Hadist Hasan

  • Upload
    -

  • View
    276

  • Download
    1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sdf

Citation preview

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang Kata hadits seringkali disebut juga dengan istilah khabar atau sunnah. Hadits atau Sunnah merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Alquran. Keduanya merupakan pedoman hidup yang mengatur segala tingkah laku dan perbuatan manusia. Al-Quran mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya, sedangkan hadits Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya, apakah berasal dari Nabi atau tidak.Hadits mempunyai fungsi penting dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alquran, baik ayat Muhkamat maupun Mutasyabihat. Sehingga hadits sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam mempelajari / mendalami ajaran-ajaran agama Islam.Dalam hadits ada yang dalam periwatannya telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadits atau yang dikenal dengan hadits maqbul (diterima). Namun disisi lain terdapat hadits-hadits yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadits mardud (ditolak) atau bahkan ada yang palsu (maudhu), hal ini dihasilkan setelah melakukan pemyelidikan, pemeriksaan dan penelitian yang seksama tentang para rawinya serta segi-segi lainnya untuk menentukan diterima atau ditolaknya hadits tersebut.

Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadits Rasulullah. Berbagai macam hadits yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadits baik dari segi putusnya Sanad dan tumpang tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadits.

Dilihat dari segi kualitas hadits, maka hadits bisa dikelompokkan menjadi tiga yaitu: hadits shahih, hadits hasan dan hadits dhaif. Namun dalam makalah ini, hanya akan membahas hadits hasan. B. Permasalahan Terdapat berbagai permasalahan yang akan dikupas dalam makalah ini yaitu: 1. Pengertian Hadits Hasan 2. Sebab-sebab timbulnya Hadits Hasan 3. Klasifikasi Hadits Hasan 4. Kedudukan Hadits Hasan 5. Istilah-istilah yang semakna hadits hasan.BAB IIPEMBAHASANA. Pengertian Hadits Hasan Hasan menurut bahasa artinya baik dan bagus,[1] Sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu[2].Sedangkan secara istilah, hadits hasan didefinisikan secara beragam oleh ahli Hadits, sebagai berikut :1. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani Khobar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz.[3] . 2. Menurut Imam at-Tirmidzi Tiap-tiap hadits yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada matannya tidak terdapat keganjalan, dan hadits itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan dengannya Definisi hadits hasan menurut at-Tirmidzi ini terlihat kurang jelas, sebab bisa jadi hadits yang perawinya tidak tertuduh dusta dan juga hadits gharib, sekalipun pada hakikatnya berstatus hasan. Tidak dapat dirumuskan dalam definisi ini sebab dalam definisi tersebut disyariatkan tidak hanya melalui satu jalan periwayatan (mempunyai banyak jalan periwayatan). Meskipun demikian, melalui definisi ini at-Tirmidzi tidak bermaksud menyamakan hadits hasan dengan hadits shahih, sebab justru at-Tirmidzilah yang mula-mula memunculkan istilah hadits hasan ini.[4]3. Menurut At-Thibi . Hadits musnad ( muttasil dan marfu ) yang sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah. Atau hadits mursal yang sanad-sanadnya tsiqah, tetapi pada keduanya ada perawi lain, dan hadits itu terhindar dari syadz ( kejanggalan ) dan illat (kekacauan).[5]Dengan kata lain hadits hasan adalah : .Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit ke-dhabit-annya, tidak ada keganjilan (syadz) dan tidak ada illat.[6]Atas dasar pengertian hadits hasan tersebut, maka syarat-syarat hadits hasan itu ada lima macam, yaitu: 1. Muttasil sanadnya2. Rawinya adil3. Rawinya dhabithKedhabitan rawi disini tingkatannya dibawah kedhabitan rawi hadits shahih, yakni kurang sempurna kedhabitannya. 4. Tidak temasuk hadits syadz5. Tidak terdapat illat [cacat][7]B. Sebab-sebab timbulnya Hadits Hasan Sebelumnya butuh kami ingatkan bahwa istilah hadits hasan di kalangan ulama mutaqaddimin (terdahulu) tidaklah dikenal. Di kalangan mereka, hadits hanya terbagi menjadi dua: Shahih dan dhaif. Ini dibuktikan dengan karya tulis para ulama terdahulu, dimana mereka menamakan kitabnya dengan nama Ash-Shahih, akan tetapi di dalamnya mereka menyebutkan hadits yang hasan. Misalnya Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, walaupun keduanya disifati dengan nama shahih, akan tetapi kenyataannya di dalam keduanya terdapat tidak sedikit hadits-hadits yang hasan.

