29 Desember 2015;
Kemudian Termohon Kasasi/Tergugat/Terbanding mengajukan tanggapan
memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bandung pada
tanggal 14 Januari 2016;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya
telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam Undang Undang, oleh
karena itu permohonan kasasi tersebut secara formal dapat diterima;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/
Penggugat/Pembanding dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya
sebagai berikut:
1. Bahwa pada tanggal 2 Desember 2015 Pemohon Kasasi (dahulu
Pembanding) melalui kuasa hukumnya telah menerima Surat Pemberitahuan
Isi Putusan Banding Nomor 462/PDT/2015/PT BDG, Juncto Nomor
568/PDT/G/2014/PN Bdg, tentang isi putusan Pengadilan Tinggi Bandung
tanggal 10 November 2015 Nomor 462/PDT/2015/PT BDG, Juncto Putusan
Pengadilan Negeri Bandung tanggal 3 Juli 2015 Nomor 568/Pdt.G/2014/PN
Bdg, dan pada tanggal 16 Desember 2015 telah mengajukan
pemeriksaan ulang pada tingkat kasasi terhadap Putusan Pengadilan
Tinggi Bandung (Jawa barat) Nomor 462/PDT/2015/PT BDG, Juncto
Nomor 568/Pdt/G/2014/PN Bdg, dan tercatat dalam Akta Permohonan Kasasi
Nomor 93/Pdt/KS/2015/PN Bdg, di Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus
Bandung, oleh karena diajukan dalam tenggang waktu dan menurut cara serta
memenuhi syarat yang ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan,
selaku demikian permohonan kasasi secara formil dapat diterima:
2. Bahwa, Pemohon Kasasi (dahulu Pembanding) menolak isi putusan
Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 462/PDT/2015/PT BDG Juncto Nomor
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 18 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
568/PDT/G/2014/PN.Bdg, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
M E N G A D I L I:
- Menerima Permohonan Banding dari Pembanding semula Penggugat;
- Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Bandung tanggal 8 Juli 2015
Nomor 568/Pdt.G/2014/PN Bdg, yang dimohonkan banding tersebut;
- Menghukum Pembanding, semula Penggugat untuk membayar biaya
perkara yang timbul dalam kedua tingkat peradilan yang ditingkat banding
ditetapkan berjumlah Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah);
3. Bahwa, Pemohon Kasasi (dahulu Pembanding) menolak terhadap
pertimbangan hukum Judex Facti Pengadilan Tinggi Bandung (Jawa Barat)
pada halaman 4 alinea kedua yang menyatakan “...tidak ada hal baru yang
baru yang perlu dipertimbangkan, maka Pengadilan Tinggi dapat
menyetujui dan membenarkan Putusan Majelis Hakim tingkat pertama,
dst...” kemudian pada halaman 4 alinea ketiga yang menyatakan “...maka
pertimbangan-pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama
tersebut diambil alih dan dijadikan dasar pertimbangan putusan Pengadilan
Tinggi sendiri dan seterusnya....;
Bahwa pertimbangan Judex Facti Pengadilan Tinggi Bandung (Jawa Barat)
telah salah menerapkan hukum, karena telah bertentangan dengan
ketentuan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009,
yakni pada ketentuan pasal-pasal sebagai berikut:
- Pasal 4 ayat (2) yang menyatakan: Pengadilan membantu pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan;
- Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan “hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat”;
- Pasal 50 ayat (1) putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan
dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili;
4. Bahwa, merujuk kepada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
kehakiman serta merujuk pula pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
tanggal 19 Agustus 1972 Nomor 9K/SIP/1972 yang pada prinsipnya
mensyaratkan bahwa ”Majelis Hakim harus memberi pertimbangan hukum
yang cukup bagi para pihak dan tidak diperkenankan untuk tidak
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 19 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
mempertimbangkan sama sekali fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan (onvoeldoende gemotiverd) (sumber: rangkuman yurisprudensi
