View
0
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
17
BAB II
Tinjauan Umum Tentang Kitab Undang-Undang Simbur Cahaya
A. Sejarah Negeri Palembang Darussalam
Tidak dapat dipungkiri bahwa Sumatera bagian Selatan pada abad XVII
telah berdiri Kerajaan Palembang dengan rajanya Ki Geding Suro Tuo yang
dilanjutkan dengan Kesultanan Palembang Darussalam dengan Sultan
pertamanya Susuhunan Abdurrahman (1666 M).1
Salah satu permaisuri raja Palembang pada waktu itu yaitu Ratu Sinuhun
(Permaisuri Pangeran Ratu Siding Kenayan) telah menyusun Undang-Undang
Dasar Kerajaan Palembang, yang merupakan nilai-nilai kearifan budaya lokal
untuk negeri Palembang seperti yang kita kenal dengan Undang-Undang Simbur
Cahaya (lebih kurang tahun 1636 M).2 Perlu diketahui bahwa permaisuri / istri
raja atau Sultan Palembang itu bergelar Ratu, kalau bukan permaisuri tidak
bergelar Ratu.
Sumatera Selatan sejak ratusan tahun yang lalu. Konsep Iliran dan Uluan
secara geografis dapat dibagi menjadi dua, Iliran untuk kawasan pusat kota
Palembang lama yang identik dengan majunya peradaban, sedangkan Uluan
adalah seluruh kawasanyang berada di luar kawasan Palembang Lama, sebagai
kawasan penunjang peradaban. Perspektif politik, ekonomis dan sosial budaya,
konsep Iliran dan Uluan sendiri dalam pada masyarakat Sumatera Selatan telah
ada sejak masa lampau dalam kurun sejarahnya. Dari catatan sejarah yang ada
kita ketahui bahwa raja-raja/sultan-sultan Palembang berasal dan memiliki
hubungan darah dengan raja-raja Jawa. Oleh karena itu, sistem pemerintahan
yang mereka anut adalah sistem pemerintahan yang terdapat dari mana mereka
1 SMB III Prabu Diradja, “Nilai-Nilai Undang-Undang Simbur Cahaya”, Makalah
(Kesultanan Palembang Darussalam : Mei 2013). hlm. 1 2 Ibid. hlm. 1
72
berasal .3 Model pemerintahan “Catur Menggala” yang ada di Jawa, diadopsi di
Palembang dan dikenal dengan istilah “Empat Manca Negara”, yang terdiri dari
Raja/Sultan, Pepatih, Penghulu dan Kepala Pengalasan (Jaksa). Namun
tampaknya sistem pemerintahan seperti itu hanyalah berlaku di ibukota,
sedangkan di daerah uluan (pedalaman) yang pada saat itu menganut sistem
pemerintahan marga, tetap berlangsung sebagaimana adanya.4
Oleh karena itu campur tangan raja/sultan terhadap sistem pemerintahan
marga tidak terlalu mendalam. Setiap marga menjadi “raja kecil” di daerahnya
dan tetap mengatur rumah tangganya sendiri. Mereka dibebaskan dari kewajiban
membayar pajak, namun mereka diberikan semacam tugas-tugas khusus untuk
membantu pemerintah pusat. Daerah-daerah tersebut dikenal dengan istilah
daerah sikap, yang merupakan adopsi model daerah perdikan yang ada di Jawa.
Termasuk dalam kategori daerah sikap ini di antaranya yaitu daerah Belida
(sekitar Muara Enim sekarang) dan Pegagan (sekarang daerah Ogan Ilir,
termasuk di dalamnya Sakatiga.5
Daftar Penguasa/Raja dan Sultan Kerajaan Palembang/Kesultanan
Palembang Darussalam6 :
No Nama Penguasa Tahun Makam Keturunan
1 Ario Dillah (Ario Damar) 1455 – Jl. Ario Dillah III, Anak
3 Asmaul Husna, Alfiandra, Sri Artati Waluyati, “ Analisis Nilai-Nilai Dalam
Undang-Undang Simbur Cahaya Pada Masyarakat Ogan Ilir”, Jurnal Civics: Media
Kajian Kenegaraan. Vol. 16 No. 1 Th. 2019. hlm. 13 4 Ibid. hlm. 13
5 Ibid. hlm. 13
6 Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang.
Jakarta: PT Raja Grafido Persada; Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di
Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah
Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara; dan Sultan Iskandar Mahmud
Badaruddin. 2008. Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang: Kraton
Kesultanan Pelambang Darussalam.
73
1486 20 ilr Brawijaya V
2 Pangeran Sedo ing Lautan
(diganti putranya) s.d 1528
1 Ilir, di sebelah
Masjid Sultan
Agung
Keturunan R.
Fatah
3 Kiai Gede ing Suro Tuo
(diganti saudaranya)
1528 –
1545
1 Ilir, halaman
musim Gedeng Suro Anak No.2
4
Kiai Gede in Suro Mudo
(Kiai Mas Anom Adipati
ing Suro/Ki Gede ing Ilir)
(diganti putranya)
1546 –
1575
1 Ilir, kompleks
makam utama
Gedeng Suro
Saudara Kiai
Gede in Suro
Tuo
5 Kiai Mas Adipati (diganti
saudaranya)
1575 –
1587
1 Ilir, makam
Panembahan selatan
Sabo Kingking
Anak Kiai
Gede in Suro
Mudo
6 Pangeran Madi ing
Angsoko (diganti adiknya)
1588 –
1623
20 ilir, candi
Angsoko
Anak Kiai
Gede in Suro
Mudo
7 Pangeran Madi Alit
(diganti saudaranya)
1623 –
1624
20 Ilir, sebelah RS
Charitas
Anak Kiai
Gede in Suro
Mudo
8 Pangeran Sedo ing Puro
(diganti keponakannya)
1624 –
1630 Wafat di Indralaya
Anak Kiai
Gede in Suro
Mudo
9 Pangeran Sedo ing 1630 – 2 Ilir, Sabokingking Anak dari No.5
74
Kenayan (diganti
misannya)
1642
10
Pangeran Sedo ing
Pasarean Putra (Nyai Gede
Pembayun) (diganti
putranya)
1642 –
1643 2 Ilir, Sabokingking
Cucu Kiai Mas
Adipati
11
Pangeran Mangkurat Sedo
ing Rejek (diganti
saudaranya)
1643 –
1659
Saka Tiga, Tanjung
Raja
Anak Pangeran
Sedo ing
Pasarean
12
Kiai Mas Hindi, Pangeran
Kesumo Abdurrohim
(Susuhunan Abdurrahman
Khalifatul Mukminin
Sayyidul Imam) (diganti
putranya)
1662 –
1706
Candi Walang
(Gelar Sultan
Palembang
Darusslam 1675)
Anak Pangeran
Sedo ing
Pasarean
13
Sultan Muhammad (Ratu)
Mansyur Jayo ing Lago
(Diganti saudaranya)
1706 –
1718 32 Ilir, Kebon Gede
Anak Kiai Mas
Hindi
14
Sultan Agung Komaruddin
Sri teruno (diganti
keponakannya)
1718 –
1727
1 Ilir, sebelah
Masjid Sultan
Agung
Anak Kiai Mas
Hindi
15
Sultan Mahmud
Badaruddin I Jayo
Wikromo (diganti
1727 –
1756
3 Ilir, Lamehabang
Kawmah Tengkurap
Anak Sultan
Muhammad
Mansyur Jayo
75
putranya) ing Lago
16
Sultan/Susuhunan Ahmad
Najamuddin I Adi Kesumo
(diganti putranya)
1756 –
1774
3 Ilir, Lemahabang
(wafat 1776)
Anak Sultan
Mahmud
Badaruddin I
17 Sultan Muhammad
Bahauddin
1774 –
1803 3 Ilir, Lemahabang
Anak Sultan
Ahmad
Najamuddin I
18 Sultan/Susuhunan Mahmud
Badaruddin II R. Hasan
1803 –
1821
Dibuang ke Ternate
(wafat 1852)
Anak Sultan
Muhammad
Bahauddin
19 Sultan/Susuhunan Husin
Dhiauddin (adik SMB II)
1812 –
1813
Wafat 1826 di
Jakarta. Makam di
Krukut, lalu
dipindah ke
Lemahabang
Anak Sultan
Muhammad
Bahauddin
20
Sultan Ahmad Najamuddin
III Pangeran Ratu (putra
SMB II)
1819 –
1821 Dibuang ke Ternate Anak SMB II
21
Sultan Ahmad najamuddin
IV Prabu Anom (putra
Najamuddin II)
1821 –
1823
Dibuang ke Manado
25-10-1825. Wafat
usia 59 tahun
Anak Sultan
Husin
Dhiauddin
22
Pangeran Kramo Jayo,
Keluarga SMB II. Pejabat
yang diangkat Pemerintah
1823 –
1825
Dibuangke
Purbalingga
Banyumas. Makam
Anak Pangeran
Natadiraja M.
