Kisah Klan Otori IV

Embed Size (px)

Citation preview

Kisah Klan Otori IV Page 1 KISAH KLAN OTORI IV: THE HARSH CRY OF THE HERON By Lian Hearn

Kisah Klan Otori IV Page 2 KISAH KLAN OTORI: THE HARSH CRY OF THE HERON Copyrigth@Lian Hearn Associates Pty Ltd 2006 All rights reserved Hak terjemahan ada pada Penerbit Matahati Diterbitkan oleh Penerbit Matahati Judul asli: TALES OF THE OTORI: The Harsh Cry of the Heron by Lian Hearn Simbol Klan oleh Claire Aher Terjemah Tales of the Heiki adalah dari Helen Craig McCullough, dan diterbitkan oleh Stanford University Press, 1988

Dentang genta Gion Shoja mengumandangkan ketidakabadian segalanya. Warna bunga sala mengungkapkan kebenaran bahwa kemakmuran akan mengalami kemunduran. Keangkuhan tak akan bertahan lama, layaknya mimpi di malam musim semi Kekuasaan pada akhirnya akan jatuh, layaknya debu yang tertiup angin. THE TALE OF THE HEIKI entang genta Gion Shoja mengumandangkan ketidakabadian segalanya. Warna bunga sala mengungkapkan kebenaran bahwa kemakmuran akan mengalami kemunduran. Keangkuhan tak akan bertahan lama, layaknya mimpi di malam musim semi Kekuasaan pada akhirnya akan jatuh, layaknya debu yang tertiup angin. THE TALE OF THE HEIKI Kisah Klan Otori IV Page 3

Kisah Klan Otori IV Page 4 THE HARSH CRY OF THE HERON TOKOH UTAMA : Otori Takco penguasa Tiga Negara Otori Kaede istrinya Shigeko putri sulung mereka, pewaris Maruyama Maya putri Kembar mereka Miki Arai Zenko pemimpin Klan Arai, penguasa Kumomoto Arai Hana istrinya, adik Kaede Sunaomi dan Chikara anak mereka MutoKenji ketua keluarga Muto dan Tribe Muro Shizuka pengganti dan keponakan Kenji, ibu dari Zenko dan Taku Muto Taku mata-mata Takeo Sada anggota Tribe sahabat Maya Mai adik dari Sada Yuki (Yusetyu) putri Kenji, ibu dari Hisao Muto Yasu pedagang Imai Bunta informan Shizuka Tabib Ishida suami Shizuka, tabibnya Takco Sugita Hiroshi pengawal senior Maruyama Miyoshi Kahei panglima perang Takeo,penguasa Yamagata Miyoshi Gemba saudaranya Sonoda Mitsuru penguasa Inuyama Matsuda Shingen Kepala biara Terayama Kubo Makoto (Eiken) penggantinya,sahabat Takeo Minoru jurutulis Takeo Kurado Junpei Kurado Shinsaku pengawal Takeo Terada Fumio pemimpin angkatan laut Lord Kono putra Lord Fujiwara Saga Hideki jenderal Kaisar Don Joao orang asing, pedagang Don Carlo orang asing, pendeta Madaren penerjemah mereka Kikuta Akio ketua keluarga Kikuta Kikuta Hisao anaknya Kikuta Gosaburo paman Akio

KUDDAA :: Tenba kuda hitam pemberian Shigeko untuk Taeko Dua anak Raku, surai dan ekor mereka berwarna abuabu Ryume kuda tunggangan Taku Keri kuda tunggangan Hiroshi Ashiege kuda tunggangan Shigeko Kisah Klan Otori IV Page 5

"Cepat kemari! Ayah dan Ibu sedang bertarung!" Otori Takeo mendengar putrinya memanggil adik-adik-nya dari kediaman mereka di kastil Inuyama, dengan cara yang sama ia mendengarkan semua hiruk-pikuk baik di dalam kastil dan juga dari kota di luar kastil. Namun dia mengabaikan suara-suara itu, sama seperti ia mengabaikan nyanyian yang mengalun dari nightingale floor di bawah kakinya. Ia hanya berkonsentrasi pada lawannya: Kaede, istrinya. Mereka bertarung menggunakan tongkat: ia memang lebih tinggi, tapi istrinya terlahir kidal dan mampu menggunakan tangan kanan dengan sama baiknya. Sementara jari tangan kanannya putus karena tebasan belati bertahun-tahun lalu dan harus belajar menggunakan tangan kiri. Saat ini hari terakhir di tahun ini, hawa dingin menusuk, langit pucat kelabu, matahari musim dingin meredup. Mereka sering berlatih dengan cara ini di musim dingin: menghangatkan tubuh dan membuat sendi-sendi tetap lentur, dan Kaede suka putri-putrinya melihat baga imana perempuan mampu bertarung layaknya laki-laki. Ketiga putri mereka berlarian: Shigeko, si sulung. yang akan berusia lima belas lahun pada tahun baru ini, kedua adiknya tiga belas tahun. Papan lantai melantunkan nyanyian di bawah langk ah kaki Shigeko, tapi si kembar menjejakkan kaki mereka begitu ringan dengan cara Tribe. Mereka sudah sering berlarian melintasi nightingale floor sejak kecil, dan tanpa menyadari be lajar untuk membuatnya tidak bersuara. Kepala Kaede ditutupi selendang sutra merah yang dililitkan menutupi wajahnya, m aka Takeo hanya bisa melihat matanya. Mata yang penuh dengan energi bertarung, dan gerakan-gerak annya masih cepat serta kuat. Sulit dipercaya Kaede adalah ibu dari tiga anak: dia masih ber gerak dengan kekuatan dan kebebasan seorang gadis. Serangannya membuat Takeo menyadari akan u sia dan kelemahan fisiknya. Hentakan serangan Kaede pada tongkat miliknya membuat tangann ya terasa nyeri. "Aku mengaku kalah," ujar Takeo. "Ibu menang!" seru ketiga putrinya dengan bangga. Shigeko lari menghampiri ibuny a dengan membawa handuk. "Untuk sang pemenang," ujarnya seraya membungkuk dan menyodorkan handuk dengan dua tangan. "Kita harus bersyukur karena hidup dalam damai," tutur Kaede, seraya tersenyum d an menyeka wajahnya. "Ayah kalian belajar keahlian berdiplomasi dan tak perlu lagi bertarung mempertaruhkan nyawanya!"

"Setidaknya kini aku sudah mendapat peringatan!" sahut Takeo, memberi isyarat pa da salah satu penjaga, yang tengah menyaksikan dari taman untuk mengambil longkatnya. Kisah Klan Otori IV Page 6

"Ijinkan kami bertarung melawan Ayah!" ujar Miki, si bungsu, dengan nada memohon. Dia berjalaIjinkan kami bertarung melawan Ayah!" ujar Miki, si bungsu, dengan n ada memohon. Dia berjalan ke tepian beranda dan mengacungkan kepalan tangan ke arah ayahnya. Takeo berhatihati untuk tidak menatap langsung mata atau menyentuh putrinya itu selagi memberikan tongka tnya. Takeo sadar akan rasa enggan dalam dirinya. Bahkan orang dewasa dan prajurit tan gguh sekalipun, takut pada si kembar bahkan, batinnya dengan hati pilu, ibunya sendiri juga takut . "Ayah ingin lihat apa saja yang telah dipelajari Shigeko," sahutnya. "Kalian ber dua boleh menjajal kebolehannya." Selama beberapa tahun putri sulungnya menghabiskan sebagian besar waktu di Teray ama, di bawah pengawasan mantan Kepala Biara, Matsuda Shingen, mantan guru Takeo, untuk mempel ajari Ajaran Houou. Shigeko tiba di Inuyama sehari sebelumnya, untuk merayakan Tahun Baru ber sama keluarganya, juga perayaan memasuki usia akil balik. Kini Takeo memerhatikan putri nya selagi mengambil tongkat yang tadi digunakannya serta meyakinkan kalau Miki menggunakan tongkat yang lebih ringan. Secara fisik, Shigeko mirip ibunya: bentuk tubuh ramping yang sama serta kerapuhan yang jelas terlihat, namun memiliki karakter, berpengetahuan luas berkat latihan dan pengalaman, periang serta tegas dan tidak mudah berubah pendirian. Ajaran Houou amat keras d alam pengajarannya, dan guru-gurunya tidak membuat pengecualian untuk usia dan jenis kelamin, namun ia tetap menerima ajaran dan latihan yang diberikan, hari-hari panjang dalam kes endirian serta kcsunyian, dengan sepenuh hati. Dia ke Terayama atas kemnuannya sendiri, karena Ajaran Houou merupakan ajaran jalan kedamaian, dan sejak kecil Shigeko telah diajarkan ayahny a tentang pandangan untuk mewujudkan wilayah yang damai tempat kekcrasan tak pernah meraja lela. Cara bertarungnya agak berbeda dari cara yang diajarkan kepada Takeo, dan dia sa ngat suka memerhatikan putrinya itu, menikmati bagaimana gerakan-gerakan tradisional menye rang diubah menjadi gerakan beladiri, dengan tujuan melemahkan lawan tanpa menyakiti. "Jangan curang," kata Shigeko pada Miki, karena si kembar memiliki semua kemampu an Tribe bahkan lebih, Takeo curiga. Saat ini, kemampuan mereka berkembang pesat, dan mesk ipun dilarang

menggunakannya dalam kehidupan seharihari, terkadang godaan untuk mempermainkan gu ruguru serta mengelabui para pelayan sulit untuk dibendung. "Mengapa aku tidak boleh memperlihatkan apa yang sudah kupelajari?" tanya Miki, karena dia juga baru kembali dari pelatihan di desa Tribe bersama keluarga Muto. Kakaknya Maya aka n kembali ke sana setelah perayaan. Akhir-akhir ini jarang sekali seluruh anggota keluarga bi sa berkumpul bersama: pendidikan yang berbeda bagi tiap anak, tuntutan pada orangtua untuk me mberi perhatian yang sama besarnya untuk seluruh Tiga Negara berarti perjalanan tanpa henti sert a sering berjauhan. Tuntutan dalam pemerintahan kian meningkat: perundingan dengan orang asing; penj elajahan dan perdagangan; pengembangan persenjataan; pengawasan distrik lokal yang mengatur se ndiri administrasinya; percobaan pertanian; impor perajin asing dan teknologi baru; pe ngadilan untuk mendengarkan keluhan serta ketidakpuasan. Takeo dan Kaede memikul beban ini bers ama. Kaede lebih banyak menangani wilayah Barat, sedang Takeo Negara Tengah dan keduanya be kerjasama menangani wilayah timur, tempat adik Kaede, Ai beserta suaminya, Sonoda Mitsuru, memegang bekas wilayah Tohan. Miki setengah kepala lebih pendek dari kakaknya, tapi sangat kuat dan cepat; Shi geko tampak nyaris tak mampu mengimbangi gerakannya, tapi adiknya tak mampu menembus pertahanannya. Dala m beberapa saat Miki sudah kehilangan tongkatnya, yang tampak seperti terbang mela yang dari jemarinya, dan sewaktu tongkat itu membumbung tinggi Shigeko menangkapnya dengan mudah. "Kau curang!" Miki terengah-engah. "Lord Gemba yang mengajari," sahut Shigeko dengan bangga. Adik kembarnya yang satu lagi, Maya, mengambil giliran selanjutnya juga kalah de ngan cara yang sama. Shigeko berkata, pipinya bersemu merah, "Ayah, ayo bertarung denganku!" "Baiklah," Takeo setuju karena terkesan dengan apa yang telah dipelajari putriny a dan ingin tahu sampai di mana kemampuannya menghadapi ksatria yang terlatih. Takeo menyerang putrinya dengan cepat, tanpa menahan tenaga, dan serangan pertam a Kisah Klan Otori IV Page 7

mengejutkan gadis itu. Tongkat ayahnya mengenai dadanya; Takco menahan tikamanny a agar tidak menyakiti putrinya. engejutkan gadis itu. Tongkat ayahnya mengenai dadanya; Takco menahan tikamannya agar tidak menyakiti putrinya. Kisah Klan Otori IV Page 8

