cerita rakyat

Embed Size (px)

Citation preview

Suri Ikun dan Dua Burung ( Nusa Tenggara Timur ) Pada jaman dahulu, di pulau Timor hiduplah seorang petani dengan isteri dan empat belas anaknya. Tujuh orang anaknya laki-laki dan tujuh orang perempuan. Walaupun mereka memiliki kebun yang besar, hasil kebun tersebut tidak mencukupi kebutuhan keluarga tersebut. Sebabnya adalah tanaman yang ada sering dirusak oleh seekor babi hutan. Petani tersebut menugaskan pada anak laki-lakinya untuk bergiliran menjaga kebun mereka dari babi hutan. Kecuali Suri Ikun, keenam saudara laki-lakinya adalah penakut dan dengki. Begita mendengar dengusan babi hutan, maka mereka akan lari meninggalkan kebunnya. Lain halnya dengan Suri Ikun, begitu mendengar babi itu datang, ia lalu mengambil busur dan memanahnya. Setelah hewan itu mati, ia membawanya kerumah. Disana sudah menunggu saudara-saudaranya. Saudaranya yang tertua bertugas membagi- bagikan daging babi hutan tersebut. Karena dengkinya, ia hanya memberi Suri Ikun kepala dari hewan itu. Sudah tentu tidak banyak daging yang bisa diperoleh dari bagian kepala. Selanjutnya, ia meminta Suri Ikun bersamannya mencari gerinda milik ayahnya yang tertinggal di tengah hutan. Waktu itu hari sudah mulai malam. Hutan tersebut menurut cerita di malam hari dihuni oleh para hantu jahat. Dengan perasaan takut iapun berjalan mengikuti kakaknya. Ia tidak tahu bahwa kakaknya mengambil jalan lain yang menuju kerumah. Tinggallah Suri Ikun yang makin lama makin masuk ke tengah hutan. Berulang kali ia memanggil nama kakaknya. Panggilan itu dijawab oleh hantu-hantu hutan. Mereka sengaja menyesatkan Suri Ikun. Setelah berada ditengah- tengah hutan lalu, hantu-hantu tersebut menangkapnya. Ia tidak langsung dimakan, karena menurut hantu-hantu itu ia masih terlalu kurus. Ia kemudian dikurung ditengah gua. Ia diberi makan dengan teratur. Gua itu gelap sekali. Namun untunglah ada celah disampingnya, sehingga Suri Ikun masih ada sinar yang masuk ke dalam gua. Dari celah tersebut Suri Ikun melihat ada dua ekor anak burung yang kelaparan. Iapun membagi makanannya dengan mereka. Setelah sekian

tahun, burung- burung itupun tumbuh menjadi burung yang sangat besar dan kuat. Mereka ingin mem- bebaskan Suri Ikun. Pada suatu ketika, hantu-hantu itu membuka pintu gua, dua burung tersebut menyerang dan mencederai hantu hantu tersebut. Lalu mereka menerbangkan Suri Ikun ke daerah yang berbukit-bukit tinggi. Dengan kekuatan gaibnya, Burung-burung tersebut menciptakan istana lengkap dengan pengawal dan pelayan istana. Disanalah untuk selanjutnya Suri Ikun berbahagia. (Diadaptasi bebas dari Ny. S.D.B. Aman,Suri Ikun and The Two Birds, Folk Tales From Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976).

GOA MAMPU,MEMIKAT DENGAN CERITA RAKYAT

Goa mampu yang terletak kurang lebih 60 km dari Kota Watampone, Kabupaten Bone, dan 140 Km dari Kota Makassar. Objek wisata alam ini terletak di Desa Cabbeng Kecamatan Dua BoccoE dan dapat dicapai dengan kendaraan roda empat atau rota dua. Objok wisata ini memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan objek wisata goa yang lainnya yang ada di Sulawesi selatan, misalnya Goa Leang-leang dengan sejarah purbanya atau Bantimurung dengan istana kupu-kupunya. Seperti pada umumnya goa-goa kapur yang banyak ditemukan di Sulawesi Selatan, banyak diisi dengan stalagmit dan stalagtit. Akan tetapi di dalam Goa Mampu pengunjung akan dibawa berkeliling menyaksikan keunikan stalagmit-stalagmit yang dibarengi dengan cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat di sekitar goa tersebut. Dalam folk lore yang berkembang di Kabupate Bone diceritakan bahwa pada masa lalu, ketika manusia masih hidup dalam gua-gua batu, terdapat sebuah kerajaan yang memiliki wilayah yang cukup luas dan kehidupan rakyat yang makmur. Namun pada suatu ketika kerajaan ini ditimpa malapetaka yang diakibatkan oleh perbuatan putrid rajanya. Suatu hari sang putri raja di tinggal oleh ayah raja dan ibu permaisurinya ke sebuah pesta di