Hanafiah
76
Belanda sebangai Pejabat
Negara Palembang
di 15 Ilir, sebelah
SDN 2, Jl. Segaran
Data di atas mulai No.1 sampai No.11 masih berbentuk Kerajaan
Palembang dan mulai No.12 sampai No.22 sudah berbentuk Kesultanan
Palembang Darussalam.Berikut Silsilah para pemimpin Kesultanan Palembang
Darussalam sebagai berikut:
Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayyidul Imam (1659 – 1706 M)
Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706 – 1714 M)
Pangeran Ratu Purbayo (wafat sebelum dinobatkan menjadi Sultan)
Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714 – 1724 M)
Sultan Anom Alimudin (meskipun menjadi sultan tetapi tidak memerintah)
Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Badaruddin I) (1724 – 1758
M)
Pangeran Ratu Kamuk/Raden Zailani (1755)
Sultan Ahmad Najamuddin I (1758 – 1776 M).
Sultan Muhammad Bahauddin (1776 – 1804 M)
Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan
Badaruddin II)(1804 – 1821)
Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin (1813 – 1817)
Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 – 1821)
Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821 – 1823)
Pangeran Kramo Jayo (1823-1825)
Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III)
(2003 – 2017)
Sultan Mahmud Badaruddin Fawwaz Diraja (Sultan Mahmud Badaruddin IV)
(2017- sekarang)
Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (2006 – sekarang)
77
B. Sejarah Marga di Negeri Palembang Darussalam
Sebagai naskah resmi, undang-undang Simbur Cahaya berlaku dalam
lingkungan marga yaitu suatu lingkungan kehidupan dan masyarakat dengan
institusi pemerintahan yang dewasa ini meliputi bentangan wilayah relatif sama
luas dengan luas kecamatan. Marga memiliki kemandirian yang cukup otonom,
membawahi dusun (dewasa ini sama dengan desa), dan kampung (saat ini sama
dengan dusun). Marga-marga di Sumatera Selatan terbentuk sebagai suatu
kesatuan yang bersifat teritorial dan genealogis. Terjadinya marga pada mulanya
didorong oleh tiga faktor yaitu faktor penghuni atau warga yang bersangkutan
secara bersama-sama terkait pada daerah yang ditempati (territorial), atau karena
perasaan terkait satu sama lain dengan alasan satu keturunan yang sama
(genealogist), atau karena penggabungan dari kedua faktor terdahulu menjadi
territorial-genealogist. Lebih lanjut, dalam perkembangannya marga-marga tersebut
mengalami proses degenalisasi sehingga istilah marga pada akhirnya selalu
diasosiasikan kepada suatu wilayah dengan pemerintahan tertentu. Aspek yang pal-
ing menonjol dalam pembicaraan tentang marga kemudian adalah pada aspek
teritorial, khususnya sebagai suatu kesatuan wilayah dengan batas-batas yang tegas
dan sistem sosial politik dengan keunikannya tersendiri. Undang-undang Dasar
1945 menyebut marga dan dusun di Sumatera Selatan ini termasuk dalam kategori
zelfbestuuren de lanschappen dan volkgemenschappen yaitu suatu wilayah yang
memiliki keistimewaan karena susunannya yang khas dan harus dihormati oleh
Negara Republik Indonesia.7
Dalam penjelasan Pasal 18 angka Romawi dua (II) Undang-Undang Dasar 1945,
disebutkan:
“Dalam territoir Negara Republik Indonesia terdapat lebih kurang 250
zelfbestuurende langschappen dan volkgemenschap- pen, seperti desa di Jawa dan
7 Saudi Berlian, “Simbur Cahaya dan Masalah Kekerasan”, Makalah,
(Palembang: 2000). hlm. 7
78
Bali, negeri di Minangkabau, mar- ga dan dusun di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap seb-
agai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan dae- rah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu
akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”.
Menjelang kemerdekaan, pada tahun 1940, di Sumatera Selatan terdapat
175 marga yang tersebar di Ogan Ilir (19), Komering Ilir (14), Palembang dan
Banyuasin (15), Musi Ilir dan Kubu (17), Rawas (8), Lematang Ulu (15),
Lematang Ilir (16), Pasemah (10), Tebingtinggi (14), Musi Ulu (10), Ogan Ulu
(12), Muaradua (13), dan Komering Ulu (13). Pada tahun 1968 jumlah ini
bertambah menjadi 181 marga. Pertambahan terjadi karena alas an demografis
yaitu perkembangan wilayah karena pertambahan jumlah penduduk, di samping
terjadi pula karena alas an politis dan sebagainya. Alasan politis seperti munculnya
oposisi pasca pemilihan pasirah kepala marga yang berkembang menjadi alienasi
dan berujung pada pembentukan marga baru. Jumlah ini bertambah menjadi 193
marga ketika peristiwa pembubaran marga-marga pada tahun 1983. Pembubaran
itu dilakukan melalui SK Gubernur Sumatera Selatan No. 142/KPTS/III/1983
tentang Penghapusan Marga, DPR Marga menyusul Undang-Undnag RI No.
5/1979. SK tersebut ditetapkan pada tanggal 24 Maret dan berlaku terhitung
tanggal 4 April 1983. Terbitnya SK ini sangat controversial mengingat Undang-
Undang Dasar 1945 yang secara hukum memiliki hirarkhi lebih tinggi,
sebagaimana dikutip di atas, justru menghormati keberadaan marga-marga itu.8
Undang-Undang Simbur Cahaya mulai sirna dengan keluarnya
keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan No.
142/KPTS/III/1983 Tanggal 24 Maret 1983 tentang penghapusan pemerintahan
marga, DPR marga, dan perangkat marga lainnya, pemberhentian pesirah/
8 Ibid. hlm. 8
79
pejabat pesirah, kepala marga, ketua/ anggota DPR marga dan pejabat pamong
marga lainnya serta penunjukan kepala desa wilayah propinsi daerah tingkat I
Sumatera Selatan (Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan, Haji
Sainan Sagiman).9
Walaupun Undang-Undang Simbur Cahaya mulai sirna tapi masalah
nilai-nilai kearifan budaya lokal masih dapat kita lihat berlakunya acara tepung
tawar, yang masih dihayati dan dilaksanakan oleh anak negeri Palembang
Darussalam. Conoth yang belum lama ini bapak Kapolda Sumsel Irjen. Pol. Drs.
Sad Usman Nasution telah memotong kerbau/ tepung tawar atas terjadinya kasus
di daerah Musi Rawas Darussalam yang anak negerinya bentrok dengan Polri
sehingga ada korban 4 orang (tertembak) meninggal karena masalah pemekaran
akan membentuk Kabupaten Mura Tara (yang tidak ada dalam KUHP).10
Pada zaman pemerintahan Belanda adat Kebiasaan masyarakat yang
berlaku di wilayah kesultanan Palembang terus dihidupkan, namun beberapa
bagian tertulis dalam Kitab Undang-Undang Simbur Cahaya dilakukan
perubahan, disesuaikan dengan keinginan politik pemerintah Belanda.11
Di daerah pedalaman, hukum adat tertentu tidak hanya dimiliki oleh
setiap marga atau dusun saja, tetapi juga dimiliki oleh wilayah tempat marga atau
dusun itu berada. Hal ini menyebabkan keanekaragaman kebiasaan dan (hukum)
adat di daerah pedalaman Palembang. Walaupun ada persamaan bentuk-bentuk
kebiasaan dan (hukum) adat, setiap daerah mempunyai perbedaan yang khas
dalam soal hukum keluarga/kekerabatan, hukum waris dan hukum pidana.
Penduduk yang sudah memeluk agama Islam tentunya berpegang pada hukum
Islam, namun adat kebiasaan lama dan aturan-aturan yang termaksud dalam
piagam-piagam tua dianggap sebagai pengecualian khusus (wilayah terkadang
9 SMB III Prabu Diradja, “Nilai-Nilai Undang-Undang Simbur Cahaya”, Makalah
(Kesultanan Palembang Darussalam : Mei 2013). hlm. 1 10
Ibid. hlm. 1 11
Ibid. hlm. 3
80
menyimpang dari norma dan aturan hukum Islam). Hal ini berlaku juga untuk
Undang-Undang Simbur Cahaya yang sangat dipegang teguh oleh penduduk.12
Segala (hukum) adat dan kebiasaan di daerah pedalaman itu sebetulnya
dijalankan bila hal itu sesuai dengan kepentingan Sultan (atau bila Sultan tidak
terpengaruh atau dirugikan bila adat dan kebiasaan itu tidak dilakukan). Dengan
kata lain, bila suatu adat atau kebiasaan tidak didukung oleh Sultan, adat dan
kebiasaan itu tidak diberlakukan (oleh penduduk).13
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa keberlakuan Undang-
Undang Simbur Cahaya berlaku di uluan Palembang atau wilayah diluar ibukota
Kesultanan Palembang Darussalam.
