Upload
anissa-cindy
View
1.798
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
1
ESSAY
EXERCISE PADA PASIEN INFARK MIOKARD ELEVASI SEGMEN ST (STEMI)
Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015
PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
Exercise Test….. Anissa Cindy (Magister Keperawatan FK UB, 2013)
2
A. Latar Belakang
Penyakit kardiovaskuler dewasa ini menjadi masalah global khususnya
sebagai penyebab kematian terbesar di dunia. World Health Asociation (WHO)
pada tahun 2008 menyebutkan 7,2 juta (12,2%) kematian di seluruh dunia
disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Setiap tahun di Amerika Serikat kira-
kira 478.000 orang meninggal dunia karena serangan jantung, 1,5 juta orang
mendapat serangan jantung (Zohreh, Alireza, Seyed, and Masoumeh, 2009). Di
Indonesia sendiri menurut survey rumah tangga Depkes RI tahun 2008 angka
kematian mencapai 25% akibat serangan jantung. Sementara itu pada tahun
2008 terdapat 2446 kasus, tahun 2009 terdapat 3862 kasus, dan pada tahun
2010 terdapat 2529 kasus yang didiagnosa Acute Coronary Syndrome (ACS) di
UGD (Unit Gawat Darurat) Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional
Harapan Kita Jakarta (Priyanto, 2011).
Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah yang umum digunakan
untuk menggambarkan spektrum klinis yang disebabkan adanya pengurangan
pasokan oksigen secara tiba-tiba yang dipicu oleh adanya robekan (rupture) plak
aterosklerosis. Kondisi ini berkaitan dengan adanya proses inflamasi, thrombosis,
vasokontriksi dan mikroembolisme. Salah satu spektrum klinis ACS adalah infark
miokard elevasi segmen ST (STEMI). STEMI umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak
aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono,
Indriwanto, Hananto et al, 2009).
Dewasa ini untuk menegakkan diagnosa pasien ACS, dapat menggunakan
exercise test. Exercise juga telah diadopsi dan divalidasi sebagai stratifikasi risiko
diagnostik pasien dengan ACS. Selain itu, exercise juga memiliki dampak yang
signifikan terhadap rehabilitasi pasien pos miokard infark (STEMI). Untuk dapat
meningkatkan dan mengoptimalkan kondisi fisik dan kesehatan mental pasien
STEMI post serangan, dapat dirancang sebuah program exercise bagi pasien
(Borjesson and Dellborg, 2005).
Exercise mampu meningkatkan kapasitas fungsional dan mengurangi gejala
klinis pada pasien jantung koroner. Exercise juga memberikan keuntungan
memfasilitasi pasien membiasakan diri pada aktifitas fisik harian pada tingkat
yang aman yang akan berlanjut ketika pasien di rumah nantinya. Bahkan,
kapasitas latihan yang diberikan secara tepat baik pre-discharge dan post-
discharge yang disesuaikan dengan kondisi pasien dapat menjadi media
Exercise Test….. Anissa Cindy (Magister Keperawatan FK UB, 2013)
3
olahraga atau latihan terbaik menurunkan kematian pasien pos serangan
miokard infark (Borjesson and Dellborg, 2005).
Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh tim dalam
memberikan exercise pada pasien pos STEMI yang cenderung memiliki
prognosis yang buruk diantara spektrum klinis ACS lainnya. Melihat kondisi
tersebut, penulis tertarik untuk mengambil tema exercise pada STEMI sebagai
bahan kajian.
B. Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan essay ini adalah memberikan
informasi terkait analisis exercise pada pasien STEMI. Selain itu, memberikan
informasi terkait keuntungan dilakukannya exercise pada pasien STEMI.
C. Analisis Literatur
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya.
Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak
memicu STEMI karena berkembangnya kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi
jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vascular,
dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan
akumulasi lipid (CPG Secretariat, 2007).
Pasien dengan STEMI umumnya ditemukan gelisah, seringkali ekstremitas
pucat dan disertai keringat dingin. Hal itu dikombinasi dengan keluhan nyeri dada
khas lebih dari 20 menit, dan tidak hilang dengan istirahat dan pemberian nitrat.