"Jika ini pedang, nyawamu pasti sudah melayang," ujarnya. Jika ini pedang, nyawa mu pasti sudah melayang," ujarnya. "Lagi," sahut Shigeko dengan tenang, dan kali ini siap bersiap menghadapi serang an yang akan dilancarkan ayahnya; bergerak dengan kecepatan tanpa banyak tenaga, mengelak dar i dua pukulan dan berhasil masuk ke sisi kanan ayahnya tempat tangan yang lebih lemah, menghen tak sedikit, cukup untuk menggoyahkan keseimbangan ayahnya, kemudian meliukkan tubuhnya. Tongk at milik Takeo jatuh ke tanah. Didengarnya helaan napas si kembar, dan para penjaga terperangah. "Bagus sekali," ujarnya. "Ayah tidak berusaha sekuat tenaga," sahut Shigeko kecewa. "Tentu saja ayah berusaha sekuat tenaga. Sama kuatnya seperti yang pertama tadi. Tapi, ayah sudah dibuat lelah oleh ibumu, juga karena sudah tua dan tidak sekuat dulu lagi!" "Tidak," pekik Maya. "Shigeko menang!" "Tapi itu sama saja kau curang," timpal Miki dengan serius. "Bagaimana kau melak ukannya?" Shigeko tersenyum, menggelengkan kepala. "Itu yang harus kau lakukan dengan pikiran, jiwa serta tangan di saat bersamaan. Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa menguasainya. Aku tidak bisa memperlihatkan nya begitu saja pada kalian." "Kau melakukannya dengan sangat baik," ujar Kaede. "Aku bangga." Nada suaranya t erdengar penuh kasih sayang dan kekaguman, seperti biasa hanya tertuju pada putri sulungnya. Si kembar saling benukar pandang. Mereka iri, pikir Takeo. Mereka tahu ibunya tidak memiliki kasih sayang yang sam a kuatnya pada mereka. Dan dirasakannya debaran perasaan ingin melindungi yang tak asing lagi at as kedua putri kembarnya. Sepertinya ia selalu berusaha menjauhkan mereka dari segala yang baha ya sejak mereka lahir, ketika Chiyo ingin menyingkirkan bayi kedua, Miki, lalu membiarkann ya mati. Ini tindakan yang biasa lakukan pada anak kembar karena anak kembar dianggap tidak wajar bagi manusia, membuat mereka kelihatan lebih mirip hewan, kucing atau anjing. "Mungkin tampak kejam bagi Anda, Lord Takeo," Chiyo memeringatkannya. "Tapi lebi h baik bertindak sekarang daripada menanggung malu dan sial, sebagai ayah dari anak kembar, rakya

t akan percaya kalau Anda menjadi sasarannya." "Bagaimana mereka bisa berhenti percaya pada takhayul dan kekejaman semacam itu bila bukan kita yang memberi contoh?" sahutnya dengan gusar karena bagi orang yang terlahir di k alangan kaum Hidden, ia sangat menghargai nyawa manusia lebih dari apa pun, dan tak percaya k alau mempertahankan nyawa anak akan mendatangkan hinaan atau nasib buruk. Kemudian ia terkejul oleh kekuatan takhayul ini. Kaede pun bukannya tidak terpeng aruh, dan sikapnya pada putri kembarnya menggambarkan kegelisahannya yang bercabang. Dia le bih memilih mereka tinggal terpisah, satu atau yang lainnya biasanya tinggal bersama Tribe; dan Kaede tak menginginkan kehadiran mereka saat perayaan usia akil balik sang kakak, takut kal au kehadiran mereka akan mendatangkan nasib sial bagi Shigeko. Tapi Shigeko, yang sama protek tifnya terhadap si kembar seperti ayahnya, memaksa mereka harus hadir. Takeo senang dengan hal it u, tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat semua anggota keluarga berkumpul bersama , berada dekat dengannya. Dipandanginya mereka semua dengan penuh kasih sayang, dan sadar kalau perasaan itu diambil alih oleh sesuatu yang lebih menggairahkan: hasrat untuk be rbaring bersama dan merasakan kulit istrinya. Pertarungan tongkat tadi telah membangkitkan kenang annya saat pertama kali jatuh cinta pada Kaede, pertama kali mereka bertanding di Tsuwano s ewaktu ia masih berusia tujuh belas tahun sedangkan Kaede lima belas tahun. Adu tanding itu berla ngsung di Inuyama, tepat di tempat yang sama hari ini, untuk pertama kalinya mereka tidur bersama, terdorong hasrat yang timbul dari keputusasaan juga kesedihan. Rumah yang lama, kastil mil ik Iida, nightingale floor yang pertama habis terbakar ketika Inuyama jatuh namun Arai Daiichi memban gunnya kembali dengan cara yang hampir sama, dan kini menjadi salah satu dari Empat Kota yang t ermasyhur di Kisah Klan Otori IV Page 9

penjuru Tiga Negara. juru Tiga Negara. Kisah Klan Otori IV Page 10

"Anak-anak harus segera beristirahat," ujar Takeo, "karena perayaan di biara dim ulai tengah malamAnak-anak harus segera beristirahat," ujar Takeo, "karena peray aan di biara dimulai tengah malam, lalu ada Jamuan Makan Tahun Baru. Acara baru akan selesai pada Waktu Macan*. Aku juga ingin berbaring sebentar." "Akan kuminta agar tungku disiapkan di kamar," sahut Kaede, "sebentar lagi aku a kan bergabung denganmu." *** Sinar matahari telah memudar saat Kaede mendatangi Takeo, dan malam musim dingin mulai menjelang. Meskipun ada tungku, hembusan napas Kaede membentuk kabut putih di te ngah dinginnya udara. Selesai mandi, aroma kulit padi dan aloe dari air masih melekat di kulitnya. Di balik jubah tebal musim dingin tubuhnya terasa hangat. Takeo melepas sabuk istrinya la lu menyelinakan tangan ke balik pakaiannya, menarik tubuh Kaede agar berdekatan dengannya. Kemud ian dilepasnya syal yang menutupi kepala Kaede lalu menarik, mengusapkan tangannya di atas kulit lembut berbulu halus. "Jangan," ujar Kaede. "Buruk sekali." Takeo tahu kalau istrinya tak rela kehilan gan rambut panjangnya yang indah, maupun bekas luka di tengkuk lehernya yang putih, yang mencoreng kec antikan yang pernah menjadi legenda sekaligus takhayul; tapi tidak nampak olehnya ketidaksempumaan t ubuh istrinya, yang tampak hanyalah makin bertambahnya kerapuhan yang justru di matan ya membuat sang istri semakin terlihat memesona. "Aku menyukainya. Seperti pemain sandiwara. Membuatmu kelihatan seperti laki-lak i sekaligus perempuan, juga orang dewasa sekaligus anak-anak." "Kau juga harus perlihatkan bekas lukamu." Kaede menarik sarung tangan sutra yang biasa dikenakan Takeo di tangan kanannya, lalu membawa sisa bekas jarinya yang putus k e bibirnya. "Apakah tadi aku menyakitimu?" "Tidak juga. Hanya sisa rasa sakit pukulan seperti apa pun menyakitkan persendian dan membangkitkan rasa sakitnya." Takeo bicara lagi dengan suara pelan, "Saat ini aku merasa kesakitan, tapi karena alasan lain."

"Rasa sakit semacam itu bisa kusembuhkan," bisik Kaede, seraya menarik tubuh suam inya, membuka diri pada Takeo, membawanya memasuki dirinya, mempertemukan hasrat mereka . "Kau selalu menyembuhkan diriku," ujar Takeo kemudian. "Kau membuat diriku utuh ." Kaede berbaring dalam dekapan Takeo, dengan kepala bersandar di bahunya. Pandang annya menjelajahi setiap sudut kamar. Cahaya lampu bersinar dari pegangan best, tapi d i balik daun penutup jendela langit tampak kelam. "Mungkin tadi kau sudah memberiku seorang putra," ujar Kaede, tidak mampu menyem bunyikan kerinduan dalam nada suaranya. "Kuharap tidak!" seru Takeo. "Dua kali hamil nyaris merenggut nyawamu. Lagipula kita tidak perlu anak laki-laki," imbuhnya dengan ringan. "Kita sudah punya tiga anak perempuan."

"Aku pernah mengatakan hal yang sama pada ayahku," aku Kaede. "Aku percaya kalau diriku bernilai sama dengan laki-laki." "Begitu pula dengan Shigeko," sahut Takeo. "Dia akan mewarisi Tiga Negara, juga anak-anaknya kelak." "Anak-anaknya! Shigeko masih anak-anak. tapi sudah cukup dewasa untuk ditunangka n. Siapa orang yang bisa kita calonkan dengannya?" "Jangan terburu-buru. Shigeko seperti piala, perhiasan yang nyaris tak ternilai harganya. Kita takkan melepasnya dengan percuma." Kaede kembali pada pokok pembicaraan sebelumnya seolah hal itu menggerogoti diri nya. "Aku ingin memberimu anak lakilaki." "Meskipun dengan adanya pewarisanmu sendiri serta contoh dari Lady Maruyama! Kau masih saja bicara layaknya putri dari keluarga ksatria!" Kisah Klan Otori IV Page 11

Kegelapan dan ketenangan membawa Kaede menyuarakan kecemasannya lebih jauh lagi. "Kadanegelapan dan ketenangan membawa Kaede menyuarakan kecemasannya lebih jauh lagi. "Kadang aku berpikir si kembar menutup rahimku. Aku merasa andai mereka tidak dilahirkan aku akan dikaruniai anak laki-laki." "Kau terlalu banyak mendengar takhayul!" "Mungkin kau benar. Tapi apa yang akan terjadi pada anak kembar kita? Mereka tid ak bisa mewarisi, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Shigeko, semoga Surga tidak membiarkan itu terja di. Maka siapa yang akan dinikahkan? Tidak satu pun keluarga bangsawan atau ksatria mau menerim a si kembar, terutama yang ternoda maaf oleh darah Tribe serta kemampuan yang mirip ilmu sihir. " Takeo tak bisa menyangkal bahwa hal yang sama juga mengganggu pikirannya, namun ia berusaha menyingkirkannya. Putri kembarnya masih amat muda: siapa yang tahu apa yang disi apkan nasib untuk mereka? Setelah beberapa saat, Kaede berkata pelan, "Tapi mungkin kita memang sudah terl alu tua. Semua orang penasaran mengapa kau tidak mengambil istri muda, atau selir, agar bisa pu nya lebih banyak anak." "Aku hanya menginginkan satu istri," sahut Takeo dengan sungguh-sungguh. "Perasa an apa pun yang pernah kuperlihatkan untuk berpura-pura, peran apa pun yang kumainkan, cinta ku padamu sederhana dan sejatj adanya aku takkan bercinta dengan siapa pun selain kau. Perna h kukatakan padamu, aku pernah bersumpah pada Kannon di Ohama. Aku tidak melanggar sumpah it u selama enam belas tahun. Dan aku tak akan melanggamya sekarang." "Kurasa aku bisa mati cemburu," aku Kaede. "Namun perasaanku tidaklah penting di bandingkan kepentingan negara." "Aku percaya kita dipersatukan dalam cinta yang merupakan landasan pemerintahan k ita yang baik. Aku tak akan merusaknya," sahutnya. Takeo merengkuh Kaede lebih dekat lagi, mengu sapkan tangannya di atas bekas luka leher istrinya, merasakan tulang rusuk yang mengera s dari jaringan yang tertinggal bekas luka bakar. "Selama kita bersatu, negara kita akan tetap d amai dan kuat." Setengah mengantuk Kaede berkata, "Kau ingat saat kita berpisah di Terayama? Kau

menatap mataku lalu aku jatuh tertidur. Aku tidak pernah menceritakan ini padamu. Aku be rmimpi tentang Dewi Putih: dia berbicara padaku. Bersabarlah, katanya: dia akan menjemputmu. Kemudia n satu kali lagi di Gua Suci kudengar suaranya mengatakan hal yang sama. Itu satu-satunya hal yang m embuatku bertahan selama dikurung di kediaman Lord Fujiwara. Di sana aku belajar bersabar . Aku terpaksa belajar bagaimana harus menunggu, tidak melakukan apa-apa, agar ia tidak punya a lasan untuk mencabut nyawaku, Setelah itu, saat dia mati, satusatunya tempat yang terpikir ol ehku hanyalah kembali ke gua suci, kembali pada sang dewi. Bila kau tidak datang, mungkin aku akan terus tinggal di sana melayani sang dewi sepanjang sisa hidupku. Lalu kau datang: aku melihatm u, begitu kurus, racun masih bersarang di tubuhmu, tangan indahmu hancur. Aku tak pernah melupakan saat itu; tanganmu di atas leherku, salju turun, jeritan pilu sang bangau...." "Aku tak layak mendapatkan cintamu," bisik Takeo. "Cintamu adalah anugerah terin dah dalam hidupku, dan aku tak bisa hidup tanpa dirimu. Kau tahu, hidupku dibimbing oleh ra malan..." "Kau pernah bilang. Dan kita sudah melihatnya terpenuhi: Lima Peperangan, campur tangan Surga " Akan kuceritakan sisanya sekarang, pikir Takeo. Akan kukatakan mengapa aku tidak menginginkan anak laki-laki, karena si peramal buta itu mengatakan hanya putraku yang bisa me mbawa kematian padaku. Akan kukatakan padanya tentang Yuki, dan anak yang dilahirkannya, putrak u, yang kini berusia enam belas tahun. Namun ia tak ingin menyakiti istrinya. Untuk apa mengorek-ngorek masa lalu? Lima pertempuran telah menjadi bagian dari mitologi Otori, walaupun Takeo sadar hahwa ia yang mem ilih bagaimana menghitung semua pertempuran itu: bisa saja jumlah mencapai enam, empat atau tig a. Kata-kata bisa diubah dan dimanipulasi agar terkesan sarat makna. Bila suatu ramalan dipercaya, seringkali terpenuhi. Maka ia takkan mengeluarkan ramalan yang satu itu dalam kata-kata, ka rena dengan begitu justru meng-hidupkan ramalan itu. Dilihatnya Kaede hampir tertidur. Terasa hangat di bawah selimut, meskipun udara di wajahnya terasa dingin menusuk. Tak lama lagi ia sudah harus bangun, mandi serta berpakaian resmi dan Kisah Klan Otori IV Page 12

menyiapkan diri untuk upacara menyambut datangnya Tahun Baru. Malam ini akan jad i malam yang panjang. Tubuhnya mulai terasa rileks, dan akhirnya ia pun tertidur.* enyiapkan diri untuk upacara menyambut datangnya Tahun Baru. Malam ini akan jadi malam yang panjang. Tubuhnya mulai terasa rileks, dan akhirnya ia pun tertidur.* Kisah Klan Otori IV Page 13

