31

Paper asc tri cahyono

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Paper asc tri cahyono
Page 2: Paper asc tri cahyono

i

DAFTAR ISI

Daftar Isi .................................................................................................................... i

Daftar Tabel ............................................................................................................... ii

Daftar Gambar ........................................................................................................... iii

1. Pendahuluan ...............................................................................................1

2. Rumusan Masalah ......................................................................................6

3. Revolusi Mental Dan Community Based Development (CBD) .................7

4. Bentuk Implementasi PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)

Di Beberapa Daerah Di Indonesia. ............................................................10

5. Hasil Kajian PHBM Desa Hutan Di Jawa Timur ......................................14

6. Rekomendasi (Syarat) PHBM: Implementasi Revolusi Mental

Melalui Cbd (Community Based Develompent) Desa Hutan

Di Jawa Timur ...........................................................................................18

7. Penutup ......................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA

Page 3: Paper asc tri cahyono

ii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Realisasi Pembuatan Tanaman Jati Sistem Tumpangsari Jawa Timur

Tahun 2009-2013 (dalam Ha) ............................................................ 3

Tabel 2 Kontribusi Total Produksi Tanaman Pangan Dari Kawasan Hutan

Terhadap Total Produksi Pangan Jawa Timur Tahun 2012-2013 ..... 5

Tabel 3. Hasil Sintesa Sasaran Peningkatan Kesejahteraan

Masyarakat Desa Hutan ..................................................................... 21

Tabel 4. Hasil Sintesa Strategi dalam Mencapai Sasaran Ekonomi ................ 21

Tabel 5. Hasil Sintesa Strategi dalam Mencapai Sasaran Lingkungan ............ 22

Tabel 6. Hasil Sintesa Strategi dalam Mencapai Sasaran Sosial ..................... 23

Page 4: Paper asc tri cahyono

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Korelasi Antara Pertumbuhan LMDH dan Luas Lahan

Tumpangsari dengan Kasus Pencurian dan Kerusakan Hutan

di Jawa Timur ................................................................................ 4

Gambar 2 Kerangka Pikir............................................................................... 8

Gambar 3. Struktur Hierarkhi Strategi Peningkatan Kesejahteraan

Masyarakat Melalui Revolusi Mental CBD Desa Hutan .............. 20

Page 5: Paper asc tri cahyono

1

PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DENGAN

SYARAT: “REVOLUSI MENTAL” BERBASIS COMMUNITY BASED

DEVELOPMENT (CBD) DESA HUTAN

(Studi Pada Masyarakat Desa Hutan di Jawa Timur)

Ditulis Oleh:

Tri Cahyono, Narya Tantri Ayu Dewani, dan Dwi Ardy Sugiono1

Abstrak

Kerusakan hutan memiliki dampak yang sangat besar bagi lingkungan dan masyarakat

desa hutan. Kerusakan hutan di Indonesia banyak disebabkan terjadinya penebangan liar atau

eksploitasi hasil hutan yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Untuk

mengurangi dampak kerusakan hutan, diperlukan pengelolaan hutan yang melibatkan

masyarakan desa hutan yang diwujudkan dalam pelaksanaan Program Pengelolaan Hutan

Bersama Masyarakat (PHBM). Namun di Indonesia, implementasi PHBM masih belum dapat

berjalan dengan baik. Pelaksanaan PHBM harus didukung revolusi mental yang melibatkan

masyarakat lokal dan pengelola hutan sehingga dapat tercipta pembangunan masyarakat hutan

yang berbasis ekonomi, sosial dan lingkungan.

Kata Kunci: Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, revolusi mental, Community Based

Development

1. PENDAHULUAN

Perhatian terhadap perkembangan masyarakat pedesaan yang tinggal di kawasan

pinggiran hutan (masyarakat desa hutan) masih belum cukup banyak jika dibandingkan

dengan upaya pembangunan pada jenis-jenis pedesaan lainnya. Padahal keberadaan

masyarakat desa hutan cukup strategis dalam lingkup pembangunan berkelanjutan.

Kondisi sosial ekonomi berpengaruh pada upaya konservasi dan agregat pada

makroekonomi daerah yang memiliki kawasan hutan. Hal ini disebabkan kualitas hidup

masyarakat setempat erat kaitannya dengan pengelolaan dan penjagaan fungsi hutan.

Semakin menurun kualitasnya, maka ancaman terbesar akan muncul konflik vertikal

dan horizontal akibat tereduksinya manfaat biologis dan sosial ekonomi dari hutan.

Sehingga bertolak pada titik inilah, isu pembangunan terhadap masyarakat desa hutan

telah memasuki masa strategis.

1 Alumni Universitas Brawijaya, sekarang aktif di Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan (PKDSP) dan Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

Page 6: Paper asc tri cahyono

2

Provinsi Jawa Timur memiliki wilayah hutan yang cukup luas. Dinas Kehutanan

Provinsi Jawa Timur mencatat pada Tahun 2013, luas wilayah hutan di Jawa Timur

mencapai 1.133.836,54 ha. Program pembangunan yang diarahkan pada masyarakat

desa hutan salah satunya melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

melalui berbagai sendi kebijakan. PHBM merupakan bentuk sinergi dari Perhutani

selaku lembaga bisnis milik pemerintah dengan masyarakat desa hutan untuk tujuan

optimalisasi pemanfaatan sumber daya hutan secara progresif dan proporsional. Selain

untuk kepentingan bisnis, keberadaan PHBM berfungsi untuk menjaga konservasi

lingkungan hutan serta mempertahankan eksistensi sosial ekonomi masyarakat desa

hutan. Perhatian yang cukup tinggi tersebut juga bertujuan untuk mengurangi tingkat

kemiskinan masyarakat desa hutan, dimana berdasarkan data yang disajikan oleh

Herawaty (2013) menyebutkan pada tahun 2007 hingga 2009, angka kemiskinan

masyarakat desa hutan mencapai 60 persen dari total keseluruhan penduduk yang

tinggal di pinggiran hutan di Jawa dan Madura. Kondisi ini kini menjadi sebuah ironi

mengingat melimpahnya kekayaan sumber daya hutan tidak cukup mengalir kepada

masyarakat desa hutan, sehingga perlu ada evaluasi yang cukup mendalam pada

berbagai kebijakan pembangunan di kawasan hutan dan sekitarnya.

PHBM ditujukan agar terwujud pengelolaan yang mengakomodir sinergisitas

antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. PHBM pada awalnya diharapkan

menggunakan manajemen yang menjamin keberlanjutan atau disebut sebagai

sustainable forest management. Keberlanjutan yang dimaksud merupakan terjemahan

dari upaya yang menjamin adanya adaptasi sistem pengetahuan dan teknologi modern,

dengan sistem pengetahuan dan teknologi lokal/tradisional yang turut menampung

kepentingan-kepentingan masyarakat desa hutan yang sebagian besar diisi profesi

sebagai petani (Handoko, dkk., 2009). Secara umum, sistem keterlibatan masyarakat

desa hutan di Jawa Timur diterapkan melalui kegiatan tumpangsari dan kegiatan banjar

harian. Tulisan ini akan lebih banyak terfokus pada model PHBM dengan sistem

tumpangsari, karena potensi bentang lahan tumpangsari yang tersedia cukup banyak dan

merata, serta perbandingan dengan sistem banjar harian yang lebih banyak fokus pada

sistem upah dengan disertai larangan untuk penananaman. Alasan lainnya adalah model

tumpangsari lebih dekat dengan upaya pembangunan kesejahteraan karena masyarakat

dapat menikmati hasil tumpangsari (umumnya menggunakan tanaman jati dan tanaman

Page 7: Paper asc tri cahyono

3

pertanian), terutama pada jenis-jenis komoditi tanaman pangan. Berikut ini data besaran

pembuatan tumpangsari tanaman jati di Jawa Timur.