Menurut Abdullah sebagaimana mengutip dari Hanafiah yang
mengumpulkan beberapa berita-berita menyatakan bahwa keberlakuan Undang-
Undang Simbur Cahaya diserahkan kepada kesediaan (kesukarelaan) pimpinan
pemerintahan (bawah Kesultanan) setempat untuk menerapkannya pada
masyarakatnya.14
Seperti diketahui bahwa pendukung utama kesultanan di pedalaman ialah
marga-marga. Di Palembang, marga walaupun semula bersifat geneologis,
adalah kesatuan teritorial yang memiliki kuasa yang cenderung otonom. Dalam
sejarahnya, marga disini membawahkan dusun-dusun yang jumlahnya tergantung
dari besar kecilnya (wibawa) marga yang bersangkutan. Marga yang besar,
misalnya dapat terdiri atas lebih dari dua puluh dusun. Marga dipimpin oleh
seorang pesirah, yang dipilih secara langsung oleh penduduk (mata pilih) dalam
marganya melalui proses pemilihan bebas (pancang pesirah). Segera setelah
12
Ibid. hlm. 9 13
Ibid. hlm. 9 14 Adil, “Simboer Tjahaya (Studi tentang pergumulan hukum Islam dan hukum
adat dalam Kesultanan Palembang Darussalam)”,Disertasi,(UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta,2010). hlm. 138
81
terpilih, pasirah diangkat secara resmi oleh Sultan dan diberi gelar depati atau
pangeran.15
Dusun-dusun dalam suatu marga dibedakan antara dusun marga, yaitu
dusun tempat kedudukan pasirah dan dusun pengandang. Dusun marga dipimpin
oleh seorang pembarap, yang juga berkedudukan sebagai wakil atau pengganti
pasirah bila pasirah berhalangan bertugas atau tidak berada ditempat. Dusun
pengandang dipimpin oleh seorang krio. Baik pembarap maupun krio juga dipilih
secara langsung (oleh penduduk dusunnya) melalui proses pancang (pembarap
atau krio).16
Di dusun marga terdapat seorang penghulu, pejabat yang memiliki
wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola urusan keagamaan (Islam).
Penghulu haruslah orang yang menguasai syariat Islam. Penghulu membawahkan
para kaum dalam marganya. Mereka bertugas mengurus jenazah, memelihara
masjid, langgar, dan kramat, mengajar anak-anak baca tulis Al-Quran, memberi
pengajian agama, serta memungut zakat dan mendistribusikannnya kepada
orang-orang yang berhak menerimanya. Penghulu bersama para kaum yang
dibawahkannya juga menyelenggarakan pencatatan perkawinan, perceraian,
kelahiran, dan kematian.17
Di dusun pengandang terdapat pula pejabat agama yang disebut khatib.
Tugas khatib sama dengan tugas penghulu dan para perangkatnya. Ia juga harus
menguasai syari’at Islam. Setiap tahun ia laporan kepada penghulu, yang
kemudian akan menyerahkannya kepada pesirah. Setiap dusun, baik dusun
marga maupun pengandang, terbagi pula atas sejumlah kampung. Kampung-
kampung ini dikepalai oleh penggawa. Penggawa kampung tampaknya juga
15
Ibid. hlm. 138 16
Ibid. hlm. 139 17
Ibid. hlm. 139
82
dipilih secara langsung oleh penduduk kampungnya melalui pancang
(penggawa).18
Menurut Jacobus didalam bukunya “Inlandsch Gemeentewezen In Zuid-
Sumatra En Javanentransmigratie, “Met he word Marga zou dus oorspronkelijk
zoomen een territorial, al seen genealogische eenheid zijn aangeduid. 19
Dengan mengikuti alur pikiran Jacobus maka Marga kemudian
didefinisikan sebagai suku atau keluarga yang semula silsilah kemudian menjadi
teritori (wilayah).20
Marga berasal dari kata Sansekerta. “Varga”. Suatu wilayah dan juga
rumpun atau keluarga. Struktur social ini digunakan oleh Kerajaan Sriwijaya.
Terminologi Marga dapat disatukan dengan “datu” atau Kedatuan”21
Belanda kemudian melakukan penyeragaman sistem hukum adat dengan
menetapkan Marga tahun 1852. Termasuk kodifikasi hukum adat dengan
menerapkan “Oendang-oendang Simboer Tjahaja”. Oendang-oendang Simboer
Tjahaja kemudian mengenal sistem pemerintahan berbentuk Marga. Dengan
demikian, sistem pemerintahan berbentuk Marga sudah dikenal di Kerajaan
Palembang sebelum kedatangan Belanda.22
18
Ibid. hlm. 139 19
“Musri Nauli”, Apakah Ada “Undang-Undang Simbur Cahaya” di Jambi ?”,
terbit tanggal 23 Agustus 2016, diakses 3 Mei 2020, http://musri-
nauli.blogspot.com/2016/08/apakah-ada-uu-simbur-cahaya-di-jambi.html
20 Ibid.
21 Ibid.
22 Ibid.
83
C. Sejarah Kitab Undang-Undang Simbur Cahaya
Pada masa pemerintahan Pangeran Sedo Ing Kenayan (suami dari Ratu
Sinuhun) yang memerintah 1639-1650, dilembagakan suatu aturan yang dapat
mengikat dan mendorong orientasi para kepala marga dalam suatu kesatuan
dengan membuat aturan-aturan adat pertama di daerah Uluan yang kemudian
dikenal dengan sebutan “Undang-undang Simbur Cahaya”.23
Undang-Undang Simbur Cahaya ini diteruskan dimasa Kesultanan
Palembang Darussalam 1666 M sampai dengan dimasa penjajahan Belanda 1821.
Bahkan sampai periode awal kemerdekaan RI saat dihapuskannya sistem
pemerintahan marga pada tahun 1979. Dahulunya merupakan Undang-Undang
Dasar setelah dimasa penjajah Belanda dianggap sebagai Undang-Undang
Adat.24
Terdapat kemajuan dalam pengelolaan dan pelaksanaan pemerintahan
dan yang paling menonjol ialah masa Pangeran Sida Ing Kenayan (1636-1651).
Dalam mengembalikan pemerintahan Palembang, ia bersama istrinya Ratu
Sinuhun mengeluarkan suatu aturan yang mengatur hubungan para warga di
wilayah pedalaman (uluan) dan hubungan antara pedalaman dan Kesultanan .
Aturan ini dikenal dengan sebutan Piagem Ratu Sinuhun, yang kemudian populer
dengan Undang-Undang Simbur Cahaya. Undang-Undang ini sebagaimana
dilaporkan oleh Collin seperti dikutip oleh Rahim dan Abdullah, bahwa pada
masa penelitiannya tahun 1977 masih digunakan oleh kantor kabupaten di Lahat
sebagai rujukan dalam menyelesaikan masalah-masalah adat.25
Simbur Cahaya adalah nama kitab yang menjadi sumber tertulis dalam
sistem peradatan yang berlaku di daerah uluan dalam kawasan yang dahulu
23 Ibid. hlm. 13 24 SMB III Prabu Diradja, “Nilai-Nilai Undang-Undang Simbur Cahaya”,
Makalah (Kesultanan Palembang Darussalam : Mei 2013). hlm. 1 25 Adil, “Simboer Tjahaya (Studi tentang pergumulan hukum Islam dan hukum
adat dalam Kesultanan Palembang Darussalam)”,Disertasi,(UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta,2010). hlm. 122
84
merupakan karesidenan Palembang. Kawasan itu pada masa sekarang dikenal
sebagai daerah Sumatera Selatan, yaitu meliputi kabupaten Ogan Komering Ilir,
Ogan Komering Ulu, Musibanyuasin, Kota Lubuk Linggau, Kabupaten Musi
Rawas, Kabupaten Lahat, Kota Pagaralam, dan Kota Prabumulih.26
Secara etimologis , Simbur Cahaya berarti percik, atau sinar. Kata ini
dipergunakan sebagai nama bagi sistem peradatan di Sumatera Selatan boleh jadi
dapat dihubungkan dengan cerita berbau mitos tentang selimbur (pancaran)
cahaya yang terjadi dibukit Siguntang menyambut kedatangan anak cucu
Iskandar Zulkarnain, peristiwa selimbur cahaya itu menjadi salah satu simbol
pengesahan sekaligus dilukiskan sebagai raja-raja muslim di tiga serumpun tanah
melayu adalah : Palembang, Singapura, Malaka. Sehubungan dengan mitos dari
Pulau Panggung ini, menurut Saudi sejauh ini, sampai sekarang belum diperoleh
kepastian yang betul-betul dapat dipegang tentang asal-usul penggunaan kata
Simbur Cahaya sampai menjadi nama bagi Sistem Peradatan. Keterangan senada
dikemukakan oleh Berlian bahwa untuk sementara cukup bagi kita mengambil
makna fungsional bahwa Simbur Cahaya itu memang dimaksudkan sebagai
cahaya atau sinar. Sinar tersebut berfungsi sebagai obor atau suluh untuk
menerangi jalan hidup masyarakat Sumatera Selatan. Penggunaan makna
fungsional seperti ini sesuai dengan tabiat norma yang terkandung dalam Simbur
Cahaya sebagai suatu sistem peradatan.27
26
Saudi Berlian, “Simbur Cahaya dan Masalah Kekerasan”, Makalah,
(Palembang: 2000). hlm. 3 27
Saudi Berlian, “Pengelolaan Tradisional Gender : Telaah KeIslaman atas
Naskah Simboer Tjahaja”, (Palembang: Millennium Publisher & Masyarakat Peduli
Musi, 2000), hlm. 10-11
85
Di dalamnya kaya akan kandungan nilai-nilai kebersamaan, tolong-
menolong, kesepakatan, kebiasaan sopan santun, di dalam kehidupan bergaul
dengan lingkungan alam dan sesama manusia.28
Dari hasil wawancara Nurmala HAK dengan bapak Ishak (tanggal 18
Maret 2005), terungkap bahwa pengambilan istilah tersebut bukan hanya
didasarkan atas mitos, tetapi ada cerita lain mengatakan dari Pulau Panggung.
