Upload
afif
View
496
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
PEMBAHASAN
LARANGAN DUDUK – DUDUK DI PINGGIR JALAN
A. Hadist
: اّي�اكم قال ص.م النبي عن عنه الله رضي الخدر سعيد ابي وعن
من لن!!ا م!!ا الل!!ه رس!!ول : ّي!!ا الطرق!!ات, ق!!الوا في والجل!!وس
� ابيتم : ف!!اذا ص.م الله رسول فيها, ققال نتحد�ث بد� مجالسنا اّال
ه, ق!!الوا الط�رّي!!ق ف!!اعطوا المجلس ّي!!ا الط�رّي!!ق ح!!ق� : وم!!ا حق!!�
الم, واّالمر اّالذي, ورّد� البصر, وكّف� : غّض� قال ؟ الله رسول الس�
مسلم( و البخاري المنكر, )رواه عن بالمعروف, والن�هي
Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri r.a, bahwasanya Nabi saw. pernah bersabda,
"Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan." Para sahabat berkata, "Ya
Rasulullah, kami duduk di situ untuk mengobrol, kami tidak bisa meninggalkannya."
Beliau bersabda, "Jika kalian tidak mau meninggalkan tempat itu maka kalian harus
menunaikan hak jalan." Para sahabat bertanya, "Apa hak jalan itu ya Rasulullah?"
Beliau menjawab, "Menundukkan pandangan, membuang hal-hal yang mengganggu
di jalan, menjawab salam, memerintahkan perkara ma'ruf, dan melarang perbuatan
mungkar," (H.R Bukahri dan Muslim).1
Diriwayatkan dari al-Barra' bin Azb r.a, ia berkata, "Nabi saw. melintas di majelis
orang-orang Anshar, lalu beliau bersabda, "Jika kalian enggan meninggalkan tempat
tersebut maka tunjukilah si penanya jalan, jawablah salam dan tolonglah orang yang
teraniaya'," (Shahih, HR Abu Dawud ath-Thayalisi [710] dan at-Tirmidzi [2726]).
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. mendatangi
kami pada saat kami duduk-duduk di pinggir jalan. Lalu beliau bersabda, 'Janganlah
kalian duduk-duduk di pinggir jalan ini sebab ini adalah majelisnya syaitan. Jika 1 Shabir Muslich, Drs. M.A, Terjemah Riyadhus Shalihin II, PT. Karya Toha Putra Semarang, Semarang : 2004.
1
kalian enggan meninggalkannya maka tunaikanlah hak jalan.' Lantas Rasulullah saw.
pergi. Aku berkata, 'Rasululllah saw. bersabda, 'Tunaikanlah hak jalan dan aku belum
bertanya apa hak jalan itu.' Maka akupun mengejarkan dan bertanya, 'Ya Rasulullah,
anda katakan begini dan begitu, lalu apa hak jalan itu?' beliau menjawab, 'Hak jalan
adalah menjawab salam, menundukkan pandangan, tidak mengganggu orang lewat,
menunjuki orang yang tersesat, dan menolong orang yang teraniaya'," (Hasan
lighairihi, HR ath-Thahawi dalam kitab Musykilul Atsar [165]).
B. Penjelasan Kebahasaan
Ungkapan beliau: “mâ lanâ min majâlisinâ buddun” [kami tidak punya
(pilihan) tempat duduk-duduk” maksudnya adalah kami membutuhkan untuk
duduk-duduk di tempat-tempat seperti ini, karena adanya faedah yang kami
dapatkan.
Ungkapan beliau : “fa a’thû ath-tharîqa haqqahu” [berilah jalan tersebut haknya]
maksudnya adalah bila kalian memang harus duduk di jalan tersebut, maka
hendaklah kalian memperhatikan etika yang berkaitan dengan duduk-duduk di
jalan dan kode etiknya yang wajib dipatuhi oleh kalian.
Ungkapan beliau : “ghadl-dlul bashar” [memicingkan pandangan] maksudnya
adalah mencegahnya dari hal yang tidak halal dilihat olehnya.