Tabel 1

Realisasi Pembuatan Tanaman Jati Sistem Tumpangsari Jawa Timur Tahun 2009-2013

(dalam Ha)

No KPH 2009 2010 2011 2012 2013

1 Padangan 585 318 1.971 519 563

2 Bojonegoro 635 2.798 1.565 729 1.206

3 Parengan 488 340 443 101 407

4 Jatirogo 101 109 207 43 187

5 Tuban 38 1.511 812 490 892

6 Ngawi 1.819 1.621 1.203 578 823

7 Madiun 441 669 796 187 178

8 Saradan 946 1.246 1.058 757 931

9 Lawu DS 112 484 20 14 -

10 Nganjuk 186 615 410 228 283

11 Jombang 586 484 839 118 171

12 Mojokerto 461 52 796 385 707

13 Madura 38 51 76 - 39

14 Kediri 25 92 397 67 -

15 Blitar 757 178 852 875 712

16 Malang 487 205 49 19 220

17 Pasuruan - - - - -

18 Probolinggo 151 202 549 131 86

19 Jember 120 36 95 50 63

20 Bondowoso 22 30 171 15 44

21 Bwi. Selatan 323 174 347 115 209

22 Bwi. Utara 181 194 219 152 189

23 Bwi. Barat - - - - -

Jumlah 8.687 11.409 12.875 5.576 7.909 Sumber: Perum Perhutani Divre Jatim Tahun 2009-2013; dalam Dinhut Provinsi Jatim, 2014

Jumlah area tumpangsari mengalami fluktuasi disebabkan menyesuaikan dengan

kondisi pohon jati. Kondisi pohon jati yang ideal untuk aktivitas tumpangsari antara

usia 0-2 tahun masa tanam, disebabkan faktor ketinggian (naungan) dan kondisi

biologis lainnya. Dalam kurun waktu tahun 2009-2013, rata-rata luas area tumpangsari

mencapai 9.291 ha. Selain menyediakan area tumpangsari, pihak pemerintah melalui

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur telah menyusun struktur kelembagaan

masyarakat melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Hingga tahun 2013,

pemerintah telah membentuk 3.722 LMDH. Perkembangan LMDH dan area

tumpangsariterbukti berkorelasi positif terhadap upaya penurunan pengrusakan dan

pencurian sumber daya hutan di Jawa Timur, sebagaimana data grafik pada Gambar 1.

Page 8: Paper asc tri cahyono

4

Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jatim, 2014 (Data Diolah)

Gambar 1

Korelasi Antara Pertumbuhan LMDH dan Luas Lahan Tumpangsari

dengan Kasus Pencurian dan Kerusakan Hutan di Jawa Timur

Pengembangan aktivitas LMDH yang mulai menjalankan kebijakan Perjanjian

Kerjasama (PKS) PMDH sejak tahun 2009 antara Perhutani dengan 125 LMDH

memiliki dampak positif terhadap konflik sosial pada tahun berikutnya. Tahun 2009

nilai pencurian dari sumber daya hutan (SDH) mencapai Rp 7,15 milyar dan nilai

kerusakan mencapai Rp 3,75 milyar, sehingga total kerugian mencapai Rp 10,90 milyar.

Tahun berikutnya dengan berkembangnya LMDH pada tahun sebelumnya kemudian

didukung adanya perluasan lahan tumpangsari berhasil mereduksi angka kerugian

dengan total berkisar Rp 10,25 milyar. Tahun 2011 pertumbuhan PKS PMDH yang

hanya meningkat tipis pada akhirnya menyebabkan melonjaknya angka kerugian SDH

pada tahun 2012 yang menembus Rp 78,81 milyar, sehingga pada tahun yang sama

pemerintah secara agresif meningkatkan pertumbuhan PKS PHBM hingga 1.005,65

persen, kemudian berhasil mereduksi nilai kerugian pada tahun berikutnya menjadi Rp

59,59 milyar. Kondisi ini memberikan informasi bahwa manfaat lain dari pemanfaatan

kebijakan PKS PMDH terbukti berkorelasi positif terhadap keamanan dan upaya

konservasi hutan.

Sebagai pelengkap penjelasan data makro sosial tersebut, turut menghadirkan

penjelasan secara mikro bagaimana mekanisme PHBM terhadap jalannya sosial

ekonomi masyarakat desa hutan yang selama ini masih cukup jarang diulas. Selain fakta

tingginya tingkat kemiskinan sebagaimana yang sudah diulas, realisasi PHBM masih

menyimpan kekhawatiran bahwa program tersebut belum cukup ampuh untuk

menurunkan kesenjangan pembangunan di wilayah kehutanan, serta meredakan konflik

Page 9: Paper asc tri cahyono

5

vertikal antara pemerintah dengan masyarakat lokal. Alur ulasan dari Herawaty (2013)

cukup memberikan gambaran ironi bagaimana implementasi dari PHBM sehingga

tujuan-tujuan normatif masih membutuhkan upaya masif untuk mengejar ketertinggalan

yang ada. Konflik-konflik yang terjadi disebabkan: (i) bagi hasil PHBM, dimana

Perhutani mewajibkan semua LMDH untuk membagi hasil-hasil tumpangsari dengan

proporsi yang memberatkan; (ii) pelibatan investor dalam pengelolaan SDH tidak

melibatkan LMDH, kondisi ini otomatis juga mereduksi hak kelola dari LMDH; (iii)

pembentukan koperasi pada beberapa daerah tidak diikuti pembagian wewenang yang

jelas. Akibatnya muncul kerancuan peran kelembagaan antar stakeholder; (iv) selama

ini LMDH tidak diajak berembug dalam penentuan besaran nilai dan faktor produksi,

serta mekanisme evaluasi yang kurang transparan; (v) pembagian bagi hasil LMDH

dilakukan dengan seremonial yang cenderung berbiaya tinggi, terlebih beban

pembiayaan ditanggung LMDH; serta (vi) dalam proses penyelesaian sengketa jika

dalam musyarawah tidak tercapai mufakat, tidak melalui proses mediasi dengan

paguyuban LMDH dan forum komunikasi PHBM sebagai fasilitator sebelum memasuki

jenjang penyelesaian melalui pengadilan.

Kondisi ini tentu saja memukul balik harapan yang sempat digagaskan melalui

PHBM. Fakta ini tergambar dengan rendahnya produktivitas petani pangan yang

memanfaatkan lahan tumpangsari tanaman jati karena berbagai alasan kelembagaan

yang ada. Dengan besaran lahan tanam yang ada, kontribusi total produksi tanaman

pangan dari kawasan hutan cukup rendah dengan capaian tidak lebih dari 2 persen

dibandingkan dengan total produksi di Jawa Timur.

Tabel 2

Kontribusi Total Produksi Tanaman Pangan Dari Kawasan Hutan Terhadap Total

Produksi Pangan Jawa Timur Tahun 2012-2013

No Jenis

Komoditi

Tahun 2012 Tahun 2013 Produksi

(Ton)

Produksi

Jatim (Ton)

Kontribusi

(Persen)

Produksi

(Ton)

Produksi

Jatim (Ton)

Kontribusi

(Persen)

1 Padi 46.074,76 12.198.707 0,38 22.889,50 12.049.342 0,19

2 Jagung 121.051,57 6.295.301 1,92 60.612,78 5.760.959 1,05

3 Kedelai 6.284,07 361.986 1,74 2.338,41 329.461 0,71

4 Kacang Tanah 2.409,10 213.792 0,01 1.790,49 207.971 0,86 Sumber: Perum Perhutani Divre Jatim 2009-2013; dalam Dinhut Jatim, 2014 dan Dinas Pertanian Jatim, 2014;

dalam Bappeda Jatim, 2014 (Data Diolah)

Dengan keadaan yang ada justru memperkuat ramalan dari BPS bahwa akan

terjadi peningkatan aktivitas migrasi dari desa hutan menuju desa/kota yang lebih

Page 10: Paper asc tri cahyono

6

berkembang. Berdasarkan prediksi BPS (dalam Herawaty, 2013), tahun 2000 jumalh

penduduk di Pulau Jawa yang tinggal di desa masih berkisar 51,72 persen, dan

diprediksi tahun 2025 hanya tersisa 21,36 persen. Jika prediksi ini benar adanya,

persoalan sosial terkait penduduk urban akan semakin meningkat. Maka pada posisi

seperti ini, dari keseluruhan perangkat pembangunan kehutanan membutuhkan adanya

“Revolusi Mental” sebagaimana konsep pemerintahan yang diusung Presiden Joko

Widodo sejak era kampanye Pemilu 2014. Revolusi merupakan konsep yang

menawarkan perubahan kultural dan struktural yang dapat mengantarkan pada

pembangunan SDH berkelanjutan. Dasar-dasar yang perlu diubah terangkum dalam

distribusi hak dan kewajiban pemangku kepentingan serta memulai era pemberdayaan

yang berbasis masyarakat (Community Based Development) yang sesuai dengan

karakteristik masyarakat desa hutan. Prosesnya dapat mengadopsi pemikiran dari

Muttaqin (2014) yang dihasilkan dari penelitian strategi PHBM di Kecamatan

Karangploso, Kabupaten Malang yang berlandaskan pada: (i) perlu adanya persamaan

ulang persepsi dan pengertian dari stakeholder yang ada terkait hak dan kewajiban; (ii)

pendekatan pengelolaan SDH hendaknya merupakan wujud pemberdayaan demokrasi

ekonomi yang menempatkan masyarakat desa hutan sebagai subjek pembangunan,

dengan cara memberikan motivasi, mendidik, mengembangkan kesadaran, serta

menunjang kebutuhan dasar yang lain terkait aktivitas sosial ekonomi di kawasan hutan;

(iii) meningkatkan kerjasama dalam menemukan dan mengembangkan cara-cara

melestarikan dan melindungi ekosistem kehutanan; serta (iv) meningkatkan kualitas

jaringan kerja dan hubungan yang harmonis yang dapat dilakukan melalui pelatihan dan

pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan dan fungsi dari lembaga-lembaga yang ada.