Takeo ingin memberi Taku warisan dengan cara yang sama; tapi ditolaknya, seraya mengatakan akeo ingin memberi Taku warisan dengan cara yang sama; tapi ditolakny a, seraya mengatakan Kisah Klan Otori IV Page 16

bahwa dia tak ingin memiliki wilayah kekuasaan dan kehormatan. Dia lebih memilih bekerja dengan paman dari ibunya. Kenji, dalam mengendalikan jaringan mata-mata yang telah Take o bangun melalui Tribe. Dia menerima pernikahan politis dengan gadis Tohan yang disukainya dan te lah memberinya seorang putra dan seorang putri. Orang cenderung meremehkannya, yang justru disu kainya. Sosok dan wajah Taku menurun dari keluarga Muto sedangkan Arai mewarisi keberanian dan kegagahannya, serta pada dasarnya menganggap hidup itu menyenangkan dan pengalama n yang mengasyikkan. hwa dia tak ingin memiliki wilayah kekuasaan dan kehormatan. Dia lebih memilih b ekerja dengan paman dari ibunya. Kenji, dalam mengendalikan jaringan mata-mata yang telah Take o bangun melalui Tribe. Dia menerima pernikahan politis dengan gadis Tohan yang disukainya dan te lah memberinya seorang putra dan seorang putri. Orang cenderung meremehkannya, yang justru disu kainya. Sosok dan wajah Taku menurun dari keluarga Muto sedangkan Arai mewarisi keberanian dan kegagahannya, serta pada dasarnya menganggap hidup itu menyenangkan dan pengalama n yang mengasyikkan. Taku tersenyum saat menjawab. "Tidak. Mereka menolak bicara. Aku hanya terkejut mereka masih hidup; kau tahu kalau Kikuta bunuh diri dengan menggigit lidah mereka sendiri! T entu saja, aku belum berusaha sebegitu kerasnya untuk membujuk mereka." "Aku tidak harus mengingatkanmu kalau kekerasan dilarang di Tiga Negara." "Tentu saja tidak. Tapi apakah peraturan itu juga berlaku bahkan untuk Kikuta?" "Peraturan itu berlaku bagi semua orang," sahut Takeo ringan. "Mereka bersalah a tas percobaan pembunuhan dan akan dieksekusi atas kesalahan itu pada akhirnya nanti. Untuk saa t ini mereka tidak boleh diperlaku-kan dengan kasar. Akan kita lihat seberapa kuat keinginan ayah m ereka agar anakanaknya bisa kembali." "Mereka berasal dari mana?" selidik Sonoda Mitsuru, yang menikah dengan adik Kae de, Ai, dan meskipun keluarganya, Akita, dulunya adalah pengawal Arai, ia diyakinkan untuk b ersumpah setia pada Otori dalam perdamaian besar-besaran setelah gempa. Sebagai imbalannya, dia dan Ai diberikan wilayah Inuyama. "Di mana bisa kau menemukan Si Gosaburo ini?" "Kukira di pegunungan di luar perbatasan wilayah timur," tutur Taku, dan Takeo m elihat si gadis sedikit memicingkan mata.

Sonoda berkata, "Maka untuk sementara waktu tidak mungkin mengadakan perundingan , karena salju pertama akan turun dalam minggu ini." "Musim semi nanti kita akan kirim surat pada ayah mereka," sahut Takeo. "Tidak a da salahnya membuat batin Gosaburo menderita memikirkan nasib anaknya. Bahkan mungkin membua tnya semakin ingin menyelamatkan mereka. Sementara itu, tetap rahasiakan identitas me reka dan jangan biarkan mereka berhubungan dengan orang lain selain kau." Didekatinya Taku. "Pamanmu berada di kota, kan?" "Ya; paman akan bergabung dengan kita di kuil untuk perayaan Tahun Baru, tapi ke sehatannya sedang tidak baik, dan udara malam yang dingin menimbulkan kejang otot yang memb uatnya batukbatuk." "Besok aku akan memanggilnya. Apakah dia berada di rumah lama?" Taku mengangguk. "Paman menyukai aroma pabrik pembuatan sake. Menurutnya udara d i sana lebih mudah dihirup." "Kurasa sakenya juga ikut membantu." *** "Hanya ini kesenangan yang tersisa untukku," ujar Muto Kenji, seraya mengisi cang kir Takeo dan memberikan botol sake kepadanya. "Ishida memintaku mengurangi minum, mengatakan k alau alkohol buruk bagi paru paru, tapi... sake membuatku tetap bersemangat dan memban tuku agar bisa tidur." Takeo menuang sake yang bening serta keras ke cangkir gurunya yang sudah tua itu . "Ishida juga memintaku mengurangi minum sake," akunya saat mereka berdua menenggak habis minu mannya. "Tapi bagiku sake meredakan rasa sakitku. Dan Ishida pun hampir tidak mengikuti sarannya sendiri, lalu mengapa kita harus mengikuti anjurannya?" "Kita adalah dua orang laki-laki tua," sahut Kenji, tertawa. "Siapa yang bisa me ngira, melihatmu mencoba membunuhku tujuh belas tahun yang lalu di rumah ini, kalau kita akan dud uk di sini saling mem-bandingkan penyakit?" "Bersyukurlah kita berdua masih hidup sampai saat ini!" timpal Takeo. Ia melihat ke sekeliling rumah yang dibangun begitu kuat dengan langit-langit tinggi, pilar kayu cedar dan bera nda serta penutup

Kisah Klan Otori IV Page 17

jendela dari kayu cemara cypress. Rumah ini penuh kenangan. "Ruangan ini amat ja uh lebih nyamaendela dari kayu cemara cypress. Rumah ini penuh kenangan. "Ruanga n ini amat jauh lebih nyaman ketimbang lemari terkutuk tempat aku dikurung!" Kenji tertawa lagi. "Itu hanya karena kau bertingkah bak hewan liar! Keluarga Mu to selalu menyukai kemewahan. Dan kini bertahun-tahun dalam kedamaian, permintaan ak an produk buatan kami membuat kami sangat kaya raya, berkat kau, Lord Otoriku tercinta." D inaikkan cangkirnya ke arah Takeo; mereka berdua minum lagi, kemudian mengisi lagi wadah mereka masingmasing. "Rasanya aku akan menyesal meninggalkan semua ini, Aku sangsi masih bisa menyaksi kan Tahun Baru." kata Kenji. Tapi kau kau tahu orang bilang kalau kau tak bisa mati!" Takeo tertawa. "Tidak ada manusia yang tidak bisa mati. Kematian menantiku sama halnya seperti semua orang. Hanya saja waktuku belum tiba." Kenji adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu isi ramalan tentang Takeo, termasuk bagian yang dirahasiakannya: bahwa ia aman dari kematian kecuali di tangan putranya sen diri. Semua sisa ramalannya telah menjadi kenyataan, sampai tahap ini: lima pertempuran telah mem bawa kedamaian di Tiga Negara, dan Takeo berkuasa dari ujung laut ke ujung laut lainny a. Gempa bumi yang menyengsarakan mengakhiri pertempuran terakhir serta menyapu habis pasukan Arai Daiichi, bisa digambarkan sebagai memenuhi keinginan Surga. Dan sejauh ini, tak seorang p un bisa membunuh Takeo, membuat ramalan yang terakhir ini semakin bisa di percaya. Takeo berbagi banyak rahasia dengan Kenji, yang dulu pernah menjadi gurunya di H agi. Dengan bantuan Kenji, Takeo berhasil menembus kastil di Hagi dan membalaskan dendam ata s kematian Shigeru. Kenji orang yang pintar, cerdik tanpa perasaan sentimentil. Kenji adalah utusan dan juru runding yang baik, dan membuat Takeo sangat mengandalkannya. Kenji tidak punya h asrat lain di luar kegemarannya yang abadi pada sake dan perempuan dari rumah bordil setempat. Tampak tidak peduli pada harta benda, kekayaan maupun status. Mengabdikan hidupnya pada Takeo dan bersumpah untuk melayaninya; memiliki kasih sayang istimewa atas Lady Otori, yan g dikaguminya; amat menyayangi keponakannya sendiri, Shizuka; dan rasa hormat pada putra Shizuk a, Taku, ahli mata-mata; namun sejak kematian putrinya, Kenji semakin terasingkan dari istrinya

, Seiko, yang meninggal beberapa tahun lalu, dan tak memiliki baik ikatan cinta maupun kebenci an dengan orang lain. Semenjak kematian Arai dan para lord Otori enam belas tahun yang lalu, Kenji bek erja dengan kesabaran dan cerdik terhadap tujuan Takeo: menarik semua sumber daya dan perang kat kekerasan ke tangan pemerintahan, mengendalikan kekuatan prajurit perseorangan dan kelompok bandit yang tak mengenal hukum. Kenj ilah yang tahu keberadaan kelompok rahasia masyarakat kuno yang tidak diketahui Takeo Kesetiaan p ada Burung Bangau, Amarah Macan Putih, Jalan Sempit Ular petani dan penduduk desa menggabung kan diri dalam kelompok masyarakat ini selama masa-masa anarkis. Kelompok ini kini dimanf aatkan dan terus dibangun agar masyarakatnya bisa mengatur masalah mereka sendiri di tingkat desa dan memilih sendiri pemimpinnya untuk mewakili mereka dan mengajukan tuntutan atas ketidakpu asan atau keluhan mereka di pengadilan tingkat propinsi. Pengadilan diatur oleh klas ksatria; anak laki-laki mereka dengan pola pikir yan g tidak terlalu militer, dan terkadang juga anak perempuan, dikirim ke sekolah-sekolah besar di Hagi, Yam agata dan Inuyama untuk mempelajari etika pelayanan, pembukuan dan ekonomi, sejarah serta bahasa dan kesusastraan klasik. Saat kembali ke daerah asal, mereka memegang jabatan terten tu, diberi status dan penghasilan yang cukup: mereka bertanggung jawab langsung kepada tetua dari setiap klan, tanggung jawab yang sama juga dipikul pemimpin klan; para pemimpin klan ini bert emu Takeo dan Kaede secara teratur untuk membahas soal kebijakan, menentukan besarnya pajak se rta mempertahankan pelatihan dan perlengkapan pasukan. Setiap daerah harus menyediak an sejumlah orang icrbaik untuk pasukan pusat: separuh tentara, dan sepa-ruh lagi petugas ke amanan yang bertugas menangani bandit dan penjahat lainnya. Kenji menangani semua administrasi dengan trampil, mengatakan kalau cara ini mir ip hirarki Tribe hanya saja ada perbedaan yang mendasar: kekerasan dilarang, dan membunuh serta me nerima suap di-ancam hukuman mati. Aturan yang terakhir terbukti paling sulit dilaksana kan. Tribe mendapat cara untuk menghindar, tapi mereka tidak bertransaksi dalam jumlah besar atau me mamerkan kekayaan. Makin kuatnya usaha Takeo membasmi korupsi membawa hasil, korupsi dan suap makin Kisah Klan Otori IV Page 18

berkurang. Lalu bentuk praktik yang lain berjalan: praktik tukar menukar hadiah dalam bentuk rkurang. Lalu bentuk praktik yang lain berjalan: praktik tukar menu kar hadiah dalam bentuk Kisah Klan Otori IV Page 19

keindahan dan selera, di mana nilainya tersembunyi. Hal ini menyebabkan datangnya para perajin dan seniman ke Tiga Negara, bukan hanya mereka yang berasal dari Delapan Pulau t api juga dari negerinegeri di daratan utama, Silla, Shin dan Tenjiku. Setelah gempa mengakhiri perang di Tiga Negara, para ketua dari keluarga dan klan yang masih hidup bertemu di Inuyama da n menerima Otori Takeo sebagai pemimpin mereka. Semua pertikaian karena hubungan darah yang menen tang Takeo maupun percekcokan antara mereka sendiri dinyatakan berakhir. Terjadi pemandangan yang mengharukan saat para ksatria saling berdamai setelah puluhan tahun bermusuhan. N amun Takeo dan Kenji menyadari bahwa ksatria terlahir untuk bertarung: masalahnya, mereka a kan bertarung melawan siapa? Dan jika mereka tidak bertarung, bagaimana menyibukkan mereka? eindahan dan selera, di mana nilainya tersembunyi. Hal ini menyebabkan datangnya para perajin dan seniman ke Tiga Negara, bukan hanya mereka yang berasal dari Delapan Pulau t api juga dari negerinegeri di daratan utama, Silla, Shin dan Tenjiku. Setelah gempa mengakhiri perang di Tiga Negara, para ketua dari keluarga dan klan yang masih hidup bertemu di Inuyama da n menerima Otori Takeo sebagai pemimpin mereka. Semua pertikaian karena hubungan darah yang menen tang Takeo maupun percekcokan antara mereka sendiri dinyatakan berakhir. Terjadi pemandangan yang mengharukan saat para ksatria saling berdamai setelah puluhan tahun bermusuhan. N amun Takeo dan Kenji menyadari bahwa ksatria terlahir untuk bertarung: masalahnya, mereka a kan bertarung melawan siapa? Dan jika mereka tidak bertarung, bagaimana menyibukkan mereka? Beberapa prajurit menjaga perbatasan di wilayah Timur, tapi hanya terjadi sediki t peristiwa dan musuh utama mereka adalah rasa jenuh; beberapa yang lainnya mendampingi Terada Fumio da n tabib Ishida dalam perjalanan penjelajahan mereka, melindungi kapal dagang di laut dan toko serta gudang mereka di pelabuhan yang jauh; yang lainnya mengikuti lomba yang dibuat Takeo un tuk keahlian berpedang dan memanah; sedang yang lainnya dipilih untuk mengikuti jalan utama d ari pertarungan: penguasaan diri, Ajaran Houou. Ajaran Houou bermarkas di Biara Terayama yang dipimpin kepala biara Matsuda Shin gen dan Kubo Makoto. Ajaran ini hanya dapat diikuti segelintir laki-laki dan perempuan dengan ke kuatan fisik dan mental yang hebat. Keahlian Tribe adalah bakat dari lahir pendengaran dan pengl ihatan yang sangat kuat, kemampuan menghilang, penggunaan sosok kedua tapi sebagian besar manu sia memiliki kemampuan seperti ini namun belum terasah. Menemukan dan memurnikan kema mpuan seperti inilah yang menjadi inti Ajaran Houou, mengambil nama burung suci yang b ersarang jauh di