Ungkapan beliau : “kufful adza” [mencegah (adanya) gangguan] maksudnya
adalah mencegah adanya gangguan terhadap pejalan atau orang-orang yang lewat
disana, baik berupa perkataan ataupun perbuatan seperti mempersempit jalan
mereka, mengejek mereka dan sebagainya.
C. Periwayat Hadits
Beliau adalah seorang shahabat yang agung, Abu Sa’îd, Sa’d bin Mâlik bin
Sinân al-Khazrajiy al-Anshâriy al-Khudriy. Kata terakhir ini dinisbatkan kepada
Khudrah, yaitu sebuah perkampungan kaum Anshâr. Ayah beliau mati syahid pada
perang Uhud. Beliau ikut dalam perang Khandaq dan dalam Bai’atur Ridlwân.
2
Meriwayatkan dari Nabi sebanyak 1170 hadits. Beliau termasuk ahli fiqih juga ahli
ijtihad kalangan shahabat dan wafat pada tahun 74 H.
D. Faedah-Faedah Hadits Dan Hukum-Hukum Terkait
Diantara tujuan agama kita adalah untuk mengangkat derajat masyarakat
Islam kepada hal-hal yang agung, kemuliaan akhlaq dan keluhuran etika.
Sebaliknya, menjauhkan seluruh elemennya dari setiap budipekerti yang jelek dan
pekerjaan yang hina. Islam juga menginginkan terciptanya masyarakat yang
diliputi oleh rasa cinta dan damai serta mengikat mereka dengan rasa
persaudaraan (ukhuwwah) dan kecintaan.
Hadits diatas menunjukkan kesempurnaan dienul Islam dalam syari’at,
akhlaq, etika, menjaga hak orang lain serta dalam seluruh aspek kehidupan. Ini
merupakan tasyr’i yang tidak ada duanya dalam agama atau aliran manapun.
Asal hukum terhadap hal yang berkenaan dengan “jalan” dan tempat-
tempat umum adalah bukan untuk dijadikan tempat duduk-duduk, karena
implikasinya besar, diantaranya:
1) Menimbulkan fitnah,
2) Mengganggu orang lain baik dengan cacian, kerlingan ataupun
julukan,
3) Mengintip urusan pribadi orang lain,
4) Membuang-buang waktu dengan sesuatu yang tidak bermanfaat.
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam hadits diatas memaparkan sebagian
dari kode etik yang wajib diketahui dan dipatuhi oleh para pengguna jalan, yaitu:
1) Memicingkan mata dan mengekangnya dari melihat hal
yang haram; sebab “jalan” juga digunakan oleh kaum wanita untuk lewat
dan memenuhi kebutuhan mereka. Jadi, memicingkan mata dari hal-hal
yang diharamkan termasuk kewajiban yang patut diindahkan dalam setiap
situasi dan kondisi. Allah berfirman:“Katakanlah kepada laki-laki yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
3
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (Q.S.
24/an-Nûr:30).
2) Mencegah adanya gangguan terhadap orang-orang yang
berlalu lalang dalam segala bentuknya, baik skalanya besar ataupun kecil
seperti menyakitinya dengan ucapan yang tak layak; cacian, makian,
ghibah, ejekan dan sindiran. Bentuk lainnya adalah gangguan yang
berupa pandangan ke arah bagian dalam rumah orang lain tanpa
seizinnya. Termasuk juga dalam kategori gangguan tersebut; bermain
bola di halaman rumah orang, sebab dapat menjadi biang pengganggu
bagi tuannya, dan lainnya.
3) Menjawab salam; para ulama secara ijma’ menyepakati
wajibnya menjawab salam. Allah Ta’ala berfirman: “Apabila kamu
dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah pernghormatan itu
dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan yang serupa)…”. (Q.S.
4/an-Nisa’: 86). Dalam hal ini, seperti yang sudah diketahui bahwa
hukum memulai salam adalah sunnah dan pelakunya diganjar pahala.