2. RUMUSAN MASALAH

Agar pembahasan dari makalah ini terfokus, maka disusun dua rumusan masalah

sebagai panduan pemikiran. Susunan rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

(PHBM) yang ada di Jawa Timur?

2. Bagaimana bentuk implementasi “Revolusi Mental” dan Community Based

Development (CBD) desa hutan di Jawa Timur?

Page 11: Paper asc tri cahyono

7

3. REVOLUSI MENTAL DAN COMMUNITY BASED DEVELOPMENT

(CBD)

Dasar teori yang digunakan untuk merumuskan pembahasan terdiri dari tiga

teori utama, yakni: (i) konsep Revolusi Mental; (ii) community based development; dan

(iii) sistem kontrak.

Revolusi Mental merupakan salah satu strategi utama pemerintah di bawah

komando dari Presiden Joko Widodo. Konsep ini merupakan sebuah metode yang

berinduk pada ajaran/ideologi yang digagas Presiden Pertama RI Ir. Soekarno. Ibrahim

Isa dalam tulisannya pada tahun 2014 mencoba menerjemahkan gagasan Revolusi

Mental dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Revolusi harus akurat terhadap garis pemisah antara siapa kawan dan apa yang

harus dilawan, sehingga revolusi harus mengambil sikap yang tepat agar setiap

upaya tidak menjadi sia-sia;

b. Revolusi yang benar tidak hanya revolusi yang berasal dari struktur atas

(pemerintah), melainkan juga perlu dorongan dari bawah (rakyat);

c. Revolusi adalah simfoni destruksi dan konstruksi. Destruksi tanpa konstruksi

adalah tindakan anarki, sebaliknya konstruksi tanpa destruksi berarti kompromi

dan reformisme;

d. Revolusi selalu mengandung tahap-tahap. Tahap pertama bertujuan untuk

membuka jalan tahap kedua, tahap kedua menyambungkan pada tahap ketiga, dan

seterusnya;

e. Revolusi harus memiliki program yang jelas, tepat, dan akurat, seperti

merumuskan dasar tujuan dan kewajiban-kewajiban revolusi, sifat revolusi, dan

secara keseluruhan kebijaksanaan revolusi harus tunduk dan setia kepada program

tersebut; serta

f. Revolusi harus memiliki sokoguru yang tepat dan punya pimpinan yang tepat yang

sanggung menjalankan revolusi hingga tuntas.

Arahan revolusi tersebut yang kemudian diterjemahkan dalam konsep Revolusi

Mental, menjadi pijakan dasar Kerangka Pikir sebagaimana pada Gambar 2 berikut ini.

Page 12: Paper asc tri cahyono

8

Gambar 2

Kerangka Pikir

Evaluasi mekanisme PHBM yang belum efektif dan efisien memberikan

gambaran yang cukup gamblang mengenai langkah Revolusi Mental. Harapan Presiden

Joko Widodo untuk mereformasi sistem politik merupakan jawaban atas kekurangan

dari PHBM yang ada. Sistem politik PHBM yang cenderung menempatkan pihak

Perhutani dan Pemerintah Daerah sebagai “penguasa” kebijakan terbukti justru

melindungi praktik yang cenderung eksploitatif terhadap lapisan bawah yang

diperankan oleh LMDH. Akibatnya, muncul asymmetric information yang disebabkan

strategi pilihan yang salah (adverse selection) dan penyimpangan moral (moral hazard).

Kondisi negatif ini tidak hanya bersumber dari pemerintah dan perhutani saja,

melainkan juga sangat memungkinkan terjadi pada oknum LMDH dan masyarakat

lainnya yang diindikasikan besarnya pencurian dan kerusakan pada SDH. Sehingga

langkah Revolusi Mental perlu ditindaklanjuti kepada stakeholder secara menyeluruh.

Adanya kerjasama antara pihak LMDH dengan Perhutani adalah untuk

mengetahui bagaimana pola, bentuk, dan pengaruh dari PHBM dalam menjaga

kelestarian lingkungan yang selama ini mengalami deforestasi dan degradasi akibat

dikonversi menjadi lahan produksi. Secara umum dalam PHBM, LMDH menjadi

penyedia bibit, tenaga kerja, dan saprodi. Sedangkan pihak Perhutani sebagai penyedia

lahan atau tanah dan memberikan akses pengelolaan berupa perijinan. Dari sana akan

nampak, kausalitas yang didapat oleh pemerintah daerah dan Perhutani, masyarakat

Ekonomi Sosial

Adverse Selection Moral Hazard

Asymmetric

Information

PHBM Perhutani dan

Pemerintah Daerah

Masyarakat Desa

Hutan

Revolusi Mental dan

CBD Desa Hutan

Lingkungan

Masyarakat Desa Hutan: Kesejahteraan Sosial Ekonomi

Perum Perhutani: Peningkatan Realisasi Program

Pemerintah Daerah: Peningkatan Mutu Pembangunan, Pendapatan

Daerah, dan Pemberdayaan Masyarakat

Pembangunan

Berbasis Ekonomi Pembangunan

Berbasis Sosial

Page 13: Paper asc tri cahyono

9

pengelola yang terkena dampak adanya degradasi hutan dan deforestasi, masyarakat

pengelola yang tidak kena dampak, serta pihak lain yang memiliki kepentingan dalam

memanfaatkan SDH. Pada dasarnya posisi kemitraan seperti ini sangat dipengaruhi oleh

dua hal penting yaitu moral hazard dan adverse selection. Kedua hal tersebut

menyangkut masalah informasi yang asimetris dimana moral hazard oleh Brockmann

(2001) diterjemahkan sebagai tindakan yang mengarah pada kecurangan setelah kontrak

dilakukan. Sedangkan adverse selection dipandang sebagai tindakan untuk

menyembunyikan sesuatu umumnya terkait kualitas dan sering kali hal ini dilakukan

sebelum adanya kontrak.

Mengenai gagasan community based development (CBD) desa hutan merupakan

langkah strategis untuk memperkuat posisi tawar dari LMDH. Mardikanto dan Soebiato

merumuskan landasan filosofis dan prinsip-prinsip pemberdayaan melalui CBD sebagai

berikut: (i) pendekatan partisipatif, dalam arti selalu menempatkan masyarakat desa

hutan sebagai titik-pusat pelaksanaan CBD; (ii) pendekatan kesejahteraan, dalam arti

bahwa apapun kegiatan yang dilakukan, dari manapun SDH dan teknologi yang akan

digunakan, dan siapapun yang akan dilibatkan, CBD harus memberikan manfaat

terhadap peningkatan mutu hidup; dan (iii) pendekatan pembangunan berkelanjutan,

dalam arti bahwa kegiatan CBD harus terjamin keberlanjutannya dengan jalan tidak

menciptakan ketergantungan tetapi harus menyiapkan masyarakat desa hutan untuk

mandiri. Selanjutnya, peran CBD terbagi menjadi dua: (i) pembangunan untuk tujuan

ekonomi; dan (ii) pembangunan berbasis sosial.

Pembangunan berbasis ekonomi menjadi salah satu aspek penting karena

mempengaruhi daya tawar transaksi dan kapasitas produksi. Beberapa aspek yang

terangkum dalam basis ekonomi antara lain modal finansial, modal intelektual, dan

modal relasional. Kecukupan modal finansial perlu diupayakan untuk memenuhi

kebutuhan produksi, umumnya berupa saprodi, bibit, pupuk, dan operasional tenaga

kerja (tidak termasuk tanah karena disediakan Perhutani). Modal intelektual terkait

dengan sistem produksi sehingga agar efisien dan efektif perlu didukung dengan upaya

pembinaan dan pelatihan yang bersifat teknis mengenai sistem tanam dan produksi. Dan

yang terakhir ialah modal relasional, yang terkait dengan akses/mitra pemasaran.

Jangkauan akses pemasaran yang luas akan mendorong LMDH untuk dapat bertransaksi

Page 14: Paper asc tri cahyono

10

secara optimal serta perlu didorong untuk menjadi mitra pemasaran agar tercipta

kepastian pasar produk PHBM, khususnya tanaman pangan.

Pembangunan yang kedua melalui CBD ialah pembangunan berbasis sosial.