Mahkamah Agung RI penerbit Mahkamah Agung RI, cet. Kedua 1993, hal 338
Nomor 256 IX V.6) maka seharusnya Majelis Hakim Tingkat Banding
memeriksa dan meneliti serta mencermati dengan seksama berkas perkara
serta memori banding dari Pembanding (sekarang Pemohon Kasasi), bahwa
faktanya Majelis Hakim Tingkat Banding tidak memberi pertimbangan-
pertimbangan yang cukup dan hanya mengambil alih pertimbangan-
pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama dan dijadikan dasar
pertimbangan Putusan Pengadilan Tinggi sendiri, hal tersebut merupakan
kesalahan dalam menerapkan hukum karena seharusnya Majelis Hakim
Tingkat Banding menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat sehingga tercapai suatu keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Kesalahan penerapan hukum lainnya yang dilakukan oleh
Majelis Hakim Tingkat Banding yaitu Putusan Pengadilan Tinggi tidak memuat
alasan dan dasar Putusan, juga memuat Pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili sebagaimana telah diuraikan dalam Undang
Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 50 ayat (1), selaku demikian mohon
Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Agung menolak pertimbangan Judex Facti
Pengadilan Tinggi Bandung (Jawa Barat);
5. Bahwa, Pemohon KasasiI (dahulu Pembanding) menolak putusan Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi Bandung (Jawa Barat) pada pertimbangannya
dan amar putusannya, selanjutnya Pemohon Kasasi (dahulu Pembanding)
menyatakan pendapatnya tetap pada memori banding terdahulu;
6. Bahwa, Majelis Hakim Tingkat Banding tidak mempertimbangkan terhadap
permohonan provisi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi (dahulu
Pembanding/Penggugat), hal mana diajukannya permohonan provisi
tersebut adalah untuk melindungi hak-hak Pemohon Kasasi (dahulu
Pembanding/Penggugat) yang masih melekat atas objek tanah dan
terdahulu dikabulkan oleh Yang Mulia Majelis Hakim Agung pemeriksa
perkara a quo;
7. Bahwa, di dalam putusan Majelis Hakim Tinggi a quo tidak memper-
timbangkan mengenai permohonan penjadwalan ulang hutang yang
dimohonkan oleh Pemohon Kasasi (dahulu Pembanding), hal mana
dimohonkannya penjadwalan hutang Pemohon Kasasi (dahulu Pembanding)
adalah merupakan itikad baik dari Pemohon Kasasi (dahulu Pembanding)
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 20 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
untuk menyelesaikan kewajibannya kepada Termohon Kasasi (dahulu
Terbanding), bahwa terkait penjadwalan ulang hutang merupakan salah
satu solusi dalam menyelesaikan permasalahan perbankan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005, tanggal 20
Januari 2005, Tentang penilaian kualitas aktiva Bank Umum, khususnya
Pasal 1 angka 25, yang menyatakan upaya perbaikan yang dilakukan Bank
dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan
untuk memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui: (a)
Penurunan suku bunga kredit, (b). Perpanjangan jangka waktu kredit, (c)
Pengurangan tunggakan bunga kredit, (d). Pengurangan tunggakan pokok
kredit, (e). Penambahan fasilitas kredit, dan (f). Konversi kredit menjadi
penyertaan modal sementara. Berdasarkan ketentuan pada Pasal 1 angka
25 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 di atas, telah jelas dan
terang dinyatakan bahwasanya pemberian perbaikan atau penjadwalan
ulang utang dilakukan terhadap debitor yang mengalami kesulitan, oleh
karena itu sudah selayaknya dan sepatutnya didasarkan pada keadilan dan
kemanfaatan pemberian perbaikan tersebut disesuaikan dengan
kemampuan dari debitor yang mengalami kesulitan, selaku demikian
terhadap permohonan penjadwalan ulang hutang yang dimohonkan oleh
Pemohon Kasasi (dahulu Pembanding) sebagaimana gugatan terdahulu
yakni sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per bulan adalah sangat
beralasan menurut hukum untuk dikabulkan, oleh karenanya mohon agar
Yang Mulia Majelis Hakim Agung mempertimbangkan permohonan ini;
8. Bahwa, Majelis Hakim Tingkat Tinggi tidak meneliti secara seksama materi
gugatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi (dahulu Pembanding/
