5
APAKAH PANCASILA MASIH RELEVAN? Oleh Agus Wahyudi Setiap tahun di saat datang peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni, banyak kalangan selalu bertanya “apakah Pancasila masih relevan?” Ini adalah pertanyaan yang tidak sederhana. Kalau setiap orang diminta menjawab dari sudut pandang dan pengalaman masing-masing, jawaban yang muncul mungkin akan sebanyak jumlah kepala orang. Tetapi saya akan menduga bentuk jawabannya hanya ada dua; Ya dan Tidak! Baiklah saya mulai dengan kemungkinan penjelasan kenapa Tidak. Kenapa Pancasila dianggap tidak relevan? Jangan salah! Ini tidak ada hubungannya dengan sikap anti-Pancasila. Benar, mungkin saja, sebagian orang Indonesia ada yang terang-terangan menolak Pancasila, tetapi orang-orang ini tidak mewakili pandangan mayoritas. Ada indikasi untuk percaya bahwa banyak orang Indonesia tidak memiliki pandangan negatif terhadap Pancasila. Sebagian sebabnya tentu saja karena fakta bahwa Pancasila sudah menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Lebih dari itu, Pancasila juga membuat Indonesia ada, dan besar kemungkinan dapat membantu bangsa yang majemuk ini tetap bertahan dan berkembang sampai waktu yang lama. Pengetahuan sejarah dapat menyadarkan generasi sekarang tentang besarnya jasa para pendiri negara, terutama Bung Karno, yang telah mewariskan gagasan tentang Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi apa makna yang lebih dalam dari sejarah Pancasila? Masih menjadi pertanyaan menarik, kenapa pidato Pancasila Sukarno 1 Juni 1945 dan bukan alternatif lain yang waktu itu juga ditawarkan dalam sidang BPUPK yang akhirnya diterima dan bahkan mendapat sambutan tepuk tangan sangat meriah dari para anggota sidang? Pada hemat saya itu terjadi bukan terutama karena lima sila dari Pancasila, yang memang menarik, atau karena ketrampilan berpidato Bung Karno, yang diakui sangat memukau. Sebab, jangan lupa, Bung Karno tidak hanya berbicara Pancasila dalam pengertian sebagai lima sila. Dia juga menawarkan kepada para anggota sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1945 bahwa kelima sila bisa diperas menjadi tiga sila, yang disebutnya sebagai trisila, dan bahkan, menurut Bung Karno, jika masih dipandang terlalu banyak, trisila itu juga bisa diperas menjadi satu

APAKAH PANCASILA MASIH RELEVAN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: APAKAH PANCASILA MASIH RELEVAN

APAKAH PANCASILA MASIH RELEVAN?

Oleh

Agus Wahyudi

Setiap tahun di saat datang peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni, banyak kalangan

selalu bertanya “apakah Pancasila masih relevan?” Ini adalah pertanyaan yang tidak

sederhana. Kalau setiap orang diminta menjawab dari sudut pandang dan pengalaman

masing-masing, jawaban yang muncul mungkin akan sebanyak jumlah kepala orang.

Tetapi saya akan menduga bentuk jawabannya hanya ada dua; Ya dan Tidak! Baiklah

saya mulai dengan kemungkinan penjelasan kenapa Tidak.

Kenapa Pancasila dianggap tidak relevan? Jangan salah! Ini tidak ada hubungannya

dengan sikap anti-Pancasila. Benar, mungkin saja, sebagian orang Indonesia ada yang

terang-terangan menolak Pancasila, tetapi orang-orang ini tidak mewakili pandangan

mayoritas. Ada indikasi untuk percaya bahwa banyak orang Indonesia tidak memiliki

pandangan negatif terhadap Pancasila. Sebagian sebabnya tentu saja karena fakta

bahwa Pancasila sudah menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Lebih dari itu, Pancasila

juga membuat Indonesia ada, dan besar kemungkinan dapat membantu bangsa yang

majemuk ini tetap bertahan dan berkembang sampai waktu yang lama. Pengetahuan

sejarah dapat menyadarkan generasi sekarang tentang besarnya jasa para pendiri

negara, terutama Bung Karno, yang telah mewariskan gagasan tentang Pancasila

sebagai dasar negara.