Tiga sendi utama dari basis sosial adalah politik dan budaya masyarakat desa hutan.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memenuhi aspek 5P yang terdiri dari

pemungkinan, penguatan, perlindungan, penyokongan, dan pemeliharaan (Mardikanto

& Soebiato, 2012). Dasar dari kegiatan ini dapat terbangun melalui tindakan kolektif

yang muncul dari kesadaran atas kelemahan pengelolaan SDH secara individu.

Pemungkinan, dimaksudkan untuk menciptakan suasana/iklim yang memungkinkan

potensi masyarakat desa hutan berkembang secara optimal, utamanya dari sekat-sekat

kultural dan struktural. Penguatan, dalam arti mengembangkan segenap kekuatan dan

kepercayaan diri masyarakat desa hutan agar mampu menunjang kemandirian.

Perlindungan, diasumsikan upaya melindungi agar tidak tertindas oleh kelompok yang

kuat, menghindari persaingan yang tidak seimbang, dan mencegah eksploitasi terhadap

LMDH. Penyokongan, diartikan memberikan bimbingan dan dukungan agar mampu

menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupan. Dan pemeliharaan diartikan sebagai

pemeliharaan kondisi yang kondusif baik untuk lingkungan sosial, ekonomi, maupun

lingkungan alam.

4. BENTUK IMPLEMENTASI PHBM (PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA

MASYARAKAT) DI BEBERAPA DAERAH DI INDONESIA.

Pengelolaan hutan di Indonesia pada dasarnya telah ditetapkan dalam undang-

undang, ketetapan presiden, peraturan menteri, maupun dari peraturan masyarakat

(hukum adat dan norma-norma sosial) sekitar hutan sesuai jenis dan fungsi hutan.

Dengan adanya fragmentasi hutan sesuai peraturan yang berlaku, diharapkan

pengelolaan hutan secara bijak (lestari dan sustain dalam jangka panjang) dapat

terwujud. Indriyanto (2008) membagi pengelolaan hutan di Indonesia berdasar jenis dan

fungsinya menjadi lima, diantaranya :

1. Hutan produksi, dipertahankan dan difokuskan untuk diambil manfaat dari hutan

(konsumsi masyarakat), komoditas ekspor dan untuk kepentingan industri

Page 15: Paper asc tri cahyono

11

2. Hutan lindung, dimanfaatkan sebagai penyangga dalam mempertahankan

kesuburan tanah, kestabilan air tanah, mencegah banjir, mencegah erosi dan

mencegah terjadinya intrusi (peresapan air laut ke air tanah).

3. Hutan konservasi, umumnya digunakan sebagai pusat pengawetan (penjagaan)

terhadap keanekaragaman ekosistem hutan termasuk flora dan fauna serta

lingkungan hutan.

4. Hutan negara, merupakan hutan yang keberadaannya tidak dibebani hak atas

tanah. Umumnya berupa hutan adat atau hutan yang dikelola sepenuhnya oleh

pemerintah

5. Hutan hak, pada dasarnya merupakan hutan yang pengelolaan sepenuhnya

diberikan kepada masyarakat atau sering disebut dengan hutan rakyat.

Memang, maksud dan tujuan pengelolaan hutan yang diatur dalam sebuah

regulasi sangatlah bagus, namun karena lemah dalam penegakan dan pengawasan

hingga saat ini hasil yang diharapkan belumlah maksimal. Terbukti angka deforestasi di

Indonesia beberapa tahun terakhir menunjukkan angka yang cukup mencengangkan.

Data Dirjend Planologi Hutan (2014) memaparkan, pada tahun 2012 – 2013, jumlah

deforestasi bruto di Indonesia mencapai 954 ribu Ha/tahun atau 728,1 ribu Ha/pertahun

secara netto. Untuk menanggulangi hal tersebut, pemerintah setiap tahun melakukan

perancangan, implementasi dan evaluasi kebijakan. Salah satu kebijakan yang gencar

dicanangkan oleh pemerintah adalah PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat).

Kebijakan tersebut mengajak masyarakat sebagai mitra dalam mengelola hutan dengan

esensi tidak mengeliminasi fungsi utama (kelestarian) dari hutan itu sendiri.

Penerapan PHBM sendiri tidak terpusat pada satu daerah, tetapi berlaku bagi

beberapa daerah di Indonesia sesuai ketetapan yang ada. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Gunawan dkk (2014) memberikan gambaran bahwasannya penerapan

PHBM di Indonesia hingga saat ini masih belum optimal. Beberapa penelitian tentang

penerapan PHBM yang menunjukkan belum optimalnya program ini diantaranya :

1. Kabupaten Blora

Penelitian yang dilakukan oleh Gunawan dkk (2014) ini mengemukakan bahwa

pengelolaan PHBM sebatas pengambilan kayu dan hasil-hasil lainnya serta tanpa ada

pemanfaatan secara optimal. Pihak perhutani selalu berpatroli mengawasi dan

melakukan recovery (reforestasi) hutan secara teratur guna menjaga kelestarian

Page 16: Paper asc tri cahyono

12

hutan. Namun, dalam menjalin kerjasama dengan masyarakat hanya terbatas pada

pemanfaatan hutan tumpang sari tanpa ada program yang jelas kedepannya. Hal ini

mengingat masih rendahnya pemahaman masyarakat akan program PHBM dan

tingginya tingkat intervensi dari pihak perhutani. Inovasi dalam pengembangan

PHBM di Blora salah satunya dengan pendirian koperasi. Namun, kehadiran

koperasi belum memberikan kontribusi yang cukup besar lantaran penghasilan dari

koperasi sendiri sangat kecil. Operasional koperasi sendiri bisa berjalan dengan baik

karena mengandalkan share dari penjualan kayu. Sedangkan lembaga masyarakat

desa hutan (LMDH) yang dibentuk sifatnya pasif dan beroperasi ketika ada program

dari perhutani atau pemerintah terkait. Pasifnya LMDH tidak lain karena masyarakat

desa hutan sebatas objek implementasi program dan tidak terlibat secara penuh

dalam proses perencanaan hingga evaluasi.

2. Kabupaten Malang

Implementasi PHBM di Kabupaten Malang sejak tahun 2001 hingga 2004

menimbulkan perdebatan tersendiri. Hal ini didasari dari hasil penelitian yang

dilakukan oleh Kusdamayanti (2008). PHBM di Kabupaten Malang pada masa

pengenalan (tahun 2001) sempat mendapat penolakan dari pemerintah Kabupaten.

Penolakan tidak lain disebabkan : (i) adanya semangat otonomi daerah sehingga

pemerintah daerah ingin berperan, (ii) penilaian pemerintah Kabupaten Malang yang

menganggap PHBM kurang demokratis dan adil, serta (iii) keinginan pemerintah

kabupaten dalam mengelola hutan bersama masyarakat.

Pada tahun 2004, pihak Perhutani dan pemerintah Kabupaten Malang

melakukan koordinasi intensif. Hasilnya adalah terbentuknya nota kesepahaman

perubahan PHBM menjadi PKPH (Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan) dengan poin-

poin kesepakatan: (i) kebijakan pemerintah daerah didasarkan pada kepentingan

dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat, (ii) mendorong masyarakat lokal (sekitar

hutan) mematuhi kebijakan dan bertanggungjawab secara sosial, (iii) kebijakan

tentang pengelolaan hutan di daerah lebih demokratis dan akuntabel melalui diskusi

dan sharing pengetahuan dengan masyarakat dan stake-holder terkait.

Namun ketika nota kesepakatan tersebut diimplementasikan, PHBM yang

berubah menjadi PKPH ini mulai bias (tidak sesui rencana). Kegagalan program

PKPH di Kabupaten Malang disebabkan oleh :

Page 17: Paper asc tri cahyono

13

a. Dengan sering terjadinya perubahan kebijakan PHBM dan juga adanya

pertentangan sejumlah klausul seperti mengenai bagi hasil menunjukkan

bahwa PHBM mengandung masalah yang bersumber pada kebijakan.

b. Sosialisasi dan peningkatan pemahaman serta skill mengenai kebijakan dan

implementasi PHBM juga tidak dilakukan secara intensif sampai pada tingkat

lapangan. Bahkan beberapa pegawai tingkat menengah Perhutani sering kali

tidak mau mengakui/mengetahui keberadaan SK Perhutani yang baru.

c. Berbagai program baru yang muncul belakangan setelah PHBM juga telah

menyebabkan PHBM tidak lagi menjadi hal yang utama dalam pengelolaan

hutan oleh Perhutani. Sebagai contoh, upaya untuk mendorong KPH

(Kesatuan Pengelolaan Hutan) mempunyai kemandirian terutama dalam

financial telah menyebabkan para Administratur lebih memprioritaskan

kegiatan-kegiatan bersifat profit dari pada program-program orientasi

sosialnya kuat seperti PHBM.