dalam hutan-hutan di sekitar Terayama. Sumpah pertama yang dilakukan para ksatria yang terpilih ini yaitu tidak membunuh , baik nyamuk atau pun manusia, bahkan demi membela diri. Kenji menganggap itu aturan yang gila karena dia sering menikam jantung orang, membunuh dengan garotte, menyisipkan racun ke dala m cangkir, mangkuk atau bahkan langsung ke orang yang tidur dengan mulut menganga. Berapa b anyak? Dia tak bisa menghitungnya lagi. Tak ada penyesalan atas mereka yang telah dikirimny a ke alam baka cepat atau lambat manusia juga akan mati. Dia melihat bahwa larangan membunuh te rnyata jauh lebih berat daripada keputusan untuk membunuh. Dia tak kebal dengan kedamaian da n kekuatan spiritual Terayama. Akhir-akhir ini kesenangan terbesarnya yaitu menemani Takeo di sana dan menghabiskan waktu bersama Matsuda dan Makoto. Disadarinya kalau akhir hidupnya sudah dekat. Ia sudah tua; kesehatan dan kekuat annya makin memburuk: selama berbulan bulan paru-parunya terasa makin lemah dan seringkali m untah darah. Takeo berhasil menjinakkan baik Tribe maupun para ksatria: hanya Kikuta yang mas ih bertahan menentangnya. Kikuta bukan hanya berusaha membunuhnya tapi juga bersekutu dengan ksatria yang kurang puas, melakukan pembunuhan secara acak dengan harapan menggoyahkan kestab ilan masyarakat, menyebarkan desas-desus. Takeo angkat bicara lagi, lebih serius. "Serangan yang terakhir ini membuatku ja uh lebih waspada karena ditujukan pada keluargaku, bukan diriku. Jika istri atau anakku mati, itu akan menghancurkan diriku, dan Tiga Negara." "Kurasa itulah tujuan Kikuta," sahut Kenji ringan. "Kapan mereka akan berhenri?" "Akio takkan berhenri. Kebenciannya padamu hanya akan berakhir dengan kematianny a atau kematianmu. Dia telah mengabdikan hidupnya demi tujuannya itu." Wajah Kenji beru bah tenang dan bibimya berkerut menggambarkan kegetiran. Ia minum lagi. "Tapi Gosaburo seorang pedagang dan pragmatis: dia akan ketakutan setengah mati bila kehilangan anakanaknya satu putran ya telah tewas, dan nasib dua lainnya ada di tanganmu. Mungkin kita bisa memberinya sedik it tekanan." "Kupikir juga begitu. Kita akan biarkan dua anaknya yang tersisa tetap hidup hin

gga musim semi, kemudian melihat apakah ayah mereka siap untuk berunding." "Mungkin sementara ini kita juga bisa mengorek keterangan yang berguna dari kedu anya," gerutu Kenji. Takeo menaikkan pandangannya ke arah Kenji melalui pinggiran cangkir. Kisah Klan Otori IV Page 20

bisa dilakukannya agar orang tertidur yaitu rasa bosan karena dia jarang bicara. Andai dia buka mulut, isa dilakukannya agar orang tertidur yaitu rasa bosan kar ena dia jarang bicara. Andai dia buka mulut, Kisah Klan Otori IV Page 22

bicaranya pelan, tersendatsendat, tanpa ada tanda-tanda kecerdasan atau kreativit as. icaranya pelan, tersendatsendat, tanpa ada tanda-tanda kecerdasan atau kreati vitas. Akio adalah Ketua Kikuta, keluarga terbesar dalam Tribe, yang menguasai berbagai kemampuan serta bakat yang kini mulai lenyap. Sejak kecil Hisao sudah menyadari kekecewaan ayahnya pada dirinya. Karena Tribe membesarkan anak mereka dengan cara sangat keras, melatih mereka de ngan kepatuhan mutlak, bertahan menahan lapar, haus, panas, dingin dan rasa sakit yang luar biasa, serta melenyapkan semua perasaan, simpati maupun welas asih. Akio sangat keras p ada putra tunggalnya itu dan tak pernah menunjukkan pengertian maupun kasih sayang. Perlak uan Akio yang kejam, bahkan mengejutkan kerabatnya sendiri. Tapi Akio adalah Ketua keluarga, p enerus pamannya, Kotaro, yang mati di Hagi oleh Otori Takeo dan Muto Kenji. Dan sebagai Pimpinan, Akio bisa bertindak sesuka hati; tak seorang pun bisa meng-kritiknya. Akio tumbuh menjadi laki-laki sinis dan susah ditebak. Dia selalu menyalahkan Ot ori Takeo atas terpecah-belahnya Tribe, kematian Kotaro yang disayangi, serta kematian pesumo t angguh, Hajime, serta banyak kematian lainnya. Keluarga Kikuta dikejar-kejar sehingga mereka keluar dari Tiga Negara untuk pindah ke Utara, men inggalkan usaha mereka yang menghasilkan banyak uang. Anak-anak Kikuta tidur dengan kaki mengarah ke Barat, dan saling menyapa dengan kalimat, "Apakah Otori sudah mati?" dan dibalas dengan, "Belum, tapi tak lama lagi." Konon kabarnya kematian istrinya, Muto Yuki, dan kematian Kotaro yang membuat Ak io begitu penuh dendam dan hidup dalam kebencian. Para tetua mengatakan kalau Yuki meninggal kar ena demam setelah melahir-kan, tapi tampaknya Hisao sudah tahu yang sebenarnya: ibunya mat i diracun. Dapat dilihatnya kejadian itu dengan jelas, seolah menyaksikan dengan mata bayinya yan g masih belum fokus. Keputusasaan dan kemarahan ibunya, kesedihan karena harus meninggalkan pu tranya; penolakan ibunya saat dipaksa menelan pil racun; jerit dan tangis ibunya; sering ai puas Akio karena sebagian dendamnya terlaksana; penderitaan dan kenikmatan keji yang dirasakan Ak io menjadi awal mula tenggelamnya dia dalam kekejaman. Hisao merasakan ini seiring ia tumbuh dewasa; tapi lupa bagaimana ia tahu itu. A pakah ia memimpikannya, atau ada yang menceritakannya? Ia ingat ibunya lebih jelas dari y ang seharusnya usianya baru beberapa hari saat ibunya meninggal dan menyadari adanya hubungan dir

inya dengan sang ibu. Seringkali ia merasakan kalau ibunya menginginkan sesuatu darinya, tapi ia takut mendengarkan karena itu berarti ia membuka diri memasuki alam baka. Antara kemara han si hantu dan rasa enggan dalam dirinya, kepalanya terasa seperti terbelah karena rasa saki t. Itu sebabnya dia mengetahui kemarahan ibunya dan sakit hati ayahnya, dan itu mem buat ia benci sekaligus iba pada Akio. Hal-hal buruk yang terjadi di antara mereka berdua yang setengah menakutkan, setengah diharapkan, karena hanya saat itulah ada orang yang memeluk nya atau kelihaian membutuhkan dirinya. Hisao tidak pernah menceritakannya sehingga tak seorang pun tahu satu bakat Trib e yang telah hilang selama beberapa generasi ternyata ada pada dirinya. Kemampuan mengarungi dua dunia, menjadi penghubung antara arwah dengan orang yang masih hidup. Anugerah semacam i ni semestinya diasah dan pemiliknya akan ditakuti serta dihormati; tapi Hisao tak t ahu cara mengatur bakatnya ini; apa yang dilihatnya di alam baka tampak berkabut dan sulit dimenge rti: ia tidak mengetahui simbol dan bahasa untuk berkomunikasi dengan arwah. Ia hanya tahu kalau hantu itu adalah ibunya yang mati dibunuh. Meskipun Hisao suka membuat kerajinan tangan, dan menyukai hewan, namun ia merah asiakannya. Sekali dia terlihat mengelus seekor kucing, yang kemudian ia lihat hewan malang i tu digorok ayahnya di hadapannya. Roh kucing itu juga sesekali seperti menjerat Hisao dari dunianya, dan lolongan yang memusingkan terdengar makin keras hingga ia tak percaya kalau oran g lain tak mendengarnya. Ketika alam baka membuka jalan dan mengajaknya masuk, kepalanya lu ar biasa sakit, dan satu sisi matanya menjadi gelap. Satu-satunya cara meredakan rasa sak it dan suara-suara si kucing serta si hantu perempuan adalah membuat benda-benda dengan tangannya. Ia membangun kincir air dan orang-orangan dari bambu untuk menakuti rusa, seolah pengetahuan itu sudah ada dalam darahnya. Ia dapat membuat ukiran kayu berbentuk hewan yang begitu hidup h ingga tampak Kisah Klan Otori IV Page 23

seperti hewan yang disihir menjadi patung. Ia menyukai semua aspek penempaan: me mbuat besi dan baja, pedang, pisau serta berbagai peralatan. eperti hewan yang disihir menjadi patung. Ia menyukai semua aspek penempaan: memb uat besi dan baja, pedang, pisau serta berbagai peralatan. Kisah Klan Otori IV Page 24

Keluarga Kikuta ahli membuat senjata, terutama sen-jata rahasia Tribe pisau lempar , jarum, belateluarga Kikuta ahli membuat senjata, terutama sen-jata rahasia Tri be pisau lempar, jarum, belati kecil dan sebagainya tapi mereka tak tahu cara membuat senjata yang disebut senja ta api. Senjata yang digunakan Otori begitu dirahasiakan cara buatnya hingga membuat orang iri. Keluarga Kikuta terpecah untuk memiliki senjata itu. Ada yang beranggapan senjata itu menghilangkan semua kemampuan dan kenikmatan dala m membunuh, kalau cara tradisional lebih bisa diandalkan; sementara yang lainnya b eranggapan kalau ingin menyingkirkan Otori, mereka harus menyeimbangkan kekuatan dengan memiliki s enjata yang sama. Namun usaha mereka untuk mendapatkan senjata api selalu gagal. Otori membatasi p enggunaan senjata ini hanya untuk sekelompok kecil orang: setiap pucuk senjata api yang ad a di negara ini dihitung. Jika ada yang hilang, si pemilik harus membayar dengan nyawanya. Senja ta ini pernah sekali digunakan orang barbar. Sejak itu semua orang barbar digeledah ketika dat ang, senjata-senjata mereka dirampas dan mereka hanya boleh berdagang di pelabuhan Hofu. Tapi berbaga i laporan tentang pembunuhan yang memakan banyak korban jiwa terbukti sama efektifnya deng an senjata itu sendiri: semua musuh Otori, termasuk Kikuta, berusaha mendapatkan senjata itu de ngan cara mencuri, berkhianat, atau mencari sendiri. Senjata-senjata milik Otori bentuknya panjang, berat serta tidak praktis: kurang prakris menurut cara pembunuhan yang dibanggakan Kikuta. Senjata-senjata itu tak bisa disembunyikan d an digunakan dengan cepat; bila terkena air maka senjata itu tak berguna. Hisao mendengar aya hnya dan seorang laki-laki yang lebih tua membahas benda ini, dan ia membayangkan senjata api yan g kecil dan ringan, yang bisa di-sembunyikan di balik pakaian dan tak bersuara, senjata yang bahkan t ak mampu dilawan Otori Takeo. Setiap tahun ada saja pemuda yang ingin menjadi pahlawan, atau orang tua yang in gin mati terhormat yang pergi hendak membunuh Otori Takeo untuk membalaskan kematian Kikuta Kotaro d an anggota Tribe lainnya. Mereka tak pernah kembali: kabar tentang tertangkapnya mereka dat ang beberapa bulan kemudian. Mereka disidang di depan umum yang disebut sebagai pengadilan Ot ori, dan dieksekusi. Ada kalanya Otori Takeo dilaporkan terluka sehingga harapan mereka membumbung tin ggi, tapi dia

selalu sembuh, bahkan dari racun, seperti pulihnya dia dari belati beracun milik Kotaro. Mendengar desasdesus kalau Otori tak bisa mati membuat kebencian serta kegeriran Akio semak in bertambah. Akio mulai bersekutu dengan musuh Takeo lainnya, menyerangnya melalui istri atau anak-anaknya. Tapi cara ini juga terbukti gagal. Keluarga Muto yang sudah bersumpah setia pada Otori telah menggandeng keluarga Tribe lainnya: Imai, Kuroda dan Kudo. Sejak keluarga Tribe melakukan pe rkawinan campuran, banyak pengkhianat yang memiliki darah Kikuta, diantaranya adalah Muto Shizuka serta kedua putranya, Taku dan Zenko. Taku seperti ibu dan paman buyutnya, mempunyai b anyak kemampuan, memimpin jaringan mata-mata dan melindungi Otori; sementara Zenko, ya ng kurang berbakat, bersekutu dengan Otori melalui pernikahan: mereka bersaudara ipar. Belakangan sepupu Akio, dua putra Gosaburo, diutus bersama saudari perempuan mer eka ke Inuyama tempat keluarga Otori merayakan Tahun Baru. Mereka berbaur dalam kerumun an di biara dan mencoba menikam Lady Otori dan putri-putrinya. Apa yang terjadi setelah itu tidak jelas, lapi ternyata para perempuan yang menjadi sasaran berhasil mempertahankan diri dengan kekejaman yang tak terduga: salah satu penyerang, putra sulung Gosaburo, terluka dan dipuk uli sampai mati oleh kerumunan orang. Sedang yang lainnya berhasil ditangkap dan dibawa ke kastil Inu yama. Tak ada yang tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati. Kehilangan tiga anggota muda yang ada hubungan erat dengan sang Ketua merupakan p ukulan berat. Karena hingga musim semi tiba masih belum ada kabar tentang kedua orang y ang ditawan, Kikuta menduga mereka sudah mati. Ritual pemakaman mulai diatur dalam kedukaan y ang mendalam karena tak ada jenazah yang bisa dibakar dan tak ada abu jenazah. Suatu sore Hisao bekerja seorang diri di sepetak pegunungan. Selama malam-malam di musim dingin yang panjang, ri sawah dengan memanfaatkan kincir air. Ia menghabiskan li: embernya dibuat dari bambu yang paling ringan dan talinya rambat yang cukup kaku untuk bisa mengangkat ember kincir. kecil sawah, jauh di kedalaman ia telah memikirkan cara mengali musim dingin membuat ember dan ta diperkuat dengan batang tanaman