Belakangan, para ulama ahli hadits mulai menyendirikan jenis hadits hasan ini dan membedakannya dari hadits shahih. Akan tetapi mereka kemudian berbeda pendapat dalam memberikan batasan dan definisinya, bahkan hingga mencapai 16 pendapat. Adanya banyak pendapat dalam definisinya ini adalah hal yang wajar, mengingat hadits hasan ini berada di antara shahih dan dhaif dan istilah hasan ini belum dikenal di kalangan ulama mutaqaddimin . Akan tetapi walaupun demikian, tetap sebagian ulama belakangan merajihkan dan memilih satu pendapat terkuat mengenai definisi hadits hasan, dan itu yang insya Allah akan kami sebutkan di bawah.[8]Ketika berbicara mengenai sejarah pengklasifikasian kualitas hadits mayoritas para ahli hadits mutaakhirin didalam kitab-kitab ilmu hadits karangan mereka berpendapat bahwa sebelum masa Imam Abu Musa At-Tirmidzi, istilah hadits hasan sebagai salah satu bagian dari pengklasifikasian kualitas hadits belum dikenal dikalangan para ulama hadits.

Pada masa itu hadits hanya diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu hadits sahih dan hadits dhaif. Adapun setelah masa beliau terjadi perkembangan dalam pengklasifiakasian hadits, pada masa ini hadits bila ditinjau dari segi kualitasnya diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu hadits sahih, hadits hasan, dan hadits dhaif. Dan beliaulah yang pertama kali memperkenalkan hal itu. Pendapat ini disandarkan kepada pendirian imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah didalam kitab majmu fatawa, beliau menjelaskan:Orang yang pertama kali memperkenalkan bahwa hadits terbagi atas pembagian sahih , hasan dan dhaif adalah abu Isa At- Tirmidzi dan pembagian ini tidak dikenal dari seorang pun pada masa-masa sebelumnya. Adapun sebelum masa at-Tirmidzi dikalangan ulama hadits pembagian tiga kualitas hadits ini tidak dikenal oleh mereka hanya membagi hadits itu menjadi sahih dan dhaif (Majmu Fatawa Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah XVII: 23 & 25).Menurut ImamIbnu Taimiyyah hadits daif pada masa sebelum Imam At-Tarmidzi itu terbagi menjadi dua macam.1. Haditsdaif dengan kedaifan yang tidak terhalang untuk mengamalkannya dan dhaif ini menyerupaiHasandalam istilah At-Tirmidzi.2. Hadits daif dengan kedaifan yang wajib ditinggalkan (tidak boleh diamalkan). Karena itu pada masa sebelum imam at-tirmidzi, hadits hasan dikatergorikan kedalam hadits daif, namun dengan kedaifan yang tidak terlalu parah hingga layak untuk diamalkan. Itulah sebabnya dikalangan para ulama ada yang berpendapat bahwa hadits daif boleh diamalkan pada hal-hal yang tidak bersifat esensial, diataranya seperti sirah, tarikh, fadhailul amal dan mengamalkan hadits itu lebih mereka sukai dari pada pendapat seseorang (Rayu). Menurut imam ibnu Taimiyah hadits hasan yang dimaksud oleh para ulama salaf tersebut adalah hadits yang menempati derajat hasan pada istilah tirmidzi.Anggapanbahwa Imam At-Tirmidzi adalah orang paling pertama yang memperkenalkan istilah haditsHasanyang diusung oleh ImamIbnu Taimiyyah ini, diikuti pula oleh muridnya, Al-Hafid SyamsyuddinMuhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi di dalam kitabnya,Al-Muqidhah fiIlmi Musthalah Al-Haditsdan sebagian besar ulama besar hadits.Namunpendapat Imam Ibnu Taimiyyah ini ditolak oleh Abdul Fatah Abu Guddah padaTahqiq-nya dalam kitabAl-Muqidhah fi Ilmi Musthalah Al-Haditsia berkata:Danyang benar, sesungguhnya penggunaan istilah Hasan sudah ada dan dikenal sebelum masa Imam At-Tirmidzi dalam waktu yang lama.(Al-Muqiidhah fi Ilmi Musthalah Al-Hadits, 1982: 27).PendapatAbdul Fatah Abu Guddah dalam mengkritisi pendapat Imam Ibnu Taimiyyah tadi, masih bisa dikatakan berupa sebuah hipotesis yang harus dibuktikan untuk menjadi sebuah kesimpulan, dengan mencari bukti-bukti yang sekiranya layak dijadikan landasan pendapat tersebut.Dalam halini Ibnu Shalah juga memberikan komentar, yang pada akhirnya bisa dijadikan sebagai sebuah landasan dan sekaligus memperkuat pendapat Abdul Fatah Abu Gudah. Bahwa ditemukanistilah Hasan pada beberapa tempat yang berbeda dari perbincangan sebagian guru-gurunya (Imam At-Tirmidzi) dan generasi sebelumnya seperti Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari, dan selain keduanya.(Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulum Al-Hadits,:1 18).[9] - (1 / 18) Berdasarkan keterangan dari Ibnu Sholah diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pemakaian istilah hasan dalam mengklasifikasikan suatu hadits berdasarkan kualitasnya, sudah dilakukan oleh guru-guru imam turmudzi dan generasi sebelumnya walaupun tidak memasyarakat. Dengan demikian terbantahlah pendapat imam Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa Imam Tirmidzi sebagai orang yang memperkenalkan istilah hadits hasan.C. Klasifikasi Hadits Hasan 1. Hadits Hasan Li DzatihiiHadits hasan li dzatihii adalah hadits yang memenuhi segala syarat-syarat hadits hasan,[10] hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan persyaratan yang ditentukan.[11] Sebuah hadits dikategorikan sebagai hasan li dzatihi karena jalur periwayatannya, hanya melalui satu jalur periwayatan saja. Sementara hadits hasan pada umumnya, ada kemungkinan melalui jalur riwayat yang lebih dari satu. Atau didukung dengan riwayat yang lainnya. Bila hadits hasan ini jumlah jalur riwayatnya hanya satu, maka hadits hasan itu disebut dengan hadits hasan li dzatihi. Tetapi jika jumlahnya banyak, maka ia akan saling menguatkan dan akan naik derajatnya menjadi hadits shahih li ghairihi.[12]Contoh hadits hasan lidzatihii :