Selain disebabkan oleh hal tersebut, PHBM oleh beberapa peneliti dianggap

gagal karena seringkali diawali oleh proses pembentukan yang diintervensi oleh

Perhutani sehingga terkesan formalistik (Diantoro dan Hanif, 2012).

3. Kabupaten Jember

Walaupun implementasi dari PHBM sering kali dianggap gagal, pada

kenyataanya ada yang berhasil. Salah satunya dari kajian yang dilakukan oleh Nurhadi

(2011). Kajian yang mengambil objek di Taman Nasional Marubetiri-Jember ini

memberikan gambaran keberhasilan pengelolaan hutan bersama masyarakat.

Masyarakat di sekitar TN Merubetiri terdiri dari lima desa dimana total kepemilikan

lahan masyarakat sekitar TN sebesar 1.134 Ha.

Untuk menanggulangi perluasan lahan pertanian yang mengarah pada TN

Merubetiri, dari pihak TN sengaja membuka 7 Ha Taman Nasional dengan tujuan

sebagai laboratorium dan pengembangan serta produksi tanaman (atau lebih dikenal

dengan “Demplot Agroforestry”). Tujuan akhir dari pembukaan lahan tersebut adalah

untuk mengajak masyarakat sama-sama mengelola lahan secara lestari tanpa

mengerusak hutan. Hasil dari kajian Nurhadi menunjukkan keberhasilan dari program

yang dicetuskan oleh pihak TN. Dimana masyarakat mampu memaksimalkan produk

Page 18: Paper asc tri cahyono

14

olahan pertanian serta turut serta mengembangkan tanaman obat yang digagas oleh

pihak TN.

5. HASIL KAJIAN PHBM DESA HUTAN DI JAWA TIMUR

Seiring tingginya angka deforestasi dan degradasi lahan di Jawa Timur, maka

diperlukan kajian mendalam guna mengetahui latar belakang atau asal-muasal

terjadinya. Hal ini sangat penting lantaran dari tahun 2009 hingga tahun 2013, angka

kerugian akibat kerusakan hutan di Jawa Timur berturut-turut (dalam Rp) : (i)

3.750.472.000 tahun 2009, (ii) 4.589.189.000 tahun 2010, (iii) 19.718.714.000 tahun

2011, (iv) 49.049.013.000 tahun 2012 dan, (v) 33.462.925.000 pada tahun 2013 (Dinas

Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2014). Hal ini tidak lain karena program pengawasan

dan penegakan kebijakan hutan yang dijalankan oleh pemerintah tidak berjalan dengan

baik. Tak heran jika kerugian akibat kerusakan hutan tiap tahunnya menunjukkan trend

yang positif. Kerugian yang dimaksud tidak sebatas karena kebakaran maupun bencana

alam, namun kerusakan tertinggi akibat pencurian. Hal ini diperkuat dengan data dari

Dinas Kehutanan Jawa Timur tahun 2014 dimana dari tahun 2009 hingga 2013 kerugian

akibat pencurian mencapai (dalam Rp): (i) 7.148.045.000 tahun 2009, (ii) 5.666.260.000

tahun 2010, (iii) 16.381.830.000 tahun 2011, (iv) 29.759.191.000 tahun 2012 dan, (v)

26.131.613.000 tahun 2013.

Untuk itulah, penelitian sengaja dilakukan di beberapa kawasan desa hutan di

Jawa Timur. Maksud dan tujuan dari penelitian ini sengaja dilakukan mengingat

permasalahan kerusakan hutan di tiap-tiap daerah umumnya sangat berbeda. Adapun

daerah kawasan hutan yang diteliti dilakukan secara acak (random) di beberapa daerah

yang dianggap mewakili keutuhan data diantaranya: Kabupaten Banyuwangi,

Kabupaten Jember, dan Kabupaten Malang.

1. Kabupaten Banyuwangi

Kabupaten Banyuwangi merupakan kabupaten terluas pertama di Jawa Timur

yaitu 5.782,50 Km2 (BPS Kab. Banyuwangi, 2014). Total hutan lindung dan

produksi di Bayuwangi mencapai 116.235,59 Ha (Dinas Kehutanan Jawa Timur,

2014). Melihat luasan tersebut, penelitian PHBM salah satunya difokuskan di

Kabupaten Banyuwangi terutama Banyuwangi bagian selatan. Ini tidak lain karena

keterlibatan masyarakat dalam mengelola hutan sistem tumpang sari cukup besar.

Page 19: Paper asc tri cahyono

15

Luasan lahan sistem tumpang sari di Banyuwangi Selatan mencapai 323 Ha tahun

2009, 174 tahun 2010, 347 tahun 2011, 115 tahun 2012 dan, 209 Ha pada tahun

2013. Umumnya untuk sistem tumpang sari memadukan tanaman jati dengan

tanaman kedelai.

Petani di Banyuwangi bagian selatan merasa sangat terbantu dengan adanya

pembukaan lahan hutan produksi untuk sistem tumpang sari ini. Sebelum ada sistem

tumpang sari, petani mengandalkan lahan sistem tanam bergulir di persawahan

dengan luasan lahan antara 0,25 hingga 0,5 Ha. Luasan lahan tersebut oleh

masyarakat dirasa belum memberikan dampak yang cukup berarti dalam mencukupi

kebutuhan harian yang hanya mengandalkan penghasilan dari kedelai. Rata-rata

penghasilan (pendapatan bruto) yang diperoleh dari kedelai hanya Rp 2.500.000

hingga 3.000.000 untuk setiap panennya. Besar-kecilnya pendapatan (dengan luasan

lahan tetap) tergantung dari tinggi-rendahnya harga jual kedelai. Untuk mencukupi

kebutuhan harian, masyarakat umunya bekerja sebagai kuli bangunan dan beternak

(sapi, kambing dan ayam) dan melakukan pembalakan liar (pembalakan hutan jati) di

lahan perhutani.

Ketika ada pembukaan lahan Perhutani pada tahun 2005 (tahap awal) dan

dilanjutkan tahun 2010, pendapatan petani untuk sistem tumpang sari meningkat

tajam. Petani yang awalnya hanya memiliki lahan 0,25 hingga 0,5 Ha meningkat

menjadi 0,75 hingga 1 Ha, bahkan ada yang hingga 2 Ha. Sistem pembagian lahan

diatur oleh perhutani dengan menunjuk beberapa warga sebagai koordinator. Luasan

lahan yang didapat disesuaikan dengan kemampuan financial (tingkat bayar sewa)

warga. Umumnya tingkat sewa lahan dalam satu tahun yaitu sebesar Rp 350.000

dengan luasan mencapai 0,5 Ha.

Seiring berjalannya waktu, beberapa lahan warga dialihtangankan (dijual ke

orang lain/petani lain) lantaran petani merasa pembagian dan tingkat sewa lahan

kurang adil. Ketidakadilan tersebut terlihat dari meningkatnya harga sewa lahan dari

Rp 350.000 menjadi Rp 750.000 bahkan ada yang Rp 1.000.000 per 0,5 Ha.

Sedangkan untuk orang-orang tertentu (koordinator dan orang yang dekat dengan

pihak perhutani) harga sewa tiap tahunnya tetap. Beberapa bentuk mediasi dalam

mengatasi masalah PHBM (perhutani dengan masyarakat) telah dilakukan namun,

program PHBM di Banyuwangi dirasa masih gagal. Selain ketidakadilan dalam

Page 20: Paper asc tri cahyono

16

penentuan harga sewa, hasil mediasi masih diintervensi oleh pihak perhutani dengan

alasan maksimal sewa hanya lima tahun.

Permasalahan lainnya yaitu desakan kebutuhan ekonomi memaksa mereka

memindah tangankan (dijual) dengan harga Rp 2.000.000 tiap 0,5 Ha. Hal ini

disebabkan harga kedelai yang masih dikuasai oleh tengkulak sehingga walaupun

harga kedelai dipasaran meningkat, namun di tingkat petani cenderung tetap.

Sebenarnya sudah ada lembaga pertanian desa (Poktan/Gapoktan) namun peran

keduanya hanya sebatas pengumpulan hasil panen yang nantinya diambil oleh

tengkulak. Pengelolaan lahan belum mendapat perhatian dan pembinaan khusus dari

pemerintah terkait maupun perhutani. Untuk itulah, pengelolaan lahan dilakukan

secara konvensional tanpa memperhatikan dampak kelestarian lingkungan.

Contohnya pemupukan dan pemberantasan hama dengan pestisida tanpa melakukan

penakaran yang jelas.