kerajaan tetangga. Keluarga sang raja diantar oleh para pengawal dan dayang-dayang istana, sehingga istana menjadi lengang dan sepi. Tinggallah sang putri seorang diri di atas rumah panggung istana ayahnya. Separti biasanya untuk mengisi waktu luangnya maka sang putri mengambil peralatan tenunnya, lalu memulai ia menyusun benang-benang yang saling bersilangan. Namun belum beberapa saat, alat penggulung benangnya (taropong) terjatuh ke tanah lewat celah papan lantai rumahnya. Ia mencari dayang atau pengawal yang bisa ia suruh mengambilkan penggulungan benang itu. Akan tetapi tak adalagi dayang atau pengawal yang tersisa, Inang pengasuhnya pun ikut pergi ke pesta tersebut. Ia enggan untuk turun ke bawah rumah, lagi pula ia terikat dengan peralatan tenunnya.

Sang Putri hanya menemukan seekor anjing yang berada di bawah rumah sedang berjagajaga. Maka sang Putri pun meminta tolong kepada sang anjing agar mau mengambilkan gulungan benangnya. Mulanya sang anjing tidak bergerak di tempatnya, namun setelah berulang-ulang sang putri memohon dan berjanji bahwa barang siapa yang sudi mengambilkan alat tenunnya yang jatuh itu maka ia sudi menjadi istrinya. Setelah mendengarkan janji itu barulah sang anjing mendekati penggulung benang tersebut lalu mengambilnya dan membawanya naik ke istana dan diberikan kepada sang putri. Akan tetapi setelah penggulung benang itu diterima sang putri ia lalu ingkar pada janjinya. Bahkan setelah para dayang pulang, Ia malah mendorong gadis lain untuk mau menjadi suami sang anjing. Tetapi tak seorangpun yang mau, bahkan terjadi saling tuding menuding. Karena sang putrid tetap ikar pada janjinya dan tak ada tak ada yang mau menutupi janji tersebut , lalu turunlah kutukan dewata . Sang putri dikutuk menjadi batu, juga kemudian sang anjing pun juga terdiam lalu ikut membatu. Para dayang saling memandang, mulanya mereka heran melihat kejadian ini, lalu perlahan-laha mereka pun ikut membatu. Mulanya seorang melihat dan menuding kawannya bahwa di jidat orang yang ada di depannya terdapat batu pada hal tanpa disadari ia pun sudah pula mulai membatu, begitulah kemudian orang saling tuding menuding lalu kemudian seluruh kerajaan menjadi batu. Tidak terkecuali persawahan, gudang garam, dan binatang (buaya) juga ikut membatu. Sehingga jika kita berkunjung ke Goa Mampu kita akan ditunjukkan oleh pemandu wisatanya kebebarapa bongkahan batu yang mirip bentuk manusia, binatang, persawahan, gudang garam, dan berbagai aktifitas masyarakat. Batu-batu tersebut menjadi situs yang mengesahkan cerita rakyat itu, sehingga masyarakat menganggap bahwa cerita tersebut benar-benar pernah terjadi.

Di tempat itu kita akan ditunjukkan patung putri yang sedang menenun, pesta kawin, pertemuan dua sahabat, buaya yang sedang merangkak menuju sungai, kuda terbang dan masih terdapat puluhan patung-patung batu yang masing-masing memiliki cerita. Selain tentang cerita pada stalagmik dan stalagtit itu kita juga akan menikmati indahnya bagianbagian gua yang ditembus cahaya dari luar gua. Untuk menyusuri bagian-bagian gua, pihak pengelolah sudah membuatkan jalan-jalan setapak sehingga pengunjung tidak perlu merasa khawatir atau tergelincir oleh jalan licin. Pengunjung akan pula mendapat penerangan berupa obor yang dapat disewa pada masyarakat yang menyiapkan jasa tersebut. Berwisata ke Goa Mampu kita tidak perlu mengeluarkan uang yang banyak, karena biaya retribusi, sewa obor, dan jasa pemandu masih relative murah. Jadi sebaiknya anda bergegas berkunjung ke Goa Mampu sambil menikmati beberapa tempat wisata lainnya di Kabupaten Bone.http://baruga2004.blogspot.com/2010/01/goa-mampu.html