Hisao tengah berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya, tiba-tiba katak terdiam. Ia tengok kanan-kiri. Kisah Klan Otori IV Page 25

Tak ada orang, tapi ia tahu ada orang yang menggunakan kemampuan menghilang Trib e. ak ada orang, tapi ia tahu ada orang yang menggunakan kemampuan menghilang Tr ibe. Kisah Klan Otori IV Page 26

Mengira itu hanya salah satu anak yang datang membawa pesan, dia berseru, "Siapa di sana?" gira itu hanya salah satu anak yang datang membawa pesan, dia berseru , "Siapa di sana?" Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dengan usia tak bisa diperkirakan dan berpena mpilan biasa berdiri di hadapannya. Tangan Hisao segera bergerak ke arah pisaunya karena yakin ia bel um mengenal orang itu. Sosok laki-laki itu bergoyang-goyang selagi menghilang. Hisao merasaka n jari-jari yang tak terlihat memiting pergelangan tangannya dan ototnya langsung terasa lumpuh saat telapak tangannya terbuka dan pisaunya terjatuh. "Aku takkan menyakitimu," ujar orang itu, dan menyebut namanya dengan cara yang membuat Hisao percaya padanya, dan dunia ibunya menyelubungi ambang batas dunianya; dirasakan kebahagiaan dan pendcritaan ibunya dan pertanda pertama dari sakit kepalanya serta kemampuan melihat separuh dari dua dunia yang berbeda. "Siapa kau?" bisiknya, segera menyadari kalau orang mi dikenal ibunya. "Kau bisa melihatku?" sahut laki-laki itu. "Tidak. Aku tak memiliki kemampuan me nghilang, maupun mengenalinya." "Tapi tadi kau mendengarku mendekat, kan?" "Hanya dari katak. Aku mendengarkan mereka. Tapi aku tak bisa mendengar dari jau h. Aku tidak tahu orang yang bias melakukannya di kalangan Kikuta saat ini." Ia heran telah bersik ap biasa dan bebas pada orang yang belum dikenalnya. Orang itu kembali menampakkan diri dalam jarak serentangan tangan dari wajah His ao. Sorot matanya tajam dan kelihatan penuh selidik. "Kau tidak memiliki satu pun kemampuan Tribe?" tuturnya. Hisao mengangguk, kemudian mengalihkan pandangannya ke seberang lembah. "Kau bcrnama Kikuta Hisao, putra Akio?" "Ya, dan ibuku bemama Muto Yuki." Ekspresi wajah orang itu agak berubah, dan dirasakan reaksi penyesalan serta ras a iba ibunya. "Sudah kuduga. Kalau begitu, aku kakekmu: Muto Kenji." Hisao menyerap semua keterangan ini. Sakit kepalanya kian menjadi-jadi: Muto Ken ji adalah pengkhianat, kebencian Kikuta pada orang ini hampir sama besarnya seperti kebenc ian pada Otori

Takeo, namun kehadiran ibunya terasa membebani dirinya dan bisa dirasakan ibunya memanggil, "Ayah!" "Apa itu?" tanya Kenji. "Bukan apa apa. Kadang-kadang kepalaku sakit. Aku sudah biasa. Mengapa kau kemar i? Kau akan dibunuh. Seharusnya aku membunuhmu, tapi kau bilang kalau kau kakekku, lagipula ak u tidak ahli membunuh." Pandangannya turun menatap ke konstruksi yang tengah dikerjakannya. " Aku lebih suka membuat benda-benda." Betapa anehnya, pikir orang tua itu. Dia tidak punya kemampuan apa pun, baik dar i ayah maupun dan ibunya. Rasa kecewa dan lega menyapu dirinya. Mirip siapa dia? Tidak mirip Kikut a, Muto, maupun Otori. Dia pasti mirip ibunya Takeo, berkulit gelap dan berwajah lebar. Kenji menatap bocah di hadapannya dengan tatapan iba, tahu betapa kerasnya masa kanak-kanak di Tribe, apalagi pada mereka yang tak berbakat. Jelas sekali Hisao punya beberapa kemampuan: benda itu dibuat dengan kreatif dan dengan keahlian tinggi. Dan ada sesuatu yang lain pada dirinya, gerakan matanya yang cepat menunjukkan kalau dia bisa melihat hal lain. Apa yang bisa dilihatnya? Pemuda ini berbadan sehat, agak lebih pendek dari Kenji sendin tapi kuat, dengan kulit mulus tanpa cacat dan rambut tebal serta mengkilap, mirip rambut Takeo. "Mari kita temui Akio," ajak Kenji. "Ada yang aku sampaikan padanya." Ia tidak bersusah payah menyembunyikan sosoknya selagi mengikuti bocah itu menur uni jalan setapak dari atas gunung menuju desa. Sadar kalau akhirnya ia akan dikenali juga s iapa lagi yang bisa sampai sejauh ini, menghindari para penjaga di gerbang, bergerak tak terlih at dan tak terdengar melewati hutan? dan juga Akio harus tahu kalau ia datang sebagai utusan Takeo. Kisah Klan Otori IV Page 27

Perjalanan itu membuat napasnya terasa sesak, dan saat berhenti sebentar di tepi sawah yang penuh air, terasa ada darah di tenggorokannya. Tubuhnya terasa lebih panas dari yang s emestinya. Langit berubah keemasan saat mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Pematang sawah berw arna cerah dengan bunga liar, vicia, buttercup, dan bunga krisan, dan cahaya matahari jatuh di sel a-sela hijaunya dedaunan. Suasana terasa dipenuhi musik musim semi, nyanyian burung, katak serta jangkrik. erjalanan itu membuat napasnya terasa sesak, dan saat berhenti sebentar di tepi sawah yang penuh air, terasa ada darah di tenggorokannya. Tubuhnya terasa lebih panas dari yang s emestinya. Langit berubah keemasan saat mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Pematang sawah berw arna cerah dengan bunga liar, vicia, buttercup, dan bunga krisan, dan cahaya matahari jatuh di sel a-sela hijaunya dedaunan. Suasana terasa dipenuhi musik musim semi, nyanyian burung, katak serta jangkrik. Bila hari ini memang ditakdirkan menjadihari terakhir hidupku, maka tak ada hari yang lebih indah daripada hari ini, pikir kenji dengan sedikit bersyukur, dan merasakan dengan li dahnya kapsul beracun yang terselip rapi di bekas rongga gigi gerahamnya yang sudah tanggal. Kenji belum tahu tempat istimewa ini sebelum Hisao lahir, enam belas tahun lalu d an butuh waktu lima tahun untuk menemukannya. Sejak saat itu, sesekali ia mengunjungi tempat in i tanpa diketahui penghuninya, dan mendapatkan laporan tentang Hisao dari Taku, keponakan buyutnya . Tempat ini sama seperti kebanyakan desa Tribe: tersembunyi di dalam lembah seperti lipatan kecil dalam barisan pegunungan. Pada kunjungan yang pertama ia sempat terkejut melihat ada l ebih dari dua ratus orang di desa itu. Tapi kemudian ia tahu kalau keluarga Kikuta mundur ke t empat ini sejak dikejar Takeo. Mereka membangun desa di utara ini sebagai markas, jauh dari jang kauan Takeo, walaupun tidak di luar jangkauan matamatanya. Hisao tidak berbicara pada siapa pun saat mereka berjalan di antara rumah kayu b eratap rendah, dan meskipun beberapa anjing melompat-lompat penuh semangat ke arahnya, dia tak berh enti. Ketika sampai di bangunan yang paling besar, orang berkumpul di belakang mereka; Kenji m endengar bisik-bisik dan tahu kalau ia telah dikenali. Rumah itu jauh lebih nyaman dan mewah ketimbang rumah-rumah di sekelilingnya, de ngan beranda dari kayu runjung serta pilar kokoh dari kayu cedar. Seperti kuilnya, yang bisa dilihat dari kejauhan, atapnya terbuat dari rusuk atap yang tipis, dengan lekukan luwes yang sama indah

nya seperti kediaman para ksatria. Seraya melepaskan sandal, Hisao naik ke beranda dan berse ru ke dalam rumah. "Ayah! Kita kedatangan tamu!" Selang beberapa saat, seorang perempuan muda muncul, membawa air untuk membasuh kaki sang tamu. Kerumunan orang di belakang Kenji terdiam. Saat melangkah masuk ke dalam r umah, ia seperti mendengar tarikan napas tiba-tiba, seolah semua orang yang berkumpul di luar menarik napas di saat bersamaan. Dadanya terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dan rasanya tak ta han ingin batuk. Betapa lemah tubuhnya saat ini! Teringat dengan rasa penyesalan kalau semua kemam puan yang ia miliki kini hanya menjadi bayang-bayang. Ia ingin sekali meninggalkan raganya la lu pindah ke alam baka, kehidupan yang lain, kehidupan apa pun yang ada di sana. Andai ia bisa men yelamatkan bocah itu... tapi siapa yang bisa menyelamatkan orang dari takdir? Semua pikiran ini melintas di benaknya saat duduk di lantai berlapis karpet samb il menunggu Akio. Ruangan itu remangremang: ia nyaris tidak bisa melihat gulungan yang tergantung d i dinding sebelah kanannya. Perempuan muda yang sama datang membawa semangkuk teh. Hisao su dah pergi, namun terdengar olehnya anak itu sedang bicara dengan pelan di belakang r umah. Aroma minyak wijen merebak dari arah dapur dan didengarnya desis makanan di penggoreng an. Lalu terdengar langkah kaki; pintu banian dalam bergeser terbuka dan Kikuta Akio mela ngkah masuk. Dia diikuti dua laki-laki yang lebih tua, yang satu bertubuh gempal dengan raut waja h halus yang dikenal Kenji sebagai Gosaburo, pedagang dari Matsue, adik Kotaro, paman Akio. Sedang ya ng satunya lagi pasti Imai Kazuo, yang menurut kabar telah menentang keluarga Imai untuk tinggal bersama Kikuta, keluarga dari pihak istrinya. Semua orang ini, setahunya, sudah bertahun-tahun m engincar dirinya. Mereka berusaha menyembunyikan keterkejutan dengan kemunculannya. Mereka duduk di ujung lain ruangan seraya mengamati. Tak seorang pun membungkuk normal maupun memberi s alam. Kenji pun diam saja. Akhirnya Akio angkat bicara, "Letakkan senjatamu." "Aku tak membawa senjata," sahut Kenji. "Aku datang dengan membawa misi yang dam ai." Gosaburo tertawa sinis tidak percaya. Sedang dua laki-laki lainnya tersenyum, ta pi tanpa rasa riang.