Diriwayatkan oleh At-Tirmizi, dia berkata: telah bercerita kepada kami Qutaibah, telah bercerita kepada kami Jafar bin Sulaiman Ad-DhabI, dari Abi Imran Al-Jauni, dari Abu Bakar bin Abu Musa Al-Asyari, dia berkata, Aku telah mendengar ayahku berkata dihadapan musuh, Rasulullah bersabda, :

......dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asyari, (berkata), saya mendengar ayahku ketika berada dihadapan musuh berkata, Rasulullah saw. Bersabda: sesungguhnya pintu-pintu surga berada dibawah bayang-bayang pedang. (HR. al-Tirmidzi)Empat perawi hadits tersebut adalah tsiqoh kecuali Jafar bin Sulaiman ad-DhabI, sehingga hadits ini sebagai hadits hasan.[13] 2. Hadits Hasan Li Gahirihi Hadits hasan li ghairihi adalah hadits dhaif yang bukan dikarenakan perawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi dan syahid,[14] hadits yang dhaif dikuatkan dengan beberapa jalan, dan sebab kedhaifannya bukan karena kefasikan perawi (yang keluar dari jalan kebenaran) atau kedustaannya.Seperti satu hadits yang dalam sanadnya ada perawi yang mastur (tidak diketahui keadaannya), atau rawi yang kurang kuat hafalannya, atau rawi yang tercampur hafalannya karena tuanya, atau rawi yang pernah keliru dalam meriwayatkan, lalu dikuatkan dengan jalan lain yang sebanding dengannya, atau yang lebih kuat darinya. Hadits ini derjatnya lebih rendah dari pada hasan lidzatihii dan dapat dijadikan hujjah.[15] Contoh hadits hasan li ghairihiSeperti hadits yang diriwayatkan oleh Al-Turmudzi dan dia menilainya hasan, dari riwayat Syubah dari Asim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amir bin Rabiah dari ayahnya, berbunyi sebagai berikut: : . :" " : . : .( ) Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syubah dari ashim bin Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabiah, dari ayahnya bahwasanya seorang perempuan dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandalAl-Turmudzi mengomentari bahwa hadits itu terdapat riwayat-riwayat lain, yaitu dari Umar, Abu Hurairah, Aisyah dan Abu Hadrad. Dalam hal ini Al-Turmudzi menilai hadits tersebut hasan, karena meskipun Asim dalam sanad hadits yang diriwayatkannya itu dhaif karena jelek hafalannya, hadits ini didukung oleh adanya riwayat-riwayat lain.[16]D. Kedudukan Hadits HasanHadits hasan sama seperti hadits shahih dalam pemakaiannya sebagai hujjah, walaupun kekuatannya lebih rendah dibawah hadits shahih.[17] Hanya saja, jika terjadi pertentangan antara hadits shahih dengan hadits hasan, maka harus mendahulukan hadits shahih, karena tingkat kualitas hadits hasan berada dibawah hadits shahih. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari dimensi kesempurnaan kedhabitan rawi-rawi hadits hasan, yang tidak seoptimal kesempurnaan kedhabithan rawi-rawi hadits shahih.[18]Kebanyakan ulama ahli hadits dan fuqoha bersepakat untuk menggunakan hadits shahih dan hadits hasan sebagai hujjah. Disamping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadits hasan dapat digunakan sebagai hujjah, bilamana memenuhi sifat-sifat yang diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab, sifat-sifat yang dapat diterima itu ada yang tinggi, menengah dan rendah. Hadits yang sifat dapat diterimanya tinggi dan menengah adalah hadits shahih, sedangkan hadits yang sifat dapat diterimanya rendah adalah hadits hasan.Hadits-hadits yang mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah disebut hadits maqbul, dan hadits yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima disebut hadits mardud.yang termasuk hadits maqbul adalah:1. Hadits shahih, baik shahih li dzatihi maupun shahih li ghairihi2. Hadits hasan, baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihiYang termasuk hadits mardud adalah segala macam hadits dhaif. Hadits mardud tidak dapat diterima sebagai hujjah karena terdapat sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya atau pada sanadnya.