Bahwa dalam mitos itu ada seorang putri yang ditemui didalam air, yang
bernama Puteri Si Limbur Cahaya. Disebut demikian karena ia dilukiskan
bersinar-sinar.29
Aturan yang pada awalnya dikenal dengan Piagem Ratu Sinuhun ini
konon ditulis dengan aksara lokal yang dikenal dengan surat ulu, yang kemudian
mengalami kompilasi dan dikodifikasi dalam suatu himpunan yang utuh, pernah
diterbitkan menggunakan huruf Arab Melayu dan diantaranya menggunakan
huruf latin. Oleh masyarakat setempat, undang-undang ini dipandang secara
dinamis dalam kaitannya dengan dinamika sosial, sehingga memungkinkannya
untuk di’amandemen’ sesuai tuntutan zaman. Barangkali inilah yang
menyebabkan beredarnya beberapa naskah-naskah.30
Simbur Cahaya sebagai undang-undang dan sistem peradatan di sumatera
selatan dalam suatu pendapat sejarahwan Palembang Mgs. Jufri Al-Palimbani
memiliki lambang atau logo yang mana logo tersebut menurut Jufri tersimpan di
Museum SMB II yang kebanyakan diyakini oleh sejarahwan dimuseum tersebut
itu logo Kesultanan Palembang Darussalam, namun jikalau kita telisik di logo
28
Gibtiah Gasim, “Undang-Undang Simbur Cahaya Sebagai Refleksi Akulturatif
Hukum Islam Terhadap Hukum Adat Dalam Bidang Perkawinan Di Sumatera Selatan”,
Tesis (IAIN Wali Songo: Semarang, 2002). hlm. 53 29
Nurmala HAK, “Tinjauan Historis Undang-Undang Simbur Cahaya Yang
Pernah Berlaku Dalam Peradilan Adat Di Ogan Ilir (Studi Terhadap Pergaulan Bujang
Gadis Dahulu Dan Sekarang)”, Tesis, (IAIN Raden Fatah Palembang, 2017). hlm. 22 30 Adil, “Simboer Tjahaya (Studi tentang pergumulan hukum Islam dan hukum
adat dalam Kesultanan Palembang Darussalam)”,Disertasi,(UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta,2010). hlm. 124-125
86
tersebut terdapat gambar timbangan yang berarti lambang keadilan yang
membuktikan bahwa logo Kesultanan tidaklah mungkin seperti itu, kemungkinan
besar itu adalah logo Undang-Undang Simbur Cahaya.
Hal senada penulis lihat di logo Kesultanan Palembang Darussalam yang
dimiliki oleh Alm Sultan Mahmud Badaruddin III yang kini diteruskan oleh putra
mahkotanya Sultan Mahmud badaruddin IV dan juga logo Kesultanan
Palembang Darussalam yang dimiliki oleh Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin,
kedua logo yang dimiliki oleh dua orang Sultan Palembang Darussalam itu jauh
berbeda dari logo yang tersimpan di museum SMB II yang diyakini sebagai logo
Simbur Cahaya itu.31
Masih menurut Jufri bahwa Simbur Cahaya yang pada mulanya dibuat
oleh Ratu Sinuhun ini dibuat diatas media kuno seperti tanduk kerbau dan lain
sebagainya lalu diserahkan ke kepala daerah diberbagai marga di sumsel,
diyakini oleh sejarahwan Sumsel Alm Ahmad Bastari Suan bahwa salah satu
Simbur Cahaya yang asli dari Ratu Sinuhun itu masih tersimpan di kepala daerah
Gumay Talang (kini masuk wilayah Kabupaten Lahat) tepatnya di rumah Tuan
Junjungan dengan nama Kitab Buling Tembage, inilah yang diyakini oleh Bastari
sebagai Undang-Undang Simbur Cahaya asli dari Ratu Sinuhun.
Kitab asli Simbur Cahaya juga penulis mendapatkan informasi dari salah
seorang pemerhati sejarah Sumsel Santi Adela bahwa sebuah manuskrip naskah
kuno dengan bahasa dan aksara Marga Haji (kini masuk Kabupaten Ogan
Komering Ulu Selatan) juga masih tersimpan di Rumah Adat Marga Haji atau
lebih dikenal dengan Rumah Nentan dan dipegang oleh keluarga inti dari
keturunan anak pertama Rakyan Sakti, namun asal-usul naskah ini masih belum
31
Wawancara dengan sejarahwan Palembang Bapak Mgs. Jufri Palimbani (Mang
Jon) dikediamannya pada 30 Januari 2020 pukul 18.00 WIB
87
penulis telusuri terlalu dalam dikarenakan kurangnya pengetahuan penulis untuk
membaca bahasa dan aksara Marga Haji.32
Karya Ratu Sinuhun ini sekaligus merupakan fakta sebagaimana
dijelaskan bahwa :
Pada saat itu sudah ada model pemerintahan Marga. Semasa Pemerintahan
Kesultanan Palembang tahun 1822 Masehi, pemerintahan asli yang dinamakan
Marga, dijadikan pusat kegiatan bagi kesultanan dalam mendekati masyarakat
dan akhirnya menguasai masing-masing kelompok rakyat yang bersangkutan
terutama diwilayah-wilayah aliran sungai yang mudah didatangi perahu-perahu
atau sampan- sampan yang dinamakan pencelang.
Berdasarkan kutipan di atas jelas bahwa sistem pemerintahan marga
sudah ada sejak zaman Kesultanan Palembang. Struktur pemerintahan
Kesultanan Palembang diterapkan dengan mengidentifikasi wilayah seperti
kepungutan dan sindang.
Sebagaimana dijelaskan oleh Berlian seperti dalam kutipan di bawah ini:
Kepungutan merupakan daerah yang langsung berada dibawah perintah Sultan.
Sedangkan sindang adalah wilayah perbatasan yang penduduknya tidak dibebani
dengan pajak- pajak. Rakyat dipandang sebagai sekutu dan hanya dikenakan
cukai. Selain itu ada pula daerah yang disebut sikap. Sikap merupakan suatu
daerah khusus berupa dusun atau kumpulan dusun yang dilepaskan dari marga,
dipimpin oleh pamong sultan, yang disebut dengan jenang dan raban.33
Naskah Simbur Cahaya itu dimulai pada masa kolonial Belanda antara
lain : Naskah 1854, 1862, 1873, 1875, 1876, 1894/7, 1913, 1922, 1933, 1939.