Salam adalah ucapan hormat kaum muslimin yang berisi doa
keselamatan, rahmat dan keberkahan.
4) Melakukan amar ma’ruf nahi mungkar ; ini merupakan hak
peringkat keempat dalam hadits diatas dan secara khusus disinggung
disini karena jalan dan semisalnya merupakan sasaran kemungkinan
terjadinya banyak kemungkaran.
5) Banyak nash-nash baik dari al-Kitab maupun as-Sunnah
yang menyentuh prinsip yang agung ini, diantaranya firman Allah Ta’ala:
“dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang mungkar…”. (Q.S. 3/Âli ‘Imrân: 104).
6) Dalam hadits Nabi, beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam
bersabda: “barangsiapa diantara kamu yang melihat kemungkaran, maka
hendaklah dia mencegahnya dengan tangannya; jika dia tidak mampu,
4
maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya; yang
demikian itulah selemah-lemah iman”.
Banyak sekali nash-nash lain yang menyebutkan
sebagian dari kode etik yang wajib diketahui dan dipatuhi oleh para pengguna
jalan, diantaranya:
1) berbicara dengan baik,
2) menjawab orang yang bersin (orang yang bersin harus mengucapkan
alhamdulillâh sedangkan orang yang menjawabnya adalah dengan
mengucapkan kepadanya yarhamukallâh),
3) membantu orang yang mengharapkan bantuan,
4) menolong orang yang lemah,
5) menunjuki jalan bagi orang yang sesat di jalan,
6) memberi petunjuk kepada orang yang dilanda kebingungan,
7) mengembalikan kezhaliman orang yang zhalim, yaitu dengan cara
mencegahnya.2
E. Penjelasan :
1. Larangan keras duduk-duduk di pinggir jalan, sebab itu adalah majelis syaitan,
kecuali apabila hak jalan tersebut ditunaikan.
Abu Ja'far ath-Thahawi berkata dalam kitabnya Musykilul Atsar (I/158), "Coba
perhatikan atsar-atsar ini, ternyata kita dapati bahwa Rasulullah saw. melarang duduk
di pinggir jalan. Kemudian beliau membolehkannya dengan catatan harus
menunaikan hak-hak jalan tersebut sebagai syarat pembolehannya. Kita juga dapati
bahwa larangan duduk di pinggir jalan ditujukan bagi mereka yang tetapi ingin duduk
di pinggir jalan tetapi tidak menunaikan syarat-syarat tadi. Padahal duduk di tempat
tersebut dibolehkan bagi mereka yang dapat menjamin dirinya menunaikan syarat-
syarat dibolehkannya duduk di pinggir jalan." Dengan demikian, jelaslah perbedaan
antara larangan Nabi saw. dan pembolehannya. Dan masing-masing memiliki makna
yang berbeda dengan yang lainnya.
2 http://ranselhijau.wordpress.com/2009/04/18/kode-etik-bagi-pengguna-jalan/#more-231
5
Hadits ini menunjukkan bolehnya menggunakan jalan umum selama tidak
mengganggu pengguna jalan. Jika demikian halnya maka secara akal, apabila duduk
di pinggir jalan dapat membuat sempit bagi pengguna jalan, tidak termasuk hal yang
dibolehkan oleh Rasulullah saw. Perkara seperti ini hukumnya sebagaimana yang
tercantum dalam hadits Sahl bin Mu'adz al-Juhani dari ayahnya, "Ketika areal
perumahan sudah semakin sempit hingga orang-orang menutup jalan untuk
perumahan, maka pada beberapa peperangan Rasulullah saw. memerintahkan untuk
diumumkan bahwa barangsiapa yang rumahnya sempit lantas ia menutup jalan untuk
perumahan maka tidak ada jihad baginya."