LEGENDA TERBENTUKNYA GUA MAMPUJune 20, 2009 kancil dan buaya Leave a comment Go to comments

Jangan pernah mengancungkan telunjukmu ke muka seseorang. Sebab kamu akan mengalami nasib yang sama dengan penduduk sebuah desa purba dikaki Gunung Mampu. Desa yang terletak di Kabupaten Bone, belahan timur propinsi Sulawesi Selatan. Desa purba itu kini telah punah. Seluruh penduduknya mati menggenaskan kena kutuk dewa. Bagaimana kisahnya ? mari kita ikuti bersama :

Kokok ayam jantan berkumandang. Pagi menjelang. Satu-persatu penduduk desa purba keluar rumah menuju sawahnya masing-masing. Hawa dingin menusuk tulang. Kicau burung bersahutan. Areal persawahan terhampar luas dibawah bayang Gunung Mampu yang tinggi menjulang. Anak beranak berjalan beriringan menyusur pematang. Dalam sekejap rumah-rumah di desa purba menjadi senyap. Dimusim tanam padi seperti ini, orang malu

berdiam dirumah. hutan.

Kecuali disebuah rumah panggung diujung jalan desa tepat ditepi

Dengan malas, Lapute beranjak dari pembaringannya. Ayah ibunya sudah berangkat kesawah. Bahkan kini di desa tersebut, tinggal dia satu-satunya manusia yang masih berada dirumahnya pagi itu. Aaaaahhgggg. ! Lapute menguap. ia berjalan menuju perigi untuk mandi. Selanjutnya bersalin pakaian dan berdandan. Rutinitas yang dilakoninya setiap hari. Lapute sadar betul dengan anugerah kecantikan wajah dan kemolekan tubuh yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Maka dari itu, ia merasa wajib untuk menjaganya. Tepatnya menonjolkan kelebihannya itu. Lapute adalah kembang desa Purba. Ia ibarat tumbuhan yang hijau segar daunnya, merah merona bunganya dan harumnya berhembus dibawa angin kemana-mana. Lapute adalah gadis yang tengah berada dipuncak pesona. Bibirnya bak gunung berkawah cekung. Lentik matanya seolah mampu menahan sebatang lidi untuk tidak jatuh bila diletakkan diatasnya. Tapi sayang, sayang seribu sayang. Seperti tipikal seluruh penduduk desa purba pada umumnya, Lapute juga memiliki sifat deging. Egois dan berkepala batu. Bukan rahasia lagi diseantero jazirah bugis kala itu. Penduduk desa purba terkenal dengan tabiat kepala batunya. Jangan sekali-kali mengajak mereka berdebat tentang sesuatu hal. Bila pun terpaksa, usahakan menjaga jarak dari mereka paling kurang dua langkah kaki rusa yang tengah dikejar macan. Kawan, penduduk desa Purba jika berdebat dengan orang lain begitu gemar mengancungkan telunjuknya kepada lawan bicaranya. Telunjuk itu mengayun serupa kapak membelah kayu ke jidat orang. Berkali-kali, tanpa henti. Maka pada zaman itu, desa-desa lainnya segan menaruh persolan dengan penduduk desa purba. Matahari sudah hampir sejajar dengan kepala. Lapute berhenti mematut-matut dirinya didepan cermin. Sebentar lagi ibunya pulang untuk memasak, sebelum kembali lagi kesawah membawa bekal makan siang untuk ayahnya. Lapute tak mau ibunya menyaksikannya berlaku malas. Ia kemudian menggelar alat tenunnya. Bersiap menyelesaikan sehelai kain yang cukup untuk dijadikan dua lembar sarung buat ibu bapaknya. Ia telah berjanji kepada mereka akan menyelesaikan tenunan itu. Janji sekaligus alasan yang membebaskannya dari keharusan bekerja disawah seperti teman-teman gadisnya yang lain. Pekerjaan sawah membuat kulit mereka gosong. Kuku-kuku berubah hitam dan rambut kering berantakan. Lapute secara teliti mengukur waktu kerjanya, agar tenunannya selesai bersamaan dengan berakhirnya musim tanam. Dengan begitu tak ada alasan kedua orangtuanya untuk memaksa ia membantu mereka disawah. Selain cantik, Lapute rupanya juga seorang gadis yang cerdik. Rutinitas Lapute itu tak berubah. Berlansung hari demi hari dimusim tanam itu. Sama seperti hari ini. Matahari bersinar garang. Membuat hawa didalam rumah berubah gerah. Lapute pun memindahkan alat tenunnya keteras rumah. Dimana angin bertiup semilir menyejukkan.