2. Kabupaten Jember

Jember merupakan daerah di Jawa Timur yang berbatasan dengan Banywuangi,

Bondowoso, dan Lumajang. Pengembangan hutan di Jember beraneka ragam yaitu

untuk produksi, hutan lindung dan konservasi. Pelaksanaan PHBM di Kabupaten

Jember salah satunya berada di wilayah timur (perbatasan dengan Kabupaten

Banywuangi). Sebelum ada (awal penerapan) PHBM, masyarakat bekerja sebagai

petani dan buruh tani, bahkan tak jarang sebagian dari mereka melakukan

pembalakan liar di lahan milik perhutani. Namun dengan adanya PHBM ini,

pembalakan mulai menunjukkan penurunan.

Di Jember sendiri, PHBM diterapkan mulai tahun 2002 hingga sekarang dengan

sistem tumpang sari. Sistem tumpang sari di kawasan ini berupa perpaduan tanaman

kopi (milik masyaarakat) dengan tanaman pinus milik perhutani. Pembangian luasan

lahan di Jember diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat dengan pengawasan dari

pihak perhutani. Awalnya lahan yang dibagi harapannya dikelola untuk tanaman satu

musim (jagung, cabai dan lain sebagainya). Karena ada kenaikan harga kopi yang

cukup menjanjikan (dari Rp 5.000 menjadi Rp 17.000 tahun 2003), maka masyarakat

mentranformasikan secara total pertaniannya dari tanaman satu musim ke tanaman

keras (kopi).

Page 21: Paper asc tri cahyono

17

Perdebatan dengan pihak perhutani terus berlanjut, namun bergaining position

dari petani cukup kuat. Sehingga pihak perhutani tidak bisa membendung perilaku

petani tersebut. Beberapa waktu kemudian, muncul permasalahan dimana lahan

mulai diperjualbelikan. Karena fenomena tersebut, pendataan dari pihak perhutani

mengalami kesulitan. Ini dikarenakan yang mengelola hutan tidak hanya orang

dalam lingkup satu desa namun berasal dari beberapa wilayah lintas kabupaten.

Dalam mengelola tanaman kopi, sebenarnya sudah ada pembinaan dari dinas

pertanian, namun ketika diimplementasikan hasilnya tidak maksimal. Materi

pembinaan umumnya terkait bagaimana menjaga kelestarian lingkungan dengan

melakukan pemupukan dan pemanfaatan pestisida secara bijak. Kenyataanya,

masyarakat menggunakan pestisida dan pupuk secara sembarangan (tanpa takaran)

dengan asumsi semakin banyak pupuk dan pestisida maka hasil yang diperoleh juga

meningkat. Sedangkan dari pihak perhutani sendiri belum ada pembinaan yang jelas

lantaran hanya sebatas penarikan 48 Kg kopi kering untuk setiap kali panen. Selain

itu, poktan ataupun gapoktan yang bertujuan sebagai sarana pembinaan dan

mengembangkan pola pertanian dalam jangka panjang tidak tercipta dengan baik

(tidak ada poktan atau gapoktan).

3. Kabupaten Malang

Kabupaten Malang merupakan kabupaten terluas ke dua di Jawa Timur dengan

luas wilayah 3.530,65Km2. Tidak berbeda jauh dengan beberapa daerah lainnya,

pengembangan PHBM di Kabupaten Malang banyak mengalami kendala. Salah

satunya dari pemerintah daerahnya sendiri dimana pemerintah daerah ingin turut

berperan aktif dalam penerapan PHBM. Realisasi tanaman tumpang sari di

Kabupaten secara berturut turut mulai tahun 2009 hingga tahun 2013 berdasarkan

data Dinas Kehutanan tahun 2014 sebesar : (i) 478 Ha tahun 2009, (ii) 205 Ha tahun

2010, (iii) 49 Ha tahun 2011, (iv) 19 Ha tahun 2012, (v) 220 Ha tahun 2013. Untuk

daerah yang diteliti ada 3 kecamatan (Malang Selatan) yang berbeda diantaranya :

Kecamatan Pagak, Kecamatan Kalipare dan Kecamatan Donomulyo. Dari ketiga

kecamatan tersebut, penerapan PHBM memiliki karakter yang hampir sama yaitu

sama-sama direalisasikan pada hutan jati yang dipadukan dengan ketela pohon.

Penerapan PHBM di Malang dilakukan secara ketat dengan pembagian lahan

dikontrol langsung oleh pemerintah kabupaten dan pihak perhutani. Untuk itulah,

Page 22: Paper asc tri cahyono

18

lahan yang dibagikan terukur dengan baik. Selain itu, pendapatan masyarakat dari

hasil tumpang sari dirasa cukup lantaran lembaga pertanian (Poktan dan Gapoktan)

berperan aktif dalam menjalankan organisasi. Aktifnya Poktan atau Gapotan inilah

menjadikan petani memiliki bergaining position yang kuat dalam mempengaruhi

harga ketela pohon. Umumnya harga jual ketela pohon berkisar antara Rp 700

hingga Rp 900 per kilogram dengan rata-rata panen mencapai 10 hingga 15 ton

bahkan ada yang mencapai 20 Ton (luas area panen mencapai 0,75 hingga 1 Ha)

tergantung perawatan. Masa panen dari ketela pohon sendiri mencapai 7-8 bulan

untuk jenis Gajah, dan 11 hingga 12 bulan untuk jenis Pandesi dan Kuning. Wilayah

pemasaran ketela pohon sebagian besar menuju Kediri untuk bahan tepung, dan di

wilayah Kabupaten Malang (Kecamatan Dampit) untuk bahan Glukosa dan Etanol.

Luasan lahan masyarakat dari program PHBM tidak begitu luas kemungkinan

berkisar 0,5 hingga 1 Ha. Sedangkan untuk memaksimalkan pendapatan dari ketala

pohon biasanya masyarakat menanam dilahan milik sendiri. Program PHBM di

daerah Malang selatan mengalami tarik-ulur (luasan hutan untuk tumpang sari

dipersempit) dimana hal ini disebabkan oleh adanya tebang pilih hutan oleh

perhutani dan proses reforestasi hutan. Karena kebijakan yang tarik-ulur inilah

menjadikan masyarakat melakukan jual-beli lahan tumpang sari. Hal ini

dilatarbelakangi oleh ketidak pastian pendapatan yang hanya mengandalkan dari

ketela pohon dengan masa panen cukup lama (hampir satu tahun).

6. REKOMENDASI (SYARAT) PHBM: IMPLEMENTASI REVOLUSI

MENTAL MELALUI CBD (COMMUNITY BASED DEVELOMPENT) DESA

HUTAN DI JAWA TIMUR

Dalam pelaksanaan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM),

seluruh masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lokasi hutan diajak untuk

berpartisipasi secara sukarela. Mengingat bentuk dari partisipasi tersebut adalah

sukarela, tingkat keaktifan setiap masyarakat berbeda berdasakan karakter rumah tangga

masing-masing. Peserta program PHBM yang terbesar adalah petani yang memiliki

lahan sempit dan berkeinginan untuk memiliki lahan yang lebih luas sehingga dapat

meningkatkan pendapatan rumah tangganya. Sedangkan beberapa anggota lain yang

bukan petani memiliki perhatian yang cukup besar pada keberlangsungan hutan karena

Page 23: Paper asc tri cahyono

19

degradasi hutan akan menyebabkan terjadinya eksternalitas negatif yang cukup besar

bagi lingkungan sekitar dan kehidupan sehari-harinya karena dapat mendatangkan

bencana banjir dan menurunnya tingkat air tanah (Lestari, 2015).

Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat memiliki konsep berbagi

manfaat dan tanggung jawab antara Perum Perhutani, penduduk lokal, stakeholder dan

pihak-pihak lain yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya kehutanan. Dalam

program tersebut masyarakat di sekitar hutan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi

secara sukarela dalam pengelolaan hutan, dari proses perencanaan hingga penebangan

kayu (Prambudiarto, 2008). Oleh sebab itu, pelaksanaan program PHBM memerlukan

revolusi mental Community Based Development (CBD) sehingga dapat mencapai tujuan

bersama, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan.

Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui revolusi mental Community

Based Development (CBD) desa hutan perlu didukung strategi-strategi untuk mencapai

sasaran kesejahteraan, yaitu: (i) sejahtera secara ekonomi; (ii) sejahtera secara sosial;

dan (iii) memiliki lingkungan tempat tinggal yang aman dan lestari. Adapun metode

yang digunakan untuk menentukan strategi prioritas dalam mencapai peningkatan

kesejahteraan masyarakat desa hutan adalah metode Analytical Hierarkhy Process

(AHP). Metode tersebut merupakan metode pengambilan keputusan dengan

menggunakan struktur hierarki yang disusun berdasarkan permasalahan yang terjadi,

yang kemudian dikelompokkan dan diatur menjadi bentuk hierarki (Jamli dan Joesoef,

1999:17). Data yang digunakan dalam metode analisis AHP adalah persepsi dari key

informan atau expert yang dipilih berdasarkan pemahamannya akan permasalahan serta

strategi pemecahan masalah yang diimplementasikan dalam mendukung peningkatan

kesejahteraan masyarakat melalui revolusi mental Community Based Development

(CBD) desa hutan.

Metode AHP memungkinkan pengujian kepekaan hasil analisisnya terhadap

perubahan informasi serta dirancang untuk dapat menampung persepsi dan aspirasi dari

masing-masing pihak yang terkait dalam pengembangan desa hutan yang berbasis pada

masyarakat sehingga tepat untuk menanggulangi berbagai persoalan politik dan sosio

ekonomi yang kompleks. Berdasarkan pada data dan kondisi lapang yang komplek

maka disusun sebuah hirarki yang memilah aspek-aspek dalam menentukan strategi

peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui revolusi mental CBD desa hutan yang

Page 24: Paper asc tri cahyono

20

tepat secara prioritas. Hirarki yang disusun selanjutnya ditanggapi oleh para responden

sehingga menghasilkan data kualitatif yang dikuantitatifkan. Kuesioner yang diperoleh

dijadikan matriks pairwase comparison untuk setiap kelompok responden. Demi alasan

kecepatan dan ketepatan maka dipergunakan program software expert choice dalam

mengolah matriks. Hasil sintesa dari tiap responden direkap kemudian dirata-rata

secara geometris untuk mengetahui prioritas global dari setiap kriteria dan alternatif

yang ingin dicari. Persepsi dari responden dihitung dengan menggunakan pairwase

comparison sehingga dapat diketahui bobot nilai prioritas masing-masing responden.

Hasil dari perhitungan tersebut dirata-rata secara geometris sehingga diketahui bobot

total terhadap tiap kreteria dan prioritas alternatif yang ingin diteliti.

Responden yang dipilih sebagai sumber data analisis AHP dalam penelitian ini

adalah key informan yang berasal dari PT. Perhutani, tokoh masyarakat desa hutan,

akademisi yang memahami permasalahan dan isu-isu pengelolaan hutan serta

pemerintah daerah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten

Banyuwangi, Kabupaten Jember dan Kabupaten Malang, dapat disusun struktur

hierarkhi sebagai berkut.

Sumber: Hasil Pemikiran Penulis, 2015

Gambar 3.

Struktur Hierarkhi Strategi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Revolusi

Mental CBD Desa Hutan

Page 25: Paper asc tri cahyono

21

Selanjutnya berdasarkan hierarkhi tersebut, pengolahan data dilakukan dengan

menggunakan AHP yang menghasilkan sintesa prioritas pada masing-masing struktur

hierarkhi. Hasil sintesa dari sasaran revolusi mental Community Based Development

desa hutan adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Hasil Sintesa Sasaran Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Desa Hutan

No Sasaran Bobot Prioritas

1 Ekonomi 0,349 1

2 Lingkungan 0,328 2

3 Sosial 0,323 3 Sumber: Hasil Analisis, 2015

Berdasarkan hasil sintesa pada hierarkhi tingkat satu (sasaran), dapat diketahui

bahwa ketiga sasaran dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan memiliki

tingkat kepentingan yang hampir sama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa

pencapaian ketiga sasaran tersebut saling terkait satu sama lain. Jika dilihat dari besaran

nilai bobot, sasaran ekonomi menjadi prioritas pertama dalam revolusi mental CBD

desa hutan dengan nilai sebesar 0,349. Selanjutnya adalah sasaran lingkungan dengan

nilai bobot prioritas sebesar 0,328 dan sasaran sosial dengan nilai bobot prioritas

sebesar 0,323. Nilai bobot prioritas yang tinggi menunjukkan bahwa faktor ekonomi

adalah sasaran yang paling penting dalam melaksanakan revolusi mental CBD desa

hutan mengingat perilaku masyarakat dalam mengelola hutan sangat dipengaruhi oleh

faktor ekonomi karena berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Namun, sasaran lingkungan juga hampir sama pentingnya karena berkaitan dengan

keberlanjutan sumberdaya hutan yang juga akan berdampak pada perekonomian

masyarakat desa hutan. Tidak berbeda dengan sasaran lingkungan, sasaran sosial juga

sangat berperan dalam pembangunan masyarakat desa hutan karena berkaitan dengan

perilaku dan pemahaman masyarakat dalam menjaga kelestarian ekosistem hutan.

Untuk mencapai ketiga sasaran tersebut diperlukan strategi yang dilaksanakan

berdasarkan prioritasnya. Selanjutnya, hasil sintesa dari sasaran ekonomi adalah sebagai

berikut.

Tabel 4. Hasil Sintesa Strategi dalam Mencapai Sasaran Ekonomi

No Strategi Bobot Prioritas

1 Munculnya Inovasi Pengolahan Hasil

Hutan

0,314 3

2 Menciptakan Kemadirian Pangan 0,315 2

3 Pembentukan Koperasi Desa Hutan 0,371 1 Sumber: Hasil Analisis, 2015

Page 26: Paper asc tri cahyono

22

Berdasarkan hasil analisis struktur hierarkhi kedua untuk sasaran ekonomi, dapat

diketahui bahwa program pembentukan koperasi desa hutan menjadi prioritas utama

dalam mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan. Hal tersebut dapat

dikemukakan berdasarkan nilai bobot prioritas strategi tersebut yang sebesar 0,371.

Selanjutnya, strategi prioritas yang kedua adalah menciptakan kemandirian pangan

dengan nilai bobot prioritas sebesar 0,315 dan munculnya inovasi pengolahan hasil

hutan dengan bobot 0,314. Nilai bobot dari masing-masing strategi yang tidak jauh

berbeda mengindikasikan bahwa pelaksanaan ketiga strategi tersebut akan berpengaruh

pada pelaksanaan strategi lainnya. Misalnya, dengan pembentukan koperasi desa hutan,

maka akan muncul inovasi pengolahan hasil hutan dan menciptakan kemandirian

pangan melalui peran koperasi dalam pengembangan pengolahan hasil hutan.

Selanjutnya, hasil sintesa dari sasaran lingkungan adalah sebagai berikut.

Tabel 5. Hasil Sintesa Strategi dalam Mencapai Sasaran Lingkungan

No Strategi Bobot Prioritas

1 Pelestarian Ekosistem Hutan melalui

pendampingan pada masyarakat desa

hutan

0,841 1

2 Menciptakan sistem pengelolaan

hutan yang efektif dan efisien

0,159 2

Sumber: Hasil Analisis, 2015

Berdasarkan hasil analisis struktur hierarkhi kedua untuk sasaran lingkungan,

program pelestarian ekosistem hutan melalui pendampingan pada masyarakat desa

hutan menjadi prioritas utama dalam mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat

desa hutan. Hal tersebut dapat dikemukakan berdasarkan nilai bobot prioritas strategi

tersebut yang sebesar 0,841. Selanjutnya, strategi prioritas yang kedua adalah

menciptakan sistem pengelolaan hutan yang efektif dan efisien dengan nilai bobot

prioritas sebesar 0,159. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pendampingan pada

masyarakat hutan dalam memanfatkan hutan sesuai dengan daya dukung hutan sangat

penting untuk dilaksanakan. Dengan adanya pengetahuan tersebut, diharapkan

masyarakat tidak lagi mengembil hasil hutan secara berlebihan, namun tetap

memperhatikan kelestarian sumberdaya hutan. Selanjutnya, hasil sintesa dari sasaran

sosial adalah sebagai berikut.