Penggugat), hal mana pada prinsipnya Pemohon Kasasi/dahulu Pembanding/
Penggugat mengakui adanya peijanjian kredit yang dibuat antara Pemohon
Kasasi (dahulu Pembanding/Penggugat) dan Termohon (dahulu Terbanding)
sebagaimana Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah Nomor 14 tanggal
2 April 2012 dan Akad Ijarah Nomor 15 tanggal 2 April 2012, namun dalam
proses pelaksanaannya telah terjadi sengketa perdata terkait adanya
perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh Termohon Kasasi
(dahulu Terbanding) di dalam menjalankan kedua peijanjian kredit a quo,
gugatan Pemohon Kasasi (dahulu Pembanding/Penggugat) yang diajukan
melalui Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Bandung telah bersesuaian
hukum, mohon kepada Hakim Tinggi yang memeriksa membandingkan
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 1511 K/Sip/1975 yang dalam
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 21 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
kaidah hukumnya menyatakan “Pengadilan Tinggi tidak bersalah
menerapkan hukum dengan mempertimbangkan bahwa karena ternyata
gugatan Penggugat adalah terkait adanya perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad) yang dilakukan oleh Termohon Kasasi (dahulu
Terbanding), maka Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Bandung berwenang
untuk memeriksa mengadili dan memberikan putusan atas gugatan yang
diajukan oleh Pemohon Kasasi (dahulu Pembanding/Penggugat);
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat:
Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, dengan pertimbangan
bahwa antara Penggugat dan Tergugat terikat dengan perjanjian Nomor 14
tanggal 2 April 2012 tentang Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah dan
Nomor 15 tanggal 2 April 2012 tentang Akad Ijarah dimana kedua pihak telah
sepakat memilih forum penyelesaian Perselisihan di Pengadilan Agama
Bandung (choice of forum);
Dengan demikian Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan
mengadili perkara a quo;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan
Judex Facti/Pengadilan Tinggi Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan
dengan hukum dan/atau Undang Undang, maka permohonan kasasi yang
diajukan oleh Pemohon Kasasi RUSLAN FARIK, S.E., tersebut harus ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi ditolak dan Pemohon Kasasi ada di pihak yang kalah, maka Pemohon
Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;
Memperhatikan Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang
Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang
Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundangan lain yang bersangkutan;
M E N G A D I L I:1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi RUSLAN FARIK, S.E.,
tersebut;
2. Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat/Pembanding untuk membayar
biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini
ditetapkan sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat musyawarah Majelis Hakim pada
hari Senin, tanggal 27 Juni 2016 oleh Soltoni Mohdally, S.H., M.H., Hakim
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 22 dari 22 hal. Put. Nomor 1024 K/Pdt/2016
Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis,
Sudrajad Dimyati, S.H., M.H., dan Maria Anna Samiyati, S.H., M.H., Hakim-
Hakim Agung sebagai Hakim Anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis tersebut dengan dihadiri Para
Hakim Anggota tersebut dan Bambang Ariyanto, S.H., M.H. Panitera Pengganti
dengan tidak dihadiri oleh Para Pihak.
Hakim-Hakim Anggota: Ketua Majelis,
Ttd. Ttd.
Sudrajad Dimyati, S.H., M.H. Soltoni Mohdally, S.H., M.H.
Ttd.
Maria Anna Samiyati, S.H., M.H.
Panitera Pengganti,
Ttd.
Bambang Ariyanto, S.H., M.H.
Biaya-biaya Kasasi:1. M e t e r a i…………….. Rp 6.000,002. R e d a k s i…………….. Rp 5.000,003. Administrasi kasasi……….. Rp489.000,00
Jumlah ……………… Rp500.000,00
Untuk SalinanMahkamah Agung RI.
a.n. PaniteraPanitera Muda Perdata
Dr. PRI PAMBUDI TEGUH, S.H., M.H.NIP.19610313 198803 1 003
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22
Recommended