Hasil rekaman EKG ditemukan ST segmen elevasi > 1 mm di dua atau lebih lead
yang berhubungan (contigeous lead). Pada pemeriksaan laboratorium petanda
jantung, didapatkan CKMB, Troponin T yang meningkat. Ketiga tanda tersebut
merupakan manifestasi klinis utama dalam penegakan diagnosa pasien dengan
STEMI (Ed: Irmalita et al, 2009).
Tabel 1: TIMI RISK SCORE STEMI (Daga, Kaul, and Mansoor, 2011):
Faktor Risiko PointUsia 65-74 tahun 2Usia ≥ 75 tahun 3Diabetes/hipertensi/angina 1Tekanan darah sistol < 100 mmHg 3HR > 100 x/menit 2
Exercise Test….. Anissa Cindy (Magister Keperawatan FK UB, 2013)
4
Killip II – IV 2BB < 67 kg 1ST Elevasi di anterior atau LBBB 1Onset > 24 jam 1
TOTAL SCORE 14 Keterangan Risiko:
< 7 : Risiko rendah
7.10 : Risiko sedang
>10 : Risiko tinggi
Exercise test dewasa ini telah menjadi standar dalam medical practice yang
diberikan kepada pasien enam minggu segera setelah mengalami serangan
infark miokard akut. Exercaise training mungkin dapat memberikan keuntungan
pada perfusi miokard dengan adanya adaptasi vascular coronary. Latihan ini
harus dirancang sesuai dengan kondisi masing-masing individu agar dapat
mencapai kondisi fisik dan kesehatan mental yang optimal pada pasien pos
serangan infark. Namun harus diwaspadai, selama latihan pasien akan memiliki
risiko tinggi terhadap komplikasi kardiovaskuler sehingga dibutuhkan latihan yang
sesuai dengan standar. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan risiko yang
akan muncul (American college of sports medicine, 1994).
Exercise mampu meningkatkan kapasitas fungsional paru. Pasien dengan
penyakit arteri koroner umumnya menunjukkan penurunan konsumsi oksigen
maksimal atau peningkatan oksigen yang diserap dan memiliki toleransi terhadap
exercise. Besarnya penurunan bervariasi tergantung tingkat keparahan penyakit
dan juga penyakit koroner yang ditoleransi oleh pasien (American college of
sports medicine, 1994).
Menurut ACC/AHA (2002) terdapat kontraindikasi untuk dilakukannya
exercise testing yaitu kontraindikasi absolute dan relative. Kontraindikasi
absolute yaitu akut miokard infark, angina tidak stabil/ N-STEMI yang berisiko
tinggi, aritmia jantung yang tidak terkontrol dengan atau tanpa gejala
hemodinamik, stenosis aorta severe, gejala gagal jantung tidak terkontrol, emboli
pulmonal akut, miokarditis akut atau perikarditis, dan disektion akut aorta.
Kontraindikasi relative terhadap latihan adalah left main stenosi koroner, penyakit
jantung stenosis valvular moderate, abnormalitas elektrolit, hipertensi arterial,
takiaritmia dan bradiaritmia, cardiomiopati hipertropik, dan AV blok High-degree
(Gibbons, 2002).
Penelitian yang dilakukan pada hewan yang di induce aterosklerosis
menunjukkan bahwa exercise mampu meningkatkan diameter koroner.
Exercise Test….. Anissa Cindy (Magister Keperawatan FK UB, 2013)
5
Selanjutnya, beberapa latihan menunjukkan peningkatan dalam tekanan awal
munculnya iskemik dan depresi segmen ST sehingga aliran koroner dapat
meningkat (Borjesson and Dellborg, 2005).
Selama fase latihan, harus dipantau kondisi pasien, gejala klinis yang
muncul, dan hasil rekaman EKG pasien. Berdasarkan gejala yang ditimbulkan
dapat dijumpai indikasi absolute dan relative untuk memasukkan pasien ke
dalam tahap terminasi. Indikasi absolute antaralain: penurunan tekanan darah >
1mm Hg, angina severe moderate, peningkatan gejala sistem nervus (contoh:
ataksia, kelelahan, sinkop mendadak), tanda penurunan perfusi seperti sianosis,
pasien meminta berhenti, ventrikel takikardi, ST elevasi ≥ 1 mm pada lead
diagnostic Q-waves. Indikasi relative antaralain: pennurunan tekanan darah ≥ 10
mmHg, ST depresi > 2 mm, fatigue, nafas dangkal, wheezing, kram kaki,
perkembangan LBBB, meningkatnya nyeri dada (Gibbons, 2002).