32 Wawancara dengan sejarahwan Sumsel Santi Adela via messenger pada 11
Maret 2020 pukul 09.00 WIB 33
Yusinta Tia Rusdiana, “Sejarah Marga Tulung Selapan Kabupaten Ogan
Komering Ilir (1850-1893)”, Jurnal Historia. Vol. 7 No. 1 Th. 2019. hlm. 96
88
Selanjutnya tidak didapatkan adanya data tentang penerbitan atau cetak ulang
pada masa pendudukan Jepang. Setelah Indonesia merdeka edisi cetak ulang
pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka (t.t) dan Pembina Adat Daerah Tingkat I
Sumatera Selatan tahun 1991. Banyaknya naskah yang pernah beredar
menunjukkan bahwa Undang-Undang Simbur Cahaya merupakan aturan yang
sangat penting pada masanya sebagai aturan adat yang menjadi acuan hukum
waktu persidangan di pengadilan. Di samping itu juga, aturan ini telah mengantar
warga Palembang dalam rentang waktu yang cukup lama.34
Selain menulis sebuh mahakarya yang sangat monumental yaitu Kitab
Undang-Undang Simbur Cahaya atau Piagem Ratu Sinuhun, sang Ratu Sinuhun
juga menulis sebuah Piagam Ratu Sinuhun tentang batas kawasan Minanga di
daerah komering, ini membuktikan bahwa beliau memang seorang Ratu yang
sangat cakap dalam membuat Piagam dan Undang-Undang pada masanya.35
Pada mulanya, isi yang terkandung dalam naskah ini merupakan bhan
yang berserakan di berbagai daerah uluan, lalu dikompilasi seb- agai suatu
perndang-undangan. Hasil kompilasi ini kemudian men- galami revisi dan
penyempurnaan pada pertemuan adat yang kemu- dian dikenal sebagai rapat besar
atau rapat Kepala-kepala Anak Negeri Karesidenan Palembang. Dengan demikian,
naskah kitab Undang- Undang Simbur Cahaya adalah produk suatu forum resmi
yang meli- batkan tokoh-tokoh utama dalam masyarakat seperti Pasirah kepala
marga. Pada masa tertentu, sesuai dengan perkembangan yang terjadi secara actual
dalam masyarakat, undang-undang ini mengalami aman- deur.36
34 Adil, “Simboer Tjahaya (Studi tentang pergumulan hukum Islam dan hukum
adat dalam Kesultanan Palembang Darussalam)”,Disertasi,(UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta,2010). hlm. 125 35
Arlan Ismail, “Periodisasi Sejarah Sriwijaya Bermula di Minanga Komering
Ulu Sumatera Selatan Berjaya di Palembang Berakhir di Jambi”, (Palembang: Unanti
Press, 2003). hlm. 181 36
Saudi Berlian, “Simbur Cahaya dan Masalah Kekerasan”, Makalah,
(Palembang: 2000). hlm. 4
89
Menurut ahli hukum adat Sumsel Albar Sentosa Subari Undang-Undang
Simbur Cahaya telah mengalami tiga kali kompilasi.
Kompilasi pertama dari undang undang simbur cahaya pada tahun (1630-
1642 M) pada saat pemerintahan Ratu Sinuhun. Pada masa ini segala sesuatu
dilembagakan sehingga dapat mengikat dan mendorong orientasi para kepala
marga dalam suatu kesatuan dibawah kerajaan. Karya Ratu Sinuhun ini
merupakan hasil melembagakan aturan aturan adat pertama diuluan.
Kompilasi kedua, pada tahun 1854 oleh Kolonel De Brauw atas perintah
van den Bosche. Mengadakan kompilasi aturan aturan yang termuat dalam
piagam piagam Ratu Sinuhun. Upaya tersebut tentu menyesuaikan demi
kepentingan dan kelangsungan pemerintah Kolonial Belanda.
Kompilasi ketiga pada tahun 1927 atas permufakatan bersama Pasirah
Bond dengan melakukan perubahan perubahan atas pasal pasal undang undang
simbur cahaya. ( Surat Residen Palembang Tideman tanggal 14 januari 1928 no
627/21)37
Dalam fungsinya sebagai Undang-Undang yang dipraktekkan dalam
kehidupan nyata yang dinamis dari zaman ke zaman, Undang-Undang simbur
Cahaya mengalami perubahan dengan beberapa penyempurnaan di sana sini.
Sebagai akibat terjadinya penambahan dan pengurangan materi pada bagian-
bagian tertentu naskah ini hal ini dapat dimengerti karena lazim bahwa
perkembangan masyarakat selalu mengutamakan nilai-nilai yang sesuai dengan
peristiwa aktual. Selain itu, kekuatan konteporer terkadang dapat berperan
sebagai faktor dominasi tertentu dalam perkembangan sejarah sosial dan kearifan
lokal masyarakat.38
37
“Berita Pagi”, 3 Versi Kompilasi Undang-Undang Simbur Cahaya, terbit 12
Februari 2020, diakses 26 April 2020, http://beritapagi.co.id/2020/02/12/3-versi-
kompilasi-undang-undang-simbur-cahaya.html. 38
Ahyani, “Tradisi Masyarakat Desa Tebedak Kecamatan Payaraman Kabupaten
Ogan Ilir Sumatera Selatan Dalam Aturan Dusun dan Berladang Kajian Sosio-Kultural
90
Pada mulanya, naskah Simbur Cahaya ditulis dengan menggunakan
aksara Surat Ulu, yaitu aksara setempat, dan dengan bahasa yang berbeda sesuai
dengan wilayah marga. Dengan kata lain Simbur Cahaya bukanlah sebuah nama
yang diberikan sejak awal ketika Undang-Undang ini dikeluarkan.39
Secara kajian filologi naskah Undang-Undang Simbur Cahaya sangat
banyak yang beredar namun naskah yang dipegang oleh penulis dan yang paling
lengkap menurut penulis untuk mengkajinya sebagai bahan utama dari hukuman
zina yaitu naskah hasil rapat para residen anak negeri Palembang tanggal 2-6
September 1927. Adapun sebagai bahan kajian tambahan karena seringnya
amandemen naskah Undang-Undang Simbur cahaya ini, ada beberapa naskah
lainnya yang juga di gunakan sebagai data pendukung untuk penelitian ini. Oleh
karena amandemen itulah maka sering ditemui berbagai versi naskah undang-
undang Simbur Cahaya, yaitu:
1. Terbitan Meroe Boekhandelen Drukkerij, Palembang, 1939. ce- takan ke
dua. Kitab ini merupakan hasil ketetapan rapat Kepala- Kepala Anak
Negeri Karesidenan Palembang pada tanggal 2-6 September 1927. Ditulis
dengan menggunakan aksara Latin ber- bahasa Melayu logat setempat
(bahasa Indonesia baru diikrarkan dalam dalam Sumpah Pemuda 1928,
setahun setelah kerapatan ini).40
2. Terbitan Typ Industreel, Palembang tanpa diketahui tahun pener- bitan, dan
tidak diketahui pula kepada rapat yang mana naskah ini mengacu. Bahasa
yang dipergunakan dalam naskah ini sama den- gan bahasa yang
dipergunakan dalam naskah yag telah disebutkan di atas yaitu menggunakan
bahasa Melayu dialek lokal. Naskah ini ditulis dengan menggunakan aksara
Arab Pegon atau lazim disebut juga huruf Arab Melayu. Meski naskah ini
dan Undang-Undang Simbur Cahaya”, Skripsi, (IAIN Raden Fatah Palembang: 2014).
hlm. 2 39
Ibid. hlm. 2 40
Ibid. hlm. 4
91
diperoleh dalam kondisi isi yang lengkap, tetapi penulis dapatkan dalam
keadaan tidak utuh karena tanpa disertai dengan sampul, kata pengantar,
penjelasan, colophon, atau pun keterangan lain berkenaan dengan naskah
yang bersangkutan.
3. Dua naskah koleksi Museum Nasional Jakarta, di bawah judul Undang-
Undang Palembang 2 dan Undang-Undang Palembang 2, koleksi nomor
Ml.707 (vd W 58) dan nomor Ml. 140. Meski secara eksplisit tidak
disebukan sebagai Simbur Cahaya, akan tetapi dengan mengamati
sistematika, urutan tema, serta isi materi yang terkandung dalam naskah itu
dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan dua naskah yang disebutkan
terdahulu.
4. Buku yang diterbitkan oleh lembaga Adat Palembang, dituis den- gan
menggunakan huruf latin dan ejaan yang disempurnakan, yang dipublikasi
dengan menyebutkan bahwa kitab itu ditulis oleh Ratu Sinuhun (seorang
kerabat dalam lingkungan keratin Palembang Darussalam abad XVIII).
Setelah mengamati keseluruhan isinya, naskah ini tampaknya merupakan
hasil transliterasi dari naskah ter- bitan Typ Industrieel yang disebutkan
terdahulu.41
Dalam penelitian ini penulis akan fokus pada naskah terbitan tahun 1927
yang merupakan hasil rapat para kepala marga tanggal 2 sampai 6 September
1927 dan ditambah dengan beberapa naskah yang dapat dibaca dan ditelaah
lainnya sebagai naskah pendukung.