"Benar, seperti serigala di musim dingin," ujar Akio. "Kazuo yang akan menggeled ahmu." Kazuo mendekati Kenji dengan hati-hati dan agak malu-malu. "Maaf, Ketua,"gumamny a. Kenji membiarkan orang itu meraba pakaiannya dengan jari-jarinya yang panjang dan ceka tan. Kisah Klan Otori IV Page 28

"Dia berkata jujur. Dia tidak membawa senjata." Dia berkata jujur. Dia tidak mem bawa senjata." Kisah Klan Otori IV Page 29

"Mengapa kau kemari?" sera Akio. "Rupanya kau sudah bosan hidup!" Mengapa kau kem ari?" sera Akio. "Rupanya kau sudah bosan hidup!" Kenji menatap tajam. Selama bertahuntahun ia bermimpi berhadapan dengan orang yan g telah menikahi dan terlibat dalam kematian putrinya. Tampak ada kerutankerutan di wajah Akio, rambutnya pun mulai memutih. Tapi badannya tampak sekuat baja; temyata usia tak mampu melunakkan maupun melembutkan sikapnya. "Aku datang membawa pesan dari Lord Otori," tutur Kenji tenang. "Kami tidak memanggilnya Lord Otori. Dia dikenal dengan nama Otori si Anjing. Ka mi tak ingin mendengar pesan apa pun darinya!" "Aku khawatir salah satu putramu sudah mati," Kenji bicara pada Gosaburo. "Putra sulungmu, Kunio. Tapi yang lainnya masih hidup, termasuk putrimu." Gosaburo menelan ludah. "Biarkan dia bicara," katanya pada Akio."Kita tak mau be randing dengan Si Anjing," sahut Akio. "Dengan mengutus pembawa pesan itu telah menunjukkan kelemahan," kata Gosaburo d engan nada memohon. "Dia sedang memohon pada kita. Setidaknya kita dengar dulu apa yang aka n Muto sampaikan." Gosaburo mencondongkan badan lalu bertanya pada Kenji. "Putriku? Dia tidak terluka?" "Tidak, dia baik-baik saja." Tapi putriku sudah mati enam belas tahun lalu. "Dia tidak disiksa?" "Kau harus tahu kalau penyiksaan kini dilarang. Anak-anakmu akan diadili dengan tuduhan percobaan pembunuhan, dan bisa dihukum mati, tapi mereka tidak disiksa. Kau tentu pernah m endengar bahwa Lord Otori memiliki sifat welas asih." "Satu lagi kebohongan dari Si Anjing," ejek Akio. "Tinggalkan kami, paman. Kesed ihan membuatmu lemah. Aku akan bicara dengan Muto berdua saja." "Anak-anak itu akan tetap hidup jika kau setuju untuk berdamai," sahut Kenji cep at, sebelum Gosaburo berdiri. "Akio!" Gosaburo memohon, air matamulai berlinang.

"Tinggalkan kami!" Akio juga berdiri, gusar, seraya mendorong tubuh orang tua it u ke pintu, menyuruhnya agar cepat keluar dari ruangan itu. "Sejujurnya," katanya saat kembali duduk. "Tua bangka bodoh itu tidak berguna la gi! Dia sudah mis kin, dan yang kini dia lakukan hanyalah meratap dan menyesali nasibnya. Biarkan Otori membunuh anak-anak itu, dan aku akan menghabisi ayahnya: kita akan menyingkirkan orang le mah." "Akio," tutur Kenji. "Kita bicara sebagai sesama Ketua, sesuai cara Tribe menyel esaikan masalah. Dengar dulu apa yang akan kusampaikan. Setelah itu baru kau putuskan apa yang te rbaik bagi Kikuta dan Tribe, bukan berdasarkan kebencian dan amarah pribadimu, karena ini akan men ghancurkan mereka dan dirimu. Mari kita ingat lagi sejarah Tribe, bagaimana kita bisa berta han sejak dulu kala. Kita selalu bekerjasama dengan para bangsawan yang hebat: janganlah kita menentan g Otori. Apa yang dilakukannya di Tiga Negara baik adanya: disetujui masyarakat, baik petani a taupun ksatria. Masyarakat yang dibentuknya berjalan lancar; rakyat bahagia; tak ada yang mati k elaparan dan tak ada penyiksaan. Hentikan permusuhanmu. Sebagai imbalannya, keluarga Kikuta akan d imaafkan: Tribe akan bersatu lagi. Menguntungkan bagi kita semua." Nada suaranya seakan mengandung sihir yang membuat ruangan senyap dan semua oran g yang berada di luar bungkam. Kenji tahu kalau Hisao sudah kembali dan sedang berlutut tepat di balik pintu. Saat ia berhenti bicara, dikumpulkan tenaga lalu membiarkan gelombang ten aganya mengalir memenuhi ruangan itu. Dirasakannya ketenangan menyapu semua orang, mereka duduk dengan mata setengah terpejam. "Dasar penyihir tua bangka." Akio memecahkan kesunyian dengan teriakan penuh amar ah. "Tua bangka licik. Kau tak bisa menjebakku dengan kebohonganmu. Tadi kau mengatakan S i Anjing melakukan hal baik! Rakyat gembira! Apa untungnya semua ini bagi Tribe? Kau suda h lemah seperti Gosaburo. Ada apa dengan kalian, orangorang tua? Apakah Tribe membusuk dari dalam ? Andai Kotaro masih hidup! Tapi Si Anjing membunuhnya dia membunuh pemimpin keluarganya s endiri, pada Kisah Klan Otori IV Page 30

siapa dia harus menyerahkan hidupnya atas kejahatan yang dia lakukan. Kau saksin ya: kau mendengar sumpah si Anjing saat di Inuyama. Dia melanggar sumpah itu jadi dia sud ah iapa dia harus menyerahkan hidupnya atas kejahatan yang dia lakukan. Kau saksiny a: kau mendengar sumpah si Anjing saat di Inuyama. Dia melanggar sumpah itu jadi dia sud ah Kisah Klan Otori IV Page 31

sepantasnya mati. Tapi dia malah membunuh Kotaro, Ketua dari keluarganya dengan ep antasnya mati. Tapi dia malah membunuh Kotaro, Ketua dari keluarganya dengan bantuannmu. Dia tidak bisa dimaafkan. Dia harus mati!" "Aku takkan berdebat tentang mana tindakannya yang salah dan yang benar," sahut Kenji. "Dia melakukan apa yang harus dilakukan saat itu, dan yang pasti, hidupnya dijalani l ebih baik sebagai Otori ketimbang sebagai Kikuta. Tapi semua itu telah berlalu. Kumohon kau hentik an perlawananmu agar Kikuta bisa kembali ke Tiga Negara Gosaburo bisa menjalankan lagi bisnisnya! dan menikmati hidup selayaknya. Jika tetap tak mau berdamai, maka menyerahlah: kau t akkan berhasil membunuhnya." "Semua orang pasti mati," sahut Akio. "Tapi dia takkan mati di tanganmu," ujar Kenji. "Betapa pun kau menginginkannya. Aku bisa meyakinkanmu akan hal itu." Akio menatapnya dengan memicingkan mata. "Pengkhianatanmu pada Tribe harus dihuk um." "Aku telah melindungi keluargaku dan Tribe. Kau yang menghancurkannya. Aku kemar i sebagai utusan, dan aku akan kembali dengan cara yang sama. Akan kusampaikan pesanmu yan g patut disesalkan pada Lord Otori." Kenji begitu berwibawa sehingga Akio membiarkannya berdiri lalu berjalan keluar ruangan. Sewaktu lewat Hisao masih berlutut di luar, Kenji berkata, seraya membalikkan badan, "In i putramu? Kurasa dia tidak memiliki kemampuan Tribe. Ijinkan dia menemaniku sampai ke gerbang. Mari, Hisao." Kenji bicara ke belakang dalam bayang-bayang. "Kau tahu di mana bisa menemukan kami bi la kau berubah pikiran." Baiklah, pikimya saat melangkah keluar dari beranda dan kerumunan memberi jalan padanya, ternyata aku masih hidup lebih lama. Begitu sampai di tempat terbuka dan di luar jangkauan tatapan Akio, ia bisa saja menghilang lalu melenyapkan diri ke pedesaan. Tapi adakah pel uang ia membawa bocah itu? Penolakan Akio tidak mengejutkannya. Tapi ia senang Gosaburo dan yang lainnya ju ga mendengar. Selain rumah utama, desa itu kelihatan menyedihkan. Pasti sulit menjalani hidup d i sini, apalagi di

musim dingin. Kebanyakan penghuninya pasti mendambakan, seperti halnya Gosaburo, hidup nyaman di Matsue dan Inuyama. Kepatuhan mereka pada Akio, dirasakan oleh Kenji, lebih karena ketakutan ketimbang rasa hormat; ada kemungkinan anggota lain Kikuta menentang ke putusannya, apalagi jika itu berarti sandera akan dibiarkan hidup. Saat Hisao muncul dari belakang dan berjalan di sampingnya, Kenji menyadari ada kehadiran lain yang mengambil tempat setengah tubuh dan pikiran bocah itu. Dahinya berkerut, dan sesekali menaikkan tangan-nya memegangi pelipis kirinya dengan ujung jari. "Kepalamu saki t?" "Mmm." Dia mengangguk tanpa bicara. Mereka sudah separuh jalan. Bila berhasil sampai di tepi sawah, lalu berlari di pematang ke hutan bambu.... "Hisao," bisik Kenji. "Aku ingin kau ikut denganku ke Inuyama. Temui aku di temp at tadi kita bertemu. Kau mau?" "Aku tak bisa pergi dari sini! Aku tak bisa meninggalkan ayahku!" Lalu ia berser u kesakitan, lalu terjatuh. Hanya tinggal lima puluh langkah lagi. Kenji tidak berani berbalik, tapi ia yaki n tak ada yang mengikutinya. la terus berjalan dengan tenang, tanpa tergesa-gesa, tapi Hisao be rjalan terseok-seok di belakangnya. Saat berbalik untuk memberi Hisao semangat, Kenji melihat kerumunan orang masih memerhatikan. Tiba-tiba ada yang menyeruak dari sela-sela mereka. Akio, diikuti oleh Kazuo: ke duanya sudah menarik belati. "Hisao, temui aku," katanya, lalu menghilang, tapi ketika sosok tubuhnya menghila ng, Hisao menangkap lengannya dan berteriak, "Bawa aku! Mereka takkan membiarkanku pergi! Tapi dia ingin ikut denganmu!" Mungkin karena Kenji sedang dalam keadaan menghilang dan berada di antara dua du nia, mungkin Kisah Klan Otori IV Page 32

juga karena perasaan Hisao yang meledak-ledak, tapi saat itu Kenji melihat apa y ang Hisao lihat.... uga karena perasaan Hisao yang meledak-ledak, tapi saat itu Kenji melihat apa yang Hisao lihat.... Kisah Klan Otori IV Page 33

Inuyama. Meskipun diperlakukan dengan baik, namun tetap saja mereka adalah tawan an. nuyama. Meskipun diperlakukan dengan baik, namun tetap saja mereka adalah ta wanan. Kisah Klan Otori IV Page 35

Setelah salju mencair, dan Kenji berangkat melaksanakan misinya, Kaede serta put riputrinya pergi ke Hagi bersama Shizuka. Takeo melihat kegelisahan istrinya pada si kembar semak in bertambah. Ia memikirkan kemungkinan Shizuka mengajak salah satu dari mereka, mungkin Maya, ke desa tersembunyi Muto, Kagemura selama beberapa minggu. Takeo pun menunda waktu untuk meninggalkan Inuyama, berharap mendapat kabar dari Kenji di bulan ini. Namun ket ika hingga bulan keempat muncul dan masih belum ada kabar, dengan enggan ia pergi ke Hofu. Ia mem beri instruksi agar Taku mengirimkan semua pesan kepadanya di sana. etelah salju mencair, dan Kenji berangkat melaksanakan misinya, Kaede serta putr iputrinya pergi ke Hagi bersama Shizuka. Takeo melihat kegelisahan istrinya pada si kembar semak in bertambah. Ia memikirkan kemungkinan Shizuka mengajak salah satu dari mereka, mungkin Maya, ke desa tersembunyi Muto, Kagemura selama beberapa minggu. Takeo pun menunda waktu untuk meninggalkan Inuyama, berharap mendapat kabar dari Kenji di bulan ini. Namun ket ika hingga bulan keempat muncul dan masih belum ada kabar, dengan enggan ia pergi ke Hofu. Ia mem beri instruksi agar Taku mengirimkan semua pesan kepadanya di sana. Selama berkuasa, ia sering melakukan perjalanan, membagi hari-hari dalam setahun dari satu kota ke kota lainnya di Tiga Negara. Kadang ia melakukan perjalanan dengan semua keme gahan yang diharapkan dari seorang penguasa besar, kadang ia menyamar untuk dapat berbaur d engan rakyat biasa dan mengetahui pendapat, kegembiraan serta kebahagiaan mereka. Takeo tidak akan melupakan kata-kata Otori Shigeru kepadanya: Karena Kaisar yang begitu lemah seh ingga bangsawan seperti Iida bisa merajalela. Sebenarnya kaisar berkuasa atas Delapan Pulau, namun dalam pelaksanaannya, berbagai daerah mengurus masalah mereka sendiri: Tiga Negara dilanda konflik akibat para bangsawan berebu t wilayah dan kekuasaan. Kini ia dan Kaede telah membawa kedamaian dan mempertahankannya dengan penuh perhatian pada seluruh wilayah dan berbagai aspek kehidupan rakyatnya. Hasil dari semua itu terlihat saat ia berkuda ke wilayah Barat. Didampingi para p engawal, dua pengawal terpercaya dari Tribe saudara sepupu Kuroda: Junpei dan Shinsaku, yang d ikenal sebagai Jun dan Shin serta jurutulisnya. Selama perjalanan ia memerhatikan tanda-t anda negeri yang damai: anak-anak yang sehat, desa yang makmur, sedikit pengemis serta tidak ada bandit. Tujuannya untuk membuat negara ini sangat aman hingga gadis belia pun bisa memeg ang kekuasaan, dan ketika tiba di Hofu, ia bangga dan puas bahwa Tiga Negara telah s esuai dengan