[19]Ringkasnya, hadits yang dapat diterima sebagai hujjah atau dalam istimbath [konklusi] hukum hanyalah hadits shahih dan hasan. Hadits dhaif tidak dapat digunakan baik sebagai hujjah maupun istimbath hukum.[20]E. Kitab-kitab yang mengandung Hadits hasan Para ulama belum menyusun kitab khusus tentang hadits-hadits hasan secara terpisah sebagaimana mereka melakukannya dalam hadits shahih, tetapi hadits hasan banyak kita dapatkan pada sebagian kitab, diantaranya:1. Jami At-Tirmidzi, dikenal dengan Sunan At-Tirmidzi, merupakan sumber untuk mengetahui hadits hasan. 2. Sunan Abi Dawud 3. Sunan Ad-Daruqutni[21]F. Istilah-istilah yang semakna hadits hasanIstilah-istilah yang digunakan oleh para ahli hadits dalam menyebut hadits maqbul ialah:1. Jayyid2. Qowiy3. Shalih4. Tsabit5. Maqbul6. Mujawad[22] BAB IIIPENUTUPBerdasarkan latar belakang dan pembahasan diatas , maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:1. Bahwa hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit ke-dhabit-annya, tidak ada keganjilan (syadz) dan tidak ada illat. 2. Macam-macam hadits hasan adalah : a) Hadits Hasan Li Dzatihib) Hadits Hasan Li Ghairih3. Kriteria Hadits hasan :a) Sanad Hadits harus bersambung.b) Perawinya adilc) Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi Hadits shahihd) Hadits yang diriwayatkan tersebut tidak syadze) Hadits yang diriwayatkan terhindar dari illat 4. Hadits hasan sama seperti hadits shahih dalam pemakaiannya dapat dijadikan sebagai hujjah, walaupun kekuatannya lebih rendah dibawah hadits shahih. 5. Kitab-kitab Yang Memuat Hadits Hasana) Sunan at-Tirmidzyb) Sunan Abu Daudc) Sunan ad-Dar QuthnyDAFTAR PUSTAKAAlawi Al-Maliki,Muhammad, 2009, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Haditsi Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar, Yogyakarta: Pustaka PelajarAl-Qattan, Syaikh Manna, 2005, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsarhttp://makalahmeza.blogspot.com/2012/03/hadits-hasan.html/Diakses 16 /10/2012http://penuntutilmu.com/hadits-hasan-dan-kriterianya/16 /10/ 2012Ismail, Muhammad, 2002, prinsip-prinsip pemahaman Al-Quran dan hadits, Jakarta:Khairul Bayaan Majid Khon, Abdul, 2009, Ulumul Hadits, Jakarta: AmzahRifaI, Zuhdi, 2008, Mengenal Ilmu Hadits, Jakarta: al-GhurabaSahrani, Sohari, 2002, Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia IndonesiaSolahuddin,M:Agus Suyadi, 2011, Ulumul Hadits, Bandung, Pustaka SetiaMAKALAHDisusun untuk memenuhi tugas Ulumul Hadis

Dosen Pembimbing: Darmuin, M.Ag.

Oleh :NUR KHASAN (093511030)

NUR SAIFI (0935110231)

NURUL HUDA (093511032)

ROFIQO RAHMAWATI (093511033)

ROHMAWATININGSIH (093511034)

SEPTI DINI LESTARI (093511035)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANGFAKULTAS TARBIYAH2010HADIS SHAHIH DAN HADIS HASANI. PENDAHULUANHadis adalah sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran. Dari segi periwayatannya hadis ada yang disampaikan secara mutawatir dan non-mutawatir (masyhur dan ahad). Namun, kenyataannya hadis yang disampaikan secara non-mutawatir (masyhur dan ahad) jumlahnya lebih banyak dari pada hadis yang disampaikan secara mutawatir. M. Syuhudi Ismail dalam bukunya Kaedah Kesahihan Sanad Hadis menyatakan bahwa periwayatan hadis terbanyak berlangsung secara ahad.[1]Terkait dengan kehujjahannya maka dilakukan penelitian terhadap hadis non-mutawatir tersebut agar dapat diketahui kualitas dari sebuah hadis. Sehingga dapat ditentukan hadis yang maqbul dan mardud. Diantara hadis yang maqbul adalah hadis shahih dan hadis hasan. Sebenarnya, apakah hadis shahih dan hadis hasan itu sendiri? Bagaimana pebedaan diantara keduanya?