Exercise test yang diberikan setelah infark miokard digolongkan kedalam
kelas I, IIa, IIb, dan III. Kelas I: sebelum diputuskan untuk pengkajian prognostic,
aktifitas yang direncanakan, evaluasi dalam terapi medis (submaksimal pada 4
hingga 6 hari), secepatnya setelah diputuskan nilai prognostik aktifitas tetapi
tidak dilakukan exercise test (dengan gejala minimal yang muncul 14-21 hari),
terakhir setelah diputuskan untuk pengkajian prognostic, aktifitas yang
direncanakan, evaluasi dalam terapi medis dan uji latih jantung awal
submaksimal dengan gejala terbatas sekitar 3-6 minggu. Kelas IIa diberikan pada
pasien setelah diputuskan untuk kegiatan konseling dan latihan sebagai bagian
dari rehabilitasi jantungyang telah menjalani revaskularisasi koroner. Golongan
kelas IIb adalah pasien dengan kelainan EKG: LBBB, sindrom pra eksitasi, LVH,
pasien dengan terapi digoxin, ST depresi > 1 mm dan pasien dengn pemantauan
berkala yang telah mengikuti latihan atau rehabilitasi jntung. Golongan kelas III
adalah pasien dnegan kateterisasi jantung, dan komorbiditas yan gmembatasi
harapan hidup, terakhir pemantauan diberikan kepada pasien dengan miokard
akut disertai gagal jantung kongestif, aritmia jantung, atau noncardiac, sehingga
mambatasi pasien untuk berolahraga (Gibbons, 2002).
D. Pembahasan Penerapan
Dalam pelaksanaan latihan, standar latihan yang diberikan tidak dapat
dihomogenkan kepada seluruh pasien. Harus dipertimbangakn kondisi individu
masing-masing terkait status klinis pasien seperti: luasnya arteri koroner,
Exercise Test….. Anissa Cindy (Magister Keperawatan FK UB, 2013)
6
disfungsi ventrikel kiri, potensial terjadinya iskemia miokard dan adanya aritmia
jantung. Penyakit penyerta pasien juga harus dipertimbangkan seperti hipertensi,
penyakit pembuluh darah perifer, penyakit katub jantung, penyakit obstruksi
koronik, diabetes mellitus ataupun pasien post infark miokard akut yang baru saja
terjadi atau post operasi CABG (Coronary Artery Baypass Graft) (American
college of sports medicine, 1994).
Penelitian yang dilakukan oleh Brehm dkk (2009) bertujuan menentukan
keefektifan exercise untuk meningkatkan mobilisasi dan aktifitas fungsional
pasien AMI (STEMI). Peneltian dilakukan kepada 37 pasien dibagi kedalam dua
kelompok perlakukan dan kelompok kontrol. Perlakukan yang diberikan adalah
latihan dalam waktu 2 minggu setelah STEMI. Exercise training regular diberikan
selama 3 minggu dan kemudian dievaluasi. Evaluasi juga dilakukan 3 bulan
setelah exercise training (ET). Evaluasi dilakukan dnegan mencari nilai BNP
level, exercise echocardiography dan exercise spiroergometri.
Hasil yang didapat terdapat peningkatan kapasitas migrasi CPCs (Sirkulasi
Sel Progenitor) setelah exercise regular. Setelah ET, fraksi ejeksi ventrikel kiri
meningkat dan kardiorespirasi membaik ditunjukkan dengan peningkatan VO2
maksimal. Efek exercise bertahan hingga 3 bulan. Exercise training yang
diberikan pada pasien setelah STEMI dapat memperbaiki fungsi jantung pada
pasien yang baru saja di diagnosa AMI (Brehm, Picard, Ebner, Turan, Bolke,
Kostering, Schuller, Flerssner, Ilousis, Augusta, Peiper, Schannwell, and Strauer,
2009).
Exercise training teratur mampu memperbaiki perfusi miokard pada penyakit
koroner stabil. Jika latihan diberikan pasca STEMI sebagai rehabilitasi jantung
dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirassi. Dalam studi ini menunjukkan
peningkatan kapasitas latihan, fungsi jantung membaik. Exercise training dalam
waktu singkat yang diberikan segera setelah pasien stabil dari kondisi post
STEMI dapat memberikan efek menguntugkan pasien STEMI (Brehm dkk, 2009).