41
Ibid. hlm. 5
92
D. Sanksi Pelaku Zina Dalam Simbur Cahaya
Eksistensi berlakunya hukum adat selain dikenal dalam instrumen hukum
nasional juga diatur instrumen Internasional. Ketentuan Pasal 15 ayat (2)
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menyebutkan
bahwa, “Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any
person for any act or omission which, at the time when it was committed, was
criminal according to the general principles of law recognized by the community
of nations”42. Kemudian rekomendasi dari Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”43
dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara
(terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada
umumnya bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta
“outmoded and unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan
kenyataan). Alasannya karena sistem hukum di beberapa negara tidak berakar
pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada ―diskrepansi‖ dengan aspirasi
masyarakat, serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi
demikian oleh konggres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk
terjadinya kejahatan.44
Ruang lingkup dan dimensi hukum adat sebagaimana konteks di atas
teramat luas dimana diatur dalam instrumen hukum, baik instrumen Nasional dan
Internasional. Selain itu, dikaji dari dimensi substansinya hukum adat dapat
terbagi menjadi hukum perdata adat, hukum tata negara adat, hukum pidana adat
42
Tidak ada ketentuan dalam pasal ini yang mengurangi persidangan dan
penghukuman setiap orang atas perbuatan atau kelalaian yang pada saat dilakukan
merupakan tindak pidana menurut prinsip umum hukum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa. 43
Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelanggar 44
Lilik Mulyadi, “Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia : Pengkajian Asas,
Norma, Teori, Praktik, dan Prosedurnya”, Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 2,
hlm. 227
93
(delichtentrecht) dan lain sebagainya.45
Terminologi hukum pidana adat, delik adat, hukum pelanggaran adat
atau hukum adat pidana cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat.
Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat bersumber tertulis
dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-
kebiasaan yang timbul, diikuti serta ditaati secara terus menerus dan turun
temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Misalnya dapat dilihat dalam Kitab
Ciwasasana atau Kitab Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa pada
abad ke-10, Kitab Gajahmada, Kitab Simbur Cahaya di Palembang, Kitab
Kuntara Raja Niti di Lampung, Kitab Lontara “ade” di Sulawesi Selatan, Kitab
Adi Agama dan Awig- Awig di Bali, dan lain sebagainya. Kemudian sumber tidak
tertulis dari hukum pidana adat adalah semua peraturan yang dituliskan seperti di
atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya.46
Salah satu hukum adat yang cukup fenomenal di negeri Palembang
Darussalam yaitu Undang-Undang Simbur Cahaya. Hal yang cukup signifikan di
bahas dalam Undang-Undang Simbur Cahaya yakni pembahasan mengenai
tindak pidana zina. Pembahasan tentang zina merupakan pembahasan yang cukup
banyak dikaji di dalam Kitab undang-Undang simbur Cahaya, disetiap terbitan
naskah yang pernah ditemui oleh penulis khususnya di bab pertamanya
senantiasa membahas mengenai adat bujang gadis dan kawin yang di dalamnya
sangat banyak pasal yang mengatur mengenai zina. Secara tidak langsung
sebagai hukum positif di masa Kesultanan Palembang Darussalam dan sebagai
hukum adat di masa penjajahan Simbur Cahaya merupakan cerminan sebuah
aturan yang mengatur masyarakat uluan yang bersendikan syara’ walaupun tidak
secara langsung dituangkan kedalam lembar negara dikala itu, namun masih
bersifat abstrak sebagaimana yang kita ketahui bersama.
Didalam aturan kitab simbur cahaya dijelaskan bagaimana yang sebenarnya
45
Ibid. hlm. 227 46
Ibid. hlm. 228
94
dituntut untuk mbasuh dusun47, jadi sanksi bagi pelaku zina tidak serta merta
harus melaksanakan mbasuh dusun, melainkan ada ketentuan-ketentuan khusus.
Namun perbuatan zina tetap dianggap hina dan merupakan perbuatan terlarang.
Mbasuh dusun dalam perzinahan berlaku pada perbuatan zina kepada kerabatnya
atau pertalian sedarah, dan perempuan yang hamil tanpa diketahui siapa yang
menghamilinya, kemudian zina kepada istri orang lalu suami si perempuan
mengadu kepada kepala dusun maka disanksi mbasuh dusun.48
Namun demikian bukan berarti zina yang tidak termasuk dalam kategori
mbasuh dusun tidak diberi sanksi, melainkan ada sanksi tersendiri seperti
membayar denda dan dinikahkan. Perbuatan zina seperti ini banyak berlaku pada
kategori bergubalan dalam pengertian seorang laki-laki yang melarikan gadis
atau janda kerumahnya atau kerumah kepala dusun. Didalam Undang-undang
Simbur Cahaya dijelaskan bahwa jika terjadi perzinahan yang mengharuskan
mbasuh dusun, maka perkara ini tidak boleh diputuskan oleh kepala dusun,
melainkan harus diputuskan melalui rapat besar yaitu rapat yang diputuskan oleh
raja/sultan.49
Menurut dalam kitab Undang-undang hukum adat (Simbur Cahaya),
bahwa yang dikatakan perbuatan zina bukan seperti pengertian zina yang
dimaksud didalam definisi hukum Islam maupun zina secara umumnya.
Melainkan berbeda daripada itu, zina yang dimaksud didalam kitab Undang-
undang adat ini disebut dengan mena gawe, bergubalan atau bujang bambang
gadis.50
Mena gawe disini dalam kasus perzinaan, namun mena gawe itu bukan
47
Mbasuh dusun adalah pelaksanaan sedekah membuang sial atau tolak balak
akibat adanya perbuatan perzinahan, yang mana perzinahan dianggap sebagai suatu
kehinaan yang mengandung malapetaka terhadap dusun tersebut. Sanksi mbasuh dusun
sendiri dengan cara bersedekah seekor kambing hingga kerbau. 48
Linda Wahyuni, “Sanksi Mbasuh Dusun Bagi Pelaku Zina Dalam Kitab Simbur
Cahaya Perspektif Hukum Islam (Studi Pada Masyarakat Kota Bengkulu)”, Tesis,
(Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2019) hlm. 68. 49
Ibid. hlm. 68 50
Ibid. hlm. 68-69
95
semata-mata dalam kasus perzinaan saja, melainkan dalam larangan lainnya juga
dianggap mena gawe, seperti halnya seorang laki-laki menyenggol tangan gadis
atau janda, laki-laki memegang kaki seorang gadis atau janda, dan lain
sebagainya. Demikian dengan arti bergubalan atau bambang disini, juga bukan
semata-mata perbuatan jahat atau perbuatan zina sebagaimana yang sering
dimaksud kebanyakan orang. Bergubalan atau bujang bambang gadis disini
dalam artian seorang laki-laki yang melarikan gadis atau janda kerumahnya
sendiri atau kerumah kepala dusun. Perbutan ini telah dianggap sebagai
larangan.51
Dari kasus pergubalan ada dua pengertian yaitu pergubalan gelap dan
pergubalan terang. Pergubalan gelap berarti jika sudah terjadi perzinaan maupun
hingga terjadi kehamilan pada si perempuan. Sedangkan pergubalan terang hanya
melarikan si gadis atau janda demi untuk memperoleh kesepakatan atau restu dari
kedua orang tua mereka.52
Sebagaimana zina yang dijelaskan didalam Undang-undang Simbur Cahaya
merupakan perbutan terlarang sebagaimana zina pada umumnya. Adapun dari
pengertian zina yang dijelaskan diatas pada dasarnya masing-masing mempunyai
sanksi yang berbeda, sanksi tersebut berkaitan dengan denda hingga mbasuh
dusun. Untuk memperjelas bentuk-bentuk dalam perzinaan selanjutnya akan
dijelaskan pada bagian bab-bab tertentu.53
Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai jenis zina yang diatur dalam
Simbur Cahaya beserta sanksi-sanksinya. Materi ini adalah pasal-pasal tentang
zina yang dikutip langsung dari teks naskah Kitab Undang-Undang Simbur
Cahaya sesuai aslinya. Kitab Undang-Undang ini berdasarkan naskah yang di
gunakan dalam penelitian ini berjudul : UNDANG-UNDANG SIMBUR
TJAHAJA, PEROBAHAN BAHARU MENURUT KETETAPAN YANG
51
Ibid. hlm. 69 52
Ibid. hlm. 69 53
Ibid. hlm. 69
96
DIPUTUSKAN DALAM PERMUSYAWARATAN UTUSAN-UTUSAN KEPALA-
KEPALA ANAK NEGERI PADA TANGGAL 2 SAMPAI 6 SEPTEMBER 1927 DI
PALEMBANG
Bab Ke Satu
Adat Bujang Gadis dan Kawin
Pasal 6
Dan bujang gadis bergubalan tiada bunting atau bujang bambang gadis, bujang
itu kena pelajan 6 ringgit dan bujang gadis itu, hendak dikawinkan bagaimana
adat terang, tiada membayar lagi upah batin.
Dari pelajan 6 ringgit pulang dari pasirah amit penutup surat namanya, 3
ringgit pulang kepada kepala dusun dan 2 ringgit pada penggawa-penggawanya.
Dan jika bujang gadis lain-lain marga atau dusun itu denda di bagi dua,
sebagian pulang pada pesirah peroatin dan penggawa marga atau dusun bujang,
dan sebagian pulang pada pasirah peroatin dan penggawa marga atau dusun
gadis.