II. RUMUSAN MASALAHBerdasarkan pemaparan di atas, diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:

a. Apakah yang dimaksud dengan hadis shahih dan hadis hasan itu?b. Apa sajakah persyaratan hadis shahih dan hadis hasan dan bagaimana perbedaan diantara keduanya?c. Apa macam-macam hadis shahih dan hadis hasan?d. Bagaimana kehujjahan hadis shahih dan hadis hasan?

III. PEMBAHASANA. Pengertian Hadis Shahih dan Hasani. Pengertian Hadis ShahihShahih menurut lughat, adalah lawan dari kata saqiem (sakit). Kata shahih berasal dari kata shahha, yashihhu, shuhhan wa shihhatan wa shahahan, yang berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah, dan yang sempurna.[2]Sedangkan secara istilah, para ulama telah memberikan definisi hadis shahih yang telah diakui dan disepakati kebenarannya oleh para ahli hadis, yaitu sebagai berikut:

Artinya: Hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit dari rawi yang (juga) adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).[3]Dari definisi di atas, dapat dinyatakan bahwa hadis shahih adalah hadis yang sanad-nya besambung sampai kepada Nabi, seluruh periwayatnya adil dan dhabit, terhindar dari syadz dan illat.Pengertian hadis shahih di atas telah mencakup sanad dan matan hadis. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayatnya harus adil dan dhabit adalah kriteria untuk keshahihan sanad, sedang keterhindaran dari syudzudz dan illat, selain merupakan kriteria untuk keshahihan sanad, juga kriteria untuk keshahihan matan hadis. Karenanya, ulama hadis pada umumnya menyatakan bahwa hadis yang sanad-nya shahih belum tentu matan-nya juga shahih. Demikian pula sebaliknya, matan yang shahih belum tentu sanad-nya juga shahih. Jadi, keshahihan hadis tidak hanya ditentukan oleh keshahihan sanad saja, melainkan juga ditentukan oleh keshahihan matan-nya.[4]ii. Pengertian Hadis HasanHasan secara bahasa artinya: Artinya: Yang dirindui nafsu dan yang disenanginya.[5]Mengenai pengertian secara istilah oleh Al-hafidz dalam Nukhbatul Fikar memberikan definisi sebagai berikut:

Artinya: Hadis yang dinukilkan oleh orang yang adil yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil (yang bersambung-sambung sanadnya) yang musnad jalan datangnya (sampai kepada nabi SAW) yang tidak cacat dan tiada mempunyai keganjilan.[6]Adapun at-Turmudzi, sebagai ulama yang memopulerkan istilah ini mendefinisikan hadis hasan sebagai berikut: Artinya: Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada matannya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan (hadis tersebut) diriwayatkan pula melalui jalan yang lain.[7]Di masa Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan imam-imam sebelumnya, nilai hadis itu ada dua. Yang maqbul disebut shahih, dan yang mardud disebut dhaif. Jadi, ketika itu, nilai hadis itu kalau tidak shahih ya dhaif. Tetapi sebenarnya ada hadis yang kalau disebut dhaif rasanya tidak pas, kalau disebut shahih rasanya juga kurang tepat. Maka oleh al-Tirmidzi, hadis semacam ini disebut hadis hasan (baik). [8]B. Persyaratan Hadis Shahih dan Hasan serta Perbedaan antara Keduanyai. Syarat-Syarat Hadis ShahihDari pengertian hadis shahih secara umum, terdapat lima syarat yaitu:[9]a. Sanad bersambungDalam pembahasan ini yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat hadis sebelumnya sampai periwayat terakhir dan tidak terputus. Para ulama dalam meneliti bersambung atau tidaknya suatu sanad menempuh cara sebagai berikut: Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.

Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat.

Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat.

Jadi, suatu sanad hadis barulah dapat dinyatakan bersambung apabila:

Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar siqat Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah.

b. Periwayat bersifat adilBeragama Islam, mukalaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muruah. Untuk mengetahui keadilan para periwayat di atas, ulama melakukan penelitian dengan cara: Keutamaan kepribadian nama periwayat di kalangan ulama hadis. Penilaian dari para kritikus periwayat hadis. Penerapan kaedah al-jarh wa al-tadil. Cara ini ditempuh, bila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.Jadi, penetapan keadilan periwayat diperlukan kesaksian dari ulama, dalam hal ini ulama ahli kritik periwayat. Khusus para sahabat Nabi, hampir seluruh ulama menilai mereka bersifat adil. Karenanya, dalam proses penilaian periwayatan hadis, pribadi sahabat Nabi tidak dikritik oleh ulama hadis dari segi keadilan sahabat.

c. Periwayat bersifat dhabith Menurut Ibn Hajar al-Asqalany dan al-Sakhawiy, dhabith ialah orang yang kuat hafalannya tantang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja dia kehendaki. Dan ada pula ulama yang menambahkan bahwa bukan hanya kuat hafalannya tetapi juga memahami hadis tersebut. Dari pengertian diatas, tedapat sifat-sifat dhabith yang disebutkan yaitu: Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah diterimanya. Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang diterimanya. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang dihafalnya kapan saja dia kehendaki. Ulama yang lebih berhati-hati adalah yang mendasarkan ke-dhabith-an bukan hanya kepada kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada kemampuan pemahaman. Adapun cara penetapan ke-dhabith-an seorang periwayat, menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut: Berdasarkan kesaksian ulama.

Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya. Apabila seorang periwayat sekali-sekali mengalami kekeliruan, masih dinyatakan sebagai periwayat yang dhabith. Tetapi bila sering terjadi, maka tidak dikatakan lagi sebagai periwayat yang dhabith. Dalam hubungan ini, yang menjadi dasar penetapan ke-dhabith-an periwayat secara implisit ialah hafalannya dan bukan kepahaman periwayat tersebut terhadap hadis yang diriwayatkannya. Tetapi periwayat yang kuat hafalannya dan memahami hadisnya itu lebuh diutamakan ke-dhabith-annya daripada periwayat yang hanya kuat hafalannya.

d. Tidak janggal atau syudzudz (syadz) Ulama berbeda pendapat tentang pengertian syadz dalam hadis. Tetapi kebanyakan ulama hadis mengikuti pendapat Al-Syafiiy. Menurut Al-Syafiiy, suatu hadis mengandung syudzudz (syadz), jika hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat, sedang periwayat yang siqat lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Dan hadis baru berkemungkinan mengandung syudzudz, jika hadis itu memiliki lebih dari satu sanad, para rawi hadis itu semuanya siqat, dan terdapat matan dan atau sanad hadis itu ada yang mengandung pertentangan.Untuk mengetahui ke-syadz-an suatu hadis sangatlah sulit. Para ulama melakukan penelitian untuk mengetahui syadz-nya suatu hadis dengan cara sebagai berikut: Semua sanad yang mengandung matan hadis yang pokok masalahnya memiliki kesamaan dihimpun dan diperbandingkan. Para periwayat di seluruh sanad diteliti kualitasnya. Apabila seluruh periwayat bersifat siqat dan ternyata ada seorang periwayat yang sanadnya menyalahi sanad-sanad lain, maka sanad tersebut disebut sanad syadze. Tidak ada illatMenurut Ibn al-Shalah dan al-Nawawiy, illat ialah sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis. Sehingga hadis yang kelihatan shahih menjadi tidak shahih. Kebanyakan ulama hadis sulit untuk meneliti hadis yang ber-illat. Ada ulama yang mengatakan bahwa orang yang mampu meneliti illat hadis hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan hadis yang banyak, paham terhadap hadis yang dihafalnya, mendalam pengetahuannya tentang berbagai tingkat ke-dhabith-an periwayat, dan ahli dibidang sanad dan matan hadis. Al-Hakim al-Nasyabury berpendapat, acuan utama penelitan illat hadis ialah hafalan, pemahaman dan pengetahuan yang luas tentang hadis. Dari persyaratan yang dikatakan para ulama di atas memberi petunjuk bahwa penelitian illat hadis sangat sulit.ii. Syarat-Syarat Hadis HasanSuatu hadis bisa dikatakan menjadi hadis hasan, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[10]a. Sanad-nya bersambung.b. Perawinya adil.

c. Perawinya dhabith, tetapi ke-dhabith-an perawi hadis hasan dibawah hadis shahih.d. Tidak terdapat kejanggalan/syadze. Tidak mengandung illat.iii. Persamaan dan Perbedaan Hadis Shahih dan HasanMenurut dari persyaratan hadis shahih dan hasan di atas, kedua hadis tersebut hampir sama, hanya yang memebedakan tingkat ke-dhabith-an periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut. Ke-dhabith-an periwayat hadis shahih lebih tinggi tingkatannya daripada hadis hasan.C. Macam-Macam Hadis Shahih dan HasanHadis shahih dibedakan menjadi dua, yaitu :1. Hadis Shahih Lidzatihi, adalah hadis yang mencapai tingkat keshahihan dengan sendirinya tanpa dukungan hadis lain yang menguatkannya. Keshahihan hadis yang demikian itu tidak disyaratkan harus berupa hadis Aziz, yakni tidak harus diriwayatkan melalui jalur lain. [11]2. Hadis Shahih Lighairihi, adalah hadis hasan lidzatihi yang meningkat kualitasnya dari tingkatan hasan kepada tingkatan shahih karena diriwayatkan (pula) melalui jalur lain yang semisal atau lebih kuat, baik redaksi yang sama maupun hanya maknanya saja yang sama, sehingga hadis tersebut menjadi kuat kedudukannya.[12]Sedangkan Hadis hasan dibedakan menjadi dua, yaitu:1. Hadis Hasan Lidzatihi, adalah hadis yang memenuhi persyaratan hadis shahih tetapi tingkat kedhabitan perawinya kurang sedikit.2. Hadis hasan lighairihi, adalah suatu hadis yang meningkat kualitasnya menjadi hadis hasan karena diperkuat oleh hadis lain. Hadis hasan lighairihi asalnya adalah hadis dhaif, namun karena hadis tersebut diriwayatkan pula melalui jalan lain yang sederajat atau lebih kuat dan bukan berada di bawahnya dengan redaksi yang sama atau hanya maknanya saja dan hadisnya tidak janggal maka hadis ini tingkatannya naik menjadi hadis hasan lighairihi.