tujuannya itu. Ia tidak menduga apa yang menantinya di kota pelabuhan itu, ataupun curiga kalau di sana nanti kepercayaan dirinya akan goyah dan kekuasaannya terancam. Tampaknya begitu ia tiba di kota mana pun di Tiga Negara, utusan bermunculan di gerbang kastil atau kediaman ia tinggal: ingin mengadakan pertemuan, meminta bantuan, membutuhk an keputusan yang hanya bisa diputuskan olehnya. Beberapa dari masalah ini sebenarnya dapat d isampaikan pada petugas setempat, tapi terkadang ada keluhan atas para petugas itu sehingga haki m-hakim yang adil harus didatangkan. Musim semi ini, di Hofu, ada tiga mau empat kasus semacam ini , lebih dari yang Takeo harapkan. Hal ini membuatnya mempertanyakan keadilan dari administrasi sete mpat. Bahkan dua petani mengeluh kalau putra mereka dipaksa menjadi prajurit, dan seorang ped agang memberi informasi bahwa para prajurit menyita sejumlah besar batu bara, kayu, belerang d an nitrat. Zenko tengah menghimpun kekuatan dan senjata, pikirnya. Aku harus bicara padanya. Takeo mengatur untuk mengirim kurir ke Kumamoto. Namun, keesokan harinya Arai Ze nko yang telah diberi bekas wilayah ayahnya di bagian Barat dan juga Hofu datang dari Kuma moto dengan alasan hendak menyambut Lord Otori. Istrinya, Shirakawa Hana, adik bungsu Kaede, ikut bersamanya. Hana sangat mirip dengan kakak sulungnya, bahkan bila diperhatikan l ebih lama lagi kelihatan lebih cantik dibandingkan Kaede saat masih muda. Ia tidak suka maupun p ercaya pada Hana. Sepanjang tahun yang sulit setelah kelahiran si kembar, saat empat belas t ahun, Hana selalu mencari kesempatan untuk menggoda dirinya agar menjadikannya istri kedua atau se lir. Hana menjadi lebih dari sekadar godaan yang bisa diakui Takeo, dengan paras yang sama persis seperti Kaede muda, sebelum kecantikannya tercoreng. Bahkan Hana pernah menawarkan diri ketika kesehatan Kaede memburuk. Penolakan mantap Takeo untuk menganggap serius tawaran nya telah melukai dan mem-permalukan Hana: keinginan Takeo untuk menikahkannya dengan Zenk o justru membuat Hana kian gusar. Tapi Takeo memaksa: mereka menikah ketika Zenko berusia delapan belas tahun dan Hana enam belas tahun. Zenko sangat senang: persekutuan itu meru pakan kehormatan besar baginya; Hana bukan hanya cantik, tapi juga segera memberinya ti ga putra, semuanya sehat. Rasa tergila-gilanya pada Takeo segera digantikan rasa dendam pa danya dan iri pada kakaknya. Dia pun bertekad untuk mengambil alih kedudukan mereka. Takeo tahu niat ini karena adik iparnya lupa kalau ia memiliki pendengaran yang

sangat peka. Pendengarannya memang tidak setajam saat masih tujuh belas tahun, tapi masih cuk up baik untuk menguping per-cakapan rahasia, menyadari segala sesuatu yang ada di sekelilingny a, di mana posisi tiap orang di kastil, kegiatan mereka yang ada di pos jaga dan istal, siapa meng unjungi siapa di Kisah Klan Otori IV Page 36

malam hari dan untuk tujuan apa. Ia juga dapat membaca niat orang itu dari cara berdiri hingga gerakan tubuh. alam hari dan untuk tujuan apa. Ia juga dapat membaca niat orang itu dari cara b erdiri hingga gerakan tubuh. Kisah Klan Otori IV Page 37

Saat ini ia mengamati Hana yang sedang membungkuk di hadapannya, dengan rambut m enjuntai ke lantai, sedikit tersibak hingga menampakkan tengkuknya yang putih sempurna. Hana bergerak dengan luwes, terlepas dari kenyataan bahwa dia adalah ibu dari tiga orang anak: orang akan mengira usianya tak lebih dari delapan belas tahun, tapi sebenarnya dia seumur d engan adik Zenko, Taku: dua puluh enam tahun. aat ini ia mengamati Hana yang sedang membungkuk di hadapannya, dengan rambut me njuntai ke lantai, sedikit tersibak hingga menampakkan tengkuknya yang putih sempurna. Hana bergerak dengan luwes, terlepas dari kenyataan bahwa dia adalah ibu dari tiga orang anak: orang akan mengira usianya tak lebih dari delapan belas tahun, tapi sebenarnya dia seumur d engan adik Zenko, Taku: dua puluh enam tahun. Suaminya, di usia dua puluh delapan tahun, tampak sangat mirip dengan ayahnya be rtubuh besar, gagah perkasa, bertenaga besar, ahli menggunakan panah dan pedang. Pada usia dua belas tahun dia menyaksikan ayahnya mati ditembak dengan senjata api, orang ketiga di Tiga Negar a yang mati dengan cara begitu. Dua orang lainnya adalah para bandit. Ia menyadari bila semu a ini dijadikan satu maka bisa menimbulkan sakit hati yang mendalam pada pemuda itu, dan bisa berubah menjadi kebencian. Kedua orang ini tidak menunjukkan tanda-tanda kedengkian. Sambutan dan pertanyaa n mereka mengenai kesehatan diri juga keluarganya terasa berlebihan. Ia menjawab dengan s ikap yang sama sopannya, menutupi kenyataan kalau ia merasa lebih kesakitan ketimbang biasanya karena udara yang lembap. "Kalian tidak perlu repot-repot datang," katanya. "Aku hanya akan berada di Hofu selama satu atau dua hari." "Oh, tapi Lord Takeo harus tinggal lebih lama." Hana angkat bicara, seperti yang sering dia lakukan sebelum suaminya sempat bicara. "Anda harus tinggal di sini sampai musim hujan s elesai. Anda tidak bisa bepergian dalam keadaan cuaca seperti ini." "Aku pernah melakukan perjalanan dalam cuaca yang lebih buruk," sahut Takeo samb il tersenyum. "Kami senang bisa menghabiskan waktu bersama kakak ipar," kata Zenko. "Baiklah, ada satu atau dua hal yang perlu kita bicarakan," sahut Takeo, memutus kan untuk menanggapi basa-basi ini. "Tidak ada kebutuhan, pastinya, untuk meningkatkan jum

lah pasukan, dan aku ingin tahu lebih banyak tentang kekuatan apa yang sedang kau himpun." Keterusterangannya yang keluar tepat setelah sopan-santun tadi, mengejutkan mere ka. Takeo tersenyum lagi. Mereka pasti tahu, tak banyak hal yang bisa luput dari perhatian nya di seluruh Tiga Negara. "Kebutuhan senjata selalu ada," tutur Zenko. "Tombak, pedang, panah dan sebagain ya." "Berapa banyak orang yang kau kumpulkan? Paling banyak lima ribu orang. Catatan k ami menunjukkan mereka semua dipersenjatai. Bila senjata mereka hilang atau rusak, ma ka mereka harus menggantinya dengan biaya sendiri. Keuangan wilayah bisa dijalankan dengan baik." "Dari Kumamoto dan distrik selatan, ya, benar lima ribu orang. Tapi ada banyak o rang yang tidak terlatih dengan usia cukup untuk bertempur di wilayah Seishuu lainnya. Tampaknya ini kese mpatan emas untuk memberi mereka pelatihan dan senjata, bahkan jika mereka kembali ke sawahnya unt uk panen." "Klan Seishuu kini tunduk pada Maruyama," sahut Takeo dengan nada ringan. "Bagai mana pendapat Sugita Hiroshi tentang rencanamu?" Hiroshi dan Zenko tidak menyukai satu sama lain. Takeo tahu Hiroshi memendam has rat untuk menikahi Hana, dan kecewa ketika perempuan idamannya itu menikah dengan Arai Zen ko, walaupun Hiroshi tidak pernah mengatakannya. Kedua pemuda itu tidak saling menyukai sejak pertama kali mereka bertemu bertahun-tahun silam semasa perang saudara. Hiroshi dan Taku, adik Zenko , adalah teman dekat, jauh lebih dekat ketimbang. Kedua kakak beradik yang semakin dingin. "Aku belum sempat bicara dengan Sugita," aku Zenko. "Baiklah, kelak kita bicarakan masalah ini dengannya. Nanti kita semua akan bertemu di Maruyama pada bulan kesepuluh dan mengkaji ulang kebutuhan pasukan di wilayah Barat." "Kita menghadapi ancaman dari kaum barbar," tutur Zenko. "Wilayah Barat terbuka lebar bagi mereka: Klan Snshuu belum pernah menghadapi serangan dari laut. Kami tidak siap. " Kisah Klan Otori IV Page 38

"Tujuan orang-orang asing itu sebenarnya hanyalah berdagang," sahut Takeo. "Mere ka berada jauTujuan orang-orang asing itu sebenarnya hanyalah berdagang," sahut Takeo. "Mereka berada jauh dari kampung halaman mereka, kapal-kapal mereka kecil. Mereka mestinya jera deng an serangan di Mijima; maka sekarang mereka harus berurusan dengan kita melalui diplomasi. Pert ahanan terbaik kita melawan mereka adalah berdagang dengan damai." "Tapi mereka selalu membual tentang pasukan hebat raja mereka," timpal Hana. "Se ribu orang bersenjata api. Lima puluh ribu kuda. Satu ekor kuda mereka lebih besar dibandin gkan dua ekor kuda kita, kata mereka. Dan pasukan pejalan kaki mereka menyandang senjata api." "Semua ini, seperti yang kau katakan, hanyalah bualan," Takeo mengamati. "Aku be rani katakan kalau Terada Fumio membuat pernyataan serupa tentang keunggulan kita di kepulauan wilayah Barat dan pelabuhan di Tenjiku dan Shin." Dilihatnya ekspresi wajah Zenko berker ut saat nama Fumio disebut. Fumio yang menembak ayah Zenko saat gempa mengguncang dan menghancurkan pasukan Arai. Takeo menghela napas panjang, ingin tahu apakah mungkin menghapusk an keinginan balas dendam Zenko. Zenko berkata, "Di sana kaum barbar juga menggunakan perdagangan sebagai alasan untuk menjejakkan kaki. Lalu mereka melemahkan dari dalam dengan agama mereka, dan ser angan dari luar. Mereka akan mengubah kita semua menjadi budak mereka." Zenko mungkin benar, pikir Takeo. Orangorang asing itu sebagian besar terkurung d i Hofu, dan Zenko bertemu dengan lebih banyak orang-orang itu ketimbang ksatrianya sendiri. K endati menyebut dengan kata kaum barbar, Zenko tampak terkesan dengan senjata dan kapal mereka. Seandainya mereka bergabung di wilayah Barat... "Kau tahu kalau aku menghormati pendapatmu dalam masalah ini," sahutnya. "Akan k ita tingkatkan pengawasan terhadap orang-orang asing itu. Apabila nanti diperlukan lebih banyak pasukan, akan kuberitahukan kepadamu. Dan nitrat hanya boleh dibeli langsung oleh klan." Takeo memerhatikan selagi Zenko membungkuk dengan enggan, segaris rona warna di l ehernya menandakan kekesalannya atas peringatan keras tadi. Takeo teringat saat menempel kan pisau di leher Zenko. Kalau saja saat itu ia menggunakan pisau dengan baik, ia bisa terhi ndar dari banyak masalah. Namun kala itu Zenko hanyalah bocah kecil; ia belum pernah membunuh ana k-anak dan berdoa semoga tidak akan pernah. Zenko adalah bagian dari takdirku, pikirnya. Ak

u harus hadapi dia dengan hati-hati. Apa lagi yang bisa kulakukan untuk menjinakkan dirinya? Hana berkata dengan suara selembut madu. "Kami takkan melakukan apa pun tanpa be rkonsultasi dengan Lord Otori. Sesungguhnya kami hanya menaruh perhatian pada Anda sekeluarga serta kemakmuran Tiga Negara. Anda sehat-sehat saja, kurasa. Bagaimana dengan kakak sul ungku, juga ketiga putri Anda yang cantik-cantik?" "Terima kasih: mereka semua sehat-sehat saja." "Satu kesedihan yang mendalam bagiku karena tidak punya anak perempuan," lanjut Hana, tatapan matanya lenang, serius dan agak malu-malu. "Seperti yang Lord Otori ketahui, kam i hanya punya anak laki-laki." Mau ke mana arah pembicaraannya? Takeo penasaran. Zenko yang kurang memiliki kehalusan dalam berbicara dibandingkan istrinya lalu bicara dengan nada datar. "Lord Otori pasti sangat ingin memiliki putra." Ah! pikir Takeo, lalu berkata, "Karena sepertiga negara kiia sudah diwariskan me lalui garis keturunan perempuan, hal itu tak menjadi masalah. Putri sulung kami pada akhirnya akan men jadi penguasa Tiga Negara." "Tapi Anda harus tahu kebahagiaan memiliki anak laki-laki," seru Hana. "Ijinkan kami memberikan salah satu putra kami." "Kami ingin Anda mengangkat salah satu putra kami," ujar Zenko, tanpa basa-basi. "Sungguh itu suatu kehormatan besar serta membawa kebahagiaan tak terbilang bagi kami," gumam Kisah Klan Otori IV Page 39