Hawa sejuk pelan-pelan mengusap wajahnya. Kepala Lapute terantuk-antuk menahan kantuk. Tak sadar ia tertidur. Didalam tidurnya tanpa sengaja ia menendang jatuh alat tenunnya ketanah Lapute terbangun dari tidurnya mendengar suara alat tenunnya menimpa tanah. Aiiiiiihhhhh keluhnya dalam hati. Rasa kantuk yang tersisa menahan niatnya untuk turun ketanah mengambil alat tenunnya kembali. Dengan tetap berbaring seperti semula, Lapute memilih untuk berteriak meminta bantuan orang lain. Siapa tahu ada orang lewat yang mendengarnya. Oeeeeeeee !!! tolong ambilkan alat tenunku dibawah rumah ! teriak Lapute Lapute mengulang sampai tiga kali teriakannya. Hatinya kesal karena tak sebatang hidung pun terlihat datang untuk memenuhi permintaannya. Dengan nada main-main ia pun mengulang teriakannya. Kali ini ia mencoba menawarkan hadiah kepada orang yang bisa menolongnya. Ia sendiri tak serius dengan janjinya itu. Namun apa salahnya dicoba ? Siapa tahu berhasil ? Demikian pikir Lapute. Oeeeeee ! yang menolongku mengambil alat tenun dibawah rumah akan kuberi hadiah ! teriak Lapute. Tanpa pikir panjang akan akibat perkataannya, ia melanjutkan sambil tersenyum jahil yang menolongku akan kujadikan suamiku Terdengar bunyi langkah kaki dari bawah kolong rumah. Lalu suara-suara yang mengangkat perangkat alat tenun. Derik anak tangga berbunyi satu persatu saat penolong itu melangkah naik keatas rumah. Alangkah terkejutnya Lapute melihat sosok yang menolongnya membawa alat tenun keatas rumah. Muka lapute pias. Pucat serupa mayat. Sosok penolong itu setinggi diri lapute. Sekujur badannya ditumbuhi bulu-bulu berwarna coklat kemerahan. Panjang dan lebat. Tampak ekornya yang panjang menjuntai menyentuh lantai rumah. Mukanya bukan muka manusia. Mukanya, muka seekor kera. Sang penolong itu adalah seekor Kera besar yang menakutkan. Lapute sontak berdiri hendak melarikan diri. Namun urung begitu mendengar sosok kera besar itu menegurnya. Sungguh aneh. Kera itu mampu bercakap seperti manusia. Hei. Kamu mau kemana ? bukankah kamu sudah berjanji akan memberi hadiah bagi yang menolongmu membawa naik alat tenunmu ini ujar kera besar itu mengingatkan Lapute gugup. Perasaannya campur aduk. Takut, kecewa, heran. Tatatatatapi..kamu bububu..kan manusia ujar Lapute gugp sambiil mengancungkan telunjuknya kearah muka kera. Wajah kera berubah masam. Memang bukan. Tapi apakah kau ingat dengan ucapan mu tadi. Kamu tidak mengatakan akan menikah dengan manusia yang membawakan alat tenunmu. Tapi kamu mengatakan yang membawakan alat tenunku. Kamu jangan ingkar janji Lapute