D. Kehujjahan Hadis Shahih dan Hadis Hasan Status kehujjahan suatu hadis tergantung sanad dan matan hadis tersebut. Apabila sanad suatu hadis telah memenuhi syarat dan kriteria tertentu, begitu juga matannya maka hadis tersebut dapat diterima sebagai dalil untuk menetapkan hukum atas sesuatu. Dengan kata lain hadis tersebut dapat dijadikan hujjah. Mengenai hadis yang shahih maka para ulama ahli hadis bersepakat bahwa hadis shahih merupakan hujjah yang bersifat qathi dan harus diikuti. Dengan demikian hadis shahih adalah hadis yang maqbul (diterima) dan dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syariat Islam. Baik itu merupakan shahih lidzatihi ataupun shahih lighairihi.Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qathi, yaitu Alquran dan hadis mutawatir untuk menetapkan hal-hal yang yang berkaitan dengan akidah dan tidak dengan hadis ahad. Sebagian ulama lainnya dan Ibnu Hazm al-Dahiri menetapkan bahwa hadis shahih memfaedahkan Ilmu qathi dan wajib diyakini. Dengan demikian hadis shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah.[13]Mengenai hadis hasan maka para ulama berpendapat bahwa hadis hasan dapat dijadikan sebagai hujjah sebagaimana hadis shahih. Para imam ahli hadis mengatakan bahwa hadis hasan sama dengan hadis shahih dalam bidang hujjah, walaupun hadis hadis hasan itu lebih kurang dari hadis shahih dalam segi kekuatannya[14]. Oleh karena itu ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah, namun bila ada kontradiksi antara hadis hasan dan hadis shahih maka hadis shahih harus didahulukan.

Jumhur ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadis hasan seperti hadis shahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan hadis hasan ini, baik hasan lidzatihi maupun hasan lighairihi ke dalam kelompok hadis shahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah. Bahkan para fuqoha dan ulama banyak beramal dengan hadis hasan ini. Menurut Al-khattabi hadis yang mereka maksud di sini (hadis yang bisa diterima sebagai hujjah) adalah hadis hasan li dzatihi. [15] sedangkan untuk hadis hasan lighairihi jika kekurangannya dapat diminimalisir atau ditutupi oleh riwayat lain, maka sahlah berhujjah dengannya. IV. KESIMPULANBerdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa:

a. Hadis ditinjau dari segi kualitasnya ada yang disebut hadis shahih dan hasan.

b. Hadis shahih adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Sanad-nya bearsambung

Periwayat bersifat adil

Periwaayat bersifat dhabith Tidak ada kejanggalan (Syadz)

Tidak ada illatc. Hadis hasan adalah hadis yang dinukilkan oleh orang yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil (yang bersambung-sambung sanad-nya), yang musnad jalan datangnya (sampai kepada Nabi SAW), yang tidak cacat dan tiada mempunyai keganjilan.

d. Hadis shahih dibagi menjadi dua yaitu: shahih lidzathihi dan shahih lighairihi, begitu juga dengan hadis hasan.

e. Hadis shahihdan hadis hasan keduanya dapat dijadikan hujjah (dalil dalam penetapan hukum). Namun kehujjahan hadis shahih lebih kuat dari pada hadis hasan.

V. PENUTUPDemikian makalah yang dapat kami sampaikan. Sebagai insan yang dlaif tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari pembaca sekalian untuk perbaikan dan evaluasi dari apa yang penulis dapat sajikan.

[1] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta:Bulan Bintang, 1995), cet. II, hlm. 10

[2] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), hlm. 155

[3] Nuruddin Itr. Ulum al-Hadis 2. (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 2

[4] M. Syuhudi Ismail. op.cit. hlm. 126

[5] Hasbi Ashiddieqy, Poko-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 161

[6] Ibid., hlm. 162

[7] Utang Ranuwijaya, op.cit., hlm. 169

[8] Muhammad Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 2003), cet. II, hlm. 88

[9] M. Syuhudi Ismail, op.cit., hlm.127

[10] Utang Ranuwijaya, op.cit., hlm. 171

[11] Nuruddin Itr, op.cit., hlm. 31

[12] Ibid. [13] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 136

[14] Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm.174

[15] Ibid., hlm. 148

DAFTAR PUSTAKAAsh-Shiddieqy, Hasbi.1987.Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis.Jakarta:Bulan Bintang.Ismail, M. Syuhudi.1995.Kaedah Kesahihan Sanad Hadis.Jakarta:Bulan Bintang.Itr, Nuruddin.1997.Ulum Al-hadis 2.Bandung:Remaja Rosdakarya.Ranuwijaya, Utang.1996.Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya N_Media Pratama.Suparta, Munzier.2003.Ilmu Hadis.Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Zuhri, Muhammad.2003.Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis.Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya.