Keterangan :
Seorang laki-laki yang melarikan gadis atau rangda, kerumahnya sendiri
atau kerumah kepala dikatakan bergubalan.
Pergubalan bukan semata-mata berbuat jahat atau zina, sebagai
kebanyakan orang mengartikannya.
Pelajan akan dituntut kalau kejadian bergubalan. Kalau perkawinan
terjadi atas kesepakatan ahli gadis dan ahli bujang, gadis diantarkan oleh ahli-
ahlinya kerumah bujang, maka bujang tidak akan membayar pelajan, hanya ia
bayar upah tuah atau upah batin saja.
97
Pasal 7
Jika rangda bergubalan tiada bunting atau bambang laki-laki hendak laki-laki
itu membayar denda 3 ringgit 1 setengah ringgit pulang kepada pasirah (amit
penutup surat), dan 1 setengah ringgit pulang pada kepala dusun dan 1 ringgit
pada penggawa-penggawanya dan jika itu laki-laki dan rangda lain-lain marga
atau dusun, denda dibagi dua sebagian pulang pada pasirah, peroatin dan
penggawa laki-laki dan sebagai pulang pada pasirah peroatin dan penggawa
rangda.
Keterangan :
Kalau perkawinan itu tidak diatur oleh ahli laki-laki dan ahli rangda
melainkan maksud keduanya saja lantas rangda itu dibambangkan itu laki-laki
bergubalan itu laki-laki kena denda 3 ringgit pelajan
Tetapi kalau perkawinan itu diatur oleh ahli kedua belah dengan
memakai adat terang maka laki-laki itu hanya membayar pesaitan saja yang
banyaknya 1 ringgit (lihat pasal 2 bab ini)
Pasal 8
Jika bujang gadis pergubalan lantas bunting maka bujang kena denda 12 ringgit
dan bujang gadis itu hendaklah masa itu juga di kawinkan bagaimana adat
terang akan tetapi tiada membayar lagi upah batin.
Dari denda 12 ringgit jika di dusun pasirah, pulang pada pasirah 10 ringgit dan
2 ringgit pada penggawa-penggawanya dan jika di dusun pangadang 6 ringgit
pulang pada pasirah, 4 ringgit pada kepala-kepala dusun dan 2 ringgit pada
penggawa-penggawanya.
Dan jika bujang gadis lain-lain marga atau dusun itu denda dibagi dua
sebagaimana tersebut pada pasal 6.
98
Keterangan :
Upah batin yaitu upah tuah (lihat pasal 1 Bab ini).
Pasal 9
Jika rangda bergubalan lantas bunting laki-laki yang punya perbuatan kena
denda 12 ringgit bagaimana juga gadis bergubalan dan orang tua itu hendaklah
masa itu juga di kawinkan dan denda itu di bagi bagaimana tersebut di pasal 8
juga.
Pihak yang mungkir, tidak suka di kawinkan musti membayar pengasingan 8
ringgit.
Keterangan :
Pihak laki-laki atau pihak perempuan boleh kena pengasingan. Kalau
laki-laki yang tidak mau kawin ia kena pengasingan 8 ringgit. Uang ini di bayar
pada perempuan. Demikian juga kalau perempuan tidak mau kawin ia kena
pengasingan 8 ringgit, bayar pada laki-laki.
Pasal 10
Jika gadis atau rangda bunting, tiada nyata siapa yang punya perbuatan
perempuan itu di hukum rapat marga dengan denda sebesar-besarnya 12 ringgit
serta perlu perempuan yang bunting gelap atau sanaknya bersedekah kambing
“pembasuh dusun” namanya.
Keterangan :
Menurut pengertian secara lama bunting gelap (perzinahan) itu ialah
suatu kehinaan yang mengandung mala petaka bala petaka terhadap pada umum
99
(dusun lama) dari itu perlu sedekah membuang sial (tolak balak) yang di katakan
membasuh dusun.
Pasal 11
Jika perempuan bunting gelap tiada nyata siapa punya perbuatan, lantas pergi
numpang di rumah orang yang akan beranak maka orang yang punya rumah itu
kena tepung satu kambing.
Pasal 24
Jika orang punya bini membuat gawe dan lakinya mengadu, perempuan kena
hukuman saja dan kehendaknya dihukum satu kerbau pada lakinya dan denda 12
ringgit denda pada rapat juga.
Keterangan :
Pasal ini menghendaki :
1. Perempuan itu di hukum oleh rapat yang berkuasa artikel 284 (1) 1 e b dari
Undang-Undang hukum Indonesia yang hukumannya selama-lamanya 9 bulan.
2. Kehendak gentak perempuan itu (?) yaitu lawannya berbuat zina itu dihukum
satu kerbau diserahkan pada suami perempuan itu.
3. Laki-laki itu di hukum pula denda 12 ringgit jatuh pada rapat.
Pasal 25
Jika laki-laki bergubalan atau larikan orang punya bini ia kena setengah bangun
yaitu 40 ringgit kepada lakinya perempuan itu dan lagi ia kena 24 ringgit pada
rapat.
Jika laki-laki bambang perempuan bercerai belum habis idahnya tiga bulan
delapan belas hari lamanya, atau rangda yang lakinya belum mati lebih dari
100
empat bulan sepuluh hari lamanya, ia kena 12 ringgit denda, 6 ringgit pulang
pada laki perempuan itu, atau ahlinya rangda.
Keterangan :
Dalam pasal ini tersusun dua kesalahan :
a). Kalau bergubalan larikan orang punya bini di hukum:
1. Kena setengah bangun 40 ringgit pada suami perempuan itu.
2. Kena denda 24 ringgit buat rapat.
b). Kalau bergubalan larikan janda yang belum habis idahnya baik karena lakinya
mati atau cerai hidup menurut idahnya masing-masing kena denda 12 ringgit, 6
ringgit untuk bekas suaminya janda itu, atau untuk ahlinya janda itu.
Pasal 27
Jika sumbang dalam dusun tiada boleh itu perkara di putuskan oleh pesirah,
melainkan perkara itu hendaklah dibawa kepada rapat besar hukuman raja.
Sumbang besar musti dihukum lagi buat pembasuh dusun seekor kerbau, dan
sumbang kecil seekor kambing yaitu dengan beras kelapa dan lain keperluan
sedekah cukup. (Lihat No. 58 Aanteek. Adat Rechtspraak).
Keterangan :
Pasal 294 1 e dari Undang-Undang hukum pidana Indonesia ada
menyebut kesalahan-kesalahan yang boleh atau hampir boleh di katakan
sumbang :
Sumbang kecil :
Mertua laki-laki setubuh dengan mantu (istri anaknya)
Mantu laki-laki setubuh dengan mertua (ibu istrinya)
101
Sumbang besar :
Bapak setubuh dengan anak perempuannya.
Anak setubuh dengan ibunya sendiri.
Saudara laki-laki setubuh dengan saudara perempuannya.
Bab Ke Lima
Adat Perhukuman
Pasal 41
Jika orang laki-laki masuk di dalam orang yang punya rumah nyata dengan
maksud hendak buat buat jahat dengan orang punya bini atau anak “kerap
gawe” namanya maka tertangkap di dalam rumah lantas di bunuh tidak menjadi
perkara, akan tetapi jika orang itu tertangkap di luar rumah tidak boleh di
bunuh. Maka dia kena tekap malu 20 ringgit, “kasekap utang di tumbak mati”
namanya serta kesalahannya di dakwa di muka rapat marga di hukum setinggi-
tingginya 24 ringgit.
Pasal 42
Jika malam hari orang bersembunyi di bawah orang punya rumah dengan
maksud yang tidak terang ia kena denda 123 ringgit sebab boleh bermaksud
“kerapati” hendak membunuh atau “kerap gawe” hendak bermaksud orang
punya bini atau anak gadis dan dari denda di bagi dua sebagai pulang pada
orang yang nangkap “tekap malu” namanya harta benda tanggung, dan sebagai
pulang pada rapat.
102
TAMBAHAN UNDANG-UNDANG SIMBUR TJAHAJA JANG TERPAKAI
DIBAGIAN OGAN KOMERING ILIR DAN SESAMANJA
BAB II PELANGGARAN SOPAN SANTUN
Pasal 18 Ayat 3
Barang siapa jang membijarkan orang berzinah ditempat kediamanja
atau tulung memberi tempat, maka ia dihukum denda sampai 12 ringgit.
Pasal 19
Djika laki-laki berzina dengan gadis atau rangda tiada bunting kedua
pehaknja laki-laki dan perempuan dihukum denda sampai 12 ringgit.
Pasal 20
Djika gadis atau rangda bunting maka ia dan laki-laki jang punja
perbuatan dihukum denda sampai 12 ringgit dan mereka itu hendaklah
dikawinkan.
