Upload
alivia-salma
View
46
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
ARTIKEL PARASITOLOGI
TREMATODA DARAH ( SCHISTOSOMA JAPONICUM )
Tujuan :
Disusun untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Parasitologi
Dosen Pengampu
drh. Dyah Mahendrasari Sukendra
Oleh:
Vitria Handayani ( 6411414143 )
Nadhila Azmi A ( 6411414148 )
Nur Siti Desy R ( 6411414153 )
Moh. Aditiyo Nugroho ( 6411414159 )
Alivia Salma L ( 6411414164 )
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
SCHISTOSOMA JAPONICUM
Schistosoma japonicum merupakan spesies dari trematoda darah. Penyakit yang disebabkan
oleh cacing Schistosoma japonicum biasa disebut schistosomiasis. Hospes definitifnya dapat
berupa manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing, kucing, rusa, tikus sawah, sapi,
babi rusa, dan lain-lain. Sedangkan hospes perantaranya ialah Oncomelania huspensis atau
keong air.
Parasit ini pada manusia menyebabkan oriental schistosomiasis, schistosomiasis japonica,
penyakit katayama atau penyakit demam keong. Di Indonesia hanya ditemukan endemik di
Sulawesi Tengah, yaitu di daerah Danau Lindu dan Lembah Napu. Di daerah Danau Lindu
penyakit ini ditemukan pada tahun 1937 dan di Lembah Napu pada tahun 1972. Penyakit ini
berhubungan erat dengan pertanian yang mendapat air dari irigasi.
Morfologi
Ukuran telur cacing berkisar anatar 70 – 80 µm. Bentuk telur dari Schistosoma japonicum ini
berbentuk oval yang hamper bulat. Berwarna transparan atau kuning pucat, dan berisi embrio
di dalamnya. Telur ditemukan di dinding usus halus dan juga di alat-alat dalam seperti hati,
paru, dan otak. Sedangkan untuk cacing dewasa, pada cacing jantan berukuran kira-kira 12 –
20 mm dan yang betina panjangnya kira-kira 26 mm.
Daur Hidup
Cacing dewasa hidup dalam venula yang mengalir ke usus halus dalam perut hospes definitif.
Cacing betina menempel pada bagian gynecophore dari cacing jantan dimana mereka
berkopulasi. Cacing betina meninggalkan tempat tersebut untuk mengeluarkan telur di venula
yang lebih kecil. Telur keluar dari venula menuju lumen usus atau kantong kencing. Telur
keluar dari tubuh hospes melalui feses atau urine dan membentuk embrio. Telur menetas dan
keluar mirasidium yang bersilia dan berenang dalam air serta bersifat fototrofik yang
kemudian menemukan hospes perantaranya berupa keong air. Setelah masuk kedalam siput,
mirasidium melepaskan kulitnya dan membentuk sporokista, biasanya di dekat pintu masuk
dalam siput tersebut. Setelah dua minggu sporokista mempunyai 4 Protonepridia yang akan
mengeluarkan anak sporokista dan anak tersbut bergerak ke organ lain dari siput. Sporokista
memproduksi anak lagi dan begitu seterusnya sampai 6 - 7 minggu.
Serkaria keluar dari anak sporokista kemudian keluar dari tubuh siput dalam waktu 4 minggu
sejak masuknya mirasidium dalam tubuh siput. Serkaria berenang ke permukaan air dan
dengan perlahan tenggelam ke dasar air. Bila serkaria kontak dengan kulit hospes definitif,
kemudian mencari lokasi penetrasi dari tubuh orang tersebut, kemudian menembus ke dalam
epidermis dan menanggalkan ekornya sehingga bentuknya menjadi lebih kecil disebut
“Schistosomula” yang masuk kedalam peredaran darah dan terbawa ke jantung kanan.
Sebagian lain schistosomula bermigrasi mengikuti sistem peredaran cairan limfe ke duktus
thoracalis dan terbawa ke jantung. Schistosomula ini biasanya berada dalam jantung sebelah
kanan.
Cacing muda tersebut kemudian meninggalkan jantung kanan melalui kapiler pulmonaris dan
kemudian menuju jantung sebelah kiri, kemudian mengikuti sistem sirkulasi darah sistemik.
Hanya schistosomula yang masuk arteri mesenterika dan sistem hepatoportal yang dapat
berkembang. Setelah sekitar tiga minggu dalam sinusoid hati, cacing muda bermigrasi ke
dinding usus atau ke kantong kencing, kemudian berkopulasi dan memulai memproduksi
telur.
Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada stadium I adalah
gatal-gatal (urtikaria). Gejala intoksikasi disertasi demam, hepatomegali, dan eosinofilia
tinggi.
Pada stadium II ditemukan pula sindrom disentri. Pada stadium III atau stadium menahun
ditemukan sirosis hati dan splenomegali, biasanya penderita menjadi lemah (emasiasi).
Mungkin terdapat gejala saraf, gejala paru, dan lain-lain.
Pengobatan secara spesifik dapat dengan memberikan obat jenis praziquantel ( biltricide® )
kepada penderita.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau dalam jaringan biopsi
seperti biopsi rectum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis.
Rekasi serologi yang biasa dipakai adalah Circumoval precipitin test, Indirect
haemagglutination test, Complement fixatin test, Fluorescent antibody test, dan Enzyme
linked immune sorbent assay.
Untuk pemeriksaan sampel tinja dapat dilakukan dengan menggunakan metode sentrifugasi
formalin-eter sesuai dengan standar dari WHO yaitu :
1. Membuat suspensi tinja dengan melarutkan tinja seberat 0,5 gram ke dalam 10 ml formalin
10% dan biarkan selama 30 menit.
2. Suspensi tinja disaring melalui kawat kasa dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi.
3. Menambahkan 3 ml eter lalu larutan disentrifugasi selama 2 menit dengan kecepatan 1500
rpm. Harus dihasilkan 4 lapisan ; lapisan 1 adalah endapan didasar tabung; lapisan 2 adalah
lapisan formalin; lapisan 3 adalah kotoran tinja dan lapisan teratas adalah eter.
4. Dengan pengaduk, lapisan kotoran diaduk dan seluruh cairan dibuang dengan hati-hati.
Satu atau dua tetes cairan yang tertinggal di tepi tabung akan turun ke endapan dibagian
bawah. Campur cairan tersebut dengan endapan.
5. Pemeriksaan telur Schistosoma japonicum dengan meneteskan endapan sampel tinja yang
telah disentrifugasi dengan menggunakan pipet tetes ke permukaan kaca objek, selanjutnya
ditutup dengan kaca penutup.
6. Ditetesi lugol kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10.
Pemeriksaan dilakukan sebanyak tiga kali untuk setiap sampel tinja.
Sedangkan infeksi schistosomiasis pada hewan dilakukan dengan melihat telur cacing
trematoda dengan cara filtrasi. Tinja hewan seberat 3 gram dicampur dengan air,
dihomogenkan dan disaring dengan saringan yang berukuran 1 mm. Hasil saringan tersebut
disaring lagi secara bertingkat dengan saringan berukuran 4 µ, 100 µ, dan 45 µ. Filtrat
terakhir dituangkan ke dalam cawan petri dan adanya telur cacing trematoda diamati dan
dihitung jumlahnya .
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Parasitologi. 2009. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Sumarni, Sri, dkk. Penularan Schistosomiasis di Desa Dodolo dan Mekarsari Dataran Tinggi
Napu Sulawesi Tengah. Media Litbang Kesehatan Vol XX No 3 Tahun 2010
Tiuria, risa, dkk. Kecacingan Trematoda pada Badak Jawa dan Banteng Jawa di Taman
Nasional Ujung Kulon. Jurnal Venteriner Juni 2008 Vol 9 No 2: 94 - 98
Nurwidayati, Anis, dkk. Analisis Gen Penyandi Schistosoma japonicum Gluthation s
Transferase (SJ26GST) di Dataran Tinggi Lindu, Sulawesi Tengah Indonesia. Buletin
Penelitian Kesehatan Vol 42 No 4 Desember 2014: 231 - 236
Anastasia, Hayani, dkk. Kontribusi Hewan Mamalia Sapi, Kerbau, Kuda, Babi dan Anjing
dalam Penularan Schistosomiasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi Propinsi Sulawesi
Tengah Tahun 2013. Media Litbangkes Vol 24 No 4 Desember 2014: 209 – 214
Vrisca, Visia, dkk. Gambaran Penyakit Schistosomiasis japonicum Ditinjau dari Jarak Antara
Rumah Anak yang Terinfeksi dengan Danau Lindu. Kandidat Skripsi FK & Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Universitas Sam Ratulangi Manado