Tetapi apa makna yang lebih dalam dari sejarah Pancasila? Masih menjadi pertanyaan

menarik, kenapa pidato Pancasila Sukarno 1 Juni 1945 dan bukan alternatif lain yang

waktu itu juga ditawarkan dalam sidang BPUPK yang akhirnya diterima dan bahkan

mendapat sambutan tepuk tangan sangat meriah dari para anggota sidang? Pada

hemat saya itu terjadi bukan terutama karena lima sila dari Pancasila, yang memang

menarik, atau karena ketrampilan berpidato Bung Karno, yang diakui sangat memukau.

Sebab, jangan lupa, Bung Karno tidak hanya berbicara Pancasila dalam pengertian

sebagai lima sila. Dia juga menawarkan kepada para anggota sidang Badan Penyelidik

Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1945 bahwa kelima sila bisa

diperas menjadi tiga sila, yang disebutnya sebagai trisila, dan bahkan, menurut Bung

Karno, jika masih dipandang terlalu banyak, trisila itu juga bisa diperas menjadi satu

Page 2: APAKAH PANCASILA MASIH RELEVAN

saja, yaitu eka sila, berupa Gotong Royong. Karena itu, penjelasan paling masuk akal

dari pertanyaan mengapa usulan Pancasila Bung Karno yang akhirnya diterima adalah

karena waktu itu Bung Karno mempraktekkan dengan sempurna apa yang dalam istilah

filsafat politik kontemporer disebut sebagai nalar-publik (public reason).

Praktek nalar publik selalu mengandung sedikitnya tiga pengertian (bandingkan Rawls,

2002). Pertama, ada kriteria kesetaraan dan kebebasan yang sama, artinya pelakunya

menyadari bahwa dirinya adalah anggota dari warga negara yang bebas (free) dan

setara (equal), dan menganggap orang lain juga bebas dan setara. Kedua, ada kriteria

resiprositas, artinya ketika si pelaku mengajukan usulan kepada pihak lain dalam rangka

menentukan persyaratan untuk kerjasama (yang dalam konteks sejarah BPUPK adalah

kerjasama dalam membentuk sebuah negara merdeka yang baru) yang pertama-tama

dipertimbangkan adalah bahwa usulannya akan masuk akal di mata orang lain, yang

juga merupakan warga negara yang bebas dan setara, sehingga mereka menerima

kesepakatan bukan karena dominasi atau manipulasi, atau karena tekanan paksa akibat

posisi sosial dan politik yang lebih rendah (inferior). Dan ketiga, ada kriteria kebaikan

bersama, artinya pokok masalah (subject) yang dibicarakan dalam usulan kerjasama itu

adalah tentang kebaikan bersama (public good) atau keadilan politik fundamental, yang

mempermasalahkan dua hal, yaitu inti penting konstitusi (constitutional essentials) dan

masalah keadilan dasar.

Sejarah lahirnya Pancasila adalah contoh sempurna dari penerapan nalar publik itu.

Sebab berbeda dengan proposal lain yang juga diusulkan dalam sidang BPUPK pada

1945, Pancasila Soekarno merupakan sintesis dari berbagai pengaruh pemikiran yang

disajikan sedemikian rupa, tetapi bukannya dengan menafikan, usulannya dirumuskan

dalam pengertian yang menjunjung tinggi pengertian kebebasan dan kesetaraan,

resiprositas, dan kebaikan bersama. Inilah rahasianya mengapa Pancasila Sukarno

yang akhirnya diterima dengan suara bulat, meskipun dalam konstitusi rumusan itu

kemudian mengalami perubahan urutan dan modifikasi.

Kini, kembali pada pertanyaan awal kita, mengapa ada anggapan bahwa Pancasila tidak

relevan, jawabannya bisa dijelaskan dengan kalimat negatif, yaitu karena makna

Pancasila yang paling mendasar dan sangat penting sebagai nalar publik sudah

semakin sulit dikenali. Orang melihat banyak ajaran yang baik dan luhur dari Pancasila

tetapi semua itu tidak ada hubungannya dengan realitas hidup mereka sehari-hari.