Exercise tes yang diberikan dapat menggunakan bycyle ergometer yang
diberikan pada pasien dengan posisi tegak. Dilakukan 1 kali sehari, lima kali
seminggu dan selama tiga minggu sehingga total 15 kali maksimal latihan yang
diberikan. Dimulai dengan beban awal 25 W meningkat bertahap 25 W. Hasil
rekaman elektrokardiogram dan tekanan darah dibaca tiap 2 menit. Latihan juga
dapat dilakukan dengan bycycle spiroergometre. Selama melakukan latihan,
setelah istirahat 5 menit, pasien diukur tekanan darah arteri brakialis, EKG 12
Exercise Test….. Anissa Cindy (Magister Keperawatan FK UB, 2013)
7
lead dicatat, denyut jantung istirahat dinilai. Beban awal 50 W dengan
peningkatan bertahap 25 W setiap 2 menit. Selama latihan diwaspadai gejala
miokard iskemia akibat angina pektoris yang khas atau ST depresi > 1mm.
Latihan akan diakhiri bila pasien mengalami nyeri dada progresif, kelelahan fisik
atau ketika ada ST depresi 3 mm (Brehm dkk, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Zhao (2012) kepada 239 pasien dengan
stratifiksai umur 40-49 tahun menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara
kebiasaan latihan yang umum dan VO2 maksimal segera setelah STEMI.
Dimana disarankan pada pasien segera setelah STEMI untuk dilakukan exercise
habit (kebiasaan untuk melakukan latihan).
Penelitian yang dilakukan Giallauria dkk (2012) menggunakan 50 pasien
dengan recent STEMI yang dibagi menjadi 2 kelompok control dan perlakuan
dengan latihan segera setelah STEMI hingga waktu 3 minggu setelah STEMI dan
di follow up 6 bulan setelah STEMI. Hasil menunjukkan bahwa enam bulan
setelah dilakukan latihan pada pasien segera setelah STEMI dapat menurunkan
stress yang diakibatkan iskemia dan meningkatkan pergerakan dan ketebalan
diinding ventrikel kiri. Hal ini berpengaruh pada peningkatan kapasitas fungsi
jantung.
Penelitian yang dilakukan oleh Giallauria dkk berikutnya pada tahun 2013
mengevaluasi kepada 46 pasien dengan dibagi kedalam dua grup yang diberikan
perlakuan dengan exercise training segera setelah STEMI dan yang hanya
diberikan informasi terkait perubahan gaya hidup. Latihan didasarakan pada
konsep rehabilitasi jantung segera setelah serangan STEMI hingga 1 minggu dan
di follow up enam bulan berikutnya. Hasil menunjukkan, exercise trining yang
diberikan segera setelah pasien mengalami serangan dapat menurunkan stress
yang diakibatkan oleh hipoperfusi jaringan. Selain itu juga dapat meningkatkan
kontraktilitas dan fungsi ventrikel kiri. Exercise menyebabkan perubahan pada
perfusi miokard dan dapat menyebabkan peningkatan kapasitas fungsional
jantung.
Sebelum memulai program latihan, diperlukan riwayat medis pasien secara
lengkap, pemeriksaan fisik dan exercise test terlebih dahulu untuk melihat
kemampuan maksimal yang dapat dilakukan oleh pasien. Evaluasi awal
diarahkan pada kestabilan kardiovaskuler dan kondisi ortopedi pasien. Evaluasi
dilanjutkan dengan kemunculan gejala-gejala klinis seperti disfungsi ventrikel kiri,
iskemia miokard, dan aritmia jantung. Sebelum memulai latihan, kondisi dan
Exercise Test….. Anissa Cindy (Magister Keperawatan FK UB, 2013)
8
kelainan yang terdeteksi dapat dilakukan treatmen terlebih dahulu hingga kondisi
pasien stabil dan siap untuk memulai latihan (Giallauria dkk, 2013).
Program latihan yang diberikan merupakan modifikasi program latihan yang
diberikan kepada orang sehat. Modifikasi disesuaikan dengan status
kardiovaskuler pasien termasuk mode, frekuensi, durasi, intensitas, dan
perkembangan latihan. Mode yang digunakan dapat seperti jogging dengan
tredmill test, bersepeda dengan ergometers cycle, berjalan dengan six minute
walk test ataupun berenang. Latihan ekstremitas atas dapat dilakukan dengan
ergometer lengan (Borjesson and Dellborg, 2005).