Badan Lapute mengigil-gigil. Ia adalah kembang desa purba. Gadis tercantik diantara yang cantik. Tamat sudah hidupnya membayangkan dirinya bersuamikan seekor kera. Seekor kera tetaplah kera, walau bisa berbicara seperti manusia. Mengingat posisinya yang rumit itu, Lapute mencoba menyelamatkan masa depannya. Apa jadinya anak keturunannya kelak jika bapak mereka seekor kera. Lapute memberanikan diri untuk membantah perkataan kera besar itu. Sifat kepala batunya mencuat. Pendapat kera besar itu ditentangnya habis-habisan. Kamu pasti salah mendengar perkataanku tadi. Jelas-jelas akau mengatakan barang siapa manusia yang membawakan alat tenunku. Jadi kamu tidak termasuk didalamnya wahai kera jelek bantah Lapute. Tak lupa ia mengancung-ancungkan jari telunjuknya kearah muka kera besar itu untuk mempertegas ucapannya. Kamu berbohong lapute ! kera itu bersikeras dengan keyakinannya. Tidak ! kamu yang bohong. Kamu mencoba memanfaatkan situasi ini ! Dasar kera tidak tahu diri ! Lapute balik membantah dengan keras. Tetap dengan jari telunjuk yang terancung kemuka kera. Mereka berdua memegang pendapatnya masing-masing. Lapute tetap tak mau mengalah. Aku lebih baik menjadi batu daripada harus bersuamikan dirimu wahai kera jelek ! kata Lapute akhirnya. Tiba-tiba seperti lazimnya sebelum sebuah peristiwa luar biasa terjadi- petir menggelegar membelah angkasa. Kera besar itu berubah ke wujud aslinya. Rupanya ia seorang dewa yang menyamar menjadi seekor kera. Tubuhnya lalu terangkat, melayang tinggi ke udara. Sebelum menghilang, dewa itu mengeluarkan suara keras yang menggema. Hai Lapute ! karena kamu ingkar janji, maka kamu kukutuk menjadi batu seperti keinginanmu ! Dan sejak hari ini, barang siapa penduduk desa Purba yang mengancungkan telunjuknya kepada orang lain, maka orang yang ditunjuknya itu akan berubah menjadi batu ! Dalam sekejap, Lapute pun berubah menjadi batu. Matahari kembali keperaduan. Penduduk desa menghentikan pekerjaannya disawah dan kembali kerumah masing-masing. Sesampai diteras rumahnya, kedua orang tua Lapute terkejut tidak kepalang. Anak kesayangan mereka ditemukan dalam bentuk onggokan batu. Tangis mereka pecah. Lalu mereka terlibat dalam pertengkaran hebat. Saling menyalahkan satu sama lain sebagai penyebab kejadian mengerikan itu. Ini salahmu ! maki bapak Lapute pada istrinya. Coba seandainya kamu pulang cepat kerumah tadi sore Istrinya tak mau kalah. Balas memaki suaminya Tidak ! ini salahmu. Kamu yang melarangku untuk pulang cepat

Keduanya berbalas maki sembari saling mengacungkan telunjuknya kemuka satu sama lain. Serentak keduanya juga ikut berubah menjadi batu kena tulah kutukan dewa. Penduduk desa yang sempat mendengar tangis dan pertengkaran kedua orang tua Lapute datang berbondong-bondong menuju kerumah itu. mereka terpaku menyaksikan pemandangan tiga sosok anak beranak yang telah berubah menjadi batu. Penduduk desa ramai memperdebatkan kejadian aneh itu. Masing-masing bersikukuh dengan dugaannya. Pertengkaran sesama penduduk desa jadi tak terelakkan. Seperti kebiasaan mereka setiap kali bertengkar, tak lupa sambil mengacungkan telunjuk kemuka lawan debatnya. Dalam tempo singkat semuanya ikut kena kutukan dewa. Seisi desa berubah menjadi batu tanpa kecuali. Beberapa waktu kemudian desa tanpa penghuni itu terkena bencana tertimbun longsoran dari gunung Mampu. Tepat dibawah longsoran itu kemudian mengalir sungai bawah tanah berkelok-kelok melintasi tempat dimana desa itu (dulu) berada. Air sungai itu beratus tahun selanjutnya menyusut kering. Dan terowongan bekas alirannya berubah menjadi gua dengan banyak ornamen batu yang menyerupai arca manusia dalam beragam bentuk. Orang-orang di zaman modern ini menamainya Gua Mampu.

(Dongeng rakyat Sulawesi Selatan) Oleh Rusdianto

Makassar, awal Juni 2009