Contoh : : .Shahih li ghairihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah haditsmaqbul.Hadits di bawah ini merupakan hadits contoh haditshasan lidzatihiyang naik derajadnya menjadi haditsshahihlighairihi: , , , , , : ( )Andaikan tidak memberatkan kepada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan shalat.(HR. Bukhari)[13]Hadits ini diriwayatkan melalui jalur Al-Araj dari Abu Hurairah.Ibnu ash-Shalahrahimahullahberkata:Maka Muhammad bin Amr bin Alqamah adalah termasuk orang yang terkenal dengan kejujuran dan kehormatan. Akan tetapi ia bukan termasuk orang yang matang (dalam hafalannya, ed), sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa ia dhaif (lemah) dari sisi buruknya hafalannya. Dan sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa ia tsiqah (kredibel) dikarenakan kejujurannya dan kehormatannya. Maka haditsnya dari jalur ini adalah hadits Hasan. Maka ketika digabungkan kepadanya riwayat-riwayat dari jalur lain, hilanglah apa yang kita kita khawatirkan dari sisi buruknya hafalan, dan tertutupilah dengan hal itu kekurangan yang sedikit, sehingga sanad hadits ini menjadi shahih, dan disetarakan dengan tingkatan hadits shahih.(Muqaddimah Ibnu ash-Shalah)http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/05/hadis-shahih-hasan-dan-dhaif-dan-maudhu.htmlContoh hadits hasan lighairihi: - ( 2 / 68) : ."Merupakan suatu hak bagi orang-orang muslim untuk mandi di hari Jum'at. Hendaklah salah seorang diantara mereka mengusapkan wangi-wangian keluarganya, jika ia tidak memperoleh, airpun cukup menjadi wangi-wangian."Hadis ini dikatakan sebagi hadits dloif, karena pada rawinya terdapat Ismail bin Ibrahim al-Taimi yang didloifkan oleh para ahli hadits. Akan tetapi hadits ini naik derajatnya menjadi hasan lighairihi karena selain dari jalur Ismail bin Ibrahim al-Taimi, ternyata juga terdapat jalur lain yang berasal dari Ahmad bin Manba' lalu Husyaim, dari Yazid bin Abi Ziyad. Selain itu hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui Husyaim, dari Yazid bin Ziyad. Kemudian hadits senada tentang kesunahan memakai wangi-wangian juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.Berikut adalah hadits-hadits pendukung terahadap hadits Ismail bin Ibrahim al-Taimi. - ( 2 / 68) . - ( 37 / 444) . - ( 3 / 394) - ( 4 / 313) . - ( 1 / 420) .Dengan demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari jalur Abu Yahya Isma'il bin Ibrahim yang dloif itu naik derjatnya menjadi hasan lighairihi. Karena kadloifannya telah diangkat olehmuttabi', yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi sendiri dan Imam Ahmad dan diangkat pula olehsyahid,yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim dan Abu Dawud.http://altsubuty.blogspot.com/2008/12/definisi-dan-kalsifikasi-hadits-shohih.html[1] Syaikh Manna Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), 2005, 121

[2] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,(Bogor: Ghalia Indonesia,2002), 114

[3] M. Solahuddin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia, 2011), 145-146

[4] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,114

[5] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,115

[6] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta:Amzah,2009), 159

[7] Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 59

[8] HYPERLINK "http://penuntutilmu.com/hadits-hasan-dan-kriterianya/16" http://penuntutilmu.com/hadits-hasan-dan-kriterianya/16 oktober 2012

[9] HYPERLINK "http://makalahmeza.blogspot.com/2012/03/hadits-hasan.html/DIAKSES" http://makalahmeza.blogspot.com/2012/03/hadits-hasan.html/Diakses 16 /10/2012

[10] M. Solahuddin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits,146

[11] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,161

[12] Zuhdi Rifai, Mengenal Ilmu Hadits,(Jakarta: al-Ghuraba, 2008), 167

[13] Syaikh Manna Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman,122

[14] M. Solahuddin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits,146

[15] Syaikh Manna Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman,124

[16] Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar,63

[17] Syaikh Manna Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman,121

[18] Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar,60

[19] M. Solahuddin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits,147

[20] Muhammad Ismail, Prinsip-prinsip Pemahaman Al-Quran dan Hadits, (Jakarta:Khairul Bayaan, 2002), 145

[21] M. Solahuddin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits,147

[22] Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar,60