Dalam latihan ini ada komplikasi yang mungkin muncul yaitu infark miokard
akut, cardiac arrest dan sudden death. Exercise pada pasien STEMI harus
diawasi termasuk kegiatan fisik sehari-hari pada pasien post STEMI. Reevaluasi
penting untuk dilakukan minimal 2-3 bulan setelah latihan dan satu tahun
setelahnya. Hal ini berfungsi untuk menilai perubahan fisiologis yang dihasilkan
akibat exercise serta kemungkinan perkembangan kondisi pasien (Borjesson and
Dellborg, 2005).
Kapasitas latihan merupakan faktor risiko yang dapat dimodisikasi. Faktor
risiko secara teoritis dapat diubah dengan aktifitas fisik secara teratur selama
fase rehabilitasi dan seterusnya. Setiap 1 MET peningkatan kapasitas latihan,
akan setara dengan 12% peningakatan kelangsungan hidup pasien. Berdasar
pada kondisi ini, exercise test yang dilakukan dapat menjadi informasi berharga
untuk menentukan kapasitas exercise yang tepat pasien pasca intervensi
reperfusi dan pasca infark miokard (Borjesson and Dellborg, 2005). Exercise test
yang direkomendasikan oleh AHA/ACC untuk pasien post STEMI adalah kelas I
(Gibbons, 2002).
Strategi untuk exercise yang dapat diberikan kepada pasien segera setelah
infark miokard dibagi ke dalam beberapa strategi. Strategi I adalah jika pasien
berada pada risiko tinggi untuk kejadian iskemik, berdasarkan gejala klinis,
mereka harus menjalani evaluasi invasive untuk menentukan apakah pasien
merupakan kandidat untuk revaskularisasi koroner. Mulanya dapat diketahui
dengan resiko rendah yang mungkin muncul setelah infark miokard, dapat
dilakukan strategi exercise test. Salah satunya dengan exercise test pad kondisi
dengan gejala terbatas 14-21 hari (Kelas II). Jika pasien mengunakan digoxin
atau hasil rekam EKG menunjukkan gangguan pada gambaran seperti LBBB,
LVH dan ST depresi maka hasil latihan awal penelitian dapat dilakukan. Hasil
Exercise Test….. Anissa Cindy (Magister Keperawatan FK UB, 2013)
9
pengujian latihan harus bertingkat untuk menentukan kebutuhan perfusi infasiv
atau latihan tambahan yang dibutuhkan pasien (Gibbons, 2002).
Strategi III adalah untuk melakukan exercise test submaksimal pada 4-7 hari
setelah infark miokard atau sebelum pasien direncanakan keluar dari rumah
sakit. Jika semuahasil tes negative dan menunjukkan pasien memiliki
peningkatan kemampuan dalam aktifitas, tes olahraga dapat diulang 3-6 minggu
untuk pasien yang akan menjalani aktivitas berat selama waktu luangnya,
ditempat kerja atau olahraga sebagai bagian dari rehabilitasi jantung (Gibbons,
2002).
Namun sebagai catatan, exercise yang dilakukan pada pasien STEMI pos
serangan harus menunggu hingga kondisi pasien benar-benar stabil. Selain itu
timi risk pada pasien juga harus diketahui sebelumnya. Hal ini untuk menghindari
komplikasi yang mungkin muncul akibat stress latihan. Selama periode latihan
juga harus dipasang monitor untuk merekam aktivitas kerja jantung. Hal ini untuk
mewaspadai adanya ST elevasi (≥ 1mm) pada lead tanpa diagnostic Q-waves
(selain di V1 atau aVR) sebagai indikasi absolute yang mengharuskan pasien
pos STEMI masuk dalam tahap terminasi selama exercise. Selain itu indikasi
lainnya adalah depresi segmen ST > 2 mm downslopping depresi segmen ST
(Borjesson and Dellborg, 2005).
E. Kesimpulan
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya.