Hana. Kisah Klan Otori IV Page 40

"Kalian sangat murah hati dan penuh pengertian," sahut Takeo. Kebenarannya adala h: ia tak ingin anak laki-laki. Ia lega Kaede tidak melahirkan lagi dan berharap istrinya tidak hamil lagi. Ramalan bahwa ia akan mati di tangan putranya sendiri tidaklah menakutkan, namun menoreh kan kesedihan mendalam pada dirinya. Saat itu Takeo berdoa, seperti yang sering dilakukannya, kalau kematiannya seperti kematian Shigeru, bukan seperti pemimpin Otori yang lain, Masahiro, yang mati digorok oleh anak haramnya. Ia juga berdoa dibiarkan hidup hingga tugasnya selesai dan putrin ya telah cukup dewasa untuk memerintah negeri ini. Kalian sangat murah hati dan penuh pengertian," sahut Takeo. Kebenarannya adalah : ia tak ingin anak laki-laki. Ia lega Kaede tidak melahirkan lagi dan berharap istrinya tidak hamil lagi. Ramalan bahwa ia akan mati di tangan putranya sendiri tidaklah menakutkan, namun menoreh kan kesedihan mendalam pada dirinya. Saat itu Takeo berdoa, seperti yang sering dilakukannya, kalau kematiannya seperti kematian Shigeru, bukan seperti pemimpin Otori yang lain, Masahiro, yang mati digorok oleh anak haramnya. Ia juga berdoa dibiarkan hidup hingga tugasnya selesai dan putrin ya telah cukup dewasa untuk memerintah negeri ini. Karena tak ingin menghina mereka dengan langsung menolak tawaran itu. Sesungguhny a amat pantas mengangkat keponakan istrinya: bahkan mungkin kelak ia bisa menjodohkan a nak itu dengan salah satu putrinya. "Mohon kami diberi kehormatan dengan menerima dua putra tertua kami," tutur Hana . Ketika Takeo mengangguk setuju, Hana bangkit dan berjalan ke pintu dengan luwes, sangat mirip dengan Kaede. Lalu masuk kembali bersama kedua anaknya: usia mereka delapan dan enam tahun, me ngena-kan jubah resmi, diam terpaku dengan khidmat dalam pertemuan itu. Rambut mereka dita ta dengan bagian rambut yang panjang di bagian depan. "Yang sulung bernama Sunaomi, sedang adiknya, Chikara," tutur Hana selagi kedua bocah itu membungkuk sampai ke lantai di hadapan paman mereka. "Ya, aku ingat," sahut Takeo. Sudah tiga tahun ia belum bertemu kedua bocah ini, dan belum pernah bertemu putra bungsu Hana yang lahir tahun lalu. Kedua anak itu tampan: yang sul ung mirip dengan Shirakawa bersaudara, dengan tulang punggung yang panjang serta struktur tulang y ang ramping. Sedangkan adiknya lebih bulat dan kekar, lebih mirip ayahnya. Takeo ingin tahu a pakah salah satu dari mereka mewarisi kemampuan Tribe dari neneknya, Shizuka. Nanti akan ditanyak annya pada

Taku atau Shizuka. Akan menyenangkan, renungnya, bagi Shizuka untuk mengasuh cuc unya. "Duduk tegak, anak-anak," kata Takeo. "Biarkan paman melihat wajah kalian." Takeo tertarik pada si sulung yang amat mirip Kaede. Usianya hanya tujuh tahun l ebih muda dari Shigeko, dan lima tahun lebih muda dari Maya dan Miki: perbedaan ini bukanlah ma salah dalam perkawinan. Diajukannya pertanyaan tentang pelajaran, kemajuan berpedang dan mem anah, dan senang dengan jawaban mereka yang cerdas serta jelas. Apa pun ambisi tersembunyi dan motif terselubung dari orangtua mereka, kedua bocah ini telah dididik dengan baik. "Kalian sangat murah hati," ujar Takeo lagi. "Aku akan membicarakannya dengan is triku." "Anak-anak akan bergabung bersama kita saat makan malam," ujar Hana. "Anda bisa lebih mengenal mereka nanti. Tentu saja, Sunaomi sudah menjadi kesayangan kakak sulungku." Kini Takeo ingat kalau ia pernah mendengar Kaede memuji Sunaomi karena kecerdasan nya. Ia tahu istrinya iri pada Hana dan menyesal karena tidak punya anak lakilaki. Mengangkat keponakannya mungkin bisa menjadi kompensasi, tapi jika Sunaomi menjadi putranya... Disingkirkannya pikiran itu jauh-jauh. Ia harus memutuskan yang terbaik saat ini : jangan sampai ia terpengaruh oleh ramalan yang mungkin saja tidak akan terjadi. Ketika Hana pergi bersama kedua anaknya, Zenko berkata, "Aku ingin ulangi kalau i ni akan menjadi kehormatan bagi kami bila Anda mengangkat Sunaomi atau Chikara: Anda harus memilih ." "Kita bicarakan ini pada bulan kesepuluh." "Bolehkah aku mengajukan satu permoho nan lagi?" Ketika Takeo mengangguk, Zenko melanjutkan, "Aku tak ingin menyinggung perasaan dengan mengingat masa lalu, tapi Anda ingat Lord Fujiwara?" "Tentu saja," jawab Takeo, menahan rasa kaget dan marah. Lord Fujiwara adalah ba ngsawan yang telah menculik istrinya. Bangsawan itu mati dalam bencana gempa tapi Takeo tidak pernah memaafkannya. Kaede telah bersumpah bahwa bangsawan itu tak pernah tidur dengann ya, namun ada semacam ikatan aneh antara mereka berdua; Fujiwara telah memikat dan menyanj ungnya; Kaede telah membuat perjanjian dengan lakilaki itu dan menceritakan rahasia palin g pribadi tentang cinta Takeo. Juga pernah membantu keluarga Kaede dengan uang, makanan, juga bany

ak hadiah. Fujiwara menikahi Kaede dengan restu Kaisar. Fujiwara pernah berusaha agar Kaede mati Kisah Klan Otori IV Page 41

bersamanya: Kaede berhasil lolos walaupun rambutnya terbakar, menyebabkan bekas lukarsamanya: Kaede berhasil lolos walaupun rambutnya terbakar, menyebabkan beka s luka, kehilangan kecantikannya. "Putranya berada di Hofu dan ingin bertemu secara resmi dengan Anda." Takeo tidak berkata sepatah kata pun, enggan untuk mengakui kalau ia tidak menge tahuinya. "Dia menggunakan nama keluarga ibunya, Kono. Tiba dengan kapal beberapa hari lal u, berharap bisa bertemu Anda. Kami telah berhubungan melalui surat tentang hana warisan ayahnya. Ayahku, seperti yang Anda tahu, berhubungan baik dengan ayahnya aku mohon maaf telah membu at Anda teringat masa-masa yang tak menyenangkan dan Lord Kono membicarakan tentang masala h penyewaan dan pajak." "Sepanjang ingatanku, harta Fujiwara telah digabungkan dengan wilayah Shirakawa." "Secara hukum Shirakawa juga merupakan milik Fujiwara, setelah pernikahannya, ma ka kini menjadi milik putranya. Karena Fujiwara diwariskan melalui garis keturunan laki-laki. Ji ka wilayah itu bukan hak Kono, maka seharusnya diteruskan pada pewaris laki-laki berikutnya." "Yaitu putra sulungmu, Sunaomi," timpal Takeo. Zenko menunduk tanpa bicara. "Enam belas tahun telah berlalu sejak kematian ayahnya. Mengapa kini dia tibatiba muncul?" tanya Takeo. "Waktu berlalu dengan cepat di ibukota," sahut Zenko. "Dia utusan Yang Mulia Kai sar." Atau barangkali karena seseo rang punya rencana jahat, kau atau istrimu hampir pas ti istrimu melihat bagaimana Kono bisa dimanfaatkan untuk lebih menekanku, maka Kono dihubu ngi melalui surat, pikir Takeo, menyembunyikan kemarahannya. Hujan semakin deras menerpa atap, dan bau tanah yang basah mengapung di depan ta man. "Dia boleh datang dan bertemu denganku besok," kata Takeo akhirnya. "Ya. Keputusan yang bijaksana," sahut Zenko. "Lagi pula jalan terlalu becek dan berlumpur untuk meneruskan perjalanan."

*** Pertemuan ini semakin menambah kegelisahan Takeo, mengingatkannya betapa Arai Zen ko sangat perlu diawasi: betapa mudahnya ambisi mereka dapat menggiring Tiga Negara kembal i perang saudara. Sore berlalu dengan suasana cukup menyenangkan: ia minum sake secukupnya untuk menyembunyikan rasa sakit, dan kedua anak laki-laki itu menghidupkan suasana dan menghibur. Meteka baru saja bertemu dengan dua orang asing di ruangan ini dan sangat bersem angat dengan pertemuan itu: bagaimana Sunaomi bicara pada mereka dengan menggunakan bahasa me reka yang telah dipelajari bersama ibunya; bagaimana orang-orang asing itu kelihatan seper ti goblin dengan hidung panjang dan janggut lebatnya, yang satu berambut merah sedangkan yang lain nya berambut hitam, tapi Chikara sama sekali tidak takut. Mereka memerintahkan para pelayan un tuk mengambilkan salah satu kursi yang dibuat oleh orang asing dari kayu eksotis, jati, dibawa dari pelabuhan pedagangan besar yang dikenal dengan n ama Fragrant Harbour dalam kekuasaan kapal nana milik Terada yang juga membawa mangkuk jasper , lapis lazuli, kulit macan, gading dan giok menuju kota-kota di Tiga Negara. "Sangat nyaman," ujar Sunaomi, memperagakan. "Agak mirip tahta Kaisar," kata Hana, tertawa. "Tapi mereka tidak makan menggunakan tangan!" kata Chikara, kecewa. "Aku ingin m elihatnya." "Mereka belajar sopan santun dari bangsa kita," tutur Hana. "Mereka berusaha ker as, sama kerasnya dengan usaha Lord Joao mempelajari bahasa kita." Takeo agak merinding mendengar nama itu, sangat mirip dengan nama gelandangan Jo -An. Ia begitu menyesali tindakannya yang telah memenggal Jo-An, dan pengemis itu sering hadir dalam mimpinya. Kisah Klan Otori IV Page 42

Orang-orang asing itu memiliki kepercayaan yang serupa dengan kepercayaan kaum H idden dan berdoa pada Tuhan Rahasia. Bedanya, orangorang asing itu mempraktikannya secara te rbuka, ang-orang asing itu memiliki kepercayaan yang serupa dengan kepercayaan kaum Hid den dan berdoa pada Tuhan Rahasia. Bedanya, orangorang asing itu mempraktikannya secara te rbuka, Kisah Klan Otori IV Page 43

bersama mereka lalu memeriksa catatan-catatan Shirakawa dan Fujiwara, membicarak an rincian serta mempertanyakan ketidaksesuaian sampai langit mulai berwarna pucat dan terd engar kicau rsama mereka lalu memeriksa catatan-catatan Shirakawa dan Fujiwara, membicarakan rincian serta mempertanyakan ketidaksesuaian sampai langit mulai berwarna pucat dan terd engar kicau Kisah Klan Otori IV Page 45

burung dari taman. Takeo memiliki ingatan yang baik, visualisasi dan daya tangka p yang kuat; semua itu berkat latihan selama bertahuntahun. Sejak bertarung melawan Kotaro, saat keh ilangan kedua jari di tangan kanannya. Ia mendiktekan banyak hal pada juru tulisnya, dan ini j uga menambah kekuatan ingatan. Dan seperti ayah angkatnya, Shigeru. ia menjadi sangat menyuka i serta menghargai catatan: bagaimana segalanya bisa dicatat serta diingat; bagaimana ca tatan bisa mendukung dan memperbaiki ingatan. rung dari taman. Takeo memiliki ingatan yang baik, visualisasi dan daya tangkap yang kuat; semua itu berkat latihan selama bertahuntahun. Sejak bertarung melawan Kotaro, saat keh ilangan kedua jari di tangan kanannya. Ia mendiktekan banyak hal pada juru tulisnya, dan ini j uga menambah kekuatan ingatan. Dan seperti ayah angkatnya, Shigeru. ia menjadi sangat menyuka i serta menghargai catatan: bagaimana segalanya bisa dicatat serta diingat; bagaimana ca tatan bisa mendukung dan memperbaiki ingatan. Pemuda istimewa ini mendampinginya hampir sepanjang waktu akhir-akhir ini; salah satu dari banyak anak laki-Iaki yang menjadi yatim piatu karena bencana gempa bumi di usia sepulu h tahun, dia menemukan tempat berlindung di Terayama dan dididik di sana; kecerdasan dan kemam puannya yang cepat dengan kuas sudah diakui, begitu pula dengan kerajinannya ia merupakan salah satu dari orang-orang yang belajar dengan hanya ditemani cahaya kunang-kunang dan pan tulan salju, begitu kata pepatah dan akhirnya dia dipilih Makoto untuk bergabung dalam lingkung an rumah tangga Lord Otori di Hagi. Bersifat pendiam, dan tidak peduli dengan sake, kepribadiannya agak membosankan bila ditilik dari penampilannya, namun memiliki komentar tajam bernada sarkasme saat hanya berdua dengan Takeo, tidak terkesan oleh siapa pun atau apa pun, memperlakukan semua orang dengan ras a hormat, memerhatikan semua kekurangan dan kelebihan dengan jernih dan sikap welas asih tanpa prasangka. Namanya Minoru, yang membuat Takeo senang karena ia sendiri pernah me mbawa nama itu dalam jangka waktu yang begitu pendek hingga terasa seperti kehidupanny a yang lain. Ia m