Page 3: APAKAH PANCASILA MASIH RELEVAN

Di masa pemerintah Orde Baru, yang berkuasa hampir selama 32 tahun, telah dilakukan

usaha untuk menempa identitas ideologis yang secara historis otentik sekaligus berbeda

dengan identitas ideologis regim Sukarno, yaitu dengan cara mengklaim kembali dan

membentuk ulang Pancasila. Namun, negara Pancasila yang dikembangkan oleh regim

Orde Baru lebih bertitik tolak dari ajaran Integralisme atau Organisisme yang

sesungguhnya berasal dari usulan Supomo pada sidang BPUPK tahun 1945, dan bukan

dikembangkan berdasarkan Pancasila sesuai dengan makna awalnya, yaitu sebagai

nalar publik.

Sementara nalar publik pada dasarnya sejalan dengan demokrasi konstitusional dengan

kriteria berupa persamaan dan kesetaraan, resiprositas, dan orientasi pada kebaikan

bersama, ajaran integralism memiliki konsepsi tentang negara yang hampir bertolak

belakang dengan konsepsi yang dikenal dalam pengertian demokrasi konstitusional.

Kita tahu, dalam perdebatan pembentukan negara, baik BPUPK maupun PPKI, telah

terjadi pertarungan antara berbagai pengaruh pemikiran ini. Integralisme mengajarkan

konsepsi tentang negara yang menolak pemisahan negara dan masyarakat sipil, dan

juga menolak doktrin politik modern seperti pemisahan kekuasaan (separation of power)

dan pengawasan dan keseimbangan (check and balances) dalam kekuasaan. Implikasi

dari Pancasila yang dipahami dalam pengertian integralisme sangat jelas. Doktrin Orde

Baru mengatakan bahwa demokrasi Pancasila tidak mengenal oposisi, sebab

sebagaimana keyakinan integralisme, pemerintah pada dasarnya akan selalu baik hati,

dan tidak pernah menyengsarakan rakyatnya. Tidak boleh ada pandangan yang

membedakan antara pemerintah dan rakyat, dan karena itu sistem politik harus

dikembangkan sedemikian rupa untuk memastikan masyarakat sipil di bawah kontrol

negara.

Pancasila sebagai nalar publik lebih dekat dengan demokrasi konstitusional, ketimbang

dengan ajaran organisisme atau integralisme. Pandangan dasar tentang negara dalam

demokrasi konstitusional adalah bahwa kekuasaan di manapun bisa bersalah guna.

Para pendukung demokrasi konstitusional meyakini bahwa kekuasaan cenderung korup,

dan kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut pula. Maka tentu saja sangat

berbahaya jika satu orang diberi kekuasaan sekaligus untuk membuat hukum,

melaksanakan hukum, dan mengadili pelaksanaan hukum. Orang semacam ini memiliki

kekuasaan absolut, dan dia nyaris menjalankan fungsi seperti yang dijalankan Tuhan

Page 4: APAKAH PANCASILA MASIH RELEVAN

atau Dewa. Padahal manusia bukan Tuhan atau Dewa, dan juga bukan malaikat yang

selalu baik, patuh pada perintah Tuhan dan tidak pernah lupa. Karena itu demokrasi

konstitusional menyarankan bahwa dalam merancang sebuah pemerintahan yang diatur

oleh manusia terhadap manusia, kesulitan terbesar akan terletak dalam dua hal,

pertama, bagaimana memberikan kemungkinan pemerintah mengontrol yang diperintah,

dan kedua, bagaimana menentukan kewajiban pemerintah untuk mengontrol dirinya

sendiri. Ketika praktek bernegara, dalam negara yang mengakui berdasarkan

Pancasila, tidak banyak memperhatikan persyaratan untuk membatasi kekuasaan

pemerintah agar bisa mengontrol dirinya sendiri, maka hal ini pasti menimbulkan

skeptisisme dan bahkan sinisme yang meluas tentang relevansi Pancasila untuk

mengatur kehidupan bersama.