Page 27: Paper asc tri cahyono

23

Tabel 6. Hasil Sintesa Strategi dalam Mencapai Sasaran Sosial

No Strategi Bobot Prioritas

1 Pemberdayaan masyarakat melalui

pembentukan Lembaga Masyarakat

Desa Hutan

0,667 1

2 Penetapan peraturan dan sanksi sosial

dalam proses pengelolaan hutan

0,333 2

Sumber: Hasil Analisis, 2015

Berdasarkan hasil analisis struktur kedua untuk sasaran sosial, dapat diketahui

bahwa strategi pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan Lembaga Masyarakat

Desa Hutan (LMDH) menjadi prioritas utama untuk peningkatan kesejahteraan

masyarakat desa hutan. Hal tersebut ditunjukkan dengan bobot prioritas strategi yang

mencapai nilai 0,667. Pembentukan LMDH merupakan salah satu kunci kesuksesan

pelaksanaan PHBM mengingat pelaksanaan program PHBM membutuhkan lembaga

yang secara legal dapat bertindak atas nama masyarakat desa hutan, sehingga lembaga

tersebut dapat berperan dalam mendukung kelompok masyarakat untuk mendapatkan

hak dan tugas mengelola bagian wilayah hutan tertentu. Kelompok masyarakat yang

menjadi anggota LMDH memiliki hak untuk menentukan cara menerapkan sistem bagi

hasil dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kelompok

masyarakat tersebut juga diijinkan untuk memanen bahan pangan yang tumbuh di

sekitar tanaman hutan (umbi-umbian, kacang-kacangan, sayuran dan berbagai jenis

bahan pangan lainnya) serta memiliki akses untuk mengambil hasil produksi hutan

selain kayu pepohonan (kayu bakar, pakan ternak, dan daun jati) dalam memenuhi

kebutuhan sehati-hari.

Pembentukan LMDH tidak hanya akan berdampak pada peningkatan

kesejahteraan masyarakat desa hutan secara sosial saja, tetapi juga dapat meningkatkan

pendapatan petani melalui kelompok pengelolaan hutan. Di sisi lain, LMDH juga

mengharuskan petani untuk mempertahankan dan memelihara pepohonan di kawasan

hutan serta menjaga kelestarian hutan dari berbagai ancaman seperti penebangan liar

dan kebakaran hutan.

Page 28: Paper asc tri cahyono

24

7. PENUTUP

Praktik PHBM baik di Indonesia secara umum maupun Jawa Timur secara

khusus masih menimbulkan berbagai kekhawatiran mengenai upaya pembangunan

berkelanjutan. Dari sudut pandang masyarakat desa hutan melalui LMDH, pada kondisi

eksisting masih belum cukup berdaya utamanya dari segi ekonomi, sosial, dan

pemberdayaan lingkungan. Rendahnya akses ekonomi mendorong masyarakat desa

hutan memiliki beragam keterbatasan utamanya persoalan finansial, keterampilan, dan

lahan pertanian. Akibatnya, lahan produksi yang banyak dikembangkan pada hutan-

hutan di Jawa Timur tidak cukup memberikan banyak manfaat. Kondisi ini diperparah

dengan belum terpenuhinya perlindungan dan penguatan dari segi kelembagaan LMDH,

Perhutani, maupun pemerintah daerah, sehingga masyarakat desa hutan cenderung

tereksploitasi. Masyarakat desa hutan lemah dalam transaksi bagi hasil ekonomi hutan,

penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan, serta akses perlindungan hukum.

Sehingga muncul dampak negatif berupa kerusakan dan pencurian atas sumber daya

hutan.

Kondisi ini yang kemudian coba diperbaiki dengan Revolusi Mental berbasis

Community Based Development (CBD) desa hutan. Pertumbuhan LMDH dan lahan

tumpangsari yang berkorelasi positif terhadap penurunan pencurian dan kerusakan SDH

dicoba untuk diperbaiki sistem kelembagaannya. Revolusi Mental menggambarkan

paradigma baru yang disesuaikan dengan kondisi struktural dan kultural. Sehingga CBD

menjadi jalan tengah dengan dasar untuk: (i) menciptakan suasana/iklim yang

memungkinkan potensi masyarakat desa hutan berkembang secara optimal, utamanya

dari sekat-sekat kultural dan structural; (ii) mengembangkan segenap kekuatan dan

kepercayaan diri masyarakat desa hutan agar mampu menunjang kemandirian; (iii)

melindungi agar tidak tertindas oleh kelompok yang kuat, menghindari persaingan yang

tidak seimbang, dan mencegah eksploitasi terhadap LMDH; (iv) memberikan

bimbingan dan dukungan agar mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupan;

dan (v) pemeliharaan kondisi yang kondusif baik untuk lingkungan sosial, ekonomi,

maupun lingkungan alam.

CBD juga sangat diperlukan dalam mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan

desa hutan dengan strategi sebagai berikut: (1) Pembentukan koperasi desa hutan

dengan tujuan untuk mendorong pengembangan usaha hasil hutan. Koperasi desa hutan

Page 29: Paper asc tri cahyono

25

berperan sebagai penyedia bantuan dana, penyedia bantuan saprodi, menjadi tempat

penjualan hasil produksi hutan, penyedia informasi pasar dan memberikan

pendampingan pada usaha produktif masyarakat desa hutan sehingga dapat

memunculkan inovasi pengolahan hasil hutan; (2) Melakukan pendampingan pada

masyarakat desa hutan untuk melestarikan ekosistem hutan dan menciptakan sistem

pengelolaan hutan yang efektif dan efisien. Dengan memiliki pemahaman tersebut,

masyarakat desa hutan dapat menjaga keseimbangan antara memenuhi kebutuhan

ekonomi dan menjaga kelestarian lingkungan hutan; dan (3) Pemberdayaan masyarakat

melalui pembentukan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) untuk mencapai

kesejahteraan sosial. LMDH memiliki kewenangan dalam mengelola hutan, namun

harus ada internalisasi kewenangan LMDH dengan memasukkan nilai-nilai kearifan

lokal. Internalisasi LMDH juga dapat membatasi intervensi dari pihak lain dalam

proses pengelolaan hutan sehingga masyarakat lebih merasa memiliki hutan karena

dapat mengelola dengan caranya sendiri dan merasa wajib untuk menjaga kelestarian

hutan untuk keberlangsungan hidup bersama.

Page 30: Paper asc tri cahyono

DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencana Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur. 2014. Data Dinamis

Triwulan III 2014. Surabaya: BAPPEDA Provinsi Jawa Timur

Diantoro, Totok Dwi dan Hanif, Hasrul. 2012. Kertas Kebijakan ARuPA: Transformasi

Tata Kelola Hutan Jawa Menuju Pengelolaan Hutan oleh Rakyat Pasca

Implementasi PHBM.

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur. 2014. Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Jawa

Timur Tahun 2009-2013 Edisi Oktober 2014. Surabaya: Dinas Kehutanan

Provinsi Jawa Timur

Dirjen Planologi Hutan. 2014. Deforestasi Indonesia 2012 – 2013. Dirjen Planologi

Hutan. Jakarta.

Gunawan, Sri Kristiyar dkk. 2014. Implementasi Program Pengelolaan Sumberdaya

Hutan Bersama Masyarakat dalam Perspektif Pemberdayaan Masyarakat Desa

Hutan. Dinas Kehutanan Kabupaten Blora. Blora-Jawa Tengah.

Handoko, V. Rudi, dkk. 2009. Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan Melalui

Pengelolaan Hutan Sosial Secara Sinergis-Adaptif-Berkelanjutan. Jurnal Ilmu

Administrasi, No. 2 Tahun VIII Mei-Agustus 2009

Herawaty, Siti Rakhma Mary. 2013. Hutan Jawa: Manajemen, Konflik, dan Solusi.

Artikel berbentuk Portable Document File (PDF), diakses dari

http://www/kpa.or.id pada tanggal 12 Maret 2015 pukul 20.23 WIB

Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Bumi Aksara. Jakrta.

Isa, Ibrahim. 2014. Revolusi Mental – “Revolusi Jokowi”. Artikel berbentuk PDF,

diakses dari http://www.gelora45.com pada tanggal 12 Maret 2015 pukul 18.25

WIB

Kusdamayanti. 2008. Peran Masyarakat dalam Penyusunan Kebijakan Pola Kemitraan

Pengelolaan Hutan Di Kabupaten Malang. Pusat Diklat Kehutanan Bogor.

Bogor-Jawa Barat.

Lestari, S., Kotani, K., Kakinaka, M. 2015. Enhancing voluntary participation in

community collaborative forest management: A case of Central Java, Indonesia.

Journal of Environmental Management 150 (299-309).

Mardikanto, Totok & Poerwoko Soebiato. 2012. Pemberdayaan Masyarakat dalam

Perspektif Kebijakan Publik. Bandung: Penerbit Alfabeta

Muttaqin, T. 2014. Pendampingan Kelompok Tani Hutan Rakyat Desa Donowarih

Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang dalam Peningkatan Usaha

Budidaya Tanaman Sengon. Jurnal Dedikasi, Volume 11 Edisi Mei 2014 Hal

95-101

Page 31: Paper asc tri cahyono

Nurhadi. 2011. Membangun Kemitraan, Mengembangkan Kehutanan Masyarakat di

Taman Nasional Meru Betiri. FKKM Bogor.

Prambudiarto, 2008. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Melalui Lembaga

Masyarakat Desa Hutan (LMDH) (Master’s thesis). Institute Pertanian Bogor,

Indonesia.