Oleh karena itu wajib bagi orang yang memiliki akal untuk memahami hadits
Rasulullah saw. yang beliau tujukan kepada ummatnya. Sesungguhnya beliau
berbicara kepada mereka agar mereka benar-benar berada di atas aturan agama
mereka, di atas adab yang berlaku dalam agama mereka, dan hukum-hukum yang
telah ditetapkan dalam agama mereka. Dan hendaklah ia mengetahui bahwa tidak ada
pertentangan di dalam hukum-hukum tersebut. Dan setiap makna yang beliau
lontarkan kepada mereka yang mengandung lafadz bertentangan dengan lafadz
sebelumnya merupakan lafadz yang memiliki makna yang sejenis dan dicari dari
masing-masing kedua makna tersebut. Apabila terdetik dalam hati mereka adanya
pertentangan atau perbedaan, berarti makna tersebut bukan seperti yang mereka duga.
Dan apabila sebagian orang tidak mengetahui makna tersebut, itu dikarenakan
kelemahan ilmunya, bukan karena adanya pertentangan sebagaimana apa yang
mereka sangka. Sebab Allah telah menjamin tidak ada pertentangan di dalamnya.
Allah berfirman :
"Kalau kiranya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya," (An-Nisaa': 82).3
3 Depag R.I, Al-Qur’an dan Terjemah, C.V Aneka Ilmu, Semarang : 2001.
6
2. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (XI/11), "Seluruh hadits-
hadits ini mengandung 14 adab yang aku susun dalam bait-bait berikut, "Ku
kumpulkan beberapa adab untuk mereka yang ingin duduk di pinggir jalan. Dari
sabda manusia terbaik. Tebarkan salam dan ucapan baik. Mengucapkan tasymit bagi
yang bersin. Membalas salam dengan baik. Membantu sesama dan menolong yang
teraniaya. Memberi minum bagi yang haus serta menunjukkan jalan dan kebaikan.
Menyuruh berbuat baik, melarang kemungkaran dan tidak mengganggu.
Menundukkan pandangan dan banyak berdzikir kepada Allah."
Dan termasuk penyebab terlarangnya duduk di pinggir jalan karena akan
berhadapan dengan bahaya fitnah wanita-wanita muda dan dikhawatirkan munculnya
fitnah setelah melihat mereka. Padahal para wanita tidak terlarang melintas di jalan-
jalan untuk suatu keperluan. Demikian juga jika ia berada di rumahnya, tentunya ia
tidak akan berhadapan dengan hak-hak Allah dan hak kaum muslimin di mana ia
tidak sendirian dan harus melakukan apa yang wajib ia lakukan, seperti ketika ia
melihat kemungkaran dan terhentinya kebaikan, maka pada saat itu seorang muslim
wajib menyuruh berbuat baik dan melarang kemungkaran tersebut. Sebab
meninggalkan itu semua berarti telah berbuat maksiat.
Demikian juga, ia akan bertemu dengan orang yang akan melintas maka
mereka harus menjawab salam mereka. Dan mungkin akan membuatnya bosan
menjawab salam jika pelintas yang memberi salam semakin banyak, sementara
menjawab salam itu hukumnya wajib. Jika ia tidak jawab salam tentunya ia akan
mendapat dosa.
Oleh karena itu, orang yang diperintahkan untuk tidak menghadang fitnah dan
menyuruh untuk melakukan sesuatu yang diperkirakan ia sanggup melakukannya.
Untuk menghindari masalah inilah syari'at menganjurkan mereka agar tidak duduk di
pinggir jalan. Ketika para sahabat menyebutkan pentingnya tempat tersebut bagi
mereka untuk beberapa maslahat, tempat berjumpa, tempat membincangkan masalah
agama dan dunia atau untuk tempat istirahat dengan berbicalah masalah yang
hukumnya mubah, maka Rasulullah saw. menunjukkan kepada mereka perkara-
7
perkara di atas yang dapat menghilangkan kerusakan yang timbul akibat duduk di
pinggir jalan.4
4 Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari, Pustaka Imam Syafi'I : 2006, h. 3/330-331.
8