Exercise telah diadopsi dan divalidasi sebagai stratifikasi risiko diagnostik pasien
dengan ACS. Exercise juga memiliki dampak yang signifikan terhadap
rehabilitasi pasien pos miokard infark (STEMI) untuk dapat meningkatkan dan
mengoptimalkan kondisi fisik dan kesehatan mental pasien STEMI post
serangan. Exercise pada pasien STEMI jika latihan diberikan teratur mampu
memperbaiki kondisi klinis pasien, meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri,
meningkatkan kapasitas kardiovaskuler. Ltihan yang diberikan pasca STEMI
sebagai rehabilitasi jantung dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirasi.
Namun dalam pemberian harus menuggu kondisi pasien benar-benar stabil dan
dilakukan monitor secara menyeluruh terkait aktivitas pasien selama latihan dan
kemungkinan gejala klinis yang muncul. Selain itu tidak dapat dihomogenkan dari
setiap individu dalam pemberian exercise. Selama latihan jika kondisi pasien
Exercise Test….. Anissa Cindy (Magister Keperawatan FK UB, 2013)
10
tidak stabil dan terdapat faktor-faktor yang menunjukkan bahwa exercise harus
dihentikan, tahap terminasi dalam latihan akan segera diberikan.
F. Daftar Pustaka
American college of sports medicine. (1994). Exercise for patients with coronary
artery disease. MSSE. 26(3): i-v
Borjesson. M., and Dellborg. M. (2005). Exercise testing post-MI: still worthwhile
in the interventional era. European Heart Journal. 26: 105-106.
Brehm. M., Picard. F., Ebner. P., Turan. G., Bolke. E., Kostering. M., Schuller. P.,
flerssner., Ilousis. D., Augusta. K., Peiper. M., Schannwell. Ch., and Strauer.
B. E. (2009). Effects of Exercise Training on Mobilization and functional
activity blood-derived progenitor cells in patients with acute myocardial
infraction. Eur J Med Res. 14: 393-405
CPG Secretariat. (2007). Clinical Practice Guidelines Management of Acute ST
Segment Elevation Myocardial Infraction (STEMI). Medical Development
Division. Ministry of Health Malaysia
Daga. L. C., Kaul. U., and Mansoor. A. (2011). Approach to STEMI and NSTEMI.
Supplement to Japi. 59
Giallauria. F., Acamp. W., Ricci. F., Vitelli. A., Torella. G., Lucci. R., Del Prete. G.,
Zampella. E., Assante. R. Rengo. G., Leosco. D., Cuocolo. A., and Vogorito.
C. (2012). Effect of exercise training started within 2 weeks after acute
myocardial infraction on myocardial perfusion and left ventricular function: a
gated SPECT imaging study. Eur J Prev Cardiol. 19(6): 1410
Giallauria. F., Acamp. W., Ricci. F., Vitelli. A., Torella. G., Lucci. R., Del Prete. G.,
Zampella. E., Assante. R. Rengo. G., Leosco. D., Cuocolo. A., and Vogorito.
C. (2013). Exercise training early after acute myocardial infraction reduce
stress-induce hypoperfusion and improves left vebtricular function. Eur J Nucl
Med Mol Imaging. 40(3): 315-324.
Gibbons. R. J. (2002). ACC/AHA 2002 Guideline Update for Exercise Testing: A
report of the American collage of cardiology/American heart association task
force on practice guidelines (committee on exercise testing). American
College of Cardiology Foundation and the American Heart Association.
Irmalita, Nani, H., Ismoyono, Indriwanto, S., Hananto, A., Iwan, D., Daniel, P. L.
T., Dafsah, A. J., Surya, D., Isman, F. (Ed). (2009). Standar Pelayanan Medik
Exercise Test….. Anissa Cindy (Magister Keperawatan FK UB, 2013)
11
(SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III.
Jakarta: RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
Priyanto Ade. (2011). The Role of Nurse in Acute Coronary Syndrome. Seminar
Cardiac Emergency Management: Pre, to and in Hospital. FK UMJ
Zhao. W., Bai. J., Zhang. F. C., and Gao. W. (2012). The impact of regular
exercise habit on exercise tolerance early after acute myocardial infraction.
Zhonghua Nei Ke Za Zhi. 51(6): 453-5
Zohreh K. N, Alireza Y, Seyed AR, Masoumeh S. (2009). The Relation Between
Anxiety And Quality Of Life In Heart Patients. Arya Atherosclerosis Journal
5(1): 19-24.
Exercise Test….. Anissa Cindy (Magister Keperawatan FK UB, 2013)