Pasal 22
Djika laki-laki berzina dengan bini orang, maka mereka itu dihukum
denda sampai 12 ringgit seorang dan si laki-laki dihukum membajar “tekap
malu” 8 ringgit kepada laki-laki perempuan tersebut.
Pasal 23
Djika bini orang bunting gelap dan lakinja mengadu, perempuan itu
dihukum sampai 12 ringgit serta membasuh dusun yaitu: 1 kerbo, 100 gantang
beras, 100 bidji kelapa, 1 gutji gula nau 1 gutji bekasam dan harta benda
tanggung.
103
Pasal 28
1) Djika sumbang besar jang salah dihukum denda sampai 80 ringgit djika
sumbang ketjil sampai 40 ringgit masing- masing ditambah dengan pembasuh
dusun, menurut pasal 23.
2) Pelanggaran ini tidak boleh diputuskan rapat marga, melainkan hendaklah
dibawa ke rapat besar.
jika terjadi sumbang besar, maka dendanya sebesar 80 ringgit. Sedangkan untuk
perbuatan sumbang kecil maka dendanya 40 ringgit serta tetap melakukan sanksi
mbasuh dusun, sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 23.
Macam-macam yang dikategorikan zina berdasarkan sanksinya didalam
Kitab Undang-undang Simbur Cahaya sebagaimana dijelaskan seperti berikut:
a. Sanksi Membayar Denda
Sanksi denda adalah sanksi yang telah ditetapkan kepada suatu perbuatan yang
dianggap telah melanggar aturan dusun. Bentuk dari sanksi denda ini berupa
denda membayar seperti uang dan barang (hewan, buah-buahan, beras, gula, dan
lain- lain) seperti yang telah dijelaskan dalam Undang-undang Simbur Cahaya.54
Sanksi denda berlaku hampir untuk setiap perbuatan yang melanggar aturan,
namun dalam hal ini sanksi denda akan dijelaskan dalam kasus perzinaahan.
Adapun dalam kasus perzinahan dengan sanksi denda:.
1) Bergubalan dengan Isteri orang
2) Bergubalan dalam masa Iddah
3) Hubungan Terlarang Antara Mantan Pasangan Suami Isteri
b. Sanksi Membayar Denda dan Dikawinkan
Pada kasus yang terdapat pada sanksi ini yang mana si pelaku yang melanggar
54
Linda Wahyuni, “Sanksi Mbasuh Dusun Bagi Pelaku Zina Dalam Kitab Simbur
Cahaya Perspektif Hukum Islam (Studi Pada Masyarakat Kota Bengkulu)”, Tesis,
(Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2019) hlm. 70
104
akan dikenakan dengan dua sanksi yaitu denda dan dinikahkan.55
Adapun kategori
sanksi ini:
1) Bergubalan Budjang Gadis
2) Bergubalan Bujang Rangda
c. Sanksi Membayar Denda dan Mbasuh Dusun
Adapun sanksi yang memgharuskan membayar denda dan mbasuh dusun ini
dalam hal zina dikelompokkan kedalam:56
1. Bunting Gelap
2. Sumbang Kecil
3. Sumbang Besar
Dari ketiga macam sanksi pelaku zina dalam Simbur Cahaya tersebut,
jikalau di analisa baik sanksi denda, sanksi di kawinkan, dan sanksi mbasuh
dusun, semuanya tidak ada yang sesuai dengan syariat Islam seutuhnya yaitu di
hukum dengan rajam dan cambuk pada hukum pidana Islam. Jikalau di analisa
lebih dalam lagi nampaknya para mufti dan ulama yang menjadi penasehat raja di
negeri Palembang yang berasaskan Islam pada masa itu mengamini di
berlakukannya Simbur Cahaya sebagai Undang-Undang walau belum sesuai
dengan syariat Islam di karenakan unsur filosofis Simbur Cahaya sesuai dengan
adat dan budaya masyarakat tempat di berlakukannya Undang-Undang tersebut
dan juga tidak bertentangan dengan syariat Islam jikalau di tinjau dengan unsur
jinayah yaitu unsur formil dan di tinjau dengan jarimah ta’zir.
Mengamati kandungan pasal demi pasal yang rinci dan uraian yang
dipaparkan sebelum ini, diperoleh pemahaman tentang sopan santun gender yang
ketat. Jangankan mengelus gadis ataupun bentuk anarki gender yang lebih besar,
menyenggol gadis saja, seorang bujang akan mendapat hukuman. Sementara itu,
55
Ibid. hlm. 71 56
Ibid. hlm. 72
105
sepanjang dengan tujuan untuk membentuk keluarga, Simbur Cahaya selalu
berpihak pada anak muda yang berkepentingan.57
Denda uang berkisar antara 2 sampai 80 ringgit. Dua ringgit dikenakan
bagi yang naro gawe, sedang 80 ringgit untuk sumbang besar yaitu perbuatan
tidak senonoh bapak dengan puterinya atau anak laki-laki dengan ibunya, atau
sesama saudara kandung. Selain denda uang dikenakan pula sanksi bentuk lain
untuk kesalahan ini. Denda yang lain berupa bahan makanan, ternak dan
sebagainya. Denda terbesar adalah 1 ekor kerbau nyamo (standar, yaitu panjang
tanduknya sama atau melebihi panjang telinga), 100 gantang beras, 100 biji
kelapa, 1 guci (gentong) gula enau, 1 guci bekasam (lauk tradisional) serta
sejumlah benda tanggung. Ini dikenakan pada perempuan bunting gelap yang
diadukan suaminya. Denda terkecil ialah denda yang dijatuhkan pada orang yang
mengindungkan wadon-wadon sejagad, yaitu seseorang berbuat cabul dengan
binatang. Pelaku kesalahan ini dikenakan denda seekor kerbau.
Dalam istilah yang resmi dipergunakan Undang-Undang Simbur Cahaya,
denda itu disebut tekap malu. Maksudnya sebagai usaha untuk me-nekap atau
menutupi rasa malu akibat terjadinya pelanggaran. Akan tetapi berapa pun ganti
rugi (dari denda) yang diperoleh orang yang dikenai pelanggaran, tentu amat sulit
sebenarnya menghapuskan rasa malu itu dengan begitu saja. Seorang gadis yang
disenggol, tentu saja merasa sulit untuk mengusir rasa malu yang menyelimuti
hatinya, meski denda beberapa ringgit58
telah dilunasi untuknya sesuai tuntutan
adat.
57
Saudi Berlian, “Pengelolaan Tradisional Gender : Telaah KeIslaman atas
Naskah Simboer Tjahaja”, (Palembang: Millennium Publisher & Masyarakat Peduli
Musi, 2000), hlm. 47 58
Ahmad Patih, mantan Kepala Marga Sakatiga, menerangkan berdasar
ingatannya waktu persiapan penelitian Saudi Berlian ini, bahwa 1 ringgit = 2,5 rupiah. 1
rupiah = 1 suku emas 24 karat. (Palembang, 11 Juli 1987). Jikalau kita konversikan
keharga emas per-juli 2020 maka 1 ringgit denda pada Simbur Cahaya sekitar 4 jutaan
lebih pada tahun 2020 ini.
106
Hukuman badan diberlakukan pula dalam Simbur Cahaya pada
umumnya. Akan tetapi, sepanjang berkenaan dengan penerapan sopan santun
gender, hukuman badan ini tidak banyak diterapkan. Hukuman tertinggi
menyerupai hukuman mati, yaitu bagi yang terkena kerap gawe. Gambaran kerap
gawe yaitu apabila seseorang masuk ke dalam rumah dan nyata-nyata akan
berbuat tidak senonoh dengan istri atau anak gadis di rumah itu, ia boleh
langsung di bunuh di tempat. Sanksi-sanksi itu ada yang diturunkan untuk tertib
kosmis yang bersifat magis, seperti basuh dusun, ada untuk kepentingan sosial,
seperti sanksi putus, dan ada pula yang di maksudkan untuk menjaga kepentingan
magis orang seorang, seperti tekap malu yang disebutkan di atas tadi. Basuh
dusun di lakukan apabila terjadi suatu kejadian besar, seperti bunting gelap, yaitu
perempuan yang hamil tanpa di ketahui dengan siapa ia telah melakukan
hubungan kelamin. Mengikuti aturan yang telah ada sejak lama, bunting gelap
(zina) ialah suatu kehinaan yang mengundang malapetaka bagi semua (dusun
laman) sehingga memerlukan sedekah untuk membuang sial dan menolak bala.
Dari hasil analisis dan telaah terhadap sanksi pelaku zina dalam Kitab
Undang-Undang Simbur Cahaya adat Kesultanan Palembang Darussalam
sepanjang pembahasan tersebut yaitu sanksi yang dominan dan paling banyak di
terapkan di berbagai sanksi tindak pidana zina yaitu sanksi berupa denda dengan
jumlah tertentu sesuai isi undang-undangnya dengan nilai mata uang ringgit
melayu Palembang pada masa itu.
Recommended