Tetapi, persoalan politik akhirnya juga berhubungan dengan masalah ekonomi. Di masa

Orde Baru diajarkan secara luas baik dalam penataran P4 maupun dalam buku-buku

pelajaran di sekolah bahwa bahwa ekonomi Pancasila adalah khas, Indonesia menolak

sistem ekonomi komando, yang menentukan bahwa negara mengontrol baik produksi

maupun distribusi, tetapi Indonesia juga menolak ekonomi pasar bebas yang pada

intinya menyerahkan semua transaksi ekonomi pada pihak swasta dan negara hanya

menjadi semacam wasit. Di telinga, ini terdengar seperti rumusan yang ideal. Dalam

praktek, situasinya sangat berbeda. Bukan pada tempatnya di sini untuk menjelaskan

secara panjang lebar kenapa ada perbedaan antara yang ideal dan kenyataan yang

dihadapi. Poin yang ingin saya katakan adalah bahwa anggapan tentang Pancasila yang

tidak relevan kemungkinan juga terkait dengan ketidakjelasan pemahaman banyak

pemimpin kita menyangkut hubungan antara Pancasila dengan masalah ekonomi.

Dalam praktek, tidak ada negara yang murni menganut ekonomi pasar bebas, atau

murni menganut sistem ekonomi komando. Kecenderungan globalisasi dan

interdependensi dunia dewasa ini juga memperlihatkan beragam aktor dan kekuatan

saling berinteraksi dengan cara yang sangat cepat dan tak dapat dikendalikan.

Pancasila, dan juga banyak masyarakat di seluruh dunia sama-sama mendambakan

tatanan kehidupan yang lebih adil dan bermartabat. Cara kita menterjemahkan keadilan

dan martabat dalam kehidupan kongkrit politik dan ekonomi menentukan seperti apa

bentuk negara Pancasila yang kita bayangkan.

Karena itu salah satu masalah yang terkait dengan pertanyaan tentang apakah

Page 5: APAKAH PANCASILA MASIH RELEVAN

Pancasila masih relevan, juga terletak pada kemampuan kita menafsirkan kembali arti

Pancasila dan terutama menterjemahkan dengan lebih baik hubungan antara negara

dan masyarakat sipil atau rakyatnya. Di bawah Orde Baru, Pancasila diyakini sebagai

sistem ideologi dan sistem nilai yang komprehensif, lengkap dan menyeluruh, mengatur

bukan hanya kehidupan publik dan politik, tetapi juga kehidupan privat. Akibatnya,

Pancasila juga dikembangkan dalam bentuk usaha menjabarkan nilai-nilai yang terdapat

dalam masing-masing sila Pancasila (dengan cara mencongkel-congkelnya, menurut

Almarhum Profesor Umar Kayam), seperti yang pernah kita temui dalam butir-butir P4.

Nilai-nilai inilah yang kemudian dicoba disosialisasikan ke masyarakat oleh negara. Ke

depan, pemahaman tentang moral Pancasila semacam ini perlu dikaji ulang, mengingat

kenyataan bahwa negara sering tidak mampu, dan kalaupun mampu biasanya menuntut

harga dan resiko mahal yang harus dibayar ketika mencoba menentukan berbagai

kebenaran metafisik (misalnya apakah dibalik realitas ini sesungguhnya roh atau

materi), yang sesungguhnya lebih baik diserahkan pada pilihan privat dan menjadi hak

warga negara untuk menentukannya sendiri secara bebas.

Kembali pada pertanyaan tentang apakah Pancasila masih relevan, karena itu orang

juga bisa dengan sangat optimis memberikan jawaban Ya, karena kita memang harus

menyelesaikan berbagai masalah mendasar politik, ekonomi dan moral yang sedang

kita hadapi dengan cara yang lebih cerdas, namun pendekatannya bukan dengan

mengulang Pancasila seperti yang pernah dikembangkan oleh regim Orde Baru, karena

visi politik, ekonomi, dan moral Orde Baru nampaknya tidak memadai untuk menjawab

relevansi Pancasila untuk masa kini. Jadi, kemungkinan cara yang dapat dilakukan

adalah dengan mengembangkan Pancasila sebagai nalar-publik yang merupakan

makna penting dan mendasar dari sejarah lahirnya Pancasila yang sudah lama

terlupakan.